Anda di halaman 1dari 11

Analisis Miskonsepsi Peserta Didik Melalui CRI Pada Level Taksonomi SOLO

Dalam Menentukan Nilai Optimum Menggunakan Garis Selidik

Elda Mustapidah Yudiantini, Depi Setialesmana, Ratna Rustina


Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi, Kota Tasikmalaya, Indonesia
E-mail: yudiantinielda@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to describe student misconceptions through CRI at the SOLO Taxonomy level in
determining optimal values using questionnaires and describe the factors that cause students to
experience misconceptions. The type of research used is qualitative descriptive research. The
subjects in this study were students from class XI MIPA 5 SMA Negeri 1 Tasikmalaya as many as
seven people taken from the misconception category at the SOLO Taxonomy level. The data
collection technique is to carry out a question test to determine the optimum value using a
questionnaire line equipped with CRI and interviews. The instrument used is a test of one
question. The data analysis technique is by providing test questions, followed by interviewing
students to find out more deeply about the factors causing student misconceptions in determining
the optimum score using the line of inquiry. The conclusion in this study is that there are seven
students who experience misconceptions at various levels of SOLO Taxonomy. Subjects at the
prestructural level experience translation misconceptions with the factor causing the
misconception being the ability of learners. The subject at the unistructural level experiences
translation misconceptions and strategy misconceptions with the causative factor being erroneous
intuition. Subjects at the multistructural level experience misconceptions of concepts and
misconceptions of strategies with the causative factors being incomplete/incorrect reasoning and
incorrect preconceptions. Subjects at the relational level experience concept misconceptions,
strategy misconceptions and calculated misconceptions with the causative factor being
incomplete/incorrect reasoning. Subjects with an expanded abstract level experience
misconceptions of concepts and misconceptions of strategies with the causative factor being
incomplete/incorrect reasoning.

Keywords: Misconceptions; SOLO Taxonomy; Certainty Of Response Index; Value Optimum


Probe Line.

PENDAHULUAN
Tafsiran setiap perorangan berbeda-beda pada sebuah konsep. Tafsiran yang keluar oleh seseorang itulah
yang disebut konsepsi. Konsepsi dijelaskan sebagai tafsiran dari seseorang terhadap suatu konsep ilmu
(Faizah, 2016). Konsepsi ilmuwan pada umumnya akan lebih berdasar, lebih kompleks, lebih rumit, dan
melibatkan lebih banyak menghubungkan antar konsep pada suatu konsepsi. Ketika konsepsi peserta
didik adalah sama dengan konsepsi ilmuwan yang disederhanakan, konsepsi peserta didik tidak dapat
dikatakan salah, tetapi kalau konsepsi peserta didik bertentangan dengan konsepsi para ilmuwan, untuk
kondisi tersebut digunakan istilah “Miskonsepsi” (Misconception). Miskonsepsi merupakan pemahaman
mengenai suatu konsep ilmu yang melekat kuat dalam benak peserta didik dan diyakini sebagai suatu hal
yang benar, namun sebenarnya menyimpang atau tidak sesuai dengan konsep yang disepakati dan
dianggap benar oleh para ahli, sejalan dengan Ibrahim (2019) yang mengemukakan miskonsepsi adalah
suatu keadaan dimana seseorang memiliki konsepsi tentang suatu konsep yang berbeda dengan konsepsi
yang disepakati oleh para ahli (p. 37).

Miskonsepsi dapat dideteksi dengan menggunakan metode Certainty of Response Index (CRI), metode ini
menggambarkan keyakinan peserta didik terhadap alternatif jawaban yang diberikan. Mubarokah (2019)
menyatakan Certainty of Response Index (CRI) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur
miskonsepsi seseorangan dengan cara mengukur tingkat keyakinan atau kepastian dalam menjawab setiap
permasalahan yang diberikan. Metode ini peserta didik diminta untuk merespon setiap pilihan pada
masing-masing item tes yang disediakan, sehingga dapat mengetahui peserta didik yang mengalami
miskonsepsi dan tidak paham konsep. Sejalan dengan Saleem Hasan (dalam Ulfah & Fitriyani, 2017)
Certainty of Response Index (CRI) merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam
menjawab setiap pertanyaan yang diberikan. Miskonsepsi memiliki beberapa jenis. Jenis-jenis
miskonsepsi menurut (Isyam, Susanto, & Oktavianingtyas, 2019), yaitu miskonsepsi terjemahan,
miskonsepsi konsep, miskonsepsi strategi dan miskonsepsi hitung.

Miskonsepsi yang dilakukan peserta didik berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari respon kemampuan
yang diberikan peserta didik saat menjawab soal. Salah satu cara untuk mengetahui respon kemampuan
peserta didik yang mengalami miskonsepsi dapat menggunakan level Taksonomi SOLO. Hal ini sejalan
dengan pendapat Exacta, Sujadi, dan Subanti (2015) yang menyatakan bahwa miskonsepsi dapat terjadi
pada setiap level dalam Taksonomi SOLO. Dengan demikian, Taksonomi SOLO dapat digunakan untuk
mengukur respon sesuai level kemampuan peserta didik yang mengalami miskonsepi. Taksonomi SOLO
merupakan alat evaluasi yang paling praktis untuk mengukur kualitas jawaban berdasarkan level tertentu.
Terdapat lima level dalam Taksonomi SOLO yaitu prastruktural, unistruktural, multistruktur, relasional,
dan abstrak yang diperluas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika di SMAN 1 Tasikmalaya yang
menyatakan bahwa hanya 40% peserta didik yang memahami konsep mengenai menentukan nilai
optimum menggunakan garis selidik dari masalah program linear. Hal tersebut disebabkan karena peserta
didik belum bisa memahami konsep dengan baik. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa terdapat
beberapa peserta didik yang mengalami miskonsepsi dalam menentukan nilai optimum menggunakan
garis selidik. Peneliti menemukan permasalahan di SMAN 1 Tasikmalaya bahwa kenyataannya dalam
mengerjakan soal ulangan harian menentukan nilai optimum menggunakan garis selidik 120 orang dari
jumlah total 200 peserta didik kelas XI menjawab salah. Dengan kata lain peneliti beranggapan bahwa
peserta didik tersebut mengalami miskonsepsi pada materi menentukan nilai optimum menggunakan garis
selidik yang diberikan.

Pemahaman peserta didik terhadap suatu konsep yang keliru dan tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang
dikemukakan oleh para ilmuwan akan timbul yang namanya miskonsepsi. Hal ini tentunya akan
berdampak pada pemahaman peserta didik selanjutnya dan akan menimbulkan kesulitan belajar bagi
peserta didik. Miskonsepsi bisa menimbulkan masalah pada pembelajaran selanjutnya apabila tidak
ditangani secara tepat dan segera diatasi sedini mungkin (Gradini, 2016). Dengan demikian, miskonsepsi
yang terjadi sebelumnya apabila tidak diatasi akan bisa menimbulkan masalah pada pemahaman konsep
selanjutnya. Miskonsepsi yang dilakukan peserta didik berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari respon
kemampuan yang diberikan peserta didik saat menjawab soal. Salah satu cara untuk mengetahui respon
kemampuan peserta didik yang mengalami miskonsepsi dapat menggunakan level Taksonomi SOLO. Hal
ini sejalan dengan pendapat Exacta, Sujadi, dan Subanti (2015) yang menyatakan bahwa miskonsepsi
dapat terjadi pada setiap level dalam Taksonomi SOLO. Dengan demikian, Taksonomi SOLO dapat
digunakan untuk mengukur respon sesuai level kemampuan peserta didik yang mengalami miskonsepi.
Level respon peserta didik perlu diketahui oleh guru. Setelah guru mengetahui level respon peserta didik,
secara tidak langsung guru juga akan mengetahui sejauh mana daya serap peserta didik dalam menerima
konsep.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Kurniawan, Nurhayati, & Nugraha, 2021 yang
berjudul “Analisis Miskonsepsi Peserta Didik Pada Materi Pecahan di SMP Negeri 4 Majenang Cilacap”.
Hasil penelitian tersebut dari 26 peserta didik ditemukan lima orang peserta didik mengalami
miskonsepsi. Presentase miskonsepsi tertinggi terjadi pada konsep menghitung penjumlahan bilangan
pecahan. Penelitian lainnya oleh Siregar 2021 yang berjudul “Analisis Miskonsepsi dalam Memecahkan
Masalah Matematis pada Soal Cerita”. Hasil penelitian tersebut dari 33 peserta didik ditemukan tiga
peserta didik yang mengalami miskonsepsi, diantaranya mengalami miskonsepsi teoritikal, klasifikasional
dan teoritikal, dan korelasional. Kedua penelitian tersebut hanya menganalisis miskonsepsi. Jenis
miskonsepsi yang dianalisis yaitu miskonsepsi teoritikal, klasifikasional dan teoritikal, dan korelasional.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengamati bahwa belum ada penelitian yang menganalisis miskonsepsi
melalui CRI pada Taksonomi SOLO dalam menentukan nilai optimum menggunakan garis selidik. Oleh
karena itu, sebagai pembeda dari penelitian sebelumnya, peneliti menganalisis miskonsepsi pada Level
Taksonomi SOLO. Perbedaan yang lainnya yaitu miskonsepsi yang dianalisis pada penelitian ini
meliputi miskonsepsi terjemahan, miskonsepsi konsep, miskonsepsi strategi dan miskonsepsi hitung.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai “Analisis Miskonsepsi Peserta Didik
melalui Certainty Of Response Index (CRI) pada Level Taksonomi Solo dalam Menentukan Nilai
Optimum Menggunakan Garis Selidik”.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Menurut Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 2017) “metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati” (p.4). Serta
Sugiyono, (2018) menyatakan bahwa penelitian kualitatif deskriptif adalah data yang dikumpulkan
dengan berbentuk kata-kata, kemudian data yang telah terkumpul dianalisis dan dideskripsikan sehingga
mudah dipahami oleh orang lain (p.24). Metode deskriptif dipilih oleh peneliti karena sesuai dengan
tujuan peneliti yaitu mendeskripsikan miskonsepsi peserta didik melalui certainty of response index (CRI)
pada level Taksonomi SOLO dalam mentukan nilai optimum menggunakan garis selidik dan penyebab
miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik. Subjek dalam penelitian ini yaitu peserta didik dari kelas XI
MIPA 5 SMA Negeri 1 Tasikmalaya sebanyak tujuh orang diambil dari kategori miskonsepsi pada level
Taksonomi SOLO. Teknik pengumpulan data yaitu melaksanakan tes soal menentukan nilai optimum
menggunakan garis selidik dilengkapi dengan CRI dan wawancara. Instrumen yang digunakan yaitu tes
sebanyak satu soal. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini sesuai dengan Sugiyono
(2018) yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana miskonsepsi yang dialami oleh
setiap subjek penelitian berdasarkan hasil tes menentukan nilai optimum menggunakan garis selidik yang
dilengkapi CRI dan faktor penyebab peserta didik berdasarkan hasil wawancara yang sudah dilakukan.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas IX MIPA-5 SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Subjek yang dipilih adalah
peserta didik yang menjawab salah pada setiap Level Taksonomi SOLO dan menjawab skala tinggi pada
CRI (skala 3-5), hal ini sejalan dengan pendapat Mujib (2017) yang menyatakan responden yang
mengalami miskonsepsi adalah peserta didik yang menjawab salah akan tetapi memiliki tingkat
keyakinan tinggi (skala 3-5). Berdasarkan hasil jawban tes dan skala CRI dari 34 peserta didik terdapat 11
peserta didik yang mengalami miskonsepsi di berbagai level Taksonomi SOLO. Untuk memenuhi
kebutuhan peneliti menganalisis miskonsepsi pada level Taksonomi SOLO, peneliti memilih 7 subjek
yang dianalisis yaitu 1 subjek pada level prastruktural, 1 subjek pada level unistruktural, 2 subjek pada
level multistruktural, 2 subjek pada level relasional dan 1 subjek pada level abstrak yang diperluas.
Subjek penelitian yang terpilih adalah S-6 yang merupakan subjek pada level prastruktural, S-25 yang
merupakan subjek pada level unistruktural, S-1 dan S-11 yang merupakan subjek pada level
multistruktural, S-8 dan S-10 yang merupakan subjek pada level relasional dan S-28 yang merupakan
subjek pada level abstrak yang diperluas.

Subjek dengan level prastruktural (S-6) mengalami miskonsepsi terjemahan. S-6 menjawab salah dengan
skala keyakinan yaitu 4. S-6 mengalami miskonsepsi terjemahan karena salah dalam menyatakan
diketahui dan ditanyakan dalam soal. S-6 salah dalam menentukan apa yang ditanyakan pada soal,
seharusnya yang ditanyakan adalah racikan expresso dan manual brew, sedangkan S-6 menganggap yang
ditanyakan adalah serbuk kopi Arabika dan serbuk kopi Robusta. S-6 juga salah dalam menerjemahkan
kalimat pada soal yaitu racikan manual brew yang dibuat dari kopi Arabika dengan takaran 1 sendok teh
dan kopi Robusta dengan takaran 2 kali kopi Arabika, S-6 menuliskan takaran manual brew yaitu 1
sendok teh kopi Robusta dan 1 sendok teh kopi Arabika. Hal tersebut terjadi subjek kesulitan dalam
menerjemahkan soal karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki subjek. Berdasarkan paparan serta
penyajian jawaban hasil tes S-6 dan juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, faktor yang
menyebabkan S-6 mengalami miskonsepsi terjemahan adalah kemampuan peserta didik. Merujuk pada
pendapat Suparno (2013) faktor penyebab kemampuan peserta didik terjadi karena peserta didik kurang
berbakat dalam matematika atau kurang mampu dalam memahami matematika dan sering mengalami
kesulitan memahami konsep yang benar dalam proses belajar. Dapat disimpulkan bahwa pada level
prastruktural terjadi miskonsepsi karena peserta didik pada level prastruktural belum memiliki
pemahaman yang cukup tentang materi yang sedang dipelajari. Peserta didik menerjemahkan informasi
yang diberikan dengan cara yang salah atau membuat asumsi yang tidak benar tentang konsep yang
sedang dipelajari. Hal ini sejalan juga dengan Ekawati, Junaedi, & Nugroho (2013) dimana siswa pada
level prastruktural siswa dapat menggunakan data/ informasi yang diperoleh dari soal/ tugas tetapi proses
yang digunakan tidak benar dikarenakan siswa tidak memiliki keterampilan yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas sehingga siswa belum bisa mengerjakan tugas dengan tepat.

Miskonsepsi Terjemahan

Gambar 1 Hasil Pengerjaan S-6

Subjek dengan level unistruktural (S-25) mengalami miskonsepsi terjemahan dan miskonsepsi strategi. S-
25 mengalami miskonsepsi strategi karena salah membaca tabel diketahui dan ditanyakan serta S-25
mengalami miskonsepsi terjemahan karena salah dalam membuat model matematika berupa fungsi
kendala dan fungsi objektif. S-25 salah dalam membaca tabel yang seharusnya dibaca dari atas ke bawah,
sedangkan S-25 membaca tabel dari kiri ke kanan, menyebabkan S-25 salah membuat model fungsi
kendala dan fungsi objektifnya. Hal tersebut terjadi karena karena S-25 mengira membaca tabelnya sudah
benar. Berdasarkan paparan serta penyajian jawaban hasil tes S-25 dan juga berdasarkan hasil wawancara
yang telah S-25 dilakukan, faktor yang menyebabkan subjek mengalami miskonsepsi adalah intuisi yang
salah. Merujuk pada pendapat Suparno(2013) intuisi yang salah merupakan suatu perasaan dalam diri
seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum diteliti
secara objektif dan rasional. Dapat disimpulkan bahwa pada level unistruktural terjadi miskonsepsi
terjemahan dan miskonsepsi strategi karena pada level unistruktural peserta didik tidak memperhatikan
detail tertentu atau tidak memahami konteks secara keseluruhan sehingga terjadi pemahaman yang tidak
tepat atau kurang lengkap tentang konsep yang sedang dipelajari. Peserta didik telah memahami satu
aspek atau elemen dari konsep, tetapi mereka tidak memahami konsep secara keseluruhan atau bagaimana
elemen tersebut terkait dengan konsep secara lebih luas. Hal ini sejalan dengan Ekawati, Junaedi, &
Nugroho (2013) bahwa pada level unistruktural siswa tidak memahami masalah tetapi dapat melakukan
satu proses yang tepat tetapi tidak memberikan penjelasan yang jelas.

MISKONSEPSI
STRATEGI

MISKONSEPSI
TERJEMAHAN

Gambar 2 Hasil Pengerjaan S-25

Subjek dengan level multistruktural (S-1) mengalami miskonsepsi konsep dan miskonsepsi strategi. S-1
menjawab salah dengan skala keyakinan yaitu 4. S-1 mengalami miskonsepsi konsep karena salah dalam
menentukan titik koordinat dan titik potong dari model matematika yang dibuatnya serta mengalami
miskonsepsi strategi karena salah dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian. S-1 salah konsep
mengenai operasi hitung aljabar, S-1 mengoperasikan 2 dengan 16 menjadi perkalian, seharusnya S-1
mengoperasikan 2 dengan 16 dengan pembagian. Hal tersebut terjadi karena S-1 merasa konsep yang
dimilikinya sudah benar namun sebenarnya salah. Berdasarkan paparan serta penyajian jawaban hasil tes
S-1 dan juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, faktor yang menyebabkan S-1 mengalami
miskonsepsi konsep dan miskonsepsi strategi adalah reasoning yang tidak lengkap/salah, karena
informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap. Akibatnya, peserta didik mengambil
kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada peserta didik. Sebenarnya
berdasarkan hasil jawaban S-1 juga terindikasi mengalami miskonsepsi konsep pada konsep
pengoperasian aljabar, namun berdasarkan hasil wawancara S-1 hanya keliru bukan mengalami
mskonsepsi, karena S-1 sebenarnya paham dengan materi tersebut. Subjek dengan level multistruktural
(S-11) mengalami miskonsepsi strategi. S-11 mengalami miskonsepsi strategi karena salah dalam
menggambar garis dari fungsi kendala. S-11 salah menggambar titik (16,0), seharusnya 16 di sumbu x
dan 0 di sumbu y, S-11 melakukan sebaliknya. S-11 juga salah menggambar titik (0,12), seharusnya 0 di
sumbu x dan 12 di sumbu y, S-11 melakukan sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena S-11 memliki konsep
awal yang salah tentang membuat grafik. Merujuk pendapat Suparno (2013 ) faktor penyebab
miskonsepsi yang dilakukan S-11 yaitu prakonsepsi tidak tepat, artinya sebelum peserta didik mengikuti
pelajaran formal di kelas, terdapat beberapa peserta didik yang sudah memiliki konsep awal atau
prakonsepsi tentang suatu materi. Konsep awal yang dimiliki peserta didik ini terkadang masih terdapat
miskonsepsi. Dapat disimpulkan bahwa pada level multistruktural terjadi miskonsepsi konsep dan strategi
karena memiliki pemahaman yang salah atau tidak lengkap tentang konsep yang lebih kompleks dan
abstrak dan memiliki pemahaman yang tidak lengkap tentang konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan
konsep yang lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan Hamdan (dalam Widyawati, Afifah, dan Resbiantoro,
2018) bahwa Peserta didik pada level multistruktural hanya dapat menggunakan beberapa data atau
informasi, tetapi tidak menemukan antara data, sehingga mereka tidak dapat menarik kesimpulan yang
relevan atau belum mampu pada konsep yang lebih kompleks dan abstrak sehingga tidak dapat menarik
kesimpulan yang relevan.

MISKONSEPSI
HITUNG

Gambar 3 Hasil Pengerjaan S-1


MISKONSEPSI
STRATEGI

Gambar 4 Hasil Pengerjaan S-11

Subjek dengan level rasional (S-8) mengalami miskonsepsi strategi dan miskonsepsi hitung. S-8
mengalami miskonsepsi strategi karena salah dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian. S-8
mengarsir DHP bagian atas garis, namun S-8 menuliskan DHP dibawah garis. S-8 mengalami
miskonsepsi hitung pada bagian eliminasi substitusi untuk mencari titik pojok DHP yang belum
diketahui, S-8 menyatakan x-2x=-2x yang seharusnya x-2x=-x. Hal ini terjadi karena S-8 merasa
kesulitan menyelesaikan permasalahan matematika seperti soal tes yang diberikan. Merujuk pada
pendapat Suparno (2013) Faktor yang menyebabkan S-8 mengalami miskonsepsi adalah kemampuan
peserta didik, karena peserta didik kurang berbakat dalam matematika atau kurang mampu dalam
memahami matematika dan sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses
belajar. Subjek dengan level rasional (S-10) mengalami miskonsepsi strategi dan miskonsepsi konsep. S-
10 miskonsepsi strategi dan miskonsepsi konsep karena salah dalam menentukan nilai optimum fungsi
tujuan. S-10 salah menentukan nilai maksimum, S-10 menyatakan titik (0,12) adalah nilai maksimum,
seharusnya yang merupakan nilai maksimum adalah (8,4) atau (16,0). S-10 juga salah menangkap konsep,
S-10 menerapkan konsep bahwa menggeser garis selidik secara sejajar, garis yang menyentuh titik pojok
yang paling jauh adalah nilai maksimum, seharusnya S-10 menerapkan bahwa yang menyentuh garis
adalah titik pojok daerah himpunan penyelesaian bukan semua titik-titik pojok yang terdapat pada grafik
fungsi. Hal ini terjadi karena S-10 memperoleh informasi secara tidak lengkap ketika pembelajaran di
kelas. Berdasarkan paparan serta penyajian jawaban hasil tes S-10 dan juga berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan, faktor yang menyebabkan S-10 mengalami miskonsepsi adalah reasoning yang tidak
lengkap/salah. Merujuk pada pendapat Suparno (2013) reasoning yang tidak lengkap terjadi karena
informasi yang diperoleh atau data yang didapatka tidak lengkap. Akibatnya, peserta didik mengambil
kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada peserta didik. Dapat
disimpulkan bahwa pada level relasional terjadi miskonsepsi konsep, miskonsepsi strategi dan
miskonsepsi hitung karena salah memahami hubungan antara dua atau lebih konsep yang saling terkait
sehingga belum dapat memberikan kesimpulan yang tepat. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor
seperti kurangnya pengetahuan atau pengalaman, atau adanya pemahaman yang salah terkait dengan
suatu konsep. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wardani, Anik Kusuma & Prof. Budi
Murtiyasa, M. Kom, (2019) pada level relasional siswa sudah dapat memahami soal, merencanakan
dengan benar dan menyelesaikan soal dengan baik, namun siswa melakukan kesalahan dalam
memberikan kesimpulan yang belum tepat bahkan tidak diberikan kesimpulan.

MISKONSEPSI
STRATEGI

MISKONSEPSI
HITUNG

Gambar 5 Hasil Pengerjaan S-8


MISKONSEPSI
KONSEP

Gambar 6 Hasil Pengerjaan S-10

Subjek dengan level abstrak yang diperluas (S-28) mengalami miskonsepsi strategi dan miskonsepsi
konsep. S-28 kurang tepat dalam membuat persamaan garis selidik yaitu f(x,y)=3x+6y=9 yang
seharusnya f(x,y)=3x+6y=18 dan S-28 salah menentukan nilai maksimum, S-28 menyatakan titik (0,12)
adalah nilai maksimum, seharusnya yang merupakan nilai maksimum adalah (8,4) atau (16,0). S-28 juga
salah menangkap konsep, S-28 menerapkan konsep bahwa menggeser garis selidik secara sejajar, garis
yang menyentuh titik pojok yang paling jauh adalah nilai maksimum, seharusnya S-28 menerapkan
bahwa yang menyentuh garis adalah titik pojok daerah himpunan penyelesaian bukan semua titik-titik
pojok yang terdapat pada grafik fungsi. Hal tersebut terjadi karena pemahaman yang diterima S-28 tidak
lengkap sehingga salah dalam membuat kesimpulan. Berdasarkan paparan serta penyajian jawaban hasil
tes S-28 dan juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, faktor yang menyebabkan S-28
mengalami miskonsepsi konsep dan miskonsepsi strategi adalah reasoning yang tidak lengkap/salah,
karena informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap. Akibatnya, peserta didik
mengambil kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada peserta didik.
Dapat disimpulkan bahwa pada level abstrak yang diperluas terjadi miskonsepsi strategi dan miskonsepsi
konsep karena tidak dapat menentukan titik optimum dengan benar. Hal ini dapat terjadi karena peserta
didik tidak memahami konsep dasar yang kuat. Hal ini sejalan dengan Stohlmann, M., Moore, T. J., &
Roehrig, G. H. (2012) mengemukakan bahwa miskonsepsi pada level abstrak dapat terjadi jika siswa
tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang konsep matematika dan bagaimana konsep-konsep ini
berkaitan satu sama lain.

MISKONSEPSI
STRATEGI

MISKONSEPSI
KONSEP

Gambar 7 Hasil Pengerjaan S-28


SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dalam penelitian ini yaitu terdapat tujuh peserta didik yang mengalami miskonsepsi diberbagai
level Taksonomi SOLO. Subjek pada level prastruktural yaitu mengalami miskonsepsi terjemahan dengan
faktor penyebab miskonsepsinya adalah kemampuan peserta didik. Subjek pada level unistruktural
mengalami miskonsepsi terjemahan dan miskonsepsi strategi dengan faktor penyebab miskonsepsinya
adalah intuisi yang salah. Subjek pada level multistruktural mengalami miskonsepsi konsep dan
miskonsepsi strategi dengan faktor penyebabnya adalah reasoning yang tidak lengkap/salah dan
prakonsepsi tidak tepat. Subjek pada level relasional mengalami miskonsepsi konsep, miskonsepsi
strategi dan miskonsepsi hitung dengan faktor penyebabnya adalah reasoning yang tidak lengkap/salah.
Subjek dengan level abstrak yang diperluas mengalami miskonsepsi konsep dan miskonsepsi strategi
dengan faktor penyebabnya adalah reasoning yang tidak lengkap/salah. Hal tersebut sejalan dengan
Exacta, Sujadi, dan Subanti (2015) yang menyatakan bahwa miskonsepsi dapat terjadi pada setiap level
dalam Taksonomi SOLO. Penelitian ini masih terbatas karena hanya meneliti mengenai miskonsepsi
dalam menentukan nilai optimum menggunakan garis selidik, dimana miskonsepsi yang dilakukan
peserta didik mungkin terjadi pada konsep yang lainnya. Peneliti memberikan saran kepada peneliti
selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian berikutnya agar dapat memberikan cara untuk
mengatasi miskonsepsi pada peserta didik atau bahkan menghilangkan miskonsepsi yang dialami oleh
peserta didik.

DAFTAR RUJUKAN
Ekawati, R., Junaedi, I., & Nugroho, S. E. (2013). Studi respon siswa dalam menyelesaikan soal
pemecahan masalah matematika berdasarkan taksonomi SOLO. Unnes Journal of Mathematics
Education Research, 2(2).
Exacta, A. P., Sujadi, I., & Subanti, S. (2015). Respons Mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas
Veteran Bangun Nusantara dalam Menyelesaikan Soal Logika Berdasar Taksonomi SOLO.
Jurnal Pembelajaran Matematika, 3(10), 1057-1065.
Faizah, K. (2016). Miskonsepsi Dalam Pembelajaran Ipa. Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan
Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam, 8(1), 115–128.
Gradini, E. (2016). Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar di Dataran Tinggi Gayo.
Numeracy, 3(2), 52-60.
Ibrahim, I., Febrian, F., & Ramadhona, R. (2020). Miskonsepsi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal
Pertidaksamaan Nilai Mutlak Linear Satu Variabel Dengan Menggunakan Three Tier Test.
Student Online Journal (SOJ) UMRAH-Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1(1), 529-538.
Kurniawan, R. A., Nurhayati, E., & Nugraha, D. A. (2022). Analisis miskonsepsi peserta didik
menggunakan tes CRI pada materi pecahan di SMP Negeri 4 Majenang Cilacap. Jurnal
Kongruen, 1(2), 109-115
Moleong, Lexy. J (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Siregar, D. A. (2021). Analisis Miskonsepsi Dalam Memecahkan Masalah Matematis Pada Soal Cerita
(Penelitian terhadap Peserta Didik Kelas XI Multimedia SMK Negeri 1 Tasikmalaya) (Doctoral
dissertation, Universitas Siliwangi).
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Suparno, P. (2013). Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pembelajaran Fisika. Grasindo
Stohlmann, M., Moore, T. J., & Roehrig, G. H. (2012). Considerations for Teaching Integrated STEM
Education. Journal of Pre-College Engineering Education Research, 2(1), 28-34
Ulfah, S., & Fitriyani, H. (2017). Certainty of Response Index (CRI): miskonsepsi siswa SMP pada
materi pecahan. In Prosiding Seminar Nasional & Internasional.

Anda mungkin juga menyukai