FULL PAPER
THE 7th SURAMADE " The Role of Clinical Pathologist in Disease Control "
Editor :
Sidarti Soehita S., Puspa Wardhani, Yolanda P.
Editor Pelaksana :
Wahyu Setiani Wibowo, Dwi Rahayuningsih, Siti Nurul Hapsari, Hildegardis Dyna Retno,
Mirna Rahmafindari, Endah lndriastuti, Devi Rahmadhona, Nathalya Dwi Kartika Sari
132 + xi hal
ISBN 978-602-18974-3-0
iv Simposium SURAMADE 7
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Seksi Konsumsi :
IGAA Putri Sri Rejeki, dr., Sp.PK(K)
Nina R, dr
Ucy Nadjmiyah, dr
vi Simposium SURAMADE 7
SUSUNAN ACARA
SYMPOSIUM
The Role of Clinical Pathologist on Disease Control
JAM TOPIK
PEMBICARA / MODERATOR
Symposia I:
Algorithm, lnterpretation and Counseling of Paternity Testing
Pembicara : Prof.Dr.Med H.M. Soekry Erfan Kusuma, dr., Sp.F(K), DFM
JAM TOPIK
PEMBICARA / MODERATOR
x Simposium SURAMADE 7
DAFTAR MODERATOR
Aryati
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Human papilloma virus (HPV) adalah virus penyebab penyakit menular seksual yang
sering dijumpai dan sering dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya kanker, terutama
kanker serviks. Tahun 2013, prevalensi kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 0,8%
dan lebih dari 95% disebabkan oleh infeksi HPV. Infeksi HPV yang terjadi pada tahap awal
seringkali bersifat asimptomatis. Pasien seringkali tidak menyadari dan tidak mengetahui
bahwa dirinya terinfeksi HPV, sehingga kejadian kanker serviks sering ditemukan pada
stadium akhir.
Skrining dini terhadap kanker yang ditimbulkan oleh HPV sangat diperlukan untuk mencegah
keadaan yang lebih lanjut. Beberapa metode telah ditemukan dan dikembangkan untuk
menemukan infeksi HPV yang terjadi pada manusia lebih dini, bahkan sebelum pemeriksaan
sitologi menunjukkan adanya keganasan pada epitel serviks. Pemeriksaan tersebut
menggunakan teknik biologi molekuler dengan cara deteksi DNA HPV yang lazim dikenal
dengan genotyping HPV. Genotyping HPV meningkatkan 30-100% diagnosis pra kanker
bila dibandingkan dengan pap smear konvensional dan meningkatkan 20-25% bila
dibandingkan dengan thin-prep atau disebut juga liquid base cytology (LBC).
Genotyping HPV berperan penting dalam mencegah kanker serviks. High risk HPV tipe 52
merupakan tipe terbanyak pada penelitian di Surabaya. Pemeriksaan genotyping HPV
membuka wawasan dalam hal vaksin pencegahan maupun intervensi terhadap agen virus
penyebab penyakit.
I. PENDAHULUAN
Human papilloma virus (HPV) adalah virus penyebab penyakit menular seksual yang
sering dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya kanker. Lembaga riset kanker
internasional mencatat ada korelasi kuat antara infeksi HPV dan kejadian kanker seperti
pada serviks (> 95%), penis, vulva (40%), vagina (40%), anus (90%), orofaring (12%),
rongga mulut (3%), laring dan hipofaring (90%). Tahun 2008 tercatat angka kejadian kanker
sebesar 12,7 juta dan 4,7% diantaranya disebabkan oleh HPV.1-4
Kanker serviks di Indonesia menduduki urutan ke-2 dari 10 kanker terbanyak berdasar
data Patologi Anatomi tahun 2010 dengan angka kejadian 12,7%. Tahun 2011, angka kejadian
kanker serviks adalah 100 per 100.000 penduduk per tahun, terakumulasi di Jawa dan Bali.
Angka kejadian kanker serviks diperkirakan terus meningkat, mencapai 25% dalam
10 tahun mendatang jika tidak dilakukan tindakan pencegahan. Tahun 2013, prevalensi
kanker serviks di Indonesia sebesar 0,8% dan lebih dari 95% disebabkan infeksi HPV.
Jumlah penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan
setiap tahun terdapat 40 ribu kasus kanker serviks.2,5-7
Infeksi HPV pada tahap awal sering bersifat asimtomatis, sehingga kanker serviks
sering ditemukan pada stadium akhir, untuk itu perlu deteksi dini. Deteksi DNA HPV
(genotyping HPV) mampu mendeteksi infeksi HPV lebih dini daripada pemeriksaan sitologi
dan histologi.2,6-8 Identifikasi agen virus seperti HPV membuka wawasan dalam hal vaksin
pencegahan maupun intervensi terhadap agen virus penyebab penyakit.2,6,7
2 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
Late region adalah protein kapsid virus, terdiri dari L1 (80%) dan L2 yang diperlukan
untuk perlekatan virion.9 Virus-like particles dapat dihasilkan dari ekspresi tunggal maupun
kombinasi antara L1 dan L2.2,10,15 Long Control Region diperlukan untuk replikasi dan
transkripsi DNA virus.10 Pohon phylogenetic HPV ditentukan berdasarkan sekuens gen L1,
dibagi dalam 5 genus yaitu alpha (spesies alpha-1 hingga alpha-14), beta (beta 1 hingga
beta 5), gamma (gamma-1 hingga gamma-10), mu (Mu-1 dan Mu-2) dan nu (Nu-1). HPV tipe
16 adalah contoh spesies alpha-9 (Gambar 3).9
4 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
6 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
Ikatan kapsid L1 pada reseptor permukaan sel terjadi jika sel epitel terpapar oleh
trauma mekanik maupun trauma fisik yang kemudian akan merangsang pemecahan L2
oleh enzim proprotein convertase. Epitop neutralisasi pada L2 akan terpapar setelah
pemecahan ini dan regio L1 yang tidak terpapar sebelumnya akan berikatan dengan reseptor
kedua yang tidak teridentifikasi pada sisi lain epitel (Gambar 8).20
8 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
dalam tahap infeksi HPV ataupun lesi pra kanker dan dilanjutkan dengan tatalaksana yang
tepat dan baik agar tidak berkembang menjadi kanker serviks. Pencegahan tersier bertujuan
mencegah penyakit tidak berkembang menjadi stadium yang lanjut.14
4.1.2 Pap smear dan Thin prep (liquid base cytology (LBC))
Metode skrining yang umum dipakai hingga saat ini adalah pap smear. Sensitivitas
pap smear bila dikerjakan setiap tahun mencapai 90%, setiap 2 tahun 87%, setiap 3 tahun
78% dan bila dikerjakan setiap 5 tahun mencapai 68%. Hasil pap smear yang negatif perlu
diulang 3-5 tahun kemudian, sedangkan hasil abnormal dilanjutkan dengan kolposkopi dan
biopsi. Pemeriksaan kolposkopi yang negatif perlu diulang 3-5 tahun lagi. Pap smear mampu
mendeteksi kelainan sel displastik, namun tidak mampu mendiferensiasi infeksi HPV yang
ada sebagai infeksi HPV risiko rendah atau risiko tinggi. Hasil negatif palsu pap smear
berkisar 15-45%, sensitivitas 67,3%, dan spesifisitas 76,9%. Thin prep adalah modifikasi
pap smear untuk meningkatkan sensitivitas. Sensitivitas thin prep 73,6% dengan spesifisitas
76,2%.14
4.1.3 Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan standart yang dilakukan dengan menggunakan
pembesaran bila hasil pap smear abnormal, bertujuan untuk melihat kelainan epitel serviks
dan pembuluh darah setelah pemberian asam asetat. Sensitivitas kolposkopi 69-95%,
spesifisitas 67-93%.14
4. 1 Teknik Molekuler
4.2.1 Deteksi onkoprotein HPV
Deteksi onkoprotein E6-E7 menggunakan metode radio-immunoprecipitation assay
(RIPA) atau nucleic acid sequence based amplification (NASBA). Adanya ekspresi mRNA
(messenger ribo nucleic acid) E6 dan E7 menunjukkan adanya peningkatan derajat lesi,
sehingga dapat meningkatkan nilai prognostik dan positive predictive value (PPV) bila
dibanding genotyping HPV.14
Pemeriksaan protein HPV p16ink4a menggunakan teknik imunohistokimia. Kombinasi
pemeriksaan p16ink4a dengan onkoprotein E6-E7 meningkatkan spesifisitas hingga 84,9%.
Ekspresi p16ink4a pada sel kanker serviks meningkat akibat deregulasi pRb oleh onkoprotein
E7.14 Deteksi protein HPV sering terhambat karena protein kapsid L hanya diekspresikan
pada infeksi aktif dalam jumlah kecil, dan karena HPV tidak dapat dikultur secara invitro
untuk menghasilkan virion HPV maka produksi antibodi spesifik terhambat.10
10 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
menunjukkan tipe yang berbeda dari beberapa vaksin yang tersedia, sehingga penentuan
tipe high risk HVP sebelum pemberian vaksinasi menjadi penting.25
Pemeriksaan DNA HPV umumnya menggunakan metode hybrid capture dan polymerase
chain reaction (PCR). Digene Hybrid Capture 2 High-Risk HPV DNA Test adalah pemeriksaan
hibridisasi asam nukleat in vitro untuk mendeteksi HPV risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39,
45, 51, 52, 56, 58, 59, 68) secara kualitatif dengan amplifikasi signal menggunakan microplate
chemiluminescence.26 Hybribio 23 HPV Genotyping dapat mendeteksi 23 genotipe HPV (16,
18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66, 68, 73, 82, 6, 11, 42, 43, 44, 81) dengan metode
multiplex real-time PCR, menggunakan amplifikasi primer spesifik dan fluorophores berbeda
untuk memperoleh sinyal deteksi fluoresens. Sensitivitas dan spesifisitasnya lebih dari 95%.17
Tahap awal PCR meliputi preparasi DNA (denaturasi, anneling, ekstensi), amplifikasi
dan deteksi hasil PCR. Reagen dan tahapan ekstraksi DNA berbeda tergantung pabrik yang
digunakan. Proses amplifikasi dilakukan sesuai tahapan dan suhu yang telah ditetapkan
oleh konsensus. Sampel yang telah diamplifikasi digunakan untuk mendeteksi DNA HPV
menggunakan set primer yang memiliki karakteristik, panjang amplifikasi berbeda dan
spesifik terhadap tipe HPV yang berbeda (Tabel 2).
Tabel 2. Set primer berbagai metode berbasis PCR untuk deteksi HPV 10
Deteksi hasil amplifikasi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode southern blot, PCR
tipe spesifik, dot-blot, restriction fragment length polymorphisms (RFLP), ELISA atau EIA,
reverse line blot, single-strand conformational polymorphisms dan metode sequencing (Tabel
3). Metode yang dipakai menentukan genotyping HPV memungkinkan untuk dilakukan
atau tidak. Sensitivitas dan spesifisitas metode PCR tergantung dari primer yang digunakan.10
Keterangan: LIPA = Reverse line-blot hybridization; ELISA = Enzyme-Linked Immunosorbent Assay; EIA =
Enzyme Immunoassay; RFLP = Restriction Fragment Length Polymorphisms; SSCP =Ssingle-strand
Conformational Polymorphisms
Metode PCR tipe spesifik (Cobas 4800 Roche) berdasarkan 2 proses utama yaitu preparasi
DNA secara otomatis, amplifikasi sekuens DNA target menggunakan primer HPV dan
globin secara real time. Cobas 4800 Roche terdiri dari 16 set primer dengan 4 warna
fluorokrom (3 channel). Channel 1 terdiri dari 12 High Risk HPV yaitu HPV tipe 31, 33, 35,
39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66 dan 68. Channel 2 adalah HPV tipe 16, sedangkan channel 3
adalah HPV tipe 18. Channel 4 berfungsi untuk mendeteksi amplicon 330 bp gen globin
manusia untuk verifikasi sampel. Interpretasi hasil pemeriksaan DNA HPV oleh Cobas
nampak pada tabel 4.27
12 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
V. SIMPULAN
Deteksi dini terhadap kanker yang ditimbulkan oleh Human papilloma virus (HPV) sangat
diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih lanjut. Salah satu metode yang telah ditemukan
dan dikembangkan untuk menemukan infeksi HPV lebih dini adalah dengan mendeteksi DNA
HPV (genotyping HPV). Metode yang digunakan dapat berupa hybrid capture maupun PCR.
Genotyping HPV meningkatkan diagnosis pra kanker bila dibanding pap smear konvensional
dan thin-prep (liquid base cytology (LBC)). Gabungan pemeriksaan pap smear dan genotyping
HPV memberikan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Identifikasi agen virus
seperti HPV membuka wawasan dalam hal vaksin pencegahan maupun intervensi terhadap
agen virus penyebab penyakit. High-Risk HPV tipe 52, merupakan tipe terbanyak, sehingga
perlu pertimbangan dalam pemilihan pemberian vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Koutsky LA, Ault Kevin A et al, 2002. A Controlled Trial of a Human Papillomavirus
Type 16 Vaccine. New England Journal Medicine ed, Vol. 347, No.21
2. Morshed K, Gruszka D et al, 2014. Human Papillomavirus (HPV) Structure,
epidemiology and pathogenesis. Journal Otolaryngologia Polska 2014. 150:1-7.
3. Boardman CH, 2016. Cervical Cancer. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2016 dari
http://emedicine.medscape.com/article/219110-overview.
4. Gearhart, 2016. Human Papillomavirus. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2016 dari
http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview#a2
5. Rasjidi, Imam. 2012. Kanker serviks dan penanganannya. Yogyakarta : Nuha Medika
6. CDC, 2016. Human Papillomavirus. Diunduh pada tanggal 30 Maret 2016 dari http://
www.cdc.gov/hpv/parents/vaccine.html
7. KEMENKES, 2015. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks.
www.kanker.kemenkes.go.id
8. Choi YJ, Park JS, 2016. Clinical Significance of Human papillomavirus Genotyping.
Journal of Gynecologic Oncology 2016. Mar 27(2):e21.
9. Andrijono, Indriatmi W, 2013. Infeksi Human papillomavirus. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2013: 1 119.
10. WHO, 2007. Human Papillomaviruses. International Agency for Research and Cancer
2007: 47-106.
11. Pradipta B, Sungkar S, 2002. Penggunaan Vaksin Human Papilloma Virus dalam
Pencegahan Kanker Serviks.Maj Kedokteran Indonesia. 57(11): 391-396.
12. Fernandes JV, Fernandes M, 2012. Human Papillomavirus: Biology and Pathogenesis.
Diunduh pada tanggal 20 Februari 2016 dari https://www.google.co.id/
we b h p ? s o u rc e i d = c h r o m e i n s ta n t & i o n = 1 & e s p v = 2 & i e = U T F-
8#q=fernandes+Human+Papillomavirus%3A+Biology+and+Pathogenesis
13. Stanley MA, 2012. Epithelial Cell Responses to Infection with Human Papillomavirus.
Clinical Microbiology Reviews 2012: 215222.
14. Andrijono, 2016. Kanker Serviks Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2016: 1 132.
15. Ma Y, Madupu R et al, 2014. Human Papillomavirus Community in Healthy Persons,
Defined by Metagenomics Analysis of Human Microbiome Project Shotgun Sequencing
Data Sets. Journal of Virology 2014. 88(9):47864797.
16. Zheng ZM, Baker CC, 2006. Papillomavirus Genome Structure, Expression, and Post-
Transcriptional Regulation Front Bioscience 2006; 11: 22862302.
17. Hybribio, 2012. 23 HPV Genotyping Real-time PCR Kit. EN ISO13485:2012.
18. Slowik, 2013. Diunduh pada tanggal 22 Februari 2016 dari http://ehealthmd.com/
yms_images/squamous_cell_carcinoma_cervix_375.jpg.
19. BurdEileen M, 2003. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clinical Microbiology
Rev. 2003. Jan; 16(1): 117
20. Schiller JT, Day PM, Kines RC, 2010. Current understanding of the mechanism of HPV
infection. Journal Gynecologic Oncology 2010. 118:1217.
21. Chigbu C, 2012. Trends in cervical cancer screening in developing countries. World
Journal of Obstetrics and Gynecology, 2012 December 10; 1(4): 46-54.
22. Rasjidi I, 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer Juli
September 2009. Vol. III, No.3: 103 108.
14 Simposium SURAMADE 7
Laboratory Aspect Focus on Human Papiloma Virus (HPV) Genotyping
23. Thomas C, Wright JM, 2006. Guidelines for the management of women with abnormal
cervical cancer screening tests. American Journals of Obstetric and Gynecology 2007;
346-55.
24. Noor RI, Aryati, Hartono P, 2014. Genotipe HPV dan Pola Infeksinya Terkait Jenis
Histopatologi Kanker Leher Rahim. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory November 2014;Vol 21 No 1:67-74.
25. Aryati, Sulianty, 2015. Usefulness Of HPV Genotyping As A Marker For Cervical Cancer
And Vaccination (in process).
26. Digene HC2 High-Risk HPV DNA Test, 2015.
27. Roche Molecular System Inc, 2011. Cobas HPV Test Package Insert.
INFECTIOUS DISEASES
Ida Parwati
Indonesian Society of Clinical Pathologists and Laboratory Medicine
Department of Clinical Pathology - Dr. Hasan Sadikin General Hospital
Faculty of Medicine - Padjadjaran University
Bandung
Abstract
Infectious diseases may be caused by bacteria, viruses, fungi, and parasites. Signs and
symptoms vary depending on the organism causing the infection, some might be mild,
while some are life-threatening infections and may require hospitalization. The rapid and
accurate diagnostics of causative microorganisms are fundamental to quality of patients
care, and essential for outbreak detection and public health surveillance. Unfortunately,
detection of microorganisms by conventional method such as microscopy and culture as
the gold standard often give low sensitivity. Besides emerging molecular technologies of
which enable the detection of pathogen with high speed, sensitivity, and specificity, there is
a need of laboratory tests incorporating a host response as a results of innate and adaptive
immunity, to give a comprehensive clinical picture of the patients.
Antibody to specific virus is the basis of serodiagnosis of viral infections of which is the
mainstay of diagnostic virology. Biomarkers like procalcitonin as a surrogate marker of
bacterial infection, has been widely use in sepsis. In acute systemic bacterial infection,
hematopoietic system will response as emergency myelopoiesis, characterized by blood
leukocytosis, neutrophilia and immature neutrophils, while in chronic bacterial or viral
infection are more variable from lymphopenia to lymphocytosis.
At present, when multidrug resistance organisms are emerging and spreading at an alarming
rate, rapid diagnosis of specific bacteria and resistance genes, along with combination of
biomarkers which specifically able to distinguish between bacterial, fungal and viral
infections, would prevent broad antimicrobial use, thereby reducing occurrences of drug
toxicity and drug-resistant microbes.
A comprehensive laboratory tests, for diagnosis of infectious disease and drug resistance,
would provide substantial benefit in patient care.
1. Pendahuluan
Penyakit infeksi masih merupakan permasalahan kesehatan, terutama di negara berkembang.
Walaupun posisinya sudah tergeser oleh penyakit keganasan, namun infeksi dapat
menimbulkan permasalahan yang lebih besar seperti kejadian luar biasa dan pandemi global.
Untuk itu diagnostik cepat dan akurat untuk mendeteksi mikroorganisme sangat diperlukan
karena akan mempercepat penyembuhan pasien, mendeteksi adanya outbreak atau untuk
keperluan surveillans.
Penyebab infeksi dapat bakteri, virus, fungi dan parasit. Tanda dan gejala yang ditimbulkan
bervariasi tergantung mikroorganisme penyebab, dari yang ringan sampai berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Manifestasi klinis penyakit infeksi menggambarkan
interaksi antara pejamu dan mikroorganisme. Interaksi ini dipengaruhi oleh status imun
pejamu dan virulensi mikroba. Tanda dan gejala juga dapat bervariasi tergantung kepada
tempat dan beratnya infeksi. Untuk penegakan diagnosis diperlukan gabungan informasi
16 Simposium SURAMADE 7
Comprehensive Laboratory Tests for Infectious Diseases
2.1.1 Mikroskopik
Pemeriksaan mikrokopik dapat dikerjakan dengan cepat, namun akurasinya sangat bergantung
kepada pengalaman dan ketrampilan pemeriksa serta kualitas dari specimen, selain itu
membutuhkan jumlah mikroba sebanyak 1 104-5/mL. Walaupun tidak ada pewarnaan yang
100% spesifik, namun untuk beberapa keadaaan klinis dapat menjadi penentu diagnosis,
seperti pewarnaan Ziehl Neelsen untuk basil tahan asam (BTA), pemeriksaan Gram untuk
bakterial vaginosis dan infeksi GO, pewarnaan Albert atau Neisser untuk difteri, pewarnaan
tinta india untuk deteksi jamur kriptokokus. dll. Berikut beberapa contoh pewarnaan diferensial
untuk pemeriksaan mikroskopik mikroorganisme. (Gambar 3)
18 Simposium SURAMADE 7
Comprehensive Laboratory Tests for Infectious Diseases
Bila dibandingkan, validitas berbagai modalitas deteksi infeksi virus dengue dapat dilihat
pada tabel 1. Dari tabel ini dapat dipilih pemeriksaan apa yang paling sesuai baik dengan
perjalanan penyakit Dengue maupun dengan fasilitas yang tersedia.
20 Simposium SURAMADE 7
Comprehensive Laboratory Tests for Infectious Diseases
3.1 Neutrofilia
Neutrofilia awal pada infeksi bakterial disebabkan oleh mobilisasi neutrofil dari sumsum
tulang (SST) ke sirkulasi. Storage di SST prinsipnya hanya dalam bentuk neutrofil dan
batang. Kebanyakan infeksi bakteri Gram positif menyebabkan neutrofilia yang merupakan
respons dari produk komplemen yang teraktivasi, G-CSF, dan pro-inflammatory cytokines
TNF-, IL-1 dan IL-6.
3.2 Neutropenia
Neutropenia dapat terjadi pada infeksi bakteri akut atau kronik, viral, parasit atau riketsia.
Mekanisme terjadinya neutropenia kemungkinan sebagai berikut:
1. Infeksi virus seperti: mononucleosis, hepatitis dan HIV dapat menyebabkan
kerusakan langsung ke haematopoietic precursor cells.
2. CMV dapat mempengaruhi lingkungan SST melalui infeksi pada sel stromal terutama
fibroblast.
3. Infeksi terhadap sel endotel (rickettsia, babesia) dapat menyebebkan pansitopenia
sebagai bagian dari proses vasculitic generalisata
4. Dengue dan campak meningkatkan adheren neutrofil yang merusak sel endotel.
5. Sepsis Gram negatif yang berat
6. Infeksi kronik seperti TB, brucellosis, typhoid, malaria and kala-azar menyebabkan
neutropenia karena pemecahan di limpa atau supresi SST.
3.3 Limfositosis
Reaktif limositosis sering terjadi pada mononucleosis syndromes (EBV, CMV,
toxoplasmosis, viral hepatitis, HIV). Infeksi Bordetella pertussis menyebabkan limfositosis
yang sangat tinggi.
3.4 Limfositopenia
Limfositopenia terjadi pada kasus imunodefisiensi terutama HIV/AIDS. Pada sepsis akut
dapat terjadi, kemungkinan karena pelepasan glucocorticoids. Limfositopenia juga dapat
terjadi pada penyakit infeksi kronik seperti TB. Influenza dan infeksi viral dapat
menyebabkan Limfositopenia melalui destruksi langsung, atau terperangkap di limpa atau
kelenjar getah bening atau migrasi ke traktus respiratorius.
22 Simposium SURAMADE 7
Comprehensive Laboratory Tests for Infectious Diseases
5. Kesimpulan
Pendekatan diagnostik penyakit infeksi perlu dilakukan secara komprehensif. Pemeriksaan
mikrobiologi berupa kultur masih merupakan Gold Standard, namun mengisolasi
mikroorganisme banyak dipengaruhi oleh cara specimen collection, volume spesimen,
bacterial load, pemberian antibiotik atau sifat bakteri yang fastidious, sehingga hasil kultur
negatif belum dapat menyingkirkan adanya infeksi. Dalam kondisi tersebut diperlukan
parameter laboratorium yang lain yang merupakan repons imun pejamu seperti serologi
dan perubahan perubahan yang terjadi pada parameter hematologi, biokimiawi dll.
6. Kepustakaan
1. Vandepitte J, Verhaegen J, et al. Basic laboratory procedures in clinical bacteriology.
World Health Organization. 2003.
2. Staining Microscopic (http://cnx.org/contents/QcrHU_vQ@4/Staining-Microscopic-
Specimens)
3. Wickramashinghe S.N. (ed) Haematological Aspects of Infection. Baillieres Best
Practice and Research in Clinical Haematology 13 (2), June 2000. Bailliere Tindall,
London, UK
4. Edmond S.K. Haematological changes in infection: tips for interpretation. http://
www.fmshk.com.hk/hkabth/em/jul2001.htm
5. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. Geneva: World Health Organization; 2009.
6. CDC. Sepsis. Center for Disease Control and Prevention. 2016
7. Dellinger R. Surviving Sepsis Campaign: Internasional Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Crit Care Med. 2013;41:580-94.
8. Singer M, Deutschman, Warren S, Shankar H,Djillali A. The Third International
Consensus Definition for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). American Medical
Association. Clinical Review and Education Caring For The Critically III Patient 2016.
ABSTRAK
Akhir-akhir ini marak di bicarakan tentang kasus pembunuhan atau perselisihan rumah
tangga, yang dibicarakan adalah tentang status dari si_Korban Pembunuhan atau identifikasi
dari korban serta identifikasi dari seorang anak yang diragukan statusnya dengan melalui
tes DNA.
Ketika seseorang dengan alasan yang sangat beragam dan pribadi ingin tahu akan
identitasnya, maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah
tersebut adalah identifikasi DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Identifikasi DNA dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui hubungan biologis antar individu dalam sebuah keluarga
dengan cara membandingkan pola DNA individu- individu tersebut.
Setiap anak akan menerima setengah pasang kromosom dari ayah dan setengah pasang
koromosom lainnya dari ibu sehingga setiap individu membawa sifat yang diturunkan dari
ibu maupun ayah. Sedangkan DNA yang berada pada mitokondria hanya diturunkan dari
ibu kepada anak-anaknya. Keunikan pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA
mitokondria dapat digunakan sebagai marka untuk mengidentifikasi hubungan kekerabatan
secara maternal. Dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan DNA dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan membedakan individuyang satu dengan individu yang lain.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara
lain: tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensic (dalam
identifikasi korban pembunuhan). Tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah
seorang pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Kita semua mewarisi DNA (materi
genetik) dari orang tua biologis kita. Tes paternitas membandingkan pola DNA anak dengan
terduga ayah untuk memeriksa bukti pewarisan DNA yang menunjukkan kepastian adanya
hubungan biologis.
Identifikasi DNA untuk tes paternitas dilakukan dengan menganalisa pola DNA
menggunakan marka STR (short tandem repeat). STR adalah lokus DNA yang tersusun atas
pengulangan 2 6 basa. Dalam genom manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang
bervariasi jumlah dan jenisnya. Identifikasi DNA dengan penanda STR merupakan salah
satu prosedur tes DNA yang sangat sensitif karena penanda STR memiliki tingkat variasi
yang tinggi baik antar lokus STR maupun antar individu.
Pendahulan
DNA (deoxyribonucleic acid) adalah molekul yang membawa informasi yang dapat
diturunkan. Semacam cetak biru, kode dasar, yang menentukan protein-protein seperti apa
yang akan diproduksi oleh tubuh, Simpelnya, bagaimana bentuk wajah, warna rambut, atau
rambutnya keriting atau lurus, dan lain-lain.
Struktur DNA terdiri atas dua rantai polimer, yang tersusun atas unit-unit monomer
yang sebut nukleotida. Nukleotida itu tersusun atas molekul gula pentosa, fosfat dan basa
noitrogen. Terdapat empat basa nitrogen yang menyusun DNA: adenin (A), guanine (G),
cytosine (C), dan thymine (T).
24 Simposium SURAMADE 7
Algoritma, Interpretasi dan Konseling Tes Paternitas
anak. Selain itu, tes DNA juga bisa untuk mengidentifikasi korban kecelakaan dan bencana
alam, serta mengungkap pelaku kekerasan seksual.
Tes paternitas dilakukan dengan membandingkan susunan informasi genetik, yang
dalam bentuk AGTCACACACCAATTT itu. Karena setiap orang tua memberi kontribusi
masing-masing 50% DNA-nya, maka anak biologisnya akan memiliki profil DNA yang
sama dengan kedua orang tuanya.
Sebetulnya ada beberapa marka genetik yang dapat digunakan dalam tes paternitas. Namun,
sekarang-sekarang ini yang secara luas dipergunakan oleh laboratorium forensik di seluruh
dunia adalah marka STR (short tandem repeat).
STR (short tandem repeat) adalah rangkaian 2 5 basa yang berulang. Misal sekuens
CATG yang berulang 20 kali, jadi CATGCATGCATGCATGCATG (sampai 20 kali). Biasanya
STR terdapat pada bagian DNA yang tidak menyandi protein, sehingga laju mutasinya lebih
tinggi. Akibatnya setiap individu punya profil STR yang khas, dan makin jauh hubungan
kekerabatannya maka makin beda pula pola STR nya.
Tes DNA paternitas tidak hanya dibandingkan satu pola STR saja, karena makin banyak
pola yang dibandingkan maka diskriminasinya dalam membedakan masing-masing
individu pun makin kuat. Saat ini umumnya laboratorium DNA forensik menggunakan
sistem CODIS (Combined DNA Index System) yang dikembangkan oleh FBI. Mereka
membandingkan 13 marka STR yang tersebar di autosom manusia plus AMEL untuk
mengetahui jenis kelamin. Ke-13 marka STR ini umum terdapat di seluruh populasi manusia,
dan variasinya pun tinggi sehingga cocok digunakan untuk proses identifikasi.
Bagaimana cara menginterpretasi hasil pemeriksaan STR? Berikut adalah contoh hasil
tes paternitas yang saya dapatkan dari DNA-worldwide.
26 Simposium SURAMADE 7
Algoritma, Interpretasi dan Konseling Tes Paternitas
Tabel tersebut merupakan hasil pemeriksaan STR sampel anak dan terduga bapak.
Misal kita lihat di marka STR D251338, si anak punya pola 10 dan 12 ulangan sekuens STR.
Karena masing-masing kontribusi bapak dan ibu adalah 50 : 50. Maka kita asumsikan 10
dan 12 itu salah satunya berasal dari ibu atau si bapaknya. Sedangkan pola STR terduga
bapak, terdapat pola 12 dan 13 pengulangan. Ada kecocokan antara dua orang ini, sama-
sama punya pola 12.
Bukti ini harus diperkuat oleh uji statistik, yaitu melalui perhitungan Parentage Index
(PI). Setelahseluruh 13 marker ini dihitung, seluruh PI digabungkan dan dihitung nilai
Combined Parentage Index (CPI). Seorang terduga bapak dipastikan merupakan bapak
biologis si anak, jika memiliki nilai CPI di atas 100. Di mana CPI bernilai 100 itu sebanding
dengan Probability of Paternity (POP) 99,0000%. Namun nilai POP yang dihasilkan melalui
analisis STR tidak sampai mencapai 100%, paling besar 99,9999%. Mungkin saja 100%
ini bisa diperoleh dengan menganalisis seluruh genome manusia, sebanyak 3 juta pasang
basa.
Namun penting dicatat, hasil tes DNA forensik bisa digunakan sebagai bukti ilmiah
dalam penegakkan hukum bila tahapan perlakuan terhadap bukti DNA dilakukan pada
laboratorium yang memiliki fasilitas praktik laboratorium yang baik (Good Laboratory
Practice).
Seluruh proses pemeriksaan harus mengikuti prosedur operasional standar yang sesuai
dengan panduan Scientific Working Group of DNA Analysis Method dan rekomendasi komisi
DNA International Society of Forensic Genetics, seperti tertulis dalam materi Introduksi DNA
Forensik dari lembaga Biologi Molekular Eijkman ditulis Kamis (13/10/2016).
Keseluruhan proses kerja laboratorium DNA forensik mulai dari penerimaan bukti
DNA hingga pembuatan laporan, rantai keabsahan harus tetap dijaga dengan mengikuti
standar prosedur operasional.
Untuk bisa mengerjakan tahapan alur identifikasi DNA, laboratorium DNA forensik
harus menyiapkan ruang kerja satu arah. Selain untukmempermudah pengerjaan, juga untuk
meminimalisir kontaminasi pada sampel.
Selain penataan ruang laboratorium, setiap personel yang melakukan tes DNA tidak
sembarangan. Mereka diwajibkan untuk melewati uji kompetensi secara berkala termasuk
proficiency test yang dilakukan melalui penyedia layanan internasional.
Tak lupa dalam penanganan sampel, keamanan personel harus diperhatikan. Alat
proteksi diri yang lengkap harus digunakan. Di antaranya seperti jas lab, sarung tangan,
penutup kepala dan masker wajah sesuai standar Good Laboratory Practice.
Setelah mendapatkan hasil, tak butuh waktu lama. Untuk kasus gawat darurat bisa
dalam waktu satu hari, bila tidak, sekitar dua minggu.
Siapa yang Perlu Menjalani Tes DNA dan Hasil yang Diharapkan
Tidak semua orang akan memerlukan tes DNA. Tes ini akan menganalisis mutasi
genetik pasien, sehingga hasilnya juga akan berpengaruh pada anggota keuluarga pasien,
yang kemungkinan memiliki komposisi genetik yang sama. Keluarga yang lebih rentan
menderita penyakit tertentu sebaiknya menjalani tes DNA. Hasilnya akan sangat penting
untuk menentukan anggota keluarga yang beresiko terkena penyakit dan membantu mereka
mengubah gaya hidupnya. Orang yang mungkin memiliki penyakit bawaan dan berasal
dari etnis tertentu yang lebih beresiko terkena penyakit tertentu juga dapat menjalani tes
DNA.
Pada beberapa kasus, dokter yang kesulitan mendiagnosis gangguan kesehatan tertrentu
dapat menyarankan pasiennya untuk menjalani tes DNA. Dengan begitu, dokter dapat
membuat rencana pengobatan yang efektif. Wanita yang mengandung janin yang beresiko
terkena penyakit tertentu juga sebaiknya menjalani tes DNA untuk mengetahui peyakit
yang dapat mengganggu perkembangan bayi. Hasil yang positif dapat memastikan diagno-
sis dokter atau resiko pasien terkena penyakit bawaam. Ini juga berarti pasien memang
memiliki mutasi DNA. Namun, tes DNA tidak dapat mengetahui tingkat keparahan penyakit
atau prognosisnya.
Sedangkan hasil yang negatif menunjukkan bahwa tidak ada mutasi atau perubahan di
sampel DNA, untai DNA, atau protein yang diuji. Ini berarti bahwa pasien bukanlah carrier
(memiliki organisme menular), beresiko atau menderita penyakit tertentu.
Pada beberapa kasus, tes DNA dapat memberikan hasil yang tidak jelas dan ambigu, di
mana perubahan DNA tidak berkaitna dengan penyakit tertentu. Bila hal ini terjadi, pasien
biasanya perlu menjalani tes tambahan untuk mendapatkan hasil yang jelas.
28 Simposium SURAMADE 7
Algoritma, Interpretasi dan Konseling Tes Paternitas
Rujukan:
- Simpson JL, Holzgreve W, Driscoll DA. Genetic Counseling and Genetic Screening. In:
Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 6th
ed. Philadelphia, PA: Elsevier Churchill Livingstone: 2012: chap 10.
- Simpson JL, Richards DA, Otao L, Driscoll DA. Prenatal Genetoc Diagnostics.In: GAbbe
SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 6th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier Churchill Livingstone: 2012: chap 11.
Dominicus Husada
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Penyakit infeksi masih merupakan persoalan besar di Indonesia. Kekurangan dan
kelebihan sarana diagnostik dan terapi perlu dicermati. Pada penyakit difteri diagnosis
hanya dapat ditegakkan dengan biakan. Antibodi terhadap difteri dapat digunakan namun
tidak banyak dilakukan. Terapi difteri terdiri dari enam hal yaitu isolasi, serum anti difteri,
antibiotika, terapi suportif dan simtomatis, follow up, serta manajemen kontak. Hingga
saat ini Indonesia masih menduduki peringkat kedua di dunia dalam hal insidens difteri.
Untuk penyakit infeksi virus dengue (IVD) pemeriksaan yang tersering dilakukan adalah
antigen dan antibodi. Kelemahan dan kelebihan dari setiap jenis pemeriksaan yang beredar
terutama di Indonesia perlu dicermati. Terapi utama untuk IVD adalah cairan dan tidak ada
terapi definitif hingga saat ini. Penyakit demam tifoid adalah salah satu penyakit yang
paling banyak disalahgunakan. Pemeriksaan IgM dan IgG salmonella telah menggantikan
pemeriksaan widal dalam beberapa tahun terakhir. Terapi definitif tetap antibiotika namun
jenis antibiotika berbeda untuk setiap negara dan pedoman. Terapi utama untuk demam
tifoid anak di Indonesia masih mengandalkan kloramfenikol. Dalam waktu dekat penyakit
infeksi belum akan banyak berkurang. Salah satu kekurangan yang ada di negara kita dalam
upaya mengatasi persoalan tersebut adalah dalam aspek pencegahan, terutama imunisasi.
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit infeksi pada anak masih merupakan persoalan besar di Indonesia.
Sebagian penyakit tersebut memang hanya ditemukan di daerah tropis, sebagian lagi
sebenarnya pernah didapatkan di seluruh dunia namun pada saat ini hanya tersisa di sedikit
negara saja. Beban banyak penyakit infeksi dari berbagai spektrum belum dapat dihilangkan
karena upaya pencegahan juga tidak berjalan optimal.
Ketepatan dan kecepatan diagnosis serta upaya penatalaksanaan yang tepat dan cepat
pula merupakan salah satu kunci penanganan penyakit infeksi. Ketersediaan berbagai sarana
diagnostik dan terapi perlu disikapi dengan hati-hati. Kekurangan dan kelebihan sarana
menyimpan potensi kelemahan masing-masing, baik dalam hal diagnostik maupun terapi.
PENYAKIT DIFTERI
Hingga tahun 2017 Indonesia masih berada di urutan kedua dalam daftar negara dengan
insiden difteri, setelah India. Diperkirakan sekitar 140 negara di dunia tidak lagi mempunyai
kasus difteri atau sangat sedikit ( kurang dari 10 ). Dari 38 provinsi di Indonesia, urutan
pertama masih diduduki Jawa Timur. Sepanjang tahun 2016 provinsi ini mencatat lebih dari
300 kasus dalam setahun di berbagai usia. Dalam 3 tahun terakhir wabah difteri juga tercatat
di beberapa provinsi lain seperti DI Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Barat.
30 Simposium SURAMADE 7
Management of Infectious Diseases on Pediatric Patients:
Focus on Diphteria, Dengue Virus Infection, and Typhoid Fever
tubuh manusia terhadap difteri. Pemeriksaan ini dapat dilakukan antara lain di Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Surabaya. Kasus difteri tidak pernah ditemukan pada individu
yang mempunyai kadar antibodi >1 IU/ml.
Pengecatan gram dari hapusan hidung tenggorok tidak dapat dijadikan dasar diagnosis.
Di rongga mulut manusia didapatkan banyak mikroorganisma yang memberi penampakan
morfologi seperti Corynebacterium diphtheriae. Kelompok itu disebut sebagai diphtheroids.
Jika pada hapusan yang dilihat di bawah mikroskop tidak ditemukan bentukan seperti C.
diphtheriae, kemungkinan kita dapat menyingkirkan diagnosis difteri namun jika
sebaliknya, kita menemukan bentukan seperti C. diphtheriae, dasar mendiagnosis difteri
tidak cukup kuat.
Dasar diagnosis sesuai pedoman WHO adalah dengan melakukan kultur dari hapusan
hidung tenggorok. Hasil hapusan dapat dikelola dengan Media Amies dan Stewart
(menggantikan Loeffler dan Tellurite di banyak tempat). Selanjutnya jika tumbuh, identifikasi
spesies Corynebacterium ditentukan dengan sederetan tes lanjutan. Apabila memang
diperoleh C. diphtheriae, harus dibuktikan bahwa bakteri itu toksigenik atau mampu
memproduksi toksin. Tes Elek atau Tes Elek Modifikasi adalah keharusan. Identifikasi melalui
PCR merupakan alternatif diagnosis yang diterima secara ilmiah, sekalipun tidak diakui
dalam Pedoman WHO. Sekitar 10% C. diphtheriae yang membawa gen tox ternyata tidak
mampu memproduksi toksin.
Aspek Terapi
Sedikitnya enam unsur perlu diperhitungkan setiap kali memberi terapi difteri. Pertama,
lakukan isolasi penderita dan penunggu. Lama terapi sedikitnya 10 hari dan selama itu pula
penderita dan penunggu akan dibatasi kebebasannya. Kedua, pemberian ADS ( Serum Anti
Difteri ) yang dikelola oleh Biofarma Bandung. Keterbatasan ADS di seluruh dunia semakin
hari semakin parah sehingga membuat stok ADS dalam negeri sangat kurang. Di RSUD Dr.
Soetomo ADS diberikan dengan dosis 20.000, 40.000, dan 100.000 IU tergantung pada kondisi
klinis penderita. Pasien yang alergi ADS tetap dapat menerima melalui proses desensitisasi
Besredka. Ketiga, pemberian antibiotika untuk membunuh bakteri penyebab. Hingga saat
ini mayoritas pasien mendapat 1 atau 2 antibiotika pilihan yaitu Penisilin Prokain dan atau
eritromisin. Sayang sekali penisilin G dan V tidak dapat diperoleh di Indonesia sehingga
injeksi intra muskular yang menyakitkan masih harus dilakukan. Keempat, terapi suportif
dan simtomatis sesuai kebutuhn mulai dari nutrisi, cairan, oksigen, pembebasan jalan
nafas melalui trakeostomi, dan beberapa hal lain. Kelima, follow up terhadap komplikasi,
imunisasi, dan efek samping pengobatan. Komplikasi jangka pendek sistemik difteri adalah
miokarditis, nefritis dan neuritis. Sekitar 70% kematian yang berhubungan dengan difteri
melalui jalur miokarditis. Imunisasi wajib dilakukan terhadap pasien difteri karena
kenyataan bahwa si pasien sakit merupakan pertanda ketiadaan kekebalan terhadap penyakit
tersebut. Imunisasi dilakukan sekitar 2-6 minggu setelah pemberian ADS. Imunisasi difteri
yang tersedia di Indonesia disesuaikan dengan usia. Di jalur pemerintah dan swasta tersedia
vaksin DPT, DT, dan TD dalam berbagai versi. Keenam, manajemen terhadap kontak. Seluruh
orang yang pernah kontak erat dengan pasien perlu menjalani pemeriksaan hapusan hidung
dan tenggorok yang kemudian dibiakkan. Mereka yang terbukti karier harus diobati dengan
eritromisin pula. Mereka yang memerlukan pencegahan karena masih akan melakukan
kontak dengan penderita pada periode yang relatif berbahaya disarankan mengkonsumsi
eritromisin untuk kepentingan profilaksis.
Aspek Terapi
Terapi IVD sangat mengandalkan cairan, baik per oral maupun per infus. Keputusan
merawat di rumah sakit dan memasang infus memerlukan ketrampilan tersendiri. Berbagai
tawaran obat definitif belum ditunjang bukti ilmiah seperti hasil uji klinis. Dalam hal terapi
ini penyakit IVD dipenuhi dengan berbagai gosip yang, sialnya, dipercaya oleh sebagian
masyarakat Indonesia.
Pada mereka yang diinfus, ada perbedaan terapi antara Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. Yang disebut pertama tidak menunjukkan kebocoran plasma sehingga
jenis dan jumlah cairan mengikuti kaidah pemeliharaan. Di pediatri, yang digunakan
32 Simposium SURAMADE 7
Management of Infectious Diseases on Pediatric Patients:
Focus on Diphteria, Dengue Virus Infection, and Typhoid Fever
menentukan jumlah cairan adalah Formula Holliday-Segar (Pediatrics 1957). Untuk DBD,
ketentuan cairan mengacu pada kebutuhan akibat kehilangan serta pemeliharaan yang
diperlukan. Dalam berbagai pedoman dijumpai angka bertingkat 30-20-10-7-5-3 ml per
kgBB per jam. Terapi pertama selalu akan dimulai dengan kristaloid. Pada keadaan tertentu
akan lebih bijaksana menggunakan koloid sekalipun ketersediaan serta aspek harga sering
menjadi kendala.
Pemberian steroid, imunoglobulin, dan beberapa jenis anti virus tidak didukung bukti
ilmiah. Albumin dapat dipertimbangkan hanya pada keadaan tertentu. Antibiotika digunakan
hanya jika ditemukan infeksi bakteri pada saat yang bersamaan. Tranfusi trombosit dan
plasma segar untuk tujuan profilaktik tidak disarankan.
Aspek Terapi
Antibiotika adalah terapi utama untuk penyakit DT. Seluruh RS Pendidikan di Indonesia
masih menggunakan kloramfenikol sebagai antibiotika pilihan pertama untuk DT pada
anak. Belum ada laporan resistensi signifikan dari seluruh Indonesia pada penderita anak.
Antibiotika pilihan pada dewasa berbeda, dan angka resistensi terhadap kloramfenikol
relatif tinggi. Pedoman WHO menyebut quinolon sebagai antibiotika pilihan mengingat
kloramfenikol tidak digunakan di banyak negara. Kloramfenikol adalah 1 dari 2 antibiotika
yang bekerja lebih baik melalui jalur per oral daripada per infus. Itu sebabnya jika pasien
dapat minum, sebaiknya antibiotika ini diberikan dalam bentuk sirup atau kapsul. Perbedaan
antibiotika membuat perbedaan saat turunnya demam. Perubahan antibiotika yang terlalu
cepat dapat menimbulkan perpanjangan masa rawat.
Baik pada IVD maupun DT penggunaan obat demam tidak dilarang namun sebaiknya
tidak selalu diberikan pada semua keadaan. Evaluasi pola panas penting dan untuk IVD,
kapan demam mulai turun mempunyai makna klinis yang besar. Semakin maraknya obat
demam melalui injeksi membuat banyak klinisi lebih sering menggunakan jalur tersebut
daripada memberi per oral. Terapi suportif dan simtomatis lain dapat dipertimbangkan.
Gangguan defekasi sering sekali ditemukan dan akan membaik sejalan dengan perbaikan
penyakit itu sendiri. Kecukupan kalori dan unsur penunjangnya perlu senantiasa
diperhatikan.
PENUTUP
Yang ditulis dalam makalah ini hanya terbatas pada 3 penyakit. Masih ada sangat
banyak penyakit infeksi lain yang juga sering ditemukan di Indonesia, yang sering
mengalami kekeliruan dalam aspek diagnosis dan terapi, dan yang di belahan dunia lain
belum tentu masih ada sehingga mau tak mau Indonesia dipaksa untuk melakukan penelitian
guna mendapatkan upaya diagnostik dan terapi yang lebih baik.
Banyak pelajaran yang bisa disarikan dari ketiga penyakit di atas untuk kemudian
diterapkan juga pada penyakit lain. Kelemahan dan kekuatan setiap metode diagnostik
memerlukan evaluasi yang kritis. Pilihan terapi yang beragam memerlukan dukungan bukti
ilmiah yang sahih. Di atas semua itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik masih
menjadi faktor sangat penting.
Salah satu yang relatif terlupakan setidaknya dalam 20 tahun terakhir, adalah aspek
pencegahan, terutama dalam hal imunisasi. Secara konsisten cakupan imunisasi di Indonesia
terus menurun. Padahal mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Padahal sebagian
penyakit infeksi tidak memiliki terapi definitif. Di masa mendatang dibutuhkan usaha dan
kerja lebih keras untuk menggeser dan menukar paradigma pengobatan dan pencegahan
tersebut, guna menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
BACAAN LANJUT
Difteri
Adler NR, Mahony A, Friedman ND, 2013. Diphtheria: forgotten, but not gone. Internal Med
J. pp. 206-10. Doi:10.1111/imj.12049.
Berger A, Hogardt M, Konrad R, Sing A, 2014. Detection methods for laboratory diagnosis
of diphtheriae. In: Burkovski A (ed). Corynebacterium diphtheriae and related toxigenic
species. Springer, New York, pp 171-206.
Buescher ES. 2007. Diphteria. In: Kliegman RM, Behrman RS, Jenson HB, Stanton B, (ed),
Nelson textbook of pediatrics, 18th edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, pp 1153-7.
Burkovski A, 2014. Diphtheriae and etiological agents. In: Burkovski A (ed).
Corynebacterium diphtheriae and related toxigenic species. Springer, New York, pp 1-
14.
34 Simposium SURAMADE 7
Management of Infectious Diseases on Pediatric Patients:
Focus on Diphteria, Dengue Virus Infection, and Typhoid Fever
Naglich JG, Metherall JE, Russel DW, Eidels L, 1992. Expression cloning of a diphtheria
toxin receptor: identity with heparin-binding EGF-like growth factor precursor. Cell,
vol. 69, pp. 1051-61
Ott L and Burkovski A, 2014. Toxigenic corynebacteria: adhesion, invasion, and host
response. In: Burkovski A (ed). Corynebacterium diphtheriae and related toxigenic
species. Springer, New York, pp 143-70.
Pappenheimer AM, 1977. Diphtheria toxin. Annu Rev Biochem, vol. 46, pp. 69-94.
Puspitasari D, Basuki PS, Ismoedijanto, Irawan E, Soesmiati B, Utami AW, Soebjakto O,
Husada D, 2015. Corynebacterium diphtheriae strains in East Java province 2011-
2012. Presented at ESPID Research Master Class at The ESPID Annual Meeting, Leipzig,
16 May 2015.
Rusmil K, Chairulfatah A, Fadlyana E, Damayanti M, 2011. Wabah difteri di Kecamatan
Cikalong Wetan Kabupaten Cianjur Jawa Barat Indonesia. Sari Pediatri, vol. 12, no. 6,
pp. 397-403.
Scheifele DW and Ochnio JJ, 2009. Module 2: Diphtheria (update 2009). In: WHO, The
immunological basis for immunization series. World Health Organization, Geneva.
Diunduh 1 Desember 2015, (http://www.who.int/immunization/documents/
ISBN9789241597869/en/index.html)
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI, 2008. Difteri. Dalam: Soedarmo SSP, Garna
H, Hadinegoro SR, Satari HI, (ed). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua.
Balai Penerbit IDAI, Jakarta, pp 312-21.
Trost E and Tauch A, 2014. Comparative genomics and pathogenicity islands of
Corynebacterium diphtheriae, Corynebacterium ulcerans, and Corynebacterium
pseudotuberculosis. In: Burkovski A (ed). Corynebacterium diphtheriae and related
toxigenic species. Springer, New York, pp 39-66.
Zasada AA, 2015. Corynebacterium diphtheriae infections currently and in the past. Przegl
Epidemiol., vol. 69, pp. 439-44.
Demam Tifoid
Andualem G, Abebe T, Kebede N, Gebre-Sellasie S, Adane M, Alemayehu H, 2014. A comparative
study of Widal test with blood culture in the diagnosis of typhoid fever in febrile
patients. BMC Res Notes; 7: 653.
Butler T, 2011. Treatment of typhoid fever in the 21st century: promises and shortcomings.
Clin Microbil Infect.; 17: 959-63.
Lalremruata R, Chadha S, Bhalla P, 2014. Retrospective audit of the Widal Test for diagnosis
of Typhoid Fever in pediatric patients in an endemic region. J Clin Diagn Res.; 8 (5):
DC22-5.
Olopoenia LA, King, 2000. Widal agglutination test 100 years later: still plagued by
controversy. Postgrad Med J.; 76: 80-4.
Thriemer K, Ley BB, Ame SS, et al., 2012. Clinical and epidemiological features of Typhoid
Fever in Pemba, Zanzibar: Assessment of the performance of the WHO Case Definitions.
PloS One; 7(12): e51823. doi:10.1371/journal.pone.0051823.
Thriemer K, Ley B, Menten J, Jacobs J, van den Ende J, 2013. A systematic review and meta-
analysis of the performance of two point of care typhoid fever tests, Tubex TF and
Typhidot, in endemic countries. PloS One 8(12): e81263. doi:10.1371/
journal.pone.0081263.
Wain J, Hendriksen RS, Mikoleit ML, Reddy KH, Ochiai RL, 2015. Typhoid fever. Lancet;
385: 1136-45.
Wain J, Hosoglu S, 2008. The laboratory diagnostic of enteric fever. J Infect Dev Countries.;
2 (6): 421-5.
Zorgani A, Ziglam H, 2014. Typhoid fever: misuse of Widal test in Libya. J Infect Dev
Countries; 8 (6): 680-7.
---o0o---
36 Simposium SURAMADE 7
Imunoserologi Penyakit infeksi
IMUNOSEROLOGI PENYAKIT INFEKSI
Puspa Wardhani
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Imunoserologi merupakan ilmu atau cara untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi di
dalam cairan tubuh. Dalam bidang penyakit infeksi, pembuktian adanya mikroorganisme
penyebab melalui pembiakan atau deteksi materi genetik masih merupakan baku emas
dalam diagnosis penyakit infeksi. Kendala pemeriksaan baku emas adalah memerlukan
waktu yang lama, metode yang rumit, memerlukan sarana prasarana canggih dan tenaga
yang terampil, serta tidak selalu didapatkan hasil positif karena adanya faktor interferens.
Oleh karena itu dikembangkan teknik imunoserologi dalam membantu diagnosis penyakit
infeksi. Praktisi laboratorium harus memahami patogenesis dari masing-masing penyakit
sebelum memilih jenis pemeriksaan apa yang dapat dipakai untuk jenis penyakit infeksi
yang berbeda. Pemilihan metode untuk diagnosis juga harus memperhatikan sensitivitas,
spesifisitas, NPV, dan PPV. Beberapa permasalahan pada imunoserologi adalah reaktivitas
silang, faktor preanalitik seperti cara pengambilan sampel, jenis sampel, hemolisis, lipemia,
dan ikterus, cara penyimpanan, carryover, gangguan di binding site dengan adanya antibodi
heterofil, faktor reumatoid, human antianimal antibodies, fenomena prozone dan postzone.
Interferens juga bisa didapatkan di sistem deteksi tanpa mempengaruhi ikatan antigen dan
antibodi. Sebagai contoh pada infeksi virus Dengue, uji imunoserologi yang ada adalah
deteksi antigen NS1, IgG anti-Dengue, IgM anti-Dengue, IgA anti-Dengue. Uji imunoserologi
yang dapat dipakai pada infeksi S. typhi yaitu uji widal, IgM anti- S.typhi, IgG anti-S. typhi,
deteksi antigen S.typhi. Infeksi parasit seperti Plasmodium sp. menggunakan deteksi antigen
Plasmodium dalam uji imunoserologi untuk membantu diagnosisnya.
I. Pendahuluan
Imunoserologi merupakan ilmu atau cara untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi
di dalam cairan tubuh. Dalam bidang penyakit infeksi, pembuktian adanya mikroorganisme
penyebab melalui pembiakan atau deteksi materi genetik masih merupakan baku emas
dalam diagnosis penyakit infeksi. Kendala pemeriksaan baku emas adalah memerlukan
waktu yang lama, metode yang rumit, memerlukan sarana prasarana canggih dan tenaga
yang trampil, serta tidak selalu didapatkan hasil positif karena adanya faktor interferens.
Oleh karena itu dikembangkan teknik imunoserologi dalam membantu diagnosis penyakit
infeksi.
Pemeriksaan imunoserologi penyakit infeksi yang dikembangkan dapat ditujukan
untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap epitop spesifik dari mikroorganisme atau
mendeteksi antigen mikroorganisme menngunakan antibodi monoklonal atau poliklonal
yang spesifik terhadap epitop antigen yang diinginkan.
Praktisi laboratorium harus memahami patogenesis dari masing-masing penyakit
sebelum memilih jenis pemeriksaan apa yang dapat dipakai untuk jenis penyakit infeksi
yang berbeda. Pemilihan metode untuk diagnosis juga harus memperhatikan sensitivitas,
spesifisitas, NPV, dan PPV.
38 Simposium SURAMADE 7
Imunoserologi Penyakit infeksi
VII. Ringkasan
Uji imunoserologi telah melalui perkembangan yang pesat dari awalnya uji yang
sederhana dengan metode aglutinasi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sampai
ke teknologi imunomik. Pemilihan uji imunoserologi harus selalu memperhatikan nilai
diagnostik pada setiap uji yang dipilih dan diperlukan penelitian awal untuk melihat nilai
diagnosis yang didapatkan pada kondisi aktual. Interpretasi uji imunodiagnostik harus
didasari pemahaman patogenesis penyakit infeksi, perjalanan peningkatan dan penurunan
antibodi, serta pengetahuan tentang interferensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Andreotti, P.E. et al., 2003. Immunoassay of infectious agents Immunoassay of infectious
agents. BioTechniques, 35(4), pp.850861.
Ansari, A.A. et al., 2010. Prospects of nanotechnology in clinical immunodiagnostics.
Sensors, 10(7), pp.65356581.
Bartels, E.M. et al., 2011. Rheumatoid factor and its interference with cytokine
measurements: problems and solutions. Arthritis, 2011, p.741071. Available at: http:/
/www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid= 3200114&tool=pmcentrez&
rendertype=abstract.
Bartels, E.M. et al., 2011. Rheumatoid Factor and Its Interference with Cytokine
Measurements/ : Problems and Solutions. , 2011.
Braga-Neto, U.M. & Marques, E.T.A., 2006. From functional genomics to functional immunomics:
New challenges, old problems, big rewards. PLoS Computational Biology, 2(7), pp.06510662.
Bulbul, H. et al., 2013. Detection of anti-salmonella antibodies by immunochromatographic
assay at Rajshahi Medical College, Bangladesh. Journal of Microbiology and
Antimicrobials, 5(November), pp.119123.
Chun, P., 2009. Colloidal Gold and Other Labels for Lateral Flow Immunoassays, Available at:
h ttp :/ /bo oks .goo gle . com /b ooks?i d=D4 -ca pu CoRU C& p gis= 1%5 Cnh ttp :/ /
link.springer.com/10.1007/978-1-59745-240-3_5.
Clerico, A. & Plebani, M., 2017. Biotin interference on immunoassay methods: Sporadic cases
or hidden epidemic. Clinical Chemistry and Laboratory Medicine, 55(6), pp.777779.
Delhi, N., 2010. Indian Journal of Tuberculosis. Tuberculosis, 57(2), pp.79. Available at: http:/
/search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=bth&AN=34059107& site=ehost-live.
Earl, A.E., Michael, W.R. & Richard, L.H., 1981. Immunodiagnostic techniques for bacterial
infections. Diagnostic Procedures for Bacterial, Mycotic, and Parasitic Infections, 77
39, pp.767790.
Fierz, W., 2004. Basic problems of serological laboratory diagnosis. Methods in molecular
medicine, 94, pp.393427. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14959841.
Gordon, H.M.L., 1968. DIAGNOSIS OF PARASITIC DISEASE. Australian Veterinary Journal,
44(9), pp.412412.
Islam, K. et al., 2016. Comparison of the Performance of the TPTest, Tubex, Typhidot and
Widal Immunodiagnostic Assays and Blood Cultures in Detecting Patients with Typhoid
Fever in Bangladesh, Including Using a Bayesian Latent Class Modeling Approach. PLoS
Neglected Tropical Diseases, 10(4), pp.110.
Peruski, A.H. & Peruski, L.F., 2003. Immunological methods for detection and identification
of infectious disease and biological warfare agents. Clinical and diagnostic laboratory
immunology, 10(4), pp.506513.
Singh, M. & Yap, H.E., 1971. Immunodiagnosis of parasitic infections. Singapore Medical
Journal, 12(5), pp.296299.
Wichmann, O. et al., 2006. Clinical features and pitfalls in the laboratory diagnosis of
dengue in travellers. BMC infectious diseases, 6, p.120.
Yohan, B. et al., 2016. Production of recombinant dengue non- structural 1 ( NS1 ) proteins
from clinical virus isolates. Protein Expression and Purification, 129(September),
pp.5359. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.pep.2016.09.007.
40 Simposium SURAMADE 7
Update in Management
UPDATEof INAdultMANAGEMENT
Sepsis Patient OF ADULT SEPSIS PATIENT
Nasronudin
Division of Tropical and Infectious Diseases, Department of Internal Medicine, Dr. Soetomo
Hospital-Faculty of Medicine, Airlangga University Hospital Surabaya
ABSTRACT
Sepsis is now defined as life-threatening organ dysfunction caused by a dysregulated host
response to infection. Septic shock is a subset of sepsis with circulatory and cellular/
metabolic dysfunction associated with a higher risk of mortality. Early identification and
appropriate management in the initial after sepsis develops improves outcomes.
The recommendations are intended to provide guidance for the clinician caring for adult
patients with sepsis, septic shock and organ dysfunction. These guidelines are appropriate
for the sepsis patient in a hospital setting.
Sepsis and septic shock are medical emergencies, early effective fluid resuscitation is
crucial for stabilization of sepsis-induced tissue hypoperfusion or septic shock. Sepsis-
induced hypoperfusion may be manifested by acute organ dysfunction and/or decreased
blood pressure and increased serum lactate. So treatment and resuscitation begin
immediately. Following initial fluid resuscitation, additional fluids be guided by frequent
reassessment of hemodynamic status. Further hemodynamic assessment (such as
assessing cardiac function) to determine the type of shock if the clinical examination does
not lead to a clear diagnosis. Initial target mean arterial pressure (MAP) of 65 mm Hg in
patients with septic shock requiring vasopressors. Resuscitation to normalize lactate in
patients with elevated lactate levels as a marker of tissue hypoperfusion.
Appropriate routine microbiologic cultures always include at least two sets of blood culture
(aerobic and anaerobic) be obtained before starting antimicrobial therapy in patients with
suspected sepsis or septic shock. Obtaining cultures prior to the administration of
antimicrobials significantly increases the yield of cultures, making identification of a
pathogen more likely.
Antimicrobials be initiated as soon as possible after recognition and within 1 h for both
sepsis and septic shock. The rapidity of administration is central to the beneficial effect of
appropriate antimicrobials. In the presence of sepsis or septic shock, each hour delay in
administration of appropriate antimicrobials is associated with a measurable increase in
mortality.
PENDAHULUAN
Sepsis saat ini di definisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan
disregulasi respons host terhadap infeksi (Seymour, 2016; Singer, 2016; Rhodes, 2017). Pada
tahapan sebelumnya sepsis di dominasi pemahaman yang berfokus pada inflamasi, sebagai respon
faktor endogen akibat infeksi. Respon host tersebut merupakan mekanisme ketahanan guna
memusnahkan mikroorganisme penyebab infeksi (Rhee, 2014; Vincent, 2014; Singer, 2016).
Syok septik merupakan rangkaian perjalanan lanjut dari sepsis disertai disfungsi
sirkulasi dan seluler maupun metabolik. Keadaan ini semakin meningkatkan risiko kematian
(Rhodes, 2017).
Sepsis dan syok septik masih menjadi problem kesehatan utama, penyebab kematian
pada jutaan penduduk dunia setiap tahun (Rhodes, 2017). Demikian juga di Indonesia, sepsis
masih menjadi tantangan serius, potensial memicu syok distributif dengan laju mortalitas
20-50% (Rapp, 2013; Nasronudin, 2016).
Pada perkembangan terkini, manifestasi sepsis bukan hanya di dominasi inflamasi atau
faktor imunologik, tetapi juga berbagai faktor non imunologik. Berbagai faktor non imunologik
tersebut meliputi kardiovaskuler, sistem saraf, hormonal, bioenergik, metabolik, dan koagulasi
yang memicu disfungsi organ. Manifestasi klinis sepsis dilandasi hasil interaksi berbagai
faktor tersebut. Bila regulasi host gagal dalam mengendalikan infeksi atau bahkan terjadi
disregulasi respon tubuh akan memunculkan disfungsi organ, maka laju infeksi berlangsung
progresif menjadi sepsis (David, 2013; Seymour, 2016; Singer, 2016).
Diagnosis dini dan tatalaksana sesegera mungkin akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat sepsis.
Panduan penatalaksanaan sepsis meliputi: resusitasi dini, dilakukan oleh tim
multiprofesional (dokter dari berbagai kepakaran, perawat, farmasis, fisioterapis
pernafasan, ahli gizi, dan administrator); diagnosis klinis dan laboratoris termasuk
pemeriksaan biakan; terapi antimikroba diberikan tidak lebih 1 jam sejak diagnosis
ditegakkan; pemberian terapi empirik antimikroba spektrum luas, baik tunggal maupun
kombinasi yang bisa menjangkau multi mikroorganisme dilanjutkan antimikroba spektrum
sempit sesuai tes kepekaan dan hasil biakan (Rhodes, 2017).
42 Simposium SURAMADE 7
Update in Management of Adult Sepsis Patient
Infeksi yang berisiko tinggi terjadi kematian di rumah sakit atau memerlukan
perawatan lama di ruang perawatan intensif, perlu di identifikasi secara saksama dan cepat
menggunakan kriteria quick SOFA (qSOFA).
Risiko semakin tinggi bila pada identifikasi dengan qSOFA yaitu terdapat gangguan
status mental; tekanan darah sistolik < atau sama 100 mmHg; atau frekuensi nafas > atau
sama 22/ menit (Seymour, 2016; Singer, 2016).
Risiko mortalitas akibat syok septik ini jauh lebih tinggi dari pada sepsis itu sendiri
(Seymour, 2016; Singer, 2016). Syok septik, ditandai hipotensi persisten meski telah
mendapat resusitasi cairan adekuat, namun masih tetap memerlukan vasopressor guna
mempertahankan Mean arterial pressure (MAP) > atau sama 65 mmHg, kadar laktat serum
semakin naik > 2 mmol/L (18 mg/dL). Syok septik menyebabkan kematian meningkat
hingga 40%.
Disfungsi organ, bila terjadi perubahan akut dengan skor SOFA > atau sama 2 poin
sebagai akibat infeksi. Deteksi dini sepsis, syok septik, disfungsi organ di ruang perawatan
intensif maupun di ruang perawatan perlu di pertajam menggunakan panduan yang sesuai.
Perbaikan tatalaksana sepsis diharapkan dapat mengurangi angka kematian (Iwashsyna,
2012; Fleischmann, 2016; Singer, 2016).
A. RESUSITASI DINI
Resusitasi cairan sedini mungkin sangat krusial, tetapi ini sangat penting guna mencapai
hemodinamik yang stabil dan mencegah hipoperfusi. Resusitasi dini juga penting guna
mencegah syok septik, mencegah disfungsi organ, penurunan tekanan darah dan mencegah
meningkatnya kadar laktat. Prinsip dasar resusitasi cairan perlu dilandasi pemikiran bahwa
(Rhodes, 2017):
1. Sepsis dan syok septik merupakan kegawat daruratan medik, sehingga perlu
mengambil langkah cepat dan sesegera mungkin memberikan terapi dan resusitasi.
Resusitasi sangat penting guna menjaga stabilisasi dan mencegah agar sepsis tidak
terus menerus menginduksi hipoperfusi dan mencegah terjadi syok septik serta
disfungsi organ.
2. Resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid paling tidak 30 ml/kg
diberikan terutama pada 3 jam pertama.
3. Selama resusitasi, hemodinamik terus di pantau ketat dan di evaluasi sambil di
tentukan penyebab dan tipe syok.
4. Target capaian tekanan arteri rerata 65 mm Hg, bila perlu di sertai pemberian
vasopressor.
5. Penilaian terhadap keberhasilan resusitasi selain status hemodinamik juga kadar
laktat. Peningkatan kadar laktat diatas normal menjadi petunjuk terjadi hipoperfusi.
44 Simposium SURAMADE 7
Update in Management of Adult Sepsis Patient
C. DIAGNOSIS
Selain menggunakan variable klinis, pemeriksaan penunjang termasuk biakan harus
rutin dilakukan sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien yang dicurigai sepsis
maupun syok septik. Pemeriksaan biakan seyogyanya selalu menyertakan pemeriksaan
aerob dan anaerob guna mengidentifikasi tipologi mikroorganisme (Fleischmann, 2016;
Rhodes, 2017). Sampel biakan bisa diperoleh dari darah, cairan serebrospinal, urin, sekrit
saluran nafas, cairan tubuh lain, cairan yang keluar dari luka. Juga sampel yang diperoleh
melalui intervensi bronkhoskopi maupun pembedahan. Sampel juga bisa sekaligus pan
biakan atau serentak dari berbagai lokasi perolehan sampel (Rhodes, 2017).
Some of the more commonly used diagnostic and/or prognostic bio-markers for sepsis:
(1-3)- -D-Glucan
Lactate
Procalcitonin
C-reactive protein
D- dimer
Endocan
Inducible protein 10
Group IV phospholipase A2 type II
Neutrophil gelatinase-associated lipocalin
Lipopolysaccharide-binding proein
Macrophage migration inhibitory factor
Mature adrenomedullin
Mer receptor
Mid-regional pro-adenomedullin
Natriutetic peptides
Copeptin
Thrombopoietin
Soluble triggering receptor expressed on myeloid cells-1
Soluble urokinase-type plasminogen activator
Gambar 4. Penanda Sepsis untuk Diagnosis dan Penetapan Prognosis (Mister P, Lehman
DC, 2015)
D. TERAPI ANTIMIKROBIAL
Pemberian antimikroba secara rasional harus segera diberikan sedini mungkin,
terutama kurang 1 jam sejak ditetapkan status sepsis maupun syok septik. Pemberian
antimikroba sedini mungkin selain bertujuan untuk eliminasi mikroorganisme, juga
mencegah terjadi disfungsi organ termasuk ginjal, disfungsi pada paru, darah dan organ lain
yang dinilai secara saksama dan ditetapkan melalui skoring. Prinsip pemberian antimikroba
adalah sedini mungkin atau kurang 1 jam sejak ditetapkan status sepsis maupun syok
septik, di berikan intravena. Terapi empirik menggunakan antimikroba spektrum luas
baik tunggal atau kombinasi (menjangkau bakteri, jamur, virus), di ikuti antimikroba
spektrum sempit sesuai hasil biakan dan kepekaan (Rhodes, 2017).
Pemilihan antimikroba juga di sesuaikan dengan riwayat perjalanan penyakit, status
klinis, faktor epidemiologi lokal atau peta medan kuman, sumber atau asal infeksi, penyakit
lain yang mendasari, kegagalan multi organ, obat obatan lain yang sedang di konumsi,
status imunokompromais, imunosupresi, antimikroba yang di konsumsi dalam 3 bulan
terakhir (Singer, 2016; Rhodes, 2017).
46 Simposium SURAMADE 7
Update in Management of Adult Sepsis Patient
P A 1. SUSCEPTIBILITY TESTING
R N
I T
2. DRUG CONSENTRATION IN BLOOD
N I T
C M H
I I E 3. SERUM BACTERICIDAL TITERS
P C R
L R A 4. ROUTE OF ADMINISTRATION
E O P
S B Y
5. MONITORING OF THERAPEUTIC
I
OA
F L 6. CLINICAL FAILURE OF ANTIMICROBIAL THERAPY
Anthoni, 2013. Clinical Use of Antimicrobial. Pharmacology Examination & Board Review. Pp.445
F. TERAPI VASOAKTIF
Pada sepsis atau syok septik berpotensi terjadi insufisiensi adrenal transien. Salah
satu penanda insufisiensi adrenal adalah penurunan tekanan darah yang terus terjadi meski
resusitasi telah dilakukan adekuat. Disamping itu juga memerlukan obat vasoaktif dengan
kecenderungan dosis yang terus meningkat.
1. Vasopresor efinefrin masih menjadi pilihan pertama.
2. Dopamine menjadi vasopresor alternatif lain, terutama bagi pasien dengan gangguan
irama jantung.
3. Bila tetap terjadi hipoperfusi persisten, dipertimbangkan pemberian tambahan
dobutamin.
infeksi akan jatuh ke sepsis, syok septik dan disfungsi organ (Anggraini, 2016; Seimour,
2016).
Ketidak mampuan tubuh host mempertahankan regulasi organ akan disertai rentetan
peristiwa sehingga berbagai organ tubuh terdampak dan mengalami disfungsi bukan satu
organ, tetapi multi organ.
Semakin banyak organ yang mengalami disfungsi, atau 2 organ tubuh atau lebih
terganggu fungsinya akibat infeksi, prognosisnya semakin kurang baik dan mortalitas
semakin tinggi (Nasronudin, 2016; Seymour, 2016; Rhodes, 2017).
Pada menejemen terkini, guna mengidentifikasi adanya sepsis dan disfungsi organ
pada individu yang mengalami infeksi, dilakukan melalui upaya mengamati perubahan
akut fungsi organ menggunakan skor SOFA. Bila skor SOFA > 2 mencerminkan risiko
terjadi kematian sekitar 10%.
Bila pasien jatuh ke syok septik, karena terdapat kegagalan pada sistem sirkulasi,
seluler, dan metabolism, risiko mortalitas akibat syok septik ini jauh lebih tinggi dari pada
sepsis itu sendiri. Pada syok septik, tatalaksana perlu dilandasi pendekatan lebih mendalam,
termasuk melalui pendekatan seluler dan sub-sel. Disamping itu juga melibatkan pendekatan
berbasis transkriptomik, metabolomik, dan proteomik. Hal ini penting guna menurunkan
mortalitas (Seymour, 2016; Singer, 2016; Rhodes, 2017).
Pada tatalaksana syok septik, perlu dipastikan keperluan dosis vasopressor yang
dipergunakan untuk mempertahankan rerata tekanan arteri pada posisi 65 mmHg atau
lebih dan kadar asam laktat dalam serum yang terukur melampaui 2 mmol/ L (> 18 mg/dL)
setelah diyakinkan tidak terdapat hipovolemi (Seymour, 2016; Singer, 2016). Kehadiran
syok septik pada sepsis semakin meningkatkan mortalitas pasien yang dirawat di rumah
sakit, yaitu melampaui 40% (Seymour, 2016; Singer, 2016).
Guna mengantisipasi perjalanan infeksi, risiko terjadi sepsis, dan disfungsi organ
serta mortalitas pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif maupun yang rawat di
ruang rawat inap, termasuk pasien dewasa yang dicurigai mengalami infeksi. Antisipasi
dilakukan menggunakan perangkat yang sesuai. Langkah langkah antisipasi dan penetapan
secara cepat mengetahui perjalanan infeksi melalui SOFA dan quick SOFA (qSOFA).
Selama perawatan, kecurigaan dan evaluasi klinis dan melalui dukungan sarana
penunjang secara saksama terus dilakukan untuk memantau terjadi disfungsi organ. Derajat
berat kegagalan organ dinilai melalui penetapan skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure
Assessment (SOFA) dan qSOFA. Bila hasil penilaian SOFA memperoleh skor 2 atau lebih,
maka menjadi petunjuk bahwa kematian pasien yang dirawat di rumah sakit dapat melebihi
10% (Seymour, 2016; Singer, 2016). Pada qSOFA, paling tidak terdapat 2 dari temuan skor
kriteria klinis: frekuensi nafas 22/menit atau lebih, terdapat gangguan mental, tekanan
darah sistolik 100 mmHg atau kurang. Kematian bisa mencapai 40% (Nasronudin, 2016;
Seymour, 2016; Singer, 2016).
48 Simposium SURAMADE 7
Update in Management of Adult Sepsis Patient
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggraini N (2016). Tata Laksana Syok Sepsis 3rd International Consensus Definitions
for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). https://www.scribd.com/document/
319065147/Sepsis-Dan-Syok-Sepsis-Sepsis-3.
2. Antonelli MA, DeBacker D, Dorman T, Kleinpell R, et al (2016). Surviving Sepsis
Campaign Responds to Sepsis-3. http://www.survivingsepsis.org/
SiteCollectionDocuments/SSC-Statements-Sepsis-Definitions-3-2016.pdf
3. Fleischmann C, Scherag A, Adhikari NK, et al (2016) International Forum of Acute Care
Trialists. Assessment of global incidence and mortality of hospital-treated sepsis:
current estimates and limitations.Am J Respir Crit Care Med. 1;193(3):259-72.
4. David FG, Matthew EJ, Michael JK, Brendan GC (2013). Benchmarking the Incidence
and Mortality of Severe Sepsis in the United. Critical Care Medicine 41(5):1167-1174.
5. HRET (2016). Severe Sepsis and Septic Shock. http://www.hret-hen.org/topics/sepsis/
HRETHEN_ChangePackage_Sepsis.pdf.
6. https://www.sccm.org/SiteCollectionDocuments/Quality-Sepsis-Definitions-SCCM-
ESICM-Joint-Session-Critical-Care-Congress.
7. IwashynaTJ, ElyEW, SmithDM, LangaKM (2010). Long-term cognitive impairment
and functional disability among survivors of severe sepsis.JAMA. 304(16):1787-
1794.
8. IwashynaTJ, CookeCR, WunschH, KahnJM (2012). Population Burden of Long-Term
Survivorship After Severe Sepsis in Older Americans.J Am Geriatr Soc. 60(6):1070-1077.
---o0o---
50 Simposium SURAMADE 7
Kriteria Baru Sepsis KRITERIA BARU SEPSIS
Jusak Nugraha
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Sepsis merupakan masalah yang penting dan sering memyebabkan kematian, tetapi
kewaspadaan terhadap sepsis masih rendah. Karena manisfestasinya yang beragam, sering
diagnosis sepsis terlambat ditegakkan. Sepsis didefinisikan adanya disfungsi organ sebagai
akibat disregulasi respon host terhadap infeksi. Kriteria baru sepsis dipermudah pada The
Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) oleh The
Sepsis Definitions Task Force pada tahun 2016. Syok septik didefinisikan bagian sepsis
dengan disfungsi sirkulasi dan disfungsi metabolik/seluler yang dihubungkan mortalitas
yang lebih tinggi.
Kriteria baru ini dimaksudkan untuk mempermudah penanganan sepsis sehingga
memungkinkan penanganan dini serta mengurangi mortalitas pasien.
Sepsis cukup dengan quick SOFA >=2 plus suspek infeksi dan syok septik sebagai sepsis
ditambah kebutuhan Vasopressor untuk mencapai MAP>65mmHg dan kadar laktat>2 mmol/L.
Adanya kriteria baru ini menimbulkan beberapa kontroversi karena kriteria SIRS tidak lagi
diperlukan dan pemberian antibiotika dini dikuatirkan menimbulkan resistensi di
kemudian hari.
Penelitian sehubungan kriteria baru ini terus dikembangkan dan ada beberapa biomarker
yang diteliti untuk membantu ketepatan pemberian antibiotika.
Kata kunci: kriteria baru sepsis , quick SOFA, kadar laktat, procalcitonin serial
PEMBAHASAN
Definisi sepsis dan syok septik revisi terakhir sudah lama yaitu pada tahun 2001. Kemajuan
dan perkembangan yang pesat telah terjadi di bidang patobiologi seperti perubahan fungsi
organ, morfologi, biologi sel, biokimia, imunologi, sirkulasi, menejemen penanganan sepsis
serta epidemiologi sepsis, semuanya mendorong kebutuhan akan pengkajian ulang tentang
definisi sepsis maupun syok septik. Satgas berusaha untuk membedakan sepsis dari infeksi
yang tidak komplikasi dan untuk memperbarui definisi sepsis dan syok septik agar konsisten
dengan pemahaman yang lebih baik tentang patobiologi.
Infeksi didefinisikan sebagai proses patologis sebagai akibat masuknya mikroorganisme
yang berpotensi pathogen ke jaringan atau cairan tubuh yang normalnya steril. Sedangkan
Sepsis didefinisikan sebagai adanya disfungsi organ akibat disregulasi respon host terhadap
infeksi. Terminologi ini dikembangkan oleh The Sepsis Definitions Task Force pada The
Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) pada tahun
2016(1)(2). Penggunaan saat ini bahwa sepsis terdiri tanda-tanda infeksi plus 2 atau lebih
dari kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dengan suara bulat dianggap oleh satuan
tugas tidak akan membantu. Perubahan jumlah sel darah putih, suhu, dan denyut jantung
mencerminkan peradangan, respon host terhadap bahaya dalam bentuk infeksi atau
ancaman lainnya. Kriteria SIRS tidak selalu menunjukkan respons yang tidak teratur dan
mengancam jiwa. Kriteria SIRS ada di banyak pasien rawat inap, termasuk mereka yang
tidak pernah mengalami infeksi dan tidak pernah mengalami hasil yang merugikan (validitas
diskriminan yang buruk) Berbagai petunjuk paket dikembangkan untuk mengurangi
mortalitas akibat sepsis. Pengembangan ini didasarkan pada studi-studi sebelumnya seperti
ProMISE (2015), ARISE (2014) dan ProCESS (2014) yang menunjukkan bahwa definisi
lama yaitu sepsis = adanya SIRS + bukti infeksi menyebabkan keterlambatan penanganan
pasien dan peningkatan mortalitas (3)(4). Dari segitiga sepsis yaitu trigger, respons tubuh
dan outcome (manifestasi), sekarang difokuskan langsung pada manifestasi atau outcome
dan gradasinya, menggunakan SOFA score atau quick sofa yaitu Sequential [Sepsis-related]
Organ Failure Assessment (SOFA) Score. (qSOFA) skor berkisaran, 0-3 poin, masing-masing
1 poin untuk hipotensi sistolik [<100 mmHg], takipnea [>22 / menit], atau perubahan
mental). Bila dengan qSOFA > 2dan dilakukan assessment terdapatkan adanya disfungsi
organ,maka sebelumnya jangan lupa mengambil darah pada dua lokasi yang berbeda untuk
dilakukan kultur. Di bawah ini tabel 1. Skor SOFA
Skor SOFA 1 2 3 4
Respirasi
Koagulasi
Liver
Cardiovascularb
CNS
Renal
MAP, mean arterial pressure; CNS, central nervous system; SaO2, peripheral arterial oxygen saturation.
52 Simposium SURAMADE 7
Kriteria Baru Sepsis
Bila kemudian ternyata skor pasien SOFA > 2 maka dirawat sebagai sepsis dan bila diperlukan
vasopressor untuk mempertahankan Mean Arterial Pressure > 70 mmHg dan kadar laktat
terukur > 2 mmol/L maka ini didiagnosis sebagai syok septik. Jadi sekarang sudah tidak
diperlukan lagi adanya kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Demikian
juga kriteria Severe Sepsis sudah tidak dipakai lagi (5).
KONTROVERSI:
Bagaimana kita mengidentifikasi adanya infeksi, yaitu melalui tiga jendela yaitu Gejala dan
tanda klinis, tanda-tanda infeksi dan bukti mikrobiologis dan bila bisa ditambah dengan
adanya disfungsi organ maka dikatakan sebagai sepsis. Untuk diagnosis sepsis, parameter
peningkatan jumlah lekosit dan perubahan suhu tubuh tidak memadai (<50%) untuk dugaan
infeksi. Maka diperlukan sebuah biomarker untuk mengoptimalkan diagnosis(6)(7).
Diagnosis infeksi ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis ditambah parameter
biologis yang umum dan perlu ditambah dengan biomarker untuk infeksi-sepsis. Perlu dicari
sumber infeksinya dan tentukan prognosisnya serta indikasi pemberian antibiotikanya. Dari
170 biomarker yang diajukan dan diuji secara klinis tidak ada yang mempunyai spesifisitas
100% untuk infeksi. IL-6 dikatakan hanya mempunyai sensitifitas 47% dan NPV = 41,5%,
sedangkan Procalcitonin mempunyai Sensitivitas 92% dan NPV 83% (8). Sedangkan CRP
mempunyai kelemahan tidak dapat membedakan antara SIRS, Sepsis dan infeksi bakterial.
Kelemahan lain yaitu CRP tidak dapat meningkat lebih tinggi lagi pada syok septik sedangkan
Procalcitonin meningkat seiring dengan tingkat keparahan sepsis (9)(10).
SOLUSI
Secara kinetik, diketahui peningkatan PCT serum 3 jam lebih cepat daripada CRP (Monneret,
1997), maka dianjurkan pemeriksaan PCT secara serial untuk monitor pemberian
antibiotika yaitu pada jam ke 0, 8 , 16 dan 24 jam (Molnar, 2016). Beberapa kasus
menunjukkan bahwa adanya peningkatan PCT mengindikasikan perlunya pemberian
antibiotika. Bukti-bukti penelitian di tahun 2017 semakin mendukung penggunaan PCT
sebagai pembantu diagnosis sepsis karena bakteri(11).
DAFTAR PUSTAKA
1. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, et al. The
Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).
Jama [Internet]. 2016;315(8):80110. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/26903338
2. Szakmany T, Lundin RM, Sharif B, Ellis G, Morgan P, Kopczynska M, et al. Sepsis
prevalence and outcome on the general wards and emergency departments in Wales:
Results of a multi-centre, observational, point prevalence study. PLoS One.
2016;11(12):113.
3. Bundle S. IHI Severe Sepsis Bundles. 2013;(April):159.
4. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, Harrison DA, Sadique MZ, Grieve RD, et al. Trial
of early, goal-directed resuscitation for septic shock. N Engl J Med [Internet].
2015;372(14):130111. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
25776532
54 Simposium SURAMADE 7
Prostate Specific Antigen (PSA)
Prostate dan KankerAntigen
Specific Prostat (PSA) dan Kanker Prostat
Soeprapto Maat
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Prostate Specific Antigen (PSA) sebagai marker (petanda) tumor bagi kanker prostat
banyak dijumpai kelemahan di antaranya: pada orang normal level PSA berasosiasi dengan
ukuran prostat yang meningkat karena bertambahnya usia dan BMI (body mass index).
Level PSA akan meningkat karena tindakan: DRE (digital rectal examination), TRUP
(transurethral resection of the prostate), biopsi prostat, prostatitis, ejakulasi dan retensi
urine. Konfirmasi kanker prostat masih mengandalkan tindakan biopsi yang dilakukan
setelah diperoleh hasil DRE positif dan level PSA 4 10 ng/mL (grey area). Untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan PSA dilakukan modifikasi hasil
PSA, seperti: densitas PSA, velositas PSA dan rasio PSA bebas/PSA kompleks. Rasio PSA
bebas/PSA kompleks banyak diminta para klinisi dan hasilnya tergantung pada usia pasien.
PCA3 (prostate cancer antigen 3 / prostate cancer gene 3) yang hanya diekspresikan oleh
kanker prostat dan pemeriksaan kuantitatif level PCA3 dapat membedakan antara kanker
prostat dengan BPH. Petanda tumor kanker prostat menggunakan PCA3 dilakukan dengan
cara menentukan skor PCA3 berupa level mPCA3/mPSA x 1000. Semakin tinggi nilai skor,
semakin tinggi pula hasil biopsi positif.
Prostate Specific Antigen (PSA) adalah suatu glikoprotein yang diekspresikan oleh
jaringan prostat normal maupun neoplastik. PSA juga dikenal sebagai -seminoprotein atau
kallikrein-3 (KLK3) yang merupakan kallikrein-like protease yang diproduksi oleh sel-sel
epitel prostat sepanjang uretra dan glandula bulbouretral. Merupakan glikoprotein rantai
tunggal dengan berat molekul 30-33 kDa. PSA yang berada di dalam serum terdiri dari 3
bentuk yang berbeda: PSA bebas (free PSA), a-1-antichymotrypsin bounded PSA dan a-2
microglobulin bounded PSA. PSA bebas meningkat pada pria berumur dan pada individu
dengan inflamasi atau hiperplasia. Beberapa studi menyebutkan bahwa persentase PSA
bebas terhadap PSA total pada pasien kanker prostat lebih kecil dibandingkan dengan pada
BPH.
Dalam keadaan normal PSA diproduksi sebagai proenzim (proPSA) oleh sel-sel sekretori
pada glandula prostat (acini) dan disekresikan ke dalam lumen dan akan berubah menjadi
PSA aktif. PSA aktif akan mengalami proteolitik membentuk PSA inaktif, di mana sebagian
di antaranya memasuki aliran darah dan bersirkulasi dalam bentuk PSA bebas (free PSA).
PSA aktif lainnya dapat berdifusi secara langsung ke dalam sirkulasi dan dengan cepat diikat
oleh inhibitor protease termasuk di antaranya alpha-1-antichemotrypsin (ACT) dan alpha-
2-microglobulin (1).
Pada pria dengan prostat normal, artinya tidak menderita kanker atau tidak ada infeksi
atau inflamasi sistemik, level PSA di dalam serum berasosiasi dengan jumlah epitel glandular
dan ukuran prostat. Peningkatan ukuran prostat karena usia, konsentrasi PSA juga meningkat.
Rentang normal level PSA berdasarkan peningkatan usia, sebagai berikut (2):
Nilai absolute PSA dalam serum banyak digunakan untuk menentukan perkembangan
kanker prostat dan menentukan respons pengobatan dari kanker prostat, termasuk untuk
tujuan skrining kanker prostat, walaupun banyak terjadi kontroversi.
Definisi rentang normal PSA dipengaruhi oleh ras dan BMI (body mass index). Tanpa
kanker prostat, orang kulit hitam cenderung memiliki level PSA lebih tinggi dibandingkan
dengan orang kulit putih dan meningkatnya BMI berasosiasi dengan menurunnya level PSA
(3, 4, 5).
Faktor lain selain prostat penyebab kenaikan level PSA adalah:
1. Digital rectal examinantion (DRE), hanya terjadi perubahan level PSA kecil, hanya
0,26 0,4 ng/mL level PSA dapat segera diukur pasca DRE.
2. Ejakulasi dapat meningkatkan level PSA sampai 0,8 ng/mL dan kembali normal
setelah 48 jam (6)
3. Prostatitis bacterial meningkatkan level PSA dan akan kembali normal setelah 6-8
minggu.
4. Biopsi prostat meningkatkan level PSA dengan median 7,9 ng/mL dan tetap meningkat
selama 2-4 minggu
5. Transurethral resection of the prostate (TURP), level PSA meningkat pada median
5,9 ng/mL dan tetap meningkat selama 3 minggu. Skrining level PSA biasanya
dilakukan setelah 6 minggu pasca TURP.
6. Retensi urine akut meningkatkan level PSA dan akan menurun sebesar 50% setelah
resolusi 1-2 hari. Pengujian skrining PSA bisa dilakukan setelah 2 minggu pasca
retensi.
Faktor yang menyebabkan penurunan level PSA (termasuk pria yang sudah terkena
kanker prostat)
1. 5-alpha reductase inhibitor. Obat-obatan untuk BPH seperti finasteride (Proscar atau
propecia). Dutasteride (Avodart) dapat menurunkan level PSA.
2. Suplemen herbal seperti saw palmetto yang digunakan dalam pengobatan BPH
3. Obesitas. Pria dengan obesitas cenderung memiliki level PSA lebih rendah.
4. Aspirin, mengkonsumsi aspirin secara rutin dapat menurunkan level PSA
5. Statin. Obat untuk menurunkan kolesterol seperti: atorvastatin (Lipitor), rosuvastatin
(Crestor), dan simvastatin dapat menurunkan level PSA.
6. Diuretika thiasida yang dikonsumsi bertahun-tahun menurunkan level PSA.
56 Simposium SURAMADE 7
Prostate Specific Antigen (PSA) dan Kanker Prostat
rendah sering, terjadi positif palsu dan hasil biopsi 60-75% negatif terutama pada pasien
dengan level PSA 4 10 ng/mL (7), padahal tindakan biopsi memiliki risiko cukup besar
seperti: infeksi, perdarahan, nyeri, disfungsi seksual dan gangguan kencing serta pengobatan
yang berlebihan yang mahal dengan (8) segala efek sampingnya dan dikenal sebagai a
hugely expensive public health disaster . Oleh karenanya diperlukan pemilihan cut-off
yang benar (9). Sensitivitas dan spesifisitas diagnosis kanker prostat berdasarkan nilai cut-off
PSA pada pasien usia 50 59 tahun dan 60 69 tahun, seperti pada tabel 2 di bawah: (10)
Level PSA sebesar 4,0 ng/mL atau di bawahnya dianggap normal (11) tetapi masih mungkin
berisiko terkena kanker prostat. Pria dengan level PSA < 4 ng/mL memiliki risiko 15%
terkena kanker prostat yang dideteksi dengan biopsi, level PSA 4 10 ng/mL memiliki
risiko 31% dan level PSA > 10 ng/mL berisiko 50% - 65%.
Menurut The American Cancer Society (14) menggunakan nilai cut off 4,0 ng/mL didapat
sensitivitas sebesar 21% dalam mendeteksi kanker prostat dan sebesar 51% dalam
mendeteksi kanker High grade (Gleason e8). Jika memakai cut off 3,0 ng/mL sensitivitas
dan spesifisitasnya menjadi 32% dan 68%. Disebutkan bahwa kemampuan PSA dalam
mendiskriminasi kanker prostat rendah, seperti pada tabel di bawah (15).
Beberapa investigator menganjurkan untuk memakai cut-off lebih rendah karena level
PSA di bawah 4 ng/mL dengan pemeriksaan digital rectal normal ternyata banyak yang
menderita kanker prostat.(16). Di antara pria dengan level PSA 2,1 ng/mL sampai 4,0 ng/m
24,7% terkena kanker prostat dan 5,2% terkena kanker prostat dengan skor Gleason 7 atau
lebih. (17). Data ini mengindikasikan bahwa cut off level PSA antara normal dan abnormal
tidak jelas. Penurunan cut-off PSA akan meningkatkan sensitivitas dan menurunkan
spesifisitas dengan akibat terjadinya hasil positif palsu dan tidak diperlukan pemeriksaan
lanjutan biopsi. Jika pria diduga terkena kanker prostat berdasarkan level PSA maupun
pemeriksaan dubur (rectal exam), tahap selanjutnya perlu dilakukan biopsi guna
mengkonfirmasi terjadinya kanker prostat. Bagi pria di atas 50 tahun dengan pemeriksaan
digital rectal normal kemungkinan terkena kanker prostat yang diperiksa dengan biopsi
menurut level PSA seperti tabel 4 di bawah.
Tabel 4 : Kemungkinan terdeteksinya kanker prostat dengan biopsi berdasarkan level PSA
58 Simposium SURAMADE 7
Prostate Specific Antigen (PSA) dan Kanker Prostat
4. Khusus pada terapi hormonal, dapat membantu menentukan apakah terapi berhasil,
atau diperlukan metode terapi yang lain.
Guna memperoleh hasil yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
peningkatan level PSA dilakukan modifikasi hasil PSA, meliputi:
1. Densitas PSA
2. Velositas PSA
3. PSA bebas vs PSA kompleks
PSA bebas lebih bersifat prediktif dibandingkan dengan PSA total. Persen PSA bebas dapat
digunakan untuk deteksi dini kanker prostat agar dapat mengurangi keharusan biopsi
terutama pada pasien dengan PSA total 4 ng sampai 10 ng/mL dan DRE negatif. Untuk
mengurangi biopsi, pasien usia > 70 tahun sebaiknya memakai cut-off 16% PSA bebas,
sedangkan pasien usia < 70 tahun memakai cut-off 20% (23). Kemungkinan terkena kanker
prostat yang dideteksi dengan biopsi berdasarkan rasio PSA bebas : PSA total dengan usia
pasien (24) seperti tabel 6 di bawah.
Tabel 6. Kemungkinan terkena kanker prostat yang dideteksi dengan biopsi berdasarkan
rasio PSA bebas : PSA total dengan usia pasien
Pada kasus tertentu pria dengan PSA normal dapat juga terkena kanker, tetapi bila level PSA
rendah tidak perlu dilakukan biopsi. Pemeriksaan PSA bebas dilakukan bila level PSA pada
borderline atau bila level PSA meningkat cepat. Biopsi dimintakan bila persentase PSA
bebas < 10%
Menurut European Association of Urology dan National Comprehensive Cancer Network
guidelines untuk melakukan biopsi harus ditentukan dahulu level PSA dan/atau hasil colok
dubur (DRE) yang mencurigakan. Tetapi level PSA dapat meningkat juga pada kondisi tumor
jinak (benign condition) dan hanya 25% dari pria yang secara klinik dicurigai kanker
prostat didapat hasil biopsi positif. Karenanya diperlukan biomarker baru untuk skrining
yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (25).
60 Simposium SURAMADE 7
Prostate Specific Antigen (PSA) dan Kanker Prostat
umur dan penyakit prostat yang lain seperti prostatitis (28) oleh karenanya PCA3 digunakan
sebagai marker tumor. Dibandingkan dengan PSA, PCA3 memiliki sensitivitas yang lebih
rendah dan memiliki nilai ramal positif dan negatif yang lebih baik. Tes PCA3 dapat
membedakan antara kanker prostat dengan BPH dengan ketepatan mencapai 100%. Tes
PCA3 kuantitatif dilakukan pasca DRE dan dikerjakan memakai metode TMA (transcription
mediated amplification) bersama dengan tes mRNA PSA selanjutnya dibuat skor PCA3
(mRNA PCA3 / mRNA PSA x 1000). Sampai sekarang cut-off optimal maupun kemampuan
PCA3 dalam memprediksi agresivitas kanker prostat masih kontroversial.(25)
Tabel 7. Sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif dari cut-off
skor PCA3 yang berbeda (26)
Skor PCA3 berkorelasi dengan hasil biopsi, semakin tinggi skor semakin tinngi pula hasil
biopsi positif. Pria dengan skor <5 rentang biopsi positif 14% sedangkan skor PCA3 > 100
hasil biopsi positif sebesar 69%. Nilai cut-off yang dianjurkan sebesar 35 dengan sensitivitas
54% dan spesivisitas 74% (27, 28)
Penutup
Masih banyak biomarker yang diteliti dan diinvestigasi untuk kanker prostat, seperti:
TMPRSS2-ERG (Transmembrane protease serine-2 gene), biomarker yang berbasis protein,
seperti: EPSA-2 (early prostate cancer antigen-2), hK2 (human glandular kallikrein), CD
147 (cluster differentiation 147), PAP (prostatic acid phosphatase) dan mungkin masih
banyak lagi, tetapi kesemuanya belum mendapatkan biomarker yang memiliki sensitivitas
dan spesifisitas tinggi (29).
KEPUSTAKAAN
1. Mikolajczyk SD, Marks LS, Partin AW, Rittenhouse HG. Free prostate-specific antigen
in serum is becoming more complex.Urology.2002;59:797.
2. Crawford ED. Prostate cancer awareness week: September 22 to 28, 1997.CA Cancer
J Clin.1997;47:288.
3. Tchetgen MB, Oesterling JE. The effect of prostatitis, urinary retention, ejaculation,
and ambulation on the serum prostate-specific antigen concentration.Urol Clin North
Am.1997;24:283.
4. Yuan JJ, Coplen DE, Petros JA, et al. Effects of rectal examination, prostatic massage,
ultrasonography and needle biopsy on serum prostate specific antigen levels.J
Urol.1992;147:810.
5. Nadler RB, Humphrey PA, Smith DS, et al. Effect of inflammation and benign prostatic
hyperplasia on elevated serum prostate specific antigen levels.J Urol.1995;154:407.
6. Graves HC, Sensabaugh GF, Blake ET. Postcoital detection of a male-specific semen protein.
Application to the investigation of rape.N Engl J Med. 1985 Feb 7. 312(6):338-43.
7. Matlaga BR, Eskew LA, McCullough DL. Prostate biopsy: indications and technique.J
Urol.2003;169(1):129.
8. Ablin RJ. The great prostate mistake. The New York Times. March 9, 2010.
9. Holmstrom B, Johansson M, Bergh A, Stenman UH, Hallmans G, Stattin P. Prostate
specific antigen for early detection of prostate cancer: longitudinal study.BMJ. 2009;339
10. Peirce JC, Cornell RG: Integrating stratum-specific likelihood ratios with the analysis
of ROC curves. Med Decis Making. 1993, 13: 141-151.
11. Thomson IM, Pauler DK, Goodman PJ, et al. Prevalence of prostate cancer among men
with a prostate-specific antigen level < 4.0 ng per milliliter, New England Journal of
Medicine 2004; 350(22): 2239-2246.
12. Lee YJ, Park JE, Jeon BR, et al. Is prostate-specific antigen effective for population
screening of prostate cancer? A systemic review.Ann Lab Med.2013;33:233241.
13. Hanlon AL, Diratzouian H, Hanks GE. Posttreatment prostate-specific antigen nadir
highly predictive of distant failure and death from prostate cancer.Int J Radiat Oncol
Biol Phys.2002;53:297.
14. Wolf AM, Wender RC, Etzioni RB, et al. American Cancer Society guideline for the early
detection of prostate cancer: update 2010.CA Cancer J Clin.2010;60:70
15. Meigs JB, Barry MJ, Oesterling JE, Jacobsen SJ. Interpreting results of prostate-specific
antigen testing for early detection of prostate cancer.J Gen Intern Med.1996;11:505
16. Meigs JB, Barry MJ, Oesterling JE, Jacobsen SJ. Interpreting results of prostate-specific
antigen testing for early detection of prostate cancer.J Gen Intern Med.1996;11:505
17. Catalona WJ, Smith DS, Ornstein DK. Prostate cancer detection in men with serum PSA
concentrations of 2.6 to 4.0ng/mL and benign prostate examination. Enhancement of
specificity with free PSA measurements.JAMA.1997;277:1452
18. Benson MC, Whang IS, Pantuck A, et al. Prostate specific antigen density: a means of
distinguishing benign prostatic hypertrophy and prostate cancer.J Urol.1992;147:815.
19. Carter HB, Ferrucci L, Kettermann A, et al. Detection of life-threatening prostate cancer
with prostate-specific antigen velocity during a window of curability.J Natl Canc
Inst.2006;98:1521
20. DAmico AV, Chen MH, Roehl KA, Catalona WJ. Preoperative PSA velocity and the risk
of death from prostate cancer after radical prostatectomy.N Engl J Med.2004;351:125.
21. Hoffman RM, Clanon DL, Littenberg B, et al. Using the free-to-total prostate-specific
antigen ratio to detect prostate cancer in men with nonspecific elevations of prostate-
specific antigen levels.J Gen Intern Med.2000;15:739.
22. Lee R, Localio AR, Armstrong K, et al. A meta-analysis of the performance characteristics
of the free prostate-specific antigen test.Urology.2006;67:762.
62 Simposium SURAMADE 7
Prostate Specific Antigen (PSA) dan Kanker Prostat
23. Luboldt HJ, Swoboda A, Borgemann C, Fomara P, Rubben H: Clinical usefulness of free
PSA in early detection of prostate cancer. Onkologie Feb; 24 (1): 33-7.
24. Dworschak RT, Thiel RP, Picolli SP. Clinical evaluation of the free/total PSA ratio
generated with the Elecsys total and free PSA assays on the Elecsys 1010 and 2010
system. Clin Chem 2001 Jun: 47 (6 Suppl S) : A149.
25. Luo Y, Gou X, Huang P, Mou C. The PCA3 test for guiding repeat biopsy of prostate
cancer and its cut-off score: a systematic review and meta-analysis.Asian J
Androl.2014;16(3):48792.
26. Merola,R, Tomao L et al. PCA3 in prostate cancer and tumor aggressiveness detection
on 407 high-risk patients: a National Cancer Institute experience. J Exp Clin Cancer
Res. 2015; 34(1): 15.
27. Deras IL, Aubin SM, Blase A, Day JR, Koo S, Partin AW, et al.: PCA3: a molecular urine
assay for predicting prostate biopsy outcome. J Urol. 2008; 179: 1587-92.
28. Hessels D, Schalken JA: The use of PCA3 in the diagnosis of prostate cancer. Nat Rev
Urol. 2009; 6: 255-61.
29. Nimse SB, Sonawane MD, Song KS, Kim T. Biomarker detection technologies and
future directions. Analist, 2016 (141): 740-755.
---oOo ---
ABSTRACT
Several inborn errors of metabolism have an early onset, frequently in the neonatal period.
the number, complexity, and varied clinical presentation of inborn errors of metabolism
present a formidable challenge to the practicing pediatrician. Yet, in many cases, prevention
of death or permanent neurologic sequelae in patients with these disorders is dependent on
early diagnosis and institution of appropriate therapy. It is therefore incumbent on the
pediatrician to be familiar with the major signs and symptoms of inborn errors of
metabolism and with the basic laboratory studies necessary to arrive at an initial diagnosis.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kelainan Metabolisme Bawaan (KMB) merupakan kelompok kelainan defek gene
tunggal yang menyebabkan defisiensi enzim perantara pada proses metabolism sehingga
terjadi akumulasi substrat atau defisiensi suatu produk hasil metabolisme intraseluler yang
bersifat toksik bagi tubuh.1,2 Hal tersebut akan menimbulkan berbagai kondisi klinis dari
ringan sampai berat. Semua kelompok penyakit inborn error diturunkan secara genetik
autosomal resesif atau x-linked resesif. 1,2
Kondisi klinis pada kelainan metabolisme bawaan pada bayi dan anak seringkali
ditemukan dalam kondisi kritis atau gejala klinis yang berat. Gejala klinis yang ditemukan
seringkali mirip dengan kondisi kritis penyakit lainnya seperti gambaran klinis sepsis,
poor feeding, lethargy, dan disertai gagal tumbuh. Gejala yang sering ditemukan seperti
kejang berulang dengan etiologi yang tidak jelas , penurunan kesadaran sampai koma, sesak
napas yang disertai dengan kelainan laboratoris seperti hipoglikemi berulang, asidosis
metabolik,hiperammonemia dan laktat yang meningkat dalam darah. Kondisi klinis tersebut
dapat ditemukan saat bayi maupun pada anak. Aplikasi gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yang menunjang sangat diperlukan untuk deteksi kemungkinan kelainan
metabolisme bawaan. 3,4
Angka kejadian kasus kelainan metabolism bawaan sekitar 100 jenis yang ditemukan
pada bayi atau neonatus, namun hanya < 20 yang dapat diterapi (treatable).5,6 Pada kelompok
KMB yang dapat diterapi, penemuan diagnosis secara dini pada saat kondisi kritis dapat
menurunkan mortalitas dan meningkatkan harapan hidup. Secara keseluruhan prevalensi
dari KMB sekitar 1:800-1500 dari semua kelompok kelainan metabolisme bawaan.3,7,8
Beberapa kelompok KMB dapat dicegah bila diketahui sejak lahir. Skrining bayi baru lahir
merupakan langkah deteksi dini untuk mencegah timbulnya gejala klinis terutama pada
kelompok yang dapat diterapi.9,10 Namun saat ini di Indonesia belum ada program dan alat
untuk skrining KMB sehingga mencoba mengenali atau mendeteksi KMB pada bayi dan
anak dengan kondisi kritis dapat membantu memberikan pengobatan dini untuk mencegah
64 Simposium SURAMADE 7
Kelainan Metabolisme Bawaan yang Dapat Diterapi:
Kapan Curiga Kelainan Metabolisme Bawaan pada Bayi dan Anak Dengan Kondisi Kritis
komplikasi dan kematian. Di RS dr Soetomo dengan keterbatasan sarana dan biaya telah
ditemukan 10 kasus KMB sejak tahun 2012 , 1 pasien dengan hiperamonemia-hiperinsulin
syndr, 1 pasien GSD , 3 pasien kelompok organic acidemia ( 2 IVA dan 1 Glutaric acidemia),
, 3 pasien dengan MPS, 1 pasien dengan Primary Carnitine Deficiency, dan 1 pasen Pyruvat
Dehidrogenase Defisiency
EAB merupakan enzim yang merubah zat A menjadi substrat B. Sedangkan EBC adalah enzim
yang merubah zat B menjadi produk C. Terjadi defisiensi dari enzim EBC sehingga tidak terbentuk
produk akhir C namun terjadi penumpukan substrat B yang menghasilkan bahan toksik metabolit
D yang meninmulkan efek toksik pada tubuh dan menimbulkan gejala klinis yang berat. 11
panas karena adanya infeksi, intercurrent illness, dan konsumsi makanan yang
melebihi jumlah jenis asam amino yang mengalami penumpukan karena defek enzim
yang berperan dalam metabolismenya. Pemeriksaan laboratorium spesifik dengan
menggunakan urine dan plasma darah untuk melihat penumpukan organic acid,
asam amino dan acylcarnitine dengan metode chromatography (GCMS dan TMMS).
Sebagian besar kelainan pada kelompok ini respon terhadap terapi (treatable) yang
didahului tindakan emergensi terapi dengan cara mengeluarkan bahan toksik
metabolic dengan tindakan extracorporeal procedure, obat2an spesifik seperti
carnitine, sodium benzoate, sodium phenyl butyrate, serta tatalaksana diet khusus .
2. Gangguan yang melibatkan metabolisme energi
Merupakan gangguan metabolism yang disebabkan adanya defisiensi sebagian dari
produksi energi atau pemanfaatannya yang dihasilkan karena adanya defek di hati,
otot jantung , otak dan jaringan lainnya. Gangguan ini dapat digolongkan menjadi dua
bagian yaitu : defek mitochondria dan defek energi sitoplasma. Defek mitokondria
meliputi kongenital lactic acidemia ( defek dari pyruvate transporter, pyruvate
carboxylase , pyruvate dehydrogenase dan Krebs cycle ), gangguan rantai respirasi
mitochondria, dan oksidasi asam lemak serta defek badan keton (keton body defect)
merupakan kelainan yang berat dan pada umumnya tidak bisa diterapi. Sedangkan
Defek energi sitoplasma merupakan kelompok yang pada umumnya tidak berat.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah gangguan proses glikolisis, metabolism
glikogen dan gluconeogenesis, hiperinsulinism , semuanya bisa di terapi. Sedangkan
yang hanya sebagian diterapi adalah gangguan metabolism creatine dan yang tidak
dapat diterapi dari golongan ini adalah gangguan penthouse phosphate pathway.
Gejala klinis yang timbul pada umumnya adalah : hipoglikemia, hiperlaktatemia,
hepatomegali, general hipotoni berat, myopati, kardiomyopati, failure to thrive
(gagal tumbuh), gagal jantung, kolaps sirkulasi, kematian bayi yang etiologinya
tidak jelas, dan gangguan otak. Pada defek mitokondria dan defek penthose phosphate
pathway dapat mempengaruhi perkembangan embrio dalam kandungan sehingga
dapat memberikan gambaran klinis dismorfik, dysplasia dan malformasi. Penegakan
diagnosis pada golongan ini sulit dan memerlukan beberapa pemeriksaan fungsi,
analisa enzim yang memerlukan biopsi jaringan atau kultur sel dan analisis molekuler.
3. Gangguan yang melibatkan komplek molekul
Kelompok ini melibatkan organel seluler dan termasuk gangguan pada sintesis dan
katabolisme komplek molekul. Kelainan yang timbul permanen, progresif , dan tidak
ada gejala kambuhan serta tidak terkait dengan diet makanan
Yang termasuk golongan ini adalah semua kelompok lysosomal storage disease (MPS,
Fabry, Gaucher disease dll), peroxisomal disorders, gangguan distribusi dan proses
intraselular seperti alpha-1-antitrypsin, gangguan proses glikosilasi dan kelainan
metabolisme bawaan sintesa kolesterol. Hampir semua tidak ada terapi dalam kondisi
akut, namun dapat diberikan terapi sulih enzim (enzyme replacement therapy) pada
beberapa kelainan lysosomal storage disease.
66 Simposium SURAMADE 7
Kelainan Metabolisme Bawaan yang Dapat Diterapi:
Kapan Curiga Kelainan Metabolisme Bawaan pada Bayi dan Anak Dengan Kondisi Kritis
karena masukan protein yang berlebihan, puasa yang lama, kelelahan karena olah raga yang
berlebihan dan semua kondisi yang berpengaruh terhadap proses katabolisme. Ensefalopati
yang timbul akut merupakan gejala klinis KMB yang tersering pada onset saat anak dan
dewasa muda. Semua tipe penurunan kesadaran (koma) yang mendadak dengan atau tanpa
disertai gejala neurologi fokal dapat dipikirkan kecurigaan kearah KMB setelah di rule out
sebab yang lain. 7,16,17 Ada 2 kategori penurunan kesadaran yang membedakan : 7
1. Koma metabolik tanpa gejala neurologis fokal
Adanya penurunan kesadaran (koma) yang didominasi metabolic asidosis menetap
dan berulang tanpa sebab yang jelas, koma yang didominasi hiperamonemia , koma
dengan dominasi hipoglikemia menetap dan berulang tanpa sebab yang jelas, atau
kombinasi ketiga gejala diatas. Ada beberapa gejala seperti ketoasidosis disertai
hiperglikemia dan glikosuria pada KMB golongan organic acidemia seperti pada
isovaleric acidemia dan defek ketolisis yang menyerupai kondisi klinis ketoasidosis
diabetik.
2. Koma neurologis dengan gejala fokal, kejang, hipertensi intracranial berat, stroke
atau periode yang menyerupai stroke.
Meskipun hampir semua koma metabolic tidak disertai adanya gejala fokal neurologis
namun ada beberapa kelainan KMB seperti organic acidemia dan urea cycle defect
yang desertai gejala fokal neurologi dan edema cerebri. Pasien dengan kondisi klinis
tersebut dapat menyerupai gejala cerebro vascular accident atau tumor cerebral.
Gejala klinis lain dalam KMB seperti biotin responsive basal ganglia disease dan
homocystinuria (kadar homosisitin total lebih dari 100 mol/l) dapat menyebabkan
acute cerebrovascular accident pada anak dan dewasa muda.
68 Simposium SURAMADE 7
Kelainan Metabolisme Bawaan yang Dapat Diterapi:
Kapan Curiga Kelainan Metabolisme Bawaan pada Bayi dan Anak Dengan Kondisi Kritis
Hasil dari pemeriksaan laboratorium dasar ini dapat digunakan untuk pendekatan
diagnosis KMB bila didapatkan Hipogikemi, Hiperamonemia, Asidosis Metabolik.1
Dibawah ini akan dibanas satu persatu algoritme dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
hasil diatas :
HIPOGLIKEMI
Bila pada neonatus ditemukan hipoglikemi berulang tanpa sebab yang tidak jelas, maka
dapat digunakan algoritme dibawah ini. Sebelumnya harus dilakukan rule out dulu penyakit
sistemik berat, sepsis, kecil masa kehamilan dan ibu dengan diabetes. Kemungkinan kelainan
endocrinopathy juga harus disingkirkan dulu yaitu dengan pemeriksaan human growth
hormone, cortisol dan T4.
Pada kondisi hipoglikemi berulang perlu ditanyakan hubungan antara hipoglikemi
dengan waktu makan. Bila ada hipoketotik hipoglikemi berat dalam beberapa menit setelah
makan maka kemungkinan terbesar adalah hiperinsulism. 4,12
Gambar 1. Diambil dari Sharma S, Kumar P, Agarwal R, Kabra M, Deorari A, Paul V. Approach to
Inborn Error of Metabolism Presenting in the Neonate. AIIMS-NICU protocols 2010 Downloaded
dari www.newbornwhocc.org
HIPERAMONEMIA
Pada kecurigaan KMB pemeriksaan ammonia sangat penting terutama pada kasus dengan
klinis muntah tanpa sebab yang jelas, lethargi,kejang atau tanda2 ensefalopati akut.
Hiperamonemia merupakan hasil pemeriksaan laboratorium yang penting pada neonatus
maupun bayi yang sebelumnya sehat kemudian didapatkan gejala klinis ensefalopati akut
Gambar 2. Diambil dari Burton B. Inborn Errors of Metabolism in Infancy: Guide to Diagnosis.
Pediatrics 1998;102:1-9
70 Simposium SURAMADE 7
Kelainan Metabolisme Bawaan yang Dapat Diterapi:
Kapan Curiga Kelainan Metabolisme Bawaan pada Bayi dan Anak Dengan Kondisi Kritis
normal 8-16 mmol/L.20 Untuk selanjutnya algoritme dibawah ini dapat digunakan sebagai
alur untuk mencari kemungkinan diagnosis pada neonatus atau bayi yang ditemukan asidosis
metabolik pada pemeriksaan laboratorium.21,23
Gambar 3. Diambil dari Enns G, Packman S. Diagnosing Inborn Errors of Metabolism in the
Newborn: Laboratory Investigations. NeoReviews 2001;2:201-9
Sebagian besar kasus KMB yang dapat diterapi dikenali dengan kondisi kritis dan tidak
stabil. Pasien sering datang dalam kondisi syok hipovolemik karena krisis metabolik akibat
penumpukan bahan toksik metabolit. 9
Tindakan yang diberikan saat kondisi kritis tersebut: 8,9
1. Terapi Suportif
Memperbaiki hemodinamik saat syok hipovolemik dengan diberikan infus cairan
isotonic salin dan selanjutnya diberikan terapi cairan rumatan tinggi kalori dengan
dextrose 10% dan elektrolit untuk meningkatkan proses anabolik dan menghambat
katabolisme
DAFTAR PUSTAKA
1. Raghuveer T, Garg U, Graf W. Inborn Errors of Metabolism in Infancy and Early
Childhood: An Update. Am Fam Physician 2006;73:1981-90
2. Clarke JTR. General Principles in A Clinical Guide to Inherited Metabolic Diseases,
Clarke JTR ed. Cambridge University Press 2004;2:1-17
3. Burton B. Inborn Errors of Metabolism in Infancy: Guide to Diagnosis. Pediatrics
1998;102:1-9
4. Maria TV, Sanseverino, Wajner M, Giugliani R. Application of a clinical and laboratory
protocol for investigation of inborn error metabolism among critically ill children. J
Pediatr (Rio J) 2000;76:375-82
5. Gizewska M. Metabolic Intoxication Syndrome in Bernstein L, Rohr, Helm J, Ed.
Nutrition Management of Inherited Metabolic Diseases. Springer Internationl
Publishing 2015;1:47-57
6. Rao A, Kavitha J, Koch M, Kumar S. Inborn Errors of Metabolism: Review and Data from
a Tertiary Care Centre. Indian Journal of Clinical Biochemistry 2009; 24:215-22
7. Saudubray JM, Desguerre, Sedel F, Charpentier. A Clinical Approach to Inherited
Metabolic Diseases in Fernandes, Saudubray, Van den Berghe, Walter , Ed. Inborn
Metabolic Diseases. Springer Medizin Verlag Heidelberg Germany 2006; 4: 5-6
8. Schwartz IV, Souza C, Glugliani R. Treatment of Inborn Errors Metabolism. J Pediatr
(Rio J) 2008;84:8-19.
9. Mohamed S. Treatment Strategies for Acute Metabolic Disorders in Neonates. Sudan J
Paediatr 2011;11:6-13
10. Sutton VR, Graham B. Newborn Screening for Inborn Errors of Metabolism. In: Lee B,
Scaglia,Eds. Inborn Errors of Metabolism from Neonatal Screening to Metabolic
Pathways.Oxford University Press 2015;1:1-34
11. Kumta NB. Inborn Errors of Metabolism : An Indian Perspective. Indian Journal of
Pediatrics 2005 ;72:325-332
12. Sharma S, Kumar P, Agarwal R, Kabra M, Deorari A, Paul V. Approach to Inborn Error
of Metabolism Presenting in the Neonate. AIIMS-NICU protocols 2010 Downloaded
dari www.newbornwhocc.org
72 Simposium SURAMADE 7
Kelainan Metabolisme Bawaan yang Dapat Diterapi:
Kapan Curiga Kelainan Metabolisme Bawaan pada Bayi dan Anak Dengan Kondisi Kritis
---o0o---
PADA NEONATUS
ABSTRAK
Angka kejadian kelainan metabolisme bawaan lebih dari 1 di antara 1000 bayi yang
baru lahir dan relatif sedikit jumlahnya yang memberikan gejala. Berbagai kelainan seperti
sphingolipidoses, mucopolysaccharidoses, gangguan metabolisme purin dan pirimidin,
neuronal ceroid lipofuscinoses secara perlahan dan progresif menyebabkan ensefalopati,
walau kelainan histologik sistem saraf pusat janin dapat terjadi pada bulan ke 4 5 kehamilan.
Berhubung pada neonatus sering memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik, maka
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tepat agar tidak terjadi kekeliruan diagnosis
seperti sepsis atau asphyxia. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat kelainan metabolisme
bawaan dibutuhkan pemeriksaan biokimia seperti analisis asam amino, asam organik
atau acylcarnitine. Metode pemeriksaan yang digunakan untuk menegakkan diagnosis adalah
imunoasai (time-resolved fluorometry), enzimatik, isoelectric focusing, dan tandem mass
spectrometry. Metode tandem mass spectrometry merupakan metode yang sesuai untuk
program skrining massal, karena dapat digunakan untuk jumlah sampel besar dari 1 single
dried blood spot. Permasalahannya adalah belum banyak pusat kesehatan yang mempunyai
sarana pemeriksaan laboratorium yang memadai. Namun, pemeriksaan laboratorium rutin
(sederhana) pada neonatus seperti analisis gas darah, elektrolit, glukosa, laktat, ammonia
dan urinalisis sederhana dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan metabolisme
bawaan, Kelainan metabolisme bawaan pada neonatus dapat menunjukkkan asidosis laktat,
hipoglisemia, hiperammonemia dan ketonuria.
PENDAHULUAN
Angka kejadian kelainan metabolisme bawaan (KMB) pada neonatus lebih dari 1 : 1000 kelahiran.
Dengan tandem mass spectrometry dilaporkan dapat dideteksi sekitar 20 jenis KMB pada neonatus.
Karena KMB pada neonatus sering menunjukkan gejala klinik yang tidak spesifik, maka dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk menghindari salah diagnosis seperti sepsis atau asphyxia.
74 Simposium SURAMADE 7
Diagnosis Laboratorium Kelainan Metabolisme Bawaan Pada Neonatus
ANION GAP
Anion gap merupakan parameter penting untuk evaluasi asidosis metabolik. Istilah anion
gap kurang tepat sebab mengesankan beda konsentrasi kation dan anion; kenyataannya
adalah konsentrasi kation sama dengan anion.
Estimasi anion gap = [Na+ ] ([Cl- ] + [HCO3 - ]) , dengan nilai normal 8-16 mEq/L
(8-16mmol/L)
Konsentrasi aktual unmeasured anion (UA) (semua anion selain Cl- dan HCO3 - ) sekitar 23
mEq/L (23 mmol/L) , bukan 12 mEq/L (12 mmol/L).
Selisih antara actual unmeasured anion dan calculated unmeasured anion dapat dijelaskan
bila persamaan digunakan untuk mengkalkulasi anion gap ditulis ulang untuk menerapkan
konsep electroneutrality.
Kation total, yaitu jumlah Na+ dan unmeasured cation (UC) harus sama dengan anion total
yaitu jumlah Cl- , HCO3- dan unmeasured anion (UA) : Na + + UC = (Cl- + HCO3 -) + UA
Istilah anion gap secara klinis sebenarnya menunjukkan selisih UA dikurangi UC, dan
sama dengan Na+ - (Cl- + HCO3-), nilai normalnya 12 mEq/L (12 mmol/L)
Meningkatnya anion gap dapat disebabkan UA meningkat atau UC menurun
K+ 4.5 Protein 15
Ca2+ 5 PO42- 2
Organic acids 5
Total 11 23
Menurunnya anion gap lebih jarang terjadi, dapat terjadi bila UA menurun atau UC meningkat.
Penyebab tersering menurunnya anion gap adalah hipoalbuminemia, namun dapat pula
disebabkan kesalahan laboratorium.
Asidosis metabolik sering disertai peningkatan anion gap, umumnya disebabkan timbunan
asam organikyang mentitrasi bikarbonat. Asam organik penyebab peningkatan anion gap:
asam laktat, keton bodies, asam metilmalonat, asam propionat dan derivatnya.
Jika asidosis metabolik disebabkan hilangnya bikarbonat, maka anion gap tetap normal
karena peningkatan Cl- . Asidosis metabolik hiperchloremik umumnya disebabkan hilangnya
bikarbonat gastrointestinal berlebih (misal diare) atau asidosis tubular gnjal.
ASIDOSIS LAKTAT
Timbunan abnormal asam laktat merupakan penyebab yang umum terjadi pada asidosis
metabolik dengan peningkatan anion gap pada neonatus. Asidosis laktat paling sering
disebabkan karena hipoksia jaringan akibat sirkulasi inadekuat atau menurunnya aliran
oksigen. Sepsis, gagal jantung (penyakit jantung kongenital, kardiomiopati), hipertensi
pulmonal dan anemia berat dapat menyebabkan asidosis laktat. Namun, bila penyakit yag
mendasari teratasi, asidosis laktat segera membaik. Kelainan metabolisme yang terkait
asidosis laktat termasuk kelainan metabolisme piruvat, fungsi rantai respiratori mitochon-
drial, glukoneogenesis dan oksidasi asam lemakserta beberapa asidemia organik.
Pada evaluasi neonatus dengan asidosis metabolik anion gap, perlu pemeriksaan asam
laktat. Jika anion gap menjadi normal dengan memasukkan laktat dalam perhitungan anion
gap = Na+ - (Cl- +HCO32- + laktat)=8-16 mEq/L (8-16 mml/L),berarti asidosis disebabkan
karena meningkatnya laktat darah. Sebaliknya, bila anion gap tetap meningkat setelah
penentuan konsentrasi laktat, berarti terdapat unmeasured anion lain yang berkontribusi
dalam peningkatan anion gap. Keadaan tersebut mungkin diakibatkan adanya asidemia
organik atau ketosis (ketoasidosis diabetik)
Rasio laktat/piruvat (L/P ratio)dapat membantu diagnosis. Meningkatnya rasio L/P (>25)
dapat menunjukkan gangguan mitochondrial atau defisiensi karboksilase piruvat tipe A,
dan rasio L/P normal pada defisiensi dehhidrogenase piruvat atau gangguan glukoneogenesis
(rasio L/P mungkin meningkat pada keadaan hipoksemia). Mungkin perlu pemeriksaan
laktat beberapa kali karena peningkatan spurious dapat disebabkan sulitnya pengambilan
darah dan hipoksia jaringan lokal.
HIPOGLISEMIA
Seorang neonatus yang sakit biasanya menunjukkan hipoglisemia apapun etiologi
penyakitnya. Hipoglisemia berasosiasi dngan penyakit sistemik berat akibat sepsis atau
asfiksia biasanya relatif mudah dikendalikan dengan pemberian glukosa pada basal neona-
tal glucose oxydation rate ( 4-6 mg/Kg permenit). Sebaliknya, hipoglisemia akibat KMB
mungkin sulit diterapi dan membutuhkan glukosa intravena yang lebih tinggi.
Pada keadaan normal hipoglisemia merangsang pembentukan keton dengan meningkatkan
oksidasi beta asam lemak. Gangguan oksidasi asam lemak dan hiperinsulin berkaitan dengan
rendahnya keton plasma dan urine (hipoglisemia hipoketotik). Beberapa gangguan
glukoneogenesis, termasuk glycogen storage disease tipe I, defisiensi fosfoenolpiruvat
karboksikinase, dan defisiensi fruktosa-1,6- bifosfatase, dapat menyebabkan inhibisi
pembentukan keton sekunder, yang juga berkaitan dengan hipoglisemia hipoketotik. Namun,
biasanya tidak terjadi ketonuria pada neonatus.
76 Simposium SURAMADE 7
Diagnosis Laboratorium Kelainan Metabolisme Bawaan Pada Neonatus
Jika terdapat ketosis yang prominen berkaitan hipoglisemia dan asidosis metabolik anion
gap, harus dicurigai asidemia organik. Ketosis dan hipoglisemia dapat terjadi pada maple
syrup urine disease (MSUD), namun asidosis metabolik tidak khas pada awal penyakit.
Penyebab hipoglisemia KMB diantaranya adalah intoleransi fruktosa herediter, defisiensi
fruktosa -1,6-difosfatase, galaktosemia, defisiensi fosfornolpiruvat karboksikinase, glyco-
gen storage disease.
HYPOGLYCEMIA
Present None
Ketones
Galactosemia FAOD
HFI Hyperinsulinism Elevated Abnormal Normal
Tyrosinemia HMG,CDG lactate urine organic urine organic
acid acid
HIPERAMMONEMIA
Hiperammonemia merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang dapat terjadi akibat
tidak adanya pengaturan metabolisme. Sering terjadi alkalosis respiratorik akibat stimulasi
pernafasan sentral oleh ammonium. Pada semua bayi dengan gangguan kesadaran atau anak
dengan ensefalopati yang mungkin salah diagnosis sebagai sepsis atau gangguan lainnya,
harus segera diperiksa kadar ammonianya.
Hiperammonemia neonatal > 200 mmol/L paling sering berkaitan dengan gangguan
metabolisme urea.
Namun, bayi dengan transient hyperammonemia of the newborn (THAN), asidemia organik
(asidemia propionat, isovalerat dan metilmalonat), dan gangguan oksidasi beberapa asam
lemak (carnitine uptake defect , defisiensi carnitin palmitoil transferase dan defisiensi
carnitin-asilcarnitin translokase), dapat mengalami peningkatan ammonia akibat inhibisi
metabolisme ammonia sekunder oleh metabolit toksik. Pemeriksaan gas darah, elektrolit
HIPERAMMONEMIA
Asidosis
Positif Negatif
+ - + -
Algoritma Hiperammonemia
ASA= argininosuccinic acid, THAN= transient hyperammonemia of the newborn, LPI= lysinuric protein
intolerance, HHH= hyperammonemia-hyperornithinemia-homocitrullinuria syndrome, OTC= ornithine
transcarbamylase, CPS= carbamyl phosphate synthetase, NAGS= N-acetylglutamate synthetase. Asam orotat
urine cenderung meningkat pada LPI dan HHH tapi kadar sitrullin normal
78 Simposium SURAMADE 7
Diagnosis Laboratorium Kelainan Metabolisme Bawaan Pada Neonatus
RINGKASAN
Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat memberikan informasi penting dan
mengarahkan klinisi untuk diagnosis awal KMB yang mungkin mendasari pada neonatus
kondisi akut (kritis). Bayi dengan hiperammonemia, hipoglisemia, asidosis metabolik
dengan atau tanpa asidosis laktat, dapat diduga menderita asidemia organik. Jika terdapat
hipoglisemia hipoketotik, terutama bila diasosiasikan dengan gagal fungsi hati (Reye
syndrome like) atau kardiomiopati, dugaan kuat adanya gangguan oksidasi asam lemak.
Adanya kombinasi mellituria, hipoglisemia, asidosis metabolik, peningkatan laktat dan
piruvat, dugaan defek metabolisme karbohidrat. Konfirmasi adanya KMB memerlukan
pemeriksaan biokimia spesifik dan enzimologi atau analisis DNA.
RUJUKAN
Enns GM and Packman S: Diagnosing Inborn Errors of Metabolism in the Newborn:
Laboratory Investigations, Neoreviews Vol 2 No 8 August 2001
Inzucchi SE: The Diabetes Mellitus Manual. 6th ed, McGraw-Hill, Singapore, 2005
Perkin Elmer :How to Collect Blood Spot. September 2009.
Perkin Elmer: Newborn Screening Today. April 2012.
80 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility
IDENTIFICATION AND inANTIMICROBIAL
Microbiology Automation
SUSCEPTIBILITY IN
MICROBIOLOGY AUTOMATION
Aryati
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Identifikasi dan tes kepekaan antibiotik (TKA) merupakan komponen kunci dalam
pelaporan laboratorium klinis yang diperlukan oleh para klinisi. Prosedur yang digunakan
untuk mengetahui profil kepekaan antibiotik dan kemampuan mendeteksi resistensi
terhadap agen antimikroba sangat menentukan keberhasilan terapi. Kemampuan suatu
metode untuk mengenali resistensi bakteri lebih dini dan akurat, sangat membantu pemilihan
terapi antimikroba. Metode konvensional disk diffusion masih sering digunakan saat ini
karena relatif mudah pengerjaannya, 12 agen antimikroba dapat diuji sekaligus dalam satu
isolat bakteri dengan meminimalisir peralatan dan bahan yang digunakan. Keuntungan kultur
darah dengan metode otomatis yaitu menghemat tenaga, hasil pemeriksaan lebih cepat dan
akurat, untuk tes kepekaan antibiotik (TKA) menggunakan metode rujukan MIC (Minimum
Inhibitory Concentration), sedangkan kerugiannya adalah semua sistem otomatis masih
memerlukan langkah-langkah manual untuk persiapan inokulum, hanya dapat menguji
organisme dengan range terbatas. Organisme dengan pertumbuhan yang lambat atau
fastidious organism perlu diperiksa dengan metode alternatif.
PENDAHULUAN
WHO mengumumkan 12 superbug (prioritas patogen) yang merupakan ancaman terbesar
dalam kehidupan manusia dan menjadi penyebab kematian dari jutaan orang setiap tahun.
Prioritas patogen ini terbagi menjadi tiga kategori, yaitu prioritas kritis, tinggi, dan menengah
berdasarkan status darurat untuk kebutuhan antibiotik baru. Daftar ini dibuat sebagai panduan
dan untuk mempromosikan penelitian dan pengembangan obat baru.4
1.1. Prioritas 1 : kritis
1. Acinetobacter baumannii, carbapenem-resistant
2. Pseudomonas aeruginosa, carbapenem-resistant
3. Enterobacteriaceae, carbapenem-resistant, ESBL-producing
1.2. Prioritas 2 : tinggi
4. Enterococcus faecium, vancomycin-resistant
5. Staphylococcus aureus, methicillin-resistant, vencomycin-intermediate and resistant
6. Helicobacterpylori, clarithromycin-resistant
7. Campylobacter spp., fluoroquinolone-resistant
8. Salmonella, fluoroquinolone-resistant
9. Neisseria gonorrhoeae, cephalosporin-resistant, fluoroquinolone-resistan
1.3. Prioritas 3 : menengah
10. Streptococcus pneumoniae, penicillin-non susceptible
11. Haemophilus influenza, ampicillin-resistant
12. Shigella spp., fluoroquinolone-resistant
WHO menyatakan superbug tersebut sebagai prioritas kritis karena menyebabkan infeksi
berat dan peningkatan angka mortalitas, khususnya penderita yang dirawat di unit perawatan
intensif atau menggunakan ventilator dan kateter darah, maupun resipien transplantasi
serta penderita yang mendapat kemoterapi. Daftar ini dibuat bersama Division of Infectious
Disease, University of Tbingen, Jerman berdasarkan tingkat resistensi obat, lama rawat
inap, angka kematian di seluruh dunia, prevalensi infeksi, dan angka transmisi antara hewan-
hewan, hewan-manusia, dan antara manusia-manusia.4
Berdasarkan hal di atas, sangatlah penting mendapatkan hasil positif suatu kultur
bahan klinik yang akan menentukan suatu tata laksana terapi maupun tindakan
meminimalkan suatu resistensi.
2. RESISTENSI ANTIBIOTIK
Prevalensi bakteri yang resisten antibiotik, termasuk methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), penghasil extended-spectrum-beta-lactamase (ESBL), dan
carbapenem-resistant Enterobacteriaceae meningkat di seluruh dunia, menyebabkan infeksi
yang sulit diobati dan peningkatan biaya perawatan. Beberapa negara dengan pendapatan
rendah dan menengah memiliki sistem surveilans nasional untuk infeksi yang resisten
antibiotik, seperti India yang memperkenalkan sistem jaringan surveilans yang memberi
informasi dalam keputusan klinis dan perkembangan kebijakan pemerintah khusunya di
bidang kesehatan.5
WHO (2014) mempublikasikan tiga agent yang menjadi perhatian utama dalam
hospital-acquired infections dan community-acquired infections, yaitu Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, dan Staphylococcus aureus.5,6
Lima negara dari enam WHO regions, melaporkan resistensi E.coli sebesar >50%
terhadap fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Sebagian besar negara anggota
WHO melaporkan resistensi K. pneumoniae terhadap sefalosporin generasi ketiga lebih
dari 30%, bahkan beberapa negara mencapai 60%. Angka resistensi MRSA mencapai 20%
di hampir semua WHO regions, tetapi beberapa negara mencapai 80%.5,6
Pemicu utama resitensi antibiotik adalah penggunaan antiobiotik yang didasari atas
tingginya beban penyakit infeksi di negara miskin dan berkembang serta kemudahan dalam
akses penggunaan antibiotik di dunia sehingga meningkatkan penggunaan antibiotik yang
irasional.5
Definisi resistensi antimikrobial banyak digunakan di berbagai literatur kedokteran
untuk karakterisasi perbedaan pola resistensi bakteri yang ditemukan di fasilitas kesehatan
(healthcare-associated), seperti multidrug-resistant (MDR), extensively drug-resistant (XDR),
dan pandrug-resistant (PDR).10
Studi Magiorakos et al. (2011) menggunakan kategori antimikrobial yang
direkomendasikan oleh CLSI (Clinical Laboratory Standards Institute), EUCAST (European
Committee on Antimicrobial Susceptibility Testing) dan FDA (United States Food and Drug
Administration). MDR didefinisikan sebagai resistensi terhadap minimal satu agent dalam
tiga atau lebih kategori antimikrobial. XDR didefinisikan sebagai resistensi terhadap
minimal satu agent dari semua kategori, tetapi de 2 kategori antimikrobial, sedangkan
PDR didefinisikan sebagai resistensi terhadap semua agent dari semua kategori
antimikrobial. Tabel 2.1. berikut menggambarkan worksheet yang digunakan untuk
penentuan MDR, XDR dan PDR dari beberapa kategori antimikrobial terhadap isolat bakteri
Staphylococcus aureus. Tabel 2.2. menjelaskan contoh profil tes kepekaan antimikrobial
yang sesuai dengan definisi MDR, XDR, dan PDR.10
82 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Tabel 2.1. Staphylococcus aureus; kategori antimikrobial dan agent yang digunakan untuk
penentuan MDR, XDR, dan PDR (worksheet untuk mengelompokkan isolat).10
Tabel 2.2. Pseudomonas aeruginosa; contoh profil tes kepekaan antimikrobial yang sesuai
dengan definisi MDR, XDR, dan PDR; isolat pertama adalah PDR; isolat kedua adalah XDR
dan isolat ketiga adalah MDR.10
84 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Tabel 2.3. menggambarkan data proporsi E. coli yang resisten terhadap sefalosporin generasi
ketiga berupa pengobatan injeksi intravena pada kasus infeksi berat di rumah sakit.6
Tabel 2.3. Escherichia coli : resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga. Rangkuman
publikasi proporsi resistensi berdasarkan WHO regions.6
86 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
3. METODE KONVENSIONAL
Tiga metode umum yang digunakan dalam mendeteksi dan evaluasi kepekaan
antimikroba yaitu pertama, metode yang mengukur aktivitas antimikroba terhadap bakteri
secara langsung, metode yang mendeteksi adanya mekanisme resistensi spesifik suatu
isolat bakteri secara langsung, dan metode khusus yang mengukur interaksi kompleks
antimikroba-organisme. Penggunaan dan pemilihan metode tersebut berdasarkan
kepentingan klinis, akurasi, dan tingkat kemudahan. Pengukuran aktivitas antimikroba
secara langsung dapat dilakukan melalui :7
1. metode uji kepekaan konvensional, seperti broth dilution, agar dilution, dan disk
diffusion. Uji kepekaan konvensional ini mempertimbangkan faktor persiapan
inokulum dan pemilihan antimikroba yang akan diuji.
2. Uji kepekaan komersial.
3. Uji skrining dan indikator khusus.
Tes kepekaan antimikroba konvensional dilakukan dengan berbagai macam teknik.
Tes kepekaan antimikroba mengukur kemampuan antimikroba dalam menghambat
pertumbuhan bakteri in vitro. Kemampuan ini diukur dengan metode dilusi atau difusi.
Gambar 3.1. Microtitre tray untuk uji broth microdilution. Pengenceran 2x setiap agen antimikroba
yang diuji menempati satu kolom vertikal sumuran.7
88 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Gambar 3.2. A.Metode disk diffusion, cakram antibiotik diletakkan di atas permukaan agar.
B. Zona inhibisi terlihat di sekeliling cakram antibiotik setelah inkubasi 16-18 jam.7
Gambar 3.3. E test. Strip antibiotik diletakkan di atas permukaan agar yang telah diinokulasi oleh
strain bakteri.7
4. METODE SEMI-OTOMATIS
Metode yang digunakan untuk kultur darah dapat berupa metode konvensional, semi-
otomatis dan otomatis. Penerapan kultur darah metode konvensional kurang sesuai dengan
kebutuhan saat ini. Akurasi dari identifikasi bakteri dengan reaksi biokimia tergantung
pada jumlah reaksi biokimia yang digunakan. Makin banyak reaksi biokimia yang
digunakan makin akurat deteksi identifikasi bakterinya. Uji kepekaaan antibiotika dengan
disk diffusion bukan merupakan uji baku emas. Uji baku emas yang digunakan untuk
kepekaan antibiotika adalah broth microdilution berdasarkan nilai minimal inhibitory
concentration (MIC). 13,14
Kultur darah dengan metode semi-otomatis dan otomatis menggunakan reaksi biokimia
dalam jumlah banyak untuk identifikasi bakteri dan broth microdilution untuk uji kepekaan
antibiotika sehingga lebih baik dan waktu pengerjaan lebih cepat. Deteksi identifikasi bakteri
dan uji kepekaan antibiotika yang lebih cepat akan menyelamatkan penderita dan
memudahkan terapi.13,14
YEAST-64. Kartu reagen yang sering digunakan pada TDR-300B adalah TDR STAPH-64, TDR
STR-64, TDR ONE-64 dan TDR NF-64. 13,16
Pembagian kartu reagen tersebut berdasarkan pengecatan Gram yang didapat dari hasil
koloni kultur dan uji kimia sederhana yang dilakukan. Identifikasi bakteri TDR-300B
menggunakan metode kolorimetri. Identifikasi bakteri pada TDR-300B menggunakan kurang
lebih 20 reaksi biokimia pada sumurannya. Reaksi biokimia ini tergantung pada kartu reagen
yang digunakan. Analisis identifikasi bakteri menggunakan sistem bifido-matrix. 13,16
Uji kepekaan bakteri TDR-300B menggunakan prinsip broth microdilution berdasarkan
nilai minimal inhibitory concentration (MIC). Hasil MIC dilaporkan sebagai sensitif,
intermediate dan resisten. MIC yang digunakan berdasarkan Clinical Laboratory Standards
Institute (CLSI).3,6 Algoritme pengerjaan kultur darah menggunakan alat TDR-300B dapat
dilihat pada gambar 4.1 berikut.13,16
90 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Studi Sugiartha et al. (2016) mengenai perbandingan hasil identifikasi metode API dan
TKA konvensional dengan metode Technical Dedicated Reasonable (TDR)-300B, menyatakan
bahwa akurasi identifikasi metode API terhadap VITEK 2 sebesar 87,87%; akurasi identifikasi
metode TDR-300B terhadap VITEK 2 sebesar 90,9%; akurasi tes kepekaan antibiotika
metode TDR-300B terhadap VITEK 2 adalah 82,5%; akurasi tes kepekaan antibiotika metode
API terhadap TDR-300B sebesar 84,84%.18
92 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Untuk Sistem AST atau TKA, VITEK 2 Compact menyediakan tiga jenis kartu yaitu:
1. Kartu AST GN (Gram Negatif)
2. Kartu AST GP (Gram Positif)
3. Kartu AST Yeast (Jamur dan mikroba mirip jamur)
Gambar 5.1. VITEK 2 Compact, menggunakan media broth, yaitu BacT/ALERTCulture Media
yang dikemas dalam botol plastik.
94 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
150 spesies bakteri Gram Positif, dan 40 spesies Streptococcus. Rerata waktu yang diperlukan
3 menit per isolat untuk setup waktu BD Phoenix.19
Indikator redoks (biru) ditambah ke dalam inokulum bakteri selama preparasi, dan
suspensi dituang ke dalam sisi panel AST dan ditutup. Instrumen akan membaca panel
tersebut setiap 20 menit melalu bar code sebagai identifikasi setiap test panel. Turbiditas
akan diukur sebagai indikator pertumbuhan bakteri, dan perubahan kolorimetrik (menjadi
warna merah muda) merupakan indicator redoks. BD Phoenix memiliki software (BCXpert)
dan software manajemen data (BD EpiCenter) untuk interpretasi nilai MIC berdasarkan
panduan CLSI dan aturan pelaporannya. Sistem BD Phoenix lebih cepat dalam waktu pelaporan
hasil untuk tipe bakteri yang umum ditemukan dibandingkan Vitek 2 dalam studi Munro et
al. (2010), tetapi memerlukan waktu lebih lama dalam penyimpulan hasil Enterobacteriaceae
dibandingkan Vitek 2.19
Studi Duggal et al. (2012) yang membandingkan sistem otomatis ID/AST Phoenix (BD)
dengan metode konvensional (disk diffusion sebagai standar) pada 85 isolat Gram positif
dan Gram negatif, menunjukkan 100% kesesuaian dalam identifikasi isolat Gram negatif
serta 94,83% untuk isolat Gram positif. Hasil kepekaan antibiotik menunjukkan categorical
agreement 98,02% untuk Gram positif dan 95,7% untuk Gram negatif. Very Major Errors
0,33%, Major Errors 0,66%, Minor Errors 0,99% untuk Gram positif. Very Major Errors
1,23%, Major Errors 0,23%, Minor Errors 1,85% untuk Gram negatif.8
Studi Carroll et al. (2006) mengenai evaluasi sistem otomatisasti mikrobiologi BD Phoenix
untuk identifikasi dan TKA Enterobacteriaceae menyatakan bahwa tingkat agreement untuk
identifikasi genus sebesar 95,6% dan spesies sebesar 94,4%. Dari 251 isolat, 14 isolat
mis-identifikasi oleh sistem Phoenix; 10 diantaranya mis-identifikasi hingga tingkat spesies.
Hasil TKA, essential agreement sebesar 98,9% dan categorical agreement sebesar 97,9%.
Nilai very major error 0,38%; major error 0,33%; dan minor error 1,8% (tabel 5.1).11
Tabel 5.1. Enterobacteriaceae diuji dengan metode klasik John Hopkins Hospital (JHH) dan
alat Phoenix.11
96 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Tabel 5.2. Rerata waktu deteksi (jam) VersaTREK dan BacT/ALERT untuk mikroorganisme
fastidious. 20
5.6. FilmArray Blood Culture Identification Panel, multiplex PCR System (bioMerieux, Inc.)
FilmArray Blood Culture Identification Panel, multiplex PCR System
mengintegrasikan preparasi sampel, amplifikasi, deteksi dan analisis berbagai patogen
penyebab infeksi pernafasan, infeksi aliran darah, gastrointestinal, dan meningo-ensefalitis
begitu juga gen resistensi antimikroba. Alat ini mampu menguji bakteri, virus, yeast, parasit,
dan atau gen resistensi antimikroba menggunakan panel komprehensif.
FilmArray Respiratory Panel, mampu menguji untuk 20 virus dan bakteri
pernafasan.FilmArray Blood Culture Identification Panel mampu menguji 24 pathogens
dan 3 gen resistensi antibiotik terkait infeksi aliran darah.
FilmArray Gastrointestinal Panel mampu menguji 22 patogen saluran pencernaan
termasuk virus, bakteri dan protozoa penyebab diare. FilmArray Meningitis Encephalitis
Panel menguji cairan serebrospinalis secara langsung terhadap 14 ME-associated pathogens
yang paling relevan termasuk bakteri, virus dan parasit.9
98 Simposium SURAMADE 7
Identification and Antimicrobial Susceptibility in Microbiology Automation
Gambar 5.2. FilmArray Blood Culture Identification Panel, multiplex PCR System
(bioMerieux, Inc.).9
Terdapat tiga kemungkinan yang dapat menyebabkan hasil yang TIDAK PASTI
(UNCERTAIN):
Replikasi probe array sangat berbeda antara satu sama lain.
Pada co-infection lebih dari 3 mikroorganisme untuk Mix 1 dan Mix 3, dan lebih dari
2 mikroorganisme untuk Mix 2.
Intensitas sinyal absorbansi tidak dinormalisasi dan adanya batas deteksi dari alat,
dimana hasil nilai rentang diatur oleh software untuk setiap jenis mikroorganisme.
Dalam kasus kesalahan visualisasi produk-produk amplifikasi pada CS yang tidak
ditentukan menurut jenis sampel, maka kemungkinan interpretasi berikut harus
dipertimbangkan:
Kasus 1: Visualisasi produk amplifikasi yang berasal dari tabung Mix 1 (putih)
dalam CS Tipe 2: hasilnya berupa PCR terhambat (PCR Inhibited)
Kasus 2: Visualisasi produk amplifikasi yang berasal dari tabung Mix 2 (hijau) pada
CS tipe 2: hasil akan negatif pada kasus kontrol genom positif atau PCR terhambat
(PCR Inhibited) pada kasus kontrol genom negatif
Kasus 3: Visualisasi produk amplifikasi yang berasal dari tabung Mix 3 (biru) pada
CS tipe 1: hasil akan negatif pada kasus kontrol genom positif atau PCR terhambat
(PCR Inhibited) pada kasus kontrol genom negatif
Gambar 5.4. Diagram visualisasi CLART SeptiBac. Substrat O-dianisidine akan menghasilkan
presipitat di area hibridisasi.12
6. KESIMPULAN
1. Identifikasi dan tes kepekaan antibiotik (TKA) merupakan komponen kunci dalam
pelaporan laboratorium klinis yang diperlukan oleh para klinisi. Kemampuan suatu
metode untuk mengenali resistensi bakteri lebih dini dan akurat, sangat membantu
pemilihan terapi antimikroba.
2. Metode konvensional disk diffusion masih sering digunakan saat ini karena relatif
mudah pengerjaannya.
3. Uji kepekaaan antibiotika dengan disk diffusion bukan merupakan uji baku emas.
Uji baku emas yang digunakan untuk kepekaan antibiotika adalah broth microdilution
berdasarkan nilai minimal inhibitory concentration (MIC).
4. Sistem otomatisasi memiliki keterbatasan masing-masing, khususnya dalam
pelaporan fenotipe resistensi antibiotika yang jarang ditemukan. Kendali mutu
terhadap hasil TKA sistem otomatisasi masih tetap sulit dalam standarisasinya.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. Narain JP., Bhatia R., 2010. The challenge of communicable diseases in the WHO
South-East Asia Region. Bull World Health Organ, 88(3), pp.1-2.
2. Sutton S, 2017. How do you decide which microbial identification system is best?.http:/
/www.microbiol.org. [Online][Accessed 23 Maret 2017].
3. Mason DJ., Shanmuganathan S., Mortimer FC., Gant VA., 1998. A fluorescent Gram
stain for flow cytometry and epifluorescence microscopy. Applied and Environmental
Microbiology, 64(7), pp. 2681-85.
4. Lau B., 2017. WHO mengumumkan 12 superbug yang bisa menjadi ancaman terbesar
dalam kehidupan manusia. http://today.mims.com. [Online][Accessed 23 Maret 2017].
5. Gelband H., Miller-Petrie M., Pant S., Gandra S., Levinson J., Barter D., White A.,
Laxminarayan R., 2015. The state of the worlds antibiotics 2015. Washington DC:
Center for Disease Dynamics, Economics & Policy, pp. 1-50.
6. WHO, 2014. Antimicrobial resistance: global report on surveillance. Geneva: WHO
Press, pp. 1-25.
7. Forbes BA., Sahm DF., Weissfeld AS., 2007. Bailey & Scotts Diagnostic Microbiology,
12th edition. St. Louis: MOSBY Elsevier, pp. 187-205.
8. Duggal S., Gaind R., Tandon N., Deb M., Das Chugh T., 2012. Comparison of an automated
system with conventional identification and antimicrobial susceptibility testing.
International Scholarly Research Network Microbiology, vol. 2012, pp. 1-4.
9. Anonymous, 2017. FilmArray multiplex PCR system. http://www.biomerieux-
diagnostics.com/filmarrayr-multiplex-pcr-system. [Online][Accessed 30 Mei 2017].
10. MagiorakosAP., Srinivasan A., Carey RB., Carmeli Y., Falagas ME. Giske CG., Harbarth
S., Hindler JF., Kahlmeter G., Olssom-Liljequist B., Paterson DL., Rice LB., et al., 2012.
Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and pandrug-resistant bacteria: an
international expert proposal for interim standard definitions for acquired resistance.
Clinical Microbiology and Infection, vol. 18(3), pp. 268-81.
11. Carroll KC., Glanz BD., Borek Ap., Burger C., Bhally S., Henciak S., Flayhart D. 2006.
Evaluation of the BD Phoenix automated microbiology system for identification and
antimicrobial susceptibility testing of Enterobacteriaceae. Journal of Clinical
Microbiology, vol. 44(10), pp. 3506-9.
12. Genomica, 2015. CLARTSeptiBac: Detection and molecular identification of bacteria
and fungi causing sepsis for in vitro diagnostics. Madrid: Genomica.
13. Biutifasari V., Aryati. 2015. Uji identifikasi bakteri dan kepekaan antibiotika dengan
alat TDR 300B (Technical Dedicated Reasonable-300B) terhadap VITEK 2 pada penderita
sepsis. Karya Akhir PPDS-1 Patologi Klinik. Surabaya: Universitas Airlangga.
14. Chen JR., Lee SY., Yang BH., Lu JJ. 2008. Rapid identification and susceptibility testing
using the VITEK 2 system using culture fluids from positive BacT/ALERT blood cultures.
J Microbiol Immunol Infect.,vol. 41(3), pp. 259-64.
15. Anonymous, 2017. BacT/ALERT Culture Media.http://www.biomerieux-usa.com.
[Online][Accessed 30 Juni 2017].
16. Mindray. 2013. Microorganism analysis system clinical evaluation report. Changsha:
Mindray.
17. Anonymous, 2017. API.http://www.biomerieux-usa.com. [Online][Accessed 30 Juni
2017].
18. Sugiartha IGE., Sri Rejeki IGAAP., Wardhani P., Semedi BP. 2016. Perbandingan hasil
identifikasi metode API dan TKA konvensional dengan metode Technical Dedicated
Reasonable (TDR)-300B. Karya Akhir PPDS-1 Patologi Klinik. Surabaya: Universitas
Airlangga.
19. Procop GW., Church DL., Hall GS., Janda WM., Koneman EW, Schreckenberger PC,
Woods GL, 2017. Konemans Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, 7th
edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health, pp.1117-20.
20. Mirrett S., Reller LB. 2005. Comparison of the Versa TREK and the BacT/ALERT
blood culture systems for the growth of fastidious microorganisms. ASM vol.1, pp 1-2.
---o0o---
Soetjipto
Staf medik/ dosen, SpKJ (Konsultan Adiksi) pada Departemen Psikiatri FK UNAIR/ RSUD Dr
Soetomo, Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan
Penilaian psikiatrik yang baik pada kasus penyalahgunaan zat membutuhkan ketrampilan
dan kompetensi klinisi yang baik pula, dengan tujuan agar hasil yang didapat nantinya
dapat menggambarkan keadaan klinis penderitanya. Sebuah pendekatan dengan empati, yang
tidak menghakimi dari klinisi harus digunakan, agar pasien dapat memberikan keterangan
sejujur mungkin. Dalam pemeriksaan dan penilaian pasien , mungkin diperlukan sebuah
pendekatan multidisiplin, karena tidak jarang penyalahgunaan zat terkait dengan masalah
kesehatan fisik, psikologis dan masalah fungsi sosial (termasuk perumahan, lapangan kerja
dan/ atau keterlibatan dengan sistem peradilan pidana).
Tujuan penilaian
Adapun tujuan penilaian pada kasus penyalahgunaan zat meliputi: mengobati masalah
kedaruratan, mengkonfirmasikan zat yang dikonsumsi pasien (sejarah, pemeriksaan, tes
laboratorium), menilai tingkat ketergantungan, mengidentifikasi masalah kesehatan fisik
dan mental, mengidentifikasi masalah sosial, dan hal-hal lain yang dapat digunakan untuk
membantu penetalaksanaan pasien.
Penilaian jenis zat yang digunakan
Untuk menilai jenis zat yang digunakan perlu ditanyakan: jenis zatnya apa, berapa besar dosis
sekali pakai, frekuensi pemakaian per hari, cara penggunaan, kapan waktu penggunaan terakhir,
lama dan pola penggunaan: berapa lama, tiaphari atau tidak, penggunaan semua zat dalam 3 hari
terakhir, umur mulai menggunakan Napza, pernahkah berhenti, over dosis, bagaimana dengan
peningkatan dosis, toleransi dan withdrawal. Dengan mengetahui semua hal tersebut di atas,
maka dapat diperkirakan tingkat keparahan, tingkat neuroadaptasi, tingkat risiko pasien pada
penyalahgunaan zat, yang berguna pula dalam merencanakan terapi. Penilaian lain yang diperlukan
meliputi: penilaian fungsi sosial, penilaian keterlibatan dalam kriminal, penilaian riwayat masa
lalu, pemeriksaan fisik dan mental dan pemeriksaan laboratorium.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan zat
Staf medis yang melakukan pemeriksaan zat harus kompeten dalam mengambil sampel dan
jika memungkinkan, sekaligus dapat membaca hasilnya. Pemeriksaan wajib dilakukan di
laboratorium yang terakreditasi. Pemeriksaan laboratorium pada penyalahgunaan zat ini dapat
meliputi: tes skrining, tes konfirmasi, tes urine, pemeriksaan cairan oral, pemeriksaan rambut.
Penutup
Penilaian psikiatrik sebelum pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan, karena dengan
melakukan penilaian ini, dapat dinilai sejauh mana derajad penyalahgunaan, resiko dan
neuroadaptasi serta permasalahan lain yang terkait dengan penyalahgunaan zat, sehingga
dapat direncanakan penatalaksanaan/ terapi yang paling cocok bagi pasien. Dengan
penatalaksanaan yang cocok akan memberikan prognosis yang lebih baik.
Pendahuluan
Penilaian psikiatrik yang baik pada kasus penyalahgunaan zat membutuhkan ketrampilan
dan kompetensi klinisi yang baik pula, dengan tujuan agar hasil yang didapat nantinya
dapat menggambarkan keadaan klinis penderitanya. Sebuah pendekatan dengan empati, yang
tidak menghakimi dari klinisi harus digunakan, agar pasien dapat memberikan keterangan
sejujur mungkin. Karena itu, proses penilaian untuk mendapatkan data secara lengkap kadang
kala membutuhkan beberapa kali pertemuan/ konsultasi.
Seorang pasien penyalahgunaan zat dapat hadir pada saat krisis. Wawancara awal yang
terlalu lengkap dapat mengurangi kesempatan mereka terlibat dalam program terapi. Namun
demikian, informasi yang cukup perlu diperoleh dalam konsultasi awal untuk menilai
masalah pasien dengan aman. Salah satu cara tersebut adalah dengan melibatkan keluarga
atau wali yang sesuai/ mengetahui keadaan pasien selama ini.
Sebuah pendekatan multidisiplin untuk penilaian pasien mungkin diperlukan, karena tidak
jarang penyalahgunaan zat terkait dengan masalah kesehatan fisik, psikologis dan masalah
fungsi sosial (termasuk perumahan, lapangan kerja dan/ atau keterlibatan dengan sistem
peradilan pidana). Catatan medik secara tertulis harus dibuat agar dapat digunakan sebagai
dasar untuk membahas perencanaan, tujuan dan sasaran perawatan dengan pasien. Kadang
diperlukan persetujuan/ kesepakatan dengan pasien tentang proses pemeriksaan dan terapi
yang akan dijalani tersebut.
Setelah dilakukan penilaian secara menyeluruh, baru rencana perawatan atau pengobatan
dapat ditentukan.
Tujuan Penilaian
Adapun tujuan penilaian pada kasus penyalahgunaan zat meliputi: mengobati masalah
kedaruratan, mengkonfirmasikan zat yang dikonsumsi pasien (sejarah, pemeriksaan, tes
laboratorium), menilai tingkat ketergantungan, mengidentifikasi masalah kesehatan fisik
dan mental, mengidentifikasi masalah sosial: perumahan, pekerjaan, kekerasan dalam rumah
tangga, menilai perilaku berisiko, menentukan harapan pengobatan dan keinginan untuk
berubah, menentukan kebutuhan obat pengganti, menilai kompetensi orang-orang yang
berada di sekitarnya untuk menyetujui pengobatan dan melibatkan orang tua yang sesuai,
menilai faktor risiko, menyediakan akses ke alat suntik steril dan pembuangan jarum
secara aman yang diperlukan, menyediakan tes untuk hepatitis dan HIV, memberikan
imunisasi terhadap hepatitis B, menentukan tingkat yang paling tepat keahlian untuk
mengelola pasien. Rujukan atau penghubung dengan layanan spesialis mungkin diperlukan
oleh pasien.
Penilaian Risiko
Pada saat penilaian risiko, perlu diperhatika adanya beberapa hal yang mungkin terjadi
pada penyalahgunaan zat, misalnya pasien dalam keadaan overdosis, penggunaan polydrugs
dengan alkohol, praktek penggunaan Napza suntik yang tidak aman, praktek hubungan
seks yang tidak aman, risiko menyakiti diri atau membahayakan orang lain, risiko untuk
terjadinya kekerasan pada anak-anak atau pasangan. Di samping itu, perlu ditanyakan juga:
tentang anak-anak, usia dan tingkat hubungannya, efek dari penggunaan zat terhadap fungsi
sebagai orang tua, efek dari perilaku mencari zat pada anak-anak - yang mereka tinggalkan
tanpa pengawasan, bagaimana cara mendapatkan uang untuk beli Napza, bagaimana efek
kesehatan fisik/ mental terfadap pengasuhan pada anak, dapatkah mereka memberikan
dukungan emosional kepada anak-anak, efek pada rutinitas untuk keluarga - misalnya,
mengantar anak sampai ke sekolah tepat waktu, adakah jaringan pendukung lainnya
misalnya keluarga, teman-teman, apakah zat dan perlengkapan yang digunakan disimpan
dengan aman, apakah orang tua dapat mengakses bantuan profesional, prosedur perlindungan
anak setempat harus diikuti jika ada risiko bahaya yang signifikan kepada anak-anak.
Saran harus diberikan tentang akses untuk membersihkan peralatan suntik dan pertukaran
jarum suntik. Perlu juga diberikan informasi harm reduction (pengurangan dampat buruk)
overdosis dan tertular infeksi yang ditularkan melalui darah.
Pemeriksaan Laboratorium
Sejumlah investigasi mungkin perlu dilakukan untuk pasien penyalahgunaan zat. Sudah
seyogyanya pemeriksaan yang dilakukan adalah sesuai riwayat, gejala dan tanda-tanda fisik
yang ada pada pasien. Pemeriksaan tersebut antara lain: pemeriksaan zat yang ada di dalam
tubuh, pengujian untuk hepatitis B dan C, pengujian untuk HIV, pengujian kehamilan, tes
darah untuk menilai hati, tiroid dan fungsi ginjal dan indeks hematologis, EKG dan sebagainya.
Penutup
Penilaian psikiatrik sebelum pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan, karena dengan
melakukan penilaian ini, dapat dinilai sejauh mana derajat penyalahgunaan, resiko dan
neuroadaptasi serta permasalahan lain yang terkait dengan penyalahgunaan zat, sehingga
dapat direncanakan penatalaksanaan/ terapi yang paling cocok bagi pasien. Dengan
penatalaksanaan yang cocok akan memberikan prognosis yang lebih baik.
REFERENSI:
1. Department of Health (England) and the devolved administrations: Drug Misuse and
Dependence: UK Guidelines on Clinical Management.2007.
2. NICE (National Institute for Health and Care Excellence): Quality standard for drug use
disorders. November 2012
3. R.C Wong and H. Y. Tse: Drug of Abuse Body Fluid Testing,2005.
---oOo---
A.A.Wiradewi Lestari
Clinical Pathology Department, School of Medicine, Udayana University
ABSTRAK
Pemeriksaan narkoba dapat dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti
darah, urine, cairan oral, keringat ataupun rambut. Urine merupakan spesimen yang paling
sering digunakan untuk pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah
besar dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat
dibandingkan menggunakan spesimen lainnya. Obat-obatan dalam urine biasanya dapat
dideteksi sesudah 1-3 hari. Pemeriksaan narkoba dibagi menjadi pemeriksaan skrining
dan konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat atau
metobolitnya dengan hasil presumptif positif atau negatif. Secara umum pemeriksaan
skrining merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi
dan akurasi yang masih dapat diterima, walaupun kurang spesifik dan dapat menyebabkan
hasil positif palsu. Panel pemeriksaan narkoba mencerminkan jenis narkoba yang banyak
digunakan, tetapi biasanya meliputi 5 macam obat yaitu amfetamin, kanabinoid, kokain,
opiat dan PCP. Dibandingkan berbagai spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan
narkoba, urine merupakan spesimen yang paling mudah dimanipulasi. Terdapat
pemeriksaan sederhana untuk mendeteksi adanya manipulasi ataupun penambahan zat-zat
yang mengganggu pemeriksaan. Pada pemeriksaan skrining, metode yang sering digunakan
adalah immunoassay dengan prinsip reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi.
Pemeriksaan konfirmasi dilakukan dengan menggunakan metode yang sangat spesifik untuk
menghindari terjadinya hasil positif palsu. Metoda konfirmasi yang sering digunakan adalah
gas chromatography / mass spectrometry (GC/MS) atau liquid chromatography/ mass
spectrometry (LC/MS) yang dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak
dapat bereaksi silang dengan substansi lain.
Preface
Ordering and interpreting urine drug screenings requires an understanding of the different
testing modalities, the detection times for specific drugs, and the common reasons for
false-positive and false-negative test results. Urine drug screening is commonly required
as a workplace mandate (e.g., preemployment screenings; returning to work after an
unexplained absence; industrial accidents where damage, injury, or loss of life may have
been caused by negligence or impairment; federal regulations; random testing for continued
licensure or employment). Screening may be required in safety sensitive occupations,
such as the trucking, mass transit, rail, airline, marine, or oil and gas pipeline sectors. It
may also be required for military or sports participation; for legal or criminal situations
(e.g., post-accident testing, parole);1,2 or for health reasons (e.g., rehabilitation testing, pain
management, treatment compliance monitoring, determining a cause of death).1,3 In addition
to mandates and regulations, patient behavior or risk patterns may suggest that urine drug
screening is warranted. There are often no reliable signs of drug abuse, dependency, or
addiction; nor are there definitive signs of diversion or trafficking. Relying on observations
of aberrant behavior detects less than 50 percent of patients who are misusing drugs. A
negative urine drug screening result does not exclude occasional or even daily drug use.
Because infrequent drug use is difficult to detect regardless of testing frequency, the benefits
of frequent drug testing are greatest in patients who engage in moderate drug use. Random
urine screening in patients taking opioids for pain management may reveal abnormal
findings, including absence of the opioid, presence of additional nonprescribed substances,
detection of illicit substances, and adulterated urine samples.1
Testing Methods
Before the screening, physicians should obtain a history of patients prescription, over-
the-counter, and herbal medication use. This may raise suspicion of drug abuse or
dependency. There are two main types of urine drug screening: immunoassay testing and
chromatography. Improper procedures may increase the risk of laboratory or on-site testing
errors.1 Immunoassay tests use antibodies to detect the presence of drugs. These tests can
be processed rapidly, are inexpensive, and are the preferred initial test for screening.1,3,5
The most commonly ordered drug screens are for cocaine metabolites, amphetamines,
phencyclidine, marijuana metabolites, and opiate metabolites. The accuracy of
immunoassay testing varies, with a high predictive value for marijuana and cocaine, and a
lower predictive value for opiates and amphetamines. A number of commonly prescribed
medications can cause positive immunoassay tests.1 Positive results from an immunoas-
say test should be followed by confirmatory testing using chromatography. These tests are
more expensive and time consuming, but are more accurate than immunoassay tests.1,2,4,5,6
for a particular medication may be necessary to resolve issues of diverting the prescribed
medication. Negative results in a dilute urine specimen make interpretation problematic.
The director or toxicologist of the reference laboratory can serve as a valuable resource if
questions arise. 1
REFERENCES
1. Standridge,J.B., Adams, S.M.,Zotos, A.P. Urine Drug Screening: A Valuable Office
Procedure.American Family Physician. 2010;81(5):635-40
2. Honour, J.W. Testing for Drug Abuse. The lancet.1996;348:41-43
3. Melanson, S.E.F. Drug of Abuse Testing at the Point of Care.Clin Lab Med.2009;29:503-09
4. Swiss Guidelines Committee for Drugs of Abuse Testing. Guidelines for Drugs of Abuse
Testing.2012: 1-62
5. Indrati, A.R.Urinary Drugs Testing. Dibawakan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional
Kesehatan Jiwa, Adiksi dan Neurosains.Bandung. 5-6 Juni 2015
6. Fitzsimons,M.G., Ishizawa Y., Baker, K.H. Drug testing physicians for substances of
abuse: case report of a false-positive result.Journal of Clinical Anesthesia. 2013;25;
669-71
ABSTRAK
Kelainan darah merupakan suatu kondisi yang sering dijumpai di masyarakat luas baik
yang menimbulkan keluhan maupun tanpa keluhan. Berbagai macam kelainan darah dapat
didiagnosis baik yang bersifat ganas maupun tidak. Adapun beberapa kelainan tersebut
antara lain 1) kelainan sel darah merah seperti anemia, polisitemia vera; 2) kelainan pada
sel darah putih seperti multiple myeloma, leukemia akut dan kronis, sindroma
myelodisplasia; 3) kelainan pada trombosit seperti imun trombositopenia purpura,
trombositosis esensial; 4) kelainan pada sistem pembekuan darah (diatesis hemoragik).
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan peran dari laboratorium
sebagai penunjang dasar maupun lanjut sangat membantu untuk menegakkan diagnosis
kelainan darah. Pemeriksaan laboratorium dasar dan rutin antara lain hitung darah lengkap,
hapusan darah tepi, LED yang berguna untuk diagnosis awal kelainan darah. Pemeriksaan
lanjutan yang sering dilakukan seperti aspirasi sumsum tulang, immunophenotyping
bermanfaat untuk diagnosis pasti suatu leukemia baik yang akut maupun kronis; sedangkan
SI TIBC dan retikulosit berguna untuk mencari penyebab suatu anemia. Pemeriksaan faal
hemostasis juga terkadang diperlukan terutama pada kasus dengan diatesis hemoragik
sehingga dapat diketahui faktor-faktor penyebab perdarahan.
Pendahuluan
Kelainan darah merupakan suatu kondisi yang sering dijumpai di masyarakat luas
baik yang menimbulkan keluhan maupun tanpa keluhan. Saat ini dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan berbagai pemeriksaan laboratorium penunjang, kelainan darah
menjadi lebih awal terdeteksi, sehingga mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.
Berbagai macam kelainan darah dapat didiagnosis baik yang bersifat tidak ganas maupun
keganasan antara lain 1) kelainan sel darah merah seperti anemia, polisitemia vera; 2)
kelainan pada sel darah putih seperti multiple myeloma, leukemia, sindroma myedisplasia;
3) kelainan pada trombosit seperti imun trombositopenia purpura, trombositosis esensial;
4) kelainan pada sistem pembekuan darah (diatesis hemoragik). Pada makalah ini akan
dibahas mengenai berbagai jenis kelainan darah dan berbagai pemeriksaan laboratorium
yang rutin dilakukan hingga pemeriksaan yang lebih lanjut dan khusus sehingga diagnosis
kelainan darah dapat ditegakkan secara pasti dan pemberian terapi bisa diberikan secara
tepat dan spesifik sesuai diagnosis.
dari tiga jenis utama sel darah (sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit) ataupun
melibatkan protein darah yang terlibat dalam pembekuan. Tidak setiap kelainan darah
membutuhkan perawatan. Adapun beberapa kelainan darah yang memerlukan penanganan
antara lain
(Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif ( butir hemosiderin negatif).
Dalam keadaan normal 40-60% normoblas mengandung granula ferritin dalam
sitoplasmanya disebut sebagai sideroblas.
Anemia Aplastik
Definisi: merupakan suatu kegagalan hemopoiesis ditandai suatu pansitopenia, hypo-
plasia berat atau aplasia sumsum tulang tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.
Sejumlah pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis anemia aplastik.
Fungsi beberapa tes yang dilakukan antara lain untuk membantu mengkonfirmasikan diag-
nosis anemia aplastik, mencari penyebabnya, dan mencari tahu seberapa parahnya serta
menyingkirkan kemungkinan kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang sama misal
hemoglobinuria nokturnal paroxysmal (PNH). Kelainan laboratorium pada kasus anemia
aplastik yang dapat dijumpai antara lain
I. Hitung darah lengkap menunjukkan suatu pansitopenia mulai derajat ringan hingga berat
II. Hapusan Darah Tepi pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan.
Jenis anemia yang terjadi normokrom normositer, kadang ditemukan pula makrositosis,
anisositosis dan poikilositosis. Granulosit dan trombosit menurun, limfositosis relatif
bias didapatkan > 75% kasus.
III. Jumlah Retikulosit, persentase retikulosit umumya normal atau rendah. Pada sebagian
kecil kasus kadang dijumpai persentase retikulosit >2% tetapi bila dikoreksi dengan
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) hasilnya normal atau rendah juga.
IV. Peningkatan Laju Endap Darah hampir selalu didapatkan ( sekitar 89% kasus) bias
mencapai > 100 mm dalam jam pertama.
V. Faal Hemostasis, dapat terjadi waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk
akibat trombositopenia. Sedangkan faal hemostasis lainnya normal.
VI. Pemeriksaan Sumsum Tulang, karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif
yang mungkin teraspirasi, sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan
melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik
Anemia Hemolitik
Definisi: kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Berdasarkan
ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada kejadian hemolisi, anemia hemolitik
dikelompokkan menjadi: 1) anemia hemolitik imun : yang terjadi karena keterlibatan
antibodi yang biasanya Ig G atau Ig M yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (disebut
autoantibodi); 2) anemia hemolitik non imum : yang terjadi tanpa keterlibatan immuno-
globulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membrane, faktor
lingkungan lain seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati
atau infeksi. Kelainan laboratorium pada kasus anemia hemolitik yang dapat dijumpai
antara lain
I. Hitung darah lengkap menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar 7-
10g/dl) dan MCV yang normal atau meningkat.
II. Hapusan Darah Tepi, morfologi menujukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit
yang dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya misal sferosit pada
sferositosis herediter atau anemia hemolitik autoimun (AIHA); sel target pada thalas-
semia, hemoglobinopati; schistosit pada mikroangiopati.
III. Jumlah Retikulosit, persentase retikulosit meningkat ( retikulositosis) yang
mencerminkan adanya hyperplasia eritroid di sumsum tulang. Retikulositosis dapat
diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielositis dan perbaikan supresi eritropoiesis.
IV. Peningkatan kadar bilirubin indirek
V. Peningkatan kadar LDH
VI. Pemeriksaan Kadar Antibodi; untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit terdapat 2
jenis pemeriksaan yaitu:
1) Direct Antiglobulin Test (direct Coombs test): bila pada permukaan sel terdapat
salah saru atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
2) Indirect Antiglobulin Test (indirect Coombs test): untuk medeteksi autoantibodi
yang terdapat pada serum.
VII. Pemeriksaan khusus lainnya
- Sucrose Water Test dan Acid Hams Test : positif pada Paroksismal Nokturnal Hemo-
globinuria
- Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoiesis
- Elektroforesis hemoglobin : untuk mencari penyebab anemia hemolitik oleh karena
thalassemia.
Thalassemia
Definisi: merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin.
Kelainan laboratorium pada kasus thalasemia yang dapat dijumpai antara lain
I. Hitung darah lengkap menunjukkan penurunan kadar hemoglobin mulai ringan hingga
berat tergantung dari tipe thalassemia yang terjadi
II. Hapusan Darah Tepi, morfologi eriitrosit dapat menunjukkan adanya anemia
mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda (normonlast),
fragmentosit, sel target
Sindroma Myelodysplasia
Definisi: Suatu kumpulan gangguan di mana sumsum tulang tidak berfungsi dengan baik
(displasi sistem hemopoietik) dan tidak menghasilkan cukup sel darah normal (gangguan
maturasi dan diferensiasi). Kelainan laboratorium pada kasus Myelodisplasi yang dapat
dijumpai antara lain
I. Darah lengkap ditemukan adanya anemia dan /atau leukopenia/neutropenia dan/atau
trombositopenia.
II. Hapusan darah tepi menujukkan adanya sitopenia dari satu atau lebih system darah,
dengan adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit <30% dengan atau tanpa
monositosis di darah tepi
III. Pemeriksaan sumsum tulang: dapat hipo, normo atau hiperseluler dengan adanya
gambaran displasia pada sistem hemopoiesis ( anomaly Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas, dsb)
Leukemia
Sekelompok penyakit dimana sel darah putih tumbuh tak terkendali. Penyakit ini
diklasifikasikan menurut seberapa cepat penyakit tumbuh dan jenis sel yang terkena terbagi
menjadi Leukemia akut ( ALL dan AML ) serta Leukemia kronis (CML dan CLL)
II. Hapusan darah tepi: didapatkan gambaran dengan sel limfoblas >20 persen
III. Aspirasi sumsum tulang: pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis
dan klasifikasi. Spesimen yang didapat harus diperiksakan untuk analisis histologi,
sitogenetik dan Immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan
limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada ALL dewasa.
IV. Sitokimia: gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-
kadang tidak dapat membedakan LLA dari Leukemia Mieloblastik Akut (LMA). Pada
LLA, pewarnaan sudan black dan mieloperoksidase akan memberiksan hasil yang negatif.
Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dari B-LLA dan T-LLA. Pewarnaan
fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan pada sel B hasil
positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)
V. Immunophenotyping: pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA.
Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtype imunologi adalah antibody
terhadap:
Prekursor B: CD10 (umum antigen ALL), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy
chain dan TdT
Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8, dan TdT
Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20 dan CD22
Sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen myeloid antara lain CD13,
CD15, dan CD33, ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan antigen myeloid
dapat ditemukan meskipun jarang pada leukemia bifenotip akut.
VI. Analisis sitogenetik: sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan
dengan subtype LLA tertentu dan dapat memberikan informasi prognostik. Translokasi
t(8;14), t(2,8) dan t(8,22) hanya ditemukan pada LLA sel B yang menyebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa
kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, missal kromosom
Philadelphia, t(9,22)(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik namun dapat
juga ditemukan pada LMA dan LLA.
II. Hapusan darah tepi: eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan
adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingakatn
diferensiasi dan maturasi seri granulosit, presentasi sel mielosit dan metamieosit
meningkat serta eosinophil dan atau basophil juga meningkat.
III. Aspirasi sumsum tulang: gambaran hiperseluler akibat proliferasi dari sel-sel leukemia,
sehingga rasio myeloid:eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak.
Dengan pewarnaan retikulin tampak stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
IV. Pemeriksaan Sitogenetika: didapatkan mutasi dan translokasi yang menyebabkan
pembentukan gen hybrid BCR-ABL pada kromosom 22 (yang saat ini dikenal sebagai
kromosom Philadelphia) dan gen resiprokal pada kromosom 9. Semua pasien LGK
ditemukan gen BCR-ABL kromosom Ph (22q), namun 70% pasien LGK dapat ditemukan
BCR-ABL pada 9q+.
V. Peningkatan kadar asam urat sering ditemukan pada kasus LGK.
d. Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Definisi: suatu keganasan hematologic yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan
limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ lain.
Kelainan laboratorium pada kasus LLK yang dapat dijumpai antara lain:
I. Darah lengkap: jumlah leukosit dalam darah tepi berkisar antara 30.000-200.000/l,
dengan hemoglobin dan trombosit bisa normal atapun menurun.
II. Hapusan darah tepi: ditemukan banyak sel rusak (smudge cells), mungkin disebabkan
sel-sel limfosit yang rapuh. Kromatin inti lebih padat dan kadang-kadang tampak anak
inti.
III. Aspirasi sumsum tulang: pada keadaan dini, aspirasi tidak menunjukkan kelainan yang
berarti tetapi dengan biopsy sumsum tulang dapat ditemukan sarang-sarang limfosit.
Pada kasus lanjut limfosit dapat menggantikan jaringan hematopoietik, sehingga
pembentukan eritrosit dan trombosit berkurang walaupun kemampuan fungsional
eritropoiesis dan trombopoiesis normal.
IV. Immunophenotyping: didapatkan hasil khas limfosit CD5+, CD19+, CD20+, CD23+,
FMC7-/+, dan CD22-/+.
D. Diatesis Hemoragik
Perdarahan dapat terjadi akibat kelainan di pembuluh darah, jumlah trombosit, kualitas
trombosit, gangguan faktor-faktor koagulasi baik intrinsik maupun ekstrinsik dan gangguan
fibrinolysis. Diatesis hemoragik merupakan perdarahan yang terjadi akibat gangguan faal
hemostasis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain:
I. Tes untuk mengetahui kemampuan pembuluh darah yaitu Masa Perdarahan (Bleeding
Time)
II. Tes untuk mengetahui kemampuan trombosit:
- hitung jumlah trombosit
- masa perdarahan
- retraksi bekuan
- tes agregasi trombosit
III. Tes untuk menguji Faal Koagulasi Plasma:
- Masa pembekuan ( Clotting time)
- Plasma Prothrombine Time (PPT) untuk menguji jalur ekstrinsik + bersama (F V, F
VII, Fibrinogen )
- Kaolin Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk menguji jalur intrinsik
+ bersama (F VIIIc, IX, X, XI, XII, Protrombin, Fibrinogen)
Ringkasan
Berbagai macam kelainan darah dapat didiagnosis baik yang bersifat tidak ganas
maupun keganasan darah. Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
peran dari laboratorium sebagai penunjang dasar maupun lanjut sangat membantu untuk
menegakkan diagnosis kelainan darah. Pemeriksaan laboratorium dasar dan rutin antara
lain hitung darah lengkap, hapusan darah tepi, LED yang berguna untuk diagnosis awal
kelainan darah. Pemeriksaan lanjutan yang sering dilakukan seperti aspirasi sumsum tulang,
immunophenotyping bermanfaat untuk diagnosis pasti suatu leukemia baik yang akut
maupun kronis; sedangkan SI TIBC dan retikulosit berguna untuk mencari penyebab suatu
anemia. Pemeriksaan faal hemostasis juga terkadang diperlukan terutama pada kasus dengan
diatesis hemoragik sehingga dapat diketahui faktor-faktor penyebab perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta IM, Suega K (2014). Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Editor Siti S, Idrus A, A. W. Sudoyo et al, Edisi VI, jilid II; 2589-99
2. Luzzato L (2010). Hemolytic Anemias and Anemia due to Acute Blood Loss. In: Fauci
AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.,eds. Hematology and
Oncology Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. New York: Mc Graw
Hill; 110-127
3. Brodsky RA, Jones RJ. (2005). Aplastic Anemia. Lancet;365:1647-56
4. Damon LE, Andreas C (2014). Blood Disorder. In: Current Medical Diagnosis and
Treatment. 43th edition. Papadakis Ma, McPhee Sj, Rabow MW, eds. USA: McGraw-Hill;
494-98
5. Prenggono MD (2014). Polisitemia Vera. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor Siti S, Idrus A, A. W. Sudoyo et al, Edisi VI, jilid II; 2663-70.
6. Anderson K, Alsina, Atanackovic, Biermann S, Chadler JC. (2016). Multiple Myeloma.
Journal of the National Comprehensive Cancer Network; 14(4); 1-12.
7. Johan K (2014). Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor Siti S, Idrus A, A. W. Sudoyo et al, Edisi VI, jilid II; 2671-77.
8. Heri F, Lugyanti S. (2014). Leukemia Granulositik Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor Siti S, Idrus A, A. W. Sudoyo et al, Edisi VI, jilid II; 2678-82.
--- oOo---
Yetti Hernaningsih
Departemen/ Instalasi Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Perkembangan alat analisis hematologi begitu pesat dalam seperempat abad terakhir.
Setiap perusahaan berlomba dalam memperbaiki metode pengukuran sehingga lebih tepat
dalam mengidentifikasi suatu sel. Sejauh ini prinsip metode pengukuran dapat dibedakan
sebagai berikut: pengukuran impedansi, frekuensi tinggi, deteksi pencaran pada beberapa
sudut dan deteksi fluoresensi melalui sitometri. Metode ini terdapat pada alat dapat secara
tunggal maupun gabungan. Tidak ada satu alat yang mengakomodir setiap kemajuan teknologi
dalam menghitung dan mengidentifikasi eritrosit, leukosit, trombosit dan indeksnya secara
lengkap. Setiap alat hematologi menawarkan parameter andalan tertentu. Pemilihan alat
tentunya disesuaikan dengan urgensi kebutuhan dan kondisi laboratorium, sebab pada
prinsipnya kita harus memilih dari sekian banyak alat dengan kelebihan masing-masing
yang ditawarkan. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah sistem flagging yang sensitif,
sehingga dapat menekan semaksimal mungkin jumlah review manual. Pemilihan alat secara
umum perlu memperhatikan kontrol kualitas, sistem teknologi, kehandalan alat,
pemeliharaan, volume dan kemudahan analisis sampel, throughput, fasilitas perbaikan,
dukungan teknisi, ketersediaan suku cadang, flagging, jumlah review, bahan lain yang
berpengaruh, linearitas dan reagen per tes.
Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis leukosit merupakan tulang punggung
pemeriksaan yang membantu dokter umum dan spesialis mengetahui suatu kelainan atau
penyakit, seperti anemia, penyakit akut atau kronik, leukemia dan banyak lagi. Oleh
karenanya penting untuk memberikan hasil pemeriksaan yang benar. Untuk itu diperlukan
alat yang mampu memberikan presisi dan akurasi yang baik. Dalam kurun waktu
seperempat abad terakhir, perkembangan pembuatan alat analisis hematologi (hematology
analyzer) telah begitu maju. Mulai dari metode manual hingga metode yang menggabungkan
flow sitometri, robotik dan sistem teknologi terkini. Perkembangan ini meliputi penambahan
parameter baru hingga teknologi yang termutakhir.1
Otomatisasi di bidang hematologi telah dimulai sejak lebih 40 tahun lalu. Berbagai
instrumen otomatis telah menawarkan keunggulan masing-masing. Beberapa instrumen
mengandalkan kelebihan dalam mendeteksi blast dan kemampuan penggolongan jenis leu-
kemia, pemisahan jenis leukosit secara lebih spesifik, beberapa diantaranya mengunggulkan
kelebihan dalam deteksi dan analisis retikulosit, platelet imatur ataupun keunggulan teknologi
dalam mendeteksi platelet sehingga dapat dibedakan dengan eritrosit yang berukuran kecil.
Berdasarkan teknologi yang digunakan, pada prinsipnya cara pengukuran dapat dibedakan
sebagai berikut: pengukuran impedansi, pengukuran frekuensi tinggi, scatter pada berbagai
sudut, deteksi fluoresensi melalui cytometry.1,2
Pengukuran Impedansi
Teknik impedansi (prinsip Coulter) merupakan prinsip alat hematologi otomatis yang
pertama kali diperkenalkan. Metode ini berdasarkan pengukuran perubahan resistensi
selama sel melewati celah kecil diantara 2 elektroda. Sifat sel mempunyai konduktivitas
lebih rendah dibandingkan diluent. Impuls listrik yang dihasilkan sebanding dengan vol-
ume sel. Jumlah impuls dari semua sel dievaluasi dengan histogram berdasarkan ukuran
volume yang telah ditetapkan. Kurva distribusi yang dihasilkan secara otomatis
memisahkan ukuran lebih kecil sebagai platelet atau ukuran lebih tinggi sebagai leukosit
dan kemudian digambarkan sebagai grafik.2
Hematokrit dihitung berdasarkan jumlah semua impuls yang didapat dari pengukuran
volume sel secara langsung. Prinsip hydrodinamic focusing (Sysmex) merupakan
pengembangan penting konsep ini. Prinsip ini dapat mencegah koinsidens dan memberikan
kurva Gaussian yang baik untuk eritrosit. Hal ini juga meningkatkan kemampuan pemisahan
eritrosit kecil dan platelet. Perkembangan sistem hydrodinamic focusing dapat mencegah
penghitungan sel ganda karena koinsidens. Tempat mengalirnya sampel dilapisi oleh cairan
pembungkus aliran (sheath stream). Hal ini bertujuan mengurangi diameter aliran sampel
sehingga cukup untuk ukuran sel dan dapat menjaga sel mengalir secara individu. Sel
kemudian melewati medan listrik dan tidak dapat dikembalikan lagi oleh aliran turbulensi
di area pengukuran.2,3
Hitung Platelet
Platelet paling sering dihitung dengan teknik impedans. Platelet dan RBC keduanya
dianalisis pada kamar yang sama, dibedakan berdasarkan volumenya dan histrogram vol-
ume. Histogram platelet membentuk sebuah kurva logaritmik jika distribusi volume plate-
let sesuai dengan distribusi normal (log), sehingga semua partikel yang terletak di bawah
kurva dianggap sebagai platelet. Rentang rerata volume platelet dari 6 hingga 10 fl, tetapi alat
tipe impedans mengidentifikasi partikel dari 2 hingga 20 fl, dan sesuai dengan kurva, nilai
ambang atas yang membedakan platelet dan RBC sekitar 36 fl atau bervariasi tergantung
karakteristik sampel darah (Sysmex). Flag akan muncul berkaitan dengan ketidakmampuan
alat memisahkan secara jelas platelet dari RBC.1
Pada alat tipe laser (Abbott, Bayer dan lainnya), setiap partikel yang melewati sinar laser
dan pencaran cahayanya dideteksi oleh fotodiode. Jumlah sebaran cahaya (pada 1, 2 atau
bahkan 4 sudut pada beberpa alat) sebanding dengan area dan volume partikel. Platelet
diidentifikasi pada histogram pencar berdasarkan volume dan nilai indeks refraksi. Beberapa
alat (contoh Abbott) memberikan 3 hasil berdasarkan optik, impedans dan imunologi (CD61).
Alat lainnya (contoh Sysmex) memberikan hasil platelet optik bersama dengan pemeriksaan
retikulosit, setelah penggunaan cat fluoresens RNA. Evaluasi manual dilakukan bila hitung
platelet sangat rendah, adanya platelet clumping atau ukuran platelet yang besar. Hitung platelet
rendah palsu dapat disebabkan EDTA induce trombositopenia, platelet satelitism mengelilingi
WBC (rosette) dan agregat platelet-WBC. Peningkatan platelet palsu dapat disebabkan beberapa
hal diantaranya fragmented RBC, fragmen sitoplasma dari sel berinti, cryoglobulin, bakteri
atau jamur, dan lemak. Analisis hanya pada parameter platelet saja tidak cukup, pada beberapa
situasi scattergram diferensial WBC penting membantu memberikan flagging.1
leukosit berdasarkan ukuran sel dan densitas intinya. Sebagai contoh, limfosit merupakan
leukosit yang terkecil ukurannya dan terletak pada ujung terendah dari skala ukuran. Monosit,
prolimfosit dan granulosit imatur menempati area tengah dari histogram WBC, dan granulosit
matur berada pada ujung teratas. Beberapa alat hematologi kecil menggunakan WBC dengan
3 hitung jenis karena tidak mahal dan dapat diandalkan. Alat ini untuk laboratorium skala
kecil atau sebagai alat cadangan pada laboratorium yang lebih besar. Hal yang perlu diingat
bahwa identifikasi monosit, sel myeloid imatur, dan NRBC dengan alat tersebut sulit. Pada
umumnya review hapusan perifer diperlukan untuk validasi hasil alat tersebut.1
Pada alat hematology analyzer, jenis leukosit terutama dibedakan atas kandungan isi
sel dan daya serap sel tersebut terhadap bahan warna. Kandungan isi sel sangat dipengaruhi
oleh granularitas sel. Pada neutrofil, 4 identifikasi tipe granula ditemukan: granula primer,
granula sekunder, granula tersier, dan vesikel sekretori, sekalipun heterogenitas lain dari
fraksi ini dapat ditemukan.4
Pada eosinofil hanya mempunyai 1 tipe granula yang dikenali pada eosinofil. Granula
eosinofil manusia mengandung eosinofil peroksidase, protein heme yang berbeda dari MPO
neutrofil, beberapa protein kationik termasuk protein kationik eosinofil dan protein dasar
utama eosinofil / eosinophil major basic protein (MBP), neurotoksin (eosinophil-derived
neurotoxin). Eosinofil menunjukkan pengecatan peroksidase paling kuat dibandingkan
granuosit. Intensitas pengecatan berhubungan dengan kandungan protein dasarnya.5
Basofil mempunyai granula yaitu granula primer yang mempunyai peroksidase dan
mengandung sejumlah besar heparin dan histamin (sulfated acid mucosubstance), fitur
yang mungkin bertanggungjawab terhadap afinitas granula terhadap pewarna dasar. MBP
juga ditemukan pada basofil, sebagaimana halnya eosinofil.5
Alat hematologi saat ini mengkombinasikan teknologi laser, impedans, radio frekuensi,
arus searah, optimalisasi temperatur dan volume, dan pengecatan dengan bermacam cara
untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas alat otomatis. Perbaikan di sisi teknologi
akan meningkatkan presisi, akurasi dan standarisasi tentunya. Contoh alat hitung multi-
channel yang telah diperkenalkan sejak 1995 meliputi alat-alat yang diproduksi oleh Coulter-
Beckman Electronics, sysmex, Abbott, ABX Diagnostics dan Bayer-Technicon (sekarang
Siemen).1
Coulter-Beckman STKS, seperti alat lainnya mempunyai 5 parameter hitung jenis WBC
yang pelaporannya menggunakan persentase relatif dan jumlah absolut. Alat ini menggunakan
teknologi VCS (volume, conductivity, light scatter) untuk mengidentifikasi hitung jenis sel. V
mengukur volume dan jumlah sel dengan impedans, C mengukur ukuran inti dan densitas
setiap sel dengan aliran frekuensi tinggi, dan S scattering, dari sumber laser mengukur
struktur internal, granularitas dan karakteristik permukaan sel sebagaimana memberikan
informasi pada bentuk dan struktur setiap sel.1
Alat hematologi Sysmex secara simultan mengukur baik ukuran sel dan informasi
intrasel menggunakan metode radio frequensi / direct current (RF/DC). Gabungan metode
ini untuk menghitung dan mengklasifikasikan tipe sel. Pemilihan frekuensi yang sesuai
menentukan deteksi WBC tertentu. Channel lain mendeteksi WBC imatur, di mana reagen
spesifik melisiskan sitoplasma WBC normal dan menghitung WBC imatur yang intak.1,3
Alat Abbott menggunakan impedans dan teknologi laser optik. WBC dihitung dan
diklasifikasikan berdasarkan data light scatttering, menggunakan teknik multi-angle polar-
ized scatter and separation (MAPSS). Sudut scattering merupakan fungsi ukuran sel, indeks
refraksi, bentuk inti, rasio inti-sitoplasma, dan granularity. Satu dari instrumen Cell Dyne
saat ini menggunakan teknik scatter optik dan fluoresens dengan laser argon untuk
menghitung NRBC dan memisahkan parameter jenis leukosit. Instrumen Cell Dyne
berikutnya memberikan menu retikulosit, hitung CD4/CD8 dan CD64.1,2
Advia (Bayer, sekarang Siemens) untuk hitung jenisnya menggunakan pembacaan light
scatter untuk ukuran sel dan aktivitas peroksidase setelah terpapar reagen kromogen
proksidase untuk menghitung neutrofil, eosinofil, monosit dan limfosit. Basofil dihitung pada
operasi flow sitometri yang berbeda, reagen pelisis ditambahkan, sitoplasma WBC yang lain
dilucuti, meninggalkan basofil intak dan dihitung. Klaster WBC abnormal yang lain, didesain
sebagai large unstained cells (LUC), terkadang didapatkan. Klaster ini merupakan sel dengan
peroksidase negatif yang diidentifikasi sebagai limfosit besar, virosit atau sel blast.1
Alat ABX Diagnostics menawarkan 5 hitung jenis dengan mengkombinasikan impedans,
transmisi cahaya, sitokimia, dan fluoro-flow sitometri ke dalam sistem Double Hydrody-
namic Sequential. Pendekatan ini mengkombinasikan arus primer pertama untuk mengukur
impedans dan arus kedua untuk mendeteksi cahaya.1
Pada umumnya, alat otomatis bertujuan mengurangi kebutuhan verifikasi hasil abnor-
mal secara manual atau flagging hasil pasien dengan mengkombinasikan metode berbeda
untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas. Hal ini meningkatkan akurasi dalam
penghitungan sel dengan insidens rendah seperti NRBC, persentase sel hipokromik (%HYPO)
dan berbagai sel imatur, sehingga memperkaya parameter pemeriksaan yang dapat dikerjakan
oleh analyzer hematologi. Pengembangan tes lain seperti hitung retikulosit, CD4, CD8 dan
CD64 turut mengaburkan batas antara pemeriksaan imunologi dan hematologi.1,2
Alat hematologi dapat menghitung neutrofil total secara akurat dan tepat tetapi tidak
dapat melaporkan stab. Pada kondisi klinis tertentu informasi ini sangat diperlukan, sebagai
contoh neutrofil stab sangat membantu mendiagnosis sepsis neonatal. Sekalipun pada alat
muncul pada flagging, tetap untuk lebih tepatnya identifikasi membutuhkan pengamatan
manual, yang tentunya memerlukan banyak waktu.1
RINGKASAN
Pemeriksaan CBC merupakan tulang punggung berbagai evaluasi laboratorium. Setiap
alat hematologi menawarkan parameter andalan tertentu. Hal yang penting dicermati adalah
metode pemeriksaan, kedalaman pengembangan parameter tertentu yang kita butuhkan dan
tentunya flagging yang sensitif. Adanya flag yang sensitif membantu identifikasi sel abnor-
mal dan hitung abnormal palsu, mengurangi review manual yang harus dikerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaznowska-Bystryk I. The Automated Hematology Analyzer (Automatyczne
Analizatory Hematologiczne). Annales Universitatis Mariae Curie-Sklodowska Lublin
Polonia 2011;24(3,7)
2. Lehner J, Greve B, Cassens U. Automation in Hematology. Transfusion Medicine and
Hematotherapy 2007;34:328-339
3. Perkins S.L., Examination of The Blood and Bone Marrow. In: Green J.P., Foerster J,
Rodgers G.M., et al. (eds). Wintrobes Clinical Hematology. 20th ed. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, 2009: pp 1-7
4. Skubitz K.M. Neutrophilic Leukocytes. In: Green J.P., Foerster J, Rodgers G.M., et al.
(eds). Wintrobes Clinical Hematology. 20th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Phila-
delphia, 2009: pp 170-1
5. Moqbel R, Odemuyiwa S.O., Lacy P, Adamko D.J. The Human Eosinophil. In: Green J.P.,
Foerster J, Rodgers G.M., et al. (eds). Wintrobes Clinical Hematology. 20th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia, 2009: p 221
6. Befus A.D., Denburg J.A., Basophilic Leukocytes: Mast Cells and Basophils. In: Green
J.P., Foerster J, Rodgers G.M., et al. (eds). Wintrobes Clinical Hematology. 20th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2009: pp 236-7
7. Sahibon S. Selection Criteria for Mid-Range 5PD Haematology Analyzer. Available at:
www.sysmex.com.my, Accessed 16th April 2017
ii Symposium SURAMADE 7
Surabaya, 28 - 29 Juli 2017 iii