Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA)


DI RUANG IGD RSUD ULIN BANJARMASIN
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Tanggal 22 Januari – 03 Februari 2024

Oleh:
KELOMPOK D

Muhammad Syarif, S.Kep 2330913310015


Idza Nur Rayyan Ukhti Sholehah, S.Kep 2330913320013
Khalimatus Sa’diah, S.Kep 2330913320019
Laila Munada, S.Kep 2330913320001
Liza Trie Octiza Agyzty, S.Kep 2330913320020

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2024
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA)
DI RUANG IGD RSUD ULIN BANJARMASIN
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Tanggal 22 Januari – 03 Februari 2024

Oleh :
KELOMPOK D

Muhammad Syarif, S.Kep 2330913310015


Idza Nur Rayyan Ukhti Sholehah, S.Kep 2330913320013
Khalimatus Sa’diah, S.Kep 2330913320019
Laila Munada, S.Kep 2330913320001
Liza Trie Octiza Agyzty, S.Kep 2330913320020

Banjarmasin, 29 Januari 2024


Mengetahui,

Pembimbing Akademik, Pembimbing Lahan,

Herry Wibowo, Ns.,M.Kep Muhammad Fadli, S.Kep., Ns


NIP. 19810523 200803 1 002 NIP. 196706101990031022
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA)

A. DEFINISI
Cerebro Vascular Accident (CVA) atau Stroke merupakan gangguan yang
terjadi pada sistem saraf yang diakibatkan adanya gangguan pada peredaran
darah di otak (Kemenkes RI, 2017). CVA adalah suatu syndrome klinis yang
diakibatkan karena terjadinya penyempitan atau sumbatan pada jaringan
nekrotik otak, sehingga pasokan oksigen dan darah ke otak berkurang yang dapat
menyebabkan infark, jika aliran darah tidak dipulihkan dalam waktu yang relatif
singkat. (V.A.R.Barao et al., 2022). CVA adalah ketika jaringan otak tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup, berkurangnya aliran darah yang ke
otak terganggu sehingga kebutuhan otak tidak terpenuh. Stroke terjadi akibat
pembuluh darah yang membawa darah dan oksigen ke otak mengalami
penyumbatan dan ruptur, kekurangan oksigen menyebabkan fungsi control
gerakan tubuh yang dikendalikan oleh otak tidak berfungsi (American Health
Association, 2015).
Otak yang harusnya bisa mendapatkan pasokan oksigen dan seharusnya
mendapatkan zat makanan akhirnya menjadi terganggu, kurangnya pasokan
oksigen yang masuk kedalam otak menyebabkan kematian pada sel saraf
(neuron) karena gangguan fungsi dari otak tersebut akhirnya memunculkan
gejala dari stroke. Seiring berjalannya waktu stroke mengalami peningkatan
yang sangat signifikan yang terjadi dimasyarakan akibat perubahan pola makan,
gaya hidup dan peningkatan stressor yang sangat cukup tinggi. Meningkatnya
jumlah penderita tidak hanya menjadi isu regional tetapi sudah dapat menjadi isu
global. Stroke Non hemoragik pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh
darah otak yang akhirnya menyebabkan terhentinya pasokan dan glukosa ke
otak. Tidak terjadi peredaran namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia
dan selanjutnya timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik (Muttaqin,
2017).
CVA infark terjadi karena adanya oklusi atau sumbatan di pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak Sebagian atau keseluruhan terhenti. Iskemia
otak singkat dapat memberikan gejala tapi akan kembali normal, tapi iskemia
otak yang terjadi lama akan menimbulkan proses terganggunya metabolisme
dalam otak sehingga terjadi gangguan perfusi serebral hingga penurunan
kesadaran dan yang juga akan berdampak pada terhambatnya mobilitas fisik
pada klien yang mengalami CVA Infark (Nurarif & Kusuma, 2016).

B. ETIOLOGI
Menurut Siti, Tarwoto, Wartonah. (2014) adapun berbagai penyebab dari stroke
yaitu :
1. Trombosis
Penggumpalan (thrombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada bagian
garis endotelial dari pembuluh darah. Aterosklerosis merupakan penyebab
utama karena zat lemak tertumpuk dan membentuk otak pada dinding
pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan menyebabkan penyempitan
(stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah yang biasanya
lancar pada arteri. Darah akan berputar-putar dibagian permukaan yang
terdapat plak, menyebabkan penggumpalan yang akan melekat pada plak
tersebut. Akhirnya rongga pembuluh darah menjadi tersumbat.
Trombus bisa terjadi di semua bagian sepanjang arteri karotid atau pada
cabang-cabangnya. Bagian yang biasa terjadi penyumbatan adalah pada
bagian yang mengarah pada percabangan dari karotid utama ke bagian dalam
dan luar dari arteri karotid. Bagian endotelium dari pembuluh darah kecil
dipengaruhi sebagian besar oleh kondisi hipertensi, yang menyebabkan
penebalan dari dinding pembuluh darah dan penyempitan. Infark lakunar
juga sering terjadi pada penderita diabetes melitus.
2. Embolisme
Sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh embolus menyebabkan
stroke embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas
dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai embolus tersebut melekat
pada pembuluh darah dan menyumbat arteri. embolus yang paling sering
terjadi adalah plak. Trombus dapat terlepas dari arteri karotis bagian dalam
pada bagian luka plak dan bergerak ke dalam sirkulasi serebral. Kejadian
fibralasi atrial kronik dapat berhubungan dengan tingginya kejadian stroke
embolik, yaitu darah terkumpul didalam atrium yang kosong. Gumpalan
darah yang sangat kecil terbentuk dalam atrium kiri dan bergerak menuju
jantung dan masuk kedalam sirkulasi cerebral. Pompa mekanik jantung
buatan memiliki permukaan yang lebih kasar dibandingkan otot jantung yang
normal dan dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya pengumpalan.
Endokarditis yang disebabkan oleh bakteri maupun nonbakteri dapat
menjadi sumber terjadinya emboli. Sumber-sumber penyebab emboli
lainnya adalah tumor, lemak, bakteri, dan udara. Emboli bisa terjadi pada
seluruh bagian pembuluh darah serebral. Kejadian emboli pada serebral
meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia.
3. Perdarahan (Hemoragik)
Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur
arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan ke dalam jaringan otak. Perdarahan intraserebral paling sering
terjadi akibat dari penyakit hipertensi dan umumnya terjadinya setelah usia
50 tahun. Akibat lain dari perdarahan adalah aneurisme (pembengkakan pada
pembuluh darah). Stroke yang disebabkan oleh perdarahan sering kali
menyebabkan spasme pembuluh darah serebral dan iskemik pada serebral
karena darah yang berada diluar pembuluh darah membuat iritasi pada
jarinngan. Stroke hemoragik biasanya menyebabkan terjadinya kehilangan
fungsi yang paling banyak dan penyembuhannya paling lambat
dibandingkan dengan tipe stroke yang lain. Keseluruhan angka kematian
karena stroke hemoragik berkisar antara 25%-60%. Jumlah volume
perdarahan merupakan satusatunya predikator yang paling penting untuk
melihat kondisi klien. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa perdarahan
pada otak penyebab paling fatal dari semua jenis stroke.
4. Penyebab lain
Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi, menurunkan aliran
darah ke arah otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit.
Spasme yang berdurasi pendek tidak selamanya menyebabkan kerusakan
otak yang permanen. Kondisi hiperkoagulasi adalah kondisi terjadi
penggumpalan yang berlebihan pada pembuluh darah yang bisa terjadi pada
kondisi kekurangan protein C dan protein S, serta gangguan aliran gumpalan
darah yang dapat menyebabkan terjadinya stroke trombosis dan stroke
iskemik. Tekanan pada pembuluh darah serebral bisa disebabkan oleh tumor,
gumpalan darah yang besar, pembengkakan pada jaringan otak, perlukaan
pada otak, atau gangguan lain. Namun, penyebab- penyebab tersebut jarang
terjadi pada kejadian stroke.
5. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan CVA Infark (Muttaqin,
2008), yaitu:
a. Hipertensi
Merupakan faktor resiko utama. Hipertensi dapat disebabkan
arterosklerosis pembuluh darah serebral, sehingga pembuluh darah
tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang kemudian
pecah/menimbulkan pendarahan.
b. Penyakit Kardiovaskuler
Pada firilasi atrium menyebabkan penurunan CO, sehingga perfusi darah
ke otak menurun, maka otak akan kekurangan oksigen yang akhirnya
dapat terjadi CVA. Pada arterosklerosis elastisitas pembuluh darah
menurun, sehingga perfusi ke otak menurun juga pada akhirnya terjadi
CVA.
c. Peningkatan Kolesterol
Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan arterosklerosis dan
terbentuknya emboli lemak sehingga aliran darah lambat masuk ke otak,
maka perfusi otak menurun.
d. Obesitas
Pada obesitas kadar kolesterol tinggi. Selain itu dapat mengalami
hipertensi karena terjadi gangguan pada pembuluh darah. Keadaan ini
berkontribusi pada stroke.
e. Diabetes Mellitus
Pada penyakit DM akan mengalami penyakit vaskuler, sehingga terjadi
mikrovaskularisasi dan terjadi arterosklerosis, terjadinya arterosklerosis
dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi
iskemia, iskemia menyebabkan perfusi otak menurun dan pada akhirnya
terjadi CVA.
f. Merokok
Pada perokok akan timbul plak pada pembuluh darah oleh nikotin
sehingga memungkinkan penumpukan arterosklerosis dan kemudian
berakibat pada CVA.
g. Alkoholik
Pada alkoholik dapat menyebabkan hipertensi, penurunan aliran darah ke
otak dan kardiak aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah
sehingga terjadi emboli serebral.
C. MANIFESTASI KLINIS
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak
yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Adapun tanda dan gejala yang
dapat muncul yaitu (Oxyandi & Utami, 2020):
1. Kehilangan motoric
a. Adanya defisit neurologis/kelumpuhan fokal seperti hemiparesis
(lumpuh sebelah badan kanan/kiri saja)
b. Baal mati rasa sebelah badan dan rasa kesemutan
c. Mulut mencong, lidah moncong, lidah mencong bila diluruskan
d. Berjalan menjadi sulit
2. Kehilangan komunikasi
a. Bicara jadi pelo
b. Sulit berbahasa kata yang diucapkan tidak sesuai dengan
keinginan/gangguan berbicara berupa pelo, cegal dan kata-katanya
tidak bisa dipahami (afasia)
c. Bicara tidak lancar hanya sepatah kata yang terucap
d. Bicara tidak ada artinya
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain
f. Tidak mampu membaca dan penulis
3. Gangguan persepsi
a. Penglihatan terganggu, penglihatan ganda (diplopia)
b. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan
4. Defisit intelektual
a. Kehilangan memori/pelupa
b. Rentang perhatian singkat
c. Tidak bisa berkonsentrasi
d. Tidak dapat berhitung
5. Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal dan tidak bisa
menahan kemih dan sering berkemih.

Tanda dan gejala yang sering muncul berdasarkan jenis stroke adalah sebagai
berikut (Nurarif & Kusuma, 2015):

1. Stroke iskemik
a. Kejadiannya mendadak terjadi saat istirahat
b. Ada peringatan
c. Nyeri kepala ringan
d. Tidak ada kejang dan muntah
e. Penurunan kesadaran ringan

2. Stroke perdarahan

a. Kejadiannya mendadak terjadi saat sedang aktif beraktivitas


b. Tidak ada peringatan
c. Nyeri kepala hebat
d. Ada kejang dan muntah
e. Penurunan kesadaran sangat nyata

Gejala Stroke dapat di ingat lebih mudah dengan kata FAST. Masing-masing
terdiri dari singkatan gejalanya (Amelia et al., 2020; Sodikinet al., 2022):

1. F atau Face (Wajah). Face movement, yaitu memperhatikan dan


menggerakkan mimic wajah di depan cermin untuk melihat apakah ada
bagian wajah yang tertinggal pada saat diam dan bergerak. Mintalah orang
tersebut untuk tersenyum. Apakah ada sisi sebelah wajah yang tertinggal?
Apakah wajah atau matanya terlihat jereng atau tidak simetris? Jika ya, orang
tersebut mungkin saja sedang mengalami stroke.
2. A atau Arms (Tangan). Arm movement, yaitu menggerakkan kedua lengan
dan tungkai secara bersamaan kiri dan kanan, untuk melihat pakah ada
bagian lengan dan atau tungkai yang tertinggal pada saat pergerakan.
Mintalah orang tersebut untuk mengangkat kedua tangan. Apakah ia
mengalami kesulitan untuk mengangkat salah satu atau kedua tangannya?
Apakah salahsatu tangan nya dapat ditekuk?
3. S atau Speech (Perkataan). Speech, yaitu berbicara di depan cermin dan
memperhatikan apakah terdapat perlambatan gerakan bicara, bagian bibir
yang tertinggal saat bicara serta mendengarkan apakah terdapat pelo. Kata
yang diucapkan adalah kata yang mengandung huruf R. Mintalah orang
tersebut untuk berbicara atau mengulangi suatu kalimat. Apakah bicaranya
terdengar tidak jelas atau pelo? Apakah ia memiliki kesulitan untuk
memahami yang anda katakan?
4. T atau Time (Waktu). Time to call, yaitu menilai apakah terdapat satu atau
lebih gejala dini stroke dan membuat keputusan untuk segera ke rumah sakit
terdekat dalam waktu 4,5 jam sejak serangan stroke diketahui. Jika ia
memiliki seluruh gejala yang disebutkan diatas, orang tersebut mungkin
mengalami stroke. Ingat stroke merupakan keadaan darurat. Maka dari itu
jika menjumpai tanda dan gejala diatas maka segera dibawa kerumah sakit.
D. PATOFISIOLOGI
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area
yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan local (thrombus,
emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Arterosklerosis sering
sebagai faktor penyebab infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak
arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area stenosis, tempat aliran
darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat
pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang di suplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema ini menyebabkan disfungsi
yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang
dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi
pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika
sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan
dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisma pecah atau rupture. Perdarahan pada otak
disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intra serebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer
otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons. Jika sirkulasi
serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang
disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit.
Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang
relative banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan
penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak.
Elemenelemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan
drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area
yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi (Muttaqin, 2008).
E. Klasifikasi CVA
Terdapat 2 tipe CVA, yakni :
1. Stroke Hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan sub arachnoid
yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada
saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat.
Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah
akibat hipertensi yang tidak terkontrol (EduNers, 2021).
Stroke hemoragik artinya stroke karena perdarahan, terjadi akibat
pembuluh darah yang pecah. Pecahnya pembuluh darah di otak
menyebabkan aliran darah ke jaringan otak berkurang dan sel-sel otak dapat
mengalami kerusakan bahkan kematian karena kekurangan oksigen dan
nutrisi. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang pecah juga dapat
merusak sel-sel otak yang ada di sekitarnya. Stroke jenis ini terjadinya lebih
jarang dibandingkan stroke iskemik yaitu sekitar 20%, tetapi stroke
hemoragik mempunyai efek yang lebih serius dibandingkan stroke iskemik.
Hipertensi merupakan penyebab tersering stroke hemoragik. Hipertensi
yang menahun dapat menyebabkan kelemahan dinding pembuluh darah
sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah. Perdarahan juga bisa terjadi
pada seseorang yang mengalami kelainan pembuluh darah, seperti
aneurisma ataupun malformasi arteriovena. Malformasi arteriovena adalah
kelainan bawaan sejak lahir berupa dinding pembuluh darah tipis dan kusut
akibat gangguan pada saat proses pembentukan. Kelainan pada komponen
darah seperti penyakit hemofilia ataupun thalasemia juga dapat
menyebabkan stroke hemoragik. Menurut letaknya, stroke hemoragik
dibedakan atas dua kelompok, yaitu perdarahan intraserebral dan
perdarahan subaraknoid (Indrawati, 2016).
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah dan darah
membasahi jaringan otak. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak
sehingga menyebabkan spasme atau menyempitnya arteri di sekitar
tempat perdarahan. Sel-sel otak yang berada jauh dari tempat
perdarahan juga akan mengalami kerusakan karena aliran darah
terganggu. Selain itu, jika volume darah yang keluar lebih dari 50 ml
maka dapat terjadi proses desak ruang yakni rongga kepala yang
luasnya tetap, 'diperebutkan' oleh darah 'pendatang baru' dan jaringan
otak sebagai 'penghuni lama'. Biasanya pada proses desak ruang ini,
jaringan otak yang relatif lunak mengalami kerusakan akibat penekanan
oleh jendalan darah.
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan terjadi di pembuluh darah yang terdapat pada selaput
pembungkus otak. Selanjutnya, darah mengalir keluar mengisi rongga
antara tulang tengkorak dan otak. Sama seperti perdarahan
intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan spasme arteri
sekitar tempat perdarahan, mengiritasi jaringan sekitar, serta
menyebabkan proses desak ruang (Indrawati, 2016).
2. Stroke Non Hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah
otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur.
Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses
edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak (EduNers, 2021).
Jenis stroke ini merupakan stroke yang sering ditemui, sekitar 80% dari
semua kasus stroke. Stroke iskemik terjadi bila jaringan dan sel-sel otak
mengalami kekurangan oksigen dan nutrisi yang disebabkan adanya
penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah. Pembuluh darah dapat
mengalami penyempitan karena aterosklerosis, yakni pembuluh darah
menjadi kaku dan elastisitas berkurang. Proses aterosklerosis terjadi akibat
tertimbunnya lemak dalam dinding pembuluh darah arteri. Timbunan
lemak tersebut dapat merusak dinding arteri dan menyebabkan luka yang
akan merangsang trombosit untuk mengeluarkan enzim pembeku darah.
Terjadilah penggumpalan darah setempat yang akan mengurangi diameter
arteri sehingga arteri makin menyempit atau bahkan tersumbat sempurna.
Penyempitan ini menyebabkan aliran darah yang membawa nutrisi dan
oksigen ke otak berkurang. Gumpalan darah tersebut bisa saja terlepas dan
terbawa aliran darah kemudian menyangkut di pembuluh darah yang lebih
kecil dan menyebabkan sumbatan di sana. Usia yang paling sering
terserang stroke adalah 60-69 tahun. Awal mula timbulnya gejala biasanya
terjadi saat sedang tidur atau baru bangun tidur. Selain aterosklerosis,
gangguan pada jantung juga dapat menyebabkan stroke iskemik. Gangguan
katup dan gangguan irama jantung dapat menyebabkan kelainan pada aliran
darah yang melintasi katup-katup tersebut. Darah yang terhambat alirannya
mempunyai kecenderungan untuk menggumpal dan membentuk embolus
(jendalan darah), Jendalan darah ini pun dapat lepas dan terbawa aliran
darah menuju ke otak. Jika jendalan ini menyangkut di pembuluh darah
otak dan menyumbat di sana maka terjadilah stroke iskemik. Stroke jenis
ini biasanya terjadi mendadak dan usia yang terserang lebih muda
dibandingkan stroke iskemik karena aterosklerosis (Indrawati, 2016).
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan
penyakitnya, yaitu :
1) TIA'S (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam
saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna
dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.
3) Stroke in Volution Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana
gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini
biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
4) Stroke Komplit
Gangguan neurologis yang timbul bersifat permanen (EduNers, 2021).
Gambaran gejala-gejala klinik stroke berdasarkan vaskularisasi pembuluh
darah otak yang mengalami gangguan. Berikut ini penggolongan sindrom
klinik oklusi berdasarkan lokasinya (Ghofir, 2021):
a. Arteri serebri anterior
Sindrom klinis oklusi arteri serebri anterior atau stroke arteri serebri anterior
adalah hal yang jarang terjadi. Hal ini dimungkinkan karena emboli dari
pembuluh darah ekstrakranial atau jantung cenderung untuk masuk ke
dalam arteri serebri media dengan diameter yang lebih besar, dan
mendapatkan banyak aliran darah serebral. Gejala yang timbul adalah
paralisis dan hilangnya sensasi pada kaki kontralateral. Pasien bisa
mengalami gangguan miksi karena kegagalan untuk menghambat kontraksi
refleks kandung kemih sehingga menimbulkan gangguan precipitate
micturition.
b. Arteri serebri media
Sindrom klinis oklusi arteri serebri media atau stroke arteri serebri media
paling sering terjadi. Hal ini karena arteri serebri media pembuluh darah
paling sering terlibat di dalam stroke iskemik. Tergantung pada lokasi yang
terkena, beberapa sindrom klinis yang mungkin muncul antara lain sebagai
berikut.
1) Stroke belahan superior
Stroke belahan superior mengakibatkan hemiparesis kontralateral yang
mengenai wajah, tangan, dan lengan, tetapi kaki tidak terpengaruh,
defisit hemisensorik kontralateral dengan distribusi yang sama, tetapi
tidak timbul hemianopia homonim. Jika hemisfer yang dominan
terlibat, gambaran ini disertai dengan afasia Broca (ekspresif) yang
ditandai dengan gangguan ekspresi bahasa dengan pemahaman yang
masih utuh.
2) Stroke belahan inferior
Stroke belahan inferior lebih jarang terjadi secara sendiri dan biasanya
mengakibatkan hemianopia homonim kontralateral yang mungkin lebih
buruk pada sisi inferior, gangguan nyata fungsi sensorik seperti
graphesthesia dan stereognosis pada sisi tubuh kontralateral, gangguan
pemikiran spasial, termasuk kurangnya kesadaran terhadap defisit yang
ada (anosognosia), neglect dan kegagalan untuk mengenali ekstremitas
kontralateral, neglect terhadap dunia esternal pada sisi kontralateral,
dressing apraxia, dan constructional apraxia. Jika hemisfer yang
dominan terlibat, akan disertai afasia Wernicke (reseptif) dan
dimanifestasikan dengan gangguan pemahaman dan bicara yang lancar,
tetapi sering kali tidak bermakna. Dengan keterlibatan pada hemisfer
non-dominan, acute confusional state dapat terjadi.
3) Oklusi pada bifurcatio atau trifurcatio arteri serebri media
Oklusi pada bifurcatio atau trifurcatio arteri serebre media melibatkan
sebuah lesi yang terletak pada satu titik, di mana arteri bercabang
menjadi dua (superior dan inferior) atau tiga (superior, medial, dan
inferior). Sindrom stroke ini menggabungkan gambaran hemiparesis
dan defisit hemisensorik kontralateral yang melibatkan wajah dan
lengan jauh lebih berat daripada kaki; hemianopia homonim; dan jika
hemisfer dominan terlibat, afasia global (gabungan ekspresif dan
reseptif) akan muncul.
4) Oklusi batang arteri serebri media
Oklusi batang arteri serebri media merupakan oklusi yang terjadi pada
sisi proksimal pada titik percabangan lentikulostriatum. Oleh karena
seluruh wilayah arteri terpengaruh, sindrom klinis ini merupakan stroke
arteri serebri media yang paling berat. Sindrom klinis yang dihasilkan
serupa dengan yang didapatkan setelah oklusi pada trifurcatio. Sebagai
tambahan, infark pada serat motorik dalam kapsula interna
menyebabkan paralisis pada kaki kontralateral. Hasilnya adalah
hemiplegia dan hilangnya sensasi kontralateral yang memengaruhi
wajah, lengan, dan kaki.
c. Arteri karotis interna
Sindrom klinis oklusi arteri karotis interna meliputi oklusi pada arteri karotis
interna ekstrakranialis dan intrakranialis yang bertanggung jawab atas
seperlima dari kasus stroke iskemik. Pada sekitar 15% kasus, oklusi
aterosklerotik progresif pada arteri karotis interna didahului dengan TIA
atau transient monocular blindness yang disebabkan oleh iskemia arteri
retina ipsilateral.
Oklusi arteri karotis memungkinkan terjadinya asimptomatis, sedangkan
oklusi simptomatis menghasilkan sebuah sindrom yang hampir sama
dengan stroke arteri serebri media (hemiplegia, defisit hemisensori
kontralateral, dan heminopia homonim, afasia juga dapat muncul dengan
keterlibatan hemisfer dominan).
d. Arteri serebri posterior
Oklusi arteri serebri posterior mengakibatkan hemianopia homonim yang
memengaruhi lapang pandang kontralateral. Pandangan makula mungkin
tidak terpengaruh karena suplai darah ganda (arteri serebri media dan
posterior) menuju bagian korteks visual yang mewakili makula. Berlawanan
dengan defek lapang pandang karena infark di dalam wilayah arteri serebri
media, defek yang disebabkan oleh arteri serebri posterior mungkin lebih
buruk pada sisi superior. Dengan oklusi yang berdekatan terhadap sumber
arteri serebri posterior pada tingkat midbrain, abnormalitas okluer yang
timbul, antara lain, vertical gaze palsy, oculomotor (nervus III) nerve palsy,
internuclear ophthalmoplegia, dan penyimpangan mata ke arah vertikal.
Ketika oklusi arteri serebri posterior memengaruhi lobus oksipitalis dari
hemisfer dominan (biasanya kiri), alexia tanpa agraphia (ketidakmampuan
untuk membaca, tanpa ada gangguan menulis) atau agnosia visual akan
timbul. Yang terakhir ini adalah kegagalan untuk mengidentifikasi benda
yang terletak pada sisi kiri lapang pandang, disebabkan oleh lesi pada corpus
callosum yang memutuskan korteks visual kanan dari area bahasa di
hemisfer kiri. Infark arteri serebri posterior bilateral dapat menyebabkan
cortical blindness, gangguan memori (karena keterlibatan lobus temporalis),
atau ketidakmampuan untuk mengenali wajah yang familier
(prosopagnosia), dan sejumlah sindrom visual dan perillaku lainnya.
e. Arteri basiler
Sindrom klinis oklusi arteri basiler antara lain sebagai berikut.
1) Trombosis (oklusi trombotik pada arteri basiler)
Trombosis merupakan suatu kejadian serius yang frekuensi kejadiannya
tidak sebanding dengan survival dan menghasilkan tanda neurologis
bilateral yang menunjukkan keterlibatan dari percabangan arteri
multipel. Oklusi pada kedua arteri vertebralis atau pada arteri
vertebralis tunggal menghasilkan sebuah sindrom yang sama. Oklusi
sementara pada salah satu atau kedua arteri vertebralis juga dapat terjadi
dalam hubungannya dengan rotasi kepala pada pasien dengan
spondilosis servikalis, yang berakibat pada tanda dan gejala sementara
disfungsi batang otak.
Stenosis mayor atau oklusi pada arteri subklavii sebelum melibatkan
arteri vertebralis dapat berakibat subclavian steal syndrome, di mana
darah melewati arteri vertebralis menuju arteri subklavii distal dengan
aktivitas fisik lengan ipsilateral. Sindrom ini adalah manifestasi dari
aterosklerosis menyeluruh dan tidak memprediksi kejadian stroke
sistem vertebrobasiler. Pasien biasanya asimptomatis, dan jika terjadi
stroke, biasanya disebabkan oleh lesi karotis yang telah ada.
Trombosis basiler biasanya memengaruhi bagian proksimal arteri
basiler yang mensuplai pons. Keterlibatan bagian dorsal (tegmentum)
pons mengakibatkan abducens (nervus VI) nerve palsy unilateral atau
bilateral, gangguan gerakan mata horizontal, tetapi nistagmus vertikal
dan ocular bobbing mungkin muncul. Pupil akan mengalami konstriksi
karena keterlibatan serat simpatis pupillodilator di dalam pons, tetapi
mungkin tetap reaktif. Hemiplegia atau quadriplegia biasanya muncul,
dan koma adalah hal yang sering terjadi. Meskipun ada kebingungan
antara sindrom oklusi basiler pada pasien yang tidak sadar dengan
perdarahan pontin, CT Scan atau MRI otak biasanya dapat
membedakan keduanya. Pada beberapa pasien dengan oklusi basiler,
bagian ventral dari pons (basis pontis) akan mengalami infark, tetapi
tegmentum tidak terpengaruh. Pasien tersebut tetap sadar, tetapi
mengalami quadriplegik. Istilah locked-in syndrome dapat digunakan
untuk keadaan ini. Pasien dengan locked-in syndrome mungkin mampu
untuk memberikan tanda bahwa mereka sadar dengan cara membuka
mata atau menggerakkan mata mereka ke arah vertikal seperti yang
diperintahkan. Pada kasus lain, EEG konvensional dengan stimulasi
mungkin diperlukan untuk membedakan locked-in state (EEG normal)
dari koma.
2) Emboli
Emboli cukup kecil untuk dapat melewati arteri vertebralis menuju ke
arteri basiler yang lebih besar dan biasanya tertahan pada bagian puncak
arteri basiler, yang terdapat bifurcatio ke dalam arteri serebri posterior.
Hasilnya adalah berkurangnya aliran darah menuju formasio retikularis
ascending midbrain dan thalamus yang menyebabkan hilangnya atau
gangguan kesadaran yang muncul dengan segera. Occulomotor (nervus
III) nerve palsy unilateral atau bilateral menjadi karakteristik yang khas.
Hemiplegia atau quadriplegia dengan postur deserebrasi atau
dekortikasi terjadi karena keterlibatan pedunkulus serebri dalam
midbrain sehingga mungkin muncul kebingungan antara puncak dari
sindrom basiler dengan kegagalán midbrain yang disebabkan oleh
herniasi unkus transtentorial. Untuk kasus yang lebih jarang, sebuah
emboli mungkin tertahan di dalam bagian arteri basiler yang mengalami
penyempitan ateromatous, menyebabkan sindrom yang tidak dapat
dibedakan dari trombosis basiler.
f. Sirkumferensial panjang percabangan vertebrobasilar
Sindrom klinis arteri sirkumferensial panjang merupakan suatu oklusi pada
salah satu percabangan sirkumferensial yang menghasilkan infark pada
daerah dorsolateral medula atau pons.
g. Penetrasi panjang percabangan vertebrobasilar paramedian
Sindrom klinis oklusi arteri paramedian penetrasi panjang atau oklusi pada
arteri penetrasi panjang menyebabkan infark paramedian pada batang otak
dan menghasilkan hemiparesis kontralateral, jika pedunkulus terlibat.
Keterlibatan nervus kraniales yang berhubungan tergantung pada tingkat
batang otak yang mengalami oklusi. Oklusi dalam midbrain mengakibatkan
paresis nervus Ill ipsilateral yang mungkin berhubungan dengan tremor atau
ataksia kontralateral karena keterlibatan jalur yang menghubungkan red
nucleus dan serebelum. Keterlibatan 6" and 7h nerve palsy ipsilateral dapat
terjadi dalam pons, sedangkan keterlibatan nervus XII dapat terjadi dalam
medula.
h. Percabangan pendek vertebrobasilar basal
Temuan yang paling membedakan sindrom klinis infark batang otak basal
adalah hemiparesis kontralateral yang disebabkan oleh keterlibatan traktus
kortikospinal dalam pedunkulus serebral atau basis pontis. Nervus kraniales
(seperti nervus III, VI; dan VII) yang muncul dari pemukaan ventral batang
otak, mungkin juga terpengaruh sehingga menyebabkan cranial nerve palsy
ipsilateral.
i. Infark lakuner
Arteri kecil yang terletak di kedalaman otak mungkin mengalami oklusi
karena perubahan di dalam pembuluh darah yang dipicu oleh hipertensi
kronis. Infark lakuner paling sering terjadi di deep nuclei otak (putamen
37%, thalamus 14%, dan nucleus kaudatus 10%), pons (16%) dan bagian
posterior dari kapsula interna (10%). Infark ini muncul dalam jumlah yang
lebih kecil di substansia alba yang dalam, daerah anterior kapsula interna,
dan serebelum. Oleh karena ukuran infark yang kecil dan lokasi infark yang
sering di dalam area otak yang relatif 'diam', banyak infark lakuner tidak
dikenali secara klinis. Sebanyak tiga perempat kasus yang dibuktikan
dengan otopsi, tidak ada riwayat stroke atau adanya bukti yang jelas adanya
defisit neurologis pada pemeriksaan antemortem.
F. Mengidentifikasi CVA
Berdasarkan gejala dan tanda serta waktu terjadinya serangan, dapat
diperkirakan letak kerusakan jaringan otak serta jenis stroke yang menyerang
(Indrawati, 2016).
3. Kesemutan atau kelemahan otot pada sisi kanan tubuh menunjukkan terjadi
gangguan pada otak belahan kiri.
4. Kehilangan keseimbangan menunjukkan gangguan terjadi di pusat
keseimbangan, yakni antara lain daerah otak kecil (cerrebellum).
5. Serangan stroke yang terjadi saat penderita sedang istirahat atau tidur
umumnya adalah stroke iskemik. Gejala munculnya secara bertahap dan
kesadaran umumnya baik, kecuali iskemiknya terjadi karena sumbatan
embolus yang berasal dari jantung maka gejala muncul mendadak dan
sering disertai nyeri kepala.
6. Stroke hemoragik biasanya terjadi pada saat penderita sedang beraktivitas
atau emosinya aktif. Gejala berupa nyeri kepala hebat seperti mau pecah
disertai muntah-muntah, kuduk menjadi kaku, dan kesadaran sering
terganggu.
Penilaian pasien yang diduga mengalami TIA (Trans Ischemic Attack) atau
stroke bergantung pada waktu yang telah dilewati dari onset gejala. Jika pasien
dinilai dalam 3-6 jam setelah onset stroke, fokus utama adalah untuk
menegakkan diagnosis stroke, tipe patologis dan keparahannya, dan apakah
reperfusi dini, atau terapi antiplatelet dan/atau endarterektomi karotis yang
mungkin diindikasikan. Jika pasien dinilai (atau dinilai kembali) setelah waktu
ini, fokusnya bukanlah pada terapi reperfusi, tetapi memastikan dan
meminimalkan risiko stroke ulang dan sekuel lain, serta komplikasi stroke.
Anamnesis harus memperoleh informasi tentang hal-hal berikut ini:
a. Karakteristik gejala dan tanda:
1) Modalitas yang terlibat (motorik, sensoris, visual).
2) Daerah anatomi yang terlibat (wajah, lengan, tangan, kaki, dan seluruh
atau sebagian tungkai, satu atau kedua mata).
3) Apakah gejala-gejala tersebut fokal atau nonfokal?
4) Apakah kualitanya negatif (misalnya hilangnya kemampuan sensoris,
hilangnya kemampuan motoris atau visual) ataukan positif (misalnya
menyebabkan sentakan tungkai limb jerking, tingling, halusinasi)?
b. Konsekuensi fungsional (misalnya tidak bisa berdiri, tidak bisa mengangkat
tangan).
c. Kecepatan onset dan perjalanan gejala neurologis:
1) Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)?
2) Apakah onset-nya mendadak?
3) Apakah gejala tersebut lebih minimal atau lebih maksimal saat onset;
apakah menyebar atau semakin parah secara bertahap, hilang timbul,
ataukah progresif dalam menit/jam/hari? Atau, apakah ada fluktuasi
antara fungsi normal dan abnormal?
d. Apakah ada kemungkinan presipitasi?
Apa yang pasien lakukan pada saat dan tidak lama sebelum onset?
e. Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai? Misalnya nyeri kepala,
kejang epileptik, panik dan anxietas, muntah, serta nyeri dada.
f. Apakah ada riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga yang
relevan?
1) Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu?
2) Apakah ada riwayat hipertensi, hypercholesterolaemia, diabetes melitus,
angina, myocardial infarction, intermittent claudication, atau arteritis?
3) Apakah ada riwayat penyakit vaskuler atau trombotik pada keluarga?
g. Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang relevan? (Merokok, konsumsi
alkohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan (khususnya obat kontrasepsi oral,
obat antitrombotik, antikoagulan, dan obat-obat rekreasional seperti
amfetamin).
Ketika seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita TIA atau stroke,
perlu dipastikan apakah kejadian tersebut vaskuler atau bukan.
Penilaian mengenai hal ini dimulai dengan, dan tergantung pada riwayat klinis
yang diambil dengan baik dan hati-hati (Ghofir, 2021).
Pemeriksaan neurologis pada pasien stroke akut harus dilakukan dengan cepat
karena adanya periode kritis. Sering terjadi kesalahan pada pemeriksaan ini,
khususnya jika tingkat kesadaran pasien tidak baik. Kondisi ini akan
menyulitkan anamnesis yang lengkap maupun pemeriksaan neurologis yang
tepat. Seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan dengan cepat pada
tanda-tanda pada mata dan kelainan kepala pada penderita stroke. Anggota
gerak bawah yang paresis akan mengalami eksorotasi dan postur tubuh
deserebrasi atau dekortikasi. Pola pernapasan pasien harus diawasi untuk
menilai adanya hambatan jalan napas atau kegagalan pernapasan. Selain itu,
harus diperharikan kelainan wajah disebabkan paresis nervus fasialis, yang
ditandai ketidakseimbangan fissura palpebra (ditandai dengan ptosis pada sisi
lesi, Sindrom Horner's atau gangguan penutupan kelopak mata). Selain itu,
dokter juga akan menilai tingkat kesadaran (Ghofir, 2021).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Stroke Hemoragik
Anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan
pencitraan dapat melengkapi evaluasi di bawah:
Stroke Non-
Gejala klinis PIS PSA
Haemoragik
Gejala defisit
Berat Ringan Berat/ringan
fokal
Awitan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada Tidak, kecuali
awalnya Sering Sering lesi di batang
otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering
Kaku kuduk Jarang Biasa ada Tidak ada
Kesadaran Bisa hilang
Biasa hilang Dapat hilang
sebentar
Hemiparesis Sering sejak Sering sejak
Awal tidak ada
awal awal
Deviasi mata Bisa ada Jarang Mungkin ada
Likuor Sering berdarah Berdarah Jernih
CT scan otak merupakan alat diagnostik utama pada stroke hemoragik.
2. Stroke Iskemik
a. Skor Stroke (Siriraj dan Gdjah Mada)

b. CT Scan dan MRI


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti.
Perbedaan antara perdarahan dan infark serebral tidak dapat dibuat
berdasarkan pemeriksaan klinis atau pemeriksaan cairan serebrospinal
(LCS), melainkan memerlukan CT scan/MRI. Semua pasien dengan
stroke akut harus menjalani pemindaian secepat mungkin. Pada CT
adanya daerah hipodens tampak beberapa jam setelah infark serebri,
sedangkan setelah perdarahan langsung timbul daerah hiperdens. Infark
batang otak, serebelum, dan infark kecil pada korteks seringkali tak
tampak. MRI lebih sensitif dalam mendeteksi stroke iskemik, namun
lebih mahal, pelaksanaannya makan waktu lebih lama, dan lebih
memerlukan kerja-sama pasien.
c. Pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi
Penyebab stroke yang lebih jarang harus dipertimbangkan, khususnya
pada pasien muda dan mereka yang tak memiliki faktor risiko.
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan, yakni pemeriksaan darah
lengkap, LED, kadar ureum, kreatinin, prothrombin time (PT), dan
activated partial thromboplastin time (PTT) (Rubenstein, 2005).
H. Penatalaksanaan
1. Umum
a. Nutrisi.
b. Hidrasi intravena: koreksi dengan NaCl 0,9% jika hipovo-lemik.
c. Hiperglikemi: koreksi dengan insulin skala luncur. Bila stabil, beri
insulin reguler subkutan.
d. Neurorehabilitasi dini: stimulasi dini secepatnya dan fisio-terapi gerak
anggota badan aktif maupun pasif.
e. Perawatan kandung kemih: kateter menetap hanya pada keadaan khusus
(kesadaran menurun, demensia, dan afasia global) (Dewanto, 2009).
2. Stroke Hemoragik
Manajemen stroke hemoragik pertama-tama ditujukan langsung pada
penanganan A (airway), B (breathing), C (circulation), D (detec-tion of focal
neurological deficit).
a. Terapi Perdarahan Intraserebral
1) Terapi Medik
Jalan napas dan oksigenasi dengan target pCO, 30-35 mmHg.
Kontrol tekanan darah. Penatalaksanaan tekanan darah tinggi sama
seperti pada stroke iskemik dengan syarat:
a) Tekanan darah diturunkan bila tekanan sistolik > 180 mmg atau
tekanan diastolik > 105 mmHg.
b) Pada fase akut tekanan darah tinggi, tekanan darah tidak boleh
diturunkan lebih dari 20%.
Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial:
a) Tindakan pengobatan pertama adalah osmoterapi, tapi tidak boleh
digunakan sebagai profilaksis. Manitol 20% 1 g/kg dalam 20
menit, dilanjutkan dengan 0,25-0,5 g/kg/4 jam dalam 20 menit.
Untuk mempertahankan gradien osmotik, furosemid (10 mg
dalam 2-8 jam) da-pat diberikan secara terus-menerus bersama
dengan osmoterapi.
b) Hiperventilasi dengan sasaran pCO, 35 mmHg.
c) Pengaturan cairan.
2) Terapi Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan:
a) Pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm yang secara
neurologis memburuk atau yang mengalami kompresi ba-tang
otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikular.
b) Perdarahan intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma,
malformasi arteriovena, atau angioma kaver-nosa dapat diangkat
jika keadaan pasier stabil.
c) Pasien usia muda dengan perdarahan lobus yang sedang atau
besar yang secara klinis memburuk.
Indikasi terapi konservatif dengan medikamentosa:
a) Pasien dengan perdarahan kecil (< 10 cm') atau defisit neurologi
yang minimal.
b) Pasien dengan GCS ≤ 4, ecuali dengan perdarahan serebelar
disertai kompresi batang otak, dapat menjadi kandidat untuk
pembedshan darurat dalam situasi klinis tertentu (Dewanto, 2009)
Prognosis bergantung pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke.
Kemungkinan hidup setelah menderita stroke bergantung pada lokasi,
ukuran, patologi lesi, serta usia pasien, dan penyakit yang menyertai
sebelum stroke.
Stroke hemoragik memiliki prognosis buruk. Pada 30 hari pertama risiko
meninggal 50%, sedangkan pada stroke iskemik hanya 10% (Dewanto,
2009).
3. Stroke Iskemik
a. Terapi spesifik stroke iskemik akut:
1) Trombolisis rt-PA intravena/intraarterial pada ≤ 3 jam setelah awitan
stroke dengan dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg). Sebanyak 10%
dosis awal diberi sebagai bentuk bolus, sisanya dilanjutkan melalui
infus dalam waktu 1 jam.
2) Antiplatelet: asam salisilat 160-325 mg/hari 48 jam setelah awitan
stroke atau Clopidogrel 75 mg/hr.
3) Obat neuroprotektif.
b. Hipertensi:
Pada stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan apabila tekanan
sistolik > 220 mmHg dan/atau te-kanan diastolik > 120 mmHg dengan
penurunan maksimal 20% dari tekanan arterial rata-rata (MAP) awal per
hari.
Panduan penurunan tekanan darah tinggi:
1) Bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140
mmHg berikan nikardipin (5-15 Mg/jam infus kontinu), diltiazem
(5-40 Mg/kg/menit infus kontinu) atau nimodipin (60 mg/4 jam PO).
2) Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140
mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmg pada dua kali
pengukuran tekanan darah dengan selang 20 menit atau pada
keadaan hipertensi gawat daru-rat (infark mikard, edema paru
kardiogenik, retinopati, nefropati, atau ensefalopati hipertensif)
dapat diberikan:
a) Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan
setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis
awal berupa bolus yang diikuti oleh labetalol drip 2-8 mg/menit.
b) Nikardipin.
c) Diltiazem.
d) Nimodipin.
3) Bila tekanan sistolik < 180 mmg dan tekanan diastolik < 105 mmg,
tangguhkan pemberian obat antihipertensi.
c. Trombosis vena dalam:
1) Heparin 5000 unit/12 jam selama 5-10 hari.
2) Low Molecular Weight Heparin (enoksaparin/nadroparin) 2 x 0,3-
0,4 IU SC abdomen.
3) Pneumatic boots, stoking elastik, fisioterapi, dan mobilisasi
(Dewanto, 2009).
4. Pencegahan
Pada Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia tahun 1999
dikemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan stroke yaitu
(Hutagaluh, 2019):
a. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang be-lum mempunyai faktor risiko. Pencegahan
primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan,
seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan
membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian
masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan
adalah program pendidikan keschatan masyarakat, dengan memberikan
informasi tentang penyakit stroke.
b. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang mempu-nyai faktor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke. Pencegahan primer
ditujukan pada orang-orang yang belum . pernah menderita stroke agar
tidak mendapat stroke. Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
primer penyakit stroke adalah:
1) Memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke dengan:
a) Menghindari merokok, stres mental, alkohol, kegemukan,
konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin,
kokain dan seje-nisnya.
b) Mengurangi kolesterol, lemak dalam makanan.
c) Mengendalikan penyakit yang merupakan faktor risiko stroke
seperti: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi
atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan
penyakit vaskular ateros-klerotik lainnya.
2) Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak
sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna,
minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang
rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta
dianjurkan berolah raga secara teratur.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada orang-orang yang pernah
mengalami stroke, agar tidak terjadi stroke ulangan. Pada tahap ini
ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak
berlanjut menjadi kronis. Bagi mereka yang pernah mendapatkan stroke
dianjurkan:
1) Modifikasi gaya hidup berisiko stroke dan faktor risiko stroke,
misalnya:
a) Hipertensi: diet, obat antihipertensi yang sesuai.
b) Diabetes mellitus: diet, obat hipoglikemik oral, insulin.
c) Penyakit jantung aritmik nonvalvular (antikoagulan oral).
d) Dislipidemia: diet rendah lemak dan obat antidislipidemia.
e) Berhenti merokok.
f) Hindari alkohol, kegemukan dan kurang gerak.
g) Hiperuricemia: diet antihipe-ruricemia.
h) Polisitemia.
2) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin dalam proses
pemulihan penderita.
3) Obat-obatan yang digunakan:
a) Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat
antiagregasi trombosit pilihan pertama, dengan dosis berkisar
antara 80-320mg sehari.
b) Antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor risiko
penyakit jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan
katup), kondisi koagulopati yang lain.
c) Clopidogrel dengan dosis 1x75mg. Merupakan pilihan obat an-
tiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau
mempunyai kontraindikasi terhadap asetosal (aspirin).
d) Tindakan invasif: Phlebotomi untuk polisitemia. Endarterktomi
karotis, dilakukan pada penderita yang simplomatik dengan
stenosis 70-90% unilateral. Dan tindakan bedah lainnya.
e) Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya
mengkonsumsi obat anti hipertensi yang sesuai pada penderita
hiper-tensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita
diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat
antidislipidemia pada penderi-ta dislipidemia, berhenti merokok,
berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan
dan kurang gerak. (Hutagaluh, 2019).
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier meliputi terapi fisik, latihan berbicara, terapi okupasi,
dan psikoterapi dengan tujuan agar individu yang telah menderita stroke
tidak mengalami serangan ulangan, kelumpuhan tidak bertambah berat,
dan agar individu ter-sebut dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari tanpa tergan-tung pada orang lain. Pencegahan tersier ini dapat
dilakukan dalam bentuk rehabibtasi mulai dari stadium akut, subakut,
dan kronik.
1) Rehabilitasi Stadium Akut. Sejak awal, tim rehabilitasi medik telah
dikutkan, terutama mobilisasi. Programnya segera dijalankan oleh
tim, biasanya latihan aktif dimulai sesudah prosesnya stab.l, 24-72
jam sesudah serangan, kecuali pada perdarahan. Sejak awal Speech
Therapist (ST) atau terapi wicara diikutsertakan untuk melatih otot-
otot menelan yang biasanya terganggu pada stadium akut, apalagi
kalau ada kesulitan bicara. Psikolog dan pekerja sosial medik (PSM)
untuk mengevaluasi status psikis, dan membantu kesulitan keluarga.
2) Rehabilitasi Stadium Subakut. Pada stadium ini kesadaran membaik,
penderita mulai menunjukkan tanda-tanda depresi, fungsi bahasa
dapat lebih terperinci. Pada pasca stroke pola kelemahan otot-nya
menimbulkan apa yang disebut hemiplegic posture. Kita berusaha
mencegahnya dengan cara pengaturan posisi, stimulasi sesai kondisi
pasien.
3) Rehabilitasi Stadium Kronik. Pada saat ini terapi kelompok telah
ditekankan, dimana terapi ini biasanya sudah dapat dimulai pada
akhir stadium subakut. Keluarga penderita lebih banyak dilibat-kan,
PSM dan psikolog harus lebih aktif (Hutagaluh, 2019).
Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fi-sik,
mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdi-ri dari
dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli
okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.
1) Rehabilitasi Fisik. Pada rehabilitasi ini, penderita mendapat • kan
terapi yang dapat membantu proses pemulihan secara fisik. Ada-pun
terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, di-
berikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita se-
perti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua
adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT),
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas se-har-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang
air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan
untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan
minuman de-ngan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang
lain.
2) Rehabilitasi Mental. Sebagian besar penderita stroke meng-alami
masalah emosional yang dapat mempengaruhi mental mereka,
misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak bahagia, murung
dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan
mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani
proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan
terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau
ahli psikologi klinis.
3) Rehabilitasi Sosial. Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan
untuk membantu penderita stroke menghadapi masalah sosial
seperti, mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan perorangan,
pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan
memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan
badan-badan bantuan sosial (Hutagaluh, 2019).
Etiologi: Aterosklerosis, trombus,
Etiologi: Hipertensi, trauma kepala
embolus, obat-obatan gaya hidup,
akibat kecelakaan, depresi tulang Defisit Perawatan Diri
tengkorak akibat fraktur, Total (Berpakaian,
psikologis, hipotermia, dan katup
Risiko
malformasiarteri venosa, Eliminasi, Mandi, Makan) Konstipasi jantung yang rusak, fibrilasi atrium,
aneurisma; kebiasaan merokok, dan endocarditis, serta komplikasi
alkoholisme. Risiko pembedahan jantung.
Tirah baring Dekubitus
Pecahnya pembuluh darah otak
Penyumbatan pembuluh darah
Hambatan
Dekubitus
STROKE HEMORRAGIC Mobilitas
STROKE ISKEMIK
Fisik
Kerusakan Kerusakan
Kerusakan Infark batang
Integritas pusat gerakan
Imobilisasi Integritas otak
Darah masuk kedalam jaringan otak motorik di Penurunan suplai
Kulit Jaringan
lobus frontalis darahdan O2
keotak
Hemiparesis
Darah membentuk massa/ hematoma Defisit Risiko
/Hemplagia Hipoksia sel otak
sensori Cidera
Defisit Defisit nervus
Penekanan pada jaringan otak motorik Defisit Penurunan kesadaran
kranialis Hambatan Lefleks batuk
komunikasi
Komunikasi menurun
Penurunan Kapasitas Verbal
Peningkatan TIK Penuruna
Adaptif Intrakranial Defisit Kesulitan menelan
nfungsi Penumpukan
perseps
otak Risiko
i secretdijalan
Jatuh Gangguan Menelan
Mual muntah Gangguan homeostatis Impuls saraf Penuruna Defisit napas
neuron nyeri diotak n kognitif Ketidakefektifan
Nausea kesadaran Bersihan Jalan Napas
Kelainan gelombang listrik otak Tindkan
Pemasangan NGT
Nyeri kepala invasif:
Pemasanga
ninfus dll Risiko Aspirasi
Nyeri Akut
Hiperaktif neuron

Kejang Risiko Risiko Trauma


Infeksi Vaskuler

Risiko Cidera Risiko Ketidakefektifan


Perfusi Jaringan Otak
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Primer

1) Airways: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya


penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
2) Breathing: Penggunaan otot bantu nafas, Kelemahan menelan/ batuk/
melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak
teratur,suara nafas terdengar ronchi/ aspirasi.
3) Circulation: Tekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi
terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap
dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut.
4) Disability : Status mental, Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan
GlascowComa Scale (GCS). Pemeriksaan neurologis secara cepat yaitu
meliputi tingkatkesadaran, ukuran dan reaksi pupil (isokor, anisokor,
atau midriasis). Pasien dengan cva akan mengalami gangguan
kesadaran jika terjadi ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Pupil kecil
dan ptosis pada sisi kelopak mata yang terkena. Mengalami gangguan
motorik seperti hemiplegia, hemiparesis, dan mengalami gangguan
sensorik seperti defisit dalam pendengaran, pengelihatan dan indra
penciuman.
5) Exposure : Pada pasien stroke non hemoragik biasanya jarang terjadi
trauma. Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dan keadaan
ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST.
b. Sekunder

1) Identitas

Perlu ditanyakan: nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, agama,


nomor register, pendidikan, tanggal MRS, serta pekerjaan yang
berhubungan dengan stress atau sebab dari lingkungan yang tidak
menyenangkan. Identitas tersebut digunakan untuk membedakan
antara pasien yang satu dengan yang lain dan untuk menentukan
resiko penyakit CVA. usia di atas 55 tahun merupakan resiko tinggi
terjadinya serangan stroke.Jenis kelamin : laki-laki lebih tinggi 30%
di banding wanita. Ras: kulit hitam lebih tinggi angkak
ejadiannya. Keluhan utama Biasanya klien datang ke rumah sakit
dalam kondisi: penurunan kesadaran atau koma serta disertai
kelumpuhan dankeluhan sakit kepala hebat bila masih sadar
2) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan


mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai penurunan kesadaran
pada klien secara PQRST.
3) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes


mellitus, penyakit jantung (terutama aritmia), penggunaan obat-
obatan anti koagulan, aspirin, vasodilator, obesitas. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alkohol dan penyalahgunaan obat (kokain).
Diagnosa Keperawatan

1. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial

2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas

3. Ketidakefektifan Pola Nafas

4. Hambatan Mobilitas Fisik

5. Nyeri Akut

6. Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

7. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh

8. Kerusakan Integritas Jaringan

9. Kerusakan Integritas Kulit

10. Risiko Dekubitus

11. Gangguan Menelan

12. Risiko Aspirasi


13. Risiko Trauma Vaskuler

14. Risiko Cidera

15. Risiko Infeksi

16. Risiko Jatuh

17. Defisit Perawatan Diri Total (Berpakaian, Eliminasi, Mandi, Makan)

18. Hambatan Komunikasi Verbal


ASUHAN KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

Hambatan Mobilitas Fisik Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Hambatan Komunikasi Verbal
Otak (00201)
NOC: Pergerakan NOC: Komunikasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan NOC: Perfusi Jaringan: Serebral Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 x 8 jam, hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam klien mampu melakukan
teratasi dengan kriteria hasil: selama 1x8 jam, diharapkan masalah risiko komunikasi baik verbal maupun nonverbal
1. Peningkatan pergerakan/aktivitas klien ketidakefektifan perfusi jaringan otak pasien dengan kriteria hasil:
2. Dapat menggunakan alat bantu ambulasi teratasi dengan kriteria hasil: 1. Menggunakan bahasa lisan
1. Tidak terjadi tanda-tanda peningkatan TIK 2. Menggunakan bahasa isyarat/ non verbal
NIC: Terapi Latihan: Ambulasi 2. Tidak terjadi kejang 3. Mengenali pesan yang diterima
1. Kaji kemampuan mobilisasi
2. Bantu pasien duduk di sisi tempat tidur NOC: Status Neurologi NIC: Peningkatan Komunikasi: Kurang
3. Bantu pasien untuk melakukan ROM 1. Tekanan darah sistolik dan diastole dalam Bicara
4. Sediakan alat bantu untuk ambulasi rentang normal 1. Kenali emosi dan perilaku fisik pasien
NIC: Peningkatan Latihan 2. Pupil isokor dan reaktif sebagai bentuk komunikasi
1. Gali hambatan untuk melakukan latihan NIC: Monitor Neurologi 2. Sesuaikan gaya komunikasi untuk
2. Bantu klien untuk memulai dan 1. Perawat memonitor ukuran, bentuk, memenuhi kebutuhan pasien dan bantu
melanjutkan latihan kesimetrisan dan reaktivitas pupil keluarga dalam memahami pembicaraan
3. Monitor respon klien terhadap program 2. Perawat memonitor tingkat kesadaran dan dengan pasien.
latihan GCS 3. Ungkap pertanyaan dimana pasien mampu
3. Memonitor TTV setiap 60 menit menjawab dengan sederhana (ya/tidak).
4. Perawat memonitor tanda-tanda 4. Kolaborasi bersama keluarga dan ahli
peningkatan TIK bahasa patologis untuk mengembangkan
5. Monitor refleks kornea dan refleks batuk rencana agar bisa berkomunikasi dengan
6. Monitor tonus otot, pergerakan motoric, efektif.
tremor dan kesimetrisan wajah NIC: Peningkatan Perfusi Serebral
7. Catat adanya keluhan sakit kepala 1. Libatkan keluarga, dalam perawatan pasien
NIC: Peningkatan Perfusi Serebral 2. Anjurkan hubungan dengan orang-orang
1. Minimalkan pergerakan kepala yang memiliki minat dan tujuan yang sama.
2. Posisikan kepala pasien dengan head up
15o-30o derajat
3. Kolaborasi pemberian terapi farmakologi
4. Monitor efek samping pemberian terapi
Defisit Perawatan Diri Total (Berpakaian, Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial Kerusakan Integritas Kulit
Eliminasi, Mandi, Makan) (00049)
NOC: Penyembuhan Luka: Primer &
NOC: Perawatan Diri (Mandi, Berpakaian, NOC: Status Neurologi Sekunder
Eliminasi, Makan) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam diharapkan masalahpenurunan selama 1x8 jam jam diharapkan:
selama 1x8 jam klien memperoleh perawatan kapasitas adaftif intrakranial klien dapat 1. Perfusi kulit baik.
diri dengan kriteria hasil: teratasi dengan kriteria hasil: 2. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada
1. Dapat melakukan ADL 1. Kesadaran luka
2. Terhindar dari bau badan 2. Tekanan Intrakranial
3. Makanan terpenuhi NIC: Perawatan Luka
4. BAB/BAK tidak terganggu 1. Perawat memonitor karakteristik luka klien
NIC: Bantuan Perawatan Diri (Mandi, NIC: Monitor Neurologi dari drainase, warna, ukuran dan bau luka.
Berpakaian, Eliminasi, Makan) 1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan dan 2. Perawat melakukan perawatan luka klien
1. Monitor kemampuan klien dalam reaktivitas pupil dengan cara teknik steril dan pastikan
perawatan diri secara mandiri 2. Monitor tingkat kesadaran dan GCS balutan luka tetap kering dan bersih.
2. Monitor kebutuhan klien terhadap alat-alat 3. Monitor ttv tiap 60 menit 3. Monitor adanya tanda-tanda infeksi pada
bantu yang diperlukan untuk menyeka dan 4. Monitor tanda-tanda peningkatan TIK luka.
oral hygine, kebutuhan untuk makan, untuk 5. Monitor reflex kornea dan reflex batuk 4. Kolaborasi untuk pemberian terapi
berpakaian dan berhias, untuk eliminasi 6. Monitor tonus otot, pergerakan motorik, farmakologi.
atau membantu bAB dan BAK dengan tremor dan kesimetrisan wajah NIC: Manajemen Tekanan
pispot atau diapers. 7. Catat adanya keluhan sakit kepala 1. Hindari kerutan dan jaga agar tempat tidur
3. Berikan bantuan pada klien untuk tetap kencang.
memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2. Jaga kebersihan kulit klien.
4. Ajarkan keluarga dan latih untuk selalu 3. Mobilisasi klien setiap 2 jam sekali.
membantu klien memenuhi kebutuhan baik 4. Pakaikan klien pakaian yang longgar.
mandi, berpakaian, eliminasi dan makan.
5. Beri bantuan jika klien ingin makan tetapi
tidak dapat menelan dengan pasang NGT
Nausea Kerusakan Integritas Jaringan Gangguan Menelan

NOC: Keparahan Mual & Muntah NOC: Penyembuhan Luka: Primer & NOC: Status Menelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Sekunder
selama 1x8 jam diharapkan:
1. Mual dan muntah tidak terjadi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8
2. Tidak ada peningkatan sekresi saliva selama 1x8 jam diharapkan: jam diharapkan masalah gangguan menelan
NIC: Manajemen Mual 3. Perfusi kulit baik. klien dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1. Kaji gejala mual pasien 4. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada 1. Menunjukkan kemampuan menelan
2. Observasi tanda ketidaknyamanan non luka. 2. Menunjukkan kenyamanan menelan
verbal NOC: Integritas Jaringan: Kulit & NIC: Terapi Menelan
3. Ajarkan teknik non farmakologi untuk Membran Mukosa 1. Pantau hidrasi tubuh (turgor kulitdan
manajemen mual 1. Integritas jaringan bias dipertahankan. membrane mukosa)
4. Kolaborasi pembeian anti emetik untuk 2. Ketebalan dan tekstur jaringan dalam 2. Pantau tanda dan gejala aspirasi
mengurangi mual. keadaan normal. 3. Berikan perawatan mulut jika diperlukan
5. Atur posisi klien untuk mengoptimalkan NIC: Perawatan Luka 4. Bantu klien untuk melekatkan makanan di
perfusi. 1. Perawat memonitor karakteristik luka klien bagian yang tidak sakit
6. Evaluasi dampak adanya mual terhadap dari drainase, warna, ukuran dan bau luka. 5. Berikan makanan sedikit tapi sering
kualitas hidup klien. 2. Perawat melakukan perawatan luka klien 6. Hindari penggunaan sedotan untuk minum
dengan cara teknik steril dan pastikan 7. Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis
balutan luka tetap kering dan bersih. makanan yang dapat diberikan pada klien
3. Monitor adanya tanda-tanda infeksi pada
luka.
4. Kolaborasi untuk pemberian terapi
farmakologi.
NIC : Manajemen Tekanan
1. Hindari kerutan dan jaga agar tempat tidur
tetap kencang.
2. Jaga kebersihan kulit klien.
3. Mobilisasi klien setiap 2 jam sekali.
4. Pakaikan klien pakaian yang longgar.
Risiko Aspirasi Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Risiko Cidera

NOC: Pencegahan Aspirasi NOC: Status pernafasan (0415) NOC: Pengetahuan Keamanan Pribadi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 60 (1809)
selama 1 x 30 menit diharapkan masalah risiko menit diharapkan ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan
aspirasi klien tidak terjadi dengan kriteria teratasi, dengan kriteria hasil: selama 3 x24 jam diharapkan:
hasil: 1. Frekuensi pernafasan teratasi dari deviasi 1. Klien dapat memodifikasi gaya hidup &
1. Jalan nafas klien paten yang cukup berat dari kisaran normal lingkungan untuk mencegah cidera.
2. Klien mudah bernafas dan tidak merasa menjadi deviasi ringan dari kisaran normal 2. Klien mampu melakukan teknik untuk
tercekik 2. Irama pernafasan teratasi dari deviasi yang mencegah terjadinya cidera.
3. Tidak terdengar ada suara nafas tambahaan cukup berat dari kisaran normal menjadi
4. Tidak terjadi aspirasi deviasi ringan dari kisaran normal NIC: Manajemen Lingkungan
NOC: Status Pernafasan 3. Kedalaman inspirasi teratasi dari deviasi 1. Anjurkan pasien dan keluarga
1. Irama nafas normal yang cukup berat dari kisaran normal menyediakan lingkungan yang aman.
2. Frekuensi nafas normal menjadi deviasi ringan dari kisaran normal 2. Memindahkan barang-barang yang dapat
3. Saturasi oksigen normal 4. Kepatenan jalan nafas teratasi dari deviasi membahayakan pasien.
yang cukup berat dari kisaran normal 3. Mendekatkan barang-barang yang
NIC: Pencegahan Aspirasi (3200) menjadi deviasi ringan dari kisaran normal diperlukan pasien dari jangkauan pasien.
1. Perawat memonitor tingkat kesadaran, 5. Atur posisi pasien semi fowler 4. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien
refleks batuk dan kemampuan menelan sesuai dengan kondisi fisik.
2. Memonitor jalan nafas dan suara nafas 5. Anjurkan pasien untuk menghindari
tambahan NIC: Monitor Pernafasan kegiatan atau lingkungan yang berbahaya.
3. Perthankan kepatenan jalan nafas 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
4. Lakukan pemasangan OPA atau ETT kesulitan bernapas
5. Lakukan suction jika diperlukan 2. Monitor suara napas tambahan (Ronkhi)
6. Berikan hiperoksigenasi dengan 100% 3. Monitor pola napas
oksigen menggunakan baging manual jika 4. Monitor saturasi oksigen pasien
diperlukan 5. Auskultasi suara napas, catat dimana terjadi
NIC: Penghisapan Lendir pada Jalan Nafas penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
1. Auskultasi suara nafas klien sebelum dan keberadaan suara naas tambahan.
sesudah dilakukan tindakan suction 6. Monitor keluhan sesak napas pasien
2. Monitor status respirasi klien selama termasuk kegiatan yang dapat
dilakukan suctioning (frekuensi nafas, memperburuk sesak napas tersebut
irama nafas, dan saturasi oksigen) 7. Berikan bantuan terapi oksigen yang tepat
3. Lakukan tindakan cuci tangan sebelum dan sesuai kebutuhan
sesudah tindakan keperawatan NIC: Manajemen Jalan Nafas
4. Gunakan APD 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
5. Berikan oksigen selama 30 detik sebelum ventilasi
dan setelah tindakan suction 2. Lakukan fisioterapi dada sebagaimana
6. Monitor dan catat warna, jumlah dan mestinya
konsistensi sekret 3. Buang sekret dengan memotivasi pasien
untuk melakukan batuk atau menyedot
lendir
Risiko Infeksi Risiko Konstipasi Risiko Dekubitus

NOC: Kontrol risiko: proses infeksi NOC: Eliminasi Usus NOC: Integritas Jaringan: kulit dan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 60 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Membran Mukosa
menit diharapkan risiko infeksi dengan kriteria selama 1x8 jam, diharapkan konstipasi klien Setelah dilakukan tindakan keperawatan
hasil: teratasi. selama (3x15 menit) kerusakan integritas kulit
1. Mengidentifikasi faktor risiko infeksi Kriteria Hasil: klien dapat diatasi dengan kriteria hasil klien
2. Mengenali faktor risiko individu terkait 1. Pola eliminasi akan,
infeksi 2. Feses lembut dan berbentuk Kriteria hasil:
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi 3. Pengeluaran feses tanpa bantuan 1. Integrita kulit yang baik dapat
4. Mempertahankan lingkungan yang bersih 4. Nyeri pada saat BAB dipertahankan
5. Memonitor perubahan status kesehatan 2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
NIC: Manajemen Konstipasi 3. Mampu melindungi kulit dan
NIC: Perlindungan infeksi 1. Monitor tanda dan gejala konstipasi. mempertahankan keseimbangan kulit dan
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi 2. Monitor hasil produksi pergerakan usus perawatan alami
sistemik dan local (feses), meliputi frekuensi, konsistensi,
2. Monitor kerentanan infeksi bentuk, volume dan warna. NIC: Perawatan kulit
3. Periksa kulit dan selaput lendir untuk 3. Dukung peningkatan asupan cairan, jika 1. Monitor karakteristik luka
adanya kemerahan, kehangatan ekstrim tidak ada kontraindikasi. 2. Bersihkan luka dengan normal saline atau
atau drainase 4. Instruksikan pada pasien/keluarga diet pembersih yang bersifat nonracun
tinggi serat dengan cara yang tepat. 3. Pelihara teknik steril ketika dilakukan
perawatan pada luka
4. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai 5. Tinjau ulang pola diet, jumlah, dan tipe 4. Ubah posisi pasien
tanda dan gejala infeksi dan kapan harus masukan cairan. 5. Intruksikan pasien atau anggota keluarga
melaporkannya ke pelayanan kesehatan mengetahui prosedur perawatan luka
6. Intruksikan pasien dan keluarga tentang
NIC: Manajemen Pengobatan tanda dan gejala dari infeksi
1. Tentukan obat apa yang diperlukandan 7. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran dan
kelola menurut resepdan protocol perubahannya.
2. Monitor pasien mengenai efek terapeutik
obat
3. Konsultasi dengan professional perawatan
kesehatan lainnya untuk meminimalkan
jumlah dan frekuensi obat yang dibutuhkan
agar didapatkan efek trapeutik.
4. Monitor efek samping obat.
Nyeri Akut Risiko Jatuh Risiko Trauma Vaskuler

NOC: Kontrol Nyeri NOC: Kontrol Risiko NOC: Kontrol Risiko


Setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 X 20 menit, diharapkan nyeri klien selama 1x8 jam diharapkan: selama 1x8 jam diharapkan:
berkurang. 1. Klien mengetahui strategi mengatasi risiko 1. Klien bebas dari tanda gejala flebitis
Kriteria Hasil: jatuh (kemerahan, edema, nyeri tekan)
1. Klien mampu mengontrol nyeri (tahu 2. Klien menunjukan sikap melindungi diri 2. Suhu tubuh normal (36-37,5’C)
penyebab nyeri, mampu menggunakan dari jatuh 3. Jumlah leukosit normal (4,0-10,5 ribu/uL).
tehnik non farmakologi untuk mengurangi 3. Klien tidak mengalami jatuh NIC: Kontrol Infeksi
nyeri, mencari bantuan) 1. Perawat melakukan monitor terhadap
2. Mampu mengenali nyeri (factor NIC: Manajemen Lingkungan tanda gejala infeksi sistemik dan lokal pada
predisposisi, intensitas, lokasi, skala, 1. Anjurkan pasien dan keluarga klien
waktu). menyediakan lingkungan yang aman. 2. Perawat memonitor hasil angka leukosit
3. Mampu mengontrol nyeri. 2. Memindahkan barang-barang yang dapat dan hasil lab
membahayakan pasien. 3. Batasi pengunjung untuk meminimalkan
NIC: Manajemen Nyeri 3. Mendekatkan barang-barang yang penyebaran patogen
1. Perawat melakukan pengkajian nyeri (lokasi, diperlukan pasien dari jangkauan pasien. 4. Inspeksi kulit di sekitar area pemasangan
karakteristik, durasi dan factor penyebab). 4. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien infus (kemerahan, edema, nyeri tekan)
2. Ajarkan pasien mengenai teknik manajemen sesuai dengan kondisi fisik. 5. Lepas infus jika ada tanda-tanda flebitis.
nyeri non farmakologi (teknik relaksasi atau 5. Anjurkan pasien untuk menghindari
messege). kegiatan atau lingkungan yang berbahaya.
3. Tingkatkan istirahat
4. Berikan analgesic sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R., Abdullah, D., Sjaaf, F., & Purnama Dewi, N. 2020. Pelatihan Deteksi
Dini Stroke “Metode Fast” Pada Lansia Di Nagari Jawijawi Kabupaten
Solok Sumatera Barat. Seminar Nasional ADPI Mengabdi Untuk Negeri,
1(1), 25–32. https://doi.org/10.47841/ADPI.V1I1. 19.
American Heart Association (AHA). 2015. Health Care Research : Coronary Heart
Disease. American Heart Association Journals.
Dewanto, G. (2009). Panduan praktis Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf.
EGC.
EduNers, T., & Hidayat, A. A. (2021). Buku Pengayaan Uji Kompetensi
Keperawatan Gerontik. Health Books Publishing.
Ghofir, A. (2021). Tatalaksana Stroke dan Penyakit Vaskuler Lainnya. UGM
PRESS.
Hutagaluh, M. S. (2019). Panduan Lengkap Stroke: Mencegah, Mengobati dan
Menyembuhkan. Nusamedia.
Indrawati, L., Sari, W., & Catur Setia Dewi, A. M. F. (2016). Care yourself stroke.
Penebar PLUS+.
Kemenkes RI. 2017. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Pengendalian Stroke
di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 20–23.
Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. 2017. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, H. 2015. Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus
(Jilid 2.). Yogjakarta: Mediaction Publishing.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus
(1st ed.). Jogjakarta: Mediaction Publishing.
Oxyandi, M., & Utami, A. S. 2020. Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Dan Latihan
Rom (Range Of Motion) Pada Asuhan Keperawatan Pasien Stroke Non
Hemoragik. Jurnal Kesehatan: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, 10(01), 25-37.
Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2005). Kedokteran Klinis Ed. 6. Jakarta:
PT Gelora Aksara Safitri.
Siti, Tarwoto, Wartonah. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 4.Jakarta : CV
Sagung Seto.
Sodikin, S., Asiandi, A., & Bermawi, Sarwito Rahmad. 2022. Metode Fast Untuk
Pengenalan Segera Stroke Bagi Warga Muhammadiyah Sodikin ETHOS:
Jurnal Penelitiandan Pengabdian kepada Masyarakat.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/ethos/article/view/8324/pdf.
V.A.R.Barao, et al. 2022. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cva (Cerebrovascular
Accident) Dengan Masalah Keperawatan Defisit Perawatan Diri Studi. Braz
Dent J., vol. 33, no. 1, pp. 1–12.

Anda mungkin juga menyukai