Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Ibnu Hazm dan Abu Daud As-
Zahiriyah

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Dan
Perkembangan Pemikiran Hukum Islam

Disusun oleh:
Fajrina Nurimana Syaiful

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin Segala puji hanya bagi Allah yang selalu
memberikan banyak nikmat kepada kita semua, baik berupa nikmat iman, nikmat
sehat dan nikmat-nikmat yang lain diantaranya dalam pembuatan makalah yang
membahas tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Ibnu Hazm dan Abu
Daud As-Zahiriyah. Dengan adanya nikmat dari Allah SWT ini saya dapat membuat
makalah ini sampai selesai.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga,
sahabat dan para pengikutnya. Atas perjuangan beliau kita dapat terlepas dari zaman
kegelapan (zaman jahiliyah) sampai kezaman yang terang benderang ini yakni agama
islam.
Namun demikian, saya juga minta maaf karena masih banyak kekurangan
didalam makalah yang saya buat ini. Oleh karena itu, saya mengharap kritik dan saran
yang membangun kepada para pembaca agar saya dapat lebih baik membuat makalah
dimasa yang akan datang.
Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah SWT, agar upaya yang kita lakukan
selalu mendapat bimbingan dan ridho dari Allah SWT, Aamiin yarabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Parepare, 17 Oktober 2023

Penyusun

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................3
DAFTAR ISI.................................................................................................................4
BAB I.............................................................................................................................5
PENDAHULUAN.........................................................................................................5
A. Latar Belakang....................................................................................................5
B. Rumusan Masalah...............................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................7
PEMBAHASAN............................................................................................................7
A. Biografi Ibnu Hazm............................................................................................7
B. Abu Daud as-Zahiriyah....................................................................................17
C. Perbedaan Dzahiriyah Ibnu Hazm dengan Dawud adz-Dzahiri.......................22
BAB III........................................................................................................................24
PENUTUP...................................................................................................................24
A. Kesimpulan.......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenal sejarah tentang kebangkitan pemikiran Andalusia, berarti
membicarakan tentang pemikiran yang ada di Cordoba. Cordoba merupakan salah
satu ibukota provinsi Andalusia. Selama menjadi ibukota provinsi, Cordoba telah
melahirkan banyak pemikir-pemikir besar seperti Ibn Rusyd, dan Ibn Hazm. Disisi
lain dunia keilmuan Andalusia menjadi lebih hidup dengan adanya kemajuan yang
segnifikan di Cordoba. Keadaan dan suasana keilmuan Andalusia khusunya Cordoba
pada masa itu mendukung kemajuan intelektual terutama dibidang kajian teoritis.
Perpustakaan dan universitas di Cordoba juga berkembang dengan pesat. Disamping
itu adanya dukungan penguasa menjadi hal yang penting, dengan mendatangkan
ulama-ulama dan kitab-kitab dari timur. Sebut saja dukungan penguasa Abdurrahman
al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun, sehingga menjadikan Cordoba
pesaing Baghdad yang terkenal dengan peradaban keilmuanya pada saat itu.1
Agama Islam berpengaruh atas semua manusia yang hidup di negerinegeri
Islam dengan tidak memandang agama yang dipeluknya. Islam merupakan pusaka
yang amat besar bagi mereka semua. Prinsip-prinsip Islam telah teruji dan biasa
menghadapi lingkungan baru. Prinsip Islam sanggup memberikan jawaban dan solusi
terhadap berbagai masalah yang timbul. Selama empat belas abad yang silam Islam
telah berhasil mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, yaitu sejak terbentuknya
masyarakat Islam pertama di Madinah di bawah pimpinan Rasūlullāh SAW.2
Agama Islam tidak menyebar luas karena faktor berbagai gerakan penaklukan
belaka saja. Para pedagang muslim di antara mereka terdapat sejumlah ulama yang

1
Muhammad Abed al- jabiri, at-Turots wa al-Hadatsah,cet ke-1 (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyah, 1991), hlm. 178-180
2

5
turut memainkan peranan penting di dalam peyebaran agama Islam di berbagai
belahan bumi. Pada masa itu, banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai
pedagang, pengrajin, petani dan pekerja lainnya. Di samping bekerja mereka juga
tidak melupakan kewajiban agamanya untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Berkat peran mereka, muncullah jajaran ulama, terutama ulama ahli fikih yang
cerdas dan kreatif.

B. Rumusan Masalah
1. Biografi Ibnu Hazm dan Abu Daud As-Zahiriyah!
2. Apa saja karya-karya Ibnu Hazm dan Abu Daud As-Zahiriyah?
3. Bagaimana istinbath hukum Ibnu Hazm dan Abu Daud As-Zahiriyah?

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Hazm


1. Biografi
Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Abu Muhammad 'Ali Ibn Ahmad Ibn Sa'id
Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Khalaf Ibn Sa’d Ibn Abi Sufyan Ibn Yazid, sedangkan
nama panggilanya adalah Abu Muhammad atau di dalam literatur kitab-kitab klasik ia
dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dikalangan Intelektual Muslim pada umumnya
beliau juga dikenal dengan sebutan al-Andalusi, namun dikalangan orientalis ada
yang menjulukinya al-Qurtubi. Semua panggilan atau julukan itu pada umumnya
dinisbatkan pada tanah kelahiranya. Beliau dilahirkan di Cordoba, salah satu provinsi
di Andalusia pada akhir Ramadhan 384 H/ 7 November 994 M. Ibn Hazm berasal
dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang menteri
pada masa pemerintahan khalifah al-Mansur dan juga pada masa puteranya al-
Mudzaffar, yang merupakan khalifah Bani Umayyah di Andalusia.
Mengenai asal-usul keluarganya, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari desa
Manta Lisyam, dekat Huelva, kawasan lembah sungai Odiel di distrik Niebla,
Spanyol. Hal itu dikembalikan pada garis keturunan lewat kakeknya yang bernama
Yazid. Menurut sebuah sumber, salah seorang kakeknya, Yazid, semula beragama
Nasrani yang kemudian memeluk Islam. Bapaknya, Ahmad ibn Sa’id, mempunyai
hubungan genealogis dengan seorang budak berdarah Parsi milik Yazid ibn
Mu’awiyah, saudara Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Bahkan keluarga Ibn Hazm
mempunyai andil dalam pendirian daulah Bani Umayyah di Spanyol, di mana Khalaf,
salah seorang kakeknya dahulu menyertai keluarga Bani Umayyah waktu pertama
kali datang ke Spanyol.3
3
Muhammad Abu Zahrah, Ibu Hazm, Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Arauhu wa Fiquhu, (Cairo: Dar el-fiqr,
1996 ), hlm. 22-25

7
Meskipun berdarah Persia loyalitas utama keluarga Hazm lebih diberikan
kepada Bani Umayah. Semisal lagi seperti ayahnya, beberapa kali ia diserahi jabatan
wazir oleh penguasa Umayyah. Dengan demikian selain sebagai seorang ulama, Ibnu
Hazm juga memiliki kepiawaian dalam berpolitik, dikarenakan sejak kecil beliau
hidup berasal dari keluarga elit-aristokrat yang terhormat. Dengan latar belakang
historis-politis yang demikian tak jarang pula beliau beberapa kali terlibat revolusi
berdarah karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi
khalifah. Karena sikap politiknya ini beliau beberapa kali dipenjara dan bahkan
pernah diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Di kemudian hari setelah beliau
menyadari bahwa keterlibatannya di bidang politik praktis hanya akan menghasilkan
kenihilan, maka beliau merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk
kepentingan ilmu pengetahuan. Ibn Hazm sendiri wafat di kampung halamannya pada
tanggal 28 Sya’ban 456 H, bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1064 M, dalam usia
70 tahun.4
2. Karya-Karya
Ibnu Hazm sangat mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam ilmu, terutama
saat ia mengundurkan diri dari politik praktis. Ia merasa bebas untuk mengkritik
siapapun, baik ulama Muslim, Yahudi dan Nasrani. Ibnu Hazm dikenal sangat
produktif dalam menulis berbagai bidang keilmuan. Ibnu Hayyan mengatakan bahwa
Ibnu Hazm menguasai bidang tafsir, hadits, fiqh, tarikh, sastra Arab, perbandingan
agama, filsafat dan mantiq
Berikut ini adalah karya-karya Ibnu Hazm yang sangat berharga,meliputi
beraneka ragam bidang keilmuan yaitu :
a. Bidang Ilmu Jadal (ilmu debat terhadap faham-faham keagamaan). Dalam
bidang ini Ibnu Hazm mengarang al-Fisal Baina Ahl al- Ara’ wa al-Nihal,
al-Shadi wa al-Radi ‘ala Man Kaffara Ahl al- Ta’wil min Firaq al-
Muslim.

4
H.Zuhri, Filsafat Ibnu Hazm, cet ke-1, (Yogyakarta: SUKA PRESS, 2013), hlm. 13

8
b. Bidang Politik. Karya Ibnu Hazm dalam bidang ini adalah al-Imamah wa
al-Siyasah.
c. Bidang ilmu jiwa. Karya Ibnu Hazm dalam bidang ilmu jiwa adalah
Akhlaq al-Nafs. Dan masih banyak lagi karya Ibnu Hazm yang lainnya.
Bahkan dituturkan oleh putranya, Abu Rafi’ al- Fadl, bahwa jumlah kitab
kitab karya Ibnu Hazm tak kurang dari 400 jilid yang terdiri dari 80.000
lembar kertas yang ditulis olehnya sendiri
Adapun karya beliau yang terkenal dan dijadikan referensi olehpara
cendikiawan kontemporer adalah :
a. Thauq al-Hamamah, kitab ini pertama kali ditulis oleh Ibnu Hazm di
Jativa tahun 418 H. Kitab ini semacam otobiografi yang meliputi
pemikiran dan perkembangan pendidikan serta kejiwaannya. Di dalamnya
memuat sastra yang tinggi dan sya’ir-sya’ir tentang cinta.
b. Naqth al-Arus fi tawarikh al-Khulafa’, kitab ini berisi sejarah para
khalifah dan pembesar-pembesar Spanyol di masa Ibnu Hazm.
c. Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’I wa al-Nihal, kitab inibercerita tentang
agama-agama dan aliran-aliran pemahaman dalam Islam. Merupakan kitab
perbandingan agama pertama yang sangat komprehensif.
d. Al-Muhalla, kitab ini menghimpun masalah-masalah fiqh dari berbagai
mazhab sekaligus berisi kritikan-kritikan Ibnu Hazm, terdiri dari 11 jilid.
Dalam kitab ini Ibnu Hazm sangat berpegang pada arti zahir nash, baik al-
Qur’an maupun Hadits. Al-Muhalla merupakan kitab fiqh mazhab al-
Zahiri yang paling lengkap.
e. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, di sini Ibnu Hazm mengungkapkan metode
ijtihadnya dan banyak mengkritik metode ijtihad bi al-ra’yi, istihsan dan
istislah. Kitab ini terdiri dari delapan volume dan menjadi kitab ushul fiqh
mazhab al-Zahiri.

9
Apabila diteliti, banyak karya-karya Ibnu Hazm yang berisi kritikan- kritikan
pedas terhadap ulama-ulama yang berbeda pendapat dengannya. Hal demikian sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan situasi politik yang melatarbelakangi penulisannya, juga
untuk menunjukkan ketidak setujuannya terhadap teori-teori pemikiran yang
berkembang saat itu.5
3. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm
Secara umum, prinsip yang dipegang oleh Ibn Hazm adalah berdasarkan pada
konsistensi nash dan mengambil penjelasan zahir (ẓawāhirun nuṣūṣ) dari Alqur’an,
Sunnah Rasul, Ijmā’ Sahabat ra. dan al-Dalīl. Ibn Hazm menolak takwil yang
senantiasa tidak berpegang pada kezahiran nash dan tanpa penjelasan dari Allah swt.
Ia juga menolak berijtihad dengan menggunakan akal melalui qiyās, istihsan dan
maṣlahah mursalah, serta menolak kepada taklid.
Dalam memahami sebuah naṣ, Ibn Hazm selalu melihat sisi zahirnya saja, hal
tersebut membawa kepada pemahaman bahwa seluruh perintah Allah dan Rasulnya
menimbulkan hukum wajib dan larangan-larangannya menimbulkan hukum
keharaman kecuali adanya hal yang menunjukkan pengecualian, dengan demikian
orang tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu adalah haram atau halal kecuali
berdasarkan nash yang shahih. Nash yang umum harus diambil umumnya karena
itulah yang zahir, kecuali ada hal yang menjelaskan bahwa yang dimaksud bukan
yang zahir. Akan tetapi, Ibn Hazm tidak melarang menggunakan kiasan dengan syarat
ada tanda (qarīnah), berupa penggeseran makna lainnya yang memperjelas. Dalam
hal ini, penggeseran ini dianggap sebagai “penjelasan zahir lafaz” (ẓawāhir alfāẓ)
bukan takwil. Prinsip-prinsip ini diperlihatkannya dengan berpindah dari Mazhab
Maliki dan Syafi’i, karena dalam mengistinbathkan hukum kedua mazhab ini ternyata
menggunakan konsep qiyas dan mashlahah mursalah yang di dalamnya terkandung
unsur ra’yu.

5
Abdullah Mustafa al-Maragi, Fath al-Mubin fii Tabaqat al-Usuliyyin, Terjemah Husain
Muhammad, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), cet. ke-1, h. 154

10
Ibn Hazm mempunyai metode tersendiri di dalam memahami nash Alquran
maupun Hadis, yaitu manhāj (metode) Zahiri yang jauh berbeda dengan metode yang
telah ditempuh oleh kebanyakan ahli ushul. Metode Zahiri yang digunakan Ibn Hazm
baik dalam bidang akidah dan furu’, berdasarkan pada berpendapat sesuai zahir
Alquran, Sunnah dan ijma’ serta menolak metode qiyas, ra’yu, istihsan, taqlid dan
lain-lain. Metode ini memiliki model kejelasan pada seluruh aspek pemikiran,
kebudayaan, ilmu ushul dan cabang-cabangnya.
Dalam kitab al-Ihkām fī Uṣūl al-Ahkām, Ibn Hazm menyatakan bahwa adilah
(sumber atau dalil hukum Islam) adalah Alquran, Hadis yang diriwayatkan oleh rawi
yang tsiqah atau mutawatir, ijma’ dan al-dalil.
a. Al-quran
Kitab atau Alquran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul- Nya
Muhammad saw. yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan kepada kita dari
Nabi secara mutawatir tanpa adanya keraguan. Umat Islam tidak memperselisihkan
bahwa Alquran adalah sumber pertama untuk menetapkan syari’at dan hujjah atas
manusia seluruhnya. Alquran adakalanya dijelaskan oleh Alquran sendiri, seperti
hukum perkawinan, perceraian, iddah dan hukum warisan. Dan adakalanya dijelaskan
oleh Sunnah, seperti tata cara shalat, puasa, zakat dan haji. Dengan demikian Alquran
menjadi penjelas bagi Alquran, sehingga menurut Ibn Hazm tidak ada ayat
mutasyabihāt selain fawatih al-suwār. Karena semua ayat Alquran adalah jelas dan
terang maknanya bagi orang mengetahui ilmu bahasa secara mendalam dan
mengetahui hadis yang shahih.
Penjelasan Alquran terhadap Alquran kadang masih membutuhkan takhsish
karena masih umum, sehingga harus ada ayat lain yang mengkhususkannya, ayat-ayat
yang mengkhususkan dibagi menjadi dua: a. Ayat yang menjelaskan turunnya
bersamaan dengan ayat yang dijelaskan, ini disebut takhsīṣ. b. Ayat yang menjelaskan
turunnya tidak bersamaan dengan ayat yang dijelaskan, ini disebut nasakh.

11
Menurut Ibn Hazm, nasakh adalah pengecualian terhadap keumuman hukum
dari segi masa. Seperti ayat yang melarang menikah dengan wanita musyrik secara
umum, kemudian datang ayat yang membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab.
Nasakh hanya berlaku bagi ayat-ayat perintah atau lafaz berita yang
maknanya menunjukkan perintah dan larangan dan tidak berlaku bagi ayat- ayat
berita, karena yang demikian merupakan dusta, dan Maha Suci Allah dari hal yang
demikian. Menurut Ibn Hazm Alquran dapat menasakh al- Sunnah dan al-Sunnah
dapat menasakh Alquran, karena segala yang datang dari Rasul sesungguhnya adalah
datang dari Allah, maka al-Sunnah yang shahih adalah sejajar dengan Alquran dari
segi kewajiban mentaatinya.
b. Al- Sunnah
Al-Sunnah menurut bahasa berarti cara yang sudah dibiasakan dan dilakukan
berulang-ulang. Sedangkan menurut istilah syar’i, Sunnah adalah apa yang bersumber
dari Nabi saw. selain Alquran, berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrīr). Al-
Sunnah merupakan pelengkap Alquran dalam menjelaskan syari’ah, dalam
kebanyakan fungsinya adalah memerinci (tafṣīl) ayat-ayat global Alquran atau
mengkhususkan (takhsīṣ) ayat-ayat Alquran yang umum.
Menurut Ibn Hazm, Alquran dan al-Sunnah adalah dua sumber hukumyang
saling melengkapi, keduanya mempunyai kekuatan yang sama dalammenetapkan
hukum. Ibn Hazm juga mengibaratkan al-Sunnah seperti Alquran dari segi sebagai
wahyu. Dan al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan dari Alquran dan juga
mendatangkan hukum baru yang mana hukum tersebut tidak didatangkan oleh
Alquran. Maka, mengambil hukumdari al-Sunnah wajib dengan kewajiban Alquran.
Ibn Hazm juga mengibaratkan bahwa perkataan dan ketetapan Rasul saw.
adalah hujjah. Perkataan Rasul saw. yang terdiri dari perintah dan larangan harus
diambil zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada kewajiban dan larangan
menunjukkan kepada keharaman. semuanya menuntut untuk dilakukan dengan segera
kecuali ada hal lain yang menunjukkan kebalikannya. Sedangkan perbuatan Rasul

12
saw. tidak diibaratkan sebagai hujjah kecuali jika terdapat perkataan Rasul yang
menunjukkan perbuatan tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya.
Seperti sabda Rasulullah saw. “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat”.
bn Hazm membagi Sunnah dari segi periwayatannya menjadi dua, yaitu
Sunnah Mutawatir dan Ahad. Sunnah Mutawatir adalah apa yang diriwayatkan oleh
perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya yang menurut akal tidak mungkin
para perawi tersebut bersepakat untuk berdusta. Bagi Ibn Hazm, Sunnah Mutawatir
merupakan hujjah qath’i yang tidak diragukan lagi, tanpa membatasi jumlah perawi,
asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal tersebut karena tidak ada dalil yang
membatasi jumlah perawi. Sedangkan Sunnah Ahad adalah apa yang diriwayatkan
oleh seorang perawi atau lebih yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Ibn Hazm
berpendapat bahwa khabar ahad ini wajib untuk diyakini serta mengambil dan
mengamalkannya dalam masalah i’tiqad. Dalil Ibn Hazm dalam mengamalkan khabar
ahad dalam masalah i’tiqad adalah bahwasanya Nabi saw. ketika mengutus utusannya
untuk membawa surat kepada para raja- raja di sekitar jazirah Arab tersebut,
utusannya adalah seorang.
Dan ketika Nabi saw. mengutus utusannya untuk kaum muslimin, juga dengan
seorang utusan. Nabi pernah mengutus Mu’adz ke Yaman, Abu Bakar sebagai
pemimpin rombongan haji dan Ali sebagai qadhi di Yaman. Dan para sahabat ketika
mereka menghadapi sebuah permasalahan, yang mana permasalahan tersebut tidak
ada penjelasan di dalam nash Alquran, maka mereka akan mencarinya di dalam hadis
Rasulullah saw. jika mereka mendapatinya, mereka akan memutuskan sesuai hadis
tersebut tanpa mempersoalkan jumlah perawinya.
Ibn Hazm tidak menerima periwayatan kecuali jika sanadnya tersambung,
oleh karena itu ia menolak hadis mursal atau al-munqathi’ kecuali jika terdapat ijma’
yang sah terhadap makna hadis tersebut. Dan Ibn Hazm pun memandang para sahabat
biasa-biasa saja, ia menolak perkataan mereka yang dinisbahkan kepada Nabi saw.
kecuali terdapat lafaz yang tashrih bahwa Nabi mengatakan hal yang demikian. Oleh

13
karena itu, ia tidak menganggap perkataan sahabat sebagai hadis. Dikarenakan bisa
jadi sahabat tersebut membawa makna hadis yang didengar dari Nabi saw. sesuai
dengan ijtihadnya.
c. Ijmā’
Ijmā’ menurut bahasa adalah ‘azm (tekad) untuk melakukan sesuatu dan
bersikeras terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh dan ushul, ijma’ berarti
kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam di setiap masa setelah wafatnya
Nabi atas suatu hukum syari’at.20 Sumber pokok ketiga dalam beristinbath menurut
Ibn Hazm adalah ijma’ yang bersumber dari Alquran dan al-Sunnah. Ijmā’ adalah
hujjah kebenaran yang meyakinkan di dalam agama Islam.
Ibn Hazm menetapkan bahwa ijmā’ yang mu’tabar adalah ijmā’ sahabat Nabi
saw. karena ijma’ tidak lain kecuali berasal dari Nabi saw. atau dengan
bimbingannya. Hal ini seperti yang dikatakan Ibn Hazm bahwa para sahabat adalah
mereka yang berinteraksi dan mengetahui keadaan Nabi saw. juga memungkinkan
membangun ijmā’ dan mencocokkan pendapat mereka, dan mereka semua adalah
orang-orang yang beriman di masa Nabi saw.
Kebenaran pendapat Ibn Hazm atas ijmā’ ini didasarkan pada dua hal, yaitu:
 Tidak ada perbedaan di antara umat Islam bahwa ijmā’ yang dilakukan
para sahabat Nabi saw. adalah shahih adanya dan tidak dapat ditentang
oleh siapa pun.
 Sesungguhnya agama Islam telah sempurna
Menurut Ibn Hazm, ayat ini berarti bahwa menambah suatu penjelasan adalah
tidak sah menurut syara’ dan sesungguhnya agama adalah nash-nash atau manuskrip-
manuskrip dari Allah swt. dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali melalui
Rasul-Nya yang menerima wahyu dari Allah swt. Menurutnya ijmā’ harus berpegang
pada naṣ, baik berupa perkataan Nabi, perbuatan maupun ketetapannya pada suatu
masalah; selain ini tidak termasuk ijmā’. Siapa yang berpendapat selain ini berarti ia
menggunakan argumentasi yang lemah.6
6
Ibn Hazm, al-Ihkām fī Uṣūl al-Ahkām, jilid 2, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), hal. 100.

14
d. Al-Dalīl
Selain tiga sumber hukum di atas, Ibn Hazm menggunakan al-dalīl, ketika
tidak ada naṣ dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang baru muncul
akibat perubahan sosial. Al-Dalīl dalam pandangan Ibn Hazm adalah sesuatu yang
diambil secara langsung dari naṣ atau ijmā’ dan dipahami secara langsung dari segi
dilalah keduanya. Kendati al-dalīl bukan naṣ atau ijmā’, tetapi secara essensial
memiliki kesamaan dengan keduanya; namun tidak sama dengan qiyās.
Dalam istidlal, al-dalīl ada dua; pertama al-dalīl yang diambil dari nash,
kedua, al-dalīl yang diambil dari ijmā’. Al-Dalīl yang diambil dari naṣ terbagi
menjadi tujuh:
 Nash yang terdiri dari dua proposisi (muqaddimah), yaitu
muqaddimah kubra dan sughra tanpa konklusi dan natijah,
mengeluarkan natijah dari dua muqaddimah tersebut dinamakan al-
dalil. Seperti sabda Rasulullah saw: “kullu muskirin khamrun wa kullu
khamrun haram” dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil
menurut Ibn Hazm.
 Qaḍāyā Mudarrajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa
derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain di
bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan
bahwa Abu Bakar lebih utama dari Umar dan Umar lebih utama dari
Utsman, maka makna lain dari lingkaran tersebut adalah Abu Bakar
lebih utama dari Utsman. Begitu juga dalam hadis Nabi saw: “Sebaik-
baik kamu adalah orang di zamanku (sahabat), setelah itu zaman
sesudahnya (tabi’in) setelah itu zaman sesudahnya (tabi’ at-tabi’in)”.
 ‘Aks Qaḍāyā (kebalikan proposisi), di mana bentuk proposisi kulliyat,
mujab kulliyyat dibalik dalam bentuk proposisi juz’iyyat, mujab
juz’iyyat, seperti pernyataan; “setiap yang memabukkan adalah

15
khamr” dibalik menjadi “sebagian dari hal yang diharamkan adalah
yang memabukkan”.
 Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna
yang dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun
juga memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya.
Pengembalian makna lain yang tidak terlepas makna tersebut
dinamakan dengan al-dalil. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis”
dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup,
mempunyai anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis.
 Penetapan segi keumuman makna, seperti keumuman fi’il syart.
Contoh dalam Alquran surat al-Anfal ayat 38: “Katakanlah kepada
orang- orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan
berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadapnya) orang-orang
dahulu”. Zahir dari ayat tersebut adalah orang-orang kafir yang
menentang Nabi, namun yang dipahami dari keumuman lafaz adalah
bukan kekhususan sebab, namun makna yang terkandung adalah
umum. Bahwa setiap yang bertobat dari dosa kekafiran akan diampuni
oleh Allah swt.
 Nash memiliki makna tertentu, lalu makna tersebut diungkapkan
dengan pernyataan lain yang semakna dengan lafaz (al-mutala’imat).
“Dan kami wajibkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orang
tua” (al-Ankabut: 8). Ayat ini menurut Ibn Hazm memberikan
pelajaran kepada kita bahwa wajib berbuat baik kepada orang tua, dan
perbuatan yang bertentangan dengan itu dilarang termasuk perkataan
uffin (ah).

16
 Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah.
Menurut Abu Zahrah, al-dalil ini pada dasarnya adalah istishab, yakni
hukum asal segala sesuatu adalah mubah sebelum ada dalil nash yang
mengharamkannya atau mewajibkannya.
Hal yang menarik di sini adalah Ibn Hazm dengan tegas menolak ijtihād bil
ra’yi, namun ia menawarkan konsep al-dalīl yang termasuk di dalamnya juga ada
konsep istiṣhāb, ketika ber-ijtihād untuk menggali hukum- hukum syari’at dari naṣ
Alquran maupun Hadis. Bagi Ibn Hazm, konsep al- dalīl ini tidak keluar dari jalur
naṣ, namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu
mantiq (logika). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penalaran ra’yu tidak
bisa dilepaskan sama sekali dalam ber-ijtihād atau menetapkan hukum.

B. Abu Daud as-Zahiriyah


1. Biografi
Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di
Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz,
dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-
Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di
Baghdad sampai meninggal dunia. Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik
madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah.
Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan
sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-
gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran)
yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-
Musnad”.
Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para
muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di
Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para
muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam

17
bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya
merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.
Mazhab ini menyebar dari Iraq ke Persia, Afrika bagian utara, juga ke
Andalusia dimana seorang imam terkenal yang bernama Ibnu Hazm menjadi ulama-
besarnya disana, mayoritas prinsip-prinsip mazhab Zhahiri dimasa awal berasal
darinya. Meskipun mendapat kritik keras oleh banyak ulama akidah dari mazhab-
mazhab lainnya (atas keyakinan literalisnya), mazhab Zhahiri murni tetap dapat
bertahan selama lebih dari 500 tahun dalam berbagai keadaanya dan diyakini pada
masa-masa akhirnya melebur kepada mazhab Hanbali. Meskipun Dawud Al-Zhahiri
banyak dianggap sebagai penggagas mazhab ini, namun para pengikut mazhab ini
lebih banyak mengikuti pendapat tokoh-tokoh ulama salaf sebelumnya seperti Sufyan
al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih sebagai pendahulu (salaf) peletak prinsip-prinsip
mazhab Zhahiri. Prof. Abdul Aziz al-Harbi dari Universitas Ummul Qura
menyatakan bahwa generasi pertama umat Islam telah mengikuti metode mazhab ini
oleh karena itu mazhab ini dapat juga disebut sebagai mazhab dari generasi awal
umat Islam.
2. Karya-Karya
Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya,
antara lain :
 Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).
 Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).
 Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal
khusus dan umum).
 Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak
jelas pengertiannya).
 Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).
 Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan
bertaklid).

18
 Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).
Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang
lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris”
menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang
bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini
menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah
tidak ada lagi. Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut
membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer
dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
3. Pemikiran Fiqh Abu Daud Az-Zhariyah
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang
pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh
sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu
disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan
mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan,
mazhab ini punah dan habis.
Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-
Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah
dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu
masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada
juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa
hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-
zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan
dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.
Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.7
a. Tentang Ijma’.

7
Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006),
Volume 6, h. 1981

19
Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para
mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah.
Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui
pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena
mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas
suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat
demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk
mengetahui pendapat mereka. Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab
lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan
sahabat, tetapi mencakup tabi’in.
b. Tentang Qiyas.
Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan ra’yu. Ia
berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum
‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama
adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hukum yang dibawa
oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu
telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-
hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta
menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek peradilan menuntut
adanya perangkat-pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan
sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan
hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan
‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka
seorang mujtahid tidak berhak untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas
dengannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
: ‫َوَم ا اْخ َتَلْف ُت ْم ِفيِه ِم ْن َش ْي ٍء َفُح ْك ُم ُه ِإَلى ِهللا َذِلُك ُم ُهللا َر ِّبي َع َلْي ِه َت َوَّكْلُت َو ِإَلْي ِه ُأِنيُب {الش ورى‬
}10

20
Artinya : “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah)
kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-
Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”
Artinya, bukan kepada ra’yu dan qiyas. Adapun ia menyebut qiyas yang
digunakannya ini dengan nama dalil. Namun, dalil dalam pandangannya termasuk
dalam ruang lingkup al-istidlal al-fiqh (deduksi dalil fiqh) yang bersandar
pada nash yang jelas, bukan termasuk dalam ruang lingkup qiyas.
Dalam deduksi dalil terdapat banyak teknik. Sebagai con-
toh, nash mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya : “Setiap
yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram” (HR. Ahmad
bin Hanbal dan Abu Dawud dari Ibnu Umar). Kesimpulannya ialah bahwa setiap
yang memabukkan adalah haram. Hukum ini tidak ditemukan melalui qiyas, tetapi
melalui dilalah alfaz (indikasi lafal) atau (seperti diistilahkan oleh para ahli
mantik) al-qiyas al-idmari (qiyas yang menyembunyikan). Teknik lain adalah ta’mim
al-syart (generalisasi kata kerja syarat). Umpamanya terdapat nash dari firman Allah
swt :
}38 : ‫ُق ْل ِلَّلِذيَن َكَف ُر وا ِإْن َيْنَتُه وا ُيْغ َف ْر َلُه ْم َم ا َقْد َس َلَف َو ِإْن َيُع وُد وا َفَق ْد َم َض ْت ُس َّنُة ْاَألَّوِليَن {األنفال‬
Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku
(kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.”
Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi hukumnya berlaku bagi
setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya, apabila orang yang melakukan
maksiat berhenti dan bertobat dari perbuatannya, maka ia akan mendapat ampunan
dari Allah swt. Generalisasi ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.
c. Tentang Taqlid.
Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun
harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya kepada orang lain.
Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil

21
dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan
dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.
Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :
 Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di
dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan
garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba
terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat
dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan
‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut.
Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat
ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis.
Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan,
tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-
barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.”
Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan
demikian, tetapi hanya menyebut kempat jenis, maka pengharaman riba
terbatas pada keempat jenis tersebut.
 Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh
menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan
pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt
menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-
mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) dan
“fi kitab maknum” (pada kitab yang terpelihara [Lauh Mahfuz]). Menurut
pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya
tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu
kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisan-
tulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang
yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.

22
C. Perbedaan Dzahiriyah Ibnu Hazm dengan Dawud adz-Dzahiri
Secara umum, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa konsep
Dzahirisme Ibnu Hazm mempunyai cakupan lebih luas daripada sekedar fiqih Dzahiri
sebelumnya. Dzahiriyah Ibnu Hazm bukanlah berarti terikat dengan teks dalam
menelurkan hokum syari’ah seperti yang diajarkan Dawud dan pengikutnya, namun
berarti menentang batin secara keseluruhan dan salah satunya adalah menentang
qiyas.8 Anwar Khalid az-Zabi’ merumuskan beberapa prinsip dasar Dzahirisme Ibnu
Hazm.

 Pertama, konsep rasionalitas yang menurut Ibnu Hazm lebih dititik beratkan
sebagai metode daripada sekedar sumber. Ibn Hazm perpijak pada tolok ukur
dan pertimbangan akal semata. Ia selalu mengingat dan mengajak lawan
diskusinya agar menggunakan metode ini jika mendiskusikan hal-hal yang
termasuk kategori disiplin ilmu rasional. Ia berpendapat bahwa setiap orang
sesuai dengan kodratnya memiliki pengetahuan intuitif (‘ilm al-badihah) yang
ia sebut sebagai ilmu jiwa (‘ilm al-nafs).
 Kedua, konsep kritik Ibnu Hazm yang memberikan tekanan pada upaya
melahirkan sikap kritis terhadap setiap kajian. Menurut Ibnu Hazm, untuk
sampai pada tingkat hakiki dari suatu permasalahan, mengharuskan adanya
kajian, sedangkan kajian hanya dapat dilakukan apabila ada telaah
(muthala’ah). Sedangkan untuk materi yang ditelaah tidak berupa sumber-
sumber yang terkait saja, tetapi juga berbagai kajian yang cukup luas untuk
mewujudkan sikap kritis dalam permasalahn tersebut.9

8
Muhammad Abed al- jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 448
9
H.Zuhri, Filsafat Ibnu Hazm, hlm. 37

23
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Peran Andalusia khususnya Cordoba dalam mengisi masa keemasan islam
tidak bisa diremehkan. Dikota inilah banyak lahir manusia-manusia yang kelak
menjadi imam dalam keilmuan islam. Hadirnya Ibnu Hazm tidak hanya melengkapi
deretan daftar nama-nama ulama Islam, akan tetapi juga ikut berperan aktif mewarnai
corak mazhab islam. Ketekunan beliau dalam belajar, semangat beliau dalam
menyelami agama, kegigihan beliau memperjuangkan keyakinannya patut kita
teladani dan jadikan ibroh dalam membangun konstruksi islam yang rahmatan lil
‘alamin.
Berdasarkan uraian sebelumnya telah dipaparkan bahwa pemikiran Ibnu
Hazm melekat erat pada karya-karyanya, tetapi dalam menentukan hukum beliau
mendasarkan pada dzahir-nya nash yakni Al Quran dan As Sunnah. Selain itu dapat
disimpulkan juga, bahwa Ibn Hazm lebih popular, lebih vocal, dan lebih gigih
menyiarkan serta mensyiarkan mazhab Dzahiriyah dibandingkan dengan Abu Dawud
sebagai pendiri mazhab Dzahiriyah itu sendiri. Oleh karenanya wajar jika Ibn Hazm
dikenal sebagai penyambung lidah mazhab Dzahiriyah dengan konsepnya yang baru.
Demikian makalah yang dapat saya sajikan dengan penuh keterbatasan. Kiranya
mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, dan semoga bermanfaat.

24
DAFTAR PUSTAKA
al Andalusi, Hazm, Ibnu, Al Nubadz fi Ushul al Fiqh al Dzahiri, (Cairo: Dar Ibnu
Hazm, 1999)

al- jabiri, Abed, Muhammad, at-Turots wa al-Hadatsah ,(Beirut: Markaz Dirasat al-
Wihdah al-‘Arabiyah, 1991)

al- jabiri, Abed, Muhammad, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-
Wihdah al-‘Arabiyah, 1989)

Zahrah, Abu, Muhammad, Ibu Hazm, Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Arauhu wa Fiquhu,


(Cairo: Dar el-fiqr, 1996 )

Zuhri, H, Filsafat Ibnu Hazm, (Yogyakarta: SUKA PRESS, 2013)

25

Anda mungkin juga menyukai