Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN INTERNA MAKALAH

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2021


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“SYOK SEPTIK”

Oleh :

Amirah Silino Rachmat 105101100520


Sulfaidah Laugi 105101104720

Pembimbing :
dr. Sumarni, Sp.JP-FIHA

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Interna)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-Nya serta segala
kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan hamba-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah dengan judul syok sepsis. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Interna.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas makalah Namun berkat bantuan saran,
kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Penulis juga sampaikan terima kasih banyak kepada dr. Sumarni, Sp. JP-FIHA, selaku
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari yang diharapkan oleh karena itu dengan
kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan
tugas ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara
khusus.

Wassalamu Alaikum

Makassar, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang.................................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi.............................................................................................................................................2

Etiologi.............................................................................................................................................2

Faktor Risiko....................................................................................................................................3

Patofisiologi ....................................................................................................................................4

Manifestasi Klinis............................................................................................................................5

Diagnosis..........................................................................................................................................8

Tatalaksana....................................................................................................................................11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ...................................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat dari terjadinya disregulasi
respon tubuh terhadap infeksi.1 Sepsis masih merupakan salah satu penyebab kematian utama
di beberapa negara Eropa, disamping penyebab lain diantaranya infark miokard akut, stroke,
dan trauma.1 Hampir 50% pasien yang di rawat di Intensive Care Unit (ICU) merupakan
pasien sepsis. Salah satu penyebab utama tingginya mortalitas pasien sepsis adalah
keterlambatan penanganan sehingga pasien jatuh dalam kondisi syok sepsis. 1 Untuk
mendapatkan hasil optimal, penanganan syok sepsis idealnya segera dilakukan pada 1 jam
pertama.1 Syok sepsis merupakan bagian dari sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan
metabolisme seluler yang dapat meningkatkan mortalitas.1
Sampai saat ini sepsis dan syok septik masih merupakan tantangan besar bagi dunia
kedokteran.2 Seiring penjalanan sepsis menjadi syok septik, risiko kematian meningkat secara
signifikan.2 Setiap jam keterlambatan pemberian antibiotik telah terbukti meningkatkan angka
kematian syok septik sebesar 7,6%.2 Sebaliknya, pasien systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) non-infeksi yang salah didiagnosis sebagai sepsis, dapat secara tidak tepat
diobati dengan antibiotik spektrum luas, sehingga menunda pengobatan inflamasi sistemik
yang mendasari dan memberikan kontribusi untuk munculnya resistensi antibiotik.
Kompleksnya patogenesis dan patofisilogi sepsis melibatkan hampir semua jenis sel, jaringan,
dan sistem organ. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang meneyebabkan
perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/ jaringan.
Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti perdarahan, infark miokard, anafilaksis,
emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.3
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah
dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.3
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa, disebabkan
oleh ketidakmampuan respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ dapat diidentifikasi
sebagai perubahan akut sebagai konsekuensi infeksi yang dirumuskan dalam skor
sequential (sepsis-related) organ failure assessment (SOFA) >= 2. Penekanan pada
disfungsi organ yang mengancam jiwa konsisten dengan pandangan bahwa cacat seluler
mendasari kelainan fisiologik dan biokimia system organ spesifik.2
Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah dan
selular/metabolic yang mendasari, dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Pasien
syok septik dapat diidentifikasi secara klinis yaitu sepsis dengan disertai hipotensi menetap
yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan arteri rata-rata >=
65 mmHg dan konsentrasi laktat darah > 2 mmol/L (>18 mg/dL) meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat .2
B. Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentasi 60 sampai
70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut
akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks
merupakan komponen utama membrane terluar dari bakteri gram negative. LPS
merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur

2
lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.
Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang
menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus.
Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (falciparum
Malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.3
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian
infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.3
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya a-hemolisin
(S.Aurens), E-Coli haemolisin (E.Coli) dapat merusak integritas membrane sel imun secara
langsung.3
Dari semua factor diatas, factor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram
negative dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan system imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan
gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggungjawab terhadap sepsis. Makrofag
mengeluarkan polipeptida, yang disebut factor nekrosis tumor (tumor necrosis factor/TNF)
dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering
meningkat sangat tinggi pada penderita immunocomprimise (IC) yang mengalami sepsis. 3
C. Faktor Risiko
Faktor risiko sepsis 4:
1. Keganasan
2. Usia > 65 tahun
3. Kondisi imunosupresi, disebabkan akibat pemakaian obat-obatan kortikosteroid,
kemoterapi, immunosupresan, atau akibat kondisi penyakit yang diderita pasien seperti
diabetes mellitus, atau AIDS.
4. Pasien Hemodialisa
5. Pecandu alcohol
6. Diabetes Mellitus Riwayat operasi atau prosedur invasive dalam 6 minggu terakhir,
terutama prosedur yang melibatkan esofagus, pancreas, dan operasi gaster.
7. Gangguan integritas kulit seperti pada pasien luka bakar, luka terbuka

3
8. Pemakaian indwelling line dan indwelling kateter
9. Penyalahan penggunaan obat-obatan intravena seperti narkoba
10. Kehamilan : risiko sepsis meningkat pada gangguan system imun, diabetes gestasional,
menerima prosedur invasive, keputihan berbau, dan perdarahan pervaginam.4

D. Patofisiologi
Respons inflamasi dan prokoagulan terhadap infeksi berkaitan sangat erat.
Beberapa agen infeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interleukin-1 mengaktifkan sistem koagulasi dengan cara menstimulasi pelepasan tissue
factor dari monosit dan endothelium yang memicu pembentukan trombin dan bekuan
fibrin. Sitokin inflamasi dan trombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik endogen
dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1) dari platelet dan
endothelium. PAI-1 merupakan penghambat kuat aktivator plasminogen jaringan, jalur
endogen untuk melisiskan bekuan fibrin.1
Efek lain dari trombin prokoagulan mampu merangsang jalur inflamasi multipel
dan lebih menekan sistem fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan thrombin-activated
fibrinolisis inhibitor (TAFI).1
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan respons
sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang menginduksi fibrinolisis
dan menghambat trombosis dan peradangan, merupakan modulator penting koagulasi dan
peradangan yang terkait dengan sepsis. Kondisi tersebut memberikan efek antitrombotik
dengan meng-inaktivasi faktor Va dan VIIIa, membatasi pembentukan trombin. Penurunan
trombin akan berdampak terhadap proses inflamasi, prokoagulan, dan antifibrinolitik.
Menurut data in vitro menunjukkan bahwa protein aktif C memberikan efek antiinflamasi
dengan menghambat produksi sitokin inflamasi (TNF-α, interleukin-1, dan interleukin-6)
oleh monosit dan membatasi monosit dan neutrofil pada endothelium yang cedera dengan
mengikat selectin. Hasil akhir respons jaringan terhadap infeksi berupa jejas endovaskuler
difus, trombosis mikrovaskuler, iskemia organ, disfungsi multiorgan, dan kematian
(Gambar 1).1

4
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi kardiovaskuler
a. Perubahan sirkulasi

Karakteristik hemodinamik utama dari syok septic adalah rendahnya tahanan vaskular
sitemik (TVS), sebagian besar karena vasodilatasi yang terjadi sekunder terhadap efek-efek
berbagai mediator (prostaglandin, kinin, histamine dan endorphin). Mediator-mediator yang sama
tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya permeabelitas kapiler, mengakibatkan
berkurangnya volume intravascular menembus membrane yang bocor, dengan demikian
mengurangi volume sirkulasi yang efektif. Dalam berespon terhadap penurunan TVS dan volume
yang bersirkulasi, curah jantung (CJ), biasanya tinggi tetapi tidak mencukupi untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan organ. Aliran darah yang tidak mencukupi sebagian
dimanifestasikan oleh terjadinya asidemia laktat.

Dalam hubungannya dengan vasodilatasi dan TVS yang rendah, terjadi maldistribusi aliran
darah. Mediator-mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh sistemik menyebabkan vasodilatasi
tertentu dan vasokonstriksi dari jaringan vascular tertentu, mengarah pada aliran yang tidak
mencukupi ke beberapa jaringan sedangkan jaringan lainnya menerima aliran yang berlebihan.

5
Selain itu terjadi respon inflamasi massif pada jaringan, mengakibatkan sumbatan kapiler karena
adanya agregasi leukosit dan penimbunan fibrin, dan berakibat kerusakan organ dan endotel yang
tidak dapat pulih.

Gambar 2. Cardiovascular changes associated with eptic shock and the effects of fluid
resuscitation. A. Fungsi normal kardiovaskula, B. respon kardiovaskular pada syok septic, C.
kompensasi resusitasi cairan.
(sumber: Dellinger RP: Cardiovascular management of septic shock. Crit care Med 2003;31:946-
955.)

b. Perubahan miokardial

Kinerja miokardial mengalami gangguan, dalam bentuk penurunan fraksi ejeksi ventricular
dan juga gangguan kontraktilitas. Faktor depresan miokardial, yang berasal dari jaringan
pankreatik iskemik, adalah salah satu penyebabnya. terganggunya fungsi jantung juga diakibatkan
oleh keadaan metabolik abnormal yang diakibatkan oleh syok, yaitu adanya asidosis laktat, yang
menurunkan responsivitas terhadap katekolamin.

Dua bentuk pola disfungsi jantung yang berbeda terdapat pada syok septik. Bentuk pertama
dicirikan dengan curah jantung yang tinggi dan TVS yang rendah, kondisi ini disebut dengan syok

6
hiperdinamik. Bentuk kedua ditandai dengan curah jantung yang rendah dan peningkatan TVS
disebut sebagai syok hipodinamik.

2. Manifestasi Hematologi

Bakteri dan toksinnya menyebabkan aktivasi komplemen. Karena sepsis melibatkan respon
inflamasi global, aktivasi komplemen dapat menunjang respon-respon yang akhirnya menjadi
keadaan yang lebih buruk ketimbang melindungi.

Komplemen menyebabkan sel-sel mast melepaskan histamine. histamine merangsang


vasodilatasi dan meningkatnya permeabelitas kapiler. Proses ini selanjutnya menyebabkan
perubahan sirkulasi dalam volume serta timbulnya edema interstisial.

Abnormalitas platelet juga terjadi pada syok septik karena endotoksin secara tidak
langsung menyebabkan agregasi platelet dan selanjutnya pelepasan lebih banyak bahan-bahan
vasoaktif (serotonin, tromboksan A). platelet teragregasi yang bersirkulasi telah diidentifikasi pada
mikrovaskular, menyebabkan sumbatan aliran darah dan melemahnya metabolism selular. Selain
itu endotoksin juga mengaktivasi system koagulasi, dan selanjutnya dengan menipisnya faktor-
faktor penggumpalan, koagulapati berpotensi untuk menjadi koagulasi intravaskular disemanata.

3. Manifestasi Metabolik

Gangguan metabolik yang luas terlihat pada syok septik. Tubuh menunjukkan
ketidakmampuan progresif untuk menggunakan glukosa, protein, dan lemak sebagai sumber
energy. Hiperglikemia sering dijumpai pada pada awal syok karena peningkatan glukoneogenesis
dan resisten insulin, yang menghalangi ambilan glukosa ke dalam sel. Dalam berkembangnya
syok, terjadi hipoglikemia karena persedian glikogen menipis dan suplai protein dan lemak perifer
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.

Pemecahan protein terjadi pada syok septik, ditunjukkan oleh tingginya eksresi nitrogen
urine. Protein otot dipecah menjadi asam-asam amino, yang sebagian digunakan untuk oksidasi
dan sebagian lain dibawa ke hepar untuk digunakan pada proses glukoneogenesis. Pada syok tahap

7
akhir, hepar tidak mampu menggunakan asam-asam amino karena disfungsi metaboliknya, dan
selanjutnya asam amino tersebut terakumulasi dalam darah.

Dengan keadaan syok berkembang terus, jaringan adipose dipecah untuk menyediakan
lipid bagi hepar untuk memproduksi energi, metabolism lipid menghasilkan keton,yang kemudian
digunakan pada siklus kreb (metabolism oksidatif), dengan demikian menyebabkan pembentukan
laktat.

Pengaruh dari pada kekacauan metabolik ini menyebabkan sel menjadi kekurangan energi.
Defisit energi menyebabkan timbulnya kegagalan banyak organ pada keadaan multiple organ
failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi hepatobiller,
dan disfungsi susunan saraf pusat seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria diagnosis severe sepsis/syok septik

Sumber : Levy MN et all:2001, Crit care Med 31:1250,2003.

8
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan meningkatkan
angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena terganggunya permeabelitas
kapiler menyebabkan terjadinya edem otak peninggian tekanan intrakranial akan menyebabkan
terjadinya destruksi seluler atau nekrosis jaringan otak (Plum,1983). Tetapi defisit neurologik
fokal dapat terjadi akibat meningkatnya aggregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran
darah serebral. Sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral.

4. Manifestasi Pulmonal

Endotoxin mempengaruhi paru-paru baik langsung maupun tidak langsung. Respon


pulmonal awal adalah bronkokonstriksi, mengakibatkan hipertensi pulmonal dan peningkatan
kerja pernapasan. Neutrofil teraktifasi dan menginfiltrasi jaringan pulmonal dan vaskulatur,
menyebabkan akumulasi air ekstravaskular paru-paru (edema pulmonal). Neutrofil yang
teraktivasi menghasilkan bahan-bahan lain yang mengubah integritas sel-sel parenkim pulmonal,
mengakibatkan peningkatan permeabelitas. Dengan terkumpulnya cairan di interstisium,
komplians paru berkurang, terjadinya gangguan pertukaran gas dan terjadi hipoksemia.

F. KRITERIA DIAGNOSTIK

Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria identifikasi pasien sepsis, dengan
membandingkan kriteria tradisional SIRS dengan metode lain, yaitu Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) scoring (tabel 2). Berdasarkan analisis direkomendasikan SOFA score untuk
menilai derajat disfungsi organ pada pasien sepsis.5,6

9
Tabel 2. Kriteria Sepsis 1992-2016

Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA (Sequential
(Sepsis- related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. Skor
SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular, sistem saraf pusat,
dan ginjal dipilih berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki nilai 0 (fungsi normal)
sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkinan nilai dari 0 sampai 24 (Tabel 3).
Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat saja, namun dapat dinilai berkala dengan melihat
peningkatan atau penurunan skornya. Variabel parameter penilaian dikatakan ideal untuk
menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ.5,6

Tabel 3. Sequential organ failure assessment (SOFA) score

Ket : Dosis dobutamine dalam ug/kg/menit, FiO2; Fraksi oksigen inspirasi, PO2; tekanan parsial
oksigen MAP; Mean arterial pressure.

10
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis segera tanpa
menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA. Sistem skoring ini
merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA
hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu. Skor qSOFA ≥2
mengindikasikan terdapat disfungsi organ (tabel 4). Skor qSOFA direkomendasikan untuk
identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan memprediksi lama pasien dirawat
baik di ICU atau non-ICU. Pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat
dua atau lebih dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji
qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA (Gambar 6). 5,6

Tabel 4. Skor quickSOFA (qSOFA)

Gambar 3. Kriteria klinis pasien sepsis dan syok sepsis

11
G. TATALAKSANA SYOK SEPTIK

Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari penatalaksanaan sepsis yang


komprehensif, mencakup eliminasi pathogen penyebab infeksi, eliminasi sumber infeksi dengan
tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi
kegagalan organ atau renjatan, vasopressor dan inotropic, terapi suportif terhadap kegagalan organ,
gangguan koagulasi, dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptive pejamu terhadap
infeksi.
Penatalaksaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan segera mungkin.Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak
pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan mencakup aitway : a). breathing; b). circulation;
c).oksigenisasi, terapi cairan (kristaloid dan/ atau koloid), vasopresor/inotropik dan transfusi bila
diperlukan.Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan
vena sentral (CVP) 8- 12 mmHg, tekanan arterirata-rata (MAP)>65 mmHg danproduksi urin >0,5
ml/kg/jam.3
Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem
respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Traspor (delivety)oksigen ke janngan dapat
pula terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah
jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen
oleheritrosit menurun. Traspor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat
disfungsivaskular, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang
mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian
dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan. Oksigenisasi
bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah,
meningkatkan trasport oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.3

12
Gambar 4. Disfungsi organ multiple sebagai hasil akhir dai proses inflamasi yang berlanjut.
(Modifikasi dari Dhainaut)
Terapi Cairan
Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat peningkatan kapasitas vaskular
(penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun, kehilangan cairan melalui
pernapasan atau keringat), terjadinya perdarahan dan kebocoran kapiler. Pada keadaan
hipovolemik akan terjadi gangguan transpor oksigen dan nutrisi ke jaringan dan menyebabkan
terjadinya hipotensi dan renjatan.3
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
(NaCl 0,9% atau ringerlaktat), maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan pada terapi awal
karena lebih murah dan mudah didapat, tetapi perlu diberikan dengan volume yang lebih besar.
Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar Tidak kurang ata ruptur
berlebih. Secara klinis respons terhadap pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin
dan membaiknya penurunan kesadaran. Pada sarana yang lebih lengkap atau di unit rawat intensif
dapat dipantau dengan mengukur tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatantekanan venajugular, ronki, galop 33 dan
penurunan saturasi oksigen.3
Albumin merupakan protein plasma yang juga berfirngsi sebagai koloid. Albumin
berfungsi mempertahankantekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang

13
rendah (<2 gldl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin
perlu diberikan. Transfusi eritrosit (paclc red cell) diperlukan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipgrtahankan di atas 8 hingga l0
g/dl. Namun pertimbangan dalam memberikan transfusi
bukan berdasarkan kadar Hb semata, tetapijuga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia,
keuntungan dankerugian pemberian transfusi.3
Vasopresor dan Inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Hipotensi terjadi sebagai
akibat vasodilatasi atau sebagai akibat disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan
arteri rata-rata(MAP) 60 mmHg, atautekanan darah sistolik 90mmHg.3
Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin dapat menggambarkan adanya
perbaikan perfusi dan fungsi organ. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamine dengan dosis >8
mikrogram(mcg),&g/menit, norepinefrin 0,03 - 1, 5 mcg/kg/menit, fenileferin 0, 5 - 8 mc
g,&g/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3 -8 mcg/kg/menit, epinefrin 0, I -0, 5 mc/lkg/menit
atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).3
Bikarbonat
Bikarbonat telah lama digunakan dalam mengkoreksi asidemia pada sepsis. Namun terapi
bikarbonat untuk koreksi asidemia pada sepsis saat ini diragukan manfaatnya, dengan alasan
bahwa bikarbonat sebagai bufer bermanfaat pada tingkat selular; sedangkan pada sepsis dan
renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan konsekuensi terjadinya gangguan traspor
karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin rendah. Secara empirik
bikarbonat dapat diberikan bila pH < '7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/I, dengan disertai upaya
untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.3
Disfungsi Renal
Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut, disebabkan karena
gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik atau hipotensi,
keadaan ini harus segera diperbaiki dengan pemberian cairan secara adekuat, terapi dengan

14
vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan oliguria, pemberian cairan perlu dipantau
secara ketat oleh karena pemberian cairan secara agresifdapat menyebabkan edema paru. Dopamin
dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada
sepsis, akan tetapisecara evidence based terapi ini tidak terbukti menurunkan mortalitas dan
menurunkan kebutuhan akan dialisis.3
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan
osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Teknik hemofiltrasi yang digunakan berupa continuous arteiovenous hemofiltratior
(CAVH) atau circulation of dialysate on ultrafiltrate chamber (CAYHDF).3
Baik hemodialisis ataupun hemofiltrasi merupakan terapi pengganti yang saling
melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil
dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi memiliki kelebihan dalam memperbaiki kontraktilitas
miokard, memperbaiki transpor oksigen dan memodulasi respons imunologis melalui bersihan
mediator inflamasi.3
Nutrisi
Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus diperhatikan dalam perawatan
pasien sepsis. Pada sepsis terjadi stress yang menyebabkan gangguan metabolism berbagai zat
nutrisi. Di satu pihak terjadi hiperkatabolisme akibat kebutuhan yang meningkat, sedangkan
keadaan gangguan perfusi dan hipoksia menyebabkan proses utilisasi dan pengangkutan sisa
metabolisme menjadi terganggu. Pada metabolisme glukosa te{adi peningkatan produksi (proses
glikolisis dan glukoneogenesis), ambilan (uptake) dan oksidasinya pada sel; peningkatan produksi
dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Pada
metabolisme lemak terjadi lipolisis dan hipertrigliseridemia dan proses katabolisme pada
metabolism protein.3
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan
bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah
perlu dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses
inflamasi dan penurunan mortalitas.3

15
Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi dicoba pemberiannya pada sepsis berat dan renjatan dengan
hasil tidak terbukti menurunkan mortalitas. Saat ini terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan
indikasi insufisiensi adrenal, dan dapat diberikan secara emprik bila terdapat dugaan keadaan
tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus intravena 4 kali sehari selama 7 haripada pasien
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.3

EARLY GOLD DIRECTED TREATMENT


Penelitian yang dilakukan Rivers dengan membandingkan tatalaksana yang disebut early goal
directed treatment dengan terapi standar. Inti dari tatalaksana ini bahwa terapi mencakup penye
suaian beban jantung preIoad, afterIoad dan kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand.
Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid bolus 500 ml tiap 30 menit
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg.3 Bila tekanan arteri rata-rata (MAP)
kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopresor hingga >65 mmHg dan bila MAP > 90 mmHg
diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi oksigen vena sentral (ScvO2); bila ScvO2<70%
dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30%. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal
namun ScvO2 < 70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP< 65 mmHg
atau frekuensi jantung >120 kali/menit.3 (Gambar 5).

Hasil penelitian pada 130 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penumnan mortalitas pada
kelompok early goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol 46.5% dengan perbaikan pada
parameter ScvO2, kadar laktat darah, defisit basa lebih rendah dan pH darah lebih tinggi.

16
Gambar 5. Early goal directed therapy (sumber rivers 2001)

MANAJEMEN SEPSIS

Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian 3 jam, 6 jam,
menjadi rangkaian 1 jam awal. Tujuan perubahan ini adalah diharapkan terdapat perubahan
manajemen resusitasi awal, terutama mencakup penanganan hipotensi pada syok sepsis. 10

Pengukuran Kadar Laktat

Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya hipoksia jaringan,
peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi beta adrenergik atau pada
beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur pada kondisi 2-4 jam awal
10
dan dilakukan tindakan resusitasi segera.

Kultur Darah

Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk meningkatkan optimalisasi
pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2 preparat terutama

17
untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat menyingkirkan penyebab sepsis,
10
apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.

Antibiotik Spektrum Luas

Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal. Pemilihan
antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang ditemukan.10

Cairan Intravena

Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan hipotensi dan
peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan kristaloid; tidak ada
perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada kondisi tertentu seperti penyakit ginjal
kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati. Beberapa teknik untuk menilai
respon10:

1. Passive leg raising test. Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori responder atau non-
responder, dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila pulse pressure bertambah > 10%
dari baseline, dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk menilai peningkatan cardiac
output dengan penambahan volume.

2. Fluid challenge test . Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke volume)
atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Pemberian cairan dapat
mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital untuk mencegah
ganguan kerusakan organ.

3. Stroke Volume Variation (SVV). Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat perubahan
tekanan intra-toraks saat pasien menggunakan ventilasi mekanik. Syarat penilaian responsivitas
cairan dengan metode ini adalah:

a. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh

b. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),

18
c. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%.

Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan untuk menilai responsivitas
cairan.

Pemberian Vasopressor

Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan, terutama perfusi
organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor
tidak boleh ditunda. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan
MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literatur ditemukan pemberian vasopressor/inotropik
sebagai penanganan awal dari sepsis.10

Pemilihan Vasopressor

Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan vasopressin (sampai


0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP dapat dilakukan.

Dopamin sebagai vasopresor alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan untuk pasien


tertentu, misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi relatif. Penggunaan
dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak direkomendasikan lagi. Dobutamin
disarankan diberikan pada hipoperfusi menetap meskipun sudah diberi cairan adekuat dan
vasopresor. Dobutamin dapat diberikan sampai dosis 20 ug/kgBB/menit atau ditambahkan
bersama vasopresor lain apabila terdapat: disfungsi miokard yang ditandai peningkatan tekanan
pengisisan jantung dan curah jantung yang rendah dan penurunan perfusi yang terus berlanjut
meskipun volume intravaskular dan tekanan rerata arteri adekuat telah tercapai. Dobutamin tidak
dipakai untuk meningkatkan indeks curah jantung sampai supranormal. Steroid dapat digunakan
apabila dengan norepinefrin target MAP masih belum tercapai.10

19
Gambar. Rekomendasi pemberian vasopressor dan steroid pada manajemen syok sepsis

INDIKATOR KEBERHASILAN RESUSITASI AWAL

Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)

MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ terutama otak dan ginjal.
Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg. Penetapan target MAP yang lebih tinggi (85 mmHg
dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko aritmia. Target MAP lebih tinggi mungkin
perlu dipertimbangkan pada riwayat hipertensi kronis. 5

Laktat

Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan pemeriksaan fisik
atau produksi urin. Keberhasilan resusitasi pasien sepsis dapat dinilai dengan memantau
penurunan kadar laktat, terutama jika awalnya mengalami peningkatan kadar laktat. 5,8

20
Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sen- tral (SvO2)

Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai parameter panduan tunggal resusitasi
cairan tidak direkomendasikan lagi.15 Jika CVP dalam kisaran normal (8-12 mmHg), kemampuan
CVP untuk menilai responsivitas cairan (setelah pemberian cairan atau fluid challenge) terbukti
tidak akurat. Penggunaan target CVP secara absolut seharusnya dihindari, karena cenderung
mengakibatkan resusitasi cairan berlebihan. 5,7

CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a CO2)

Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran metabolisme anaerob. Jika
peningkatan kadar laktat disertai peningkatan Pv- aCO2 atau peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap
Ca-vO2, kemungkinan besar penyebabnya adalah hipoperfusi. 5,7

21
BAB III
KESIMPULAN

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka sepsis
disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia, trombositopenis,
granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat dan hasil biakan kuman
penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok
(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Keadaan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan klinik yang membutuhkan reaksi
cepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Terapi yang diberikan berupa resusitasi, eliminasi
sumber infeksi, terapi antimikroba, dan terapi suportif

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ferianto, Oktaliansyah E, Indriasari. Pemberian Dini Vasopresor pada Syok Sepsis. JIK.
2020:14: 69-71
2. Diana S.P, Astrawinata D.A.W. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok Septik. Jurnal
Biomedik. 2018 November. Vol.10:3. 143-144
3. Pohan H.T, Chen K. Penatalaksanaan Syok Septik. Dalam: Sudoyo A.W. et al, eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
Pusat: Interna Publishing. 2014. Hal 4127-4131.
4. Elvina J, Yunasan, Mansjoer A. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam : Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S. & Pradipta, E. A., Buku Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media
Aesculapius. 2016: Edisi V, jilid II. Hal. 512-513
5. Putra IAS. Update Tatalaksana Sepsis. CDK. 2019;46:681–685.
6. Putra IMP. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. 2018;45:606–9.
7. Menkes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Sepsis. 2017;01:1–82.
8. Kurniawan MB, Pradian E, Nawawi AM. Lactate Clearance sebagai Prediktor Mortalitas
pada Pasien Sepsis Berat dan Syok Septik di Intesive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. J Anestesi Perioper. 2017;5:45–50.
9. Dellinger RP. Cardiovascular management of septic shock. Crit care Med 2003;31:946-
955.)
10. Millizia A. Penatalaksanaan sepsis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika.
2019;Vol.2;No.3.

23

Anda mungkin juga menyukai