Case Eklamsi Final Pisan
Case Eklamsi Final Pisan
Case Report
Oleh :
Preceptor :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
disusun untuk melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Anestesi
pada RSUD Jendral Ahmad Yani Metro. Penyelesaian laporan kasus ini banyak
mendapat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Yusnita Debora,
Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah case reportini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................
iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................
DAFTAR TABEL.................................................................................................... ................
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN
3
Nama : Ny. V
Agama :Islam
No. RM : 444104
Berat Badan : 75 kg
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Kamis 29 Desember 2022 pukul 14.00 di ruang ICU
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul dan
tidak membaik dengan istirahat. Pasien tidak mengkonsumsi obat
apapun dan semakin hari semakin memberat. Kemudian pasien
mengalami kejang saat berada di IGD kejang yang berlangsung selama
±5 menit dan pasien mengaku tidak sadarkan diri pada saat kejang.
Riwayat DM : (-)
Riwayat DM : (-)
2.3 PemeriksaanFisik
GCS : E4M6V5
Tanda Vital :
- TD : 150/100 mmHg
- HR : 86 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36,5oC
- SpO2 : 99%
Airway
Look : Gigi ompong (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-), lidah membesar (-),
Mallampati :1
Diagnosis Anestesi
1. Kulit
Pucat :(-)
Sianosis :(-)
Ikterus :(-)
2. Kepala
Kepala : Simetris/Normochepal
3. Thorax
a. Pulmo
b. Cor
7
4. Abdomen
5. Ekstremitas
Palpasi :
1 Warna Kuning
2 Kejernihan Jernih
3 KIMIA URINE
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
4 pH 6.0 5-8
5 Protein +4 Negatif
6 Glukosa Negatif Negatif
7 Keton Negatif Negatif
8 Bilirubin Negatif Negatif
13 Darah Samar +2 Negatif
2.5 Diagnosis
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Medikamentosa
02 5 Lpm
IVFD Ringer Lactat 20 Tpm
MgSo4 40% bolus 4 mg dalam RL 100cc dan drip 6 mg dalam RL 500cc
Cefotaxime 2x1
Dexametason 2x2 ampul
Operasi (29/12/2022)
Premedikasi : Ondansetron 4 mg
Fentanyl 25mg
Morfin 0,1
Penggantian Pendarahan :
EBV : 5.250 ml
Jika pendarahan >10% : ≥ 525 ml di ganti dengan kristaloid
Jika pendarahan 10-15 % : 787,5 ml di ganti dengan koloid
Jika pendarahan ≥ 20% : ≥ 1050 ml diganti dengan PRC/WB (Tranfusi)
12
2.7 Prognosis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif yang
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu (Andalas dkk, 2017).
Eklamsia ialah kejang yang dialami wanita hamil dalam persalinan atau masa
nifas yang disertai gejala-gejala pre eklamsia (hipertensi, edema, dan/atau proteinuria)
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat
timbul setelah 6 minggu postpartum. (Apriyani dkk, 2022).
3.2 Epidemiologi
Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan
masih belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk
mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga
kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia
sebagai “the disease of theory”. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya ialah
genetik, iskemia plasenta, prostasiklin tromboksan dan imunologis (Winda, 2018)
a. Nulliparitas
c. Riwayat intrauterine growth retardetion, abrupsi plasenta atau kematian fetus pada
kehamilan sebelumnya
d. Primigravid
e. Teen pregnancy
g. Hidrop fetalis
vaskular juga merupakan faktor risiko yang harus dipertimbangkan (setiawan &
airlangga, 2019).
a. Kejang (100%)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan; peningkatan tekanan sistolik (> 160
mmHg) dan diastolik (>110 mmHg), takikardi, takipnu, perubahan status mental,
hiperrefleks, edema papil, oliguria/ anuria, defisit neurologis lokal, ketegangan
abdomen kuadran kanan atas atau epigastrium dan tinggi fundus uteri kecil dari
taksiran usia kehamilan (setiawan & airlangga, 2019).
Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal atau kejang tonik
klonik umum. Patofisiologi kejang pada eklamsia belum sepenuhnya dimengerti
16
dan sampai saat ini merupakan pokok bahasan yang tetap diteliti secara ekstensif
sehingga melahirkan berbagai dugaan atau teori. Beberapa dugaan yang dianggap
sebagai pencetus kejang eklamsia adalah vasospasme serebral, edema serebral,
iskemia serebral, hemoragi petekia, pemindahan ion antar ruang intraselular dan
ekstraselular diotak, nekrosis, kongesti, hemoragi periportal hati, perubahan ginjal
seperti pembengkakan endotel glomerulus, proliferasi mesangial, dan penyempitan
lumen kapiler glomeruli. Untuk memastikan kondisi neuropatologik yang menjadi
pencetus kejang dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti CT Scan, magnetic
resonance imaging (MRI) dan foto rontgen.
Temuan klinis terbanyak sebagai penyebab kejang pada eklamsia adalah edema
serebral dan hipertensi ensefalopati. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
proses patologik pada eklamsia yaitu vaskulopati sistem saraf pusat, berhubungan
dengan hipertensi akut yang menyebabkan hilangnya autoregulasi dinding
pembuluh darah dan terdapatnya disfungsi endotel (setiawan & airlangga, 2019).
Kejang tonik ini segera disusul oleh kejang klonik. Kejang klonik dimulai
dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai
17
pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan
kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat
kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar dari tempat
tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka dan
tertutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-kadang disertai
bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada
konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan. Pada waktu timbul kejang,
diafragma terfiksisr sehingga pernafasan tertahan, kejang klonik berlangsung kurang
lebih satu menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah, dan akhirnya
penderita diam tidak bergerak.
Koma yang terjadi setelah kejang berlangsung sangat bervariasi dan bila tidak
segera diberi obat antikejang akan segera disusul dengan episode kejang berikutnya.
Setelah berakhirnya kejang, frekuensi pernapasan meningkat, dapat mencapai 50 kali
per menit akibat terjadinya hiperkardia atau hipoksia. Pada beberapa kasus bahakan
dapat menimbulkan sianosis. Penderita yang sadar kembali dari koma umumnya
mengalami disorientasi dan gelisah. Untuk menilai 9 derajat hilangnya kesadaran, dapat
dipakai beberapa cara. Suatu cara untuk menilai derajat kedalaman koma tersebut yaitu
Glasgow Coma Scale. diInggris untuk mengevaluasi koma pada eklamsia ditambah
penilaian kejang, yang disebut Glasgow Pittsburg Coma Scoring System
(Prawirohardjo, 2014).
3.8 Tatalaksana
Penderita preeklamsia dan eklamsia harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi. Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua
18
keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema
paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan
gradien tekanan onkotik koloid.
Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output
cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukan dan dikeluarkan melalui urin. Bila
terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa:
• Infus Dekstrose 5% tiap 1 liternya diselingi infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam)
500 cc.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 500cc/24jam. Diberikan antasida untuk menetralisisr asam lambung
sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang
sangat asam. Diet yang cukup 10 protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
Pemberian obat anti kejang adalah:
• MgSO4
a. Diazepam
b. Fenitoin
Diazepam dan Fenitoin obat anti kejang untuk epilepsi telah banyak dicoba pada
penderita eklamsia. Beberapa penelitian telah memakai bermacammacam
regimen. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat
masuk jaringan otak dan efek anti kejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena.
Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15mg/kgBB dengan pemberian intravena
50mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin didunia masih sedikit.
19
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium
akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibitor antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam
darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini
tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklamsia atau eklamsia.
Obat antihipertensi Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik yang melibatkan
2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai
didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi, diserahkan
kepada para klinis yang tergantung pengalaman dan pengenalan terhadap obat tersebut.
Obat antihipertensi diantaranya:
Nifedipine dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam.
Diazokside 30-60 mg i.v./5 menit: atau i.v. infus 10 mg/ menit/ dititrasi.
Nifedipine tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat,
sehingga hanya boleh diberikan per oral (Prawirohardjo, 2014).
20
intravena (peningkatan 5-10 mg) juga efektif pada mengendalikan respon hipertensi
terhadap intubasi dan tampaknya tidak berubah aliran darah plasenta. Pemberian
nikardipin intravena jangka pendek atau clevidipine dapat digunakan untuk
mengobati hipertensi intraoperatif. Karena magnesium mempotensiasi mucle
relaxant, dosis muscle relaxant nondepolarisasi harus dikurangi pada pasien yang
menerima terapi magnesium dan harus dipandu oleh stimulator saraf perifer. Pasien
yang dicurigai toksisitas magnesium, dimanifestasikan oleh hiporefleksia, sedasi
berlebihan, kabur penglihatan, kompromi pernapasan, dan depresi jantung, dapat
diobati dengan pemberian kalsium glukonat intravena (1 g selama 10 menit).
cairan diukur melalui menghitung balans cairan, pemasangan kateter urin dan berat
badan pasien. Maksud dari hal ini adalah menyediakan volume darah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh serta untuk menyediakan kompensasi terhadap
kehilangan yang terjadi, menjaga output urin yang cukup, sebagai pengangkut dan
penyalur obat-obat yang dimasukkan ke dalam tubuh, serta mengkompensasi reduksi
preload dan afterload yang terjadi saat pelaksanaan metode anestesia regional yang
mungkin dipilih.
Namun harus dipahami bahwa sebaiknya hatihati untuk memberikan cairan,
harus dikontrol secara cermat kebutuhan cairan yang diperlukan karena cairan yang
berlebihan dapat menyebabkan edema paru ataupun serebral. Status hemodinamik
pasien dipantau melalui tekanan darah yang dilakukan pemeriksaan secara manual
dan melalui pemasangan monitor. Jika monitor sulit dipasang dan hasilnya
meragukan, maka kateter arteri radialis dapat dipasang untuk mengukur tekanan darah
pasien. Sistem koagulasi harus dipantau melalui pemeriksaan Bleeding Time (BT),
Platelet Count, Partial Prothrombin Time (PPT), dan Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT).
BT tidak secara spesifik mengukur fungsi platelet dan dapat menjadi abnormal
apabila terdapat sejumlah penyakit pembekuan darah seperti defisiensi faktor
pembekuan. Platelet Count paling sering diperiksa pada pasien dengan hipertensi pada
kehamilan. Tidak terdapat berapa jumlah platelet yang memerlukan tranfusi platelet,
jika tidak terdapat clinical bleeding, banyak ahli tidak akan memberikan tranfusi
platelet kecuali jika platelet count menjadi kurang dari 30-40.000. PPT dan APTT
jarang diperiksa karena Disseminated Coagulation Disorder (DIC) cukup jarang
terjadi dan terjadi hanya bila terjadi abrupsi plasenta, emboli cairan amnion, atau
sepsis. DIC dapat dimonitor dengan platelet count dan fibrin degradation product.
PPT dan APTT akan memanjang pada clinical coagulopathy atau disfungsi hepar
yang signifikan dimana terdapat resiko perdarahan pada daerah yang luka sehingga
lebih bijak untuk menghindari tindakan anestesia regional baik spinal maupun
epidural.
Fungsi ginjal dipantau melalui pemeriksaan fungsi ginjal berupa Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan Serum Creatinine (SC) serta melalui monitoring dari serial urine
output. Kadar SC > 1 mg/dL mengindikasikan substantial renal involvment. Kadar
asam urat sebesar lebih dari atau sama dengan 7,5 mg/dL mengindikasikan severe
renal compromise. Fungsi hepar dipantau melalui pemeriksaan klinis adanya nyeri
23
epigastrium dan subkostal, serta tes fungsi hepar. Pada fungsi respirasi harus diingat
bahwa kemungkinan terjadinya edema saluran napas dapat terjadi yang ditandai
dengan gejala berupa stridor atau dyspnea yang akan menyulitkan intubasi sehingga
pemilihan anestesi dengan intubasi adalah hal yang dihindari. Adanya edema
pulmonum dapat pula dilihat melalui rendahnya tekanan O2 (PO2) atau saturasi O2.
Penggunaan obat anestesi sebelumnya yang harus dipantau adalah penggunaan
magnesium sulfat (MgSO4). Pemberian MgSO4/ magnesium sulfat pada bagian
obstetri dapat diberikan dengan cara :
1. Dosis awal MgSO4 20 %, 4 gram i.m.,dilanjutkan dengan MgSO4 50 % 5 grami.m.
2. Dosis pemeliharaan : MgSO4 50 %, 5 gram tiap 4 jam sampai 24 jam.
3. Harus selalu tersedia kalsium glukonas 10% sebagai antidotum (panji, 2019).
b. Manajemen Intra operatif
Pelaksanaan sectio caesaria pada pasien dengan preeklamsia/eklamsia dapat
dilakukan dengan anestesi umum maupun anestesi regional epidural ataupun spinal.
Operasi dapat bersifat urgent atau non urgent. Terdapat beberapa pertimbangan dalam
pemilihan teknik anestesia yang dilakukan. Pemilihan anestesia regional daripada
anestesia umum dengan mempertimbangkan mortalitas maternal yang lebih tinggi
pada anestesia umum yang disebabkan antara lain kesulitan intubasi, kesulitan
ventilasi, atau resiko aspirasi pneumonia, terjadi juga peningkatan tekanan darah
sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial. Hal ini
akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah
peningkatan konsumsi oksigen dari miokard, aritmia jantung, dan edema pulmonum.
Keuntungan dari anestesia regional adalah paparan yang rendah terhadap fetus
oleh obat-obatan yang potensial bersifat toksik, kecilnya resiko aspirasi pneumonia
pada pasien, ibu yang sadar pada saat bayi lahir. Pemilihan blok subarachnoid atau
epidural sepenuhnya merupakan pilihan dan keahlian dari dokter. Blok subarachnoid
mudah untuk dilakukan, onset lebih cepat dan dapat diprediksi, menghasilkan blok
yang lebih komplit, tidak terdapat resiko terjadinya dan tidak memiliki potensi untuk
terjadinya toksisitas obat yang serius.
Penggunaan RA-BSA akan menurunkan tekanan darah pasien. Tekanan darah
dari pasien dijaga agar tetap di atas 100 mmHg, bila jatuh di bawah level tersebut
maka dapat diberikan ephedrine 10 miligram secara intravena, atau phenylephrine 25-
100 mikrogram juga dapat diberikan dengan aman. Pada operasi dengan anestesi
epidural, mean arterial pressure (MAP) akan sedikit menurun saat induksi. Gangguan
24
hemodinamik dan stres neuroendocrine dapat stabil atau bahkan menurun. Pemilihan
teknik epidural adalah bila tidak terdapat kondisi berupa koagulopati, abrupsi
plasenta, fetal distress yang berat, atau kesulitan untuk melakukan anestesi umum
melalui intubasi yang tidak terantisipasi sebelumnya. Pada operasi yang non urgent
perlu diperhatikan untuk melakukan hidrasi intravena terlebih dahulu dan induksi
dilakukan dengan Bupivacaine 0,5%. Selalu monitor tekanan darah saat melakukan
blok. Penurunan tekanan darah sebesar 20-30 mmHg pada sistolik atau 10-15 mmHg
pada diastolik merupakan hal yang cukup sering terjadi dan cukup dilakukan
observasi. Namun bila terjadi penurunan lebih dari nilai tersebut dan bersifat
persisten, dapat diberikan ephedrine intravena sebesar 5-10 mg. Pemilihan tokolitik
lebih baik digunakan oxytocin karena methylergometrin akan menurunkan tekanan
darah karena efek vasodilatasi yang dimilikinya. Namun 17 jika terjadi atonia uteri
maka regimen tersebut harus diberikan. Penggunaan spinal anestesia cukup aman
untuk dilakukan pada pasien dengan preeklamsia ringan. Untuk mengatasi hipotensi
maka dapat dilakukan pemberian 10-15 mL/kgBB kristaloid, koloid, atau 500 cc
albumin 5%. Untuk blok dapat digunakan Bupivacaine 0,5% 9-12 mg.
Pada pasien dengan koagulopati lebih dipilih untuk digunakan teknik spinal
anestesia karena tidak perlu memakai kateter yang memiliki risiko melukai vena
epidural dan jarum yang digunakan juga lebih kecil. Sedangkan pada pasien dengan
preeklamsia berat/eklamsia terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan
anestesia spinal. Keuntungannya adalah penghindaran penggunaan anestesi umum
akan menurunkan risiko peningkatan tekanan darah, onsetnya yang cepat, resiko yang
kecil dari trauma epidural. Sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan
hipotensi yang yang cepat terjadi dan berat yang disebabkan karena dilakukannya
blok simpatis dan ditambah lagi pada pasien dengan preeklamsia berat terjadi
constricted intravascular volume, hipotensi yang terjadi tidak mampu ditoleransi oleh
fetus, serta hipotensi ini tidak dapat dicegah, apakah dengan ekspansi volume atau
pemberian ephedrine secara propilaksis.
Penggunaan anestesi umum memiliki risiko yang cukup besar berupa
peningkatan tekanan darah sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah intrakranial. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
serebrovaskuler. Risiko lainnya adalah peningkatan konsumsi oksigen dari miokard,
aritmia jantung, dan edema pulmonum. Selain itu juga dapat terjadi penurunan uterine
blood flow. Banyak usaha yang digunakan untuk mengatasi hal ini. Antara lain adalah
25
3.10 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan
berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis
terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis
yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah
kembali normal dalam beberapa jam kemudian.
26
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif yang
terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Etiologi eklamsia serta mekanisme
yang mendasarinya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Manifestasi klinis
eklamsia berdasarkan gejala dan tanda yang paling sering mjuncul adalah Kejang
(100%) Sakit kepala, biasanya bagian frontal (80%) Edema umum (50%), Gangguan
penglihatan seperti kabur dan fotofobia (40%), Nyeri abdomen kuadran kanan atas
disertai mual (20%), Amnesia dan perubahan mental lainnya. Diagnosis dini dan
pengobatan yang cepat melalui tim multidisiplin dalam pengaturan intensive care unit
(ICU) dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta
memberikan prognosis yang lebih baik.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Erna Fitriana Alfanti, Ratih Kumala FA, Yusmein Uyun. (2020). Manajemen Anestesi pada
Wanita Hamil dengan Eklampsia dan Asma Akut Berat yang Menjalani Seksio Sesarea.
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia. Vol 4(1) : 89-91.
Sumampouw, Claudia Meinda, Hermie MM Tendean, and Freddy W. Wagey. "Gambaran
preeklampsia berat dan eklampsia ditinjau dari faktor risiko di RSUP Prof. DR. RD
Kandou Manado." Jurnal Medik dan Rehabilitasi 1.3 (2019).
Setiawan, A. H., & Airlangga, P. S.,(2019). Komplikasi Edema Paru pada Kasus
Preeklampsia Berat dan Eklampsia. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 11(3), 136-
144.
Prawirohardjo Sarwono.(2014). ilmu kebidanan, hipertensi dalam kehamilan. (edisi ke 4).
Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Morgan GE. Maternal & fetal physiology & anesthesia. In : Morgan GE, editors. Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York: Mc Graw Hill; 2002, 804–13.
Morgan GE. Obstetric Anesthesia. In : Morgan GE, editors. Clinical Anesthesiology. 6rd ed.
New York: Mc Graw Hill; 2018, 1054–41.
Winda Anggraeni.(2018). Analisis faktor risiko terhadap luaran maternal dan perinatal pada
kasus eklamsia di RSUP DR Kariadi 2016-2017. Universitas diponogoro. 19-21.
Panji Surya. (2019). Manajemen perioperatif hipertensi pada kehamilan. Universitas udayana.
25 -30.