Anda di halaman 1dari 2

A. Sistem Pemerintahan pada Masa Ir.

Soekarno

Masa kepemimpinan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan bagian dari sejarah
bangsa yang amat penting. Pada saat menjadi kepala negara, Soekarno pernah mencoba beberapa
sistem pemerintahan, salah satunya adalah demokrasi terpimpin.

Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin diawali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959. Dekrit ini dianggap menandai kekuasaan Soekarno yang hampir tidak terbatas dan pemusatan
kekuasaan berada di tangan Presiden Soekarno.

Masa Demokrasi Terpimpin dimulai dengan hadirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai
politik yang paling dominan dan TNI AD sebagai kekuatan Hankam dan sosial politik. Demokrasi
Terpimpin merupakan penyeimbangan kekuasaan antara kekuatan politik militer Angkatan Darat dan
Partai Komunis Indonesia dan Presiden Soekarno sebagai penyeimbang di antara keduanya.

Pertentangan antara Presiden Soekarno, TNI AD dan partai-partai politik dalam konteks Demokrasi
Terpimpin menjadi kajian penting dalam melihat kekuasaan Presiden dalam kurun waktu berlakunya
UUD 1945 di Indonesia. Pada era pemerintahan sistem politik Demokrasi Terpimpin ini, peranan PKI
sangat menonjol dan berkembang menjadi kekuatan politik.

Sementara pihak yang gigih melawan PKI adalan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang
pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap menjadi pendukung pemberontakan
yang terjadi di daerah Sumatera dan Sulawesi. TNI AD juga turut menjadi pihak yang anti komunis.
Presiden Soekarno bekerjasama dengan TNI AD untuk mengendalikan partai politik, namun di sisi lain
Soekarno melindungi PKI.

Soekarno membutuhkan PKI karena merasa terancam akan kemungkinan pengambil-alihan kekuasaan
oleh Angkatan Darat, maka terjadilah persaingan antara tiga kekuatan, yaitu Presiden, TNI AD dan PKI.
Otoritas dan kedudukan Soekarno sebagai penentu kebijakan-kebijakan politik menjadikannya sebagai
ajang perebutan dua kekuatan politik antara TNI dan PKI untuk saling mendekati dan mempengaruhi
Presiden.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante dalam menetapkan UUD baru
untuk pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, namun
pada kenyataannya hingga tahun 1958 belum sukses mendefinisikan UUD yang diharapkan.
Sementara di kalangan warga pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 lebih kuat. Dalam
menanggapi hal itu, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan
sidang Konstituante yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45.

Pada 30 Mei 1959 Konstituante menerapkan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD
1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang mencetuskan setuju lebih banyak dan tetapi
karenanyanya pemungutan suara ini harus diulang, sebab banyak suara tidak memenuhi kuorum.

Kuorum adalah banyak minimum anggota yg harus benar di rapat, majelis, dan untuknya (biasanya lebih
dari separuh banyak anggota) supaya dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali
diterapkan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai
kuorum.

Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang parlemen; ketika
istirahat dari cara bersidang) yang ternyata merupakan penghabisan dari upaya penyusunan UUD.

Hingga akhirnya, pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang
diumumkan dalam upacara formal di Istana Merdeka.

Isi dari Dekrit tersebut antara lain:

Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlangsungnya UUDS 1950.

Pembubaran Konstituante.

Anda mungkin juga menyukai