Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus Serial: Manifestasi Kardiopulmonal dari Polisitemia Vera pada Usia Muda

- Laki-laki 26 Tahun dengan Sindrom Koroner Akut Serangan Kedua dan Reduced
Ejection Fraction Heart Failure (HFrEF) dengan Polisitemia Vera
- Laki-laki 38 Tahun dengan Hipertensi Pulmonal dan Preserved Ejection Fraction Heart
Failure (HFpEF) dengan Polisitemia Vera
Irham Khairi, Idar Mappangara, Khalid Saleh, Sahyuddin Saleh, Rahmawati Minhajat
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Divisi Kardiologi, Divisi Hemato Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

I. PENDAHULUAN
Infark miokard (MI) dan gagal jantung (HF) merupakan penyebab kematian paling umum
di dunia. Begitu juga dengan hipertensi pulmonal (PH) telah menjadi komorbid yang cukup
sering ditemukan. Faktor risiko tradisional untuk MI adalah hipertensi, diabetes, dislipidemia,
merokok dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner prematur (PJK). Polisitemia vera
(PV) adalah jenis kanker darah langka yang menyebabkan tubuh memproduksi terlalu banyak sel
darah merah. Jika tidak ditangani, PV dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Gangguan ini ditandai dengan peningkatan perdarahan dan oklusi trombotik pada arteri koroner
yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada 40% hingga 60% pasien.1,2
Pasien dengan riwayat trombosis vaskular sebelumnya dan berada pada usia lanjut (≥ 60
tahun) mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi. Tingkat kejadian PV lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan (~2,8 per 100.000 laki-laki dan ~1,3 per 100.000
perempuan). Insiden keseluruhannya adalah 2,30/1,00,000 orang/tahun. Pengobatan sitoreduktif
dengan proses mengeluarkan darah atau kemoterapi dan terapi antiplatelet dengan aspirin dosis
rendah telah secara signifikan mengurangi jumlah komplikasi trombotik dan secara substansial
meningkatkan kelangsungan hidup. Laporan kasus ini memaparkan dua kasus berupa manifestasi
kardiopulmonal yaitu infark miokard, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal pada pasien usia
muda yang disertai dengan polisitemia vera.2,3

1
II. LAPORAN KASUS

Laki-laki 26 Tahun dengan Sindrom Koroner Akut Serangan Kedua dan Reduced Ejection

Fraction Heart Failure (HFrEF) dengan Polisitemia Vera

Seorang laki-laki datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Akademis dengan keluhan
nyeri dada sejak 2 hari lalu, nyeri dada terakhir 2 jam yang lalu, durasi > 10menit, menjalar ke
rahang dan lengan kiri. Disertai keringat dingin dan berdebar. Riwayat nyeri dada ada. Sesak saat
nyeri dada ada. Dypsnea On Effort (DOE),orthopnea ,Paroxysmal Nocturnal Dypsnea (PND)
tidak ada, riwayat sesak tidak ada. Batuk berdahak sejak 3 hari terakhir. Telah diberikan loading
aspilet 160 mg dan clopidogrel 300 mg oleh dokter UGD. Riwayat penyakit jantung dan dirawat
di RS Jayapura tahun 2018. Ada riwayat mendapat obat subkutan yang diinjeksi di perut. Tidak
kontrol rutin setelah itu.
Riwayat hipertensi tidak ada. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat merokok tidak ada.
Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit jantung dan keganasan. Pasien telah diedukasi untuk
dirujuk dengan tindakan angiografi koroner standby PCI namun pasien menolak.
Pada Agustus 2023 (setahun kemudian) pasien datang ke IGD PJT RSWS dengan
keluhan sesak saat beraktivitas dan saat itu pasien didiagnosis sebagai congestive heart failure
NYHA III, chronic coronary syndrome clinical scenario IV, dan coronary artery disease. Pada
September 2023 dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan ditegakkan diagnosis
Polisitemia Vera (PV). Sejak saat itu pasien berobat rutin di poliklinik PJT dan HOM dengan
furosemide 40mg, spironolakton 25mg, ramipril 2,5mg, nitrokaf 2.5mg, digoksin 0.25mg,
hydroxiurea 500mg.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran
composmentis, pemeriksaan tanda-tanda vital dengan tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi
nadi 86 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, suhu 36,5 oC. Konjungtiva tidak tampak anemis,
sklera tidak ikterik, desakan vena sentral R+2 cmH 2O (30 derajat), bunyi nafas vesikuler, ronki
basal bilateral, Bunyi jantung I/II reguler, murmur tidak ada. Abdomen peristaltik (+) kesan
normal, hepar dan lien tidak teraba. Dari ekstremitas bawah didapatkan akral teraba hangat dan
pitting edema dorsum pedis bilateral tidak ada.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi di IGD RS Akademis (Gambar 1.) menunjukkan
Sinus Rhythm , HR 86 bpm, regular, LAD, p wave 0.06 sec, PR interval 0.16 sec, QRS duration

2
0.06 sec, Q path V1-V5, AES.

Pada pemeriksaan laboratorium di IGD RS Akademis (Tabel 1.) menunjukkan


peningkatan kadar Hemoglobin (Hb) 19.8 g/dl, hematokrit 55%, dan peningkatan Troponin I
4.27 ng/ml (dengan nilai rujukan < 0.05 ng/ml).

Gambar 1. EKG 24-06-2022 di IGD RS Akademis. Sinus Rhythm , HR 86 bpm, regular, LAD, p wave 0.06 sec,
PR interval 0.16 sec, QRS duration 0.06 sec, Q path V1-V5, AES

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 24-6-2022 di IGD RS Akademis

3
Pada pemeriksaan foto thoraks (Gambar 2.) didapatkan kardiomegali. Pada pemeriksaan
ekokardiografi di IGD RS Akademis didapatkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, dengan
fraksi ejeksi (Ejection Fraction, EF) 33.7%, fungsi sistolik Ventrikel Kanan normal dengan
Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) 1.7 cm, akinetik dan hipokinetik
segmental, dilatasi ventrikel kiri, LVH eksentrik (Gambar 3).

Gambar 2. Foto Thoraks Kesan Kardiomegali

Gambar 3. Ekokardiografi

Pada pemeriksaan apusan darah tepi didapatkan eritrositosis suspek polisitemia vera dan
disarankan untuk pemeriksaan aspirasi sumsung tulang. Pada September 2023 dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan disimpulkan sebagai peningkatan eritropoiesis sesuai
dengan gambaran polisitemia vera (Gambar 4.)
4
Gambar 4. Hasil Aspirasi sumsum tulang September 2023
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang pada 24 Juni 2022
pasien didiagnosis dengan Non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) High Risk
(Grace Score 107). Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang pada
Agustus 2023 pasien didiagnosis dengan congestive heart failure NYHA III, chronic coronary
syndrome clinical scenario IV, coronary artery disease, dan polisitemia vera.

Pada 24 Juni 2022 diberikan terapi Aspilet 160 mg loading, clopidogrel 300 mg loading,
glyceryl trinitrate 2.5 mg, fondaparinux 2,5 mg subkutan, ISDN 5 mg sublingual , dan
atorvastatin 40mg.

Pada September 2023 diberikan terapi Furosemide 40mg/12 jam/intravena, aspilet


80mg/24jam/oral, glyceryl trinitrate 2.5mg/24jam/oral, Sacubitril-Valsartan 50mg/12jam/oral.
Divisi HOM dengan polisitemia vera dan diberikan terapi Hidroksiurea 500 mg/24 jam/oral.

Pasien Kedua: Laki-laki 38 Tahun dengan Hipertensi Pulmonal dan Preserved Ejection

Fraction Heart Failure (HFpEF) karena Polisitemia Vera

Seorang laki-laki datang dengan keluhan sesak sejak 1 minggu terakhir, saat ini dapat
baring datar. Dypsnea On Effort (DOE) ada,orthopnea dan Paroxysmal Nocturnal Dypsnea
(PND) tidak ada. Ada riwayat sesak. Berdebar-debar tidak ada, riwayat berdebar tidak ada. Saat
ini tidak ada nyeri dada. Riwayat nyeri dada tidak ada.
Riwayat berobat di poliklinik jantung RS Labuang Baji dengan keluhan sesak dan
mendapatkan terapi namun pasien lupa nama obat. Batuk dan demam tidak ada. Faktor resiko
koroner: riwayat hipertensi tidak ada, riwayat diabetes melitus tidak ada, ada riwayat merokok 15

5
tahun, 1 pack/hari. Riwayat penyakit jantung dan keganasan dalam keluarga tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran
composmentis, pemeriksaan tanda-tanda vital dengan tekanan darah 107/73 mmHg, frekuensi
nadi 86 kali/menit, pernapasan 26 kali/menit, suhu 36,5 oC. Konjungtiva tidak tampak anemis,
sklera subikterik, desakan vena sentral R+3 cmH2O (30 derajat), bunyi nafas vesikuler, ronki
basal bilateral, Bunyi jantung I/II reguler, murmur sistolik 3/6 di LLSB. Abdomen peristaltik (+)
kesan normal, hepar dan lien tidak teraba. Dari ekstremitas bawah didapatkan akral teraba hangat
dan pitting edema dorsum pedis bilateral tidak ada.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi di IGD RSWS (Gambar 5) menunjukkan atrial
flutter rhythm 3:1 variable conduction heart rate 90-150 bpm dengan saw tooth pattern II, III,
avF, v1 kesan atrial flutter with variable conduction.

Pada pemeriksaan laboratorium di IGD RSWS (Tabel 2.) menunjukkan peningkatan


kadar Hemoglobin (Hb) 22.4 g/dl, hematokrit 65%, ureum 103, kreatinin 3.95, GOT 70, GPT
47, dan kalium 8.0.

Gambar 5. EKG 05-09-2023 di IGD RSWS

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 05-09-2023 di IGD RSWS

6
Pada pemeriksaan Foto Thoraks (Gambar 6) didapatkan kardiomegali dengan tanda
bendungan paru. Pada Pemeriksaan ekokardiografi di IGD RSWS didapatkan regurgitasi
trikuspid berat dengan probabilitas tinggi suatu hipertensi pulmonal, regurgitasi pulmonal ringan,
fungsi sistolik ventrikel kiri normal fraksi ejeksi 54% (BIPLANE), fungsi sistolik ventrikel
kanan normal TAPSE 2.0 cm, S’ lateral 13 cm/s, dilatasi atrium kanan dan ventrikel kanan,
remodelling konsentrik ventrikel kiri, dan global normokinetik.(Gambar 7).

Gambar 6. Foto Thoraks

Gambar 7. Ekokardiografi

Pada pemeriksaan apusan darah tepi didapatkan eritrositosis suspek polisitemia vera dan
disarankan untuk pemeriksaan aspirasi sumsung tulang. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
7
aspirasi sumsum tulang dan disimpulkan sebagai peningkatan eritropoiesis sesuai dengan
gambaran polisitemia vera (Gambar 8)

Gambar 8. Hasil aspirasi sumsum tulang

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis


dengan suspek Pulmonary Hypertension, Preserved Ejection Fraction Heart Failure (HFpEF),
Moderate-Severe Tricuspid Regurgitation, AKI AKIN II dd Acute on CKD, Hyperkalemia,
Polisitemia Vera.

Pasien diberikan terapi furosemid 40mg/24jam/intravena, digoxin 0,25 mg/24jam/oral,


ramipril 2,5 mg/24jam/oral (tunda). Divisi HOM dengan terapi aspilet 80mg/24jam/oral dan
hidroksiurea 500 mg/24 jam/oral. Divisi Ginjal Hipertensi dengan terapi kalsium glukonas 10mg
bolus intravena, kalitake 5gram/8jam/oral, aspart insulin 10 unit dengan dektrose 40% 50 ml, dan
asetilsistein5gr/24jam/intravena.

III. DISKUSI

Polisitemia vera (PV) merupakan kelainan hematologi mieloproliferatif kronis langka


yang ditandai oleh proliferasi klonal sel myeloid dengan tingkat kematangan morfologi yang
bervariasi. PV dibedakan dari MPN lain dengan adanya peningkatan massa sel darah merah
(yaitu, eritrositosis), dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian tromboemboli,
transformasi leukemia, dan/atau mielofibrosis.1 Diagnosis memerlukan adanya ketiga kriteria
mayor atau dua kriteria mayor pertama dan kriteria minor.2
Kriteria mayor adalah sebagai berikut:
- Hemoglobin >16,5 g/dL pada pria dan >16 g/dL pada wanita, atau hematokrit >49% pada pria
dan >48% pada wanita, atau massa sel darah merah >25% di atas rata-rata nilai prediksi
normal.
8
- Biopsi sumsum tulang menunjukkan hiperselularitas dengan pertumbuhan trilineage
(panmielosis) termasuk proliferasi eritroid, granulositik, dan proliferasi megakariosit yang
pleomorfik dan megakariosit matur.
- Adanya mutasi JAK2V617F atau JAK2 ekson 12.

Kriteria minor WHO adalah sebagai berikut:


Tingkat eritropoietin serum di bawah nilai referensi normal.
*Kriteria 2 (biopsi sumsum tulang) tidak diperhitungkan pada pasien dengan eritrositosis absolut
(hemoglobin/hematokrit >18,5 g/dL/55,5% pada pria, atau >16,5 g/dL/49,5% pada wanita) jika
didapatkan kriteria mayor (3) dan kriteria minor.
Pada pasien pertama kami tegakkan diagnosis PV berdasarkan kadar Hb 19.8 g/dl
dengan hasil BMP panhiperplasia sesuai gambaran polisitemia vera. Pada pasien kedua kami
tegakkan diagnosis PV berdasarkan kadar Hb 22.4 g/dl dengan hasil BMP panhiperplasia sesuai
gambaran polisitemia vera.1,2

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow menjelaskan keadaan trombosis yang disebabkan oleh
interaksi kelainan pada dinding pembuluh darah, komponen darah, dan aliran darah. Tiga
komponen ini kemudian dikenal sebagai trias Virchow. 3 Pada pasien dengan PV, trombosis telah
dilaporkan baik pada sistem arteri (serangan iskemik transien, stroke, infark miokard akut, dan
trombosis arteri perifer) maupun sistem vena (trombosis vena dalam, tromboflebitis superfisial,
dan emboli paru).4
Trombosis sering terjadi pada pasien PV, sebagai akibat dari gangguan mekanisme
hemostatik, yaitu (1) peningkatan kadar sel darah merah dan (2) peningkatan jumlah platelet. Hal
ini kemudian akan menyebabkan hiperviskositas dan aliran darah yang lambat akibat eritrositosis
dan ekspresi abnormal dari glikoprotein membran platelet. Akibatnya, terjadi peningkatan
interaksi trombosit-vaskular, terutama di area dengan shear rate berlebihan seperti di arteriol dan
kapiler. Selain mekanisme tersebut, usia >60 tahun, riwayat hipertensi, merokok, mutasi JAK2,
Hematokrit > 45,1% dan peningkatan kadar CRP merupakan faktor risiko trombosis.5
Peningkatan hematokrit dapat mendorong trombosit lebih dekat ke dinding pembuluh darah dan
telah terbukti meningkatkan kemungkinan interaksi platelet-vaskular melalui ikatan dengan von
wildebrand factor (vWF) dan kolagen. Kualitas sel darah merah pada PV juga dikaitkan dengan
peningkatan resiko trombosis. Data terbaru menunjukkan bahwa eritrosit pada pasien dengan PV
lebih bersifat adhesif karena JAK2V617F memicu fosforilasi reseptor adhesi sel darah merah,

9
Lutheran/molekul adhesi sel basal (Lu/BCAM), yang meningkatkan pengikatan sel darah merah

ke laminin subendotel.4,6

Gambar 9. Mekanisme Trombosis pada PV4


Selanjutnya, dalam keadaan shear stress yang tinggi, oleh karena peningkatan hematokrit
penyempitan lumen aterotrombotik, platelet dapat diaktifkan secara langsung dan tidak langsung
melalui interaksi leukosit-platelet yang dimediasi oleh cathepsin G dan CD62P (P-selectin).
Selain itu, sinyal JAK2 yang aktif secara konstitutif dapat secara langsung mendorong aktivasi
trombosit dan granulosit, dan secara tidak langsung menyebabkan aktivasi endotel melalui
pengikatan trombosit dan leukosit ke sel endotel. Interaksi tersebut dapat memicu cedera
endotel , ekspresi sitokin endotel, dan pelepasan faktor prokoagulan endotel seperti vWF. Lebih
lanjut, leukosit dan trombosit akan teraktivasi, dan endotel akan mensekresi mikropartikel
prokoagulan yang penting untuk pembentukan fibrin. Akhirnya, peradangan pada PV dapat
memperburuk keadaan trombotik melalui berbagai mekanisme yang mencakup kerusakan
endotel, penghambatan jalur antikoagulan

dan sekresi faktor prokoagulan, khususnya vWF.4,5


Marchioli dkk melaporkan Infark Miokard Akut (IMA) dan gagal jantung kongestif
sebagai salah satu komplikasi trombotik pada PV. Pada pasien kami yang didiagnosis PV,
keadaan Advanced Heart Failure dapat disebabkan oleh perkembangan kardiomiopati iskemik
dengan adanya riwayat kejadian IMA (pada pasien pertama) dan atau iskemia mikrovaskuler
kronis. 4,5,7
Sebuah studi klinis prospektif acak menganalisis 365 pasien dengan PV, dan
mengidentifikasi insiden kejadian kardiovaskular yang lebih rendah pasien dengan kadar
10
hematokrit < 45% dibandingkan dengan kelompok pasien dengan hematokrit 45% - 50% (4,4%
vs 10,9%; P = 0,02). Marchioli dkk melaporkan Infark Miokard Akut (IMA) dan gagal jantung
kongestif sebagai salah satu komplikasi trombotik pada PV.4 (Tabel 3.)

Tabel 3. Kejadian trombotik pada pasien dengan PV.4

Kejadian polisitemia pada gagal jantung berkisar 1,2% hingga 5,9% dalam literatur
walaupun sebagian besar kasus tidak dilaporkan. Pasien dengan gagal jantung dan polisitemia
juga memiliki risiko stroke dan iskemia miokard yang tinggi oleh karena peningkatan kadar
hemoglobin yang terkait dengan vasokonstriksi sistemik dengan menjebak oksida nitrat dan
menghasilkan radikal bebas yang diturunkan dari oksigen.2,8 Zaman dkk. melaporkan kasus PV
yang menyebabkan HFrEF akibat dari iskemia mikrovaskular kronis. Beberapa kasus gagal
jantung akibat iskemia mikrovaskular koroner kronis yang diinduksi oleh PV telah dilaporkan
yang dikonfirmasi dengan Cardiac Magnetic Resonance (CMR) dan biopsi endomiokardial.5
Pasien yang kami laporkan telah mengalami polisitemia sejak tahun 2018 dengan tingkat
11
readmisi yang tinggi akibat gejala gagal jantung. Dalal dkk. melaporkan 27,6% pasien PV yang
dirawat di rumah sakit juga mengalami gagal jantung.4 PV dengan gagal jantung dikaitkan
dengan admisi perawatan rumah sakit yang tidak dapat ditunda yaitu pada 90.9 % kasus.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) ditemukan pada 47.4 % kasus PV dengan Gagal Jantung, hal ini
dapat dikaitkan dengan PV yang memiliki tendensi sebagai faktor independen terjadinya
kejadian trombotik.1,4
Kejadian trombotik nonfatal pada pasien dengan PV diperkirakan 3,8 per 100 pasien-
tahun. Kejadian trombotik sering terjadi dalam waktu yang lama, bahkan dalam hitungan tahun
sebelum penegakkan diagnosis PV. Jenis kelamin pasien dapat mempengaruhi jenis kejadian
trombotik. Trombosis arteri dilaporkan lebih sering terjadi pada pria (18% vs 14%; P=0,02),
sedangkan trombosis vena telah dilaporkan lebih sering terjadi pada wanita (9,3% vs 5,4%;
P<0,01). Pada pasien yang kami laporkan merupakan seorang pria yang memiliki riwayat
kejadian IMA pada tahun 2018 atau 5 tahun sebelum ditegakkannya diagnosis PV.4
Kejadian trombotik, khususnya trombosis arteri, dapat berkontribusi pada peningkatan
risiko kematian pasien PV. Sebuah studi retrospektif pada 1213 pasien di Italia, melaporkan
bahwa 30% dari 145 kejadian trombotik arteri berakibat fatal (24% dari semua kematian dengan
median follow up 5,3 tahun). Pasien dengan riwayat kejadian trombotik memiliki risiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki riwayat kejadian trombotik
(Hazard Ratio, 1,9; P=0,007). Hasil ini konsisten dengan data European Collaboration on Low-
Dose Aspirin in Polycythemia Vera (ECLAP) yang menunjukkan bahwa kejadian trombotik
meningkatkan kematian terkait PV sebesar dua kali lipat.4,9
Tabel 4. Karakteristik pasien PV dengan atau tanpa gagal jantung.1

12
Gambar 10. Patomekanisme PV dalam memicu berbagi manifestasi kardiopulmonal 7
Eritrositosis dengan peningkatan hematokrit (viskositas darah tinggi) dan jumlah trombosit
menghasilkan mikropartikel (0,1 μm hingga 1 μm) dengan disfungsi trombosit dan agregasi
leukosit-trombosit yang menyebabkan pembentukan trombus.4,7
SKA dapat terjadi pada pasien PV tanpa adanya faktor resiko jantung. Laporan pasien kami
menunjukkan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih tinggi (19,8 dan 22,4 g/dl), HCT masing-
masing 55% dan 65%. Karena terdapat penurunan harapan hidup pada pasien PV, dan juga risiko
transformasi menjadi MF dan AML, konsultasi dengan ahli hematologi diperlukan.

13
Gambar 11. Patomekanisme kelainan darah dalam memicu CTEPH 10

Tabel 5. Klasifikasi Klinis Hipertensi Pulmonal

Diagnosis PH ditegakkan berdasarkan tekanan arteri pulmonalis rata-rata 25 mmHg saat


istirahat, dan kateterisasi jantung kanan perlu dilakukan. Dengan menggunakan teknik invasif,
penting bagi ahli hematologi untuk mencurigai PH dan berkonsultasi dengan kardiolog mengenai
perawatan klinis yang biasa dilakukan. Salah satu cara untuk mendeteksi PH adalah dengan
mengidentifikasi salah satu gejalanya, seperti dispnea, kelelahan, atau sinkop; ini juga umum
terjadi pada MPN seperti myelofibrosis. Tes sederhana lainnya seperti pulse oksimetri, rontgen
dada, dan elektrokardiografi juga dapat digunakan untuk mendeteksi PH. Ekokardiografi adalah
metode skrining non-invasif yang paling penting untuk PH. Mengukur kecepatan regurgitasi
trikuspid dan memperkirakan tekanan atrium kanan biasanya dianggap sebagai metode yang
valid untuk memperkirakan tekanan sistolik arteri pulmonalis. Temuan lain seperti pembesaran
bilik sisi kanan atau disfungsi sistolik ventrikel kanan juga dapat mengindikasikan beban jantung

14
kanan akibat PH. Dalam beberapa laporan hematologi sebelumnya, PH dicurigai berdasarkan
tekanan sistolik ventrikel kanan (>35 mmHg). CT dada juga berguna untuk mendiagnosis PH,
dan temuan radiologis yang khas meliputi edema interstisial, ground-glass opacity, penebalan
septum interlobular, pembesaran arteri pulmonalis sentral, dan kaliber vena pulmonalis yang
normal.7,10

Tabel 6. Epidemiologi Hipertensi Pulmonal yang berkaitan dengan Kelainan Myeloproliferatif 7

Neoplasma myeloproliferatif seperti PV ditandai dengan keadaan trombofilik, yang dapat


menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan trombosis arteri atau vena. Secara patofisiologis,
mikroemboli tumor, yang terdiri dari translokasi megakariosit yang menghasilkan emboli di
pembuluh darah paru, mungkin berhubungan dengan CTEPH. Memang benar, peningkatan kadar
megakaryosit yang bersirkulasi dan sel progenitor myeloid, yang mengalami deformasi buruk
dan lebih besar dari diameter kapiler alveolar, telah diamati pada pasien dengan MPN.
Akibatnya, sel-sel ini dapat menyumbat mikrovaskular paru dan mengeluarkan sitokin vasoaktif,
yang pada akhirnya mengarah pada perkembangan PH. Pemeriksaan histologis paru
menunjukkan adanya penyumbatan pembuluh darah kecil oleh agregat megakariosit. CTEPH
hanya dapat dipastikan dengan biopsi paru, namun bedah toraks dengan bantuan video atau
biopsi paru transbronkial terlalu invasif untuk dilakukan pada pasien dengan gagal napas berat
atau kondisi hemoragik. Baru-baru ini, diagnosis klinis yang menggabungkan temuan radiografi
karakteristik atau kejadian klinis telah diterima di kalangan ahli PH. Karakteristik manifestasi
radiologis, seperti opasitas groundglass sentrilobular, garis septum pada CT, dan resistensi pasien
terhadap vasodilator paru, juga dapat mengarah pada diagnosis klinis PH.7,10

PV pada gagal jantung telah dikaitkan dengan tingkat kematian di rumah sakit dua kali
lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak menderita gagal jantung (5.7 % vs 2.8 %, P<0.001),
lama perawatan yang lebih tinggi (6.4 vs 5.3 hari, P <0.001), biaya perawatan yang lebih besar

15
dan angka rujukan ke fasilitas kesehatan lain yang lebih tinggi.1

Tabel 7. Luaran Klinis pasien PV dengan atau tanpa gagal jantung.1

Meskipun gagal jantung sendiri dapat menyebabkan polisitemia akibat hipoksia kronis,
penyebab lain harus disingkirkan. Peningkatan kadar eritropoietin dengan saturasi oksigen yang
rendah dapat dilanjutkan dengan evaluasi polisitemia akibat penyakit jantung atau paru-paru.
Peningkatan kadar karboksihemoglobin pada perokok memastikan diagnosis polisitemia akibat
merokok. Peningkatan afinitas hemoglobin O2 menunjukkan hemoglobinopati, sedangkan
afinitas yang normal mengarahkan untuk deteksi tumor yang dapat mensekresi eritropoietin. 8
Penurunan kadar serum eritropoietin pada pasien mengkonfirmasi diagnosis PV walaupun tidak
dilakukan pemeriksaan untuk mutasi JAK2.
Setiap upaya harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain sebelum menegakkan
gagal jantung sebagai penyebab polisitemia. Hematokrit 55% dengan gejala gagal jantung yang
refrakter terhadap terapi standar gagal jantung harus menjadi indikasi flebotomi yang dapat
berdampak signifikan pada gejala dan kapasitas fungsional pasien, dengan tujuan untuk
mempertahankan hematokrit 45%.8

Advanced heart failure didefinisikan sebagai gagal jantung dengan batasan aktivitas yang
nyata yaitu dengan klasifikasi fungsional (NYHA) kelas III atau IV meskipun dengan terapi

16
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, diuretik, digoxin, dan penyekat beta yang telah
optimal. Prevalensi gagal jantung lanjut semakin meningkat karena peningkatan jumlah pasien
gagal jantung, perkembangan terapi serta kelangsungan hidup gagal jantung yang lebih baik.
Proporsi pasien gagal jantung lanjut di antara semua pasien dengan gagal jantung berkisar antara
4,6% hingga 6,7% per tahun.9

Tabel 8. Karakteristik pasien PV dengan atau tanpa gagal jantung.9

Pasien mengeluhkan gejala sesak nafas disertai batasan aktivitas yang nyata (gejala
timbul pada saat melakukan aktivitas ringan) sehingga dikategorikan dalam NYHA kelas III.
Pemeriksaan

ekokardiografi menunjukkan disfungsi sistolik dengan fraksi ejeksi 24 %. Pasien sudah tidak
dapat melanjutkan pekerjaan sebagai teknisi otomotif menunjukkan gangguan berat kapasitas
aktivitas. Berdasarkan data tersebut disertai riwayat pengobatan Angiotensin Receptor Neprylisin
inhibitor (ARNI), diuretik, digoxin, dan penyekat beta yang telah optimal maka
ditegakkan diagnosis gagal jantung lanjut pada pasien.
Kurva tekanan-volume pada ventrikel kiri (LV) berada pada area yang menggambarkan
hubungan antara tekanan-volume pada fase akhir sistolik (End Systolic Pressure-Volume
Relationship, ESPVR) atau juga dikenal sebagai (end systolic elastance, Ees), tekanan-volume
pada fase akhir diastolik (End Diastolic Pressure-Volume Relationship, EDPVR) dengan volume
sekuncup (Stroke Volume, SV). ESPVR dan EDPVR mencerminkan sifat kontraktilitas dan
diastolic compliance terlepas dari beban ventrikel.(Gambar 12 A.)11

Gambar 12. Fisiologi hubungan tekanan-volume ventrikel kiri11

Pada HFrEF penurunan kontraktilitas digambarkan oleh ESPVR yang lebih dangkal
(panah atas pada Gambar 12 B.), namun LV masih memiliki SV yang mendekati normal saat
istirahat karena peningkatan volume LV (panah bawah pada Gambar 12 B.).11

17
Tabel 9. Proporsi pengukuran Massa Eritrosit dan Volume plasma pada PV dan Polisitemia Sekunder12
Sirhan dkk. melakukan analisis retrospektif pada 105 pasien yang menjalani pengukuran
volume plasma darah untuk evaluasi polisitemia. PV dikaitkan dengan peningkatan volume
plasma pada 20 % pasien PV dibandingkan 6 % pada pasien polisitemia sekunder. 12 Ekspansi
volume plasma dikaitkan dengan peningkatan preload yang tidak dapat diimbangi penurunan
kontraktilitas pada pasien (ESPVR yang lebih dangkal pada HFrEF). Terapi diuretik dapat
menurunkan volume pada fase akhir diastolik (Gambar 12 A.) dengan EDPVR yang lebih curam
pada pasien hipervolemik dengan HFrEF yang kemudian akan menurunkan tekanan dan gejala
kongestif. Peningkatan volume plasma pada PV merupakan proses yang terjadi secara kontinu
sehingga dapat menyebabkan readmisi yang pasien alami akibat gejala kongestif. Peningkatan
volume plasma disertai dengan peningkatan massa sel darah merah yang merupakan proses
kontinu pada PV.11,13 Oleh karena itu, untuk dapat mengurangi preload, terapi diuretik juga harus
disertai dengan penanganan sitoreduktif dan flebotomi pada PV untuk mencapai target
hematokrit < 45 %.
Effective arterial elastance (Ea) yang menggambarkan Afterload, didefinisikan sebagai
kurva volume-tekanan oleh hasil bagi tekanan fase akhir sistolik dengan SV (garis diagonal
hitam). Ea mencerminkan kekakuan pembuluh darah, berbanding lurus dengan resistensi
pembuluh darah sistemik dan denyut jantung, dan berbanding terbalik dengan arterial
compliance. ESPVR yang dangkal pada HFrEF menyebabkan peningkatan sensitivitas afterload.
Dengan penurunan afterload, Ea menurun (Gambar 12.B, garis putus-putus hijau dengan
kemiringan yang lebih dangkal), menyebabkan sedikit penurunan tekanan fase akhir sistolik
namun peningkatan yang nyata pada SV. Sebaliknya pada PV yang terkait dengan peningkatan
viskositas darah akan meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik dan afterload sehingga
secara nyata dapat menurunkan SV.12,13
Peningkatan sel darah merah dapat meningkatkan viskositas darah dan menurunkan aliran

18
darah ke ginjal yang menyebabkan iskemia ginjal, dan kemudian memicu sekresi renin. Sekresi
Renin akan meningkatkan produksi angiotensin, yang merupakan vasokonstriktor poten.
Peningkatan kadar hemoglobin bebas juga dapat menyebabkan scavenging of nitric oxide.
Penurunan kadar nitrat oksida pada endotel pembuluh darah lebih lanjut menyebabkan
vasokonstriksi. Serangkaian mekanisme yang dijelaskan secara akumulatif dapat menyebabkan
peningkatan afterload pada PV.14 Oleh karena itu, terapi Sacubitril-Valsartan, Nitrogliserin juga
diberikan pada pasien kami dengan kondisi HFrEF dengan PV.

Tatalaksana PV dengan infark miokard perlu memperhatikan beberapa hal seperti pilihan
terbaik revaskularisasi, penggunaan sitoreduktif atau revaskularisasi secara terpisah atau
kombinasi, dosis dan jenis antiplatelet yang digunakan, penggunaan heparin atau bivalirudin,
perlunya antagonis reseptor GPIIb/Iia, perlunya NOAC atau VKA jangka panjang pasca PTCA,
dan perlunya penggunaan sitoreduktif jangka panjang atau flebotomi berulang.16
Meskipun obat antiplatelet dan sitoreduktif (misalnya flebotomi, hidroksiurea, atau
keduanya) diberikan, namun masih belum diketahui jenis prosedur reperfusi koroner mana yang
sesuai untuk tatalaksana SKA pada pasien PV. Keamanan dan efektivitas terapi fibrinolitik
sebagai pengobatan pilihan untuk STEMI pada pasien dengan PV masih belum diketahui. Terapi
fibrinolitik yang efektif mungkin masih berhubungan dengan sisa trombus koroner, yang lebih
mungkin terlihat pada pasien PV yang memiliki jumlah trombosit tinggi.7,16
Perawatan sitoreduktif dengan proses flebotomi untuk mencapai hematokrit ≤45% sangat
penting dalam mengoptimalkan hasil pada pasien dengan PV. Proses mengeluarkan darah dan
mielosupresi adalah pilihan pengobatan yang paling sering digunakan, baik sendiri-sendiri atau
dalam kombinasi. Namun, terapi proses mengeluarkan darah untuk mengurangi kadar hematokrit
sebelum angioplasti primer dapat menyebabkan penundaan yang tidak perlu dan tidak boleh
dilakukan dalam keadaan akut. Hiperviskositas dan agregasi trombosit dapat meningkatkan
risiko trombosis stent, membuat pasien rentan, akibat penurunan kadar antikoagulasi pasca
prosedur.15
Penatalaksanaan SKA sekunder akibat PV memerlukan perhatian khusus dalam menjaga
keseimbangan antara risiko perdarahan dan kecenderungan trombosis. Tidak ada strategi yang
seragam dalam penatalaksanaan pasien PV dengan SKA. Temuan angiografi koroner seringkali
memiliki gambaran penyakit aterosklerotik karena faktor risiko yang sama.6
Pasien setelah episode trombotik dengan PV akan diberi aspirin dan hidroksiurea. Manfaat
hidroksiurea tidak hanya sebagai sitoreduktif namun telah menunjukkan penurunan risiko
19
trombosis berulang bila diberikan dengan aspirin saja. Willoughby, dkk. melaporkan bahwa
penggunaan aspirin profilaksis pada pasien dengan PV mengurangi kejadian vaskular besar
sebesar 22% dan infark miokard nonfatal sebesar 30%. Namun, juga menunjukkan bahwa pasien
MI dengan PV menunjukkan trombosis stent berulang, meskipun sudah diberikan terapi
antiplatelet yang tepat karena hiperviskositas yang mendasarinya. Penelitian ini lebih lanjut
mengungkapkan penambahan penghambat reseptor GPIIb/IIIa seperti Abciximab mengurangi
risiko trombosis akut dan subakut, namun menyebabkan peningkatan risiko perdarahan.6,16
Friedrich, dkk. telah melaporkan kasus ruptur limpa yang jarang terjadi setelah penggunaan
antagonis GPIIb/IIIa untuk pasien MI dengan PV. Penting untuk menggunakan agen anti-
trombosit terbaik untuk mencegah trombosis stent pasca PTCA. Penggunaan antikoagulan
jangka panjang dengan antagonis vitamin-k atau antikoagulan oral yang lebih baru sering kali
menyebabkan peningkatan risiko perdarahan besar, terutama pada populasi lanjut usia. Oleh
karena itu, bukti saat ini mendukung penggunaan obat antitrombosit potensi tinggi (misalnya
ticagrelol atau prasugrel), terapi flebotomi yang agresif dan terapi sitoreduktif menggunakan
hidroksiurea atau anagrelide pasca PTCA.15

Endarterektomi paru adalah pengobatan pilihan pada pasien dengan CTEPH. Dalam
kasus yang tidak dapat dilakukan pembedahan, terapi medis termasuk diuretik, antikoagulan, dan
terapi PAH spesifik harus dipertimbangkan. Sampai saat ini, tidak ada data mengenai terapi PAH
spesifik yang tersedia untuk pasien dengan CTEPH terkait CMPD.14

Perjalanan klinis menunjukkan bahwa ruxolitinib mungkin efektif untuk pengobatan.


Tabarroki dkk. menggambarkan 15 pasien dengan PV dan PH yang diobati dengan ruxolitinib
dan mencatat bahwa 66% mengalami peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan fungsi ventrikel
kanan yang diukur dengan ekokardiografi. Ruxolitinib juga mengurangi kadar plasma NT pro-
BNP, antigen von Willebrand, aktivitas kofaktor ristocetin, dan asam urat serta meningkatkan
kadar nitrit oksida.15

Terapi pada pasien PV bertujuan untuk mengurangi risiko trombosis dan perdarahan,
mengontrol gejala, mencegah transformasi myelofibrosis atau sindrom leukemia/mielodisplasia
akut. Mengingat tingginya angka kematian terkait kejadian trombotik pada pasien PV, tujuan
pertama terapi adalah untuk mengurangi risiko trombosis, terutama dengan mengendalikan level
hematokrit hingga <45%, yang telah terbukti menurunkan tingkat kematian akibat penyakit
kardiovaskular dan trombosis. Terapi untuk pengobatan PV tergantung pada risiko trombotik

20
pasien, yang saat ini didasarkan pada usia dan riwayat trombosis. Pasien <60 tahun tanpa riwayat
trombosis dikategorikan berisiko rendah, sedangkan yang berusia 60 tahun dan/atau memiliki
riwayat trombosis dianggap berisiko tinggi.15 (Gambar 13.) Oleh karena itu, pasien kami dengan
dengan riwayat IMA dan Advanced HF digolongkan pada individu dengan resiko trombosis yang
tinggi.
Pedoman saat ini merekomendasikan pengelolaan pasien berisiko rendah dengan
flebotomi dan aspirin dosis rendah, sedangkan pasien berisiko tinggi harus diobati dengan agen
sitoreduktif, yaitu hidroksiurea dan interferon alfa rekombinan sebagai terapi lini pertama dan
interferon dan ruxolitinib sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak toleran atau memiliki
respons yang tidak memadai terhadap hidroksiurea. Hipertensi secara signifikan terkait dengan
tingkat kejadian trombosis arteri yang lebih tinggi pada pasien sehingga pada pasien dengan PV
risiko rendah direkomendasikan terapi yang lebih intensif, termasuk terapi sitoreduktif dan/atau
pengobatan antihipertensi.15

Gambar 13. Algoritma manajemen PV berdasarkan resiko komplikasi trombosis15

Flebotomi merupakan salah satu perawatan lini pertama yang direkomendasikan untuk
pasien dengan PV. Flebotomi dapat mengontrol kadar hematokrit, dengan tujuan

21
mempertahankan hematokrit <45%. Sebuah penelitian yang mengevaluasi flebotomi yang lebih
intensif pada 533 pasien PV dengan terapi hidroksiurea menunjukkan bahwa intensitas flebotomi
yang lebih tinggi terkait dengan peningkatan risiko kejadian trombotik. Pasien yang
membutuhkan 3 flebotomi per tahun memiliki risiko kejadian trombosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang membutuhkan 2 flebotomi per tahun (20,5% vs 5,3% pada
masa follow up 3 tahun; P <.0001). Namun, analisis terbaru dari studi ECLAP dan CYTO-PV
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara intensitas flebotomi dengan risiko trombosis
pada pasien PV.16
Studi ECLAP menunjukkan bahwa pengobatan dengan aspirin mencegah komplikasi
trombotik pada pasien dengan PV. Aspirin dosis rendah mengurangi risiko infark miokard,
stroke, emboli paru, trombosis vena besar, dan kematian akibat penyebab kardiovaskular (HR,
0,40 [95% CI, 0,18-0,91]; P = 0,03). Konsisten dengan temuan ini, dalam studi ECLAP, terapi
antiplatelet secara signifikan dikaitkan dengan risiko kejadian kardiovaskular yang lebih rendah
(HR, 0,72 [95% CI, 0,53-0,97]; P = 0,0315). 15,16
Hidroksiurea merupakan terapi sitoreduktif lini pertama yang paling umum digunakan
pada pasien PV. Studi PVSG dilakukan pada 51 pasien dengan PV yang diterapi dengan
hidroksiurea, dan efektifitasnya dibandingkan dengan 194 pasien yang diterapi dengan
flebotomi. Pengobatan hidroksiurea menyebabkan penurunan angka kejadian trombotik (9,8%
vs 32,8 %; P
= 0,009). Selain itu, pada kelompok berisiko tinggi (> 60 tahun dan/atau riwayat trombosis
sebelumnya), pengobatan dengan hidroksiurea dikaitkan dengan tingkat kejadian kardiovaskular
fatal dan nonfatal yang secara signifikan lebih rendah (4,8 vs 8,7 per 100 pasien-tahun),
dibandingkan dengan terapi flebotomi saja. 15,16 Oleh karena itu pasien dijadwalkan untuk terapi
flebotomi dan diberikan regimen terapi aspilet 80 mg/24 jam/oral dan hidroksiurea 500 mg/24
jam/oral.
Meskipun pengobatan hidroksiurea menurunkan tingkat kejadian kardiovaskular, sekitar
15-24% pasien akhirnya menjadi resisten atau mengalami intoleransi hidroksiurea. Resistensi
penting untuk dikenali karena terkait dengan risiko kematian dan transformasi yang lebih
tinggi.15

IV. RINGKASAN
Kami melaporkan dua pasien. Pasien pertama laki-laki 26 tahun dan 38 tahun
22
dengan Advanced HF dan PV yang dianggap berperan dalam perkembangan kardiomiopati
iskemik pasien. Pada pasien kami tegakkan diagnosis PV berdasarkan kadar Hb masing-masing
19.8 g/dl dan 22.4 g/dl dengan hasil BMP sesuai gambaran polisitemia vera. Pada pasien dengan
PV, keadaan Advanced HF dapat disebabkan oleh perkembangan kardiomiopati iskemik dengan
adanya riwayat kejadian IMA dan/atau iskemia mikrovaskuler kronis yang dianggap sebagai
komplikasi trombosis arteri PV. Pasien dengan riwayat IMA dan Advanced HF digolongkan
pada individu dengan resiko trombosis yang tinggi. Oleh karena itu pasien dijadwalkan untuk
terapi flebotomi dan diberikan regimen terapi aspilet dan hidroksiurea. Untuk mengatasi masalah
peningkatan preload dan afterload, terapi diuretik, Sacubitril-Valsartan dan Nitrogliserin juga
diberikan pada pasien kami dengan kondisi Advanced HF dengan PV.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Dalal, Shivani & Patel, Krunalkumar & Tran, Daniel & Patel, Akash & Patel, Umang &
Rajagopalan, Venkataraman. (2021). Polycythemia Vera and Heart Failure: Association
and Outcomes- a Propensity Matched Analysis in Hospitalized Patients. Blood. 138.
4621- 4621. 10.1182/blood-2021-153898.
2. Arber DA, Orazi A, Hasserjian R, Thiele J, Borowitz MJ, Le Beau MM, et al. The 2016
revision to the World Health Organization classification of myeloid neoplasms and acute
leukemia. Blood. 2016 May 19. 127 (20):2391-405.
3. Chung I, Lip GY. Virchow's triad revisited: blood constituents. Pathophysiol Haemost
Thromb. 2003; 33:449–454. [PubMed: 15692259]
4. Kroll, Michael H et al. “Mechanisms of thrombogenesis in polycythemia vera.” Blood
reviews vol. 29,4 (2015): 215-21. doi:10.1016/j.blre.2014.12.002
5. Zaman, Muhammad Omer et al. “Heart failure with reduced ejection fraction due to
polycythemia vera.” Oxford medical case reports vol. 2021,10 omab104. 26 Oct. 2021,
doi:10.1093/omcr/omab104
6. De Grandis M, Cambot M, Wautier MP, Cassinat B, Chomienne C, Colin Y, et al.
JAK2V617F activates Lu/BCAM-mediated red cell adhesion in polycythemia vera
through an EpoR-independent Rap1/Akt pathway. Blood 2013;121: 658–65.
7. Marchioli, Roberto et al. “Cardiovascular events and intensity of treatment in
polycythemia vera.” The New England journal of medicine vol. 368,1 (2013): 22-33.
doi:10.1056/NEJMoa1208500
8. Kodliwadmath, Ashwin & Khanra, Dibbendhu. (2020). A case of heart failure and
polycythemia: Treated with phlebotomy. Journal of the Practice of Cardiovascular
Sciences. 6. 169. 10.4103/jpcs.jpcs_6_20.
9. McDonagh, Theresa A et al. “2021 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure.” European heart journal vol. 42,36 (2021): 3599-
3726.doi:10.1093/eurheartj/ehab368
10. Marchioli R, Finazzi G, Landolfi R, Kutti J, Gisslinger H, Patrono C, et al. Vascular and
neoplastic risk in a large cohort of patients with polycythemia vera. J Clin Oncol. 2005;
23:2224–2232. [PubMed: 15710945]

24
11. Hsu, Steven et al. “Hemodynamics for the Heart Failure Clinician: A State-of-the-Art
Review.” Journal of cardiac failure vol. 28,1 (2022): 133-148.
doi:10.1016/j.cardfail.2021.07.012
12. Sirhan, Shireen et al. “Red cell mass and plasma volume measurements in polycythemia:
evaluation of performance and practical utility.” Cancer vol. 104,1 (2005): 213-5.
doi:10.1002/cncr.21105
13. Sehgal, Arvind & Francis, J. (2011). Hemodynamic alterations associated with
polycythemia and partial exchange transfusion. Journal of perinatology : official journal
of the California Perinatal Association. 31. 143-5. 10.1038/jp.2010.136.

14. Rusak T, Misztal T, Piszcz J, Tomasiak M. Nitric oxide scavenging by cell-free


hemoglobin may be a primary factor determining hypertension in polycythemic
patients. Free Radic Res. 2014 Feb;48(2):230-8.
15. Griesshammer, Martin et al. “Thromboembolic events in polycythemia vera.” Annals of
hematology vol. 98,5 (2019): 1071-1082. doi:10.1007/s00277-019-03625-x
16. Landolfi R, Marchioli R, Kutti J, Gisslinger H, Tognoni G, Patrono C, Barbui T,
European Collaboration on Low-Dose Aspirin in Polycythemia Vera Investigators (2004)
Efficacy and safety of low-dose aspirin in polycythemia vera. N Engl J Med 350:114–
124.

25

Anda mungkin juga menyukai