Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Myelitis merupakan suatu kondisi peradangan yang mempengaruhi medulla
spinalis, dapat mengenai substansia alba ataupun substansia grisea. Myelitis
transversa merupakan suatu bentuk myelitis yang melibatkan gangguan seluruh fungsi
fisiologis sesuai dari segmen medulla spinalis yang terkena.(1)

B. Anatomi dan Fisiologi Medulla spinalis(1,2)


a. Medulla spinalis
Medulla spinalis merupakan suatu struktur sistem saraf pusat yang merupakan
lanjutan dari medulla oblongata. Medulla spinalis dimulai dari setinggi os Atlas
Vertebrae cervicales hingga ke vertebra lumbal 2. Struktur medulla spinalis terletak
dalam canalis vertebralis os vertebrae. Medulla spinalis akan dibungkus oleh selaput
meninges duramater, arachnoidmater dan pia mater yang merupakan kelanjutan dari
meninges di cerebri. Dalam spatium subarachnoid terisi cairan cerebrospinalis

Medulla spinalis Gambar


tersusun 1. Struktur
atas melintang
substansia Medulla
alba dan Spinalis
Substansia grisea. Substansi
grisea menyusun sisi tengah medulla spinalis, sementara substansia grisea menyusun
sisi luar. Medulla spinalis memiliki bagian-bagian khusus yang bertanggung jawab
terhadap traktus motorik, sensorik dan otonom. Secara garis besar, jaras tersebut
dikelompokan dalam ascending dan descending pathway.

2
Gambar 2. Kelompok jaras Medulla Spinalis
Ascending pathway terdiri dari serabut-serabut saraf yang bertugas dalam
mengatur pengiriman stimulus sensoris dari perifer ke otak. Komponen-komponen
dari ascending pathway antara lain:
1. Lemniscus Medialis: jaras ini berperan dalam pengaturan
pengiriman stimulus sensorik berupa raba halus, posisi tubuh dan
rasa getar
2. Traktus spinothalamicus ventrolateralis: jaras ini berperan dalam
stimulus raba intensitas kasar, suhu dan nyeri. Traktus ini dibagi
lagi atas:
a. Spinothalamicus ventralis yang berperan dalam pengaturan
rasa raba kasar
b. Spinothalamicus lateral yang berperan dalam suhu dan
nyeri
c. Spinoretikularis
3. Traktus spinocerebralis anterior dan posterior yang berperan dalam
pengiriman impuls keseimbangan menuju cerebelum
Descending pathway mengirim kumpulan jaras dari struktur yang mengatur
dalam hal motorik, dibagi dalam 2 kelompok besar kortikospinal dan kortikobulbar.
Kortikospinal yang mengatur dalam impuls ke ektremitas, kortikobulbar terdiri atas
beberapa jaras tractus reticulospinal anterior dan lateral, traktus tectospinal, traktus
vestibulospinal lateral dan medial, dan traktus interstitiospinal.

3
c. Sistem sensoris

Secara garis besar, alur jaras


sensoris dibagi dalam 2
kelompok, kelompok
ventrolateral dan posterior.
Kelompok posterior berperan
dalam sensasi kinestetik dan
raba halus. Yang terdiri dari
faciculus gracilis dan
faciculus cuneatus. Kedua
kelompok jaras ini akan
membawa impuls ke medulla
oblongata bagian bawah
yaitu ke nucleus gracillis dan
nucleus cuneatus, selanjutnya
dari nukleus tersebut, impuls
akan dibawa ke nucleus
ventro posterolateral
(VPL)dari thalamus lalu
dibawah ke korteks
Gambar 3. Jaras sensoris postcentral cerebri.
Kelompok ventrolateral dibagi ke dalam 2 kelompok, kelompok ventral dan
kelompok lateral. Kelompok ventrolateral akan langsung menyilang secara
kontralateral pada segmen medulla spinalis yang sesuai dengan letak sel neuronnya
menuju sisi lateral (suhu dan nyeri) dan menuju sisi ventral (tekanan dan raba kasar)

d. Sistem motorik
Sistem motorik akan melalui jaras kortikospinalis. Jaras ini diawali
dariberbagai
macam lokasi di cortex cerebri. Semua jaras dari berbagai bagian di cortex cerebri
akan dibawa melalui corona radiata. Lalu semua jaras akan berkumpul pada crus
posterior capsula interna, lalu jaras tersebut akan turun sepanjang batang otak hingga
ke medulla spinalis. 70-80% jaras akan menyilang secara kontralateral untuk
4
mempersarafi sisi tersebut, sedangkan 15-20% akan mempersarafi sisi secara
ipsilateral

Gambar 4. Traktus Corticospinalis

5
C. Epidemiologi
Insidensi terjadinya transverse myelitis dilaporkan terjadi pada 1 dari 8 kasus
per juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus transverse mielitis per tahun
didiagnosis di Amerika Serikat. 34.000 orang dewasa dan anak memiliki disabilitas
residual akibat dari transverse myelitis tersebut. Sekitar 20% kasus transverse myelitis
dapat terjadi pada anak – anak. Pada anak – anak, terdapat puncak insidensi terjadinya
transverse myelitis, yaitu pada rentang waktu 0 – 2 tahun, dan pada saat 5 – 17 tahun,
dengan insidensi tertinggi pada saat kelahiran dan usia 2 tahun.

D. Etiologi
 Virus
Sebesar 20 – 40% dari penyebab terjadinya transverse myelitis adalah infeksi
virus meskipun sulit dan jarang untuk mengidentifikan virus spesifik sebagai
penyebabnya. Virus yang paling sering adalah enterovirus, terutama virus coxsackie
A7, A9, dan A23 dan jenis virus B coxsackie. Studi lain menemukan hubungan antara
transversr myelitis dengan infeksi virus hepatitis dengan infeksi primer
cytomegalovirus. Infeksi lainnya bisa disebabkan oleh influenza, rubella, hepatitis C,
polio dan Epstein-barr virus. Pada sebagian besar kasus transverse myelitis terjadi
setelah pasien mengalami perbaikian dari proses infeksi, dan agent yang infeksius
belum tersilosasi dari system saraf.
 Mycoplasma pneumoniae
Kriteria yang dibuat oleh konsorsium transverse myelitis salah satunya adalah
dengan infeksi saluran napas yang terjadi sebelumnya, dengan rentang waktu 4 – 30
hari sebelum manifestasi neurologis, abnormalitas dari cairan serebrospinal dan
peningkatan hitung jenis leukosit biasanya terdapat pada kisaran 10 – 200 sel/L3 ,
pleositosis sedang dengan ratio cairan serebrospinal dibanding glukosa serum normal,
peningkatan kadar protein, dan pemeriksaan serologi menunjukkan hemaglutinin
positif.
 Schistosomiasis
Beberapa studi menduga Schistosoma mansoni sebagai penyebab langsung
dari terjadinya myelopati yang terjadi pada area yang endemic schistosomiasis.

6
 Vaksinasi
Hampir 73% kasus transverse myelitis terjadi pada bulan pertama setelah
vaksinasi. Berdasarkan 13 laporan kasus, transverse myelitis terjadi setelah vaksinasi
hepatitis, enam kasus terjadi setelah MMR, empat kasus terjadi setelah DPT, empat
kasus terjadi setelah vaksin ravies, tigas kasus terjadi setelah polio oral, dua kasus
setelah influenza, 1 setelah vaksin typhoid, satu kasus setelah pertussis, 1 kasus
setelah vaksin encephalitis japan B, dan dua kasus setelah regimen vaksin multiple.
 Eritematosus Lupus Sistemik
Sebuah studi retrospektif pada pasien dengan SLE dan mengalami mielopati
transversal, menemukan bahwa transverse myelitis membentuk manifestasi klinis
pada pasien SLE sebanyak 39 – 50%. Kebanyakan pasien dapat ditemukan adanya
deficit sensoris pada level vertebra thorakal.
 Idiopatik
Terdapat puncak insidensi terjadinya transverse myelitis selama kehidupan
seseorang, yaitu pada usia 10 – 19 tahun dan 30 – 39 tahun. Insidensinya beragam
dari satu hingga empat kasus per juta orang per tahun. Transverse myelitis idiopatik
terdapat pada 10 – 45% dari seluruh kasus transverse myelitis.

E. Manifestasi Klinis(5)
Mielitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan
penyakit lain. Mielitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala berkembang
dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan subakut gejala klinis
berkembang lebih dari 1-2 minggu. Simptom mielitis transversalis berkembang cepat
dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45% pasien mengalami
perburukan secara maksimal dalam 24 jam. Diagnostik pada penderita ini ditandai
dengan karakteristik secara klinis berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi
neurologi pada saraf motorik, sensorik, otonom, dan traktus saraf di medula spinalis
baik akut maupun subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras
saraf dan menyebabkan hadirnya simptom umum dari mielitis transversalis.

Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif


cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan.

7
Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran
keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu kedua
setelah penderita sakit. Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada
semua kasus. Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia
merupakan tanda awal yang paling umum. Sensasi berkurang di bawah level
keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu.

Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,


inkontinensia urin dan alvi, pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi. Juga
sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya
disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang
paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi
neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21
hari.

F. Penegakan Diagnosis
Kriteria diagnostik myelitis transverase :

Gambar 5. Kriteria diagnstik myelitis transverse.(6)


(Sumber: Neurology, 2002)

8
G. Diagnosis
 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan riwayat kelemahan motorik berupa kelemahan
pada tubuh seperti paresis pada kedua tungkai yang terdai secara progesif dalam
beberapa minggu. Kelainan fungsi sensorik berupa rasa nyeri terutama di daerah
pinggang, lalu perasaan kebas atau seperti terbakar yang terjadi secara mendadak pada
tangan maupun kaki. Lalu kelainan fungsi otonom seperti retensi urin, urinary
urgency maupun konstipasi. Kelainan neurologis berupa defisit motorik, sensorik dan
otonom adalah suatu titik terang untuk diagnosis mielopati. Gejala dan tanda-tanda
myelitis biasanya berkembang selama jam sampai hari dan biasanya bilateral, namun
unilateral atau nyata presentasi asimetris dapat terjadi. Riwayat penyakit seperti
infeksi maupun penyakit imun dapat ditanyakan untuk mencari kemungkinan
penyebab dari myelitis transverse.(7,8)
 Pemeriksaan fisik
Gejala umum yang muncul melibatkan gejala motorik, sensorik dan otonom.
Beberapa penderita juga melaporkan mengalami spasme otot, gelisah, sakit kepala
dan demam. Dari beberapa gejala, gejala klasik dari myelitis transverase yaitu
kelemahan otot atau paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki
dan jari – jari kaki, disfungsi kandung kemih dan buang air besar.
 Pemeriksaan penunjang (8,9)
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah dan serologi dapat membantu dalam
mengesampingkan adanya gangguan sistemik seperti penyakit autoimun dan
gangguan metabolisme. Tes laboratorium seperti indeks IgG, vPCR virus, antibodi
lyme dan mikoplasma, dan VDRL untuk terjadinya myelitis setelah infeksi atau
vaksinasi tidak menghalangi kebutuhan untuk evaluasi lebih lanjut dalam menentukan
etiologinya seperti infeksi sifilis, HIV, campak, rubella dan lainnya, karena infeksi
atau imunisasi juga dapat memicu serangan myelitis.
2. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dengan pengambilan sampel cairan cerebrospinal (CSF) untuk
menentukan adanya peradangan. Analisis isi seluler CSF akan menentukan jumlah sel
darah putih yang dapat terakumulasi dalam cairan, yang nantinya dapat berfungsi
sebagai indikator dari besarnya peradangan.

9
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI direkomendasikan untuk menyingkirkan adanya lesi struktural, terutama
yang setuju untuk intervensi bedah saraf mendesak. Langkah pertama dalam evaluasi
diagnostik ATM untuk menyingkirkan lesi akibat kompresi (penekanan). Jika
dicurigai mielopati, MRI spinal cord harus diperoleh sesegera mungkin dengan
pemakain kontras godalinium.
H. Diagnosis Banding(10)

Diagnosis banding Persamaan Perbedaan


Tumor medulla spinalis keluhan paraperesis yang MRI : tidak didapatkan
terjadi progresif lambat dan SOL
tidak bersamaan antara kiri
dan kanan

Guillain Barre Paraparesis bersifat MRI : normal


Syndrome asenden

Spondilitis TB karena paraparesis tipe Pada anamnesis tidak ada


UMN terutama di daerah riwayat batuk lama,
torakal pemeriksaan fisik tidak
dijumpai gibus dan
pemeriksaan radiologis
tidak
adanya gambaran vertebra
seperti baji

I. Penatalaksanaan(11)
 Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat
mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama.
Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena
dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari)

10
diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien myelitis
episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang tidak diinginkan pada terapi
kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan,
hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan
infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi
sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan
plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi
imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.
 Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis
servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari
fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea,
penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan
pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi
dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau
penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan
untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak.
 Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth¬ sebagai profilaksis untuk
thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi
yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas
kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis
harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai
secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine oral
menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada
pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari
potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien myelitis
transversalis belum diteliti secara khusus.

11
 Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas
tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas
merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan
terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa
baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas
akibat gangguan otak dan korda spinalis.
 Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan
myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri neuropatik),
factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau
kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen
antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake
inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik.
 Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi
terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan myelitis. Data dari randomized
controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple
sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti
dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat
dan refrakter yang terjadi setelah episode myelitis, tetapi manfaat agen ini untuk
tatalaksana pasien dengan myelitis belum pernah diteliti dengan randomized,
controlled trials.
 Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada
fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya
muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi
spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian
antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan
retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi urin.

12
Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter
urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa
pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih.
Pada fase akut dan kronik myelitis transversalis, disfungsi usus dicirikan
dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada
beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus
untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Disfungsi seksual
merupakan konsekuensi yang sering dari myelitis transversalis. Manifestasinya yaitu
berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme,
atau anorgasmia.
 Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada
pasien myelitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri
dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal
atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.
J. Prognosis(12)
Meskipun sebagian besar orang dengan mielitis transversa akan parsial
recovery, mungkin diperlukan sekitar satu tahun atau lebih. Kebanyakan pemulihan
terjadi dalam tiga bulan pertama setelah episode dan sangat tergantung pada penyebab
dari mielitis transversa itu sendiri. Sekitar sepertiga dari orang dengan mielitis
transversa akan jatuh ke dalam salah satu dari tiga kategori setelah serangan dibawah
ini, yaitu :
1. Tidak ada atau sedikit cacat. Orang-orang ini hanya mengalami sedikit
gejala berlama-lama.
2. Cacat sedang. Orang-orang ini dapat bergerak, tetapi mungkin memiliki
kesulitan dalam berjalan, mati rasa atau kesemutan, dan memiliki masalah
kandung kemih dan usus.
3. Cacat berat. Beberapa orang mungkin secara permanen akan membutuhkan
kursi roda dan memerlukan bantuan berkelanjutan dengan perawatan dalam
aktivitas sehari-hari.
Sulit untuk memprediksi jalannya penyakit mielitis transversa. Umumnya, orang yang
mengalami onset cepat dari tanda-tanda dan gejala akan memiliki prognosis yang
lebih buruk daripada mereka yang memiliki onset yang relatif lambat.

13
14
Daftar Pustaka

1. Netter FH. Spinal Cord: Anatomy and myelopathies. In Netter FH. Netter’s
Collection of Medical Illustration Volume 7 Nervous System 2nd edition. Elsevier,
philadelpia.2013. 50-7
2. Chapter 44: Disease of Spinal Cord. in: Ropper AH. Samuel MA. Klein JP. Adams
and Victor’s Principles of Neurology 10th Ed. McGraw Hill.New York.2014; 319-51
3. Bhat, A, Naguwa, S, Cheema, G, Gershwin, ME. The epidemiology of transverse
myelitis. Autoimmunity Reviews.2010. 9: 395-399.
4. Tapiheru LA, Sinurat PPO, Rintawan K. Myelitis Transversalis: majalah kedokteran
nusantara. 2007;40;e235. (Diakses 28 Juni 2018)
5. Transverse Myelitis Consortium Working Group. Proposed diagnostic criteria and
nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59: 499–505.
6. Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Lotze. Pediatric Acute Transverse
Myelitis Overview and Differential Diagnosis. J Child Neurol. 2012; 27: 1426.
7. Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl J Med.
2010: 363;6.
8. Timothy W West. Transverse Myelitis- A Review Of The Presentation, Diagnosis
And Initial Management. 2013.
9. Tapiheru LA, dkk. Myelitis Transversalis. Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran USU. Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 40. No. 3. 2007.
10. Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72.
11. Beh SC, Greenberg BM, Frohman T, Frohman EM. Transverse myelitis. Neurol Clin
31(1):79-138, 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai