Anda di halaman 1dari 6

BAB XII

MASYARAKAT MADANI

A. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI

Masyarakat Madani adalah sebuah komunitas social dimana keadilan dan


kesetaraannya menjadi menjadi acuan.
Kriteria yang menjadi Persyaratannya antara lain :
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok masyarakat
2. Berkembangnya modal manusia dan modal social yang kondusif
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadaya untuk terlihat dalam berbagai forum
5. Adanya kohesifitas/timbale balik antar kelompok dalam masyarakat
6. Terselenggaranya sisitem pemerintahan yang memungkinkan lembege-
lembaga ekonomi, hokum, dan social berjalan secara produktif dan berkeadialn
social.
7. Terselenggaranya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-
jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan
komuikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia bermula dari gagasan


Asisten Perdana Menteri Malaysia Dato Anwar Ibrahim ke Indonesia membawa
istilah masyarakat madani sebagai terjemahan civil society.
Istilah masyarakat madani hasil pemikiran Prof.Naquib al-Attas seorang
filosof kontemporer Malaysia kemudian menjadi legitimasi dari pakar Indonesia
seorang Nurcholish Madjid melakukan rekontruksi terhadap masyarakat madani
dalam sejarah islam pada artikelnya “menuju masyarakat madani”.

C. KARAKTERISTIK DAN PILAR PENEGAKKAN MASYARAKAT MADANI

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam


masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarkan kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternative
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh Negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan Negara
5. Meluasnya kesetiaan dan kepercayaan
6. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial
dengan berbagai ragam perspektif

C. MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRASI

a. Masyarakat yang bebas dari penindaasan (opresi)


b. Masyarakat yang bebas dari rasa takut
c. Masyarakat yang bebas dari perlakuan diskriminatif dimuka hokum maupun
hak-hak pribadi
d. Masyarakat yang transparan dalam proses berbangsa dan bernegara
e. Pemerintah yang bermitra dengan Masyarakat
f. Masyarakat madani adalah Masyarakat yang membangun kepedulian (carring)

D. MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran


HAM dan penegakkan kebebesan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya
berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari
social control.

Menurut Dawan Strategi yang digunakan sebagai strategi memberdayakan


masyarakat madani adalah:
1) Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik
2) Strategi yang lebih mengutamakan reformasi system politik demokrasi
3) Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang
kuat ke arah demokratisasi.

Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama Di Indonesia


Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan
Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan
Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat
madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium
nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september
1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran
Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam
studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di
Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi
terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya “Menuju
Masyarakat Madani”.
Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula
terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan
Amien Rais. Tetapi perkembangannya menunjukkan istilah masyarakat madani
juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan
Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.
Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip
pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya adalah demokrasi.
Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi
negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada
tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari
masyarakat madani sudah ada. Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk,
model masyarakat madani merupakan tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi
terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional.
Mencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang
agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan
psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi
juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat
madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak
orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi)
atau kolonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil
society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk
pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini
bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu
muncul.
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah”
atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bisa berarti masyarakat kota atau
perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada
letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok
untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani
tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah
memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam
kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki
peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun”
yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering
disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna
diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun
berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut
konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai
tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam
dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai
perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society
dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman
dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama
dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam
dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan
yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada
nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society
sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral
individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi
sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism
Durkheim.
Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob
Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam
perkembangannya , terdapat analisis yang mencakup dari kedua aspek (civil
Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.
Dalam wacana civil society I di Indonesia lebih menekankan aspek horizontal dan
biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau
keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau
madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam
“indigenisasi”) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam
kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society
berkaitan dengan masyarakat kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut
Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah umat
manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara
toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.
Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan
“civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan
utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut.
Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural” namun contoh
masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.
Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau
kewargaan digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana
dalam civil Society II memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan
otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil
society II, istilah “civil” dekat dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang
diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan
digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya menekankan
asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan
mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik atau konglomerat
termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil
society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang
mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari pemerintah
dan pengusaha.
Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I
dan civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society
III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju
demokrasi (1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan
Guru Besar yang berjudul Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan
Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat
Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi
dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek
tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan
membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.
Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara
sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif,
dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha
Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan
juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun).
Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).
Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami
sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan
pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.
Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman
perkembangannya, yaitu:
1. Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang
relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih
berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan yang relative terisolasi
dalam batas-batas wilayah yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi
karena teknologi komunikasi dan transportasi yang mereka miliki belum
memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak
berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah
sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat
peradabannya masing-masing.
2. Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13
ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan
kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada
kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di
pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah
dating dengan konsep “God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen
terus berlangsung hingga akhir abad 19.
3. Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak
dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara”
Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah kesatuan organic yang
memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan
pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan,
, dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya
mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan
proklamasi kemerdekaan 1945.

REFERENSI:
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik hermeneutis Masyarakat madani
Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

Achmad Jainuri, Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan kasus tentang sikap
Budaya, Agama, dan Politik, kata pengantar untuk Sufyanto, Op.Cit.

Mulyadhi Kertanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, media


Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.

A. Qodri Abdillah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta(Kajian Historis-
Normatif), dalam Ismail dan Mukti, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Iwan Gardono Sujatmiko, Wacana Civil Society di Indonesia, Jurnal sosiologi edisi
No.9, 2001, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Anda mungkin juga menyukai