i
FARMAKOLOGI KEPERAWATAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
Semoga buku ini dapat menjadi sumber inspirasi dan
pengetahuan yang berharga.
TIM PENULIS
iv
DAFTAR ISI
v
BAB 5 TOKSIKOLOGI ............................................................... 57
A. Pendahuluan ................................................................ 57
B. Sejarah Toksikologi ..................................................... 58
C. Definisi Toksikologi .................................................... 61
D. Penyebab dan Mekanisme Toksisitas ........................ 62
E. Daftar Pustaka ............................................................. 66
BAB 6 PERAN OBAT ................................................................... 67
A. Pendahuluan ................................................................ 67
B. Peran Obat Berdasarkan Penggolongannya ............. 68
C. Pemilihan Obat ............................................................ 74
D. Penutup ........................................................................ 77
E. Daftar Pustaka ............................................................. 78
BAB 7 PENGGOLONGAN OBAT ............................................. 79
A. Pendahuluan ................................................................ 79
B. Penggolongan Obat ..................................................... 80
C. Penggolongan Jenis Obat ............................................ 81
D. Penggolongan Obat Berdasarkan Mekanisme Kerja
Obat .............................................................................. 85
E. Penggolongan Obat Berdasarkan Lokasi
Pemakaian .................................................................... 86
F. Penggolongan Obat Berdasarkan Efek Yang
Ditimbulkan ................................................................. 86
G. Penggolongan Obat Berdasarkan Asal Obat............. 86
H. Golongan Obat............................................................. 86
I. Kesimpulan .................................................................. 88
J. Daftar Pustaka ............................................................. 88
BAB 8 PRINSIP PEMBERIAN OBAT DENGAN BENAR ..... 90
A. Pendahuluan ................................................................ 90
B. Pengertian Pemberian Obat........................................ 90
C. Tujuan Pemberian Obat .............................................. 91
D. Prinsip Pemberian Obat .............................................. 91
E. Daftar Pustaka ............................................................. 98
BAB 9 PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT .... 99
A. Pendahuluan ................................................................ 99
B. Aspek Legal Perawat Dalam Pemberian Obat.......... 100
vi
C. Peran Perawat Dalam Melaksanakan Standar
Keselamatan Pengobatan ............................................ 101
D. Peran Perawat Sebelum, Saat dan Setelah Pemberian
Obat ............................................................................... 102
E. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat Di Tatanan
Perawatan Transisional ............................................... 105
F. Peran Perawat Dalam Pemberian Obat Di Tatanan
Pelayanan Home Care ................................................. 106
G. Peran Perawat Dalam Observasi Efek Samping
Obat ...............................................................................107
H. Faktor Yang Mempengaruhi Perawat Dalam Pemberian
Obat ............................................................................... 107
I. Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Peran Perawat
Dalam Keamanan Pengobatan.................................... 108
J. Akibat Kesalahan Dalam Pemberian Obat ................ 110
K. Cara Mengatasi Kesalahan Dalam Pemberian Obat . 111
K. Daftar Pustaka .............................................................. 112
BAB 10 HAK PASIEN DALAM PEMBERIAN OBAT .............. 114
A. Pendahuluan ................................................................ 114
B. Hak Pasien Dalam Pemberian Obat ........................... 116
C. Daftar Pustaka .............................................................. 124
BAB 11 ASPEK LEGAL PERAWAT DALAM PEMBERIAN
OBAT ................................................................................. 127
A. Tinjauan Umum tentang Perawat dan Prinsip Tepat
Pemberian Obat............................................................ 127
B. Tugas Perawat dalam Menyelenggarakan Praktik
Keperawatan ................................................................ 128
C. Perawat Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan ...... 128
D. Tanggung Jawab Perawat Atas Kesalahan Pemberian
Obat pada Pasien ......................................................... 129
E. Daftar Pustaka .............................................................. 135
BAB 12 TANGGUNG JAWAB PERAWAT DALAM
PEMBERIAN OBAT ........................................................ 136
A. Pendahuluan ................................................................ 136
B. Keterampilan Perawat dalam Pemberian Obat ......... 137
C. Prinsip Ketepatan dalam Pemberian Obat ................ 137
vii
D. Faktor-Faktor Penyebab Kesalahan ........................... 141
E. Daftar Pustaka ............................................................. 143
BAB 13 PEMBERIAN OBAT MENERAPKAN PATIENT
SAFETY .............................................................................. 145
A. Pendahuluan ................................................................ 145
B. Penggunaan Obat Rasional ........................................ 146
C. Keselamatan Pasien Dalam Standar Pelayanan
Kefarmasian dan Pelayanan Obat Menurut KARS .. 155
D. Daftar Pustaka ............................................................. 162
BAB 14 TUJUAN PENGGUNAAN BENTUK-BENTUK
SEDIAAN OBAT ............................................................. 164
A. Pengantar Bentuk Sediaan .......................................... 164
B. Klasifikasi Bentuk-Bentuk Sediaan Obat................... 164
C. Daftar Pustaka ............................................................. 175
TENTANG PENULIS.................................................................... 177
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar 14. 12 Beberapa Contoh Sediaan Serbuk.......................... 173
Gambar 14. 13 Metered Dose Inhaler ............................................. 174
Gambar 14. 14 Seretide Diskus ........................................................ 174
Gambar 14. 15 Nebulizer ................................................................ 175
x
DAFTAR TABEL
xi
FARMAKOLOGI KEPERAWATAN
xii
BAB
KONSEP DASAR
1 FARMAKOLOGI
A. Pendahuluan
Pengobatan dengan memanfaatkan bahan-bahan yang
berasal dari alam telah ditemukan berabad-abad yang lalu.
Bahan alam yang digunakan yaitu bagian tumbuh-tumbuhan
seperti akar, biji-bijian, daun, kayu, kulit kayu maupun bagian
dari hewan seperti lemak, hati dan bagian lainnya yang menjadi
bahan dasar dalam meracik hingga menjadi bahan obat.
Obat ialah semua zat baik kimiawi, hewani maupun
nabati, yang dalam dosis tertentu layak dapat menyembuhkan,
meringankan atau mencegah penyakit serta gejala-gejalanya.
Pada masa lampau sebangian besar obat yang digunakan adalah
obat yang berasal dari tanaman. Secara empiris manusia purba
mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau
akar serta bagan tanaman lainnya yang digunakan untuk
menyembuhkan penyakit. Pengetahuan diperoleh secara turun
temurun sehingga muncul ilmu pengobatan.
Sejarah farmasi sangat dipengaruhi oleh para tokoh
seperti Hippocrates (450-3370 SM), seorang dokter dari Yunani
yang memperkenalkan farmasi dan kedokteran, membuat
sistematika dalam pengobatan serta Menyusun uraian tentang
ratusan jenis obat-obatan. Tokoh lainnya seperti Alexander
Fleming (1881-1995) yang berasal dari Skotlandia. Antibiotika
ditemukan pada tahun 1928, sejak ditemukan antibiotik sebagai
1
agen antimikroba, antibiotik dikenal telah menyelamatkan
banyak nyawa terutama pada penggunaannya selama perang
Dunia II. Setelah masa ini maka pengobatan terus mengalami
perkembangan yang sangat pesat sampai dengan saat sekarang
ini.
2
bersifat toksik bagi proses regulatorikparasit yang menginfeksi
manusia. Aplikasi terapeutik tersebut merupakan kajian dalam
farmakologi medis, yang sering didefinisikan sebagai suatu ilmu
tentang substansi yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, dan mengobati penyakit. Farmakologi berasal
dari Bahasa Yunani yaitu kata pharmacon yang artinya obat atau
racun dan logos yang berarti ilmu atau pengetahuan.
Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang obat-
obatan. Jadi secara harafiah, farmakologi dapat didefenisikan
sebagai suatu ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya
pada system biologis, selain itu juga mempelajari asal-usul obat,
sifat fisika-kimia, efek pembuatan, efek biokimiawi dan fisiologi
yang ditimbulkan, nasib obat dalam tubuh, dan kegunaan obat
dalam terapi. Toksikologi merupakan cabang farmakologi yang
menjelaskan efek yang tidak diinginkan dari zat kimia terhadap
sistem kehidupan, mulai dari sel-sel tunggal sampai ekosistem
yang majemuk.
3
2. Periode Modern
Pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian
eksperimental tentang nasib obat, tempat dan cara kerja obat,
pada tingkat organ dan jaringan.
a. Rudolf Buchheim (1820–1879), mendirikan Institute of
Pharmacology pertama di The University of Dorpat
(Tartu, Estonia) tahun 1847.
b. Oswald Schmiedeberg (1838–1921), bersama seorang
internist, Bernhard Naunyn (1839–1925), menerbitkan
jurnal farmakologi pertama
c. John J. Abel (1857–1938), The “Father of American
Pharmacology”
4
C. Prinsip Dasar Farmakologi
Banyak kemajuan dalam hal aplikasi pengobatan masalah
penyakit. Ketika berbicara tentan obat-obatan, sebenarnya tidak
hanya farmakologi saja yang berkaitan dengan obat, tetapi kita
harus juga membicarakannya dari ilmu lain yang sangat erat
kaitannya dengan obat. Perkembangan ilmu dan teknologi
kedokteran dan farmasi, menyebabkan farmakologi tidak dapat
dibahas dari satu sisi keilmuan saja. Para ahli secara cermat
mengamati perkembangan ini dari tahun ke tahun melalui
serangkaian penelitian mendalam, terpadu dan lintas disiplin
ilmu, sehingga kini kita mengenal banyak cabang ilmu
farmakologi yang berkembang menjadi cabang ilmu baru, antara
lain :
1. Farmakognosi, mempelajari pengetahuan dan pengenalan
obat yang berasal dari tanaman dan zat – zat aktifnya, begitu
pula yang berasal dari mineral dan hewan. Pada zaman obat
sintetis seperti sekarang ini, peranan ilmu farmakognosi
sudah sangat berkurang. Namun pada dasawarsa terakhir
peranannya sebagai sumber untuk obat–obat baru
berdasarkan penggunaannya secara empiris telah menjadi
semakin penting. Banyak phytoterapeutika baru telah mulai
digunakan lagi (Yunani; phyto=tanaman), misalnya tinctura
echinaceae (meningkatkan imunitas tubuh), ekstrak Ginkoa
biloba (meningkatkan daya ingat), bawang putih
(antikolesterol), tingtur hyperici (antidepresi) dan ekstrak
feverfew (Chrysantemum parthenium) sebagai obat pencegah
migrain serta daun binahong sebagai antidiabetes,
berdasarkan hasil penelitian dari Rissa, 2022 bahwa ekstrak
dan infusa daun binahong dapat menurunkan kadar gula
darah pada mencit.
5
sediaan yang mengandung zat aktif sama (therapeutic
equivalance). Ilmu bagian ini mulai berkembang pada akhir
tahun 1950an dan erat hubungannya dengan
farmakokinetika.
6
adalah ilmu yang mempelajari efek dari variasi genetik pada
keseluruhan gen (genom) terhadap respon obat.
D. Karakteristik Obat
Obat didefinisikan semua zat, baik kimiawi, hewani
maupun nabati yang dalam dosis tertentu (sesuai) dapat
menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit beserta
gejalanya. obat dapat disintesis dalam tubuh (seperti hormon)
atau sebagai zat kimia yang tidak disintesis dalam tubuh disebut
xenobiotik. agar obat bisa berinteraksi secara kimia dengan
reseptornya, maka molekul obat harus harus mempunyai
ukuran, muatan listrik, bentuk dan komposisi atom yang sesuai.
1. Sifat Fisik Obat
Obat-obatan dapat berupa solid (padat) pada
temperature kamar (tablet, kapsul, pil, granul, dan serbuk),
berupa sediaan semi solid atau semipadat (krim, lotion, salep,
gel, suposituria) serta sediaan berupa liquid atau cair
(larutan, suspense, dan emulsi). Ketiga sediian tersebut
menentukan cara pemberian atau menggunakan obat.
Beberapa kelompok senyawa organic seperti karbohidrat,
protein, lipid, dan unsur lainnya yang termasuk ke dalam
farmakologi. Obat Sebagian besar bersifat asam lemah atau
basa.
2. Ukuran Obat
Ukuran molekular obat yang biasa digunakan
bervariasi dari sangat kecil (ion Lithium Bobot molekul 7)
sampai sangat besar (alteplase suatu protein dengan Berat
molekul 59.050). Pada umumnya obat-obat memiliki ukuran
Berat molekul 100 sampai 1000. Obat dengan berat molekul
7
lebih dari 1000 tidak mudah berdifusi antara kompartemen
tubuh (dari tempat pemberian ke tempat kerjanya). Obat
dengan bobot molekul lebih dari 1000 sangat tidak mudah
berdifusi diantaranya kompartemen tubuh, obat dengan
ukuran besat (misalnya protein) harus diberikan langsung
kedalam kompartemen tempat obat bekerja.
3. Bentuk Obat
Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi
dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan,
mengandung satu zat atau lebih dalam pembawa yang
digunakan sebagai obat dalam (tablet parasetamol) atau obat
luar (krim kloramfenikol).
8
1. Fase Farmasetik
Fase farmasetik merupakan fase yang meliputi cara
pembuatan obat, waktu hancurnya, bentuk sediaan obat,
melarutnya bahan obat sampai pelepasan zat aktifnya
kedalam cairan tubuh. Bentuk sediaan obat yang banyak
digunakan adalah sediaan padat atau cair. Fase ini
berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya
dimana obat siap diabsorbsi. Bentuk sediaan padat (tablet,
pil, dll) menjadi sediaan farmasi yang paling banyak
tantangan dalam mendesain dan membuat hingga peroleh
bioavailabbilitas atau ketersediaan hayati obat penuh dan
dapat dipercaya serta kekompakan kohesi yang baik dari
gumpalan. Sebagian besar obat digunakan secara oral,
dengan demikian fase farmasetik merupakan fase pertama
dari kerja obat. Jika obat telah diminum maka akan melalui
saluran gastrointestinal, dimana obat-obat dilarutkan terlebih
dahulu agar dapat di absorbsi serta di disintegrasikan
menjadi ukuran yang lebih kecil atau disebut partikel-
partikel kecil supaya dapat larut kedalam cairan, sehingga
proses ini dikenal dengan disolusi.
Fase farmasetik memiliki 2 fase diantaranya
disintegrasi dan disolusi. Disintegrasi yaitu tes secara in vitro
yang dilakukan menggunakan alat uji untuk mencermati
tingkat laju tablet pecah menjadi partikel-partikel yang lebih
kecil. Sedangkan disolusi adalah proses dimana suatu
sediaan terlarut membentuk larutan dan jumlah obat terlarut
dapat diukur menggunakan HPLC atau alat ukur kadar yang
lain.
2. Fase Farmakokinetik
Fase yang meliputi semua proses yang dilakukan
tubuh, setelah obat dilepas dari bentuk sediaannya yang
terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme atau
biotransformasi dan ekskresi. Keempat faktor tersebut
ditentukan oleh sifat fisiko kimia obat dan variasi fisiologik
serta adanya penyakit, interaksi obat dan faktor lingkungan.
Dengan adanya pemahaman terkait farmakokinetik obat
9
maka akan membantu dalam pengobatan secara rasional.
Pada fase ini dapat menentukan kecepatan, konsentrasi dan
lama obat berada pada organ target.
a. Absorpsi, merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian atau rute pemberian ke dalam darah.
Tergantung pada rute atau cara pemberian obatnya
melalui saluran cerna (mulut sampai dengan rectum),
kulit, paru, otot, dan lainnya. Misalnya, cara pemberian
obat secara orat maka akan diabsorpsi melalui usus halus,
sehingga kecepatan absorpsi obat tergantung dari
kecepatan obat melarut pada tempat absorpsi, derajat
ionisasi, pH tempat diabsorpsi serta sirkulasi darah pada
tempat obat melarut. Agar obat cepat diabsorpsi, obat
harus dapat melarut sehingga kecepatan melarut akan
sangat menentukan kecepatan absorpsi. Dengan
demikian sediaan obat berbentuk padat (tablet, pil, dll)
sebaiknya diminum dengan cairan yang dapat membantu
mempercepat kelarutan obat.
10
seperti, asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau
asam amino sehingga menghasilkan sangat polar (larut
air). Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi
oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang dikenal dengan
enzim mono-oksigenase, atau mixed-function oxidase
(MFO) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom hati).
3. Fase Farmakodinamik
Fase farmakodinamik ini efek obat terhadap fisiologi
dan biokimia organ tubuh dan mekanisme kerjanya. fase
pada saat obat telah berinteraksi dengan reseptor dan siap
memberikan efek farmakologi, sampai respon farmakologi
diakhiri. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis
primer atau sekunder maupun keduanya. Dimana efek
primer adalah efek yang diinginkan dan efek sekunder
adalah efek yang diinginkan atau tidak diinginkan. Pada fase
ini mencakup aksi obat, mekanisme aksi obat, dan target aksi
obat baik pada organ, jaringan, maupun sel. Target
kebanyakan obat dalam tubuh adalah reseptor. Reseptor
merupakan suatu makromolekul dalam membrane sel atau
dalam sel dimana obat berinteraksi untuk menghasilkan efek
terapi.
Interaksi obat dan reseptor, interaksi ini terjadi melalui
dua tahap yaitu interaksi molekul obat dengan reseptor
spesifik. Interaksi ini memerlukan afinitas (ukuran
kemampuan obat untuk mengikat reseptor, tergantung pada
struktur molekul obat dan sisi reseptor). Obat agonis
berikatan dengan reseptor, oba tersebut menimbulkan efek
11
sehingga mengaktifkan reseptor untuk menghasilkan sinyal.
Obat antagonis berikatan dengan reseptor namun tidak
mengaktifkan reseptor untuk menghasilkan sinyal.
Mekanisme kerja obat antagonis ini mengganggu obat agonis
dalam mengaktifkan reseptor dan menghambat atau
mengurangi aksi agonis.
12
kecil maka tidak akan tercapainya kadar terapi yang
diharapkan.
5. Tepat cara pemberian, obat Antasida seharusnya dikunyah
dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh
dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivtasnya.
6. Tepat interval waktu penggunaan obat, Cara pemberian obat
hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat
ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari
harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan
interval setiap 8 jam.
7. Tepat lama penggunaan obat, Lama pemberian obat harus
tepat sesuai penyakitnya masing- masing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat
adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam
tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat
atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
8. Tepat penilaian kondisi pasien, Respon individu terhadap
efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada
beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya
nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara
bermakna.
9. Tepat informasi, Informasi yang tepat dan benar dalam
penggunaan obat sangat penting dalam menunjang
keberhasilan terapi.
10. Tepat penyerahan obat atau dispensing, Proses penyiapan
dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
mendapatkan obat sebagaimana harusnya.
13
G. Daftar Pustaka
14
BAB
2
FARMAKOKINETIKA
A. Pendahuluan
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari suatu
obat dan/atau kinetika metabolitnya dalam tubuh, termasuk
perubahan sementara suatu obat dan metabolit obat dalam
serum, plasma, darah, jaringan dan organ target dari waktu ke
waktu (Katzung, 2018)
Tubuh adalah sistem yang sangat kompleks dan obat
mengalami banyak tahapan sesudah diserap, hingga
memberikan efek pada tubuh. Farmakokinetika secara garis
besar terbagi menjadi dua kategori studi, yaitu penyerapan dan
disposisi. Disposisi dapat dibedakan menjadi studi distribusi
dan eliminasi. Yang dimaksud dengan eliminasi meliputi
metabolisme dan ekskresi sejak obat tidak lagi dalam bentuk
struktur kimia aslinya. Ketika biotransformasi senyawa induk
terjadi dan bahkan jika metabolit yang dihasilkan tetap berada
di dalam tubuh, artinya telah dieliminasi (Ruiz-Garcia et al.,
2008).
Farmakokinetik memainkan peran penting dalam
memahami cara kerja obat di dalam tubuh, berapa lama obat
tersebut tetap aktif, dan bagaimana dosis obat harus disesuaikan
untuk mencapai efek terapeutik yang diinginkan.
Konsep kunci dalam farmakokinetik meliputi :
15
1. Absorpsi
Proses masuknya obat ke dalam tubuh setelah pemberian
(misalnya secara oral, intravena, intramuskular). Penyerapan
tergantung pada berbagai faktor, seperti kecepatan, tempat
pemberian, dan formulasi obat.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Organ dan jaringan yang berbeda dapat
mengakumulasi obat pada tingkat yang berbeda-beda.
3. Metabolisme
Obat-obatan sering kali dimetabolisme, artinya obat tersebut
dipecah di dalam tubuh. Hal ini biasanya terjadi di hati,
dimana enzim mengubah struktur obat untuk memfasilitasi
eliminasi dari tubuh.
4. Eliminasi
Eliminasi mengacu pada pembuangan obat dari tubuh,
biasanya melalui ginjal atau hati. Kecepatan eliminasi
mempengaruhi durasi kerja obat.
B. Absorpsi
Dalam farmakokinetik, beberapa faktor dapat
mempengaruhi absorpsi obat dalam tubuh. Memahami faktor-
faktor ini sangat penting untuk menentukan kecepatan dan
tingkat penyerapan obat dan untuk mengoptimalkan terapi
obat. Beberapa faktor kunci yang mempengaruhi penyerapan
obat meliputi rute pemberian, formulasi atau bentuk sediaan,
kelarutan obat, pH saluran pencernaan, luas permukaan saluran
pencernaan, makanan dan kondisi medis tertentu (Ruiz-Garcia
et al., 2008).
16
Metode pemberian obat dapat sangat mempengaruhi
absorpsinya. Rute umum pemberian obat adalah per oral
(melalui mulut), intravena (ke dalam aliran darah), intramuscular
(ke dalam jaringan otot), subcutan (di bawah kulit), dan banyak
lainnya. Setiap rute mempunyai karakteristik serapan yang
berbeda-beda. Obat yang diberikan secara intravena (IV) tidak
melewati proses absorpsi seperti yang terjadi pada obat yang
diberikan melalui rute administrasi lainnya. Ketika obat
disuntikkan secara intravena, proses absorpsi dilewati karena
obat langsung diserap oleh sistem peredaran darah tanpa harus
melewati hambatan sel atau jaringan lainnya. Oleh karena itu,
obat yang diberikan secara intravena cenderung memiliki onset
(waktu mulai) aksi yang lebih cepat dibandingkan dengan rute
administrasi lainnya, karena obat tersebut dengan cepat
mencapai konsentrasi efektif dalam sirkulasi darah. Hal ini
membuat administrasi intravena menjadi pilihan yang efektif
dalam situasi-situasi yang memerlukan respons cepat atau
ketika dibutuhkan dosis yang tepat dan kontrol yang ketat atas
konsentrasi obat dalam darah (Katzung, 2018).
Formulasi atau bentuk sediaan suatu obat dapat
mempengaruhi absorpsinya. Bentuk sediaan, seperti tablet,
kapsul, sirup, atau larutan injeksi, dapat mempengaruhi
kecepatan dan efisiensi penyerapan obat. Misalnya, tablet atau
kapsul yang mengandung obat dalam bentuk larutan atau
granul dapat memiliki laju disolusi yang berbeda.Pada
prinsipnya obat diserap dalam bentuk yang terlarut. Sehingga
bentuk sediaan larutan akan lebih cepat diabsorpsi daripada
bentuk sediaan tablet.
Kelarutan suatu obat dalam air dan lipid memainkan
peran penting dalam absorpsi. Obat yang sangat lipofilik (larut
dalam lemak) cenderung lebih mudah diserap melalui membran
sel. Kelarutan obat dalam formulasi dapat memengaruhi sejauh
mana obat dapat larut dalam cairan tubuh dan dapat diabsorpsi.
Bentuk sediaan yang memungkinkan disolusi bahan obat
dengan cepat dapat meningkatkan laju absorpsi obat tersebut di
dalam tubuh.
17
pH saluran pencernaan atau lingkungan lokal di tempat
penyerapan dapat mempengaruhi ionisasi obat (perubahan obat
menjadi partikel bermuatan). Perubahan pH dapat
memengaruhi ionisasi obat karena banyak obat memiliki sifat
kimia yang bersifat asam atau basa. Obat yang lebih mudah larut
pada pH tertentu dapat lebih mudah diserap pada lingkungan
tersebut. Sebagai contoh, beberapa obat yang bersifat asam
lemah lebih larut dalam cairan asam, seperti di dalam lambung,
sedangkan obat yang bersifat basa lemah lebih larut dalam
cairan alkalis, seperti di dalam usus. Ionisasi obat dapat
mempengaruhi sejauh mana obat dapat menembus membran sel
atau jaringan tertentu. Ionisasi obat juga dapat mempengaruhi
interaksi kimia obat dalam tubuh. Beberapa reaksi kimia dalam
tubuh memerlukan obat berada dalam bentuk tertentu (ion atau
non-ion) untuk berlangsung.
Luas permukaan yang tersedia untuk penyerapan juga
merupakan faktor penting. Area permukaan yang lebih besar
memberikan lebih banyak titik kontak antara obat dan
permukaan serap, seperti mukosa di saluran pencernaan.
Peningkatan kontak ini memungkinkan jumlah obat yang lebih
besar untuk diserap. Luas permukaan yang lebih besar juga
memungkinkan penyerapan yang lebih efisien, karena
memfasilitasi penyerapan beberapa molekul obat secara
bersamaan. Hal ini sangat penting pada area dengan jaringan
kapiler yang luas, seperti usus kecil, dimana sebagian besar
penyerapan obat terjadi. Secara umum untuk obat yang
diberikan per oral, usus kecil adalah tempat penyerapan utama.
Kehadiran banyak mikrovili dan luas permukaan yang besar di
usus kecil memaksimalkan penyerapan nutrisi dan obat-obatan
(Schmidt et al., 2010).
Makanan dapat berinteraksi dengan obat sehingga
mempengaaruhi absorpsi obat akibat berbagai proses fisiologis
dan biokimia yang terjadi di saluran cerna. Kehadiran makanan
di lambung dan usus dapat mempengaruhi kelarutan, stabilitas,
dan penyerapan obat tertentu. Beberapa obat diserap lebih baik
bila dikonsumsi bersama makanan, sementara obat lain
18
mungkin mengalami penurunan penyerapan bila dikonsumsi
bersama makanan atau minuman tertentu. Selain itu, beberapa
obat dapat berinteraksi satu sama lain sehingga memengaruhi
penyerapannya. Bahan tidak aktif atau eksipien dalam
formulasi obat juga dapat mempengaruhi penyerapan obat.
EKsipien dapat mencakup bahan pengikat, pengisi, pelapis, dan
zat lain yang digunakan untuk membuat produk obat.
Beberapa kondisi medis dapat mempengaruhi absorpsi
obat karena perubahan lingkungan fisiologis atau fungsi saluran
cerna. Gangguan Gastrointestinal yang mempengaruhi struktur
atau fungsi saluran pencernaan, seperti penyakit radang usus
(misalnya penyakit Crohn, kolitis ulserativa), penyakit celiac,
atau sindrom iritasi usus besar, dapat menyebabkan perubahan
pada luas permukaan serap, permeabilitas, dan waktu transit,
sehingga mempengaruhi absorpsi obat. Kondisi medis lain
seperti sindrom malabsorpsi (misalnya penyakit celiac,
intoleransi laktosa) juga dapat mengganggu absorpsi nutrisi dan
obat-obatan. Malabsorpsi dapat terjadi akibat kerusakan pada
mukosa usus, sehingga mengurangi luas permukaan yang
tersedia untuk penyerapan obat (Mangoni & Jackson, 2004).
Secara umum absorpsi obat terjadi di usus halus,
mekanismenya melibatkan beberapa metode, yaitu difusi pasif,
difusi aktif, dan transport protein. Proses ini memungkinkan
obat melewati membran mukosa usus untuk masuk ke dalam
sirkulasi sistemik (Katzung, 2018).
1. Difusi Pasif
Difusi pasif adalah mekanisme penyerapan yang paling
umum. Obat bergerak melalui membran sel usus dari area
konsentrasi tinggi ke area konsentrasi rendah tanpa
memerlukan energi tambahan dan bersifat spontan. Sifat
lipofilik obat mempengaruhi proses ini, karena membran sel
usus sebagian besar terdiri dari lapisan lipid ganda.
2. Transposrt Aktif
Transport aktif melibatkan pergerakan obat melalui
membran sel melawan gradien konsentrasi, yang
memerlukan energi dari ATP. Transporter aktif di membran
19
sel usus memompa obat ke dalam sel usus, meningkatkan
konsentrasi obat di dalam sel.
3. Transport Protein
Protein transporter yang ada di membran sel usus dapat
memfasilitasi penyerapan obat tertentu. Terdapat dua jenis
transport protein utama, yaitu Transporter Carrier
(Transporter Pembawa) untuk mentransfer obat melalui
membran sel, contohnya adalah transport protein GLUT
yang mengangkut glukosa; dan Transporter Channel (Kanal
Pembawa) untuk membuka saluran pada membran sel untuk
memungkinkan masuknya obat, contohnya adalah ion
channel.
C. Distribusi
Dalam farmakokinetik, distribusi merupakan proses
dimana suatu obat disebarkan ke seluruh tubuh setelah
diabsorpsi ke dalam aliran darah. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi distribusi obat di dalam tubuh antara lain aliran
darah, permeabilitas jaringan, pengikatan protein plasma,
volume distribusi (Katzung, 2018).
Aliran darah ke tempat penyerapan obat dapat
mempengaruhi laju distribusi obat. Setelah obat diserap di
tempat pemberiannya, obat tersebut perlu diangkut ke jaringan
dan organ lain untuk memberikan efek farmakologisnya. Darah
berfungsi sebagai alat transportasi utama obat yang diserap.
Kecepatan aliran darah yang lebih tinggi berarti pengangkutan
obat yang lebih efisien dan cepat ke berbagai bagian tubuh.
Daerah dengan perfusi darah yang lebih baik umumnya
memungkinkan penyerapan lebih cepat. Organ-organ seperti
hati, ginjal, jantung, dan otak biasanya memiliki aliran darah
yang tinggi dan merupakan tempat utama distribusi obat
20
Kemampuan obat untuk menembus jaringan yang
berbeda juga bergantung pada permeabilitas membran sel. Obat
lipofilik (larut dalam lemak) dapat lebih mudah melintasi
membran sel dan didistribusikan ke dalam jaringan, sedangkan
obat hidrofilik (larut dalam air) mungkin memiliki penetrasi
yang lebih terbatas. Komposisi berbagai jaringan tubuh juga
dapat mempengaruhi distribusi obat. Misalnya, obat yang larut
dalam lemak cenderung terakumulasi di jaringan adiposa
(lemak), sedangkan obat yang larut dalam air mungkin memiliki
penetrasi yang terbatas ke dalam lemak. pH jaringan dan cairan
juga dapat mempengaruhi ionisasi obat, sehingga
mempengaruhi distribusinya. Obat yang terionisasi mempunyai
kemungkinan lebih kecil untuk menembus membran sel,
sedangkan obat yang tidak terionisasi lebih mudah melakukan
penetrasi.
Beberapa jaringan, seperti otak, plasenta, dan testis,
dilindungi oleh penghalang (barrier) yang membatasi akses
terhadap obat. Sawar darah-otak (Brain-blood barrier/BBB)
membatasi jalannya banyak obat masuk ke sistem saraf dan
melindungi sistem saraf pusat. Untuk obat yang ditujukan untuk
mempengaruhi sistem saraf pusat, kemampuannya untuk
melewati penghalang darah-otak merupakan faktor penting.
Beberapa obat dirancang lebih lipofilik untuk dapat melakukan
penetrasi ke saraf pusat.
Dalam tubuh obat dapat berikatan dengan protein
plasma, terutama albumin. Ketika suatu obat terikat pada
protein, obat tersebut kurang tersedia untuk didistribusikan ke
jaringan dan dianggap dalam bentuk tidak aktif. Hanya obat
yang tidak terikat (bebas) yang aktif secara farmakologis dan
dapat menembus jaringan.
Volume distribusi adalah parameter farmakokinetik yang
menggambarkan ruang semu dimana suatu obat didistribusikan
dalam tubuh. Volume distribusi yang tinggi menunjukkan
bahwa obat terdistribusi secara luas ke dalam jaringan,
sedangkan volume distribusi yang rendah menunjukkan
distribusi jaringan yang terbatas. Kondisi atau penyakit medis
21
tertentu dapat mengubah distribusi obat. Misalnya, edema
(pembengkakan) pada jaringan dapat meningkatkan volume
distribusi obat tertentu.
Interaksi antar obat dapat mempengaruhi distribusinya.
Beberapa obat dapat menggantikan obat lain dari tempat
pengikatan protein plasma, sehingga berpotensi meningkatkan
bentuk bebas dan aktif serta distribusinya ke jaringan.
Faktor genetik dapat mempengaruhi pengangkut obat
dan enzim metabolisme, sehingga mempengaruhi distribusi
obat. Selain itu, variasi individu, seperti usia dan jenis kelamin,
dapat berdampak pada distribusi obat (Schmidt et al., 2010).
D. Metabolisme
Metabolisme, atau biotransformasi, adalah fase kunci
dalam farmakokinetik dimana obat diubah secara kimiawi di
dalam tubuh, seringkali di hati, untuk memfasilitasi
eliminasinya. Efek penting dalam metabolisme adalah membuat
obat menjadi bersifat lebih hidrofil sehingga dapat dikeluarkan
melalui ginjal. Metabolit yang terbentuk umumnya kurang aktif
disbanding obat asal, tetapi kadang-kadang metabolit dapat
sama aktifnya atau bahkan lebih aktif daripada obat asal
(Katzung, 2018).
Faktor utama yang mempengaruhi metabolisme obat
meliputi: fungsi hati, faktor genetik, induksi dan penghambatan
enzim, usia, jenis kelamin, status nutrisi, usia dan jenis kelamin,
juga status penyakit.
Ketika suatu obat diminum secara oral, obat tersebut
harus melewati hati sebelum memasuki sirkulasi sistemik. Hati
dapat memetabolisme (memecah) beberapa obat sebelum obat
tersebut sempat mencapai seluruh tubuh, sehingga
mempengaruhi bioavailabilitasnya, hal ini disebut Metabolisme
Lintas Pertama (first pass effect, first-pass metabolism,
presystemic metabolism). Metabolisme lintas pertama
menyebabkan konsentrasi obat berkurang sebelum mencapai
sirkulasi sistemik sehingga menyebabkan efek terapi tidak
tercapai secara maksimal (Casey, 2012).
22
Hati merupakan organ utama yang bertanggung jawab
untuk metabolisme obat. Enzim hati, khususnya yang termasuk
dalam keluarga sitokrom P450 (CYP), memainkan peran penting
dalam metabolisme berbagai macam obat. Penyakit hati atau
kondisi yang mempengaruhi fungsi hati dapat berdampak
signifikan terhadap metabolisme obat. Penyakit hati dapat
menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang membantu
metabolisme obat, khususnya enzim sitokrom P450 (CYP).
Enzim-enzim ini memainkan peran penting dalam metabolisme
obat, dan gangguan apa pun dapat mengakibatkan pembersihan
obat menjadi lebih lambat. Gangguan fungsi hati dapat
mengakibatkan penumpukan metabolit toksik obat-obatan
tertentu. Hal ini dapat meningkatkan risiko reaksi merugikan
dan hepatotoksisitas. Penyesuaian dosis atau pemilihan obat
alternatif sangat diperlukan untuk memastikan efek terapeutik
dan meminimalkan risiko efek samping. Selain itu, pemantauan
terhadap kadar obat dan fungsi hati sering kali diperlukan pada
pasien dengan penyakit hati (Zhao et al., 2021).
Variasi genetik dalam enzim metabolisme obat dapat
menyebabkan perbedaan metabolisme obat antarindividu.
Polimorfisme pada gen yang mengkode enzim CYP, misalnya,
dapat menyebabkan lambatnya metabolisme atau justru
metabolisme yang sangat cepat. Hal ini dapat memengaruhi
respons obat dan potensi toksisitas (Pelkonen‹ et al., 1998).
Metabolisme obat juga dapat dipengaruhi oleh beberapa
obat dengan jalan menginduksi atau menghambat aktivitas
enzim yang memetabolisme obat. Induksi enzim meningkatkan
laju metabolisme, sedangkan penghambatan menurunkannya.
Interaksi obat berdasarkan modulasi enzim dapat mengubah
metabolisme obat yang diberikan secara bersamaan. Contohnya
Rifampisin, Karbamazepin, Fenitoin, Barbiturat yang dapat
meningkatkan enzim metabolisme; dan Simetidin, Ketokonazol
yang dapat menghambat enzim metabolisme(Glaeser et al., 2005;
Ioannides & Parke, 1975; Knodell et al., 1991; Loose et al., 1983).
23
Metabolisme obat dapat bervariasi seiring bertambahnya
usia. Pada neonatus dan orang lanjut usia, aktivitas enzim hati
mungkin lebih rendah, sehingga mempengaruhi kecepatan
metabolisme obat. Selain itu, mungkin ada perubahan
perkembangan ekspresi enzim tertentu sepanjang masa hidup.
Perbedaan jenis kelamin juga dapat mempengaruhi metabolisme
obat. Fluktuasi hormonal, terutama yang berhubungan dengan
siklus menstruasi, dapat memengaruhi aktivitas enzim. Dalam
beberapa kasus, perbedaan ini dapat mempengaruhi efektivitas
dan keamanan obat .
Beberapa penyakit dapat mengubah metabolisme obat.
Misalnya, kondisi yang mempengaruhi fungsi hati, seperti
sirosis atau hepatitis, dapat memperlambat metabolisme obat.
Sebaliknya, penyakit tertentu dapat menyebabkan peningkatan
metabolisme obat tertentu.
Struktur kimia suatu obat dapat mempengaruhi
kerentanannya terhadap metabolisme. Gugus fungsi tertentu
atau modifikasi kimia dapat membuat suatu obat lebih atau
kurang rentan terhadap metabolisme oleh enzim tertentu.
Mayoritas obat lipofilik diubah menjadi hidrofilik selama
metabolisme obat yang dapat meningkatkan kelarutan dalam
air, sehingga memungkinkan eliminasi melalui urin atau
empedu. Proses metabolisme ini sangat penting karena sifat obat
yang lipofilik dapat membuat obat tersebut bertahan lebih lama
di dalam tubuh, yang dapat menyebabkan toksisitas.
Metabolisme obat dapat dibagi menjadi reaksi fase I dan
fase II. Tujuan utama metabolisme fase I adalah untuk
memaparkan gugus fungsi polar pada molekul obat, sehingga
lebih mudah mengalami reaksi konjugasi pada fase II. Reaksi
fase I meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi fase I
biasanya menghasilkan pembentukan metabolit yang
mempertahankan aktivitas farmakologis obat induk, namun
reaksi ini juga dapat menyebabkan obat menjadi inaktif, lebih
aktif atau kurang aktif. Metabolisme fase II merupakan proses
konjugasi obat atau metabolit Fase I dengan molekul endogen,
seperti asam glukuronat, sulfat, atau asam amino. Reaksi
24
konjugasi yang tejadi dapat berupa reaksi glukuronidasi
(dikatalisis oleh UDP-glucuronosyltransferase), Sulfasi
(dikatalisis oleh sulfotransferase), metilasi (dikatalisis oleh
metiltransferase), asetilasi (dikatalisis oleh N-asetiltransferase).
Reaksi konjugasi meningkatkan kelarutan obat atau
metabolitnya dalam air, memfasilitasi ekskresinya melalui urin
atau empedu (Schmidt et al., 2010).
E. Ekskresi
Ekskresi obat adalah proses dimana obat dikeluarkan dari
tubuh. Semua obat pada akhirnya dikeluarkan dari tubuh,
meskipun ada berbagai jalur yang mungkin terlibat dalam
proses tersebut. Beberapa obat mengalami metabolisme sebelum
diekskresi, sedangkan ada obat lain dieliminasi secara utuh
dalam bentuk sediaan aslinya (Katzung, 2018).
Beberapa obat menjalani sirkulasi enterohepatik, di mana
obat tersebut diekskresikan ke dalam empedu, kemudian
diserap kembali di usus, dan masuk kembali ke sirkulasi
sistemik. Proses ini dapat memperpanjang durasi kerja obat.
Ginjal bertanggung jawab atas sebagian besar ekskresi zat
yang larut dalam air. Sistem empedu juga dapat mengeluarkan
obat-obatan yang tidak diserap kembali dari saluran cerna.
Dalam kebanyakan kasus, jumlah obat yang diekskresikan
dalam usus, air liur, keringat, ASI dan paru-paru dapat
diabaikan. Namun, beberapa anestesi yang mudah menguap
dapat dikeluarkan melalui paru-paru (Taft, 2009).
1. Ekskresi melalui ginjal
Ada tiga proses dasar yang terlibat dalam ekskresi obat
ginjal: filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, dan reabsorpsi
tubulus. Filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus berfungsi
untuk mengekstrak obat dari darah ke dalam urin.
Reabsorpsi tubulus menyebabkan pergerakan obat kembali
ke dalam darah. Parameter yang menggambarkan ekskresi
oleh ginjal adalah renal clearance.
25
Ekskresi obat melalui ginjal biasanya menurun seiring
bertambahnya usia, dan klirens ginjal seseorang pada usia 80
tahun dianggap kira-kira setengah dari jumlah pada usia 30
tahun. Akibatnya, obat-obatan yang sebagian besar
diekskresikan oleh ginjal mungkin perlu diberikan setengah
dosis untuk pasien lanjut usia, untuk mengurangi risiko efek
samping.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi ekskresi ginjal,
seperti:
a. Obat yang terikat pada protein besar dalam plasma tidak
dapat disaring keluar plasma, sehingga tetap berada
dalam sirkulasi darah.
b. Obat dan metabolit yang tidak terionisasi mampu
berdifusi keluar tubulus ginjal dan diserap kembali ke
dalam darah.
c. pH urin dapat mengubah reabsorpsi dan ekskresi karena
pengaruhnya terhadap ionisasi asam dan basa lemah.
d. Inhibitor metabolik dapat mengubah sekresi aktif banyak
obat di tubulus, terutama bila konsentrasi obat tinggi.
26
Aliran darah yang cukup ke ginjal diperlukan untuk
filtrasi dan ekskresi obat yang efektif. Kondisi yang
mempengaruhi aliran darah ginjal, seperti gagal jantung atau
dehidrasi, dapat mempengaruhi eliminasi obat.
Hanya molekul obat bebas (tidak terikat) yang disaring
melalui glomerulus. Obat yang sangat terikat pada protein
plasma mungkin memiliki klirens ginjal yang lebih rendah
karena obat tersebut tidak mudah disaring.
Fungsi ginjal cenderung menurun seiring
bertambahnya usia, yang dapat mempengaruhi ekskresi
obat-obatan tertentu. Pada populasi anak-anak, fungsi ginjal
mungkin belum matang sehingga mempengaruhi eliminasi
obat.
Ekskresi obat juga dipengaruhi oleh faktor hidrasi.
Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan konsentrasi obat
dalam urin, menyebabkan peningkatan reabsorpsi dan
penurunan ekskresi. Hidrasi yang cukup penting untuk
menjaga fungsi ginjal normal dan eliminasi obat. Selain itu
kondisi penyakit khususnya yang berhubungan dengan
ginjal seperti gagal ginjal kronik, dapat mempengaruhi
ekskresi obat secara signifikan. Obat-obatan yang
mempengaruhi aliran darah ginjal atau bersaing untuk jalur
ekskresi ginjal dapat mempengaruhi eliminasi satu sama lain.
Interaksi ini dapat menyebabkan perubahan konsentrasi obat
dan potensi toksisitas.
27
menguap dari darah ke dalam alveoli paru-paru dan
kemudian dikeluarkan bersama dengan udara napas.
F. Daftar Pustaka
Loose, D. S., Kan, P. B., Hirst, M. A., Marcus, R. A., & Feldman,
D. (1983). Ketoconazole blocks adrenal steroidogenesis by
inhibiting cytochrome P450-dependent enzymes. Journal
of Clinical Investigation, 71(5), 1495–1499.
https://doi.org/10.1172/JCI110903
28
Mangoni, A. A., & Jackson, S. H. D. (2004). Age-related changes
in pharmacokinetics and pharmacodynamics: Basic
principles and practical applications. In British Journal of
Clinical Pharmacology (Vol. 57, Issue 1, pp. 6–14).
https://doi.org/10.1046/j.1365-2125.2003.02007.x
Zhao, M., Ma, J., Li, M., Zhang, Y., Jiang, B., Zhao, X., Huai, C.,
Shen, L., Zhang, N., He, L., & Qin, S. (2021). Cytochrome
p450 enzymes and drug metabolism in humans. In
International Journal of Molecular Sciences (Vol. 22, Issue 23).
MDPI. https://doi.org/10.3390/ijms222312808
29
BAB
3
FARMAKODINAMIK
A. Pendahuluan
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan
ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk tenaga medis,
ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat
untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan
penyakit. Selain itu agar mengerti bahwa penggunaan obat
dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Farmakologi
mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan
fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan
obat. Seiring berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang
ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu tersendiri
(Setiawati dkk,1995)
Aspek farmakologi meliputi farmakokinetik yang
mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya dan juga farmakodinamik yang
mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai
oran tubuh serta mekanisme kerjanya. Pada penulisan buku ini
akan di bahas tentang aspek farmakologi yaitu farmakodinamik.
Farmakodinamik mengacu pada efek obat dalam tubuh
dan mekanisme kerjanya. Saat obat bergerak melalui aliran
darah, ia menunjukkan afinitas unik terhadap situs reseptor
30
obat, yang berarti seberapa kuat obat tersebut berikatan dengan
situs tersebut. Obat dan tempat reseptor menciptakan sistem
gembok dan kunci yang mempengaruhi cara kerja obat dan
keberadaan obat dalam aliran darah setelah diberikan. Konsep
ini secara luas disebut sebagai bioavailabilitas obat
Ketersediaan hayati obat merupakan fitur penting yang
diingat oleh ahli kimia dan ilmuwan farmasi ketika merancang
dan mengemas obat. Namun, betapapun efektifnya suatu obat
bekerja dalam simulasi laboratorium, kinerjanya dalam tubuh
manusia tidak selalu memberikan hasil yang sama, dan respons
individual terhadap obat harus dipertimbangkan.
B. Pengertian Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek-efek
biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat
tersebut didalam tubuh. (Gunawan, 2009).
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk
meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel,
dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan
respon yang terjadi.
31
1. Secara fisis : anastetika terbang, laksansia, diuretika osmotik
Contoh aktivitas anastetika inhalasi berhubungan langsung
dengan sifat lipofilnya, obat ini diperkirakan melarut dalam
membran sel dan memengaruhi eksitabilitas membrane,
diuretic osmotic (urea, manitol), katartik osmotic MgSO4,
pengganti plasma (polivinil-pirolidon = PVP) untuk
menambah volume intravascular.
32
kerja, puncak kerja, dan lama kerja obat. Kerja obat non-spesifik
: Obat yang berikatan dengan reseptor dan menimbulkan efek
farmakologis disebut agonis. Kalau ada obat yang tidak
sepenuhnya mengikat reseptor dinamakan dengan agonis
parsial, karena yang diikat hanya sebagian (parsial). Zat
antagonis adalah senyawa kimia yang menduduki reseptor
sehingga tidak dapat berinteraksi dengan obat dan tidak
menimbulkan efek farmakologis. Pemberian bersama obat
antagonis dan agonis akan berpotensi menghalangi efek agonis
Antagonisme dapat dibedakan menjadi 2:
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem
fisiologi yang sama, tapi pada sistem reseptor yang berlainan.
Contoh: efek katabolik hormon glukokortikoid (gula darah
meningkat) dapat dilawan oleh insulin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui
sistem reseptor yang sama, efek histamin pada reaksi alergi
dapat dicegah dengan pemberian anti histamin yang
menduduki reseptor yang sama.
E. Plasebo
Plasebo (Latin = saya ingin menyenangkan) adalah
sediaan obat tanpa kegiatan farmakologi. Kepercayaan atas
dokter dan obat yang diberikannya merupakan faktor penting
yang turut menentukan efek terapeutis obat. Pada situasi
tertentu adakalanya diberikan suatu obat plasebo untuk
menyenangkan pasien yang sebetulnya tidak menderita
gangguan organis atau untuk meningkatkan moralnya,
misalnya pada penyakit yang sudah tidak bisa disembuhkan
lagi. Efek plasebo yang paling nyata adalah pada obat tidur dan
hasil baik telah dicapai pula pada analgetika, obat asma atau
obat penguat (tonikum).
F. Interaksi Obat
Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga
terjadi perubahan efek. Perubahan besar pada jumlah suatu obat
dalam aliran darah kita dapat disebabkan oleh interaksi dengan
33
obat lain, baik yang diberikan melalui resep maupun yang tidak,
atau berinteraksi dengan narkoba, jamu, suplemen, bahkan
dengan makanan atau minuman. Beberapa obat sering diberikan
secara bersamaan pada penulisan resep, maka harus
diperhatikan mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan.
Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah,
memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua.
1. Interaksi obat vs reseptor
Interaksi obat dengan reseptor terjadi ketika obat
berinteraksi dengan bagian dari sel, ribosom, atau tempat lain
yang sering disebut sebagai reseptor. Reseptor bisa berupa
protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat, atau lemak.
Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi, maka
efek dari obat tersebut akan meningkat. b. Interaksi obat vs
enzim Interaksi obat dengan enzim dapat terjadi jika obat
atau zat kimia berinteraksi dengan enzim pada tubuh. Obat
ini bekerja dengan cara mengikat (membatasi produksi) atau
memperbanyak produksi dari enzim itu sendiri.
Contohnya obat kolinergik, obat kolinergik bekerja
dengan cara mengikat enzim asetilkolinesterase. Enzim ini
sendiri bekerja dengan cara mendegradasi asetilkolin
menjadi asetil dan kolin. Jadi ketika asetilkolinesterase
dihambat, maka asetilkolin tidak akan dipecah menjadi asetil
dan kolin.
2. Interaksi Obat-makanan
a. Jus jeruk dapat menghambat enzim yang terlibat dalam
metabolisme obat sehingga mengintensifkan pengaruh
obat-obatan tertentu.
b. Kalsium atau makanan yang mengandung kalsium,
seperti susu dan produk susu lainnya dapat mengurangi
penyerapan antibiotika tetrasiklin.
c. Makanan yang kaya vitamin K, seperti kubis, brokoli,
bayam, alpukat, dan selada, harus dibatasi konsumsinya
jika sedang mendapatkan terapi antikoagulan (misalnya
warfarin), untuk mengencerkan darah. Sayuran itu
34
mengurangi efektivitas pengobatan dan meningkatkan
risiko trombosis atau pembekuan darah.
d. Kafein dapat meningkatkan risiko overdosis antibiotik
tertentu seperti enoxacin, ciprofloxacin, dan norfloksasin.
Untuk menghindari keluhan palpitasi, tremor,
berkeringat atau halusinasi, yang terbaik adalah
menghindari minum kopi, teh atau soda pada masa
pengobatan.
3. Interaksi Obat-obat
a. Interaksi Pada Proses Absorpsi, disebabkan karena:
1) Interaksi langsung, yaitu terjadi reaksi atau
pembentukan senyawa kompleksantar senyawa obat
yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari
macam obat mengalami penurunan kecepatan
absorpsi.
Contoh: interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+,
Mg2 , Al3+ dalam metabolisme yang menyebabkan
+
35
berikatan dengan protein plasma, sehingga proses
distribusi terganggu karena terjadi peningkatan distribusi
salah satu obat ke jaringan. Contoh: pemberian
klorpropamid dengan fenilbutazon, akan meningkatkan
distribusi klorpropamid.
36
G. Resistensi Obat
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien
terhadap interaksi obat, antara lain:
1. Pasien lanjut usia
2. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
4. Pasien dengan penyakit akut
5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6. Pasien yang memiliki karakteristik metabolisme tertentu
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
H. Alergi Obat
Alergi obat merupakan salah satu dari beberapa jenis
reaksi simpangan (reaksi adversi) terhadap obat. Alergi
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi
pada respon imunologi terhadap obat (Solensky dan Khan
dalam Soegiarto, dkk., 2019).
Menurut WHO (World Health Organization) reaksi
simpangan obat didefinisikan sebagai respon berbahaya yang
tidak diharapkan akan terjadi setelah pemberian obat dengan
dosis normal untuk keperluan terapi, profilaksis, diagnosis,
maupun modifikasi fungsi fisiologi (Solensky dan Khan dalam
Soegiarto, dkk., 2019). Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi
imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan
pada tubuh. Setiap orang memiliki sistem imun yang berbeda.
Apabila sistem imun seseorang semakin lemah maka orang
tersebut mudah untuk terkena penyakit. Efek alergen pun
bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya. Paparan
alergen ditandai oleh beberapa gejala seperti, mual, muntah,
gatal pada area tubuh tertentu, mual, muntah, hingga sesak
nafas dan dapat menimbulkan kematian. Gejala yang muncul
dari bagian tubuh yang terpapar alergen atau jika mengenai
saluran pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek
(Abobakr dan Elshemy, 2013) Reaksi simpangan terhadap obat
37
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu reaksi tipe A dan
reaksi tipe B.
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang
patologik yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan pada tubuh.
Setiap orang memiliki sistem imun yang berbeda. Apabila sistem
imun seseorang semakin lemah maka orang tersebut mudah
untuk terkena penyakit. Efek alergen pun bervariasi dari satu
individu terhadap individu lainnya. Paparan alergen ditandai
oleh beberapa gejala seperti, mual, muntah, gatal pada area
tubuh tertentu, mual, muntah, hingga sesak nafas dan dapat
menimbulkan kematian. Gejala yang muncul dari bagian tubuh
yang terpapar alergen atau jika mengenai saluran pernafasan
dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek (Abobakr dan Elshemy,
2013) Reaksi simpangan terhadap obat dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu reaksi tipe A dan reaksi tipe B. Reaksi tipe A
adalah reaksi simpangan obat yang bisa diprediksi, reaksi yang
bisa diprediksi meupakan sekitar 80% dari reaksi simpangan
obat, terjadi akibat efek samping farmakologis obat, biasanya
bergantung pada dosis obat dan terjadi pada semua individu
yang tidak memiliki bakat alergi. Reaksi B merupakan reaksi
hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi dan tidak
bergantung pada dosis. Reaksi hipersensitivitas ini
menyebabkan timbulnya gejala atau tanda pada dosis yang bisa
ditoleransi oleh orang normal.
I. Habituasi
Habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
induksi enzim (barbital dan fenilbutazon, menstimulir
terbentuknya enzim yang menguraikan obat-obat tersebut),
reseptor sekunder yang terbentuk ekstra oleh obat-obat tertentu
(morfin menyebabkan terbentuknya reseptor baru sehingga
dibutuhkan dosis lebih untuk memperoleh efek terapeutis yang
sama), penghambatan absorpsi setelah pemberian oral
(habituasi bagi 11 sediaan arsen). Peningkatan dosis terus-
menerus akan menyebabkan keracunan karena efek sampingnya
38
menjadi lebih kuat. Habituasi dapat diatasi dengan penghentian
pemberian obat dan pada umumnya tidak memberikan gejala
penghentian, seperti pada adiksi.
J. Daftar Pustaka
39
BAB
4
FARMAKOTERAPI
A. Pendahuluan
Farmakoterapi merupakan cabang ilmu farmakologi yang
mempelajari tentang penanganan penyakit menggunakan obat
(Shadily, 1980). Pemilihan obat perlu mempertimbangkan
efektivitas, keamanan serta kondisi klinik pasien (Priyanto,
2009). Pada BAB ini akan dipelajari tentang farmakoterapi
penyakit saluran pernafasan (asma bronkial dan tuberkulosis)
dan saluran pencernaan (ulkus peptik dan diare), meliputi
definisi, etiologi, manifestsasi klinik serta obat yang dapat
digunakan untuk mengatasi penyakit.
B. Farmakoterapi Penyakit
1. Asma Bronkial
a. Definisi
Asma merupakan penyakit paru-paru kronis yang
dapat terjadi pada semua usia, dimana terdapat gangguan
pada saluran bronkial (Somantri, 2009), yaitu bronkus dan
bronkiolus. Pada asma terjadi inflamasi kronis dan
penyempitan diameter jalan nafas akibat edema (Neal,
2006). Kondisi ini melibatkan berbagai sel-sel inflamasi,
seperti sel mast, sel eosinofil, sel neutrofil dan limfosit T
(Yudhawati & Krisdanti, 2017).
40
b. Etiologi
Etiologi penyakit asma bersifat multifaktorial yang
melibatkan faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor
penjamu (Bereda G, 2022). Pada pasien asma terjadi
hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan terjadinya
inflamasi kronik dan obstruksi pada saluran nafas
(Somantri, 2009). Obstruksi saluran nafas umumnya
bersifat revesibel, namun dapat menjadi irreversibel,
tergantung keparahan dan lama penyakit (Priyanto,
2009).
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap
rangsangan, sehingga penderita perlu mengetahui dan
menghindari faktor pencetus. Faktor pencetus asma
antara lain sebagai berikut (Somantri, 2009) :
1) Alergen, seperti debu, spora jamur
2) Iritan, seperti asam, polutan
3) Infeksi saluran pernafasan, terutama akibat virus
4) Perubahan cuaca ekstrim
5) Aktivitas fisik berlebihan
6) Lingkungan kerja
7) Obat-obatan, seperti aspirin dan antagonis beta-
adrenergik
8) Emosi
c. Manifestasi Klinik
Gejala asma yang timbul tergantung derajad atau
tingkat keparahan asma. Gejala utama adalah batuk
kronik dan dipsnea disertai mengi (wheezing), akibat
obstruksi bronkus (Bereda G, 2022). Batuk bersifat
produktif, terutama pada malam hari dan dada terasa
tertekan (Priyanto, 2009).
d. Pengobatan
Obat asma dikelompokkan berdasarkan efek yang
ditimbulkan, yaitu sebagai bronkodilator dan
antiinflamasi (Barber dan Robertson, 2002). Golongan
obat yang memiliki efek bronkodilator adalah agonis beta-
41
2, antikolinergik dan metilxantin. Golongan obat yang
memiliki efek antiinflamasi adalah metilxantin, antagonis
leukotrien, kromoglikat dan kortikosteroid. Obat yang
dapat digunakan untuk mengatasi asma sebagai berikut :
1) Agonis Beta-2
Agonis beta-2 menyebabkan bronkodilatasi,
dengan cara relaksasi otot polos saluran nafas.
Golongan agonis beta-2 dikelompokkan berdasarkan
durasi kerja, yaitu short acting beta-2 agonis (SABA), dan
long acting beta-2 agonis (LABA). LABA memiliki durasi
kerja yang lebih lama, yaitu >12 jam (Neal, 2006).
Contoh obat golongan SABA adalah salbutamol,
terbutalin, sedangkan LABA adalah salmeterol dan
formoterol.
Efek samping dari golongan agonis beta-2
diantaranya adalah aritmia, hipokalemia dan tremor
(Hsu & Bajaj, 2023). Penggunaan agonis beta-2 dalam
bentuk sediaan aerosol dapat meningkatkan
bronkoselektifitas, mempercepat efektivitas serta
mengurangi efek samping sistemik (Priyanto, 2009).
2) Antikolinergik
Antikolinergik memiliki efek bronkodilator
yang cukup efektif, dengan cara memblok reseptor
muskarinik dari saraf kolinergik pada otot polos
bronkus. Contoh obat golongan ini adalah
ipratroprium bromida dan tiotropium bromida (Neal,
2006).
3) Metilxantin
Metilxantin bekerja dengan merelaksasi otot
polos bronkial (Paul Barber, 2002). Metilxantin tidak
efektif diberikan dalam bentuk aerosol, sehingga
pemberiannya melalui oral atau injeksi. Contoh obat
golongan ini adalah teofilin dan aminofilin (Neal,
2006).
42
Metilxantin bukan merupakan pilihan terapi
utama karena efek sampingnya yg relatif besar
(Priyanto, 2009). Biasanya obat golongan ini digunakan
pada anak yang tidak dapat menggunakan sediaan
inhalasi atau pasien dewasa yang memiliki gejala
noktural lebih dominan.
4) Kromoglikat
Kromoglikat bekerja dengan cara menurunkan
sensitivitas saraf sensoris bronkus dan menghilangkan
refleks lokal yang memicu efek inflamasi (Neal, 2006).
Kromoglikat tidak digunakan pada saat serangan akut,
tetapi sebagai profilaksis.
5) Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi pada
bronkus dan memodifikasi reaksi alergi. Obat ini tidak
memiliki efek bronkodilator, sehingga tidak
digunakan pada serangan akut (Priyanto, 2009).
Terdapat sediaan oral dan aerosol/inhalasi. Contoh
sediaan kortikosteroid oral adalah hidrokortison dan
prednisolon, sedangakan kortikosteroid inhalasi
adalah budesonid, fluticason propionat dan flunisolid
(Neal, 2006).
Sediaan kortikosteroid oral memiliki banyak
efek samping, hal ini dapat dihindari dengan
penggunaan sediaan inhalasi. Namun sediaan inhalasi
juga dapat menyebabkan efek samping lokal, seperti
nyeri tenggorokan, tenggorokan kering, dan beberapa
mengalami kandidiasis (Paul Barber, 2002).
2. Tuberkulosis (TBC)
a. Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit kronik menular
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis,
terutama menyerang paru-paru (80%).
43
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan tahan asam,
sehingga sering disebut dengan bakteri Basil Tahan Asam
(BTA). Bakteri penyebab termasuk bakteri aerob, lebih
menyukai daerah kaya oksigen, dan daerah dengan
kandungan oksigen tinggi, seperti apeks paru (Somantri,
2009).
Penularan tuberkulosis melalui udara dengan
droplet yang dikeluarkan oleh penderita. Droplet dapat
dikeluarkan saat penderita batuk, bersin, bicara atau pada
saat pemeriksaan induksi sputum dan bronkoskopi
(PERDAMI, 2020).
c. Manifestasi Klinik
Gejala utama tuberkulosis (TBC) adalah batuk
kronis lebih dari 2 minggu, disertai dengan sputum, batuk
berdarah, dapat disertai nyeri dada, serta sesak nafas.
Gejala lain yang dapat terjadi seperti malaise, penurunan
berat badan, penurunan nafsu makan, menggigil, demam
dan berkeringat pada malam hari (PERDAMI, 2020).
d. Pengobatan
Regimen pengobatan TBC terdiri dari fase insentif
selama 2 bulan dan fase intermiten (lanjutan) selama 4-6
bulan. Pada fase insentif, biasanya digunakan 4 macam
obat. Fase ini bertujuan untuk perbaikan klinis pasien dan
menurunkan jumlah mikroba dalam tubuh.
Pada fase intermiten (lanjutan), pasien
menggunakan obat yang lebih sedikit, dengan tujuan
membersihkan sisa-sisa mikroba, khususnya mikroba
yang resisten dan mencegah kekambuhan penyakit
(Priyanto, 2009). TBC membutuhkan waktu pengobatan
yang lama, sehingga keberhasilan terapi juga ditentukan
oleh kepatuhan pasien. Obat yang dapat digunakan pada
TBC adalah:
44
Tabel 4. 1 Regimen Obat TBC
Fase
Kategori Kasus Fase Insentif
Intermiten
I Kasus baru BTA 2 HRZE 4H3R3.
positif, BTA Pada
negatif/rontgen bayi/anak
+ kelaianan dapat
parenkim yg menggunakan
luas, TB ekstra 4HR
paru berat
II Relaps BTA 2HRZES/HRZE 5H3, R3.
Pada
bayi/anak
dapat
menggunakan
4HR
III Kasus baru, BTA 2HRZ 4H3R3.
negatif/rontgen Pada
positif, TB ekstra bayi/anak
paru ringan dapat
menggunakan
4HR
Sisipan BTA masih +, HRZE
pada akhir fase
insentif, pasien
kategori I dan II
Keterangan : H (isoniazid), R (rifampisin), E (etambutol), Z
(pirazinamid), S (streptomisin).
1) Isoniazid (INH)
Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
asam mikolat, yang merupakan komponen esensial
dari dinding sel mikroba. Isoniazid digunakan sebagai
terapi kombinasi dengan obat lain. INH memiliki efek
samping neuritis perifer, akibat defisiensi piridoksin,
hepatitis (Somantri, 2009).
45
2) Rifampisin
Rifampisin bekerja dengan menghambat sintesis
RNA-DNA. Rifampisin merupakan induktor enzim
pemetabolisme, berpotensi menginduksi enzim
sitokrom P-450. Resiko resistensi antibiotik lebih besar
apabila digunakan sebagai monoterapi. Efek samping
obat ini adalaah keringat, air mata, feses dan saliva
yang berwarna kemerahan, syok, purpura dan gaagl
ginjal akut (Priyanto, 2009), hepatitis, nausea dan
vomiting (Somantri, 2009).
3) Pirazinamid
Pirazinamid dapat menembus sawar otak dan
meningkatkan kadar asam urat dalam plasma
(Priyanto, 2009). Efek samping obat ini adalah nyeri
sendi, rasa panas pada kaki, hiperurisemia,
hepatotoksik, artralgia, dan distress gastrointestinal
(Somantri, 2009).
4) Etambutol
Etambutol dapat menembus sawar otak dan
meningkatkan kadar asam urat. Penggunaannya tidak
dianjurkan pada anak usai <6 tahun. Obat ini dapat
menyebabkan neuritis optik, yaitu penurunan
ketajaman dan buta warna merah/hijau.
5) Streptomisin
Strepromisin bekerja dengan menghambat
sintesis protein. Obat ini memiliki efek samping
ototoksik.
3. Ulkus Peptikum
a. Definisi
Ulkus peptikum merupakan kondisi dimana
terjadinya lesi pada lambung atau duodenum meluas
sampai ke epitel. Ulkus peptik dapat terjadi pada setiap
organ atau saluran pencernaan yang terpapar asam
46
lambung, seperti esofagus, lambung, duodemun, jejunum
(Priyanto, 2009).
b. Etiologi
Beberapa penyebab ulcer diantaranya karena
infeksi Helicobacter pylori, obat-obat NSAID, stress,
kepekaan mukosa gastrointestinal terhadap asam
lambung dan rokok (Priyanto, 2009). Infeksi H.pylori
menyebabkan ulkus labung (70%) dan ulkus duodenum
(95%).
c. Manifestasi Klinik
Gejala utama dari ulkus peptik adalah nyeri pada
bagian epigastrik, terasa terbakar dan tidak
nyaman/terasa penuh pada perut. Nyeri sering terasa
ketika perut kosong (1-3 jam setelah makan), dan akan
membaik saat makan atau pemberian antasida (Priyanto,
2009).
Ulcer yang disebabkan karena infeksi Helicobacter
pylori dan NSAID dapat menimbulkan perdarahan,
perforasi dan penetrasi organ disekitarnya, seperti pada
pankreas, empedu dan hati. Terjadinya perdarahan dapat
dilihat dari adanya melena dan hematemesis (Priyanto,
2009).
d. Pengobatan
Pengobatan ulkus peptikum utamanya untuk
mengurangi sekresi asam lambung dan meningkatkan
resistensi mukosa. Ulkus yang disebabkan oleh infeksi
perlu menggunakan regimen yang paling efektif dan
aman. Obat yang dapat digunakan pada terapi ulkus
peptik sebagai berikut:
1) Penurun sekresi asam lambung
a) H2 Reseptor Antagonis (H2RA)
Obat ini menghambat sekresi asam lambung
dengan memblok ikatan antara histamin dan
reseptornya (H2 reseptor) pada sel parietal. Obat
yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
47
ranitidine, simetidin, famotidine, nizatidine. Efek
samping yang paling sering terjadi adalah diare,
konstipasi, sakit kepala. Simetidin dapat
menyebabkan gnikomastia (0,3-4%) dan impoten,
karena memiliki efek antiandrogen (Priyanto,
2009). Simetidin juga berikatan dengan sitokrom p-
450 dan dapat menurunkan metabolisme obat lain
di hati (warfarin, fenitoin, teofilin).
2) Antasida
Antasida mengandung aluminium hidroksida,
magnesium hidroksida, dan beberapa mengandung
simetikon/dimetilpolisiloksan. Obat ini meningkatkan
pH dan menetralkan asam lambung dengan mengikat
HCl dan meningkatkan ketahanan mukosa lambung
terhadap asam. Dimetilpolisiloksan/simetikon
memiliki efek anti flatulen, yaitu mendorong
terjadinya platus.
Efek samping antasida yaitu diare karena
kandungan Magnesium (Mg), dan konstipasi karena
kandungan Alumunium (Al). Efek samping ini terjadi
pada beberapa pasien yang peka. Kombinasi kedua
kandungan diharapkan dapat mengurangi resiko efek
samping tersebut.
48
Interaksi obat dengan antasida sering terjadi.
Pemakaian bersama dengan antibiotik ciprofloxacin
dan tetrasiklin, obat dengan kandungan zat besi (Fe),
dan antagonis H2 harus diberi jarak 2-3 jam untuk
menurunkan resiko interaksi obat (Priyanto, 2009).
Antasida juga bersifat basa, sehingga dapat
menganggu absorbsi beberapa obat, seperti digoxin,
fenitoin, isoniazid dan ketokonazol.
3) Sukralfat
Sukralfat merupakan mukoprotektor, yaitu
meningkatkan kekuatan penyembuhan jaringan yang
terjadi ulkus. Mekanisme obat ini dengan berikatan
dengan jaringan yang mengalami tukak/erosi,
kemudian membentuk lapisan yang dapat melindungi
tukak dari asam lambung, dan memberikan
kesempatan bagi jaringan yang rusak untuk
beregenerasi (Priyanto, 2009).
Sukralfat mengalami polimerisasi pada pH
dibawah 4 untuk menghasilkan gel dan melekat pada
dasar ulkus. Obat ini harus diminum pada saat perut
kosong, untuk meningkatkan absorbsi. Sukralfat dapat
menurunkan bioavailabilitas beberapa obat apabila
diberikan bersamaan, seperti digoksin, fenitoin,
teofilin, ketokonazol, warfarin (Priyanto, 2009). Efek
samping obat ini relative jarang terjadi, yang mungkin
terjadi diantaranya konstipasi, mulut kering, mual,
flatulen, sakit kepala (Ayoade, 2018).
4) Misoprostol
Misoprostol merupakan analog prostaglandin
E1 yang bersifat antisekretori dan sitoprotektif.
Misoprostol menstimulasi proteksi mukosa lambung
dan menurunkan sekresi asam. Obat ini dapat
mencegah ulcer akibat NSAID (Priyanto, 2009). Efek
samping yang dapat ditimbulkan adalah diare.
Misoprostol dikontraindikasikan pada ibu hamil
49
karena dapat menyebabkan kontraksi uterus
(Priyanto, 2009).
5) Antibiotik
Antibiotik pada ulkus peptik digunakan sebagai
regimen eradikasi Helicobacter pylori (H. pylori).
Penggunaan regimen terapi H. pylori selama 14 hari
karena efek eradikasinya lebih sempurna
dibandingkan dengan terapi selama 10 hari, dan tidak
dianjurkan regimen terapi selama 7 hari. Regimen
eradikasi H. pylori sebagai berikut (Neal, 2006) :
50
Berdasarkan efektivitas terapi dan potensi efek
samping obat, regimen pertama adalah yang paling
direkomendasikan.
4. Diare
Menurut WHO dan UNICEF (United Nations Children's
Fund), terdapat kurang lebih 2 milyar kasus diare di dunia,
dan 1,9 juta diantaranya anak balita meninggal karena diare
setiap tahunnya.
a. Definisi
Diare didefinisikan sebagai buang air besar lebih
dari tiga kali sehari, dengan konsistensi feses cair (WHO,
2023). Diare berdasarkan durasinya dibedakan menjadi
diare akut dan diare kronik. Diare kronik terjadi lebih dari
14 hari. Diare berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi
diare non spesifik bukan karena infeksi dan diare spesifik
yang disebabkan karena infeksi (World Gastroenterology
Organisation, 2012).
b. Etiologi
Diare dapat disebabkan karena berbagai hal,
diantaranya infeksi, baik bakteri maupun virus,
keracunan, obat, kondisi malaborbsi dan lain sebagainya.
Obat yang dapat memicu terjadinya diare yaitu laksatif,
antasida, antineoplastik, antibiotik (klindamisin,
tetrasiklin, sulfonamid), misoprostol, dan kolkisin
(Priyanto, 2009).
c. Manifestasi klinik
Diare biasanya memiliki gejala flatulen, malaise,
nyeri lambung, diikuti berat badan turun, anoreksi dan
lemah. Selain itu diare dapat menyebabkan kekurangan
cairan / dehidrasi. Dehidrasi ini dapat menyebabkan
berbagai komplikasi. Diare karena infeksi bakteri
memiliki gejala yang khas tergantung penyebab diarenya.
Misalnya seperti diare kolera memiliki gejala muntah, dan
feses seperti air cucian beras dan berbau gosong,
sedangkan diare shigella memiliki gejala demam dan
51
diare dengan feses berdarah (World Gastroenterology
Organisation, 2012).
d. Pengobatan
Tujuan dari pengobatan diare adalah mencegah
gangguan keseimbangan elektrolit, air dan asam basa,
memberikan terapi simptomatik, mengatasi penyebab
dan mengatasi gangguan karena diare.
Obat diare dapat digunakan sebagai terapi kuratif
maupun paliatif. Terapi diare non spesifik menggunakan
terapi simptomatik, seperi terapi rehidrasi, agen antidiare,
dan diet. Sedangkan diare spesifik karena infeksi bakteri
menggunakan antibiotik. Obat yang dapat digunakan
pada diare sebagai berikut (Priyanto, 2009):
1) Rehidrasi
Penggantian cairan dan elektrolit atau rehidrasi
pada kasus diare lebih lebih diutamakan, terutama
pada pasien bayi dan diare karena infeksi. Jenis cairan
yang dapat digunakan adalah oralit dan ringer laktat,
apabila tidak tersedia dapat digunakan NaCl fisiologis
(Priyanto, 2009).
52
c) Usia < 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI bisa
diberikan oralit yang mengandung Na 90mmol/L,
dan air putih 100-200 ml
2) Probiotik
Probiotik dapat digunakan pada terapi diare
untuk mengembalikan fungsi bakteri intestinal dan
menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen.
Kandungan probiotik diantaranya mengandung
mikroba Saccharomyces boulardii, Lactobacillus
rhamnosus GG, Lactobacillus acidophilus, Enterococcus
faecium.
3) Zink
Zink digunakan pada terapi diare, terutama
diare pada anak. Studi menunjukkan efek positif
penggunaan zink pada diare, yaitu secara signifikan
dapat mengurangi keterbahayaan, durasi diare pada
anak usia < 5 tahun dan mencegah terjadinya diare
berulang. Rekomendasi penggunaan zink untuk diare
selama 10-14 hari (Priyanto, 2009).
53
4) Agen Antidiare
Agen antidiare non spesifik sebagai berikut
(World Gastroenterology Organisation, 2012):
a) Antimotilitas
Contoh golongan ini adalah loperamide.
Obat ini merupakan pilihan utama diare non
spesifik pada dewasa. Penggunaan pada diare akut
anak (<6 tahun) tidak direkomendasikan, karena
dapat meningkatkan keparahan dan komplikasi
penyakit. Obat ini bekerja dengan menghambat
gerak peristaltik usus dan memiliki sedikit efek
antisekretori (Ayoade, 2018).
Loperamid tidak digunakan pada diare
akibat infeksi bakteri, karena dapat memperburuk
kondisi penderita. Obat ini akan menyebabkan
terkumpulnya cairan di usus dan menyebabkan
pelipatgandaan bakteri, gangguan digesti dan
absorbsi, serta dehidrasi yang lebih parah
(Priyanto, 2009).
b) Antisekretori
Contoh golongan obat ini adalah racecadotril
dan bismuth subsalisilat. Obat ini tidak efektif
digunakan pada kasus diare dewasa dengan kolera
(World Gastroenterology Organisation, 2012).
Bismuth subsalisilat memiliki efek antisekretori,
antiinflamasi, dan antibakteri (Priyanto, 2009).
c) Adsorben
Contoh golongan obat ini adalah kaolin-
pectin, charcoal aktif dan attapulgite. Adsorben
bekerja dengan mengabsorbsi secara non spesifik
senyawa toksin, dan jika diberikan bersama dengan
obat lain dapat mengurangi bioavailabilitas obat
tersebut (Ayoade, 2018).
54
5) Antibiotik
Antibiotik pada diare diberikan apabila diare
disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, dan telah
ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, serta
secara klinis terdapat gejala infeksi bakteri. Antibiotik
yang dapat digunakan sebagai berikut (World
Gastroenterology Organisation, 2012):
C. Daftar Pustaka
55
G, B., 2022. Bronchial Asthma: Etiology, Pathophysiology,
Diagnosis and Management. Austin Journal of Pulmonary &
Respiratory Medicine, Issue 1, pp. 1-8.
56
BAB
5
TOKSIKOLOGI
A. Pendahuluan
Toksikologi merupakan bidang ilmu yang membantu kita
memahami dampak berbahaya bahan kimia, zat atau situasi
terhadap manusia, hewan dan lingkungan (Langman dan
Kapur, 2006). Toksikologi sebagai salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang mempunyai dampak terhadap disiplin ilmu
lain. Peran toksikologi dalam pengobatan umum, kedokteran
gigi, farmasi, kimia dan teknologi kimia, ilmu lingkungan
(biomonitoring), bioteknologi, dan pertanian (Chojnacka et al.,
2024). Toksikologi merupakan bidang multidisiplin yang secara
bebas meminjam dari ilmu-ilmu dasar. Karena beragamnya
perhatian dan penerapan, toksikologi modern telah berkembang
menjadi tiga cabang khusus: lingkungan, klinis, dan forensik
(Pope et al., 2020; Langman dan Kapur, 2006)
Toksikologi lingkungan terutama berkaitan dengan efek
berbahaya dari bahan kimia yang ditemukan secara kebetulan
karena berada di atmosfer, dalam rantai makanan, atau berada
di lingkungan kerja atau rekreasi. Toksikologi forensik adalah
cabang ilmu toksikologi yang mempelajari aspek medikolegal
dari efek berbahaya bahan kimia atau racun. Toksikologi klinis,
subspesialisasi kedokteran, berkaitan dengan efek berbahaya
dari bahan kimia yang sengaja diberikan pada organisme hidup
untuk mencapai efek tertentu. Efek yang diinginkan yang
57
dicapai mungkin bermanfaat bagi organ (terapeutik), dalam hal
ini ahli toksikologi tertarik pada efek samping atau efek samping
dari agen yang bersangkutan (Langman dan Kapur, 2006).
Peran ilmu toksikologi klinis sangat berperan dalam
perawatan pasien terutama dalam mencegah efek samping yang
mungkin timbul selama pearwatan pasien dengan obat-obat
tertentu. Dalam Bab ini akan dibahas mengenai toksikologi
terutama dalam toksikologi klinis yang berperan dalam
membantu perawatan pasien.
B. Sejarah Toksikologi
Sejarah racun sudah ada sejak zaman paling awal.
Manusia purba kemungkinan besar mengamati efek racun di
alam sebagian secara tidak sengaja. Dia mencatat dampak
berbahaya atau fatal setelah konsumsi tanaman atau produk
hewani oleh salah satu anggota sukunya dan mungkin
menggunakan ekstraknya untuk berburu atau berperang. Pada
tahun 1500 SM, catatan tertulis menunjukkan bahwa hemlock,
opium, racun panah, dan logam tertentu digunakan untuk
meracuni musuh atau untuk eksekusi negara. Seiring
berjalannya waktu, racun digunakan secara luas dan dengan
sangat canggih. Korban keracunan yang terkenal termasuk
Socrates, Cleopatra, dan Claudius. Pada masa Renaisans dan
Zaman Pencerahan, konsep-konsep tertentu yang mendasar
dalam toksikologi mulai terbentuk (Langman dan Kapur, 2006).
Definisi tradisional toksikologi adalah “ilmu tentang
racun”. Lebih khusus lagi, toksikologi berkaitan dengan sifat
kimia dan fisik racun, efek fisiologis atau perilakunya terhadap
organisme hidup, metode kualitatif dan kuantitatif untuk
analisis bahan biologis dan nonbiologis, dan pengembangan
prosedur untuk pengobatan keracunan. Racun (atau bahan
beracun) dianggap sebagai zat apa pun yang bila dikonsumsi
dalam jumlah cukup akan menyebabkan penyakit atau
kematian. Frasa kuncinya adalah “kuantitas yang cukup”.
Seperti yang diamati oleh dokter abad keenam belas, Paracelsus
(1493–1541), yang sangat menyadari hubungan dosis-respons,
58
“Semua zat adalah racun; tidak ada satu pun yang bukan racun.
Dosis yang tepat membedakan racun dari obatnya.” Paracelsus
menetapkan bahwa bahan kimia tertentu sebenarnya
bertanggung jawab atas toksisitas racun tumbuhan atau hewan.
Ia juga mendokumentasikan bahwa respons tubuh terhadap
bahan kimia tersebut bergantung pada dosis yang diterima.
Penelitiannya mengungkapkan bahwa dosis kecil suatu zat
mungkin tidak berbahaya atau bermanfaat, sedangkan dosis
yang lebih besar bisa menjadi racun. Hal ini sekarang dikenal
sebagai hubungan dosis-respons, sebuah konsep utama
toksikologi. Misalnya, sejumlah kecil sianida, arsenik, timbal,
dan diklorodifeniltrikloroetana (DDT) secara teratur tertelan
dari sumber makanan atau terhirup karena mencemari
lingkungan dan disimpan oleh tubuh manusia. Namun, jumlah
racunnya tidak cukup untuk menimbulkan efek buruk yang
nyata. Di sisi lain, zat yang tampaknya tidak berbahaya seperti
air murni, jika tertelan dalam jumlah yang cukup, akan
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit atau bahkan
kematian. Seringkali tidak ada perbedaan antara mekanisme
kerja suatu obat dan racun. Suatu obat diberikan dalam dosis
yang mengubah fungsi fisiologis untuk menghasilkan efek
terapeutik yang diinginkan. Jika diberikan dalam jumlah yang
lebih besar dari jumlah terapeutik, suatu obat dapat
menghasilkan efek toksik (berbahaya). Dengan demikian,
toksikologi adalah disiplin kuantitatif yang berupaya
mengidentifikasi jumlah suatu zat yang, dalam situasi paparan
tertentu, akan menyebabkan efek buruk pada hewan atau pasien
tertentu (Langman dan Kapur, 2006).
Pada akhir abad ke-18, seorang dokter Spanyol, Matthieu
Joseph Bonaventure Orfila, yang bekerja di Universitas Paris,
pertama kali menyiapkan korelasi sistematis antara sifat kimia
dan biologis racun pada saat itu. Dia mendemonstrasikan efek
racun pada organ tertentu dengan menganalisis bahan otopsi
untuk mencari racun dan kerusakan jaringan yang terkait. Dia
menyatakan bahwa penyelidikan kematian terlalu penting
untuk diserahkan kepada mereka yang tidak terlatih dan
59
menekankan bahwa toksikologi harus menjadi ilmu yang
terpisah dan analisis kimia harus menjadi bagian dari
landasannya. Dia menulis sebuah teks, Traité des Poisons Tirés des
Regnes Minéral Végétal et Animal, ou Toxicologie Générale Considérée
Sous les Rapports de la Pathologie et de Médicine Légale (1814), yang
melewati lima edisi dan menjadi tonggak sejarah tidak hanya
dalam bidang toksikologi tetapi juga dalam bidang ilmiah.
sejarah. Toksikologi modern ditandai dengan penyelidikan
ilmiah yang canggih dan evaluasi paparan racun (Langman dan
Kapur, 2006).
Abad ke-20 ditandai dengan tingkat pemahaman
toksikologi yang maju. DNA dan berbagai biokimia yang
menjaga fungsi seluler ditemukan. Tingkat pengetahuan kita
tentang efek racun pada organ dan sel kini terungkap pada
tingkat molekuler. Diakui bahwa hampir semua efek toksik
disebabkan oleh perubahan molekul seluler dan biokimia
tertentu (Langman dan Kapur, 2006).
Toksikologi merupakan bidang multidisiplin yang secara
bebas meminjam dari ilmu-ilmu dasar. Karena beragamnya
perhatian dan penerapan, toksikologi modern telah berkembang
menjadi tiga cabang khusus: lingkungan, klinis, dan forensik.
Toksikologi lingkungan terutama berkaitan dengan efek
berbahaya dari bahan kimia yang ditemukan secara kebetulan
karena berada di atmosfer, dalam rantai makanan, atau berada
di lingkungan kerja atau rekreasi. Toksikologi klinis,
subspesialisasi kedokteran, berkaitan dengan efek berbahaya
dari bahan kimia yang sengaja diberikan pada organisme hidup
untuk mencapai efek tertentu. Efek yang diinginkan yang
dicapai mungkin bermanfaat bagi organ (terapeutik), dalam hal
ini ahli toksikologi tertarik pada efek samping atau efek samping
dari agen yang bersangkutan. Toksikologi forensik adalah
cabang ilmu toksikologi yang mempelajari aspek medikolegal
dari efek berbahaya bahan kimia atau racun. Makalah ini akan
meninjau kemajuan sejarah toksikologi klinis dan forensik
dengan mengeksplorasi teknik analisis dalam analisis obat,
matriks biologis yang berbeda, toksikologi klinis, manajemen
60
obat terapeutik, pengujian obat di tempat kerja, dan pemantauan
farmakodinamik dan farmakogenetika (Langman dan Kapur,
2006).
C. Definisi Toksikologi
Toksikologi adalah studi tentang efek buruk zat kimia
pada organisme hidup. Society of Toxicology mendefinisikan
toksikologi secara lebih luas sebagai “studi tentang dampak
buruk agen kimia, fisik, atau biologis pada organisme hidup dan
ekosistem, termasuk pencegahan dan perbaikan dampak buruk
tersebut.” Definisi ini masih menyisakan beberapa “jalan
buntu”, misalnya, ahli toksikologi dapat mempelajari interaksi
makromolekul suatu racun dan “reseptor” yang mengikatnya
untuk menimbulkan respons racun, tanpa mengevaluasi
“organisme” atau sistem hidup yang utuh. Di ujung lain
spektrum, ahli toksikologi dapat mempelajari dampak
kontaminan pada keseluruhan ekosistem dengan banyak spesies
yang berinteraksi di seluruh spektrum taksonomi (Pope et al.,
2020).
Namun kunci dari setiap definisi toksikologi adalah kata
“merugikan.” Dampak merugikan dapat didefinisikan sebagai
respons terhadap suatu zat yang “berbahaya” atau “tidak
menguntungkan”. Oleh karena itu, ahli toksikologi mempelajari
agen yang menimbulkan efek berbahaya atau tidak
menguntungkan pada sistem kehidupan. Meskipun beberapa
zat dapat menimbulkan dampak buruk yang tidak dapat
disangkal pada kondisi tertentu, zat tersebut mungkin tidak
menimbulkan perubahan atau perubahan tertentu yang sulit
untuk didefinisikan dengan jelas sebagai berbahaya pada
kondisi lain. Berbagai macam zat yang menimbulkan respons
toksik dapat diklasifikasikan menjadi racun (xenobiotik alami
atau sintetis) atau racun (zat yang dihasilkan oleh organisme
hidup lain yang menimbulkan respons toksik). Namun seperti
yang akan dibahas nanti, semua zat berpotensi menimbulkan
efek buruk (Pope et al., 2020).
61
D. Penyebab dan Mekanisme Toksisitas
Pengetahuan tentang mekanisme toksisitas suatu zat
meningkatkan kemampuan untuk mencegah toksisitas dan
merancang bahan kimia yang lebih diinginkan; ini merupakan
dasar terapi jika terjadi paparan berlebih, dan sering kali
memungkinkan pemahaman lebih lanjut tentang proses biologis
mendasar (Gupta, 2020). Toksisitas diperkirakan menyebabkan
berkurangnya ~ 1/3 kandidat obat dan merupakan kontributor
utama terhadap tingginya biaya pengembangan obat, terutama
bila tidak diketahui hingga akhir uji klinis atau pasca pemasaran.
Penyebab toksisitas obat dapat diatur dalam beberapa cara dan
mencakup toksisitas berdasarkan mekanisme (sesuai target),
hipersensitivitas imun, toksisitas di luar target, dan
bioaktivasi/modifikasi kovalen (Peter Guengerich, 2011).
Konteks toksisitas yang pertama adalah toksisitas yang
sesuai target (atau berdasarkan mekanisme). Artinya, toksisitas
terjadi akibat interaksi obat dengan target yang sama sehingga
menghasilkan respon farmakologis yang diinginkan. Konsepnya
bukanlah penghambatan kompetitif, melainkan respon biologis
yang ditunjukkan oleh obat ketika berikatan dengan targetnya
adalah respon yang sama yang menghasilkan efek efektif dan
toksik. Pada prinsipnya toksisitas jenis ini sulit diatasi karena
semua golongan senyawa yang dikembangkan untuk mengobati
penyakit akan menunjukkan toksisitasnya. Mengubah target
penyakit mungkin diperlukan. Namun, strategi lain
dicontohkan dalam kasus statin. Semua statin menghasilkan
sifat hiperkolesterolemia dengan menghambat 3-hidroksi-3-
metilglutaril CoA (HMG CoA) reduktase di hati, yaitu targetnya.
Efek buruk dari statin juga disebabkan oleh penghambatan
HMGCoA reduktase di otot dan mungkin jaringan lain, yaitu
geranylgeranylation protein terhambat. Untungnya distribusi
statin antar jaringan dapat dimodulasi oleh berbagai protein
transpor, dan meskipun toksisitas pada target merupakan suatu
masalah, hal ini dapat dikendalikan oleh distribusi antar
jaringan (Peter Guengerich, 2011).
62
Konteks toksisitas obat yang kedua adalah
hipersensitivitas dan respon imun. Misalnya, reaksi alergi
terhadap penisilin telah diketahui selama bertahun-tahun.
Konsepnya, yang sebagian besar dikembangkan berdasarkan
karya perintis Landsteiner, adalah bahwa obat (atau
metabolitnya) bereaksi dengan protein dalam tubuh (sebagai
haptens) untuk menginduksi antibodi dan respons imun. Dalam
contoh ini (peniklin), bahan kimianya tidak sepenuhnya stabil
dan berpotensi berikatan secara kovalen dengan protein dan
memulai produksi antibodi (Peter Guengerich, 2011).
Konteks ketiga dari toksisitas obat adalah toksisitas di luar
target. Masalahnya di sini adalah obat tersebut tidak spesifik
dalam interaksinya. Mengikat target alternatif adalah penyebab
toksisitas. Dengan pengetahuan kita saat ini mengenai
kompleksitas jalur regulasi biologis dan keluarga multi-gen
(misalnya protein kinase), tidak mengherankan jika suatu obat
mungkin tidak sepenuhnya spesifik. Contohnya diMeja 2adalah
terfenadine, yang tidak hanya berikatan dengan reseptor H1
menimbulkan respons antihistamin yang diinginkan) tetapi juga
dengan saluran hERG dan dengan demikian menyebabkan
aritmia. Pada prinsipnya, permasalahan ini dapat diatasi dengan
lebih banyak skrining dan pengembangan kandidat obat dengan
nilai IC 50 dan K d yang lebih rendah, sehingga dosis yang lebih
rendah dapat menghindari masalah spesifisitas (Peter
Guengerich, 2011).
Konteks toksisitas obat yang keempat adalah bioaktivasi.
Banyak obat diubah menjadi produk reaktif (sering disebut
“metabolit” (reaktif). Entitas ini memodifikasi protein yang
bereaksi dengannya dan menyebabkan toksisitas, meskipun
mekanismenya masih mengelak (vide infra). Salah satu teori
menyatakan bahwa protein pengatur penting atau protein lain
dimodifikasi, sehingga kehilangan fungsinya. Kemungkinan
lain adalah bahwa protein yang dimodifikasi menginduksi
respons imun, yang terkait dengan konteks toksisitas kedua.
Analisis terhadap obat-obatan di salah satu perusahaan, Bristol-
Myers Squibb, menunjukkan bahwa “metabolisme” merupakan
63
masalah dalam 28% kasus di mana kandidat obat tidak lagi
dikembangkan (Peter Guengerich, 2011).
Mekanismen Toksisitas yang terjadi setelah paparan
racun dan berkontribusi terhadap toksisitas. Pendekatan ini juga
berguna dalam mencari mekanisme yang bertanggung jawab
atas (1) toksisitas selektif, yaitu perbedaan sensitivitas terhadap
racun dari berbagai organisme, seperti spesies dan strain hewan,
organ, dan sel yang berbeda, dan (2) perubahan. toksisitas oleh
faktor eksogen seperti bahan kimia dan makanan serta kondisi
fisiologis atau patologis seperti penuaan dan penyakit. Untuk
mengidentifikasi mekanisme yang mendasari toksisitas selektif
atau perubahan toksisitas, semua langkah yang mungkin terjadi
harus dipertimbangkan secara sistematis. Toksisitas selektif atau
perubahan mungkin disebabkan oleh (1) paparan yang berbeda
atau berubah; (2) pengiriman, sehingga menghasilkan
konsentrasi toksikan akhir yang berbeda di lokasi target; (3)
molekul target; (4) proses biokimia yang dipicu oleh reaksi
bahan kimia dengan molekul target; (5) perbaikan pada tingkat
molekuler, seluler, atau jaringan; atau (6) perubahan respons
stres berbasis ekspresi gen serta refleks peredaran darah dan
termoregulasi yang memungkinkan organisme yang terkena
dampak beradaptasi terhadap beberapa efek toksik (Casarett,
2008).
Skema yang disederhanakan telah digunakan untuk
memberikan gambaran perkembangan toksisitas (Gambar 1).
Pada kenyataannya, jalur menuju toksisitas bisa jauh lebih
beragam dan rumit. Misalnya, satu bahan kimia dapat
menghasilkan beberapa bahan toksik, satu bahan toksik dapat
bereaksi dengan beberapa jenis molekul target, dan reaksi
dengan satu jenis molekul target dapat menimbulkan sejumlah
konsekuensi. Dengan demikian, toksisitas suatu bahan kimia
mungkin melibatkan beberapa mekanisme yang dapat
berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain dengan cara
yang rumit (Casarett, 2008).
64
Gambar 5. 1 Mekanisme Toksisitas (Casarett, 2008).
Bagian ini menekankan pentingnya kimia dari suatu
racun dalam mengatur pengirimannya dan reaksinya dengan
molekul target serta pentingnya biokimia, biologi molekuler dan
sel, imunologi, dan fisiologi organisme yang terkena dampak
dalam responsnya terhadap aksi racun tersebut. Suatu
65
organisme memiliki mekanisme yang (1) melawan pengiriman
racun, seperti detoksifikasi; (2) membalikkan kerusakan toksik,
seperti mekanisme perbaikan; dan (3) mengimbangi beberapa
disfungsi, seperti respons adaptif. Oleh karena itu, toksisitas
bukanlah konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari paparan
racun karena toksisitas dapat dicegah, diatasi, atau
dikompensasi melalui mekanisme tersebut. Toksisitas terjadi
jika racun tersebut menghabiskan atau merusak mekanisme
perlindungan dan/atau mengesampingkan kemampuan
adaptasi sistem biologis (Casarett, 2008).
E. Daftar Pustaka
Pope, C. N., Schlenk, D., & Baud, F. J. (2020a). History and basic
concepts of toxicology. An Introduction to Interdisciplinary
Toxicology: From Molecules to Man, 3–15.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813602-7.00001-6
66
BAB
6
PERAN OBAT
A. Pendahuluan
Obat adalah bahan atau paduan bahan termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Permenkes, 2016).
Pemberian obat merupakan salah satu bagian terintegrasi
dari sistem pengobatan atau terapi. Pemilihan obat sangat
menentukan keberhasilan terapi. Pemberian obat dapat untuk
menyembuhkan atau dapat meringankan dari suatu gejala
penyakit. Obat dapat pula digunakan sebagai pengujian suatu
penyakit. Penggunaan uji coba pengobatan membantu
menentukan obat mana yang paling cocok untuk setiap individu
dan berapa dosisnya.
Obat telah memberikan manfaat yang luar biasa bagi
kehidupan manusia, seperti menurunkan angka kematian dan
angka kesakitan dengan cara menyelamatkan jiwa, menurunkan
jumlah pasien dan meningkatkan kesehatan, tetapi hanya jika
obat tersebut aman, berkhasiat, bermutu dan digunakan dengan
benar. Obat yang tidak aman, tidak berkhasiat, tidak bermutu
dan tidak digunakan dengan benar dapat menimbulkan
berbagai masalah bagi kesehatan, kegagalan pengobatan bahkan
kematian dan perawatan jangka panjang sehingga dapat
67
menyerap berbagai sumber (dana dan manusia) yang
sebenarnya terbatas (WHO 2004). Hal ini menunjukan
pentingnya peranan obat dalam kehidupan manusia.
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
tergantikan dalam pelayanan kesehatan, dimana obat berbeda
dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan
komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial.
Disamping itu obat berperan sangat penting dalam pelayanan
kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai
penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan
obat atau farmakoterapi.
68
1. Penggolongan Obat Berdasarkan Permenkes
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
917/Menkes/Per/X/1993, terdapat pengertian
penggolongan obat yang menyatakan bahwa penggolongan
obat yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.
Penggolongan obat ini terdiri dari: obat bebas, obat bebas
terbatas, obat keras, obat wajib apotek, obat psikotropika, dan
obat narkotika. Yang termasuk kedalam kelompok tersebut
adalah obat yang dibuat menggunakan bahan kimia atau
bahan bahan dari unsur hewan dan tumbuhan yang sudah
dikategorikan sebagai bahan obat atau campuran keduanya,
sehingga berupa obat sintetik dan obat semi-sintetik.
Penggolongan obat Antara lain:
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di
pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda
khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran
berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Obat
golongan ini termasuk obat yang relatif aman, karena
dapat diperoleh tanpa resep dokter, selain didapat di
apotek, juga bisa didapat di warung. Obat bebas dalam
kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau
contohnya adalah Paracetamol, Asetosal tablet, dan obat
batuk hitam (OBH) sirup.
69
informasi terkait cara penggunaannya oleh tenaga
kesehatan (swamedikasi). Obat golongan ini juga relatif
aman selama penggunaannya mengikuti aturan pakai.
Contohnya obat CTM, Oxymetazolin, Ibuprofen Syrup,
Mebendazole.
70
Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan
resep dokter pada saat membelinya. Contoh : Ibuprofen
Tablet, Metformin, Glibenclamid.
Obat psiotropika adalah obat keras baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Contoh : Alprazolam, Diazepam,
Phenobarbital.
d. Obat Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai 9 menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Obat ini hanya dapat
diperoleh dengan resep dari dokter. Contoh: Morfin,
Petidin. Fentanil.
71
2. Penggolongan Obat Berdasarkan Farmakologi
Peranan obat juga dapat dilihat dari mekanisme kerja
obat yang berhubungan dengan indikasi pengobatan.
Mekanisme kerja obat menunjukan peranan obat dalam
terapi pengobatan. Berdasarkan mekanisme kerja, obat dapat
digolongkan atau di klasifikasikan sesuai kelas terapi
farmakologinya, seperti:
a. Analgesik (Pereda Nyeri): Merupakan golongan obat
yang dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit atau nyeri. Obat golongan ini bekerja dengan
mengubah persepsi tubuh terhadap rasa sakit atau
menghambat sinyal nyeri ke otak.
b. Antihistamin: Merupakan kelompok obat yang
digunakan untuk mengatasi reaksi alergi. Antihistamin
bekerja dengan menghambat efek histamin, suatu zat
kimia yang dilepaskan oleh sel-sel kekebalan tubuh
sebagai respons terhadap alergen.
c. Antipiretik (Penurun Demam): Obat yang digunakan
untuk menurunkan suhu tubuh yang meningkat karena
demam. Tindakan antipiretik bertujuan untuk
mengurangi demam dan memberikan kenyamanan
kepada penderita.
d. Obat Antiemetik: Antiemetik adalah obat yang
digunakan untuk mencegah atau mengurangi mual dan
muntah.
e. Obat Laksatif: Laksatif adalah obat yang digunakan
untuk merangsang gerakan usus atau memperlancar
buang air besar.
f. Obat Anti-Diarrhea: Obat anti-diarrhea digunakan untuk
mengurangi frekuensi dan keparahan diare.
g. Antiinflamasi (Anti-peradangan): Merupakan obat-
obatan yang digunakan untuk mengurangi atau
menghentikan peradangan dalam tubuh. Antiinflamasi
dapat bekerja dengan menghambat respons imun atau
meredakan gejala peradangan seperti kemerahan,
pembengkakan, dan nyeri.
72
h. Antihipertensi (Penurun Tekanan Darah Tinggi):
Merupakan golongan obat yang digunakan untuk
mengurangi tekanan darah tinggi. Antihipertensi bekerja
dengan berbagai cara, seperti mengurangi volume darah,
merelaksasi pembuluh darah, atau mengurangi aktivitas
jantung.
i. Antidiabetes: Golongan obat yang digunakan untuk
mengelola kadar gula darah pada pasien diabetes.
Contohnya termasuk insulin, yang diperlukan untuk
mengatur gula darah, dan obat oral yang berperan dalam
mengontrol resistensi insulin atau produksi gula darah.
j. Antimikroba (Antibiotik, Antivirus, Antijamur):
Merupakan agen yang digunakan untuk melawan atau
membunuh mikroorganisme seperti bakteri, virus, atau
jamur. Antibiotik untuk bakteri, antiviral untuk virus, dan
antijamur untuk infeksi jamur.
k. Kardiak (Berhubungan dengan Jantung): Obat-obatan
yang berhubungan dengan fungsi dan penyakit jantung.
Ini dapat mencakup obat untuk mengatasi aritmia
(gangguan irama jantung), meningkatkan kontraksi
jantung, atau memperluas pembuluh darah.
l. Psikotropika (Berhubungan dengan Gangguan Mental):
Obat-obatan yang mempengaruhi fungsi mental,
emosional, atau perilaku. Termasuk antidepresan untuk
mengatasi depresi, antipsikotik untuk gangguan psikotik,
dan ansiolitik untuk mengatasi kecemasan.
m. Antiasma dan Obstruksi Saluran Udara: Obat-obatan
yang digunakan untuk mengatasi penyakit saluran napas
seperti asma. Termasuk bronkodilator untuk melebarkan
saluran udara dan steroid inhalasi untuk mengurangi
peradangan.
n. Antikoagulan dan Antiplatelet: Obat-obatan yang
mencegah pembentukan bekuan darah. Antikoagulan
menghambat pembekuan darah, sementara antiplatelet
menghambat aktivitas trombosit (sel darah yang berperan
dalam pembekuan darah).
73
C. Pemilihan Obat
Banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata memberikan
masalah dalam praktek, seperti bagaimana memilih dan
menggunakan obat secara benar dan aman. Pemberi layanan
harus mengetahui obat yang dibutuhkan atau tersedia dengan
pertimbangan yang cermat dan sesuai dengan penatalaksanaan
terapi suatu penyakit.
Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak
lepas dari penggunaan obat atau farmakoterapi. Informasi yang
dibutuhkan untuk produk obat yang tersedia baik informasi
farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat, indikasi dan
cara penggunaan, keamanan dan lainnya dapat menunjang
penggunaan obat yang benar dan rasional. Bukti dukung ilmiah
yang berkaitan dengan kemanfaatan dan keamanan
penggunaan obat (evidence-based medicines) merupakan informasi
terkait peran obat yang dilakukan melalui suatu penelitian
sebagai dasar pemilihan penggunaan obat.
1. Kebijakan Obat Esensial
Obat Esensial adalah obat yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat baik di tingkat pelayanan
primer, sekunder maupun tersier. Peran obat esensial juga
dapat diartikan sebagai drug of choice yaitu obat yang terbukti
memiliki peranan memberikan manfaat klinik paling besar,
paling aman, paling ekonomis dan paling sesuai dengan
sistem pelayanan kesehatan yang ada.
Kriteria obat esensial berdasarkan Informatorium Obat
Nasional Indonesia adalah:
a. Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang
paling menguntungkan pasien
b. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan
hayati (bioavailability)
c. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
d. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang
disesuaikan dengan tenaga, sarana, dan fasilitas
kesehatan
74
e. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan
oleh pasien
f. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang
tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung
2. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau
hampir bersamaan, dimana efek obat dapat bertambah kuat
atau berkurang. Interaksi obat dapat mengakibatkan
peningkatan efek toksik atau efek samping obat atau
berkurangnya efek klinik yang di harapkan.
Pemberian beberapa obat dapat berperan
menimbulkan reaksi obat yang merugikan karena adanya
interaksi obat. Kecurigaan adanya interaksi silang harus
dilaporkan baik sebagai reaksi serius yang dicurigai,
berakibat fatal, mengancam nyawa, menyebakan
75
ketidakmampuan, menurunkan kapasitas hidup, ataupun
memperlama perawatan.
Mekanisme interaksi obat terbagi atas interaksi
farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik.
a. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi jika antar obat yang diberikan
bersamaan terjadi raksi langsung, umumnya berlangsung
diluar tubuh dan berakibat berubah atau hilangnya efek
farmakologi obat yang diberikan. Contoh pada
pencampuran penisilin dan aminoglikosida
menyebabkan hilangnya efek farmakologi yang
diharapkan.
b. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi ini terjadi jika antar obat yang diberikan
bersamaan memberikan perubahan efek pada obat dalam
proses absorpsi, distribusi obat dalam tubuh,
metabolisme, atau dalam proses ekskresi di ginjal.
Contoh: simetidin menaikan metabolisme mebendazol
sehingga menaikan kadar mebendazol dalam plasma.
c. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi ini terjadi pada reseptor obat dan
mengakibatkan berubahnya efek salah satu obat. Efek
tersebut dapat bersifat sinergis bila efeknya saling
menguatkan atau antagonis jika efeknya saling
mengurangi. Contoh interaksi yang bersifat sinergi seperti
pada penggunaan warfarin dan keterolak yang daat
meningkatkan resiko perdarahan. Interaksi yang
antagonis contohnya ritonavir (antivirus) menurunkan
efek betabloker sebagai antihipertensi.
76
samping tersebut timbul setelah penggunaan obat secara luas
pada jangka waktu lama Program ini dilakukan untuk
mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya
efek obat yang tidak diinginkan. Setiap laporan selalu
diberikan penilaian efek samping obat dengan score Naranjo
untuk menilai kemungkinan obat yang menjadi penyebab
efek samping.
4. Peresepan Obat
Obat memiliki peran atau penggunaannya sesuai usia
pasien. Pada pasien anak, obat yang diberikan harus
dicermati mengingat resiko toksisitas bertambah karena
bersihan ginjal yang belum optimal, adanya defisiensi enzim,
sensitivitas organ yang berbeda serta sistem detoksifikasi
yang belum optimal. Pemilihan bentuk sediaan perlu
diperhatikan pada sediaan yang mengandung gula seperti
fruktosa, glukosa atau sukrosa terutama pada penggunaan
jangka panjang. Dosis obat pada anak berdasarkan
perhitungan berat badan
Pada pasien paliatif dimana pasien tidak respon saat
terapi kuratif maka pemantauan gejala dan bagaimana
peranan obat dilakukan oleh tim multidisiplin.
Pada usia lanjut, yang mana sering menerima jenis
obat (polifarmasi) dapat menambah resik interaksi obat
D. Penutup
Peran obat secara farmakologi untuk mencapai tujuan
pengobatan sangat tergantung dari pemilihan berdasarkan tepat
indikasi, tepat mekanisme kerja obat, meminimalkan kejadian
interaksi dan melakukan monitoring efek samping. Dosis obat,
cara pemberian dan waktu penggunaan yang tepat perlu
diperhatikan agar diperoleh kadar obat yang optimal dalam
tubuh.
Memperoleh obat yang aman dan bermutu juga sangat
penting dalam keberhasilan terapi, biaya obat yang sesuai juga
perlu di perhitungkan bagi penggunaan obat dalam jangka
waktu lama, mengingat biaya pengobatan tidaklah sedikit.
77
Informasi dalam penggunaan obat dan kepatuhan
melaksanakan terapi juga dapat menunjang keberhasilan
pengobatan sehingga penatalaksanaan pengobatan dapat
berjalan dengan baik, dan peranan obat dapat optimal.
E. Daftar Pustaka
78
BAB
PENGGOLONGAN
7 OBAT
A. Pendahuluan
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang
siap untuk digunakan dalam mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi sebagai rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan,
kesehatan dan kontrasepsi.
Obat merupakan bahan campuran yang di padukan yang
digunakan untuk menyelidiki system fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapat diagnosis,pencegahan serta
penyembuhan kesehatam kontrasepsi untuk manusia (UU
No.36 Thn2009).Obat ialah zat yang digunakan untuk pecegahak
serta penyembuhan penyakit serta untuk pemulihan dan
peningkatan kesehatan bagi penggunanya.
Semua bahan obat/ bahan baku baik yang berkhasiat
maupun yang tidak berkhasiat, berubah maupun tidak berubah,
digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidakn semua
bahan obat terdapat didalam kelompok rumahan.
Setiap obat punya tujuan dan maaf namun juga memiliki
efek samping yang dapat merugikan penggunanya.Oleh sebab
itu gunakanlah obat sesuai dengan aturan pakai yang telah
diberitahu serta kenali obat dengan baik dengan memperhatikan
informasi yang menyertai. Bidang ilmu yang mempelajari
tentang obat khususnya yang berkaitan dengan pengaruh sifaf
79
fisika-kimiawinya terhadap tubuh, respons bagian tubuh
terhadap sifat obat, serta bbagaimana obat bekerja didalam
tubuh dan kegunaan obat bagi kesembuhan adalah
Farmakologi.
B. Penggolongan Obat
Penggolongan obat secara luas dapat dibedakan
berdasarkan beberapa hal, diantaranya :
1. Penggolongan obat berdasarkan jenisnya
2. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat
3. Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi
pemakaian
4. Penggolongan obat berdasarkan cara pemakaian
5. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan
6. Penggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapi
7. Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara
pembuatannya
8. Penggolongan obat berdasakan Jenisnya
80
C. Penggolongan Jenis Obat
1. Obat Bebas
81
Gambar 7. 3 Penandaan dan peringatan Obat Bebas Terbatas
3. Obat Keras
82
Obat hanya boleh di beli degan resep dokter serta
menyebabkan ketergantungan.Psikotropika merupakan zat
atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susuna syaraf pusat menimbulkan
halusinasi,ilusi ,cara gangguan berpikir,serta mempunyai
efek stimuulasi (rangsang) bagi penggunanya.
Narkotika merupkan zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik secara sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh didalam
tubuh pemakainya seperti pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat, alusinasi/timbulnya khayalan-
khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi
pemakainya
Contoh Obat Psikotropika: Sedati, valim, diazepam
(gol IV), Sabu-shabu, amfetamin (gol 2), Ekstasi (gol 1)
Contoh Obat Narkotika: Alfasetilmetadol, etilmorvinia,
dihidroodeina, dll.
5. Obat Fitofarmaka
83
6. Obat Herbal Terstandar (OHT)
84
Contoh Obat Herbal jamu: Jamu kunyit asam, jamu
pegal linu, antangin/tolak angina, dll.
8. Obat Generik
85
menganggap dirinya dalam keadaan sakit. Contoh: aqua pro
injeksi dan tablet placebo.
H. Golongan Obat
Bentuk obat atau bentuk sediaan obat adalah wujud obat
yang diberikan kepada pasien. Obat dapat diberikan kepada
pasien dalam bentuk pil, kapsul, suspensi, serbuk, salep, obat
tetes, dsb. Bentuk sediaan obat yang diberikan akan
berpengaruh terhadap kecepatan dan takaran jumlah obat yang
diserap oleh tubuh. Selain itu, bentuk sediaan obat akan
berpengaruh pada kegunaan terapi obat. Bentuk sediaan obat
dapat dibagi menjadi tiga bentuk: padat, cair, dan gas.
86
1. Macam bentuk obat padat
a. Tablet. Tablet merupakan sediaan obat berbentuk bundar
atau pipih. Tablet paling sering dijumpai di Indonesia
karena bentuk ini mudah dan praktis dalam pemakaian,
penyimpanan dan juga dalam produksinya. Tablet tidak
sepenuhnya berisi obat, biasanya tablet juga dilengkapi
dengan zat pelengkap atau zat tambahan yang berguna
untuk menunjang agar obat tepat sasaran.
b. Kapsul. Kapsul merupakan sediaan obat padat dikemas
ke dalam sebuah cangkang berbentuk tabung keras
maupun lunak yang dapat larut. Tabung kapsul in
biasanya terbuat dari gelatin, pati, dan lain-lain. Contoh:
kapsida, incidal, dan lain-lain.
c. Kaplet. Bentuk sediaan obat kaplet (kapsul tablet)
merupakan sediaan berbentuk tablet yang dibungkus
dengan lapisan gula dan pewarna menarik. Lapisan
warna dan gula ini bertujuan untuk menjaga kelembaban
dan menjaga agar tidak tekontaminas dengan HCL di
lambung.
d. Pil. Sediaan obat berbentuk bundar dengan ukuran yang
kecil. Ada beberapa variasi dari pil, antara lain: granulae,
pilulae, dan boli.
e. Serbuk. Sediaan obat yang berbentuk remahan yang
merupakan campuran kering obat dan zat kimia yang
dihaluskan. Contoh: adem sari, jesscool, dan lain-lain.
f. Supositoria. Merupakan sediaan padat dalam berbagai
bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina
atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh.
2. Macam bentuk obat cair. sediaan obat cair adalah obat yang
mengandung berbagai zat kimia terlarut. biasanya
dikonsumsi dengan melalui mulut (oral) atau secara topical
seperti : sirup, emulsi, enjeksi, larutan, elixir, suspense,
guttae, ekstrak dan immunosera.
87
3. Macam obat gas/uap. Obat dengan bentuk sediaan gas/uap
biasanya digunakan untuk pengobatan penyakit pernapasan
dan cara pemakaiannya dengan inhalasi. Bentuk sediaan
gas/uap dibuat agar partikel obat menjadi kecil sehingga
lebih mudah dan cepat diabsorbsi melalui alveoli dalam
paru-paru dan membran mukus dalam saluran pernapasan.
Obat dengan sediaan bentuk gas biasanya dibungkus dengan
alat khusus seperti vaporizer dan nebulizer
I. Kesimpulan
Dalam dunia farmasi obat dikelompokkan menjadi
beberapa golongan, yaitu: penggolongan obat berdasarkan jenis,
penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat,
penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian,
penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan, dan
penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara
pembuatannya
J. Daftar Pustaka
88
Nur Falah Setyawati. 2015. Dasar-dasar Farmakologi
Keperawatan. Yogyakarta: Binafsi Publisher.
89
BAB PRINSIP PEMBERIAN
8
OBAT DENGAN
BENAR
A. Pendahuluan
Pada dasarnya obat merupakan bahan dengan takaran
tertentu dengan berbagai kegunaan. Sebelum menggunakan
obat yang perlu diketahui yaitu cara pemakaiannya yang tepat
dan aman. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan
kesehatan. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga
diperlukan pertimbangan yang tepat dalam memilih obat untuk
penyakit tertentu. Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia
ternyata juga dapat memberikan masalah tersendiri dalam
praktik, terutama menyangkut bagaimana memilih dan
menggunakan obat secara benar dan aman.
90
di dalam tubuh. Dalam pelaksanaannya, tenaga medis memiliki
tanggung jawab dalam keamanan obat dan pemberian secara
langsung ke pasien. Hal ini semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan pasien.
Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang
siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan pemulihan, peningkatan,
kesehatan dan kontrasepsi.
91
1. Benar Pasien
Perawat harus memverifikasi dan memastikan bahwa
obat yang akan diberikan adalah kepada pasien atau pasien
yang benar dengan cara memeriksa identitas pasien dan
meminta pasien menyebutkan namanya. Perawat harus
memverifikasi identitas pasien dengan memeriksa pad
identitas yang digunakan pasien atau dengan bertanya
kepada pasien sebelum memberikan obat. Jika pasien tidak
dapat mengidentifikasi diri karena gangguan jiwa atau
penurunan kesadaran, sebaiknya perawat memastikan
identitas pasien dengan menanyakan langsung kepada
keluarga pasien. Jika pasien masih bayi, perawat dapat
mengamati gelang identitas yang dikenakannya. Terlihat
bahwa prinsip pemberian obat kepada pasien yang benar
adalah dengan memverifikasi identitas pasien dengan
memeriksa gelang identitas, jika ada dua pasien dengan
nama yang sama maka gelang identitas tersebut harus
dibedakan.
2. Benar Obat
Nama obat diklasifikasikan berdasarkan nama dagang
dan juga nama generik. Jika perawat menemukan obat
dengan nama merek yang tidak biasa, perawat harus
memeriksa nama generik obat tersebut dan bila perlu
perawat harus menghubungi apoteker untuk menanyakan
nama generik atau kandungan obat.
Agar tidak terjadi kesalahan pada saat memberikan
obat kepada pasien, apa yang harus dilakukan perawat
sebelum memberikan obat kepada pasien?Perawat harus
membaca label obat sebanyak 3 kali, pertama pada saat
melihat botol atau kemasan obat dan kedua pada saat melihat
botol atau kemasan obat. menuang atau menuangkan
obatnya ke depan. Mendengus dan menuang atau ketiga
kalinya setelah mendengus. Apabila perawat tidak dapat
membaca label obat, maka obat tersebut tidak boleh
digunakan atau digunakan untuk pengobatan dan perawat
harus mengembalikannya ke apotek rumah sakit. Perawat
92
juga harus ingat bahwa beberapa obat memiliki nama dan
ejaan huruf yang hampir sama atau mirip misalnya nama
obat digitoksin dan digoksin, quinine dan quinidine,
dikuramol dan Demerol, maka dari itu seorang perawat
sebelum melakukan pemberian obat kepada pasien harus
mengecek dan memastikan bahwa obat tersebut benar.
3. Benar Dosis
Perawat harus memeriksa dosis obat sebelum
memberikannya kepada pasien. Jika perawat mempunyai
pertanyaan, perawat harus berkonsultasi dengan dokter atau
apoteker yang meresepkan sebelum memberikan obat
kepada pasien. Sedangkan perhitungan dosis jika perawat
ragu dengan dosis yang akan diberikan kepada pasien maka
perawat harus menghitung ulang dosis obat/berkoordinasi
dengan perawat lain untuk mengecek dosis Demikian pula
jika pasien ragu dengan dosis obatnya. obat yang diberikan
oleh perawat perawat harus memeriksa dan memastikan
dosisnya tepat. Berikan perhatian khusus pada titik desimal
dalam dosis dan perbedaan antara singkatan mg dan mcg
bila ditulis dengan tangan. Obat-obatan ada yang berbentuk
tablet extended-release (ada yang berlapis-lapis, ada yang
dengan matriks khusus), tablet tersebut tidak boleh
dibagi/dihancurkan karena sifat periodiknya akan hilang.
Ada tablet salut enterik yang bisa mencegah keasaman
lambung. Aspirin tetap dalam bentuk ini bila dikonsumsi
dalam dosis besar dalam jangka waktu lama. Aturan umum:
Jangan mengubah bentuk sediaan asli.
4. Benar Cara/Rute
Perawat harus dapat memverifikasi dan memastikan
bahwa obat diberikan kepada pasien dengan benar. Beberapa
faktor yang menentukan cara pemberian suatu obat antara
lain kondisi umum pasien, kecepatan respon obat yang
diinginkan, sifat fisik dan kimia obat, serta target atau tempat
kerja obat. Berbagai rute pemberian meliputi: pemberian
inhalasi, pemberian intrapleural, pemberian intradermal,
pemberian intramuskular, pemberian intramuskular,
93
pemberian intraspinal, pemberian intravena, pemberian
kulit, pemberian hidung, pemberian oral, pemberian rektal.
Cara pemberian, pemberian subkutan, pemberian topikal,
pemberian vagina, pemberian ventrikel.
5. Benar Waktu
Penting, terutama bagi obat-obatan yang
efektivitasnya bergantung pada pencapaian atau
pemeliharaan konsentrasi darah yang memadai, untuk
memberikan obat pada waktu yang tepat. Jika obat harus
diminum sebelum makan (ante cimun atau a.c.) untuk
mencapai kadar yang diinginkan, maka harus diminum satu
jam sebelum makan. Hal ini berlaku untuk banyak antibiotik.
Misalnya, tetrasiklin menjadi chelated (yaitu membentuk
senyawa tidak larut) bila dikonsumsi dengan susu atau
makanan tertentu karena susu mengandung kalsium,
sehingga dapat mengikat senyawa kompleks tersebut dengan
molekul obat sebelum diserap. Di sisi lain, beberapa obat
harus diminum setelah makan untuk menghindari
rangsangan berlebihan pada lambung (seperti indometasin)
atau untuk mendapatkan konsentrasi darah yang lebih tinggi
(seperti griseofulvin bila dikonsumsi dengan makanan
berlemak).
Setelah pemberian, dosis, cara, waktu dan orang yang
memberikan obat harus dicatat. Jika pasien menolak atau
tidak meminum obat, alasannya harus dicatat dan
dilaporkan. Dapat disimpulkan bahwa perawat harus
memeriksa dan memverifikasi apakah obat diberikan pada
waktu yang tepat sebelum memberikannya kepada pasien.
6. Benar Dokumentasi
Merupakan tanggung jawab dan kewajiban bagi
perawat untuk memberikan catatan pelayanan keperawatan.
Dokumentasi merupakan alat komunikasi informasi yang
relevan dengan manajemen pelayanan kesehatan, termasuk
manajemen pengobatan. Perawat wajib mencatat obat setelah
diberikan kepada pasien, isi pencatatannya meliputi dosis,
cara pemberian, waktu pemberian dan orang yang meminum
94
obat. Jika pasien menolak atau tidak mampu meminum obat,
perawat harus mendokumentasikan dan melaporkan alasan
pasien menolak pengobatan.
95
pemberiannya 9) Mengetahui apakah ada efek samping
atau alergi obat dan cara mengatasinya 10) Jangan
mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai
kendaraan bermotor sambil menerima obat-obatan
tertentu, seperti obat penenang, antihistamin 11)
Bagaimana cara menyimpan obat dan apakah diperlukan
lemari es 12) Apakah saya perlu kontrol ulang setelah obat
habis?
96
tekhnik dan respon klien terhadap terapi dan kemampuan
klien mengemban tanggung jawab merawat diri sendiri
e. Lihat seberapa baik obat yang diberikan bekerja dan lihat
efek samping yang diharapkan dan tidak terduga.
f. Kaji adanya komplikasi yang berhubungan dengan rute
pemberian
g. Menilai keamanan dan kenyamanan pelanggan
h. Kaji pemahaman klien tentang terapi pengobatan
i. Kaji kemampuan klien dalam menggunakan obat secara
mandiri dan aman.Evaluasi kemampuan klien
menggunakan obat secara mandiri dan aman.
97
Gambar 8. 1 Surat Pernyataan Penolakan Pengobatan
E. Daftar Pustaka
Agustina, dkk ( 2023) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Bayi dan Balita
S1 Kebidanan. Jakarta Selatan : Mahakarya Citra Utama.
https://www.scribd.com/doc/251687618/Contoh-Surat-
Penolakan-Pengobatan
98
BAB PERAN PERAWAT
9
DALAM PEMBERIAN
OBAT
A. Pendahuluan
Perawat memiliki peran penting dalam keamanan
manajemen obat.(Mardani, Griffiths and Vaismoradi, 2020)
Perawat berperan dalam pelaksanaan standar keselamatan
pengobatan pada setiap tahap proses pengobatan yang meliputi
tahap pemesanan, penyiapan, pemberian dan
pemantauan.(Hesti, Susanto and dr. Sri Mulatsih, 2016) Peran
perawat dalam pemberian obat memiliki tingkat kesalahan
pengobatan lebih tinggi dibandingkan profesional kesehatan
lainnya.(Alomari et al., 2018) Maka penting bagi perawat untuk
memahami perannya dalam menjamin keamanan pemberian
obat kepada pasien.(Lalujan and Musharyanti, 2021)
Ketepatan pemberian obat merupakan salah satu bentuk
kinerja perawat dan juga sebagai bentuk pertanggungjawaban
secara legal atas tindakan yang telah dilakukan.(Feriani, 2020)
Demi menjamin keamanan pemberian obat perawat harus selalu
memperhatikan Standar Operasional Prosedur (SOP) pemberian
obat. SOP merupakan pedoman tertulis mengenai proses
kegiatan organisasi, kapan, dimana, oleh siapa, dan bagaimana.
SOP pemberian obat diterapkan melalui enam prinsip
pemberian obat yang perlu dilakukan oleh perawat, antara lain
benar pasien yang tepat, obat yang tepat, waktu yang tepat, cara
99
yang tepat, dan dokumentasi yang tepat.(Kartika and Melani,
2018)
Perawat diharapkan memahami perannya dalam
pemberian obat sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam
pemberian obat dan meningkatkan keamaan dalam pengobatan.
Hal yang dapat dilakukan perawat ialah dengan memiliki
pengetahuan yang baik, membangun sistem yang baik, dan
komunikasi yang baik dalam menyampaikan obat ke pasien
serta memperhatikan aspek seperti beban kerja, kondisi
lingkungan serta interupsi yang terjadi.(Yulianti Novi, Malini
Hema and Muharni Sri, 2019)
100
4. Pasal 45 : ketentuan mengenai pemberian obat dan daftar
jenis obat dalam keadaan darurat yang dapat disimpan oleh
perawat yang menjalankan praktik keperawatan secara
mandiri di tempat praktik mandiri perawat diatur dengan
peraturan menteri.
2. Persiapan
Pada tahap persiapan obat perawat berperan
melakukan pengecekan obat, menyiapkan obat dan
memberikan edukasi pengobatan. Pengecekan obat
seringkali tidak didokumentasikan karena kolom
dokumentasi yang kecil. Perawat juga seringkali tidak
mencuci tangan dalam menyiapkan obat karena banyak
pekerjaan, kebiasaan dan kurang motivasi edukasi
pengobatan hanya pada awal pemberian obat karena
kurangnya pengetahuan perawat tentang obat.
3. Pemberian
Pada tahap pemberian obat perawat berperan
melaksanakan prinsip 5 benar obat yaitu benar pasien, obat,
dosis, cara dan waktu serta benar dokumentasi. Semua
perawat memberikan obat dengan prinsip 5 benar tetapi
dokumentasi belum dilakukan dengan benar karena kolom
dokumentasi yang kecil.
101
4. Pemantauan
Peran perawat dalam tahap pemantauan obat adalah
melakukan pemantauan terhadap efek yang diharapkan dan
efek samping dari obat. Perawat belum melakukan
pemantauan terhadap efek pengobatan dan efek samping
obat karena tidak adanya format khusus untuk melakukan
pemantauan dan banyak pekerjaan.
102
Masalah Yang Sering Terjadi Sebelum Pemberian Obat
Berbagai masalah yang mungkin ditemukan sebelum
pemberian obat kepada pasien. Sebagai berikut:
1) Diagnosis yang Tidak Tepat,
2) Alergi Obat: Kurangnya informasi atau kesalahan dalam
mencatat alergi obat pasien dapat menyebabkan reaksi
alergi yang serius.
3) Interaksi Obat: Pemberian beberapa obat bersamaan
tanpa mempertimbangkan interaksi dapat
menimbulkan efek samping atau mengurangi efektivitas
pengobatan,
4) Dosis Tidak Tepat: Kesalahan dalam menghitung atau
mengukur dosis obat dapat menyebabkan risiko efek
samping atau kekurangan efektivitas pengobatan.
5) Ketidakpatuhan Pasien: Pasien yang tidak memahami
instruksi penggunaan obat atau tidak konsisten dalam
minum obat dapat menghambat pemulihan.
6) Masalah Keamanan: Kesalahan dalam proses
manufaktur, pengemasan, atau distribusi obat dapat
menyebabkan risiko keamanan bagi konsumen.
7) Komorbiditas: Kondisi kesehatan lain yang dimiliki
pasien dapat mempengaruhi pemilihan obat dan
memerlukan perhatian khusus.
8) Informasi Pasien yang Tidak Lengkap: Kurangnya
informasi tentang riwayat kesehatan, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi, atau alergi dapat menghambat
pengambilan keputusan yang tepat.
9) Keterbatasan Obat: Beberapa kondisi medis mungkin
memiliki keterbatasan dalam pemilihan obat yang
efektif atau aman.
10) Faktor Finansial: Keterbatasan finansial pasien dapat
memengaruhi ketersediaan atau kepatuhan dalam
mengonsumsi obat yang diresepkan. Penanganan
holistik yang melibatkan komunikasi yang baik antara
pasien dan profesional kesehatan serta pemahaman
103
yang mendalam tentang kondisi pasien dapat
membantu mengatasi banyak dari masalah ini.
2. Peran Perawat Saat Pemberian Obat
Perawat melakukan fungsi kolaboratif dalam
memberikan tindakan pengobatan secara medis (terapi
medis). Perawat ikut bertanggung jawab memastikan bahwa
pemberian obat aman dan mengawasi efek dari pemberian
obat tersebut pada pasien. Pemberian obat kepada pasien
terdapat beberapa cara, yaitu melalui rote oral,parentelal,
rektal, vagina, kulit, mata, telinga dan hidung.
Masalah lain yang sering terjadi saat pemberian obat
adalah dapat berasal dari perawat, pasien maupun keluarga
pasien. Masalah bisa berupa penolakan obat baik dari pasien
maupun keluarga. Masalah dari segi alat pemberian obat
seperti ketakutan pasien terhadap perawat. Kesalahan ysng
sering ditemukan dari sisi perawat saat pemberian obat yaitu
memberi obat yang salah, selain itu mencakup faktor lain
yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya
lupa memberi obat, memberi obat dua sekaligus sebagai
kompensasi, memberi obat yang benar pada waktu yang
salah, atau memberi obat yang benar pada rute yang salah.
Jika terjadi kesalahan pemberian obat, perawat yang
bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau
kepala perawat atau perawat yang senior segera setelah
kesalahan itu diketahuinya.
Dalam pemberian obat ada beberapa hal yang harus
diperhatikan demi memanalisir kesalahan di antaranya
menerapkan Perinsip 6 benar pemberian obat yaitu: benar
pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu,
benar dokumentasi.
3. Peran Perawat Setelah Pemberian Obat
Setelah pemberian obat, perawat harus melakukan
pemantauan terhadap respons pasien. Ini mencakup
pemantauan tanda vital, Rekam medis yang akurat dan
terperinci akan menjadi dasar untuk evaluasi lebih lanjut dan
pengaturan rencana perawatan. Seluruh proses ini
104
melibatkan komunikasi efektif antara perawat, pasien, dan
tim kesehatan lainnya. Keakuratan, keamanan, dan
pemahaman yang baik mengenai pengobatan menjadi kunci
dalam memberikan perawatan yang optimal kepada pasien.
Setelah pemberian obat, observasi terhadap kemungkinan
reaksi alergi atau efek samping, dan mencatat perkembangan
pasien antara lain:
1) Efek samping: Beberapa obat dapat memiliki efek
samping tertentu. Penting bagi perawat untuk
memahami efek samping yang mungkin terjadi setelah
pemberian obat.
2) Interaksi obat: peran perawat yaitu memeriksa apakah
ada kemungkinan interaksi obat yang dapat
mempengaruhi efektivitas atau keamanan obat yang
baru diberikan
3) Kepatuhan pasien: perawat berperan memastikan
bahwa pasien mengikuti petunjuk penggunaan obat
dengan cermat, termasuk dosis dan frekuensi
penggunaan. Perawat memastikan pemberian obat
sesuai dengan jadwal yang direkomendasikan.
4) Reaksi alergi: Beberapa pasien mungkin memiliki alergi
terhadap obat tertentu. Perawat perlu memerhatikan
jika pasien mengalami reaksi alergi seperti ruam, gatal-
gatal, kesulitan bernapas, atau pembengkakan setelah
pemberian obat. Kemudian mencatat semua reaksi
alergi dan melalporkan kepada dokter atau kepala ruang
atau perawat senior.
5) Penghentian obat: perawat berperan berkolaborasi
terkait proses penghentian secara bertahap agar tidak
menimbulkan efek samping atau mempengaruhi
kondisi medis tertentu.
105
1. Proses rekonsiliasi pengobatan
Perawat berpartisipasi dalam memperoleh riwayat
pengobatan, melakukan tinjauan pengobatan,
mengidentifikasi ketidaksesuaian pengobatan, rekonsiliasi
dan penyesuaian pengobatan gabungan.
2. Kolaborasi dengan penyedia layanan kesehatan lain
Perawat berperan dalam mengklarifikasi permasalahan obat-
obatan, komunikasi dan konsultasi interdisipliner,
perencanaan pemulangan dan pemantauan.
3. Pemberian dukungan kepada penerima layanan kesehatan
Perawat bertanggung jawab atas komunikasi interpersonal
dengan pasien, pendidikan tentang obat-obatan, dan
penyederhanaan rejimen pengobatan, dan manajemen gejala
selama perawatan transisi.
2. Pendidikan
Perawat memainkan peran penting dalam mendidik
masyarakat tentang obat-obatan yang mereka pakai, dosis
dan waktu pemberian.
3. Pemantauan
Tujuan penatalaksanaan obat yang baik di rumah adalah
menjaga kemandirian melalui pemberian obat secara mandiri
106
jika memungkinkan. Perawat dapat membantu dengan
memantau penggunaan obat-obatan dan menentukan
apakah ada masalah dengan pemberiannya.
4. Intervensi
Perawat Perawatan di Rumah dapat membantu orang dan
pemberi perawatan dengan cara praktis dalam
menjadwalkan, merencanakan, dan memberikan obat secara
mandiri.
107
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan perawat dapat menjadi indicator
mengukur tingkat kemampuan perawat dalam menerapka
prinsip-prinsip benar pemberian obat. Tingkat pendidikan
menjadi tolak ukur pemahaman perawat dalam
melaksanakan perannya sesuai dengan prosedur dan prinsip
yang berlaku dalam lingkungan kerjanya.
3. Motivasi kerja
Motivasi dapat mendorong perawat dalam
melaksanakan prinsip dan prosedur dalam melaksanakan
tugasnya termasuk dalam pemberian obat.
108
sendiri selama perawatan. Interupsi ini bisa berupa adanya
tugas yang bersamaan dalam satu waktu.
3. Faktor tim
Faktor komunikasi tim baik lisan maupun tulisan.
Kurang efektifmnya komunikasi antar sesame perawat,
antara perawat dan dokter. Selain itu komunikasi tertulis
yang tidak jelas mengenai dokumentasi dan transkrip resep
dapat mempengaruhi kesalahan dalam pengobatan.
Contohnya adalah tulisan tangan yang tidak terbaca pada
resep, ketidaklengkapan resep terkait data usia pasien,
diagnosis, premedikasi, dan rincian obat sitotoksik- bentuk
sediaan, nama obat, dosis dengan satuan, pengencer, rute,
dan waktu pemberian, resep yang ditulis menggunakan
singkatan, dan perawat salah menyalin resep.
109
obat yang salah, kesalahan perhitungan dosis, cara
pemberian obat, dokumentasi pemberian obat. Faktor
lainnya adalah tidak tersedianya protokol dan
ketidakpatuhan terhadap protokol pemberian obat.
110
K. Cara Mengatasi Kesalahan Dalam Pemberian Obat
Untuk mencegah kesalahan dalam pemberian obat
perawat perlu memperhatikan beberapa hal berikut : (Ariyono,
2018)
1. Membaca label obat dengan teliti. Saat ini banyak produk
yang memiliki kotak, warna dan bentuk yang hampir sama.
Maka perlu ketelitian dalam membaca obat.
2. Menanyakan pemberian banyak tablet atau vial dalam satu
dosis tunggal. Kebanyakan dosisterdiri dari satu atau dua
tablet atau kapsul atau vial dosis tunggal. Kesalahan
interpretasi obat akan mengakibatkan pemberian obat dalam
dosis tinggi
3. Waspadai obat-obatan yang bernama sama. Dalam beberapa
kondisi akan ditemukan obat yang memiliki nama yang
hampir sama.
4. Mencermati angka dibelakang koma. Sediaan obat berbagai
macam seperti tablet 2,5 dan 25 mg
5. Menanyakan peningkatan dosis yang tiba-tiba dan
berlebihan. Biasanya dokter meresepkan obat secara
bertahap untuk memantau terapeutik dan efeknya.
6. Ketika ada obat baru atau tidak lazim digunakan maka perlu
dikonsultasikan pada sumbernya
7. Jangan memberi obat yang dituliskan dengan nama pendek
atau singkatan tidak resmi.
8. Jangan berupaya atau mengurai tulisan yang tidak dapat
dibaca.
9. Kenali klien yang memili nama akhir yang sama, juga minta
klien menyebutkan nama lengkapnya, cermati nama yang
tertera pada tanda pengenal
10. Cermati ekuivalen. Hal ini dapat terjadi karena tergesa-gesa
dalam memberikan obat maka perlu kehati-hatian dalam
membaca ekuivalen
111
L. Daftar Pustaka
112
PERAWAT PELAKSANA DI RUANG INTERNA DAN
BEDAH RUMAH SAKIT HAJI MAKASSAR Rauf
Harmiady’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi, 4, pp. 2302–
1721.
113
BAB
10
HAK PASIEN DALAM
PEMBERIAN OBAT
A. Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau (Dewan Perwakilan Rakyat RI,
2023). Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu
diberlakukan kepada seluruh masyarakat terutama dalam hal
menjaga keselamatan pasien. Tenaga Kesehatan seperti halnya
dokter, perawat dan apoteker dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan harus sesuai dengan kode etik dan standar
operasional prosedur sehingga dapat menjaga keselatan pasien
dan melindungi hak pasien.
Setiap tahunnya di Amerika Serikat, sebanyak 7.000
hingga 9.000 orang meninggal dunia akibat kesalahan
pengobatan. Ratusan ribu pasien lainnya mengalami reaksi
merugikan atau komplikasi lain terkait pengobatan. Total biaya
perawatan pasien dengan kesalahan terkait pengobatan
melebihi $40 miliar setiap tahunnya. Selain biaya keuangan,
pasien mengalami rasa sakit dan penderitaan psikologis dan
fisik akibat kesalahan pengobatan. Terkait hal tersebut, tenaga
kesehatan salah satunya perawat memiliki peran penting dalam
mengurangi angka kesalahan pengobatan yang terjadi dengan
114
memastikan bahwa hak pasien dalam pemberian obat terpenuhi
(Scherbak, 2023).
Pemberian obat merupakan salah satu komponen dalam
manajemen pelayanan pasien. Pelayanan pasien atas pemberian
obat mencakup sejumlah tugas termasuk peresepan,
pendistribusian, pemesanan, penerimaan, penyimpanan,
penilaian kesesuaian resep, penyiapan dan informasi
penggunaan obat. Penerapan hak pasien dalam pemberian obat
di fasilitas pelayanan kesehatan tidak hanya untuk mengurangi
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan pengobatan tetapi
juga untuk melindungi kepentingan pasien dan tenaga
kesehatan yang memberikan obat.
Pusat Layanan Medicare & Medicaid United States
mengharuskan perawat untuk melakukan assessment pasien
sebelum pemberian obat untuk menghindari kesalahan dengan
memperhatikan beberapa hak pasien dalam pemberian obat.
Hak-hak pemberian obat ini untuk memastikan keselamatan
pasien untuk mencegah kesalahan dalam rantai pemberian obat
yang mencakup penyediaan resep, penyiapan obat oleh
apoteker dan pemberian obat oleh perawat di rumah sakit untuk
pasien rawat inap (Nursing, 2023).
Hal yang menjadi perhatian tenaga kesehatan bahwa jika
terjadi kesalahan pemberian obat yang mengakibatkan cedera
pada pasien, perawat harus mempertanggungjawabkan
pekerjaannya secara hukum dan etika keperawatan. Sangat
penting bagi perawat untuk menggunakan pemikiran kritis dan
penilaian klinis untuk memastikan setiap obat aman untuk
setiap pasien sebelum memberikannya. Konsekuensi tanggung
jawab akibat kesalahan pengobatan dapat mengakibatkan
tuntutan kelalaian di pengadilan, kehilangan pekerjaan, hingga
kehilangan izin perawat.
115
B. Hak Pasien Dalam Pemberian Obat
Berikut merupakan 10 Hak Pasien dalam Pemberian Obat:
1. Tepat Pasien
Beberapa hal yang dilakukan agar pemberian obat
dilakukan kepada pasien yang tepat ialah :
a. Periksa dan pastikan ketepatan pasien dengan melihat
nama yang tertera pada resep
b. Periksa dan pastikan ketepatan pasien dengan melihat
nama di gelang pasien rawat inap
c. Terdapat 2 atau lebih tenaga kesehatan untuk
mengidentifikasi ketepatan pasien (double cek) dan minta
pasien untuk mengidentifikasi dirinya (menyebutkan
nama dan alamat pasien).
116
Gambar 10. 1 Identifikasi tepat pasien dengan menggunakan
gelang barcode (sumber : (Nursing, 2023)
117
Pemberian obat yang tepat dan sesuai dengan kondisi
pasien dapat dilakukan dengan menyesuiakan pengobatan
yang diterima pasien dengan catatan di rekam medis
termasuk melihat adanya riwayat alergi pasien terhadap
pengobatan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar obat yang
diberikan kepada pasien tepat ialah waspada tehadap obat
yang LASA (look a like, sound a like) dan waspada terhadap
obat yang memiliki risiko tinggi terhadap kesalahan serius
(High alert) yang dapat menyebabkan kerugian pada pasien
(Barnsteiner, 2008).
Setelah dokter menulis resep, langkah selanjutnya
ialah memastikan bahwa obat yang diterima pasien ialah
tepat. Terdapat model yang dapat memastikan bahwa obat
yang diterima pasien tepat, ialah model yang dikembangkan
oleh Barber (1995). Barber merumuskan terdapat empat
tujuan untuk memastikan ketepatan pasien menerima
pengobatan, yaitu :
a. Meminimalkan biaya
b. Meminimalkan resiko akibat efek obat
c. Memaksimalkan efektivitas
d. Menghargai pilihan pasien
118
3. Dosis yang Tepat
Hak pasien dalam pemberian obat selanjutnya ialah
perawat dan tenaga kesehatan lainnya memastikan bahwa
perhitungan dosis tepat bagi kondisi klinis pasien. Dilakukan
perhitungan dosis khususnya bagi beberapa kriteria pasien
yiatu perhitungan dosis bagi pasien, pediatri, geriatri dan
penyesuaian dosis bagi pasien dengan gangguan fungsi hati
dan ginjal.
Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemberian dosis yang tepat bagi pasien,
mengigat bahwa dosis merupakan salah sakit faktor yang
dapat menyebabkan kesalahan dalam peresepan
(Barnsteiner, 2008). Hal- hal yang perlu dipertimbangkan
agar dosis yang diterima pasien tepat ialah memperhatikan:
a. Indikasi
b. Usia
c. Fungsi ginjal
d. Fungsi hati
e. Berat badan
f. Interaksi obat dengan obat lain, makanan, minuman atau
penyakit pasien
g. Efek samping obat
119
Tenaga kesehatan, salah satunya perawat harus
mematikan bahwa pasien dapat menerima obat sesuai
dengan rute yang diberikan, hal ini dapat dilakukan salah
satunya dengan mengkonfirmasi kepada pasien maupun
keluarga pasien (Agency, 2017).
120
kepatuhan pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian dosis sekali sehari memiliki tingkat
kepatuhan hampir 100% (Kardas, 2002).
6. Pendidikan Pasien yang Benar
Salah satu tugas perawat ialah mendidik pasien dan
membantu mereka bertanggung jawab atas status kesehatan
mereka sendiri. Hal ini dilakukan agar pasien dapat
mengambil peran proaktif dalam perawatannya sehingga
pasien perlu memahami kondisinya dan berupaya mencegah
atau meminimalkan adanya komplikasi.
Edukasi pasien harus komprehensif dan mudah
dipahami. Informasi yang harus diberikan kepada pasien
ialah tentang pengobatan, termasuk efek terapeutik yang
diharapkan, serta potensi efek samping. Pasien harus
didorong untuk melaporkan dugaan efek samping kepada
perawat dan/atau tenaga kesehatan lainnya.
Berikut merupakan lima strategi keberhasilan
pendidikan pasien dalam pemberian obat (Wolters Kluwer,
2023) :
a. Memanfaatkan teknologi informasi
Adanya teknologi informasi memudahkan pasien
dalam menerima informasi pemberian obat. Penelitian
yang dilakukan oleh Anis tahun 2022 tentang sistem
informasi pemberian obat memberikan hasil bahwa
terdapat 8 poin utama yang disampaikan pihak apotek
dalam menyampaikan informasi penggunaan obat
kepada pasien. Perancangan sistem informasi dengan
metode PIECES menghasilkan sistem baru yang dapat
membantu pihak farmasi dalam menyampaikan
informasi penggunaan obat kepada pasien secara akurat,
lengkap, dan menghindari penularan Covid-19 (Nilansari
and Putri, 2023).
121
menggunakan media cetak atau pasien dapat mudah
memahami apabila disertai dengan menggunakan media
visual.
122
b. Tindakan: Bagian ini berisi tindakan keperawatan yang
direncanakan dan kepada pasien.
c. Respon: Bagian ini berisi informasi tentang respon pasien
terhadap tindakan keperawatan dan mengevaluasi
apakah pelayanan yang diberikan kepada pasien sudah
efektif.
123
Apabila pasien meolak dilakukan tindakan atau pengobatan,
perawat maupun tenaga kesehatan lainnya wajib
mendokumentasikan dalam surat pernyataan dan ditanda
tangani oleh paisen atau kelaurga pasien dan tenaga
kesehatan penanggung jawab (New Zealand Nurses
Organisation, 2018).
Hak pasien untuk menolak perawatan didasarkan
pada salah satu prinsip etika dasar kedokteran, yaitu
otonomi. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk membuat keputusan yang tepat
mengenai layanan kesehatannya dan bahwa profesional
layanan kesehatan tidak boleh memaksakan keyakinan atau
keputusannya sendiri kepada pasiennya.
C. Daftar Pustaka
124
Avery, T. et al. (2013) ‘Selecting the right drug’, InnovAiT:
Education and inspiration for general practice, 6(8), pp.
478–487. Available at:
https://doi.org/10.1177/1755738013491400.
125
The Royal Children’s Hospital Melbourne (2023) Nursing
guidelines. Australia. Available at:
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guide
line_index/nursing-documentation-principles/.
126
BAB
ASPEK LEGAL
11
PERAWAT DALAM
PEMBERIAN OBAT
127
B. Tugas Perawat dalam Menyelenggarakan Praktik
Keperawatan
Perawat dalam menyelenggarakan praktik keperawatan
berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Kesehatan, antara lain bertugas
sebagai:
1. Pemberi asuhan keperawatan
2. Penyuluh dan konselor bagi klien
3. Pengelola pelayanan keperawatan
4. Peneliti keperawatan
5. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
6. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu
128
1. Menginformasikan potensial resiko terhadap pasien dan
keluarga
2. Melaporkan kejadian tidak diharapkan secara tepat dan
pengambil keputusan
3. Mengambil peran serta aktif dalam mengkaji keselamatan
dan mutu keperawatan
4. Mengembangkan komunikasi pasien dan tenaga professional
kesehatan lainnya
5. Melakukan negosiasi untuk pemenuhan level sfat tang
adekuat
6. Mendukung langkah-langkah pengembangan keselamatan
pasien
7. Meningkatkan program pengendalian infeksi yang tepat
8. Melakukan negosiasi terhadap standarisasi kebijakan dan
protokol pengobatan untuk meminimalisir kesehatan
129
2. Melakukan tindakan medis di bawah pengawasan atas
pelimpahan wewenang mandat
3. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program
pemerintah.
130
Pengetahuan diperlukan untuk mendapat informasi
misalnya hal-hal yang menunjang pengambilan tindakan
yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang
dalam pengambilan keputusan sehingga nantinya akan
memotivasi perawat untuk bersikap dan berperan serta
dalam peningkatan kesehatan pasien dalam hal ini
pemberian tindakan pemberian obat dengan tepat.
b. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang telah dicapai oleh perawat dapat
digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur
tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga berperan
dalam menurunkan angka kesakitan. Dengan semakin
tingginya tingkat pendidikan seseorang dapat membantu
menekan/menurunkan tingginya angka kesakitan pada
pasien (Nursalam, 2012). Semakin tinggi tingkat
pendidikan perawat maka semakin baik kemampuan
perawat dalam melaksanakan prinsip-prinsip dalam
pemberian obat. Hal ini disebabkan karena ukuran tingkat
pendidikan seseorang bisa menjadi tolak ukur sejauh
mana pemahaman perawat terhadap prosedur dan
prinsip yang berlaku dalam lingkup kerjanya.
c. Motivasi kerja
Motivasi kerja perawat merupakan tingkah laku
seseorang yang mendorong kearah suatu tujuan tertentu
karena adanya suatu kebutuhan baik secara internal
maupun eksternal dalam melaksanakan perannya.
Semakin baik motivasi kerja yang dimiliki perawat maka
cenderung mendorong diri mereka untuk melaksanakan
prinsip dan prosedur yang berkaitan dibandingkan yang
memiliki motivasi yang kurang. Timbulnya motivasi
dalam diri seorang perawat dapat disebabkan oleh
adanya rasa tanggung jawab yang timbul dalam diri
seorang atau aspek internal perawat.
131
Oleh sebab itu ketika perawat memiliki rasa tanggung
jawab yang tinggi terhadap pasien maka tentunya perawat
akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan
tindakan yang cepat, tepat dan terarah untuk mengatasi
masalah pasien termasuk ketepatan dalam pemberian obat.
Sedangkan aspek internal perawat berasal dari lingkup
rumah sakit. Rumah sakit akan memberikan rangsangan
tersebut baik dalam bentuk penghargaan yang diterima,
insentif kerja serta pujian. Hal inilah yang bisa menimbulkan
suatu dorongan untuk selalu berbuat yang lebih baik.
132
Kewaspadaan Rasional
Spansules (sejenis kapsul) 30
dan 300 mg
Pertanyakan Kebanyakan dosis
peningkatan dosis yang diprogramkan secara bertahap
tiba-tiba dan berlebihan supaya dokter dapat memantau
efek terapeutik dan responsnya
Ketika suatu obat baru Ketika suatu obat baru atau obat
atau obat yang tidak yang tidak lazim diprogramkan,
lazim diprogramkan, konsultasi kepada sumbernya
konsultasi kepada
sumbernya
Jangan beri obat yang Banyak dokter menggunakan
diprogramkan dengan nama pendek atau singkatan
nama pendek atau tidak resmi untuk obat yang
singkatan tidak resmi sering diprogramkan. Apabila
perawat atau ahli farmasi tidak
mengenal nama tersebut, obat
yang diberikan atau dikeluarkan
bisa salah
Jangan berupaya atau Apabila ragu, tanyakan kepada
mencobamenguraikan dokter. Kesempatan terjadinya
dan mengartikan tulisan salah interpretasi besar, kecuali
yang tidak dapat dibaca jika perawat mempertanyakan
program obat yang sulit dibaca.
Kenali klien yang Seringkali, satu dua orang klien
memiliki nama akhir memiliki nama akhir yang sama
sama. Juga minta klien atau mirip. Label khusus pada
menyebutkan nama kardeks atau buku obat dapat
lengkapnya. Cermati memberi peringatan tentang
nama yang tertera pada masalah yang potensial
tanda pengenal
Cermati ekuivalen Saat tergesa-gesa, salah baca
ekuivalen mudah terjadi
(contoh, dibaca miligram,
padahal mililiter)
133
3. Akibat kesalahan dalam pemberian obat
Menurut Kemenkes (2011) dalam Wardani, Ernawati,
Puriastuti, dkk (2022) akibat kesalahan pemberian obat
dibagi menjadi dua yaitu:
a. Adverse drug event adalah suatu insiden dalam pengobatan
yang dapat menyebabkan kerugian pada pasien. Adverse
drug event meliputi kerugian yang bersifat intrisik bagi
individu/pasien contoh :
1) Meresepkan obat NSAID pada pasien dengan riwayat
pad pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptik yang
terdokumentasi di rekam medis, yang dapat
menyebabkan pasien menggalami perdarahan saluran
cerna.
2) Memberikan terapi antiepilepsi yang salah, dapat
menyebabkan pasien menggalami kejang
134
4) Interaksi antar obat Reaksi suatu obat dipengaruhi
oleh pemberian obat secara bersamaan, sehingga
terjadi interaksi obat yang kuat atau bertentangan
terhadap efek dari obat.
E. Daftar Pustaka
135
BAB
TANGGUNG JAWAB
12
PERAWAT DALAM
PEMBERIAN OBAT
A. Pendahuluan
Pemberian obat di dalam pelayanan kesehatan
merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh perawat.
Dokter sebagai professional pemberi asuhan seharusnya yang
memiliki tanggung jawab dalam pemberian obat kepada pasien.
Namun tindakan tersebut didelegasikan oleh dokter kepada
perawat untuk memberikan langsung kepada pasien. Sehingga
perawat memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat
penting dalam proses pemberian obat kepada pasien.
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan
tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di Iuar negeri yang
diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (KMK-No-HK-01-07-MENKES-425-2020-
Ttg-Standar-Profesi-Perawat, n.d.). Menurut Undang-Undang
Kesehatan No. 17 Tahun 2023 jenis tenaga kesehatan yang masuk
dalam tenaga keperawatan adalah perawat vokasi, ners, dan
ners spesialis, dimana dalam melaksanakan praktiknya harus
disesuaikan dengan kewenangan yang didasarkan pada
kompetensi yang dimilikinya (UU-Kesehatan-Nomor-17-Tahun-
2023, n.d.).
136
B. Keterampilan Perawat dalam Pemberian Obat
Ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang perawat
dalam pemberian obat, diantaranya adalah (Luokkamäki et al.,
2021):
1. Perminataan obat, penanganan, penyimpanan dan
pembuangan obat secara aman
2. Mempersiapkan obat dengan dosis yang tepat
3. Pengecekan obat dan praktek pemberian obat
4. Dokumentasi
5. Pengkajian dan evaluasi
6. Ketrampilan menghitung obat
7. Kerjasama dengan pasien
8. Kerjasama dengan tim Kesehatan lain
9. Pelaporan
137
identitas pasien meski pasien sedang tidak mengenakan
gelang identitas.
2. Benar Obat
Ketepatan obat dapat dilihat dengan memastikan
etiket kemasan obat, melihat tanggal kadaluarsa, meskipun
untuk melihat tanggal kadaluarsa bukan hal yang mudah
karena beberapa tulisan tanggal kadaluarsa terlihat sangat
kecil sehingga memerlukan kaca pembesar untuk dapat
membacanya. Perawat dapat menggunakan berbagai strategi
untuk memastikan bahwa pasien menerima obat yang benar
(Martyn et al., 2019).
Komponen yang wajib ada ketika ada permintaan obat
diantaranya adalah tanggal instruksi obat dibuat, nama
obaat, dosis obat, rute pemberian, frekuensi pemberian,
tanda tangan dokter atau pemberi asuhan kesehatan. Apabila
tidak ada salah satu dari komponen tersebut, maka perawat
berkewajiban untuk mengkonfirmasi ulang kepada dokter
pemberi resep. Saat ini dengan era digitalisasi dalam rekam
medis, tidak menutup kemungkinan resep diberikan dalam
bentuk electronic resep.
Perawat bertanggung jawab melaksanakan perintah
pemberian obat secara tepat. Untuk menghindari kesalahan
perawat sebaiknya membaca label obat minimal tiga kali,
pertama pada saat membaca botol obat atau kemasan obat,
sebelum mempersiapkan obat, dan setelah mempersiapkan
obat. Perawat juga bertanggung jawab untuk memeriksa
ulang apakah instruksi pemberian obat sudah lengkap, jelas,
dan sah. Perawat diharapkan juga mengetahui alasan
pemberian obat tersebut kepada pasien.
3. Benar Dosis
Ketepatan obat meliputi ketepatan dalam menghitung
dosis dan frekuensi pemberian obat. Perawat harus
memastikan bahwa dosis yang diberikan kepada pasien
sesuai dengan instruksi dan sesuai dengan kondisi pasien.
Perawat mampu secara cermat menghitung jumlah dosis
obat yang diberikan secara akurat dengan berbagai
138
pertimbangan diantaranya berat badan pasien dan batas
rekomendasi terhadap dosis obat-obat tertentu. Ketika ada
perasaan ragu-ragu dalam penghitungan dosis obat maka
dapat dihitung kembali dan meminta perawat yang lain
untuk melakukan pengecekan ulang.
4. Benar Waktu
Pemberian obat dengan tepat waktu merupakan
tantangan bagi perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Terutama ketika pemberian obat parenteral
harus diberikan di waktu yang hampir bersamaan di bangsal
perawatan (Martyn et al., 2019a). Ketepatan waktu dalam
pemberian obat menjadi tanggung jawab perawat bangsal.
Obat-obatan antibiotik terutama menjadi prioritas. Ketika
pasien mendapatkan terapi obat dengan beda rute dengan
waktu yang berdekatan. Karena hal ini akan mempengaruhi
durasi waktu pemberian obat selanjutnya.
Pemberian obat sesuai dengan waktu yang benar
adalah waktu dimana obat yang telah diresepkan harus
diberikan kepada pasien. Obat dapat diberikan dengan
frekuensi waktu tertentu dalam sehari, contohnya dua kali
sehari, tiga kali sehari, empat kali sehari, atau setiap enam
jam. Frekuensi pemberian obat dengan durasi waktu tertentu
bertujuan kadar obat dalam plasma tetap bertahan. Frekuensi
pemberian obat ini bergantung pada waktu paruh obat itu
sendiri. Masing-masing obat memiliki waktu paruh yang
berbeda-beda. Obat yang diberikan dengan frekuensi satu
kali dalam 24 jam biasanya memiliki waktu paruh yang
Panjang, sedangkan jenis obat yang memiliki waktu paruh
pendek dapat diberikan dengan frekuensi beberapa kali
dalam sehari atau dengan durasi waktu tertentu.
Perawat juga berkewajiban mengetahui dan
memperhatikan waktu pemberian obat, apakah obat
diberikan tergantung dengan waktu makan. Obat dapat
diberikan sebelum makan, setelah makan, atau dapat
bersamaan diberikan dengan waktu makan. Dasar alasan
waktu pemberian obat wajib pula diketahui perawat. Hal ini
139
bertujuan perawat mampu memberikan penjelasan ketika
edukasi pemberian obat kepada pasien. Adanya risiko
beberapa obat yang berdampak mengiritasi mukosa lambung
jika diberikan tidak bersamaan dengan waktu makan, seperti
kalium atau aspirin.
Perawat bertanggung jawab memastikan ketika pasien
telah direncanakan untuk beberapa pemeriksaan diagnostik
atau tindakan yang beberapa merupakan kontradiksi dalam
pemberian obat, seperti pemeriksaan gula darah puasa,
pasien direncanakan operasi atau tindakan-tindakan lain
yang kontradiksi jika diberikan obat pengencer darah.
5. Benar Rute
Perawat bertanggung jawab untuk memastikan
pemberian obat benar rute. Obat yang telah ada dipastikan
dengan melihat instruksi pada resep atau pada dokumentasi
yang dapat dibaca. Protokol pemberian obat dengan rute
parenteral wajib lebih diwaspadai. Perawat harus lebih
berhati-hati, diperlukan kecermatan dalam membaca
instruksi dan melihat pada intruksi pada formulir dari
sediaan produsen farmasi. Jika diperlukan verifikasi dari
perawat lain untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam
rute pemberian obat (Martyn et al., 2019). Perawat wajib
selalu menggunakan teknik aseptik setiap kali pemberian
obat secara parenteral.
Pada pemberian obat secara oral, perawat bertanggung
jawab dalam memperhatikan kemampuan pasien dalam
menelan obat. Perawat menyediakan tempat obat yang sesuai
dan mendampingi pasien sampai dengan obat telah ditelan.
Apabila dari hasil pengkajian perawat, pasien memiliki
kesulitan dalam menelan obat makan perlu diperiksa ulang
apakah pasien memiliki gangguan kemampuan menelan.
Pada pasien dengan gangguan menelan perlu dikonfirmasi
ke dokter, perlukah pasien dilakukan pemasangan selang
NGT (Naso Gastric Tube) sebagai akses pemberian obat oral.
Terdapat beberapa pasien yang tidak mengalami gangguan
menelan tetapi memang tidak mampu ketika menelan obat
140
seperti pada pasien anak. Perawat dituntut untuk mampu
memodifikasi atau memberikan berbagai strategi untuk
mengatasi masalah tersebut.
6. Benar Dokumentasi
Perawat bertanggung jawab memberikan obat sesuai
dengan kebijakan atau SPO yang berlaku di layanan
Kesehatan. Daftar obat yang harus diberikan kepada pasien
tercatat secara rapi, jelas, dan mudah terbaca di dalam kertas
kardeks atau kertas dokumentasi yang ditentukan oleh
rumah sakit. Pada kardeks obat tersebut ditampilkan catatan
informasi yang lengkap mengenai nama obat yang diberikan,
dosis obat, tanggal pertama kali pemberian, waktu
pemberian, frekuensi, rute pemberian, dan ditandatangani
oleh perawat pemberi obat sebagai bentuk legalitas
pemberian obat. Di dalam kardeks dituliskan juga apabila
pasien memiliki Riwayat alergi terhadap obat tertentu.
Beberapa obat dengan jenis high alert wajib dilakukan crosscek
oleh perawat yang lain. Setiap respon yang diberikan pasien
terhadap pengobatan selalu tercatat dalam dokumentasi.
141
1. Pengetahuan
Faktor internal yaitu pengetahuan perawat tentang
prinsip enam benar dalam pemberian obat mempengaruhi
ketepatan perawat ketika memberikan obat kepada pasien.
Pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh tingkat Pendidikan
informasi, pengalaman, dan budaya. Seringnya perawat
mendapatkan pelatihan seperti inhouse training maupun
exhouse training mampu meningkatkan pemahaman perawat
terkait ketepatan memberikan obat.
2. Sikap
Pendidikan dan lingkungan, orang penting yang
berpengaruh, budaya kerja yang mendukung di layanan
kesehatan, akses terhadap sumber kesehatan yang mudah
mempengaruhi pembentukan sikap perawat terhadap
praktek pemberian obat dengan prinsip 6 benar.
4. Beban kerja
Beban kerja perawat yang berlebihan menjadi salah
satu penyebab perawat terburu-buru ketika memberikan
obat, sehingga meningkatkan kemungkinan ketidaktelitian
dan berakibat pada risiko kesalahan dalam pemberian obat,
beban kerja juga dapat meningkatkan risiko stress pada
perawat.
142
Perawat sebagai professional pemberi asuhan yang
memiliki tanggung jawab memberikan obat secara tepat kepada
pasien di layanan kesehatan diharapkan secara terus menerus
melakukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dengan
berbagai pendidikan, pelatihan, maupun selalu berupaya
mencari informasi dari berbagai sumber terkait pemberian obat
pada pasien. Rumah sakit maupun layanan kesehatan yang lain
berkewajiban untuk menyediakan kebijakan maupun SPO yang
jelas terkait pemberian obat pada pasien. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa perawat melakukan praktek keperawatan
secara tepat dan aman terhadap pasien.
E. Daftar Pustaka
KMK-No-HK-01-07-MENKES-425-2020-ttg-Standar-Profesi-
Perawat. (n.d.).
Luokkamäki, S., Härkänen, M., Saano, S., & Vehviläinen-
Julkunen, K. (2021). Registered Nurses’ medication
administration skills: a systematic review. In Scandinavian
Journal of Caring Sciences (Vol. 35, Issue 1, pp. 37–54).
Blackwell Publishing Ltd.
https://doi.org/10.1111/scs.12835
Martyn, J. A., Paliadelis, P., & Perry, C. (2019a). The safe
administration of medication: Nursing behaviours
beyond the five-rights. Nurse Education in Practice, 37, 109–
114. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.05.006
Martyn, J. A., Paliadelis, P., & Perry, C. (2019b). The safe
administration of medication: Nursing behaviours
beyond the five-rights. Nurse Education in Practice, 37, 109–
114. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.05.006
Nuryani, E., Dwiantoro, L., & Nurmalia, D. (2021). Faktor-faktor
yang meningkatkan kepatuhan perawat dalam penerapan
prinsip enam benar pemberian obat. Jurnal Kepemimpinan
Dan Manajemen Keperawatan, 4(1).
https://doi.org/10.32584/jkmk.v4i1.572
143
Schroers, G., Ross, J. G., & Moriarty, H. (2021). Nurses’ Perceived
Causes of Medication Administration Errors: A
Qualitative Systematic Review. In Joint Commission Journal
on Quality and Patient Safety (Vol. 47, Issue 1, pp. 38–53).
Joint Commission Resources, Inc.
https://doi.org/10.1016/j.jcjq.2020.09.010
UU-Kesehatan-Nomor-17-Tahun-2023. (n.d.).
Westbrook, J. I., Rob, M. I., Woods, A., & Parry, D. (2011). Errors
in the administration of intravenous medications in
hospital and the role of correct procedures and nurse
experience. BMJ Quality and Safety, 20(12), 1027–1034.
https://doi.org/10.1136/bmjqs-2011-000089
144
BAB
PEMBERIAN OBAT
13
MENERAPKAN PATIENT
SAFETY
A. Pendahuluan
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran,
bermunculan berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan
rumah sakit. Pengatasan terhadap masalah ini salah satu caranya
adalah dengan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah
sakit. Hal ini diawali oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) yang membentuk Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan kemudian
menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien. Panduan ini dijadikan dasar implementasi keselamatan
pasien di rumah sakit dan dalam perkembangannya hal ini
dirasa perlu juga untuk dicantumkan dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit yang disusun oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit (KARS) Kementrian Kesehatan, sesuai amanat
Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
bahwa akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang
harus dipenuhi setiap rumah sakit seperti juga pada Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: ayat b)
memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia
di rumah sakit (Santoso, 2021). Sedangkan Pasal 43 ayat 1
145
menjelaskan bahwa Rumah Sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien.
146
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat pasien disebut rasional, jika
diberikan untuk diagnosis pasien yang tepat. Jika diagnosis
pasien tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis pasien yang keliru,
akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan
indikasi obat yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik,
misalnya obat antibiotik diindikasikan untuk infeksi bakteri,
maka pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien
yang menunjukkan gejala adanya infeksi bakteri.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat
berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang
berlebihan (overdose), khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya
efek samping, tetapi sebaliknya dosis yang terlalu kecil
(underdose) tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
147
5. Tepat Cara Pemberian Obat
Tablet Antasida seharusnya dikunyah dulu baru
ditelan, begitu pula antibiotik sebaiknya tidak boleh
dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan
(chellat), sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan
menurunkan efektivitasnya.
148
kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada
gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu
terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang
terjangkau. Untuk efektif dan aman serta terjangkau,
digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan
obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya
oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Pasien
dengan jaminan asuransi BPJS maka pemberian obat sesuai
dengan obat dalam FORNAS (Formularium Nasional).
Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen
yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di
Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
149
terjadinya kegagalan terapi bahkan menimbulkan
resistensi obat.
150
pasien. Beberapa rumah sakit mewajibkan melakukan 7
benar pada saat penyerahan obat, diantaranya :
a. Benar Obat
b. Benar Dosis
c. Benar Waktu dan frekwensi pemberian
d. Benar Rute pemberian
e. Benar identitas Pasien
f. Benar Informasi / Tidak ada Interaksi obat
g. Benar Dokumentasi / Tidak ada Duplikasi terapi
151
tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima
oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya.
Dampak negatif nya dapat berupa:
1. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan
resistensi kuman),
2. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau).
152
Setiap kegiatan farmasi klinik yang dilakukan oleh
Apoteker harus mengacu pada penggunaan obat rasional dan
keselamatan pasien.
Patient safety (Keselamatan pasien) menurut organisasi
kesehatan dunia (WHO) adalah suatu kegiatan yang
menciptakan budaya, proses, prosedur, perilaku, teknologi dan
lingkungan dalam pelayanan kesehatan yang secara konsisten
dan berkelanjutan menurunkan risiko, mengurangi terjadinya
bahaya yang dapat dicegah, memperkecil kemungkinan
terjadinya kesalahan dan mengurangi dampak yang terjadi
(WHO, 2022).
Pada Hari Keselamatan Pasien Sedunia pada tanggal 17
September 2022, WHO mendorong negara-negara untuk
mempromosikan keselamatan dalam layanan kesehatan, dengan
menekankan perhatian pada keamanan pengobatan dan akibat
bahaya pengobatan dengan slogan ‘Pengobatan Tanpa Bahaya’
dengan tujuan mengurangi bahaya terkait pengobatan yang
dapat dihindari secara global. Pada pasien lanjut usia yang
paling berisiko terkena dampak buruk pengobatan, terutama
yang mengkonsumsi banyak obat (polifarmasi). Polifarmasi
adalah penggunaan lebih atau sama dengan 5 macam obat secara
bersamaan setiap hari. Tingginya tingkat kerugian akibat
pengobatan juga terlihat pada perawatan bedah, perawatan
intensif, dan pengobatan darurat.
Kesalahan pengobatan dan praktik pengobatan yang
tidak aman merupakan salah satu penyebab utama cedera dan
bahaya yang tidak dapat dihindari dalam sistem layanan
kesehatan di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO, kerugian
global yang terkait dengan kesalahan pengobatan diperkirakan
mencapai US$42 miliar per tahun. Kesalahan pengobatan terjadi
karena masalah sistemik dan/atau faktor manusia seperti
kelelahan, kondisi lingkungan yang buruk atau kekurangan staf
yang mempengaruhi praktik peresepan, transkripsi,
pendistribusian, administrasi dan pemantauan. Kesalahan ini
dapat mengakibatkan kerugian parah, kecacatan, dan bahkan
kematian.
153
Keselamatan Pasien menurut Kemenkes RI adalah suatu
sistem yang dapat mewujudkan asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus
menyelenggarakan keselamatan pasien dalam menjalankan
kegiatannya (Kemenkes, 2017).
Adapun definisi dari Insiden Keselamatan Pasien yang
selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien.
Pada Pasal 5 ayat 4 point g), komunikasi merupakan kunci
bagi staf untuk mencapai Keselamatan Pasien. Komunikasi
antara berbagai PPA di fasilitas pelayanan kesehatan dan antara
PPA dengan pasien atau keluarga pasien harus dilakukan
dengan baik untuk terlaksananya keselamatan pasien. Setiap
tindakan maupun keputusan pengobatan yang dilakukan
terhadap pasien di fasilitas pelayanan kesehatan harus
dikomunikasikan dengan pasien dan keluarga pasien.
Perihal komunikasi juga dicantumkan pada Tujuh
langkah menuju Keselamatan Pasien pada point 5) bahwa
keselamatan pasien diantaranya dapat dilakukan dengan
melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien mengembangkan
cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
Pada Pasal 8 ayat 1, Kriteria standar Keselamatan Pasien
dalam kesinambungan pelayanan meliputi point d) bahwa
komunikasi dan penyampaian informasi antar profesi kesehatan
diperlukan sehingga tercapai proses koordinasi yang efektif.
Penerapan Interprofessional Collaboration (IPC) merupakan
salah satu cara untuk menjaga mutu pelayanan dan keselamatan
pasien. IPC yang diterapkan secara kompeten dan efisien dapat
154
membangun hubungan kepercayaan antara tenaga kesehatan
dan pasien (Rizqana, 2022).
IPC adalah interaksi antara dua atau lebih profesional
kesehatan yang bekerja sama dalam tim untuk memberikan
perawatan yang komprehensif kepada pasien, berbagi informasi
untuk mengambil keputusan bersama, dan mengetahui waktu
yang tepat untuk melakukan kerjasama dalam perawatan
pasien. Penerapan IPC bukan hanya sekedar pencatatan bersama
dalam satu format pendokumentasian yang dikenal dengan
Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), namun lebih
luas lagi bahwa penerapan IPC merupakan penatalaksanaan
asuhan pelayanan kesehatan pada pasien berdasarkan
kolaborasi antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang terdiri
dari dokter, ahli gizi, fisioterapis, farmasi, dan perawat.
Dalam pelaksanaan IPC diperlukan keterlibatan dari
seluruh PPA untuk memperoleh kesepakatan bersama dalam
penyelesaian masalah kesehatan (pasien) yang kompleks, hal ini
bisa berupa upaya promotif maupun preventif, dan tidak
mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
155
harapan mereka. Rumah sakit menyediakan program edukasi
yang didasarkan pada misi rumah sakit, layanan yang diberikan
rumah sakit, serta populasi pasien. PPA berkolaborasi untuk
memberikan edukasi tersebut. Edukasi akan efektif apabila
dilakukan sesuai dengan pilihan pembelajaran yang tepat,
mempertimbangkan keyakinan, nilai budaya, kemampuan
membaca, serta bahasa. Edukasi yang efektif diawali dengan
pengkajian kebutuhan edukasi pasien dan keluarganya.
Pengkajian ini akan menentukan jenis dan proses edukasi yang
dibutuhkan agar edukasi dapat menjadi efektif. Edukasi akan
berdampak positif bila diberikan sepanjang proses asuhan.
Edukasi yang diberikan meliputi pengetahuan dan informasi
yang diperlukan selama proses asuhan maupun setelah pasien
dipulangkan. Dengan demikian, edukasi juga mencakup
informasi sumber-sumber di komunitas untuk tindak lanjut
pelayanan apabila diperlukan, serta bagaimana akses ke
pelayanan gawat darurat bila dibutuhkan. Edukasi yang efektif
menggunakan berbagai format yang sesuai sehingga dapat
dipahami dengan baik oleh pasien dan keluarga, misalnya
informasi diberikan secara tertulis atau audiovisual, serta
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Kemenkes,
2022).
Menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) pada
Standar Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
1 : Rumah sakit harus menyediakan sumber informasi yang
dibutuhkan staf yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian dan
penggunaan obat, misalnya informasi tentang dosis, interaksi
obat, efek samping obat, stabilitas dan kompatibilitas dalam
bentuk cetak dan/atau elektronik. Pelayanan kefarmasian pada
fasilitas pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Apotek,
Puskesmas maupun Klinik harus menyediakan referensi atau
buku literatur, jurnal ataupun artikel baik yang diperoleh
melalui bentuk hardcopy ataupun online untuk mendapatkan
informasi yang up to date terkait pengobatan yang didapatkan
oleh pasien baik rawat jalan maupun rawat inap untuk
156
memastikan pengobatan rasional yang mementingkan
keselamatan pasien.
Standar PKPO 2 : Formularium harus dijadikan acuan dan
dipatuhi dalam peresepan dan pengadaan obat. Rumah sakit
merencanakan kebutuhan obat, dan BMHP dengan baik agar
tidak terjadi kekosongan yang dapat menghambat pelayanan.
Apabila terjadi kekosongan, maka tenaga kefarmasian harus
menginformasikan kepada PPA/DPJP/Dokter Penulis Resep
serta saran substitusinya. Rumah sakit harus menyusun
formularium nya masing-masing sesuai kekhususannya dan
melakukan revisi secara berkala terhadap formularium tersebut,
karena formularium menjadi acuan dalam membuat
perencanaan obat, BMHP dan alat kesehatan habis pakai dan
sebagai panduan dalam penulisan resep oleh dokter penulis
resep atau dokter penanggungjawab pasien.
Standar PKPO 5 : Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian
proses mulai dari diterimanya resep/permintaan obat/instruksi
pengobatan sampai dengan penyerahan obat dan BMHP kepada
dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga pasien.
Penyiapan obat dilakukan oleh staf yang terlatih dalam
lingkungan yang aman bagi pasien, staf dan lingkungan sesuai
peraturan perundang-undangan dan standar praktik
kefarmasian untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiatnya. Untuk menghindari kesalahan pemberian obat pada
pasien rawat inap, maka obat yang diserahkan harus dalam
bentuk yang siap digunakan, dan disertai dengan informasi
lengkap tentang pasien dan obat.
Standar PKPO 5.1 : Apoteker atau Asisten
Apoteker/Tenaga Vokasi Farmasi harus melakukan telaah /
kajian obat sebelum obat diserahkan kepada perawat/pasien
atau keluarga pasien, untuk memastikan bahwa obat yang
sudah disiapkan tepat: a) Pasien; b) Nama obat; c) Dosis dan
jumlah obat; d) Rute pemberian; dan e) Waktu pemberian.
Standar PKPO 6 : Tahap pemberian obat merupakan tahap
akhir dalam proses penggunaan obat sebelum obat masuk ke
dalam tubuh pasien. Tahap ini merupakan tahap yang kritikal
157
ketika terjadi kesalahan obat (medication error) karena pasien
akan langsung terpapar dan dapat menimbulkan cedera. Rumah
sakit harus menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian
obat. Rumah sakit menetapkan PPA yang kompeten dan
berwenang memberikan obat sesuai peraturan perundang-
undangan. Rumah sakit dapat membatasi kewenangan staf
klinis dalam melakukan pemberian obat, misalnya pemberian
obat anestesi, kemoterapi, radioaktif, obat penelitian. Sebelum
pemberian obat kepada pasien, dilakukan verifikasi kesesuaian
obat dengan instruksi pengobatan yang meliputi:
1. Identitas pasien, harus dipastikan obat diterima oleh pasien
yang benar dengan cara melalukan identifikasi pasien
meliputi nama pasien, tanggal lahir pasien dan nomor
medical record (MR) pasien.
2. Nama obat, harus dipastikan nama obat yang dikemas yang
akan diberikan kepada pasien sesuai dengan nama obat yang
tertera di dalam resep, jika masih menggunakan resep
manual dan tulisan tidak jelas/tidak terbaca maka lakukan
konfirmasi kepada dokter penulis resep/DPJP.
3. Dosis, harus dipastikan dosis yang diberikan kepada pasien
sesuai dengan yang tertera di dalam resep, jika pada saat
dilakukan kajian farmasi klinis terdapat dosis yang tidak
sesuai seperti underdose atau overdose, maka harus
dilakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep/DPJP
4. Rute pemberian. harus dipastikan rute pemberian obat benar
dan pasien diinformasikan cara pemberian obatnya apakah
melalui rute oral, tetes atau oles, melalui inhalasi atau melalui
injeksi subkutan (SC) dimana pasien akan menggunakannya
secara mandiri
5. Waktu pemberian. Obat yang termasuk golongan high alert,
yaitu obat yang harus diwaspadai karena sering
menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius
(sentinel event) dan obat yang beresiko tinggi menyebabkan
Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD), harus dilakukan
pengecekan oleh dua orang berbeda (double-checking) untuk
menjamin ketepatan pemberian obat.
158
Pada Elemen Penilaian PKPO 6, untuk memastikan bahwa
dalam pemberian obat benar dilakukan dengan tepat maka :
1. Staf yang memberikan obat kompeten dan berwenang
dengan pembatasan yang ditetapkan.
2. Telah dilaksanakan verifikasi sebelum obat diberikan
kepada pasien minimal meliputi: identitas pasien, nama obat,
dosis, rute, dan waktu pemberian.
3. Telah melaksanakan double checking untuk obat high alert.
4. Pasien diberi informasi tentang obat yang akan diberikan.
159
Rumah sakit menerapkan sistem pemantauan dan pelaporan
efek samping obat untuk meningkatkan keamanan penggunaan
obat sesuai peraturan perundang-undangan. Efek samping obat
dilaporkan ke Komite/Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakit.
Rumah sakit melaporkan efek samping obat ke Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Apoteker dapat melakukan Analisa
Naranjo seperti yang tercantum pada Formulir MESO berwarna
kuning.
Standar PKPO 7.1 : Rumah sakit menetapkan dan
menerapkan proses pelaporan serta tindak lanjut terhadap
kesalahan obat (medication error) dan berupaya menurunkan
kejadiannya. Insiden kesalahan obat (medication error)
merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang
seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan
pasien, rumah sakit harus berupaya mengurangi terjadinya
kesalahan obat dengan membuat sistem pelayanan kefarmasian
dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).
Insiden kesalahan obat harus dijadikan sebagai pembelajaran
bagi rumah sakit agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi.
Rumah sakit menerapkan pelaporan insiden keselamatan pasien
serta tindak lanjut terhadap kejadian kesalahan obat serta upaya
perbaikannya. Proses pelaporan kesalahan obat yang mencakup
kejadian sentinel, kejadian yang tidak diharapkan (KTD),
kejadian tidak cedera (KTC) maupun kejadian nyaris cedera
(KNC), menjadi bagian dari program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien. Rumah sakit memberikan pelatihan kepada
staf rumah sakit tentang kesalahan obat dalam rangka upaya
perbaikan dan untuk mencegah kesalahan obat, serta
meningkatkan keselamatan pasien. Setiap kejadian kesalahan
pengobatan dibuatkan kronologis kejadian oleh petugas yang
melakukan kesalahan sebagai laporan kepada Kepala Instalasi
Farmasi, selanjutnya laporan tersebut diteruskan ke Kepala
Komite Muru Rumah Sakit untuk dilakukan evaluasi.
Standar PKPO 8 : Rumah sakit menyelenggarakan
program pengendalian resistansi antimikroba (PPRA) sesuai
peraturan perundang-undangan. Resistansi antimikroba
160
(antimicrobial resistance = AMR) telah menjadi masalah kesehatan
nasional dan global. Pemberian obat antimikroba (antibiotik
atau antibakteri, antijamur, antivirus, antiprotozoa) yang tidak
rasional dan tidak bijak dapat memicu terjadinya resistansi yaitu
ketidakmampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroba sehingga penggunaan pada penanganan penyakit
infeksi tidak efektif. Meningkatnya kejadian resistansi
antimikroba akibat dari penggunaan antimikroba yang tidak
bijak dan pencegahan pengendalian infeksi yang belum optimal.
Resistansi antimikroba di rumah sakit menyebabkan
menurunnya mutu pelayanan, meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, serta meningkatnya beban biaya perawatan dan
pengobatan pasien. Apoteker dapat berperan serta aktif dalam
Tim PPRA Rumah Sakit sebagai anggota.
Standar PKPO 8.1 : Rumah sakit mengembangkan dan
menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak berdasarkan
prinsip penatagunaan antimikroba (PGA). Penggunaan
antimikroba secara bijak adalah penggunaan antimikroba secara
rasional dengan mempertimbangkan dampak muncul dan
menyebarnya mikroba resistan. Penerapan penggunaan
antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip PGA, atau
antimicrobial stewardship (AMS) adalah kegiatan strategis dan
sistematis, yang terpadu dan terorganisasi di rumah sakit,
bertujuan mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara
bijak, baik kuantitas maupun kualitasnya, diharapkan dapat
menurunkan tekanan selektif terhadap mikroba, sehingga dapat
mengendalikan resistansi antimikroba. Kegiatan ini dimulai dari
tahap penegakan diagnosis penyakit infeksi, penggunaan
antimikroba berdasarkan indikasi, pemilihan jenis antimikroba
yang tepat, termasuk dosis, rute, saat, dan lama pemberiannya.
Dilanjutkan dengan pencatatan dan pemantauan keberhasilan
dan/atau kegagalan terapi, potensial dan aktual jika terjadi
reaksi yang tidak dikehendaki, interaksi antimikroba dengan
obat lain, dengan makanan, dengan pemeriksaan laboratorium,
dan reaksi alergi. Komite Medik harus membuat Panduan
Praktik Klinis (PPK) sebagai acuan dalam pemberian terapi dan
161
terapi penunjang setiap penyakit pasien. Tim PPRA Rumah Sakit
yang melibatkan dokter, apoteker, dan perawat menyusun
panduan penggunaan antimikroba untuk terapi dan profilaksis
berupa Pedoman Penggunaan Antibiotika (PPAB) berdasarkan
kajian ilmiah dan kebijakan rumah sakit sesuai pola kuman
masing-masing Rumah Sakit serta mengacu kepada regulasi
(PPAB) yang berlaku secara nasional, juga melaksanakan
pemantauan dan evaluasi ditujukan untuk mengetahui
efektivitas indikator keberhasilan program. Apoteker dapat
melakukan evaluasi penggunaan antibiotika secara kuantitatif
dengan menggunakan metoda DDD (Defined Daily Dose) dan
secara kualitatif dengan metode Gyssen secara berkala.
Yang dimaksud obat antimikroba meliputi: antibiotik
(antibakteri), antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pada
penatagunaan antibiotik, dalam melaksanakan
pengendaliannya dilakukan dengan cara mengelompokkan
antibiotik dalam kategori Access, Watch, Reserve (AWaRe).
Kebijakan kategorisasi ini mendukung rencana aksi nasional dan
global WHO dalam menekan munculnya bakteri resistan dan
mempertahankan kemanfaatan antibiotik dalam jangka panjang.
Rumah Sakit menyusun dan mengembangkan panduan
penggunaan antimikroba untuk pengobatan infeksi (terapi) dan
pencegahan infeksi pada tindakan pembedahan (profilaksis),
serta panduan praktik klinis penyakit infeksi yang berbasis bukti
ilmiah dan peraturan perundangan. Rumah sakit menetapkan
mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan PGA dan memantau
berdasarkan indikator keberhasilan program sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. Daftar Pustaka
162
Kemenkes. (2017). Permenkes RI No. Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien,
https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-
content/uploads/2017/03/bn308-2017.pdf, diakses
tanggal 12 November 2023
163
BAB
TUJUAN PENGGUNAAN
14
BENTUK-BENTUK
SEDIAAN OBAT
164
liquid lebih mudah menyebar. Tetapi, sediaan liquid tetap
memiliki beberapa kelemahan yaitu kurang cocok untuk zat
aktif yang tidak stabil dalam air. Jika digunakan untuk
sediaan topikal, daya lekatnya tidak tahan lama (Wardani, T
dan Septriani 2021). Bentuk sediaan liquid berdasarkan
penggunaannya dibedakan menjadi larutan oral dan larutan
topikal.
a. Larutan Oral
Larutan oral adalah sediaan cair yang dimasukkan
ke dalam mulut. Berdasarkan kandungannya, larutan
dibedakan menjadi 2 yaitu sirup dan eliksir. Beberapa
literatur menambahkan suspensi sebagai bentuk sediaan
larutan.
1) Sirup
Sirup adalah suatu larutan kental yang
mengandung kadar gula cukup tinggi dengan
tambahan zat obat, pewarna, dan pewangi. Kadar
sukrosa sirup menurut Farmakope tidak kurang dari
64% dan tidak melibihi dari 66% (Depkes RI, 1962).
Pada kemasan obatnya, tertulis sirup atau sirup kering
yang harus dicampurkan dengan air hingga tanda
batas sebelum digunakan.
165
Berdasarkan bahan utama sirup dibedakan
menjadi 3, yaitu :
a) Sirup simpleks, mengandung kadar gula sebanyak
65% dan tambahan nipagin sebanyak 0,25%
b) Sirup obat, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan
c) Sirup pewangi, merupakan sirup yang hanya
teridiri atas pewarna atau zat penyedap lain dan
tidak mengandung bahan obat. Sirup jenis ini
befungsi untuk menutupi rasa dan bau yang
kurang sedap.
2) Elixir
166
3) Suspensi
b. Larutan Topical
Sediaan larutan topikal merupakan sediaan cair
yang umumnya mengandung air tetapi juga sering
menggunakan pelarut lain, misalnya seperti larutan
etanol yang digunakan pada pemakaian topikal pada kulit
maupun pada mukosa mulut (Soetopo et al., 2004).
1) Gargarisma (Obat Kumur)
Sediaan obat kumur digunakan untuk tujuan
penggunaan luar berupa larutan yang pekat dan harus
dilakukan pengenceran sebelum digunakan, dengan
maksud untuk mencegah atau mengobati infeksi pada
167
tenggorokan dan mengandung bahan penyegar nafas,
astrigen, demulsen surfaktan atau bahkan antibakteri
untuk kumur-kumur
168
a. Salep
b. Krim
169
c. Gel
d. Pasta
170
e. Lotion
171
aktif ataupun tanpa bahan tambahan yang dibuat dengan
pemadatan. Tablet dibuat agar sediaan mengandung zat
aktif yang seragam dan pelepasan dan dosis zat aktifnya
dapat diatur sesuai dengan lokasi dan tujuan terapinya
serta penggunaannya yang praktis dan mudah dibawa
kemana-mana. Tetapi pembuatan tablet harus
menggunakan prosedur khusus dan memakan waktu
yang cukup lama (Nanda, Sulaiman, and Sulaiman 2020).
b. Kapsul
172
c. Serbuk
4. Inhalasi
Terapi inhalasi merupakan suatu pengobatan
langsung menuju ke paru-paru. Sediaan ini biasanya sering
digunakan oleh penderita asma dan infeksi paru-paru,
dikarenan sediaan ini bertujuan agar dapat memberikan efek
secara langsung ketargen organ di pau-paru, sehingga
memungkinkan efek samping yang lebih kecil dibandingkan
173
rute lain karena penggunaan dosis yang lebih lebih rendah
dari pemberian secara sistemik.
Alat yang digunakan pada sediaan ini disebut dengan
inhaler. Inhaler sendiri dirancang supaya memberikan
kemudahan dalam penggunaanya dimana umumnya inhaler
terbagi menjadi 3 jenis menurut (Lorensia, 2018) yaitu,
sebagai berikut :
a. Metered-dose Inhaler (MDI)
174
DPI (Dry-powder Inhaler) merupakan alat yang
termasuk sediaan inhaler terbaru dan terdiri atas berbagai
macam bentuk. Sediaan ini berisi serbuk kering yang akan
dihantarkan menuju ke paru-paru dan penggunaannya
lebih mudah dibandingkan MDI karena tidak perlu
dikocok dan tidak memerlukan alat bantu seperti spacer.
Tetapi DPI tidak dapat digunakan untuk pasien dibawah
5 tahun dan penggunaanya hanya dengan menarik nafas
untuk mengeluarkan serbuk kering didalamnya.
c. Nebulizer
C. Daftar Pustaka
175
Indonesia, P. F. (1962). Farmakope Indonesia (Issue v. 1).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
https://books.google.co.id/books?id=gHDp6XTfVxIC
176
TENTANG PENULIS
177
Apt. Nurhasani, M.Farm, lahir di
Bengkulu pada 18 November 1990. Ia tercatat
sebagai lulusan Magister Farmasi di
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Wanita yang kerap dipanggil Sani anak dari
pasangan Azwar (ayah) dan Musnar (Ibu)
dan sekarang berdomisili di Bekasi. Ia pernah
juga menulis buku Antalogi. Sekarang ia
bekerja sebagai dosen di salah satu STIKES.
178
Dra. Magdalena Niken Oktovina,
M.Si., Apt., lahir di Jakarta, pada 20 Oktober
1967.Ia tercatat sebagai lulusan Magister
Farmasi Klinik dari Unversitas Indonesia,
adalah anak dari pasangan Soemarsono
Wirjomihardjo dan RR. Retno Siti Fatimah.
Dari pernikahannya memiliki 3 orang putra.
Penulis saat ini adalah praktisi Farmasi Klinik
di suatu rumah sakit dan dosen di Sekolah Tinggi Kesehatan, dan
sebagai pembicara pada beberapa seminar di tanah air.
179
mensuport atas terselenggaranya buku ini. Semoga buku ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
180
Ns. Ina Nurul Rahmahwati M.Kep.
Sp.Kep. MB, lahir di Sragen, 23 Juni 1984.
Penulis menyelesaikan pendidikan Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah di Universitas
Indonesia. Penulis saat ini adalah perawat di
RSUP Fatmawati Jakarta dan menjadi dosen
tamu di mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah.
181
tergabung dalam Ikatan Keluarga Farmasi Universitas Andalas.
Salah satu mata kuliah yang pernah diampu penulis berkaitan
dengan chapter book ini adalah mata kuliah Farmakologi
Keperawatan. Selain itu penulis juga aktif dalam menulis artikel
publikasi ilmiah, pernah menulis antologi puisi dan cerpen serta
aktif menulis book chapter.
182
183