Anda di halaman 1dari 15

PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR

Disusun oleh,

Dhea Eriza Silvyawati (1950800018)


Pramudya Dhana Brata (1950800020)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS VETERAN
BANGUN NUSANTARA SUKOHARJO TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat yang dihasilkan


oleh alat ucap manusia berbentuk simbol bunyi (Keraf, 2004:1). Bahasa merupakan alat
komunikasi dan dapat digunakan untuk bertukar ide, berdiskusi, atau membahas masalah
yang dihadapi. Komunikasi yang dimaksud tidak hanya dalam bidang resmi
pemerintahan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Pihak yang terlibat dalam proses
komunikasi terdapat dua orang, yaitu pertama yang mengirim informasi, dan kedua
yang menerima informasi. Alat yang digunakan dapat berupa simbol atau lambang, dan
informasi yang disampaikan berupa suatu gagasan, uraian atau pesan (Rizky Nurulita
Pratiwi1, Burhan Eko Purwanto2, 2021). Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-
hari sering terjadi salah paham yang menyebabkan informasi dan maksud dari sebuah
ujaran yang tidak tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu, manusia harus dapat
memahami makna dan maksud dari tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya serta
tidak hanya mengerti apa yang telah diujarkan oleh penutur, tetapi juga konteks yang
digunakan dalam ujaran (Fitri Liantari1), A. Rahman2), 2021). Apa makna yang
dikomunikasikan tidak hanya dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur
tersebut, tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komperhensif,
termasuk aspek-aspek situasional komunikasi (ANDARI, n.d.) Menurut Gazdar dalam
(Nadar, 2009) Wijana dan Rohmadi (2009:4) menjelaskan bahwa pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu
bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Pragmatik juga bisa
diartikan sebagai ilmu yang mengkaji makna di balik makna tuturan (Sugeng Febry
Andryanto, Andayani, 2014). Pragmatik menurut Levinson (Purmo, 1990:17)
mengkaji empat hal meliputi dieksis, praanggapan, tindak tutur dan implikatur.
Praanggapan menelaah anggapan yang dimiliki oleh masing-masing orang yang
terlibat pembicaraan atau penuturan. Menurut Stalnsker (Kartomihardjo dalam Pelba,
1993:30), praanggapan merupakan pengetahuan Bersama (common ground) antara
pembaca dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. (Retnosari, 2014). Praanggapan
merupakan bagian dari pragmatic, yang menghubungkan dua proposisi untuk dapat
dipahami maknanya. Praanggapan didapat dari pernyataan yang disampaikan tanpa perlu
ditentukan apakah praanggapan tersebut benar atau salah. Pemahaman mengenai
praanggapan ini melibatkan dua partisipan utama, yaitu dua penutur atau yang
menyampaikan suatu pernyataan atau tuturan dan lawan tutur yang biasanya diasosiasikan
dengan pemilihan kata/diksi, frasa,dan struktur (Siregar, 2019). Menurut Kaswanti Purwo
(1990: 19) ihwal praanggapan dapat dilihat sebagai berikut. Jika suatu kalimat diucapkan,
selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut sertakan pula
tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat itu
(Riyanti, 2015). Praanggapan terjadi karena mempunyai peran sangat penting dalam
kegiatan berkomunikasi, karena dapat menyebabkan interaksi orang satu dengan yang
lainnya akan berjalan baik ataukah sebaliknya (Santika, 2019). Jadi makna praanggapan
adalah pemahaman yang melatarbelakangi suatu tindak tutur antara penutur dan mitra
tutur. (Riyanto, 2018). Implikatur adalah yang mengandung informasi atau maksud
yang tersembunyi dan dapat ditafsirkan menjadi berbagai macam pengertian (Mansyur,
2019). Implikatur yang diutarakan oleh Grice (Kartomihardjo dalam Pelba 6, 1993:30)
dimaksudkan sebagai ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. (Retnosari, 2014). Menurut Grice dalam (Yule, 1996)
menyatakan bahwa implikatur merupakan makna lain dari sebuah tuturan atau dapat
disebut efek dari sebuah tuturan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa implikatur merupakan makna lain yang tersirat dalam sebuah tuturan yang
ingin disampaikan dalam sebuah tuturan. Terkadang implikatur muncul untuk
menyampaikan sebuah perintah, kritik bahkan untuk menyindir terhadap suatu hal
(Purwaningrum, 2019). Jadi makna implikatur adalah pemahaman dari suatu ujaran yang
tidak dinyatakan secara langsung (Riyanto, 2018).
2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian dan hakikat praanggapan dan implikatur?
b. Bagaimana jenis dan contoh praanggapan dan implikatur?
c. Bagaimana ciri dan fungsi praanggapan dan implikatur?

3. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami pengertian dan hakikat praanggapan dan implikatur.
b. Mengetahui dan memahami jenis dan contoh praanggapan dan implikatur.
c. Mengetahui dan memahami ciri dan fungsi praanggapan dan implikatur.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hakikat

PRAANGGAPAN
Jika dirunut dari penamaannya, “pra” dan “anggapan”, dapat dijabarkan bahwa
kata “pra” mengandung arti sebelum, dan “anggapan” adalah sangkaan. Tujuannya
adalah untuk meninggikan nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Selain
itu, praanggapan memiliki fungsi efisiensi yang estetis. Maka dari itu, praanggapan
seringkali atau bahkan diwajibkan bersifat positif dan harus pasti atau definit (Naning
Nur Wijayanti). Jika setiap satu informasi dibuat dalam satu kalimat, maka tidak
akan efektif dan fungsi praanggapan tidak akan bekerja. Suatu wacana akan kurang
tersusun konteksnya dengan baik jika fungsi praanggapan tidak dipergunakan.
Contoh praanggapan :
Mary’s brother bought three horses. ‘Saudara laki-laki Marry membeli tiga ekor
kuda’
Ketika menghasilkan tuturan itu, penutur tentunya diharapkan memililiki
praanggapan bahwa seseorang yang bernama Marry ada dan dia memiliki seorang saudara
laki-laki. Penutur mungkin juga menyimpan presuposisi yang lebih khusus bahwa Marry
hanya memiliki seorang saudara laki-laki dan dia memiliki banyak uang. Sebenarnya
semua presuposisi ini menjadi milik penutur dan semua praanggapan itu boleh jadi salah
(N. N. Wijayanti, 2017).

IMPLIKATUR
Implikatur dikenalkan Grice (1975), Pratt (1981), Brown & Yule (1986),Carston
(1991) dalam beberapa karya mereka. Istilah implikatur diantonimkan dengan istilah
eksplikatur. Istilah implikatur dipakai oleh H.P Grice pada tahun I967 untuk
menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik
biasa (Lubis, I99I:70). Menurut Mei dalam Nadar (2008:60) implikatur ”implicature”
berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication (Wati, 2017).
Secara sederhana implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang
ditimbulkan oleh yang tersurat (eksplikatur).Implikatur dimaksudkan sebagai suatu
ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan.Menggunakan implikatur dalam percakapan berarti menyatakan sesuatu
secara tidak langsung (Saputra, Mujiyono, 2015).

B. Jenis dan Contoh


PRAANGGAPAN
Praanggapan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu praanggapan semantik
dan praanggapan pragmatik.
✓ Praanggapan semantik adalah yang dapat dinyatakan secara sederhana dapat
dipahami sebagai praanggapan atau disebut dengan entailment (penentu,
konsekuensi logis).
Misal : “Bu Lusi tidak jadi berangkat kuliah. Anak bungsunya demam.”
Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan sebagai
berikut:
a. Bu Lusi seharusnya berangkat kuliah.
b. Bu Lusi mempunyai beberapa anak.

✓ Praanggapan pragmatik ialah asumsi pembicara berupa ekspresi yang disusunnya


dapat diterima pendengarnya (pembacanya)
Misal : “Harganya murah sekali”, sebagai jawaban pertanyaan,”Berapa harganya?”
Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin
kata “murah” itu berarti “mahal sekali” (Yuliana, 2011).

Yule (1996:46-51) yang mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis


praanggapan potensial, yaitu :
a. Praanggapan Eksistensial
Praanggapan Eksistensial Praanggapan eksistensial ialah sebagai praanggapan
yang menunjukkan eksistensi/keberadaan/jati diri referen yang diungkapkan dengan
kata yang definit.
Misal : :”Begitu banyakkah maling di negeri ini, yang berpendidikan tinggi tapi
bermoral rendah.”
Dalam tuturan tersebut dapat diasumsikan keberadaan negara Indonesia saat ini
banyak yang maling alias mencuri uang yang sebenarnya menjadi hak rakyat. Tuturan ini
menyatakan bahwa yang dimaksud ‘berpendidikan tinggi tapi bermoral rendah’ adalah
para pejabat. Sebagian yang berpendidikan tinggi tidak sadar diri bahwa jabatan yang
diberikan rakyat adalah suatu kehormatan yang harus dijaga identitasnya sebagai seorang
yang bermoral baik. Menunjukkan kata yang definit yaitu ‘maling’.

b. Praanggapan Faktual
Praanggapan faktual adalah informasi yang dipraanggapkan yangm engikuti kata kerja
‘tahu’ dapat dianggap sebagai kenyataan.Sejumlah kata kerja lain, seperti ‘menyadari’,
‘menyesal’, maupun frasa-frasa yang melibatkan kata kerja ‘be’ dengan ‘sadar’,
‘mengherankan, dan ‘gembira’ yang memiliki praanggapan faktif.
Misal : “Itulah politik lurus dibengkoki. Bengkok belum tentu dilurusin.Kalau keinginan
Jokowi sangat jelas demi bangsa dan negara beliau memilih Mahmud MD.Lagi- lagi demi
koalisi yang penuh ambisi.”
Penutur berasumsi bahwa Jokowi memang benar-benar melakukan kerja sama untuk
mendapatkan suara yang banyak dari rakyat pendukungnya. Penggunaan frasa ‘sangat
jelas’ membuat penutur sangat yakin bahwa pernyataan itu benar.
c. Praanggapan Leksikal
Pada umumnya dalam praanggapan leksikal, pemakaian suatu bentuk dengan makna
yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu
makna lain (yang tidak dinyatakan). Contoh-contoh yang disajikan, melibatkan
masalah-masalah leksikal, ‘berhenti’, ‘memulai’, dan ‘lagi’, dengan praanggapan-
praanggapannya.
Misal : “Jokowi jadi presiden kita lagi, karena rakyat banyak yang memilihnya.”
Penutur mengasumsikan bahwa Jokowi akan jadi presiden lagi pada pemilihan
berikutnya.. Lihat pada kata ‘lagi’. Saat ini memang Jokowi adalah presiden RI,
anggapannya banyak rakyat yang suka bahkan akan banyak yang akan memilihnya.

d. Praanggapan Struktural
Praanggapan struktural adalah struktur kalimat-kalimat tertentu yang telah dianalisis
sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya.Kemungkinan dikatakan jika penutur memakai struktur-
struktur yang demikian itu untuk informasi diprasangkakan, karena dianggap benar
dan kebenarannya diterima oleh pendengar.
Misal : Bukan pengangguran yang kurang pak, orang yang nyari kerja yang berkurang
karena percuma nggak ada juga lapangan kerjanya
Struktur kalimat di atas mempraanggapkan sebagian orang mencari pekerjaan tetapi
lapangan kerja yang terbuka tidak ada.Dikatakan ini praanggapan struktural karena
terdapat bentuk kalimat bermakna kata tanya ‘siapa’ yaitu ‘orang’ dan ‘mengapa’mereka
mencari pekerjaan tetapi tidak ada lowongan.

e. Praanggapan Non-Faktif
Praanggapan non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.Kata-
kata kerja seperti ‘bermimpi’, ‘membayangkan’, dan ‘berpura- pura’
Misal : “Tiba ke KPK sempat mau ke karaoke saja, para koruptor harus diborgol donk
siapapun dia.”
Frasa ‘sempat mau ke karaoke’ menunjukan bahwa praanggapan dalam kalimat ini
diasumsikan ia tidak ke karaoke. Penutur hanya membayangkan saja.

f. Praanggapan Kontrafaktual (Prepposisi faktual tandingan)


Praanggapan kontrafaktual adalah apa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar,
tetapi merupakan kebalikan (lawannya) dari benar, atau ‘bertolak belakang dengan
kenyataan.
Misal : “Saya kira ustad pakai baju dan peci, taunya maling uang rakyat. Tapi kalau yang
maling adalah rakyat kok dipukuli, sedangkan pejabat yang maling seperti dewa dijaga
polisi, orang tidak boleh mendekati.”
Tuturan tersebut bertolak belakang dengan kenyataan, penutur mengasumsikan yang pakai
baju dan peci adalah ustad. Hal ini berkebalikan dari apa yang dinyatakan, Sebenarnya
bukan ustad yang pakai baju dan peci tetapi maling yang mencuri uang rakyat. Yang
menunjukkan praanggapan kontrafaktual terdapat pada kata ‘sedangkan’ (Halidu, 2019).

IMPLIKATUR
Implikatur dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu implikatur konvensional dan
nonkonvensional.
➢ Implikatur konvensional adalah makna suatu ujaran yang secara konvensional atau
secara umum diterima oleh masyarakat. Implikatur konvensional ini sering disebut
dengan prinsip kerja sama yang pada praktiknya prinsip ini berpegang pada empat
maksim. Grice (dalam Rohmadi, 2010 : 60) membagi maksim menjadi maksim
kualitas, kuantitas, relevansi, dan pelaksana atau cara.
Misal : ‘Dia seorang laki-laki Inggris, karena itu dia berani’. Implikasi tuturan itu
adalah bahwa pengertian seorang laki-laki Inggris orang yang berwatak lebih berani.
Jika laki-laki tersebut bukan orang Inggris, tuturan itu tidak berimplikasi bahwa laki-
laki tersebut berwatak berani.
➢ Implikatur nonkonvensional/percakapan yang dimaksud adalah ujaran yang
menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya.
Misal: “Wah, Pak Bambang sekarang sudah menjadi orang”. Implikatur percakapan
tuturan tersebut maksudnya adalah bahwa dahulu pak Bambang belum sukses
(Mardliyah, 2021).

Stephen C. Levinson (1983) membagi implikatur percakapan dalam dua jenis, yakni :
1. Implikatur percakapan khusus
2. Implikatur umum
Implikatur yang pertama adalah implikatur yang dalam pemaknaannya sangat tergantung
pada fitur-fitur tertentu dari konteks. Sebagai contoh dapat diamati dari percakapan berikut
:
A : Apakah Adi kuliah hari ini?
B : Motor Adi katanya mogok pak.
Jawaban B merupakan implikatur umum karena sebenarnya proposisi motor Adi mogok
secara umum tidak menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kehadiran kuliah.
Namun, karena dikaitkan dengan pertanyaan, dapat dipahami bahwa secara kontekstual
maknanya adalah kemungkinan besar Adi tidak akan kuliah karena motornya mogok.
Sementara implikatur yang kedua atau implikatur percakapan bukan tergantung pada
konteks melainkan proposisi yang dituturkan. Contoh :
A : Saya fikir Adi tidak akan kuliah nanti sore.
B (Tidak mengetahui dengan pasti apakah Adi tidak akan kuliah nanti sore)

Implikatur Percakapan (IP) dengan beberapa jenisnya yaitu :


a. IP melarang
Misal :
Konteks (Ari mengingatkan Wahyu yang tidak memiliki gigi depan untuk tidak
banyak makan makanan yang banyak mengandung gula)
Ari : :”Kalau lu makan gula lagi, gusi lu copot ntar.”

Tuturan tersebut disampaikan Ari secara tidak langsung untuk melarang Wahyu makan
gula lagi, dibuktikan pada tuturan di atas yang bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut
mengindikasikan bahwa ada sebuah larangan yang tersirat dalam tuturan Ari. Oleh karena
itu, implikatur percakapan seperti pada tuturan di atas termasuk dalam IP melarang.

b. IP menyetujui
Misal :
Surya :”Panas?”
Alex :”Jam berapa nih? Panas Sur, jam dua belas nih!”
Surya :”Ohhhhh, iya.”
Alex :”Bagus, bagus.”

Dalam tuturan tersebut mengindikasikan bahwa ada sebuah persetujuan atau satu
pemikiran yang tersirat dalam tuturan Alex. Oleh karena itu, implikatur percakapan
seperti pada tuturan tersebut termasuk dalam IP menyetujui.

c. IP menolak
Misal :
Rizki :”Pak..pak.. tolong kunyahin pak, susah ngigit.” (menyodorkan kudapan
berupa buah kepada Bedu)
Ilyas :”Lah lu kira gue luwak kali nyari gituan.”

Tuturan tersebut disampaikan Ilyas secara tidak langsung menolak permintaan Rizki,
dibuktikan pada tuturan di atas yang bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut
mengindikasikan bahwa ada sebuah penolakan yang tersirat dalam tuturan Ilyas. Oleh
karena itu, implikatur percakapan seperti pada tuturan tersebut termasuk dalam IP
menolak.

d. IP memerintah
Misal :
Agung :”Ayo Nan, diem-diem bae.”
Kinan :”Ngopi dong, ngopi.”
Tuturan tersebut disampaikan Kinan secara tidak langsung memberikan ajakan
sekaligus perintah kepada Agung, dibuktikan pada tuturan di atas yang bercetak tebal.
Dalam tuturan tersebut mengindikasikan bahwa ada sebuah perintah yang tersirat dalam
tuturan Kinan. Oleh karena itu, implikatur percakapan seperti pada tuturan tersebut
termasuk dalam IP memerintah.
e. IP meminta
Misal :
Konteks: Cak Lontong menjawab pertanyaan Akbar ketika dia meminta sebuah
pembuktian terhadap jawaban soal TTS yang diberikan
Akbar : “Tapi Bapak data dari mana kalau setiap petani ke sawah bawa nasi?”
Cak Lontong : “Kalau tidak bisa menyejukkan, ya jangan memanas- manasi.”
Tuturan tersebut disampaikan Cak Lontong, yang secara tidak langsung memberikan
sebuah permintaan kepada para peserta yang protes untuk tidak emosional, dibuktikan
pada tuturan di atas yang bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut mengindikasikan bahwa
ada sebuah permintaan yang tersirat dalam tuturan Cak Lontong. Oleh karena itu,
implikatur percakapan seperti pada tuturan tersebut termasuk dalam IP meminta.

f. IP menegaskan
Misal :
Indra :”Ini kapan?!!!”
Izal :”Oh ya silahkan,” (sambil membungkukan badan tanda mempersilahkan)”
Agil :”Oh...oh...oh sabar sekaliiii, sabar sekali om.”

Tuturan tersebut disampaikan Agil, yang secara tidak langsung memberikan penegasan
mengenai sifat dari Indra yang tidak sabaran, dibuktikan pada tuturan di atas yang
bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut mengindikasikan bahwa ada sebua penegasan yang
tersirat dalam tuturan Agil. Oleh karena itu, implikatur percakapan seperti pada tuturan
tersebut termasuk dalam IP menegaskan.

g. IP mengeluh
Misal :
Cak Lontong :”Sepuluh mendatar delapan kotak, huruf ‘A’ di kotak kedua.”
Bedu :”Gila, gue lapar ya gara-gara ngejawab TTS ini.”

Tuturan tersebut disampaikan Bedu, yang secara tidak langsung mengeluh mengenai
perutnya yang terasa lapar karena berusaha keras memikirkan jawaban TTS WIB,
dibuktikan pada tuturan di atas yang bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut
mengindikasikan bahwa ada sebuah keluhan yang tersirat dalam tuturan Bedu. Oleh
karena itu, implikatur percakapan seperti pada tuturan di atas termasuk dalam IP
mengeluh.

h. IP melaporkan.
Misal :
Cak Lontong :”Tim A menjawab tarik. Tim B?
Tim B :”Tanah”.
Cak Lontong :”Baik, tanah.”
Tim A :”Waktu habis dong Pak.”

Tuturan tersebut disampaikan Tim A, yang secara tidak langsung memberitahukan


mengenai batas waktu yang diberikan untuk menjawab soal TTS telah habis, dibuktikan
pada tuturan di atas yang bercetak tebal. Dalam tuturan tersebut mengindikasikan bahwa
ada sebuah informasi baru yang tersirat dalam tuturan Tim A. Oleh karena itu, implikatur
percakapan seperti pada tuturan di atas termasuk dalam IP melaporkan. (Riyanto, 2018)

Menurut Grice (1975: 45) ada seperangkat asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan
percakapan sebagai suatu tindak berbahasa (speech act). Menurut analisisnya, perangkat
asumsi yang memandu tindakan orang dalam percakapan itu adalah “prinsip kerjasama”
(cooperative principle). Dalam melaksanakan “kerja sama” tindak percakapan, setiap
penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (maxim of conversation) yakni (1)
maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, (4) maksim cara. Penjelasan
keempat maksim tersebut adalah sebagai berikut:
1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Maksim kuantitas menghendaki penutur untuk memberikan kontribusi yang
secukupnya atau sebanyak informasi yang dibutuhkan. Berikut ini adalah contoh
maksim kuantitas.
a. Ali : Nama kamu siapa?
b. Evi : Nama saya Evi. Kelas tiga SD Cemara Dua. Rumah saya di Pasar Kliwon.
Bapak saya seorang polisi. Ibu saya seorang ibu rumah tangga.
Agar percakapan di atas memenuhi prinsip kuantitas, Evi tidak perlu
mengungkapkan dirinya secara lengkap karena Ali hanya menanyakan nama saja.
Seharusnya Evi hanya menyebutkan namanya saja, tanpa mengungkapkan jawaban
yang lain.

2. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)


Maksim kualitas menekankan tentang kewajiban penutur untuk mengatakan hal
yang sebenarnya. Kontribusi penutur haruslah berisi kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan.
a. Pak Guru : Dalam sehari terdapat berapa jam?
b. Siswa : 30 jam.
c. Pak Guru : Ya, selamat kamu telah dapat bonus tambahan enam jam ya.
Tuturan pak Guru (5c) Ya, selamat kamu telah dapat bonus tambahan enam jam
ya dimaknai sebagai bantahan atas jawaban siswa yang salah. Harusnya siswa
menjawab 24 jam.Dengan melihat tuturan pak guru, siswa akan berpikir bahwa tidak
mungkin dalam sehari semalam terdapat tambahan jam.

3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)


Maksim relevansi mengharuskan peserta percakapan memberikan kontribusi
yang sesuaiatau relevan dengan pembicaraan. Agar lebih jelas, perhatikan contoh di
bawah ini.
a. Tony : Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.
b. Bapak : Yang menang apa hadiahnya?
Percakapan antara Tony dan bapaknya tentang peristiwa kecelakaan lalu lintas
di pertigaan depan. Tabrakan terjadi antara sepeda motor lawan sebuah truk.
Kecelakaan umumnya menimbulkan korban, baik korban luka maupun korban
meninggal. Seharusnya bapak menanyakan apakah terjadi korban dari kecelakaan itu.
Bukan menanggapinya dengan menanyakan hadiah bagi pemenang. Karena dalam
kecelakaan tidak ada menang atau kalah.

4. Maksim Pelaksanaan/ Cara (The Maxim of Manner)


Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara
langsung,tidak kabur, tidak taksa, tidak berlebih-lebihan, runtut, singkat-padat, dan
secara tertip-teratur.
a. Tina : Masak Peru ibukotanya Lima. Banyak amat.
b. Andi : Bukan jumlahnya, tetapi namanya.

Dalam konteks percakapan di atas, yang dimaksud dengan Lima bukanlah berarti ‘nama
bilangan’, melainkan Lima adalah nama ibukota negara Peru. Dalam pragmatik tidak
dikenal adanya ambiguitas. Ambigu harus dihindari dalam pragmatik.

C. Ciri dan Fungsi


Ciri Praanggapan
Praanggapan memiliki ciri-ciri tertentu yang mudah dikenali (Yule, 2006: 45). Ciri-ciri
tersebut adalah:
a. Tetap Benar Walaupun Dinegasikan
Ciri-ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat kebenaran di bawah penyangkalan
(Yule, 2006: 45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan suatu pernyataan akan
tetap benar walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan.
b. Dapat Dibatalkan
Seperti halnya implikatur percakapan, praanggapan juga dapat dibatalkan atau dihapus.
Praanggapan dapat dihapus jika tidak sesuai dengan: asumsi yang tersirat, implikatur
percakapan, dan konteks kebahasaan. Selanjutnya, praanggapan dapat ditunda karena
adanya argumen-argumen yang terkurangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang ada
dalam wacana (Widyaninggar, 2011)
Ciri Implikatur
✓ Implikasi tidak dinyatakan secara eksplisit
✓ Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya (apa yang
diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan)
✓ Termasuk unsur luar wacana
✓ Implikatur dapat dibatalkan
✓ Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna(multi interpretable)
✓ Terjadi karena mematuhi atau tidak mematuhi prinsip kerja sama dalam
percakapan.(Mulyana, 2001)
Fungsi Praanggapan
Membantu megurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
Sebagai acuan dan nonacuan/mempunyai makna lain dalam setiap ujaran penuturnya.
Memiliki fungsi manipulatif (Ujaran yang disampaikan dapat memanipulasi benda,
peristiwa sesuai kondisi, tujuan, dan sasarannya) dan fungsi ideologis (Ujaran yang
disampaikan harus sesuai acuan-acuannya/dasar-dasarnya dalam penyampaian penutur).

Fungsi Implikatur
Wiryotinoyo (1997:4) menjelaskan dalam melakukan pembicaraan, partisipan perlu
mengikuti prinsip kerja sama agar percakapan dapat berjalan lancar sampai pada tujuan,
tentunya dalam hal ini IP memiliki fungsi yang dapat memperlancar komunikasi
antara penutur dan petutur. Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan diperlukan
antara lain untuk: 1) Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang
tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural. 2) Menjembatani proses komunikasi
antar penutur. 3) Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana
kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan
secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud. 4) Dapat menyederhanakan
pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu
dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama. 5) Dapat menerangkan berbagai
macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan (Saputra,
Mujiyono, 2015). Yule (1996:46-51) yang mengklasifikasikan praanggapan ke
dalam 6 jenis praanggapan potensial, yaitu praanggapan eksistensial,
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

Praanggapan merupakan bagian dari pragmatic, yang menghubungkan dua proposisi untuk
dapat dipahami maknanya. Praanggapan didapat dari pernyataan yang disampaikan tanpa
perlu ditentukan apakah praanggapan tersebut benar atau salah. Pemahaman mengenai
praanggapan ini melibatkan dua partisipan utama, yaitu dua penutur atau yang
menyampaikan suatu pernyataan atau tuturan dan lawan tutur yang biasanya diasosiasikan
dengan pemilihan kata/diksi, frasa,dan struktur. Jika dirunut dari penamaannya, “pra” dan
“anggapan”, dapat dijabarkan bahwa kata “pra” mengandung arti sebelum, dan
“anggapan” adalah sangkaan. Tujuannya adalah untuk meninggikan nilai
komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Implikatur merupakan makna lain dari
sebuah tuturan atau dapat disebut efek dari sebuah tuturan. Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan makna lain yang tersirat
dalam sebuah tuturan yang ingin disampaikan dalam sebuah tuturan. Terkadang
implikatur muncul untuk menyampaikan sebuah perintah, kritik bahkan untuk
menyindir terhadap suatu hal . Istilah implikatur diantonimkan dengan istilah eksplikatur.
Istilah implikatur dipakai oleh H.P Grice pada tahun I967 untuk menanggulangi persoalan
makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa implikatur
”implicature” berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah
implication. Praanggapan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu praanggapan
semantik dan praanggapan pragmatik.praanggapan faktual, praanggapan structural,
praanggapan, praanggapan leksikal, praanggapan non-aktif, praanggpan kontrafaktual.
Implikatur dibagi menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan implikatur
nonkonvensional.Ciri implikatur adalah tidak dimasukkan secara eksplisit, terdapat di luar
wacana, dll. Ciri praanggapan adalah tetap benar walaupun dinegasikan, dan dapat
dibatalkan.
DAFTAR PUSTAKA
ANDARI, M. D. (n.d.). PRAANGGAPAN DALAM FILM CEK TOKO SEBELAH KARYA
ERNEST PRAKASA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
MENYIMAK DI SMP.
Fitri Liantari1), A. Rahman2), R. T. (2021). PRAANGGAPAN DALAM TINDAK TUTUR
TAYANGAN “BOCAH NGAPA(K) YA” DI TRANS 7. Jurnal Pesona, 7(2), 137–147.
Halidu, S. (2019). PRAANGGAPAN PADA KOMENTAR HALAMAN PENGGEMAR METRO
TV DI FACEBOOK.
Mansyur. (2019). Implikatur dan Praanggapan pada Program Debat Terbuka Pasangan
Pemimpin Jawa Barat Periode 2018-2023 dengan Tajuk “Debat Publik Kedua Cagub
Jawa Barat” (Suatu Kajian Pragmatik). Jurnal Diskursus, 2(1), 49–54.
Mardliyah, S. A. (2021). Pelanggaran Praanggapan dan Implikatur dalam Stand Up Comedy
Indra Frimawan. JSIM: Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan, 2(1).
Mulyana. (2001). IMPLIKATUR DALAM KAJIAN PRAGMATIK. 8(19), 1–3.
Mulyanta, R. (2012). PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA : Sebuah Kajian Pragmatik.
Purwaningrum, P. W. (2019). Praanggapan Pada Tuturan Neneng Garut: Kajian Pragmatik
dalam Stand Up Comedy Academy (SUCA 3). Wanastra, 11(1), 07–14.
Retnosari, I. E. (2014). PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR DALAM Mr.PECUT
JAWA POS. WAHANA, 63(2).
Riyanti, I. (2015). PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA UNTUK MEMBENTUK PEMIKIRAN KRITIS IDEOLOGIS PEMUDA
INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN PRAGMATIK. Prosiding Prasasti.
Riyanto, P. M. (2018). IMPLIKATUR DAN PRAANGGAPAN DALAM ACARA WAKTU
INDONESIA BERCANDA DI NET TV EPISODE TOURNAMENT APRIL 2018.
Rizky Nurulita Pratiwi1, Burhan Eko Purwanto2, K. K. (2021). PERCAKAPAN
PEMBAWA ACARA ROSI SPESIAL DAN IMPLIKASINYA DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA JENJANG SMA. Jurnal Inovasi
Pembelajaran Karakter (JPIK), 6(2).
Santika, D. (2019). PRAANGGAPAN DALAM ACARA TALK SHOW MATA NAJWA DI
STASIUN TELEVISI SWASTA TRANS7. Universitas Islam Riau.
Saputra, Mujiyono, A. (2015). IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM STAND UP
COMEDY INDONESIA DI STASIUN KOMPAS TV EDISI APRIL 2014. Pena, 5(1).
Siregar, J. (2019). Praanggapan Dalam Acara Talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) Di
TV One.
Sugeng Febry Andryanto, Andayani, M. R. (2014). ANALISIS PRAANGGAPAN PADA
PERCAKAPAN TAYANGAN “SKETSA” DI TRANS TV. BASASTRA, 2(3).
Wati, D. R. (2017). IMPLIKATUR DALAM PERCAKAPAN SINETRON PARA
PENCARI TUHAN. Jurnal Penelitian Humaniora, 18(1), 1–9.
Widyaninggar, T. (2011). PRAGMATIC STUDY ON RELEVANCE USED IN CONDOM
ADVERTISEMENT ON TELEVISION.
Wijayanti, A. (2016). PRESUPOSISI DAN IMPLIKATUR PADA STAND UP COMEDY
INDONESIA. Transformatika, 12(2).
Wijayanti, N. N. (2017). ANALISIS ASPEK DEIKSIS, PRAANGGAPAN, DAN
IMPLIKATUR DALAM NOVEL TAN KARYA HENDRI TEJA: KAJIAN WACANA.
Academia.
Yuliana, N. (2011). ANALISIS PRAGMATIK DALAM KARTUN EDITORIAL “KABAR
BANG ONE” PADA PROGRAM BERITA TV ONE.

Anda mungkin juga menyukai