Tugas 1 Fiqih Ibadah - Angelina Karunia Putri
Tugas 1 Fiqih Ibadah - Angelina Karunia Putri
)الماء الينجسه شيئ ااّل ما غلب على طعمه اولونه اوريحه (رواه ابن ماجه والبيهقى
Artinya:
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah rasanya,
warnanya, atau baunya.” (HR. Ibn Majjah dan Baihaqi)
) (رواه الخمسة.اذا كان الماء قلتين لم ينجسه شيئ
Artinya:
“Apabila air cukup dua kullah, tidaklah dinajisi oleh suatu apapun.” (HR. Lima Ahli
Hadits)
Catatan:
– Sebagai catatan untuk diingat bahwa ukuran air dua kulah adalah 216 liter, berbentuk
bak, panjang 60 cm dan tinggi 60 cm;
– Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak
memiliki darah, seperti; lalat, semut, lebah, dan sebagainya.
d. Air yang makruh, yaitu air yang sebenarnya suci secara dzatnya, juga menyucikan dan
sah digunakan untuk bersuci, tetapi makruh hukumnya digunakan untuk bersuci. Air ini
biasa disebut dengan air musyammas, yaitu air yang dipanaskan pada sinar matahari
yang berada di dalam bejana (besi, tembaga, timah, dan sejenisnya) kecuali bejana
perak dan mas.
Sabda Rasulullah SAW:
عن عائشة رضي هللا عنها اّنها سّخ نت ماء في الشمس فقال صلى هللا عليه وسّلم لها ال تفعلي يا حميراء فاّنه يورث
) (رواه البيهقى.البرص
Artinya:
“Dari Aisyah ra. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari,
maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, janganlah engkau berbuat demikian ya
Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (HR.
Baihaqy)
3. Perbedaan antara istinja’ dan istijmar
Istinja’ maknanya lebih umum yaitu membersihkan kotoran sehabis buang hajat dengan
menggunakan air dan batu. Sedangkan istijmar adalah membersihkan kotoran dengan
menggunakan batu saja.
Beristijmar dengan batu tidak boleh kurang dari tiga batu. Karena tiga batu umumnya
akan lebih bersih. Namun jika batu masih belum menghilangkan kotoran, maka boleh
ditambah lebih dari tiga batu hingga kotorannya bersih. Hadits yang dijadikan dalil
dalam hal ini
. ُك َّل َش ْى ٍء َح َّتى اْلِخَر اَء َة-صلى هللا عليه وسلم- َع ْن َس ْلَم اَن َقاَل ِقيَل َلُه َقْد َع َّلَم ُك ْم َنِبُّيُك ْم
َقاَل َفَقاَل َأَج ْل َلَقْد َنَهاَنا َأْن َنْسَتْقِبَل اْلِقْبَلَة ِلَغاِئٍط َأْو َبْو ٍل َأْو َأْن َنْس َتْنِج َى ِباْلَيِم يِن َأْو َأْن
َنْس َتْنِج َى ِبَأَقَّل ِم ْن َثَالَثِة َأْح َج اٍر َأْو َأْن َنْس َتْنِج َى ِبَر ِج يٍع َأْو ِبَع ْظٍم
Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?”
Salman menjawab, “Iya. Nabi SAW kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika
buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan
kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula
kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim, no.
262)
Yang lebih afdhal adalah istijmar lalu istinja’. Dikarenakan istijmar dengan batu atau
penggantinya menghilangkan kotoran tanpa menyentuhnya secara langsung. Lalu
setelah itu air yang akan membersihkan kotoran yang tersisa.
Boleh memilih antara istijmar dengan batu atau istinja’ dengan air. Namun beristinja’
dengan air lebih utama karena lebih membersihkan kotoran. Alasan lainnya adalah
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang penduduk Quba’ yang menjadi
sebab turunnya ayat berikut,
ِفيِه ِر َج اٌل ُيِح ُّبوَن َأْن َيَتَطَّهُروا َو ُهَّللا ُيِح ُّب اْلُم َّطِّهِريَن
“Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108).
Dahulu mereka terbiasa beristinja’ dengan air lantas turunlah ayat ini.” (HR. Tirmidzi,
no. 3100; Abu Daud, no. 44; Ibnu Majah, no. 355. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini hasan).
Tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang karena dilarang dalam
hadits Salman di atas.
Boleh mengganti batu untuk membersihkan kotoran saat buang hajat dengan yang
lainnya asalkan memenuhi tiga syarat:
(a) bendanya suci
(b) bisa membersihkan atau mengangkat kotoran
(c) bukan sesuatu yang berharga (dimuliakan) seperti istinja’ dengan makanan atau
dengan ekor hewan. Sehingga dari syarat sini dapat disimpulkan bahwa tisu toilet boleh
digunakan untuk beristinja’.
4. Thaharah berasal dari bahasa Arab yang artinya bersuci, sedangkan dalam istilah fiqih
Bersuci atau thaharah ada dua macam , yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadas, baik
hadas kecil seperti buang air kecil, buang air besar maupun hadast besar seperti junub.
Syarat Bertayamum :
Sudah masuk waktu sholat.
Sudah berusaha mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sholat sudah masuk
(kecuali orang yang bertayamum karena sakit atau sudah yakin bahwa disekitar
tempat itu tidak ada air).
Menggunakan tanah yang suci dan berdebu ( pendapat ini menurut imam Syafi'i
sedangkan menurut imam lainya boleh dengan tanah, pasir atau batu).
Menghilangkan najis sebelum melakukan tayamum.
َو اَل َتْقَر ُبوُهَّن َح َّتى َيْطُهْر َن َفِإَذ ا َتَطَّهْر َن َفْأُتوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َأَم َر ُك ُم ُهَّللا
'Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu.' (QS.Al-Baqarah: 222). Yang dimaksudkan "apabila mereka telah suci"
adalah apabila telah mandi."
Dalil pendukung lainnya adalah hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
َفِإَذ ا َأْقَبَلِت اْلَح ْيَض ُة َفَد ِع ى الَّصَالَة َو ِإَذ ا َأْد َبَر ْت َفاْغ ِسِلى َع ْنِك الَّد َم َو َص ِّلى
"Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila
darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat." (HR. Bukhari,
no. 320 dan Muslim, no. 333).
e. Mualaf
Saat seseorang memutuskan untuk memeluk Islam atau mualaf, maka wajib
baginya untuk mandi besar. Hal ini berdasarkan hadits Qais bin 'Ashim, ia berkata,
ُأِر يُد اِإل ْس َالَم َفَأَم َرِنى َأْن َأْغ َتِس َل ِبَم اٍء َوِس ْد ٍر-صلى هللا عليه وسلم- َأَتْيُت الَّنِبَّى.
"Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku ingin masuk
Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara." (HR. Abu
Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; dan An-Nasa'i, no. 188. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hukum asal perintah menunjukkan wajibnya.
f. Jenazah
Kematian bagi seorang muslim itu menyebabkan wajib mandi. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk memandikan jenazah.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu 'Athiyyah, ia berkata,
َو َنْح ُن َنْغ ِس ُل اْبَنَتُه َفَقاَل « اْغ ِس ْلَنَها َثَالًثا َأْو َخ ْم ًسا َأْو َأْكَثَر ِم ْن َذ ِلَك ِإْن َر َأْيُتَّن-صلى هللا عليه وسلم- َد َخ َل َع َلْيَنا الَّنِبُّى
َذ ِلَك ِبَم اٍء َو ِس ْد ٍر َو اْج َع ْلَن ِفى اآلِخَرِة َك اُفوًرا
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan ketika itu kami
sedang memandikan puteri beliau, lalu beliau perintahkan, 'Mandikanlah tiga atau
lima atau lebih daripada itu. Jika memang perlu dengan bidara dan di akhirnya diberi
kapur barus." (HR. Bukhari, no. 1196 dan Muslim, no. 939). Menurut jumhur ulama,
yang dimaksud puterinya di sini adalah Zainab. Zainab ini yang menikah dengan Abu
Al-'Ash.
Adapun yang mati syahid tidaklah wajib dimandikan karena berdasarkan
hadits Jabir, ia menyatakan,
َو َلْم ُيَغَّس ُلوا َو َلْم ُيَص َّل َع َلْيِه ْم، َو َأَم َر ِبَد ْفِنِهْم ِفى ِد َم اِئِهْم
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menguburkan
mereka (yang meninggal dunia pada perang Uhud) dengan darah-darah mereka dan
tidak dimandikan, tidak pula dishalatkan." (HR. Bukhari, no. 1343)