Anda di halaman 1dari 56

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat
berfungsi dengan baik. Masyarakat awam belum begitu mengenal gangguan tidur
sehingga jarang mencari pertolongan. Pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada
orang yang meninggal karena tidak tidur atau terjadi gangguan tidur adalah tidak benar.
Pada kenyataannya, orang yang mengalami gangguan tidur maka akan dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang tidak baik (Amir, 2007). Beberapa gangguan tidur
dapat mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia yang bersifat
keturunan dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak langsung misalnya
kecelakaan akibat gangguan tidur.
Hipersomnia merupakan keadaan yang berkebalikan dengan insomnia, dimana
seseorang mengalami tidur yang berlebihan terutama pada saat malam hari. Gangguan
hypersomnia ini dapat dipengaruhi oleh berbagai factor diantaranya karena kerusakan
system saraf pusat pengatur bangun dan tidur, gangguan hati atau ginjal dan bisa juga
dikarenakan terdapat gangguan metabolisme seperti hipertiroidisme. Gangguan
hypersomnia ini jarang diketahui oleh masyarakat dan jarang sekali dikeluhkan untuk
diperiksakan ke Pusat Kesehatan. (Amir, 2007; Purnomo, 2018)
Hipersomnia tidak hanya sekedar masalah tidur terlalu lama namun dapat
mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang termasuk gangguan kognitif, mood, memori
dan atensi apabila tidak tertangani dengan baik. Oleh karena itu, penegakkan diagnose,
mencari factor penyebab dari hipersmonia secara detail serta penanganan yang
komprehensif sangat diperlukan untuk hypersomnia (Foley et al., 2001; Bassetti and
Valko, 2006; Komari et al., 2011). Pada kasus ini akan dibahas tentang pasien dengan
Riwayat stroke yang mengalami gangguan tidur berkepanjangan yang selanjutnya
mempengaruhi dari kognitif, memori dan mood pasien.

1.2 Tujuan
1. Memahami terjadinya gangguan tidur dan penyebabnya
2. Mampu melakukan pendekatan diagnosis secara komprehensif dan planning
penatalaksanaan secara langsung ke pasien sesuai dengan kompetensi dokter
spesialis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur
Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik yang
minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan
terjadi penurunan fungsi kognitif secara global sehingga otak tidak respon secara penuh
terhadap stimulus eksternal (Amir, 2007; Purnomo, 2018). Hampir sepertiga dari waktu
individu digunakan untuk tidur. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa tidur
dapat memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas, mengurangi
stres dan kecemasan, serta dapat meningkatkan kemampuan dan konsenterasi saat
hendak melakukan aktivitas sehari-hari. Tidur merupakan peristiwa yang beragam dan
kompleks, sehingga untuk dapat menggambarkannya digunakan alat
elektroencephalografi (EEG) untuk merekam aktivitas gelombang otak, elektrokulografi
(EOG) untuk merekam pergerakan bola mata, elektromyografi (EMG) untuk merekam
aktivitas elektrikal otot (Purnomo, 2018).
2.1.1. Fisiologi Tidur
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu
Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). ARAS di
bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan
kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan sensori
raba, serta emosi dan proses berfikir. RAS melepaskan katekolamin pada saat sadar,
sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR (Bua Hidayat,
2012).
2.1.2. Ritme Sirkardian
Mahluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda. Bioritme pada
manusia dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor lingkungan (misalnya:
cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus elektromagnetik). Faktor lain yang
mempengaruhi irama sirkardian yaitu pola social, penyakit yang diderita oleh pasien
dan juga perilaku pasien. Bentuk bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian
yang melengkapi siklus selama 24 jam. Fluktuasi denyut jantung, tekanan darah,
temperatur, sekresi hormon, metabolisme, dan penampilan serta perasaan individu
bergantung pada ritme sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang
sangat kompleks. Sinkronisasi sirkadian terjadi jika individu memiliki pola tidur bangun
yang mengikuti jam biologisnya: individu akan bangun pada saat ritme fisiologis paling
tinggi atau paling aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah(Amir,
2007; Reading, 2010; Purnomo, 2018).
2.1.3. Tahapan Tidur
Pemeriksaan yang dilakukan dengan bantuan alat elektro ensefalogram (EEG),
elektro okulogram (EOG), dan elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua tahapan tidur,
yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada orang
dewasa normal, siklus tidur dibagi menjadi 5 fase yakni fase 1 sampai dengan fase 4
yang disebut dengan Non Rapid Eye Movement Sleep (NREM) dan fase yang ke 5
disebut dengan Rapid Eye Movement Sleep (REM). Pada kelima siklus ini dapat
berulang beberapa kali dalam 1 periode tidur. Fase 1 dan 2 disebut dengan light NREM,
fase 3 dan 4 disebut dengan Deep NREM yang terlihat sebagai gelombang delta atau
slow wave sleep (SWS) (Purnomo, 2018).
a. Fase 1 NREM
Fase NREM disebut juga sebagai tidur gelombang pendek karena gelombang otak
yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek dari pada gelombang alfa dan beta
yang ditunjukkan orang yang sadar. Fase 1 NREM disebut juga dengan drowsiness yang
merupakan fase transisi yang ditandai dengan munculnya Gerakan pendular pelan pada
bola mata. Irama bangun menghilang secara bertahap yang ditandai gelombang alfa
yang muncul secara on-off lalu digantikan dengan gelombang theta dan gelombang
vertex. Pada EOG tampak gambaran berupa Gerakan bola mata pemdular yang lambat
dan MEG didapatkan kontraksi otot tonik dengan aktivitas tinggi sedang (Purnomo,
2018) Pada fase ini biasanya seseorang masih mudah terbangun dengan stimulus
sensori seperti suara dan ketika terbangun seperti telah melamun dan biasanya pada fase
ini hanya berlangsung selama beberapa menit.
b. Fase 2 NREM
Fase ini ditandai dengan adanya gelombang delta kurang dari 20%, kompleks K
dan spindle tidur. Pada fase ini meliputi 45-55% dari total waktu tidur. Spindle tidur
berasal dari nucleus talamikus yang terletak di dekat garis tengah. Kompleks K adalah
gelombang difasik yang memiliki komponen initial negative atau defleksi yang tajam
diikuti fase positif. Kompleks K dapat terjadi tunggal atau berurutan secara spontan jika
mendapat stimulus auditorik. Pada fase ini pada EOG didapatkan SREM yang kadang-
kadang dapat muncul dan EMG yang berupa aktivitas otot yang menurun. Pada fase ini
untuk terbangun dari tidur relative mudah, biasa disebut dengan periode tidur bersuara,
dan fase ini berlangsung selama 10-20 menit.
c. Fase 3 dan 4 NREM
Pada fase ini secara bersamaan disebut tidur dengan irama delta atau Slow Wave
Sleep (SWS). Fase 3 terjadi jika 20% sampai 50% dari gelombang dasar EEG yang
terekam berupa gelombang delta. Gelombang delta ini merupakan gelombang dengan
amplitude yang tinggi yang berasal dari korteks. Gelombang delta ini dapat muncul
selama fase 2,3, dam 4 NREM. Pada fase ini didapatkan hasil rekaman EOG yang tidak
spesifik, namun secara umum pada EMG didapatkan penurunan tonus otot secara
bertahap dari stage 2 ke stage 4.
Pada fase 3 dan 4 NREM ini dikatakan sebagai tidur yang paling dalam dimana
fungsi mengembalikan kesegaran tubuh dan merestorasi kondisi setelah beraktivitas.
Secara fisiologis, pada fase ini memiliki ambang yang tinggi untuk terbangun dan
diduga sering diasosiasikan dengan berbagai tipe parasomnia misalnya sleep terorrs,
sleep walking (Purnomo, 2018)
d. Fase REM
Fase REM biasanya terjadi 60-90 menit setelah dimulainya tidur dan berlangsung
selama 5-30 menit. Fase REM tidak senyenyak tidur NREM, dan sebagian besar mimpi
terjadi pada tahap ini. Pada fase ini ditandai dengan gelombang bervoltage rendah yang
bercampur dengan gelombang alfa yang biasanya berkekuatan lebih rendah 1-2 Hz dari
gelombang alfa saat bangun.
Fase REM ini memiliki komponen fasik dan tonik. Selama fase tonik, terjadi
supresi dari aktivitas EMG dan gambaran EEG menunjukkan gelombang bervoltase
rendah yang bercampur dengan alfa. Di fase ini amplitude respirasi cenderung teratur,
paralisis otot dan terhadi peningkatan perfusi darah otak. Pada fase REM fasik dapat
terjadi pola twitching dari EMG, tonus otot yang sangat lemah dan pola detak jantung
serta pernafasan yang irregular. Onset dari fase REM tidak ditentukan dengan adanya
Gerakan mata yang cepat yang terekam oleh EOG, namun dapat ditentukan dengan
munculnya gelombang gergaji padda EEG. Perubahan latensi pada fase REM data
terjadi pada individu dengan kekurangan tidur, neonates, individu yang mengalami
narkolepsi dan withdrawl dari alcohol serta obat obatan yang menghambat fase ini
(Reading, 2010; Purnomo, 2018)
2.1.4. Pola, Durasi dan Distribusi Tidur
Individu melewati tahap tidur NREM dan REM selama tidur. Siklus tidur yang
komplit normalnya berlangsung selama 90 menit, setiap orang biasanya melalui empat
hingga lima siklus selama 7-8 jam tidur dan pada umumnya siklus pertama terjadi paling
singkat dibandingkan siklus lainnya. Siklus tersebut dimulai dari tahap NREM yang
berlanjut ke tahap REM. Pada 1/3 dari periode tidur Slow Wave Sleep mendominasi,
sedangkan REM meningkat pada beberapa jam terakhir dari periode tidur. Tahap REM
yang pertama biasanya terjadi pada 70-90 menit setelah tidur dimulai. Tahap NREM I-III
berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit. Individu
kemudian kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit.(Reading, 2010)

Durasi dan distribusi dari fase tidur bervariasi pada tiap tahap usia kehidupan
manusia. Pada bayi baru lahirm durasi tiap siklus berlangsung selama 60 menit dan pada
dewassa muda kurang dari 90 menit. Durasi tidur akan menurrun seiring dengan
bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir tidur sampai denga 16 jam perharinya
sedangkan pada usia bayi beranjak 6 bulan waktu tidur menjadi 12 jam dan pada usia
dewasa normal, durasi tidur berlangsung selama 7,5-8 jam setiap harinya (Amir, 2007;
Purnomo, 2018)
Distribusi dari fase tidur juga akan berubah seiring dengan bertambahnya usia.
Pada fase REM bayi baru lahir akan lebih Panjang dibandingkan pada anak dan dewasa,
Ketika usia bayi yang beranjak 3 bulan, fase ini akan secara bertahap berkurang sampai
usianya menginjak masa kanak-kanak dan dewasa. Sebaliknya, lama fase SWS akan
mulai berkurang saat seseorang menginjak usia 30an dan akan menghilang saat
seseorang menginjak pada decade ke-9 (Purnomo, 2018).

2.2 Gangguan Tidur


2.2.1. Hipersomnia
Hipersomnia merupakan salah satu gejala gangguan tidur yang dapat diartikan
sebagai kantuk berlebih. Hipersomnia sering ditemui namun sering diabaikan. Kata
hipersomnia berasal dari bahasa Yunani “hyper” yang artinya berlebih atau lebih dari
normal, dan bahasa Latin “sommus” yang berarti tidur (Hermann et al., 2008).
Hipersomnia merupakan kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berlebihan terutama
pada siang hari atau keterlambatan waktu bangun. Hipersomnia sering disebut juga
dengan EDS (Excessive Daytime Sleepiness). Keluhan yang khas adalah tertidur yang
tidak bisa ditahan, menyebabkan rasa malu, menurunkan produktivitas dan kadang
kadang menyebabkan bencana seperti saat mengemudi. Pada hypersomnia ini tidak
hanya terjadi peningkatan pada jumlah waktu tidur, akan tetapi terdapat beberapa
episode tidur pada saat siang hari yang tidak tertahankan dapat dikategorikan pada
hypersomnia (Kryger, Dement and Roth, 2010; Reading, 2010; Purnomo, 2018).
2.2.2. Patofisiologi
Terdapat beberapa patofisiologi yang menyebabkan terjadinya hypersomnia,
diantaranya adalah sebagai berikut (Purnomo, 2018)
1. Kriteria mayor dari daytime sleepiness adalah
a. Tidur yang kurang atau terfragmentasi pada malam sebelumnya
b. Ganggaun sleep drive
2. Dorongan untuk tidur (sleep drive) tergantung dari dua factor yang terpisah
a. Homeostatic ditentukan oleh periode bangun sebelumnya
b. Circardian, ditentukan oleh fase ritme sirkardian individu saat itu
Dua factor tersebut merupakan factor yang menyebabkan pada siang hari
menjadi terjaga dan tidur yang kontinyu pada saat malam hari.
3. Kurang tidur (Insufficient Sleep), hal ini paling sering menjadi penyebab EDS
pada anak dan dewasa muda. Ini biasanya disebabkan karena pembatasan tidur
pada individu yang dibuatnya sendiri.
4. Fragmentasi tidur yang disebabkan oleh factor-faktor lingkungan, penyakit
medis dan neurologis, serta kelainan tidur primer
5. Apabila suatu individu sudah mengalami tidur malam sekitar 7-9jam dan saat
siang hari masih didapatkan rasa mengantuk dan terjadi dorongan tidur saat
siang hari yang upnormal, maka bisa disebabkan karena obat obatan, kelainan
medis lain, circardian misalignment dan gangguan sleep drive primer.

2.2.3. Penegakkan Diagnosis


Untuk menegakkan diagnosa dari hipersomina yaitu dengan (Amir, 2007;
Reading, 2010; Purnomo, 2018)
1. Anamnesis
Anamnesa pada pasien dengan hypersomnia untuk melihat dari kuantitas
tidur pasien, hal ini ditanyakan secara detail dengan melihat waktu tidur pasien
selama dalam 1 hari penuh, keparahan dari mengantuk seperti apa, pola dari
mengantuk, pada saat jam jam normal siang hari pasien tetap terjaga, atau
terdapatnya keluhan yang tidur malam dalam waktu yang sangat lama, durasi
pada setiap episode tidur seperti apa. Pada saat tidur pada siang hari, apakah
tidur yang direncanakan, apakah menyegarkan setelah tidur. Selain keluhan
utama tersebut, juga ditanyakan untuk usia onset terjadinya hypersomnia dan
Riwayat trauma atau penyakit yang diderita oleh pasien sebelum terjadi keluhan
tersebut dan juga apakah pasien minum obat yang membuat mengantuk.
Perilaku pasien saat tidur malam juga perlu kita gali untuk melihat, berapa
durasi dan waktu memulai tidur malam, apakah pada malam hari terdapat
kebiasaan yang mengakibatkan tidur tidak nyenyak seperti katapleksi, sleep
paralisis. Perilaku sehari hari pasien juga perlu kita gali, apakah apsien terdapat
keluhan memori, keluhan gangguan konsentrasi,atau terjadi gangguan mood.
Serta keluhan hypersomnia ini apakah mempengaruhi dari kegiatan sehari hari
yang mengakibatkan gangguan pada aspek psikososial diantaranya pekerjaan,
sekolah, interaksi dengan orang dan mengemudi.
2. Scoring Epworth Sleepiness Scale
Scoring ini untuk membantu penilaian kuantitas keluhan.

Table Scoring Epworth Sleepiness Scale

3. Rasa kantuk yang dapat diukur dengan Polisomnografi.


Nokturnal polisomnografi dapat digunakan untuk menyingkirkan
gangguan tidur primer yang menyebabkan kantuk berlebihan. Sedangkan Multi
Sleep Latency Test (MSLT) ini merupakan alat yang digunakan untuk
penegakkan diagnose hypersomnia. Test ini mengkonfirmasi secara objektif
kecurigaan hypersomnia dan memberikan petunjuk yagn spesifik untuk
diagnosis. Pada test ini pasien diberikan kesempatan tidur sebanyak 5 kali
dengan jarak masing masing 2 jam dan akan dimulai kembali setelah 2 jam
terbangun.
4. Pemeriksaan Laboratorium dan Imaging.
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan hany untuk gangguan diagnosis
tertentu. Misalnya seperti dibutuhkan pengukuran hipokretin-1 untuk
penegakkan diagnosis pada narkolepsi. Penggunaan imaging untuk penegakkan
diagnose juga hanya diindikasikan apabila hipersomnia tersebut di curigai suatu
hypersomnia sekunder atau symptomatik.
2.2.4. Klasifikasi Hipersomnia
Berdasarkan pada ICSD-3 klasifikasi hypersomnia berdasarkan kelainan yang berada
pada sentral diantaranya yaitu (Reading, 2010)
1. Narkolepsi Tipe 1
2. Narkolepsi Tipe 2
3. Idiopathic Hipersomnia
4. Kleine-Levin Syndrome (KLS)
5. Hipersomnia dikarenakan pengobatan
6. Hipersomnia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
7. Inssufisiensi Sleep Syndrome
8. Isolated Symptoms dan normal variant
2.2.5. Penatalaksanaan
2.2.5.1. Terapi Non Farmakologis
1. Terapi Perilaku (Sleep Hygiene)
Dengan menciptakan tidur yang berkualitas, seperti menjaga kebersihan
dari tempat tidur merupakan kunci dari terapi hypersomnia. Pasien juga perlu
untuk memanfaatkan waktu dengan baik antara waktu tidur, beraktivitas dan
makan makanan yang bergizi serta mengatur dari lingkungan tidur. Pada kasus
sindrom Insuffisiensi Tidur yang terinduksi oleh perilaku yang menunjukkan
gejala adanya kecemasan, malaise atau kesulitan untuk berkonsentrasi, maka
tujuan terapi yang utama yaitu meningkatkan tidur malam dengan terapi kognitif
dan meminta pasien untuk tidak begitu memikirkan dari gejala yang dialaminya.
Selain itu dapat juga dengan metode sleep restriction therapy dengan tidak
menganjurkan pasien berada di tempat tidur di luar saat jam tidur malam. Pada
kasus narkolepsi, terapi farmakologis akan berhasil bila didukung dengan terapi
perilaku karena penyakit ini berkaitan dengand depresi dan gangguan mood
sekunder. Untuk terapi non farmakologis dapat diberikan terapi relaksasi dan
manajemen stress. Apabila dikarenakan suatu obat untuk hypersomnianya, maka
dapat dihentikan penggunaan obat-obat tersebut (Amir, 2007; Purnomo, 2018)
2. Bright Light Terapi
Pada kasus hypersomnia seperti SAD (Seasonal Affective Disorder)
didapatkan gejala peningkatan pada nafsu maakn, berat badan dan depresi. Pada
SAD ini biasanya berkaitan dengan kadar melatonin karena kurangnya paparan
terhadap sinar matahari melalui jalur retinohipotalamus. Terapi utamanya adalah
menggunakan terapi sinar UV selama 30-40 menit pada saat bangun tidur.
Keberhasilan terapi ini sekitar 75% (Amir, 2007; Purnomo, 2018)
2.2.5.2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang diberikan pada pasien hypersomnia bersifat wake-
promoting atau menyebabkan pasien tetap terjaga. Hal ini pasien dapat terjaga secara
langsung dan diminum saat siang hari. Berbeda dengan kelompok hipnotik-natrium
oxybate yang secara bertahap berefek hingga beberapa bulan bila dikonsumsi teratur
saat malam hari.(Saini and Rye, 2017)
Obat pada siang hari dibagi menjadi tiga kelas :
a. Simpatomimetik langsung (alpha-adrenergik agonis contohnya fenilefrin)
b. Simpatomimetik tidak langsung (methylphenidate, amphetamine, mazindol, dan
pemoline)
c. Nonstimulants
Tidak termasuk dalam golongan simpatomimetik dan memiliki mekanisme yang
berbeda seperti modafinil dan kafein.
Obat obatan yang biasanya digunakan untuk hypersomnia diantaranya sebagai berikut :
1) Kafein
Kafein ini terkandung dalam minuman teh dan kopi. Mekanisme kerja dari
kafein yaitu antagonis reseptor adenosin pada CNS. Kafein memblok reseptor
A1 sehingga menginhibisi onset tidur. Pada penggunaan tablet dibutuhkan dosis
50-200mg. Kadar kafein mencapai kadar tertinggi dalam darah dalam waktu
sekitar 30 menit hingga 1 jam dengan waktu paruh 3-5jam. Kafein dalam dosis
235mg/hari dapat menimbulkan withdrawl symptoms atau efek adiksi bila
langsung dihentikan. Gejala yang muncuk antara lain nyeri kepala, sering
mengantuk dan mood yang buruk.
2) Amphetamine, Methamphetamine, Dextroamphetamine
Amphetamine dan derivatnya merupakan isomer satu sama lain yang dapat
menginduksi dari kewaspadaan bila diamati melalui EEG sehingga dapat
membuat pasien dapat terjaga. Amphetamine dalam dosis yang tinggi, dapat
menyebabkan neurotoksisitas. Keberhasilan amphetamine bervariasi 65-85%.
Penggunaan amphetamine bersama dengan MAO inhibitor perlu dihindari
karena mampu menganggu ekskresi dari amphetamine. Pada penggunaan CPZ
meningkatkan waktu paruh obat serta diazepam mampu meningkatkan efek obat
pada jaringan (Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
3) Amphetamine like drug (Methylphenidate)
Obat ini merupakan stimulant yang lebih ringan dibandingkan dengan
amphetamine. Methylphenidate dapat terabsorbsi sempurna setelah penggunaan
oral, waktu paruh kira kira 3 jam dan 90% diekskresikan melalui urine. D-
methylphenidate merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi dari
hypersomnia. Efek samping obat ini memiliki potensi abuse, supresi pada selera
makan, kelainan ritme jantung, hipertensi dan hipertermia (Sonka and Susta,
2012)
4) Pemoline
Termasuk dalam jenis amphetamine-like drug namun efikasinya lebih
rendah dibandingkan dengan amphetamine. Efek samping ketergantungannya
sangat rendah dan dosis sekali sehari (Purnomo, 2018)
5) Modafinil dan Armodafinil
Modafinil termasuk golongan non amphetamine, non simpatomimetik,
gabungan dari dua isomer aktif yang bersifat wakefulness-promoting sehingga
mampu mengatasi dari hypersomnia. obat ini sebelumnya merupakan obat lini
pertama dari obat narkolepsi. Modafinil ini bekerja di hipotalamus di nucleus
anterior dan lateral, TMN dan cingulate cortex dengan mekanisme detail yang
masih belum bisa dipahami secara jelas. Kerjanya meningkatkan metabolisme
serotonin di striatal sehingga mengurangi kerja dari GABA di kortex yang
berakibat tidak adanya rasa kantuk. Dosis yang diperlukan adalah
200-400mg/hari. Pada dosis yang lebih dari 800mg/hari akan terjadi rebound
hipersomnolance dan hipertensi(Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
Armodafinil adalah isomer dari modafinil namun dengan waktu paruh yang
lebih panjang. Modafinil ini dapat diberikan sebagai pilihan terapi pada
narkolepsi, namun beberapa studi lain kurang direkomendasikan sebagai
tatalaksana pada pasien hypersomnia (Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
6) Sodium Oxybate
Sodium Oxybate ini biasa disebut dengan GHB atau
Gammahydroksibutirat, suatu prekusor dari GABA. Obat ini mampu mengatasi
setiap gejala dari hypersomnia. GHB ini merupakan agen hypnosis kerja cepat
yang mengkonsolidasikan antara slow wave dan fase REM melalui reseptor B
gamma aminobutirat. Dosis yang dibutuhkan adalah 4.5gr tiap malam, terbagi 2
dosis yaitu sebelum tidur dan 2-3jam setelahnya sehingga pasien perlu
menyalakan alarm untuk membangunkannya meminum obat kembali. Dosis
dapat dinaikkan setiap 2minggu dengan maksimal 9gr/malam. Efek samping
yang paing sering ditemui adalah pusing berputar, mual dan enuresis pada dosis
yang tinggi (Sonka and Susta, 2012)
7) Antidepressan Trisiklik (TCA)
Obat TCA ini merupakan obat yang paling sering digunakan untuk terapi
katapleksi. Mekanisme kerjanya dalah mereduksi reuptake adrenergic yang
kemudian menyebabkan inhibisi kolinergik pada sistem mecencephalic yang
menyebabkan atonia. TCA juga menginhibisi sitokrom P-450 yang dapat
mengurangi metabolisme dari amphetamine/ methylphenidate sehingga
penggunaan kombinasi keduanya dalam dosis yang rendah dapat meningkatkan
keberhasilan terapi. Efek sampingnya adalah hipertensi dan perubahan perilaku
seperti pada amphetamine. Efek samping anticholinergic adalah sedasi dan
impoten (Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
8) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Serotonin melalui mekanisme yang kompleks memfasilitasi onset dari
tidur dengan gelombang yang pelan (Slow-Wave Sleep). Obat ini bekerja untuk
meningkatkan peningkatan total pada tidur nocturnal. Contohnya fluoxetine,
dimana keja obat ini menginhibisi mekanisme REM (Sonka and Susta, 2012)
9) MOAI (Selegline)
Mekanisme kerja obat ini adalah dopaminergic , sepertii pada proses
metabolismenya amphetamine dan metamphetamine. Dosis 30mg dapat
menunjukkan efikasi yang sama dengan penggunaan D-amphetamine dalam
mengurangi hypersomnia. Efek sampung yang ditimbulkan antara lain hipertensi
(Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
10) Mazindol
Merupakan obat dengan derivate dari imidazoline, berikatan dengan DAT
dan NET untuk menginhibisi reuptake dari DA dan NE. Mekanisme
dopaminergic dan adrenergic dari obat ini efektif untuk mengatasi akibat yang
ditimbulkan dari hypersomnia contohnya katapleksi dengan 2-6mg/hari. Obat ini
memiliki potensi abuse yang cukup rendah, tetapi bila digunakan dalam dosis
tinggi dapat mengakibatkan mual, muntah, cemas, tremor, konstipasi, retensi
urine, dan edema angioneurotic (Sonka and Susta, 2012; Purnomo, 2018)
2.2.6. Narkolepsi
Narkolepsi terjadi pada 0.5% pada dewasa. Pada narkolepsi ini biasanya terjadi
apda decade kedua, akan tetapi gejalanya awal pada usia 30 tahunan. Rata rata waktu
antra onset gejala dengan diagnosis biasanya cukup panjang. Narkolepsi ditandai
dengan serangan mendadak tidur yang tidak dapat dihindari pada siang hari. Biasanya
akan berlangsung selama 10-20menit dan selalu kurang dari 1 jam.Setelah itu pasien
akan segar Kembali dan terulang 2-3 jam berikutnya. Gambaran pada tidurnya
menunjukkan penurunan fase REM 30-70% pada serangan tidur dimulai dengan fase
REM.
Narkolepsi tipe 1 mempunyai karakterikstik gejala yaitu
a. Terdapatnya episode sleepiness atau keluhan tidur yang tidak bisa ditahan atau
kecenderungan tidur pada semua kondisi pasif. TIdur pada siang hari biasanya
cukup singkat dan cukup menyegarkan
b. Terdapatnya katapleksi yaitu episode hilangnya tonus otot sesaat yang
distimulasi oleh emosi terutama pada saat tertawa. Durasi biasanya cukup
singkat sekitar 2 menit dan bilateral.
Adapun gejala lain yang dapat muncul dalam narkolepsi tipe 1 yaitu
c. Halusinasi pada saar tidur atau halusinasi yang terjadi saat akan bangun, hal ini
merupakan fenomena halusinasi mimpi selama bangun.
d. Sleep Paralysis yaitu adanya atonia REM pada stadium awal tidur atau bangun
yang biasanya menyebabkan ketakutan, ketidakmampuan untuk menggerakkan
otot secara volunteer saat sudah sadar, atau sering juga disebut dengan
ketindihan. Biasanya terjadi saat transisi dari bangun ke tidur.
Pada narkolepsi tipe 2 sering juga disebut dengan narkolepsi tanpa katapleksi.
Pada narkolepsi tipe 2 ini sering tumpang tindih dengan idiopathic hypersomnia.
2.2.6.1. Diagnosis pada Narkolepsi
Pasien yang memiliki deskripsi klinis dengan adanya katapleksi sangat khas bahwa hal
tersebut adalah narkolepsi, sedangkan untuk pemeriksaan MSLT merupakan suatu
pendukung saja. Kriteria meliputi :
1. Sleep latensi < 8menit
2. MSLT menunjukkan rata rata sleep latency <5 menit
3. Sleep onset REM peiode <15 menit, paling sedkiit oada 2 dari 5 kesempatant
tidu kecil selama perekaman EEG
4. HLA trapto type DQBI 0602 dan DR2 positif
5. Pada narkolepsi dengan katapleksi, hypocretin-1 (Hct-1) dalam LCS dapat
digunakan untuk menunjang dari suatu diagnose.
2.2.7. Idiopathic Hipersomnia
Pada hypersomnia ini mirip dengan EDS pada narkolepsi namun tidak memiliki
gejala yang terkait dengan REM. Pada hypersomnia ini didapatkan keluhan bangun
tidur yang berat pada pagi ataupun siang hari. Tidur siang juga bisa mencapai 2-3jam
serta pada saat bangun tidur siang yang lama, pasien tetap merasa tidak segar kembali.
(Freedom, 2011). Kriteria pada hypersomnia dengan waktu tidur yang Panjang biasanya
terjadi setiap hari selama 3 bulan, tidur saat malam hari lebih dari 10 jam dan sulit untuk
di bangunkan pada saat pasien mengalami tidur, baik pada tidur siang maupun tidur
malam hari.
Penegakkan diagnosis pada hypersomnia ini dapat berdasarkan polisomnografi
dan MSLT. Pada overnight PSG dapat menunjukkan efisiensi tidur yang tinggi serta
latensi tidur yang memendek secara patologis pada MSLT (<8menit) akan tetapi tidak
didapatkan periode REM selama tidur siang. (Freedom, 2011)

2.2.8. Hipersomnia Post Stroke


Pada hypersomnia akibat post stroke ini di akibatkan karena banyak hal,
diantaranya adanya gangguan lingkungan sekitar seperti adanya suara yang bising,
gangguan pencahayaan, gangguan pada pernafasan pada saat tidur, adanya pengguanaan
obat obatan sedative, dan terdapat komplikasi stroke (kejang, infeksi, demam dan stress
emosional). Hal tersebut merupakan beberapa factor penyebab yang berhubungan
dengan perubahan pola tidur. Adapun karena gangguan vascular dari post stroke yang
mempengaruhi dari structural area yang mengatur dari bangun atau tidur seseorang
sehingga penderita mengalami perubahan pola tidur. (Bassetti and Valko, 2006)
Pada hypersomnia yang diakibatkan oleh stroke biasanya dikarenakan adanya
penurunan aktivitas atau kerusakan pada ARAS. Adanya lesi pada bilateral thalamus,
lesi pada thalamo-mesencephalic, lesi upper pons dan adanya lesi pada regio
pontomedullary juga merupakan area yang menghubungkan ke ARAS. Pada lesi
kortikal dan subkortikal, pengaturan sistem berada pada tingkat yang lebih rendah,
kecuali pada lesi yang menekan pada brainstem bagian atas dikarenakan edema. Selama
keadaan tidur, kesadaran cerebral micro lebih sering pada pasien dengan lesi di area
medial, sedangkan pada lesi area lateral memperlihatkan adanya penurunan kesadaran
motoric. Hipersomnia juga dapat muncul pada lesi yang ukurannya sangat besar dan
lebih sering mempengaruhi pada hemisfer kiri daripada kanan dan lebih berada pada
daerah anterior daripada posterior. (Ferre et al., 2013)
Pada hypersomnia yang diakibatkan karena stroke dapat berupa narkolepsi dengan
katapleksi ataupun berupa Kleine-Levin Syndrome. Narkolepsi biasanya disebabkan
karena adanya cerebral hipoksia dan terdapat infark bilateral diencephalic. Kleine-Levin
Syndrome (hypersomnia dengan hyperphagia) biasanya disebabkan karena adanya lesi
infark multiple pada cerebral (Ferre et al., 2013)
2.2.9. Epidemiologi
Kasus hipersomnia jarang sekali dibahas secara detail dan dikeluhkan oleh para
sebagian orang, dan jarang seseorang tersebut untuk ke pelayanan kesehatan untuk
memeriksakan keluhan hipersomnianya. Data prevalensi kejadian hypersomnia di
Indonesia dan di Dunia sangat jarang terdata dengan baik. Pada penelitian di New
Haven, Yale University Human Investigation Comitee disebutkan hypersomnia terjadi
pada 23% kasus pada subjek diatas 70 tahun dengan rerata umur 80-88 tahun dan
dengan jenis kelamin laki laki. Penelitian epidemiology ini dilakukan selama 7 tahun.
(Miner et al., 2019).
Pada jurnal Basseti dan Valko tahun 2006, disebutkan bahwa kejadian
hypersomnia pada penelitian prospective yang dilakukan pada 100 pasien stroke
iskemik tanpa adanya gangguan pernafasan dan koma saat masuk RS, terjadi pada 22%
kasus pada 1 minggu pertama onset stroke dan 42% terjadi pada 1 tahun setelah onset
stroke. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa post stroke hypersomnia banyak
terjadi pada lesi corticosubcortical di bandingkan pada lesi deep subcortical hemisfer.
2.2.10. Gejala Klinis
Gejala klinis pada pasien dengan hypersomnia post stroke tergantung dari letak
lesi pada stroke. Pasien dapat berupa gangguan dari irama sirkardian, dapat juga berupa
gangguan pada control bangun dan tidur ataupun gangguan pada regulasi fase atensi
dengan gangguan mood, makan dan gangguan seksual. Banyak kasus hipersomnia post
stroke yang juga ditemukan adanya inatensi, penurunan aktivitas motoric dan gangguan
jumlah kosakata dan perubahan mood yang datar. Selain itu, pada beberapa pasien
hypersomnia dapat berkembang menjadi apatis yang berat dengan kurangnya
spontanitas atau inisiatif serta terdapat keterlambatan pada pergerakan tubuh serta
adanya katapleksi (Bassetti and Valko, 2006).
Narkolepsi sindrom juga dapat terjadi pada pasien dengan stroke diencephalic
bilateral setelah pengangkatan craniofaring. Selain itu ditemukan beberapa kasus
hypersomnia post stroke dengan hiperfagia atau disebut dengan Kleine-levin Syndrome.
Berbeda dengan pasien yang terdapat lesi pada deep hemisfer atau daerah thalamus
bilateral, perilaku hypersomnia terjadi dengan postur tubuh yang normal, pernafasan
yang tenang dan teratur serta didapatkan kewaspadaan yang cepat. Selain itu pada
pasien dengan lesi thalamus sering terlihat berperilaku seperti tidur, misalnya lebih
sering menguap, memejamkan mata dan sering dikeluhkan sering mengantuk dan
tertidur meskipun dengan jam tidur malam yang normal. Pada pasien dengan lesi pada
daerah lesi yang sangant luas pada henisfer atau mengernai daerah batang otak,
didapatkan gangguan tidur dengan pola pernafasan yang tidak teratur (Bassetti and
Valko, 2006).
2.2.11. Terapi
Secara umum, pemberian terapi pada hypersomnia post stroke seperti pada kasus
hypersomnia biasa yaitu dengan memperbaiki dari sleep hygiene. Sleep hygiene yang
dapat diterapkan antara lain seperti penggunaan ruangan tidur sendiri saat malam,
dihindarkan dari cahaya redup, bising, dan meningkatkan mobilisasi dengan paparan
cahaya. Namun pemberian terapi pada hypersomnia post stroke dengan menggunakan
stimulasi atau memperbaiki sleep hygiene dari beberapa penelitian di anggap tidak
efektif dan susah untuk dilakukan. Pada pasien dengan lesi pada thalamus dan
mecencephalon diberikan amphetamine, modafinil dan metilphenidate dapat
memberikan perbaikan pada keluhan hypersomnia. Pada kasus hypersomnia yang
bersamaan dengan apatis dan depresi dapat diberikan dengan antidepresan dan terapi
cahaya.(Bassetti and Valko, 2006)
2.3 Stroke
2.3.1. Definisi
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak,
medulla spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap selama >24
jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Stroke yang
disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi, atau bukti
lain yang menunjukkan iskemi otak, medulla spinalis, atau retina) disebut stroke
iskemik (J. Misbach, 2011)
2.3.2. Patofisiologi Stroke Trombotik
a. Metabolisme dan aliran darah normal
Otak adalah organ yang sangat aktif secara metabolik. Meskipun dengen ukuran
yang relatif kecil, otak menggunakan sekitar seperempat daripasokan energi tubuh. Sel-
sel otak terutama bergantung pada oksigen dan glukosa untuk bertahan hidup. Tidak
seperti organ tubuh lainnya, otak menggunakan glukosa sebagai substrat tunggal untuk
metabolisme energi. Glukosa teroksidasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).
Glukosa metabolisme menyebabkan konversi adenosine difosfat (ADP) menjadi
adenosin trifosfat (ATP). Pasokan konstan ATP diperlukan untuk menjaga integritas
neuron dan menjaga kation ekstraseluler utama Ca2 + (ion kalsium) dan Na + (ion
natrium) di luar sel dan kation intraseluler K + (ion kalium) di dalam sel. Produksi ATP
banyak lebih efisien dengan adanya oksigen. Meskipun di tidak adanya oksigen
glikolisis anaerob menyebabkan pembentukan ATP dan laktat, hasil energinya relatif
kecil, dan laktat asam terakumulasi di dalam dan di luar sel. Otak membutuhkan dan
menggunakan sekitar 500 ml oksigen dan 75-100 mg glukosa setiap menit, total 125 g
glukosa setiap hari (Caplan, 2016)
Kebutuhan oksigen dan glukosa ini diartikan sebagai: sebuah kebutuhan jumlah
darah beroksigen yang mengandung glukosa yang cukup. Meskipun otak adalah organ
yang relatif kecil, kurang lebih hanya 2% dari berat badan orang dewasa, otak

menggunakan sekitar 20% dari curah jantung saat tubuh beristirahat. Aliran darah otak
(CBF) biasanya sekitar 50 ml untuk masing-masing 100 g jaringan otak per menit, dan
konsumsi oksigen otak, biasanya diukur sebagai tingkat metabolisme otak untuk
oksigen (CMRO2), biasanya sekitar 3,5 ml / 100 g per menit. Dengan meningkatkan
ekstraksi oksigen dari aliran darah, kompensasi dapat dilakukan untuk mempertahankan
CMRO2 sampai CBF berkurang hingga level 20–25 ml / 100 g per menit. Positron
emission tomography (PET) dapat mengukur CBF, CMRO2, dan fraksi ekstraksi
oksigen (OEF) dan otak tingkat metabolisme untuk glukosa (CMRg1) di berbagai regio
otak.(Caplan, 2016)
Gambar 2.1. Ambang batas iskemik pada aliran darah otak(Caplan, 2016)
b. Iskemik
Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali oleh adanya sumbatan
pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang mengakibatkan sel otak mengalami
gangguan metabolisme, karena tidak mendapat suplai darah, oksigen, dan energi.
Trombus terbentuk oleh adanya proses aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis,
maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi
yang mengakibatkan terbentuknya plak pada dinding pembuluh darah. Plak akan
berkembang semakin lama semakin tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan
melekat pada plak serta melepaskan faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi
dan pembentukan thrombus (W. Wiratman, E.T, 2017)
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan
menyebabkan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan bagian dari
trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah di bagian yang lebih distal.
Emboli ini dapat berasal dari trombus di pembuluh darah, tetapi sebagian besar berasal
dari trombus di jantung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan
riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan terjadi iskemia jaringan otak
yang menyebabkan kerusakan yang bersifat sementara atau menjadi permanen yang
disebut infark. Di sekeliling area sel otak yang mengalami infark biasanya hanya
mengalami gangguan metabolisme dan gangguan perfusi yang bersifat sementara yang
disebut daerah penumbra. Daerah ini masih bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan
aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih
luas, yang berarti mencegah kecacatan dan kematian (W. Wiratman, E.T, 2017). Namun
jika penumbra tidak dapat diselamatkan, maka akan menjadi daerah infark. Infark
tersebut bukan saja disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga akibat proses inflamasi,
gangguan sawar darah otak (SDO) atau (blood brain barrier/BBB), zat neurotoksik
akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, dan tata laksana
untuk reperfusi. Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat berbagai tingkatan kecepatan
aliran darah serebral atau cerebral blood flow (CBF). Aliran pada jaringan otak normal
adalah 40-50 cc/ 100 g otak/menit, namun pada daerah infark, tidak ada aliran sama
sekali (CBF 0 mL/100g otak/menit) (W. Wiratman, E.T, 2017)
Pada daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine
triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan pompa kalium dan natrium serta
peningkatan kadar laktat intraselular. Kegagalan pompa kalium dan natrium
menyebabkan depolarisasi dan peningkatan pelepasan neurotransmiter glutamat.
Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-metil-D-aspartat (NMDA)
dan a-amino-3-hydroxy-5-methyl 4 isonazolipropionid-acid (AMPA), yang selanjutnya
akan menyebabkan masuknya kalsium intraselular. Dengan demikian, hal tersebut
semakin meningkatkan kadar kalsium intraselular. Kalsium intraselular memicu
terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan DNA melalui
jalur enzimatik seperti Ca2+ ATPase, calsium-dependent phospholipase, protease,
endonuklease, dan kaspase yang keseluruhannya berkontribusi terhadap kematian sel
(Caplan, 2016; W. Wiratman, E.T, 2017)
Selain CBF yang sangat berpengaruh pada daerah penumbra, ada beberapa faktor
lain yang berperan terhadap perkembangan pasien pada fase akut, antara lain stres
oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi daerah penumbra, dan faktor inflamasi
(W. Wiratman, E.T, 2017)
1. Kondisi stres oksidatif, merupakan kondisi diproduksinya radikal bebas berupa
O2, hidroksil (OH), dan NO pada keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini
sangat mempengaruhi daerah penumbra akibat pembentukan rantai reaksi yang
dapat menghancurkan membran sel, deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein.
Radikal bebas juga menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar
darah otak hingga menyebabkan edema.Proses tersebut akan terus berlangsung
selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh karena radikal bebas bereaksi
khususnya dengan lemak tidak jenuh (unsaturated lipid) yang banyak berada di
membran neuron dan sel glia
2. Asidosis daerah penumbra terjadi akibat peningkatan metabolisme anaerob yang
disebabkan oleh proses iskemia. Peningkatan metabolisme ini memicu
pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. Asidosis menyebabkan
masuknya natrium (Na+) dan Cl- ke dalam sel melalui ikatan Na+/ H + dengan
Cl-/C03-, sehingga terjadi edema intrasel dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK).
3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi akibat kegagalan pompa Na + /K+ dan
berakibat terjadinya peningkatan kalium ekstra sel. Sel neuron / sel glia akan
mengalami penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan extracellular ionic
gradient, dan masuknya Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini akan
berujung pada edema intrasel.
4. Inflamasi pada daerah penumbra akibat adanya iskemia. Respons inflamasi ini
merupakan resptms normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel, namun
juga cenderung meningkatkan kerusakan jaringan serebral. Respons inflamasi
berupa aktifasi brain resident cells seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel
inflamasi ke jaringan iskemik, seperti neutrofil, monosit, :ruakrofag dan limfosit,
serta peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi ke
jaringan otak. Adapun mediator yang bersifat pro-inflamasi tersebut antara lain
tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin (IL)-1 ß, interferon (IF)- ß, serta IL-6)
yang diproduksi oleh limfosit.

Gambar 2.2. Patofisiologi Stroke Iskemik (Rodrigo et al., 2013)


Lokasi predileksi terjadinya aterosklerotik pada sirkulasi posterior, termasuk dari
cabang proksimal a. vertebralis (VA) dan a. subklavia, pada proksimal dan distal dari a.
vertebralis, a. basilaris, dan asal dari a. cerebri posterior. Penyempitan akibat
aterosklerotik biasanya terjadi pada lokasi cabang distal superfisial a. cerebri anterior
(ACA) , a. cerebri media (ACM), a. cerebri posterior (ACP) atau cabang cerebellar,
yakni a. cerebellaris inferior posterior (PICA), a cerebllaris inferior anterior (AICA) dan
a. cerebellaris superior (SCA) (Caplan, 2016)
Lipohyalinosis dan hipertrofi sekunder akibat hipertensi umumnya mengenai
cabang lentikulostriata MCA, arteri perforata ACA ( a. Heubner), cabang arteri yang
berasal dari A. Choroidalis Anterior (AchA), A. thalamoperforata dan A.
thalamogeniculatum dari PCA, A. perforata paramedia yang menuju pons, otak tengah,
dan thalamus dari a. basilaris (Caplan, 2016)
2.3.3. Cerebral Small Vessel Disease
2.3.3.1. Definisi
Penyakit pembuluh darah halus otak (cerebral small vessel disease/CSVD),
adalah sekumpulan abnormalitas klinis dan radiologis yang disebabkan oleh perubahan
patologi pembuluh darah halus otak yang berdiameter kurang dari 200 μm, yakni
pembuluh arteriol, kapiler, dan venula. Sebagai pembanding, diameter rambut manusia
3

bergantung pada jenisnya berkisar 50-200 μm. Oleh karena itu, dapat dibayangkan
betapa halusnya pembuluh darah ini sehingga efek yang ditimbulkan akibat
kerusakannya baru dapat disadari apabila keterlibatan pembuluh darah tersebut cukup
banyak. Gangguan tersebut tidak serta merta dapat dirasakan pada tahap awal, namun
seiring berjalannya waktu, CSVD akan memengaruhi fungsi kognitif serta
meningkatkan risiko demensia dan stroke.21 Melalui alat pencitraan otak yang sensitif
yaitu computerized tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI),
gangguan CSVD dapat ditemukan secara dini, walaupun belum menimbulkan gejala
yaitu infark lakunar, kerusakan massa putih otak (white matter hyperintensities atau
leukoaraiosis), pelebaran ruang perivaskular atau Virchow-Robin space, perdarahan
mikro, dan pengecilan massa otak. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
seperti manifestasi penyakit autoimun, penumpukan amiloid, pengerasan pembuluh
darah, atau kekakuan pembuluh darah (aterosklerosis) akibat kelainan tekanan darah
atau penyakit metabolik lainnya (Haris, 2019)
2.3.3.2. Gambaran klinis CSVD
Manifestasi klinis CSVD bergantung dari penyebab penyakit dan proses
patogenesis yang berlangsung. Namun manifestasi klinis yang terbanyak adalah
serangan stroke mendadak, penurunan kemampuan kognitif progresif, demensia,
gangguan berjalan, gangguan autonom (BAK dan BAB), gangguan psikiatrik dan lain-
lain (Li et al., 2018). CSVD menjadi salah satu penyebab utama dari vascular cognitive
impairment, dan menyumbang 45% dari total kasus demensia vaskular. Hal ini karena
umumnya CSVD ini merupakan infark lakunar tanpa gejala dan ditemukan dengan lesi
pada saat pencitraan. Penurunan kognitif yang disebabkan CSVD umumnya adalah
gangguan atensi dan memori, perlambatan proses informasi, gangguan kelancaran
verbal, dan perlambatan recall. Pada aera behaviour, umumnya menunjukkan gejala
apatis, gangguan mood, depresi, dapat juga ditemukan gangguan tidur, vertigo, tinitus,
dan gangguan pendengaran (Li et al., 2018)
Sementara gejala neuropsikiatrik pada CSVD umumnya termasuk halusinasi,
agitasi, depresi, kecematas, disinhibisi, iritabilitas, dan perubahan nafsu makan.
Kejadian microbleed yang banyak pada lobar meningkatkan kejadian dari gejala
neuropsikiatrik ini (Li et al., 2018)
2.3.3.3. Patofisiologi
Tanda-tanda gangguan CSVD dapat diketahui dari pencitraan berupa gambaran
infark lakunar, white matter hyperintensities, pelebaran ruang perivaskular, dan
microbleed.
- Infark lakunar adalah kematian jaringan otak kecil dengan ukuran 1-15 mm yang
dapat dilihat dengan pencitraan CT scan atau MRI.
- White matter hyperintensities adalah kerusakan berbentuk plak putih pada massa
putih otak yang dapat dilihat dengan pencitraan MRI (Gambar 2) pada T2 dan
T2-FLAIR (fluid attenuated inversion recovery). Terjadinya white matter
hyperintensities melibatkan faktor genetik yang dipengaruhi oleh siklus sel,
proteolitik, pemicu imunologi, dan apoptosis. Keberadaan white matter
hyperintensities dapat dijumpai 30% pada penyakit Alzheimer dan 60% pada
pasien demensia. Penyebaran white matter hyperintensities ditentukan dengan
Fazekas scoring dan perluasannya berhubungan dengan peningkatan risiko
stroke, demensia, dan kematian. The Prevention of Dementia by Intensive
Vascular Care (PREDIVA) melakukan pemeriksaan faktor risiko berupa
hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, overweight, merokok, dan aktivitas
fisik rendah dengan intervensi gaya hidup dan farmakologis untuk mencegah
demensia dan kecacatan. Prevention of Decline in Cognition After Stroke Trial
(PODCAST) membuktikan bahwa kontrol intensif tekanan darah sistolik <125
mmHg dan/atau kontrol lipid dengan target low density lipoprotein (LDL) <77
mg/dl (<2 mmol/L) dihubungkan dengan penurunan kognitif yang lebih rendah,
penurunan penyakit Alzheimer, dan demensia vaskular dibandingkan kontrol
sedang tekanan darah dengan sistolik <140 mmHg dan kontrol LDL <116 mg/dl
(<3 mmol/L).
- Pelebaran ruang perivaskular atau Virchow- Robin space yang dilihat dengan
MRI T2 merupakan penanda neuroimaging adanya small vessel disease. 9

Pelebaran ruang perivaskular didefinisikan sebagai intensitas struktur cairan


serebrospinal berukuran kecil dengan garis tegas pada pencitraan. Pelebaran
ruang perivaskular (Gambar 3) terlihat bulat pada potongan aksial dan linear
pada potongan longitudinal dengan lebar <3 mm.
- Microbleed adalah perdarahan kecil di parenkim otak dengan diameter kurang
dari 10 mm. MRI kerentanan pencitraan tertimbang atau susceptibility weighted
imaging (SWI) dapat mendeteksi microbleed dengan ukuran 1 mm.
2.3.3.4. Hubungan CSVD dengan Stroke
Penyakit gangguan CSVD tidak dapat dilepaskan keterikatannya dengan stroke
iskemik maupun stroke hemoragik (perdarahan) karena gangguan pembuluh darah halus
akan terus berkembang hingga menimbulkan manifestasi gangguan iskemik otak.
Penelitian di negara Asia, menunjukkan bahwa 18-43% stroke iskemik disebabkan oleh
kelainan pembuluh darah halus. Data di RSCM pada bulan Januari-Desember 2016
didapatkan 27,7% stroke iskemik disebabkan oleh gangguan CSVD (Haris, 2019)
Di Indonesia, berdasarkan data Stroke Registry 2012-2014 didapatkan total
populasi infark lakunar sebanyak 45% dari total stroke sumbatan. Proporsi stroke yang
disebabkan oleh CSVD di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Asia lainnya.
Penyebab utama CSVD di Indonesia adalah hipertensi diikuti diabetes mellitus dan
gangguan kadar lemak darah. Hipertensi menurut Joint National Committee VII
didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik
≥90 mmHg sedangkan tekanan darah sistolik ≥120 mmHg dan diastolik ≥80 mmHg
sudah dapat dikategorikan prehipertensi. Tekanan darah pada kategori prehipertensi
seringkali tidak menjadi perhatian sehingga berangsur-angsur menjadi hipertensi karena
kurangnya upaya pencegahan progresivitas penyakit. Oleh karena itu, dibutuhkan
perhatian khusus untuk mencegah kondisi tersebut berkelanjutan dengan
memperhatikan gaya hidup dan pola makan serta mengurangi berat badan karena
obesitas akan meningkatkan risiko hipertensi (Haris, 2019)
Mitos yang berkembang di masyarakat menyatakan bahwa konsumsi obat
hipertensi berkelanjutan akan merusak ginjal sehingga sebagian besar masyarakat
mengonsumsi obat hipertensi hanya bila merasa sakit kepala atau leher kaku, padahal
anggapan tersebut salah karena hipertensi harus diobati dengan obat hipertensi secara
teratur agar tekanan darah selalu terkontrol. Hipertensi yang berlangsung lama
menyebabkan penebalan otot pembuluh darah dan memengaruhi faktor inflamasi dan
hormonal yang akan mendukung malformasi atau gangguan CSVD di seluruh organ
tubuh khususnya otak. Akibatnya, terjadi kerusakan struktural dan pelebaran rongga di
sekitar pembuluh darah yang dikenal sebagai perivascular space. Penebalan tunika
media arteriol atau pelebaran perivascular space menurunkan sirkulasi. Terbatasnya
aliran darah pada mikrosirkulasi menyebabkan iskemia dan kebocoran cairan akibat
pelebaran ruang perivaskular serta perdarahan mikro yang meningkatkan risiko stroke
iskemik. Bertambahnya jumlah microbleed atau perdarahan kecil-kecil meningkatkan
potensi stroke berdarah (Haris, 2019)
Berdasarkan stroke registry yang bersifat nasional di Indonesia, CSVD
merupakan penyakit degeneratif yang secara signifikan lebih banyak pada laki-laki
berusia di atas 55 tahun, tetapi akhir-akhir ini insiden CSVD meningkat pada usia di
atas 40 tahun. Kerusakan pembuluh darah halus otak yang berlangsung perlahan
merupakan bom waktu tidak terlihat yang dapat mengganggu fungsi kognitif dan
meningkatkan jumlah penderita demensia. Gangguan fungsi kognitif akibat penyakit
pembuluh darah halus terutama pada domain fungsi eksekutif yang berperan penting
dalam pengambilan keputusan dan perencanaan.21-22 Hal tersebut telah banyak
dibuktikan oleh penelitian di seluruh dunia dan tim neurovaskular FKUI-RSCM, yaitu
sebelum CSVD menimbulkan manifestasi klinis, telah terjadi penurunan fungsi kognitif
karena kerusakan otak mikro akibat pengerasan pembuluh darah yang dibuktikan
dengan pemeriksaan transcranial doppler arteri serebri media (Haris, 2019)

2.4 Demensia Vaskular


2.4.1. Definisi
Demensia vaskular (VaD) merupakan demensia yang terutama disebabkan oleh
berbagai penyakit serebrovaskular, yang ditandai dengan penurunan kognitif yang
progresif, dan kesulitan dengan memori, bahasa, dan kemampuan sosial, sehingga
menimbulkan beban yang besar bagi keluarga, masyarakat, dan sistem perawatan
kesehatan (Kalaria, 2018). Ciri dominan dari sindrom kognitif adalah fungsi eksekutif
abnormal yang mengganggu fungsi sosial atau pekerjaan. Istilah gangguan kognitif
vaskular (VCI) dirancang untuk memasukkan kondisi dalam domain kognitif apa pun
dengan asal vaskular atau gangguan perfusi otak dan mencakup lama, progresif,
perjalanan klinis dan kontribusi penyakit vaskular.
2.4.2. Faktor Resiko Demensia Vaskular
Faktor risiko demensia jenis ini meliputi pertambahan usia, status pendidikan
yang rendah, jenis kelamin laki-laki, dan adanya faktor risiko vaskular. Selain itu, faktor
risiko penyakit demensia vaskular lainnya termasuk hipertensi, perokok, adanya
sindrom metabolic, adanya alel APOE e4, penyakit jantung iskemik, fibrilasi atrium,
peningkatan konsentrasi kolesterol dan homosistein, diabetes, serta obesitas.(Štante,
Potočnik and Rakuša, 2017)
Kategori Risiko Faktor risiko
Demografis Usia, jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan
yang lebih rendah
Aterosklerotik atau Hipertensi, merokok, infark miokard, diabetes
arteriosklerotik melitus, hiperlipidemia
Terkait stroke Volume kehilangan jaringan otak, bukti infark
serebral bilateral, infark strategis (misalnya,
thalamic, angular gyrus atau infark frontal
subkortikal), penyakit white matter
Perfusi atau oksigenasi otak yang Obstructive sleep apnoea, gagal jantung kongestif,
buruk aritmia jantung, operasi mayor, hipotensi
ortostatik, hipoksia
Genetik Ensefalopati vaskular familial (mis., CADASIL,
CARASIL, CRV), kemungkinan apolipoprotein E
(APOE) e4
Faktor risiko biologis lainnya Silent cerebral infarcts, atrofi serebral, ukuran
ventrikel, depresi

2.4.3. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis demensia vaskular berbeda-beda tiap individunya. Manifestasi
utama dari demensia vaskular ini meliputi gangguan dalam memori, bahasa, dan praktis.
Perubahan kognitif pada demensia vaskular jauh lebih bervariasi daripada gangguan
lain. Pasien juga sering mengalami depresi dan apatis, yang sering dikeluhkan oleh
keluarganya. Walaupun jarang terjadi, delusi dan halusinasi juga masih dapat dialami
(Kalaria, 2018)
Demensia vascular dapat memuncak dari efek global atau fokal penyakit
vaskular. Ini juga ditandai sebagai gangguan neurokognitif, yang juga mencakup gejala
perilaku, kelainan alat gerak, misalnya adanya gangguan gaya berjalan seperti
Parkinsonian, disartria dan disfungsi otonom.(O’Brien and Thomas, 2015)
2.4.4. Diagnosis
Tingkat keparahan klinis pada demensia vascular bervariasi mulai dari gangguan
kognitif ringan (MCI) hingga disfungsi parah. Beberapa kriteria klinis VaD telah
diusulkan dan digunakan secara luas, meliputi NINDS-AIREN, ICD 10, ADDTC, DSM
IV, klinik Mayo. Skala Iskemik Hachinski untuk demensia multi-infark digantikan oleh
kriteria Pusat Diagnosis dan Perawatan Penyakit Alzheimer (ADDTC) untuk VaD
iskemik, kriteria NINDS-AIREN untuk VaD, dan ICD (revisi kesepuluh) untuk VaD.
Tak satu pun dari kriteria ini secara konsisten ditemukan memiliki sensitivitas tinggi
untuk kemungkinan VaD.(Kalaria, 2018)
Ada 3 poin kunci demensia vascular yang selaras dengan kriteria NINDS-AIREN
untuk diagnosis klinis kemungkinan VaD, yaitu termasuk
(1) onset akut demensia,
(2) bukti neuroimaging lesi serebrovaskular, dan
(3) bukti hubungan temporal antara stroke dan kehilangan kognitif.(Štante, Potočnik
and Rakuša, 2017)
Tabel 1. Skala Iskemik Hachinski
Riwayat dan gejala Skor
Awitan mendadak 0/2
Deteriorasi bertahap 0/1
Perjalanan klinis fluktuatif 0/2
Kebingungan malam hari 0/1
Kepribadian relatif terganggu 0/1
Depresi 0/1
Keluhan somatic 0/1
Emosi labil 0/1
Riwayat hipertensi 0/1
Riwayat penyakit serebrovaskular 0/2
Arteriosklerosis penyerta 0/1
Keluhan neurologi fokal 0/2
Gejala neurologis fokal 0/2
Total Score

Pada Skala Iskemik ini apabila ditemukan Score >= 7 yang mengarah pada
dementia multi infark, Score 5-6 mengarah pada Alzheimer Disease dengan CVD dan
Score <=4 yaitu Alzheimer Disease.
Tabel 1. Kriteria NINDS-AIREN untuk Diagnosis Demensia Vaskular.
1 Kemungkinan demensia vaskular:
1. sindrom demensia bukan karena delirium, psikosis, afasia atau gangguan
sensorimotor, dan
2. penyakit serebrovaskular ditentukan oleh adanya tanda neurologis fokal
dan bukti penyakit serebrovaskular yang relevan dengan pencitraan otak
(ditentukan lebih lanjut), dan
3. hubungan antara 1 dan 2 seperti demensia terjadi dalam 3 bulan setelah
stroke, atau kerusakan mendadak, atau perkembangan bertahap yang
berfluktuasi.
2 Gambaran yang sesuai dengan kemungkinan demensia vaskular meliputi
gangguan cara berjalan dini, sering jatuh, gejala awal kemih, kelumpuhan
pseudobulbar, perubahan kepribadian dan suasana hati, defisit subkortikal
seperti retardasi psikomotor, dan fungsi eksekutif abnormal.
3 Gambaran yang membuat d emensia vaskular tidak mungkin termasuk gejala
klinis tanpa adanya tanda neurologis fokal atau lesi serebrovaskular pada CT
atau MRI otak.
4 Kemungkinan demensia vaskular dapat didiagnosis tanpa pemeriksaan
pencitraan otak atau hubungan temporal yang jelas antara demensia dengan
stroke.
5 Demensia vaskular pasti memerlukan kriteria klinis untuk kemungkinan
demensia vaskular dan bukti patologis penyakit serebrovaskular tanpa adanya
kusut dan plak atau jenis patologi demensia lainnya
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 81 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Malang
Tanggal Kunjungan : 23 Maret 2021
No. Rekam Medik : 11282829
Anamnesa
Keluhan Utama : Mengantuk berlebihan
Riwayat Penyakit Sekarang:
• Pasien datang ke Klinik Neurologi rujukan dari Sp.N RS Swasta di Malang dengan
keluhan mengantuk berlebihan sejak 5 tahun yang lalu dan dirasakan semakin
memberat dalam 6 bulan terakhir. Keluarga pasien menyampaikan kecenderungan
mengantuk terutama saat siang hari, pasien tertidur di pada saat setelah makan pagi dan
siang serta saat sedang membaca dan menonton TV, pasien hanya terbangun saat jam
untuk makan dan minum obat serta jika di bangunkan. Rasa mengantuk yang dirasakan
tidak tertahan dan langsung tidur. Pasien tidak tahu berapa lama durasi tidurnya hingga
dibangunkan oleh keluarga. Pasien juga merasa sering merasa kelelahan meskipun tidak
banyak aktivitas yang dilakukan. Dikatakan keluarga sejak 1 bulan terakhir pasien
semakin sering tertidur dan saat dibangunkan terjaga ± 1 jam kemudian mengantuk
kembali dan tertidur. Pada saat tidur malam hari pasien rutin memulai tidur pukul 20.00
dan pagi hari bangun sekitar pukul 04.00-05.00 tergantung dari keluarga yang
membangunkan. Jika tidak dibangunkan, pasien susah untuk bangun dengan sendirinya.
• Pasien tidak ada mengeluhkan kesulitan untuk memulai tidur, tidak ada terbangun saat
tidur serta mengeluhkan badan tidak segar saat bangun tidur. Tidak ada keluhan mimpi
buruk, jalan saat tidur tidak ada, gangguan gerak saat tidur tidak ada. Pasien tidak ada
keluhan mendengkur ataupun tiba-tiba badan terasa lemas sebelumnya.
• Tidak didapatkan lemah separuh badan, muntah, pelo, dan merot. Kejang (-), pandangan
kabur/ganda (-), gangguan menelan (-), gangguan pendengaran (-), telinga berdenging
(-), telinga grebek-grebek (-), dan pusing berputar (-). BAB dan BAK dalam batas
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Stroke Sumbatan sejak tahun 2018, dengan kelemahan pada separuh badan bagian kiri,
sequele (-)
Riwayat terdiagnosa Dementia Vaskular Pasca Stroke sejak 2 bulan yang lalu, rutin untuk
kontrol di Poli Memori
Riwayat Hipertensi (+) sejak 3 tahun yang lalu, uncontrolled
Riwayat DM (-), jantung (-)
Riwayat Pengobatan :
Pasien rutin mengkonsumsi obat dari Sp.S sebelumnya antara lain Amlodipin 5mg-0-0, ASA
1x80mg dan Simvastatin 0-0-20mg dan Aricept 1x5mg dari Poli Memori.
Riwayat Penyakit pada Keluarga:
Riwayat HT pada keluarga (+) kakak pasien, Stroke (-), DM (-), Jantung (-), Tumor (-)
Life Style Pasien :
Pasien sudah 5 tahun terakhir tidak bekerja, sebelumnya pasien bekerja sebagai pensiunan Guru
SD yang memiliki percetakan, pasien seorang yang rajin untuk membaca buku, sering
mengkonsumsi makanan asin (+), santan (+), lemak (+), merokok (-), alcohol (-), tattoo (-),
freesex (-), narkoba (-).
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Tekanan Darah : 150/80
Nadi : frekuensi 87 kali per menit, reguler, kuat angkat.
Pernafasan : frekuensi 18 kali per menit
Suhu Axilla : 36.5 C
Tinggi Badan : 157cm
Berat Badan : 58kg
BMI : 23.5 (Normal)
Status Interna
Kepala Leher : anemis -/- ikterik -/- cyanosis -/- pembesaran kelenjar getah
bening leher dan submandibulla –
Thorax : Simetris, Cor: S1S2 tunggal, murmur + gallop –, thrill (+).
Pulmo: suara napas vesikuler +/+ rhonki-/- weheezing -/-
Punggung : Kifosis (-), Lordosis (-), Jejas (-), Massa (-), Gibbus (-)
Abdomen : Soefl, BU + normal, hepar/ lien tak teraba,
Ekstremitas : Edema -/-, Akral hangat
Status Neurologi
Kesadaran : GCS 456
Fungsi Luhur : Aphasia, Apraxia, Agrafia, Acalkulia, Alexsia, Agnosia: (-)
Tanda Meningeal : Nuchal Rigidity (-), Brudzinsky Neck Sign (-), Obscure Cheek
Sign (-), Symphyseal Sign (-), Brudzinsky Contralateral Reflex Sign (-/-), Kernig (-/-)

Nervus Cranialis
N. I Anosmia (-), Parosmia (-), Fantosmia (-), Presbiosmia (-),
Kakosmia (-), Koprosmia (-), Agnosia oflaktoris (-),
Oflactory Hallucination (-).
N. II Visus ODS: >2/60
Konfrontasi: Sama dengan Pemeriksa
Color Blindness: tidak dilakukan pemeriksaan
Funduskopi: papil edema -/-
N. III, IV, VI Ptosis -/- Pupil: Isokor 3mm/3mm
Reflex: Pupillary reflex +/+
GBM : dalam batas normal
N. V Sensoric : V1: wnl V2: wnl V3: wnl
Motoric : masseter (symmetric), pterygoid bilateral
(symmetric)
Reflex : Corneal Reflex (+/+). Reflex Jaw (+),
N. VII Motoric: Inspection : Static dan dinamis (simetris)
Sensoric: 2/3 anterior tongue (Tidak dievaluasi)
Reflex: Orbicularis Oculi (-), Chvostek Sign (-)
N. VIII Tes Bisik, Tes Schwabach, Tes Rinne, Tes Weber, Romberg
dalam batas normal, Nistagmus (-)
N. IX, X Dalam batas Normal
N. XI Dalam batas Normal
N. XII Dalam batas Normal

Motorik :
Inspeksi : Dalam batas Normal
Tonus : Normal Normal
Normal Normal
Kekuatan : 5 5
5 5
Sensorik :
a. Rasa eksterosepsi: Kanan Kiri
- Nyeri superfisial dalam batas normal dalam batas normal
- Raba halus dalam batas normal dalam batas normal
- Suhu Tidak diperiksa Tidak diperiksa
b. Rasa propriosepsi :
- Getar Tidak diperiksa Tidak diperiksa
- Tekan dalam batas normal dalam batas normal
- Nyeri tekan dalam batas normal dalam batas normal
- Gerak dan posisi dalam batas normal dalam batas normal
c. Rasa enterosepsi:
- Nyeri alih - -
d. Rasa kombinasi:
- Stereognosi dalam batas normal dalam batas normal
- Barognosi dalam batas normal dalam batas normal
- Grapestesia dalam batas normal dalam batas normal
- Diskriminasi 2 titik dalam batas normal dalam batas normal
e. Rasa panas pada tungkai (-)
Sistem Saraf Otonom:
- Miksi : dalam batas normal
- Defekasi : dalam batas normal
- Keringat : produksi keringat dalam batas normal
Refleks :
a. Refleks permukaan: BHR –
b. Refleks fisiologis :
o BPR : +2 / +2
o TPR : +2 / +2
o KPR : +2 / +2
o APR : +2 / +2
c. Refleks patologis :
o Hoffman :-/-
o Tromner :-/-
o Babinski :-/-
o Chaddock :-/-
o Oppenheim :-/-
o Gordon :-/-
o Gonda :-/-
o Schaefer :-/-
o Rossolimo :-/-
o Mendel Bechterew: - / -
o Stransky :-/-
d. Refleks primitif :
o Grasp :-
o Snout :-
o Sucking :-
o palmomental :-
Cerebellum :
Dalam batas normal
Skoring Gangguan Tidur :
Skala Tidur Epworth
Situasi SKOR
0 1 2 3
1. Duduk dan Membaca √
2. Menonton TV √
3. Duduk santai ditempat keramaian, misalnya bioskop √
4. Sebagai penumpang mobil dalam perjalanan 1 jam tanpa √
berhenti
5. Segera setelah rebahan saat istirahar sore hari √
dilingkungan yang memungkinkan
6. Duduk dan bicara dengan seseorang √
7. Duduk setelah makan siang tanpa konsumsi alcohol √
8. Dalam mobil berhenti saat traffic light warna merah atau √
tanda berhenti
Jumlah Skor Total : 21

The Stanford Sleepiness Scale (SSS)


Degree of Sleepiness Scale Rating
Feeling Active, vital, Alert, or wide awake 1
Functioning at high levels, but not at peak; able to concentrate 2
Awake, but relaxed; responsive but not fully alert 3
Somewhat foggy, let down 4
Foggy, losing interest in remaining awake; slowed down 5
Sleepy, woozy, fighting sleep; prefer to lie down 6
No longer fighting sleep, sleep onset soon; having dream-like thoughts 7
Asleep X

Indeks Severity Insomnia


1. Silahkan anda menilai tingkat Sangat
Tidak ada Ringan Sedang Berat
keparahan insomnia yang terjadi berat
pada minggu terakhir : 0 1 2 3 4
>Kesulitan memulai tidur 0 1 2 3 4
>Kesulitan mempertahankan tidur
0 1 2 3 4
>Terbangun lebih awal
2. Seberapa puas / tidak puas anda Sangat puas Puas Netral Tidak puas Sangat tdk
terhadap pola tidur anda akhir-akhir puas
ini?
0 1 2 3 4

3. Sejauh mana anda merasa gangguan Tdk Sedikit Agak Menggang Sangat
tidur tersebut mengganggu aktivitas berpengaruh mengganggu mengganggu gu mengganggu
sehari-hari (seperti merasa lelah pada sama sekali
siang hari, kemampuan untuk
0 1 2 3 4
bekerja / tugas sehari-hari)?
4. Seberapa nyata / jelaskan gangguan Tdk Sedikit Agak Berpengaruh Sangat
tidur anda mempengaruhi kualitas berpengaruh berpengaruh berpengaru berpengaruh
hidup anda menurut orang lain sama sekali h
0 1 2 3 4
5. Seberapa cemas / tertekankah anda Tidak cemas Sedikit Agak Cemas Sangat
terhadap gangguan tidur yang sedang sama sekali cemas cemas cemas
anda alami? 0 1 2 3 4
Total Skor : 7
Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI)
1. Selama 1 bulan terakhir, jam berapa anda biasanya ke tempat tidur saat malam
hari? Pukul 21.00
2. Selama 1 bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) yang diperlukan untuk anda
tertidur setiap malamnya? < 1 menit
3. Selama 1 bulan terakhir, jam berapa biasanya anda bangun pada pagi hari?
Pukul 03.00 atau 04.00
4. Selama 1 bulan terakhir, berapa jam waktu tidur sebenarnya yang anda peroleh
pada malam hari? Selama 6-7 jam
5. Selama satu bulan terakhir, seberapa sering anda Tidak sama Kurang Sekali Tiga kali
mengalami gangguan tidur karena : sekali dari atau dua atau
dalam satu sekali kali lebih
bulan seminggu seminggu seminggu
terakhir
a. Tidak dapat tidur dalam 30 menit √
b. Bangun di tengah malam / bangun terlalu pagi √
c. Harus bangun karena harus ke kamar mandi √
d. Tidak dapat bernapas dengan nyaman √
e. Batuk / mendengkur dengan keras √
f. Merasa terlalu dingin √
g. Merasa terlalu panas √
h. Mengalami mimpi buruk √
i. Merasa nyeri √
j. Alasan lain, tolong sebutkan
6. . Selama satu bulan terakhir, seberapa sering anda
menggunakan obat untuk membantu anda tidur (obat √
resep / dijual bebas)?
7. Selama satu bulan terakhir, seberapa sering anda

mengalami kesulitan untuk tetap terjaga ketika
berkendara, makan, atau melakukan aktivitas sosial?
Tidak ada Sedikit Cukup Sangat
kesulitan kesulitan sulit sulit
8. Dalam satu bulan terakhir, seberapa sulit bagi anda √
mempertahankan cukup semangat untuk menyelesaikan
segala sesuatu
Sangat Cukup Cukup Sangat
baik baik buruk Buruk
9. Dalam satu bulan terkahir, bagaimana anda menilai √
kualitas tidur anda secara keseluruhan?
Tidak Pasanga Pasanga Pasanga
memiliki n / teman n tidur n tidur
pasangan / tidur di dlm dalam
teman tidur ruangan ruangan satu
lain yg sama ranjang
ttp tidak
seranjan
g
10. Apakah anda memiliki teman / pasangan tidur? √
Tidak Kurang Sekali Tiga
selama 1 dari sekali atau dua kali/
bulan seminggu kali lebih
terakhir semingg semingg
u u
Jika anda memiliki pasangan, tanyakan kepadanya
seberapa sering dalam 1 bulan ini anda :
a. Mendengkur dengan keras √
b. Jeda lama antara pernapasan ketika tidur √
c. Kedutan atau hentakan kaki ketika tidur √
d. Episode disorientasi atau kebingungan selama tidur √
e. Tanda kegelisahan lain ketika tidur, tolong sebutkah √

Penilaian PSQI :
Skor Komponen 1 : 0
Skor Komponen 2 : 0
Skor Komponen 3 : 0
Skor Komponen 4 : 0
Skor Komponen 5 : 0
Skor Komponen 6 : 0
Skor Komponen 7 : 2
Skor PSQI Global : 2

Snoring Score
Situasi
1. Apakah anda mengorok dengan cukup keras atau sering Ya / Tidak
mengorok?
2. Apakah anada sering mengalami/ ditemukan dalam kondisi Ya / Tidak
sesak atau henti nafas selama tidur?
3. Apakah anda merasa Lelah atau pening pada saat Ya / Tidak
terbangun atau apakah anda bangun tidur disertai dengan
nyeri kepala?
4. Apakah anda sering Lelah atau lemah selama jam jam Ya / Tidak
bangun?
5. Apakah anda tertidur pada saat duduk, membaca, melihat Ya / Tidak
TV atau menyetir kendaraan?
6. Apakah anda sering memiliki problem memori atau Ya / Tidak
konsentrasi?
Berlin Questionnaire
KATEGORI 1 KATEGORI 2
1. Apakah anda mendengkur ? 6. Seberapa sering anda merasa lelah atau letih
a. Ya setelah tidur ?
b. Tidak a. Hampir setiap hari
c. Tidak tahu b. 3-4 kali seminggu
2. Dengkuran anda ? c. 1-2 kali seminggu
a. Sedikit lebih keras dari suara napas d. 1-2 kali sebulan
b. Sekeras bicara e. Hampir atau tidak pernah
c. Lebih keras daripada bicara 7. Selama keadaan bangun pernahkah anda
d. Sangat keras, dapat didengar hingga ruang merasa lelah atau letih?
sebelah a. Hampir setiap hari
3. Seberapa sering anda mendengkur ? b. 3-4 kali seminggu
a. Hampir setiap hari c. 1-2 kali seminggu
b. 3-4 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan
c. 1-2 kali seminggu e. Hampir atau tidak pernah
d. 1-2 kali sebulan 8. Pernahkah anda terkantuk atau tertidur ketika
e. Hampir atau tidak pernah mengendarai kendaraan ?
4. Pernahkah dengkuran anda mengganggu a. Ya
orang lain? b. Tidak
a. Ya 9. Jika ya seberapa sering ?
b. Tidak a. Hampir setiap hari
c. Tidak tahu b. 3-4 kali seminggu
5. Pernahkah orang lain menemukan anda tidak c. 1-2 kali seminggu
bernapas ketika tidur ? d. 1-2 kali sebulan
a. Hampir setiap hari e. Hampir atau tidak pernah
b. 3-4 kali seminggu KATEGORI 3
c. 1-2 kali seminggu 10.Apakah anda memiliki tekanan darah tinggi?
d. 1-2 kali sebulan a. Ya
e. Hampir atau tidak pernah b. Tidak
c. Tidak tahu
Stop Bang Sleep Apnea Questionnare
STOP YES NO
Do you SNORE loudly (louder than talking or loud enough to be √
heard through closed doors)?
Do you often feel TIRED, fatigued, or sleepy during daytime? √
Has anyone OBSERVED you stop breathing during your sleep ? √
Do you have or are you being treated for high blood PRESSURE? √
BANG YES NO
BMI more than 35 kg/m2 ? √
AGE over 50 year old? √
NECK circumference> 16 inches (40 cm) ? √
GENDER : Male ? √
Total Score 4

Mini Mental Status Examination : 14


No Test Nilai
Maks.
Orientasi
1 Sekarang (tahun, musim, bulan, tanggal), hari apa? 0
2 Kita berada di mana? (Negara, propinsi, kota, rumah sakit, lantai/ kamar) 3
Registrasi
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin) setiap benda 1 detik, 3
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap
nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan
dengan benar dan catat jumlah pengulangan
Atensi dan Kalkulasi
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan 0
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata ‘WAHYU’ (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw= 2
nilai
Mengingat Kembali (Recall)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 0
Bahasa
6 Pasien disuruh menyebut nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) 2
7 Pasien disuruh mengulang kata-kata ‘namun’, ‘tanpa’, ‘bila’ 1
8 Pasien disuruh melakukan perintah ‘Ambil kertas ini dengan tangan 3
anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai’
9 Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah ‘pejamkanlah mata 1
anda’

10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 0


11 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini 1

Total 14

CDT (Clock Drawing Test) : 0


MoCa INA : 6
Diagnosis
Diagnosa Klinis
- Laki-laki, 81 tahun
- Excessive Day Time Sleepiness (EDS) sejak 5 tahun yang lalu, memberat sejak
- Riwayat Stroke sumbatan saat tahun 2018, dengan kelemahan pada sisi kiri,
sequele (-)
- Riwayat terdiagnosa Dementia Vascular
- Riwayat HT (+) uncontrolled
- Epworth Sleep Scale : 21
- Stanford Sleepiness Scale : 6
- Stop Bang Questionnare : 4 (Intermediatte Risk of OSA)
- Index Severity Insomnia : 7 (No Clinically Significant Insomnia)
- Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) : 2
- MMSE : 14, CDT : 0, MoCA INA : 6
- BMI 23.5
Diagnosa Topis : ARAS - Talamocortical
Diagnosa Etiologis : Hipersomnia dt Post Stroke
Diagnosa Banding : Idiopathic Hipersomnia
Diagnosa Sekunder :Dementia Vaskular
Hipertensi st II
Rencana Diagnosa
MRI Kepala + Kontras (RS Saiful Anwar, 15 Januari 2021)
Kesimpulan :
• Ensefalomalasia ( infark kronis ) multiple pada globus pallidus nucleus lentiformis
kanan, thalamus kanan, corona radiata bilateral, capsula interna limb posterior kiri,
capsula eksterna bilateral, parahipocampus kanan, cornu posterior periventrikel lateral
bilateral
• Microbleeding pada thalamus bilateral, capsula interna limb posterior kiri, subcortex
lobus temporoparietooccipitalis bilateral suspek ec hypertensive microangiopathy
• Kalsifikasi pada globus pallidus nucleus lentiformis bilateral
• Senile brain atrophy

Rencana Terapi
- Sleep Hygiene
- Amlodipin 1x5mg
- Aricept 5mg-0-0
- Pro PSG
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Hypersomnia due to Microbleed Thalamus Bilateral related with Dementia


Vascular.
Pada laporan kasus ini, penegakkan diagnosa pada pasien ditentukan berdasarkan
anamnesa pada gejala pasien serta dilakukan penilaian berdasarkan skoring pada
gangguan tidur. Selain itu, setelah dilakukan pemeriksaan penunjang, hal ini
mendukung ke arah diagnosa yang kami dapatkan selama dilakukan anamnesa dan
penilaian skoring, dimana terdapat kerusakan structural yang mendukung dari diagnosa
pasien pada laporan kasus ini.
Berdasarkan anamnesa didapatkan seorang pasien laki laki yang berusia 81 tahun
datang ke Poli Syaraf dengan rujukan dari Spesialis Syaraf RS Swasta, dikeluhkan
terdapat gangguan tidur berupa rasa mengantuk yang terus menerus, susah untuk di
bangunkan saat pagi hari, dan dikeluhkan juga pada saat siang hari pasien mudah untuk
tertidur, hanya terjaga sekitar 1 jam kemudian kembali tertidur serta tidak ada hasrat
atau keinginan melakukan kegiatan apapun di rumah. Keluarga menyampaikan tidur
saat malam hari tidak ada keluhan, pasien dapat tidur dengan nyenyak tanpa terbangun
dan tidak mendengkur dengan frekuensi tidur 7 - 8 jam tergantung dari keluarga pasien
yang membangunkan, jika pasien tidak dibangunkan pasien susah untuk bangun dengan
sendirinya. Berdasarkan keluhan tersebut, maka pasien dapat kita diagnosa dengan
Excessive Day Time Sleepiness atau hypersomnia. Hal ini sesuai dengan definisi dari
hypersomnia yaitu tidur yang berlebihan terutama pada siang hari dan susah untuk
mempertahankan berjaga pada saat siang hari atau terdapat peningkatan waktu tidur
selama 24 jam (Hermann et al., 2008; Reading, 2010; Purnomo, 2018).
Dari anamnesa pada kasus ini, mencoba menggali untuk penyebab permasalahan
lingkungan seperti terdapatnya kebisingan, cahaya yang terang, gangguan
kardiorespirasi termasuk gangguan pernapasan saat tidur, penggunaan obat penenang
atau obat-obatan yang mengakibatkan terjaga saat malam hari dan komplikasi stroke
(misalnya, kejang, infeksi,demam, stres emosional yang biasanya merupakan
komplikasi stroke terkait kekurangan dan fragmentasi tidur saat malam hari juga tidak
kami dapatkan pada pasien ini (Amir, 2007; Saini and Rye, 2017).
Pada hasil analisa scoring gangguan tidur pada pasien ini didapatkan Epworth
Sleepiness Scale didapatkan hasil 21. Skala ini digunakan untuk mengukur secara
umum tingkat kantuk terutama pada saat siang hari atau kecenderungan tidur pasien
rata-rata dalam 1 hari. Dari hasil skoring pasien ini dapat dilakukan intepretasi bahwa
menunjukkan pasien kemungkinan tertidur besar disetiap kegiatan harian pasien dalam
1 hari dilihat dari hasil scoring yang tinggi yaitu 21 dari total skor secara keseluruhan
yaitu 24 dengan normal skor pada Epworth Sleepiness Scale <10 (Reading, 2010;
Purnomo, 2018). Pada penggunaan Stanford Sleepiness Scale didapatkan score 6 yang
mengarah pasien mudah mengantuk, susah menahan tidur dan lebih suka untuk
berbaring. Pada skala ini mengintepretasikan bahwa pasien mudah tertidur pada
kegiatan tertentu serta pada waktu tersebut (Shahid et al., 2012). Pada skoring
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) pada pasien ini kami dapatkan skor 0 pada
komponen 1 sampai dengan komponen 6 sedangkan pada kompenen 7 terdapat score 3.
PSQI ini merupakan instrument yang efektif untuk mengukur dari kualitas dan pola
tidur pada orang dewasa, dari hasil yang di dapatkan pada pasien tersebut, maka dapat
di intepretasikan bahwa pasien mengalami kualitas tidur yang baik dalam 1 bulan
terakhir pada komponen kualitas tidur secara subyektif, latensi tidur yang baik, durasi
tidur juga baik, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur juga tidak kami dapatkan
selama tidur malam hari, tidak ada penggunaan obat tidur serta pada komponen 7 pasien
kami dapatkan adanya disfungsi pada siang hari yang mendapatkan score 3 (Quality,
2012; Purnomo, 2018).
Untuk menilai pasien dari gangguan tidur yang lain, kami juga menilai skoring
Indeks Severity Insomnia (ISI). Dari hasil Indeks Severity Insomnia pada kasus ini kami
dapatkan skor 7 yang berarti tidak ada klinis yang mengarah suatu insomnia. Sehingga
dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya sering mengantuk saat siang hari,
susah terbangun pada pagi hari bukan dikarenakan adanya insomnia pada saat malam
hari (Reading, 2010; Purnomo, 2018).
Selain itu, pasien kami lakukan beberapa skoring untuk mendeteksi apakah pasien
mengalami Sleep Apnea selama tidur di malam hari yang mengakibatkan pasien terjadi
hypersomnia pada saat malam hari. Pemeriksaan itu di antaranya Snoring Sccore, STOP
BANG Sleep Apnea Quistionare, dan Berlin Questionnarre. Pertama pasien kami
lakukan pemeriksaan menggunakan skor Snoring. Snoring Score ini digunakan untuk
menilai adanya mendengkur atau adanya resiko obstructive sleep apneu serta menilai
adanya disfungsi akibat dari mendengkut atau sleep apneu. Pada skoring ini, pasien
didapatkan hasil 3 gejala yang disebutkan dari skor tersebut, namun tidak dapat
menyingkirkan pasien mengalami sleep apneu atau tidak, dikarenakan 3 gejala yang
didapatkan pada pertanyaan yang mengarah terhadap disfungsi akibat mendengkur
seperti Lelah saat bangun tidur, tertidur saat siang hari dan adanya problem memori.
(Shahid et al., 2012; Purnomo, 2018). Pada pemeriksaan skoring STOP BANG Sleeep
Apnea Questionnare yang di gunakan untuk menilai resiko pasien mengalami OSA
(Obstructive Sleep Apnea), pada pasien ini didapatkan hasil 4 yang mengintepretasikan
pasien resiko sedang terjadinya Sleep Apnea. Pada pemeriksaan Berlin Questionnare ini
juga digunakan untuk menilai seseorang beresiko untuk terjadinya Sleep Apnea, akan
tetapi beberapa literature menyebutkan kuisioner ini tidak dapat digunakan untuk
penegakkan diagnose pada Sleep Apnea, hanya digunakan untuk penelitian mendeteksi
apakah seseorang tersebut beresiko untuk mengarah ke suatu sleep apnea atau tidak.
Berlin Questionnare ini terdapat 3 kategori yang mengarahkan ke suatu Sleep Apnea
seperti Kategori 1 tentang apakah terjadi snoring selama tidur, Kategori 2 yang
mengarah apakah terdapat hypersomnia dan kategori 3 mengarahkan pada obesitas atau
hipertensi. Pada pasien ini terdapat resiko tinggi pada kategori 2 dan 3 karena pasien
mengalami hypersomnia dan dengan Riwayat hipertensi. Namun hal ini tidak dapat kita
gunakan untuk mendiagnosa pasien ini mengalami sleep apnea (Shahid et al., 2012;
Purnomo, 2018).
Berdasarkan semua hasil skoring yang dilakukan pada kasus ini, pasien dapat
disimpulkan bahwa mengalami hypersomnia yang dikarenakan bukan dari insomnia
saat pasien tidur malam hari dan masih ada resiko atau kemungkinan pasien mengalami
sleep apnea, dari hal ini dapat dilakukan PSG (Polisomnografi) sebagai penegakkan
diagnosis standart untuk melihat penyebab yang terjadi pada pasien.
Pada kasus hypersomnia, standart penegakkan diagnose selain menggunakan PSG
juga menggunakan MSLT (Multi Sleep Latency Test). Kedua pemeriksaan penunjang
tersebut digunakan untuk melihat derajat kualitas tidur pasien tersebut (Reading, 2010).
Namun pada RS Saiful Anwar, MSLT tidak dapat kita lakukan karena keterbatasan alat
diagnostic. MSLT ini digunakan untuk menilai apakah pasien terdapat periode REM
selama periode MSLT, apabila terdapat disregulasi REM berarti terjadi adanya EDS
patologis. Pada pasien ini tidak dilakukan PSG karena kurang kooperatifnya pasien dan
keluarga pada saat pelaksanaan PSG. Selain pemeriksaan MSLT dan PSG, pasien
dengan hypersomnia juga dapat dilakukan MWT dan SART untuk melihat kuantitas
dari tidur dan keterjagaan pasien serta mengevaluasi setelah pemberian pengobatan pada
pasien (Kryger, Dement and Roth, 2010; Reading, 2010). Namun pada kasus ini tidak
dilakukan MWT dan SART karena adanya keterbatasan alat diagnostic.
Pada pemeriksaan penunjang MRI Kepala + Kontras yang dilakukan pada pasien
ini, didapatkan hasil Ensefalomalasia (infark kronis) multiple pada globus pallidus
nucleus lentiformis kanan, thalamus kanan, corona radiata bilateral, capsula interna limb
posterior kiri, capsula eksterna bilateral, parahipocampus kanan, cornu posterior
periventrikel lateral bilateral serta Microbleeding pada thalamus bilateral, capsula
interna limb posterior kiri, subcortex lobus temporoparietooccipitalis bilateral. Hal ini
mendukung pada diagnose pasien yang mengalami suatu hypersomnia. Lesi pada area
basal ganglia dan center dari subkorteks yang luas dapat mengakibatkan adanya
gangguan pada fungsi bangun dan tidur pasien (Reading, 2010; Bassetti and Hermann,
2011). Hal ini sangat sesuai dengan kondisi pasien, dimana pasien juga mengalami
gangguan pada siklus bangun tidurnya, yang dikeluhkan keluarga susah untuk di
bangunkan saat tidur dan pasien akan bangun pada saat pagi hari jika dibantu bangun
oleh keluarga serta pada saat siang hari mudah sekali untuk tertidur.
Post Stroke hipersomia biasanya paling banyak terjadi pada stroke yang mengenai
daerah striatum, thalamo-mesencephalic, pontine bagian atas dan lesi stroke pada
medial ponto-medullary (Reading, 2010; Sonka and Susta, 2012). Pada kasus ini, pasien
mengalami iskemia pada daerah striatum dan juga thalamus, dimana merupakan area
terbanyak terjadinya hypersomnia post stroke yang mengakibatkan adanya gangguan
arousal dan mengakibatkan terjadinya perilaku tidur hingga 20jam/ hari (Bassetti and
Valko, 2006; Kryger, Dement and Roth, 2010; Reading, 2010).
Berdasarkan adanya hasil MRI yang menunjukkan adanya lesi didaerah subcortex
terutama thalamus, hal ini yang menyebabkan adanya gangguan pada siklus bangun
tidur pada kasus ini. Dimana terdapatnya lesi pada thalamus ini mengakibatkan adanya
penurunan arousal dikarenakan terganggunya jalur arousal yang mengatur seseorang
menjadi terjaga (Kryger, Dement and Roth, 2010; Reading, 2010; Bassetti and
Hermann, 2011; Ferre et al., 2013). Hipersomnia yang mengenai lesi bilateral dan luas
pada daerah subcorteks atau thalamus, subthalamikus, tegmentum dan pons dapat
mengakibatkan terjadinya hipersmonia yang persisten dan berat. Hal ini sesuai pada
kasus, dimana pasien mengalami lesi pada daerah subkorteks bilateral dan juga
thalamus bilateral yang mengenai jalur ascending arousal sehingga mengakibatkan
terjadinya hipersmonia yang berat dan persisten sampai dengan 5 tahun pasien post
stroke (Bassetti and Valko, 2006; Kryger, Dement and Roth, 2010). Pada stroke yang
terjadi lesi pada area bilateral paramedian thalamus ini terjadi sebagian spindle tidur,
kompleks K dan gelombang lambat tidur ditekan sehingga menyebabkan peningkatan
tidur yang berkelanjutan pada fase tidur 1 dan menyebabkan ketidak mampuan
seseorang menjadi bangun sepenuhnya. Pada hasil EEG yang didapatkan pada thalamic
stroke juga menunjukkan adanya spindle koma. (Ferre et al., 2013). Beberapa penelitian
juga menyebutkan bila terjadi stroke lesi pada sisi kanan menyebabkan penurunan REM
dan REM densitas sedangkan pada lesi sisi kiri menyebabkan penurunan fase NREM.
(Ferre et al., 2013; Hansen et al., 2020).
Dari anamnesa riwayat penyakit sebelumnya, pasien mengalami gangguan tidur
semenjak setelah terjadinya stroke sumbatan tahun 2018 dan semakin lama gangguan
tidurnya semakin memberat. Hal ini sesuai dengan yang kami dapatkan dari hasil MRI
yang menandakan adanya infark kronis sebagai bukti bahwa pasien terjadi stroke dan
adanya lesi pada area basal ganglia dan subcortex yang mengakibatkan pasien terdapat
gangguan tersebut. Berdasarkan penelitian Bassetti and Valko tahun 2006) disebutkan
pasien post stroke dapat terjadi hypersomnia sampai dengan 42% kasus setelah 1 tahun
onset kejadian dan 22% kasus terjadi pada 1 minggu pertama setelah onset. Kejadian
hypersomnia post stroke juga banyak terjadi pada laki laki dibandingkan perempuan
serta prevalensi terjadinya hypersomnia pada lesi daerah subkorteks bagian dalam
cenderung jarang hanya 6 pasien dari 70 atau sekitar 35% kasus. Prevalensi terjadinya
hypersomnia didunia sangat jarang dilakukan secara detail, karena pasien hanya
mengalami keluhan tetapi jarang untuk diperiksakan secara lanjut dan dicari penyebab
secara detail yang menyebabkan gangguan hypersomnia. Penelitian di New Haven Yale
University juga disebutkan bahwa kejadian hypersomnia sampai dengan 23% kasus
pada usia 80-88 tahun, Kejadian ini meningkat di bandingkan dengan usia di bawah 80
tahun. Hal ini sesuai dengan pada pasien ini yang beresiko terjadi hypersomnia dilihat
berdasarkan kejadian umurnya (Miner et al., 2019).
Pada kasus ini, pasien mengarah terjadinya Cerebral Small Vessel Disease
(CSVD) melihat dari gambaran MRI yang ditemukan terdapatnya encephalomalacia dan
adanya microbleeding. Dimana CSVD merupakan sekumpulan abnormalitas klinis dan
radiologis yang disebabkan oleh perubahan patologi pembuluh darah halus otak berupa
infark lakunar, kerusakan massa putih otak (white matter hyperintensities atau
leukoaraiosis), pelebaran ruang perivaskular atau Virchow-Robin space, perdarahan
mikro, dan pengecilan massa otak. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
seperti manifestasi penyakit autoimun, penumpukan amiloid, pengerasan pembuluh
darah, atau kekakuan pembuluh darah (aterosklerosis) akibat kelainan tekanan darah
atau penyakit metabolik lainnya (Caplan, 2016; Haris, 2019). Pada kasus ini, yang
menyebabkan terjadinya CSVD kemungkinan besar dikarenakan pasien terdapat
hipertensi yang berlangsung lama menyebabkan penebalan otot pembuluh darah dan
memengaruhi faktor inflamasi dan hormonal yang akan mendukung malformasi atau
gangguan CSVD di seluruh organ tubuh khususnya otak. Penebalan tunika media
arteriol atau pelebaran perivascular space menurunkan sirkulasi. Terbatasnya aliran
darah pada mikrosirkulasi menyebabkan iskemia dan kebocoran cairan akibat pelebaran
ruang perivaskular serta perdarahan mikro yang meningkatkan risiko terjadinya stroke
iskemik. (Cuadrado-Godia et al., 2018; Haris, 2019). Hal ini juga sesuai pada kasus,
dimana pada tahun 2018 pasien didiagnosa dengan stroke iskemik. Pasien terdiagnosa
stroke iskemik pada tahun 2018 kemungkinan dikarenakan diagnose radiologis secara
CT Scan. Untuk melihat gambaran CSVD secara detail penegakkan diagnose dilakukan
dengan MRI kepala.(Lee et al., 2018)
Terdapatnya gambaran CSVD pada hasil MRI pada pasien ini juga mendukung
dengan klinis pasien yang mengalami adanya gangguan kognitif dan gangguan mood
seperti terjadinya depresi. CSVD mengakibatkan terjadinya terjadinya perubahan
parenkimal secara heterogen sehingga mempengaruhi dari fungsi otak secara umum.
Gambaran CSVD yang paling sering mengakibatkan terjadinya gangguan kognitif yaitu
white matter hiperintens dan infark lacunar (Pantoni, 2010; Matsuzaki et al., 2015) Hal
ini berbeda dengan pada pasien ini, pasien mengalami microbleeding dan terdapatnya
suatu infark kronis yang mengakibatkan encephalomalacia dan terjadi gangguan
kognitif. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa microbleeding yang terjadi pada
usia tua ini dapat dengan ditemukan test kognitif yang normal, tetapi ada juga yang
menyebutkan pada pasien yang mengalami demensia vascular dengan MRI terdapat
microbleeding didapatkan hasil yang lebih buruk pada test kognitif terutama pada
kecepatan psikomotor dan gangguan eksekutif (Janaway et al., 2014).
Patofisiologi secara jelas yang menjelaskan tentang microbleeding menyebabkan
terjadinya demensia belum diketahui secara pasti (Kalaria, 2018). Terdapat teori yang
menjelaskan bahwa CSVD yang menunjukkan microbleed hampir sama dengan
terjadinya CSVD iskemik, terjadinya penurunan produksi dan peningkatan degradasi
nitrit oxide yang selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel, mengakibatkan terjadinya
inflamasi jaringan dengan limfosit dan makrofag terlokalisasi di pembuluh darah yang
kemungkinan mempengaruhi dari homeostasis besi di otak dan selanjutnya terjadi
ekstravasasi pembuluh darah dan terjadi mikrobleeding (penumpukan hemosiderin pada
perivascular) (Kalaria, 2018). Adanya penumpukan hemosiderin tersebut yang
mempengaruhi dari fungsi parenkimal otal secara umum sehingga terjadi gangguan
kognitif.
Demensia pada pasien ini terdiagnosa dengan melihat adanya gejala klinis yang
terjadi pada pasien yang susah untuk mengingat kejadian, mengingat benda yang
diletakkan mengingat orang disekitarnya dan pada kasus ini pasien susah untuk di ajak
komunikasi serta memiliki interaksi yang kurang pada lingkungan sekitar. Hal ini sesuai
dengan definisi dari demensia yaitu adanya penurunan kognitif yang progresif, dan
kesulitan dengan memori, bahasa, dan kemampuan sosial (Kalaria, 2018). Selain itu
pasien juga untuk berkegiatan sehari hari sangat bergantung dengan orang disekitarnya,
seperti makan, mandi, ke kamar mandi untuk BAB dan BAK dilakukan dengan bantuan
orang disekitarnya. Hal ini juga sesuai dengan gejala klinis pada pasien demensia
dimana pasien untuk kegiatan Activity Daily Living (ADL) bergantung dengan orang
yang ada disekitarnya.
Pada pemeriksaan yang lebih detail pada kasus ini, pasien dilakukan MMSE
dengan hasil 14 yang mengintepretasikan terdapatnya gangguan kognitif yang sedang.
Pada MMSE ini pasien terdapat gangguan pada atensi, memori dan orientasi. Selain itu,
pasien juga mengalami gangguan eksekutif dan visuospasial yang terlihat pada
pemeriksaan CDT. Pada pasien ini dengan skor CDT 1, pasien hanya dapat
menggambarkan lingkaran namun untuk angka dan jam tidak dapat di gambarkan
dengan baik (Ong, Paulus Anam; Machfoed, Moh Hasan, 2015). Pada pemeriksaan
MoCA INA pasien didapatkan hasil 6, hal ini mengintepretasikan pasien terdapat
gangguan kognitif. Pada pemeriksaan MoCA INA ini dikatakan terdapat gangguan
kognitif bila kurang dari 24. Pemeriksaan MoCA INA ini juga dikatakan lebih sensisitf
penggunaannya di bandingkan dengan penggunaan MMSE (Ong, Paulus Anam;
Machfoed, Moh Hasan, 2015).
Pada kasus ini faktor resiko yang dimiliki pasien seperti jenis kelamin laki-laki,
dengan usia yang tua serta adanya resiko cerebrovascular dan hipertensi menunjang ke
arah kesuatu demensia vascular (Kalaria, 2018). Selain itu, dari hasil hachinski score
pada pasien ini didapatkan hasil 8 yang mengintepretasikan bahwa pasien terdapat
demensia multi infark (Ong, Paulus Anam; Machfoed, Moh Hasan, 2015). Selain itu,
pada pemeriksaan gangguan mood seperti depresi dengan Skala Depresi CES-D Scale
pasien didapatkan hasil 21 yang mengarah ke gangguan depresi. Hal ini didukung
dengan anamnesa ke keluarga pasien yang menyampaikan bahwa pasien kehilangan
minat untuk melakukan segala hal pekerjaan atau aktivitas di bandingkan dalam 2 tahun
terkahir, semakin hari pasien tidak ada keinginan melakukan kegiatan apapun dan hanya
tertidur,. Pada demensia seringkali disertai dengan adanya perubahan gangguan mood
berupa apatis atau depresi yang terkadang tidak disadari oleh anggota keluarganya, akan
tetapi gangguan ini sangat sering terjadi dan hampir terjadi pada sebagian besar kasus.
(O’Brien and Thomas, 2015).
Terjadinya gangguan atensi dan adanya deficit memori pada pasien ini
dikarenakan adanya lesi pada area thalamus yang menjelaskan pada kasus ini terjadi
gangguan tersebut selain terjadi hypersomnia (Ferre et al., 2013). Gejala klinis pada
hypersomnia post stroke, selain terjadi gangguan atensi, penuruanan aktivitas motoric,
penurunan jumlah bicara dan terjadi mood yang datar (Bassetti and Valko, 2006).
Gejala depresi yang terjadi pada pada pasien ini merupakan salah satu gejala gangguan
psikiatri yang erat hubungannya dengan terjadinya hypersomnia sentral post stroke yang
terjadi pada pasien. Gangguan psikiatri tersebut dapat berupa gangguan mood, cemas,
atensi ataupun menjadi deficit hiperaktivitas. Selain itu juga dapat berefek pada fungsi
social seseorang dan fungsi keluarga dikarenakan pasien selalu tidur dalam jangka
waktu yang lama (Lopez et al., 2017). Gangguan depresi ini berkaitan dengan adanya
hypocretin-1 (Hcrt-1) kronis atau adanya defisiensi orexin A. Neuron Hcrt-1 yang
berasal dari hipotalamus lateral dan menonjol secara luas pada otak dengan inervasi
terstruktur pada proses pengaturan secara fisiologis pada gangguan depresi seperti
motivasi, arousal, kognitif dan respon stress. Hypocretin ini berhubungan dengan
monoamine system yang merupakan factor utama dalam patofisiologi gangguan mood.
Hypocretin ini terjadi perubahan aktivitas jalur pesinyalan yang dihubungkan dengan
gangguan perilaku seperti depresi (Lopez et al., 2017).
Selain itu, terjadinya hypersomnia juga menjadi factor resiko atau factor predictor
terjadinya demensia vascular dikemudian hari (Foley et al., 2001). Hal ini sesuai pada
penelitian kohort Foley pada tahun 2001, pasien yang mengalami hypersomnia
meningkat secara signifikan (2.19%) terjadi insidens dementia vascular dan terjadi
peningkatan gangguan kognitif (1.44%) setelah dievaluasi selama 10 tahun
dibandingkan dengan gangguan tidur yang lain. Pada penelitian lain juga disebutkan
hipersomina mengakibatkan 7 kali lebih besar terjadinya gangguan kognitif (Komari et
al., 2011). Hubungan yang menyebabkan adanya gangguan tidur dapat mengakibatkan
terjadinya demensia sangat kompleks, dimana adanya factor lingkungan luar seperti
terjadinya kecemasan atau depresi, adanya tekanan psikologis yang mengakibatkan
seseorang meningkatkan pola tidurnya dan akhirnya mempengaruhi dari gangguan
kognitifnya (Foley et al., 2001; Komari et al., 2011).
Pada gangguan tidur terutama hipersomnia dapat terjadi aktivasi aksis HPA dan
sistem simpatoadrenomedular. Sistem ini bukan sistem yang terpisah, akan tetapi
bekerja saling berketerkaitan. Respon kedua sistem ini diatur oleh input inhibitorik dan
stimulatorik terhadap nucleus paraventrikular hipotalamus (hypothalamic
paraventricular nuclei/PVN), yang mengatur sekresi corticotropin-releasing-hormone
(CRH) dan vasopressin (VP) ke dalam sirkulasi portal hipofisis, selain neuropeptida
lainnya. Sekresi CRH dan VP menyebabkan hipofisis melepaskan adrenocorticotropin
(ACTH) dan akan mengaktivasi dari glandula adrenal, yang selanjutnya melepaskan
glukokortikoid. Input inhibitorik terhadap PVN terutama melalui jalur umpan balik
glukokortikoid pada reseptor yang terletak di PVN dan sistem limbik. Adanya stress dan
gangguan tidur yang berlangsung kronik sepertinya berhubungan dengan paparan
kortisol dalam jangka waktu lama, dan paparan kortisol yang lama meningkatkan
kerentanan neuron-neuron, sehingga mempercepat penurunan fungsi hipokampus.
Dimana hipokampus merupakan struktur utama yang terlibat pada regulasi umpan balik
pelepasan kortisol, kondisi stress dan deprivasi tidur dapat mencetuskan perubahan
mekanisme umpan balik yang mengontrol aksis HPA. Gangguan tidur yang berlangsung
lama dapat mempercepat timbulnya konsekuensi metabolic dan kognitif pada kelebihan
glukokortikoid, seperti gangguan kognitif dan penurunan toleransi karbohidrat sehingga
dapat juga menyebabkan terjadinya hiprephagia (Van Reeth et al., 2000; Komari et al.,
2011).
Hypersomnia dapat mempengaruhi berbagai fungsi kehidupan seseorang seperti
gangguan kognitif, atensi, mood serta aktivitas motoric (Komari et al., 2011). Oleh
karena itu deteksi dini terjadinya gangguan tidur serta penanganan yang komprehensif
sangat diperlukan untuk dapat menangani pasien yang lebih baik. Pada kasus ini
termasuk terlambat dalam penanganan karena setelah 5 tahun post stroke dan sudah
terjadi gangguan kognitif yang sedang, gangguan depresi, deficit memori. Pemberian
terapi hypersomnia dapat diberikan amphetamine, modafinil, agen dopaminergic dan
methylphenidate (Sonka and Susta, 2012). Pada kasus ini belum diberikan terapi untuk
menghilangkan dari hypersomnianya. Penanganan pada kasus ini sementara hanya
memberikan terapi simptomatik untuk tidak memperberat dari keluhan pasien seperti
pemberian obat antihipertensi dan obat untuk demensia. Obat antihipertensi yang biasa
digunakan oleh pasien yaitu amlodipine 5mg-0-0 dan Aricept atau Donepezil
merupakan obat demensia yang sering diresepkan ke pasien. Namun, pemberian obat-
obatan pada kasus ini cukup susah dikarenakan obat yang diberikan seringkali tidak
diminumkan akibat pasien cenderung tidur sehingga kepatuhan terhadap obat kurang
baik.
BAB 5
KESIMPULAN

Diagnosis yang ditegakkan pada kasus ini berdasarkan anamnesa, penilaian


skoring gangguan tidur yang dilakukan pada pasien serta pemeriksaan penunjang MRI
Kepala. Dari hasil pemeriksaan tersebut di dapatkan kesimpulan bahwa pasien
mengalami gangguan tidur berupa hypersomnia yang diakibatkan karena Riwayat stroke
yang pernah dideritanya 5 tahun sebelum gejala gangguan tidur muncul serta terdapat
pemeriksaan penunjang yang menguatkan diagnose bahwa terdapat lesi pada area yang
mengatur dari bangun dan tidur seseorang. Selain itu, setelah dilakukan pengkajian
kasus lebih dalam, pada kasus ini pasien mengalami komplikasi dari gangguan tidur
yang terjadi pada pasien. Komplikasi pada kasus ini pasien mengalami demensia yang
juga menjadi predictor kuat akibat terjadinya gangguan tidur hypersomnia yang
berkelanjutan. Selain itu, gangguan kognitif, atensi dan mood yang terjadi pada pasien
juga akibat dari lesi pada otak akibat stroke yang pernah terjadi pada pasien. Dimana
lesi pada thalamus bilateral selain mengakibatkan dari gangguan hypersomnia juga
mengakibatkan terjadinya mutism, gangguan atensi dan juga depresi.
Penanganan yang komprehensif sangat perlu dilakukan dalam menangani kasus
dari hypersomnia dikarenakan pasien tidak hanya sekedar dari gangguan tidur namun
dapat mempengaruhi dari fungsi kehidupan seseorang seperti fungsi social di
lingkungan maupun di keluarga. Pada kasus ini, penegakkan diagnose yang tepat dan
pemberian terapi yang tepat juga belum dapat dilakukan karena pasien memiliki
compliance yang cukup buruk seperti dukungan dari keluarga untuk dilakukan
pemeriksaan secara komprehensif minimal dan kepatuhan terhadap minum obat juga
tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. (2007) ‘Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksaan’,
Cermin Dunia Kedokteran, 157, p. 199.
Bassetti, C. L. and Hermann, D. M. (2011) Sleep and stroke. 1st edn, Handbook of
Clinical Neurology. 1st edn. Elsevier B.V. doi: 10.1016/B978-0-444-52007-4.00021-7.
Bassetti, C. L. and Valko, P. (2006) ‘Poststroke Hypersomnia’, Sleep Medicine Clinics,
1(1), pp. 139–155. doi: 10.1016/j.jsmc.2005.11.012.
Bua Hidayat (2012) ‘Faktor yang Dapat Menyebabkan Insomnia’, Universitas
Diponegoro, pp. 11–35.
Caplan, L. R. (2016) Caplan’s Stroke. Edited by L. R. Caplan. Cambridge University
Press.
Cuadrado-Godia, E. et al. (2018) ‘Cerebral small vessel disease: A review focusing on
pathophysiology, biomarkers, and machine learning strategies’, Journal of Stroke,
20(3), pp. 302–320. doi: 10.5853/jos.2017.02922.
Ferre, A. et al. (2013) ‘Strokes and their relationship with sleep and sleep disorders’,
Neurología (English Edition), 28(2), pp. 103–118. doi: 10.1016/j.nrleng.2010.09.004.
Foley, D. et al. (2001) ‘Daytime sleepiness is associated with 3-year incident dementia
and cognitive decline in older Japanese-American men’, Journal of the American
Geriatrics Society, 49(12), pp. 1628–1632. doi: 10.1046/j.1532-5415.2001.t01-1-
49271.x.
Freedom, T. (2011) ‘Hypersomnia’, Disease-a-Month, 57(7), pp. 353–363. doi:
10.1016/j.disamonth.2011.04.008.
Hansen, P. N. et al. (2020) ‘Severe hypersomnia after unilateral infarction in the
pulvinar nucleus– a case report’, BMC Neurology, 20(1), pp. 2018–2021. doi:
10.1186/s12883-020-02018-2.
Haris, S. (2019) ‘Model Rekayasa Iptekdokkes: Penanganan Dini Cerebrall Small
Vessel Disease serta Aplikasinya pada Multiorgan dan Sistem Tubuh sebagai Upaya
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia’, eJournal Kedokteran
Indonesia.
Hermann, D. M. et al. (2008) ‘Evolution of neurological, neuropsychological and sleep-
wake disturbances after paramedian thalamic stroke’, Stroke, 39(1), pp. 62–68. doi:
10.1161/STROKEAHA.107.494955.
J. Misbach, E. a. (2011) Kelompok Studi Stroke, Guideline Stroke 2011. Jakarta,
Indonesia: perhimpunsn Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI).
Janaway, B. M. et al. (2014) ‘Brain haemosiderin in older people: Pathological
evidence for an ischaemic origin of magnetic resonance imaging (MRI) microbleeds’,
Neuropathology and Applied Neurobiology, 40(3), pp. 258–269. doi:
10.1111/nan.12062.
Kalaria, R. N. (2018) ‘The pathology and pathophysiology of vascular dementia’,
Neuropharmacology, 134, pp. 226–239. doi: 10.1016/j.neuropharm.2017.12.030.
Komari, N. et al. (2011) ‘Gangguan Kognitif pada lanjut Usia dengan Excessive
Daytime Sleepiness’, Neurona, 28(2).
Kryger, M. H., Dement, W. C. and Roth, T. (2010) Principles and practice of sleep
medicine, Principles and Practice of Sleep Medicine, 5th Edition. doi: 10.1016/C2009-
0-59875-3.
Lee, J. et al. (2018) ‘Characteristics of Cerebral Microbleeds’, Dementia and
Neurocognitive Disorders, 17(3), p. 73. doi: 10.12779/dnd.2018.17.3.73.
Li, Q. et al. (2018) ‘Cerebral Small Vessel Disease’, Cell Transplantation, 27(12), pp.
1711–1722. doi: 10.1177/0963689718795148.
Lopez, R. et al. (2017) ‘Depression and Hypersomnia: A Complex Association’, Sleep
Medicine Clinics, 12(3), pp. 395–405. doi: 10.1016/j.jsmc.2017.03.016.
Matsuzaki, S. et al. (2015) ‘The relationship between post-stroke depression and
physical recovery’, Journal of Affective Disorders, 176, pp. 56–60. doi:
10.1016/j.jad.2015.01.020.
Miner, B. et al. (2019) ‘The Epidemiology of Patient-Reported Hypersomnia in Persons
With Advanced Age’, Journal of the American Geriatrics Society, 67(12), pp. 2545–
2552. doi: 10.1111/jgs.16107.
O’Brien, J. T. and Thomas, A. (2015) ‘Vascular dementia’, The Lancet, 386(10004), pp.
1698–1706. doi: 10.1016/S0140-6736(15)00463-8.
Ong, Paulus Anam; Machfoed, Moh Hasan, E. a. (2015) Panduan Praktik Klinik,
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. 2nd edn. Jakarta, Indonesia: perhimpunsn
Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI).
Pantoni, L. (2010) ‘Cerebral small vessel disease: from pathogenesis and clinical
characteristics to therapeutic challenges’, The Lancet Neurology, 9(7), pp. 689–701. doi:
10.1016/S1474-4422(10)70104-6.
Purnomo, H. M. H. Z. A. (2018) Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. 2nd edn.
Edited by R. W. Islamiyah. Jakarta, Indonesia: Sagung Setoo.
Quality, P. S. (2012) ‘Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) 67’, pp. 279–283. doi:
10.1007/978-1-4419-9893-4.
Reading, P. J. (2010) Sleep disorders in neurology, Practical Neurology. doi:
10.1136/jnnp.2010.224097.
Van Reeth, O. et al. (2000) ‘Interactions between stress and sleep: From basic research
to clinical situations’, Sleep Medicine Reviews, 4(2), pp. 201–219. doi:
10.1053/smrv.1999.0097.
Rodrigo, R. et al. (2013) ‘Oxidative Stress and Pathophysiology of Ischemic Stroke:
Novel Therapeutic Opportunities’, CNS & Neurological Disorders - Drug Targets,
12(5), pp. 698–714. doi: 10.2174/1871527311312050015.
Saini, P. and Rye, D. B. (2017) ‘Hypersomnia: Evaluation, Treatment, and Social and
Economic Aspects’, Sleep Medicine Clinics, 12(1), pp. 47–60. doi:
10.1016/j.jsmc.2016.10.013.
Shahid, A. et al. (2012) ‘STOP, THAT and one hundred other sleep scales’, STOP,
THAT and One Hundred Other Sleep Scales, pp. 1–406. doi: 10.1007/978-1-4419-9893-
4.
Sonka, K. and Susta, M. (2012) ‘Diagnosis and management of central hypersomnias’,
Therapeutic Advances in Neurological Disorders, 5(5), pp. 297–305. doi:
10.1177/1756285612454692.
Štante, K. O., Potočnik, J. and Rakuša, M. (2017) ‘Vaskularni kognitivni upad in
vaskularna demenca’, Zdravniski Vestnik, 86(7–8), pp. 330–344. doi:
10.6016/zdravvestn.1543.
W. Wiratman, E.T, A. (2017) Buku Ajar Neurologi. edisi 1. Jakarta, Indonesia: FK UI.

Anda mungkin juga menyukai