Anda di halaman 1dari 3

Pelangi di Awan Hitam

Oleh: Fitri Basri


@helloririiii/@fbdp_____

Hujan deras membasahi ku, namun air hujan yang turun dari langit tidak bisa
memadamkan kemarahan yang membara di dalam diriku. Hujan deras hanya menambah
kekacauan di dalam hatiku yang sudah terombang-ambing oleh berbagai ujian hidup yang datang
bertubi-tubi. Meski telah meraih gelar sarjana, Aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang
tetap. Aku hanya bertahan dengan pekerjaan lepas yang tak menentu. Mimpi akan pekerjaan
yang stabil semakin menjauh, membuatku putus asa. Aku merasa telah melakukan segalanya
dengan benar. Aku sudah berusaha keras, berdoa dengan tulus, dan percaya bahwa Allah pasti
akan membimbingku. Namun,ketika segalanya tampaknya berjalan ke arah yang sebaliknya,aku
merasa terjerumus ke dalam jurang yang tak berujung.

Aku pulang ke rumah, disambut dengan suasana yang tegang dan muram. Langkahku
terasa berat seolah dihantui oleh beban yang semakin meruncing. Rumah yang dulu penuh
dengan tawa dan kehangatan keluarga, kini terasa sunyi dan terlantar. Aku melihat ibu dan ayah
duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Begitu aku masuk, ibu menghampiriku dengan tatapan
penuh ketidakpastian. “Sierra, bagaimana hari ini? Apa kamu mendapatkan pekerjaan baru?”
tanya ibu gemetar. Aku menggeleng pelan. “Maaf, Ibu. Belum ada pekerjaan tambahan hari ini,”
ucapku rapuh. Ibu menghela nafas dalam-dalam, wajahnya semakin terpuruk. “Ibu tidak tahu
lagi, Sierra. Hutang-hutang semakin menumpuk, kami tidak cukup uang untuk membayar. Bank
akan segera menyita rumah ini.” ujarnya sambil menangis. Mendengar itu, aku merasa dunia
runtuh di pundakku. Bertanggung jawab atas keluarga namun terjepit oleh keterbatasan. Sebagai
freelancer, penghasilan tidak stabil sulit membantu finansial. Setiap bulan, aku masih sulit
berjuang untuk mencukupi kebutuhan, apalagi untuk membayar hutang besar.

Aku mendekati kedua orang tuaku dengan hati penuh belas kasihan, merangkul mereka dengan
penuh kasih sayang. Aku mencoba menenangkan namun meskipun aku berusaha keras untuk
menunjukkan kekuatan dan keteguhan di depan mereka, aku tidak bisa menyembunyikan
kerapuhanku yang sebenarnya.
Aku berpamitan kepada orang tuaku sebelum masuk ke dalam kamar. Dengan hati berat,
aku mengunci pintu rapat-rapat, seolah ingin menahan dunia luar dari kepedihan yang
membelengguku. Ku rebahkan tubuh di atas kasur queen bed yang nyaman namun kenyamanan
itu tak mampu menghapus rasa hampa. Wajahku tenggelam dalam bantal, air mata membanjiri
pipiku. Aku meratap tanpa suara, hanya suara isakan yang menemani kesendirianku. Di tengah-
tengah tangisan, Aku merenung dalam keheningan kamar yang sunyi. “Salahku apa sih ya
Allah?” gumamku perlahan, dengan penuh kebingungan dan keputusasaan. “Usaha ayahku
menurun, keluarga kami kesulitan melunasi hutang. Kerjaan tak kunjung datang padaku. Adikku
akan masuk sekolah. Lalu bank akan menyita rumah kami.” Suaraku terputus-putus,
mencerminkan kegetiran yang merajalela di dalam hatiku.

Handphone tiba-tiba berdering, memecah keheningan kamar yang sebelumnya dipenuhi


dengan tangisanku. Dengan cepat, aku bangkit dari tempat tidur dan mencari handphone,
menghapus jejak kesedihan yang masih terbayang di wajahku. Saat aku menjawab panggilan itu,
suaraku terdengar sedikit rapuh. Di ujung telepon, suara Yulia, sahabatku sejak 14 tahun lalu,
menanyakan dengan khawatir mengapa suaraku terdengar sumbang. Aku, tanpa bisa menahan
diri, mulai menceritakan semua masalah yang ku hadapi. Aku mengurai setiap beban yang
menekanku, setiap ketidakpastian yang memenuhi pikiranku, sambil mencoba menahan rasa
sakit yang masih menyelubungiku.

Di balik telepon Yulia mendengarkan setiap kata dari ku. Dukungan tanpa syaratnya
menunjukkan kepedulian dan persahabatan yang terjalin di antara kami. Kata-kata penuh kasih
sayang dari Yulia menenangkan diriku, mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian dalam
cobaan ini. Dengan lembut, Yulia meyakinkan bahwa Allah selalu bersama, bahkan dalam
kesulitan terbesar. “Ingat, Sierra, dalam surat Al-Insyirah, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya
sesudah kesulitan ada kemudahan.Dan Allah menyebutnya dua kali, bukan sekali saja. Itu
artinya, setiap kesulitan diikuti oleh kemudahan yang lebih besar.” Aku terdiam, meresapi setiap
kalimat. “Pertolongan Allah itu jauh lebih dahsyat, Sie. Kamu diberi ujian ini bukan tanpa
alasan. Allah Maha Baik, sangat sayang padamu dan keluargamu. Jika kamu berhasil
melewatinya, Allah akan menggandakan kebahagiaanmu. Jangan lama-lama sedihnya, ya?”

Setelah percakapan dalam dengan Yulia, Aku merasa sedikit tenang. Keyakinan yang diberikan
sahabatku bagaikan obat yang menyembuhkan luka-luka dalam hatiku. Dalam ketenangan yang
baru, Aku merenung tentang arti ujian ini, melihatnya sebagai kesempatan untuk tumbuh dan
memperkuat iman. Aku memandang setiap cobaan sebagai peluang untuk belajar, bukan sebagai
hambatan. Dengan langkah mantap dan hati penuh kepercayaan, Aku siap menghadapi rintangan
yang akan datang. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah sendirian. Allah, keluarga, dan
sahabatnya selalu mendukungku.

Biodata Penulis:

Fitri Basri atau akrab disapa Riri. Gadis asal Kendari, Sulawesi Tenggara, yang lahir pada tahun
1998. Saat ini mengejar gelar magister di bidang bahasa dan sastra. Baginya, menulis bukan
hanya hobi, tapi juga obat penghilang sepi. , Riri suka solo traveling, mencari inspirasi dari
berbagai tempat untuk mengembangkan imajinasinya dalam karya. Riri berharap agar setiap kata
yang dituangkan bisa diterima dengan baik oleh pembaca, menghadirkan makna dan emosi yang
mendalam.

Anda mungkin juga menyukai