Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

Psikologi Pariwisata dan Penerapannya di Indonesia

OLEH :

Nama : Benriks Viko Benamen


Nim : 202193045
UTS : Psikologi Pelayanan

PROGRAM STUDI PARIWISATA INSTITUT


TEKNOLOGI DAN BISINIS
STIKOM AMBON
TAHUN 2024
Kata Pengantar

Puji Dan Syukur yang saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Rahmat-Nya yang
telah dilimpahkan sehingga saya dapat menyelesaikan UTS saya Psikologi Pelayanan ini dengan baik.UTS yang
saya buat yaitu Makalah dengan judul “Psikologi Pariwisata dan Penerapannya di Indonesia”disusun untuk
memenuhi mata kuliah Psikologi Pelayanan.
Saya menyadari sungguh bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan dan masih banyak
terdapat beberapa kekurangan,oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritikan dan saran yang dapar
membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnaan makalah ini.

Ambon,02 Januari 2024

Penyususn
Temu Ilmiah Nasional, Kongres Himpunan Psikologi Indonesia XIV, IND-061

Psikologi Pariwisata dan Penerapannya di Indonesia

Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan konsep-konsep psikologi dalam penelitian
dan praktek pengembangan pariwisata secara umum dan khususnya di Indonesia. Terutama
dalam memahami fenomena jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan kunjungan ke negara-negara tetangga melalui pendekatan
ilmu psikologi. Konsep-konsep perilaku dalam psikologi tentang motivasi, kepribadian dalam
pembentukan persepsi atau citra destinasi wisata ditinjau dalam kaitannya dengan keputusan
seorang wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tertentu. Penelitian eksploratif
melalui studi kepustakaan yang singkat ini menggunakan data statistik kunjungan dan profil
wisatawan mancanegara dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf),
serta beberapa hasil penelitian yang terkait dengan psikologi pariwisata. Walaupun ringkas
setidaknya studi ini dapat menjawab pertanyaan mengapa kunjungan wisatawan mancanegara
ke negara tetangga, seperti ke Singapura dan Thailand, lebih banyak dibanding ke Indonesia.
Serta mengapa citra pariwisata Indonesia banyak diwakili oleh Bali. Jawaban masih bersifat
hipotetis sehingga diharapkan akan membuka ruang luas untuk penelitian psikologi pariwisata
yang tampaknya sangat diperlukan untuk mendukung upaya pengembangan produk dan
pemasaran pariwisata di tanah air.

Kata kunci: Psikologi Pariwisata, Penerapan Psikologi Pariwisata, Pariwisata Indonesia,

1. Pendahuluan

Jika diumpamakan sebagai sebuah perjalanan, maka penelitian yang dituangkan dalam
makalah ini dapat dikatakan sebagai sebuah hasil perjalanan eksploratif yang singkat karena

1
keingintahuan pada pariwisata dan kaitannya dengan psikologi. Sumber keingintahuan diawali
dari berita hasil riset pada pada sebuah laman lembaga keuangan di Inggris yang menobatkan
Indonesia sebagai the World’s Most Naturally Beautiful Country, negeri yang secara alami
terindah di dunia (Money, 2022). Gelar tersebut sejalan dengan pernyataan seorang pujangga
asal Belanda, Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang menjuluki Indonesia sebagai Untaian
Zamrud di Khatulistiwa karena keindahan alamnya yang dianggap melampaui daya serap fantasi
manusia.

Gelar sebagai negeri yang terindah tersebut kemudian dihadapkan pada data yang
berlawanan. Hasil survey Mastercard Internasional menempatkan Indonesia (diwakili oleh Bali)
pada urutan ke 19 dari 20 kota yang paling banyak dikunjungi wisatawan (Mastercard, 2019).
Ibukota negara tetangga seperti Bangkok, Singapura dan Kuala Lumpur masuk dalam kelompok
sepuluh besar. Pada tahun 2019 kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia
adalah 16,1 juta orang, ke Thailand 39,9 juta, ke Malaysia 26,1 juta dan ke Singapura 19,1 juta
orang (WTO, 2020).

2
Fakta yang berlawanan itu kemudian menimbulkan pertanyaan logis. Mengapa negeri yang
paling indah dikunjungi lebih sedikit wisman dibandingkan negeri-negeri tetangganya? Mengapa
hanya diwakili oleh Bali? Dua pertanyaan tersebut menjadi awal perjalanan penelitian ini.

Sesuai dengan latar belakang keilmuan psikologi, maka jawaban pertanyaan awal menjurus
kepada perilaku wisatawan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk
melakukan perjalanan serta memilih destinasi wisata tertentu. Selanjutnya, keingintahuan itu
mengantar pada pertanyaan yang lebih umum yaitu tentang penerapan psikologi dalam
pariwisata.

Seorang rekan pengamat pariwisata menyodorkan tiga buah buku untuk memulai penelitian.
Pertama, adalah buku karangan Burkart dan Medlik berjudul “Tourism: Past, Present and
Future” (1981, edisi pertama tahun 1974), konon katanya ini termasuk buku teks pertama yang
mengurai dasar-dasar pariwisata secara lengkap. Kedua, adalah buku karangan Mill dan
Morrison berjudul “The Tourism System, An Introductory Text” (1985). Buku ini banyak
menggunakan teori psikologi dalam uraian penjelasannya tentang pariwisata. Ketiga, buku Ross
dengan judul “The Psychology Of Tourism” (1994).

Ketiga buku tersebut cukup menjadi bahan untuk menjelaskan penerapan konsep-konsep
psikologi dalam riset maupun praktek pariwisata. Namun ketiganya baru mewakili wawasan
pada tiga dekade pertama dari lebih lima puluh tahun perkembangan riset pariwisata. Sehingga
perjalanan dilanjutkan dengan membaca berbagai penelitian terapan yang bisa diakses melalui
internet dengan fokus pendalaman pada aspek motivasi dan pembentukan citra destinasi wisata.
Sejak itu perjalanan penelitian menjadi lebih sulit, karena banyaknya hasil penelitian terkait
psikologi dan pariwisata.

Model hirarki Maslow yang banyak diterapkan karena berhasil menjelaskan motivasi dan
perilaku wisatawan, telah dikembangkan menjadi teori-teori baru yang khusus ditujukan untuk
pariwisata. Ketika aspek motivasi itu dikaitkan dengan proses pembentukan citra destinasi,
terminologi konsep yang dikembangkan semakin banyak lagi. Latar belakang keilmuan peneliti
citra destinasi yang beragam, dengan penggunaan istilah beragam berpotensi menimbulkan
kebingungan, terutama bagi orang awam. Beberapa peneliti menggunakan istilah yang berbeda
ketika mengacu pada konsep yang sama, sedangkan beberapa yang lain menggunakan istilah
yang sama tetapi mengacu pada konsep yang berbeda (Tasci, 2009).

3
Ada satu catatan khusus, yaitu mengenai kurangnya minat tenaga ahli psikologi untuk
melakukan studi kepariwisataan, sehingga banyak penelitian psikologi pariwisata yang tidak
mengakar kuat kepada teori induknya yaitu psikologi dan menimbulkan juga masalah-masalah
metodologis (Eichtner dan Richie 1991 didalam Ross 1994, Pearce dan Stringer 1991, Passafaro
et al. 2021). Hal ini tampaknya merupakan salah satu aspek penerapan psikologi dalam
pariwisata yang perlu mendapat perhatian khusus.

Penelitian tetap ditujukaan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan awal, melalui proses
penelitian diharapkan juga dapat terungkap aspek penerapan psikologi dalam pariwisata

4
khususnya di Indonesia. Penelitian dibatasi hanya sampai tahun 2019, yaitu sebelum masa
pandemi Covid-19. Karena belum tersedianya data yang relevan dan belum ditemukan penelitian
di Indonesia terkait psikologi pariwisata di masa pandemi. Disamping juga untuk menghindari
kerumitan yang lebih parah dalam perjalanan eksplorasi penelitian ini.

2. Psikologi Pariwisata

Titik temu pariwisata dan psikologi berawal dari sebuah pertanyaan yang sama: “Why do
people travel?” Mengapa orang melakukan perjalanan (wisata)? Ilmu pariwisata akan
menjelaskannya melalui pendekatan ilmu ekonomi dan sosiologi. Psikologi membantu dengan
pemahaman perilaku berdasarkan aspek-aspek sosial, emosional, motivasi dan kognitif. Pada
awal tahun 60an, Prof. Partier dalam Yoeti, menjelaskan pendapatnya sebagai berikut:
Pariwisata adalah suatu fenomena ekonomi, sosiologi dan psikologi yang satu sama lainnya
saling berkaitan dan banyak sangkut pautnya dengan hidup dan kehidupan masyarakat, baik
secara regional, nasional maupun internasional (Yoeti 1985). Dengan demikian, sejak awal
pariwisata dianggap sebagai ilmu (cabang dari ilmu ekonomi), psikologi sudah menjadi bagian
didalamnya.

Burkart dan Medlik menjelaskan tentang “Apa dan mengapa pariwisata” dalam konteks
sosial, ekonomi dan sejarahnya. Fenomena pariwisata menurutnya distimuli oleh meningkatnya
kesejahteraan, khususnya mulai dinegara-negara maju, yang ditandai dengan bertambahnya
disposable income dan waktu luang yang bisa digunakan untuk wisata, serta tumbuhnya industri
jasa pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Dia mengutip Gray (1970) tentang
motivasi utama wisatawan yaitu Wanderlust dan Sunlust (Burkart dan Medlik 1981, Ross 1994).

Mill dan Morison menempatkan aspek perilaku wisatawan sebagai acuan dan awal
uraiannya tentang sistem pariwisata. Menurut mereka orang melakukan perjalanan wisata karena
harapan dan keyakinan akan terpenuhinya aspek kebutuhan dan keinginan, bukan hanya sekedar
berlibur untuk kesenangan dan rileks, melihat kebudayaan negara lain atau untuk tujuan
pendidikan. Dalam konsep sistem pariwisata mereka, psikologi juga bersentuhan dengan semua
subsistem lainnya, yaitu pemasaran, destinasi wisata dan moda perjalanan (travel) (Mill dan
Morison 1985). Teori lima hirarki kebutuhan Maslow (1943) menjadi rujukan, dengan
menambahkan dua kebutuhan intelektual yaitu Kebutuhan untuk mengetahui dan Kebutuhan
Estetika (Maslow 1954 dikutip Ross 1994). Mill dan Morison mengungkapkan perkembangan

5
teori Maslow berdasarkan literatur penelitian pariwisata pada Tabel 1 berikut:

Luasnya lingkup kegiatan pariwisata dan kaitannya dengan psikologi menyebabkan Ross
membagi uraian buku psikologi pariwisatanya menjadi dua bagian besar. Yaitu uraian mengenai
dimensi perilaku individu sebagai wisatawan dan dimensi sosial, organisasi serta konteks
kemasyarakatan (Ross 1994). Pearce dan Stringer menguraikan kontribusi psikologi dalam
pariwisata melalui tingkatan yang paling sederhana, pemenuhan aspek fisiologis sampai pada
tingkat penerapan psikologi sosial. Pearce memberikan contoh keberhasilan studi terapan
dimensi

6
fisiologis misalnya dalam membantu perancangan fasilitas wisata yang lebih ergonomis (Pearce
dan Stinger 1991).

Tabel 1. Maslow’s Needs and Motivations Listed in Travel Literature

Need Motive Tourism Literature Reference

Physiological Relaxation Escape


Relaxat
ion
Relief of tension
Sunlust
Physical
Mental relaxation of tension
Safety Security Health
Recreation
Keep oneself active and healthy for the
Belonging Love future
Family togetherness
Enhancement of kinship relationships
Companionship
Facilitation of social interaction
Maintenance of personal ties
Interpersonal relations
Roots
Ethnic
Show one’s affection for family members
Maintenace social contacts
Esteem Achievement Convince oneself of one’s achievement
Status Show one’s importance to others
Prestige
Social recognition

7
Ego-enhancement
Professional/Business
Personal development
Status and prestige
Self Be true to Explorationn and eveluation of self
actualization one’s own nature Self dicovery
Satisfaction of inner desires
To know and Knowledgw Cultural
understand Education
Wanderlust
Interest in foreign areas
Aesthetics Appreciation Environmental
of Beauty Scenery

Sumber: Mill dan Morrison (1985)

Kemungkinan penerapan teori psikologi dalam kegiatan pariwisata sangat beragam dan
banyak, namun sangat sedikit tenaga ahli psikologi yang mau aktif terlibat didalamnya (Pearce
dan Stringer 1991, Passafaro et al. 2021). Pearce menggambarkan kondisi itu dengan istilah
“undermanned” yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sedikit orang harus melakukan
banyak peran sehingga banyak tugas penting terbengkalai dan beberapa orang yang berkomitmen
mencoba menyelesaikan banyak tugas itu. Sebaliknya peran psikologi untuk membantu
penyelesaian masalah-masalah perilaku ada dalam kondisi “overmanned” (kelebihan orang).

8
Banyak penelitian pariwisata yang menggunakan konsep-konsep psikologi, tapi tidak
diungkapkan secara tepat atau bahkan sama sekali tidak merujuk pada akar keilmuan psikologi.
Contohnya adalah kritik Iso-Ahola terhadap pemikiran Dann tentang motivasi yang dianggap
sama sekali tidak merujuk pada akar keilmuan psikologi (Iso-Ahola 1982). Eichtner dan Richie
(1991) didalam Ross, mengungkapkan isyu metodologi dalam studi tentang citra destinasi wisata
karena atribut/komponen yang digunakan peneliti, yang kebanyakan bukan tenaga psikologi,
tidak dihasilkan dari survey kualitatif. Banyak yang hanya mengandalkan data sekunder seperti
buku, brosur atau pendapat ahli, sehingga dimensi itu belum tentu relevan dengan konsumen
yang diteliti (Ross 1994). Latar belakang keilmuan peneliti citra destinasi yang beragam, dengan
penggunaan istilah beragam telah menyebabkan inflasi peristilahan dan berpotensi menyebabkan
kebingungan, terutama bagi orang awam. Beberapa peneliti menggunakan istilah yang berbeda
ketika mengacu pada konsep yang sama, sedangkan beberapa yang lain menggunakan istilah
yang sama tetapi mengacu pada konsep yang berbeda (Tasci, 2009).

Aspek kurangnya peran tenaga ahli psikologi dalam kepariwisataan merupakan bagian dari
penerapan psikologi pariwisata yang perlu mendapat perhatian khusus dan juga menjadi obyek
pengamatan dalam penelitian ini.

3. Motivasi

Dengan cakupannya yang luas, konsep hirarki kebutuhan Maslow sering digunakan dalam
pariwisata karena membantu memperjelas motivasi wisata yang bervariasi dan dengan demikian
memberikan pemahaman perilaku wisatawan. Mengacu pada teori Maslow ini kemudian
berkembang teori-teori motivasi yang khusus untuk diterapkan untuk pariwisata (Mill dan
Morison 1985, Pearce dan Stringer 1991, Simkova 2013, Yousaf dkk. 2017). Meskipun motivasi
baru satu variabel yang menjelaskan perilaku wisatawan, tapi tetap dianggap paling penting
karena merupakan kekuatan pendorong dibalik semua perilaku. Memahami perilaku wisatawan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi sangat penting untuk keberhasilan perencana pariwisata
(Baloglu dan Uysal 1996).

Konsep Maslow menginspirasi Dann (1977) yang berpendapat bahwa banyak penelitian
motivasi belum menjawab pertanyaan mendasar mengapa orang melakukan perjalanan (wisata)?
Dia mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua faktor atau tahap dalam keputusan untuk wisata.
Pertama adalah faktor/motivasi pendorong (push factor) dan kedua adalah faktor/motivasi

9
penarik (pull factor) (Ross 1994). Teori motivasi pendorong dan penarik yang dikemukakan
Dann telah diterima secara luas sebagai kerangka teoritis dalam penelitian pariwisata (Baloglu
dan Uysal 1996, Bright 2008).

Dari beberapa literatur, pengertian motivasi pendorong antara lain sebagai berikut:
merupakan faktor internal dan intrinsik yang mendorong wisatawan untuk melakukan perjalanan,
sebagai motivasi yang bersifat sosial-psikologis, dan tidak kasat-mata (intangible). Contoh dari
motivasi pendorong antara lain keinginan untuk melepaskan diri (escape), istirahat dan relaksasi,
kesehatan,

10
petualangan, prestise, interaksi sosial dan banyak lagi. Dann kemudian mengemukakan dua
motivasi pendorong utama wisatawan untuk wisata yaitu Anomie dan Ego-enhancement.

Pengertian motivasi penarik sebagai berikut: merupakan atribut/komponen/dimensi dari


destinasi wisata, bisa bersifat kasat-mata (tangible) seperti pantai, pemandangan alam, shopping
mall, peristiwa budaya dan olah raga atau tidak kasat-mata (intangible) seperti keramah-tamahan.
Merupakan stimulator eksternal, serta mencakup juga persepsi dan ekspektasi calon wisatawan
seperti dimensi pendidikan dan kebaruan (novelty).

Tabel 2 : Summary of Tourist Motivation Theories

Theory Name Citations Contribution


(as of 18th Feb.,
2018)
 Explains that human
behaviour is the outcome
of various needs that
Maslow (1943) Hierarchy of needs theory 23.831 occur in a hierarchal
order and the fulfilment
of one need leads to an
awareness of the next
level of need.
 Provides a better
understanding of how
human needs are a
crucial
underlying factor in any
context.
Classifies tourists based on
their travel behaviours and
Cohen (1972) Types of tourists 941
groups them as 1) organised
mass tourists, 2) individual

11
mass tourists, 3) explorers
and 4) drifters.
 Builds a theoretical
framework based on two
Push and pull theory concepts: anomie and
Dann (1977)
of tourist motivation 1.662 eco-enhancement.
 Defines the anomie
factor as the desire to
transcend feelings of
isolation, while eco-
enhancement
derives from personal
needs.

Socio-psychological Identifies seven socio–


Crompton
motivations to travel 3.523 psychological motives and
(1979)
two cultural motives that
drive individuals to travel.
 Based on push and pull
effects, asserts that
personal escape and
Iso-Ahola Social psychology search and interpersonal
(1982) model of tourism 1.338 escape and search
motivate tourism and
recreation,
 Combines the main
elements (i.e. escape and
reward) depending on
the particular situation
and
tourists’ goals

12
 Lists five travel
motivations: relaxation,
stimulation, relationship,
Pearce (1988) Travel Career Ladder 697 self-esteem and
(TCL) development or
fulfilment,
 Categorises travel
motivations into two
groups: needs that are
self-centred and needs
that are
directed at others

Sumber: Yousaf et al. (2018).

13
Tabel 3 Empirical Studies Examining Push and Pull Factors

Researcher(s) Research Approach Used Push Factors Identified Pull Factors Identified
Dann (1977) Scale/survey development Anomie, ego enhancement
and analysis
Crompton (1979) Unstructured in-depth Escape, self-exploration and
Novelty, education interviews
evaluation, relaxation, prestige,
regression,
enhancement of
kinship
relationships,
social interaction
Yuan and Factor analyses of 29 Escape, novelty, prestige, Budget, culture and
McDonald (1990) motivational/push items and enhancement of kinship history,
wilderness, ease 53 destination/pull items. relationships,
relaxation/ of travel, cosmopolitan
hobbies environment, facilities, hunting
Fodness (1994) Scale development. Ego-defense, knowledge,
reward
maximization,
punishment
avoidance, value
expression, social
adjustive
Uysal and Factor analyses of 26 Re-experiencing family Entertainment/resort,
Jurowski (1994) motivational/push items and togetherness, sports,
outdoors/nature, 29 destination/pull items. cultural
experience, escape. heritage/culture,
rural/
inexpensive Turnbull and Factor analysis of 30 Cultural

14
experiences, escape, Heritage/culture, city Uysal (1995)
motivational/push items and re-experiencing
family, enclave, comfort/
53 destination/pull items. sports, prestige. relaxation, beach
resort, outdoor
resources,
rural and
inexpensive Oh, Uysal, and Canonical correlation
Knowledge/intellectual, Historical/cultural, Weaver (1995)
analysis of 30 motivational/ kinship/social
interaction, sports/activity,
push items and 52 novelty/adventure, safety/upscale,
destination/pull items. entertainment/prestige, nature/outdoor,
sports, escape/rest inexpensive/budget.
Cha, McCleary, Factor analysis of 30 Relaxation, knowledge,
and Uysal (1995) motivational/push items. adventure, travel bragging,
family, sports.
Baloglu and Uysal Canonical correlation Four canonical variate pairs of push and pull
items were
(1996) analysis of 30 identified but were not labeled. These
motivational/ push variates were used to identify four market
items and 53 segments labeled
destination/pull items. sports/activity seekers,
novelty seekers,
urban-life seekers,
beach/resort seekers.
Sirakaya and Factor analysis of 56 Local hospitality and
McLellan (1997) destination/pull items. services, trip cost
and convenience,
perceptions of
a safe/secure environment,

15
change in daily life
environment, recreation and
sporting activities,
entertainment and drinking
opportunities, personal and
historical link, cultural and
shopping services, unusual
and distant vacation
spot.

Sumber: Klenosky
(2002)

16
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa orang memutuskan untuk wisata karena faktor
pendorong dan faktor penarik terjadi secara bersamaan. Tapi kemudian Dann (1981) mengatakan
bahwa “Ketika wisatawan membuat keputusan perjalanan, mereka akan memilih tempat yang
memiliki faktor penarik terbaik sesuai dengan faktor pendorong mereka”.

Terinspirasi Dann (1979), Crompton melakukan penelitian motivasi wisatawan dan


mengemukan tujuh faktor pendorong atau motif sosio-psikologis, yaitu: escape from a perceived
mundane environment, exploration and evaluation of self, relaxation, prestige, regression,
enhancement of kinship relationships, and facilitation of social interaction. Masih ada dua faktor
lain yang termasuk faktor penarik yaitu novelty dan education (Ross 1994).

Mengacu pada teori Maslow, Pearce (1988) mengusulkan model Travel Career Ladder
(TCL), yang mencantumkan lima motivasi perjalanan yaitu: relaxation, stimulation,
relationship, self-esteem and development or fulfilment. Dari penelitian mereka terungkap bahwa
wisatawan memiliki karir motivasi perjalanan. Mereka yang pernah berkunjung lebih dari tiga
kali kesuatu destinasi atau telah mengunjungi lebih dari sepuluh negara memilki kecenderungan
untuk mencari pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, seperti cinta dan rasa memiliki atau
aktualisasi diri (Ross 1994).

Yousaf dan rekan menganalisa wisatawan muda dalam konteks hierarki kebutuhan Maslow
(1943) dan mengatakan adanya kemungkinan tumbuhnya kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan
itu tidak selalu ada dalam urutan sama seperti yang disarankan oleh hierarki Maslow. Masyarakat
berubah dengan cepat dan kebutuhan baru telah muncul, terutama didorong oleh penggunaan
teknologi. Menurut mereka pembuat kebijakan dan perencana pariwisata, serta pemangku
kepentingan lainnya, harus mengembangkan kesadaran yang lebih besar akan kebutuhan
wisatawan muda. Perencana perlu bereaksi terhadap tantangan ini dengan kehadiran yang kuat di
internet dan media sosial, menerapkan strategi cerdas yang dapat berfungsi sebagai motivasi
penarik baru bagi wisatawan muda (Yousaf et al. 2018).

Tampaknya teori hirarki kebutuhan Maslow yang diterapkan untuk pariwisata masih akan
terus berkembang, sejalan dengan dinamika perubahan-perubahan perilaku wisatawan.

4. Citra Destinasi Wisata

Semua peneliti tampaknya sepakat bahwa citra merupakan elemen terpenting dari sebuah
destinasi wisata dan menjadi faktor kritis bagi sukses tidaknya pengelolaan pariwisata.
17
Pentingnya citra destinasi yang diakui secara universal telah mendorong banyak penelitian
tentang topik ini. Echtner dan Ritchie (1991), seperti dikutip Petriana, mengatakan bahwa
penelitian citra destinasi adalah bagian dari bidang penelitian citra yang lebih luas yang pada
dasarnya masuk dalam bidang psikologi.

Meskipun ada beberapa konseptualisasi dalam literatur mengenai komponen citra, sebagian
besar peneliti setuju mengenai tiga komponen utama citra yaitu kognitif, afektif dan konatif
(Tasci,

18
Gartner, & Cavusgil, 2007). Kognitif meliputi apa yang kita ketahui tentang objek, afektif
meliputi bagaimana perasaan kita tentang apa yang kita ketahui dan konatif adalah bagaimana
kita bertindak atas informasi yang diterima. Kognisi dan afeksi merupakan respon mental
terhadap faktor stimulus lingkungan (Tasci, Gartner, & Cavusgil, 2007). Dalam hubungan antara
komponen kognitif dan afektif, banyak ahli setuju bahwa penilaian kognitif seseorang atas suatu
tujuan mempengaruhi evaluasi afektif mereka (Petriana, 2017).

Pembentukan Citra Destinasi Wisata

Mengenai proses pembentukan citra Ross mengacu pada Gunn (1988) dengan tujuh tahap
pembentukan citra, yaitu: 1. Accumulation of mental images about vacation experiences, 2.
Modification of those images by further information, 3. Decision to take a vacation trip, 4.
Travel to dsetination, 5. Participation at destination, 6. Return home, 7. Modification of image
based on the vacation experience (Ross 1994). Pada tahap kesatu Gun menamakannya sebagai
Citra Organik (Organic Image) yaitu citra yang didasarkan pada informasi yang disalurkan oleh
sumber berita non-touristic dan non-komersial seperti media umum (surat kabar, majalah, buku,
film), pendidikan (pelajaran sekolah) dan pendapat dari teman atau keluarga. Kemudian ada citra
yang dibentuk dari sumber informasi komersial seperti brosur perjalanan, video clip, agen
perjalanan, buku pedoman perjalanan. Akses pada informasi komersial ini mengubah citra yang
terbentuk pada tahap satu termodifikasi menjadi Citra yang diciptakan/diinduksi (Induced
Image) (Ross 1994).

Peneliti lain (Phelps 1986) menggunakan istilah Citra Sekunder (Secondary image), yaitu
citra yang terbentuk sebelum wisatawan berkunjung ke destinasi wisata dan dengan demikian
sebenarnya meliputi juga Organic dan Induced image. Sedangkan citra yang terbentuk setelah
wisatawan berkunjung disebut sebagai Citra Primer (Primary Image) (Lopez 2011). Dalam
tahapan pembentukan citra dari Gunn, citra primer terbentuk pada tahapan yang ketujuh. Citra
menjadi lebih realistis, rumit dan terdiferensiasi.

Banyak istilah yang digunakan untuk jenis Citra Primer seperti Reevaluated Image, Actual
Image dan Complex Image. Untuk jenis Citra Sekunder selain Organic dan Induced Image istilah
ditambah dengan Ideal Image dan Naïve Image. Kesesuaian antara citra sebelum dan pasca-
kunjungan tergantung pada ekspektasi wisatawan pada destinasi wisata, kinerja aktual destinasi
dalam memenuhi harapan itu yang pada akhirnya akan menentukan tingkat kepuasan wisatawan

19
(Tasci 2009).

Contoh klasik adalah pendapat Burkart dan Medlik tentang Tourist qualities of a destination
yang ditentukan oleh faktor Attraction (sumber daya pariwisata utama), Amenities (fasilitas
wisata), Accessibility (pencapaian) dan Tourist Organization (Burkart dan Medlik 1974). Untuk
destinasi berorientasi olahraga misalnya, wisatawan akan memfokuskan proses kognitif mereka
pada partisipasi aktif, dan kelegaan yang akan dirasakan saat terlibat dalam olahraga, juga aspek

20
amenitas dan aksesibilitas sehingga kurang memperhatikan atribut keindahan alam disekitar
destinasi wisata (Reitsamer et al. 2016).

Croy dan Wheeler (2007), seperti dikutip Wulandari, menggambarkan induced image
sebagai sumber citra yang paling tidak kredibel. Informasi dari mulut kemulut (word-of-
mouth/WOM) yang merupakan jenis citra organik, dianggap lebih berpengaruh karena mayoritas
wisatawan lebih mempercayainya dibanding sumber yang diinduksi (Wulandari 2014).

Mayo (1973), seperti dikutip Lopez, meneliti citra dan perilaku wisatawan menyatakan
bahwa citra sebuah destinasi merupakan faktor kunci ketika seorang wisatawan memilih
destinasi wisata. Mereka juga menunjukkan bahwa citra yang dimiliki wisatawan setelah
berkunjung ke destinasi tertentu (primary image) lebih penting daripada komitmen yang
ditawarkan oleh destinasi wisata (induced image)(Lopez 2011).

Dalam Lopez, penelitian Lim dan O'Cass (2001) mengkonfirmasi bahwa destinasi dengan
citra yang kuat lebih mudah dibedakan dari pesaingnya. Destinasi wisata dengan citra yang lebih
kuat dan lebih positif akan lebih dipertimbangkan dan dipilih dalam proses pengambilan
keputusan (Mayo, 1973, Hunt, 1975; Goodrich, 1978; Pearce, 1982; Woodside & Lysonski,
1989, Ross, 1993; Milman dan Pizan, 1995, Chen dan Kerstetter, 1999; Bigné, Sánchez dan
Sánchez, 2001; Sonmez dan Sirakaya, 2002). Dengan demikian, citra menjadi salah satu aset
utama sebuah destinasi wisata dan paling berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil
wisatawan dalam memilih destinasi (Lopez 2011)

Studi signifikan tentang citra destinasi yang dianggap memajukan bidang ini dilakukan oleh
Echtner & Ritchie (1991, 1993). Mereka meninjau studi tentang tujuan wisata, merek (brand),
dan citra dari aspek-aspek psikologi, geografi dan pemasaran, serta mengembangkan kerangka
kerja tiga dimensi yang unik untuk menangkap citra destinasi: Atribut-holistik, fungsional-
psikologis, dan umum-unik (common-unique). Setiap komponen memiliki item yang dapat
memiliki karakteristik fungsional atau psikologis, dan setiap karakteristik dapat mencerminkan
fitur umum atau unik dari destinasi (Wulandari 2014).

Hui and Tai Wan, Singapura (2003) telah menggunakan konsep dan metodologi yang
dikemukakan oleh Echtner dan Ritchie tersebut lebih awal, diikuti oleh Othman et al., Malaysia
(2014) dan Aung et al., Thailand (2015). dan tampaknya sudah menjadi standar penelitian terbaik
untuk studi citra destinasi wisata, seperti telah direkomendasikan juga oleh Tasci (2009).

21
Dari Indonesia Wulandari menggunakan metodologi serupa untuk penelitiaan thesis
mengenai ‘Projected and Perceived Images of Indonesia’s Tourism Campaign ‘Wonderful
Indonesia’ dan berhasil menyusun 18 komponen/atribut pembentuk citra destinasi wisata
(induced image) sebagai uraian pesan utama dari kampanye Wonderful Indonesia dan untuk
mengukurnya, yaitu: 1) Cultural heritages 2) Historic sites 3) Unique customs and ways of life
4) Diverse natural resources 5) Beautiful beaches 6) Beautiful sceneries 7) Good nightlife
scenes 8) Friendly and hospitable local people 9) Variety and uniqueness of flora and fauna 10)
Adventure activities 11)

22
Unique and exotic handicrafts 12) Good shopping destination 13) Unique and exotic foods
14)Relaxing destination 15)Romantic destination 16) Health and wellness tourism 17)
Multicultural character dan 18) Well-developed tourism infrastructure. 18 komponen tersebut
dibagi kedalam 4 faktor yaitu 1) natural attractions/interests, 2) destination atmosphere, 3)
culture, history and art, dan 4) Tourist, leisure and entertainment.

Sehubungan dengan citra yang diproyeksikan itu, literatur pariwisata tentang motivasi
mendefinisikannya sebagai faktor 'penarik' (pull factor) dalam proses pengambilan keputusan
kunjungan ke destinasi, yang disebarluaskan melalui saluran komunikasi dan media yang
ditargetkan pada pengunjung potensial (Wulandari, 2014).

Dengan konteks yang berbeda Petriana meneliti citra yang dirasakan (perceived image) yang
dideteksi melalui tulisan dan foto-foto oleh para blogger perjalanan terhadap pariwisata
Indonesia. Asesmennya juga mencakup persepsi para blogger tersebut pada kampanye
Wonderful Indonesia. Melalui textual analysis diturunkan sepuluh komponen/atribut untuk
mengukurnya yaitu 1) urban or tourist sites 2) natural attractions 3) culture/history/art 4)
people/life 5) food/beverage 6)
accommodation 7) entertainment/activities 8) price/quality 9) infrastructure/transportation 10)
environment/safety. Karena para blogger pernah berkunjung ke Indonesia, maka persepsinya bisa
dianggap sebagai primary image.

Pengukuran

Seperti dikutip Wulandari, salah satu masalah mendasar dalam studi citra destinasi adalah
untuk mengukur citra (Son, 2005) Pengukuran penting untuk menilai citra destinasi secara
akurat, hal ini berguna untuk merancang strategi pemasaran pariwisata yang efektif (Reilly,
1990). Meskipun ada banyak studi citra destinasi yang telah dilakukan, sebagian besar penelitian
mengandalkan metodologi terstruktur atau kuantitatif dalam mengukur elemen kognitif dan
afektif citra destinasi (Echtner & Ritchie, 1993; Jenkins, 1999; Son, 2005; Di Marino, 2008).
Echtner dan Ritchie (1993) menyatakan bahwa peneliti citra destinasi banyak memilih
metodologi terstruktur (kuantitatif) karena metodologi ini menggunakan skala standar yang dapat
digunakan untuk pengujian statistis.

Echtner & Ritchie (1993) merekomendasikan menggabungkan kedua teknik untuk


menangkap secara tepat evaluasi multi-faceted dan kompleks dari citra destinasi wisata. Yang

23
pertama harus menjadi fase kualitatif dengan menggunakan metode tidak terstruktur. Tahap ini
dimaksudkan untuk menemukan komponen/atribut citra yang dimiliki oleh organisasi atau
kelompok. Baru kemudian menggunakan pendekatan kuantitatif untuk pengujian statistis
(Wulandari 2014).

Penelitian ini juga mencoba melihat penerapan penelitian yang dapat dianggap sebagai
praktek terbaik (best practice).

24
5. Metodologi

Pada awalnya direncanakan penelitian bersifat deskriptif, namun ternyata tidak dapat
dilakukan karena data statistik profil wisatawan dari Menparekraf tidak mengungkap frekuensi
atau angka jumlah responden. Sementara lingkup penelitian mencakup aspek penerapan
psikologi pariwisata yang bersifat kualitatif mencakup banyak variabel yang tidak dapat diukur,
sehingga penelitian menjadi eksploratif dengan pendekatan archival research dari Dalen J.
Timothy (Larry et al. 2012).

Jawaban dua pertanyaan awal dilakukan melalui studi kepustakaan atas konsep-konsep yang
relevan dan analisa hasil penelitian yang diungkap dalam arsip-arsip jurnal maupun thesis/
disertasi/buku-buku yang dapat ditemukan melalui internet, serta menggunakan data milik
Kemenparekraf tentang profil wisatawan mancanegara sebagai proxy. Penelitian untuk
mengetahui penerapan psikologi dalam pariwisata juga menggunakan pola fact finding yang
sama ditambah dengan pengamatan atas hasil penelitian yang termuat dalam jurnal-jurnal yang
tersimpan dalam portal-portal hasil penelitian yang dapat diakses oleh publik di internet. Dengan
demikian penelitian ini lebih pada upaya mendapatkan dan pengungkapan fakta untuk pengujian
lebih lanjut.

Mengenai data profil wisatawan dari Kemenparekraf dapat dikemukakan hal sebagai berikut:

Ini adalah data terakhir yang tersedia di laman Kemenparekraf dan baru dipublikasi tahun
2019. Diperoleh melalui Passenger Exit Survey (PES) yang dilaksanakan pada tahun 2016
melalui wawancara langsung kepada wisatawan mancanegara yang akan meninggalkan
Indonesia di 13 pintu masuk internasional. Pengumpulan data dilakukan oleh pencacah dari
berbagai perguruan tinggi negeri, swasta, Badan Pusat Statistik dan Dinas Pariwisata serta
didukung oleh Bank Indonesia, PT Angkasa Pura I dan II (Persero), Otoritas Bandara/Pelabuhan
Laut serta Direktorat Jenderal Imigrasi. Organik.

Simple Random Sampling (SRS), dengan target jumlah sampel 25.000 orang. Responden
berusia 15 tahun ke atas, dan tinggal di Indonesia tidak lebih dari 90 hari. Pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara langsung tatap muka antara petugas pencacah dengan responden.

Survey ditujukan untuk 1. mengetahui profil demografi wisatawan mancanegara yang


berkunjung ke Indonesia, 2. Mengetahui pola perjalanannya, 3. Mengetahui pola

25
pengeluarannya, dan 4. Mengetahui persepsi wisatawan mancanegara terhadap Indonesia sebagai
destinasi pariwisata.

Survey ini dijadikan sebagai input/masukkan dalam penyusunan Neraca Satelit Pariwisata
Nasional (NESPARNAS), untuk menghitung dampak ekonomi pariwisata di Indonesia yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama dengan Kementerian Pariwisata. Hasil
survey ini juga digunakan oleh Bank Indonesia (BI) pada penyusunan neraca perdaganganan
dalam laporan Balance of Payment (BOP) yang digunakan untuk dasar penghitungan pendapatan
devisa sektor pariwisata.

26
6. Pembahasan dan Diskusi

Pembahasan akan diawali dengan uraian singkat tentang kampanye pariwisata Indonesia,
kemudian tinjauan aspek statistik pariwisata, pembahasan tentang penelitian psikologi
pariwisata, hasil pengamatan tentang penerapan psikologi pariwisata dan hasil penelitian tentang
Bali.

Pariwisata Indonesia

 Kampanye pariwisata Indonesia bertema


WONDERFUL INDONESIA sebagai
destination image sejak 2011, mengganti
kampanye Visit Indonesia.
 Kesan yang ingin disampaikan melalui
kampanye adalah: The People: Semua orang
Indonesia ramah dan murah senyum. • Keajaiban Keanekaragaman Hayati: Spesies
Tumbuhan dan Hewan yang melimpah di Indonesia • Keajaiban Seni dan Budaya yang
Penuh Warna.
 Tiga pesan utama yang akan diproyeksikan melalui kampanye pariwisata Wonderful
Indonesia:
1. memperkenalkan kawasan wisata baru di Indonesia yang kaya akan keanekaragaman
budaya dan sumber daya alam,
2. mempromosikan pariwisata berkelanjutan melalui berbagai inisiatif untuk menjaga
keunikan budaya, tradisi, dan kearifan lokal,
3. menekankan ekonomi kreatif dan sumber daya manusia di Indonesia

 10 kawasan wisata baru sebagai “New Bali” yang ingin diperkenalkan adalah: Danau Toba,
Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Borobudur, Bromo Tengger Semeru,
Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai.

 Kampanye Indonesia diarahkan ke setidaknya 16 fokus pasar utama, yaitu: Singapura,


Malaysia, Australia, Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Amerika Serikat,
Inggris, Prancis, India, Jerman, Belanda, Timur Tengah (terdiri dari 18 negara), dan Rusia.

 Statistik Profil Wisatawan Mancanegara memnunjukkan bahwa wisatawan masih lebih

27
banyak memilih Bali sebagai destinasi tujuan (43,4%), destinasi lainnya masih seperti
sebelumnya yaitu DKI Jakarta 29,4%, Riau 9,1%, Jawa Barat 8,6%, dan Jawa Timur 7,2%.
Destinasi lainnya masih belum cukup populer dan masih sedikit dikunjungi wisatawan
internasional. Dengan demikian masih diperlukan kerja keras untuk mengangkat citra 10
kawasan Bali Baru.

28
Statistik Pariwisata Indonesia

Profil wisatawan mancanegara ke Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Terdapat beberapa
hal yang menarik untuk dibahas antara lain terkait dengan profil demografi, pola perjalanan dan
sumber informasi yang digunakan oleh wisatawan.

Dari aspek demografi sebagian besar wisman adalah orang-orang muda yang masuk kategori
milenial dan hal ini juga bisa dikaitkan dengan sumber informasi yang digunakan untuk
mengetahui Indonesia yaitu melalui internet dan sosial media yang angkanya mencapai 71,4%.
Dengan demikian hasil penelitian Yousaf et al. patut menjadi perhatian, karena menurut mereka
orang-orang muda itu punya perilaku baru yang cenderung berbeda dengan generasi sebelumnya
yang masuk dalam kategori hirarki kebutuhan dari Maslow. Saran mereka, pembuat kebijakan
29
dan perencana pariwisata, serta pemangku kepentingan lainnya, harus mengembangkan
kesadaran yang lebih besar akan kebutuhan wisatawan muda. Perencana perlu bereaksi terhadap
tantangan

30
ini dengan kehadiran yang kuat di internet dan media sosial, menerapkan strategi cerdas yang
dapat berfungsi sebagai motivasi penarik baru bagi wisatawan muda (Yousaf et al. 2018).

Yang menarik juga adalah sebagian besar wisatawan 54,2% adalah pengunjung yang datang
untuk kedua kali, bahkan 18,6% datang lebih dari lima kali. Sesuai pendapat Pearce (1988),
mereka adalah wisatawan berpengalaman (experienced traveler) yang punya kebutuhan lebih
tinggi dalam hirarki kebutuhan Maslow. Hal ini tentunya perlu disikapi dengan baik oleh industri
jasa pariwisata yang menangani kebutuhan mereka.

Tabel 5 memberikan gambaran mengenai kegiatan yang dilakukan oleh wisman dan Tabel 6
mengenai pendapat mereka tentang Indonesia.

31
Tabel 6 Penilaian Wisman Mengenai Indonesia Tahun 2016
Pendapa
Deskripsi t Total
Sangat Sangat
Baik Sedang Buruk
Baik Buruk
Keamanan dan 26,25 50,85 19,15 3,23 0,52 100
Keselamatan
Kesehatan dan Kebersihan 12,15 37,63 36,09 12,02 2,11 100
Keragaman Atraksi 31,97 44,28 20,73 2,66 0,36 100
Infrastruktur Pariwisata 20,78 41,64 28,35 7,57 1,66 100

Sumber: Kemenparekraf, Statistik Profil Wisatawan Mancanegara 2016 (2019).

Data statistik tersebut tampak tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi kesan dan pesan
yang ingin disampaikan melalui kampanye pemasaran Wonderful Indonesia. Data yang muncul
lebih pada faktor serta komponen atraksi wisata dan penilaian pada faktor yang sangat umum
tanpa mengungkap atribut/komponen yang lebih rinci setidaknya seperti yang dikemukakan oleh
Wulandari (2014) atau Petriana (2017). Sesuai konsep motivasi pariwisata dan pembentukan
citra destinasi seyogyanya bisa terdiri dari atribut yang lebih rinci sesuai dengan ekspektasi
wisatawan.

Secara keseluruhan penyusunan statistik profil wisatawan mancanegara dari BPS memang
lebih ditujukan untuk digunakan mengukur dampak ekonomi pariwisata. Basis data BPS
sebenarnya bisa digunakan untuk studi lebih terinci mengenai negara pasar wisata utama atau
spesifik destinasi wisata khususnya yang termasuk dalam kategori destinasi Bali Baru.

Tidak ditemukan landasan konseptual sesuai praktek penelitian psikologi pariwisata terbaik.
Hasil penelitian yang ada lebih merupakan pelaksanaan tugas akademik yang tidak ada kaitannya
dengan perencanaan kepariwisataan. Penggunaan konsep dan metodologi penelitian psikologi
pariwisata memang cukup rumit dan agak sulit dipahami oleh praktisi pariwisata. Perjalanan
eksplorasi penelitian ini juga dihadapkan pada banyak teori yang cukup membingungkan.
Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi awal penelitian psikologi pariwisata yang

32
lebih banyak lagi dan lebih terkait dengan perencanaan pariwisata nasioanal.

Penelitian Psikologi Pariwisata

Negara tetangga yang paling banyak dikunjungi wisaatawan mancanegara adalah Singapura,
Malaysia dan Thailand. Dari hasil penelitian yang ditemukan di internet tampaknya negara-
negara tersebut sangat serius melakukan penelitian psikologi pariwisata yang mendasari program
pemasaran dan pengembangan destinasinya.

Singapura sudah jauh lebih awal menggunakan riset sebagai dasar program pemasaran dan
destinasi wisatanya, seperti diungkapkan Singh dan Chon (1996): Through sound planning and
consistent market research, the STPB (Singapore Tourism Promotion Board) has stayed in tune
with consumer needs, forged ahead of the competition, and ensured that Singapore’s tourism
product is always kept up-to-date and able to cater to changes in preferences and tastes.

33
Pernyataan itu cukup menjelaskan keseriusan mereka melakukan riset. Hui dan Wan (2003)
melakukan riset mengenai citra destinasi wisata Singapura menganalisa faktor dan atribut
pembentuk citra dengan menggunakan konsep dari Echtner dan Richie (1993). Dari penelitian
tersebut diketahui atribut-atribut destinasi wisata yang perlu diperbaiki atau dikembangkan
sebagai kekuatan Singapura. Misalnya untuk mempertahankan citranya sebagai the hub of
ASEAN, Singapura terus mengembangkan bandara Changi yang megah dan modern.

Sukses Malaysia terletak pada program Branding Malaysia dengan tag line ‘Malaysia Truly
Asia’. Sebagai hasil studi yang sangat serius tentang pemasaran destinasi pariwisata yang
mencakup berbagai studi tentang destination branding, citra destinasi, komunikasi pemasaran.
Studi yang dilakukan Othman, Wee dan Hassan (2014) mengungkapkan bahwa pada dasarnya
tag line Malaysia Truly Asia mengacu pada konsep holistic destination image dari Echtner dan
Richie (1993).

Rungsuwannarat et al. (2015), melakukan studi banding citra destinasi Thailand dengan
Indonesia dengan menggunakan metodologi pengukuran dari Echtner dan Richie (1993).
Kemudian Aung, Nge Nge dan Hichitake (2015), melakukan studi banding citra destinasi
Thailand dengan Singapura. Hasil studi memperlihatkan atribut/komponen destinasi yang
menjadi kekuatan dan kelemahan Thailand. Misalnya Thailand dan Singapura bersaing untuk
segmen pasar wisata belanja, sehingga Thailand memposisikan citranya pada harga barang yang
murah (value for money) di tempat belanja.

Dari pengamatan singkat itu terlihat bahwa hasil penelitian psikologi pariwisata
mempengaruhi kebijakan pemasaran dan pengembangan destinasi wisata. Kemudian konsep dan
metodologi yang digunakan juga cenderung serupa sehingga bisa dianggap sebagai praktek
terbaik (best practice). Dari sudut pandang ilmu psikologi, dapat dikatakan bahwa program
pemasaran dan pengembangan destinasi wisata ketiga negara tersebut lebih efektif karena
ditunjang penelitian psikologi pariwisata yang serius dan konsisten. Sehingga hasilnya lebih
banyak wisatawan mancanegara yang datang berkunjung.

Dari Indonesia Wulandari melakukan penelitian menggunakan metodologi kualitatif dan


kuantitatif dari Echtner dan Richie (1993) untuk thesis mengenai ‘Projected and Perceived
Images of Indonesia’s Tourism Campaign ‘Wonderful Indonesia’ dan berhasil menyusun 18
komponen/atribut pembentuk citra destinasi wisata (induced image) sebagai uraian pesan utama
dari kampanye Wonderful Indonesia. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dari
34
perbandingan proyeksi dan persepsi citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata, dapat dikatakan
bahwa hampir semua proyeksi citra Indonesia diterima dengan baik oleh calon pengunjung
internasional. Infrastruktur pariwisata diindikasikan sebagai citra yang paling negatif di antara 18
atribut citra tersebut (Wulandari 2014).

35
Dengan konteks yang berbeda, Petriana meneliti citra yang dirasakan (perceived image) para
blogger perjalanan terhadap pariwisata Indonesia dengan cara menganalisa tulisan dan foto-foto
yang diungkapkan di halaman blognya. Asesmennya juga mencakup persepsi para blogger
tersebut pada kampanye Wonderful Indonesia. Melalui textual analysis diturunkan sepuluh
komponen/atribut untuk mengukurnya. Hasil penelitian diungkapkan sebagai berikut: “…the
bloggers’ perceived destination image of Indonesia does not correspond exactly to the image
projected by the Indonesian Ministry of Tourism. This suggests that Wonderful Indonesia
involves some degree of falsification in projecting a perfect image of the country”.

Kedua penelitian tersebut konteksnya berbeda, atribut yang digunakan juga berbeda karena
metodologinya berlainan. Citra dalam penelitian Wulandari termasuk jenis secondary image
(Phelps 1986) atau induce image (Gunn 1988) atau pull factor dalam teori motivasi pariwista
(Dann 1977), sedangkan citra dalam penelitian Petriana termasuk jenis primary image (Phelps
1986) karena para blogger tentunya sudah pernah berkunjung ke Indonesia. Namun demikian
bobot hasil penelitian Petriana lebih tinggi, karena seperti disebutkan oleh Mayo (1973), citra
yang dimiliki wisatawan setelah berkunjung ke destinasi tertentu (primary image) lebih penting
daripada komitmen yang ditawarkan oleh destinasi wisata. Sementara Wulandari dalam
penelitiannya telah menggunakan konsep dan metodologi yang dianggap sebagai best pratice.

Perbedaan yang menarik disebabkan dua konsep dan metodologi penelitian yang berlainan
ini akan menarik untuk dibahas lebih lanjut oleh para peneliti psikologi pariwisata.

Penerapan Psikologi Pariwisata

Bagian penelitian ini yang paling singkat dan lebih fokus pada hasil-hasil penelitian
pariwisata yang terdapat pada portal arsip penelitian yang dapat diakses publik melalui internet.
Penerapan psikologi dalam pariwisata sendiri sebenarnya sudah dapat dianggap sangat luas. Hal
ini ditandai dengan banyaknya lembaga pendidikan kepariwisataan dan banyaknya fasilitas yang
pariwisata yang sudah dibangun.

Hasil pengamatan pertama adalah tentang sedikitnya penelitian tentang wisatawan


mancanegara. Kemudian kedua, kalaupun ada penelitian wisatawan mancanegara yang terkait
erat dengan disiplin ilmu psikologi, ternyata penelitiannya tidak dilakukan oleh tenaga ahli
psikologi. Pada portal arsip penelitian The Journal misalnya, banyak sekali ditemukan makalah
penilitian pariwisata yang terkait erat dengan disiplin ilmu psikologi tapi tidak ditulis oleh

36
peneliti psikologi. Ini merupakan fakta seperti yang disebut oleh Pearce dan Stringer (1991)
sebagai kondisi “undermanned” dan juga dikemukakan oleh Passafaro (2021) karena sangat
sedikit peneliti psikologi yang mau meluangkan waktunya untuk melakukan penelitian psikologi
pariwisata.

Penelitian singkat ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk menjadi acuan banyak
penelitian psikologi pariwisata yang dilakukan oleh peneliti psikologi sendiri.\

37
Bali

Sebuah penelitian yang menarik dilakukan oleh Mulyadi dan Sunarti mengenai Film Induced
Tourism (FIT) dan destinasi wisata Indonesia (2019). Penelitian itu bertujuan untuk melihat
perkembangan film sebagai promosi pariwisata dan dampaknya terhadap peningkatan kunjungan
wisatawan, lokasi penelitiannya meliputi Yogyakarta, Belitung dan Bali. Peneliti menguraikan
bagaimana film “Laskar Pelangi” (2008) telah mempopulerkan Belitung yang sebelumnya tidak
dikenal dalam peta pariwisata Indonesia. Film “Ada Apa Dengan Cinta 2” (2016) telah semakin
mempopulerkan Yogyakarta dan film “Eat Love Pray” (2010) yang menampilkan citra .

Dalam konteks pembentukan citra destinasi wisata, film-film tersebut tanpa sengaja telah
menjadi induce image dengan memperlihatkan atribut-atribut/komponen-komponen
pembentukan citra yang menarik (Gunn 1988), mempengaruhi sisi kognitif dan emosi serta telah
menarik penonton untuk melihat dan mengalami sendiri tempat-tempat yang dipertontonkan.
Dalam teori motivasi pariwisata film-film itu telah menjadi pull factor yang mempengaruhi
penonton untuk memilih Bali sebagai tempat wisata (Dann 1977).

Akan halnya Bali ternyata film-film yang mempopulerkan Bali sudah ada sejak zaman
prakemerdekaan. Seperti fim “Calon Arang‟ yang dirilis pada 1927, “Goona-Goona‟ (1930),
The Island of the Demons‟ (Die Insel der Dämonen), “Trance and Dance in Bali” yang
diproduksi tahun 1939, pada era 1950-an adalah “The Road to Bali‟ (1952) produksi Paramount
Picture dan dibintangi oleh bintang film terkenal Hollywood saat itu, yaitu Bob Hope, Bing
Crosby. Film-film itu memperlihatkan eksotisme budaya Bali dan sangat populer di Eropa dan
Amerika Serikat (Mulyadi dan Sunarti 2019).

Bali tidak hanya dikenal lewat film tapi juga melalui buku-buku dan karya seni pelukis asing
yang banyak tinggal dan menetap di Bali. Paling terkenal adalah Walter Spies yang ikut
membantu pembuatan film-film tentang Bali dan penulisan buku tentang Bali seperti
“Island of Bali” karangan Covarrubias dan “A Tale of Bali” karangan Vicki Baum yang masih
dibaca banyak orang sampai sekarang. Pelukis yang terkenal seperti Rudolf Bonet dan Jean Le
Mayeur tinggal dan menetap di Bali. Lalu ada antropolog terkenal seperti Margaret Mead yang
banyak meneliti dan menulis tentang Bali. Citra Bali meningkat melalui peran banyak seniman
dan cendekiawan sejak tahun 1920-an dengan kisah-kisah perjalanan, lukisan-lukisan, foto-foto
serta film yang dibawa pulang. Kesan Bali sebagai Pulau Dewata sudah lama muncul (Picard

38
1992). Dalam konteks pembentukan citra ini adalah organic image yang berpengaruh kuat dalam
pada sikap wisatawan tentang Bali.

Penelitian Picard menjelaskan bahwa upaya Belanda memperkenalkan Bali sudah dimulai
pada tahun 1914 dengan membentuk Official Tourist Bureau, tapi baru mulai ramai sejak tahun
1924 setelah dibuka pelayaran mingguan antara Singapura ke Buleleng SIngaraja. Tahun 1928
sudah mulai dibangun hotel-hotel di Bali. Dengan demikian kualitas destinasi wisata Bali sesuai
kriteria Burkart dan Medlik (1982) meliputi aksesibilitas, amenitas, atraksi dan organisasi

39
kepariwisataan sudah mulai dibentuk sejak lebih dari seratus tahun lalu. Tidak heran kalau pada
awal-awal pemerintahan Republik Indonesia Bali dijadikan sebagai “etalase” untuk menarik
perhatian wisatawan mancanegara ke Indonesia serta menjadi model dan penggerak
perkembangan pariwisata nasional (Picard 1992).

Dari hasil penelitiannya Wulandari mengatakan popularitas Bali yang tinggi menunjukkan
bahwa bagi para calon pengunjung internasional, pengetahuan mereka tentang pariwisata di
Indonesia masih terbatas pada Bali (Wulandari 2014). Kemudia Petriana menyebut Bali sebagai
representasi pariwisata Indonesia. “Ini adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran ketika
orang berpikir tentang Indonesia – seperti mobil di Jerman atau Menara Eiffel di Paris. Ketika
Bali disebutkan, pantai, matahari terbenam, dan candi Hindu muncul di pikiran wisatawan”
(Petriana 2017).

7. Kesimpulan dan Saran

Ujung dari perjalanan penelitian ini salah satunya adalah kesimpulan bahwa keindahan
bukan segala-galanya dalam pariwisata, karena hanya salah satu dari banyak atribut/komponen
pembentuk citra yang menentukan keberhasilan sebuah destinasi wisata. Dari sudut pandang
psikologi, negara-negara tetangga lebih banyak dikunjungi wisman karena memiliki program
pemasaran dan pengembangan lebih efektif yang ditunjang oleh program penelitian peikologi
pariwisata sesuai best practices serta dilakukan secara serius dan konsisten.

Indonesia tidak terlalu ketinggalan dalam hal penelitian, namun kerjasama antara peneliti
dengan pemangku kepentingan pariwisata tampaknya belum terjalin baik. Penelitian psikologi
pariwisata seperti masih menjadi domain kegiatan akademik, padahal variasi dan kemungkinan
kontribusinya sangat banyak. Kondisi “undermanned” yang terjadi di tingkat internasional
tampaknya juga terjadi di Indonesia, masih terlalu sedikit psikolog yang berminat melakukan
penelitian psikologi pariwisata.

Kurangnya tenaga ahli psikologi yang berminat melakukan penelitian pariwisata membawa
konsekuensi konseptual dan metodologi yang cukup serius, seperti terdapat pada hasil survey
statistik yang tidak sejalan dengan kampanye pemasaran Wonderful Indonesia. Beberapa
penelitian yang ada atas obyek yang sama bisa menunjukkan hasil yang berbeda sehingga bisa
membingungkan penggunanya.

Akan halnya Bali, citranya sebagai destinasi wisata berkualitas sudah mulai terbentuk sejak
40
lama, sejak zaman prakemerdekaan. Berdasarkan hasil penelitian, posisinya yang mewakili citra
Indonesia sebagai destinasi wisata belum tergantikan.

Beberapa saran yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut:

 Perlu kerjasama pemangku kepentingan pariwisata dengan peneliti psikologi pariwisata


untuk menetapkan landasan teori dan metodologi penelitian yang tepat untuk digunakan.
Sehingga hasil penelitian bisa selalu dibandingkan berdasarkan negara-negara pasar utama
atau spesifik

41
destinasi didalam negeri, khususnya untuk 10 destinasi baru yang sudah atau sedang
dikembangkan.
 Komponen citra destinasi yang dikembangkan Wulandari berikut metodologi penelitiannya
dapat digunakan sebagai acuan, karena sudah sesuai dengan praktek yang dilakukan negara-
negara tetangga Singapura, Malaysia dan Thailand (best practices). Komponen yang
ditemukan oleh Petriana dan metodologi menarik yang digunakannya juga bisa jadi acuan
dengan pengujian terlebih dahulu pada lingkup pasar yang lebih luas, tidak hanya Singapura
dan Australia saja.
 Perlu menambahkan tujuan dan lingkup survey profil wisatawan mancanegara oleh BPS,
tidak hanya untuk tujuan mengetahui profil wisatawan dalam rangka menghitung dampak
ekonomi, tapi juga untuk mengetahui perilaku wisatawan dalam konteks pembentukan citra
destinasi wisata.
 Perlu membentuk sebuah wadah yang mempertemukan peneliti akademis dengan pelaku dan
penyusun kebijakan dan program pariwisata, sehingga bisa dibuat program-program riset
terapan yang bisa membantu penyusunan program pengembangan kawasan maupun
pemasarannya.
 Studi banding ke negara-negara tetangga, khususnya Malaysia, Singapura dan Thailand,
untuk mengetahui konsep dan metodologi riset yang digunakan untuk mengetahui perilaku
wisatawan.
 Mengajak kolega untuk memperhatikan ajakan psikolog Passafaro et al (2021) … to inspire
researchers in psychology to dedicate greater attention to tourism studies. This will give us
a chance to reduce the paradox of a psychology of tourism made by non-psychologists and
to contribute to the consolidation of a theoretically and methodologically grounded travel
and tourism psychology.

8. Keterbatasan Penelitian

Karena bahan penelitian hampir seluruhnya diperoleh dari internet, bisa terjadi bias atas
kesimpulan penelitian ini karena sebenarnya ada hasil penelitian yang mendasari strategi,
kebijakan, program pengembangan destinasi dan pemasaran yang tidak dipublikasikan sehingga
luput dari pengamatan.

Singkatnya waktu penelitian memungkinkan terjadi kurangnya eksplorasi terhadap teori-

42
teori terbaru, misalnya kaitan penggunaan teknologi baru terhadap motivasi yang mempengaruhi
perilaku wisatawan seperti yang dikemukakan dalam riset yang dilakukan oleh Petriana.

Belum dibahas segmen milenial yang dominan dan diduga punya perilaku dan kebutuhan
spesifik baru

Pengamatan hasil-hasil penelitian psikologi pariwisata baru mencakup sedikit sekali portal
arsip penelitian, karena memang masih sedikit yang bisa diakses oleh publik. Pengamatan pada

43
lebih banyak arsip penelitian yang dilakukan tenaga ahli psikologi Indonesia baik didalam
maupun diluar negeri mungkin bisa mendapatkan lebih banyak temuan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Tahun 2019.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/03/1711/jumlah-kunjungan-wisman-ke-indonesia-
desember-2019-mencapai-1-38-juta-kunjungan-.html

Baloglu, Seyhmus and Uysal, Muzaffer (1996). Market segments of push and pull motivations: a
canonical correlation approach. International Journal of Contemporary Hospitality Management
https://www.researchgate.net/profile/Muzaffer-Uysal-
3/publication/242347901_Market_Segments_of_Push_and_Pull_Motivations_a_Canonical_Corr
elation_Approach/links/56bcdd6c08aed6959945d63a/Market-Segments-of-Push-and-Pull-
Motivations-a-Canonical-Correlation-Approach.pdf?origin=publication_detail

Bright, Alan D. (2008). Motivations, Attitudes, and Beliefs. Handbook of Hospitality Marketing
Management. Accessed on: 13 Sep 2022. https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?
doi=10.1.1.467.4544&rep=rep1&type=pdf

Burkart A.J. and Medlik S. (1982). Tourism: Past, Present and Future. London: Heineman.
Second Edition.

Chalida Rungsuwannarat, Nigel Norapaht Thanawat Michiels, Daichi Fujiwa, Feng Lin. (2015).
A Comparative Study of Destination Image between Thailand and Indonesia. Alpheit Journal,
volume 4 no. 2. https://apheit.bu.ac.th/jounal/Vol4No2JulyDec2015/4-p5-26.pdf

Crompton, J. (1979) Motivations for pleasure vacation. Annals of Tourism Research 6(4), 408–
424. https://doi.org/10.1016/0160-7383(79)90004-5
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0160738379900045

Eva Šimková, Psychology and its Application in Tourism, 4th World Conference on Psychology,
Counselling and Guidance WCPCG-2013
https://www.researchgate.net/publication/270848051_Psychology_and_its_Application_in_Touri
sm

Htoo Myat Aung, Ei The Nge Nge and Yasue Hichitake. (2015).Destination Image of

45
Thailand and Singapore, International Program in Service Industry Management, Siam
University. https://apheit.bu.ac.th/jounal/Vol4No2JulyDec2015/7-p59-68.pdf

I Gusti Bagus Rai Utama. (2016). Destination image of Bali based on the push motivational
factors, identity and destination creations in the perspective of foreign senior tourist. JMK,
VOL. 18, NO. 1, MARET 2016, 16–24
https://ojs.petra.ac.id/ojsnew/index.php/man/article/view/19629

Iso-Ahola, Seppo E. (1982). Towards a Social Psychological Theory of Tourism Motivation: A


Rejoinder. Annals of tourism research 9 (2): 256-262
https://www.researchgate.net/publication/248499578_Toward_a_Social_Psychological_Theory_
of_Tourism_Motivation_A_Rejoinder

46
Juvan Emil, Omerzel D. Doris, and Maravić Maja U. (2017). Tourist Behaviour: An Overview of
Models to Date. Management International Conference, Monastier di Troviso (Venice), Italy, 24-
27 May 2017. https://www.hippocampus.si/ISBN/978-961-7023-71-8/2.pdf

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, STATISTIK KUNJUNGAN WISATAWAN


MANCANEGARA INTERNATIONAL VISITOR ARRIVALS STATISTICS 2020, Juni 2021,
https://api2.kemenparekraf.go.id/storage/app/uploads/public/629/f05/c5a/629f05c5aad49217562
022.pdf.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, STATISTIK PROFIL WISATAWAN


MANCANEGARA 2016, Passenger Exit Survey 2015, Desember 2019.
https://kemenparekraf.go.id/publikasi-passenger-exit-survey/passenger-exit-survey-2015

Klenosky, David B. (2002). The ''Pull'' of Tourism Destinations: A Means-End Investigation.


Journal of Travel Research. 40(4):396-403. DOI:10.1177/004728750204000405
https://www.researchgate.net/publication/249701141_The_Pull_of_Tourism_Destinations_A_M
eans-End_Investigation

Larry Dwyer, Gill Alison and Seetaram Neelu (2012). Handbook of Research Methods in
Tourism Quantitative and Qualitative Approaches. Edward Elgar Publishing Limited, The
Lypiatts, Cheltenham, Glos GL50 2JA, UK.
https://moodle.univ-
angers.fr/pluginfile.php/2413368/mod_resource/content/1/2012_Handbook%20of%20Research
%20Methods%20in%20TOURISM.pdf

Mastercard International, Global Destination Cities Index 2019

Mill, Robert Christie and Morrison, Alastair M. (1985). The Tourism System: An Introductory
Text, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliff

Nimit Soonsan and Sasiwemon Sukahbot. (2019). Testing the role of country and
destination image effect on satisfaction and revisit intentions among Western travellers,
African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, Volume 8 (4).
https://www.ajhtl.com/uploads/7/1/6/3/7163688/article_28_vol_8_4 2019_thailand.pdf

Nor’Ain Othman, Hassnah Wee, Razip Hassan. (2014). How did Malaysia manage its position
as top 10 world tourist destinations in UNWTO ranking in 2012? Journal of Spatial and
47
Organizational Dynamics, Volume II, Issue 1, 2014.
https://www.academia.edu/28820543/HOW_DID_MALAYSIA_MANAGE_ITS_POSITION_A
S_TOP_10_WORLD_TOURIST_DESTINATIONS_IN_UNWTO_RANKING_IN_2012?email
_work_card=abstract-read-more

Passafaro P, Chiarolanza C, Amato C, Barbieri B, Bocci E and Sarrica M (2021) Editorial:


Outside the Comfort Zone: What Can Psychology Learn From Tourism (and Vice Versa). Front.
Psychol. 12:650741. doi: 10.3389/fpsyg.2021.650741.
https://www.scienceopen.com/document_file/a9f8d83b-cdc6-41cf-8ecc-
115e77c27d08/PubMedCentral/a9f8d83b-cdc6-41cf-8ecc-115e77c27d08.pdf

48
Pearce, Philip L. and Stringer, Peter F. (1991). P s y c h o l o g y A n d T o u r i s m . Annals of
Tourism Research, Vo. 18, pp. 136-154, 1991.
https://www.academia.edu/24655270/Psychology_and_tourism

Petriana, Bernadeth (2017). The perceived destination image of Indonesia: An Assessment on


Travel Blogs Written by the Industry’s Top Markets. Thesis Master Degree at Victoria University
of Wellington. Unpublished.
https://researcharchive.vuw.ac.nz/xmlui/bitstream/handle/10063/6472/thesis_access.pdf?sequenc
e=1
Picard, Michel (2006), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Kepustakaan Populer
Gramedia, Forum Jakarta-Paris. Jakarta 2006

Qiu, R.T.R., L. Masiero and G. Li (2018). The psychological process of travel destination
choice. Journal of Travel & TourismMarketing. DOI:
10.1080/10548408.2018.14353
https://www.researchgate.net/publication/323146766_The_psychological_process_of_travel_des
tinati on_choice

Rabia Yasmeen, Vitalij Vladykin and Nadejda Popova. (2021). Top 100 City Destinations Index
2021. Euro Monitor International 2021

Raden Muhammad Mulyadi dan Linda Sunarti. (2019). Film induced tourism dan destinasi
wisata di Indonesia. Metahumaniora. Volume 9, Nomor 3, Desember 2019, Halaman 340 – 356.
https://www.academia.edu/42060848/FILM_INDUCED_TOURISM_DAN_DESTINASI_WISA
TA_DI_INDONESIA

Reitsamer Bern F, Sperdin Alexandra B. and Sauer Nicola E. Stokburger (2016). Destination
attractiveness and destination attachment: The mediating role of tourists’ attitude. Tourism
Management Perspectives (2016), 19, 93-101. [https://doi.org/10.1016/j.tmp.2016.05.003]
https://www.researchgate.net/publication/303599063_Destination_attractiveness_and_destinatio
n_attachment_The_mediating_role_of_tourists%27_attitude

Ross, G.F. (1997),.The Psychology of Tourism. Melbourne: Hospitality Press

Sadar Pakarti Budi, Wiendu Nuryanti, Bakti Setiawan dan Budi Prayitno. (2015). Model

49
Pengembangan Citra Kawasan Pariwisata Berdasarkan Kepuasan Pengunjung : Studi Kasus
Jakarta. Proceedings-Conference on URBAN STUDIES AND DEVELOPMENT, 8 September
2015 (189 – 196). http://eprints.undip.ac.id/49792/1/3.6.Prosiding_Sadar_Pakarti_Budi.pdf

Satyarini, Ni Wayan Marsha, Myrza Rahmanita, Sakchai Setarnawat. (2017). The Influence of
Destination Image on Tourist Intention and Decision to Visit Tourist Destination (A Case Study
of Pemuteran Village in Buleleng, ,Bali, Indonesia). TRJ Tourism Research Journal 2017, Vol. 1
No. 1, http://trj.stptrisakti.ac.id/9e552353-31fa-4684-ad17-04c606ce1807

Singh, Amrik and Chon, Kaye-Sung (1996). Marketing Singapore as an International


Destination. Journal of Vacation Marketing. Vol. 2 No. 3, 1996.
https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.902.5607&rep=rep1&type=pdf

Sonnleitner, Khatarina. (2011). Destination image and its effects on marketing and branding a
tourist destination: A case study about the Austrian National Tourist Office - with a focus on the

50
market Sweden. Master’s Dissertation. Södertörn University, School of Business Studies.
https://www.academia.edu/8971288/FULLTEXT01?email_work_card=view-paper

Tasci Asli D. A. (2009). A Semantic Analysis Of Destination Image Terminology. Tourism


Review International, Vol. 13. 2009.
https://www.academia.edu/5022759/A_semantic_analysis_of_destination_image_terminology_T
ourism_Review_International?email_work_card=view-paper

Tak Kee Hui and Tai Wai David Wan. (2003). Singapore’s Image as a Tourist Destination.
International Journal of tourism research.
http://www.tourism.tallinn.ee/static/files/043/singapores_image_as_a_tourist_destination.pdf

Utama, I.G.B.R, Tourism Destination Image of Bali According to European Tourist, Conference
Paper · January 2017, 2nd International Conference on Innovative Research Across Disciplines
(ICIRAD 2017).
https://www.researchgate.net/profile/I-Gusti-Bagus-Rai-
Utama/publication/319950483_Tourism_Destination_Image_of_Bali_According_to_European_
Tourist/links/6181e73f3c987366c31c863f/Tourism-Destination-Image-of-Bali-According-to-
European-Tourist.pdf?origin=publication_detail

Wulandari, Nafisah Ratanti. (2014). Projected and Perceived Images of Indonesia’s Tourism
Campaign Wonderful Indonesia. Thesis program Master, European Master in Tourism
Management (EMTM), University of Southern Denmark, Denmark, University of Ljubljana,
Slovenia, University of Girona, Spain.
https://www.academia.edu/9402874/Projected_and_Perceived_Images_of_Indonesias_Tourism_
Campaign_Wonderful_Indonesia

Yousaf, A., Amin, I., C. Santos, J.A. (2018). Tourists’ Motivations to Travel: a Theoretical
Perspective on the Existing Literature. Tourism and Hospitality Management. Vol. 24, No. 1, pp.
197-211, 010403, DOI: 10.20867/thm.24.1.8. https://doi.org/10.20867/thm.24.1.8
https://www.researchgate.net/publication/324903459_Tourist%27s_Motivations_toTravel_A_Th
eoretical_Perspective_on_the_Existing_Literature

The Journal: https://ejournal.upi.edu/index.php/thejournal/article/view/1978


51
https://www.money.co.uk/loans/natural-beauty-report

52
27

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai