Anda di halaman 1dari 31

MITSAQAN GHALIDZAN DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI

KONSEP PERNIKAHAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Tafsir al-Qur’an dan Hadis (Teori dan
Aplikasi)

Dosen Pengampu: Dr. H. Hamim Ilyas, M. Ag.

Oleh
Ahmad Mustangin (23203011119)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral,

bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan

inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam. Oleh sebab itu,

penafsiran terhadap al-Quran merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang

memenuhi kualifikasi dan kriteria untuk melakukannya.

Penafsiran terhadap al-Quran ini, telah tumbuh dan berkembang sejak

masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini disebabkan oleh

adanya ayat-ayat tertentu yang kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh

para sahabat, kecuali harus merujuk kepada Rasulullah SAW.

Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan

masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya

kehidupan umat. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui

seluruh segi kandungan al-Quran serta intensitas perhatian para ulama terhadap

tafsir al-Quran, maka tafsir al-Quran terus berkembang, baik pada masa ulama

salaf, maupun khalaf, sampai sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya

itu, kita melihat adanya karakteristik yang berbeda.

Adapun dalam latar belakang ini, akan membahas Mitsaqan Ghalidzan

sebagai konsep perkawinan. Dimana masyarakat Islam di Indonesia masih

banyak yang belum memahami apa itu tujuan dari pernikahan, bahkan masih ada

yang belum mengetahui tujuan dari pernikahan secara mendalam yang telah

1
dijelaskan oleh kalam Allah SWT dalam bentuk al-Qur’an. Maka dari itu, sangat

perlu untuk memahami konsep pernikahan dimana para mufassir telah

melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat pada al-Qur’an dan salah satunya

adalah ayat tentang pernikahan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tentang mitsaqan ghalidzan dalam pernikahan?

2. Bagaimana penafsiran ulama mengenai mitsaqan ghalidzan dalam hal

pernikahan?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an

Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah SAW menjelaskan kepada

para sahabat tentang arti dan kandungan ayat yang samar artinya. Keadaan ini

berlangsung hingga Rasulullah SAW wafat. Ketika pada masa tersebut para

sahabat bisa langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, tetapi setelah beliau

wafat mau tidak mau mereka harus melakukan ijtihad, padahal masih banyak

ayat al-Qur’an yang belum diketahui tafsirannya.

Di samping itu, para sahabat juga ada yang menanyakan tentang Sejarah

nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada para tokoh

ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam. Dari sini lahirlah benih-benih

israiliyat. Di samping itu, para sahabat juga mempunyai murid-murid dari

kalangan tabi’in, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir aru dari kalangan tabi’in,

seperti Sa’id bin Zubair, Ka’ab al-Ahbar, Zaid bin Alsam, Hasan al-Bashri dan

masih banyak lagi.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah SAW,

penafsiran para sahabat, serta penafsiran tabi’in, disebut Tafsir bi al-Ma’tsur.

Masa ini disebut dengan periode pertama dalam perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar

tahun 150H, merupakan periode kedua dari Sejarah perkembangan tafsir.

Pada periode ini, hadis-hadis telah beredar dengan sangat pesat, dan juga

mulai bermunculan hadis-hadis palsu dan lemah di kalangan masyarakat.

3
Sementara itu, perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah persoalan yang

belum pernah terjadi pada masa nabi, sahabat, dan tabi’in.

Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur’an berdasar ijtihad masih sangat

terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung

oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan berkembangnya laju masayarakat,

berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam

penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula

oleh al-Qur’an yang keadaannya dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam al-Naba’

al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak

mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan

melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.1

Secara global, ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an ke

dalam tiga fase, yaitu periode mutaqoddimin (abad 1-4 Hijriyah), periode

mutaakhirin (abad 4-12 Hijriyah), dan periode baru (abad 12-sekarang). Ada

pula mufassir yang memilahnya ke dalam beberapa fase yang berbeda seperti

Ahmad Mustafa al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M) yang membedakan

thabaqat al-mufassirin ke dalam tujuh tahapan, yaitu tafsir masa sahabat, tafsir

masa tabi’in, tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi’in, tafsir

masa generasi Ibnu Jarir dan kawan-kawan yang memulai menuliskan

penafsirannya, tafsir masa generasi mufassir yang sumber penafsirannya

mengabaikan penyebutan rangkaian (nsanad) periwayatan, tafsir masa kemajuan

1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm, 72.

4
kebudayaan dan peradaban Islam, yang oleh al-Maraghi disebut dengan ‘Ashar

al-Ma’rifah al-Islamiyah, dan tafsir pada masa penulisan, transliterasi

(penyalinan) dan penerjemahan al-Qur’an ke dalam berbagai Bahasa asing (non-

Arab).2 Sementara itu, Muhammad Husain az-Dzahabi memilih sejarah tafsir ke

dalam tiga periode, yaitu fase Nabi SAW dan sahabatnya, fase tabi’in, dan fase

pembukuan tafsir. Walaupun beliau membagi ke dalam tiga fase, akan tetapi

mencakup semua pembagian di atas.

1. Tafsir pada masa Rasulullah SAW dan sahabat

Penafsiran yang dilakukan Nabi SAW memiliki sifat dan karakteristik

tertentu, di antaranya penegasan makna (bayan tafsir), perincian makna

(bayan at-Tafsil).3 Adapun dari segi motifnya, penafsiran Nabi Muhammas

SAW terhadap ayat al-Qur’an mempunyai tujuan pengarahan (bayan irsyad),

atau penerapan (tatbiq), dan pembetulan atau koreksi (bayan tasih).4

Penafsrian al-Qur’an yang dibangun Rasulullah SAW ialah penafsiran

al-Qur’an dengan al-Qur’an dan al-Qur’an dengan hadis atau sunnah beliau.

Apabila al-Qur’an sifatnya murni semata-mata dari Allah baik teks atau

naskah lafalnya, maka hadis (kecuali hadis Qudsi) merupakan hasil

pemahaman beliau dari ayat-ayat al-Qur’an.5 Menurut Mustafa al-Maraghi,

2 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2007). hlm. 14.
3 Abd Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Ujung Pandang: Lembaga Study
Kebudayaan Islam, 1990). hlm. 59-60.
4 Abd Muin Salim, Beberapa… hlm. 61-62.
5 Ahmad Izzan, Metodologi… hlm. 17.

5
penafsiran Nabi Muhammad SAW dapat berupa sunah qauliyah (perkataan)

atau sunah fi’liyah (perbuatan).6

Salah satu di antara penafsiran yang dilakukan Nabi Muhammad SAW

adalah ketika Nabi SAW membacakan surat al-An’am ayat 82:

‫ين َآمنُوا َوََلْ يَ ْلبِ ُسوا إِميَ َاَنُْم بِظُْلم‬ ِ َّ


َ ‫ال ذ‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.7
Mendengar hal tersebut, para sahabat merasa kaget, kemudian berkata

kepada Nabi SAW “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak

terlepas dari perbuatan zalim?”, maka Rasulullah pun bersabda:

‫َن َال تُ ْش ِرْك‬


ََُّ‫ليس ذلك إمنا هو الشرك أَل تسمعوا ما قال لقمان البنه وهو يعظه ََي ب‬
ِ ِ ِِ ِ
ٌ ‫ِب ََّّلل إ َّن الش ْرَك لَظُْل ٌم َعظ‬
‫يم‬
Bukan seperti itu apa yang kamu sangkakan, melainkan hal itu adalah
perbuatan syirik, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh
Lukman Ketika ia memberikan Pelajaran kepada anaknya, “Wahai
anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(Q. S. Lukman ayat 13). (H. R. Bukhari dari Abdullah).
Munculnya masalah-masalah baru setelah wafatnya Rasulullah SAW,

mendorong para sahabat untuk mencurahkan perhatiannya dalam menjawab

problematika tersebut. Perhatian utama para sahabat adalah al-Qur’an sebagai

6 Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, (Bairut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.th), juz 1.
hlm. 5.
7 QS. Al-An’am [7]: 82. Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), hlm 187.

6
sumber hukum, namun jika tidak mendapatkan dalam al-Qur’an mereka akan

merujuk pada hadis Nabi SAW.

Dalam rangka menemukan jawaban dari permasalahan yang ada,

menurut Muhammad Husain az-Zahabi, para sahabat dalam mentafsirkan

ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa Langkah. Langkah-langkah yang

ditempuh oleh para sahabat adalah sebagai berikut:

a) Pertama, meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an.8 Di dalam al-Qur’an

terdapat ayat-ayat yang Panjang dan pendek, global dan terperinci, mutlak

dan muqayyad, serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi orang yang

hendak menafsirkan al-Qur’an harus merujuk terlebih dahulu kepada

penjelasan al-Qur’an karena itulah yang dilakukan para sahabat.9

b) Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi SAW.10 Penafsiran Nabi SAW

terhadap al-Qur’an dapat ditemukan pada hadis atau sunah. Oleh karena

itu, para sahabat akan merujuknya kepada hadis Nabi apabila tidak

ditemukan penjelasannya di dalam al-Qur’an.

c) Ketiga, menggunakan ra’yu atau berijtihad.11 Ijtihad akan dilakukan para

sahabat apabila di dalam dua sumber di atas tidak ditemukan jawaban.

Terdapat beberapa Langkah yang dilakukan para sahabat dalam berijtihad,

8
Az\-Z|ahabi, Muhammad Husain, At-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Al-Qa>hirah: Da>r al-H{adi>s, 2005),
hlm. 37-43.
9
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tatsir. (Jakarta: Amzah, 2014). hlm. 54.
10
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, juz I, hlm. 43-53.
11
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, juz I, hlm. 53-56.

7
yaitu12 mengetahui kaidah Bahasa Arab, mengetahui kebiasaan bangsa

Arab, mengetahui perilaku ahli kitab pada masa turunnya al-Qur’an,

mengetahui asbab an-Nuzul, dan memeiliki pemahaman yang luas.

d) Keempat, Ahlu Kitab. Dijadikannya ahlu kiab sebagai bagian dari Langkah

penafsiran yang dilakukan sahabat karena sebagian isi al-Qur’an sesuai

dengan Kitab Taurat dan Injil, seperti kisah para nabi dan umat-umat

terdahulu. Selain itu, al-Qur’an mencakup ketentuan-ketentuan yang

terdapat pada kitab sebelumnya.13

Di antara contoh penafsiran sahabat adalah sebagaimana penafsiran

at-Tabari yang meriwayatkan pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat

berikut ini.

‫الس َم ِاء ِِبَا َكانُوا يَ ْف ُس ُقو َن‬


َّ ‫ين ظَلَ ُموا ِر ْجًزا ِم َن‬ ِ َّ
َ ‫…فَأَنْ َزلْنَا َعلَى الذ‬

...Maka Kami turunkan malapetaka dari langit kepada orang-


orang yang zalim itu, karena mereka (selalu) berbuat fasik. (Q.
S. al-Baqarah 2:59)
Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa kata rijz di atas bermakna azab

(siksa).14 Adapun karakteristik tafsir pada masa sahabat adalah sebagai

berikut:

a) Pernafsiran sahabat bersifat universal (ijmali) dan belum merupakan tafsir

utuh.

12
Samsurrohman, Pengantar… hlm. 55.
13
Samsurrohman, Pengantar… hlm. 56. Lihat juga Az\-Z|ahabi, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz I,
hlm. 56-57.
14
At}-T{abari, Tafsi>r at}-T{abari>, (Bairut: Muasasah ar-Risalah, 2000), juz II. hal. 118.

8
b) Penafsiran pada saat itu masih sedikit terjadi perbedaan dalam memahami

al-Qur’an, sebab kebanyakan masih menggunakan Riwayat dari Nabi

SAW dan problem yang dihadapi umat pada waktu itu tidak serumit

sekarang.

c) Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasar makna Bahasa yang

primer dan belum muncul corak.

d) Belum ada pembukuan tafsir.

e) Penafsiran saat itu masih merupakan bentuk pengembangan dari hadis.15

2. Tafsir pada masa tabi’in

Penafsiran al-Qur’an terus berjalan sehingga terjadi peralihan

generasi dari sahabt ke tabi’in. proses peralihan generasi tersebut melahirkan

pengembangan segala yang didapat dari sahabat melalui pergaulan keilmuan.

Generasi tabi’in berlomba menerima apa yang disampaikan para sahabat.

Sumber penafsiran yang digunakan para tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an

yaitu, al-Qur’an, hadis Nabi SAW, asar sahabat, ahli kitab, dan ijtihad atau

kekuatan istinbat.16

Di antara contoh penafsiran tabi’in adalah penafsiran Mujahid bin

Jabir dalam menafsirkan surat al-Qiyamah ayat 22-23:


ٌۙ
)٢٣( ‫) اِ ىٰل َرِّبَا ََّن ِظَرٌة‬٢٢( ٌ‫َّضَرة‬
ِ ‫وجوه يَّوم ِٕىذ َّن‬
َ ْ ٌْ ُ ُ

15
Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir”, Jurnal Tafakkur, Vol.I. No. 02. (April 2021), hlm.
153.
16
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, juz I, hal. 91.

9
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang
Tuhannya.17
Mujahid menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bawha yang

dimaksud oleh ayat tersebut adalah keadaan orang-orang mukmin yang

menunggu balasan pahala dari Allah ta’ala, bukan melihat zat-Nya Allah.18

Pada masa ini, corak tafsir bi al-Riwayah masih mendominasi, karena

para tabi’in meriwayatkan tafsir dari para sabahat sebagaimana juga para

sahabat mendapatkan Riwayat dari Nabi Muhammad SAW. Meskipun sudah

muncul ra’yu dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi unsur periwayatan lebih

dominan.

Adapun karakteristik tafsir pada masa tabi’in secara ringkas dapat

disimpulkan seperti berikut:

a) Pada masa ini, tafsir belum juga dikodifikasi secara tersendiri.

b) Tradisi tafsir juga masih bersifat hafalan melalui periwayatan.

c) Tafsir suda mulai dimasuki oleh cerita israiliyyat, karena keinginan

sebagian tabi’in untuk mencari penjelasan secara detail mengenai unsur

cerita dan berita di dalam al-Qur’an.

d) Sudah mulai banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in

dengan para sahabat.

17
QS. Al-Qiyamah [29]: 22-23. Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), hlm
860.
18
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, hlm, 94.

10
e) Tafsir mereka senantiasa dipengarui oleh kajian-kajian dan Riwayat-

riwayat menurut corak yang khusus identitas dengan tempat belajar

masing-masing.

f) Di masa tabi’in mulai timbul kontroversi-kontroversi dan perselisihan

pendapat seputar tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara akidah.19

Penafsiran pada masa tabi’in terbagi menjadi tiga bagian, yaitu

tabaqah Makkah, tabaqah Madinah, dan tabaqah Irak.20 Masinf-masing

tabaqah mempunyai seorang guru dan melahirkan para mufassir baru dari

kalangan tabi’in.

Tokoh yang terkenal di Makkah adalah Mujahid bin Jabir, Ata’ Ibn

Abi Rabbah, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, dan Taus bin Kaisan. Mereka adalah

murid dari Abdullah bin ‘Abbas.21

Adapun tokoh mufassir yang ada di Madinah yaitu Zaid bin Aslam,

Abu al-‘Aliyah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi. Mereka adalah murid dari

Ubai bin Ka’ab, sedangkan tokoh mufassir yang ada di Irak adalah al-Qamah

bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Amr asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan

Qatadah.22

3. Tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan

19
Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir”, Jurnal Tafakkur, Vol.I. No. 02. (April 2021),
hlm. 154-155.
20
Muhammad Ali as}-S{a>bu>ni>, at-Tibya>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Makkah: Da>r as-S{a>bu>ni>, 2003),
hlm. 69.
21
Muhammad Ali as}-S{a>bu>ni>, at-Tibya>n…, hlm. 69-73.
22
Manna’ Khalil Qat}t}an, Maba>h}is \fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Mesir: al-Qa>hirah: Maktabah Wahbah,
2007), hlm. 330-331.

11
Fase setelah sahabat dan tabi’in adalah fase pembukuan hadis. Pada

fase ini, tafsir menjadi bagian dari pada bab-bab yang ada dalam kitab hadis.

Seorang perawi terkadang meriwayatkan suatu hadis mengenai tafsir,

terkadang fiqih, dan terkadang mengenai gazwah. Pada permulaan Bani

‘Abbasiyah timbullah usaha untuk mengumpulkan hadis yang sama

obyeknya serta menertibkan babnya, seperti yang dilakukan Malik bin Abbas

dalam Muwatta’. Oleh karena itu, terdapat bab tafsir dalam Sahih Bukhari

dan Sahih Muslim. Akan tetpi, sebagaimana umumnya hadis ada yang sahih,

hasan, dan daif, begitu juga dengan hadis-hadis tafsir. Imam Ahmad berkata,

“Hadis marfu’ mengenai tafsir sangat sedikit yang sahih. Kebanyakan adalah

hadis palsu yang dinisbatkan kepada Ali dan Ibn ‘Abbas.23

Fase berikutnya adalah fase pemisahan tafsir dan hadis yang

merupakan fase untuk menjadikan tafsir sebagai disiplin ilmu yang matang

dan mandiei. Dengan demikian, tafsir tidak lagi menyatu dengan hadis yang

menandakan bahwa tafsir menuju masa perkembangan yang lebih pesat. Fase

ini dinamakan fase tasnif. Jadi, secara garis besar, para mufassir pada fase ini

menggunakan tafsir bi al-ma’sur sehingga tafsir ini menjadi ciri khas

tersendiri.24

Para mufassir pada fase ini menerima tafsir dari tabi’in yang di

dominasi oleh tafsir bi al-Ma’sur. Para mufassir pada fase ini di antaranya

23
Teungku Muhammad Hasbi as-Siddieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
24
Samsurrohman, Pengantar…, hlm. 79.

12
adalah Ibnu Majah (wafat 273 H), Ibn Jari at-Tabari (wafat 310 H), Ibnu Bi

Hatim (wafat 327 H), Ibnu Hibban (wafat 369 H), al-Hakim (wafat 405 H),

dan Abu Mardawih (wafat 410 H). para mufassir tesebut dalam penafsirannya

mengedepankan riwayat-riwayat dengan menyandarkan pada Riwayat yang

dating dari Rasul, sahabt, tabi’in, dan tabi’ at-Tabi’in, kecuali tafsir Tabari

yang juga memasukkan kaidah-kaidah baru dalam penafsirannya, seperti

memasukkan kaidah kebahasaan, syair Arab Jahili, kaidah nahwu, dan fiqih

serta melakukam tarjih.25

Namun setelah fase di atas terdapat fase peringkasan sanad riwayat

tafsir. Pada fase pembukuan, Riwayat-riwayat tafsir dikumpulkan dengan

metode tafsir bi al-Ma’sur, tetapi Riwayat-riwayat tersebut masih tercampur

antara yang sahih dan yang daif. Oleh karena itu, kebanyakan ulama

berinisiatif untuk memenggal sanad dan merasa cukup dengan matan saja.

Terdapat beberapa ciri tafsir pada fase ini, yaitu terjadinya pembuangan

sanad, melebarnya pintu ijtihad dalam mengungkapkan berbagai pendapat,

baik pendapat yang terpuji maupun yang tercela. Hal inilah yang

memunculkan metode penafsiran yang baru, yaitu metode tafsir bi ar-Ra’yi,

dan yang terakhir kebanyakan mereka telah tersentuh dengan isra’illiyat.26

Pembuangan sanad ini membuka tercampuraduknya antara yang

benar dan yang salah. Akibatnya, banyak yang meletakkan hadis-hadis palsu

untuk menguatkan mazhab tertentu. Setelah fase peringkasan sanad adalah

25
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, juz I, hlm. 128.
26
Samsurrohman, Pengantar…, hlm. 83.

13
fase kematangan. Setelah meluasnya Islam, pembukua tafsirpun mengalami

peningkatan yang berarti dalam khazanah disiplin ilmu tafsir. Pada permulaan

fase ini, tafsir mulai melebarkan sayap sehingga kegiatan penafsiran tidak

hanya berorientasi pada tafsir bi al-Ma’sur, tetapi juga tafsir bi ar-Ra’yi.

Tafsir pada fase ini lebih banyak menggunakan rasio. Hal itu karena

banyaknya disiplin ilmu yang telah mengalami kemapanan, seperti ilmu fiqih,

ilmu hadis, dan ilmu kalam.27

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesuai dengan

spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka adalah az-

Zamakhsyari (wafat 528 H), al-Wahidi (wafat 468 H), al-Qurtubi (wafat 671

H), as-Sa’labi (wafat 427 H), ar-Razi (wafat 610 H0, dan al-Khazin (wafat

741 H).28 Pada fase ini, tafsir telah beredar sedemikian pesat, sekian persoalan

barupun timbul di Tengah-tengah masyarakat yang belum pernah terjadi atau

dipersoalkan di masa Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. oleh

karena itu, timbulah metode dan corak yang baru dalam proses penafsiran al-

Qur’an guna menjawab berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat.

Fase terakhir adalah masa sekarang atau fase kontemporer. Pada masa

ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat ini dan

mendatang. Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah

oleh bangsa Barat telah mulai bangkit Kembali. Di mana-mana umat Islam

27
Samsurrohman, Pengantar…, hlm. 86.
28
Az\-Z|ahabi, Tafsi>r…, hlm. 132-133.

14
telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta

kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.

Oleh sebab itu, terkenallah periode modernisasi Islam yang antara lain

dilakukan di Mesir oleh Jamal al-Din al-Afghani (1254-1315 H/1838-1897

M), Syekh Muhammad Abduh (1256-1323 H/1849-1905 M), dan

Muhammad Rasyid Ridho (1282-1354 H/1865-1935 M). dua orang yang

disebutkan terakhir yakni Syekh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid

Ridho, berhasi menafsirkan al-Qur’an dengan nama kitabnya yaitu tafsir al-

Qur’an al-Hakim atau dikenal dengan sebutan tafsir al-Manar. Kesungguhan

tafsir ini diakui banyak orang dan meiliki pengaruh yang cukup besar bagi

perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir yang semasa dengannya dan

terutama bagi kitab-kitab tafsir yang terbit setelahnya hingga sekarang. Cikal

bakal tafsir al-Qur’an yang lahir pada abad ke-20 dan 21 banyak yang

mendapat inspirasi dari tafsir al-Manar, di antara contohnya ialah tafsir al-

Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan tafsir al-Jawahir karya Thantawi Jauhari.29

Bersamaan dengan Upaya pembaruan Islam dan Gerakan penafsiran

al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuan muslim di

Indonesia juga melakukan Gerakan penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an

ke dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya yang tergolong ke dalam tafsir yang

berkualitas dan monumental adalah al-Qur’an dan tafsirnya yang diterbitkan

oleh Kementrian Agama Republik Indonesia dan tafsir al-Azhar karya Prof.

29
Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir”, Jurnal Tafakkur, Vol.I. No. 02. (April 2021), hlm.
155-157.

15
Dr. Buya Hamka (1908-1981 M).30 Selain itu masih banyak lagi ulama

Indonesia yang menafsirkan al-Qur’an dimana di Indoseia sendiri

perkembangan karya tafsir al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu tafsir

kalangan pesantren dan kalangan akademis.

B. Penafsiran Mitsaqan Ghalidzan dalam pernikahan

1. Pengertian mitsaqan ghalidzan

Dalam bahasa Arab, kata mitsaqan ghalidza terdiri dari dua kata, yaitu

mitsaq dan ghalidz. Kata mitsaq diambil dari kata watsaqa yang memiliki arti

mengikat. Kata mitsaq juga bermakna janji atau piagam perjanjian sama

seperti halnya kata wa’d. akan tetapi secara penekanan makna, kata mitsaq

lebih kuat dari pada kata wa’d.31 sedangkan kata ghalidz berasal dari kata

ghaladza-yaghlidzu yang digunakan untuk menyebut keadaan suatu benda

atau sikap seseorang, seperti tebal, kasar, berat, atau keras. Bentuk jamak dari

kata ghalidz adalah ghiladz atau ghuladz.32 Kata ghalidz juga berarti kokoh

atau bisa berarti kuat. Dari pengertia dua kata tersebut, dapat disimpulkan

bahwa kata mitsaqan ghalidza dapat berarti perjanjian yang terikat dengan

kokoh.

Selain itu, kata mitsaqan ghalidzan juga dapat diartikan sebagai suatu

pernikahan yang memilki kesadaran untuk selalu melakukam ketaatan kepada

30
Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadah, 2013). hlm. 330.

31
M. Quraish Shihab, Tasir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 228.
32
M. Quraish Shihab, Tasir…, hlm. 646.

16
Allah dengan melaksanakan perjanjian akad nikah yang akan menjadi symbol

antara laki-laki dan Perempuan yang hendak melakukan pernikahan secara

terikat. Adapun menurut para fuqaha, ada beberapa definisi dari kata

mitsaqan ghalidza yang dikemukakan, namun pada prinsipnya tidak terdapat

perbedaan yang berarti dalam pemaknaan mitsaqan ghalidza dalam

pernikahan karena semuanya mengarah pada makna “akad” kecuali pada

penekanan redaksi yang digunakan.33

Di dalam al-Qur’an, term mitsaqan ghalidza disebutkan sebanyak 3

kali, yaitu pada surat an-Nisa ayat 21, surat an-Nisa ayat 154 dan al-Ahzab

ayat 7. Dalam surat an-Nisa ayat 154, kalimat mitsaqan ghalidza

menggambarkan tentang perjanjian Allah ta’ala dengan para nabi ulul ‘azmi

dan pada surat al-Ahzab ayat 7 menggambarkan tentang perjanjian Allah

ta’ala dengan bani Israil dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama.34

2. Pendapat ulama tentang mitsaqan ghalidzan

Beberapa pendapat ulama mengenai mitsaqan ghalidza adalah

sebagai berikut:

a) Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menafsikan mitsaqan

ghalidza sebagai perjanjian yang berupa akad nikah dengan nama Allah

dan atas sunnah Rasulullah SAW. Ini adalah perjanjian yang kuat yang

tidak akan direndahkan kehormatannya oleh hati yang beriman.35

33
Dedy Irawan El-Qayim, Catatan Hati Untuk Pasangan Hati, (Sukabumi: Jejak Publisher, 2021),
hlm. 139.
34
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an: 8 Nasehat Untuk Anak-Anakku, (Jakarta: Lentera Hati,
2015), hlm. 95-96.
35
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Jilid 2, Terj. As’ad Yasin,
dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 309.

17
b) Imam ath-Thabari berkata bahwa dari mitsaqan ghalidza adalah apa yang

telah ditetapkan berupa perjanjijan dan ikrar suami kepada istri untuk

memperlakukan mereka dengan baik, atau menceraikannya dengan baik.

c) Qatadah mengartikan mitsaqan ghalidza (perjanjian yang kuat) yang

diambil wanita dari laki-laki adalah menahannya dengan patut atau

menceraikannya dengan cara yang baik.36

d) Quraish Shihab mengartikan mitsaqan ghalidza adalah mahar mas kawin,

yaitu larangan mengambil Kembali mahar atau mas kawin itu disebabkan

istri telah bersedia menyerahkan dengan rela rahasianya yang terdalam

dengan membolehkan suaminya untuk melakukam berhubungan seks

dengannya. Dengan demikian, mahar ataupun mas kawin yang diserahkan

bukan berarti hal tersebut menggambarkan harga seorang wanita ataupun

imbalan kebersamaannya dengan suami sepanjang masa. Jikapun

seandainya mahar ataupun mas kawin itu dinilai sebagai harga atau upah

itu adalah harga sesaat dan Ketika berlalu harga atau upan itu bukan lagi

menjadi milik suami. Oleh karena itu, suami yang menceraikan istrinya

juga tidak berkewajiban membayar mahar jika istri tersebut tidak

digaulinya dan tidak pula ia menetapkan mahar Ketika berlangsungnya

akad nikah.37

e) As-suddi memaknai mitsaqan ghalidza sebagai ungkapan oleh wali dari

pihak Perempuan yang mengatakan, “Kami menikahkannya kepadamu

36
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),
hlm. 661.
37
M. Quraish Shihab, Tasir…, hlm. 466-467.

18
dengan amanat Allah untuk mempergaulinya dengan baik atau

menceraikannya dengan cara yang baik”.38

f) Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi berpendapat bahwa

mitsaqan ghalidza adalah pengakuan yang berat, yakni berupa perintah

Ilahi agar memegang mereka secara baik-baik atau melepas mereka secara

baik-baik pula.39

g) Muhammad Hasbi ash-Shidieqy memaknai mitsaqan ghalidza sebagai

keharusan mempergauli istri dengan baik dan jika melepasnya juga akan

dilakukan dengan cara yang baik-baik.40

Salah satu ulama tafsir kontemporer yang terkenal dengan kitab

tafsirnya yang berjudul al-Munir ialah Wahbah az-Zuhayli. Beliau

menafsirkan Q. S. an-Nusa ayat 21 juga mengubungkannya dengan ayat

sebelumnya yaitu ayat 19 dan 20. Karena ayat 21 merupakan kelanjutan dari

ayat sebelumnya dan memiliki hubungan yang kuat dengan ayat sebelumnya.

Az-Zuhayli menghubungkan ayat 19, 20, dan 21 karena adanya

penekanan tidak boleh mengambil apa yang telah diberikan (mahar) kepada

istri kecuali jika si istri terbukti melakukan fahisyah atau perbuatan keji dan

membangkang. Dan juga larangan pengambilan mahar kepada istrinya. Sebab

turunnya ayat tersebut Wahbah az-Zuhayli mengatakan dalam karyanya:

38
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir…, hlm. 663.
39
Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Ayat Surat
Al-Fatihah s.d Al-Isra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015), hlm. 322.
40
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000), hlm. 814.

19
‫ كانوا إذا مات الرجل كان أولياؤه‬:‫روى البخاري وأبو داود والنسائي عن ابن عباس قال‬

،‫ فهم أحق ّبا من أهلها‬،‫ وإن شاؤوا زوجوها‬،‫ إن شاء بعضهم تزوجها‬،‫أحق ِبمرأته‬

‫فنزلت هذه اآلية‬


Imam Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
r.a., ia berkata: Dahulu, jika ada seorang laki-laki meninggal dunia,
maka para wali laki-laki tersebut berhak terhadap istri laki-laki tersebut,
jika ada sebagian dari mereka yang ingin menikahinya, maka ia
menikahinya dan jika ingin, maka mereka menikahinya, karena para
wali tersebut memang lebih berhak terhadap si janda tersebut dari pada
para wali si janda itu sendiri. Lali turunlah ayat ini berkaitan dengan
kebiasaan tersebut.
Kemudian az-Zuhayli juga menambahkan lagi dalam al-Munir:
،‫ كان أهل املدينة يف اجلاهلية ويف أول اإلسالم إذا مات الرجل وله امرأة‬:‫قال املفسرون‬

‫ فصار أحق ّبا من‬،‫ فألقى ثوبه على تلك املرأة‬،‫جاء ابنه من غريها أو قرابته من عصبته‬

‫ فإن شاء أن يتزوجها تزوجها بغري صداق إال الصداق الذي أصدقها‬،‫نفسها ومن غريه‬

‫ وإن شاء عضلها وضارها‬،‫ وَل يعطها شيئا‬،‫ وإن شاء زوجها غريه وأخذ صداقها‬،‫امليت‬

‫ فلما تويف أبو قيس بن األسلت‬.‫ أو متوت هي فريثها‬،‫لتفتدي منه ِبا ورثت من امليت‬

:‫ فطرح ابن له من غريها يقال له‬،‫ كبيشة بنت معن األنصارية‬:‫ وترك امرأة‬،‫األنصاري‬

‫ فلم يقرّبا وَل ينفق عليها يضارها لتفتدي‬،‫ فورث نكاحها مث تركها‬،‫حصن ثوبه عليها‬

‫ اقعدي يف بيتك حىت أييت فيك أمر‬:‫ فقال هلا‬،‫ فاشتكت إٰل رسول هللا ﷺ‬،‫منه ِباهلا‬

.‫ فأنزل هللا تعاٰل هذه اآلية‬،‫هللا‬


Para ulama tafsir mengatakan bahwa penduduk Madinah pada masa
jahiliah dan pada permulaan masa Islam, jika ada seorang laki-laki
meninggal dunia dengan meninggalkan istri, maka putra laki-lakinya
dari istri yang lain atau kerabat ‘ashabahnya (kerabat dari jalur ayah)
dating, lalu menutupkan pakaiannya kepada si istri (janda) tersebut, dan

20
dengan begitu berarti ia adalah orang yang paling berhak terhadap diri
si istri tersebut dari pada yang lainnya. Jika mau, makai a menikahinya
tanpa memberikan mahar kecuali mahar yang dahulu pernah diberikan
oleh si mayit. Atau jika mau, makai a menikahkan si janda tersebut
dengan laki-laki lain dan maharnya ia ambil, tanpa menyerahkannya
sedikitpun kepada si janda. Atau jika mau, maka ia akan
menyusahkannya dan menghalang-halanginya untuk menikah agar si
janda tersebut memberikan tebusan dengan menyerahkan harta warisan
yang ia dapatkan dari suaminya, ia serahkan kepadanya, atau hingga si
janda tersebut meninggal dunia, lalu ia mewarisi hartanya. Ketika Qais
bin al-Aslat al-Anshari meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
istri Bernama Kubaisyah binti Ma’n al-Anshariyah. Lalu putra Qais dari
istri yang lain yang Bernama Hisn dating menutupkan pakaiannya
kepada Kubaisyah bin Ma’n tersebut. Lalu Hisn mewarisi pernikahan
Kubaisyah, namun kemudian ia tinggalkan dan ia terlantarkan, tidak ia
dekati dan tidak ia beri nafkah. Hal ini ia lakukan dengan tujuan agar
Kubaisyah mau memberikan tebusan dengan hartanya kepada Hisn.
Lalu Kubaisyah mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW lalu
beliau berkata kepadanya: Duduklah kamu di dalam rumahmu sampai
Allah SWT menurunkan wahyu tentang masalahmu ini. Lalu Allah
SWT menurunkan ayat 19 surat an-Nisa.
Adapun hubungan penafsiran surat an-Nisa ayat 19, 20, dan 21
sebagai berikut:
ِ ‫وه َّن لِتَ ْذ َهبُوا بِبَ ْع‬
‫ض ما‬ ِ ِ
ُ ‫ين َآمنُوا ال ََي ُّل لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِرثُوا النساءَ َك ْرًها َوال تَ ْع‬
ُ ُ‫ضل‬
ِ َّ
َ ‫َي أَيُّ َها الذ‬
ِ ِ ِ ِ
‫وه َّن فَ َعسى أَ ْن‬ ُ ‫ني بِفاح َشة ُمبَ يِنَة َوعاش ُر‬
ُ ‫وه َّن ِِبلْ َم ْع ُروف فَإِ ْن َك ِرْهتُ ُم‬ َ ‫وه َّن إِال أَ ْن َأيْت‬
ُ ‫آتَ ْي تُ ُم‬

َ ‫) َوإِ ْن أ ََرْد ُُتُ اِ ْستِْب‬١٩( ‫تَكَْرُهوا َشْي ئًا َوََْي َع َل هللاُ فِ ِيه َخ ْ ًريا َكثِ ًريا‬
‫دال َزْوج َمكا َن َزْوج َوآتَ ْي تُ ْم‬

ً ْ‫طارا فَال ََتْ ُخ ُذوا ِمْنهُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَهُ ُّب‬ ِ
َ ‫) َوَكْي‬٢٠( ‫تاَّن َوإِْْثًا ُمبِينًا‬
ُ‫ف ََتْ ُخ ُذونَه‬ ُ ‫إِ ْح‬
ً ‫داه َّن قْن‬
)٢١( ‫َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِميثاقًا َغلِيظًا‬
َ ‫ض ُك ْم إِٰل بَ ْعض َوأ‬
ُ ‫َوقَ ْد أَفْضى بَ ْع‬
Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan
keji yang nyata. Dan bergaul-lah dengan mereka menurut cara yang
patut. Jika kamau tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
kebaikan yang banyak padanya. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada

21
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? Dan Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain
(sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.41
Az-Zuhayli dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode

tahlili, yaitu berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan dan

menjelaskan kendungan al-Qur’an dari berbagai aspeknya.42 Sebelum

memulai penafsirn az-Zuhayli menjelaskan aspek qira’at, I’rab, balaghah,

mufradat lughawiyyah serta asbab an-Nuzul dari ayat tersebut. Begitu juga

dengan penafsirannya terhadap ayat 19, 20, dan 21 pada surat an-Nisa.

Az-Zuhayli juga menyingkap munasabah antar ayat maupun surat.

Akan tetapi az-Zuhayli juga sedemikian rupa tetap mengutamakan metode

tematik atau maudhu’i yang dimana metode tematik adalah mengkaji serta

mempelajari ayat al-Qur’an berdasarkan dengan tema atau judul yang telah

ditetapkan. Adapun dalam Q. S. an-Nisa ayat 19, 20, dan 21 az-Zuhayli

memberi tema “Cara mempergauli istri di dalam Islam, larangan mewarisi

(mempusakai) wanita secara paksa, larangan menghalang-halanginya untuk

menikah lagi, larangan mengambil sebagian maharnya secara paksa dan

perintah mempergauli istri dengan baik”.43

41
QS. An-Nisa>’ [4]: 19-21. Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), hlm 109.
42
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 67.
43
Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir: Aqidah, Syariah, Manhaj, terj. Abdul Hayyie dan Fahmi
Bahreisy, (Jakarta: Gema Insani, 2016), hlm. 637.

22
Az-Zuhayli menerangkan bahwa sebelum Islam dating, kaum wanita

adalah kaum yang tertindas dan terampas hak-haknya seperti yang telah

disebutkan di atas. Oleh karena itu setelah Islam dating, Allah SWT

menetapkan untuknya hak-hak dalam perkawinan dan menetapkan larangan

untuk berlaku tidak baik terhadapnya. Di antara hak-hak tersebut adalah:

a) Larangan untuk mewarisi diri wanita sebagaimana disebutkan dalam surat

an-Nisa ayat 19. Wanita bukanlah benda yang bisa diwarisi. Oleh karena

itu, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh diwarisi

sebagaimana mewarisi harta peninggalan.

b) Larangan mengahalng-halanginya untuk menikah. Di samping

diharamkan untuk mewarisi wanita, juga diharamkan melakukan hal-hal

yang menyusahkannya dengan tujuan agar si wanita menyerahkan

hartanya, baik harta maharnya ataupun harta warisan suaminya serta harta

yang lain sebagai tebusan untuk dirinya.

c) Hak dipergauli dengan baik.

Firman Allah SWT yang berarti, “dan pergaulilah mereka para

wanita secara patut” merupakan bantahan dan kecaman bagi laki-laki

pada masa janilian yang bersikap kasar dan keras terhadap kaum

Perempuan serta bersikap semena-mena terhadap mereka.

d) Hak mendapatkan maharnya secara penuh sebagaimana yang dijelaskan

dalam surat an-Nisa ayat 20 dan 21.44

Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir: Aqidah, Syariah, Manhaj, terj. Abdul Hayyie dan Fahmi
44

Bahreisy, (Jakarta: Gema Insani, 2016), hlm. 640-643.

23
Menurut Syaikh Hasan Ayyub, nikah manurut bahasa adalah

penggabungan atau percampuran, sedangkan menurut istilah syari’at, nikah

berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya

hubungan badan menjadi halal.45 Melalui pernikahan terjadi perubahan

hukum Allah yang sudah ditetapkanNya, dari semula yang sifatnya haram

menjadi halal atas semua hubungan laki-laki dan perempuan inilah yang

membedakan manusia dengan makhluk lainnya di dunia bahwa manusia

memiliki aturan dengan arah dan tujuan yang jelas, tidak bersifat anarkis yang

mementingkan nafsu duniawi yang sementara saja.

Pada prinsip perkawinan atau nikah, adalah suatu akad untuk

menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong-

menolong antara laki-laki dan Perempuan yang antara keduanya bukan

muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan

adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi

sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan

tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, dan kebajikan serta

saling menyantuni antara keduanya.46

Dari penjelasan di atas, maka dengan menyebut pernikahan sebagai

mitsaqan ghalidzan, artinya pernikahan bukan perjanjian yang bisa dimain-

mainkan, dalam mengucapkan akad ijab qabul semua pihak baik calon suami-

45
Syaikh Hasan Ayyub. Fiqhul Usratul Muslimah, Terjemahan Oleh M. Abdul Ghaffar Fikih
Keluarga, Cet. Ke-4, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2004), hlm. 3.
46
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991), hlm. 1.

24
istri dan juga wali harus benar-benar memikirkan konsekuensinya dan

mempersiapkan diri sebaik mungkin baik dari segi kemampuan lahiriah dan

juga batiniah agar pernikahan bisa menjadi media untuk dekat dengan Sang

Pencipta bukan malah sebaliknya menjadi hamba yang paling dibenci-Nya.

Sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa

perceraian (thalaq) merupakan perkara yang dihalalkan tapi sangat dibenci

oleh Allah SWT.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan sebagai mitsaqan ghalidzan, maksudnya pernikahan sebagai

perjanjian yang amat kokoh dan agung bukan perjanjian yang bisa dimain-

mainkan, ini merupakan janji yang telah dibuat oleh Allah secara khusus dengan

pada Rosul Ulul AzmiNya, dan juga janji yang dibuat oleh Allah dengan

mengangkat bukit Thursina sebagai ancaman kepada bani Israel yang kufur

kepadaNya. Oleh sebab itu, dalam mengucapkan akad ijab qabul semua pihak

baik calon suami-istri dan juga wali harus benar benar memikirkan

konsekuensinya dan mempersiapkan diri sebaik mungkin baik dari segi

kemampuan lahirian dan juga batiniah agar pernikahan bisa menjadi media

untuk dekat dengan sang pencipta bukan malah sebaliknya menjadi hamba yang

paling dibenciNya.

Ulama tafsir dari segala penjuru telah berusaha menaruh hasil pikirannya

mengenai mitsaqan ghalidzan, dimulai dari ulama tafsir klasik sampai

kontemporer. Dalam hal ini, tidak terlalu banyak perbedaan yang menonjol pada

hasil penafsiran yang mereka spaparkan dalam karyanya. Mereka sama-sama

mengemukakan hasil maksud dari mitsaqan ghalidzan pada surat an-Nisa ayat

21 yaitu tentang ikatan perjanjian yang suci dan agung dalam pernikahan.

Dalam upaya mempertahankan rumah tangga sebagai wujud mitsaqon

gholidzan, suami dan istri harus mengerti dan sadar betul peran dan tanggung-

jawabnya dalam rumah tangga. Saling menghormati, menjaga komunikasi dan

26
bekerja-sama dalam setiap masalah yang dihadapi bersama dalam membangun

keluarga yang harmonis.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abd Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Ujung Pandang:

Lembaga Study Kebudayaan Islam, 1990.

Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir”, Jurnal Tafakkur, Vol.I. No. 02. April

2021.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2009.

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2007.

Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, (Bairut: Dar Ihya’ at-Turas al-

Arabi, t.th), juz 1.

At}-T{abari, Tafsi>r at}-T{abari>, Bairut: Muasasah ar-Risalah, 2000, juz II.

Az\-Z|ahabi, Muhammad Husain, At-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Al-Qa>hirah: Da>r al-

H{adi>s, 2005.

Dedy Irawan El-Qayim, Catatan Hati Untuk Pasangan Hati, Sukabumi: Jejak

Publisher, 2021.

Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbabun

Nuzul Ayat Surat Al-Fatihah s.d Al-Isra, Bandung: Sinar Baru Algesindo,

2015.

Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi

Penyempurnaan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 2002.

28
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an: 8 Nasehat Untuk Anak-Anakku, Jakarta:

Lentera Hati, 2015.

M. Quraish Shihab, Tasir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,

Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Manna’ Khalil Qat}t}an, Maba>hi} s \fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Mesir: al-Qa>hirah: Maktabah

Wahbah, 2007.

Muhammad Ali as}-S{a>bu>ni>, at-Tibya>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Makkah: Da>r as-S{a>bu>ni>,

2003.

Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadah,

2013.

Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2000.

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007.

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tatsir. Jakarta: Amzah, 2014. hlm. 54.

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Jilid 2,

Terj. As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional, Cet. Ke-1, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

1991.

Syaikh Hasan Ayyub. Fiqhul Usratul Muslimah, Terjemahan Oleh M. Abdul

Ghaffar Fikih Keluarga, Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2004.

29
Teungku Muhammad Hasbi as-Siddieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir: Aqidah, Syariah, Manhaj, terj. Abdul Hayyie

dan Fahmi Bahreisy, Jakarta: Gema Insani, 2016.

30

Anda mungkin juga menyukai