Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN PROBLEM BASIC LEARNING (PBL)

Keperawatan Paliatif

Dosen Pengampu: Ns. Ita Sulistiani, M.Kep

Disusun Oleh:
KELAS A NON REGULER
KELOMPOK 4

Ferawaty NauE (841423173)

Novita Angraeni (841423158)

Nurul Hidayati Olii (841423197)

Siti Rabiatul A. Kilo (841423185)

Windha Abubakar (841423172)

Yayun A.Hulopi (841423143)

Yusrifat Abd. Kadir (841423162)

Alfrianto M. Soloti (841423176)

Abdul rahman wange (841423146)

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA
DAN KESEHATAN UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO 2024
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
kehadirat- Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahnya-Nya kepada saya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Problem Basic Learning (PBL) Keperawatan
Paliatif

Tugas dari mata kuliah Keperawatan Paliatif telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan dari beberapa sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada beberapa sumber yang telah
membantu dalam pembuatan Problem Basic Learning (PBL) ini dan tak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini Ns. Ita Sulistiani, M.Kep.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baikdari segi susunan dan cara pengeditan kerapian dalam tugas ini. Oleh karena itu dengan
tanganterbuka kami menerima segala saran dan kritik dari dosen pengampu mata kuliah dan
pembacaagar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk banyak orang
dan dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap para pembaca.

Gorontalo, Februari 2024

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2

PEMBAGIAN TUGAS.............................................................Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI...........................................................................................................................3

Bab 1DAFTAR PUSTAKA......................................................Error! Bookmark not defined.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prevalensi gagal ginjal kronis di seluruh dunia mencapai 10% dari populasi

(Kovesdy, 2022). Prevalensi gagal ginjal kronis terjadi peningkatan di seluruh dunia,

sebuah studi menginformasikan mengenai temuannya tentang prevalensi secara

keseluruhan dengan menyatukan hasil dari 33 studi perwakilan yang berbasis populasi

seluruh dunia (Kovesdy, 2022). Jadi jumlah total individu yang menderitagagal ginjal

kronis saat ini di seluruh dunia dengan stadium 1- 5 yaitu diperkirakansejumlah 843,6

juta (Kovesdy, 2022).

Jumlah penderita gagal ginjal kronis di Asia, diperkirakan 434,3 juta orang

dewasa menderita gagal ginjal kronis di Asia (Liyanage et al., 2022) . Jumlah terbesar

dari orang dewasa yang hidup dengan gagal ginjal kronis berada di Cina sekitar 159,8

juta, dan India sekitar 140,2 juta (Liyanage et al., 2022). Secara kolektif memiliki

69,1% dari jumlah orang dewasa dengan gagal ginjal kronis di wilayah tersebut

(Liyanage et al., 2022).

Jumlah orang yang menderita gagal ginjal di Indonesia telah meningkat dari

0,20% pada tahun 2013 menjadi 0,38% pada tahun 2018, dengan memperhitungkan

jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan yaitu sebesar 252.124.458 jiwa

(Kemenkes RI, 2018). Sebanyak 713.783 orang di Indonesia didiagnosis menderita

gagal ginjal kronis. Jumlah penduduk Provinsi Bali sebesar 4.225.384 jiwa dengan

prevalensi gagal ginjal kronis sebesar 0,44% sehingga terdapat sekitar 12.092 orang
yang menderita gagal ginjal kronis (Kemenkes RI, 2018).

Penyakit ginjal kronik (PGK) menurut Kidney Disease: Improving Global

Outcomes (KDIGO) 2012, didefinisikan sebagai adanya penurunan laju filrasi

glomerulus (LFG <60 mL/menit/1,73m) dan kelainan ginjal seperti proteinuria,

albuminuria, dan anatomi yang abnormal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih.

Albuminuria ditandai dengan laju ekskresi albumin ≥30 mg/24 jam atau rasio albumin

kreatinin ≥30 mg/mmol, sedimen urin yang abnormal, dan gangguan elektrolit lainnya

yang disebabkan oleh gangguan tubular ginjal, histologi yang abnormal, abnormalitas

struktur melalui pencitraan juga riwayat transplantasi ginjal Insidens PGK pada tahun

1995-1999 di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 100 kasus per juta penduduk per

tahun. Angka ini terus meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Insiden di negara-negara

berkembang lainnya diperkirakan sekitar 40- 60 kasus per juta penduduk per tahun.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi PGK di

Indonesia meningkat sebesar 0,38%. Di Indonesia, prevalensi PGK tertinggi di

Kalimantan Utara (0,64%), diikuti Maluku Utara (0,56%), Sulawesi Utara (0,53%),

Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (0,52%). Berdasarkan jenis

kelamin, prevalensi PGK pada laki-laki sebesar 0,42% dan 0,35% pada perempuan.

Menurut usia, prevalensi PGK tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun (0,82%).

Penyebab PGK ialah diabetes mellitus, hipertensi, iskemia, infeksi, obstruksi,

toksin, penyakit autoimun dan infiltratif. Penyakit ginjal kronik yang progresif dapat

menimbulkan beberapa komplikasi dengan prevalensi dan intensitas yang lebih tinggi

pada fungsi ginjal yang lebih rendah. Komplikasi yang dapat terjadi ialah penyakit

kardiovaskular, hipertensi, anemia, kelainan tulang mineral, gangguan elektrolit,


diabetes melitus, dan asidosis metabolik. Komplikasi ini berkontribusi pada morbiditas

dan mortalitas yang tinggi serta memengaruhi kualitas hidup yang buruk. Anemia pada

PGK dan gangguan mineral dan tulang pada PGK sering dimulai pada stadium 3,

sedangkan hipertensi pada PGK mulai memburuk pada stadium 3-5.

Pasien yang menderita gagal ginjal kronis dapat mengalami dampak berupa

penumpukan kelebihan cairan dalam tubuh. Kelebihan cairan pada pasien gagal ginjal

kronis dapat menyebabkan tubuh pasien mengalami edema paru sehingga menimbulkan

sesak. Pasien gagal ginjal kronis harus diberikan diet pembatasan cairan untuk

mencegah terjadinya kelebihan cairan. Rasa haus menjadi salah satu pemicu pasien

gagal ginjal kronis mengalami kelebihan cairan. Haus yang dialami oleh pasien

menyebabkan pasien minum lebih banyak sehingga asupan cairan pasien meningkat.

Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya tidak merasakan keluhan apapun hingga

fungsi ginjal hanya tersisa ≤ 15 % (Kusuma et al., 2019). Meskipun awalnyapasien

gagal ginjal kronis tidak menunjukkan tanda atau gejala, kondisi tersebutdapat

memburuk secara perlahan-lahan dan menyebabkan kegagalan ginjal (Gliselda, 2021).

Pasien gagal ginjal kronis dapat mengalami gejala seperti kelelahan, kekurangan

energi, kesulitan berkonsentrasi, penurunan nafsu makan, insomnia, kulit kering dan

gatal, serta sering buang air kecil terutama di malam hari (Agustianingsih et al., 2017).

Tanda dan gejala gagal ginjal kronik dapat dilihat tidak hanya mengenai sistem

organ perkemihan, namun juga dapat menimbulkan dampak pada berbagai sistem organ

lainnya. Maka dari itu membutuhkan penatalaksanaan terhadap penderita, salah satunya

dengan hemodialisa, karena hemodialisa merupakan terapi pilihan utama dan paling

umum dijalani oleh pasien gagal ginjal kronik. Meskipun hemodialisa menjadi terapi
pilihan dan efektif untuk penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronik, bukan

berarti hemodialisis tidak dapat menyebabkan masalah atau komplikasi (Alwan dan

Basaleem dalam Sahran, 2018).

Penanganan gagal ginjal kronis dapat dilakukan dengan transplantasi ginjaldan

hemodialisis. Terapi hemodialisis diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal kronis

stadium akhir dan tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkan kondisi tersebut

(Cahyani et al., 2022). Hemodialisis merupakan suatu terapi pengganti fungsi ginjal

dengan cara memasukkan darah ke dalam alat buatan berupa tabung ginjal atau dialiser

yang bertujuan untuk menghilangkan zat sisa metabolismprotein dan menyeimbangkan

kadar elektrolit yang terganggu (Amalia & Apriliani, 2021). Keinginan untuk minum

atau rasa haus merupakan kesadaran akan kebutuhan cairan dalam tubuh. Rasa haus

biasanya muncul saat konsentrasi osmolalitas di dalam plasma mencapai hingga 295

mOsm/kg (Ardiyanti et al., 2015). Masalah yang akan muncul dari peningkatan rasa

haus yaitu meningkatnya intake cairan dengan minum (Ardiyanti et al., 2015). Akibat

meningkatnya intake cairan tersebut dapat menimbulkan kelebihan volume cairan

sehingga dapat menimbulkan terjadinya berbagai komplikasi (Ardiyanti et al., 2015).

Pasien dengan gagal ginjal kronis akan mengalami kondisi hypervolemia atau

peningkatan volume cairan yang berlebihan dalam tubuh, hal tersebut membuat pasien

gagal ginjal kronis perlu dilakukan pembatasan cairan, pembatasan cairan tersebut

akan membuat pasien yang menjalani hemodialisis dapat mengalami gejala mulut

kering yang dapat meningkatkan rasa haus yang dirasakan pada pasien hemodialisis,

sehingga terjadilah pasien hemodialisis tidak dapat mengikuti diet pembatasan cairan

dengan baik. Ketidakpatuhan pada pembatasan cairan menyebabkan pasien

hemodialisis
mengalami hipervolemia atau kelebihan volume cairan karena asupan cairan pasien

yang kian meningkat akibat dari rasa haus yang dialami (Armiyati et al., 2019).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang rumusan masalah makalah ini sebagai berikut.

1. Apa definisi dari penyakit gagal ginjal kronik?

2. Bagaimana etiologi dari penyakit gagal ginjal kronik?

3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit gagal ginjal kronik?

4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit gagal ginjal kronik?

5. Apa saja pemeriksaan penunjang dari penyakit gagal ginjal kronik?

6. Apa saja komplikasi dari penyakit gagal ginjal kronik?

7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit gagal ginjal kronik?

8. Bagaimana pencegahan dari penyakit gagal ginjal kronik?

9. Bagaimana pencegahan dari penyakit gagal ginjal kronik?

10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah mak tujuan makalah ini sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan umum

Mahasisiswa dapat memahami dan melakukan peran dalam pencegahan

dan penanganan pada masalah gagal ginjal kronik.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Menjelaskan definisi dari penyakit gagal ginjal kronik

2. Menjelaskan etiologi dari penyakit gagal ginjal kronik

3. Menjelaskan patofisiologi dari penyakit gagal ginjal kronik


4. Menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit gagal ginjal kronik

5. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari penyakit gagal ginjal kronik

6. Menjelaskan komplikasi dari penyakit gagal ginjal kronik

7. Menjelaskan penatalaksanaan dari penyakit gagal ginjal kronik

8. Menjelaskan pencegahan dari penyakit gagal ginjal kronik

9. Menjelaskan pencegahan dari penyakit gagal ginjal kronik

10. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik.

1.4. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini sebagai berikut:

1.4.1. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam

melakukan pencegahan dan penanganan masalah gagal ginjal kronik

1.4.2. Bagi Perawat

Dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari institusi pendidikan dan

dapat menambah wawasan perawat secara umum mengenai pencegahan dan

penanganan masalah penyakit gagal ginjal kronik pada fasilitas pelayananan

kesehatan khususnya Rumah Sakit.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Landasan Teori Chronic Kidney Disease

2.1.1. Defenisi CKD


Ginjal adalah organ vital dalam sistem urinaria manusia dan berfungsi
untuk menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darah untuk dibuang
melalui urin. Ginjal terletak di belakang perut, pada kedua sisi tulang
belakang dan terhubung dengan kandung kemih melalui sepasang saluran
ureter. Selain sebagai organ penyaring, ginjal juga berperan dalam mengatur
keseimbangan elektrolit dalam tubuh, menghasilkan hormon, serta membantu
mengatur tekanan darah. Kegagalan ginjal dapat menyebabkan masalah
kesehatan serius dan memerlukan perawatan medis yang intensif
(Nurchayati, S.,et al, 2019). Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal
yang irrevesible dimana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia yang ditandai
dengan Glomerulus Filtrate Rate (GFR) kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m2
selama lebih dari 3 bulan atau tanpa kerusakan ginjal. (Pongsibidang, 2016).
Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insiden gagal ginjal yang meningkat,prognoasis
yang buruk dan biaya yang tinggi (Kemenkes RI, 2017). Penyakit ginjal kronis
(CKD) adalah sindrom klinis sekunder akibat perubahan fungsi yang pasti
dan/atau struktur ginjal dan kelainan yang menetap pada struktur atau fungsi
ginjal (misalnya, laju filtrasi glomerulus [GFR] dunia (Chen, et al., 2019). Di
negara maju, CKD paling sering dikaitkan dengan diabetes dan hipertensi. Data
dari Amerika Serikat memperkirakan prevalensi 13,1% di antara orang dewasa
(Ammirati, 2020). Proporsi Pernah/ Sedang Cuci Darah Pada Penduduk Berumur
≥ 15 Tahun Yang Pernah Didiagnosis Penyakit Gagal Ginjal Kronis Menurut
Provinsi adalah DKI JKT 38,7 % (Riskesdas, 2018).
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi ginjal secara kronis dan bertahap, yang jika tidak diobati
dapat berujung pada gagal ginjal. Ketika pasien ginjal sudah tidak lagi mampu
melakukan fungsi-fungsi fisiiologisnya dengan baik, maka pasien sudah di
kategorikan ke dalam Gagal Ginjal Kronis (GGK) (Bello et al., 2021). Chronic
Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah proses
patofisilogis dengan peyebab beragam, berupa kelainan struktural atau fungsional
dengan penurunan Laju Filtrasi Glomelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73
sehingga berdampak menurunnya fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan ginjal gagal untuk mengeluarkan produk limbah metabolik
dan menjaga cairan dan elektrolit dapat mengakibatkan uremia (Esmayanti et al.,
2022; Han et al., 2020; Jo et al., 2020). Penyakit gagal ginjal (PGK) yang disebut
juga sebagai gagal ginjal kronis, merupakan suatu gangguan fungsi ginjal (renal).
Pada stadium akhir ginjal mengalami gangguan yang irreversible dan progresif
yang ditandai dengan tubuh sudah tidak mampu mempertahankan metabolisme
serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan terjadinya
azotemia atau uremia (Trisa Siregar, 2020). Sedangkan, menurut Harmilah (2020)
gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai kondisi menurunnya fungsi ginjal yang
terjadi dengan perlahan-lahan sehingga biasanya penyakit ini baru terdiagnosis
ketika tubuh sudah dalam kondisi parah dan mustahil untuk disembuhkan
(Harmilah, 2020).
2.1.2. Etiologi
Menurut (Henni Dkk 2019), Etiologi CKD sebagai berikut :
1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Obesitas
4. Merokok
5. Penyakit autoimun (gangguan system kekebalan tubuh)
6. Batu saluran kemih
7. Obstruksi atau penyumbatan saluran kemih
8. Keracunan obat
9. Infeksi sistemik (infeksi akibat mikroorganisme yang menyebar ke bagian
tubuh dan menimbulkan kerusakan)
10. Riwayat keluarga penderita diabetes mellitus, hipertensi, dan Penyakit Ginjal
Kronik
11. Terjadinya infeksi misalnya glomerulonephritis
12. Batu saluran kencing yg menyebabkan hidrolityasis
13. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesic
Menurut (Harmilah, 2020), banyak kondisi klinis yang menyebabkan
terjadinya gagal ginjal kronis. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat
mengakibatkan gagal ginjal kronis (GGK) dapat disebabkan dari ginjal sendiri
maupun luar ginjal.
1. Penyakit dari ginjal
a. Penyakit dari saringan (glomerulus) glomerulonephritis
b. Infeksi kuman, peilonefritis, urethritis
c. Batu ginjal (nefrolitiasis)
d. Kista di ginjal ( polcystis kidney)
e. Trauma langsung pada ginjal
f. Keganasan pada ginjal
g. Sumbatan : batu, tumor, penyempitan
2. Penyakit umum diluar ginjal
a. Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b. Dyslipidemia
c. Systemic lupus erythematosus (SLE)
d. Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
e. Preeklamsia
f. Obat-obatan
g. Kehilangan banyak cairan luka bakar.
2.1.3. patofisiologi
Gagal ginjal kronis dimulai fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan
bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari
25% normal, manifestasi klinis ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-
nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang
tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi dan sekresinya, serta
mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka
nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron
tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini
tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron,
terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang.
Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut
sebagai respons dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal turun
drastis dengan manifestasi penumpukan metabolitme metabolit yang seharusnya
dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang
memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh. Pelepasan renin akan
meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan
hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar
terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma (Harmilah, 2020).
2.1.4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis berkembang dari waktu ke waktu
jika kerusakan ginjal berlangsung lambat, bahkan terkadang penderita tidak
menyadari bahwa ia telah mengalami penyakit ginjal kronis/ Hilangnya fungsi
ginjal dapat menyebabkan penumpukan cairan atau limbah tubuh atau masalah
elektrolit. Bergantung pada seberapa parahnya.
Adapun gambaran klinis tanda dan gejala penyakit ginjal kronis yaitu:
1. Mual dan/atau muntah
2. Kehilangan selera makan
3. Kelelahan dan kelemahan
4. Masalah tidur
5. Buang air kecil lebih atau kurang
6. Menurunnya ketajaman mental
7. Kram otot
8. Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki
9. Kulit kering dan gatal
10. Tekanan darah tinggi (hipertensi) yang sulit dikendalikan
11. Sesak napas, jika cairan menumpuk di paru-paru
12. Nyeri dada, jika cairan menumpuk di sekitar lapisan jantung
13. Tanda dan gejala penyakit ginjal seringkali tidak spesifik. Ini berarti mereka
juga bisa disebabkan oleh penyakit lain. Karena ginjal Anda mampu
mengganti fungsinya yang hilang, Anda mungkin tidak mengalami tanda dan
gejala sampai terjadi kerusakan permanen
Menurut (Ikizler et al., 2022) dalam “KDOQI Clinical Practice Guideline
for Nutrition in CKD: 2020 Update” menyebutkan bahwa ada 5 (lima) tingkatan
stadium dari penyakit gagal ginjal kronis. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
tabel di bawah ini :
Tabel Stadium Gagal Ginjal Kronis
Tingkat Keparahan Keterangan
Stadium 1 Gagal ginjal dengan GFR normal atau meningkat dengan GFR
≥ 90 ml/menit.
Stadium 2 Gagal ginjal dengan penurunan GFR ringan antara 60-89
ml/menit.
Stadium 3 Gagal ginjal dengan penurunan GFR sedang antara 30-59
ml/menit.
Stadium 4 Gagal ginjal dengan penurunan GFR parah dengan GFR antara
15-19 ml/menit.
Stadium 5 Gagal ginjal dengan penurunan GFR
Sumber : (Ikizler et al., 2022)

2.1.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium (Suwitra, 2021) terdiri atas pemeriksaan
Laboratorium darah yaitu kreatin, BUN, elektrolit (Na, K,Ca phospat),
hematologi (Hb,trombosit,Ht,Leukosit)
2. Pemeriksaan urin yaitu warna, PH,BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein,
sedimen,
3. Pemeriksaan EKG : Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda
pericarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
4. Pemeriksaan USG : Untuk menilai besar ginjal, bentuk ginjal, tebal korteks
ginjal, kepadatan parenkim ginjal dan kandung kemih serta prostate.
5. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde
Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi,
pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
6. Identifikasi perjalanan penyakit : Progresifitas penurunan fungsi ginjal, ureum
kreatinin, Clearence Creatinin test (CCT) : CCT = 140 — Umur x BB (kg) 72
x Kreatinin serum Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
2.1.6. Komplikasi

Seperti penyakit kronis dan lama laiinya penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi menurut suwitra (2021) anatara lain adalah :
1. Hiperkalemi yang disebakan oleh penurunan sekresi asidosis metabolic
2. Pericarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Anemia yang disebakan oleh penurunan eritropoitin.
4. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolic akibat adanya retens fosfat kadar
kalsium yang rendah, metabolisme, vitamin D yang abnormal
5. Uremia yang disebabkan oleh peningkatan kadar uream dalam tubuh
6. Gagal jantung yang disebakan oleh penigkatan kerja jantung yang berlebihan
7. Malnutrisi dikarenakan anoreksia , mual dan muntah
8. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.
2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD menurut (Dessy Hadrianti,2021):
1. Tindakan konservatif Tujuan pengobatan pada tahap ini iaalah untuk
memperlambat gangguan fungsi ginjal. Terdapat pengaturan diet protein,
kalium,natrium dan cairan.
a. Pembatasan protein
Pembatasan asupan gizi protein telah terbukti memperlambat terjadinya
gagal ginjal. Pasien yang dapat jadwal terapi hemodialisa yang tertur,
jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60- 80gr\hari.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya bermasalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang
dianjurkan ialah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan
yang tinggi kadar natrium dapat terjadinya hiperkalemia
c. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1- 2 gr Na). Asupan
natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
Pengaturan cairan Pengawasan yang ketat diperlukan bagi penderita CKD
tahap akhir yang mengomsumsi cairam. Parameter yang tepat untuk dipantau
selain catatan asupan dan pengeluaran cairan adalah pengukuran berat badan
setiao harinya. Komsumsi ciran yang berlebihan dapat menyebabkan beban
sirkulasi dan edema. Sedangkan, komsumsi cairan yang terlalu sedikit juga
menyebabkan dehidrasi dan gangguan fungsi ginjal.
Ada beberapa pencegahan dan pengobatan komplikasi antara lain hipertensi,
hiperkalemia, anemia, diet fosfat.
1. Hipertensi
Manajemen hipetensi pada CKD dapat diatur dengan pembtasan cairan dan
natrium. Apabila penderita sedang menjalani terapi hemodialisa, pemberian
antihipertensi dihentikan dapat terjadi hipotensi dan diakibatkan oleh
keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.
2. Hiperkalemia
Salah satu komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum mencapai
sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan henti jantung. Hiperkalemia
dapat diobat dengan pemberian glukosa dan insulin intravena K+ ke dalam
sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10%.
3. Anemia
Anemia akan menyebabakan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal.
Pengobatan anemia meliputi rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan
pemberian vitamin dan asam folat dan tranfusi darah.
4. Asidosis
Asidosis biasanya tidak diobati kecuaki HCO3, plasma turun dibawah angka
15 mEq/I. Bila asidosis yang berat akan dikoreksi dengan pemberian Na
HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral.
5. Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam
usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan
makanan.
2.1.8. Pencegahan

Pencegahan dan Pengendalian Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan hasil Inpres


No. 1 tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang
fokus terhadap rasa sadar, keinginan, serta keterampilan bertindak yang sehat.
Mempunyai tujuan dalam peningkatan produktivitas, mengurangi biaya layanan
kesehatan serta melakukan perbaikan kualitas kehidupan bermasyarakat.
Pencegahan dan pengendalian faktor risiko gagal ginjal kronik dapat dilakukan
dengan melakukan berbagai upaya, diantaranya : (Kemenkes RI, 2018)
1. Posbindu Penyakit Tidak Menular
Sebagai sarana warga untuk melaksanakan kegiatan memantau
faktor akibat PTM yang dilaksanakan dengan terpadu, berkala, serta rutin.
Faktor berisiko penyakit tidak menular (PTM) yakni misalnya rokok,
mengonsumsi allkohol, pola makannya tidak teratur, kurangnya aktivitas
fisik, obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol. Menentukan
langkah awal dari ditentukannya faktor risiko yang dijumpai bisa dengan
berkonseling kesehatan. (Kemenkes RI, 2012)
2. Pelayanan Terpadu PTM
Pelayanan Terpadu (PANDU) PTM yakni aktivitas untuk
menemukan serta menangani kasus PTM maupun manajemen faktor risiko
PTM pada FKTP dengan terpadu. Aktivitas manajemen faktor risiko
mencakup pengecekan anamnesa, kebiasaan merokok, kelebihan berat
badan, TD > 120/80 mmHg, gula darahnya > 200 mg/dL, kolesterol ataupun
kolesterol rerata, perempuan berusia 30-50 tahun ataupun perempuan yang
memiliki pengalaman berhubungan seksual. (Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2019)
3. Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu suatu ruangan yang terdapat
larangan dalam berkegiatan merokok ataupun produksi, penjualan,
pengiklanan, serta promosi terkait produk atau barang tembakau. Penentuan
KTR sebagai suatu usaha pemerintahan untuk memberi perlindungan
warganya kepada risiko yang mengancam gangguan kesehatan dikarenakan
lingkungannya terkena pencemaran dari asap rokok. Penentuan KTR ini
harus dilakukan dalam fasilitas layanan kesehatan, lokasi tahapan
pengajaran, tempat main, lokasi beribadah maupun tempat publik lainnya
yang ditentukan. Tujuannya dalam menetapkan Kawasan Tanpa Rokok
yakni :
a. Mengurangi angka kesakitan serta angka kematian melalui pengubahn
tindakan warga dalam berkehidupan sehat
b. Melakukan peningkatan produktivitas kerja yang maksimal.
c. Menciptakan kualitas udara yang bersih serta sehat, terbebas dari asap
merokok.
d. Mengurangi angka perokok serta melakukan pencegahan perokok
pemulanya.
e. Menciptakan generasi muda yang sehat. (Dinkes Kabupaten Pringsewu,
2019)
4. Konseling Upaya Berhenti Merokok
Di samping meningkatkan penerapan kawasan tanpa rokok (KTR),
Dilaksanakan pula usaha memperluas akses layanan untuk individu yang
sudah terlanjur jadi perkokok agar berhenti melalui penyediaan pelayanan
berkonseling usaha untuk menghentikan merokok pada fasilitas pelayanan
kesehatan di Puskesma, klinik, hingga RS sebagai tempat rujukannya. Bagi
mereka yang ingin berhenti dari kebiasaan merokok tapi dikarenakan suatu
alasan belum mendatangi fasilitas kesehatan, bisa melakukan akses
pelayanan berkonseling berhenti merokok dengan saluran telepon bebas
biaya yang namanya Quit Line Berhenti Merokok yang bisa dilakukan akses
di nomor 0-800-177-6565 setiap Senin-Sabtu pukul 08.00 s.d 16.00 WIB.
(Kementerian Kesehatan, 2018).
5. Kampanye CERDIK
Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan bagi populasi masyarakat
sehat yaitu yang berperilaku “ CERDIK ” : Cek kesehatan secara berkala,
Enyahkan asap rokok, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat dengan kalori
seimbang, Istirahat yang cukup dan Kelola stress. (Kemenkes RI, n.d.)
6. Pembatasan Konsumsi Gula, Garam dan Lemak
Aturan dalam P2PTM Kemenkes konsumsi gula per hari maksimal 4
sdm sama dengan 54 gram, garam per hari maksima l sdt sama dengan 2000
miligram natrium, lemak/minyak per hari maksimal 5 sdm sama dengan 72
gram. (P2PTM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019) Ginjal
berfungsi menjaga keseimbangan kadar natrium dalam tubuh. Jika kadar
garam dalam makanan tinggi maka bisa mengakibatkan meningkatnya
tekanan darah ataupun hipertensi. Di samping itu, glukosa pada darah yang
tinggi serta hipertensinya bisa memberi kerusakan pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh termasuk organ ginjal. (Cholik, 2014).
2.2. Landasan Teori Diabetes Melitus

2.2.1. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak dapat mengeluarkan insulin,
aktivitas insulin yang melemah atau keduanya. Kerusakan jangka panjang dan
kegagalan organ yang berbeda, misalnya, mata, ginjal, saraf, jantung dan vena
dapat terjadi ketika dalam kondisi hiperglikemia berkelanjutan (ADA, 2020).
Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
menggunakan insulin dan dianalisis dengan melihat kadar glukosa dalam darah.
Insulin adalah zat kimia yang dibawa oleh organ pankreas yang berperan dalam
memasukkan glukosa dari system peredaran darah ke ponsel tubuh untuk
digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2019).
Diabetes Melitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak dikenal luas, rata-
rata penderita DM berumur ≥ 30 tahun. Pada Diabetes Melitus tipe 2 pankreas
mampu menghasilkan insulin, namun sifat insulin yang dihasilkan buruk dan
tidak dapat bekerja seperti yang diharapkan sebagai kunci untuk memasukkan
glukosa ke dalam sel. Dengan demikian terjadi peningkatan glukosa dalam darah.
Peluang lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah bahwa jaringan tubuh dan
sel otot pasien tidak peka atau secara efektif kebal terhadap obstruksi insulin
sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan dalam jangka panjang
menumpuk dalam aliran darah (Kemenkes RI, 2020).
2.2.2. Etiologi
Menurut (Paulus, 2019), Diabetes melitus berkaitan erat dengan peran
penting hormone insulin dan reseptornya dalam sel tubuh manusia. Ada dua etiologi
yang berperan pada kejadian diabetes melitus tipe II. Di satu sisi, terjadi karena
adanya penurunan sensitivitas dari insulin (resitensi terhadap insulin). Artinya,
meskipun jumlah insulin cukup, reseptor insulin tidak dapat bekerja, dengan baik
untuk menurunkan kadar glukosa darah akibat kerusakan pada reseptor insulin di
sel. Dengan demikian hormone insulin tidak dapat berkaitan dengan reseptornya dan
glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel, (Amaliyah, 2022). Kedua karena
penuruanan produksi insulin oleh sel beta pankreas. Diabetes Melitus tipe II
diintervensikan dengan cara edukasi diet, latihan fisik/olahraga, dan pemantauan
glukosa darah.
Selain itu, perawatan dan pengobatan dapat menggunakan hipoglikemia oral
atau insulin sesuai dengan kebutuhan. Sampai saat ini penyebab pasti dibalik orang
yang menderita diabetes melitus tipe 2 belum diketahui secara jelas. Namun
terdapat faktor tertentu yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengidap
diabetes melitus tipe ini, (Paulus Subianto, 2019). Faktor-faktor risiko inilah diduga
kuat menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan kegagalan sel beta pankreas
dalam memproduksi insulin sehingga terjadi hiperglikemia yang tidak
terkompensasi oleh insulin dari dalam tubuh.
Faktor-Faktor tersebut antara lain:
1. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes melitus tipe 2. Semakin banyak
jaringan lemak yang dimiliki seseorang, semakin banyak reseptor insulin yang
mengalami gangguan dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Namun,
seseorang tidak harus mengalami obesitas untuk mengembangkan diabetes
melitus tipe 2. Seseorang dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/ m2 atau
120% memiliki risiko tinggi diabetes. Jika di tempat lain, seperti pinggul dan
paha.
2. Dislipidemia tubuh menyimpan lemak terutama di perut (Obesitas sentral),
risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar daripada jika tubuh menyimpan lemak
Seseorang dengan kadar kolestrol HDL ≤ 35 mg/ dL, dan tau kadar trigliserida
≥250% mg/ dL atau dislipidemia memiliki risiko tinggi diabetes melitus tipe 2.
3. Ras
Meskipun tidak jelas mengapa, oerang-orang dari ras tertentu, termasuk orang
kulit hitam, hispanik, indian Amerika dan orang Asia- Amerika, lebih cenderung
mengembangkan diabetes melitus tipe 2 daripada orang kulit putih.
4. Usia
Risiko diabetes melitus tipe II meningkat seiring bertambahnya usia, terutama
setelah usia 45 tahun. Hal ini terjadi karena orang cenderungkurang berolahraga,
kehilangan massa otot, mengalami peningkatan berat badan seiring
bertambahnya usia. Namun, jumlah penderita diabetes melitus tipe II juga
meningkat secara drastis di kalangan anak- anak, remaja, dan orang dewasa
muda.
5. Pre-diabetes
Pre-diabetes adalah kondisi di mana tingkat gula darah lebih tinggi dari
biasanya, namun tidak cukup tinggi untuk diklasifikasikan sebagai diabetes.
Pasien dengan riwayat glukosa darah puasa terganggu < 140 diabetes melitus
tipe II. mg/dL (GDPT) dan toleransi glukosa terganggu 140-199 mg/dL (TGT).
Jika tidak segera ditangani, prediabetes dapat berkembang menjadi diabetes
melitus tipe II.
6. Gaya hidup atau jarang melakukan aktivitas fisik
Seseorang yang tidak aktif secara fisik, memiliki kecenderungan risiko diabetes
melitus tipe II yang lebih tinggi. Aktivitas fisik membantu mengendalikan berat
badan, menggunakan glukosa sebagai energy dan membuat sel lebih sensitive
terhap insulin.
7. Riwayat keluarga atau herediter Resiko diabetes melitus tipe II meningkat jika
orang tua atau saudara kandung memiliki diabetes melitus tipe 2.
8. Seorang ibu dengan riwayat diabetes gestasional dan pernah melahirkan bayi
dengan berat > 400 gram.
9. Penderita hipertensi, PJK, dan hipertiroidisme diketahui juga mempunyai risiko
tinggi diabetes.
2.2.3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi diabetes yang ideal berdasarkan perawatan klinis,
patologi, dan epidemiologi, tetapi saat ini belum memungkinkan karena
keterbatasan pengetahuan dan sumber daya yang ada pada sebagian besar negara
di dunia. Beberapa ahli mengusulkan pengelompokan berdasarkan perawatan
klinis dan perlu tidaknya pemberian insulin terutama pada saat diagnosis (WHO
2019).
Secara umum DM dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) diabetes
tipe I, (2) diabetes tipe II, (3) gestasional, dan (4) diabetes spesifik lain. Penderita
diabetes tipe I ditemukan pada anak-anak dan remaja. Data penderita diabetes tipe
I secara global belum ada tetapi di negara maju penderita diabetes tipe II
meningkat antara 3 sampai 4% pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan
per tahunnya (WHO, 2019). Umumnya diabetes tipe II terjadi pada orang dewasa
tetapi sekarang ini jumlah anak-anak dan remaja yang menderita diabetes tipe II
meningkat. Diabetes tipe II menjadi masalah kesehatan global dan serius yang
berevolusi karena perubahan budaya, ekonomi dan sosial, populasi lanjut usia,
peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan (peningkatan konsumsi makanan
olahan dan gula), obesitas, aktivitas fisik berkurang, gaya hidup tidak sehat,
malnutrisi pada janin, paparan hiperglikemia pada janin saat kehamilan
(Alauddin, 2020).
Diabetes gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada masa
kehamilan Biasanya terjadi pada trimester kedua dan ketiga saat kehamilan karena
hormon yang disekresi plasenta menghambat kerja insulin. Sekitar 30-40%
penderita diabetes gestasional berkembang menjadi diabetes tipe II Diabetes
gestasional terjadi pada 7% kehamilan dan meningkatkan risiko kematian pada
ibu dan janin. Diabetes spesifik lain merupakan diabetes berhubungan dengan
genetik, penyakit pada pankreas, gangguan hormonal, penyakit lain atau pengaruh
penggunaan obat (seperti glukokortikoid, pengobatan HIV/Aids, antipsikotik
atipikal), (Alauddin, 2020).
2.2.4. Manifestasi Klinis
Menurut (Hardianto, 2020) tanda dan gejala yang sering muncul pada
penderita diabetes mellitus diantaranya yaitu:
a. Polidipsia, haus yang meningkat karena berkurangnya air dan elektrolit dalam
tubuh.
b. Polifagia, nafsu makan meningkat karena berkurangnya kadar glukosa darah
dalam jaringan.
c. Glikosuria, kondisi terdapat glukosa di dalam urin yang umumnya terjadi
ketika kadar glukosa darah mencapai 180 mg/dL.
d. Poliuria disebabkan adanya peningkatan osmolaritas filtrat glomerulus dan
penghambatan reabosorpsi air dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan
volume urin yang dikeluarkan meningkat dan membuat penderita sering
buang air kecil.
e. Dehidrasi, kekurangan cairan akibat kadar gula darah yang meningkat
menyebabkan cairan ekstraselular hipertonik dan air dalam sel keluar.
f. Kelelahan/merasa lemah.
g. Berat badan mengalami penurunan.
h. Penurunan fungsi penglihatan.
i. Kram.
j. Konstipasi atau kesulitan buang air besar.
2.2.5. Patofisiologi
Dapat terjadi pada kaki awalnya ditandai dengan adanya kelebihan gula
dalam darah pada seseorang penderita DM yang akan menimbulkan suatu
kelainan pada neuropati dan adanya kelainan pada pembuluh darah . Neuropati
sensorik serta neuropati motorik akan mengakibatkan terjadinya perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki sehingga mempermudah timbulnya ulkus.
Kerentanan pada infeksi yang luas. Aliran darah yang kurang akan sulit di dalam
pengelolaan ulkus diabetes (Amaliyah, 2022).
Pada saat awal membentuknya ulkus ada hubungan dengan hiperglikemia
yang akan menimbulkan suatu efek didalam saraf perifer. Dengan timbulnya
suatu tekanan mekanik akan terbentuknya keratin pada kaki yang mengalami
beban ynag cukup besar. Neuropati sensori perifer kemungkinan yang akan terjadi
trauma berulang sehingga akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Dan yang
se;lanjutnya membentuk kavitas yang bisa membesar dan terjadi rupture hingga
pada permukaan kulit yang akan menimbulkan ulkus (Fatmawaty, 2019). Pada
diabetes tipe I, sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun,
sehingga insulin tidak dapat diproduksi. Hiperglikemia puasa terjadi karena
produksi glukosa yang tidak dapat diukur oleh hati. Meskipun glukosa dalam
makanan tetap berada di dalam darah dan menyebabkan hiperglikemia
postprandial (setelah makan), glukosa tidak dapat disimpan di hati. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan dapat menyerap
kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh karena itu ginjal tidak dapat
menyerap semua glukosa yang disaring. Akibatnya, muncul dalam urine (kencing
manis). Saat glukosa berlebih diekskresikan dalam urine, limbah ini akan disertai
dengan ekskreta dan elektrolit yang berlebihan. Kondisi ini disebut diuresis
osmotik. Kehilangan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
buang air kecil (poliuria) dan haus (polidipsia), (Baynest 2015, Kumar et al. 2017,
Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Kekurangan insulin juga dapat mengganggu metabolisme protein dan
lemak, yang menyebabkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan
insulin, kelebihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan di
jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme lemak akan
meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara waktu makan, saat sekresi
insulin minimal, namun saat sekresi insulin mendekati, metabolisme lemak pada
DM akan meningkat secara signifikan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah pembentukan glukosa dalam darah, diperlukan peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan oleh sel beta pancreas (Padila, 2019).
Pada penderita gangguan toleransi glukosa, kondisi ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan tetap pada level normal
atau sedikit meningkat. Namun, jika sel beta tidak dapat memenuhi permintaan
insulin yang meningkat, maka kadar glukosa akan meningkat dan diabetes tipe II
akan berkembang (Padila, 2019). Diabetes tipe II terjadi karena resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin karena kelainan fungsi sel β. Resistensi insulin
ditandai dengan berkurangnya kemampuan insulin untuk menyeimbangkan kadar
glukosa darah karena berkurangnya sensitivitas jaringan sehingga meningkatkan
produksi insulin oleh sel β pancreas, umumnya penderita DMT2 mempunyai berat
badan berlebih atau obesitas sehingga insulin tidak dapat bekerja secara optimal
dan sebagai kompensasinya diproduksi insulin yang lebih banyak. Kelainan
fungsi sel β pada DMT2 pada orang Asia lebih banyak dibandingkan dengan
orang Eropa. DMT2 sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemia yang tidak
cukup parah untuk menunjukkan gejala diabetes, (Baynest 2015, Kumar et al.
2017, Basukala et al. 2018, WHO 2019).
Obesitas berkontribusi sebesar 55% dari kasus diabetes tipe II.
Peningkatan obsesitas pada rentang tahun 1960 sampai dengan tahun 2000
menyebabkan kasus diabetes tipe II pada anak-anak dan remaja. Racun/toksin
yang berasal dari lingkungan, seperti adanya senyawa bisfenol A sebagai
komponen plastik di dalam urin dapat menginduksi terjadinya diabetes tipe II
(Hardianto D, 2020).
2.2.6. Komplikasi
Komplikasi diabetes melitus bisa terjadi apabila terdapat perubahan
metabolik yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi dari
makromolekul yang ada di dalam tubuh. Menurut (Prawitasari, 2019) beberapa
komplikasi pada diabetes mellitus bisa berupa : a. Retinopati diabetik. b.
Nefropati. c. Neuropati d. Kardiomiopati. e. Komplikasi makroangiopati seperti
aterosklerosis. f. Ulkus diabetikum Ulkus diabetikum merupakan komplikasi
umum yang sering terjadi pada pasien diabetes mellitus (Oktorina et al., 2019).
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Paulus, 2019), untuk memastikan seseorang menderita Diabetes
Melitus Tipe 2 diperlukan skrining pemeriksaan kadar glukosa darah dengan nilai
satuan yang dinyatakan dalam milligram per desiliter (mg/ dL) atau milimoles per
liter (mmol/ L).
Beberapa cara pemeriksaan kadar glukosa darah untuk menegakkan
diagnosis Diabetes melitus sebagai berikut:
1. Tes gula darah acak atau sewaktu
Sampel darah akan diambil pada waktu acak. Terlepas dari kapan seseorang
terakhir makan, Kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/ L) sudah
dapat digunakan untuk menyatakan seseorang menderita diabetes, terutama
bila digabungkan dengan gejala khas dan tidak khas dari diabetes.
2. Tes gula darah puasa
Sampel darah akan diambil stelah puasa semalam selama 8-10 jam. Tingkat
gula darah puasa kurang dari 100 mg/ dL (5,6 mmol/L) adalah normal.
Tingkat gula darah puasa dari 100 hingga 125 mg/dL (5,6 hingga 6,9
mmol/L) diangap prediabetes. Jika 126 mg/dL (mmol/L) atau lebih tinggi
pada dua tes terpisah berarti pasien menderita diabetes.
3. Tes toleransi glukosa oral
Untuk tes ini, pasien harus berpuasa selama 8-10 jam, minum air putih tanpa
gula tetap diperbolehkan. Setelah diperiksa kadar gula darah puasa, pasien
diberi glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 cc, lalu diminum dalam
waktu 5 menit, selanjutnya berpuasa kembali. Setelah 2 jam kemudian
glukosa darah diepriksa. Kadar gula darah kurang dari 140 mg/dL (7,8
mmol/L) adalah normal. Pembacaan antara 140 dan 199 mg/dL (7,8 mmol/L
dan 11,0 mmol/L) menunjukkan prediabetes. Pembacaaan 200mg/dL (11,1
mmol/L) atau lebih tinggi setelah dua jam pembebanan glukosa dapat
mengindikasi diabetes.
2.2.8. Penatalaksanaan
Sesuai (Perkeni, 2021) individu dengan diabetes melitus memerlukan
pertimbangan yang sah dalam penatalaksanaan klien diabetes melitus, ada 4
(empat) poin pendukung, untuk lebih spesifiknya:
1. Obat anti hiperglikemik oral
Berdasarkan cara kerja obat dapat dibagi menjadi 5 (lima) golongan,
(Perkeni, 2021), yaitu:
a. Pemacu sekresi insuin (Insulin secretagogue)
1) Sulfoniluera
Kelas obat ini memiliki dampak mendasar untuk memperluas pelepasan
insulin oleh sel beta pankreas. Efek super sekunder adalah hipoglikemia
dan penambahan berat badan. Berhati- hatilah dalam menggunakan obat
ini pada klien dengan risiko hipoglikemia yang tinggi (usia lanjut,
gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam kelas ini adalah
glibenclamide, glipizide, gliquidone dan gliclazide.
2) Glinid
Obat-obatan yang bekerja dengan cara yang hampir sama dengan
sulfonylurea, namun bervariasi di area reseptor, dengan produk akhir
menyembunyikan periode utama dari perluasan emisi insulin. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinide (derivate asam benzoate)
dan Nateglinide (Derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizers)
1) Metformin
Metformin memiliki dampak mendasar dalam mengurangi pembentukan
glukosa hepatic (gluconeogenesis) dan lebih lanjut m2) mengembangkan
pengambilan glukosa di jaringan pinggiran. Metformin adalah keputusan
pertama dalam beberapa waktu dari diabetes melitus tipe 2. Porsi
metformin berkurang pada klien dengan gangguan kemampuan ginjal
(GFR30-60ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
keadaan tertentu, misalnya, kelemahan hati yang serius dank lien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya, penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, PPOK (Penyakit Pneumonia Obstruktif Konstan), kerusakan
kardiovaskular). Efek sekunder yang mungkin terjadi adalah masalah
sistem usus seperti dyspepsia.
2) Thiazolidinedione
Kelas obat yang mengurangi obstruksi insulin dengan meningkatkan
berapa banyak protein penggerak glukosa, dengan cara ini memperluas
pengambilan glukosa di jaringan pinggiran. Obat ini dapat menyebabkan
pemeliharaan cairan tubuh sehingga kontraindikasi pada klien dengan
gangguan kardiovaskular karena dapat memperparah edema atau
pemeliharaan cairan. Obat yang memiliki tempat dengan kumpulan ini
adalah pioglitazone.
c. Penghambat alfa glukosa: metrofin
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorbsi glukosa dalam usus halus.
Penghambat ini tidak digunakan pada keadaan gangguan faal hati yang berat,
Irritable bowel syndrome (IBS). Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga akan sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat diberikan dengan
dosis kecil. Contohnya obat golongan ini adalah acarbose.
d. Penghambat absorbs gula: penghambat glukosidase alfa
1) DPP-IV Inhibitor
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di stubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat
golongan ini dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek
samping dari pemberian obat ini adalah pemberian obat ini adalah infeksi
saluran kemih dan genital.
e. Obat antihiperglikemia injeksi
1) Insulin, insulin digunakan pada keadaan:
a) HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
b) HbA1c saat diperiksa >9%
c) Penurunan berat badan yang cepat
d) Hiperglikemia berat yang di sertai dengan ketosis
e) Krisis hiperglikemia
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g) Stress berat (infeksi, operasi besar, infarkcmiokard akut, stroke)
h) Kehamilan dengan Diabetes Melitus Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau
alergi
j) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
2) Jenis dan cara kerja insulin:
a) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
b) Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
c) Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
d) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
e) Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
f) Insulin campuran tepat, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (premixed insulin)
g) Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat.
3) Efek samping insulin:
a) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
b) Reaksi GLP-1 (Incretin Mimetic)
c) Incretin adalah bahan kimia peptide yang dilepaskan oleh saluran
pencernaan setelah konsumsi makanan, yang dapat meningkatkan
emisi insulin melalui perasaan glukosa. Obat ini membuat fit
menekan kedatangan glucagon, menekan rasa lapar dan mengurangi
pembersihan lambung, sehingga menurunkan kadar glukosa darah
postprandial. Obat- obatan yang termasuk dalam kelompok ini
adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan
Dulaglutide.
2.3. Konsep Dasar Penyakit Ulkus Diabetikum
2.3.1. Definisi
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi dari diabetes yang disebabkan
oleh kelainan saraf dan penyakit arteri perifer yang dapat menyebabkan infeksi,
ulserasi, dan kerusakan jaringan kulit pada kaki penderita diabetes (Rizqiyah et al,
2020). Menurut sumber lainnya mengungkapkan ulkus diabetikum adalah
kerusakan integritas pada kulit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor,
yaitu neuropati, trauma, kelainan bentuk kaki, tekanan kuat pada telapak kaki, dan
penyakit pembuluh darah yang menyebabkan jaringan di sekitar luka akan mati
atau nekrotik dan mengalami pembusukan (Ningsih et al, 2019).
2.3.2. Etiologi
Beberapa penyebab yang dapat membuat penderita diabetes mengalami
komplikasi ulkus diabetikum yaitu:
1. Neuropati
Neuropati adalah penyakit yang memengaruhi saraf dan dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan sensorik, motorik, dan aspek kesehatan lainnya
bergantung pada saraf yang terkena. Neuropati muncul karena adanya
gangguan metabolisme akibat hiperglikemia (Sucitawati, 2021). Neuropati
motorik menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyeimbangkan gerakan
mengalami perubahan, mengakibatkan kelainan bentuk kaki dan memicu
munculnya atrofi otot kaki yang mengarah ke osteomielitis. Neuropati
sensorik menyebabkan kerusakan berulang pada saraf sensorik ekstrimitas,
mengakibatkan gangguan pada integritas kulit dan menjadikannya titik masuk
untuk invasi mikroba. Kondisi ini dapat memicu luka yang tidak kunjung
sembuh dan membentuk ulkus kronis. Kehilangan sensasi atau mati rasa
sering menyebabkan trauma atau kerusakan yang tidak disadari. Neuropati
otonom melemahkan fungsi kelenjar keringat dan sebaceous kaki,
menyebabkan kulit kaki mengering dan mudah pecah-pecah. Kaki kehilangan
kemampuan alaminya untuk melembapkan dan kulit menjadi lebih rentan
terhadap kerusakan dan perkembangan infeksi (Sucitawati, 2021).
2. Perypheral Arteri Disease (PAD)
Perypheral Arteri Disease (PAD) adalah pembentukan aterosklerosis dampak
dari membran basal vascular besar dan kecil yang menebal di sirkulasi arteri
perifer bagian ektremitas bawah. PAD merupakan faktor risiko terjadinya
ulkus 12 diabetikum, gangren, dan penyembuhan luka yang lama akibat
sirkulasi peredaran darah yang buruk pada ekstermitas yang dapat
menyebabkan amputasi ektermitas bawah pada penderita DM (Widiastuti et
al, 2022).
3. Kurangnya kontrol kadar glikemik Kontrol gula darah adalah salah satu hal
terpenting dalam pengobatan DM. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang
dinamakan Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan United
kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa kontrol
gula darah yang baik dan olahraga berkaitan dengan tingkat penurunan
kejadian retinopati, nefropati, dan neuropati (Bachri et al, 2022).
4. Perawatan luka yang tidak tepat Penanganan yang tidak sesuai pada luka
diabetikum dapat memperburuk kondisi luka dan meningkatkan resiko infeksi
(Primadani et al, 2021).
5. Ketidakpatuhan melakukan diet rendah gula Kepatuhan terhadap pola makan
merupakan salah satu faktor yang dapat menjaga kadar gula darah tetap stabil
dalam kisaran normal dan mencegah terjadinya komplikasi, antara lain ulkus
diabetikum (Herawati et al, 2020).
6. Menggunakan alas kaki yang tidak pas alas kaki yang digunakan dengan tepat
dan nyaman dapat mengurangi risiko ulkus diabetikum. Alas kaki yang
digunakan dengan benar dapat meminimalkan tekanan pada plantar kaki serta
mencegah dan melindungi kaki dari tertusuk benda tajam (Sucitawati, 2021).
7. Gaya hidup Olah raga yang dilakukan secara bertahap dan teratur dengan
intensitas yang cukup dengan frekuensi 3 - 5 kali seminggu bisa berpengaruh
terhadap penurunan gula darah, 13 memperlancar peredaran darah dan
menguatkan otot kaki. Hal ini dibuktikan dengan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Rini (2008) yang menyatakan bahwa olahraga tidak teratur
akan 4 kali lebih mungkin menyebabkan ulkus diabetikum dibandingkan
olahraga teratur (Bachri et al, 2022).
2.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi Wagner tentang ulkus kaki diabetikum menurut (Shah et al,
2022) adalah sebagai berikut:
1. Tingkat 0 : Kulit utuh namun terdapat kelainan bentuk tulang yang dapat
menyebabkan “kaki berisiko”
2. Tingkat 1 : Ulkus pada daerah superficial
3. Tingkat 2 :Ulkus lebih dalam mencapai tendon, tulang atau sendi (joint
capsule)
4. Tingkat 3 : Adanya infeksi (abses atau osteomielitis)
5. Tingkat 4 : Gangren parsial kaki depan
6. Tingkat 5 : Gangren yang luas menyeluruh pada permukaan kaki

Gambar : Klasifikasi Ulkus berdasarkan Wagner


(Wagner Classification of foot)

2.3.4. Manifestasi Klinis


Menurut Roza pada tahun 2015 mengungkapkan tanda dan gejala ulkus
diabetikum dapat diliat dari:
1. Kaki kehilangan sensasi atau mati rasa.
2. Adanya deformitas atau kelainan bentuk pada kaki yang dapat menjadi
tempat terjadinya ulkus berulang setelah sebelumnya ulkus sembuh.
3. Kulit kaki menjadi kering dan pecah-pecah. Kondisi ini merupakan media di
mana bakteri dapat dengan mudah tumbuh.
4. Nyeri saat istirahat.
Sementara itu menurut (Sucitawati, 2021) berdasarkan tanda dan gejala
yang diungkapkan oleh Roza pada tahun 2015 yaitu:
1. Penurunan denyut nadi arteri dorsal pedis, tibia, dan arteri poplitea, atrofi di
kaki, kaku/kebas, sering kesemutan, kedinginan, penebalan kuku dan kulit
kering atau pecah-pecah.
2. Eksudat, yaitu terdapat cairan atau pus pada luka yang dapat menjadi tempat
berkembangnya bakteri.
3. Edema, sebagian besar kulit dengan ulkus diabetikum menyebabkan
pembengkakan sekitar 2 cm, kemerahan, dan peradangan minimal.
Pembengkakan pada ulkus diabetikum terdiri dari edema ringan berkisar
kurang dari 2 cm,edema sedang (seluruh bagian kaki), hingga berat (kaki dan
tungkai).
4. Peradangan/Inflamasi, bisa berupa peradangan ringan, sedang, berat atau
tanpa peradangan sama sekali. Dengan karakteristik berwarna
kemerahan/merah muda, eritema, pucat, gelap.
5. Nyeri, terasa saat istirahat, sensitivitas atau nyeri sebagian besar tidak terasa
lagi atau kadang-kadang.
2.3.5. Patofisiologi
Awal mula munculnya ulkus diabetikum karena terjadi peningkatan
glukosa darah yang menyebabkan abnormalitas pada vaskular dan neuropati.
Neuropati, sensori, motorik ataupun autonomik bisa menimbulkan perubahan
kondisi pada otot maupun kulit yang kemudian berakibat pada perubahan
penyaluran tekanan pada bagian telapak kaki dan dapat menyebabkan ulserasi.
Infeksi dapat dengan mudah menyebar dan meluas karena terdapat risiko rentan
terhadap infeksi (Jayanti, 2019).
Neuropati motorik memicu adanya atrofi otot, perubahan bio mekanik,
kelainan bentuk pada kaki dan redistribusi tekanan pada kaki, yang semuanya
dapat menyebabkan ulkus. Neuropati sensori memengaruhi dan menyebabkan
ketidaknyamanan akibat cedera berulang pada kaki. Saraf otonom yang rusak
mengurangi keringat mengakibatkan kulit kering dan pecah-pecah yang ditandai
dengan fisura yang memudahkan bakteri untuk masuk. Kerusakan pada persarafan
simpatis pada kaki memicu timbulnya taut (shunting) arteriovenosa dan distensi
vena. Keadaan tersebut melewati lapisan kapiler dari area yang rusak dan
memperlambat penyaluran oksigen dan nutrisi. Penyakit mikrovaskuler dapat
menggangu sirkulasi nutrisi oleh darah ke jaringan kaki (Jayanti, 2019).
2.3.6. Komplikasi
Komplikasi osteomielitis dan sepsis terjadi akibat infeksi pada luka
diabetikum yang meluas hingga ke dalam jaringan tulang dan menjadi infeksi
sistemik serta sepsis. Sedangkan penyakit arteri perifer yang terjadi pada ulkus
diabetikum memengaruhi penurunan aliran darah ke area ulkus, sehingga
menyebabkan iskemia jaringan, nekrosis dan pembentukan gangren (Boulton &
Whitehouse, 2020).
2.3.7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Hutagalung et al., 2019) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada pasien dengan ulkus diabetikum yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Urine
c. Kultur pus
2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai adanya
osteomyelitis.
3. Pemeriksaan mikrobiologi Tujuan dari pemeriksaan mikrobiologi yakni
untuk mengidentifikasi patogen dan menentukan antibiotik yang paling
cocok untuk pengobatan definitif.
2.3.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis Tujuan utama dari tatalaksana ulkus diabetikum
adalah untuk penyembuhan luka yang lengkap dan mencegah terjadinya infeksi
pada ulkus yang dapat meningkatkan resiko amputasi. Berikut beberapa
penatalaksanaan medis yang dilakukan untuk menangani ulkus diabetikum
menurut (Hutagalung et al, 2019):
1. Pembedahan/Debridement
Melakukan pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan nanah,
meminimalkan pembentukan nekrosis jaringan dengan 17 dekompresi
tekanan kompartemen pada kaki dan membuang jaringan yang terinfeksi.
Debridement adalah prosedur pengangkatan jaringan mati dan membantu
mempercepat penyembuhan luka. Debridement dapat dilakukan dengan
metode enzimatik, otolitik, mekanis, biologis, dan bedah. Debridement bedah
cepat dan efektif, tetapi terkadang dapat merusak jaringan yang masih hidup
(Wintoko et al, 2020).
2. Pemberian Antibiotik
Antibiotik digunakan sebagai tatalaksana untuk mencegah infeksi pada ulkus
diabetikum. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat mengakibatkan
kegagalan untuk mencapai tujuan terapi dan meningkatkan risiko resistensi
antibiotik.
3. Perawatan Luka
Pada umumnya kaki diabetik yang mengalami infeksi dengan eksudasi tinggi
memerlukan balutan yang dapat menyerap kelembapan, sementara itu pada
perawatan luka kering dengan memberikan terapi obat topikal untuk
meningkatkan dan menjaga kelembapan kulit yang terdapat luka. Balutan
luka harus diganti setidaknya sekali sehari untuk dilakukan pembersihan luka
serta menilai kondisi luka untuk mencegah terjadinya infeksi.
2.4. Landasan Teori Hipertensi

2.4.1. Defenisi
Tekanan darah tinggi atau yang dikenal dengan hipertensi merupakan
keadaan dimana tekanan darah sistolik seseorang ≥140 mmHg dan/atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg setelah pemeriksaan ulang yaitu
sebanyak 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu (Verdecchia et al.,
2020). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018
prevalensi hipertensi di Indonesia sekitar 34,1% (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018). Usia tua, obesitas, merokok serta meminum
minuman beralkohol merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi.
Hipertensi juga merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya berbagai
penyakit kardiovaskular (Matsutomo, 2020).
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik seseorang
adalah ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg setelah
pemeriksaan ulang. Diagnosis tidak boleh dibuat pada satu kali kunjungan.
Sebanyak 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggudiperlukan untuk
memastikan diagnosis hipertensi. Diagnosis dapat ditegakkan dalam sekali
kunjungan apabila tekanan darah ≥180/110 mmHg dan ditemukan adanya
bukti penyakit kardiovaskular (Verdecchia et al., 2020). International Society of
Hypertension membagi hipertensi menjadi hipertensi grade 1 untuk kadar
tekanan darah kurang dari 160/100 mmHg dan hipertensi grade 2 untuk kadar
tekanan darah yang lebih tinggi. Klasifikasi lainnya adalah hipertensi sistolik
terisolasi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg yang sering terjadi
pada remaja dan orang tua(Verdecchia et al., 2020).
2.4.2. Etiologi
Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi adalah
umur, riwayat keluarga, obesitas, aktivitas fisik yang rendah, rokok,intake
garam yang tinggi, intake kalium yang rendah, konsumsi alcohol (Chataut et al.,
2020).
Hipertensi Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
(Ardiansyah M., 2012) :
1. Hipertensi primer (esensial) merupakan hiperetnsi yang 90% tidak
diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi esensial diantaranya :
a. Genetik
b. Jenis kelamin dan usia: Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita yang
telah menopause berisiko tinggi mengalami penyakit hipertensi.
c. Diit konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak.
d. Berat badan obesitas: Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal
e. Gaya hidup merokok dan konsumsi alcohol
2. Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui penyebabnya.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu :
a. Coarctationaorta
b. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
c. Arteri besar membawadarah ke ginjal sekitar 90% lesi arteri renal pada
pasien
d. Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen).
e. Gangguan endokrin
f. Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.
g. Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanandarah
h. Kehamilan
i. Merokok
2.4.3. Patofisiologi Hipertensi
Peningkatan awal tekanan darah sebagai respon terhadap ekspansi
volume vaskular mungkin terkait dengan peningkatan curah jantung dan
seiring berjalannya waktu, resistensi perifer meningkat dan curah jantung
kembali normal. Urutan peristiwa patogenesis hipertensi masih belum jelas
namun natrium dapat mengaktifkan sejumlah mekanisme saraf,
endokrin/parakrin, dan vaskular, yang semuanya berpotensi meningkatkan
tekanan arteri. Saat tekanan arteri meningkat sebagai respon terhadap
asupan NaCl yang tinggi, ekskresi natrium urin meningkat dan keseimbangan
natrium dipertahankan dengan mengorbankan peningkatan tekanan arteri.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron berkontribusi pada pengaturan tekanan
arteri terutama melalui sifat vasokonstriktor angiotensin II dan sifat retensi
natrium aldosteron. Pasien hipertensi dapat terjadi peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron namun peningkatan tersebut tidak selalu
berhubungan dengan hipertensi. Diet rendah NaCl atau kontraksi
volume, homeostasis tekanan arteri dan volume dapat dipertahankan dengan
peningkatan aktivitas aksisrenin-angiotensin-aldosteron. Aldosteronisme
sekunder juga dijumpai pada keadaan edema seperti gagal jantung kronik
dan penyakit hati.Perubahan struktural, mekanis atau fungsional dapat
mengurangi diameter lumen arteri kecil dan arteriol terjadi pada pasien
hipertensi. Perubahan geometrik pada dinding pembuluh darah tanpa
perubahan volume pembuluh darah dinamakan remodeling dimana faktor
yang berperan untuk terjadinya remodeling antara lain apoptosis, peradangan
tingkat rendah dan fibrosis vaskular. Hipertrofik (peningkatan ukuran sel dan
peningkatan deposisi matriks antar sel) atau remodeling vaskular eutrofik
menyebabkan penurunan ukuran lumen dan peningkatan resistensi
perifer (Tolbert et al., 2023).
2.4.4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada pederita hipertensi berupa
pusing, nosebleed, irama jantung yang ireguler, perubahan pengelihatan, dan
suara berdengung pada telinga, sedangkan gejala hipertensi kronik dapat
muncul berupa kelelahan, mual, muntah, kebingungan, kecemasan,
nyeri dada, dan tremor otot. Komplikasi pada penderita hipertensi
dapat berpengaruh terhadap timbulnya gagal jantung, aritmia, gagal ginjal
dan serangan jantung (WHO, 2021). Penegakan diagnosis hipertensi dilakukan
apabila dalam 3 kali pertemuan atau minimal dalam 2 kali pertemuan, hasil
pengukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg(Unger et al., 2020).
2.4.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan menjalani pola hidup sehat,
secara umum sangat signifikan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor
risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –6 bulan.
Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah
yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka
sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Terapi farmakologi secara
umum dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami
penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat
dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2, terapi farmakologi yang dapat
dipilih berupa obat-obat golongan calcium channel blocker, angiotensin
receptor blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor dan thiazide (Unger
et al., 2020).
2.4.6. Pencegahan
Pencegahan hipertensi juga bisa dilakukan dengan latihan aerobik
karena dapat menurunkan tekanan darah 5-7 mmHg pada orang
dewasa dengan hipertensi. Direkomendasikan agar berolahraga dengan
frekuensi 3-4 hari per minggu selama minimal 12. Upaya pencegahan tekanan
darah tinggi melalui modifikasi gaya hidup yaitu dengan penurunan berat badan,
penerapan perencanaan makan dengan prinsip banyak mengkonsumsi buah
dan sayuran, susu rendah lemak dan hasil olahanya serta kacang kacangan.
perubahan gaya hidup seperti menurunkan intake natrium, olahraga rutin,
mengatur pola makan, dan tidak merokok (Unger et al., 2020).
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Analisa Diagnosa Kasus

KASUS IV

Pasien laki-laki usia 45 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan bengkak pada
kaki dan tangan sejak 5 bulan aebelum masuk RS dan sesak nafas selama 1 minggu dan
demam. Keluhan ini menetap dan dirasakan semakin bertambah parah saat ini keluhan
bengkak klien bukan hanya di kaki dan tangan, namun semenjak 1 bulan sebelum
masuk RS mata klien dan perut klien bengkak terutama pada pagi hari. Frekuensi
berkemih menurun dibandingkan sebelumnya dari awalnya 5-6 kali sehari menjadi 2-3
kali sehari dengan urin yang sedikit dan keruh, selain itu klien mengatakan bahwa klien
sering merasa lelah, dan merasa kurang bertenaga, sekalipun tidur klien cukup.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 96 x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu 36,60C. TB : 168 cm, BB : 80 kg, Pada
pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis +/+. Pemeriksaan leher, paru dan
jantung tidak ditemukan adanya kelainan. Dari inspeksi abdomen didapatkan perut
cembung, auskultasi didapatkan bising usus + sebanyak 8x/menit, pada palpasi
ditemukan nyeri tekan pada seluruh regio abdomen serta tidak ditemukan pembesaran
hepar dan limpa, pada perkusi didapatkan shifting dullness +. Pada pemeriksaan
ekstremitas superior dan inferior didapatkan normotonus, gerakan aktif dan edema
pitting. Saat ini klien mengatakan merasa sedih, sering mengatakan tidak ada harapan
untuk sembuh, selalu merasa bersalah dengan keadaanya, hal ini dibuktikan dengan
seringnya klien mengatakan “seandanya waktu itu saya sering patuh minum obat tidak
akan jadi begini”. Klien merasa bahwa keadaan saat ini membuat dia merasa tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya dan selalu bergantung pada orang lain. Klien juga
sering marah, dan sering bertanya apa maksud Tuhan memberikan penyakit ini ke saya
“saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”,, klien seringkali merasa
hidupnya tidak bermakna lagi. Dengan kondisi ini klien menolak untuk bertemu dengan
banyak orang, karena merasa malu,dan merasa putus asa dengan keadaan sekrang ini,
dan tidak mau banyak bicara, dan tidak mau mengikuti sepenuhnya instruksi dari
perawat. Saat didiagnosis oleh dokter klien mengatakan bahwa ini hanya penyakit biasa,
dan tidak perlu sampai menginap di rumah sakit, dan sering meminta untuk dipulangkan
ke rumah.
Hasil observasi didapatkan kontak mata klien kurang, muka sering terlihat
cemberut, dan sering menunduk. Pada pemeriksaan laboratorium darah Rutin
didapatkan hasil Hb: 6,7 gr/dl, Ht: 22 %, Leukosit : 5700/μl, Hitung jenis: Basophil
0%, Eosinophil 0%, Batang 0% Segmen 67%, Limfosit 5 %, Monosit 4%, Trombosit:
286000/μl, LED: 56 mm/jam. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan hasil: GDS:
280 mg/dl, Ureum: 242 mg/dl, Creatinine: 15,97 mg/dl. Pada pemeriksaan status lokalis
regio pedis dextra didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik (+), pus (+),
perdarahan (-), Feel: hangat (+), pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓, Move:
ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri. Pasien saat ini dilakukan pembatasan carian
1 liter per hari, pembatasan protein 0,9 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3 gr per
hari, debridement luka, tranfusi PRC 200 cc, hemodialisa. Terapi medikamentosa yang
diberikan berupa cairan intravena IVFD NaCl 0,9 % X TPM, Captopril 2 x 12,5 mg,
Furosemid Injeksi/ 8 Jam, asam folat 2x1 mg dan Glimepiride 1x2 mg.

3.1.1. Pembahasan
Berdasarkan anamnesis terdapatbengkak pada kaki dan tangannya sejak 5
bulan sebelum masuk RS, serta bengkak pada mata dan perut klien terutama pada
pagi hari semenjak 1 bulan sebelum masuk RS. Berdasarkan pemeriksaan fisik
ekstremitas superior dan inferior, didapatkan adanya normotonus, gerakan aktif
dan edema bersifat pitting. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat edema pada
seluruh tubuh pasien, yang mengarahkan pada beberapa kelainan, seperti kelainan
organ jantung, hepar dan ginjal. Untuk membedakan penyebab dari edema dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Diagnosis Banding Edema Anasarka
Gambaran Pemeriksaan
Kelainan Laboratorium
Klinis Fisik
Jantung
Sesak Nafas dominan pada aktivitas Peningkatan Peningkatan rasio
JVP nitrogen terhadap
creatinin
Orthopnea Gallop S3 Peningkatan asam urat
Paroksismal Nokturnal Nadi diskenetik Gangguan Natrium
Dyspena Sianosis perifer Peningkatan enzin hepar
Ekstremitas
Dingin
Nadi mengecil
ketika berat
Hepar
Sesak tidak dominan Dominan Penurunan Albumin,
Asites kolesterol dan protein
hepar (Transferin dan
fibrinogen)
JVP normal Peningkatan enzim
atau rendah hepar
Ikterik Hipokalemia
Eritema Palmar Alkalosis respiratori
Spider Anemia makrositer
Angiomata
Gynecomastia
pada laki- laki
Asterixis
Ginjal (Gagal Ginjal Kronik)
Biasanya berlangsung kronik Hipetensi Albuminuria
Disertai oleh sindrom uremia Hipertensif Hipoalbuminemia
retinopati
Penurunan nafsu makan Uremic fetor Peningkatan kreatinin
dan urea
Lidah metal Hyperkalemia
Gangguan pola tidur Asidosis metabolik
Dispnea Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Ginjal (Sindrom Nefrotik)
Diabetes Melitus pada anak Edema Proteinuria (3,5 gr/dl)
Periorbita
Diskrasis sel plasma Hiperensi Hipoalbumin
Hiperkolesterolemia
Hematuria makroskopis
Kelainan organ jantung dapat disingkirkan pada pasien ini karena pasien
tidak memiliki riwayat sesak napas yang dirasakan pada saat aktivitas maupun
istirahat. Serta tidak terdapat gejala sesak pada malam hari, orthopnea, dyspneu
on effort maupun Paroksismal Nokturnal Dyspena. Selain itu dari pemeriksaan
fisik juga tidak didapatkan adanya peningkatan JVP, kardiomegali maupun
gallop S3 (pemeriksaan leher, paru dan jantung tidak ditemukan adanya kelainan).
Kelainan organ hepar juga dapat disingkirkan karena dari pemeriksaan tidak
didapatkan adanya asites, ikterik ataupun stigmata sirosis seperti eritema palmar,
spider nevi, gynecomastia atapun tanda-tanda ensefalopati hepar seperti asterixis
maupun perubahan pola tidur. Dari pemeriksan lab juga tidak menunjang karena
tidak ditemukan adanya penurunan albumin, peningkatan enzim hepar,
hypokalemia, dan alkalosis.
Keluhan edema pada pasien ini mengarahkan pada penyakit ginjal. Pasien
diketahui fungsi ginjal menurun sejak 5 bulan SMRS dan pasien memiliki
penyakit diabetes yang ditandai dengan hasil GDS 280 mg/dl. Hal ini dapat
mengarahkan penyebab dari bengkak pada ekstrimitas yaitu CKD. Klasifikasi
CKD pada pasien ini, yaitu stadium CKD grade 5 berdasarkan hasil GFR (6,61
ml/menit/1,73mm2 (<15 ml/menit/1,73mm2,) dan dipikirkan bahwa keadaan ini
merupakan penyakit ginjal yang disebabkan oleh diabetes nefropati.
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab tersering dari gagal
ginjal kronik. Proses ini diawali oleh kondisi hiperglikemia yang dapat
menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi
reaksi antara glukosa dengan protein yang akan menghasilkan produk AGEs
(Advanced Glycosylation Products). Proses pembentukan AGEs dan ROS
(reactive oxygen species) akan menyebabkan efek metaboli dan hemodinamik
yang akan menyebabkan stimulasi system Renin Angiotensi Aldosetron yang
akan menyebabkan hipertensi. Hal ini menjelaskan penyebab hipertensi pada
pasien (TD 150/90 mmHg) ini disebabkan oleh proses nefropati diabetes yang
telah dialami sebelumnya. Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus
ginjal dalam jangka panjang akan merusak seluruh glomerulus dan menyebabkan
gagal ginjal.12 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Patofisiologi Nefropati Diabetik
Berdasarkan anamnesis, didapatkan pada pasien merasakan lemas.
Keluhan lemas juga mengarahkan kita pada gejala anemia. Pada pasien ditemukan
konjutiva anemis pada kedua konjungtiva dan hasil pemeriksaan lab menunjukan
Hb sebesar 6,7gr/dl yang mengarahkan pada kondisi anemia. Anemia pada pasien
ini disebabkan karena gangguan produksi eritropoetin pada pasien gagal ginjal
kronik.
Pada pasien ini juga ditemukan terdapat ulkus yang mengarahkan pada diagnosis
ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum adalah salah satu komplikasi kronik DM berupa luka
terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Ulkus DM merupakan komplikasi makroangiopati yang terjadi berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan iskemi dan ulkus. Selain proses diatas,
pada penderita DM terjadi peningkatan HbA1c eritrosit yang menyebabkan
deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu,
sehingga terjadi penyumbatan yang mengganggu sirkulasi jaringan dan kekurangan
oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus. Peningkatan
kadar fibrinogen dan bertambahnya aktivitas trombositmengakibatkan tingginya agregasi
sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan pembentukan
ulkus.
Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar
dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Pembentukan ulkus
berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen,
keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin
keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropatisensoris perifer
memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan
jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan
akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk
mengadakan kolonisasi di daerah ini. Kadar gula dalam darah yang meningkat
menjadikan tempat perkembangan bakteri ditambah dengan gangguan pada fungsi
imun sehingga bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan
sekitarnya.
Pada pasien diberikan terapi non medikamentosa yaitu pembatasan cairan
1 liter per hari, pembatasan protein 0,9 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3 gr
per hari, debridement luka, tranfusi PRC 200 cc, hemodialisa. Terapi
medikamentosa yang diberikan berupa cairan intravena IVFD NaCl 0,9 % X
TPM, Captopril 2 x12,5 mg, Furosemid Injeksi/ 8 jam, asam folat 2 x 1 mg dan
Glimepiride 1 x 2 mg. Tatalaksana ini sesuai dengan teori dimani pada
pasien edema dengan CKD stage 5, dimana CKD tersebut disebabkan oleh
diabetes nefropati yaitu kontrol gula darah, kontrol tekanan darah gula darah,
menurunkan hipertensi intraglomerular dan proteinuria, dan restriksi asupan
protein. Selain itu, menurunkan tekanan darah dan hipertensi intraglomerular
dengan pemberian obat ACE-inhibitor atau ARB. Pada pasien ini, diberikan
obat ACE-inhibitor, berupa captopril. Dosis pemberian captopril, yaitu 12,5
mg yang diberikan 2 kali perhari. Pasien ini memiliki CKD stage 5 disertai
edema. Sehingga untuk kasus mengurangi edema perifer diberikan furosemid
inj/8 jam yang berfungsi untuk mengurangi edema sebagai loop diuretik. Pada
pasien ini kontrol kadar gula darah dilakukan dengan pemberikan Glimepiride 1
x 2 mg yang merupakan golongan sulfonylurea.
Pada pasien ini, dilakukan restriksi asupan protein sebanyak 0,9 g x 80 kg
= 72 protein per harinya. Kemudian dilakukan pula restriksi garam sebesar 2-3
g/hari dan restriksi cairan sebesar 1 L/hari pada pasien sebagai bagian dari
tatalaksana terhadap gagal ginjal yang dialaminya dan mengurangi cairan tubuh.
Pada kasus ini dengan CKD grade V dengan GFR <15 diperlukan terapi
pengganti ginjal. Pada pasien ini, disarankan dilakukan hemodialisis sebagai
terapi pengganti ginjal.17 18
Namun, sebelum dilakukan hemodialisa perlu
dilakukan tranfusi PRC sebanyak 200 cc untuk meningkatkan Hb pasien untuk
kondisi anemianya dan syarat yang dibutuhkan sebelum dilakukan tindakan
hemodialisa. Pad a pasien diberikan asam folat, penggunaan asam folat pada
gagal ginjal kronik sesuai dengan teori dimana asam folat berfungsi sebagai
bahan pembentuk sel darah merah. Selain itu pada gagal ginjal kronik akan
terjadi penurunan eritropoetin dan hiporesponsif eritopoetin. Suplementasi asam
folat akan membantu mengatasi kondisi hiporesponsif eritopoetin pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien ini dilakukan tindakan debridement untuk ulkus
diabetikumnya. Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada
kasus ulkus diabetikum. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan
sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau
rongga yang memungkinkan kuman berkembang.
3.1.2. Simpulan
Berdasarkan kasus di atas setelah di analisis di dapatkan diagnosa medis
pasien yakni mengalami gagal ginjal kronik stadium V ec. Nefropati diabetes +
Diabetes Melitus tipe 2 + Hipertensi grade I + Ulkus diabetikum.
3.2. Gambaran kasus kelolaan utama

3.2.1 Pengkajian
1. Identifikasi kebutuhan dasar yang mengalami gangguan
Keluhan Utama : Klien masuk RS dengan keluhan bengkak
Riwayat Kesehatan Sekarang :
Saat ini klien mengatakan merasa sedih, sering mengatakan tidak ada
harapan untuk sembuh, selalu merasa bersalah dengan keadaanya, hal ini
dibuktikan dengan seringnya klien mengatakan “seandanya waktu itu saya
sering patuh minum obat tidak akan jadi begin”.
Klien merasa bahwa keadaan saat ini membuat dia merasa tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya dan selalu bergantung pada orang lain.
Klien juga sering marah, dan sering bertanya apa maksud Tuhan memberikan
penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan ngasih ini ke
saya”,, klien seringkali merasa hidupnya tidak bermakna lagi. Dengan kondisi
ini klien menolak untuk bertemu dengan banyak orang, karena merasa
malu,dan merasa putus asa dengan keadaan sekrang ini, dan tidak mau
banyak bicara, dan tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari perawat.
Saat didiagnosis oleh dokter klien mengatakan bahwa ini hanya penyakit
biasa, dan tidak perlu sampai menginap di rumah sakit, dan sering meminta
untuk dipulangkan ke rumah.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu :
Sejak 5 bulan belum masuk RS dan sesak nafas selama 1 minggu dan
demam. Keluhan ini menetap dan dirasakan semakin bertambah parah saat ini
keluhan bengkak klien bukan hanya di kaki dan tangan, namun semenjak 1
bulan sebelum masuk RS mata klien dan perut klien bengkak terutama pada
pagi hari. Frekuensi berkemih menurun dibandingkan sebelumnya dari
awalnya 5-6 kalo sehari menjadi 2-3 kali sehari dengan urin yang sedikit dan
keruh, selain itu klien mengatakan bahwa klien sering merasa lelah, dan
merasa kurang bertenaga, sekalipun tidur klien cukup

Kategori dan Subkategori Data Subjektif dan Objektif


Fisiologis Respirasi - Klien mengeluh sesak selama 1 minggu
- Respirasi 28x/menit
- tekanan darah 150/90 mmHg

Sirkulasi

Nutrisi dan cairan - Klien mengeluh bengkak pada kaki dan tangan
sejak 5 bulan sebelum masuk RS dan sesak nafas
selama 1 minggu
- keluhan bengkak klien bukan hanya di kaki dan
tangan, namun semenjak 1 bulan sebelum masuk
RS mata klien dan perut klien bengkak terutama
pada pagi hari
- Frekuensi berkemih menurun dibandingkan
sebelumnya dari awalnya 5-6 kalo sehari menjadi
2-3 kali sehari dengan urin yang sedikit dan keruh
- Pada pemeriksaan laboratorium darah Rutin
didapatkan hasil Hb: 6,7 gr/dl, Ht: 22 %
- Ureum: 242 mg/dl
- Creatinine: 15,97 mg/dl
- tranfusi PRC (Sel darah merah) 200 cc,
- BB: 80 kg
- Klien sering merasa lelah
- GDS : 280 mg/dl
Eliminasi

Aktivitas dan - Klien mengatakan bahwa klien sering merasa


istirahat lelah
- Merasa kurang bertenaga
- Klien merasa bahwa keadaan saat ini membuat dia
merasa tidak bisa melakukan aktivitas seperti
biasanya
- Sekalipun tidur klien cukup.
Neurosensori

Reproduksi dan
Seksualitas
Psikologis Nyeri dan
Kenyamanan

Integritas ego - Klien mengatakan merasa sedih


- Sering mengatakan tidak ada harapan untuk
sembuh
- Selalu merasa bersalah dengan keadaanya
- hal ini dibuktikan dengan seringnya klien
mengatakan “seandanya waktu itu saya sering
patuh minum obat tidak akan jadi begin”.
- Merasa malu, dan merasa putus asa dengan
keadaan sekrang ini
- Selalu bergantung pada orang lain.
- tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari
perawat.
- Klien juga sering marah
- Sering bertanya apa maksud Tuhan memberikan
penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi
kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”,
- Klien seringkali merasa hidupnya tidak bermakna
lagi.
- Klien menolak untuk bertemu dengan banyak
orang
- Tidak mau banyak bicara
- Tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari
perawat.

Pertumbuhan dan
perkembangan
Perilaku Kebersihan diri
Penyuluhan dan
pembelajaran

Relasional Interaksi social

Lingkungan Keamanan dan - Pada pemeriksaan status lokalis regio pedis dextra
proteksi didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik
(+), pus (+), perdarahan (-), Feel: hangat (+),
pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓,
Move: ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri
- Debridement luka.

3.2.1. Analisa Data


Data Subjektif dan Objektif Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Vaskuler (hipertensi) Pola nafas tidak efektif
1. Klien mengeluh
sesak selama 1
Suplai darah ke ginjal
minggu

CKD
DO :
1. Respirasi 28x/menit
Tidak mampu
2. tekanan darah 150/90
mengeksresikan asam (H)
mmHg

Hiperventilasi

Sesak
Pola napas tidak efektif
DS: Gagal ginjal kronik Hipervolemia
1. Klien mengeluh
bengkak pada kaki peningkatan volume cairan
dan tangan sejak 5
bulan sebelum masuk Tekanan kapiler
RS dan sesak nafas meningkat
selama 1 minggu
DO: Hb, Ht menurun
2. keluhan bengkak
klien bukan hanya di Penurunan produksi urine

kaki dan tangan,


namun semenjak 1 Edema

bulan sebelum masuk


Hipervolemia
RS mata klien dan
perut klien bengkak
terutama pada pagi
hari
3. Frekuensi berkemih
menurun
dibandingkan
sebelumnya dari
awalnya 5-6 kalo
sehari menjadi 2-3
kali sehari dengan
urin yang sedikit dan
keruh
4. Pada pemeriksaan
laboratorium darah
Rutin didapatkan
hasil Hb: 6,7 gr/dl,
Ht: 22 %
5. Ureum: 242 mg/dl
6. Creatinine: 15,97
mg/dl
7. tranfusi PRC (Sel
darah merah) 200 cc,
8. BB: 80 kg

DS: Usia (40 tahun keatas) Ketidakstabilan kadar


1. Klien sering merasa glukosa darah
lelah Fisiologis tubuh
DO:
1. GDS : 280 mg/dl resistensi insulin

sel-sel perifer gagal


merespon hormon insulin

hiperglikemia

Ketidakstabilan kadar
glukosa darah

DS: Diabetes melitus tipe II Gangguan Integritas


kulit/jaringan
DO: insulin menurun
1. Pada pemeriksaan
status lokalis regio glukosa tidak dapat masuk
pedis dextra ke sel
didapatkan: Look:
Ulkus (+), jaringan proses penyembuhan luka
nekrotik (+), pus (+), terhambat
perdarahan (-), Feel:
hangat (+), pulsasi luka tidak mendapat suplai
arteri dorsalis pedis O2 dari darah
(+), sensibilitas ↓,
Move: ROM aktif ulkus diabetik
dan pasif terbatas
karena nyeri kerusakan dan kematian
2. Debridement luka. jaringan

Gangguan integritas
kulit/jaringan

Faktor risiko: Diabetes melitus tipe II Risiko infeksi


1. Penyakit kronis (mis.
Diabetes melitus) insulin menurun
2. Ketidakadekuatan
pertahanan tubuh glukosa tidak dapat masuk
primer: kerusakan ke sel
integritas kulit
proses penyembuhan luka
terhambat

luka lama sembuh

Risiko infeksi

DS: Gagal ginjal kronik Keletihan


1. Klien mengatakan
bahwa klien sering Malaise (rasa lemah, letih
merasa lelah lesu)
2. Merasa kurang
bertenaga Kurangnya aktivitas fisik
3. Klien merasa bahwa
keadaan saat ini Kelemahan otot
membuat dia merasa
tidak bisa melakukan Keletihan
aktivitas seperti
biasanya
4. Sekalipun tidur klien
cukup.
DO:
-
DS: Gagal ginjal kronik Ketidakberdayaan
1. Klien mengatakan
merasa sedih Ketidakmampuan
2. Sering mengatakan menerima kondisi
tidak ada harapan
untuk sembuh Melakukan berbagai
3. Selalu merasa penolakan
bersalah dengan
keadaanya Merasa tidak berdaya
4. hal ini dibuktikan
dengan seringnya Ketidakberdayaan
klien mengatakan
“seandanya waktu itu
saya sering patuh
minum obat tidak
akan jadi begin”.
5. Merasa malu, dan
merasa putus asa
dengan keadaan
sekrang ini
DO:
1. Selalu bergantung
pada orang lain.
2. tidak mau mengikuti
sepenuhnya isntruksi
dari perawat.

DS: Kondisi penyakit kronis Distres Spritual


1. Klien juga sering
marah
2. Sering bertanya apa Masalah kesehatan fisik
maksud Tuhan
memberikan penyakit Sering marah
ini ke saya “saya
sering sholat, tapi Tidak mau berinterkasi
kenapa Tuhan ngasih
ini ke saya”, Gangguan spiritual

3. Klien seringkali
merasa hidupnya Distres Spritual

tidak bermakna lagi.


DO:
1. Klien menolak untuk
bertemu dengan
banyak orang
2. Tidak mau banyak
bicara
3. Tidak mau mengikuti
sepenuhnya isntruksi
dari perawat.
3.2.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data maka diagnosa keperawatan yang dapat diambil
sebagai berikut:
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d Klien mengeluh sesak
2. Hipervolemia b.d Gangguan mekanisme regulasi d.d Klien mengeluh
bengkak pada kaki dan tangan
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d Hiperglikemia: disfungsi pankreas
d.d GDS : 280 mg/dl
4. Gangguan integritas kulit b.d perubahan pigmentasi d.d Ulkus (+), jaringan
nekrotik (+), pus (+),
5. Risiko infeksi d.d faktor risiko penyakit kronis (mis. Diabetes melitus)
6. Keletihan b.d Kondisi Fisiologis (mis. Penyakit kronis) d.d Merasa kurang
bertenaga
7. Ketidakberdayaan b.d Program perawatan/pengobatan yang kompleks atau
jangka panjang d.d Sering mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh
8. Distres Spritual b.d kondisi penyakit kronis d.d sering bertanya apada
maksud tuhan memberikan penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi
kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”
3.2.3. Rencana Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan Terapi Komplementer


(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Pola Nafas Tidak Efektif Pola napas (L.01004) Manajemen Jalan Napas Berdasarkan penenlitian dari
(D.0005) (I.01011) Anis Eka Valentin tahun
Setelah dilakukan tindakan
2023 yang berjudul
keperawatan 1x24 jam
Kategori : Fisiologis Observasi : “Penerapan Pursed Lips
diharapkan pola napas
Subkategori : Sirkulasi 1. Monitor pola napas Breathing Terhadap Pola
membaik dengan kriteria
(frekuensi, kedalaman, Napas Pasien Penyakit Paru
Definisi : hasil :
usaha napas) Obstruksi Kronik Di
2. Monitor bunyi napas Bangsal Tulip Rsud
Inspirasi dan/atau ekspirasi Dispnea menurun
tambahan Dr.Soehadi Prijonegoro
yang tidak memberikan Frekuensi napas membaik
Terapeutik : Sragen”(Valentin et al.,
ventilasi adekuat.
1. Posisikan semi-fowler atau 2023)
Penyebab : fowler
2. Berikan minum hangat
Hambatan upaya napas
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan
Dibuktikan dengan:
2000 ml/hari
Data Subjektif :
Kolaborasi :
1. Klien mengeluh sesak selama
1. Kolaborasi pemberian
1 minggu
bronkodilator, jika perlu
Data Objektif :
1. Respirasi 28x/menit
2. tekanan darah 150/90 mmHg

2. pervolemia Status Cairan (L.05020) anajemen Hipervolemia Berdasarkan hasil penelitian


.0022) (I.03114) oleh Sertin Oktavia Maro
Setelah dilakukan tindakan
tahun 2024 yang berjudul
keperawatan 1x24 jam
tegori : Fisiologis servasi : “Pemberian Terapi Angle
diharapkan status cairan
bkategori : Nutrisi dan cairan 1. Periksa tanda dan gejala Pump Exercise Dan Elevasi
membaik dengan kriteria
hipervolemia (mis. 30⁰ Untuk Mengurangi Edema
Definisi : hasil :
Edema) Pada Pasien CKD”(Maro et
2. Identifikasi penyebab al., 2024)
Peningkatan volume cairan 1. Dispnea menurun
hipervolemia
intravaskuler, interstisial, dan/atau 2. Edema perifer
3. Monitor intake dan output
intraselular. menurun
cairan
3. Kadar Hb membaik
Penyebab : 4. Monitor kecepatan infus
4. Kadar Ht membaik
secara ketat
5. Berat badan
Gangguan mekanisme regulasi Terapeutik :
membaik
1. Timbang berat badan
buktikan dengan:
setiap hari pada waktu
ta Subjektif :
yang sama
1. Klien mengeluh bengkak 2. Batasi asupan cairan dan
pada kaki dan tangan sejak garam
5 bulan sebelum masuk RS Edukasi :
dan sesak nafas selama 1 1. Anjurkan melapor jika
minggu haluaran urin <0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
Data Objektif :
2. Ajarkan cara mengukur
1. keluhan bengkak klien bukan
dan mencatat asupan dan
hanya di kaki dan tangan,
haluaran cairan
namun semenjak 1 bulan
3. Ajarkan cara membatasi
sebelum masuk RS mata
cairan
klien dan perut klien
bengkak terutama pada pagi
Kolaborasi :
hari
1. Kolaborasi pemberian
2. Frekuensi berkemih
diuretik
menurun dibandingkan
sebelumnya dari awalnya 5-
6 kalo sehari menjadi 2-3
kali sehari dengan urin yang
sedikit dan keruh
3. Pada pemeriksaan
laboratorium darah Rutin
didapatkan hasil Hb: 6,7
gr/dl, Ht: 22 %
4. Ureum: 242 mg/dl
5. Creatinine: 15,97 mg/dl
6. tranfusi PRC (Sel darah
merah) 200 cc,
7. BB: 80 kg
3. tidakstabilan Kadar Glukosa Kestabilan kadar glukosa anajemen Hiperglikemia Berdasarkan Hasil Penelitian
Darah (D. 0027) darah (L.05022) (I.03115) Oleh M. Arief Wijaksono
servasi Tahun 2023 Yang Berjudul
Setelah dilakukan tindakan
tegori : fisiologis 1. Identifikasi kemungkinan “Edukasi Terapi
keperawatan 1x24 jam
bkategori : nutrisi dan cairan penyebab hiperglikemia Komplementer Jamu (Jahe
diharapkan Kestabilan
2. Monitor kadar glukosa Dan Madu) Untuk
kadar glukosa darah
finisi: darah Menurunkan Kadar Glukosa
meningkat dengan kriteria
riasi kadar glukosa darah naik/turun 3. Monitor intake dan output Darah Pada Penderita
hasil :
dari rentang normal cairan Diabetes Melitus” (Wijaksono
Terapeutik et al., 2023)
1. Lelah menurun
nyebab: 1. Konsultasi dengan medis
2. Kadar glukosa
perglikemia: disfungsi pankreas jika tanda dan gejala
dalam darah
hiperglikemia tetap ada
membaik
ta subjektif: atau memburuk

1. Klien sering merasa lelah Edukasi


1. Anjurkan menghindari
Data Objektif:
1. GDS : 280 mg/dl olahraga saat kadar
glukosa darah lebih dari
250 mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar
glukosa darah secara
mandiri
3. Ajarkan pengelolaan
diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
cairan IV, jika perlu
4. ngguan integritas kulit/jaringan Integritas kulit/jaringan rawatan luka (I.14564) Berdasarkan penenlitian
(D.0129) (L.14125) servasi Titanya Merlineta Putri
tegori: lingkungan 1. Monitor karakteristik Pramudyta tahun 2023 yang
Setelah dilakukan tindakan
bkategori: keamanan dan proteksi luka (mis. Warna, ukuran, berjudul “Penerapan
keperawatan 1x24 jam
bau) Pemberian Minyak Zaitun
diharapkan integritas
finisi: 2. Monitor tanda-tanda Pada Gangguan Integritas
kulit/jaringan meningkat
rusakan kulit (dermis dan/atau infeksi Kulit Pasien Gagal Ginjal
dengan kriteria hasil :
epidermis) atau jaringan (membran Terapeutik Kronik” (Pramudyta &
mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, 1. Bersihkan dengan cairan Retnaningsih, 2023)
1. Kerusakan jaringan
tulang, kartilago, kapsul senddi NaCl atau pembersih
menurun
dan/atau ligamen nontoksik
2. Keruskaan lapisan
kulit menurun 2. Bersihkan jaringan
nyebab: nektorik
rubahan pigmentasi 3. Berikan salep yang sesuai
kulit/lesi
ta Subjektif: 4. Pertahankan teknik steril
saat melakukan
1. Data objekt Pada perawatan luka
pemeriksaan status lokalis Eudkasi
regio pedis dextra 1. Jelaskan tanda dan gejala
didapatkan: Look: Ulkus infeksi
(+), jaringan nekrotik (+), 2. Anjurkan mengkonsumsi
pus (+), perdarahan (-), makanan tinggi kalori dan
Feel: hangat (+), pulsasi protein
arteri dorsalis pedis (+), 3. Ajarkan prosedur
sensibilitas ↓, Move: ROM perawatan luka secara
aktif dan pasif terbatas mandiri
karena nyeri Kolaborasi
2. Debridement luka. 1. Kolaborasi prosedur
debridement (mis.
Enzimatik, biologis)
2. kolaborasi pemberian
antibiotik
5. siko infeksi (D.0142) Tingkat Infeksi (L.14137) ncegahan infeksi (I.14539) Berdasarkan penelitian dari
tegori: Lingkungan servasi eka milasari tahun 2021 yang
Setelah dilakukan tindakan
bkategori: keamanan dan proteksi 1. Monitor tanda dan gejala berjudul “Efektivitas
keperawatan 1x24 jam
lokal dan sistemik perawatan luka pada penderita
diharapkan tingkat infeksi
finisi: Terapeutik diabetes melitus tipe II dengan
menurun dengan kriteria
risiko mengalami peningkatan 1. Berikan perawatan kulit masalah keperawatan risiko
hasil :
terserang organisme patogenik pada area edema infeksi menggunakan metode
2. Cuci tangan sebelum dan modern dressing” (Eka
1. Nyeri menurun
ktor risiko: sesudah kontak dengan Milasari, Herlina et al., 2019)
2. Kultur area luka
1. Penyakit kronis (mis. pasien dan lingkungan
membaik
Daibetes melitus) pasien
2. Ketidakadekuatan 3. Pertahankan teknik
pertahanan tubuh primer: aseptik pada pasien
kerusakan integritas kulit berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
3. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
6. Keletihan (D.0057) Tingkat Keletihan Manajemen Energi (I.12362) Berdasarkan hasil penelitian
(L.05046)
Kategori : Fisiologi Observasi : oleh Afeus Halawa tahun 2023
Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi gangguan
Subkategori : yang berjudul “Pengaruh
keperawatan 1x24 jam fungsi tubuh yang
Aktivitas/istirahat Pijatan Punggung Terhadap
diharapkan tingkat mengakibatkan
Penurunan Kelelahan Fisik
keletihan Membaik dengan kelelahan
Definisi : Pada Pasien Gagal Ginjal
kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik
Penurunan kapasitas kerja fisik Kronis” (Halawa et al., 2023)
1. Verbalisasi dan emosional
dan mentalyang tidak pulih dengan
kepulihan energi 3. Monitor pola dan jam
istirahat
meningkat tidur
2. Tenaga meningkat 4. Monitor lokasi dan
Penyebab :
3. Kemampuan ketidaknyamanan
Kondisi Fisiologis (mis.
melakukan selama melakukan
Penyakit kronis)
aktivitas rutin aktivitas
Dibuktikan dengan: meningkat Terapeutik :
Data Subjektif : 1. Lakukan latihan gerak
4. Verbalisasi lelah
1. Klien mengatakan bahwa
menurun rentang pasif/aktif
klien sering merasa lelah
2. Berikan aktivitas
2. Merasa kurang bertenaga distraksi
3. Klien merasa bahwa keadaan yang menenangkan
saat ini membuat dia merasa Edukasi :
tidak bisa melakukan 1. Anjurkan melakukan
aktivitas seperti aktivitas secara bertahap
biasanya
4. Sekalipun tidur klien cukup.
2. Ajarkan strategi koping
Data Objektif: untuk mengurangi
- kelelahan

Kolaborasi :

1. Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

7. tidakberdayaan (D.0092) Keberdayaan (L.09071) Promosi Harapan (I.09307) Berdasarkan hasil penelitian
oleh Susanti Niman tahun
Setelah dilakukan tindakan Observasi :
tegori: Psikologis 1. Identifikasi harapan 2019 yang berjudul “Efek
keperawatan 1x24 jam
bkategori: Integritas ego pasien dan keluarga Logoterapi Dan Psikoedukasi
diharapkan keberdayaan
dalam pencapaian hidup Kelarga Terhadap
meningkat dengan kriteria
finisi Terapeutik : Ketidakberdayaan Klien
hasil :
1. Sadarkan bahwa kondisi Penyakit Kronis Di Rumah
rsepsi bahwa tindakan seseorang 1. Pernyataan mampu
yang dialami memiliki Sakit Umum”(Niman et al.,
tidak akan mempengaruhi hasil melaksanakan
nilai penting 2019)
secara signifikan, persepsi kurang aktivitas meningkat
2. Pandu mengingat kembali
control pada situasi saa ini atau 2. Pernyataan frustasi
kenangan yang
yang akan datang. menurun
menyenangkan
3. Ketergantungan
nyebab: pada orang lain 3. Berikan kesempatan
ogram perawatan/pengobatan yang menurun kepada pasien dan
kompleks atau jangka panjang 4. Pernyataan rasa keluarga terlibat dengan
malu menurun dukungan kelompok
buktikan dengan 4. Ciptkan lingkungan yang
ta Subjektif: memudahkan
1. Klien mengatakan merasa mempraktikkan
sedih kebutuhan spiritual
2. Sering mengatakan tidak Edukasi:
ada harapan untuk sembuh 1. Anjurkan
3. Selalu merasa bersalah mengungkapkan perasaan
dengan keadaanya terhadap kondisi dengan
4. hal ini dibuktikan dengan reallistis
seringnya klien mengatakan 2. Anjurkan mempertahakan
“seandanya waktu itu saya hubungan terapeutik
sering patuh minum obat dengan orang lain
tidak akan jadi begin”. 3. Latih menyusun tujuan
5. Merasa malu, dan merasa yang sesuai dengan
putus asa dengan keadaan harapan
sekrang ini 4. Latih cara mengenang
dan menikmati masa lalu
Data Objektif:
1. Selalu bergantung pada
orang lain.
2. tidak mau mengikuti
sepenuhnya isntruksi dari
perawat.
8. Distres spritual (D.0003) Status spiritual (L.01006) Dukungan spiritual (I.09276) Berdasakan penelitian dari Ni
Setelah dilakukan tindakan Observasi
Kategori : psikologis Luh Emilia tahun 2023 yang
1. Identifikasi perasaan
keperawatan 1x24 jam
Subkategori: integritas ego berjudul “Penerapan Art
khawatir, kesepian dan
diharapkan keberdayaan
Therapy Untuk Mengatasi
ketidakberdayaan
meningkat dengan kriteria
Definisi: Distress Spiritual Pada Lansia
2. Identifikasi pandangan
hasil :
Gangguan pada keyakinan atau Di Desa Tindaki Provinsi
tentang hubungan antara
1. Verbalisasi makna
sistem nilai berupa kesulitan Sulawesi Tengah”(Emilia &
spiritual dan kesehatan
dan tujuan hidup
merasakan makna dan tujuan hidup Susanto, 2023)
3. Identifkasi harapan dan
meningkat
melalui hubungan dengan diri,
kekuatan pasien
2. Verbalisasi
orang lain, lingkungan atau tuhan.
Terapeutik
kepuasan terhadap
1. Berikan kesempatan
makna hidup
Penyebab:
mengekpresikan dan
meningkat
Kondisi penyakit kronis
meredakan marah secara
3. Perilaku marah
Dibuktikan dengan:
tepat
pada tuhan
Data Subjektif:
2. Yakinkan bahwa perawat
menurun
1. Klien juga sering marah
bersedia mendukung
4. Interaksi dengan
2. Sering bertanya apa maksud
selama masa
orang
Tuhan memberikan
ketidakberdayaan
terdekat/pemimpin
penyakit ini ke saya “saya
sering sholat, tapi kenapa spritual membaik 3. Diskusikan keyakinan
Tuhan ngasih ini ke saya”, tentang makna dan tujuan
3. Klien seringkali merasa hidup
hidupnya tidak bermakna Edukasi
lagi. 1. Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga, teman
DO:
dan/atau orang lain
1. Klien menolak untuk
2. Anjurkan berpartisipasi
bertemu dengan banyak
dalam kelompok
orang
pendukung
2. Tidak mau banyak bicara
Terapeutik
3. Tidak mau mengikuti
1. Atur kunjungan dengan
sepenuhnya isntruksi dari
rohaniawan (mis.ustadz)
perawat.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kasus
1. Pola Napas Tidak
Efektif

Pada data diperoleh bahwa Klien mengeluh sesak selama 1 minggu,


Respirasi 28x/menit, tekanan darah 150/90 mmHg. Hal ini disebabkan karena
klien sesak dan frekuensi pernapasan diatas normal
a. Intervensi keperawatan (manajemen jalan napas)
Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi yang termasuk adalah
manajemen jalan napas karena untuk memenuhi kriteria hasil Dispnea
menurun, Frekuensi napas membaik dengan mengintervensi monitor pola
napas, bunyi napas tambahan dan posiskan semi fowler atau fowler.
b. Terapi komplementer (Penerapan Pursed Lips Breathing Terhadap Pola
Napas Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Bangsal Tulip Rsud
Dr.Soehadi Prijonegoro Sragen)
Berdasarkan penerapan pursed lips breathing selama sehari 2 kali
didapatkan hasil pola nafas tidak efektif teratasi pada kedua pasien dengan
indikator dapat mengontrol frekuensi pernafasan membaik, tidak terdapat
suara nafas tambahan, frekuensi nadi dalam rentang normal, dan saturasi
oksigen meningkat. Pada Tn.Sa setelah mendapatkan fisioterapi dada
didapatkan hasil dapat mengontrol frekuensi pernafasan membaik yaitu
28/menit, tidak terdapat suara nafas tambahan, frekuensi nadi dalam
rentang normal yaitu 90x/menit, dan saturasi oksigen meningkat yaitu
97%. Pada Tn.Su setelah mendapatkan pursed lips breathing didapatkan
hasil dapat mengontrol frekuensi pernafasan membaik yaitu 26x/menit,
tidak terdapat suara nafas tambahan, frekuensi nadi dalam rentang normal
yaitu 76x/menit, dan saturasi oksigen meningkat yaitu 99%.
2. Hipervolemia
Pada data diperoleh bahwa Klien mengeluh bengkak pada kaki dan tangan
sejak 5 bulan sebelum masuk RS dan sesak nafas selama 1 minggu, keluhan
bengkak klien bukan hanya di kaki dan tangan, namun semenjak 1 bulan
sebelum masuk RS mata klien dan perut klien bengkak terutama pada pagi
hari, Frekuensi berkemih menurun dibandingkan sebelumnya dari awalnya 5-6
kalo sehari menjadi 2-3 kali sehari dengan urin yang sedikit dan keruh, pada
pemeriksaan laboratorium darah Rutin didapatkan hasil Hb: 6,7 gr/dl, Ht: 22
%, Ureum: 242 mg/dl, Creatinine: 15,97 mg/dl . Hal ini disebabkan karena
data-data yang menunjang pada kasus diatas dan hipervolemia yang biasa
terjadi pada gagal ginjal kronik merupakan suatu keseimbangan yang
memengaruhi cairan ekstraseluler sehingga terjadi penambahan natrium dan
air dalam jumlah yang relative sama kemudian terjadi kelebihan volume cairan
ekstraseluler.
a. Intervensi keperawatan (Manajemen Hipervolemia)
Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi yang termasuk adalah
manajemen hipervolemia karena intervensi dilakukan dengan melakukan
manajemen hipervolemia yang bertujuan untuk menstabilkan kondisi
hemodinamik pada tabuh. Penatalaksanaan manajemen hipervolemia
dilakukan dengan pembatasan cairan, pemantauan intake dan output
cairan, tingkat derajat edema, kolaborasi diuretik dan tindakan
hemodialisis.
b. Terapi komplementer (Pemberian Terapi Angle Pump Exercise Dan
Elevasi 30⁰ Untuk Mengurangi Edema Pada Pasien CKD”
Salah satu upaya yang dapat dilakukan mandiri oleh perawat dalam
mengurangi edema, terutama Edema di daerah tungkai atau edema perifer
adalah dengan melakukan therapy Ankle Pumping Exercise dan elevasi
kaki 30⁰. Hasil penelitian dari (Budiono, 2019) membuktikan bahwa terapi
kombinasi mampu mengurangi tingkat edema. Latihan ini bertujuan untuk
memperlancar peredaran darah. Latihan pompa merupakan langkah yang
efektif untuk mengurangi edema karena akan menimbulkan efek pompa
otot sehingga akan mendorong cairan ekstraseluler masuk ke pembuluh
darah dan kembali ke jantung. Edema dapat dikurangi dengan melakukan
perubahan posisi dengan elevasi kaki. Perubahan posisi saat kaki
dielevasikan bertujuan akan meningkatkan aliran balik vena dan
mengurangi tekanan pada vena.
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
Pada data yang diperoleh Klien sering merasa lelah, GDS : 280 mg/dl. Hal
ini disebabkan karena GDS diatas normal makanya mengambil diagnosa
ketidakstabilan kadar glukosa darah.
a. Intervensi keperawatan (manajemen hiperglikemia)
Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi adalah manajemen
hiperglikemia karena intervensi dilakukan kadar gula darah membaik
dengan mengintervensi monitor kadar glukosa darah, penyebab terjadinya
hiperglikemia, pemberian cairan IV
b. Terapi komplementer (Edukasi Terapi Komplementer Jamu (Jahe Dan
Madu) Untuk Menurunkan Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2)
Selain melalui pengobatan secara farmakologi, penurunan kadar glukosa
darah penderita DM juga dapat dilakukan melalui terapi komplementer.
Terapi komplementer menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita DM. Jahe memiliki
berbagai manfaat terutama bagi kesehatan. Kandungan fenolik membuat
tanaman ini memiliki kemampuan untuk menurunkan glukosa darah bagi
penderita DM. Madu merupakan salah satu bahan alami yang mengandung
banyak nutrisi sehingga dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah.
Fruktosa dalam madu dapat meningkatkan penyerapan glukosa hepatik
juga sintesis dan penyimpanan glikogen sehingga meningkatkan kontrol
glikemik pada penderita DM. Kegiatan pencegahan yang berfokus pada
masyarakat yang paling utama salah satunya dapat dilakukan dengan
menambah pengetahuan yaitu dengan pemberian pendidikan kesehatan
khususnya tentang terapi komplementer jahe dan madu untuk menurunkan
kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus.
4. Gangguang integritas kulit/jaringan
Pada data yang diperoleh bahwa Pada pemeriksaan status lokalis regio
pedis dextra didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik (+), pus (+),
perdarahan (-), Feel: hangat (+), pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓,
Move: ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri, Debridement luka. Hal ini
disebabkan karena klien terdapat luka, terdapat ulkus, jaringan nekrotik, pus.
a. Intervensi keperawatan (perawatan luka)
Dilihat dari data yang menunjang untuk mengambil intervensi yaitu
perawatan luka karena klien terdapat luka supaya memproses
penyembuhan luka untuk bisa sembuh.
b. Terapi komplemneter (Penerapan Pemberian Minyak Zaitun Pada
Gangguan Integritas Kulit Pasien Gagal Ginjal Kronik Pasca
Hemodialisa)
Teori dan manfaat minyak zaitun adalah bermanfaat dalam pengobatan
penyakit kulit dengan meningkatkan kelembapan dan elastisitas kulit,
sehingga dapat mengurangi rasa gatal pada penderita penyakit kronis.
Minyak zaitun diperoleh dengan mengekstraksi buah zaitun. Minyak
zaitun mengandung asam linoleat yang baik untuk kesehatan kulit,
mengatasi kulit terkelupas, eksim, dan kulit kering. Penggunaan minyak
zaitun dalam pengobatan pruritus pada pasien ginjal merupakan penelitian
yang melanjutkan rekomendasi penelitian sebelumnya dan dapat
menunjukkan bahwa penggunaan minyak zaitun dapat mengurangi
pruritus pada pasien gagal ginjal kronik.
5. Risiko infeksi
Pada data yang diperoleh bahwa Pada pemeriksaan status lokalis regio
pedis dextra didapatkan: Look: Ulkus (+), jaringan nekrotik (+), pus (+),
perdarahan (-), Feel: hangat (+), pulsasi arteri dorsalis pedis (+), sensibilitas ↓,
Move: ROM aktif dan pasif terbatas karena nyeri, Debridement luka. Hal ini
disebabkan karena untuk mnegurangi terjadinya berisiko infeksi terhadap area
regio pedis dextra
a. Intervensi keperawatan (pencegahan infeksi)
Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi yang bisa diambil adalah
pencegahan infeksi karena untuk memenuhi kriteria hasil yaitu kerusakan
jaringan, kultur jairngan dengan mengintervensi berikan perawatan pada
area luka, cuci tangan sebelum dan sesuah kontak dengan pasien untuk
mencegah terjadinya infeksi berkelanjutan.
b. Terapi komplemeneter (Efektivitas perawatan luka pada penderita diabetes
melitus tipe II dengan masalah keperawatan risiko infeksi menggunakan
metode modern dressing)
Hasil studi literatur mengenai efektivitas perawatan luka pada penderita
DM tipe II dengan menggunakan metode modern dressing sebagai salah
satu intervensi untuk mengurangi risiko infeksi pada passien DM, sebelum
dan sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan metode modern
dressing menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. Diharapkan
dapat terlaksanya program serta dapat memberikan pengetahuan dalam
upaya penerapan penatalaksanaan perawatan luka modern dressing guna
untuk mengurangi risiko infeksi pada pasien Diabetes Melitus dengan
menggajarkan teknik perawatan luka menggunakan metode modern
dressing dan jujga menerapkan pada pasien risiko infeksi untuk
mnegurangi keluhannya, disamping itu tidak akan menimbulkan efek
samping pada tubuh klien.
6. Keletihan
Pada data diperoleh Klien mengatakan bahwa klien sering merasa lelah,
Merasa kurang bertenaga, Sekalipun tidur klien cukup. Hal ini disebabkan
karena keletihan pada pasien CKD dimanifestasikan dengan ketidakmampuan
tubuh dalam melakukan aktivitas rutin, tampak lesu, serta perasaan lelah
sepanjang waktu. Keletihan juga dinyatakan berkorelasi secara konsisten
dengan kualitas hidup pasien CKD.
a. Intervensi keperawatan (Manajemen energi)
Salah satu intervensi utama keletihan yaitu manajemen energi alasannya
karena manajemen energi merupakan serangkaian tindakan keperawatan
yang meliputi pengelolaan, keletihan, latihan dan pergerakkan, aktivias
sehari-hari kenyamanan biologis dan psikologis. Serta menjaga energi
yang dapat mengatasi atau mencegah kelelahan dan dapat menenangkan
dengan mengatur aktivitas.
b. Terapi komplementer (Pengaruh Pijatan Punggung Terhadap Penurunan
Kelelahan Fisik Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis)

Salah satu intervensi yang dapat membuat klien merasa nyaman adalah
dengan tindakan pijatan. Pijat punggung adalah suatu gerakan dengan
mempergunakan seluruh permukaan tangan melekat pada bagianbagian
tubuh yang dipijat dengan ringan dan menenangkan. Pijatan Punggung
dilakukan dengan sentuhan memanipulasi jaringan lunak untuk
mempromosikan kenyamanan dan penyembuhan. Tindakan Pijatan dapat
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan ketegangan otot, memberikan
relaksasi, meningkatkan suasana hati, peningkatan hormon endorphin
meningkatkan aktivitas neurotransmitter serotonin dan membantu klien
meningkatkan istirahat dan tidur.
7. Ketidakberdayaan

Pada data diperoleh Klien mengatakan merasa sedih, Sering mengatakan


tidak ada harapan untuk sembuh, Selalu merasa bersalah dengan keadaanya,
hal ini dibuktikan dengan seringnya klien mengatakan “seandanya waktu itu
saya sering patuh minum obat tidak akan jadi begin”. Klien merasa bahwa
keadaan saat ini membuat dia merasa tidak bisa melakukan aktivitas seperti
biasanya, Merasa malu, dan merasa putus asa dengan keadaan sekrang ini,
Selalu bergantung pada orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya faktor
predisposisi dan faktor presipitasi dimana faktor predisposisi yang berkaitan
dengan masalah ketidakberdayaan dalam pengalaman perubahan gaya hidup
akibat lingkungan tempat tinggal, ketidakmampuan menjalannkan peran akibat
penyakit yang secara progresif menimbulkan ketidakmampuan kurang puas
dengan kehidupannya. Sedangkan faktor presipitasi ketidakberdayaan
perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis, tidak dapat
menjalankan pekerjaan atau hobi, perasaan malu dan rendah diri karena
ketidakmampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
a. Intervensi keperawatan (promosi harapan)

Dilihat dari data yang ada bahwa intervensi utama yaitu promosi harapan
dimana klien mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh jadi di
intervensi keperawatan ini bisa menjadikan untuk klien memotivasi
dengan harapan untuk sembuh dan menyadarkan klien untuk mencapai
kehidupan sangat penting dengan dukungan keluarga.
b. Terapi komplementer (Efek Logoterapi Dan Psikoedukasi Keluarga
Terhadap Ketidakberdayaan Klien Penyakit Kronis Di Rumah Sakit
Umum)

Tindakan keperawatan spesialis diberikan dalam bentuk psikoterapi


logoterapi. Logoterapi adalah psikoterapi yang dapat melihat individu
secara jelas dan holistik yang meliputi gambaran diri, kepercayaan diri dan
kemampuan individu dalam menangani stress. Terapi spesialis pada
keluarga yang diberikan adalah psikoedukasi keluarga. Psikoedukasi
keluarga adalah pendekatan edukasional dan pragmatis dengan tujuan
memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga yang sakit,
mengurangi kekambuhan dan memperbaiki fungsi pasien dan anggota
keluarga dalam konteks keluarga.
8. Distres Spritual

Pada data yang diperoleh Klien juga sering marah, Sering bertanya apa
maksud Tuhan memberikan penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi
kenapa Tuhan ngasih ini ke saya”,, Klien seringkali merasa hidupnya tidak
bermakna lagi, Klien menolak untuk bertemu dengan banyak orang,Tidak mau
banyak bicara, Tidak mau mengikuti sepenuhnya isntruksi dari perawat. Hal
ini disebabkan karena klien bertanya apa maksud tuhan memberikan penyakit
ini maka dari itu mengambil diagnosa distres spritual.
a. Intervensi keperawatan (dukungan spritual)

Dilihat dari data yang diperoleh intervensi utama adalah dukungan spritual
karena klien sering marah, mengatakan maksud tuhan memberikan
penyakit ini, interaksi sesama atau menolak bertemu dengan orang lain dan
dengan dukungan spiritual klien bisa berinteraksi dan keyakinan makna
dan tujuan hidup.
b. Terapi komplementer (Penerapan Art Therapy Untuk Mengatasi Distress
Spiritual Pada Lansia Di Desa Tindaki Provinsi Sulawesi Tengah)
Penanganan kondisi distres dapat dilakukan dengan farmakologi dan
nonfarmakologi. Terapi psikofarmaka adalah pengobatan untuk distres
dengan menggunakan bahan kimia yang berhasiat memulihkan fungsi
gangguan neuro- transmitter atau sinyal penghantar saraf pada susunan
saraf pusat otak. Penggunaan berbagai macam obat meningkatkan risiko
terjadinnya ketidakpatuhan dan efek samping reaksi obat yang tidak
diinginkan, interaksi obat, dan biaya pelayanan kesehatan (Musradinur,
2016). Art therapy merupakan salah satu terapi komplementer untuk
menurunkan stres. Art therapy menganjurkan individu menvisualisasikan
emosi dan pikiran yang tidak dapat diungkapkan sehingga diungkapkan
melalui karya seni dan selanjutnya ditinjau untuk diinterpretasikkan oleh
individu. Art Therapy membawa perspektif Psikoanalitik untuk
menggunakan seni sebagai cara untuk membuat citra sadar dan symbol
sadar. Sementara permatasari menyatakan art therapy adalah suatu bentuk
terapi yang bersifat ekspresif dengan mengunakan materi seni seperti
lukisan, kapur, spidol, dan lainnya. Art therapy menggunakan media seni
dan proses kreatif untuk membantu mengekspresikan diri, meningkatkan
keterampilan coping individu, mengelola stress, dan memperkuat rasa
percaya diri. Art therapy juga dapat diartikan sebagai kegiatan membuat
sebuah karya seni untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan emosional
pada individu, baik pada individu yang memiliki kemampuan dalam seni
ataupun yang tidak memiliki kemampuan dalam seni. Melalui art therapy
individu dapat mengungkapkan perasaan yang dialami dengan
menggunakan seluruh area atau fungsi dalam diri mereka (Permatasari et
al.,2017).
BAB V
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Ginjal adalah organ vital dalam sistem urinaria manusia dan berfungsi untuk
menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darah untuk dibuang melalui urin. Ginjal
terletak di belakang perut, pada kedua sisi tulang belakang dan terhubung dengan
kandung kemih melalui sepasang saluran ureter. Selain sebagai organ penyaring, ginjal
juga berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh, menghasilkan
hormon, serta membantu mengatur tekanan darah. Kegagalan ginjal dapat menyebabkan
masalah kesehatan serius dan memerlukan perawatan medis yang intensif (Nurchayati,
S.,et al, 2019). Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insiden gagal ginjal yang meningkat,prognoasis yang
buruk dan biaya yang tinggi (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan analisa data maka diagnosa keperawatan yang dapat diambil
sebagai berikut:
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d Klien mengeluh sesak
2. Hipervolemia b.d Gangguan mekanisme regulasi d.d Klien mengeluh bengkak
pada kaki dan tangan
3. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d Hiperglikemia: disfungsi pankreas d.d
GDS : 280 mg/dl
4. Gangguan integritas kulit b.d perubahan pigmentasi d.d Ulkus (+), jaringan
nekrotik (+), pus (+),
5. Risiko infeksi d.d faktor risiko penyakit kronis (mis. Diabetes melitus)
6. Keletihan b.d Kondisi Fisiologis (mis. Penyakit kronis) d.d Merasa kurang
bertenaga
7. Ketidakberdayaan b.d Program perawatan/pengobatan yang kompleks atau
jangka panjang d.d Sering mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh
8. Distres Spritual b.d kondisi penyakit kronis d.d sering bertanya apada maksud
tuhan memberikan penyakit ini ke saya “saya sering sholat, tapi kenapa Tuhan
ngasih ini ke saya”
1.2. Saran
1. Untuk Dosen mata kuliah
Sudah baik dan cukup puas dengan dosen dan pelayanan
a k a d e m i k j u r u s a n keperawatan.
2. Untuk Jurusan Keperawatan
Kami berharap bapak ibu dosen lebih responsif terkait jam
pembelajaran, baik itu sesuai jadwal maupun diganti lain waktu. Jika
memang diganti lain waktu harap konfirmasi dengan jelas.
3. Untuk Kelompok Sendiri
Diharapkan lebih ditingkatkan kekompakkan dalam mengerjakan tugas.
DAFTAR PUSTAKA

Eka Milasari, Herlina, T. S., Studi, P., & Alkautsar, D. K. (2019). Efektivitas perawatan luka
pada penderita Diabetes Melitus tipe II dengan masalah keperawatan risiko infeksi
menggunakan metode modern dressing.

Emilia, N. L., & Susanto, D. (2023). Penerapan Art Therapy Untuk Mengatasi Distress
Spiritual Pada Lansia Di Desa Tindaki Provinsi Sulawesi Tengah : Studi Kasus.

Halawa, A., Elis, A., Robin, F. S., Yolanda, M. S. T., Elsa, N., & Erniyati, H. (2023).
Pengaruh Pijatan Punggung Terhadap Penurunan Kelelahan Fisik Pada Pasien Gagal
Ginjal Kronis. Ilmu Psikologi Dan Kesehatan, 1, 3.

Maro, S. O., Studi, P., Profesi, P., Kesehatan, F. I., Nusa, U., Indonesia, N., Pitang, Y., Studi,
P., Profesi, P., Kesehatan, F. I., Nusa, U., & Indonesia, N. (2024). Pemberian Terapi
Angle Pump Exercise Dan Elevasi 30 0 Untuk Mengurangi Edema Pada Pasien CKD
Sertin Oktavia Maro Yuliani Pitang. 2(1).

Niman, S., Keliat, B. A., & Mustikasari. (2019). Efek Logoterapi Dan Psikoedukasi Kelarga
Terhadap Ketidakberdayaan Klien Penyakit Kronis Di Rumah Sakit Umum. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 2(2), 118–128.

Pramudyta, T. M. P., & Retnaningsih, D. (2023). Penerapan Pemberian Minyak Zaitun Pada
Gangguan Integritas Kulit Pasien Gagal Ginjal Kronik Pasca Hemodialisa. Prosiding
Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 5(1), 90–97.

Valentin, A. E., Sari, I. M., Nafas, P., Penyakit, P., & Obstruksi, P. (2023). Penerapan Pursed
Lips Breathing Terhadap Pola Napas Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Bangsal
Tulip Rsud Dr . Soehadi Prijonegoro Sragen. Waluyo, Sari, Valentin, 1 No 2, 32–40.

Wijaksono, M. A., Rahmayani, D., Irawan, A., Friscila, I., & Tasalim, R. (2023). E Edukasi
Terapi Komplementer JAMU (Jahe dan Madu) Untuk Menurunkan Kadar Glukosa
Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Tangguh, 2(1), 126–130.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria
HasilKeperawatan (III). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai