Kel. 4 CKD
Kel. 4 CKD
Keperawatan Paliatif
Disusun Oleh:
KELAS A NON REGULER
KELOMPOK 4
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
kehadirat- Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya-Nya kepada saya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Problem Basic Learning (PBL) Keperawatan
Paliatif
Tugas dari mata kuliah Keperawatan Paliatif telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan dari beberapa sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada beberapa sumber yang telah
membantu dalam pembuatan Problem Basic Learning (PBL) ini dan tak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini Ns. Ita Sulistiani, M.Kep.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baikdari segi susunan dan cara pengeditan kerapian dalam tugas ini. Oleh karena itu dengan
tanganterbuka kami menerima segala saran dan kritik dari dosen pengampu mata kuliah dan
pembacaagar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk banyak orang
dan dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap para pembaca.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................................3
PENDAHULUAN
Prevalensi gagal ginjal kronis di seluruh dunia mencapai 10% dari populasi
(Kovesdy, 2022). Prevalensi gagal ginjal kronis terjadi peningkatan di seluruh dunia,
keseluruhan dengan menyatukan hasil dari 33 studi perwakilan yang berbasis populasi
seluruh dunia (Kovesdy, 2022). Jadi jumlah total individu yang menderitagagal ginjal
kronis saat ini di seluruh dunia dengan stadium 1- 5 yaitu diperkirakansejumlah 843,6
Jumlah penderita gagal ginjal kronis di Asia, diperkirakan 434,3 juta orang
dewasa menderita gagal ginjal kronis di Asia (Liyanage et al., 2022) . Jumlah terbesar
dari orang dewasa yang hidup dengan gagal ginjal kronis berada di Cina sekitar 159,8
juta, dan India sekitar 140,2 juta (Liyanage et al., 2022). Secara kolektif memiliki
69,1% dari jumlah orang dewasa dengan gagal ginjal kronis di wilayah tersebut
Jumlah orang yang menderita gagal ginjal di Indonesia telah meningkat dari
0,20% pada tahun 2013 menjadi 0,38% pada tahun 2018, dengan memperhitungkan
gagal ginjal kronis. Jumlah penduduk Provinsi Bali sebesar 4.225.384 jiwa dengan
prevalensi gagal ginjal kronis sebesar 0,44% sehingga terdapat sekitar 12.092 orang
yang menderita gagal ginjal kronis (Kemenkes RI, 2018).
albuminuria, dan anatomi yang abnormal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih.
Albuminuria ditandai dengan laju ekskresi albumin ≥30 mg/24 jam atau rasio albumin
kreatinin ≥30 mg/mmol, sedimen urin yang abnormal, dan gangguan elektrolit lainnya
yang disebabkan oleh gangguan tubular ginjal, histologi yang abnormal, abnormalitas
struktur melalui pencitraan juga riwayat transplantasi ginjal Insidens PGK pada tahun
1995-1999 di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 100 kasus per juta penduduk per
tahun. Angka ini terus meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Insiden di negara-negara
berkembang lainnya diperkirakan sekitar 40- 60 kasus per juta penduduk per tahun.
Kalimantan Utara (0,64%), diikuti Maluku Utara (0,56%), Sulawesi Utara (0,53%),
Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (0,52%). Berdasarkan jenis
kelamin, prevalensi PGK pada laki-laki sebesar 0,42% dan 0,35% pada perempuan.
Menurut usia, prevalensi PGK tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun (0,82%).
toksin, penyakit autoimun dan infiltratif. Penyakit ginjal kronik yang progresif dapat
menimbulkan beberapa komplikasi dengan prevalensi dan intensitas yang lebih tinggi
pada fungsi ginjal yang lebih rendah. Komplikasi yang dapat terjadi ialah penyakit
dan mortalitas yang tinggi serta memengaruhi kualitas hidup yang buruk. Anemia pada
PGK dan gangguan mineral dan tulang pada PGK sering dimulai pada stadium 3,
Pasien yang menderita gagal ginjal kronis dapat mengalami dampak berupa
penumpukan kelebihan cairan dalam tubuh. Kelebihan cairan pada pasien gagal ginjal
kronis dapat menyebabkan tubuh pasien mengalami edema paru sehingga menimbulkan
sesak. Pasien gagal ginjal kronis harus diberikan diet pembatasan cairan untuk
mencegah terjadinya kelebihan cairan. Rasa haus menjadi salah satu pemicu pasien
gagal ginjal kronis mengalami kelebihan cairan. Haus yang dialami oleh pasien
menyebabkan pasien minum lebih banyak sehingga asupan cairan pasien meningkat.
Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya tidak merasakan keluhan apapun hingga
gagal ginjal kronis tidak menunjukkan tanda atau gejala, kondisi tersebutdapat
Pasien gagal ginjal kronis dapat mengalami gejala seperti kelelahan, kekurangan
energi, kesulitan berkonsentrasi, penurunan nafsu makan, insomnia, kulit kering dan
gatal, serta sering buang air kecil terutama di malam hari (Agustianingsih et al., 2017).
Tanda dan gejala gagal ginjal kronik dapat dilihat tidak hanya mengenai sistem
organ perkemihan, namun juga dapat menimbulkan dampak pada berbagai sistem organ
lainnya. Maka dari itu membutuhkan penatalaksanaan terhadap penderita, salah satunya
dengan hemodialisa, karena hemodialisa merupakan terapi pilihan utama dan paling
umum dijalani oleh pasien gagal ginjal kronik. Meskipun hemodialisa menjadi terapi
pilihan dan efektif untuk penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronik, bukan
berarti hemodialisis tidak dapat menyebabkan masalah atau komplikasi (Alwan dan
hemodialisis. Terapi hemodialisis diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal kronis
stadium akhir dan tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkan kondisi tersebut
(Cahyani et al., 2022). Hemodialisis merupakan suatu terapi pengganti fungsi ginjal
dengan cara memasukkan darah ke dalam alat buatan berupa tabung ginjal atau dialiser
kadar elektrolit yang terganggu (Amalia & Apriliani, 2021). Keinginan untuk minum
atau rasa haus merupakan kesadaran akan kebutuhan cairan dalam tubuh. Rasa haus
biasanya muncul saat konsentrasi osmolalitas di dalam plasma mencapai hingga 295
mOsm/kg (Ardiyanti et al., 2015). Masalah yang akan muncul dari peningkatan rasa
haus yaitu meningkatnya intake cairan dengan minum (Ardiyanti et al., 2015). Akibat
Pasien dengan gagal ginjal kronis akan mengalami kondisi hypervolemia atau
peningkatan volume cairan yang berlebihan dalam tubuh, hal tersebut membuat pasien
gagal ginjal kronis perlu dilakukan pembatasan cairan, pembatasan cairan tersebut
akan membuat pasien yang menjalani hemodialisis dapat mengalami gejala mulut
kering yang dapat meningkatkan rasa haus yang dirasakan pada pasien hemodialisis,
sehingga terjadilah pasien hemodialisis tidak dapat mengikuti diet pembatasan cairan
hemodialisis
mengalami hipervolemia atau kelebihan volume cairan karena asupan cairan pasien
yang kian meningkat akibat dari rasa haus yang dialami (Armiyati et al., 2019).
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik?
1.3. Tujuan
10. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik.
1.4. Manfaat
Seperti penyakit kronis dan lama laiinya penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi menurut suwitra (2021) anatara lain adalah :
1. Hiperkalemi yang disebakan oleh penurunan sekresi asidosis metabolic
2. Pericarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Anemia yang disebakan oleh penurunan eritropoitin.
4. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolic akibat adanya retens fosfat kadar
kalsium yang rendah, metabolisme, vitamin D yang abnormal
5. Uremia yang disebabkan oleh peningkatan kadar uream dalam tubuh
6. Gagal jantung yang disebakan oleh penigkatan kerja jantung yang berlebihan
7. Malnutrisi dikarenakan anoreksia , mual dan muntah
8. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.
2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD menurut (Dessy Hadrianti,2021):
1. Tindakan konservatif Tujuan pengobatan pada tahap ini iaalah untuk
memperlambat gangguan fungsi ginjal. Terdapat pengaturan diet protein,
kalium,natrium dan cairan.
a. Pembatasan protein
Pembatasan asupan gizi protein telah terbukti memperlambat terjadinya
gagal ginjal. Pasien yang dapat jadwal terapi hemodialisa yang tertur,
jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60- 80gr\hari.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya bermasalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang
dianjurkan ialah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan
yang tinggi kadar natrium dapat terjadinya hiperkalemia
c. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1- 2 gr Na). Asupan
natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
Pengaturan cairan Pengawasan yang ketat diperlukan bagi penderita CKD
tahap akhir yang mengomsumsi cairam. Parameter yang tepat untuk dipantau
selain catatan asupan dan pengeluaran cairan adalah pengukuran berat badan
setiao harinya. Komsumsi ciran yang berlebihan dapat menyebabkan beban
sirkulasi dan edema. Sedangkan, komsumsi cairan yang terlalu sedikit juga
menyebabkan dehidrasi dan gangguan fungsi ginjal.
Ada beberapa pencegahan dan pengobatan komplikasi antara lain hipertensi,
hiperkalemia, anemia, diet fosfat.
1. Hipertensi
Manajemen hipetensi pada CKD dapat diatur dengan pembtasan cairan dan
natrium. Apabila penderita sedang menjalani terapi hemodialisa, pemberian
antihipertensi dihentikan dapat terjadi hipotensi dan diakibatkan oleh
keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.
2. Hiperkalemia
Salah satu komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum mencapai
sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan henti jantung. Hiperkalemia
dapat diobat dengan pemberian glukosa dan insulin intravena K+ ke dalam
sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10%.
3. Anemia
Anemia akan menyebabakan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal.
Pengobatan anemia meliputi rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan
pemberian vitamin dan asam folat dan tranfusi darah.
4. Asidosis
Asidosis biasanya tidak diobati kecuaki HCO3, plasma turun dibawah angka
15 mEq/I. Bila asidosis yang berat akan dikoreksi dengan pemberian Na
HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral.
5. Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam
usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan
makanan.
2.1.8. Pencegahan
2.2.1. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak dapat mengeluarkan insulin,
aktivitas insulin yang melemah atau keduanya. Kerusakan jangka panjang dan
kegagalan organ yang berbeda, misalnya, mata, ginjal, saraf, jantung dan vena
dapat terjadi ketika dalam kondisi hiperglikemia berkelanjutan (ADA, 2020).
Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
menggunakan insulin dan dianalisis dengan melihat kadar glukosa dalam darah.
Insulin adalah zat kimia yang dibawa oleh organ pankreas yang berperan dalam
memasukkan glukosa dari system peredaran darah ke ponsel tubuh untuk
digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2019).
Diabetes Melitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak dikenal luas, rata-
rata penderita DM berumur ≥ 30 tahun. Pada Diabetes Melitus tipe 2 pankreas
mampu menghasilkan insulin, namun sifat insulin yang dihasilkan buruk dan
tidak dapat bekerja seperti yang diharapkan sebagai kunci untuk memasukkan
glukosa ke dalam sel. Dengan demikian terjadi peningkatan glukosa dalam darah.
Peluang lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah bahwa jaringan tubuh dan
sel otot pasien tidak peka atau secara efektif kebal terhadap obstruksi insulin
sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan dalam jangka panjang
menumpuk dalam aliran darah (Kemenkes RI, 2020).
2.2.2. Etiologi
Menurut (Paulus, 2019), Diabetes melitus berkaitan erat dengan peran
penting hormone insulin dan reseptornya dalam sel tubuh manusia. Ada dua etiologi
yang berperan pada kejadian diabetes melitus tipe II. Di satu sisi, terjadi karena
adanya penurunan sensitivitas dari insulin (resitensi terhadap insulin). Artinya,
meskipun jumlah insulin cukup, reseptor insulin tidak dapat bekerja, dengan baik
untuk menurunkan kadar glukosa darah akibat kerusakan pada reseptor insulin di
sel. Dengan demikian hormone insulin tidak dapat berkaitan dengan reseptornya dan
glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel, (Amaliyah, 2022). Kedua karena
penuruanan produksi insulin oleh sel beta pankreas. Diabetes Melitus tipe II
diintervensikan dengan cara edukasi diet, latihan fisik/olahraga, dan pemantauan
glukosa darah.
Selain itu, perawatan dan pengobatan dapat menggunakan hipoglikemia oral
atau insulin sesuai dengan kebutuhan. Sampai saat ini penyebab pasti dibalik orang
yang menderita diabetes melitus tipe 2 belum diketahui secara jelas. Namun
terdapat faktor tertentu yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengidap
diabetes melitus tipe ini, (Paulus Subianto, 2019). Faktor-faktor risiko inilah diduga
kuat menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan kegagalan sel beta pankreas
dalam memproduksi insulin sehingga terjadi hiperglikemia yang tidak
terkompensasi oleh insulin dari dalam tubuh.
Faktor-Faktor tersebut antara lain:
1. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes melitus tipe 2. Semakin banyak
jaringan lemak yang dimiliki seseorang, semakin banyak reseptor insulin yang
mengalami gangguan dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Namun,
seseorang tidak harus mengalami obesitas untuk mengembangkan diabetes
melitus tipe 2. Seseorang dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/ m2 atau
120% memiliki risiko tinggi diabetes. Jika di tempat lain, seperti pinggul dan
paha.
2. Dislipidemia tubuh menyimpan lemak terutama di perut (Obesitas sentral),
risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar daripada jika tubuh menyimpan lemak
Seseorang dengan kadar kolestrol HDL ≤ 35 mg/ dL, dan tau kadar trigliserida
≥250% mg/ dL atau dislipidemia memiliki risiko tinggi diabetes melitus tipe 2.
3. Ras
Meskipun tidak jelas mengapa, oerang-orang dari ras tertentu, termasuk orang
kulit hitam, hispanik, indian Amerika dan orang Asia- Amerika, lebih cenderung
mengembangkan diabetes melitus tipe 2 daripada orang kulit putih.
4. Usia
Risiko diabetes melitus tipe II meningkat seiring bertambahnya usia, terutama
setelah usia 45 tahun. Hal ini terjadi karena orang cenderungkurang berolahraga,
kehilangan massa otot, mengalami peningkatan berat badan seiring
bertambahnya usia. Namun, jumlah penderita diabetes melitus tipe II juga
meningkat secara drastis di kalangan anak- anak, remaja, dan orang dewasa
muda.
5. Pre-diabetes
Pre-diabetes adalah kondisi di mana tingkat gula darah lebih tinggi dari
biasanya, namun tidak cukup tinggi untuk diklasifikasikan sebagai diabetes.
Pasien dengan riwayat glukosa darah puasa terganggu < 140 diabetes melitus
tipe II. mg/dL (GDPT) dan toleransi glukosa terganggu 140-199 mg/dL (TGT).
Jika tidak segera ditangani, prediabetes dapat berkembang menjadi diabetes
melitus tipe II.
6. Gaya hidup atau jarang melakukan aktivitas fisik
Seseorang yang tidak aktif secara fisik, memiliki kecenderungan risiko diabetes
melitus tipe II yang lebih tinggi. Aktivitas fisik membantu mengendalikan berat
badan, menggunakan glukosa sebagai energy dan membuat sel lebih sensitive
terhap insulin.
7. Riwayat keluarga atau herediter Resiko diabetes melitus tipe II meningkat jika
orang tua atau saudara kandung memiliki diabetes melitus tipe 2.
8. Seorang ibu dengan riwayat diabetes gestasional dan pernah melahirkan bayi
dengan berat > 400 gram.
9. Penderita hipertensi, PJK, dan hipertiroidisme diketahui juga mempunyai risiko
tinggi diabetes.
2.2.3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi diabetes yang ideal berdasarkan perawatan klinis,
patologi, dan epidemiologi, tetapi saat ini belum memungkinkan karena
keterbatasan pengetahuan dan sumber daya yang ada pada sebagian besar negara
di dunia. Beberapa ahli mengusulkan pengelompokan berdasarkan perawatan
klinis dan perlu tidaknya pemberian insulin terutama pada saat diagnosis (WHO
2019).
Secara umum DM dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) diabetes
tipe I, (2) diabetes tipe II, (3) gestasional, dan (4) diabetes spesifik lain. Penderita
diabetes tipe I ditemukan pada anak-anak dan remaja. Data penderita diabetes tipe
I secara global belum ada tetapi di negara maju penderita diabetes tipe II
meningkat antara 3 sampai 4% pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan
per tahunnya (WHO, 2019). Umumnya diabetes tipe II terjadi pada orang dewasa
tetapi sekarang ini jumlah anak-anak dan remaja yang menderita diabetes tipe II
meningkat. Diabetes tipe II menjadi masalah kesehatan global dan serius yang
berevolusi karena perubahan budaya, ekonomi dan sosial, populasi lanjut usia,
peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan (peningkatan konsumsi makanan
olahan dan gula), obesitas, aktivitas fisik berkurang, gaya hidup tidak sehat,
malnutrisi pada janin, paparan hiperglikemia pada janin saat kehamilan
(Alauddin, 2020).
Diabetes gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada masa
kehamilan Biasanya terjadi pada trimester kedua dan ketiga saat kehamilan karena
hormon yang disekresi plasenta menghambat kerja insulin. Sekitar 30-40%
penderita diabetes gestasional berkembang menjadi diabetes tipe II Diabetes
gestasional terjadi pada 7% kehamilan dan meningkatkan risiko kematian pada
ibu dan janin. Diabetes spesifik lain merupakan diabetes berhubungan dengan
genetik, penyakit pada pankreas, gangguan hormonal, penyakit lain atau pengaruh
penggunaan obat (seperti glukokortikoid, pengobatan HIV/Aids, antipsikotik
atipikal), (Alauddin, 2020).
2.2.4. Manifestasi Klinis
Menurut (Hardianto, 2020) tanda dan gejala yang sering muncul pada
penderita diabetes mellitus diantaranya yaitu:
a. Polidipsia, haus yang meningkat karena berkurangnya air dan elektrolit dalam
tubuh.
b. Polifagia, nafsu makan meningkat karena berkurangnya kadar glukosa darah
dalam jaringan.
c. Glikosuria, kondisi terdapat glukosa di dalam urin yang umumnya terjadi
ketika kadar glukosa darah mencapai 180 mg/dL.
d. Poliuria disebabkan adanya peningkatan osmolaritas filtrat glomerulus dan
penghambatan reabosorpsi air dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan
volume urin yang dikeluarkan meningkat dan membuat penderita sering
buang air kecil.
e. Dehidrasi, kekurangan cairan akibat kadar gula darah yang meningkat
menyebabkan cairan ekstraselular hipertonik dan air dalam sel keluar.
f. Kelelahan/merasa lemah.
g. Berat badan mengalami penurunan.
h. Penurunan fungsi penglihatan.
i. Kram.
j. Konstipasi atau kesulitan buang air besar.
2.2.5. Patofisiologi
Dapat terjadi pada kaki awalnya ditandai dengan adanya kelebihan gula
dalam darah pada seseorang penderita DM yang akan menimbulkan suatu
kelainan pada neuropati dan adanya kelainan pada pembuluh darah . Neuropati
sensorik serta neuropati motorik akan mengakibatkan terjadinya perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki sehingga mempermudah timbulnya ulkus.
Kerentanan pada infeksi yang luas. Aliran darah yang kurang akan sulit di dalam
pengelolaan ulkus diabetes (Amaliyah, 2022).
Pada saat awal membentuknya ulkus ada hubungan dengan hiperglikemia
yang akan menimbulkan suatu efek didalam saraf perifer. Dengan timbulnya
suatu tekanan mekanik akan terbentuknya keratin pada kaki yang mengalami
beban ynag cukup besar. Neuropati sensori perifer kemungkinan yang akan terjadi
trauma berulang sehingga akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Dan yang
se;lanjutnya membentuk kavitas yang bisa membesar dan terjadi rupture hingga
pada permukaan kulit yang akan menimbulkan ulkus (Fatmawaty, 2019). Pada
diabetes tipe I, sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun,
sehingga insulin tidak dapat diproduksi. Hiperglikemia puasa terjadi karena
produksi glukosa yang tidak dapat diukur oleh hati. Meskipun glukosa dalam
makanan tetap berada di dalam darah dan menyebabkan hiperglikemia
postprandial (setelah makan), glukosa tidak dapat disimpan di hati. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan dapat menyerap
kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh karena itu ginjal tidak dapat
menyerap semua glukosa yang disaring. Akibatnya, muncul dalam urine (kencing
manis). Saat glukosa berlebih diekskresikan dalam urine, limbah ini akan disertai
dengan ekskreta dan elektrolit yang berlebihan. Kondisi ini disebut diuresis
osmotik. Kehilangan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
buang air kecil (poliuria) dan haus (polidipsia), (Baynest 2015, Kumar et al. 2017,
Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Kekurangan insulin juga dapat mengganggu metabolisme protein dan
lemak, yang menyebabkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan
insulin, kelebihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan di
jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme lemak akan
meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara waktu makan, saat sekresi
insulin minimal, namun saat sekresi insulin mendekati, metabolisme lemak pada
DM akan meningkat secara signifikan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah pembentukan glukosa dalam darah, diperlukan peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan oleh sel beta pancreas (Padila, 2019).
Pada penderita gangguan toleransi glukosa, kondisi ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan tetap pada level normal
atau sedikit meningkat. Namun, jika sel beta tidak dapat memenuhi permintaan
insulin yang meningkat, maka kadar glukosa akan meningkat dan diabetes tipe II
akan berkembang (Padila, 2019). Diabetes tipe II terjadi karena resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin karena kelainan fungsi sel β. Resistensi insulin
ditandai dengan berkurangnya kemampuan insulin untuk menyeimbangkan kadar
glukosa darah karena berkurangnya sensitivitas jaringan sehingga meningkatkan
produksi insulin oleh sel β pancreas, umumnya penderita DMT2 mempunyai berat
badan berlebih atau obesitas sehingga insulin tidak dapat bekerja secara optimal
dan sebagai kompensasinya diproduksi insulin yang lebih banyak. Kelainan
fungsi sel β pada DMT2 pada orang Asia lebih banyak dibandingkan dengan
orang Eropa. DMT2 sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemia yang tidak
cukup parah untuk menunjukkan gejala diabetes, (Baynest 2015, Kumar et al.
2017, Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Obesitas berkontribusi sebesar 55% dari kasus diabetes tipe II.
Peningkatan obsesitas pada rentang tahun 1960 sampai dengan tahun 2000
menyebabkan kasus diabetes tipe II pada anak-anak dan remaja. Racun/toksin
yang berasal dari lingkungan, seperti adanya senyawa bisfenol A sebagai
komponen plastik di dalam urin dapat menginduksi terjadinya diabetes tipe II
(Hardianto D, 2020).
2.2.6. Komplikasi
Komplikasi diabetes melitus bisa terjadi apabila terdapat perubahan
metabolik yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi dari
makromolekul yang ada di dalam tubuh. Menurut (Prawitasari, 2019) beberapa
komplikasi pada diabetes mellitus bisa berupa : a. Retinopati diabetik. b.
Nefropati. c. Neuropati d. Kardiomiopati. e. Komplikasi makroangiopati seperti
aterosklerosis. f. Ulkus diabetikum Ulkus diabetikum merupakan komplikasi
umum yang sering terjadi pada pasien diabetes mellitus (Oktorina et al., 2019).
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Paulus, 2019), untuk memastikan seseorang menderita Diabetes
Melitus Tipe 2 diperlukan skrining pemeriksaan kadar glukosa darah dengan nilai
satuan yang dinyatakan dalam milligram per desiliter (mg/ dL) atau milimoles per
liter (mmol/ L).
Beberapa cara pemeriksaan kadar glukosa darah untuk menegakkan
diagnosis Diabetes melitus sebagai berikut:
1. Tes gula darah acak atau sewaktu
Sampel darah akan diambil pada waktu acak. Terlepas dari kapan seseorang
terakhir makan, Kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/ L) sudah
dapat digunakan untuk menyatakan seseorang menderita diabetes, terutama
bila digabungkan dengan gejala khas dan tidak khas dari diabetes.
2. Tes gula darah puasa
Sampel darah akan diambil stelah puasa semalam selama 8-10 jam. Tingkat
gula darah puasa kurang dari 100 mg/ dL (5,6 mmol/L) adalah normal.
Tingkat gula darah puasa dari 100 hingga 125 mg/dL (5,6 hingga 6,9
mmol/L) diangap prediabetes. Jika 126 mg/dL (mmol/L) atau lebih tinggi
pada dua tes terpisah berarti pasien menderita diabetes.
3. Tes toleransi glukosa oral
Untuk tes ini, pasien harus berpuasa selama 8-10 jam, minum air putih tanpa
gula tetap diperbolehkan. Setelah diperiksa kadar gula darah puasa, pasien
diberi glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 cc, lalu diminum dalam
waktu 5 menit, selanjutnya berpuasa kembali. Setelah 2 jam kemudian
glukosa darah diepriksa. Kadar gula darah kurang dari 140 mg/dL (7,8
mmol/L) adalah normal. Pembacaan antara 140 dan 199 mg/dL (7,8 mmol/L
dan 11,0 mmol/L) menunjukkan prediabetes. Pembacaaan 200mg/dL (11,1
mmol/L) atau lebih tinggi setelah dua jam pembebanan glukosa dapat
mengindikasi diabetes.
2.2.8. Penatalaksanaan
Sesuai (Perkeni, 2021) individu dengan diabetes melitus memerlukan
pertimbangan yang sah dalam penatalaksanaan klien diabetes melitus, ada 4
(empat) poin pendukung, untuk lebih spesifiknya:
1. Obat anti hiperglikemik oral
Berdasarkan cara kerja obat dapat dibagi menjadi 5 (lima) golongan,
(Perkeni, 2021), yaitu:
a. Pemacu sekresi insuin (Insulin secretagogue)
1) Sulfoniluera
Kelas obat ini memiliki dampak mendasar untuk memperluas pelepasan
insulin oleh sel beta pankreas. Efek super sekunder adalah hipoglikemia
dan penambahan berat badan. Berhati- hatilah dalam menggunakan obat
ini pada klien dengan risiko hipoglikemia yang tinggi (usia lanjut,
gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam kelas ini adalah
glibenclamide, glipizide, gliquidone dan gliclazide.
2) Glinid
Obat-obatan yang bekerja dengan cara yang hampir sama dengan
sulfonylurea, namun bervariasi di area reseptor, dengan produk akhir
menyembunyikan periode utama dari perluasan emisi insulin. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinide (derivate asam benzoate)
dan Nateglinide (Derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizers)
1) Metformin
Metformin memiliki dampak mendasar dalam mengurangi pembentukan
glukosa hepatic (gluconeogenesis) dan lebih lanjut m2) mengembangkan
pengambilan glukosa di jaringan pinggiran. Metformin adalah keputusan
pertama dalam beberapa waktu dari diabetes melitus tipe 2. Porsi
metformin berkurang pada klien dengan gangguan kemampuan ginjal
(GFR30-60ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
keadaan tertentu, misalnya, kelemahan hati yang serius dank lien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya, penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, PPOK (Penyakit Pneumonia Obstruktif Konstan), kerusakan
kardiovaskular). Efek sekunder yang mungkin terjadi adalah masalah
sistem usus seperti dyspepsia.
2) Thiazolidinedione
Kelas obat yang mengurangi obstruksi insulin dengan meningkatkan
berapa banyak protein penggerak glukosa, dengan cara ini memperluas
pengambilan glukosa di jaringan pinggiran. Obat ini dapat menyebabkan
pemeliharaan cairan tubuh sehingga kontraindikasi pada klien dengan
gangguan kardiovaskular karena dapat memperparah edema atau
pemeliharaan cairan. Obat yang memiliki tempat dengan kumpulan ini
adalah pioglitazone.
c. Penghambat alfa glukosa: metrofin
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorbsi glukosa dalam usus halus.
Penghambat ini tidak digunakan pada keadaan gangguan faal hati yang berat,
Irritable bowel syndrome (IBS). Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga akan sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat diberikan dengan
dosis kecil. Contohnya obat golongan ini adalah acarbose.
d. Penghambat absorbs gula: penghambat glukosidase alfa
1) DPP-IV Inhibitor
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di stubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat
golongan ini dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek
samping dari pemberian obat ini adalah pemberian obat ini adalah infeksi
saluran kemih dan genital.
e. Obat antihiperglikemia injeksi
1) Insulin, insulin digunakan pada keadaan:
a) HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
b) HbA1c saat diperiksa >9%
c) Penurunan berat badan yang cepat
d) Hiperglikemia berat yang di sertai dengan ketosis
e) Krisis hiperglikemia
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g) Stress berat (infeksi, operasi besar, infarkcmiokard akut, stroke)
h) Kehamilan dengan Diabetes Melitus Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau
alergi
j) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
2) Jenis dan cara kerja insulin:
a) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
b) Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
c) Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
d) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
e) Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
f) Insulin campuran tepat, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (premixed insulin)
g) Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat.
3) Efek samping insulin:
a) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
b) Reaksi GLP-1 (Incretin Mimetic)
c) Incretin adalah bahan kimia peptide yang dilepaskan oleh saluran
pencernaan setelah konsumsi makanan, yang dapat meningkatkan
emisi insulin melalui perasaan glukosa. Obat ini membuat fit
menekan kedatangan glucagon, menekan rasa lapar dan mengurangi
pembersihan lambung, sehingga menurunkan kadar glukosa darah
postprandial. Obat- obatan yang termasuk dalam kelompok ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan
Dulaglutide.
2.3. Konsep Dasar Penyakit Ulkus Diabetikum
2.3.1. Definisi
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi dari diabetes yang disebabkan
oleh kelainan saraf dan penyakit arteri perifer yang dapat menyebabkan infeksi,
ulserasi, dan kerusakan jaringan kulit pada kaki penderita diabetes (Rizqiyah et al,
2020). Menurut sumber lainnya mengungkapkan ulkus diabetikum adalah
kerusakan integritas pada kulit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor,
yaitu neuropati, trauma, kelainan bentuk kaki, tekanan kuat pada telapak kaki, dan
penyakit pembuluh darah yang menyebabkan jaringan di sekitar luka akan mati
atau nekrotik dan mengalami pembusukan (Ningsih et al, 2019).
2.3.2. Etiologi
Beberapa penyebab yang dapat membuat penderita diabetes mengalami
komplikasi ulkus diabetikum yaitu:
1. Neuropati
Neuropati adalah penyakit yang memengaruhi saraf dan dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan sensorik, motorik, dan aspek kesehatan lainnya
bergantung pada saraf yang terkena. Neuropati muncul karena adanya
gangguan metabolisme akibat hiperglikemia (Sucitawati, 2021). Neuropati
motorik menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyeimbangkan gerakan
mengalami perubahan, mengakibatkan kelainan bentuk kaki dan memicu
munculnya atrofi otot kaki yang mengarah ke osteomielitis. Neuropati
sensorik menyebabkan kerusakan berulang pada saraf sensorik ekstrimitas,
mengakibatkan gangguan pada integritas kulit dan menjadikannya titik masuk
untuk invasi mikroba. Kondisi ini dapat memicu luka yang tidak kunjung
sembuh dan membentuk ulkus kronis. Kehilangan sensasi atau mati rasa
sering menyebabkan trauma atau kerusakan yang tidak disadari. Neuropati
otonom melemahkan fungsi kelenjar keringat dan sebaceous kaki,
menyebabkan kulit kaki mengering dan mudah pecah-pecah. Kaki kehilangan
kemampuan alaminya untuk melembapkan dan kulit menjadi lebih rentan
terhadap kerusakan dan perkembangan infeksi (Sucitawati, 2021).
2. Perypheral Arteri Disease (PAD)
Perypheral Arteri Disease (PAD) adalah pembentukan aterosklerosis dampak
dari membran basal vascular besar dan kecil yang menebal di sirkulasi arteri
perifer bagian ektremitas bawah. PAD merupakan faktor risiko terjadinya
ulkus 12 diabetikum, gangren, dan penyembuhan luka yang lama akibat
sirkulasi peredaran darah yang buruk pada ekstermitas yang dapat
menyebabkan amputasi ektermitas bawah pada penderita DM (Widiastuti et
al, 2022).
3. Kurangnya kontrol kadar glikemik Kontrol gula darah adalah salah satu hal
terpenting dalam pengobatan DM. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang
dinamakan Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan United
kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa kontrol
gula darah yang baik dan olahraga berkaitan dengan tingkat penurunan
kejadian retinopati, nefropati, dan neuropati (Bachri et al, 2022).
4. Perawatan luka yang tidak tepat Penanganan yang tidak sesuai pada luka
diabetikum dapat memperburuk kondisi luka dan meningkatkan resiko infeksi
(Primadani et al, 2021).
5. Ketidakpatuhan melakukan diet rendah gula Kepatuhan terhadap pola makan
merupakan salah satu faktor yang dapat menjaga kadar gula darah tetap stabil
dalam kisaran normal dan mencegah terjadinya komplikasi, antara lain ulkus
diabetikum (Herawati et al, 2020).
6. Menggunakan alas kaki yang tidak pas alas kaki yang digunakan dengan tepat
dan nyaman dapat mengurangi risiko ulkus diabetikum. Alas kaki yang
digunakan dengan benar dapat meminimalkan tekanan pada plantar kaki serta
mencegah dan melindungi kaki dari tertusuk benda tajam (Sucitawati, 2021).
7. Gaya hidup Olah raga yang dilakukan secara bertahap dan teratur dengan
intensitas yang cukup dengan frekuensi 3 - 5 kali seminggu bisa berpengaruh
terhadap penurunan gula darah, 13 memperlancar peredaran darah dan
menguatkan otot kaki. Hal ini dibuktikan dengan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Rini (2008) yang menyatakan bahwa olahraga tidak teratur
akan 4 kali lebih mungkin menyebabkan ulkus diabetikum dibandingkan
olahraga teratur (Bachri et al, 2022).
2.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi Wagner tentang ulkus kaki diabetikum menurut (Shah et al,
2022) adalah sebagai berikut:
1. Tingkat 0 : Kulit utuh namun terdapat kelainan bentuk tulang yang dapat
menyebabkan “kaki berisiko”
2. Tingkat 1 : Ulkus pada daerah superficial
3. Tingkat 2 :Ulkus lebih dalam mencapai tendon, tulang atau sendi (joint
capsule)
4. Tingkat 3 : Adanya infeksi (abses atau osteomielitis)
5. Tingkat 4 : Gangren parsial kaki depan
6. Tingkat 5 : Gangren yang luas menyeluruh pada permukaan kaki
2.4.1. Defenisi
Tekanan darah tinggi atau yang dikenal dengan hipertensi merupakan
keadaan dimana tekanan darah sistolik seseorang ≥140 mmHg dan/atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg setelah pemeriksaan ulang yaitu
sebanyak 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu (Verdecchia et al.,
2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018
prevalensi hipertensi di Indonesia sekitar 34,1% (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018). Usia tua, obesitas, merokok serta meminum
minuman beralkohol merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi.
Hipertensi juga merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya berbagai
penyakit kardiovaskular (Matsutomo, 2020).
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik seseorang
adalah ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg setelah
pemeriksaan ulang. Diagnosis tidak boleh dibuat pada satu kali kunjungan.
Sebanyak 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggudiperlukan untuk
memastikan diagnosis hipertensi. Diagnosis dapat ditegakkan dalam sekali
kunjungan apabila tekanan darah ≥180/110 mmHg dan ditemukan adanya
bukti penyakit kardiovaskular (Verdecchia et al., 2020). International Society of
Hypertension membagi hipertensi menjadi hipertensi grade 1 untuk kadar
tekanan darah kurang dari 160/100 mmHg dan hipertensi grade 2 untuk kadar
tekanan darah yang lebih tinggi. Klasifikasi lainnya adalah hipertensi sistolik
terisolasi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg yang sering terjadi
pada remaja dan orang tua(Verdecchia et al., 2020).
2.4.2. Etiologi
Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi adalah
umur, riwayat keluarga, obesitas, aktivitas fisik yang rendah, rokok,intake
garam yang tinggi, intake kalium yang rendah, konsumsi alcohol (Chataut et al.,
2020).
Hipertensi Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
(Ardiansyah M., 2012) :
1. Hipertensi primer (esensial) merupakan hiperetnsi yang 90% tidak
diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi esensial diantaranya :
a. Genetik
b. Jenis kelamin dan usia: Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita yang
telah menopause berisiko tinggi mengalami penyakit hipertensi.
c. Diit konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak.
d. Berat badan obesitas: Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal
e. Gaya hidup merokok dan konsumsi alcohol
2. Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui penyebabnya.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu :
a. Coarctationaorta
b. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
c. Arteri besar membawadarah ke ginjal sekitar 90% lesi arteri renal pada
pasien
d. Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen).
e. Gangguan endokrin
f. Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.
g. Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanandarah
h. Kehamilan
i. Merokok
2.4.3. Patofisiologi Hipertensi
Peningkatan awal tekanan darah sebagai respon terhadap ekspansi
volume vaskular mungkin terkait dengan peningkatan curah jantung dan
seiring berjalannya waktu, resistensi perifer meningkat dan curah jantung
kembali normal. Urutan peristiwa patogenesis hipertensi masih belum jelas
namun natrium dapat mengaktifkan sejumlah mekanisme saraf,
endokrin/parakrin, dan vaskular, yang semuanya berpotensi meningkatkan
tekanan arteri. Saat tekanan arteri meningkat sebagai respon terhadap
asupan NaCl yang tinggi, ekskresi natrium urin meningkat dan keseimbangan
natrium dipertahankan dengan mengorbankan peningkatan tekanan arteri.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron berkontribusi pada pengaturan tekanan
arteri terutama melalui sifat vasokonstriktor angiotensin II dan sifat retensi
natrium aldosteron. Pasien hipertensi dapat terjadi peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron namun peningkatan tersebut tidak selalu
berhubungan dengan hipertensi. Diet rendah NaCl atau kontraksi
volume, homeostasis tekanan arteri dan volume dapat dipertahankan dengan
peningkatan aktivitas aksisrenin-angiotensin-aldosteron. Aldosteronisme
sekunder juga dijumpai pada keadaan edema seperti gagal jantung kronik
dan penyakit hati.Perubahan struktural, mekanis atau fungsional dapat
mengurangi diameter lumen arteri kecil dan arteriol terjadi pada pasien
hipertensi. Perubahan geometrik pada dinding pembuluh darah tanpa
perubahan volume pembuluh darah dinamakan remodeling dimana faktor
yang berperan untuk terjadinya remodeling antara lain apoptosis, peradangan
tingkat rendah dan fibrosis vaskular. Hipertrofik (peningkatan ukuran sel dan
peningkatan deposisi matriks antar sel) atau remodeling vaskular eutrofik
menyebabkan penurunan ukuran lumen dan peningkatan resistensi
perifer (Tolbert et al., 2023).
2.4.4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada pederita hipertensi berupa
pusing, nosebleed, irama jantung yang ireguler, perubahan pengelihatan, dan
suara berdengung pada telinga, sedangkan gejala hipertensi kronik dapat
muncul berupa kelelahan, mual, muntah, kebingungan, kecemasan,
nyeri dada, dan tremor otot. Komplikasi pada penderita hipertensi
dapat berpengaruh terhadap timbulnya gagal jantung, aritmia, gagal ginjal
dan serangan jantung (WHO, 2021). Penegakan diagnosis hipertensi dilakukan
apabila dalam 3 kali pertemuan atau minimal dalam 2 kali pertemuan, hasil
pengukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg(Unger et al., 2020).
2.4.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan menjalani pola hidup sehat,
secara umum sangat signifikan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor
risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –6 bulan.
Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah
yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka
sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Terapi farmakologi secara
umum dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami
penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat
dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2, terapi farmakologi yang dapat
dipilih berupa obat-obat golongan calcium channel blocker, angiotensin
receptor blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor dan thiazide (Unger
et al., 2020).
2.4.6. Pencegahan
Pencegahan hipertensi juga bisa dilakukan dengan latihan aerobik
karena dapat menurunkan tekanan darah 5-7 mmHg pada orang
dewasa dengan hipertensi. Direkomendasikan agar berolahraga dengan
frekuensi 3-4 hari per minggu selama minimal 12. Upaya pencegahan tekanan
darah tinggi melalui modifikasi gaya hidup yaitu dengan penurunan berat badan,
penerapan perencanaan makan dengan prinsip banyak mengkonsumsi buah
dan sayuran, susu rendah lemak dan hasil olahanya serta kacang kacangan.
perubahan gaya hidup seperti menurunkan intake natrium, olahraga rutin,
mengatur pola makan, dan tidak merokok (Unger et al., 2020).
BAB III
TINJAUAN KASUS
KASUS IV
Pasien laki-laki usia 45 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan bengkak pada
kaki dan tangan sejak 5 bulan aebelum masuk RS dan sesak nafas selama 1 minggu dan
demam. Keluhan ini menetap dan dirasakan semakin bertambah parah saat ini keluhan
bengkak klien bukan hanya di kaki dan tangan, namun semenjak 1 bulan sebelum
masuk RS mata klien dan perut klien bengkak terutama pada pagi hari. Frekuensi
berkemih menurun dibandingkan sebelumnya dari awalnya 5-6 kali sehari menjadi 2-3
kali sehari dengan urin yang sedikit dan keruh, selain itu klien mengatakan bahwa klien
sering merasa lelah, dan merasa kurang bertenaga, sekalipun tidur klien cukup.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 96 x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu 36,60C. TB : 168 cm, BB : 80 kg, Pada
pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis +/+. Pemeriksaan leher, paru dan
jantung tidak ditemukan adanya kelainan. Dari inspeksi abdomen didapatkan perut
cembung, auskultasi didapatkan bising usus + sebanyak 8x/menit, pada palpasi
ditemukan nyeri tekan pada seluruh regio abdomen serta tidak ditemukan pembesaran
hepar dan limpa, pada perkusi didapatkan shifting dullness +. Pada pemeriksaan
ekstremitas superior dan inferior didapatkan normotonus, gerakan aktif dan edema
pitting. Saat ini klien mengatakan merasa sedih, sering mengatakan tidak ada harapan
untuk sembuh, selalu merasa bersalah dengan keadaanya, hal ini dibuktikan dengan
seringnya klien mengatakan “seandanya waktu itu saya sering patuh minum obat tidak
akan jadi begini”. Klien merasa bahwa keadaan saat ini membuat dia merasa tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya dan selalu bergantung pada orang lain. Klien juga
sering marah, dan sering bertanya apa maksud Tuhan memberikan penyakit ini ke saya
“saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”,, klien seringkali merasa
hidupnya tidak bermakna lagi. Dengan kondisi ini klien menolak untuk bertemu dengan
banyak orang, karena merasa malu,dan merasa putus asa dengan keadaan sekrang ini,
dan tidak mau banyak bicara, dan tidak mau mengikuti sepenuhnya instruksi dari
perawat. Saat didiagnosis oleh dokter klien mengatakan bahwa ini hanya penyakit biasa,
dan tidak perlu sampai menginap di rumah sakit, dan sering meminta untuk dipulangkan
ke rumah.
Hasil observasi didapatkan kontak mata klien kurang, muka sering terlihat
cemberut, dan sering menunduk. Pada pemeriksaan laboratorium darah Rutin
didapatkan hasil Hb: 6,7 gr/dl, Ht: 22 %, Leukosit : 5700/μl, Hitung jenis: Basophil
0%, Eosinophil 0%, Batang 0% Segmen 67%, Limfosit 5 %, Monosit 4%, Trombosit:
286000/μl, LED: 56 mm/jam. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan hasil: GDS:
280 mg/dl, Ureum: 242 mg/dl, Creatinine: 15,97 mg/dl. Pada pemeriksaan status lokalis
regio pedis dextra didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik (+), pus (+),
perdarahan (-), Feel: hangat (+), pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓, Move:
ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri. Pasien saat ini dilakukan pembatasan carian
1 liter per hari, pembatasan protein 0,9 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3 gr per
hari, debridement luka, tranfusi PRC 200 cc, hemodialisa. Terapi medikamentosa yang
diberikan berupa cairan intravena IVFD NaCl 0,9 % X TPM, Captopril 2 x 12,5 mg,
Furosemid Injeksi/ 8 Jam, asam folat 2x1 mg dan Glimepiride 1x2 mg.
3.1.1. Pembahasan
Berdasarkan anamnesis terdapatbengkak pada kaki dan tangannya sejak 5
bulan sebelum masuk RS, serta bengkak pada mata dan perut klien terutama pada
pagi hari semenjak 1 bulan sebelum masuk RS. Berdasarkan pemeriksaan fisik
ekstremitas superior dan inferior, didapatkan adanya normotonus, gerakan aktif
dan edema bersifat pitting. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat edema pada
seluruh tubuh pasien, yang mengarahkan pada beberapa kelainan, seperti kelainan
organ jantung, hepar dan ginjal. Untuk membedakan penyebab dari edema dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Diagnosis Banding Edema Anasarka
Gambaran Pemeriksaan
Kelainan Laboratorium
Klinis Fisik
Jantung
Sesak Nafas dominan pada aktivitas Peningkatan Peningkatan rasio
JVP nitrogen terhadap
creatinin
Orthopnea Gallop S3 Peningkatan asam urat
Paroksismal Nokturnal Nadi diskenetik Gangguan Natrium
Dyspena Sianosis perifer Peningkatan enzin hepar
Ekstremitas
Dingin
Nadi mengecil
ketika berat
Hepar
Sesak tidak dominan Dominan Penurunan Albumin,
Asites kolesterol dan protein
hepar (Transferin dan
fibrinogen)
JVP normal Peningkatan enzim
atau rendah hepar
Ikterik Hipokalemia
Eritema Palmar Alkalosis respiratori
Spider Anemia makrositer
Angiomata
Gynecomastia
pada laki- laki
Asterixis
Ginjal (Gagal Ginjal Kronik)
Biasanya berlangsung kronik Hipetensi Albuminuria
Disertai oleh sindrom uremia Hipertensif Hipoalbuminemia
retinopati
Penurunan nafsu makan Uremic fetor Peningkatan kreatinin
dan urea
Lidah metal Hyperkalemia
Gangguan pola tidur Asidosis metabolik
Dispnea Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Ginjal (Sindrom Nefrotik)
Diabetes Melitus pada anak Edema Proteinuria (3,5 gr/dl)
Periorbita
Diskrasis sel plasma Hiperensi Hipoalbumin
Hiperkolesterolemia
Hematuria makroskopis
Kelainan organ jantung dapat disingkirkan pada pasien ini karena pasien
tidak memiliki riwayat sesak napas yang dirasakan pada saat aktivitas maupun
istirahat. Serta tidak terdapat gejala sesak pada malam hari, orthopnea, dyspneu
on effort maupun Paroksismal Nokturnal Dyspena. Selain itu dari pemeriksaan
fisik juga tidak didapatkan adanya peningkatan JVP, kardiomegali maupun
gallop S3 (pemeriksaan leher, paru dan jantung tidak ditemukan adanya kelainan).
Kelainan organ hepar juga dapat disingkirkan karena dari pemeriksaan tidak
didapatkan adanya asites, ikterik ataupun stigmata sirosis seperti eritema palmar,
spider nevi, gynecomastia atapun tanda-tanda ensefalopati hepar seperti asterixis
maupun perubahan pola tidur. Dari pemeriksan lab juga tidak menunjang karena
tidak ditemukan adanya penurunan albumin, peningkatan enzim hepar,
hypokalemia, dan alkalosis.
Keluhan edema pada pasien ini mengarahkan pada penyakit ginjal. Pasien
diketahui fungsi ginjal menurun sejak 5 bulan SMRS dan pasien memiliki
penyakit diabetes yang ditandai dengan hasil GDS 280 mg/dl. Hal ini dapat
mengarahkan penyebab dari bengkak pada ekstrimitas yaitu CKD. Klasifikasi
CKD pada pasien ini, yaitu stadium CKD grade 5 berdasarkan hasil GFR (6,61
ml/menit/1,73mm2 (<15 ml/menit/1,73mm2,) dan dipikirkan bahwa keadaan ini
merupakan penyakit ginjal yang disebabkan oleh diabetes nefropati.
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab tersering dari gagal
ginjal kronik. Proses ini diawali oleh kondisi hiperglikemia yang dapat
menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi
reaksi antara glukosa dengan protein yang akan menghasilkan produk AGEs
(Advanced Glycosylation Products). Proses pembentukan AGEs dan ROS
(reactive oxygen species) akan menyebabkan efek metaboli dan hemodinamik
yang akan menyebabkan stimulasi system Renin Angiotensi Aldosetron yang
akan menyebabkan hipertensi. Hal ini menjelaskan penyebab hipertensi pada
pasien (TD 150/90 mmHg) ini disebabkan oleh proses nefropati diabetes yang
telah dialami sebelumnya. Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus
ginjal dalam jangka panjang akan merusak seluruh glomerulus dan menyebabkan
gagal ginjal.12 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Patofisiologi Nefropati Diabetik
Berdasarkan anamnesis, didapatkan pada pasien merasakan lemas.
Keluhan lemas juga mengarahkan kita pada gejala anemia. Pada pasien ditemukan
konjutiva anemis pada kedua konjungtiva dan hasil pemeriksaan lab menunjukan
Hb sebesar 6,7gr/dl yang mengarahkan pada kondisi anemia. Anemia pada pasien
ini disebabkan karena gangguan produksi eritropoetin pada pasien gagal ginjal
kronik.
Pada pasien ini juga ditemukan terdapat ulkus yang mengarahkan pada diagnosis
ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum adalah salah satu komplikasi kronik DM berupa luka
terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Ulkus DM merupakan komplikasi makroangiopati yang terjadi berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan iskemi dan ulkus. Selain proses diatas,
pada penderita DM terjadi peningkatan HbA1c eritrosit yang menyebabkan
deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu,
sehingga terjadi penyumbatan yang mengganggu sirkulasi jaringan dan kekurangan
oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus. Peningkatan
kadar fibrinogen dan bertambahnya aktivitas trombositmengakibatkan tingginya agregasi
sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan pembentukan
ulkus.
Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar
dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Pembentukan ulkus
berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen,
keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin
keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropatisensoris perifer
memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan
jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan
akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk
mengadakan kolonisasi di daerah ini. Kadar gula dalam darah yang meningkat
menjadikan tempat perkembangan bakteri ditambah dengan gangguan pada fungsi
imun sehingga bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan
sekitarnya.
Pada pasien diberikan terapi non medikamentosa yaitu pembatasan cairan
1 liter per hari, pembatasan protein 0,9 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3 gr
per hari, debridement luka, tranfusi PRC 200 cc, hemodialisa. Terapi
medikamentosa yang diberikan berupa cairan intravena IVFD NaCl 0,9 % X
TPM, Captopril 2 x12,5 mg, Furosemid Injeksi/ 8 jam, asam folat 2 x 1 mg dan
Glimepiride 1 x 2 mg. Tatalaksana ini sesuai dengan teori dimani pada
pasien edema dengan CKD stage 5, dimana CKD tersebut disebabkan oleh
diabetes nefropati yaitu kontrol gula darah, kontrol tekanan darah gula darah,
menurunkan hipertensi intraglomerular dan proteinuria, dan restriksi asupan
protein. Selain itu, menurunkan tekanan darah dan hipertensi intraglomerular
dengan pemberian obat ACE-inhibitor atau ARB. Pada pasien ini, diberikan
obat ACE-inhibitor, berupa captopril. Dosis pemberian captopril, yaitu 12,5
mg yang diberikan 2 kali perhari. Pasien ini memiliki CKD stage 5 disertai
edema. Sehingga untuk kasus mengurangi edema perifer diberikan furosemid
inj/8 jam yang berfungsi untuk mengurangi edema sebagai loop diuretik. Pada
pasien ini kontrol kadar gula darah dilakukan dengan pemberikan Glimepiride 1
x 2 mg yang merupakan golongan sulfonylurea.
Pada pasien ini, dilakukan restriksi asupan protein sebanyak 0,9 g x 80 kg
= 72 protein per harinya. Kemudian dilakukan pula restriksi garam sebesar 2-3
g/hari dan restriksi cairan sebesar 1 L/hari pada pasien sebagai bagian dari
tatalaksana terhadap gagal ginjal yang dialaminya dan mengurangi cairan tubuh.
Pada kasus ini dengan CKD grade V dengan GFR <15 diperlukan terapi
pengganti ginjal. Pada pasien ini, disarankan dilakukan hemodialisis sebagai
terapi pengganti ginjal.17 18
Namun, sebelum dilakukan hemodialisa perlu
dilakukan tranfusi PRC sebanyak 200 cc untuk meningkatkan Hb pasien untuk
kondisi anemianya dan syarat yang dibutuhkan sebelum dilakukan tindakan
hemodialisa. Pad a pasien diberikan asam folat, penggunaan asam folat pada
gagal ginjal kronik sesuai dengan teori dimana asam folat berfungsi sebagai
bahan pembentuk sel darah merah. Selain itu pada gagal ginjal kronik akan
terjadi penurunan eritropoetin dan hiporesponsif eritopoetin. Suplementasi asam
folat akan membantu mengatasi kondisi hiporesponsif eritopoetin pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien ini dilakukan tindakan debridement untuk ulkus
diabetikumnya. Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada
kasus ulkus diabetikum. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan
sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau
rongga yang memungkinkan kuman berkembang.
3.1.2. Simpulan
Berdasarkan kasus di atas setelah di analisis di dapatkan diagnosa medis
pasien yakni mengalami gagal ginjal kronik stadium V ec. Nefropati diabetes +
Diabetes Melitus tipe 2 + Hipertensi grade I + Ulkus diabetikum.
3.2. Gambaran kasus kelolaan utama
3.2.1 Pengkajian
1. Identifikasi kebutuhan dasar yang mengalami gangguan
Keluhan Utama : Klien masuk RS dengan keluhan bengkak
Riwayat Kesehatan Sekarang :
Saat ini klien mengatakan merasa sedih, sering mengatakan tidak ada
harapan untuk sembuh, selalu merasa bersalah dengan keadaanya, hal ini
dibuktikan dengan seringnya klien mengatakan “seandanya waktu itu saya
sering patuh minum obat tidak akan jadi begin”.
Klien merasa bahwa keadaan saat ini membuat dia merasa tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya dan selalu bergantung pada orang lain.
Klien juga sering marah, dan sering bertanya apa maksud Tuhan memberikan
penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan ngasih ini ke
saya”,, klien seringkali merasa hidupnya tidak bermakna lagi. Dengan kondisi
ini klien menolak untuk bertemu dengan banyak orang, karena merasa
malu,dan merasa putus asa dengan keadaan sekrang ini, dan tidak mau
banyak bicara, dan tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari perawat.
Saat didiagnosis oleh dokter klien mengatakan bahwa ini hanya penyakit
biasa, dan tidak perlu sampai menginap di rumah sakit, dan sering meminta
untuk dipulangkan ke rumah.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu :
Sejak 5 bulan belum masuk RS dan sesak nafas selama 1 minggu dan
demam. Keluhan ini menetap dan dirasakan semakin bertambah parah saat ini
keluhan bengkak klien bukan hanya di kaki dan tangan, namun semenjak 1
bulan sebelum masuk RS mata klien dan perut klien bengkak terutama pada
pagi hari. Frekuensi berkemih menurun dibandingkan sebelumnya dari
awalnya 5-6 kalo sehari menjadi 2-3 kali sehari dengan urin yang sedikit dan
keruh, selain itu klien mengatakan bahwa klien sering merasa lelah, dan
merasa kurang bertenaga, sekalipun tidur klien cukup
Sirkulasi
Nutrisi dan cairan - Klien mengeluh bengkak pada kaki dan tangan
sejak 5 bulan sebelum masuk RS dan sesak nafas
selama 1 minggu
- keluhan bengkak klien bukan hanya di kaki dan
tangan, namun semenjak 1 bulan sebelum masuk
RS mata klien dan perut klien bengkak terutama
pada pagi hari
- Frekuensi berkemih menurun dibandingkan
sebelumnya dari awalnya 5-6 kalo sehari menjadi
2-3 kali sehari dengan urin yang sedikit dan keruh
- Pada pemeriksaan laboratorium darah Rutin
didapatkan hasil Hb: 6,7 gr/dl, Ht: 22 %
- Ureum: 242 mg/dl
- Creatinine: 15,97 mg/dl
- tranfusi PRC (Sel darah merah) 200 cc,
- BB: 80 kg
- Klien sering merasa lelah
- GDS : 280 mg/dl
Eliminasi
Reproduksi dan
Seksualitas
Psikologis Nyeri dan
Kenyamanan
Pertumbuhan dan
perkembangan
Perilaku Kebersihan diri
Penyuluhan dan
pembelajaran
Lingkungan Keamanan dan - Pada pemeriksaan status lokalis regio pedis dextra
proteksi didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik
(+), pus (+), perdarahan (-), Feel: hangat (+),
pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓,
Move: ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri
- Debridement luka.
CKD
DO :
1. Respirasi 28x/menit
Tidak mampu
2. tekanan darah 150/90
mengeksresikan asam (H)
mmHg
Hiperventilasi
Sesak
Pola napas tidak efektif
DS: Gagal ginjal kronik Hipervolemia
1. Klien mengeluh
bengkak pada kaki peningkatan volume cairan
dan tangan sejak 5
bulan sebelum masuk Tekanan kapiler
RS dan sesak nafas meningkat
selama 1 minggu
DO: Hb, Ht menurun
2. keluhan bengkak
klien bukan hanya di Penurunan produksi urine
hiperglikemia
Ketidakstabilan kadar
glukosa darah
Gangguan integritas
kulit/jaringan
Risiko infeksi
3. Klien seringkali
merasa hidupnya Distres Spritual
Kolaborasi :
7. tidakberdayaan (D.0092) Keberdayaan (L.09071) Promosi Harapan (I.09307) Berdasarkan hasil penelitian
oleh Susanti Niman tahun
Setelah dilakukan tindakan Observasi :
tegori: Psikologis 1. Identifikasi harapan 2019 yang berjudul “Efek
keperawatan 1x24 jam
bkategori: Integritas ego pasien dan keluarga Logoterapi Dan Psikoedukasi
diharapkan keberdayaan
dalam pencapaian hidup Kelarga Terhadap
meningkat dengan kriteria
finisi Terapeutik : Ketidakberdayaan Klien
hasil :
1. Sadarkan bahwa kondisi Penyakit Kronis Di Rumah
rsepsi bahwa tindakan seseorang 1. Pernyataan mampu
yang dialami memiliki Sakit Umum”(Niman et al.,
tidak akan mempengaruhi hasil melaksanakan
nilai penting 2019)
secara signifikan, persepsi kurang aktivitas meningkat
2. Pandu mengingat kembali
control pada situasi saa ini atau 2. Pernyataan frustasi
kenangan yang
yang akan datang. menurun
menyenangkan
3. Ketergantungan
nyebab: pada orang lain 3. Berikan kesempatan
ogram perawatan/pengobatan yang menurun kepada pasien dan
kompleks atau jangka panjang 4. Pernyataan rasa keluarga terlibat dengan
malu menurun dukungan kelompok
buktikan dengan 4. Ciptkan lingkungan yang
ta Subjektif: memudahkan
1. Klien mengatakan merasa mempraktikkan
sedih kebutuhan spiritual
2. Sering mengatakan tidak Edukasi:
ada harapan untuk sembuh 1. Anjurkan
3. Selalu merasa bersalah mengungkapkan perasaan
dengan keadaanya terhadap kondisi dengan
4. hal ini dibuktikan dengan reallistis
seringnya klien mengatakan 2. Anjurkan mempertahakan
“seandanya waktu itu saya hubungan terapeutik
sering patuh minum obat dengan orang lain
tidak akan jadi begin”. 3. Latih menyusun tujuan
5. Merasa malu, dan merasa yang sesuai dengan
putus asa dengan keadaan harapan
sekrang ini 4. Latih cara mengenang
dan menikmati masa lalu
Data Objektif:
1. Selalu bergantung pada
orang lain.
2. tidak mau mengikuti
sepenuhnya isntruksi dari
perawat.
8. Distres spritual (D.0003) Status spiritual (L.01006) Dukungan spiritual (I.09276) Berdasakan penelitian dari Ni
Setelah dilakukan tindakan Observasi
Kategori : psikologis Luh Emilia tahun 2023 yang
1. Identifikasi perasaan
keperawatan 1x24 jam
Subkategori: integritas ego berjudul “Penerapan Art
khawatir, kesepian dan
diharapkan keberdayaan
Therapy Untuk Mengatasi
ketidakberdayaan
meningkat dengan kriteria
Definisi: Distress Spiritual Pada Lansia
2. Identifikasi pandangan
hasil :
Gangguan pada keyakinan atau Di Desa Tindaki Provinsi
tentang hubungan antara
1. Verbalisasi makna
sistem nilai berupa kesulitan Sulawesi Tengah”(Emilia &
spiritual dan kesehatan
dan tujuan hidup
merasakan makna dan tujuan hidup Susanto, 2023)
3. Identifkasi harapan dan
meningkat
melalui hubungan dengan diri,
kekuatan pasien
2. Verbalisasi
orang lain, lingkungan atau tuhan.
Terapeutik
kepuasan terhadap
1. Berikan kesempatan
makna hidup
Penyebab:
mengekpresikan dan
meningkat
Kondisi penyakit kronis
meredakan marah secara
3. Perilaku marah
Dibuktikan dengan:
tepat
pada tuhan
Data Subjektif:
2. Yakinkan bahwa perawat
menurun
1. Klien juga sering marah
bersedia mendukung
4. Interaksi dengan
2. Sering bertanya apa maksud
selama masa
orang
Tuhan memberikan
ketidakberdayaan
terdekat/pemimpin
penyakit ini ke saya “saya
sering sholat, tapi kenapa spritual membaik 3. Diskusikan keyakinan
Tuhan ngasih ini ke saya”, tentang makna dan tujuan
3. Klien seringkali merasa hidup
hidupnya tidak bermakna Edukasi
lagi. 1. Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga, teman
DO:
dan/atau orang lain
1. Klien menolak untuk
2. Anjurkan berpartisipasi
bertemu dengan banyak
dalam kelompok
orang
pendukung
2. Tidak mau banyak bicara
Terapeutik
3. Tidak mau mengikuti
1. Atur kunjungan dengan
sepenuhnya isntruksi dari
rohaniawan (mis.ustadz)
perawat.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kasus
1. Pola Napas Tidak
Efektif
Salah satu intervensi yang dapat membuat klien merasa nyaman adalah
dengan tindakan pijatan. Pijat punggung adalah suatu gerakan dengan
mempergunakan seluruh permukaan tangan melekat pada bagianbagian
tubuh yang dipijat dengan ringan dan menenangkan. Pijatan Punggung
dilakukan dengan sentuhan memanipulasi jaringan lunak untuk
mempromosikan kenyamanan dan penyembuhan. Tindakan Pijatan dapat
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan ketegangan otot, memberikan
relaksasi, meningkatkan suasana hati, peningkatan hormon endorphin
meningkatkan aktivitas neurotransmitter serotonin dan membantu klien
meningkatkan istirahat dan tidur.
7. Ketidakberdayaan
Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi utama yaitu promosi harapan
dimana klien mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh jadi di
intervensi keperawatan ini bisa menjadikan untuk klien memotivasi
dengan harapan untuk sembuh dan menyadarkan klien untuk mencapai
kehidupan sangat penting dengan dukungan keluarga.
b. Terapi komplementer (Efek Logoterapi Dan Psikoedukasi Keluarga
Terhadap Ketidakberdayaan Klien Penyakit Kronis Di Rumah Sakit
Umum)
Pada data yang diperoleh Klien juga sering marah, Sering bertanya apa
maksud Tuhan memberikan penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi
kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”,, Klien seringkali merasa hidupnya tidak
bermakna lagi, Klien menolak untuk bertemu dengan banyak orang,Tidak mau
banyak bicara, Tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari perawat. Hal
ini disebabkan karena klien bertanya apa maksud tuhan memberikan penyakit
ini maka dari itu mengambil diagnosa distres spritual.
a. Intervensi keperawatan (dukungan spritual)
Dilihat dari data yang diperoleh intervensi utama adalah dukungan spritual
karena klien sering marah, mengatakan maksud tuhan memberikan
penyakit ini, interaksi sesama atau menolak bertemu dengan orang lain dan
dengan dukungan spiritual klien bisa berinteraksi dan keyakinan makna
dan tujuan hidup.
b. Terapi komplementer (Penerapan Art Therapy Untuk Mengatasi Distress
Spiritual Pada Lansia Di Desa Tindaki Provinsi Sulawesi Tengah)
Penanganan kondisi distres dapat dilakukan dengan farmakologi dan
nonfarmakologi. Terapi psikofarmaka adalah pengobatan untuk distres
dengan menggunakan bahan kimia yang berhasiat memulihkan fungsi
gangguan neuro- transmitter atau sinyal penghantar saraf pada susunan
saraf pusat otak. Penggunaan berbagai macam obat meningkatkan risiko
terjadinnya ketidakpatuhan dan efek samping reaksi obat yang tidak
diinginkan, interaksi obat, dan biaya pelayanan kesehatan (Musradinur,
2016). Art therapy merupakan salah satu terapi komplementer untuk
menurunkan stres. Art therapy menganjurkan individu menvisualisasikan
emosi dan pikiran yang tidak dapat diungkapkan sehingga diungkapkan
melalui karya seni dan selanjutnya ditinjau untuk diinterpretasikkan oleh
individu. Art Therapy membawa perspektif Psikoanalitik untuk
menggunakan seni sebagai cara untuk membuat citra sadar dan symbol
sadar. Sementara permatasari menyatakan art therapy adalah suatu bentuk
terapi yang bersifat ekspresif dengan mengunakan materi seni seperti
lukisan, kapur, spidol, dan lainnya. Art therapy menggunakan media seni
dan proses kreatif untuk membantu mengekspresikan diri, meningkatkan
keterampilan coping individu, mengelola stress, dan memperkuat rasa
percaya diri. Art therapy juga dapat diartikan sebagai kegiatan membuat
sebuah karya seni untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan emosional
pada individu, baik pada individu yang memiliki kemampuan dalam seni
ataupun yang tidak memiliki kemampuan dalam seni. Melalui art therapy
individu dapat mengungkapkan perasaan yang dialami dengan
menggunakan seluruh area atau fungsi dalam diri mereka (Permatasari et
al.,2017).
BAB V
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Ginjal adalah organ vital dalam sistem urinaria manusia dan berfungsi untuk
menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darah untuk dibuang melalui urin. Ginjal
terletak di belakang perut, pada kedua sisi tulang belakang dan terhubung dengan
kandung kemih melalui sepasang saluran ureter. Selain sebagai organ penyaring, ginjal
juga berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh, menghasilkan
hormon, serta membantu mengatur tekanan darah. Kegagalan ginjal dapat menyebabkan
masalah kesehatan serius dan memerlukan perawatan medis yang intensif (Nurchayati,
S.,et al, 2019). Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insiden gagal ginjal yang meningkat,prognoasis yang
buruk dan biaya yang tinggi (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan analisa data maka diagnosa keperawatan yang dapat diambil
sebagai berikut:
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d Klien mengeluh sesak
2. Hipervolemia b.d Gangguan mekanisme regulasi d.d Klien mengeluh bengkak
pada kaki dan tangan
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d Hiperglikemia: disfungsi pankreas d.d
GDS : 280 mg/dl
4. Gangguan integritas kulit b.d perubahan pigmentasi d.d Ulkus (+), jaringan
nekrotik (+), pus (+),
5. Risiko infeksi d.d faktor risiko penyakit kronis (mis. Diabetes melitus)
6. Keletihan b.d Kondisi Fisiologis (mis. Penyakit kronis) d.d Merasa kurang
bertenaga
7. Ketidakberdayaan b.d Program perawatan/pengobatan yang kompleks atau
jangka panjang d.d Sering mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh
8. Distres Spritual b.d kondisi penyakit kronis d.d sering bertanya apada maksud
tuhan memberikan penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan
ngasih ini ke saya”
1.2. Saran
1. Untuk Dosen mata kuliah
Sudah baik dan cukup puas dengan dosen dan pelayanan
a k a d e m i k j u r u s a n keperawatan.
2. Untuk Jurusan Keperawatan
Kami berharap bapak ibu dosen lebih responsif terkait jam
pembelajaran, baik itu sesuai jadwal maupun diganti lain waktu. Jika
memang diganti lain waktu harap konfirmasi dengan jelas.
3. Untuk Kelompok Sendiri
Diharapkan lebih ditingkatkan kekompakkan dalam mengerjakan tugas.
DAFTAR PUSTAKA
Eka Milasari, Herlina, T. S., Studi, P., & Alkautsar, D. K. (2019). Efektivitas perawatan luka
pada penderita Diabetes Melitus tipe II dengan masalah keperawatan risiko infeksi
menggunakan metode modern dressing.
Emilia, N. L., & Susanto, D. (2023). Penerapan Art Therapy Untuk Mengatasi Distress
Spiritual Pada Lansia Di Desa Tindaki Provinsi Sulawesi Tengah : Studi Kasus.
Halawa, A., Elis, A., Robin, F. S., Yolanda, M. S. T., Elsa, N., & Erniyati, H. (2023).
Pengaruh Pijatan Punggung Terhadap Penurunan Kelelahan Fisik Pada Pasien Gagal
Ginjal Kronis. Ilmu Psikologi Dan Kesehatan, 1, 3.
Maro, S. O., Studi, P., Profesi, P., Kesehatan, F. I., Nusa, U., Indonesia, N., Pitang, Y., Studi,
P., Profesi, P., Kesehatan, F. I., Nusa, U., & Indonesia, N. (2024). Pemberian Terapi
Angle Pump Exercise Dan Elevasi 30 0 Untuk Mengurangi Edema Pada Pasien CKD
Sertin Oktavia Maro Yuliani Pitang. 2(1).
Niman, S., Keliat, B. A., & Mustikasari. (2019). Efek Logoterapi Dan Psikoedukasi Kelarga
Terhadap Ketidakberdayaan Klien Penyakit Kronis Di Rumah Sakit Umum. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 2(2), 118–128.
Pramudyta, T. M. P., & Retnaningsih, D. (2023). Penerapan Pemberian Minyak Zaitun Pada
Gangguan Integritas Kulit Pasien Gagal Ginjal Kronik Pasca Hemodialisa. Prosiding
Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 5(1), 90–97.
Valentin, A. E., Sari, I. M., Nafas, P., Penyakit, P., & Obstruksi, P. (2023). Penerapan Pursed
Lips Breathing Terhadap Pola Napas Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Bangsal
Tulip Rsud Dr . Soehadi Prijonegoro Sragen. Waluyo, Sari, Valentin, 1 No 2, 32–40.
Wijaksono, M. A., Rahmayani, D., Irawan, A., Friscila, I., & Tasalim, R. (2023). E Edukasi
Terapi Komplementer JAMU (Jahe dan Madu) Untuk Menurunkan Kadar Glukosa
Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Tangguh, 2(1), 126–130.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria
HasilKeperawatan (III). Dewan Pengurus Pusat PPNI.