Anda di halaman 1dari 6

DISKRIMINASI PEREMPUAN DI DUNIA KERJA

Oleh : Jessica Tosya Boseke (20.0802.0011)

ABSTRAK
Dalam lingkungan pekerjaan, diskriminasi gender adalah hal yang masih sangat lumrah
terjadi, terutama terhadap perempuan. Diskriminasi gender berasal dari kata diskriminasi,
yang memiliki arti pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara, serta gender
yang memiliki definisi pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah lama menjadi isu yang mengakar di
Indonesia, terutama dikarenakan adanya budaya patriarki yang memposisikan perempuan
sebagai "warga kelas dua" yang sepatutnya berada di bawah laki-laki dan tidak berhak
mendapatkan ruang lebih untuk bergerak, terutama dalam lingkungan kerja. Sering kali,
kaum perempuan dipandang sebelah mata karena dianggap bahwa kapabilitas yang
dimiliki tidak akan sebaik kapabilitas yang dimiliki laki-laki.

Gender digunakan para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan yang terdapat
pada perempuan dan laki-laki sebagai anugerah Tuhan yang juga merupakan budaya yang
telah terinternalisasi sejak kecil (Puspitawati, 2012). Perbedaan ini juga merupakan sesuatu
yang biologis, seperti dari alat dan fungsi reproduksi perempuan dan laki-laki. Walau
demikian, perbedaan biologis ini bertransformasi menjadi sebuah indikator perempuan dan
laki-laki, berperilaku akibat pengaruh budaya patriarki (Puspitawati,2012). Ujung tombaknya
terlihat pada pembatasan hak, akses, partisipasi dan kontrol yang membentuk tuntutan peran,
tugas, kedudukan dan kewajiban kaum perempuan (Puspitawati, 2012).
Gender merupakan pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Peran gender terbagi menjadi tiga, yaitu peran produktif, peran
reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Kata gender diartikan sebagai peran yang
dibentuk oleh masyarakat, perilaku yang tertanam melalui proses sosialisasi yang berhubungan
dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara kaum
perempuan dan laki-laki, namun kebudayaan mengartikan perbedaan biologis ini menjadi
seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-
hak, sumber daya, dan kekuasaan. Tuntutan ini bervariasi di setiap lapisan masyarakat, tetapi
terdapat beberapa kemiripan yang cukup mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok
masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada kaum perempuan, sedangkan
tugas kemiliteran diberikan pada kaum lelaki. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender
adalah sebuah kategori sosial yang menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam
masyarakat dan ekonominya. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras
atau etnis, tetapi masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender dalam bentuk
kesenjangan dan perbedaan di dalam tingkatan yang berbeda. Dibutuhkan waktu yang cukup
lama untuk mengubah ketidakadilan yang terjadi.
Perkembangan ekonomi meningkatkan kesempatan kerja, tetapi tidak dengan
mengurangi masalah ketimpangan gender. Ketidakadilan terjadi akibat adanya akses, partisipasi
dan kontrol yang diberikan tidak seimbang bagi kaum perempuan dalam mencapai sumber daya
(Moser, 1993). Pembagian peran tidak menjadi masalah yang serius selama perempuan dan
laki-laki mendapat perilaku yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Permasalahan
kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan masih banyak diperbincangkan di berbagai
negara, salah satunya di Indonesia. Walau berbagai perlindungan telah diupayakan melalui
hukum internasional maupun nasional namun latar belakang budaya di suatu negara akan
berperan penting dalam bidang ketenagakerjaan.
Ketimpangan gender dalam bidang ketenagakerjaan masih menjadi isu dan permasalahan yang
sering terjadi. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam penggunaan waktu di rumah,
perbedaan tingkat pendidikan dan keterampilan, pembatasan sosial-budaya, segregasi sektoral
dan pekerjaan, migrasi laki-laki, dan akses ke input produktif, semua masih mengarah pada
ketimpangan gender didalam partisipasi pekerjaan yang layak (Mehrotra & Sinha, 2017).
Diskriminasi gender masih terjadi di seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Hal ini
adalah fakta, meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender. Sifat dan
tingkat diskriminasi gender sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu
wilayah pun di negara dunia ketika perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak
hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber
daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik masih banyak terjadi di mana-mana.
Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang
terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua pihak. Di Indonesia sendiri
masih banyak dijumpai adanya diskriminasi, ketidakadilan, dan kekerasan di tempat kerja
terhadap perempuan. Kondisi inilah yang menghambat peningkatan peran dan partisipasi kaum
perempuan dalam ekonomi dan ketenagakerjaan, sehingga kesenjangan gender dalam ekonomi
dan ketenagakerjaan sampai saat ini masih cukup besar. Ketidakadilan pada kaum perempuan
yang terjadi dalam tempat kerja di antaranya adalah penerimaan pekerjaan, kesempatan
mengikuti pelatihan dan promosi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, perbedaan dalam
usia pensiun, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja perempuan yang telah
menikah. Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah
dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan untuk dapat diperlakukan sama dengan kaum laki-laki. Walau kekuasaan tertinggi
di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan
telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan yang cukup strategis dalam
pemerintahan, masih kerap ditemui kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini
merupakan tantangan yang berat bagi kaum perempuan dan pemerintah.
Peraturan Perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi
perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2
Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Terdapat pula di Inpres Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah
dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.
Masih kerap terjadi ketimpangan gender di Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan
dapat ditunjukkan dengan lebih rendahnya akses perempuan terhadap pasar kerja
dibandingkan dengan laki-laki dan kecenderungan perempuan bekerja mendapatkan upah
yang lebih kecil dari pekerja laki-laki (Ari, 2017). Distribusi Persentase Pekerja Perempuan
Menurut Jenis Pekerjaan (2021) Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021
sebanyak 39,52% atau 51,79 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah kaum
perempuan. Angka tersebut bertambah menjadi 1,09 juta orang dari tahun sebelumnya yang
sebanyak 50,7 juta orang.

Bentuk diskriminasi perempuan dalam dunia kerja

Di Indonesia, masih tertanam budaya melihat kaum laki-laki lebih berwenang daripada
kaum perempuan. Hal ini tentunya masih kerap terjadi hingga sekarang. Segelintir masyarakat
masih menganut persepsi seksisme tersebut sehingga timbul berbagai macam bentuk
pembatasan dan diskriminasi pada kaum perempuan
di berbagai bidang maupun aktivitas. Adanya pengkotak-kotakan sektor yang disebut domestik
dan publik membuat ruang gerak kaum perempuan menjadi terbatas ketika ingin berada di
taraf yang setara dengan laki-laki di ruang publik. Diskriminasi pada perempuan dalam dunia
kerja disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah karena adanya dominasi laki- laki
yang membuat kaum perempuan menjadi kelompok yang terbungkam. Dominasi juga
menyebabkan beberapa laki-laki berlaku sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap
perempuan, dengan adanya kesewenangan atau perlakuan diskriminatif yang diberikan kepada
kaum perempuan, menjadikan sebagian besar kaum perempuan melindungi diri mereka,
sebagai langkah preventif, diantaranya dengan menolak tindakan diskriminatif dengan
menghindar dan membatasi hubungan seperlunya saja dengan rekan kerja laki- laki.
Berikut adalah beberapa isu yang masih sering muncul mengenai diskriminasi gender,
yang masih menghantui kaum perempuan di tempat kerja. Laki-laki dianggap lebih tangguh
dan bertanggung jawab melakukan pekerjaan di luar rumah dan perempuan bertanggung jawab
untuk tugas-tugas di rumah. Faktor kedua adalah dominasi laki-laki yang menghambat ekspresi
bebas dari perempuan. Mengambil contoh yaitu diri saya sendiri pernah mengalami hal ini.
Seseorang berkata kepada saya bahwa kuliah itu tidak penting karena nantinya saya hanya akan
menjadi ibu rumah tangga. Lebih baik suami saya nanti yang berkerja karena kodratnya wanita
yaitu dirumah, mengurus suami, anak dan tugas tugas di rumah. Apakah hal seperti ini pantas?
Hingga saat ini masih banyak ditemui perempuan yang cenderung lebih memilih untuk
bungkam ketika mendapatkan hal yang kurang membuatnya nyaman. Ketika bekerja dalam
wilayah yang didominasi oleh laki-laki, kebebasan berekspresi mungkin tidak bisa didapatkan
oleh kaum perempuan. Hanya beberapa diantara mereka yang mampu menyesuaikan diri dan
dapat dengan bebas berekspresi, akan tetapi beberapa diantara mereka tidak dapat bebas
berekspresi. Dalam lingkup yang dominasi laki-laki, sebagian perempuan pernah mendapatkan
perlakuan diskriminatif seperti pada kasus pada 2019 lalu. Kasus buruh perempuan perusahaan
aice, yang tidak mendapat izin pemindahan divisi kerja karena penyakit endometriosisnya.
Elitha Tri Novianty, perempuan berusia 25 tahun yang berusaha mengajukan pemindahan
divisi kerja karena memiliki penyakit endometriosis. Alih-alih mendapat izin pemindahan
divisi kerja, perusahaan justru mengancam akan menghentikannya dari pekerjaan. Keadaan
Elitha yang terdesak membuatnya tidak punya pilihan lain selain terus bekerja.
Akhirnya, dia pun mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaannya yang
berlebihan. Elitha terpaksa melakukan operasi kuret pada Februari lalu, yang berarti
jaringan dari dalam rahimnya diangkat. Elitha hanya satu dari banyak buruh perempuan
yang hak-haknya terabaikan oleh Aice.
Kasus diskriminasi lainnya, diceritakan oleh Luviana, seorang mantan reporter dari stasiun
televisi swasta juga mengalami diskriminasi berbasis gender dalam industri media. Presenter
wanita sangat dibatasi dalam makan. Bahkan ada seorang presenter yang sehari hanya
diperbolehkan makan selembar roti tawar agar tidak mengalami kenaikan berat badan. Hal lain
diceritakan oleh seorang guru, Retno Listyarty, yang memberikan pernyataan bahwa sangat
sulit bagi seorang guru perempuan untuk menjadi pemimpin di sekolah. Secara umum,
permasalahan gender dalam sektor pekerjaan di latar belakangi oleh adanya keyakinan gender
yang keliru di sebagian masyarakat. Peran gender sebagai bentuk ketentuan sosial diyakini
sebagai sebuah kodrat sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan hal ini sangat merugikan
posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosial baik dalam pendidikan, sosial budaya,
politik maupun ekonomi. Di sektor pekerjaan, perempuan tidak dianggap sebagai pencari
nafkah utama keluarga, maka jika dia bekerja dianggap hanya sebagai pencari tambahan belaka.
Oleh karena itu, mereka menganggap perempuan yang bekerja boleh saja diberi gaji yang lebih
rendah dibanding lelaki pada posisi yang sama, karena lelaki adalah kepala rumah tangga dan
pencari nafkah utama
keluarga. Kaum perempuan juga mengalami marginalisasi. Marginalisasi secara umum
diartikan sebagai proses penyingkiran perempuan dalam sektor pekerjaan. Proses marginalisasi
terhadap kaum perempuan dapat kita lihat dari program pemerintah orde baru yang
menyebabkan kaum perempuan terpinggirkan ke tempat semula akibat diterapkannya teknologi
canggih, misalnya, mengganti tenaga bagian linting rokok, pengepakan dan proses produksi
dalam suatu perusahaan dengan mesin-mesin yang lebih praktis dan ekonomis, pekerja di
bidang ini yang mayoritas ditekuni oleh perempuan memupus harapan mereka untuk tetap
dapat bekerja dalam rangka mengangkat derajat ekonomi keluarga. Marginalisasi perempuan
tidak hanya terjadi di sektor pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah tangga,
masyarakat, kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi
didalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan
perempuan. Stereotipe dapat diartikan sebagai pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu. Banyaknya ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya
perempuan, yang bersumber dari stereotipe yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan
yang berawal dari asumsi bila kaum perempuan berias wajah hanya untuk memancing
perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan,
masyarakat cenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa
perempuan memakai sesuatu yang memancing lelaki, sehingga kaum lelaki terpancing untuk
melakukan pemerkosaan. Hal lain terjadi pada diskriminasi upah secara eksplisit maupun
implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Laki-laki dianggap
sebagai pencari nafkah utama, lalu perempuan hanya dinilai sebagai suplemen, karena itu
perempuan dalam sistem penggajian atau upah boleh dibayar lebih rendah dari laki-laki.

Kesimpulan

Kesenjangan gender khususnya di sektor ketenagakerjaan masih terjadi, baik di negara


maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia. Terjadinya kesenjangan gender di
dunia kerja dapat dipengaruhi oleh institusi pemberi kerja maupun karena terpengaruh akan
sosial budaya. Kesenjangan gender yang dipengaruhi oleh institusi terjadi karena masih ada
anggapan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang dimiliki oleh kaum perempuan
lebih rendah dari kaum laki-laki, eksklusivitas pekerjaan tertentu yang dianggap kurang layak
dimasuki oleh pekerja perempuan, serta stigma yang masih sering melekat bahwa kaum
perempuan dianggap kurang produktif dibandingkan laki-laki. Sebagian lingkup
ketenagakerjaan saat ini masih berada dalam lingkup dominasi laki- laki, seperti halnya posisi
yang penting masih dikuasai laki- laki. Adanya dominasi laki-laki memunculkan terjadinya
diskriminasi terhadap perempuan, diantaranya adalah inferioritas, subordinasi, marginalisasi,
stereotipe dan sexual harassment.
Dengan adanya dominasi dan kuasa laki-laki menjadikan kaum perempuan terbungkam dan
tidak dapat dengan bebas menyuarakan apa yang dirasakan. Hal tersebut menjadikan kaum
perempuan memilih untuk membatasi diri dengan laki- laki. Ketika mendapatkan perlakuan
diskriminatif, perempuan akan mengambil langkah preventif seperti membatasi diri dan
melakukan penolakan dengan menjauhkan diri atau speak up yang bertujuan untuk klarifikasi.
Adapun kesenjangan gender akibat kondisi kultur/sosial kebanyakan terjadi karena masih
menganut konsep patriarki di beberapa daerah Indonesia, tuntutan kepada perempuan untuk
mengasuh anak dan mengurus keluarga jauh lebih penting dibandingkan mencari nafkah, dan
juga pola asuh orang tua terhadap anak perempuan, serta ekspektasi sosial untuk tidak masuk ke
dunia kerja.
Referensi

Apriliandra, S., & Krisnani, H. (2021). Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya
Budaya Patriarki Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik. Jurnal Kolaborasi Resolusi
Konflik, 3(1), 1. https://doi.org/10.24198/jkrk.v3i1.31968
Cahyani, S. A. M. (2019). Diskriminasi Gender Dalam Lingkungan Kerja. Αγαη, 8(5), 55.
Effendi, P., & Ratnasari, D. (2018). Kesetaraan Gender Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang
Hukum Universitas Gresik, 7(2). https://doi.org/10.55129/jph.v7i2.701
Hasanah, D. U. (2018). Kekerasan Dan Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Pandangan
Hukum. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 12(2), 109–116.
https://doi.org/10.15408/harkat.v12i2.7564
Khotimah, K. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal
Studi Islam Gender & Anak, 4(1), 158–180.
http://www.ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/226
Kiki, A. (n.d.). Uas filsafat kel.
Novianti, M. C., & Rakhmad, W. N. (2020). PEREMPUAN DALAM DUNIA KERJA (COPING
STRATEGY PEREMPUAN PEKERJA DI TVRI KETIKA MENGALAMI DISKRIMINASI) Mila
Candra Novianti, Wiwid Noor Rakhmad.
Nuraeni, Y., & Lilin Suryono, I. (2021). Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan
Di Indonesia. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1), 68–79.
https://doi.org/10.35967/njip.v20i1.134
Prastiwi, I. L. R., & Rahmadanik, D. (2021). Polemik Dalam Karir Perempuan Indonesia. Jurnal
Komunikasi Dan Kajian Media, 4(1), 1–11.
Unsriana, L. (2014). Diskriminasi Gender dalam Novel Ginko Karya Junichi Watanabe. Lingua
Cultura, 8(1), 40. https://doi.org/10.21512/lc.v8i1.441
BIODATA

Nama : Jessica Tosya Boseke


TTL : Magelang, 20 Juli 2002
Asal Institusi : Universitas Muhammadiyah Magelang
Jurusan : Ilmu Komunikasi S1

Anda mungkin juga menyukai