Lutfi Abdul Latif - FSH
Lutfi Abdul Latif - FSH
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
LUTFI ABDUL LATIF
NIM. 11150440000108
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Pembimbing:
ii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Pengutipan dalam skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
iv
ABSTRAK
v
dan ketegasan aturan Hukum keluarga Maladewa mengenai pengasuhan anak
berlaku sampai usia 7 tahun sesuai kalender Islam dan bisa diperpanjang apabila
yang mengasuh anak memohon kepada pegadilan. Perpanjangannya untuk anak
perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun sesuai dengan kalender Islam dan
anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9 tahun sesuai dengan kalender Islam.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa
istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau
lingkup penggunaannya masih terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ب b be
خ t te
ث ts te dan es
ج j je
خ kh ka dan ha
د d de
س r er
ص z zet
س s es
ش sy es dan ye
vii
ظ z zet dengan garis bawah
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q qo
ك k ka
ل l ef
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء ` apostrof
ي y ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷ a fathah
ﹻ i kasrah
viii
ﹹ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
d. Kata Sandang
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam
()ال, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau
huruf qamariyyah, misalnya:
االجتهاد = al-ijtihâd
ix
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
= الشفعحal-syufah, tidak ditulis asy-syuf‟ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ششيعح syarî‟ah
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal
x
dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Din al-
Rânîri.
xi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhânahu wa Ta`âlâ yang
telah memberikan kemudahan dan kekuatan, sehingga atas pertolongannya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallah „Alayhi wa Sallam beserta
keluarga, para sahabat, dan ummatnya.
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga. Atas dukungan, arahan, serta bantuan
kepada penulis, hingga akhirnya penulis mampu menyelesaikan jenjang
perkuliahan strata satu ini dengan baik;
3. Bapak Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
Atas bimbingan dan nasihat beliau, penulis terbantu dalam menyelesaikan
skripsi ini dengan baik;
4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A. dan Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A selaku
dosen penguji skripsi. Atas koreksian dan masukannya, penulis terbantu
dalam menyelesaikan revisi skripsi.
5. Bapak Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Penasihat
Akademik, yang selalu memberikan saran serta masukan kepada penulis
selama proses kegiatan akademik di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;
xii
6. Orang tua tercinta, ibunda tercinta Komariah beserta Bapak Haerudin dan
ayahanda tercinta H. Mukhlis beserta Ibu Nonoy. Terima kasih atas doa
dan dukungan yang tiada pernah lekang oleh waktu meskipun penulis
jarang bertemu dengan kedua orang tua;
7. Kakanda tercinta, Abdul Muiz dan Teh Iin, Abdul Aziz dan Teh Sofa
beserta seluruh keluarga, terutama kepada H. Abdul Gopar dan Hj. Wawa
Robiah yang selalu memberikan kepedulian di kehidupan ini;
8. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik dan
membagikan ilmunya kepada penulis;
9. Keluarga besar Hukum Keluarga 2015, Mahad Al-Jami‟ah Syaikh
Nawawi 2015-2016, Keluarga Besar Bidikmisi yang selalu memberikan
bantuan kepada penulis selama berada di kampus tercinta;
10. Keluarga Besar Yayasan Irtiqo Kebajikan yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis;
11. Beni Muhammad dan M. Miqdad Alfarizi yang telah banyak membantu
penulis dalam menerjemahkan bahan referensi skripsi ini;
12. Serta Sahabat-Sahabat terbaik, khususnya Mohammad Ali Haidar, Robbi
Aulia Hidayat, dan sahabat-sahabat penulis lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, yang semuanya telah mendukung serta
memberikan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
penulis hanya berharap agar skripsi ini sedikit banyak memberikan manfaat bagi
para pembaca.
xiii
DAFTAR ISI
xiv
H. Pembiayaan ................................................................................. 27
I. Usia anak boleh memilih wali asuh ............................................ 29
BAB III HADHANAH MENURUT HUKUM KELUARGA INDONESIA
DAN MALADEWA.......................................................................... 31
A. Indonesia ..................................................................................... 31
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ................................... 31
a. Islam Masuk ke Nusantara................................................. 31
b. Masa Kerajaan Islam ......................................................... 32
c. Masa Penjajahan Belanda .................................................. 34
d. Masa Penjajahan Jepang .................................................... 37
e. Masa Setelah Kemerdekaan............................................... 38
2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga di Indonesia .. 54
a. Yang berhak melakukan hadhanah .................................... 54
b. Pengasuhan anak setelah ibu ............................................. 56
c. Masa pengasuhan anak ...................................................... 57
d. Syarat seorang pengasuh.................................................... 57
e. Biaya Pemeliharaan ........................................................... 58
f. Usia anak boleh memilih wali asuh ................................... 59
B. Maladewa .................................................................................... 60
1. Sejarah Hukum Keluarga di Maladewa.................................. 60
2. Ketentuan Hadhanah dalam Hukum Keluarga Maladewa ..... 62
BAB IV PERBANDINGAN KETENTUAN HADHANAH MENURUT
FIKIH MAZHAB SYAFI’I DENGAN ATURAN DI INDONESIA
DAN MALADEWA.......................................................................... 67
xv
B. Perbandingan Secara Horizontal antara Ketentuan Hadhanah di
Indonesia dan Maladewa ............................................................. 87
1. Persamaan............................................................................... 87
a. Bentuk pelaksanaan penetapan hadhanah.......................... 87
b. Aturan ketentuan hadhanah ............................................... 88
c. Yang berhak mendapatkan hadhanah ................................ 88
d. Biaya pemeliharaan anak ................................................... 88
2. Perbedaan ............................................................................... 88
a. Pengasuhan setelah ibu ...................................................... 88
b. Syarat mengasuh anak ....................................................... 89
c. Batas usia anak boleh memilih wali asuh .......................... 89
d. Anak di bawa ke luar negeri .............................................. 89
C. Perbandingan Secara Diagonal antara Ketentuan Hadhanah di
Indonesia dan Maladewa ............................................................. 92
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 95
A. Kesimpulan ................................................................................. 95
B. Saran............................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 97
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Hadhanah berasal dari bahasa Arab. Hal itu dikatakan oleh Syaikh Ali al-
Jurjani, Hadhanah adalah “( ”تشتيح الىلذpengasuhan anak).2 Pengertian lain yang
ditulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Wasit bahwa Hadhanah adalah wilayah
penguasaan anak-anak untuk mendidik dan mengatur urusannya. 3 Pengertian lain
juga dalam kitab Lisan al-Arab, al-Hidhnu ialah bagian badan di bawah ketiak
hingga rusuk. Dikatakan pula, ia adalah dada dan dua lengan serta kawasan antara
keduanya. Kata jamaknya adalah ahdhan disebut juga sebagai ihtidhan yang
berarti, “kamu menanggung sesuatu dan menjadikannya di bawah penjagaanmu,
sebagaimana seorang perempuan menjaga anaknya lalu menggendongnya di salah
satu bagian sisinya”.4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak disebutkan kata hadhanah, tapi
sebutkan kata asuh, mengasuh yang berati menjaga (merawat dan mendidik) anak
kecil.5 Dalam bahasa Inggris, custody dan parenting termasuk arti dari hadhanah.
1
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) h. 157
2
Ali ibn Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitabu al-Ta‟rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan,
1985), h. 93.
3
Syauqy Dhaif, al-Mu‟jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah Shurouq ad-Dauliyya), Jilid 1, h.
182
4
Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim ibn Manzhur al-Afriqi al-Misri,
Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Sadir), Jilid 13, h. 122.
5
Dendy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), h. 100.
1
2
Custody berarti hak atau kewajiban hukum untuk menjaga atau mempertahankan
seseorang anak.6 Juga dalam arti lain adalah untuk merawat seseorang atau
sesuatu, terutama anak setelah orang tuanya berpisah atau meninggal. 7 Parenting
bermakna, proses merawat dan mengasuh anak. 8 juga dalam arti lain
membersarkan anak-anak dan semua tanggung jawab dan kegiatan yang terlibat di
dalamnya.9
Dalam surah al-Tahrim ayat 6, Allah SWT menegaskan dan memerintahkan
kepada orang-orang beriman agar memelihara keluarganya dari api neraka dengan
berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga.10
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.
6
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/custody?q=custody
7
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/custody
8
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/parenting?q=parenting
9
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/parenting
10
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012) h. 175
11
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 18, h. 745-750.
3
12
Quraish Shihab, al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-Quran),
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), Jilid 4, h. 324-325.
13
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013), h. 35.
14
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga di Ddunia Islami, Ed. Revisi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 156.
4
keluarga yang bersumber dari fiqih mazhab klasik yang dianut oleh mayoritas
penduduk dengan melakukan kodifikasi dan pembaharuan ke dalam sistem hukum
nasional.15
15
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Musliim World, (Bombay: N. M. Tripathi
Pvt. Ltd., 1972), h. 2-3
16
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Tangerang Selatan: Hasmi, 2018) h.
260
5
kebolehan anak untuk memilih orang yang mengasuh, kewajiban ayah untuk
membiayai hidup anak, dan lain-lain.17
17
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional, ... , h. 37.
18
Kamrul Hasan, dkk, “Renconciliation of Marriage: A Comparative Overview of the
Law and Practice in Bangladesh and Maldives”, International Journal of Business Education and
Management Studies, Vol. 1, No. 1, Januari 2020. h. 9.
19
Abdullahi A. An-Na‟im, Islamic Family Law in A Changing World: A Global Resource
Book, (London, New York: Zed Books Ltd, 2002), h. 227.
20
The Constitution of the Republic of Maldives 2008, Pasal 2, 9 d, dan 10.
6
Berdasarkan uraian tersebut, ada hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut
tentang perbandingan undang-undang di Negara Indonesia dengan di negara
Maladewa. Oleh karena itu sangat penting untuk diteliti secara lebih mendalam
dalam bentuk skripsi yang berjudul “KETENTUAN HADHANAH DI
INDONESIA DAN MALADEWA”.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis paparkan
di atas, penulis membatasi dan memfokuskan:
a. Batasan Materi
Materi yang akan dibahas dari kitab-kitab fiqih Mazhab Imam Syafi‟i
tentang orang yang berhak mengasuh anak, hak asuh setelah ibu,
syarat mengasuh, nafkah anak, usia anak untuk memilih pengasuh,
ketentuan anak dibawa pergi ke luar negeri.
b. Batasan undang-undang
Undang-undang yang akan penulis rujuk adalah
1. Undang-Undang Republik Maladewa No. 4 Tahun 2000 perubahan
atas Undang-undang Republik Maladewa No. 3 Tahun 1980
tentang Hukum Keluarga, Pasal 35-36 dan 40-46.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019
perubahan atas Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 41, 45-54.
3. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1998 tentang
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98-105 dan 156.
3. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimanakah perbandingan ketentuan hadhanah menurut hukum keluarga
negara Indonesia dan Maladewa dan pendapat Mazhab Syafi‟i baik secara
vertikal, horizontal, dan diagonal ?”. untuk menjawab petanyaan itu, disajikan
beberapa pertanyaan penelitian seperti berikut:
a. Sejauh mana keberanjakan ketentuan hadhanah dalam Hukum Keluarga
Indonesia dan Maladewa dari Fiqih Syafi‟i?
8
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman lebih
bagi akademisi, praktisi hukum, pembaca pada umumnya, serta seluruh lapisan
masyarakat tentang hukum keluarga di Maladewa khususnya tentang ketentuan
Handhanah, memperluas objek bahasan dalam khazanah keluarga islam di dunia,
dan menjadi bahan refleksi maupun evaluasi bagi ketentuan hadhanah yang
sedang berlaku di Indonesia maupun di Maladewa.
9
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis terlebih dahulu
telah mengkaji beberapa tulisan terkait masalah ini, baik berupa skripsi, tesis,
maupun karya ilmiah yang menyinggung masalah ketentuan hadhanah. Adapun
kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya:
1. Skripsi, Hadhanah akibat perceraian dalam hukum Keluarga di Indonesia
dan Maroko, ditulis oleh Mutia Wardah, Program Studi Hukum Keluarga
Islam, Fakultas Syariah dan Huku, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, skripsi ini menjelaskan Hadhanah akibat perceraian
di Indonesia dan Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan
dan perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, dan
unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat
perceraian dalam kedua sistem hukum tersebut.
2. Jurnal Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017, Penetapan Hak Asuh
Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, ditulis
oleh Faridaziah Syahrain, penelitian menjelaskan ketentuan penetapan
hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian perspektif hukum Islam
dan bagaimana penegakan hukum dalam sengketa penetapan hak asuh
anak di bawah umur akibat perceraian perspektif hukum Islam.
3. Jurnal Asy-Syir‟ah Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Perbandingan
Sistem Hukum Perlindungan Anak Antara Indonesia dan Malaysia,
ditulis oleh Iman Jauhari, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
(UNSYIAH) Darussalam, Banda Aceh Indonesia. Jurnal ini menjelaskan
perbandingan sistem hukum keluarga (perkawinan) antara Indonesia
dengan Malaysia, pengertian dan batasan usia anak, dan perbandingan
prinsip-prinsip dasar dalam hukum perlindungan anak antara Indonesia
dengan Malaysia.
4. Artikel, Pelaksanaan Penjagaan Anak (Hadhanah) di Malaysia, ditulis
oleh Mahyidin Bin Hamat, Zuliza Kusrin, Mohamad Nasran Mohamad,
pakar dalam bidang undang-undang Syariah dan Pusar Pengajian Islam,
Universitas Kebangsaan Malaysia. Artikel ini menjelaskan pelaksanaan
10
E. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan
11
gambaran dari masalah tersebut decara jelas, tepat, dan akurat. Ada beberapa
metode yang akan penulis gunakan, antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis
normatif dan pendekatan komparatif. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. 21 Menurut Soerjono Soekanto penelitian
yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka seperti norma dasar, peraturan perundang-undangan,
peraturan yang tidak terkodifikasi (hukum adat), yurisprudensi, traktat, atau
kajian lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.22
Pendekatan komparatif (Comparative Approach)adalah pendekatan yang
dilakukan dengan membandingkan peraturan hukum ataupun putusan pengadilan
di suatu negara dengan peraturan hukum di negara lain (dapat satu negara atau
lebih), namun haruslah mengenai hal yang sama. Perbandingan dilakukan untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan di antara peraturan hukum.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
suatu strategi pertanyaan kepada pencarian makna, pengertian, konsep,
karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena,
mengutamakan kualitas, disajikan dengan cara naratif.23 Penelitian ini
menjelaskan ketentuan hadhanah yang diatur dalam ketentuan undang-undang
hukum keluarga di Maladewa yang dilihat persamaan dan perbedaannya dengan
dalam ketentuan undang-undang hukum keluarga di Indonesia dan Fiqih Mazhab
Syafi‟i.
21
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988), h. 14
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, ed. ke-1, cet. ke-13, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 13.
23
A. Muri Yususf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
cet. Ke-1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 329.
12
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan ketentuan hadhanah,
yaitu UU Keluarga Maladewa No. 4 Tahun 2000, UU No. 16 Tahun 2019 tentang
perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Kitab Al-Umm, Al-Muhadzab, Al-Majmu‟, Al-Mu‟tamad, Al-
Manhaj, Al-Muharrar, Al-Aziz, dan Fiqih Islam wa Adillatuhu.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan
tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam
bahasan di penelitian ini. Terutama karya ilmiah lainnya tentang ketentuan
hadhanah di Indonesia, Maladewa, dan Ketentuan Hadhanah menurut Mahdzab
Syafi‟i.
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan
data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan
studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta
menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
tema penelitian.
5. Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah
deskriptif-kualitatif dengan tahap sistemiatis antaranya sebagai berikut. Tahap
pertama, menyeleksi data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan
sesuai kategori tertentu. Tahap kedua, melakukan perbandingan unsur persamaan
dan perbedaan dari data yang telah dikumpulkan dan diklasifikasi pada tahap
pertama melalui tiga metode analisis komparatif, yaitu analisis vertikal
(perbandingan antara Fikih Mazhab Syafi‟i dengan undang-undang Indonesia
maupun undang-undang Maladewa), analisis horizontal (perbandingan undang-
undang Indonesia dengan undang-undang Maladewa), dan analisis diagonal
(perbandingan keunggulan dan kelemahan ketentuan perceraian dalam hukum
keluarga nasional kedua negara tersebut).
13
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkaan oleh Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum 2017.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan uang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Kedua, berisi tentang ketentuan hadhanah menurut Fikih Mahdzab Syafi‟i
yang di dalamnya akan dibahas tentang sub pembahasan tentang hadhanah, seperti
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, yang berhak melakukan hadhanah,
syarat-syarat hadhanah dan hadhin, masa hadhanah, upah hadhanah, dan
pemeliharaan harta anak.
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini.
Yaitu berisi tentang analisis perbandingan ketentuan hadhanah dalam tiga
dimensi, yaitu Fiqih Imam Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan Hukum
Keluarga Maladewa.
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan bab ini dan juga rekomendasi bagi peneliti apabila akan
mengambil fokus tema yang sama dengan penelitian ini.
BAB II
HADHANAH MENURUT FIKIH MAZHAB SYAFI’I
24
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 1.
25
https://khazanah.republika.co.id/berita/pxnscg320/ulamaulama-terkemuka-ini-menjadi-
yatim-sejak-kecil diakses hari sabtu tanggal 19 September 2020 jam 07.30.
26
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 1.
27
Rohidin, Historitas Pemikiran Hukum Imam Syafi‟i, Jurnal Hukum, Nomor 27, Vol. 11
(September 2004), h. 98
28
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 4-5.
14
15
Imam Syafi‟i menikah dengan Hamidah binti Nafi‟ bin Unaisah bin Amru
bin Utsman bin Affan dan dikaruniai 3 anak yaitu Abu Utsman Muhammad,
Fatimah, dan Zainab.29
Imam Syafi‟i menulis beberapa karya-karya diantaranya, al-risalah al-
Qadimah, al-Risalah al-Jadidah, Ikhtilaf al-Hadis, Ibthal al-Istihsan, Ahkam al-
Quran, Bayadh al-Fardh, Sifat al-Amr wa Nahyi, Ikhtilaf al-Malik wa Syafi‟i,
Ikhtilaf al-Iraqiyin, Ikhtilaf Muhammad bin Husain, Faidhail al-Quraisy, Kitab
al-Umm, Kitab al-Sunan.
Imam Syafi‟i wafat di Mesir pada malam Jum‟at tahun 204 H atau 820 M
seusai shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab.30
Imam Syafi‟i banyak mengeluarkan hukum-hukum melalui lisannya dan
tulisan yang bersumber dari Quran, Hadis, Ijma‟, dan Qiyas sesuai dengan
ijtihadnya terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam Malik dan Ulama-ulama
Hanafi di Iraq.
Di Iraq beliau menulis kitab al-Risalah, yaitu kitab Ushul Fiqih pertama.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan ketika menetap di Iraq disebut Qaul Qadim. Ketika
pindah ke Mesir fatwa-fatwa yang dikeluarkan disebut Qaul Jadid.31
Ada beberapa fase tentang persebaran Mazhab syafi‟i. Fase pertama ketika
wafatnya Imam Malik dan pindahnya Imam Syafi‟i ke Baghdad. Fase Kedua
ketika sedang menetap di Baghdad dan munculnya fatwa-fatwa Imam Syafi‟i
disebut Qaul Qadim. Fase Ketiga ketika pindahnya Imam Syafi‟i dari Iraq ke
Mesir sampai wafatnya sang Imam dan munculnya fatwa-fatwa Imam Syafi‟i
yang disebut Qaul Jadid. Fase keempat dimulai dengan periwayatan Mazhad
Syafi‟i oleh para muridnya yang gencar dan masif dalam meriwayatkan masalah
sesuai metode penggalian hukum ala Imam Syafi‟i. Ulama yang gencar menulis
kitab adalah Imam al-Muzanni (w. 264 H) dengan kitabnya al-Mukhtashar,
29
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 5-6.
30
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1, h. 7-10.
31
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mahdzab Syafi‟i, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1995), h. 31
16
ringkasan kitab al-Umm kitab fiqih karangan Imam Syafi‟i. Usahanya ini disebut
sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Mazhab Syafi‟i.
Setelah fase periwayatan selesai, selanjutnya adalah fase kelima, yaitu
pengokohan dan penguatan dengan menarjih (memilih pendapat yang kuat) dan
menuliskannya dalam kitab-kitab yang ringkas. Kemudian muncul kitab-kitab
penjelas (syarh) dari kitab tersebut.
Murid-murid dan pengikut-pengikut dari Imam Syafi‟i bertebaran ke
beberapa negeri untuk mengajarkan agama.32 Selanjutnya dari sekian wilayah
ajaran Mazhab Syafi‟i merambah ke India Selatan, tepatnya di Kota Malibar.
Terbukti dengan adanya kitab Fiqih Syafi‟i yang terkenal di kalangan pesantren
yang diajarkan oleh Zainuddin al-Malibari yang berjudul Fath al-Mu‟in Syarh
Qurrat al-„Ain. Kemudian, menurut Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nadhar fi
Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar ajaran Mazhab Syafi‟i sudah mulai masuk
ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.33
32
K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Mahdzab, (Bandung: Sinar Baru, 1991), h. 8.
33
https://lokadata.id/artikel/kunci-penyebaran-mazhab-syafii diakses hari sabtu tanggal
19 September 2020 jam 08.30.
34
Mustafa al-Khin, Mustafa al Bugha, Ali al-Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191
35
Wizarah al-Awqaf wa al-Suuni al-Islamiyyah, al-Mausu‟ah al-Islamiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: 1990), h. 299.
17
Dalam istilah fiqih, digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud
yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud hadhanah atau kafalah
dalam arti yang sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang
lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan.38
36
Imam Muhyiddin al-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab li Syirazi, (Jeddah:
maktabatu al-Irsyad), jilid 20, h. 220.
37
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10 h.
59
38
M. Zaenal Arifin & Muh. Anshori, Fiqih Munakahat (Madiun : CV. Jaya Star Nine,
2019) h. 150.
39
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191.
40
Wizarah al-Awqaf wa al-Suuni al-Islamiyyah, al-Mausu‟ah al-Islamiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: 1990), h. 299.
41
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 191.
18
42
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 305.
43
Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al Muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo:
Darussalam, 2013) Jilid 1 h. 1259.
44
Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al-Aziz Syarh al-Wajiz, (Libanon: Dar al-Qutub al-
Ilmiyyah, 1997), Jilid 9, h. 86.
45
Muhammad Husain Zahabi, Al-Syari‟ah Islamiyah: Dirasah Muqarranah baina
Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja‟fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah), h. 398.
46
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10 h.
60.
19
mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab.47
C. Hukum Hadhanah
Firman Allah dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 233:
47
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012) h.
175
20
sebab terkadang suami istri berpisah setelah mereka memiliki anak. dengan
demikian ayat ini berbicara tentang wanita-Wanita yang diceraikan dan telah
memiliki anak dari suami-suami mereka. Demikian yang dikatakan oleh al-Suddi,
al-Dhahak, dan lainnya.48
Para ibu yang lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita-
wanita lain, sebab mereka lebih sayang dan lebih lembut terhadap anak-anak
kandung mereka. Selain itu, menyapih anak yang masih bayi dapat
membahayakan bayi dan ibu. Walaupun anak sudah disapih, tetap saja ibu yang
lebih berhak mengasuhnya karena kasih sayang yang dimiliki seorang ibu. Ayah
juga berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Sebab istri yang telah dicerai tidak berhak mendapatkan pakaian apabila
bukan diceraikan dengan talak raj‟i. Dia hanya berhak mendapatkan upah kecuali
perintah dalam ayat itu diartikan sebagai bentuk akhlak mulia. Maka al-Qurtubi
berkata, lebih baik besaran upah tidak kurang dari jumlah biaya pangan dan
sandangnya. Dan apabila suami menceraikan ibu atau suaminya meninggal dunia
maka dia harus mengambil anaknya, karena tidak ada alasan yang
membolehkannya untuk meninggalkannya. Para ulama juga bersepakat bahwa
ayah wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil yang tidak
memiliki harta.49
48
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 3, h. 341.
49
Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Penerjemah Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), jilid 3, h. 342-354.
50
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 305
21
51
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid 10
h. 62.
52
Al-Imam al-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala Lmpur:
Victory Agencie, 1982) h. 396.
53
Mustafa al-Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192
22
َ َ
َ
َح َّدث ِن- اعَّ ِ َي ۡعن ۡاۡل ۡو َز- َع ۡو أب َع ۡهرو، ىا ال ۡ ََ ِِل ُد،م ُّ
َ ُّ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َّ َ
(حسو) حدثيا َم ُهَد ب ُو خ ِ د
ِ د ِ ِ ال السل
َّ َ
إِن،ِ يَا َر ُسَل الل:ج ۡ َ أَ َّن ۡام َرأَ ًة قَال، َع ۡو َج ّ ِده ِ َع ۡت ِد اللِ ةۡو َع ۡهرو،ًِ َع ۡو أَبي،َع ۡه ُرو ۡب ُو ُش َع ۡيب
د ِ ِ د
ۡ َ َ َََ َ َّ َ ُ َ َ َّ َ
ً ََِ َو َح ۡجري ُل ح،اء َ َ َ َ
ً َوث ۡدي ُل سِق،اةۡن َهَٰ َذا ََك َن َب ۡطن ُل و ََع ًء
وأراد أن، ِإَون أةاه طلق ِن،اء ِ ِ ِ ِ ِ
َۡ ۡ َ َ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ّ َ يَ ۡن
َ
.)ج أ َح ُّق ةًِِ نا لم تيك ِِح ِ (أى:َتع ًُ ن ِِن! فقال ل ٍَا َر ُسَل اللِ ﷺ ِ
القيان ِث
Siapa yang memisahkan antara seorang ibu dan anaknya maka nantinya
pada hari kiamat Allah akan memisahkannya dari orang-orang dicintainya. (HR.
Ahmad, At-Tirmidzi, dan Imam Al-Hakim).
Diriwayatkan bahwa Umar Bin Khattab telah menceraikan istrinya, yaitu
Ummu Ashim. Lantas ketika ia mendatangi mantan istrinya dan melihat Ashim
sedang bersamanya, Umar hendak meminta izin darinya. Namun, ia menolak
sehingga keduanya saling memperebutkan asim dan Hal itu membuat si Anak
menangis. Akhirnya. Umar menghadap Abu Bakar dan menceritakan kejadian
tersebut. Abu Bakar berkata “belaian tangannya, pangkuannya, dan kasih
sayangnya lebih baik darimu. Biarkan anak itu tumbuh bersama ibunya sehingga
23
nanti kalau sudah besar agar memilih hendak ikut bersama siapa.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah).54
Pihak Perempuan
Klasik Kontemporer
1. Ibu 1. Ibu
2. Nenek Jalur ibu dan seterusnya ke 2. Nenek dari ibu dan seterusnya ke
atas atas
3. Nenek Jalur ayah dan seterusnya 3. Nenek dari ayah dan seterusnya ke
ke atas atas
4. Bibi (saudara ibu) 4. Kakak Kandung perempuan
5. Kakak Kandung perempuan 5. Bibi (saudara ibu)
6. Kakak Perempuan Sebapak 6. Keponakan perempuan (anak
7. Kakak Perempuan Seibu saudari kandung) kemudian
8. Bibi atau paman jalur ayah56 Keponakan perempuan (anak
saudara kandung)
Tetapi bila ada bapak, maka anak lebih 7. Bibi jalur ayah58
berhak padanya.57 8. Sepupu perempuan59
54
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) h. 62
55
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192.
56
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 643-644.
57
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h. 240
58
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307-308.
59
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192-193.
24
Pihak laki-laki
Klasik Kontemporer
1. Bapak 1. Bapak
2. Kakek 2. Kakek
3. Ashobah (Paman dan lain-lain) 3. Kakak kandung laki-laki
4. Kakak laki-laki se bapak,
5. Anak kakak laki-laki kandung
(Keponakan),
6. Anak kakak laki-laki se bapak.
7. Paman,
8. Pamannya ayah,
9. Anak paman (Sepupu laki-laki),
10. Anak Pamannya ayah.61
Adapun kakek dari pihak bapak menempati posisi bapak bila si bapak
tidak ada, atau tidak berada di tempat, atau si bapak tidak dapat membimbing
anaknya. Demikian pula halnya dengan kakek si bapak, paman dari pihak bapak
dan anaknya, dan anak paman si bapak, serta semua yang tergolong ashabah,
mereka dapat menempati posisi bapak. Akan tetapi mereka tidak memiliki hak
60
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193
61
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309
25
atas anak selama ibu si anak masih ada, atau ibu dari ibunya dan seterusnya ke
atas masih ada.62
Apabila semua orang yang terdekat itu baik laki-laki maupun perempuan
berkumpul atau masih ada dan semuanya rebutan ingin mengasuh anak tersebut,
maka yang paling utama adalah:
62
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Jilid 2,
Penerjemah: Imron Rosadi, Amiruddin, Imam (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004) h. 433-434.
63
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 646.
64
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
65
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193-194
66
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
26
67
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 196-197
68
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 310-311
69
Abdul Karim al-Rafi‟i, al muharrar fi Fiqhil Imam al Syafi‟i (Kairo: Darussalam,
2013) Jilid 1 h. 1263
27
Apabila seorang budak sudah merdeka, yang gila sudah sembuh, yang
fasik sudah kembali, yang kafir sudah masuk islam, maka hak hadhanahnya
kembali. Karena penghalangnya sudah hilang.70 hak hadhanah juga gugur jika
orang yang berhak itu gila atau idiot. 71
H. Pembiayaan
70
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 640-642
71
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,
Hambali, Terjemah al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah. Penerjemah: Masykur A.B, Afif
Muhammad, Idrus Al-Kaff . cetakan ke 26 (Jakarta: Penerbit Lentera, 2010) h. 416-417.
72
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307
73
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala Madzhab
al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 194
28
Imam Syafi‟i berkata: kewajiban memberi nafkah anak ada pada bapaknya
bukan pada ibunya, baik ibu bersuami ataupun diceraikan. Dengan demikian,
diketahui bahwa pemberian nafkah tidak seperti hukum warisan, karena
sesungguhnya ibu termasuk ahli waris. Kewajiban untuk memberi nafkah dan
penyusuan dibebankan kepada bapak, bukan kepada ibu.
Demikian pula apabila si anak telah besar namun tidak dapat mebiayai dirinya
dan keluarganya, serta tidak memiliki pekerjaan, maka ia diberi nafkan oleh si
bapak. Begitu juga halnya dengan cucu, karena ia juga termasuk anak. lalu
disamakan dengannya hukum kakek, karena mereka termasuk bapak. Kemudian
nafkan bapak kewajiban si anak apabila bapak berada pada kondisi tidak mampu
membiayai dirinya. Demikian pula kakek dan seterusnya ke atas, karena
semuanya adalah bapak.74 Apabila bapak ke atas tidak ada, yang membiayai
seluruh kehidupan anak adalah orang selanjutnya dari pihak saudara-saudara
bapak, Karena dari jalur bapak adalah orang yang mendapatkan warisan dan
menduduki posisinya seperti bapak.75
74
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 2, h. 521-522.
75
Imam Muhyiddin al-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab li Syirazi, (Jeddah:
maktabatu al-Irsyad), jilid 20, h. 220.
76
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h. 239
30
yang laki-laki, yang lebih kecil dari saya: “kalau dia ini sampai umur seperti ini,
maka saya akan suruh pula untuk memilihnya”,
Ibrahim : dan pada waktu hadis ini, “saya berumur tujuh atau delapan
tahun.”
Apabila salah seorang dari mereka itu sudah berumur tujuh atau delapan
tahun dan anak itu sudah berakal (dapat membedakan antara yang mudharat dan
manfaat), maka ia disuruh memilih antara bapaknya dan ibunya, dan dia nanti
berada pada siapa dari keduanya itu, yang dipilihnya. 77
77
al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.
BAB III
HADHANAH MENURUT HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA DAN MALADEWA
A. Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
a. Islam Masuk ke Nusantara
Di kepulauan nusantara jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, sudah
ada peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh kerajaan Hindu dan Budha.
Barkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara berlangsung selama
beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga
sekarang dan belum selesai.78 Kerajaan pertama dalam sejarah nusantara adalah
Kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke 5 M. Kemudian muncul kerajaan
Sriwijaya di Palembang berdiri pada abad ke 7 M yang kekuasaanya melebihi
wilayah nusantara pada saat ini. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat yang
berdiri pada abad ke 7 M. Setelah abad ke 7 M bermunculan kerajaan-kerajaan
lain seperti Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Sejarah panjang Islam berada di Indonesia dimulai pada abad 7 M dengan
berhijrahnya bangsa Arab melalui samudera Hindia dan melalui jalan darat.
Perkampungan-perkampungan yang didirikan oleh bangsa Arab menjadi bukti
Islam telah masuk pada abad tersebut. Tempat singgah yang berada di rute
perdagangan daerah Malabar dan pulau Sailan merupakan bukti Indonesia
menjadi bagian dari perluasan kekuasaan Bani Umayyah pada saat itu, melalui
pendekatan ekonomi atau transaksi perniagaan.79
Islam disebarkan dan diperkenalkan ke Nusantara pada abad-abad pertama
Hijriah oleh para Ulama Arab yang statusnya sebagai saudagar, berbasis di
wilayah-wilayah pantai di indonesia. Setelah abad ke 12 M. pengaruh Islam
78
Effendi, Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye), Jurnal TAPIs Vol. 8, Nomor 1 (Januari-Juni 2012),
h. 92.
79
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 138.
31
32
80
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet. ke-1 (Tangerang Selatan: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 22.
81
Fabian Fadhly, Islam dan Indonesia Abad XIII-XX M dalam Perspektif Sejarah Hukum
Islam, Jurnal Vej, Volume 3, Nomor 2, h. 386
82
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 23.
83
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Jurnal Unisia,
No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992, h. 9.
33
Di pulau lain pun, seperti pulau Jawa berdiri Kerajaan Demak yang di
dukung oleh kelompok ulama sebagai pionir dakwah yang dikenal sebagai Wali
Songo. dan keberadaanya sangat penting dalam proses penerapan hukum Islam di
wilayah kerajaan.
Selanjutnya berdirilah kerajaan Pajang, kemudian berdiri Kerajaan
Mataram. Sultan Agung yang melakukan perubahan pada sistem peradilan Pradata
dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran Islam. Kemudian Peradilan Pradata
diubah menjadi Peradilan Surambi yang tidak dipimpin oleh Sultan sebagai raja,
tetapi dipimpin oleh penghulu yang didampingi oleh ulama sebagai anggota
majelis. Selain melaksanakan kewenangan kehakiman, Pengadilan Surambi juga
bertugas menasehati dan memberi saran kepada sultan dalam kebijakannya. 84
Di Kalimantan, berdiri Kerajaan Banjar yang melegalisasi hukum Islam
oleh otoritas politik. Hukum Islam menjadi hukum negara dan berlaku bagi
seluruh warga kerajaan. Kerajaan ini mempunyai hubungan erat dengan kerajaan
Demak.
Di Sulawesi, Kerajaan Tallo adalah yang pertama menganut ajaran Islam,
disusul kerajaan Gowa yang menempatkan seorang qadhi ke dalam parewa syara
(pejabat Syariat) untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam, selanjutnya di
tanah Bugis seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan bahkan terus
berkembang sampai ke wilayah Papua dengan adanya Kerajaan Islam Raja
Ampat.85
Demikian juga di wilayah Timur Nusantara, berdiri kerajaan Ternate yang
mempunyai hubungan khusus dengan kerajaan Islam di Pulau Jawa. Kebijakan
politiknya melegalisasi hukum Islam sebagai hukum kerajaan.
Hukum Islam juga dilegalisasi oleh para Sultan di Kerajaan Banten. Dalam
rangka mengaplikasikan hukum Islam, kerajaan bembagi peradilan menjadi tiga,
yaitu pengadilan Agama yang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan sesuai
84
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 24-25.
85
Muhammad Syarif, Teori-teori Masuknya Islam ke Wilayah Timur Indonesia, Jurnal
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004, h. 11.
34
hukum Islam, Pengadilan Drigama yang mengadili sesuai hukum Jawa Kuno dan
Pengadilan Cilaga merupakan pengadilan arbitrase khusus perkara niaga.86
Pada tahun 1628 M, Nuruddin al-Raniri menulis kitab Sirat al-Mustaqim
yang merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Indonesia
untuk menjadi pegangan umat Islam. Selanjutnya kitab ini di analisis oleh Syaikh
Arsyad al-Banjari yang kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang
berjudul Sabil al-Muhtadin. Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan
sengketa antar umat Islam, di darah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah
kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang
dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh
87
kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuba, Gresik dan Ngumpul.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa, Islam datang ke Nusantara dan
sudah melaksanakan hukum dalam kehidupannya jauh sebelum para penjajah
datang.
c. Masa Penjajahan Belanda
Sebelum Belanda datang ke Nusantara, hukum Islam sudah menjadi
hukum yang ditaati oleh umat Islam bahkan sudah menjadi hukum negara.
Kemudian datanglah bangsa Belanda untuk berdagang dan akhirnya menguasai
nusantara. Kekuasaan diambil alih oleh serikat dagang yang bernama V.O.C
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang merupakan lembaga kolonial
Belanda. Sangatlah terlihat perubahan yang sangat signifikan ketika keadaan
Islam semakin tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku atau tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat nusantara layaknya sebelum abad 18
M.88
V.O.C tidak mendominasi untuk serta merta menghilangkan hukum Islam
sebagai aturan yang dianut dan dilaksanakan oleh umat Islam pada saat itu.
86
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 26-28.
87
Sagaf S. Pettalongi, Local Wisdom dan Penetapan Hukum Islam di Indonesia, Jurnal
Tsaqafah, Vol. 8, Npmor 2, Oktober 2012, h. 238.
88
Mahsun, Genesis Pemikiran Hukum Islam Nusantara (Studi Pengaruh Islam Pertama
Terhadap Perkembangan Pemikiran Dan Politik Hukum Islam Nusantara Klasik). Jurnal al-
Mabsut, Vol. 9, Nomor 1, 2015.
35
89
Zainal Arifin Hoesein, Pembentukan Hukum Dalam Perspektif Pembaruan, Volume 1
Nomor 3, (Desember 2012), h. 321.
90
Sirojul Munir, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia, Jurnal
Istinbath Vol. 13, Nomor 2, (Desember 2014), h. 135-136
91
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/11/12/mdcn0c-hukum-
islam-di-indonesia-sebelum-merdeka diakses pada hari rabu tanggal 16 September 2020 pukul
08.30.
92
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 81.
36
Hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan atau telah diterima
keberlakuannya oleh hukum adat. Artinya, hukum Islam mengikuti hukum adat
masyarakat sekitar.93 Teori ini dilegalisasi dalam undang-undang dasar Hindia
Belanda, sebagai pengganti RR yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands
Indie (IS). Pengaruh dari perubahan RR ke IS menyebabkan dicabutnya hukum
Islam seluruhnya dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda melalui Staatsblad
No. 212 Tahun 1929.94
Belanda merubah aturan Compendium Freijer secara berangsur-angsur.
Aturan itu dirubah menjadi Besluit van den Commissaris Generaal tanggal 3
Agustus tahun 1828, termuat dalam Staatsblaad. 1828 nomor 55. Tapi pada
akhirnya aturan itu dicabut dan berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam
yang tertulis. Sedangkan hukum kewarisan baru dicabut pada tahun 1913. Hukum
perkawinan dan kewarisan yang asalnya aturn yang berdiri sendiri menjadi aturan
yang menumpang pada pasal 131 (2) b Indische Staatsregeling (IS) yang
merupakan kelanjutan dari Pasal 75 Regerings Reglement (RR) 1954.95
Hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum Islam yang diterima oleh
adat, kecuali agama Kristen. Belanda melakukan diskriminasi hukum berdasarkan
agama. Bentuknya adalah dalam Peraturan Perkawinan Huwerlijk Ordonnantie
Christen Indonesiers (HOCI) yaitu Staatsblaad nomor 74 tahun 1933 tentang
Perkawinan. Belanda juga membedakan masyarakat menjadi tiga golongan, yakni
Eropa, Bumi Putera dan orang Timur Asing. Pelaksanaan hukum di peradilan pun
sangat berbeda, Peradilan Negeri (landraad) sangat diperhatikan, dibina dan
dibiayai. Sedangkan Peradilan Agama (priesterraad) dibiarkan tak terurus.96
Selanjutnya, Pengadilan Agama juga dibatasi wewenangnya dengan
dikeluarkan Staatsblaad 1937 nomor 116 pasal 2a ayat 1 yaitu Pengadilan Agama
93
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 28-29.
94
Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 11.
95
Karimatul Ummah, Pengkanunan Hukum Islam di Indonesia (Kajian dalam Bidang
Hukum Keluarga), Jurnal Hukum, Vol. 10, Nomor 24, (September 2003), h. 65
96
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 30-31.
37
97
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 34.
98
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005), h. 76.
38
hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan
alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.99
7. Peraturan perundang-undangan maupun Peradilan yang berasal dari
pemerintahan Belanda tetap diberlakukan selama tidak bertentangan.
Hanya saja untuk lembaga peradilan dirubah namanya saja. Soo-rioo Hoin
untuk Pengadilan Agama dan Tiho Hooin untuk pengadilan Negeri.100
99
Andi Herawati, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Belanda, Jepang, dan
Indonesia Merdeka sampai sekarang), Jurnal Ash-Shahabah, Vol. 3, Nomor 1, (Januari 2017), h.
53.
100
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 39.
101
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230.
39
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku bagi daerah Jawa dan Madura.
Kemudian pada tahun 1954 ditetapkannya Undang-undang No. 32 tahun 1954
tentang Penetapan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Daerah uar Jawa dan Madura.
Dalam pelaksanaannya diterbitkan Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun
1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatatan Nikah. Isinya adalah sebagai
bentuk pelaksanaan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 juga berisi tentang
keharusan Pegawai Pencatatan Nikah untuk mencegah perkawinan dini,
menerangkan kewajiban-kewajiban berpoligami, mendamaikan pasangan yang
bermasalah, membujuk pasangan yang bercerai dalam masa iddahnya agar rujuk
kembali.
102
Nurhadi, Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Pernikahan (Perkawinan)
ditinjau dari Maqashid Syariah, Jurnal UIR Law Review, Volume 02, Nomor 02, (Oktober 2018),
h. 417
103
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.83
40
104
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 31
105
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 151.
41
dari satu keluarga. Sayangnya RUU mendapatkan protes keras dari kalangan DPR
dan masyarakat terutama dari Organisasi Perempuan.106
Tahun 1960 MPRS mengadakan Sidang Umum I di Bandung, ada
beberapa hal yang dibahas sehingga menghasilkan Ketetapan MPRS Nomor
II/MPRS/1960. Dalam ketetapan ini menegaskan bahwa asas-asas pembinaan
hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur
serta tetap memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia entah
dalam bidang agama, adat dan lain-lain.
Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, hukum adat telah menjadi sumber
hukum nasional. Undang-undang yang akan dibentuk harus didasarkan dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum adat asli bangsa Indonesia yang sudah
dinasionalisasikan. Bahkan dalam ketetapan MPRS tersebut diingatkan pula
dengan menyebut secara eksplisit bahwa dalam penyempurnaan undang-undang
Perkawinan dan Hukum Waris agar diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat
dan lain-lainnya.
Dalam rangka memenuhi keinginan untuk membentuk undang-undang
hukum Perkawinan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPRS. Pada tahun
1961 Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan
mengajukan konsep rancangan undang-undang Perkawinan. Bahkan pada tahun
1962 Lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Dirumuskan antara lain
di seluruh Indonesia nantinya hanya berlaku satu sistem kekeluargaan, yaitu
sistem parental yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-
sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental. Sistem
parental ini dipandang sesuai dengan sifat hukum nasional yang tidak
menghendaki adanya derajat kemasyarakatan. Diantara lain dirumuskan bahwa:
1. Sistem parental itu berlaku secara efesien, maka conditio sine quo non
(tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting),
yang semua larangan terhadap perkawinan antara cross-cousins
106
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.84-85
42
107
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 236-237.
108
Nurhadi, Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Pernikahan (Perkawinan)
ditinjau dari Maqashid Syariah, Jurnal UIR Law Review, Volume 02, Nomor 02, (Oktober 2018),
h. 418
43
109
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 237-238.
110
Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), h. 10.
111
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.86.
112
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.87.
44
113
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 152.
114
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h.88-89.
45
115
Astro Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), h. 27.
46
undang Perkawinan kepada. Fraksi ABRI, Karya Pembangunan dan PDI tidak
banyak menyoroti isi RUU, namun hanya memberikan beberapa tekanan.
Sedangkan Fraksi Persatuan Pembangunan dengan tegas menentang beberapa
pokok rumusan RUU.116
Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan yang diajukan Pemerintah
terdiri dari 15 Bab dengan 72 Pasal dan 4 Bagian, yang substansinya banyak
mendapat pengaruh dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Ordonansi
Perkasinan Indonesia Kristen. Karenanya, apabila Rancangan Undang-Undang
tentang Perkawinan diamati dengan seksama, maka di antara pasal-pasalnya
bertentangan dengan hukum Islam.117
Akhirnya Pemerintah menyampaikan jawaban yang disampaikan oleh KH. A.
Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Pemerintah mengajak DPR untuk bersama-
sama memcahkan masalah dengan mengatakan, “Pemerintah meminta Dewan
Perwakilan Rakyat untuk memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan
kesepakatan melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut
dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan ibadah,
dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang dimufakati. Melihat
keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan RUU
Perkawinan ini dengan baik, kita semua yakin, Dewan bersama Pemerintah akan
mampu mengatasi segala perbedaan yang ada, dan akan menghasilkan Undang-
undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan semua pihak.118
Akhirnya Fraksi Persatuan Pembangunan bersepakat dengan Fraksi ABRI.
Yaitu adanya lima kesepakatan untuk mencari jalan keluar dari pertentangan,
pertama Hukum Agama Islam dalam Perkawinan tidak dikurangi ataupun dirubah.
Kedua, sebagai konsekuensi dari kesepakatan poin 1, alat-alat pelaksanaannya
tidak dikurangi ataupun dirubah. Tegasnya Undang-undang No. 14 tahun 1970
dijamin kelangsungannya. Ketiga, hal-hal yang bertentangan dengan Agama Islam
116
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 154.
117
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
... , h. 239-240.
118
Amak Fz, Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma‟arif 1976), h. 60-63.
47
119
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997) h. 82-83
48
masyarakat hukum Indonesia. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-
undang No. 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau
kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang
Perkawinan.120
3) Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam adalah himpunan kaidah-kaidah hukum Islam
yang berasal dari kitab-kitab fikih, aturan-aturan hukum, yurisprudensi dan
pendapat ulama (doktrin) yang dituangkan ke dalam buku hukum yang disusun
dalam bentuk dan memakai bahasa perundang-undangan.121
Orang yang berjasa dalam memberikan gagasan untuk menyusun
Kompilasi Hukum Islam adalah seorang Menteri Agama di era Presiden Soeharto
pada Kabinet Pembangunan yaitu Munawir Syadzali. Pandangan yang Populer
yang diusungnya adalah bahwa harus ada pembaruan dalam bidang hukum Islam
di Indonesia istilah itu disebut Reaktualisasi Ajaran Islam.
Yang melatarbelakangi lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah dalam
persoalan bunga bank yang masuk dalam kategori riba dan persoalan harta
warisan yang diputuskan secara berbeda oleh para hakim di Pengadilan Agama.
Hal tersebut dianggap aneh oleh Munawir yang sudah sejak lama di Indonesia
bahkan sebelum datangnya penjajah Belanda. Keinginan untuk mengadakan
kodifikasi dan unifikasi hukum Islam di Indonesia minimal hukum Islam yang
menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama seperti halnya para hakim di
Peradilan Umum yang memiliki buku pedoman yang seragam seperti KUHP. 122
Setelah Indonesia merdeka, referensi hukum materiil di lingkungan
Pengadilan Agama ditetapkan ditetapkan 13 kitab fikih melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985 sebagai
pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar‟iyyah di Luar Jawa dan Madura. Hal ini dilakukan karena
120
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 156.
121
Nurjihad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Studi Kasus CLD Kompilasi
Hukum Islam, Jurnal Hukum, Vol. No. 27 (September 2004), h. 108
122
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019) h.67
49
123
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 201-202.
124
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jurnal Ajudikasi Vol. 1, No. 2 (Desember 2017), h. 40.
50
125
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2006), h. 21.
126
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, ... , h. 166.
51
127
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jurnal Ajudikasi Vol. 1, No. 2 (Desember 2017), h. 40.
128
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.70.
129
Nafi‟ Mubarak, Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jurnal Al-Hukama:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 021, Nomor 02 (Desember 2012), h. 159.
130
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Amzah, 2019) h. 70.
52
131
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.71.
53
Kompilasi Hukum Islam oleh tim yang telah ditunjuk untuk menyusun. Setelah itu
draft dibawa dan dibahas pada pertemuan lokakarya nasional yang diselenggakan
khusus untuk menyempurnakan draft. 5 hari penyelenggaraan penyempurnaan
draft dari tanggal 2-6 Februari 1988 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Peserta
datang dari seluruh Indonesia sebanyak 124 peserta yang terdiri dari para Ketua
Umum Majelis Ulama Provinsi, para Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia, beberapa orang Rektor IAIN, beberapa orang Dekan Fakultas Syariah
IAIN, sejumlah wakil organisasi Islam, beberapa ulama, dan sejumlah
cendekiawan muslim, serta perwakilan dari organisasi wanita.132
Lokakarya nasional tersebut berperan sangat penting dalam rangka
penetapan KHI. Bustanul Arifin berharap agar lokakarya tersebut mencapai hasil
dan dikatakan bahwa KHI adalah hasil konsensus (ijma‟) dari para ahli-ahli
hukum tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden Soeharto mendatangani
Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 1 Tahun 1991 untuk menyebaluaskan
Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari:
a) Buku I tentang Hukum Perkawinan
b) Buku II tentang Hukum Kewarisan
c) Buku III tentang Hukum Perwakafan
Kompilasi Hukum Islam merupakan prestasi besar pemerintah Orde Baru
di bidang hukum keluarga Islam, KHI diakui sebagai hasil karya Ulama Indonesia
dan berciri khas ke-Indonesia-an.133
Sebagai tindak lanjutnya, tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah
mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang
selanjutnya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam ini kepada semua Ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
132
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.72.
133
Yushadeni, Kontroversi Seputar Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia,
Al-Ahwal, Vol. 8, No. 1, 2015, h. 32
54
134
Saiful Milah, Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
... , h.73.
135
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 333-334.
136
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 butir a, h. 33.
55
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.137
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya; 139
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
...140
137
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 45, h. 34
138
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 98,
h. 264
139
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105,
h. 266.
140
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir a, h. 280.
56
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah. 142
141
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 98
pasal 3, h. 264.
57
142
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir a, h. 280.
143
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
butir a dan b, h. 266.
58
e. Biaya Pemeliharaan
144
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 49, h. 35.
145
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir c, h. 281.
146
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 butir b dan c, h. 33.
59
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
b. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 156
Akibat perceraian
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b),
dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya. 148
Dua aturan ketentuan hadhanah dari UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI sama-
sama mengatur tentang siapa yang berkewajiban untuk membiayai pemeliharaan
anak.
f. Usia anak boleh memilih wali asuh
147
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 104
ayat 1, h. 281.
148
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir d, e, dan f, h. 281.
60
B. Maladewa
1. Sejarah Hukum Keluarga di Maladewa
Republik Maladewa adalah negara kepulauan dengan sekitar 1.200 pulau di
Samudera Hindia, memiliki beragam budaya dan berbicara dengan bahasa yang
unik yaitu bahasa Divehi. Pada tahun 1153 Masehi Maladewa menjadi negara
muslim yang asalnya beragama Hindu. 151 Negara ini menjadi salah satu anggota
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan berpenduduk muslim seluruhnya. Hal ini
berdasarkan konstitusi negara Maladewa bahwa hanya orang muslim yang dapat
menjadi warga negaranya.152
Selama 800 tahun terakhir hingga tahun 1970-an, Pariwisata menjadi bagian
dari kehidupan ekonomi. Dan ternyata kolonialisme membatasi diri dalam
mengatur sosiopolitik dan hukum di Maladewa.
Hukum dalam negeri tidak diganggu oleh kekuatan kolonial. Oleh karena itu,
Maladewa menjalankan hukum adat dan Syariat Islam. Hingga akhir tahun 1950
penegakan hukum sebagian besar kurang berkembang dan kurang terstruktur.
149
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
butir b, h. 266.
150
Direktur Urusan Agama Islam, dkk, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam Pasal 156
butir b, h. 281.
151
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, Jindal Global Law Review, Vol. 7, No. 1, Mei 2016, h. 61.
152
The Constution of the Repulic of Maldives 2008, Pasal 9d.
61
153
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, ,,, , h. 62.
62
154
Marium Jabyn, “Transformation in Syari‟ah Family Law in the Republic of
Maldives”, ,,, , h. 63.
155
Kamrul Hasan, dkk, “Renconciliation of Marriage: A Comparative Overview of the
Law and Practice in Bangladesh and Maldives”, International Journal of Business Education and
Management Studies, Vol. 1, No. 1, Januari 2020. h. 9.
63
Pasal 41
Kualifikasi untuk mempercayakan pengasuhan anak
Kepada siapa hak pengasuhan anak dapat dipercayakan akan memiliki
kualifikasi sebagai berikut:
a. Orang itu harus Muslim;
b. Orang itu harus berakal sehat;
156
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 40
64
c. Orang itu mesti mampu memberikan kasih sayang dan perawatan yang
diperlukan dalam membesarkan anak;
d. Orang itu harus tidak terlibat dalam tindakan yang dilarang dalam syariah.
selain adanya kualifikasi yang disebutkan pada ayat a, b, c, dan d pada pasal
ini, tempat tinggal orang tersebut tidak boleh menjadi tempat yang
menyebabkan anak terkena pengaruh fisik atau pengaruh tidak bermoral.157
Pasal 42
Bagaimana hak asuk menjadi hilang
Hak untuk mengasuh akan hilang apabila terjadi salah satu peristiwa yang
disebutkan di bawah ini:
a. Ketika hak asuk anak akan dipercayakan kepada ibu si anak tersebut,
pernikahannya dengan seseorang yang tidak berada dalam tingkat
pernikahan yang dilarang sehubungan dengan anak tersebut.
b. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada seseorang yang secara terbuka
melakukan tindakan yang dilarang secara syariah.
c. Ketika hak asuh anak dipercayakan kepada ibunya si anak, sedangkan si
ibu tempat tinggalnya pindah ke pulau yang berbeda kecuali ke pulau
tempat dia tinggal tanpa persetujuan ayah atau wali yang resmi dari anak.
Atau pindah ke tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang dapat
menghambat mencederai hak berkunjung ayah dari anak.
d. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak tersebut murtad.
e. Ketika orang yang diberi kepercayaan mengasuh anak mengabaikan atau
memperlakukan anak tersebut dengan kejam.158
Pasal 35
Biaya pemeliharaan
Pengadilan memiliki kekuasaan untuk memerintahkan suami atau suami
yang telah bercerai untuk membayar nafkah berdasarkan prinsip syariah kepada
istri, anak, atau istri yang telah dicerai.
157
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 41
158
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 42
65
Pasal 36
Jumlah pembayaran nafkah dan priode waktu yang dibayarkan kepada
istri, anak dan istri yang telah dicerai ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan
aturan undang-undang ini.
Pasal 43
Hak mendapatkan kembali pengasuhan anak
Jika ditetapkan bahwa ketentuan dalam ayat a pasal 42 pada undang-undang
ini, menjadi tidak berlaku sehubungan dengan ibunya anak, hak pengasuhan
akan dikembalikan kepada dia.159
Pasal 44
Masa pengasuhan anak
a. Pengasuhan anak akan tetap dengan orang yang dipercayakan untuk
mengasuh sampai anak berusia 7 tahun sesuai dengan kalender Islam.
Meskipun demikian, Pengadilan berwenang atas permohonan dari orang
yang dipercayakan mengasuh anak, memberikan hak asuh anak
perempuan sampai anak tersebut mencapai usia 11 tahun sesuai dengan
kalender Islam dan anak laki-laki sampai anak tersebut mencapai usia 9
tahun sesuai kalender Islam.
b. Kecuali Pengadilan memerintahkan sebaliknya, anak yang berakhir masa
pengasuhannya atau telah menyelesaikan usia pengasuhan yang
dipersyaratkan, mempunyai hak untuk hidup bersama salah satu orang tua
yang dipilih.160
Pasal 45
Mempercayakan hak asuh bersyarat
Pengadilan akan memiliki keleluasaan kebijaksanaan untuk melampirkan
sesuai dengan peraturan yang dibuat berdasarkan undang-undang ini mengatur
persyaratan dalam memberikan hak asuh.
159
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 43
160
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 44
66
Pasal 46
Orang yang dipercayakan untuk mengasuh membawa anak ke luar negeri
Ketika masalah pernikahan orang yang dipercayakan mengasuh anak tersebut
sedang menunggu keputusan di pengadilan, pengadilan memiliki kekuatan
untuk memerintahkan atas permohonan yang dibuat oleh ayah atau ibu dari
anak tersebut, untuk melarang anak dibawa ke luar negeri oleh orang yang
dipercayakan mengasuh anak.161
161
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 46.
BAB IV
PERBANDINGAN KETENTUAN HADHANAH MENURUT
FIKIH SYAFI`I DENGAN ATURAN DI INDONESIA DAN
MALADEWA
162
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192
67
68
mengambil dua macam kecakapan anak dalam bertindak. Pertama anak yang
belum mumayyiz artinya adalah anak yang belum bisa membedakan hal yang baik
dan buruk. Di sini difahami bahwa meskipun anak itu berusia lebih dari 12 tahun
tapi anak belum mumayyiz maka pemeliharaan anak masih diasuh oleh ibu.
Kedua, dilihat dari usia anak, artinya apabila anak itu sudah berusia 12 tahun dan
mumayyiz maka berakhirlah hak ibu.
Dalam Hukum Keluarga Maladewa, Ibu memiliki hak prioritas untuk
mengasuh anak sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Apabila ibu tidak memiliki kualifikasi yang telah ditetapkan, maka akan
dipindahkan kepada orang yang sesuai dengan kualifikasi. Hanya untuk anak
perempuan, apabila anak perempuan ternyata diasuh oleh seorang laki-laki, maka
pengasuhannya harus kepada seorang laki-laki yang mahram. Dan juga harus
dilihat apakah seorang pengasuh itu sangat sayang terhadap anak atau tidak.
Karena itu semua demi terjaganya karakter dan kesejahteraan anak.163
Dalam hal hak hadhanah Imam Syafi‟i, Hukum Keluarga Indonesia, dan
Hukum Keluarga Maladewa memiliki konsep yang sama yaitu hak tersebut
diberikan kepada ibu, hanya saja dalam pelaksanaannya Indonesia dan Maladwa
memiliki keberanjakan. Keberanjakan tersebut dapat dilihat dari konsep penetapan
hak hadhanah melaui pengadilan. Sebenarnya bisa saja dalam pelaksanaanya
mengambil ketentuan fikih Imam Syafi‟i tanpa melibatkan pengadilan. Tetapi
yang dikhawatirkan adalah perebutan anak yang tidak bisa dihindarkan,
keamanaan anak atas konflik pengakuan hak hadhanah, dan lain-lain.
Karena zaman sudah maju, Indonesia dan Maladewa menginisiasi agar
penetapan hak hadhanah melibatkan pihak pengadilan. Hal itu dilakukan demi
menjamin terlaksananya pelaksanaan hadhanah dan menghindari konflik
perebutan anak.
163
Maldives Family Act 4/2000, Pasal 40.
69
kepada anak untuk dirawat, disusui, dididik, dan selalu sabar dalam mengurusi
kehidupan anak.
Urusan pengasuhan anak bisa saja berpindah kepada orang yang dianggap
pantas untuk mengasuk anak. Ibu yang sudah meninggal, ibu yang tidak berakal,
atau yang lainnya bisa menjadi sebab berpindahnya hak asuh anak dari ibu ke
orang lain. Para ulama fiqih dari kalangan mazhab Imam Syafi‟i sudah
membagikan atau mengurutkan siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan
hadhanah setelah ibu.
Dalam kitab Syafi‟iyyah diurutkan apabila pihak perempuan selain ibu
berebut mendapatkan hak hadhanah maka yang paling diutamakan terlebih dahulu
adalah bapak, kemudian selanjutnya pihak perempuan. Berikut urutannya adalah:
Pihak Perempuan
Klasik Kontemporer
1. Ibu 1. Ibu
2. Nenek Jalur ibu dan seterusnya 2. Nenek dari ibu dan seterusnya ke atas
ke atas 3. Nenek dari ayah dan seterusnya ke
3. Nenek Jalur ayah dan seterusnya atas
ke atas 4. Kakak Kandung perempuan
4. Kakak Kandung perempuan 5. Bibi (saudara ibu)
5. Kakak Perempuan Sebapak 6. Keponakan perempuan (anak saudari
6. Kakak Perempuan Seibu kandung) kemudian Keponakan
7. Bibi atau paman jalur ayah164 perempuan (anak saudara kandung)
7. Bibi jalur ayah166
Tetapi bila ada bapak, maka anak 8. Sepupu perempuan167
lebih berhak padanya.165
164
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 643-644.
165
al Imam Muhammad Idris al Syafi‟i, al Umm (Mesir: Darul Wafa, 2001), jilid 6, h.
240
166
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 307-308.
167
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 192-193.
70
Berikut adalah pihak laki-laki yang berhak mengasuh anak. Yaitu orang-
orang mahram yang mendapatkan waris atau orang yang urutannya ada pada
bagian warisan, Siapa itu orang-orangnya:
Pihak laki-laki
Klasik Kontemporer
1. Bapak 1. Bapak
2. Kakek 2. Kakek
3. Ashobah (Paman dan lain-lain) 3. Kakak kandung laki-laki
4. Kakak laki-laki se bapak,
5. Anak kakak laki-laki kandung
(Keponakan),
6. Anak kakak laki-laki se bapak.
7. Paman,
8. Pamannya ayah,
9. Anak paman (Sepupu laki-laki),
10. Anak Pamannya ayah.168
Apabila semua orang rebutan ingin mengasuh anak tersebut, maka yang
paling utama adalah:
168
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309
169
Abi Ishaq Al-Syirazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i (Damaskus: Darul
Qalam, 1996). Jilid 4 h. 646.
170
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
171
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 193-194
71
Dilihat dari tabel di atas bahwasannya urutan yang ada di ketentuan fiqih
mazhab imam Syafi‟i tidak sama. Bukan maksud tidak sama berati beda semua
tetapi dalam Kitab Manhaj urutan yang berhaknya lebih banyak dibanding dengan
kitab Al-Mu‟tamad. Tetapi hal itu tidak menjadi fokus penulis dalam hal terjadi
perbedaannya.
Kemudian dalam Hukum Keluarga Indonesia pada Kompilasi Hukum
Islam dijelaskan di pasal 156 ketika anak belum mumayyiz dan ibunya telah
meninggal maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Bapak;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak.
172
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 309-310
72
dapat diasuh oleh pihak laki-laki maupun perempuan sesuai dengan penetapan
pengadilan di Maladewa.
Dalam pasal 40 c dijelaskan jika pengasuhan anak perempuan
dipercayakan kepada seorang laki-laki, maka dia haruslah seseorang yang dilarang
untuk menikah (yang muhrimnya). Berarti secara otomatis meskipun tidak
diurutkan dalam aturan hukum keluarga Maladewa, hak hadhanah untuk anak
laki-laki maupun perempuan dari pihak laki-laki adalah:
1. Bapak
2. Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas
3. Kakek dari ibu dan seterusnya ke atas
4. Saudara laki-laki si anak
5. Paman dari bapak
6. Paman dari ibu
Fiqih mazhab imam Syafi‟i mengatur agar anak yang diasuh ikut
bersama pemegang hak hadhanah yang beragama Islam. yang Orang
kafir tidak berhak untuk mengasuh anak, karena dikhawatirkan si anak
akan ikut agama si pengasuhnya.
3. Lembut dan Amanah
Sangat penting yang mengasuh anak kecil dengan lembut dan amanah,
apabila tidak lembut maka dikhawatirkan anak akan tertekan dan
terganggu psikologisnya. Dan juga apabila tidak amanah dalam
mengasuh anak atau mempergunakan biaya untuk kebutuhan si anak
maka itu harus dihindari.
4. Mukim tempat tinggalnya
Seorang yang tidak mukim tempat tinggalnya, maka orang itu tidak
berhak untuk mengasuh anak.
5. Tidak menikah dengan laki-laki lain
Apabila menikah dengan laki-laki lain meskipun belum dukhul, maka ia
tidak berhak untuk mengasuh anak. Karena si ibu akan disibukkan
dengan anak dari laki-laki lain, disibukkan dengan mengurus suami,
dan lain-lain. Kecuali ada izin dari suami bahwa anak boleh diurus oleh
ibunya. Pengasuhan anak akan dipindahkan kepada urutan setelah ibu.
Apabila si ibu itu bercerai dengan laki-laki yang dinikahinya, maka hak
mengasuh anak kembali lagi kepada ibu.
6. Tidak mempunyai penyakit yang permanen
Bagi orang sakit tidak ada hak pengasuhan anak, untuk dirinya sendiri
juga masih perlu bantuan apalagi mengurus anak kecil. Intinya, apabila
seorang yang mengasuh terkena penyakit permanen seperti struk, kusta,
dll. Maka tidak ada hak pengasuhan anak.173
7. Pintar
173
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4 h. 196-197
75
174
Muhammad Az-Zuhaili, al-Mu'tamad fi al-Fiqh al-Syafi'i (Damaskus: Darul Qalam,
2011) jilid 4 h. 310-311
76
176
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan 35/Pdt.G/2015/PTA.JK).”
(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018), h. 3.
177
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan 35/Pdt.G/2015/PTA.JK).” ...
, h. 4
79
Hal ini sangat penting terhadap kepastian dan kejelasan hukum di kedua
negara tersebut, meskipun memang ada sedikit keberanjakan dari ketentuan fiqih
mazhab Imam Syafi‟i.
3. Biaya Pemeliharaan
Dalam ketentuan fiqih mazhab Imam Syafi‟i tepatnya pada pembahasan
tentang pembiayaan ada dalam kitab al-umm, mengutip surat at-Thalaq ayat 6.
Lama waktu penyusuan dilakukan paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan bapak dan ibunya.
Di sini Pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan dengan
baik apabila bapak tidak mampu membiayai kehidupan anak dan pendidikannya
yang tidak turut padanya. Hal ini sejalan dengan surah at-thalaq ayat 7.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dalam hukum keluarga Maladewa Pengadilan memiliki kekuasaan untuk
memerintahkan suami atau suami yang telah bercerai untuk membayar nafkah
berdasarkan prinsip syariah kepada istri yang telah dicerai dan anak.
Jumlah pembayaran nafkah dan priode waktu yang dibayarkan kepada istri
yang telah dicerai dan anak ditentukan oleh pengadilan sesuai dengan aturan
undang-undang hukum Keluarga Maladewa.
Memang tidak disebutkan konteksnya dengan jelas seberapa banyak atau
seberapa kemampuan bapak untuk membayarkan nafkah hadhanah. Tapi di sini
dilibatkan pengadilan untuk memutuskan tentang hal nafkah ini.
lebih kecil darinya, “kalau dia ini sampai umur seperti ini, maka saya akan suruh
pula untuk memilihnya”.
Apabila salah seorang dari mereka itu sudah berumur tujuh atau delapan
tahun dan anak itu sudah berakal (dapat membedakan antara yang mudharat dan
manfaat), maka ia disuruh memilih antara bapaknya dan ibunya, dan dia nanti
berada pada siapa dari keduanya itu, yang dipilihnya. 178
Jadi, usia yang ditentukan dalam fiqih memang usia tujuh sampai delapan
tahun untuk bisa memilih diantara kedua orangtuanya.
Dalam ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 105 disebutkan bahwa ketika anak sudah mumayiz atau sudah berusia
12 tahun maka anak bisa memilih diantara bapak dan ibunya sebagai hak
pemeliharaanya.
Ada beberapa kecakapan anak dalam segi usia, ada yang sudah berusia 12
tahun tapi belum mumayyiz, ada yang sudah berusia 12 tahun tapi sudah
mumayyiz. Ketentuan hukum keluarga di Indonesia memberikan 2 pilihan yang
aman apabila terjadi masalah kondisi anak yang pertumbuhannya tidak stabil.
Bisa jadi meskipun usia 15 tahun tapi belum mumayyiz hak asuh anak masih
dimiliki oleh pemegang hadhanah sampai dia mumayyiz. Tapi penetapan itu
dilakukan oleh pengadilan.
Dalam ketentuan Hukum Keluarga Maladewa pengasuhan anak berlaku
sampai usia 7 tahun sesuai kalender Islam. Tetapi apabila pihak yang mengasuh
anak memohon kepada pegadilan untuk memperpanjang masa pengasuhan anak,
maka pengadilan berwenang dalam menetapkannya. Ada batas usia diperpanjang
masa asuh anak, untuk anak perempuan sampai anak mencapai usia 11 tahun
sesuai dengan kalender Islam dan anak laki-laki sampai anak mencapai usia 9
tahun sesuai dengan kalender Islam.
Ketentuan Hukum Keluarga Maladewa juga mengatur ketika selesai masa
hadhanah maka pengadilan mempersilakan anak untuk memilih diantara kedua
orang tuanya. Kecuali Pengadilan memerintahkan sebaliknya, anak yang berakhir
178
Al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.
82
kepada pengadilan agar anak di tahan agar tidak dibawa ke luar negeri, maka
pengadilan dapat memerintahkan agar anak dilarang untuk ke luar negeri.
Meskipun si anak berada dalam pengasuhan si ibu.
Dari dua negara tersebut, Indonesia tidak mengatur hal anak dibawa ke
luar negeri, sedangkan Maladewa mengaturnya. Yang perlu digaris bawahi adalah
yang diatur Maladewa bukan tentang posisi tempat mukim atau tidak, tetapi ketika
para pihak sedang menunggu keputusan akhir pengadilan. Maka salah satu
diantara para pihak apabila khawatir anaknya dibawa pergi, maka mengajukan
permohonan kepada pengadilan agar anak dilarang pergi ke luar negeri. Aturan di
Maladewa tidak mengatur posisi tempat mukim atau tidak. Karena negara
Maladewa tidak punya kekuasaan apabila posisi si anak berada di luar negeri.
2. Perbedaan
a. Pengasuhan setelah ibu
Hukum Keluarga Indonesia dan Maladewa memiliki perbedaan mengenai
pengasuhan setelah ibu. Dalam Hukum Keluarga Indonesia, pihak yang paling
89
utama dalam mengasuh anak setelah ibu adalah wanita-wanita dalam garis lurus
ke atas dari ibu, Bapak, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak,
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabat sedarah
menurut garis samping dari bapak.
Indonesia dalam hal pengasuhan utama diberikan kepada ibu ketika dalam
perceraian. Apabila ibu tidak ada atau ada sebab-sebab ibu tidak bisa
mendapatkan hak asuh maka hak asuh akan berpindah kepada orang yang lebih
berhak untuk mengasuh anak yang mempunyai perangai lembut dan dapat
melindungi keamanan si anak. Syarat yang ditentukan oleh aturan yang ada di
Indonesia adalah Dan dalam kompilasi hukum Islam disebutkan juga bahwa
apabila salah seorang orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya,
berkelakuan buruk, tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak maka
hak hadhanah akan dipindahkan ke pihak lain yang berhak mengasuh anak.
Setelah melihat syarat-syaratnya maka hakim akan menentukan siapa yang
pantas untuk mengasuh anak. maka dipilihlah diantara pihak-pihak yang sudah
diatur dalam aturan tersebut. Yaitu Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari
ibu, Bapak, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari bapak, Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabat sedarah menurut
garis samping dari bapak.
93
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, sebagai
bagian akhir daripada penelitian ini maka penulis menarik kesimpulan yang
tertuang sebagaimana berikut:
95
96
syarat mengasuh anak, Batas usia anak boleh memilih wali asuh, dan anak
dibawa ke luar negeri;
B. Saran
Beberapa saran yang penulis ajukan berdasarkan penelitian ini diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Penulis meneliti ketentuan hadhanah di Maladewa hanya didasarkan
kepada teks undang-undang keluarga Maladewa saja. Oleh karena itu
disarankan agar mencari lebih banyak lagi rujukan dan contoh kasus lain
yang ada di Maladewa.
2. Hasil penelitian ini disarankan agar bisa dijadikan masukan untuk
perbaikan Hukum Keluarga di Indonesia.
3. Banyak hal-hal yang belum diatur dalam Hukum Keluarga di Indonesia,
oleh karena itu disarankan untuk dilengkapi agar dapat memenuhi
kebutuhan kepastian hukum di Indonesia.
4. Selanjutnya, pembahasan tentang hukum keluarga di Maladewa ini dapat
jadi bahan diskusi tambahan dalam perkuliahan Hukum Keluarga di Dunia
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Syamsu Alam & Fauzan, (Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 114. Buku itu mengutip dari Muhammad
Husain Zahabi, Al-Syari‟ah al-Islamiyah: Dirasah Muqarranah baina
Mazahib Ahl Sunnah wa al-Mazahab al-Ja‟fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadisah. Tth)
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian
Perundang-undangan Indonesia, Fiqih dan Hukum Internasional,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013)
97
98
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. cet ke-1. Jakarta: Sinar
Grafika. 2013.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997)
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga di Dunia Islami, Ed. Revisi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
M. Zaenal Arifin & Muh. Anshori, Fiqih Munakahat (Madiun : CV. Jaya Star
Nine, 2019)
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat III (Bandung: CV. Pustaka Media,
1999)
99
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, ed. ke-1, cet. ke-13, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok:
Rajawali Pers, 2018)
Peraturan Perundang-undangan
Constitution of the Republic of Maldives 2008
Kitab-Kitab
Al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm (Kitab Induk), Penerjemah: Ismail Yakub (Kuala
Lmpur: Victory Agencie, 1982) h. 396.
Mustafa al Khin, Mustafa al Bugha, Ali asy Syarbaji, al Fiqh al Manhaji „ala
Madzhab al Imam al Syafi‟i (Damaskus: Darul Qalam, 1992) jilid 4
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Malaysia: Darul Fikir, 2011) jilid
10
Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim ibn Manzhur al-Afriqi al-
Misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Sadir), Jilid 13
Imam Abdul Karim al-Rafi‟i, al-Aziz Syarh al-Wajiz, (Libanon: Dar al-Qutub al-
Ilmiyyah, 1997), Jilid 9
101
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Jilid
2, Penerjemah: Imron Rosadi, Amiruddin, Imam (Jakarta: Pustaka Azzam,
2004)
Imam Syafi‟i, Ringkasan Kitab al-Umm, Penerjemah: Husain Abdul Hamid Abu
Nashir Nail, (Jakarta: Pustaka Azzam), Jilid 1.
Quraish Shihab, al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-
Quran), (Tangerang: Lentera Hati, 2012), Jilid 4
Skripsi
Mutia Wardah, “Hadhanah akibat perceraian dlam hukum Keluarga di Indonesia
dan Maroko” Skripsi Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas
Syariah dan Huku, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Lilis Sumiyati, “Murtad Sebagai Pengahalang Hadhanah (Studi Analisis
Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt.
G/2010/PAJT).”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)
Fachra Irvania Aprilliani, “Hak Pengasuhan Anak Bagi Nonmuslim (Analisis atas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 5/Pdt.G/2016/PTA.JK dan
35/Pdt.G/2015/PTA.JK).” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
102
Rohidin, Historitas Pemikiran Hukum Imam Syafi‟i, Jurnal Hukum, Nomor 27,
Vol. 11 (September 2004)
Effendi, Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye), Jurnal TAPIs Vol. 8,
Nomor 1 (Januari-Juni 2012)
Fabian Fadhly, Islam dan Indonesia Abad XIII-XX M dalam Perspektif Sejarah
Hukum Islam, Jurnal Vej, Volume 3, Nomor 2.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Jurnal
Unisia, No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992.
Internet
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/
https://khazanah.republika.co.id/berita/pxnscg320/ulamaulama-terkemuka-ini-
menjadi-yatim-sejak-kecil
https://lokadata.id/artikel/kunci-penyebaran-mazhab-syafii
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/11/12/mdcn0c-
hukum-islam-di-indonesia-sebelum-merdeka
105
LAMPIRAN
FAMILY ACT
ACT NUMBER 4/2000
25/9/1421 H
12/12/2000 M
106
107
108
109