Anda di halaman 1dari 31

i

Case Report

Manajemen Regional Anestesi pada Operasi Caesar


G1P0A0 Kehamilan 33-34 Minggu dengan Eklamsia

Oleh :

Aland Maulana ( 21360050 )

Vidia Andita Sari ( 22361072 )

Preceptor :

dr. Yusnita Debora, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDRAL AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
disusun untuk melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Anestesi
pada RSUD Jendral Ahmad Yani Metro. Penyelesaian laporan kasus ini banyak
mendapat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Yusnita Debora,
Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah case reportini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Metro, Januari 2023

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
iii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ................
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................. ....................................................................... 1


BAB II STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien........................................................................................................ 2

2.2 Anamnesis ...................................................................................... ....................... 2

2.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................ ....................... 4

2.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. ........................ 7

2.5 Diagnosis......................................................................................... ...................... 8

2.6 Penatalaksanaan………………….................................................... ......................8

2.7 Prognosis......................................................................................... ......................10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Eklamsia……….................................................... .............................. 11

3.2 Epidemiologi……………................. ................................................................ 11

3.3 Etiologi Eklamsia…………........................ ...................................................... 11

3.4 Faktor Risiko…..................... ............................................................................ 12

3.5 Manifestasi Klinis…………………............ ......................................................12

3.6 Patofisiologi Kejang Dan Perunahan Susunan Saraf Pusat............................... 13

3.7 Diagnosa Banding…………………………………… .................................... 14

3.8 Tatalaksana…………………… ...................................................................... 15

3.9 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Eklamsia…………………………...……..16

3.10 Prognosis ……………………………………………………………………..20

BAB IV KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan …………………………………………………………………..21

DAFTAR PUSTAKA
iv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eklamsia adalah sindrom preeklamsia yang disertai komplikasi kejang,


merupakan penyulit kehamilan dan salahsatu penyebab kematian utama bagi ibu
maupun bayi. Eklamsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu selain
perdarahan dan infeksi di Indonesia. Kepustakaan lain mendefinisikan eklamsia yaitu
kejadian kejang pada ibu hamil dengan preeklamsia ditandai dengan hipertensi tiba –
tiba, proteinuria dan edema yang tidak disebabkan/ tidak berhubungan dengan
kelainan neurologik lainnya. Terutama terjadi pada usia kehamilan 20 – 40 minggu
atau dalam beberapa jam sampai 48 jam setelah kelahiran.
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15 % penyulit kehamilan dan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas di samping
perdarahan dan infeksi. Secara global 80% kematian ibu tergolong pada kematian ibu
langsung. Penyakit hipertensi secara langsung bertanggung jawab untuk kira-kira 20%
kematian ibu di Amerika Serikat.
Sebagian besar kasus eklampsia terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan tetapi
sekitar 3% kasus didiagnosis antara 2 sampai 10 hari pasca persalinan. Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat angka kematian ibu (AKI)
atau Maternal Mortality Ratio (MMR) di Indonesia diperkirakan sebesar 359
kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup untuk periode 2008- 2012. Penyebab
kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh perdarahan (30,3%), hipertensi
dalam kehamilan (27,1%), dan infeksi (7,3%).
Melihat tingginya angka morbiditas dan mortalitas ibu, diperlukan antisipasi
terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian preeklampsia serta
eklampsia pada ibu maka diperlukan pengetahuan untuk mengetahui tatalaksana pada
pasien eklamsia (sumampouw dkk, 2019).
2

BAB II

STATUS PASIEN
3

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. V

Tanggal Lahir : 29 April 1994 / 28 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama :Islam

Status Pernikahan : Menikah

Alamat : Kota Gajah, Lampung Tengah

Tanggal Masuk RS : 29 Desember 2022

No. RM : 444104

Berat Badan : 75 kg

Tinggi Badan : 156 cm

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada hari Kamis 29 Desember 2022 pukul 14.00 di ruang ICU

2.2.1 Keluhan Utama

Pasien datang ke IGD dengan sakit kepala.

2.2.2 Keluhan Tambahan

Kejang (+) selama 5 menit di seluruh tubuh.

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien Ny. V G1P0A0 datang diantar keluarganya ke IGD RSUD


Jendral Ahmad Yani pada hari kamis, 29 Desember 2022 pada pukul
08.06 WIB. Pasien mengeluhkan sakit kepala berputar sejak 3 hari
4

sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul dan
tidak membaik dengan istirahat. Pasien tidak mengkonsumsi obat
apapun dan semakin hari semakin memberat. Kemudian pasien
mengalami kejang saat berada di IGD kejang yang berlangsung selama
±5 menit dan pasien mengaku tidak sadarkan diri pada saat kejang.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : (-)

Riwayat hipertensi : (-)

Riwayat DM : (-)

Riwayat penyakit jantung : (-)

Riwayat penyakit paru : (-)

Riwayat penyakit ginjal : (-)

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa : (-)

Riwayat hipertensi : (-)

Riwayat DM : (-)

2.2.6 Riwayat Operasi

Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat operasi

2.2.6 Riwayat Pengobatan

Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya.

2.2.7 Riwayat Kebiasaan

Pasien mengatakan bahwa ia tidak merokok (-), dan alkohol (-).


5

2.3 PemeriksaanFisik

2.3.1 Status Present


BB : 75 kg TB : 156 cm
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

GCS : E4M6V5

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital :

- TD : 150/100 mmHg

- HR : 86 x/menit

- RR : 20 x/menit

- Suhu : 36,5oC

- SpO2 : 99%
Airway

Look : Gigi ompong (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-), lidah membesar (-),

leher pendek (-)

Evaluate : Buka mulut (3), HMD (3) dan TMD (2)

Mallampati :1

Obsruction : Tidak ada

Neck Mobility: Dalam batas normal

ASA (American Society Anesthesiology)

ASA III ( preeklamsia dengan gambaran berat)

Diagnosis Anestesi

G1P0A0 33-34 minggu dengan eklampsia + ASA III


6

2.3.2 Status Generalis

1. Kulit

Pucat :(-)

Sianosis :(-)

Ikterus :(-)

2. Kepala

Kepala : Simetris/Normochepal

Rambut : Warna hitam, tidak mudahdicabut

Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor(+/+), diameter pupil


(2mm/2mm)

Hidung : Simetris, sekret (-/-), epistaksis(-/-)

Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah(-/-)

Mulut :Simetris,Sianosis (-), Pucat (+)

Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP(-)

3. Thorax

a. Pulmo

Inspeksi : Simetris, lesi (-), venektasi (-)

Palpasi : Ekspansi dinding dada simetris

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler (+/+)

b. Cor
7

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler

4. Abdomen

Inspeksi : terdapat di status obstetrik

Auskultasi : terdapat di status obstetrik

Palpasi : terdapat di status obstetrik

Perkusi : terdapat di status obstetrik

5. Ekstremitas

Superior : edema (-/-), motorik (5/5), sensorik (+/+), refleks

fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)

Inferior : edema (-/-), motorik (5/5), sensorik (+/+), refleks

fisiologis (+/+), refleks patologis(-/-)


8

2.3.3 Status obstetri

Inspeksi : Linea nigra (-), luka bekas Operasi (-)

Palpasi :

Leopold I : TFU 22cm, teraba satu bagian besar,lunak,tidak melenting,bokong

Leopold II : Kiri : teraba bagian bagian kecil pada janin

Kanan : teraba bagian keras memanjang seperti papan

Leopold III : teraba satu bagian besar,bulat keras,melenting,kepala

Leopold IV : bagian terbawah janin belum masuk PAP

His : Tidak ada his

Auskultasi : DJJ (127x/menit)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium 13/11/2022

No. Jenis Hasil Satuan Nilai


Pemeriksaan
Rujukan
HEMATOLOGI

1 Leukosit 10.71 (H) 10³/uL 5-10


2 Eritrosit 4.90 10³/uL 3.08-5.05
3 Hemoglobin 12.7 g/dL 12-16
4 Hematokrit 39.0 % 37-48
5 Trombosit 136 (L) 10³/LL 150-450
6 MCV 79.7 (L) Fl 80-90
7 MCH 26.3 (L) Pg 27-37
8 MCHC 33.0 g/dl 32-36
9

9 HbsAg Non Reaktif Nonreaktif

10 Antigen SARS- Negatif Negatif


Cov-2
11 GDS 93.0 mg/dL <140

No. Jenis Hasil Satuan Nilai


Pemeriksaan
Rujukan
URINALISA

1 Warna Kuning
2 Kejernihan Jernih
3 KIMIA URINE
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
4 pH 6.0 5-8
5 Protein +4 Negatif
6 Glukosa Negatif Negatif
7 Keton Negatif Negatif
8 Bilirubin Negatif Negatif
13 Darah Samar +2 Negatif

14 Urobilinogen 0.1 mg/100ml 0.1-1


15 Lekositesterase Negatif Negatif
16 Nitit Negatif Negatif
17 SEDIMEN
URINE
Epitel +1 Positif
18 Lekosit 2 /LPB <5
19 Eritrosit 20(H) /LPB <5
20 Silinder Negatif /LPB Negatif
21 Kristal Negatif Negatif
10

2.5 Diagnosis

2.5.1 Diagnosis Awal

G1P0A0 33-34 minggu dengan eklampsia

2.5.2 Diagnosa Dokter Pelaksana Operasi

G1P0A0 33-34 minggu dengan eklampsia

2.5.3 Tindakan Operasi

Dilakukan Operasi Caesar pada tanggal 29 Desember 2022 pukul 12:30

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Medikamentosa

 02 5 Lpm
 IVFD Ringer Lactat 20 Tpm
 MgSo4 40% bolus 4 mg dalam RL 100cc dan drip 6 mg dalam RL 500cc
 Cefotaxime 2x1
 Dexametason 2x2 ampul

2.6.2 Regional Anesthesi

Operasi (29/12/2022)
Premedikasi : Ondansetron 4 mg

Induksi : Bupivakain 7,5mg

Fentanyl 25mg

Morfin 0,1

Obat Lain : Oksitosin 10 IU

Asam Tranexamat 1gr


11

2.6.3 Durante Operative

Maintenence Dewasa 2 x 75 = 150 cc


Stress Operasi 6 x 75 = 450 cc
Pengganti puasa 6 x 150 = 900 cc
I II III

Maintenence 150 150 150

Stress Operasi 450 450 450

Pengganti puasa 450 225 225

Total 1050 825 825

Operasi dilakukan selama 1 jam

EBV: 70 x BB/Kg ( 70 x 75 = 5.250 ml)

Urine Output : 0,5 – 1 x BB/Kg ( 0,5 – 1 x 75 kg = 37,5 – 75 cc/Jam)

Terapi cairan selama 1 jam pertama yaitu 1050

Pendarahan selama operasi :

 10 kassa kecil 10 x 10 cc = 100cc


 1 kassa besar terisi 50% = 50 cc
 Suction 600 cc ( NaCl yang digunakan untuk irigasi 500cc maka pendarahan 100cc)

Total : 100+50+ (600-500) = 250cc

 Penggantian Pendarahan :
EBV : 5.250 ml
Jika pendarahan >10% : ≥ 525 ml di ganti dengan kristaloid
Jika pendarahan 10-15 % : 787,5 ml di ganti dengan koloid
Jika pendarahan ≥ 20% : ≥ 1050 ml diganti dengan PRC/WB (Tranfusi)
12

Derajat pendarahan sebesar <10 % maka cairan yang di butuhkan sebanyak


(250ccx3) + 1050 = 1800 cc. Cairan yang masuk selama operasi (12.30 – 13.30
dengan durasi 1 jam) RL 500cc (1 Kolf) dan Asering 500cc (1 Kolf) dengan jumlah
1000cc (2 Kolf ) maka kebutuhan cairan pasien selama operasi tidak terpenuhi.

2.7 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam


13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Eklampsia

Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif yang
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu (Andalas dkk, 2017).

Eklamsia ialah kejang yang dialami wanita hamil dalam persalinan atau masa
nifas yang disertai gejala-gejala pre eklamsia (hipertensi, edema, dan/atau proteinuria)
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat
timbul setelah 6 minggu postpartum. (Apriyani dkk, 2022).

3.2 Epidemiologi

Kejadian eklampsia sekitar 2–8% diseluruh dunia dan merupakan penyebab


kematian tertinggi kedua setelah perdarahan. Penyakit hipertensi secara langsung
bertanggung jawab untuk kira-kira 20% kematian ibu di Amerika Serikat. Sebagian
besar kasus eklampsia terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan tetapi sekitar 3%.
kasus didiagnosis antara 2 sampai 10 hari 4 pasca persalinan (Sumampouw dkk,
2019).

Angka kejadian eklampsia di Indonesia mencapai 128.273 kasus setiap tahun.


Eklampsia paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi sering saat
kehamilan mendekati aterm. Prevalensi terjadinya 0,3%–0,7% pada negara
berkembang (Erna dkk, 2020).
14

3.3 Etiologi Eklamsia

Etiologi eklamsia serta mekanisme yang mendasarinya sampai saat ini


belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor etiologi yang telah dikemukakan
antara lain : predisposisi genetik, faktor imunologi, endokrin, nutrisi, abnormalitas
invasi trofoblash, abnormalitas sistem koagulasi, kerusakan endotel vaskular,
maladaptasi kardiovaskular, infeksi, ketidakseimbangan produksi prostanoid dan
peningkatan antibodi antifospolipid (setiawan & airlangga, 2019).

Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan
masih belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk
mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga
kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia
sebagai “the disease of theory”. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya ialah
genetik, iskemia plasenta, prostasiklin tromboksan dan imunologis (Winda, 2018)

3.4 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dipertimbangkan terjadinya eklamsia adalah:

a. Nulliparitas

b. Riwayat keluarga preeklamsia, riwayat preeklamsia dan eklamsia 5 sebelumnya

c. Riwayat intrauterine growth retardetion, abrupsi plasenta atau kematian fetus pada
kehamilan sebelumnya

d. Primigravid

e. Teen pregnancy

f. Usia lebih dari 35 tahun

g. Hidrop fetalis

Kondisi medis seperti obesitas, diabetes, hipertensi kronik, gangguan ginjal,


trombofilia, sindrom antibodi, antifofolipid, defisiensi antitrombin dan gangguan
15

vaskular juga merupakan faktor risiko yang harus dipertimbangkan (setiawan &
airlangga, 2019).

3.5 Manifestasi Klinis

Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang disetrai


dengan kejang menyeluruh dan koma. Pada penderita preeklamsia yang akan kejang,
umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap
sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan
tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending eclamsia atau imminent eclamsia.
(Dikman Ansar & Johanes, 2014). Manifestasi klinis utama eklamsia adalah kejang.
Gejala atau tanda perubahan lain bervariasi tergantung kepada sistem organ yang
dipengaruhi. Perubahan ini dapat memengaruhi hanya ibu, hanya bayi, atau
memengaruhi ibu dan bayinya. Manifestasi klinis eklamsia berdasarkan gejala dan
tanda yang paling sering muncul adalah:

a. Kejang (100%)

b. Sakit kepala, biasanya bagian frontsl(80%)

c. Edema umum (50%)

d. Gangguan penglihatan seperti kabur dan fotofobia (40%)

e. Nyeri abdomen kuadran kanan atas disertai mual (20%)

f. Amnesia dan perubahan mental lainnya

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan; peningkatan tekanan sistolik (> 160
mmHg) dan diastolik (>110 mmHg), takikardi, takipnu, perubahan status mental,
hiperrefleks, edema papil, oliguria/ anuria, defisit neurologis lokal, ketegangan
abdomen kuadran kanan atas atau epigastrium dan tinggi fundus uteri kecil dari
taksiran usia kehamilan (setiawan & airlangga, 2019).

3.6 Patofisiologi kejang dan perunahan susunan saraf pusat

Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal atau kejang tonik
klonik umum. Patofisiologi kejang pada eklamsia belum sepenuhnya dimengerti
16

dan sampai saat ini merupakan pokok bahasan yang tetap diteliti secara ekstensif
sehingga melahirkan berbagai dugaan atau teori. Beberapa dugaan yang dianggap
sebagai pencetus kejang eklamsia adalah vasospasme serebral, edema serebral,
iskemia serebral, hemoragi petekia, pemindahan ion antar ruang intraselular dan
ekstraselular diotak, nekrosis, kongesti, hemoragi periportal hati, perubahan ginjal
seperti pembengkakan endotel glomerulus, proliferasi mesangial, dan penyempitan
lumen kapiler glomeruli. Untuk memastikan kondisi neuropatologik yang menjadi
pencetus kejang dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti CT Scan, magnetic
resonance imaging (MRI) dan foto rontgen.

Temuan klinis terbanyak sebagai penyebab kejang pada eklamsia adalah edema
serebral dan hipertensi ensefalopati. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
proses patologik pada eklamsia yaitu vaskulopati sistem saraf pusat, berhubungan
dengan hipertensi akut yang menyebabkan hilangnya autoregulasi dinding
pembuluh darah dan terdapatnya disfungsi endotel (setiawan & airlangga, 2019).

3.7 Diagnosis Banding

Kejang pada eklamsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit


lain. Oleh karena itu, diagnosis banding eklamsia menjadi sangat penting, misalnya
perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi
iatrogenik. Eklamsia selalu didahului oleh preeklamsia. Perawatan pranatal untuk
kehamilan dengan predisposisi preeklamsia perlu ketat dilakukan agar dapat dikenal
sedini mungkin gejala-gejala prodoma eklamsia. Sering dijumpai wanita hamil yang
tampak sehat mendadak menjadi kejangkejang eklamsia, karena tidak terdeteksi
adanya preeklamsi sebelumnya. Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-
tanda kejang tonik ialah dengan dimulai nya gerakan kejang berupa twitching dari
otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul
kontraksi otototot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada
keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan
fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh
pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.

Kejang tonik ini segera disusul oleh kejang klonik. Kejang klonik dimulai
dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai
17

pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan
kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat
kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar dari tempat
tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka dan
tertutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-kadang disertai
bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada
konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan. Pada waktu timbul kejang,
diafragma terfiksisr sehingga pernafasan tertahan, kejang klonik berlangsung kurang
lebih satu menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah, dan akhirnya
penderita diam tidak bergerak.

Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur


kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh kedalam koma. Pada
waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga suhu
badan meningkat, yang mungkin oleh karena gangguan serebral. Penderita mengalamki
inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang terjadi aspirasi
bahan muntah.

Koma yang terjadi setelah kejang berlangsung sangat bervariasi dan bila tidak
segera diberi obat antikejang akan segera disusul dengan episode kejang berikutnya.
Setelah berakhirnya kejang, frekuensi pernapasan meningkat, dapat mencapai 50 kali
per menit akibat terjadinya hiperkardia atau hipoksia. Pada beberapa kasus bahakan
dapat menimbulkan sianosis. Penderita yang sadar kembali dari koma umumnya
mengalami disorientasi dan gelisah. Untuk menilai 9 derajat hilangnya kesadaran, dapat
dipakai beberapa cara. Suatu cara untuk menilai derajat kedalaman koma tersebut yaitu
Glasgow Coma Scale. diInggris untuk mengevaluasi koma pada eklamsia ditambah
penilaian kejang, yang disebut Glasgow Pittsburg Coma Scoring System
(Prawirohardjo, 2014).

3.8 Tatalaksana

Penderita preeklamsia dan eklamsia harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi. Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua
18

keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema
paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan
gradien tekanan onkotik koloid.

Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output
cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukan dan dikeluarkan melalui urin. Bila
terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa:

• 5% Ringer Dekstrose jumlah tetesan < 125 cc/jam

• Infus Dekstrose 5% tiap 1 liternya diselingi infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam)
500 cc.

Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 500cc/24jam. Diberikan antasida untuk menetralisisr asam lambung
sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang
sangat asam. Diet yang cukup 10 protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
Pemberian obat anti kejang adalah:

• MgSO4

• Obat lain yang dipakai untuk anti kejang:

a. Diazepam

b. Fenitoin

Diazepam dan Fenitoin obat anti kejang untuk epilepsi telah banyak dicoba pada
penderita eklamsia. Beberapa penelitian telah memakai bermacammacam
regimen. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat
masuk jaringan otak dan efek anti kejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena.
Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15mg/kgBB dengan pemberian intravena
50mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin didunia masih sedikit.
19

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin,


berdasarkan Cochrane Review terhadap enam uji klinik, yang melibatkan 897 penderita
eklamsia.

Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium
akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibitor antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam
darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini
tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklamsia atau eklamsia.

Obat antihipertensi Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik yang melibatkan
2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai
didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi, diserahkan
kepada para klinis yang tergantung pengalaman dan pengenalan terhadap obat tersebut.
Obat antihipertensi diantaranya:

• Antihipertensi lini pertama

Nifedipine dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam.

• Anti hipertensi lini kedua

Sodium nitroprusside 0,25 μg i.v./kg/ menit, infus ditingkatkan 10 mg/menit i.v./kg/5


menit

Diazokside 30-60 mg i.v./5 menit: atau i.v. infus 10 mg/ menit/ dititrasi.

Nifedipine tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat,
sehingga hanya boleh diberikan per oral (Prawirohardjo, 2014).
20

3.9 Tatalaksana Anestesi pada pasien eklamsia


Praktik anestesi standar dapat digunakan untuk pasien dengan preeklampsia
ringan. Anestesi spinal dan epidural berhubungan dengan penurunan tekanan arteri
yang serupa tekanan darah pada pasien ini. Namun, pasien dengan penyakit parah
sakit kritis dan membutuhkan stabilisasi sebelum pemberian anestesi apapun,
termasuk kontrol hipertensi dan koreksi hipovolemia. Dalam ketidakhadiran
koagulopati, anestesi epidural terus menerus adalah pilihan pertama untuk sebagian
besar pasien dengan preeklampsia selama persalinan dan persalinan pervaginam.
Lebih lagi, anestesi epidural terus menerus menghindari peningkatan risiko kegagalan
intubasi karena edema parah pada saluran napas bagian atas.

Jumlah trombosit dan profil koagulasi harus diperiksa sebelum institusi


anestesi regional pada pasien dengan preeklampsia berat Telah direkomendasikan
bahwa anestesi regional dihindari jika jumlah trombosit kurang dari 100.000/μL,
tetapi jumlah trombosit serendah 50.000/μL dapat diterima dalam kasus-kasus
tertentu, terutama ketika hitungannya stabil dan global koagulasi, yang diukur dengan
tes trombalastografi, adalah normal. Kontinu anestesi epidural menurunkan sekresi
katekolamin dan membaik perfusi uteroplasenta hingga 75% pada pasien ini, asalkan
hipotensi dihindari. Bolus cairan yang bijaksana mungkin diperlukan untuk
mengoreksi hipovolemia. Diarahkan pada tujuan terapi hemodinamik dan cairan
memanfaatkan kontur gelombang nadi arteri analisis atau monitor fungsi jantung
noninvasif lainnya seperti ekokardiografi dapat digunakan untuk memandu
penggantian cairan. Penggunaan sebuah dosis uji yang mengandung epinefrin untuk
anestesi epidural kontroversial karena keandalan yang dipertanyakan (lihat bagian
sebelumnya, dan risiko eksaserbasi hipertensi. Hipotensi harus diobati dengan dosis
yang lebih kecil dari biasanya menggunakan vasopresor karena pasien ini cenderung
sangat sensitif terhadap agen ini. Bukti terbaru menunjukkan bahwa anestesi spinal
tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya, mengakibatkan penurunan tekanan darah
ibu yang lebih parah. Oleh karena itu, keduanya anestesi spinal dan epidural adalah
pilihan yang masuk akal untuk operasi caesar di pasien dengan preeklampsia.

Pemantauan tekanan darah intraarterial diindikasikan pada pasien dengan


hipertensi berat selama anestesi umum dan regional. Vasodilator intravena mungkin
diperlukan untuk mengontrol tekanan darah secara umum anestesi. Labetalol
21

intravena (peningkatan 5-10 mg) juga efektif pada mengendalikan respon hipertensi
terhadap intubasi dan tampaknya tidak berubah aliran darah plasenta. Pemberian
nikardipin intravena jangka pendek atau clevidipine dapat digunakan untuk
mengobati hipertensi intraoperatif. Karena magnesium mempotensiasi mucle
relaxant, dosis muscle relaxant nondepolarisasi harus dikurangi pada pasien yang
menerima terapi magnesium dan harus dipandu oleh stimulator saraf perifer. Pasien
yang dicurigai toksisitas magnesium, dimanifestasikan oleh hiporefleksia, sedasi
berlebihan, kabur penglihatan, kompromi pernapasan, dan depresi jantung, dapat
diobati dengan pemberian kalsium glukonat intravena (1 g selama 10 menit).

Kemudian, Memberikan penjelasan kepada keluarga tentang rencana anestesi


yang akan dilakukan mulai dari ruang penerimaan, ruang operasi sampai ruang
intensive care unit (ICU) untuk pasca operasi. Penatalaksanaan pasien eklampsia yaitu
selalu mengingat kosep gawat darurat airway, breathing, circulation (ABC). Pertama
beri oksigen 4–6 liter/menit untuk mengatasi hipoksemia dan asidemia, juga dibutuhkan
perawatan kejang untuk melindungi pasien dari kemungkinan cedera serius, pasang
infus untuk memasukkan obat dan persiapan operasi, pasang kateter urine untuk
mengecek produksi urine per jam. Kemudian diberikan obat untuk memotong kejang
yaitu diazepam 1 ampul 10 mg intravena memiliki onset satu menit. Obat obatan untuk
mengatasi hipertensi pada kehamilan juga diberikan untuk mengontrol tensi pada
pasien ini diberikan methyldopa dan nifedipin, disertai pemberian MgSO4
intramuscular dan drip intravena. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
glasgow coma scale. Secara umum target manajemen anestesi adalah menjaga ventilasi.
Karena cadangan oksigen ibu yang menurun selama kehamilan penurunan saturasi akan
terjadi begitu pasien apneu. Ventilator mekanik harus disesuaikan untuk menjaga PCO2
30– 32 mmHg. Intubasi dilakukan dengan rapid sequence induction (RSI). Rapid
sequence induction (RSI) dilakukan untuk mencegah aspirasi isi lambung pada pasien
yang tidak puasa (Erna dkk, 2020).
a. Evaluasi Pra operatif
Selain pemeriksaan rutin berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang maka secara khusus pada pre operatif pasien dengan
preeklamsia harus dilakukan penilaian yang cermat dan seksama terhadap
keseimbangan cairan tubuh, status hemodinamik, koagulasi, fungsi ginjal, fungsi
respirasi, fungsi hepar, status fetus, dan pemberian obat sebelumnya. Keseimbangan
22

cairan diukur melalui menghitung balans cairan, pemasangan kateter urin dan berat
badan pasien. Maksud dari hal ini adalah menyediakan volume darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh serta untuk menyediakan kompensasi terhadap
kehilangan yang terjadi, menjaga output urin yang cukup, sebagai pengangkut dan
penyalur obat-obat yang dimasukkan ke dalam tubuh, serta mengkompensasi reduksi
preload dan afterload yang terjadi saat pelaksanaan metode anestesia regional yang
mungkin dipilih.
Namun harus dipahami bahwa sebaiknya hatihati untuk memberikan cairan,
harus dikontrol secara cermat kebutuhan cairan yang diperlukan karena cairan yang
berlebihan dapat menyebabkan edema paru ataupun serebral. Status hemodinamik
pasien dipantau melalui tekanan darah yang dilakukan pemeriksaan secara manual
dan melalui pemasangan monitor. Jika monitor sulit dipasang dan hasilnya
meragukan, maka kateter arteri radialis dapat dipasang untuk mengukur tekanan darah
pasien. Sistem koagulasi harus dipantau melalui pemeriksaan Bleeding Time (BT),
Platelet Count, Partial Prothrombin Time (PPT), dan Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT).
BT tidak secara spesifik mengukur fungsi platelet dan dapat menjadi abnormal
apabila terdapat sejumlah penyakit pembekuan darah seperti defisiensi faktor
pembekuan. Platelet Count paling sering diperiksa pada pasien dengan hipertensi pada
kehamilan. Tidak terdapat berapa jumlah platelet yang memerlukan tranfusi platelet,
jika tidak terdapat clinical bleeding, banyak ahli tidak akan memberikan tranfusi
platelet kecuali jika platelet count menjadi kurang dari 30-40.000. PPT dan APTT
jarang diperiksa karena Disseminated Coagulation Disorder (DIC) cukup jarang
terjadi dan terjadi hanya bila terjadi abrupsi plasenta, emboli cairan amnion, atau
sepsis. DIC dapat dimonitor dengan platelet count dan fibrin degradation product.
PPT dan APTT akan memanjang pada clinical coagulopathy atau disfungsi hepar
yang signifikan dimana terdapat resiko perdarahan pada daerah yang luka sehingga
lebih bijak untuk menghindari tindakan anestesia regional baik spinal maupun
epidural.
Fungsi ginjal dipantau melalui pemeriksaan fungsi ginjal berupa Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan Serum Creatinine (SC) serta melalui monitoring dari serial urine
output. Kadar SC > 1 mg/dL mengindikasikan substantial renal involvment. Kadar
asam urat sebesar lebih dari atau sama dengan 7,5 mg/dL mengindikasikan severe
renal compromise. Fungsi hepar dipantau melalui pemeriksaan klinis adanya nyeri
23

epigastrium dan subkostal, serta tes fungsi hepar. Pada fungsi respirasi harus diingat
bahwa kemungkinan terjadinya edema saluran napas dapat terjadi yang ditandai
dengan gejala berupa stridor atau dyspnea yang akan menyulitkan intubasi sehingga
pemilihan anestesi dengan intubasi adalah hal yang dihindari. Adanya edema
pulmonum dapat pula dilihat melalui rendahnya tekanan O2 (PO2) atau saturasi O2.
Penggunaan obat anestesi sebelumnya yang harus dipantau adalah penggunaan
magnesium sulfat (MgSO4). Pemberian MgSO4/ magnesium sulfat pada bagian
obstetri dapat diberikan dengan cara :
1. Dosis awal MgSO4 20 %, 4 gram i.m.,dilanjutkan dengan MgSO4 50 % 5 grami.m.
2. Dosis pemeliharaan : MgSO4 50 %, 5 gram tiap 4 jam sampai 24 jam.
3. Harus selalu tersedia kalsium glukonas 10% sebagai antidotum (panji, 2019).
b. Manajemen Intra operatif
Pelaksanaan sectio caesaria pada pasien dengan preeklamsia/eklamsia dapat
dilakukan dengan anestesi umum maupun anestesi regional epidural ataupun spinal.
Operasi dapat bersifat urgent atau non urgent. Terdapat beberapa pertimbangan dalam
pemilihan teknik anestesia yang dilakukan. Pemilihan anestesia regional daripada
anestesia umum dengan mempertimbangkan mortalitas maternal yang lebih tinggi
pada anestesia umum yang disebabkan antara lain kesulitan intubasi, kesulitan
ventilasi, atau resiko aspirasi pneumonia, terjadi juga peningkatan tekanan darah
sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial. Hal ini
akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah
peningkatan konsumsi oksigen dari miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum.
Keuntungan dari anestesia regional adalah paparan yang rendah terhadap fetus
oleh obat-obatan yang potensial bersifat toksik, kecilnya resiko aspirasi pneumonia
pada pasien, ibu yang sadar pada saat bayi lahir. Pemilihan blok subarachnoid atau
epidural sepenuhnya merupakan pilihan dan keahlian dari dokter. Blok subarachnoid
mudah untuk dilakukan, onset lebih cepat dan dapat diprediksi, menghasilkan blok
yang lebih komplit, tidak terdapat resiko terjadinya dan tidak memiliki potensi untuk
terjadinya toksisitas obat yang serius.
Penggunaan RA-BSA akan menurunkan tekanan darah pasien. Tekanan darah
dari pasien dijaga agar tetap di atas 100 mmHg, bila jatuh di bawah level tersebut
maka dapat diberikan ephedrine 10 miligram secara intravena, atau phenylephrine 25-
100 mikrogram juga dapat diberikan dengan aman. Pada operasi dengan anestesi
epidural, mean arterial pressure (MAP) akan sedikit menurun saat induksi. Gangguan
24

hemodinamik dan stres neuroendocrine dapat stabil atau bahkan menurun. Pemilihan
teknik epidural adalah bila tidak terdapat kondisi berupa koagulopati, abrupsi
plasenta, fetal distress yang berat, atau kesulitan untuk melakukan anestesi umum
melalui intubasi yang tidak terantisipasi sebelumnya. Pada operasi yang non urgent
perlu diperhatikan untuk melakukan hidrasi intravena terlebih dahulu dan induksi
dilakukan dengan Bupivacaine 0,5%. Selalu monitor tekanan darah saat melakukan
blok. Penurunan tekanan darah sebesar 20-30 mmHg pada sistolik atau 10-15 mmHg
pada diastolik merupakan hal yang cukup sering terjadi dan cukup dilakukan
observasi. Namun bila terjadi penurunan lebih dari nilai tersebut dan bersifat
persisten, dapat diberikan ephedrine intravena sebesar 5-10 mg. Pemilihan tokolitik
lebih baik digunakan oxytocin karena methylergometrin akan menurunkan tekanan
darah karena efek vasodilatasi yang dimilikinya. Namun 17 jika terjadi atonia uteri
maka regimen tersebut harus diberikan. Penggunaan spinal anestesia cukup aman
untuk dilakukan pada pasien dengan preeklamsia ringan. Untuk mengatasi hipotensi
maka dapat dilakukan pemberian 10-15 mL/kgBB kristaloid, koloid, atau 500 cc
albumin 5%. Untuk blok dapat digunakan Bupivacaine 0,5% 9-12 mg.
Pada pasien dengan koagulopati lebih dipilih untuk digunakan teknik spinal
anestesia karena tidak perlu memakai kateter yang memiliki risiko melukai vena
epidural dan jarum yang digunakan juga lebih kecil. Sedangkan pada pasien dengan
preeklamsia berat/eklamsia terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan
anestesia spinal. Keuntungannya adalah penghindaran penggunaan anestesi umum
akan menurunkan risiko peningkatan tekanan darah, onsetnya yang cepat, resiko yang
kecil dari trauma epidural. Sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan
hipotensi yang yang cepat terjadi dan berat yang disebabkan karena dilakukannya
blok simpatis dan ditambah lagi pada pasien dengan preeklamsia berat terjadi
constricted intravascular volume, hipotensi yang terjadi tidak mampu ditoleransi oleh
fetus, serta hipotensi ini tidak dapat dicegah, apakah dengan ekspansi volume atau
pemberian ephedrine secara propilaksis.
Penggunaan anestesi umum memiliki risiko yang cukup besar berupa
peningkatan tekanan darah sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah intrakranial. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan konsumsi oksigen dari miokard,
aritmia jantung, dan edema pulmonum. Selain itu juga dapat terjadi penurunan uterine
blood flow. Banyak usaha yang digunakan untuk mengatasi hal ini. Antara lain adalah
25

dengan pemberian nitrogliserin dengan titrasi yang bermaksud untuk menurunkan


MAP sebelum induksi dengan anestesi umum.
Pilihan lain yang dapat digunakan adalah dengan memberikan sodium
nitroprusside, trimetophan, labetolol, fentanyl dan dropeidol. Tetapi pada penderita
dengan kelainan koagulopati maka teknik anestesi umum harus mutlak dilakukan.
Pada keadaan operasi harus dilakukan secara urgent, maka anestesia spinal merupakan
pilihan karena keuntungan yang lebih besar daripada kerugiannya. Dapat diberikan
ephedrine 5 mg segera setelah injeksi Bupivacaine intratekal. Operasi juga lebih baik
untuk dilakukan secara cepat dan sebelumnya pasien lebih baik diberikan MgSO4
(panji, 2019).

c. Manajemen post operasi


Setelah operasi pasien dirawat di Post Anestesia Care Unit (PACU) atau
Recovery Room (RR) selama 1-2 jam dan selanjutnya dilakukan monitoring selama
24 jam dengan prinsip penanganan post partum di HCU berupa :

1. Pemberian analgesia dengan teknik pemberian opioid secara epidural atau


intratekal. Dapat juga diberikan teknik drip analgetika dengan kombinasi opioid
dan NSAIDs.
2. Monitoring balans cairan selama 24 jam atau sampai diuresis meningkat. Intake
cairan sebanyak 75 mL/jam diberikan sampai pasien sudah dapat melakukan
mobilisasi.
3. Pemberian MgSO4 dilanjutkan sampai 24 jam post operasi untuk mencegah kejang
post partum
4. Kontrol hemodinamik dengan pemberian agen hipertensi untuk menghindari
rebund hypertension (panji, 2019).

3.10 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan
berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis
terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis
yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah
kembali normal dalam beberapa jam kemudian.
26

Eklamsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari


ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita
eklamsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase
neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior (Prawirohardjo, 2014).
tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang sudah
mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklamsia juga tergolong
buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang
kondisi bayi sudah sangat inferior (Prawirohardjo, 2014).

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif yang
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Etiologi eklamsia serta mekanisme
yang mendasarinya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Manifestasi klinis
eklamsia berdasarkan gejala dan tanda yang paling sering mjuncul adalah Kejang
(100%) Sakit kepala, biasanya bagian frontal (80%) Edema umum (50%), Gangguan
penglihatan seperti kabur dan fotofobia (40%), Nyeri abdomen kuadran kanan atas
disertai mual (20%), Amnesia dan perubahan mental lainnya. Diagnosis dini dan
pengobatan yang cepat melalui tim multidisiplin dalam pengaturan intensive care unit
(ICU) dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta
memberikan prognosis yang lebih baik.
27
28

DAFTAR PUSTAKA

Erna Fitriana Alfanti, Ratih Kumala FA, Yusmein Uyun. (2020). Manajemen Anestesi pada
Wanita Hamil dengan Eklampsia dan Asma Akut Berat yang Menjalani Seksio Sesarea.
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia. Vol 4(1) : 89-91.
Sumampouw, Claudia Meinda, Hermie MM Tendean, and Freddy W. Wagey. "Gambaran
preeklampsia berat dan eklampsia ditinjau dari faktor risiko di RSUP Prof. DR. RD
Kandou Manado." Jurnal Medik dan Rehabilitasi 1.3 (2019).
Setiawan, A. H., & Airlangga, P. S.,(2019). Komplikasi Edema Paru pada Kasus
Preeklampsia Berat dan Eklampsia. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 11(3), 136-
144.
Prawirohardjo Sarwono.(2014). ilmu kebidanan, hipertensi dalam kehamilan. (edisi ke 4).
Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Morgan GE. Maternal & fetal physiology & anesthesia. In : Morgan GE, editors. Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York: Mc Graw Hill; 2002, 804–13.
Morgan GE. Obstetric Anesthesia. In : Morgan GE, editors. Clinical Anesthesiology. 6rd ed.
New York: Mc Graw Hill; 2018, 1054–41.
Winda Anggraeni.(2018). Analisis faktor risiko terhadap luaran maternal dan perinatal pada
kasus eklamsia di RSUP DR Kariadi 2016-2017. Universitas diponogoro. 19-21.
Panji Surya. (2019). Manajemen perioperatif hipertensi pada kehamilan. Universitas udayana.
25 -30.

Anda mungkin juga menyukai