Anda di halaman 1dari 26

BUPATI KUDUS

PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS


NOMOR 5 TAHUN 2020

TENTANG

PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA


DI KABUPATEN KUDUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KUDUS,

Menimbang : a. bahwa Pemerintah Kabupaten Kudus bertanggung jawab


melindungi seluruh masyarakat Kudus dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan termasuk atas bencana dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa bencana dapat menghambat dan mengganggu


kehidupan dan penghidupan masyarakat, pelaksanaan
pembangunan dan hasilnya, sehingga perlu dilakukan upaya
antisipasi dan penanggulangan secara terkoordinir, terpadu,
cepat, dan tepat;

c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-


Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, disebutkan bahwa penetapan kebijakan
penanggulangan bencana pada wilayah daerah merupakan
kewenangan Pemerintah Daerah;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di
Kabupaten Kudus;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan


Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa
Tengah;
2

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886);

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan


Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4355);

7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4723);

9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);

10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4967);

11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
3

12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);

13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang


Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3175);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang


Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3733);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang


Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4829);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran


Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4830);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang


Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6041);

20. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 199);
4

21. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun


2009 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di
Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 26);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS
dan
BUPATI KUDUS

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN


PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN KUDUS.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Kudus.
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Kudus.
4. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten
Kudus.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
6. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya
disingkat BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Kabupaten Kudus.
7. Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten
Kudus adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
5

10. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh


peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau
antar komunitas masyarakat, dan teror.
12. Kegiatan Pencegahan Bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau
mengurangi ancaman bencana.
13. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, serta
melalui langkah yang tepat guna, dan berdaya guna.
14. Peringatan Dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
15. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
16. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.
17. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana.
18. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana
dan sarana kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik
pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peranserta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana.
19. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang
bisa menimbulkan bencana.
20. Wilayah bencana adalah wilayah tertentu yang terkena
dampak bencana.
21. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.
6

22. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan


kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.
23. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
24. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu
yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
25. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan
darurat.
26. Status keadaan darurat adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas
dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.
27. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa
atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka
waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana.
28. Kelompok rentan adalah bayi, anak usia dibawah lima tahun,
anak-anak, ibu hamil/menyusui, penyandang cacat dan orang
lanjut usia.
29. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
30. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
31. Dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan
dicadangkan oleh Pemerintah Daerah untuk digunakan pada
saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu
tanggap darurat berakhir.
32. Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang mempunyai
akta notaris/akta pendirian/anggaran dasar disertai anggaran
rumah tangga, yang memuat antara lain: asas, sifat, dan
tujuan lembaga, lingkup kegiatan, susunan organisasi,
sumber-sumber keuangan serta mempunyai kepanitiaan, yang
meliputi susunan panitia, alamat kepanitiaan, dan program
kegiatan.
33. Lembaga usaha adalah setiap orang atau badan hukum yang
dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, koperasi atau swasta yang didirikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang
bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
7

34. Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam


lingkup organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang
menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi internasional lainnya dan lembaga asing non
pemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa
Bangsa.
35. Logistik adalah sesuatu yang berwujud dan dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia yang terdiri
atas sandang, pangan, dan papan atau turunannya.
36. Peralatan adalah segala bentuk alat yang dapat dipergunakan
untuk membantu pencarian, penyelamatan, dan evakuasi
masyarakat terkena bencana, membantu pemenuhan
kebutuhan dasar dan untuk pemulihan segera prasarana dan
sarana vital.
37. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan.
38. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.

BAB II

ASAS, PRINSIP, DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Penanggulangan bencana berasaskan:


a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana adalah:


a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif; dan
i. nonproletisi.

Pasal 3

Penanggulangan bencana bertujuan untuk:


a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana;
8

b. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara


terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam
rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman, risiko dan dampak bencana;
c. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; dan
d. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan.

BAB III

TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Pasal 4

(1) Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam


penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah.

(2) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur-
unsur antara lain masyarakat, lembaga kemasyarakatan,
lembaga usaha, dan lembaga internasional.

Pasal 5

Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam APBD
yang memadai.

Pasal 6

Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan
kebijakan pembangunan Daerah;
b. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan
alam;
c. pembuatan perencanaan pembangunan memasukkan unsur-
unsur kebijakan penanggulangan bencana;
d. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota lain;
e. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman atau bahaya bencana;
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang
berskala Daerah; dan
g. pemberian izin tentang pengumpulan barang dan uang dalam
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
9

BAB IV

KELEMBAGAAN

Pasal 7

(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah


Daerah membentuk BPBD.

(2) BPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di


bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati.

BAB V

HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 8

(1) Setiap orang berhak:


a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan
tentang kebijakan penanggulangan bencana;
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap
kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan


bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena


terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 9

Setiap orang berkewajiban:


a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
penanggulangan bencana.
10

BAB VI

PERAN LEMBAGA USAHA, LEMBAGA INTERNASIONAL,


DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

Pasal 10

(1) Lembaga usaha, lembaga internasional, dan lembaga


kemasyarakatan mendapatkan kesempatan untuk berperan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana baik secara
mandiri maupun bersama dengan pihak lainnya.

(2) Peran Lembaga usaha, lembaga internasional, dan lembaga


kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk mendukung penguatan upaya
penanggulangan bencana, pengurangan ancaman dan risiko
bencana, pengurangan penderitaan korban bencana, serta
mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lebih lanjut mengenai Peran Lembaga usaha,


lembaga internasional, dan lembaga kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Bupati.

Pasal 11

Dalam melaksanakan peranan dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
lembaga usaha wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. menyelaraskan dan mengkoordinasikan kegiatannya dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan kebijakan
penanggulangan bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah;
b. menerapkan prinsip kemanusiaan saat melakukan fungsi
ekonominya dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana;
c. menyampaikan laporan kegiatan kepada Bupati atau Pejabat
yang ditunjuk; dan
d. menginformasikan kegiatan kepada publik secara transparan.

Pasal 12

(1) Dalam melaksanakan peranan dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, lembaga internasional wajib mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. menyelaraskan dan mengkoordinasikan kegiatannya dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan
kebijakan penanggulangan bencana yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah;
b. memberitahukan kepada Pemerintah Daerah mengenai
aset-aset penyelenggaraan penanggulangan bencana yang
dibawa;
c. menjunjung tinggi adat istiadat, latar belakang sosial,
budaya, dan agama masyarakat setempat;
d. mentaati ketentuan yang berkaitan dengan keamanan dan
keselamatan; dan
11

e. mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berlaku.

(2) Lembaga internasional menjadi mitra masyarakat dan


Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.

(3) Lembaga internasional dalam upaya penyelenggaraan


penanggulangan bencana berhak mendapatkan akses yang
aman ke wilayah-wilayah terkena bencana.

(4) Pemerintah Daerah bersama instansi terkait memberikan


jaminan perlindungan terhadap para pekerja lembaga
internasional yang turut serta dalam kegiatan penanggulangan
bencana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(5) Pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh


lembaga internasional diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

(1) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


10 dapat berperan dalam penyediaan sarana dan pelayanan
untuk melengkapi kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang dilaksanakan oleh masyarakat dan Pemerintah
Daerah.

(2) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) wajib untuk:
a. berkoordinasi dalam melakukan kegiatan
penanggulangan bencana dengan Pemerintah Daerah;
b. mengajukan izin apabila melakukan kegiatan
pengumpulan sumbangan; dan
c. melaporkan hasil pengumpulan dan penyaluran
sumbangan penanggulangan bencana kepada Bupati atau
pejabat yang ditunjuk, dan diinformasikan ke publik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan izin sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Peraturan
Bupati.

BAB VII

PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14

(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah


Daerah dapat:
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah
terlarang untuk permukiman; dan/atau
12

b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak


kepemilikan seseorang atau masyarakat atas suatu benda
sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang yang tempat tinggalnya dinyatakan sebagai


daerah terlarang atau yang hak kepemilikannya dicabut atau
dikurangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berhak mendapat ganti rugi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Daerah rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman
pada Rencana Tata Ruang Wilayah.

Bagian Kedua
Tahapan

Paragraf 1
Umum

Pasal 15

Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi 3 (tiga) tahap


yaitu saat:
a. prabencana;
b. tanggap darurat; dan
c. pasca bencana.

Paragraf 2
Prabencana

Pasal 16

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, meliputi:
a. situasi tidak terjadi bencana; dan
b. situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi tidak


terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf
a, meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan


penanggulangan bencana pada situasi tidak terjadi bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati.
13

Pasal 18

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat


potensi terjadinya bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf b, meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.

Pasal 19

(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a,


dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat
dalam menghadapi kejadian bencana.

(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf


b, dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat
dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta
mempersiapkan tindakan tanggap darurat.

(3) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf


c, dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesiapsiagaan, peringatan


dini, dan mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3
Tanggap Darurat

Pasal 20

(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap


tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf
b, meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumberdaya;
b. penetapan status keadaan darurat bencana dan tingkat
bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

(2) Bupati menetapkan status keadaan darurat bencana dan


tingkat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dengan Keputusan Bupati.

(3) Status dan tingkat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) berdasarkan indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. luasan wilayah yang terkena bencana;
e. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum, serta
pemerintahan; dan
14

f. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Pasal 21

(1) Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BPBD berwenang


mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik
dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan
tanggap darurat.

(2) Pengerahan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi permintaan,
penerimaan, dan penggunaan sumber daya manusia,
peralatan, dan logistik.

Pasal 22

(1) Kepala BPBD berwenang melakukan dan/atau meminta


pengerahan daya kepada:
a. sumber daya antar daerah;
b. lembaga internasional yang bertugas menangani bencana;
c. lembaga usaha;
d. lembaga kemasyarakatan;
e. Badan SAR Nasional;
f. Tentara Nasional Indonesia;
g. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. Palang Merah Indonesia;
i. Perlindungan masyarakat; dan/atau
j. Lembaga sosial dan keagamaan.

(2) Pemanfaatan sumberdaya sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan
dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat
bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya:
a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan
c. evakuasi korban.

Pasal 24

Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf dilakukan
dengan kegiatan:
a. pendataan;
b. penempatan pada lokasi yang aman; dan
c. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi:
1. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
2. pangan;
3. sandang;
4. pelayanan kesehatan;
5. pelayanan psikososial; dan
6. penampungan dan tempat hunian.
15

Pasal 25

(1) Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan
dan psikososial.

(2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri


atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat;
d. orang sakit; dan
e. orang lanjut usia.

Pasal 26

Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf f dilakukan dengan
memperbaiki dan/atau mengganti prasarana dan sarana vitalyang
rusak akibat bencana.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penanggulangan


bencana pada tahap tanggap darurat diatur dengan Peraturan
Bupati.

Paragraf 4
Pascabencana

Pasal 28

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap


pascabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c,
meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

Pasal 29

Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,


dilakukan melalui kegiatan:
a. perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
h. pemulihan keamanan dan ketertiban;
i. pemulihan fungsi pemerintahan; dan
j. pemulihan fungsi pelayanan publik.
16

Pasal 30

Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b pada


wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik serta tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penanggulangan


bencana pada tahap pascabencana diatur dengan Peraturan
Bupati.

BAB VIII

PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

Bagian Kesatu
Pendanaan

Pasal 32

Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran penyelenggaraan


penanggulangan bencana yang memadai dalam APBD, meliputi
tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap
pascabencana.

Pasal 33

Dana penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap


prabencana dialokasikan untuk kegiatan dalam situasi:
a. tidak terjadi bencana;dan
b. terdapat potensi terjadinya bencana.

Pasal 34

(1) Dana penyelenggaraan penanggulangan bencana yang


digunakan pada tahap tanggap darurat meliputi:
a. dana penyelenggaraan penanggulangan bencana yang telah
dialokasikan dalam APBD untuk masing-masing Perangkat
Daerah/lembaga terkait; dan
b. dana siap pakai yang telah dialokasikan oleh Pemerintah
Daerah dalam anggaran BPBD.

(2) Tata cara penggunaan dana siap pakai penyelenggaraan


penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.
17

Pasal 35

Dana penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap


pascabencana digunakan untuk kegiatan:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

Pasal 36

Pemerintah Daerah dapat memberi izin pengumpulan sumbangan


untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana yang dilakukan
oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana

Pasal 37

(1) Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi


perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan
evaluasi terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan
daerah, nasional maupun internasional.

(2) Penggunaan sumber daya bantuan bencana pada saat tanggap


darurat dilakukan sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi kedaruratan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan bantuan bencana


pada saat tanggap darurat diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB IX

PENGAWASAN

Pasal 38

(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh


tahap penyelenggaraan penanggulangan bencana.

(2) Pengawasan penyelenggaraan Penanggulangan bencana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan
bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan hidup;
f. perencanaan tata ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.
18

Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan terhadap


kegiatan pengumpulan sumbangan untuk penanggulangan
bencana yang dilakukan oleh masyarakat.

(2) Pemerintah Daerah dapat meminta audit terhadap laporan


hasil pengumpulan sumbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

Pasal 40

Apabila berdasarkan hasil pengawasan dan/atau hasil audit


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditemukan adanya
penyimpangan, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 41

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah


Daerah dapat diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat


Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan
yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau Badan sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan
sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
19

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;


i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan


dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

PasaL 42

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 9, Pasal 11, Pasal
12 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (2) dikenakan sanksi pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah


pelanggaran.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka:


a. semua ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Daerah dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan
peraturan pelaksanaan baru berdasarkan Peraturan Daerah
ini; dan
b. program kegiatan berkaitan dengan penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang telah ada sebelum
ditetapkannya Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan jangka waktu kegiatan dimaksud berakhir,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


20

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Kudus.
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS


NOMOR 5 TAHUN 2020

TENTANG

PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA


DI KABUPATEN KUDUS

I. UMUM

Dalam rangka perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan,


termasuk perlindungan terhadap bahaya atau risiko bencana alam bagi
penduduk Kabupaten Kudus, serta melaksanakan ketentuan Pasal 9 huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana di Kabupaten Kudus.

Materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana ini mencakup segala permasalahan kebencanaan
secara komprehensif, dengan berpedoman pada:
1. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pedoman Pengumpulan dan Pengelolaan Dana
Masyarakat untuk Bantuan Penanggulangan Bencana;
2. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Nomor 11
Tahun 2014 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana; dan
3. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Nomor 12
Tahun 2014 tentang Peran Serta Lembaga Usaha dalam Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, sehingga
Peraturan Daerah ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat
setiap masyarakat secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
setiap materi muatan ketentuan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap masyarakat tanpa kecuali.
2

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana, tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan
kehidupan sosial dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata
kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan “asas keserasian” adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya
jaminan kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada dasarnya
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten dan masyarakat
yang dilakukan secara gotong royong.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana mencerminkan
kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas berbasis ilmu pengetahuan
dan teknologi” adalah bahwa dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga
mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan
bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi
bencana, pemulihan segera (early recovery) maupun pada
tahap pasca bencana.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan
tuntutan keadaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa
apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus
mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.
3

Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana didasarkan
pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah
bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerjasama yang baik dan saling
mendukung.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah
bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat, dilakukan
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.
Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah
bahwa kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana
harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan
biaya yang berlebihan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah
bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “prinsip non diskriminatif” adalah
bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis
kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”prinsip nonproletisi” adalah
dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat
keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian
bantuan dan pelayanan darurat bencana.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
4

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan pengendalian adalah sebagai pengawas
terhadap penyelengaraan pengumpulan uang atau barang yang
diselengggarakan oleh masyarakat, termasuk pemberian izin
yang menjadi kewenangan perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang sosial.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ganti kerugian ditanggung oleh Pemilik/Pengelola
konstruksi/bangunan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.
5

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Pengkajian secara cepat pada saat tanggap darurat
ditujukan untuk menentukan tingkat kerusakan dan
kebutuhan upaya penanggulangannya secara cepat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam penyelamatan dan evakuasi masyarakat
terkena bencana adalah pelayanan kegawatdaruratan
kesehatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan korban yang tergolong kelompok
rentan adalah anggota masyarakat yang membutuhkan
bantuan karena keadaan yang disandangnya, diantaranya
masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, bayi, balita,
anak-anak, serta ibu hamil dan menyusui.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.
6

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 225167

Anda mungkin juga menyukai