Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN FIQH IBADIYAH PERTAMA

1. Dalam Islam, terdapat beberapa alat untuk bersuci yaitu :


a. Air hujan, sungai,embun, salju
Dasar penggunaan air untuk bersuci dari najis adalah pernyataan Rasulullah SAW
sebagai berikut:
)‫الماء الينجسه شيئ ااّل ما غلب على طعمه اولونه اوريحه (رواه ابن ماجه والبيهقى‬
Artinya:
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah rasanya,
warnanya, atau baunya.” (HR. Ibn Majjah dan Baihaqi)
b. Debu (Tayammum)
Debu yang Suci, Ketika seseorang ingin bersuci (dalam artian bersuci dari hadas),
dan dia tidak menemukan air untuk bersuci, maka diberikan kemudahan yaitu
diperbolehkan bersuci dengan debu, yang biasa disebut dengan istilah tayamum.
Allah berfirman di dalam QS. Al-Maidah ayat 6, yang artinya sebagai berikut:
“Dan apabila kamu sakit, atau dlam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air
(kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan kedua tanganmu
dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)
c. Benda-benda yang Dapat Menyerap Kotoran
Benda-benda yang dapat menyerap kotoran, seperti batu, tisu, kayu, dan
semacamnya. Dalam hal ini, dikhususkan untuk menghilangkan najis, seperti
beristinja’.
2. Macam-macam air dan pembagiannya
a. Air Suci yang Menyucikan dan boleh digunakan. Air ini disebut air muthlaq, yaitu air
yang tidak bercampur dengan sesuatu apapun, masih murni, dan tidak ada benda atau
dzat lain yang merusak kemuthlakannya.
b. Air Suci tetapi tidak Menyucikan. Air ini terbagi menjadi dua, yaitu:
 Air Musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk menyucikan najis atau hadas.
Hukumnya Suci, tetapi tidak sah digunakan untuk bersuci lagi.
 Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah karena bercampur
dengan benda suci lainnya. Contoh, air kopi, air teh, air susu, dan lain-lain.
c. Air Mutanajis (yang najis), yaitu air yang terkena najis. Air ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
 Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya kurang dari dua kullah. Jika
air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka hukum air tersebut menjadi najis,
walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan najis. Air ini muthlak tidak
boleh digunakan untuk bersuci.
 Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi bahkan lebih dari dua
kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukum air tersebut tetap suci dan
menyucikan dan boleh digunakan jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasa, dan
baunya. Contoh, si Fulan kencing di sungai, jika air kencing tersebut tidak
mmenyebabkan berubahnya tiga sifat air tadi (warna, rasa, bau) maka hukumnya
tetap suci menyucikan dan boleh digunakan

)‫الماء الينجسه شيئ ااّل ما غلب على طعمه اولونه اوريحه (رواه ابن ماجه والبيهقى‬
Artinya:
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah rasanya,
warnanya, atau baunya.” (HR. Ibn Majjah dan Baihaqi)
)‫ (رواه الخمسة‬.‫اذا كان الماء قلتين لم ينجسه شيئ‬
Artinya:
“Apabila air cukup dua kullah, tidaklah dinajisi oleh suatu apapun.” (HR. Lima Ahli
Hadits)
Catatan:
– Sebagai catatan untuk diingat bahwa ukuran air dua kulah adalah 216 liter, berbentuk
bak, panjang 60 cm dan tinggi 60 cm;
– Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak
memiliki darah, seperti; lalat, semut, lebah, dan sebagainya.
d. Air yang makruh, yaitu air yang sebenarnya suci secara dzatnya, juga menyucikan dan
sah digunakan untuk bersuci, tetapi makruh hukumnya digunakan untuk bersuci. Air ini
biasa disebut dengan air musyammas, yaitu air yang dipanaskan pada sinar matahari
yang berada di dalam bejana (besi, tembaga, timah, dan sejenisnya) kecuali bejana
perak dan mas.
Sabda Rasulullah SAW:
‫عن عائشة رضي هللا عنها اّنها سّخ نت ماء في الشمس فقال صلى هللا عليه وسّلم لها ال تفعلي يا حميراء فاّنه يورث‬
)‫ (رواه البيهقى‬.‫البرص‬
Artinya:
“Dari Aisyah ra. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari,
maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, janganlah engkau berbuat demikian ya
Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (HR.
Baihaqy)
3. Perbedaan antara istinja’ dan istijmar
 Istinja’ maknanya lebih umum yaitu membersihkan kotoran sehabis buang hajat dengan
menggunakan air dan batu. Sedangkan istijmar adalah membersihkan kotoran dengan
menggunakan batu saja.
 Beristijmar dengan batu tidak boleh kurang dari tiga batu. Karena tiga batu umumnya
akan lebih bersih. Namun jika batu masih belum menghilangkan kotoran, maka boleh
ditambah lebih dari tiga batu hingga kotorannya bersih. Hadits yang dijadikan dalil
dalam hal ini
.‫ ُك َّل َش ْى ٍء َح َّتى اْلِخَر اَء َة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ْن َس ْلَم اَن َقاَل ِقيَل َلُه َقْد َع َّلَم ُك ْم َنِبُّيُك ْم‬
‫َقاَل َفَقاَل َأَج ْل َلَقْد َنَهاَنا َأْن َنْسَتْقِبَل اْلِقْبَلَة ِلَغاِئٍط َأْو َبْو ٍل َأْو َأْن َنْس َتْنِج َى ِباْلَيِم يِن َأْو َأْن‬
‫َنْس َتْنِج َى ِبَأَقَّل ِم ْن َثَالَثِة َأْح َج اٍر َأْو َأْن َنْس َتْنِج َى ِبَر ِج يٍع َأْو ِبَع ْظٍم‬
Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?”
Salman menjawab, “Iya. Nabi SAW kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika
buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan
kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula
kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim, no.
262)
 Yang lebih afdhal adalah istijmar lalu istinja’. Dikarenakan istijmar dengan batu atau
penggantinya menghilangkan kotoran tanpa menyentuhnya secara langsung. Lalu
setelah itu air yang akan membersihkan kotoran yang tersisa.
 Boleh memilih antara istijmar dengan batu atau istinja’ dengan air. Namun beristinja’
dengan air lebih utama karena lebih membersihkan kotoran. Alasan lainnya adalah
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang penduduk Quba’ yang menjadi
sebab turunnya ayat berikut,
‫ِفيِه ِر َج اٌل ُيِح ُّبوَن َأْن َيَتَطَّهُروا َو ُهَّللا ُيِح ُّب اْلُم َّطِّهِريَن‬
“Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108).
Dahulu mereka terbiasa beristinja’ dengan air lantas turunlah ayat ini.” (HR. Tirmidzi,
no. 3100; Abu Daud, no. 44; Ibnu Majah, no. 355. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini hasan).
 Tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang karena dilarang dalam
hadits Salman di atas.
 Boleh mengganti batu untuk membersihkan kotoran saat buang hajat dengan yang
lainnya asalkan memenuhi tiga syarat:
(a) bendanya suci
(b) bisa membersihkan atau mengangkat kotoran
(c) bukan sesuatu yang berharga (dimuliakan) seperti istinja’ dengan makanan atau
dengan ekor hewan. Sehingga dari syarat sini dapat disimpulkan bahwa tisu toilet boleh
digunakan untuk beristinja’.
4. Thaharah berasal dari bahasa Arab yang artinya bersuci, sedangkan dalam istilah fiqih
Bersuci atau thaharah ada dua macam , yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadas, baik
hadas kecil seperti buang air kecil, buang air besar maupun hadast besar seperti junub.

Thaharah dalam islam dibagi menjadi 2, yakni :


a. Ma’nawiyah yakni membersihkan hati dari noda-noda dosa.
b. Hissiyah yakni membersihkan anggota badan, yang terbagi menjadi 2 yaitu bersuci dari
hadas dan bersuci dari khabat atau najis.

Bersuci dari hadast.


Dalam hal ini dibagi menjadi 2 hadas kecil dan hadas besar. hadas kecil seperti
mengeluarkan sesuatu dari dubur atau kubulnya, mengeluarkan madzi/wadi, menyentuh
kemaluan tanpa alas, tidur nyenyak dengan posisi miringtanpa alas. sedangkan hadas
besar seperti mengeluarkan mani atau sperma, hubungan kelamin, serta terhentinya haid
atau nifas.
Hadats ini dibagi lagi ke dalam dua macam, yaitu hadats besar dan kecil. Hadats
kecil menyebabkan seseorang harus berwudhu atau tayamum, sebabnya seperti keluar
sesuatu dari dubur atau kubul, bersentuhan kulit perempuan dan laki-laki yang bukan
mahrum, menyentuh kemaluan, serta hilang kesadaran. Adapun, tata cara bersuci dari
hadats kecil dengan berwudhu yaitu:
 Membasuh kedua telapak tangan tiga kali sambil membaca basmalah
 Berkumur tiga kali
 Membersihkan kedua lubang hidung tiga kali
 Membasuh wajah tiga kali sambil membaca niat dalam hati atau diucapkan, berikut
bacaannya
 Membasuh wajah tiga kali sambil membaca niat dalam hati atau diucapkan, berikut
bacaannya
‫َنَو ْيُت اْلُوُضْو َء ِلَر ْفِع اْلَح َد ِث ْاَالْص َغ ِر َفْر ًضاِ ِهلل َتَع اَلى‬
Artinya: "Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil fardhu karena Allah
Ta'ala,"
 Membasuh kedua tangan sampai siku sebanyak tiga kali, dimulai dari tangan kanan
 Mengusap sebagian kepala atau rambut dengan air tiga kali
 Mengusap kedua daun telinga tiga kali
 Membasuh kedua kaki sampai mata kaki tiga kali
Setelah wudhu, dilanjutkan membaca doa sebagai berikut,
‫ َالّٰل ُهَّم اْج َع ْلِنْى ِم َن الَّتَّواِبْيَن َو اْج َع ْلِنْى ِم َن‬.‫َاْش َهُد َاْن اَل ِاٰل َه ِااَّل ُهللا َو ْح َد ُه َالَش ِرْيَك َلُه َو َاْش َهُد َاَّن ُمَحَّم ًد اَع ْبُد ُه َو َر ُسْو ُلُه‬
‫ َو ْج َع ْلِنْي ِم ْن ِعَباِد َك الَّصاِلِح ْيَن‬، ‫اْلُم َتَطِّهِرْيَن‬
Artinya: "Aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Tunggal, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Utusan-Nya.
Ya Allah, jadikanlah aku orang yang bertaubat dan jadikanlah aku orang yang suci
dan jadikanlah aku dari golongan hamba-hamba Mu yang shalih,"
Selain berwudhu, ada juga tayamum. Cara melakukan tayamum yakni sebagai berikut,
 Dimulai dengan membaca basmalah
 Membaca niat tayamum
‫َنَو ْيُت الَّتَيُّم َم ِاِل ْس ِتَباَحِة الَّص َالِة َفْر ًض ِ ِهلل َتَع اَلى‬
Artinya: "Aku niat bertayamum untuk melakukan sholat, fardhu karena Allah Ta'ala"
 Meletakkan kedua telapak tangan pada debu
 Meniup debu pada kedua telapak tangan atau dengan menepuknya pelan-pelan
 Mengusap wajah sambil membaca niat
 Mengusap punggung telapak tangan kanan dengan telapak tangan kiri, mengusap
punggung telapak tangan kiri dengan telapak tangan kanan. Setelahnya usap kedua
telapak tangan

Syarat Bertayamum :
 Sudah masuk waktu sholat.
 Sudah berusaha mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sholat sudah masuk
(kecuali orang yang bertayamum karena sakit atau sudah yakin bahwa disekitar
tempat itu tidak ada air).
 Menggunakan tanah yang suci dan berdebu ( pendapat ini menurut imam Syafi'i
sedangkan menurut imam lainya boleh dengan tanah, pasir atau batu).
 Menghilangkan najis sebelum melakukan tayamum.

Tata Cara Bersuci dari Hadats Besar


Hadats besar disebabkan karena keluarnya darah haid, nifas, wiladah, air mani,
berhubungan suami istri, dan meninggal dunia. Cara membersihkan hadats besar ini harus
dengan mandi wajib.
 Membasuh kedua tangan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT
 Mencuci kemaluan
 Berwudhu seperti wudhu ketika akan salat
Membaca niat sebagai berikut,
‫َنَو ْيُت اْلُغ ْس َل ِلَر ْفِع اْلَح َد ِث ْاَالْك َبِر َفْر ًضاِ ِهلل َتَع ال‬
Artinya: "Aku berniat mandi besar untuk menghilangkan hadats besar fardhu karena
Allah ta'ala,"
 Menyiram badan dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan merata kemudian
menggosok-gosoknya
b) Bersuci dari khabat atau najis
Khabat (kotoran atau najis) adalah segala sesuatu yang membuat kita tidak boleh
mendirikan sholat. Bersuci dari khabats adalah menghilangkan kotoran atau najis yang ada
pada badan, pakaian maupun tempat.
(1) Macam-macam najis:
(a) Najis mukhoffafah (najis ringan)
Adalah najis yang cara menghilangkannya cukup dengan memercikan air pada tempat
yang terkena najis. Contoh: air kencing bayi laki-laki yang hanya menyusu air susu ibunya.

(b) Najis mutawasitoh (najis sedang)


Najis ini terbagi menjadi 2 yaitu najis hukmiah dan najis ainah
Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis
hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata
lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah
najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih di hukumi najis. Pengertian
ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis.
(c) Najis mugholadoh (najis berat)
Adalah najis yang cara menghilangkannya harus dicuci dengan menggunakan air
sebanyak tujuh kali dan salah dari padanya dicampur dengan debu atau tanah yang suci. Najis
semacam ini hanya ada satu jenis saja yaitu badan, pakaian atau bejana yang terkena jilatan
anjing.
Dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di
mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti
dihilangkan terlebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis
tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun
secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena
belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya
barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur
dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:
Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada
tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya.
Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur
keduanya, baru kemudian dibasuh. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang
terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
5. Enam penyebab mandi wajib.
a. Berhubungan intim
Suami istri yang melakukan hubungan intim maka diharuskan untuk melakukan
mandi wajib setelahnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
‫ َفَقْد َو َجَب اْلَغْسُل‬، ‫ِإَذ ا َج َلَس َبْيَن ُش َع ِبَها اَألْر َبِع ُثَّم َجَهَدَها‬
"Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya:
menyetubuhi istrinya, pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya
mandi." (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)
Bahkan dalam jika keduanya hanya bermesraan tanpa keluar mani pun tetap
diwajibkan untuk mandi wajib. Seperti dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
‫َو ِإْن َلْم ُيْنِز ْل‬
"Walaupun tidak keluar mani."
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata,
‫ َع ِن الَّرُج ِل ُيَج اِم ُع َأْهَلُه ُثَّم ُيْك ِس ُل َهْل َع َلْيِهَم ا اْلُغ ْسُل َو َعاِئَش ُة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ِإَّن َر ُج ًال َس َأَل َر ُسوَل ِهَّللا‬
‫ « ِإِّنى َألْفَع ُل َذ ِلَك َأَنا َو َهِذِه ُثَّم َنْغ َتِس ُل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا‬.‫» َج اِلَس ٌة‬.
"Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air
mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di
samping, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku sendiri pernah
bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah) namun tidak keluar
mani, kemudian kami pun mandi." (HR. Muslim, no. 350)
b. Keluar air mani
Keluar mani tidak hanya terjadi saat berhubungan intim saja. Keluar air mani
dengan syahwat, baik dalam sadar maupun tidur atau terjaga juga wajib melakukan
mandi wajib atau atau mandi besar.
Dalam hal ini, melakukan onani (mengeluarkan mani dengan tangan) juga
termasuk penyebab mandi wajib. Bagi sebagian ulama, onani itu hukumnya haram.
Kecuali dengan tangan istri maka hal itu (mengeluarkan mani) dibolehkan.
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta'ala,
‫َو ِإْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُروا‬

"Dan jika kamu junub maka mandilah." (QS. Al-Maidah: 6)


Secara bahasa, junub berarti jauh. Sementara secara istilah, junub yakni
keadaan seseorang yang mengeluarkan mani atau sehabis hubungan intim karena
orang tersebut tidak boleh mendekati shalat, mendekati masjid dan tidak boleh
membaca Al-Qur'an. (Al-Mawsu'ah Al-Fiqhiyyah, 16:47)
c. Mimpi Basah
Bagi laki-laki yang sudah memasuki fase baligh biasanya akan ditandai
dengan mimpi basah. Pengetahuan ini harus disampaikan pada anak laki-laki agar
mereka mengetahui jika setelah mimpi basah maka wajib hukumnya mandi besar atau
mandi wajib.
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata,
‫ َو َع ِن الَّرُج ِل َيَر ى‬.» ‫ َع ِن الَّرُج ِل َيِج ُد اْلَبَلَل َو َال َيْذ ُك ُر اْح ِتَالًم ا َقاَل « َيْغ َتِس ُل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ُس ِئَل َر ُسوُل ِهَّللا‬
‫» َأَّنُه َقِد اْح َتَلَم َو َال َيِج ُد اْلَبَلَل َقاَل « َال ُغ ْس َل َع َلْيِه‬.
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-
laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau
menjawab, 'Dia wajib mandi.' Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang
bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab, 'Dia tidak wajib
mandi'." (HR. Abu Daud, no. 236, Tirmidzi, no. 113, Ahmad, 6:256. Syaikh Al-
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata,
‫ ِإَّن َهَّللا َال َيْسَتْح ِيى ِم َن‬، ‫ َفَقاَلْت َيا َر ُسوَل ِهَّللا‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َج اَء ْت ُأُّم ُس َلْيٍم اْمَر َأُة َأِبى َطْلَح َة ِإَلى َر ُسوِل ِهَّللا‬
‫ « َنَعْم ِإَذ ا َر َأِت اْلَم اَء‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ َهْل َع َلى اْلَم ْر َأِة ِم ْن ُغ ْس ٍل ِإَذ ا ِهَى اْح َتَلَم ْت َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا‬، ‫» اْلَح ِّق‬
"Ummu Sulaim (istri dari Abu Thalhah) datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?"
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ya, jika dia melihat air." (HR. Bukhari,
no. 282 dan Muslim, no. 313)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan
hadits di atas berkata, "Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan
tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika
seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau
ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia
merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi
ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani." (Fiqh Al-Mar'ah Al-
Muslimah, hlm. 50)
d. Keluarnya darah haid dan nifas
Penyebab mandi wajib yang terjadi pada muslimah yakni saat menstruasi atau
haid dan pada masa nifas. Tidak sah salat dan puasa seorang muslimah jika mereka
belum mandi wajib setelah haid dan nifas.
Begitu pula, wanita muslim yang telah menikah juga belum boleh disetubuhi
suaminya jika belum mandi wajib setelah haid atau nifas.

‫َو اَل َتْقَر ُبوُهَّن َح َّتى َيْطُهْر َن َفِإَذ ا َتَطَّهْر َن َفْأُتوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َأَم َر ُك ُم ُهَّللا‬
'Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu.' (QS.Al-Baqarah: 222). Yang dimaksudkan "apabila mereka telah suci"
adalah apabila telah mandi."
Dalil pendukung lainnya adalah hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
‫َفِإَذ ا َأْقَبَلِت اْلَح ْيَض ُة َفَد ِع ى الَّصَالَة َو ِإَذ ا َأْد َبَر ْت َفاْغ ِسِلى َع ْنِك الَّد َم َو َص ِّلى‬
"Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila
darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat." (HR. Bukhari,
no. 320 dan Muslim, no. 333).
e. Mualaf
Saat seseorang memutuskan untuk memeluk Islam atau mualaf, maka wajib
baginya untuk mandi besar. Hal ini berdasarkan hadits Qais bin 'Ashim, ia berkata,

‫ ُأِر يُد اِإل ْس َالَم َفَأَم َرِنى َأْن َأْغ َتِس َل ِبَم اٍء َوِس ْد ٍر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َأَتْيُت الَّنِبَّى‬.
"Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku ingin masuk
Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara." (HR. Abu
Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; dan An-Nasa'i, no. 188. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hukum asal perintah menunjukkan wajibnya.
f. Jenazah
Kematian bagi seorang muslim itu menyebabkan wajib mandi. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk memandikan jenazah.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu 'Athiyyah, ia berkata,
‫ َو َنْح ُن َنْغ ِس ُل اْبَنَتُه َفَقاَل « اْغ ِس ْلَنَها َثَالًثا َأْو َخ ْم ًسا َأْو َأْكَثَر ِم ْن َذ ِلَك ِإْن َر َأْيُتَّن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َد َخ َل َع َلْيَنا الَّنِبُّى‬
‫َذ ِلَك ِبَم اٍء َو ِس ْد ٍر َو اْج َع ْلَن ِفى اآلِخَرِة َك اُفوًرا‬
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan ketika itu kami
sedang memandikan puteri beliau, lalu beliau perintahkan, 'Mandikanlah tiga atau
lima atau lebih daripada itu. Jika memang perlu dengan bidara dan di akhirnya diberi
kapur barus." (HR. Bukhari, no. 1196 dan Muslim, no. 939). Menurut jumhur ulama,
yang dimaksud puterinya di sini adalah Zainab. Zainab ini yang menikah dengan Abu
Al-'Ash.
Adapun yang mati syahid tidaklah wajib dimandikan karena berdasarkan
hadits Jabir, ia menyatakan,
‫ َو َلْم ُيَغَّس ُلوا َو َلْم ُيَص َّل َع َلْيِه ْم‬، ‫َو َأَم َر ِبَد ْفِنِهْم ِفى ِد َم اِئِهْم‬
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menguburkan
mereka (yang meninggal dunia pada perang Uhud) dengan darah-darah mereka dan
tidak dimandikan, tidak pula dishalatkan." (HR. Bukhari, no. 1343)

Anda mungkin juga menyukai