Anda di halaman 1dari 4

Tugas:

1. Kerjakan tugas ini secara berkelompok (kelompok editorial)


2. Analisis:
a. Tema (berikan bukti)
b. Tokoh serta karakter/watak (berikan bukti)
c. Latar waktu, tempat, dan suasana (masing-masing satu, berikan bukti)
d. Tentukan alu cerita (maju/mundur/campuran) berikan bukti
e. Tentukan plot cerita (dapat lihat buku paket halaman 123—126) berikan
buktinya misalnya paragraph ke berapa atau kalimat
f. Tentukan nilai dan berikan buktinya (nilai budaya/agama/moral/sosial)
g. Tentukan amanat (1—2, dan berikan buktinya)
3. Tugas ini dikumpulkan, ditulis tangan, 1 kelompok 1 tugas.
4. Dikumpulkan Kamis, 24 Agustus 2023, sampai pulang sekolah, di mejanya bu OP.

Tamu Istimewa
(Dahri Dahlan)

Sahabat lamanya yang kini menjadi konglomerat segera datang ke kampung dan akan berjumpa
dengan dirinya yang miskin.

Kabar kedatangan itu seperti dikirim langsung oleh Tuhan. Sahabat lamanya yang kini menjadi
konglomerat segera datang ke kampung dan akan berjumpa dengan dirinya yang miskin. Untuk
memastikan itu, Samsir segera menemui si pembawa kabar, seorang sopir truk, yang setiap
minggu menempuh ratusan kilometer mengangkut kemiri dan kopra untuk seorang tauke di kota.

”Ya, betul. Dia akan datang bersama istri dan anaknya. Kamu belum ditelepon?”

Biana, istri Samsir, gusar menunggu suaminya. Perempuan itu telah menimbang, Kubilai adalah
sahabat terbaik suaminya. Kedatangan itu pasti telah direncanakan matang-matang. Mereka
harus disambut dengan kebaikan dan itu ada harganya. Mereka pasti menginap.

Apa pangkal gusar? Bukankah seharusnya ia berbahagia? Kan, seharusnya Biana segera
mempersiapkan penyambutan? Pangkalnya duit.

Keluarga miskin itu kadang betul-betul tidak punya duit. Samsir bekerja sebagai kuli bangunan.
Terakhir Biana memegang duit sekitar lima ratus ribu saat suaminya mengerjakan kamar mandi
di dusun sebelah, empat hari lalu.

Demi Tuhan, duit sejumlah lima ratus ribu rupiah habis untuk belanja kedua anaknya. Juga untuk
panci aluminium dan oven manual dari lempengan seng dengan kualitas rendah. Kalau oven itu
dipindahkan ke atas lemari, akan menimbulkan bunyi ”krupak” yang menggema berulang-ulang.
Biana juga sudah bayar utang, bayar listrik, sekarung beras kualitas termurah, menyumbang
sanak keluarga yang mengadakan hajatan, dan tujuh bungkus rokok untuk Samsir tersayang.
Selebihnya, untuk beli ikan dan lauk dua minggu ke depan ditambah jajan anaknya. Ia juga
ternyata membeli sebuah gamis coklat dan selembar selimut yang tidak ia butuhkan.

Suaminya selalu saja mendapat panggilan untuk mengerjakan apa pun. Jika sedang menganggur,
Samsir menyibukkan diri di kebun sayur dan hasil dari sayur-sayur itu tak berarti apa-apa. Hanya
cukup untuk beli ikan yang matanya dower karena sudah tiga hari didiamkan dalam peti
pendingin. Hal inilah yang cukup ampuh memanjakan otak udang Biana. Itu menegaskan dirinya
sebagai pemboros level miskin.

Tak mungkin Kubilai dijamu dengan ikan dan lauk murahan. Istri dan empat orang anaknya akan
ikut. Biana berpikir bahwa makanan sehari-hari orang kota pasti dari ayam atau daging. Sayur
juga bukan melulu sayur bening. Sayur mereka bukan dari sepetak tanah belakang rumah yang
dipenuhi kangkung dan bayam. ”Mereka membelinya di toko-toko besar,” kata Biana.

Pikirannya mulai menerka-nerka apa yang tamunya butuhkan. Ia juga mulai berpikir jika Kubilai
tidak tahu menahu kehidupan sahabatnya. Bahkan, Biana masih harus bolak-balik ke pegadaian
mencicil pinjaman yang ia jaminkan dengan kalung emas satu-satunya yang ia punya. Biana
terperanjat dari duduknya saat melihat suaminya dari jauh. Samsir sudah tampak di balik jejeran
pohon pisang milik pak RT yang ditanam di depan rumah. Ia datang membawa barang-barang
yang memberatkan. Dua kantong plastik putih dan tiga ekor ayam kampung betina dalam satu
ikatan kaki yang menyiksa. Kantong-kantong itu berisi sereh, lengkuas, ketumbar, segala
macam. Ia juga membawa empat ekor cakalang segar seukuran paha anak sulungnya.

”Bergegaslah, bikin kari ayam kampung dan telur mata sapi kesukaannya. Bikin banyak!”

Biana menyambut suaminya dengan senyum terbaik yang pernah ia senyumkan. Suaminya
berpesan, barang-barang itu harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.

”Kalau perlu panggil Umi. Gunakan kepandaiannya untuk ayam-ayam itu.”

”Ya, Umi pasti senang!”

”Masih ada empat ekor ayam yang belum saya ambil di pasar. Sudah lunas semua.”

”Suamiku hebat!”

Kegembiraan Biana tak terbendung. Dapur heboh. Panci-panci dan peralatan dapur bertebaran
tidak karuan. Umi, seorang perawan tua yang rumahnya tidak jauh dari situ, dipanggil untuk
keahliannya.

Hampir tengah malam semuanya rampung. Hanya butuh memasak tahap kedua. Masakan-
masakan penting terkadang dimasak dua kali untuk menyempurnakan. Besok sebelum makan itu
akan dikerjakan lagi. Mereka diperkirakan akan tiba pukul sembilan. Setelat-telatnya pukul
sepuluh.

Lewat tengah malam Samsir dan Biana menuju kamar. Sambil berbaring Biana bertanya, dari
mana ia mendapatkan uang untuk masakan-masakan itu? Samsir harus berutang pada salah satu
temannya di dekat pasar. Ia mendapatkan uang tujuh ratus ribu. Biana berpikir bahwa sebenarnya
jumlah itu terlalu banyak, tetapi ia tersenyum dan memeluk suaminya. Mereka berdua tidur
dengan tubuh yang capai dan hati yang bahagia. Di luar kabut tipis turun perlahan.

SUPRIYANTO

Pukul lima lewat seperempat Samsir terbangun. Lengan istri tercinta yang melingkari lehernya
dilepas dengan sangat hati-hati. Mata Biana masih terpejam seperti mata kura-kura dalam film
animasi. Samsir harus bangun lebih awal. Banyak yang harus dibersihkan. Halaman rumah tidak
boleh kelihatan bobrok. Debu-debu tebal di sudut jendela segera dihapus. Tiga jalur garis tak
beraturan hasil kreasi rayap di tiang rumah tidak luput dikelupas dan disiram minyak solar. Biana
menyusul bangun dan mengambil kain dari lemari. Kain-kain itu dipasang di jendela. Bau
kamper memenuhi udara.

Rumah permanen yang setengah rampung itu berubah menjadi lebih baik. Letak pot-pot bunga
sudah lurus sebanjar, tangkai-tangkai tanaman dicukur. Tumpukan daun kering di dekat pagar
juga dibakar. Kamar anak-anak berubah menjadi kamar tamu. Seprei murahan yang sudah lama
di lemari juga bangkit dan digelar. Tidak lupa selimut baru disiapkan di tepi rosban. Bangsat di
bantal dan guling sudah diracun.

Si kakak beradik sudah mandi dan sarapan dengan daging ayam yang lezat buatan Umi. Ini
bukan hari raya, tapi kok ada ayam? Pikir si bungsu. Sebelum ke sekolah, Samsir berpesan
kepada anak-anaknya, jika tidak ada pelajaran penting, mereka harus bergegas pulang karena om
mereka dari kota akan datang. ”Anak-anak om Kubilai harus ditemani”. Anak-anak itu manggut.
Salah satunya bersendawa sambil merogoh sisa daging ayam yang terselip di rahang bolongnya.

”Hati-hati, jangan lupa pesan bapak, ya!”

”Oke!” Sahut mereka bersamaan.

Hanya Tuhan yang tahu kapan Samsir klimaks menunggu Kubilai. Sebentar-sebentar ia duduk di
ruang tamu, di detik berikutnya ia ke teras dan menatap jauh ke arah jalan kampung. Sahabat
lamanya itu memanglah orang spesial di hatinya. Tidak pernah sekali dalam seumur hidupnya
pun ia segelisah itu menunggu tamunya. Lamat-lamat sebuah Expander hitam muncul dari ujung
jalan. Betul dugaan Samsir, itu sahabat kayanya. Ia merasa rumahnya pasti kelihatan hebat sekali
hari ini, sebuah mobil keren akan terparkir siang dan malam.

Mengenakan kaus polo putih dengan celana denim pendek coklat, Perlahan Kubilai menginjak
halaman rumah. Kacamata hitam menancap di wajahnya yang tirus, wangi parfum entah
menebar ke mana-mana. Kedua sahabat itu berpelukan lama sekali. Sahabatku betul-betul
istimewa, hari ini betul-betul hebat! Gumam Samsir dalam hati. Kubilai pun akhirnya dituntun
memasuki rumah.

”Istri dan anakku di hotel. Mereka masih tidur saat saya menuju ke sini.”

”Kenapa pake hotel segala? Kok tidak langsung ke rumah? Saya sudah siapkan kamar, loh!”

”Ya, tapi sebentar malam kami akan bertemu seseorang di sana. Setelah urusan kelar, mungkin
kita akan menuju ke sini, komplet, hehehe…”

”Mari, kamu pasti lapar!”

”Ya, nih! Makanan di hotel tidak ada yang menggugah seleraku.”

Dengan cekatan Samsir ke dapur. Biana sibuk dengan menu-menu ajaib untuk si tamu istimewa.
Kubilai memerhatikan suasana di dalam rumah. Tak ada yang lepas dari pandangannya,
termasuk kain jendela yang lebih mirip cetakan puding akibat garis lipatan yang menonjol. Ia
tersenyum dan meraih foto kedua anak temannya dari dinding. Beberapa saat saja semuanya
sudah tersaji dengan mantap di meja makan. Opor ayam sepiring besar, ayam bakar utuh bumbu
kecap. Dua tongkol asap besar diletakkan utuh di sebuah nampan yang dijejali jeruk nipis dan
irisan tomat. Di situ juga terdapat ikan kuah asam mangga yang menggiurkan. Tidak mungkin
ketinggalan makanan kesukaan Kubilai di masa lalu, sengaja diletakkan di depan kursi untuk
sang tamu. Di meja itu juga tersaji sayur sup. Makanan-makanan seperti itu barangkali akan
ditemukan di meja makan itu sekali setahun, hari lebaran. Hari ini pesta sedang digelar di rumah
si miskin.

”Mari, silakan. Semua ini telah disiapkan untukmu.”

”Wah… ada pesta, rupanya!”

”Ah, biasa saja, kebetulan ada rezeki.” Jawab Samsir sambil membagi piring dan sendok nasi
pada Kubilai. Wangi nasi jagung mengepul.

Kubilai duduk, ia menyambut nasi piring dari Samsir seberang meja. Ia mengambil potongan
tahu, kacang panjang dan kangkung dari dari tumisan bercampur udang gala.

”Tidak suka udang?” Kata Biana sambil menggeser mangkuk sup. Suaminya sudah makan.

”Saya sudah hampir setahun vegan.”

”Tapi bisa makan ikan, kan?” Samsir berhenti mengunyah.

”Sekarang penyakit gampang menyerang. Saya betul-betul tidak makan daging apa pun.”

”...”

”O, iya, mungkin setelah check out besok pagi, kami akan segera langsung ke sini.”

Biana tidak habis pikir. Penganut vegan seperti orang yang ia jamu ini betul-betul ada. Samsir
mengamati cara makan sahabatnya yang teliti. Piring yang dipenuhi ayam dan ikan-ikan segar
sama sekali tidak menarik perhatian Kubilai. Semangkuk besar kari ayam kampung dan sepiring
penuh matasapi telur bebek telah disiapkan dan ternyata sia-sia belaka.
”Ya, kami betul-betul harus segera balik. Saya hampir lupa, istri dan anak-anak saya juga vegan,
loh.” Imbuh Kubilai sambil tersenyum. Dengan pelan dipisahkannya suir daging ayam yang
dicampur dengan tumisan tempe tahu dan kembang kol di piring lainnya.

”Kami harus tiba sebelum pukul dua besok. Ada pertemuan penting dengan kolegaku untuk
sebuah proyek baru.”

Biana tersenyum.

”Besok pagi-pagi sekali kami akan datang untuk pamit. Padahal, saya sangat berharap bisa
menginap barang semalam. Tapi nantilah, kami pasti akan kembali.”

Mereka menyelesaikan makan siang dengan lamban. Kubilai memilih lauk dengan sangat teliti.
Samsir seperti mengunyah nasi pahit, istrinya mereguk air hangat dengan rasa yang berat.

***

Anda mungkin juga menyukai