TENTANG
BUPATI SLEMAN,
2
Dengan Persetujuan Bersama
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
3
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
6. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.
7. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan Lingkungan Hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya.
8. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air adalah perencanaan
yang memuat potensi, masalah, dan upaya Perlindungan dan Pengelolaan
Mutu Air dalam kurun waktu tertentu.
9. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
10. Badan Air adalah air yang terkumpul dalam suatu wadah baik alami
maupun buatan yang mempunyai tabiat hidrologikal, wujud fisik, kimiawi,
dan hayati.
11. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha
untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
12. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
13. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting pada Lingkungan Hidup
dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk
digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan
Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
14. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah rangkaian
proses pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup yang dituangkan
dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan
keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
4
15. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah keputusan yang
menyatakan kelayakan Lingkungan Hidup dari suatu rencana Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.
16. Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah standar
pengelolaan Lingkungan Hidup dan pemantauan Lingkungan Hidup dari
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang telah mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah bagi Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib UKL/UPL.
17. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Hidup yang selanjutnya disebut SPPL adalah pernyataan kesanggupan
dari penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan
pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup atas Dampak
Lingkungan Hidup dari Usaha dan/atau Kegiatannya di luar Usaha dan
atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.
18. Persetujuan Pemerintah adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan
kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah.
19. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat
menimbulkan perubahan terhadap rona Lingkungan Hidup serta
menyebabkan dampak terhadap Lingkungan Hidup.
20. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada
Lingkungan Hidup yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
21. Dampak Penting adalah perubahan Lingkungan Hidup yang sangat
mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
22. Formulir UKL-UPL adalah isian ruang lingkup UKL-UPL.
23. Formulir UKL-UPL Standar Spesifik adalah isian ruang lingkup UKL-UPL
dalam bentuk standar pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup
yang dikeluarkan oleh Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
yang membidangi sektor bidang usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL.
24. Formulir Kerangka Acuan adalah isian ruang lingkup kajian analisis
Dampak Lingkungan Hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
25. Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Andal
adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang Dampak penting
suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
26. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL
adalah upaya penanganan dampak terhadap Lingkungan Hidup yang
ditimbulkan akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
5
27. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL
adalah upaya pemantauan komponen Lingkungan Hidup yang terkena
dampak akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
28. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Rinci yang selanjutnya disebut
RPL Rinci adalah upaya pemantauan komponen Lingkungan Hidup yang
terkena dampak akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
berada dalam Kawasan yang sudah memiliki Amdal Kawasan.
29. Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat TUKLH
adalah tim yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup
yang berkedudukan di pusat dan daerah untuk melakukan uji kelayakan.
30. Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup adalah lembaga yang dibentuk
oleh pemerintah pusat untuk melakukan uji kelayakan.
31. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat DELH
adalah dokumen evaluasi Dampak Penting pada Lingkungan Hidup
terhadap usaha dan/atau Kegiatan yang telah berjalan untuk digunakan
sebagai instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
32. Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat
DPLH adalah dokumen evaluasi dampak tidak penting pada Lingkungan
Hidup terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang telah berjalan untuk
digunakan sebagai instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
33. Kompensasi adalah sarana dan/atau prasarana di bidang Lingkungan
Hidup yang disediakan oleh penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
sebagai akibat dari tidak terpenuhinya persyaratan administrasi Usaha
dan/atau Kegiatan.
34. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman, selanjutnya disebut
RTRW, adalah arahan kebijakan, strategi, dan rencana pemanfaatan
ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan ruang
wilayah daerah yang merupakan dasar dalam penyusunan program
pembangunan.
35. Baku Mutu Lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur Lingkungan Hidup.
36. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
6
Lingkungan Hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu Lingkungan Hidup yang telah ditetapkan.
37. Perusakan Lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati Lingkungan Hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan Lingkungan Hidup.
38. Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati Lingkungan Hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan Lingkungan Hidup.
39. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati Lingkungan Hidup yang
dapat ditenggang oleh Lingkungan Hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya.
40. Baku Mutu Air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
41. Baku Mutu Air Limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
Air Limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air dan tanah
dari suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
42. Mutu Udara adalah ukuran kondisi udara pada waktu dan tempat
tertentu yang diukur dan/atau diuji berdasarkan parameter tertentu dan
metode tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
43. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak Lingkungan Hidup, dan/atau
membahayakan Lingkungan Hidup, serta kelangsungan hidup manusia
dan makhluk hidup lain.
44. Limbah adalah sisa suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
45. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut Limbah
B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
46. Persetujuan Teknis adalah persetujuan dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah berupa ketentuan mengenai standar Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan/atau analisis mengenai dampak
lalu lintas Usaha dan/atau Kegiatan sesuai peraturan perundang-
undangan.
7
47. Surat Kelayakan Operasional yang selanjutnya disingkat SLO adalah surat
yang memuat pernyataan pemenuhan mengenai standar Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Usaha dan/atau Kegiatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
48. Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah
berdampak pada Lingkungan Hidup.
49. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
50. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan Usaha dan/atau Kegiatan pada bidang tertentu.
51. Sistem Informasi Lingkungan Hidup adalah sistem kombinasi dari
teknologi informasi dan aktivitas orang yang menggunakan teknologi
untuk mendukung operasi dan manajemen Lingkungan Hidup.
52. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
53. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
54. Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
55. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
56. Daerah adalah Kabupaten Sleman.
57. Bupati adalah Bupati Sleman.
58. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
59. Instansi Pemerintah adalah kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian/instansi Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan
pada bidang tertentu.
8
Pasal 2
Pasal 3
9
f. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi Lingkungan
Hidup, terutama sebagai kawasan resapan air;
g. meningkatkan kesadaran, komitmen dan tanggung jawab berbagai pihak
dalam upaya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah;
h. mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam menjamin terpenuhinya
keadilan antar dan intergenerasi; dan
i. mengantisipasi isu lingkungan global dan dampak perubahan iklim pada
tingkat Daerah.
Pasal 4
BAB II
KEWENANGAN
Pasal 5
10
i. melaksanakan standar pelayanan minimal;
j. mengakomodasi nilai budaya dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah;
k. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat Daerah;
l. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
m. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan di
bidang Lingkungan Hidup;
n. mengembangkan dan menerapkan instrumen Lingkungan Hidup;
o. memfasilitasi penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup; dan
p. melakukan penegakan hukum Lingkungan Hidup pada tingkat
Daerah.
BAB III
KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
Pasal 6
11
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko Lingkungan Hidup.
Pasal 7
12
h. penyediaan sarana dan prasarana pengendalian Lingkungan Hidup yang
memadai;
i. pengembangan dan/atau pengelolaan sistem informasi dan teknologi yang
mendukung upaya pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan;
j. perluasan dan penguatan partisipasi rakyat dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah;
k. pengembangan kearifan lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Daerah;
l. kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak secara efektif, efisien,
dan saling menguntungkan dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Daerah;
m. pemulihan fungsi Lingkungan Hidup; dan
n. penegakan hukum lingkungan secara konsisten dan terpadu.
BAB IV
PERENCANAAN DAN PEMANFAATAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 8
Paragraf 1
Identifikasi dan Inventarisasi Fungsi Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 9
13
(2) Data dan informasi geospasial dan non-geospasial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperlukan untuk penyusunan RPPLH Daerah dan disajikan
dalam bentuk:
a. peta dengan skala 1:100.000 (satu banding seratus ribu); 1:50.000
(satu banding lima puluh ribu); 1:25.000 (satu banding dua puluh
lima ribu); atau 1:10.000 (satu banding sepuluh ribu) untuk data
geospasial; dan
b. bentuk lain bukan peta untuk data non-geospasial.
Paragraf 2
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air Daerah
14
Pasal 10
(3) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b
mengacu pada hasil inventarisasi dan penetapan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
(5) Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air Daerah disusun dan
ditetapkan oleh Bupati setelah berkoordinasi dengan Gubernur dan
mendapatkan pertimbangan teknis dari Menteri.
Pasal 11
(1) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air Daerah diterapkan pada
DAS.
15
(4) Hasil pemantauan mutu air sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diintegrasikan ke dalam Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah dan
digunakan sebagai dasar penentuan status mutu air.
(5) Status mutu air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai
dasar untuk:
a. menetapkan rencana pencegahan pencemaran air dan pemeliharaan
mutu air di Daerah untuk status mutu air yang baik; dan
b. menetapkan mutu air sasaran dan rencana pengendalian mutu air
untuk status mutu air yang tercemar.
Pasal 12
Baku mutu air tanah, air permukaan dan air Limbah menggunakan baku
mutu yang ditetapkan oleh Gubernur atau baku mutu tingkat nasional.
Pasal 13
(2) Sumber pencemar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tingkat Daerah
terdiri atas sektor:
a. industri;
b. domestik;
c. pertambangan;
d. pertanian dan perkebunan;
e. perikanan air tawar;
f. peternakan; dan
g. sektor lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Daerah
16
Pasal 14
Pasal 15
17
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
(2) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Daerah paling sedikit
memuat:
a. pemanfaatan sumber daya alam;
b. pengendalian pencemaran udara;
c. pemeliharaan sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
(3) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Daerah disusun dan
ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Gubernur dan mendapatkan
pertimbangan teknis dari Menteri.
Paragraf 4
Penyusunan dan Penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
18
Pasal 19
(2) RPPLH Daerah memuat kondisi dan indikasi daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup di Daerah, permasalahan dan target
Lingkungan Hidup, serta arahan RPPLH Daerah.
(4) RPPLH Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar
penyusunan dan dimuat dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang Daerah; dan
b. rencana pembangunan jangka menengah Daerah.
Bagian Kedua
Pemanfaatan
Pasal 20
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan daya dukung dan
daya tampung Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum di dalam
RPPLH Daerah.
19
(3) Pemanfaatan udara dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan dan berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu
Udara Daerah.
Pasal 21
BAB V
INTEGRASI PERSETUJUAN LINGKUNGAN DALAM PERIZINAN BERUSAHA DI
DAERAH
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Di Daerah
Pasal 22
20
(4) Persyaratan dasar Perizinan Berusaha meliputi:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. Persetujuan Lingkungan; dan
c. persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.
Bagian Kedua
Persetujuan Lingkungan
Pasal 23
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki Dampak Penting atau
tidak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Persetujuan
Lingkungan.
Pasal 24
21
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. denda administratif;
d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
e. pencabutan perizinan berusaha.
Pasal 25
Pasal 26
(1) Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a wajib dimiliki oleh
setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki Dampak Penting
terhadap Lingkungan Hidup.
22
Pasal 27
Pasal 28
(1) SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c wajib dimiliki oleh
setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak memiliki Dampak
Penting terhadap Lingkungan Hidup dan tidak termasuk dalam kriteria
wajib UKL-UPL.
Pasal 29
(1) Proses Perizinan Berusaha bagi setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan
yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dilakukan secara terintegrasi melalui Sistem Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission).
23
(2) Untuk menentukan rencana Usaha dan/atau Kegiatan wajib memiliki
Amdal, UKL-UPL, atau SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan melakukan proses
penapisan secara mandiri.
(4) Apabila dalam kurun 7 (tujuh) hari kerja Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup
belum memberikan tanggapan berarti penapisan dianggap benar dan
dapat melanjutkan penyusunan dokumen lingkungan sesuai hasil
penapisan mandiri.
(5) Dalam hal penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan tidak dapat
melakukan penapisan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan mengajukan
penetapan penapisan dari Perangkat Daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup.
Pasal 30
24
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan
sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar
budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar
untuk mempengaruhi Lingkungan Hidup.
Pasal 31
25
strategis yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan
rinci sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang dilakukan di dalam
dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung yang
dikecualikan;
e. merupakan kegiatan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang
dilakukan dalam rangka penelitian dan bukan untuk tujuan
komersial;
f. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berada di dalam Kawasan
yang telah dilengkapi dengan Amdal Kawasan dan Persetujuan
Lingkungan Kawasan;
g. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berada di dalam kawasan
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, Usaha dan/atau
Kegiatan di dalam kawasan dipersyaratkan menyusun RKL-RPL rinci
yang telah dilengkapi dengan Amdal Kawasan dan Persetujuan
Lingkungan Kawasan;
h. dilakukan dalam kondisi tanggap darurat bencana;
i. dalam rangka pemulihan fungsi Lingkungan Hidup yang dilakukan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah di kawasan yang tidak
dibebani Perizinan Berusaha; dan/ atau
j. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal dan berbatasan
langsung atau berada dalam kawasan lindung, yang telah
mendapatkan penetapan pengecualian wajib Amdal dari instansi
yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan
kawasan lindung.
26
(3) Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang dikecualikan dari Amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, dan
huruf j wajib memiliki UKL-UPL atau SPPL sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan dalam bentuk
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan
oleh pengelola Kawasan dan menjadi prasyarat Perizinan Berusaha Pelaku
Usaha di dalam Kawasan.
(7) Tata cara pengecualian Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Ketiga
Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional
Pasal 32
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan wajib Amdal atau UKL-UPL harus
dilengkapi Persetujuan Teknis.
(3) Persetujuan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemenuhan baku mutu air limbah;
27
b. pemenuhan baku mutu emisi;
c. pengelolaan Limbah B3; dan/atau
d. analisis mengenai dampak lalu lintas.
Pasal 33
Pasal 34
(1) Penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-
UPL yang melakukan pembuangan emisi wajib mengajukan permohonan
Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b.
(3) Bagi Usaha dan/atau Kegiatan wajib Amdal atau UKL UPL yang
melakukan kegiatan penyimpanan LB3 wajib menyusun rincian teknis.
Pasal 35
28
(2) SLO digunakan sebagai dasar:
a. dimulai operasional Usaha dan/atau Kegiatan; dan
b. pengawasan ketaatan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
dalam Perizinan Berusaha.
Pasal 36
BAB VI
KELAYAKAN LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup
29
Pasal 37
(2) Bupati dapat mengusulkan lebih dari 1 (satu) TUKLH kepada Lembaga
Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dalam hal jumlah Amdal yang harus
dilakukan uji kelayakan sangat tinggi.
Pasal 38
Pasal 39
30
(2) Ketua dan kepala sekretariat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b dijabat oleh pejabat yang menangani Amdal atau
Pejabat fungsional tertentu pada Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup
yang memiliki pengalaman dalam penilaian Amdal paling sedikit 2 (dua)
tahun.
(4) Ahli bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas
ahli:
a. mutu udara;
b. mutu air;
c. mutu tanah;
d. keanekaragaman hayati;
e. kehutanan;
f. sosial;
g. kesehatan masyarakat;
h. transportasi;
i. geologi;
j. hidrogeologi;
k. hidrologi; atau
l. ahli lain sesuai dengan dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
31
Bagian Kedua
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Pasal 40
(3) Kesesuaian lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan dengan rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan konfirmasi
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau rekomendasi
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan
rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dokumen Amdal
tidak dapat dinilai dan dikembalikan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan.
Pasal 41
(2) Proses penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sendiri oleh:
a. Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki sertifikat
kompetensi; atau
b. Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan menunjuk pihak lain
yang memiliki sertifikat kompetensi.
(4) Hasil penyusunan Amdal yang disusun oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan.
32
(5) Dalam hal Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup bertindak sebagai penanggung
jawab Usaha dan/atau Kegiatan, aparatur sipil negara yang bekerja pada
Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup dapat menjadi penyusun Amdal.
Pasal 42
(4) Tahapan, tata laksana, dan jangka waktu dalam penyusunan Amdal
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
33
(2) Masyarakat yang terkena dampak langsung yang dilibatkan dalam
penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
masyarakat yang berada di dalam batas wilayah studi Amdal yang akan
terkena dampak secara langsung baik positif dan/atau negatif dari adanya
rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
Bagian Ketiga
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
Pasal 44
(4) Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan
rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Formulir UKL-
UPL tidak dapat diperiksa dan dikembalikan kepada penanggung jawab
Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 45
34
Pasal 46
(2) Formulir UKL-UPL standar atau Formulir UKL-UPL standar spesifik yang
telah diisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(3) Formulir UKL-UPL standar atau Formulir UKL-UPL standar spesifik yang
telah diisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bupati
untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Pasal 47
35
(4) Pemeriksaan administrasi dilakukan terhadap:
a. konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau
rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. persetujuan awal terkait rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. Persetujuan Teknis; dan
d. kesesuaian isi Formulir UKL-UPL standar atau Formulir UKL-UPL
standar spesifik dengan pedoman pengisian.
Pasal 48
36
b. Perangkat Daerah penerbit Persetujuan Teknis; dan/atau
c. Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang penataan ruang.
Pasal 49
(3) Tahapan, tata laksana, dan jangka waktu pemeriksaan administrasi dan
pemeriksaan substansi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 50
37
(2) Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. bentuk Persetujuan Lingkungan; dan
b. prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup
Pasal 51
(1) SPPL bagi usaha yang dilakukan oleh Pelaku Usaha diintegrasikan ke
dalam Nomor Induk Berusaha yang dilakukan melalui sistem Perizinan
Berusaha terintegrasi secara elektronik.
(2) SPPL bagi kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah atau
kegiatan non perizinan berusaha dilakukan melalui pengisian formulir
yang menjadi dasar penerbitan Persetujuan Pemerintah yang dilakukan
melalui sistem informasi dokumen Lingkungan Hidup.
(4) Bupati menyetujui secara otomatis atas formulir SPPL yang telah diisi oleh
Instansi Pemerintah melalui sistem informasi dokumen Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
38
(5) Selama sistem informasi dokumen Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum terbentuk persetujuan SPPL secara manual
dilakukan oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
(6) Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib SPPL dan menghasilkan
Limbah B3 wajib melaporkan kepada Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup
setiap 6 (enam) bulan sekali.
Bagian Kelima
Penilaian Kelayakan Lingkungan
Pasal 52
Pasal 53
(1) Penilaian dokumen Andal dan RKL-RPL oleh TUKLH terdiri atas tahapan:
a. penilaian administrasi; dan
b. penilaian substansi.
39
b. persetujuan awal terkait rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. Persetujuan Teknis;
d. keabsahan tanda bukti registrasi lembaga penyedia jasa penyusunan
Amdal, apabila penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL
dilakukan oleh lembaga penyedia jasa penyusunan Amdal;
e. keabsahan tanda bukti sertifikasi kompetensi penyusun Amdal; dan
f. kesesuaian sistematika dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL
dengan pedoman penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-
RPL.
Pasal 54
(2) Hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar
untuk penyusunan rekomendasi berupa:
a. rekomendasi kelayakan Lingkungan Hidup; atau
b. rekomendasi ketidaklayakan Lingkungan Hidup.
40
(4) Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
ayat (3) huruf a merupakan:
a. bentuk Persetujuan Lingkungan; dan
b. prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
Pemerintah.
Bagian Keenam
Dokumen Eevaluasi Lingkungan Hidup dan Dokumen Pengelolaan
Lingkungan Hidup
41
Pasal 55
(2) Penyusunan DELH atau DPLH dapat dilakukan setelah pemberian Sanksi
Administratif kepada Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 56
42
(3) Selama sistem informasi dokumen Lingkungan Hidup belum terbentuk
pengajuan DELH atau DPLH ditujukan kepada Kepala Perangkat Daerah
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Lingkungan
Hidup dan penilaiannya dilakukan oleh Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup
secara manual.
Pasal 57
43
b. Usaha dan/atau Kegiatan yang sudah melakukan kegiatan
operasional, dikenakan Sanksi Administratif berupa paksaan
Pemerintah untuk memberikan kompensasi di bidang Lingkungan
Hidup di sekitar lokasi Usaha dan/atau Kegiatan, dikenakan denda
administratif, dan pemulihan fungsi Lingkungan Hidup jika
diperlukan.
Bagian Ketujuh
Perubahan Persetujuan Lingkungan
Pasal 58
Bagian Ketujuh
Pendanaan Persetujuan Lingkungan
Pasal 59
(3) Penyusunan Amdal bagi usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibantu oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian atau Perangkat Daerah yang membidangi Usaha
dan/atau Kegiatan.
44
Pasal 60
BAB VII
PENGENDALIAN
Pasal 61
45
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
46
d. Persetujuan Teknis untuk pemenuhan Baku Mutu Air Limbah;
e. penyediaan personel yang kompeten dalam pengendalian Pencemaran
Air;
f. internalisasi biaya Perlindungan dan pengelolaan Mutu Air; dan
g. penerapan sistem perdagangan alokasi beban pencemar air.
Pasal 65
47
Pasal 66
Pasal 67
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang menyebabkan pencemaran air wajib
melakukan pemulihan mutu air dengan cara:
a. pembersihan unsur pencemar air;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(2) Pemulihan mutu air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Daerah jika:
a. lokasi pencemaran air tidak diketahui sumber pencemarnya;
dan/atau
b. tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran air.
48
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
49
c. baku mutu gangguan;
d. internalisasi biaya pengelolaan mutu udara;
e. kuota emisi dan sistem perdagangan kuota emisi; dan
f. Standar Nasional Indonesia terhadap produk rumah tangga yang
mengeluarkan residu ke udara.
Pasal 71
(1) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a
diterapkan pada:
a. sumber emisi tidak bergerak;
b. sumber emisi bergerak.
(2) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang mengeluarkan emisi sumber tidak
bergerak wajib:
a. mengelola emisi yang dihasilkannya
b. memenuhi baku mutu emisi sumber tidak bergerak;
c. melakukan pengujian kualitas emisi sumber tidak bergerak setiap 6
(enam) bulan sekali pada laboratorium terakreditasi;
d. melakukan pemantauan kualitas udara ambien setiap 6 (enam) bulan
sekali dan melaporkannya setiap 6 (enam) bulan sekali bagi yang
menghasilkan emisi yang berpotensi menimbulkan dampak pada
kualitas udara ambien;
e. menyampaikan laporan hasil pemerikaan kualitas emisi sumber tidak
bergerak setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup; dan
f. melengkapi saranan prasarana pengendali emisi dan sarana
pendukung pemeriksaan kualitas emisi.
(3) Pengujian dan pelaporan emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan huruf d dikecualikan bagi emisi mesin dengan pembakaran
dalam atau genset.
(4) Pengujian dan pelaporan emisi mesin dengan pembakaran dalam atau
genset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
50
(5) Baku Mutu Gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)
huruf c meliputi:
a. kebisingan;
b. kebauan; dan
c. getaran.
Pasal 72
Pasal 73
51
(3) Pemulihan dampak pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Daerah jika:
a. sumber pencemar udara tidak diketahui; dan/atau
b. tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran udara.
Pasal 74
Pasal 75
52
b. pengelolaan terpadu fasilitas tempat pembuangan akhir sampah;
c. penerapan kebijakan daur ulang limbah melalui konsep reduce,
reuse, dan recycle;
d. peningkatan sosialisasi dalam pembatasan penggunaan plastik sekali
pakai;
e. pengembangan dan peningkatan sistem budidaya pertanian organik;
f. peningkatan dan pengembangan program kampung iklim sesuai
dengan karakteristik tipologi wilayah Daerah; dan
g. peningkatan pelaksanaan program sekolah adiwiyata.
Pasal 76
(2) Dalam hal pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan, Bupati menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan
fungsi Lingkungan Hidup.
Pasal 77
53
(3) Penerapan kriteria baku kerusakan Lingkungan Hidup dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Pasal 79
(3) Tata laksana dan penerapan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi
Lingkungan Hidup dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII
PEMELIHARAAN
54
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 80
Bagian Kedua
Konservasi Sumber Daya Alam
Pasal 81
Bagian Ketiga
Pencadangan Sumber Daya Alam
Pasal 82
(2) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan
waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Bagian Keempat
Pelestarian Fungsi Atmosfer
55
Pasal 83
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 84
56
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat
fungsional.
57
Pasal 85
BAB X
SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 86
(2) Sistem Informasi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan terintegrasi secara elektronik oleh Pemerintah yang terdiri
atas sistem informasi:
a. dokumen Lingkungan Hidup;
b. pelaporan Persetujuan Lingkungan;
c. status Lingkungan Hidup;
d. pengelolaan Limbah B3;
e. peta rawan lingkungan;
f. pengawasan dan penerapan sanksi administratif; dan
g. informasi Lingkungan Hidup lainnya.
58
Pasal 87
59
Pasal 88
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan kepada
setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-
UPL.
(3) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan wajib Amdal atau UKL-UPL
menyampaikan laporan yang meliputi:
a. pengendalian pencemaran air;
b. pengendalian pencemaran udara;
c. pengelolaan Limbah B3;
d. pengendalian kerusakan lingkungan; dan
e. substansi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 89
60
b. jumlah limbah yang dihasilkan;
c. emisi langsung dan tidak langsung ke udara, air, dan tanah;
d. tingkat kebisingan;
e. radiasi; dan
f. tingkat gangguan.
(4) Status dan kondisi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c diukur dengan indeks kualitas Lingkungan Hidup yang terdiri
atas indeks:
a. kualitas air;
b. kualitas udara;
c. kualitas tutupan lahan; dan
d. lainnya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(5) Dampak dari perubahan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d terdiri atas:
a. perubahan lingkungan;
b. dampak yang ditimbulkan oleh sumber pencemar terhadap kualitas
Lingkungan Hidup;
c. daya dukung dan daya tampung;
d. kebencanaan; dan
e. perubahan sosial ekonomi akibat perubahan lingkungan.
Pasal 90
Pasal 91
61
b. longsor;
c. kebakaran hutan;
d. dampak perubahan iklim; dan/atau
e. dampak lingkungan lainnya.
Pasal 92
BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, LARANGAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 93
Bagian Kedua
Kewajiban
62
Pasal 94
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 95
Pasal 96
63
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. denda administratif;
d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
e. pencabutan perizinan berusaha.
Bagian Keempat
Peran Masyarakat
Pasal 97
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup.
64
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 98
(2) Dalam hal para pihak telah sepakat untuk memilih upaya penyelesaian
sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan, upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.
Pasal 99
65
(2) Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
Lingkungan Hidup.
Pasal 100
66
(4) Pemerintah Daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup yang mengakibatkan
kerugian Lingkungan Hidup.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 101
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pasal 103
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
67
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Sleman.
Ditetapkan di Sleman
pada tanggal 27 Desember 2022
BUPATI SLEMAN,
Ttd.
Diundangkan di Sleman
pada tanggal 27 Desember 2022
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN SLEMAN,
Ttd.
HARDA KISWAYA
68
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN
NOMOR 15 TAHUN 2022
TENTANG
I. UMUM
Sebagai Negara dengan kekayaan budaya dan suku bangsa, semangat
otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia pun telah mengamanatkan perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup menjadi bagian dari kewenangan wajib Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, setiap daerah memiliki wewenang penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.
Sehubungan dengan hal itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah memberi
kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah masing-masing.
Hal tersebut sesuai dengan makna dari asas otonomi daerah, yaitu bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Sleman berkomitmen di dalam pelaksanaan
amanat kewenangan tersebut. Hal ini dibuktikan melalui penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Daerah ini
bersinergi dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sleman Tahun
2006–2025, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2021
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2021–2041,
dan juga Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sleman Tahun 2016 –
69
2021 yang telah diperbarui melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sleman
Nomor 3 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2021–2026.
Namun demikian, dinamika hukum yang berkembang cukup cepat di
Indonesia, utamanya berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja dengan
pengundangan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, membawa perubahan signifikan yang perlu difasilitasi oleh daerah.
Perubahan utama yang dilekatkan di dalam aspek pengaturan terkait
Perizinan Berusaha yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah mengenai
Izin Lingkungan. Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja, Izin Lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus
dan diganti dengan Persetujuan Lingkungan. Terkait aspek Lingkungan Hidup
sebagai kewenangan wajib dari Pemerintah Daerah, melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, koridor pengaturan baru tentang pelaksanaan
kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan.
Arahan pengembangan kawasan strategis Kabupaten Sleman yang
beririsan dengan beberapa proyek strategis nasional, termasuk di antaranya
adalah pengembangan jalan tol Jogja – Bawen – Solo, maupun pengembangan
Jalur Bedah Menoreh yang beririsan wilayahnya di Sleman, mendesak untuk
adanya suatu integrasi pengaturan baru dalam perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup di daerah.
Daerah pengembangan di Kabupaten Sleman dibagi menjadi: a) Kawasan
strategis pertumbuhan ekonomi; b) Kawasan strategis sosial dan budaya; c)
Kawasan strategis pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi; dan d) Kawasan strategis fungsi dan daya dukung Lingkungan Hidup.
Penataan dan pengelolaan kawasan ini tentu saja akan berdampak pada
peningkatan usaha dan/atau kegiatan pembangunan di Kabupaten Sleman.
Sementara itu, dengan perubahan konteks “perizinan berusaha” ini, maka
ketentuan-ketentuan tentang “izin lingkungan” yang ada di dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup harus disesuaikan.
Berdasarkan pada beberapa pertimbangan tersebut, Peraturan Daerah
Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2016 wajib untuk diubah dengan
70
peraturan baru yang mewadahi narasi-narasi perubahan dengan adanya
dinamika hukum pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, dan untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan baru sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan
ini mendasari terbitnya Peraturan Daerah ini.
Dengan luas 574,82 km2 atau sekitar 18% dari luas wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta yang seluas 3.185,80 km2, perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup di Kabupaten Sleman signifikan perannya bagi kelestarian
lingkungan di wilayah sekitarnya. Wilayah Kabupaten Sleman terbentang dari
Utara-Selatan sepanjang 32 km, sedangkan dari Timur-Barat terbentang
sepanjang 35 km. Tujuan utama dari pembentukan Peraturan Daerah ini
adalah terciptanya peraturan daerah yang dapat menjadi panduan dalam
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah, sebagai upaya
dalam menjamin pemenuhan hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat
bagi seluruh masyarakat Sleman.
Dalam Peraturan Daerah ini terdapat penguatan tentang prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan
penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.
Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai 1) keutuhan unsur-unsur
pengelolaan Lingkungan Hidup; 2) kewenangan daerah dalam pengelolaan
Lingkungan Hidup; 3) penguatan pada upaya pengelolaan Lingkungan Hidup;
4) penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
Lingkungan Hidup; 5) pendayagunaan perizinan berusaha dan persetujuan
lingkungan sebagai instrumen pengendalian; 6) pendayagunaan pendekatan
ekosistem; 7) kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan
lingkungan global; 8) penguatan demokrasi lingkungan melalui akses
informasi, akses partisipasi dan akses keadilan serta penguatan hak-hak
masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan; 9) penguatan
kelembagaan pelindungan dan pengelolaan lingkungan yang lebih efektif dan
responsif; dan 10) penguatan kewenangan pejabat pengawas Lingkungan
Hidup daerah.
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah ini merupakan landasan dan dasar hukum dalam
71
melakukan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah
sehingga Lingkungan Hidup tetap terjaga, terpelihara serta terjamin
kelestariannya.
72
f. Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman
terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas
gender.
h. Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem,
kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
i. Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan
keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya
alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan
sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur
nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.
j. Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah
bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau
kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.
k. Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa
setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif
dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
l. Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
73
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
m. Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang
baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
n. Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa
Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Cukup Jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Cukup Jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “Nilai budaya” adalah nilai atau
kebiasaan yang tumbuh berkembang di dalam masyarakat
74
sebagai kegiatan budaya yang mendukung kegiatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup misalnya
kegiatan merti desa, merti kali, merti gunung dan lain-lain.
Huruf i
Cukup Jelas.
Huruf j
Cukup Jelas.
Huruf k
Cukup Jelas.
Huruf l
Cukup Jelas.
Huruf m
Cukup Jelas.
Huruf n
Cukup Jelas.
Huruf o
Cukup Jelas.
Huruf p
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
KLHS disusun secara terintegrasi baik untuk RTRW, RDTR,
RPJMD, RPJPD, maupun Kebijakan; Rencana; dan Program
lainnya.
Sifat penyusunan KLHS yang harus dipenuhi adalah:
1) menyeluruh yang berarti harus mencakup seluruh komponen
yang wajib dikaji di dalam KLHS;
2) sistematis yang berarti harus menjadi bagian dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang terpadu; dan
75
3) partisipatif yang berarti harus melibatkan semua pemangku
kepentingan yang ada.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Informasi faktual tentang kondisi kualitas Lingkungan Hidup
Daerah diberikan kepada publik secara berkala dalam bentuk
dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup
Daerah melalui website yang dikelola oleh Perangkat Daerah
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 7
Cukup Jelas.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air (RPPMA)
merupakan bagian dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang digunakan dalam penyusunan:
a. rencana pengelolaan sumber daya air; dan
b. tata ruang melalui KLHS.
RPPMA dapat diubah jika terjadi perubahan pada baku mutu air;
tata ruang; atau kebijakan lainnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
76
Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 12
Baku mutu air dan baku mutu air limbah ditetapkan oleh Menteri
untuk tingkat nasional. Pemerintah Daerah berwenang untuk
menetapkan baku mutu air yang lebih ketat jika diperlukan. Dalam
hal tidak ada kepentingan untuk menetapkan secara tersendiri, maka
diterapkan baku mutu air dan baku mutu air limbah yang telah ada
sebagai rujukannya.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup Jelas.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Cukup Jelas.
Pasal 26
Cukup Jelas.
77
Pasal 27
Cukup Jelas.
Pasal 28
Cukup Jelas.
Pasal 29
Cukup Jelas.
Pasal 30
Cukup Jelas.
Pasal 31
Cukup Jelas.
Pasal 32
Cukup Jelas.
Pasal 33
Cukup Jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas.
Pasal 35
Cukup Jelas.
Pasal 36
Cukup Jelas.
Pasal 37
Cukup Jelas.
Pasal 38
Cukup Jelas.
Pasal 39
Cukup Jelas.
Pasal 40
Cukup Jelas.
Pasal 41
Cukup Jelas.
Pasal 42
Cukup Jelas.
Pasal 43
Cukup Jelas.
Pasal 44
Cukup Jelas.
78
Pasal 45
Cukup Jelas.
Pasal 46
Cukup Jelas.
Pasal 47
Cukup Jelas.
Pasal 48
Cukup Jelas.
Pasal 49
Cukup Jelas.
Pasal 50
Cukup Jelas.
Pasal 51
Cukup Jelas.
Pasal 52
Cukup Jelas.
Pasal 53
Cukup Jelas.
Pasal 54
Cukup Jelas.
Pasal 55
Cukup Jelas.
Pasal 56
Cukup Jelas.
Pasal 57
Cukup Jelas.
Pasal 58
Cukup Jelas.
Pasal 59
Cukup Jelas.
Pasal 60
Cukup Jelas.
Pasal 61
Cukup Jelas.
Pasal 62
Cukup Jelas.
79
Pasal 63
Cukup Jelas.
Pasal 64
Cukup Jelas.
Pasal 65
Cukup Jelas.
Pasal 66
Cukup Jelas.
Pasal 67
Cukup Jelas.
Pasal 68
Cukup Jelas.
Pasal 69
Cukup Jelas.
Pasal 70
Cukup Jelas.
Pasal 71
Cukup Jelas.
Pasal 72
Cukup Jelas.
Pasal 73
Cukup Jelas.
Pasal 74
Cukup Jelas.
Pasal 75
Cukup Jelas.
Pasal 76
Cukup Jelas.
Pasal 77
Cukup Jelas.
Pasal 78
Cukup Jelas.
Pasal 79
Cukup Jelas.
Pasal 80
Cukup Jelas.
80
Pasal 81
Cukup Jelas.
Pasal 82
Cukup Jelas.
Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Cukup Jelas.
Pasal 85
Cukup Jelas.
Pasal 86
Cukup Jelas.
Pasal 87
Cukup Jelas.
Pasal 88
Cukup Jelas.
Pasal 89
Cukup Jelas.
Pasal 90
Cukup Jelas.
Pasal 91
Cukup Jelas.
Pasal 92
Cukup Jelas.
Pasal 93
Cukup Jelas.
Pasal 94
Cukup Jelas.
Pasal 95
Cukup Jelas.
Pasal 96
Cukup Jelas.
Pasal 97
Cukup Jelas.
Pasal 98
Cukup Jelas.
81
Pasal 99
Cukup Jelas.
Pasal 100
Cukup Jelas.
Pasal 101
Cukup Jelas.
Pasal 102
Cukup Jelas.
Pasal 103
Cukup Jelas.
82