Anda di halaman 1dari 2

Draft Penelitian

Pendidikan yang berkualitas pada saat ini masih terus diupayakan tidak hanya oleh pemerintah
melainkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena mutu Pendidikan akan sangat menentukan kualitas
lulusan hasil Pendidikan itu sendiri, dengan Pendidikan yang bermutu maka akan menciptakan
sumber daya manusia yang bermutu pula. Namun, jika merujuk pada data kualitas Pendidikan dilihat
dari survey PISA (Programme for International Student Assesment) yang merupakan salah satu dasar
rujukan untuk menilai kualitas Pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika
dan sains mencatat bahwa pada tahun 2018 Indonesia berada dalam urutan bawah. Indonesia
berdada dalam peringkat 72 dari 77 negara untuk nilai kompetensi Membaca, peringkat 72 dari 78
negara untuk nilai Matematika, dan peringkat 70 dari 78 negara untuk nilai Sains.
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di tingkat
sekolah adalah dengan menetapkan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai KKM dapat
didefinisikan sebagai ukuran seorang siswa yang telah menguasai kompetensi secara tuntas. KKM
dirumuskan setidaknya dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek: karakteristik peserta didik (intake),
karakteristik Mata Pelajaran (Kompleksitas), dan Kondisi Satuan Pendidikan (Daya Dukung). Nilai
KKM pada siswa secara nasional yakni 75.

Kenyataan system Pendidikan di Indonesia yang menggunakan nilai untuk mengukur kemajuan dan
kemampuan peserta didik dalam mata pelajaran menyebabkan masyarakat memandang prestasi
belajar hanya diukur dari pencapaian nilai yang tinggi berdasarkan hasil evaluasi. Evaluasi menjadi
sangat penting karena melalui kegiatan tersebut dapat diketahui apakah proses belajar yang
dilakukan selama ini dapat terlaksana dengan baik atau tidak, dan dapat dimengerti atau tidak. Hal
tersebut menjadikan siswa tertekan sehingga tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih
berorientasi pada nilai, bukan pada ilmu.
Kebanyakan dari siswa memiliki persepsi bahwa evaluasi adalah alat untuk menyusun peringkat
bukan instrument yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar. Menurut mereka
evaluasi justrul dapat menyebabkan mereka kemungkinan besar mengalami kegagalan.
Kemungkinan mengalami kegagalan inilah yang dianggap oleh peserta didik sebagai ancaman dan
merupakan stimulus yang tidak menyenangkan.
Ada berbagai macam respon peserta didik yang dilakukan dalam menghadapi ancaman kegagalan.
Ada yang mempelajari materi secara teratur, berlatih mengerjakan soal-soal Latihan yang diberikan
guru maupun Latihan yang terdapat di buku, atau mengambil kelas tambahan (LES). Namun tak
sedikit pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan dengan cara
menyontek.

Perilaku menyontek merupakan salah satu masalah moral yang terjadi dilingkungan pendidikan yang
sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari, tetapi
kurang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan
mengenai menyontek mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar pendidikan menganggap
persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah menyontek sesungguhnya
merupakan sesuatu yang sangat mendasar.
Beberapa dasawarsa terakhir, perilaku menyontek menjadi salah satu masalah yang dihadapi
pemerintah dan akan terus menjadi perhatian di dunia Pendidikan. Aktivitas menyontek dilakukan
siswa biasanya pada saat menghadapi Ujian Akhir Semester. Hal ini tsepertinya bukan sesuatu yang
tabu lagi dikalangan pendidikan. Berbagai cara dan strategi telah mereka terapkan, mulai dari yang
sederhana seperti bertanya kepada teman atau bertukar jawaban hingga dengan cara yang canggih
seperti melihat catatan kecil di kertas atau di ponsel yang telah dipersiapkan sebelumnya. Murdock
dkk (2006) mengemukakan bahwa sekitar 70% siswa mengaku menyontek pada saat ujian. Kasus ini
juga diungkapkan dalam penelitian Friyatmi (2011) yang menemukan adanya perilaku menyontek
dikalangan siswa saat melakukan Ujian Nasional (UN).
Informasi yang dikutip dalam situs www.tirto.id dengan judul “Kemdikbud Catat 126 Kecurangan
Selama Ujian Nasional 2019” memberkuat bahwa kasus menyontek di Indonesia memang sudah
menjadi tradisi. Dalam berita tersebut dituliskan bahwa Inspektur Jendral Kemendikbud mengatakan
ada 202 pengaduan kecurangan selama pelaksanaan Ujian Nasional 2019 tingkat SMA/Sederajat
berlansung. Namun jumlahnya kemudian diperbaharui menjadi 126 kasus saja. Meskipun jumlahnya
menyusut, pelaporan terkait menyontek ini kian meningkat disetiap tahunnya. Kemendibud
mencatat pada tahun 2017 terdapat 71 perserta yang terindikasi mengalami kecurangan, pada 2018
sebanyak 79 peserta dan 2019 sebanyak 126 peserta.

Anda mungkin juga menyukai