Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa Vikram Velja Surya:


………………………………………………………………………………………..
Nomor Induk Mahasiswa/NIM 042376521:
………………………………………………………………………………………..
Tanggal Lahir 22 januari 2002:
………………………………………………………………………………………..
Kode/Nama Mata Kuliah MKWU4101:
………………………………………………………………………………………..
Kode/Nama Program Studi ILMU HUKUM:
………………………………………………………………………………………..
Kode/Nama UPBJJ PADANG:
………………………………………………………………………………………..
Hari/Tanggal UAS THE KAMIS 23 DESEMBER 2021:
…………………………………………………………………………………………

TANDA TANGAN PESERTA

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa VIKRAM VELJA SURYA:


……………………………………………………………………………………..
NIM 042376521:
……………………………………………………………………………………..
Kode/Nama Mata Kuliah MKWU4101:
……………………………………………………………………………………..
Fakultas FHISIP:
……………………………………………………………………………………..
Program Studi ILMU HUKUM :
……………………………………………………………………………………..
UPBJJ-UT PADANG:
………………………………………………………………………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

PADANG, 23 DESEMBER 2021


Yang Membuat Pernyataan

VIKRAM VELJA SURYA


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
JAWABAN SOAL UAS Pendidikan Agama Islam MKWU4101

1. jika diperhatikan secara etimologis kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata ini tersusun dari kata A dan
Gama. A yang berarti tidak dan sedangkan Gama berarti berjalan atau berubah. Jadi agama berarti tidak berubah.
Demikian juga menurut H. Muh. Said. sejalan pendapat itu Harun Nasution juga mengemukakan, bahwa agama berasal
dari bahasa sanskrit. Menurutnya, satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu A = tidak, dan
Gama = Pergi. Dengan demikian agama berarti tidak pergi atau tetap di tempatnya.K.H. Taib Abdul Muin, juga memberi
pendapat bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta, yang mana A berarti tidak, dan Gama berarti kocar kacir.
Jadi agama berarti tidak kocar kacir, dalam artian agama itu teratur. Sementara itu K.H. Zainal Arifin Abbas dan Sidi
Gazalba , berpendapat bahwa istilah agama dan religi serta Al Din itu berbeda-beda antara satu dan lainnya. Masing-
masing mempunyai pengertian sendiri. Lebih jauh lagi, Gazalba menjelaskan bahwa Al-din lebih luas pengertian nya
dari pada pengertian agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi ajaran yang menyangkut aspek hubungan antara
manusia dan tuhan saja. Sedangkan al-din berisi dan memuat ajaran yang mencakup aspek hubungan antara manusia
dan tuhan dan hubungan sesama manusia. Frazer dalam buku Agama Muslim di Tanah Batak, 2010, berpendapat
bahwa agama adalah sebagai perdamain atu tindakan mendamaikan dari kuasa-kuasa atas kepada manusia yang mana
dipercayai mengatur dan mengontrol alam raya dan kehidupan manusia.Terminologi dasar agama dari pengertian
agama, semuanya mengarah pada keteraturan, keharmonisan, perdamaian, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas
mengapa masih ada “oknum” ingin membunuh saudaranya atas nama agama?, hanya karena berbeda Tuhan, kenapa
atas nama jihad ada yang rela melakukan aksi bom bunuh diri untuk mencelakai orang lain atau kelompok agama
lain?.Lantas bagaimana terminologi agama Islam melihat esensi beragama?, Ini perlu dipahami karena para jihadis
selalu mengatasnamakan nilai Islam dalam setiap aksinya. Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam” berasal dari
bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu,
islaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk, paruh, dan taat.Ahmad Abdullah Almasdoosi (1962) bahwa islam
adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia dilahirkan ke muka bumi, dan terbina dalam
bentuknya yang yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang suci yang diwahyukan tuhan kepada nabi nya yang
terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, suatu kaidah hidup yang yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap
mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.Dari definisi agama Islam di atas jelas mengarah kepada
kesimpulan bahwa Islam menghadirkan keselamatan, kedamaian, dan tuntunan hidup dunia dan akhirat melalui teladan
Rasulullah SAW. Jika teladan kita ada Rasulullah SAW, maka dipastikan tidak ada model jihad yang diyakini para ‘jihadis’
sekarang. Rasullullah mengutamakan kemaslahatan, menolak kemadhorotan, beliau mampu mendudukkan Agama dan
Negara secara berdampingan, saling menyempurnakan dalam bentuk “Piagam Madinah”.Lantas kenapa para ‘jihadis’
atas nama ajaran Islam, pola implementasi keagamaannya tidak sampai pada filosofi dasar agama dan Islam?, Bukankah
di Islam terdapat tahapan konsep implementasi ajaran Islam yang mengarahkan kematangan seseorang dalam
menjalankan ajaran Islam?, Misalnya konsep Islam, Iman, dan Ihsan, atau konsep syariah, hakikat, dan ma’rifat, atau
dalam perspektif tasawuf ada tingkatan perjalanan takholli, takholli dan tajalli.Nampaknya, memang mungkin mereka
para ‘jihadis’, memilki pemahaman dan pola implementasi ajaran Islamnya berhenti pada tahapan Islam, syari’ah, dan
takholli. Sehingga tidak dapat menemukan ‘rasa esensial’ dalam membangun hubungan dengan Allah SWT dalam
praktek ritual ibadah, yang seharusnya menumbuhkan jiwa humanis dan harmonis pada sesamanya (hablun minannas).
Sebagai penguatan bahwa atas nama apapun jihad dengan bunuh diri atau membunuh orang lain yang dalam
kekuasaan pemimpin Islam tidak dibenarkan. Diringkas oleh Ari Wahyudi dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin
Al-‘Abbad hafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, …
Afiiquu yaa syabaab!! (artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan penghancuran dinilai sebagai
jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai para pemuda!!)Jika pandangan para jihadis adalah menagakkan ajaran
Allah melalui teladan Rasulullah SAW, maka sesungguhnya Rasul mengharamkan pola jihad yang demikian. Membunuh
orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah
perbuatan yang haram. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad
(orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau
surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari).Allah dan Rasul-
Nya juga memastikan bahwa bunuh diri atas motif apapun bukan jihad. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia,
maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari berbagai uraian mendasar tentang agama, Islam, tuntunan Al-Qur’an, dan teladan Rasulullah SAW jelas sekali
bahwa esensi ajaran agama Islam penuh dengan nilai kemanusiaan. Menghindari kemafsadatan diutamakan, dari pada
mendapatkan kemaslahatan. “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholikh”.
Pemahaman ajaran agama yang dangkal merimplikasi pada implementasinya yang tidak bisa menyentuh pada ranah
Ihsan. Ajaran agama Islam yang seharusnya menjadi pendamai, umat Islam yang seharusnya menjadi “ummatan
wasathon”, karena ulah oknum jihadis berubah menjadi doktrin fundamental yang menyeramkan. Sangat jelas
tercermin dalam pola doktrin mereka yang memutar balikkan esensi ayat Allah “barang siapa tidak menggunakan
hukum seperti yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah termasuk orang-orang kafir”, bagi mereka
yang tidak menggunakan hukum Islam, menurut para jihadis adalah thogut. Akhirnya menurut mereka, semua kafir dan
thogut harus dibunuh. Padahal jelas Islam memberikan tuntunan dakwah secara bertahap dengan isyarat ayat “ud’u Ilaa
sabili rabbika bil hikmati wa mau’idzotil hasanah”, pada ayat lain disebutkan “wajaadilhum billati hiya ahsan”, dan
berdakwahlah dengan cara yang bijaksana dan pitutur yang baik.

Walhasil, melalui narasi kegelisahan atas sikap orang yang beragama, tapi tidak menunjukkan nilai kemanusiaan dalam
kehidupan sosialnya, mestinya harus muhasabah ulang, apa yang salah dalam memahami ajaran agama?, sudah sampai
mana tahapan pemahaman dan amaliyah ajaran agama yang diyakininya?, Jika sudah Islam dan Iman, maka
menyempurnakan untuk sampai tahap Ihsan menjadi penting. Karena dengan pemahaman ajaran agama Islam yang
komprehensif akan berbuah pada manifestasi nilai kemanusiaan dalam beragama.

Jalur menuju tahapan Ihsan untuk menghadirkan nilai kemanusiaan bisa dilakukan dengan pendalaman ajaran agama
Islam tidak sekedar tekstual, tapi juga harus kontekstual. Kebenaran yang diyakini harus diuji secara empiris dan
historis, sehingga keberadaannya menjadi “sholihun fi kulli zamanin wa makanin”, adaptif dalam semua waktu dan
tempat. Referensi keyakinan dan kebenaran harus diteliti orisinalitas matan dan perawinya dari segala perspektif baik
dari keilmuan, maupun pola implementasi amaliyah keagamaanya. Akhirnya, yakinlah bahwa memunculkan nilai
kemanusiaan dalam beragama adalah bagian dari menjaga kelestarian dan menagakkan ajaran agama.

2. Sesungguhnya nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada manusia sangat banyak. Di antara nikmat
besar yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada para hamba-Nya, adalah diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Allâh Azza wa Jalla
berfirman: ‫ َلَقْد َم َّن ُهَّللا َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإْذ َبَع َث ِفيِهْم َر ُس واًل ِم ْن َأْنُفِس ِهْم َيْتُلو َع َلْيِهْم آَياِتِه َو ُيَز ِّك يِهْم‬Sesungguhnya Allâh telah memberi
karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`ân) dan al-
Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-
benar dalam kesesatan yang nyata [Ali-‘Imrân/3: 164] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
insan yang terbaik, memiliki budi pekerti yang paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza wa
Jalla : ‫ َو ِإَّنَك َلَع َلٰى ُخ ُلٍق َع ِظ يٍم‬Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung
[al-Qalam/68:4] Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik
petunjuk. Beliau n bersabda: ‫ َفِإَّن َخ ْيَر اْلَح ِد يِث ِكَتاُب ِهَّللا َو َخْيَر اْلُهَدى ُهَدى ُمَحَّمٍد َو َشَّر اُألُم وِر ُم ْح َد َثاُتَها َو ُك ُّل ِبْد َعٍة َض َالَلٌة‬Sesungguhnya
sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah
kesesatan. [HR.Muslim no. 864] USWAH HASANAH ADALAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM Dengan penjelasan di atas, maka dalam pandangan seorang Mukmin Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan (uswah hasanah) dalam
semua keadaan beliau, kecuali dalam hukum-hukum yang memang dikhususkan bagi beliau n
semata. Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-
Nya: ‫ َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا ُأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِلَم ْن َك اَن َيْر ُجو َهَّللا َو اْلَيْو َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر َهَّللا َك ِثيًر ا‬Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21] Walaupun ayat ini
turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan tetapi hukumnya umum meliputi keadaan
kapan saja dan dalam hal apa saja. Atas dasar itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata
tentang ayat ini, “Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam meneladani
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaan
beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang
Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau terhadap
pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau
sampai hari Pembalasan”. [Tafsir Ibnu Katsir, 6/391, penerbit: Daru Thayyibah] Demikian juga
Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kaedah menaladani Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan menyatakan, “Para Ulama ushul (fiqih) berdalil
(menggunakan) dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-perbuatan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau adalah meneladani (beliau)
dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang ditunjukkan oleh dalil syari’at sebagai
kekhususan bagi beliau. Kemudian uswah (teladan) itu ada dua: uswah hasanah (teladan yang
baik) dan uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada
diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang meneladani beliau adalah orang
yang menapaki jalan yang akan menghantarkan menuju kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla ,
dan itu adalah shirâthâl mustaqîm (jalan yang lurus). Adapun meneladani (mengikuti orang)
selain beliau, jika menyelisihi beliau, maka dia adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).
Sebagaimana perkataan orang-orang kafir ketika diajak oleh para rasul untuk meneladani
mereka, (namun orang-orang kafir itu mengatakan): ‫ ِإَّنا َو َج ْد َنا آَباَء َنا َع َلٰى ُأَّمٍة َو ِإَّنا َع َلٰى آَثاِرِهْم ُم ْهَتُد وَن‬Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-
orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. [Az-Zukhruf/43:22]
Orang yang mengikuti uswah hasanah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan
mendapatkan taufik ini hanyalah orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari
Kiamat. Karena keimanan yang ada padanya, demikian juga rasa takut kepada Allâh Azza wa
Jalla , dan mengharapkan pahala-Nya, serta takut terhadap siksa-Nya, (semua itu)
mendorongnya untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [Taisîr Karîmir
Rahmân, surat al-Ahzâb/33:21]

3. 1. Pemimpin haruslah orang-orang yang amanah, amanah dimaksud berkaitan dengan banyak hal, salah satu
di antaranya berlaku adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau kaum
muslimin saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Dalam al-Qur’an dijelaskan: ‫ِإَّن َهَّللا َي ْأُمُر ُك ْم‬
‫" َأْن ُتَؤ ُّدوا اَأْلَماَن اِت ِإَلٰى َأْه ِلَها َو ِإَذ ا َح َك ْم ُتْم َب ْي َن الَّن اِس َأْن َت ْح ُك ُموا ِباْلَع ْد ِل ۚ ِإَّن َهَّللا ِنِعَّما َيِع ُظ ُك ْم ِبِهۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن َسِميًعا َبِص يًر ا‬Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat."
(QS. an-Nisa’: 58) Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut
harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil,
dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu
ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan.
2. Seorang pemimpin haruslah orang-orang yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan,
kemampuan fisik dan mental untuk dapat mengendalikan roda kepemimpinan dan memikul tanggungjawab.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, ‫َو ِإَذ ا َج اَءُه ْم َأْم ٌر ِمَن اَأْلْم ِن َأِو اْلَخ ْو ِف َأَذ اُعوا ِبِهۖ َو َلْو َر ُّدوُه ِإَلى الَّر ُسوِل َو ِإَلٰى ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم ْن ُهْم َلَع ِلَمُه‬
‫" اَّلِذيَن َي ْس َت ْن ِبُط وَن ُه ِم ْن ُهْم ۗ َو َلْو اَل َف ْض ُل ِهَّللا َع َلْي ُك ْم َو َر ْح َم ُتُه اَل َّت َب ْع ُتُم الَّش ْي َط اَن ِإاَّل َق ِلياًل‬Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." (QS.An-Nisa’: 83) Maksud ayat di
atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang keamanan atau ketakutan itu kepada Rasulullah Saw
apabila bersama mereka, atau kepada pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui
hakikatnya oleh orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan menggalinya dari celah-celah informasi
yang saling bertentangan dan tumpang tindih.
3. Pemimpin harus orang-orang yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, tidak boleh orang dhalim, fasiq,
berbut keji, lalai akan perintah Allah Swt dan melanggar batas-batasnya. Pemimpin yang dhalim, batal
kepemimpinannya.
4. Bertanggung jawab dalam pelaksanaan tatanan kepemimpinan sesuai dengan yang dimandatkan kepadanya
dan sesuai keahliannya. Sebaliknya Negara dan rakyat akan hancur bila dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Apabila diserahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya maka
tungguhlah kehancuran suatu saat”.
5. Senantiasa Menggunakan Hukum yang Telah Ditetapkan Allah. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam al-
Qur’an. ۚ ‫َيا َأُّيَها اَّلِذيَن آَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّر ُسوَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم ْنُك ْم ۖ َفِإْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُرُّدوُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّر ُسوِل ِإْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخِر‬
‫" َٰذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َت ْأِو يًل‬Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa' : 59) Ayat di atas merupakan perintah untuk taat kepada
Allah, Rasul, dan Ulil Amri (ulama dan umara). Oleh karena Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni ikutilah
kitab-nya, “dan taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya, “dan kepada Ulim Amri di antara
kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka perintahkan kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan
ketaatan kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal maka
kembalilah kepada al-Qur’an dan hadits.
6. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu. Sabda Rasulullah Saw “Sesungguhnya kami tidak
akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang berambisi
untuk mendapatkannya.” (HR. Muslim).

4. "Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa
Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah
terhadap orang yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan
taqwanya.." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami). Pidato perpisahan yang amat singkat itu membuat para sahabat Nabi
terharu, sehingga pakaian ihram mereka yang putih bersih itu bersimbah air mata, menandakan pesan itu amat berkesan dan
sangat berpengaruh terhadap prilaku mereka. Misi perdamaian dan persamaan hak inilah yang kemudian dikembangkan dan
diperjuangkan para sahabat, sehingga menjadi umat yang besar dan berwibawa yang selalu dikagumi oleh semua bangsa di
dunia. Konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur, semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita semua adalah
bersaudara, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwanya. Firman Allah s.w.t. : ‫َياَأُّيَها‬
‫ الحجرات‬.. ‫" الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َو ُأْنَثى َو َجَع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَباِئَل ِلَتَع اَر ُفوا ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهَّللا َأْتَقاُك ْم‬Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan
kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-
Hujarat, 49:13). Dalam ayat lainnya Allah berfirman: ‫ الحجرات‬-- ‫" ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْخ َو ٌة َفَأْص ِلُحوا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم َو اَّتُقوا َهَّللا َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم وَن‬Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu mendapat rahmat". (Q.S. al-Hujarat, 49:10). ‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا اَل َيْسَخ ْر َقوٌم ِم ْن َقْو ٍم َعَس ى َأْن َيُك وُنوا َخْيًر ا ِم ْنُهْم َو َال ِنَساٌء ِم ْن ِنَس اٍء َعَس ى َأْن َيُك َّن َخْيًر ا‬
)‫" ِم ْنُهَّن َو َال َتْلِم ُز وا َأْنُفَس ُك ْم َو َال َتَناَبُز وا ِباَأْلْلَقاِب ِبْئَس اِال ْس ُم اْلُفُسوُق َبْعَد ْاِإل يَم اِن َو َم ْن َلْم َيُتْب َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن (الحجرات‬Wahai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mencela kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang dicela) lebih baik dari mereka (yang mencela)
dan jangan pula wanita-wanita (mencela) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang dicela itu) lebih baik dari wanita
(yang mencela) dan jangalah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim." (Q.S. al-Hujarat, 49:11). Beberapa ayat tersebut di atas, jelas sekali membimbing umat manusia agar
menjalin persaudaraan terhadap sesamanya. Saling berpesan mengenai kebenaran, ketabahan dan kesabaran. Dalam beberapa
wasiat Nabi s.a.w. banyak sekali dipesankan agar umat manusia menjalin persaudaraan dengan sesamanya. Nabi bersabda:
"Engkau jumpai orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, saling mencintai dan beriba hati antara mereka bagaikan
tubuh yang satu..." (H.R. Muttafaq 'alaih). "Siapa yang tidak bersikap kasih terhadap sesamanya, maka Allah tidak akan
mengasihinya." (H.R. Muttafaq 'alaih). Pesan Arafah yang mulia itu akan tetap abadi, yang dapat kita petik dari pesan itu kali ini,
bagaimana kita dapat membangkitkan kembali semangat persaudaraan dan ukhuwah di tengah-tengah masyarakat. Apalagi
dalam suasana krisis ekonomi, sosial, politik dan kepercayaan seperti sekarang ini, sehingga pesan itu benar-benar terwujud
dalam kehidupan sehari-hari. Peran para pemimpin, ulama atau ilmuwan dan tokoh masyarakat sangat penting dalam
memasyarakatkan pesan kemanusiaan yang luhur itu. Islam meletakkan dasar-dasar persamaan derajat dan hak asasi bagi setiap
diri manusia. Dengan konsepsi itu tertolaklah segala pandangan yang berlawanan dengan peradaban manusia yang luhur. Sebagai
wujud dari kemanusiaan yang luas, Islam mengajarkan agar tetap memelihara kelestarian kehidupan alam semesta. Agama Islam
sesuai dengan namanya yang berarti selamat, damai, patuh dan taat, sangat menaruh perhatian terhadap kelestarian alam
semesta. Kehidupan umat manusia dibentuk dalam persaudaraan dan perdamaian, demikian juga dengan kelestarian makhluk
lain, seperti benda mati, flora dan fauna. Umat manusia diarahkan agar mengusahakan perbaikan dalam alam raya ini dan
menghindari perbuatan yang merusak serta tercela. Perhatikan ayat berikut: ‫َو اْبَتِغ ِفيَم ا أَتاَك ُهَّللا الَّداَر اآْل ِخ َر َة َو َال َتْنَس َنِص يَبَك ِم َن الُّد ْنَيا َو َأْح ِس ْن َك َم ا‬
)‫" َأْح َسَن ُهَّللا ِإَلْيَك َو َال َتْبِغ اْلَفَساَد ِفي اَأْلْر ِض ِإَّن َهَّللا َال ُيِح ُّب اْلُم ْفِس ِد يَن (القصص‬Dan carilah apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan". (Q.S. al-Qashash, 28:77). )‫َو اَل َتْع َثْو ا ِفي اَأْلْر ِض ُم ْفِس ِد يَن (البقرة‬
"Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan" (Q.S. al-Baqarah, 2:60) ‫َو اَل ُتْفِس ُدوا ِفي اَأْلْر ِض َبْعَد ِإْص اَل ِحَها‬
)‫" (األعراف‬Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya". (Q.S. al-A'raf, 7:56) Dalam ayat
lain Allah s.w.t. mengingatkan kita bahwa berbagai kerusakan yang terjadi dalam alam semesta, kerusakan di darat, laut dan
udara adalah disebabkan oleh perbuatan manusia. Kerusakan itu disebabkan oleh ulah manusia yang hanya mementingkan diri
sendiri, yang serakah, yang senang berbuat kerusakan. Mereka berlomba-lomba dengan teknologi canggihnya untuk saling
menguasai dan saling merusak terhadap kehidupan alam semesta. perilaku manusia seperti itu akan menjadi bumerang yang
membinasakan diri sendiri dan manusia lainnya. ‫ الروم‬-- ‫" َظَهَر اْلَفَس اُد ِفي اْلَبِّر َو اْلَبْح ِر ِبَم ا َك َسَبْت َأْيِد ي الَّناِس ِلُيِذ يَقُهْم َبْع َض اَّلِذ ي َع ِم ُلوا َلَع َّلُهْم َيْر ِج ُعوَن‬Telah
tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Q.S. al-Rum, 30:41). Ajaran Islam mengarahkan
umat manusia agar mengambil pelajaran dari segala kejadian dan peristiwa yang berada disekitar kita. Dengan demikian, setiap
diri manusia akan menyadari sedalam-dalamnya hakikat kehidupan. Harus disadari, betapapun hebat dan komplitnya ajaran
Islam, tidak akan berkembang dengan pesat kalau tidak memperjuangkan secara sungguh-sungguh. Berkembangnya ajaran Islam
yang demikian cepat itu, selain karena esensi ajarannya sebagaimana diuraikan di atas juga karena perjuangan da'wah yang
dilakukan umatnya dari masa ke masa dan dari satu periode ke periode yang lain. Melalui peristiwa ibadah haji, Idul Adha, ibadah
Qurban dan sebagainya, bila dihayati dengan baik akan membangkitkan motivasi yang luhur dalam menyebarluaskan ajaran
Islam. Para pendahulu kita, para Nabi dan Rasul, sahabat dan para pemimpin umat telah banyak memberikan teladan pada kita
untuk dihidupkan kembali dalam ruh perjuangan umat. Betapa gigih dan tabahnya Nabi Ibrahim as menegakkan kalimat tauhid.
Betapa besarnya pengorbanan Nabi Ismail as dan ibunya Siti Hajar dalam membela kebenaran. Betapa tulusnya Nabi Muhammad
s.a.w. dan para sahabatnya memperjuangkan agama Allah dengan tabah dan tidak mengenal lelah, sehingga agama Islam
berkembang ke seluruh pelosok dunia. Kitapun di Idul Adha yang mulia ini, sehabis shalat hendaknya berjanji dalam kalbu masing-
masing untuk mendarma baktikan apa yang kita miliki bagi kejayaan agama Islam dan kesejahteraan umat manusia secara
keseluruhan. "Tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta". ‫ِإَّن َهَّللا َوَم اَل ِئَك َتُه ُيَص ُّلوَن‬
‫ َالّلُهَّم اْغ ِفْر ِلْلُم ْس ِلِم ْيَن َو اْلُم ْس ِلَم اِت َو اْلُم ْؤ ِمِنْيَن َو اْلُم ْؤ ِم َناِت ْاَألْح يَاِء ِم ْنُهْم َو ْاَألْمَو اِت ِإَّنَك َسِم ْيٌع َقِرْيٌب ُمِج ْيُب الَّد َع َو اِت‬.‫َع َلى الَّنِبِّي َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا َص ُّلوا َع َلْي ِه َو َس ِّلُم وا َتْس ِليًم ا‬
‫َو َقاِض َي اْلَح اَج اِت َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنا ِإْن َنِس يَنا َأْو َأْخ َطْأَنا َر َّبَنا َو اَل َتْح ِم ْل َع َلْيَنا ِإْص ًر ا َك َم ا َح َم ْلَتُه َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلَنا َر َّبَنا َو اَل ُتَحِّم ْلَنا َم ا اَل َطاَقَة َلَنا ِبِه َو اْعُف َع َّنا َو اْغ ِفْر َلَنا َو اْر َحْم َنا‬
‫ ُسْبَح اَن َرِّبَك َر ِّب اْلِع َّز ِة َع َّم ا َيِص ُفوَن َوَس اَل ٌم َع َلى‬، ‫ َالّلُهَّم اْج َع ْل َهَذ ا َبَلًدا َء اِم ًنا َو اْر ُزْق َأْهَلُه ِم َن الَّثَم َر اِت َم ْن َء اَم َن ِم ْنُهْم ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬. ‫َأْنَت َم ْو اَل َنا َفاْنُصْر َنا َع َلى اْلَقْو ِم اْلَكاِفِريَن‬
‫اْلُم ْر َسِليَن َو اْلَحْم ُد ِهَّلِل َر ِّب اْلَع اَلِم يَن‬
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai