Anda di halaman 1dari 39

KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 1

BAB III
LANGKAH DAN CARA UNTUK MENEMUKAN `ILLAT

1. Langkah-langkah untuk menemukan dan merumuskan `Illat (1)


2. Peran nilai dan prinsip dalam penemuan dan perumusan `illat (12)
3. Contoh-contoh tentang langkah pencarian dan penemuan `illat (17)
3.1. Contoh tentang langkah penemuan dan perumusan `illat manshushah (yang
disebutkan di dalma Al-qur’an) (16)
3.2. Contoh tentang langkah penemuan dan perumusan `illat ghayr manshushah
(ijtihadiah, yang tidka disebutkan dalam Al-qur’an) (31)

2.1. Langkah-langkah untuk Menemukan dan Merumuskan `Illat


Berhubung pembahasan tentang `illat dalam kebanyakan buku ushul fiqh menjadi
bagian dari pembahasan tentang qiyas, maka cara menemukan `illat pun terletak di bawah
pembahasan tentang qiyas. Masalah ini biasanya dibahas di bawah judul Masalik al-`Illat
(Cara Menemukan `Illat, Metode Pencarian `Illat) dan dapat dikatakan merupakan bagian
penting dalam pembahasan qiyas. Berbeda dengan jumhur, dalam buku ushul fiqih
Hanafiah, sebagian pembahasan tentang cara menemukan `illat dijadikan juga sebagai
bagian dari pembahasan tentang kaidah lugawiah, dibahas bersama-sama dengan
pembahasan tentang dilalat al-nash. (Ahmad Hasan, 416).
Menurut Ahmad Hasan istilah-istilah dan metodologi untuk menentukan `illat
belum ditemukan dalam karya al-Jashshash (w. 370 H) dan karya-karya lain yang
sezaman dengannnya. Namun al-Ghazali (w 505 H) telah membahas tentang nash, ima’
dan ijma’ secara relatif rinci dalam al-Mustashfa dan lebih-lebih lagi dalam Syifa’ al-
Ghalil.1 Berdasarkan fakta ini, menurut Ahmad Hasan tidka terlalu berlebih-lebihan
sekiranya dikatakan bahwa penambahan berbagai cara (metode) lain seperti yang
ditemukan di dalam buku-buku ushul fiqih sekarang, berasal dari para ulama yang dating
lebih belakangan, yang kuat dugaan terpengaruh oleh Al-Ghazali baik pada metode
ataupun istilah. Dalam paragraf yang lain beliau menambahkan, jumlah metode pencarian
`illat yang disebutkan Fakhruddin al-Razi berjumlah sepuluh buah, jumlah yang
disebutkan al-Amidi berjumlah tujuh buah, jumlah yang disebutkan al-Qarafi berjumlah

1
Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis di dalam Hukum Islam (terjemahan), Pustaka, Bandung, cet. 1,
2001, hlm. 408, catatan kaki nomor 40.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 2

delapan buah tetapi beliau tidka memasukkan ijma`, dan al-Baidhawi memberikan
sembilan metode. Sedang al-Syirazi, al-Ghazali, al-Bashri dan Shadr al-Syari`ah hanya
membahas tiga kategori besar yaitu, ijma`, nash dan istinbath. Semua metode ini
disebutkan dan dibahas oleh al-Syawkani secara relative rinci. 2
Sekedar untuk contoh, di bawah ini penulis kutipkan metode dan istilah yang
digunakan oleh tiga penulis buku ushul fiqh masa sekarang, sebagai berikut. Amir
Syarifuddin menyebutkan sepuluh metode (cara) untuk menemukan `illat yaitu: 3
(1) nash; yang beliau bagi menjadi: a) nash sharih dan b) nash zahir, yang beliau rinci
lagi menjadi enam buah lafaz;
(2) ijma;
(3) al-ima’ wa al-tanbih, yang beliau rinci menjadi empat macam;
(4) al-sabru wa al-taqsim; (Zen Aminuddin menerjemahkannya dengan klasifikasi dan
eleminasi, Ushul Fiqh ..., hlm. 60).
(5) takhrij al-manath;
(6) tanqih al-manath;
(7) al-Thard;
(8) al-syabah (al-syibhu);
(9) al-dawran;
(10) ilgha’u al-fariq. `

Abd al-Hakim al-Sa`di yang menulis buku tentang `illat untuk keperluan qiyas
menjelaskan cara menemukan `illat dalam sebuah bab khusus yang dia beri nama Fi
Masalik al-`Illat (Thuruq Ma`rifatiha).4 Beliau membagi cara menemukan `illat ke dalam
dua bagian besar, pertama `illat yang ditemukan dengan cara naqliah (disebutkan di
dalam nash) dan kedua `illat yang ditemukan dengan cara ijtihadiah (tidak disebutkan
secara jelas di dalam nash).
Cara naqliah beliau bagi kepada tiga cara:
1. `Illat yang ditentukan melalui ijma`,

2
Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis…, hlm. 276.
3
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, Logos, Jakarta, cet. 1, 1997, hlm. 190 dst.
4
`Abd al-Hakim As`ad al-Sa`di, Mabahits al-`Illat fi al-Qiyas `Inda al-Ushuliyyin, Dar al-Basya’ir al-
Islamiyyah, Beirut, cet, 1, 1986, hlm. 339-519. Tebal buku 765 halaman.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 3

2. `Illat yang ditentukan melalui nash qawliah; yang beliau bagi menjadi dua, (a) nash
yang menyebutkan `illat secara jelas (sharih) dan (b) nash yang menyebutkan `illat
secara zhahir (menggunakan kata yang menunjukkan `illat [alfazh al-ta`lil]). dan
3. `Illat yang ditentukan (ditemukan) melalui perbuatan Nabi SAW.
Sedang cara ijtihadiah beliau bagi kepada tujuh cara yaitu:
1. al-ima’ wa al-tanbih
2. al-munasabah wa al-ikhalah;
3. al-sabr wa al-taqsim;
4. al-syabh;
5. al-dawran (al-thard wa al-`aks);
6. al-thard (al-jaryan); dan
7. tanqih al-manath.

Ahmad Hasan yang diatas telah dikutip, membahas masalah ini dalam dua bab
yang berbeda. Sebagiannya dibahas di bawah judul “Metode-metode untuk Menentukan
`Illat” dan sebagian lagi di bawah judul “Bentuk-bentuk Penalaran di dalam `Illat”.5
Dalam pembahasan pertama, beliau membagi cara menemukan `illat kepada dua kategori
besar, pertama metode-metode yang keabsahannya disepakati oleh para fuqaha’
(shahihah) dan metode yang keabsahannya bersifat dugaan dan kemungkinan
(zhanniyyah atau mutawahhimah). Metode yang sah atau pasti ada dua yaitu ijma` dan
nash. Nash dibagi menjadi dua, yang berbentuk sharih (eksplisit) dan yang berbentuk
ima` wa tanbih (implisit). Sedang metode yang mungkin ada lima, munasabah
(kesesuaian), syabah (keserupaan), thard atau thardi (kebersamaan atau kebetulan),
dawran (perputaran), yang sering juga disebut thard wa `aks (kebersamaan dan
kespesifikan) dan sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).
Dalam bagian yang kedua Ahmad Hasan membahas tiga istilah lain yang masih
berhubungan dengan cara menemukan `illat, yaitu tahqiq al-manath, tanqih al-manath
dan takhrij al-manath. Menurut beliau, al-Ghazali merupakan orang pertama yang
menggunakan tiga istilah di atas dalam kegiatan mencari `illat dalam kedudukannya

5
Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis. Bagian peertama dibahas pada halaman 275-414, sedang
bagian yang kedua di bahas pada halaman 415-432. Sedang tebal buku 578 halaman.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 4

sebagai komponen penting di dalam qiyas (AH, 416). Selanjutnya beliau menjelaskan
bahwa bentuk tahqiq al-manath digunakan ketika `illat sudah disebutkan di dalma nash
(manshushah), sehingga kegiatan faqih hanyalah meneliti apakah `illat ini ditemukan
dalam kasus-kasus lain, untuk mengetahui dalam kasus atau situasi apa `illat tersebut
dapat digunakan dan dalam kasus atau situasi apa tidak dapat digunakan. Menurut
Ahmad Hasan--setelah meneliti definisi dan contoh-contoh yang diberikan para ulama,
dapat disimpulkan bahwa bentuk ini bukan sekedar cara atau langkah untuk mencari `illat
yang akan digunkaan di dalma qiyas, tetapi dapat dianggap sebagai bentuk ijtihad yang
lebih umum dan lebih komprehensif dari qiyas itu sendiri. (424)
Sedang bentuk tanqih al-manath digunakan ketika `illat sudah disebutkan di
dalam nash, tetapi masih bercampur dengan sifat-sifat lain yang juga disebutkan,
sehingga perlu pembersihan dan verifikasi, agar dapat menemukan kualitas yang paling
relevan. (416/428) Jadi kegiatan ini merupakan upaya untuk memastikan sifat atau
kualitas apa (yang mana) yang dianggap memenuhi syarat (paling memenuhi syarat)
untuk dijadikan sebagai `illat dari berbagai sifat (kualitas) yang disebutkan di dalam nash.
Istilah tanqih al-manath oleh Ibnu Hajib dianggap bagian dari al-ima` yaitu kegiatan
pembersihan dalam arti mencari dan memilih sifat yang paling cocok untuk dijadikan
`illat dan membuang sifat-sifat selebihnya. 6
Adapun bentuk takhrij al-manath digunakan ketika kualitas (sifat) yang dapat
dijadikan sebagai `illat tidak disebutkan secara tersurat ataupun tersirat (eksplisit), tetapi
tersuruk (implisit) di dalma nash, sehingga para ulama harus mencari dan menemukannya
melalui ijtihad. Dalam keadaan ini para ulama mungkin sekali akan berbeda pendapat,
sesuai dengna kemampuan akal dan pertimbangan pribadinya (ra’y dan nazhar-nya).
Menurut Ahmad Hasan sebagian ulama diantaranya Ibnu Hajib menyatakan takhrij al-
manath sama dengan munasabah dan ikhalah.7 Menurut Ahmad Hasan para ulama
Hanafiah mengabaikan bentuk takhrij al-manath ini di dalma kitab-kitab mereka karena
menganggapnya sebagai metode pencarian `illat yang imajinatif. Sedang kelompok ahl
al-zhahir (literalis) menolak `illat yang diperoleh dengna cara ini. (431)

6
Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis, hlm.285
7
Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis, hlm. 348.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 5

Ahmad Hasan diakhir pembahasan tentang masalah yang pertama memberikan


uraian sebagai berikut,
Kebanyakan fuqaha’ menganggap tanqih al-manath (pembersihan dasar
ketetapan hokum), tahqiq al-manath (verifikasi atau realisasi dasar ketetapan hokum)
dan takhrij al-manath (pengambilan dasar ketetapan hokum) sebagai cara-cara
untuk menemukan `illat. Tetapi al-Ghazali dan al-Amidi tidka mengakui ketiganya
sebagai masalik al-`illat. Keduanya membahas ketiga kategori tersebut secara
terpisah di bawah judul ijtihad fi al-`illat dan menyebut `illat dengan manath al-
hukm (dasar ketetapan hokum). Kita juga tinggalkan ketiganya dalam bab ini karena
kurang relevan. Kita telah membahasnya secara terpisah (dalam bab tersendiri, sic).
Ahmad Hasan, hlm. 276.
Sedang di akhir penjelasan tentang masalah yang kedua memberikan uraian sebagai
berikut,
Dari analisis di atas terlihat bahwa semua metode yang mengarahkan seorang
ahli hokum kepada `illat dicakup oleh tiga bentuk penalaran ini. Metode-metode yang
mengarahkan kepada `illat melalui imajinasi, seperti sabr, taqsim, munasabah,
syabah, thard dan dawran, semua dicakup oleh takhrij al-manath. Sedang metode
yang didasarkan pada kata-kata nash (zhahir al-nash), seperti ima` dan tanbih,
dimasukkan ke dalam tanqih al-manath. Metode-metode yang didasarkan pada nash
yang jelas (al-nash al-sharih) dan ijma` masuk ke dalam tahqiq al-manath, karena
diduga dalam bentuk ijtihad ini `illat sudah diketahui, apapun artinya. (431)
Dapat penulis sebutkan, berdasar pembacaan atas buku-buku ushul fiqh mengenai
cara menemukan `illat ini, ditemukan istilah yang sama tetapi digunakan oleh para ulama
dengan isi yang berbeda atau sebaliknya ada istilah yang berbeda tetapi mereka gunakan
dengan isi yang relatif sama. Begitu pula ada buku yang tidak secara jelas membedakan
cara dengan langkah dalam mencari dan menemukan `illat, sehingga terkesan tidak tepat
makna dan bahkan tumpang tindih. Karena keadaan ini penulis berupaya
menyederhanakan cara dan bentuk pencarian `illat, dengna cara tidka terlalu
mementingkan apa nama metodenya, tetapi lebih memperhatikan apa dan bagaimana
langkah-langkah yang musti dilakukan seseorang ketika dia akan mencari dan
menemukan `illat. Penulis merasa semua cara (metode) di atas dapat disederhanakan
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 6

menjadi sebuah metode saja, tetapi membeda-bedakannya berdasar jumlah langkah yang
dilakukan ketika berupaya menemukan `illat tersebut.
Untuk itu penulis mengajukan usul agar menggunakan maksimal empat langkah,
yang untuk sementara penulis identifikasi sebagai “Langkah-langkah Pencarian `Illat”.
Dikatakan maksimal, karena ada diantara langkah yang akan diuraikan ini yang dapat
diloncati sekiranya dianggap tidak perlu atau sudah terselesaikan pada langkah
sebelumnya. Penulis menggunakan tiga istilah mengenai bentuk pencarian `illat yang
dikemukakan oleh al-Ghazali di atas, untuk menjelaskan langkah-angkah ini, tetapi
dengan melakukan tiga perubahan, yaitu:
(a) mengubahnya dari bentuk yang berdiri sendiri menjadi saling berkaitan;
(b) menjelaskan keterkaitannya menjadi langkah-langkah yang akan dilakukan secara
berurutan; dan
(c) mengembangkan dan menjelaskan makna masing-masing langkah secara lebih
terperinci, namun masih tetap dalam makna umum istilah tersebut.
Setelah ini penulis menambahkan sebuah langkah baru yang diletakkan sebagai
langkah yang pertama, yang harus dilakukan sebelum menempuh tiga langkah yang
diambi dari al-Ghazali di atas. Dengan demikian ada empat langkah pencarian `illat
sebagai berikut:
(1) Langkah pertama, mengumpulkan dalil yang berkenaan, baik dari Al-qur’an
ataupun dari hadis;
(2) Langkah kedua, takhrij al-manath (mengumpulkan dan menginventarisasi kualitas,
sifat-sifat yang dapat dijadikan sebagai `illat, tambatan atau tumpuan hokum, baik
yang disebutkan secara jelas ataupun dicari melalui perenungan dan pemikiran);
(3) Langkah ketiga, tanqih al-manath (memverifikasi, menyisir kualitas, sifat yang
paling logis dan paling memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai `illat dan
mengabaikan kualitas-kualitas lain yang dianggap tiak memenuhi syarat; boleh jadi
illat yang dianggap memenuhi syarat lebih dr satu buah, namun yang dipilih hanya
satu buah, tetapi boleh jadi yang dipilih tersebut lebih dari satu buah; dan
(4) Langkah keempat, tahqiq al-manath (membuat rumusan, definisi, kriteria atau
kategori `illat yang dipilih tersebut, sehingga mudah dipahami dan diidentifikasi,
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 7

untuk memastikan bahwa kualitas, sifat yang dipilih sebagai `illat ini betul-betul ada
pada perbuatan dan memenuhi syarat `illat yang di atas sudha dijelaskan.8
Empat langkah ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. Langkah
pertama adalah mengumpulkan dalil-dalil dari Al-qur’an dan hadis Rasulullah yang
berkenaan dengan perbuatan yang akan diteliti (diistinbathkan), untuk mengetahui apakah
dalam nash (rangkaian nash) itu sudah disebutkan `illat atau tidak. Dalil-dalil ini,
mungkin saja akan berbentuk tunggal karena hanya terdiri dari satu ayat dan atau satu
hadis. Tetapi mungkin juga merupakan rangkaian karena terdiri atas beberapa ayat dan
atau beberapa hadis. Kalau berbentuk rangkaian maka sangat dianjurkan untuk dipahami
dan ditafsirkan secara mawdhu`i. Maksudnya ayat-ayat akan ditafsirkan sebagai sebuah
kesatuan yang saling menerangkan. Sedangkan hadis atau rangakaia hadis akan
digunakan sebagai pembantu untuk memahami ayat-ayat. Kalau ayat tersebut hanya satu
buah, tentu agak sukar untuk ditafsirkan secara mawdhu`i, karena itu pemahaman dan
penafsirannya cenderung akan mengikuti model tahlili, yaitu menjadikan ayat tersebut
sebagai dalil utama, sedang bahan lain terutama hadis-hadis (apabila ada) sebagai bahan
penjelas, mengikuti pola diterangkan menerangkan.
Mengenai hubungan hadis dengan Al-qur`an, para ulama menjelaskannya sebagai
berikut.
1. Menguatkan makna ayat, dalam arti tidak memberikan penjelasan tambahan.
2. Menjadi penjelas atas isi ayat, terutama ketika hadis merupakan praktek atas perintah
atau larangan yang ada dalam ayat. Dengan kata lain, hadis kelompok in akan
dianggap sebagai contoh untuk menerapkan isi ayat.
3. Membatasi dan mempersempit makna yang terkandung di dalma ayat.
4. Menambah ketentuan baru, apabila isi hadis tidka terkandung di dalam Al-qur’an.9

8
9
Di kalangan ulama sampai periode imam mazhab, terjadi diskusi yang relative intensif mengenai
kedudukan dan hubungan hadis dengan Al-qur’an. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik cenderung
menganggap kedudukan hadis ahad (yag disepakati hanya mencapai tingkat zhanni wurud) secara struktur
dan fungsi,lebih rendah dari Al-qur’an (yang disepakati berada pada tingkat qath`i wurud). Karena itu
perintah dan larangan yang ada dalam hadis (ahad) secara umum tidak dapat menambah atau membatasi isi
ayat Al-qur’an. Imam al-Syafi`i dan Imam Ahmad setuju dengna dua ulama sebelumnya bahwa secara
struktural Al-qur’an lebih tinggi dari hadis ahad. Tetapi secara fungsional dua ulama yang terakhir
cenderung menganggap hadis ahad sederajat dengan Al-qur’an. Karena itu di dalam upaya memahami dan
menafsirkan Al-qur’an, hadis dianggap sederajat dengan Al-qur’an, boleh saling menjelaskan dan saling
membatasi, termasuk fungsi hadis untuk memberikan hokum baru.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 8

Apabila yang ditafsirkan adalah rangkaian ayat dan lebih dari itu penafsiran ini
dilakukan secara mawdhu`i, sehingga hasil yang diperoleh merupakan buah dari upaya
menafsirkan nash secara menyeluruh, maka makna yang pertama sekali akan dicari
adalah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) dan setelah itu prinsip-prinsip umum (al-
ushul al-kulliyyah, al-mabadi’ al-`amah) dan baru setelah itu mencari hokum kongkrit
atas perbuatan-perbuatan (al-ahkam al-syar`iyyah, al-ahkam al-furu`iyyah) atau definisi
atas konsep-konsep. Oleh sebagian peneliti prinsip diberi nama dengan nilai instrumental.
Kalau upaya mencari nilai dasar dianggap terlalu sukar, maka yang musti dapat
ditemukan adalah prinsip-prinsip umum (nilai instrumental).
Untuk memperoleh nilai dan prinsip, mungkin saja ayat yang ada (yang sudah
dikumpulkan mengenai suatu masalah) dianggap tidka cukup karena terlalu sedikit, atau
bersifat parsial, sehingga harus dihubungkan dengan ayat-ayat lain yang dianggap
relevan. Dalam keadaan ini menghubungkan ayat tersebut dengan ayat-ayat lain
merupakan keharusan yang tidka boleh diabaikan. Uraian lebih lanjut mengenai nilai
akan diuraikan di bawah, dalam anak bab yang akan datang.

Di pihak lain Imam al-Syafi` kelihatannya berpendapat bahwa hadis menjadi penjelas kepada ayat Al-
qur’an adalah dalam kedudukannya sebagai kelompok, bukan kasus. Maksudnya hadis mana saja sekiranya
dianggap sesuai boleh menjadi penjelas atas ayat Al-qur’an mana saja sekiranya dianggap relevan. Jadi
ulama berdasarkan ijtihadnaya boleh menghubungkan hadis tertentu dengan ayat tertentu sekiranya dia
anggap mempunyai munasabah (hubungan yang relevan). Hadis tidka mungkin bertentangan dengan Al-
qur’an, karena fungsinya adalah menjelaskan Al-qur’an. Kalau di dalam kenyataan ada yang dianggap
bertentangan maka makna keduanya harus dipadukan (al-jam`u wa al-tawfiq). Kalau tidak dapat dipadukan
maka hadis yang akan menjadi penentu atas Al-qur’an.
Menurut Imam al-Syafi`i hadis ahad yang tidka sejalan dengan Al-qur’an, yang diucapkan Rasulullah
(terjadi) sebelum ayat tersebut turun, tidka boleh dianggap batal hanya karena terjadinya sebelum ayat
turun. Hadis ahad yang mendahului Al-qur’an harus dianggap dan harus tetap digunakan sebagai penjelas
atas ayat Al-qur’an tersebut. Hadis tersebut hanya boleh dibatalkan Al-qur’an melalui hadis baru yang
diajarkan Rasulullah setelah ayat itu turun. Maksudnya setelah sebuah ayat turun maka Rasulullah akan
memberikan praktek baru sebagai pengganti atas praktek lama. Jadi apabila tidka ada hadis (praktek) baru,
maka hadis lama tetap harus dianggap sebagai tafsir atas ayat, walaupun dari segi waktu hadis tersebut
terjadi sebelum ayat turun dan dari segi isi terlihat tidak sejalan lagi. Seperti telah disebutkan di atas, hadis
ahad ini tetap dapat membatasi, mengubah arti (misalnya dari hakikat ke majaz) dan seterusnya seperti
hadis lain.
Sedang Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tidka secara jelas menyatakan pendapatnya tentang hal ini.
Tetapi berdasarkan pendapat yang berkembang dalma mazhab hanafiah dan malikiah kelihatannya mereka
menganggap hadis ahad yang tidka sejalan dengan ayat Al-qur’an tidak mengikat. Hadis tersebut tidka
boleh mengubah atau membatasi isi ayat Al-qur’an.
Mengenai pembagian hadis menjadi tasyri`iyah dan ghayr tasyri`iyyah kelihatannya sudha dikenal juga
sejak masa Sahabat, karena mereka tahu ada hadis yang diucapkan Nabi berdasar pendapat pribadi di
samping banyak yang berdasarkan wahyu. Tetapi mereka cenderung berpendapat semua hadis yang tidak
dapat dijelaskan secara logis (tidak mereka ketahui `illatnya) akan dianggap sebagai hadis berdasar wahyu.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 9

Untuk dapat melakukan kegiatan guna memperoleh dan menyimpulkan nilai,


prinsip ataupun hokum kongkrit dari ayat-ayat dan hadis-hadis, maka sang faqih paling
kurang harus menguasai lima bidang pengetahuan secara relative memadai, yaitu:
(a) bahasa Arab;
(b) logika dalam arti luas, sehingga pada masa sekarang mesti mecakup statistika dan
matematika, yang sampai batas tertentu diperluas lagi sehingga mencakup filsafat
ilmu;
(c) budaya Arab zaman Nabi (asbab al-nuzul); dan
(d) perkembangan pemikiran di dunia muslim terutama sekali fiqih dan ilmu kalam,
termasuk meneliti prinsip-prinsip yang mungkin sekali telah ditemukan dan
digunakan oleh para ulama masa lalu. Sekiranya prinsip ini sudah pernah ada, perlu
penelitian mendalam apakah prinsip ini masih cocok untuk digunakan atau sebaiknya
disempurnakan agar lebih sesuai dengan keperluan dan keadaan masa sekarang.
Sekiranya dianggap perlu disempurnakan, maka perlu diperhatikan apakah rangkaian
ayat yang digunakan sebagai dalil, memberi kemungkinan untuk perubahan atau
tidak. Kalau makna rangkaian ayat tidka memungkinkan perubahan maka prinsip
yang sudah dihasilkan oleh para ulama harus digunakan untuk memandu dan menguji
`illat yang sedang dicari ini.
(e) syarat yang terakhir penguasaan atas pengetahuan ilmiah yang berkembang pada masa
sekarang paling kurang dalam bidang yang akan diteliti. Dalam masalah yang sedang
kita kaji ini (penentunan prinsip dalam berbagai perbuatan dalam upaya mencari
`illat), menurut hemat penulis, pengetahuan ilmiah yang harus dikuasai antara lain
adalah ilmu hokum dan ilmu budaya, dan setelah itu bidang lain yang dianggap
relevan seperti ekonomi, politik, antropologi, psikologi, sosiologi, kriminologi dan
pendidikan.
Setelah penafsiran (secara mawdhu`i) dilakukan, maka akan didapat salah satu
dari tiga kesimpulan. Pertama, nash (rangkaian nash) tersebut menyebutkan kualitas
(sifat, keadaan, sesuatu) tertentu sebagai sebab (setelah melalui penelitian dan verifikasi
sederhana) yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai `illat. `Illat dalam keadaan ini
oleh para ulama disebut sebagai `illat manshushah sharihah.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 10

Dalam keadaan ini kualitas (sifat, keadaan, sesuatu) itu akan ditetapkan sebagai
`illat. Dengan kata lain, kalau `illat dari sebuah perbuatan sudah disebutkan secara relatif
jelas di dalam nash (memenuhi syarat-syarat `illat), maka sifat tersebut akan langsung
ditetapkan sebagai `illat sehingga langkah kedua dan ketiga yang akan diuraikan di
bawah tidka perlu lagi dilakukan. Jadi setelah langkah yang pertama dilakukan dan `illat
dapat ditemukan, maka boleh meloncat langsung ke langkah yang keempat, tidka perlu
melakukan langkah yang kedua dan ketiga.
Kedua, dalam nash (rangkaian nash yang sudah dikumpulkan) tersebut ditemukan
kualitas (sifat, keadaan) yang dapat dijadikan sebagai sebab, atau ditemukan isyarat yang
dapat memberi petunjuk mengenai `illat. Tetapi kualitas yang disebutkan atau isyarat
yang memberi petunjuk tersebut tidak dapat dijadikan sebagai `illat secara begitu saja
karena syarat-syarat `illat tidak terlihat dengan mudah. Para ulama menyebut `illat dalam
keadaan ini sebagai berdasar kepada `illat manshushah zhahirah (`illat yang disebutkan
secara tersirat). Dalam keadaan ini setelah langkah pertama perlu dilakukan langkah
kedua sampai keempat, yaitu membuat definisi dari kualitas atau sifat yang dipilih
sebagai `illat, yang di bawah ini akan diuraikan.
Ketiga, dalam nash (rangkaian nash yang sudah dikumpulkan) tersebut tidak
disebutkan kualitas (sifat, keadaan) yang dapat dijadikan sebagai sebab, baik secara
tersurat ataupun tersirat. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui dan menemukan
`illat maka harus mencarinya melalui ijtihad yang akan dilakukan dengan langkah kedua,
ketiga dan setelah itu yang keempat. Para ulama menyebutkan `illat dalam keadaan ini
sebagai `illat ghayr manshushah (`illat yang tersuruk, harus dicari, tidak ditemukan
dengan mudah).
Adapun langkah kedua, adalah kegiatan untuk menginventarisasi semua kualitas
(sifat, keadaan) yang mungkin untuk dijadikan sebagai `illat, yang penulis sebut sebagai
takhrij al-manath. Dalam bentuk ini, setelah langkah pertama dilakukan yaitu
menghimpun semua dalil yang berkenaan dan memahaminya secara mawdhu`i, dan tidak
ditemukan `illat yang manshushah sharihah (tersurat), maka para faqih perlu mencari,
mempertimbangkan, mengumpulkan dan menginventarisasi semua kualitas, sifat dan
keadaan yang mungkin untuk dijadikan sebagai `illat untuk perbuatan yang disebutkan di
dalma nash, baik melalaui isyarat yang ada dalam ayat dan hadis, ataupun melalui cara-
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 11

cara lain yang memenuhi persyaratan metodologis yang dapat ditemukan atau digunakan
oleh faqih. Dalam upaya menemukan alasan rasional ini baik yang merupakan `illat
sababiyyah ataupun `illat gha’iyyah, seorang faqih harus mempertimbangkan segala hal
yang dapat dia jangkau semencakup dan semenyeluruh mungkin. Misalnya dia harus
mempertimbangkan perbedaan geografis termasuk iklim antara tempat sang faqih
melakukan ijtihad sekarang dengan keadaan di negeri Hijaz pada masa lalu, ketika wahyu
turun dan Tanah Arab secara umum ketika para Sahabat dan imam mazhab melakukan
ijtihad. Begitu juga mempertimbangkan perbedaan budaya dalam masyarakat di
lingkungan faqih berada dengan budaya pada masa Rasulullah, masa Sahabat dan masa
imam mazhab dahulu. Mungkin yang lebih penting adalah mempertimbangkan adanya
perbedaan pengetahuan ilmiah dan teknologi antara masa Rasulullah, para Sahabat dan
para imam mazhab dahulu dengan yang berkembang pada masa sekarang. Mungkin
sekiranya dianggap perlu, perbedaan waktu antara masa sekarang (masa faqih akan
melakukan ijtihad) dengan masa Rasulullah dan masa imam mazhab pun patut juga untuk
dipertimbangkan.
Untuk itu hasil atau capaian berbagai ilmu ”modern”, serta model dan jenis logika
yang ada, atau teori yang digunakan berbagai cabang ilmu ”modern,” sebagaimana telah
disinggung dalam pencarian prinsip di atas, perlu digunakan dan ”dipinjam” untuk
mempertegas, mempertajam atau memperjelas langkah-langkah pencarian `illat yang
sedang dilakukan. Pemanfaatan hasil ilmu pengetahuan dan penggunaan berbagai logika
dan tata pikir yang ada, harus sudah dimulai sejak upaya menghimpun dan memahami
nash serta upaya menafsirkannya secara mawdhu’i, yang kemudian diikuti dengan
langkah kedua dan setelah itu dalam dua langkah berikutnya, yang akan diuraikan di
bawah.
Apabila (setelah melakukan penafsiran, penelitian atau pengkajian) ditemukan
lebih dari satu kualitas, sifat (keadaan) yang mungkin untuk dijadikan sebagai `illat, maka
perlu langkah untuk memilih kualitas yang paling memenuhi syarat (ingat tiga syarat
`illat di atas) untuk dijadikan sebagai `illat, yang disebut sebagai tanqih al-manath.
Kualitas atau sifat yang dipilih ini boleh jadi hanya sebuah, tetapi mungkin juga akan
lebih dari sebuah kualitas atau sifat. Jadi ada perbuatan yang hanya mempunyai satu `illat
tetapi tidak tertutup kemunginan akan ditemukan perbuatn dengan `illat yang lebih dari
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 12

satu. Dalam pemilihan ini pertimbangan secara menyeluruh dan mencakup seperti
disebutkan pada langkah yang kedua tetap musti dilakukan.
Setelah ini dilakukan langkah yang keempat, yaitu tahqiq al-manath. Langkah ini
merupakan kegiatan untuk berupaya mendefiniskan kualitas (sifat, keadaan) yang sudah
dipilih sebagai `illat tersebut secara relative jelas. Dalam perkembangannya, langkah dan
atau cara pembuatan definisi ini tidka hanya digunakan untuk menjelaskan `illat, tetapi
juga dapat dan bahkan musti digunakan untuk merumuskan semua konsep yang
digunakan di dalma fiqih khsusunya perbuatan (perbuatan hokum). Ketika melakukan
langkah ini, maka semua bahan dan pertimbangan seperti disebutkan dalam dua langkah
sebelumnya, perlu dipertimbangkan dan diikuti. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
menjelaskan kualits yang akan dijadikan sebagai `illat tersebut, sehingga mudah
diketahui, diidentifikasi dan digunakan.
Tiga buah langkah setelah mengumpulkan dalil di atas, dapat dilakukan secara
bersamaan dan bertumpang tindih, tetapi dapat juga secara berurutan setahap demi
setahap, disesuaikan dengan keperluan, kemudahan dan kecenderungan faqih yng
melakukan istinbath. Untuk memperoleh hasil yang maksimal maka kegiatan ini
sebaiknya dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, dengan mencoba berbagai
kemungkinan secara sedemikian rupa. Dengan kata lain diusahakan untuk diputar dan
dikocok sampai jenuh (sirkular), sampai tidak ditemukan lagi alasan untuk meneruskan
atau memperbaikinya.
Dapat dinyatakan banyak perbuatan (hokum) yang disebutkan di dalam Al-qur’an
atau Sunnah, tidak disertai dengan `illatnya karena itu harus dicari oleh para ulama.
Sekiranya para ulama dapat menemukan `illatnya, maka perbuatan itu akan dianggap
mempunayi `illat sering disebut dengan istilah ma`qul al-ma`na atau ghayr
ta`abbudiyyah, dan akibatnya hukum yang diberikan kepada perbuatan itupun akan
terkait dengan `illat tersebut. Sebaliknya kalau `illatnya tidak ditemukan, maka
perbuatan itu akan dianggap tidak mempunyai `illat, sering disebut dengan istilah ghayr
ma`qul al-ma’na, atau ta`abbudiyyah. Dalam keadaan ini penalaran ta`liliah tidka akan
dapat dilakukan dan nash tersebut akan dipahami berdasarkan penalaran lugawiah saja.
Dengan demikian pemahaman terhadapnya atau kesimpulan hukum yang akan dibuat
mau tidak mau hanyalah bertumpu pada penalaran lugawiah karena penalaran ta`liliah
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 13

(begitu juga istislahiah) tidak dapat digunakan. Dengan kata lain, kalau kualitas (sifat,
keadaan) yang mungkin untuk dijadikan `illat tidak ditemukan di dalam nash (rangkaian
nash) yang dijadikan sebagai dalil; atau ditemukan beberapa buah sifat, tetapi sesudah
diverifikasi tidak ada sebuah pun yang memenuhi syarat, maka perbuatan tersebut akan
dinyatakan sebagai perbuatan yang tidka mempunyai `illat. Dalil-dalil yang digunakan
tersebut akan dikatakan tidak dapat dinalar dengan penalaran ta`liliah, tetapi hanya
dengna penalaran lugawiah.

2.2. Peran nilai dan prinsip dalam penemuan dan perumusan `illat
Di atas sudah disebutkan bahwa hasil dari penafsiran secara mawdhu`i, pertama
sekali akan diusahakan merumuskannya dalam bentuk nilai, setelah itu diturunkan
menjadi prinsip, dan baru pada tingkat yang terakhir dirumuskan dalam bentuk norma
peraturan untuk perilaku, atau merupakan rumusan atau definisi untuk konsep dan istilah
yang digunakan (seperti pengertian shalat, zakat, fakir dan miskin yang berhak menerima
zakat, jual beli, pembunuhan sengaja, dan seterusnya). Untuk melengkapi uraian, rasanya
perlu juga disinggung mengenai hubungan `illat dengan nilai-nilai fiqih (al-qiyam al-
fiqhiyyah) dan prinsip-prinsip fiqih (mabadi’ al-fiqh, al-nazhariyyat al-fiqhiyyah, atau al-
qawa`id al-fiqhiyyat al-kulliyyat).
Untuk kepentingan tulisan ini, secra sederhana, nilai penulis pahami sebagai
harkat atau harga, yaitu kualitas yang dimiliki sesuatu sehingga dia dihargai, disukai atau
dianggap penting. Nilai dapat juga dipahami sebagai pandangan mengenai apakah
sesuatu itu dianggap berharga atau tidak. Pada dasarnya nilai selalu dikaitkan dengna
kualitas yang baik, bukan yang buruk. Sesuatu dikatakan bernilai kalau dianggap
mempunyai kualitas yang baik sehingga dianggap berharga atau penting. Sesuatu yang
dianggap berharga oleh seseorang akan dianggap bernilai oleh orang itu. Sesuatu yang
dianggap berharga oleh masyarakat maka merupakan hal yang bernilai bagi masyarakat
tersebut.
Sesuatu itu ada yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri, seperti emas (sebagai
benda) dan kejujuran (sebagai sifat). Tetapi ada juga yang baru bernilai karena dianggap
berharga oleh orang atau masyarakat. Misalnya sebuah pulpen, kitab, sapu tangan atau
payung dianggap bernilai (berharga) bahkan sangat bernilai (berharga) oleh orang
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 14

tertentu karena merupakan hadiah atau kenangan yang mengingatkannya kepada sebuah
peristiwa yang dia anggap penting atau seseorang yang dia cintai. Tetapi mungkin juga
dianggap sangat bernilai paling kurang pada waktu tertentu karena bersifat fungsional
(dalam situasi tertentu, seperti payung ketika hujan, makanan ketika sangat lapar).
Sesuatu yang dianggap paling atau sangat penting atau berharga akan dikatakan sebagai
sesuatu yang paling atau sangat bernilai.
Nilai juga sering dijenjangkan menjadi yang paling penting (biasa disebut nilai
dasar), nilai antara yang sering juga disebut sebagai nilai penggerak (nilai instrumental),
dan nilai biasa yang berada pada jenjang paling rendah. Nilai dasar yang dianut (diyakini)
suatu masyarakat, sering disebut sebagai nilai budaya, sedang nilai dasar yang dianut
dan diyakini oleh orang perseorangan sebagai indvidu, sering disebut sebagai sikap
mental.
Secara sederhana, nilai paling dalam (nilai dasar utama) dalam Islam adalah
tauhid atau pengakuan akan keesaan Allah SWT. (la ilaha illa-llah). Nilai ini sekiranya
dijabarkan melalui ajaran formal, maka isi dialog Jibril dengan Nabi mengenai rukun
Iman, rukun Islam dan Ihsan dapat dijadikan sebagai perinciannya.10 Tetapi sekiranya
nilai pengesaan Allah tadi dijabarkan dengan meneliti ayat-ayat Al-qur’an secara
induktif, maka intinya adalah:

10
Dalam sebuah hadis sahih, Umar ra. berkata: Ketika kami duduk-duduk di masjid bersama Rasulullah
SAW. pada suatu hari, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan
berambut sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun
diantara kami yang mengenalnya. Dia masuk kemudian duduk dihadapan Nabi, lalu menempelkan kedua
lututnya kepada lutut Rasulullah SAW. seraya berkata, wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.
Maka Rasulullah bersabda, Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan;
dan menunaikan haji apabila mampu. Kemudian dia berkata, anda benar. Kami semua heran, dia yang
bertanya lalu dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, beritahu aku tentang Iman. Lalu
Rasulullah bersabda, Iman adalah engkau percaya (beriman) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir yang baik maupun yang buruk semuanya dari Allah
SWT. Kemudian dia berkata, anda benar. Kemudian dia berkata lagi, beritahu aku tentang Ihsan. Lalu
Rasulullah bersabda, Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya, dan jika
engkau tidak (dapat membayangkan bahwa engkau) melihat Nya, maka Dia melihat engkau. Kemudian dia
berkata, beritahu aku tentang hari kiamat (kapan akan terjadi). Rasulullah bersabda, orang yang ditanya
tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Dia berkata, beritahu aku tentang tanda-tandanya . Rasulullah
bersabda, jika seorang hamba (budak) melahirkan (orang yang nanti menjadi) tuannya, dan jika engkau
melihat orang yang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan (bekerja sebagai) penggembala, berlomba-
lomba meninggikan bangunannya. Kemudian orang itu pergi dan aku terdiam (karena tercengang?).
Kemudian Rasulullah bertanya, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi. Aku berkata, Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda, dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud)
mengajarkan agama kalian.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 15

(1) meyakini secara sungguh-sungguh bahwa Allah itu esa atau tunggal; setelah itu
(2) berupaya secara sungguh-sungguh untuk mematuhi dan menjalankan hidayah Allah
(dan Rasulullah) dalam kehidupan dan cita-cita hidup (dalam amal ibadah dan amal
usaha) seperti yang tertera dalam Al-qur’an dan sunnah yang sahih (yang memenuhi
syarat), sehingga;
(3) hidup menjadi berbahagia (hasanah) di dunia dan di akhirat.11
Di pihak lain, sekiranya dijabarkan menjadi kegiatan aktif, maka nilai dasar utama
di atas dapat dijabarkan menjadi tuntunan/perintah untuk ber-amar ma’ruf nahyi munkar
(selalu menyuruh dan mengajak untuk melakukan kebaikan/kepatutan dan selalu
mencegah dan mengingatkan sehingga tidak melakukan keburukan dan kerusakan), yang
terdapat dalam banyak ayat Al-qur’an dan hadis-hadis.
Karena nilai dasar di atas merupakan kualitas yang sangat abstrak dan sangat luas
jangkauannya, maka untuk memudahkan pemahaman dan membatasinya pada bidang
tertentu, maka nilai di atas perlu diturunkan menjadi sedikit lebih kongkrit, walaupun
sebenarnya masih tetap sangat abstrak. Nilai dasar yang menjadi turunan dari nilai dasar
utama di atas dalam bidang fiqh paling kurang ada empat buah yaitu ilahiah
(pengabdian kepada Allah), keadilan, kemaslahatan, ukhuwwah/egaliter, dan
syumuliyyah/kemenyeluruhan (bagaimana dengan dinamis sebagai nilai, apakah
perlu ditambahkan). Lafaz adil dan perintah untuk berlaku adil cukup banyak di dalam
Al-qur’an. Begitu juga ayat-ayat yang berisi pernyataan bahwa hokum dan peraturan
yang diturunkan Allah adlah untuk measlahatn manusia ditemukan, sehingga seluruh
hokum yang diturunkan Allah adalah untuk measlahatan dan ditegakkan cukup banyak
jumlahnya.
Nilai-nilai dasar di atas sekiranya diturunkan ke nilai yang lebih rendah (nilai
instrumental), yang lebih mudah terlihat di dalam kehidupan nyata, maka akan muncul
banyak nilai, seperti tekun beribadah, senang bekerja keras, disiplin, hemat, optimis,

11
Penulis menggunakan istilah hasanah (berbahagia) bukan maslahah (sejahtera) karena istilah yang
pertama penulis anggap lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan yang kedua. Menurut penulis istilah
yang pertama mencakup maslahat dan menegakkan keadilan, sedang istilah yang kedua kelihatannya tidka
mencakup keadilan. Lebih dari itu istilah yang pertama (dan turunannnya) di dalam Al-qur’an digunakan
lebih banyak dari istilah yang kedua (dan turunannya). Dengan kata lain, sekiranya hasanah (kebahagiaan)
dipecahkan dan dirincikan, maka dia akan menjadi dua buah yaitu kemaslahatan dan penegakan keadilan.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 16

berorientasi ke masa depan, suka belajar, menghargai orang lain, rendah hati, berusaha
untuk kaya, suka menolong, dan seterusnya.
Adapun prinsip, secara sederhana adalah kaidah, ketentuan umum atau tumpuan
yang dijadikan sebagai dasar untuk mengikat dan menyatukan berbagai norma-untuk-
mengatur perilaku yang sejenis, sehingga norma-norma tersebut dianggap konsisten,
logis, sejalan dan sistematis; sebaliknya tidka dianggap centang perenang atau bahkan
saling bertentangan. Dalam tulisan ini prinsip dianggap sejajar dengan asas atau usul, dan
semakna dengan kaidah umum, ketentuan umum, ataupun garis hokum. Prinsip fiqih bisa
didapatkan paling kurang dengan salah satu dari tiga cara atau gabungannya.
Pertama prinsip yang didapat sebagai hasil penafsiran atas ayat-ayat Al-qur’an dan
hadis. Misalnya prinsip bahwa perbuatan (perbuatan hokum) ibadah tidak boleh
dilakukan kecuali setelah ada nash (Al-qur’an dan hadis) yang memebolehkannya.
Sedang perbuatan (perbuatan hukum) di bidang adat (mu`amalah) boleh dibuat dan
diciptakan sesuai dengna kemaslahatan manusia (masyarakat) kecuali kalau ada nash
yang melarangnya. Contoh lainnya, ibadah badaniah akan diterima Allah kalau
ditunaikan dengan ikhlas dan harus dikerjakan sendiri, tidak boleh dikerjakan oleh
orang lain. Bahwa setiap orang akan memperoleh pahala atas kebaikan yang dia
lakukan sendiri, dan akan memperoleh dosa atas kesalahan yang dia lakukan sendiri.
Bahwa setiap orang tidak akan memperoleh dosa atas kesalahan yang dilakukan
orang lain, sebagaimana tidka akan memperoleh pahala atas kebaikan yang dilakukan
orang lain. Prinsip dalam hokum acara, pembuktian dibebankan kepada orang yang
mengajukan gugatan. Prinsip tentang penunaian zakat, bahwa semua orang yang
dianggap kaya wajib mengeluarkan zakat. Prinsip penting lainnya, transaksi
kehartaan tidka boleh mengandung riba atau gharar.
Kedua prinsip yang didapat sebagai kesimpulan atau ketentuan umum yang diperoleh
sebagai hasil pengkajian dan penelitian atas norma-norma yang mengatur perilaku
(kaidah-kaidah fiqih) itu sendiri. Misalnya, hal-hal (istilah) yang tidka dijelaskan di
dalam perjanjian atau kesepakatan dikembalikan maknanya kepada adat yang berlaku
di lingkungan tempat perjanjian dilakukan (al`adat muhakkamah). Misal berikutnya
prinsip yang mengatakan, fakta yang sudah diyakini keberadaannya tidka dapat
digugurkan oleh dugaan atau sangkaan yang menyatakan kebalikannya (al-yaqin la
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 17

yuzal bi al-syakk). Contoh berikutnya, ketentuan syariah dalam bidang kekeluargaan


tidka mempunyai hubungan dengan adat Arab jahiliah. Kebanyakan al-qawa`id al-
fiqhiyyah a-kulliyyah yang sekarang kita temukan dalma kitab al-asybah wa al-
nazha’ir atau buku himpunan al-qawa`id al-fiqhiyyah a-kulliyyah yang lainnya,
termasuk dalam prinsip kelompok kedua ini.
Ketiga, prinsip yang didapat sebagai hasil dari capaian atau kemajuan pengetahuan
ilmiah. Prinsip yang diperoleh dengan cara ini banyak yang merupakan prinsip baru
yang tidka dikenal pada masa lalu. Misalnya bentuk keluarga yang ada dalam
berbagai masyarakat di dunia pada dasarnya dapat dikembalikan kepada dua bentuk
saja: keluarga atau dan keluarga inti. Hubungan kekerabatan dan penarikan garis
keturunan yang ada di duia pada dasarnya hanya tiga buah saja yaitu, kekerabatan
dengan bentuk patrilineal, matrilineal atau bilateral (parental). Prinsip berikutnya,
berbagai istilah dalam hubungan kekeluargaan pada umumnya tidka universal, tetapi
terikat dengan budaya dan bentuk kekerabatan yang dipilih oleh masyarakat tersebut.
Prinsip yang diambil dari pengetahuan ini akan menjadi prinsip fiqih setelah terlebh
dahulu diteliti dan dikembalikan kepada al-qur’an. Contohnya bentuk keluarga di
atas. Penelitian yang relative luas di berbagai belahan dunia, menunjukkan bahwa
dalam masyaraat tradisional, bentuk keluarga pada umumnya adalah keluarga luas.
Tetapi dalam masyarakat industri bentuk tersebut mengarah dan bergeser kepada
bentuk keluarga inti. Untuk menyusun fiqih di bidang kekeluargaan, prinsip mana
yang akan kita pilih, apakah kita akan menyusun fiqih yang dianggap sesuai dengan
masyarkat dengan bentuk keluarga luas, atau kita akan memilih bentuk keluarga inti
dank arena itu mengarahan fiqih yang akan kita susun untuk memenuhi keperluan
masyarakat dengan bentuk keluarga inti ini.
Setelah nilai dan prinsip ditemukan, maka tafsir untuk seluruh rangkaian ayat
termasuk upaya pencarian `illat, akan dilakukan di bawah sinaran nilai dan prinsip yang
sudah diperoleh tersebut, tidak boleh berbeda apalagi bertentangan dengannya. Dengan
jalan pikiran seperti di atas maka nilai dan prinisp akan digunakan sebagai sarana yang
akan membimbing faqih menemukan `illat. `Dengan kata lain `illat harus sejalan dengan
prinsip dan nilai dasar. Karena itu kalau `illat yang ada dianggap tidak sejalan (lagi)
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 18

dengan prinsip dan nilai dasar, maka `illat itu perlu diberi makna baru dan bahkan diubah,
ditukar dengan `illat baru, agar sesuai dengan prinsip dan nilai dasar.
Mungkin juga dalam keadaan tertentu akan ada prinsip yang langsung berfungsi
sebagai `illat, yaitu prinsip yang berbentuk kualitas, sifat atau keadaan yang mememuhi
syarat `illat. Adapun prinsip yang bersifat abstrak, apalagi nilai dan nilai dasar yang
semuanya bersifat abstrak tidka dapat dijadikan sebagai `illat.

2.3. Contoh-contoh mengenai langkah penemuan dan perumusan `illat

2.3.1. Contoh untuk langkah penemuan dan perumusan `illat manshushah (yang
disebutkan di dalma Al-qur’an)
Seperti telah disebutkan di atas, berdasar penyebutannya di dalam nash, `illat
dibedakan menjadi dua macam, yang disebutkan di dalam nash dan yang tidka disebutkan
di dalam nash. Sedang yang disebutkan dibagi lagi menjadi dua, yang disebutkan secara
tersurat dan yang disebutkan secara tersirat.
Contoh `illat yang disebutkan secara tersurat adalah `illat untuk kebolehan
mengqasar shalat (memendekkan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat) yaitu safar
(melakukan perjalanan). Izin untuk mengqasar (memendekkan) shalat ditemukan dalam
satu ayat Al-qur’an saja, yaitu al-Nisa’ ayat 101. Makna ayat ini dan dua ayat di
bawahnya yang masih mempunyai hubungan relative langsung, penulis kutipkan lebih
kurang sebagai berikut.
Sekiranya kalian melakukan perjalanan di muka bumi, kalian tidka berdosa untuk
mengqasar (memendekkan) shalat, jika kalian kuatir shalat kalian akan terganggu oleh
orang kafir. Orang kafir itu benar-benar musuh kalian yang nyata.(101)
Wahai Muhammad, kalau kamu berada di tengah pasukan perang mukmin, lalu kamu
melakukan shalat bersama mereka, maka bagilah pasukanmu menadi dua kelompok.
Kedua kelompok berdiri shalat bersama kamu menghadapa musuh seraya memegang
senjata sampai ruku` pada rakaat pertama. Ketika kamu sujud pertama (pada rakaat
pertama), kelompok kedua tetap berdiri megnhadaap musuh. Setelah kelompok petama
selesai sujud, mereka mundur k belakang lalu digantikan kelompok kedua untuk sujud
kedua. Kelompok pertama menghadap musuh seraya memegang senjata. Setelah
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 19

kelompok kedua selesai sujud, kedua kelompok itu shalat rakaat kedua bersama kamu
sampai ruku. Ketika kamu sujud pertama (pada rakaat kedua) kelompok kedua ikut
sujud, sedang kelompok pertama tetap berdiri menghadap musuh. Setlah kelompok kedua
selesai sujud, kelompok pertama sujud kedua. Kemudian kamu salam bersama mereka.
Orang-orang kafir menginginkan kalian melengahkan senjata-senjata dan perlengkapan
perang kalian. Mereka ingin menyerang kalian dengan serangan mendadak dan
serentak. Kalian tidka ebrdosa meletakkan senjata-senjata kalian kaena gangguan hujan
atau karena sakit. Kalian harus tetap siap siaga dalam medan perang. Allah
menyediakan azab yang sangat menghinakan martabat orang-orang kafir.
Wahai kaum mukmin, jika kalian telah menyelesaikan shalat, hendaklah kalian tetap
mengingat Allah ketika berdiri, duduk atau berbaring. Jika kalian telah aman dari
gangguan orang kafir, maka laksanakanlah shalat seperti biasa. Shalat itu waktunya
telah ditetapkan bagi orng-orang mukmin dan berlaku untuk selamanya.
Mengenai hadis sebagai dalil, dalam kitab Fiqh al-Sunnah karangan Sayyid Sabiq,
dituliskan beberapa buah sebagai berikut.
1. Ya`la bin Umayyah bertanya kepada Umar bin Khaththab, bagaimana pendapat anda
tentang mengqasar shalat, berhubung dengan fiman Allah: “jika kalian kuatir shalat
kalian akan terganggu oleh orang kafir.” Pertanyaan anda ini juga menjadi
pertanyaan saya, sehingga saya ajukan kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda: Itu
merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada kalian semua, maka terimalah
sedekah-Nya itu. Hadis ini diriwayatkan (dikompilasikan) oleh Jamaah.
Selanjutnya Sayyid Sabiq masih menyebutkan hadis lain yang semakna, yang
diriwayatkan oleh orang lain dan dari jalur (sanad) yang lain (212).
2. Dari `Aisyah Ummul Mukminin, beliau berkata, pada mulanya, ketika masih di
Mekkah shalat diwajibkan dua-dua rakaat. Ketika Rasulullah pindah ke Madinah
maka shalat yang dua rakaat tersebut ditambah dua rakaat lagi (sehingga menjadi
empat) kecuali Maghrib karena merupakan witir untuk shalat siang hari dan Subuh
karena dianjurkan panjang bacaan ayatnya. Apabila beliau melakukan safar maka
beliau shalat seperti yang dulu-dulu maksudnya shalat yang diwajibkan ketika masih
di Mekkah. Hadis ini diriwayatkan (dikompilasikan) oleh Ahmad, Baihaqi, Ibnu
ibban dan Ibnu Khuzaimah. Rawi-rawi yang ada dalam sanad dianggap tsiqah (213).
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 20

3. Yahya bin Yazid berkata, saya bertanya kepada Anas bin Malik perihal mengqasar
shalat. Beliau menjawab, Rasulullah SAW apabila telah melakukan perjalanan sejauh
tiga mil atau tiga farsakh maka beliau melakukan shalat dua rakaat. Menurut Hafizh
Ibnu Hajar (al-`Asqalani), inilah hadis yang paling sahih dan paling tegas mengenai
jarak bepergian yang boleh mengqasar shalat (214).
4. Abu Sa`id al-Khudri berkata, apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu farsakh,
maka beliau mengqasar shalat. Diriwayatkan oleh Sa`id bin Manshur dan disebutkan
oleh al-Hafizh (al-`Asqalani) dalam kita al-Talkhish, tanpa diberi komentar sehingga
dapat dijadikan tanda bahwa beliau menerima hadis ini.
5. Anas berkata, saya shalat zuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di
Zulhulaifah dua rakaat. Hdis ini diriwayatkan oleh jamaah. Imam al-Syafi`i juga
meriwayatkannya dalam Kitab Al-Um. Muhaqqiq (editor) kitab Al-Um menyebutkan
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud. Dalam salah
satu riwayat disebutkan bahwa Nabi sesampai di Zulhulaifah berhenti untuk
menginap dan besoknya sesudah berada di atas kenderaannya beliau mulai bertalbiah
(315).
6. Dari Ibnu `Abbas, Nabi SAW dalam salah satu perjalanan menetap di suatu tempat
selama 19 hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat. Maka kami pun kalau
melakukan perjalanan dan menetap di suatu tempat selama 19 hari maka kami
mengqasar sahalat, tetapi jika lebih maka kami mengerjakan shalat secara sempurna
(empat rakaat). Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
7. Jabir bin `Abdullah berkata, ketika perang Tabuk Nabi menetap disana selama 20
hari (menunggu musuh) dan selalu mengqasar shalat. Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam al-Musnad.12
Muhammad Ali al-Shabuni ketika menafsirkan ayat tentang kebolehan orang sakit
dan musafir untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan (al-Baqarah 184), serta kebolehan

12
Dalam kitab sirah disebutkan bahwa Nabi mendapat kabar bahwa pasukan Romawi akan datang
menyerang kaum muslimin. Setelah bermusyawarah dengan para Sahabat, Nabi memutuskan untuk
menyongsong musuh ke perbatasan dan membawa pasukan bergerak sampai ke Tabuk. Di sini beliau
berkemah menunggu musuh sampai 20 hari. Karena musuh tidka dating, beliau memutuskan pulang ke
Madinah sebelum bertempur.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 21

musafir untuk mengqasar shalat (al-Nisa’ 101), menambahkan beberapa hadis yang
digunakan para ulama sebagai dalil sebagai berikut.
8. Dari Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda, wahai penduduk Mekkah kalian jangan
mengqasar shalat dalam perjalanan yang kurang dari empat burud, dari Mekkah
ke `Asfan. Diriwayatkan oleh Imam al-Syafi`i. (204)13
Mengenai hadis ini, dalam kitab Al-Um, disebutkan bahwa Imam al-
Syafi`i menerima hadis (dari Sufyan dari `Amru dari Ibnu `Abbas dan Ibnu
`Umar), bahwa Ibnu `Abbas ditanya (oleh penduduk Mekkah) apakah mereka
mengqashar shalat kalau bepergian ke Arafah. Ibnu `Abbas menjawab tidak.
Tetapi boleh kalau ke Asafan, Jeddah atau Tha’if. Menurut Sufyan, jarak paling
dekat tiga kota ini (yaitu Asafan) dengan Mekkah adalah 46 mil hasyimi, sama
dengan perjalanan dua hari, baik ketika berjalan kaki biasa ataupun bersama unta
yang membawa beban berat (Al-Um, 319).
Dari kutipan di atas terlihat, menurut al-Syafi`i sendiri riwayat ini bukanlah hadis
Nabi, tetapi penuturan Ibnu `Abbas. Tetapi menurut al-Shabuni riwayat ini
merupakan hadis Nabi.
9. Diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman
kepada Allah SWT dan hari akhirat untuk melakukan perjalanan yang jauhnya satu
hari satu malam kecuali bersama muhrimnya.
10. Dari Abdullah Ibnu Umar, disebutkan hadis yang sama dengan nomor sembilan,
tetapi dengan jarak tiga hari tiga malam, bukan satu hari satu malam. Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari (205).
11. Nabi bersabda, seorang mukim (yang menetap di rumah) diberi izin menyapu sepatu
ketika berwudhu’ selama satu hari satu malam, sedang untuk orang yang melakukan
perjalanan diberi izin tiga hari tiga malam. Ali as-shabuni tidka menyebutkan siapa
rawi hadis ini. (205)

13
Al-Shabuni menyatakan, satu burud sama dengan empat farsakh; jadi empat burud sama dengan 16
farsakh.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 22

Dari rangkaian ayat Al-qur’an dan hadis di atas, dalam hubungan dengan
penentuan (perumusan) `illat--mungkin ungkapan yang lebih tepat, untuk meneliti apakah
mungkin membuat pengertian (definisi) baru mngenai perjalanan yang membolehkan
qasar shalat, paling kurang ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah
hubungan perjalanan dengan qasar shalat merupakan hubungan sabab dengan musabbab
bih-nya, ataukah hubungan `illat dengan ma`lul-nya. Kedua, lepas dari apakah perjalanan
merupakan sebab atau `illat, berapa jarak atau waktu tempuh yang harus dilalui agar
seseorang yang melakukan perjalanan boleh mengqasar shalat. Ketiga, berapa lama
seorang yang melakukan perjalanan diberi izin untuk mengqasar shalat di tempat tujuan
perjalanan, sebelum pulang ke tempat asalnya. Keempat
Ulama kelihatannya tidka terlalu mempersoalkan apakah perjalanan akan
dijadikan sebagai `illat atau hanya sebagai sebab untuk kebolehan mengqasar shalat.
Kelihatannya mereka menganggap pembahasan ini tidak terlalu penting, karena tidka ada
pengaruhnya kepada hokum. Maksudnya apakah perjalanan dinyatakan sebagai sebab
atau dinyatakan sebagai `illat, hokum mengqasar shalat akan tetap seperti itu. Mengubah
perjalanan dari sebab mejadi `illat tetap tidka memberikan pengaruh apapun, karena tidak
dapat digunakan untuk memperluas (mengqiyaskan) hokum kebolehan mengqasar shalat
kepada keadaan (masalah) yang lain. Seperti di atas telah disebutkan, para ulama masa
lalu tidka menganggap penting pembedaan sebab dengan `illat dan lebih dari itu
cenderung memperhatikan `illat hanya dalam hubungan dengan keperluan qiyas.
Penulis sendiri cenderung berpendapat, kalau sebuah kualitas ditetapkan sebagai
sebab, maka definisi yang akan dibuat tentangnya cenderung mengacu kepada makna
secara kebahasaan saja, sehingga mungkin sekali tidak akan terpikirkan untuk
mengubahnya, walauun ada kemungkinan dan keperluan untuk itu. Sekiranya ada yang
berupaya untuk mengubah maknanya melalui langkah tahqiq al-manath—yang di atas
tadi sudah diuraikan, mungkin sekali akan ditolak, karena dianggap tidak perlu dan tidka
relevan. Sebaliknya kalau sebuah kualitas ditetapkan sebagai `illat, maka definisinya
mungkin sekali akan dikembangkan dan disempurnakan dari sekedar makna kebahasaan,
menjadi sesuatu yang lebih luas, lebih menyeluruh dan mungkin juga lebih rumit, melalui
langkah tahqiq al-manath. Lebih dari itu sekiranya dianggap perlu mencari makna baru
yang lebih tepat karena ada keperluan untuk itu (misalnya perbedaan geografis, alat
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 23

transportasi,kemajuan pengetahuan ilmiah), maka penggunaan langkah tahqiq al-manath


tetap dianggap relevan dan cenderung akan diterima oleh banyak pihak.
Lepas dari diskusi di atas, ‘perjalanan’ sebagai sebuah kualitas menurut penulis,
bukan hanya sekedar sebab, tetapi telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai `illat
bagi kebolehan mengqasar shalat dan berbuka pada bulan Ramadhan. Syarat zahir
dianggap dapat dipenuhi karena orang yang melakukan safar mudah diketahui, dia berada
di luar kota, bukan di kampung halaman atau tempat tinggalnya yang biasa. Syarat
munasib dianggap terpenuhi karena orang yang sedang dalam perjalanan wajar diberi
keringanan dalam melakukan ibadah misalnya mengashar shalat (dan juga menunda
puasa), karena bagaimana pun juga perjalanan secara umum, akan memberikan kesukaran
kepada orang yang melakukannya. Sedang syarat mundhabith, dianggap terpenuhi juga,
karena para ulama sudah membuat ukuran yang relative jelas untuk perjalanan yang
membolehkan qasar walaupun ukuran tersebut berbeda-beda, seperti akan diuraikan di
bawah.
Mengenai pendapat imam mazhab, mereka berbeda pendapat tentang jarak
perjalanan yang membolehkan qasar shalat sebagai berikut.
a. Daud al-Zhahiri dan Ibn Hazm (mazhab zahiriah) berpendapat bahwa seseorang boleh
mengqasar shalat dalam semua perjalanan, baik yang jauh ataupun yang dekat, yang
panjang ataupun yang singkat (Shabuni 202 dan 518). Alasannya hadis Nabi tentang
jarak safar yang membolehkan qasar shalat sangat beragam, dan pemahaman Sahabat
sesudah beliau wafat menjadi semakin beragam. Lebih dari itu dari hadis-hadis
tersebut tidka ada sebuah pun yang memberi petunjuk bahwa Nabi bermaksud
menjelaskan safar yang membolehkan qasar shalat. Karena itu makna perjalanan
harus dikembalikan ke makna bahasa (lugawiah) dan uruf masyarakat. Semua yang
menurut bahasa dan adat masyarakat di sebut perjalanan, dapat menjadi alasan untuk
kebolehan mengqasar shalat.
b. Al-Awza`i berpendapat perjalanan paling pendek yang membolehkan qasar shalat
adalah perjalanan satu hari (bermalam di tempat tujuan). Alasannya inilah yang
membedakan seorang musafir dengan seorang yang masih menetap. Kalau dia pergi
ke suatu tempat lalu pulang pada sore hari maka dia akan dianggap tidak melakukan
perjalanan, karena dia tidka bermalam di luar tempat tinggalnya. Shabuni 203
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 24

c. Imam al-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat qasar shalat boleh
dilakukan apabila perjalanannya berjarak paling kurang dua hari perjalanan. Mereka
menggunakan hadis yang diriwayatkan Imam al-Syafi`i dan hadis yang menyatakan
bahwa orang perempuan tidak boleh melakukan perjalanan tanpa muhrim kalau
berjarak dua hari dua malam perjalanan sebagai dalil. Dalil ini mereka kuatkan
dengan praktek yang dilakukan sebagian Sahabat setelah Rasulullah wafat, bahwa
mereka baru mengqasar shalat kalau perjalanan yang mereka lakukan berjarak dua
hari perjalanan atau lebih (203).
Imam al-Syafi`i sendiri, untuk diri pribadinya baru akan mengqashar shalat kalau
perjalanan yang dia tempuh tersebut berjarak tiga hari perjalanan. Kalau hanya
perjalanan dua hari maka dia tidak akan mengqashar shalat. Alasannya, pertimbangan
kehati-hatian saja (ihtiyath, al-Um 319). Selanjutnya Imam al-Syafi`i menyatakan,
kalau seorang musafir bermaksud mengqasar shalat sejak awal perjalanan, maka dia
baru boleh melakukannya setelah keluar dari lembah (al-baq`ah) tempat
pemukimannya sekiranya dia tinggal di gurun pasir, atau melewati rumah paling
ujung kalau dia tinggal di kampung atau kota (daerah pemukiman biasa) (319).
d. Imam Abu Hanifah dan al-Tsawri berpendapat bahwa seseorang boleh mengqasar
shalat kalau perjalanan yang dia lakukan berjarak tiga hari tiga malam (203). Dalil
yang beliau gunakan, hadis tentang kebolehan bagi orang yang melakukan perjalanan
untuk menyapu sepatu ketika berwudhu’ selama tiga hari. Selanjutnya hadis yang
melarang orang perempuan melakukan perjalanan yang lebih dari tiga hari kecuali
kalau didampingi oleh muhrimnya (205).
e. Dari Imam Malik diriwayatkan dua pendapat. Yang pertama, sama seperti jumhur
perjalanan dua hari dua malam, sedang yang kedua cukup perjalanan yang berjarak
satu hari (dan satu malam) dengan dalil hadis mengenai kewajiban orang perempuan
ditemani muhrim ketika melakukan prjalanan, hadis nomor …. di atas (204).

Menurut `Ali al-Shabuni perjalanan satu hari menurut para Sahabat dan para
ulama masa lalu, sama dengan delapan farsakh, perjalanan dua hari sama dengna 16
farsakh, sedang perjalanan tiga hari sama dengna 24 farsakh (518).14 Perbandingan jarak

14
Syakir Jamaluddin, Shalat Sesuai Tuntunan Nabi Saw. Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar
Shalat, LPPI UMY, Yogyakarta, edisi revisi, cet. 6, 2011, hlm. 137.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 25

tempuh dengan waktu tempuh di atas tentu harus dipahami ketika perjalanan dilakukan
dengna berjalan kaki, mengenderai unta, keledai atau kuda, atau naik perahu atau kapal,
baik yang dayung ataupun yang layar.

Sekiranya pendapat para ulama di atas dikembalikan kepada hadis-hadis yang


sebelumnya sudah dikutip, terlihat kecenderungan empat imam mazhab untuk lebih
mengutamakan sikap hati-hati (ihtiyath, seperti secara jelas disebutkan Imam al-Syafi`i).
Sebaiknya para musafir tetap menggunakan aturan umum (shalat empat rakaat, berpuasa
pada Ramadhan), dan tidak mudah mengambil rukhsah (keringanan menjadikan shalat
dua rakaat saja atau menund puasa ke waktu yang lain). Hal ini terlihat dari hadis dan
pendapat Sahabat yang mereka pilih sebagai dalil, yang umumnya merupakan yang
paling sempit. Perjalanan paling pendek yang mereka pilih adalah perjalanan satu hari,
setelah itu dua hari bahkan ada yang memilih tiga hari, semuanya dengan berjalan kaki.
Imam al-Syafi`i secara tegas menyatakan kehati-hatian ini. Walaupun dari segi dalil
beliau mengaku sudah boleh mengqasar shalat ketika perjalanan hanya berjarak dua hari
dua malam, beliau untuk kepentingan sendiri baru akan mengqasar shalat kalau
perjalanan itu berjarak tiga hari tiga malam atau lebih.
Kebalikan dari pendapat di atas al-Awza`i, Daud al-Zhahiri dan Ibn Hazm
cenderung mengutamakan kelapangan, mengambil praktek Nabi yang paling pendek atau
paling lapang. Karena itu apa saja yang menurut bahasa dan uruf sudah disebut
perjalanan sudah boleh menjadi `illat untuk mengqasar shalat menurut Daud dan Ibn
Hazm. Sedang al-Awza`i menganggapnya sebagai perjalanan yang bukan pergi pagi
polang sore (pelakunya musti bermalam di tempat tujuan, tidka pulang ke rumah pada
hari yang sama).
Beralih kepada buku fiqih yang beredar di Indonesia, mengenai jarak pejalanan
yang membolehkan shalat qasar, akan ditemukan dua kecenderungan. Pertama mengikuti
jarak tempuh yang digunakan Imam al-Syafi`i, yaitu empat farsakh (satu burud) lebih
kurang 89 km. Kedua mengikuti pendapat yang relatif longgar, semua perjalanan ke luar

Menurut beliau, satu burud sama dengan empat farsakh; satu farsakh sama dengan tiga mil; satu
burud sama dengan 48 mil. Dengan ukuran zaman sekarang, satu mil lebih kurang sama dengan
1,748 Km; jadi satu farsakh lebih kurang sama dengan 5,541 Km; dan satu burud lebih kurang
sama dengan 88.656 Km.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 26

kota. Mengikuti pendapat yang terakhir ini, orang yang pergi pagi ke luar kota dan pulang
sore hari, sudah dapat mengqasar shalat.
Beralih kepada berapa lama seseorang boleh mengqasar shalat di tempat tujuan
perjalanan, dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam hadis-hadis di atas disebutkan bahwa
Nabi pernah mengqasar shalat selama 20 hari berturut-turut ketika mereka menunggu
musuh dalam perang Tabuk. Dalam peristiwa Futuh Mekkah Nabi berdiam di Mekkah
selama 19 hari dan selama itu beliau mengqashar shalat. Sedang ketika haji Wada` Nabi
mengqasar shalat selama 10 hari. Para Sahabat, setelah Rasulullah wafat pernah
mengqasar shalat selama tiga bulan berturut-turut ketika mereka berada di daerah
Azerbaijan dalam perjalanan pulang ke Madinah. Mereka tertahan dan menetap di tempat
tersebut karena sungai yang harus mereka lalui dilanda banjir, sehingga tidka dapat
diseberangi.
Imam al-Syafi`i dengan pertimbangan kehati-hatian (ihtiyath), kelihatannya tidak
menggunakan hadis di atas sebagai dalil, tetapi menggunakan hadis mengenai keizinan
menyapu sepatu ketika berwudhu`. Dalam hadis tersebut Nabi memberi izin kepada
orang yang melakukan perjalanan untuk menyapu sepatu ketika berwudhu` selama tiga
hari. Menurut beliau ketentuan ini dipedomani juga untuk qasar shalat. Kalau seseorang
berniat akan menetap disuatu tempat lebih dari tiga hari, maka setelah waktu tiga hari itu
lewat, dia tidak boleh lagi mengerjakan shalat secara qasar. Dia harus mengerjakan shalat
secara sempurna (empat rakaat). Dari fakta ini kelihatannya dapat disimpulkan bahwa
Imam al-Syafi`i sangat menekankan unsur niat dari orang yang melakukan perjalanan.
Kalau dia berniat untuk menetap tidak lebih dari tiga hari, tetapi kadaan memaksa dia
untuk menetap lebih dari tiga hari, maka dia boleh mengqasar shalat secara terus
menerus. Misalnya dia tahu urusannya tidka akan selesai dalam waktu tiga hari, atau
terjadi musibah banjir atau musibah lain yang diprediksi tidka teratasi dalam waktu tiga
hari, maka dia boleh mengqasar shalat, apabila dia berniat tidka menetap di tempat
tersebut lebih dari tiga hari. Tetapi kalau (misalnya setelah melihat fakta) lalu dia berniat
tinggal lebh dari tiga hari di tempat tersebut, maka dia tidak boleh lagi mengqasar shalat
setelah waktu tiga hari itu lewat. Mungkin pertinbangan yang diajukan Imam al-Syafi`i
sama seperti jarak safar di atas, adalah pertimbangan ihtiyat (kehati-hatian) dan bukan
kelapangan.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 27

Mengenai niat dan tujuan melakukan perjalanan, para imam mazhab


membahasnya menjadi apakah perjalanan dilakukan dengan tujuan yang mubah, atau
tujuan maksiat. Kalau alasan dan tujuannnya untuk melakukan pekerjaan mubah, semua
mereka sepakat boleh menjadi alasan untuk mengqasar shalat. Tetapi kalau tujuan
perjalanan adalah melakukan perbuatan maksiat, misalnya untuk membunuh atau
mencuri, jumhur ulama cenderung untuk menyatakannya tidka boleh menjadi alasan
untuk mengqasar shalat. Menurut mereka rukhsah (keringanan) yang diberikan Allah
hanya berlaku bagi kegiatan yang bukan maksiat. Menurut jumhur tidak patut orang yang
melakukan maksiat diberi keringanan dalam beribadat (Shabuni 517). Sedang mazhab
hanafiah menganggap semua orang yang melakukan perjalanan wajib mengqasar shalat
karena menurut mereka, seperti di atas telah disebutkan, mengqasar shalat adalah azimah
(wajib) untuk semua musafir, bukan rukhshah. (517)
Beralih kepada upaya untuk memberikan pengertian baru karena adanya
kemajuan pengetahaun ilmiah dan teknologi kepada perjalanan (safar) dalam
kedudukannya sebagai `illat, maka uraian di bawah akan diurutkan sesuai dengan
sistematika di atas, menjadi uraian tentang jarak safar, waktu menetap di tempat tujuan
yang masih dianggap sebagai perjalanan, dan niat serta tujuan melakukan perjalanan yang
membolehkan qasar shalat. Mengenai jarak atau waktu tempuh, ada satu hal yang perlu
dipikirkan ulang secara masak-masak. Pada masa lalu, mulai zaman Nabi, zaman
Sahabat, zaman imam mazhab (zaman keemasan Islam secara politik, ekonomi, militer
dan penguasaan pengetahuan ilmiah), sampai ke zaman taklid (zaman keterpurukan Islam
secara politik, ekonomi, militer dan penguasaan pengetahuan ilmiah), perbedaan waktu
tempuh untuk jarak yang sama, dengan berbagai moda transportasi, relatif tidka berbeda
secara menyolok, sehingga dapat dianggap seragam. Perbedaan waktu tempuh untuk
jarak delapan farsakh antara berjalan kaki, naik unta, naik kuda, naik perahu (dayung atau
layar) relative sama, semuanya menghabiskan lebih kurang satu hari perjalanan. Sedang
sekarang ini setelah kehadiran dan kemajuan teknologi yang relative sangat berbeda
dengan masa lalu, maka perbedaan (disparitas) waktu tempuh untuk jarak yang sama
pada berbagai alat (moda) transportasi menjadi sangat mencolok. Jarak yang dapat
ditempuh selama satu hari berjalan kaki, relative sangat berbeda dengan satu hari naik
sepeda motor atau mobil (tentu dalam keadaan normal, bukan melalui jalan yang sangat
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 28

buruk) atau naik perahu atau kapal bermotor di lautan. Jarak ini menjadi lebih berbeda
lagi kalau dilakukan dengan naik kapal terbang. Kalau pada masa lalu orang biasa
melakukan perjalanan sampai berbulan-bulan untuk sampai ke tujuan, sekarang ini
perjalanan dengan pesawat terbang dalam waktu tiga hari sudah dianggap lama, karena
kalau kita terbang secara terus menerus maka dalam waktu tersebut sudah dapat
mengelilingi bumi. Karena itu menurut penulis perlu perumusan ulang tentang jarak atau
waktu tempuh perjalanan yang membolehkan seseorang melakukan shalat qasar.
Adanya berbagai alat transportasi dengan kecepatan yang beragam pada masa
sekarang, menurut penulis menjadikan ukuran tentang jarak perjalanan yang mebolehkan
qasar shalat perlu dirumuskan ulang. Menggunakan ukuran yang dipakai jumhur ulama,
yaitu perjalanan dua atau tiga hari sebagai `illat untuk mengqashar shalat mungkin akan
terlalu sempit. Kita pada masa sekarang, jarang sekali melakukan perjalanan yang
menghabiskan waktu sampai dua hari di perjalanan. Pergi ke Mekkah dengan kapal
terbang hanya menghabiskan waktu satu hari. Tetapi kalau pergi ke Madinah dengan
kapal terbang melalui Jeddah, lalu disambung dengan bus (tanpa tidur bermalam di
Jeddah), maka kita hanya menghabiskan waktu satu hari satu malam saja. Jadi belum
sampai dua hari seperti yang ditentukan oleh jumhur di atas.
Sekiranya kita gunakan kecendeurngan sebagian buku fiqih yang mengubah
ukuran tersebut dari waktu tempuh menjadi jarak tempuh, yaitu sekitar 90 km. megikuti
pendapat dalam mazhab Syafi`iah atau sekitar 135 km mengikuti pendapat dalam mazhab
Hanafiah, maka perbedaan waktu tempuh antara orang yang melakukan perjalanan
dengan berjalan kaki dengna orang yang mengendarai mobil apalagi naik kapal terbang
menjadi sangat berbeda. Bagi pejalan kaki perlu waktu dua atau tiga hari untuk
menempuh perjalanan tersebut. Sedang bagi pengendara mobil perlu waktu beberapa jam
saja. Sedang bagi pengendara kapal terbang sekiranya diukur dari bandara ke bandara
maka perjalanan itu memerlukan waktu kurang dari satu jam. Karena perbedaan
kecepatan alat transportasi yang sangat tinggi ini, penulis merasa tidka secara begitu saja
ukuran waktu tempuh yang ada dalam mazhab dapat ditukar dengan ukuran jarak
tempuh seperti dalam banyak buku fiqih yang ditulis pada masa sekarang.
Untuk itu, sebelum melakukan pemahaman ulang, penulis mengusulkan agar ayat
dan hadis dipahami secara mawdhu`i, dengan terlebih dahulu mencari dan merumuskan
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 29

nilai dan prinsip yang ada di dalamnya. Karena hanya ada satu ayat Al-qur’an,
sedangkan hadis yang ada cenderung merupakan hadis fi`liah, maka penulis mengusulkan
agar kita menjadikan keumuman Al-qur’an sebagai pegangan utama, dan hadis-hadis
mengenai perjalanan Nabi sebagai penjelas yang akan dipahami sebagai satu kesatuan,
pertama-tama untuk memperoleh prinsip yang terkandung di dalamnya dan baru setelah
itu mencari definisi perjalanan sebagai `illat kebolehan mengqasar shalat. Seperti telah
diuraikan di atas, nilai umum dan utama fiqih ada tiga yaitu pengabdian (penghambaan)
kepada Allah SWT, kemaslahatan, dan keadilan. Nilai pengabdian yang ada dalam ayat
relative mudah ditemukan, karena masalah shalat dan izin untuk mengqasar shalat masuk
dalam masalah ibadah. Tetapi nilai ibadah ini tidak seluruhnya dalam makna ta`abbudi.
Bahwa qasar shalat boleh dilakukan karena melakukan perjalanan masuk dalam kategori
ta`abbudi. Tetapi apa pengertian safar (perjalanan) yang menyebabkan seseorang boleh
mengqasar shalat, menurut penulis tidka masuk dalam pengertian ta`abbudi, karena
Rasulullah tidak menjelaskannya dalam bentuk yang dapat diamalkan secara langsung.
Pengertian perjalanan ini perlu dipikirkan dan dirumuskan melalaui penelitian dan
pemikiran, lebih-lebh lagi pada masa sekarang karena adanya kemajuan pengetahuan
ilmiah dan teknologi. Karena itu masalah pengertian safar masuk dalam kategori
ta`aqquli. Maksudnya hadis-hadis tersbut perlu dipahami dan ditafsirkan dengan logika
yang jernih dan pemikiran sistematis. Rasulullah tidak menjelaskan makna safar dengna
kata-kata, tetapi dengan praktek. Beliau bersama-sama dengan Sahabatnya mengqasar
shalat ketika melakukan perjalanan keluar kota dan tidka pulang pada hari yang sama.
Nilai kemaslahatan mengharuskan kita memahami hadis-hadis tersebut dalam upaya
memberikan kelapangan dan kemudahan kepada umat, dan karena itu tidak patut
sekiranya dipahami secara sempit. Sedangkan nilai keadilan, hendaknya
mempertimbangkan perbedaan alat transportasi yang sekarang dipakai umat manusia,
sehingga akan dirasakan adil atau paling kurang lebih adil oleh orang-orang yang
melakukan perjalanan, apapun moda yang mereka gunakan.
Dengan demikian sekiranya hadis-hadis mengenai qasar shalat dilihat di bawah
sinaran nilai-nilai di atas, akan ditemukan prinsip bahwa izin mengqasar shalat
merupakan keringanan yang diberikan Allah dan Rasulullah kepada orang yang
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 30

melakukan perjalanan (safar). Sedang perjalanan di sini dipahami sebagai bepergian


ke luar kota dan tidka pulang pada hari yang sama.
Dalam upaya pemahaman ulang ini, hadis-hadis mengenai jarak dan waktu
tempuh ini dapat kita bagi dua, hadis yang menjelaskan tempat paling dekat yang menjadi
tujuan Nabi ketika melakukan safar dan jarak paling dekat yang sudah beliau tempuh
ketika mulai melakukan qasar shalat. Mengenai kota (tempat) tujuan paling dekat yang
membolehkan seseorang mengqasar shalat disebutkan Nabi di dalam hadis qawliyyah,
bahwa orang Mekkah tidak boleh mengqashar shalat kalau bepergian ke Arafah (berjarak
sekitar satu burud, 4 farsakh, atau 20 km). Mereka baru boleh mengqasar shalat kalau
bepergian ke `Asafan, Jedah atau Taif. Daerah ini bejarak sekitar empat burud (16
farsakh) dari Mekkah dan perlu waktu dua hari untuk menjalaninya pada masa Rasulullah
(dengan berjalan kaki atau menunggang unta). Mengenai jarak atau waktu paling dekat
ketika Nabi mulai mengqasar shalat disebutkan dalam hadis fi`liah bahwa beliau mulai
mengqasar shalat ketika beliau sudha berada di Zulhulaifah dalam perjalanan menuju
Mekkah. Bahkan ada hadis lain yang menyatakan Nabi melakukan shalat secara qasar
setelah berjalan sekitar tiga mil atau satu jam dari Madinah. Menurut penulis--mengikuti
jalan pikiran di atas, akan lebih maslahat dan lebih adil sekiranya kita tetap menggunakan
waktu tempuh sebagai ukuran untuk perjalanan yang membolehkan qasar shalat, dan kita
mengambil jarak yang paling pendek yang pernah dilakukan Nabi. Pilihan ini dilakukan
berdasar fakta adanya perbedaan kecepatan yang sangat tinggi pada berbagai macam alat
transportasi masa sekarang seperti telah diuraikan di atas. Kalau kita mengambil hadis
yang paling lama, yaitu perjalanan dua hari, apalagi kalau kita mengambil yang tiga hari,
maka banyak orang yang melakukan safar pada masa sekarang tidak mendapat
keringanan untuk mengqasar shalat.
Untuk melengkapi pembahasan di atas, perlu pertimbangan mengenai orang yang
jarak rumah dengan tempat kerjanya lebih dari 16 farsakh, tetapi dapat ditempuh dalam
waktu beberapa jam, bahkan kurang dari satu jam. Dengan alat transportasi yang relative
sudah sangat cepat, mereka biasa pergi pada pagi hari dari rumah ke tempat kerja, dan
pulang kembali pada sore hari, walauun jarak tersebut lebih dari 16 farsakh. Sekiranya
hadis qawliyyah yang menyatakan bahwa orang Mekkah tidka boleh mengqasar shalat
ketika pergi ke Arafah, tetapi boleh mengqasar shalat ketika melakukan perjalanan ke
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 31

Jeddah, Taif atau `Asafan, dijadikan dalil dan dipahami secara harfiah, maka orang
Mekkah yang pergi ke salah satu dari tiga kota tersebut pada pagi hari dan pulang pada
sore hari, sudah boleh mengqasar shalat. Menurut penulis, pada masa sekarang,
pemahaman ini akan dirasakan tidka adil karena orang yang mempunyai mobil (dan jalan
rayanya mulus) sudah dapat melakukan qasar shalat dengan perjalanan lebih kurang satu
jam, sedang orang yang berjalan kaki baru boleh mengqasar shalat apabila melakukan
perjalanan selama dua hari. Untuk dirasakan lebih adil, maka perjalanan satu jam sebagai
ukuran yang membolehkan qashar shalat yang ada dalam salah satu hadis di atas, akan
digunakan sebagai perhitungan dasar, tetapi perlu ditambah dengan syarat lain, yaitu
tidka pulang pada hari yang sama, agar perjalanan tersebut betul-betul dianggap sebagai
perjalanan merantau, bukan perjalanan harian biasa.
Menurut bahasa, serta uruf dan kelaziman, orang yang pergi pagi dan pulagn sore
hari tidka dinamakan musafir. Seseorang dianggap melakukan perjalanan (musafir) kalau
dia pergi ke luar daerah tempat tinggalnya dan tidak pulang pada hari yang sama. Dengan
demikian orang yang pergi ke tempat kerja pada pagi hari dan pulang pada sore hari
bukanlah musafir dan mereka tidka berhak mengerjakan shalat secara qasar. Musafir
adalah orng yang pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak lebih dari satu jam
perjalanan dan dia tidak pulang ke rumahnya pada hari yang sama. Kalau jalan pikiran ini
dapat diterima, maka definisi safar yang akan kita pilih ini relative dekat dengna definisi
yang sudah dikemukakan oleh Imam al-Awza`i pada masa lalu.
Beralih ke masalah berikutnya, tentang lamanya waktu menetap seseorang di
tempat tujuan, apabila masa menetap Nabi di tempat tujuan yang ada dalam hadis-hadis
di atas kita pertimbangkan dari sudut kelapangan, maka waktu menetap seseorang di
suatu tempat di dalam perjalanannya adalah mungkin untuk ditmbah lebih dari tiga hari.
Kalau praktek Nabi digunakan sebagai ukuran, akan kita temukan laporan bahwa Nabi
pernah menetap di Tabuk selama 20 hari, dan beliau mengqasar shalat secara terus
menerus. Daam penelitian penulis, menetap selama 20 hari di Tabuk merupakan waktu
paling panjang yang dihabiskan Nabi pada satu tempat dalam perjalanan yang pernah
beliau lakukan. Kalau praktek Sahabat Nabi digunakan sebagai ukuran akan kita
temukan laporan bahwa mereka pernah melakukan shalat qasar selama tiga bulan secara
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 32

terus menerus, ketika harus menunggu sampai air sungai yang akan mereka seberangi--
yang ketika itu sedang banjir besar, surut dan normal seperti sedia kala.
Sekiranya hadis-hadis ini dihubungkan dengn makna perjalanan dalam arti yang
luas berdasarkan uruf dan kelaziman, maka kita mungkin untuk berpendapat bahwa orang
masih dinaggap dalam perjalanan, apabila bepergian dari tempat tinggal asalnya, lalu
menetap di suatu tempat untuk waktu sementara, dan akan pulang ke rumah asal (tempat
tinggal keluarganya) setelah urusannya selesai. Berhubung urusan yang harus dikerjakan
seseorang di dalam perjalanan amat sangat beragam, dan waktu yang mereka perlukan
untuk menyelesaikannya amat sangat bervariasi, maka ukuran waktu menetap yang
disebut perjalanan yang membolehkan seseorang melakukan qasar shalat, akan bijaksana
sekiranya kita pulangkan kepada keperluan masing-masing orang.
Mungkin bermanfaat sekiranya disebutkan, berdasarkan pertimbangan `uruf
(kebiasaan dan kelaziman), setiap orang hanya mempunyai satu tempat sebagai domisili
(alamat tetap) pada suatu waktu. Kalau dia pergi untuk sementara dari tempat tersebut,
maka dia aka dianggap sebagai musafir (melakukan perjalanan). Kalau dia pergi untuk
waktu yang lama (apalagi selamannya) maka dia akan dianggap pindah dari tempat
tersebut. Contohnya, A berdomisili di kota (kampong) B. Dia mendapat beasiswa selama
dua tahun untuk belajar di kota C yang berjarak sekitar 90 menit penerbangan dari kota B
(sekitar 14 jam perjalanan dengan bus). Kepergiannya dari kota B menuju kota C sudah
dianggap musafir, karena jarak dua kota ini telah melebihi batas safar yang diperlukan
untuk kebolehan mengqasar shalat (satu jam perjalanan). Sekiranya A sesampainya di
kota C, langsung mempersiapkan segala sesuatu sehingga dia merasa kota C sebagai
domisili selama dua tahun yang akan dating, maka dia telah menjadi penduduk di kota C
(pindah ke kota C), bukan lagi musafir. Dengan demikian ketika dia pulang ke kota B,
misalnya pada musim liburan, atau karena suatu alasan lain, maka dia dapat dianggap
sebagai musafir yang melakukan perjalanan ke kota B (karena dia sudah memilih kota C
sebagai domisili untuk waktu dua tahun). Sebaliknya kalau dia menganggap kota C
adalah tempat tinggal untuk sementara, dan dia tidak pernah merasa nyaman, susah
beradaptasi dengan lingkungan, sehingga berada dalam kesulitan secara berkelanjutan,
maka dia dapat menganggap diri sebagai musafir selama berada di kota C dan boleh
mengqasar shalat. Karena itu ketika dia pulang (berkunjung) ke kota B, misalnya untuk
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 33

berlibur atau mengunjungi keluarga, maka dia tidka boleh mengqashar shalat selama
berada di kota B, karena kota ini masih merupakan domisili yang dia pilih.
Lebih dari itu apabila perjalanan yang dilakukan Rasulullah diperhatikan, begitu
juga perjalanan yang dilakukan para Sahabat, akan kita lihat fakta bahwa beliau dan
Sahabat selalu melakukan perjalanan karena ada tujuan yang jelas yang akan dicapai,
bukan melakukan perjalanan karena ingin menikmati perjalanan itu sendiri. Misalnya
untuk berperang, berdagang, menunaikan ibadah (haji), atau mengunjungi keluarga untuk
silaturrahim. Keadaan ini sampai batas tertentu sudah berbeda dengan keadaan sekarang,
karena pada masa sekarang banyak orang yang melakukan perjalanan karena ingin
menikmati perjalanan itu sendiri (melancong, wisata, bersantai), bukan untuk
menyelesaikan tujuan yang lain (misalnya belajar, bisnis, kunjungan keluarga). Karena
itu mungkin perlu juga pembahasan dan perumusan ulang mengenai pengertian
perjalanan secara umum untuk kebolehan mengqasar shalat.

2.3.2. Langkah perumusan `illat ghayr manshushah (ijtihadiah, tidka disebutkan


dalam Al-qur’an atau Hadis)
Contoh untuk masalah ini penulis ambil masalah larangan meminum khamar. Al-qur’an
menyebutkan larangan meminum khamar dalam beberapa ayat. Begitu juga banyak hadis
yang menjelaskan larangan meminum khamar. Sehingga para ulama sepakat menyatakan
hokum meminum khamar adalah haram. Pada sebagian ayat dan hadis larangan ini
(secara langsung atau tidak), dikaitkan dengan sifatnya yang memabukkan, sedang pada
ayat dan hadis yang lain tidak dikaitkan dengan mabuk. 15 Dalam surat al-Baqarah ayat
219 disebutkan yang maknanya lebih kurang, Wahai Muhammad, orang-orang bertanya
kepadamu tentang minum khamar dan berjudi. Katakanlah bahwa meminum khamar dan
berjudi adalah dosa besar, namun ada juga manfaatnya bagi manusia. Sekalipun
demikian, dosanya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Wahai Muhamamd, orang-
orang bertanya kepadamu, kapan mereka harus mendermakan hartanya. Katakanlah,
bila mereka memiliki harta lebih dari keperluan mereka. Demikianlah Allah menjelaskan

15
Dalam Al-qur’an lafaz khamar ditemukan enam kali. Dua mengenai kawan Nabi Yusuf di dalam penjara,
satu mengenai sungai khamar sebagai minuman di dalam surga, dan tiga kali mengenai larangan untuk
meminumnya.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 34

syariat-Nya secara rinci kepada kalian, supaya kalian mau memikirkan kebahagiaan diri
kalian.

Dalam al-Nisa` ayat 43, disebutkan larangan untuk mengerjakan shalat dalam keadaan
mabuk, yang oleh para ulama dikaitkan juga dengan khamar. Makna ayat tersebut,

Wahai kaum mukmin, janganlah kalian melakukan shalat di saat kalian mabuk, sehingga
kalian menyadari ucapan-ucapan kalian. Janganlah kalian masuk masjid ketika kalian
sedang junub, sehingga kalian bersuci, kecuali sekedar lewat. Jika kalian sakit atau
dalam perjalanan atau salah seorang dari kalian selesai buang hajat, atau setelah kalian
bersetubuh dengan isteri kalian, lalu kalian tidka mendapatkan air, maka kalian boleh
bertayamum dengan debu yang bersih. Ketika bertayamum, usaplah wajah-wajah kalian
dan tangan-tangan kalian, sampai pergelangan tangan. Allah Maha Pemberi maaf lagi
Maha Pengampun.

Sedang dalam al-Maidah ayat 90 dan 91 disebutkan,

Wahai kaum mukmin, minuman keras, judi, penyembelihan hewan untuk berhala, dan
pengundian nasib adalah hal yang kotor bagian dari perbuatan setan, Karena itu
jauhilah perbuatan-perbuatan kotor itu supaya kalian mendapatkan keselamatan di
dunia dan akhirat (90).

Wahai kaum mukmin, setan hanya ingin membenamkan kalian dalam rasa permusuhan
dan kebencian karena minuman keras dan judi. Setan ingin melalaikan kalian dari
mengingat Allah dan melaksanakan shalat. Karena itu mengapa kalian tidka mau
berhenti dari perbuatn kotor itu (91).

Menurut kebanyakan ulama ayat dalam surat al-Baqarah merupakan yang pertama
turun, setelah itu diikuti dengan ayat dalam surat al-Nisa`, dan yang terakhir adalah ayat
dalam surat al-Ma’idah.

Mengenai hadis sebagai dalil keharaman khamar, di dalam kitab Fiqh al-Sunnah
disebutkan sebagai berikut.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 35

Karena itu sebagian ulama (terutama mazhab hanafiah) membedakan khamar


dengan benda lain yang bukan khamar tetapi memabukkan. Khamar diharamkan karena
`ain-nya (bendanya)-- karena dia bernama khamar, jadi tidak perlu meminumnya sampai
mabuk baru dianggap haram. Untuk keharaman meminum khamar tidak perlu mencari
`illat, cukup dengan memahami ayat secara lugawiah. Adapun benda lain yang bukan
khamar tetapi memabukkan, maka diharamkan meminumnya kalau sampai ke tingkat
mabuk. Kalau yang diminum itu sedikit, sehingga tidak akan menyebabkan mabuk (tidak
sampai ke tingkat mabuk dalam batas yang wajar) maka tidka dianggap haram. Jadi
keharaman benda yang bukan khamar tersebut adalah karena sifat mabuk (`illat) yang ada
padanya, bukan karena `ain-nya.
Namun sebagian ulama menyatakan bahwa minuman khamar diberi hukum haram
karena nash menyatakan demikian, haram karena zat atau `ain khamar itu sendiri. Jadi
tidak ada sebab atau alasannya, baik yang rasional ataupun yang tidak rasional. DEngan
kata lain tidak perlu mencari-cari `illatnya. Menurut mereka ini khamar dalam keadaan
bagaimanapun (mabuk atau tidak mabuk, asal namanya khamar) adalah haram untuk
diminum. Menurut kelompok ini sifat mabuk diperlukan sebagai sebab (`illat) untuk
keharaman minuman lain yang bukan khamar; jadi bukan untuk khamar itu sendiri. Jadi
minuman yang bukan khamar akan menjadi haram diminum sekiranya mengandung sifat
mabuk. Kelompok ini memahami khamar sebagai nama untuk minuman tertentu yang
memabukkan (terbuat dari peraan anggur), bukan sifat untuk semua minuman yang
memabukkan.
Sekiranya `illat tidak disebutkan secara tersurat di dalam nash, maka pencarian
`illat dilakukan dengan cara menghimpun semua sifat atau keadaan yang patut diduga
menjadi alasan logis adanya hukum atas suatu perbuatan itu. Pencarian ini dilakukan
dengan cara sedemikian rupa, sampai ketingkat ada keyakinan tidak ada lagi sifat,
keadaan atau sesuatu yang lain yang masih mungkin untuk dijadikan sebagai `illat untuk
perbuatan tersebut. Pencarian tersebut dinamakan ”sedemikian rupa” karena sifat,
keadaan atau sesuatu yang akan dihimpun tersebut diperoleh dengan cara memahami
secara mawdhu`i dalil-dalil yang sudah dihimpun, seperti telah disebutkan di atas. Kalau
perlu kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang, yang boleh jadi akan menggunakan
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 36

berbagai ragam tata pikir dan logika yang ada, yang dianggap mungkin dan tepat untuk
digunakan. Kegiatan ini penulis sebut sebagai langkah takhrij al-manath.
Contoh lainnya, adalah pencurian. Mencuri hukumnya haram dan mencuri adalah
sebab (`illat) untuk penjatuhan hukuman potong tangan. Keharaman mencuri walaupun
tidak tercantum secara jelas di dalam Al-qur’an tetapi tidak terlalu sukar untuk
memperolehnya karena ada beberapa ayat Al-qur’an dan hadis yang melarang kita
mengambil hak (milik) orang lain secara tidak sah, dan mencuri termasuk perbuatan
mengambil hak (milik) orang lain secara tidak sah. Sedang mengenai mencuri sebagai
sebab (`illat) penjatuhan hukuman potong tangan tercantum dalam Al-qur’an, secara
relatif jelas dan gamblang. Tetapi apa dan bagaimana pengertian pencurian yang
menyebabkan hukuman potong tangan dapat dijatuhkan, tidak disebutkan secara jelas di
dalam Al-qur’an dan tidak juga di dalam hadis Nabi Muhammad, sehingga mau tidak
mau harus dibuat dan dirumuskan oleh para ulama. Menurut penulis definisi pencurian
yang hukumnya haram dengan pencurian yang dijatuhi hukuman potong tangan tidaklah
sama, dan boleh jadi berdasarkan kepada `illat yang juga tidak sama.
Persyaratan pada pencurian yang dijatuhi hukuman potong tangan dapat
dipastikan adalah lebih berat dari persyaratan pencurian yang diberi hukum haram (yang
mungkin juga dapat dijatuhi hukuman ta`zir). Sepanjang bacaan penulis, hadis yang ada
dalam kaitan dengan hukuman potong tangan ini hanyalah memberi penjelasan tentang
nisab barang curian yang menyebabkan dijatuhkan hukuman potong tangan, dan itupun
masih mengandung beberapa ”misteri” yang memerlukan kajian lebih lanjut. Sekiranya
kita perhatikan diskusi antara Khalifah `Umar dengan pemilik unta dan beberapa Sahabat
yang di atas tadi telah penulis kemukakan, terlihat bahwa `Umar sangat mementingkan
”rasa keadilan dan kemaslahatan” dan tidak terpaku kepada arti formal pencurian
menurut bahasa. Bagaimana merumuskan dan mempertimbangkan keadilan dan
kemaslahatan yang mencakup kepentingan orang yang mencuri, keluarga orang yang
mencuri( ada anggotanya yang akan dijatuhi hukuman potong tangan), orang yang dicuri
(yang barangnya rusak, hilang, yang seharusnya dilindungi, yang mungkin sekali dia
peroleh dan dirawat dengan susah payah) serta masyarakat tempat pencurian dilakukan
(muncul perasaan tidak aman, takut akan kecurian, perlu menciptakan solidaritas sosial
dan bahkan kesetia-kawanan sosial), dan juga aparat penegak hukum yang terlibat dalam
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 37

proses penegakan hukum mulai dari kepolisian sampai kepada hakim dan pengacara
(telah bekerja keras, capek, ada resiko dianiaya, ada resiko menganiaya [melakukan
pemeriksaan secara tidak profesional] sehingga merugikan si pencuri). Lebih dari itu apa
kira-kira tujuan menjatuhkan hukuman kepada si pencuri, apakah sekedar pembalasan
ataukah ada tujuan untuk menghentikan dan menakut-nakuti masyarakat agar tidak
mencuri atau meperbaiki si pencuri sendiri sehingga menyesali perbuatannya dan tidak
akan mengulanginya lagi? Atau kedua tujuan ini secara bersamaan? Semua ini harus
dipikirkan dan dipertimbangkan ketika merumuskan pengertian pencurian, sehingga akan
jelas beda antara pencurian yang akan dijatuhi hukuman potong tangan dengan pencurian
yang akan dijatuhi hukuman ta`zir dan pencurian yang hanya sekedar dikenakan hukum
taklifi (haram, berdosa tapi tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan di dunia).
Kegiatan mencari dan merumuskan `illat (nota bene adalah sebab, dan karena itu
merupakan kegiatan untuk merumuskan hukum syara’) adalah kegiatan yang sangat
terbuka dan karena itu mungkin akan sangat produktif. Kegiatan ini sekiranya ditekuni
secara sungguh-sungguh dan dengan cara yang memenuhi syarat, maka menurut penulis
akan dapat menjadi salah satu jembatan yang menghubungkan tradisi fiqih masa lalu
dengan kemajuan pengetahun ilmiah dan kebutuhan masyarakat muslim zaman modern.
Dengan menggunakan metode ini berbagai peristilahan, konsep dan perbuatan hukum
(lembaga hukum) dapat disempurnakan dan disesuaikan pengertiannya dengan kemajuan
pengetahuan ilmiah dan dengan keadaan dan kebutuhan zaman modern.
Salah satu contoh untuk hal tersebut adalah pengertian ”keluarga” (ahl, `a’ilah,
usrah). Di dalam ilmu fiqih lafaz, istilah atau konsep ini tidak didefinsikan secara jelas.
Tetapi hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan telah diciptakan
dan dirumuskan mulai dari, orang yang boleh dan tidak boleh dikawini, tata cara
perkawinan, kewajiban nafkah, hubungan kekerabatan, aturan, tatacara dan akibat dari
perceraian, hubungan nasab, sampai kepada aturan kewarisan, kewasiatan dan
sebagainya. Sekiranya kita gunakan hasil ilmu pengetahuan modern yang sekarang sudah
ada, dalam hal ini antropologi, untuk menjelaskan konsep ”keluarga” tersebut, akan kita
ketahui bahwa di dunia ini pada dasarnya hanya ada dua konsep dasar keluarga, yaitu
“kelurga inti” dan “keluarga luas”.
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 38

Kalau temuan antropologi ini kita gunakan untuk mengukur hasil ijtihad para
ulama masa lalu di bidang fiqh munakahat, akan dapat disimpulkan bahwa hukum-hukum
tersebut dirumuskan ketika pengertian keluarga secara antropologi berada dalam konsep
“keluarga luas” atau dengan kata lain diurumuskan untuk memenuhi kebutuhan
masyarkat yang menganut bentuk keluarga luas. Pada zaman modern, kecenderungan
yang ada dalam masyarakat mengarah kepada bentuk keluarga dengan konsep “keluarga
inti”. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kecenderungan umum (salah satunya
adalah mobilitas penduduk yang relatif sangat tinggi) boleh dikatakan semuanya menuju
ke arah perluasan penggunaan (pembentukan) keluarga inti. Pada zaman modern ini anak
yatim yang hidup dan dibesarkan oleh ibunya (sebagai tanda bahwa bentuk keluarga yang
berkembang di tengah masyarakat adalah keluarga inti) relatif akan lebih banyak dan
akan semakin banyak dibandingkan dengan anak yatim yang dibesarkan oleh pakciknya
(saudara ayah) atau kakek seperti terjadi pada masa dahulu, ketika masyarakat masih
mengikuti bentuk “keluarga luas”. Sekiranya pergeseran ini dapat dipahami dan kita
membiarkan masyarakat muslim bergerak ke arah menerima bentuk keluarga inti seperti
diinginkan oleh peradaban Barat modern, maka hukum keluarga seperti aturan perwalian
(hak perempuan, ibu menjadi wali) dan pembagian warisan (terutama pengertian
`ashabah) boleh jadi akan bergeser dan bahkan harus diubah. Tetapi sebelum itu terjadi
hendaknya ada penelitian yang serius apakah umat Islam akan menerima dan
mengembangkan kecenderungan membentuk kelurga inti dan menyesuaikan hukum
fiqihnya dengan pilihan tersebut; atau sebaliknya umat Islam akan mempertahankan
bentuk keluarga luas dan akan berusaha menghalangi perkembangan dan kecenderungan
yang terjadi di tengah masyarakat sekarang. Para ulama akan beusaha mengubah
kebijakan kebanyakan pemeritahan nasional sehingga kebijakan Negara yang cenderung
ke arah penggalakan keluarga inti dapat dihentikan, dan seballiknya akan mendorong
pemerintah untuk memilih kebijakan yang cenderung mempertahankan bentuk keluarga
luas. Kalau kebijakan makro pemerintah ini dapat diubah, maka kecenderungan
masyarakat untuk tetap dalam atau kembali lagi ke bentuk keluarga luas dapat diteguhkan
dan digalakkan kembali.
Pertanyaan berikutnya apa untung atau ruginya memilih salah satu dari kedua
bentuk tersebut? Mana yang lebih sesuai dengan ruh dan semangat Al-qur’an? Dan
KULIAH USHUL FIQIH TA`LILIAH, bab 3, Al Yasa` Abubakar (1-39) 39

bagaimana cara mencapai atau mempertahankan pilihan yang telah diambil tersebut?
Dalam kaitan ini mungkin juga kita mengajukan pertanyaan yang lebih tajam, kenapa kita
harus mengikuti pola-pola yang ada dalam antropologi tersebut untuk menganalisis
masyarakat? Atau apakah tidak mungkin untuk menentukan aturan (hukum) keluarga
berdasarkan pola (model) keluarga yang kita bentuk sendirti tanpa terikat dengan pola
yang ada dalam antropologi yang nota bene dihasilkan oleh para sarjana Barat?
Mungkinkah ulama dan sarjana Islam merumuskan sebuah pola keluarga yang baru, yang
dianggap lebih sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat modern sekarang.
Contoh ini merupakan penalaran yang mengikuti pola atau model ta`liliah. Seperti
terlihat contoh ini baru mengambil satu bentuk hasil kajian ilmu modern (antropologi)
dikaitkan dengan sebuah lafaz, istilah atau konsep yang ada di dalam Al-qur’an (qu
anfusakum wa ahlikum naran …) yang di dalam fiqih dikembangkan menjadi istilah
usrah atau `a’ilah. Kajian ini tentu akan lebih kaya dan akan lebih tajam kalau berbagai
temuan dan capaian ilmu modern lainnya seperti psikologi, ekonomi, kriminologi dan
sebagainya ikut dipertimbangkan dalam kegiatan pencarian `illat, dalam hal ini
pengertian atau konsep keluarga.
Menurut penulis kegiatan me-redefinisi atau me-reformulasi atau bahkan me-
”dekonstruksi” berbagai pengertian, konsep dan lembaga hukum (fiqih) yang selama ini
sudah ada (mapan) adalah bagian dari kegiatan mencari dan merumuskan `illat karena
rumusan pengertian-pengertian dan konsep yang ada sekarang sudah tidak memuaskan;
dan sekiranya dirumuskan ulang hanya berdasarkan kaidah kebahasaan, maka tetap tidak
akan memuaskan. Karena itu salah satu cara yang terbuka adalah merumuskannya dengan
menggunakan kaidah dan tata cara mencari dan merumuskan `illat sebagaimana
dikemukakan di atas serta memperklayanya dengan hasil temuan ilmu pengetahuan
modern.
-o0o-

Anda mungkin juga menyukai