Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS KASUS :

SUBJEK

1. ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN), dalam hal ini

berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Anggaran Dasar (AD), diwakili oleh:

Nama : Ir. Abdon Nababan

Tempat, Tanggal Lahir : Tapanuli Utara, 2 April 1964

Jabatan : Sekretaris Jenderal AMAN

Alamat : Jalan Tebet Utara II C Nomor 22 Jakarta

Selatan

Sebagai ---------------------------------------------------------------- Pemohon I;

2. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KENEGERIAN KUNTU

Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : H. BUSTAMIR

Tempat, Tanggal Lahir : Kuntu, 26 Maret 1949

Jabatan : Khalifah Kuntu, dengan Gelar

Datuk Bandaro

Alamat : Jalan Raya Kuntu RT/RW 002/001 Desa

Kuntu Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau

Sebagai ---------------------------------------------------------------- Pemohon II;

3. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KASEPUHAN CISITU

Kabupaten Lebak Provinsi Banten, dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : H. MOCH. OKRI alias H. OKRI

Tempat, Tanggal Lahir : Lebak, 10 Mei 1937

Warga Negara : Indonesia


Jabatan : Olot Kesepuhan Cisitu

Alamat : Kesepuhan Cisitu, RT/RW 02/02 Desa

Kujangsari, Kecamatan Cibeber Kabupaten

Lebak, Provinsi Banten;

Sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon III;

OBJEK

POKOK PERKARA :

Berdasarkan pada pokok perkara menyatakan bahwa pada pasal 3 Undang-


undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan
dan berkelanjutan. Pada faktanya masyarakat hukum adat merasa dirugikan
dengan adanya UU Kehutanan dikarenakan kesatuan masyarakat hukum adat
belum memperoleh hak‐hak yang kuat atas klaimnya tersebut sehingga tidak
jarang mereka justru dianggap sebagai pelaku kriminal ketika mereka mengakses
kawasan hutan yang mereka akui sebagai wilayah adat .Dimasukkannya hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
Angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan.

Dinyatakan bahwa pemohon merupakan badan hukum privat dalam


mengajukan permohonan lengal mengunakan prosedur legal stending. Dalam hal
pemohon melakukan pengujian UU terdapat ketertarikan sebab akibat causa
verban dengan disahkan dan diberlakukan nya UU kehutanan sehingga
menyebabkan hak konstitusi pemohon di rugikan. Dalam system pradilan di
Indonesia pada prakteknya penggunaan legal stending telah diakui menjadi
mekanisme mencari keadilan dengan ini antara lain :

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang Pengujian


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap
UUD 1945.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
4. Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Berdasarkan petitum (permohonan dari pemohon kepada majelis hakim


Mahkamah Konstitusi mengajukan 11 permohonan kepada majelis hakim yang
telah di uraikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Bahwa dari petitum tersebut pihak pemohon menyatakan bahwa hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya akan tetapi bertentangan
dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.

Jadi berdasarkan analisis saya para pihak permohonan tidak melampirkan bukti
fisik secara nyata kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi. serta tindakan
pemerintah seharusnya memberikan pengakuan terhadap eksistensi kesatuan
masyarakat adat serta hak-hak konstitusionalnya terhadap tanah adat dan
pemerintah sebagai pihak netral dan sikap pemeritah seharusnya menunjukaan
adanya keseimbangan antara masyarakat adat dengan pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai