Anda di halaman 1dari 280

RESPON PERBANKAN SYARIAH INDONESIA TERHADAP

SEKURITISASI BERBENTUK EFEK BERAGUN ASET SYARIAH

Disertasi
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syariaf Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor
dalam Bidang Ekonomi Islam

Oleh :
Asep Supyadillah
NIM: 31151200000051

Promotor:
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS
Prof. Dr. Muhammad bin Said, M.Ag

Konsentrasi Ekonomi Islam


Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wa syukrulillah, penulis bersyukur kepada Allah Swt karena


disertasi ini dapat dirampungkan.

Disertasi ini dapat terwujud tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan baik
langsung maupun tidak langsung yang telah diberikan. Pertama penulis
mengucapan terima kasih kepada kedua promotor penulis yaitu Prof. Dr.
Abdul Hamid, M.S, dan Prof. Dr. Muhammad bin Said, M.Ag. Begitu juga
para penguji pada saat Ujian Proposal, WIP 1, WIP 2, Ujian Komprehensif,
Ujian Pendahuluan dan Ujian Promosi. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih kepada segenap dosen SPS UIN Syarif Hidayatulah Jakarta yang
telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada seluruh civitas akademika SPS UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta khususnya kepada bapak direktur SPS UIN, wakil direktur, ketua dan
sekretaris Prodi Doktor, serta segenap staff dan karyawan. Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih kepada Rektor UMJ dan Dekan FAI UMJ yang
telah membantu dan mendung atas pendanaan kuliah penulis di SPS UIN
Jakarta. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua penulis,
Ayahanda M. Sopandi (Alm) dan dan Ibunda Masrikah (Almh), yang selalu
mendorong untuk menuntut ilmu, walaupun qadarallah tidak sempat
menyaksikan hasil akhirnya. Mudah-mudahan amal salehnya diterima Allah
SWT dan diampuni kesalahan dan dosanya. Seterusnya ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada Istri Eem Nurhayati, dan Putri/a tersayang Marwah
Nur Fadillah, Zahra Fithriyah, dan Muhammad Hakim Al-Fadil, yang sudah
memberikan perhatian dan membantu selesainya disertasi ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para guru, senior dan kawan-kawan di
DSN-MUI yang terus tiada henti untuk menggali, berbagi dan
mengimplementasikan fikih muamalah dalam kehidupan masyarakat. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada rekan penulis mahasiswa S3 SPS UIN
Jakarta khususnya angkatan 2015 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan kebaikan dan pahala atas
segala bantuan yang diberikan.

Harapan penulis semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi amal ibadah. Amin.

Ciputat, 2020

Asep Supyadillah
RESPON PERBANKAN SYARIAH INDONESIA TERHADAP
SEKURITISASI BERBENTUK EFEK BERAGUN ASET
SYARIAH
ORIGINALITY REPORT

ffi
F&
q""p % 9"r" 3x 4.t
SI[,{ILARITY INDEX iNTERNIET SOURCES PUBLICATIONS STUDENT PAPERS

PRIMARY SOURCES

www.bapepam.go.id
lnternet Source 2*
ubico.id
lnternet Source 1n

E d ig ilib.
lnternet Source
u insgd ac. id
.

1n

A sikepo.ojk.go.id
lnternet Source 1*
tr jurnal.umj.ac.id
lnternet Source 1x

tr es.scribd.com
lnternet Source 1y,

H lafsir3,com 1*
tr Submitted to UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Student Paper 1n
ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan masih terbatasnya masalah


sumber pendanaan dan permodalat (sotaces of fund) yang dihadapi oleh bank
syariah. Tujuan utama disertasi ini yaitu mengelaborasi respon pelaku industri bank
syariah Indonesia terhadap pengembangan dan inovasi produk berupa sekuritisasi
berbentuk Efek Beragun Aset (EBA), sebagai alternatif produk untuk memperoleh
pendanaan. Permasalahannya adalah apayang menjadi perlirnbangan bank syariah
tmtuk melakukan atau tidak melakukan penerbitan EBA sebagai altematif
pendanaan ditinjau dari aspek syariah, aspek regulasi, dan aspek budaya kerja
Perbankan Syariah?
Penelitian ini bersifat diskriptif dengan jenis penelitian kualitatif.
Pendekatan yang digr.urakan adalah pendekatan induktif, socio-legal dan inovasi
produi<. Srunber data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan melalui studi literatur kajian fikih
muamalat, fatwa dan peraturan perundang-undangan, dan pengembangan inovasi
produk khususnya produk sekuritisasi aset. Penelitian lapangan dilakukan dengan
mengumpulkan berbagai pendapat dari pelaku industri bank syariah dan pihak
lainnya melalui wawancara dan kuesioner serta pengamatan (observasi).
Temuan dari penelitian ini yaitu: pertama, pertimbangan pelaku industri
bank syariah dalam mengembangkan suatu inovasi produk (product innovation)
tidak saja dilatarbelakangi oleh pertimbangan faktor manfaat (benefit),biaya (cost)
dan risiko (risl) dari produk tersebut, namlln juga faktor motif, kendala dan
pemahaman terhadap produk, kedua, sekalipun secara konsep sekuritisasi
berbentuk EBA memiliki manfaat dan dibutuhkan tmtuk memenuhi liquidity
nismatch sumber pendanaan, namun diakui pelaksanaannya memiliki potensi
risiko, kendala dan tantangan; ketiga, sebagian besar pelaku industri bank syariah
masih belum memahami dengan baik terkait aspek operasional, aspek syariah dan
aspek hukum dari produk EBAS.
Hasil disertasi ini memperkuat pendapat Samir Alamad (2017) dan Fu'ad Al-
Salem (2009) yang menyatakan perlunya bank syariah secara berkelanjutan
melakukan inovasi produk. Disertasi ini juga mendukung pendapat Zamir Iqbal dan
Abbas Mirakhor (2007) serta Munawar Iqbal dan Tariqullah Khan (2005) yang
mendorong Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk melakukan upaya
pengembangan, inovasi dan rekayasa produk keuangan syariah.

Kata Kunci:
Sekuritisasi, Elbk Beragtn Aset, Inovasi Produl<, Bank S-yariah, Prinsip Syariah
tJt-jl oa;J"

Q'€+L'J .sJI Fs; "lrrJ $)& iLa-. JLA Jli I r! -r^ur zo:iJ\ J^ b))\\ "!,!:
Jut ..lr
,_,1
Cr_',r
--;r-i;)t "r")-)t 3,!t * abtrJt ;,elt rta_rt :;rp!r
6*,o ,o "i _,. ,r_j}t dr.Il L.*\i_yl ,!.Jl
k Jr..-u ",i,+ 6,f , (EBA) Jy!r,,i"rorrr U[l .r!r!r it".c,) jyoj p g ru()g uL*Jt
.1Ja:1
; '""11 c^.- i-,- .J,+ .,u..rs EBA ,r-r*,q lLliJl 6-ro Ji rwx +]-*)r ,\..!l
rurr J iL<-:lr
"i'r: , . l,_".,1r

\uo- /t C"At JFJI 4;Lt 1<a-*LJr

i"gull -,s"t.-+Yt _rQYt: ( 3!i!\l rr 6-r,uJr euJ, _, . ,^;pjt A:LLJ;lr e-*Jr ,"r c^Jl tra,tl
er)-4\ ,t-t, e c,,*J! -k(Ir .:r_+i J>t-;. eJ, J,"pLt
L*< arr+t
i GJI eutjt ))\.2. ).c.r_.:.Jr ,u(:r,
I .J_*Yt ,;,ry .:,E r irt-J i.?.:lt ,>1,,6;.t ,"rL;r3f_Jl!, -r,..l.!lt csjE.l! U[f c,)_Ult +i; utr:
J), .r
J)r -, s;Yt j!t15 """)*)r i'jA\ Aeve q j*LUr .-r. tuiLJr ,t!r co +.t -1, 3r.r-rr t*Jr ,f*:j ,,r
. -tJa-)J.1; Jt,L;_\1. i),LUJr

cl+ * ; eJl ,e(-1 ,-jLt """)\-)r 4,,':\ zeup rr ar"ul .:,k+l ,Lrr1 .-r! , )1i :; u!-Jr
"-tr 6;u ,
if f)\ Js ( t ti { eil re' J J-e=.JlJ ;i^:lr J.tJ u},i ,-<JJ , e..x }r^1! -rJLelJ ;-$tiJl
_!"1J )re!l
:Ui,--t j.cJt # s r;f,_.Jt ,:tz_" q*rleE
* "J_oJr ulUa,._r.c l tjts: "JEBAJ<* *.u.,lt f_*,r.,ri
q, 1r"- .+, ! +)t-)\ )*At a* ilUr c,+lr
e UG J'. ! , 6u ! .:,rr-r,J .rW) )\-? .Jl' J-,+
). qa-jJl *,-!,r, ;*-." Ut" olli EBAS ( ;r:.'-l !,jtrll -;l.JlJ t i.s;)\ I , a"[:.,Jr
_,yl! _J*,
1"-u-r-;'t jlrt fW \s,- J,,u!;:6_rJr (2009)
/LJl :rje eO17):L-1r ,ei,;r)\t "! eu r;-;
Jr; -il .rru, JWI ,--" :lLs, (20077 tft*, ^_
_"Vs Jtrl ,,r.,, qi.,Lri ^r_u L*( ,* p.- .:,E_. ;L(,_r ,

'JrJl J'.ir urBJ rq! ;-,L) 4a,.r J-u -f,r (LKS) "*.)--)r dJr-lr c,r"_.irl ,r,..?.& J_Lrr (2005)
o"")*)t

a.--:Jl 3)[-, o..)-)l -Ir.!t r r:,gu.lt i:,rrLCt , J_".,!q -,*-rlt qlrlr ;r:lr c,i,._/l : ,.-t,iLr oL..,1'(Jt
ABSTRACT

This research is motivated by the fact that there are still Iimited sources of
funding and capital problems faced by Islamic banks. The nrain objective of this
dissertation is to elaborate the response of the Indonesian Islamic bank industry
players to product development and innovation in the form of securitization in the
form of Asset Backed Securities (EBA), as an alternative product to obtain the
funding. The problem is what is the consideration of Islamic banks to do or not to
publish arr EBA as an alternative funding in terms of sharia aspects, regulatory
aspects, and aspects of Sharia Banking work culture?
This research is descriptive with the qualitative research. TIre approach used is
the inductive approach, socio-juridical and prodLrct innovation. Sources of data
obtained through library research and field research. Literature research was carried
out through the literature study of muamalat fiqh studies, fbtwas and laws and
regulations, and the developnrent of product innovations especially asset
securitization products. Field research was carried out by gathering various opinions
from Islamic banking industry players and other parties through interviews and
questionnaires arrd observ4tions.
The findings of this study are: first, the consideration of Islamic banking
industry players in developing a product innovation is not only motivated by
consideration of the benefit factors, costs and risks of the product, but also the
motivational factors . constraints and understanding of the product; secondly, even
though the concept of securitization in the form of EBA has benefit and is needed to
meet the liquidity misrnatch of finding sources, it is recognized that the
implementation has potential risk, obstacle and challenge; third. the majority of
Islamic banking industry players still do not understand well related to operational
aspects, sharia aspects and legal aspects of EBAS products.
The results of this dissertation strengthen the opinion of Samir Alamad (2017)
and Fu'ad Al-Salem (2009) which states the need for Islamic banks to continuously
innovate products. This dissertation also supports the opinion of Zamir Iqbal and
Abbas Mirakhor (2007) as well as Munawar Iqbal and Tariqullah Khan (2005) who
encourage Islamic Financial Institutions (LKS) to make efforts to develop, to
innovate and to engineer Islamic financial products.

Key words:
Securitization, Asset Bocked Securities, Product Innovations, Islamic Banks, Sharia
Principles
PEDOMAN TRANSLITERASI

Table of the system of transliteration of Arabic words and names used by


the Institute of Islamic Studies, McGill University.

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ s{ = ‫ص‬ l = ‫ل‬

h{ = ‫ح‬ d{ = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ t{ = ‫ط‬ n = ‫ن‬

d = ‫د‬ z{ = ‫ظ‬ h = ‫ه‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

Short: a=´ ; i=ِ ; u= ِ

Long: a< = ‫ ; ا‬i> = ‫; ي‬ ū=‫و‬

Diphthong: ay = ‫; ي ا‬ aw = ‫و ا‬
______________
/cf 08 June 2001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................


PENYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................................
LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING & PENGUJI ...................................
KATA PENGANTAR .................................................................................................
ABSTRAK ...................................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Permasalahan ....................................................................................14
1. Identifikasi Masalah ....................................................................14
2. Perumusan Masalah .....................................................................15
3. Pembatasan Masalah....................................................................15
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................16
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ................................................17
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ..................................................17
F. Metode Penelitian .............................................................................31
G. Sistematika Penulisan .......................................................................39

BAB II ASPEK SYARIAH SEKURITISASI BERBENTUK EFEK -


BERAGUN ASET DALAM SISTEM KEUANGAN .............................41
A. Sekuritisasi Efek Beragun Aset Dalam Sistem Keuangan...............41
1. Pengertian Sekuritisasi Aset.......................................................41
2. Para Pihak Terkait Pelaksanaan Sekuritisasi Aset.......................46
3. Proses Sekuritisasi dan Mekanisme Penerbitannya ....................51
4. Jenis dan Pilar Sekuritisasi Aset .................................................57
B. Sekuritisasi Aset Dalam Sistem Keuangan Syariah ......................62
1. Prinsip Syariah dalam Sekuritisasi Aset......................................62
2. Aset yang Dapat Disekuritisasi Menurut Prinsip Syariah ..........69
3. Akad yang Dapat Digunakan dalam Sekuritisasi Aset................82

BAB III ASPEK HUKUM SEKURITISASI BERBENTUK EFEK BERAGUN


ASET DAN PERKEMBANGAN DI BEBERAPA NEGARA............... 94
A. Perkembangan Sekuritisasi dalam bentuk EBA di beberapa –
Negara termasuk Indonesia...............................................................94
1. Amerika Serikat............................................................................94
2. Inggris ........................................................................................103
3. Korea Selatan.............................................................................110
4. Timur Tengah.............................................................................117
5. Malaysia.................................................................................... .125
6. Pelaksanaan Sekuritisasi di Indonesia .......................................132
B. Permasalahan Hukum dalam Penerapan EBA ...............................138

BAB IV INOVASI PRODUK OLEH PERBANKAN SYARIAH


MELALUI SEKURITISASI EBA ......................................... 154
A. Inovasi Produk Suatu Keniscayaan Bagi Perbankan Syariah ........154
B. Peran Pebankan dalam Proses Sekuritisasi ....................................165
C. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia .............................167
D. Produk Pasar Modal yang Dijalankan Perbankan Syariah .............173
1. Produk Syariah di Pasar Modal ................................................174
2. Kegiatan Bank sebagai Penunjang Pasar Modal .......... ... ........183
3. Kegiatan Bank Sebagai Emiten dan Investor Produk Pasar
Modal..........................................................................................185
4. Permasalahan Penerapan Produk Syariah di Pasar Modal........ 187
E. Potensi Sekuritisasi EBA oleh Bank Syariah ................................188

BAB V PENERBITAN SEKURITISASI BERBENTUK EFEK BERAGUN


ASET OLEH PERBANKAN SYARIAH ..............................................193
A. Pertimbangan Untuk Melakukan atau Tidak Melakukan-
Sekuritisasi Berbentuk EBAS .......................................................194
B. Respon Bank Syariah Atas Kendala Aspek Syariah Sekuritisasi
Berbentuk EBAS.............................................................................209
C. Respon Bank Syariah Atas Permasalahan Aspek Hukum dan
Regulasi Sekuritisasi Berbentuk EBAS ........................................224
D. Respon Bank Syariah Atas Aspek Budaya Kerja Pengembangan
Produk Sekuritisasi Berbentuk EBAS.............................................233

BAB VI PENUTUP ...............................................................................................239


A. Kesimpulan ...............................................................................................239
B. Saran..........................................................................................................241

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... .242


GLOSSARY ..........................................................................................................257

Lampiran Fatwa DSN-MUI No. 120 dan 121 Tahun 2017

LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Tabel Jawaban Responden
2. Pertanyaan Kuesioner
3. Perbaikan masukan penguji/pembimbing pada saat Ujian Pendahuluan.
4. Perbaikan masukan penguji/pembimbing pada saat Ujian WIP II
5. Surat-Surat Kelengkapan Administratif
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Portofolio Penyaluran Pembiataan/Kredit KPR ...................................................................... 4


Tabel 1.2 Perbandingan Kajian Terdahulu dengan Penelitian Disertasi .......................................... 28
Tabel 1.3 Data BUS dan UUS Tahun 2019 ................................................................................. 35
Tabel 1.4 Bank Syariah, PIC, Bentuk dan Waktu Penelitian ................................................................. 36
Tabel 2.1 Akad EBA di Beberapa Negara ............................................................................................. 89
Tabel 2.2 Perbedaan EBA Konvensional dan EBA Syariah .................................................................. 93
Tabel 3.1 Sekuritisasi EBA Perusahaan Indonesia di Luar Negeri 1995 – 2004 ................................. 132
Tabel 3.2 Perkembangan Transaksi Sekuritisasi EBA tahun 2004 – 2018 .......................................... 133
Tabel 3.3 Perbedaan KIK-EBA dan EBA-SP ..................................................................................... 136
Tabel 3.4 Struktur Awal EBA-SP KPR IB .......................................................................................... 137
Tabel 3.5 Pendekatan Kerangka Peraturan untuk Keuangan Islam ..................................................... 139
Tabel 3.6 Dasar Hukum dan Permasalahan Penerapan EBA di Beberapa Negara .............................. 140
Tabel 3.7 Jenis Aset EBA di Beberapa Negara.................................................................................... 141
Tabel 4.1 Produk Bank Syariah Malaysia: Perbandingan .................................................................... 163
Tabel 4.2 Posisi Perbankan Syariah Januari 2019 ............................................................................... 170
Tabel 4.3 Jumlah Penerbitan Sukuk dan Akad yang Digunakan ......................................................... 179
Tabel 4.4 Perkembangan Reksadana Syariah ...................................................................................... 180
Tabel 4.5 Perbedaan EBAS dan Sukuk .............................................................................................181
Tabel 4.5 LKS yang Menerbitkan Efek .............................................................................................. 186
Tabel 5.1 Manfat EBAS Bagi Bank Syariah........................................................................................ 194
Tabel 5.3 Setuju EBAS Terpapar Kasus Subprime Mortgage 2008 .................................................... 203
Tabel 5.4 Tidak Setuju EBAS Terpapar Kasus Subprime Mortgage 2008 .......................................... 204
Tabel 5.5 Kendala yang Dihadapi Dalam Penerbitan EBA Syariah .................................................... 207
Tabel 5.6 Kendala Terkait Aset sebagai Underlying ........................................................................... 210
Tabel 5.7 Perbandingan Aset EBA Konvensional dan EBAS ............................................................. 215
Tabel 5.8 Kelebihan dan Kekurangan Pass Throught/True Sale ......................................................... 222
Tabel 5.9 Kelebihan dan Kekurangan Pay Throught/With Resource .................................................. 222
Tabel 5.10 Perbandingan Pass Throught/True Sale dan Pay Throught/With Resource....................... 223
Tabel 5.11 Kendala Aspek Regulasi ................................................................................................... 225
Tabel 5.12 Pertimbangan Menerbitkan atau Tidak Menerbitkan Produk EBAS ................................. 234
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Perbandingan Market Share KPR ........................................................................................ 4


Gambar 1.2 Kebutuhan Pembiayaan Infrastruktur2016 – 2019 .............................................................. 4
Gambar 1.3 Data Kependudukan Indonesia dan Backlog Perumahan (2014) ........................................ 5
Gambar 2.1 Para Pihak Dalam Sekuritisasi EBA-SP ............................................................................ 50
Gambar 2.2 Skema Penerbitan Sekuritisasi .......................................................................................... 51
Gambar 2.3 Mekanisme Sekuritisasi KIK-EBA.................................................................................... 54
Gambar 2.4 Mekanisme Transaksi EBA-SP ......................................................................................... 55
Gambar 2.5 Klarifikasi Aset .................................................................................................................. 59
Gambar 2.6 Jenis Aset EBA .................................................................................................................. 60
Gambar 2.7 Prinsip Dasar Sekuritisasi .................................................................................................. 61
Gambar 2.8 Skema Penerbitan EBA-SP................................................................................................ 90
Gambar 2.9 Skema Akad Tahap Pra-Sekuritisasi ................................................................................. 91
Gambar 2.10 Skema Akad Tahap Sekuritisasi ...................................................................................... 92
Gambar 2.11 Skema Akad Tahap Pasca Sekuritisasi ............................................................................ 92
Gambar 3.1 Pasar Sekuritisasi Aset di Eropa Tahun 2007 – 2015 ..................................................... 104
Gambar 3.2 Perkembangan EBA di Inggris Tahun 2002 – 2018 ........................................................ 105
Gambar 3.3 Tipe-Tipe Aset ................................................................................................................ 106
Gambar 3.4 Perusahaan Penerbit EBA ................................................................................................ 107
Gambar 3.5 Nilai Pasar EBA di Asia Tahun 2002 – 2006 .................................................................. 112
Gambar 3.6 Skema Ras Laffan ............................................................................................................ 113
Gambar 3.7 Underlying Aset EBA di Korea Selatan Tahun 2010 – 2017.......................................... 114
Gambar 3.8 Volume Aset EBA di Korea Selatan Tahun 2010 – 2017 ............................................... 115
Gambar 3.9 Originator EBA di Korea Selatan Tahun 2010 – 2017 ................................................... 116
Gambar 3.10 Perkembangan Sekuritisasi Aset di GCC ...................................................................... 118
Gambar 3.11 Skema MBS Cagamas ................................................................................................... 128
Gambar 3.12 Perbandingan Perubahan Pengaturan EBA ................................................................... 129
Gambar 3.13 Skema KIK EBA dan EBA-SP ...................................................................................... 135
Gambar 4.1 Perkembangan Aset, PYD dan DPK................................................................................ 171
Gambar 4.2 Perkembangan CAR, NPF dan FDR ................................................................................ 171
Gambar 4.3 Perkembangan ROA, NOM dan BOPO ........................................................................... 172
Gambar 4.4 Perkembangan Market Share, Jumlah Rekening dan Jaringan Kantor ........................... 172
Gambar 4.5 Perkembangan Saham Syariah ........................................................................................ 176
Gambar 4.6 Perkembangan Reksadana Syariah .................................................................................. 180
Gambar 4.7 Perkembangan Sukuk Korporasi ..................................................................................... 187
Gambar 4.8 Peran Bank dalam Sekuritisasi Aset ................................................................................ 177
Gambar 5.1 PPR iB Berdasarkan Akad ............................................................................................... 191
Gambar 5.2 Aset Perbankan Syariah ................................................................................................... 192
Gambar 5.3 Rasio CAR, FDR, NPF dan STML, BUS dan UUS ........................................................ 199
Gambar 5.4 Rasio NPF dan FDR BRPS .............................................................................................. 201
Gambar 5.5 Kendala Aspek Syariah .................................................................................................... 209
Gambar 5.6 Skema Penerbitan EBA-SP.............................................................................................. 219
Gambar 5.7 Skema Akad Tahap Pra-Sekuritisasi ............................................................................... 220
Gambar 5.8 Skema Akad Tahap Sekuritisasi ..................................................................................... 221
Gambar 5.9 Skema Akad Tahap Pasca Sekuritisasi ........................................................................... 221
Gambar 5.10 Pilihan Skema/Struktur Transaksi ................................................................................. 223
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam upaya meningkatkan daya dukung sistem keuangan untuk kemajuan
perekonomian nasional, pranata kelembagaan dan pasar keuangan yang memadai,
sehat, dan berkelanjutan menjadi suatu keniscayaan.1 Pranata kelembagaan dalam
sistem keuangan Indonesia, secara yuridis dan faktual telah diakui konsep dual
financial system yaitu sistem keuangan secara konvensional dan sistem keuangan
secara syariah.2 Sistem keuangan konvensional telah berjalan sejak lama, sementara
sistem keuangan syariah baru muncul awal tahun 1990-an.3
Dengan berkembangnya industri sistem keuangan ganda (dual financial
system) diharapkan terjadinya akselerasi literasi keuangan (financial literacy)4 dan
pendalaman keuangan (financial inclusion)5 bagi masyarakat Indonesia secara luas.

1
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka Pendalaman Pasar
keuangan Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, Desember 2013), h. 3. https://www. bi.go.id/
id/publikasi/wp/Pages/Sekuritisasi-Aset-Lembaga-Pembiayaan-aspx
2
Konsep dual economy system, dual financial system dan dual banking system
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia antara lain ditegaskan dalam UU No.10
tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan; UU No.21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian, dan
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.
3
Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Lembaga Keuangan Syariah , (Jakarta:
Arveta, 2002), h.53; Ma’ruf Amin, Era Baru Ekonomi Islam Indonesia, dari Fikih ke
Praktek Ekonomi Islam, (Jakarta: eLSAS, 2011), h. 197.
4
Secara definitif menurut POJK, “Literasi Keuangan adalah pengetahuan,
keterampilan, dan keyakinan, yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai
kesejahteraan.” Lihat Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76
/POJK.07/2016 Tentang Peningkatan Literasi Dan Inklusi Keuangan Di Sektor Jasa
Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat; lihat juga, Kusumaningtuti S. Soetiono &
Cecep Setiawan, Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2018),
h.7-8.
5
Financial Inclusion adalah “sebuah proses yang menjamin kemudahan dalam akses,
ketersediaan, dan manfaat dari sistem keuangan formal bagi seluruh pelaku ekonomi”.
Lihat, Sama Mandira dan Pais Jasin, Finanial Inclusion and Development: a Cross Country
Analysis, Word Bank Working Paper, 2012, h. 3. https://icrier.org/pdf/Mandira%20Sarma-
Paper.pdf. Bank Indonesia mendefinisikan keuangan inklusif ( financial inclusion) sebagai
“seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga
maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa
keuangan”. Bank Indonesia, Booklet Keuangan Inklusif Bank Indonesia, (Jakarta: BI, 2014),
h. 12. http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/edukasi/ Contents/Buku%20Saku
%20Keuangan%20 Inklusif. pdf.

1
Kondisi literasi dan pendalaman pasar keuangan Indonesia6 sementara ini masih
lebih rendah apabila disandingkan dengan beberapa negara di wilayah ASEAN
misalnya.7
Dengan mengacu pada nomenklatur Otoritas Jasa Keuangan, industri
keuangan Indonesia secara kelembagaan terdiri atas sektor perbankan, pasar modal,
dan Industri Keuangan Non-Bank.8 Semua kelembagaan tersebut, berlaku dual
financial system dimana untuk industri keuangan syariah dapat dijalankan secara
penuh (full pledge) maupun secara sebagian dalam bentuk Unit Usaha Syariah.
Walaupun secara bertahap dan pasti, masing-masing Unit Usaha Syariah tersebut
diwajibkan untuk terpisah menjadi badan usaha tersendiri (spin-off) dari induknya
yang konvensional, sehingga kedepan tidak ada lagi unit usaha syariah.9
Data 5 tahun terakhir aset keuangan syariah Indonesia menunjukkan adanya
perkembangan terutama untuk bidang pasar modal dan Industri Keuangan Non-
Bank (IKNB) syariah.10 Namun demikian dari aspek pangsa pasar (market share)
produk industri keuangan syariah dibandingkan dengan produk keuangan

6
Berdasarkan survei nasional literasi keuangan yang dilakukan OJK tahun 2013,
“indeks literasi masyarakat Indonesia adalah 21,8% atau dari 100 penduduk Indonesia
hanya sekitar 21 orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan terhadap
produk dan jasa keuangan. Indeks inklusi 59,7% atau dari 100 penduduk Indonesia hanya
sekitar 59 orang yang menggunakan dan memiliki produk lembaga keuangan. Survei OJK
tahun 2016 memperlihatkan indek literasi dan inklusi mengalami peningkatan, yaitu indeks
literasi mencapai 29,7% dan indeks inklusi mencapai 67,8%”. Kusumaningtuti S. Soetiono
& Cecep Setiawan, Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2018), h.xii. Pada tahun 2019 Otoritas Jasa Keuangan mengadakan survei lagi dengan hasil
“menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan
76,19%”. https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Survei
-OJK-2019-Indeks-Literasi-Dan-Inklusi-Keuangan-Meningkat.aspx
7
Tingkat literasi dan tingkat inklusi keuangan negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, dan Thailand rata-rata di atas 80% dengan rincian Singapura sebesar 98 %,
Malaysia 85%, dan Thailand 82%. https://www.infopena.com/blog/indeks-inklusi-
keuangan-indonesia-masih-di-bawah-malaysia-dan-singapura/ (diakses 25 Februari 2020)
8
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: “a. kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c.
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”. Lihat, Pasal 6 UU No.21 tahun 2011 tentang Otortitas
Jasa Keuangan.
9
Otoritas Jasa Keuangan: Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia
2017-2019, (Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2016), h. 40.
10
Data keuangan syariah Indonesia hingga bulan April 2019 menunjukkan
peningkatan aset perbankan dan IKNB syariah telah mencapai Rp 589,94 triliun (perbankan
syariah 488,52triliun, dan IKNB Syariah 101,32triliun). Untuk sukuk negara telah mencapai
691,42triliun. Market share keuangan syariah secara keseluruhan masih di bawah 10 % dari
total aset keuangan nasional.

2
konvensional secara nasional masih 92% lebih dikuasai oleh industri keuangan
konvensional.11
Masih rendahnya market share aset industri keuangan syariah, banyak faktor
masalah dan tantangan yang meliputinya. Dari sekian banyak permasalahan yang
dihadapi oleh keuangan syariah Indonesia,12 antara lain terkait supply and demand
produk syariah yang masih terbatas, yang disebabkan karena terbatasnya masalah
sumber pendanaan dan permodalan (source of fund).13 Sekalipun menunjukkan
adanya perkembangan sebagaimana disebutkan sebelumnya, terutama untuk bidang
IKNB dan pasar modal syariah, namun persoalan terbatasnya source of fund ini
masih tetap menjadi kendala mendasar perkembangan keuangan syariah
Indonesia.14
Dengan terbatasnya source of fund mengakibatkan akselerasi pengembangan
keuangan syariah menjadi terbatas dan tidak memenuhi kebutuhan konsumen yang
cukup luas. Sebagai wujud kurangnya source of fund antara lain masih terbatasnya
partisipasi pembiayaan yang diberikan oleh industri keuangan syariah, khususnya

11
Data dari OJK sampai Agustus 2017 mencatat ”aset keuangan syariah Indonesia
(tidak termasuk Saham Syariah) totalnya mencapai Rp 1.048,8 triliun, terdiri dari aset
Perbankan Syariah Rp 389,74 triliun (5,44%), IKNB Syariah Rp 99,15 triliun (4,78%),
dan Pasar Modal Syariah Rp 559,59 triliun (14.49%)”. Dengan demikian, “apabila
jumlah aset tersebut dibandingkan dengan total aset industri keuangan maka
jumlahnya mencapai Rp 13.092 triliun, maka market share industri keuangan syariah
sudah mencapai 8,01%," Lihat, http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/
Pages/Siaran-Pers-Market-Share-Keuangan-Syariah-Capai-8-Persen.aspx.
12
Berbagai tantangan yang dihadapi keuangan syariah di Indonesia, antara lain
“kurangnya pengetahuan pelaku pasar terhadap keuangan syariah, kurangnya tingkat
literasi, keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, supply & demand produk yang masih
kecil, terbatasnya likuiditas, kurangnya sinergi & harmonisasi antar regulator baik internal
maupun eksternal”. lihat, Otoritas Jasa Keuangan: Roadmap Pengembangan Keuangan
Syariah Indonesia 2017-2019, (Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2015), h. 30.
13
Beberapa faktor kurangnya suplai produk dari keuangan syariah antara lain “masih
terbatasnya produk syariah dibandingkan dengan produk konvensional, kurangnya
likuiditas, harga belum kompetitif, kualitas layanan yang belum prima, masih kurangnya
SDM yang mumpuni, akses dan pengenalan nasabah yang masih terbatas, komunikasi dan
sosialisasi kurang tepat, dan masih rendahnya sebagian pelaku industri terhadap kepatuhan
terhadap ketentuan syariah, juga kurang tepatnya komunikasi dan sosialisasi”. lihat,
Otoritas Jasa Keuangan: Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia 2017-2019,
(Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2015), h. 33-36; Bank Indonesia: Kajian Model Perbankan
Syariah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah, 2012), h.75.
14
Apabila dilihat dari struktur Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU)
sesuai POJK 6 /POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank, bank syariah yang masuk Buku III hanya 1 bank (yaitu BSM). Bank
Syariah lainnya masih di Buku II dan Buku I. Yang dimaksud dengan “BUKU” adalah
“pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti
yang dimiliki”. Lihat, POJK 6 /POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan
Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
3
bank syariah, dalam kegiatan investasi jangka panjang seperti untuk pembiayaan
perumahan dan infrastruktur,15 sebagaimana tabel berikut.

Tabel 1.1
Portofolio Penyaluran Pembiayaan/Kredit KPR
Miliar Rupiah
Bank 2014 2015 2016 Jul-17
Syariah 39.221 12.95 % 43.413 13.30 % 51.195 14.70 % 56.158 15.17 %

Konven 263.696 87.05 % 282.915 86.70 % 297.056 85.30 % 314.136 84.83 %

Total 302.916 100. % 326.327 100 % 348.251 100 % 370.294 100 %

Sumber: Statistik Perbankan OJK

Gambar 1.1
Perbandingan Market Share KPR

Share penyaluran KPR


yang dilakukan oleh perbankan
syariah mengalami pertumbuhan
dari waktu ke waktu, hal ini
berarti KPR syariah makin
diminati oleh masyarakat. Namun
apabila diban-dingkan dengan
KPR Bank Konvensional,
sharenya baru sekitar 15%.

Gambar 1.2
Kebutuhan Pembiayaan Infrastruktur 2016-2019

Sumber : Bank Indonesia

15
Tabel 1 dan 2 di atas, menunjukkan bahwa kebutuhan pembiayaan perumahan dan
infrastruktur di Indonesia masih sangat tinggi. Untuk kebutuhan pembiayaan infrastruktur,
financing gap-nya mencapai 58,75%. Lihat, MayBank, Indonesia Infrastructures & Sukuk
Update, ISEF BI, 7 November 2017, di Surabaya, diadakan oleh Bank Indonesia (Makalah
tidak diterbitkan).

4
Pembiayaan perumahan yang dilakukan oleh bank pada umumnya termasuk
bank syariah masih terbatas, padahal potensi kebutuhan pembiayaan perumahan
sangat besar. Hal yang sama juga untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur,
partisipasi bank syariah masih terbatas.
Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan Real Estate Indonesia (REI) yang
didasarkan pada asumsi pertumbuhan penduduk, perbaikan rumah rusak dan
backlog yaitu “kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang
dibutuhkan, membutuhkan sekitar 2,6 juta unit rumah per tahun”.16

Gambar 1.3
Data Kependudukan Indonesia dan Backlog Perumahan (2014)
255 Jumlah Penduduk 252,2
(juta orang) 248,8
250
245,4
245 242
238,5 1.41
240
%
235
230
2010 2011 2012 2013 2014

Sumber: BPS Susenas


Demand Rumah Supply Rumah

Jumlah Penduduk 252.5 juta


Dibangun Swadaya
Pertumbuhan Penduduk 1.41 % per tahun 150.000 unit per tahun

Kebutuhan Rumah 800.000 per tahun

Estimasi Kekurangan
13.3 juta
Ketersediaan Rumah (backlog)
Dibangun Pengembang
1.465.000 unit per tahun
Estimasi Waktu 20 tahun

Kebutuhan Rumah 665.000 per tahun

Total Kebutuhan rumah Total Pembangunan Rumah


1.465.000 per tahun GAP 400.000 unit per tahun

Dengan asumsi harga Rp 200 juta/unit untuk memenuhi kebutuhan rumah 1.48 juta per tahun
maka dibutuhkan pembiayaan perumahan sebesar Rp 292 triliun.

16
Lihat,http://finance.detik.Com/read/2012/02/16/065221/1843675/1016/wuih-
kebutuhan-rumah-capai-26-juta-unit-per-tahun (terakhir diunduh tgl 5.3.2015).
5
Dari kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi sebagiannya saja sehingga
kebutuhan pemenuhan perumahan bagi masyarakat Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan data investasi di bidang perumahan, menunjukkan bahwa pada
tahun 2002 investasi perumahan di Indonesia sebesar 1,4 % dari Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dan pada tahun 2011 sebesar 2,3 % dari PDB. Sekalipun
nampak ada peningkatan persentasenya, namun jika disandingkan dengan negara
lain nampak relatif kecil. Misalnya investasi perumahan pada tahun 2002 di
Malaysia mencapai 27,7% dan Amerika 45,3% dari PDB,17 Pada tahun 2012,
investasi perumahan (dilihat dari kredit perbankan) terhadap PDB di Malaysia
mencapai 29,7% dan Singapura mencapai 40.4%.18 Berdasarkan data Bank
Indonesia, pertumbuhan kredit perumahan mencapai 30,1% per tahun selama kurun
waktu 2001-2011.19 Hal yang sama untuk pembiayaan infrastruktur, bank syariah
belum bisa partisipasi dalam pembiayaan infrastruktur ini.
Pihak perbankan, baik bank konvensional maupun bank syariah, pada
dasarnya memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung pendanaan pembiayaan
perumahan dan infrastruktur. Namun sering kali mereka dihadapkan pada
permasalahan terjadinya ketidakcocokan (mismatch) mengenai jangka waktu antara
pendanaan (funding) dengan pembiayaan (financing).20 Munculnya permasalahan
tersebut antara lain disebabkan sumber pendanaan yang diterima perbankan berasal
dari produk-produk yang berjangka waktu pendek seperti giro, tabungan dan
deposito yang berjangka waktu paling lama 1 tahun. Sementara pembiayaan yang
disalurkan memerlukan jangka waktu lebih panjang dari sumber dana tersebut.
Bahkan untuk pembiayaan KPR dan infrastruktur jangka waktunya bisa lebih dari
15 tahun. 21
Bagi Bank, adanya mismatch antara sumber dana dan investasi/pembiayaan
tersebut akan menimbulkan 2 risiko utama, yaitu: (1) Maturity gap, yakni adanya
perbedaan antara sumber dana dengan penggunaaannya. Dari aspek risiko, kondisi
ini mendorong risiko likuiditas yang tinggi bagi Bank. (2) Repricing gap, yakni
adanya perbedaan harga (konvensional: bunga) antara sumber dana dengan

17
Tito Murbaintoro, Potensi Instrumen Pembiayaan Syariah Dan Wakaf Untuk
Pembangunan Perumahan Dan Permukiman, Disampaikan dalam acara Seminar Sehari
Potensi Wakaf Untuk Bidang Perumahan Rakyat Kerjasama Kemenpera Dan Masyarakat
Ekonomi Syariah, Jakarta, 24 Juni 2009
18
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/41345/Special-Report-Potensi Per-
tumbuhan-KPR Indonesia -Tinggi, (terakhir diunduh tanggal 5.3.2017).
19
http://www.indonesiafinancetoday.com...
20
Andreas A Jobst, Islamic Securitization After the Subprime Crisis, The Journal of
Structured Finance, Vol.14, No.4, (2009), h.42; https://jsf.pm-research.com/content/
14/4/41.abstract; Alfredo Martin Oliver & Jesus Saurina, Why Do Bank Securitize Asset,
November 2007. www.uibcongres.org/imgdb/archivo_dpo3736.doc
21
Hingga akhir tahun 2016, emiten korporasi bank syariah yang menerbitkan sukuk
baru 7 antara lain BNI, BSM, BMI, dan Bank Panin. http://www. republika.
co.id/berita/koran/iqtishodia/16/03/24/o4j4o610-bank-syariah-dan-keputusan penerbitan -
sukuk-korporasi
6
penggunaaannya.22 Misalkan deposito 1 bulan ditentukan dengan harga setiap bulan
sementara KPR umumnya ditentukan harga setiap 6 bulan bahkan tahunan.23
Adanya berbagai risiko yang dihadapi oleh perbankan tersebut, berakibat
pada terbatasnya alokasi portofolio pembiayaan KPR/PPR dan infrastruktur.24
Walaupun disadari, potensi permintaan KPR khususnya sangat besar dan bisnis
pembiayaan KPR/PPR relatif menguntungkan.
Sebenarnya beragam cara rekayasa keuangan (financial engeenering) untuk
memperoleh peningkatan permodalan bagi lembaga keuangan sudah tersedia di
market. Sumber dana tersebut baik secara langsung melalui penghimpunan dana
dari masyarakat maupun melalui efek yang ada di pasar modal.25 Namun dari sekian
banyak cara tersebut, terdapat instrumen atau produk yang belum banyak dilakukan
oleh lembaga keuangan termasuk keuangan syariah yaitu melakukan sekuritisasi
aset.26 Produk sekuritisasi aset ini telah dijalankan dalam praktik di banyak negara
sebagai upaya untuk mengatasi terbatasnya sumber pendanaan (liquidity
shortage).27 Produk ini diharapkan memberikan alternatif pemenuhan likuiditas
bank melalui fungsionalisi aset keuangan yang dimilikinya. 28
Secara konsep sekuritisasi aset memiliki manfaat dan dibutuhkan untuk
pengembangan produk di masa yang akan datang. Beberapa alasan dibutuhkan
sekuritisasi aset, menurut Schwarz yaitu “(1) sekuritisasi mengalokasikan risiko
dengan modal secara efisien. Hal ini karena, dengan sekuritisasi perusahaan
memungkinkan untuk akses langsung ke pasar modal, yang dalam banyak kasus
biayanya lebih rendah dibandingkan dengan biaya untuk menerbitkan instrument
utang secara langsung seperti obligasi atau commercial paper, dan (2) menghindari

22
Elena Loutskina and Philip E. Strahan, Securitization and Declining Impact of
Bank Finance on Loan Supply: Evidence From Mortgage Organitation, Journal of Finance,
Vol.64, No.2 (2009): 1; https://www.nber.org/papers/w11983
23
Ardin Simanjuntak, Manfaat Pembiayaan Sekunder Perumahan Khususnya Bagi
Industri Perbankan, Makalah Seminat SMF pada tanggal 10 Mei 2005 di Jakarta.
24
Terdapat 10 jenis risiko yang dihadapi oleh bank syariah yang harus dikelola
dengan baik, yaitu “Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional,
Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Strategik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil
(Rate of Return Risk), dan Risiko Investasi (Equity Investment Risk)”. Lihat, Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
25
Abdul Ghafar Ismail, Money, Islamic Banks and The Real Economy, (Singapore:
Cangange Learning, 2010), h.89; Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta:
FEUI Press, 2001), h.113
26
Sekuritisasi adalah “transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara
pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal dengan menerbitkan Efek Beragun Aset”.
Lihat, Pasal 1 angka 14 Perpres No. 19/2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
27
Contoh Amerika Serikat. Lihat Charles Austin Stone and Anne Zissu, The
Securitization Markets Handbook: Structures and Dynamics of Mortgage – and Asset
Backed Securities, (Princeton: Bloomberg Press, 2005), h.4
28
Andrew Davidson, Securitization Structuring and Investment Analysis, (New
Jersey: John Wiley & Son.Inc, 2003), h. 32; Deacon, John, Global Securitization and CDOs,
(New Jersey: John Wiley & Son Inc, 2004), h. 6

7
inefisiensi dari perantara. Selain itu, ketika sekuritisasi aset dalam bentuk
pinjaman, (3) sekuritisasi membantu mengubah pinjaman/tagihan menjadi uang
tunai, dimana bank dan pemberi pinjaman lainnya dapat membuat pinjaman
baru”.29
Penulis lain berpendapat bahwa sekuritisasi aset memberikan beberapa
manfaat baik bagi investor, originator maupun bagi perekonomian. Menurut
Santoso et al , bahwa manfaat untuk investor dari kegiatan sekuritisasi aset yaitu:
“(1) investor dapat berinvestasi pada aset berkualitas, (2) rendahnya default rate
karena terbaginya aset piutang ke dalam banyak debitur, (3) sesuai untuk investor
dengan kebutuhan pengembalian pokok yang lebih cepat, dan (4) profil rating EBA
yang tinggi dapat meningkatkan portofolio investasi secara keseluruhan”.30
Sementara itu, bagi originator manfaat yang diperoleh yaitu: “(1) meningkatkan
likuiditas, (2) memperoleh sumber dana (cost of fund) yang murah, (3)
memperbaiki tingkat kecukupan modal, (4) menutupi kesenjangan antara sumber
dana dan penggunaan dana, (5) menerima dana lebih awal, (6) memberi
kesempatan mengelola dana sehingga meningkatkan hasil investasi, (7) dan
meningkatkan kualitas aset/piutang yang pada gilirannya meningkatkan tingkat
solvabilitas”31 Selanjutnya, manfaat bagi industri itu sendiri dari kegiatan
sekuritisasi aset yaitu untuk mengakselerasi penyatuan keuangan dan menciptakan
keragaman investor (financial deepening). Dengan adanya penyatuan (integration)
ini dapat mengalirnya modal yang ada di pasar dan dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya shock antara suatu bank dengan lembaga keuangan yang
lain32
Sekalipun banyak manfaat dari kegiatan sekuritisasi aset, namun
pemanfaatannya oleh keuangan syariah pada saat ini belum memperoleh perhatian
yang cukup.33 Hal ini tentu saja, pelaku industri mempertimbangkan risiko dari
sekuritisasi aset itu sendiri. Menurut Schwarcz ada empat potensi negatif dari
sekuritisasi yaitu: “(1) belajar dari kasus “subprime mortgages” merupakan bentuk
aset yang cacat yang tidak bisa disekuritisasi; (2) model sekuritisasi yang
menghasilkan dana secara langsung (originate to distribute) mungkin akan

29
Steven l. Schwarcz, The Future of Securitization, Connecticut Law Review,
Volume 41, No.4 (May 2009): 1315. http://papers.ssm.com/sol3/papers.cfln?abswact_
id=569862).
30
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h.11.
31
Andrew Davidson, Securitization Structuring and Investment Analysis. ..., h.12
32
Sri Liani Suselo, Working Paper Sekuritisasi Aset..., h.12; Steven L. Schwarcz,
“The Alchemy of Asset Securitization”, Stanford Journal of Law, Business & Finance,
Vol.1, No.1(1994):133. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=868520
33
Perusahaan yang melakukan sekuritisasi aset masih terbatas, yaitu 9 perusahaan,
namun dilaksanakan di luar negeri. Yang diterbitkan di Indonesia hanya terdapat 1
perusahaan yaitu BTN dengan PT. SMF sebagai arranger pada tahun 2008-2010 dengan
nilai 1,2 triliun. Wijoyo Santoso, “Pemanfaatan Sekuritisasi Aset dalam Mendorong Sektor
Riil: Alternatif Pembiayaan UMKM”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.17,
No.2, (2014): 222. https://www.bmeb-bi.org/index.php/BEMP/article/view/50
8
menciptakan moral hazard; (3) sekuritisasi dapat menciptakan layanan yang
konflik; (4) sekuritisasi dapat mendorong model matematik yang berlebihan; dan
(5) investor dalam transaksi sekuritisasi mengandalkan lembaga pemeringkat”.34
Adanya potensi berdampak buruk sekuritisasi ini, merupakan bagian dari
tantangan dan hambatan bagi berkembangnya Efek Beragun Aset di Indonesia.
Sebagian investor masih merasa ada kekhawatiran kemungkinan terjadinya kasus
Subprime Mortgage di Amerika Serikat pada awal 2007-an terjadi Indonesia.35
Walaupuan tentu, kegiatan transaksi Efek Beragun Aset di Indonesia sangat
berbeda dengan yang ada Amerika Serikat, karena EBA yang ditransaksikan di
Indonesia relatif lebih “ketat” dan memiliki kualitas yang baik36
Pemerintah Indonesia telah berupaya mengembangkan sekuritisasi aset
antara lain melalui pengembangan pasar sekunder perumahan yang difasilitasi
melalui pendirian PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai persero yang
membantu lembaga keuangan dalam proses sekuritisasi aset.37 Pasar sekuder
perumahan ini nampaknya masih perlu dukungan dari para pemangku kepentingan
dalam menjalankan fungsinya sehingga bisa lebih optimal seperti lembaga yang
hampir sama di beberapa negara lainnya seperti Cagamas di Malaysia.38
Sebagaimana dijelaskan di atas, penyebab utamanya antara lain belum meratanya
pengetahuan masyarakat khususnya kalangan industri keuangan seputar proses
sekuritisasi aset, di samping boleh jadi regulasi yang ada belum mendukung secara
operasional proses tersebut dilaksanakan secara mudah.
Dari aspek regulasi, pelaksanaan konsep sekuritisasi aset ini di beberapa
negara juga beririsan dengan keberadaan sistem hukum yang dijalankan oleh
masing-masing negara, baik itu sistem common law39 atau civil law.40

34
Steven L. Schwarcz, The Future of Securitization, Connecticut Law Review, Vol.
4, No.4, (2009):1316 http://papers.ssm.com/sol3/papers. cfln? abswact_id=569862.
35
Douglas W. Arner, Paul Lejot and Lotte Schou-Zibell, The global credit crisis and
securitization in East Asia, Capital Markets Law Journal, University of Hong Kong Faculty
of Law Research Paper No. 10722/65436 Vol. 3, No. 3 (2008),291; https://papers.ssrn.com
/sol3/papers.cfm?abstract_id=1849454
36
Dyah Rahayu, Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Dalam Rangka
Mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan . Thesis: Universitas Airlangga,
Surabaya, (Tidak diterbitkan), 2013, h. 92
37
Keputusan Menteri Keuangan No.132/KMK/014/1998 tentang Perusahaan Fasilitas
Pembiayaan Sekunder Perumahan yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan
Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
38
Mohammad Ariff, Islamic Finance in Malaysia, (Kuala Lumpur: Pearson Malaysia
Sdn Bhd, 2017), h. 235; Asyraf Wajdi Dusuki (ISRA), Sistem Keuangan Islam, (Jakarta:
Rajawali press, 2015), h.461-464.
39
Sistem common law berasal dari Inggris dengan ciri utama menekankan putusan
pengadilan (case law) sebagai sumber utama. Sistem ini dianut oleh negara-negara bekas
jajahan Inggris seperti Amerika, Australia, Malaysia, Singapura, India dan Sri Langka.
Lihat, Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Disertasi, Program Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta (Tidak diterbitkan),1997, h. 47

9
Bagi sistem hukum yang relatif mudah menerima konsep trust,41 yaitu sistem
hukum common law - pada umumnya negara tersebut lebih mudah dalam
menjalankan transaksi sekuritisasi aset. Sebaliknya bagi negara yang tidak
mengakui atau kurang menerima konsep trust, yaitu sistem hukum civil law -
penerapan sekuritisasi aset menjadi satu kendala yang dihadapi, khususnya dari
aspek regulasi.42
Pada sistem hukum common law, karena mengenal dan mengakui konsep
trust dalam sistem hukumnya, maka proses peralihan dalam sekuritisasi aset dari
originator kepada pihak investor yang akan memiliki surat berharga, tidak menjadi
kendala besar. Hal ini karena dengan konsep trust tersebut “pihak yang pada
awalnya memiliki atas benda (settlor) dapat langsung menyerahkan kepemilikan
benda tersebut kepada pihak lain (trustee) untuk kepentingan pihak yang
memperoleh manfaat (beneficiary) tanpa perlu ada lembaga baru/tersendiri yang
menangani proses peralihan aset tersebut”.43 Dengan demikian, apabila konsep
kepercayaan semacam trust ini diterapkan dalam produk sekuritisasi aset, maka
investor yang membeli piutang bertindak seolah-olah sebagai settlor. Sejak awal
settlor berdasarkan kepercayaan (trust) menyerahkan kepemilikan atas aset kepada
investor dalam kapasitas seolah-olah sebagai trustee/legal owner, yang aset
tersebut langsung atas nama investor/Nasabah. Nasabah sebagai trustee dapat
mengurus, mengelola, dan menguasai benda tersebut.
Hal ini berbeda dengan yang belum mengakui trust, yang harus dibentuk
lembaga tersendiri. Bagi negara yang tidak mengakui konsep trust, proses peralihan
milik dalam sekuritisasi tersebut ditangani oleh suatu lembaga khusus yang
berfungsi sebagai pemilik aset (legal owner). Kemudian pemilik aset tersebut
“mendayagunakan” aset atas namanya melalui instrumen pasar modal dengan

40
Sistem Civil Law berasal dari Perancis dengan ciri utama menekankan peraturan
perundang-undangan sebagai sumber hukum utama. Sistem ini dianut oleh Perancis,
Belanda dan bekas jajahannya serta negara-negara Eropa Kontinental. Indonesia
berdasarkan asas konkordansi termasuk negara yang menganut sistem civil law. Sri Gambir
Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama..., h. 48
41
Roger Douglas & Jane Knowler, Trust in Principle, (Sydney: Lawbook Co., 2006),
h.2; Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 8th ed., (St. Paul, Minnesota: West Group,
1999), h.1546; Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan
UU Pasar Modal, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 97.
42
Konsep “trust dalam sistim common law memberi pengertian hukum bahwa pihak
yang menguasai aset atau benda tidak selalu pemilik dari benda tersebut, artinya dalam
sistem common law mengenal adanya pemisahan antara penguasaan dan kepemilikan”. Hal
ini berbeda dengan sistem civil law bahwa “hak penguasaan dan kepemilikan atas benda
tidak terpisah melainkan suatu kesatuan”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1977
KUHPerdata bahwa ”siapa yang menguasai barang bergerak dianggap sebagai pemilik
barang tersebut”. Lihat, Gemala Dewi, Kontrak Investasi Reksadana Syariah di Indonesia,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta (Tidak diterbitkan), 2010, h. 158 dan 171-172.
43
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata ..., h. 97

10
menerbitkan surat berharga. Lembaga tersebut sering dinamakan special purpose
vehicle (SPV) 44 atau conduit.45
Dalam kontek sekuritisasi aset berdasarkan Prinsip Syariah, proses
sekuritisasi juga masih terdapat permasalahan. Di antara permasalahan yang
muncul adalah terkait dengan aset yang menjadi dasar penerbitan, mekanisme atau
struktur transaksi dan akad yang digunakan dalam sekuritisasi yang sejalan dengan
Prinsip Syariah.46 Dalam konsep konvensional secara umum sekuritisasi tidak wajib
ada aset yang mendasarinya, dan proses peralihan hak atas tagihan dilakukan
melalui transaksi pass-throught/true sale (jual putus/pindah tangan) atau pay
throught/with recourse (salur bayar).47 Pass throught/true sale adalah “pengalihan
piutang melalui jual beli secara lepas atau jual putus dari originator kepada investor
sehingga kepemilikan dan risiko beralih menjadi milik investor. Piutang tidak lagi
dicatat dalam neraca originator sekalipun originator memperoleh fee atas pelayanan
administrasi yang dilakukannya (service fee)”. Dalam pay throught/with recourse,
originator tetap sebagai pemilik piutang dan piutang tersebut masih tercatat atas
namanya, sementara pembayaran piutangnya langsung diserahkan kepada
investor.48

44
Di banyak negara yang menerbitkan sekuritisasi aset- salah satunya dalam bentuk
sukuk, maka peran SPV sangat penting baik dalam penerbitan sukuk korporasi maupun
sukuk Negara. Di Indonesia, pengaturan SPV untuk sukuk Negara sudah diatur dalam
UUNo. 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan PP No. 59 Tahun 2012 tentang Pendirian
Perusahaan Penerbit SBSN. Pengaturan untuk sukuk korporasi yang tunduk pada UU Pasar
Modal belum ada pengaturan mengenai SPV. Kalaupun dimungkinkan pendirian SPV untuk
sukuk korporasi, maka mengacu kepada UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan. Namun
penerapan UU PT untuk SPV menurut beberapa ahli, tidak sesuai dengan karakteristik dari
perusahaan SPV baik dari sisi tujuan, modal, organ dan anggaran dasar perusahaan. Lihat,
Dinda Imani Khamasasiyah, dkk, “Analisa Hukum Penggunaan Special Purpose Vehicle
untuk Sukuk Korporasi di Indonesia: Usaha Peningkatan Jumlah Investor”, dalam OJK dan
IAEI, Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah IV,
(Jakarta: OJK, 2015), h.33
45
Conduit sama dengan SPV, yang membedakannya yaitu conduit bisa memperoleh
piutang dari berbagai institusi yang berbeda sementara SPV hanya dari satu institusi. Lihat
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata ..., h. 97.
46
“We have identified four main issues of concern to Islamic institutions: The type
of asset must be acceptable to Islamic investors; The structures to be used must be
acceptable; A sufficient element of ownership must be conveyed to comply with Islamic
principles governing asset sales and assignments; and Any form of credit enhancement must
be in a permissible form”. Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic Securititation:Practical Aspect,
Director Jersey ii-online.com, ltd. Geneva. Paper dipresentasikan pada World Conference
on Islamic Banking di Geneva, 8 Juli, 1998, h. 3. http://www.iefpedia.com/english/wp-
content/uploads/2009/09/Islamic-Securitisation-Practical-Aspect .pdf
47
Sutan Remy Sjahdeini, “Asset Back Securitization dan Aspek Hukumnya”, dalam
Kapita Selekta Perbankan, (Jakarta: Grafindo, 2009), h. 125
48
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset ..., h.10.

11
Dari aspek syariah,49 keberadaan aset yang menjadi dasar (underlying)
sekuritisasi menjadi bagian sangat penting dan krusial. Underlying asset tersebut
dapat berupa aset berbasis aset riil (asset based securities) maupun aset yang
melekat dan dijamin sepenuhnya oleh aset riil/beragun aset (asset backed
securities).50 Terhadap kedua jenis underlying asset tersebut, terdapat perbedaan
perlakuan dalam proses sekuritisasi yang dilakukan. Untuk yang pertama tidak
terjadi jual putus (true sale) atas aset karena aset masih tetap dalam neraca
originator. Untuk yang kedua terjadi jual putus (true sale) atas aset dan aset beralih
kepada pihak ketiga/SPV. 51
Di samping itu dari struktur dan akad yang digunakan, dalam konsep syariah
perlu diformulasikan secara khusus terutama apabila aset yang dipindahkan atau
dijualbelikan adalah berupa tagihan atau piutang.52 Permasalahannya adalah apakah
piutang bisa dialihkan secara langsung dengan jual beli sebagaimana jual beli suatu
komoditas atau harus melalui proses tertentu terlebih dahulu sehingga sejalan
dengan prinsip syariah.53
Dengan memperhatikan praktik sekuritisasi aset secara syariah yang sudah
dilakukan oleh beberapa lembaga di luar negeri,54 diketahui bahwa persoalan
kesyariahan dalam proses sekuritisasi aset tersebut adalah berkaitan dengan
keberadaan aset yang dijadikan dasar dan struktur akad serta mekanisme yang
dilakukan menjadi suatu pembahasan yang beragam yang menjadikan produk
sekuritisasi yang dijalankan sesuai dengan prinsip syariah atau sebaliknya.55

49
Prinsip Syariah adalah “prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah” (Pasal 1 angka 12 UU No 21/2008 tentang Perbankan
Syariah)
50
Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, “Issues in Islamic Debt Securitization”, dalam
Mohd Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah, “Essential Reading In Islamic Finance, Kuala
Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008, h.462-464; Dahlan Siamat, “Pengembangan Industri
Keuangan Syariah yang Berbasis Proyek dan Pembangunan Infrastruktur”, dalam Otoritas
Jasa Keuangan: Bunga Rampai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Keuangan
Syariah, (Jakarta: OJK, 2017), h. 141.
51
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley & Sons,
2007), h.389; Muhammad Usman Syubair, Al-Mu’a@malah Al-Ma@liyah Al-Mu’a@s}irah Fi@ Al-
Fiqh Al-Isla@mi, (Jordan: Dar al-Nafais, 1996), h.269;
52
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat{bi@qa@tuhu@ al-Mu’as}irah Fi@
al-Fiqh al-Isla@mi, (Riyadh: Dar al-Maima@n, 2012), Jilid I, h.111; Nazih Hammad, Bai’ al-
Dain bi al-Dain-Qad}a@ya@ Fiqhiyyah Ma@liyah Mu’as}irah, (Damaskus: Da@r al-Qalam, 2001), h.
196.
53
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu@ al-Mu’as}irah...,
h.111.
54
Praktik sekuritisasi aset secara syariah di luar negeri antara lain dilakukan oleh
Malaysia, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, dan lembaga IDB. Bapepam-LK, Kajian
Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi Syariah (Efek Beragun Aset
Syariah), (Jakarta: Bapepam-LK, 2010), h. 65-67
55
M.Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Financing, (Pakistan: Maktaba
Ma’a@riful Qur’an, 2002), h. 95; Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance...,,h.172.

12
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sudah menetapkan Fatwa
terkait sekuritisasi yang disahkan pada bulan Februari dan bulan November 2018.56
Dengan adanya fatwa sekuritisasi ini, menjadi dasar bagi industri keuangan dan
juga regulator untuk mengatur tentang sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah ini
dan mengimplementasikannya.
Dalam kontek landasan hukum yang ada di Indonesia,57 pelaksanaan
sekuritisasi dapat merujuk pada ketentuan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2008 jo. No.19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan, dan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN). Dari ketentuan perundang-undangan tersebut,
secara garis besar pola sekuritisasi di Indonesia yaitu dengan pola Kontark Invetasi
Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) dan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi
(EBA-SP) melalui perusahaan penerbit (PT.Sarana Multigriya Finansial-SMF), dan
Perusahaan Penerbit SBSN (khusus untuk SBSN/sukuk negara).58
Dari aspek budaya LKS dalam pengembangan dan inovasi produk, LKS
umumnya dalam proses inovasi produk tersebut mempertimbangkan manfaat
(benefit), biaya (cost) dan risiko (risk) yang dihadapi.59 Secara umum, apabila
manfaatnya lebih tinggi dan biaya serta risikoknya rendah, maka akan mendapat
prioritas untuk dijalankan. Namun apabila sebaliknya, maka umumnya pelaku

56
Fatwa DSN-MUI tentang sekuritisasi yang sudah disahkan pada tanggal 22
Februari 2018 oleh Dewan Pleno DSN-MUI adalah fatwa No: 120/DSN-MUI/II/2018
Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; dan No:
121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP)
Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya pada tanggal 08 November 2018 disahkan juga
dalam rapat pleno DSN-MUI Fatwa No. 125/DSN-MUI/IX/2018 tentang Kontrak Investasi
Kolektif- Efekberagun Aset (KIK-EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.
57
Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pelaksanaan sekuritisasi antara
lain: Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan
Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah; Peraturan Presiden No.1 tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No.19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder
Perumahan. Dalam Peraturan Presiden No.1 tahun 2008 tersebut dijelaskan bahwa
pembelian kumpulan aset keuangan (piutang) dari kreditor asal oleh Penerbit dilakukan
dengan cara cessie sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 613 KUH Perdata. Dengan
peralihan piutang secara cessie tersebut, maka piutang dan perjanjian ikutannya (Hak
Tanggungan) beralih kepada Penerbit.
58
Dinda Imani Khamasasiyah, dkk, “Analisa Hukum Penggunaan Special Purpose
Vehicle untuk Sukuk Korporasi di Indonesia: Usaha Peningkatan Jumlah Investor” dalam
OJK & IAEI, Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah
IV, (Jakarta: OJK, 2015), h.33-61
59
Fouad H. Al-Salem, “Islamic financial product innovation”, International Journal
of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Emerald Group Publishing
Limited, Vol.2 No.3(2009): 187-200; Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial
Engineering and Islamic Contract, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), h.3
13
industri akan bersikap menunggu dan melihat yang lain menjalankan terlebih
dahulu termasuk dalam masalah penerapan sekuritisasi aset ini.60
Sehubungan dengan masih banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan
sekuritisasi aset berbentuk EBA ini, khususnya ditinjau dari aspek syariah, aspek
regulasi dan inovasi produk, maka perlu dilakukan penelitian mengenai hal
dimaksud. Perlunya penelitian ini dilakukan agar diketahui persoalan yang dihadapi
oleh bank syariah khususnya pada saat akan menerbitkan EBA serta faktor-faktor
yang mempengaruhi bank syariah belum banyak yang melakukan penebitan EBA
ini. Hal ini karena nampak masih terdapat keengganan bagi sebagian besar pelaku
industri bank syariah untuk menjajagi penerbitan EBA.61
Penelitian ini juga perlu dilakukan agar pelaku industri bank syariah
menyadari pentingnya inovasi dan pengembangan produk dan menggugah
kesadaran bahwa dalam pengembangan inovasi produk baru akan selalui
dihadapkan pada berbagai persoalan. Namun setiap persoalan yang ada, apabila
disikapi secara bijak dan proporsional akan selalu ada jalan keluarnya. Apalagi
produk EBA ini merupakan produk yang sudah dijalankan secara best practis di
banyak negara oleh berbagai lembaga termasuk lembaga keuangan.62 Dengan
melihat praktik di berbagai negara tersebut, dapat menjadi bahan pertimbangan
untuk bisa menilai kelebihan dan kekurangan serta manfaat dan risiko dari produk
EBA ini. Di samping itu, dengan memiliki pemahaman yang baik terhadap suatu
produk maka persoalan yang ada dari produk tersebut dapat dilakukan mitigasi
risiko sedini mungkin dan pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi bank
syariah. Mengingat bank syariah pada umumnya menghadai persoalan kekurangan
likuiditas, maka dengan penerbitan EBA melalui undelying aset pembiayaan yang
dimiliknya, diharapkan dapat mengatasi sebagian persoalan liquidity mismatch dan
terbatasnya sumber pendanaan.
Dengan berkembangnya alternatif pendanaan melalui sekuritisasi aset
berbentuk EBA ini, akan berdampak pada meningkatnya pembiayaan kepada sektor
riil (perumahan dan infrastruktur khususunya) pada satu sisi dan pada sisi lain
dapat meningkatkan ekonomi nasional secara keseluruhan.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan terkait dengan penelitian ini dapat diidentifikasi


antara lain:

60
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
(Birmingham: Springer, 2017), h.91; Fouad H.Al-Salem, Islamic financial product
innovation..., h.189
61
Sampai akhir 2019, baru terdapat 1 bank syariah yang sedang proses penerbitan
EBA, yaitu telah dijualnya aset pembiayaan ke PT. SMF sebagai penerbit.
62
Lihat pembahasan praktek EBA di beberapa negara sebagaimana ditulis di Bab III
disertasi ini.

14
a. Adanya kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan dengan besarnya jumlah
pembiayaan yang disediakan oleh Lembaga Keuangan syariah untuk
memenuhinya terutama untuk pembiayaan perumahan dan infrastruktur.
b. Terjadinya mismatch antara jangka waktu penghimpunan dana (funding)
dengan penyaluran dana (financing) di lembaga keuangan khususnya
perbankan syariah, sehingga alokasi dan distribusi untuk pembiayaan jangka
panjang relatif terbatas.
c. Transaksi sekuritisasi aset berbentuk Efek Beragun Aset (EBA) belum
menjadi alternatif bagi sumber pendanaan di lingkungan industri keuangan
syariah, karena dinilai masih terdapat hambatan dari aspek syariah khususnya
terkait aset, akad dan mekanisme pelaksanaannya.
d. Belum adanya kesamaan pandangan dari regulator terkait dengan
pelaksanaan sekuritisasi aset sehingga terjadi hambatan dan kendala dalam
pelaksanaannya yang menurunkan minat pelaku industri untuk menjadikan
sekuritisasi aset sebagai pilihan utama dalam memperoleh pendanaan
(resourse fund).
e. Praktisi keuangan cenderung bersifat pragmatis dalam menggunakan produk
dan akad yaitu hanya produk dan akad yang mudah dan simpel dijalankan
namun memberikan return positif dari pada menggunakan produk dan akad
yang canggih (sophisticated) dan berjangka lama.

2. Perumusan Masalah
Dari ruang lingkup pembahasan di atas, permasalahan utama yang akan
dijawab dalam disertasi ini adalah: Apa pertimbangan pelaku industri bank syariah
Indonesia untuk melakukan atau tidak melakukan pengembangan inovasi produk
berupa sekuritisasi berbentuk Efek Beragun Aset (EBA) sebagai alternatif
pendanaan ditinjau dari aspek syariah, aspek hukum, dan aspek budaya kerja pelaku
bank syariah?
Permasalahan utama ini diuraikan dalam pertanyaan-pertanyaan minor
berikut, yaitu:
a. Apa saja kendala aspek syariah terkait underlying asset, akad dan
struktur/mekanisme yang dijalankan dalam sekuritisasi aset berbentuk EBA
Syariah?
b. Apa saja permasalahan hukum yang dihadapi industri bank syariah pada saat
pelaksanaan sekuritisasi aset berebentuk EBA Syariah?
c. Apa penilaian (respon) pelaku industri bank syariah terhadap inovasi produk
baru berupa penerbitan sekuritisasi aset berbentuk EBA Syariah?

3. Pembatasan Masalah
Mengingat pembahasan sekuritisasi aset memiliki cakupan yang luas, namun
penelitian dari aspek syariah belum banyak dilakukan, maka penelitian disertasi ini
membatasi masalah pada respon Bank Syariah Indonesia terhadap pelaksanaan
sekuritisasi aset dalam bentuk Efek Beragun Aset (EBA) ditinjau dari aspek
syariah, sistem hukum dan regulasi yang ada, dan budaya di bank syariah terhadap
pelaksanaan produk baru.

15
Pada dasarnya penerapan sekuritisasi aset oleh Lembaga Keuangan Syariah
tidak hanya dapat dilakukan oleh bank syariah saja. Lembaga keuangan syariah lain
seperti Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan Modal Ventura Syariah
dapat juga menjadikan produk sekuritisasi aset sebagai sumber pendanaan untuk
memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Bahkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah
dan Perusahaan Modal Ventura Syariah, penerbitan sekuritisasi aset menjadi suatu
sumber pendanaan penting yang secara tegas disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan. Bahkan bagi kedua lembaga keuangan syariah terakhir
terdapat penegasan larangan memperoleh dana dari melakukan penghimpunan dana
secara langsung kepada masyarakat sebagaimana dilakukan oleh perbankan
syariah.63
Pilihan penelitian ini hanya terhadap respon perbankan syariah didasarkan
pada pertimbangan bahwa: pertama, perbankan syariah selama ini menjadi
penggerak awal dalam pengembangan keuangan syariah di Indonesia; kedua sektor
keuangan di Indonesia didominasi oleh perbankan (sekitar 80%); dan ketiga
pembiayaan berjangka panjang selama ini banyak dilakukan oleh perbankan
(syariah) terutama untuk perumahan dan infrastruktur yang bisa sampai 20-25
tahun.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Mengelaborasi pertimbangan pelaku industri bank syariah di Indonesia untuk
melakukan atau tidak melakukan penerbitan sekuritisasi aset berbentuk Efek
Beragun Aset Syariah (EBAS) sebagai alternatif pendanaan untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas bank syariah itu sendiri. Perspektif dilihat dari aspek
kesyariahan sekuritisasi, sistem hukum dan regulasi yang ada, dan budaya kerja
bank syariah dalam menyikapi produk baru.
2. Tujuan Khusus
a. Mengelaborasi konsep sekuritisasi aset yang sejalan dengan prinsip syariah
berikut dengan akad-akad yang dapat digunakan dalam proses sekuritisasi
aset tersebut.
b. Melakukan elaborasi atas permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam
pelaksanaan sekuritisasi aset dalam bentuk EBA berdasarkan prinsip syariah
dan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
c. Mengkaji penilaian pelaku industri bank syariah terhadap pengembangan
dan inovasi produk baru berupa sekuritisasi aset berbentuk EBA sebagai
alternatif pendanaan untuk meningkatkan likuiditas dan portofolio
pembiayaannya.

63
Pasal 37 POJK No. 31/Pojk.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan
Syariah; Pasal 36 POJK No.35 /Pojk.05/2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Modal Ventura.

16
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini baik ditinjau dari aspek teoritik maupun aspek praktis memiliki
manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi mengenai konsep sekuritisasi aset yang dijalankan
oleh lembaga-lembaga pembiayaan yang menjalankan kegiatan sekuritisasi
aset selama ini.
2. Memberikan informasi tentang konsep sekuritisasi aset yang sejalan dengan
prinsip syariah berikut dengan akad yang dapat digunakan dalam proses
sekuritisasi aset.
3. Memberikan jawaban praktis dan substansial atas berbagai kendala yang
dihadapi dalam melakukan sekuritisasi aset berdasarkan prinsip syariah
khususnya bagi pelaku industri Lembaga Keuangan Syariah dan Pihak-Pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
4. Menjadi bahan masukan bagi regulator yang menangani sekuritisasi aset
tentang perlunya ketentuan atau peraturan tentang sekuritisasi aset
berdasarkan prinsip syariah.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Sekuritisasi aset sebagai produk keuangan sudah dijalankan dan menjadi best
practis di banyak Negara. Lembaga keuangan maupun non-lembaga keuangan telah
menjadikan sekuritisasi aset sebagai media untuk memperoleh dana dari publik,
baik domestik maupun internasional.64 Oleh karenanya, kajian literatur dan studi
empiris tentang sekuritisasi aset telah banyak dilakukan oleh akademisi, peneliti
maupun praktisi secara individu maupun kelembagaan.
Umumnya kajian dari sekuritisasi aset hanya membahas manfaat dan tujuan
dari sekuritisasi serta potensi kendala penerapannya. Di samping itu, kajian yang
telah dilakukan juga umumnya banyak menggunakan pendekatan keuangan
konvensional.65 Kajian dari perspektif keuangan syariah tentang sekuritisasi aset
masih sangat terbatas dan parsial, dan juga kajiannya baru bermunculan terutama
setelah terjadinya krisis sub prime mortgage pada tahun 2007-an di Amerika
Serikat.
Dari penelusuran yang dilakukan penulis terhadap berbagai kajian
sekuritisasi aset tersebut dapat diklasifikasikan paling tidak terdapat 4 bagian besar
literatur terkait sekuritisasi aset, yaitu:
1. Pendekatan kajian yang melihat sekuritisasi aset sebagai produk keuangan yang
memiliki daya tarik bagi investor (karena dinilai biayanya lebih murah, lebih
hemat dan lebih pasti), dan memperoleh dana tunai lebih cepat bagi originator
(karena masa waktu pinjaman nasabah yang berjangka panjang). Namun produk
ini memiliki profil risiko tinggi sebagaimana kasus subprime mortgage di

64
Steven l. Schwarcz, “The Future of Securitization”, Connecticut Law Review,
Vol.41, No.4 (2009):1315. http://papers.ssm.com/sol3/papers.cfln? abswact_id=569862.
65
Charles Austin Stone & Zissue, Anne, The Securitization Markets Handbook,
Structure and Dynamics of Mortgage – and Asset- Backed Securities, (Princeton:
Bloomberg Press, 2005); dan John Deacon, Global Securitization and CDOs, (John Willy &
Son Ltd, 2004).

17
Amerika Serikat tahun 2007-an. Pendekatan kajian ini mendorong dalam
penerapan sekuritisasi aset perlunya pengendalian dan mitigasi risiko yang lebih
prudent tidak hanya pada aspek teknis-matematis tetapi juga mendasarkan pada
aspek budaya dan religiusitas. Di samping itu, karena produk keuangan bentuk
sekuritisasi aset ini melampaui lintas sektor, maka fungsi pengawasan
intermediari keuangan mengalami perubahan tidak hanya terbatas pada bank
saja, tetapi terdapat lembaga lain yang regulasi dan pengawasannya tidak sama
dengan bank. Pendapat ini dikemukakan antara lain dari kajian dan/atau
penelitian yang dilakukan oleh Abdel salam dkk,66 Nicola Cetorelli & Stavros
Peristiani67, Gary Gorton & Andrew Metrick,68 Loutskina dan Strahan,69 dan
Steven l. Schwarcz,70 dan Alfredo Martin Oliver & Jesus Saurina.71 Uraian dari
masing-masing penulis tersebut sebagaimana di bawah ini.
Abdel salam, dkk,72 dalam tulisannya berjudul “Asset Securitization and
Bank Risk: Do Religiosity or Ownership Structure Matter”, menyimpulkan
bahwa bank dengan aktivitas sekuritisasi yang lebih tinggi secara konsisten
menunjukkan profil berisiko yang lebih tinggi, dan rasio kredit bersih yang lebih
tinggi terhadap total aset. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pengendalian risiko oleh bank Islam, secara umum, menunjukkan pendekatan
konservatif terhadap risiko dengan menjaga cadangan lebih tinggi dan likuiditas
lebih banyak. Di samping itu, pengendalian religiusitas dalam suatu negara
menunjukkan profil risiko bank yang berbeda-beda dengan ambang religiusitas
yang berbeda pula. Hasil penelitian lainnya adalah penekanan pentingnya
mengidentifikasi dampak dari jenis bank dan faktor religiusitas / budaya dalam
studi perbankan global.
Nicola Cetorelli & Stavros Peristiani dalam tulisannya “The Role of
Banks in Asset Securitization”,73 menyimpulkan bahwa intermediasi keuangan

66
Omneya H Abdel salam, Sabur Mollah, dan Marwa Elnahass, Asset Securitization
and Bank Risk:Do Religiosity or Ownership Structure Matter?, (2017). http://www.
researchgate. net/ publication/ 316924225.
67
Nicola Cetorelli & Stavros Peristiani, “The Role of Banks in Asset Securitization”,
FRBNY Economic Policy Review, Federal Reserve Bank, New York, (2012):47.
https://www.semanticscholar.org/paper/The-Role-of-Banks-in-Asset-Securitization
68
Gary Gorton & Andrew Metrick, “Securitization”, dalam “Handbook of
theEconomics of Finance”, Vol.2 Part A (2013):2. https://www.nber.org/papers/w18611.
pdf
69
Elena Loutskina and Philip E. Strahan, Securitization and Declining Impact of
Bank Finance on Loan Supply: Evidence From Mortgage Organitation, Journal of Finance,
Vo.64, No.2 (2009): 861-922. https://www.nber.org/papers/w11983
70
Steven L. Schwarcz, “The Future of Securitization”, Connecticut Law Review,
Vol.41, No.4 (2009):1315, http://papers.ssm.com/sol3/ papers. cfln?abswact_id=569862.
71
Alfredo Martin Oliver & Jesus Saurina, Why Do Bank Securitize Asset, November
2007. www.uibcongres.org/imgdb/archivo_dpo3736.doc
72
Omneya H Abdel salam, Sabur Mollah, dan Marwa Elnahass, Asset Securitization
and Bank Risk ....
73
Nicola Cetorelli & Stavros Peristiani, The Role of Banks in Asset Securitization ...,
h.47

18
telah berkembang semakin kompleks dalam beberapa dekade terakhir. Sistem
intermediasi keuangan, yang sebelumnya didominasi oleh perbankan, kini
intermediari keuangan tersebut dapat dilakukan oleh banyak lembaga lain yang
lebih spesifik. Transformasi dalam intermediasi ini menimbulkan pertanyaan
tentang peran bank, peran pengawasan dan regulasi terkait risiko, karena risiko
sistemik mungkin bermigrasi keluar dari jangkauan regulator dan pembuat
kebijakan. Oleh karena itu, dalam kontek sekuritisasi penulis melihat empat
pihak utama dalam sekuritisasi yaitu penerbit, penjamin emisi, pemberi jasa, dan
wali amanat, sebagai pihak yang berpengaruh dalam proses intermediari
dimaksud, sekalipun regulasi dan pengawasannya berbeda dengan bank. Namun
demikian, apabila dikaji lebih dekat bank masih memainkan peran sentral, dan
karenanya penting dipertimbangkan penilaian peran pengawasan dan regulasi
sistem keuangan di masa depan.
Gary Gorton & Andrew Metrick dalam tulisannya berjudul
“Securitization”, 74 menegaskan bahwa sekuritisasi tidak hanya penting karena
jumlahnya signifikan, namun juga secara teoritis menjadi tantangan bagi
intermediasi keuangan. Hal ini karena fungsi bank sebagai intermediasi
keuangan yang memberikan pinjaman kepada nasabah sampai jatuh tempo yang
disepakati, dengan sekuritiasi aset ini, bank tidak lagi menunggu asetnya
dikelola sampai jatuh tempo. Karenanya, konsep sekuritisasi mengaburkan
batas antara obligasi dan pinjaman, yang secara tradisional telah mengubah cara
pandang bank terkait penyaringan (screening)(baca: analisa pembiayaan) dan
pengawasan (monitoring) yang selama ini dijalankan oleh bank itu sendiri. Di
samping itu, masih ada permasalahan lain yang perlu diperhatikan dalam
sekuritisasi, yaitu terkait permasalahan hukum, akuntansi, dan regulasi.
Schwarcz dalam artikelnya berjudul “The Future of Securitization,”75
menyimpulkan antara lain bahwa “sekuritisasi merupakan suatu proses di mana
perusahaan dapat meningkatkan pembiayaan berbiaya rendah dengan
mengalokasikan risiko aset secara efisien, telah menjadi sarana pembentukan
modal yang paling dominan dan paling cepat berkembang di Amerika Serikat
dan dunia”. Namun demikian, dengan terjadinya krisis keuangan karena kasus
subprime mortgage di Amerika Serikat, telah memunculkan cacat tertentu dari
sekuritisasi yang digunakan. Artikel ini lebih lanjut meneliti cacat-cacat dari
sekuritisasi ini dan sejauh mana seharusnya diperbaiki ke depan.
Loutskina dan Strahan76 menyimpulkan bahwa “sekuritisasi dapat
mempercepat penyatuan keuangan dan memperluas penyebaran investor”.
Dengan penyatuan tersebut dapat terjadi aliran modal di antara pasar keuangan
yang ada baik domestik maupun internasional. Di samping itu dapat terhindar
dampak sistemik bagi bank karena sudah melakukan mitigasi secara baik.

74
Gary Gorton & Andrew Metrick, Securitization..., h. 2
75
Steven l. Schwarcz, The Future of Securitization..., h.13-15
76
Loutskina and Strahan, Securitization and Declining Impact ..., h. 861

19
Alfredo Martin Oliver & Jesus Saurina dalam tulisannya “Why Do Bank
Securitize Asset? “77 menyimpulkan bahwa gejolak keuangan yang timbul di
pasar keuangan menjadi pelajaran penting untuk memahami sekuritisasi aset.
Karakter originate-to-distribute dari sekuritisasi mengandung beberapa maksud
bagi bank yaitu agar bank mengelola dengan baik pinjaman yang diberikan dan
mengumpulkannya kemudian mengalihkan risiko kredit kepada investor atau
pihak ketiga. Dalam artikel ini penulis menguraikan kepentingan relatif
terhadap kebutuhan likuiditas, profil risiko, peran regulator dalam proses
sekuritisasi, dan jenis aset yang mendukung pelaksanaan sekuritisasi, terutama
untuk perusahaan kecil dan menengah.

2. Pendekatan kajian yang melihat sekuritisasi aset dari perspektif hukum Islam.
Beberapa penulis yang telah melakukan kajian antara lain tulisan yang
dikemukakan oleh Raihana Hamzah,78 Casper Van Hilten,79 Rosalan Ali,80 Ali
Muhyiddin Al-Qurhu Daghi,81 Manna Khalid Farhat,82 Kamil,83 Sulaiman Abdi
Dualeh,84 Andreas A. Jobst,85 dan Muhammad Ayub.86 Substansi dari kajian dan
tulisan tersebut sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

77
Alfredo Martin Oliver & Jesus Saurina, Why Do Bank Securitize Asset....
78
Siti Raihana Hamzah, Debt and Debt-Risk Sukuk Related to Risk Shifting
Behavior, World Academy of Science, Engineering and Technology International Journal of
Economics and Management Engineering Vol:10,No:2(2016).https://waset.org/publications
/10003712/debts-and-debt-based-sukuk-related-to-risk-shifting-behavior
79
Casper Van Hilten, Islamic Securitization by Means of Sukuk and the Struggle for
Shari’ah Compliance, Dissertation, Arabic & Islam Faculty of Humanities, Utrecht
University, 2014, h.11
80
Rosalan Alia, Shafinar Ismail, Mohammed Hariri Bakri, A Comparative Analysis
of Conventional and Shari’ah for Residential Mortgage-Backed Securities, International
Conference on Economics and Business Research 2013 (ICEBR 2013).
81
Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi, al-Shukuk al-Islamiyyah: al-Tauriq wa
Tathbi@qatuha@ al-Mu’ashirah, Majma’ Al-Fiqh Al-Isla@mi al-Dauli, (2013), file:///C:/Users/
acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-37-34%20(5).pdf
82
Manna Khalid Farhat, Tauri@q al-Dain al-Taqli@di wa al-Islami@ (Dirasah
Muqa@ranah), Jurnal Ekonomi dan Perundang-undangan, Fakultas Ekonomi Universitas
Damaskus, Vol.29. 1, (2013).221. https://www.academia.edu/12161706/
83
Karmila Hanim Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar Ismail,
"The subprime mortgages crisis and Islamic securitization ", International Journal of Islamic
and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 3, Issue: 4(2015):386-401, doi:
10.1108/17538391011093315 Permanent link to this document:http://dx.doi.org/10.1108/
17538391011093315.
84
Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic Securititation:Practical Aspect, Director Jersey ii-
online.com, ltd. Geneva. Paper dipresentasikan pada World Conference on Islamic Banking
di Geneva, 8 Juli, 1998, h. 3. http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2009/09/
Islamic-Securitisation-Practical-Aspect .pdf
85
Andreas A. Jobst, “The Economics of Islamic Finance and Securitization, IMF
Working Paper, Monetary and Capital Markets Department, Agustus 2007. https:// www.
imf.org/external/pubs/ft/wp/2007/wp07117.pdf

20
Siti Raihana Hamzah dalam “Debt and Debt-Risk Sukuk Related to Risk
Shifting Behavior”,87 menguraikan bahwa “telah terjadi pergeseran risiko (shifting
risk) dalam sistem pembiayaan utang sebagai penyebab utama krisis keuangan
global. Sebaliknya, pembagian risiko (sharing risk) dalam pembiayaan ekuitas
seperti sukuk membantu sistem ekonomi menjadi lebih baik dan berkelanjutan”.
Namun demikian, beberapa jenis sukuk dihantui oleh isu peniruan dengan obligasi.
Para kritikus pada isu imitasi ini tidak hanya telah menimbulkan keraguan pada
kemampuan sukuk untuk mengurangi perilaku pengalihan risiko tetapi juga
kemampuan instrumen keuangan Islam untuk memastikan stabilitas keuangan masa
depan yang lebih baik. Makalah ini mendiskusikan kemungkinan sukuk dapat
mendorong pergeseran risiko dan pembiayaan ekuitas dapat membantu sukuk untuk
bebas dari perubahan risiko.
Rosalan Alia, Shafinar Ismail, dan Mohammed Hariri Bakri dalam “A
Comparative Analysis of Conventional and Shari’ah for Residential Mortgage-
Backed Securities”,88 menyatakan bahwa “Mortgage Backed Security (MBS)
perumahan syariah yang dikeluarkan oleh Cagamas Malaysia lebih baik dari pada
konvensional dengan melihat tahun penerbitan yang sama, nilai rating dan periode
jatuh tempo”. Penilaian dilakukan terhadap kinerja keuangan secara komparatif -
untuk MBS syariah dan MBS konvensional- yang diukur dengan rasio keuangan
utama baik profitabilitas, kapitalisasi dan cakupan utang untuk satu tahun
sebelumnya, selama setahun dan satu tahun setelah setiap penerbitannya.
Menariknya, inisiasi MBS Syariah telah menunjukkan biaya pembiayaan yang lebih
murah untuk Cagamas sebagai penerbit dan pengembalian investasi yang jauh lebih
baik bagi investor. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan
penulis bahwa “MBS Shari'ah memiliki kinerja lebih baik dari pada MBS
konvensional”.
Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi dalam “al-Shukuk al-Islamiyyah : al-Tauri@q”
wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah”, 89 dan Manna Khalid Farhat dalam “Tauri@q al-Dain
al-Taqli@di wa al-Isla@mi (Dira@sah Muqa@ranah)”,90 berisi tentang uraian mengenai
pemahaman sekuritisasi, motivasi sekuritisasi, jenis sekuritisasi, mekanisme dan
tahapan sekuritisasi, ketentuan fikih terkait sekuritisasi, pihak-pihak dalam
sekuritisasi, aset yang diharamkan dalam sekuritisasi, pengawasan proses
sekuritisasi, perbedaan proses sekuritisasi konvensional dan syariah dari sifat harta
yang akan disekuritisasi. Kajian ini juga menunjukkan konsep sekuritisasi
berdasarkan Islam, perbedaan antara sekuritisasi tradisional dan sekuritisasi Islam,
posisi Hukum Islam tentang sekuritisasi, dan pernyataan efek positif dan negatif
yang dihasilkan dari penerapannya, serta hubungannya dengan sekuritisasi utang

86
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley & Sons,
2007), h.389 - 415;
87
Siti Raihana Hamzah, Debt and Debt-Risk Sukuk Related to Risk Shifting
Behavior....
88
Rosalan Alia, Shafinar Ismail, Mohammed Hariri Bakri, A Comparative Analysis
of Conventional and Shari’ah for Residential Mortgage-Backed Securities.....
89
Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi, al-S}ukuk al-Islamiyyah...,
90
Manna Khalid Farhat, Tauriq al-dain al-taqli@di wa al-Islami ...h. 221

21
dan krisis keuangan global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa “hukum Islam
tidak membolehkan sekuritisasi yang timbul dari utang (sebagaimana yang di
konvensional), namun yang diperkenankan adalah sekuritisasi yang bersumber dari
bukti kepemilikan aset”.
Casper Van Hilten dalam “Islamic Securitization by Means of Sukuk and the
Struggle for Shari’ah Compliance”, 91 menyatakan bahwa seiring pertumbuhan dan
penyebaran produk-produk keuangan Islam selama beberapa dekade terakhir telah
menunjukkan permintaan besar untuk produk-produk keuangan yang sesuai syariah.
Studi ini menunjukkan pula bahwa produk keuangan Islam dan sekuritasasi aset
dalam bentuk sukuk khususnya yang ada saat ini, sebagian besar belum mematuhi
ketentuan syariah yang ditetapkan oleh ahli syari'ah dan badan pengaturan standar.
Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari riba (bunga) dan gharar
(pengambilan risiko berlebihan), dan termasuk dukungan aset kontrak sukuk,
prinsip dasar untung dan rugi (PLS) dan pembagian risiko serta larangan
penggunaan bunga sebagai acuan. Kesulitan dalam membuat kontrak sukuk sesuai
syariah ditempatkan dalam konteks wacana di antara ahli syari'ah apakah akan
mengambil pendekatan pragmatis atau idealis terhadap keuangan Islam, dan alasan
utama untuk ketidakpatuhan ditemukan menjadi kecenderungan praktik keuangan
untuk meniru praktik keuangan konvensional (barat) yang tidak dapat dihindari
dalam pasar keuangan global saat ini.
Karmila Hanim Kamil, dkk,92 dalam penelitian yang dilakukannya
menyimpulkan bahwa beberapa investor konvensional merasa resah dengan risiko
yang berlebihan dan volatilitas harga aset yang tidak terkontrol pada keuangan
konvensional dan mereka telah memutuskan untuk beralih ke keuangan Islam
karena kondisi pasar yang kalut akibat kekacauan subprime mortgage. Dalam hal
ini, sekuritisasi Islam melalui sertifikat investasi syariah atau sukuk, mengundang
perbandingan prinsip keuangan konvensional dan Islam mengenai kapasitas mereka
untuk mempertahankan alokasi modal dan stabilitas finansial yang efisien.
Sementara sukuk yang disusun menyerupai sekuritas berbasis aset konvensional
memberikan warna yang berbeda secara signifikan karena memiliki struktur dan
ketentuan underlying berdasarkan prinsip syariah, yang melarang penerimaan dan
pembayaran bunga dan menetapkan bahwa pendapatan harus berasal dari risiko
bisnis yang mendasarinya dari pada sebagai jaminan pengembalian dari bunga.
Secara khusus, kajian Kamil dkk membahas perilaku pembagian risiko dalam
sekuritisasi Islam melalui berbagai struktur sukuk mud}arabah dan musharakah. Dari
hasil kajiannya menunjukkan bahwa sekuritisasi syariah berupa sukuk sebagai
sumber pendanaan dapat membantu menstabilkan pasar sekuritas, dan sebagai
solusi terhadap krisis keuangan subprime mortgage yang terjadi.
Sulaiman Abdi Dualeh, 93 menjelaskan maksud sekuritisasi aset dan beberapa
lembaga yang menjalankan sekuritisasi aset secara konvensional dan perbedaannya

91
Casper Van Hilten, Islamic Securitization by Means of Sukuk.....
92
Karmila Hanim Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar Ismail,
The subprime mortgages crisis and Islamic securitization..., 386
93
Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic Securititation:Practical Aspect...,h. 3

22
dengan sekuritisasi aset dalam Islam. Sulaiman mengidentifikasi yang harus
diperhatikan dalam melakukan sekuritisasi aset dalam pendekatan Islam terdapat 4
(empat) hal yaitu mengenai bentuk aset yang dapat diterima oleh Islam, struktur
transaksi yang dapat diterima, proses peralihan kepemilikan, dan bentuk credit
enhancment yang dibenarkan oleh Islam.
Muhammad Ayub dalam tulisannya berjudul “Sukuk and Securitization:
Vital Issues in Islamic Capital markets”,94 menjelaskan antara lain bahwa
sekuritisasi yang dikembangkan antara lain bentuk sukuk sebagai alternatif sumber
pendanaan baik untu korporasi maupun negara; sukuk sebagai salah satu intrumen
keuangan di pasar modal memiliki potensi yang krusial di antara intrumen
keuangan konvensional yang menerapkan pendapatan tetap (fixed income
securities); kerangka keuangan Islam untuk pembiayaan jangka panjang yang
mungkin diterapkan adalah pasar ekuitas (an equity market), karena hutang (debt)
dinilai tidak dapat menghasilkan pendapatan (return). Namun dengan kemunculan
sukuk ijarah dan sukuk yang dijamin (sukuk backed) dengan kumpulan sejumlah
aset, memberikan pengaruh pada kemungkinan timbulnya pasar uang yang berasal
dari hutang (a debt market) sebagai struktur keuangan Islam yang dapat
memberikan manfaat; persyaratan utama bentuk sertifikat investasi yang sesuai
syariah adalah underlying-nya tidak berasal dari hutang bunga. Penerbitan sukuk
dengan akad syirkah dan ijarah merepresentasi kepemilikan aset oleh pemegang
sukuk, yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Penulis juga menguraikan
perbedaan antara pasar sukuk (sukuk market), pasar saham (stock/equity market)
dan pasar hutang (debt market). Pasar hutang karena mengandung unsur riba dan
gharar tidak sesuai syariah. Pasar saham dan pasar sukuk – dengan persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi, dibolehkan berdasarkan syariah. Penulis juga
menjelaskan pasar modal dalam kerangka Islam, mulai dari para pihak, manfaat dan
risiko, jenis-jenis sukuk yang diterbitkan, dan perdagangan sukuk.
Andreas A. Jobst dalam tulisannya “The Economics of Islamic Finance and
Securitization”,95 menjelaskan tentang pengertian keuangan Islam, bentuk-bentuk
transaksi dalam keuangan Islam, prinsip dalam melakukan sekuritisasi Islam baik
oleh perusahaan atau negara serta membahas tentang peluang dan tantangan dalam
sekuritisasi Islam termasuk kemungkinan adanya ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya. Tulisan Andreas lebih banyak membahas perkembangan
penerbitan sukuk di beberapa negara, namun tidak termasuk Indonesia.
Dari uraian para penulis tentang sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah di
atas dapat disimpulkan bahwa sekuritisasi aset berdasarkan prinsip syariah dapat
menjadi pilihan dan bahkan solusi terhadap penyebab utama terjadinya krisis
keuangan global seperti pada tahun 2007-an terkait kasus subprime mortgage di
Amerika Serikat. Raihana Hamzah (2016) dan Hanim Kamil (2010) menilai bahwa
karakter sekuritisasi syariah yang mendasarkan pada konsep berbagi risiko (sharing
risk) dapat menjadi andalan kestabilan keuangan dari pada konsep pergeseran risiko
(shifting risk) yang dijalankan sekuritisasi konvensional selama ini. Hal ini

94
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance..., h.389
95
Andreas A. Jobst, “The Economics of Islamic Finance and Securitization....

23
mengingat sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana dikemukakan oleh
Ayub (2007), Dualeh (2008), Daghi (2013) dan Farhat (2013) melandasarkan pada
keharusan adanya aset yang menjadi underlying sekuritisasi dan juga akad yang
digunakan harus merepresentasikan kepemilikan aset oleh pemegang aset/sukuk
dan merepresentasikan kepemilikan secara proporsional dari pemegang aset/sukuk.
Bahkan Daghi (2013) dan Farhat (2013) secara tegas menyimpulkan bahwa
sekuritisasi aset dari akad yang berbentuk utang (da’in) - seperti jual bali,
pinjaman dan piutang sewa, tidak diperkenankan (baca: haram), karena transaksi
dari akad tersebut tidak memenuhi unsur kesamaan nilai (tama@thul) dan tunai
(taqa@bud}) sebagaimana seharusnya dalam akad s}arf (pertukaran dua jenis mata
uang).
Dari praktik sekuritisasi yang dilakukan Malaysia, Rosalan (2010) menilai
bahwa Mortgage Backed Security (MBS) Syariah yang dikeluarkan oleh Cagamas
(SPV milik pemerintah, seperti SMF di Indonesia) memiliki kinerja lebih baik dari
MBS konvensional baik dilihat dari aspek profitabilitas maupun biaya, dimana
profitabilitasnya lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Kamil (2010) bahwa sekuritisasi aset dalam bentuk sukuk lebih
efisien dan membantu menstabilkan pasar sekuritas dengan konsep pembagian
risiko dimaksud. Namun demikian, realitas sekuritisasi aset yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah ini, pada sebagian penerbitannya seperti dikemukakan
Raihana (2016) dan Van Hilten (2014), masih terdapat peniruan atau imitasi
dengan produk konvensional yang berbentuk shifting risk dari perusahaan ke
investor. Oleh karena itu, Van Hilten (2014) menyimpulkan bahwa masih terdapat
praktik penerbitan sekuritisasi aset syariah yang kecenderungannya meniru praktik
sekuritisasi aset secara konvensional sehingga pada akhirnya tidak sejalan dengan
prinsip syariah.

3. Pendekatan kajian sekuritisasi aset yang melihat potensi penerapannya di sektor


dan entitas tertentu di Indonesia dan pengalaman di Amerika Serikat. Beberapa
tulisan yang ditemukan antara lain Santoso,96 Suselo,97 Tim Bapepam-LK,98
Bank Indonesia,99 dengan uraian sebagai berikut:
Wijoyo Santoso, dkk,100 dalam paper berjudul “Pemanfaatan Sekuritisasi
Aset Dalam Mendorong Sektor Riil: Alternatif Pembiayaan UMKM”,
menyimpulkan bahwa “sekuritisasi aset sebagai alternatif pembiayaan bagi sektor
riil dan UMKM belum dapat dilakukan dalam waktu dekat”, dengan pertimbangan
96
Wijoyo Santoso, dkk, Pemanfaatan Sekuritisasi Aset Dalam Mendorong Sektor
Riil: Alternatif Pembiayaan UMKM, (Jakarta: Bank Indonesia, 2014)
97
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka Pendalaman Pasar
keuangan Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2013).
98
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), Jakarta: Bapepam-LK, 2010)
99
Bank Indonesia, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2003).
100
Wijoyo Santoso, dkk, Pemanfaatan Sekuritisasi Aset ....

24
antara lain pemahaman belum maksimal; likuiditas bank masih cukup tinggi, LDR
masih rendah, sulit mencari nasabah baru UMKM, bank lebih memilih sebagai
investor dari pada originator, dan perlunya insentif bagi bank yang berperan sebagai
originator serta perlu pembenahan tata kelola perusahaan yang baik (GCG).
Sri Liani Suselo, dkk, dalam “Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga
Pembiayaan dan Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka
Pendalaman Pasar keuangan Indonesia”,101 antara lain menyimpulkan bahwa
“potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi
perusahaan pembiayaan dari sisi permintaan cukup tinggi”. Dalam penelitian ini,
penulis hanya melihat potensi penerapan sekuritisasi pada perusahaan pembiayaan
konvensional baik dari sisi supply maupun demand, dan sama sekali tidak
membahas sekuritisasi dari aspek prinsip syariah.
Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK:
2010), dalam hasil kajiannya berjudul “Kajian Pengembangan Produk Syariah Di
Pasar Modal Sekuritisasi Syariah (Efek Beragun Aset Syariah)”,102 menjelaskan
penerapan aspek syariah pada proses sekuritisasi aset khususnya Efek Beragun Aset
(EBA) Syariah serta kemungkinan penerbitannya di pasar modal Indonesia sebagai
bahan awal bagi regulator dalam rangka menyusun kebijakan terkait. Dari hasil
kajian antara lain menyimpulkan perlunya pengaturan secara jelas mengenai aset
yang menjadi dasar sekuritisasi dan struktur yang digunakan dengan
memperhatikan praktik yang terjadi di beberapa negara yang sudah menjalankan
transaksi dimaksud. Bedanya dengan penelitian ini, yaitu bahwa dalam penelitian
akan lebih banyak mengelaborasi konsep-konsep dan model-model penerapan
sekuritisasi aset berdasarkan prinsip syariah pada satu segi, dan pada segi lain
mencari alternatif model SPV yang tidak hanya menggunakan model KIK semata –
sebagaimana selama ini berjalan, dan alternatif tersebut dalam kajian penelitian di
atas tidak ada pembahasan sama sekali.
Bank Indonesia pada tahun 2003103 meneliti mengenai tingkat pemahaman
dari stakeholder terhadap sekuritisasi aset di Indonesia. Temuan dari penelitian ini
adalah sebagian besar masyarakat (57,14% dari jawaban responden) cukup
memahami mengenai efek beragun aset. Meski demikian hanya sebagian kecil yang
mempunyai pengalaman berkaitan dengan proses sekuritisasi yang dilakukan di luar
negeri.
Dari beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan – sebagaimana
dikemukakan Santoso (2014) dan Suselo (2013), bahwa sekuritisasi aset sebagai
alternatif pendanaan bagi sektor riil dan UMKM serta perusahaan pembiayaan
permintaannya cukup tinggi, namun belum dapat dilakukan karena masih banyak
kendala baik internal maupun eksternal. Penelitian yang dilakukan Bapepam LK
(2010) dan BI (2003) menunjukkan bahwa sekuritsai aset sudah dipraktikkan di
beberapa Negara baik dengan underlying berupa asset based maupun asset backed.

101
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ....
102
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ....
103
Bank Indonesia, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2003)

25
Implementasi sekuritisasi aset di Indonesia dapat dijalankan hanya menggunakan
KIK-EBA dan pembentukan perusahaan sebagai SPV. Secara internasional menurut
Haffner (2008) sekuritisasi aset seperti sekuritsasi kredit perumahan (secondary
mortgage) sudah tumbuh cukup pesat di Amerika Serikat sejak 1970.

4. Pendekatan kajian sekuritisasi aset dari aspek hukum Indonesia, antara lain
ditemukan beberapa tulisan antara lain Remy104 Sunarto,105 Widjaya,106
Dewi,107 dan Rustam,108 dengan uraian singkat sebagai berikut:
Sutan Remy Sjahdeini dalam tulisannya berjudul “Asset Backed
Securitization dan Aspek-Aspek Hukumnya”,109 antara lain menguraikan aspek
hukum sekuritisasi dalam UU Perbankan, KUH Dagang, KUHPerdata terkait
subrogasi dan cessie, dan hukum asuransi kredit.
Sri Sunarni Sunarto,110 dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
Konsep Trust dalam rangka pembangunan Hukum Nasional Indonesia” telah
mencoba menjelaskan konsep trust dalam tradisi hukum anglo saxon dan
kemungkinan penerapannya di Indonesia. Dalam penelitian ini, tidak membahas
keuangan syariah, namun lebih menekankan pada klasifikasi trust dalam hukum
Indonesia, yang menurut kesimpulan hasil penelitian tersebut, haruslah berada
dalam hukum perikatan.
Gunawan Widjaya 111 dalam buku “Transplantasi Trust dalam KUHPerdata,
KUHD, dan UU Pasar Modal”, membahas secara mendalam konsep trust di
beberapa Negara, dan dalam kesimpulannya antara lain menegaskan bahwa trust
secara kelembagaan dan instrument sudah masuk dalam hukum Indonesia baik
dalam KUHPerdata, KUHD, maupun UU Pasar Modal. Dalam buku ini juga penulis
menguraikan sekuritisasi dan penerapannya di lembaga sekunder perumahan.
Namun dalam buku ini penulis tidak menguraikan keterkaitan sekuritisasi dengan
keuangan syariah.

104
Sutan Remy Sjahdeini, Asset Backed Securitization dan Aspek-Aspek Hukumnya,
(Jakarta: R&P, 2005).
105
Sri Sunarni Sunarto, Penerapan Konsep Trust dalam rangka pembangunan Hukum
Nasional Indonesia, Disertasi, Pasca Fak Hukum-UNPAD, Bandung (Tidak diterbitkan),
2003.
106
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata...
107
Gemala Dewi, Kontrak Investasi Reksadana Syariah di Indonesia, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (Tidak diterbitkan), 2010
108
Riky Rustam, Eksistensi Hak Tanggungan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset (KIK-ABA) sebagai Konsep Trust, Jurnal Hukum IUS QUA IUSTUM No. 1
Vol. 23 (2016), h.58-76.
109
Sutan Remy Sjahdeini, Asset Backed Securitization ...
110
Sri Sunarni Sunarto, Penerapan Konsep Trust dalam rangka pembangunan Hukum
Nasional Indonesia, Disertasi, Pasca Fak Hukum-UNPAD, Bandung (Tidak diterbitkan),
2003.
111
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata....

26
Riky Rustam,112 dalam tulisannya berjudul “Eksistensi Hak Tanggungan
dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-ABA) sebagai Konsep
Trust”, menjelasakan bahwa KIK-EBA bukan pengecualian dari asas personalitas,
sehingga apabila KIK-EBA tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian bisa menjadi
batal demi hukum. Dari aspek hak tanggungan, KIK-EBA kepemilikannya tetap
berada pada originator/kreditor asal sekalipun telah terjadi jual putus.
Gemala Dewi, dalam “Kontrak Investasi Reksadana Syariah di Indonesia” 113
membahas perkembangan dan penerapan Reksadana Syariah menurut hukum Islam.
Dalam bab 3, penulis membahas evolusi lembaga trust dalam pembentukan reksa
dana menurut hukum Islam. Menurut kesimpulannya, lembaga trust dalam system
common law memiliki kemiripin dengan konsep wakaf dalam hukum Islam.
Kesimpulan uraian implementasi sekuritisasi aset dari aspek hukum di atas
yang mengarah kepada cakupan dan tujuan penelitian ini adalah bahwa konsep
sekuritisasi aset sudah ada landasan yuridisnya yang dapat digunakan, namun
dalam implementasinya masih terdapat kendala. Agar terdapat kejelasan dan
kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan dalam proses sekuritisasi
dimaksud, diperlukan penegasan dan pedoman lebih rinci lagi, misalnya terkait
kedudukan aset yang dibebani hak tanggungan dan persoalan perpajakan.
Dari 4 (empat) pendekatan kajian dan penelitian yang dilakukan para penulis
di atas, apabila disandingkan dengan kajian yang dilakukan penulis dalam disertasi
ini terdapat perbedaan dan persamaan. Pendekatan kajian pertama yang melihat
sekuritisasi aset dari aspek manfaat, risiko, biaya, dan prinsip kehati-hatian, maka
dalam penelitian yang dilakukan penulis mengkonfirmasi hal dimaksud kepada
pelaku industri bank syariah terkait pertimbangan manfaat, risiko dan biaya
tersebut dalam produk sekuritisasi aset berbentuk EBA. Masih dalam pendekatan
kajian pertama yang mendorong dalam penerapan sekuritisasi aset perlunya
pengendalian dan mitigasi risiko yang lebih prudent dan juga mendasarkan pada
aspek budaya dan religiusitas, maka dalam disertasi ini penulis lebih mengelaborasi
pertimbangan aspek budaya dan religiusitas dimaksud sebagai pengendalian
terhadap risiko, dengan mengkonfirmasi pemahaman dan sikap serta respon pelaku
industri bank syariah terhadap produk sekuritisasi berbentuk EBA.
Pendekatan kedua yang menyimpulkan bahwa konsep sekuritisasi aset
syariah yang mendasarkan pada prinsip berbagi risiko (sharing risk) dan
kepemilikan underlying aset yang jelas dari transaksi yang dijalankan – seperti
dalam sukuk, memiliki kelebihan dibanding sekuritisasi aset konvensional. Dalam
sekuritisasi aset konvensional yang mendasarkan pada prinsip pergeseran risiko
(shifting risk) dan underlying aset berupa seluruh piutang termasuk pendapatan
yang belum pasti seperti arus kas di masa yang akan datang (future cashflow),
mendorong terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Dalam kajian penelitian
sebelumnya tersebut penjelasan aspek syariahnya belum menyentuh perdebatan dari

112
Riky Rustam, Eksistensi Hak Tanggungan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset (KIK-ABA) sebagai Konsep Trust, Jurnal Hukum IUS QUA IUSTUM Vol.
23, No.1 (2016):58-76.
113
Gemala Dewi, Kontrak Investasi Reksadana Syariah di Indonesia ....

27
berbagai lembaga fikih khususnya yang ada di Indonesia. Penelitian penulis dalam
disertasi ini mencoba menggali penjelasan aspek syariah dari sekuritisasi aset dari
aspek fikih mu’amalat berikut dengan argumen dari masing-masing lembaga fatwa
termasuk lembaga fatwa di Indonesia yang dalam penelitian sebelumnya belum
ditemukan pembahasan terkait hal dimaksud.
Masih dalam pendekatan kajian kedua, dengan melihat praktik sekuritisasi
aset berbentuk sukuk, kajian terdahulu menilai praktik sukuk masih terdapat
peniruan atau imitasi dengan produk konvensional yang berbentuk shifting risk dari
perusahaan ke investor. Dalam kajian disertasi ini penulis mencoba
membandingkan dan mengurai lebih mendalam potensi imitasi dari produk EBAS
serta latar belakang kemungkinan terjadinya imitasi praktik tersebut dengan
konvensional sehingga pada akhirnya tidak sejalan dengan prinsip syariah.
Pendekatan kajian ketiga terdahulu melihat potensi penerapan EBA di sektor
dan entitas tertentu di Indonesia seperti pada perusahaan pembiayaan dan
perusahaan UMKM. Penelitian terdahulu belum menyentuh potensi penerapan
produk EBA oleh bank syariah. Penelitian dalam disertasi ini melihat potensi
penerapan EBA oleh perbankan syariah di Indonesia.
Selanjutnya pendekatan kajian keempat dari aspek hukum yang dikemukakan
oleh para penulis memiliki kesamaan dalam disertasi ini dimana masih terdapat
kendala terkait dengan proses peralihan aset, kedudukan aset yang dibebani Hak
Tanggungan, dan persoalan perpajakan termasuk akuntansinya. Perbedaannya
dalam disertasi ini lebih menjelaskan aspek praktis di lapangan kendala aspek
hukum yang dihadapi para pelaku, yang pada kajian penulis sebelumnya belum ada
pembahasan mengenai hal tersebut. Misalnya dalam dokumentasi masalah
kebolehan pengalihan kewajiban/hutang kepada pihak lain.
Perbedaan yang lebih dominan antara kajian yang terdahulu dengan
penelitian yang dilakukan penulis dalam disertasi ini, dalam kajian terdahulu belum
menghubungkan produk sekuritisasi berbentuk EBA Syariah sebagai suatu inovasi
produk dengan persoalan yang dihadapi oleh bank syariah pada saat akan
menerbitkan EBA termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi bank syariah belum
melakukan penebitan EBA. Perbedaan lainnya yaitu penulis melihat persoalan
pelaksanaan sekuritisasi EBA oleh bank syariah dalam spektrum yang lebih luas
dan satu kesatuan permasalahan yaitu permasalahan EBA ditinjau dari aspek
syariah, aspek regulasi dan inovasi produk.
Pentingnya penelitian ini dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui
persoalan yang dihadapi oleh bank syariah pada saat akan menerbitkan EBA
sebagai suatu inovasi produk serta faktor-faktor yang mempengaruhi bank syariah
belum banyak yang melakukan penebitan EBA ini. Penelitian ini juga perlu
dilakukan agar pelaku industri bank syariah menyadari pentingnya inovasi dan
pengembangan produk dan menggugah kesadaran bahwa dalam pengembangan
inovasi produk baru akan selalui dihadapkan pada berbagai persoalan. Dengan
memiliki pemahaman yang baik terhadap suatu produk maka persoalan yang ada
dari produk tersebut dapat dilakukan mitigasi risiko sedini mungkin dan pada
akhirnya akan memberikan manfaat bagi bank syariah. Manfaat paling nyata adalah

28
teratasinya persoalan persoalan liquidity mismatch dan pemenuhan terbatasnya
sumber pendanaan.

Perbandingan Kajian Terdahulu dengan Penelitian Disertasi


No Aspek Kajian Terdahulu Disertasi
Pembahasan
1 Manfaat, risiko, Dibahas secara umum Mengkonfirmasi aspek
dan biaya dari manfaat, risiko, dan biaya
produk sekuritisasi dari produk sekuritisasi aset
kepada pelaku industri bank
syariah terkait
pertimbangan aspek
dimaksud dalam
pelaksanaan produk EBA
2 Pengendalian dan Tinjauan aspek budaya Mengelaborasi pertimbang-
mitigasi risiko dan religiusitas pada an aspek budaya dan
yang lebih prudent saat penerbitan produk religiusitas sebagai
dan juga EBA sangat terbatas, pengendalian terhadap
mendasarkan pada hanya berupa penjelasan risiko, dengan meng-
aspek budaya dan umum. Seperti konfirmasi pemahaman dan
religiusitas. dikemukakan Omneya sikap serta respon terhadap
Abdel Salam. produk sekuritisasi
berbentuk EBA dari para
pelaku industri bank
syariah, sebagai suatu
produk inovatif.
3 Konsep berbagi Dibahas secara panjang Menguraikan pilihan akad
risiko (sharing lebar terutama untuk yang lebih tepat khusus
risk) dan produk Sukuk, namun untuk produk EBAS dengan
pergeseran risiko belum menyentuh menghadirkan berbagai
(shifting risk) perdebatan dari pendapat fukaha terkait hal
dalam sekuritisasi berbagai lembaga fikih, dimaksud, khususnya
aset khususnya yang ada di lembaga fatwa di Indonesia
Indonesia terkait
dengan produk Efek
Beragun Aset Syariah
4 Dari aspek hukum Sudah dijelaskan Menjelaskan potensi
masih terdapat kendala-kendala dari kendala aspek hukum
kendala antara lain aspek hukum tersebut dilapangan yang dihadapi
persoalan proses namun belum para pelaku industri bank
peralihan aset, dikemukakan kendalai syariah dan kendala lain
kedudukan aset hukum lain dari asepk yang belum dibahas
yang dibebani Hak hukum syariah sebelumnya. Misalnya
Tanggungan, dan dalam dokumentasi masalah
persoalan kebolehan pengalihan

29
perpajakan kewajiban/hutang kepada
termasuk pihak lain.
kuntansinya
5 EBAS sebagai Pembahasan EBAS Membahas secara rinci
inovasi produk sebagai inovasi produk EBAS sebagai suatu inovasi
lintas sektor lintas sektor industri produk yang lintas sektor di
keuangan belum bidang keuangan termasuk
ditemukan uraian yang faktor-faktor yang
komprehensif. mempengaruhi bank syariah
Pembahasan lebih belum melakukan penebitan
banyak pada uraian EBAS ini.
penting dan manfaatnya Dibahas juga risiko dari
inovasi produk serta aspek kesyariahan dan
risiko secara umum. upaya mitigasi yang
dilakukan dalam penerbitan
Efek Beragun Aset Syariah
ini.

6 Sekuritisasi aset Sudah dilakukan kajian Mengelaborasi persoalan


berbentuk EBA potensi penerapan EBA pelaksanaan sekuritisasi
oleh Bank Syariah oleh industri seperti EBA oleh bank syariah
perusahaan pembiayaan dalam spektrum yang lebih
dan bank serta luas dan dalam satu
perusahaan UMKM, kesatuan permasalahan
namun belum yaitu permasalahan EBA
menyentuh EBAS ditinjau dari aspek syariah,
sebagai produk untuk aspek regulasi dan inovasi
Bank Syariah. produk. Termasuk dalam
Disamping itu kajian kajian faktor-faktor yang
diterbitkan sebelum mempengaruhi bank syariah
terdapat ketentuan belum banyak melakukan
fatwa dan perundang- penebitan EBAS ini.
undangan yang
mengatur terkait EBAS
secara khusus.

30
F. Metode Penelitian

a. Metode dan Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.114 Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan sosio-legal,115 pendekatan induktif,116 dan
pengembangan inovasi produk. 117
Penelitian kualitatif digunakan karena kajian ini bermaksud menilai respon
pelaku industri bank syariah terhadap sekuritisasi aset berbentuk EBA melalui
proses pemahaman dan analisis sejumlah indikator pelaku industri terhadap suatu
produk ketika hendak diterapkan. Indikator yang mempengaruhi pelaku industri
keuangan merespon suatu produk baru tidak hanya faktor keagamaan (yang
meliputi keyakinan, perilaku, dan komitmen),118 melainkan juga karena faktor
pemahaman dan persepsi pelaku terhadap produk (sekuritisasi aset) itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Moleong, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara

114
“Metode kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati”. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016), Cet ke-35; h.4; lihat juga, Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000); dan William J. Goode & Paul K. Hatt, Methods in Social
Research, (New York: Mc Graw Hill Book Company, 1952).
115
“Studi sosiolegal adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal
terhadap hukum. Hukum tidak hanya dilihat secara berdiri sendiri yang terisolasi dari
kebudayaan (sistem berfikir, sistem pengetahuan) dan relasi kekauasaan di antara para
perumus hukum, penegak hukum, para pihak dan masyarakat”. Sulistyowati Irianto,
Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi metodologisnya, dalam Valerine, J.I.K,
Metode Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UI, 2014, h.214-216; Rahmatulla Khan
dan Sushil Kumar, An Introduction to the Study of Comparative Law, (Bombay: N.M.
Tripathi Pvt. Ltd, 1979), h. 5, 101-103.
116
Menurut Bungin, “Teori Induktif menggunakan data sebagai pijakan awal
melakukan penelitian. Data adalah segala-galanya untuk melakukan penelitian. Peneliti
tidak perlu tahu tentang sesuatu teori, namun datalah yang paling penting”. Burhan Bangin
(edt), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Rajawali Press, 2015), Cet ke-10, h.31
117
Menurut Tohadi, “Inovasi produk adalah proses yang meliputi: desain teknis,
penelitian dan pengembangan, produksi, manajemen, dan kegiatan komersial yang terkait
dengan pemasaran produk baru”. Lihat, Hamid Tohadi & Mohammed Mehdi Jabari, Product
Inovation Performance in Organization, Procedia Technology 1, (2012), h-521. 117 Menurut
Tohadi, inovasi dalam keuangan sering juga disebut “rekayasa keuangan (financial
engeenering)”. Sementara menurut Samir Alamad, “inovasi keuangan adalah penciptaan
instrumen keuangan baru, teknologi, institusi dan pasar”. Samir Alamad, Financial
Innovation and Engineering in Islamic Finance, (Birmingham: Springer, 2017), h.96
118
Hardiwinoto, Analitis Respon Pengusaha Konstruksi Terhadap Beroperasinya
Bank Syariah, Makalah dalam Jurnal ” Aset”, Universitas Muhammadiyah Semarang, Vol
12. No 2, (2010): 107. https://media.neliti.com/media/publications/36594-ID-analisis-
respon-pengusaha-konstruksi-terhadap-beroperasinya-bank-syariah.pdf

31
holisitk, dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah”.119
Pendekatan sosiolegal digunakan tidak hanya untuk menganalisis data
dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
syariah serta literatur yang ditulis oleh para ahli, tetapi juga persepsi masyarakat
(dalam hal ini pelaku industri bank syariah) terhadap penerapan ketentuan
tersebut.120 Termasuk dalam pendekatan sosiolegal juga melakukan perbandaingan
pelaksanaan hukum terkait sekuritisasi aset menurut ketentuan perundang-
undangan Indonesia (civil law) dan prinsip syariah serta persepsi pelaku industri
bank syariah terhadap perundang-undangan yang ada. 121 Hal ini karena pada
dasarnya ketentuan sekuritisasi aset telah diatur dalam ketentuan perundang-
undangan, namun pelaksanaannya sebagai suatu produk keuangan bagi pelaku
industri masih banyak kendala dan hambatan serta salah persepsi. Oleh sebab itu,
tidak saja berpotensi terjadi perbedaan dalam pelaksanaanya namun juga terjadi
“keengganan” dari pelaku industri untuk melakukan transaksi produk baru berupa
sekuritisasi aset berbentuk EBAS.
Pendekatan secara induktif digunakan karena dalam penelitian ini data
diperoleh bersumber dari jawaban pelaku industri terhadap penerapan norma
ketentuan perundang-undangan dan prinsip syariah terkait dengan produk EBAS.
Dalam pendekatan induktif ini, “hukum/norma tidak lagi dikonsepsikan sebagai
norma iusconstituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara
positivistis sebagai norma iusconstitutum atau law as what it is in the books,
melainkan secara empiris sebagai law as what it is (functioning) in society”.122
Pendekatan ini, dengan mengutif kategorisasi yang dikemukakan oleh Noeng
Mudhajir- sebagai metode penelitian kualitatif “postpositivisme phenomenologi
interpretif”, yaitu “ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan
mencakup phenomena yang tidak lain dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan
keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek; ada sesuatu yang transenden, di
samping yang aposteoritik”.123

119
“Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll., secara holisitk, dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah”. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2016), Cet ke-35; h.6
120
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal ... h. 216
121
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal ... h. 214; Johnny Ibrahim,
Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, dalam Valerine, J.I.K, Metode Penelitian
Hukum, Program Pasca Sarjana UI, 2014, h.169; Rahmatulla Khan dan Sushil Kumar, An
Introduction to the Study of Comparative Law, (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd, 1979), h.
5, 101-103.
122
Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-Ragam penelitian Hukum, dalam dalam
Valerine, J.I.K, Metode Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UI, 2014, h.150
123
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000), h.17

32
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan pengembangan inovasi produk
yang banyak dikembangkan antara lain oleh Al-Salem.124 Al-Salem menyatakan
bahwa Lembaga Keuangan Syariah khususnya perbankan syariah perlu terus
melakukan inovasi produk dari waktu ke waktu agar dapat memenuhi kebutuhan
nasabahnya. Di samping itu menurut hasil penelitiannya, tingkat inovasi produk
lembaga keuangan syariah masih rendah.125 Sebelumnya Munawar Iqbal dan
Tariqullah Khan mendorong lembaga keuangan syariah untuk melakukan financial
engineering sebagai bagian dari upaya pengembangan dan inovasi produk keuangan
syariah.126 Sementara Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor menyatakan bahwa
rekayasa keuangan suatu kebutuhan saat ini yang paling kritis dari pasar keuangan
Islam pada umumnya dan praktik manajemen risiko Islam pada khususnya.127
Lembaga keuangan syariah masih beroperasi pada instrumen tradisional berjangka
pendek yang terkait perdagangan dan belum banyak masuk ke bidang investasi
yang berjangka panjang serta memiliki kedalaman dan luas (debth and breadth).128
Rekayasa keuangan dimaksudkan sebagai upaya peningkatan likuiditas dan
perkembangan pasar sekunder dengan tetap menjaga menejemen risiko yang
efektif.129
Menurut Samir Alamad ada tiga istilah yang sering digunakan terkait
perbincangan istilah inovasi dalam kontek keuangan, yaitu inovasi keuangan
(Financial Innovation), rekayasa keuangan (Financial Engineering), dan proses
pengembangan produk baru (New Product Development Process-NPD). 130
b. Metode Pengumpulan Data

124
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation, International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 2 No. 3 (2009):187-200 q
Emerald Group Publishing Limited.
125
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation...,h.189
126
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005); Mohammad Obaidullah, Islamic Financial
Services, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 2005).
127
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and
Practice, (Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007), h. 204
128
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 204
129
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 205
130
Menurut Samir Alamad ketiga perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: “Inovasi
keuangan (financial innovation) adalah menghasilkan ide baru produk keuangan dengan
tujuan mengamankan daya saing pasar, mengatasi risiko, menghasilkan pendapatan atau
meningkatkan likuiditas. Rekayasa keuangan (financial engineering), di sisi lain, adalah
proses menggunakan alat keuangan dasar (basic financial tools) untuk membangun –
produk-- yang tampak strukturnya lebih kompleks ( a complex structure) dengan desain yang
sesuai untuk inovasi keuangan baru. Proses pengembangan produk baru ( new product
development process) adalah proses keseluruhan yang menetapkan langkah-langkah untuk
mengambil inovasi keuangan baru dari fase konsep atau inisiasi, melalui fase rekayasa
keuangan dan desain, dengan mengikuti berbagai fase dan kontrol tata kelola.” Samir
Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance, (Birmingham: Springer,
2017), h. 3

33
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan
dan penelitian lapangan.131 Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan
bahan-bahan studi literatur terutama kajian fikih muamalat, peraturan perundang-
undangan, kajian produk sekuritisasi, dan studi perbandingan hukum yang dianut
oleh civil law, common law dan Hukum Islam khususnya terkait konsep
sekuritisasi, sebagai rujukan informasi dari sumber primer dan sekunder.
Selanjutnya penelitian lapangan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai
pendapat mengenai sekuritisasi aset dari kalangan pelaku bisnis/praktisi bank
syariah melalui wawancara yang mendalam (indepth interview) dan/atau mengisi
jawaban daftar pertanyaan (kuesioner) dengan pihak-pihak terkait. Daftar
pertanyaan meliputi 4 hal utama sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian, yaitu meliputi cakupan 1 pertanyaan mayor dan 3 pertanyaan minor
(daftar pertanyaan terlampir). Di samping itu juga data diperoleh melalui
pengamatan (observasi) yang dilakukan penulis terhadap rencana dan proses
penerbitan produk EBAS ini sejak tahun 2016. Proses wawancara dan pengisian
kuesioner dilakukan penulis dengan mendatangi para praktisi perbankan syariah
dan/atau melalui korespondensi melalui email dan WhatsApp. Untuk kuesioner ada
yang di antar ke tempat bank syariah dan ada juga melalui email yang bersangkutan
sesuai dengan hasil pembicaraan sebelumnya.
Sampai dengan akhir tahun 2019, jumlah kelembagaan perbankan syariah
berdasarkan statistik OJK sebanyak 202 Bank Syariah, terdiri dari 14 BUS, 20
UUS, dan 168 BPRS. Dari jumlah tersebut, secara yuridis yang dapat melakukan
sekuritisasi adalah BUS dan UUS yang masuk dalam BUKU 3.132 Dalam
perkembangannya, pelaksanaan sekuritisasi aset bagi bank syariah dimungkinkan
dijalankan oleh bank syariah yang masuk kategori BUKU 2.133 BPRS belum
memenuhi kiteria untuk boleh melakukan sekuritisasi aset. Begitu juga Bank
Pembangunan Daerah (BPD) belum dapat masuk kriteria untuk bisa melakukan
sekuritisasi aset. Hal ini karena pada umumnya modal inti dari bank tersebut masih
di bawah 1 triliun.
Oleh karena itu dari jumlah BUS dan UUS sebanyak 36 Bank Syariah ini,
penulis memilih sebanyak 10 Bank Syariah untuk dilakukan wawancara dan/atau
mengisi kuesioner. Bank Syariah dimaksud terdiri dari 5 Bank Syariah yang sudah
full pledge (Bank Umum Syariah-BUS) dan 5 bank syariah dalam bentuk Unit
Usaha Syariah (UUS). Apabila dilihat dari modal inti masing-masing bank tersebut
masuk dalam kategori BUKU 2 dan BUKU 3. Adapun UUS mengikuti modal
BUKU induknya yang masuk pada BUKU 3 dan BUKU 4.

131
Soekanto, Soerjono, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta:
IND-HILL-CO, 1990), Cet.I, h.113.
132
Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) sesuai POJK 6 /POJK.03/2016
Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. BUKU adalah
pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti
yang dimiliki. BUKU 1 Modal Inti kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 antara Rp 1 – 5
Triliun, BUKU 3 antara Rp 5-30 Triliun, dan BUKU 4 paling sedikit sebesar 30 Triliun.
133
Focus Group Discussion yang dilakukan oleh DPbS OJK pada tanggal 8 Maret
2018 tentang Sekuritisasi Aset Bank Syariah.

34
Pelaksanaan penelitian melalui wawancara dan pengisian kuesioner dengan
pelaku industri bank syariah dimulai pada akhir bulan November 2019 sampai
dengan bulan Februari 2020 ( sekitar 3 bulan). Adapun Bank Syariah yang dijadikan
responden rencananya terdiri dari 5 Bank Umum Syariah (BUS) dan 5 Unit Usaha
Syariah (UUS) sebagai berikut:
1) BMI (Bank Muamalat Indonesia);
2) BSM (Bank Syariah Mandiri);
3) BNI Syariah;
4) BRI Syariah;
5) BCA Syariah;
6) UUS BTN Syariah;
7) UUS CIMB Niaga Syariah;
8) UUS MayBank Syariah;
9) UUS Permata Syariah; dan
10) UUS Danamon Syariah;
Khusus untuk Bank BTN Syariah, dengan berbagai alasan yang disampaikan,
akhirnya wawancara dan pengisian kuesioner tidak bisa dilaksanakan. Pada
akhirnya bank syariah yang bisa dilakukan wawancara dan/atau melakukan
pengisian kuesioner sebanyak 9 bank syariah. Jumlah tersebut, menurut penulis
sudah mewakili jumlah bank syariah yang berpotensi untuk menerbitkan produk
EBAS.134 Dengan jumlah bank syariah yaitu Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah sebanyak 34 Bank (akhir tahun 2019) dan diasumsikan berpotensi
memenuhi persyaratan penerbitan EBAS, maka bank syariah sebagai responden
untuk dijadikan sampel apabila dihitung minimal 10%-nya adalah sebanyak 4-5
bank syariah.
Tabel 1.2
Data BUS dan UUS tahun 2019

Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah


1. PT. Bank Aceh Syariah 15. PT. Bank Danamon Indonesia
2. PT. BPD NTB Syariah 16. PT. Bank Permata
3. PT. Bank Muamalat Indo 17. PT. Bank Maybank Indonesia
4. PT. Bank Victoria Syariah 18. PT. Bank CIMB Niaga
5. PT. BRI Syariah 19. PT. Bank OCBC NISP
6. PT. Bank Jabar Banten Syariah 20. PT. Bank Sinar Mas
7. PT. Bank BNI Syariah 21. PT. Bank Tabungan Negara (persero)
8. PT. Bank Syariah Mandiri 22. PT. BPD DKI
9. PT. Bank Mega Syariah 23. PT. BPD D>.I. Yogyakarta
10. PT. Bank Panin Dubai Syariah 24. PT. BPD Jawa Tengah
11. PT. Bank Syariah Bukopin 25. PT. BPD Jawa Timur

134
Menurut beberapa sumber bahwa “besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10
persen populasi, sementara ada yang menyatakan minimal 5 persen dari populasi”.Lihat,
Yusuf Irianto, “Metode Pengumpulan Data dan Kasus penelitian”, dalam Burhan Bangun
(edt), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Rajawali Press, 2015), Cet ke-10, h.79

35
12. PT. BCA Syariah 26. PT. BPD Sumut
13. PT. BTPN Syariah 27. PT. BPD Jambi
14. PT. Maybank Syariah Indonesia 28. PT. BPD Sumbar
29. PT. BPD Riau & Kepulaian Riau
30. PT. BPD Sumsel & Babel
31. PT. BPD Kalsel
32. PT. BPD Kalbar
33. PT. BPD Kaltim
34. PT. BPS Sulsel & Sulbar

Bank Syariah yang dijadikan responden penelitian, pelaksanaan wawancara


dan penyerahan kuesioner dari bank syariah serta pihak yang diwawancarai
dan/atau melakukan pengisisn kuesioner sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel 1.3
Bank Syariah, PIC, Bentuk dan Waktu Penelitian

No Bank Syariah PIC Tanggal Keterangan


1 BMI (Bank Muamalat Rudi Rinaldi/ 6-1-2020 Wawancara
Indonesia) Manager Sharia Langsung &
Compliance Dokumen
persiapan
penerbitan
2 BRI Syariah Susandi/GCG & 17-1-2020 Wawancara
Sharia Langsung
Compliance Dept.
Head
3 UUS Danamon Syariah Sutarto/ Head 21-1-2020 Wawancara
Financing & & Langsung &
Dadan/Syariah 01-2-2020 Mengisi
Assurance Kuesioner
4 BNI Syariah Tito/ Syariah 16-1-2020 Wawancara
Compliance langsung dan
Officer Mengisi
Kuesioner
5 BSM (Bank Syariah Tjahjono 6-2-2020 Mengisi
Mandiri) Soebroto(Yoyok)/ Kuesioner
Product
Development
6 BCA Syariah Bambang 14-1-2020 Mengisi
Tristyarto/ Ka. Kuesioner
Dept. Pendukung
Bisnis
7 UUS CIMB Niaga Ardiansyah 13-1-2020 Mengisi
Syariah Rakhmadi/ Kuesioner

36
Researcher
8 UUS MayBank Syariah Muhamad 20-1-2020 Mengisi
Kholid/Head Kuesioner
Shariah Product
Management
9 UUS Permata Syariah; Hadi Mulyana/ 2-2-2020 Mengisi
Product Kuesioner
Development
10 UUS BTN Syariah Alex - Tidak
terlaksana

Di samping kepada Bank Syariah tersebut, peneliti juga melakukan


wawancara dan diskusi dengan PT Sarana Multigriya Financial (Persero) atau
disingkat PT. SMF, sebagai pihak penerbit atas EBAS yang diterbitkan oleh satu
Bank Syariah.135
Pengumpulan data melalui pengamatan (observasi) dilakukan antara lain
berdasarkan kegiatan yang dikuti oleh penulis secara langsung dengan mengikuti
diskusi-diskusi dan Focus Group Discussion (FGD) tentang sekuritisasi aset yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Kegiatan FGD tersebut antara lain FGD yang
dilakukan PT SMF kerjasama dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tahun
2016,136 FGD yang dilakukan oleh PT SMF, Kementrian PUPR (Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat), Bank BTN dan DSN-MUI,137 FGD yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan,138 serta FGD/Workshop yang diadakan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.139 Dari hasil pengamatan ini, penulis
memperoleh bahan atas permasalahan pelaksanaan EBA secara langsung, juga

135
Wawancara dilakukan di Kantor PT SMF pada tanggal 8 Januari 2020, Jl. Melawai
Raya, Jakarta, yang dihadiri oleh Kepala UUS dan 3 orang bagian sekuritisasi aset.
136
Focus Group Discussion tentang “Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP)”
diselenggarakan atas kerjasama PT. Sarana Multi Financial (Persero) (“SMF”) dengan
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang bertempat di Hotel Sopyan Jakarta tanggal 16
Agustus 2016. FGD ini menjajagi pelaksanaan EBA-SP, potensi dan tantangan/kendalanya.
137
Focus Group Discussion tentang “Sekuritisasi KPR Syariah”, diselenggarakan
oleh PT.SMF dengan Kementrian PUPR, Bank BTN dan DSN-MUI, bertempat di Hotel
Gunung Geulis Resort& Golf Bogor tanggal 28 September 2017. FGD ini bertujuan dalam
rangka tashawwur masalah persiapan DSN-MUI menyusun draf Fatwa terkait dengan
sekuritisasi aset berbentuk EBA Syariah.
138
Focus Group Discussion ini diadakan oleh Direktorat Perbankan Syariah Otoritas
Jasa Keuangan di Gedung OJK/BI Radius Prawiro, Jakarta, tanggal 8 Maret 2018. FGD ini
bertujuan dalam rangka penyusunan naskah akademik untuk perubahan PBI tentang
sekuritisasi aset bagi bank umum.
139
FGD & Workshop diadakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat RI tentang Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Kapasitas Bank Syariah
Syariah dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah dengan topik: "Produk Pembiayaan Pemilikan
Rumah dengan Menggunakan Akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ dan Al Ijarah al
Muntahiya bit Tamlik (IMBT)”, tanggal 18 Juli 2019 di Aceh Besar.
37
memperoleh dokumen berbagai tulisan terkait dengan proses penerbitan EBA dan
EBAS.

c. Metode Analisis Data


Metode analisa didasarkan pada alur pikir untuk memberikan argumen dan
alasan-alasan ilmiah atas suatu kegiatan yang dilakukan di lapangan yang dalam hal
ini terkait dengan sekuritisasi aset berbentuk EBA dan permasalahan
implementasinya. Metode analisis menjelaskan bagaimana cara menganalisis data
sesuai dengan tujuan penelitian.140 Data yang didapat dari studi dokumen/literatur,
pengamatan, wawancara maupun jawaban atas daftar pertanyaan yang diajukan,
disusun dalam bentuk tabulasi jawaban dalam tabel (sebagaimana dalam lampiran).
Dari tabulasi tabel jawaban tersebut dilakukan analisis secara kualitatif untuk
menghasilkan data deskriptif guna memahami permasalahan dalam penelitian ini
secara mendalam sesuai dengan tujuan penelitian yang meliputi jawaban atas satu
pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor. Dengan demikian, metode yang
digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif, yaitu “metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, dan menginterpretasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas
terhadap masalah yang diteliti”.141
Sebagaimana tujuan analisis kualitatif, yaitu menemukan makna dari data
yang dianalisis, maka seluruh data di atas dianalisis menggunakan teknik analisis
isi (content analysis).142 Langkah analisis isi dilakukan dengan cara menuangkan
hasil penelitian tersebut dalam bentuk narasi hasil penelitian sesuai dengan masing-
masing bagiannya. Selanjutnya dari narasi hasil lapangan tersebut dilakukan
analisis perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan norma yang ada,
kemudian terakhir diambil kesimpulan. Teknik analisis isi ini diaplikasikan pada
Bab V.

140
Usman Rianse dan Abdi, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, (Bandung:
Alfabeta, 2008), h.237
141
Juliansyah Nur, Metodologi penelitian, Jakarta: Kencana, 2015, cet-5, h. 34-35;
Budi Abdullah & Beni Ahmad Saebani,Metode Penelitian Ekonomi Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2014, h.85
142
Analisis isi atau analisis konten (content analysis) merupakan metode penelitian
yang melakukan pembahasan secara mendalam terhadap suatu isi informasi. Pada awalnya
informasi tersebut berasal dari informasi media cetak seperti buku, artikel, gambar, dan
lainnya. Namun dalam perkembangannya, informasi yang dapat dianalisis bisa berasal dari
semua informasi yang diperoleh, seperti hasil dialog dan wawancara. Lihat, Burhan Bangin
(edt), Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Rajawali Press, 2015), Cet ke-10, h.67;
Kurnia Ekasari, dkk, “Analisis Konten Terhadap Pengungkapan Etika dan Integritas Pada
Sustainibility Reporting”, Jurnal Riset dan Aplikasi: Akuntansi dan Manajemen, Vol. 4, No.
1, September 2019, Politeknik Negeri Malang. file:///C:/Users/acer/Downloads/456-2058-1-
PB.pdf; Praptika Handiyani &Anang Hermawan, “Kredibilitas Portal Berita Online Dalam
Pemberitaan Peristiwa Bom Sarinah Tahun 2016”, Jurnal komunikasi, Volume 12, Nomor
1, Oktober 2017, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. https://journal.uii.ac.id/jurnal-
komunikasi/article/view/9923.

38
Dengan demikian alur dan langkah yang digunakan dalam penulisan hasil
penelitian disertasi ini khususnya di Bab V dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Uraian deskriptif hasil penelitian di lapangan dari para pelaku industri
perbankan syariah terhadap permasalahan apa yang dihadapi (current
condition) sehubungan dengan kegiatan sekuritisasi aset berbentuk EBAS oleh
perbankan syariah;
b. Uraian analitis tentang hasil penelitian sebelumnya dan atau pandangan para
ahli atau norma dari peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah yang
terkait dengan permasalahan yang menjadi perhatian para pelaku industri
perbankan syariah sebagai studi perbandingan (sebagai benchmark); dan
c. Uraian analitis tentang harapan (expectation) dan sasaran (goal) yang ingin
dicapai melalui kajian disertasi ini, sebagai kesimpulan yang dilakukan
peneliti.

G. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari enam bab, yang terdiri atas satu bab pendahuluan,
empat bab pembahasan dan satu bab penutup.
Bab I: adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa sub bab, yakni latar
belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam materi kajian, tetapi lebih ditekankan
pada pertanggungjawaban ilmiah. Namun juga esensinya memberi gambaran secara
umum tentang konsep dan mekanisme sekuritisasi aset yang berjalan selama ini.
Bab II: menjelaskan secara umum tentang konsep sekuritisasi aset dalam
sistem keuangan dan dalam sistem keuangan syariah. Uraian sekuritisasi dalam
sistem keuangan meliputi pengertian dan sejarah kemunculan, proses dan
mekanisme sekuiritisasi aset, jenis-jenis instrumen yang dihasilkan dari
pelaksanaan sekuritisasi aset dan pihak-pihak yang terkait. Uraian sekuritisasi
dalam sistem keuangan syariah meliputi prinsip syariah dalam sekuritisasi aset,
aset-aset yang dapat menjadi underlaying dan akad-akad yang dapat digunakan
dalam sekuritisasi berbentuk EBA.
Bab III: menguraikan perkembangan dan praktik sekuritisasi aset berbentuk
Efek Beragun Aset di beberapa Negara, yaitu Amerika Serikat, Eropa, Timur
Tengah dan Asia Tenggara Khususnya Malaysia dan Indonesia. Tinjauan
perkembangan ini lebih menitikberatkan pada mekanisme serta permasalahan
hukum yang dihadapi dalam pelaksanaan sekuritisasi berbentuk EBA di beberapa
tempat dimaksud.
Bab IV: melakukan elaborasi tentang upaya inovasi produk dengan
menghubungkan/mengintegrasikan produk antar lembaga keuangan yang ada di
pasar modal dan di perbankan syariah. Uraian bab ini meliputi pentingnya inovasi
produk suatu keniscayaan bagi perbankan syariah, peran pebankan dalam proses
sekuritisasi, perkembangan perbankan syariah di Indonesia, produk pasar modal
yang dijalankan perbankan syariah, (produk syariah di pasar modal, kegiatan

39
sebagai emiten dan investor produk pasar modal, permasalahan penerapan produk
syariah di pasar modal), dan potensi sekuritisasi EBA oleh bank syariah
Bab V: Menjelaskan hasil penelitian mengenai pertimbangan pelaku industri
perbankan Syariah untuk melakukan atau tidak melakukan sekuritisasi aset
berbentuk EBA. Juga menjelaskan respon bank syariah atas aspek kesyariahan,
aspek hukum dan regulasi, dan aspek budaya kerja pengembangan produk
sekuritisasi berbentuk EBAS.
Bab VI: Penutup, mengemukakan jawaban atas rumusan masalah penelitian
berkaitan dengan pembahasan sekuritisasi aset oleh lembaga keuangan syariah.
Kemudian rekomendasi sebagai bahan pertimbangan dan kajian selanjutnya.

40
BAB II
ASPEK SYARIAH DALAM SEKURITISASI BERBENTUK EBA DALAM
SISTEM KEUANGAN

A. SEKURITISASI EBA DALAM SISTEM KEUANGAN SECARA UMUM

1. Pengertian Sekuritisasi Aset


Kata sekuritisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu securities yang berarti
surat-surat berharga atau juga berasal dari kata security yang berarti jaminan,
pelindung dan tanggungan.1 Dari kata-kata tersebut kemudian menjadi kata
securitization karena surat-surat berharga atau efek yang dimiliki seseorang
menjadi jaminan atau tanggungan kepada pihak lain sehingga timbul kepercayaan
dari satu pihak kepada pihak lainnya.2 Efek atau surat berharga tersebut dinilai
sebagai aset keuangan yang likuid/lancar karena relatif mudah dan cepat untuk bisa
dialihkan menjadi uang kas. Hal mana berbeda apabila aset yang dimiliki oleh
seseorang atau satu pihak dalam bentuk piutang, tagihan, penyertaaan atau bahkan
inventori yang pada saat mau dilakukan pengalihan atau penjualan perlu proses
terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu relatif lama dan tidak mudah.3
Dalam bahasa Arab kata securitization memiliki padanan arti dengan kata
al-tas}ki@k dan al-tauri@q4. Walaupun para penulis nampaknya lebih banyak
menggunakan kata al-tauri@q.5 Al-tas}ki@k berasal dari kata s}akk berarti dokumen,

1
John M. Echols & Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1997), h. 509
2
Steven L. Schwarcz, ‚The Alchemy of Asset Securitization‛, Stanford Journal of
Law, Business & Finance,Vol.1,No.1(1994):133. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?
Abstract_id=868520; Gary Gorton & Andrew Metrick, ‚Securitization‛, dalam ‚Handbook
of theEconomics of Finance‛, Vol.2 Part A (2013):2. https://www.nber.org/papers/w18611.
pdf
3
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring and Investment Analysis, (New
Jersey: John Wiley & Son. Inc, 2003), h. 4
4
Atabik Ali & Ahmad Z Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak Press, 2001), h, 496; Ahmad W
Munawwar, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997); Akhtar Zaiti Abdul Aziz, Al-S}uku@k al-Isla@mi (al-Tauri@q) wa Tat}bi@qatuha@
al-Mu’a@s}irah wa Tada@wuliha@, Majma al-Fiqh al-Isla@mi al-Dauly, Muktamar ke-19 di UEA;
h. 1.
5
Abdul Bari Musyqil, Al-S}uku@k al-Isla@mi (al-Tauri@q) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah
wa Tada@wuliha@, Majma al-Fiqh al-Islami al-Dauly, Muktamar ke-19 di UEA, 2009, h. 2;
https://iefpedia.com/arab/?p=3550; Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi, al-S}uku@k al-
Isla@miyyah : al-Tauri@q wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami al-Duali,
(2013:3. file:///C:/Users/ acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-37-34%20(5). pdf;
Akhtar Zaiti Abdul Aziz, Al-S}uku@k al-Isla@mi (al-Tauri@q) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’as}irah wa
Tada@wuliha@, Majma al-Fiqh al-Isla@mi al-Dualy, Muktamar ke-19 di UEA, (2009), h. 1.
file:///C:/Users/acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-39-17%20(4).pdf

41
piagam, akte; kemudian menjadi istilah s}uku@k, yang berarti sertifikat atau
dokumen, yaitu ‚suatu sertifikat bernilai sama yang merepresentasikan bukti
kepemilikan pemegang sukuk atas suatu bagian tertentu dan tidak terbagi terhadap
suatu aset yang menjadi dasar penerbitannya dapat berupa aset berwujud, nilai
manfaat, jasa dan aset dari suatu proyek tertentu maupun kegiatan investasi yang
telah ditentukan‛.6 Diartikan juga s}uku@k sebagai penerbitan surat berharga yang
dapat diperdagangkan, berdasarkan proyek investasi yang menghasilkan
pendapatan.7 Adapun kata al-tauri@q8 diartikan sebagai kegiatan mengkonversi
pinjaman tidak likuid menjadi sekuritas (efek) yang ditawarkan kepada investor di
pasar modal (‘Amaliyyatun Tah}wi@l al-Quru@d} ghair al-Sa@ilati ila@ Sanada@t
Mutada@wilah Qabi@latun litada@wuli fi aswa<@q ra’s al-ma@l).9
Secara terminologi telah banyak pengertian dari sekuritisasi yang
dikemukakan oleh para ahli dalam berbagai literatur dengan penekanan yang
berbeda. Ada pengertian yang menekankan secara umum pada proses dari
sekuritisasi, ada yang menekankan pada mekanisme dan sistem pembukuannya,
bahkan ada yang menekankan pada akibat hukum dari kegiatan sekuritisasi
dimaksud.

6
AAOIFI, al-Mi’yar Syar’i /Syariah Standard No. 17 tentang Sukuk al-Istitsmar,
‚Investment Sukuk are certificates of equal value representing undivided shares in
ownership of tangible assets, usufruct and services or (in the ownership of) the assets of
particular projects or special investment activity….‛
‫ىي واثئق متساوية القيمة متثل حصصا شائعة يف ملكية أعيان أو منافع أو خدمات أو يف موجودات مشروع معني أو نشاط‬
‫استثماري خاص‬
7
Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi, al-S}ukuk al-Islamiyyah : al-Tauri@q wa
Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami al-Duali, (2013):2. file:///C:/Users/
acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-37-34%20(5).pdf; Akhtar Zaiti Abdul Aziz, Al-
S}uku@k al-Isla@mi (al-Tau@riq) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’as}irah wa Tada@wuli@ha@, Majma al-Fiqh
al-Isla@mi al-Dualy, Muktamar ke-19 di UEA; h. 1. file:///C:/Users/acer/Downloads/
ShrjaLabel09-04-2013-11-39-17%20(4).pdf
8
Secara bahasa kata al-tauri@q merupakan mas}dar dari kata warraqa jamaknya aura@q
seperti warraqa al-syajar (memetik daun); warraqa fula@n (kertas putih dan menuliskannya);
waraqa min al-syajar ( dikenal sebagai dunia dan keindahannya); Ali Muhyiddin al-Qurhu
Daghi, Al-S}ukuk al-Islami (al-Tauri@q) ...h.2.
9
Ali Muhyiddin al-Qurhu Daghi mengartikan al-tauriq sbb:
‫عملية حتويل القروض غري السائلة اىل سندات متداولة ويعترب البعض االخرالتوريق ابنو احد االنشطة املالية املستحدثة اليت ميكن عن طريقها‬
‫إلحدى املؤسسات املالية املصرفية او غري املصرفية ان تقوم بتحويل احلقوق املالية غري القابلة للتداول واملضمونة أبصول اىل منشأة متخصصة ذات‬
‫غرض خاص تسمى شركة التوريق هبدف إصدار أوراق مالية جديدة قابلة للتداول يف سوق األوراق املالية‬
Proses mengubah pinjaman non-likuid menjadi surat berharga (obligasi) yang dapat
dipertukarkan. Sekuritisasi sebagai salah satu kegiatan keuangan yang baru dimana bank
atau lembaga keuangan dapat mentransformasikan hak/aset finansial yang tidak dapat
diperdagangkan kepada SPV (entitas tujuan khusus) yang disebut perusahaan sekuritisasi
dengan mengeluarkan surat berharga baru yang dapat diperdagangkan di pasar keuangan/
surat berharga.

42
Pengertian yang menekankan pada proses singkat dari sekuritisasi antara
lain dikemukakan oleh Comuzzi (2017), Musyqil (2009), dan Widjaya (2008), yang
mengartikan sekuritisasi adalah ‚suatu proses melikuidkan aset-aset yang tidak
likuid menjadi likuid‛.10 Sekuritisasi adalah ‚suatu proses atau kegiatan, yang
dilakukan untuk melikuidkan aset-aset berupa piutang-piutang yang tidak likuid
menjadi uang kas, dengan cara membuat piutang-piutang tersebut menjadi efek-
efek (sekuritas) yang dapat diperdagangkan dengan mudah dan cepat‛.11
Pengertian sekuritisasi yang menekankan pada mekanisme dan sistem
pembukuan serta underlying aset dari sekuritisasi dimaksud antara lain
dikemukakan oleh Daghi (2009),12 Schwarcz (2013),13 Pinto & Alves (2016),14 dan
Deacon (2004).15 Menurut Qarhu Daghi, ‚sekuritisasi adalah transformasi
pinjaman dan instrumen hutang yang tidak likuid menjadi sekuritas yang likuid
(saham dan obligasi), dapat diperdagangkan di pasar modal, yang didasarkan pada
jaminan dalam bentuk barang atau finansial, arus kas yang dapat diprediksi, dan
tidak semata-mata didasarkan pada kemampuan nasabah untuk membayar kembali
kewajiban (hutang) sepanjang tahun‛.16
Menurut Schwarcz, sekuritisasi adalah ‚proses pengemasan keuangan dan
mentransformasikannya ke dalam bentuk kemasan keuangan (financial packaging)
yang dapat ditransfer secara bebas di antara para investor‛.17 Pada dasarnya

10
Paolo Camuzzi, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International Publishing, 2017),
h.4-5. lihat, file:///C:/Users/Acer/Downloads/9783319541235-c2.pdf; Abdul Bari Musyqil,
Al-S}ukuk al-Islami (al-Tauri@q) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah wa Tada@wuliha@, Majma al-
Fiqh al-Islami al-Dauly, Muktamar ke-19 di UEA, (2009). h. 2. https://iefpedia. com/
arab/?p=3550; Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan
UU Pasar Modal, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 327.
11
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar
Modal, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 524.
12
Ali Muhyiddin al-Qurhu Daghi, Al-S}uku@k al-Isla@mi (al-Tauri@q) ... h. 2
13
Steven L. Schwarcz, Securitization, Structured Finance, and Covered Bonds, The
Journal of Corporation Law, Vol.39, Edisi I (2013),h..130. https://pdfs.semanticscholar.
org/97e3/c6bbde2e6c2d9949ee3629ff7c4390149f2f.pdf
14
João Pinto & Paulo Alves, The economics of securitization: evidence from the
European markets, Investment Management and Financial Innovations, Vol. 13, Edisi 1,
(2016), h.113. https://businessperspectives.org/images/pdf/applications/publishing/templat
es/article/assets/7607/imfi_en_2016_01_Pinto.pdf
15
John Deacon, Global Securitization and CDOs, (Chichester: John Wiley & Sont
Ltd, 2004), h.36
16
Definisi al-tauriq menurut al-Qurhu Daghi adalah:
‫ وىي أوراق‬،‫ قابلة للتداول يف أسواق رأس املال‬،) ‫حتويل القروض وأدوات الديون غري السائلة إىل أوراق مالية سائلة (أسهم وسندات‬
‫ وال تستند إىل جمرد القدرة املتوقعة للمدين على السداد من خالل العام ابلوفاء‬، ‫ ذات تدفقات نقدية متوقعة‬،‫تستند إىل ضماانت عينية أو مالية‬
‫ابلدين‬
17
Steven L. Schwarcz, Securitization, Structured Finance, and Covered Bonds, The
Journal of Corporation Law, Vol.39, Edisi I (2013),h..130. https://pdfs.semanticscholar.
org/97e3/c6bbde2e6c2d9949ee3629ff7c4390149f2f.pdf

43
sekuritisasi mengubah aset mentah menjadi unit yang dapat diperdagangkan, yaitu
dengan cara melakukan penataan kembali arus kas dan risiko dari aset keuangan
nyata untuk memenuhi kebutuhan investor.18 Menurut Hyderabad, ‚sekuritisasi
adalah pengemasan kembali piutang ke dalam bentuk yang dapat diperdagangkan.
Sekuritisasi mengacu pada upaya pengemasan kumpulan utang dan piutang sampai
pada tingkat dimana credit enhanchment memperoleh penilaian layak dan
meredistribusi paket-paket (investasi) tersebut kepada Investor dalam bentuk surat
berharga atau pinjaman, yang kumpulan piutang tersebut dijadikan jaminan yang
mendasari transaksi dimakasud‛.19 Sementara itu menurut Deacon, ‚securitization
diarikan sebagai proses konversi arus kas yang timbul dari aset tertentu menjadi
pembayaran lancar sehingga Asset Backed Finance (sering dalam bentuk Aset
Beragun Efek) dengan sumber daya yang terbatas secara alami menaikkan nilai
kredit aset yang relevan (biasanya utang atau Piutang karena sejumlah besar pihak
ketiga)‛.20
Pendekatan ketiga pengertian sekuritisasi yang menekankan pada aspek
hukum yang akan membawa pada akibat hukum dari sekuritisasi. Pengertian ketiga
ini antara lain dijelasakan dalam kamus Blacklaw dictionary, financial dictionary
dan peraturan perundang-undangan.
Black’s law dictionary mengartikan sekuritisasi yaitu: ‚securitization is to
convert (assets) into negotiable securities for resale in financial market, allowing
the issuing financial institution to remove assets from its books, to improve its
capital ratio and liquidity while making new loans with the security proceeds‛.21
(Mengubah (aset) menjadi sekuritas yang dapat dinegosiasikan untuk dijual
kembali di pasar keuangan, yang memungkinkan lembaga keuangan yang
menerbitkannya menghapus aset dari pembukuannya, untuk meningkatkan rasio
modal dan likuiditas sambil membuat pinjaman baru dengan hasil yang terjamin).
Dalam Financial Dictionary, sekuritisasi diartikan sebagi ‚suatu proses
pengalihan aset yang tidak likuid menjadi efek melalui rekayasa keuangan. Dalam
proses tersebut, instrumen hutang yang berbeda disatukan dalam satu bundel dan
dijual untuk memperoleh uang kas‛.22.
Menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia, sekuritisasi aset
adalah ‚penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun aset yang didasarkan

18
Steven L. Schwarcz, Securitization, Structured Finance, ....,h. 130.
19
João Pinto & Paulo Alves, The economics of securitization..., h.113.
20
John Deacon, Global Securitization and CDOs, (Chichester: John Wiley & Sont
Ltd, 2004), h. 611
21 Hendry Champbel Black, Black’s Law Dictionary 8th edition , (St. Paul, Minn:
West Publishing CO, 2004), h. 1358
22
www.financialdictionary.net

44
pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal (originator) yang diikuti dengan
pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset‛.23
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 24
a. Sekuritisasi adalah suatu proses melikuidkan aset yang tidak likuid menjadi
likuid.
b. Proses tersebut dilakukan dengan cara melepaskan pemilikan atas aset yang
tidak likuid tersebut.
c. Pelepasan aset tersebut dilakukan melalui jual beli atau bentuk lain dari
pengalihan hak milik dari aset tersebut.
d. Proses tersebut melibatkan suatu institusi yang independen/terlepas dari
perusahaan yang menerbitkan (Trusts atau Special Purpose Vehicle) yang
berfungsi untuk menerbitkan surat berharga.
e. Aset yang tidak likuid tersebut kemudian dijadikan sebagai jaminan atau
agunan (collateral) atau menjadi dasar (underlying) dalam rangka penerbitan
surat berharga, dan diletakkan dalam keadaan yang terpisah dari pengelola aset
tersebut (pemilik aset semula) dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
investor.
Secara sederhana, sebagaimana dikemukakan Paolo dan Widjaya,25
sekuritisasi aset mengambil bentuk sebagai berikut:

(1) (2)
Originator
Go Issuer (penerbit) Investor
(4) (3)

Keterangan:
(1) Originator menjual kumpulan piutang, khususnya piutang jangka menengah
dan jangka panjangnya kepada issuer/Penerbit, yang umumnya berbentuk
trust, Special Purpose Vehicle (SPV), atau Conduit.
(2) Issuer/Penerbit menerbitkan EBA (Asset Backed Securities=ABS) kepada
investor
(3) Issuer memperoleh pembayaran dari investor yang mengambil bagian dalam
penerbitan EBA tersebut.

23
Terdapat beberapa peraturan di Indonesia yang mendefinisikan sekuritisasi aset
yaitu Peraturan Presiden No.1 Tahun 2008 Juncto Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005,
yaitu: ‚Sekuritisasi Aset adalah transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan
cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset‛.
24
Paolo Camuzzi, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International Publishing, 2017),
h.9. file:///C:/Users/Acer/Downloads/9783319541235-c2.pdf; Tim Kajian Bapepam LK,
Kajian Pengembangan produk syariah di pasar modal Sekuritisasi syariah (efek beragun
aset syariah), 2010, h. 10. Gunawan Widjaya, Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust
dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 328-
329.
25
Paolo Camuzzi, dkk, The Alchemy of Securitization, Evolution ....h.12; João Pinto
& Paulo Alves, The economics of securitization.... h.115.

45
(4) Issuer membayar nilai pembelian piutang-piutang jangka panjang tersebut
kepada originator.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sekuritisasi menghasilkan


Efek Beragun Aset (EBA), yaitu surat berharga atau efek yang portofolionya
terdiri dari aset keuangan (financial asset).26 Berdasarkan Perpres No. 19 tahun
2005, ‚Efek Beragun Aset (EBA) adalah surat berharga yang dapat berupa Surat
Utang atau Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh penerbit yang pembayarannya
terutama bersumber dari Kumpulan Piutang‛.27 Maksud dari ‚Kumpulan Piutang
adalah keseluruhan aset keuangan yang dibeli oleh Penerbit dari kreditur asal‛.28
Oleh sebab itu, dinamakan EBA karena setiap pembayaran atau kewajiban yang
ada dalam surat berharga atau efek tersebut diambil dari atau dijamin dengan aset
(asset backed) berupa piutang-piutang (receivables) atau bukti kepemilikan/
penyertaan (his}s}ah) yang semula dimiliki oleh kreditur awal (originator), dialihkan
kepemilikannya kepada penerbit (issuer).29 Karena yang dialihkan kepada penerbit
itu adalah berbentuk aset keuangan, sekalipun kategori asetnya tidak likuid, maka
sering dikategorikan sekuritisasi berbentuk Efek Beragun Aset ini sebagai bagian
dari sekuritisasi aset.30

2. Para Pihak Terkait Pelaksanaan Sekuritisasi Aset


Sekuritisasi dalam bentuk Efek Beragun Aset sebagai suatu produk atau
instrumen keuangan di Pasar Modal – selain saham, sukuk, dan reksadana- cukup
kompleks dan memiliki mekanisme yang unik sehingga keterlibatan pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya menjadi bagian sangat penting. Penerbitan produk EBA
jenisnya bisa beragam, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam sekuritisasi

26
‚Efek Beragun Aset adalah Efek yang diterbitkan oleh KIK-EBA yang
portofolionya terdiri dari aset keuangan‛ (Pasal 1 angka 7 POJK 65/2017). ‚Efek adalah
surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi,
tanda bukti utang, unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, kontrak berjangka atas
Efek, dan setiap derivatif dari Efek‛ (Pasal 1 angka 6 POJK 65/2017).
27
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2005 tentang Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan
Sekunder Perumahan; dan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan
28
Pasal 1 No. 8 Perpres No. 19/2005, ibid.
29
Rahayu, Dyah, Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Dalam Rangka
Mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan , (Thesis, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2013), h.3
30
Hal ini sebagaimana tercantum dalam POJK 03/2008 yang menegaskan
sekuritisasi aset adalah proses penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun aset
yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikuti dengan
pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal. Lihat,
Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: /POJK.03/2018 Tentang Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum

46
berbentuk EBA ini juga bisa beragam, sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di negara masing-masing.
Para pelaku utama dalam penerbitan EBA adalah: (1) Originator (al-
Munsya-a), (2) Servicer (khidmah al-dain), (3) Conduit (al-mushdir), (4) Invest-
ment Bank, (5) Rating agencies (al-tashnif al-i’timani), (6) Credit enhancer, (7)
Trustee dan (8) Investors; (9) legal counsultans; (10) Auditor.31

Berikut adalah uraian dari masing-masing pihak dimaksud.


a. Kreditur Awal/Asal (Originator/Munsya al-As}l)
Originator disebut juga ‛kreditur awal‛ atau ‛kreditur asal‛ adalah
lembaga-lembaga keuangan, seperti bank, perusahaan pembiayaan, modal ventura,
dan sejenisnya yang memberikan kredit atau pembiayaan, yang kemudian
menjadikan kepemilikan aset yang dibiayai tersebut untuk dijual atau digunakan
sebagai agunan untuk EBA yang akan diterbitkan.
Menurut Peraturan Otorits Jasa Keuangan (OJK), ‚Kreditur Awal
(Originator) adalah Pihak yang telah mengalihkan aset keuangannya kepada para
pemegang Efek Beragun Aset secara kolektif dimana aset keuangan tersebut
diperoleh Pihak yang bersangkutan karena pemberian pinjaman, penjualan,
dan/atau pemberian jasa lain yang berkaitan dengan usahanya‛.32 Pengertian lain
dari Kreditur Asal adalah pihak yang memiliki aset keuangan yang akan dijual dan
ditransformasi menjadi EBA.33 Dalam praktiknya di Indonesia, ‚Kreditur Asal
(Originator) adalah a. pihak yang mengalihkan aset keuangan kepada Penerbit;
atau b. pihak yang menjadi sponsor entitas bertujuan khusus dalam penerbitan
surat berharga Asset Backet Commercial Paper (ABCP) atau surat berharga sejenis
lain yang bertujuan untuk mengambil alih eksposur dari pihak ketiga‛.34

b. Penerbit EBA (SPV, Trustee, wakil al-is}da@r, dhat ghard} kha@s}s})


Secara umum penerbit ini memiliki karakteristik yang sama yaitu harus
badan hukum. Bentuk badan hukumnya di sebagian besar negara menggunakan
SPV (special purpose vehicle), tetapi di sebagian negara yang lainnya memiliki
bentuk tertentu. Di Indonesia bentuk badan hukumnya adalah KIK-EBA, EBA SP,
dan PT Khusus. Oleh karena itu penerbit diartikan sebagai badan - badan hukum,
kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA), entitas bertujuan khusus,
atau bentuk lain yang bertujuan untuk melakukan aktivitas sekuritisasi aset.35
31
Paolo Camuzzi, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International Publishing, 2017),
h.16. lihat, file:///C:/Users/Acer/Downloads/9783319541235-c2.pdf
32
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /Pojk.04/2017 Tentang Pedoman
Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
33
POJK NO. 23/POJK.04/2014 Tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
34
POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
35
POJK No.11/POJK.03/2019 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum

47
Bentuk hukum SPV dalam EBA di Indonesia terdapat 2 bentuk yaitu berupa
Kontrak Investasi Kolektif (KIK), dan EBA Surat Partsipasi (EBA-SP). Menurut
POJK, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah adalah ‚kontrak
antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek
Beragun Aset Syariah dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola
portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif, yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal‛.36 Efek Beragun Aset Syariah Berbentuk Surat
Partisipasi yang selanjutnya disingkat EBAS-SP adalah ‚Efek Beragun Aset
Syariah yang diterbitkan oleh Penerbit yang akad dan portofolionya berupa
Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal serta merupakan bukti kepemilikan secara
proporsional yang dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBAS-SP‛.37

c. Investor (al-mustathmar/al-mushtari@)
Adalah para pemegang EBA yang menerima pembayaran atas investasinya
sesuai dengan ketentuan dan persyaratan, dan pembayaran berasal dari pool of fund
yang menjadi dasar EBA.

d. Wali Amanat (ami@n al-istithma@r)


Dalam UU Pasar Modal, Wali Amanat diartikan ‚sebagai pihak yang
mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang‛.38 Mengingat bentuk
efek yang beragam, dalam peraturan terkini di bidang pasar modal pengertian Wali
Amanat lebih luas lagi yaitu pihak yang mewakili kepentingan investor, baik efek
berbentuk utang maupun efek berbentuk penyertaan. Sehingga Wali Amanat
diartikan ‚pihak yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wali
Amanat dan mewakili kepentingan investor‛ (pemegang EBA-SP atau KIK).39

e. Debitur (al-madin)
Adalah nasabah yang berhutang kepada originator. Apabila nasabah
memberikan jaminan pelunasan kepada originator, maka jaminan tersebut dalam
proses sekuritisasi aset menjadi jaminan utang.
Dalam perkembangannya, debitur ini disebut juga ‚Reference Entity‛ yaitu
‚pihak yang berutang atau mempunyai kewajiban membayar (obligor) dari aset
keuangan yang dialihkan (underlying reference asset), termasuk: a. penerbit dari
surat berharga dalam hal aset keuangan yang dialihkan (underlying reference asset)

36
Pasal 1 angka 1 POJK No.20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan Persyaratan
Efek Beragun Aset Syariah).
37
Pasal 1 angka 3 POJK No.20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan Persyaratan
Efek Beragun Aset Syariah).
38
Pasal 1 angka 30 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
39
Pasal 1 angka 17 POJK NO. 23/POJK.04/2014 Tentang Pedoman Penerbitan Dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi

48
berupa surat berharga; atau b. pihak yang berkewajiban untuk melunasi dalam hal
aset keuangan yang dialihkan (underlying reference asset) berupa kredit atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu‛.40

f. Lembaga Sarana Peningkatan Kredit


Dalam ketentuan POJK, pengertian ‚Kredit Pendukung (Credit
Enhancement) adalah fasilitas yang diberikan kepada Penerbit untuk meningkatkan
kualitas aset keuangan yang dialihkan dalam rangka pembayaran kepada
pemodal‛.41 Dengan demikian, lembaga ini adalah pihak yang memberikan
jaminan dan memberikan dukungan peningkatan nilai EBA.

g. Perusahaan Pemeringkat Efek (waka@lah al-tas}ni@f al-‘ala@miyyah)


Merupakan pihak yang memberikan peringkat atas EBA, yang EBA-nya
terdiri dari beberapa kelas (kelas A dan B). Dalam proses pemeringkatan ini,
perusahaan tersebut memperhatikan kondisi keuangan atau portofolio keuangan
termasuk jaminan yang dimilikinya. Faktor penilaiannya antara lain terkait 1)
catatan keuangan sebelumnya, 2) agunan yang dimiliki, 3) arus kas, 4) mekanisme
EBA, 5) pendukung kredit, dan 6) originator.

h. Penyedia Jasa (Servicer/khidhmah al-dain)


Dalam ketentuan POJK, Penyedia Jasa (Servicer) diartikan sebagai ‚pihak
yang menatausahakan, memproses, mengawasi, dan melakukan tindakan-tindakan
lainnya dalam rangka mengupayakan kelancaran arus kas aset keuangan yang
dialihkan (underlying reference asset) kepada Penerbit sesuai perjanjian antara
pihak tersebut dengan Penerbit, termasuk memberikan peringatan kepada
Reference Entity apabila terjadi keterlambatan pembayaran, melakukan negosiasi
dan menyelesaikan tuntutan‛.42

i. Manajer Investasi (ama@nah al-istithma@r)


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, dinyatakan bahwa ‚ Manajer Investasi adalah Pihak
yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali
perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan
usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku‛. Dengan
demikian manajer investasi ini adalah pihak yang diberi otoritas untuk melakukan
pengelolaan atas kumpulan investasi kolektif.

40
POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.
41
ibid
42
POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.

49
j. Bank Kustodian
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, dinyatakan bahwa ‚Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa
penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk
menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan
mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya‛. Dalam ketentuan POJK,
‚Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan sebagai Bank Kustodian‛.43

k. Profesi Penunjang Pasar Modal


Profesi penunjang pasar modal yang terkait dengan proses penerbitan EBA
yaitu konsultan hukum, notaris, dan akuntan. Mereka melakukan tugas sesuai
bidangnya masing-masing.

l. Pihak-pihak Lain
Di samping profesi penunjang, ada pihak lain yang juga sering dilibatkan
dalam proses penerbitan EBA sesuai kebutuhan yaitu biro administrasi,
underwriter, pendukung kredit, dan pembeli siaga.

Gambar 2.1
Para Pihak Dalam Sekuritsasi EBA-SP

Sumber: PT SMF

43
POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.

50
3. Proses Sekuritisasi dan Mekanisme Penerbitannya
a. Proses Sekuritisasi
Menurut Paolo, proses sekuritisasi dilalui melalui tahapan (1) selection of
pool of assets; (2) Trustee sale transaction; (3) Capital and legal structure; (4)
Issuance of ABS; (5) Market Placement; dan (6) Payment of the asset purchase.44
Sementara menurut Schwarcz, tahapan proses sekuritisasi adalah (1)
mengidentifikasi aset yang akan disekuritisasi untuk memperoleh dana (identifing
assets that can be used to rise funds); (2) mengalihkan dana kepada pihak penerbit
(transfer of receivables to newly formed sepecial purpose corporation, trust or
other legally separate entity), dan (3) menerbitkan surat berharga di pasar modal
oleh penerbit (the SPV issues securities in the capital markets).45
Selain itu, menurut Saunders dan Cornett, proses sekuritisasi aset dilalui
melalui beberapa tahapan, yaitu: ‚1). memindahkan sekelompok aset dari neraca
bank selaku originator secara jual putus (true sale) kepada SPV. 2). Selanjutnya,
SPV menerbitkan surat berharga yang dijamin oleh arus kas dari aset dimaksud
(dikenal dengan istilah asset backed securities-ABS), 3). Kemudian, SPV menjual
ABS tersebut kepada investor (individu atau institusi), dan 4). Dana yang
diperoleh dari hasil penjualan ABS dibayarkan kepada originator sebagai
pembayaran atas pembelian sekelompok aset. Dalam pelaksanaan pembayaran ini,
SPV tetap bertanggung jawab untuk membayarkan imbalan (bunga dan pokok)
ABS hingga jatuh tempo secara tepat waktu kepada investor‛.46
Dari penjelasan para ahli di atas, secara umum mekanisme penerbitan
sekuritisasi dilakukan sebagaimana gambar di bawah ini.

Gambar. 2.2
Skema Penerbitan Sekuritisasi

Sumber: PT SMF

44
Paolo Camuzzi, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International Publishing, 2017),
h.12. lihat, file:///C:/Users/Acer/Downloads/9783319541235-c2.pdf
45
Steven L. Schwarcz, ‚The Alchemy of Asset Securitization‛, Stanford Journal of
Law, Business & Finance,Vol.1,No.1(1994):135. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?
abstract_id=868520
46
Anthony Sounders & Marcia Mellon Cornet, Financial Institution Management: A
Risk Management Aproach, (NewYork: McGraw-Hill Irwin, 2008), edisi ke-6, h.

51
Penjelasan Gambar:
1) Kreditur Asal (Bank) membuat perjanjian kredit/pembiayaan dengan
debitur/nasabah. Dalam klausula perjanjian kredit, terdapat persetujuan
debitur dalam hal bank mengalihkan tagihannya kepada pihak lain.
2) Kreditur Asal mengalihkan tagihan/piutangnya - yang merupakan aset
keuangan Kreditur Asal yang tidak likuid- kepada SPV atau lembaga
keuangan untuk ditransformasi menjadi efek yang dapat diperdagangkan,
sehingga Kreditur Asal memperoleh dana baru, selanjutnya dapat
menyalurkan kembali kredit-nya.
3) SPV atau Lembaga keuangan melakukan penawaran umum kepada investor.
Melalui proses transformasi aset keuangan menjadi efek, maka terbitlah EBA
untuk dijual kepada investor
4) Pembayaran dilakukan oleh investor kepada SPV atau lembaga keuangan atas
pembelian EBA
5) Selanjutnya pembayaran dari investor diteruskan kepada Kreditur Asal.

Terkait dengan fungsi lembaga SPV dalam proses sekuritisasi ini,


sebagaimana dijelaskan pada Bab I, bahwa Special Purpose Vehicle
merupakan badan hukum yang khusus didirikan – biasanya oleh sponsor atau
originator, dengan tujuan memindahkan sebagian asetnya kepada SPV. Apabila
sudah tercapai tujuannya, maka SPV ini dibubarkan oleh pendirinya. SPV tidak
diperkenankan mempunyai karyawan atau memiliki tanggung jawab kepada pihak
ketiga. Dengan demikian, administrasi aset SPV harus sepenuhnya
disubkontrakkan.47 SPV dikenal di negara-negara dengan sistem hukum Eropa
Kontinental, karena mereka tidak mengenal konsep trusts.48
Dalam kontek landasan hukum yang ada di Indonesia,49 penerapan konsep
SPV dilakukan dalam dua bentuk, yaitu menggunakan model KIK-EBA dan model
pembentukan perusahaan yang berfungsi sebagai SPV. Yang membedakan antara

47
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar
Modal, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 97
48
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, .... h. 97; Sutan Remy
Sjahdeini, Asset Back Securitization dan Aspek Hukumnya, dalam Kapita Selekta
Perbankan, (Jakarta: Grafindo, 2009).
49
Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan sekuritisasi antara lain: Peraturan
Bapepam No.IX.C.9 dan IX.C.10 tentang Pedoman Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed Securiteis) Jo. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah;
Surat Edaran Bank Indonesia No.7/51/DPNP tanggal 9 November 2005 tentang Prinsip
Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum, serta Peraturan
Presiden No.1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.19 tahun 2005
tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam Peraturan Presiden No.1 tahun 2008
tersebut dijelaskan bahwa pembelian kumpulan aset keuangan (piutang) dari kreditor asal
oleh Penerbit dilakukan dengan cara cessie sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 613
KUH Perdata. Dengan peralihan piutang secara cessie tersebut, maka piutang dan
perjanjian ikutannya (Hak Tanggungan) beralih kepada Penerbit.

52
keduanya antara lain adalah dasar hukum dari masing-masing model dimaksud.
Apabila model KIK-EBA mendasarkan pada UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya, model kedua mendasarkan Perpres No. 1
Tahun 2008 juncto No.19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
dan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
berikut peraturan pelaksanaannya termasuk POJK terkait EBA-SP.
Berikut dijelaskan perbedaan model sekuritisasi dalam bentuk Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) dan dalam bentuk Efek Beragun
Aset Surat Partisipasi (EBA-SP).

1) Model Sekuritisasi berbentuk KIK EBA


Berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa ‚Kontrak Investasi
Kolektif (KIK) yaitu kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian yang
mengikat pemegang unit penyertaan dimana manajer investasi diberi wewenang
untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif‛.50 Efek Beragun Aset (EBA)
yaitu ‚surat berharga atau efek yang portofolionya terdiri dari aset keuangan‛.51
Dengan demikian, ‚KIK-EBA adalah kontrak antara manajer investasi dan bank
kustodian yang mengikat pemegang efek beragun aset dimana manajer investasi
diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan bank
kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif‛.52 Dalam
pengertian peraturan tersebut dapat dipahami bahwa secara tertulis kontrak
investasi ini merupakan perjanjian dua pihak antara Manajer Investasi dan Bank
Kustodian, namun perjanjian tersebut mengikat kepada pemegang unit penyertaan
(investor).53
Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 44 ayat 3 Undang-undang No.8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal bahwa ‚Efek atau surat berharga yang disimpan
atau dicatat dalam Rekening Efek Kustodian bukan merupakan bagian harta
kustodian tersebut‛. Berdasarkan ketentuan ini maka apabila Bank Kustodian

50
Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2017
Tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
51
Efek Beragun Aset adalah Efek yang diterbitkan oleh KIK-EBA yang
portofolionya terdiri dari aset keuangan (Pasal 1 angka 7 POJK 65/2017). ‚Efek adalah
surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi,
tanda bukti utang, unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, kontrak berjangka atas
Efek, dan setiap derivatif dari Efek‛ (Pasal 1 angka 6 POJK 65/2017).
52
Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2017
Tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
53
Dalam Angka 2 Peraturan Bapepam LK No. IX.K.1, dinyatakan juga bahwa ‚aset
yang membentuk portofolio KIK-EBA yang diperoleh dari Kreditur Awal melalui
pembelian atau tukar menukar dengan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset‛.
Dasar hukumnya adalah ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata ketentuan Pasal 1541 KUH
Perdata jo Pasal 1546 KUH Perdata.

53
pailit, aset yang mendasari KIK-EBA tersebut dikeluarkan dari boedel pailit.54
Dalam peraturan pelaksanaannya dipertegas lagi bahwa aset keuangan yang
membentuk portofolio KIK-EBA ini diperoleh dari Kreditur Awal (Originator)
melalui jual beli atau tukar menukar putus yang secara hukum terlepas dengan
KIK-EBA. Oleh karena itu, aset keuangan dalam KIK-EBA ini tidak masuk dalam
boedel pailit dalam hal originator pailit.55
Berdasarkan ketentuan tesebut bahwa penerbitan EBA dilakukan dengan
suatu kontrak yaitu KIK. Karena KIK dalam KIK-EBA berstatus sebagai subjek
hukum- sebagaimana SPV dalam konsep trust, maka aset keuangan dalam KIK
yang berasal dari originator ini tidak dapat dipailitkan sehingga hal ini dapat
melindungi kepentingan investor pemegang EBA.56

Gambar 2.3
Mekanisme Sekuritisasi KIK-EBA

Sumber: Dokumen Internal PT SMF (Persero)

Dari uraian di atas nampak bahwa sekalipun sistem hukum yang dianut
Indonesia tidak mengenal lembaga trust sebagai penerbit, namun demikian dalam
praktik sudah diterapkan secara umum konsep trust/SPV dalam proses sekuritisasi
di Indonesia, yaitu melalui KIK. KIK dalam KIK-EBA menurut hukum berstatus
sebagai subjek hukum.57

54
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), (Jakarta: Bapepam LK, 2010), h.8
55
Pasal 2 ayat 4 dan 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2017
Tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif.
56
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, ....h. 97; Sutan Remy
Sjahdeini, Asset Back Securitization dan Aspek Hukumnya...
57
‚Jika Issuer adalah Trusts, maka sekuritisasi aset yang dihasilkan adalah pass-
through Certificates atau di Indonesia disebut dengan nama Unit Penyertaan atau Surat
Partisipasi; sedangkan jika Issuer adalah SPV maka yang dihasilkan adalah pay-through
Certificates atau obligasi (surat utang) dengan Wali Amanat sebagai pihak yang
melindungi investor‛. Bapepam-LK, Kajian Pengembangan produk ..., h. 25; Gunawan
Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata.... h. 75

54
2) Model sekuritisasi berbentuk EBA-SP
Berdasarkan peraturan Presiden No 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan
Sekunder Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor
1 tahun 2008 dinyatakan bahwa ‚pembiayaan sekunder perumahan dilakukan oleh
suatu lembaga khusus yang bertujuan untuk memberikan fasilitas pembiayaan
dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan
yang terjangkau oleh masyarakat‛. Lembaga khusus tersebut adalah Perseroan
Terbatas bernama PT Sarana Multigriya Financial (PT SMF) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008 yang berfungsi sebagai
Koordinator Global, pembeli siaga dan credit enhancer.58

Gambar 2.4
Mekanisme Transaksi EBA-SP

Sumber: Dokumen Internal PT SMF (Persero)

Dengan demikian perbedaan antara KIK-EBA dengan EBA-SP terletak pada


pihak penerbit dan aset yang menjadi dasar penerbitan serta dasar hukum yang
melandasinya. Apabila KIK-EBA penerbitnya dapat dilakukan siapa saja,
sedangkan EBA-SP hanya badan hukum tertentu yang sudah disebutkan
perundang-undangan yaitu PT. Sarana Multigriya Finansial (SMF). Dari aset yang
dijadikan underlying-nya, EBA-SP hanya dapat diterbitkan dengan menggunakan
portofolio aset keuangan berbentuk kumpulan piutang atau pembiayaan sekunder

58
Lihat juga Anggaran Dasar SMF Akta No.59 tanggal 22 Juli 2005 yang telah
diumumkan dalam Berita Negara No.69 tanggal 30 Agustus 2005 Tambahan Berita Negara
No.9263 tahun 2005; Fotocopy perubahan Anggaran Dasar SMF Akta No.114 tanggal 13
Agustus 2008 yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum Dan HAM dengan
Keputusan No.AHU-94053.AH.01.02.Tahun.2008; dan Fotocopy Surat Keputusan
Bersama Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank
Indonesia No. 02/Kep/M/2009, No. 33/KMK.010/2009, No. 11/8/Kep.GBI/2009 tanggal 12
Februari 2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijakan Pengembangan
Pembiayaan Perumahan

55
perumahan, sedangkan KIK-EBA semua jenis keuangan selain pembiayaan
sekunder perumahan.59

b. Mekanisme Penerbitan EBA


Pada dasarnya penerbitan EBA dapat dilakukan secara penawaran umum
maupun penawaran khusus. Tetapi praktik di lapangan umumnya melalui
penawaran umum. Pada saat penawaran umum, manajer investasi melakukan
pendaftaran kepada otoritas Jasa Keuangan yang delengkapi dengan dokumen yang
dipersyaratkan. Setelah mendapatkan pernyataan efektif dari OJK dan
pemeringkatan efek dari Lembaga Pemeringkat Efek, Manajer Investasi secara
tertulis menyampaikan kepada Bursa dan Bursa akan mengumumkan pencatatan di
Bursa. 60
Penerbitan EBA melalui penawaran umum dilakukan yaitu:61
‚(1) Originator mengalihkan aset keuangannya kepada KIK dan dicatatkan
atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang EBA. Aset yang
membentuk portofolio KIK-EBA diperoleh dari Kreditur Awal melalui jual beli
atau tukar menukar secara putus sehingga aset tersebut terlepas dari kreditur awal
menjadi milik KIK. Setelah proses pengalihan tersebut, Kreditur Awal dapat
melaksanakan fungsi sebagai Penyedia Jasa (Servicer) dan mendapat fee atas
jasanya tersebut; (2) Aset keuangan yang menjadi portofolio KIK-EBA yang telah
diseleksi berdasarkan kriteria tertentu oleh Manajer Investasi kemudian
diperingkat oleh Lembaga Pemeringkat Efek (Rating Agency) dan dapat diberikan
sarana peningkatan kredit/arus kas (credit enhancement); (3) Dalam melakukan
proses penawaran umum, Manajer Investasi dapat dibantu oleh Penjamin Emisi
Efek (Underwriter); dan (4) Setelah Pernyataan Pendaftaran EBA memperoleh
Pernyataan Efektif dan aset keuangan telah beralih kepada KIK untuk kepentingan
pemegang EBA, maka arus kas pembayaran dari debitur kepada Penyedia Jasa
(Servicer) akan dimasukkan ke dalam rekening KIK-EBA untuk selanjutnya dana
tersebut disalurkan kepada pemegang EBA pada setiap tanggal pembayaran.
Dalam periode antar tanggal pembayaran Manajer Investasi dapat mengelola dana
tersebut sesuai ketentuan yang terdapat di KIK‛.
Mekanisme penerbitan EBA-SP menurut fatwa DSN-MUI adalah sebagai
berikut:62
1) Berdasarkan kesepakatan awal dengan Originator, Penerbit melakukan
penunjukan Wali Amanat dan Bank Kustodian yang terdaftar di otoritas yang
berwenang; Penerbit, Wali Amanat, dan Bank Kustodian menandatangani
Perjanjian Kerjasama dalam rangka Penerbitan EBAS-SP;

59
Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Alex Gramedia, 2018), h.123
60
Bapepam-LK No. IX.C.9 tentang Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum EBA.
61
Tim Kajian Bapepam LK, Kajian Pengembangan produk syariah di pasar modal
Sekuritisasi syariah (efek beragun aset syariah), (Jakarta: Bapepam-LK, 2010) h. 17
62
Fatwa DSN-MUI NO.121/DSN-MUI/II/2018 tentang Efek Beragun Aset
Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) berdasarkan prinsip syariah

56
2) Penerbit mengajukan pernyataan pendaftaran penerbitan EBAS-SP kepada
otorita yang berwenang dan setelah memenuhi persyaratan, otoritas yang
berwenang menerbitkan pernyataan efektif atas pengajuan pendaftaran yang
dilakukan Penerbit;
3) Penerbit membeli Aset Syariah Berbentuk Bukan Dain (ASBBD) yang
timbul dari pembiayaan perumahan yang berdasarkan akad Musha@rakah
Mutana@qis}ah (MMQ), Ija@rah Muntahiya bi al-Tamli@k (IMBT) dan/atau akad-
akad lain yang kedudukan kepemilikan aset masih berada pada Originator
antara lain aset ijarah (mahall al-ija@rah) dari Originator untuk kepentingan
pemegang EBAS-SP (Pemodal) yang diwakili oleh Wali Amanat, di mana
aset keuangan tersebut dititipkan di Bank Kustodian untuk
diadministrasikan; Wali Amanat menunjuk Penyedia Jasa untuk melakukan
penagihan atas Pembiayaan Pemilikan Rumah Berdasarkan Syariah.
4) Penerbit menerbitkan EBAS-SP dan menjualnya kepada Pemodal baik
melalui penawaran umum maupun tidak melalui penawaran umum; EBAS-
SP merupakan bukti kepemilikan bersama para Pemegang EBAS-SP
(Pemodal) secara proporsional atas aset syariah;
5) Pemodal melakukan pembayaran atas pembelian EBAS-SP kepada Bank
Kustodian untuk selanjutnya diteruskan kepada Originator atas instruksi
dari Penerbit (Penerbitan EBAS-SP sampai dengan pembayaran kepada
Originator dilakukan pada waktu yang bersamaan).

4. Jenis dan Pilar Sekuritisasi Aset

a. Jenis/Klasifikasi Sekuritisasi Aset


Menurut Paolo, ada dua jenis utama dari transaksi sekuritisasi, yaitu:63 (1).
Sekuritisasi berbasis arus kas (cash flow based securitization). Transaksi ini
disusun sebagai penjualan aset oleh perusahaan (originator) ke entitas khusus
(special purpose vehicle, SPV), yang kemudian menerbitkan surat berharga yang
didukung oleh aset yang mendasarinya. Sekuritisasi pertama ini juga didefinisikan
sebagai Sekuritisasi yang Didanai (Funded Securitization), karena originator dapat
mengumpulkan uang melalui penjualan aset, sebagai diversifikasi sumber
pembiayaan. (2). Sekuritisasi sintetis (Synthetic securitization). Sekuritisasi kedua
ini mendasarkan pada pengumpulan aset dari risiko kredit atau hak untuk
mengakses aliran arus kas masa depan, lalu kumpulan aset tersebut ditransfer ke
SPV sebagai entitas yang terpisah. Bentuk kedua ini bukan penjualan aset,
sehingga originator tidak menerima arus kas apa pun. Tetapi hanya menerima
risiko kredit terkait. Umumnya bentuk kedua ini diwujudkan melalui penggunaan
derivatif.

63
Paolo Camuzzi, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International Publishing, 2017),
h.12. lihat, file:///C:/Users/Acer/Downloads/9783319541235-c2.pdf

57
Menurut Saunders dan Cornett,64 surat berharga yang diterbitkan di pasar
modal yang mendasarkan pada sekuritisasi aset sangat beragam, yaitu : ‚ (1)
Residential Mortgage-Backed Securities/Mortgage-Backed Securities dengan
underlying asset berupa tagihan Kredit Pemilikan Rumah (KPR/mortgage); (2)
Commercial Mortgage-Backed Securities dengan underlying asset berupa kredit
properti komersial; (3) Collateralized Mortgage Obligation/Stripped Mortgage-
Backed Securities merupakan sekuritisasi tingkat kedua dari underlying asset
berupa mortgagebacked securities‛.
Sementara Vinod Kathari, melakukan klasifikasi jenis sekuritisasi
berdasarkan jenis aset yang disekuritisasi.65 Menurutnya, secara garis besar aset
jenis sekuritisasi terbagi pada 3 bentuk, yaitu 1) berdasarkan aset fisik atau efek
yang dapat dilikuidasi jika terjadi gagal pembayaran kepada investor; 2)
berdasarkan pendapatan yang akan diterima masa datang (future income); dan 3)
berdasarkan kewajiban di masa mendatang.
Bentuk pertama jenis aset yang dapat disekuritisasi meliputi:
a) RMBS: Residential Mortgage Backed Securities, EBA dengan dasar pool
tagihan KPR (rumah tinggal)
b) CMBS: Commercial Mortgage Backed Securities, EBA dengan dasar pool
tagihan Kredit Pembiayaan Ruko, Rukan atau property lain yang digunakan
untuk kegiatan komersial.
c) ABS: Asset Backed Securities, efek beragunan aset keuangan/tagihan selain
KPR, KPRuko/Rukan.
d) CDO: Collateralised Debt Obligation, efek beragunan obligasi korporasi atau
RMBS/CMBS/ABS. CDO merupakan produk derivative dari EBA.
e) Operating Revenue: Efek dengan basis pendapatan tertentu contohnya: tagihan
listrik, tagihan PAM, pendapatan jalan toll dan lain-lain.
Bentuk aset kedua adalah berdasarkan adanya arus kas masa datang (Future
Cash Flow), yaitu efek dengan dasar arus kas yang akan diperoleh di masa
mendatang misalkan penerimaan gaji, fee atas suatu proyek dan lain-lain.
Bentuk aset terakhir adalah dalam kategori synthetic securitization, yaitu
aset dari risiko yang timbul dari suatu kredit, transaksi utang, asuransi dan
transaksi lainnya yang menimbulkan kewajiban di masa mendatang. Istilah yang
juga sering di dengar di kalangan pasar modal adalah credit default swap (CDS).66

64
Anthony Sounders & Marcia Mellon Cornet, Financial Institution Management: A
Risk Management Aproach, (NewYork: McGraw-Hill Irwin, 2008), edisi ke-6, h. 814
65
Vinod Kothari, Securitization The Instrumen Financial of The Future, Singapore:
JohnWiley & Sons (Asia) Ltd, 2006, lihat: https://books.google.co.id/books?id=
Vy00CVy5SS8C&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=true; lihat juga tim PT. SMF,
Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan Sekunder
Perumahan di Indonesia, (Jakarta: SMF, 2016), h. 6-7
66
Contohnya, dalam suatu kumpulan portofolio kredit misalkan sebanyak 100, analis
mengestimasikan adanya kemungkinan default sebanyak 10 portofolio. Untuk
meminimalkan bahkan menghindari risiko default, risiko dari 10 portofolio tersebut
disekuritisasi dan dijual kepada investor dalam suatu efek derivatif. Dalam kasus yang
terburuk, apabila terjadi default pada beberapa portofolio, akan menjadi risiko investor

58
Gambar 2.5
Klasifikasi Aset

Sumber: Vinod Kothari

Sementara itu, Delloite Group mengelompokkan tipe aset dari EBA pada 2
(dua) bagian besar yaitu: 67
1) Efek beragun hipotek (mortgage-backed securities-MBS), adalah jenis
sekuritas yang didukung aset yang dijamin oleh pembayaran pokok dan bunga
KPR. Bentuknya dapat berupa Surat berharga yang didukung hipotek
perumahan (Residential mortgage-backed securities-RMBS) dijamin oleh
properti perumahan, biasanya rumah keluarga; atau Sekuritas yang didukung
hipotek komersial (Commercial mortgage-backed securities - CMBS) yang
dijamin oleh real estat komersial seperti gedung perkantoran, pusat
perbelanjaan, pusat logistik, dan properti industri.
2) Kewajiban hutang kolateral (Collateralized debt obligations- CDO), adalah
instrumen keuangan yang menyatukan sekelompok aset seperti hutang dengan
yield tinggi atau ABS kemudian dikemas kembali menjadi bagian berbeda
yang dijual kepada investor. Bentuk CDO ini dapat berupa CDO Statis -
portofolio dan underlyingnya tidak bisa diubah selama siklus hidup CDO,
maupun CDO dinamis – dapat diubah dengan underlying yang berbeda untuk
meningkatkan kinerja dan mengurangi risiko kredit. CDO dinamis ini
bentuknya yaitu:
 Kewajiban obligasi yang dijamin (Collateralized bond obligations-CBO),
CDO yang didukung oleh koleksi obligasi korporasi kelas rendah (sampah);
 Kewajiban pinjaman yang dijamin (Collateralized loan obligations - CLO),
CDO yang didukung oleh kumpulan pinjaman bank yang diberikan; dan

porsi kepemilikannya yang berjumlah 10 akan berkurang 1. Kembali kepada konsep


investasi, ‚high risk, high return‛, yield yang ditawarkan kepada investor lebih tinggi
dibanding efek pada umumnya.
67
Ekaterina Volotovskaya (Delloite), Securitization Structured Finance Solutions,
Maret 2018, h.10-11; lihat, https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/lu/
Documents/financial-services/lu_securitization-finance-solutions.pdf

59
 CDO real estat Komersial (Commercial real estate CDOs - CRE CDO),
didukung oleh pinjaman real estat komersial dan obligasi.

Apabila digambarkan jenis aset dari EBA menurut Delloite ini adalah
sebagai berikut:68
Gambar 2.6
Jenis Aset EBA

Sumber: Ekaterina Volotovskaya (Delloit)

Proses arus kas dari kreditur asal kepada investor EBA dapat
diklasifikasikan pada 2 (dua) bentuk yaitu:69
a) Struktur Pass Through: dalam hal ini, EBA yang dipegang investor
merepresentasikan kepemilikan atas sekumpulan tagihan yang tidak terbagi.
Angsuran pokok dan imbalan keuntungan di- pass through kepada Investor
sebagai pemilik bersama sekumpulan tagihan yang tidak terbagi.
Karakteristiknya sebagai berikut:
- Investor berpartisipasi secara langsung atas pool aset, SPV hanya berfungsi
sebagai conduit
- Menerima dan meneruskan pembayaran dari pool aset tanpa ada unsur
pengelolaan atas arus kas
- SPV menerima hasil koleksi dalam satu bulan dan langsung diteruskan pada
bulan selanjutnya.
- Menyebabkan tingginya volatilitas arus kas yang akan diterima oleh
investor.
- Penerapannya dalam bentuk struktur kelas senior/junior.
b) Struktur Pay Through: dalam hal ini, EBA yang dipegang investor
merepresentasikan kewajiban langsung entiti penerbit. Pelaksanaan pembayaran
berasal dari dan dijamin dengan aset tagihan sebagai underlying
pool.Karakteristiknya sebagai berikut:
- Arus kas yang diperoleh diperoleh akan diatur agar dapat memenuhi
kebutuhan investor akan jatuh tempo yang berbeda-beda

68
Ekaterina Volotovskaya (Delloite), Securitization Structured Finance ...., h.11
69
Michael Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana
Law Journal, Vol. 88, h.213, (2013), h. 217

60
- SPV akan melakukan reinvestasi atas kelebihan arus kas yang diperoleh
dalam bentuk investasi yang telah ditetapkan
- Surat berharga yang diterbitkan dapat dibagi menjadi kelas ekuitas dan kelas
surat hutang
- Diciptakan untuk memecahkan dua masalah utama dalam struktur pass
through yaitu pembayaran pokok yang dilakukan bulanan dan jatuh tempo
yang panjang.

b. Pilar Dasar Transaksi Sekuritisasi Aset

Para ahli berpendapat bahwa paling tidak terdapat 3 (tiga) pilar utama
proses transaksi sekuritisasi EBA yang membedakan dengan bentuk transaksi lain
di pasar modal seperti saham dan obligasi. Ketiga pilar tersebut yaitu True Sale,
Bankruptcy remoteness, dan Perfection Of The Security Interest 70

Gambar. 2.7
Prinsip Dasar Sekuritisasi

Sumber: Dokumen Internal PT SMF (Persero)

Pilar pertama adalah True Sale. Prinsip ini menjelaskan bahwa dalam
transaksi sekuritisasi aset harus terjadi jual putus (true sale) dari originator kepada
investor melalui penerbit. Aset keuangan originator dikeluarkan (derecognized)
dari neraca kreditur asal, sehingga transaksi sekuritisasi sering dinamakan juga off-
balance sheet financing.71 Pilar kedua adalah bankruptcy remoteness.72 Prinsip ini
menegaskan bahwa dalam sekuritisasi EBA investor memperoleh perlindungan
70
Tim PT SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (Efek Beragun Aset Syariah)
Oleh Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Di Indonesia , Naskah Akademik, 2016, h.
8-9; Michael Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana Law
Journal, Vol. 88, h.213, (2013), h. 201
71
Mana Hanaan Balala, Islamic Financial Law Theory and Practice in a Globalized
World, (London:IB Tauris, 2011), h. 137
72
Haluk Gurulkan, Islamic Securitization A Legal Approach , (Istanbul:
Cektir&Basari Law Firm, 2012),h.40. https://uaelaws.files.wordpress.com/2012/08/
islamic_securitization.pdf; Sherif Ayoub, The Global Financial Crisis, Securitization And
Islamic Finance: An Opportunity For Inward And Outward Reform, Malaysia: ISRA
International Journal of Islamic Finance, Vol. 4, Issue 2, 2012; https://platform.
almanhal.com/Files/Articles/42559

61
atas penempatan dananya dalam bentuk EBA. Aset tersebut terbebas dari sita
umum apabila ada pernyataan pailit, baik terhadap Kreditur Asal, Penerbit, Wali
Amanat maupun Bank Kustodian.73 Pilar ketiga yaitu Perfection Of The Security
Interest. Prinsip ketiga ini merupakan penggabungan antara prinsip true sale dan
bankruptcy remoteness, yaitu melalui pengikatan legal yang dilakukan, aset yang
menjadi dasar sepenuhnya menjadi hak investor dan tidak bisa diklaim oleh pihak
lain.74

B. SEKURITISASI ASET DALAM SISTEM KEUANGAN SYARIAH

1. Prinsip Syariah dalam Sekuritisasi Aset

a. Pengertian Syariah secara umum dan khusus


Kata syari’ah berasal dari akar kata bahasa arab syara'a, yang memiliki
banyak arti, yaitu jalan, cara, dan aturan.75 Kata tersebut juga diartikan sebagai
"jalan ke tempat keluarnya air untuk minum".76 Kata ini dikonotasikan oleh bangsa
Arab sebagai ‚jalan lurus yang harus diikuti‛,77 atau berarti ‚sumber segala
kehidupan‛.78 Secara terminologi, menurut Mahmud Syaltut, ‛syariah adalah
segala hukum dan aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya untuk
diikuti, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan antara
manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan dan
kehidupannya‛.79 Sementara itu, menurut Manna' al-Qathan, syariah berarti

73
Mana Hanaan Balala, Ibid, h. 138; lihat juga Gary Gordon & Andrew Metrick,
Securitization, Handbook of the Economics of Finance, (2011), h.2, https://papers.ssrn.
com/sol3/papers.cfm? abstract_id=1909887
74
David Bassens, Ewald Engelen, Ben Derudder and Frank Witlox, Securitization
across borders: organizational mimicry in Islamic finance , Journal of Economic Geography:
Oxford University Press, Vol.13 (2013), h.85. https://www.researchgate.net/
publication/253327987_Securitization_across_borders_organizational_mimicry_in_Islamic
_finance; Steven L. Schwarcz, The Alchemy of Asset Securitization, Stanford Journal of
Law, Business & Finance, Vol.1,No.1(1994):133.; https://scholarship.law.duke.edu/
cgi/viewcontent.cgi?article=1839&context=faculty_scholarship.
75
Ahmad W Munawwar, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi Kedua,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997); Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam,
(Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.518
76
Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Isla@mi, (Beirut: Dar al-
S}adi@r, t.th), Jilid VIII, h. 10.
77
Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Isla@m, (t.tp: Muassasah al-Risa@lah,
t.th), h. 14.
78
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 107.
79
Mahmud Syaltut, Al-Isla@m ‘Aqi@dah wa Syari@’ah, (Beirut : Dar al-Fikr, tth), h. 15:
‫الشريعة ىي النظم اليت شرعها هللا او شرع أصوهلا ليأخذ األنسان هبا نفسو ىف عالقتو بربو وعالقتو أبخيو املسلم وعالقتو أبخيو اإلنسان‬
‫وعالقتو ابالكون وعالقتو ابحليات‬

62
"segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambaNya, baik
menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah".80
Dalam wacana pemikiran Islam, istilah ‚syariah‛ atau ‚syariat‛, memiliki
konotasi makna yang identik dengan istilah al-Din dan al-Fiqh. Syariat dalam
pengertian al-Din (agama), yaitu ‚keseluruhan ajaran Allah Swt yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW meliputi seluruh bidang kehidupan baik bidang akidah,
akhlak dan hukum-hukum‛.81 Pengertian syariah yang dipahami identik dengan
makna al-Din (agama) antara lain didasarkan pada makna ‚syari’ah‛, ‚Syir’atan‛
dan ‛syara’a‛ yang terdapat dalam al-Quran surat al-Maidah/5: 48, al-Syura/42:13,
dan al-Jatsiyah/45:18, yang menegaskan tentang aturan hidup bagi manusia
termasuk dijadikannya nabi Muhammad untuk mengikuti peraturan dari agama
tersebut dan kepatuhan manusia terhadap aturan.82 Walaupun syariah pada
mulanya diartikan dengan al-din (agama), tetapi dalam perkembangan-nya
kemudian digunakan untuk hukum ‘amaliyah, sebagaimana dipahami dalam artian
al-fiqh,83 yaitu menyangkut aktivitas manusia secara praktis (tidak termasuk
keimanan dan akidah).84 Selanjutnya kata syari’ah juga menunjuk pada maksud
hukum Islam baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Quran dan Sunnah maupun
hasil ijtihad.85 Pada tataran ini syariah sering diidentikkan dengan pengertian fikih,
sehingga ketika menyebut syariah yang dimaksud adalah fikih atau hukum Islam.86

80
Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam ...., h. 15
81
Mahmud Syaltut, Al-Isla@m Aqi@dah wa Syari@’ah, (Beirut : Dar al-Fikr, tth), h. 15,
82
‚…Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan (syir’atan) dan jalan
yang terang...‛ (QS.Al-Maidah/5:48). ‚Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama
(syara’a lakum minaddin) yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah
kamu berpecah belah di dalamnya….‛ (QS.al-Syura/42:13). ‛Kemudian kami jadikan
engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat
itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui‛ (QS.al-
Jatsiyah/45:18).
83
Fiqh diartikan sbb: ‫‛( العلم اباألحكام الشرعية العملية املكتسب من أدلتها التفصيلية‬Pengetahuan tentang
hukum-hukum syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang dikaji dari dalil-
dalilnya secara terperinci‛); atau ada yang mengartikan ‫الفقو خمصوص ابلعلم احلاصل جبملة من األحكام الشرعية‬
‫‛( الفروعيّة ابلنظر واإلستدالل‬Ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat cabang (furu'iyah)
yang didapatkan melalui penalaran dan pengambilan dalil‛). Lihat Muh. Abu Zahrah, Us}u@l
al-Fiqh, (Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), h. 56; Saifuddin al-Amidi, al-Ihka@m fi Us}u@l al-Ahka@m,
(Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967), Jilid I, h. 8
84
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang:
Angkasa Raya, 1990), h.14
85
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist,
(Lahore: Islamic Publication Ltd., 1980), h. 277-278; Anwar Haryono, Hukum Islam,
Keleluasaan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tth), h. 113; dan Hasbi Ash-
Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975), h. 27
86
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.39-42

63
Salah satu bagian dari pembahasan fikih adalah terkait dengan perbuatan manusia
dalam kegiatan ekonomi dan keuangan antara lain mencakup harta (al-ma@l),
kepemilikan (al-milk) dan proses transaksi (al-‘Aqd) serta pendayagunaan dari
harta tersebut (al-tas}arrufa@t), yang sering dinamakan dengan fikih mu’amalah.87
Oleh karena itu istilah ‚syariah‛ mempunyai arti yang lebih luas dan lebih
umum dari istilah fikih. Istilah fikih dipakai oleh para ahli fikih (fuqaha) sebagai
‚ketentuan terapan yang bersifat penjabaran atau pelaksanaan syariah, yang
bersifat teknis yang merupakan hasil interpretasi terhadap syariah (hukum
syara')‛.88 Secara garis besar, menurut para ahli, fikih dapat dikelompokkan pada
dua kategori yaitu yaitu fikih ibadah dan fikih muamalah.89

b. Pengertian Syariah dalam Kegiatan Ekonomi dan Keuangan menurut Peraturan


Perundang-undangan di Indonesia
Sejalan dengan kebutuhan perlu adanya landasan hukum untuk kepastian
pelaksanaan kegiatan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, telah
memunculkan istilah dan penggunaan kata syariah yaitu ‚prinsip syariah‛.
Penggunaan ‚Prinsip Syariah‛ sekarang sudah banyak ditulis dalam berbagai
perundang-undangan Indonesia antara lain dalam Undang-Undang (UU) Perbankan
Syariah, UU Perasuransian, UU Penjaminan, UU Perseroan Terbatas, dan berbagai
peraturan pelaksanaan dari masing-masing undang-undang dimaksud.90 Misalkan

87
Fikih Muamalah didefinisikan sebagai ‚hukum atau ketentuan yang berkaitan
dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan (horisontal), misalnya
hukum yang mengatur masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain‛. Lihat,
Muhammad Utsman Syubair, al-Mu’a@malah al-Ma@liyah al-Mu’as}irah fi@ al-Fiqh al-Isla@mi,
(Yordan: Dar al-Nafasy, 1996), h. 10; Muhammad Rawwas Qal’ahji, al-Mu’a@mala@h al-
Ma@liyah al-Mu’a@s}irah fi D}aui al-Fiqh wa al-Shari@’ah, (Beirut: Dar al-Nafa@s, 1999), h.11;
Umar Muhammad Sayid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@malah al-Ma@liyah Baina al-Ta’abbudi
wa Ma’qu@liyah al-Ma’na@, (Uni Emirat Arab: Dairah al-Syuun al-Islamiyyah wa al-‘Amal
al-Khiri Dubai, 2010), h. 16.
88
Fikih diartikan oleh para ahli Ushul Fikih, di antaranya menurut Abu Zahrah,
adalah ‛mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat 'amaliyah yang dikaji dari dalil-
dalilnya secara terperinci‛. Menurut Al-Amidi, fikih berarti "ilmu tentang seperangkat
hukum syara' yang bersifat furu'iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlal". Lihat
Muh. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), h. 56; Saifuddin al-Amidi,
al-Ihka@m fi Us}u@l al-Ahka@m, (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967), Jilid I, h. 8.
89
‚Fikih Ibadah merupakan ketentuan yang memberi pedoman dalam
melaksanakan kepatuhan seseorang kepada Tuhan secara vertikal, seperti sholat, puasa,
dll‛. Lihat, Muhammad Shaleh al-Utsaimin, Fiqh al-‘Iba@dah, (Riyadh: Madar al-Wathni Li
al-Nasyr, 1425 H); Umar bin Muhammad Umar al-Rahman, Min Fiqh al-‘Iba@dah fi al-
Shari’a@h al-Isla@miyyah, (Universitas Al-Azhar: Kulliyyah al-Dira@sah al-Isla@miyyah, 2017).
90
Lihat antara lain: ‚Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah‛ (Pasal 1 angka 12 UU No 21/2008 tentang
Perbankan Syariah)‛; Prinsip Syariah adalah ‚prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah‛ (Pasal 1 angka 3 UU No 40/2014

64
dalam UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah dijelaskan apa yang dimaksud
dengan prinsip syariah. ‚Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenang-an dalam penetapan fatwa di bidang syariah‛ (Pasal 1 butir
12). Begitu juga dalam perundang-undangan lainnya,91 yang secara substansial
mengandung dua maksud penting tentang apa yang disebut dengan prinsip syariah,
yaitu ‚ (1) prinsip hukum Islam, dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang
mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah‛.92
Bagian pertama adalah penegasan bahwa ‚prinsip syariah adalah prinsip
hukum Islam‛. Keuangan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib
berpedoman kepada aturan dan norma yang dijelaskan dalam hukum Islam. Hukum
Islam merupakan ‚seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat
bagi semua yang beragama Islam‛.93 Sumber utama hukum Islam ini adalah Al-
Quran dan As-Sunnah Nabi Saw serta ijtihad ulama dari masa kemasa.94
Dalam hukum Islam, aturan atau norma yang berasal dari Tuhan tersebut
bentuk pembebanan pelaksanaannya bagi manusia (taklif) ada yang bersifat
perintah, larangan, dan anjuran. Yang bersifat perintah sering disebut wajib, yang
bersifat larangan disebut haram dan makruh, yang bersifat anjuran disebut sunat
atau mandu@b. Dari keragaman pembebanan tersebut, dalam kaitannya dengan
kegiatan/ aktivitas kehidupan umat manusia (mu’a@malah) termasuk dalam usaha
keuangan, maka terdapat kaidah hukum Islam yang mengegaskan bahwa ‚segala

tentang Perasuransian); ‚Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah‛(Pasal 1 angka 3 UU No. 1/2016 Tentang
Penjaminan);
91
Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau pernyataan
kesesuaian SBSN terhadap prinsip prinsip syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Yang dimaksud dengan "lembaga yang memiliki
kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah" adalah Majelis Ulama Indonesia
atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah (Pasal 25 dan 26 UU RI No.19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syariah Negara); ‚Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia‛ (Pasal 1 angka 6 POJK No.31/POJK.05/2014 ttg
Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Prinsip Syariah); ‚Prinsip Syariah di Pasar Modal
adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia‛. (Pasal 1angka 2 POJK No. 15/POJK.04/ 2015 Tentang Penerapan Prinsip
Syariah Di Pasar Modal).
92
Asep Supyadillah, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta;Wahana Kardofa, 2013),
h.17
93
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1997), h. 5
94
Wahbah al-Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al-Isla@mi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986); Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Us}ul Fiqh, (Kairo: Syabab al-Azhar, 1989), edisi ke-8.

65
sesuatu boleh dilakukan kecuali ada aturan atau norma yang melarangnya‛.95
Berdasarkan kaidah tersebut, maka untuk memastikan aturan atau norma apa saja
yang perlu diperhatikan dalam kegiatan usaha keuangan syariah adalah hal-hal
yang dilarang atau tidak boleh dilakukan oleh keuangan syariah. Di antara hal-hal
yang dilarang atau tidak boleh dilakukan dalam kegiatan usaha keuangan syariah
adalah ‚kegiatan yang mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan
menimbulkan kezaliman‛.96
Dalam Peraturan terkait dengan Pasar Modal Syariah, dilihat dari ‚kegiatan
dan jenis usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
mencakup antara lain: a). perjudian dan permainan yang tergolong judi; b).jasa
keuangan ribawi; c). jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian
(gharar) dan/atau judi (maisir); dan d). memproduksi, mendistribusikan,
merdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: 1) barang atau jasa haram
zatnya (hara@m li- dha@tihi@); 2). Barang atau jasa haram bukan karena zatnya
(hara@m li-ghairihi@); dan/atau 3).barang atau jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat‛.97Adapun dilihat dari aspek transaksinya, transaksi yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal mencakup antara lain:
‚a).perdagangan atau transaksi dengan penawaran dan/atau permintaan palsu; b).

95
Kalimat dalam bahasa Arabnya adalah sbb:
‫– األصل ىف املعامالت اإلابحة إال أن يدل الدليل على حترميها‬Pada dasarnya semua bentuk mu’amalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya‛.
‫– األصل ىف األشياء اإلابحة حىت يدل الدليل على التحرمي‬Hukum dasar dari segala sesuatu adalah boleh,
sehingga terdapat dalil yang mengharamkan.
Lihat, Muhammad Rawwas Qal’ahji, al-Mu’a@malah al-Ma@liyah al-Mu’a@s}irah fi
D}aui al-Fiqh wa al-Shari@’ah, (Beirut: Dar al-Nafas, 1999), h.11; Umar Muhammad Sayid
Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@malah al-Ma@liyah Baina al-Ta’abbudi wa Ma’qu@liyah al-
Ma’na@, (Uni Emirat Arab: Dairah al-Syuu@n al-Isla@miyyah wa al-‘Amal al-Khairi Dubai,
2010), h. 16
96
Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan
usaha yang tidak mengandung unsur: a. ‚Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak
sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi
pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah)‛; b. ‚Maisir, yaitu transaksi yang
digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan‛; c.
‚Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur
lain dalam syariah‛; d. ‚Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah‛;
atau e. ‚Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya‛.
Lihat, Penjelasan Pasal 2 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
97
Pasal 2 ayat (1) POJK No.15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Di Pasar Modal; Lihat juga Fatwa DSN-MUI No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan
Prinsip Syariah Dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Modal
Reguler Bursa Efek; Fatwa DSN-MUI No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.

66
perdagangan atau transaksi yang tidak disertai dengan penyerahan barang dan/atau
jasa; c). perdagangan atas barang yang belum dimiliki; d). pembelian atau
penjualan atas Efek yang menggunakan atau memanfaaatkan informasi orang
dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik; e). transaksi marjin atas Efek Syariah
yang mengandung unsur bunga (riba); f). perdagangan atau transaksi dengan tujuan
penimbunan (ihtika@r); g). melakukan perdagangan atau transaksi yang mengandung
unsur suap (rishwah); dan h). transaksi lain yang mengandung unsur spekulasi
(gharar), penipuan (tadlis) termasuk menyembunyikan kecacatan (ghisy), dan
upaya untuk mempengaruhi pihak lain yang mengandung kebohongan (taghri@r)‛.98
Oleh karenanya dilihat dari segi kesesuaian suatu efek atau surat berharga
yang ditransaksikan di pasar modal dengan prinsip syariah, maka terdapat 3
kriteria utama yaitu: ‚ a) akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; b) aset yang
menjadi landasan akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; dan /atau c) aset yang
terkait dengan efek dimaksud dan penerbitannya‛.99
Bagian kedua dari pengertian prinsip syariah adalah menegaskan adanya
lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk,
dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh
perbankan syariah khususnya dan lembaga keuangan syariah secara umum di
Indonesia.
Dalam Pasal 26 UU No.21/2008 diatur bahwa ‚lembaga yang memiliki
kewenangan‛ untuk menetapkan fatwa di bidang syariah ini secara limitasi
disebutkan hanya Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI dalam menjalankan fungsi
kewenangannya tersebut telah mendirikan badan tersendiri yaitu Dewan Syariah
Nasional atau disebut DSN. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari
Majelis Ulama Indonesia, yang mempunyai tugas antara lain mengeluarkan fatwa
atas jenis kegiatan, produk, dan jasa ekonomi dan keuangan syariah.100

98
Pasal 2 ayat (2) POJK No.15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Di Pasar Modal dan Fatwa DSN-MUI, ibid.
99
Pasal 1 angka 3 POJK No.15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Di Pasar Modal
100
Secara lengkap ‚tugas Dewan Syariah Nasional adalah 1) Menetapkan fatwa atas
sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS lainnya; 2) Mengawasi penerapan
fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS lainnya; 3) Membuat Pedoman Implementasi
Fatwa untuk lebih menjabarkan fatwa tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran
pada saat diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya; 4) Mengeluarkan Surat
Edaran (Ta’li@ma@t) kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya; 5) Memberikan rekomendasi calon
anggota dan/atau mencabut rekomendasi anggota DPS pada LKS, LBS, dan LPS lainnya;
6) Memberikan Rekomendasi Calon ASPM dan/atau mencabut Rekomendasi ASPM; 7)
Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Keselarasan Syariah bagi produk dan
ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait; 8) Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian
Syariah atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di LKS, LBS, dan LPS lainnya; 9)
Menerbitkan Sertifikat Kesesuaian Syariah bagi LBS dan LPS lainnya yang memerlukan;
10) Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagiLKS, LBS, dan LPS
lainnya; 11) Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi
keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan 12) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-

67
Setelah fatwa diterbitkan oleh DSN-MUI, maka substansi amar dari fatwa
DSN-MUI tersebut dijadikan pedoman/acuan oleh regulator (Bank Indonesia, OJK,
dan Kementrian, serta Lembaga) untuk membuat peraturan dalam operasionalisasi
keuangan syariah yang dituangkan dalam peraturan regulator seperti Peraturan
Bank Indonesia (PBI), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan
pelaksanaan lainnya.101

c. Sekuritisasi Aset berdasarkan Prinsip Syariah


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sekuritisasi merupakan ‚proses
pengemasan kumpulan portofolio kewajiban yang tidak likuid untuk dijadikan aset
yang likuid melalui penerbitan surat berharga yang ditawarkan kepada investor‛.102
Dari pengertian sekuritisasi tersebut, pengertian sekuritisasi syariah didefinisikan
oleh para ahli yaitu ‚mentransformasikan aset yang tidak likuid menjadi aset likuid
dengan cara menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah‛.103
Proses sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah secara umum memiliki
kesamaan dengan proses sekuritisasi yang lazim dilakukan secara konvensional.
Perbedaan mendasar dari keduanya dapat dilihat dari segi aset yang menjadi dasar
penerbitan, akad yang digunakan dan struktur transaksi yang dijalankan.
Sebagaimana dikatakan Sulaiman Abdi Dualeh, perbedaan utama antara

nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya‛.
Lihat, Pasal 4 Peraturan Organisasi MUI No. Kep-407/MUI/IV/2016 tentang Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
101
Hal ini ditegaskan antara lain dalam ketentuan Pasal 26 UU No. 21/2008, bahwa
‚(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21
dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah; (2) Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia; (3). Fatwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia‛.
102
Abdul Bari Musyqil, Al-S}ukuk al-Isla@mi (al-Tauri@q) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah
wa Tada@wuliha, Majma’ al-Fiqh al-Isla@mi al-Dualy, Muktamar ke-19 di UEA, 2009, h. 2;
https://iefpedia.com/arab/?p=3550; Rosalan Alia, Shafinar Ismail, Mohammed Hariri Bakri,
A Comparative Analysis of Conventional and Shari’ah for Residential Mortgage-Backed
Securities, International Conference on Economics and Business Research 2013 (ICEBR
2013), h..5; Casper Van Hilten, Islamic Securitization by Means of Sukuk and the Struggle
for Shari’ah Compliance, Dissertation, Arabic & Islam Faculty of Humanities Utrecht
University, April 2014, h.15; Karmila Hanim Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi,
Abdul Ghafar Ismail, "The subprime mortgages crisis and Islamic securitization",
International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 3 Issue:
4 (2015),h.386. http://dx.doi.org/ 10.1108/17538391011093 315; Sulaiman Abdi Dualeh,
Islamic Securititation:Practical Aspect, Director Jersey ii-online.com, ltd. Geneva. Paper
dipresentasikan pada World Conference on Islamic Banking di Geneva, 8 Juli, 1998, h.4.
http://www.iefpedia. com/english/wp-content/uploads/2009 /09/Islamic-Securitisation-
Practical-Aspect .pdf.
103
Abdul Bari Musyqil, Al-S}ukuk al-Isla@mi (al-Tauri@q) ... h. 2; Karmila Hanim
Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar Ismail, " The subprime
mortgages crisis and Islamic securitization... h..386; Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic
Securititation:Practical Aspect.... h.4.

68
sekuritisasi aset secara konvensional dan yang berdasarkan prinsip syariah terdapat
4 (empat) hal utama, yaitu mengenai bentuk aset yang dapat diterima oleh Islam,
struktur transaksi yang dapat diterima, proses peralihan kepemilikan, dan bentuk
credit enhancment yang dibenarkan oleh Islam.104 Pada sisi lain, Ayub dan Jobs
menjelaskan karakteristik sekuritisasi syariah yang membedakan dengan
sekuritisasi EBA konvensional adalah asetnya yang harus merepresentasikan
kepemilikan atau penyertaan dari pihak yang akan mengalihkan aset dimaksud.105
Di samping permasalahan aset yang menjadi pembeda dari EBA yang
konvensional, perbedaan lainnya dengan EBA Syariah tentu terkait dengan
kegiatan dari struktur transaksinya itu sendiri yang tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah. Secara umum kegiatan transaksi yang dilarang secara
syariah yaitu ‚transaksi yang mengandung unsur riba, dharar, gharar atau taghrir,
Ghasy (tadlis, ghabn, najsy), maisir, tahkir atau ihtikar, barang haram, risywah,
maksiat dan kezhaliman (al-dhulm)‛. 106 ‚Pelaksanaan Sekuritisasi harus terhindar
dari unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah antara lain: riba, gharar,
maysir, tadlis, dharar (membahayakan/merugikan), risywah, haram, zhulm
(penganiayaan) dan maksiat‛.107
Secara umum perbedaan transaksi dalam sekuritisasi EBA syariah dengan
transaksi EBA konvensional yaitu: pertama setiap transaksi yang dijalankan wajib
terhindar dari kegiatan yang dilarang berdasarkan prinsip syariah; kedua, aset yang
menjadi underlying-nya tidak berasal dari transaksi piutang; ketiga proses
peralihan kepemilikan dan hubungan hukum di antara para pihak wajib mengikuti
akad berdasarkan prinsip syariah; dan keempat ‚tujuan penggunaan dana tidak
digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan prinsip syariah‛. Penjelasan
untuk masing-masing masalah tersebut khususnya terkait aset, akad, dan struktur
transaksi dalam sekuritisasi aset EBA akan dijelaskan pada pembahasan
berikutnya.

2. Aset yang dapat disekuritisasi menurut Prinsip Syariah


Aset yang mendasari transaksi dalam sekuritisasi merupakan satu di antara
perbedaan instrumen konvensional dengan instrumen berdasarkan prinsip syariah.
Tidak semua aset yang secara konvensional dapat dijadikan underlying transaksi
sekuritisasi dibolehkan menurut ketentuan syariah. Terdapat aset yang
dikonvensional boleh sedangkan menurut syariah tidak boleh digunakan sebagai
104
Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic Securititation:Practical Aspect... h.3.
105
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley & Sons,
2007), h.389 – 415, h.392; Obaidullah, Mohammed, Islamic Financial Services, (KSA: King
Abdul Aziz University, 2005), h.175 ; Andreas A. Jobst, ‚The Economics of Islamic
Finance and Securitization, IMF Working Paper, Monetary and Capital Markets
Department, (2007), h.16. https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2007/wp07117.pdf
106
Muhammad Ahmaini, Asa@siyya@t al-Mu’a@malah al-Ma@liyyah wa al-Mas}ra@fiyyah
al-Isla@miyyah, (Rabath: Dar al-Aman, 2015), h. 11-49; Muhammad Usman Syubair, al-
madkhal ila@ fiqh al-mu’a@malah al-ma@liyah, (Qatar: Dar al-Nafa@is, 2010), h.19;
107
Fatwa DSN-MUI No.125/DSN-MUI/XI/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk
Efek Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah

69
underlying transaksi sekuritisasi EBA. Oleh karena itu pemahaman terkait aset
menjadi hal penting yang perlu diketahui.

a. Pengertian Aset dan Ragam Jenis Aset


Kata ‚aset‛ atau ‚harta‛ dalam bahasan Arab dinamakan al-ma@l. Istilah al-
ma@l atau harta secara bahasa berarti kullu ma@ tumawwal (setiap yang tumbuh,
berkembang, dalam genggaman), diartikan juga dengan al-ni’am (rahmat).108 Ibn
Faris menjelaskan bahwa dikatakan al-ma@l/harta karena manusia cenderung
kepadanya ( liannahu@ yami@lu ilaihi al-na@s bi al-qulu@b).109
Dikalangan fukaha terdapat dua definisi dari harta, yaitu menurut kalangan
Hanafiyah, yang mengartikan ‚harta sebagai suatu objek yang dapat dihadirkan
pada saat diperlukan, dan memiliki nilai materi di kalangan masyarakat‛ ( ‫ان املال عبارة‬
‫)عن موجود قابل لالدخار يف حال السعة واالختيار لو قيمة مادية بني الناس‬.110 Sementara Syafi’iyah,
Malikiyah dan Hanabilah mendefinisakan ‚harta sebagai sesuatu yang memberikan
manfaat untuk manusia dari sesuatu yang mubah menurut syara’ dan sesuatu yang
bernilai material di kalangan masyarakat‛ ( ‫أن املال ما كان فيو منفعةٌ مقصودة مباحة شرعا لغري حاجة أو‬
‫) ضرورة ولو قيمة مادية بني الناس‬111
Perbedaan mendasar dari dua fukaha di atas bahwa menurut Hanafiyah
‚harta itu hanya yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat, karena manfaat
termasuk kedalam pengertian milik‛.112 Jadi menurut Hanafiyah istilah ma@l hanya
diterapkan pada obyek-obyek yang nampak, yaitu ‚barang yang memenuhi
kebutuhan jasmani dan nyata. Hasil yang akan datang atau manfaat yang dapat
menjadi subjek kepemilikan tidak disebut ma@l‛. Berbeda dengan mayoritas ulama,
yang menilai al-ma@l/harta itu tidak hanya bersifat materi melainkan juga termasuk
manfaat dari suatu benda.
Menurut al-Majallah,113 ‛harta atau mal adalah sesuatu yang disukai oleh
watak manusia, dan yang dapat disimpan sebagai persediaan pada waktu

108
Nazih Hammad, Mu’jam al-Mus}t}ala@ha@t al-Ma@liyah wa al-Iqtis}a@diyyah fi Lughah
al-Fuqaha@, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), h. 388
109
Nazih Hammad, Ibid; Umar Muhammad Sayid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’amala@t
al-Ma@liyah Baina al-Ta’abbudi wa Ma’qu@liyah al-Ma’na@, (Uni Emirat Arab: Dairah al-
Syuun al-Islamiyyah wa al-‘Amal al-Khiri Dubai, 2010), h. 16.
110
Umar Muhammad Sayid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@mala@t ....
111
Umar Muhammad Sayid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@mala@t ....; Muhammad
Rawas Qal’ahji, al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyah al-Mu’a@s}irah fi d}aui al-Fiqh wa al-Syari@’ah,
(Kuwait: Dar al-Nafais, 1999), h.17
112
Muhammad Rawas Qal’ahji, al-Mu’a@malah al-M@aliyah al-Mu’a@s}irah fi d}aui al-
Fiqh wa al-Syari@’ah, (Kuwait: Dar al-Nafais, 1999), h.17.
113
Majallah al-Ahka@m al’Adliyyah merupakan Hukum Perdata yang digunakan
Kerajaan Turki Usmani dan taklukannya yang meliputi sebagain besar wilayah Asia
Tengah, Afrika Utara (kecuali Mesir) dan semenanjung Balkan (termasuk Bosnia
Herzegovina). Majallah pada awalnya ditulis dalam bahasa Turki kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan banyak lagi. Pernah diterjemahkan dan digunakan di
negeri Johor Malaysia pada tahun 1913. lihat, Ahmad Hidayat Buang, ‘Majallah al-Ahkam

70
dibutuhkan baik harta bergerak (manqu@l) maupun harta tetap (ghair al-manqu@l)‛.
Pandangan Majallah ini sejalan dengan pendapat Hanafiyah, yang tidak
memasukkan manfaat/jasa sebagai aset. Sebaliknya hal ini berbeda dengan
pendapat mayoritas ulama (selain Hanafiyah) yang menganggap jasa/manfaat
sebagai harta karena memiliki nilai uang.114 ‛Setiap yang memiliki nilai yang jika
rusak maka orang yang merusaknya mesti mengganti‛.115 Menurut pendapat Nazih
Hammad bahwa adanya perbedaan pengertian harta dikalangan fukaha di atas
disebabkan karena perbedaan kebiasaan (al-‘urf) dalam menilai harta dan bahasa
yang digunakan (al’ara@f fima@ yu’addu ma@lan wa ma@ la yu’addu ma@lan).116
Fukaha kontemporer mendefinisikan harta secara umum dan luas yaitu
‛segala sesuatu yang dapat menjadi hak milik seseorang dan dapat diambil
manfaatnya‛. Al-Zarqa,117 mengartikan ‛mal berarti segala sesuatu yang bernilai
dan bersifat harta atau segala sesuatu yang bernilai material dikalangan
masyarakat‛ (al-ma@l hua kullu ‘ayn dhata qi@mah ma@diyah baina al-na@s). ‛Segala
sesuatu berarti semua benda baik yang nyata maupun yang abstrak termasuk hak-
hak merupakan pengertian benda‛.
Oleh karenanya, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)118
tentang harta (amwa@l) diartikan ‛sebagai sesuatu benda yang dapat dimiliki,
dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud,
baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis‛.
‚Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diindra. Benda tidak
berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat diindera. Benda bergerak adalah

al-‘Adliyyah’, dalam Hashim Yahya (edt), Monograf Syariah 3, Fakultas Syariah Akademi
Islam Universiti Malaya, 1995. Majallah ini juga sudah diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia oleh Tim yang diketuai oleh Prof.H.A.Djazuli dengan judul: ‛ Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Islam‛ yang diterbitkan oleh Kiblat Umat Press, Bandung, cetakan
pertama tahun 2002. Lihat Juga Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah,
Teori, dan Konsep, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.125
114
Umar Muhammad Sayyid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@malah al-Ma@liyah baina
al-Ta’abbudi wa Ma’quliyah al-Ma’na@, (Dubai: Islamic Affairs& Charitable Activities
Departmen Dubai, 2010), h.7-18
115
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1996),h.456
116
Nazih Hammad, Mu’ja@m al-Mus}t}alaha@t al-Ma@liyah wa al-Iqtis}a@diyyah fi@ Lughah
al-Fuqaha@, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), h. 388
117
Muhammad Mustafa al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Isla@mi al-Jadi@d, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1995), h. 256; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa Adillatuh, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1996), h.455; Umar Muhammad Sayyid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@mala@t al-
Ma@liyah baina al-Ta’abbudi wa Ma’quliyah al-Ma’na@, (Dubai: Islamic Affairs& Charitable
Activities Departmen Dubai, 2010), h.7-18
118
‛KHES merupakan terapan hukum Islam dalam bidang ekonomi yang dapat
dijadikan bahan pedoman dan rujukan oleh para hakim khususnya dalam menyelesaikan
perselisihan Ekonomi Islam. KHES ini disusun oleh suatu Tim ahli baik dari akademisi
maupun birokrat di Mahkamah Agung atas inisiatif Mahkamah Agung‛. Lihat, Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

71
segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Benda
tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang.
Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan
berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Benda tidak
terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat
bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak‛.119
Benda (mal) dalam hukum Islam cukup beragam dan karenanya dapat dilihat
dari berbagai segi, antara lain dari segi jenis, pemanfaatan, dan ketersediaan barang
tersebut di pasar. Dari segi jenis, terdapat dua jenis benda, yaitu (1) benda bergerak
(manqu@l), yakni benda yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain,
dan (2) benda tetap (‘aqa@r), yakni benda yang tidak dapat pindah atau dipindahkan.
Benda bergerak diklasifikasikan kepada ‚segala sesuatu yang dapat diukur,
ditimbang, dan dihitung seperti makanan, pakaian, kendaraan, logam mulia, surat
berharga, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Sedangkan benda tetap adalah
seperti tanah dan bangunan‛.120
Dari bernilai atau tidaknya suatu benda, benda terbagi pada ‚benda bernilai
(mutaqawwam) dan benda tidak bernilai (ghair mutaqawwam)‛.121 Benda bernilai
adalah ‚benda yang secara riil dimiliki seseorang dan boleh diambil manfaatnya‛.
Benda tidak bernilai ialah ‚benda yang belum secara riil dimiliki seseorang dan
tidak boleh diambil manfaatnya‛. Menurut Syariah, kebernilaian suatu benda juga
dinilai apabila benda tersebut diperbolehkan oleh syariah.
Dari ketersediaan barang, benda dapat diklasifikasi menjadi mitsli (serupa
atau sepadan) dan qi@mi (tidak serupa atau sepadan). Suatu benda dimasukan dalam
kelompok serupa (mithli) jika benda yang sama dengan itu dapat diperoleh di pasar
atau ‚benda yang dapat diganti dengan benda lain yang sama‛. Suatu benda
dimasukan dalam kelompok yang tidak sepadan (qi@mi) jika benda tersebut tidak
mempunyai persamaan di pasar atau kalaupun ada, terdapat unsur-unsur perbedaan
yang besar. Benda sepadan (qi@mi) ini merupakan benda yang hanya dapat diganti
dengan harga.122
Pembagian benda menurut sepadan (qi@mi) dan tidak sepadan (mithli)
berkaitan pula dengan pembagian benda menjadi tertentu (‘ayn/ real asset) dan
benda yang tidak tertentu atau dalam tanggungan (dayn/ financial asset). Benda

119
KHES Buku 1 tentang Subjek Hukum dan Amwal. Lihat lampiran Perma
No.2/2008, ibid
120
Umar Muhammad Sayyid Abdul Aziz, Ahka@m al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyah baina al-
Ta’abbudi wa Ma’quliyah al-Ma’na@, (Dubai: Islamic Affairs& Charitable Activities
Departmen Dubai, 2010), h.7-18; Muhammad Rawas Qal’ahji, al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyah al-
Mu’a@s}irah fi d}aui al-Fiqh wa al-Syari’a@h, (Kuwait: Dar al-Nafais, 1999), h.17
121
Muhammad Rawas Qal’ahji, al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyah al-Mu’a@s}irah ....
122
Muhammad Rawas Qal’ahji, al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyah al-Mu’as}irah ... h.17;
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 49,
Jilid IV, Edisi ke-3.

72
(mal) yang berbentuk ayn (real asset) terdiri dari barang dan jasa, sedangkan
bentuk dayn (financial asset) terdiri dari uang dan surat berharga.123

b. Aset yang bisa digunakan untuk disekuritisasi


Dalam tulisannya berjudul ‚Issues in Islamic Debt Securitization‛, Engku
Rabiah Adawiah Engku Ali membagi aset dalam 4 bentuk yaitu: Existing tangible
assets, seperti tanah, gedung, mesin, mobil, perlengkapan; Future tangible assets,
seperti aktiva dalam konstruksi; dan Financial assets (intangible), seperti surat-
surat berharga, piutang, dan HAKI; dan Government awards, seperti konsesi,
lisensi dan perjanjian.124 Dari keempat jenis aset yang dapat disekuritisasi tersebut,
umumnya aset yang dapat digunakan oleh lembaga keuangan adalah aset ketiga
yaitu financial assets (intangible), seperti surat-surat berharga dan piutang. Aset
finansial ini pada dasarnya adalah aset yang abstrak dan tak berwujud dalam arti
hakekatnya, tetapi disepakati secara hukum sebagai aset.125 Dikalangan para ahli
fikih keuangan Islam, menjadikan aset keuangan khususnya piutang atau hak tagih
(al-dain) menjadi aset dalam sekuritisasi aset EBA terjadi perbedaan pandangan.
Pandangan dari para ahli tersebut secara garis besar terkait bai’ al-ka>li bi al-ka>li
atau bai’ al-dain bi al-dain, dengan penjelasan seperti di bawah ini.
Kata al-dain merupakan lawan dari al-ayn. ‚Al-ayn adalah suatu objek tertentu
atau suatu harta yang nyata atau jelas keberadaannya (real asset)‛. Kata al-da’in
merupakan bentukan kata dari da>na - yadi>nu - dainan yang secara bahasa berarti
kepatuhan dan kesungguhan (al-‘inqiya>d wa al-dzulli).126 Secara istilah dalam
artian luas, al-da’in diartikan ‚sesuatu yang menjadi tanggungan/kewajiban
seseorang yang harus dipenuhi‛ (Luzu>m al-haqqu fi al-dzimmah, ma ka>na fi al-
dzimmah, tsubu>tu fi al-dzimmah).127 Dalam artian khusus kata ‚Al-dayn dipahami
sebagai kewajiban seseorang untuk membayar sejumlah kewajiban dari transaksi

123
Mohd. Daud Bakar, Contract in Islamic Commercial Lawa and their Application
in Modern in Finacial Islamic System, dalam Mohd Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah,
‚Essential Reading In Islamic Finance, (Kuala Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008), h.53
124
Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, Issues in Islamic Debt Securitization, dalam
Mohd Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah, ‚Essential Reading In Islamic Finance,
(Kuala Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008), h.463
125
Menurut Securities Commission of Malaysia dalam Resolution of the Securities
Commission Syariah Advisory Council membolehkan transaksi jual beli piutang. Dengan
diperbolehkannya jual beli piutang maka proses sekuritisasi secara syariah di Malaysia
relatif lebih mudah. Bagi yang lain, menilai jual beli piutang merupakan suatu yang
dilarang. Lihat, Oni Sahroni, Riba, Gharar. Dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2016), h.126-156.
126
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu al-Mu’a@s}irah fi@
al-Fiqh al-Isla@mi, (Riyadh: Bank al-Bilad, 2012), Jilid I, h. 53; Muhammad Usman Syubair,
shanayah al-madyuniyyat wa mu’alajatiha min al-ta’atstsuri fi al-fiqh al-islami, (Jordan:
Universitas Jordan, 2015), h.16
127
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu .... h. 54

73
yang tidak tunai/berhutang (al-dayn)‛.128 Pengertian secara khusus lainnya dari al-
dain (piutang) ‚adalah hak tagih berupa uang (al-dain naqdi) baik yang timbul
akibat akad penjaman (qard}), akad penjualan tidak tunai (al-bai’ al-mu’ajjal), atau
akad lainnya‛. 129
Objek pembahasan berkaitan dengan dain ini pada awalnya terkait dengan
cara pembayaran harga (thaman) atas barang atau hak (muthman/mabi’) yang
dipertukarkan/diperjualbelikan. Dalam fikih pembayaran harga (thaman) atas jual
beli boleh dilakukan secara tunai (al-bai’ al-ha>l/naqdan) atau tidak tunai (al-bai’ al-
mu’ajjal). Pembayaran dengan tidak tunai ini dapat dilakukan secara
angsuran/bertahap (al-bai al-taqsith) atau pembayaran tangguh (al-bai’ al-
mu’ajjal).130 Oleh karena itu dari segi pembayaran dalam pertukaran atau jual beli
boleh dilakukan pembayaran secara tunai (al-bai’ al-ha>l/naqdan), angsuran (al-bai’
al-taqsi>t}), maupun secara tangguh pada saat jatuh tempo (al-bai’ al-mu’ajjal).131
Dari cara pembayaran tersebut, terkait dengan kajian al-dain adalah pada saat jual
beli dilakukan secara tidak tunai, yaitu jual-beli yang pembayaran harga (thaman)-
nya secara tangguh dan penyerahan muthman-nya juga secara tangguh, maka
dalam fikih dinamakan bai’ al-dain bi al-dain atau bai’ al-kali’ bi al-kali’.132
Dalam kaitan ini kata al-dain mengandung dua arti; yaitu utang dan piutang.
Dalam jual-beli yang pembayaran harganya dilakukan secara tangguh, maka
thaman yang pembayarannya dilakukan secara tangguh atau angsur tersebut
merupakan utang bagi pembeli, dan piutang bagi penjual. Selanjutnya terkait bai’
al-dain bi al-dain atau bai’ al-kali’ bi al-kali’ terdapat hadits Rasulullah SAW
yang melarang transaksi bai’ al-kali’ bi al-kali’ yang maknanya yaitu bai’ al-dain
bi al-dain (menjual utang/piutang secara tangguh dengan thaman tidak tunai).
Hadis tersebut sebagaimana diriwayatkan Imam al-Daruquthni, Imam al-Hakim,
dan Imam al-Baihaqi dari Ibn Umar ra sebagai berikut:133

128
Muhammad Khalid Tarbani, Bai’ al-Dain Ahka@muhu@ wa Tat}bi@qatuhu@ al-
Mu’as}irah, (Ghaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, 2001), h.37; Muhammad Usman Syubair,
shanayah al-madyuniyyat wa mu’alajatiha..., h. 16
129
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa Adillatuh ..., h. 432; Usamah bin Hamud
bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu ...., h.55; Muhammad Usman Syubair, al-
madkhal ila@ fiqh al-mu’a@malah al-ma@liyah.... h.23.
130
Muhammad Ahmin, Asasiyyat al-Mu’amalat al-Maliyyah wa al-Mashrafiyyah al-
Islamiyyah, (Rabath: Dar al-Aman, 2010), h. 113; Muhammad Usman Syubair, al-madkhal
ila@ fiqh al-mu’a@malah al-ma@liyah ... h.19; Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah
Maliyyah: Akadi jual beli, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media, 2017, h.114-116
131
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu .... h.56;
Muhammad Khalid Tarbani, Bai’ al-Dain Ahka@muhu@ wa Tat}bi@qatuhu@ ...., h.37
132
Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahkam al-Tasharruf Fi al-Duyun Lada al-Muassasat al-
Maliyah al-Islamiyyah, (Jordan: Dar al-Nafais, 2017), h.58; Usamah bin Hamud bin
Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu al-Mu’a@s}irah fi@ al-Fiqh al-Isla@mi... h. 123;
Muhammad Khalid Tarbani, Bai’ al-Dain Ahka@muhu@ wa Tat}bi@qatuhu@ al-Mu’as}irah ... h.37.
133
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani (Al-Shan’ani), Subul al-Salam,
(Semarang: Thoha Putra, tth), Jilid III, h. 45; Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahkam al-Tasharruf

74
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم نَ َهي َع ْن بَْي ِع الْ َكالِئ ِابلْ َكالِئ (رواه احلاكم والدار‬ ِ
َ ‫َّب‬ َ َ‫َع ِن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي هللاُ َعنْ ُهما ق‬
ّ ‫أَ ّن الن‬:‫ال‬
)‫القطين و البيهقي‬
‚Ibn ‘Umar r.a berkata: Rasulullah saw melarang jual beli piutang dengan
harga tidak tunai.‛
Berkenaan dengan hadis di atas, para fuqaha berbeda pendapat mengenai
maksud dan cakupan dari larangan hadis Nabi ini. Secara umum larangan tesebut
terkait dengan jual beli piutang (bai al-dain) dengan harga juga tidak tunai (bi al-
dain). Dengan kata lain, larangan jual beli piutang dengan harga (tsaman)
berbentuk uang tanpa taqabud} dan tamathul atau barang (muthman/mabi’)-nya
diserahkan secara tidak tunai.134
Jual beli utang (bai’ al-dain) adakalanya berbentuk menjual utang kepada
pihak yang berhutang sendiri (madi>n, debitur) atau kepada pihak lain (ghairu
madi@n, bukan debitur). Adakalanya jual beli utang dilakukan secara langsung (cash,
fil ha@>l) atau dengan cara ditangguhkan (muajjal). Para ulama membolehkan
transaksi al-dain ini apabila dilakukan secara langsung dengan harga yang sama (fil
ha@l). Tetapi apabila jual beli al-dain ini dilakukan secara tangguh atau tempo
(muajjal) dianggap sebagai transaksi yang dilarang, karena dinilai jual beli tersebut
sama dengan jual beli utang piutang yang dilarang oleh Rasulullah SAW
sebagaimana hadis bai’ al-ka>li bi al-ka>li (menjual piutang dengan piutang) di
atas.135
Pandangan para fuqaha atas jual beli piutang ini secara garis besar meliputi
jual beli piutang kepada debitur secara tidak tunai (bai’ al-dain lil madi>n
bithamanin muajjal),136 dan jual beli kepada selain debitur secara tidak tunai (bai’
al-madi>n li ghair al-madi>n bithamanin muajjal).137 Untuk jual beli piutang yang
sudah istiqrar/mutaqir (confirmed) kepada debitur atau kepada pihak ketiga dengan
harga tidak tunai mayoritas ulama sepakat mengharamkannya.138 Untuk jual beli
piutang kepada selain debitur dengan harga tunai (bai' al-dain al-mu 'ajjal li ghair
al-madi>n bi tsaman ha>l) terdapat tiga pandangan para ulama. Pertama Malikiyah,

Fi al-Duyun Lada al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyyah, (Jordan: Dar al-Nafais, 2017),


h.76
134
Syarat transaksi uang dengan uang (sharf) yang sejenis (barang ribawi) harus
jumlahnya sama (tamatsul), tunai (taqabudh), dan dapat diserahkan ( maqdur al-taslim).
Untuk mata uang tidak sejenis (barang non ribawi), syaratnya dapat diserahterimakan
(maqdur al-taslim). Lihat, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh, .... h. 432; Oni
Sahroni, Riba, Gharar. Dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah, ...h.126-156
135
Muhammad Khalid Tarbani, Bai’ al-Dain Ahka@muhu@ wa Tat}bi@qatuhu@ al-
Mu’as}irah....38; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh ....h. 432; Usamah bin
Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu al-Mu’a@s}irah fi@ al-Fiqh ... h. 123.
136
Usamah bin Hamud bin Muhammad, Bai’ al-Dain wa Tat}bi@qatuhu al-Mu’a@s}irah fi@
al-Fiqh al-Isla@mi... h.123; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh.... h. 433.
137
Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahkam al-Tasharruf Fi al-Duyun Lada al-Muassasat al-
Maliyah ....h. 57 & 85; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh .... h. 433.
138
Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahkam al-Tasharruf Fi al-Duyun Lada al-Muassasat al-
Maliyah .... h. 57 ; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh .... h. 434;

75
berpendapat boleh dengan syarat harga dan barang berbeda jenis, piutangnya
adalah barang yang bisa diperjualbelikan sebelum qabd} dan harga yang diserahkan
tunai. Kedua mayoritas fuqaha, berpendapat transaksi ini diharamkan secara
mutlak karena penjual tidak mampu menyerahkan piutang kepada pembeli,
sehingga mengandung unsur gharar. Ketiga, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim
berpendapat boleh secara mutlak, dengan syarat transaksi ini tidak menyebabkan
terjadinya praktik ribawi.139
Pendapat Jumhur ulama dari kalangan Hanafiah, Hanabilah, Z{ahiriah, Ishaq
dan Thauri, dan sebagian Shafi’iah yang melarang (mengharamkan) pengalihan
piutang (melalui jual beli) secara tunai kepada selain debitur (madin). Di antara
alasannya adalah: ‛a. Da'in tidak mempunyai kesanggupan untuk menyerahkan
obyek yang diperjualbelikan (mabi') kepada pembeli (musytari). Piutang yang
merupakan milik da>'in berada dalam penguasaan madin; dilarangnya penjualan
piutang oleh da>'in kepada selain madin karena tidak mungkinnya diserahterimakan
obyeknya secara tunai dari penjual kepada pembeli sebagaimana dilarang jual-beli
hewan yang melarikan diri, dan jual-beli burung yang kabur di udara; karenanya
penjualan piutang oleh da'in kepada selain madin dilarang karena tidak mungkin
piutang diserahterimakan,' dan b. Piutang termasuk benda yang tidak diketahui
(majhul al-'ain) pada saat akad dilakukan; jual-beli benda yang tidak diketahui
termasuk gharar yang dilarang agar pihak-pihak terhindar dari permusuhan (al -
khushumah) dan sengketa (al- munaza' ah)‛.140
Ulama Malikiah dan sebagian Shafi’iah membolehkan pengalihan piutang
(melalui jual beli) secara tunai kepada selain Madin. Di antara alasannya adalah:141

a. Hadith yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw, bersabda:


‫ إن‬:‫ مث قال‬،‫ فجعل املكاتب أوىل بنفسو‬،‫ما روي عن عمر بن عبد العزيز أنو قضى يف مكاتب اشًتى ما عليو بعرض‬
ِ ‫الدي ِن أَوَىل إذَا أَ َّدى ِمثْل ما أَ َّدى ص‬ ِ َ‫ ف‬،‫ "م ِن اب تاع دي نًا علَى رج ٍل‬:‫رسول هللا – ملسو هيلع هللا ىلص – قال‬
‫احبُوُ" أخرجو عبد‬ َ ََ ْ ْ َّ ‫ب‬ ُ ‫صاح‬
َ ُ َ َ ْ َ َ َْ َ
‫الرزاق‬
‚Siapa saja yang membeli piutang dari pihak lain, maka pihak yang
berutang lebih berhak untuk membelinya apabila harganya sama dengan
jumlah yang harus dibayar oleh pihak yang berutang.‛ (HR. Abd al-Razzaq
dalam al-Mushnaf)

139
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, Jilid
IV, 1996, h. 434. Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahkam al-Tasharruf Fi al-Duyun Lidayi al-
Muassasat al-Maliyah .... h. 57 & 85;
140
Abd al-Sami` Ahmad Imam, Nazharat fi Ushul al-Buyu` al-Mamnu`ah fi al-Syari`ah
al-Islamiyyah wa Mauqif al-Qawanin minha (Mesir: al-Wa`y al-Islami. 2012), hlm. 172.
Fuad Hamid Al-Dalimy, Ahka<m al-Tasharruf Fi al-Duyu<n Lidayi al-Muassasa<t ... h. 85.
141
Abd al-Sami` Ahmad Imam, Nazha<rat fi Ushu<l al-Buyu`< al-Mamn`u'ah fi al-
Syari`’ah .... h.172; Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2002), h.197; Khalid Muhammad Tarbani, Bai’ al-Dain
Ahka@muhu@ wa Tat}bi@qatuhu@ al-Mu’as}irah, (Ghaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, 2001), h.31

76
b. Atsar shahabat, Jabir Ibn Abdillah ra, yaitu:
َ ‫َخَر فَا ْشتَ َرى بِِو غُ َال ًما فَ َق‬ ِ ِ ِ
َ ْ‫ َال َأب‬: ‫ال‬
‫ أخرجو عبد الرزاق‬.‫س‬ َ ‫اص َّح َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َعْبد هللا أَنَوُ ُسئ َل َع ْن َر ُج ٍل لَوُ َديْ ٌن َعلَى أ‬
َ ‫َم‬
‫وابن حزم‬
‚Jabir Ibn Abdillah ra ditanya tentang status hukum terkait seseorang yang
punya piutang yang dijadikan harga (tsaman) dalam membeli budak; Jabir
Ibn Abdillah menjawab: tidaklah mengapa (boleh).‛ (HR. Abd al-Razzaq
dalam al-Mushnaf)
Ulama Malikiah dan sebagian ulama Syafi’iah yang membolehkan
pengalihan piutang (melalui jual beli) kepada selain Madin dengan syarat-syarat
berikut:142
1) Piutang harus piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2) Piutang yang dijual harus piutang yang memungkinkan diserahterimakan
(imkinat al-taslim);
3) Piutang yang dijual harus dibayar secara tunai (‘aqd al-bai’ naqadan);
4) Thaman (alat bayar) tidak boleh berupa benda yang sejenis dengan piutang
yang dijual;
5) Da>’in harus memilik bukti yang sah atas hak penagihan piutangnya;
6) Madi>n harus hadir atau memberikan idzin (menyetujui) atas dilakukannya
penjualan utang; dan
7) Antara madi>n dengan pihak pembeli utang (Kreditur baru) tidak ada
permusuhan (al-‘ada>wah) supaya terhindar dari d}arar.

Sementara lembaga ulama kontemporer, seperti Lembaga Fikih Islam OKI


dan Nadwah al-Barakah berpendapat sebagai berikut:
a. Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI:143
ِ ‫ضائِِو إِ َىل‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ِ ِ
‫ َك َما َال ََيُ ْوُز‬،‫الرَاب‬
ّ َ َ‫َال ََيُ ْوُز بَْي ُع الدَّيْ ِن ال ُْم َؤ َّج ِل م ْن َغ ِْري ال َْمديْ ِن بِنَ ْقد ُم َع َّج ٍل م ْن جْنسو أ َْو م ْن َغ ِْري جْنسو ِإلْف‬
‫ني‬ ِ ِ ‫ وَال فَر َق‬،‫ب ي عو بِنَ ْق ٍد مؤ َّج ٍل ِمن ِجنْ ِس ِو أَو ِمن َغ ِري ِجْن ِس ِو ِألَنَّو ِمن ب ي ِع الْ َكالِ ِئ ِابلْ َكالِ ِئ الْمْن ِه ِي عْنو َشرعا‬
َ ْ َ‫َ ب‬ َ ‫يف َذل‬
ْ ْ َ ًْ ُ َ ّ َ َْ ْ ُ ْ ْ ْ ْ َُ ُ ُ َْ
.‫آج ٍل‬ِ ‫ض أَو ب ي ٍع‬ ٍ ِ ِ ِ
َْ ْ ْ َ ْ َ ً َ ْ ‫َك ْو‬
‫ر‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ئ‬‫ش‬ ‫ان‬ ‫ن‬ ‫َّي‬
‫الد‬ ‫ن‬
‚Tidak boleh menjual piutang yang belum jatuh tempo kepada selain debitur
dengan uang yang dibayar tunai, baik mata uang sejenis atau berbeda jenis,
karena menyebabkan terjadinya riba. Begitu pula tidak boleh menjual piutang
dengan uang yang dibayar tidak tunai, baik dengan mata uang sejenis atau
berbeda jenis, karena termasuk bai’ al-kali` bi al-kali` yang diharamkan menurut
syariah. Larangan tersebut berlaku pada piutang yang timbul dari akad qardh
atau jual beli tangguh (tidak tunai).‛

142
Abd al-Sami` Ahmad Imam, Nazha<rat fi Ushu<l al-Buyu`< al-Mamnu`’ah fi al-
Syari`’ah al-Islamiyyah wa Mauqif al-Qawa<nin minha (Mesir: al-Wa`y al-Islami. 2012),
hlm. 172.
143
Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI No. 101 [11/4] tentang bai al-dain

77
b. Keputusan Nadwah al-Baraka:144
‫الص َوِر ال َْم ْمنُ ْو َع ِة ِعْن َد ُجُْ ُه ْوِر الْ ُف َق َه ِاء َوِمْن ُه ُم الشَّافِعِيَّةُ بَْي ُع الدَّيْ ِن لِغَ ِْري ال َْم ِديْ ِن بِنَ ْق ٍد يَ ْدفَ ُعوُ ال ُْم ْش ًَِتى أَقَ َّل ِم ْن قِْي َم ِة‬
ُّ ‫َوِم َن‬
ِ‫ض وَال فَر َق ِيف ى ِذه‬ ِ ‫اح ٍد دو َن مر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َن َذلَِ ِمن‬ ِ
َ ْ ْ َ ِ ُ‫اعاة الت ََّماثُ ِل َوالتَّ َقاب‬ َ َ ُ ْ ُ ‫ني النَّ ْق َديْ ِن من جْن ٍ َو‬ ّ ْ َ َّ ‫الدَّيْ ِن أل‬
َ ْ َ‫الرَاب ل ُوقُ ْوِع ال ُْمبَ َادلَة ب‬
ِ ‫ض أَو ب ي ٍع‬ ِ ِ ِ
.‫آج ٍل‬ َْ ْ ٍ ‫ني أَ ْن تَ ُك ْو َن ال َْم ْديُ ْونيَّةُ َانشئَةً َع ْن قَ ْر‬ َ ْ َ‫الص ْوَرةِ ال َْم ْمنُ ْو َعة ب‬
ُّ
‚Di antara bentuk-bentuk (transaksi, pen.) yang dilarang adalah menjual
piutang kepada selain debitur dengan harga (pembayaran) berupa uang yang
dibayar tunai dan lebih kecil dari pokok utang. Transaksi ini merupakan salah
satu bentuk riba karena terjadi pertukaran dua mata uang sejenis (transaksi
sharf) yang tidak memenuhi unsur tamatsul (saling sama) dan taqabudh (saling
tunai). Bentuk transaksi yang dilarang ini berlaku pada piutang yang
ditimbulkan dari akad qardh ataupun jual beli tidak tunai.‛
Sementara bentuk transaksi dain yang dibolehkan adalah menjual piutang
dengan komoditas tertentu. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam Keputusan
Lembaga Fikih Islam OKI:145
.‫ بَيْ ُع الدَّيْ ِن بِ ِسلْ َع ٍة ُم َعيَّ نَ ٍة‬: ِ‫ص َوِر بَيْ ِع الدَّيْ ِن ا ْْلَائَِزة‬ ِ
ُ ‫م ْن‬
‚Di antara bentuk-bentuk bai’ al-dain yang dibolehkan adalah menjual piutang
dengan komoditas tertentu.‛
Perbedaan para ulama dalam masalah jual beli piutang secara tunai di atas
jika objek barangnya barang atau mata uang. Jika dalam bentuk uang (sharf), maka
ulama sepakat termasuk riba nasi’ah.
Oleh karena itu aset keuangan yang berupa piutang atau hak tagih tidak
serta merta boleh menjadi aset yang dapat dijadikan dasar penerbitan EBAS.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ‚tidak seluruh jenis aset yang
disekuritisasi secara konvensional dapat disekuritisasi secara syariah‛. Dalam
transaksi EBA konvensional, menurut Walsh, aset yang dapat disekuritisasi
meliputi ‚residential mortgage, commercial mortgage, auto loans and leases,
consumer loans, trade receivable, corporate loans, dan project finance loan‛.146
Dengan demikian aset atau objek yang dapat dijadikan underlying sekuritisasi
konvensional dapat dilakukan terhadap berbagai macam piutang atau tagihan,
seperti ‚perjanjian pemberian kredit, termasuk surat berharga, dan berbagai macam
tagihan yang timbul di kemudian hari dan aset keuangan lain yang setara‛. Hal ini
juga sebagaimana ditegaskan dalam peraturan OJK tentang KIK-EBA,147 yang
dimaksud dengan ‚aset keuangan dalam portofolio investasi KIK-EBA dapat

144
Qararat wa Taushiyat Nadawat al-Barakah’, Al-Amanah al-‘Ammah li al-Hai`at
al-Syar’iyah, Majmu’ah Dallah al-Barakah, Jeddah, cet. VII, Tahun 2006)
145
Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI no. 158 [17/7] tentang bai’ al-dain
146
Cristopher Walsh, ASIFMA Securitisation in Asia 2018, (London: Clifford
Change, 2018), h. 8
147
Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /POJK.04/2017 Tentang
Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif

78
berupa: a. tagihan yang timbul dari surat berharga komersial; b. tagihan kartu
kredit; c. tagihan yang timbul di kemudian hari; d. tagihan yang timbul dari
pemberian kredit; e. Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah; f. Sarana
Peningkatan Kredit; g. arus kas di masa mendatang atau surat berharga hak
atas arus kas di masa mendatang; h.pendapatan di masa mendatang atau surat
berharga hak atas pendapatan di masa mendatang; dan/atau i.aset keuangan setara
dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut‛. Hal yang
sama juga dijelaskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
No. 7/4/PBI/2005 menetapkan bahwa ‚aset keuangan yang dialihkan dalam rangka
sekuritisasi aset wajib berupa aset keuangan yang terdiri dari kredit, tagihan yang
timbul dari surat berharga, tagihan yang timbul di kemudian hari (future
receivables), dan aset keuangan lain yang setara‛.148
Dengan demikian bahwa jenis aset yang dapat dijadikan underlying
penerbitan EBA secara konvensional merupakan jenis aset keuangan ‚berupa
tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan
yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk
kredit pemilikan rumah atau apartemen, efek bersifat hutang yang dijamin oleh
pemerintah, sarana peningkatan kredit (credit enhancement)/arus kas (cash flow),
serta aset keuangan setara dan asset keuangan lain yang berkaitan dengan aset
keuangan tersebut‛.149
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahw aset yang dapat dijadikan
dasar (underlying) untuk dilakukan sekuritisasi dalam bentuk EBA konvensional
sangat beragam jenis asetnya baik aset keuangan dalam bentuk piutang yang
timbul dari surat berharga yang sudah ada maupun suatu kewajiban atau aset
keuangan yang akan ada dikemudian hari (future cashflow). Hal ini tentu sangat
berbeda dengan transaksi dalam syariah yang melarang ‚adanya pengalihan aset,
pembayaran, yang mengandung unsur riba, judi dan gharar‛.150 Penjualan piutang
(bai’ al-dain) menurut para pakar hukum Islam termasuk yang dilarang karena
termasuk kepada transaksi riba sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.151

148
Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.
149
ibid
150
Fatwa DSN-MUI No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Modal Reguler Bursa Efek;
Fatwa DSN-MUI No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
151
Lihat ketentuan AAOIFI dalam al-Ma’ayir al-Syar’iyyah, Mi’yar No. 17 tentang
Sukuk al-Ististmar, Keputusan Lembaga Fikih OKI No. 101(11/4) tahun 1998 tentang bai
al-dain , dan keputusan Nadwa al-Barakah sebagaimana juga dikutip dalam fatwa DSN-
MUI No.120/DSN-MUI/II/2018, yang antara lain artinya sbb: ‚ boleh melakukan
sekuritisasi aset, baik barang, manfaat maupun jasa dengan cara membagi/memecah aset
tersebut menjadi beberapa bagian yang sama dan menerbitkan efek sesuai dengan nilainya.
Sedangkan piutang yang masih menjadi tanggungjawab orang lain tidak boleh
disekuritisasi dengan tujuan untuk diperdagangkan‛.

79
Terkait dengan aset yang dapat dijadikan dasar dalam dalam sekuritisasi
berbentuk EBA ini, DSN-MUI pada tahun 2018 telah mengeluarkan fatwa terkait
dengan sekuritisasi berbentuk EBA.152 Dalam fatwa tersebut antara lain ditegaskan
bahwa ‚sekuritisasi hanya boleh dilakukan atas aset syariah berbentuk bukan dain
(ASBBD)‛. ‚Aset syariah berbentuk bukan dain adalah aset yang timbul dari
pembiayaan atau transaksi yang berdasarkan akad mudharabah, musyarakah
dan/atau akad-akad lain yang kedudukan kepemilikan aset masih berada dalam
originator‛.153 Sebaliknya, ‚sekuritisasi tidak boleh dilakukan atas aset syariah
berbentuk dain (ASBD) karena termasuk transaksi sharf (pertukaran dua jenis
uang) yang tidak memenuhi unsur tama@thul (sama nilainya) dan taqabud}
(tunai)‛.154 Contoh ASBD adalah ‚aset yang timbul dari jual beli (bai’), pinjaman
(qard}) dan sewa menyewa (piutang ijarah)‛.155
Terdapat pakar yang mengelompokkan aset yang dapat disekuritisasi pada 2
(dua) jenis, yaitu: ‚1. Sekuritisasi (EBA) Arus Kas Tetap, yaitu Efek Beragun Aset
yang memberikan pemegangnya penghasilan tertentu seperti kepada pemegang
Efek bersifat hutang; dan 2. Sekuritisasi (EBA) Arus Kas Tidak Tetap, yaitu Efek
Beragun Aset yang memberikan pemegangnya penghasilan tidak tertentu seperti
kepada pemegang Efek bersifat ekuitas‛.156 Penjelasan lebih lanjut efek berbasis
pendapatan tetap ini dijelaskan oleh Abdalloh, 157 bahwa ‚efek pendapatan tetap‛
adalah ‚efek yang memberikan kepastian dan informasi yang tetap kepada investor
pada saat awal penerbitan efek tentang empat hal yaitu waktu umur jatuh tempo
(maturity date) produk, besaran nilai pokok pembiayaan (par atau principle value),

152
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.
153
Lihat juga ketentuan AAOIFI dalam al-Ma’a@yir al-Syar’iyyah, Mi’ya@r No. 17
tentang S}uku@k al-Istithma@r, Keputusan Lembaga Fikih OKI No. 101(11/4) tahun 1998
tentang bai al-dain sebagaimana juga dikutip dalam fatwa DSN-MUI No.120/DSN-
MUI/II/2018, yang artinya sbb: ‚boleh melakukan sekuritisasi aset, baik barang, manfaat
maupun jasa dengan cara membagi/memecah aset tersebut menjadi beberapa bagian yang
sama dan menerbitkan efek sesuai dengan nilainya. Sedangkan piutang yang masih menjadi
tanggungjawab orang lain tidak boleh disekuritisasi dengan tujuan untuk diperdagangkan‛.
154
Berdasarkan fatwa DSN-MUI bahwa sekuritisasi boleh asalkan sesuai dengan
prinsip syariah. Di samping itu dengan adanya fatwa-fatwa tersebut juga proses
pelaksanaan sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah baik itu sekurtitissi EBA-SP maupun
sekuritisasi KIK-EBA sudah terdapat rujukan dan panduan dari aspek kesyariahannya.
155
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah
156
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), Jakarta, 2010, h.
157
Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Mediakomputindo, 2018),
h.96

80
besaran keuntungan investasi (return atau coupon rate), dan waktu atau periode
pembayaran keuntungan dan pengembalian principle value‛.158
Berdasarkan fatwa DSN-MUI, aset yang dapat disekuritisasi dalam KIK-
EBA yaitu aset yang berupa barang (al-a'ya>n/tangible assets), manfaat (al-
mana@fi'/usufructs) maupun jasa (al-khadama>t/services) yang memenuhi kriteria
dari masing-masing aset tersebut. 1) Kriteria aset untuk barang yang disekuritisasi
harus memenuhi unsur bahwa barang tersebut a. ada (berwujud) dan tertentu
dalam Bai' al-Aya>n al-Mu 'ayyanah (jual beli barang yang telah ada dan tertentu)
atau dapat dijelaskan spesifikasi-nya dalam hal Bai' al-A'ya>n al-Maus}u@fah fi@ al-
Dhimmah (jual beli barang yang belum ada namun dijelaskan spesifikasinya
dan menjadi tanggung jawab penjual); b. memiliki nilai; c. halal; dan d. memiliki
manfaat dan rnenghasilkan. 2). Kriteria aset untuk manfaat yang disekuritisasi
harus memenuhi kriteria: a. jelas jenisnya dan diketahui melalui mahall al-
manfaat (tempat manfaat)tertentu atau dijelaskan spesifikasinya pada saat akad;
b.Tidak digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah; c.
Memiliki nilai; dan d. Dapat diserahterimakan sesuai kebiasaan yang berlaku. 3)
Kriteria aset berupa jasa yang disekuritisasi harus memenuhi kriteria: a. jelas jenis
jasanya dan diketahui melalui pernberi jasa tertentu atau dijelaskan spesifikasinya
pada saat akad; b.. t idak digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip syariah; dan c. memiliki nilai.159
Berbeda dengan sekuritisasi konvensional, bahwa skema transaksi
sekuritisasi syariah pihak yang melakukan sekuritisasi tidak boleh berasal dari
receivables/piutang/al-dain.
Dengan mengacu kepada Fatwa DSN-MUI sebagaimana jelaskan di atas,
‚aset yang dapat disekuritisasi adalah aset yang timbul dari pembiayaan atau
transaksi yang berdasarkan akad mudharabah, musyarakah dan/atau akad-akad lain
yang kedudukan kepemilikan aset masih berada dalam originator‛.160
Diperkenankannya transaksi berdasarkan akad mudharabah dan musyarakah, hal ini
karena originator atau bank syariah dianggap memiliki his}s}ah (porsi) atas aset
sehingga dianggap memiliki aset yang sempurna (milk al-ta@m). Konsekuensi
hukum kepemilikan sempurna atas aset tersebut mengakibatkan bank syariah
sebagai originator memiliki hak untuk menjual aset kepada pihak lain. Hal yang
sama juga untuk transaksi ija>rah muntahiya bittamli>k (IMBT). Dalam akad IMBT
158
Termasuk efek pendapatan tetap ini adalah sukuk. Sukuk adalah efek syariah
berbasis sekuritisasi aset dan termasuk ke dalam pendapatan tetap. Oleh karena itu sukuk
berbeda dengan obligasi, meskipun keduanya termasuk efek pendapatan tetap, obligasi
jenis efek berbasis surat utang (debt securities). Irwan Abdalloh, ibid, h. 95
159
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.
160
Contoh akad lain yang kedudukan kepemilikan aset masih berada dalam
originator/bank adalah akad ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). Akad IMBT ini secara
prinsip selama masa sewa, kepemilikan aset masih berada pada bank sebagai originator.

81
ini, selama masa sewa, aset yang disewakan kepemilikannya masih berada pada
bank syariah. Karena masih dimiliki secara sempurna oleh bank syariah sebagai
originator, maka juga dapat dialihkan atau diperjualbelikan kepada pihak lain.
Dengan kata lain aset yang termasuk kategori dain (piutang/tagihan) tidak
dapat dijadikan sebagai underlying aset untuk dilakukan sekuritisasi berdasarkan
prinsip syariah. Walaupun ada yang berpendapat bahwa debt/dayn merupakan
bentuk dari aset (mal) atau paling tidak termasuk a financial right (haq maliy).161
Dalam aplikasi pemahaman dain ini, para ulama terdapat perbedaan. Sebagian
ulama yang tergabung dalam Dewan Syariah Malaysia berpendapat bahwa ‚utang
atau dain sama dengan harta benda (debt = property)‛. Oleh karenanya,
‚mengingat dain merupakan property, maka perlakuan kepada dain bisa dilakukan
sebagaimana perlakuan kepada property, yaitu bisa dimiliki dan diperjualbelikan
sesuai dengan harga pasar termasuk jual-beli dengan harga diskon‛.162 Sebagian
ulama lain, termasuk sebagian besar ulama di Indonesia yang tergabung dalam
DSN-MUI, memiliki pendapat tersendiri. Mereka umumnya berpendapat bahwa
‚utang sama dengan uang (debt = money)‛. Mengingat ‚utang/dain sama dengan
uang/money, maka uang hanya boleh dipertukarkan dengan uang senilai uang
tersebut‛.163 Dalam istilah fatwa DSN-MUI dinyatakan antara lain ‚ menjual
piutang dengan tsaman berupa uang, diharamkan karena termasuk bai' al-dain al-
mu'ajjal li ghair al-madi@n bi thaman ha@l‛ dan ‚piutang uang (al-dain al-naqdi)
hanya boleh dialihkan dengan barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman)‛, serta
‚apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama
(tama@thul) dan secara tunai (al-taqa@bud})‛.164

3. Akad Yang Dapat Digunakan Dalam Sekuritisasi Aset

a. Pengertian, rukun dan syarat akad


Dalam bahasa Arab, kata akad (al-‘Aqdu) berasal dari ‚ ‘aqada, ya’qidu,
‘aqdan‛ atau ada yang melafalkan ‚‘aqida, ya’qadu, ‘aqadatan‛.165 Dari kata asal
tersebut terjadilah perkembangan makna sesuai dengan konteks penggunaannya,

161
Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, Issues in Islamic Debt Securitization, dalam
Mohd Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah, ‚Essential Reading In Islamic Finance,
(Kuala Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008), h.478
162
Saiful Azhar Roosly, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets,
(Kuala Lumpur: Dinamas, 2005), h. 356
163
Lihat fatwa DSN-MUI No.90/DSN-MUI/XII/2013 tentang Pengalihan Pembiaya
an Murabahah antara LKS; Fatwa DSN-MUI No. 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi
Subjektif berdasarkan Prinsip Syariah; dan Fatwa DSN-MUI No. 104/DSN-MUI/X/2016
tentang Novasi Subjektif berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-
MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf).
164
ibid
165
Louis Ma’luf, al-Munjid fi@ al-Lughah wa al-A’la@m, (Beirut: Dar al-Masyriq,
1986), h.517; dan Atabik Ali & Ahmad Z Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak Press, 2001), h, 496

82
seperti ‚mengikat (tali), menetapkan (jual beli), membangun‛.166 Dalam bahasa
Indonesia, kata ‚akad‛ diartikan sebagai ‚janji, perjanjian, atau kontrak‛.167
Berakad berarti ‚mengikat perjanjian‛. Misalnya, ‘aqada dengan arti ‚menyimpul,
membuhul dan mengikat, atau dengan arti mengikat janji‛.168
Secara etimologi makna ‚akad‛ menurut Wahbah al-Zuahili, yaitu:
‫الربط بني أطراف الشيئ سواء أكان ربطا حسيا أم معنواي من جانب واحد أم من جانبني‬
169

‚Mengikat antara beberapa ujung sesuatu, baik berupa ikatan secara nyata
maupun secara abstrak (maknawi), dari satu pihak maupun dua pihak‛.

Para ulama memberikan definisi yang beragam mengenai akad ini, yakni
menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanafiyah yaitu "segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai".170 Ulama lain mengartikan akad
secara spesifik yaitu ‚perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara' yang berdampak pada objeknya‛ atau ‚menghubungkan ucapan
salah seorang yang berakad dengan yang lainnya sesuai syara' dan berdampak pada
objeknya".171
Namun terdapat definisi yang relatif disepakati oleh mayoritas ulama yaitu
sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili:172

‫ارتباط اَياب بقبول على وجو مشروع يثبت أثره ىف حملو‬


‛Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang
menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada obyek perikatan‛.

Agar suatu akad dianggap sah dan mengikat kepada para pihak maka harus
terpenuhi unsur-unsur keabsahan (terms and conditions) nya. Dalam bahasan fikih
sering disebut terpenuhinya ‚rukun dan syarat‛. Dalam bahasan perundang-
undangan disebut ‚syarat sahnya perjanjian‛ atau akad. ‚Rukun adalah unsur

166
Louis Ma’luf, al-Munjid fi@ al-Lughah wa al-A’la@m, (Beirut: Dar al-Masyriq,
1986), h.517;
167
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996),
edisi kedua, h. 15
168
Kata ‘aqada dalam al-Quran ditemukan 7 kali dalam lima surat dengan berbagai
bentuknya, yaitu ‘aqadat pada surat 4:33, ‘uquud pada surat 5:1, ‘aqadtum pada surat 5:89,
‘uqdatun pada surat 2:235 dan 237, 20:27; dan ‘uqad pada surat 113:4. Dari 7 kata tersebut,
yang berkaitan dengan mengikat janji terdapat dalam surat 5:1. Dalam ayat tersebut, Tuhan
memerintahkan kepada manusia untuk menepati segala bentuk janji, baik janji dengan
Allah maupun janji dengan sesama manusia.
169
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, Jilid
IV, 1996, h. 80.
170
Ibn Taymiyah, An-Naz}a@riyah al-Aqdi, h. 18-21.
171
Imam al-Syaukani, Fathul Qadi@r, Juz V, h. 74
172
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh…, op.cit., h.81

83
esensial yang mutlak harus ada dalam akad atau transaksi. Sedangkan syarat adalah
unsur yang harus ada untuk melengkapi rukun‛.173 Apabila akad tidak terpenuhi
rukunnya, maka akad tersebut dapat diklasifikasikan sebagai akad yang tidak
pernah ada atau batil. Sedangkan apabila akad tersebut tidak terpenuhi syarat-nya
maka akad tersebut bisa dikategorikan sebagai akad yang batal ( ba@t}il) atau dapat
dibatalkan (fa@sid). Misal syarat dalam akad jual beli adalah ‚memiliki kewenangan
bertindak (al-wala@yah) ‛, maka apabila tidak terpenuhi syarat tersebut, akadnya
dapat dibatalkan (voidable).174
Untuk menentukan apa saja yang termasuk rukun, dikalangan para ulama
terdapat juga keragaman pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, ‛rukun akad
adalah ijab dan qabul saja‛, sedangkan ulama selain Hanafiyah berpendapat,
‛rukun akad tidak hanya ijab dan qabul, tetapi termasuk para pihak, objek akad,
dan tujuan melakukan akad‛. 175 Oleh karena itu, rukun akad menurut mayoritas
ulama adalah ‚kesepakatan untuk mengikatkan diri (s}ighat al-‘aqd); pihak-pihak
yang berakad (al-muta’aqidai@n/al‘a@qidai@n); obyek akad (al-ma’qu@d ‘alaih/mahal al-
‘aqd); dan. tujuan akad (maudhu’ al-‘aqd)‛.176
S}ighat al-‘aqd adalah ‛cara bagaimana pernyataan pengikatan diri itu
dilakukan‛. Dalam literatur fiqh, s}ighat al-‘aqd biasanya diwujudkan dalam
bentuk ‛i@ja@b dan qabu@l‛. ‛I@jab adalah pernyataan atau penawaran dari pihak
pertama untuk menyampaikan usul yang menunjukkan keinginan untuk membuat
akad kepada pihak lain (offering), sedangkan qabu@l adalah pernyataan pihak kedua
yang merupakan penerimaan dan persetujuan terhadap penawaran yang dilakukan
pihak pertama(acceptance)‛.177
Rukun kedua adalah ‚para pihak yang melakukan akad (al-muta’a@qidai@n)‛.
Syarat dari para pihak ini, pada awalnya menunjuk pada bentuk perorangan (‚al-
ahwa@l al-Shakhs}iyyah/ natuurlijk persoon‛) namun mengalami perkembangan
makna yang juga bisa dalam bentuk badan hukum (‚al-shakhs}iyyah al- i’tiba@riyyah

173
Contoh perbedaan antara rukun dan syarat dalam ibadah adalah seperti ruku’,
sujud dan baca al-Qur`an dengan thaharah atau wudhu. Thaharah merupakan syarat sah
shalat tetapi bukan bagian langsung dari kegiatan shalat, apabila tidak melakukan thaharah
pada saat mau shalat, tidak sah salatnya. Begitu pula dalam muamalat, para pihak yang
berakad dengan kecakapan di antara para pihak. Para pihak merupakan rukun sedangkan
kecakapan dari para pihak merupakan syarat.
174
Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad dalam fatwa DSN-MUI, Disertasi,
Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, (tidak diterbitkan), 2008, h. 36
175
Sebagai perbandingan, dalam KUH Perdata sahnya suatu perjanjian diperlukan 4
syarat, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang legal (Pasal 1320). Sedangkan dalam
common law legal system, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 6 elemen ( six
elementof contract) yaitu: offer; acceptence; mutual assent; capacity; conservation; and
legality. Lihat Widjaya, Rai, IG, Merancang suatu kontrak, (Jakarta: Mega Poin, 2002), h.
31-32.
176
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
Jilid IV, Edisi ke-3, h. 92.
177
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh ..., h. 94

84
atau al-shakhs}iyyah al-hukmiyyah/ rechpersoon)‛.178 Syarat dari para pihak ini
harus memenuhi 2 unsur utama, yaitu ‚ahliyyah (kecakapan hukum) dan al-
wala@yah (kewenangan bertindak)‛179 Ahliyyah berarti ‚kecakapan menerima
hukum (ahliyyah al-wuju@b) dan kecakapan bertindak hukum (ahliyyah al-ada@)‛.
180
Al-Walayah berarti ‚adanya kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh
syara’ atau undang-undang kepada seseorang untuk melakukan tindakan suatu
akad, yang mempunyai akibat-akibat hukum‛.181
Rukun ketiga adalah ‚mahal al-‘Aqd‛. Mahal al-aqd adalah ‚objek akad
atau benda-benda yang dijadikan akad‛. Objek akad ini bisa bersifat material
(ayn/real asset) atau bersifat non-material seperti kemanfaatan, tanggungan atau
kewajiban (dayn/debt), jaminan (tawsiq/suretyship), dan agensi/kuasa (itlaq)‛.182
Oleh karenanya, objek akad bermacam-macam sesuai dengan bentuknya. ‛Dalam
akad jual-beli ((al-ba’i), objeknya berupa barang yang diperjualbelikan dan
harganya. Dalam akad sewa-menyewa (ijarah), objeknya berupa manfaat dari
barang yang disewa seperti manfaat rumah dan tanah (ijarah al-a’yan); atau juga
pekerjaan/jasa (ijarah al-Ashkhash/a’ma@l). Dalam perjanjian bagi hasil (syirkah),
objeknya berupa kerja petani/pedagang /pengusaha dan hasil yang akan diperoleh,
dan selanjutnya‛.183 Objek akad ini dalam KUHPerdata sering dinamakan
‛prestasi‛, yaitu ‛apa yang menjadi kewajiban dari satu pihak dan apa yang
menjadi hak bagi pihak lain‛. ‛Prestasi ini bisa berupa perbuatan positif maupun
negatif. Bentuknya dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu‛ (Pasal 1234 KUHPerdata).184 Prinsip umum dari objek akad ini
yaitu pertama, ‛dikenal pasti dan diketahui tentang sifat, jenis, jumlah dan jangka

178
Badan Hukum biasanya diartikan adalah ‚… segala sesuatu yang berdasarkan
tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban‛ atau ‚segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan
kewajiban‚. Lihat Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991, h. 81.
179
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
Jilid IV, Edisi ke-3, h. 117 & 139.
180
Untuk menentukan kecakapan hukum ( ahliyyah) bagi orang perorang didasarkan
pada batas umur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk badan hukum
didasarkan pada keabsahan badan hukumnya tersebut sesuai perundang-undangan berikut
pihak yang mewakilinya sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan atau lembaga. Dalam
KUHPerdata disebutkan, ‚setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap‛ (Pasal 1329 KUH Perdata). ‚Tak
cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah (a) orang yang belum dewasa, (b) mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan, (c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu‛ (Pasal 1330 KUH Perdata)
181
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam ...ibid
182
Ibn Abidin, Radd al-Mukhta@r Sharh Tanwi@r al-Abs}a@r, (Mesir: al-Munirah, tth),
Juz II, h. 448; dan Ahmad Hidayat Buang , op. cit., h.91
183
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
Jilid IV, Edisi ke-3, h. 170
184
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), h. 4; Mariam Darus,
Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002), h, 75

85
waktu‛ (‛ma’lu@m al-s}iffah, wal nau’, wal qadr wal ajal‛); kedua, ‛dapat diserahkan
pada waktu akad (Qudrah ‘ala tasli@m)‛; dan ketiga ‛dimiliki secara sah (milk al-
ta@m)‛.185
Rukun keempat adalah ‚tujuan akad (maud}u’ al-‘aqd)‛. Maud}u’ al-‘aqd
adalah ‚al-maqs}ud al-as}liy alladhi syara’a al-’aqdu min ajlih (tujuan utama kenapa
ditentukan adanya akad)‛.186 Masing-masing akad memiliki tujuan, misal untuk
jual beli tujuannya terjadi pemindahan kepemilikan (intiqa@l milkiyyah) dan tujuan
sewa-menyewa ada manfaat yang diperoleh (manfa’ah) oleh penyewa
(musta’ji@r).187
Sebagai perbandingan dari rukun akad di atas dengan ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengenai syarat sahnya
perjanjian secara umum memiliki kesamaan. Pasal 1320 KUH Perdata menetapkan
‚syarat sahnya perjanjian yaitu: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2).Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3).Suatu hal tertentu; dan 4). Suatu
sebab yang halal‛.188
Maksud dari ‚sepakat mereka yang mengikatkan diri‛ adalah bahwa ‛apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu disetujui atau disepakati oleh pihak yang
lain. Tidak ada kesepakatan apabila suatu perjanjian diberikan karena kekhilafan
(dwaling), atau karena adanya paksaan (dwang), atau penipuan (bedrog)‛.189
Mengenai kecakapan, pada dasarnya ‛setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap‛ (Pasal
1329 KUH Perdata). Tak cakapnya seseorang untuk membuat suatu perjanjian
adalah ‛(a) orang yang belum dewasa, (b) mereka yang ditaruh dibawah
pengampuan, (c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu‛ (Pasal 1330 KUH
Perdata). Menurut ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, ‛orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu telah menikah. Anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tuanya.
Hal tertentu yaitu hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok suatu perjanjian‛. (Pasal 1332 KUH Perdata).
‛Suatu sebab (oorzaak) yang halal maksudnya apa yang menjadi tujuan
bersama atau apa yang dikerjakan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
bukan hal yang dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan tidak melanggar kesusilaan‛. ‛Suatu perjanjian tanpa sebab,
atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

185
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
Jilid IV, Edisi ke-3, h. 175
186
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh..., h. 182
187
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@m wa adillatuh..., h 183
188
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 120;
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002, h.3
189
Yahya Harahap, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian, (Bandung: IKAPI, 1995), h. 76;
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002, h.4

86
mempunyai kekuatan‛ (Pasal 1335 KUH Perdata). ‛Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum‛ (Pasal 1337 KUH Perdata).190

b. Akad-akad yang bisa digunakan dalam sekuritisasi EBA


Jenis akad beragam. Secara umum para ulama mengelompokkan akad pada
dua bagian, yaitu ‚akad yang bersifat unilateral (secara sepihak) dan yang bersifat
bilateral (dua belah pihak atau timbal balik)‛.191 Akad unilateral merupakan akad
yang bersifat sepihak dengan tujuan kebaikan atau membantu pihak lain. Kategori
akad ini sering disebut dalam bahsa arab sebagai ‚akad tabarru’ atau bentuk
jamanya tabarru’a@t, seperti hadiah, hibah, ibra (melepaskan hak), wasiyat, waqf,
qard} (pinjaman), i’a@rah, kafa@lah, rahn, dan al-s}ulh‛.192 Akad bilateral yaitu
‚perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang menimbulkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak secara timbal balik. Akad
bilateral ini sering dinamakan akad mu’awad}a@t‛193 atau ‛akad tijarah‛.194 Akad
bilateral ini misalnya ‛perjanjian jual-beli (al-bai’), sewa menyewa (ijarah) dan
kerjasama usaha (syirkah)‛. Oleh karena itu, ada ulama yang mengelompokkkan
akad pada dua kategori yaitu akad menjadi mu’awad}a@t dan tabarru’a@t.195
Terkait dengan akad yang dapat digunakan dalam sekuritisasi berbentuk
EBA ini, dengan melihat skema transaksi yang mungkin terjadi, maka dari
hubungan antara para pihak tersebut terdapat masing-masing akad yang dapat
digunakan. Salah satu karakter yang membedakan transaksi konvensional dengan
transaksi berdasarkan prinsip syariah, yaitu ‚dalam transaksi syariah penerbitan
suatu produk keuangan akan diback-up oleh real aset yang berkaitan dengan
pembiayaan dari instrumen keuangan yang diterbitkan‛.196 Oleh karena itu,

190
Yahya Harahap, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian ....
191
Mohd. Daud Bakar, Contract in Islamic Commercial Lawa and their Application
in Modern in Finacial Islamic System, dalam Mohd Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah,
‚Essential Reading In Islamic Finance, (Kuala Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008),
h.53;
192
Abdul Sattar Abu Ghadah, Buhu@th Fi@ Al-Mu’a@malat wa al-Asa@lib al-Mas}rafiyyah
al-Islamiyyah, (Kuwait: Majmu’ah Dallah Al-Barakah, 2003), edisi ke-3, h. 67, 151;
Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Isla@m wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Jilid IV,
h. 244
193
Abdul Sattar Abu Ghadah, Buhu@th Fi Al-Mu’amala@t ....,h.50; Frank E. Vogel &
Samuel L Hayes, Islamic Law and Finanace, Religion, Risk, and return (The Huge, Kluwer
Law Interntional, 1998), h.105.
194
Istilah tijarah merupakan kata-kata yang digunakan al-Quran untuk menunjukkan
kegiatan perdagangan atau bisnis secara umum. Dalam Al-Quran kata tijarah terdapat pada
delapan ayat yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu: QS. Al-Baqarah/2:16 dan 282; Al-
Nisa/4:29; Al-Taubah/9:24; An-Nur/24:37; Fathir/35:29; al-Shaff/61:10-11; Al-Jumu’ah/11.
195
Abdul Sattar Abu Ghadah, Buhu@th Fi Al-Mu’amala@t wa al-Asa@lib al-Mas}rafiyyah
al-Isla@miyyah, (Kuwait: Majmu’ah Dallah Al-Barakah, 2003), edisi ke-3, h. 67
196
Ajil Jasyim al-Nasymi, Mustajaddah al-Mu’a@mala@t al-Ma@liyyah, (Kuwait: Dar al-
Dhiya, 2016), h.490; Nazar Sana-a, Daur A@liyati al-Tauri@q al-Mas}rafi wa al-Tas}kik al-

87
penggunaan akad secara umum harus mengikuti ketentuan sesuai dengan Aset
yang disekuritisasi. Apabila aset yang disekuritisasi berasal dari barang maka dapat
menggunakan akad jual beli. Apabila sekumpulan aset yang disekuritisasi
terdiri dari barang, manfaat dan jasa, maka akad dan ketentuan hukum yang
digunakan mengikuti aset yang lebih dominan.197 Apabila aset yang disekuritisasi
berupa manfaat dan jasa yang akan diadakan di kemudian hari maka harus
mempedomani ketentuan akad ‚Al-ljarah al-Maushufah fi al-Dzimmah‛. Apabila
aset yang disekuritisasi berupa barang yang akan diadakan di kemudian hari maka
harus mengikuti ketentuan jual beli Salam atau jual beli Istishna'.198
Menurut standar syariah (al-Ma’ayir al-Syar’i) yang dikeluarkan oleh
‚Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution
(AAOIFI)‛, akad yang dapat digunakan untuk sekuritisasi dalam bentuk sukuk ada
14 jenis sukuk.199 Dari 14 jenis tersebut secara garis besar dikelompokkan pada 3
bagian besar yaitu ‚ ijarah based sukuk (sukuk milkiyat al-maujudat dan sukuk
milkiyat al-manafi’), sale/debt based sukuk (sukuk al-bai’) dan participation based
sukuk (Sukuk Musyarakah)‛.200
Untuk jenis ijarah based sukuk dalam praktiknya dibagi beberapa jenis yaitu
‚sukuk kepemilikan aset berwujud yang disewakan, sukuk kepemilikan manfaat
(usufruct) atas aset berwujud maupun aset yang akan tersedia dan sukuk
kepemilikan jasa, baik jasa tertentu maupun jasa yang tersedia di masa yang akan
datang‛. Dari jenis sukuk setidaknya ada dua jenis sukuk yang dapat digunakan
yaitu ‚ijarah sale and lease back dan ijarah head lease and sub lease‛. Sementara
sukuk berbasis jual beli/utang terdapat tiga struktur sukuk yang dapat
dikategorikan ke dalam jenis sukuk ini yaitu ‚sukuk murabahah, istishna’ dan
salam‛. Adapun sukuk dalam bentuk partisipasi dapat terdiri dari berbagai variasi
jenis sukuk yaitu ‚sukuk musyarakah, mudharabah, wakalah, muza@ra’ah, musa@qah

Islamiy fi Su@q al-Ras al-Ma@l al-Maliziya, Disertasi, Fakultas Ekonomi Universitas Khaidar
Sakra, 2016, h. 194
197
Terdapat kaidah fikih yang berbunyi : Lil akthar hukmul kul (hukum untuk yang
terbanyak sama dengan hukum untuk keseluruhan). Lihat Fatwa DSN-MUI No.119 tahun
2018 tentang Pembiayaan ultra Mikro berdasarkan Prinip Syariah.
198
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah
199
AAOIFI, Al-mi’yar al-Syar’i No. 17; lihat juga, Faisol bin Shalih al-Syamiri,
S}u@kuk al-Mud}a@rabah, Dira@sah Fiqhiyyah Tafshi@liyyah Tat}bi@qiyyah, (Riyadh: Dar al-
Maiman, 2014), h.79; Abdul Qadir bin Muhammad Huqush Abdul Qadir al-Jibrouti, S}ukuk
al-Wakalah bi al-Istishma@r, (Riyadh: Dar Kunuz Asybiliya, 2018), h. 37
200
Faisol bin Shalih al-Syamiri, S}uku@k al-Mud}a@rabah.... h.79; Abdul Qadir bin
Muhammad Huqush Abdul Qadir al-Jibrouti, S}uku@k al-Waka@lah bi al-Istithma@r .... h. 38

88
dan mugha@rasah‛.201 Namun dalam praktiknya sukuk berbasis partisipasi yang
lebih banyak digunakan adalah jenis sukuk musyarakah, mudharabah dan
waka@lah.202
Dalam praktik sekuritisasi EBA yang dilakukan oleh beberapa negara, akad
pokok antara penerbit dengan investor yang banyak digunakan adalah akad
musyarakah, mudharabah, ijarah dan istishna.203 Di samping akad pokok tersebut
terdapat akad pendukung lain seperti akad wakalah dan hawalah.204 Sementara
akad yang digunakan dalam penerbitan sekuritisasi EBAS di Indonesia, dengan
merujuk kepada fatwa DSN-MUI yaitu ‚akad waka@lah bil ujrah, kafa@lah bil-ujrah,
bai’ al-haqi@qi, wa’d, ija@rah maus}u@fal fi@ al-dhimmah, bai’ al-‘yan al-maus}u@fal fi@ al-
dhimmah‛.205
Tabel 2.1
Akad EBA di Beberapa Negara
Negara Nama IABS Jenis Akad
Malaysia Cagamas Musyarakah
Malaysia Tiong Nam Ijarah
Eropa - -
Arab Saudi Caravan I Ijarah
UAE Tamweel Ijarah
UAE Sorou Real Estate Mudharabah
UAE Al Istishmar Mudharabah dan
Istisna
Indonesia EBAS akad waka@lah bil
ujrah, kafa@lah bil-
ujrah, bai’ al-haqi@qi,
wa’d, ija@rah maus}u@fal
fi@ al-dhimmah, bai’ al-
‘yan al-maus}u@fal fi@ al-
dhimmah‛
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

201
Faisol bin Shalih al-Syamiri, S}uku@k al-Mud}a@rabah... H. 80; Abdul Qadir bin
Muhammad Huqush Abdul Qadir al-Jibrouti, Sukuk al-Wakalah bi al-Ististmar, (Riyadh:
Dar Kunuz Asybiliya, 2018), h. 38
202
Faisol bin Shalih al-Syamiri, S}uku@k al-Mud}a@rabah... H. 80; Abdul Qadir bin
Muhammad Huqush Abdul Qadir al-Jibrouti, Sukuk al-Wakalah bi al-Ististmar... h. 39
203
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), Jakarta, 2010, h.61
204
‚Akad wakalah digunakan untuk mengakomodir peran trustee/SPV sebagai pihak
yang mewakili kepentingan investor. Akad hawalah digunakan dalam hal terdapat skema
penjaminan oleh pihak tertentu terhadap transaksi EBA syariah‛. Bapepam-LK, Kajian
Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ..... h.62
205
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.

89
Penerapan akad yang digunakan dalam hubungan hukum antar para pihak
dalam penerbitan EBA Syariah berdasarkan fatwa DSN-MUI tersebut adalah ‚akad
waka@lah bil ujrah‛. Akad waka@lah bil ujrah ini digunakan dalam hubungan hukum
antara Pemodal dengan Penerbit, Pemodal dengan Bank Kustodian, Pemodal
dengan Wali Amanat, dan Pemodal dengan Penyedia Jasa. Akad kafa@lah bil ujrah
digunakan dalam hubungan hukum antara Pemodal dengan Pendukung Pembiayaan
(Financing enhancer), dalam hal adanya penjaminan oleh pendukung pembiayaan
dalam proses Sekuritisasi. Akad ‚al-bai’ al-haqi@qi‛ digunakan antara Penerbit
sebagai wakil dari Pemodal dengan Originator dalam mengalihkan kepemilikan
aset. Sedangkan ‚wa 'd digunakan dalam hubungan hukum antara Originator
dengan Penerbit sebagai wakil Pemodal dalam penataan sekuritisasi sebelum ada
Wali Amanat dimana Originator berjanji untuk menjual Asetnya dan Penerbit
sebagai wakil Pemodal berjanji untuk membelinya‛.206 Hubungan hukum tersebut
secara jelas dapat dilihat dalam skema berikut.

Gambar 2.8
Skema Penerbitan EBAS-SP

Khusus untuk KIK-EBA Syariah, fatwa DSN-MUI membagi penerapan akad


sesuai dengan tahapan dari transaksi sekuritisasi. Ada akad pada tahap pra
sekuritisasi, tahap proses sekuritisasi, dan tahap pasca sekuritisasi. Ketentuan
hubungan hukum (akad) yang digunakan antara para pihak:

a. Pada Tahap Pra Sekuritisasi yaitu sbb: ‚I) Manajer Investasi dan Bank
Kustodian sepakat membentuk KIK-EBAS sebagai subjek hukum yang
mengikat Pemodal; 2) Dilakukan wa 'd antara Orginator dengan Manajer
Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dalam transaksi sekuritisasi dimana

206
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah

90
Originator berjanji untuk menjual Asetnya dan Manajer Investasi sebagai wakil
KIK-EBAS berjanji untuk membelinya; 3) Akad antara Originator dengan
Penata Sekuritisasi adalah akad wakalah bi al-ujrah; 4) Akad antara Manajer
Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Agen Penjual adalah akad wakalah
bi al-ujrah; 5) Dalam hal adanya Underwriter/D}amin al-Is}dar (Penjamin Emisi)
yang berfungsi untuk menawarkan EBAS kepada calon Pemodal, maka Akad
antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Underwriter/
D}amin al-Is}dar (Penjamin Emisi) adalah akad waka@lah bi al-ujrah; 6) Dalam hal
adanya Underwriter/D}amin al-Is}dar (Penjamin Emisi) yang berfungsi sebagai
pembeli siaga, maka dilakukan wa 'd antara Manajer Investasi sebagai wakil
KIK-EBAS dengan Underwriter/D}amin al-Is}dar (Penjamin Emisi); 7) Dalam
hal terdapat klasifikasi Efek pada Penerbitan EBAS, maka Pemodal Kelas
Efek tertentu berjanji (wa 'd) akan melepaskan sebagian haknya (al-
Tana@zul 'an al-Haqq) untuk diberikan kepada Pemodal Kelas Efek lainnya‛.207

Gambar 2.9
Skema Akad Tahap Pra-Sekuritisasi

b. Pada Tahap Sekuritisasi: ‚1) Akad antara Pemodal dengan Manajer


Investasi sebagai wakil KIK-EBAS adalah akad waka@lah bi al-ujrah; 2) Akad
antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Originator dalam
mengalihkan aset adalah akad jual beli secara sesungguhnya (al-bai' al-haqi@qiy;
3) Akad antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan
Registrar, adalah akad waka@lah bi al-ujrah‛.208

207
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (KIK EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah
208
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (KIK EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah

91
Gambar 2.10
Skema Akad Tahap Sekuritisasi

c. Tahap Pasca Sekuritisasi: ‚1) Akad antara Manajer Investasi sebagai wakil
KIK-EBAS dengan Penyedia Jasa (Servicer) adalah wakalah bi al-ujrah; 2)
Dalam hal adanya penjaminan oleh penyedia Dukungan Kredit (Credit
Enhancement/Ta'zi@z al-i'tima@ni ) dalam proses penerbitan KIK-EBAS, maka
akad antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan penyedia
Dukungan Kredit adalah kafa@lah bi al-Ujrah; 3) Akad antara Manajer Investasi
sebagai wakil KIK-EBAS dengan Agen Pembayar, adalah akad waka@lah bi al-
ujrah; 4) Dalam hal EBAS diperdagangkan maka Akad antara Manajer Investasi
sebagai wakil KIK-EBAS dengan Bursa Efek, adalah akad waka@lah bi al-
ujrah‛.209

Gambar 2.11
Skema Akad Tahap Pasca Sekuritisasi

Berdasarkan uraian di atas nampak perbedaan antara EBA Konvensional


dengan EBA-Syariah. Perbedaan tersebut bila dijelaskan sebagaimana tabel di
bawah ini.

209
ibid

92
Tabel 2.2
Perbedaan EBA Konvensional dan EBA-Syariah

No Masalah Konvensional Syariah


1 Proses/mekanisme Bunga boleh Terhindar dari unsur riba,
gharar, maisir, dharar, gasy,
tahkir, haram, zhulm,
risywah, maksiat
2 Aset Setiap aset keuangan Aset bukan berbentuk dain
(a.l. piutang/tagihan) (piutang), tetapi aset yang
yang telah ada dan kedudukan kepemilikannya
akan ada, termasuk masih berada pada
arus kas. originator, yakni transaksi
yang menggunakan akad
mudharabah, musyarakah
dan/ atau ijarah yang mahall
al-manfaah-nya masih pada
mu’jir/Ajir.
3 Akad Cessie Wa’d; bai’ haqiqi; wakalah
- perjanjian jual beli bil ujrah, kafalah bil ujrah

4 Tujuan Batasan sesuai Batasan susuai prinsip


perundang-undangan syariah

93
BAB III

ASPEK HUKUM SEKURITISASI BERBENTUK EBA DAN


PERKEMBANGANNYA DI BEBERAPA NEGARA

A. PERKEMBANGAN SEKURITISASI DALAM BENTUK EFEK BERAGUN


ASET
Pada awalnya konsep sekuritisasi aset yang dimunculkan di Amerika
pertama kali bertujuan untuk kebutuhan peningkatan pembiayaan pertanian. Dalam
periode berikutnya, konsep ini mengalami perkembangan, baik dari segi tujuan,
aset yang mendasari, maupun mekanisme dan struktur transaksinya. Gambaran
praktik di beberapa negara menunjukkan evolusi perkembangan tersebut dari
berbagai aspeknya. Berikut ini dijelaskan terkait sekuritisasi aset berbentuk efek
beragun aset di beberapa negara (yaitu Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan,
Timur Tengah (Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab), Malaysia dan Indonesia), dan
tinjauan permasalahan hukumnya.

1. AMERIKA SERIKAT

a. Perkembangan Sekuritsasi EBA di Amarika Serikat


Sejarah sekuritisasi khususnya Efek Beragun Aset (Assets backed securities)
tidak akan terlepas dari Amerika Serikat.1 Amerika Serikat telah mengenalkan
jenis Efek Beragun Aset pertama kali awal abad 18 an.2 Walaupun ada penulis
yang menyebutkan praktik sekuritisasi bermula dari Belanda pada abad ke-17.3
Namun dari penulusaran referensi yang ada, menurut Tavakoli, di Eropa produk

1
Istilah yang digunakan di USA adalah Mortgage Backed Securities (MBS) karena
pada awalnya sekuritas yang diterbitkan dijamin oleh agunan berupa KPR yang dibiayai.
Dalam perkembangan berikutnya menjadi Asset Backed Securities (ABS) terutama banyak
digunakan di Eropa, karena yang menjadi agunan tidak hanya berasal dari KPR tetapi juga
dari berbagai kredit lainnya seperti tagihan kendaraan, kartu kredit, peralatan berat, KTA
(kredit tanpa agunan), bahkan pinjaman mahasiswa ( student loans). Janet M. Tavakoli,
Collateralized Debt Obligations and Structured finance New developments in cash and
synthetic securitization, (New Jersey : John wiley & sons, inc, 2003), h. 31-33; Michael
Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana Law Journal, Vol.
88, h.213, (2013), h. 216; Ian H. Giddy, Asset Securitization In Asia, New York
University, 2000, h. 5; http://people.stern.nyu.edu/igiddy/ABS/ absasia.pdf; dan Charles
Austin Stone and Anne Zissu, The Securitization Markets Handbook: Structures and
Dynamics of Mortgage – and Asset Backed Securities, (Princeton: Bloomberg Press,
2005), h.4
2
Michael Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana
Law Journal, Vol. 88, h.213, (2013), h. 216
3
https://en.wikipedia.org/wiki/Securitization#Early_developments

94
sekuritisasi muncul belakangan dengan mengikuti sekuritisasi yang dikembangkan
di Amerika Serikat.4
Sekuritisasi EBA yang pertama kali muncul di Amerika Serikat pada akhir
1800-an bertujuan untuk membiayai hipotik pertanian (farm mortgages).5 Sebelum
disekuritisasi, hipotik pertanian ini dibiayai oleh broker hipotik (mortgage
broker).6 Selanjutnya, sekitar tahun 1920-an sekuritisasi EBA dimodifikasi oleh
broker hipotek melalui lembaga Trust. Agar EBA ini menarik, terutama untuk
kontek perkotaan (urban), maka EBA tersebut diasuransikan dan dijadikan sebagai
kumpulan EBA yang dijamin sekalipun berasal dari KPR yang gagal bayar.7
Lembaga Trust yang memiliki kumpulan ratusan hipotek (sekalipun dari KPR
default) kemudian menerbitkan surat utang (atau obligasi) kepada investor.8
Praktik sekuritisasi di masa awal tersebut mengalami kegagalan, baik bentuk
sekuritisasi EBA yang dijalankan pada akhir 1800-an maupun sekuritisasi EBA
yang terjadi di akhir tahun 1920-an. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena
para investor memfokuskan penilaian kelayakan kredit hanya dari lembaga-
lembaga keuangan yang mengorganisir kumpulan hipotek — dalam hal ini,
perusahaan-perusahaan asuransi— dari pada penilaian kelayakan pinjaman
individu. Seperti pada tahun 1800-an, kualitas dari jaminan yang mendasarinya
bermasalah, terjadi penipuan yang endemik, dan perusahaan-perusahaan asuransi
terbukti melakukan kapitalisasi pada aset yang dijadikan jaminan. Selama akhir
tahun 1920-an, pasar hipotek sekunder kembali ambruk.9 Atas kegagalan praktik
EBA tersebut, praktik sekuritisasi EBA sempat menghilang dari peta keuangan
perumahan AS selama beberapa dekade. Kerapuhan pasar hipotek yang terjadi
telah berkontribusi pada upaya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan dan
dukungan publik.10
Setelah terjadi kegagalan kedua dari sekuritisasi hipotek di atas dan pada
saat yang sama terjadi depresi besar (great depression),11 pemerintah AS melalui
Presiden Franklin D. Roosevelt mulai memainkan peran yang lebih aktif dalam
pembiayaan perumahan. Intervensi dilakukan dengan cara menanggung risiko
kredit, mengalokasikan modal, dan memberikan bantuan/pinjaman (originating

4
Janet M. Tavakoli, Collateralized Debt Obligations and Structured finance New
developments in cash and synthetic securitization, (New Jersey : John wiley & sons, inc,
2003), h. 31-33
5
Kenneth A. Snowden, Mortgage Companies and Mortgage Securitization in the
Late Nineteenth Century 31–32 (Aug. 2007), h. 1; http://www.uncg.edu/bae/people/
snowden/Wat_jmcb_aug07.pdf.
6
Ibid, h.3-4
7
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization..., h. 218
8
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization....
9
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization...,h. 213
10
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization ....
11
Disebut juga zaman malaise yaitu suatu peristiwa menurunnya tingkat ekonomi
secara dramatis di berbagai belahan dunia baik negara maju maupun negara berkembang.
Depresi ini terjadi selama 10 tahun mulai tahun 1929 – 1939, dan berakhir setelah perang
dunia II tahun 1940-an.

95
loan) kepada perusahaan hipotik sekalipun secara terbatas.12 Di samping itu juga
didirikan ‚Federal National Mortgage Association‛ (Fannie Mae) untuk
menyediakan pemenuhan likuiditas bagi perbankan yang mengalami ketidak-
mampuan akibat nasabah tidak bisa membayar.13
Pada tahun 1934 Amerika Serikat mengesahkan undang-undang perumahan
(Housing Act) yang di antaranya berisi pendirian dari ‚Federal Housing
Administration (FHA)‛. Undang-undang ini juga mendasari terbentuknya
‚National Mortgage Association of Washington‛ pada tahun1938, yang kemudian
berganti nama menjadi ‚Federal National Mortgage Association (Fannie Mae)‛.14
Selanjutnya pada tahun 1968, Fannie Mae dipecah menjadi dua entitas yang
berbeda yaitu ‚the Government National Mortgage Association (Ginnie Mae)‛ dan
‚Federal National Mortgage Association (Fannie Mae)‛. 15 Selama tiga dekade
pertamanya (1938-1968), Fannie Mae dioperasikan sebagai lembaga pemerintah
yang membeli sebagian besar hipotek yang dijamin oleh Federal Housing
Authority (FHA). Tujuan dari Fannie Mae adalah untuk memperluas pasar hipotek
sekunder (secondary mortgage market) dengan mensekuritisasi pinjaman hipotek
(securitizing mortgage loans) dalam bentuk sekuritas yang dijamin
hipotek/mortgage backed securities (MBS).16 Adanya lembaga ini mendorong
terjadi peningkatan jumlah pemberi pinjaman hipotek perumahan. Bahkan setelah
mengetahui Fannie Mae didukung oleh pemerintah, bank kurang hati-hati dalam
menganalisa kredit sehingga terjadi booming kredit perumahan sekalipun kepada
kelompok masyarakat yang sejatinya tidak mampu (subprime customers).17
Pada tahun 1968, untuk mengurangi beban fiskal pemerintah, Fannie Mae
menjadi perusahaan publik, dan pada tahun 1968 pemerintah mendirikan
‚Government National Mortgage Association‛ (‚GNMA/ Ginnie Mae‛) yang
berfungsi sama seperti Fannie Mae sebagai upaya menghindari terjadinya
monopoli.18 Ginnie Mae, sejak pendiriannya tahun 1968 sebagai perusahaan

12
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization ....
13
Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha , Working Paper Sekuritisasi
Aset Lembaga Pembiayaan Dan Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam
Rangka Pendalaman Pasar Keuangan Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2013), h. 39.
14
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization ...., h.219;
lihat juga file:///d:/sekuritisasi%20islam%20collection/perbandingan %20efek%20beragun
%20 aset%20di%20amerika%20serikat%20dan%20indonesia.html;
15
Loutskina & Strahan, ‚Securitization and the Declining Impact of Bank Financial
Conditionon Loan Supply Evidence From Mortgage Acceptance Rates‛, (Washington DC:
IMF, 2008), h. 6; dapat diakses di: https://www.imf.org/external/np/seminars/eng/2008/
fincycl/pdf/loustr.pdf.
16
Fabozzi, Frank J. dan Modigliani, Franco, Mortgage and Mortgage-backed
Securities Markets, (UK:Harvard Business School Press, 1992), h.2, ISBN 0-87584-322-0).
17
Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha , Working Paper Sekuritisasi
Aset Lembaga Pembiayaan ..., h. 39.
18
Karena asal-usulnya sebagai lembaga pemerintah, Fannie Mae disebut sebagai
GSE (The Government Sponsored Enterprises) dan sekuritasnya kadang-kadang disebut
sebagai sekuritas ‚Agensi‛. Charles Austin Stone and Anne Zissu, The Securitization
Markets Handbook: Structures and Dynamics of Mortgage ..., h.4

96
pemerintah bertujuan untuk memperluas pembiayaan perumahan yang terjangkau
di Amerika dengan menghubungkan kapitalisasi domestik dan global ke pasar
pembiayaan perumahan negara.19
Selanjutnya pada tahun 1970 didirikan ‚Federal Home Loan Mortgage
Corporation‛ ("Freddie Mac") untuk melayani pemberi hipotek yang berbeda
dengan Fannie Mae. Freddie Mac membeli hipotek di pasar sekunder,
mengumpulkannya, dan menjualnya kepada investor secara terbuka dengan
jaminan yang didukung hipotek. Pasar hipotek sekunder ini meningkatkan pasokan
uang yang tersedia untuk memberikan pinjaman hipotek berikutnya dan
meningkatkan uang yang tersedia untuk pembelian rumah baru.20
Adanya ketiga entitas ini - Ginnie Mae, Freddie Mac dan Fannie Mae,
menyebabkan terjadinya lompatan besar dalam sekuritisasi MBS di USA. Ketiga
entitas ini menetapkan pedoman dan membuat kumpulan dari hipotek
perumahan.21
Sekuritisasi KPR berskala besar oleh non-GSE muncul kembali pada awal
1980-an. Ginnie Mae menjamin MBS pertama diterbitkan pada tahun 1970. Fannie
Mae melakukan sekuritisasi pertama pada tahun 1981, dan Freddie Mac
mengeluarkan Collateral Mortgage Obligation (CMO) pertama, didukung oleh
hipotek tarif tetap tiga puluh tahun, pada tahun 1983. Kumpulan itu dibiayai
kembali dengan menerbitkan tiga kelas sekuritas yang jatuh tempo secara
berurutan.22 Pada awal 1970 melalui penjualan ‚mortgage loans‛ oleh Ginnie
Mae.23
Pada tahun 1990-an, Fannie Mae dan Freddie Mac adalah pembeli utama
hipotek dari semua jenis pemberi pinjaman, dengan tujuan memegang sebagian
dari pinjaman tersebut dan mengamankan sisanya. Bersama-sama mereka
memainkan peran dominan dalam mendorong pengembangan pasar sekunder.24
Perbedaan kedua perusahaan tersebut dengan perusahaan lainnya yaitu
memperoleh pengecualian untuk tidak membayar pajak, tidak melapor kepada
pengawas pasar modal, dan mendapatkan kredit dari pemerintah.25

19
Anthony Sounders & Marcia Mellon Cornet, Financial Institution Management: A
Risk Management Aproach, (NewYork: McGraw-Hill Irwin, 2008), edisi ke-6, h
20
Anthony Sounders & Cornet, Financial Institution Management ...
21
Janet M. Tavakoli, Collateralized Debt Obligations and Structured finance New
developments in cash andsynthetic securitization, (New Jersey : John wiley & sons, inc,
2003), h. 31-33
22
Charles Austin Stone and Anne Zissu, The Securitization Markets Handbook:
Structures and Dynamics of Mortgage..., h.4
23
Pemerintah mengalokasikan modal melalui undang-undang, peraturan, dan
kebijakan yang membatasi kelayakan untuk program hipotek dan mengatur standar kredit
dan penetapan harga. Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage
Securitization ....
24
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues, (Washington DC: The
Woorld Bank, 2006), h. 35
25
Steven L. Schwarcz, The Alchemy of Asset Securitization, Stanford Journal of
Law, Business & Finance, Volume 1 (1994), h.136

97
Lembaga pemerintah ini (the Government Sponsored Enterprises-GSE)
meningkatkan likuiditas hipotek dengan membeli dan menahan hipotek atau
dengan mensekuritisasinya. Ketika GSE membeli hipotek, mereka menanggung
risiko kredit dan suku bunga. Ketika GSE mensekuritisasi hipotek, mereka
membeli dan mengeluarkan efek beragun mortgage (MBS), atau mereka hanya
menjual proteksi kredit kepada pemberi pinjaman asli (original lender) Dalam
kasus pertama, bank asal tidak memiliki saham dalam hipotek. Dalam kasus kedua,
bank terus mendanai hipotek dan menanggung risiko suku bunga, tetapi
memperoleh opsi untuk menjualnya sebagai MBS (karena perlindungan kredit).
Dalam semua kasus, GSE meningkatkan likuiditas.26
Pada pertengahan tahun 2000-an, persaingan antara pihak penjamin hipotek
— bank investasi besar, bank komersial, dan GSE — meningkat, dengan
sekuritisasi non-GSE menyalip sekuritisasi GSE pada tahun 2005. Sekuritisasi
non-GSE swasta runtuh pada awal tahun 2008 karena tingginya tingkat gagal
bayar untuk sekuritas subprime yang dijamin. Akhirnya pemerintah Amerika –
setelah kejadian subprime mortgage tersebut menyediakan modal, jaminan, dan
dukungan publik murah lainnya untuk GSE dan non-GSE yang besar. GSE secara
efektif diratifikasi pada bulan September 2008, sementara lembaga keuangan
lainnya tetap dimiliki secara pribadi. Krisis hipotek tahun 2007-2008 merupakan
kegagalan ketiga dari sekuritisasi hipotek swasta dalam sejarah USA.27
Jaringan/saluran hipotek nasional seperti Fannie Mae dan Freddie Mac tidak
ada di Eropa. Sekuritisasi di Eropa tidak begitu populer sebagaimana di USA.
Tingkat kedalaman dan likuiditas pasar surat berharga beragun aset relatif terbatas.
Di Inggris, pasar terbesar Eropa untuk penerbitan sekuritas hipotek/sekuritas aset
berdasarkan survei Dewan Pemberi Pinjaman Mortgage hanya 6 persen. Sementara
di Amerika Serikat, penerbitan sekuritas hipotek mencapai 60 persen dari
kapitalisasi pasar hipotik.28
Karakteristik pasar hipotek Amerika Serikat berasal dari kumpulan hipotek
lalu melikuidasinya dengan cara menjual pinjaman atau melakukan sekuritisasi dari
layanan hipotek yang ada. Model yang telah mendarah daging dalam sistem
pembiayaan perumahan ini didukung oleh saluran hipotek besar, seperti General
Motors Acceptance Corp (GMAC), General Electric Capital Corporation (GE
Capital), Fannie Mae, Freddie Mac, dan Countrywide Financial Corp. Model yang
bergantung pada pasar hipotek sekunder yang dalam dan likuid.29
Oleh karena itu, sebagian besar teknologi sekuritisasi saat ini berasal dari
pasar keuangan AS. Aset yang disekuritisasi pada awalnya adalah mortgage.
Namun setelah EBA berkembang di Eropa, aset tesebut tidak hanya mortgage

26
Loutskina & Strahan, Securitization and the Declining Impact of Bank Financial
Conditionon Loan Supply Evidence From Mortgage Acceptance Rates, (Washington DC:
IMF, 2008), h.6; https://www.imf.org/external/np/seminars/eng/2008/fincycl/pdf/ loustr.pdf
27
Michael Simkovic, Competition and Crisis in Mortgage Securitization ....
28
Charles Austin Stone and Anne Zissu, The Securitization Markets Handbook:
Structures and Dynamics of Mortgage ..., h.4
29
Charles Austin Stone, The Securitization Markets Handbook: Structures.....

98
tetapi juga aset lain berupa tagihan dari tagihan kartu kredit, pinjaman otomatis
(‚KTA‛), sewa mobil, pinjaman mahasiswa, pinjaman ekuitas rumah, dan pinjaman
perumahan yang diproduksi. 30 Dengan cepat melihat pasar MBS dan CMO AS
memungkinkan untuk mengisolasi risiko arus kas tanpa mengkhawatirkan risiko
kredit. 31
Jumlah penerbitan sekuritisasi telah berevolusi dari semula pada akhir abad
ke-18 hingga sebesar $ 10,24 triliun di Amerika Serikat dan $ 2,25 triliun di Eropa.
Pada tahun 2007, penerbitan ABS mencapai $ 3,455 triliun di AS dan $ 652 miliar.
di Eropa. Pengaturan WBS (Whole Business Securitization) pertama kali muncul
di Inggris pada 1990-an, dan menjadi umum dalam berbagai sistem hukum
persemakmuran di mana kreditur senior dari bisnis yang pailit secara efektif
mendapatkan hak untuk mengendalikan perusahaan. Ada pemain utama dalam
sekuritisasi, mereka termasuk investor, sekuritas dan perusahaan.32
Perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah Amaerika Serikat terkait
penurunan suku bunga pada tahun 2001-an sampai pada titik terendah mendorong
masyarakat mengajukan kredit sekalipun secara analisa kredit kurang mampu tetap
memperoleh kredit perumahan. Pada akhirnya terjadi persoalan subprime
mortgage. Pada sisi lain, pengemasan kredit menjadi sekuritas oleh investment
bank dan menjualnya dengan pengembalian return yang tinggi menjadi daya tarik
para investor. Hingga pertengahan tahun 2000-an, permintaan kredit perumahan
terus meningkat. 33
Kejadian yang tidak dapat dihindari akhirnya terjadi, yaitu debitur subprime
ini tidak dapat membayar cicilan utang. Puncaknya pada tahun 2007 terjadi bubble
burst pada industri properti perumahan di Amerika Serikat, dimana Fannie Mae
dan Freddie Mac sebagai pemegang terbesar residential mortgage-backed securities
(RMBS). Akhirnya, pemerintah Amerika Serikat melakukan billout sekitar USD
100 miliar untuk membantu permasalahan tersebut. 34
Beberapa contoh kegiatan sekuritisasi EBA di USA, terutama di Amerika
Utara adalah dengan pembentukan ‚Real Estate Mortgage Investment Conduit‛
(‚REMIC‛) dan ‚Financial Asset Securitization Investment Trust‛ (‚FASIT‛).35
REMIC muncul pada tahun 1994. Ia merupakan lembaga yang menyimpan
perjanjian utama sewa atas properti di Boston dari sekuritisasi yang dilakukan oleh
Faisal Finance (FFS) yang berbasis di Swiss. Perjanjian utama sewa tersebut
menjadi underlying asset kemudian dijual kepada perusahaan asuransi di Amerika

30
Janet M. Tavakoli, Collateralized Debt Obligations andStructured finance New
developments in cash andsynthetic securitization, (New Jersey : John wiley & sons, inc,
2003), h. 31-33
31
Ibid
32
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Securitization
33
Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha, Working Paper Sekuritisasi
Aset Lembaga Pembiayaan..., h. 39.
34
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan....,
h.39
35
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), (Jakarta: Bapepam-LK, 2010), h.65-67

99
Serikat.36 Adapun karakteristik ‚FASIT‛ hampir sama dengan ‚REMIC‛, yang
muncul pada tahun 1988. FASIT adalah sejenis trust yang didirikan pada tahun
1990-an yang bertujuan untuk menggabungkan berbagai jenis aset dalam rangka
menerbitkan efek beragun aset.37

b. Kerangka Hukum Sekuritisasi EBA di Amerika Serikat

Menurut para ahli, Amerika Serikat sekalipun tergabung dalam negara


persemakmuran yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon/Common Law, namun
dalam aspek penerapan hukum EBA di beberapa negara bagiannya memiliki tradisi
hukum yang berbeda.38 Menurut Davidson, secara umum masalah hukum yang
berkaitan dengan sekuritisasi ini meliputi 3 aspek yaitu: 1). Jenis hukum yang
digunakan: 2). Pengamanan atas aset dan arus kas. 3). Kerangka kerja lokal dari
sekuritisasi.39 Persoalan hukum sekuritisasi di Amerika Serikat, masih menurut
Davidson, cenderung fokus pada persoalan keamanan aset (secured), kepemilikan
atas hak aset yang menjadi dasar memperoleh pendapatan dan kerangka kerja yang
taken for granted.40 Sementara ahli lain sebagaimana juga dikutip oleh Davidson,
melihat permasalahan hukum dalam proses sekuritisasi aset di Amerika Serikat
meliputi 4 hal, yaitu masalah pemisahan aset oleh originator, pembuatan SPV,
pemberian peningkatan kredit, dan penentuan besaran bunga dalam kumpulan
aset.41 Berikut dijelaskan secara umum terkait dengan pengalihan aset dari
originator kepada trust atau SPV, persoalan kelembagaan trust dan SPV sebagai
pihak yang menerima pengalihan aset, dan struktur atau pola investor sebagai
pihak penerima manfaat dalam EBA.

1) Penjualan Sejati/True Sale


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses penerbitan EBA diawali dengan
pemindahan atau pengalihan aset dari originator kepada trustee atau SPV. Agar
dalam proses pengalihan aset originator tersebut beralih pada saat disepakati, maka
alas hukum peralihan tersebut menggunakan ‚jual beli sesungguhnya‛ atau ‚jual
putus‛. Dalam bahasa Inggris disebut True Sale atau dalam bahasa Arab disebut al-
Bai’ al-Haqiqi. Dengan jual beli sesungguhnya (true sale/ bai’ al-haqiqi) tersebut
maka beralih kepemilikan aset dari originator kepada trustee atau SPV dan
aset/kekayaan tersebut berada di luar harta originator. Apabila originator dalam
kondisi pailit, maka aset yang telah dijual kepada trustee tersebut tidak termasuk
harta pailit originator.

36
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal....
37
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal....
38
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar
Modal, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h.138
39
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring and Investment Analysis,
(Kanada: John Wiley & Sons.Inc, 2003), h.488
40
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring and Investment ....
41
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring and Investment ..., h.489

100
Di Amerika Serikat, proses pengalihan aset dari originator kepada trust atau
SPV ini dengan cara jual putus (true sale). Dengan peralihan secara jual putus ini,
menurut Davidson, pada hakikatnya bertujuan untuk menghindari kreditor lain
memiliki akses ke agunan pada saat penerbit mengalami kebangkrutan, dan juga
bertujuan untuk menghindari keterlambatan dalam mendapatkan jaminan.42

2) Kelembagaan trust dan SPV


Dalam kontek hukum Amerika, di antara ciri khas dari trust adalah adanya
kepemilikan ganda (dual ownership), yaitu pemilikan yang berada di tangan dua
orang atau subjek hukum. Pemilikan pertama dinamakan legal ownership atau
pemilikan dalam hukum yang ada di tangan trustee. Pemilikan kedua disebut
beneficial owner atau equity owner adalah pihak yang menerima manfaat dari
atau menikmati benda yang diserahkan kepada trustee sebagai pemilik hukum.43
Dalam kontek penerbitan EBA, konsep trustee ini diimplementasikan dalam
dua bentuk yaitu EBA bersifat ekuitas dan EBA besifat utang. Bentuk pertama,
trustee adalah pihak yang diberi kepercayaan untuk menjadi pemilik dari aset yang
dijadikan jaminan penerbitan EBA. Bentuk Kedua, trustee adalah wakil investor
pemegang surat utang.44 Sebagai konsekuensi dari adanya dua bentuk EBA
tersebut, maka penerapan hukum di Amerika mengenal dua model sekuritisasi
yaitu sekuritisasi yang dilakukan dengan cara membentuk trust, dan kedua
penerbitan EBA melalui pendirian SPV.45 Dengan demikian, dilihat dari issuer
penerbitan EBA akan terdapat dua issuer (penerbit) yaitu EBA yang diterbitkan
oleh trust dan EBA yang diterbitkan oleh SPV. Apabila penerbit EBA tersebut
adalah trust maka output EBA yang dihasilkan adalah model pass-throught
certificate atau di Indonesia disebut dengan unit penyertaan atau surat partisipasi,
sedangkan apabila penerbitnya adalah SPV maka output EBA yang dihasilkan
adalah model pay throught certificate atau obligasi atau surat utang.46

42
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring and Investment ..., h. 489
43
Ciri Trust dalam hukum Anglo Saxon menurut Lusina Ho sebagaimana dikutip
oleh widjaya adalah: 1) adanya pemisahan pemilikan ke dalam pemilikan dalam hukum dan
pemilikan ekuitas, dengan ketentuan bahwa kepamilikan dalam hukum diserahkan kepada
trustee; 2) adanya pemisahan kepemilikan dari harta kekayaan yang diletakkan dalam trust
di tangan trustee dengan harta kekayaan milik trustee sendiri; 3) adanya kewajiban fidusia
yang dibebankan kepada trustee; 4) adanya kewenangan bagi beneficiary untuk melakukan
equitable tracing dan menegakkan haknya dalam bentuk proprietary remedies dalam equity
terhadap benda yang diserahkan dalam trust yang berada di tangan pihak ketiga kecuali
terhadap pembeli yang beritikad baik. Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam
KUHPerdata ..., h.114; lihat juga, Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust Dalam
Rangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi Program Pasca Sarjana,
Unpad, Bandung, 2003, h.15-16 (Tidak diterbitkan).
44
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata...., h. 342
45
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata...., h. 346
46
Gunawan Widjaya Transplantasi Trust dalam KUHPerdata...., h. 347

101
3) Struktur atau pola investor sebagai pihak penerima manfaat
Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan di atas, Amerika serikat menggunakan
struktur trust yang beragam, yang berbeda dengan negara Eropa pada umumnya
yang hanya melalui struktur pass-through.47 Keragaman ini muncul karena
pengakuan Amerika Serikat terhadap jenis konsep trust juga beragam dan
mengalami perkembangan.48 Lembaga trust memiliki aset berupa pinjaman yang
dijamin perumahan (mortgage loans) dan investor mempunyai kepentingan
kepemilikan secara langsung dalam trust.49 Semua transaksi menggunakan pola
struktur berikut: originator/ pemilik aset menjual aset ke SPV. SPV kemudian
menerbitkan surat berharga, yang dibeli oleh berbagai investor, yang didukung oleh
aset yang dimiliki oleh SPV.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan hukum penerbitan
EBA di Amerika Serikat yaitu menyangkut konsep trust yang implementasinya
dalam penerbitan EBA secara kelembagaan pihak yang menerima pengalihan aset
dari originator dapat berbentuk trust itu sendiri maupun berbentuk SPV. Apabila
EBA dalam bentuk trust maka aoutputnya berupa pass-throught certificate (surat
partisipasi), dan apabila EBA berbentuk SPV maka outputnya pay throught
certificate (obligasi atau surat utang).

4) Persoalan hukum lainnya


Beberapa masalah hukum lainya terkait sekuritisasi EBA ini adalah masalah
pajak, akuntansi, dan perlindungan terhadap investor. Masalah pajak yang
mendasar dalam sekuritisasi adalah apakah akan ada perpajakan pada trust; yaitu,
apakah pembayaran bunga dari peminjam akan dianggap sebagai penghasilan kena
pajak kepada trust? Masalah akuntansi yang mendasar adalah apakah sekuritisasi
akan diperlakukan sebagai penjualan atau pembiayaan. Masalah perlindungan
investor adalah apakah perwalian atau badan hukum lainnya yang dibuat untuk
tujuan penjaminan, memiliki hak yang cukup untuk aset dan dilindungi dari
kebangkrutan atau gangguan lain di perusahaan penerbit.50
Masalah lainnya bagi bank yang akan menjadi pihak dalam penerbitan EBA
adalah persyaratan modal. Hal ini terkait ketentuan yang dikeluarkan Komite
Basel dari Bank for International Settlements (BIS) yang telah mengembangkan
pedoman umum untuk tingkat modal minimum bagi bank-bank negara anggota.
Substansi terkait modal ini adalah apakah ketika bank menghapus aset dari neraca
apakah berpengaruh pada rasio modal bank dengan aset tertimbang menurut
risikonya.51

47
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata....,
48
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata...., h.170-171
49
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring ..., h. 493
50
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring ...,
51
Andrew Davidson, dkk, Securitization Structuring ...,

102
2. INGGRIS

a. Perkembangan EBA di Inggris


Inggris merupakan tempat bagi berlabuhnya lembaga keuangan besar seperti
HSBC, Barclays, City bank, dan standard chartered bank.52 London juga sebagai
salah satu pusat keuangan Islam terbesar di dunia.53 Pertumbuhan keuangan syariah
yang pesat di London, menurut Remy Sjahdeini, paling sedikit karena empat
alasan, yaitu ‚London sebagai pusat keuangan dunia terkemuka, kedekatan
kesejarahan antara Negara-negara Teluk di Timur Tengah (Gulf Countries) dengan
Inggris, tinggalnya para syeikh orang-orang kaya Arab dari Negara-negara Teluk
dan banyak di antara mereka yang berusaha di bidang keuangan, dan pemerintah
Inggris memberikan perhatian yang sangat besar dalam pertumbuhan perbankan
Islam di Inggris‛.54
Dalam kaitannya dengan penerbitan sekuritisasi EBA, Inggris bukan pionir
dalam penerbitan EBA tetapi ia mengikuti terhadap penerbitan EBA di USA.
Namun demikian dari sekian banyak Negara Eropa,55 Inggris adalah pemain
terbesar di pasar sekuritisasi Eropa.56 Inggris pertama kali menerbitkan sekuritisai
EBA pada tahun 1985 secara terbatas.57 Pada akhir Desember 1993, terdapat 94
edisi penerbitan dengan nilai pokok £16 miliar. Bila dibandingkan dengan
pinjaman bank kepada masyarakat pada tahun 1993 tersebut sekitar £ 640 miliar,
maka penerbitan EBA sangat kecil.58 Pada akhir 1994 peredaran EBA sekitar 26%
dari total yang beredar.59 Beberapa tahun kemudian pasar EBA Inggris mengalami
perkembangan bahkan sekarang dinilai terbesar kedua di dunia.60 Pada tahun 1999
penerbitan EBA bernilai sekitar US $26 miliar. Kelas aset pertama yang

52
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk ..., h, 55
53
London’s Islamic finance market, Februari 2016, https://www. financierworldwide.
com/londons-islamic-finance-market#.XP4mlRYzbDc
54
Remy Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk..., h, 55
55
Pada tahun 2015 berdasarkan Association for Financial Markets in Europe:
National Audit Office Analysis disebutkan bahwa pangsa pasar EBA di Eropa yaitu Jerman
5%, Belgia 5%, Francis 7%, Itali 12% Spanyol 13% Belanda 18 %, Inggris 27%, Eropa 5%
dan Lainnya 8%. Lihat, HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution,
Introduction to asset-backed securities...,h.13.
56
HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution, Introduction to
asset-backed securities....
57
Terdapat data lain yang menyebutkan bahwa penerbitan EBA yang dilandasi KPR
di Inggris pada akhir 1993 sekitar 81% dari total tagihan KPR.
58
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom, https://www.
bankofengland.co.uk/-/media/boe/files/quarterly-bulletin/1994/asset-backed-securitisation-
in-the-uk
59
James King, Spotlight on asset-backed securities, Do European ABS remain
attractive to investors? Mei 2018,https://www.mandg.co.uk/institutions/articles/do-
european-abs-remain-attractive-to-investors/-/media/ A5DDA035AC704E0CAF3A65101
A7503BE.pdf
60
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom...

103
disekuritisasi di Inggris adalah pinjaman hipotek swasta.61 Meskipun pasar
sekuritisasi hipotek di Inggris relatif kecil dalam kaitannya dengan total pasar
hipotek, dan tanpa dukungan kerangka hukum dari Pemerintah yang khusus untuk
penerbitan EBA, Inggris tetap mengembangkan kerangka kerja yang sehat untuk
sekuritas yang didukung hipotek (EBA).62
Pada akhir kuartal keempat 2015 total pasar sekuritisasi yang beredar di
Eropa adalah £865 miliar. Inggris mewakili hampir 30% dari pasar ini. Pasar
terbesar kedua adalah Belanda, dengan pangsa 18%.63 Penurunan signifikan di
pasar setelah krisis, mencapai titik terendah pada 2013. 2014 dan 2015 bernasib
lebih baik, tetapi hanya sedikit. Pada 2015 dari total surat berharga diterbitkan di
eropa sebesar £141,4 miliar, Inggris hanya menerbitkan EBA £37 miliar
sebagaimana tabel di bawah ini.64

Gambar 3.1
Pasar Sekuritisasi Aset di Eropa Tahun 2007 – 2015

UK Europe
Total Issuance Total Issuance

250 800
200 222 600
647
150
400
100 136 405 391
200 322
280
50 78 82 65 49 24 34 37 189 132 154 141
0 0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015

Sumber: HM Treasury

Perkembangan EBA di Inggris mengalami penurunan signifikan sejak tahun


2008 hingga 2018. Apabila pada tahun 2006 sekitar $ 650 miliar dan tahun 2007
sekitar $ 400 miliar, maka pada tahun 2017 hanya $75 miliar dan pada kuartal
pertama tahun 2018 sekitar $ 25 miliar. Hal ini menunjukkan investor EBA di

61
STA Law Firm, United Arab Emirates: Mortgage And Asset Backed Securitiza-
tion, 24 April 2018, http://www.mondaq.com/x/695082/securitization+structured+
finance/Mortgage+And+Asset+Backed+Securitization
62
Theodor Baums, Asset Securitization in Europe, https://www.jura.uni-frankfurt.
de/43029180/ paper16.pdf.
63
HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution, Introduction to
asset-backed securities...,h. 14.
64
HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution, Introduction to
asset-backed securities ..., h. 15.

104
Inggris belum memberikan perhatian pada produk EBA akhir-akhir ini,
sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini. 65

Gambar 3.2
Perkembangan EBA di Inggris Tahin 2002 – 2018

Sumber: JP Morgan

Keterlibatan Bank di Inggris dalam kegiatan penerbitan EBA yang dominan


adalah bertindak sebagai originator.66 Bank banyak melakukan EBA tersebut
karena memberikan manfaat atas neraca keuangan dan memberikan dampak
signifikan pada jumlah likuiditas dana yang dikumpulkan.67 Menurut Twinn, ada 2
keuntungan utama bagi bank sebagai originator yaitu memungkinkan bank untuk
menghapus aset dari neraca sehingga modal bebas untuk digunakan; dan bank
memungkinkan memperoleh sumber dana baru untuk digunakan.
‚Asset-backed securities have two main advantages for an originator:
they allow the institution to remove the assets from its balance sheet (provided
the relevant risks are transferred to the investors in accordance with supervisory
rules) and so free capital for other uses; at the same time, they may allow new
sources of funds to be tapped‛.68
Selanjutnya, pertimbangan investor untuk menempatkan dananya di produk
ABS, menurut King, didasarkan pertimbangan di samping imbal hasil yang positif
namun juga mereka memperhatikan hal-hal berikut:69 Melakukan perbandingan
dengan jenis aset yang memiliki profil risiko kredit yang serupa, ABS Eropa
menawarkan spread hasil yang menarik; Investor baru, seperti dana pensiun, terus
menambah permintaan untuk ABS; Pengenalan kerangka sekuritisasi Simple,

65
James King, Spotlight on asset-backed securities ...; Standar and Poor Rating,
Global Structured Finance Outlook 2018: Volume Could Reach $1 Trillion If Steady
Economic Conditions Persist, Januari 2018. http://www.mondovisione.com/_assets/
files/Global-Structured-Finance-Outlook-2018_3-January-2018.pdf
66
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom...
67
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom...
68
James King, James King, Spotlight on asset-backed securities...
69
James King, James King, Spotlight on asset-backed securities...

105
Transparent and Standardised (STS) dapat memberikan ruang lingkup yang lebih
besar untuk keterlibatan oleh investor yang saat ini dibatasi oleh Solvency II; dan
Pasar yang berkembang didorong oleh ekspektasi penerbitan bersih positif, yang
dapat membawa peluang lebih segar bagi investor.
Jenis objek yang dijadikan penerbitan EBA di Inggris sangat beragam. Dari
tahun 1985 sampai dengan 1993 objek EBA residential mortgage, commercial
mortgage, maintenance leases, auto receivables, swap receivable, unsecure personal
loans, arrears mortgage, dan residential second mortgage. Pada tahun 2015 jenis
objek EBA adalah CMBS, Car loans, Credit Card, dan paling dominan adalah
RMBS (Residential Mortgage Backed Securities) sebanyak 60%, sebagaimana
dalam tabel di bawah ini.70 Data lain komposisi objek EBA menunjukan yaitu SME
2%, collateral debt obligation (CDO) 3%, asset backed securities (ABS) 12%,
commercial mortgage backed securities (CMBS) 15%, whole business
seciritisation (WBS) 21% dan Retail mortgage backed securities (RMBS) 47%.71

Gambar 3.3
Tipe-Tipe Aset

Sumber: Credit Suisse First Boston (CSFB), Barings.

b. Mekanisme EBA
Struktur paling umum untuk EBA yang diterbitkan di Inggris serupa dengan
apa yang dikenal di Amerika Serikat sebagai ‘pass through’.72 Langkah pertama,
penerbit mengidentifikasi dan memisahkan aset yang sesuai dari portofolionya.
Untuk meminimalkan biaya penerbitan, dipilih aset dengan kualitas kredit yang
serupa dan jadual pembayaran yang relatif sama. Setelah dikumpulkan, aset
tersebut dijual ke SPV. SPV memberikan pemisahan hukum dari aset
originatornya. SPV kemudian menerbitkan sekuritas untuk investor dengan

70
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom..., HM Treasury,
Introduction to asset-backed securities..., h.15.
71
HM Treasury, HM Treasury, Introduction to asset-backed securities... h.15
72
EBA dengan struktur pass through atau true sale yaitu EBA yang dipegang
investor merepresentasikan kepemilikan atas sekumpulan tagihan yang tidak terbagi. Oleh
karena itu angsuran (pokok dan imbalan) langsung diserahkan kepada Investor sebagai
pemilik EBA. Karena sudah terjadi jual putus dari originator, tagihan sepenuhnya menjadi
milik investor termasuk resiko gagal bayar terhadap kreditur.

106
mendanai pembelian asetnya, yang dipercayaikan atas nama Investor. Sebagian
besar struktur EBA/ABS Inggris telah memasukkan beberapa bentuk credit
enhancement untuk meningkatkan peringkat kredit (rating credit) di atas level aset
yang mendasarinya. Kredit rating ini sangat menentukan ABS yang ditawarkan.73
Di Amerika Serikat, peningkatan kredit sering diberikan oleh lembaga yang
didukung pemerintah, seperti ‚Government National Mortgage Association‛
(‚GNMA/Ginnie Mae‛) yang menjamin biaya penerbitan. Di Inggris sebaliknya,
tidak ada lembaga/korporasi milik pemerintah yang menjamin atas penerbitan
EBA. Sarana untuk peningkatan kredit yang lazim dilakukan di Inggris diperoleh
di pasar melalui 4 cara yaitu melalui perjanjian asuransi, penerbitan L/C, cash
collateral account, dan pengkelasan senior/subordinated struktur (back to back).74

Gambar 3.4
Perusahaan Penerbit EBA

Sumber: CSFB, Barings

c. Contoh Transaksi EBA di Inggris


Contoh transaksi EBA yang dilakukan di Inggris yaitu sekuritsasi Granit
sebagaimana dijelakan oleh HM Treasury sebagai berikut:75
‚'Granite Master Trust' adalah SPV yang dibentuk Northern Rock pada tahun
2001 untuk menerbitkan sekuritas 'Granit' dari kumpulan hipotek perumahan yang
mendasarinya. Sebagai master trust, itu mampu menerbitkan beberapa batch
sekuritas selama bertahun-tahun. Sebelum nasionalisasi Northern Rock, Granit
membeli hipotek dari Northern Rock menggunakan dana yang dihimpun dari
penerbitan sekuritas. Investor kemudian akan dibayar menggunakan bunga dan
pembayaran pokok hipotek yang diadakan di Granit. Northern Rock memperoleh

73
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom ...
74
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom ...
75
Contoh sekuritisasi Granit bersumber dari HM Treasury, Introduction to asset-
backed securities...,h. 26.

107
pembayaran reguler dari Granit melalui bagian penjualnya. Namun, pada
November 2008, ia gagal mempertahankan pangsa penjualnya pada tingkat yang
sesuai, menyebabkannya melanggar ‘non-asset trigger’ . Akibatnya, Granit pindah
ke mode 'pass-through', yang berarti bahwa Northern Rock Asset Management
tidak menerima pembayaran pokok hingga 2020.‛
Selanjutnya, ‚ketika Northern Rock dinasionalisasi pada 2008, pemerintah
Inggris mewarisi bagian penjual ini. Pada 30 Juni 2015, persentase saham penjual
adalah 36,37%. Pada tahun 2015, UKAR (UK Asset Resolution Limited) menjual
270.808 pinjaman dengan total hampir £ 13,3 miliar, yang dilaporkan oleh Kantor
Audit Nasional dalam penjualan aset-aset Northern Rock senilai £ 13 miliar. Dari
nilai portofolio, 91% terdiri dari hipotek Granit dari sekuritisasi kendaraan Granit.
Kinerja hipotek Granit telah meningkat sejak akhir 2012. Mereka berkinerja rata-
rata lebih baik daripada aset NRAM (Northern Rock Asset Management) lainnya
yang dipegang oleh UKAR tetapi lebih buruk daripada rata-rata pasar yang
dihitung oleh Council of Mortgage Lenders (CML). Biasanya, hipotek dianggap
menunggak jika peminjam terlambat membayar tiga bulan atau lebih. Pada 30 Juni
2015, 2,94% hipotek menunggak tiga bulan atau lebih‛.76

d. Kerangka Hukum EBA Inggris


Menurut Ercanbrak, pemerintah Inggris melihat transaksi keuangan syariah
secara netral sebagaimana transaksi keuangan konvensional. Oleh karena itu,
perlakuan terhadap transaksi syariah didasarkan pada perlakuan yang sama (a level
playing field) baik terkait pajak maupun ketentuan lainnya.77 Kerangka hukum
untuk melakukan sekuritisasi di Inggris tidak seperti banyak negara lain di Eropa –
seperti Perancis yang sudah membuat UU tersendiri. Namun demikian, tidak
berarti pelaksanaan sekuritisasi aset di Inggris tidak memiliki acuan atau pedoman
hukum yang pasti. Hal ini karena, pihak berwenang/otoritas dalam proses
sekuritisasi tersebut, sebagian besar telah mengakomodasi untuk terjadinya
pertumbuhan sekuritisasi aset.78
Ketentuan terkait sekuritisasi aset diatur oleh masing-masing bidang yang
mengawasi pihak yang terlibat dalam proses sekuritisasi dimaksud. Seperti
diketahui bahwa pelaksanaan penerbitan EBA harus terdaftar di bursa baik bursa
London maupun Lexumberg.79 Lembaga bursa ini sudah membuat ketentuan dan
persyaratan tentang prospektus dan persyaratan lain yang wajib dipenuhi pada saat
penerbitan EBA. Begitu juga lembaga keuangan seperti perbankan atau perusahaan
asuransi yang hendak menerbitkan surat berharga wajib tunduk kepada ketentuan

76
HM Treasury, Introduction to asset-backed securities..., h. 27
77
Jonathan Ercanbrack, Regulating Islamic Financial Institution in the UK, dalam
Valentino Cattellan (edt), Islamic Finance in Europe: Toward Plural Financial System, UK:
Edward Elgar Publishing Limited, 2013, h. 164; Jonathan Ercanbrack, The Transformation
of Islamic Law in Global Financial Markets, (UK: Cambridge University Press, 2015),
h.174
78
Theodor Baums, Asset Securitization in Europe...
79
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom...; Theodor
Baums, Asset Securitization in Europe...

108
regulator yang mengawasinya, misalkan terkait kecukupan modal, mitigasi risiko,
dan sebagainya.80 Berdasarkan ketentuan yang ada dari masing-masing regulator
tersebut, di samping ketentuan lain yang mengikat secara umum antara lain
undang-undang pembangunan masyarakat tahun 1986, yang mengatur keterlibatan
masyarakat di pasar, maka dianggap cukup untuk mengakomodir kebutuhan
pelaksanaan sekuritisasi. 81
Di antara pengaturan oleh regulator tersebut yang harus dipenuhi adalah
terkait dengan: (a) kecukupan modal bagi bank yang akan menjadi originator
penerbitan EBA. Bank sentral Inggris telah menentukan beberapa persyaratan
kecukupan modal bagi bank yang cukup ketat untuk memastikan bahwa bank
dapat mengurangi kebutuhan modal hanya jika bank tidak memiliki risiko dari
pinjaman yang dijualnya.82 Sebagian besar penerbitan sekuritas di Inggris didukung
oleh hipotek sehingga mengurangi risiko originator dari sisi suku bunga, walaupun
pada sisi lain masyarakat masih harus menyediakan modal sendiri untuk pinjaman
yang diperoleh. Sejumlah kecil penerbitan telah mencoba untuk mengatasi masalah
ini dengan mengalihkan risiko suku bunga ke lembaga lain. (b) Terkait jual putus
(true sale). Karena sekuritisasi aset sering dilakukan untuk alasan kecukupan
modal, struktur transaksi ini sering bergantung pada kemampuan lembaga
keuangan untuk memperlakukan transfer pinjaman sebagai penjualan. Dua masalah
di sini adalah bagaimana mentransfer piutang yang mendasarinya; dan apakah SPV
independen dari penjual jika terjadi kebangkrutan penjual. Di Inggris, umumnya
ada tiga metode untuk mentransfer piutang, yaitu novasi (novation), penyerahan
hak (assignment), dan sub-partisipasi (sub-participation) atau back to back.83 Dari
masing-masing metode tersebut terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh
bank ketika menjadi originator. Misalkan kewajiban memberitahukan novasi atau
assignment kepada nasabahnya baik dengan akta tersendiri maupun persetujuan.
Begitu juga ketentuan bagi SPV-nya.84 (c) terkait perlindungan SPV dari
Originator Insolvency (the bankruptcy-remoteness). Bankruptcy-remoteness yaitu
‚penegasan bahwa apabila originator pailit, aset EBA tidak termasuk boedel pailit,
karena aset EBA tersebut sudah berada dalam penguasaan/pemilikan investor yang
diwakili oleh SPV‛. Di Inggris, cara paling umum untuk melindungi kepentingan
SPV adalah dengan membuat akun terpisah di mana semua pembayaran yang

80
Theodor Baums, Asset Securitization in Europe....; C Ian Twinn, Asset-backed
securitisation in the United Kingdom....
81
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom....; Theodor
Baums, Asset Securitization in Europe....;
82
Theodor Baums, Asset Securitization in Europe....
83
HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution, Introduction to
asset-backed securities...h.16.
84
Dalam metode novasi harus ada persetujuan dan kerja sama dari ketiga pihak -
SPV, originator, dan debitor. Dalam metode pengalihan (assignment) harus ada
pemberitahuan secara tertulis kepada debitur. Metode subpartisipasi/pinjaman back-to-
back mengharuskan terjadinya true sale yang mewajibkan penjual untuk mendanai
pembayaran kembali pinjaman sub-partisipasi tersebut. Lihat, HM Treasury, UK Financial
Investments, Introduction to asset-backed securities...,h.24.

109
diterima originator ditempatkan, dan untuk menyatakan bahwa secara efektif
merupakan rekening kepercayaan untuk SPV.
Surat berharga yang didukung hipotek ritel/Retail mortgage-backed
securities (RMBS) merupakan bagian terbesar dari pasar. Surat berharga tersebut
merupakan 60% dari pasar Eropa secara keseluruhan, dan 47% dari Inggris.
Kategori besar lainnya adalah ‘sekuritisasi seluruh bisnis’ / whole business
securitisation’ (WBS) dan sekuritas yang didukung hipotek komersial/ commercial
mortgage-backed securities (CMBS).85
Karakteristik dari RMBS yang diterbitkan di Inggris memiliki karakteristik
tertentu yang berbeda dengan sekuritisasi di Amerika Serikat. Di Inggris kredit
perumahan merupakan recourse debt, yaitu debitur membayar capital gain pajak
pada setiap kali pembayaran cicilan utang sampai dengan 5 tahun. Jadi tidak ada
pajak gratis sebagaimana di USA. Di samping itu, tidak menerapkan prepayment
penalty dalam kredit perumahannya.86

3. Korea Selatan
a. Perkembangan EBA di Korsel
Pada saat krisis keuangan yang melanda Asia pada tahun 1997, Korea
Selatan termasuk salah satu Negara yang mengalami dampaknya. Pada tahun 1997
tersebut Korea dihadapkan pada penurunan kegiatan ekonomi yang tajam,
terbatasnya cadangan devisa, menurunnya nilai mata uang won, dan kurangnya
kepercayaan komunitas internasional terhadap investasi.87 Di samping itu, selama
periode krisis jumlah portofolio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di
lembaga keuangan meningkat secara signifikan sehingga pemerintah Korea
berupaya membuat suatu mekanisme peningkatan likuiditas di sektor keuangan
dan sumber pendanaan tambahan untuk sektor korporasi.88
Dengan latar belakang kondisi tersebut membawa Pemerintah Korea pada
inisiatif meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) pada November
1997. Sebagai konsekuensinya, Korea meluncurkan program restrukturisasi
ekonomi dan reformasi yang luas. Ruang lingkup inisiatif ini antara lain
pengembangan pasar obligasi dan asset-backed securities (ABS) negara.89 Oleh
karena itu, pada bulan September 1998 Pemerintah Korea mengambil langkah
besar dengan mengesahkan Undang-Undang Efek Beragun Aset.90 Di samping itu,

85
HM Treasury, Introduction to asset-backed securities..., h.14
86
Sri Liani Suselo,dkk, ibid, h.35; Remy Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah
Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2014), h, 51
87
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues, (Washington DC: The
Woorld Bank, 2006), h. 19
88
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.20
89
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues...,
90
Undang-undang tersebut mendefinisikan istilah "sekuritisasi yang didukung aset"
dan menetapkan tiga jenis utama emiten di Korea: (i) perusahaan tujuan khusus, (ii)
perusahaan kepercayaan di bawah Trust Business Act, dan (iii) perusahaan asing yang
berspesialisasi dalam sekuritisasi aset. Selain UU ABS, Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Perusahaan Sekuritisasi yang Didukung Hipotek pada tahun 1999 untuk

110
pemerintah Korea juga mendirikan ‚Korea Mortgage Corporation (KoMoCo)‛
yang bertugas untuk membeli mortgage, menyekuritisasi, dan menjual kredit
tersebut kepada investor/masyarakat dengan imbal hasil yang menarik.91
Dari upaya yang dilakukan di atas maka pasar ABS Korea mengalami
pertumbuhan yang signifikan. Apabila pada tahun 1999 kapitalisasi pasar ABS
sebesar W.6,8 triliun maka pada tahun 2002 menjadi W.49,4 triliun. Sementara
jumlah emisi meningkat dari 32 pada tahun 1999 menjadi 154 pada 2002. Begitu
juga CBO dan CLO selama periode 1999-2000 menyumbang sebagian besar
transaksi dalam upaya menangani NPL termasuk keberhasilan lembaga/Perusahaan
Pengelola Aset Korea (KAMCO) dalam memainkan perannya menangani NPL
melalui sekuritisasi. 92
Pada akhir 2004, total aset sistem keuangan mencapai US $ 1,8 triliun, atau
245 persen dari PDB. Segmen terbesar dari sistem keuangan Korea adalah sektor
perbankan (48,1 persen) diikuti oleh pasar obligasi (30,8 persen) dan pasar ekuitas
(21,1 persen). Pangsa sektor perbankan telah menurun dari 53,3 persen pada tahun
1997.93 Tetapi secara umum kemudian mengalami tren penurunan pada tahun
tahun 2008-2010, dan mengalami kenaikan kembali (rebound) pada tahun 2011,
dengan adanya dua variasi bentuk underlying yang mendasari dari ‚Asset backed
Commercial Paper/ABCP ‚ yaitu ‚ABCP dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang
ABS dan ABCP yang diterbitkan sesuai dengan Kode Komersial‛.94
Perkembangan kemajuan ini telah menjadikan Korea sebagai salah satu
Negara Asia selain Jepang yang berhasil dalam pengembangan produk
sekuritisasi.95 Sekuritisasi di Asia sendiri dipimpin oleh Jepang dan Korea dan
diikuti oleh negara-negara lain seperti India, Cina dan Malaysia. Jumlah produk
sekuritisasi yang dikeluarkan oleh negara-negara Asia utama yang terlibat dalam
sekuritisasi (Jepang, Korea, India dan Cina) telah meningkat dan telah mencapai
hampir $ 120 miliar pada akhir 2006, sebagaimana terlihat dalam gambar berikut.96

mendorong pengembangan sekuritas yang didukung hipotek perumahan (RMBS). Lihat,


Ibid, h.20
91
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h.30.
92
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h. 22
93
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.19
94
Cliford Change, dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018, h. 58; https://www.
asifma.org/wp-content/uploads/2018/09/asifma-2018-securitization-handbook-final-003.pdf
95
Eiichi Sekine, Kei Kodachi, Tetsuya Kamiyama (Nomura Institute of Capital
Markets Research), The Development and Future of Securitization in Asia, Prepared for
Fourth Annual Brookings-Tokyo Club Conference October 16, 2008, h. 5
96
Eiichi Sekine, dkk, The Development and Future of Securitization in Asia....

111
Gambar 3.5
Nilai Pasar EBA di Asia Tahun 2002 - 2006

Sumber: Eiichi Sekine

Pasar domestik Sekuritisasi di Korea Selatan telah berkembang menjadi


salah satu yang paling canggih di Asia-Pasifik. Saat ini, Korea Selatan memiliki
salah satu kerangka kerja sekuritisasi paling maju di Asia. Transaksi Sekuritisasi
Lintas Batas (cross border) tetap menjadi sangat rendah biayanya karena originator
memperoleh dana dalam mata uang lokal dengan menerbitkan obligasi dan
pemerintah Korea telah mendorong perusahaan Korea untuk mengurangi
pertukaran mata uang asing.97
Contoh skema sekuritisasi di Korea antara lain proyek Ras Laffan. Proyek
ini berjangka waktu panjang, dalam bentuk infrastruktur lintas batas dan
underlying didasarkan pada pendapatan proyek.98 Ras Laffan adalah proyek LNG
(gas alam cair) yang berbasis di Qatar dan dimiliki oleh Qatar General Petroleum
Corp. (70%) dan Mobil Oil (30%). Sekuritisasi dalam bentuk obligasi pembiayaan
proyek yang diterbitkan dengan dukungan pendapatan gas alam cair (LNG) dari
Korea. Meskipun beresiko tinggi, kemungkinan konflik regional di wilayah Teluk
Arab, dan ketergantungan pada sejumlah perjanjian partisipan yang ditetapkan
dalam sistem hukum yang tidak dikenal, proyek ini pada tahun 1996 mampu untuk
menerbitkan obligasi dengan peringkat investasi berperingkat di pasar AS. Kunci
dari transaksi ini adalah fakta bahwa pengambilan gas alam dijual berdasarkan
perjanjian pembelian jangka panjang dengan Korea Gas Corporation (Kogas), dan
bahwa semua pembayaran oleh Kogas diperuntukkan untuk melayani hutang senior
di luar negeri. Kogas, perusahaan gas milik negara terbesar Korea, menandatangani
perjanjian jual beli 25 tahun dengan Ras Laffan, dan Ras Laffan berkomitmen
untuk membeli sebagian besar hasil proyek di tingkat yang lebih tinggi dari rata-
rata harga pasar LNG.99

97
Cliford Change, dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018..., h. 58;
98
Pendapatan proyek dapat berfungsi sebagai dukungan untuk sekuritas jika: (1)
karakter kontraktual dari pendapatan dipastikan; (2) pendapatan dalam mata uang keras
dijamin; dan (3) wali amanat lepas pantai dan SPV didirikan. Lihat, Ian H. Giddy, Asset
Securitization In Asia, New York University, Tahun 2000, h. 24-25; http://people
.stern.nyu.edu/igiddy/ABS/absasia.pdf
99
Ian H. Giddy, Asset Securitization In Asia,..., h. 24-25;

112
Semua pihak dalam transaksi ini menandatangani perjanjian perwalian yang
mensyaratkan bahwa pendapatan dan hasil akan disetor langsung ke wali amanat
independen. Untuk mencapai peringkat utang yang melampaui peringkat mata
uang asing tiga-B Qatar, semua pihak dalam transaksi ini, termasuk Kogas,
menandatangani perjanjian kepercayaan yang mengharuskan bahwa pendapatan
dan hasil disimpan secara langsung dengan wali amanat New York, Credit Suisse,
yang ditunjukkan di bawah ini sebagai Wali Amanat. Wali amanat, sesuai dengan
jadwal pembayaran prioritas, memastikan bahwa pemberi pinjaman menerima
pembayaran bunga dan pokok, setelah biaya operasi dan pemeliharaan dipenuhi.100

Gambar 3.6
Skema Ras Laffan

b. Sistem Hukum ABS Korea


Dalam upaya mendukung ABS ini, Korea menyiapkan struktur
kelembagaan dengan apik dari mulai mengesahkan ‚UU asset-backed securities‛
pada tahun 1998, ‚mortgage-backed securities law‛ pada tahun 1999,101
mendirikan ‚Korea Mortgage Corporation (KoMoCo)‛ pada tahun 1999, dan ‚UU
Korean Housing Finance Corporation (KHFC)‛ pada tahun 2003.102 KHFC
merupakan lembaga yang mendukung pinjaman hipotek perumahan dan pinjaman
mahasiswa yang berfungsi seperti Fannie Mae di USA atau Cagamas di Malaysia.
KHFC saat ini telah menerbitkan mortgage-backed securities, mortgage-backed
bonds, dan student loan-backed securities. Di antara originatornya adalah
perbankan dan perusahaan penerbangan. Sementara itu, pembeli/investor berasal
dari perusahaan dana pensiun dan perusahaan asuransi.103
Sistem hukum ABS Korea mendasarkan pada hukum perdata (civil law)
yang tidak mengakui konsep trust.104 UU ABS Korea memuat secara komprehensif
pengaturan terkait dengan ABS, termasuk masalah terkait lainnya seperti pajak,

100
Ian H. Giddy, Asset Securitization In Asia...,
101
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h.30.
102
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.19; Cliford Change,
dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018...,h. 56.
103
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h. vii
104
Cliford Change, dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018..., h. 56;

113
akuntansi, dan jasa. Di samping itu terjadi perampingan ketentuan terkait EBA,
sehingga dimungkinkan transaksi bergerak lebih cepat.105 Bahkan Korea Selatan
juga memberikan insentif pajak, kepada perusahaan originator yang menerbitkan
‚mortgage backed securities (MBS)‛.106
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, transaksi sekuritas dalam bentuk ABS
di Korea di samping dimaksudkan untuk mengatasi aset pembiayaan bermasalah
pada lembaga keuangan, juga digunakan untuk meningkatkan akses UMKM.
Underlying transaksi ABS kini semakin banyak dan beragam. Underlying tersebut
tidak hanya aset hipotik perumahan (MBS), tetapi juga aset dalam bentuk piutang
dagang, kredit mobil, piutang kartu kredit, pinjaman KTA, piutang pinjaman yang
berkaitan dengan pembiayaan proyek real estat, dan penerimaan mata uang asing
maskapai.107 Produk sekuritisasi baru yang diperkenalkan baru-baru ini di Korea
adalah sekuritisasi piutang dagang waralaba dan ada juga permintaan yang
meningkat untuk memungkinkan struktur turunan, seperti kewajiban hutang
kolateral sintetik (collateralised debt obligation-CDO).108 Namun yang dominan
hingga akhir 2017, underlying aset sekuritsasi EBA adalah piutang kartu kredit,
piutang kendaraan, dan piutang tiket udara dan cargo, sebagaimana gambar di
bawah ini.109

Gambar 3.7
Underlying Aset EBA di Korea Selatan Tahun 2010 - 2017

Sumber: ASIFMA Securitisation in Asia 2018

105
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h. vii
106
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga ..., h.32
107
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h. vi; Cliford Change,
dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018..., h. 56
108
Cliford Change, dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018..., h. 57
109
Eiichi Sekine, dkk, The Development and Future of Securitization ..., h. 6

114
Gambar 3.8
Volume Aset EBA di Korea Selatan Tahun 2010 - 2017

Sumber: ASIFMA Securitisation in Asia 2018

Selanjutnya, Korea melakukan banyak upaya untuk menciptakan pasar


sekuritisasi yang lebih beragam. Pada tahun 2003, sekuritas pertama negara yang
didukung oleh pinjaman mahasiswa diterbitkan. Pada tahun 2004, sekuritas yang
didukung perumahan yang pertama di negara itu diterbitkan oleh Korea Housing
Finance Corporation. Pada tahun 2005 diterbitkan juga CDO sintetis oleh Korea
Development Bank (KDB) dan sekuritas luar negeri AS yang diawasi dan
didukung oleh piutang kartu kredit Korea.110
Pranata kelembagaan penting lainnya yang dikembangkan di Korea Selatan
adalah lembaga pemeringkat kredit. Pemeringkat kredit (credit rating) merupakan
lembaga pemeringkat profesional sangat penting untuk keberhasilan transaksi
ABS. Lembaga pemeringkat mengevaluasi risiko dan keuntungan aset yang
mendasari transaksi ABS, dan menilai sekuritisasi tersebut. Investor membuat
keputusan investasi berdasarkan peringkat kredit oleh lembaga pemeringkat.
Karena pasar ABS yang dinamis tidak dapat eksis tanpa adanya lembaga
pemeringkat kredit yang kredibel. Di Korea, ada empat lembaga pemeringkat
kredit, yaitu Korea Information Service, Korea Ratings, Seoul Credit Rating &
Information Inc., dan Nation Information Credit Evaluation Inc. Korea Information
Service memiliki ikatan bisnis dengan Moody's, sementara Korea Ratings adalah
berafiliasi dengan Fitch.111 Lembaga pemeringkat kredit internasional diterima di
Korea. Tiga lembaga pemeringkat di Korea yang terkenal terkait ABS yaitu
Moody's, Fitch dan S&P.112
Pemain besar di pasar sekuritisasi Korea sebagian besar adalah lembaga
keuangan. Mereka sangat sensitif terhadap biaya pendanaan untuk sekuritisasi dan
transaksi keuangan terstruktur yang cukup mahal dan membutuhkan banyak

110
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.7
111
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h. 24
112
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.viii

115
pekerjaan. Itulah sebabnya investor cenderung tidak mencari penawaran terstruktur
kecuali mereka melihat manfaat yang signifikan. Skema likuiditas bank sentral dan
sekuritisasi yang ditahan belum umum di Korea Selatan. 113 Investor di Korea
memiliki preferensi yang kuat untuk nota jangka pendek dari pada ABS jangka
menengah dan panjang karena ketidakpastian di pasar yang disebabkan oleh
peningkatan kartu kredit macet dan skandal di SK Global.

Gambar 3.9
Originator EBA di Korea Selatan Tahun 2010 - 2017

Sumber: ASIFMA Securitisation in Asia 2018

Kelembagaan lain adalah kliring. Korea memiliki sistem kliring dan


penyelesaian yang canggih, yang mencakup fungsi kliring kritis, penyelesaian, dan
penahanan dalam industri sekuritas Korea. Pada akhir 2001, Korea Securities
Depository (KSD), sebuah organisasi nirlaba, memiliki 96 pemegang saham dan
468 peserta. Pemegang saham adalah perusahaan sekuritas, bank, perusahaan
asuransi, perusahaan investasi dan perwalian, dan lembaga keuangan lainnya.
Karena peran utama KSD sangat penting bagi pasar sekuritas Korea, organisasi ini
tunduk pada pengawasan MOFE, FSC, dan FSS.114
Dengan demikian, Korea memiliki pasar ABS yang relatif berkembang
dengan kerangka peraturan dan infrastruktur pendukung lainnya yang diperlukan
untuk pertumbuhan di masa depan. Sistem penyelesaian transaksi yang canggih
sudah ada dan berfungsi dengan baik. Pasar keuangannya telah tumbuh secara
dramatis, dan sejumlah besar aset yang ada di negara ini telah dijamin. Pasar ABS
Korea telah melalui konsolidasi besar karena masalah industri kartu kredit
domestik dan siap untuk pertumbuhan lebih lanjut. Area yang menawarkan potensi
pertumbuhan yang signifikan adalah pasar MBS residensial dan komersial.115

113
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h. 57
114
Ibid h,24
115
Ibid, h. 25

116
4. TIMUR TENGAH
Kegiatan sekuritisasi di wilayah Timur Tengah relatif baru.116 Inisiatif
pertama sekuritisasi di wilayah timur tengah adalah Arab Saudi pada tahun 2004
kemudian diikuti oleh Uni Emirat Arab pada tahun 2005, dan terus berkembang
hingga kini di wilayah teluk (Gulf Cooperation Council –GCC).117 Sekuritisasi
pertama Arab Saudi pada tahun 2004 berjumlah SAR 102 juta (US $ 27 juta)
dengan melibatkan SPV-Arab Saudi yang mengakuisisi kumpulan kendaraan
dengan perjanjian sewa kendaraan (vehicle lease agreements) yang mendasarinya
dari HANCO Rent A Car melalui SPV offshore, terdaftar di Jersey (CARAVAN I
Limited).118
Volume proses sekuritisasi di dunia Arab relatif masih terbatas. Untuk di
Saudi Arabia pada tahun 2007 tidak melebihi $ 2,5 miliar. Untuk negara-negara
Teluk relatif berkembang sehingga pada tahun 2010 jumlahnya sekitar $ 250 miliar
dalam bentuk penerbitan sekuritas dengan jaminan aset (securities with the
guarantee of assets) yang bertujuan pembiayaan real estat dan infrastruktur.119
Namun demikian volume sekuritisasi dunia Arab masih terbatas dibandingkan
sekuritisasi aset di USA yang mencapai $ 625 miliar pada tahun yang sama.120
Dalam upaya pengembangan produk sekuritisasi ini, Negara GCC ini
menyusun pengaturan mengenai property fund dan Islamic fund. Pada tahun 2006
Dubai menetapkan undang-undang investment trust. Produk yang berkembang
adalah ‚Asset Backed Securities‛ atau ‚asset based securities‛ (ABS).121

116
Istilah 'Timur Tengah' dalam disertasi ini dibatasi hanya pada negara teluk ( Gulf
Cooperation Council -GCC), khususnya Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Yang
termasuk negara GCC adalah Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat
Arab. Uni Emirat Arab (UEA) adalah sebuah negara federasi dari tujuh emirat yaitu Abu
Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain. Jonathan
Ercanbrack, The Transformation of Islamic Law in Global Financial Markets, (UK:
Cambridge University Press, 2015), h. 238 & 265
117
Global Islamic Finance Report (GIFR), Securitisation in the Gulf Cooperation
Council, 2014, Chapter 9, h.135, lihat, http://gifr.net/gifr2014/ ch_09.pdf).
118
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council..., h.135
119
Alotaibi Mohamed Meteb, Securitization of internal debts with reference to Saudi
Arabia, International Journal of Business Management and Economic Research(IJBMER),
Al Imam Mohammad Ibn Saud Islamic University, Vol 9, No. 4, (2018), 1341.
http://www.ijbmer. com /docs/volumes/vol9issue4/ijbmer2018090405.pdf
120
Alotaibi Mohamed Meteb, Securitization of internal debts....
121
STA Law,United Arab Emirates: Mortgage And Asset Backed Securitization...,
2018; Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), (Jakarta: Bapepam LK, 2010), h.48

117
Perkembangan sekuritisasi aset di GCC sebagai berikut:122

Gambar 3.10
Perkembangan sekuritisasi aset di GCC

Sumber: Global Islamic Finance Report (GIFR), 2014

Contoh praktik sekuritisasi aset di Timur Tengah antara lain Caravan I dan
Kingdom Installment Company (Saudi Arabia) dan Tamweel PJSC dan Villamar di
Uni Emirat Arab.

a. Saudi Arabia
Sekuritisasi pertama yang diluncurkan Saudi Arabia pada bulan maret 2004
adalah Caravan 1. Sekuritisasi ini diluncurkan oleh ‚Hanco Rent-A-Car‛ dengan
pihak arranger SPV BSEC (anak perusahaan investment bank berpusat di Beirut)
dan Volaw Jersey Charitable Trust Caravan I Ltd sebagai wali amanat. Jumlah
penerbitannya adalah sebesar SAR 102 atau US$ 27 juta, tempo waktu 3 tahun
(berubah setiap bulan) dengan tingkat imbalan sebesar 6% per tahun.123
Aset yang disekuritisasi berupa barang persediaan mobil sejumlah 2.344
kendaraan (car-fleet inventory). Strukturnya melibatkan dua SPV yaitu SPV di
Saudi Arabia dan SPV di pulai Jersey di Inggris. Adanya keharusan dua SPV ini
karena belum adanya peraturan perundang-undangan di Saudi Arabia terkait
dengan sekuritisasi sehingga SPV Saudi Arabia tidak mengatur mengenai
bankruptcy remote.124 Berdasarkan pertimbangan itu, maka distruktur transaksinya
dengan adanya dua SPV.125
Akad yang digunakan dalam penerbitan Caravan I adalah ‚akad Ijarah sesuai
dengan persetujuan dari Yasaar Limited sebagai perusahaan jasa penasehat shariah

122
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council..., h.135
123
Peningkatan kredit (credit enhancement) sebesar 4,25% untuk equity tranche,
15,39% untuk overcollateralization, dan 8,77% untuk cash reserves. Bapepam-LK, Kajian
Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ..., h.45.
124
GIFR, Ibid
125
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation, International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 2 No. 3, (2009), h. 187-200 q
Emerald Group Publishing Limited

118
di Inggris‛. ‚Kegiatan underwriter dilakukan sepenuhnya oleh Shamil Bank of
Bahrain yang sekaligus juga sebagai pemegang saham dari GCC Co (Al-Karam)
pemilik underlying aset Fathi Taleb & Son ( Hanco Rent- A-Car). Sementara
penilaian aspek kesyariahan kegiatan underwriter tersebut telah memperoleh
persetujuan Syeh Nizam Yakubi dari Bahrain‛.126
Selanjutnya pada tahun 2006, Kingdom Installment Company (KIC)
menerbitkan sekuritas berdasarkan prinsip syariah. Sekuritisasi ini didukung oleh
perumahan real estate (MBS) Kerajaan Arab Saudi. 127 Penerbitan ini berjumlah
US $ 18,3 juta dan didukung oleh kumpulan US $ 23,5 juta untuk jangka waktu 14
tahun. Sertifikat ini dijamin oleh 28%, termasuk jaminan syariah oleh International
Finance Corporation 10% dari saldo pokok sukuk dan tambahan jaminan kerugian
yang setara dengan 10% dari jumlah nominal asli yang belum dibayar.128
Sekuritisasi KIC ini dipimpin oleh Standard Bank dan memiliki struktur yang sama
dengan pendahulunya (Caravan I).129

b. Uni Emirat Arab (UEA)

1) Tamweel PJSC
UEA merupakan pemain kunci kedua di GCC terkait sekuritisasi aset.
Pertama kali diterbitkan sekuritisasi pada bulan Mei 2005 oleh Emirates National
Securitization Corporation dengan jumlah US $ 350 juta. Sekuritisasi ini dilakukan
pemeringkatan dengan jaminan hipotek domestik yang berasal dari Tamweel PJSC
(Tamweel) dengan cara yang sesuai dengan Syariah. Kemudian pada tahun 2007,
Tamweel, melalui Tamweel Residential ABS CI (1) Ltd, mengeluarkan US $ 210
juta sertifikat yang didukung aset yang disekuritisasi secara true sale untuk
pertama kalinya di UEA dan wilayah GCC secara keseluruhan.130
Kesepakatan senilai $ 220 juta itu dilakukan atas nama Tamweel PJSC,
penyedia keuangan real estat di emirat Arab bersatu (UEA), dan dikelola oleh
emirat oleh National Securitization Corporation (ENSEC), sebuah perusahaan
sekuritisasi spesialis yang berbasis di Dubai, didirikan pada tahun 2004 untuk

126
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ..., h.46;
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global World,
(New York: Palgrave Macmillan, 2015);
127
Lihat,https://www.euromoney.com/article/b13222cr8wtb6q/middle-east-
securitization-hots-up-with-second-saudi-deal;
128
Debashis Dey and Claudio Medeossi, Asset-backed sukuk: Is the time right for
true securitisation? The challenges and untapped potential of asset-backed sukuk, Law firm
White & Case, 2017, https://www.whitecase.com/publications/insight/asset-backed-sukuk-
time-right-true-securitisation
129
International Finance Corporation, Structur Finance: Kingdom Installment
Company , 2015,
130
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council..., h.135

119
memfasilitasi sekuritisasi di wilayah tersebut. Morgan Stanley dan Standard
Chartered Bank bertindak sebagai underwriter.131
Akad yang digunakan adalah akad Istishna. Karena akadnya menggunakan
akad Istishna, maka Pemegang Sertifikat memiliki hak, kepemilikan, dan
kepentingan terhadap Aset Portofolio kecuali jika pengalihan hak, kepemilikan,
dan kepentingan tersebut dilarang oleh hukum yang berlaku. 132

2) Villamar Sukūk.
Struktur lain fitur sekuritisasi berdasarkan akad Mushārakah adalah Villamar
Sukūk. Villamar Sukuk dikeluarkan oleh Villamar Sukuk Company, entitas di
Cayman iland yang disponsori oleh Gulf Holding Company. Transaksi ini disusun
atas dasar Mushārakah sebagai bentuk pembagian keuntungan yang melibatkan
usaha patungan antara mitra.133 Transaksi ini dikelola oleh Merrill Lynch dan Al
Rajhi Banking and investment Corporation.
Struktur Villamar ini dilakukan dengan skema bahwa: (1) Akad yang
digunakan adalah musyarakah, dimana penerbit dan Perusahaan Proyek Real Estat
Perumahan (‚ed RSR‛) masing-masing menyertakan modal untuk tujuan usaha
mengembangkan perumahan. (2) Kontribusi penerbit sebesar USA$ 190.000.000,-
dan RSR sebagai Mitra Mushārakah memberikan kontribusi berupa Perjanjian
Lisensi poenyediaan tanah sebesar USA $ 100.000.000,- .Gabungan kontribusi
tersebut disebut ‚ Aset Musyarakah‛. (3) Proyek dibagi sesuai dengan rencana
bangunan, konfigurasi desain dan strategi pemasaran untuk tujuan Proyek. (4)
Penerbit akan bertindak sebagai wali amanat (‚wali amanat‛) sehubungan dengan
Aset perwalian untuk kepentingan Pemegang Sertifikat sesuai dengan pernyataan
kepercayaan. (5). Perjanjian Manajemen akan menetapkan bahwa Manajer
memiliki tanggung jawab utama untuk implementasi Rencana Bisnis Mushārakah.
RSR ed akan ditunjuk sebagai kontraktor dan manajer layanan independen
(‚Manajer‛) Mushārakah oleh issuer dan berwenang untuk bertindak atas nama
Mushārakah. (6). Setiap Sertifikat sukuk membuktikan kepemilikan manfaat yang
tidak terbagi dalam Aset trust yang dihitung secara pro-rata berdasarkan nilai
nominal Sertifikat sukuk dan akan menentukan peringkat pari passu dengan
Sertifikat sukuk lainnya.134

c. Aspek Hukum Sekuritisasi di Timur Tengah


Pada tahun 2014, Global Islamic Finance Report (GIFR) memberikan
kesimpulan bahwa secara umum di UEA tidak ada undang-undang yang secara
khusus menangani sekuritisasi piutang, kecuali di Kerajaan Saudi Arabia.135 Di
Kerajaan Arab Saudi pada tahun 2012 sudah memberlakukan undang-undang

131
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...
132
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council....h,137
133
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...,h. 138
134
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...,h.139
135
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council....

120
hipotek real estat.136 Undang-undang hipotek real estat terdiri dari paket lima
undang-undang terpisah, secara kolektif disebut sebagai Undang-Undang Real
Estat dan Pembiayaan.137 Paket undang-undang tersebut yaitu: 1. Peraturan
Hipotek Terdaftar Real Estat No. 49, tanggal 13/08 / 1433H (Undang-Undang
Hipotek). 2. Peraturan Sewa Pembiayaan No. 48, tanggal 13/08 / 1433H (Undang-
Undang Sewa Keuangan). 3. Undang-Undang tentang Pengawasan Perusahaan
Keuangan No. 51, tanggal 13/08 / 1433H (UU Perusahaan Keuangan). 4. Peraturan
Keuangan Real Estat No. 50, tanggal 13/08/1433 H (Undang-Undang Keuangan
Real Estat). 5. Peraturan Eksekusi No. 53, tanggal 13/08/1433 H (UU Eksekusi).138
Di antara substansi materi pengaturan undang-undang di atas terkait
permasalahan hukum yaitu mengenai pengawasan untuk melindungi kreditor,
debitur dan penjamin dalam proses kredit, pernyataan tentang sifat aset subjek
hipotek, prosedur kontrak hipotek, persyaratan yang harus dipegang dan kasus
kedaluwarsa, serta untuk menentukan hak-hak para pihak dalam kontrak hipotek
yang sesuai dengan hukum Islam.139 Substansi lainnya berupa pemberian
pembatasan kepemilikan asing atas aset yang disekuritisasi, dan setiap kegiatan
sekuritisasi wajib memperoleh izin dan sesuai dengan peraturan Otoritas Pasar
Modal (CMA/Capital Market Authority).140 Menurut Muhammad Meteb, yang
baru dalam hukum real estat tersebut adalah pembentukan hipotek /mortgage
(ketentuan Hak Tanggungan-pen) yang tidak pernah ada sebelumnya di
KerajaanArab Saudi.141
Peraturan perundang-undangan di UEA terkait dengan kegiatan sekuritisasi
khususnya dan keuangan syariah pada umumnya mengacu kepada ketentuan yang
diterbitkan pada tahun 2004. Pada tahun tersebut UEA mengubah konstitusi untuk
memungkinkan adanya pengaturan zona bebas finansial (Financial Free Zones),
yang dalam penerapannya tidak megikuti ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
peraturan dan regulasi UEA.142 Untuk itu dibuatlah peraturan Pusat Keuangan
Internasional Dubai (The Dubai International Financial Centre-DIFC). DIFC
adalah sistem hukum yang sejajar dengan sistem hukum Imarah Dubai (the
Emirate of Dubai) dan UEA, namun sistem hukum yang digunakan berdasarkan
common law dan berbahasa Inggris (‚dalam penyelesaian sengketa di pengadilan‛),
yang berbeda dengan ketentuan umum di UEA yang berlandaskan civil law yang

136
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai: implications
for Models of sharīʿah Compliance, Journal of Islamic and Near Eastern Law, Vol.15, No.1,
(2016), h.4. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2720737; Alotaibi
Mohamed Meteb, Securitization of internal debts with reference to Saudi Arabia,
International Journal of Business Management and Economic Research(IJBMER), Al Imam
Mohammad Ibn Saud Islamic University, Vol 9, No. 4, (2018), 1341. http://www.ijbmer.
com /docs/volumes/vol9issue4/ijbmer2018090405.pdf
137
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...
138
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...
139
Alotaibi Mohamed Meteb, Securitization of internal debts...h.1343
140
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation Council...h.138
141
Alotaibi Mohamed Meteb, Securitization of internal debts ..., h. 1345
142
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai... h.4.

121
bersumber dari syariah dan berbahasa Arab.143 Dalam Konstitusi UEA pada
umumnya memberikan wewenang eksklusif kepada pemerintah federal dan lokal
untuk mengatur daerahnya termasuk transaksi sipil, komersial, dan hukum
perusahaan (civil and commercial transactions and company law).144 Ketentuan
dalam DIFC berbeda dan ‚seoalah-olah memisahkan diri‛ dari ketentuan umum
UEA, dimana ketentuan DIFC sistem hukumnya berdasarkan common law dalam
batas-batas tertentu (the DIFC has set itself apart from the rest of the UAE by
establishing a common law system within its boundaries), bahkan ketentuan DIFC
ini mengakui hukum Inggris dan Wales sebagai sumber hukum lainnya yang bisa
dijadikan sumber penyelesaian sengketa.145 Produk pasar modal yang dijalankan
oleh Dubai Internasional Financial Center (DIFC), termasuk negara bagiannya,
harus mendasarkan pada pengaturan yang diterbitkan oleh Dubai Financial
Services Authority (DFSA).146 Di antaranya produk investasi kolektif yang
mengacu kepada Undang-undang Investasi Kolektif (Collective Investment Law)
dan peraturan DFSA terkait investasi kolektif (Collective Investment Rule).147
Menurut Balala, karakteritik dari penerbitan ABS di Timur tengah yaitu
adanya SPV sebagai bankruptcy remote yang juga seringkali berfungsi sebagai
issuer, dan transaksi pengalihan aset dilakukan secara true sale. Jenis aset yang
dialihkan terdiri dari aset berwujud dan aset tak berwujud. Selanjutnya, dalam
penerbitan ABS juga dijumpai adanya rating dengan adanya tingkat bunga yang
disyaratkan.148 Namun secara umum di GCC, persoalan hukum masalah sekuritisasi
yaitu meliputi SPV, pengalihan aset, biaya dan pajak, dan governing law.149

1) Struktur SPV Ganda (Dual SPV Structures)


Di antara rintangan terbesar yang dihadapi oleh para pihak yang terlibat
dalam melakukan sekuritisasi aset di wilayah teluk (GCC) yaitu terkait dengan
pembatasan kepemilikan asing atau keberlakuan hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan aset tersebut. Banyak undang-undang dalam GCC melarang entitas non
GCC membeli atau menyewakan aset, atau memaksakan batasan jumlah yang
dapat dimiliki oleh orang asing. Selain itu SPV yang berdomisili di Arab Saudi

143
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h. 6;
Jonathan Ercanbrack, The Transformation of Islamic Law in Global Financial Markets,
(UK: Cambridge University Press, 2015), h.274
144
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h. 7
145
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h.6-7
146
Perlakuan pengaturan keuangan Islam dalam DIFC ini menurut Ercanbrack
merefleksikan desain pengaturan dan hukum Neo-Liberal. Jonathan Ercanbrack, The
Transformation of Islamic Law in Global Financial Markets, UK: Cambridge University
Press, 2015, h.274
147
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global
World, (New York: Palgrave Macmillan, 2015);
148
STA Law Firm, United Arab Emirates: Mortgage And Asset Backed Securitiza-
tion....; Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ..., h.47
149
ibid

122
tidak mengatur ketentuan mengenai kebangkrutan (bankrupty remoote) dan juga
tidak dapat menerbitkan surat berharga. 150
Berkenaan hal di atas, upaya untuk menjalankan transaksi sekuritisasi EBA
di GCC dan Timur Tengah pada umumnya menstruktur sekuritisasi EBA dengan
menggunakan SPV ganda (dual SPV structures), yaitu SPV domestik dalam negeri
dan SPV internasional (off shore). Proses SPV ganda ini dilakukan dengan cara
melakukan perjanjian pendanaan antara SPV domestik dan SPV internasional (off
shore).151
Misalkan transaksi pada sekuritisasi Sun Finance. Pada saat penerbitan,
struktur SPV dibuat secara ganda di mana Sorouh (sebagai SPV) mentransfer tanah
dan menetapkan pembayaran angsuran terjadwal oleh sub-pengembang dan semua
hak terkait di bawah kontrak kepada Sorouh Abu Dhabi Real Estat LLC (PropCo),
sebuah perusahaan yang didirikan di Abu Dhabi, untuk bertindak sebagai mudharib
dari mudharabah dan untuk mengisolasi kumpulan aset dari Sorouh. Penerbit
kemudian memberikan pinjaman antar perusahaan kepada PropCo yang pada
gilirannya menciptakan kepentingan keamanan atas semua asetnya demi Wali
Amanat setempat yang bertindak atas nama Penerbit.152

2) Pengalihan Aset
Bentuk transfer yang paling umum adalah pengalihan piutang (assignment of
receivables) yang memungkinkan pemindahan semua hak, kepemilikan,
kepentingan, manfaat, dan hak dari penjual kepada pembeli. Untuk kesempurnaan
hukum pengalihan tersebut dapat dijalankan di UEA, maka kepemilikan secara
aktual dan penguasaan atas aset adalah prasyarat.153 Dengan demikian kepemilikan
aset secara sempurna menjadi dasar bolehnya pengalihan aset.
Proses pengalihan ini wajib tunduk pada Dubai Internasional Financial
Center (DIFC) yang diatur oleh Dubai Financial Services Authority (DFSA),
sebagaimana disebutkan dalam UU DIFC 8 tahun 2005 dan UU DIFC 4 tahun
2007.154 Sebagai contoh upaya sekuritisasi Tamweel pada tahun 2012 yang
mensyaratkan penjualan aset secara true sale berdasarkan hukum Dubai. Dalam
transaksi ini, sebuah SPV didirikan di DIFC untuk membeli properti dari Tamweel
sehingga investor dapat memanfaatkan jaminan keamanan DIFC dan sistem
pengadilan. Khususnya, masalah harga harus diterapkan terhadap pembelian
Properti. Berdasarkan Perjanjian Pembelian antara TRL dan Tamweel, Tamweel
setuju untuk menjual hak kepemilikan yang sah kepada Properti dan menugaskan
dan mengalihkan ke TRL, sebagai penerusnya sehubungan dengan Properti
tersebut, Aset Sewa dan Aset lain yang berkaitan dengannya.155
150
Global Islamic Finance Report (GIFR), Securitisation in the Gulf Cooperation
Council..., h.137
151
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation ..., h. 137
152
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation ....
153
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation ... h.137
154
Jonathan Ercanbrack, The Transformation of Islamic Law in Global Financial
Markets, UK: Cambridge University Press, 2015, h.287
155
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation ... h.137

123
3) Masalah Perpajakan dan Biaya dengan Sekuritisasi
Pajak atau bea yang harus dibayar sehubungan dengan penjualan atau
pengalihan aset selalu menjadi perhatian saat menyusun transaksi. Secara umum di
GCC, penataan pajak untuk sekuritisasi tidak sepenting elemen-elemen lain.
Namun di Arab Saudi, pembayaran oleh perusahaan atau individu dari penduduk
Arab Saudi ke non-penduduk Arab Saudi (seperti SPV lepas pantai) dikenakan
pajak pemotongan antara 5% dan 20% tergantung pada sifat dari bisnis. Pajak
pemotongan tidak berlaku untuk pembayaran yang dilakukan pada kontrak barang,
tetapi berlaku untuk pembayaran yang dilakukan untuk jasa, dan sebesar 5% pada
pembayaran bunga berdasarkan perjanjian pinjaman.156
Dengan demikian, seperti halnya dalam transaksi Sun Finance, struktur SPV
ganda diperlukan untuk mengurangi biaya perpajakan. Ada harapan bahwa
Undang-Undang Perusahaan Keuangan, yang membahas salah satu masalah utama
yang dihadapi oleh para pihak ketika menyusun transaksi keuangan yang aman
dan/atau terstruktur, yang secara eksplisit menyatakan bahwa pengalihan hipotek
di pasar sekunder akan dibebaskan dari biaya pendaftaran di sistem pendaftaran
properti riil akan segera diimplementasikan dalam praktik dan memberikan
keringanan perpajakan relatif yang diperlukan untuk mendorong ke depan
sekuritisasi. Selain itu, undang-undang tersebut memberi Dewan Menteri
kemampuan untuk memberikan insentif pajak untuk sekuritas yang diterbitkan
sehubungan dengan pembiayaan real estat. Dalam yurisdiksi tertentu, biaya
pendaftaran dan transfer dibayarkan yang juga harus diperhitungkan dalam biaya
transaksi. Misalnya di Dubai, Departemen Pertanahan Dubai mengenakan biaya
transfer 4% untuk transfer dan pendaftaran properti. Bergantung pada nilai
transaksi, biaya tersebut dapat menjadi substansial dan menghambat sehubungan
dengan melakukan transaksi tersebut. Dalam transaksi Tamweel 2012, biaya
transfer adalah kunci dan perlu dibahas antara Tamweel dan Departemen
Pertanahan Dubai.157

4) Hukum Yang Mengatur (governing Law)


Di UEA, berdasarkan UU Dubai No. 16 tahun 2011 diberlakukan dan
mengamandemen dasar yurisdiksi Pengadilan DIFC yang memperluas yurisdiksi
Pengadilan DIFC dengan menghilangkan persyaratan bagi penuntut untuk
membuat hubungan langsung dengan DIFC. Manfaat dari hal ini adalah bahwa
pihak dapat memilih untuk memiliki dokumen yang diatur oleh hukum DIFC (yang
dimodelkan dengan ketat pada standar internasional dan prinsip-prinsip hukum

156
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h. 7;
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation ... h.138
157
GIFR, Securitisation in the Gulf Cooperation

124
umum dan disesuaikan dengan kebutuhan unik kawasan) dibandingkan dengan
hukum Dubai yang didasarkan pada hukum perdata hukum.158
Sementara dalam transaksi Tamweel 2012, para pihak memilih pengadilan
DIFC sebagai hukum yang mengatur, sehubungan dengan perjanjian pembelian
yang relevan, dokumen-dokumen tersebut harus diatur oleh hukum Dubai, dan jika
berlaku hukum federal UEA. Alasan pemilihan hukum adalah karena fakta bahwa
sebagai aset yang berbasis di Dubai, hukum penjualan dan pengalihan aset ini harus
mematuhi hukum real estat Dubai.159
Hukum Arab Saudi mensyaratkan penjualan piutang diatur oleh hukum yang
sama dengan hukum yang mengatur piutang itu sendiri, karena pengadilan Saudi
dan pihak berwenang lainnya tidak secara tradisional mengakui pilihan hukum
asing terlepas dari apakah kontrak penjualan atau piutang itu sendiri diatur oleh
hukum asing.

5. MALAYSIA

a. Perkembangan EBA
Malaysia merupakan negara yang memiliki komitmen tinggi dalam
pelaksanaan keuangan syariah.160 Dalam kaitannya dengan sekuritisasi aset,
lembaga yang berperan dalam mengembangkan sekuritisasi aset di Malaysia adalah
National Mortgage Corporation atau yang biasa dikenal dengan ‚Cagamas Berhad‛
yang didirikan pada tahun 1986 oleh pemerintah Malaysia. 161
Inisiatif untuk mengembangkan pasar ABS dimulai pada tahun 1986 dengan
pembentukan Cagamas. Meskipun Cagamas didirikan untuk beroperasi seperti
Fannie Mae, yaitu untuk membeli hipotek tanpa jaminan dan menjual efek
berdasarkan hipotek ini, ia membeli hipotek dan menjual pinjaman dengan bantuan
dari lembaga penjual.162 Faktor kunci keberhasilan sekuritas Cagamas yaitu: (i)
kelayakan kredit yang tinggi dari obligasi Cagamas. Bank Negara Malaysia (BNM)
memiliki 20 persen dari modalnya dan sampai saat ini gubernur BNM memimpin
sebagai ketua; (ii) perlakuan atas sekuritasnya sebagai aset likuid berkualitas untuk
lembaga keuangan; (iii) pembebasan surat berharga dari persyaratan cadangan
wajib yang diberlakukan oleh BNM; (iv) pembebasan bea materai atas

158
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global
World, (New York: Palgrave Macmillan, 2015); GIFR, Securitisation in the Gulf
Cooperation ... h.138
159
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law ... h.156
160
Mohammad Ariff, Islamic Finance in Malaysia, (Kuala Lumpur: Pearson Malaysia
Sdn Bhd, 2017), h. 207
161
Cagamas Berhad, A Study of Mortgage-backed Securities Market in Malaysia:
Cagamas’ Experiance in Developing Mortgage-Backed Securities, dalam Ismail Della
(Edt), East Asian Finance, Selected Issues..., h.5
162
Obiyathulla Ismath Bacha, ‚Growth and Development of the Malaysian Islamic
Capital Market‛, dalam Mohammad Ariff, Islamic Finance in Malaysia..., h. 235

125
sekuritasnya; dan (v) kemudahan persetujuan yang diberikan kepada Cagamas oleh
Komisi Sekuritas (SC) dalam menerbitkan sekuritas utang.163
Sebagai bagian dari rencananya untuk mengembangkan pasar modal,
Pemerintah, melalui Securities Commission (SC) dan Bank Negara Malaysia
(BNM) melakukan upaya bersama untuk mengembangkan pasar ABS melalui
kolaborasi erat dengan sektor swasta dan peserta pasar modal. Untuk
mempromosikan penerbitan ABS, pada bulan Maret 2003, BNM memperkenalkan
"Standar Prudensial tentang Transaksi Sekuritisasi yang Didukung oleh Aset oleh
Institusi Berlisensi" untuk memfasilitasi partisipasi lembaga perbankan di pasar
ABS. Dua sorotan utama dari standar kehati-hatian adalah rincian persyaratan
modal dengan kriteria yang transparan. Lembaga perbankan dimungkinkan untuk
melakukan peran utama dan sekunder dalam penerbitan ABS tanpa perlu meminta
persetujuan secara khusus dari BNM. Standar ini mengatur kerangka kerja yang
mendorong perkembangan dan pertumbuhan pasar ABS di Malaysia.164
Meskipun volume ABS yang beredar pada akhir September 2005 (MR 14
miliar) hanya menyumbang 3 persen dari total nilai pasar obligasi Malaysia, pasar
ABS telah tumbuh dengan sangat baik. Pada tahun 2004 Malaysia
memperkenalkan transaksi inovatif termasuk ABS dengan underlying kartu kredit
dan juga sekuritas yang didukung hipotek perumahan (MBS). Pada Oktober 2004,
Cagamas melalui anak perusahaannya yaitu Cagamas MBS Berhad ("Cagamas
MBS"), meluncurkan transaksi RMBS pertama di negara itu yang didukung oleh
portofolio hipotek perumahan senilai RM1,9 miliar yang dilayani oleh pensiun dari
pensiunan pegawai sektor publik. Penerbitan yang pertama tersebut dinilai berhasil
dan banyak peminat dari investor regional terutama dari Hong Kong dan Singapura
tertarik dengan transaksi tersebut karena ditambah dengan imbalan yang
diharapkan dari Riggit Malaysia.165
Pada tahun 2005, transaksi sekuritisasi terus tumbuh dengan volume yang
terus meningkat. Pada bulan Februari, dua transaksi sekuritisasi Islam yang
inovatif diluncurkan dengan sukses. Pertama sekuritisasi surat berharga syariah
yang didukung oleh koleksi penilaian pajak properti dengan menggunakan kontrak
Mudharabah — kontrak investasi bagi hasil. Penerbitan kedua RMBS pada bulan
September 2005 oleh Cagamas yang didukung oleh pinjaman perumahan staf
Treasury menarik ukuran buku yang luar biasa sebesar RM13,5 miliar vis-à-vis
ukuran masalah RM2,05 miliar, menggarisbawahi selera investor yang kuat untuk
aset Pemerintah dan Syariah Investasi yang patuh. Selain memiliki perbedaan
menjadi MBS Islam pertama di dunia, transaksi ini menampilkan tranche paling
lama — 15 tahun — yang ditawarkan hingga saat ini berdasarkan prinsip Islam.
Investor lepas pantai juga memiliki minat yang tinggi dalam transaksi MBS Islami
sebesar 20% -25% dari penawaran yang dialokasikan untuk investor di luar
Malaysia, yaitu Hong Kong dan Singapura.166

163
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h. 28
164
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ...
165
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h. 29
166
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h. 30

126
Periode 3 tahun antara 2004 dan 2007 telah menyaksikan perkembangan dan
perkembangan yang cepat; RMBS pertama (Cagamas MBS, CMBS 2004-1)
dikeluarkan pada 2004 sedangkan Sukuk Islam berbasis ekuitas pertama (oleh PG
Municipal Asset Berhad) diterbitkan pada 2005, demikian juga CMBS yang
didukung perkebunan pertama (oleh Golden Crop Returns Berhad ). Meskipun
tidak diberi peringkat, sekuritisasi NPL pertama kali datang ke pasar pada tahun
2007, melalui 2 penawaran (dari Neptune ABS One Berhad dan Neptune ABS Two
Berhad).167 Sebagian besar aset keuangan yang di sekuritisasi Cagamas berasal dari
pinjaman konsumen seperti pinjaman kendaraan, pinjaman konsumen dan pinjaman
hipotek perumahan.
Pada awal 2008, Menara ABS Berhad menerbitkan sukuk Ijarah senilai
RM1,0 miliar - penerbitan surat berharga terbesar yang didukung properti - berasal
dari TM, dan didukung oleh portofolio 4 gedung perkantoran. Mirip dengan
transaksi yang dikeluarkan oleh ABS Real Estate Berhad (AREB) yang merupakan
transaksi CMBS pertama yang memasuki pasar pada tahun 2004. Transaksi
Menara ABS adalah gabungan antara struktur yang didukung CRE dan sewa
penyewa kredit; peringkat Tranche B Sukuk mencerminkan kemampuan pelayanan
hutang TM. Tidak seperti AREB, transaksi ini tidak menampilkan opsi pembelian
kembali yang biasa terlihat dalam transaksi CMBS lainnya. Terlepas dari kontrak
Islam yang mendasari untuk memfasilitasi perjanjian penjualan dan penyewaan
kembali, itu juga memungkinkan pemegang catatan ekuitas untuk secara aktif
berpartisipasi dalam struktur transaksi.168
Pada saat yang sama, pemegang sukuk Tranche C subordinasi memiliki opsi
untuk memberikan dukungan dana untuk transaksi dan memperbaiki peristiwa
pemicu. Ini menawarkan contoh bagus lainnya tentang bagaimana sekuritas
terstruktur dapat digunakan untuk memenuhi permintaan dan persyaratan spesifik
dari beragam investor. Al-Aqar Capital Sdn Bhd RM300 juta Program Sukuk
Ijarah, yang dikeluarkan pada Februari 2008, adalah CMBS pertama yang didukung
oleh aset khusus. Pencetusnya adalah REIT KPJ Al-Aqar, REIT berbasis layanan
kesehatan; jaminan terdiri dari 11 rumah sakit senilai RM660 juta.169

167
Nurayati Dabas & M Hariri Bakri, Islamic Securitization Conceptual Framework
in Malaysia, IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-487X,
p-ISSN: 2319-7668. Volume 20, Issue 12. Ver. V (2018), h.40 www.iosrjournals.org
168
Nurayati Dabas & M Hariri Bakri, Islamic Securitization Conceptual..., h. 41
169
Nurayati Dabas & M Hariri Bakri, Islamic Securitization Conceptual ...,h. 42

127
Gambar 3.11
Skema MBS Cagamas

Terdapat empat karakteristik dari mortgage-backed securities (MBS) yang


diterbitkan oleh Cagamas Berhad, yaitu: ‚1).Purchased with recourse: primary
lenders menanggung biaya jika terjadi kegagalan bayar (default) oleh debitur; 2).
Repurchase option during interest-review periods: lembaga keuangan diizinkan
untuk membeli kembali (repurchase) kredit mereka jika tingkat bunga yang
ditetapkan berbeda dengan acuan tingkat bunga yang ditetapkan oleh Cagamas
dalam kurun waktu tertentu; 3). Liquid: obligasi Cagamas diklasifikasikan sebagai
aset likuid pada neraca perusahaan; dan 4). Dana yang diperoleh dari penjualan
mortgage kepada Cagamas dibebaskan dari persyaratan yang ada dalam perundang-
undangan dan persyaratan likuiditas. Ini merupakan insentif yang diberikan kepada
bank sebagai originator yang melakukan sekuritisasi aset‛. 170
Ciri utama dari surat-surat utang yang diterbikan oleh Cagamas adalah
‚fixed conventional commercial floating paper, Islamic commercial paper, fixed
conventional medium-term notes, dan fixed and floating Islamic medium-term
notes‛.171

b. Aspek Hukum dan Kerangka Pengaturan EBA di Malaysia


Malaysia telah membuat kemajuan luar biasa dalam menciptakan lingkungan
yang menguntungkan untuk pengembangan pasar ABS. Namun, menurut Della,
masih ada beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian dari para pengambil
keputusan, baik terkait kerangka hukum dan peraturan, kerahasaiaan bank, maupun
masalah akuntansi dan pajak. 172
Pengaturan EBA di Malaysia diatur dalam berbagai perundang-undangan
sesuai dengan kewenangannya yaitu: Financial Services Act 2013 (FSA) dan
Islamic Financial Services Act 2013 (IFSA) dari BNM; Capital Markets and

170
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h. 28-29.
171
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan ...,
h. 29; Nabil Maghrebi, Abbas Mirakhor, Zamir Iqbal, Intermediate Islamic Finance,
(Singapore: John Wiley & Sons, 2016), h. 264;
172
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h.31

128
Services Act 2007 dari SC; Electronic Trading Platform dari Bursa Malaysia; dan
Companies Act 2016 & Labuan Companies Act 1990 (hukum Malaysia).173
Berdasarkan ketentuan pasal 32 Securities Commission Act 1993 (SCA),
yaitu ‚setiap penerbitan EBA harus memperoleh persetujuan dari Suruhanjaya
Sekuriti (SS)‛. Perusahaan yang akan menerbitkan sekuritisasi aset harus
memperhatikan ketentuan ‚Guidelines on The Offering of Islamic Securities‛ (‚the
IS Guidelines‟) dan ‚asset-backed debt securities‛ (‚the ABS Guidelines‛) yang
diterbitkan oleh SS pada tahun 2004.174 Kedua ketentuan tersebut pada dasarnya
mengatur mengenai i) Pedoman tentang Penawaran Efek yang Didukung Aset; ii)
Pedoman tentang Penawaran Pribadi Efek Utang; dan iii) Pedoman Penawaran
Efek Syariah.175
Perkembangan dan hal-hal penting dalam pengaturan EBA di Malaysia,
dapat dibandingkan seperti di bawah ini.176

Gambar 3.12
Perbandingan Perubahan Pengaturan EBA
Sebelum Tahun 2004 Setelah Tahun 2004
- Bobot risiko 10% di bawah - Bobot risiko 20% di bawah
kerangka rasio modal tertimbang kerangka rasio modal tertimbang
menurut risiko menurut risiko
- Status aset likuidasi kelas-1 dalam - Kelas-2A di bawah rasio cakupan
kerangka likuiditas likuiditas (LCR)
- 4% subsidi di bawah kerangka - Kerangka kerja likuiditas digantikan
likuiditas oleh rasio cakupan likuiditas
- Dibebaskan dari batas kredit - Tunduk pada batas kredit tunggal
tunggal nasabah (SCCL) nasabah (SCCL) sebesar 25% dari
- Modus perusahaan penerbitan total dana modal
utama yang diklasifikasikan sebagai - Cara penerbitan utama tidak melalui
aset berisiko rendah jaringan dealer utama
- Holding oleh perusahaan asuransi - Holding oleh perusahaan asuransi
diklasifikasikan sebagai aset diklasifikasikan sebagai fasilitas
berisiko rendah kredit
- Lembaga terdaftar dalam Undang- - Status orang terdaftar di Undang-
undang perbankan dan keuangan undang jasa dan pasar modal 2007
(BAFIA) (CMSA)
- Akses ke pasar uang antar bank - Akses ke pasar uang antar bank

173
Datuk Chung Chee Leong (President/Chief Executive Officer Cagamas Berhad),
Housing Finance Solutions, disampaikan dalam The 5th ASIAN Fixed Income Summit
2nd July 2018, Ulaanbataar, Mongolia.
174
Shafinar Ismail & Rosalan Ali, Asset-backed Securities as Attractive Financing
and Investment: The Malaysian Experience, 2014, h, 5. https://www.researchgate.
net/publication/265147041 atau file:///D:/sekuritisasi%20islam%20collection/Asset-
backed_Securities_as_Attractive_Financing_an%202019.pdf
175
Shafinar Ismail & Rosalan Ali, Asset-backed Securities as Attractive ....
176
Datuk Chung Chee Leong, Housing Finance Solutions ....

129
domestik (peserta korporasi domestik (peserta korporasi
tunggal) tunggal)

Ada banyak upaya dari pihak SC untuk membuat kerangka hukum dan
peraturan untuk transaksi ABS lebih jelas. Ini dibuktikan dengan kolaborasi antara
SC dan Komite Konsultasi Sekuritisasi Aset (‚ASCC‛) untuk memperbarui dan
mengubah pedoman ABS saat ini. Upaya bersama mereka membuahkan hasil pada
November 2002 ketika mereka merilis laporan berjudul "Jalan ke Depan untuk
Pasar Malaysia" untuk mengatasi masalah yang sering diangkat oleh peserta pasar
di bawah pedoman saat ini, dan proposal mereka untuk mengatasi masalah
tersebut.177
Masalah yang diangkat adalah area abu-abu di sekitar implikasi hukum
yang timbul dari pengalihan aset, khususnya piutang dan aliran masa depan, dan
ketentuan kerahasiaan perbankan terkait dengan aset keuangan. Laporan tersebut
menyoroti satu bidang utama mengenai dampak kepailitan originator/obligor,
penerbit atau SPV.178 Namun demikian menurut Balala, mengingat Malaysia
mendasarkan sistem hukumnya pada sistem common law yang menerima hukum
equity (law equity) dan konsep trust, maka Malaysia memperoleh keuntungan dan
kemudahan dalam proses pengalihan aset dari originator kepada trustee/SPV.179
‚... by transferring the assets in a securitisation to a trustee SPV as
opposed to non common law jurisdictions that must contend themselves with
selling the assets to SPV so as to attain remoteness of risk in the structure.‛180
Di samping itu menurut Balala, ‚signifikansi dan pentingnya hukum trust
untuk sekuritisasi sesuai prinsip syariah adalah memungkinkannya struktur
keuangan konvensional untuk direplikasi dalam keuangan Islam dan memfasilitasi
pengesahan hak manfaat dalam sekuritisasi aset atau piutang dari aset yang
mendasarinya untuk dicatat pemegang (investor), sementara hak hukum dipegang
oleh SPV‛.181 Dengan demikian, penggunaan struktur trust akan menyederhanakan
dan memfasilitasi kesepakatan sekuritisasi dalam yurisdiksi keuangan Islam
lainnya baik secara praktis maupun untuk tujuan kepatuhan syariah. Balala
menegaskan, ironisnya, ‚undang-undang properti di sebagian besar yurisdiksi
keuangan Islam Timur Tengah membatasi atau melarang kepemilikan asing atas
properti yang meniadakan kelayakan struktur "penjualan" atau memperkuat efek
penjualan hanya sebagai masalah formalitas‛.182
Dalam pedoman ABS memang tidak secara tegas menyebutkan bentuk
hukum SPV, trust atau sejenisnya. Tetapi apabila ada SPV yang didaftarkan di
Labuan (international offshore financial centre) dianggap sebagai badan hukum

177
Rating Agency Malaysia, Asset-Backed Securities Market in Malaysia, dalam
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h.10-11
178
Rating Agency Malaysia, Asset-Backed Securities Market in Malaysia, dalam
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h.11-12
179
Maha-Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.166
180
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.167
181
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.166
182
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.167

130
oleh hukum Malaysia dengan tujuan terkait perpajakan. SPV yang didirikan di
Labuan harus tunduk pada ketentuan yang ada seperti kewajiban untuk
menerbitkan EBA dalam mata uang Ringgit Malaysia apabila ditujukan untuk
domestik. Begitu juga ketentuan tentang originator harus merupakan badan hukum
Malaysia. Untuk ketentuan terakhir, SS memberikan pengecualian jika originator
merupakan perusahaan asing anak dari perusahaan Malaysia.183
Dalam hal ini, dapat juga dicatat bahwa, meskipun Malaysia mewarisi
konsep trust sebagai konsep common law, trust tersebut merupakan konsep yang
mapan dalam Hukum Islam yang diterapkan dalam ranah sosial melalui wakaf yang
memungkinkan pembagian harta benda atas dasar kepemilikan yang berbeda dan
oleh badan hukum yang berbeda.184
Semua sekuritisasi Islam membutuhkan pembentukan hutang selama mode
pembiayaan berbasis-jual-beli untuk kondisi-kondisi berikut:185 ‚i) Aset yang dijual
atau disewa harus nyata, bukan fantasi atau teoretis; ii) Lessor atau penjual harus
memiliki atau memiliki barang dagangan untuk disewa atau dijual; ii) Kesepakatan
tersebut haruslah perjanjian perdagangan nyata dengan tujuan lengkap untuk
mengambil dan memberikan pengiriman iv) Hutang tidak dapat dijual dan
akibatnya, risiko yang terkait dengannya harus ditanggung oleh pemberi pinjaman
sendiri. Selain itu, aset tersebut halal (halal) berkenaan dengan syariah. Lebih jauh,
aset tersebut bermanfaat bagi umat Islam dan bahwa penjual memiliki kepemilikan
atas aset tersebut.‛

Masalah Akuntansi dan Pajak


Dewan Standar Akuntansi Malaysia ("MASB") sampai tahun 2006 belum
mengeluarkan pedoman standar tentang transaksi sekuritisasi aset. Namun
demikian, mereka telah mengadopsi standar akuntansi tertentu yang relevan dari
Standar Akuntansi Internasional (‚IAS‛) untuk sekuritisasi aset, khususnya IAS 39
— Instrumen Keuangan.186
Dengan komitmen yang tinggi dalam mempromosikan sekuritisasi aset,
regulator Malaysia membuat kemajuan dalam bidang akuntansi dan masalah pajak
lainnya selama beberapa tahun terakhir. Dalam laporan bersama yang dirilis oleh
SC dan ASCC pada November 2002, SC merekomendasikan satu pengaturan
prinsip pajak yang berlaku untuk transaksi sekuritisasi bagi berbagai pihak yang
terlibat.187

183
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.168-169
184
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h.167
185
Nurayati Dabas & M Hariri Bakri, Islamic Securitization Conceptual Framework
in Malaysia, IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-487X,
p-ISSN: 2319-7668. Volume 20, Issue 12. Ver. V (December. 2018), PP 40-44
www.iosrjournals.org
186
Rating Agency Malaysia, Asset-Backed Securities Market in Malaysia, dalam
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h.12
187
Rating Agency Malaysia, Asset-Backed Securities Market in Malaysia, dalam
Ismail Della (Edt), East Asian Finance, Selected Issues ..., h.12

131
6. PELAKSANAAN SEKURITISASI ASET DI INDONESIA

1. Perkembangan Penerbitan Sekuritisasi di Indonesia


Sekuritisasi aset dalam bentuk EBA sudah dilaksanakan oleh perusahaan-
perusahaan Indonesia sebagai originator, walaupun pelaksanaan sekuritisasi
tersebut dilakukan di luar negeri. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang telah
melakukan sekuritisasi di luar negeri, yaitu:188 ‚a. Citibank NA, Cabang Jakarta
telah melakukan sekuritisasi atas tagihan kartu kreditnya pada tahun 1995 sampai
dengan 1997; b. PT Astra Sedaya Finance melakukan sekuritisasi tagihan kredit
kendaraan bermotornya pada bulan Juni 1996; c. PT Bunas Finance Indonesia Tbk
melakukan sekuritisasi tagihan kredit kendaraan bermotornya pada bulan Februari
1997; d. PT Astra International Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit
mobilnya pada bulan Juni 1997; e. PT Bank Bira Tbk melakukan sekuritisasi
tagihan kredit kendaraan bermotornya pada bulan Maret 1997; f. PT Bank
International Indonesia melakukan sekuritisasi tagihan kartu kredit mendatangnya
pada bulan Juli 1997; g. PT Putra Surya Multidana Tbk melakukan sekuritisasi
tagihan kredit mobil dan sepeda motornya pada bulan Oktober 1997; dan h. PT
Kaltim Prima Coal melakukan sekuritisasi tagihan ekspor mendatangnya pada
tahun 2004‛.
Tabel 3.1
Sekuritisasi EBA Perusahaan Indonesia Di Luar Negeri 1995-2004

No Originator Tahun Underlying


1 CitiBank NA Cabang 1995-1997 Tagihan Kartu Kredit
Jakarta
2 PT.Astra Sedaya Finance 1996 Tagihan Kredit Kendaraan
Bermotor
3 PT.Bunas Finance 1997 Tagihan Kredit Kendaraan
Indonesia Bermotor
4 PT.Astra Internasional 1997 Tagihan Kredit Mobil
5 PT.Bank Bira 1997 Tagihan Kredit Kendaraan
Bermotor
6 PT.Bank Internasional 1997 Tagihan Kartu Kredit
Indonesia
7 PT.Putra Surya Multi Dana 1997 Tagihan Kredit mobil &
Sepeda Motor
8 PT.Kaltim Prima Coal 2004 Tagihan Ekspor Mendatang

Sementara itu, perusahaan di Indonesia yang telah menjadi originator dan


pelaksanaan sekuritisasinya di dalam negeri yaitu PT Bank Tabungan Negara Tbk,
PT. Bank Mandiri, Tbk dan PT. Bank BRI,Tbk dengan penerbit PT. Danareksa

188
Sri Liani Suselo, ibid

132
Investment Management dan PT. Sarana Multigriya Finansial (SMF).189 Sejak
2009 sampai dengan awal 2018, penerbitan EBA di dalam negeri sebanyak 12 kali.
Sebanyak 7 kali dalam bentuk KIK-EBA dan sebanyak 5 kali dalam bentuk EBA-
SP. Untuk penerbitan KIK-EBA, sebanyak 5 kali penerbitan dilakukan oleh
penerbit Danareksa Investment Managemen dengan originatornya Bank Mandiri
sebanyak 5 kali dan dengan BRI sebanyak 2 kali. Untuk EBA-SP, sudah dilakukan
penerbitan sebanyak 5 kali melalui Penerbit SMF dengan originatornya BTN
sebanyak 4 kali dan Bank Mandiri sebanyak 1 kali.190 Adapun nilai nomina dari 12
kali penerbitan tersebut keseluruhannya sebesar Rp.10,155 M (10,1 Triliun), terdiri
dari KIK-EBA sebesar Rp5,4 Triliun dan EBA-SP sebesar Rp4,7 Triliun.191
Seluruh EBA-SP tersebut mendapatkan rating idAAA dari Pefindo. Rating
tersebut mencerminkan kemampuan untuk membayar kewajiban secara tepat
waktu yang sangat kuat dan risiko default yang rendah.192 Untuk rinciannya lihat
tabel di bawah ini.

Tabel 3.2
Perkembangan Transaksi Sekuritisasi EBA 2009 – 20018
No Nama Tgl Penerbit Tranche Rating Nominal Kupon Tenor
EBA Terbit (Rp Miliar) (Thn)
1 EBA 11/02/2 KIK-EBA Kls A Aaa.id 100 13% 5
DSMF01 009 Danarekas- Kls B 11
BRI
2 EBA 10/11/2 KIK -EBA Kls A idAA 360 11% 5
DSMF02 009 Danareksa- Kls B 31
BRI

3 EBA 27/12/2 KIK-EBA Kls A idAA 688,5 9,25% 5


DBTN01 010 Danareka Bank Kls B 61,5
Mandiri
4 EBA 16/11/2 KIK-EBA Kls A idAA 645 8,75% 5
DBTN02 011 Danareksa- Kls B 58
Bank Mandiri

5 EBA 12/12/2 KIK-EBA Kls A idAA 925 7,75% 5


DBTN03 012 Danareksa- Kls B 75
Bank Mandiri

6 EBA 20/12/2 KIK-EBA Kls A1 IdAAA 403 8,90% 3


DBTN04 013 Danareksa- Kls A2 525 9,50% 5
Bank Mandiri Kls B 72

7 EBA 2/12/20 KIK EBA Kls A1 IdAAA 723,5 10 % 2


DBTN05 14 Danareksa Kls A2 647,5 10,2% 3
Bank Mandiri Kls B 129

189
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/smf-dan-btn-terbitkan-
eba-sp-btn04-senilai-rp2-triliun/
190
Sumber: http://smf-indonesia.co.id/produk-investasi/efek-beragun-aset/
191
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/smf-dan-btn-terbitkan-
eba-sp-btn04-senilai-rp2-triliun/
192
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/smf-dan-btn-terbitkan-
eba-sp-btn04-senilai-rp2-triliun/

133
EBA-SP 27/11/2 SMF Kls A IdAAA 181,6 8,6 % 4
8 SMFBTN01 015 Kls B 18,4

9 EBA-SP 25/08/2 SMF Kls A IdAAA 103,5 8,60% 3


SMFBMRI01 016 Kls A1 353 9,10% 5
Kls B 43,5

EBA-SP 31/10/2 SMF Kls A1 idAAA 400 8,15% 2


10 SMFBTN02 016 Kls A2 513 8,75% 5
Kls B 87

11 EBA-SP 28/04/2 SMF Kls A1 idAAA 200 8,00% 2


SMFBTN03 017 Kls A2 713 8,40% 4
Kls B 87

12 EBA-SP 28/02/2 SMF Kls A1 idAAA 700 7,00% 2


SMFBTN04 018 Kls A2 1.124 7,50% 5
Kls B 176

Sumber: PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero)

EBA-SP merupakan instrumen yang dikeluarkan oleh PT. SMF dan


ditetapkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.20/POJK.04/2017
juncto POJK 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Pelaporan Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) dalam Rangka Pembiayaan
Sekunder Perumahan.193 Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan juga telah
menerbitkan POJK Nomor 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan
EBAS-SP per 10 November 2015. Peraturan tersebut menggantikan Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tentang Penerbitan Efek Syariah tanggal 30 Juni 2009. POJK
tersebut merupakan penyempurnaan peraturan pasar modal syariah untuk
mendorong perkembangan industri efek berbasis syariah di pasar modal
Indonesia.194
Keuntungan berinvestasi di EBA-SP dibanding instrument investasi lainnya
adalah bahwa EBA-SP termasuk instrumen yang dipersamakan dengan surat
berharga negara (SBN) sesuai kriteria ketentuan POJK Nomor 36/2016. EBA-SP
yang diterbitkan SMF memiliki rating AAA dari Pefindo, dimana rating tersebut
mencerminkan kemampuan dan kemauan untuk membayar kewajiban tepat waktu
sangat kuat.195 Di samping itu, EBA-SP merupakan suatu entitas yang memiliki
NPWP sendiri, berbeda dengan obligasi yang limit nya dilihat dari SMF secara
Korporasi.196 Dengan demikian, EBA-SP tidak dilihat dari limit korporasi penerbit

193
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/smf-dan-btn-terbitkan-
eba-sp-btn04-senilai-rp2-triliun/
194
Sumber: http://smf-indonesia.co.id/press-release/kolaborasi-smf-btn-syariah-siap-
menerbitkan-ebas-sp-kpr-ib-pertama-di-indonesia/
195
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/press-release/tingkatkan-basis-investor-
dokestik-smf-terus-sosialisasikan-eba-sp/
196
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/press-release/tingkatkan-basis-investor-
dokestik-smf-terus-sosialisasikan-eba-sp/

134
tetapi dilihat dari limit EBA-SP sendiri. Hal ini berbeda dengan obligasi yang
dilihat hanya dari limit emiten sebagai penerbitnya.197
SMF merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di bawah
Kementerian Keuangan, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), mengemban
tugas untuk membangun dan mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder
Perumahan melalui sekuritisasi dan pembiayaan. Untuk dapat memberikan manfaat
yang lebih luas, SMF juga mendukung peningkatakan kapasitas penyaluran PPR
Syariah di Indonesia.198
Penerbitan EBA oleh SMF dari Tahun 2009 sampai dengan 2019.199

Gambar 3.13
Skema KIK EBA

Sumber: SMF

2. Praktik Mekanisme Sekuritisasi EBA di Indonesia


Sebagaimana dijelaskan pada Bab II, bahwa pelaksanaan sekuritisasi EBA
di Indonesia memiliki dua bentuk hukum yaitu KIK-EBA dan EBA-SP. KIK
secara yuridis merupakan bentuk hukum yang memiliki persamaan dengan SPV
sebagaimana yang berkembang di luar negeri. KIK dipersamakan dengan SPV
karena bersifat sementara dan dapat di budel pailitkan dari risiko bankrutnya
kreditur asal. KIK dianggap sebagai subjek hukum dengan ciri-ciri yaitu ada
NPWP sebagai wajib pajak dan ada pengurusnya.200

197
Sumber:http://smf-indonesia.co.id/press-release/tingkatkan-basis-investor-
dokestik-smf-terus-sosialisasikan-eba-sp/
198
PT. SMF, Kebijakan dan Prosedur Operasional Standar Pembiayaan Modal Kerja
(PMK) Perumahan Syariah, (Jakarta: SMF, 2018); lihat juga http://smf-indonesia.co.id/
berita-kegiatan/berita/perkuat-volume-penyaluran-pembiayaan-pemilikan-rumah-ppr-
syariah-smf-luncurkan-sop-ppr-syariah/
199
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019;
dan wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020.
200
Lihat, Sutan Remy Sjahdeini, Asset Backed Securitization dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (Jakarta: R&P, 2005); dan Dinda Imani Khamasasiyah, dkk, ‘Analisa Hukum
Penggunaan Special Purpose Vehicle untuk Sukuk Korporasi di Indonesia: Usaha

135
Bentuk kedua dari sekuritisasi EBA adalah EBA dalam bentuk SP. EBA-SP
ini merupakan sekuritisasi aset di luar mekanisme KIK-EBA. Dasar hukum EBA-
SP yaitu ‚Peraturan Presiden No 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder
Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1 tahun
2008‛.201
Dalam peraturan tersebut, EBA diartikan sebagai ‚surat berharga yang dapat
berupa Surat Utang dan Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit yang
pembayarannya terutama bersumber dari Kumpulan Piutang‛. ‚Kumpulan Piutang
adalah keseluruhan Aset Keuangan yang dibeli oleh Penerbit dari Kreditor Asal‛.
‚Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak
agunan yang melekat padanya‛.
Tabel 3.3
Perbedaan KIK EBA dan EBA-SP
Hal KIK SP
Aset a. Aset keuangan; Aset Keuangan (Kredit
Tagihan SB Komersial, kartu kredit, Pemilikan Rumah)
timbul di kemudian hari, dari
pemberian kredit
b. Efek bersifat hutang dijamin
pemerintah
c. Sarana peningkatan kredit
d. Arus kas di amsa mendatang/suara
berharga
e. Pendaparan di masa mendatang/surat
berharga hak
f. Aset keuangan setara lain
Jual Beli Jual beli putus secara hukum, akuntansi Jual beli putus secara
(opsional) hukum dan akuntansi
a.n. Aset Bank Kustodian Wali Amanat
Pihak a. Originator a. Originator
b. Servicer b. Servicer
c. Manajer Investasi (Penerbit) c. PT SMF (Penerbit)
d. Bank Kustodian d. Manajer Investasi
e. Credit Enhancer (optional) e. Bank Kustodian
f. Investor f. Credit Enhancer
(optional)
g. Investor
Sumber: OJK Pasar Modal Syariah

Peningkatan Jumlah Investor’ dalam OJK & IAEI, Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum
Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah IV, (Jakarta: OJK, 2015), h.33-61
201
Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan sekuritisasi antara lain
Peraturan Presiden No.1 tahun 2008 jo Peraturan Presiden No.19 tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan.

136
3. Penerbitan efek Beragun Aset Syariah oleh SMF
Pada bulan Desember tahun 2019 merupakan akhir cerita panjang proses
penerbitan EBA Syariah. Hal ini diawali dengan telah ditandatanganinya penjualan
aset pembiayaan yang dimiliki oleh BMI kepada SMF, yang kemudian SMF akan
menindaklanjuti dengan menerbitkan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-
SP). Pada tahap pertama ini jumlah aset pembiayaan yang dijual oleh BMI kepada
SMF nilainya sebesar Rp 100 Miliar.202 Nilai tersebut berasal dari pembiayaan
yang dilakukan oleh BMI kepada nasabahnya dengan menggunakan akad
musyarakah mutanaqishah.
Adapun struktur awal EBAS-SP KPR iB BMI ini secara rinci sebagai
berikut:

Tabel 3.4
Struktur Awal EBA-SP KPR IB
Skema Efek beragun Aset Syariah berbentuk Surat Partisipasi
(EBAS-SP)
Aset dasar Kumpulan tagihan KPR Syariah yang memenuhi 32 kriteria
seleksi
Nominal pernerbitan s.d Rp100 miliar
Struktur EBA-SP Kelas A • Ditawarkan kepada investor melalui penawaran umum.
(Senior) • Diterbitkan dalam 1 seri dengan perkiraan nominal dan
jangka waktu sbb :
Sebesar s.d Rp 90 Miliar dengan target Tenor WAL 3 tahun
Kupon SUN + (TBD) bps
Kelas Subordinasi  Ditawarkan kepada investor melalui penawaran terbatas.
(dalam rangka mendukung  Kelas B sebesar s.d Rp10 Miliar.
kelas A)
Struktur Pembayaran Margin • Kelas A memiliki hak untuk dibayar terlebih dahulu
& Pokok secara passthrough. daripada Kelas B pada tiap Tanggal Pembayaran.
• Pembayaran Margin kelas A tetap sesuai Kupon yang
ditetapkan di awal.
• Pembayaran Pokok sesuai penerimaan pokok dari Kumpulan
Tagihan dimana Kelas A akan memperoleh pembayaran
terlebih dahulu, dan Kelas B setelah Kelas A terbayar penuh
/ saat diambilnya opsi clean up call oleh Kreditur Asal
Sumber pembayaran Terbatas pada cicilan pembayaran KPR Syariah ditambah hasil
investasi (terbatas pada deposito) hasil koleksi KPR Syariah
sebelum tanggal pembayaran margin.
Target Rating EBA-SP Kelas id AAA (Kelas A), Unrated (Kelas B) by Pefindo
A&B
Target closing Week 4 – Desember

202
Wawancara dengan Tim UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020 dan wawancara
dengan BMI tanggal 6 Januari 2020.

137
Contoh Profil KPR Bank IB yang disekuritisasi
Total Saldo KPR Terhutang (IDR) 100,000,987,766
Total Debitur KPR 821

Pinjaman KPR Terbesar (IDR) 640,009,465


Pinjaman KPR Terkesil (IDR) 50,014,549
Rata-rata Pinjaman KPR (IDR) 121,803,883

Rata-rata Tertimbang Umur KPR (Bulan) 68.8


Rata-rata Tertimbang Sisa Umur KPR (Tahun) 5.73
Tanggal jatuh Tempo Terpanjang Sunday, August 26, 2029

Rata-rata tertimbang LTV Awal (%) 66.77%


Rata-rata tertimbang LTV Saat ini (%) 43.86%

Maksimum LTV Awal (%) 90.00%


Maksimum LTV Saat ini (%) 80.84%
Rata-rata Tertimbang Tingkat Bunga 13.18%

B. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENERAPAN EBA


Konvergensi sistem hukum konvensional dengan sistem hukum syariah
menunjukkan bahwa keuangan Islam diterima dan disesuaikan dalam yurisdiksi
konvensional.203 Kerangka hukum merupakan komponen penting dalam
mengembangkan suatu industri, khususnya industri keuangan. Kerangka hukum
yang kondusif memfasilitasi dan menopang pertumbuhan industri akan
memberikan kepastian, transparansi, dan kepercayaan kepada para pemangku
kepentingan dan penerima manfaatnya.204
Secara umum, kerangka hukum menunjukkan seperangkat aturan
konstitusional atau yuridis yang membentuk suatu kesepakatan bersama di
masyarakat mengenai tindakan-tindakan tertentu baik terkait dengan persoalan
politik, ekonomi maupun aspek lainnya. Menurut Mc Millen, kerangka hukum
yang efektif mewujudkan seluruh konsep aturan hukum yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah yang sah.205 Menurut para ahli, terdapat tiga
sistem hukum dalam pelaksanaan keuangan syariah di berbagai negara. Ketiga
sistem hukum tersebut yaitu sistem common law, sistem civil law, dan sistem
Syariah.206 Pendekatan yang diadopsi di seluruh dunia terhadap kerangka hukum
dan peraturan untuk keuangan Islam terdapat empat pendekatan, yaitu:207

203
Marjan Muhammad (edt), Islamic Financial System, Principle and operation
(Kuala Lumpur: ISRA, 2016), Edisi ke-2, h. 761
204
Marjan Muhammad (edt), Islamic Financial System..., h. 761
205
Marjan Muhammad (edt), Islamic Financial System..., h. 761
206
Asyraf Wadji Dusuki (chief Editor), Sistem Keuangan Islam-Prinsip dan Operasi,
(Jakarta: Rajagrafindo, 2016), h. 895
207
Marjan Muhammad (edt), Islamic Financial System..., h. 769;

138
Tabel 3.5
Pendekatan Kerangka Pengaturan untuk Keuangan Islam
No Pendekatan Negara
1 Menerapkan kerangka hukum konvensional Aljazair, Australia,
yang sama yang ada untuk keuangan Islam. Kanada, Cina, Mesir,
Dampak dari pendekatan ini adalah bahwa Jerman, Maladewa,
tidak ada perubahan yang dilakukan untuk Rusia, Saudi Arabia,
memenuhi keuangan Islam dalam undang- Singapura, Afrika
undang yang ada Selatan, Switzerland dan
Amerika Serikat.
2 Menyesuaikan atau mengubah kerangka Bahrain, Bangladesh,
hukum yang ada, terutama melalui undang- Djibouti, Yordania,
undang sendiri atau menyisipkan ketentuan Mauritius, Nigeria,
dalam peraturan perundang-undangan ada - Pakistan, Qatar, Sri
dengan mempertimbangkan kekhususan Lanka, Turkey dan
keuangan Islam, untuk mengakomodasi Inggris
bidang keuangan yang baru ini
3 Membuat kerangka hukum yang benar-benar Afghanistan, Brunei,
baru dan terpisah, di mana hukum baru untuk Gambia, Indonesia,
keuangan Islam tersebut berjalan ber- Kuwait, Kazakhstan,
dampingan dengan hukum konvensional Lebanon, Malaysia,
Philipina, Suriah,
Thailand, Tunisia, UEA
dan Yaman
4 Menyusun kerangka hukum keuangan Islam Sudan dan Iran
tersendiri dengan mengubah sistem keuangan
konvensional menjadi sistem Islam

Sementara menurut Paul Lee, terdapat tiga model regulasi keuangan


syariah, yaitu model berbasis sistem (systems-based model), model terpusat
(centralized model) dan model kesetaraan kompetitif (a model of competitive
equality).208 Contoh model berbasis sistem adalah sistem hukum yang dijalankan di
Dubai berdasarkan peraturan Pusat Keuangan Internasional Dubai (The Dubai
International Financial Centre-DIFC). Model terpusat adalah Malaysia, dan model
kesetaraan kompetitif adalah USA dan Inggris.209
Dari beberapa negara yang menjalankan kegiatan transaksi EBA di atas--
yaitu Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab,
Malaysia dan Indonesia – dari pendekatan kerangka hukum di atas, maka
kecenderungan dalam sistem hukum EBA menurut penulis dapat dikelompokkan
pada tiga pendekatan yaitu:
a. Menerapkan kerangka hukum konvensional yang sama yang ada untuk
keuangan Islam. Dampak dari pendekatan ini adalah bahwa tidak ada perubahan

208
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h 7
209
Paul Lee, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai..., h 7

139
yang dilakukan untuk memenuhi keuangan Islam dalam undang-undang yang
ada (Saudi Arabia dan Amerika Serikat)
b. Menyesuaikan atau mengubah kerangka hukum yang ada, terutama melalui
undang-undang sendiri atau menyisipkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang ada - dengan mempertimbangkan dan mengakomodasi
kekhususan keuangan Islam (Inggris dan Indonesia).
c. Membuat kerangka hukum yang benar-benar baru dan terpisah, di mana hukum
baru untuk keuangan Islam tersebut berjalan berdampingan dengan hukum
konvensional (UEA, dan Malaysia)
Dari penjelasan perkembangan EBA dapat dikaji lebih mendalam bahwa
dalam penerapan sekuritisasi EBA di beberapa negara terdapat dasar hukum dan
permasalahan yang beragam. Secara umum beberapa persoalan dimaksud
sebagaimana dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3.6
Dasar Hukum dan Permasalahan Penerapan EBA di Beberapa Negara
No Negara Uraian
1 USA  Anglo Saxon campuran
 Pengalihan Aset/true sale
 Kelembagaan Trust/SPV
 Pass-Through dan Pay Through
 Pajak dan biaya-biaya
2 Inggris  Common law
 Perlakuan sama dengan konvensional (a level
playing field)
 Undang-undang tidak berdiri sendiri
 Pengaturan: kecukupan modal, true sale, dan the
bankkruptcy remoteness.
3 Korsel  Civil Law
 UU tersendiri (UU ABS dan UU MBS)
 Penerbit tersendiri
 Aset beragam termasuk CDO
 Lembaga pendukung: Rating, Kliring, supervisory
4 Timur Tengah  Common Law (untuk Bisnis) & Civil Law (selain
(KSA & GCC) Bisnis)
 KSA sudah ada undang-undang tersendiri, GCC
belum ada pengaturan terpisah
 Dual SPV
 Pengalihan aset
 Pajak dan biaya-biaya
 Governing law
5 Malaysia  Common law
 UU Keuangan Islam tersendiri

140
 Transfering aset
 Kerahasaiaan bank
 Akuntansi dan perpajakan
 Jaminan finansial
6 Indonesia  Civil law
 True sale
 SPV
 Terdapat pendukung transaksi
Sumber: Diolah penulis

Apabila melihat permasalahan hukum dari masing-masing negara yang


sudah dijelaskan, nampak dalam pelaksanaan EBA memiliki bentuk dan sifat yang
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Secara umum permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kumpulan aset yang menjadi dasar penerbitan EBA


Agar terjadi proses sekuritisasi EBA, maka hal utama yang harus ada
adalah aset yang akan menjadi dasar penerbitan EBA. Aset yang menjadi dasar
penerbitan EBA ini di beberapa negara memiliki keragaman bentuk. Aset tersebut
ada yang berupa real aset dan ada juga finansial aset.210 Dari masing-masing aset
tersebut juga memiliki variasi dalam penerapannya antara satu negara dengan
negara lain tergantung ketentuan perundang-undangan dari masing-masing negara.
Keragaman aset tersebut sebagaimana tabel berikut.

Tabel 3.7
Jenis Aset EBA di beberapa Negara
No Negara Aset EBA
1 Amerika Serikat  Awalnya mortgage (KPR).
 Kemudian : Tagihan Kartu Kredit, Pinjaman
Otomatis, Sewa Mobil, Pinjaman Mahasiswa,
Pinjaman Ekuitas Rumah, dan Pinjaman Perumahan
yang Diproduksi.
2 Inggris  Residential Mortgage, Commercial Mortgage,
Maintenance Leases, Auto Receivables, Swap
Receivable, Unsecure Personal Loans, Arrears
Mortgage, dan Residential Second Mortgage (1985-
1993).
 CMBS (Residential Mortgage Backed Securities), Car
loans, Credit Card, dan Collateral Debt Obligation
(CDO (2015)
3 Korea Selatan  Aset hipotik perumahan (MBS), piutang dagang,

210
Engku Rabiah Adawiah Engku Ali, Issues in Islamic Debt Securitization, dalam
Moh Daud Bakar & Engku Rabiah Adawiah, Essensial Reading Islamic Finance, (Kuala
Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008), h. 460-470

141
kredit mobil, piutang kartu kredit, pinjaman KTA,
piutang pinjaman yang berkaitan dengan pembiayaan
proyek real estat, dan penerimaan mata uang asing
maskapai.
 Kewajiban hutang kolateral sintetik (collateralised
debt obligation-CDO).
 Kartu kredit, piutang kendaraan, dan piutang tiket
udara dan cargo (2017)
4 Timur Tengah  Kumpulan kendaraan dengan perjanjian sewa
kendaraan (vehicle lease agreements), dan perumahan
real estate (Kerajaan Arab Saudi).
 Proyek Real Estat Perumahan dan KPR (UEA)
5 Malaysia Residential Mortgage, Commercial Mortgage, Auto
Loans And Leases, Consumer Loans, Trade Receivable,
Corporate Loans, dan Project Finance Loan
6 Indonesia a) tagihan yang timbul dari surat berharga komersial;
b) tagihan kartu kredit;
c) tagihan yang timbul di kemudian hari;
d) tagihan yang timbul dari pemberian kredit;
e) Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah;
f) Sarana Peningkatan Kredit;
g) Arus kas di masa mendatang atau surat berharga
hak atas arus kas di masa mendatang;
h) Pendapatan di masa mendatang atau surat berharga
hak atas pendapatan di masa mendatang; dan/atau
i) Aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang
berkaitan dengan aset keuangan.
(PBI No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian
Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum)

Proses sekuritisasi senantiasa diawali dengan kegiatan internal yang


dilakukan oleh originator sebagai pihak yang memiliki tagihan atau hak.211
Keberadaan aset-aset tersebut didasarkan pada perjanjian yang dibuat antara para
pihak. Dalam kaitan dengan bank, maka perjanjian tersebut adalah perjanjian atau
akad antara bank dan nasabahnya, baik berupa KPR maupun hubungan hukum
lainnya. Dari kumpulan aset berdasarkan perjanjian/akad tersebut, misal perjanjian
KPR, kemudian menjadi kumpulan aset yang akan dialihkan oleh pemiliknya
kepada penerbit.212
Dalam setiap perjanjian KPR memuat ketentuan mengenai pembayaran
angsuran dengan jumlah tertentu yang terdiri dari pokok dan imbalan
(bunga:konvensional) yang masing-masing dapat diidentifikasi secara terpisah
selama jangka waktu perjanjian KPR. Dalam identifikasi aset ini, penerbit

211
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h.524
212
Balala, Mana Hanaan, Islamic Financial Law Theory and Practice in a Globalized
World, London:IB Tauris, 2011, h....

142
memberikan kriteria yang jelas dan rinci. Misal PT SMF dalam menilai aset dari
calon originator, wajib memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan. Kriteria
tersebut sebanyak 23 kriteria, antara lain:
‚ Untuk tiap Perjanjian KPR, jumlah yang wajib dibayar oleh tiap Debitur
harus hanya dalam denominasi mata uang Rupiah dan wajib dibayar
berdasarkan jumlah pembayaran cicilan bulanan yang sama, yang terdiri
atas pokok dan bunga yang berlaku sampai dengan jatuh tempo Perjanjian
KPR (angka 17). Tiap Perjanjian KPR harus berasal dari dan berdasarkan
suatu Perjanjian KPR dan perjanjian terkait lainnya dimana Debitur
menjadi pihak, dan harus ditandatangani dan dilengkapi dengan benar oleh
Debitur dan tidak berisi pernyataan dan jaminan atau pernyataan lainnya
yang tidak akurat yang dibuat oleh Debitur. Perjanjian KPR dalam semua
hal material harus sama dengan standar dokumen yang digunakan oleh
Kreditur Asal (angka 18)‛213
Originator sebagai pemilik hak atas tagihan-tagihan yang timbul dari
pemberian pembiayaan KPR berdasarkan perjanjian KPR, maka kumpulan tagihan
tersebut telah memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan. Dalam perjanjian,
lazimnya terdapat klausula yang menegaskan bahwa originator menyatakan
bertanggung jawab untuk memenuhi kriteria atas kumpulan tagihan. Apabila tidak
mampu memenuhi maka ada kewajiban dari originator untuk mengganti atau
membayar denda. Dalam POJK yang lama,214 kewajiban penggantian tersebut
berlaku selama pembiayaan EBA masih berjalan. Namun dalam POJK tahun 2019
diberikan tenggang waktu untuk mengganti aset yang tidak memenuhi kriteria
tersebut selama 60 hari atau 2 bulan.215 Pembayaran denda dilakukan setara dengan
jumlah pokok yang terhutang berikut imbalan (bunga: konven) dalam hal terdapat
tagihan dari kumpulan tagihan yang dokumentasi kreditnya tidak memenuhi
kriteria seleksi pada setiap waktu sebelum tanggal jatuh tempo final dari EBA.

2) Pengalihan Aset
Dari kumpulan aset yang dimiliki oleh originator tersebut, maka aset
tersebut dilakukan pengalihan kepada pihak penerbit atau SPV (dalam common
law adalah Trustee). Secara teoritis, sebagaimana sudah dijelaskan pada Bab 2,
pengalihan aset dari originator tersebut dilakukan melalui 2 metode yaitu
pengalihan secara pay-through atau with recourse, dan pengalihan secara pass-
through atau true sale.
Pengalihan secara pay-through atau with recourse, yaitu ‚pengalihan
tagihan/aset dari originator kepada investor dimana resiko gagal bayar terhadap
tagihan yang dialihkan tetap berada ditangan originator‛.216 Jika terjadi gagal
213
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019;
dan wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020
214
Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritas Aset Bagi Bank Umum
215
Pasal 5 ayat (4) POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian
Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
216
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata ..., h. 347

143
bayar maka originator wajib mengganti dengan tagihan yang dimilikinya dari
debitur lain. Dalam transaksi ini tagihan masih menjadi milik originator. Dalam
transaksi ini ‚secara hukum tidak terjadi peralihan hak atas tagihan, hanya manfaat
ekonomis dari tagihan tersebut yang beralih kepada investor‛.217 Dalam struktur
pay through, EBA yang dipegang investor merepresentasikan kewajiban langsung
penerbit. Pelaksanaan pembayaran berasal dari dan dijamin dengan aset tagihan
dalam kumpulan aset (underlying pool). 218 Permasalahan dari cara pay-through
atau with recourse ini adalah ‚tidak adanya perpindahan kepemilikan secara
sempurna, sehingga kepemilikan tagihan secara hukum masih tetap berada di
tangan originator‛.219
Pengalihan secara pass-through atau true sale, yaitu ‚pengalihan tagihan
dengan sistem jual lepas/jual putus, dalam transaksi ini originator menjual putus
tagihan yang dimilikinya kepada para investor, sehingga tagihan sepenuhnya
menjadi milik investor termasuk resiko gagal bayar terhadap kreditur‛.220 Dalam
struktur Pass Through ini, EBA yang dipegang investor merepresentasikan
kepemilikan atas sekumpulan tagihan yang tidak terbagi. Angsuran pokok dan
imbalan keuntungan di- pass through kepada Investor sebagai pemilik bersama
sekumpulan tagihan yang tidak terbagi. 221
Mekanisme penjualan kumpulan tagihan dari originator kepada penerbit
sebagaimana dijelaskan di atas, dalam kaitannya dengan penerbitan EBA di
Indonesia, maka harus dilakukan berdasarkan Akta Jual Beli antara originator
dengan Penerbit. Penerbit bertindak untuk kepentingan Pemegang EBA yang
diwakili oleh Wali Amanat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1317 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang kemungkinan seseorang mengikat diri untuk
kepentingan pihak ketiga.222 Dengan demikian pihak yang menjadi pembeli
Kumpulan Tagihan adalah Pemegang EBA yang diwakili oleh Wali Amanat.
Pengalihan Kumpulan Tagihan dilakukan dengan penandatanganan Akta
Cessie antara originator dengan Bank Kustodian yang bertindak untuk mewakili
kepentingan pada pemegang EBA. Tujuan penandatanganan cessie untuk
mengefektifkan penjualan, pengalihan dan penyerahan atas hak kepemilikan atas

217
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ..., h.63.
218
Michael Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana
Law Journal, Vol. 88, h.213, (2013), h. 217
219
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal ...,h. 64
220
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata ..., h. 347; SMF,
Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan ..., h.35
221
SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan ...,
h.35
222
Pasal 1317 KUHPerdata berbunyi sbb: ‚Lagipun diperbolehkan juga untuk
meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga...Siapa yang
telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh ditarik kembali apabila pihak ketiga
tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya‛. R.Subekti & R.Tjitrosudibio,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990),h.282

144
Kumpulan Tagihan berikut hak-hak yang melekat pada Kumpulan Tagihan. Hak
tersebut meliputi namun tidak terbatas kepada:223
a) Hak Tanggungan atas Properti Dibiyai;
b) Hak untuk menerima hasil pembayaran asuransi atas Properti Dibiyai dan
hasil pembayaran asiransi jiwa atas debitur;
c) Hak untuk mengajukan klaim, gugatan, dan hak-hak Kreditur Asal lainnya
terhadap debitur;
d) Semua uang tunai, cek, bilyet, giro yang wajib dibayarkan dan diterima oleh
Kreditur Asal berdasarkan dokumentasi kredit setelah Tanggal Cut-Off-
Final; dan
e) Semua hasil-hasil yang disebut di atas.
Pada saat dilakukan penandatanganan Akta Cessie yang mengikuti Akta jual
Beli, maka hak milik atas Kumpulan Tagihan telah efektif beralih dari Kreditur
Asal kepada Pemegang EBA yang diwakili oleh Bank Kustodian, sesuai dengan
syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 584 dan Pasal 613 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Berdasarkan ketentuan pasat tersebut dinyatakan bahwa
‚Penyerahan akan piutang-piutang atasnama dan kebendaan tak bertubuh lainnya,
dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan ,
dengan mana hak-hak atas kebendaan (‚piutang‛) itu dilimpahkan kepada orang
lain‛.224
Sejak efektifnya peralihan tersebut maka setiap dan segala keuntungan atau
kerugian yang didapat atau diderita atas Kumpulan Tagihan berpindah kepada dan
menjadi miliknya serta dipikul oleh Pemegang EBA yang diwakili oleh Bank
Kustodian. Pengalihan kepemilikan atas Kumpulan Tagihan tersebut tidak hanya
mengikat bagi para pihak yang menandatangani Akta Jual Beli dan/atau Akta
Cessei, namun juga mengikat bagi pihak ketiga pada saat dibuatkan Akta Cessei.
Dalam hal ini originator tidak memerlukan persetujuan dari atau memberitahukan
kepada para debitur, yang tagihannya masuk dalam Kumpulan Tagihan yang
dialihkan. Untuk mengalihkan tagihan-tagihan nasabah debitur kepada Pemegang
EBA dan pada kreditur, originator tidak dapat lagi menuntut terhadap Kumpulan
Jaminan tersebut untuk menjadi jaminan bagi hutang originator kepada kreditur
yang bersangkutan.
Originator dan Bank Kustodian menegaskan dan menyatakan bahwa sebagai
bukti tambahan, Akta Cessei akan berlaku sebagai tanda terima yang sah untuk
pembahasan harga pembelian Kumpulan Tagihan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa:
 cara memperoleh hak milik berdasarkan ketentuan Psl.584 KUHPerdata antara
lain yaitu dengan cara pemilikan/penyerahan berdasarkan suatu peristiwa
perdata/rechtstitel untuk memindahkan hak milik. Peristiwa perdata yang
dimaksud, antara lain perjanjian jual beli (Ps. 1457 KUHPer). Khusus untuk

223
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019;
dan wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020
224
Pasal 613 KUHPerdata. Lihat, R.Subekti & R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), h.151

145
aset berupa tagihan/hak, berdasarkan ketentuan Ps 613 par (1) KUHPerdata
menentukan penyerahan dilakukan dalam bentuk akta, baik akta bawah tangan
maupun akta otentik. Akta penyerahan ini dikenal dengan istilah ‚cessie‛.
 Dalam jual beli tagihan ada 2 hubungan hukum, yaitu hubungan antara penjual
tagihan (cedent) dengan pembeli tagihan (cessionaris); dan hubungan antara
cessionaris dan debitur (cessus). Dengan adanya jual beli dan penyerahan
tagihan, hak milik atas tagihan telah beralih kepada pembeli tagihan.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 613 par (2) KUHPerdata mensyaratkan
pemberitahuan penyerahan tagihan kepada debitur. Adanya pemberitahuan
(atau pengakuan dari debitur) menimbulkan hubungan hukum antara pembeli
tagihan dan debitur, sehingga debitur terikat untuk membayar kepada pembeli
tagihan. Syarat pemberitahuan kepada debitur (cessus) bukan syarat terjadinya
pemindahan hak milik atas tagihan dari cedent kepada cessionaris. Sesuai
ketentuan Pasal 584 KUHPer, syaratnya hanyalah 2, yaitu adanya rechtstitel
(jual beli) dan penyerahan.

3) Special Purpose Vehicle (SPV)


Kunci penting (key concern) dalam transaksi sekuritisasi EBA yaitu wajib
adanya pihak penerbit, sebagai pihak yang mewakili investor dan juga mengelola
atas kumpulan aset/tagihan dari originator tersebut. Dalam kaitannya dengan
penerbit ini maka implementasinya dari masing-masing negara memiliki perbedaan
tergantung pada penerimaan konsep trust. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa pelaksanaan konsep sekuritisasi aset ini di beberapa negara beririsan dengan
keberadaan sistem hukum yang dijalankan oleh masing-masing negara, baik itu
sistem common law225 atau civil law.226
Bagi sistem hukum yang relatif mudah menerima konsep trust,227 pada
umumnya Negara tersebut lebih mudah dalam menjalankan transaksi sekuritisasi
aset. Sebaliknya bagi Negara yang tidak mengakui atau kurang menerima konsep
trust, penerapan sekuritisasi aset menjadi satu kendala yang dihadapi.228 Pada

225
Sistem common law berasal dari Inggris dengan ciri utama menekankan putusan
pengadilan (case law) sebagai sumber utama. Sistem ini dianut oleh negara-negara bekas
jajahan Inggris seperti Amerika, Australia, Malaysia, Singapura, India dan Sri Langka.
Lihat, Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Disertasi Program Ilmu Hukum
Pascasarjana UI, 1997, h. 47
226
Sistem Civil Law berasal dari Perancis dengan ciri utama menekankan peraturan
perundang-undangan sebagai sumber hukum utama. Sistem ini dianut oleh Perancis,
Belanda dan bekas jajahannya serta negara-negara Eropa Kontinental. Indonesia
berdasarkan asas konkordansi termasuk negara yang menganut sistem civil law. Sri Gambir
Melati Hatta, ibid, h. 48
227
Roger Douglas & Jane Knowler, Trust in Principle, (Sydney: Lawbook Co., 2006),
p.2.; Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary,. (St. Paul, Minnesota: West Group, 1999),
Edisi ke-8, h.1546; Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h. 97.
228
Konsep ‚trust dalam sistim common law memberi pengertian hukum bahwa
pihak yang menguasai aset atau benda tidak selalu pemilik dari benda tersebut, artinya

146
sistem hukum common law atau Anglo Saxon, karena mengenal dan mengakui
konsep trust dalam sistem hukumnya, maka proses peralihan dalam sekuritisasi
aset dari originator kepada pihak investor melalui penerbit yang akan memiliki
surat berharga, tidak menjadi kendala besar.
Dalam hukum Anglo Saxon atau Common Law, Trust dipahami sebagai
‚suatu hubungan hukum yang terbentuk antara seseorang trustor dengan seorang
trustee. Trustee mempunyai kewajiban berdasarkan equity untuk mengurusi harta
benda trust, baik berupa benda tanah maupun yang bukan tanah, untuk kepentingan
atau kemanfaatan seseorang yang disebut beneficiary. Sekalipun trustee
merupakan pemilik menurut hukum (legal owner) atas kekayaan trust, tapi
beneficiary menurut Equity merupakan orang yang memperoleh manfaat dari
harta tersebut. Jadi beneficiary merupakan pemilik menurut Equity, atau
Equitable Owner atau pemilik pemanfaat atau beneficial owner.‛ 229
Dengan demikian, trust merupakan suatu hubungan kepercayaan (fiduciary
relationship) yang mempunyai karakteristik tertentu dan tunduk pada asas-asas
tertentu. Di antara karakteristik konsep trust menurut Anglo Saxon adalah terdapat
kepemilikan ganda (dual ownership) atas benda trust yang sama, yaitu kepemilikan
secara hukum (legal ownership) yang dipunyai oleh trustee dan kepemilikan
menurut equity disebut equitable ownership, yang dimiliki oleh beneficiary.230
Dengan kata lain, kepemilikan atas harta benda trust dimiliki oleh dua pihak yaitu
trustee dan beneficiary. Trustee merupakan pemilik menurut hukum (legal owner)
sedangkan beneficiary merupakan pemilik menurut (equity owner) atau merupakan
pemilik manfaat (beneficial owner). Adanya sistem ganda antara hak menurut
hukum dan hak menurut equity ini merupakan sifat khusus Inggris karena dalam
sistem hukum lain tidak ada lembaga yang paralel dengan kepemilikan menurut
equity.231
Penerapan konsep Trust tersebut dalam sekuritisasi aset, maka ‚pihak yang
pada awalnya memiliki atas benda (settlor) dapat langsung menyerahkan
kepemilikan benda tersebut kepada pihak lain (trustee) untuk kepentingan pihak

dalam sistem common law mengenal adanya pemisahan antara penguasaan dan
kepemilikan‛. Hal ini berbeda dengan sistem civil law bahwa ‚hak penguasaan dan
kepemilikan atas benda tidak terpisah melainkan suatu kesatuan‛, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 1977 KUHPerdata bahwa ‛siapa yang menguasai barang bergerak dianggap
sebagai pemilik barang tersebut‛. Lihat, Gemala Dewi, Kontrak Investasi Reksadana
Syariah di Indonesia, Disertasi, UI Jakarta, 2010, (Tidak diterbitkan), h. 158,171-172.
229
Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Unpad Bandung, (Tidak diterbitkan), 2003, h. 40
230
Ciri/karakteristik dari turst paling tidak ada tiga hal yaitu adanya kepemilikan
ganda (duality of ownership), merupakan suatu hubungan kepercayaan ( fiduciary
relationship) , dan termasuk klasifikasi hukum benda ( the law of property) sehingga yang
pailit tidak dapat menjadi trustee. Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust..., h.15 dan
115.
231
Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust, h. 175

147
yang memperoleh manfaat (beneficiary) tanpa perlu ada lembaga baru/tersendiri
yang menangani proses peralihan aset tersebut‛.232
Dengan demikian, apabila konsep kepercayaan semacam trust ini diterapkan
dalam produk sekuritisasi aset, maka investor yang membeli piutang bertindak
seolah-olah sebagai settlor. Sejak awal settlor berdasarkan kepercayaan (trust)
menyerahkan kepemilikan atas aset kepada investor dalam kapasitas seolah-olah
sebagai trustee/legal owner, yang aset tersebut langsung atas nama
investor/Nasabah. Nasabah sebagai trustee dapat mengurus, mengelola, dan
menguasai benda tersebut. Secara singkat, investor dapat langsung berperan
sebagai trustee atau pihak yang mengelola kumpulan aset/tagihan dari originator
dan bisa langsung diatasnamakan investor sebagai legal owner.
Hal ini berbeda dengan yang belum mengakui trust. Bagi negara yang tidak
mengakui konsep trust, proses peralihan milik dalam sekuritisasi tersebut ditangani
oleh suatu lembaga khusus yang berfungsi sebagai pemilik aset (legal owner).
Kemudian pemilik aset tersebut dapat ‚mendayagunakan‛ aset atas namanya
melalui instrumen pasar modal dengan menerbitkan surat berharga. Lembaga
tersebut sering dinamakan special purpose vehicle (SPV) atau conduit.233
Dalam hukum Indonesia, seperti juga dalam hukum Eropa Kontinental tidak
mengenal kepemilikan ganda (dual ownership) yang terdiri dari legal owner dan
equitable owner karena didalam sistem hukum ini tidak ada pemisahan antara Law
dan Equity.234 Kepemilikan menurut hukum Indonesia, seperti dalam hukum Eropa
Kontinental, menganut satu kesatuan kepemilikan (unitery of ownership) yang
tidak dapat dipisahkan (onsplitbaarheid).235 Dengan demikian konsepsi yang persis
sama dengan trust seperti yang terdapat dalam sistem Anglo Saxon tidak dapat
diterapkan di Indonesia, mengingat bahwa hak kebendaan menurut sistem hukum
Eropa Kontinental menganut sistem tertutup.236
Dalam sistem Civil Law – khususnya yang didasarkan pada Code Civil
Perancis tahun 1804, menjadikan kepemilikan sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dibagi (unitary conception), karena itu pembagian kepemilikan dilarang dan
secara konseptual tidak dimungkinkan. Sementara dalam sistem hukum Common
Law adanya konsep pemecahan (fragmentation) atas kepemilikan. Adanya konsep
kesatuan (unitary) dalam kepemilikan inilah yang merupakan kendala bagi negara-
negara Eropa Kontinental untuk menerima konsep trust.237

232
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h. 97
233
Conduit sama dengan SPV, yang membedakannya yaitu conduit bisa memperoleh
piutang dari berbagai institusi yang berbeda sedangkan SPV hanya dari satu institusi. Lihat
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h. 97.
234
Schlesinger B. Rudlof, Comparation Law, New York: The Foundation Press Inc,
1980, h. 653 sebagaimana dikutip Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust..., h. 40.
235
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974, h.38.
236
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda yang
melekat pada Tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal, Bandung: Citra
Adtya Bakti, 1996, h. 53-54.
237
Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust..., h. 176

148
4) Bankcruptcy remotness
Bankruptcy remoteness adalah perlindungan bagi investor dimana aset
keuangan yang menjadi underlying EBA tidak dapat dikenakan sita umum sebagai
akibat dari adanya pernyataan pailit,238 baik terhadap Kreditur Asal, Penerbit, Wali
Amanat maupun Bank Kustodian.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Pasar Modal, bahwa adanya pemisahan
kekayaan antara aset kustodian dan aset yang dititipkan padanya.239 Ketentuan ini
melindungi pemegang EBA dari kemungkinan dimasukkannya aset/kumpulan
tagihan yang dipegang kustodian menjadi boedel pailit pihak kustodian apabila ia
pailit. Adanya ketentuan UUPM mengenai ‚Penitipan Kolektif‛ yang
memungkinkan terpisahnya pemilik terdaftar (legal owner) dan pemilik sebenarnya
(beneficiary owner) atas suatu aset.240 Ketentuan ini memungkinkan bahwa yang
tercatat sebagai pemilik kumpulan piutang (berikut jaminannya) bukanlah pemilik
sebenarnya. Adanya lembaga wali amanat yang bertindak untuk kepentingan
kreditor, sebagai pihak yang: mewakili di depan dan luar pengadilan, kuasa
mewakili diperoleh berdasarkan undang-undang, dan untuk beracara di pengadilan
tidak perlu kuasa khusus.241
Oleh karena itu, aset keuangan yang dialihkan seller/originator kepada
investor atau pihak yang mewakilinya (Special Purposes Vehicle -SPV) tidak
terpengaruh oleh kepailitan seller/originator. Pengalihan aset keuangan tersebut
harus benar-benar memindahkan hak milik kepada pembeli, sehingga aset
keuangan tersebut tidak lagi menjadi harta pailit originator bila yang
bersangkutan pailit. Di samping itu dampak kepailitan penerbit/issuer terhadap
instrumen/efek yang diterbitkan, juga perlu dipastikan apakah ada
segregasi/pemisahan antara aset milik issuer, dan aset yang dipegangnya untuk
kepentingan investor.242
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 584 dan Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hal
Akta Cessei telah ditandatangani maka pengalihan Kumpulan Tagihan berikut hak-
hak yang melekat pada Kumpulan Tagihan telah efektif dan sah terjadi sehingga

238
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h. 138 & 147
239
Ketentuan Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal
tersebut berbunyi sbb: ‚Efek yang disimpan atau dicatat pada rekening Efek Kustodian
bukan merupakan bagian dari harta Kustodian tersebut‛. Dalam penjelasannya berbunyi
sbb: ‚ Oleh karena Efek yang disimpan atau dicatat pada rekening Efek bukan merupakan
harta Kustodian, Efek tersebut tidak dapat diambil atau disita oleh kreditur Kustodian.
Dalam hal Kustodian mengalami kepailitan, semua Efek yang dititipkan pada Kustodian
tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada
pemegang rekening yang bersangkutan‛.
240
Ketentuan Pasal 56 UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
241
Lihat Ketentuan Pasal 51 ayat (2) UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dan
Penjelasannya.
242
SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan ...,
h.38

149
Kumpulan Tagihan berikut hak-hak yang melekat pada Kumpulan Tagihan tidak
lagi merupakan bagian dari harta kepailitan Perseroan.

5) Perfection Of The Security interest


Perfection Of The Security Interest, yaitu gabungan antara prinsip true
sale dan bankruptcyremoteness, yaitu melalui pengikatan legal yang dilakukan,
aset yang menjadi aset dasar transaksi sekuritisasi akan sepenuhnya menjadi hak
investor dan tidak bisa diklaim oleh pihak lain.
‚Security interest‛ adalah kepentingan atas suatu aset milik pihak lain
untuk tujuan menjamin dipenuhinya kewajiban suatu pihak.243 ‚Security interest‛
ini memberikan hak-hak tertentu kepada pemegang jaminan terhadap aset yang
dijaminkan. Hak ini berbeda-beda, tergantung jenis dan bentuk jaminan yang
diberikan. ‚Perfection‛ secara hukum, yaitu langkah-langkah/mekanisme yang
diperlukan untuk melahirkan suatu hak atas barang yang dijaminkan kepada
kreditur.
Secara umum ada tiga bentuk langkah-langkah yang diperlukan untuk
melahirkan hak (perfection) atas suatu ‚security interest‛ yaitu: (1) penguasaan
atas barang jaminan; (2) kewajiban pendaftaran; atau (3) pemberitahuan kepada
pihak ketiga. Perfection of the security interest‛ penting dalam transaksi
sekuritisasi untuk memastikan bahwa jika suatu aset keuangan/tagihan dialihkan
oleh originator kepada pembeli, semua jaminan-jaminan yang melekat pada
tagihan tersebut tetap memberikan jaminan kepada pembeli atas dipenuhinya
kewajiban debitur atas tagihan terhadap dirinya.244
Dalam kaitannya dengan jaminan pembiayaan KPR, maka aspek hukum
menyangkut jaminan yaitu jaminan utama dari sekuritisasi KPR adalah Hak
Tanggungan. Ketentuan mengenai Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4/1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
Tanah (UUHT). Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUHT menegasakan ‚penjualan
tagihan menyebabkan jaminan yang melekat padanya demi hukum ikut beralih
kepada pembeli tagihan‛. Pihak yang dapat melakukan eksekusi terhadap Hak
Tanggungan adalah Pemegang Hak Tanggungan.245

6) Pendukung Transaksi/Struktur Transaksi


Transaksi yang dilakukan oleh para pihak adalah transaksi ‚sekuritisasi‛
dimana para pihak telah setuju untuk bekerja sama dalam rencana pengadaan dana
bagi kreditur asal dengan cara melaksanakan sekuritisasi atas kumpulan tagihan
milik perseroan yang akan ditransformasi menjadi efek beragun aset berbentuk
surat partisipasi. Dalam proses tersebut, pihak-pihak terkait pendukung transaksi

243
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h. 137 & 147
244
SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan...;
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory ..., h. 147
245
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda yang
melekat pada Tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal, (Bandung: Citra
Adtya Bakti, 1996), h. 53.

150
dalam hukum Indonesia antara lain penerbit, wali amanat, bank kustodian, dan
pendukung kredit.
Penerbit melakukan pernyataan pendaftaran kepada OJKuntuk mendapatkan
pernyataan efektif dari OJK, dimana kemudian penerbit bertindak untuk
kepentingan para pemegang EBA, yang diwakili oleh Wali Amanat, akan membeli
kumpulan tagihan dari kredur asal sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian
penerbitan EBA. Penerbit memiliki tugas utama untuk mengatur proses
sekuritisasi atas kumpulan tagihan dan menerbitkan EBA berdasarkan perjanjian
penerbitan EBA.246
Wali Amanat memiliki tugas utama untuk mewakili kepentingan pemegang
EBA baik di dalam maupun di luar pengadilan mengenai pelaksanaan hak-hak dari
pemegang EBA berdasarkan perjanjian dan peraturan yang berlaku, termasuk
mengambil segala tindakan sehubungan hasil koleksi, melakukan penguasaan dan
penyitaan atas properti yang dibiayai, membebankan properti yang dibiayai
berdasarkan SKMHT yang diberikan oleh setiap debitur, memperoleh pembayaran
atas kumpulan tagihan dan hak-hak yang timbul dari kumpulan tagihan.247
Bank Kustodian memiliki tugas utama untuk mewakili kepentingan
pemegang EBA sebagai pemilik atas kumpulan tagihan yang dibeli dari kreditur
asal, dan mencatat kumpulan tagihan tersebut, memberikan jasa-jasa
penyimpanan/penitipan dan pengurusan atas hasil koleksi yang diterimanya dari
penyedia jasa, melakukan verifikasi atas dana-dana tersebut dan menentukan
pokok dan bunga terhutang atas kumpulan tagihan tersebut, melakukan transfer
atas jumlah pembayaran EBA sesuai dengan perjanjian EBA.248
Untuk mendukung struktur transaksi, maka pendukung kredit akan
menempatkan dana dalam jumlah tertentu yang dapat diterima perusahaan
pemeringkat efek untuk meningkatkan kualitas pemabayaran atas EBA, dimana
pendukung kredit akan menyediakan dana dan menyetorkan dana ke dalam
rekening cadangan yang besarnya setara dengan bunga yang wajib dibayar untuk
EBA pada saat jatuh tempo.

7) Aspek Perpajakan
EBA merupakan subjek pajak badan dan karenanya, diharuskan untuk
memenuhi kewajiban perpajakan antara lain mengenai pendaftaran untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pemenuhan kewajiban pajak

246
POJK No.11/POJK.03/2019 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum;
247
POJK No. 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan EBA-SP
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan; POJK No. 20/POJK.04/2017 tentang
Perubahan atas POJK Nomor 23/POJK.04/2014; POJK No.65/POJK.04/2017 tentang
Pedoman Penerbitan dan Pelaporan KIK-EBA; POJK No. 20/POJK.04/2015 tentang
Penerbitan dan Persyaratan EBAS
248
POJK No.11/POJK.03/2019 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum;

151
bulanan atau tahunan. Kewajiban pembayaran pajak dalam transaksi EBA dalam
perundang-undangan yaitu PPh Badan, PPh, dan PPn.249

a) Pajak Penghasilan Badan (‚PPh Badan‛)


PPh Badan dikenakan berdasarkan penghasilan kena pajak dengan tarif
25%. Untuk menghitung penghasilan kena pajak tersebut, wajib pajak (seperti
EBA-SP) dapat mengurangkan biaya-biaya yang wajar untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, seperti pembayaran bunga, pembayaran
imbalan kepada manajer investasi, bank kustodian, akuntan, dan lain sebagainya.
Beberapa biaya perlu disesuaikan karena tidak dapat dibebankan seperti
pemberian kenikmatan, beda waktu penyusutan aktiva, pembagian keuntungan,
pembentukan provisi/cadangan, pajak penghasilan, dan lain sebagainya.
Beberapa penghasilan juga bukan merupakan obyek PPh Badan, seperti
pendapatan bunga dari tabungan atau deposito, yang merupakan obyek pajak
penghasilan yang bersifat final.

b) Pajak Penghasilan (PPh)


Berdasarkan Surat Direktur Peraturan Pajak II Nomor S-710/PJ.03/2015
tanggal 25 Agustus 2015, bahwa:
• Atas penghasilan dan biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh EBA-SP, maka perlakuannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan PPh yang berlaku.
• Dalam hal EBA-SP termasuk dalam pengertian KIK, maka perlakuan PPh atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pemegang Unit Penyertaan
EBA-SP sama dengan perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh pemegang Unit Penyertaan KIK-EBA.
• Pemotongan Pajak Penghasilan (‚PPh‛)
- Pemotongan PPh Karyawan (PPh Pasal 21) dengan tarif berjenjang mulai
5% hingga 30%,
- Pemotongan PPh atas penerima penghasilan di dalam negeri dengan tarif
antara 2% hingga 15%, tergantung dari bentuk jasanya atau
penghasilannya, umumnya dengan tarif 2% untuk jasa.
- Pemotongan PPh atas penerima penghasilan di luar negeri dengan tarif
umum 20% atau berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
(‚P3B atau traktat pajak‛).

c) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Berdasarkan Surat Direktur Peraturan Pajak I Nomor S-922/PJ.02/2015
tanggal 25 Agustus 2015, bahwa:

249
Penjelasan terkait perpajakan ini dikutip dari pendapat Konsultan Kantor Pajak
GNV Consuting Moore Stephens, tanggal 8 Februari 2018, yang termuat dalam
‚Prospektus Penawaran Umum Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Sarana
Multigriya Finansial - Bank Tabungan Negara Nomor 04 Kelas A tahun 2018‛ ("EBA-SP
SMF-BTN04 Kelas A"), h. 2-3

152
• Sepanjang yang dijual/dialihkan oleh Kreditur Awal dalam skema penerbitan
EBA-SP adalah aset keuangan berupa kumpulan piutang maka pada dasarnya
Kreditur Awal tersebut menerima jasa anjak piutang dari pihak
pembeli/penerima pengalihan Kumpulan Piutang tersebut. Jasa anjak piutang
tersebut termasuk dalam kelompok jasa keuangan yang tidak dikenai PPN
sehingga atas penyerahan jasa anjak piutang tidak dikenai PPN.
• Efek merupakan surat berharga yang termasuk jenis barang yang tidak dikenai
PPN sehingga penjualan EBA-SP oleh penerbit kepada pembeli tidak dikenai
PPN.
• Pajak Pertambahan Nilai (‚PPN‛) tarif umum adalah 10% jika berlaku.
PPN sudah tidak dibebankan untuk jasa pembiayaan, termasuk anjak
piutang. Karena PPN seharusnya tidak dikenakan atas transaksi tersebut. Juga
mengingat pengahilan dilakukan sebesar nilai nominal tanpa unsur pendpatan/laba
(diskonto/biaya jasa/imbalan), maka tidak ada pemotongan PPh yang harus
dilakukan atas transaksi tersebut.

153
BAB IV
INOVASI PRODUK OLEH PERBANKAN SYARIAH
MELALUI SEKURITISASI EBA

Sebagaimana dikemukakan pada Bab I bahwa di antara tujuan khusus


penelitian ini yaitu mengkaji pandangan dan penilaian pelaku industri bank syariah
terhadap pengembangan dan inovasi produk baru berupa sekuritisasi aset berbentuk
EBA, sebagai alternatif pendanaan untuk meningkatkan portofolio pembiayaannya.
Agar pelaku industri bank syariah menyadari pentingnya pengembangan dan
inovasi produk, maka perlu digambarkan secara umum terkait perkembangan dan
persoalan inovasi produk di keuangan syariah. Oleh karena itu pada bab IV ini akan
diuraikan terkait inovasi produk sebagai suatu keniscayaan bagi perbankan syariah,
perkembangan perbankan syariah di Indonesia, EBA sebagai produk pasar modal
yang dapat dijalankan perbankan syariah, peran pebankan dalam proses sekuritisasi,
dan juga potensi sekuritisasi EBA oleh bank syariah.

A. Inovasi produk suatu keniscayaan bagi Perbankan Syariah


1. Pentingnya Inovasi Produk
Secara teoritis perbincangan terkait pentingnya inovasi sudah lama
didiskusikan oleh ara ahli. Schumpeter pada tahun 1934 menyatakan bahwa
‚inovasi merupakan pendorong utama dari ekonomi kapitalis (innovations are the
driving forces leading a capitalist economy run)‛.1 Begitu juga terkait inovasi produk
keuangan, Miller pada tahun 1986 dan Merton pada tahun 1992 sebagaimana
dikutip oleh Ismail, 2 menegaskan bahwa ‚inovasi keuangan tidak hanya penting
bagi industri keuangan namun juga memberikan pengaruh pada industri non-
keuangan‛. Sementara Samir Alamad berpandangan bahwa ‚inovasi saat ini adalah
bagian penting dari agenda strategis perusahaan dan lembaga keuangan. Inovasi
tidak hanya dilihat sebagai pendorong utama keberhasilan perusahaan, tetapi juga
sebagai persyaratan penting bagi keberlangsungan organisasi‛.3 Samir
menambahkan bahwa ‚inovasi diyakini sebagai bagian utama untuk terjadinya
pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat, dan dianggap sebagai solusi utama untuk
mengatasi masalah ekonomi‛.4 Hasil penelitian McKinsey Global Survey pada
tahun 2007 menemukan pandangan dari para eksekutif jasa keuangan yang melihat
inovasi sebagai hal penting bagi kinerja perusahaan mereka. Mereka memandang

1
Abdul Ghafar Ismail, Wan Norsyakila Wan Kamarudin, Financial Innovation in Islamic
Banking Industry:The Last Thirty Years and the Next, paper presented at the International
Conference on Islamic Finance,Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, 15-
17 May 2012, h. 2; https://www.academia.edu/4418253 /Financial_Innovation_in_ Islamic_
Banking_Industry
2
Abdul Ghafar Ismail, dkk, Financial Innovation in Islamic Banking ....
3
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
(Birmingham: Springer, 2017), h.91
4
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering ....

154
inovasi produk hal sangat penting dan mengharapkan dengan inovasi tersebut
berkembang model-model bisnis.5

2. Penggunaan istilah inovasi


Dikalangan para ahli terdapat pandangan yang beragam dalam kaitan
penggunaan istilah untuk maksud inovasi, khususnya dalam kontek keuangan.
Sebagian ahli ada yang menamakan inovasi keuangan (financial innovation),
rekayasa keuangan (financial engineering), dan proses pengembangan produk baru
(new product development process-NPD).6 Samir Alamad berpendapat bahwa
ketiga istilah tersebut memiliki makna masing-masing, yaitu sebagai berikut:
‚Inovasi keuangan (financial innovation) adalah menghasilkan ide baru produk
keuangan dengan tujuan mengamankan daya saing pasar, mengatasi risiko,
menghasilkan pendapatan atau meningkatkan likuiditas. Rekayasa keuangan
(financial engineering), di sisi lain, adalah proses menggunakan alat keuangan
dasar (basic financial tools) untuk membangun – produk-- yang tampak
strukturnya lebih kompleks (a complex structure) dengan desain yang sesuai
untuk inovasi keuangan baru. Proses pengembangan produk baru (new product
development process) adalah proses keseluruhan yang menetapkan langkah-
langkah untuk mengambil inovasi keuangan baru dari fase konsep atau inisiasi,
melalui fase rekayasa keuangan dan desain, dengan mengikuti berbagai fase dan
kontrol tata kelola.‛7
Sementara Tohadi menilai bahwa istilah ‚inovasi produk‛ dalam keuangan
sering juga disebut ‚rekayasa keuangan (financial engeenering)‛, yaitu ‚upaya
pengembangan produk melalui penerapan model matematika yang kompleks seperti
produk derivatif berupa option, futures, forward dan swaps. Rekayasa keuangan ini
mempromosikan diversifikasi produk dari produk yang sudah ada‛.8 Menurut
Tohadi, ‚inovasi produk adalah proses yang meliputi: desain teknis, penelitian dan
pengembangan, produksi, manajemen, dan kegiatan komersial yang terkait dengan
pemasaran produk baru‛.9
Relatif memiliki kesamaan pandangan dengan Tohadi yaitu Munawar Iqbal
dan Tariqullah Khan yang menilai inovasi keuangan (financial innovation) dan
rekayasa keuangan (financial engeenering) merupakan hal yang sama dalam
prosesnya. Menurut Iqbal dan Khan, bahwa:

5
Comcec Coordination Office, Diversification of Islamic Financial Instruments,
Proceedings Of The 8th Meeting Of The Comcec Financial Cooperation Working Group,
(Ankara: Comec, 2017),h.64. http://www.comcec.org/en/wp-content/uploads/2017/11/9FIN-
PRO.pdf
6
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering ...., h. 3
7
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering .... h. 3
8
Hamid Tohadi & Mohammed Mehdi Jabbari, Product Inovation Performance in
Organization, Journal Procedia Technology, Vol 1, I, (2012), h-521. https://www.
researchgate.net/publication/257743844_Product_Innovation_Performance_in_Organizatin
9
Hamid Tohadi & Mohammed Mehdi Jabari, Product Inovation Performance...

155
‚Rekayasa keuangan didorong oleh tiga hal yaitu perubahan kondisi
permintaan (changes in demand conditions), perubahan kondisi pasokan
(changes in supply conditions), dan perubahan persyaratan peraturan (changes
in regulatory requirements). Adanya perubahan-perubahan ini mendorong
perusahaan keuangan untuk berinovasi dan menghasilkan produk-produk baru
yang memungkinkan mereka bertahan dalam bisnis dan tetap menguntungkan.
Proses inilah yang disebut rekayasa keuangan (financial engineering) atau
inovasi keuangan (financial innovation)‛. 10

Hal ini berbeda dengan Zamir Iqbal dan Mirakhar yang membedakan antara
istilah financial engineering dan financial innovation.11 Menurutnya, ‚Inovasi
keuangan mengubah pasar keuangan dan perbankan tradisional menjadi pasar yang
sangat canggih yang menampilkan tingkat likuiditas yang tinggi dan beragam
instrumen untuk berbagi dan mentransfer berbagai sumber risiko.... Rekayasa
keuangan melibatkan desain dan pengembangan proses keuangan inovatif, serta
pencarian solusi kreatif untuk masalah di bidang keuangan. Rekayasa keuangan
dapat mengarah pada instrumen keuangan khusus untuk konsumen baru, keamanan
baru, atau proses baru ...‛12
Dalam kesempatan lain, Samir Alamad berpendapat bahwa ‚inovasi
keuangan adalah penciptaan instrumen keuangan baru, teknologi, institusi dan
pasar. Seperti dalam teknologi lain, inovasi di bidang keuangan mencakup fungsi
penelitian dan pengembangan serta demonstrasi, difusi, dan adopsi produk atau
layanan baru.‛13 Inovasi keuangan sebagai sesuatu yang baru yang membantu
mengurangi biaya, risiko atau menyediakan produk, layanan, atau instrumen yang
lebih baik yang lebih memenuhi kepuasan atau partisipan dalam sistem keuangan.
‚Inovasi keuangan dapat dikategorikan sebagai produk baru (mis. KPR subprime),
layanan baru (mis. internet banking), proses produk baru (mis. penilaian kredit)
atau bentuk organisasi baru (mis. Internet khusus bagi bank)‛.14
Dalam perundang-undangan Indonesia, inovasi diartikan sebagai ‚kegiatan
penelitian, pengembangan, dan/atau pun perekayasaan yang dilakukan dengan
tujuan melakukan pengembangan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu
pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sudah ada ke dalam produk atau proses produksi‛.15

10
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005), h. 2
11
‚Financial engeneering and financial innovations are the forces driving the global
financial system toword the goal of greater economic efficiency‛. Zamir Iqbal dan Abbas
Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and Practice, (Singapore, John Waley
& Sons, 2007), h.203
12
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory...
13
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
(Birmingham: Springer, 2017), h.96
14
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering...., h.33
15
Pasal 1 angka 10 Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang sistem nasional
penelitian, pengembang-an, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi

156
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan penggunaan istilah, dari
beberapa penulis di atas dapat disimpulkan bahwa antara istilah inovasi keuangan
dan rekayasa keuangan memiliki pengertian tersendiri, tetapi terdapat juga yang
menyamakan bahkan terkadang digunakan secara timbal balik. Dalam disertasi ini
penulis menggunakan secara timbal balik antara inovasi keuangan dan rekayasa
keuangan, karena pada dasarnya kedua istilah tersebut sebagai suatu proses dalam
pengembangan produk di industri keuangan, sekalipun secara definitif untuk
masing-masing memiliki pengertian yang berbeda.

3. Dorongan untuk melakukan inovasi


Selanjutnya, apa yang mendorong pelaku industri keuangan untuk terus
melakukan inovasi atas produk-produknya? Menurut Samir Alamad, yang
mendorong inovasi keuangan adalah sebagai suatu tanggapan/respon terhadap
kebutuhan pengguna (the need of users) atas produk keuangan. 16 Pengguna secara
alamiah menghendaki adanya produk yang lebih variatif dari produk dasar yang
sudah ada. Produk dasar simpanan, pembiayaan, dan jasa yang ada dianggap masih
belum memenuhi kebutuhan pengguna.17 Oleh karenanya, pengguna minta
disediakan produk-produk yang dibutuhkan dimaksud. Lebih lanjut Alamad
menjelaskan bahwa ‚latarbelakang pentingnya inovasi pada sisi lain didorong oleh
perlunya insentif agar terjadi persaingan yang wajar di pasar, menghasilkan laba,
risiko lindung nilai, dan menemukan cara seputar peraturan dan perpajakan yang
berlaku‛.18
Menurut Iqbal dan Khan, sebagaimana di atas sudah disebutkan, bahwa
‚rekayasa keuangan didorong oleh tiga hal yaitu perubahan kondisi permintaan
(changes in demand conditions), perubahan kondisi pasokan (changes in supply
conditions), dan perubahan persyaratan peraturan (changes in regulatory
requirements)‛.19 Adanya perubahan-perubahan ini mendorong perusahaan
keuangan untuk berinovasi dan menghasilkan produk-produk baru yang
memungkinkan mereka bertahan dalam bisnis dan tetap menguntungkan.20
Adanya kebutuhan mempertahankan konsumen dan usahanya tersebut,
maka tujuan dari aktivitas inovasi keuangan bagi suatu entitas perusahaan yaitu
untuk meningkatkan likuiditas, mentransfer risiko (harga dan kredit), dan
menghasilkan pendapatan (dari kredit dan ekuitas).21 Dalam kontek bisnis, inovasi
dapat terdiri dari dua bentuk yaitu inovasi produk dan proses inovasi.22 ‚Inovasi
produk terkait dengan perancangan, pengembangan, produksi, dan penjualan barang

16
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering ....
17
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering....
18
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering ...
19
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005), h. 2
20
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering ....
21
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
(Birmingham: Springer, 2017), h.3
22
Global Islamic Finance report (Gifr), Innovation In Islamic Banking And Finance ,
Chapter 7, 2015, http://www.gifr.net/gifr2015/ch_07.pdf, (diakses tgl 16 September 2019).

157
atau jasa baru untuk menciptakan pasar baru. Proses Inovasi terkait dengan
pertimbangan biaya untuk menghasilkan produk tersebut. Inovasi keuangan Islam
dapat disebut sebagai proses inovasi, yang didalamnya melibatkan perancangan,
pengembangan, produksi, pemasaran, dan penjualan barang atau jasa, dengan cara
yang lebih hemat biaya untuk memaksimalkan keuntungan bisnis‛.23

4. Inovasi produk keuangan syariah


Bagaimana proses inovasi dan rekayasa keuangan syariah (al-handasah al-
ma@liyah al-isla@miyyah) dilakukan agar memberi manfaat sebagaimana tujuan
asalnya?24 Menurut Al-Salem,25 bahwa Lembaga Keuangan Syariah khususnya
perbankan syariah perlu terus melakukan inovasi produk agar dapat memenuhi
kebutuhan nasabahnya dari waktu ke waktu. Berdasarkan penelitian yang
dilakukannya, menegaskan bahwa tingkat inovasi produk lembaga keuangan
syariah masih rendah (‚Innovation levels of Islamic financial institutions are low
owing to the development of Islamic finance as a new activity‛).26 Sebelumnya
Iqbal dan Khan juga mendorong lembaga keuangan syariah untuk melakukan
financial engineering sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan nasabah
(satisfy customer demands) dan pengembangan produk keuangan syariah itu
sendiri.27 Agar bank dan keuangan Islam bersaing dengan lainnya maka secara
berkelanjutan harus melakukan perbaikan kinerja melalui inovasi produk, proses
dan peningkatan kualitas.28
Sementara Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor menyatakan bahwa ‚rekayasa
keuangan suatu kebutuhan saat ini yang paling kritis dari pasar keuangan Islam
pada umumnya dan praktik manajemen risiko Islam pada khususnya‛.29 Lembaga
keuangan syariah masih beroperasi pada instrumen tradisional berjangka pendek
yang terkait perdagangan dan belum banyak masuk ke bidang investasi yang
berjangka panjang serta memiliki kedalaman dan luas (debth and breadth).30
Rekayasa keuangan dimaksudkan sebagai upaya peningkatan likuiditas dan

23
Global Islamic Finance report (Gifr), Innovation In Islamic Banking ...
24
Menurut Syirin muhammad Salim bahwa yang membedakan rekayasa keuangan
Islam dengan konvensional terletak pada sarana, proses dan tujuannya ( al-wasi@lah-al-gha@yah
wa al-ahda@f). Lihat Syirin Muhammad Salim Abu Qa’nunah, al-Handasah al-Ma@liyah al-
Isla@miyyah, Z}awabit}uha al-Syar’iyyah wa Asa@suha al-Iqtis}a@diyyah, (Jordan: Dar al-Nafa@is),
2016, h. 41
25
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation, International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 2 No. 3, 2009 h. 187 q Emerald
Group Publishing Limited.
26
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation ...
27
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005), h. 1
28
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation...
29
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and
Practice, (Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd), 2007, h. 204
30
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance...., h. 204

158
perkembangan pasar sekunder dengan tetap menjaga menejemen risiko yang
efektif.31
Menurut penelitian yang dilakukan GIFR 2015, bahwa ada empat unsur
dasar dari inovasi keuangan Islam, yaitu pengetahuan Syariah yang mendalam,
penataan hukum, akses ke teknologi keuangan terkini, dan pemahaman mendalam
tentang tren dan kebutuhan pasar.32 Jika di antara unsur di atas tidak terpenuhi,
maka proses pengembangan produk keuangan Islam harus dianggap cacat dalam
penerapannya.33
Selanjutnya apa cakupan dan rambu-rambu dalam melakukan inovasi atau
rekayasa keuangan syariah? Pada tahun 2007, Boyer berpendapat sebagaimana
dikutip oleh Samir, bahwa sistem perbankan dapat menjadi penyebab krisis
keuangan dan ujungnya mengarah kepada persoalan likuiditas dari perusahaan dan
lembaga keuangan. Hal ini diketahui bahwa tingkat kerapuhan atau ketahanan
keuangan dan sistem perbankan adalah elemen penting dalam krisis keuangan yang
sedang berlangsung.34
Sebagaimana diketahui bahwa tidak selamanya inovasi memberi dampak
positif. Inovasi keuangan dapat juga berdampak negatif. Kasus inovasi keuangan
seperti hipotek perumahan (subprime mortgage) dan derivatif dari sekuritas
keuangan yang canggih memicu terjadinya krisis keuangan dunia pada tahun 2008,
yang dampak negatifnya masih dirasakan. 35 Menurut Samir, ‚teori ini
membuktikan bahwa beberapa inovasi keuangan diyakini berbahaya (harmful) bagi
perekonomian dan masyarakat serta membawa dampak ketidakadilan‛.36
Sehubungan hal tersebut, maka inovasi penting tetapi perlu rambu-rambu yang
jelas dan terukur sehingga maksud dari inovasi sesuai dengan tujuan utamanya.
Dalam bidang keuangan, khususnya, inovasi melibatkan adaptasi dan improvisasi
pada produk dan konsep yang ada. Inovasi keuangan pada awalnya muncul sebagai
salah satu produk, seperti derivatif, obligasi korporasi berimbal hasil tinggi, dan
sekuritas yang didukung hipotek atau proses seperti, mekanisme harga, platform
dan sarana perdagangan, serta cara dan metode untuk menempatkan efek.37
Dari pengalaman pengembangan produk yang konvensional—seperti
derivatif, maka sistem keuangan Islam diharapkan dapat memberikan alternatif
potensial dalam inovasi produk karena didalamnya mendasarkan pada nilai-nilai
etis yang berbeda dengan praktik inovasi keuangan konvensional.

5. Ruang lingkup inovasi keuangan


Karena inovasi keuangan merupakan upaya hal baru yang menerobos dari
yang sudah ada, maka ‚ruang lingkup inovasi keuangan meliputi berbagai aspek

31
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance ..., h. 205
32
Global Islamic Finance report (Gifr), Innovation In Islamic Banking And Finance ,
Chapter 7, 2015, http://www.gifr.net/gifr2015/ch_07.pdf, diakses tgl 16 September 2019.
33
Global Islamic Finance report, Innovation In Islamic Banking ...
34
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering ... h.93
35
Samir Alamad, Financial Innovation .....
36
Samir Alamad, Financial Innovation... h.94
37
Samir Alamad, Financial Innovation... h. 97

159
dari mulai desain, pengembangan, implementasi instrumen dan proses keuangan
inovatif, dan perumusan solusi kreatif, hingga masalah dalam keuangan‛.38 Ruang
lingkup rekayasa keuangan dapat dieksplorasi dengan mengembangkan pemahaman
lebih lanjut tentang tiga aspek; (i) kebebasan untuk melakukan interaksi bisnis
kepada agen ekonomi (the freedom to contact given to economic agents), (ii) apa
yang menjadi dasar pembangun (what are the basic building blocks), dan (iii)
spektrum risiko/pengembalian profil instrumen (spectrum of risk/return profile of
instrumens).39 Contoh penerapan rekayasa keuangan yaitu synthetic currency
forward contract dan currency swap (partnership –based currency swap & Sukuk-
based currency swap).40
Oleh karena itu, proses inovasi keuangan sangat kompleks dan sensitif,
karena membutuhkan pertimbangan multidisiplin yang melibatkan tidak hanya
pengetahuan ekonomi, keuangan dan perbankan, tetapi juga pemahaman yang
mendalam tentang yurisprudensi Islam. 41 Meskipun sejumlah faktor -- politik,
ekonomi, budaya, peraturan, lingkungan, etika, pasar dan pajak -- memainkan peran
penting dalam inovasi keuangan, keragaman pandangan dan pendapat Syariah telah
berperan penting dalam inovasi keuangan Islam. Tiga masalah harus dipahami
dalam hal ini. Dua yang pertama sudah mapan, sedangkan yang ketiga adalah
fenomena baru, yaitu larangan riba (prohibition of interest), diskon perdagangan
hutang (discounted trading in debt); dan sindrom pihak ketiga pada IBF (third party
syndrome in IBF).42 Menurut Kuniyoshi Urabe (1998), sebagaimana dikutip oleh
Yozika, ‚inovasi merupakan setiap kegiatan yang tidak bisa dihasilkan dengan satu
kali pukul, melainkan suatu proses yang panjang dan kumulatif, meliputi banyak
proses pengambilan keputusan, mulai dari penemuan gagasan hingga ke
implementasian nya di pasar‛. 43
Menurut Iqbal dan Khan, pedoman untuk melakukan rekayasa keuangan
Islam terdapat 5 hal utama (five C), yaitu 1. kepatuhan dengan syariah (compliance
with shariah); 2. Kesadaran (consciousness); 3. Kejelasan (clarity); 4. Kemampuan
(capability); 5 komitmen (commitment).44 Penjelasan dari masing-masing sebagai
berikut:
‚Kepatuhan dengan syariah. Sementara para pihak dapat saling menyetujui
kondisi apa pun, tidak ada syarat yang melanggar aturan dasar halal dan

38
Mohamad Akram Laldin & Hafas Furqani, Innovation Versus Replication Some
Notes On The Approaches In Defining Shariah Compliance In Islamic Finance , Al-Jāmi‘ah:
Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e), Vol. 54, no. 2 (2016), pp.
249-272; https://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/54201
39
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance...., h. 206
40
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance...., h. 207
41
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 204
42
Global Islamic Finance report, Innovation In Islamic Banking ...
43
Ferlangga Al Yozika dan Nurul Khalifah, Pengembangan Inovasi Produk Keuangan
Dan Perbankan Syariah Dalam Mempertahankan Dan Meningkatkan Kepuasan Nasabah ,
Jurnal Edunomika, (Surakarta: STIE AAS), Vol. 01 No. 02, (2017), h. 100
44
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
(New York: Palgrave Macmillan, 2005), h. 10-11

160
haram. Dalam kontrak keuangan, larangan paling penting adalah larangan riba
dan gharar. Pembelian dan penjualan komoditas /layanan terlarang seperti
daging babi, anggur dan minuman keras lainnya, pelacuran dan pornografi juga
dilarang. Kesadaran (consciousness). Para pihak harus secara sadar dan
sukarela menyetujui persyaratan kontrak tanpa paksaan. Implikasi dari hal ini
adalah bahwa perjanjian apa pun yang dibuat dalam kondisi tidak sadar tidak
sah. Kejelasan (clarity); Para pihak harus sepenuhnya menyadari semua
implikasi dari kondisi yang tercantum dalam kontrak. Ambiguitas apa pun
akan membuat perjanjian itu valid. Kemampuan (capability). Para pihak harus
cukup yakin bahwa mereka mampu mematuhi semua kondisi kontrak. Sebagai
implikasinya, sebagian besar fuqaha melarang penjualan barang apa pun yang
tidak dimiliki dan dimiliki oleh penjual pada saat kontrak. Yang lain
menyarankan pengaturan yang dapat memenuhi masalah mendasar. Komitmen
(commitment). Para pihak harus berniat dan berkomitmen untuk menghormati
ketentuan kontrak baik secara tertulis maupun semangat. Implikasinya adalah
bahwa setiap akal-akalan untuk menyiasati kondisi syariah apa pun melalui
trik-trik bahasa atau hukum tidak diperbolehkan (An implication of this is that
any subterfuge to get around any shariah condition through linguistic or legal
tricks is not allowed)‛.
Sekalipun keuangan syariah baru muncul belakangan, tetapi arah
pengembangan inovasi produk keuangan syariah dari waktu ke waktu terus
mengalami kemajuan. Hal ini terkait dengan roses penerapan inovasi pemikiran
syariah (ijtihad) untuk menyelesaikan masalah baru.Walaupun boleh jadi adanya
tingkat pemahaman yang beragam dan masih dirasakan belum terpenuhinya
harapan kebutuhan pengguna produk secara luas. 45
Oleh karena itu, menurut Iqbal ‚perkembangan rekayasa keuangan dan
instrumen baru bukan pekerjaan yang mudah. Keberhasilan rekayasa keuangan di
pasar konvensional tidaklah dicapai dalam satu malam tetapi melalui proses yang
lama dari tahun ke tahun. Inovasi dan perkembangan produk lebih lanjut juga
didukung dengan kemajuan teknologi. Pasar keuangan Islam menghadapi tantangan
dalam memperkenalkan proses rekayasa keuangan‛.46 Tantangan tersebut yaitu:
‚dasar teoritis yang melandasi dari transaksi yang perlu dilakukan penelitian yang
mendalam, investasi infrastruktur yang masih lemah karena kekurangan biaya;
perlu dibangun kolaborasi dan kerjasama sehingga tercipta sinergi, adanya cross
training di antara ahli yang memiliki latar belakang yang berbeda, perlu adanya
standarisasi kontrak dan ketentuan yang dapat digunakan melampaui negara
masing-masing; dan adanya kejelasan penggunaan tingkat kedaruratan‛.47

45
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and
Practice, (Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007), h. 204
46
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 223
47
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 224

161
6. Inovasi perbankan
Dalam kaitannya dengan keuangan Islam, sebagaimana dikemukakan
Ismail, bahwa Abdul Haq (2007) dan El- Gamal (2007) telah melakukan kajian
terkait dengan pentingnya pengembangan produk pada sektor perbankan syariah.48
Bentuk rekayasa keuangan dapat dilakukan melalui 2 pendekatan. ‚Pendekatan
pertama adalah mengambil instrumen yang ada dalam sistem konvensional dan
membuat evaluasi masing-masing komponen untuk menemukan pengganti terdekat
dari seperangkat instrumen keuangan syariah. Pendekatan kedua adalah merancang
dan menciptakan instrumen baru menggunakan instrumen Islam dengan
menerapkan prinsip-prinsip rekayasa keuangan‛.49
Mohammad Abdul Haq (2007) mengatakan selama imitasi tidak
membahayakan etos Islam, tidak boleh ada keberatan terhadap produk keuangan
syariah sebagai tiruan dari produk konvensional. Meskipun sebagian besar replika
produk konvensional, apresiasi terhadap keuangan Islam sedang tumbuh dan
produk-produk baru juga tersedia. Selanjutnya, jika bank syariah ingin bersaing
dengan bank konvensional, produk yang terlibat harus didorong. Tantangan utama
adalah mengembangkan produk dalam kepatuhan Syariah.50
Menurut Shamshad Akhtar, secara umum industri keuangan syariah hampir
semuanya menawarkan menu pilihan dan instrumen industri keuangan
konvensional di berbagai sektor keuangan. Untuk memastikan daya saing dan
penerimaan pelanggan, replikasi dan penyelarasan pengembalian produk Islami
dengan produk konvensional telah menimbulkan kekhawatiran terkait dilusi dan
konsentrasi berlebihan bank pada satu atau dua produk. Praktis, industri Islam saat
ini berbasis bank konvensional. Diversifikasi produk, meskipun lambat, sedang
muncul tetapi pengembalian direkayasa untuk memastikan kesesuaian dan
konvergensi dengan industri konvensional. 51
Karena keuangan Islam adalah kegiatan baru, sangat penting bahwa produk
dan layanan dikembangkan secara berkelanjutan. Ini berfokus pada kualitas dan
keragaman produk dan layanan yang disediakan oleh lembaga keuangan Islam, dan
tantangan utama yang mereka hadapi dalam hal itu. Namun, produk yang kuat
harus diperkenalkan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa produk-produk yang
terkait dengan Bagi Hasil dan Kerugian (PLS) itu signifikan. Seluruh ide di balik
PLS dipandang sebagai sebuah inovasi.
Pada awal pendirian bank Islam tahun 1970 dan 80-an belum terpikir untuk
mengembangan instrumen keuangan yang dapat menarik dana. Namun sejak tahun
1990-an ketika lembaga keuangan non bank didirikan di Kuwait dan terjadinya
persaingan kebutuhan dana, baru terengah perlunya instrumen penarikan dana yang

48
Abdul Ghafar Ismail, ibid
49
Commite for Economic and Commercial Coorporation of the Organization of
Islamic Coorporation (Comcec) Coordination Office, Diversification of Islamic Financial
Instruments, Oktober 2017, h. 64
50
Comcec Coordination Office, Diversification of Islamic Financial ...
51
Shamshad Akhtar: Islamic finance: authenticity and innovation – a regulator’s
perspective, Keynote address by Governor of the State Bank of Pakistan, at Harvard Law
School, Cambridge, 20 April 2008, h.3

162
menarik. Hasil yang dihadapi lembaga keuangan Islam adalah keharusan untuk
meminjam dana dari basis pasokan modal yang terbatas (limeted capital supply
base).52
Pada dasarnya industri keuangan syariah secara umum dari mulai tumbuh
tahun 1970-an sampai saat ini telah mengembangkan produk-produk yang
dibutuhkan. Beberapa instrumen keuangan telah dikembangkan dan dianggap
sebagai inovasi dalam keuangan Islam. Misal yang dikembangkan oleh Islamic
Berhad, yaitu swap tingkat keuntungan Islami (islamic profit rate swap) dianggap
sebagai inovasi dalam keuangan Islam. Transaksi ini bukan berasal dari
perdagangan pertukaran suku bunga melainkan dari perdagangan aset nyata.53
Sebagaimana disebutkan oleh Kamarudin dan Ismail, perkembangan produk syariah
berkembang baik dari sisi supply maupun demand. Beberapa perkembangan produk
tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini dari tahun 1984-2011.54

Tabel 4.1
Produk Bank Syariah Malaysia: Perbandingan
1984 2010 2011
Neraca
Liabilities Liabilities Liabilities
1. Deposit 1. Deposit 1. Deposit
i. Saving i. Saving i. Non Mudharabah Fund
N/A - Mudharabah - Demand deposits
ii. Demand - Non-Mudharabah - Saving deposits
N/A ii. Demand Negotiable Islamic Debt
- Mudharabah Fund Securities (NICD)
- Non Mudharabah ii. Mudharabah Fund
iii Negotiable Islamic Debt - Saving deposits
Securities (NIDC) - General Investment
deposit
2. Financing - Special investment
2. Financing i. House Financing deposits
N/A ii. Syndicated Financing 2. Financing
iii. Leasing Financing i. House Financing
iv. Bridging Financing ii. Syndicated Financing
v. Personal Financing iii. Leasing Financing
vi. Other Term Financing iv. Bridging Financing
vii. Staff Financing v. Personal Financing
viii. Credit Cards vi. Other Term Financing
ix. Trade Bills Discounted vii. Staff Financing
x. Trust Receipts viii. Credit Cards
xi. Pawn Broking ix. Trade Bills Discounted
x. Trust Receipts
3. Investment xi. Pawn Broking
3. Investment i. Unit Trust 3. Investment
i. Share ii. Shares i. Unit Trust
ii. Malaysian iii. Malaysian Government ii. Shares
Government Investment Issue (MGI) iii. Malaysian Government
Investment iv. Islamic Debt Securities Investment Issue
Certificate v. Islamic Commercial Papers (MGI)
iv. Islamic Debt Securities
4. Derivatives v. Islamic Commercial

52
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation,... h. 189
53
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation,... h. 189
54
Abdul Ghafar Ismail, dkk, Financial Innovation in Islamic Banking ... h. 5-6

163
i. Forward Contract Papers
ii. Cross Currency Profit Rate 4. Derivatives
Swap i. Forward Contract
iii. Profit Rate Swap ii. Cross Currency Profit
iv. Structured Deposits Rate Swap
iii. Profit Rate Swap
iv. Structured Deposits

Dari data di atas menunjukkan beragamnya pengembangan produk


keuangan syariah. Apabila pada tahun 1984 produk liabilities hanya tiga kategori
simpanan, pembiayaan dan investasi dengan pilihan yang terbatas. Pada 2010
kategorinya tidak hanya 3 yaitu simpanan. Pembiayaan dan investasi tetapi juga
sudah mulai mengembangakan produk derivatif dengan produk yang beragam dari
masing-masing kategori tersebut. Di sisi lain, dari tahun 2010 dan 2011
menunjukkan perbandingan terbaru. Sekalipun tidak ada produk baru yang
ditawarkan kecuali pada produk simpanan, namun dari jenis produknya mengalami
penambahan. Pada dana Mudharabah, giro lebih banyak menggunakan non-
mudharabah, namun pada tahun 2011 sudah menggunakan untuk giro tidak hanya
akad Mudharabah tetapi juga dana Non-Mudharabah.55
Menurut Shamshad Akhtar, perkembangan inovasi dan rekayasa keuangan
di industri keuangan syariah apabila dikelompokkan menjadi (1) Produk sintetis
Islam (Islamic synthetic products), (ii) Rekayasa ulang produk sintetis Islam (Re-
engineering of Islamic synthetic products), (iii) Produk Hybrid Islami (Hybrid
Islamic products), dan. (iv) Hipotek Islam (Islamic mortgages). 56 Selanjutnya
Shamshad Akhtar menjelasakan khusus untuk produk di pasar modal, di samping
produk yang lazim sudah ada di konvensional, juga sudah berkembang produk
derivatif dan sejenisnya (development of derivatives and its equivalents) seperti
Standard Chartered dan Bank Muamalat Malaysia menyusun Islamic Cross
Currency Swap, Currency Profit Swap Rate, Forward Rate Agreement dan Profit
Rate Swap (equivalent of interest rate swap).57
Berdasarkan penelitian dari Yazika dan Khalifah disimpulkan bahwa
‚pengembangan inovasi produk perbankan syariah salah satunya adalah
mengembangkan pembiayaan ke sektor korporasi dengan cara menerapkan 1)
pembiayaan sindikasi, yakni pembiayaaan yang diberikan kepada satu mudharib
atau debitur oleh bankbank yang tergabung dalam satu kerjasama (musyarakah). 2)
Inovasi dengan Trade Finance, fasilitas yang diberikan untuk membiayai kegiatan
perdagangan debitur yang berkaitan dengan transaksi perdagangan luar negeri
(ekspor-impor) maupun dalam negeri (jual beli). 3) Produk pengelolaan kas. 4)
Pembiayaan Start up, adalah usaha dengan menggunakan basis teknologi informasi
untuk produknya. 5) Business Development, yaitu salah satu fungsi manajemen

55
Abdul Ghafar Ismail, dkk, Financial Innovation in Islamic Banking ....h.5-6
56
Shamshad Akhtar: Islamic finance: authenticity and innovation – a regulator’s
perspective, Keynote address by Governor of the State Bank of Pakistan, at Harvard Law
School, Cambridge, 20 April 2008, h.3
57
Shamshad Akhtar: Islamic finance..., h. 4

164
perusahaan dalam upaya untuk mengembangkan bisnis yang dimiliki oleh
perusahaan‛.58
Namun dari sekian banyak inovasi produk, penggabungan produk antara
berbagai rezim industri masih belum banyak dilakukan seperti produk Efek Beragun
Aset (EBA) ini. Oleh karena itu, pengembangan produk EBA ini menjadi menarik
dilakukan sebagi varian dari pengembangan produk yang sudah ada, karena produk
ini merupakan produk pasar modal tetapi dapat juga menjadi produk perbankan,
termasuk bagi perbankan syariah.

B. Peran Perbankan dalam Proses Sekuritisasi


Menurut Peraturan Bank Indonesia, fungsi atau peran perbankan dalam
sekuritisasi aset yaitu bisa menjadi originator (kreditur asal), Penyedian Jasa
(servicer), Penyedia Kredit Pendukung, Penyedia Fasilitas Likuiditas, Bank
Kustodian, dan investor. 59 Dari enam peran tersebut, dalam praktik yang paling
dominan adalah sebagai Originator/Kreditur asal, Penyedia Jasa, dan sebagai
Investor.60 Berikut dijelaskan ketiga peran utama tersebut.
Bank sebagai originator. Bank adalah pihak yang memberikan pembiayaan/
kredit kepada nasabah. Dengan pembiayaan yang dilakukannya secara tidak tunai,
bank memiliki aset yang tidak likuid. Atas kepemilikan aset tersebut maka bank
dapat menjadi originator. Sebagai originator, bank dengan aset yang dimilikinya
tersebut dapat mengalihkan asetnya (disekuritisasi) secara jual putus (true sale)
kepada Penerbit. Dalam POJK diatur bahwa bank dilarang menjadi originator
apabila dengan pengalihan aset mengakibatkan penurunan rasio KPMM. Oleh
karenanya, pada saat peralihan aset tidak memenuhi persyaratan, maka aset
tersebut wajib dicatat kembali dalam neraca dan diperhitungkan dalam ATMR
menurut risiko bank, penilaian kualitas aktiva dan perhitungan BMPK.
Selanjutnya, bank dapat berperan sebagai penyedai fasilitas kredit
pendukung (credit enhancer) berupa fasilitas penanggung risiko pertama (first loss
facility) dan atau fasilitas penanggung risiko kedua (second loss facility).
Selanjutnya, setiap penyediaan kredit pendukung oleh bank wajib memenuhi
persyaratan bahwa diperjanjikan pada awal aktivitas sekuritisasi dengan
menetapkan jumlah fasilitas yang diberikan dan jangka waktu fasilitas serta
diberikan maksimum sebesar 10% dari nilai aset yang disekuritisasi apabila bank
sekaligus juga berperan sebagai originator.

58
Ferlangga Al-Yozika dan Nurul Khalifah, Pengembangan Inovasi Produk Keuangan
Dan Perbankan Syariah Dalam Mempertahankan Dan Meningkatkan Kepuasan Nasabah ,
Jurnal Edunomika, (Surakarta: STIE AAS), Vol. 01 No. 02, (2017), h. 106
59
Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.
60
Isye Lily Amelia, Sekuritisasi Aset Sebagai Alternatif Strategi Pendanaan Pada
Bank XYZ, Thesis, Fakultas Ekonomi Program Studi Magister Manajemen, UI Jakarta,
2011, h.96

165
Ketiga bank dapat berperan sebagai investor. Bank dapat memiliki EBA
melalui pembelian secara tunai, atau apabila bank bertindak sebagai originator
dapat juga melalui tukar menukar dengan aset yang dialihkan. Kemudian, EBA
yang dimiliki bank diperlakukan sebagai penyediaan dana dan diperhitungkan
dalam KPMM.
Bila digambarkan fungsi Bank dalam proses sekuritisasi aset adalah sebagai
berikut:61

Gambar 4.8
Peran Bank dalam Sekurisasi Aset

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Dari enam peran tersebut, yang dijalankan oleh BMI terkait dengan penebitan
sekuritisasi EBAS-SP hanya tiga saja, yaitu sebagai kreditur asal (originator),
penyedian jasa (servicer), dan investor EBAS-SP kelas B.62
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Efek Beragun Aset (EBA)
merupakan produk atau instrumen di pasar modal yang dapat dijalankan oleh bank
syariah sebagai salah satu kegiatannya. Menjadikan EBA sebagai kegiatan oleh
bank syariah merupakan suatu upaya inovasi produk yang menuntut pelaku industri
untuk memiliki kemauan yang tinggi, pemahaman yang cukup, dan sikap yang
terbuka atas pengembangan produk ini. Berkenaan peran bank syariah dalam
penerbitan EBA sebagai bagian dari sekuritisasi aset di atas, karena produk EBA
ini hal baru dalam dunia keuangan syariah, maka respon dan sikap yang terbuka
untuk mengembangkannya menjadi suatu keniscayaan bagi bank syariah.

61
Ooritas Jasa Keuangan
62
Wawancara penulis dengan staf BMI tanggal 6 Januari 2020.

166
C. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Perbankan syariah merupakan bagian dari sistem perbankan nasional
sebagai subsektor industri keuangan syariah.63 Ia berfungsi untuk menghimpun dan
menyalurkan dana serta memberikan pelayanan jasa kepada nasabahnya.64
Perkembangan bank syariah di Indonesia (dari aspek yuridis) dapat diklasifikasi
dalam tiga kurun waktu. Kurun waktu pertama antara tahun 1992-1998, kurun
waktu kedua antara tahun 1998 – 2008, dan kurun waktu ketiga yaitu sejak tahun
2008 sampai dengan sekarang (2019).65 Selama kurun waktu pertama sampai akhir
tahun 1998, secara yuridis pengaturan pendirian perbankan syariah di Indonesia
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan
prinsip bagi hasil, yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.66 Jumlah bank syariah pada periode pertama ini sampai tahun 1998
hanya ada 1 bank umum yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan 73 BPRS.67

63
Fathurrahman Djamil, ‚Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia‛,
dalam Jurnal Hukum Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2002),edisi
Agustus 2002, h. 39; Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-
Aspek Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010), h.86.
64
Di Indonesia, Embrio perbankan syariah dimulai dari diskusi kelompok tokoh-
tokoh Islam yang memiliki komitmen terhadap ekonomi Islam. Beberapa ujicoba pada skala
yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Bait al-Tamwil, Salman,
Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa
dalam bentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti. Begitu juga beberapa lembaga formal
lainnya seperti BPRS Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardatillah pada tanggal 19
Agustus 1991, BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Okrober 1991, ketiganya
beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 Nopember 1991 yang
beroperasi di Aceh. Karnaen A. Perwataatmadja, SE,MPA, Membumikan Ekonomi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Usaha Kami, 1996). h. 16; Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah,
Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999), h.25-27
65
Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset,2010), h.86-89; Gemala Dewi, Aspek-Aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, 2004), h.61-62; Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 80-90; Zainul Arifin, Dasar-Dasar
manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2002), h.7-10
66
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h.25-26; Zainul Arifin, Dasar-Dasar manajemen Bank Syariah, (Jakarta:
Alvabet, 2002), h.7-10; Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
(Jakarta: IIIT, 2003), h. 29.
67
Secara kronologis pengaturan mengenai perbankan syariah diawali dengan adanya
Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang kemudian diubah dengan Undang-undang No. 10
tahun 1998. Undang-undang No.7 tahun 1992, sekalipun tidak mengatur secara eksplisit
mengenai perbankan syariah, tetapi kemungkinan suatu bank umum dan bank perkreditan
rakyat memberikan fasilitas kredit dengan imbalan atau pembagian hasil keuntungan
(sebagai prinsip dasar dari perbankan syariah), diakomodir dalam undang-undang tersebut,
seperti tertuang pada Pasal 1 ayat (12). ‚Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
167
Sejak tahun 1998 ekspansi industri perbankan syariah mengalami
peningkatan signifikan. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No.10 tahun 1998
tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. Berdasarkan UU No
10/1998 ini terdapat penegasakan pengakuan adanya dua sistem perbankan (dual
banking system), yaitu bank syariah dan bank konvensional dalam sistem
perbankan nasional.68 Di samping itu, dalam UU No 10/1998 tersebut diizinkan
pula bank umum konvensional membuka unit usaha syariah (dual system bank). 69
Pada sisi lain, UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah
dengan UU No. 3 tahun 2004 (‛UU BI‛), menegaskan tanggungjawab bank sentral
atas regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional termasuk bank syariah.
Dengan UU BI ini, bank sentral juga mendapat kewenangan untuk melakukan
pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa
Bank Indonesia berkewajiban mengembangkan bank syariah dengan menyusun
ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank
syariah.70
Dengan dukungan ketentuan perundang-undangan tersebut dan mulai
bermunculan keinginan pendirian bank syariah di berbagai kalangan, BI kemudian
melahirkan Biro Perbankan Syariah pada tahun 2001 yang kemudian statusnya
ditingkatkan menjadi Direktorat Perbankan Syariah pada tahun 2004.71 Berbekal
kewenangan yang dimilikinya ini pula, BI memperkenalkan berbagai instrumen
keuangan/moneter syariah antara lain Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999
dan Pasar Uang Antar-Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun
2000.72 Pada tahun 2002, BI juga memperbaiki aturan tentang Unit Usaha Syariah

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian
hasil keuntungan‛. Berdasarkan Undang-undang tersebut, pedoman yang dipakai oleh Bank
umum atau BPR yang menjalankan prinsip berdasarkan syariah adalah Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (PP No.
72/1992). Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal 1 Ayat (1) PP No. 72/1992
disebutkan bahwa: ‛Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank
perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil‛.
68
Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2016), h. xvi-xix; Asep Supyadillah, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta:
Wahana Kardofa, 2013), h.23-25
69
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010), h.87; Darsono, dkk, Perjalanan
Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2016), h. xvi-xix dan h. 95;
Darsono-Ali Sakti, dkk, Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2017), h.16-21
70
Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2016), h. 129-131;
71
Darsono, dkk, Ibid, h. 130
72
PBI tersebut sekarang telah diganti antara lain dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan

168
melalui PBI No.4/1/PBI/2002 yang mengatur tentang: (i) konversi bank
konvensional menjadi bank syariah; (ii) konversi cabang konvensional menjadi
cabang syariah; (iii) konversi kantor kas konvensional menjadi cabang syariah; (iv)
pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional; dan (v) pembukaan unit
syariah di cabang konvensional.73
Dalam upaya ekspansi dan penambahan layanan jasa perbankan syariah, BI
pada bulan Maret tahun 2006 menerbitkan PBI No. 8/3/PBI/2006.74 PBI ini antara
lain berisi kebijakan tentang diperkenankannya bank umum konvensional yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah untuk memperluas
jaringan pelayanan transaksi perbankan syariah (syariah office channeling) melalui
mekanisme kerjasama penghimpunan dana antara kantor cabang syariah sebagai
bank induk dengan kantor cabang konvensional bank yang sama.75 Ketentuan ini
kemudian disempurnakan melalui PBI No. 9/7/PBI/2007 dimana ketentuan
pembukaaan layanan syariah diperlonggar dan fungsinya diperluas yang semula
hanya menghimpun dana saja menjadi dapat melakukan pembiayaan dan pelayanan
jasa keuangan.76 Ketentuan layanan syariah ini secara efektif memperluas jaringan
pelayanan dan menaikkan aset perbankan syariah.
Pengembangan perbankan syariah di Indonesia berpuncak pada tahun 2008
dengan terbitnya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kelahiran UU
21/2008 ini merupakan kurun ketiga dari perkembangan bank syariah. UU No. 21
tahun 2008 secara umum memiliki beberapa tujuan utama, yaitu pertama,
menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan
bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah, kedua,
menjamin kepatuhan syariah (shariah compliance), dan ketiga, menjamin stabilitas
sistem keuangan.77 Tujuan yang pertama antara lain terlihat dari pengaturan
mengenai ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah,

Prinsip Syariah dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/7/DPM tanggal 30 Maret 2007
perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah,
73
Asep Supyadillah, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Wahana Kardofa, 2013),
h.23-25; Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2016), h. xvi-xix;
74
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang perubahan kegiatan usaha
bank Umum konvensional menjadi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan Usaha
berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional.
75
Layanan Syariah adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan pemberian
jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan di Kantor Cabang dan
atau di Kantor Cabang Pembantu, untuk dan atas nama Kantor Cabang Syariah pada Bank
yang sama. Lihat, Darsono-Ali Sakti, dkk, Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2017), h.16-21
76
Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2016), h.131; Asep Supyadillah, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Wahana
Kardofa, 2013), h.24.
77
Yusuf Wibisono (edt), Indonesia Shari’ah Economic Outlook (ISEO) 2011,
(Jakarta: PEBS-FEUI, 201), h.3; Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk
dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010), h.89.
169
kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi BUS dan UUS, kerahasiaaan
bank, serta penyelesaian sengketa.78 Tujuan yang kedua antara lain terlihat dari
adanya ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit
Usaha Syariah (UUS), serta pembentukan Komite Pengawas Syariah (KPS) di
Bank Indonesia.79 Tujuan yang ketiga antara lain terlihat diadopsinya 25 Basel
Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang
pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-
hatian, kewajiban pengelolaan risiko serta pembinaan dan pengawasan.80
Sejak tahun 2008 hingga saat ini perbankan syariah telah menunjukkan
eksistensinya di Indonesia. Eksistensi perbankan syariah secara kelembagaan pada
Januari 2019 sebanyak 199 bank syariah, yang terdiri dari 14 Bank Umum Syariah
(BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS).81

Tabel 4.2
Posisi Perbankan Syariah Januari 2019
Industri Jumlah Jumlah Aset PYD DPK
Perbankan Institusi Kantor (dlm (dlm (dlm
Triliun) Triliun) Triliun)
Bank Umum 14 1.8885 311,54 198,54 252,48
Syariah
Unit Usaha 20 375 155,39 111,17 103,90
Syariah
Bank 165 469 12,37 9,03 8.10
Pembiayaan
Rakyat
Syariah
TOTAL 199 2670 479,3 318,74 356,48
Sumber: OJK

Secara kuantitatif hingga Januari 2019, total Aset perbankan syariah


sebanyak Rp.479,17 triliun, Pembiayaan yang disalurkan (PYD) sebesar Rp 326,48
triliun, dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 389,65 triliun, serta jumlah
rekening yang terus menunjukkan peningkatan yaitu DPK sebanyak 29.33 juta
nasabah dan PYD sebanyak 5,39 juta nasabah. Market share aset perbankan

78
Lihat Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
79
Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
80
Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; lihat juga Yusuf
Wibisono (edt), Indonesia Shari’ah Economic Outlook (ISEO) 2011, (Jakarta: PEBS-
FEUI,2011),h.3; Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia... h.131;
Darsono-Ali Sakti, dkk, Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di Indonesia ... h.16-
21
81
Statistik Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Kuangan, http. ojk.go.id

170
syariah mencapai 5,94% dengan rincian BUS memiliki porsi aset sebesar 64,99%,
UUS sebesar 32,43% dan BPRS sebesar 2,58%.82

Gambar 4.1
Perkembangan Aset, PYD dan DPK

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Dilihat dari kinerjanya, Perbankan Syariah mengalami pertumbuhan positif,


baik dari sisi aset, DPK, maupun PYD dengan laju masing-masing sebesar 12,71%,
11,21%, dan 13,20%. Dilihat dari ketahanan pe1Prbankan syariah memadai,
ditunjukkan oleh permodalan (CAR) yang semakin kuat dengan rata-rata 20,2%,
risiko kredit (NPF) yang menurun dengan rata-rata sebesar 2,99%, dan tingkat
likuiditas (FDR) yang terjaga dengan rata-rata 85,21%. Dilihat dari rentabilitas
juga membaik yang didukung oleh peningkatan efisiensi, yang ditunjukkan dalam
ROA sebesar 1,83%, NOM sebesar 2,07%, dan BOPO sebesar 84,15%.

Gambar 4.2
Perkembangan CAR, NPF dan FDR

82
Deden Firman Hendarsyah, Seminar Akhir Tahun Perbankan Syariah 2018,
tanggal 6 Desember 2019, diadakan oleh Direktorat Penelitian, Pengembangan, Pengaturan
dan Perizinan Perbankan Syariah (DP3PS)- Otoritas Jasa Keuangan.

171
Gambar 4.3
Perkembangan ROA, NOM dan BOPO

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Dari sisi lain, market share perbankan syariah terus mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya. Market share tertinggi pada DPK yang mencapai
6,72%. Market share Aset perbankan syariah mencapai 5,94%. Sementara market
share PYD terjaga pada 6,17%. Peningkatan jumlah rekening terjadi pada DPK.
Rata-rata setiap tahunnya jumlah rekening DPK meningkat lebih dari 3 juta
rekening. Sementara, jumlah rekening PYD cenderung stagnan di angka 5,3 juta
rekening. Peningkatan jaringan kantor paling banyak terjadi pada BUS (meningkat
61 kantor dalam 1 tahun terakhir). Sementara UUS mengalami peningkatan 13 unit
kantor.
Gambar 4.4
Perkembangan Market Share, Jumlah Rekening dan Jaringan Kantor

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

172
Selanjutnya terkait pembinaan dan pengawasan bank syariah mengalami
perubahan. Sesuai dengan UU BI,83 fungsi perbankan tersebut pada dasarnya
merupakan tugas BI, yaitu: 1). Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
2). Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan 3). Mengatur dan
mengawasi bank.84 Oleh karena itu, karena merupakan tugas BI, maka pembinaan
dan pengawasan perbankan dalam menjalankan tugasnya berada di bawah Bank
Indonesia. Namun, sejalan dengan adanya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), yang disahkan pada tanggal 22 November 2011 oleh DPR
dan Presiden, maka lingkup pengaturan dan pengawasan perbankan, yang
mencakup pengaturan dan pengawasan kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-
hatian, dan pemeriksaan bank, sekarang merupakan tugas dan wewenang OJK.
Berdasarkan UU No 21 tahun 2011 ini maka sejak tanggal 31 Desember 2013,
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan termasuk masalah perizinan, tidak lagi menjadi kewenangan
Bank Indonesia melainkan secara yuridis menjadi kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf a UU OJK bahwa kewenangan
OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank,
kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank. 85 Tugas dan
wewenang pengawasan dan pengaturan oleh OJK tersebut sering disebut dengan
istilah microprudential. Sementara itu, tugas dan wewenang pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh BI disebut dengan istilah makroprudensial.86
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK berkoordinasi
dengan BI untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.87

D. Produk Pasar Modal yang dijalankan Perbankan Syariah


Berdasarkan ketentuan pada Pasal 20 UU No.21/2008, bahwa Bank Umum
Syariah selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula ‚…melakukan kegiatan dalam pasar
modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; Menerbitkan, menawarkan,
dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah,
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan Menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan
Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar
modal;….‛ 88

83
Tugas Pokok BI Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.
84
Telah terbit UU No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan yang antara lain mengatur kewenangan tugas pengaturan dan pengawasan
bank.
85
Pasal 7 huruf a Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan
86
Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia 2013, h. 83
87
Otoritas Jasa keuangan: Booklet Perbankan Indonesia 2014, Edisi 1, Maret 2014,
h.19
88
Pasar 20 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

173
Sesuai dengan ketentuan UU tersebut bahwa perbankan syariah boleh
melakukan aktivitas bank dalam menunjang kegiatan pasar modal. Kegiatan yang
dapat dilakukan bank syariah tersebut bisa sebagai pihak penunjang penyelenggara
transaksi produk pasar modal seperti kustodian, wali amanat, dan penjamin emisi
efek. Kegiatan lain yang bisa dilakukan oleh perbankan syariah adalah sebagai
emiten atau investor dari efek-efek yang diterbitkan di pasar modal seperti sukuk,
saham, reksadana syariah dan/atau efek beragun aset syariah. Berikut penjelasan
dari masing-masing kegiatan dimaksud.

1. Produk Syariah di Pasar Modal

a. Saham Syariah
Saham atau stocks atau shares adalah surat bukti atau tanda kepemilikan
bagian modal pada suatu perseroan terbatas.89 ‚Saham merupakan sejumlah uang
yang diinvestasikan oleh investor dalam suatu perseroan‛90 Atas investasi dalam
perseroan tersebut, investor (pemegang saham) akan memperoleh keuntungan
dalam bentuk deviden sebanding dengan besarnya uang yang diinvestasikan, begitu
juga sebaliknya apabila terjadi kerugian91. Saham syariah merupakan efek
berbentuk saham yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah di Pasar Modal.92
Dalam kaitannya dengan pasar modal Indonesia, terdapat dua jenis saham
syariah yang diakui. Pertama, ‚saham yang dinilai memenuhi kriteria seleksi saham
syariah dalam Daftar Efek Syariah berdasarkan Peraturan OJK Nomor
35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah‛.93 Kedua

89
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: FEUI, 2001), h. 268;
Veithzal Rivai, Bank and Financial Institution Management, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007);
h.984.
90
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.257.
91
Saham merupakan kekayaan pribadi pemegang saham yang bersifat benda bergerak
yang tidak dapat diraba, namun dapat dialihkan, dijual atau diagunkan. Dalam
perkembangannya, berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, ‚saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya‛, sehingga tidak dikenal lagi
saham unjuk sebagaimana dikenal dalam KUHD adanya saham atas nama dan atas unjuk.
Lihat, Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.258
92
Saham syariah adalah efek berbasis ekuitas yang memenuhi prinsip syariah. Irwan
Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018), h.81;
93
Daftar Efek Syariah (DES) adalah kumpulan Efek Syariah, yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah (Pasal 1
angka 8 POJK No.35/POJK.04/2017). Dengan demikian, terdapat dua jenis DES yaitu DES
yang diterbitkan dan ditetapkan oleh OJK, dan DES yang diterbitkan oleh pihak yang
mendapat izin atau persetujuan OJK. DES berisi daftar saham syariah yang ada di pasar
modal syariah Indonesia baik saham syariah tercatat atau saham syariah publik. Saham
syariah tercatat adalah saham yang terdaftar di OJK dan tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI) sehingga dapat ditransaksikan di pasar sekunder. Saham syariah publik adalah saham
syariah yang tidak dicatatakan di BEI tapi terdaftar di OJK sehingga tidak dapat
diperjualbelikan di pasar sekunder. Lihat, Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah,
(Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018), h. 85-86.

174
adalah ‚saham yang dicatatkan sebagai saham syariah oleh emiten atau perusahaan
publik syariah berdasarkan peraturan OJK No.17/POJK.04/2015 tentang Penerbitan
Dan Persyaratan Efek Syariah Berupa Saham oleh Emiten Syariah Atau Perusahaan
Publik Syariah‛.94
Menurut ketentuan OJK, ‚semua saham syariah yang terdapat di pasar
modal syariah Indonesia, baik yang tercatat di BEI maupun tidak, dimasukkan ke
dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK secara berkala, setiap
bulan Mei dan November‛.95 Kriteria seleksi saham syariah oleh OJK dilakukan
dengan dua kriteria penilaian (screening), yaitu penilaian terhadap kegiatan usaha
perusahaan (business screening) dan penilaian terhadap aspek keuangan perusahaan
(financial screening).96
Penilaian business screening meliputi penilaian terhadap kegiatan usaha
perusahaan/emiten, apakah kegiatan usaha emiten tersebut sesuatu yang dilarang
atau tidak. Perusahaan emiten yang tidak sesuai syariah meliputi: a. perjudian dan
permainan yang tergolong judi; b. perdagangan yang dilarang menurut syariah,
antara lain: - perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa; -
perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu; c. jasa keuangan ribawi, antara
lain:- bank berbasis bunga; - perusahaan pembiayaan berbasis bunga; d. jual beli
risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir),
antara lain asuransi konvensional; e. memproduksi, mendistribusikan,
memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: - barang atau jasa haram
zatnya (haram li-dzatihi); - barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram
lighairihi) yang ditetapkan oleh DSN MUI; - barang atau jasa yang merusak moral
dan/atau bersifat mudarat; f. melakukan transaksi yang mengandung unsur suap
(risywah). 97
Selain dilihat dari kegiatan usaha tersebut di atas, penilaian saham syariah
juga didasarkan atas penialian aspek keuangan (financial screening). Penilaian
aspek keuangan ini melioputi: a. Rasio total utang yang berbasis bunga (riba)
dibandingkan dengan total asset perusahaan tidak lebih dari 45% (empat puluh lima
per seratus); dan b. Rasio total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal

94
Saham ini sering disebut saham emiten syariah. Maksudnya adalah saham yang
diterbitkan oleh emiten yang menyatakan sebagai perusahaan yang memenuhi prinsip
syariah. Lawan dari saham emiten syariah adalah saham lolos seleksi syariah (saham
syariah). Lihat, Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Media Komputindo,
2018), h. 88.
95
Pasal 5 POJK No.35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek
Syariah
96
Pasal 2 dan 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 Tentang
Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal; Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan
dan Arah Kebijakan, dalam ‚Bunga Ranpai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri
Jasa Keuangan Syariah, (Jakarta: OJK, 2017), h.21
97
Pasal 2 dan 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 Tentang
Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal; Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan
dan Arah Kebijakan, dalam ‚Bunga Ranpai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri
Jasa Keuangan Syariah, (Jakarta: OJK, 2017), h.21

175
lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan
lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus).98 Dengan demikian penilaian
dari aspek keuangan ini meliputi dua hal yaitu mengukur besarnya rasio riba
terhadap sumber dana perusahaan yang digunakan untuk melakukan kegiatan
usahanya, dan mengukur besarnya besarnya rasio riba terhadap sumber pendapatan
perusahaan.99
Gambar 4.5
Perkembangan Saham Syariah

b. Sukuk
S}ukuk (bahasa Indonesia: Sukuk) berasal dari kata s}akk berarti sertifikat
atau dokumen.100 Secara terminologi, sukuk diartikan sebagai efek syariah berupa
‚suatu sertifikat bernilai sama yang merepresentasikan bukti kepemilikan
pemegang sukuk atas suatu bagian tertentu dan tidak terbagi terhadap suatu aset
yang menjadi dasar penerbitannya dapat berupa aset berwujud, nilai manfaat, jasa
dan aset dari suatu proyek tertentu maupun kegiatan investasi yang telah
ditentukan‛.101
Dengan demikian secara garis besar sukuk dapat dipahami sebagai suatu
sertifikat bernilai sama yang merepresentasikan bukti kepemilikan pemegang sukuk
atas suatu bagian tertentu dan tidak terbagi terhadap suatu aset yang menjadi dasar

98
Fatwa DSN-MUI No. 20/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksadana Syariah; Pasal 2 dan 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
15/POJK.04/2015 Tentang Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal.
99
Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018),
h.90.
100
Rahail Ali, Sukuk and Islamic Capital Markets, (London: Global Business
Publishing Ltd, 201), h.7; Muhammad Al-Bashir Muhammad Al-Amine, ‚Unresolved
Shari’ah Issues In Sukuk Structuring,‛ dalam Mohammad Hashim Kamali and
A.K.Abdulloh, Islamic Finance: Issues in Sukuk and Proposal for Reforms, (Kuala Lumpur:
IIAIS, 2014), h.31; Asyraf Wajdi Dusuki (edt), Islamic Finansial System: Principle and
Operations, (Kuala Lumpur:ISRA, 2016), h. 412-415
101
AAOIFI, al-Mi’yar Syar’i /Syariah Standard No. 17 tentang Sukuk al-Istitsmar,
‚Investment Sukuk are certificates of equal value representing undivided shares in
ownership of tangible assets, usufruct and services or (in the ownership of) the assets of
particular projects or special investment activity….‛
176
penerbitan sukuk (underlaying aset).102 Aset yang dapat menjadi dasar penerbitan
sukuk dapat berupa aset berwujud, nilai manfaat, jasa dan aset dari suatu proyek
tertentu maupun kegiatan investasi yang telah ditentukan.103
Dalam perkembangannya, DSN-MUI mendifinisakan sukuk dengan
pengertian yang lebih komprehensif yaitu:
‚ Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang
bernilai sama, setelah diterimanya dana sukuk, penutupan pemesanan dan
dimulainya penggunaan dana sesuai peruntukannya, dan mewakili bagian yang
tidak bisa dipastikan batas-batas kepemilikannya (undivided share/syuyu’)
atas aset yang mendasarinya baik berupa aset berwujud tertentu ( al-a’yan),
nilai manfaat atas aset berwujud (mana@fi’ al-a’ya@n), jasa (al-khadama@t), aset
proyek tertentu (maujuda@t masyru’ mu’ayyan) dan/atau aset kegiatan investasi
yang telah ditentukan (nasyat} istithma@r kha@s}s}ah) yang mewajibkan Penerbit
untuk membayar pendapatan kepada pemegang sukuk berupa bagi
hasil/margin/fee dan membayar kembali dana sukuk pada saat jatuh tempo
sesuai karakteristik akad.‛104
Dari pengertian yang dikemukakan DSN-MUI tersebut menjelaskan
karakteristik utama dari sukuk yaitu tidak hanya berbentuk sertifikat semata, tetapi
juga proses bentuk kepemilikan dari sertifikat itu benar-benar terjadi, yang ditandai
dengan ‚setelah diterimanya dana sukuk, penutupan pemesanan dan dimulainya
penggunaan dana sesuai peruntukannya‛.
Dalam kontek pasar modal, Sukuk diartikan sebaga ‚efek berbentuk
sekuritisasi aset yang memenuhi prinsip-prinsip syariah di pasar modal‛.105
Berdasarkan penerbitnya, sukuk terdiri dari dua jenis yaitu Sukuk Negara atau
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Korporasi. Sukuk Negara adalah
sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-undang No.
19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).106 Sukuk Korporasi

102
Dahlan Siamat, Pengembangan Industri Keuangan Syariah yang Berbasis Proyek
dan Pembangunan Infrastruktur, dalam Otoritas Jasa Keuangan: Bunga Rampai Gagasan
dan Gerakan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, (Jakarta: OJK, 2017), h. 140.
103
ibid
104
Fatwa DSN-MUI No. 131/DSN-MUI/X/2019 tentang Sukuk Wakaf
105
Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan dan Arah Kebijakan, dalam
‚Bunga Rampai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah,
(Jakarta: OJK, 2017), h.21
106
Dasar hukum penerbitan Sukuk Negara atau SBSN yaitu Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2008 tentang SBSN; PP Nomor 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit
SBSN; Peraturan Menteri Keuangan No.05/PMK.08/2018 tentang Penerbitan dan Penjualan
SBSN di Pasar Perdana Dalam Negeri dengan Cara Lelang sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.08/2017. Di samping itu juga terdapat
fatwa dan opini DSN-MUI terkait akad-akad yang digunakan dalam penerbitan Sukuk
Negara. Fatwa-fatwa DSN tersebut yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor 69/DSN-MUI/VI/2008
tentang SBSN. - Fatwa DSN-MUI Nomor 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode
Penerbitan SBSN. - Fatwa DSN-MUI Nomor 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease
Back. - Fatwa DSN-MUI Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN-Ijarah Sale and
Lease Back. - Fatwa DSN-MUI Nomor 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset

177
adalah sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, baik perusahaan swasta maupun
Badan Umum Milik Negara (BUMN), berdasarkan peraturan OJK No.
18/POJK.04/2015 tentang penerbitan dan persyaratan sukuk.107
Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) sejak tahun
2008 hingga 2019 telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan atau terus
meningkat setiap tahunnya. Menurut DJPPR Kementrian Keuangan, ‚akumulasi
nilai penerbitan Sukuk Negara sejak tahun 2008 hingga 15 Oktober 2019 telah
mencapai ekuivalen Rp1.198,61 triliun, yang diterbitkan dalam denominasi US
Dollar dan Rupiah dengan metode lelang, bookbuilding, dan private placement.
Nilai outstanding Sukuk Negara per 15 Oktober 2019 adalah ekuivalen Rp719,22
triliun.‛108 Jumlah tersebut menjadikan pangsa pasar sukuk negara mencapai 18%
dari total Sukuk Berharga Negara (SBSN).109 Hal ini tidak terlepas dari agresifnya
Pemerintah dalam menerbitkan efek tersebut, baik dalam mata uang rupiah maupun
dalam mata uang asing. Selain itu, sukuk negara juga diminati oleh investor karena
memberikan imbalan yang kompetitif.110
Sukuk korporasi merupakan instrumen likuiditas dan portofolio penting
bagi industri keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah,
reksadana syariah maupun dana pensiun syariah. Sejak diterbitkan pertama kali
pada tahun 2002 sampai dengan Januari 2019 telah diterbitkan sukuk korporasi
sebanyak 109 sukuk dengan total nilai emisi sebesar Rp 22,558 triliun. Dari jumlah
sukuk tersebut, apabila dilihat dari segi akad yang digunakan adalah sukuk ijarah
sebanyak 75 dengan nilai emisi Rp 12,360 triliun dan sukuk mudharabah sebanyak
31 kali dengan nilai emisi Rp 9,598 triliun, dan Akad Wakalah sebanyak 3 kali
dengan nilai emisi Rp 600 Miliar.111

to be Leased - Fatwa No.95/DSN-MUI/VIII/2014 tentang SBSN Wakalah. Adapun opini


yaitu Opini Syariah DSN-MUI No. B-373/DSN-MUI/X/2009 (lelang Sukuk Negara yang
diterbitkan menggunakan struktur akad Ijarah Sale and Lease Back) dan Opini Syariah
DSN-MUI No. B-234/DSN-MUI/VI/2012 (lelang Sukuk Negara yang diterbitkan
menggunakan struktur akad Ijarah Asset To Be Leased).
107
Hal yang sama untuk Sukuk Korporasi, di samping Peraturan OJK No.
18/POJK.04/2015 tentang penerbitan dan persyaratan sukuk, juga POJK lainnya yaitu POJK
No.15/POJK.04/2015 Tentang Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal; dan POJK No. 53
/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah Di Pasar
Modal.
108
Penjelasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR)
Kementrian Keuangan kepada DSN-MUI tanggal 30 Oktober 2019 di Jakarta.
109
Direktorat Jendral Pengelolaan Pemboiayaan dan Risiko (DJPPR), Kementrian
Keuangan RI, Bahan Presentasi Permintaan Opini Syariah Sukuk Negara Ritel SR-011, 20
Februari 2019.
110
Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan dan Arah Kebijakan, dalam
‚Bunga Rampai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah,
(Jakarta: OJK, 2017), h.21
111
Statistik ojk

178
Tabel 4.3
Jumlah Penerbitan Sukuk dan Akad yang digunakan
No Akad Jumlah Nilai Emisi (RP)
Penerbitan
1 Ijarah 75 12,360,000,000,000,-
2 Mudharabah 31 9,598,000,000,000,-
3 Wakalah 3 500,000,000,000,-
JUMLAH 109 22,558,000,000,000,-

Apabila dilihat dari komposisi perusahaan yang menerbitkan sukuk dan


pemegang sukuk, maka bidang keuangan termasuk pihak yang aktif menjadikan
instrumen sukuk sebagai tempat investasi dan memperoleh likuiditas. Pada tahun
2017, komposisi perusahaan keuangan sebagai penerbit sebanyak 16 kali dengan
nilai emis Rp.4,726 miliar, dan pemegang sukuk hampir 90% berasal dari lembaga
keuangan.112

c. Reksa Dana Syariah


Reksa dana syariah menurut POJK. No 19/POJK.04/2015 adalah Reksa
dana sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan
peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.113 Berdasarkan definisi tersebut, maka setiap jenis reksa
dana dapat diterbitkan sebagai reksa dana syariah sepanjang memenui prinsip-
prinsip syariah, termasuk aset yang mendasari penerbitannya.114 Reksa dana syariah
dianggap memenuhi prinsip syariah di pasar modal apabila akad, cara pengelolaan,
dan portofolionya tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal
sebagaimana diatur dalam peraturan OJK tentang Penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.115
Sebagai produk pasar modal syariah yang pertama kali diterbitkan,
perkembangan reksadana syariah cukup menggembirakan. Pada akhir Januari 2019
jumlah reksadana syariah sebanyak 223 reksadana atau 10,65% dari total
reksadana, dengan total nilai aktiva bersih sebesar 37,300,97 Miliar atau 7,17% dari
nilai aktiva bersih seluruh reksadana.116

112
Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan dan Arah Kebijakan, dalam
‚Bunga Rampai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah,
(Jakartta: OJK, 2017), h.25
113
Berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU, No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Reksa
Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal
untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi.
114
POJK No.19/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan Persyaratan Reksa Dana
Syariah
115
POJK No.15/POJK.04/2015 Tentang Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal;
dan POJK No. 53 /POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek
Syariah Di Pasar Modal.
116
Statistik OJK

179
Gambar 4.6

Perkembangan Reksadana Syariah

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Tabel 4.4
Perkembangan Reksadana Syariah

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), reksa dana syariah sempat
mengalami penurunan yang signifikan dari sekitar Rp 37 triliun di akhir tahun 2018
menjadi sekitar Rp 33 triliun di April 2019. Berarti, penurunanya mencapai sekitar
Rp 4 triliun. Data OJK mencatat, reksa dana saham syariah merupakan pemilik
total aset yang paling besar hingga Rp 10,8 triliun, diikuti oleh reksa dana syariah
efek luar negeri sekitar Rp 7,5 triliun, reksa dana syariah pasar uang sekitar Rp 5,21
triliun, dan reksa dana syariah campuran sekitar Rp 3,63 triliun.117

117
https://money.kompas.com/read/2019/05/15/115437026/kelolaan-reksa-dana-
syariah-sempat-turun-hingga-rp-4-triliun-di-april-2019-apa;

180
d. Efek Beragun Aset (EBA) Syariah
Berdasarkan peraturan OJK No. 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan
Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah, Efek beragun aset syariah (EBA syariah)
yang diterbitkan di pasar modal Indonesia terdiri dari dua jenis, yaitu: 1) EBA
syariah berbentuk Kontrak Investasi Kolektif antara manajer investasi dan bank
kustodian (KIK-EBAS) dan 2) EBA syariah berbentuk surat partisipasi (EBAS-SP).
KIK-EBAS adalah ‚efek beragun aset yang portofolio (terdiri dari aset keuangan
berupa piutang, pembiayaan atau aset keuangan lainnya), akad dan cara
pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar
modal‛.118 EBAS-SP adalah ‚Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan oleh
penerbit yang akad dan portofolionya (berupa kumpulan piutang atau pembiayaan
pemilikan rumah) tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal serta
merupakan bukti kepemilikan secara proporsional yang dimiliki bersama oleh
sekumpulan pemegang EBAS-SP‛.119 Perkembangan EBA Syariah sudah dijelaskan
pada bab III sebelumnya.
Tabel 4.5
Perbedaan EBAS dengan Sukuk
No Uraian Sukuk EBAS
1 Dasar hukum POJK tentang Sukuk POJK tentang EBAS
2 Underlying asset Aset/proyek (Aset Pembiayaan Perumahan
berwujud, manfaat atas (EBAS-SP); Barang,
aset berwujud, jasa, aset Manfaat & Jasa (KIK-
proyek tertentu, aset EBAS)
kegiatan investasi)
3 Penerbit (Issuer) Pemilik aset Lembaga Keuangan (PT.
SMF = EBAS-SP); dan
(Manajer Investasi =
KIK-EBAS) (SPV)
4 Pendapatan Hasil kegiatan usaha atau Pembayaran nasabah/
proyek Pengguna

e. Exchange Traded Fund (ETF) Syariah


ETF syariah atau Exchange Traded Fund syariah adalah ‚salah satu bentuk
dari reksa dana berbentuk KIK yang memenuhi prinsip-prinsip syariah di pasar
modal dimana unit penyertaannya dicatatkan dan ditransaksikan seperti saham
syariah di Bursa Efek‛.120 Karena ETF ini berbentuk reksa dana maka
penerbitannya harus memenuhi peraturan OJK No. 19/POJK.14/2015 tentang

118
Peraturan OJK No. 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek
Beragun Aset Syariah
119
https://www.idx.co.id/idx-syariah/produk-syariah/
120
https://www.idx.co.id/idx-syariah/produk-syariah/; lihat juga Irwan Abdalloh,
Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018), h.116.
181
penerbitan dan persyaratan reksa dana syariah. Agar pada saat transaksi memenuhi
prinsip-prinsip syariah maka investor yang akan melakukan jual beli ETF syariah
harus melalui anggota bursa yang memiliki Syariah Online Trading
System (SOTS).121 Menurut Abdalloh, ‚meskipun termasuk reksadana syariah, ETF
ini memiliki karakteristik seperti saham syariah, karena investor dapat melakukan
jual beli unitnya melalui pasar reguler bursa efek‛.122
Akad yang digunakan dalam ETF syariah adalah akad wakalah dan bai’ al-
musawamah.123 Akad wakalah digunakan antara investor dengan penerbit
reksadana syariah di pasar perdana. Akad bai’ musawah digunakan pada saat
transaksi terjadi di pasar reguler bursa efek. Perbedaan antara ETF syariah dengan
saham syariah yaitu pasar primer dan pasar sekunder untuk ETF syariah selalu ada
sepanjang produknya masih ditransaksikan.124
Transaksi ETF Syariah (berbasis saham) pada akhir tahun 2018 baru
sebesar Rp 30 miliar. Untuk ETF konvensional, pada akhir tahun 2018 dana
kelolaan/AUM produk ETF mencapai Rp 11,59 triliun, yang mengalami kenaikan
dari tahun sebelumnya sekitar 43,44 persen dari Rp 8,08 triliun. 125

f. Dana Investasi Real Estat (DIRE) Syariah


Berdasarkan peraturan OJK No. 30/POJK.04/2016 tentang Dana Investasi
Real Estat Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, yang di maksud dengan
Dana Investasi Real Estat Syariah (DIRE Syariah) adalah ‚wadah yang
dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan pada aset real estat, aset yang berkaitan dengan real estat, dan/atau
kas dan setara kas yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar
modal‛.126 ‚DIRE Syariah berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dikatakan
memenuhi prinsip syariah di pasar modal jika akad, cara pengelolaan dan aset real
estat, aset yang berkaitan dengan real estat, dan/atau kas dan setara kas, tidak
bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal‛.127 Transaksi

121
ibid
122
Irwan Abdalloh, Pasar Modal Syariah, (Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018),
h.116.
123
Bai’ al-Musawamah adalah akad jual beli dengan kesepakatan harga pasar yang
wajar melalui mekanisme tawar menawar yang berkesinambungan. Lihat Fatwa DSN-MUI
No:80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah Dalam Mekanisme
Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas Di Pasar Reguler Bursa Efek
124
Yang membedakannya adalah untuk pasar primer nilai transaksinya minimal 1000
lot=100.000 unit, sedangkan untuk pasar sekunder minimal sebanyak 1 unit (100 lot), sama
seperti saham. Lihat, Irwan Abdalloh, h.116
125
https://www.beritasatu.com/ekonomi/546964/2019-aum-etf-berpeluang-tembus-
rp-15-triliun, diunduh tanggal 2 Juni 2019.
126
Pasal 1 angka 1 peraturan OJK No. 30/POJK.04/2016 tentang Dana Investasi Real
Estat Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
127
Sumber: https://www.idx.co.id/idx-syariah/produk-syariah/, diunduh tanggal 30
April 2019.

182
DIRE syariah, sampai maret 2019 belum beredar di pasar, artinya belum ada yang
menerbitkan DIRE Syariah.128

2. Kegiatan sebagai penunjang pasar modal

Kegiatan penunjang di pasar modal yang dapat dilakukan oleh bank syariah
yaitu sebagai:
a. Kustodian (Tempat Penitipan Harta)
Di antara kegiatan usaha bank umum syariah berdasarkan UU Perbankan
Syariah adalah melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah.129 ‚Penitipan adalah penyimpanan
harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan
ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut‛.130 Produk penitipan harta tersebut sering disebut
oeiduk kustodi, dan pihak yang mengelolanya disebut dengan Kustodian.131
Kustodian ini dalam rangka kegiatan pasar modal merupakan
Lembaga Penunjang Kegiatan Pasar Modal.132
Mengingat kegiatan penitipan sebagai salah satu kegiatan bank umum telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, maka Bank
Umum tidak lagi memerlukan izin untuk melakukan kegiatan penitipan. Namun,
apabila bank umum akan melakukan kegiatan sebagai Kustodian yang merupakan
kegiatan yang lebih luas dari kegiatan penitipan dan terkait dengan kegiatan
lembaga lainnya seperti Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek,
dan Reksa Dana, maka Bank Umum tetap memerlukan persetujuan dari
Bapepam/OJK133
Begitu juga Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Perusahaan Efek
tidak memerlukan izin atau persetujuan secara terpisah untuk melakukan kegiatan
sebagai Kustodian karena izin yang telah diberikan sebagai Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian atau Perusahaan Efek sudah mencakup kegiatan Kustodian.134
Berdasarkan Pasal 43 UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, (1) Yang dapat
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Kustodian adalah Lembaga

128
https://market.bisnis.com/read/20190318/7/901303/eba-dan-dire-syariah
ditargetkan-terbit-tahun-ini
129
Pasal 19 ayat (1) huruf L UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah
130
Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
131
‚Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain
yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan
hak - hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya‛. Lihat Pasal 1 angka 8 UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal.
132
Bab IV Lembaga Penunjuang Pasar Modal, Pasal 43 UU No.8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal. Pasal 43 ayat (1) berbunyi sbb: ‚Yang dapat menyelenggarakan kegiatan
usaha sebagai Kustodian adalah Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek,
atau Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Bapepam‛.
133
Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
134
Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal

183
Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, atau Bank Umum yang telah
mendapat persetujuan Bapepam. (2) Persyaratan dan tata cara pemberian
persetujuan bagi Bank Umum sebagai Kustodian diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Kustodian yang menyelenggarakan kegiatan penitipan bertanggung jawab
untuk menyimpan Efek milik pemegang rekening dan memenuhi kewajiban lain
sesuai dengan kontrak antara Kustodian dan pemegang rekening dimaksud. Efek
yang dititipkan tersebut wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri dan Efek
yang disimpan atau dicatat pada rekening Efek Kustodian bukan merupakan bagian
dari harta Kustodian tersebut.135 Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau
dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang
rekening atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya.136
Kustodian wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang rekening atas setiap
kerugian yang timbul akibat kesalahannya.137
Pada praktiknya, sampai pada awal tahun 2019 ini sudah ada 1 bank syariah
sebagai bank kustodian yaitu Bank Syariah Mandiri.138

b. Wali Amanat
Kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah ialah
melakukan fungsi sebagai Wali Amanat.139 Wali Amanat ‚adalah Bank Umum
Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad
wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat
berharga tersebut‛.140 Untuk dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Wali
Amanat, Bank Umum atau Pihak lain wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam
sekarang: OJK). Persyaratan dan tata cara pendaftaran Wali Amanat diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.141 Wali Amanat dilarang mempunyai
hubungan Afiliasi dengan Emiten, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.142 Wali Amanat mewakili
kepentingan pemegang Efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Wali Amanat dilarang mempunyai hubungan kredit dengan Emiten
dalam jumlah sesuai dengan ketentuan Bapepam yang dapat mengakibatkan
benturan kepentingan antara Wali Amanat sebagai kreditur dan wakil pemegang
Efek bersifat utang.143 Penggunaan jasa Wali Amanat ditentukan dalam peraturan

135
Pasal 44 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
136
Pasal 45 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
137
Pasal 45 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
138
https://keuangan.kontan.co.id/news/bank-mandiri-syariah-ajukan-izin-bank-
kustodi-syariah-pertama, diunduh tanggal 2Juni 2019
139
Pasal 19 ayat (1) huruf O UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan
bahwa salah satu kegiatan usaha bank umum syariah adalah melakukan fungsi sebagai Wali
Amanat berdasarkan Akad wakalah.
140
Pasal 1 angka 28 UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah
141
Pasal 50 ayat 2 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
142
Pasal 51 ayat (1) UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
143
Pasal 52 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal

184
Bapepam. Emiten dan Wali Amanat wajib membuat kontrak perwaliamanatan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam (OJK).
Pada praktiknya, sampai pada awal tahun 2019 ini bank syariah yang
terdftar di OJK sebagai Wali Amanat terdapat 2 bank yaitu BRI Syariah yang
mendapat lisensi Wali Amanat tanggal 29 Desember 2010 dan Bank Syariah
Mandiri yang mendapat lisensi Wali Amanat pada 1 Maret 2019.144

c. Penjamin Emisi Efek


Salah satu kegiatan usaha berkaitan dengan pasar modal adalah Penjamin
Emisi Efek. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan
Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau
tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.145 Dengan kata lain,
Penjamin emisi efek (under writer efek), merupakan pihak yang membantu emiten
dalam rangka penerbitan saham. Tugasnya antara lain, menyiapkan berbagai
dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas
penerbitan.146
Bank yang ingin melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek
dan perantara perdagangan efek hendaknya mendirikan perusahaan efek baik sendiri
maupun melakukan kerjasama dengan bank atau perusahaan lain. Dalam pendirian
perusahaan efek atau penyertaan tersebut harus berpedoman pada ketentuan
mengenai penyertaan.147
Sehubungan penjaminan emisi efek oleh bank ini, maka bank wajib
memenuhi ketentuan mengenai penjaminan emisi efek berdasarkan peraturan
perundang-undangan.148 Pada praktiknya, sampai pada awal tahun 2019 ini belum
ada BUS yang menjadi penjamin emisi efek/underwriter sebagai lembaga
penunjang pasar modal.

3. Kegiatan sebagai Emiten dan Investor produk Pasar Modal


Undang-undang perbankan syariah menegaskan bahwa Bank Umum
Syariah dapat melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal.149 Kegiatan yang dapat dilakukan bank umum syariah adalah
menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang

144
https://www.ojk.go.id/id/kanal/pasarmodal/Daftar%20Perusahaan/Wali%20
Amanat.pdf, diunduh pada tanggal 2 Juni 2019
145
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 Tentang Perizinan
Wakil Penja min Emisi Efek Dan Wakil Perantara Pedagang Efek
146
Pasal 1 angka 17 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
147
Lihat Pasal 32 dan 33 UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
148
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 Tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek Dan
Wakil Perantara Pedagang Efek.
149
Ketentuan huruf e Pasal 20 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah

185
berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
pasar modal.150
Sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahwa pasar modal memiliki dua
peran utama bagi para pemangku kepentingan, yaitu sebagai sumber pendanaan
bagi yang membutuhkan dana (deficit unit), dan pada sisi lain sebagai sarana
investasi bagi yang kelebihan dana (surplus unit).151 Dalam kaitannya dengan
kegiatan pasar modal ini yang dapat dilakukan oleh bank syariah adalah menjadi
emiten/pihak penerbit dari efek-efek yang ada di pasar modal, seperti sukuk, saham,
reksadana, dan Efek Beragun Aset. Dengan menjadi emiten dalam instrumen-
intrumen tersebut maka bank syariah akan memperoleh alternatif sumber
pendanaan (sources of fund) dalam upaya peningkatan kapasitas dan ekspansi
kegiatan usahanya. Di samping sebagai emiten, bank syariah juga dapat menjadi
investor dari produk efek yang diterbitkan oleh emiten lainnya. Sebagai investor,
Bank syariah secara bebas dapat menempatkan dananya dalam berbagai instrumen
yang ada di pasar modal syariah dalam upaya memenuhi likuiditas atau dalam
upaya investasi.
Lembaga keuangan syariah khususnya bank syariah yang sudah melakukan
penerbitan intrumen/produk pasar modal yang terlisted di Bursa Efek Indonesia
masih terbatas sebaga tabel di abwah ini.152

Tabel 4.5
LKS yang Menerbitkan eEek

Berdasarkan data OJK, dari sekian banyak kelompok pemegang sukuk


maka salah satunya adalah kelompok lembaga keuangan, baik keuangan
konvensional maupun keuangan syariah. jumlahnya pada tahun 2018 sekitar 90 %
dari total emisi sukuk.153

150
Ketentuan huruf h Pasal 20 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah
151
Noureddine Krichene, Islamic Capital Markets Theory and Practice, (Singapore:
John Wiley & Son, 2013), h.3
152
Andri Soemitra, Higher Objectives of Islamic Investment Products: Islamizing
Indonesian Capital Market, Jurnal STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic
Studies, PPIM Jakarta, Vol. 23, No. 2 (2016), h. 237
153
Nurhaida, Pasar Modal Syariah: Perkembangan dan Arah Kebijakan, dalam
‚Bunga Rampai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah,
(Jakarta: OJK, 2017), h.21

186
Perkembangan sukuk korporasi sampai bulan November 2019 menurut
statistik OJK sebagai berikut:154

Gambar 4.7
Perkembangan Sukuk Korporasi

Namun dalam hal penerbitan sukuk korporasi, Indonesia masih menempati


posisi ke-7 di dunia. Malaysia menjadi negara yang menempati posisi pertama,
diikuti dengan Uni Emirat Arab, Turki, Qatar,Kuwait, dan Saudi (IFSI, 2018).
Tingkat penerbitan sukuk korporasi dari banyak negara dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, termasuk biaya penerbitan yang lebih tinggi, struktur hukum yang lebih
rumit,kurangnya standarisasi sukuk, dan kurangnya kecocokan aset. Selain itu ada
juga faktor insentif fiskal dan pemain pasar sukuk di banyak negaradibandingkan
dengan pemain pada pasar obligasi.155

4. Permasalahan Penerapan Produk Syariah di Pasar Modal


Pasar modal syariah adalah salah satu subsektor dalam industri keuangan
syariah yang berfungsi sebagai intermediasi sirkulasi modal. Pasar modal syariah,
seperti halnya pasar modal konvensional, merupakan komponen penting dalam
sebuah sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam praktiknya, industri pasar
modal syariah mengacu pada prinsip-prinsip syariah yang operasionalnya secara
umum sejalan dengan konsep Islam dalam pemerataan dan peningkatan
kemakmuran.156
Menurut Dahlan Siamat, beberapa tantangan yang berpotensi menghambat
perkembangan atau pertumbuhan produk pasar modal, di antaranya sukuk korporasi
adalah ‚terbatasnya penggunaan struktur atau akad disebabkan adanya kendala
dalam perlakuan perpajakan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan yang

154
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/data-produk-obligasi-
syariah/Documents/Pages/Statistik-Sukuk-Syariah---November 2019/Statistik%20Sukuk%
20November%202019.pdf
155
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, tahun 2018, h.
199
156
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Masterplan Ekonomi Syariah ..., h. 199

187
menerbitkan sukuk dengan akad tertentu misalnya akad ijarah‛.157 Untuk
menghindari perlakuan pengenaan pajak ganda (double taxation) korporasinya
umumnya menghindari penggunaan akad ijarah dalam penerbitan sukuk korporasi.
Sementara sukuk dengan akad ijarah secara umum lebih diminati investor
dibanding akad-akad lainnya.158 Hal yang sama juga berlaku bagi produk EBAS
memiliki beberapa tantangan yang berpotensi menghambat perkembangan.
Permasalahan yang ada saat ini adalah pengenaan pajak yang lebih tinggi
atas penerbitan sukuk ijarah sale and lease back dibandingkan penebitan obligasi
konvensional yaitu sebagai berikut: a. Pengenaan pajak PPN atas penjualan aset
yang akan dijadikan dasar penerbitan (underlying asset); b. Pengenaan pajak PPN
atas penyewaan underlying asset (lease back) oleh obligor kepada Special Purpose
Vehicle (SPV); c. Pengenaan pajak PPN atas penjualan underlying asset (sale back)
oleh SPV kepada obligor; dan d. Pengenaan PPN dan PPH atas penerimaan imbalan
sukuk yang dibayarkan obligor kepada investor.159
Permasalahan utama dalam pengembangan sukuk korporasi terletak
sekurang-kurangnya pada lima hal yaitu ketidakjelasan pajak (regulasi), minimnya
pemahaman emiten tentang obligasi syariah (sukuk), minimnya SDM profesional
(pelaku pasar), likuiditas di pasar sekunder dan kurangnya sosialisasi.160
Masalah yang dihadapi dalam kaitan dengan sukuk di pasar sekunder
adalah rendahnya tingkat likuiditas dan volume serta frekuensi transaksi, jumlah
autstanding yang masih relatif kecil atau dengan kata lain sisi suplai sukuk negara
masih perlu secara terus menerus diperbesar, dan investor sukuk umumnya
didominasi oleh investor dengan perspektif dan orientasi investasi ‚buy and hold
maturity‛.161

E. Potensi Sekuritisasi EBA oleh Bank Syariah


Kegiatan usaha bank syariah dapat dikelompokkan pada 3 (tiga) jenis
kegiatan, yaitu melakukan penghimpunan dana, melakukan penyaluran dana, dan
memberikan pelayanan jasa-jasa.162 Dalam kaitannya dengan penerbitan EBA,
kegiatan usaha yang dapat d ijadikan potensi dasar sumber aset (underlying aset)

157
Dahlan Siamat, Pengembangan Industri Keuangan Syariah yang Berbasis Proyek
dan Pembangunan Infrastruktur, dalam Otoritas Jasa Keuangan: Bunga Rampai Gagasan
dan Gerakan Pengembangan Industri Keuangan Syariah, (Jakarta: OJK, 2017), h. 153
158
Dahlan Siamat, Pengembangan Industri Keuangan ...
159
Dahlan Siamat, Pengembangan Industri Keuangan Syariah ..., h. 158
160
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Masterplan Ekonomi Syariah ..., h.204
161
Dahlan Siamat, Pengembangan Industri Keuangan Syariah ..., h. 154
162
Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 UU Perbankan Syariah,
salah satu kegiatan usaha Bank Syariah adalah menyalurkan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.

188
dalam penerbitan EBA oleh bank syariah adalah kegiatan pembiayaan.163
Dengan pembiayaan yang dilakukan maka bank syariah akan memperoleh
imbalan pendapatan/keuntungan berupa marjin, fee atau bagi hasil tergantung akad
yang digunakannya.164 Dari pendapatan yang diperoleh tersebut, akan digunakan
oleh bank syariah untuk keperluan pemberian imbalan kepada nasabah yang
menempatkan dana pada bank, membayar biaya-biaya operasional bank,
membentuk cadangan kerugian, dan memberikan dividen kepada pemegang saham
bank.165 Dari kegiatan pembiayaan yang dilakukan bank kepada nasabah ini, yang
pembayarannya oleh nasabah dilakukan secara tidak tunai,166 maka bank juga
memiliki aset. Aset yang dimiliki bank ini dapat berupa piutang atau bagian
kepemilikan dari aset- tergantung akad yang digunakan.167 Dari sumber aset
(underlying asset) yang dimiliki bank dimaksud kemudian bank mengalihan aset
tersebut kepada pihak Penerbit maka terjadi proses awal penerbitan EBA
Syariah.168

163
Dalam UU Perbankan Syariah, terdapat dua kata yang secara sepintas memiliki
kesamaan arti yaitu kata ‚penyaluran dana‛ dan ‚pembiayaan‛. Kata ‚pembiayaan‛
digunakan secara spesifik -sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 angka 25 UUPS, sebagai
penyediaan dana atau tagihan yang mewajibkan penerima dana untuk mengembalikan dana
tersebut sesuai dengan bentuk transaksi yang melandasinya. Kata ‚penyaluran dana‛
digunakan untuk penyediaan dana oleh bank syariah yang bersifat umum, yaitu tidak hanya
terbatas dalam bentuk pembiayaan, tapi juga dalam bentuk lainnya seperti penempatan
investasi surat berharga, penempatan dana pada bank syariah lain, penyertaan modal pada
Lembaga Keuangan Syariah, penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan
pembiayaan, atau pemberian penjaminan. Lihat ketentuan Pasal 37, Pasal 54, dan Pasal 20
huruf c UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS).
164
Sudin Haron & Bala Shanmugan,Islamic Banking System Concepts &
Applications, (Malaysia: Pelanduk Publications Sdn.Bhd, 2001), h.111;Darsono-Ali
Sakti,dkk; Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2017); h.72-74; Marjan Muhammad & Mezbah Uddin Ahmed (edt), Islamic Financial
System Principles & Operations, (Kuala Lumpur: Isra & Cagamas), 2016; Cet.II, h.324-363.
165
Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.66; Asep Supyadillah, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta:
Wahana Kardofa, 2013), h.258
166
Pembayaran yang dilakukan nasabah atas pembiayaan yang diterima dapat
dilakukan secara angsuran (taqsi@t}/installment) atau dibayar pada saat jatuh tempo secara
sekaligus (mu’ajjal/deferred payment). Rafiq Yunus Al-Mishri, Al-Tamwi@l Al-Isla@mi,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 2012), h.72; Muhammad Usman Syubair, Al-Mu’a@mala@t al-
Ma@liyah al-Mu’a@s}irah fi al-Fiqh al-Isla@mi, (Yordan: Dar al-Nafais, 1996), h.263-267
167
Apabila akad yang digunakan berupa akad jual beli ( al-bai’), sewa menyewa (al-
ija@rah), dan pinjaman (al-qard{) yang dibayar secara tidak tunai maka akan timbul piutang
(al-dain). Apabila akad yang digunakan berupa akad musha@rakah atau mud}arabah maka
bank memiliki aset atas kerjasama usaha tersebut. Lihat, Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-
MUI/II/2018 tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun Aset Berdasarkan Prinsip
Syariah.
168
Otoritas Kasa Keuangan, Kodifikasi Produk dan Kegiatan Usaha Bank Syariah ,
2015. Lihat juga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 Tentang
Produk Dan Aktivitas Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah

189
Di antara produk pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah yaitu
memberikan fasilitas Pembiayaan Kepemilikan Rumah, yang sering disingkat
dengan KPR iB. KPR iB adalah ‚pemberian pembiayaan kepada nasabah dalam
rangka kepemilikan rumah dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip
syariah‛.169 Pembiayaan KPR iB ini dapat dikelompokkan sebagai pembiayaan
konsumtif karena bersifat perorangan dan bukan tujuannya untuk usaha.170 Akad
yang digunakan untuk pembiyaan KPR iB ini sangat bervariasi, dapat berbentuk
pola bagi hasil (mud}a@rabah, musha@rakah, musha@rakah mutana@qis}ah), pola jual beli
(mura@bahah, sala@m, dan istis}na), ataupun pola sewa (ija@rah dan ija@rah muntahiya
bittamli@k).171
Berdasarkan data OJK, produk pembiayaan KPR iB yang ditawarkan bank
syariah cukup beragam yaitu KPR iB jual beli, KPR iB sewa, KPR iB sewa beli dan
KPR iB kepemilikan bertahap.172 Dari produk-produk tersebut, akad yang
mendasari transaksinya untuk skema jual beli menggunakan akad mura@bahah, untuk
skema sewa menggunakan akad ija@rah muntahiya bittamli@k dan untuk skema
kepemilikan bertahap menggunakan akad musha@rakah mutana@qis}ah. Secara global,
akad yang digunakan untuk pembiayaan pemilikan rumah ini tidak hanya 3 akad
tersebut, namun juga digunakan akad comodity murabahah, waka@lah, istis}na, ija@rah
maus}ufa fi al-dhimmah, dan gabungan antara ija@rah maus}u@fah fi al-dhimmah dan
istis}na.173
Dari data OJK pada tahun 2019 diketahui bahwa jumlah pembiayaan KPR
iB meningkat dibandingkan pada tahun 2018. Hal ini dilihat dari outstanding
sebesar Rp 69,11 triliun pada April 2018 menjadi Rp 81,22 Triliun pada tahun
2019.174 Dari jumlah tersebut, akad yang digunakan adalah akad ija@rah,
musha@rakah dan musha@rakah mutana@qis}ah kurang lebih sebesar 40%, sedangkan
menggunakan akad mura@bahah, istis}na, dan qard} sekitar 60%.

169
Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November 2012
Perihal Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan
Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
170
Jenis pembiayaan bank syariah biasanya dikategorikan pada tiga jenis, yaitu
pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsumtif. Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), edisi III,
h.231-244
171
Darsono-Ali Sakti,dkk; Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017); h.72-74
172
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Edukasi+Perbankan/KPR_iB_Beragam_
Layanan.htm.
173
Nasim Shah Shirazi, dkk, Challenges of Affordable Housing Finance in IDB
Member Countries Using Islamic Modes, (Jeddah: IRTI-ISB, 2012), h. 55-70
174
Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK, Kebijakan Otoritas
Jasa Keuangan Dalam Mendukung Pembiayaan Perumahan Syariah, disampaikan pada
acara Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Kapasitas Bank Syariah dalam
Pembiayaan Pemilikan Rumah di Wilayah Sumatera, dilaksanakan di Aceh, 18 Juli 2019 .

190
Dengan mengacu kepada ketentuan aset yang dapat dilakukan sekuritisasi
EBA oleh bank syariah, yaitu Aset Syariah berbentuk Bukan Dain (ASBBD), 175
maka secara garis besar potensi aset yang dapat disekuritisasi oleh bank syariah
sebesar 30% atau sebesar 30 triliun, sebagaimana tabel di bawah ini.

Gambar 5.1
PPR iB Berdasarkan Akad

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan


Jumlah pembiayaan KPR iB tahun 2019 meningkat dibandingkan
pada tahun 2018. Dengan outstanding sebesar Rp. 69, 11 Triliun pada
April 2019 menjadi Rp. 81,22 Triliun pada April 2019.

Data Pembiayaan Bank Syariah dilihat dari sisi akad yang digunakan sbb:

175
Aset Syariah Berbentuk Bukan Dain (ASBBD) adalah aset yang timbul dari
pembiayaan atau transaksi yang berdasarkan akad mudharabah, musyarakah dan/atau akad-
akad lain yang kedudukan kepemilikan aset masih berada pada originator (cfm. Fatwa DSN-
MUI No 120 dan 121). Aset Syariah Berbentuk Bukan Dain (ASBBD) adalah aset yang
berbentuk Barang (al-a 'yan/ tangible assets), Manfaat (al- manafi '/usufructs) maupun Jasa
(al-khadamat/ services) termasuk aset yang timbul dari pembiayaan atau transaksi yang
kedudukan kepemilikan aset masih berada pada Originator atau pihak yang telah
melakukan pembelian dari Originator. (Fatwa DSN-MUI No.125).

191
Gambar 5.2
Aset Perbankan Syariah

Data dilapangan menunjukkan beragamnya besaran portofolio pembiayaan


yang dilakukan oleh masing-masing bank syariah. Sebagian bank syariah
menggunakan akad berbentuk dain (murabahah, piutang ijrah dan qardh), tetapi
sebagian besar lainnya menggunakan akad syirkah (musyarakah & mudharabah)
dan ijrah muntahiya bittamlik. Dari pelaku bank syariah yang dilakukan
wawancara, penggunaan akad syirkah (mudharabah dan musyarakah) rata-rata 47%
dengan rincian masing-masing bank yaitu BMI sekitar 60%, Danamon Syariah
65%, CIMB Syariah 90%, Permata 46%, Maybank Syariah 12%, dan BNI 10%.176

176
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah pada Bab I

192
BAB V
PENERBITAN SEKURITISASI BERBENTUK EFEK BERAGUN ASET
OLEH PERBANKAN SYARIAH

Bab V ini merupakan gambaran hasil penelitian lapangan penulis dari para
pelaku bisnis/praktisi bank syariah Indonesia mengenai responnya atas inovasi
produk sekuritisasi berbentuk Efek beragun aset syariah. Sebagaimana dijelaskan
pada Bab I tentang metode penelitian, pengumpulan data diperoleh penulis antara
lain melalui wawancara yang mendalam (indepth interview) dan/atau pengisian atas
daftar pertanyaan (kuesioner) serta melalui pengamatan (observasi).
Dari data hasil penelitian tersebut kemudian disusun dalam bentuk tabulasi
jawaban sesuai dengan bidang masalahnya sebagaimana dalam tabel jawaban
(dimuat dalam lampiran). Dari tabel jawaban tersebut dilakukan analisis secara
kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian yang
meliputi jawaban atas satu pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor.
Pertanyaan mayor berupa pertimbangan perbankan syariah Indonesia untuk
melakukan atau tidak melakukan penerbitan sekuritisasi aset berbentuk Efek
Beragun Aset (EBA) sebagai alternatif pendanaan ditinjau dari aspek syariah, aspek
hukum, dan aspek budaya kerja pelaku bank syariah. Pertanyaan minor meliputi
underlying asset, struktur/mekanisme dan akad yang boleh dijalankan terkait
sekuritisasi aset berdasarkan prinsip syariah, permasalahan hukum yang dihadapi
pada saat pelaksanaan sekuritisasi aset berebentuk EBA berdasarkan prinsip
syariah, dan sikap pelaku industri bank syariah terhadap inovasi produk baru berupa
penerbitan sekuritisasi aset berbentuk EBA berdasarkan prinsip syariah.
Seluruh data dianalisa menggunakan teknik analisis isi (content analysis)
sesuai dengan masing-masing bagiannya. Selanjutnya dilakukan perbandingan
dengan penelitian sebelumnya dan norma hukum serta prinsip syariah yang ada,
kemudian terakhir diambil kesimpulan. Dengan demikian alur dan langkah yang
digunakan penulis dalam menganalisa data hasil penelitian ini, yaitu:
a. Uraian deskriptif hasil penelitian di lapangan dari para pelaku industri
perbankan syariah terhadap permasalahan apa yang dihadapi (current condition)
sehubungan dengan kegiatan sekuritisasi aset berbentuk EBAS oleh perbankan
syariah;
b. Uraian analisis tentang hasil penelitian sebelumnya dan/atau pandangan para
ahli atau norma dari peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah yang
terkait dengan permasalahan yang menjadi perhatian para pelaku industri
perbankan syariah sebagai studi perbandingan (sebagai benchmark); dan
c. Uraian analisis tentang harapan (expectation) dan sasaran (goal) yang ingin
dicapai melalui kajian disertasi ini, sebagai kesimpulan yang dilakukan peneliti.

193
A. Pertimbangan Untuk Melakukan Atau Tidak Melakukan Sekuritsasi
Berbentuk EBA Syariah
Materi pertanyaan yang disampaikan kepada pelaku industri bank syariah
terkait pertanyaan mayor/utama penelitian ini meliputi 5 hal yaitu pertimbangan
dan penilaian atas manfaat produk EBAS bagi bank syariah baik sebagai originator
dan investor; pertimbangan bank syariah belum melakukan penerbitan EBAS;
pertimbangan atas risiko produk EBA- khususnya kasus subprime mortgage;
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengembangan produk EBAS; dan
tantangan dalam penerbitan EBAS.
Berdasarkan kegiatan wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan
dengan beberapa pelaku industri Bank Syariah1 terkait pertimbangan untuk
melakukan dan tidak melakukan sekuritisasi berbentuk EBA Syariah di atas
dikemukakan beberapa temuan/pandangan sebagaimana di bawah ini.

1. Penilaian terhadap manfaat produk EBA


Dari seluruh pelaku industri bank syariah yang diwawancarai dan/atau mengisi
kuesioner memiliki pandangan relatif sama bahwa produk EBA memiliki manfaat
bagi bank syariah. Produk EBA tersebut bermanfaat bagi bank syariah baik pada
saat bank syariah sebagai originator maupun pada saat bank syariah sebagai
investor.
Manfaat dari penerbitan produk EBA bagi bank syariah apabila bank syariah
sebagai originator yaitu: mengatasi masalah liquidity mismatch; menjadi alternatif
sumber pendanaan; melakukan pengelolaan risiko kredit/pembiayaan; memperbaiki
neraca termasuk Angka Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM/CAR); menjadi penerimaan melalui fee
based income (pada saat menjadi servicer agent); memperbaiki maturity profile;
meningkatkan kapasitas pembiayaan (financing capacity); merestruktur ulang
posisi aset. 2
Manfaat bagi bank syariah pada saat sebagai investor atas penerbitan EBA
adalah a. menjadi pilihan investasi aset berkualitas; b. rendahnya default rate
karena terbaginya aset piutang kepada banyak debitur; c. profil rating EBA yang
tinggi dapat meningkatkan portofolio investasi secara keseluruhan, dan d. sesuai
untuk investor dengan kebutuhan pengembalian pokok yang lebih cepat.3

Tabel 5.1
Manfaat EBAS bagi Bank Syariah
Originator Investor
- Mengatasi masalah liquidity - Pilihan investasi aset berkualitas
mismatch - Rendahnya default rate karena
- Menjadi alternatif sumber terbaginya aset piutang kepada

1
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah pada Bab I dan
lampiran tabel jawaban.
2
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah pada Bab I
3
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah pada Bab I

194
pendanaan (sumber likuiditas); banyak debitur
- Melakukan pengelolaan risiko - Profil rating EBA yang tinggi
kredit/pembiayaan dapat meningkatkan portofolio
- Memperbaiki neraca, termasuk investasi secara keseluruhan
ATMR dan CAR - Sesuai untuk investor dengan
- Menjadi penerimaan melalui fee kebutuhan pengembalian pokok
based income yang lebih cepat
- Memperbaiki maturity profile;
- Meningkatkan kapasitas
pembiayaan (financing capacity).
- Merestruktur ulang posisi aset
- bank bisa merestructure ulang
posisi asetnya karena dapet uang
cash;
- promosi bagi bank sebagai
penerbit EBAS pertama.
- Dapat fee servicer
Sumber: Hasil Wawancara Penulis

Secara khusus menurut pihak BMI,4 pertimbangan setuju untuk melakukan


sekuritsasi EBA didasasarkan adanya manfaat bagi BMI, yaitu:
a. Liquidity source, menciptakan likuiditas dengan mengkonversi aset yang tidak
likuid menjadi aset yang likuid;
b. Maturity mismatch, memperbaiki struktur asset liabilities bank dalam hal
maturity mismatch dan konsentrasi pada sektor pembiayaan tertentu;
c. Fee based incame, pengembangan bisnis dan peningkatan pendapatan melalui
pendapatan jasa sebagai servicer;
d. Capacity, meningkatkan kapasitas bank dalam pemberian pembiayaan baru
tanpa menambah kewajiban penyediaan modal;
e. Building relationship, membina hubungan baik dengan penerbit;
f. Branding, sebagai bank syariah pertama yang melakukan sekuritisasi aset
melalui penerbitan EBAS-SP.
Apabila melihat pendapat pelaku bank syariah di atas, mengkonfirmasi
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017 bahwa
‚meskipun seluruh bank memandang sekuritisasi aset sebagai sesuatu yang baik
dan menarik, namun mereka belum melihat sekuritisasi aset sebagai suatu
kebutuhan yang mendesak atau setidaknya dalam jangka pendek.‛ 5 Berdasarkan
penelitian BI tersebut beberapa hal yang menjadi alasannya antara lain yaitu: ‚(1)
Bank-bank yang ada belum terlalu memahami bagaimana sekuritisasi aset
dilakukan sehingga perlu mempelajari lebih lanjut. 2) Bank-bank tersebut belum
4
Dokumen tambahan yang disampaikan oleh staf BMI pada saat wawancara terkait
pertimbangan analisa pro cons atas sekuritisasi KPR. Wawancara dilakukan tanggal 6
Januari 2020.
5
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset Kredit UKM oleh BI,
Jakarta: Bank Indonesia, 2017, h. 97.

195
memiliki masalah likuiditas, bahkan cenderung memiliki kelebihan dana yang bisa
disalurkan dalam bentuk kredit.‛6
Begitu juga hasil kajian dari Davidson yang menyatakan bahwa manfaat
EBA bagi originator yaitu: ‚(1) meningkatkan likuiditas, (2) memperoleh sumber
dana (cost of fund) yang murah, (3) memperbaiki tingkat kecukupan modal, (4)
menutupi kesenjangan antara sumber dana dan penggunaan dana, (5) menerima
dana lebih awal, (6) memberi kesempatan mengelola dana sehingga meningkatkan
hasil investasi, (7) dan meningkatkan kualitas aset/piutang yang pada gilirannya
meningkatkan tingkat solvabilitas‛7 Begitu juga Stone, yang menyatakan ‚produk
sekuritisasi aset ini telah dijalankan dalam praktik di banyak negara sebagai upaya
untuk mengatasi terbatasnya sumber pendanaan (liquidity shortage).‛.8 Di samping
itu, produk EBA ini memberikan alternatif pemenuhan likuiditas bank melalui
fungsionalisi aset keuangan yang dimilikinya.9
Hal yang sama juga pada saat bank sebagai investor, penempatan pada
produk EBA memberikan manfaat paling dominan adalah sebagai alternatif
investasi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Santoso et al , bahwa manfaat
untuk investor dari kegiatan sekuritisasi aset yaitu: ‚(1) investor dapat berinvestasi
pada aset berkualitas, (2) rendahnya default rate karena terbaginya aset piutang ke
dalam banyak debitur, (3) sesuai untuk investor dengan kebutuhan pengembalian
pokok yang lebih cepat, dan (4) profil rating EBA yang tinggi dapat meningkatkan
portofolio investasi secara keseluruhan.‛10 Selanjutnya, manfaat bagi industri itu
sendiri dari kegiatan sekuritisasi aset yaitu ‚untuk mengakselerasi penyatuan
keuangan dan menciptakan keragaman investor (financial deepening). Dengan
adanya penyatuan (integration) ini dapat mengalirnya modal yang ada di pasar dan
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya shock antara suatu bank dengan
lembaga keuangan yang lain‛.11
Beberapa alasan dibutuhkan sekuritisasi aset, menurut Schwarz yaitu ‚(1)
sekuritisasi mengalokasikan risiko dengan modal secara efisien. Hal ini karena,
dengan sekuritisasi perusahaan memungkinkan untuk akses langsung ke pasar
modal. Dalam banyak kasus biaya sekuritisasi lebih rendah dibandingkan dengan
biaya untuk menerbitkan instrumen utang secara langsung seperti obligasi atau
6
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan..., h.98
7
Andrew Davidson, ‚Securitization Structuring and Investment Analysis‛, New
Jersey: John Wiley & Son.Inc, 2003; h. 32; Sri Liani Suselo, Ibid, h.12
8
Contoh Amerika Serikat. Lihat Charles Austin Stone and Anne Zissu, The
Securitization Markets Handbook: Structures and Dynamics of Mortgage – and Asset
Backed Securities, Princeton: Bloomberg Press, 2005, h.4
9
Andrew Davidson, Securitization Structuring and Investment Analysis..., h. 32;
Deacon, John, Global Securitization and CDOs, New Jersey: John Wiley & Son Inc, 2004,
h. 6
10
Sri Liani Suselo, dkk, ‚Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka Pendalaman Pasar
keuangan Indonesia‛, Bank Indonesia, Desember 2013, h. 11
11
Sri Liani Suselo, dkk, ‚Working Paper Sekuritisasi Aset....; Steven L. Schwarcz,
‚The Alchemy of Asset Securitization‛, Stanford Journal of Law, Business & Finance,
Volume 1, 1994.

196
commercial paper, dan (2) menghindari inefisiensi dari perantara. Selain itu, ketika
sekuritisasi aset dalam bentuk pinjaman, (3) sekuritisasi membantu mengubah
pinjaman/tagihan menjadi uang tunai, dimana bank dan pemberi pinjaman lainnya
dapat membuat pinjaman baru‛.12
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerbitan EBA bermanfaat bagi
originator dan yang paling utama manfaat tersebut adalah sebagai upaya untuk
mengatasi masalah liquidity mismatch dan menjadi alternatif sumber pendanaan.
Sementara manfaat utama bagi investor dari penerbitan EBA adalah sebagai pilihan
investasi aset berkualitas dan rendahnya default rate karena terbaginya aset piutang
kepada banyak nasabah/debitur. Dari aspek kerugiannya dalam penerbita EBAS
bagi bank syariah antara lain ‚aset baik yang dipindahkan bank kepada penerbit
menjadi hilang di neraca bank, sehingga akan berpengaruh pada kenaikan non
performing financing-NPF (sekalipun kecil) pada satu sisi dan pada sisi lain terjadi
penurunan rasio financing to deposit ratio-FDR‛.13

2. Pertimbangan bank syariah belum melakukan penerbitan EBA Syariah


Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar bank syariah belum
berencana menerbitkan EBAS. Hanya ada satu bank syariah (yaitu Bank Muamalat
Indonesia-BMI) yang sudah mengalihakan asetnya kepada penerbit untuk
melakukan penerbitan EBAS.14 Pertimbangan bank syariah yang belum berencana
melakukan penerbitan produk EBA Syariah yaitu: a. Likuiditas di Bank Syariah
masih relatif tinggi; b UUS dalam pemenuhan likuiditasnya memanfaatkan
likuiditas Bank Induk dan masih dapat dipenuhi dengan alternatif fasilitas
likuiditas lainnya yang tersedia; c. Aset bank masih kecil, sehingga tidak masuk
kategori bank yang boleh menerbitkan EBA Syariah; dan d. Terkait Prosedur dan
aturan masih belum jelas.15 Berikut penjelasan dari masing-masing alasan
dimaksud.

a. Likuiditas di Bank Syariah masih relatif tinggi.


Likuiditas (liquidity) adalah penilaian terhadap kemampuan bank syariah
untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai.16 Penilaian terhadap faktor
likuiditas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen berupa: (1)
Kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, potensi maturity mismatch, dan
konsentrasi sumber pendanaan; (2) Kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas,

12
Steven l. Schwarcz, The Future of Securitization, Connecticut Law Review,
Volume 41, May 2009, Number 4, h. 1315; lihat di http://papers.ssm.com /sol3/papers.cfln?
abswact_id=569862).
13
Wawncara penulis dengan staf BMI tanggal 6 Januari 2020.
14
Wawancara penulis dengan staf BMI tanggal 6 Januari 2020 dan wawancara
dengan SMF pada tanggal 8 Januari 2020
15
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah pada Bab I dan
Lampiran hasil wawancara.
16
PBI Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah).

197
akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas pendanaan.17 Penilaian likuiditas
dimaksudkan untuk menilai kemampuan bank dalam memelihara tingkat likuiditas
yang memadai termasuk antisipasi atas risiko likuiditas yang akan muncul.18
Untuk melihat tingkat likuiditas bank, lazimnya diukur dalam bentuk rasio-
rasio keuangan antara lain kecukupan pemenuhan modal (CAR), Financing to
deposit ratio (FDR), Non Performing Financings (NPF), dan short term mismatch
liquidity. CAR (Capital Adequacy Ratio) atau Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) adalah indikator penilaian kemampuan bank dalam menutup
penurunan aktiva sebagai akibat kerugian yang diderita bank. Besar kecilnya CAR
ditentukan oleh kemampuan bank menghasilkan laba serta komposisi
pengalokasian dana pada aktiva sesuai dengan tingkat risikonya. Berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang
KPMM Bank Umum, bank wajib memelihara kecukupan modalnya tidak kurang
dari batas Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 8%
dari Aktiva/Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Aset tertimbang menurut
risiko (ATMR) ini mencakup ATMR untuk Risiko Kredit, ATMR untuk Risiko
Pasar, dan ATMR untuk Risiko Operasional.19 Financing to deposit rasio (FDR)
adalah rasio pembiayaan yang diberikan kepada pihak ketiga terhadap simpanan
dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito, tidak termasuk
penempatan dana antar Bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum, dalam rangka
perhitungan GWM LDR, Bank Indonesia menetapkan batas bawah FDR/LDR
Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan Batas atas LDR/LDR Target
sebesar 100% (seratus persen). Non Performing Financings (NPFs) adalah
pembiayaan yang kualitasnya berada dalam golongan kurang lancar, diragukan, dan
macet.20
Berdasarkan data OJK, sebagaimana dalam tabel di bawah ini, kondisi BUS
dan UUS dari aspek likuiditas dari tahun 2015 – 2019 menunjukkan CAR
kecenderungan naik, FDR kecenderungan turun, NPF kecenderungannya landai, dan
short term mismatch liquidity (STML) kecenderungan naik.

17
Pasal 4 PBI Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
18
Butir II.A.4. SE BI No.11/ 16 /DPNP Tanggal 06-06-2009 Perihal Penerapan
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
19
Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang
KPMM Bank Umum
20
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum

198
Gambar 5.3
Rasio CAR, FDR, NPF dan STML BUS dan UUS

Rasio CAR, FDR. NPF dan STML BUS dan UUS


100
80
60
Rasio

40
20
0
CAR FDR NPF STML
2015 15,02 88,03 4,84 20,04
2016 16,62 85,99 4,42 22,54
2017 17,91 79,61 4,76 29,75
2018 20,39 78,53 3,26 27,22
2019 20,59 77,91 3,47 30,08

Sumber: OJK: Statistik Perbankan Syariah bulan Desember 2019

Data di atas menunjukkan kondisi likuiditas bank syariah pada umumnya


sedang mengalami kenaikan. Misalkan CAR yang pada tahun 2015 sebesar 15,02%,
pada tahun 2019 sebesar 20,59%. Begitu juga STML mengealami kenaikan dari
tahun 2015 sebesar 20,04% menjadi 20,08% pada tahun 2019. Oleh karena itu,
berdasarkan data tersebut dalam jangka pendek pelaku industri bank syariah
belum/tidak berfikir untuk mencari alternatif sumber pendanaan dengan cara
menerbitkan EBAS dalam waktu dekat.

b. UUS dalam pemenuhan likuiditasnya memanfaatkan likuiditas Bank Induk dan


fasilitas likuiditas lainnya yang tersedia
Unit Usaha Syariah (UUS) merupakan unit kerja dari kantor pusat bank
umum konvensional yang menjalankan prinsip syariah.21 Bagi UUS yang akan
melaksanakan penerbitan EBA, berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan,
maka penilaian terhadap UUS didasarkan kepada penilaian Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) bank induknya.22 Apabila bank induknya

21
Unit Usaha Syariah (UUS), adalah ‛unit kerja dari kantor pusat Bank umum
Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
yang berfungsi sebagai kentor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah‛ . lihat Pasal 1 angka 10 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
22
Berdasarkan POJK No. 6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan
Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU)
adalah pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal
Inti yang dimiliki. BUKU 1 Modal Inti kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 antara Rp 1 – 5
Triliun, BUKU 3 antara Rp 5-30 Triliun, dan BUKU 4 paling sedikit sebesar 30 Triliun.

199
masuk dalam kategori BUKU 3 dan 4, maka UUS bank tersebut juga masuk dalam
BUKU 3 dan 4. Begitu pula apabila bank induknya masuk dalam kategori BUKU 2
dan 1, maka UUS bank tersebut juga masuk dalam BUKU 2 dan 1.23
Penilaian yang dilakukan OJK pada saat bank menjadi originator, di
samping penilaian faktor kategori BUKU juga aspek lain yaitu mengenai
perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), penilaian kualitas aset
bank, batas maksimum pemberian kredit/pembiayaan, prinsip-prinsip pemberian
pembiayaan yang sehat, dan penerapan manajemen risiko.24 Bank syariah hanya
dapat melakukan aktivitas sebagai Kreditur Awal (Originator), apabila aset
keuangan atau aset syariah yang mendasari (underlying) nya memenuhi kriteria: a).
memiliki arus kas; b). dimiliki dan dalam pengendalian Kreditur Awal
(Originator); c). dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada Penerbit; dan d).
aset syariah yang mendasari (underlying) wajib sesuai dengan prinsip syariah.25
Dengan demikian bagi UUS upaya pemenuhan likuiditas dapat
memanfaatkan likuiditas Bank Induk sesuai dengan kategori BUKU yang
dimilikinya dan UUS merasa aspek likuiditas ini masih dapat juga dipenuhi dengan
alternatif fasilitas likuiditas lainnya yang tersedia, selain produk EBAS.

c. Aset Bank masih kecil, sehingga tidak masuk kategori bank yang boleh
menerbitkan EBA Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tahun 2005, bahwa bank yang dapat
menerbitkan produk EBA adalah bank yang masuk kategori BUKU 4 dan 3.26
Namun berdasarkan POJK 11 /POJK.03/2019, penilaian bank tidak secara mutlak
berdasarkan BUKU, namun dilihat juga dari tingkat kesehatan bank itu sendiri.
Oleh karena itu, bank yang dapat menerbitkan EBA bisa kategori BUKU 1, BUKU
2, BUKU 3, dan BUKU 4. Bunyi Pasal 2 ayat (2) POJK 11/2009 sebagai berikut:
‚Bank yang dapat melakukan aktivitas sebagai Kreditur Awal (Originator),
Penyedia Kredit Pendukung (Credit Enhancement), Penyedia Fasilitas
Likuiditas (Liquidity Facility), Penyedia Jasa (Servicer), dan/atau Investor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e merupakan
Bank yang termasuk dalam Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU)

23
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) POJK 6 /POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha
dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, yang berbunyi ‚ pengelompokan BUKU
untuk unit usaha syariah didasarkan pada Modal Inti bank umum konvensional yang
menjadi induknya‛.
24
Pasal 4 POJK 11 /POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum .
25
Pasal 4 POJK POJK 11 /POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
26
PBI Nomor:7/4/PBI/2005 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/51/DPNP tgl
9-11- 2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset.

200
1, BUKU 2, BUKU 3, dan BUKU 4, setelah memperoleh persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.‛27
Sampai dengan akhir tahun 2019, jumlah kelembagaan perbankan syariah
berdasarkan statistik OJK sebanyak 202 Bank Syariah, terdiri dari 14 BUS, 20
UUS, dan 168 BPRS. Dari jumlah tersebut, secara yuridis sebagaimana POJK 11
/POJK.03/2019, yang dapat melakukan sekuritisasi adalah BUS dan UUS yang
masuk dalam BUKU 1 sampai BUKU 4. Namun dalam faktualnya, karena ada
persyaratan yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS tersebut terkait dengan
kesehatan bank, ATMR, BMPD, dan penerapan manajemen risiko, maka dari hasil
wawancara dengan pelaku bank syariah berkesimpulan yang dapat melakukan
penerbitan EBAS cenderung bank-bank besar dengan BUKU 4 dan BUKU 3.28 Bagi
BUS yang masuk kategori BUKU 2 dan BUKU 1 bisa saja menerbitkan EBAS,
namun harus menunjukkan kinerja positif dalam beberapa tahun belakangan
sebelum menerbitkan EBAS.29 Bagi BPRS belum memenuhi kiteria untuk boleh
melakukan sekuritisasi aset (lihat Diagram). Begitu juga Bank Pembangunan
Daerah (BPD) belum dapat masuk kriteria untuk bisa melakukan sekuritisasi aset.
Hal ini karena pada umumnya modal inti dari bank tersebut masih di bawah 1
triliun dan kinerjanya sebagian besar masih belum optimal.30

Gambar 5.4
Rasio NPF dan FDR BPRS

NPF FDR
2019; 2015; 2019; 2015;
7,04% 8,20% 113,50% 120,00%

2018; 2016; 2018; 2016;


9,68% 8,20% 111,34% 114,00%
2017; 2017;
8,63% 114,00%

Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Desember 2019 (Otoritas Jasa Keuangan)

27
Pasal 4 POJK 11 /POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
28
Wawancara dengan Bank Muamalat Indonesia tanggal 6 Januari 2020. Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) sesuai POJK 6 /POJK.03/2016 Tentang Kegiatan
Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. BUKU adalah pengelompokan
Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti yang dimiliki.
BUKU 1 Modal Inti kurang dari Rp 1 triliun, BUKU 2 antara Rp 1 – 5 Triliun, BUKU 3
antara Rp 5-30 Triliun, dan BUKU 4 paling sedikit sebesar 30 Triliun.
29
Focus Group Discussion yang dilakukan oleh DPbS OJK pada tanggal 8 Maret
2018 tentang Sekuritisasi Aset Bank Syariah.
30
Indikatornya antara lain dari rasio–rasio BPD secara agregat, lihat Statistik
Perbankan Syariah bulan desember 2020 Otoritas Jasa Keunagan.

201
Oleh karena itu dari jumlah BUS dan UUS sebanyak 34 Bank Syariah31 ini
semuanya memiliki potensi untuk menerbitkan EBAS, apabila memenuhi
persyaratan yang sudah ditentukan. Namun secara riil, kesimpulan penulis, saat ini
bank syariah yang cukup signifikan berpotensi melalukan penerbitan EBAS tidak
lebih dari 15 bank.

d. Terkait Prosedur dan aturan EBAS masih belum jelas


Meskipun diketahui masih banyak dari pelaku industri bank syariah yang
belum memahami produk EBA sebagaimana hasil penelitian di lapangan, namun
persepsi mereka terhadap ketidakjelasannya mengenai prosedur dan pengaturan
mengenai EBA ini merupakan fakta yang ada di industri bank syariah. Tidak ada
jawaban spesifik yang dikemukakan pelaku bank syariah atas ketidakjelasan
prosedur dan aturan ini. Secara umum menurut mereka ketidakjelasan tersebut
meliputi persoalan perpajakan, akuntansi dan pencatatan, serta insentif bagi yang
melakukan penerbitan EBAS.
Respon pelaku industri terkait ketidakjelasan prosedur dan aturan ini
memperkuat penelitian sebelumnya yang antara lain dilakukan oleh Bank Indonesia
terhadap Bank Umum pada tahun 2017.32 Kesimpulan penelitian BI tersebut yaitu
minat bank terhadap sekuritisasi aset kredit UKM meningkat, namun bank berharap
bahwa adanya peraturan yang dapat membuat aset kredit yang telah disekuritisasi
tetap diperhitungkan sebagai pencapaian rasio kredit, dalam hal ini kredit UMKM.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Bapepam LK pada tahun 2009 yang
menyimpulkan pula bahwa masih ada ‚keengganan‛ industri keuangan untuk
masuk ke sekuritisasi aset dalam bentuk sukuk antara lain faktor peraturan. Dari
faktor peraturan tersebut, hal yang paling berpengaruh adalah keterbukaan
informasi yang dipersyaratkan terkait dengan penerbitan sukuk, perlakuan
perpajakan atas sukuk merupakan hal yang memberikan pengaruh terbesar dalam
penerbitan sukuk. 33
Apabila dibandingkan substansi responden pelaku industri bank syariah
terkait kekurangjelasakan aturan ini dengan penelitian sebelumnya memiliki
kesamaan pendapat antara lain menyangkut perlakuan perpajakan, keterbukaan
informasi, dan insentif berupa perhitungan atas aset yang disekuritisasi terhadap
pencapain rasio kredit/pembiayaan.
Sebaliknya fakta di lapangan atas penerbitan EBA selama ini, berdasarkan
hasil wawancara penulis dengan Penerbit EBA yaitu PT. SMF,34 diketahui bahwa

31
Nama-nama bank syariah baik BUS maupun UUS sebanyak 34 bank pada akhir
tahun 2019, lihat Bab I hal. 35-36
32
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset Kredit UKM oleh BI,
Jakarta: Bank Indonesia, 2017, h. 97.
33
Tim Studi Minat Emiten di Pasar Modal, Studi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Minat Emiten Dalam Menerbitkan Sukuk Di Pasar Modal , Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan – Kemenkeu, Tahun 2009, h.32 & 46.
34
Wawancara penulis dengan tim sekuritisasi SMF dan kepala UUS pada tanggal 8
Januari 2020

202
dari catatan PT SMF sejak tahun 2009 hingga tahun 2019 melakukan penerbitan
EBA belum pernah dijumpai adanya sengketa hukum atau dispute dari para pihak
yang terlibat dalam sekuritisasi aset. Hal ini menurut mereka mencerminkan bahwa
pranata hukum dalam penerbitan sekuritisasi EBA baik berupa lembaga pendukung
dan peraturan pelaksanaannya sudah relatif memadai.

3. Risiko Produk EBA


Secara konsep sekuritisasi aset memiliki manfaat dan dibutuhkan untuk
pengembangan produk di masa yang akan datang. Namun diakui bahwa dalam
sekuritas EBA tersebut memiliki potensi risiko yang juga tinggi. Dari hasil
wawancara diketahui bahwa pengembangan EBA sebagai produk terdapat risiko
bila tidak diantisipasi sejak awal. Risiko tersebut yaitu bisa terjadi bubble asset dan
munculnya sub prime mortgage seperti di USA tahun 2007-2008 an.35 Dalam hal ini
pelaku industri melihat dari dua aspek, yaitu kegiatan EBA akan seperti kejadian di
Amerika tahun 2007-2008 apabila penekanannya hanya pada pengembangan pasar
sekunder (yang derivatif),36 dan adanya ketidakproperan analisa terhadap variable
scoring debitur yang mengajukan pembiayaan perumahan. Hal ini karena
optimisme yang aggressive terhadap meningkatnya harga perumahan, yang padahal
sewaktu-waktu dapat pecah (bubble) dan berujung tidak dapat menutupi risiko
yang muncul jika debitur wanprestasi.37

Tabel 5.3
Setuju EBAS Bisa Terpapar Kasus Subprime Mortgage 2008
No Bank Uraian
1 Permata Setuju dengan alasan jika penekannya ada pada
pengembangan pasar sekunder
2 Maybank Setuju dengan alasan Jika berkaca pada krisis
subprime mortgage di AS, isu utama yang menjadi
faktor krusial krisis adalah ketidak properan analisa
terhadap variabel scoring debitur yang mengajukan
pembiayaan perumahan karena optimisme yang
aggressive terhadap meningkatnya harga perumahan
yang padahal sewaktu-waktu dapat pecah (bubble) dan
berujung tidak dapat menutupi risiko yang muncul
jika Diebitur wanprestasi, EBAS dapat memberikan
impact yang berbeda jika dilakukan analisa yang lebih
proper dan penentuan variabel scoring Debitur yang
lebih baik (sehingga kualitas Debitur yang baik yang
terpilih)

35
Lihat Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset Kredit UKM
oleh BI, Jakarta: Bank Indonesia, 2017, h. 97.
36
Wawancara penulis dengan staf Bank CIMB Niaga Syariah tanggal 20-01-2020.
37
Wawancara dengan staf UUS Bank Permata Syariah tanggal 2-2-2020.

203
Sebaliknya ada yang berpandangan bahwa pengembangan produk EBAS
tidak setuju kalau akan mengarah pada terjadinya bubble aset sebagaimana di
Amerika. Hal ini didasarkan pertimbangan, bahwa instrumern investasi syariah di
Indonesia diawasi cukup ketat oleh regulator yaitu OJK dan DSN-MUI,38 aset
EBAS sudah diseleksi di awal,39 underlying aset dan peraturan mengenai EBAS
serta secondary market diatur dengan baik dan mempertimbangkan makro
prudential,40 dan underlying aset jelas sehingga valuasi aset lebih valid.41

Tabel 5.4
Tidak Setuju EBAS Bisa Terpapar Kasus Subprime Mortgage 2008
No Bank Uraian
1 Danamon Tidak setuju, dengan alasan produk ini bermanfaat
untuk LK Syariah
2 BCA Tidak setuju, dengan alasan Aset EBAS sudah
diseleksi diawal
3 Maybank Tidak Setuju, dengan alasan EBAS berdasarkan
underlying aser dan sepanjang peraturan mengenai
EBAS dan secondary market terkait EBAS diatur
dengan baik dan mempertimbangkan makro prudential
maka bubble asset dan sub prime dapat dihindari
4 BNI Syariah Tidak setuju, dengan alasan Instrumen investasi
syariah di Indonesia di awasi cukup ketat oleh
regulator yaitu DSN MUI-BI-OJK
5 BSM Tidak setuju, dengan alasan underlying aset jelas
sehingga valuasi aset lebih valid
6 BMI BMI melihat terhadap penerbitan EBAS ini ada yang
tidak setuju (constra), hal ini karena beberapa hal
yaitu:42
a. Outstanding Decline, penurunan outstanding
pembiayaan Bank syariah (kualitas lancar);
b. NPF Increase, potensi NPF meningkat. Walaupun
jumlahnya tidak signifikan. Menurut catatan
BMI, pengaruhnya sedikit yaitu hanya 0,001%.
c. FDR Decrease, potensi FDR menurun;
d. Yield Decline + ATMR 100%. Risiko penurunan
yield investasi EBAS kelas B, jika terjadi
penurunan kualitas pembiayaan (underlying

38
Wawancara dengan staf BNI Syariah tanggal 16 Januari 2020
39
Wawancara dengan staf BCA Syariah tanggal 14-1-2020
40
Wawancara dengan staf Maybank Syariah tanggal 20-1-2020
41
Wawancara dengan staf BSM tanggal 3-2-2020
42
Dokumen tambahan yang disampaikan oleh staf BMI pada saat wawancara terkait
pertimbangan analisa pro-cons atas sekuritisasi KPR. Wawancara dilakukan tanggal 6
Januari 2020.

204
EBAS), dan terjadi pelunasan dipercepat.

Pandangan adanya risiko dari penerbitan EBA tersebut mempertegas kembali


pendapat dari para ahli yang sudah melakukan penelitian sebelumnya. Menurut
Schwarcz ada lima potensi negatif dari sekuritisasi yaitu: ‚(1) belajar dari kasus
‚subprime mortgages‛ merupakan bentuk aset yang cacat yang tidak bisa
disekuritisasi; (2) model sekuritisasi yang menghasilkan dana secara langsung
(originate to distribute) mungkin akan menciptakan moral hazard; (3) sekuritisasi
dapat menciptakan layanan yang konflik; (4) sekuritisasi dapat mendorong model
matematik yang berlebihan; dan (5) investor dalam transaksi sekuritisasi
mengandalkan lembaga pemeringkat‛.43
Hasil penelitian Bank Indonesia tahun 2017 menyimpulkan bahwa
sekuritisasi aset berpotensi memberikan risiko berupa risiko gagal bayar, risiko
sistemik akibat perlambatan ekonomi negara (soverign sukuk), dan risiko
likuiditas.44 Selanjutnya, hasil penelitian tersebut juga menjelaskan potensi risiko
EBA antara lain: ‚ ... Bank selaku originator akan menghadapi empat risiko pada
saat menginvestasikan dana melalui penyaluran kredit yang memiliki jangka waktu
panjang yaitu risiko kredit, risiko likuiditas, risiko harga (price risk) dan risiko
pelunasan dipercepat (prepayment risk) serta ketidakpastian penerimaan arus kas.
Sebaliknya, dalam aktivitas sekuritisasi aset, investor akan menghadapi dua risiko
utama yaitu risiko kredit yang terjadi apabila arus kas dari aset yang disekuritisasi
mengalami kegagalan dan risiko pelunasan dipercepat. Risiko pelunasan dipercepat
(prepayment risk) akan timbul pada sekuritisasi aset bentuk passthrough yang akan
mempengaruhi jumlah penerimaan arus kas bagi investor. Underlying asset
terutama dalam bentuk tagihan atas kredit yang memiliki jangka waktu panjang
seperti KPR (mortgage) akan terpengaruh oleh suku bunga pasar. Apabila suku
bunga pasar lebih rendah daripada suku bunga underlying asset, maka risiko
pelunasan dipercepat akan muncul karena debitur cenderung untuk memanfaatkan
kondisi tersebut ....‛ 45
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bapepam LK pada tahun 2003,
‚risiko dari EBA adalah: 1). Suku bunga Efek Beragun Aset mengalami fluktuasi
dengan adanya perubahan suku bunga, harga Efek Beragun Aset akan turun bila
terjadi peningkatan suku bunga. 2). Pelunasan lebih awal (early call) akan
mempengaruhi yield yang diterima bila terjadi pelunasan lebih awal. 3). Default,
pemegang Efek Beragun Aset akan mengalami kerugian apabila debitur dari asset
jaminan mengalami kebangkrutan atau tidak mampu membayar tepat pada
waktunya atas bunga dan pinjaman pokok.‛ 46

43
Steven l. Schwarcz, The Future of Securitization...,h. 1316.
44
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset Kredit UKM oleh BI,
Jakarta: Bank Indonesia, 2017, h. 14-15.
45
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset..., h. 15-16
46
Tim Studi Perdagangan Efek Beragun Aset-Bapepam LK-Kemenkeu, Studi tentang
Perdagangan Efek Beragun Aset, Jakarta:Bapepam-LK, 2003, h. 22-23

205
Sementara Abdel salam, dkk,47 dalam tulisannya berjudul ‚Asset
Securitization and Bank Risk: Do Religiosity or Ownership Structure Matter‛,
menyimpulkan bahwa bank dengan aktivitas sekuritisasi yang lebih tinggi secara
konsisten menunjukkan profil berisiko yang lebih tinggi, dan rasio kredit bersih
yang lebih tinggi terhadap total aset. Raihana Hamzah dalam ‚Debt and Debt-Risk
Sukuk Related to Risk Shifting Behavior‛,48 menguraikan bahwa pergeseran risiko
(shifting risk) dalam sistem pembiayaan utang sebagai penyebab utama krisis
keuangan global. Sebaliknya, pembagian risiko (sharing risk) dalam pembiayaan
ekuitas seperti sukuk membantu sistem ekonomi menjadi lebih baik dan
berkelanjutan. Sementara Karmila Hanim Kamil, dkk,49 dalam penelitian yang
dilakukannya menyimpulkan bahwa beberapa investor konvensional merasa resah
dengan risiko yang berlebihan dan volatilitas harga aset yang tidak terkontrol pada
keuangan konvensional dan mereka telah memutuskan untuk beralih ke keuangan
Islam karena kondisi pasar yang kalut akibat kekacauan subprime mortgage.
Adanya potensi berdampak buruk sekuritisasi ini, merupakan bagian dari
tantangan dan hambatan bagi berkembangnya Efek Beragun Aset di Indonesia.
Sebagian investor masih merasa ada kekhawatiran kemungkinan terjadinya kasus
Subprime Mortgage di Amerika Serikat pada awal 2007-an terjadi Indonesia.50
Walaupuan tentu, kegiatan transaksi Efek Beragun Aset di Indonesia sangat
berbeda dengan yang ada Amerika Serikat, karena EBA yang ditransaksikan di
Indonesia relatif lebih ‚ketat‛ dan memiliki kualitas yang baik.51
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerbitan EBA memang
memilik potensi berisiko. Namun risiko itu dapat dimitigasi. Apabila konsisten dan
disiplin dalam pelaksanaannya, antara lain dengan memperhatikan prinsip kehati-
hatian, tidak masuk kepada transaksi yang derivatif (spekulatif), underlying asetnya
jelas, dan mematuhi regulasi dan prinsip syariah yang ada, sebagaimana
dikemukakan oleh responden di atas, maka penerbitan EBA memiliki peluang
positif bagi originator, investor dan makro ekonomi.

47
Omneya H Abdel salam, Sabur Mollah, dan Marwa Elnahass, Asset Securitization
and Bank Risk:Do Religiosity or Ownership Structure Matter?, Mei 2017, dalam
http://www. researchgate. net/ publication/ 316924225.
48
Siti Raihana Hamzah (2016), Debt and Debt-Risk Sukuk Related to Risk Shifting
Behavior, World Academy of Science, Engineering and Technology International Journal of
Economics and Management Engineering Vol:10, No:2, 2016, https://waset.org/
publications/10003712/debts-and-debt-based-sukuk-related-to-risk-shifting-behavior
49
Karmila Hanim Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar Ismail,
"The subprime mortgages crisis and Islamic securitization ", International Journal of Islamic
and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 3 Issue: 4, (2010), h.386 https://www.
emerald.com/insight/content/doi/10.1108/17538391011093315/full/html, atau http://dx.
doi.org/10.1108/17538391011093315.
50
Adel Ahmed, Global financial crisis: an Islamic finance perspective, International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 3 No. 4, (2010),h.315.
https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/17538391011093252/full/html
51
Rahayu, Dyah. Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Dalam Rangka
Mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan . Thesis: Universitas Airlangga,
2013.

206
.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengembangan produk EBA
Syariah

Keputusan untuk mengembangkan produk EBAS di lingkungan industri


perbankan syariah nampaknya masih menghadapi kendala. Dari hasil wawancara
dan jawaban responden, kendala tersebut muncul baik disebabkan karena faktor
internal maupun faktor eksternal pelaku industri itu sendiri, sebagaimana tabel di
bawah ini.
Tabel 5.5
Kendala yang Dihadapi Dalam Penerbitan EBA Syariah
Faktor Internal Faktor Eksternal
 Kurangnya pemahaman tentang  Peraturan yang ada kurang memadai
instrument EBAS oleh pelaku dan/atau (mulai dari perlakuan akuntansi,
calon investor; perpajakan, teknik perhitungan);
 Kewajiban keterbukaan oleh calon  Tidak ada pedoman yang mengatur
originator dapat mengarah pada akuntansi bagi produk EBAS;
penyalahgunaan informasi;  Tidak adanya insentif pembebasan
 Aset pembiayaan bank Syariah pada pajak bagi produk EBAS;
umumnya masih terbatas (sedang  Sekuritisasi hanya bagi Bank BUKU
mengejar pertumbuhan aset) 3 & 4 (PBI/14/26/2012 tentang
 Akad masih banyak yang menggunakan Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor
murabahah atau berbasis jual beli, yang Berdasarkan Modal Inti Bank)
kurang/tidak fleksibel untuk dibuat  Bank sharia yang berbentuk BUS
EBAS; masih masuk klasifikasi BUKU 1
 Underlying aset yang berbasis MMQ dan 2,
dan IMBT masih terbatas;  Aset bank syariah masih relatif
kecil.

Dari tabel di atas diketahui secara jelas bahwa faktor internal yang menjadi
kendala dalam penerbitan EBAS adalah karena masih kurangnya pemahaman
terhadap produk EBAS itu sendiri baik dikalangan pelaku industri maupun
masyarakat sebagai calon investor. Kendala faktor internal lainnya yaitu aset
pembiayaan bank Syariah pada umumnya masih terbatas (sedang mengejar
pertumbuhan aset), akad yang digunakan masih banyak berdasarkan akad jual beli
(murabahah) - yang kurang/tidak fleksibel untuk dibuat EBAS dan otomatis
terbatasnya underlying aset yang berbasis akad MMQ dan IMBT, serta adanya
kewajiban keterbukaan oleh calon originator masih jadi kekhawatiran bank syariah
karena kemungkinan penyalahgunaan informasi nasabah.
Di samping itu, berdasarkan hasil wawancara dan pendapat responden
terkait kendala internal lainnya yang dihadapi bank syariah pada saat mau
menerbitkan produk EBA Syariah, yaitu:52

52
Tabel wawancara penulis dengan pelaku industri bank syariah

207
a) Saat ini bank syariah masih focus dalam meningkatkan aset sehingga
pelepasan aset belum menjadi pilihan yang diprioritaskan
b) Sumber pendanaan alternatif masih tersedia dengan mekanisme dan
persyaratan yang relatif lebih mudah
c) Masalah sistem
d) Pemisahan pool of fund atas aset yang dijual melalui EBA
e) Edukasi kepada nasabah atas skema transaksi secara keseluruhan
f) Belum adanya ketentuan internal bank terkait penerapan EBAS
g) Penetapan asset yang akan dialihkan
Dari faktor eksternal yang menjadi kendala meliputi peraturan yang ada
kurang memadai (mulai dari perlakuan akuntansi, perpajakan, teknik perhitungan);
persyaratan bank yang dapat melakukan sekuritisasi harus BUKU 3 & 4 padahal
mayoritas bank syariah masih BUKU 1& 2, serta belum ada pedoman yang
mengatur akuntansi bagi produk EBAS dan belum ada insentif pembebasan pajak
bagi produk EBAS.

5. Tantangan dalam penerbitan EBAS


Kendala-kendala di atas merupakan beberapa tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan EBAS. Namun demikian terdapat tantangan lain yang dihadapi oleh
pelaku indutri bank syariah dalam pengembangan produk EBA yaitu:
pengembangan pasar sekunder; penyesuaian ketentuan perbankan khususnya terkait
FDR; keseragaman akad underlying asset; harmonisasi hukum dalam musyarakah
mutanaqishah, isu terkait harga (pricing issue); truly separation of asset; dan
edukasi dan konsekuensi pelaksanaan aspek syariah atas transaksi tersebut.53
Secara khusus, tantangan lainnya menurut BMI adalah terkait dengan (1)
belum siapnya sistem manajemen nformasi yang baik dan terintegrasi untuk
kebutuhan proses sekuritisasi aset; (2) terkait dengan regulasi bagi bank syariah
bisa menerbitkan produk EBA. Dimana untuk bank buku 2 saat ini masih belum
diperbolehkan melakukan sekuritiasi ( sudah diubah pojknya terkait hal ini, jadi
boleh dengan catatan sehatr); dan (3) terkait dengan dropping, yaitu harus segera
me-replace asset yang disekuritisasi dengan dropping baru dengan yield-nya
minimal sama dengan yang disekuritisasi tersebut.54
Sementara menurut KNKS, tantangan penerapan sekuritisasi aset oleh
perbankan syariah, yaitu:55
a. Akad pembiayaan perumahan yang dapat disekuritisasi adalah MMQ dan
IMBT, sedangkan pembiayaan perumahan dengan akad murabahah tidak dapat
disekuritisasi
b. Aset PPR yang disekuritisasi akan dikeluarkan dari aset bank syariah
c. Sekuritisasi aset dapat menurunkan Financing to Deposit Ratio bank syariah
apabila kemampuan bank dalam menyalurkan pembiayaan baru masih rendah
53
Tabel wawancara....
54
Wawancara dengan staf BMI tanggal 6 Januari 2020.
55
Ronald Rulindo, Penerbitan EBAS-SP untuk Mendukung Perkembangan Ekonomi
Syariah di Indonesia, Direktorat Inovasi Produk, Pendalaman Pasar, dan Pengembangan
Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah, KNKS, 17 Desember 2019.

208
d. Sekuritisasi aset dapat meningkatkan penghitungan Non Performing Financing
apabila aset yang disekuritisasi adalah aset berkualitas baik
Dengan demikian pelaksanaan penerbitan EBAS dikalangan pelaku industri
bank syariah masih menghadapi tantangan yang perlu diselesaikan. Secara internal
industri masih perlu mendudukkan pemahaman terkait dengan aspek hukum,
membuat skema produk yang lebih mudah dipahami dan menyusun prosedur dari
penerbitan EBAS itu sendiri secara jelas.

B. Respon Bank Syariah Atas Aspek Kesyariahan Sekuritisasi Berbentuk Efek


Beragun Aset
Materi pertanyaan yang disampaikan kepada pelaku industri bank syariah
terkait pertanyaan minor pertama ini meliputi 3 kendala aspek syariah dalam
penerapan EBAS yaitu terkait aset yang menjadi dasar penerbitan EBAS, akad
yang boleh digunakan, dan skema atau struktur transaksi yang digunakan yang
memberikan jaminan keamanan bagi bank syariah pada saat sebagai originator.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa pelaku industri Bank
Syariah56 terkait dengan kendala dari aspek kesyariahan dalam sekuritisasi
berbentuk Efek Beragun Aset, sebagian responden menjawab terdapat kendala (7
bank), tidak ada kendala (1 bank) dan tidak tahu (1 bank) sebagaimana diagram di
bawah ini.

Gambar 5.5
Kendala Aspek Syariah

Kendala Aspek Syariah


8
6
4
2
0
Ya Tidak Tidak tahu

Berikut pembahasan dari masing-masing kendala tersebut seperti di bawah


ini.
1. Terkait Aset
Sebagaimana pada Bab II sudah disebutkan bahwa tidak semua aset yang
secara konvensional dapat dijadikan underlying transaksi untuk dilakukan
sekuritisasi dibolehkan menurut ketentuan syariah. Terdapat aset keuangan yang
dikonvensional boleh sedangkan menurut syariah tidak boleh digunakan sebagai

56
Tabel wawancara di Bab I dan hasil wawancara dalam Lampiran.

209
underlying transaksi sekuritisasi EBAS. Dalam konsep konvensional, sekuritisasi
tidak wajib ada aset yang mendasarinya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku industri bank syariah, kendala
dari aspek syariah khususnya terkait aset yang mendasarinya (underlying asset),
yaitu sebagai berikut:57
Tabel 5.6
Kendala Terkait Aset sebagai Underlying
No Bank Uraian Jawaban
1 Permata  Kurangnya pemahaman dalam tentang instrument
EBAS oleh pelaku dan/atau calon investor, sehingga
Bank Syariah selaku pelaku belum memiliki business
interest dan risk appetite bidang tersebut
 Prosentase 54,7% (Murabahah dan Ijarah) dari total
financing
 Tidak, hal ini lebih kepada pemahaman yang masih
belum simetris bagi seluruh pihak terkait khususnya
pasar sehingga oerbankan enggan masuk kedalam bisnis
ini
2 Bank  Kurangnya pemahaman tentang instrument EBAS oleh
Danamon pelaku dan/atau calon investor;
 Kewajiban keterbukaan oleh calon originator dapat
mengarah pada penyalahgunaan informasi;
 Para pelaku menganggap peraturan yang ada kurang
memadai (mulai dari perlakuan akuntansi, perpajakan,
teknik perhitungan);
 Tidak ada pedoman yang mengatur akuntansi bagi
produk EBAS;
 Tidak adanya insentif pembebasan pajak bagi produk
EBAS.
 5 Milyar
 Ya ada kendala
3 BCA  Saat ini mayoritas bank syariah menggunakan akad
murabahah. Sementara itu, akad yang diperkenankan
untuk digunakan adalah akad musyarakah mutanaqisah
dan ijarah muntahiya bittamlik.
 Kelebihannya bank tidak menanggung resiko atas nilai
fluktuasi atas jaminan efek beragun aset
 Kekurangannya bank secara pencatatan harus
mengeluarkan aset dari pembukuan.
4 Maybank  Jumlah asset property dengan akad pembiayaan yang
berkedudukan asetnya dimiliki oleh Bank seperti IMBT
dan MMQ jumlahnya masih terbatas;

57
Tabel wawancara ....

210
 Untuk MMQ juga karena kepemilikannya bersama
dengan nasabah maka ada originator (Bank) kepada
pembeli EBAS yang perlu dikaji lebih lanjut;
 Disamping itu Bank Syariah sedang menjaga
pertumbuhan asetnya, sehingga EBAS dengan
konsekuensi melepas asset Bank belum menjadi
prioritas apalabila masih terdapat solusi/alternative lain
untuk kebutuhan likuiditas maupun pengelolaan asset
liabilitas bank tanpa melepaskan asset bank.
 Lebih kurang 12% total aset
 Untuk beberapa bank Syariah dapat menjadi kendala
karena keterbatasan ketersediaan underlying aset masih
di tangan Bank (aset pembiayaan dengan non jual beli).
Untuk Bank Syariah yang memiliki cukup underlying
maka pertimbangannya adalah sesuai no 1) poin tiga
5 CIMB  Masalah perpindahan kepemilikan aset dari nasabah
kepada pemilik EBAS: contohnya masalah kewenangan
Bank dan potensi dispute dengan nasabah pembiayaan
dll
 Diantara hambatannya adalah pada pelaksanaan akad
MMQ setelah aset dijual. Sebab, yang menjadi
pertanyaan adalah: apakah pemilik EBA benar-benar
telah bersedia untuk berbagi hasil? Aapakah pemilik
EBA benar-benar menyadari bahwa pemilik EBA
bersyirkah atas kepemilikan aset dengan nasabah?
6 BNIS  Saat ini portofolio pembiayaan BNI Syariah masih
didominasi akad murabahah
 90% aset pembiayaan menggunakan akad murabahah
dan ijarah
 Perlu penyesuaian pilihan akad prioritas
7 BSM  Spesifikasi khusus dalam penetapan aset bagi
underlying EBAS
 Lebih dari 30 triliun
 Tidak ada hambatan
8 BMI  Dalam akad MMQ belum terdapat klausula pengalihan
hishshah
 Mayoritas aset masih dalam bentuk dain
9 BRIS  Aset dengan akad murabah

Dari data wawancara tersebut dapat diringkaskan permasalahan yang


dihadapi pelaku industri terkait aset yang menjadi dasar dalam penerbitan EBAS
yaitu aset yang dimilikinya sebagian besar belum memenuhi persyaratan aset yang
dapat disekuritisasi sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI. Hal ini karena

211
aset yang ada masih dalam bentuk piutang (al-dain).58 Piutang tersebut timbul dari
transaksi jual beli secara tidak tunai dengan akad murabahah atau dari akad qardh.
Sebagaimana data dari OJK pada Juni tahun 2019, dari nilai outstanding
pembiayaan KPR iB sebesar Rp 81,22 Triliun, akad mura@bahah, istis}na, dan qard}
sekitar 60%, sisanya sebesar 40% menggunakan akad ija@rah,musha@rakah dan
musha@rakah mutana@qis}ah.59 Permasalahan lain terkait dengan aset yang akan
dijadikan underlying ini bahwa sekalipun aset menggunakan akad musyarakah,
khususnya musyarakah mutanaqishah, - sehingga terdapat kepemilikan bank dalam
aset tersebut, di lapangan masih menghadapi kendala dari aspek legal.60 Masalah
lainnya, pelaku industri secara subjektif belum bersedia melepaskan aset
pembiayaan bank yang dimilikinya kepada pihak lain dan masih terdapat
kekhawatiran dalam proses perpindahan aset ketika sekuritisai EBA dilakukan.
Dalam transaksi EBA konvensional, menurut Walsh, aset yang dapat
disekuritisasi meliputi ‚residential mortgage, commercial mortgage, auto loans and
leases, consumer loans, trade receivable, corporate loans, dan project finance
loan‛.61 Sementara secara normatif dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia, apabila dilakukan perbandingan terkait aset yang dapat menjadi
underlying EBA antara transaksi konvensional dengan transaksi syariah, maka
untuk yang syariah memang relatif terbatas. Berdasarkan POJK Nomor 11
/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset
Bagi Bank Umum, Pasal 3 diatur sebagai berikut:
(1) Bank dalam melakukan aktivitas Sekuritisasi Aset sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 hanya dapat melakukan Sekuritisasi Aset atas aset keuangan
atau aset syariah yang mendasari (underlying) berupa aset keuangan atau aset
syariah yang terdiri dari kredit atau pembiayaan, tagihan yang timbul dari
surat berharga atau surat berharga syariah, tagihan yang timbul pada kemudian
hari (future receivables) dan/atau aset keuangan atau aset syariah lain yang
setara. (2) Aset keuangan atau aset syariah yang mendasari (underlying)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kriteria: (a). memiliki
arus kas; (b). dimiliki dan dalam pengendalian Kreditur Awal (Originator);
dan (c). dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada Penerbit. (3) Bagi bank

58
Penjelasan terkait bai al-dain lihat Bab II halaman 67-72
59
Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK, Kebijakan Otoritas
Jasa Keuangan Dalam Mendukung Pembiayaan Perumahan Syariah, disampaikan pada
acara Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Kapasitas Bank Syariah dalam
Pembiayaan Pemilikan Rumah di Wilayah Sumatera, dilaksanakan di Aceh, 18 Juli 2019 .
60
Isu dalam akad musyarakah mutanaqishah antara lain mengenai hak syuf’ah. Hak
syuf’ah adalah ‚hak mitra lama untuk mengambil alih secara otoritatif aset milik bersama
yang telah dijual oleh mitra lama lainnya kepada mitra baru dengan cara membayar ganti
rugi sebesar uang yang telah dikeluarkan oleh mitra baru atas aset yang dia peroleh‛. Lihat,
Faridatul Fitriyah, Hak Syuf’ah dalam Akad Musyarakah Mutanaqishah , Jurnal Studi Islam
dan Muamalah, At-Tahdzib, Vol 7 No 2 (2019): At-Tahdzib, Institut Agama Islam Negeri
Kediri.
61
Cristopher Walsh, ASIFMA Securitisation in Asia 2018, Clifford Change, 2018,
h.8

212
umum syariah dan unit usaha syariah, selain memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), aset syariah yang mendasari (underlying) wajib sesuai
dengan prinsip syariah. 62

Berdasarkan peraturan OJK tentang KIK-EBA,63 yang dimaksud dengan


‚aset keuangan dalam portofolio investasi KIK-EBA dapat berupa: a. tagihan
yang timbul dari surat berharga komersial; b. tagihan kartu kredit; c. tagihan yang
timbul di kemudian hari; d. tagihan yang timbul dari pemberian kredit; e. Efek
bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah; f. Sarana Peningkatan Kredit; g. arus
kas di masa mendatang atau surat berharga hak atas arus kas di masa
mendatang; h.pendapatan di masa mendatang atau surat berharga hak atas
pendapatan di masa mendatang; dan/atau i.aset keuangan setara dan aset
keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut‛. Hal yang sama juga
dijelaskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.
7/4/PBI/2005 menetapkan bahwa ‚aset keuangan yang dialihkan dalam rangka
sekuritisasi aset wajib berupa aset keuangan yang terdiri dari kredit, tagihan yang
timbul dari surat berharga, tagihan yang timbul di kemudian hari ( future
receivables), dan aset keuangan lain yang setara‛.64 Dengan demikian, aset atau
objek yang dapat dijadikan underlying penerbitan EBA secara konvensional
dilakukan terhadap berbagai macam piutang atau tagihan, seperti ‚ tagihan yang
timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di
kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan
rumah atau apartemen, efek bersifat hutang yang dijamin oleh pemerintah, sarana
peningkatan kredit (credit enhancement)/arus kas (cash flow), serta aset keuangan
setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut‛.65
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahw aset yang dapat dijadikan
dasar (underlying) untuk dilakukan sekuritisasi dalam bentuk EBA konvensional
sangat beragam jenis asetnya baik aset keuangan dalam bentuk piutang yang timbul
dari surat berharga yang sudah ada maupun suatu kewajiban atau aset keuangan
yang akan ada dikemudian hari (future cashflow).
Sebagaimana dijelaskan pada Bab II bahwa sesuai dengan fatwa DSN-MUI,66
aset yang dapat dijadikan dasar dalam sekuritisasi berbentuk EBA ini hanya boleh

62
Pojk Nomor 11 /Pojk.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas
Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum,
63
Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /POJK.04/2017 Tentang
Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif
64
Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.
65
ibid
66
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.

213
dilakukan atas aset syariah berbentuk bukan dain (ASBBD). ASBBD tersebut
adalah ‚aset yang timbul dari pembiayaan atau transaksi yang berdasarkan akad
mudharabah, musyarakah dan/ atau akad-akad lain yang kedudukan kepemilikan
aset masih berada dalam originator‛.67 Sebaliknya, ‚sekuritisasi tidak boleh
dilakukan atas aset syariah berbentuk dain (ASBD) karena termasuk transaksi sharf
(pertukaran dua jenis uang) yang tidak memenuhi unsur tamatsul (sama nilainya)
dan taqabudh (tunai)‛.68 Contoh ASBD adalah ‚aset yang timbul dari jual beli
(bai’), pinjaman (qardh) dan sewa menyewa (piutang ijarah)‛.69
Dalam EBA-SP, aset yang menjadi dasar (underlying) adalah aset yang
timbul dari pembiayaan pemilikan perumahan (KPR iB) yang telah memenuhi
syarat tertentu. Syarat dari aset tersebut harus merupakan bukti kepemilikan secara
proporsional yang dimiliki oleh bank syariah. Akad yang melandasi bukti
kepemilikan tersebut tentu saja akad yang berasal dari akad Musyarakah
Mutanaqishah (MMQ), Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik (IMBT) dan/atau akad-akad
lain yang kedudukan kepemilikan aset masih berada pada bank syariah. Sementara
aset untuk sekuritisasi dalam bentuk KIK-EBA lebih beragam (tidak hanya
pembiayaan perumahan), tetapi boleh aset yang berupa barang (al-a'ya<n/tangible
assets), manfaat (al-mana<fi'/usufructs) maupun jasa (al-khadama<t/services)
dengan memenuhi kriteria dari masing-masing aset tersebut.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI, kriteria dari masing-masing aset dalam KIK-
EBA tersebut yaitu: 1) Kriteria aset untuk barang yang disekuritisasi harus
memenuhi unsur bahwa barang tersebut a. ada (berwujud) dan tertentu dalam Bai'
al-A'ya<n al-Mu 'ayyanah (jual beli barang yang telah ada dan tertentu) atau dapat
dijelaskan spesifikasi-nya dalam hal Bai' al-A'ya<n al-Maushu<fah fi al-Dzimmah
(jual beli barang yang belum ada namun dijelaskan spesifikasinya dan menjadi
tanggung jawab penjual); b. memiliki nilai; c. halal; dan d. memiliki manfaat dan
rnenghasilkan. 2). Kriteria aset untuk manfaat yang disekuritisasi harus memenuhi
kriteria: a. jelas jenisnya dan diketahui melalui mahall al-manfaat (tempat
manfaat)tertentu atau dijelaskan spesifikasinya pada saat akad; b.Tidak
digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah; c. Memiliki
nilai; dan d. Dapat diserahterimakan sesuai kebiasaan yang berlaku. 3) Kriteria aset
berupa jasa yang disekuritisasi harus memenuhi kriteria: a. jelas jenis jasanya dan

67
Lihat juga ketentuan AAOIFI dalam al-Ma’a@yir al-Syar’iyyah, Mi’ya@r No. 17
tentang Sukuk al-Ististmar, Keputusan Lembaga Fikih OKI No. 101(11/4) tahun 1998
tentang bai al-dain sebagaimana juga dikutip dalam fatwa DSN-MUI No.120/DSN-
MUI/II/2018, yang artinya sbb: ‚boleh melakukan sekuritisasi aset, baik barang, manfaat
maupun jasa dengan cara membagi/memecah aset tersebut menjadi beberapa bagian yang
sama dan menerbitkan efek sesuai dengan nilainya. Sedangkan piutang yang masih menjadi
tanggungjawab orang lain tidak boleh disekuritisasi dengan tujuan untuk diperdagangkan‛.
68
Berdasarkan fatwa DSN-MUI bahwa sekuritisasi boleh asalkan sesuai dengan
prinsip syariah. Di samping itu dengan adanya fatwa-fatwa tersebut juga proses pelaksanaan
sekuritisasi berdasarkan prinsip syariah baik itu sekurtitissi EBA-SP maupun sekuritisasi
KIK-EBA sudah terdapat rujukan dan panduan dari aspek kesyariahannya.
69
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah

214
diketahui melalui pernberi jasa tertentu atau dijelaskan spesifikasinya pada saat
akad; b.. t idak digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip
syariah; dan c. memiliki nilai.70

Tabel 5.7
Perbandingan Aset EBA Konvensional dengan EBAS
ASET EBAK ASET EBAS
a. tagihan yang timbul dari surat a. aset yang timbul dari pembiayaan
berharga komersial; berdasarkan akad mudharabah
b. tagihan kartu kredit; b. aset yang timbul dari pembiayaan
c. tagihan yang timbul di kemudian berdasarkan akad mudharabah
hari; c. aset yang timbul dari pembiayaan
d. tagihan yang timbul dari pemberian akad ijarah yang kedudukan
kredit; kepemilikan aset masih berada
e. Efek bersifat utang yang dijamin dalam originator.
oleh Pemerintah; d. aset berupa barang (al-a'ya<n/
f. Sarana Peningkatan Kredit; tangible assets), manfaat(al-mana<fi'/
g. arus kas di masa mendatang usufructs) a ta u jasa (al-khadama<t
atau surat berharga hak atas arus /services) yang memenuhi kriteria
kas di masa mendatang; dari masing-masing aset.
h. pendapatan di masa mendatang
atau surat berharga hak atas
pendapatan di masa mendatang;
dan/atau
i. aset keuangan setara dan aset
keuangan lain yang berkaitan
dengan aset keuangan.

Dengan demikian, dari aspek syariah, keberadaan aset yang menjadi dasar
(underlying) sekuritisasi menjadi bagian sangat penting dan krusial. Hal ini
sebagaimana juga dikatakan oleh Dualeh (1998), yang berpendapat bahwa
‚perbedaan utama antara sekuritisasi aset secara konvensional dan yang
berdasarkan prinsip syariah terdapat 4 (empat) hal utama, yaitu mengenai bentuk
aset yang dapat diterima oleh Islam, struktur transaksi yang dapat diterima, proses
peralihan kepemilikan, dan bentuk credit enhancment yang dibenarkan oleh
Islam‛.71 Pada sisi lain, Ayub dan Jobs menjelaskan karakteristik sekuritisasi
syariah yang membedakan dengan sekuritisasi EBA konvensional adalah asetnya

70
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.
71
Sulaiman Abdi Dualeh, Islamic Securititation:Practical Aspect, Director Jersey ii-
online.com, ltd.Geneva, Switzerland & St. Helier, Jersey, Channel Islands.

215
yang harus merepresentasikan kepemilikan atau penyertaan dari pihak yang akan
mengalihkan aset dimaksud.72
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan mendasar
terkait dengan aset antara sekuritisasi aset EBA konvensional dengan EBA
Syariah. Transaksi sekuritisasi EBA syariah tidak boleh berasal dari
receivables/piutang/al-da’in. Hal ini karena menurut para pakar hukum Islam
penjualan utang-piutang (bai’ al-da’in) dapat dikategorikan termasuk kepada
transaksi riba.73 Dalam transaksi berdasarkan prinsip syariah dilarang ‚adanya
pengalihan aset, pembayaran, yang mengandung unsur riba, judi dan gharar‛.74

2. Terkait Akad
Dari wawancara yang dilakukan terkait akad, khususnya terkait penerapan
Akad ‚al-bai’ al-haqi@qi‛ antara Penerbit sebagai wakil dari Pemodal dengan
Originator dalam mengalihkan kepemilikan aset, sebagian besar responden
menjawab terdapat permasalahan. Beberapa masalah akad yang diangkat oleh
responden yakni menyangkut konsep transfer of ownership dari aset EBAS dan
tindak lanjut dari akad pembiayaan MMQ dengan nasabah.
Sebagaimana dijelaskan pada Bab I dan III bahwa konsep transfer of
ownership dan akad yang melandasinya di beberapa negara memiliki kesamaan dan
perbedaan. Kesamaannya yaitu transaksi atau akad pengalihan aset dari originator
kepada penerbit menggunakan true sale (bai al-haqi<qi). Namun dalam penerapannya
di masing-masing negara terdapat perbedaan.
Bagi negara Anglo Saxon yang mengakui sistem trust, kepemilikan atas
harta benda trust dimiliki oleh dua pihak yaitu trustee dan beneficiary. Trustee
merupakan pemilik menurut hukum (legal owner) sedangkan beneficiary
merupakan pemilik manfaat (beneficial owner). Penerapan konsep Trust tersebut
dalam sekuritisasi aset, maka ‚pihak yang pada awalnya memiliki atas benda
(settlor) dapat langsung menyerahkan kepemilikan benda tersebut kepada pihak
lain (trustee) untuk kepentingan pihak yang memperoleh manfaat (beneficiary)
tanpa perlu ada lembaga baru/tersendiri yang menangani proses peralihan aset

72
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, England: John Wiley & Sons,
2007, h.389 – 415; Obaidullah, Mohammed, Islamic Financial Services, KSA: King Abdul
Aziz University, 2005; Andreas A. Jobst, ‚The Economics of Islamic Finance and
Securitization, (2007),
73
Lihat ketentuan AAOIFI dalam al-Ma’ayir al-Syar’iyyah, Mi’yar No. 17 tentang
Sukuk al-Ististmar, Keputusan Lembaga Fikih OKI No. 101(11/4) tahun 1998 tentang bai
al-dain , dan keputusan Nadwa al-Barakah sebagaimana juga dikutip dalam fatwa DSN-
MUI No.120/DSN-MUI/II/2018, yang antara lain artinya sbb: ‚ boleh melakukan sekuritisasi
aset, baik barang, manfaat maupun jasa dengan cara membagi/memecah aset tersebut
menjadi beberapa bagian yang sama dan menerbitkan efek sesuai dengan nilainya.
Sedangkan piutang yang masih menjadi tanggungjawab orang lain tidak boleh disekuritisasi
dengan tujuan untuk diperdagangkan‛.
74
Fatwa DSN-MUI No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Modal Reguler Bursa Efek;
Fatwa DSN-MUI No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal

216
tersebut‛.75 Apabila konsep kepercayaan semacam trust ini diterapkan dalam
produk sekuritisasi aset, maka investor sebagai pihak yang membeli piutang
bertindak seolah-olah sebagai settlor. Sejak awal settlor berdasarkan kepercayaan
(trust) menyerahkan kepemilikan atas aset kepada investor dalam kapasitas seolah-
olah sebagai trustee/legal owner, yang aset tersebut langsung atas nama
investor/Nasabah. Nasabah sebagai trustee dapat mengurus, mengelola, dan
menguasai benda tersebut. Secara singkat, investor dapat langsung berperan
sebagai trustee atau pihak yang mengelola kumpulan aset/tagihan dari originator
dan bisa langsung diatasnamakan investor sebagai legal owner. Dengan demikian,
dalam kaitannya dengan transfer of ownership dalam Anglo Saxon, pada saat true
sale dilaksanakan maka aset yang dialihkan tersebut langsung menjadi miliki
investor (nasabah) secara legal title dan juga pihak yang mengelola dan menguasi
secara langsung atas aset tersebut karena juga berkedudukan sebagai settlor/trustee.
Sebaliknya, bagi negara yang tidak mengakui konsep trust, proses peralihan
milik dalam sekuritisasi tersebut ditangani oleh suatu lembaga khusus yang
berfungsi sebagai pemilik aset (legal owner). Kemudian pemilik aset tersebut dapat
‚mendayagunakan‛ aset atas namanya melalui instrumen pasar modal dengan
menerbitkan surat berharga. Lembaga tersebut sering dinamakan special purpose
vehicle (SPV) atau conduit.76 Dalam hukum Indonesia, seperti juga dalam hukum
Eropa Kontinental, tidak mengenal kepemilikan ganda (dual ownership) yang
terdiri dari legal owner dan equitable owner karena didalam sistem hukum ini tidak
ada pemisahan antara law dan equity.77 Kepemilikan menurut hukum Indonesia
menganut satu kesatuan kepemilikan (unitery of ownership) yang tidak dapat
dipisahkan (onsplitbaarheid).78 Dalam sistem Civil Law kepemilikan sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dibagi (unitary conception), karena itu pembagian
kepemilikan dilarang dan secara konseptual tidak dimungkinkan. Sementara dalam
sistem hukum Common Law adanya konsep pemecahan (fragmentation) atas
kepemilikan.79
Maka sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia, konsep transfer of
ownership dalam sekuritisasi aset dilakukan dengan cara true sale kepada pihak
penerbit sebagai entitas hukum, tidak bisa langsung kepada investor yang bertindak
seolah-olah sebagai settlor. Tetapi settlor berdasarkan kepercayaan (trust)
menyerahkan kepemilikan atas aset kepada investor dalam kapasitas seolah-olah
sebagai trustee/legal owner, yang aset tersebut kemudian baru diatasnamakan
investor/ Nasabah.
Perdebatan lain terkait true sale ini juga mengenai implementasinya pada
objek berupa manfaat (mana<fi’) dan jasa (al-khadama<t) sebagaimana dalam objek

75
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h. 97
76
Conduit sama dengan SPV, yang membedakannya yaitu conduit bisa memperoleh
piutang dari berbagai institusi yang berbeda sedangkan SPV hanya dari satu institusi. Lihat
Gunawan Widjaya, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata..., h. 97.
77
Schlesinger B. Rudlof, Comparation Law, New York: The Foundation Press Inc,
1980, h. 653 sebagaimana dikutip Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust..., h. 40.
78
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974, h.38.
79
Sri Sunarti Sunarto, Penerapan Konsep Trust..., h. 176

217
KIK-EBAS. Permasalahannya adalah apakah mana<fi’ dan khadama<t tersebut
dapat benar-benar dialihkan sebagaimana barang (a’ya<n) pada saat true sale
tersebut.80 Selanjutnya permasalahan terkait akad pembiayaan musyarakah
mutanaqishah masih meninggalkan beberapa pertanyaan pada responden.
Permasalahan tersebut adalah terkait apakah pemilik EBA benar-benar telah
bersedia untuk berbagi hasil, apakah pemilik EBA benar-benar menyadari bahwa
pemilik EBA bersyirkah atas kepemilikan aset dengan nasabah, dan apakah diatur
penerapan hak syuf’ah dalam produk MMQ oleh bank syariah.
Berkenaan dengan hak syuf’ah dalam akad musyarakah, fatwa DSN-MUI
tidak mengaturnya.81 Fatwa DSN membebaskan kepada para pihak yang berakad
untuk merumuskan sendiri kesepakatan yang mereka buat, termasuk bagaimana
penerapan sewanya, dan apa saja hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap objek
akad selama masa akad berlangsung.82 Namun pada umumnya dalam klausula akad
pembiayaan bank syariah terdapat kesepakatan mengenai hal-hal yang tidak boleh
atau hal-hal yang dilarang dilakukan oleh nasabah.83 Klausula ini sering disebut
negative covenant. Negative Covenant adalah ‚klausul yang berisi janji-janji
nasabah untuk tidak melakukan hal tertentu atau merupakan larangan pihak bank
terhadap beberapa tindakan nasabah yang dapat menimbulkan kerugian atau
mempengaruhi kemampuan pembayaran pihak nasabah selama akad berlangsung‛.84
Dengan demikian, secara tidak langsung dengan adanya negative covenant tersebut
aturan ini melindungi bank dan nasabah agar tidak terjadi syuf’ah. Misalkan
larangan Nasabah untuk menyewakan, menjaminkan, mengalihkan, dan
menyerahkan baik sebagian atau seluruh porsi aset MMQ Nasabah kepada pihak
lain tanpa pemberitahuan secara tertulis kepada bank syariah.85
Sebagaimana dijelaskan pada Bab II, penerapan akad yang digunakan
dalam hubungan hukum antar para pihak dalam penerbitan EBA Syariah yaitu

80
Hal ini menyangkut pencatatan dan akuntasi keuangan. Diskusi dengan tim DSN-
MUI dalam pembahasan KIK-EBAS yang BPKH akan menjadi investornya, Juni 2020.
81
Hak Syuf’ah menurut mayoritas ulama adalah ‚ hak seseorang untuk mengambilalih
sesuatu milik mitra (syarik)nya yang ditukarkan kepada orang lain(pihak ketiga), berupa
harta bergerak, dengan mengganti harga atau nilainya yang telah dibayarkan oleh pihak
ketiga tersebut, dengan shighat‛. Dengan kata lain, ‚syuf’ah adalah hak syarik lama untuk
memiliki secara paksa atas apa yang dimiliki oleh syariak baru dengan ganti ‛. Lihat,
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Cet-2,
Jilid V, h. 792
82
LihatFatwa DSN-MUI No:73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah dan Ketentuan Pedoman Implementasinya. Lihat juga, Faridatul Fitriyah,
Hak Syuf’ah dalam Akad Musyarakah Mutanaqishah , Jurnal Studi Islam dan Muamalah,
At-Tahdzib, Vol 7 No 2 (2019): At-Tahdzib, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri.
83
Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.89
84
Sutan Remy Sjahdeini, SH, Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek
Hukum, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997, h. 135; dan Fathurrahman Djamil,
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah...., 90
85
Lihat contoh akad dalam Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan
Bermasalah di Bank Syariah...., 90

218
‚akad waka@lah bil ujrah, kafa@lah bil-ujrah, bai’ al-haqi@qi, wa’d, ija@rah maus}ufah fi@
al-dhimmah, bai’ al-‘yan al-maus}u@fah fi@ al-dhimmah‛.86 Akad waka@lah bil ujrah ini
digunakan dalam hubungan hukum antara Pemodal dengan Penerbit, Pemodal
dengan Bank Kustodian, Pemodal dengan Wali Amanat, dan Pemodal dengan
Penyedia Jasa. Akad kafa@lah bil ujrah digunakan dalam hubungan hukum antara
Pemodal dengan Pendukung Pembiayaan (Financing enhancer), dalam hal adanya
penjaminan oleh pendukung pembiayaan dalam proses Sekuritisasi. Akad ‚al-bai’
al-haqi@qi‛ digunakan antara Penerbit sebagai wakil dari Pemodal dengan Originator
dalam mengalihkan kepemilikan aset. Sedangkan ‚wa 'd digunakan dalam
hubungan hukum antara Originator dengan Penerbit sebagai wakil Pemodal
dalam penataan sekuritisasi sebelum ada Wali Amanat dimana Originator berjanji
untuk menjual Asetnya dan Penerbit sebagai wakil Pemodal berjanji untuk
membelinya‛.87
Hubungan hukum tersebut secara jelas dapat dilihat dalam skema berikut.

Gambar 5.6
Skema Penerbitan EBAS-SP.

Khusus untuk KIK-EBA Syariah, fatwa DSN-MUI membagi penerapan akad


sesuai dengan tahapan dari transaksi sekuritisasi. Ada akad pada tahap pra
sekuritisasi, tahap proses sekuritisasi, dan tahap pasca sekuritisasi. Pada Tahap Pra
Sekuritisasi yaitu sbb: ‚I) Manajer Investasi dan Bank Kustodian sepakat
membentuk KIK-EBAS sebagai subjek hukum yang mengikat Pemodal; 2)
Dilakukan wa 'd antara Orginator dengan Manajer Investasi sebagai wakil KIK-
EBAS dalam transaksi sekuritisasi dimana Originator berjanji untuk menjual
Asetnya dan Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS berjanji untuk
86
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa No.121/DSN-MUI/II/2018 Tentang Efek
Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK
EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.
87
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah

219
membelinya; 3) Akad antara Originator dengan Penata Sekuritisasi adalah akad
waka@lah bi al-ujrah; 4) Akad antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS
dengan Agen Penjual adalah akad waka@lah bi al-ujrah; 5) Dalam hal adanya
Underwriter/D}amin al-Is}da@r (Penjamin Emisi) yang berfungsi untuk menawarkan
EBAS kepada calon Pemodal, maka Akad antara Manajer Investasi sebagai wakil
KIK-EBAS dengan Underwriter/ D}amin al-Is}da@r (Penjamin Emisi) adalah akad
waka@lah bi al-ujrah; 6) Dalam hal adanya Underwriter/D}amin al-Isda@r (Penjamin
Emisi) yang berfungsi sebagai pembeli siaga, maka dilakukan wa 'd antara
Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Underwriter/D}amin al-Is}dar
(Penjamin Emisi); 7) Dalam hal terdapat klasifikasi Efek pada Penerbitan EBAS,
maka Pemodal Kelas Efek tertentu berjanji (wa 'd) akan melepaskan sebagian
haknya (al-Tana@zul 'an al-Haqq) untuk diberikan kepada Pemodal Kelas Efek
lainnya‛.88

Gambar 5.7
Skema Akad Tahap Pra-Sekuritisasi

Pada Tahap Sekuritisasi: ‚1) Akad antara Pemodal dengan Manajer


Investasi sebagai wakil KIK-EBAS adalah akad waka@lah bi al-ujrah; 2) Akad
antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Originator dalam
mengalihkan aset adalah akad jual beli secara sesungguhnya (al-bai' al-haqi@qi; 3)
Akad antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan Registrar,
adalah akad waka@lah bi al-ujrah‛.89

88
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (KIK EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah
89
Fatwa No.125/DSN-MUI/XI/Tentang Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset (KIK EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah

220
Gambar 5.8
Skema Akad Tahap Sekuritisasi

Tahap Pasca Sekuritisasi: ‚ 1) Akad antara Manajer Investasi sebagai


wakil KIK-EBAS dengan Penyedia Jasa (Servicer) adalah waka@lah bi al-ujrah;
2) Dalam hal adanya penjaminan oleh penyedia Dukungan Kredit (Credit
Enhancement/Ta'ziz al-i'tima@ni ) dalam proses penerbitan KIK-EBAS, maka
akad antara Manajer Investasi sebagai wakil KIK-EBAS dengan penyedia
Dukungan Kredit adalah kafa@lah bi al-Ujrah; 3) Akad antara Manajer Investasi
sebagai wakil KIK-EBAS dengan Agen Pembayar, adalah akad waka@lah bi al-
ujrah; 4) Dalam hal EBAS diperdagangkan maka Akad antara Manajer Investasi
sebagai wakil KIK-EBAS dengan Bursa Efek, adalah akad waka@lah bi al-ujrah‛.90

Gambar 5.9
Skema Akad Tahap Pasca Sekuritisasi

3. Terkait struktur/Skema
Permasalahan ketiga terkait aspek syariah dalam seluritisasi EBA yaitu
mengenai struktur atau skema transaksi yang digunakan. Kepada responden
ditanyakan terkait kelebihan struktur/skema transaksi yang digunakan antara
transaksi pass-throught/true sale (jual putus/pindah tangan) atau pay throught/with
recourse (salur bayar). Dari jawaban industri bahwa dari masing-masing skema
transaksi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan dari

90
ibid

221
transaksi pass-throught/true sale (jual putus/pindah tangan) sebagaimana tabel di
bawah ini.
Tabel 5.8
Kelebihan dan Kekurangan Pass-Throught/True Sale
Kelebihan Kekurangan
- Risiko akan ditanggung oleh - aset pembiayaan bank berkurng
investor, pembiayaan bermasalah secara drastis.
menjadi risiko investor. - pilihan purchaser/issuer yang
- Dapat menjadi pilihan bagi bank terbatas karena ada risiko bagi
Syariah yang memiliki tujuan purchaser/issuer dan harus
perbaikan neraca dan revitalisasi memiliki rating yang baik.
modal yang dimiliki. - terkadang perpindahan aset
- Risiko sepenuhnya beralih kepada malah mempersulit salah satu
investor. Kekurangannya, aset pihak
pembiayaan bank berkurng secara
drastis.
- Jika sudah terjadi perpindahan dana
dari Purchaser ke Originator, maka
purchaser / issuer tidak dapat
menarik kembali / meminta /
membatalkan fund yang sudah
diberikan kepada Originator.

Begitu juga terkait kelebihan dan kekurangan dari transaksi pay


throught/with recourse (salur bayar) adalah sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel 5.9
Kelebihan dan Kekurangan Pay Throught/With Recourse
Kelebihan Kekurangan
- Risiko akibat kegagalan - Secara syariah berpotensi
underlying/penurunan kualitas terdapat pelanggaran.
underlying akan ditanggung oleh Khususnya yang terkait bagi
Bank sehingga bank dapat hasil antara pemilik EBA
terekspose risiko pembiayaan dengan nasabah pembiayaan
walaupun sudah dilakukan EBAS. (jika MMQ).
- Dapat menjadi pilihan bagi bank - penerimaan pembayaran tidak
Syariah yang memiliki portofolio langsung diterima (bertahap).
bagus tetapi ingin mendiversifikasi - terbatasnya pilihan Originator
portofolio pembiayaanya. yang memiliki rating yang
- Aset pembiayaan dimungkinkan relatif baik.
untuk beralih sepenuhnya.
- Jika sudah terjadi perpindahan dana
dari Purchaser ke Originator, maka
Purchaser dapat menarik kembali /
meminta / membatalkan fund yang

222
sudah diberikan ke Originator
- Pencatatan syariah yang dilakukan
secara cash basis

Pada saat industri diminta untuk menentukan mana dari dua skema tersebut
yang akan digunakan jika menerbitkan EBAS, maka sebagian besar ( 8 lembaga)
akan menggunakan transaksi pass-throught/true sale. Hanya terdapat 1 lembaga
bank yang menjawab menggunakan skema pay throught/with recourse (salur
bayar).

Gambar 5.10
Pilihan Skema/Struktur Transaksi
Pilihan Skema/Struktur Transaksi

Pass-throught/true sale Pay throyght


11%

89%

Pertimbangan dari responden atas pilihan masing-masing transaksi tersebut


adalah sebagai berikut:
Tabel 5.10
Perbandingan Pass-Throught/True Sale dan Pay Throught/With Resource
Pass-throught/true sale Pay throught/with recourse
- Lebih jelas dan tegas bahwa aset - mekanisme pembukuan
atau hishshah telah menjadi milik cash basis
pemilik EBA
- Cara paling sederhana untuk
melakukan sekuritisasi aset.
- Risiko sepenuhnya beralih menjadi
milik invetor
- Tidak adanya risiko recourse bagi
Bank Syariah selaku Originator

Apabila dilakukan analisa lebih lanjut atas pilihan transaksi pass-


throught/true sale lebih tinggi dibanding dengan pay throught, maka jawabannya
tentu beragam. Di samping argumen yang sudah dijelaskan oleh responden
sebagaimana dalam tabel di atas, hal ini juga sejalan dengan kecenderungan di
beberapa negara yang menggunakan struktur transaksi Pass throught/true sale dari
pada pay throught. Beberapa negara yang menggunakan struktur transaksi Pass

223
throught/true sale yaitu Amerika Serikat,91 Inggris,92 Eropa pada umumnya,93 dan
Korea Selatan.94
Sementara itu para ahli juga menjelaskan kelebihan dari struktur pass
through atau true sale dalam penerbitan EBA antara lain karena EBA yang
dipegang investor merepresentasikan kepemilikan atas sekumpulan tagihan yang
tidak terbagi dan sudah menjadi hak para investor, sehingga tagihan sepenuhnya
menjadi milik investor termasuk resiko gagal bayar terhadap kreditur.95 Dalam pass
throught/true sale piutang tidak lagi dicatat dalam neraca originator sekalipun
originator memperoleh fee atas pelayanan administrasi yang dilakukannya (service
fee)‛.96 Hal ini berbeda dengan skema transaksi menggunakan pay-through atau
with recourse, dimana aset masih berada pada originator dan masih dicatat atas aset
originator.97 Dalam transaksi ini secara hukum tidak terjadi peralihan hak atas
tagihan, hanya manfaat ekonomis dari tagihan tersebut yang beralih kepada
investor.98

C. Respon Bank Syariah Atas Aspek Hukum dan Regulasi Sekuritisasi Berbentuk
EBA
Berdasarkan kegiatan wawancara yang dilakukan dengan beberapa pelaku
industri Bank Syariah99 terkait dengan aspek hukum dan regulasi sekuritisasi

91
Di Amerika Serikat menggunakan struktur trust yang beragam. Apabila EBA
dalam bentuk trust maka outputnya berupa pass-throught certificate (surat partisipasi),
apabila EBA berbentuk SPV maka outputnya pay throught certificate (obligasi atau surat
utang). Tapi yang dominan menggunakan Pass throught/true sale. Andrew Davidson, dkk,
Securitization Structuring and Investment Analysis, Kanada: John Wiley & Sons.Inc, 2003,
h.489
92
C Ian Twinn, Asset-backed securitisation in the United Kingdom ,
https://www.bankofengland.co.uk/-/media/boe/files/quarterly-bulletin/1994/asset-backed-
securitisation-in-the-uk; HM Treasury, UK Financial Investments, UK Asset Resolution,
Introduction to asset-backed securities, 2016. h. 16. https://www.nao.org.uk/wp-content/
uploads/2016/07/Introduction-to-asset-backed-securities.pdf
93
Michael Simkovic, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana
Law Journal, Vol. 88, h.213, (2013), h. 217
94
Cliford Change, dkk: ASIFMA Securitisation in Asia 2018, h. 68.
https://www.asifma.org/wp-content/uploads/2018/09/asifma-2018-securitization-handbook
-final-003.pdf
95
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar
Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 347; SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah
(EBA) oleh Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan di Indonesia, 2016, h 37
96
Sri Liani Suselo, dkk, Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka Pendalaman Pasar
keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Desember 2013, h. 10
97
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU Pasar
Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 347
98
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), 2010, 42
99
Tabel wawancara.....

224
berbentuk Efek Beragun Aset dapat disimpulkan beberapa pandangan sebagaimana
di bawah ini.

Tabel 5.11
Kendala Aspek Regulasi
No Bank Uraian
1 CIMB Syariah  Masalah kewenangan bank untuk menjual aset
kepada calon pembeli EBA
 Konsekuensi dari pengalihan aset yang jika
belum sepenuhnya disadari oleh pemilik EBA,
menyebabkan bank dapat berpotensi melakukan
pelanggaran terhadap aspek syariah. Misalnya,
yang terkait bagi hasil. Bagaimana jika nasabah
tidak terima apabila terjadi penurunan bagi hasil
dali MMQ akibat ketidakpahaman nasabah
terhadap underlying akad yang digunakan
 Belum jelasnya masalah pajak atas kepemilikan
aset pembiayaan
 Masalah pencatatan aset. Apakah akan tetap
dibuku Bank atau berada di nasabah
2 BCA Syariah Hubungan antara originator, manajer investasi,
bank kustodian dan investor menimbulkan akibat
hukum yang berbeda-beda
3 Danamon Syariah Ketentuan & Kebijakan yang mengatur secara jelas
dan detail (termasuk pajak dan akuntansi) belum
ada
4 BNI Syariah Skema pencatatan atas skema pay throught belum
familiar
5 BMI  Dalam akad MMQ tidak memuat klausula yang
membolehkan bank mengalihkan porsi
kepemilikannya kepada pihak lain. Jadi tidak ada
klausula ‚nasabah menyetujui bank untuk
mengalihkan porsi kepada pihak lain‛. Klausula
yang ada itu adalah closula yang berkait dengan
subrogasi pengalihan piutang , bank boleh
mengalihkan piutangnya , padahal kalau dalam
contohnya MMQ, porsi itu kan bukan piutang ,
porsi itu kan hak bank tapi kan nasabah selaku
partner punya, kalo ini mengalihkan kewajiban
nasabah dalam bentuk tagihan piutang gitu.
 Terkait khiyar ‘aib. Artinya apabila dari aset
yang dialihkan kepemilikannya tersebut tidak
sesuai kriteria yang ditentukan oleh penerbit
(dhi. SMF), maka jangka berapa lama
penggantian itu menjadi kewajiban bank sebagai

225
originator. Penerbit berkeinginan jangka
waktunya selama-lamanya sampai selesia EBA.
Bank berkeinginan yang secepatnya, paling tidak
antara 3-6 bulan. Namun terkait hal ini, sudah
ada di POJK baru, yaitu paling lama 60 hari.
Dalam POJK lama, sampai selesai EBA.
 Originator sebagai investor pada tranche/Kelas B
paling banyak 10% sebagai moral obligation.

Dari hasil wawancara dan responden tersebut apabila disimpulkan


permasalahan dari aspek hukum meliputi: kewenangan bank untuk menjual aset
kepada calon pembeli EBA, konsekuensi dari pengalihan dapat berpotensi bank
dinilai melakukan pelanggaran syariah berikut permasalahan pencatatannya, terkait
akuntansi dan pencatatan aset, dan belum jelasnya masalah pajak atas kepemilikan
aset pembiayaan serta akibat hukum hubungan hukum antara originator, manajer
investasi, bank kustodian dan investor. Berikut penjelasan dari masing-masing
permasalahan dimaksud.

1) Kewenangan bank untuk menjual/mengalihkan aset kepada calon pembeli


EBA
Pelaku industri mempertanyakan dasar kewenangan bank untuk dapat
mengalihkan aset pembiayaan kepada pihak lain. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa proses sekuritisasi senantiasa diawali dengan kegiatan internal
yang dilakukan oleh originator sebagai pihak yang memiliki tagihan atau hak.100
Keberadaan aset-aset tersebut didasarkan pada perjanjian yang dibuat antara para
pihak. Dalam kaitan dengan bank, maka perjanjian tersebut adalah perjanjian atau
akad antara bank dan nasabahnya, baik berupa akad KPR maupun akad pembiayaan
lainnya. Akad tersebut pada umumnya di dalam praktik berbentuk suatu perjanjian
standar atau perjanjian baku.101
Dalam setiap perjanjian pembiayaan bank dengan nasabah, pada umumnya
memuat hak untuk dapat mengalihkan kewajiban, piutang dan hak kepada pihak
lain. Dari dokumen yang diperoleh penulis, contoh klausula pengalihan pada bank
syariah antara lain sebagai berikut:

‚Bank berhak untuk mengalihkan kepada pihak ketiga lainnya sebagian atau
seluruh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Akad berikut dengan
segala hak-hak, kuasa-kuasa dan jaminan-jaminan yang melekat pada Akad ini

100
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU
Pasar Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 347
101
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir
Indonesia,1993, h.129.

226
tanpa kecuali dengan cara apapun dan dengan syarat-syarat serta ketentuan-
ketentuan yang dianggap perlu oleh Bank.‛102

‚Nasabah menyetujui dan karena itu seberapa perlu dengan ini memberi kuasa
kepada Bank untuk menggadai-ulangkan atau dengan cara apapun memindahkan,
mengalihkan dan menyerahkan baik sebagian maupun seluruhnya piutang atau
tagihan-tagihan Bank berdasarkan Akad kepada Bank Indonesia atau pihak lain,
dengan membuat perjanjian subrogasi, cessie, joint financing atau perjanjian kerja
sama lain, berikut semua hak, kekuasaan-kekuasaan dan jaminan-jaminan yang
ada pada Bank berdasarkan Akad atau akta pemberian jaminan, dengan syarat-
syarat dan perjanjian-perjanjian yang dianggap baik oleh Bank.‛103

Berdasarkan klausula tersebut, maka secara yuridis pada dasarnya bank


memiliki hak untuk mengalihkan aset pembiayaan yang dimilikinya kepada pihak
lain. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 1320 jo. Pasal 1338 jis. Pasal 1317
KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian dan perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya serta
memungkinkan seseorang mengikatkan diri untuk kepentingan pihak ketiga.104
Namun demikian dalam praktik masih terdapat bank syariah yang belum
memasukan klausula pengalihan dimaksud atau memasukan klausula dimaksud
tetapi belum memasukan mengalihkan hak yang dimiliki kepada pihak lain
sebagaimana untuk akad musyarakah atau mudharabah. Hal ini terjadi di BMI
sebagaimana wawancara yang dilakukan penulis dengan staf BMI.105 Menurut staf
BMI, pertimbangan sehingga proses penerbitan EBAS menjadi lama antara lain
karena klausula legal dalam akad pembiayaan syirkah tidak menyebutkan
pengalihan porsi atau hak kepada pihak lain. Klausula yang ada hanya mengalihkan
kewajiban nasabah/piutang/tagihan nasabah kepada pihak lain.106 Menurutnya,
karena tidak ada klausula tersebut maka ada ruang untuk terjadi dispute. Lebih

102
Darf Akad murabahah BSM. Dokumen yang diperoleh pada saat wawancara dan
dokumen yang dimiliki penulis pada saat menjadi konsultan syariah.
103
Draf akad pembiayaan Bank Permata Syariah

104
Ketentuan Pasal 1320 berbunyi: ‚untuk sahnya persetujuan diperlukan empat
syarat: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Pasal 1338 berbunyi: ‚ Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya‛. Pasal 1317 berbunyi: ‚lagipun diperbolehkan juga untuk meminta
ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan
janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang
dilakukannya kepada seorang lain...‛. Subekti & Tjirosudibio, KUHPerdata,
(Bandung:Pradnya Pratama,1990), h.283. 285 dan 282.
105
Wawancara dilakukan tanggal 6-01-2020
106
Wawancara dilakukan tanggal 6-01-2020

227
lanjut dijelaskan bahwa dalam MMQ, piutang adalah bagi hasil yang tertunggak,
sedangkan dalam IMBT adalah pembayaran sewa lewat waktu tapi belum dibayar.
Namun satu hal dalam proses pengalihan tersebut tidak boleh ada klausula yang
berubah kepada nasabah. Untuk itu terdapat implikasi pada keharusan atau tidak
memberitahu kepada nasabah pada saat melakukan pengalihan tersebut. Apabila
ada perubahan menjadi wajib pemberitahuan, namun bila tidak ada perubahan maka
tidak wajib pemberitahun. Hal ini karena ‘illat memberitahu adalah takut kalau ada
yang berubah, kalau tidak ada perubahan terhadap nasabah, tidak perlu izin atau
memberitahu.107
Dalam akad MMQ tidak memuat klausula yang membolehkan bank
mengalihkan porsi kepemilikannya kepada pihak lain. Jadi tidak ada klausula
‚nasabah menyetujui bank untuk mengalihkan porsi kepada pihak lain‛. Klausula
yang ada itu adalah klausula yang berkait dengan subrogasi pengalihan piutang,
bank boleh mengalihkan piutangnya. Padahal dalam contohnya MMQ, porsi itu
bukan piutang, tetapi porsi itu merupakan hak bank dan hak nasabah secara
proporsional. Sehingga apabila klausulanya ‚mengalihkan kewajiba nasabah‛, maka
kedudukan atas porsi bersama tersebut menjadi piutang.

2) Konsekuensi dari pengalihan dapat berpotensi bank dinilai melakukan


pelanggaran syariah berikut permasalahan pencatatannya
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan prinsip syariah hak
yang dimiliki seseorang atau satu pihak dapat dialihkan kepada pihak lain selama
skema/struktur transaksinya sesuai dengan prinsip syariah. Secara umum
pengalihan hak dari satu pihak kepada pihak lain bisa menggunakan akad
hawalah.108 Akad hawalah dari segi jenis pemindahannya terdiri dari dua jenis yaitu
Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan hutang atau
kewajiban membayar/melunasi hutang yang dimiliki seseorang atau satu pihak
kepada orang atau pihak lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan hak
atau piutang atau tagihan yang dimiliki seseorang atau satu pihak kepada orang
atau pihak lain. Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq sesungguhnya sama saja,
tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita
memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Hiwalah Haqq, jika

107
wawancara dengan staf BMI. Hal yang sama juga disampaikan oleh pihak SMF
pada saat wawancara pada tanggal 8 Januari 2020, yang menyebutkan bahwa memang ada
pembicaraan diinternal BMI terkait peralihan dimaksud. Hal ini karena dari sisi SMF juga
berkepentingan apakah hak yang sudah dimiliki oleh SMF dapat diamandmen termasuk
kemungkinan perubahan harga, sebagaimana selama ini dalam transaksi EBA di USA bisa
di struktur kembali aset tersebut. Namun, dalam kontek ini nampaknya BMI dan SMF
setuju untuk tidak ada perubahan apapun (plin vella).
108
Menurut Fatwa DSN No: 12/DSN-MUI/IV/2002 tentang Hawalah, hawalah adalah
akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayar)-nya.

228
kita memandangnya sebagai pengalihan piutang.109 Dengan demikian, dari aspek
syariah pengalihan hak atau tagihan yang dimiliki kepada pihak lain boleh
dilakukan dengan menggunakan akad hawalah. Pada sisi lain boleh juga
mengalihkan aset langsung dengan jual beli sebenarnya (bai al-haqiqi/true sale).
Dalam hal pengalihan dilakukan secara hawalah, maka harus memenuhi ketentuan
dan persyaratan (rukun dan syarat) hawalah, yang di antaranya para pihak yang
melakukan pengalihan harus memiliki utang-piutang sebelumnya.110 Di samping
itu, apabila menggunakan hawalah maka yang beralih hanya kewajiban membayar
(menanggung pembayaran) dan tidak disertai imbalan (iwadh) baik penambahan
mauoun diskonto. Oleh karena itu tidak tepat menggunakan hawalah. Alternatif
pengalihan aset yang digunakan agar sesuai dengan kebiasan industri tetapi tetap
sejalan dengan prinsip syariah adalah transaksi jual beli(bai al-haqiqi/true sale).111
Dalam POJK diatur kondisi jual putus tersebut apabila memenuhi
persyaratan antara lain:
‚a). seluruh manfaat yang diperoleh dan/atau akan diperoleh dari aset keuangan
atau aset syariah telah dialihkan kepada Penerbit; b). risiko kredit dari aset
keuangan atau aset syariah yang mendasari (underlying) secara signifikan telah
beralih kepada Penerbit; c). Kreditur Awal (Originator) tidak memiliki
pengendalian secara langsung dan/atau tidak langsung atas aset keuangan atau
aset syariah yang mendasari (underlying); d). EBA atau EBAS yang diterbitkan
bukan merupakan kewajiban bagi Kreditur Awal (Originator), Investor hanya
memiliki hak tagih terhadap Penerbit atas aset keuangan atau aset syariah yang
mendasari (underlying); e). pihak yang menerima aset keuangan atau aset
syariah yang mendasari (underlying) merupakan Penerbit; f). pemilik EBA atau
EBAS memiliki hak untuk mengagunkan atau mentransaksikan EBA atau
EBAS‛. 112
Dalam KUH Perdata dikenal bahwa cara penyerahan dan berpindahnya hak
milik bergantung pada macam dan jenis benda yang akan diserahkan. Macam-
macam benda atau barang tersebut, dibagi pada tiga bagian, yaitu benda bergerak;
benda tidak bergerak; dan benda tidak bertubuh (piutang atas nama). Berdasarkan

109
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.204; Jaih Mubarak dan Hasanudin,
Fikih Muamalah Maliyah, Akad Tabarru’, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017,
h.145.
110
Mayoritas ulama mengharuskan dalam akad hawalah para pihaknya memiliki
hubungan utang piutang sebelumnya. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla@mi wa
Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), Jilid V, h.455
111
Ali Muhyiddin Al-Qurhu Daghi, al-S}ukuk al-Islamiyyah : al-Tauri@q wa
Tat}bi@qatuha@ al-Mu’a@s}irah, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami al-Duali, (2013):2. file:///C:/Users/
acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-37-34%20(5).pdf; Akhtar Zaiti Abdul Aziz, Al-
S}uku@k al-Isla@mi (al-Tau@riq) wa Tat}bi@qatuha@ al-Mu’as}irah wa Tada@wuli@ha@, Majma al-Fiqh
al-Isla@mi al-Dualy, Muktamar ke-19 di UEA; h. 14. file:///C:/Users/acer/Downloads/
ShrjaLabel09-04-2013-11-39-17%20(4).pdf; Zahirah Ali Muhammad Bani Amir, al-Tashkik
wa Dauruhu fi Tathwir Suq al-Maliyah Islamiyyah, (Jami’ah Yarmuk:2008), h. 154
112
Pasal 5 POJK No.11/POJK.03/2019 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum

229
macam benda tersebut, proses atau cara penyerahannya juga terbagi pada tiga
bagian, yaitu:
a. Apabila benda atau barang bergerak, penyerahannya cukup dengan cara
menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut yang artinya menyerahkan barang
tersebut secara nyata, sehingga dengan demikian kepemilikan atas benda
tersebut juga beralih, kecuali penyerahan benda-benda tidak bertubuh.
b. Apabila benda tidak bergerak, pengalihannya dilakukan dengan cara melakukan
balik nama melalui suatu akte yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT).
c. Apabila barang tidak bertubuh (piutang atas nama), penyerahannya dilakukan
dengan pembuatan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berutang (cessi). 113
Menurut KUHPerdata, sebagaimana juga sudah dijelaskan pada Bab III,
bahwa cara memperoleh hak milik berdasarkan ketentuan Psl.584 KUHPerdata
antara lain yaitu dengan cara penyerahan berdasarkan suatu peristiwa
perdata/rechtstitel untuk memindahkan hak milik. Peristiwa perdata yang
dimaksud, antara lain perjanjian jual beli (Ps. 1457 KUHPer). Khusus untuk aset
berupa tagihan/hak, berdasarkan ketentuan Ps 613 par (1) KUHPerdata
menentukan penyerahan dilakukan dalam bentuk akta, baik akta bawah tangan
maupun akta otentik. Akta penyerahan ini dikenal dengan istilah ‚cessie‛. Dalam
jual beli tagihan ada 2 hubungan hukum, yaitu hubungan antara penjual tagihan
(cedent) dengan pembeli tagihan (cessionaris); dan hubungan antara cessionaris dan
debitur (cessus). Dengan adanya jual beli dan penyerahan tagihan, hak milik atas
tagihan telah beralih kepada pembeli tagihan. Berdasarkan ketentuan Pasal 613 par
(2) KUHPerdata mensyaratkan pemberitahuan penyerahan tagihan kepada debitur.
Adanya pemberitahuan (atau pengakuan dari debitur) menimbulkan hubungan
hukum antara pembeli tagihan dan debitur, sehingga debitur terikat untuk
membayar kepada pembeli tagihan. Dengan demikian berdasarkan KUHPerdata,
tidak ada larangan untuk mengalihkan hak/piutang yang dimiliki kepada pihak lain
selama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, terkait dengan pengalihan aset ini, dari hasil wawancara
dengan bank BMI masih ada persoalan lain yaitu terkait ‚khiyar ‘aib‛.114 Artinya
apabila dari aset yang dialihkan kepemilikannya tersebut tidak sesuai kriteria yang
ditentukan oleh penerbit, dalam hal ini PT.SMF, maka terdapat jangka waktu
lamanya penggantian itu menjadi kewajiban bank sebagai originator. Penerbit

113
Marim Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h,
78-104.
114
Secara definitif khiyar ‘aib adalah ‚keadaan yang membolehkan salah satu pihak
yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau melangsungkannya ketika
ditemukannya kecacatan (aib) dari mabi’ (obyek akad) yang dipertukarkan dan tidak
diketahui pemiliknya pada waktu akad. Dasar hukum khiyar ‘aib di antaranya adalah sabda
Rasulullah SAW yang artinya: ‚Sesama muslim itu bersaudara. Tidaklah halal bagi seorang
muslim untuk menjual barang terhadap muslim lainnya yang mengandung kecacatan,
kecuali menjelaskannya terlebih dahulu‛ (HR. Ibn Majah dari ‘Uqbah bin ‘Amir). Lihat,
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Jilid IV, h.
525

230
berkeinginan jangka waktunya selama-lamanya sampai selesia EBA. Hal ini sejalan
dengan ketentuan PBI tahun 2005.115 Bank berkeinginan yang secepatnya, paling
tidak antara 3-6 bulan. Namun terkait hal ini, sudah ada di POJK baru, yaitu paling
lama 60 hari. Bahkan nilai aset yang dipertukarkanpun sudah ditentukan jumlah
maksimalnya yaitu paling banyak 10%. Bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (4) POJK No
11/2019 sebagai berikut:
‚Dalam hal diperjanjikan kemungkinan untuk melakukan penukaran aset
keuangan atau aset syariah yang mendasari (underlying), dalam perjanjian harus
mencantumkan persyaratan paling sedikit: a. jangka waktu penukaran aset
keuangan atau aset syariah paling lama 60 (enam puluh) hari sejak perjanjian
pengalihan aset keuangan atau aset syariah ditandatangani; dan b. nilai aset
keuangan atau aset syariah yang dapat dipertukarkan paling banyak sebesar 10%
(sepuluh persen) dari nilai aset keuangan atau aset syariah yang mendasari
(underlying).‛ 116

3) Terkait akuntansi dan pencatatan aset.


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pengalihan aset dari originator
tersebut dilakukan melalui 2 metode yaitu pengalihan secara pay-through atau with
recourse, dan pengalihan secara pass-through atau true sale. Dalam pengalihan
secara pay-through atau with recourse, dimana resiko gagal bayar terhadap tagihan
yang dialihkan tetap berada ditangan originator, 117 maka risiko dan pencatan
secara sempurna masih berada pada pihak originator, dan konsep ini tidak
memenuhi persyaratan transaksi sekuritisasi.118 Kedua pengalihan secara pass-
through atau true sale, yaitu pengalihan tagihan dengan sistem jual lepas/jual putus
dari originator kepada investor yang diwakili SPV atau wali amanat. Karena sudah
terjadi jual putus, maka sudah terjadi peralihan hak dan karenanya pencatan sudah
tidak berada dalam pencatatan originator tetapi berada di investor.

4) Belum jelasnya masalah pajak atas kepemilikan aset pembiayaan


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa EBA merupakan subjek pajak
badan dan karenanya diharuskan untuk memenuhi kewajiban perpajakan.
Kewajiban tersebut antara lain mengenai pendaftaran untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pemenuhan kewajiban pajak bulanan atau tahunan.
Kewajiban pembayaran pajak dalam transaksi EBA dalam perundang-undangan
yaitu PPh Badan, PPh, dan PPn.

115
Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritas Aset Bagi Bank Umum
116
Pasal 5 ayat (4) POJK No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
117
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU
Pasar Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 347
118
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), 2010, h.43

231
Dari permasalahan aspek hukum di atas, apabila dibandingkan dengan
beberapa aspek hukum yang terjadi dibeberapa negara sebagaimana sudah
dijelaskan pada Bab III, maka permasalahan hukum dalam penerbitan EBA,
meliputi (1) kumpulan aset yang menjadi dasar penerbitan EBA; (2) pengalihan
aset; (3) SPV; (4) Bankruptcy remotness; (5) perfection of securiti interset; (6)
pendukung transalsi (penerbit, wali amanat, bank kustodian, dan pendukung
kredit), aspek perpajakan, dan governing law.
Dengan demikian dari permasalahan hukum yang dikemukakan oleh pelaku
industri dengan apa yang terjadi dalam penerbitan EBA di beberapa negara
sebagian memiliki kesamaan, namun ada juga yang tidak diungkapkan oleh
responden yang sebenarnya juga menjadi persoalan dalam proses sekurtisasiEBA,
yaitu masalah bankruptcy remotness, perfection of securiti interset dan governing
law.
Sebagaimana dijelaskan bahwa bankruptcy remoteness adalah perlindungan
bagi investor dimana aset keuangan yang menjadi underlying EBA tidak dapat
dikenakan sita umum sebagai akibat dari adanya pernyataan pailit,119 baik terhadap
Kreditur Asal, Penerbit, Wali Amanat maupun Bank Kustodian. Oleh karena itu,
aset keuangan yang dialihkan seller/originator kepada investor atau pihak yang
mewakilinya (Special Purposes Vehicle -SPV) tidak terpengaruh oleh kepailitan
seller/originator. Pengalihan aset keuangan tersebut harus benar-benar
memindahkan hak milik kepada pembeli, sehingga aset keuangan tersebut tidak lagi
menjadi harta pailit originator bila yang bersangkutan pailit. Di samping itu
dampak kepailitan penerbit/issuer terhadap instrumen/efek yang diterbitkan, juga
perlu dipastikan apakah ada segregasi/pemisahan antara aset milik issuer, dan aset
yang dipegangnya untuk kepentingan investor.120
Perfection Of The Security Interest, yaitu gabungan antara prinsip true sale
dan bankruptcyremoteness, yaitu melalui pengikatan legal yang dilakukan, aset
yang menjadi aset dasar transaksi sekuritisasi akan sepenuhnya menjadi hak
investor dan tidak bisa diklaim oleh pihak lain. ‚Security interest‛ adalah
kepentingan atas suatu aset milik pihak lain untuk tujuan menjamin dipenuhinya
kewajiban suatu pihak.121 ‚Security interest‛ ini memberikan hak-hak tertentu
kepada pemegang jaminan terhadap aset yang dijaminkan. Hak ini berbeda-beda,
tergantung jenis dan bentuk jaminan yang diberikan. ‚Perfection‛ secara hukum,
yaitu langkah-langkah/mekanisme yang diperlukan untuk melahirkan suatu hak atas
barang yang dijaminkan kepada kreditur.
Secara umum ada tiga bentuk langkah yang diperlukan untuk melahirkan
hak (perfection) atas suatu ‚security interest‛ yaitu: (1) penguasaan atas barang
jaminan; (2) kewajiban pendaftaran; atau (3) pemberitahuan kepada pihak ketiga.
Perfection of the security interest‛ penting dalam transaksi sekuritisasi untuk
119
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global
World, New York: Palgrave Macmillan, 2015, h. 138 & 147
120
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019;
dan wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020.
121
Maha Hanaan Balala, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global
World, New York: Palgrave Macmillan, 2015, h. 137 & 147

232
memastikan bahwa jika suatu aset keuangan/tagihan dialihkan oleh originator
kepada pembeli, semua jaminan-jaminan yang melekat pada tagihan tersebut tetap
memberikan jaminan kepada pembeli atas dipenuhinya kewajiban debitur atas
tagihan terhadap dirinya.122
Berkenaan dengan governing law domisili hukum,123 nampaknya
dikalangan industri perbankan syariah sudah tidak menjadi isu utama dalam
persoalan penyelesaian sengketa. Pelaku industri sudah mengetahui secara pasti
bahwa terkait dengan penyelesaian sengketa di perbankan syariah merupakan
kewenangan absolut dari peradilan agama.124

D. Respon Bank Syariah Atas Aspek Budaya Kerja Pengembangan Produk


Sekuritisasi Berbentuk EBA
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa LKS umumnya dalam proses
inovasi suatu produk mempertimbangkan manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko
(risk) yang dihadapi.125 Apabila manfaatnya lebih tinggi dan biaya serta risikonya
rendah, maka akan mendapat prioritas untuk dijalankan. Sebaliknya pelaku industri
akan bersikap menunggu dan melihat yang lain menjalankan terlebih dahulu
termasuk dalam masalah penerapan sekuritisasi aset berbentuk EBA ini.126
Berdasarkan kegiatan wawancara yang dilakukan dengan beberapa pelaku
industri bank syariah terkait dengan aspek budaya kerja pengembangan produk
terdapat beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut baik pada saat melakukan
penerbitan EBA maupun pada saat tidak menerbitkan produk EBA. Pertimbangan
lainnya meliputi tantangan yang dihadapi dalam pengembangan produk EBA ini.
Penjelasan hasil wawancara adalah sebagai Tabel di bawah ini.127

122
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019;
dan wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020.
123
Hukum yang digunakan dan tempat menyelesaikan permasalahan hukum apabila
terjadi sengketa. Sunu Widi Purwoko,Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan
Jaminan, Jakarta: Tim Nine Seasons, 2011, h.158
124
Asep Supyadillah, ‚Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi‛, Misykat al-Anwar-Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta), Vol.22, No.9 (2013), h.23;
Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h.125
125
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation, International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Emerald Group Publishing Limited,
Vol. 2 No. 3, 2009, h. 187-200; Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering
and Islamic Contract, New York: Palgrave Macmillan, 2005; Mohammad Obaidullah,
Islamic Financial Services, Jeddah: King Abdul Aziz University, 2005.
126
Foud H. Al-Salem, Islamic financial product innovation ....
127
Lihat tabel wawancara pada Bab I dan lampiran tabel hasil wawancara.

233
Tabel 5.12
Pertimbangan Menerbitkan atau Tidak Menerbitkan Produk EBAS
Menerbitkan Tidak Menerbitkan
a) Dibutuhkan oleh nasabah a) Kurang dibutuhkan oleh
b) Memberikan manfaat yang lebih Nasabah
lebih tinggi dibandingkan b) Biaya yang dikeluarkan lebih
dengan biaya yang dikeluarkan tinggi dibandingkan dengan
c) Ketentuan dan pedomannya manfaat yang akan diperoleh
sudah jelas. c) Risiko dari produk besar
d) Risiko dari produk rendah (berisiko tinggi)
(berisiko kecil) d) Ketentuan dan pedomannya
e) Jika biaya EBAS lebih rendah masih belum jelas
atau sama dibandingkan dengan e) Pasar yang belum teredukasi
DPK dapat menjadikan tantangan
yang cukup bagi bank untuk
dapat mempertimbangkan
secara bisnis.

Aspek lain jawaban dari pelaku industri bank syariah atas aspek budaya ini
bahwa pemahaman yang baik atas produk termasuk kepatuhan terhadap syariah
dapat menjadi pengendalian risiko atas kondisi produk EBA konvensional yang
menjadi produk derivatif.128
Kesimpulan dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa EBAS
merupakan suatu inovasi produk yang lintas sektor di bidang keuangan, menjadikan
pelaku industri memiliki banyak pertimbangan pada saat hendak
mengembangkannya. Pertimbangan pelaku industri bank syariah terhadap inovasi
produk EBAS tidak hanya dilihat dari aspek manfaat (benefit), biaya (cost) dan
risiko (risk) yang dihadapi. Tetapi juga dilihat dari sikap aspek pemahaman, skala
prioritas produk, risiko aspek kesyariahan dan upaya mitigasi terhadap potensi
risiko dimaksud.
Sejalan dengan pendapat ahli, menurut Samir Alamad, yang mendorong
inovasi keuangan adalah sebagai suatu tanggapan/respon terhadap kebutuhan
pengguna (the need of users) atas produk keuangan. 129 Pengguna secara alamiah
menghendaki adanya produk yang lebih variatif dari produk dasar yang sudah ada.
Produk dasar simpanan, pembiayaan, dan jasa yang ada dianggap masih belum
memenuhi kebutuhan pengguna.130 Oleh karenanya, pengguna minta disediakan
produk-produk yang dibutuhkan dimaksud. Lebih lanjut Alamad menjelaskan

128
Dalam bahasa Maybank Indonesia: ‚Tidak Setuju EBAS akan seperti subprime
mortgege dengan alasan EBAS berdasarkan underlying aset dan sepanjang peraturan
mengenai EBAS dan secondary market terkait EBAS diatur dengan baik dan
mempertimbangkan makro prudential maka bubble asset dan subprime dapat dihindari‛.
Lihat hasil Tabel wawancara dengan pelaku bank syariah dari Maybank Indonesia.
129
Samir Alamad, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
Birmingham: Springer, 2017, h.91
130
Samir Alamad, Financial Innovation ...

234
bahwa latar belakang pentingnya inovasi pada sisi lain didorong oleh perlunya
insentif agar terjadi persaingan yang wajar di pasar, menghasilkan laba, risiko
lindung nilai, dan menemukan cara seputar peraturan dan perpajakan yang
berlaku.131
Menurut Munawar Iqbal dan Khan, bahwa ‚rekayasa keuangan didorong
oleh tiga hal yaitu perubahan kondisi permintaan (changes in demand conditions),
perubahan kondisi pasokan (changes in supply conditions), dan perubahan
persyaratan peraturan (changes in regulatory requirements)‛.132 Adanya perubahan-
perubahan ini mendorong perusahaan keuangan untuk berinovasi dan menghasilkan
produk-produk baru yang memungkinkan mereka bertahan dalam bisnis dan tetap
menguntungkan. Proses inilah yang disebut rekayasa keuangan (financial
engineering) atau inovasi keuangan (financial innovation).133
Sementara Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor menyatakan bahwa rekayasa
keuangan merupakan suatu kebutuhan saat ini yang paling kritis dari pasar
keuangan Islam pada umumnya dan praktik manajemen risiko Islam pada
khususnya.134 Lembaga keuangan syariah masih beroperasi pada instrumen
tradisional berjangka pendek yang terkait perdagangan dan belum banyak masuk ke
bidang investasi yang berjangka panjang serta memiliki kedalaman dan luas ( debth
and breadth).135 Rekayasa keuangan dimaksudkan sebagai upaya peningkatan
likuiditas dan perkembangan pasar sekunder dengan tetap menjaga menejemen
risiko yang efektif.136
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada Bab IV bahwa Efek Beragun
Aset (EBA) merupakan produk atau instrumen di pasar modal yang dapat
dijalankan oleh bank syariah sebagai salah satu kegiatannya. Implementasi EBAS
oleh pelaku industri menuntut adanya kemauan yang tinggi, pemahaman yang
cukup, dan sikap yang terbuka atas pengembangan produk ini. Indikator yang
mempengaruhi pelaku industri keuangan dalam merespon suatu produk baru tidak
hanya faktor keagamaan (yang meliputi keyakinan, perilaku, komitmen dan
pemahaman),137 melainkan juga karena faktor pemahaman terhadap produk
keuangan syariah dan mekanisme produk sekuritisasi aset itu sendiri.
Sebagai suatu proses inovasi produk yang didalamnya ada rekayasa keuangan
(financial engineering), maka pola serta sikap pelaku industri itu sendiri merupakan

131
Samir Alamad, Financial Innovation ....
132
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering and Islamic Contract,
New York: Palgrave Macmillan, 2005, h. 2
133
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering ....
134
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and
Practice, Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007, h. 204
135
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 204
136
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance..., h. 205
137
Hardiwinoto, Analitis Respon Pengusaha Konstruksi Terhadap Beroperasinya
Bank Syariah, Makalah dalam Jurnal‛ Aset‛ Vol 12. No 2, September 2010, h.1070115.

235
faktor dominan dari keberhasilan pengembangan produk tersebut.138 Oleh karena itu
menurut para ahli tidak sembarangan bagi pelaku industri perbankan ketika
mengembangkan produk-produk baru. Menurut Iqbal dan Khan, pedoman untuk
melakukan rekayasa keuangan Islam terdapat 5 hal utama (five C), yaitu 1.
kepatuhan dengan syariah (compliance with shariah); 2. Kesadaran (consciousness);
3. Kejelasan (clarity); 4. Kemampuan (capability); 5 komitmen (commitment).139
Sementara menurut penelitian yang dilakukan GIFR 2015, bahwa ada empat unsur
dasar dari inovasi keuangan Islam, yaitu pengetahuan syariah yang mendalam,
penataan hukum, akses ke teknologi keuangan terkini, dan pemahaman mendalam
tentang tren dan kebutuhan pasar.140
Proses inovasi keuangan sangat kompleks dan sensitif, karena
membutuhkan pertimbangan multidisiplin yang melibatkan tidak hanya
pengetahuan ekonomi, keuangan dan perbankan, tetapi juga pemahaman yang
mendalam tentang yurisprudensi Islam.141 Sepanjang sejarah, bisnis dan pedagang
telah bekerja erat dengan para ahli syariah karena umat Islam yang saleh sadar
untuk mematuhi syariah. Berabad-abad pengalaman di beberapa wilayah telah
tumbuh badan/lembaga yang membuat keputusan-keputusan dan ketentuan syariah
di bidang bisnis dan ekonomi. Namun proses penerapan inovasi pemikiran syariah
(ijtihad) untuk menyelesaikan masalah saat ini telah lama kurang aktif dan ada
kebutuhan untuk menghidupkan kembali praktik yang dulu hidup dan
bersemangat.142 Meskipun sejumlah faktor -- politik, ekonomi, budaya, peraturan,
lingkungan, etika, pasar dan pajak -- memainkan peran penting dalam inovasi
keuangan, keragaman pandangan dan pendapat Syariah telah berperan penting
dalam inovasi keuangan Islam. Tiga masalah harus dipahami dalam hal ini. Dua
yang pertama sudah mapan, sedangkan yang ketiga adalah fenomena baru, yaitu
larangan riba (prohibition of interest), diskon perdagangan hutang (discounted
trading in debt); dan sindrom pihak ketiga pada IBF (third party syndrome in
IBF).143
Begitu juga kaitannya dengan inovasi produk keuangan syariah, menurut
Al-Salem,144 bahwa Lembaga Keuangan Syariah khususnya perbankan syariah perlu
terus melakukan inovasi produk agar dapat memenuhi kebutuhan nasabahnya dari
waktu ke waktu. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, menegaskan bahwa

138
Mohamad Akram Laldin & Hafas Furqani, Innovation Versus Replication Some
Notes On The Approaches In Defining Shariah Compliance In Islamic Finance , Al-Jāmi‘ah:
Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e), Vol. 54, no. 2 (2016), pp.
249-272; https://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/54201
139
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering ..., h. 10-11
140
Global Islamic Finance report (Gifr), Innovation In Islamic Banking And Finance,
Chapter 7, 2015, http://www.gifr.net/gifr2015/ch_07.pdf, diakses tgl 16 September 2019.
141
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance ..., h. 204
142
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance ..., h. 204
143
Gifr, Innovation In Islamic Banking ....
144
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation, International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 2 No. 3, 2009 h. 187 q Emerald
Group Publishing Limited.

236
tingkat inovasi produk lembaga keuangan syariah masih rendah (‚Innovation levels
of Islamic financial institutions are low owing to the development of Islamic
finance as a new activity‛).145 Sebelumnya Iqbal dan Khan juga mendorong
lembaga keuangan syariah untuk melakukan financial engineering sebagai bagian
dari upaya memenuhi kebutuhan nasabah (satisfy customer demands) dan
pengembangan produk keuangan syariah itu sendiri.146 Agar bank dan keuangan
Islam bersaing dengan lainnya maka secara berkelanjutan harus melakukan
perbaikan kinerja melalui inovasi produk, proses dan peningkatan kualitas.147
Inovasi keuangan sebagai sesuatu yang baru yang membantu mengurangi
biaya, risiko atau menyediakan produk, layanan, atau instrumen yang lebih baik
yang lebih memenuhi kepuasan atau partisipan dalam sistem keuangan. inovasi
keuangan dapat dikategorikan sebagai produk baru (mis. KPR subprime), layanan
baru (mis. internet banking), proses produk baru (mis. penilaian kredit) atau bentuk
organisasi baru (mis. Internet khusus bagi bank).148
Bagaimana proses inovasi dan rekayasa keuangan syariah (al-h}andasah al-
ma@liyah al-Isla@miyyah) dilakukan agar memberi manfaat sebagaimana tujuan
asalnya?149 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ‚ruang lingkup inovasi
keuangan meliputi berbagai aspek dari mulai desain, pengembangan, implementasi
instrumen dan proses keuangan inovatif, dan perumusan solusi kreatif, hingga
masalah dalam keuangan‛.150
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari aspek budaya kerja dalam
pengembangan produk di industri perbankan syariah, banyak faktor yang
mempengaruhinya. Pertimbangan proses inovasi suatu produk tidak saja
memperhatikan manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko (risk) dari produk
tersebut, namun juga faktor internal pelaku industri itu sendiri yang meliputi
tujuan, motif dan pemahaman terhadap produk tersebut baik dari aspek yuridis
maupun ketentuan syariah. Dari faktor-faktor tersebut, berdasarkan hasil
wawancara dengan pelaku industri bank syariah, penulis menyimpulkan bahwa
kecenderungan lebih dominan dari para pelaku industri bank syariah untuk
menerbitkan atau tidak menerbitkan produk EBA Syariah memperhatikan kepada
manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko (risk) dari produk itu sendiri
dibandingkan dengan dorongan aspek kesesuaian kesyariahan (aspek religiusitas).
Padahal pemahaman produk yang didasarkan pada aspek religiusitas, sebagaimana

145
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation....
146
Munawar Iqbal & Tariqullah Khan, Financial Engineering ..., h. 1
147
Fouad H. Al-Salem, Islamic financial product innovation..., h. 196
148
Samir Alamad, Financial Innovation ..., h.33
149
Syirin Muhammad Salim Abu Qa’nunah, al-H}andasah al-Ma@liyah al-Isla@miyyah,
D}awabit}uha al-Shar’iyyah wa Asa@suha@ al-Iqtis}adiyyah, (Jordan: Dar al-Nafais, 2016), h. 41
150
Mohamad Akram Laldin & Hafas Furqani, Innovation Versus Replication Some
Notes On The Approaches In Defining Shariah Compliance In Islamic Finance , Al-Jāmi‘ah:
Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e), Vol. 54, no. 2 (2016), pp.
249-272; https://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/54201

237
diungkapkan oleh Kamil,151 dapat menjadi pengendalian dini atas eksposure risiko
dari produk EBA. Hal ini karena karakteristik produk EBAS itu sendiri
menghindarkan dari transaksi yang spekulatif (maysir) dan ketidakjelasan (gharar)
yang dalam produk konvensional justru menjadi ciri utama dari produk dimaksud,
sebagaimana produk derivatif dari EBA dalam kasus subprime Mortgage di USA
tahun 2007-2008. Bahkan para ahli menyebut produk EBA-subprime Mortgage
merupakan produk yang cacat.152

151
Karmila Hanim Kamil, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar
Ismail, "The subprime mortgages crisis and Islamic securitization", International Journal of
Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 3, Issue: 4(2015):386-401.
152
Steven l. Schwarcz, The Future of Securitization, Connecticut Law Review,
Volume 41, No.4 (May 2009): 1315. http://papers.ssm.com/sol3/papers.cfln?abswact_
id=569862).

238
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan pelaku industri perbankan syariah di Indonesia untuk melakukan


atau tidak melakukan pengembangan suatu inovasi produk sekuritisasi aset
berupa Efek Beragun Aset Syariah (EBAS) dilatarbelakangi oleh berbagai
faktor.
a. Perlunya penerbitan produk EBAS dilatarbelakangi oleh faktor pertimbangan
aspek manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko (risk) dari produk tersebut
serta juga faktor motif, kendala dan pemahaman terhadap produk.
1) Dari aspek manfaat, produk EBAS diakui akan memberikan manfaat bagi
bank syariah baik pada saat menjadi originator maupun pada saat sebagai
investor. Manfaat EBAS pada saat menjadi originator antara lain dapat
meningkatkan likuiditas, mengatasi masalah liquidity mismatch,
penyebaran pengelolaan risiko kredit/pembiayaan, memperbaiki neraca
termasuk Angka Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM/CAR), memperoleh pendapatan
melalui kegiatan fee based income, memperbaiki maturity profile
pembiayaan; meningkatkan kapasitas pembiayaan (financing capacity);
dan merestruktur ulang posisi aset. Manfaat EBAS pada saat sebagai
investor yaitu menjadi pilihan investasi aset berkualitas; rendahnya
default rate karena terbaginya aset piutang kepada banyak debitur; profil
rating EBA yang tinggi dapat meningkatkan portofolio investasi secara
keseluruhan, dan memenuhi kebutuhan pengembalian pokok yang lebih
cepat.
2) Dari aspek risiko, produk EBA berpotensi terjadinya bubble asset dan
munculnya sub prime mortgage seperti di USA tahun 2007-2008-an,
apabila penekanan produk hanya pada pengembangan pasar sekunder
(yang derivatif), dan adanya ketidakproperan analisa terhadap variable
scoring debitur yang mengajukan pembiayaan perumahan. Sebaliknya
produk EBAS di Indonesia tidak berpotensi terjadinya bubble aset
sebagaimana di Amerika Serikat. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa
instrumen investasi syariah di Indonesia diawasi cukup ketat oleh
regulator yaitu OJK dan DSN-MUI, aset EBAS sudah diseleksi di awal
oleh Penerbit, underlying aset dan peraturan mengenai EBAS serta
secondary market diatur dengan baik dan mempertimbangkan makro
prudential, dan underlying aset jelas sehingga valuasi aset lebih valid.
b. Belum perlunya menerbitkan produk EBAS dilatarbelakangi oleh faktor
internal dan eksternal industri bank syariah itu sendiri. Faktor internal
meliputi masih tersedia dan tingginya likuiditas di Bank Syariah;
pemenuhan likuiditas UUS memanfaatkan likuiditas bank induk; masih ada
alternatif fasilitas likuiditas yang tersedia; aset bank masih kecil sehingga

239
belum masuk kategori yang boleh menerbitkan EBAS; akad yang digunakan
masih banyak berdasarkan akad jual beli (murabahah); dan kurangnya
pemahaman pelaku industri terhadap produk EBAS. Faktor eksternal
meliputi belum jelasnya prosedur dan aturan yang dijadikan pedoman,
khususnya terkait perlakuan akuntansi, perpajakan, dan teknik perhitungan;
belum ada insentif pembebasan pajak bagi produk EBAS; pengembangan
pasar sekunder masih terbatas; menurunkan Financing to Deposit Ratio
bank syariah; meningkatkan penghitungan Non Performing Financing;
belum adanya harmonisasi hukum dalam Musyarakah Mutanaqishah; dan
masih terdapat permasalahan terkait harga (pricing issue) dan truly
separation of asset.
2. Kendala aspek syariah dalam penerbitan sekuritisasi berbentuk EBAS meliputi
tiga hal yaitu terkait aset yang menjadi dasar penerbitan EBA, akad yang boleh
digunakan, dan skema atau struktur transaksi yang dipilih khususnya pada saat
bank sebagai originator.
a. Kendala terkait aset yaitu aset yang dimiliki bank syariah saat ini
mayoritas masih dalam bentuk piutang (aset yang timbul dari jual beli
(bai’), pinjaman (qardh) dan sewa menyewa (piutang ijarah)), sehingga
belum dapat dijadikan underlying aset penerbitan EBAS. Padahal syarat
aset yang dibolehkan adalah aset yang kedudukan kepemilikan aset masih
berada dalam originator, yaitu aset yang timbul dari pembiayaan atau
transaksi yang berdasarkan akad mudhrabah, musyarakah dan/atau akad
ijarah yang kedudukan kepemilikan aset masih berada dalam originator.
Aset berbentuk da’in dilarang karena termasuk transaksi sharf (pertukaran
dua jenis uang) yang tidak memenuhi unsur tamatsul (sama nilainya) dan
taqabudh) (tunai).
b. Akad yang digunakan dalam hubungan hukum antar para pihak dalam
penerbitan EBA Syariah yaitu Akad Wakalah bil ujrah, Kafalah bil ujrah,
Bai al-Haqiqi, Ijarah Maushufah fi al-Dzimmah, dan wa’d. Penerapan akad-
akad tersebut dirasakan masih terdapat kendala khususnya akad antara bank
dengan nasabahnya yang masih menggunakan akad piutang, dan masih
sedikit akad syirkah. Sekalipun menggunakan akad syirkah, masih terdapat
klausula yang belum mengcover proses pengalihan hishshah atau hak
kepada pihak lain, sehingga penerapan akad bai’ al-haqiqi dalam pada
proses pengalihannya menjadi terkendala.
c. Kendala dari aspek struktur/skema yang digunakan antara transaksi pass-
throught/true sale (jual putus/pindah tangan) atau pay throught/with
recourse (salur bayar) masing-masing menghadapi kendala di samping
memiliki kelebihan dan kekurangan. Skema pay throught/with recourse
kendalanya lebih besar dibanding skema pass-throught/true sale, karena
untuk skema yang pertama aset masih berada dan dimiliki oleh originator
termasuk risiko masih pada originator. Sementara untuk skema yang kedua
pada saat terjadi true sale, aset sudah beralih dan menjadi milik investor
termasuk apabila terjadi gagal bayar.

240
3. Permasalahan dari aspek hukum dalam penerbitan EBAS meliputi kewenangan
bank untuk menjual aset kepada calon pembeli EBA, konsekuensi dari
pengalihan dapat berpotensi bank dinilai melakukan pelanggaran syariah,
permasalahan pencatatannya terkait akuntansi dan pencatatan aset, dan belum
jelasnya masalah pajak atas kepemilikan aset pembiayaan serta akibat hukum
hubungan hukum antara originator, manajer investasi, bank kustodian dan
investor. Masalah lainnya terkait (1) kumpulan aset yang menjadi dasar
penerbitan EBA; (2) pengalihan aset; (3) SPV; (4) bankruptcy remotness; (5)
perfection of securiti interset; (6) pendukung transaksi (penerbit, wali amanat,
bank kustodian, dan pendukung kredit), dan (7) governing law.
4. Penilaian pelaku bank syariah terhadap inovasi dan pengembangan produk
EBAS bahwa pertimbagan penerbitan suatu produk tidak saja memperhatikan
manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko (risk) dari produk tersebut, namun juga
faktor internal pelaku industri itu sendiri yang meliputi tujuan, motif dan
pemahaman terhadap produk tersebut baik dari aspek yuridis maupun ketentuan
syariah. Kecenderungan para pelaku industri bank syariah untuk menerbitkan
atau tidak menerbitkan produk EBA Syariah, penilaian nampaknya lebih
dominan hanya kepada aspek manfaat (benefit), biaya (cost) dan risiko (risk)
dari produk itu sendiri dibandingkan dengan dorongan aspek kesesuaian
kesyariahan (aspek religiusitas).

B. Saran

1. Perlu ada kebijakan dan dorongan kuat serta insentif dari regulator bagi bank
syariah yang menggunakan akad syirkah baik musha@rakah maupun mud}a@rabah
dalam pembiayaan KPR iB agar potensi penerbitan EBAS lebih besar.
2. Perlu adanya relaksasi pengaturan mengenai Aset/Angka Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR) dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) serta
Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi bank syariah yang menjadi originator
EBAS.
3. Untuk mengembangkan sekuritisasi aset berupa EBAS oleh bank syariah maka
dari aspek hukum masih perlu kajian lebih lanjut hal-hal yang masih dianggap
memberatkan bagi bank syariah yang berminat untuk melakukan penerbitan
EBAS.
4. Perlu ada insentif pajak bagi bank syariah yang melakukan penerbitan
sekuritsasi EBAS karena bank syariah sudah mendukung program pemerintah
dalam peningkatan kapasitan pembiayaan perumahan bagi masyarakat secara
luas.
5. Perlunya sosialisasi kepada para stakeholder tentang kejelasan aspek syariah
pada proses penerbitan EBAS, sehingga para stakeholder memahami
mekanisme EBAS yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

241
Daftar Pustaka

Buku:

Abdalloh, Irwan, Pasar Modal Syariah, Jakarta:Alex Media Komputindo, 2018


Abdul Aziz, Umar Muhammad Sayid, Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyah Baina al-
Ta’abbudi wa Ma’quliyah al-Ma’na, Uni Emirat Arab: Dairah al-Syuun al-
Islamiyyah wa al-‘Amal al-Khiri Dubai, 2010
Abdullah, Budi & Saebani, Beni Ahmad,Metode Penelitian Ekonomi Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2014
Abu Ghadah, Abdul Sattar, Buhuts Fi Al-Mu’amalat wa al-Asalib al-Mashrafiyyah
al-Islamiyyah, Kuwait: Majmu’ah Dallah Al-Barakah, 2003, edisi ke-3
Ahmaini, Muhammad, Asasiyyat al-Mu’amalat al-Maliyah wa al-Mashrafiyyah al-
Islamiyyah, Rabath: Dar al-Aman, 2015
Alamad, Samir, Financial Innovation and Engineering in Islamic Finance,
Birmingham: Springer, 2017
Al-Amine, Muhammad al-Bashir Muhammad, Global Sukuk and Islamic
Securitization Market, Financing Engineering and Product Innovation,
Leiden: Brill, 2012
Ali, Atabik, & Muhdhar, Ahmad Z, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Krapyak Press, 2001
Ali, Chaidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991
Ali, Rahail, Sukuk and Islamic Capital Markets, London: Global Business
Publishing Ltd, 2015
Al-Jibrouti, Abdul Qadir bin Muhammad Huqush Abdul Qadir, Sukuk al-Wakalah
bi al-Ististmar, Riyadh: Dar Kunuz Asybiliya, 2018
Al-Mishri, Rafiq Yunus, Al-Tamwil Al-Islami, Damaskus: Dar al-Qalam, 2012
al-Nasymi, Ajil Jasyim, Mustajaddatu al-Mu’amalat al-Maliyyah, Kuwait: Dar al-
Dhiya, 2016
al-Qathan, Manna', al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th
al-Rahman, Umar bin Muhammad Umar, Min Fiqh al-‘Ibadat fi al-Syariah al-
Islamiyyah, Universitas Al-Azhar: Kulliyah al-Dirasah al-Islamiyyah,
2017.
al-Syamiri, Faisol bin Shalih, Sukuk al-Mudharabah, Dirasah Fiqhiyyah
Ta`shiliyyah Tathbiqiyyah, Riyadh: Dar al-Maiman, 2014
al-Utsaimin, Muhammad Shaleh, Fiqh al-Ibadah, Riyadh: Madar al-Wathni Li al-
Nasyr, 1425 H
al-Zarqa, Muhammad Mustafa, al-Madkhal al-Fiqh al-Islami al-Jadid, Beirut: Dar
al-Fikr, 1995
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996
Amelia, Isye Lily, Sekuritisasi Aset Sebagai Alternatif Strategi Pendanaan Pada
Bank XYZ, Thesis, Fakultas Ekonomi Program Studi Magister
Manajemen, UI Jakarta, 2011
Amin, Ma’ruf, Era Baru Ekonomi Islam Indonesia, dari Fikih ke Praktek Ekonomi
Islam, Jakarta: eLSAS, 2011

242
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani, 2001
Ariff, Mohamed, (edt), Islamic Finance in Malaysia: Growth & Development,
Malaysia: Pearson Malaysia Sdn Bhd, 2017
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2002
Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek, Jakarta: Alvabet, 1999
Asyraf Wajdi Dusuki (edt), Islamic Finansial System: Principle and Operations,
Kuala Lumpur:ISRA, 2016
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, England: John Wiley & Sons,
2007
Bakar, Mohd Daud & Adawiah, Engku Rabiah, Essential Reading In Islamic
Finance, Kuala Lumpur: CERT Publication Sdn, 2008
Balala, Maha Hanaan, Islamic Finance and Law Theory and Practice in a Global
World, New York: Palgrave Macmillan, 2015
Bangun, Burhan (edt), Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta:Rajawali Press,
2015, Cet ke-10
Bank Indonesia, Booklet Keuangan Inklusif Bank Indonesia, Jakarta: Bank
Indonesia, 2014
Bank Indonesia, Kajian Potensi Penerapan Sekuritisasi Aset Kredit UKM oleh BI,
Jakarta: Bank Indonesia, 2017
Bank Indonesia, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset, Jakarta: Bank
Indonesia, 2003
Bank Indonesia: Kajian Model Perbankan Syariah, Jakarta: Direktorat Perbankan
Syariah, 2012
Bapepam-LK, Kajian Pengembangan Produk Syariah Di Pasar Modal Sekuritisasi
Syariah (Efek Beragun Aset Syariah), Jakarta: Bapepam-LK, 2010
Camuzzi, Paolo, dkk, The Alchemy of Securitization, Evolution and Perspectives,
Italy:Springer International Publishing, 2017
Catellan, Valentino, (edt), Islamic Finance in Europe: Toward a Plural Financial
System, UK: Edward Edgar Publishing Limited, 2013
Darsono, dkk, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia,
2016
Darsono-Ali Sakti, dkk, Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di
Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2017
Darus, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994
Darus, Mariam, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002
Davidson, Andrew, dkk, Securitization Structuring and Investment Analysis, New
Jersey: John Wiley & Son. Inc, 2003
Deacon, John, Global Securitization and CDOs, Chichester: John Wiley & Sont
Ltd, 2004
Della, Ismail (Edt), East Asian Finance, Selected Issues, Washington DC: The
Woorld Bank, 2006
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2004

243
Dewi, Gemala, Kontrak Investasi Reksadana Syariah di Indonesia, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (Tidak diterbitkan), 2010
Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Djamil, Fathurrahman, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Djamil, Fathurrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Douglas, Roger & Jane Knowler, Trust in Principle, Sydney: Lawbook Co., 2006
Dusuki, Asyraf Wadji (chief Editor), Sistem Keuangan Islam-Prinsip dan Operasi,
Jakarta: Rajagrafindo, 2016
Echols, John M. & Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1997
Ercanbrack, Jonathan, The Transformation of Islamic Law in Global Financial
Markets, UK: Cambridge University Press, 2015
Fabozzi, Frank J. dan Modigliani, Franco, Mortgage and Mortgage-backed
Securities Markets, UK:Harvard Business School Press, 1992
Gardner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, 8th ed., St. Paul, Minnesota: West
Group, 1999
Ghadah, Abdul Sattar Abu, Buhuts Fi Al-Mu’amalat wa al-Asalib al-Mashrafiyyah
al-Islamiyyah, Kuwait: Majmu’ah Dallah Al-Barakah, 2003
Goode, William J. & Paul K. Hatt, Methods in Social Research, New York: Mc
Graw Hill Book Company, 1952
Grossfeld, Bernard, The Strength and Weakness of Comparative Law, Oxford:
Clarendon Press, 1990
Haluk, Gurulkan, Islamic Securitization A Legal Approach, Istanbul:
Cektir&Basari Law Firm, 2012. https://uaelaws.files.wordpress.com/
2012/08/ islamic_securitization.pdf;
Hammad, Nazih, Mu’jam al-Mushthalahat al-Maliyah wa al-Iqtishadiyyah fi
Lughah al-Fuqaha, Damaskus: Dar al-Qalam, 2008
Hammad, Nazih, Bai’ al-Dain bi al-Dain-Qadhaya Fiqhiyyah Maliyah Mu’ashirah,
Damaskus: Dar al-Qalam, 2001
Haneef, Muhammad Aslam, Contemporary Islamic Economic Thought a Selected
Comparative Analisys, Kuala Lumpur : S. Abdul Majeed & Co, 1995.
Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Harahap, M.Yahya, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian, Bandung: IKAPI, 1995
Haron, Sudin & Bala Shanmugan,Islamic Banking System Concepts &
Applications, Malaysia: Pelanduk Publications Sdn.Bhd, 2001
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda yang
melekat pada Tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal,
Bandung: Citra Adtya Bakti, 1996
Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad dalam fatwa DSN-MUI, Disertasi,
Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, (tidak diterbitkan), 2008
Hassan, Kabir M, Handbook of Islamic Banking, USA:Edward Elgar Publishing
Limited, 2007.

244
Iqbal, Munawar & Khan,Tariqullah, Financial Engineering and Islamic Contract,
New York: Palgrave Macmillan, 2005
Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance Theory and
Practice, Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007
Ismail, Abdul Ghafar, Money, Islamic Banks and The Real Economy, Singapore:
Cangange Learning, 2010
Kamali, Mohammad Hashim and A.K.Abdulloh, Islamic Finance: Issues in Sukuk
and Proposal for Reforms, Kuala Lumpur: IIAIS, 2014
Karim,Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT, 2003
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Syabab al-Azhar, 1989, edisi ke-8.
Khamasasiyah, Dinda Imani, dkk, ‚Analisa Hukum Penggunaan Special Purpose
Vehicle untuk Sukuk Korporasi di Indonesia: Usaha Peningkatan Jumlah
Investor‛, dalam OJK dan IAEI, Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum
Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah IV, Jakarta: OJK, 2015
Khan, Rahmatulla, dan Sushil Kumar, An Introduction to the Study of
Comparative Law, Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd, 1979
Krichene, Noureddine, Islamic Capital Markets Theory and Practice, Singapore:
John Wiley & Son, 2013
Ma’luf, Louis, al-Munid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986
Maghrebi, Nabil, Abbas Mirakhor, Zamir Iqbal, Intermediate Islamic Finance,
Singapore: John Wiley & Sons, 2016
Mandira, Sama dan Jasin, Pais, Financial Inclusion and Development: a Cross
Country Analysis, Word Bank Working Paper, 2012,
MayBank, Indonesia Infrastructures & Sukuk Update, ISEF BI, 7 November 2017,
di Surabaya, diadakan oleh Bank Indonesia
Melati Hatta, Sri Gambir, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Disertasi, Program
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta (Tidak
diterbitkan),1997
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016, Cet ke-35
Mubarak, Jaih dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyah, Akad Tabarru’, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2017
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000
Muhammad, Marjan & Ahmed, Mezbah Uddin (edt), Islamic Financial System
Principles & Operations, Kuala Lumpur: Isra & Cagamas, 2016; Cet.II
Muhammad, Usamah bin Hamud bin, Bai’ al-Dain wa Tathbiqatuhu al-Mu’ashirah
Fi al-Fiqh al-Islami, Riyadh: Dar al-Maiman, 2012, Jilid I
Muhammad, Usamah bin Hamud, Bai’ al-Dain wa Tathbiqatuhu al-Mu’ashirah fi
al-Fiqh al-Islami, Riyadh: Bank al-Bilad, 2012
Munawwar, Ahmad W, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi Kedua,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997;
Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist, Lahore:
Islamic Publication Ltd., 1980

245
Nabhan,Muhammad Faruq, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-
Shadir, t.th
Nur, Juliansyah, Metodologi penelitian, Jakarta: Kencana, 2015, cet-5
Nurhaida, Bunga Ranpai Gagasan dan Gerakan Pengembangan Industri Jasa
Keuangan Syariah, Jakarta: OJK, 2017
Obaidullah, Mohammad, Islamic Financial Services, Jeddah: King Abdul Aziz
University, 2005
OJK & IAEI, Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum Riset Ekonomi dan Keuangan
Syariah IV, Jakarta: OJK, 2015
Otoritas Jasa Keuangan: Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia
2017-2019, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2016
Perwataatmadja, Karnaen A, Membumikan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:
Arveta, 2002
PT SMF, Sosialisasi Sekuritisasi EBA-SP, Jakarta tanggal 19 Desember 2019; dan
wawancara penulis dengan UUS SMF pada tanggal 8 Januari 2020
PT. SMF, Kebijakan dan Prosedur Operasional Standar Pembiayaan Modal Kerja
(PMK) Perumahan Syariah, Jakarta: SMF, 2018
PT. SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (EBA) oleh Lembaga Pembiayaan
Sekunder Perumahan di Indonesia, Jakarta: SMF, 2016
Purwoko, Sunu Widi, Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan,
Jakarta: Tim Nine Seasons, 2011
Qa’nunah, Syirin Muhammad Salim Abu, al-Handasah al-Maliyah al-Islamiyyah,
Dhawabithuha al-Syar’iyyah wa Asasuha al-Iqtishadiyyah, Jordan: Dar al-
Nafais, 2016
Qal’ahji, Muhammad Rawas, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi dhau al-
Fiqh wa al-Syari’ah, Kuwait: Dar al-Nafais, 1999
Rahayu, Dyah, Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Dalam Rangka
Mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan. Thesis:
Universitas Airlangga, Surabaya, (Tidak diterbitkan), 2013
Rivai, Veithzal, Bank and Financial Institution Management, Jakarta: Rajawali
Pers, 2007
Roger Douglas & Jane Knowler, Trust in Principle, Sydney: Lawbook Co., 2006.
Roosly, Saiful Azhar, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets,
Kuala Lumpur: Dinamas, 2005
Rudlof, Schlesinger B., Comparation Law, New York: The Foundation Press Inc,
1980
Saeed, Abdullah, Islamic Banking and Interest; A Study of Prohibition of Riba and
its Contemporary Interpretation, Leiden: Koninklijke Brill NV, 1999
Safari, Neysam, dkk, Sukuk Securities New Ways of Debt Contracting, Singapore:
John Wiley & Sons, 2014
Sahroni, Oni, Riba, Gharar. Dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah, Jakarta:
Rajawali Press, 2016
Sana-a, Nazar, Daur Aliyati al-Tauriq al-Mashrafi wa al-Tashkik al-Islamiy fi Suq
al-Ras al-Mal al-Maliziya, Disertasi, Fakultas Ekonomi Universitas
Khaidar Sakra, 2016

246
Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987
Shirazi, Nasim Shah dkk, Challenges of Affordable Housing Finance in IDB
Member Countries Using Islamic Modes, Jeddah: IRTI-ISB, 2012
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: FEUI Press, 2001
Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Teaching Economics In An Islamic Perspective,
Pakistan: Mikmar Ltd, 1999.
Simanjuntak, Ardin, Manfaat Pembiayaan Sekunder Perumahan Khususnya Bagi
Industri Perbankan, Makalah Seminat SMF pada tanggal 10 Mei 2005 di
Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remy, Asset Backed Securitization dan Aspek-Aspek Hukumnya,
Jakarta: R&P, 2005
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya,
Soekanto, Soerjono, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta:
IND-HILL-CO, 1990, Cet.I
Soetiono, Kusumaningtuti S. & Setiawan, Cecep, Literasi dan Inklusi Keuangan
Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2018.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974
Sounders,Anthony & Marcia Mellon Cornet, Financial Institution Management: A
Risk Management Aproach, NewYork: McGraw-Hill Irwin, 2008,edisi ke 6
Stone, Charles Austin & Zissue, Anne, The Securitization Markets Handbook,
Structure and Dynamics of Mortgage – and Asset- Backed Securities,
Princeton: Bloomberg Press, 2005
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1987
Sunarto, Sri Sunarni, Penerapan Konsep Trust dalam rangka pembangunan Hukum
Nasional Indonesia, Disertasi, Pasca Fak Hukum-UNPAD, Bandung
(Tidak diterbitkan), 2003.
Supyadillah, Asep, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Wahana Kardofa, 2013

Suselo, Sri Liani, dkk , Working Paper Sekuritisasi Aset Lembaga Pembiayaan dan
Pengembangan Pasar Secondary Mortgage Facility Dalam rangka
Pendalaman Pasar keuangan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia, Desember
2013
Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya, 1990
Syubair, Muhammad Usman, al-madkhal ila fiqh al-mu’amalat al-maliyah, Qatar:
Dar al-Nafais, 2010
Tarbani, Muhammad Khalid, Bai’ al-Dain Ahkamuhu wa Tathbuqatuhu al-
Mu’ashirah, Ghaza: al-Jami’ah al-Islamiyah, 2001
Tavakoli, Janet M, Collateralized Debt Obligations and Structured finance New
developments in cash and synthetic securitization, New Jersey : John wiley
& sons, inc, 2003

247
Tim Kajian Bapepam LK, Kajian Pengembangan produk syariah di pasar modal
Sekuritisasi syariah (efek beragun aset syariah), 2010
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, edisi
kedua
Tim PT SMF, Pengembangan Sekuritisasi Syariah (Efek Beragun Aset Syariah)
Oleh Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan Di Indonesia, Naskah
Akademik, 2016
Tim Studi Minat Emiten di Pasar Modal, Studi Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Minat Emiten Dalam Menerbitkan Sukuk Di Pasar Modal,
Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan – Kemenkeu,
Tahun 2009
Toutounchian, Iraj, Islamic Money and Banking Integrating Money in Capital
Theory, Singapore:John Wiley & Son Pte.Ltd, 2009
Trakic, Adnan, Islamic Banking and Finance, Malaysia: The Malaysian Curren law
Jurnal Sdn Bhd, 2012
Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
Usmani, M.Taqi, An Introduction To Islamic Financing, Pakistan: Maktaba
Ma’ariful Qur’an, 2002
Valerine, J.I.K, Metode Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UI, 2014
Vogel, Frank E. & Hayes, Samuel L, Islamic Law and Finanace, Religion, Risk,
and return, The Huge, Kluwer Law Interntional, 1998
Walsh, Cristopher, ASIFMA Securitisation in Asia 2018, London: Clifford
Change, 2018
Wibisono, Yusuf (edt), Indonesia Shari’ah Economic Outlook (ISEO) 2011,
Jakarta: PEBS-FEUI, 2011
Widjaya, Gunawan, Transplantasi Trust dalam KUHPerdata, KUHD, dan UU
Pasar Modal, Jakarta: Rajawali Press, 2008
Widjaya, Rai, IG, Merancang suatu kontrak, Jakarta: Mega Poin, 2002
Yusoff Zaky, Nublan Zaky Dato, An Islamic Perspective of Stock Market- An
Inyroduction, Malaysia: Dian darulnaim, 1992
Zaharah, Ali Muhammad Bani Amir, al-Tashkik wa Dauruhu fi Tathwiri Suq
Maliyah Islamiyyah, Universitas Yarmuk, 2008
Zahrah, Muh. Abu, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958

Jurnal
Abdel salam, Omneya H, Sabur Mollah, dan Marwa Elnahass, Asset Securitization
and Bank Risk:Do Religiosity or Ownership Structure Matter?, (2017).
http://www. researchgate. net/ publication/ 316924225.
Abdul Aziz, Akhtar Zaiti, Al-Shukuk al-Islami (al-Tauriq) wa Tathbiqatuha al-
Mu’ashirah wa Tudawiluha, Majma al-Fiqh al-Islami al-Dauly, Muktamar
ke-19 di UEA, (2009). file:///C:/Users/acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-
2013-11-39-17%20(4).pdf

248
Ahmed, Adel, Global financial crisis: an Islamic finance perspective, International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 3 No.
4, (2010). https://www.emerald. com/insight/content/doi/10.1108/175383
91011093252/full/html
Akhtar, Shamshad: Islamic finance: authenticity and innovation – a regulator’s
perspective, Keynote address by Governor of the State Bank of Pakistan,
at Harvard Law School, Cambridge, 20 April 2008
Al Yozika, Ferlangga dan Nurul Khalifah, Pengembangan Inovasi Produk
Keuangan Dan Perbankan Syariah Dalam Mempertahankan Dan
Meningkatkan Kepuasan Nasabah, Jurnal Edunomika, Surakarta: STIE
AAS, Vol. 01 No. 02, (2017)
Alia, Rosalan, Shafinar Ismail, Mohammed Hariri Bakri, A Comparative Analysis
of Conventional and Shari’ah for Residential Mortgage-Backed Securities,
International Conference on Economics and Business Research 2013
(ICEBR 2013).
Al-Salem, Fouad H., ‚Islamic financial product innovation‛, International Journal
of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Emerald Group
Publishing Limited, Vol.2 No.3 (2009)
Arner, Douglas, Paul Lejot and Lotte Schou-Zibell, The global credit crisis and
securitization in East Asia, Capital Markets Law Journal, University of
Hong Kong Faculty of Law Research Paper No. 10722/65436 Vol. 3, No. 3
(2008). https://papers.ssrn.com /sol3/papers. cfm?abstract_id=1849454
Ayoub, Sherif, The Global Financial Crisis, Securitization And Islamic Finance:
An Opportunity For Inward And Outward Reform, Malaysia: ISRA
International Journal of Islamic Finance, Vol. 4, Issue 2, 2012;
https://platform. almanhal.com/Files/Articles/42559
Bassens, David, & Engelen, Ewald, Ben Derudder and Frank Witlox, Securitization
across borders: organizational mimicry in Islamic finance, Journal of
Economic Geography: Oxford University Press, Vol.13 (2013).
https://www.researchgate.net/publication/253327987_Securitization_
across_borders_organizational_mimicry_in_Islamic_finance
Baums, Theodor, Asset Securitization in Europe, https://www.jura.uni-frankfurt.
de/43029180/ paper16.pdf.
Camuzzi, Paolo, Roberto Tasca & Simona Zambelli, The Alchemy of
Securitization, Evolution and Perspectives, (Italy:Springer International
Publishing, 2017). file:///C:/Users/Acer/ Downloads/9783319541235-
c2.pdf;
Cetorelli, Nicola & Stavros Peristiani, ‚The Role of Banks in Asset
Securitization‛, FRBNY Economic Policy Review, Federal Reserve Bank,
New York, (2012). https://www. semanticscholar.org/paper/The-Role-of-
Banks-in-Asset-Securitization
Chee Leong, Datuk Chung (President/Chief Executive Officer Cagamas Berhad),
Housing Finance Solutions, disampaikan dalam The 5th ASIAN Fixed
Income Summit 2nd July 2018, Ulaanbataar, Mongolia.

249
Dabas, Nurayati & M Hariri Bakri, Islamic Securitization Conceptual Framework
in Malaysia, IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-
ISSN: 2278-487X, p-ISSN: 2319-7668. Volume 20, Issue 12. Ver. V
(2018). www.iosrjournals.org
Daghi, Ali Muhyiddin Al-Qurhu, al-Shukuk al-Islamiyyah : al-Tauriq‛ wa
Tathbiqatuha al-Mu’ashirah, Majma’ Al-Fiqh Al-Islami al-Dauli, (2013),
file:///C:/Users/acer/Downloads/ShrjaLabel09-04-2013-11-37-34%20(5).
pdf
Dey, Debashis, and Medeossi, Claudio, Asset-backed sukuk: Is the time right for
true securitisation? The challenges and untapped potential of asset-backed
sukuk, Law firm White & Case, 2017, https://www.whitecase.
com/publications/insight/asset-backed-sukuk-time-right-true-securitisation
Dualeh, Sulaiman Abdi, Islamic Securititation:Practical Aspect, Director Jersey ii-
online.com, ltd. Geneva. Paper dipresentasikan pada World Conference on
Islamic Banking di Geneva, 1998. http://www.iefpedia.com/english/wp-
content/uploads/2009/09/Islamic-Securitisation-Practical-Aspect .pdf
Farhat, Manna Khalid, Tauriq al-dain al-taqlidi wa al-Islami (Dirasah Muqaranah),
Jurnal Ekonomi dan Perundang-undangan, Fakultas Ekonomi Universitas
Damaskus, Vol.29. 1, (2013).https://www.academia.edu/12161706/
Giddy, Ian H., Asset Securitization In Asia, New York University, 2000.
http://people.stern.nyu.edu/igiddy/ABS/ absasia.pdf;
Global Islamic Finance Report (GIFR), Securitisation in the Gulf Cooperation
Council, 2014, Chapter 9. lihat, http://gifr.net/gifr2014/ ch_09.pdf).
Gordon, Gary & Andrew Metrick, Securitization, Handbook of the Economics of
Finance, (2011). https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=
1909887
Gurulkan, Haluk, Islamic Securitization A Legal Approach, (Istanbul:
Cektir&Basari Law Firm, 2012). https://uaelaws.files.wordpress.com
/2012/08/ islamic_securitization.pdf
Hamzah, Siti Raihana, Debt and Debt-Risk Sukuk Related to Risk Shifting
Behavior, World Academy of Science, Engineering and Technology
International Journal of Economics and Management Engineering
Vol:10,No:2(2016).https://waset.org/publications/10003712/ debts-and-
debt-based-sukuk-related-to-risk-shifting-behavior
Hardiwinoto, Analitis Respon Pengusaha Konstruksi Terhadap Beroperasinya
Bank Syariah, Makalah dalam Jurnal ‛ Aset‛, Universitas Muhammadiyah
Semarang, Vol 12. No 2, (2010). https://media.neliti.com/media/
publications/36594-ID-analisis-respon-pengusaha-konstruksi-terhadap-
beroperasinya-bank-syariah.pdf
Hilten, Casper Van, Islamic Securitization by Means of Sukuk and the Struggle for
Shari’ah Compliance, Dissertation, Arabic & Islam Faculty of Humanities,
Utrecht University, 2014
Ismail, Abdul Ghafar Wan, dan Norsyakila Wan Kamarudin, Financial Innovation in
Islamic Banking Industry:The Last Thirty Years and the Next, paper presented at
the International Conference on Islamic Finance,Universiti Islam Sultan

250
Sharif Ali, Brunei Darussalam, 15-17 May 2012.
https://www.academia.edu/4418253 /Financial_Innovation_in_ Islamic_
Banking_Industry
Ismail, Shafinar & Rosalan Ali, Asset-backed Securities as Attractive Financing
and Investment: The Malaysian Experience, 2014.
https://www.researchgate. net/publication/265147041
Jobst, Andreas A, Islamic Securitization After the Subprime Crisis, The Journal of
Structured Finance, Vol.14, No.4, (2009). https://jsf.pm-
research.com/content/ 14/4/41.abstract;
Jobst, Andreas A., ‚The Economics of Islamic Finance and Securitization, IMF
Working Paper, Monetary and Capital Markets Department, Agustus 2007.
https://www.imf.org/external/ pubs/ft/wp/2007/wp07117.pdf
Kamil, Karmila Hanim, Marliana Abdullah, Shahida Shahimi, Abdul Ghafar
Ismail, "The subprime mortgages crisis and Islamic securitization",
International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management, Vol. 3, Issue: 4(2015). doi: 10.1108/17538391011093315
Permanent link to this document:http://dx.doi.org/10.1108/ 17538391 0110
93315.
King, James, Spotlight on asset-backed securities, Do European ABS remain
attractive to investors? Mei 2018,https://www.mandg.co.uk/ institutions/
articles/do-european-abs-remain-attractive-to-investors/-/media/
A5DDA035AC704E0CAF3A65101 A7503BE.pdf
Kothari, Vinod, Securitization The Instrumen Financial of The Future, Singapore:
JohnWiley & Sons (Asia) Ltd, 2006, lihat: https://books.google.co.id/
books?id= Vy00CVy5SS8C& printsec=frontcover#v=onepage&q&f=true

Laldin, Mohamad Akram & Hafas Furqani, Innovation Versus Replication Some
Notes On The Approaches In Defining Shariah Compliance In Islamic
Finance, Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p);
2356-0912 (e), Vol. 54, no. 2 (2016); https://www.aljamiah.or.id/
index.php/AJIS/article/view/54201
Law Firm, STA, United Arab Emirates: Mortgage And Asset Backed Securitiza-
tion, 24 April 2018, http://www.mondaq.com/x/695082/securitization
+structured+ finance/Mortgage+And+Asset+Backed+Securitization
Lee, Paul, The Regulation of Securities and Islamic finance in Dubai: implications
for Models of sharīʿah Compliance, Journal of Islamic and Near Eastern
Law, Vol.15, No.1, (2016). https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?
abstract_id=2720737;
Loutskina, Elena and Philip E. Strahan, Securitization and Declining Impact of
Bank Finance on Loan Supply: Evidence From Mortgage Organitation,
Journal of Finance, Vol.64, No.2 (2009). https://www.nber.org/papers/
w11983

251
Meteb, Alotaibi Mohamed, Securitization of internal debts with reference to Saudi
Arabia, International Journal of Business Management and Economic
Research(IJBMER), Al Imam Mohammad Ibn Saud Islamic University,
Vol 9, No. 4, (2018). http://www.ijbmer. com /docs/volumes/ vol9issue4/
ijbmer2018090405.pdf
Musyqil, Abdul Bari, Al-Shukuk al-Islami (al-Tauriq) wa Tathbiqatuha al-
Mu’ashirah wa Tudawiluha, Majma al-Fiqh al-Islami al-Dauly, Muktamar
ke-19 di UEA, 2009; https://iefpedia.com/arab/?p=3550;
Oliver, Alfredo Martin & Jesus Saurina, Why Do Bank Securitize Asset,
November 2007. www.uibcongres.org/imgdb/archivo_dpo3736.doc
Pinto, João & Paulo Alves, The economics of securitization: evidence from the
European markets, Investment Management and Financial Innovations,
Vol. 13, Edisi 1, (2016). https://businessperspectives.org/images/pdf/
applications/publishing/templates/article/assets/7607/imfi_en_2016_01_Pi
nto.pdf
Rulindo, Ronald, Penerbitan EBAS-SP untuk Mendukung Perkembangan Ekonomi
Syariah di Indonesia, Direktorat Inovasi Produk, Pendalaman Pasar, dan
Pengembangan Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah, KNKS, 17
Desember 2019.
Rustam, Riky, Eksistensi Hak Tanggungan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset (KIK-ABA) sebagai Konsep Trust, Jurnal Hukum IUS QUA
IUSTUM No. 1 Vol. 23 (2016)
Santoso, Wijoyo, ‚Pemanfaatan Sekuritisasi Aset dalam Mendorong Sektor Riil:
Alternatif Pembiayaan UMKM‛, Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, Vol.17, No.2, (2014):https://www.bmeb-bi.org/index.php/
BEMP/article/view/50
Schwarcz, Steven L, Securitization, Structured Finance, and Covered Bonds, The
Journal of Corporation Law, Vol.39, Edisi I (2013),h..130. https://pdfs.
semanticscholar.org/97e3/c6bbde2e6c2d9949ee3629ff7c4390149f2f.pdf
Schwarcz, Steven L, The Future of Securitization, Connecticut Law Review,
Vol.41,No.4 (2009). http://papers.ssm.com/sol3/papers.cfln? abswact_id
=569862.
Schwarcz, Steven L., The Alchemy of Asset Securitization, Stanford Journal of
Law, Business & Finance,Vol.1,No.1(1994). https://papers.ssrn.com/
sol3/papers.cfm?abstract_id=868520
Sekine, Eiichi, Kei Kodachi, Tetsuya Kamiyama (Nomura Institute of Capital
Markets Research), The Development and Future of Securitization in Asia,
Prepared for Fourth Annual Brookings-Tokyo Club Conference October
16, 2008
Simkovic, Michael, "Competition and Crisis in Mortgage Securitization". Indiana
Law Journal, Vol. 88, (2013)
Snowden, Kenneth A., Mortgage Companies and Mortgage Securitization in the
Late Nineteenth Century 31–32 (Aug. 2007). http://www.uncg.edu/bae/
people/snowden/Wat_jmcb_aug07 pdf.

252
Soemitra, Andri, Higher Objectives of Islamic Investment Products: Islamizing
Indonesian Capital Market, Jurnal STUDIA ISLAMIKA Indonesian
Journal for Islamic Studies, PPIM Jakarta, Vol. 23, No. 2 (2016)
Supyadillah, Asep, ‚Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi‛, Misykat al-Anwar-Jurnal Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Jakarta), Vol.22, No.9 (2013)
Tohadi, Hamid & Jabari,,Mohammed Mehdi, Product Inovation Performance in
Organization, Procedia Technology 1, (2012).
Twinn, C Ian, Asset-backed securitisation in the United Kingdom, https://www.
bankofengland.co.uk/-/media/boe/files/quarterly-bulletin/1994/asset-
backed-securitisation-in-the-uk
Volotovskaya, Ekaterina (Delloite), Securitization Structured Finance Solutions,
2018. https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/lu/Documents/
financial-services/lu_ securitization-finance-solutions.pdf

Peraturan Perundang-Undangan dan Fatwa

Undang-Undang No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian


Undang-Undang No. 1 tahun 2016 Tentang Penjaminan
Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992
tentang Perbankan
Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang Otortitas Jasa Keuangan.
Undang-Undang No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian
Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-Undang No.19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.
Keputusan Menteri Keuangan No.132/KMK/014/1998 tentang Perusahaan
Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan;
Peraturan Bapepam No.IX.C.9 dan IX.C.10 tentang Pedoman Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed Securiteis)
Peraturan Bapepam-LK No. IX.C.9 tentang Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum EBA.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah.
Peraturan Organisasi MUI No. Kep-407/MUI/IV/2016 tentang Anggaran Dasar
Dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia.
Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
Peraturan Presiden No.1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No.19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Perpres No. 19/2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan

253
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 Tentang Perizinan
Wakil Penja min Emisi Efek Dan Wakil Perantara Pedagang Efek
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman
Penerbitan dan Pelaporan EBA-SP Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 31/Pojk.05/2014 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Pembiayaan Syariah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 Tentang Penerapan
Prinsip Syariah Di Pasar Modal;
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan
Dan Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah;
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 15/POJK.04/ 2015 Tentang Penerapan
Prinsip Syariah Di Pasar Modal.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan
Persyaratan EBAS
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.20/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan Dan
Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.35 /Pojk.05/2015 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Modal Ventura.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 6 /POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha
Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76 /POJK.07/2016 Tentang Peningkatan
Literasi Dan Inklusi Keuangan Di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen
dan/atau Masyarakat
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65 /Pojk.04/2017 Tentang Pedoman
Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan
Penerbitan Daftar Efek Syariah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.65/POJK.04/2017 tentang Pedoman
Penerbitan dan Pelaporan KIK-EBA;
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip
Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.11/POJK.03/2019 Tentang Prinsip Kehati-
Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah).
Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
Surat Edaran Bank Indonesia No.7/51/DPNP tanggal 9 November 2005 tentang
Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum

254
Fatwa No: 120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun
Aset Berdasarkan Prinsip Syariah;
Fatwa DSN-MUI No. 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi Subjektif
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
Fatwa DSN-MUI No. 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi Subjektif
berdasarkan Prinsip Syariah; Fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002
tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf).
Fatwa DSN-MUI No.119 tahun 2018 tentang Pembiayaan ultra Mikro berdasarkan
Prinip Syariah.
Fatwa DSN-MUI No.120/DSN-MUI/II/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah
Fatwa DSN-MUI No.121/DSN-MUI/II/2018 tentang Efek Beragun Aset Berbentuk
Surat Partisipasi (EBA-SP) berdasarkan prinsip syariah
Fatwa DSN-MUI No.125/DSN-MUI/XI/2018 Tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek
Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah
Fatwa DSN-MUI No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Fatwa DSN-MUI No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah
Dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Modal
Reguler Bursa Efek;
fatwa DSN-MUI No.90/DSN-MUI/XII/2013 tentang Pengalihan Pembiaya an
Murabahah antara LKS;

Web/http;

http://finance.detik.Com/read/2012/02/16/065221/1843675/1016/wuih-kebutuhan-
rumah-capai-26-juta-unit-per-tahun (terakhir diunduh tgl 5.3.2015).
http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/perkuat-volume-penyaluran-
pembiayaan-pemilikan-rumah-ppr-syariah-smf-luncurkan-sop-ppr-syariah/
http://smf-indonesia.co.id/berita-kegiatan/berita/smf-dan-btn-terbitkan-eba-sp-
btn04-senilai-rp2-triliun/
http://smf-indonesia.co.id/press-release/kolaborasi-smf-btn-syariah-siap-
menerbitkan-ebas-sp-kpr-ib-pertama-di-indonesia/
http://smf-indonesia.co.id/press-release/tingkatkan-basis-investor-dokestik-smf-
terus-sosialisasikan-eba-sp/
http://smf-indonesia.co.id/produk-investasi/efek-beragun-aset/
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/41345/Special-Report-PotensiPer-
tumbuhan-KPR Indonesia -Tinggi, (terakhir diunduh tanggal 5.3.2017).
http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Market-
Share-Keuangan-Syariah-Capai-8-Persen.aspx.
http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Literasi-
Keuangan.aspx
https://www.infopena.com/blog/indeks-inklusi-keuangan-indonesia-masih-di-
bawah-malaysia-dan-singapura/

255
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Survei-
OJK-2019-Indeks-Literasi-Dan-Inklusi-Keuangan-Meningkat.aspx

256
GLOSSARY

Ahliyyah Kecakapan menerima hukum (ahliyyah al-wuju@b) dan kecakapan bertindak


hukum (ahliyyah al-ada@).
Akad Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang
menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada obyek akad.
Akad bai` al-murabahah Akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli
dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Akad Ijarah Sewa antara mu’jir (pemberi sewa) dengan musta’jir (penyewa/penerima
manfaat barang) atau antara musta’jir dengan ajir (pihak yang memberikan
jasa) untuk mempertukarkan manfa`ah dan ujrah, baik manfaat barang maupun
jasa.
Akad mudharabah Akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (malik/shahib al-mal) yang
menyediakan seluruh modal dengan pengelola (‘amil/mudharib) dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam
akad.
Akad syirkah Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana setiap pihak memberikan kontribusi dana/modal usaha (ra’s al-mal)
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau
secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara
proporsional. Syirkah ini merupakan salah satu bentuk Syirkah amwal dan
dikenal dengan nama syirkah inan.
Akad wakalah Akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu.
Akad wakalah bi al- Akad wakalah yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (fee).
ujrah
Al-Bai’ al-Haqiqi /True Jual beli secara sesungguhnya atau jual beli putus.
Sale
Al-dayn Sesuatu yang menjadi tanggungan/kewajiban seseorang yang harus dipenuhi,
atau kewajiban seseorang/satu pihak untuk membayar sejumlah kewajiban dari
transaksi yang tidak tunai/berhutang.
Al-ljarah al-Maus}ufah fi Akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat al-'ain) dan/atau jasa
al-Dzimmah ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya
(kuantitas dan kualitas) dan menjadi tanggung jawab pemberi sewa.
Al-tas}kik Berasal dari kata s}akk berarti dokumen, piagam, akte; kemudian menjadi
istilah s}uku@k, yang berarti sertifikat atau dokumen, yaitu suatu sertifikat
bernilai sama yang merepresentasikan bukti kepemilikan pemegang sukuk atas
suatu bagian tertentu dan tidak terbagi terhadap suatu aset yang menjadi dasar
penerbitannya dapat berupa aset berwujud, nilai manfaat, jasa dan aset dari
suatu proyek tertentu maupun kegiatan investasi yang telah ditentukan.
Al-Tauri@q Kegiatan mengkonversi pinjaman tidak likuid menjadi sekuritas (efek) yang
ditawarkan kepada investor di pasar modal.
Al-Walayah Kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh syara’ atau undang-undang
kepada seseorang/pihak untuk melakukan tindakan suatu akad, yang
mempunyai akibat-akibat hukum.

257
Analisis Isi atau analisis Metode penelitian yang melakukan pembahasan secara mendalam terhadap
konten (content suatu isi informasi, baik berasal dari informasi media cetak seperti buku,
analysis) artikel, gambar, dan lainnya, maupun berasal dari semua informasi yang
diperoleh, seperti hasil dialog dan wawancara.
Anggota Bursa Efek Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal dan telah memperoleh persetujuan
keanggotaan bursa untuk mempergunakan sistem dan atau sarana bursa dalam
rangka melakukan kegiatan Perdagangan Efek di Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek
Anggota Kliring Anggota Bursa Efek yang memenuhi ketentuan dan persyaratan LKP untuk
mendapatkan layanan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi
Bursa
Aset beragun aset (asset Aset (surat berharga) yang kepemilikan investor atas aset yang menjadi dasar
backed securities) penerbitan (uderlying asset) bersifat kepemilikan true ownership bukan
beneficial ownership; atau aset yang berasal dari kredit/ pembiayaan yang
dijamin dengan agunan tidak hanya berasal dari KPR/PPR tetapi juga dari
berbagai kredit/pembiayaan lainnya seperti tagihan kendaraan, kartu kredit,
peralatan berat, KTA (kredit tanpa agunan), bahkan pinjaman mahasiswa
(student loans), dan aset tersebut dijual/dialihkan secara penuh (true sale)
kepada investor melalui Penerbit. Revenue/pendapatan berasal dari underlying
asset yang menjadi sumber pembayaran kewajiban secara periodik. Istilah
yang digunakan di USA adalah Mortgage Backed Securities (MBS) karena
pada awalnya sekuritas yang diterbitkan dijamin oleh agunan berupa KPR yang
dibiayai.
Aset berbasis aset riil Aset (surat berharga) yang kepemilikan investor atas aset (underlying asset)
(asset based securities) hanya bersifat beneficial owner dan bukan kepemilikan secara true ownership.
Aset keuangan atau aset Aset yang memenuhi kriteria: a. memiliki arus kas; b. dimiliki dan dalam
syariah yang mendasari pengendalian Kreditur Awal (Originator); dan c.dapat dipindah tangankan
(underlying) dengan bebas kepada Penerbit.
Aset Sukuk (Ushul al- Aset yang menjadi dasar penerbitan Sukuk yang terdiri atas aset berwujud ( al-
Shukuk) a’yan), manfaat atas aset berwujud (manafi’ al-a’yan), jasa (al-khadamat), aset
proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan) dan/atau aset kegiatan investasi
yang telah ditentukan (nasyath istitsmar khashsh).
Aset Syariah Berbentuk Aset yang timbul dari pembiayaan atau transaksi yang berdasarkan akad
Bukan Dain (ASBBD) mudharabah, musyarakah dan/atau akad-akad lain yang kedudukan kepemilikan
aset masih berada pada originator.
Aset Syariah Berbentuk Aset berbentuk utang yang timbul dari jual beli (bai’), pinjaman (qardh) dan
Dain (ASBD) sewa (piutang ujrah); atau aset yang berbentuk Barang (al-a’yan/tangible
assets), Manfaat (al-manafi’/usufructs) maupun Jasa (al-khadamat/services)
termasuk aset yang timbul dari pembiayaan atau transaksi yang kedudukan
kepemilikan aset masih berada pada Originator atau pihak yang telah
melakukan pembelian dari Originator.
At-Ta’addi Melakukan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
At-Taqshir Tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan.
Badan Hukum (al- Segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum
shakhs}iyyah al-i’tiba@riy- diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau segala sesuatu yang
yah/ rechpersoon) menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban.

258
Bai` al-murabahah al- Akad jual beli murabahah yang dilakukan atas barang yang sudah dimiliki
adiyyah penjual pada saat barang tersebut ditawarkan kepada calon pembeli.
Bai’ Akad pertukaran harta yang bertujuan memindahkan kepemilikan harta
tersebut
Bai’ al-‘inah Akad di mana satu pihak menjual barang secara tidak tunai, dengan
kesepakatan bahwa penjual akan membelinya kembali dengan harga lebih kecil
secara tunai
Bai’ al-dain al-mu`ajjal li Menjual piutang yang belum jatuh tempo kepada selain debitur dengan harga
ghair al-madin bi tunai
tsaman hall
Bai’ al-Ma’dum Jual beli yang obyek (mabi’) nya tidak ada pada saat akad, atau jual beli atas
barang (efek) padahal penjual tidak memiliki barang (efek) yang dijualnya;
Bai’ al-Maksyuf Bentuk jual beli yang mengandung gharar; yaitu jual beli secara tunai atas
barang (efek) yang bukan milik penjual dan penjual tidak diberi izin oleh
pemilik untuk menjualkan, atau jual beli secara tunai atas barang (efek)
padahal penjual tidak memiliki barang (efek) yang dijualnya;
Bai’ al-murabahah li al- Akad jual beli murabahah yang dilakukan atas dasar pesanan dari pihak calon
amir bi al-syira’ pembeli.
Bai’ al-Musawamah Akad jual beli dengan kesepakatan harga pasar yang wajar melalui mekanisme
tawar menawar yang berkesinambungan;
Bank Kustodian Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, imbalan, dan hak-hak
lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya; atau Bank yang memberikan jasa penitipan EBA atau
EBAS dan harta serta jasa lain yang berkaitan dengan Sekuritisasi Aset sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bankruptcy remoteness Perlindungan bagi investor dimana aset keuangan yang menjadi underlying
EBA tidak dapat dikenakan sita umum sebagai akibat dari adanya pernyataan
pailit, baik terhadap Kreditur Asal, Penerbit, Wali Amanat maupun Bank
Kustodian.
Barang (al-a’yan/ Suatu produk fisik (berwujud, tangible) yang memiliki nilai dan manfaat yang
tangible assets) dapat digunakan.
Bursa Efek Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan
memperdagangkan efek di antara mereka.
Cessie Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh
lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah
tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan (piutang) itu dilimpahkan kepada
orang lain.
Daftar Efek Syariah Kumpulan Efek Syariah, yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau
(DES) diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Dana Investasi Real Wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal
Estat Syariah (DIRE untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset real estat, aset yang berkaitan
Syariah) dengan real estat, dan/atau kas dan setara kas yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah di pasar modal.
Debitur (al-madin) Nasabah yang berhutang kepada originator. Apabila nasabah memberikan

259
jaminan pelunasan kepada originator, maka jaminan tersebut dalam proses
sekuritisasi aset menjadi jaminan utang.
Dharar tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian pihak lain.
Dukungan Kredit Fasilitas yang diberikan untuk meningkatkan kualitas dan nilai Aset dan/atau
(Credit Enhancement/ surat berharga syariah dalam proses Sekuritisasi dalam rangka pembayaran
Ta’ziz al-I’timan) kepada Pemodal.
Efek Surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham,
obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan, Kontrak Investasi Kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek.
Efek Beragun Aset Surat berharga yang dapat berupa Surat Utang atau Surat Partisipasi yang
(EBA) diterbitkan oleh penerbit yang pembayarannya terutama bersumber dari
Kumpulan Piutang, atau surat berharga atau efek yang portofolionya terdiri
dari aset keuangan; atau surat berharga yang diterbitkan oleh penerbit
berdasarkan aset keuangan yang dialihkan oleh kreditur awal (originator).
Efek Beragun Aset Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan oleh penerbit yang akad dan
Surat Partisipasi (EBA- portofolionya (berupa kumpulan piutang atau pembiayaan pemilikan rumah)
SP) tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal serta merupakan
bukti kepemilikan secara proporsional yang dimiliki bersama oleh sekumpulan
pemegang EBAS-SP.
Efek Beragun Aset Surat berharga (efek) yang diterbitkan oleh penerbit yang terdiri dari
Syariah (EBAS) sekumpulan Aset Syariah yang dialihkan oleh kreditur awal (originator) dengan
mekanisme yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Efek Beragun Aset EBAS yang diterbitkan oleh Penerbit yang akad dan portofolionya berupa
Syariah Berbentuk pembiayaan pemilikan rumah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
Surat Partisipasi atau Aset Syariah Berbentuk Bukan Dain (ASBBD) serta merupakan bukti
(EBAS-SP) kepemilikan secara proporsional yang dimiliki bersama oleh sekumpulan
pemegang EBAS-SP.
Efek Syariah Efek yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah di Pasar Modal baik dari
segi: a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; b. aset yang menjadi landasan
akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; dan/atau c. aset yang terkait dengan
Efek dimaksud dan penerbitnya.
Exchange Traded Salah satu bentuk dari reksa dana berbentuk KIK yang memenuhi prinsip-
Fund Syariah (ETF prinsip syariah di pasar modal dimana unit penyertaannya dicatatkan dan
Syariah) ditransaksikan seperti saham syariah di Bursa Efek‛.
Fasilitas Likuiditas Fasilitas talangan yang diberikan kepada Penerbit untuk mengatasi
(Liquidity Facility) ketidaktepatan (mismatch) pembayaran kewajiban kepada investor.
Federal Home Loan Perusahaan pemerintah yang didirikan pada tahun 1970 untuk melayani
Mortgage Corporation pemberi hipotek yang berbeda dengan Fannie Mae. Freddie Mac membeli
(Freddie Mac) hipotek di pasar sekunder, mengumpulkannya, dan menjualnya kepada investor
secara terbuka dengan jaminan yang didukung hipotek. Pasar hipotek sekunder
ini meningkatkan pasokan uang yang tersedia untuk memberikan pinjaman
hipotek berikutnya dan meningkatkan uang yang tersedia untuk pembelian
rumah baru.
Federal National Lembaga pemerintah yang didirikan pada tahun 1938 dengan tujuan untuk
Mortgage Association memperluas pasar hipotek sekunder (secondary mortgage market) dengan
(Fannie Mae) mensekuritisasi pinjaman hipotek (securitizing mortgage loans) dalam bentuk
sekuritas yang dijamin hipotek/mortgage backed securities (MBS); atau dengan
tujuan untuk menyediakan pemenuhan likuiditas bagi perbankan yang

260
mengalami ketidak-mampuan akibat nasabah tidak bisa membayar. Namun
sejak 1968 lembaga ini diubah menjadi perusahaan publik.
Fikih Hukum-hukum syara' yang bersifat 'amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya
secara terperinci, atau ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat
furu'iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlal, atau ketentuan hukum
terapan yang bersifat penjabaran atau pelaksanaan syariah yang bersifat teknis
yang merupakan hasil interpretasi terhadap syariah (hukum syara').
Ghabn Ketidakseimbangan antara dua barang (obyek) yang dipertukarkan dalam suatu
akad, baik segi kualitas maupun kuantitasnya.
Ghabn Fahisy Ghabn tingkat berat, seperti jual-beli atas barang dengan harga jauh di bawah
harga pasar
Gharar Transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali diatur lain dalam syariah; atau ketidakpastian dalam suatu akad, baik
mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya
Ghisysy Salah satu bentuk tadlis; yaitu penjual menjelaskan/memaparkan
keunggulan/keistimewaan barang yang dijual serta menyembunyikan
kecacatannya
Government National Perusahaan pemerintah Amerika yang didirikan tahun 1968 yang bertujuan
Mortgage Association untuk memperluas pembiayaan perumahan yang terjangkau di Amerika dengan
(GNMA/ Ginnie Mae) menghubungkan kapitalisasi domestik dan global ke pasar pembiayaan
perumahan negara.
Harga Pasar Wajar Harga pasar dari Efek Bersifat Ekuitas Sesuai Prinsip Syariah yang sesuai
dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.
Hawalah Akad pengalihan utang dari pihak yang berutang (muhil/madin/debitur) kepada
pihak lain yang bersedia menanggung (membayar)-nya (muhal ‘alaih).
Hawalah bil ujrah Akad hawalah dengan imbalan (ujrah) yang diterima oleh muhal alaih dari
pihak yang mengalihkan (muhil/madin); akad pengalihan utang dari pihak yang
berutang kepada pihak lain yang bersedia atau berkomitmen (iltizam) untuk
menanggung (membayar)-nya, dengan ujrah.
Hukum Islam Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat bagi semua
yang beragama Islam.
Ihtikar Membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga
mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat
harganya lebih mahal.
Ijab Pernyataan atau penawaran dari pihak pertama untuk menyampaikan usul yang
menunjukkan keinginan untuk membuat akad kepada pihak lain (offering).
Ijarah Akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang atau pemberian
jasa/pekerjaan dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa/ujrah.
Ijarah maushufah fi al- Akad ijarah atas manfaat suatu barang (manfaat ‘ain) dan/atau jasa (`amal) yang
dzimmah (IMFD) pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan
kualitas).
Ijarah muntahiyyah bi Akad ijarah atas manfaat barang yang disertai dengan janji pemindahan hak
al-tamlik (IMBT) milik atas barang sewa kepada penyewa, setelah selesai atau diakhirinya akad
ijarah.

261
Ijarah tasyghiliyyah Akad ijarah atas manfaat barang yang tidak disertai dengan janji pemindahan
hak milik atas barang sewa kepada penyewa.
Inovasi Kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau pun perekayasaan yang
dilakukan dengan tujuan melakukan pengembangan penerapan praktis nilai dan
konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sudah ada ke dalam produk atau proses
produksi.
Inovasi keuangan Menghasilkan ide baru produk keuangan dengan tujuan mengamankan daya
(financial innovation) saing pasar, mengatasi risiko, menghasilkan pendapatan atau meningkatkan
likuiditas.
Inovasi produk Proses yang meliputi desain teknis, penelitian dan pengembangan, produksi,
manajemen, dan kegiatan komersial yang terkait dengan pemasaran produk
baru.
Investor(al-mustathmar/ Para pemegang EBA yang menerima pembayaran atas investasinya sesuai
al-mushtari@) dengan ketentuan dan persyaratan, dan pembayaran berasal dari pool of fund
yang menjadi dasar EBA.
Jahalah Ketidakjelasan dalam suatu akad, baik mengenai obyek akad, kualitas atau
kuantitas (shifat)-nya, harganya (tsaman), maupun mengenai waktu
penyerahannya.
Jasa (al-khadamat/ Kegiatan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
services)

Ju’alah Janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (ju’l) tertentu atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan
Jual putus (true sale) Jual beli yang memenuhi persyaratan: a. seluruh manfaat yang diperoleh
dan/atau akan diperoleh dari aset keuangan atau aset syariah telah dialihkan
kepada Penerbit; b. risiko kredit dari aset keuangan atau aset syariah yang
mendasari (underlying) secara signifikan telah beralih kepada Penerbit; c.
Kreditur Awal (Originator) tidak memiliki pengendalian secara langsung
dan/atau tidak langsung atas aset keuangan atau aset syariah yang mendasari
(underlying); d. EBA atau EBAS yang diterbitkan bukan merupakan kewajiban
bagi Kreditur Awal (Originator), Investor hanya memiliki hak tagih terhadap
Penerbit atas aset keuangan atau aset syariah yang mendasari (underlying); e.
pihak yang menerima aset keuangan atau aset syariah yang mendasari
(underlying) merupakan Penerbit; dan f. pemilik EBA atau EBAS memiliki hak
untuk mengagunkan atau mentransaksikan EBA atau EBAS.
Kafalah Akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
(makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung
(makful ‘anhu, ashil).
Kafalah bi al-Ujrah Penjaminan (kafalah) yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (fee).
Keuangan Inklusif Sebuah proses yang menjamin kemudahan dalam akses, ketersediaan, dan
(Financial Inclusion) manfaat dari sistem keuangan formal bagi seluruh pelaku ekonomi; atau
seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang
bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam
memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Kewajiban hutang Instrumen keuangan yang menyatukan sekelompok aset seperti hutang dengan
kolateral (Collateralized yield tinggi atau ABS kemudian dikemas kembali menjadi bagian berbeda yang
debt obligations- CDO) dijual kepada investor. Bentuk CDO ini dapat berupa CDO Statis - portofolio

262
dan underlyingnya tidak bisa diubah selama siklus hidup CDO, maupun CDO
dinamis – dapat diubah dengan underlying yang berbeda untuk meningkatkan
kinerja dan mengurangi risiko kredit.
Kontrak Investasi Kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian yang mengikat
Kolektif (KIK) pemegang unit penyertaan dimana manajer investasi diberi wewenang untuk
mengelola portofolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan penitipan kolektif.
Kontrak Investasi Kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat
Kolektif Efek Beragun pemegang Efek Beragun Aset Syariah dimana Manajer Investasi diberi
Aset Syariah (KIK- wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian
EBAS) diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif, yang pelaksanaannya
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan menurut
peraturan perundang-undangan, KIK dalam KIK EBAS berstatus sebagai
subjek hukum (al-syakhshiyah al-i’tibariyah).
Kontrak Invetasi Efek beragun aset yang portofolio (terdiri dari aset keuangan berupa piutang,
Kolektif Efek Beragun pembiayaan atau aset keuangan lainnya), akad dan cara pengelolaannya tidak
Aset (KIK-EBA) bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
Kredit Pendukung Fasilitas yang diberikan kepada Penerbit untuk meningkatkan kualitas aset
(Credit Enhancement) keuangan yang dialihkan dalam rangka pembayaran kepada pemodal. Lembaga
ini adalah pihak yang memberikan jaminan dan memberikan dukungan
peningkatan nilai EBA.
Kreditur Asal a. pihak yang mengalihkan aset keuangan kepada Penerbit; atau b. pihak yang
(Originator/Munsya al- menjadi sponsor entitas bertujuan khusus dalam penerbitan surat berharga
As}l)) Asset Backet Commercial Paper (ABCP) atau surat berharga sejenis lain yang
bertujuan untuk mengambil alih eksposur dari pihak ketiga; atau
lembaga-lembaga keuangan, seperti bank, perusahaan pembiayaan, modal
ventura, dan sejenisnya yang memberikan kredit atau pembiayaan, yang
kemudian menjadikan kepemilikan aset yang dibiayai tersebut untuk dijual
atau digunakan sebagai agunan untuk EBA yang akan diterbitkan.
Kumpulan Piutang Keseluruhan aset keuangan yang dibeli oleh Penerbit dari kreditur asal.
Kustodian Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek atau jasa lain, termasuk menerima dividen, imbal hasil, dan hak-
hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang
menjadi nasabahnya.
Lembaga Kliring dan Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian
Penjaminan (LKP) Transaksi Bursa.
Lembaga Penyimpanan Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank
dan Penyelesaian (LPP) Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
Literasi Keuangan Pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang mempengaruhi sikap dan
(Financial Literation) perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan
keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan; atau istilah yang digunakan
untuk mengatahui kemampuan masyarakat dalam memahami dan
menggunakan produk dan layanan jasa keuangan serta memahami manfaat dan
risiko dari penggunaan produk tersebut termasuk mengetahui hak dan
kewajiban serta terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan
yang tidak jelas.
Maisir Transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan

263
Manajer Investasi Pihak yang mengelola portofolio efek untuk para nasabah dan/atau mengelola
(ama@nah al-istithma@r) portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Manfaat (al-manafi’/ Kegunaan/faedah yang melekat pada barang.
usufructs)
Metode analisis Metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun, dan
deskriptif menginterpretasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas terhadap masalah
yang diteliti.
Metode kualitatif Suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Musyarakah Syirkah yang kepemilikan porsi ra’s al-mal salah satu syarik berkurang
Mutanaqishah (MMQ) disebabkan pembelian secara bertahap oleh syarik lainnya.
Novasi Pengalihan hak dan kewajiban antara Anggota Kliring jual dengan Anggota
Kliring beli menjadi hak dan kewajiban antara Anggota Kliring jual/beli
dengan LKP sebagai akibat penjaminan LKP atas Perdagangan Efek di Bursa
Efek; atau akad baru yang menggantikan dan menghapuskan akad yang lama.
Obyek Haram Obyek perjanjian yang dilarang secara syariah untuk ditransaksikan.
Originator (Pemberi Pihak yang menjual Aset Syariahnya kepada para pemegang EBA-Syariah
Pembiayaan Asal) secara kolektif dimana aset tersebut diperoleh pihak yang bersangkutan karena
pemberian pembiayaan, penjualan, dan/atau pemberian jasa lain yang berkaitan
dengan usahanya; atau Pihak yang menjual Aset Syariahnya kepada Manajer
Investasi sebagai wakil KIK EBAS dimana aset tersebut diperolehnya karena
pemberian pembiayaan, penjualan, dan/atau pemberian jasa lain yang berkaitan
dengan usahanya.
Pasar Reguler Pasar di mana Perdagangan Efek di Bursa Efek dilaksanakan berdasarkan
proses tawar menawar yang berkesinambungan (bai’ al-Musawamah) oleh
Anggota Bursa Efek dan penyelesaian administrasinya dilakukan pada hari
bursa ketiga setelah terjadinya Perdagangan Efek di Bursa Efek.
Pass throught/true sale Pengalihan piutang/tagihan melalui jual beli secara lepas atau jual putus dari
originator kepada investor sehingga kepemilikan dan risiko beralih menjadi
milik investor. Piutang tidak lagi dicatat dalam neraca originator sekalipun
originator memperoleh fee atas pelayanan administrasi yang dilakukannya
(service fee). Dalam struktur Pass Through ini, EBA yang dipegang investor
merepresentasikan kepemilikan atas sekumpulan tagihan yang tidak terbagi.
Angsuran pokok dan imbalan keuntungan di-pass through kepada investor
sebagai pemilik bersama sekumpulan tagihan yang tidak terbagi
Pay-throught/with Pengalihan tagihan/aset dari originator kepada investor dimana resiko gagal
recourse bayar terhadap tagihan yang dialihkan tetap berada ditangan originator. Jika
terjadi gagal bayar maka originator wajib mengganti dengan tagihan yang
dimilikinya dari debitur lain. Dalam transaksi ini tagihan masih menjadi milik
originator, secara hukum tidak terjadi peralihan hak atas tagihan, hanya
manfaat ekonomis dari tagihan tersebut yang beralih kepada investor. EBA
yang dipegang investor dalam struktur pay-throught merepresentasikan
kewajiban langsung penerbit.
Pemodal Pihak (orang atau badan usaha) yang membeli/pemegang EBA-Syariah baik
EBAS-SP maupun KIK-EBAS.
Penata Sekuritisasi Pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan penatalaksanaan

264
proses sekuritisasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pendukung Pembiayaan Pihak yang memberikan fasilitas untuk meningkatkan kualitas dan nilai Aset
dan/atau surat berharga syariah dalam proses Sekuritisasi maupun untuk
pemberian fasilitas pembiayaan
Penelitian Kualitatif Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Penerbit (Penerbit EBA Pihak yang melakukan penerbitan EBA-Syariah baik EBAS-SP maupun KIK-
atau EBAS) EBAS; atau badan hukum, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
(KIK-EBA) atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah (KIK-
EBAS), penerbit efek beragun aset berbentuk surat partisipasi (EBA-SP) atau
penerbit efek beragun aset syariah berbentuk surat partisipasi (EBAS-SP),
entitas bertujuan khusus, atau bentuk lain sesuai peraturan perundang-
undangan, yang mempunyai tujuan khusus melakukan aktivitas Sekuritisasi
Aset. Penerbit ini di negara lain dinamakan special purpose vehicle, trustee,
atau conduit (wakil al-ishdar, dzat al-ghardh al-khashsh).
Penitipan Penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS
dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang
bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. Produk
penitipan harta tersebut sering disebut dengan Kustodian. Kustodian ini dalam
rangka kegiatan pasar modal merupakan.
Penjamin Emisi Efek Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
(Dhamin al- Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli
Ishdar/Underwriter) sisa Efek yang tidak terjual; atau Pihak yang membantu Manajer Investasi
dalam melakukan Penawaran Umum dengan atau tanpa kewajiban untuk
membeli sisa Efek yang tidak terjual; atau pihak yang membantu emiten dalam
rangka penerbitan saham. Tugasnya antara lain, menyiapkan berbagai
dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan
atas penerbitan.
Penyedia Jasa (Servicer) Pihak yang bertanggung jawab untuk memproses dan mengawasi pembayaran
yang dilakukan pengguna jasa (nasabah), melakukan tindakan awal berupa
peringatan atau hal lain karena pengguna jasa terlambat atau gagal memenuhi
kewajibannya, melakukan negosiasi, menyelesaikan tuntutan terhadap
pengguna dan jasa lain yang ditetapkan dalam kontrak; atau pihak yang
menatausahakan, memproses, mengawasi, dan melakukan tindakan-tindakan
lainnya dalam rangka mengupayakan kelancaran arus kas aset keuangan yang
dialihkan (underlying reference asset) kepada Penerbit sesuai perjanjian antara
pihak tersebut dengan Penerbit, termasuk memberikan peringatan kepada
Reference Entity apabila terjadi keterlambatan pembayaran, melakukan
negosiasi dan menyelesaikan tuntutan.
Perfection Of The Gabungan antara prinsip true sale dan bankruptcyremoteness, yaitu melalui
Security pengikatan legal yang dilakukan, aset yang menjadi aset dasar transaksi
sekuritisasi akan sepenuhnya menjadi hak investor dan tidak bisa diklaim oleh
pihak lain.
Perusahaan Efek Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara
Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi

265
Perusahaan Pihak yang memberikan peringkat atas EBA, yang EBA-nya terdiri dari
Pemeringkat Efek beberapa kelas (kelas A dan B). Dalam proses pemeringkatan ini, perusahaan
(waka@lah al-tas}ni@f al- tersebut memperhatikan kondisi keuangan atau portofolio keuangan termasuk
‘ala@miyyah) jaminan yang dimilikinya. Faktor penilaiannya antara lain terkait 1) catatan
keuangan sebelumnya, 2) agunan yang dimiliki, 3) arus kas, 4) mekanisme
EBA, 5) pendukung kredit, dan 6) originator.
Prinsip Syariah Prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syariah.
Proses pengembangan Proses keseluruhan yang menetapkan langkah-langkah untuk mengambil
produk baru (new inovasi keuangan baru dari fase konsep atau inisiasi, melalui fase rekayasa
product development keuangan dan desain, dengan mengikuti berbagai fase dan kontrol tata kelola.
process)
PT Sarana Multigriya Persero yang membantu lembaga keuangan dalam proses sekuritisasi asset.
Finansial (SMF)
Qabu@l Pernyataan pihak kedua yang merupakan penerimaan dan persetujuan terhadap
penawaran yang dilakukan pihak pertama(acceptance).
Rekayasa keuangan Proses menggunakan alat keuangan dasar (basic financial tools) untuk
(financial engineering) membangun – produk-- yang tampak strukturnya lebih kompleks (a complex
structure) dengan desain yang sesuai untuk inovasi keuangan baru.
Reksa Dana Syariah Reksa dana sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Reksa dana syariah dianggap
memenuhi prinsip syariah di pasar modal apabila akad, cara pengelolaan, dan
portofolionya tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal
sebagaimana diatur dalam peraturan OJK tentang Penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.
Riba Penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu
penyerahan (riba fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok
pinjaman (riba qardh), atau tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan
imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak (nasi’ah)
Risywah Pemberian yang diberikan oleh seseorang/pihak kepada orang/pihak lain
(pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang bathil (tidak
benar menurut syariah).
S}ukuk Berasal dari kata s}akk adalah sertifikat atau dokumen. Secara terminologi,
sukuk diartikan sebagai efek syariah berupa ‚suatu sertifikat bernilai sama
yang merepresentasikan bukti kepemilikan pemegang sukuk atas suatu bagian
tertentu dan tidak terbagi terhadap suatu aset yang menjadi dasar
penerbitannya dapat berupa aset berwujud, nilai manfaat, jasa dan aset dari
suatu proyek tertentu maupun kegiatan investasi yang telah ditentukan‛.
Saham atau stocks atau Surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal pada suatu perseroan
shares terbatas. Saham merupakan sejumlah uang yang diinvestasikan oleh investor
dalam suatu perseroan Atas investasi dalam perseroan tersebut, investor
(pemegang saham) akan memperoleh keuntungan dalam bentuk deviden
sebanding dengan besarnya uang yang diinvestasikan, begitu juga sebaliknya
apabila terjadi kerugian. Saham syariah merupakan efek berbentuk saham yang

266
tidak bertentangan dengan prinsip syariah di Pasar Modal.
Security interest Kepentingan atas suatu aset milik pihak lain untuk tujuan menjamin
dipenuhinya kewajiban suatu pihak. ‚Security interest‛ ini memberikan hak-
hak tertentu kepada pemegang jaminan terhadap aset yang dijaminkan. Hak ini
berbeda-beda, tergantung jenis dan bentuk jaminan yang diberikan.
‚Perfection‛ secara hukum, yaitu langkah-langkah/mekanisme yang diperlukan
untuk melahirkan suatu hak atas barang yang dijaminkan kepada kreditur.
Sekuritisasi Transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian Aset
Keuangan dari Kreditur Asal dengan menerbitkan Efek Beragun Aset; atau
proses pengemasan keuangan dan mentransformasikannya ke dalam bentuk
kemasan keuangan (financial packaging) yang dapat ditransfer secara bebas di
antara para investor; atau penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun
aset yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal
(originator) yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan
efek beragun asset.
Sekuritisasi Aset Proses penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun aset atau penerbit
efek beragun aset syariah yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan atau
aset syariah dari kreditur awal (originator) yang diikuti dengan pembayaran
yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada investor atau
pembayaran yang berasal dari dana penerbit.
Sekuritisasi KIK EBA Transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara penjualan Aset
oleh Originator kepada Manajer Investasi sebagai wakil KIK EBA melalui
penerbitan Efek Beragun Aset. Sekuritisasi KIK EBAS adalah sekuritisasi KIK
EBA berdasarkan prinsip syariah.
Sistem Civil Law Sistem hukum yang berasal dari Perancis dengan ciri utama menekankan
kepada peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum utama. Sistem
ini dianut oleh Perancis, Belanda dan bekas jajahannya serta negara-negara
Eropa Kontinental. Indonesia berdasarkan asas konkordansi termasuk negara
yang menganut sistem civil law.
Sistem Common Law Sistem hukum yang berasal dari Inggris dengan ciri utama menekankan
putusan pengadilan (case law) sebagai sumber utama. Sistem ini dianut oleh
negara-negara bekas jajahan Inggris seperti Amerika, Australia, Malaysia,
Singapura, India dan Sri Langka.
Studi Sosiolegal Suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum.
Hukum tidak hanya dilihat secara berdiri sendiri yang terisolasi dari
kebudayaan (sistem berfikir, sistem pengetahuan) dan relasi kekuasaan di
antara para perumus hukum, penegak hukum, para pihak dan masyarakat.
Sub Prime Mortgage Pemberian pinjaman kepada nasabah (debitur) yang tidak memenuhi
persyaratan kredit untuk diberikan pinjaman namun tetap diberikan pinjaman
dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibanding dengan nasabah yang
memenuhi persyaratan; atau pemberian kredit subprima dengan jaminan
berupa hak tanggungan. Jenis kredit ini terus dikembangkan sebagai transaksi
derivatif dan mengalami krisis pada akhir tahun 2007 an di USA.
Sukuk Surat Berharga Syariah (Efek Syariah) berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama, dan mewakili bagian kepemilikan yang tidak bisa
ditentukan batas-batasnya (musya’) atas aset yang mendasarinya (Aset
Sukuk/Ushul al-Shukuk) setelah diterimanya dana sukuk, ditutupnya
pemesanan dan dimulainya penggunaan dana sesuai peruntukannya.

267
Surat Berharga Syariah Surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
Negara (SBSN) atau bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang
Sukuk Negara rupiah maupun valuta asing.
Surat Partisipasi Bukti kepemilikan secara proporsional atas kumpulan Aset yang dimiliki
bersama oleh sejumlah Pemodal yang diterbitkan oleh Penerbit
Syari’ah Segala hukum dan aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya untuk
diikuti, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan
antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan
lingkungan dan kehidupannya. Kata syariah berasal dari akar kata bahasa arab
syara'a, yang secara bahasa memiliki banyak arti, yaitu jalan, cara, dan aturan.
Diartikan juga sebagai jalan ke tempat keluarnya air untuk minum, dan kata ini
dikonotasikan oleh bangsa Arab sebagai jalan lurus yang harus diikuti, atau
berarti sumber segala kehidupan.
Tadlis Tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual
untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat.
Taghrir Upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang
mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi
Talaqqi al-rukban Bagian dari ghabn; yaitu jual-beli atas barang dengan harga jauh di bawah
harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui harga tersebut.
Tanajusy/Najsy Tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak
bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang
berminat membelinya.
Taqwim al-‘urudh Penaksiran barang yang menjadi ra’s al-mal untuk diketahui nilai atau
harganya.
Trust Suatu sistim hukum dalam common law dimana pihak yang pada awalnya
memiliki atas benda (settlor) dapat langsung menyerahkan kepemilikan benda
tersebut kepada pihak lain (trustee) untuk kepentingan pihak yang memperoleh
manfaat (beneficiary) tanpa perlu ada lembaga baru/tersendiri yang menangani
proses peralihan aset tersebut. Dalam sistem common law, pihak yang
menguasai aset atau benda tidak selalu pemilik dari benda tersebut, artinya
adanya pemisahan antara penguasaan dan kepemilikan. Hal ini berbeda dengan
sistem civil law bahwa hak penguasaan dan kepemilikan atas benda tidak
terpisah melainkan suatu kesatuan.
Tsaman Harga baik berupa uang ataupun barang yang wajib dibayarkan oleh pembeli
kepada penjual sebagai imbalan atas obyek yang dibeli.
Unit Usaha Syariah Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
(UUS) kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Wakalah Akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu.
Wakalah bi al-Ujrah Akad wakalah yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (fee).

268
Wali Amanat (ami@n al- Pihak yang mewakili kepentingan investor, baik efek berbentuk utang maupun
istithma@r efek berbentuk penyertaan, atau pihak yang telah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Wali Amanat dan mewakili kepentingan investor, atau Bank
Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga
berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan
pemegang surat berharga tersebut.
Zalim Transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Zhulm (penganiayaan) Sesuatu yang mengandung unsur ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan
merugikan pihak lain.

269

Anda mungkin juga menyukai