Anda di halaman 1dari 52

Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Pertama

Kemampuan Umum:
1 Peraturan Perundang-undangan di bidang pengawasan obat

- Peraturan BPOM No. 24 tahun 2021 tentang Pengawasan pengelolaan obat, bahan obat,
narkotika, psikotropika,dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian.
- PP No. 72 th 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
- UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
- UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
- UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
- PP No. 44 tahun 2010 tentang Prekursor
- Permenkes No. 1799 th 2010 ttg Industri Farmasi (beserta perubahannya)
- Permenkes No. 1148 th 2011 ttg Pedagang Besar Farmasi (beserta perubahannya)
- Permenkes No. 10 th 2013 ttg impor dan ekspor Narkotika, psikotropika, & Prekursor.
- Permenkes No. 49 th 2018 ttg perubahan penggolongan psikotropika
- Permenkes No. 50 ttg perubahan penggolongan Narkotika
- Peraturan Kepala Badan POM No.32 Th 2013 ttg persyaratan dan tata cara permohonan
analisa hasil pengawasan dalam rangka impor & ekspor narkotika, psikotropika, prekursor
farmasi (perubahan pd perka BPOM 20 th 2016)

2 Peraturan Perundang-undangan di bidang pengawasan obat tradisional, kosmetika, dan produk


komplemen

- PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 19 TAHUN 2021 TENTANG
PEDOMAN TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, OBAT KUASI,
SUPLEMEN KESEHATAN, DAN KOSMETIKA

OBAT TRADISIONAL
- KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.00.05.42.2996 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT TRADISIONAL
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat tradisional, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka yang diberikan oleh Kepala Badan untuk dapat diedarkan di
wilayah Indonesia.
2. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang dibuat oleh industri di luar negeri
yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.
3. Pemasukan obat tradisional adalah importasi obat tradisional melalui angkutan darat,
laut dan atau udara ke dalam wilayah Indonesia.
4. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BAB II PEMASUKAN OBAT TRADISIONAL
Pasal 2
1. Yang berhak memasukkan obat tradisional impor ke dalam wilayah Indonesia adalah
importir, distributor, industri obat tradisional dan atau industri farmasi yang memiliki
izin impor sesuai peraturan perundang-undangan, yang diberi kuasa oleh produsen di
negara asal.
2. Obat tradisional yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan
adalah obat tradisional yang telah memiliki izin edar. BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK Indonesia
3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah obat
tradisional yang digunakan untuk uji laboratorium, sampel pendaftaran, penelitian,
pameran dan digunakan untuk kepentingan sendiri dalam jumlah terbatas sesuai
kebutuhan.
4. Tata cara Pemasukan obat tradisional sebagaimana dimaksud ayat (3) akan diatur
tersendiri.
Pasal 3
1. Setiap pemasukan obat tradisional wajib memenuhi ketentuan peraturan
perundangundangan.
2. Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemasukan obat
tradisional wajib mendapat persetujuan pemasukan dari Kepala Badan.
3. Permohonan pemasukan obat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan kepada Kepala Badan.

Pasal 4

Permohonan pemasukan obat tradisional dikenakan biaya per item produk sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

Persetujuan pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) hanya berlaku
untuk satu kali pemasukan (setiap shipment).

Pasal 6 Tata cara memperoleh persetujuan pemasukan obat tradisional sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diatur tersendiri.

BAB III PENGAWASAN

Pasal 7

Dalam rangka pengawasan importir, distributor, industri obat tradisional dan atau
industri farmasi yang memasukkan obat tradisional wajib melakukan pendokumentasian
distribusi obat tradisional.

BAB IV SANKSI

Pasal 8

1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi


administratif maupun sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Peringatan
tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Pembatalan izin edar.
BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan pemasukan obat tradisional yang ada masih tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti berdasarkan peraturan ini.

Pasal 10 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan menempatkannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

KOSMETIKA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR HK.00.05.4.1745 TENTANG KOSMETIK

BAB 1 KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau
gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh
pada kondisi baik.
2. Kosmetik lisensi adalah kosmetik yang diproduksi di wilayah Indonesia atas dasar
penunjukan atau persetujuan tertulis dari pabrik induk di negara asalnya.
3. Kosmetik kontrak adalah kosmetik yang produksinya dilimpahkan kepada produsen lain
berdasarkan kontrak.
4. Kosmetik impor adalah kosmetik produksi pabrik kosmetik luar negeri yang dimasukkan
dan diedarkan di wilayah Indonesia.
5. Bahan kosmetik adalah bahan yang berasal dari alam atau sintetik yang digunakan untuk
memproduksi kosmetik.
6. Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi.
7. Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan isi.
8. Penandaan adalah keterangan yang cukup mengenai manfaat, keamanan dan cara
penggunaan serta informasi lain yang dicantumkan pada etiket dan atau brosur atau
bentuk lain yang disertakan pada kosmetik.
9. Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang dilekatkan,
dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada wadah atau dan pembungkus.
10. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
11. Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan.
12. Pemeriksa adalah petugas yang ditunjuk oleh Kepala Badan untuk melakukan
Pemeriksaan.
BAB II
PERSYARATAN DAN PENGGOLONGAN
Bagian Pertama
Persyaratan
Pasal 2 Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut
a. menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta
persyaratan lain yang ditetapkan
b. diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik
c. terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Bagian Kedua
Penggolongan
Pasal 3 Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk
kosmetik dibagi 2 (dua) golongan :
1. Kosmetik golongan I adalah : a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi; b. Kosmetik yang
digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya; c. Kosmetik yang
mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan; d. Kosmetik yang
mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan
kemanfaatannya.
2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I
BAB III BAHAN KOSMETIK
Pasal 4 Bahan kosmetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf (a) harus memenuhi
persyaratan mutu sesuai dengan Kodeks Kosmetik Indonesia atau standar lain yang
diakui.
Pasal 5 Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan :
a. Bahan yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan pembatasan dan persyaratan
penggunaan sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I
b. Zat warna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam lampiran 2
c. Zat pengawet yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan
penggunaan dan kadar maksimum yang diperbolehkan dalam produk akhir sesuai
dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 3.
d. Bahan tabir surya yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan kadar
maksimum dan persyaratan lainnya sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam lampiran 4.
Pasal 6 Bahan, zat warna, zat pengawet dan bahan tabir surya yang dilarang digunakan
dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran
5.
Pasal 7 Bahan yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 diatur
lebih lanjut oleh Kepala Badan.
BAB IV PRODUKSI
Pasal 8 (1) Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik
yang Baik. (2) Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan.
Pasal 9 (1) Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan secara
bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri kosmetik. (2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik ditetapkan oleh Kepala
Badan.

BAB V IZIN EDAR

Bagian Pertama Persyaratan Pasal 10 (1) Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan
untuk mendapatkan izin edar dari Kepala Badan. (2) Yang berhak untuk mendaftarkan
adalah : a. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri; b. perusahaan yang
bertanggungjawab atas pemasaran; c. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh
perusahaan dari negara asal.

Bagian Kedua Tata Cara Pasal 11

(1) Permohonan izin edar diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan dengan mengisi
formulir dan disket pendaftaran dengan sistem registrasi elektronik yang telah ditetapkan,
untuk dilakukan penilaian.

(2) Penilaian kosmetik golongan I dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu : a. Proses pra
penilaian merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen; b. Proses
penilaian merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung.

(3) Penilaian kosmetik golongan II hanya dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan
dokumen

(4) Kerahasiaan keterangan dan atau data dalam permohonan izin edar dijamin oleh Kepala
Badan.

Bagian Ketiga Penilaian Pasal 12

(1) Penilaian permohonan izin edar dilaksanakan melalui penilaian keterangan dan atau
data yang berkenaan dengan mutu, keamanan dan kemanfaatan.

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Panitia Penilai dan atau
Komite Nasional Penilai yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

(3) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pemberian izin edar,
penambahan data atau penolakan.

(4) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 5 (lima) tahun.

Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan dan penilaian izin edar
ditetapkan oleh Deputi.

Bagian Keempat Biaya Pasal 14 Setiap permohonan izin edar dikenakan biaya sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang berlaku.

Bagian Kelima Penilaian Kembali Pasal 15 (1) Kosmetik yang telah memperoleh izin edar
dapat dilakukan penilaian kembali oleh Kepala Badan. (2) Penilaian kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan apabila ada data atau informasi baru berkenaan
dengan pengaruh terhadap mutu, keamanan dan kemanfaatan yang berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat.
Bagian Keenam Pembatalan Pasal 16 Izin edar kosmetik dibatalkan apabila : a. kosmetik
dinyatakan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan yang dapat
merugikan masyarakat, berdasarkan hasil pengawasan dan atau hasil penilaian kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; atau b. produsen, perusahaan atau Badan Hukum
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
atau c. terkena sanksi sebagaimana dimaksud pasal 38.

BAB VI WADAH DAN PENANDAAN

Bagian Pertama Wadah Pasal 17

(1) Wadah kosmetik harus dapat : a. melindungi isi terhadap pengaruh dari luar. b.
Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya

(2) Wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dengan mempertimbangkan
keamanan pemakai dan dibuat dari bahan yang tidak mengeluarkan atau menghasilkan
bahan berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan tidak
mempengaruhi mutu.

(3) Tutup wadah harus memenuhi persyaratan ayat (1) dan (2)

Pasal 18 (1) Untuk melindungi wadah selama di peredaran, wadah sebagaimana dimaksud
dalam pasal (17) dapat diberi pembungkus (2) Pembungkus harus terbuat dari bahan yang
dapat melindungi wadah selama di peredaran.

Bagian Kedua Penandaan Pasal 19 Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan
yang berisi informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan.

Pasal 20 (1) Penandaan harus berisi informasi yang sesuai dengan data pendaftaran yang
telah disetujui. (2) Penandaan selain dari penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Badan.

Pasal 21 Penandaan kosmetik tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai obat.

Pasal 22 (1) Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas dan mudah
dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab. (2) Penandaan yang ditulis dengan bahasa
asing, harus disertai keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain
dalam Bahasa Indonesia .

Pasal 23 (1) Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/
keterangan mengenai : a. nama produk; b. nama dan alamat produsen atau importir /
penyalur; c. ukuran, isi atau berat bersih; d. komposisi dengan nama bahan sesuai dengan
kodeks kosmetik indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku; e. nomor izin edar; f.
nomor batch /kode produksi; g. kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang
sudah jelas penggunaannya; h. bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya
kurang dari 30 bulan; i. penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu. (2)
Apabila seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan untuk
dicantumkan pada etiket wadah, maka dapat menggunakan etiket gantung atau pita yang
dilekatkan pada wadah atau brosur.

Pasal 24 Nama Produk dapat berupa nama umum atau nama dagang.

Pasal 25 (1) Nama produsen atau importir/penyalur harus dicantumkan secara lengkap (2)
Bagi kosmetik impor, selain nama importir harus dicantumkan pula nama produsen.
(2) Bagi kosmetik lisensi, disamping nama produsen yang memproduksi, harus dicantumkan
pula nama pemberi lisensi. (4) Bagi kosmetik kontrak, disamping nama produsen yang
memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi kontrak.

Pasal 26 Alamat produsen atau importir harus sekurang-kurangnya mencantumkan nama


kota adan atau negara.

Pasal 27 (1) Ukuran, isi atau berat bersih dapat dicantumkan dengan istilah netto (2)
Pernyataan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukkan secara seksama
ukuran atau isi atau berat bersih dalam wadah (3) Pernyataan netto pada kosmetik yang
berbentuk aerosol adalah isi termasuk propelan. (4) Pernyataan netto harus dinyatakan
dalam satuan metrik, atau satuan metrik dan satuan lainnya.

Pasal 28 Penulisan nama bahan kosmetik dalam komposisi harus mengacu pada Kodeks
Kosmetika Indonesia atau standar lain yang diakui.

Pasal 29 (1) Penandaan lain pada etiket harus dicantumkan sesuai persyaratan penandaan
bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Pada sediaan yang berbentuk aerosol harus
dicantumkan peringatan sebagai berikut : a. Perhatian! Jangan sampai kena mata dan jangan
dihirup; b. Awas! Isi bertekanan tinggi, dapat meledak pada suhu diatas 50°C. jangan
ditusuk, jangan disimpan ditempat panas, di dekat api, atau dibuang ditempat pembakaran
sampah.

BAB VII PERIKLANAN Pasal 30 Kosmetik hanya dapat diiklankan setelah mendapat izin edar.

Pasal 31 (1) Iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 harus berisi : (a) informasi yang
objektif, lengkap dan tidak menyesatkan. (b) informasi sesuai data pendaftaran yang telah
disetujui (2) Kosmetik tidak boleh diiklankan seolah-olah sebagai obat (3) Ketentuan tentang
periklanan diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan

BAB VIII PEMBERIAN BIMBINGAN

Pasal 32 Pemberian bimbingan terhadap penyelenggaraan kegiatan produksi, impor,


peredaran dan penggunaan kosmetik dilakukan oleh Kepala Badan.

Pasal 33 Dalam melakukan pemberian bimbingan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32,
Kepala Badan dapat mengikutsertakan organisasi profesi dan asosiasi terkait

Pasal 34 Pemberian bimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diarahkan untuk : a.


menjamin mutu dan keamanan kosmetik yang beredar; b. meningkatkan kemampuan teknik
dan penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik; c. mengembangkan usaha di bidang
kosmetik.

BAB IX PENGAWASAN Pasal 35

(1) Pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan, mencakup pelaksanaan fungsi


sekurangkurangnya standardisasi, penilaian, sertifikasi, pemantauan, pengujian,
pemeriksaan, penyidikan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan produksi,
impor, peredaran, penggunaan, dan promosi kosmetik.

(3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala Badan
dapat mengangkat Pemeriksa

Pasal 36 Pemeriksa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), berwenang untuk :
a. memasuki setiap tempat yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan produksi,
impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan, dan penyerahan kosmetik untuk memeriksa,
meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan produksi,
impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan kosmetik; b. melakukan
pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat keterangan
mengenai kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan
kosmetik termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; c. memerintahkan
untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain.

Pasal 37 Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh
pemeriksa mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila pemeriksa yang
bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat tugas pemeriksaan.

Pasal 38 Apabila hasil pemeriksaan oleh pemeriksa menunjukkan adanya dugaan atau patut
diduga adanya tindak pidana di bidang kosmetik segera dilakukan penyidikan oleh penyidik
Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB X SANKSI Pasal 39

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan ini dapat diberikan sanksi
administratif berupa : a. peringatan tertulis; b. penarikan kosmetik dari peredaran termasuk
penarikan iklan; c. pemusnahan kosmetik; d. penghentian sementara kegiatan produksi,
impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan kosmetik; e. pencabutan
sertifikat dan atau izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) dan atau pasal 10
ayat (1)

(2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula
dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3 Peraturan Perundang-undangan di bidang pengawasan pangan

PANGAN
- UU No. 12 Tahun 2018 tentang Pangan
Pasal 71 ayat 2 : Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan/proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, &/ Peredaran Pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi &
menjamin Keamanan Pangan &/Keselamatan manusia.
Pasal 90 : Setiap orang dilarang mengedarkan pangan tercemar termasuk dalam definisi
pangan yang tercemar adalah pangan yang sudah kadaluarsa.
- Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu, & Gizi Pangan
Pasal 2 ayat 1
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai
pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pegangkutan, dan peredaran
pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Pasal 3 huruf e :
Pemenuhan persyaratan sanitasi diseluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan
cara menerapkan pedoman cara yang baik, salah satunya adalah cara ritel pangan yang
baik.
- Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan
Pasal 8 ayat 1 dan 2
Ayat 1 :
Pedoman cara ritel pangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf e
adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan
cara :
a. Mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak penyimpanan agar
tidak terjadi pencemaran silang
b. Mengendalikan stok penerimaan dan penjualan
c. Mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kadaluarsa
d. Dan mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang
berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara.

Ayat 2

Pedoman cara ritel pangan yang baik sebagaimana yang dimaksud pd ayat 1 ditetapkan
oleh Kepala Badan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PERKABPOM No.HK.03.1.23.11.10569. Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik.

Memuat persyaratan terkait

- Sumber Daya Manusia


- Rancang Bangun dan Fasilitas Ritel Pangan
- Pembersihan dan Sanitasi serta pemeliharaan fasilitas ritel pangan
- Penerimaan dan Pemeriksaan pangan
- Penyimpanan Pangan
- Penyiapan, Pengemasan, dan Pelabelan Pangan
- Penyusunan, Pemajangan, dan Penyerahan pada konsumen
- Produk Kadaluarsa dan pengaturan rotasi stok pangan
- Penyimpanan dan Penggunaan bahan kimia beracun (bahan pembersih, bahan sanitasi,
pestisida) untuk pemeliharaan sarana ritel pangan
- Pencatatan dan Dokumentasi

5 Sistem Manajemen Mutu

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar tercapai tujuanCPOB dan tidak
menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karenatidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut makadiperlukan manajemen mutu. Unsur dasar manajemen
mutu adalah:

 Infrastruktur atau sistem mutu yang tepat, mencakup struktur organisasi, prosedur,
proses, dan sumber daya.
 Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengantingkat
kepercayaan tinggi, sehingga produk yang dihasilkan akan selalumemenuhi persyaratan
yang ditetapkan (CPOB 2006)
Dari unsur diatas, sistem manajemen mutu di industri farmasi mencakupantara lain:

• Struktur organisasi mutu, termasuk kewenangan pemastian mutu dan pengawasan mutu

• Pengendalian perubahan

• Sistem pelulusan batch

• Penanganan penyimpangan

• Pengolahan ulang

• Inspeksi diri dan audit eksternal

• Pelaksanaan program kualifikasi dan validasi

• Personalia

• Sistem dokumentasi

Aspek yang saling berkaitan membangun manajemen mutu terdiri dari pemastian mutu, CPOB,
pengawasan mutu, dan pengkajian mutu produk. Pemastianmutu adalah totalitas semua pengaturan
yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan memenuhi persyaratan
mutu dan tujuan pemakaiannya. CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan obat
dibuat dandikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan
penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar serta spesifikasi produk. CPOB mencakup produksi
dan pengawasan mutu. Pengawasan mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan:
• Pengambilan sampel

• Spesifikasi dan pengujian

• Organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang
diperlukan dan relevan telah dilakukan sehingga bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta
produk yang belum diluluskan tidak dijual sebelum mutunya dinilai memenuhi syarat.

D. Prinsip Manajemen mutu


Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melaluisuatu "kebijakan mutu ", yang
memerlukan partisipasi dan komitmen darisemua jajaran di semua departemen di dalam
perusahaan, para pemasok dan para distributor. Unsur dasar manajemen mutu adalah :

 Suatu infrastruktur atau system mutu yang tepat mencakupstruktur organisasi,


prosedur, proses dan sumber daya, dan
 Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastiandengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu
memenuhi persyaratan yangtelah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut
PemastianMutu.
E. Industri Farmasi
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan No.245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, untuk memperoleh izin usaha farmasi diperlukan tahap
persetujuan prinsip. Persetujuan prinsip diberikan kepada pemohon untuk dapat langsung
melakukan persiapan-persiapan, usaha pembangunan, pengadaan pemasangan instalasi, dan
produksi percobaan. Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap
berproduksi sesuai persyaratan CPOB.

Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri
Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1998. Industri farmasi wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya
dua orang apoteker warga negara Indonesia, satu sebagai penangung jawab produksi dan lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Arman Hakim Nusation. 2006. Manajemen Industri. Yogyakarta

Menteri Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1998. Tentang CPOB

Suardi, Rudi; Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000 Penerapannya Untuk Mencapai TQM; PPM;
2004; Jakarta
Kemampuan Khusus:

1 Tata cara praregistrasi obat


Tahap pra registrasi dilakukan pada aplikasi asrot
Tahap pra registrasi dilakukan secara paperless dengan menginput data produk dan formula
serta mengunggah data administrasi terkait

2 Tata cara registrasi obat

3 Tata cara registrasi obat tradisional

ASROT
Kategori produk yang dapat didaftarkan meliputi :

a. Obat tradisional
(jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, obat tradisional impor)
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
b. Suplemen kesehatan
Suplemen kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat
gizi; memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan; mempunyai nilai
gizi dan/atau efek fisiologis; mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral,
asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat dikombinasi dengan
tumbuhan.

c. Obat kuasi
Obat kuasi adalah sediaan yang mengandung bahan aktif dengan efek farmakologi untuk
mengatasi keluhan ringan
The regulations can be accessed online at http://jdih.pom.go.id/
Obat kuasi adalah sediaan yang mengandung bahan aktif dengan efek farmakologi untuk
mengatasi keluhan ringan. Tata cara registrasi obat kuasi sama dengan registrasi obat
tradisional dan suplemen kesehatan.
Obat tradisional low risk adalah obat tradisional dengan komposisi sederhana yang hanya
mengandung simplisia yang sudah dikenal secara empiris dengan klaim penggunaan
tradisional, dengan tingkat pembuktian umum, dalam bentuk sediaan sederhana minyak
obat luar, parem, tapel, pilis, rempah mandi, serbuk luar, salep, ratus, serbuk obat dalam,
cairan obat dalam dimana profil keamanan dan kemanfaatan telah diketahui pasti.
Daftar tanaman yang termasuk dalam bahan low risk adalah :
http://asrot.pom.go.id/index.php/home/depan/informasi/85
Perbedaan Jamu, OHT, Fitofarmaka
Jamu : Keamanan dan kemanfaatan dibuktikan secara empiris
OHT : Keamanan dan kemanfaatan dibuktikan secara ilmiah melalui uji pra klinik
Fitofarmaka : Keamanan dan kemanfaatan dibuktikan secara uji klinik

- Yang dapat mendaftarkan obat tradisional

- Produk Pendaftar
Obat Tradisional 1. Industri Obat Tradisional
a. Industri Obat Tradisional (IOT)
b. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)
c. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)
2. Importir di bidang pemasaran obat tradisional
Suplemen
1. Industri farmasi
Kesehatan
2. Industri di bidang obat tradisional :
a. Industri Obat Tradisional (IOT)
b. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)
c. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)
3. Industri pangan
4. Importir di bidang pemasaran suplemen kesehatan
Obat kuasi 1. Industri farmasi
2. Industri di bidang obat tradisional :
a. Industri Obat Tradisional (IOT)
b. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)
c. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)
3. Importir di bidang pemasaran obat tradisional dan suplemen
kesehatan
Product Registrant
Traditional
1.Industry in traditional medicine field :
medicine
a.Traditional Medicine Industry(Industri Obat Tradisional, IOT)
b.Small Traditional Medicine Business (Usaha Kecil Obat Tradisional,
UKOT)
c.Micro Traditional Medicine Business (Usaha Mikro Obat Tradisional,
UMOT)
2.Importer of traditional medicine
3.Food Industry
4.Importer of health supplement
Quasi drug 1.Pharma Industry
2.Industry in traditional medicine field :
a.Traditional Medicine Industry(Industri Obat Tradisional, IOT)
b.Small Traditional Medicine Business (Usaha Kecil Obat Tradisional,
UKOT)
c.Micro Traditional Medicine Business (Usaha Mikro Obat Tradisional,
UMOT)
3.Importer of traditional medicine and health supplement

Tahapan untuk melakukan registrasi obat tradisional,suplemen, dan obat Kuasi


Ada 2 tahap utama dalam melakukan proses registrasi, yaitu :
1. Registrasi akun perusahaan
2. Registrasi produk, terdiri dari 2 tahap :
a. Tahap pra registrasi
Tahap pra registrasi dilakukan secara paperless dengan menginput data produk dan formula
serta mengunggah data administrasi terkait
b. Tahap registrasi
Jika hasil pra registrasi adalah “disetujui”, selanjutnya pendaftar melakukan tahap registrasi
dengan menginput data dan menyerahkan dokumen registrasi berupa data administrasi dan
data teknis

- Dokumen yang diperlukan untuk registrasi akun perusahaan


a. Lokal
1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
2. Sertifikat CPOB / CPOTB / CPPOB / sertifikat CPOTB bertahap
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4. Akte notaris
5. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun perusahaan
b. Importir
1. NIB
2. Rekomendasi hasil audit sarana distribusi dari Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan atau Balai Besar/ Balai POM
setempat
3. Sertifikat Good Manufacturing Practice (GMP) dari produsen di luar negeri
4. Akte notaris
5. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun perusahaan
- Dokumen yang diperlukan untuk registrasi produk obat tradisonal dan suplemen
kesehatan lokal
Dokumen administratif:
a. Formulir pendaftaran berisi identitas produk dan produsen/perusahaan
b. Sertifikat cara pembuatan yang baik dengan ketentuan:
i. Untuk produk Obat Tradisional berupa sertifikat CPOTB atau sertifikat
CPOTB Bertahap bagi UKOT dan/atau UMOT
ii. Untuk produk Suplemen Kesehatan berupa:
1. Sertifikat CPOB dan persetujuan penggunaan fasilitas bersama untuk
Suplemen Kesehatan dengan komposisi bahan golongan nonobat
2. Sertifikat CPOTB
3. Sertifikat CPPOB
c. Surat perjanjian kerjasama kontrak/toll manufacturing untuk produk yang
dibuat berdasarkan kontrak
d. Surat perjanjian distribusi untuk produk yang mencantumkan distributor pada
penandaan

Dokumen teknis:
a. Formula dan cara pembuatan, meliputi:
i. Formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik
ii. Jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan
iii. Cara pembuatan secara terperinci
b. Cara pemeriksaan mutu bahan baku, meliputi:
i. Certificate of analysis dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan
c. Cara pemeriksaan mutu produk jadi, meliputi:
i. Certificate of analysis produk jadi memuat spesifikasi, metode analisa, dan
hasil pengujian
ii. Protokol dan hasil uji stabilitas
iii. Data stabilitas dari pabrik pengemas apabila produk dikemas (repacking) di
Indonesia
d. Uji mutu dan keamanan, meliputi:
i. Uji sifat fisika dan kimia
ii. Uji kandungan senyawa penanda atau golongan untuk kategori Obat Herbal
Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka
iii. Uji mikrobiologi (ALT, AKK, Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Salmonella sp., Shigella sp.)
iv. Uji logam berat (Pb, Hg, Cd, As)
v. Uji kadar alkohol untuk cairan obat dalam dengan batas tidak lebih dari 1%
vi. Uji benzyl piperazine untuk produk yang mengandung Cayenne ekstrak
vii. Uji kadar kafein untuk produk yang mengandung kafein dan herbal-herbal
yang mengandung kafein seperti Yerba Mate, Guarana, Kopi
viii. Uji toksisitas untuk Ganoderma/Lingzhi/Maitake/Shitake dan bahan yang
belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya
ix. Uji kloramfenikol untuk produk mengandung madu atau turunannya
x. Sertifikat analisis gelatin, asal perolehan gelatin, sertifikat bebas Bovine
Spongiform Encephalopathy dan sertifikat halal dari lembaga yang berwenang
xi. Uji kadar lovastatin untuk Monascus sp (Red Yeast) dengan ketentuan tidak
lebih dari 1 % dan bebas citrinin
xii. Asal dan proses perolehan bahan-bahan tertentu sesuai ketentuan yang
berlaku
e. Klaim khasiat/kegunaan aturan pakai dan sistem penomoran bets
f. Sampel dengan kemasan asli (hanya jika diperlukan)
g. Rancangan penandaan yang berwarna (desain kemasan)
h. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus berupa logo
halal produk, logo iradiasi, logo organik, dan lain-lain pada desain kemasan

- Apa yang harus dilakukan jika bahan baku atau bahan tambahan yang
terkandung dalam produk yang akan didaftarkan belum ada di ASROT ?
Pendaftar dapat mendaftarkan bahan tersebut terlebih dahulu dengan
menyerahkan sertifikat analisa bahan dan data dukung terkait khasiat &
keamanan bahan tersebut.
- Ketentuan registrasi produk probiotik
Registrasi produk probiotik mengacu pada Lampiran XII Peraturan Kepala Badan
POM No. 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim Pada Label dan Iklan
Pangan Olahan.
- Kode KBLI yang dapat digunakan untuk produk obat tradisional, suplemen
kesehatan dan obat kuasi
21012 Industri Produk Farmasi Untuk Manusia (Suplemen Kesehatan & Kuasi).
21022 Industri Produk Obat Tradisional Untuk Manusia (Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan & Kuasi).
11040 Industri Minuman Ringan (Suplemen Kesehatan).
11090 Industri Minuman Lainnya (Suplemen Kesehatan).
46441 Pedagang Besar Obat Farmasi Untuk Manusia (Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan & Kuasi).
46442 Perdagangan Besar Obat Tradisional Untuk Manusia (Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan & Kuasi).
46334 Perdagangan Besar Minuman Non Alkohol Bukan Susu (Suplemen
Kesehatan).
46339 Perdagangan Besar Makanan dan Minuman Lainnya (Suplemen
Kesehatan).
47999 Perdagangan Eceran Bukan di Toko, Kios, Kaki Lima dan Los Pasar
Lainnya YTDL (Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan & Kuasi).

- Untuk produk suplemen kesehatan apa boleh hanya dengan mempunyai GMP
food
Boleh, tetapi dengan melampirkan SMF (Site Master File) untuk dievaluasi lebih
lanjut.
- Informasi yang tertera pada CFS dan Surat penunjukan/ Loa untuk produk impor
a. Certificate of Free Sales (CFS) harus dikeluarkan oleh instansi pemerintah
yang berwenang di negara asal, mencantumkan nama produk, bentuk
sediaan, produsen, masa berlaku sertifikat serta pernyataan bahwa produk
tersebut beredar di negara tersebut. CFS juga harus dilegalisasi oleh
Konjen/KBRI setempat.
b. Surat penunjukkan atau Letter of Appointment / Authorization (LoA) harus
dikeluarkan oleh produsen produk tersebut di negara asal dengan
menyatakan nama produk, satuan kemasan, masa berlaku penunjukkan
tersebut, pernyataan yang menunjukkan importir sebagai distributor di
Indonesia.
- Persyaratan Mutu untuk obat tradisional & suplemen kesehatan
Persyaratan mutu lengkap terdapat dalam Peraturan Kepala Badan POM No. 12
Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional.
- Hal yang dilarang dalam memproduksi obat tradisional dan suplemen kesehatan
a. Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata,
parenteral, supositoria (kecuali digunakan untuk obat tradisional wasir).

b. Obat tradisional dan suplemen kesehatan dilarang mengandung :


1. Bahan kimia isolasi atau sintetik berkhasiat obat, untuk obat tradisional
2. Narkotika, psikotropika, bahan obat
3. Hewan atau tumbuhan yang dilindungi
4. Alkohol lebih dari 1 % untuk bentuk sediaan cairan obat dalam
5. Bahan-bahan yang dilarang yang terdapat dalam Lampiran 14 PerKBPOM
No. HK.00.05.41.1384 tentang : Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka
6. Bahan melebihi batas maksimum pada Lampiran I Keputusan Kepala
BPOM NoHK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan
Suplemen Makanan
7. Bahan-bahan terlarang lainnya yang terdapat dalam:
- Lampiran Keputusan Kepala BPOM No HK.00.05.23.3644 tentang
Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan

- PerKBPOM No 9 tahun 2017 tentang Larangan Memproduksi dan


Mengedarkan Obat Tradisional yang Mengandung Cassia Senna L. dan
Rheum Officinale Dengan Klaim Untuk Menurunkan Lemak Tubuh atau
Menurunkan Berat Badan
- PerKBPOM No 10 tahun 2014 tentang Larangan Memproduksi dan
Mengedarkan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan yang Mengandung
Tumbuhan Coptis Sp, Berberis Sp, Mahonia Sp, Chelidonium Majus,
Phellodendron Sp, Arcangelica Flava, Tinosporae Radix, dan Cataranthus
Roseus.
- PerKBPOM No. HK. 03.1.23.05.12.3428 tahun 2012 tentang Larangan
Memproduksi dan Mengedarkan Obat Tradisional dan Suplemen Makanan
yang Mengandung Tumbuhan Pausinystalia Yohimbe
- PerKBPOM Nomor HK. 00.05.42.6575 Tahun 2007 tentang Larangan
Penggunaan Benzil Piperazin dalam Suplemen Makanan
- PerKBPOM Nomor : HK. 00.05.41.2803 Tahun 2005 tentang Larangan Obat
Tradisional yang Mengandung Cinchonae Cortex atau Artemisiae Folium
- Keputusan Kepala Bpom No. Hk.00.05.4.02647 Tahun 2002 tentang
Larangan Peredaran Obat Tradisional dan Suplemen Makanan yang
Mengandung Tanaman Kava-Kava
- Ketentuan tentang radiasi mengacu ke Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pengawasan
Pangan Iradiasi.
- Ketentuan Uji Stabilitas
Berdasarkan ASEAN Guidelines on Stability Study and Shelf-Life of Traditional
Medicines and Health Supplements :
a. Uji stabilitas real time (jangka panjang) pada suhu 30?C±2, RH 75±5% , diuji
pada bulan ke- 0, 3, 6, 9, 12, 18, 24 bulan, selanjutnya tiap tahun sampai shelf
life yang diajukan
b. Uji stabilitas dipercepat pada suhu 40?C±2, RH 75±5% , diuji pada bulan ke- 0,
3, 6 bulan
c. Uji stabilitas yang dilakukan paling sedikit pada skala pilot sebanyak 2 bets
d. Sertakan surat komitmen stabilitas jika diperlukan
- Bentuk sediaan apa saja untuk obat tradisional yang boleh dalam bentuk
simplisia/bukan ekstrak
Pil, teh, parem, pilis, tapel, koyo/plester, dodol/jenang, dan pastilles.
Pills, tea, parem, pilis, tapel, koyo/patch, dodol/jenang, and pastilles.
- Apakah Mentol dapat dikombinasikan dengan bahan herbal sebagai produk obat
tradisional
Menthol digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk obat tradisional
dengan jumlah penggunaan oral maksimal 14 mg/hari.
- Apakah kopi dapat dikombinasikan dengan bahan herbal sebagai obat
tradissional
Kopi hanya diperbolehkan sebagai flavor/perasa (bahan tambahan) dengan
jumlah yang lebih kecil daripada bahan aktif dalam suatu produk. Kadar kafein
maksimal 150 mg/hari atau 50 mg/sajian.

4 Tata cara registrasi produk suplemen kesehatan


Suplemen kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat
gizi; memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan; mempunyai nilai
gizi dan/atau efek fisiologis; mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral,
asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat dikombinasi dengan
tumbuhan.

Tahapan untuk melakukan registrasi obat tradisional, suplemen, dan obat Kuasi

Ada 2 tahap utama dalam melakukan proses registrasi, yaitu :


1. Registrasi akun perusahaan
2. Registrasi produk, terdiri dari 2 tahap :
a. Tahap pra registrasi
Tahap pra registrasi dilakukan secara paperless dengan menginput data produk dan
formula serta mengunggah data administrasi terkait
c. Tahap registrasi
Jika hasil pra registrasi adalah “disetujui”, selanjutnya pendaftar
melakukan tahap registrasi dengan menginput data dan menyerahkan
dokumen registrasi berupa data administrasi dan data teknis
- Dokumen yang diperlukan untuk registrasi akun perusahaan
Lokal
1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
2. Sertifikat CPOB / CPOTB / CPPOB / sertifikat CPOTB bertahap
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4. Akte notaris
5. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun perusahaan

Importir
1. NIB
2. Rekomendasi hasil audit sarana distribusi dari Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan atau Balai Besar/ Balai POM
setempat
3. Sertifikat Good Manufacturing Practice (GMP) dari produsen di luar negeri
4. Akte notaris
5. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun perusahaan
- Dokumen yang diperlukan untuk registrasi produk obat tradisonal dan suplemen
kesehatan lokal
Dokumen administratif:
a. Formulir pendaftaran berisi identitas produk dan produsen/perusahaan
b. Sertifikat cara pembuatan yang baik dengan ketentuan:
- Untuk produk Obat Tradisional berupa sertifikat CPOTB atau sertifikat
CPOTB Bertahap bagi UKOT dan/atau UMOT
- Untuk produk Suplemen Kesehatan berupa:
1. Sertifikat CPOB dan persetujuan penggunaan fasilitas bersama untuk
Suplemen Kesehatan dengan komposisi bahan golongan nonobat
2. Sertifikat CPOTB
3. Sertifikat CPPOB
c. Surat perjanjian kerjasama kontrak/toll manufacturing untuk produk yang
dibuat berdasarkan kontrak
d. Surat perjanjian distribusi untuk produk yang mencantumkan distributor pada
penandaan

Dokumen teknis:
a. Formula dan cara pembuatan, meliputi:
i. Formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik
ii. Jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan
iii. Cara pembuatan secara terperinci
b. Cara pemeriksaan mutu bahan baku, meliputi:
i. Certificate of analysis dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan
c. Cara pemeriksaan mutu produk jadi, meliputi:
i. Certificate of analysis produk jadi memuat spesifikasi, metode analisa, dan
hasil pengujian
ii. Protokol dan hasil uji stabilitas
iii. Data stabilitas dari pabrik pengemas apabila produk dikemas (repacking) di
Indonesia
d. Uji mutu dan keamanan, meliputi:
i. Uji sifat fisika dan kimia
ii. Uji kandungan senyawa penanda atau golongan untuk kategori Obat Herbal
Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka
iii. Uji mikrobiologi (ALT, AKK, Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Salmonella sp., Shigella sp.)
iv. Uji logam berat (Pb, Hg, Cd, As)
v. Uji kadar alkohol untuk cairan obat dalam dengan batas tidak lebih dari 1%
vi. Uji benzyl piperazine untuk produk yang mengandung Cayenne ekstrak
vii. Uji kadar kafein untuk produk yang mengandung kafein dan herbal-herbal
yang mengandung kafein seperti Yerba Mate, Guarana, Kopi
viii. Uji toksisitas untuk Ganoderma/Lingzhi/Maitake/Shitake dan bahan yang
belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya
ix. Uji kloramfenikol untuk produk mengandung madu atau turunannya
x. Sertifikat analisis gelatin, asal perolehan gelatin, sertifikat bebas Bovine
Spongiform Encephalopathy dan sertifikat halal dari lembaga yang berwenang
xi. Uji kadar lovastatin untuk Monascus sp (Red Yeast) dengan ketentuan tidak
lebih dari 1 % dan bebas citrinin
xii. Asal dan proses perolehan bahan-bahan tertentu sesuai ketentuan yang
berlaku
e. Klaim khasiat/kegunaan aturan pakai dan sistem penomoran bets
f. Sampel dengan kemasan asli (hanya jika diperlukan)
g. Rancangan penandaan yang berwarna (desain kemasan)
h. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus berupa logo
halal produk, logo iradiasi, logo organik, dan lain-lain pada desain kemasan
- Apa yang harus dilakukan jika bahan baku atau bahan tambahan yang
terkandung dalam produk yang akan didaftarkan belum ada di ASROT
Pendaftar dapat mendaftarkan bahan tersebut terlebih dahulu dengan
menyerahkan sertifikat analisa bahan dan data dukung terkait khasiat &
keamanan bahan tersebut.

5 Tata cara notifikasi produk kosmetika

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 21 TAHUN 2022 TENTANG TATA
CARA PENGAJUAN NOTIFIKASI KOSMETIKA

Notifikasi kosmetika adalah persetujuan yang diberikan oleh BPOM terhadap pemberitahuan dari
pelaku usaha untuk mengedarkan kosmetika di wilayah Indonesia setelah pelaku usaha memenuhi
persyaratan pengajuan permohonan izin edar kosmetik.

Rekomendasi sebagai pemohon Notifikasi adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa
importir atau usaha perorangan / badan usaha dibidang kosmetika yang melakukan kontrak produksi
dengan industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagai
pemohon notifikasi.

6 Tata cara penilaian registrasi pangan olahan


Dalam penilaian keamanan pangan mengacu kepada semua peraturan yang terkait dengan standar dan
persyaratan pangan olahan, yang antara lain mengenai:
 1. Pendaftaran Pangan Olahan
 2. Kategori Pangan
 3. Cemaran Mikrobiologi dan Kimia
 4. Bahan Tambahan Pangan
 5. Informasi Nilai Gizi
 6. Klaim
 7. Pelabelan
 8. Pangan Steril Komersial
 9. Pangan Produk Rekayasa Genetik
 10. Pangan Organik
 11. Pangan Iradiasi
 12. Pangan untuk Keperluan Gizi Khusus
Peraturan tersebut di atas dapat diakses melalui website https://jdih.pom.go.id/

TAHAPAN PENDAFTARAN

Pendaftaran pangan olahan melalui e-registration terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu:
a. Pendaftaran akun perusahaan
b. Pendaftaran pangan olahan

Apa persyaratan pendaftaran akun perusahaan untuk pendaftaran pangan olahan melalui
elektronik?
a. Persyaratan pendaftaran akun perusahaan untuk produsen pangan olahan dalam negeri:
- NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
- Izin Usaha di bidang produksi pangan (Izin Usaha Industri yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian/
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) setempat atau Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) atau Surat
Keterangan Keberadaan Sarana Produksi yang diterbitkan oleh perangkat daerah setempat).
• Untuk pangan yang diproduksi sendiri: Izin industri
• Untuk pangan yang diproduksi berdasarkan kontrak:
 Izin Industri Pemberi Kontrak
 Izin Industri Penerima Kontrak
 Surat Perjanjian/Kontrak antara Pihak Pemberi Kontrak dengan Pihak Penerima Kontrak
- Hasil audit sarana produksi atau Piagam PMR atau Sertifikat CPPOB
- Akte notaris pendirian perusahaan (jika perlu)
b. Persyaratan pendaftaran akun perusahan untuk Pangan Impor:
- SIUP/API/Surat Penetapan sebagai Importir Terdaftar (IT) untuk Minuman Beralkohol
- Hasil audit sarana gudang importir
- Sertifikat GMP/HACCP/ISO 22000/Piagam PMR/sertifikat serupa yang diterbitkan oleh lembaga
berwenang/terakreditasi dan/atau hasil audit dari pemerintah setempat.
- LoA
- Akte notaris pendirian perusahaan (jika perlu)

Mekanisme pendaftaran akun perusahaan


Mekanisme :
1. Setelah dokumen persyaratan lengkap, pendaftar mengisi form pendaftaran via e-reg.pom.go.id (mengisi
data perusahaan, data pabrik, data jenis pangan, dan upload dokumen)
2. Dokumen akan diverifikasi oleh petugas dan akan diberitahukan diterima/ditolak via email secara otomatis
oleh system.

Pendaftaran akun perusahaan tidak dikenakan biaya.

Perusahaan harus mengajukan pendaftaran variasi dalam hal terjadi perubahan data:
a. perubahan nama produsen dan/atau importir;
b. perubahan alamat kantor Importir selama masih dalam satu wilayah provinsi
Dalam hal produk impor, pendaftar wajib melaporkan perubahan alamat gudang importir.

a. Perubahan nama dan /atau alamat produsen dalam negeri

- Surat permohonan pendaftaran data perusahaan yang melampirkan daftar produk dengan data lama

yang terdaftar melalui e-registration

- Izin Industri (Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) atau Surat Keterangan

Keberadaan Sarana Produksi yang diterbitkan oleh perangkat daerah setempat) dengan data lama dan baru

- Akte notaris yang menjelaskan status perubahan

b. Perubahan nama dan /atau alamat produsen luar negeri

- Surat permohonan pendaftaran data perusahaan yang melampirkan daftar produk dengan data lama

yang terdaftar melalui e-registration

- Sertifikat GMP/HACCP/ISO 22000/Piagam PMR/sertifikat serupa yang diterbitkan oleh lembaga

berwenang/terakreditasi dan/atau hasil audit dari pemerintah setempat dengan data baru

- Surat penunjukan dari perusahaan asal di luar negeri dengan data baru

- Surat penjelasan perubahan nama dan /atau alamat produsen di luar negeri dari pabrik asal

c. Perubahan nama dan/atau alamat Importir

- Surat permohonan pendaftaran data perusahaan yang melampirkan daftar produk dengan data lama

yang terdaftar melalui e-registration

- SIUP atas nama dan/atau alamat importir yang baru

- Akte notaris yang menjelaskan status perubahan


PUntuk pendaftaran variasi data perusahaan masih ditangani secara manual. Kedepannya akan
dikembangkan pendaftaran variasi data via e-registration. Untuk update data yang tidak termasuk perubahan
data, misal penggantian email dan reset password dapat mengirimkan surat permohonan dan/atau langsung
berkonsultasi ke Direktorat Registrasi Pangan Olahan dan akan diubah oleh petugas dengan syarat
dokumen pendukung lengkap.
Catatan:
- Perubahan yang termasuk kategori pendaftaran variasi data perusahaan : perubahan nama dan
alamat perusahaan/pabrik. Perubahan alamat pabrik diperbolehkan dengan syarat tidak pindah lokasi
- Perubahan yang tidak termasuk kategori pendaftaran variasi data perusahaan : perubahan data selain
nama dan alamat, misalnya penggantian nama email dan reset password, nomor telepon dan nama
penanggung jawab

Penggantian alamat pabrik

Harus mengajukan permohonan ke Direktorat Registrasi Pangan Olahan, akan dikaji apakah perubahan
tersebut masuk kategori pendaftaran variasi atau pendaftaran baru.
Dikategorikan sebagai pendaftaran variasi jika perubahan tersebut tidak pindah lokasi (hanya perubahan
administratif), sedangkan jika pindah lokasi maka harus daftar baru.
Persyaratan administratif pendaftaran pangan olahan
dalam negeri:
a. Untuk pangan yang diproduksi sendiri :
- Sudah memiliki akun perusahaan
- Untuk produk yang didistribusikan oleh perusahaan lain :
• Surat kerja sama antara pabrik dan distributor
• SIUP distributor/Dokumen legal yang mencantumkan nama dan alamat distributor
b. Untuk pangan yang diproduksi berdasarkan kontrak
- Penerima dan pemberi kontrak telah memiliki akun perusahaan
- Telah disetujui sebagai pemberi dan penerima kontrak pada pendaftaran akun perusahaan
Kelengkapan dokumen administrasi pendaftaran pangan olahan
luar negeri:
a. Sudah memiliki akun perusahaan
b. Sertifikat GMP/HACCP/ISO 22000/Piagam PMR/sertifikat serupa yang diterbitkan oleh lembaga
berwenang/terakreditasi dan/atau hasil audit dari pemerintah setempat.
c. Surat Penunjukan dari perusahaan asal di luar negeri yang memuat :
- pemberian hak kepada perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran izin edar Pangan
Olahan;
- penunjukan bersifat eksklusif atau noneksklusif;
- jangka waktu berlakunya penunjukan
- pengesahan oleh notaris, kamar dagang setempat, atau perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
d. Sertifikat Kesehatan (Health Certificate) atau Sertifikat Bebas Jual (Certificate of Free Sale)

Akan diberikan permintaan kelengkapan atau klarifikasi data secara elektronik paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima oleh petugas dan pendaftar harus menyerahkan kelengkapan data yang
diminta paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permintaan kelengkapan atau klarifikasi data
dikirimkan. Jika pendaftar tidak dapat memenuhi kelengkapan data dalam waktu yang telah ditetapkan,
pendaftaran akan ditolak oleh sistem.

Jika waktu 30 hari tidak mencukupi , maka Pendaftar dapat mengajukan permintaan perpanjangan waktu
untuk melengkapi kelengkapan data kepada Direktur paling banyak 2 (dua) kali untuk waktu 30 (tiga puluh)
hari kalender.

13 Prinsip-prinsip CPOTB terkini dan CPOTB untuk UMOT (aspek sanitasi & higiene)

Peraturan

PerBPOM No. 28 th 2018 ttg Pelayanan perizinan terintegrasi secara elektronik obat dan makanan
sebagai persyaratan izin edar

Peraturan BPOM RI No. HK.03.1.23.06.11.5629 TH 2011 ttg Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang baik.

Aspek CPOTB

1. Managemen Mutu
Pembuatan obat tradisional :
- sesuai dengan tujuan penggunaannya
- memenuhi persyaratan yang terrcantum dalam dokumen izin edar (registrasi)
- tidak menimbukan risiko membahayakan penggunaan karna tidak aman, mutu rendah
atau tidak efektif
2. Personalia
Industri obat tradisional hendaklah memiliki personil yang :
- Terkualifikasi & berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai
- Memegang posisi kunci yaitu : kepala produksi, kepala pemastian mutu (QA) & Kepala
pengawasan mutu (QC)
- Terlatih
3. Bangunan, Fasilitas dan Peralatan
- Memiliki desain, konstruksi & tata letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan
dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan yang benar.
- Tata letak dan desain ruangan menjamin tidak terjadinya kekeliruan, pencemaran silang
& kesalahan yang lain.
- Memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukkan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dpt
menurunkan mutu obat tradisional.
4. Sanitasi & Higiene
- Untuk mencegah/meminimalkan kontaminasi mikroba
- Untuk menghindarkan perubahan mutu produk
- Perlu diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat tradisional
- Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan , peralatan dan
perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan segala sesuatu yang dpt merupakan
sumber pencemaran produk.
5. Dokumentasi
- Bagian dari sistem informasi manajemen
- Bagian yang essensial dari pemastian mutu
- Pemastian uraian tugas yang jelas
- Memperkecil terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya terjadi karena hanya
mengandalkan komunikasi lisan
6. Produksi
- Hendaklah dilaksanakan dengan prosedur sesuai CPOTB
- Menjamin senantiasa menghasilkan produk yg memenuhi persyaratan mutu serta
memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi)
- Bahan awal OT merupakan titik kritis dalam produksi obat tradisional. Diperlukan
batasan yang jelas dimana dimulai berlakunya sistem pembuatan yang baik
7. Pengawasan Mutu
- Memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dg
tujuan pemakaiannya
- Keterlibatan & komitmen dr seluruh pihak yang berkepentingan pd semua tahap
merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dr awal pembuatan sampai
dengan distribusi produk jadi.
8. Pembuatan dan Analisis berdasarkan Kontrak
- Harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang dpt menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang
tidak memuaskan
- Membuat jelas peran, tanggung jawab dan kewenangan pemberi dan penerima kontrak
- Menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan, yang
menjadi tanggung jawab penuh Kepala Bagian Pemastian Mutu.
9. Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat tradisional yang baik
Membantu dalam menjamin mutu dan integritas produk selama proses penyimpanan dan
pengiriman produk.
10. Penanganan keluhan terhadap produk,penarikan kembali produk dan produk kemballian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan
obat hendaklah dikaji dengan teliti, sesuai dengan prosedur tertulis.
Hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang
diketahui atau diduga cacat dr peredaran secara cepat & efektif.
Terhadap produk kembalian, agar dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan serta
pengambilan keputusan apakah produk tersebut dpt diproses ulang/dimusnahkan(prosedur
tertulis)
11. Inspeksi diri
- Untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri obat
tradisional memenuhi ketentuan CPOTB.
- Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam
pelaksanaan CPOTB & untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.
- Dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dr perusahaan atau
oleh auditor luar yang independen.

Penerepan CPOTB bagi UKOT

1. Tahap pertama : Sanitasi – Higiene dan Dokumentasi


2. Tahap kedua : Produksi, pengawasan mutu, & Penyimpanan
3. Tahap ketiga :
- Bangunan, fasilitas, dan peralatan
- Audit Internal
- Penanganan keluhan, penarikan kembali, dan penanganan produk kembalian.
- Personalia

Penerepan CPOTB bagi UMOT

1. Sanitasi dan Higiene


2. Dokumentasi ( Buku Petunjuk Penerapan CPOTB untuk Usaha di Bidang OT jilid 1)

18 Regulasi dalam pengawasan sarana distribusi Kosmetik

Menurut PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG
PENGAWASAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KOSMETIKA

Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan distribusi atau penyerahan Kosmetika
baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan.

Distributor adalah Pelaku Usaha distribusi yang bertindak atas namanya sendiri dan atas
penunjukkan dari produsen, pemasok, atau importir berdasarkan perjanjian untuk melakukan
kegiatan pemasaran Kosmetika.

Agen adalah Pelaku Usaha distribusi yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama pihak
yang menunjuknya berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran Kosmetika.

Pengecer adalah Pelaku Usaha distribusi yang kegiatan pokoknya memasarkan Kosmetika secara
langsung kepada konsumen.

Pada Paragraf 4 Pemeriksaan terhadap Sarana Distribusi

Pasal 12

(1) Pemeriksaan sarana distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan terhadap:
a. Distributor; b. Agen; c. sub Distributor atau sub Agen; d. grosir; e. Pengecer; f. Fasilitas pelayanan
kesehatan; g. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian; h. salon dan spa; dan i. Penjualan Langsung secara
Satu Tingkat atau Penjualan Langsung secara Multi Tingkat.

(2) Pengecer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Toko Modern; b. toko
Kosmetika; dan c. Pasar Tradisional.

Pasal 13

(1) Pemeriksaan terhadap Distributor dan Agen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat

(1) huruf a dan huruf b, dilakukan melalui pemeriksaan terhadap: a. dokumen administrasi; dan b.
pemenuhan dokumen distribusi.

(2) Dokumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemenuhan dokumen distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit
berupa: a. dokumen pengadaan Kosmetika; dan b. catatan persediaan/kartu stok dari setiap
Kosmetika.

(4) Catatan persediaan/kartu stok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus:

a. mengikuti kaidah First In First Out dan/atau First Expired First Out; dan

b. memuat keterangan paling sedikit mengenai:

1. tanggal penerimaan dan tanggal pengeluaran;

2. nama penerima;

3. nomor batch; dan

4. jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran.

Pasal 14

Pemeriksaan terhadap Kosmetika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) huruf b meliputi pemeriksaan terhadap: a. legalitas Kosmetika; b. keamanan, manfaat, dan
mutu Kosmetika; c. penandaan dan klaim Kosmetika; dan/atau d. promosi dan iklan
Kosmetika.

Bagian Kedua Tanggung Jawab Pemilik Sarana

Pasal 15

(1) Pemilik Nomor Notifikasi wajib bertanggungjawab terhadap Kosmetika yang dibuat, diimpor,
dan/atau diedarkan.

(2) Pelaku Usaha distribusi wajib bertanggung jawab terhadap Kosmetika yang didistribusikan.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penjaminan terhadap: a.
Kosmetika yang didistribusikan telah dinotifikasi; b. Kosmetika belum melampaui masa kedaluwarsa
pada saat didistribusikan; dan c. penyimpanan Kosmetika dilakukan dengan baik.

Pasal 16
(1) Pemilik Nomor Notifikasi wajib melaporkan kegiatan Produksi, importasi atau distribusi kepada
Kepala Badan c.q. Direktur Pengawasan Kosmetik setiap 6 (enam) bulan sekali.

(2) Laporan kegiatan Produksi, importasi atau distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Pasal 17

(1) Pemilik Nomor Notifikasi wajib menyimpan Kosmetika yang diproduksi dan/atau diedarkan
sebagai contoh pertinggal.

(2) Lama penyimpanan contoh pertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling singkat 1
(satu) tahun setelah tanggal kedaluwarsa Kosmetika.

(3) Contoh pertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk setiap nomor batch
Kosmetika.

(4) Dalam hal Kosmetika memiliki beberapa ukuran kemasan, contoh pertinggal disimpan dalam
bentuk ukuran kemasan terkecil sepanjang memiliki nomor batch dan spesifikasi kemasan yang
sama. Bagian Ketiga Pelaksanaan Pengawasan

Pasal 18

(1) Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dilakukan oleh Petugas.

(2) Petugas dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan: a. tanda pengenal; dan b. surat tugas dari pejabat berwenang.

Pasal 19 Dalam melaksanakan pengawasan, Petugas dapat:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan Produksi, pengawasan mutu,
penyimpanan, pengadaan, pengangkutan, distribusi, pengelolaan informasi, dan/atau penyerahan
Kosmetika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan untuk
memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan
Produksi, pengawasan mutu, penyimpanan, pengadaan, pengangkutan, distribusi, pengelolaan
informasi, dan/atau penyerahan Kosmetika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan,
atau pemindahtanganan;

b. memeriksa dokumen atau catatan lain, termasuk dalam bentuk elektronik, yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan Produksi, pengawasan mutu, penyimpanan, pengadaan,
pengangkutan, distribusi, pengelolaan informasi, dan/atau penyerahan Kosmetika baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan, termasuk mengambil, menggandakan
atau mengutip keterangan tersebut;

c. mengambil gambar (foto atau video) seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan
dalam Produksi, penyimpanan, pengangkutan, Peredaran, pengelolaan informasi, dan/atau
perdagangan Kosmetika;

d. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang patut diduga digunakan
dalam pengangkutan Kosmetika;

e. memeriksa penerapan CPKB;


f. memeriksa penandaan dan klaim Kosmetika;

g. memeriksa promosi dan iklan Kosmetika;

h. membuka dan meneliti kemasan Kosmetika;

i. mengambil contoh Kosmetika, termasuk kemasan, bahan baku, Produk Ruahan, dan Produk
Antara; j. melakukan identifikasi, deteksi, pemantauan, dan evaluasi serta pengendalian kegiatan
promosi dan iklan terhadap perdagangan Kosmetika melalui sistem elektronik;

k. melakukan pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan Kosmetika yang tidak memenuhi
persyaratan; dan/atau

l. melakukan pengamanan setempat terhadap Kosmetika yang diduga tidak memenuhi persyaratan.

19 Regulasi dalam pengawasan sarana pengedaran Pangan

20 Prinsip-prinsip CDOB

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 6 TAHUN 2020 TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 9 TAHUN 2019
TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

A. PRINSIP-PRINSIP UMUM

1. Prinsip-prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) berlaku

untuk aspek pengadaan, penyimpanan, penyaluran termasuk

pengembalian obat dan/atau bahan obat dalam rantai distribusi.

2. Semua pihak yang terlibat dalam distribusi obat dan/atau bahan

obat bertanggungjawab untuk memastikan mutu obat dan/atau

bahan obat dan mempertahankan integritas rantai distribusi selama

proses distribusi.

3. Prinsip-prinsip CDOB berlaku juga untuk obat donasi, baku

pembanding dan obat uji klinis.

4. Semua pihak yang terlibat dalam proses distribusi harus

menerapkan prinsip kehati-hatian (due diligence) dengan mematuhi

prinsip CDOB, misalnya dalam prosedur yang terkait dengan

kemampuan telusur dan identifikasi risiko.

5. Harus ada kerja sama antara semua pihak termasuk pemerintah,

bea dan cukai, lembaga penegak hukum, pihak yang berwenang,

industri farmasi, fasilitas distribusi dan pihak yang bertanggung


jawab untuk penyediaan obat, memastikan mutu dan keamanan

obat serta mencegah paparan obat palsu terhadap pasien.

43 Sistem farmakovigilans di industri farmasi

SISTEM FARMAKOVIGILANS

- Organisasi

Industri Farmasi harus memiliki Sistem Farmakovigilans yang dilaksanakan sebagai bentuk tanggung
jawab terhadap obat yang diedarkannya. Sistem tersebut harus menjamin Industri Farmasi untuk
dapat melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Industri Farmasi harus menjamin bahwa semua
informasi mutakhir terkait dengan aspek keamanan obat berupa perubahan profil manfaat-risiko
(update riskbenefit balance) obat yang diedarkan, dilaporkan segera kepada Badan POM. Industri
Farmasi harus memiliki suatu unit dalam organisasi untuk melaksanakan Farmakovigilans. Unit
tersebut dapat berupa unit baru yang dibentuk atau unit yang sudah ada dengan penambahan
fungsi untuk pengelolaan Farmakovigilans. Unit dimaksud harus dapat digambarkan dalam struktur
organisasi yang ada, disertai dengan penjelasan tugas dan fungsi, termasuk hubungan kerja dengan
unit lain dalam organisasi terkait dengan pelaksanaan Farmakovigilans. Dalam pelaksanaan
Farmakovigilans, Industri Farmasi harus menunjuk penanggung jawab untuk aktivitas tersebut.
Penanggung jawab sekurang-kurangnya memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dan atau
telah memperoleh pelatihan tentang Farmakovigilans.

Penanggung jawab Farmakovigilans mempunyai tugas dan tanggung jawab antara lain:

a. Membentuk dan mengelola sistem Farmakovigilans pada Industri Farmasi yang bersangkutan.

b. Memahami profil keamanan dan dapat memberikan penjelasan tentang isu aspek keamanan
terkait dengan obat yang diedarkan oleh Industri Farmasi yang bersangkutan.

c. Bertindak sebagai personel yang ditunjuk oleh Industri Farmasi dalam Farmakovigilans dan harus
dapat dihubungi selama 24 jam.

d. Menyiapkan semua jenis pelaporan Farmakovigilans.

e. Menyiapkan dan memberikan informasi tentang aspek keamanan obat yang diminta oleh Badan
POM dengan segera dalam rangka pengkajian manfaat-risiko (risk-benefit assessment).

Komitmen Industri Farmasi diperlukan dalam upaya meningkatkan kemampuan personel yang
menangani Farmakovigilans. Komitmen tersebut ditunjukkan dalam bentuk perencanaan pelatihan,
penjadwalan, evaluasi dampak pelatihan yang dilakukan, dan adanya prosedur berkelanjutan untuk
evaluasi kemampuan personel tersebut.

Pelaporan Farmakovigilans

- Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan (Spontaneous Adverse Events Reporting)


Pelaporan spontan merupakan laporan kejadian tidak diinginkan yang diduga
disebabkan oleh obat termasuk vaksin yang diedarkan oleh Industri Farmasi. Pelaporan
spontan tersebut dilakukan oleh Industri Farmasi berdasarkan laporan tertulis atau lisan
yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, namun bukan
dalam rangka pemantauan yang direncanakan atau bagian dari suatu penelitian.
Kejadian tidak diinginkan tersebut dapat berupa kejadian serius dan non-serius. Kriteria
kejadian tidak diinginkan serius meliputi semua kejadian medis pada penggunaan obat
termasuk vaksin yang menyebabkan: a. Kematian, b. Keadaan yang mengancam jiwa, c.
Pasien memerlukan perawatan rumah sakit, d. Perpanjangan waktu perawatan rumah
sakit, e. Cacat tetap, f. Kelainan kongenital, dan/atau g. Kejadian medis penting lainnya.
- Pelaporan Spontan Kejadian Tidak Diinginkan terkait Penggunaan Obat . Kejadian tidak
diinginkan yang wajib dipantau dan dilaporkan dalam bentuk laporan spontan meliputi
kejadian tidak diinginkan serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di dalam dan
luar negeri, kejadian tidak diinginkan serius yang dapat diperkirakan (expected) dan non-
serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di dalam negeri. Pelaporan spontan
kejadian tidak diinginkan serius baik yang tidak dapat diperkirakan (unexpected)
maupun yang dapat diperkirakan (expected) wajib dilaporkan ke Badan POM sesegera
mungkin dan tidak lebih dari 15 (lima belas) hari kalender, sesuai Lampiran 1. Pelaporan
spontan kejadian tidak diinginkan serius tersebut dapat dilaporkan dengan
menggunakan formulir pada Lampiran 2 dan atau formulir CIOMS pada Lampiran 3.
Industri Farmasi wajib melakukan pelaporan spontan kejadian tidak diinginkan non-
serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di dalam negeri sesuai dengan
ketentuan dalam Pedoman Teknis ini. Jika tidak ada laporan spontan kejadian tidak
diinginkan yang diterima, Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan nihil (zero
report). Pelaporan spontan kejadian tidak diinginkan non- serius yang tidak dapat
diperkirakan (unexpected) tersebut dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan
Januari dan bulan Juli dalam bentuk tabel sesuai Lampiran 4.
- Pelaporan Spontan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) KIPI yang wajib dilaporkan oleh
Industri Farmasi meliputi KIPI serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di
dalam dan luar negeri, KIPI serius yang dapat diperkirakan (expected) di dalam negeri
dan KIPI non serius yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) di dalam negeri.
Pelaporan KIPI serius berupa kematian harus disampaikan dalam waktu 24 (dua puluh
empat) jam paling lambat pada hari kerja berikutnya, sebagai laporan awal sejak Industri
Farmasi mengetahui adanya informasi tersebut, dan tidak lebih dari 15 hari kalender
sebagai laporan lengkap lanjutan. Laporan KIPI serius lainnya harus dilaporkan dalam
waktu tidak lebih dari 15 hari kalender, sesuai Lampiran 5. Pelaporan spontan KIPI serius
tersebut dapat dilaporkan dengan menggunakan formulir pada Lampiran 6. Industri
Farmasi wajib melakukan pelaporan spontan KIPI non-serius yang terjadi di Indonesia,
dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Teknis ini. Jika tidak ada
laporan spontan KIPI yang diterima, Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan nihil
(zero report). Pelaporan spontan KIPI nonserius tersebut dilakukan setiap 6 (enam)
bulan sekali pada bulan Januari dan bulan Juli dalam bentuk tabel sesuai Lampiran 7.
- Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report (PSUR)) Pelaporan
berkala pasca pemasaran merupakan kegiatan pemantauan dan pelaporan aspek
keamanan obat yang dilakukan oleh Industri Farmasi terhadap obat yang diedarkan.
PSUR dilaporkan setiap 6 (enam) bulan untuk 2 (dua) tahun pertama, dan setiap tahun
untuk 3 (tiga) tahun berikutnya setelah disetujui beredar di Indonesia. Kriteria obat yang
wajib dilaporkan :
a. Obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis (similar bio-therapeutic
product).
b. Obat lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM. Format PSUR sekurang-kurangnya
berisi informasi sebagai berikut: a. Ringkasan Eksekutif (executive summary) b.
Pendahuluan c. Status peredaran d. Data mutakhir mengenai tindak lanjut regulatori
berdasarkan alasan keamanan oleh pemerintah atau pemegang izin edar (update on
regulatory authority or Marketing Authorization Holder Actions for safety reasons) e.
Perubahan informasi keamanan (changes to reference safety information) f. Data pasien
terpapar (patients exposure data) g. Riwayat kasus individu (individual case histories:
line listings and summary tabulations (termasuk diskusi kasus individual, jika perlu) h.
Hasil studi (jika ada) i. Informasi lain (yang berkaitan dengan efikasi; data keamanan
mutakhir yang penting) j. Informasi keamanan menyeluruh (overall safety information)
k. Kesimpulan
Pelaporan Studi Keamanan Pasca Pemasaran Pelaporan studi keamanan pasca
pemasaran harus dilakukan oleh Industri Farmasi pemegang izin edar untuk: 1. Obat
yang dalam persetujuan izin edarnya dipersyaratkan untuk dilakukan studi tersebut;
atau 2. Obat tertentu yang telah beredar dan dipersyaratkan untuk dilakukan studi
dalam rangka perencanaan manajemen risiko, berdasarkan pengkajian risiko-manfaat
dan / atau rekomendasi tim ahli terkait. Industri Farmasi pemegang izin edar obat harus
melaporkan hasil studi tersebut kepada Badan POM.
Pelaporan Publikasi/Literatur Ilmiah Industri Farmasi harus melaporkan informasi
keamanan obat yang mempengaruhi profil manfaat-risiko yang dimuat dalam publikasi
atau literatur ilmiah kepada Badan POM, segera setelah mengetahui adanya publikasi
atau literatur ilmiah tersebut, dengan melampirkan publikasi/literatur ilmiah dimaksud.
Pelaporan Tindak Lanjut Regulatori Badan Otoritas Negara Lain Industri Farmasi harus
segera melaporkan semua informasi tindak lanjut regulatori negara lain terkait dengan
aspek keamanan mutakhir seperti pembekuan atau pembatalan izin edar, serta
penarikan obat dari pasaran yang dilakukan oleh badan otoritas negara lain. Pelaporan
awal dilakukan dalam waktu 24 jam setelah informasi diterima, paling lambat pada hari
kerja berikutnya.
Pelaporan Tindak Lanjut Pemegang Izin Edar di Negara Lain Industri Farmasi di Indonesia
harus segera melaporkan semua tindak lanjut yang dilakukan oleh pemegang izin edar
obat terkait di negara lain sehubungan dengan aspek keamanan mutakhir seperti
penarikan obat dari peredaran. Pelaporan dilakukan dalam waktu 24 (dua puluh empat)
jam setelah informasi diterima, paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pelaporan Pelaksanaan Perencanaan Manajemen Risiko Pelaporan hasil pelaksanaan
kegiatan terkait perencanaan manajemen risiko oleh Industri Farmasi sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan.
TATA CARA PELAPORAN Industri Farmasi menyampaikan laporan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Pedoman Teknis ini dan ditujukan ke: Pusat
Farmakovigilans c.q. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Melalui beberapa cara di bawah ini: a.
Pos : Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, 10560 b. E-mail : pv-center@pom.go.id
c. Nomor fax : +62-21-42883485 d. Nomor telepon : +62-21-4244755 Ext.111; 4244691
Ext. 1072 Semua laporan yang diterima oleh Badan POM akan diberikan surat
pemberitahuan penerimaan dalam waktu tidak lebih dari 7 (tujuh) hari kerja.

44 Petunjuk teknis pelaporan monitoring efek samping OTSK

Monitoring Efek Samping Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan adalah kegiatan yang meliputi
pemantauan, pencatatan, pengumpulan data, pelaporan, evaluasi, dan tindak lanjut terhadap efek
berupa kejadian tidak diinginkan yang timbul karena penggunaan Obat Tradisional dan Suplemen
Kesehatan.
Monitoring Efek Samping Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan terhadap kasus efek berupa kejadian tidak diinginkan.

Kejadian tidak diinginkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaporan spontan yang
meliputi: a. Kejadian Tidak Diinginkan Serius; dan/atau b. Kejadian Tidak Diinginkan Non-Serius.

Kejadian Tidak Diinginkan Serius sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a merupakan
kejadian medis yang dapat mengakibatkan efek: a. kematian; b. keadaan yang mengancam jiwa; c.
membutuhkan rawat inap; d. cacat permanen; e. kelainan kongenital; dan/atau f. kejadian medis
penting lainnya.

Kejadian yang tidak mengakibatkan efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam
Kejadian Tidak Diinginkan Non-Serius

Pemegang Izin Edar yang melanggar ketentuan mekanisme Monitoring Efek Samping Obat
Tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (4), Pasal 4 ayat (5),
Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (4), Pasal 7 ayat (6), Pasal 8 ayat (4), dan/atau Pasal 12
dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. larangan mengedarkan Obat Tradisional
untuk sementara; c. penghentian sementara kegiatan; d. penundaan dan penolakan pelayanan
registrasi produk; dan/atau e. pembatalan izin edar.

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 4 TAHUN 2021 TENTANG
MEKANISME MONITORING EFEK SAMPING OBAT TRADISIONAL DAN SUPLEMEN KESEHATAN TATA
CARA PELAPORAN Pelaporan Monitoring Efek Samping Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Badan ini disampaikan kepada Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional dan Suplemen Kesehatan Badan Pengawas Obat dan Makanan, melalui mekanisme
sebagai berikut: a. E-reporting : http://e-mesot.pom.go.id b. Surat elektronik :
efeksamping_otsk@pom.go.id atau efeksampingotsk@gmail.com c. Surat tertulis : Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan, Badan POM. Jl. Percetakan Negara No. 23,
Jakarta, 10560. d Nomor telepon : 021-4244691 Ext. 1044 atau halo BPOM 1500533 e. Aplikasi
mobile pada android : E-MESOT Semua laporan yang diterima oleh Badan POM akan diberikan surat
pemberitahuan penerimaan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan diterima.

PELAPORAN KEAMANAN PASCA PEMASARAN Pelaporan keamanan pasca pemasaran paling sedikit
berisi informasi sebagai berikut: a. ringkasan eksekutif (executive summary); b. pendahuluan; c.
status peredaran; d. data mutakhir mengenai tindak lanjut regulatori berdasarkan alasan keamanan
oleh pemerintah atau pemegang izin edar (update on regulatory authority or Marketing
Authorization Holder Actions for safety reasons); e. perubahan informasi keamanan (changes to
reference safety information); f. data pasien terpapar (patients exposure data); g. riwayat kasus
individu (individual case histories: line listings and summary tabulations (termasuk diskusi kasus
individual, jika perlu); h. hasil studi (jika ada); i. informasi lain (yang berkaitan dengan khasiat; data
keamanan mutakhir yang penting); j. informasi keamanan menyeluruh (overall safety information);
dan k. kesimpulan

45 Efek tidak diinginkan pada penggunaan kosmetik

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 26 TAHUN 2019 TENTANG
MEKANISME MONITORING EFEK SAMPING KOSMETIKA

Monitoring Efek Samping Kosmetika adalah kegiatan yang meliputi pemantauan, pencatatan,
pengumpulan data, pelaporan, evaluasi, dan tindak lanjut efek tidak diinginkan yang timbul karena
penggunaan Kosmetika.
Efek Tidak Diinginkan Serius adalah efek yang tidak diinginkan setelah penggunaan normal
Kosmetika yang menyebabkan kematian, mengancam jiwa, membutuhkan rawat inap, atau
menyebabkan cacat permanen, tanpa harus diketahui hubungan sebab akibat terlebih dahulu.

Efek Tidak Diinginkan Non-Serius adalah efek yang tidak diinginkan setelah penggunaan normal
Kosmetika yang tidak menyebabkan kematian, tidak mengancam jiwa, tidak membutuhkan rawat
inap, atau tidak menyebabkan cacat permanen, tanpa harus diketahui hubungan sebab akibat
terlebih dahulu.

Pemilik Nomor Notifikasi yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (3),
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan/atau Pasal 12 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; b. larangan mengedarkan Kosmetika untuk sementara; c. penghentian
sementara kegiatan; d. penutupan sementara akses notifikasi; dan/atau e. pencabutan nomor
notifikasi.

30 (TIGA PULUH) BAHAN PEWARNA RAMBUT

1. 2-Methoxymethyl-p-Phenylenediamine
2-Methoxymethyl-p-Phenylenediamine Sulfate
2. Disperse Violet 1
3. Isatin
4. Dihydroxyindole
5. 2-Methyl-1-Naphthol
6. Hydroxyanthraquinone-aminopropyl Methyl Morpholinium Methosulfate
7. HC Blue 16
8. 2,3-Diaminodihydropyrazolo-pyrazolone Dimethosulfonate
9. Tetraaminopyrimidine Sulfate
10. Basic Orange 31
11. Basic Red 51
12. Picramic Acid dan Sodium Picramate
13. 1-Acetoxy-2-Methylnaphthalene
14. HC Red No 1
15. HC Blue No 17
16. 5-Amino-6-Chloro-O-Cresol 5-Amino-6-Chloro-O-Cresol HCl
17. Basic Violet 2 (CI 42520)
18. 1-Hydroxyethyl-4,5- Diamino Pyrazole Sulfate - 2 - NO NAMA INCI
19. Acid Black 1 (CI 20470)
20. p-Aminophenol
21. 5-Amino-4-Chloro-o-Cresol HCl
22. HC Red No 3
23. Disperse Red 17
24. Acid Red 92 (CI 45410)
25. Disperse Blue 377 merupakan campuran tiga bahan pewarna:
(1) 1,4-bis[(2-hydroxyethyl)amino]anthra-9,10-quinone
(2) 1-[(2-hydroxyethyl)amino]-4-[(3-hydroxypropyl)amino]anthra9,10-quinone
(3) 1,4-bis[(3- hydroxypropyl)amino]anthra-9,10-quinone
26. 2,2'-Methylenebis-4-Aminophenol HCl
27. HC Blue No 15
28. 2,6-Diaminopyridine
29. 4-Formyl-1-Methylquinolinium-p-Toluenesulfonate
30. Acid Violet 43 (CI 60730)

Dalam hal Pemilik Nomor Notifikasi mengedarkan Kosmetika yang mengandung satu atau
lebih bahan pewarna rambut sebagaimana tercantum dalam Lampiran I diatas, wajib
melaporkan hasil Monitoring Efek Samping Kosmetika berupa tidak terjadi efek tidak
diinginkan dan Efek Tidak Diinginkan Non-Serius secara berkala pada bulan Januari, April,
Juli, dan Oktober.

Pelaporan Monitoring Efek Samping Kosmetika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat
dilakukan melalui: a. e-reporting; b. surat elektronik dengan alamat: laporkosmetik@pom.go.id; c.
faksimili; atau d. telepon.

47 Teori dasar kromatografi, prinsip pemisahan dan pengujian secara kromatografi kompleks (KLT-

densitometri/KCKT/KG)

Kromatografi adalah Adalah teknik pemisahan fisik suatu campuran zat-zat kimia yang berdasar pada
perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam(padat
atau cair) di bawah pengaruh pergerakan fase gerak(cair atau gas). Bila fase diam berupa zat padat
yang aktif, maka dikenal istilah kromatografi penyerapan (adsorption chromatography). Bila fase
diam berupa zat cair, maka teknik ini disebut kromatografi pembagian (partition chromatography).

Berdasarkan fase gerak yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
gas chromatography dan liquid chromatography. Masing-masing golongan dapat dibagi lagi
sepertiyang telah disebutkan pada definisi di atas.

Asas dan Dasar-dasar Kromatografi, antara lain:

1. Kromatografi dengan asas adsorpsi, memakai fase diam padat dan fase gerak cair atau gas

2. Kromatografi dengan asas partisi, memakai fase diam cair dan fase gerak cair

3. Kromatografi dengan asas fitrasi, memakai fase diam padat yang mempunyai sifat fitrasi dan fase
gerak cairan

4. Kromatografi dengan asas suhu kritik, memakai CO2 dalam keadaan superkritik

Kromatografi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Menurut proses pemisahannya dibedakan menjadi: Kromatografi adsorbsi, Kromatografi partisi,


Kromatografi pasangan ion, Kromatografi penukar ion, Kromatografi eksklusif, Kromatografi afinitas
2. Menurut alat yang digunakan terdiri dari 3 alat yang selalu dapat dikembangkan perlengkapannya
ialah:

a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat juga dikenal dengan thin layer chromatography (TLC). Dan
kromatografi Kertas

b. Kromatografi Gas, jenis kromatografi kolom yang menggunakan fase gerak gas.(GC)

c. Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT, dan berasal dari terjemahan High Perfomance Liquid
Chromatography atau HPLC.
Kromatografi ini termasuk kromatografi kolom yang fase geraknya berupa cairan dan dialirkan
berdasar kekuatan dari tekanan yang diberikan. Berdasarkan fase gerak yang digunakan,
kromatografi dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu gas chromatography dan liquid
chromatography.

Tujuan analisa dengan kromatografi adalah pemisahan komponen zat dalam campuran (pemurnian),
identifikasi, analisa kualitatif, analisa kuantitatif dan untuk preparatif. Kromatografi Cair Kinerja
tinggi atau disingkat KCKT adalah istilah yang popular di Indonesia. Beberapa pihak hanya memberi
istilah LC (Liquid Chromatography).

Di dunia Internasional digunakan istilah HPLC yang mempunyai dualisme pengertian, yaitu:

a. High Performance Liquid Chromatography

b. High Pressure Liquid Chromatography Kromatografi merupakan salah satu metode analisis yang
perkembangannya dapat dikatakan sangat pesat. Didalam kromatografi tercakup sekaligus metode
pemisahan dan metode penentuan baik secara kualitatif dan kuantitatif. Kromatografi secara umum
adalah suatu metode pemisahan cuplikan diantara dua fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat
berupa zat padat atau cair, sedangkan fase geraknya dapat berupa gas atau zat cair. Bila fase gerak
yang digunakan adalah zat cair maka metode ini dinamakan dengan kromatografi cair. Bila fase
gerak yang digunakan berupa cairan yang digerakkan dengan cepat dengan bantuan tekanan dan
hasilnya dideteksi dengan instrumen, proses ini disebut dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

48 Teori dasar, teknik preparasi/penyiapan sampel dan prinsip pengujian secara Spektrofotometri

(Spektrofotometer UV-Vis, AAS, Spektrodensitometer, FT-IR)

Prinsip Spektrofotometri Serapan Atom (AAS), Persamaan, dan Bagian-bagian AAS

Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu unsur di dalam
sampel adalah spektrofotometri serapan atom (AAS).
A. Prinsip Spektrofotometri

Prinsip dari spektrofotometri adalah terjadinya interaksi antara energi dan materi.
Pada spektroskopi serapan atom terjadi penyerapan energi oleh atom sehingga atom
mengalami transisi elektronik dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Dalam metode ini,
analisa didasarkan pada pengukuran intesitas sinar yang diserap oleh atom sehingga terjadi
eksitasi.

Untuk dapat terjadinya proses absorbsi atom diperlukan sumber radiasi monokromatik
dan alat untuk menguapkan sampel sehingga diperoleh atom dalam keadaan dasar dari unsur
yang diinginkan. Atomic Absorbtion Spectroscopi (AAS) adalah spektroskopi yang
berprinsip pada serapan cahaya oleh atom. Atom–atom menyerap cahaya pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya.

Cahaya pada panjang gelombang tersebut mempunyai cukup energi untuk mengubah
tingkat elektronik. Metode AAS (Spektrofotometri serapan atom) berprinsip pada absorbsi
cahaya oleh atom, atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Misalkan Natrium menyerap pada 589 nm, uranium pada
358,5 nm sedangkan kalium pada 766,5 nm.

Cahaya pada gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat
energy elektronik suatu atom. Dengan absorpsi energy, berarti memperoleh lebih
banyak energy, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke
tingkat eksitasi.

Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel
yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada pada sel.

B. Persamaan AAS (Hukum Lambert-Beer)


Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari:

Hukum Lambert: bila suatu sumber sinar monkromatik melewati medium transparan, maka intensitas
sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorbsi.

Hukum Beer: Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya
konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut.

Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan:


A = E.b.c
Dimana:

E = intensitas sumber sinar =intensitas sinar yang diteruskan =absortivitas molar b = panjang medium
c = konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
A = absorbansi

Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan
konsentrasi atom (Day & Underwood, 1989).
C. Bagian-Bagian pada AAS
1. Lampu Katoda
Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu katoda memiliki
masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu katoda pada setiap
unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan diuji, seperti
lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur Cu. Lampu
katoda terbagi menjadi dua macam, yaitu :
• Lampu Katoda Monologam : Digunakan untuk mengukur 1 unsur
• Lampu Katoda Multilogam : Digunakan untuk pengukuran beberapa logam
sekaligus, hanya saja harganya lebih mahal.

2. Tabung Gas

Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi gas
asetilen. Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 20.000K, dan ada juga
tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen, dengan kisaran
suhu ± 30.000K.

3. Ducting
Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa pembakaran
pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap bagian luar pada atap bangunan,
agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Asap yang
dihasilkan dari pembakaran pada AAS, diolah sedemikian rupa di dalam ducting, agar polusi
yang dihasilkan tidak berbahaya.

4. Kompresor
Kompresor merupakan alat yang terpisah dengan main unit, karena alat ini berfungsi
untuk mensuplai kebutuhan udara yang akan digunakan oleh AAS, pada waktu pembakaran
atom.

5. Burner
Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit, karena burner berfungsi
sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides, agar tercampur merata, dan dapat
terbakar pada pemantik api secara baik dan merata.

6. Buangan pada AAS


Buangan pada AAS disimpan di dalam drigen dan diletakkan terpisah pada AAS.
7. Monokromator
Berfungsi mengisolasi salah satu garis resonansi atau radiasi dari sekian banyak spectrum
yang dahasilkan oleh lampu piar hollow cathode atau untuk merubah sinar polikromatis
menjadi sinar monokromatis sesuai yang dibutuhkan oleh pengukuran.

8. Detector
Dikenal dua macam detector, yaitu detector foton dan detector panas. Detector panas
biasa dipakai untuk mengukur radiasi inframerah termasuk thermocouple dan bolometer.
Detector berfungsi untuk mengukur intensitas radiasi yang diteruskan dan telah diubah
menjadi energy listrik oleh fotomultiplier. Hasil pengukuran detector dilakukan penguatan
dan dicatat oleh alat pencatat yang berupa printer dan pengamat angka.

Ada dua macam deterktor sebagai berikut:


•Detector Cahaya atau Detector Foton
Detector foton bekerja berdasarkan efek fotolistrik, dalam halini setiap foton akan
membebaskan elektron (satu foton satu electron) dari bahan yang sensitif terhadap cahaya.
Bahan foton dapat berupa Si/Ga, Ga/As, Cs/Na.
•Detector Infra Merah dan Detector Panas
Detector infra merah yang lazim adalah termokopel. Efek termolistrik akan timbul jika dua
logam yang memiliki temperatur berbeda disambung jadi satu.

49 Teori dasar dan prinsip pengujian secara disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana bahan padat melarut ke dalam medium disolusi dan laju
disolusinya senyawa padat ditentukan oleh laju difusi suatu lapisan yang sangat tipis dari larutan
jenuh yang terbentuk disekeliling bahan padat.

Tujuan dan prinsip disolusi secara invitro:

- Untuk meramalkan kecepatan disolusi suatu obat dalam saluran cerna

- Merupakan suatu pegangan dalam pengembangan suatu produk sediaan obat

- Untuk mengawasi keseragaman suatu produk sediaan obat.

Disolusi merupakan salah satu pendekatan untuk meramalkan ketersediaan biologis obat dalam
tubuh. Prinsip penentuan disolusi bahan aktif sediaan yaitu dengan menentukan jumlah bahan aktif
terlarut pada setiap selang waktu tertentu. Pengukuran disolusi dilakukan terhadap 5 tablet, diukur
satu per satu menggunakan dissolution tester.

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi secara invitro:

1. Kecepatan Pengadukan

Jika pengadukan cepat maka disolusi semakin cepat. Pengadukan juga mempengaruhi tebal lapisan
difusi. Bila pengadukan cepat maka lapisan difusi kecil sehingga kecepatan disolusi bertambah.

2. Suhu Medium

Jika suhu tinggi, viskositas akan turun sehingga koefisien difusi akan naik.

3. pH Medium
kecepatan disolusi asam lemah akan naik dengan naiknya pH dan kecepatan disolusi basa lemah
akan menurun dengan naiknya pH.

4. Viskositas medium

Viskositas yang besar akan memberikan koefisien difusi yang kecil, sehingga kecepatan disolusi
menjadi berkurang.

5. Sifat Fisika dan Kimia Bahan Aktif

Sifat hidrofil-hidrofob, jika bahan hidrofob terdispersi dalam media disolusi maka luas permukaan
partikel yang kontak dengan medium disolusi menjadi berkurang.

Ukuran Partikel : makin kecil ukuran partikel, luas permukaan besar sehingga disolusi makin besar.

Kelarutan : menurut Noyes dan Whitney, kelarutan bahan aktif berbanding lurus dengan kecepatan
disolusi.

6. Tegangan permukaan antara bahan obat dengan medium disolusi.

Penambahan surfaktan pada senyawa hidrofob akan menaikkan kecepatan disolusi. Hal ini karena
surfaktan akan menurunkan tegangan permukaan antara senyawa tersebut dengan medium disolusi
menjadi naik, akibatnya kecepatan disolusi menjadi besar.

7. Faktor Formulasi

Bahan Pengisi : granul yang dibuat dengan bahan pengisi yang hidrofil, maka kecepatan disolusinya
menjadi cepat karena permukaan granul lebih mudah terbasahi oleh medium disolusi terutama
untuk bahan aktif yang bersifat hidrofob.

Bahan Pengikat : jika bahan pengikat bersifat hidrofob, kecepatan disolusi akan diperlambat
sedangkan bahan pengikat yang hidrofil akan mempercepat kecepatan disolusi tablet.

Bahan Penghancur : adanya bahan penghancur akan memcahkan granul sehingga kontak bahan aktif
dengan medium disolusi menjadi besar dan kecepatan disolusi menjadi besar.

Ukuran granul : makin kecil ukuran granul, kecepatan disolusi makin besar.

Bahan lubrikan : umumnya bersifat hidrofob sehingga akan memperlambat kecepatan disolusi,
tetapi lubrikan yang bersifat menurunkan tegangan permukaan akan mempercepat disolusi.

Bahan pembasah : surfaktan ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan dari senyawa hidrofob
sehingga dapat mempercepat disolusi.

8. Faktor Teknik Pembuatan

Penambahan daya kompressi ikat antar partikel maka kecepatan disolusi akan berkurang, tapi jika
dengan bertambahnya daya kompressi menyebabkan berkurangnya daya ikat antar partikel, maka
kecepatan disolusi akan bertambah besar.

Alat dan bahan untuk melakukan uji Disolusi Tablet:

- Alat disolusi menggunakan dayung (metoda disolusi paddle)


- Medium disolusi 1000 ml asam klorida o,1 N

- Air untuk pengenceran, air yang digunakan adalah aqua destilata

- Gelas ukur

- Labu ukur 25 ml

- Pipet gondok untuk pengambilan sampel dan pergantian medium

- Stopwatch untuk mengukur waktu

- Spektrofotometer untuk pengukuran Absorbannya.

cara kerja uji Disolusi Tablet

1. Buat medium disolusi yaitu HCl 0,1 N 1000 ml sebanyak 2 buah. Satu untuk medium disolusi
dan satu lagi untuk menambah medium setelah pengambilan waktu tertentu.

2. Medium dipanaskan dalam thermostat hingga suhu larutan 37oC.

3. Tablet diletakkan di dalam keranjang lalu dimasukkan ke dalam medium disolusi. Ketika alat
dihidupkan keranjang akan berputar.

4. Pada waktu 5, 10, 15, 30, 45, 90 menit, ambil 5 ml larutan masukkan kedalam labu ukur 25 ml
lalu cukupkan dengan medium disolusi sampai batas.

5. Ukur masing-masing larutan pada panjang gelombang 243 nm.

Penentuan disolusi dapat dilakukan secara invitro dimana kecepatan disolusi menurut persamaan
Noyes – Whitney, hubungan sbb:

D = koefisien difusi bahan terlarut dalam medium disolusi

A = luas permukaan efektif

h = tebal lapisan difusi

Cs = kelarutan bahan aktif dari medium

C = konsentrasi bahan terlarut dalam medium disolusi.

53 Pengertian, tujuan dan prinsip pengujian Efektifitas Pengawet

Pengawet Antimikroba: Zat yang ditambahkan pada sediaan obat untuk melindungi sediaan
terhadap kontaminasi mikroba
Pengawet digunakan terutama pada wadah dosis ganda untuk menghambat pertumbuhan mikroba
yang dapat masuk secara tidak sengaja selama atau setelah proses produksi.

Setiap zat antimikroba dapat bersifat pengawet, meskipun demikian semua zat antimikroba adalah
zat yang beracun Untuk melindungi konsumen secara maksimum pada penggunaan harus
diusahakan agar pada kemasan akhir kadar pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar
yang dapat menimbulkan keracunan pada manusia

Tujuan uji efektivitas pengawet Menunjukkan efektivitas pengawet antimikroba yang ditambahkan
pada sediaan dosis ganda dengan dasar atau bahan pembawa air yang dicantumkan pada etiket.
Contoh: produk parenteral, tetes telinga, hidung, dan mata

Syarat pengujian Pengujian dan Persyaratan hanya berlaku pada produk di dalam wadah asli, belum
dibuka, dan didistribusikan pada produsen.

Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Pengawet pH Keberadaan fasa non akuatik pada sediaan
Adsorpsi solid dalam suspensi Adsorpsi pada kemasan plastik

54 Penanganan/pemeliharaan Hewan Uji

Peneliti yang menggunakan hewan coba harus memperhatikan kesejahteraan hewan


tersebut sesuai dengan prinsip lima kebebasan yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa
tidak nyaman, bebas dari rasa nyeri, trauma dan penyakit dan bebas mengekspresikan tingkah laku
alami. Penggunaan hewan coba juga harus menerapkan prinsip replacement, reduction, dan
refinement (3R). Seluruh perlakuan peneliti pada hewan, mulai dari awal hewan diterima sampai
penelitian berakhir, sangat memengaruhi kesejahteraan hewan yang berdampak pada validitas
penelitian yang dilakukan, oleh karena itu penting untuk peneliti menerapkan kaidah lima kebebasan
dan prinsip 3R.
55 Penetapan toksisitas/nilai pirogen contoh uji/atau penetapan DL50

Toksisitas adalah segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme
target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis yaitu toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan
toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik & karsinogenik )
1. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal
yang masih dapat ditoleransi hewan uji (menggunakan 2
spesies hewan uji). pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute pemerian
(misalnya oral dan intravena). hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi) pada
manusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan
uji mati oleh pemerian dosis tersebut)

2. Uji Toksisitas Sub Akut


Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ sasaran tempat kerja dari obat
tersebut, pengujian selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan uji, menggunakan 3 dosis yang
berbeda.

3. Uji Toksisitas Kronik


Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujian ini dilakukan
selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan pengerat). uji ini
dilakukan apabila obat itu nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu yang ckup
panjang.

4. Uji Efek Pada Organ Reproduksi


Pengujian ini dilakukan untuk melihat perilaku yang berhubungan dengan reproduksi (perilaku kawin),
perkembangan janin, kelainan pada janin, proses kelahiran, dan perkembangan janin setelah
dilahirkan.

5. Uji Karsinogenik
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan obat jika dikonsumsi dalam jangka
panjang apakah dapat menimbulkan kanker. dilakukan pada 2 spesies hewan uji selama 2 tahun,
pengujian ini dilakukan apabila nanti obat ini diproyeksikan digunakan pasien dalam jangka yang
panjang.

6. Uji Mutagenik
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah efek obat dapat menyebabkan perubahan atau
mutasi pada gen pada pasien.

Uji pirogen adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakan suatu sediaan uji
bebas pirogen atau tidak. Uji ini dilakukan setelah melalui uji sterilitas. Tujuan uji
ini adalah untuk membatasi resiko reaksi demam pada pasien.

Uji pirogen dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu:


1. Rabbit test
Tes ini adalah tes biologis menggunakan kelincisebagai hewan uji,
karena kelinci sangat sensitif terhadap pirogen.
Uji pirogen menggunakan kelinci sehat yang telah dijaga dalam keadaan
lingkungan dan makanan yang tepat sebelum dilakukan uji. Temperatur normal
atau temperatur control diukur untuk tiap hewan yang akan digunakan. Temperatur
ini digunakan sebagai dasar penentuan setiap kenaikan temperature yang
ditimbulakan akibat dari penyuntikan larutan yang akan diuji.

Kelinci-kelinci yang digunakan temperaturnya tidak boleh berbeda lebih dari 1°C,
satu dengan yang lainnya, dan temperatur tubuh tersebut diperkirakan tidak akan
meningkat.
Suntikkan produk yang akan diuji pada vena telinga setiap kelinci sebanyak 10 ml
per kg berat badan, selesaikan tiap suntikan dalam waktu 10 menit dihitung dari
awal pemberian. Catat temperature pada 1,2, dan 3 jam sesudah penyuntikan. Bila
masing-masing kelinci tidak ada ynag temperaturnya meningkat 0,6°C atau lebih
dari temperatur control masing-masing, dan jika hasil penjumlahan kenaikan
temperatur dari 3 kelinci tidak lebih dari 1,4°C. Maka zat yang diuji memenuhi
persyaratan bebas pirogen. Jika kelinci-kelinci menunjukkan kenaikan temperature
0,6°C atau lebih atau hasil penjumlahan kenaikan temperature 3 kelinci lebih dari
1,4°C, ulangi dengan menggunakan 5 kelinci lain. Jika tidak lebih dari 3 dari 8
kelinci, masing-masing menunjukkan kenaikan temperature 0,6°C atau lebih dan
jumlah kenaikan temperature 8 kelinci tidak lebih dari 3,7°C, maka larutan
memenuhi persyaratan bebas pirogen.

2. Uji LAL (Limulus Amebocyte Lysate)


Uji LAL adalah metode spesifik untuk bakteri endotoksin, hanya untuk pirogen yang
signifikan pada kebanyakan pabrik farmasetikal dan peralatan medis. Test didasarkan pada
mekanisme primitif penggumpalan darah dari kepiting seperti Kuda Amerika
(Limulus polyphemus). Berberapa enzim diletakkan pada sel darah amoeba kepiting yang
dipicuh oleh endotoksin perpanjangan koagulasi enzimatik yang di akhiri dengan produksi di
gel protenose.

Test harus dihindarkan dari kontaminasi antimikroba sebelum dihindarkan, test ini penting
untuk memastikan bahwa tidak ada factor campuran dalam sediaan, peralatan tidak menyerap
endotoksin (seperti pada beberapa plastic) dan sensitifitas dari lisat diketahui.

Reagen test LAL disediakan dengan lyopilisasi sel di mubasit limulus. Volume setara reagen
LAL dan larutan test (0,1 mikron per masing-masing)dicampurkan dalam gelas tube test
elipirogenasi. Tube diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam, setelah test wadah dibaca.
Tube diambil dari incubator dan diubah. Bekuan oleh yang rusak mengandung energy
padatan merupakan faktor dari test positif. Ketika digunakan pada bagian ini bekuan gel uji
awalnya, melewati test kegagalan dibatasi dan reagen sensitive LAL.

56 Pelaksanaan penyiapan pengujian (sterilisasi, teknik aseptik, penanganan media/reagen,


contoh uji dan baku mikroba)

Sterilisasi didefinisikan sebagai upaya untuk membunuh mikroorganisme termasuk dalam


bentuk spora. Desinfeksi merupakan proses untuk merusak organisme yang bersifat patogen,
namun tidak dapat mengeliminasi dalam bentuk spora (Tille, 2017).

Sterilisasi dapat dilakukan baik dengan metode fisika maupun kimia (Tille, 2017).
a. Sterilisasi dengan metode fisika dapat dilakukan dengan cara:
1) Pemanasan

Pemanasan kering
- Pemijaran
Metode ini dengan memanaskan alat biasanya berupa ose di atas api bunsen
sampai ujung ose memijar.
- Pembakaran
Pembakaran dilakukan untuk alat-alat dari bahan logam atau kaca dengan cara dilewatkan
di atas api bunsen namun tidak sampai memijar. Misalkan: a) melewatkan mulut tabung
yang berisi kultur bakteri di atas api Bunsen; b) memanaskan kaca objek di atas api
busnen sebelum digunakan; c) memanaskan pinset sebelum digunakan untuk meletakkan
disk antibiotic pada cawan petri yang telah ditanam bakteri untuk pemeriksaan uji
kepekaan antibiotik.
- Hot air oven
Sterilisasi dengan metode ini digunakan untuk benda-benda dari kaca/gelas, petri, tabung
Erlenmeyer, tidak boleh bahan yang terbuat dari karet atau plastic. Oven Suhu 160-1800C
selama 1.5-3 jam. Alat-alat tersebut terlebih dahulu dibungkus menggunakan kertas
sebelum dilakukan sterilisasi.
- Insinerator
Bahan-bahan infeksius seperti jarum bekas suntikan yang ditampung dalam safety box
biohazard, darah, dilakukan sterilisasi dengan menggunakan insinerator. Hasil
pemanasan dengan suhu 8700-9800 C akan menghasilkan polutan berupa asap atau debu.
Hal ini yang menjadi kelemahan dari sterilisasi dengan metode insenerasi. Namun,
metode ini dapat meyakinkan bahwa bahan infeksius dapat dieliminasi dengan baik yang
tidak dapat dilakukan dengan metode lainnya.
Pemanasan basah
Merupakan pemanasan dengan tekanan tinggi, contohnya adalah dengan menggunakan autoklav.
Sterilisasi dengan metode ini dapat digunakan untuk sterilisasi biohazard (bakteri limbah hasil
praktikum) dan alat-alat yang tahan terhadap panas (bluetip, mikropipet), pembuatan media, dan
sterilisasi cairan. Pemanasan yang digunakan pada suhu 1210C selama 15 menit (Tille, 2017).
Pemanasan basah dapat menggunakan:
- Autoklaf manual
Metode ini menggunakan ketinggiian air harus tetap tersedia di dalam autoklaf. Sterilisasi
menggunakan autoklaf manual tidak dapat ditinggal dalam waktu lama. Autoklaf manual
setelah suhu mencapai 1210C setelah 15 menit, jika tidak dimatikan maka suhu akan terus
naik, air dapat habis, dan dapat meledak.
- Autoklaf digital/otomatis
Alat ini dapat diatur dengan suhu mencapai 1210C selama 15 menit. Setelah suhu
tercapai, maka suhu akan otomastis turun sampai mencapai 500C dan tetap stabil pada
suhu tersebut. Jika digunakan untuk sterilisasi media, suhu ini sesuai karena untuk
emmbuat media diperlukan suhu 50-700 C.
2) Radiasi
Radiasi ionisasi digunakan untuk mensterilkan alat-alat berupa bahan plastic seperti kateter,
plastic spuit injeksi, atau sarung tangan sebelum digunakan. Contoh radiasi ionisasi adalah
metode pada penggunaan microwave yaitu dengan menggunakan panjang gelombang pendek
dan sinar gamma high energy.
3) Filtrasi (penyaringan)
Metode ini digunakan untuk sterilisasi bahan-bahan yang sensitive terhadap panas seperti
radioisotope, kimia toksik.
- Filtarsi berupa cairan dengan menggunakan prinsip melewatkan larutan pada membran selulosa
asetat atau selulosa nitrat.
- Filtarsi berupa udara dengan menggunakan high-efficiency particulate air (HEPA) untuk menyaring
organisme dengan ukuran lebih besar dari 0.3 µm dari ruang biology savety cabinet (BSCs)

b. Sterilisasi dengan metode kimiawi

- Uap formaldehide atau hydrogen peroksida digunakan untuk sterilisasi filter HEPA pada BSCs.

- Glutaraldehyde bersifat sporisidal, yaitu membunuh spora bakteri dalam waktu 3-10 jam pada
peralatan medis karena tidak merusak lensa, karet, dan logam, contohnya adalah alat untuk
bronkoskopi.

JENIS DESINFEKSI DAN FUNGSINYA


1. Desinfeksi dengan metode fisika dilakukan dengan 3 cara yaitu:
- Merebus pada suhu 1000 C selama 15 menit dapat membunuh bakteri vegetative.
- Pasteurisasi pada suhu 630C selama 30 menit atau 720C selama 15 detik yang
berfungsi membunuh patogen pada makanan namun tidak mengurangi nutrisi dan
rasa dari makanan tersebut.
- Menggunakan radiasi non-ionisasi seperti ultraviolet (UV). Sinar ultraviolet
memiliki panjang gelombang yang panjang dengan low energy. Contohnya adalah
untuk membunuh bakteri yang ada di permukaan BSCs. Sehingga, sebelum
menggunakan BSCs, sinar UV harus dinyalakan terlebih dahulu yaitu kurang
lebih 30 menit sebelum penggunaan.
2. Desinfeksi dengan metode kimiawi
Desinfeksi dengan metode kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakandesinfektan.
Bahan yang termasuk dalam desinfektan yaitu:
 Etil alcohol 70% lebih efektif dibandingkan dengan etil alcohol
95%, hal ini dikarenakan kemampuan air (H2O) dalam
menghidrolisis ikatan protein dari mikroorganisme. Sehingga,
proses membunuh mikroorganisme menjadi lebih efektif.
 Aldehid yang berupa glutraldehid dan formaldehid memiliki
kemampuan iritasi yang besar sehingga tidak digunakan sebagai
antiseptic.
 Halogen, seperti chlorin dan iodine merupakan desinfektan
yang seringali digunakan. Persiapan sebelum dilakukan operasi
seringkali menggunakan kombinasi etil alcohol 70% diikuti
dengan povidon-iodine.
 Logam berat, contohnya adalah air raksa. Karena logam ini
sangat berbahaya bagi lingkungan, maka penggunaannya sebagai
desinfektan tidak direkomendasikan. Namun dalam keadaan
konsentrasi sangat rendah misalkan silver nitrat 1%, masih efektif
digunakan dalam pengobatan konjungtivitis neonatorum
karena Neisseria gonorrhoeae.

Desinfektan yang digunakan pada kulit disebut sebagai antiseptik. Antiseptik didefinisikan
sebagai bahan yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang menempel pada
jaringan hidup, contohnya adalah kulit. Mekanisme kerja dari antiseptic sebagian besar
adalah menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme (bakteriostatik) namun dapat juga
membunuh bakteri (bakterisidal).
Referensi
Tille, P. M. (2017). Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology. In Basic Medical
Microbiology (fourteenth, p. 45). St. Louis Missouri: Elsevier.

Dalam fasilitas pembuatan obat, terutama di ruangan produksi farmasi diwajibkan


adanya uji mikroba atau sampling udara. Uji mikroba pada udara ini wajib
secara CPOB 2018. Batas mikroba ini merupakan salah satu syarat kelas kebersihan
ruangan farmasi.

Uji mikroba pada udara ini merupakan hal yang sangat utama dalam proses
pembuatan produk steril yang dilakukan di ruang kelas kebersihan steril (A,B,C,D). Ini
dilakukan untuk memastikan ruangan produksi bebas atau terkontrol mikroba yang
sangat berisiko kontaminasi pada produk steril.

Ketika batch produk steril diproduksi di area yang dikendalikan, harus memenuhi
kriteria sterilitas tertentu untuk diluluskan. Bahan baku dan produk jadi memerlukan
pengambilan sampel dan harus steril. Selain itu, lingkungan dan orang-orang yang
bekerja di dalamnya harus memenuhi standar yang dipersyaratkan untuk kawasan
yang dikuasai. Pemantauan lingkungan ini adalah dasar dari pelulusan batch
product. Jadi bila hasil ruangan tidak masuk syarat maka produk steril tidak dapat
dirilis walaupun produk akhir diuji bebas mikroba.

Batas Mikroba dalam Ruangan Produksi Farmasi

Batas mikroba yang disarankan untuk pemantauan area bersih selama


kegiatan berlangsung sesuai CPOB 2018 sebagai berikut :

Batas mikroba ruangan produksi farmais


Catatan: (*) Nilai rata-rata
(**) Cawan papar dapat dipaparkan kurang dari 4 jam

Kita tahu bahwa sumber kontaminasi utama mikroba dalam ruangan adalah personil atau orang
yang bekerja. Faktanya orang, bahan baku dan iar adalah beberapa sumber kontaminasi mikroba.
Untuk mengetahui jumlah mikroba dalam ruangan maka dilakukan uji mikroba pada udara
ruangan. Uji mikroba ini dilakukan dengan rutin dalam program monitoring yang dilakukan oleh
Quality Control (QC).

Uji Mikroba Ruangan

Uji mikroba ruangan ini disebut juga sampling udara (air sampling). Sampling udara mikroba
adalah kegiatan mengambil sampel udara pada ruangan produksi farmasi untuk kemudian diuji
mikroba seperti jamur, bakteri dan spora. Jumlah mikroba ini disebtu juga bioburden pada udara
dan merupakan salah satu parameter dalam pemantauan kebersihan udara ruangan produksi
farmasi.

Metode Sampling Udara Mikroba

Terdapat 2 metode sampling udara untuk menentukan jumlah mikroba yaitu :

 Sampling udara Aktif (Active air sampling/ monitoring)


 Sampling Udara Pasif (Passive air sampling/ monitoring)
berikut perbedaan antara keduanya

Sampling udara Aktif

Metode ini digunakan untuk memonitor rutin pada ruangan bersih produksi farmasi. Sampling ini
menggunakan air sampler yang akan menyedot udara pada ruangan kemudian akan dilewatkan
pada cawan (petri dish) yang berisi media pertumbuhan mikroba. Cawan kemudian diambil
kemudian diinkubasi di laboratorium mikrobiologi untuk kemudian dihitung jumlah cemaran
mikrobanya.

Keuntungan sampling udara aktif

 Dapat melakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif pada sampel


 Dapat cepat menghasilkan hasil karena menggunakan air sampler
sampling dilakukan lebih cepat. Sampling hanya membutuhkan sekitar 10
menit sedangkan metode pasif bisa sampai 4 jam
 Metode yang ideal dalam memonitoring ruangan yang cenderung jumlah
mikrobanya sedikit
Kerugian sampling udara aktif

 Membutuhkan alat yang mahal, harga air sampler bisa sampai ratusan juta
rupiah
 Biaya maintenance alat juga relatif mahal
 Biaya spare part mahal
 Dibutuhkan pelatihan khusus dalam pengoperasian air sampler
Sampling Udara Pasif

Sampling udara pasif adalah sampling menggunakan cawan papar yang diletakkan pada ruangan
produksi. Cawan diletakkan pada posisi dimana merupakan “worst case”. Posisi dimana
kemungkinan mikroba paling banyak ada. Misalnya pada pojokan ruangan produksi dimana
kemungkinan area tersebut paling kotor.

Cawan papar diletakkan pada area produksi selama beberapa jam dan berharap mikroba jatuh
pada cawan papar tersebut. Oleh karena itu disebut dengan metode pasif.

Menurut CPOB 2018 cawan papar diameter 90 mm didiamkan selama 4 jam. Batas mikroba
untuk :

 kelas A adalah < 1 (berarti harus nol) cfu/ml


 Kelas B adalah maksimal 5 cfu/ml
 Kelas C adalah maksimal 50 cfu/ml
 Kelas D adalah maksimal 100 cfu/ml
 Cawan kontak diameter 55 mm juga dapat digunakan, di CPOB tidak menyebutkan
berapa lama kontak dilakukan. batas mikrobanya sebagai berikut :
  kelas A adalah < 1 (berarti harus nol) cfu/ml
  Kelas B adalah maksimal 5 cfu/ml
  Kelas C adalah maksimal 25 cfu/ml
  Kelas D adalah maksimal50 cfu/ml
 Untuk kelas E dapat ditentukan sendiri oleh industri farmasi berdasarkan kajian risiko.
Agar lebih aman dapat juga digunakan batas mikroba untuk kelas D. Kelas kebersihan F
dan G tidak perlu dilakukan pemantauan mikroba, kecuali dinyatakan lain.

Cawan papar kemudian diambil dan diinkubasi ke laboratorium mikrobiologi untuk dihitung
jumlah mikrobanya.

Keuntungan Sampling udara pasif

 Relatif lebih murah karena menggunakan alat yang sederhana


 Tidak membutuhkan banyak alat
 Tidak perlu pengoperasian alat khusus
 Pelatihan pengujian mudah
Metode sampling udara aktif maupun pasif mempunyai keuntungan kerugian sendiri-sendiri.
Industri farmasi sendiri dapat memilih salah satu metode diatas. Akan tetapi keduanya wajib
dilaksanakan oleh industri farmasi untuk salah satu syarat kebersihan ruangan farmasi.
Seperti yang saya sebutkan di atas dalam pengambilan sampel udara aktif, kami menentukan
bioburden di area 1 meter kubik dan kami mengambil sampel 1000 liter udara dengan sampel
udara sementara dalam pengambilan sampel udara pasif kami menentukan bahwa berapa
banyak mikroba yang mengendap di permukaan berdiameter 90 mm dari setiap peralatan yang
terpapar di area terkontrol .

57 Prinsip pengujian kualitatif/kuantitatif Mikroba Spesifik

Uji mikrobiologis adalah salah satu pengujian yang menggunakan perubahan sifat mikroba terhadap
lingkungan sebagai tolak ukurnya. Pengujian ini dilakukan karena pada umumnya makanan dan
minuman dibuat oleh industri secara besar-besaran. Sediaan ini memakan waktu yang cukup lama,
baik dalam penyimpanan maupun dalam peredarannya. Sehingga dengan demikian akan dapat
memberikan kemungkinan timbulnya beberapa mikroba tertentu di dalamnya.

Uji mikrobiologis terbagi menjadi 2, yaitu uji kualitatif dan uji kuantitatif.

Uji kualitatif dimaksudkan untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang ada di dalam sediaan
tersebut, sedangkan uji kuantitatif dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah mikroorganisme yang
terdapat dalam sediaan tersebut.

Menurut Sudian (2008:5) metode-metode yang digunakan untuk pengujian mikrobiologi pangan
yang ditentukan oleh persyaratan yang diacu adalah sebagai berikut:

1. Metode Kuantitatif (Enumerasi) Pengujian secara kuantitaif yaitu menggunakan


penghitungan jumlah mikroorganisme dan interpretasi hasil berupa koloni per ml/g atau
koloni per 100 ml. Metode ini digunakan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang
ada pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan angka lempeng total atau total plate
count (ALT/TPC) dan Angka Paling Mungkin atau most probable number (APM/MPN). Uji
angka lempeng total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob mesofil
menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati secara
visual dan dihitung, intepretasi hasil berupa angka dalam koloni (cfu) per ml/g atau
koloni/100ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang, cara tetes, dan cara
sebar. Angka paling mungkin (MPN) menggunakan media cair dengan tiga replikasi dan hasil
akhir berupa kekeruhan atau perubahan warna dan atau pembentukan gas yang juga dapat
diamati secara visual, dan interpretasi hasil dengan merujuk kepada tabel MPN. Dikenal 2
cara yaitu metode 3 tabung dan metode 5 tabung. Metode kuantitatif dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu 11 homogenisasi sampel, tahap pengenceran, tahap pencampuran
dengan media (padat/cair), tahap inkubasi dan pengamatan, dilanjutkan dengan interpretasi
hasil.

Tujuan Uji kuantitatif :


3. Untuk mengetahui mutu bahan pangan.
4. Menghitung proses pengawetan yang akan diterapkan pada bahan pangan tersebut.

Perhitungan Jumlah sel terbagi menjadi 3 yaitu :

1. Hitungan Mikroskopik
2. Hitungan Cawan
3. MPN
Metode Most Probable Number (MPN) menggunakan 3 tabung

Prinsip
Pertumbuhan bakteri Coliform, Escherichia coli dan Salmonella yang ditandai dengan
terbentuknya gas dalam tabung durham, setelah sampel diinkubasikan dalam perbenihan
yang cocok pada suhu 36±1 °C selama 24-48 jam dan selanjutnya dirujuk kepada table
MPN

Cara menghitung dan menyatakan hasil analisis

Catat jumlah tabung yang positif pada uji penegasan dan nyatakan hasilnya dengan Angka
Paling Mungkin per milliliter (APM/ml) untuk sampel cair atau Angka Paling Mungkin per
gram (APM/g) untuk sampel padat dengan merujuk pada tabel MPN.

Metode Most Probable Number (MPN) menggunakan 5 tabung

Prinsip
Pertumbuhan bakteri Azospirillum sp yang ditandai dengan terbentuknya pelikel putih
berbentuk cincin pada permukaan media, setelah contoh diinkubasikan dalam perbenihan
yang cocok selama 5-7 hari dan selanjutnya dirujuk kepada table MPN

Cara menghitung dan menyatakan hasil analisis

Catat jumlah tabung yang positif dan nyatakan hasilnya dengan Angka Paling Mungkin per
milliliter (APM/ml) untuk sampel cair atau Angka Paling Mungkin per gram (APM/g) untuk
sampel padat dengan merujuk pada tabel MPN.

Source: Handbook Of Microbiology Analysis

2. Metode Kualitatif (Pengkayaan) Pengujian secara kualitatif dengan metode pengkayaan


(enrichment) yaitu isolasi, identifikasi mikroorganisme, dan interpretasi hasil berupa negatif
per 25 gram atau per 100 gram/ml. Identifikasi mikroorganisme pathogen dapat dilakukan
dengan cara konvensional maupun dengan pengujian cepat (rapid test). Pada metode
kualitatif dilakukan perbanyakan terlebih dahulu dari sel mikroorganisme yang umumnya
dalam jumlah yang sangat sedikit dan bahkan kadang-kadang dalam kondisi lemah. Metode
kualitatif dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pengkayaan, tahap isolasi pada media
selektif, tahap identifikasi dengan reaksi biokimia, dan dilanjutkan dengan analisa antigenik
atau serologi atau immunologi dan bila diperlukan dapat juga dilakukan identifikasi DNA
bakteri dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).

Metode Kualitatif
Untuk mengetahui bakteri patogen (positif atau negatif)/Salmonella, E Coli, Clostridium
Botulinum, Listeria dll.
Contoh Pengujian Uji Kualitatif Coliform :
Bentuk batang pendek, gram negatif, tidak membentuk spora, dpt memfermentasi laktosa &
menghasilkan gas pd suhu 32 C selama 48 jam
1. Uji Penduga
Dikatakan + jika terbentuk asam ditinjau dari kekeruhan pada media laktosa dan gas
yang dihasilkan (dilihat dari gas yang terbentuk di tabung durham 10 %)
2. Uji Penguat
Dikatakan + jika ditanamkan dalam media EMBA secara aseptik (koloni bakteri e coli
tumbuh berwarna merah kehijauan).

1. Pedoman penyusunan metodologi riset, metodologi kualitatif, dan metodologi kuantitatif


2. Teknik penyusunan materi/produk KIE yang efektif
3. Strategi komunikasi, informasi, dan edukasi
4. Layanan pengaduan dan informasi
5. Konsep pengawasan obat dan makanan
6. Dasar hukum penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang obat dan makanan,
jenis dan
7. hierarki peraturan perundang-undangan
8. Pengertian, pemahaman kalibrasi dan istilah-istilah terkait (pengukuran, adjusment, tera dan

ketertelusuran pengukuran) serta aplikasi hasil kalibrasi dan persyaratan sesuai standar acuan

(ISO/IEC 17025:2017)

9. Prinsip pengujian sampel secara reaksi antigen antibodi


(aglutinasi/flokulasi/ELISA/omunodifusi/endotoksin bakteri/imunokromatografi/lainnya)
10. Prinsip pengujian identifikasi Mikroba Patogen atau DNA Spesifik-Sepesies menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR)/Loop Mediated Isothermal Amplifiation (LAMP); atau
Screening Produk Rekayasa Genetika menggunakan PCR
11. Pengawasan sarana pelayanan kefarmasian
12. Pedoman Cara Peredaran Pangan Olahan yang Baik (CPerPOB)
13. Prinsip-prinsip Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat Tradisional yang Baik
14. Regulasi terkait sampling dan pengujian pangan
15. Regulasi dan pedoman sampling obat
16. Regulasi dan pedoman tindak lanjut obat tradisional dan suplemen makanan
17. Regulasi dan pedoman sampling kosmetika
18. Regulasi pengawasan iklan dan/atau promosi obat
19. Regulasi pengawasan iklan dan/atau promosi produk tembakau
20. Regulasi pengawasan iklan dan/atau promosi pangan olahan
21. Regulasi pengawasan iklan dan/atau promosi kosmetika
22. Regulasi pengawasan iklan dan/atau promosi obat tradisional dan suplemen kesehatan
23. Regulasi pengawasan penandaan dan/atau promosi obat
24. Regulasi pengawasan penandaan dan/atau promosi produk tembakau
25. Regulasi terkait penandaan/label pangan olahan
26. Regulasi pengawasan penandaan dan/atau promosi kosmetika
27. Regulasi pengawasan penandaan dan/atau promosi obat tradisional dan suplemen
kesehatan
28. Regulasi pengawasan pemasukan dan pengeluaran obat dan makanan
29. Regulasi pengawasan pemasukan dan pengeluaran narkotika, psikotropika, dan prekursor
30. Regulasi pengawasan pemasukan dan pengeluaran obat tradisional dan suplemen kesehatan
31. Regulasi pengawasan pemasukan dan pengeluaran kosmetik
32. Regulasi pengawasan pemasukan dan pengeluaran pangan
33. Komunikasi risiko bidang obat dan makanan
34. Kejadian terkait bahaya dan/atau risiko di bidang Obat dan Makanan
35. Sistem informasi dan teknologi di lingkungan BPOM
36. Peraturan Perundang-undangan di bidang pengawasan umum
37. Penilaian registrasi pangan olahan tingkat dasar
38. Regulasi dalam pengawasan sarana produksi (Obat, PB, dan NAPZA)
39. Regulasi dalam pengawasan sarana produksi Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan
40. Regulasi dalam pengawasan sarana produksi dan distribusi kosmetik
41. Regulasi dalam pengawasan sarana produksi dan distribusi pangan
42. Prinsip-prinsip CPOB
43. Prinsip-prinsip CPKB dan CPKB untuk golongan B
44. Prinsip-prinsip CPPOB (konsep dasar kemanan pangan dan higiene sanitasi pangan dan
prinsip-prinisp CPPB IRTP
45. Regulasi dalam pengawasan sarana distribusi dan pelayanan Obat (Obat dan NAPZA)
46. Regulasi dalam pengawasan sarana distribusi Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan
47. Kasus/kejadian pelanggaran hukum di bidang obat dan makanan

Anda mungkin juga menyukai