Anda di halaman 1dari 6

Review Buku Khazanah Aswaja Memahami, Mengamalkan dan Mendakwahkan

Ahlussunnah wal Jamaah


Oleh: Siti Kurnia

Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, itu yang saya rasakan Dan benar, buku yang ditulis

dengan bahasa ringan ini mampu menjawab segala pertanyaan yang simpang siur di benak

saya yang masih awam tentang apa itu aswaja.

Khazanah Aswaja, Memahami, Mengamalkan dan Mendakwahkan Ahlussunnah wal

Jamaah

Begitulah judul buku yang setebal 486 halaman yang ditulis oleh Tim Aswaja NU Center

PWNU Jawa Timur. Tim yang terdiri dari 8 orang yaitu:

1. KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.H.I

2. M. Idrus Romli

3. Faris Khirul Anam, Lc, M.H.I

4. M. Makruf Khozin

5. Ahmad Muntaha

6. Yusuf Suharto, S, Ag, M.PdI

7. Fatkul Chodir

8. MZ. Muhaimin, M.Pd.I

Buku yang terdiri dari enam bab ini mengupas tuntas segala hal yang tentang aswaja.

Mulai dari apa sih aswaja itu, bagaimana sejarahnya, akidahnya, fikihnya dan tasawufnya.

Selain itu buku ini membahas tentang kelompok dan aliran dalam sejarah umat islam dan

juga tentang ke-NU-an. Namun dalam tulisan ini, saya menitik beratkan tentang yang paling

penting untuk disampaikan yaitu mengenai definisi aswaja.

Di bab I saya menemukan bahwa pengertian aswaja atau ahlussunnah wal jamaah pada

hakikatnya adalah orang yang mengamalkan ajaran Nabi SAW dan para sahabat, sedangkan
orang yang menolak ajaran para sahabat tentu tidak termasuk dalam kategori ahluusunnah

wal jamaah.

Istilah aswaja sendiri baru ada ketika dicetuskan oleh dua imam besar yaitu Abu Hasan

Al-Asyari (260-324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (248-333 H). Pada masa kedua

imam tersebut, yaitu pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah adalah masa-masa

keemasan keilmuan Islam. Sebut saja di bidang hadist, tampil Imam Bukhori (194 - 256 H)

dengan kitabnya Shahih Bukhori, Imam Muslim dengan (204-261 H) dengan kitabnya Shahih

Muslim, Imam Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, Imam Nasa'i

(215-303 H) dengan kitabnya Sunan an-Nasa'i, Imam At-Tirmidzi ( 209-279 H) dengan

kitabnya Sunan Attirmidzi dan Imam Ibnu Majah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan ibnu

Majah dan beberapa ulama lainnya. Kitab hadist mereka merupakan rujukan standar hadist

sepanjang masa dan dianggap standar kitab hadist yang enam.

Di bidang Fikih, tampil pula para mujtahid dan pakar-pakar fikih besar. Begitu juga di

bidang tasawwuf, abad ketiga Hijriyah adalah masa terbaik dalam perkembangan ilmu

tasawuf. Di mana pada saat itu telah mulai diperbincangkan aspek-aspek tasawuf yang belum

pernah menjadi objek kajian pada masa-masa sebelumnya. Banyak ulama tasawwuf yang
mengarang kitab di masa ini, contoh yang paling populer adalah Imam Al-Kharraz ( w 286

H) penulis kitab As-Shidq dan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi ( w 297 H) peletak kaidah-

kaidah tasawwuf dan rujukan kaum sunni dalam bidang tasawwuf.

Tetapi meski berada pada puncak supremasi keilmuan islam, bukan berarti kaum

muslimin pada saat itu terbebas dari ancaman dan tantangan. Justru pada saat itu kaum

muslimin berada dalam ancaman dan tantangan serius dari beragam aliran yang berkembang

cukup pesat. Seperti yang dikatakan Abu Al-Ma'ali AsSyaidzalah " Sesudah tahun 260 H

berlalau, tokoh-tokoh ahli bid'ah angkat kepala dan masyarakat awam berada dalam

ancaman, bahkan ayat-ayat agama mulai terhapus bekasnya dan dan bendera kebenaran

mulai terhampus kabarnya"


Pernyataan Syaidzalah ini menggambarkan merebaknya aliran-aliran sempalan dalam

islam pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah. Di antara aliran-aliran bid'ah tersebut yang

paling kuat adalah Mu'tazilah yang merebak hampir di berbagai tempat. Nama Mu'tazilah

merupakan nisbat ucapan Syaikh Hasan Al-Bashri tatkala mengeluarkan muridnya yang

radikal, Wasil bin Atha Al-Ghazali (80-131 H), "I'tazil anna! (keluarlah dari perguruanku)".

Wasil inilah yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu'tazilah.

Wasil sendiri menamakan sektenya dengan sebutan Ahl al-adl wa at-Tauhid (golongan

yang berpaham adil dan mengesakan Tuhan) yang sekaligus mengindikasikan pendapat

utamanya. Adil menurutnya adalah Tuhan membalas segala amal perbuatan manusia yang

diciptakan sendiri tanpa ada intervensi qadarNya. Sedangkan Tauhid menurutnya ialah Tuhan

maha Esa tanpa ada diembel-embeli berbagai sifat dan tidak memiliki sifat-sifat.

Keradikalan Mu'tazilah yang pada akhirnya bercabang menjadi 22 aliran, semuanya

terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal dan nyaris mengabaikan

petunjuk naqli yang berasal dari al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan menyatakan bahwa Al-

Quran adalah makhluk ciptaan Tuhan dan bersifat baru. Pernyataan terakhir inilah oleh
banyak kalangan disebut sebagai Al-Mihnah (ujian bagi ulama mayoritas yang berpendapat

bahwa Al-Quran adalah kalam Tuhan dan bersifat Qadim/tidak ada permulaannya).

Merebaknya aliran Mu'tazilah pada abad ketiga Hijriyah ini, secara alami menimbulkan

benturan pemikiran yang sangat keras antara dua pemikiran yang diametral. Yaitu pemikiran

yang dikawal oleh kaum fuqaha dan ahli hadits yang perhatiaannya dicurahkan untuk

menekuni ilmu-ilmu agama dengan dali-dalil dan argumentasi yang didasarkan pada tafsir al-

Quran, hadist ijma' dan analogi. Sementara di kutub lain yang berlawanan secara ekstrem

yaitu kaum teolog, termasuk didalamnya adalah kaum Mu'tazilah, yang mengandalkan logika

dan rasio namun mengesampingkan teks-teks Al-Quran dan Hadist.


Menyaksikan keadaan mendesak ini, adalah dua orang ulama yang memimpin gerakan

agar umat islam kembali kepada Al-Qur'an dan hadist serta thoriqoh (jalan) para sahabat

yang melazimi sunnah rasul sehari-hari, terlebih sahabat yang empat atau Khulafaur

Rasyidin yang digembleng langsung oleh rasul sehingga perilakunya praktis benar sesuai Al-

Quran dan hadist. Dua orang ulama itu hidup dalam satu masa tapi tidak saling mengenal dan

berjauhan tempat namun memiliki frekwensi pemikiran yang sama yaitu bagaimana

mengembalikan akidah umat. Beliau berdua yaitu Abu Hasan Al-Asyari di Yaman dan Abu

manshur Al-Maturidi di Samarkand Uzbekistan. Mereka sama-sama mengajak kaum

muslimin untuk kembali pada ajaran ahlul sunnah wal jama'ah dan memberantas ajaran bid'ah

(Mu'tazilah), tetapi juga tidak mengabaikan metode baru yang dikembangkan kaum

rasionalis.

Pada era Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi inilah istilah

Ahlul sunnah wal jamaah melembaga dan terus digunakan sampai sekarang.

Adapun ahlul sunnah wal jamaah atau yang dikenal dengan singkatan Aswaja ini

memiliki pengertian sebagai berikut:

1. Ahlul

Kata ini mempunyai beberapa arti yaitu; keluarga, pengikut dan penduduk.

2. As- Sunnah

Kata ini ini menurut para ulama Ushul fiqih, berarti sesuatu yang secara khusus datang

dari Nabi, (selain al-quran) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum

agama.

3. Al-Jamaah

Kata ini memiliki banyak arti. Berasal dari kata Al-Jam'u yang artinya mengumpulkan

sesuatu. Bisa juga berarti sekelompok orang banyak yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Sedangkan secara istilah, aswaja memiliki pengertian: Menurut kitab Kawakib Al-lamma'ah,

disebutkan bahwa:

Yang disebut Aswaja adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah nabi

dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriah serta

akhlak hati.

Sedangkan menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya Ziyadah-at-Taliqot yaitu;

Adapun ahlussunnah wal jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, hadist dan ahli fikih.

merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah nabi dan sunnah Khulafaur

rosyidin setelahnya. Merekalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan, "sungguh

kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab

Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali."

Dari definisi ini bisa dipahami bahwa aswaja bukan ajaran baru yang muncul sebagai

reaksi terhadap beberapa aliran yang menyimpang termasuk Mu'tazilah, namun justru ajaran

islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasululloh SAW dan yang sesuai dengan apa

yang digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Karena itu tidak ada seorang pun yang

menjadi pendiri aswaja. Yang ada hanya ulama yang telah merumuskan kembali ajaran islam
setelah lahirnya beberapa sekte yang berusaha mengaburkan kemurnian ajaran Rasululloh

dan para sahabat.

Pada kehidupan keagamaan di Negara Republik Indonesia, KH. Dr. Ma'ruf Amin, Rais

Aam PBNU, dalam pengantar dengan judul Menerjemahkan Tradisi dalam Ranah Strategi di

awal buku ini menyampaikan bahwa Islam sejak awal masuk di Nusantara, telah tumbuh dan

berkembang sebagai Islam Ahli Sunnah wal jamaah atau yang disebut Islam Aswaja dalam

kehidupan kesehariannya. Hal ini dapat dibuktikan dari tradisi keberagamaan umat islam

nusantara yang masih terjaga sampai saat ini dan dari dokumen sejarah yang dicatat oleh para

ulama asal Nusantara dalam kitab-kitab yang mereka tulis.


KH. Ma'ruf Amin juga menyampaikan bahwa Syaikh Nawawi al-bantani, seorang ulama

asal Nusantara dalam kitabnya, Nihayah Az-Zain secara lebih spesifik menyebutkan Islam

aswaja yang dimaksud adalah mengikuti Madzhab Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Abu

Manshur Al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti salah satu imam Madzhab yang empat

(Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) dalam bidang fikih dan mengikuti Madzhab Imam Al-

junaid al Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghozali dalam bidang tasawuf. Sekilas mengenai

siapa beliau Imam Abu Hasan Al-Asyaari dan Abu Manshur Al-Maturidi bisa dibaca di Abu

hasan Al-asyari dan Abu Manshur Al-Maturidi.

Islam aswaja sebagaimana diyakini dan diamalkan olah umat islam di Nusantara terjaga

dan senantiasa diajarkan dari generasi ke generasi. Proses tersebut kemudian dilembagakan

melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang secara jelas menggariskan hal itu dalam

AD/ART. Dengan begitu, NU merupakan institusionalisasi upaya dan ikhtiyar untuk

menjagadan mengajarkan islam aswaja sebagaimana diyakini dan diamalkan umat islam di

Nusantara dari masa ke masa.

Demikianlah sedikit review buku Khazanah Aswaja, untuk lebih jelasnya anda bisa

membaca bukunya langsung.

Anda mungkin juga menyukai