Anda di halaman 1dari 125

KETENTUAN HADHANAH

DI INDONESIA DAN MALADEWA

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
LUTFI ABDUL LATIF
NIM. 11150440000108

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020 M
KETENTUAN HADHANAH
DI INDONESIA DAN MALADEWA

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

LUTFI ABDUL LATIF


NIM. 11150440000108

Pembimbing:

Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.


NIP. 19570408 198603 1 002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020 M

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Pengutipan dalam skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 September 2020

Lutfi Abdul Latif

iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi berjudul “KETENTUAN HADHANAH DI INDONESIA DAN


MALADEWA”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28
September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Strata Satu (S1) Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum
Keluarga.
Jakarta, 28 September 2020
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.


NIP: 19760807 200312 1 001

1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag.


NIP. 19760213 200312 2 001 (..................................)

2. Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A.


NIP. 19720531 200710 1 002 (..................................)

3. Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.


NIP. 19570408 198603 1 002 (..................................)

4. Penguji I : Dr. Hj. Azizah, M.A.


NIP. 19630409 198902 2 0011 (..................................)

5. Penguji II : Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.


NIP. 19710131 199703 2 0101 (..................................)
rs. H. Wahyu na, M.A.
NIP. 19520918 197803 1 003

iv
ABSTRAK

Lutfi Abdul Latif. NIM 11150440000108. KETENTUAN HADHANAH DI


INDONESIA DAN MALADEWA. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2020 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perbandingan secara vertikal,
horizontal, dan diagonal mengenai ketentuan hadhanah yang meliputi siapa yang
berhak mengasuh, urutan pengasuhan setelah ibu, syarat orang yang mengasuh,
pembiayaan pengasuhan anak, usia boleh memilih pengasuh, dan aturan tentang
anak dibawa ke luar negeri dalam perbandingannya antara Fikih Syafi`i, Hukum
Keluarga Indonesia, dan Hukum Keluarga Maladewa.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
yuridis normatif dan Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui kajian kepustakaan
(library research) dengan melakukan pengkajian terhadap kitab fikih klasik dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Dari hasil analisis perbandingan vertikal ditemukan bahwa Hukum Keluarga
Indonesia dan Hukum Keluarga Maladewa sama-sama telah melakukan
keberanjakan hukum dari aturan yang terdapat dalam Fiqih Mazhab Syafi‟i yang
merupakan mazhab mayoritas dari kedua negara tersebut. Keberanjakan Hukum
Keluarga Indonesia dari Fikih Syafi`i hanya masa pengasuhan anak termasuk usia
untuk memilih, syarat-syarat menjadi pengasuh anak dan tidak diaturnya
pengasuh anak pergi ke luar negeri. Keberanjakan Hukum Keluarga Maladewa
dari Fikih Syafi`i yaitu hanya masa pengasuhan anak termasuk usia untuk
memilih, orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu, dan ketentuan pengasuh
anak pergi ke luar negeri. Sedangkan secara perbandingan horizontal, Hukum
Keluarga Indonesia dan Maladewa memiliki persamaan sekaligus perbedaan.
Persamaan tersebut dapat dilihat dari bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah
yaitu hadhanah sebagai aturan yang tertulis dan dilegislasi oleh pemerintah, yang
paling berhak mendapatkan hadhanah, dan siapa yang membiayai pemeliharaan
anak. Sedangkan perbedaan antara kedua negara tersebut adalah Pengasuhan
setelah ibu, syarat-syarat mengasuh anak, batas usia anak boleh memilih wali
asuh, dan aturan anak dibawa ke luar negeri. Kemudian, secara perbandingan
diagonal, dapat ditemukan bahwa Indonesia dan Maladewa memiliki
keunggulannya masing-masing. Keunggulan Indonesia yang tidak ditemukan di
Maladewa dapat dilihat dari syarat mengasuh anak dan batas usia anak boleh
memilih wali asuh. Sedangkan keunggulan yang dimiliki Maladewa namun tidak
dimiliki Indonesia adalah aturan mengenai pengasuhan anak dibawa ke luar negeri

v
dan ketegasan aturan Hukum keluarga Maladewa mengenai pengasuhan anak
berlaku sampai usia 7 tahun sesuai kalender Islam dan bisa diperpanjang apabila
yang mengasuh anak memohon kepada pegadilan. Perpanjangannya untuk anak
perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun sesuai dengan kalender Islam dan
anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9 tahun sesuai dengan kalender Islam.

Kata kunci : Hadhanah, Pengasuhan anak, Maladewa, Indonesia.


Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.
Daftar Pustaka : 1982 s.d. 2020

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa
istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau
lingkup penggunaannya masih terbatas.

a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫خ‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ h ha dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ر‬ dz de dan zet

‫س‬ r er

‫ص‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ d de dengan garis bawah

‫ط‬ t te dengan garis bawah

vii
‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

koma terbalik di atas


‫ع‬ „
hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q qo

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l ef

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ y ya

b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ a fathah

‫ﹻ‬ i kasrah

viii
‫ﹹ‬ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ي‬ ‫ﹷ‬ ai a dan i

‫و‬ ‫ﹷ‬ au a dan u

c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ا‬ ‫ﹷ‬ â a dengan topi di atas

‫ي‬ ‫ﹻ‬ î i dengan topi di atas

‫و‬ ‫ﹹ‬ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam
(‫)ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau
huruf qamariyyah, misalnya:
‫االجتهاد‬ = al-ijtihâd

‫الشخصح‬ = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

ix
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
‫ = الشفعح‬al-syufah, tidak ditulis asy-syuf‟ah

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫ششيعح‬ syarî‟ah

2 ‫الششيعح اإلسالميح‬ Al-syarî‟ah al-islâmiyyah

3 ‫مقاسنح المزاهة‬ Muqaranat al-madzâhib

g. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan


Huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi
huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh
kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: ‫ = الثخاسي‬al-Bukhâri,
tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal

x
dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Din al-
Rânîri.

h. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫الضشوسج تثيح المحظىساخ‬ al-darûrah tubîhu al-mahzûrat

2 ‫االقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisad al-islâmî

3 ‫أصىل الفقه‬ usûl al-fiqh

4 ‫األصل في األشياء اإلتاحح‬ al-asl fî al-asyyâ` al-ibâhah

5 ‫المصلحح المشسلح‬ al-maslahah al-mursalah

xi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhânahu wa Ta`âlâ yang
telah memberikan kemudahan dan kekuatan, sehingga atas pertolongannya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallah „Alayhi wa Sallam beserta
keluarga, para sahabat, dan ummatnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh berupa pihak yang


membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, baik berupa dukungan moril
dan dukungan materil. Oleh karena itu, penulis secara khusus menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga. Atas dukungan, arahan, serta bantuan
kepada penulis, hingga akhirnya penulis mampu menyelesaikan jenjang
perkuliahan strata satu ini dengan baik;
3. Bapak Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
Atas bimbingan dan nasihat beliau, penulis terbantu dalam menyelesaikan
skripsi ini dengan baik;
4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A. dan Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A selaku
dosen penguji skripsi. Atas koreksian dan masukannya, penulis terbantu
dalam menyelesaikan revisi skripsi.
5. Bapak Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Penasihat
Akademik, yang selalu memberikan saran serta masukan kepada penulis
selama proses kegiatan akademik di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;

xii
6. Orang tua tercinta, ibunda tercinta Komariah beserta Bapak Haerudin dan
ayahanda tercinta H. Mukhlis beserta Ibu Nonoy. Terima kasih atas doa
dan dukungan yang tiada pernah lekang oleh waktu meskipun penulis
jarang bertemu dengan kedua orang tua;
7. Kakanda tercinta, Abdul Muiz dan Teh Iin, Abdul Aziz dan Teh Sofa
beserta seluruh keluarga, terutama kepada H. Abdul Gopar dan Hj. Wawa
Robiah yang selalu memberikan kepedulian di kehidupan ini;
8. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik dan
membagikan ilmunya kepada penulis;
9. Keluarga besar Hukum Keluarga 2015, Mahad Al-Jami‟ah Syaikh
Nawawi 2015-2016, Keluarga Besar Bidikmisi yang selalu memberikan
bantuan kepada penulis selama berada di kampus tercinta;
10. Keluarga Besar Yayasan Irtiqo Kebajikan yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis;
11. Beni Muhammad dan M. Miqdad Alfarizi yang telah banyak membantu
penulis dalam menerjemahkan bahan referensi skripsi ini;
12. Serta Sahabat-Sahabat terbaik, khususnya Mohammad Ali Haidar, Robbi
Aulia Hidayat, dan sahabat-sahabat penulis lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, yang semuanya telah mendukung serta
memberikan semangat kepada penulis.

Penulis berharap semoga Allah Subhânahu wa Ta`âlâ membalas semua


kebaikan mereka dan melindungi mereka di dunia dan di akhirat kelak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
penulis hanya berharap agar skripsi ini sedikit banyak memberikan manfaat bagi
para pembaca.

Jakarta, 28 September 2020

Lutfi Abdul Latif

xiii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.....................................................ii


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... xii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...................... 6
1. Identifikasi Masalah ................................................................ 6
2. Pembatasan Masalah ............................................................... 7
3. Perumusan Masalah................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8
1. Tujuan Penelitian..................................................................... 8
2. Manfaat Penelitian................................................................... 8
D. Kajian Studi Terdahulu ................................................................. 9
E. Metode Penelitian........................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan.................................................................. 13
BAB II HADHANAH MENURUT FIKIH MAZHAB SYAFI’I ............... 14
A. Tentang Mazhab Syafi‟i .............................................................. 14
B. Pengertian Hadhanah (Pemeliharaan anak) ................................ 16
1. Pengertian secara Bahasa ....................................................... 16
2. Pengertian secara Istilah ......................................................... 17
C. Hukum Hadhanah........................................................................ 19
D. Yang Berhak Mengasuh Anak .................................................... 21
E. Urutan yang mengasuh setelah ibu ............................................. 23
F. Syarat Pengasuh anak .................................................................. 26
G. Lama waktu hak hadhanah .......................................................... 27

xiv
H. Pembiayaan ................................................................................. 27
I. Usia anak boleh memilih wali asuh ............................................ 29
BAB III HADHANAH MENURUT HUKUM KELUARGA INDONESIA
DAN MALADEWA.......................................................................... 31
A. Indonesia ..................................................................................... 31
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ................................... 31
a. Islam Masuk ke Nusantara................................................. 31
b. Masa Kerajaan Islam ......................................................... 32
c. Masa Penjajahan Belanda .................................................. 34
d. Masa Penjajahan Jepang .................................................... 37
e. Masa Setelah Kemerdekaan............................................... 38
2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga di Indonesia .. 54
a. Yang berhak melakukan hadhanah .................................... 54
b. Pengasuhan anak setelah ibu ............................................. 56
c. Masa pengasuhan anak ...................................................... 57
d. Syarat seorang pengasuh.................................................... 57
e. Biaya Pemeliharaan ........................................................... 58
f. Usia anak boleh memilih wali asuh ................................... 59
B. Maladewa .................................................................................... 60
1. Sejarah Hukum Keluarga di Maladewa.................................. 60
2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga Maladewa ..... 62
BAB IV PERBANDINGAN KETENTUAN HADHANAH MENURUT
FIKIH MAZHAB SYAFI’I DENGAN ATURAN DI INDONESIA
DAN MALADEWA.......................................................................... 67

A. Perbandingan Secara Vertikal Mengenai Ketentuan Hadhanah di


Indonesia dan Maladewa dengan Fikih Mazhab Syafi`i ............. 67
1. Yang berhak mendapatkan Hadhanah .................................... 67
2. Pihak yang paling utama dalam mengasuh anak setelah ibu.. 68
3. Biaya Pemeliharaan ................................................................ 79
4. Batas usia anak boleh memilih wali asuh ............................... 80
5. Anak dibawa pergi ke Luar Negeri ........................................ 82

xv
B. Perbandingan Secara Horizontal antara Ketentuan Hadhanah di
Indonesia dan Maladewa ............................................................. 87
1. Persamaan............................................................................... 87
a. Bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah.......................... 87
b. Aturan ketentuan hadhanah ............................................... 88
c. Yang berhak mendapatkan hadhanah ................................ 88
d. Biaya pemeliharaan anak ................................................... 88
2. Perbedaan ............................................................................... 88
a. Pengasuhan setelah ibu ...................................................... 88
b. Syarat mengasuh anak ....................................................... 89
c. Batas usia anak boleh memilih wali asuh .......................... 89
d. Anak di bawa ke luar negeri .............................................. 89
C. Perbandingan Secara Diagonal antara Ketentuan Hadhanah di
Indonesia dan Maladewa ............................................................. 92
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 95

A. Kesimpulan ................................................................................. 95
B. Saran............................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 97

LAMPIRAN......... ............................................................................................. 105

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang
lain untuk membantunya. Antara lain adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan
hidup seperti makan, minum, membersihkan diri dan menjaganya. Oleh
karenanya, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang,
kesabaran, dan keinginan agar anak itu menjadi baik (saleh) di kemudian hari,
serta ia juga harus mempunyai waktu yang cukup dalam melakukan tugas-tugas
tersebut.1

Hadhanah berasal dari bahasa Arab. Hal itu dikatakan oleh Syaikh Ali al-
Jurjani, Hadhanah adalah “‫( ”تشتيح الىلذ‬pengasuhan anak).2 Pengertian lain yang
ditulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Wasit bahwa Hadhanah adalah wilayah
penguasaan anak-anak untuk mendidik dan mengatur urusannya. 3 Pengertian lain
juga dalam kitab Lisan al-Arab, al-Hidhnu ialah bagian badan di bawah ketiak
hingga rusuk. Dikatakan pula, ia adalah dada dan dua lengan serta kawasan antara
keduanya. Kata jamaknya adalah ahdhan disebut juga sebagai ihtidhan yang
berarti, “kamu menanggung sesuatu dan menjadikannya di bawah penjagaanmu,
sebagaimana seorang perempuan menjaga anaknya lalu menggendongnya di salah
satu bagian sisinya”.4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak disebutkan kata hadhanah, tapi
sebutkan kata asuh, mengasuh yang berati menjaga (merawat dan mendidik) anak
kecil.5 Dalam bahasa Inggris, custody dan parenting termasuk arti dari hadhanah.

1
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) h. 157
2
Ali ibn Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitabu al-Ta‟rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan,
1985), h. 93.
3
Syauqy Dhaif, al-Mu‟jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah Shurouq ad-Dauliyya), Jilid 1, h.
182
4
Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim ibn Manzhur al-Afriqi al-Misri,
Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Sadir), Jilid 13, h. 122.
5
Dendy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), h. 100.

1
2

Custody berarti hak atau kewajiban hukum untuk menjaga atau mempertahankan
seseorang anak.6 Juga dalam arti lain adalah untuk merawat seseorang atau
sesuatu, terutama anak setelah orang tuanya berpisah atau meninggal. 7 Parenting
bermakna, proses merawat dan mengasuh anak. 8 juga dalam arti lain
membersarkan anak-anak dan semua tanggung jawab dan kegiatan yang terlibat di
dalamnya.9
Dalam surah al-Tahrim ayat 6, Allah SWT menegaskan dan memerintahkan
kepada orang-orang beriman agar memelihara keluarganya dari api neraka dengan
berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga.10

      

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.

Maksud ayat di atas, al-Qurtubi menjelaskan seseorang harus memperbaiki


dirinya sendiri dengan melakukan ketaatan dan juga memperbaiki keluarganya
layaknya seorang pemimpin memperbaiki orang yang dipimpinnya. Seseorang
juga harus mengajari anaknya sesuatu yang halal dan haram, sekaligus
menjauhkannya dari kemaksiatan dan dosa. hak anak terhadap orang tua,
hendaklah orang tua memberikan nama yang baik, mengajarkannya tulis menulis
dan menikahkan bila telah baligh. Tidak ada pemberian orang tua terhadap anak
yang lebih baik daripada mendidiknya dengan didikan yang baik. Perintahlah
anak-anakmu sholat jika sudah berumur tujuh tahun, dan jika meninggalkan sholat
maka pukullah di umur sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur mereka.11

6
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/custody?q=custody
7
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/custody
8
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/parenting?q=parenting
9
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/parenting
10
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012) h. 175
11
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 18, h. 745-750.
3

Menurut Quraish Shihab, ibu bapak berkewajiban mendidik anak-anak dan


anggota keluarganya. Pendidikan dan dakwah harus bermula dari rumah. Ayat di
atas walaupun secara redaksional tertuju pada bapak (pria), tetapi juga kepada ibu
(wanita).12

Keluarga dituntut agar mendidik dan membimbing anggota keluarga. Dalam


konteks pernikahan isu pengasuhan anak atau Hadhanah merupakan isu yang tidak
bisa dilepaskan. Ketika pengasuhan anak masih berada dalam ikatan perkawinan
maka tidak menimbulkan aturan yang begitu mendetail, ketika orangtuanya
bercerai maka isu pengasuhan akan diatur dengan detail. Dalam hal ini isu yang
akan diatur dalam fiqih adalah mengenai siapa yang berhak mengasuh anak, usia
anak, jenis kelamin anak, kondisi dan karakter orang tua, termasuk agama,
kebiasaan, dan tempat.13

Kemudian beranjak dari situ, tepatnya pada abad ke 20 banyak negara-negara


berpenduduk muslim yang mulai melakukan kodifikasi hukum keluarga dari fiqih
mahdzab ke dalam sistem hukum nasional.14 Yang dimaksud dengan negara
berpenduduk muslim adalah negara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
keseluruhan penduduk di negara tersebut. Dalam peninjauan aspek hukum
keluarga yang sudah di kodifikasikan menjadi hukum nasional, setidaknya ada 3
macam jenis kelompok negara muslim. Pertama, kelompok negara muslim yang
memberlakukan hukum keluarga yang bersumber dari fiqih mazhab klasik yang
dianut oleh mayoritas penduduk dengan tidak merubah dan tidak pula
mengkodifikasikan ke dalam sistem hukum nasional. Kedua; kelompok negara
muslim yang tidak menggunakan atau meninggalkan hukum keluarga yang
bersumber dari mazhab fiqih klasik yang dianut oleh mayoritas penduduk.
Melainkan menggunakan undang-undang hukum keluarga modern konvensional;
dan yang ketiga, kelompok negara muslim yang memberlakukan aturan hukum

12
Quraish Shihab, al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-Quran),
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), Jilid 4, h. 324-325.
13
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013), h. 35.
14
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga di Ddunia Islami, Ed. Revisi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 156.
4

keluarga yang bersumber dari fiqih mazhab klasik yang dianut oleh mayoritas
penduduk dengan melakukan kodifikasi dan pembaharuan ke dalam sistem hukum
nasional.15

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk muslim dan yang termasuk ke


dalam negara yang melakukan kodifikasi atau pembaharuan ketentuan hukum
keluarga dari fiqih mazhab klasik menjadi aturan hukum yang disahkan menjadi
undang-undang. Aturan itu adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 dan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang
pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam ketentuan hukum keluarga yang diatur dalam undang-undang, ada


ketentuan yang mengatur tentang pengasuhan anak atau yang lebih dikenal dengan
Hadhanah. Pengasuhan anak secara jelas dan tuntas memang tidak disebutkan
dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi masuk
dalam bab hak dan kewajiban suami istri. Dengan demikian, pengasuhan anak
merupakan kewajiban suami istri selama masih dalam pernikahan berlangsung
ataupun sudah putus (cerai). Terkait dengan kewajiban suami istri dalam hal
memelihara dan mendidik anak-anak mereka harus sebaik-baiknya, dan berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Adapun terkait anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan. 16

Dalam Kompilasi Hukum Islam, aturan tentang hadhanah lebih ditegaskan


lagi, terutama tentang urutan orang lebih berhak mengasuh anak. Ibu sebagai
orang yang paling berhak mengasuhnya, usia mumayyiz atau 12 tahun adalah usia

15
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Musliim World, (Bombay: N. M. Tripathi
Pvt. Ltd., 1972), h. 2-3
16
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Tangerang Selatan: Hasmi, 2018) h.
260
5

kebolehan anak untuk memilih orang yang mengasuh, kewajiban ayah untuk
membiayai hidup anak, dan lain-lain.17

Selain Indonesia, ada negara kecil berkepulauan yang sama-sama


berpenduduk mayoritas Muslim. Yaitu Negara Republik Maladewa (Maldives).
Negara ini terletak di tengah-tengan Samudera Hindia dan di Sebelah selatan
negara Sri Lanka dan India. Negara ini juga merupakan negara penghasil ikan dan
menyediakan wisata pantai indah. Negara kecil ini berpenduduk kurang lebih
400.000 jiwa.18 Penduduknya mayoritas Islam dan bermahdzab Syafi‟i. 19 Agama
resmi negara Maladewa adalah Islam, hal itu dibuktikan dengan pasal yang ada di
dalam konstitusi negara Maladewa yaitu pasal 2 tahun 2008 “Maladewa adalah
negara berdaulat, merdeka, bernbentuk republik demokratis yang berdasarkan
prinsip Islam”. Lanjut pada pasal 9 d, “Nonmuslim tidak dapat menjadi warga
negara Maladewa”. Disempurnakan oleh pasal 10 “Agama yang diakui oleh
Maladea adalah Islam. Islam menjadi salah satu sumber hukum dari semua hukum
yang ada di Maladewa.”20

Dari penjelasan di atas, Di negara Maladewa mengatur banyak ketentuan


hukum keluarga di antaranya adalah ketentuan Hadhanah. Pengaturan tersebut
ditulis pada undang-undang Republik Maladewa berbahasa Divehi dan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan tulisan Family Act Number
4/2000. Kemudian undang-undang tersebut menuliskan penjelasan Bab
pemeliharaan anak (Custody) yang terdiri dari 12 Pasal dimulai dari pasal 40
tentang Hak untuk mengasuh sampai pasal 51 tentang Mempercayakan Fungsi
perlindungan dan transaksi harta anak kepada Ibunya.

Di Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan bermahdzab Syafi‟i pun


mengatur tentang ketentuan Hadhanah yang terdapat pada buku pedoman

17
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional, ... , h. 37.
18
Kamrul Hasan, dkk, “Renconciliation of Marriage: A Comparative Overview of the
Law and Practice in Bangladesh and Maldives”, International Journal of Business Education and
Management Studies, Vol. 1, No. 1, Januari 2020. h. 9.
19
Abdullahi A. An-Na‟im, Islamic Family Law in A Changing World: A Global Resource
Book, (London, New York: Zed Books Ltd, 2002), h. 227.
20
The Constitution of the Republic of Maldives 2008, Pasal 2, 9 d, dan 10.
6

Kompilasi Hukum Islam, di dalamnya terdapat bahasan tentang pengasuhan anak.


Hal itu ditulis pada Bab pemeliharaan anak yang terdiri dari 9 Pasal mulai dari
pasal 98 tentang batas usia sampai pasal 106 tentang pemeliharaan harta anak.
Dan juga diatur pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada
pasal 45 sampai pasal 54.

Oleh karena itu, Penulis ingin membandingkan hadhanah di dalam Fiqih


Mahdzab Imam Syafi‟i dengan undang-undang hukum keluarga yang ada di
Negara Republik Maladewa dan hukum keluarga yang ada di Indonesia
mengenai ketentuan Hadhanah tentang batas usia anak, yang berhak mengasuh
anak, masa pengasuhan anak, perwalian anak, harta anak, hilangnya hak
pengasuhan anak.

Berdasarkan uraian tersebut, ada hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut
tentang perbandingan undang-undang di Negara Indonesia dengan di negara
Maladewa. Oleh karena itu sangat penting untuk diteliti secara lebih mendalam
dalam bentuk skripsi yang berjudul “KETENTUAN HADHANAH DI
INDONESIA DAN MALADEWA”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
a. Perlu ditelusuri bagaimana ketentuan Hukum Keluarga Negara
Maladewa mengatur tentang hadhanah;
b. Perlu ditelusuri bagaimana ketentuan Hukum Keluarga Negara
Indonesia mengatur tentang hadhanah
c. Perlu ditelusuri perbandingan persamaan dan perbedaan mengenai
ketentuan hadhanah menurut ketentuan hukum keluarga negara
Maladewa dan negara Indonesia secara horizontal, vertikal, dan
diagonal.
d. Perlu ditelusuri bagaimana pendapat fukaha mazhab Syafi‟i tentang
hadhanah dan pengaruhnya dalam ketetetapan Hukum Keluarga di
kedua negara tersebut.
7

e. Perlu ditelusuri adakah keberanjakan konseptual dari pendapat fikih


mazhab kepada penetapan regulasi hukum keluarga.

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis paparkan
di atas, penulis membatasi dan memfokuskan:
a. Batasan Materi
Materi yang akan dibahas dari kitab-kitab fiqih Mazhab Imam Syafi‟i
tentang orang yang berhak mengasuh anak, hak asuh setelah ibu,
syarat mengasuh, nafkah anak, usia anak untuk memilih pengasuh,
ketentuan anak dibawa pergi ke luar negeri.
b. Batasan undang-undang
Undang-undang yang akan penulis rujuk adalah
1. Undang-Undang Republik Maladewa No. 4 Tahun 2000 perubahan
atas Undang-undang Republik Maladewa No. 3 Tahun 1980
tentang Hukum Keluarga, Pasal 35-36 dan 40-46.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019
perubahan atas Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 41, 45-54.
3. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1998 tentang
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98-105 dan 156.

3. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimanakah perbandingan ketentuan hadhanah menurut hukum keluarga
negara Indonesia dan Maladewa dan pendapat Mazhab Syafi‟i baik secara
vertikal, horizontal, dan diagonal ?”. untuk menjawab petanyaan itu, disajikan
beberapa pertanyaan penelitian seperti berikut:
a. Sejauh mana keberanjakan ketentuan hadhanah dalam Hukum Keluarga
Indonesia dan Maladewa dari Fiqih Syafi‟i?
8

b. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan hadhanah dalam Hukum


Keluarga Indonesia dan Maladewa?
c. Bagaimana keunggulan dan kelemahan ketentuan hadhanah dalam Hukum
Keluarga Indonesia dan Maladewa?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penyusunan skripsi ini adalah untuk mengetahui
mengetahui perbandingan vertikal, horizontal, dan diagonal antara Fiqih Mazhab
Syafi‟i, Hukum Keluarga di Indonesia dan Maladewa mengenai ketentuan
Hadhanah. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah:
a. Untuk mengetahi bagaimana Fiqih Syafi‟i mengatur ketentuan hadhanah;
b. Untuk mengetahi bagaimana Hukum Keluarga Indonesia dan Hukum
Keluarga Maladewa mengatur tentang ketentuan hadhanah;
c. Untuk mengetahi sejauh mana keberanjakan ketentuan hadhanah dalam
Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa dari Fiqih Syafi‟i;
d. Untuk mengetahi bagaimana persamaan dan perbedaan keentuan hadhanah
dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa;
e. Untuk mengetahi bagaimana keunggulan dan kelemahan ketentuan
hadhanah dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa.

2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman lebih
bagi akademisi, praktisi hukum, pembaca pada umumnya, serta seluruh lapisan
masyarakat tentang hukum keluarga di Maladewa khususnya tentang ketentuan
Handhanah, memperluas objek bahasan dalam khazanah keluarga islam di dunia,
dan menjadi bahan refleksi maupun evaluasi bagi ketentuan hadhanah yang
sedang berlaku di Indonesia maupun di Maladewa.
9

D. Kajian Studi Terdahulu

Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis terlebih dahulu
telah mengkaji beberapa tulisan terkait masalah ini, baik berupa skripsi, tesis,
maupun karya ilmiah yang menyinggung masalah ketentuan hadhanah. Adapun
kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya:
1. Skripsi, Hadhanah akibat perceraian dalam hukum Keluarga di Indonesia
dan Maroko, ditulis oleh Mutia Wardah, Program Studi Hukum Keluarga
Islam, Fakultas Syariah dan Huku, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, skripsi ini menjelaskan Hadhanah akibat perceraian
di Indonesia dan Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan
dan perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, dan
unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat
perceraian dalam kedua sistem hukum tersebut.
2. Jurnal Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017, Penetapan Hak Asuh
Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, ditulis
oleh Faridaziah Syahrain, penelitian menjelaskan ketentuan penetapan
hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian perspektif hukum Islam
dan bagaimana penegakan hukum dalam sengketa penetapan hak asuh
anak di bawah umur akibat perceraian perspektif hukum Islam.
3. Jurnal Asy-Syir‟ah Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Perbandingan
Sistem Hukum Perlindungan Anak Antara Indonesia dan Malaysia,
ditulis oleh Iman Jauhari, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
(UNSYIAH) Darussalam, Banda Aceh Indonesia. Jurnal ini menjelaskan
perbandingan sistem hukum keluarga (perkawinan) antara Indonesia
dengan Malaysia, pengertian dan batasan usia anak, dan perbandingan
prinsip-prinsip dasar dalam hukum perlindungan anak antara Indonesia
dengan Malaysia.
4. Artikel, Pelaksanaan Penjagaan Anak (Hadhanah) di Malaysia, ditulis
oleh Mahyidin Bin Hamat, Zuliza Kusrin, Mohamad Nasran Mohamad,
pakar dalam bidang undang-undang Syariah dan Pusar Pengajian Islam,
Universitas Kebangsaan Malaysia. Artikel ini menjelaskan pelaksanaan
10

penjagaan anak (Hadhanah) di Malaysia. Fokus kajian ialah mengenai


pelaksanaan hak Hadhanah yang terkandung dalam Undang-undang
Keluarga Islam di Malaysia. Pelaksanaannya di Malaysia diperuntukkan
dalam Enakmen Undang-undang Keluarga Islam di bawah bidangkuasa
setiap negeri masing-masing.
5. Jurnal Maqosid Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, Hadhanah di Dunia Islam
pada Era Kontomporer; Komparasi Kebijakan Hukum di Timur Tengah
dan Asia Tenggara, ditulis oleh Lalu Muhammad Ariadi, Intitut Agama
Islam (IAI) Hamzanwadi NW Pancor, Jurnal ini menjelaskan secara
singkat pembaharuan hukum keluarga di empat Negara Islam, yaitu
Malaysia, Tunisia, Libya, dan Saudi Arabia. Pembahasan ini difokuskan
kepada pasal-pasal yang dipandang tidak sesuai atau merupakan
pembaharuan kitab fiqh sebelumnya terutama mengenai hak asuh anak
(Hadhanah). Dalam masalah ini ada dua hal yang perlu dicatat, pertama
semangat reaktualisasi hukum Islam dalam bidang hukum keluarga pada
prinsipnya adalah melindungi dan memperbaiki kedudukan wanita serta
melindungi anak-anak. Kedua, reformasi pemikiran hukum Islam yang
dituangkan dalam bentuk undang-undang itu sering juga bertentangan
dengan yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh klasik. Secara sederhana
dapat dinyatakan bahwa hukum Islam ada saat ini merupakan hasil
kodifikasi terhadap ijtihad ulama ulama besar yang hidup beberapa abad
yang yang lalu.

Berdasarkan review kajian terdahulu tersebut, penulis menjelaskan tentang


pembahasan ketentuan Hadhanah di Republik Maladewa yang dikomparasikan
dengan ketentuan hadhanah dalam Fiqih Mahdzab Syafi‟i dan ketentuan hadhanah
dalam hukum keluarga di Indonesia.

E. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan
11

gambaran dari masalah tersebut decara jelas, tepat, dan akurat. Ada beberapa
metode yang akan penulis gunakan, antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis
normatif dan pendekatan komparatif. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. 21 Menurut Soerjono Soekanto penelitian
yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka seperti norma dasar, peraturan perundang-undangan,
peraturan yang tidak terkodifikasi (hukum adat), yurisprudensi, traktat, atau
kajian lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.22
Pendekatan komparatif (Comparative Approach)adalah pendekatan yang
dilakukan dengan membandingkan peraturan hukum ataupun putusan pengadilan
di suatu negara dengan peraturan hukum di negara lain (dapat satu negara atau
lebih), namun haruslah mengenai hal yang sama. Perbandingan dilakukan untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan di antara peraturan hukum.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
suatu strategi pertanyaan kepada pencarian makna, pengertian, konsep,
karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena,
mengutamakan kualitas, disajikan dengan cara naratif.23 Penelitian ini
menjelaskan ketentuan hadhanah yang diatur dalam ketentuan undang-undang
hukum keluarga di Maladewa yang dilihat persamaan dan perbedaannya dengan
dalam ketentuan undang-undang hukum keluarga di Indonesia dan Fiqih Mazhab
Syafi‟i.

21
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988), h. 14
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, ed. ke-1, cet. ke-13, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 13.
23
A. Muri Yususf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
cet. Ke-1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 329.
12

3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan ketentuan hadhanah,
yaitu UU Keluarga Maladewa No. 4 Tahun 2000, UU No. 16 Tahun 2019 tentang
perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Kitab Al-Umm, Al-Muhadzab, Al-Majmu‟, Al-Mu‟tamad, Al-
Manhaj, Al-Muharrar, Al-Aziz, dan Fiqih Islam wa Adillatuhu.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan
tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam
bahasan di penelitian ini. Terutama karya ilmiah lainnya tentang ketentuan
hadhanah di Indonesia, Maladewa, dan Ketentuan Hadhanah menurut Mahdzab
Syafi‟i.
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan
data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan
studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta
menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
tema penelitian.
5. Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
deskriptif-kualitatif dengan tahap sistemiatis antaranya sebagai berikut. Tahap
pertama, menyeleksi data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan
sesuai kategori tertentu. Tahap kedua, melakukan perbandingan unsur persamaan
dan perbedaan dari data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasi pada tahap
pertama melalui tiga metode analisis komparatif, yaitu analisis vertikal
(perbandingan antara Fikih Mazhab Syafi‟i dengan undang-undang Indonesia
maupun undang-undang Maladewa), analisis horizontal (perbandingan undang-
undang Indonesia dengan undang-undang Maladewa), dan analisis diagonal
(perbandingan keunggulan dan kelemahan ketentuan perceraian dalam hukum
keluarga nasional kedua negara tersebut).
13

6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkaan oleh Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum 2017.

F. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan uang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan


permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, Identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisi tentang ketentuan hadhanah menurut Fikih Mahdzab Syafi‟i
yang di dalamnya akan dibahas tentang sub pembahasan tentang hadhanah, seperti
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, yang berhak melakukan hadhanah,
syarat-syarat hadhanah dan hadhin, masa hadhanah, upah hadhanah, dan
pemeliharaan harta anak.

Bab Ketiga, berisi tentang penjaelasan mengenai ketentuan hadhanah dalam


hukum keluarga di Indonesia dan Maladewa. Juga pembahasan sejarah hukum
keluarga di kedua negara tersebut.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini.
Yaitu berisi tentang analisis perbandingan ketentuan hadhanah dalam tiga
dimensi, yaitu Fiqih Imam Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan Hukum
Keluarga Maladewa.

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan bab ini dan juga rekomendasi bagi peneliti apabila akan
mengambil fokus tema yang sama dengan penelitian ini.
BAB II
HADHANAH MENURUT FIKIH MAZHAB SYAFI’I

A. Tentang Mazhab Syafi’i


Imam Syafi‟i dilahirkan tahun 150 H, bertepatan dengan tahun di mana
Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, Askalan. 24 Sejak
kecil hidup dalam kemiskinan dan ketika usianya mencapai dua tahun, ayahnya
meninggal dunia.25 Syafi‟i kecil dan sang ibu pindah ke Hijaz di mana sebagian
besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah.
Keduanya pun menetap di sana. Namun ketika usianya mencapai sepuluh tahun,
ibunya memindahkannya ke Mekkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.
Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i
bin Sa‟ib bin Abid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin
Qushay bin Kilab bin Murrah. Masih satu jalur keturunan dengan Rasulullah yang
bertemu pada Abdu Manaf bin Qushay. Ibunya adalah Fatimah binti Abdullah bin
Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.26
Imam Syafi‟i diserahkan ke bangku pendidikan, pada saat itu tulang-tulang
dijadikan sebagai alat untuk menulis karena ketidakmampuannya membeli kertas.
Usia tujuh tahun sudah hafal al-Quran dengan baik. Guru-gurunya adalah Ismail
bin Qastantin, Lais bin Sa‟ad,27 Muslim bin Khalid al-Zanji, Sufyan bin Uyainah
al-Hilali, Ibrahim bin Yahya, Malik bin Anas, Waki‟ bin Jarrah bin Malih al-Kufi,
Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi, Abdul Wahab bin Abdul Majid al-
Bashri.28

24
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 1.
25
https://khazanah.republika.co.id/berita/pxnscg320/ulamaulama-terkemuka-ini-menjadi-
yatim-sejak-kecil diakses hari sabtu tanggal 19 September 2020 jam 07.30.
26
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 1.
27
Rohidin, Historitas Pemikiran Hukum Imam Syafi‟i, Jurnal Hukum, Nomor 27, Vol. 11
(September 2004), h. 98
28
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 4-5.

14
15

Imam Syafi‟i menikah dengan Hamidah binti Nafi‟ bin Unaisah bin Amru
bin Utsman bin Affan dan dikaruniai 3 anak yaitu Abu Utsman Muhammad,
Fatimah, dan Zainab.29
Imam Syafi‟i menulis beberapa karya-karya diantaranya, al-risalah al-
Qadimah, al-Risalah al-Jadidah, Ikhtilaf al-Hadis, Ibthal al-Istihsan, Ahkam al-
Quran, Bayadh al-Fardh, Sifat al-Amr wa Nahyi, Ikhtilaf al-Malik wa Syafi‟i,
Ikhtilaf al-Iraqiyin, Ikhtilaf Muhammad bin Husain, Faidhail al-Quraisy, Kitab
al-Umm, Kitab al-Sunan.
Imam Syafi‟i wafat di Mesir pada malam Jum‟at tahun 204 H atau 820 M
seusai shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab.30
Imam Syafi‟i banyak mengeluarkan hukum-hukum melalui lisannya dan
tulisan yang bersumber dari Quran, Hadis, Ijma‟, dan Qiyas sesuai dengan
ijtihadnya terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam Malik dan Ulama-ulama
Hanafi di Iraq.
Di Iraq beliau menulis kitab al-Risalah, yaitu kitab Ushul Fiqih pertama.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan ketika menetap di Iraq disebut Qaul Qadim. Ketika
pindah ke Mesir fatwa-fatwa yang dikeluarkan disebut Qaul Jadid.31
Ada beberapa fase tentang persebaran Mazhab syafi‟i. Fase pertama ketika
wafatnya Imam Malik dan pindahnya Imam Syafi‟i ke Baghdad. Fase Kedua
ketika sedang menetap di Baghdad dan munculnya fatwa-fatwa Imam Syafi‟i
disebut Qaul Qadim. Fase Ketiga ketika pindahnya Imam Syafi‟i dari Iraq ke
Mesir sampai wafatnya sang Imam dan munculnya fatwa-fatwa Imam Syafi‟i
yang disebut Qaul Jadid. Fase keempat dimulai dengan periwayatan Mazhad
Syafi‟i oleh para muridnya yang gencar dan masif dalam meriwayatkan masalah
sesuai metode penggalian hukum ala Imam Syafi‟i. Ulama yang gencar menulis
kitab adalah Imam al-Muzanni (w. 264 H) dengan kitabnya al-Mukhtashar,

29
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 5-6.
30
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 7-10.
31
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mahdzab Syafi‟i, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1995), h. 31
16

ringkasan kitab al-Umm kitab fiqih karangan Imam Syafi‟i. Usahanya ini disebut
sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Mazhab Syafi‟i.
Setelah fase periwayatan selesai, selanjutnya adalah fase kelima, yaitu
pengokohan dan penguatan dengan menarjih (memilih pendapat yang kuat) dan
menuliskannya dalam kitab-kitab yang ringkas. Kemudian muncul kitab-kitab
penjelas (syarh) dari kitab tersebut.
Murid-murid dan pengikut-pengikut dari Imam Syafi‟i bertebaran ke
beberapa negeri untuk mengajarkan agama.32 Selanjutnya dari sekian wilayah
ajaran Mazhab Syafi‟i merambah ke India Selatan, tepatnya di Kota Malibar.
Terbukti dengan adanya kitab Fiqih Syafi‟i yang terkenal di kalangan pesantren
yang diajarkan oleh Zainuddin al-Malibari yang berjudul Fath al-Mu‟in Syarh
Qurrat al-„Ain. Kemudian, menurut Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nadhar fi
Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar ajaran Mazhab Syafi‟i sudah mulai masuk
ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.33

B. Pengertian Hadhanah (Pemeliharaan anak)


1. Pengertian secara Bahasa
Hadhanah menurut bahasa adalah sesuatu yang terletak antara ketiak dan
pusar. Menurut al-Mu‟jama al-Wasit, hadhanah adalah mengurusi anak dalam
34
urusan pendidikan dan mengatur kehidupannya.

Dalam kitab al-Musu‟ah, Hadhanah berarti seperti seekor burung yang


menghimpit telurnya (mengerami) dan menghimpit anaknya diantara kedua sayap
dan badannya. Demikian juga jika seorang ibu menghimpit anaknya dalam
pelukan.35

Dalam Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab li Syirazi disebutkan


hadhanah secara bahasa adalah menggendeng dari depan (di dada ibu), dan

32
K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Mahdzab, (Bandung: Sinar Baru, 1991), h. 8.
33
https://lokadata.id/artikel/kunci-penyebaran-mazhab-syafii diakses hari sabtu tanggal
19 September 2020 jam 08.30.
34
Mustafa al-Khin, Mustafa al Bugha, Ali al-Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191
35
Wizarah al-Awqaf wa al-Suuni al-Islamiyyah, al-Mausu‟ah al-Islamiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: 1990), h. 299.
17

menghimpit anak dengan cara dirangkul dari samping sebagaimana seperti


perempuan menyusui anaknya. 36

Hadhanah diambil dari kata al-hidnu yang artinya samping atau


merengkuh ke samping.37

Dalam istilah fiqih, digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud
yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud hadhanah atau kafalah
dalam arti yang sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang
lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan.38

Letak perbedaan hadhanah dan kafalah adalah, hadhanah dilakukan ketika


terjadi kelahiran sampai memasuki usia baligh, sedangkan kafalah dilakukan
setelah memasuki usia baligh.39

2. Pengertian secara Istilah


Dalam kitab al-Musu‟ah, secara istilah hadhanah adalah mengasuh,
mendidik, dan menjaga seseorang yang tidak bisa mengurusi urusannya sendiri.40

Pengertian secara istilah dalam kitab al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab al


Imam al Syafi‟i adalah merawat, menjaga kepada seseorang yang tidak bisa
mengurus dirinya sendiri, karena anak kecil tidak bisa belajar sendiri maka
41
dibutuhkanlah pemimbing untuk proses pendidikannya.

Pengertian secara istilah dalam kitab al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i


adalah Menjaga anak yang belum tamyiz, yang tidak mengurusi dirinya sendiri,

36
Imam Muhyiddin al-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab li Syirazi, (Jeddah:
maktabatu al-Irsyad), jilid 20, h. 220.
37
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10 h.
59
38
M. Zaenal Arifin & Muh. Anshori, Fiqih Munakahat (Madiun : CV. Jaya Star Nine,
2019) h. 150.
39
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191.
40
Wizarah al-Awqaf wa al-Suuni al-Islamiyyah, al-Mausu‟ah al-Islamiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: 1990), h. 299.
41
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191.
18

mendidik dengan sesuatu yang bisa membawakannya kepada kemaslahatan, dan


menjaga dari sesuatu yang berpotensi menyakiti. Kewajiban orang tua mengurus
42
anak sampai tamyiz dan dari gila sampai sembuh.

Dalam kitab al-Muharrar, Menjaga orang yang tidak bisa mengurusi


dirinya sendiri, pendidikannya, kehidupannya dan menjaga dari sesuatu yang
dapat mencelakakannya, itu dinamakan Hadhanah.43

Dalam kitab al-Aziz Syarah al-Wajiz, menurut Imam al-Ghazali hadhanah


itu hak merawat, hak mengasuh, dan hak menjaga. Sedangkan menurut Imam al-
Rafi‟i hadhanah itu adalah menjaga anak yang belum tamyiz yang tidak bisa
mengurus dirinya sendiri dan proses pendidikannya membawa manfaat untuk
anak, dan sesuatu yang diajarkannya membawa teladan untuk anak.44
Secara istilah hadhanah menurut Muhammad Husein Zahabi adalah
melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadian oleh orang-
orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup
melakukannya sendiri.45

Hadhanah adalah salah satu bentuk dari kekuasaan dan kepemimpinan.


Namun demikian, dalam hal ini perempuan lebih banyak untuk menempatinya
karena kaum hawa bisa lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar dalam
mendidik. 46

Para ulama fikih mendefinisikan: Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan


anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah
besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusakn ya,

42
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 305.
43
Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al Muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo:
Darussalam, 2013) Jilid 1 h. 1259.
44
Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al-Aziz Syarh al-Wajiz, (Libanon: Dar al-Qutub al-
Ilmiyyah, 1997), Jilid 9, h. 86.
45
Muhammad Husain Zahabi, Al-Syari‟ah Islamiyah: Dirasah Muqarranah baina
Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja‟fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah), h. 398.
46
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10 h.
60.
19

mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab.47

C. Hukum Hadhanah
Firman Allah dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 233:

            

               

              

            

             

  

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.

Dalam Kitab al-Jami‟ li Ahkamil Qur‟an, setelah Allah SWT


menyebutkan tentang pernikahan dan perceraian, Allah pun menyebutkan anak,

47
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012) h.
175
20

sebab terkadang suami istri berpisah setelah mereka memiliki anak. dengan
demikian ayat ini berbicara tentang wanita-Wanita yang diceraikan dan telah
memiliki anak dari suami-suami mereka. Demikian yang dikatakan oleh al-Suddi,
al-Dhahak, dan lainnya.48

Para ibu yang lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita-
wanita lain, sebab mereka lebih sayang dan lebih lembut terhadap anak-anak
kandung mereka. Selain itu, menyapih anak yang masih bayi dapat
membahayakan bayi dan ibu. Walaupun anak sudah disapih, tetap saja ibu yang
lebih berhak mengasuhnya karena kasih sayang yang dimiliki seorang ibu. Ayah
juga berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Sebab istri yang telah dicerai tidak berhak mendapatkan pakaian apabila
bukan diceraikan dengan talak raj‟i. Dia hanya berhak mendapatkan upah kecuali
perintah dalam ayat itu diartikan sebagai bentuk akhlak mulia. Maka al-Qurtubi
berkata, lebih baik besaran upah tidak kurang dari jumlah biaya pangan dan
sandangnya. Dan apabila suami menceraikan ibu atau suaminya meninggal dunia
maka dia harus mengambil anaknya, karena tidak ada alasan yang
membolehkannya untuk meninggalkannya. Para ulama juga bersepakat bahwa
ayah wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil yang tidak
memiliki harta.49

Dalam kitab al-Mu‟tamad disebutkan, Hadhanah itu hukumnya wajib


fardhu kifayah bagi orang-orang di dekatnya yang berhak untuk mengasuh anak.
Dan wajib fardhu ain apabila di antara mereka itu tidak ada orang tuanya.
Kemudian wajib juga bagi orang setelahnya dan seterusnya. Apabila keluarganya
tidak mau mengurusi anak, maka sungguh dihukumi sebagai orang yang
bermaksiat, dan berpindah kepada orang setelahnya.50

48
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 3, h. 341.
49
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 3, h. 342-354.
50
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 305
21

Untuk memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan


kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak
diperbolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka, bahkan
Rasulullah SAW sangat mengecam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa
dengan tingkah laku anak-anak mereka. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas
dan Abu Musa al-Asy‟ari dikatakan: Bahwa Aus bin Ubadah al-Ansari
mendatangi Nabi SAW. Lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa
anak-anak perempuan dan saya mendoakan agar maut menemui mereka.”
Rasulullah SAW berkata: „”Wahai Ibnu Sa‟idah (panggilan bagi Aus) jangan
kamu berdoa seperti itu, karena anak-anak itu membawa berkat, mereka akan
membawa berbagai nikamt, mereka akan membantu apabila terjadi musibah, dan
mereka merupakan obat di waktu sakit, dan rezeki mereka datang dari Allah.”
(HR. Muslim dan Abu Dawud).51

D. Yang Berhak Mengasuh Anak


Apabila ibu dan bapak bercerai dan keduanya berada di satu kampung,
maka ibu yang lebih berhak untuk mengurus anak, selama ia belum kawin lagi
dan selama anak-anak itu masih kecil.52
Ketika seorang suami berpisah dengan istrinya, dan mereka itu
mempunyai satu anak, baik anaknya laki-laki ataupun perempuan, yang belum
mencapai usia tamyiz, ibu paling berhak untuk mengasuhnya dibanding bapaknya.
Ada beberapa sebab kenapa ibu lebih utama dibanding ayah, yaitu yang pertama,
seorang ibu sabar dalam menghadapi seorang anak dalam mendidik. Yang kedua
ibu sangat lembut dalam mendidik anak, menjaga anak, yang paling mengetahui
kebutuhan anak-anak.53 Dasar hukum ibu paling berhak untuk mengasuh anak ada
pada hadis berikut ini,

51
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10
h. 62.
52
Al-Imam al-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala Lmpur:
Victory Agencie, 1982) h. 396.
53
Mustafa al-Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192
22

َ َ
َ
‫ َح َّدث ِن‬- ‫اع‬َّ ِ ‫ َي ۡعن ۡاۡل ۡو َز‬- ‫ َع ۡو أب َع ۡهرو‬،‫ ىا ال ۡ ََ ِِل ُد‬،‫م‬ ُّ
َ ُّ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َّ َ
‫(حسو) حدثيا َم ُهَد ب ُو خ ِ د‬
ِ ‫د‬ ِ ِ ‫ال السل‬
َّ َ
‫ إِن‬،ِ‫ يَا َر ُسَل الل‬:‫ج‬ ۡ َ‫ أَ َّن ۡام َرأَ ًة قَال‬،‫ َع ۡو َج ّ ِده ِ َع ۡت ِد اللِ ةۡو َع ۡهرو‬،ًِ‫ َع ۡو أَبي‬،‫َع ۡه ُرو ۡب ُو ُش َع ۡيب‬
‫د‬ ِ ِ ‫د‬
ۡ َ َ َََ َ َّ َ ُ َ َ َّ َ
ً ََِ ‫ َو َح ۡجري ُل ح‬،‫اء‬ َ َ َ َ
ً ‫ َوث ۡدي ُل سِق‬،‫اةۡن َهَٰ َذا ََك َن َب ۡطن ُل و ََع ًء‬
‫ وأراد أن‬،‫ ِإَون أةاه طلق ِن‬،‫اء‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َۡ ۡ َ َ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ّ َ ‫يَ ۡن‬
َ
.)‫ج أ َح ُّق ةًِِ نا لم تيك ِِح‬ ِ ‫ (أى‬:‫َتع ًُ ن ِِن! فقال ل ٍَا َر ُسَل اللِ ﷺ‬ ِ

2276. [Hasan] Mahmud bin Khalid As-Sulami telah menceritakan kepada


kami: Al-Walid menceritakan kepada kami dari Abu „Amr Al-Auza‟i: „Amr bin
Syu‟aib menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari kakeknya, yaitu „Abdullah bin
„Amr, bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya putraku
ini, dahulu perutku adalah tempat baginya, payudaraku adalah tempat minum
baginya, pangkuanku adalah tempat berlindung baginya. Dan sesungguhnya
ayahnya telah menceraikanku, lalu dia ingin mengambilnya dariku.” Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Engkau lebih berhak terhadap
anakmu selama engkau belum menikah lagi.” (HR. Abu Daud No. 2276 pada bab
siapa yang lebih berhak terhadap anak). Dalam hadis lain Rasulullah SAW
bersabda,
َ ً‫أحتت‬
َِ ّ ‫وبني‬ َ ‫الل‬
َ ً‫ةيي‬ ُ ‫فرق‬ َ
َّ ‫وولٌِا‬ َ ‫فرق‬
َّ ‫َنو‬
‫يَم‬ ‫ةني وال دة‬ ،

‫القيان ِث‬
Siapa yang memisahkan antara seorang ibu dan anaknya maka nantinya
pada hari kiamat Allah akan memisahkannya dari orang-orang dicintainya. (HR.
Ahmad, At-Tirmidzi, dan Imam Al-Hakim).
Diriwayatkan bahwa Umar Bin Khattab telah menceraikan istrinya, yaitu
Ummu Ashim. Lantas ketika ia mendatangi mantan istrinya dan melihat Ashim
sedang bersamanya, Umar hendak meminta izin darinya. Namun, ia menolak
sehingga keduanya saling memperebutkan asim dan Hal itu membuat si Anak
menangis. Akhirnya. Umar menghadap Abu Bakar dan menceritakan kejadian
tersebut. Abu Bakar berkata “belaian tangannya, pangkuannya, dan kasih
sayangnya lebih baik darimu. Biarkan anak itu tumbuh bersama ibunya sehingga
23

nanti kalau sudah besar agar memilih hendak ikut bersama siapa.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah).54

E. Urutan yang mengasuh setelah ibu


Berikut adalah urutan dari pihak yang paling utama dalam mengasuh anak
setelah ibu. Alasan Seorang perempuan yang diutamakan adalah yang paling
lembut dalam hal mengasuh, perhatian, sabar dalam proses mengasuh anak, dan
tahu dalam kebutuhan si anak.55

Pihak Perempuan
Klasik Kontemporer
1. Ibu 1. Ibu
2. Nenek Jalur ibu dan seterusnya ke 2. Nenek dari ibu dan seterusnya ke
atas atas
3. Nenek Jalur ayah dan seterusnya 3. Nenek dari ayah dan seterusnya ke
ke atas atas
4. Bibi (saudara ibu) 4. Kakak Kandung perempuan
5. Kakak Kandung perempuan 5. Bibi (saudara ibu)
6. Kakak Perempuan Sebapak 6. Keponakan perempuan (anak
7. Kakak Perempuan Seibu saudari kandung) kemudian
8. Bibi atau paman jalur ayah56 Keponakan perempuan (anak
saudara kandung)
Tetapi bila ada bapak, maka anak lebih 7. Bibi jalur ayah58
berhak padanya.57 8. Sepupu perempuan59

54
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) h. 62
55
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192.
56
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 643-644.
57
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h. 240
58
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307-308.
59
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192-193.
24

Apabila si anak tidak mempunyai orang perempuan atau orang perempuan


tidak mau dalam mengasuhnya, maka pengasuhan anak pindah kepada laki-laki.
Yaitu orang-orang mahram yang mendapatkan waris, orang yang urutannya ada
pada bagian warisan, kecuali kakek yang akan didahulukan sebelum saudara-
saudaranya, kemudian orang-orang tidak mahram yang mendapatkan waris. 60
Siapa itu orang-orangnya:

Pihak laki-laki
Klasik Kontemporer
1. Bapak 1. Bapak
2. Kakek 2. Kakek
3. Ashobah (Paman dan lain-lain) 3. Kakak kandung laki-laki
4. Kakak laki-laki se bapak,
5. Anak kakak laki-laki kandung
(Keponakan),
6. Anak kakak laki-laki se bapak.
7. Paman,
8. Pamannya ayah,
9. Anak paman (Sepupu laki-laki),
10. Anak Pamannya ayah.61

Adapun kakek dari pihak bapak menempati posisi bapak bila si bapak
tidak ada, atau tidak berada di tempat, atau si bapak tidak dapat membimbing
anaknya. Demikian pula halnya dengan kakek si bapak, paman dari pihak bapak
dan anaknya, dan anak paman si bapak, serta semua yang tergolong ashabah,
mereka dapat menempati posisi bapak. Akan tetapi mereka tidak memiliki hak

60
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193
61
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309
25

atas anak selama ibu si anak masih ada, atau ibu dari ibunya dan seterusnya ke
atas masih ada.62

Apabila semua orang yang terdekat itu baik laki-laki maupun perempuan
berkumpul atau masih ada dan semuanya rebutan ingin mengasuh anak tersebut,
maka yang paling utama adalah:

Semua pihak berebut


Klasik Kontemporer
1. Ibu 5. Ibu
2. Nenek dari ibu dan seterusnya 6. Nenek dari ibu dan seterusnya
ke atas ke atas64
3. Ayah 7. Bibi (saudara ibu) 65
4. Bibi (saudara ibu)63 8. Ayah
9. Nenek jalur bapak
10. Kakek jalur bapak
11. Kakak Perempuan Kandung
12. Kakak laki-laki Kandung
13. Paman/bibi66

Ketika banyak anggota keluarga baik laki-laki atau perempuan maka


bagian keluarga perempuan yang diutamakan. Ketika ada satu anak laki-laki atau
satu anak perempuan yang diperebutkan pengasuhannya maka diundilah diantara
mereka yang nantinya siapa yang berhak untuk mengasuh.

62
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Jilid 2,
Penerjemah: Imron Rosadi, Amiruddin, Imam (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004) h. 433-434.
63
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 646.
64
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
65
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193-194
66
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
26

F. Syarat Pengasuh anak


1. Berakal
Orang gila tidak berhak untuk mengasuh anak.
2. Islam
Orang kafir tidak berhak untuk mengasuh anak, karena dikhawatirkan si
anak akan ikut agama si pengasuhnya.
3. Lembut dan Amanah
4. Mukim tempat tinggalnya
Seorang yang tidak mukim tempat tinggalnya, maka orang itu tidak berhak
untuk mengasuh anak.
5. Tidak menikah dengan laki-laki lain
Apabila menikah dengan laki-laki lain meskipun belum dukhul, maka ia
tidak berhak untuk mengasuh anak. Karena si ibu akan disibukkan dengan
anak dari laki-laki lain, disibukkan dengan mengurus suami, dan lain-lain.
Kecuali ada izin dari suami bahwa anak boleh diurus oleh ibunya.
6. Mempunyai penyakit yang permanen
Apabila seorang yang mengasuh terkena penyakit permanen seperti struk,
kusta, dll. Maka tidak ada hak pengasuhan anak.67
7. Pintar
8. Baligh
9. Disusui
Apabila anak masih kecil dan si ibu menikah lagi, maka anak harus disusui
terlebih dahulu. Dan jika bapak tirinya baik, lembut, dan mengizinkan anak
tersebut utuk disusui maka boleh.68
10. Merdeka
11. Adil69

67
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 196-197
68
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 310-311
69
Abdul Karim al-Rafi‟i, al muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo: Darussalam,
2013) Jilid 1 h. 1263
27

Ada pihak-pihak yang terhalang untuk mengasuh anak, yaitu:


1. Budak, karena dia harus mengurus tuannya
2. Tidak ditetapkan orang fasik mengurus anak
3. Tidak ditetapkan orang kafir atas orang muslim, tetapi ada sebuah hadis
yang dikutip bahwa dibolehkannya orang kafir mengasuh anak.
4. Tidak ada hak pengasuhan anak bagi istri yang menikah lagi

Apabila seorang budak sudah merdeka, yang gila sudah sembuh, yang
fasik sudah kembali, yang kafir sudah masuk islam, maka hak hadhanahnya
kembali. Karena penghalangnya sudah hilang.70 hak hadhanah juga gugur jika
orang yang berhak itu gila atau idiot. 71

G. Lama waktu hak hadhanah


Berkelanjutan masa dari hadhanah dari mulai kelahiran sampai tamyiz
(sampai sempurna akalnya). Dia bisa mampu mengurusi kehidupannya secara
khusus.72 Maksud dari tamyiz adalah ia bisa mengurus hidupnya sendiri secara
khusus artinya dia bisa melakukan kehidupannya tanpa batuan orang lain seperti
bisa makan sendiri, bisa minum sendiri, bisa mandi sendiri, bisa istinja sendiri,
dan lain-lain. Batasan umurnya adalah tujuh tahun, setelah tujuh tahun maka hak
mengasuh anak telah selesai dan si anak harus memilih kepada siapa hak asuh
selanjutnya.73

H. Pembiayaan

Dalam Ringkasan Kitab al-Umm, Allah SWT berfirman,

70
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 640-642
71
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali, Terjemah al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah. Penerjemah: Masykur A.B, Afif
Muhammad, Idrus Al-Kaff . cetakan ke 26 (Jakarta: Penerbit Lentera, 2010) h. 416-417.
72
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307
73
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 194
28

           

            

             

                

         

6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya.
7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Imam Syafi‟i berkata: diriwayatkan dari Aisyah bahwa Hindun berkata kepada
Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki
yang kikir, dan tidak ada bagiku kecuali apa yang ia masukkan ke rumahku.”
Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu
menurut yang ma‟ruf (patut).
29

Imam Syafi‟i berkata: kewajiban memberi nafkah anak ada pada bapaknya
bukan pada ibunya, baik ibu bersuami ataupun diceraikan. Dengan demikian,
diketahui bahwa pemberian nafkah tidak seperti hukum warisan, karena
sesungguhnya ibu termasuk ahli waris. Kewajiban untuk memberi nafkah dan
penyusuan dibebankan kepada bapak, bukan kepada ibu.
Demikian pula apabila si anak telah besar namun tidak dapat mebiayai dirinya
dan keluarganya, serta tidak memiliki pekerjaan, maka ia diberi nafkan oleh si
bapak. Begitu juga halnya dengan cucu, karena ia juga termasuk anak. lalu
disamakan dengannya hukum kakek, karena mereka termasuk bapak. Kemudian
nafkan bapak kewajiban si anak apabila bapak berada pada kondisi tidak mampu
membiayai dirinya. Demikian pula kakek dan seterusnya ke atas, karena
semuanya adalah bapak.74 Apabila bapak ke atas tidak ada, yang membiayai
seluruh kehidupan anak adalah orang selanjutnya dari pihak saudara-saudara
bapak, Karena dari jalur bapak adalah orang yang mendapatkan warisan dan
menduduki posisinya seperti bapak.75

I. Usia anak boleh memilih wali asuh

Imam Syafi‟i berkata: diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah


SAW bersabda:
76
. َ‫خَ رْيَغَل ًماَب رْيَ َأ ِب ري ِهَو ُأ ِم ِه‬
“Seorang anak diberi hak memilih antara bapak atau ibunya.”

Dari Ar-Rabi‟ mengatakan: dikabarkan kepada kami oleh Imam Syafi‟i


yang mengatakan: dikabarkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin
Muhammad dari Yunus bin Abdullah, dari Ammarah, yang mengatakan:
Dikabarkan kepada kami “saya diperintahkan untuk memilih oleh Ali alaihissalam
antara ibu saya dan paman saya dari ayah. Dan ia mengatakan kepada adik saya

74
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 2, h. 521-522.
75
Imam Muhyiddin al-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab li Syirazi, (Jeddah:
maktabatu al-Irsyad), jilid 20, h. 220.
76
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h. 239
30

yang laki-laki, yang lebih kecil dari saya: “kalau dia ini sampai umur seperti ini,
maka saya akan suruh pula untuk memilihnya”,
Ibrahim : dan pada waktu hadis ini, “saya berumur tujuh atau delapan
tahun.”
Apabila salah seorang dari mereka itu sudah berumur tujuh atau delapan
tahun dan anak itu sudah berakal (dapat membedakan antara yang mudharat dan
manfaat), maka ia disuruh memilih antara bapaknya dan ibunya, dan dia nanti
berada pada siapa dari keduanya itu, yang dipilihnya. 77

77
al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.
BAB III
HADHANAH MENURUT HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA DAN MALADEWA

A. Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
a. Islam Masuk ke Nusantara
Di kepulauan nusantara jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, sudah
ada peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh kerajaan Hindu dan Budha.
Barkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara berlangsung selama
beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga
sekarang dan belum selesai.78 Kerajaan pertama dalam sejarah nusantara adalah
Kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke 5 M. Kemudian muncul kerajaan
Sriwijaya di Palembang berdiri pada abad ke 7 M yang kekuasaanya melebihi
wilayah nusantara pada saat ini. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat yang
berdiri pada abad ke 7 M. Setelah abad ke 7 M bermunculan kerajaan-kerajaan
lain seperti Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Sejarah panjang Islam berada di Indonesia dimulai pada abad 7 M dengan
berhijrahnya bangsa Arab melalui samudera Hindia dan melalui jalan darat.
Perkampungan-perkampungan yang didirikan oleh bangsa Arab menjadi bukti
Islam telah masuk pada abad tersebut. Tempat singgah yang berada di rute
perdagangan daerah Malabar dan pulau Sailan merupakan bukti Indonesia
menjadi bagian dari perluasan kekuasaan Bani Umayyah pada saat itu, melalui
pendekatan ekonomi atau transaksi perniagaan.79
Islam disebarkan dan diperkenalkan ke Nusantara pada abad-abad pertama
Hijriah oleh para Ulama Arab yang statusnya sebagai saudagar, berbasis di
wilayah-wilayah pantai di indonesia. Setelah abad ke 12 M. pengaruh Islam

78
Effendi, Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye), Jurnal TAPIs Vol. 8, Nomor 1 (Januari-Juni 2012),
h. 92.
79
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 138.

31
32

kelihatan nyata. Beberapa saudagar membuka perkampungan di sekitar


pelabuhan. Mereka berbaur dengan penduduk pribumi bahkan tidak jarang terjalin
hubungan perkawinan. Selain berdagang mereka menyebarkan agama Islam. 80
Perkembangan Islam serta ajaran-ajarannya terkait pengaturan kehidupan
muslim di Indonesia, memiliki penguatan dalam membentuk apa yang dikenal
saat ini dengan hukum Islam yang dipersamakan dengan fiqih pada era
kekhalifahan Islam di wilayah bagian timur dunia. perkembangan yang cukup
pesat di Indonesia menandai mulai bercampurnya Islam dengan kearifan lokal
Indonesia yang secara langsung melahirkan keunikan-keunikan hukum Islam
dalam tatanan hukum Indonesia.81
b. Masa Kerajaan Islam
Samudera Pasai merupakan Kerajaan Islam tertua di Nusantara pada akhir
abad ke 13 M. Kerajaan Islam ini memberikan kontribusi penting bagi Hukum
Islam di Indonesia yaitu melaksanakan hukum islam dalam praktik sederhana
melalui lembaga ifta dan tahkim bermahdzab Syafi‟i.82 Hal ini dibuktikan dengan
kedatangan Ibnu Batutah seorang pengembara dari Maroko tahun 1345 M yang
singgah di Samudera Pasai. Dan sempat bertemu dengan Sultan al-Malik al-Zahir
bahwa Sultan sangat mahir dalam Fiqih Mazhab Syafi‟i. Dari sinilah Fiqih
Mazhab Syafi‟i kemudian merata di seluruh wilayah Nusantara. Hukum Islam
merupakan huku resmi resmi kerajaan-kerajaan Islam.83
Selanjutnya, kerajaan Islam berpindah ke Kerajaan Aceh Darussalam. para
ulama menempati jabatan qadi, penghulu, bahkan Penasihat raja. Menurut Van
Lagen, Qadi merupakan jabatan penting karena bertanggung jawab dalam
pelaksanaan hukum Islam. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, lembaga qadi
telah diatur sedemikian rupa mulai dari struktur sampai jurisdiksinya sebagai
upaya penegakan hukum Islam di Kerajaan.

80
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet. ke-1 (Tangerang Selatan: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 22.
81
Fabian Fadhly, Islam dan Indonesia Abad XIII-XX M dalam Perspektif Sejarah Hukum
Islam, Jurnal Vej, Volume 3, Nomor 2, h. 386
82
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 23.
83
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Jurnal Unisia,
No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992, h. 9.
33

Di pulau lain pun, seperti pulau Jawa berdiri Kerajaan Demak yang di
dukung oleh kelompok ulama sebagai pionir dakwah yang dikenal sebagai Wali
Songo. dan keberadaanya sangat penting dalam proses penerapan hukum Islam di
wilayah kerajaan.
Selanjutnya berdirilah kerajaan Pajang, kemudian berdiri Kerajaan
Mataram. Sultan Agung yang melakukan perubahan pada sistem peradilan Pradata
dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran Islam. Kemudian Peradilan Pradata
diubah menjadi Peradilan Surambi yang tidak dipimpin oleh Sultan sebagai raja,
tetapi dipimpin oleh penghulu yang didampingi oleh ulama sebagai anggota
majelis. Selain melaksanakan kewenangan kehakiman, Pengadilan Surambi juga
bertugas menasehati dan memberi saran kepada sultan dalam kebijakannya. 84
Di Kalimantan, berdiri Kerajaan Banjar yang melegalisasi hukum Islam
oleh otoritas politik. Hukum Islam menjadi hukum negara dan berlaku bagi
seluruh warga kerajaan. Kerajaan ini mempunyai hubungan erat dengan kerajaan
Demak.
Di Sulawesi, Kerajaan Tallo adalah yang pertama menganut ajaran Islam,
disusul kerajaan Gowa yang menempatkan seorang qadhi ke dalam parewa syara
(pejabat Syariat) untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam, selanjutnya di
tanah Bugis seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan bahkan terus
berkembang sampai ke wilayah Papua dengan adanya Kerajaan Islam Raja
Ampat.85
Demikian juga di wilayah Timur Nusantara, berdiri kerajaan Ternate yang
mempunyai hubungan khusus dengan kerajaan Islam di Pulau Jawa. Kebijakan
politiknya melegalisasi hukum Islam sebagai hukum kerajaan.
Hukum Islam juga dilegalisasi oleh para Sultan di Kerajaan Banten. Dalam
rangka mengaplikasikan hukum Islam, kerajaan bembagi peradilan menjadi tiga,
yaitu pengadilan Agama yang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan sesuai

84
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 24-25.
85
Muhammad Syarif, Teori-teori Masuknya Islam ke Wilayah Timur Indonesia, Jurnal
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004, h. 11.
34

hukum Islam, Pengadilan Drigama yang mengadili sesuai hukum Jawa Kuno dan
Pengadilan Cilaga merupakan pengadilan arbitrase khusus perkara niaga.86
Pada tahun 1628 M, Nuruddin al-Raniri menulis kitab Sirat al-Mustaqim
yang merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Indonesia
untuk menjadi pegangan umat Islam. Selanjutnya kitab ini di analisis oleh Syaikh
Arsyad al-Banjari yang kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang
berjudul Sabil al-Muhtadin. Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan
sengketa antar umat Islam, di darah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah
kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang
dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh
87
kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuba, Gresik dan Ngumpul.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa, Islam datang ke Nusantara dan
sudah melaksanakan hukum dalam kehidupannya jauh sebelum para penjajah
datang.
c. Masa Penjajahan Belanda
Sebelum Belanda datang ke Nusantara, hukum Islam sudah menjadi
hukum yang ditaati oleh umat Islam bahkan sudah menjadi hukum negara.
Kemudian datanglah bangsa Belanda untuk berdagang dan akhirnya menguasai
nusantara. Kekuasaan diambil alih oleh serikat dagang yang bernama V.O.C
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang merupakan lembaga kolonial
Belanda. Sangatlah terlihat perubahan yang sangat signifikan ketika keadaan
Islam semakin tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku atau tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat nusantara layaknya sebelum abad 18
M.88
V.O.C tidak mendominasi untuk serta merta menghilangkan hukum Islam
sebagai aturan yang dianut dan dilaksanakan oleh umat Islam pada saat itu.

86
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 26-28.
87
Sagaf S. Pettalongi, Local Wisdom dan Penetapan Hukum Islam di Indonesia, Jurnal
Tsaqafah, Vol. 8, Npmor 2, Oktober 2012, h. 238.
88
Mahsun, Genesis Pemikiran Hukum Islam Nusantara (Studi Pengaruh Islam Pertama
Terhadap Perkembangan Pemikiran Dan Politik Hukum Islam Nusantara Klasik). Jurnal al-
Mabsut, Vol. 9, Nomor 1, 2015.
35

Terdapat dua periode keberadaan hukum Islam pada zaman Belanda.


Periode pertama, dimana hukum Islam yang dipakai oleh penduduk penganut
agama Islam, mereka biarkan. Hal ini sejalan dengan teori receptio in complexu
yang digagas oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg. Artinya hukum
agama Islam diterima secara keseluruhan oleh masyarakat sekitar yang memeluk
agama tersebut. Kemudian menjadi dasar hukum hukum dalam Regeering
Reglemen (RR) tahun 1885. Pasal 75 ayat (3) RR menegaskan bahwa bagi Bumi
putera diberlakukan hukum agama.89
V.O.C memberikan keleluasaan bagi masyarakat Indonesia untuk
menerapkan aturan hukum secara mandiri. Aturan-aturan tersebut adalah,
Pertama, Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh V.O.C,
menyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam. 90 Kedua, kompilasi hukum kekeluarga dan kewarisan Islam yang disusun
oleh D. W. Freijer dan diakui oleh V.O.C. kemudian dilaksanakan dengan bentuk
peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 dan dikenal
dengan nama Compendium Freijer.91 Ketiga, pada tahun 1747 di Semarang,
Hukum Jawa Primer (Compendium der voornaamste Javaansche Wetten
nauwgkeurig getrokken uit het Mohammedaansche wetboek mogharraer)
dikeluarkan Belanda yang aturannya diambil dari kitab hukum Islam Mugharrar.
Keempat, Tjirebonsche retchboek atau yang dikenal dengan Pepakem Cirebon
merupakan kitab hukum yang berisi hukum Jawa yang tua yang berlaku untuk
wilayah Pengadilan Cirebon, dan Kelima, peraturan yang dibuat oleh B. J. D.
Cloowijk yaitu Compendium Indlandsche Wetten bij de hoven van Bone en Goa
untuk diberlakukan di wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan.92
Periode kedua, mereka menghambat perkembangan hukum islam yang
disebut periode Represif. Dalam teorinya Snouck Hugronje yaitu teori receptie,

89
Zainal Arifin Hoesein, Pembentukan Hukum Dalam Perspektif Pembaruan, Volume 1
Nomor 3, (Desember 2012), h. 321.
90
Sirojul Munir, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia, Jurnal
Istinbath Vol. 13, Nomor 2, (Desember 2014), h. 135-136
91
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/11/12/mdcn0c-hukum-
islam-di-indonesia-sebelum-merdeka diakses pada hari rabu tanggal 16 September 2020 pukul
08.30.
92
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 81.
36

Hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan atau telah diterima
keberlakuannya oleh hukum adat. Artinya, hukum Islam mengikuti hukum adat
masyarakat sekitar.93 Teori ini dilegalisasi dalam undang-undang dasar Hindia
Belanda, sebagai pengganti RR yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands
Indie (IS). Pengaruh dari perubahan RR ke IS menyebabkan dicabutnya hukum
Islam seluruhnya dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda melalui Staatsblad
No. 212 Tahun 1929.94
Belanda merubah aturan Compendium Freijer secara berangsur-angsur.
Aturan itu dirubah menjadi Besluit van den Commissaris Generaal tanggal 3
Agustus tahun 1828, termuat dalam Staatsblaad. 1828 nomor 55. Tapi pada
akhirnya aturan itu dicabut dan berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam
yang tertulis. Sedangkan hukum kewarisan baru dicabut pada tahun 1913. Hukum
perkawinan dan kewarisan yang asalnya aturn yang berdiri sendiri menjadi aturan
yang menumpang pada pasal 131 (2) b Indische Staatsregeling (IS) yang
merupakan kelanjutan dari Pasal 75 Regerings Reglement (RR) 1954.95
Hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum Islam yang diterima oleh
adat, kecuali agama Kristen. Belanda melakukan diskriminasi hukum berdasarkan
agama. Bentuknya adalah dalam Peraturan Perkawinan Huwerlijk Ordonnantie
Christen Indonesiers (HOCI) yaitu Staatsblaad nomor 74 tahun 1933 tentang
Perkawinan. Belanda juga membedakan masyarakat menjadi tiga golongan, yakni
Eropa, Bumi Putera dan orang Timur Asing. Pelaksanaan hukum di peradilan pun
sangat berbeda, Peradilan Negeri (landraad) sangat diperhatikan, dibina dan
dibiayai. Sedangkan Peradilan Agama (priesterraad) dibiarkan tak terurus.96
Selanjutnya, Pengadilan Agama juga dibatasi wewenangnya dengan
dikeluarkan Staatsblaad 1937 nomor 116 pasal 2a ayat 1 yaitu Pengadilan Agama

93
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 28-29.
94
Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 11.
95
Karimatul Ummah, Pengkanunan Hukum Islam di Indonesia (Kajian dalam Bidang
Hukum Keluarga), Jurnal Hukum, Vol. 10, Nomor 24, (September 2003), h. 65
96
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 30-31.
37

tidak lagi memeriksa perkara warisan melainkan diserahkan ke pengadilan


Negeri.97
d. Masa Penjajahan Jepang
Jendral Belanda Ter Poorten, menyerah kepada Panglima militer jepang
tanpa syarat untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan cepat,
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa
Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi
pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya
di masa pendudukan Belanda.98
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan
berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Di antaranya
adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh
bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,
Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang

97
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 34.
98
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005), h. 76.
38

hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan
alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.99
7. Peraturan perundang-undangan maupun Peradilan yang berasal dari
pemerintahan Belanda tetap diberlakukan selama tidak bertentangan.
Hanya saja untuk lembaga peradilan dirubah namanya saja. Soo-rioo Hoin
untuk Pengadilan Agama dan Tiho Hooin untuk pengadilan Negeri.100

e. Masa Setelah Kemerdekaan


1) Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Pemerintah RI berupaya untuk
memperbaiki aturan dibidang Perkawinan dan Keluarga. Maka langkah awal
adalah mengelompokkan penduduk Indonesia berdasarkan hukum perkawinan.
Penduduk Bumi Putera yang beragama Islam berlaku hukum perkawinan
Islam yang diakui oleh Adat, Penduduk Bumi Putera Kristen berlaku Huwerlijk
Ordonnantie Christen Indonesiers (HOCI) Staatsblaad 1933 Nomor 73,
Penduduk Bumi Putera lainnya berlaku hukum perkawinan adat, warga negara
Indonesia keturunan Cina dan Penduduk Timur Asing Cina berlaku Hukum
Perdata yang sudah dirubah sedikit, warga negara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya dan Penduduk Timur Asing lainnya berlaku hukum perkawinan
adat dan agama mereka masing-masing, warga negara Indonesia keturunan Eropa
dan Penduduk Eropa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
van wetboek).101
Pada tahun 1946 Presiden dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
setuju untuk mencabut Huwerlijk Ordonnantie 1929 Nomor 348 juncto Staatsblad
1931 Nomor 467 dan Vorstenlandsche Huwelijks Ordonnantie Staatsblad 1933
Nomor 98 dan menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 mengenai

99
Andi Herawati, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Belanda, Jepang, dan
Indonesia Merdeka sampai sekarang), Jurnal Ash-Shahabah, Vol. 3, Nomor 1, (Januari 2017), h.
53.
100
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 39.
101
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230.
39

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku bagi daerah Jawa dan Madura.
Kemudian pada tahun 1954 ditetapkannya Undang-undang No. 32 tahun 1954
tentang Penetapan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Daerah uar Jawa dan Madura.
Dalam pelaksanaannya diterbitkan Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun
1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatatan Nikah. Isinya adalah sebagai
bentuk pelaksanaan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 juga berisi tentang
keharusan Pegawai Pencatatan Nikah untuk mencegah perkawinan dini,
menerangkan kewajiban-kewajiban berpoligami, mendamaikan pasangan yang
bermasalah, membujuk pasangan yang bercerai dalam masa iddahnya agar rujuk
kembali.

2) Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


Pada tahun 1950 pemerintah didesak untuk meninjau kembali peraturan
perkawinan oleh Front Wanita dalam Parlemen agar menyusun rancangan
undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia
Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk.102 Panitia
berpendapat bahwa pembuatan rancangan Undang-undang Perkawinan akan
berlaku untuk seluruh golongan tanpa membedakan agama dan suku bangsa. Pada
tahun 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-undang yang isinya adalah
perkawinan dilaksanakan atas kemauan dua belah pihak, batas usia perkawinan
untuk laki-laki adalah 18 sedangkan perempuan 15 tahun, poligami diizinkan jika
dibolehkan oleh hukum agama dengan syarat harus berlaku adil dan diucapkan di
depan pegawai pencatat pernikahan, pengaturan harta benda dan syarat-syarat
perceraian. Panitia menggelar rapat dengar pendapat yang hasilnya adalah
berkeinginan supaya perkawinan dilaksanakan sesuai peraturan agama masing-
masing.103

102
Nurhadi, Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Pernikahan (Perkawinan)
ditinjau dari Maqashid Syariah, Jurnal UIR Law Review, Volume 02, Nomor 02, (Oktober 2018),
h. 417
103
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.83
40

Pada tahun 1953 Panitia menggelar rapat dan memutuskan untuk


menyusun RUU Pokok yang singkat, berlaku untuk umum dan tidak
menyinggung agama, menyusun RUU Organik yang mengatur perkawinan
menurut agama-agama di Indonesia.
Ada RUU Inisiatif yang dirancang dan diusulkan ke DPR oleh anggota
DPR yaitu Ny. Soemarni dan Pergerakan Perempuan. RUU ini adalah aturan
umum untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan dan suku
bangsa. Ada beberapa prinsip dalam RUU Inisiatif ini, yaitu setiap warga negara
berhak kawin menurut agamanya masing-masing, monogami adalah dasar
perkawinan, setiap perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua pengantin,
batas usia kawin 18 untuk laki-laki 15 untuk perempuan, perceraian merupakan
hak bersama baik laki-laki maupun perempuan. Ada hal yang melatarbelakangi
RUU ini rancang adalah ketika ia menjadi sorotan banyak pihak karena menikah
dengan seorang perwira Polisi yang beragama Kristen sedangkan ia sendiri adalah
seorang Muslimah. Makanya perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup berkeluarga yang harus diatur
oleh aturan yang ditetapkan.
Namun atas usulan RUU ini terjadilah perdebatan yang mengundang
perlawanan terutama dari para Anggota Partai Islam 104 yang menegaskan bahwa
dalam Negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya nilai dan
pengertian tentang perkawinan didefinisikan menurut ajaran agama, bukan
semata-mata segi keperdataan seperti halnya dengan perjanjian lain. karena tidak
ada kesepakatan, pembahasan RUU Perkawinan ini menemui jalan buntu.105
Setelah RUU yang diusulkan ke DPR oleh Ny. Soemarni dan Pergerakan
Perempuan, giliran Pemerintah yang mengusulkan RUU Perkawinan umat Islam
kepada DPR. Isinya memperbolehkan Poligami dengan syarat mendapatkan
persetujuan dari istri atau istri-istri, harus berlaku adil dan dapat menghidupi lebih

104
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 31
105
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 151.
41

dari satu keluarga. Sayangnya RUU mendapatkan protes keras dari kalangan DPR
dan masyarakat terutama dari Organisasi Perempuan.106
Tahun 1960 MPRS mengadakan Sidang Umum I di Bandung, ada
beberapa hal yang dibahas sehingga menghasilkan Ketetapan MPRS Nomor
II/MPRS/1960. Dalam ketetapan ini menegaskan bahwa asas-asas pembinaan
hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur
serta tetap memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia entah
dalam bidang agama, adat dan lain-lain.
Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, hukum adat telah menjadi sumber
hukum nasional. Undang-undang yang akan dibentuk harus didasarkan dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum adat asli bangsa Indonesia yang sudah
dinasionalisasikan. Bahkan dalam ketetapan MPRS tersebut diingatkan pula
dengan menyebut secara eksplisit bahwa dalam penyempurnaan undang-undang
Perkawinan dan Hukum Waris agar diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat
dan lain-lainnya.
Dalam rangka memenuhi keinginan untuk membentuk undang-undang
hukum Perkawinan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPRS. Pada tahun
1961 Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan
mengajukan konsep rancangan undang-undang Perkawinan. Bahkan pada tahun
1962 Lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Dirumuskan antara lain
di seluruh Indonesia nantinya hanya berlaku satu sistem kekeluargaan, yaitu
sistem parental yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-
sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental. Sistem
parental ini dipandang sesuai dengan sifat hukum nasional yang tidak
menghendaki adanya derajat kemasyarakatan. Diantara lain dirumuskan bahwa:
1. Sistem parental itu berlaku secara efesien, maka conditio sine quo non
(tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting),
yang semua larangan terhadap perkawinan antara cross-cousins

106
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.84-85
42

(perkawinan anak-anak yang orang tuanya bersaudara kandung, tapi


tidak sejenis) dan parallel cousins (perkawinan anak-anak yang orang
tuanya bersaudara kandung yang sejenis) dihapuskan.
2. Adanya harta bersama antara suami istri setelah terjadinya akad
perkawinan. Harta benda yang diperoleh dalam perkawinan itu atas
usaha suami dan istri.
3. Berasaskan monogami
a. Perkawinan berprinsip monogami.
b. Poligami dapat dilakukan oleh golongan tertentu, dilakukan dalam
hal tertentu dan dalam pengawasan pihak berwajib. Poligami tidak
boleh dipaksakan apabila istri tidak mengizinkan.
c. Dibutuhkan beberapa penyempurnaan undang-undang hukum
perkawinan untuk rakyat Islam, diantaranya selain poligami adalah
penyempurnaan mengenai perceraian (talak dijatuhkan di bawah
pengawasan Pengadilan) dan nafkah sesudah idah.107

Hal itu kemudian diseminarkan yang bekerjasama dengan Persatuan Sarjana


Hukum Indonesia pada tahun 1963. Hasilnya adalah bahwa perkawinan di
Indonesia berasas monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan
poligami dengan syarat-syarat tertentu dan mengenai batas minimum usia calon
pengantin,108 menyatakan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga,
perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua mempelai, kedua mempelai
harus mencapai usia yang ditentukan undang-undang, agar dimungkinkan kepada
suami istri untuk membuat perjanjian apabila dianggap perlu, penjaminan agar
jangan ada perceraian, akibat perceraian diatur seadil-adilnya, adanya sanksi dan
pidana dalam pelanggaran hukum perkawinan, adanya badan penasihat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4), Peraturan Perkawinan jangan
sampai melanggar pokok daripada satu agama, menganjurkan adanya pencatatan

107
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 236-237.
108
Nurhadi, Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Pernikahan (Perkawinan)
ditinjau dari Maqashid Syariah, Jurnal UIR Law Review, Volume 02, Nomor 02, (Oktober 2018),
h. 418
43

resmi dari semua perkawinan dan sebisa mungkin diadakan undang-undang


Perkawinan.109
Selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan
Ketetapan No. XXVIII/MPRS/1966 menyatakan dalam pasal 1 ayat (3), bahwa
Undang-undang Perkawinan perlu segera diadakan. Maka pada tahun 1967 dan
1968 pemerintah menyampaikan dua buah rancangan undag-undang kepada DPR-
GR, yaitu: RUU tentang Pernikahan Ummat Islam dan RUU tentang ketentuan
Pokok Perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPR-GR, namun akhirnya
tidak disetujui110 dan gagal, hal ini dikarenakan karena kemelut yang terjadi pada
sidang DPR tahun 1968 terdapat satu fraksi yang menolak dan dua fraksi yang
abstain padahal ada tiga belas fraksi yang menyetujuinya. 111
Masuk juga ke DPR sebuah RUU tentang Perkawinan Campuran pada tahun
1969. Adapun yang menjadi dasar pemikiran dari RUU ini adalah bahwa sesuai
dengan dasar Pancasila yang dapat mempersatukan seluruh bangsa indonesia dan
sesuai dengan cita-cita pokok pembinaan hukum nasional, dianggap perlu adanta
UU Perkawinan Campuran yang berlaku bagi orang-orang yang masing-masing
tunduk kepada hukum yang berlainan, karena berlainan kewarganegaraan atau
agama.
Setelah Pemelihan Umum tahun 1971, Ikatan Sarjana Wanita Indonesia
(ISWI) mengadakan Simposium dan mendesak pemerintah untuk kembali
memperjuangkan kembali Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya juga
Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita Indonesia dalam
keputusannya tanggal 22 Pebruari 1972 mendesak pemerintah untuk mengajukan
kembali kedua RUU yang belum disetujui DPR-GR kepada DPR hasil pemilihan
umum tahun 1971.112 Pada tahun 1973 juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
membicarakan tentang Hukum Perkawinan Ummat Islam di Indonesia dalam

109
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 237-238.
110
Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 10.
111
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.86.
112
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.87.
44

acara sarasehan di Jakarta. HMI mengharapkan agar pemerintah segera


mengajukan kembali RUU tentang Perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas
kembali dan dilaksanakan sebagai undang-undang yang diberlakukan untuk
seluruh warga negara Indonesia.113
Pembangunan di bidang hukum mulai dirancang oleh Pemerintah baru
Soeharto dengan melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum dibidang perkawinan
seperti yang diamanatkan dalam TAP MPR No. IV/1973 tentang GBHN yang
menyangkut wawasan nusantara yang antara lain menyatakan bahwa seluruh
kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum yang berarti hanya ada satu
hukum nasional yang mengabdi kepentingan nasional.
Banyak isu yang perlu ditampung oleh pemerintah dalam merumuskan draft
RUU Perkawinan, yaitu pembinaan hukum nasional dengan melakukan kodifikasi
dan unifikasi hukum nasional, masalah kependudukan, hak asasi manusia,
pengayoman terhadap martabat wanita, dan pembinaan kesejahteraan keluarga.
Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sangat lantang dan gigih menyuarakan isu
hak-hak perempuan hal itu dibuktikan dengan diadakannya dengar pendapat
bersama pimpinan DPR dan menghasilkan konsensus beberapa hal, yaitu adanya
kata sepakat dari calon istri untuk mencegah kawin paksa, penetapan batas usia
minumum untuk kawin yang mengusulkan 21 tahun untuk laki-laki dengan alasan
bahwa pada usia itu laki-laki bisa berdiri sendiri dan dapat mencari nafkah
sementara untuk wanita ditetapkan usia 18 tahun, perkawinan berasaskan
monogami dengan pengecualian yang sangat ketat, persamaan hak dalam
mengajukan perceraian antara suami istri, dan pembagian harta benda bersama
secara adil pada perceraian.114
Akhirnya pada tanggal 31 juli 1973 pemerintah dapat menyiapkan sebuah
RUU Perkawinan yang baru, kemudian menyampaikan kepada DPR, yang terdiri
dari 15 bab dan 73 pasal. Ada tiga tujuan RUU ini dibentuk yaitu, memberikan

113
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 152.
114
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.88-89.
45

kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, melindungi hak kaum


wanita, dan menciptakan undung-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Ternyata dalam proses selanjutnya, terjadilah konflik antara nilai perkawinan
yang diperkenalkan oleh negara dan yang berasal dari ajaran hukum Islam
terhadap pengajuan RUU tersebut. Di Parlemen Fraksi Katolik menolak RUU
yang berdasarkan Islam. Fraksi Persatuan Pembangunan juga menentang
pengajuan RUU tersebut yang menganggap ada 11 point yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam, yaitu:
a) Sahnya perkawinan di hadapan pejabat
b) Tidak ada batasan jumlah isteri yang diizinkan untuk kawin
c) Usia perkawinan
d) Larangan kawin antara orang tua angkat dengan anaka angkat
e) Larangan kawin antar suami isteri yang telah bercerai dua kali
f) Perkawinan antar agama
g) Masa iddah 106 hari
h) Masalah pertunangan
i) Harta benda bersama dan akibatnya dalam perceraian
j) Kewajiban bekas suami memberi biaya hidup bekas isteri
k) Masalah pengangkatan anak dan akibat-akibatnya.

Tepatnya tanggal 22 Agustus 1973, KH. Muhammad Bisri Syamsuri sebagai


Rois „Am Syuriah PBNU mengadakan Musyawarah Alim Ulama di Jombang
dalam membahas RUU Perkawinan. Dalam pertemuan ini mereka tidak
memutuskan untuk menulak RUU tersebut, tetapi memberikan usulan-usulan
secara lengkap yang disertai dengan dalil-dalil dari al-Quran dan Hadis untuk
merubah pasal demi pasal dari RUU yang dianggap bertentangan dengan syariat
Islam. Usulan tersebut menjadi rujukan utama Fraksi Persatuan Pembangunan
dalam sidang pembahasan RUU di DPR.115
Selanjutnya Menteri Kehakiman Prof. Umar Senoaji, S.H. pada tanggal 30
Agustus 1973 menyampaikan keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-

115
Astro Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), h. 27.
46

undang Perkawinan kepada. Fraksi ABRI, Karya Pembangunan dan PDI tidak
banyak menyoroti isi RUU, namun hanya memberikan beberapa tekanan.
Sedangkan Fraksi Persatuan Pembangunan dengan tegas menentang beberapa
pokok rumusan RUU.116
Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan yang diajukan Pemerintah
terdiri dari 15 Bab dengan 72 Pasal dan 4 Bagian, yang substansinya banyak
mendapat pengaruh dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Ordonansi
Perkasinan Indonesia Kristen. Karenanya, apabila Rancangan Undang-Undang
tentang Perkawinan diamati dengan seksama, maka di antara pasal-pasalnya
bertentangan dengan hukum Islam.117
Akhirnya Pemerintah menyampaikan jawaban yang disampaikan oleh KH. A.
Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Pemerintah mengajak DPR untuk bersama-
sama memcahkan masalah dengan mengatakan, “Pemerintah meminta Dewan
Perwakilan Rakyat untuk memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan
kesepakatan melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut
dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan ibadah,
dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang dimufakati. Melihat
keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan RUU
Perkawinan ini dengan baik, kita semua yakin, Dewan bersama Pemerintah akan
mampu mengatasi segala perbedaan yang ada, dan akan menghasilkan Undang-
undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan semua pihak.118
Akhirnya Fraksi Persatuan Pembangunan bersepakat dengan Fraksi ABRI.
Yaitu adanya lima kesepakatan untuk mencari jalan keluar dari pertentangan,
pertama Hukum Agama Islam dalam Perkawinan tidak dikurangi ataupun dirubah.
Kedua, sebagai konsekuensi dari kesepakatan poin 1, alat-alat pelaksanaannya
tidak dikurangi ataupun dirubah. Tegasnya Undang-undang No. 14 tahun 1970
dijamin kelangsungannya. Ketiga, hal-hal yang bertentangan dengan Agama Islam

116
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 154.
117
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 239-240.
118
Amak Fz, Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma‟arif 1976), h. 60-63.
47

dan tidak mungkin disesuaikan dalam Undang-undang ini dihilangkan. Keempat,


pasal 2 ayat (1) akhirnya berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut masing-masing Agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 2 ayat (2)
berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban Administrasi
Negara”. Kelima, mengenai perceraian dan poligami perlu diusahakan adanya
ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.119
Tanggal 22 Desember 1973, pada rapat tingkat IV, DPR lebih condong
merujuk pendapat akhir dari fraksi-fraksi yang menyetujui disahkannya RUU
Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang
merupakan hasil panitia kerja RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-
undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Desember 1947 RUU
tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR, disahkan dan diundangkan
menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan yang baru secara
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah
persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 agar dapat berjalan dengan aman dan lancar.
Adapun hasil akhir yang disahkan DPR terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam
67 pasal. Ini merupakan perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat.
Karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-
undang Hukum Perdata) buku I tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.
Undang-undang baru memuat kaidah hukum yang berkaitan dengan Perkawinan
dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya ditindaklanjuti dalam berbagai
peraturan pelaksanaannya. Berarti Undang-undang Perkawinan akan menjadi
sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian dan rujuk yang
berlaku untuk semua warga Negara Indonesia.
Undang-undang Perkawinan ini mengadakan unifikasi dalam bidang hukum
tanpa menghilangkan kebhinekaan yang harus dipertahankan, karena masih
berlakunya aturan ketentuan perkawinan yang beraneka beragam dalam

119
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997) h. 82-83
48

masyarakat hukum Indonesia. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-
undang No. 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau
kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang
Perkawinan.120
3) Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam adalah himpunan kaidah-kaidah hukum Islam
yang berasal dari kitab-kitab fikih, aturan-aturan hukum, yurisprudensi dan
pendapat ulama (doktrin) yang dituangkan ke dalam buku hukum yang disusun
dalam bentuk dan memakai bahasa perundang-undangan.121
Orang yang berjasa dalam memberikan gagasan untuk menyusun
Kompilasi Hukum Islam adalah seorang Menteri Agama di era Presiden Soeharto
pada Kabinet Pembangunan yaitu Munawir Syadzali. Pandangan yang Populer
yang diusungnya adalah bahwa harus ada pembaruan dalam bidang hukum Islam
di Indonesia istilah itu disebut Reaktualisasi Ajaran Islam.
Yang melatarbelakangi lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah dalam
persoalan bunga bank yang masuk dalam kategori riba dan persoalan harta
warisan yang diputuskan secara berbeda oleh para hakim di Pengadilan Agama.
Hal tersebut dianggap aneh oleh Munawir yang sudah sejak lama di Indonesia
bahkan sebelum datangnya penjajah Belanda. Keinginan untuk mengadakan
kodifikasi dan unifikasi hukum Islam di Indonesia minimal hukum Islam yang
menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama seperti halnya para hakim di
Peradilan Umum yang memiliki buku pedoman yang seragam seperti KUHP. 122
Setelah Indonesia merdeka, referensi hukum materiil di lingkungan
Pengadilan Agama ditetapkan ditetapkan 13 kitab fikih melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985 sebagai
pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar‟iyyah di Luar Jawa dan Madura. Hal ini dilakukan karena

120
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 156.
121
Nurjihad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Studi Kasus CLD Kompilasi
Hukum Islam, Jurnal Hukum, Vol. No. 27 (September 2004), h. 108
122
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019) h.67
49

Hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis


dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Dalam Huruf B surat edaran tersebut dijelaskan: Para hakim Pengadilan
Agma atau Mahlkamah Syar‟iyyah dianjurkan untuk memeriksa dan memutuskan
masalah menggunakan kitab-kitab sebagai pedomannya. Kitab itu antara lain, Al-
Bajuri, Fath al-Mu‟in, Syarqawi „ala al-Tahir, Qalyubi/Mahalli, Fath al-Wahab
dengan syarahnya, Tuhfah, Taghrib al-Musytaq, Qawanin Syar‟iyyah li as-Sayyid
bin Yahya, Qawanin Syar‟iyyah li al-Sayyid Sadawah Dahlan, Syamsuri fi al-
Faraidh, Bughyat al-Musytarsyidin, al-Fiqihu ala Madzahib al-Arba‟ah, Mughni
al-Muhtaj. 123
Penetapan kitab-kitab fiqih untuk menyelesaikan masalah di Pengadilan
Agama ternyata tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum. Muncul
persoalan krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim
dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya
kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan
kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.124
Keberhasilan ummat Islam Indonesia dalam menyukseskan adanya aturan
tentang Pengadilan Agama No. 7 Tahun 1989 bukan berarti sudah selesai. Secara
material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi‟i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim karena
tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Kemudian adanya
keinginan untuk menyusun Kitab Hukum Islam dalam membentuk kompilasi
dirasakan semakin mendesak. Penyusunan Kompilasi ini bukan saja didasarkan
pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum Pengadilan
Agama di Indonesia, tetapi juga didasarkan pada keharusan terpenuhinya

123
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 201-202.
124
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jurnal Ajudikasi Vol. 1, No. 2 (Desember 2017), h. 40.
50

perangkat-perangkat sebuah peradilan yaitu materi hukum Islam yang digunakan


di lembaga Peradilan tersebut.125
Alasan adanya Kompilasi Hukum Islam adalah untuk menangkal
ketidakpastian hukum di lingkungan Pengadilan Agama. Dikhawatirkan ketika
ada permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan
produk hukum yang berbeda.126
Kemudian ada seorang tokoh yang tampil melanjutkan gagasan bahwa
perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Ia adalah Bustanul Arifin,
seorang Hakim Agung dan Ketua Muda Mahkamah Agung yang membawahi
Peradilan Agama saat itu. Ia memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:
a) Harus ada hukum Islam di Indonesia yang jelas dan dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum maupun oleh masyarakat.
b) Tidak seragamnya persepsi tentang syari‟ah menyebabkan hal-hal
berikut:
(1) Bahwa hukum Islam itu memang tidak seragam,
(2) Bahwa hukum Islam itu tidak jelas untuk dijalankan,
(3) Akibat kedepannya, Bahwa hukum Islam tidak mampu untuk
beradaptasi dengan aturan yang ada di Undang-undang Dasar
1945 dan perundangan lainya.
c) Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara di mana hukum Islam
diberlakukan
(1) Di kerajaan India yang dipimpin oleh Sultan Aurangzeb, aturan
yang dibuat pada masa pemerintahannya adalah Kompilasi
Hukum Al-fatawa Al-alamgiriyah atau Al-fatawa Al-hindiyah,
(2) Di kerajaan Turki Ustmani aturan yang dibuat pada masa
pemerintahannya adalah Kompilasi Hukum Majallah al-Ahkam
Al-Adliyah,

125
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2006), h. 21.
126
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 166.
51

(3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.127


Gagasan itu disepakati dan diapresiasi oleh Kementerian Agama dan
Mahkamah Agung RI dengan dibentuk Tim Pelaksana Proyek dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 Tentang
Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi. Proyek ini dikerjakan selama dua tahun dan didukung oleh
Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya
sebesar Rp. 230.000.000,- yang dikeluarkan langsung oleh Presiden Soeharto dan
tidak berasal dari APBN. Di sini terlihat bahwa betapa besarnya komitmen
Presiden Soeharto dalam menyukseskan proyek KHI. 128
Bustanul Arifin ditunjuk sebagai Ketua tim perumusan Kompilasi Hukum
Islam yang anggotanya meliputi para pejabat Mahkamah Agung, Para Ulama dan
Para cendekiawan. Perumusan ini bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang
seragam bagi hakim Pengadilan Agama agar putusannya tidak simpangsiur dan
menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang
beragama Islam.129
Tim penyusunan Kompilasi Hukum Islam mempunyai tugas pokok. Yaitu
melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan
jalan Kompilasi Hukum. Bentuk usahanya adalah mengkaji kitab-kitab fikih
mazhab klasik yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim.
Nantinya akan dibuat sebuah aturan yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia untuk menuju Hukum Nasional.130 Ada beberapa cara untuk
tercapainya usaha tersebut, yaitu:
a) Mengumpulkan data dengan menelaah dan mengkaji kitab-kitab
hukum atau kitab-kitab fikih minimal 13 kitab yang selama itu
dijadikan referensi wajib hukum materiil di lingkungan Pengadilan

127
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jurnal Ajudikasi Vol. 1, No. 2 (Desember 2017), h. 40.
128
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.70.
129
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 159.
130
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019) h. 70.
52

Agama. Sedangkan bahan baku yang ditelaah sebanyak 38 kitab dari


berbagai mazhab yang mencakup 160 masalah hukum keluarga yang
ditugaskan dari tujuh IAIN di seluruh Indonesia melalui kontrak kerja,
yaitu IAIN Ar-Raniri Aceh, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN
Antasari Banjarmasin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Aunan
Ampel Surabaya, IAIN Alauddin Makassar dan IAIN Imam Bonjol
Padang.
b) Mewawancarai 181 Ulama yang memiliki keahlian khusus dalam
bidang fikih yang tersebar di sepuluh wilayah hukum pengadilan
Agama saat itu, daintaranya Aceh, Medan, Padang, Palembang,
Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang dan
Mataram.
c) Menelaah produk Yurisprudensi Pengadilan Agama yang terhimpun
dalam 16 buku terdiri dari empat jenis buku. Yaitu Himpunan Putusan
Pengadilan Agama, Himpunan Fatwa Pengadilan, Himpunan
Yurisprudensi Pengadilan Agama dan Laporan Kejadian Hukum dari
tahun 1977 sampai tahun 1984.
d) Studi banding ke negara muslim seperti Maroko yang mayoritas
bermahzab Maliki, Mesir yang bermahzab Syafi‟i dan Hanafi, serta
Turki yang bermazhab Hanafi. Hal itu dilakukan untuk memperoleh
perbandingan sistem atau kaidah-kaidah hukum. Tim yang dikirim
terdiri dari para hakim Pengadilan Agama atau ahli hukum Islam dan
beberapa ulama.131
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam juga mendapatkan dukungan dan
masukan dari beberapa organisasi Islam dan masing masing mengadakan seminar
pembahasan masalah tentang materi yang akan dimuat di Kompilasi Hukum
Islam. seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan lembaga lainnya yang ikut
serta menambah data juga bahan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya setelah bahan dikumpulkan lalu diolah dan disusun dalam draft

131
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.71.
53

Kompilasi Hukum Islam oleh tim yang telah ditunjuk untuk menyusun. Setelah itu
draft dibawa dan dibahas pada pertemuan lokakarya nasional yang diselenggakan
khusus untuk menyempurnakan draft. 5 hari penyelenggaraan penyempurnaan
draft dari tanggal 2-6 Februari 1988 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Peserta
datang dari seluruh Indonesia sebanyak 124 peserta yang terdiri dari para Ketua
Umum Majelis Ulama Provinsi, para Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia, beberapa orang Rektor IAIN, beberapa orang Dekan Fakultas Syariah
IAIN, sejumlah wakil organisasi Islam, beberapa ulama, dan sejumlah
cendekiawan muslim, serta perwakilan dari organisasi wanita.132
Lokakarya nasional tersebut berperan sangat penting dalam rangka
penetapan KHI. Bustanul Arifin berharap agar lokakarya tersebut mencapai hasil
dan dikatakan bahwa KHI adalah hasil konsensus (ijma‟) dari para ahli-ahli
hukum tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden Soeharto mendatangani
Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 1 Tahun 1991 untuk menyebaluaskan
Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari:
a) Buku I tentang Hukum Perkawinan
b) Buku II tentang Hukum Kewarisan
c) Buku III tentang Hukum Perwakafan
Kompilasi Hukum Islam merupakan prestasi besar pemerintah Orde Baru
di bidang hukum keluarga Islam, KHI diakui sebagai hasil karya Ulama Indonesia
dan berciri khas ke-Indonesia-an.133
Sebagai tindak lanjutnya, tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah
mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang
selanjutnya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam ini kepada semua Ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.

132
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.72.
133
Yushadeni, Kontroversi Seputar Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia,
Al-Ahwal, Vol. 8, No. 1, 2015, h. 32
54

3649/E.V/HK.003/AZ/91. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam ini telah


mempunyai tempat dalam sistem hukum di Indonesia. 134

2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga di Indonesia


Ketentuan Hadhanah di Indonesia diatur dalam dua peraturan. Yaitu
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
Undang-undang tidak secara khusus membicarakan pemeliharaan anak
sebagai akibat putusnya perkawinan, apalagi menggunakan nama hadhanah.
Namun undang-undang secara umum mengatur hak dan kewajiban orang tua
terhadap anaknya.
Kemudian Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur
secara panjang lebar dalam Kompilasi Hukum Islam dan materinya hampir
keseluruhannya mengambil dari fiqihnmenurut jumhur ulama, khususnya
Syafi‟iyah.135
a. Yang berhak melakukan hadhanah
Pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada bab 8 Pasal 41 a dalam hal
Putusnya Perkawinan serta akibatnya dan bab 10 dalam hal hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak, pasal 45 ayat 1. Juga dalam KHI disebutkan pada pasal
98 dan di bagian ketiga akibat perceraian pasal 156.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusan. 136

134
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.73.
135
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 333-334.
136
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 butir a, h. 33.
55

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.137

Kompilasi Hukum Islam


Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.138

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya; 139

Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
...140

137
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 45, h. 34
138
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 98,
h. 264
139
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105,
h. 266.
140
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir a, h. 280.
56

pasal-pasal di atas dari dua aturan yang berbedamerupakan pelengkap dari


aturan ketentuan hadhanah. Di mana Undang-undang No.1 tahun 1974 merupakan
aturan yang umum dan berlaku untuk seluruh warga Indonesia, sedangkan KHI
merupakan aturan khusus yang berlaku hanya untuk urang Islam saja. Oleh karena
itu, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ditegaskan siapa yang paling berhak ketika
ibu bercerai dengan bapak. KHI menegaskan bahwa dalam hal perceraian ibulah
yang paling berhak.

b. Pengasuhan anak setelah ibu

Pada Kompilasi Hukum Indonesia disebutkan pada pasal 98 dan


pasal 156.
Pasal 98
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya
tidak mampu.141

Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah. 142

141
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 98
pasal 3, h. 264.
57

Undang-undang No.1 tahun 1974 tidak mengatur ketentuan pihak


pengganti ibu untuk mengasuh anak. tapi dalam KHI diaturnya.

c. Masa pengasuhan anak


Mengacu pada Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada pasal 105
a bahwa (Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur
12 tahun adalah hak ibunya). Artinya anak yang belum berusia 12 tahun
adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia
diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya, sesuai
KHI pasal 105 b (Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaanya).143

d. Syarat seorang pengasuh


Pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 49 dan Pada
Kompilasi Hukum Islam disebutkan di bagian pasal 156 b.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas
dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.

142
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir a, h. 280.
143
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
butir a dan b, h. 266.
58

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban


untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.144

Kompilasi Hukum Islam


Pasal 156
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;145

e. Biaya Pemeliharaan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974


Pasal 41
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat
menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri. 146
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.
Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan

144
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 49, h. 35.
145
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir c, h. 281.
146
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 butir b dan c, h. 33.
59

dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada


ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan
ibunya.147

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
b. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 156
Akibat perceraian
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b),
dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya. 148
Dua aturan ketentuan hadhanah dari UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI sama-
sama mengatur tentang siapa yang berkewajiban untuk membiayai pemeliharaan
anak.
f. Usia anak boleh memilih wali asuh

Kompilasi Hukum Islam


Pasal 105

147
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 104
ayat 1, h. 281.
148
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir d, e, dan f, h. 281.
60

Dalam hal terjadinya perceraian :


b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;149
Pasal 156
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah150
Hanya dalam KHI yang mengatur usia anak boleh memilih setelah mumayyiz
atau sampai usia 12 tahun.

B. Maladewa
1. Sejarah Hukum Keluarga di Maladewa
Republik Maladewa adalah negara kepulauan dengan sekitar 1.200 pulau di
Samudera Hindia, memiliki beragam budaya dan berbicara dengan bahasa yang
unik yaitu bahasa Divehi. Pada tahun 1153 Masehi Maladewa menjadi negara
muslim yang asalnya beragama Hindu. 151 Negara ini menjadi salah satu anggota
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan berpenduduk muslim seluruhnya. Hal ini
berdasarkan konstitusi negara Maladewa bahwa hanya orang muslim yang dapat
menjadi warga negaranya.152
Selama 800 tahun terakhir hingga tahun 1970-an, Pariwisata menjadi bagian
dari kehidupan ekonomi. Dan ternyata kolonialisme membatasi diri dalam
mengatur sosiopolitik dan hukum di Maladewa.
Hukum dalam negeri tidak diganggu oleh kekuatan kolonial. Oleh karena itu,
Maladewa menjalankan hukum adat dan Syariat Islam. Hingga akhir tahun 1950
penegakan hukum sebagian besar kurang berkembang dan kurang terstruktur.

149
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
butir b, h. 266.
150
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir b, h. 281.
151
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, Jindal Global Law Review, Vol. 7, No. 1, Mei 2016, h. 61.
152
The Constution of the Repulic of Maldives 2008, Pasal 9d.
61

Maladewa dijajah oleh tiga kekuatan kolonial yang paling berpengaruh di


dunia, yaitu Portugis, Belanda, dan Inggris. Portugis melakukan upaya untuk
mengambil alih negara kepulauan itu dan membunuh Sultan Ali VI. Pada tahun
1558 Portugis menjadi yang pertama menguasai Maladewa. Pada pertengahan
abad ke tujuh belas, Belanda memperoleh kekuasaan atas Portugis di Ceylon (Sri
Langka) dan melakukan kontrol atas Maladewa, tetapi tidak secara langsung
terlibat dalam urusan internal Maladewa.
Maladewa terancam oleh kekuatan India Selatan (Malabars). Maladewa
diserang beberapa kali dan meminta perlindungan dari Belanda. Pada tahun 1752
Malabars akhirnya berhasil mengambil alih pulau Ibu kota dan menguasai
selama 4 bulan sebelum dikalahkan oleh penduduk setempat. Pada akhir
kedelapan belas, Inggris memiliki hubungan dengan maladewa. Inggris juga
tertarik pada Maladewa karena lokasi geografisnya di Asia Selatan. Alasan
Inggris tertarik kepada Maladewa adalah untuk kekuatan militer angkatan laut.
Kemudian pada tahun 1887 Maladewa menjadi negara yang dilindungi Inggris
dan berjanji untuk tidak bekerja sama dengan kekuatan asing lainnya, tanpa
persetujuan dari Inggris. Secara teknis, maladewa tidak pernah menjadi koloni
Inggris. Terlepas dari ini, Konversi hukum ke Islam sejak tahun 1153 juga
memiliki pengaruh yang jelas pada hukum setempat.153
Sistem hukum Maladewa saat ini adalah sistem campuran, menggabungkan
prinsip common law Inggris dan hukum Syariah Islam. Masuknya prinsip common
law Inggris pada sistem hukum Maladewa terjadi pada tahun 1988 saat
pembentukan undang-undang perseroan Terbatas. dilanjutkan pada tahun 1991
dan 1996 Parlemen Maladewa mengesahkan undang-undang kontrak, undang-
undang penjualan barang, undang-undang perusahaan, undang-undang kemitraan
yang semuanya berdasarkan prinsip common law. Common law secara khusus
diberlakukan pada bidang hukum perniagaan. Di sisi lain hukum pidana, hukum
keluarga, hukum waris secara luas diatur dalam hukum syariah yang dikodifikasi.

153
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, ,,, , h. 62.
62

Sebagian besar undang-undang Maladewa mengadopsi undang-undang dari


negara Malaysia dan negara muslim lainnya di dunia.154
Pembentukan undang-undang di Maladewa dalam proses merancangnya,
biasanya mengadopsi hukum yang telah digunakan oleh negara-negara di dunia
untuk kemudian disesuaikan dengan karakteristik sosial budaya Maladewa.
Contohnya dalam hal pembentukan Undang-undang Keluarga Maladewa No. 4
Tahun 2000, Maladewa mengadopsi Undang-undang Keluarga Malaysia, karena
Undang-Undang Keluarga Malaysia dianggap memiliki karakteristik yang sesuai
dengan kondisi sosial budaya di Maladewa. Di samping itu, fikih mazhab
mayoritas yang digunakan di Maladewa juga memiliki kesamaan dengan
Malaysia, yaitu mazhab Syafi`i. Namun sebelum dibuatnya Undang-Undang
Keluarga Maladewa No. 4 Tahun 2000 tersebut, Maladewa telah menggunakan
Undang-Undang Perkawinan dan Perceraian No. 3 Tahun 1980 yang terbatas
hanya pada urusan perkawinan dan perceraian, sehingga urusan keluarga selain
perkawinan dan perceraian tidak diatur dalam hukum nasional dan ditangani
berdasarkan hukum Islam, yang diatur dalam Al-Qur'an, sunnah, dan fatwa oleh
berbagai ahli hukum. Bagaimanapun juga, Undang-Undang Keluarga No. 4 Tahun
2000 ini melengkapi undang-undang yang sebelumnya dan tergolong ke dalam
model undang-undang dengan hampir semua urusannya sejalan dengan prinsip
syariah. Maka dapat dikatakan, bahwa undang-undang ini mengganti praktik lama
dan berfokus pada gagasan modern dengan ambisi prinsip-prinsip syariah.
Di dalam hal sistem pengadilan, ada tiga tingkatan pengadilan yang dimiliki
oleh negara Maladewa. Yaitu Pengadilan rendah yang disebut dengan Pengadilan
Magistrate (Pengadilan Tingkat Pertama). Kemudian pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan yang mengurusi perkara banding. Dan selanjutnya adalah pengadilan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di negeri tersebut.155

2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga Maladewa

154
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, ,,, , h. 63.
155
Kamrul Hasan, dkk, “Renconciliation of Marriage: A Comparative Overview of the
Law and Practice in Bangladesh and Maldives”, International Journal of Business Education and
Management Studies, Vol. 1, No. 1, Januari 2020. h. 9.
63

Ketentuan hadhanah diatur dalam UU Keluarga Maladewa No. 4 Tahun 2000


yang tercantum dalam pasal 40-46. Adapun pasal-pasal tersebut mengandung isi
sebagaimana berikut:
Pasal 40
Hak untuk mengasuh
a. Ibu dari anak memiliki hak prioritas menurut undang-undang ini untuk
dipercayakan mengasuh anak.
b. Dimana Hakim berpendapat bahwa ibu dari anak yang tidak sesuai
kualifikasi yang disebutkan di pasal 41 pada undang-undang ini untuk
mempercayakan hak asuh anak, kepada siapa hak pengasuhan anak dapat
dipercayakan akan ditentukan oleh pengadilan. Di antara orang-orang yang
diatur dalam peraturan yang dibuat berdasarkan undang-undang ini dan
sesuai urutan yang diatur dalam peraturan tersebut.
c. Jika pengasuhan anak perempuan dipercayakan kepada seorang laki-laki,
maka dia haruslah seseorang yang dilarang untuk menikah (yang
muhrimnya).
d. Jika pengasuhan seorang anak dipercayakan kepada lebih dari satu orang
yang ada hubungannya dengan si anak, dan mereka memiliki tingkat
hubungan yang sama dengan anak tersebut, maka hak pengasuhan anak
akan dipercayakan kepada orang yang paling sayang kepada anak tersebut
dan pada siapa yang paling membentuk karakternya.
e. Dalam mempercayakan pengasuhan anak sesuai dengan bab ini, harus ada
pertimbangan yang seksama demi kesejahteraan anak.156

Pasal 41
Kualifikasi untuk mempercayakan pengasuhan anak
Kepada siapa hak pengasuhan anak dapat dipercayakan akan memiliki
kualifikasi sebagai berikut:
a. Orang itu harus Muslim;
b. Orang itu harus berakal sehat;

156
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 40
64

c. Orang itu mesti mampu memberikan kasih sayang dan perawatan yang
diperlukan dalam membesarkan anak;
d. Orang itu harus tidak terlibat dalam tindakan yang dilarang dalam syariah.
selain adanya kualifikasi yang disebutkan pada ayat a, b, c, dan d pada pasal
ini, tempat tinggal orang tersebut tidak boleh menjadi tempat yang
menyebabkan anak terkena pengaruh fisik atau pengaruh tidak bermoral.157
Pasal 42
Bagaimana hak asuk menjadi hilang
Hak untuk mengasuh akan hilang apabila terjadi salah satu peristiwa yang
disebutkan di bawah ini:
a. Ketika hak asuk anak akan dipercayakan kepada ibu si anak tersebut,
pernikahannya dengan seseorang yang tidak berada dalam tingkat
pernikahan yang dilarang sehubungan dengan anak tersebut.
b. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada seseorang yang secara terbuka
melakukan tindakan yang dilarang secara syariah.
c. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada ibunya si anak, sedangkan si
ibu tempat tinggalnya pindah ke pulau yang berbeda kecuali ke pulau
tempat dia tinggal tanpa persetujuan ayah atau wali yang resmi dari anak.
Atau pindah ke tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang dapat
menghambat mencederai hak berkunjung ayah dari anak.
d. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak tersebut murtad.
e. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak mengabaikan atau
memperlakukan anak tersebut dengan kejam.158

Pasal 35
Biaya pemeliharaan
Pengadilan memiliki kekuasaan untuk memerintahkan suami atau suami
yang telah bercerai untuk membayar nafkah berdasarkan prinsip syariah kepada
istri, anak, atau istri yang telah dicerai.

157
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 41
158
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 42
65

Pasal 36
Jumlah pembayaran nafkah dan priode waktu yang dibayarkan kepada
istri, anak dan istri yang telah dicerai ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan
aturan undang-undang ini.

Pasal 43
Hak mendapatkan kembali pengasuhan anak
Jika ditetapkan bahwa ketentuan dalam ayat a pasal 42 pada undang-undang
ini, menjadi tidak berlaku sehubungan dengan ibunya anak, hak pengasuhan
akan dikembalikan kepada dia.159
Pasal 44
Masa pengasuhan anak
a. Pengasuhan anak akan tetap dengan orang yang dipercayakan untuk
mengasuh sampai anak berusia 7 tahun sesuai dengan kalender Islam.
Meskipun demikian, Pengadilan berwenang atas permohonan dari orang
yang dipercayakan mengasuh anak, memberikan hak asuh anak
perempuan sampai anak tersebut mencapai usia 11 tahun sesuai dengan
kalender Islam dan anak laki-laki sampai anak tersebut mencapai usia 9
tahun sesuai kalender Islam.
b. Kecuali Pengadilan memerintahkan sebaliknya, anak yang berakhir masa
pengasuhannya atau telah menyelesaikan usia pengasuhan yang
dipersyaratkan, mempunyai hak untuk hidup bersama salah satu orang tua
yang dipilih.160
Pasal 45
Mempercayakan hak asuh bersyarat
Pengadilan akan memiliki keleluasaan kebijaksanaan untuk melampirkan
sesuai dengan peraturan yang dibuat berdasarkan undang-undang ini mengatur
persyaratan dalam memberikan hak asuh.

159
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 43
160
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 44
66

Pasal 46
Orang yang dipercayakan untuk mengasuh membawa anak ke luar negeri
Ketika masalah pernikahan orang yang dipercayakan mengasuh anak tersebut
sedang menunggu keputusan di pengadilan, pengadilan memiliki kekuatan
untuk memerintahkan atas permohonan yang dibuat oleh ayah atau ibu dari
anak tersebut, untuk melarang anak dibawa ke luar negeri oleh orang yang
dipercayakan mengasuh anak.161

161
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 46.
BAB IV
PERBANDINGAN KETENTUAN HADHANAH MENURUT
FIKIH SYAFI`I DENGAN ATURAN DI INDONESIA DAN
MALADEWA

A. Perbandingan Secara Vertikal Mengenai Ketentuan Hadhanah di


Indonesia dan Maladewa dengan Fikih Syafi`i
Terlebih dahulu akan menjelaskan analisis secara vertikal antara aturan kedua
negara tersebut dengan Fikih Syafi`i yang merupakan mazhab mayoritas di
masing-masing negara. Adapun analisis dilakukan dari beberapa segi, antara lain:
Yang berhak melakukan hadhanah, Pihak yang paling utama dalam mengasuh
anak setelah ibu, Syarat seorang pengasuh, Biaya Pemeliharaan, Batas usia anak
boleh memilih wali asuh, Hak anak dan wali asuh apabila sudah memilih.
Kemudian analisis diarahkan kepada sejauh manakah keberanjakan aturan kedua
negara tersebut dari ketentuan Fikih Syafi`i.

1. Yang berhak mendapatkan Hadhanah


Ibu berhak untuk mengasuh anak dibanding bapaknya. Ketika seorang
suami berpisah dengan istrinya, dan mereka itu mempunyai satu anak, baik
anaknya laki-laki ataupun perempuan, yang belum mencapai usia tamyiz. Ada
beberapa sebab kenapa ibu lebih utama dibanding bapak, yaitu yang pertama,
seorang ibu sabar dalam menghadapi seorang anak dalam mendidik. Yang kedua
ibu sangat lembut dalam mendidik anak, menjaga anak, yang paling mengetahui
kebutuhan anak-anak.162
Kemudian dalam Hukum Keluarga Indonesia tepatnya pada Kompilasi
Hukum Islam mengatur tentang siapa yang berhak mendapatkan hadhanah. Pasal
105 dalam hal terjadinya perceraian, Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. dalam hal anak, Indonesia

162
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192

67
68

mengambil dua macam kecakapan anak dalam bertindak. Pertama anak yang
belum mumayyiz artinya adalah anak yang belum bisa membedakan hal yang baik
dan buruk. Di sini difahami bahwa meskipun anak itu berusia lebih dari 12 tahun
tapi anak belum mumayyiz maka pemeliharaan anak masih diasuh oleh ibu.
Kedua, dilihat dari usia anak, artinya apabila anak itu sudah berusia 12 tahun dan
mumayyiz maka berakhirlah hak ibu.
Dalam Hukum Keluarga Maladewa, Ibu memiliki hak prioritas untuk
mengasuh anak sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Apabila ibu tidak memiliki kualifikasi yang telah ditetapkan, maka akan
dipindahkan kepada orang yang sesuai dengan kualifikasi. Hanya untuk anak
perempuan, apabila anak perempuan ternyata diasuh oleh seorang laki-laki, maka
pengasuhannya harus kepada seorang laki-laki yang mahram. Dan juga harus
dilihat apakah seorang pengasuh itu sangat sayang terhadap anak atau tidak.
Karena itu semua demi terjaganya karakter dan kesejahteraan anak.163
Dalam hal hak hadhanah Imam Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan
Hukum Keluarga Maladewa memiliki konsep yang sama yaitu hak tersebut
diberikan kepada ibu, hanya saja dalam pelaksanaannya Indonesia dan Maladwa
memiliki keberanjakan. Keberanjakan tersebut dapat dilihat dari konsep penetapan
hak hadhanah melaui pengadilan. Sebenarnya bisa saja dalam pelaksanaanya
mengambil ketentuan fikih Imam Syafi‟i tanpa melibatkan pengadilan. Tetapi
yang dikhawatirkan adalah perebutan anak yang tidak bisa dihindarkan,
keamanaan anak atas konflik pengakuan hak hadhanah, dan lain-lain.
Karena zaman sudah maju, Indonesia dan Maladewa menginisiasi agar
penetapan hak hadhanah melibatkan pihak pengadilan. Hal itu dilakukan demi
menjamin terlaksananya pelaksanaan hadhanah dan menghindari konflik
perebutan anak.

2. Pihak yang paling utama dalam mengasuh anak setelah ibu


Wanita memiliki hak prioritas untuk mengasuh anak dibanding bapak
karena wanita mempunyai naluri keibuan. Naluri itu secara otomatis dilakukan

163
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 40.
69

kepada anak untuk dirawat, disusui, dididik, dan selalu sabar dalam mengurusi
kehidupan anak.
Urusan pengasuhan anak bisa saja berpindah kepada orang yang dianggap
pantas untuk mengasuk anak. Ibu yang sudah meninggal, ibu yang tidak berakal,
atau yang lainnya bisa menjadi sebab berpindahnya hak asuh anak dari ibu ke
orang lain. Para ulama fiqih dari kalangan mazhab Imam Syafi‟i sudah
membagikan atau mengurutkan siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan
hadhanah setelah ibu.
Dalam kitab Syafi‟iyyah diurutkan apabila pihak perempuan selain ibu
berebut mendapatkan hak hadhanah maka yang paling diutamakan terlebih dahulu
adalah bapak, kemudian selanjutnya pihak perempuan. Berikut urutannya adalah:
Pihak Perempuan
Klasik Kontemporer
1. Ibu 1. Ibu
2. Nenek Jalur ibu dan seterusnya 2. Nenek dari ibu dan seterusnya ke atas
ke atas 3. Nenek dari ayah dan seterusnya ke
3. Nenek Jalur ayah dan seterusnya atas
ke atas 4. Kakak Kandung perempuan
4. Kakak Kandung perempuan 5. Bibi (saudara ibu)
5. Kakak Perempuan Sebapak 6. Keponakan perempuan (anak saudari
6. Kakak Perempuan Seibu kandung) kemudian Keponakan
7. Bibi atau paman jalur ayah164 perempuan (anak saudara kandung)
7. Bibi jalur ayah166
Tetapi bila ada bapak, maka anak 8. Sepupu perempuan167
lebih berhak padanya.165

164
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 643-644.
165
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h.
240
166
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307-308.
167
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192-193.
70

Berikut adalah pihak laki-laki yang berhak mengasuh anak. Yaitu orang-
orang mahram yang mendapatkan waris atau orang yang urutannya ada pada
bagian warisan, Siapa itu orang-orangnya:

Pihak laki-laki
Klasik Kontemporer
1. Bapak 1. Bapak
2. Kakek 2. Kakek
3. Ashobah (Paman dan lain-lain) 3. Kakak kandung laki-laki
4. Kakak laki-laki se bapak,
5. Anak kakak laki-laki kandung
(Keponakan),
6. Anak kakak laki-laki se bapak.
7. Paman,
8. Pamannya ayah,
9. Anak paman (Sepupu laki-laki),
10. Anak Pamannya ayah.168

Apabila semua orang rebutan ingin mengasuh anak tersebut, maka yang
paling utama adalah:

Semua pihak berebut


Klasik Kontemporer
1. Ibu 1. Ibu
2. Nenek dari ibu dan seterusnya 2. Nenek dari ibu dan seterusnya ke
ke atas atas170
3. Ayah 3. Bibi (saudara ibu) 171
4. Bibi (saudara ibu)169 4. Ayah

168
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309
169
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 646.
170
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
171
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193-194
71

5. Nenek jalur bapak


6. Kakek jalur bapak
7. Kakak Perempuan Kandung
8. Kakak laki-laki Kandung
9. Paman/bibi172

Dilihat dari tabel di atas bahwasannya urutan yang ada di ketentuan fiqih
mazhab imam Syafi‟i tidak sama. Bukan maksud tidak sama berati beda semua
tetapi dalam Kitab Manhaj urutan yang berhaknya lebih banyak dibanding dengan
kitab Al-Mu‟tamad. Tetapi hal itu tidak menjadi fokus penulis dalam hal terjadi
perbedaannya.
Kemudian dalam Hukum Keluarga Indonesia pada Kompilasi Hukum
Islam dijelaskan di pasal 156 ketika anak belum mumayyiz dan ibunya telah
meninggal maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Bapak;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak.

Bilamana terjadi perselisihan akan ada yang menjamin kepastiannya


karena penetapan hak hadhanah ini dilakukan oleh pengadilan. Sekiranya dari
pihak lain merasa pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani si anak, maka pihak yang mengkhawatirkan keamanan si anak
tersebut dapat memindahkan hak hadhanah ke pihak lain atas penetapan
pengadilan. Ini sejalan dengan KHI pasal 156.
Selanjutnya adalah dalam Hukum Keluarga Maladewa tidak menyebutkan
secara berurut siapa saja orang yang berhak mendapatkan hadhanah. Hanya pihak
yang bisa dipercaya dan juga yang ada hubungannya dengan si anak. Artinya anak

172
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
72

dapat diasuh oleh pihak laki-laki maupun perempuan sesuai dengan penetapan
pengadilan di Maladewa.
Dalam pasal 40 c dijelaskan jika pengasuhan anak perempuan
dipercayakan kepada seorang laki-laki, maka dia haruslah seseorang yang dilarang
untuk menikah (yang muhrimnya). Berarti secara otomatis meskipun tidak
diurutkan dalam aturan hukum keluarga Maladewa, hak hadhanah untuk anak
laki-laki maupun perempuan dari pihak laki-laki adalah:
1. Bapak
2. Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas
3. Kakek dari ibu dan seterusnya ke atas
4. Saudara laki-laki si anak
5. Paman dari bapak
6. Paman dari ibu

Dalam lain hal, dijelaskan pula jika pengasuhan seorang anak


dipercayakan kepada lebih dari satu orang yang ada hubungannya dengan si anak,
dan mereka memiliki tingkat hubungan yang sama dengan anak tersebut, maka
hak pengasuhan anak akan dipercayakan kepada orang yang paling sayang kepada
anak tersebut dan pada siapa yang paling membentuk karakternya.
Dalam hal pengasuhan anak setelah pihak ibu, Mazhab Imam Syafi‟i,
Hukum Keluarga Indonesia, dan Hukum Keluarga Maladewa ditemukan banyak
perbedaan. Bahkan ketentuan di Mazhab Imam Syafi‟i sendiri terdapat banyak
perbedaan urutan siapa yang berhak mendapatkan hadhanah setelah ibu. Tetapi
rata-rata pihak setelah ibu urutan kedua sampai urutan ketiga hampir sama, yang
lainnya dilengkapi dengan pihak lain. Contohnya bisa dilihat kembali ke atas
urutan dari pihak perempuan, urutan pihak laki-laki, dan urutan pihak dalam
perselisihan.
Dalam ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia dan Maladewa selalu
melibatkan pihak Peradilan untuk memberikan kepastian yang jelas tentang siapa
yang berhak mengasuh anak setelah ibu.
73

Dalam Hukum Keluarga Indonesia, ditetapkan dengan tegas bahwa


urutannya adalah seperti di atas, ketentuan ini memberikan titik terang dan
kepastian hukum tentang siapa yang berhak mendapatkan hadhanah setelah ibu.
Urutan ini mirip dengan ketentuan yang ada di dalam kitab Fiqih Manhaj dan
Fiqih Al-Mu‟tamad dalam urutan siapa yang berhak mengasuh anak setelah ibu
apabila pihak perempuan dan pihak laki-laki berselisih dan memperebutkan
hadhanah.
Hanya saja dalam Hukum Keluarga Maladewa tidak mengurutkan siapa
saja pihak yang berhak mendapatkan hadhanah. Penetapan pengadilan sangat
kental dalam urusan hadhanah ini. Hakim akan menelusuri orang-orang yang
paling dekat, yang paling sayang, yang melindungi si anak dari lingkungan yang
tidak baik, dan yang dapat membentuk karakter baik untuk menetapkan siapa
yang paling pantas mengasuh anak. Hal ini berarti keluar dari jalur ketentuan yang
ada di Mazhab Syafi‟i. Itu terjadi bisa saja karena tidak semua masalah penetapan
hak hadhanah harus sesuai dengan ketentuan fiqih Mazhab Syafi‟i, tapi di
sesuaikan dengan kondisi dan sosialnya si anak. bisa jadi si anak dekat dengan
bibi, paman, keponakan, sepupu, atau saudara se bapak.
Penulis melihat, Hakim benar-benar sangat hati-hati dalam memutuskan
kepada siapa anak itu akan diasuh. Karena semuanya demi kemaslahatan si anak
tersebut.

Syarat Seorang Pengasuh

Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pengasuh


anak. Ini sangat penting untuk kelangsungan hidup anak yang belum mumayyiz.
hal itu sudah ditetapkan oleh fiqih mazhab Imam Syafi‟i. Diantaranya adalah:
1. Berakal
Sangat penting seorang pengasuh sehat akalnya, orang gila tidak berhak
untuk mengasuh anak karena kelemahan akal dikhawatirkan anak akan
ditelantarkan dan tidak diperhatikan.
2. Islam
74

Fiqih mazhab imam Syafi‟i mengatur agar anak yang diasuh ikut
bersama pemegang hak hadhanah yang beragama Islam. yang Orang
kafir tidak berhak untuk mengasuh anak, karena dikhawatirkan si anak
akan ikut agama si pengasuhnya.
3. Lembut dan Amanah
Sangat penting yang mengasuh anak kecil dengan lembut dan amanah,
apabila tidak lembut maka dikhawatirkan anak akan tertekan dan
terganggu psikologisnya. Dan juga apabila tidak amanah dalam
mengasuh anak atau mempergunakan biaya untuk kebutuhan si anak
maka itu harus dihindari.
4. Mukim tempat tinggalnya
Seorang yang tidak mukim tempat tinggalnya, maka orang itu tidak
berhak untuk mengasuh anak.
5. Tidak menikah dengan laki-laki lain
Apabila menikah dengan laki-laki lain meskipun belum dukhul, maka ia
tidak berhak untuk mengasuh anak. Karena si ibu akan disibukkan
dengan anak dari laki-laki lain, disibukkan dengan mengurus suami,
dan lain-lain. Kecuali ada izin dari suami bahwa anak boleh diurus oleh
ibunya. Pengasuhan anak akan dipindahkan kepada urutan setelah ibu.
Apabila si ibu itu bercerai dengan laki-laki yang dinikahinya, maka hak
mengasuh anak kembali lagi kepada ibu.
6. Tidak mempunyai penyakit yang permanen
Bagi orang sakit tidak ada hak pengasuhan anak, untuk dirinya sendiri
juga masih perlu bantuan apalagi mengurus anak kecil. Intinya, apabila
seorang yang mengasuh terkena penyakit permanen seperti struk, kusta,
dll. Maka tidak ada hak pengasuhan anak.173
7. Pintar

173
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 196-197
75

Disyaratkan seorang pengasuh itu pintar, jangan orang bodoh karena


dikhawatirkan mengasuh anak dengan kebodohan yang dapat
membahayakan kehidupan si anak.
8. Baligh
Baligh juga syarat seorang pengasuh untuk mengasuh anak, belum
baligh tidak dapat mengasuh anak.
9. Disusui
Diharuskan seorang ibu menyusui terlebih dahulu apabila anak masih
kecil. Dan jika bapak tirinya baik, lembut, dan mengizinkan anak
tersebut utuk disusui maka boleh.174
Syarat-syarat di atas merupakan gabungan dari kitab Al-Majmu‟ dan kitab
Al-Mu‟tamad. Kenapa dalam ketentuan fiqih mazhab syafi‟i syaratnya begitu
banyak dan terperinci karena bisa saja para ulama tidak ingin anak diasuh dengan
sembarangan dan asal-asalan.
Dalam ketentuan hukum keluarga Indonesia disebutkan pada Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 bahwa apabila yang mengasuh sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali, maka hak
hadhanahnya dicabut oleh pengadilan atas permintaan kerabat lain.
Dan dalam kompilasi hukum Islam disebutkan juga bahwa apabila salah
seorang orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, berkelakuan
buruk, tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak maka hak hadhanah
akan dipindahkan ke pihak lain yang berhak mengasuh anak.
Syarat yang mengasuh anak dalam ketentuan hukum keluarga Indonesia
tidak merincikan seperti apa yang disebutkan pada ketentuan fiqih mazhab imam
Syafi‟i, yaitu hanya menyebutkan tiga peryaratan agar bisa mengasuh anak, yaitu
tidak lalai dalam melaksanakan kewajiban hadhanah, berkelakuan baik, dan
menjamin keselamatan jasmani rohani.
Dalam ketentuan hukum keluarga Maladewa disyaratkan sebagai berikut,
1. Orang itu harus Muslim;

174
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 310-311
76

2. Orang itu harus berakal sehat;


3. Orang itu mesti mampu memberikan kasih sayang dan perawatan yang
diperlukan dalam membesarkan anak;
4. Orang itu harus tidak terlibat dalam tindakan yang dilarang dalam
syariah.
5. tempat tinggal orang tersebut tidak boleh menjadi tempat yang
menyebabkan anak terkena pengaruh fisik atau pengaruh tidak
bermoral.
Sedangkan dalam ketentuan hukum keluarga Maladewa terdapat hal-hal
yang bisa menggugurkan asuh anak, diantaranya adalah:
1. Ketika hak asuk anak akan dipercayakan kepada ibu si anak tersebut,
pernikahannya dengan seseorang yang tidak berada dalam tingkat
pernikahan yang dilarang sehubungan dengan anak tersebut. Artinya
adalah apabila anak itu berada dalam asuhan ibunya, kemudian ibunya
menikah lagi dengan orang yang bukan mahromnya si anak, maka hak
asuhnya gugur. Tapi apabila si ibu menikah dengan pamannya si anak,
maka hak asuh masih tetap berada di ibu.
2. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada seseorang yang secara
terbuka melakukan tindakan yang dilarang secara syariah. Ketika si
pengasuh anak melakukan tindakan kriminal yang dilarang oleh
syariah, maka pengadilan akan mencabut hak asuh anak.
3. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada ibunya si anak, sedangkan
si ibu tempat tinggalnya pindah ke pulau yang berbeda kecuali ke
pulau tempat dia tinggal tanpa persetujuan bapak atau wali yang resmi
dari anak. Atau pindah ke tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang
dapat menghambat mencederai hak berkunjung bapak dari anak.
4. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak tersebut
murtad.
5. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak mengabaikan
atau memperlakukan anak tersebut dengan kejam.
77

Tentunya hal itu dilakukan oleh penetapan pengadilan apabila pihak


kerabat si anak merasa khawatir dengan anak yang diasuh oleh si pemilik
hadhanah.
Apabila kita lihat dari ke tiga ketentuan, yaitu ketentuan fiqih mazhab
Imam Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan Hukum Keluarga Maladewa. Dua
ketentuan dari dua negara tersebut memiliki keberanjakan dari ketentuan fiqih
Imam Syafi‟i.
Fiqih Imam Syafi‟i mengatur syarat yang harus di penuhi oleh Pemilik hak
asuh anak ada 9 syarat. Yaitu Berakal, islam, lembut dan amanah, mukim
ditempat tinggalnya, tidak menikah dengan laki-laki lain, tidak mempunyai
penyakit yang permanen, Pintar, Baligh, Disusui. Sedangkan Indonesia hanya
mensyaratkan 3 saja yaitu jangan melalaikan kewajiban terhadap anak,
berkelakuan baik, dan menjamin keselamatan jasmani rohani. Maladewa
mensyaratkan orang yang mengasuh anak dengan 7 syarat. Yaitu harus Muslim,
berakal sehat, mampu membesarkan anak dengan baik, berkelakuan baik, tempat
tinggal yang lingkunganya baik, ibunya tidak menikah lagi, dan tempat tinggalnya
mukim.
Tetapi bukan berati aturan yang tidak tertulis dalam ketentuan tersebut
tidak dilaksanakan. Semua ini dilakukan oleh pertimbangan hakim sebagai aparat
negara. Apabila di Indonesia ada seorang anak yang diperebutkan hak asuhnya
ketika seorang ibu murtad maka itu akan dipindahkan kepada bapak karena untuk
melindungi rohani atau agama si anak. Seperti pada kasus yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT). 175
Dalam lain hal beberapa kali lembaga Pengadilan Agama pernah
menetapkan hak asuh anak kepada ibu yang nonmuslim, contohnya saja di
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan nomor perkara 5/Pdt.G/2016/PTA.JK
dan 35/Pdt.G/2015/PTA.JK. Memutuskan hak asuh anak kepada ibu yang
nonmuslim. Pemohon yaitu bapak memohon pengasuhan anak kepada pemohon
karena termohon yaitu ibu murtad. Pada perkara 5/Pdt.G/2016/PTA.JK Hakim
175
Lilis Sumiyati, “Murtad Sebagai Pengahalang Hadhanah (Studi Analisis Pengadilan
Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT).”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 8.
78

mempertimbangkan penjelasan si ibu bahwa suaminya tidak pantas untuk


mengasuh anak karena si bapak memiliki emosi yang tidak stabil, mempunyai
perangai yang kasar, suak menampar, mencekik, menendang, dan sering tidak
sabar kepada anak. termohon. Ibunya mengakui bahwa menganai masalah agama
tidak pernah memaksakan kepada anak. Bahkan pernah pemohon memanggil guru
ngaji al-Quran untuk anaknya.176
Kemudian pada perkara 35/Pdt.G/2015/PTA.JK, pemohon selaku suami
ingin menceraikan Termohon yaitu istrinya karena menurutnya rumah tangganya
sudah lagi tidak harmonis. Termohon juga dinilai bersifat egois ketika dinasehati
dan termohon juga sudah kembali lagi ke agama asalnya yaitu Kristen. Pemohon
ingin hak asuh dua anaknya ada pada dirinya dengan mengajukan alasan karena
anaknya masih keci dan perlu bimbingan agama dadri ayahnya. Tetapi termohon
menulak itu semua dan memberikan alasan bahwa pemohon memiliki emosi yang
tidak stabil juga tidak sabar dan suka berkata kasar ketika memarahi anak.
Termohon lebih berhak karena anak masih di bawah umur dan masih
membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dalam perkara ini, hakim Pengadilan
Agama Jakarta Utara memberikan hak pengasuhan anak pertama yang berusia 5,5
tahun kepada ayahnya. Sedangkan hak pengasuhan anak kedua yang berusia 1,5
tahun diberikan kepada ibunya. perkara ini ternyata naik banding, dan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta menguatkannya dan juga oleh Mahkamah Agung. 177
Sama halnya dengan hukum keluarga di Maladewa. Syarat selain yang
sudah ditetapkan dalam aturan hukum keluarga bukan berarti diabaikan karena
tidak tercantum dalam aturan tersebut. Tetapi pengadilan akan berkuasa penuh
sesuai permintaan kerabat si anak apabila khawatir terhadap kelangsungan hidup
anak baik jasmani maupun rohani.

176
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan 35/Pdt.G/2015/PTA.JK).”
(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018), h. 3.
177
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan 35/Pdt.G/2015/PTA.JK).” ...
, h. 4
79

Hal ini sangat penting terhadap kepastian dan kejelasan hukum di kedua
negara tersebut, meskipun memang ada sedikit keberanjakan dari ketentuan fiqih
mazhab Imam Syafi‟i.

3. Biaya Pemeliharaan
Dalam ketentuan fiqih mazhab Imam Syafi‟i tepatnya pada pembahasan
tentang pembiayaan ada dalam kitab al-umm, mengutip surat at-Thalaq ayat 6.

            

    


Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Di sini difahami bahwa seluruh kebutuhan si anak mulai dari menyusui
dan kebutuhan lainnya wajib dibiayai oleh bapak. Bahkan al-umm mengutip hadis
tentang biaya hadhanah ketika Hindun mengadu pada Nabi bahwa Abu Sufyan
sangat pelit. Tidak ada bagian untuk istri kecuali barang-barang yang dia bawa ke
rumah. Maka Nabi berkata, ambillah kebutuhan yang cukup dari barang-barang
tersebut untukmu dan anakmu.
Artinya bahwa memberi nafkah kepada anak dibebankan kepada bapak
bukan kepada ibu. Baik ibunya bersuami atau telah ditalak.
Dalam ketentuan hukum keluarga Indonesia dituliskan dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 pasal 41 bahwa penanggung jawab semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperluka oleh anak adalah bapak. Apabila
dalam kenyataannya bapak tidak memberikan kewajiban memberi nafkah, maka
pengadilan akan menentukan pihak yang bisa memikul biaya pengasuhan anak.
Dituliskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 104-105 bahwa
keseluruhan biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada bapaknya.
Apabila bapaknya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada bapaknya atau walinya.
80

Lama waktu penyusuan dilakukan paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan bapak dan ibunya.
Di sini Pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan dengan
baik apabila bapak tidak mampu membiayai kehidupan anak dan pendidikannya
yang tidak turut padanya. Hal ini sejalan dengan surah at-thalaq ayat 7.

                

           
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dalam hukum keluarga Maladewa Pengadilan memiliki kekuasaan untuk
memerintahkan suami atau suami yang telah bercerai untuk membayar nafkah
berdasarkan prinsip syariah kepada istri yang telah dicerai dan anak.
Jumlah pembayaran nafkah dan priode waktu yang dibayarkan kepada istri
yang telah dicerai dan anak ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan aturan
undang-undang hukum Keluarga Maladewa.
Memang tidak disebutkan konteksnya dengan jelas seberapa banyak atau
seberapa kemampuan bapak untuk membayarkan nafkah hadhanah. Tapi di sini
dilibatkan pengadilan untuk memutuskan tentang hal nafkah ini.

4. Batas usia anak boleh memilih wali asuh

Imam Syafi‟i mengutip hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa


Rasulullah SAW bersabda Seorang anak diberi hak memilih antara bapak atau
ibunya. Juga dalam kitab al-umm dituliskan bahwa ketika Ibrahim berumur tujuh
atau delapan tahun, Ali alaihissalam memerintahkan untuk memilih ibu dan
paman dari ayah. Dan Ali mengatakan kepada adik Ibrahim yang laki-laki, yang
81

lebih kecil darinya, “kalau dia ini sampai umur seperti ini, maka saya akan suruh
pula untuk memilihnya”.
Apabila salah seorang dari mereka itu sudah berumur tujuh atau delapan
tahun dan anak itu sudah berakal (dapat membedakan antara yang mudharat dan
manfaat), maka ia disuruh memilih antara bapaknya dan ibunya, dan dia nanti
berada pada siapa dari keduanya itu, yang dipilihnya. 178
Jadi, usia yang ditentukan dalam fiqih memang usia tujuh sampai delapan
tahun untuk bisa memilih diantara kedua orangtuanya.
Dalam ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 105 disebutkan bahwa ketika anak sudah mumayiz atau sudah berusia
12 tahun maka anak bisa memilih diantara bapak dan ibunya sebagai hak
pemeliharaanya.
Ada beberapa kecakapan anak dalam segi usia, ada yang sudah berusia 12
tahun tapi belum mumayyiz, ada yang sudah berusia 12 tahun tapi sudah
mumayyiz. Ketentuan hukum keluarga di Indonesia memberikan 2 pilihan yang
aman apabila terjadi masalah kondisi anak yang pertumbuhannya tidak stabil.
Bisa jadi meskipun usia 15 tahun tapi belum mumayyiz hak asuh anak masih
dimiliki oleh pemegang hadhanah sampai dia mumayyiz. Tapi penetapan itu
dilakukan oleh pengadilan.
Dalam ketentuan Hukum Keluarga Maladewa pengasuhan anak berlaku
sampai usia 7 tahun sesuai kalender Islam. Tetapi apabila pihak yang mengasuh
anak memohon kepada pegadilan untuk memperpanjang masa pengasuhan anak,
maka pengadilan berwenang dalam menetapkannya. Ada batas usia diperpanjang
masa asuh anak, untuk anak perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun
sesuai dengan kalender Islam dan anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9
tahun sesuai dengan kalender Islam.
Ketentuan Hukum Keluarga Maladewa juga mengatur ketika selesai masa
hadhanah maka pengadilan mempersilakan anak untuk memilih diantara kedua
orang tuanya. Kecuali Pengadilan memerintahkan sebaliknya, anak yang berakhir

178
Al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.
82

masa pengasuhannya atau telah menyelesaikan usia pengasuhan yang


dipersyaratkan, mempunyai hak untuk hidup bersama salah satu orang tua yang
dipilih.
Apabila kita melihat kedua negara tersebut apakah sesuai dengan Fiqih
Imam Syafi‟i atau tidak. Ketentuan Hukum Keluarga Indonesia mengatur sampai
mumayyiz atau usia 12 tahun. Sedangkan Maladewa, habisnya masa hadhanah
sampai usia 7 tahun. Apabila pemegang hadhanah mengajukan perpanjangan
masa hadhanah, maka usia anak perempuan 11 tahun sesuai penanggalan Islam
dan usia anak laki-laki 9 tahun sesuai penanggalan Islam.

5. Anak dibawa pergi ke Luar Negeri

Dalam ketentuan fiqih mazhab Imam Syafi‟i, Apabila dalam perjalannya


itu tidak aman atau negeri yang ditujunya tidak aman maka orang yang berdiam
diri (mukim) itu yang berhak untuk mengasuh anak walaupun ibunya sangat
berhak untuk mengasuh tapi berpergian ke luar negeri. Apabila anaknya
mumayyiz, maka anaknya memilih antara kedua orang tuanya.
Apabila yang mengasuhnya berpergian jauh yang mana sholatnya bisa di
qashar dan tujuannya adalah negara aman maka ayah yang berhak untuk
mengasuh meskipun posisinya itu yang berpergian atau bukan. Karena ibu hanya
berurusan dengan hak asuh dan ayah berurusan dengan menjaga nasab dan
pendidikan. Proses hak asuh selain ibu bisa dipindahkan kepada yang lain tetapi
urusan penjagaan nasab tidak bisa dipindahkan kepada yang lain oleh karena itu
ayah lebih berhak.
Dalam kasusnya, fiqih mazhab syafi‟i mengatur tentang keselamatan anak
dari negara yang berkonflik dan negara aman. Dalam ketentuan Hukum Keluarga
di Indonesia, tidak diatur mengenai hal ini. Sedangkan dalam ketentuan Hukum
Keluarga di Maladewa diatur mengenai anak dibawa ke luar negeri. Tetapi bukan
dalam hal keselamatan anak dari negara yang berkonflik dan negara aman. Tetapi
ketika para pihak sedang menungu keputusan pengadilan terkait masalah
pernikahannya. Jadi apabila pemohon atau termohon mengajukan permohonan
83

kepada pengadilan agar anak di tahan agar tidak dibawa ke luar negeri, maka
pengadilan dapat memerintahkan agar anak dilarang untuk ke luar negeri.
Meskipun si anak berada dalam pengasuhan si ibu.
Dari dua negara tersebut, Indonesia tidak mengatur hal anak dibawa ke
luar negeri, sedangkan Maladewa mengaturnya. Yang perlu digaris bawahi adalah
yang diatur Maladewa bukan tentang posisi tempat mukim atau tidak, tetapi ketika
para pihak sedang menunggu keputusan akhir pengadilan. Maka salah satu
diantara para pihak apabila khawatir anaknya dibawa pergi, maka mengajukan
permohonan kepada pengadilan agar anak dilarang pergi ke luar negeri. Aturan di
Maladewa tidak mengatur posisi tempat mukim atau tidak. Karena negara
Maladewa tidak punya kekuasaan apabila posisi si anak berada di luar negeri.

Perbandingan Vertikal mengenai Ketentuan Hadhanah dalam Fikih


Syafi`i dan Hukum Keluarga Indonesia
No Perihal Fikih Imam Syafi‟i Hukum Keluarga Indonesia
1 Yang Apabila ibu dan bapak
berhak Dalam hal terjadinya
bercerai dan keduanya perceraian Pemeliharaan
melakukan
berada di satu kampung, anak yang belum mumayyiz
hadhanah maka ibu yang lebih atau belum berumur 12
berhak untuk mengurus tahun adalah hak ibunya;
anak, selama ia belum
kawin lagi dan selama
anak-anak itu masih
kecil.
2 Pihak yang paling Kitab Al-Manhaj= Ibu, apabila ibunya telah
nenek Jalur ibu, Ibu meninggal dunia, maka
utama dalam
Nenek jalur ibu, Nenek kedudukannya digantikan
mengasuh anak jalur bapak, Ibunya oleh:
nenek jalur bapak, kakak 1. Wanita-wanita dalam
setelah ibu
kandung perempuan, garis lurus ke atas dari
bibi jalur bapak, bibi ibu;
jalur ibu, Keponakan 2. Bapak;
dari saudara laki-laki, 3. Wanita-wanita dalam
Keponakan dari saudara garis lurus ke atas dari
perempuan. bapak;
4. Saudara perempuan dari
Al-Mu‟tamad= ibu, anak yang bersangkutan;
Nenek dari ibu, Nenek 5. Wanita-wanita kerabat
dari bapak, Buyut sedarah menurut garis
84

Perempuan dari bapak, samping dari bapak.


Saudara perempuan, Bibi 6. Anak yang sudah
jalur ibu, Keponakan mumayyiz berhak
perempuan (anak saudari memilih untuk
kandung) kemudian mendapatkan hadhanah
Keponakan perempuan
(anak saudara kandung),
Bibi jalur bapak.

Al-Umm= Ibu, Bapak,


Nenek dan seterusnya ke
atas, nenek dari bapak
seterusnya ke atas,
saudara perempuan
kandung si anak, saudara
perempuan se bapak,
saudara perempuan se
ibu, bibi dari pihak ibu,
bibi dari pihak bapak
3 Syarat seorang 1. Berakal Apabila salah seorang
2. Islam orang tua sangat melalaikan
pengasuh
3. Lembut dan kewajiban terhadap
Amanah anaknya, berkelakuan
4. Mukim tempat buruk, tidak menjamin
tinggalnya keselamatan jasmani dan
5. Tidak menikah rohani anak.
dengan laki-laki lain
6. Tidak mempunyai
penyakit yang
permanen
7. Pintar
8. Baligh
9. Ibu tidak menikah
lagi selain dari
bapaknya si anak.
10. Disusui
4 Biaya Memberi nafkah kepada Semua biaya penyusuan
anak dibebankan kepada anak
Pemeliharaan
bapak. dipertanggungjawabkan
kepada bapaknya. Apabila
bapaknya telah meninggal
dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan
kepada orang yang
berkewajiban memberi
85

nafkah kepada bapaknya


atau walinya.
5 Batas usia anak Apabila anak sudah Sampai mumayyiz atau
berumur tujuh atau berumur 12 tahun.
boleh memilih
delapan tahun dan anak Selanjutnya diserahkan
wali asuh itu sudah berakal (dapat kepada anak untuk memilih
membedakan antara diantara kedua orang
yang mudharat dan tuanya.
manfaat. Kemudian
boleh memilih diantara
kedua orangtuanya.
6 Anak dibawa Anak dilarang di bawa Tidak ada
ke luar negeri yang tidak
pergi ke luar
aman. Hak asuh
negeri. berpindah ke pihak yang
mukim. Apabila tujuan
negaranya aman, maka
hak asuh dimiliki oleh
bapak karena anak
dilindungi masalah nasab
dan pendidikannya.

Perbandingan Vertikal mengenai Ketentuan Hadhanah dalam Fikih


Syafi`i dan Hukum Keluarga Maladewa
Hukum Keluarga
No Perihal Fikih Imam Syafi‟i
Maladewa
1 Yang Apabila ibu dan bapak
berhak Ibu dari anak memiliki
bercerai dan keduanya hak prioritas menurut
melakukan
berada di satu kampung, undang-undang ini untuk
hadhanah maka ibu yang lebih dipercayakan mengasuh
berhak untuk mengurus anak.
anak, selama ia belum
kawin lagi dan selama
anak-anak itu masih
kecil.
2 Pihak yang paling Kitab Al-Manhaj= Ibu, Jika pengasuhan anak
nenek Jalur ibu, Ibu perempuan dipercayakan
utama dalam
Nenek jalur ibu, Nenek kepada seorang laki-laki,
mengasuh anak jalur bapak, Ibunya nenek maka dia haruslah
jalur bapak, kakak seseorang yang dilarang
setelah ibu
kandung perempuan, bibi untuk menikah (yang
jalur bapak, bibi jalur ibu, muhrimnya).
Keponakan dari saudara Jika pengasuhan seorang
86

laki-laki, Keponakan dari anak dipercayakan kepada


saudara perempuan. lebih dari satu orang yang
ada hubungannya dengan
Al-Mu‟tamad= ibu, si anak, dan mereka
Nenek dari ibu, Nenek memiliki tingkat
dari bapak, Buyut hubungan yang sama
Perempuan dari bapak, dengan anak tersebut,
Saudara perempuan, Bibi maka hak pengasuhan
jalur ibu, Keponakan anak akan dipercayakan
perempuan (anak saudari kepada orang yang paling
kandung) kemudian sayang kepada anak
Keponakan perempuan tersebut dan pada siapa
(anak saudara kandung), yang paling membentuk
Bibi jalur bapak. karakternya.

Al-Umm= Ibu, Bapak,


Nenek dan seterusnya ke
atas, nenek dari bapak
seterusnya ke atas,
saudara perempuan
kandung si anak, saudara
perempuan se bapak,
saudara perempuan se
ibu, bibi dari pihak ibu,
bibi dari pihak bapak
3 Syarat seorang Berakal, Islam, Lembut Muslim, berakal sehat,
dan Amanah, Mukim mampu memberikan kasih
pengasuh
tempat tinggalnya, Tidak sayang dan perawatan
menikah dengan laki-laki yang diperlukan dalam
lain, Tidak mempunyai membesarkan anak, tidak
penyakit yang permanen, terlibat dalam tindakan
Pintar, Baligh, Ibu tidak yang dilarang dalam
menikah lagi selain dari syariah, tempat tinggal
bapaknya si anak, disusui. yang mengasuh anak
tidak boleh menjadi
tempat yang
menyebabkan anak
terkena pengaruh fisik
atau pengaruh tidak
bermoral.

4 Biaya Memberi nafkah kepada Biaya nafkah anak


anak dibebankan kepada dibebankan kepada bapak
Pemeliharaan
bapak. atas perintah pengadilan.
87

5 Batas usia anak Apabila anak sudah Pengasuhan anak sampai


berumur tujuh atau usia 7 tahun sesuai
boleh memilih wali
delapan tahun dan anak perhitungan kalender
asuh itu sudah berakal (dapat Islam.
membedakan antara yang
mudharat dan manfaat.
Kemudian boleh memilih
diantara kedua
orangtuanya.
6 Anak dibawa pergi Anak dilarang di bawa ke Dalam hal menunggu
luar negeri yang tidak
ke luar negeri. keputusan pengadilan
aman. Hak asuh
berpindah ke pihak yang tentang masalah
mukim. Apabila tujuan
perkawinan. Para pihak
negaranya aman, maka
hak asuh dimiliki oleh berhak menahan anak
bapak karena anak
jangan sampai dibawa ke
dilindungi masalah nasab
dan pendidikannya. luar negeri oleh si
pemegang hak asuh.

B. Perbandingan Secara Horizontal antara Ketentuan Hadhanah di


Indonesia dan Maladewa
Penulis akan menjelaskan analisis perbandingan secara horizontal antara
aturan kedua negara tersebut dengan melihat kepada persamaan dan
perbedaannya. Adapun analisis mengenai persamaan dilakukan dari beberapa segi,
antara lain: bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah, hadhanah sebagai aturan
yang tertulis dan dilegislasi oleh pemerintah, yang paling berhak mendapatkan
hadhanah, dan biaya pemeliharaan anak. Sedangkan analisis mengenai perbedaan
meliputi: Pengasuhan setelah ibu, syarat mengasuh anak, Batas usia anak boleh
memilih wali asuh, dan anak dibawa ke luar negeri.
1. Persamaan
a. Bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah
Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa memiliki kesamaan dalam hal
pelaksanaan penetapan hadhanah. Adapun bentuk pelaksanaan penetapan
hadhanah yang terdapat di kedua negara tersebut, antara lain: 1) menetapkan siapa
88

hak utama pengasuhan anak; 2) penentuan hak asuh setelah ibu; 3)


memperhatikah kualifikasi yang dimiliki si pengasuh anak; dan 4) menentukan
nafkah anak 5) mempersilakan anak memilih wali asuh apabila masa hadhanah
sudah selesai. Kelima bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah ini tertulis pada
kedua kitab undang-undang yang ada di negara masing-masing.

Kemudian, agar pelaksanaan penetapan hadhanah yang dilaksanakan


mendapatkan legalitas dari negara, maka pelaksanaan penetapan hadhanah
tersebut harus dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Tidak akan sah suatu
penetapan hadhanah apabila dilakukan di luar pengadilan.

b. Aturan ketentuan hadhanah


Kesamaan lain juga ditunjukkan oleh Hukum Keluarga Indonesia dan
Maladewa. Hal demikian terlihat dalam konsep aturan ketentuan hadhanah.
Aturan yang ada di indonesia adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam. Aturan yang ada di Maladewa adalah Undang-undang
Keluarga No. 4 Tahun 2000. Namun terdapat juga beberapa perbedaan konsep
aturan didalamnya.

c. Yang berhak mendapatkan hadhanah


Kesamaan lain juga ditunjukkan oleh Hukum Keluarga Indonesia dan
Maladewa. Hal demikian terlihat dalam aturan siapa yang paling berhak
mendapatkan hak asuh anak. Ibu merupakan orang yang paling utama dan
pertama dalam mengasuh anak. hal itu sejalan dengan ketentuan yang ada di fiqih
mazhab Imam Syafi‟i.

d. Biaya pemeliharaan anak


Kedua negara membebankan bapak untuk menanggung semua keperluan anak
dan upah mengasuh anak.

2. Perbedaan
a. Pengasuhan setelah ibu
Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa memiliki perbedaan mengenai
pengasuhan setelah ibu. Dalam Hukum Keluarga Indonesia, pihak yang paling
89

utama dalam mengasuh anak setelah ibu adalah wanita-wanita dalam garis lurus
ke atas dari ibu, Bapak, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak,
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari bapak.

Sedangkan dalam Hukum Keluarga Maladewa tidak mengurutkan siapa


saja pihak yang berhak mendapatkan hadhanah. Hakim akan menelusuri orang-
orang yang paling dekat dan yang paling sayang. Bisa saja itu pihak laki-laki
maupun perempuan.

b. Syarat mengasuh anak


Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa memiliki perbedaan dalam
syarat seorang pengasuh untuk mengasuh anak.

Di Indonesia, syarat yang mengasuh hanya 3 saja yaitu jangan melalaikan


kewajiban terhadap anak, berkelakuan baik, dan menjamin keselamatan jasmani
rohani.

Sedangkan Hukum Keluarga Maladewa mensyaratkan orang yang


mengasuh anak dengan 7 syarat. Yaitu harus Muslim, berakal sehat, mampu
membesarkan anak dengan baik, berkelakuan baik, tempat tinggal yang
lingkunganya baik, ibunya tidak menikah lagi, dan tempat tinggalnya mukim.

c. Batas usia anak boleh memilih wali asuh


Di Indonesia pengasuhan anak berakhir ketika mumayiz atau ketika ussia
12 tahun. Dan dilanjutkan untuk memilih diantara kedua orang tua.

Sedangkan di Maladewa pengasuhan anak berlaku sampai usia 7 tahun


sesuai kalender Islam. Masa pengasuhan bisa diperpanjang, untuk anak
perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun sesuai dengan kalender Islam dan
anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9 tahun sesuai dengan kalender Islam.

d. Anak di bawa ke luar negeri


Dalam hal anak dibawa ke luar negeri, Hukum Keluarga Maladewa
mengaturnya, dan hukum Keluarga Indonesia tidak mengaturnya.
90

Maladewa mengatur menganai anak dibawa pergi ke luar negeri. Hanya


saja yang diatur ketika para pihak masih dalam proses menunggu hasil pengadilan
tentang masalah pernikahan.

Tabel 4.3: Perbandingan Horizontal mengenai Persamaan Ketentuan


Hadhanah dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa
No Perihal Persamaan

1 Pelaksanaan Kedua negara sama-sama mewajibkan


hadhanah memutuskan hak asuh anak dilakukan di
pengadilan

2 Aturan hadhanah Kedua negara sama-sama memiliki aturan atau


undang-undang yang di sahkan oleh negara

3 Yang berhak Sama-sama pengasuhan yang utama dilimpahkan


mendapatkan kepada ibu.
Hadhanah

4 Biaya Pemeliharaan Sama-sama dibebankan kepada bapak

Tabel 4.4: Perbandingan Horizontal mengenai Perbedaan Ketentuan


Hadhanah dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa
Perbedaan

No Perihal Hukum Keluarga Hukum Keluarga


Indonesia Maladewa

1 Pengasuhan Pihak yang paling utama Tidak mengurutkan siapa


setelah ibu dalam mengasuh anak saja pihak yang berhak
setelah ibu adalah Wanita- mendapatkan hadhanah.
wanita dalam garis lurus ke Hakim akan menelusuri
atas dari ibu; Bapak; orang-orang yang paling
Wanita-wanita dalam garis dekat dan yang paling
91

lurus ke atas dari bapak; sayang. Bisa saja itu pihak


Saudara perempuan dari laki-laki maupun
anak yang bersangkutan; perempuan.
Wanita-wanita kerabat
sedarah menurut garis
samping dari bapak.
2 Syarat Syarat yang mengasuh Mensyaratkan orang yang
mengasuh hanya 3 saja yaitu jangan mengasuh anak dengan 7
anak melalaikan kewajiban syarat. Yaitu harus Muslim,
terhadap anak, berkelakuan berakal sehat, mampu
baik, dan menjamin membesarkan anak dengan
keselamatan jasmani baik, berkelakuan baik,
rohani. tempat tinggal yang
lingkunganya baik, ibunya
tidak menikah lagi, dan
tempat tinggalnya mukim.

3 Batas usia Pengasuhan anak berakhir Pengasuhan anak berlaku


anak boleh ketika mumayiz atau ketika sampai usia 7 tahun sesuai
memilih ussia 12 tahun. Dan kalender Islam. Masa
wali asuh dilanjutkan untuk memilih pengasuhan bisa
diantara kedua orang tua diperpanjang, untuk anak
perempuan sampai anak
mencapai usia 11 tahun
sesuai dengan kalender
Islam dan anak laki-laki
sampai anak mencapai usia
9 tahun sesuai dengan
kalender Islam.
92

4 Anak Indonesia tidak mengatur Maladewa mengatur


dibawa ke mengenai anak dibawa ke menganai anak dibawa pergi
luar negeri luar negeri. ke luar negeri. Hanya saja
yang diatur ketika para
pihak masih dalam proses
menunggu hasil pengadilan
tentang masalah pernikahan.

C. Perbandingan Secara Diagonal antara Ketentuan Hadhanah di Indonesia


dan Maladewa
Dari semua pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwa kedua negara baik Indonesia maupun Maladewa memiliki
karakteristik keunggulan masing-masing dalam menangani isu hadhanah yang ada
di dalam negara masing-masing.

Indonesia dalam hal pengasuhan utama diberikan kepada ibu ketika dalam
perceraian. Apabila ibu tidak ada atau ada sebab-sebab ibu tidak bisa
mendapatkan hak asuh maka hak asuh akan berpindah kepada orang yang lebih
berhak untuk mengasuh anak yang mempunyai perangai lembut dan dapat
melindungi keamanan si anak. Syarat yang ditentukan oleh aturan yang ada di
Indonesia adalah Dan dalam kompilasi hukum Islam disebutkan juga bahwa
apabila salah seorang orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya,
berkelakuan buruk, tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak maka
hak hadhanah akan dipindahkan ke pihak lain yang berhak mengasuh anak.
Setelah melihat syarat-syaratnya maka hakim akan menentukan siapa yang
pantas untuk mengasuh anak. maka dipilihlah diantara pihak-pihak yang sudah
diatur dalam aturan tersebut. Yaitu Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari
ibu, Bapak, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak, Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabat sedarah menurut
garis samping dari bapak.
93

Biaya pemeliharaan semuanya dibebankan oleh bapak, dan hakim melihat


kemampuan bapak dalam memberikan nafkah. Apabila bapak tidak sanggup
menafkahi maka pengadilan akan menentukan pihak yang bisa memikul biaya
pengasuhan anak.
Memang dalam batas usia anak boleh memilih wali asuh, ketentuan
hukum keluarga di indonesia berbeda dengan Maladewa. Ketentuan hukum
keluarga di Indonesia ketika anak sudah mumayiz atau sudah berusia 12 tahun,
habis masa hak asuh anak. dan dilanjutkan dengan memilih diantara bapak dan
ibunya sebagai hak pemeliharaanya. Hal itu dilakukan di depan sidang
pengadilan. Tetapi hemat penulis ketika ketentuan hukum keluarga di indonesia
mengatur usia anak yaitu mumayyiz atau berusia 12 tahun boleh memilih diantara
kedua orang tuanya. Maka disitu ada waktu yang lebih panjang si anak bisa terus
bersama ibu.
Kemudian ketentuan hukum keluarga di indonesia tidak mengatur
bagaimana tindak lanjutnya apabila si anak dibawa pergi keluar negeri.
Tidak jauh beda dengan ketentuan Hukum Keluarga di Maladewa. Mulai
dari hal pengasuhan utama diberikan kepada ibu ketika dalam perceraian, nafkah
anak, hanya saja yang berbeda dengan ketentuan Indonesia adalah usia anak boleh
memilih wali asuh yaitu 7 tahun sesuai kalender Islam, ini sama dengan ketentuan
Mazhab Imam Syafi‟i. syarat mengasuh anak, ini beranjak dari ketentuan mazhab
Imam Syafi‟i. dan ada pengaturan tentang apabila anak di bawa ke luar negeri.
Tetapi aturannya bukan untuk mencegah si anak pergi ke negara tidak aman atau
aman. Tapi hanya dilarang pergi ke luar negeri apabila salah satu diantara
orangtuanya memohon kepada pengadilan agar anak tersebut jangan pergi ke luar
negeri.
Apabila disimpulkan maka dibagi menjadi dua kategori. Pertama
keunggulan Indonesia atas Maladewa, yaitu Perihal Pengasuhan setelah ibu,
Indonesia menetapkan urutan siapa yang berhak mengasuh anak setelah ibu.
Sedangkan Maladewa, tidak memberlakukan urutan siapa yang berhak setelah
ibu. Hanya menentukan bahwa hakim akan menelusuri siapa yg paling dekat
dengan anak. Kedua, keunggulan Maladewa atas Indonesia yaitu Perihal Syarat
94

Mengasuh anak. Maladewa mensyaratkan tujuh kriteria, yaitu Harus Muslim,


berakal sehat, mampu membesarkan anak dengan baik, ibunya tidak menikah lagi,
dan tempat tinggalnya mukim. Sedangkan Indonesia hanya mensyaratkan tiga
saja. Yaitu jangan melalaikan kewajiban terhadap anak, berkelakuan baik, dan
menjamin keselamatan jasmani dan rohani.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, sebagai
bagian akhir daripada penelitian ini maka penulis menarik kesimpulan yang
tertuang sebagaimana berikut:

1. Dari hasil analisis perbandingan vertikal ditemukan bahwa Hukum


Keluarga Indonesia dan Hukum Keluarga Maladewa sama-sama telah
melakukan pembaruan atau telah beranjak dari aturan yang terdapat dalam
Fikih Syafi`i yang merupakan mazhab mayoritas yang dianut oleh warga
negaranya. Hal demikian dapat dilihat dari segi penentuan ibu sebagai hak
asuh utama di depan sidang pengadilan, syarat-syarat menjadi pengasuh
anak, orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu, masa pengasuhan
anak termasuk usia untuk memilih, dan ketentuan pengasuh anak pergi ke
luar negeri. Keberanjakan Hukum Keluarga Indonesia dari Fikih Syafi`i
hanya masa pengasuhan anak termasuk usia untuk memilih, syarat-syarat
menjadi pengasuh anak dan tidak diaturnya pengasuh anak pergi ke luar
negeri. Keberanjakan juga terdapat dalam Hukum Keluarga Maladewa
dari Fikih Syafi`i. Yaitu hanya masa pengasuhan anak termasuk usia untuk
memilih, orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu, dan ketentuan
pengasuh anak pergi ke luar negeri;

2. Pada hasil analisis perbandingan horizontal ditemukan bahwa Indonesia


dan Maladewa memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan
tersebut adalah bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah, hadhanah
sebagai aturan yang tertulis dan dilegislasi oleh pemerintah, yang paling
berhak mendapatkan hadhanah, dan biaya pemeliharaan anak. Sedangkan
perbedaan antara kedua negara tersebut adalah Pengasuhan setelah ibu,

95
96

syarat mengasuh anak, Batas usia anak boleh memilih wali asuh, dan anak
dibawa ke luar negeri;

b. Pada hasil analisis perbandingan diagonal, dapat ditemukan bahwa


Indonesia dan Maladewa memiliki keunggulannya masing-masing.
Keunggulan Indonesia yang tidak ditemukan di Maladewa dapat dilihat
dari urutan siapa yang berhak setelah ibu. Sedangkan keunggulan yang
dimiliki Maladewa namun tidak dimiliki Indonesia adalah aturan
mengenai pengasuhan anak dibawa ke luar negeri, syarat mengasuh anak,
dan aturan Hukum keluarga Maladewa mengenai pengasuhan anak berlaku
sampai usia 7 tahun sesuai kalender Islam dan bisa diperpanjang apabila
yang mengasuh anak memohon kepada pegadilan. Perpanjangannya untuk
anak perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun sesuai dengan
kalender Islam dan anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9 tahun
sesuai dengan kalender Islam.

B. Saran
Beberapa saran yang penulis ajukan berdasarkan penelitian ini diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Penulis meneliti ketentuan hadhanah di Maladewa hanya didasarkan
kepada teks undang-undang keluarga Maladewa saja. Oleh karena itu
disarankan agar mencari lebih banyak lagi rujukan dan contoh kasus lain
yang ada di Maladewa.
2. Hasil penelitian ini disarankan agar bisa dijadikan masukan untuk
perbaikan Hukum Keluarga di Indonesia.
3. Banyak hal-hal yang belum diatur dalam Hukum Keluarga di Indonesia,
oleh karena itu disarankan untuk dilengkapi agar dapat memenuhi
kebutuhan kepastian hukum di Indonesia.
4. Selanjutnya, pembahasan tentang hukum keluarga di Maladewa ini dapat
jadi bahan diskusi tambahan dalam perkuliahan Hukum Keluarga di Dunia
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku

A. Muri Yususf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian


Gabungan, cet. Ke-1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014).

Abdul Rahmad Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Group,


2012)

Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,


2006).

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:


Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.

Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di indonesia, (Jakarta:


Bulan Bintang, 1988)

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana


Prenada Group, 2014)

An-Na‟im, Abdullahi A.. Islamic Family Law in A Changing World: A Global


Resource Book. London, New York: Zed Books Ltd. 2002.

Andi Syamsu Alam & Fauzan, (Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 114. Buku itu mengutip dari Muhammad
Husain Zahabi, Al-Syari‟ah al-Islamiyah: Dirasah Muqarranah baina
Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja‟fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadisah. Tth)

Amak Fz, Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma‟arif 1976)

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian
Perundang-undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013)

Dendy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan


Nasional, 2008)

97
98

Efendi, Jonaedi, Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan


Empiris. cet. ke-2. Depok: Prenadamedia Group. 2018.

Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. cet ke-1. Jakarta: Sinar
Grafika. 2013.

K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Mahdzab, (Bandung: Sinar Baru, 1991)

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cet. ke-10. Jakarta: Prenadamedia


Group. 2015. Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. ed. ke-1. cet. ke-13. Jakarta: Rajawali
Pers. 2011.

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997)

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga di Dunia Islami, Ed. Revisi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005)

Wafa, Moh. Ali, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Tangerang Selatan: Hasmi,


2018)

M. Zaenal Arifin & Muh. Anshori, Fiqih Munakahat (Madiun : CV. Jaya Star
Nine, 2019)

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia, cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi


Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005)

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1988)

Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat III (Bandung: CV. Pustaka Media,
1999)
99

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1988)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, ed. ke-1, cet. ke-13, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)

Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di


Indonesia, (Jakarta: Amzah, 2019)

Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mahdzab Syafi‟i, (Jakarta: Pustaka


Tarbiyah, 1995)

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok:
Rajawali Pers, 2018)

Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Musliim World, (Bombay: N. M.


Tripathi Pvt. Ltd., 1972).

Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam


Hukum Nasional, cet. ke-1 (Tangerang Selatan: Penerbit UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011)

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian


Gabungan. cet. ke-1. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014.

Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Peraturan Perundang-undangan
Constitution of the Republic of Maldives 2008

Maldives Family Act 4/2000

Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan


tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan


tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam
100

Kitab-Kitab
Al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.

Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4

Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul


Qalam, 2011) jilid 4

Muhammad Husain Zahabi, Al-Syari‟ah Islamiyah: Dirasah Muqarranah baina


Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja‟fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadisah)

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid
10

Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul


Qalam, 1996). Jilid 4

Abdul Karim al-Rafi‟i, al muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo: Darussalam,


2013) Jilid 1

Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim ibn Manzhur al-Afriqi al-
Misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Sadir), Jilid 13

Ali ibn Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitabu al-Ta‟rifat, (Beirut: Maktabah


Lubnan, 1985)

Wizarah al-Awqaf wa al-Suuni al-Islamiyyah, al-Mausu‟ah al-Islamiyyah al-


Kuwaitiyyah, (Kuwait: 1990)

Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al Muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo:


Darussalam, 2013) Jilid 1.

Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al-Aziz Syarh al-Wajiz, (Libanon: Dar al-Qutub al-
Ilmiyyah, 1997), Jilid 9
101

Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka


Azzam, 2009), jilid 3

Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka


Azzam, 2009), jilid 18

Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Jilid
2, Penerjemah: Imron Rosadi, Amiruddin, Imam (Jakarta: Pustaka Azzam,
2004)

Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki,


Syafi‟i, Hambali, Terjemah al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah.
Penerjemah: Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff . cetakan ke
26 (Jakarta: Penerbit Lentera, 2010)

Quraish Shihab, al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-
Quran), (Tangerang: Lentera Hati, 2012), Jilid 4

Skripsi
Mutia Wardah, “Hadhanah akibat perceraian dlam hukum Keluarga di Indonesia
dan Maroko” Skripsi Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas
Syariah dan Huku, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Lilis Sumiyati, “Murtad Sebagai Pengahalang Hadhanah (Studi Analisis
Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt.
G/2010/PAJT).”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan
35/Pdt.G/2015/PTA.JK).” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
102

Jurnal dan Artikel


Faridaziah Syahrain, “Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat
Perceraian Perspektif Hukum Islam” Jurnal Lex et Societatis, Vol. V/No.
7/Sep/2017.
Iman Jauhari, “Perbandingan Sistem Hukum Perlindungan Anak Antara Indonesia
Dan Malaysia” Jurnal Asy-Syir‟ah Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) Darussalam, Banda
Aceh Indonesia.
Artikel Mahyidin Bin Hamat, Zuliza Kusrin, Mohamad Nasran Mohamad,
Pelaksanaan Penjagaan Anak (Hadhanah) di Malaysia.
Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada Era Kontomporer; Komparasi
Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara, Jurnal Maqosid
Volume 8, No. 2 (Juli) 2016.
Achmad Muhajir, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol. 2 No. 2 Desember 2017.
Nurjihad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Studi Kasus CLD Kompilasi
Hukum Islam, Jurnal Hukum, Vol. No. 27 (September 2004)
Nurhadi, Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Pernikahan (Perkawinan)
ditinjau dari Maqashid Syariah, Jurnal UIR Law Review, Volume 02,
Nomor 02, (Oktober 2018)
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-
Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor
02 (Desember 2012)
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jurnal Ajudikasi Vol. 1, No. 2 (Desember 2017)
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, Jindal Global Law Review, Vol. 7, No. 1, Mei 2016
Kamrul Hasan, dkk, “Renconciliation of Marriage: A Comparative Overview of
the Law and Practice in Bangladesh and Maldives”, International Journal
of Business Education and Management Studies, Vol. 1, No. 1, Januari
2020
103

Rohidin, Historitas Pemikiran Hukum Imam Syafi‟i, Jurnal Hukum, Nomor 27,
Vol. 11 (September 2004)
Effendi, Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye), Jurnal TAPIs Vol. 8,
Nomor 1 (Januari-Juni 2012)

Fabian Fadhly, Islam dan Indonesia Abad XIII-XX M dalam Perspektif Sejarah
Hukum Islam, Jurnal Vej, Volume 3, Nomor 2.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Jurnal
Unisia, No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992.

Muhammad Syarif, Teori-teori Masuknya Islam ke Wilayah Timur Indonesia,


Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004.

Sagaf S. Pettalongi, Local Wisdom dan Penetapan Hukum Islam di Indonesia,


Jurnal Tsaqafah, Vol. 8, Npmor 2, Oktober 2012, h. 238.

Mahsun, Genesis Pemikiran Hukum Islam Nusantara (Studi Pengaruh Islam


Pertama Terhadap Perkembangan Pemikiran Dan Politik Hukum Islam
Nusantara Klasik). Jurnal al-Mabsut, Vol. 9, Nomor 1, 2015.

Sirojul Munir, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia,


Jurnal Istinbath Vol. 13, Nomor 2, (Desember 2014).

Andi Herawati, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Belanda, Jepang, dan


Indonesia Merdeka sampai sekarang), Jurnal Ash-Shahabah, Vol. 3,
Nomor 1.

Karimatul Ummah, Pengkanunan Hukum Islam di Indonesia (Kajian dalam


Bidang Hukum Keluarga), Jurnal Hukum, Vol. 10, Nomor 24, (September
2003).

Zainal Arifin Hoesein, Pembentukan Hukum Dalam Perspektif Pembaruan,


Volume 1 Nomor 3, (Desember 2012), h. 321.
104

Internet

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/
https://khazanah.republika.co.id/berita/pxnscg320/ulamaulama-terkemuka-ini-
menjadi-yatim-sejak-kecil
https://lokadata.id/artikel/kunci-penyebaran-mazhab-syafii
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/11/12/mdcn0c-
hukum-islam-di-indonesia-sebelum-merdeka
105

LAMPIRAN

ATTORNEY GENERAL’S OFFICE


REPUBLIC OF MALDIVES

FAMILY ACT
ACT NUMBER 4/2000
25/9/1421 H
12/12/2000 M
106
107
108
109

Anda mungkin juga menyukai