Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
SALINAN
PUTUSAN
Nomor 34/PUU-XVIII/2020
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 04 Mei 2020, memberi kuasa kepada
Muhammad Sholeh, S. H., Muhammad Saiful, S. H., Elok Dwi Kadja, S. H., Farid Budi
Hermawan, S. H., Fitriana Kasiani, S. H., Totok Surya, S. H., dan Novan Dwi Kartika,
S.H., para Advokat yang tergabung pada kantor advokat “SHOLEH and
PARTNERS” beralamat Jalan Ngagel Jaya Indah B Nomor 29, Surabaya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut sebagai ----------------- para Pemohon
2. DUDUK PERKARA
C. POKOK PERMOHONAN;
(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan
makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat.
13. Bahwa, yang terjadi sekarang adalah pemerintah memberlakukan PSBB tapi
prakteknya adalah lockdown. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang
melarang mudik, warga Jakarta tidak boleh keluar darikota Jakarta, hal ini juga
terjadi di kota Surabaya, orang luar kota tidak boleh masuk ke kota Surabaya.
Pintu-pintu masuk Kota Surabaya dijaga oleh aparat dan dilakukan screening
yang bertujuan menghambat potensi penyebaran virus covid-19 melalui carrier.
14. Bahwa, baik dalam UU No 6 tahun 2018 tentang pemberlakuan PSBB maupun
turunannya seperti PP dan Permenkes sama sekali tidak berbicara soal
pelarangan orang keluar masuk di daerah yang diberlakukan PSBB. Namun
justru pemerintah memberlakukan palarangan orang keluar masuk daerah
yang diberlakukan PSBB, bukankah ini pelanggaran hukum hak asasi
manusia? Bahwa, hahekatnya pelanggaran hak asasi manusia seperti orang
mudik harus ada payung hukumnya setingkat UU, bukan asal melarang, asal
memberi sangsi. Bahwa para Pemohon sama sekali tidak mempersoalkan
pelarangan a quo asal jelas dasar hukumnya. Menurut para Pemohon kondisi
ini tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para
Pemohon dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD.
15. Bahwa, jika pelarangan orang keluar masuk daerah yang diberlakukan PSBB,
tentu tidak tepat jika PSBB yang menjadi payung hukum. Seharusnya
pemerintah menerapkan kebijakan karantina wilayah sebagaimana diatur di
dalam ketentuan Pasal 53 sampai pasal 55 UU No 6 Tahun 2018.
Pasal 54 ayat (3) menyatakan; Anggota masyarakat yang dikarantina tidak
boleh keluar masuk wilayah karantina.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa Pemerintah tidak
mengambil kebijakan karantina wilayah? para Pemohon rasa hal ini
berhubungan dengan konsekwensi pemberlakukan karantina wilayah. Karena
pemerintah harus menanggung makan semua warga yang dikarantina wilayah.
Misalnya Ibu kota Jakarta, maka pemerintah harus menanggung makan semua
penduduk warga Jakarta baik yang kaya maupun yang miskin.
10
16. Bahwa, Presiden Joko Widodo pada acara Mata Najwa tanggal 22 April 2020
menyatakan; “karantina wilayah itu sama dengan lockdown hanya untuk
Jakarta saja perhari butuh 550 milyar belum Jabodetabek atau Jakarta,
Bogor, Depok dan Bekasi”. Artinya ada pertimbangan angka yang harus
dibayar mahal jika karantina wilayah diberlakukan oleh pemerintah.
17. Bahwa, Pasal 55 ayat (1) UU No 6 Tahun 2018 menyatakan; Selama dalam
Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan
ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat.
18. Bahwa, bahwa dalam Pasal a quo terkait kalimat kebutuhan hidup dasar
orang yang menjadi persoalan bagi pemerintah jika karantina wilayah
diberlakukan, pemerintah khawatir jika harus membiayai makan orang atau
penduduk yang diberlakukan karantina wilayah. Makna orang tentu makna
umumnya adalah, seorang anak, dewasa, tua, bisa laki maupun perempuan,
kaya maupun miskin. Sehingga menurut para Pemohon kekhawatiran
pemerintah cukup masuk akal.
19. Bahwa, para Pemohon sendiri tidak habis pikir pembentuk UU memasukkan
kata orang dalam Pasal a quo. Mengapa tidak ditulis orang miskin, atau fakir
miskin? sebab kata orang maknanya luas, Mengapa pemerintah harus
menanggung makan orang mampu dari segi ekonomi? Bukankah Pasal 34
ayat (1) UUD sudah jelas memberikan kewajiban kepada negara membiayai
fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Pasal 34 ayat (1) UUD
ini berlaku pada masa bukan bencana, apalagi dalam kondisi bencana seperti
sekarang, tentu negara berkewajiban memenuhi kewajiban tersebut.
20. Bahwa, menurut para Pemohon makna kata orang di dalam Pasal 55 ayat (1)
UU No 6 Tahun 2018 harus dimaknai secara konstitusional bersyarat
hanya orang miskin yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Dengan
begitu beban anggaran bagi pemerintah pusat jika memberlakukan karantina
wilayah tidak terlalu besar.
11
21. Bahwa, tentu pemerintah pusat punya data warga yang berada di bawah garis
kemiskinan selain itu adanya pandemic ini tentu banyak orang yang terkena
PHK, orang yang tidak bisa berjualan karena sepi pembeli, orang yang bekerja
jadi tukang ojek maupun driver online yang sepi penumpang, dan lain
sebagainya. Mereka-mereka ini tergolong orang-orang yang hak hidup
dasarnya harus ditanggung pemerintah pusat.
22. Bahwa, dalam Pasal 55 ayat (1) meskipun penanggung kebutuhan hak dasar
adalah pemerintah pusat, namuntidak ada larangan apabila pemerintah pusat
meminta bantuan keterlibatan pemerintah daerah untuk mengeluarkan
anggaran guna pemenuhan kebutuhan hak hidup dasar orang miskin. Misalnya
untuk data orang miskin yang sudah ada menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat, sementara yang belum terdata sebagaimana poin 21 menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah. Bukankah dalam pemberlakuan PSBB pemerintah
daerah juga mengeluarkan anggaran bantuan sosial kepada orang miskin?.
23. Bahwa, jika pemerintah pusat menerapkan karantina wilayah di Kota Jakarta
maka otomatis semua kegiatan aktifitas warga Jakarta dihentikan, begitupun
dengan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga harus berhenti,
sehingga para Pemohon tidak dirugikan sebab persidangan akan ditunda.
Sedangkan berbeda halnya dengan kondisi seperti saat ini, pemerintah
memberlakukan PSBB tapi melakukan pelarangan transportasi udara yang hal
itu adalah bukan lagi masuk dalam pemaknaan PSBB melainkan pengaturan
karantina wilayah. Tentu hak konstitusional para Pemohon dirugikan karena
tidak bisa mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
24. Bahwa, kata orang yang bermakna umum, bisa kaya atau miskin, jelas tidak
adil. Makna adil menurut para Pemohon bukan berarti semua orang punya hak
yang sama, hal ini harus diliat konteksnya, misalnya dalam hukum maka kaya
dan miskin harus diperlakukan sama di mata hukum. Tapi soal hak
mendapatkan santunan dari pemerintah, tentu orang kaya dan miskin tidak bisa
mendapatkan hak yang sama. Orang miskin merupakan kewajiban negara
untuk menjamin hak dasarnya, sementara orang kaya tidak. Maka menurut
12
para Pemohon kata orang dalam Pasal 55 ayat (1) tidak mengandung
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
25. Bahwa, sekarang ini banyak daerah sudah tidak menerapkan PSBB, namun
angka persebaran covid 19 tidak turun malah angka nasional semakin
meninggi. Bahwa, data gugus tugas nasional sampai tanggal 21 Juni 2020
positif corona sudah mencapai 45.891, hal ini menunjukkan bahwa PSBB
gagal, new normal yang dicanangkan oleh pemerintah juga tidak berdampak
terhadap penurunan persebaran covid 19.
26. Bahwa, oleh karena itulah tidak ada salahnya jika pemerintah menggunakan
opsi karantina wilayah sebagaiman dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU No 6
Tahun 2018. Dengan konsekwensi jika permohonan para Pemohon dikabulkan,
pemerintah pusat tidak harus memberi makan semua penduduk yang
daerahnya ditetapkan karantina wilayah.
27. Bahwa, berdasarkan argumentasi di atas, para Pemohon berkeyakinan jika
Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Karantina Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 No. 128) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dimaknai,
“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang miskin dan
makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat”.
PETITUM
[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
15
“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan
hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh,
Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan
dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para
Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan
Presiden atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Ria Indriyani
1
S ALINAN
PUTUSAN
Nomor 25/PUU-XX/2022
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
I. KEWENANGAN MAHKAMAH
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum”;
6. Bahwa terhadap tolok ukur atau batu uji, Mahkamah untuk menilai pengujian
formil sebuah undang-undang, telah dinyatakan dalam Putusan Nomor 27/PUU-
VII/2009, Paragraf [3.19], halaman 82-83, yang menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-
021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI
Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah
merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk
melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya
dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan
apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya
sebagai syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD
1945;
Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur
pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka
hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD
1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek
formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan
konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu,
sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan
peraturan perundang- undangan yang mengatur mekanisme atau formil-
prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka
peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil;”
7. Bahwa berdasarkan perluasan batu uji terhadap objek Pengujian Formil yang
dimohonkan oleh PARA PEMOHON yaitu Pembentukan UU 3/2022, tidak sesuai
dengan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Perlu kami jelaskan bahwa dalam pengujian formil perkara “a quo” penyebutan
yang digunakan terhadap batu uji UU 3/2022 adalah UU 12/2011 dikarenakan
perubahan UU 12/2011 ke UU 15/2019 adalah perubahan sebagian Pasal dalam
9
UU 12/2011 dan terhadap pasal-pasal yang menjadi tolok ukur dalam perkara
“a quo” terdapat dalam UU 12/2011.
8. Bahwa artinya objek pengujian yang dimohonkan oleh PARA PEMOHON masih
masuk dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
dalam yang masuk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf
a dan Pasal 51A ayat (3) UU MK RI serta Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman.
9. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, melekat 5 (lima) fungsi yakni:
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of
Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter
of Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi (The Guardian of
Democracy)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara
(The Protector of Citizen’s Constitutional Rights)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia (The Protector
of Human Rights)
10. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji Undang-Undang
terhadap UUD, Mahkamah sedang menjalankan fungsi sebagai Pengawal
Konstitusi (The Guardian of Constitution). Oleh karenanya dalam hal pengujian
formil UU 3/2022 yang secara nyata dan terang benderang menabrak Prosedur
dan dibentuk tidak berdasarkan atas asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana ditentukan pada UU 12/2011,
serta tidak sesuai dengan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan UUD
1945
11. Bahwa berdasarkan seluruh uraian diatas berkenaan dengan yurisdiksi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian Konstitusionalitas
Pembentukan UU 3/2022 terhadap UUD 1945.
10
2. Bahwa terhadap kedudukan pemohon juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Selanjutnya disebut PMK 2/2021),
menyatakan:
Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakuknya undang-undang atau perppu, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.
12
11. Bahwa selain syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI,
terdapat syarat yang menentukan kapasitas warga negara Indonesia untuk
memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam Pengujian Formil
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 yang mengacu pada
Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan No. 011/PUU-V/2007, apabila:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan,
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan
terjadi.
Apabila melihat salah satu tujuan dari rencana perpindahan Ibu Kota
Negara ke Kalimantan yang sering diungkapkan pada berbagai
kesempatan, oleh Presiden Republik Indonesia, adalah pemerataan
“kue” Ekonomi. (Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/
20190919161845-4-100740/ri-pindah-ibu-kota-ekonomi-lebih-merata).
Namun di sisi lain Presiden memberikan iming insentif ke anak muda
agar mau pindah ke IKN Nusantara (Sumber:
https://finance.detik.com/properti/d-5953880/jokowi-imingi-insentif-ke--
anak-muda-agar-mau-pindah-ke-ikn). Bahkan bagi anak Muda yang
Pindah hingga Buka Usaha di IKN Nusantara, Dapat Bonus dari Jokowi
(Sumber: https://economy.okezone.com/read/2022/02/23/470/
2551743/anak-muda-pindah-hingga-buka-usaha-di-ikn-nusantara-
dapat-bonus-dari-jokowi). Dengan diiming-iminginya anak-anak muda
di luar Kalimantan Timur untuk pindah ke Kalimantan Timur, tentunya
hal ini akan menimbulkan potensi konflik bagi para pencari kerja asli
Kalimantan Timur dengan para pencari kerja yang datang dari luar
Kalimantan Timur.
Hal ini tentunya merugikan PEMOHON IV karena menyulitkan
PEMOHON IV untuk memberikan jawaban-jawaban kepada umatnya
yang mempertanyakan hal ini, terlebih lagi adanya infiltrasi budaya
global yang dapat mengancam akidah-akidah agama yang selama ini
telah di bangun dan dijaga oleh PEMOHON IV.
Terhadap uraian pada angka 16.4 tersebut di atas disebabkan proses
pembentukan undang-undang yang sangat terburu-buru, tidak cermat
dalam memetakan persoalan yang sangat kompleks serta bersifat
multidimensi, dan banyak mengabaikan/melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Tentunya hal tersebut merugikan hak
konstitusional PEMOHON IV yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian pada angka 16.4. tersebut di atas, maka
PEMOHON IV memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
23
16.5. PEMOHON V merupakan cucu dari KH. Abdul Wahab Chasbullah yang
merupakan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai cucu Pendiri NU,
PEMOHON V concern dalam menjaga tujuan negara untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut PEMOHON V ada
3 hal yang harus diperhatikan oleh Penguasa, yakni: Pertama, siapapun
yang berkuasa harus senantiasa melindungi sumber kehidupan yang
paling asasi. Kedua, menjaga negeri yang tercinta ini dari berbagai
macam gangguan dari dalam maupun luar. Ketiga, kewajiban
memelihara dan melindungi tradisi beragama - kebudayaan bangsa
kita. “Inilah yang dimaksud dengan NU berpolitik pada level
kebangsaan. Politik tingkat tinggi,” hal ini juga diungkapkan kepada
media online (https://jatimnet.com/gus-aam-politik-bagi-warga-nu-
ibarat-air-dan-teh).
Adanya Potensi Konflik Horizontal sebagaimana telah diuraikan pada
bagian 16.4. yang dihadapi oleh Pemohon IV adalah persoalan yang
menimbulkan kerugian yang sama bagi PEMOHON V. Termasuk dalam
hal perlindungan sumber kehidupan yang paling Asasi yang menjadi
perjuangan yang selama ini dilakukan oleh PEMOHON V berpotensi
terlanggar dalam ketentuan UU 3/2022 incasu peralihan/pembebasan
lahan masyarkat. Hal tersebut terjadi karena proses pembentukan yang
mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
Terhadap uraian pada angka 16.5. tersebut di atas disebabkan proses
pembentukan undang-undang yang sangat terburu-buru, tidak cermat
dalam memetakan persoalan yang sangat kompleks serta bersifat
multidimensi, dan banyak mengabaikan/melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, tentunya hal tersebut merugikan hak
konstitusional PEMOHON V yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian pada angka 16.5. tersebut di atas, maka
PEMOHON V memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
24
16.11. PEMOHON XXIV saat ini sedang menjabat sebagai ketua umum
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat, dibuktian dengan
Surat Keputusan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Nomor
121/KPTS/A/03/1443 H tentang Pengesahan Susunan Pengurus
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat Periode 2021-2022.
(Bukti P.39 – SK PB HMI).
Sebagai ketua umum HMI Cabang Jakarta Barat PEMOHON XXIV
memiliki tugas yakni memberikan kontribusi pemikiran/gagasan/konsep
baik secara lisan maupun tertulis terhadap persoalan yang ada di
lingkup Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, hingga pada tingkat
Nasional.
Terhadap Proses Pembentukan UU 3/2022, PEMOHON XXIV sebagai
ketua umum HMI Cabang Jakarta Barat sebagai pihak yang terdampak
apabila Ibu Kota Negara Pindah ke Kalimantan Timur, telah melakukan
kajian-kajian yang akan dijadikan sebagai usulan terhadap
pembentukan UU 3/2022. Hal tersebut dibuktikan dengan 3 kegiatan
yang diadakan oleh PEMOHON XXIV yakni:
- Pada tanggal 1 Februari 2022, Serial Diskusi Ibu Kota Negara
Nusantara, Episode ke-1, Tema: Menelaah Konstitusionalitas Otorita
IKN Nusantara, dengan Narasumber Dr. Thomas Umbupati, Direktur
Perbatasan Kementerian Dalam Negeri, dengan Penanggap
PEMOHON XXIV selaku Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Barat.
(Bukti P.40 – Flayer).
- Pada tanggal 7 Februari 2022, Serial Diskusi UU IKN Episode ke-2,
Tema: Analisa Ekonomi Politik Pemindahan Ibu Kota Negara
(Nusantara). Dengan Narasumber Faisal Basri, S.E., M.A. selaku
Pakar Ekonom Senior. (Bukti P.41 – Flayer).
- Pada tanggal 11 Februari 2022, Serial Diskusi UU IKN Episode ke-
3, Tema: Analisa Aspek Lingkungan Pemindahan Ibu Kota Negara
Nusantara. Dengan Narasumber Uli Artha Siagian Selaku Pengurus
WALHI. (Bukti P.42 – Flayer).
Namun karena RUU IKN telah disetujui bersama menjadi Undang-
Undang incasu UU 3/2022 pada tanggal 18 Januari 2022, sehingga
resume hasil kajian 3 Episode yang mereka lakukan di bulan Februari
29
19. Bahwa PARA PEMOHON tidak bisa melampirkan alat bukti yang dapat
membuktikan bahwa PARA PEMOHON memberikan hak pilihnya pada Pemilu
2019 karena Aplikasi KPU RI yang bisa di install di Google Playstore, yang bisa
digunakan untuk membuktikan bahwa PARA PEMOHON memberikan hak
31
bellen), yaitu pemohon yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI,
termasuk PARA PEMOHON, untuk mengajukan pengujian secara formil.
25. Bahwa namun dalam Praktiknya pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Mahkamah menilai kedudukan hukum dan Kerugian Konstitusional Para
Pemohon secara spesifik, satu per satu, dinyatakan Pemohon I, Pemohon II
tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon Pengujian Formil UU
11/2020.
26. Bahwa oleh karenanya terhadap uraian Kerugian Konstitusional PARA
PEMOHON dalam perkara ini, dijelaskan secara rinci kerugian PARA
PEMOHON satu persatu, sebagaimana pada angka 15 tersebut diatas, adalah
bertujuan untuk memperkuat Kedudukan Hukum (Legal Standing) PARA
PEMOHON dalam Pengujian Formil ini, sehingga tetap memenuhi Syarat
sebagai Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 PMK 2/2021, selain
syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI;
27. Bahwa untuk memenuhi kualifikasi PARA PEMOHON dalam pengujian formil a
quo, PARA PEMOHON menerangkan bahwa Para Pemohon juga merupakan
pembayar pajak (tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Bahwa sebagai pembayar pajak, Para Pemohon sangat
berkepentingan dengan pengujian UU a quo mengingat Ibukota baru yang
dipindahkan melalui UU 3/2022 berkaitan langsung dengan pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah diprioritaskan
untuk penanganan Covid-19, yang salah satunya bersumber dari pajak yang
dibayarkan oleh PARA PEMOHON yang kemudian baik secara langsung
maupun tidak langung dialihkan atau sebagian diperuntukan untuk
pembangunan IKN Nusantara baru yang terletak di Kalimantan Timur. Dalam
hal ini, Pemohon merasa dirugikan karena pajak yang dibayarkan oleh PARA
PEMOHON selama ini telah digunakan dengan tidak bijak oleh pemerintah. oleh
karena itu PARA PEMOHON menuntut aturan hukum yang konstitusional,
sehingga anggaran yang berasal dari pajak PARA PEMOHON dapat dikelola
secara baik, transparan, dan tepat sasaran untuk mempercepat penanganan
pandemi Covid-19 sesuai dengan program prioritas pemerintah selama ini yaitu
percepatan penanganan covid 19 dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang
telah carut marut akibat covid 19.
34
ALASAN PROVISI
Sebelum masuk kepada bagian Alasan Permohonan sebagai Pokok Permohonan
ini, perkenankanlah PARA PEMOHON memohon diberikannya Putusan Sela
(Provisi) terhadap perkara ini, dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pengujian Formil tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan
terhadap keberlakuan suatu undang-undang, berbeda dengan Pengujian
Materiil terhadap ketentuan norma suatu undang-undang. Demikian juga
urgensi permohonan Provisi dalam Pengujian Formil juga berbeda dengan
Pengujian Materiil.
2. Bahwa Pengujian Formil suatu Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi sejak
berdiri 2003 hingga saat ini, telah mengalami beberapa perubahan hukum acara
terhadap pengujian formil di Mahkamah Konstitusi, antara lain:
- Pertama, dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 telah diberikannya
tenggang waktu untuk dapat dilakukan pengujian formil terhadap suatu
undang-undang, yakni 45 (empat Puluh lima) hari sejak undang-undang
tersebut diundangkan.
35
14. Bahwa bahkan setelah mengetahui adanya proses pengujian formil UU 3/2022
ke Mahkamah Konstitusi, Presiden malah menginstruksikan untuk
mempercepat pelaksanaan proses pembangunan IKN termasuk mempercepat
penyelesaian penerbitan aturan turunan (Peraturan Pelaksana) UU 3/2022,
serta mempercepat penuntasan status tanah di IKN Nusantara, segala instruksi
tersebut termuat dalam berita-berita online sebagai berikut:
- Jokowi: Kalau Bisa Aturan UU IKN Maret ini Selesai
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/10/19380281/jokowi-kalau-
bisa-aturan-turunan-uu-ikn-maret-ini-selesai?page=all
- Jokowi Minta Aturan Turunan IKN Selesai Maret ini
https://nasional.sindonews.com/read/708915/12/jokowi-minta-aturan-
turunan-uu-ikn-selesai-maret-ini-1646913837
- Jokowi Minta Percepat Pembangunan IKN karena menarik investor lokal
dan asing
https://www.liputan6.com/news/read/4908324/jokowi-minta-percepat-
pembangunan-ikn-karena-menarik-investor-lokal-dan-asing
- Gercep, Jokowi Perintahkan BPN Tuntaskan Status Tanah di IKN
Nusantara
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/gercep-
jokowi-perintahkan-bpn-tuntaskan-status-tanah-di-ikn-nusantara
16. Berdasarkan uraian alasan permohonan provisi tersebut diatas dan untuk
menghindari terjadinya dampak yang lebih besar, dan agar tetap terwujudnya
perlindungan atas kepastian hukum serta terhadap hak-hak PARA PEMOHON
yang dilanggar dalam Pembentukan UU 3/2022, maka PARA PEMOHON
meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan kepada
40
UUD 1945
UU 12/2011
2. Bahwa jika objek dari pengujian formil dikaji dari sebuah undang-undang, menurut
Jimly Asshiddiqie, “tidak lain adalah pengujian mengenai apa saja, selain
pengujian materil. Pokoknya, di luar pengertian yang tercakup dalam pengujian
atas materil undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang semuanya dapat dipandang sebagai pengujian formil” (Jimly
Asshiddiqie, 2020: 103). Bahwa atas pengertian ini persoalan pengujian formil dari
sebuah undang-undang memiliki cakupuan yang cukup luas dan beragam
sehingga dapat dikupas dari berbagai lini secara prinsip, teori dan normatif.
3. Bahwa Jimly Asshiddiqie kemudian menguraikan kategori objek pengujian yang
bukan berkenaan dengan materi muatan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan. (Jimly Asshiddiqie, 2020: 103) dengan kata lain dapat
dikatakan yang dapat di persoalkan secara formil yaitu:
1) Bentuk hukum peraturan (form);
2) Format susunan peraturan (format);
3) Keberwenangan lembaga yang terlibat; dan
4) Proses-proses yang terjadi dalam setiap tahapan pembentukan hukum
mulai dari perancangan, pembahasan, pengesahan materil dan formil,
hingga ke tahap pengundangan, yaitu:
• Penelitian naskah akademik, dan peracangan peraturan;
• Pengusulan dan pembahasan bersama;
• Persetujuan bersama dan pengesahan materil;
• Pengesahan formil dan pengundangan.
4. Bahwa tidak hanya berhenti pada UUP3, penilaian terhadap keabsahan formil
undang-undang juga dapat merujuk peraturan perundang-undangan lainya yang
berkaitan dengan pembentukan undang-undang, misalnya Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib, hal tersebut sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 51A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa
permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh
43
NASIONAL DAERAH
Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka
Jangka Panjang Nasional Panjang Daerah
Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka
Jangka Menengah Nasional Menengah Daerah
Rencana Strategis Rencana Strategis Satuan Kerja
Kementerian/ Lembaga Perangkat Daerah
Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Rencana Kerja Rencana Kerja Satuan Kerja
Kementerian/ Lembaga Perangkat Daerah
tentang IKN serta pembahasan atas jumlah DIM dan DIM yang
bersifat tetap;
2) Rapat Pansus RUU tentang IKN (Rapat Intern) dengan Agenda
Penetapan Pimpinan dan Anggota Panja RUU tentang IKN;
3) Rapat Panja RUU tentang IKN dengan agenda Pembahasan DIM
RUU.
22. Bahwa secara faktual kerangka hukum IKN ternyata tidak terbentuk di
tahun 2020, melainkan terbentuk ditahun 2022. Terlambat 2 tahun dari
rencana yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2020.
23. Bahwa jika mengacu pada perecanaan IKN tahun 2020 yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020, maka ada empat tahapan
yaitu:
a. Perencanaan IKN;
b. Penyusunan Matek RTR KSN IKN, RDTR Pusat Pemerintahan IKN,
RDTR Pusat Ekonomi IKN;
c. Penyiapan Kerangka Regulasi dan Kebijakan serta Lembaga
Pelaksana;
d. Perencanaan Teknis.
Namun dari empat tahapan tersebut tidak semuanya dapat diselesaikan
ditahun 2020. Rancangan undang-undang saja baru diselesaikan di tahun
2022.
24. Bahwa oleh karena adanya perbedaan tahapan dan perencanaan dari
pembentukan IKN yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18
Tahun 2020, dengan praktik pembentukan IKN yang bermula dari adanya
keterlambatan pelaksanaan dari tahun 2020, maka perencanaan untuk
tahun 2021, 2022, 2023, dan 2024 yang diatur dalam Peraturan Presiden
53
13. Bahwa pendanaan merupakan hal yang pokok dan isu strategis dalam
proses pemindahan IKN. Oleh karenanya harusnya diatur dalam level
undang-undang, bukan dalam level peraturan pelaksana undang-undang.
14. Bahwa berdasarkan dalil-dalil pemohon dapat disimpulkan UU 3/2022
bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, karena. Karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan
dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana. Dengan demikian dapatlah
dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya bertentangan
dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
Negara dengan
Pemerintah dan DPD
RI. Pengesahan
Rancangan Jadwal
Acara dan
Mekanisme
Pembahasan RUU
tentang Ibu Kota
Negara.
6 Pembicaraan
Tingkat I 08 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1. Dr.
Wicipto Setiadi
(Perspektif Hukum
Tata Negara) 2. Dr.
Hendricus Andy
Simarmata (perspektif
hukum lingkungan) 3.
Wicaksono Sarosa
(perspektif hukum
lingkungan) 4. Dr.
Asep Sofyan
(perspektif
lingkungan) 5. Dr.
Nurkholis (perspektif
ilmu ekonomi).
7 Pembicaraan
Tingkat I 9 Des 2021
Rapat Dengar Dokumen dan
Pendapat Umum informasi dapat
Pansus RUU tentang diakses
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1. Prof
Paulus (Perspektif
Sosial
Kemasyarakatan) 2.
Anggito Abimanyu
(Perspektif Ekonomi
dan Pendanaan
Berkelanjutan) 3.
Erasmus Cahyadi
Terre (Aliansi
Masyarakat Adat
Nusantara) 4. Dr.
63
Fadhil Hasan
(Perspektif Ekonomi
dan Governance) 5.
Avianto Amri
(Masyarakat Peduli
Bencana Indonesia).
8 Pembicaraan
Tingkat I 10 Des 2021 okumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1.
Robert Endi Jaweng
(ex KPPOD),
perspektif Otonomi
Daerah dan
Desentralisasi Fiskal
serta Kelembagaan
Daerah Virtual 2. Dr.
Master P. Tumangor,
perspektif Ekonomi,
Investasi Pendanaan
dan Pengalihan Aset
Pansus B 3. Dr. Mukti
Ali, Dosen FT Univ
Hasanuddin
Perspektif
Perencanaan Wilayah
dan GIS Virtual 4. M.
Djailani, AORDA
Kalteng (Audiensi)
Pansus B 5.
Suharyono, IMPI
(Audiensi) Virtual.
9 Pembicaraan
Tingkat I
11 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (4
orang Pakar) 1. Prof.
Satya Arinanto,
SH.MH Pakar Hukum
HTN FHUI IKN dalam
peespektif Hukum
Tata Negara
64
Hadir/Virtual 2. Dr.
Chazali H.
Situmorang Pakar
Kebijakan Publik
Unas IKN dalam
perspektif Kebijakan
Publik Hadir 3. Dr.
Aminuddin Kasim,
SH.MH Pakar HTN
Univ Tadulako
Sulteng IKN
perspektif
Kelembagaan Negara
Virtual 4. Dr. Pratama
Dahlian Persadha
Chairman Lembaga
Riset Keamanan Si
dan dan Komunikasi
CISSReC
(Communication and
Information System
Security Research
Center Virtual).
10 Pembicaraan
Tingkat I 12 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (7
orang Pakar) 1. Prof
Maria S.W.
Soemardjono SH,
MCL., MPA Pakar
Hukum Pertanahan
UGM IKN dalam
perspektif Hukum
Pertanahan Virtual 2.
Ananda B. Kusuma
Pakar Sejarah
Ketatanegaraan IKN
dalam perspektif
sejarah
ketatamegaraan
Virtual 3. Dr. Yayat
Supriatna Pakar Tata
Ruang Univ Trisakti
IKN dalam perspektif
Tata Ruang, Tata
Kota dan Tata
65
Bangunan Hadir 4.
Dr. Arief Anshory
Yusuf Pakar Ekonomi
Perspektif Ilmu
Ekonomi Hadir/Virtual
5. Prof Haryo Winarso
Pakar Planologi ITB
IKN dalam perspektif
Perencanaan Kota
dan Wilayah Virtual 6.
Siti Jamaliah Lubis
Presiden Kongres
Advokat Indonesia 7.
Juniver Girsang
Ketua perhimpunan
Advokat Indonesia -
Suara Advokat
Indonesia (Peradi
SAI).
11 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Kerja Pansus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Persetujuan
dan Penetapan
Pimpinan dan
Anggota Panja RUU
tentang Ibu Kota
Negara serta
pembahasan atas
jumlah DIM dan DIM
yang bersifat tetap.
12 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Pansus RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara (Rapat Intern)
dengan Agenda
Penetapan Pimpinan
dan Anggota Panja
RUU tentang Ibu Kota
Negara.
13 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
66
14 Pembicaraan
Tingkat I 14 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
15 Pembicaraan
Tingkat I 15 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
16 Pembicaraan
Tingkat I 17 Des 2021 Dokumen dan
Audiensi dengan informasi tidak
Forum Dayak Bersatu dapat diakses
(FDB).
17 Pembicaraan
Tingkat I 6 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
18 Pembicaraan
Tingkat I 10 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
19 Pembicaraan
Tingkat I 11 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
20 Pembicaraan
Tingkat I 11 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Mulawarman -
Kalimantan Timur.
21 Pembicaraan
Tingkat I 12 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Hasanuddin -
Sulawesi Selatan.
67
22 Pembicaraan
Tingkat I 12 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Sumatera Utara.
23 Pembicaraan
Tingkat I 13 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
24 Pembicaraan
Tingkat I 14 Jan 2022 Dokumen dan
Kunjungan Anggota informasi tidak
Pansus ke kawasan dapat diakses
calon Ibu Kota
Negara di Penajam
Paser Utara -
Kalimantan Timur.
25 Pembicaraan
Tingkat I 16 Jan 2022 Dokumen dan
Kunjungan Anggota informasi tidak
Pansus ke kawasan dapat diakses
Kota Mandiri BSD dan
Alam Sutera-
Tangerang Banten.
26 Pembicaraan
Tingkat I 17 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda pembahasan
draf RUU tentang Ibu
Kota Negara.
27 Pembicaraan
Tingkat I 17 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Kerja Pansus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
Pemerintah dan DPD
RI. Dengan Menteri
Bappenas, Menteri
Keuangan, Menteri
ATR, Menteri Dalam
Negeri, Menteri
Hukum dan HAM
dengan agenda
68
acara: 1. Laporan
Ketua Panja; 2.
Pandangan Fraks-
Fraksi dan DPD RI; 3.
Pengambilan
Keputusan/Pembicar
aan Tk I; 4.
Tanggapan
Pemerintah; 5.
Penandatanganan
Draf RUU tentang
IKN; dan 6. Penutup.
28 Pembicaraan
Tingkat II 18 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Paripurna informasi dapat
dalam rangka diakses
Pembicaraan Tk II/
Pengambilan
Keputusan menjadi
UU.
Bahwa berdasarkan uraian dan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 28
(dua puluh delapan) tahapan/agenda pembahasan RUU 3/2022 di
DPR, hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya
dapat diakses. Sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda lainya informasi
dan dokumenya tidak dapat diakses publik.
8. Bahwa dari gambaran pada tabel di atas dapat diperoleh fakta bahwa
representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU 3/2022
sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan
perwujudan bersama kota negara Republik Indonesia yang seharusnya
dapat lebih memperluas partisipasi publik.
9. Bahwa partisipasi publik tersebut seharusnya diberikan kesempatan
yang cukup mengakomodir pihak-pihak dari berbagai daerah, terutama
pihak-pihak yang terdampak. Yakni masyarakat Kalimantan terutama
Kalimantan timur sebagai pihak yang lahannya akan dipakai menjadi
lokasi IKN Nusantara, di mana terdapat hak-hak konstitusional
masyarakat Kalimantan terkait Hak atas harta benda yang di
bawah kekuasaannya, hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang
oleh siapa pun, hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Karena hingga saat
69
1. Bahwa dari tahapan yang tergambar dalam tabel di atas yang juga dapat
diakses pada: https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 tahapan pembentukan
UU 3/2022 dari sejak 03 November 2021 sampai dengan 18 Januari 2022
hanya memakan waktu 42 hari. Tahapan ini tergolong sangat cepat untuk
pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat
strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan Partisipasi Publik
yang bermakna sebagaimana telah disyaratkan Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020.
2. Bahwa pembahasan UU 3/2022 yang diam-diam didalilkan dengan metode
Fast Track Legislation, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan
cara cepat oleh pemerintah yaitu: UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi
Undang-Undang, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan
UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3. Bahwa Keempat undang-undang tersebut pula, tidak lama setelah disahkan
langsung menghadapi pengujian konstitusionalitas baik terhadap aspek
formil maupun aspek materil.
4. Bahwa fenomena ini menunjukan bahwa, meskipun UUD 1945 telah
menegaskan dalam hal pembentukan undang-undang dilakukan dengan
lima tahapan proses yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan dan pengundangan. Namun, pada akhirnya tidak menjamin
adanya proses deliberasi yang cukup dan mempertimbangkan aspirasi
73
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Formil sebagai berikut:
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766), tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766), bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” oleh karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex a quo et bono).
Selain itu, para Pemohon mengajukan 2 (dua) orang ahli bernama Prof. Susi
Dwi Harijanti, S.H., LLM., Ph.D., dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang
menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah masing-masing pada 8 Mei
2022 dan 18 Mei 2022, pada pokoknya sebagai berikut:
Ahli Pemohon
1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.
“Without procedures, law and legal institutions would fail in their purposes. And
since law is both necessary and desirable in achieving social goals, procedures are also
necessary and must be seen equal partners in that enterprise”.
federalisme atau pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah; membentuk badan
perwakilan; menentukan akuntabilitas pejabat-pejabat negara dan pemerintah; serta
menciptakan mekanisme pengujian terhadap tindakan- tindakan negara atau pemerintah
yang dilakukan oleh badan pengadilan yang independen.
Berdasarkan uraian di atas, ahli berpendapat bahwa kehadiran Mahkamah
Konstitusi merupakan perwujudan ajaran pembatasan kekuasaan, dan merupakan forum
yang menjadi pranata hukum yang utama bagi setiap warga negara untuk dapat
melakukan kontrol terhadap kebijakan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah melalui
pembentukan undang-undang. Termasuk pada perkara yang saat ini, Yang Mulia Ketua
dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sedang adili, yakni pengujian formil
terhadap UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Para Pemohon dalam perkara
ini menganggap bahwa pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 dilakukan secara terburu-
buru, tidak melibatkan masyarakat secara layak, dan minim tranparansi. Dari 28
(duapuluh delapan) agenda pembahasan, hanya terdapat 7 (tujuh) agenda yang dapat
diakses oleh masyarakat (Berkas Permohonan Perkara No. 25/PUU-XX/2022, hlm 77).
Oleh karena itu, dalam perkara yang teregister dengan Nomor 25/PUU-XX/2022
yakni permohonan pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara terhadap UUD NRI 1945, terdapat tiga pertanyaan yang
diajukan oleh kuasa hukum Pemohon, yang merupakan permasalahan hukum yang akan
ahli jawab secara akademik, namun sebelum menjawab ketiga pertanyaan tersebut,
izinkan Ahli menjelaskan makna dan fungsi penting sebuah ibukota negara. Ahli berharap
Yang Mulia para Hakim Konstitusi dapat menggunakannya untuk mempertimbangkan
dan menilai apakah prosedur perpindahan ibukota yang direfleksikan dalam pembahasan
UU No. 3 Tahun 2022 telah dilakukan dengan wajar dari perspektif makna dan fungsi
ibukota negara.
Pada dasarnya ibukota negara memiliki fungsi khusus dibandingkan kota-kota
lainnya yang ada pada suatu negara. Menurut Vadim Rossman, tugas utama dari ibukota
negara adalah untuk memvisualisasikan dan mempresentasikan bangsa ke seluruh
dunia. Dengan kata lain, ibukota negara mewakili citra ideal dari suatu negara dan
merupakan miniatur dari sebuah negara. Ahli sejarah Andreas W Daum berpendapat
bahwa terdapat empat fungsi ibukota bagi sebuah negara, yakni (1) fungsi administrasi,
(2) fungsi penunjang integrasi bangsa, (3) fungsi simbolisasi bangsa, dan (4) fungsi
pelestarian nilai, budaya, dan sejarah bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut, ibukota
79
negara tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi
pula sebagai menifestasi identitas bangsa.
Menurut Vadim Rossman, agar fungsi ibukota sebagai penunjang integrasi
bangsa dapat terwujud secara optimal, maka ibukota harus dihasilkan melalui kompromi
dari elemen-elemen bangsa yang terdiri dari etnis, agama, dan suku yang berbeda. Hal
tersebut akan membuat ibukota menjadi alat pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang
ada dalam suatu bangsa.
Montesquieu dalam bukunya My Thoughts (Mes Pensées) menggambarkan pula
ibukota sebagai kota yang menciptakan ‘general spirit’ bagi sebuah bangsa. A Sheryev
juga menggambarkan ibukota sebagai wajah dan jantung dari negara. Begitu juga
dengan Shmuel Eisenstadt yang menjelaskan bahwa ibukota semacam layar di mana
bangsa-bangsa akan memroyeksikan citra identitas mereka. Dengan kata lain, ibukota
merupakan tempat dimana bangunan-bangunan yang memuat gambaran nilai sejarah
dan masa depan sebuah bangsa berada. Arti penting inilah yang mencerminkan fungsi
simbolisme dan fungsi penunjang integrasi bangsa pada sebuah ibukota.
Dalam beberapa kasus, dapat dijumpai kondisi di mana ibukota suatu negara tidak
dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibukota tersebut, misalnya ibukota yang lama
dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana
alam, sosial, ataupun serangan militer. Maka dari itu, beberapa negara di dunia
memutuskan untuk memindahkan lokasi ibukotanya dengan harapan libukota baru dapat
lebih baik daripada ibukota sebelumnya.
Namun, Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibukota
dilakukan karena adanya ‘hidden political agendas’, misalnya dalam rangka memperkuat
kekuatan politik suatu rezim. Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political
agendas yang mengkin terjadi yakni: 1) mengasingkan atau memarjinalisasi gerakan
protes, 2) Homogenisasi etnis penduduk Ibukota, dan 3) pemindahan Ibukota ke wilayah
asli penguasa.
Ibukota negara seringkali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan
tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee
menyebut ibukota sebagai “the powder kegs of protest”. Maka dari itu, menurut ahli politik
Jeremy Wallace, pemerintah otoriter akan menggunakan pemindahan ibukota negara
sebagai taktik segregasi dalam rangka mengasingkan gerakan masyarakat sipil yang
awalnya berpusat di ibukota negara yang lama, sehingga menjadi berjarak jauh dengan
pusat pemerintahan yang berada di ibukota yang baru. Hal tersebut pernah terjadi di
80
Perancis pada tahun 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris, Pemerintah
Perancis memindahkan Ibukota sementara ke Versailles untuk menghindari protes.
Begitu pula dengan Myanmar, Pemerintah otoriter disana memindahkan Ibukota Negara
dari Yangon ke Napyidaw karena kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para Biksu
yang kerap memprotes pemerintah.
Agar pemindahan ibukota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan
bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni:
1) Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibukota negara? (Which capital
city location will ensure the highest level of state security?)
2) Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk
mencapai tujuan negara? (Which location will prove, economically and
administratively, the most effective in achieving the state’s goals?)
3) Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat?
(Which location will prove the fairest from the standpoint of different parts and
constituent units of the state?)
4) Lokasi mana yang paling organik, otentik, dan sesuai dengan identitas dan
kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara? (Which location will be the most
organic, authentic and compatible with both the identity and sovereignty of the
nation that the state represents?)
Mengingat fungsi fundamental ibukota negara bagi sebuah bangsa, maka
pertimbangan pemindahan ibukota, lokasi ibukota baru, nama ibukota baru, pendanaan
pemindahan ibukota, dan hal-hal lain yang berkaitan membutuhkan persiapan dan
diskusi komprehensif yang tidak hanya melibatkan cabang kekuasaan eksekutif dengan
alasan bahwa ibukota negara adalah semata-mata urusan pemerintahan saja. Oleh
karenanya, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibukota harus
mencerminkan ‘fundamental decision of a nation’. Hal tersebut juga sebagai bentuk
pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibukota negara yang hanya dilatarbelakangi
oleh hidden political agendas.
Arti penting sebuah ibukota negara dan bagaimana agenda politik yang
berkelindan di sekitarnya menjadikan pemindahan ibukota sebagai isu konstitusional di
berbagai negara. Misalnya, sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan ketika Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan pada tahun 2005 memutuskan rencana perpindahan Ibukota
dari Seoul adalah inkonstitusional. Hakim Konstitusi di Korea Selatan berpendapat bahwa
Seoul sebagai ibukota merupakan constitutional custom yang merupakan bagian dari
81
konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Konstitusi Korea Selatan memang tidak
menyatakan secara tegas bahwa Seoul merupakan Ibukota Korea. Namun, praktek
ketatanegaraan telah mendudukan Seoul sebagai Ibukota Korea bahkan semenjak
Dinasti Joseon. Artinya, Seoul sudah menjadi Ibukota Korea selama 600 tahun lamanya.
Karenanya, Seoul sebagai Ibukota Negara dianggap sebagai constitutional custom oleh
Hakim Konstitusi Korea Selatan, dan karenanya pemindahan ibukota negara harus
berasal dari fundamental decision of the people with respect to the nation.
Hakim Konstitusi Korea Selatan berpendapat karena Seoul sebagai ibukota
merupakan muatan dari konstitusi tidak tertulis, maka pemindahan ibukota seyogyanya
dilakukan dengan amandemen konstitusi. Sesuai dengan Pasal 130 Konstitusi Korea
Selatan, untuk mengubah konstitusi harus dilakukan referendum terlebih dahulu. Selain
melalui amandemen konstitusi secara formal, constitutional custom tersebut dapat hilang
kekuatan hukumnya apabila kehilangan dukungan secara nasional. Namun menurut
Hakim Konstitusi Korea Selatan hal tersebut tidak terjadi dan tidak dapat dikonfirmasi
pada saat itu karena tidak dilaksanakannya referendum atau tidak terjadi gejolak sosial
sama sekali yang menyebabkan ibukota harus dipindahkan. Terlebih lagi proses
pembahasan Undang-Undang terkait pemindahan Ibukota di Korea Selatan hanya
berlangsung selama tiga bulan.
Praktik mendudukan status ibukota sebagai bagian dari problematika
konstitusional juga dapat dijumpai di Brazil. Rencana pemindahan ibukota di Brazil bukan
merupakan keinginan Presiden semata. Pemindahan ibukota di Brazil merupakan
amanat Peraturan Peralihan Konstitusi Brazil 1946. Di dalam Pasal 4 Peraturan Peralihan
Konstitusi Tahun 1946 tersebut diperintahkan bahwa “the capital of the Union shall be
moved to the central highlands”. Setelah berhasil melakukan perpindahan, Ibukota baru
Brazil, yakni Brasillia pun akhirnya diakui melalui Pasal 18 ayat (1) Konstitusi Brazil tahun
1988 yang berbunyi “The federal capital is Brasília”.
Dari praktik di Korea Selatan dan Brazil tersebut, kita dapat memetik pelajaran
bahwa negara-negara tersebut mendudukan ibukota negara sebagai materi muatan dari
konstitusi, baik itu tertulis maupun tidak tertulis karena adanya sebuah kesadaran bahwa
ibukota merupakan identitas bangsa yang fundamental. Akibatnya, keputusan akan
pemindahannya harus benar-benar disepakati oleh seluruh warga negara.
Ahli akan menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh kuasa hukum Pemohon
terkait dengan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagai
berikut:
82
ini penting karena hasil-hasil tersebut menegakkan nilai-nilai sosial, yaitu nilai yang
secara inheren melekat pada hukum substantif dan nilai yang relatif stabil melalui
penerapan hukum yang teratur dan konsisten.
Berkenaan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang melibatkan
partisipasi masyarakat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Paragraf [3.17.8] menyatakan:
“Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan
perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna
(meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan
publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna
tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk
didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan
penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang
terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan
undang- undang yang sedang dibahas”.
Meskipun ‘parameter yang komplet partisipasi yang lebih bermakna tersebut tidak
ditemukan dalam pertimbangan Nomor 91’, izinkan ahli untuk menyampaikan bagaimana
Mahkamah Konstitusi dari negara-negara demokratis lainnya menilai pelaksanaan
partisipasi publik yang layak dalam rangka pembentukan undang-undang. Seyogyanya
praktik-praktik tersebut dapat menjadi instrumen untuk menilai apakah pembentukan
undang-undang dalam perkara a quo telah memenuhi kriteria minimal partisipasi pubik
yang layak sebagaimana persepsi negara demokratis lainnya. Negara pertama adalah
Kolombia dalam perkara Value Added Tax pada tahun 2003. Mahkamah Konstitusi
Kolombia membatalkan undang-undang reformasi perpajakan karena meskipun
memenuhi prosedur pembentukan undang-undang yang diatur di dalam undang-undang
dasar, namun prosedur tersebut ditempuh tanpa menyertakan partisipasi publik yang
memadai. Mahkamah Konstitusi Kolombia menyatakan bahwa pada dasarnya undang-
undang merupakan produk yang memiliki sifat coercive, karenanya dapat berdampak
pada dibatasinya hak-hak warga negara, sehingga pembahasan dan partisipasi publik
yang memadai menjadi penting untuk mengidentifikasi ruang lingkup pembatasan,
implikasi terhadap kelompok yang paling rentan, dan siginifikansinya terhadap prinsip-
prinsip dasar konstitusi.
85
Kedua adalah praktik di Afrika Selatan yang juga mencerminkan cara pandang yang
serupa. Di dalam perkara Doctors for life pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan menyatakan bahwa jaminan atas hak berpartisipasi dari masyarakat untuk dapat
terlibat dalam penentuan kebijakan, pembentukan undang-undang, dan berbagai
mekanisme pengambilan keputusan lainnya di pemerintahan, merupakan manifestasi
ajaran demokrasi partisipatif. Oleh karena itu, pemenuhannya harus dilakukan secara
layak dengan membuka semua akses yang memungkinkan bagi masyarakat terlibat
secara aktif. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan mengembangkan
doktrin ‘meaningful involvement test’ untuk menguji, apakah lembaga legislatif telah
menempuh langkah-langkah yang layak dalam memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara efektif di dalam proses pembentukan
undang-undang. ‘Meaningful involvement test’ yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
Afrika Selatan dilakukan dengan cara menguji prosedur yang disediakan oleh legislatif
terhadap dua pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Apakah kewajiban untuk membuka partisipasi bagi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang telah dijamin secara normatif?
2. Apakah lembaga legislatif telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk
memastikan masyarakat memiliki kesempatan atau kemampuan untuk menggunakan
mekanisme partisipasi yang diberikan?
Mekanisme partisipasi yang layak menurut Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
dapat berbentuk ‘road show’, ‘regional workshop’, termasuk publikasi melalui berbagai
media yang bertujuan mengedukasi dan memberikan informasi kepada masyarakat,
mengenai berbagai cara yang dapat ditempuh untuk dapat mempengaruhi keputusan
legislatif.
Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi di negara-negara yang ahli sebutkan,
sebenarnya pernah pula dipraktikan oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia di dalam
praktik judicial review, yakni dalam Perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di
dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa partisipasi atau ‘memperhatikan
pendapat masyarakat’, tidak dapat dilakukan sebatas memenuhi ketentuan formal
prosedural. Mahkamah menyatakan bahwa tujuan utama partisipasi adalah untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara.
Mahkamah Konstitusi juga menghendaki bahwa partisipasi harus dilakukan secara
dialogis dimana warga negara diberikan hak untuk didengar dan dipertimbangkan (right
86
to be heard and to be considered), bersifat terbuka, dan dilakukan dengan bahasa atau
penyampaian yang mudah.
Bahkan di dalam Putusan terbaru mengenai pengujian formil, yakni pengujian
terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-
undang tersebut inkonstitusional bersyarat karena tidak memenuhi aspek partisipasi
publik yang layak dan tidak memenuhi kaidah-kaidah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik menurut undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Apabila ahli menganalisis prosedur pembahasan UU No. 3 Tahun 2022 yang
dimulai dari tanggal 3 November 2021 hingga 18 Januari 2022, dalam batas penalaran
yang wajar, pelaksanaan hak-hak prosedural yang terdiri dari hak untuk didengar, hak
untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan sebagaimana diuraikan di
atas, akan sangat sulit dipenuhi, dengan argumentasi sebagai berikut:
Pertama; dari aspek narasumber yang diundang, pembentuk UU No. 3 Tahun
2022 telah gagal untuk meyakinkan masyarakat bahwa partisipasi publik tersebut
terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau
memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Suharso Monoarfa menyebutkan
sejumlah kegiatan yang diklaim sebagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:
1. Rangkaian dialog nasional pemindahan ibu kota negara, 16 Mei 2019, 26 Juli
2019, 1 Agustus 2019, 21 Agustus 2019, 16 September 2019, 2 Oktober 2019, 25
Februari 2020.
2. Lokakarya penerapan omnibus law dalam pelaksanaan kebijakan pemindahan ibu
kota negara pada tanggal 29 November 2019.
3. Konsultasi publik, draf naskah akademik, dan rancangan Undang‐Undang IKN
pada tanggal 7 Februari 2020.
4. Konsultasi publik draf kedua, bersama Kementerian Lembaga dan Pemda di
Kalimantan Timur, pada tanggal 7 Februari tahun 2020.
5. Konsultasi publik dengan Universitas Negeri Manado pada tanggal 17 Desember
2021 di Manado, Sulawesi Utara. Konsultasi publik ini sebagai perwujudan
keterbukaan informasi bagi daerah Timur Indonesia.
6. Konsultasi publik kerjasama dengan Universitas Indonesia pada tanggal 21
Desember 2021 di auditorium Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Sejumlah narasumber yang diundang oleh DPR untuk memberikan masukan
dalam RDPU mulai dari tanggal 8 Desember hingga 12 Desember 2022 sulit pula
87
dikategorikan sebagai kelompok yang terdampak. Dari masyarakat adat hanya diundang
1 yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jika dibaca Putusan Mahkamah Konstitusi,
pihak yang terdampak diletakkan pada urutan pertama, dan hal ini berarti mereka yang
lebih diutamakan. Apakah para pakar dapat dikelompokkan sebagai mereka yang
memiliki concern atau perhatian terhadap rancangan undang-undang yang sedang
dibahas? Ataukah mereka diundang untuk memberikan masukan dalam rangka mencari
alternatif penyelesaian terhadap usulan yang disampaikan oleh pihak yang terdampak?
Kedua; penggunaan platform digital berupa website dan youtube yang lebih
banyak digunakan sebagai penyebarluasan informasi. Hak-hak prosedural
membutuhkan lebih dari sekedar mengunggah di website ataupun di kanal youtube.
Untuk sebuah rancangan undang-undang yang bersifat rumit dan kontroversial,
masyarakat haruslah diberi kesempatan untuk memberikan masukan, kritik, dan bahkan
proposal, yang kesemuanya harus direspon secara memadai oleh pembentuk undang-
undang. Bahkan untuk rancangan undang-undang semacam ini, proses perdebatan di
badan perwakilan tidak boleh diakselerasi.
Ketiga; dalam perdebatan di DPR perlu diperhatikan relasi antara mayoritas dan
“oposisi”. Misalnya, apakah para narasumber diajukan oleh mereka yang berasal dari
mayoritas, ataukah pihak oposisi diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan
narasumber?
Terlepas dari ketiadaan elemen hak-hak prosedural dalam pembentukan undang-
undang sebagimana diargumentasikan oleh pihak DPR, namun hal tersebut tidak dapat
dijadikan alasan untuk tidak menemukan standar-standar hukum yang digunakan untuk
memastikan partisipasi yang layak. Tidak sekedar memasukkan materi-materi sebagai
hasil dari hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak mendapatkan
penjelasan dalam bentuk pengayaan DIM yang telah dibuat oleh fraksi-fraksi, melainkan
menyampaikan pula kepada mereka yang telah memberikan usulan, kritik, atau proposal
perubahan. Apalagi jika rapat-rapat pembahasan banyak yang bersifat tertutup atau lebih
banyak melakukan lobby-lobby politik yang sudah barang tentu tidak dapat dihadiri oleh
masyarakat.
pendapat yang diberikan (right to be explained) yang dimiliki masyarakat akan berpotensi
terlanggar dan menghilangkan kesempatan warga negara untuk mengomunikasikan
kepentingan-kepentingan mereka.
Maka dari itu sejatinya proses harmonisasi perlu dilaksanakan dengan melibatkan
partisipasi publik yang layak, dan tidak dilaksanakan dengan waktu yang singkat dan
tergesa-gesa. Hal ini sejalan dengan pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa
salah satu cara melakukan harmonisasi adalah mendengar pendapat publik, disamping
cara-cara lainnya, seperti adanya perencanaan, program, pendapat ahli, dan
menerapkan asas kehati-hatian.1 Proses harmonisasi yang dilakukan oleh pembentuk
undang-undang dilaksanakan secara transparan kepada publik, dan publik diberikan
kesempatan pula untuk memberikan pendapatnya, sehingga partisipasi yang dialogis
dapat tercipta sehingga dapat menghasilkan undang-undang berkualitas dan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat.
PENUTUP
Perkara ini menjadi penting sebagai pembelajaran kita dalam bernegara, termasuk
untuk meneguhkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebagai The Supreme Law of The
Land, salah satunya fungsi dan tujuannya adalah untuk membatasi kekuasaan
pembentuk undang-undang. Dengan demikian, di dalam ajaran supremasi konstitusi,
berbagai ketentuan prosedural yang mengatur mengenai pembentukan hukum
merupakan bagian yang materil dari sebuah konstitusi dan bertujuan untuk menciptakan
‘parliamentary constraint’, mencipatakan ‘the limited governement’, dan menjamin
demokrasi dijalankan sesuai dengan konstitusi.
Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, ada begitu banyak
asas-asas yang harus dipatuhi dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-
undangan. I.C. van der Vlies (1987), membagi asas-asas pembentukan peraturan negara
yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam dua bentuk, yaitu asas
formil dan materil. Adapun asas-asas formal dalam pembentukan peraturan perundang
– undangan meliputi:
1) asas terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminology en duidelijke systematiek);
(fatsoen), walaupun tidak dapat dinyatakan seberapa jauh suatu asas-asas melampaui
norma kepatutan.
Dalam permohonan pengujian formil UU IKN yang diajukan di Mahkamah Konstitusi, para
pemohon telah menguraikan fakta-fakta hukum yang menjadi dasar pengujian
konstitusionalitasnya, bahwa proses pembentukan UU IKN telah melanggar beberapa
asas principles of good regulatory practice, di antaranya; bertentangan asas kejelasan
tujuan; asas kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan; asas dapat
dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; dan asas keterbukaan. Asas
keterbukaan misalnya, DPR dan Pemerintah secara jelas mengabaikan asas ini. Padahal
ketentuan Pasal 89 UU No. 12 Tahun 2011, sebagaimana diubah dengan UU No. 15
Tahun 2019, mewajibkan bagi DPR dan Pemerintah agar melakukan penyebarluasan
terhadap suatu RUU untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Asas lain yang secara jelas dilanggar oleh DPR dan Pemerintah ialah asas partisipasi
masyarakat (public). Asas partisipasi publik merupakan salah satu pilar utama dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. DPR dan Pemerintah
berkewajiban untuk menfasilitasi dan/atau mendengarkan masukan partisipasi publik
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewajiban konstitusional
ini diatur dalam ketentuan Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, telah diubah dengan
UU No. 15 Tahun 2019, menyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Penyampaian partisipasi masyarakat tersebut dilakukan melalui; a) rapat dengar
pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau, d) seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi.
97
2. Verification of the need for new regulation: only those that are affected by
the regulation can help the state administration to detect concrete challenges
and needs. Inclusive process can either confirm the need for proposed
solutions, or reject them and helps to find better ones.
Perlu dipahami bahwa keterlibatan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-
undang (maupun pembuatan kebijakan) merupakan kewajiban konstitusional bagi
legislatif (bersama pemerintah). Kewajiban konstitusional ini tersirat dalam ketentuan
98
Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Partisipasi publik
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hak-hak
konstitusional yang dijamin oleh konstitusi, di mana para pembentuk undang-undang
berkewajiban (wajib hukumnya) untuk memfasilitasi keterlibatan publik dalam setiap
proses legislasi. Pengabaian terhadap kewajiban tersebut merupakan pelanggaran
konstitusional dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sehubungan peran dan pelibatan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-
undang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-
XVIII/2020, perkara Pengujian Formil UU 11/2020, menyatakan bahwa masalah lain yang
harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah
partisipasi masyarakat (termasuk asas keterbukaan). Lebih lanjut, putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut menyatakan bahwa;
Lebih lanjut, masih dalam konteks Afrika Selatan. Kewajiban untuk memfasilitasi dan/atau
mendengarkan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang dapat juga
dilihat dalam perkara Matatiele Municipality v President of the Republic of South Africa
tahun 2006. Dalam perkara ini Parlemen mengadopsi the Twelfth Amendment of 2005
dan the Cross-Boundary Municipalities Laws Repeal and Related Matters Act 23 of 2005
to alter boundaries of KwaZulu-Natal and the Eastern Cape. Undang-undang ini
merupakan undang-undang pemindahan Kotamadya Matatiele dari Provinsi KwaZulu-
Nata ke provinsi Eastern Cape. Pengujian konstitusionalitas undang-undang tersebut
masih menyangkut masalah partisipasi publik, di mana para pembentuk undang-undang
mendemarkasi ulang Kotamadya Matatiele dan memindahkannya tanpa berkonsultasi
dengan orang-orang yang terkena dampak.
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembentukan undang-undang. Artinya,
setiap undang-undang yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik merupakan suatu
pelanggaran terhadap kewajiban konstitusional para pembentuk undang-undang.
Karenanya, setiap undang-undang yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik
(minim partisipasi publik) dapat dinyatakan inkostitusional (inkonstitusional
prosedural/cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi.
Seperti halnya di Afrika Selatan, peran serta masyarakat (partisipasi publik) dalam proses
penyusunan dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan juga diadopsi di
Indonesia, sebagaimana telah diatur secara khusus dalam undang-undang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut
“mewajibkan” (wajib hukumnya) bagi para pembentuk undang-undang
(parlemen/legislatif) untuk menfasilitasi dan/atau mendengarkan partisipasi publik dalam
proses penyusunan suatu rancangan undang-undang. Kewajiban tersebut bukan hanya
sekedar kewajiban biasa yang tidak memiliki implikasi hukum. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut memiliki implikasi konstitusionalitas terhadap suatu undang-undang,
dalam artian undang-undang tersebut menjadi inkonstitusional, sebagaimana ketentuan
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, dikatakan bahwa:
Ayat (2): “Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b.
kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi”.
Pelibatan peran serta masyarakat (partisipasi publik) dalam proses penyususan dan/atau
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah salah satu prasyarat
yang “wajib” dipenuhi dan dilakukan oleh para pembentuk undang-undang. Apabila
proses pembentukan suatu rancangan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik
(minus partisipasi dari rakyat) maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan
inkonstitusional.
101
Dalam konsep hukum tata negara modern, ruang lingkup dan batasan konstitusionalitas
suatu undang-undang tidak lagi dilihat dari aspek formil dan materilnya. Pendekatan
konstitusionalisme dapat digunakan untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-
undang. Meminjam konsep Adam N. Steinman, yang mengkaji tentang pembentukan
atau pembuatan hukum oleh lembaga judicial (hakim). Bahwa putusan-putusan lembaga
judicial (hakim) yang sifatnya membentuk atau membuat hukum dapat dinilai
konstitusionalitasnya. Walaupun terdapat perdebatan apakah lembaga judicial (hakim)
menemukan hukum atau membuat hukum. Bagi penganut aliran legal formalism meyakini
bahwa hakim menemukan hukum, sedangkan aliran legal realism berpandangan bahwa
hakim membentuk atau membuat hukum. Terlepas dari perdebatan dan perbedaan
pandangan dari kedua aliran hukum tersebut, ada konsep menarik dari Adam N.
Steinman sehubungan dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan pengujian
102
Adam N. Steinman menjelaskan bahwa pembentukan hukum oleh badan legislatif dan
judicial (hakim) memiliki perbedaan fundamental, dimana badan legislatif terbatas pada
batasan konstitusional prosedural dan substantif, sedangkan pembentukan hukum oleh
lembaga judicial (hakim) melalui putusan tidak memiliki batasan konstitusional. Padahal
pembentukan hukum oleh lembaga judicial melalui putusannya bersifat mengikat dan
dapat berlaku selamanya. Menurut, Adam N. Steinman, menjelaskan bahwa pembuatan
atau pembentukan hukum oleh lembaga judicial haruslah juga dinilai
konstitusionalitasnya dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional. Artinya, ada
pendekatan nilai-nilai konstitusional yang dapat digunakan untuk menilai
konstitusionalitas suatu undang-undang.
relying on the intentions of framers and ratifiers of the constitutions); (2) textual – looking
to the meaning of the words of the constitution alone, as they would be interpreted by the
average contemporary man on the street); (3) structural – inferring rules from the
relationship that the constitution mandates among the structure it sets up); (4) doctrinal –
applying rules generated by precedent); (5) ethical – deriving rules from those moral
commitments of American (Indonesian) ethos that are reflected in the constitution); dan,
(6) prudential – seeking to balance the costs and benefits of a particular rule).
Ketiga, legal process, - teori ini menekankan pada kompetensi institusional lembaga
pembuat undang-undang; Mazhab hukum ini berusaha untuk menganalisis peran khusus
yang diberikan secara politis kepada pembentuk undang-undang, apakah ruang lingkup
batas-batas konstitusional dari proses pembentukan undang-undang telah dijalankan
sebagaimana yang diartikulasikan dalam konstitusi, Undang-Undang tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun prinsip-prinsip pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik (principles of good regulatory practice).
Keempat, positivism, - prinsip dasar dari positivisme hukum (doktrin Austin & Bentham)
adalah apa yang dianggap sebagai hukum dalam masyarakat pada dasarnya merupakan
masalah fakta sosial. Oleh karena itu, positivisme berfokus pada aturan “pengakuan
masyarakat” (partisipasi publik) untuk mengidentifikasi tindakan pembentuk hukum
(undang-undang) yang sah. Konstitusionalisme dalam banyak hal merupakan konsep
positivistik sebab berupaya mengidentifikasi aturan yang mengatur bagaimana hukum
(undang-undang) itu dibuat.
Kelima, Critical Legal Studies (CLS), - aliran hukum ini sangat populer di bidang ilmu
hukum. Kritik utama mazhab hukum ini ialah bahwa tidak ada prinsip hukum yang benar-
benar netral. Bahwa pembentuk undang-undang bertindak berdasarkan prinsip-prinsip
yang tidak netral seperti, alasan politik, ideologis, ekonomi, dan lain-lain. Walaupun, para
pembentuk undang-undang berada dalam keadaan tidak netral tidaklah menjadi masalah
selama mereka bertindak berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional, nilai-nilai
konstitusional, dan moralitas konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang.
tersebut merupakan nilai-nilai yang hidup di dalam konstitusi itu sendiri. Dalam konsep
konstitusionalisme memberikan seperangkat nilai dan prinsip, dan inti dari nilai dan
prinsip tersebut adalah supremasi hukum. Pada prinsipnya, konstitusionalisme
mewujudkan banyak nilai, sebagaimana dalam pandangan Geraldine Fraser Moleketi,
menjelaskan bahwa: “Constitutionalism” embodies values such as voice, participation,
representation, non-discrimination, transparency, accountability, the rule of law,
separation of powers, judicial independence, and human rights, including the right to
effective remedies, to enumerate but a few.
Selain melanggar principles of good regulatory practice, cacat formil, dan tidak membuka
ruang partisipasi publik, ternyata proses pembentukan UU IKN tersebut juga
mengabaikan substansi materi muatan yang diatur di dalamnya. Sehingga proses
pembentukan UU IKN tersebut dapat dikatakan tidak melalui proses kajian yang
mendalam dan komprehensif dengan melibatkan banyak pakar yang berkaitan dengan
substansi dan materi muatan yang akan diatur.
Penggunaan istilah fast track legislation kuranglah tepat untuk menggambarkan proses
pembentukan UU IKN. Istilah yang tepat disematkan terhadap proses pembentukan UU
IKN tersebut ialah bypass law-making procedures. Kesan sangat “terburu-buru” dan
“ugal-ugalan” terlihat jelas dalam proses pembentukannya. Sebagaimana kita ketahui
bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut
soal pembahasan dan pengesahan saja. Namun, pembentukan peraturan perundang-
undangan memiliki serangkaian proses prosedural yang “sakral” yang harus dipenuhi
dalam setiap proses tahapannya. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan
membutuhkan waktu yang cukup panjang dimulai dari tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Tiap-tiap
tahapan dalam proses tersebut terdapat serangkaian proses (prosedural) yang harus
dijalankan. Apabila salah satu proses dari tiap-tiap tahapan tersebut tidak dijalankan oleh
DPR (bersama Pemerintah), maka pembentukan undang-undang tersebut dapat
dikatakan cacat formil atau inkonstitutional procedure.
106
Menurut Kamus the Law Dictionary, abuse of process ialah “Legal action that is regarded
by the courts as misuse or even abuse of the legal process”. Artinya, Tindakan hukum
yang oleh pengadilan dianggap sebagai penyalahgunaan atau bahkan penyalahgunaan
proses hukum. Lebih lanjut, dalam Black’s Law Dictionary, dijelaskan bahwa konsep
abuse of process adalah “The improper and tortious use of a legitimately issued court
process to obtain a result that is either unlawful or beyond the process's scope. Also
termed abuse of legal process; malicious abuse of process; malicious abuse of legal
process; wrongful process; wrongful process of law”. Singkatnya, penyalahgunaan
proses (abuse of process) merupakan suatu kesalahan yang dilakukan secara sengaja
tanpa mengikuti prosedural hukum untuk tujuan tertentu.
ini ialah UU IKN. Proses legislasi yang dilakukan oleh DPR (parlemen) nampaknya telah
kehilangan nilai moralitas dan etika konstitusionalnya dalam proses penyusunan UU IKN.
Hal ini terlihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran prosedural
(termasuk juga substansi) dalam proses pembentukannya. Prinsip supremasi hukum dan
partisipasi publik telah disimpangi. Padahal kerangka hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan sudah mensyaratkan secara tegas agar pembentuk undang-
undang melaksanakan prosedur yang benar secara hukum dalam menyusun suatu
rancangan undang-undang.
Berkaca dari pengujian UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh
Mahkamah Konstitusi adalah “bukti nyata” buruknya proses legislasi yang dilakukan
secara “terburu-buru”. Selain prosesnya yang tidak demokratis, juga terdapat begitu
banyak penyimpangan atau pelanggaran dalam prosesnya, baik prosedur maupun
substansinya.
Apabila melihat proses tahapan pembentukan UU IKN yang sifatnya bypass law-making
process, di mana DPR dan Pemerintah secara jelas dan tegas melanggar kewajiban
konstitusionalnya dalam aspek prosedural seperti melakukan penyebarluasaan informasi
(asas keterbukaan) UU IKN, dan tidak membuka ruang partisipasi publik terhadap UU
IKN. Maka, dapat disimpulkan bahwa DPR dan Pemerintah melakukan praktik abuse of
the legislation process dan/atau penyimpangan prosedural dalam proses pembentukan
108
UU IKN, sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan hukum untuk menyatakan UU IKN
tersebut inkonstitusional (inkonstitusional prosedural).
4) Kesimpulan
- Dalam Perkara 25
a. Dalam proses pembentukan UU IKN tersebut dilakukan dengan begitu cepat
dan cenderung tergesa-gesa sehingga tidak membuka ruang partisipasi publik
secara maksimal;
b. Tidak dilibatkannya Para Pemohon untuk berpartisipasi (memberikan saran
dan masukan) dalam proses pembentukan UU IKN;
c. Naskah akademik RUU IKN tidak menuangkan nilai-nilai historis dan filosofis;
dan
d. Pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kejelasan tujuan, asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan
materi muatan, asas dapat dilaksanakan dan asas keterbukaan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan (vide Perbaikan Permohonan
hlm. 17-81).
- Dalam Perkara 34
a. Tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak
untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan
(right to be explained) (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14); dan
b. Lampiran II UU 3/2022 tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah
dibahas serta tidak tersedia pada saat persetujuan bersama (vide Perbaikan
Permohonan hlm. 28).
Para Pemohon beranggapan bahwa proses pembentukan UU IKN berpotensi
melanggar hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 1
ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, yang selengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.”
110
menjadi batu uji, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal
22A, namun Para Pemohon Perkara 25 sama sekali tidak menguraikan
dalam positanya hubungan pertautan antara hak konstitusionalnya yang
dirugikan berdasarkan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan
proses pembentukan UU a quo yang dianggap oleh Para Pemohon Perkara
25 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi dasar pengujian formil UU a quo, DPR
menerangkan bahwa:
a. Batu uji dalam pengujian formil hanya terbatas pada ketentuan yang
mengatur kewenangan dan prosedur dibentuknya undang-undang
dalam UUD NRI Tahun 1945, yang secara konstitusional dapat diuji
terhadap:
1) Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pembentukan undang-
undang harus tetap berdasarkan pada konsep negara hukum;
2) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dalam
hal kewenangan pengajuan RUU;
3) Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pembentukan undang-
undang harus dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan Bersama;
4) Pasal 20 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, jika rancangan undang-
undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu 6 tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu;
5) Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang; dan
6) Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
b. Sehingga pasal batu uji yang didalikan Para Pemohon Perkara 34
sebagaimana terlampir dalam permohonan a quo hlm. 10 poin 6 adalah
tidak tepat. Meskipun demikian DPR menerangkan bahwa, hak Para
Pemohon tersebut atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945. Pembentukan undang-undang a quo justru ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia juga untuk mewujudkan
Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan
117
kesenjangan ekonomi Jawa dan luar Jawa. Selain itu, terdapat hasil kajian
yang menyimpulkan bahwa Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban
peran sebagai Ibu Kota Negara. Hal itu diakibatkan oleh pesatnya
pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi
lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Oleh
karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat
mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan
pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur
Indonesia. Penyusunan UU IKN menjadi dasar pengaturan yang dapat
memenuhi harapan atas suatu bentuk Ibu Kota Negara yang ideal dan
sebagai acuan bagi pembangunan dan penataan kawasan perkotaan lainnya
di Indonesia (vide Penjelasan Umum UU IKN).
3. Bahwa UU IKN tidak mengatur mengenai keuangan negara sehingga dalil
Para Pemohon sebagai tax payer tidak tepat apabila digunakan sebagai
dasar pengujian UU IKN di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Para Pemohon
juga tidak menguraikan secara spesifik dan aktual adanya kerugian
konstitusional yang dialami atas berlakunya UU a quo.
4. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara
digunakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk
mencapai tujuan bernegara. Sehingga, pembangunan Ibu Kota Negara yang
merupakan salah satu dari kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan
sudah jelas dibiayai dengan anggaran yang bersumber salah satunya APBN.
Selain bersumber dari APBN, pendanaan dalam rangka mendukung
persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan
pemerintah khusus IKN juga bersumber dari skema kerja sama pemerintah
dan badan usaha, skema partisipasi badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki negara termasuk BUMN/swasta murni, skema
dukungan pendanaan/pembiayaan internasional, skema pendanaan lainnya
(creative financing), dan skema melalui pemanfaatan Barang Milik Negara
(BMN), seperti sewa, kerja sama pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS),
dan Bangun Serah Guna (BSG) (vide Lampiran II UU IKN hlm. 123-124).
Dengan demikian, penggunaan APBN sebagai salah satu sumber
pendanaan dalam rangka mendukung persiapan, pembangunan, dan
120
Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) UU Pembentukan PUU tersebut maka hal-
hal diluar pengaturan tersebut sudah sepatutnya dipertimbangkan oleh
pembentuk undang-undang untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan
teknis. Dalam pembahasan UU a quo, materi muatan yang didelegasikan
tersebut tentu saja sebagai suatu hasil kesepakatan oleh pembentuk
undang-undang pada saat pembahasan. Selain itu, Lampiran Nomor 198
sampai dengan 200 UU Pembentukan PUU juga tidak memberikan
larangan atau kriteria khusus mengenai hal-hal apa saja yang dapat
didelegasikan, artinya hal ini memberikan keleluasaan bagi pembentuk
undang-undang terkait dengan materi muatan apa saja yang dapat
didelegasikan selama menyebut dengan tegas ruang lingkup materi
muatan dan jenis peraturan perundang-undangan yang akan diberikan
delegasi. Pembentuk undang-undang dalam menyusun suatu undang-
undang tentunya memahami mana hal-hal yang perlu diatur dalam
tingkatan undang-undang dan mana yang dipandang tepat untuk diatur
dalam peraturan turunan. Sehingga, apabila terdapat materi muatan di
dalam UU IKN yang mendelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksana maka sudah sepatutnya dipahami bahwa ketentuan
tersebut merupakan hal-hal yang bersifat teknis sehingga dipandang tepat
untuk diatur dalam peraturan turunannya. Dengan demikian,
pembentukan UU IKN telah selaras dengan asas Kesesuaian antara
Jenis, Hierarki dan Materi Muatan dan dalil Para Pemohon Perkara 25
tersebut patut dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
4. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa
pemindahan Ibu Kota Negara telah bertentangan dengan asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan karena adanya pemborosan anggaran
(vide Perbaikan Permohonan hlm. 66), DPR memberikan keterangan
sebagai berikut:
a. Bahwa pembangunan Ibu Kota Negara yang merupakan salah satu dari
kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan sudah jelas dibiayai
dengan anggaran yang bersumber salah satunya APBN. Selain
bersumber dari APBN, pendanaan dalam rangka mendukung
130
UU+IKN+Sebagai+Landasan+Hukum+Ibu+Kota+Baru). Sehingga,
pembentukan UU IKN tersebut telah selaras dengan asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan.
5. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa
pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas keterbukaan karena
minimnya keterlibatan partisipasi publik (vide Perbaikan Permohonan hlm.
77 angka 8), DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
a. Pasal 96 UU Pembentukan PUU mengatur tentang partisipasi
masyarakat, yang selengkapnya sebagai berikut:
(1) “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
1) Tahap Perencanaan
DPR menerangkan dan menegaskan bahwa RUU IKN telah masuk
mulai sejak Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024 dan setiap
tahunnya selalu masuk dalam Prolegnas Prioritas dengan perincian
sebagai berikut:
• Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024 pada urutan ke-131
berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-
2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Tahun 2020-2024 (Ditetapkan tanggal 17 Desember 2019)
(vide Lampiran 1);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada urutan ke-46 berdasarkan
Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2020 (Ditetapkan tanggal 22 Januari 2020) (vide Lampiran 2);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2021 pada urutan ke-28 berdasarkan
Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Perubahan Tahun 2020-2024 (Ditetapkan tanggal 23 Maret
2021) (vide Lampiran 3);
137
2) Tahap Penyusunan
RUU IKN merupakan usul Presiden, sehingga penyusunan RUU dan
Naskah Akademik dilakukan oleh Pemerintah.
3) Tahap Pembahasan
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota).
139
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota).
4. Jumat, 10 Desember RDPU dan Audiensi Menghimpun masukan-
2021 Pansus RUU tentang Ibu masukan dari 3 pakar dan 2
pukul 19.30 WIB Kota Negara aliansi masyarakat:
– selesai (Rapat bersifat Terbuka) 1. Mukti Ali, Ph.D.
(vide Lampiran 23) (Perspektif Perencanaan
Wilayah dan GIS)
2. Dr. Master P. Tumanggor
(Perspektif Ekonomi)
3. Bapak Robert Endi
Jaweng (Perspektif
Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal
serta Pengalihan Aset)
4. Dr. Suharyono S.
Hadiningrat (Ketua
Umum Lembaga Kajian
Strategis – Inspirasi
Merah Putih Indonesia)
5. Mohammad Djailani,
S.E., M.B.A. (Ketua
Umum Aliansi Pimpinan
Ormas Daerah (AORDA)
140
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
5. Sabtu, 11 Desember RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 4 pakar:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Prof. Satya Arinanto,
– selesai S.H., M.H. (Perspektif
(vide Lampiran 29) Hukum Tata Negara)
2. Dr. Chazali H.
Situmorang (Perspektif
Kebijakan Publik)
3. Dr. Aminudin Kasim,
S.H., M.H., (Perspektif
Kelembagaan Negara)
4. Dr. Pratama
Dahlian Persadha
(Perspektif Teknologi
Informasi)
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
6. Minggu, 12 RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
Desember 2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 7 pakar:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Prof. Maria S.W.
– selesai Soemardjono, S.H.,
(vide Lampiran 34) MCL., M.P.A (Perspektif
Pertanahan/Agraria)
2. Prof. Haryo Winarso,
M.Eng., Ph.D.
didampingi Dr. Ir. Denny
Zulkaidi M.U.P.
(Perspektif Kelembagaan
dan Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)
3. Prof. Arief Anshory Yusuf
S.E., M.Sc., Ph.D
(Perspektif Ekonomi dan
Pembangunan)
4. Ananda B. Kusumah
(Perspektif Kelembagaan
dan Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)
5. Dr. Yayat Supriatna,
M.S.P. (Perspektif Tata
Ruang dan Agraria)
6. Dr. Trubus
141
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
6. Senin, 13 Rapat Intern Pansus Penetapan Pimpinan dan
Desember 2021 RUU tentang Ibu Kota Anggota Panja RUU tentang
pukul 10.30 WIB Negara Ibu Kota Negara
– selesai (Rapat bersifat Terbuka)
(vide Lampiran 40) Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota)
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota);
- Perwakilan Pemerintah (5
Kementerian sesuai Surat
Presiden) beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
pukul 15.00 WIB Rapat Panja RUU Pembahasan DIM
– selesai tentang Ibu Kota Negara Substansi dan Redaksional
(vide Lampiran 43) (Rapat bersifat Terbuka) (29 DIM)
DIM 1,2, 3, dst.
Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan Pemerintah
beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
7. Selasa, 14 Rapat Panja RUU Pembahasan DIM Substansi
Desember 2021 tentang Ibu Kota Negara dan Redaksional Mulai DIM
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) nomor 35
142
11. 2-5 Januari 2022 Jadwal acara dan Daftar Berisi jadwal kegiatan dan
(vide Lampiran 49) Tim Kunjungan Kerja daftar nama Tim Pansus
Luar Negeri Pansus RUU RUU IKN yang melakukan
IKN ke Kazakhtan kunjungan kerja ke
Kazakhtan dari 2-5 Januari
2022
12. Kamis, 6 Januari 2022 Rapat Tim Perumus Rapat dibuka dan dipimpin
Pukul 14.00 – 16.00 oleh Ketua Tim
WIB R. Rapat Pansus B Perumus/Wakil Ketua
(vide Lampiran 50) (Rapat bersifat Tertutup) Pansus Saan Mustopa.
Undangan:
- Anggota Tim Perumus
(11 orang Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
14. Selasa, 11 Januari 2022 Rapat Tim Perumus Penjelasan Pemerintah dan
Pukul 14.00 – 17.00 R. Rapat Pansus B penyerahan draf hasil
WIB (Rapat bersifat Terbuka) penyempurnaan rumusan
(vide Lampiran 54) Undangan:
- Anggota Tim Perumus
(11 orang Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
15. Selasa, 11 Januari 2022 Kunjungan ke Konsultasi Publik dengan
(vide Lampiran 55) Universitas Mulawarman Civitas Akademika dan
Universitas se-Kalimantan
Timur
16. Rabu, 12 Januari 2022 Rapat Panja Pembahasan Laporan Tim
Pukul 14.00 – 22.30 (Rapat bersifat Perumus dan Tim
WIB Tertutup) Sinkronisasi kepada Panja
(vide Lampiran 56)
Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
144
Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
19. Jumat-Sabtu 14-15 Kunjungan Kerja Ke 1. Peninjauan Lokasi IKN
Januari Kalimantan Timur Via Udara;
2022 2. Pertemuan LSM dan
(vide Lampiran 61) tokoh masyarakat ;
3. Pertemuan oleh Wakil
Gubernur, Bupati Kutai
Kartenegara, Bupati
PPU.
Agenda:
1. Laporan Panja ke Pansus,
2. Pendapat Akhir Mini
Fraksi- Fraksi,
3. Pendapat DPR RI,
4. Pengambilan Keputusan,
5. Penandatanganan
Naskah RUU,
6. Sambutan Pemerintah.
22. Selasa, 18 Januari 2022 Rapat Paripurna
Pukul 10.00 Penetapan RUU tentang
(vide Lampiran 64) Ibu Kota Negara
menjadi UU
Pembicaraan Tk II
4) Tahap Pengesahan/Penetapan
Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna tanggal 18 Januari 2022, RUU
IKN disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Februari 2022.
146
5) Tahap Pengundangan
Pada tanggal yang sama dengan pengesahan UU IKN diundangkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41.
yang dilakukan oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (2) UU
Pembentukan PUU, yaitu kunjungan kerja dan diskusi. DPR telah
melakukan audiensi dengan Forum Dayak Bersatu, konsultasi publik ke
Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, dan Universitas
Sumatera Utara, dan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur dengan agenda
pertemuan dengan LSM dan tokoh masyarakat setempat, serta dengan
Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Kutai Kartanegara, dan Bupati
Penajam Paser Utara.
i. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan,
DPR telah membuka akses yang mudah bagi masyarakat untuk
mendapatkan Naskah Akademik dan RUU IKN sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 96 ayat (4) UU Pembentukan PUU. Masyarakat dapat
mengakses https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 untuk membaca dan
mengunduh dokumen-dokumen terkait dengan pembentukan RUU IKN.
j. Bahwa dalam memenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be
considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained)
sesungguhnya telah dilaksanakan oleh DPR RI dalam pelaksanaan
kegiatan sehari-hari. Masukan dari masyarakat terhadap RUU IKN telah
diakomodir dalam DIM fraksi dan telah dilakukan pembahasan yang
selanjutnya dalam diberikan tanggapan dalam pembahasan DIM antara
DPR dan Pemerintah. Dalam pembahasan yang dilakukan dalam rapat
panja tersebut dibahas kembali dalam timus dan timsin. Sebagai contoh,
pada rapat-rapat berikut ini Ketua Rapat dalam RDPU telah menyampaikan
bahwa seluruh masukan atau pandangan yang disampaikan oleh
narasumber akan menjadi bahan masukan dalam pembahasan RUU IKN.
Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan risalah sebagai berikut:
1) Risalah Rapat Musyawarah Pimpinan dengan jenis rapat RDPU pada
tanggal 8 Desember 2021 (vide Lampiran 11 hlm. 50)
Ketua Rapat:
“Sebelum kami menutup Rapat Dengar Pendapat Umum hari ini,
perlu kami sampaikan bahwa seluruh masukan atau pandangan
yang disampaikan oleh Para Narasumber akan menjadi bahan
masukan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Ibu Kota Negara.”
148
F.P.Gerindra (Budisatrio
Djiwandono): (hlm. 18)
Fraksi Partai Gerindra DPR
RI mengucapkan terima kasih
kepada fraksi-fraksi lain dan
Pemerintah yang telah
mengakomodir usulan fraksi
kami mengenai asas, tujuan,
dan ruang lingkup. Namun
Fraksi Partai Gerindra DPR
RI masih berharap
terakomodirnya demokrasi
sebagai salah satu asas
dalam RUU IKN. Sehingga
aspirasi politik masyarakat di
156
Pemerintah: (hlm. 3)
170
Kemudian penyelenggaraan
pemerintahan oleh
pemerintahan daerah khusus
IKN, didalam rumusan yang
baru penyelenggaraan
pemerintahan di IKN
diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah
Khusus IKN. Perubahan itu
dalam rangka memastikan
kesesuaian dengan Pasal
171
Pasal 26
(1) Pelaksanaan dan
pertanggungjawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25
dilakukan sesuai tata
kelola anggaran Ibu
Kota Nusantara.
(2) Tata cara pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) diatur
dalam Peraturan
Pemerintah.
183
Penjelasan
Pasal 26
Ayat (1)
Pelaksanaan dan
pertanggungiawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara dilakukan
dengan mengikuti
mekanisme Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
184
10 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat dengan agenda penjelasan 7 Desember
dengan Agenda Mendengarkan pemerintah pandangan fraksi-fraksi, 2021
Penjelasan Pemerintah (terbuka) pandangan DPD, tanggapan
pemerintah, dan pengesahan jadwal
acara dan mekanisme pembahasan
193
14 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Wicaksono Sarosa perspektif Perspektif hukum 2021
lingkungan
15 Bahan Paparan Pakar atas nama Asep Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Sofyan perspektif Perspektif lingkungan 2021
16 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Nurkholis perspektif ilmu ekonomi 2021
17 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 8 Desember
dengan Agenda Mendapatkan Bahan Pansus RUU tentang IKN dengan 5 2021
Masukan Pembahasan RUU IKN orang pakar yang
(Terbukan) memberikan masukan dari perspektif
sosiologi kemasyarakatan, ekonomi,
investasi, pendanaan berkelanjutan,
masyarakat adat dan humaniora,
dan kebencanaan.
18 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Paulus Wirutomo perspektif Ekonomi, Investasi, BMN, 2021
Pengalihan Aset dan Pendanaan
Berkelanjutan
19 Bahan Paparan Pakar atas nama Anggito Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Abimanyu perspektif Ilmu Ekonomi, Investasi, 29021
BMN, Pengalihan Aset, dan
Pendanaan Berkelanjutan.
194
20 Bahan Paparan Pakar atas nama Fadhil Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Hasan perspektif Ilmu Ekonomi, Investasi, 2021
BMN, Pengalihan Aset, dan
Pendanaan Berkeianjutan
21 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Erasmus Cahyadi Terre perspektif Masyarakat Adat dan 2021
Humaniora
22 Bahan Paparan Pakar atas nama Avianto Masukan pakar alas RUU IKN dari 9 Desember
Amari perspektif Ibu Kota Negara dan 2021
Kebencanaan
23 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat dengar pendapat umum 10
dengan Agenda Rapat Dengar Pendapat Pansus RUU tentang IKN dengan 3 Desember
Umum dengan Pakar dan Aliansi prang pakar dan 2 aliansi masyarkat 2021
Masyarakat daIam rangka mendapatkan yang memberikan perspektif
masukan RUU IKN (Terbuka) perencanaan wilayah dan GIS,
perspektif ekonomi, perihal tugas
dan fungsi badan otorita IKN,
desentralisasi fiskal serta pengalihan
asset
24 Bahan Paparan Pakar atas nama Mukti Masukan pakar atas RUU IKN dari 10
Ali perspektif Perencanaan WiIayah dan Desember
GIS 2021
25 Bahan Paparan Pakar atas nama Master Masukan pakar atas RUU IKN dari 10
P. Tumanggor perspektif Ekonomi Desember
2021
26 Bahan Paparan atas nama Robert Endi Masukan Pakar atas RUU IKN dari 10
Jaweng perspektif Otonomi Daerah dan Desember
Desentralisasi Fiskal serta 2021
Pengalihan Aset
27 Bahan Paparan atas nama Suharyono S. Masukan pakar atas RUU lKN dari 10
Hadiningrat perspektif Inspirasi Merah Putih Desember
Indonesia. 2021
28 Bahan Paparan Pakar atas nama Ketua Umum Aliansi Pimpinan 10
Mohammad Djailani Ormas Daerah AORDA Kalimantan Desember
Timur. 2021
29 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 11
dengan Agenda Rapat Dengar Pansus RUU tentang lKN dengan 4 Desember
Pendapat Umum dengan Pakar orang pakar yang memberikan 2021
dalam rangka mendapatkan masukan perspektif hukum Tata Negara,
RUU IKN (Terbuka) kebijakan publik, kelembagaan
negara, dan teknologi informasi.
30 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Satya Arinanto perspektif Hukum Tata Negara. Desember
2021
31 Bahan Paparan Pakar alas nama Chazali Masukan pakar atas RUU lKN dari 11
H. Situmorang perspektif Kebijakan Publik Desember
2021
195
32 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Aminudin Kasim perspektif Kelembaaan Negara Desember
2021
33 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Pratama Dahlian Persadha perspektif Teknologi Informasi Desember
2021
34 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 12
dengan Agenda Rapat Dengar Pansus RUU tentang IKN dengan 7 Desember
Pendapat Umum dengan Pakar orang pakar yang memberikan 2021
dalam rangka mendapatkan masukan perspektif pertanahan atau agraria,
RUU IKN (Terbuka) kelembagaan dan kebijakan
publik, serta ekonomi dan
pembangunan.
35 Bahan Paparan Pakar atas nama Trubus Masukan pakar alas RUU IKN dari 12
Rahadiansyah perspektif KeIembagaan dan Desember
Kebijakan Publik Pembentukan IKN 2021
36 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
Ananda B. Kusumah perspektif kelembagaan dan Desember
kebijakan Publik Pembentukan IKN 2021
37 Bahan Paparan atas nama Arief Anshory Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
perspektif Ekonomi dan Desember
Pembangunan 2021
38 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
Yayat Supriatna perspektif Tata Ruang dan Agraria Desember
2021
39 Bahan Paparan Pakar atas nama Maria Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
S.W. Soemardjono perspektif Pertanahan/Agraria Desember
2021
40 Risalah Rapat internal Panitia Khusus Rapat yang menghasilkan 13
RUU tentang lbu Kota Negara dengan persetujuan dan menetapkan Ketua Desember
Agenda Penyampaian Pandangan Panja RUU IKN adalah Wakil Ketua 2021
Pemerintah tentang RUU IKN Kepada Pansus (Saudara Saan Mustopa,
Panja (Terbuka) M.Si.).
41 Risalah Rapat Kerja Panitia Khusus Penyampaian Pandangan 13
dengan Pemerintah dan DPD dengan Pemerintah tentang RUU IKN Desember
Agenda Penyampaian Pandangan Kepada Panja. 2021
Pemerintah tentang RUU IKN Kepada
Panja (Terbuka)
42 Rencana Induk (Master Plan) IKN Paparan Rencana Induk (Master 13
Plan) IKN dari Kementerian Desember
PPN/Bappenas 2021
43 Risalah Rapat Pania Panitia Khusus jumlah DIM RUU IKN adalah 13
Dengan Pemerintah dan DPD sebanyak 277 DIM, yang terdiri dari Desember
Dengan Agenda Pembahasan DIM RUU 35 DIM substansi dan 18 DIM 2021
IKN (Terbuka) redaksional. DPR RI, DPD RI
dan Pemerintah menyetujui jadwal
acara dan mekanisme pembahasan
Panja RUU IKN.
196
275) yang secara jelas tidak membedakan Legal Standing antara uji formil
dan uji materil dimana antara uji formil dan uji materil memiliki banyak
perbedaan diantaranya:
a. Pengujian formil merupakan pengujian prosedur dan tata cara sah atau
tidaknya suatu undang-undang, yang secara esensial tidak menguji
norma-norma yang berlaku atau belum adanya akibat hukum.
b. Pengujian materil merupakan pengujian undang-undang yang telah sah
berlaku, yang secara esensial menguji norma-norma undang-undang
yang dapat menimbulkan akibat hukum.
c. Akibat hukum kerugian formil berdampak hanya kepada pembentuk
undang-undang, yang dianggap cacat dalam pembentukannya.
d. Akibat hukum kerugian materiil berdampak pada pemilik hak-hak
konstitusional secara umum yang dapat mengurangi atau menghilangkan
hak-haknya.
e. Legal Standing uji formil adanya pihak yang merasa dirugikan akibat
dibentuknya undang-undang dan berpotensi dapat melanggar atas hak,
tugas atau kewenangannya yang terkandung didalamnya atau adanya
hubungan yang melekat “keterpautan” terhadap undang-undang yang
diuji.
f. Legal Standing uji materiil adalah terkait “kerugian konstitusional” para
pemohon akibat berlakunya suatu undang-undang yang dapat
mengurangi atau menghilangkan hak-hak secara umum yang dijamin
dalam UUD Tahun 1945.
10. Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
menegaskan bentuk kerugian konstitusional yang sangat jelas atas hak yang
diberikan oleh UUD Tahun 1945, dan adanya bentuk kerugian yang dilanggar
dengan berlakunya undang-undang. Hal tersebut sudah sangat jelas untuk
penegasan bentuk kerugian secara materiil karena hak-haknya dapat
dilanggar dalam bentuk norma undang-undang, dalam bentuk pasal, ayat,
frasa atau kata sehingga dalam menguji materiil pihak yang merasa dirugikan
akibat berlakunya undang-undang dapat menguji materi undang-undang
pasal, ayat, frasa atau kata. Sehingga, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005
dan Nomor 011/PUU-V/2007 tidak dapat digunakan sebagai landasan uji
204
formil namun akan lebih beralasan hukum jika digunakan sebagai landasan
uji materiil.
11. Berdasarkan uraian tersebut, maka landasan hukum Legal Standing
dibedakan sebagai berikut:
a. Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009
sebagai landasan Legal Standing uji formil.
b. Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai landasan Legal Standing uji materiil.
12. Berdasarkan argumentasi atas Legal Standing uji formil tersebut di atas
Pemerintah berkeyakinan bahwa Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 telah
memberikan kepastian hukum sebagai tata cara syarat Legal Standing uji
formil baik bagi pihak yang berkepentingan dan juga bagi Mahkamah
Konstitusi untuk melaksanakan kewenangannya sebagaimana ketentuan
Pasal 24C UUD Tahun 1945.
13. Sesuai Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, penting kiranya bagi Pemerintah untuk memberikan
pandangan dan pendapat atas kedudukan hukum Legal Standing uji formil
para Pemohon:
a. Kedudukan Hukum para Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022
sebagaimana tercantum dalam permohonan halaman 2 sampai dengan
6 yang pada pokoknya:
1) Pemohon I sebagai Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai
dosen yang mengalami kebingungan untuk menjelaskan secara
akademis terhadap pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa terkait
penerapan manajemen strategi dalam UU a quo. Apabila dilihat secara
manajemen strategi anggaran pembangunan IKN tidak jelas akan
menggunakan anggaran yang dialokasikan darimana.
2) Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia menguraikan
kedudukan Legal Standing sebagai berikut:
a. Pemohon pernah menjabat sebagai anggota DPD RI daerah
pemilihan DKI Jakarta Periode 2004-2009 yang mengerti dan
mengetahui proses pembentukan suatu UU, durasi waktu 42 hari
tidak memungkinkan untuk pembentukan suatu undang-undang
dan terburu-buru.
205
tidak langsung dalam undang-undang yang di uji dan juga tidak akan
adanya potensi kerugian secara konstitusional sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Dosen.
2) Pemohon yang berkedudukan sebagai “wiraswasta” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik terkait
terhadap hak-haknya untuk melakukan usaha sebagai wiraswasta
dengan berlakunya undang-undang yang di uji tidak akan adanya
potensi kerugian secara konstitusional dan tidak akan menimbulkan
akibat hukum secara langsung yang dapat merugikan hak
konstitusional, bagi Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai
Wiraswasta.
3) Pemohon berkedudukan sebagai mantan Anggota DPD atau DPR
secara jelas tidak memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang
di uji baik terkait hak dan kewajibannya yang diatur secara langsung
dalam undang-undang yang di uji yang dapat merugikan hak
konstitusional bagi Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai
mantan Anggota DPD atau DPR.
4) Pemohon berkedudukan sebagai “Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
MUI” secara jelas tidak memiliki “keterpautan” dengan undang-undang
yang di uji baik terhadap hak-haknya sebagai Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan MUI, sehingga dengan berlakunya undang-undang
yang diuji tidak akan menimbulkan akibat hukum secara langsung
yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi Pemohon yang
berkedudukan hukum sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
5) Pemohon berkedudukan sebagai “tokoh agama” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai tokoh agama, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai tokoh agama.
6) Pemohon berkedudukan sebagai “Pensiunan” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
209
1. Putusan sela pada dasarnya putusan yang diambil atau dijatuhkan oleh
hakim dan bukan putusan akhir atau end vonnis, yang dijatuhkan pada
saat proses pemeriksaan berlangsung, dan bertujuan untuk
mempermudah pemeriksaan suatu persidangan.
2. Bahwa dalam ranah pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun
1945 sebagaimana ketentuan pasal 24C UUD Tahun 1945, undang-
undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang telah berlaku.
Berlakunya Undang-Undang bersifat umum yang disahkan dengan tata
cara pembentukan undang-undang yang telah memiliki kekuatan hukum
mengikat yang hanya dapat diubah, diganti atau dibatalkan oleh
pembentuk undang-undang atau dengan putusan pengadilan. Dalam hal
ini Putusan MK memiliki sifat final and binding (putusan akhir) sehingga
merujuk pada sifat Putusan MK dan sifat berlakunya undang–undang
maka Putusan Sela Provisi dalam pengujian undang-undang terhadap
UUD Tahun 1945 baik secara materiil dan secara formil tidak akan
berpengaruh terhadap pemeriksaan perkara.
3. Putusan Sela Provisi dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
Tahun 1945 dapat berpotensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 24C
UUD Tahun 1945, sehingga tidak ada alasan hukum bagi MK menguji
Undang-undang dapat memutus sebelum melakukan proses pengujian
sebagai pertimbangan untuk memutus suatu perkara.
4. Berdasarkan kewenangan MK dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
Tahun 1945, MK hanya dapat menerapkan putusan sela dalam hal
memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan sengketa pemilihan
kepala daerah, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar. Putusan sela dalam hal ini dapat diterapkan dengan tujuan untuk
memungkinkan dan mempermudah pemeriksaan para pihak dengan
menghentikan sementara tindakan-tindakan para pihak yang bersengketa
berdasarkan kewenangan yang disengketakan. Penghentian sementara
terhadap tindakan berdasarkan kewenangan merupakan penghentian
yang bersifat khusus sebagai upaya pengadilan untuk tetap bersifat netral
dalam pemeriksaan perkara sampai adanya putusan akhir. Dengan
demikian, maka putusan sela hanya dapat diterapkan pada perkara
212
alternatif:
- KAJIAN
1) Kajian Penentuan Lokasi Pemindahan Ibu kota Negara Naskah
Akademik Tahun 2019;
2) Kajian Mendalam Sosial kependudukan dan ekonomi wilayah Ibu
Kota Negara Tahun 2018;
3) Laporan Akhir Master Plan IKN (2 Jilid) Tahun 2020;
4) Kajian Lingkungan Hidup Strategis Tahun 2020;
5) Laporan Akhir, Studi kelayakan teknis calon lokasi pemindahan Ibu
Kota Negara (McKinsey & Company) Tahun 2019;
- PROLEGNAS
1) Pengusulan RUU ke prolegnas
2) Prolegnas jangka menengah tahun 2020-2024
3) Putusan DPR tentang proleglas prioritas 2021
2. Penyusunan (BUKTI 2 PK-02)
Naskah Akademik
3. PAK dan Rapat Koordinator Pembahasan RUU IKN (BUKTI 3 PK-03)
1) SK PAK Januari 2020
2) Rapat Koordinasi Penyelarasan NA RUU IKN, 31 Mei 2021
3) Permohonan Harmonisasi atas RUU IKN, 31 Mei 2021
4) Draf RUU IKN I
5) Draf RUU IKN II
4. Konsultasi Publik (BUKTI 4 PK-04):
1) Rapat koordinasi tingkat Menteri 29 April 2021
222
1) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945, dalam hal
kewenangan pengajuan RUU.
2) Pasal 20 ayat (2) pembentukan undang-undang harus dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
3) Pasal 20 ayat (3) yang menyatakan “Jika rancangan undang-undang
itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.”
4) Pasal 20 ayat (4) yang menyatakan “Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang.”
5) Pasal 20 ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
3. Penyusunan UU No. 3 Tahun 2022 telah sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
a. Asas-asas kejelasan Tujuan:
Pemohon menyatakan UU IKN bertentangan dengan asas kejelasan
tujuan karena tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang
berkesinambungan. Terhadap dalil dimaksud, dapat Pemerintah
sampaikan bahwa
1) Dalil Pemohon tersebut mendasarkan pada pemahaman bahwa
perencanaan pembentukan UU IKN harus telah tercantum secara
eksplisit dalam seluruh dokumen perencanaan jangka panjang dan
harus dilaksanakan tepat sesuai perencanaan. Pandangan ini melihat
perencanaan pembentukan UU IKN harus tercermin secara eksplisit
sehingga dalil ini melebihi dari batu uji formil yaitu ketentuan yang
diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2) Perencanaan pembentukan IKN sebagai bagian dari program system
perencanaan pembangunan Negara telah tercantum dalam Lampiran
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
227
Tanggal
No Agenda Ditayangkan Tautan
Live Streaming
Tanggal
No Agenda Ditayangkan Tautan
Live Streaming
Berita:
https://law.ui.ac.id/v3/kons
ultasi-publik-rancangan-
undang-undang-tentang-
ibu-kota-negara-di-fhui/
241
https://www.antaranews.co
m/berita/2599417/bappena
s-gelar-konsultasi-publik-
ruu-ikn-di-ui
Berita:
https://www.upnvj.ac.id/id/
berita/2022/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-bahas-ruu-
ibu-kota-negara.html
4. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 11 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=CJll5LdCGV8
Universitas Mulawarman,
Samarinda
5. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Hasanuddin, Makassar
6. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Sumatera Utara, Medan
dalam kesempatan ini Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan dalil Pemohon tersebut.
Terhadap dalil Pemohon tentang fast track legislation
1. Bahwa setelah Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2019, Presiden
Joko Widodo meminta izin kepada DPR RI untuk memindahkan Ibu Kota
Negara dan selanjutnya menyampaikan RUU IKN secara resmi kepada DPR
pada tanggal 29 September 2021. Pemerintah dan DPR kemudian membahas
substansi RUU IKN hingga disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun
2022 tentang Ibu kota Negara (UU IKN) melalui Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 18 Januari 2022. Adapun proses penyusunan maupun perumusan
substansi yang diatur di dalam UU IKN, telah dilakukan Pemerintah sesuai
prosedur sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019.
Selain itu, substansi seluruh ketentuan yang diatur dalam UU IKN juga telah
mengacu dan berada di dalam koridor konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa penyusunan UU IKN telah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 serta Prolegnas Prioritas
2021 (tautan akses: https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas) sehingga proses
penyusunan UU IKN tersebut telah direncanakan sesuai prosedur yang
berlaku.
3. Bahwa mengenai dalil fast track legislation, adalah merupakan dalil sepihak dari
Pemohon. Terhadap dalil tersebut, Pemerintah tetap pada jawaban Pemerintah
sebagaimana tertuang pada poin nomor 1 hingga nomor 2, yang menyatakan
bahwa seluruh perencanaan dan penyusunan pembentukan UU IKN secara
rangkaian waktu tidak dibentuk “dalam waktu singkat”, tetapi telah melalui
rangkaian tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019,
Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib DPR, Peraturan DPR
No. 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang.
Dari uraian keterangan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalil pemohon mengenai fast track legislation merupakan terminologi yang tidak
dikenal dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Republik
243
Indonesia. Sehingga tidak dapat dan tidak relevan untuk dijadikan dasar
pengujian secara formil terhadap pembentukan Undang-Undang apalagi untuk
dinyatakan inkonstitusional dari segi formil.
2. Dalil fast track legislation yang disampaikan oleh Pemohon hanya dilihat dari
aspek pembahasan RUU di DPR saja, padahal proses pembentukan UU IKN
sudah dilakukan melalui perencanaan undang-undang a quo yang sudah
dimulai sejak tahun 2019.
Dengan demikian, karena proses pembentukan UU IKN telah dilakukan sesuai
dengan tahapan penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka
dalil pemohon yang pada pokoknya menilai proses pembentukan UU IKN sebagai
fast track legislation merupakan dalil yang keliru dan tidak berdasar hukum,
sehingga dalam kesempatan ini Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan dalil Pemohon tersebut.
AGENDA, WAKTU
Rangkaian Dialog Nasional Rencana Pemindahan Ibu Kota • 16 Mei 2019
Negara • 26 Juni 2019
• 1 Agustus 2019
Link • 21 Agustus 2019 di
• https://www.youtube.com/watch?v=eqZVnMC3mRM Kalimantan
• https://www.youtube.com/watch?v=JgqxDkitD1g • 16 September
• https://www.youtube.com/watch?v=IvbYeQA45xA 2019
244
AGENDA, WAKTU
• https://www.youtube.com/watch?v=ajDIk_P3Dhw • 2 Oktober 2019 di
• https://www.youtube.com/watch?v=sEPlJ0mSlfw Balikpapan
• https://www.youtube.com/watch?v=plzVyif3byo • 25 Feb 2020 di UI
• https://www.youtube.com/watch?v=vUjVLFxFLAo
• https://www.youtube.com/watch?v=rhP0wcU4qbQ
b. Hasil KLHS di atas dijadikan dasar penyusunan Rencana Induk Ibu Kota
Negara. Selanjutnya, pokok-pokok dalam dokumen kajian tersebut,
termasuk Rencana Induk Ibu Kota Negara menjadi dasar bagi penyusunan
Naskah Akademik UU IKN dan RUU IKN yang kemudian diusulkan masuk
dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 sejak Desember 2019
(tautan rangkaian alur penyusunan RUU IKN:
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368) maupun dokumen perencanaan
berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-
2024.
c. Dalam draf RUU IKN yang disampaikan oleh Presiden berdasarkan Surat
Presiden kepada DPR RI tanggal 21 September 2021, telah tertampung
pokok-pokok substansi. Selain itu, Penjelasan Umum UU IKN telah memuat
pokok-pokok pikiran dalam Rencana Induk.
d. Rencana Induk Ibu Kota Negara tersebut semula direncanakan untuk diatur
dengan Peraturan Presiden dengan kutipan bunyi pasal sebagai berikut:
Pasal 7
dan posisinya terhadap RUU IKN yang telah disusun atas dasar penjelasan
pemerintah kemudian disepakati pentingnya Rencana Induk IKN tersebut,
sehingga Pemerintah dan DPR menyepakati Rencana Induk Ibu Kota
Negara ditetapkan sebagai lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan
Undang-Undang agar memiliki posisi hukum yang kuat sebagai acuan
pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara,
serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara,
namun tetap memiliki fleksibilitas untuk dapat diubah sesuai perkembangan
kebutuhan ke depan.
b. Berdasarkan kesepakatan tersebut, kemudian disepakati bahwa Rencana
Induk Ibu Kota Negara menjadi Lampiran II UU IKN dan pokok pokok
Rencana Induk tersebut dicantumkan dalam Pasal 7, sehingga rumusan
Pasal 7 mengalami perubahan yang signifikan, yang semula 2 (dua) ayat
menjadi 6 (enam) ayat dengan keseluruhan rumusan menjadi sebagai
berikut:
Pasal 7
Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (5) bahkan juga diatur adanya klausul
apabila Rencana Induk sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (3) akan dilakukan
perubahan, perlu dikonsultasikan dengan DPR. Dengan demikian, jelas bahwa
isi Rencana Induk dalam Lampiran II telah dibahas dan mendapat perhatian
yang sangat serius dari Panja DPR. Demikian pula apabila Rencana Induk akan
diubah harus dikonsultasikan dengan DPR. Perlu kami sampaikan, Pemerintah
telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022 tentang Perincian
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara pada tanggal sebagai amanat Pasal 7 ayat
(4) UU IKN dimaksud.
waktu ke waktu itu. Tolong ini juga disampaikan ke Mahkamah agar kami
bisa menilai secara komprehensif benar atau tidak ada pengaruh pendapat
pendapat yang diberikan masyarakat. Nah, salah satu cara menilainya itu
adalah bagaimana pembentuk undang undang mengadopsi pendapat itu?
Tentu akan ada perubahan-perubahan norma. Dulunya begitu, setelah
bertemu dengan kelompok ini, bertemu dengan kelompok ini, ada
perubahan norma ini dan segala macamnya. Nah, kalau itu kami
disediakan, itu juga kan jauh lebih baik karena ini pada umumnya bertumpu
soal partisipasi masyarakat atas dalil dalil yang diajukan oleh Para
Pemohon. Tolong kalau bisa dibikinkan tabelnya, itu jauh lebih bagus, kami
bisa menjadi jauh lebih mudah untuk memahami perubahan perubahan
norma dari draf 1, draf 2, draf 3 dan seterusnya.”
K.R.R.A. Suharyono S.
Hadiningrat, Ketua
256
“Pembangunan IKN di
Kaltim jangan
mengulangi kesalahan
Jakarta maka IKN Kaltim
harus pro-lingkungan
dan TIDAK diikuti oleh
proyek-proyek industry,
sehingga IKN Baru
benar-benar menjadi
pusat pemerintahan R.I.
…
Penggunaan energy
terbarukan (green
energy) dan teknologi
revolusi industry 4.0 dan
Society 5.0 harus
menjadi prioritas dalam
pengelolaan IKN Baru.”
K.R.R.A. Suharyono S.
Hadiningrat, Ketua
Umum Inspirasi Merah
Putih Indonesia/Alumni
Lemhannas, Rapat
Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus RUU
IKN DPR RI Jakarta, 10
Desember 2021:
“Pemerintah perlu
menjaga budaya
setempat berbasis pada
kearifan lokal sepanjang
tidak bertentangan
dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD
1945.”
“Memperjelas landasan
hukum kepemilikan
lahan dengan
memperhatikan hak-hak
adat masyarakat.”
Dr. Chazali H.
Situmorang, M.Sc Dosen
AP FISIP UNAS, dalam
Rapat Dengar Pendapat
Umum Pansus RUU IKN,
11 Desember 2021:
“Diperlukannya Peran
Serta Masyarakat Dalam
IKN
259
Kekhususan Jakarta
10. Belum diatur atau disebutkan Sudah mengatur atau Mengakomodasi
mengenai kekhususan memuat kekhususan masukan publik untuk
Jakarta. Jakarta yang akan diatur memperjelas posisi
“Pasal 30 dalam undang-undang Jakarta setelah tidak
Pada saat Peraturan “Pasal 41 memegang status
Presiden mengenai (1) Sejak ditetapkannya sebagai ibu kota negara.
pemindahan status Ibu Kota Keputusan Presiden
Negara dari Provinsi Daerah sebagaimana dimaksud K.R.R.A. Suharyono S.
Khusus Ibukota Jakarta ke dalam Pasal 39 ayat (1), Hadiningrat, Ketua
IKN [...] sebagaimana ketentuan Pasal 3, Umum Inspirasi Merah
dimaksud dalam Pasal 3 ayat Pasal 4 kecuali fungsi Putih Indonesia/Alumni
(2) diundangkan, ketentuan sebagai daerah otonom, Lemhannas, Rapat
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dan Pasal 5 Undang- Dengar Pendapat Umum
Undang-Undang Nomor 29 Undang Nomor 29 dengan Pansus RUU
Tahun 2007 tentang Tahun 2007 tentang IKN DPR RI Jakarta, 10
Pemerintahan Provinsi Pemerintahan Provinsi Desember 2021:
Daerah Khusus Ibukota Daerah Khusus Ibukota “Jakarta pasca
Jakarta sebagai Ibukota Jakarta sebagai Ibukota pemindahan IKN ke
Negara Kesatuan Republik Negara Kesatuan Kalimantan Timur agar
Indonesia dicabut dan Republik Indonesia dijadikan Pusat
dinyatakan tidak berlaku.” dicabut dan dinyatakan Perdagangan
tidak berlaku. (Bussiness Centre)
bertaraf internasional
263
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Kalimantan
Selatan
- Kepala
Bappeda
Provinsi DKI
Jakarta
Pembicara utama:
- Prof. Dr.
Bambang PS
Brodjonegor
o (Menteri
PPN/Bappen
as)
- Jenderal TNI
(Purn) Dr.
Moeldoko,
SIP (Kepala
270
Staf
Kepresidena
n)
- Dr. Ir. Siti
Nurbaya
Makar, M.Sc
(Menteri
Lingkungan
Hidup dan
Kehutanan)
Peserta yang hadir:
- K/L
- Pemda (DKI
Jakarta,
Kalteng,
Kalsel,
Kaltim,
Sulawesi
Barat,
Banten,
Jawa Barat)
- perguruan
tinggi (UI,
UNPAD,
UGM, Univ
Lambung
Mangkurat,
ITB, UGM,
UNPAD,
Univ
Pertahanan,
IPB,
- Lembaga
Penelitian
dan Mitra
Pembangun
an
- Media
(Kompas,
Tempo,
Detikcom,
MetroTV)
PK 8- g Publikasi siaran pers https://www.ikn.go.i
d/storage/press-
271
release/2019/11-
siaran-pers-dialog-
nasional-
pemindahan-ibu-
kota-negara-
menteri-bambang-
paparkan-investasi-
dan-strategi-
pembiayaan.pdf
DIALOG NASIONAL III
“Konsep Master Plan dan Urban Design”
tanggal 1 Agustus 2019
9 PK 9-a Undangan Kementerian PPN/Kepala Dialog Nasional ke
Bappenas RI Nomor 9193/SES/07/2019 III dilaksanakan
tanggal 29 Juli 2019 hal Undangan Dialog pada tanggal 1
Nasional ke-3 Pemindahan Ibu Kota Agustus 2019 di
Negara Kementerian
PK 9-b Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog PPN/Bappenas.
Nasional III Dialog
PK 9-c Risalah Dialog Nasional Pemindahan dilaksanakan untuk
Ibukota Negara III tanggal 1 Agustus mendapatkan
2019 masukan terhadap
pemindahan IKN
terkait aspek:
a. Visi IKN dalam
Konsep
Masterplan
b. Visi IKN dalam
Strategi
Perancangan
Kota, Tata
Bangunan dan
Lingkungan
Peserta:
- berbagai K/L
terkait
- Pemerintah
Daerah
- Perguruan
Tinggi (UI,
Univ
Pertahanan,
ITB, Unpad,
272
UGM, Undip,
ITSN,
Unbraw,
Univ
Lampung
Mangkurat,
Univ
Mulawarman
, Univ.
Palangka
Raya)
- Lembaga
Penelitian
dan Mitra
Pembangun
an
- Media
(Kompas,
Tempo,
Detikcom,
Metro TV)
Pembicara Utama:
- Prof Dr
Bambang PS
Brodjonegor
o (Menteri
Bappenas)
- Dr. Ir
Mochammad
Basuki
Hadimuljono,
M.Sc
(Menteri PU
dan
Perumahan
Rakyat)
DIALOG NASIONAL IV
“Investasi dan Strategi Pembiayaan Pemindahan Ibu Kota Negara”
tanggal 16 September 2019
10 PK 10-a Undangan Plt. Sekretaris Kementerian Dialog Nasional IV
PPN/Sekretaris Utama Bappenas RI dilaksanakan
Nomor 11474/SES/09/2019 tanggal 12 tanggal 16
September 2019 hal Undangan Dialog September 2019 di
273
Peserta:
- berbagai K/L
terkait
- Pemerintah
Daerah
- Perguruan
Tinggi (UI, Univ.
Pertahanan,
ITB, Unpad,
UGM, Undip,
ITS, Unibraw,
Univ Lambung
Mangkurat,
Univ
Mulawarman,
Univ
Palangkaraya)
- BUMN,
Lembaga
Penelitian dan
Mitra
Pembangunan
274
- Media
(Kompas,
Tempo,
MetroTV)
Pembicara Utama:
a. Prof. Dr.
Bambang PS
Brodjonegoro
b. Ir. Isa
Rachmatarwata
, M. Math
Kab. Paser,
Bupati Kab.
Berau, Bupati
Kab. Mahakam
Ulu)
- Asosiasi
Pengusaha
Indonesia
- Akademisi
Universitas
Mulawarman
Materi dipaparkan
oleh perwakilan
K/L:
- Bappenas
- PUPR
- Perhubungan
- ATR/BPN
- Ditjen Planalogi
Kehutanan dan
Tata
Lingkungan
DIALOG NASIONAL VI
“Menuju Ibu Kota Lestari dan Berkelanjutan”
tanggal 11 Februari 2020
12 PK 12-a Undangan Sekretaris Kementerian Dialog Nasional
PPN/Sekretaris Utama Bappenas Nomor dilaksanakan
01208/SES/01/2020 tanggal 30 Januari tanggal 11 Februari
2020 hal Undangan Dialog Nasional 2020 di
Pemindahan Ibu Kota Negara Tema Kementerian PPN.
Lingkungan Hidup Dialog bertujuan
PK 12-b Notulensi Dialog Nasional Pemindahan untuk mendapatkan
Ibu Kota Negara Kelompok Kerja pandangan dari
Lingkungan Hidup dan Kebencanaan para pakar dan
“Menuju Ibu Kota Negara Lestari dan pemangku
Berkelanjutan” Kementerian kepentingan terkait
PPN/Bappenas dari sektor
PK 12-c Dokumentasi pelaksanaan Dialog lingkungan hidup.
Nasional VI
Peserta:
- K/L terkait
- Perguruan
Tinggi (UI, ITB,
276
UGM, IPB,
Univ.
Mulawarman,
Univ. Lambung
Mangkurat,
Univ.
Tanjungpura,
Univ.
Palangkaraya)
- Lembaga
Penelitian dan
Mitra
Pembangunan
Pembahas:
a. Dr. KPH. Bagas
Pujilaksono
Widyakanigara
b. Zenzi Suhadi
c. Dr. Irdika
Mansur
d. Dr. Paulus
Matius
e. Prof. Bambang
Hero Saharjo
PK 12-d Siaran pers https://ikn.go.id/stor
age/press-
release/2020/2-
siaran-pers-
terapkan-forest-
city-ibu-kota-
negara-
pertahankan-ruang-
terbuka-hijau-dan-
tekan-
environmental-
footprint.pdf
DIALOG NASIONAL VII
“Membangun Kualitas Kehidupan Sosial Budaya”
tanggal 25 Februari 2020
13 PK 13-a Undangan Sekretaris Kementerian Dialog Nasional
PPN/Sekretaris Utama Bappenas Nomor dilaksanakan
01534/SES/02/2020 tanggal 6 Februari tanggal 25 Februari
277
Dihadiri oleh:
- K/L terkait
- Pemerintah
Daerah
- Lembaga
Penelitian
- Paguyuban/Le
mbaga Adat
dan Forum
Agama di
Kalimantan
- Lembaga
Internasional
- Organisasi Non
Pemerintah
Pembicara oleh:
a. Staf Ahli
Menteri PPN
bidang Sosial
dan
Penanggulanga
n Kemiskinan
b. Deputi
Kependudukan
dan
278
Ketenagakerjaa
n Kementerian
PPN/Bappenas
PK 13-c Siaran pers https://ikn.go.id/stor
age/press-
release/2020/5-
siaran-pers-
pembangunan-ibu-
kota-negara-
libatkan-
masyarakat-lokal-
hingga-
kembangkan-
sektor-industri-
digital-dan-
inovasi.pdf
DIALOG NASIONAL PEMINDAHAN IKN: KALIMANTAN UNTUK INDONESIA
di Kalimantan Selatan (15 Juli 2019), Kalimantan Tengah (19 Juli 2019),
Kalimantan Timur (21 Agustus 2019)
14 PK 14-a Undangan Kementerian PPN/Bappenas Dialog Nasional di
Nomor 8318/SES/07/2019 tanggal 12 Juli Kalimantan Selatan
2019 hal Permohonan sebagai pada tanggal 15 Juli
Pembicara Utama pada Dialog 2019 di Hotel
Pemindahan Ibu Kota Negara di Novotel Banjarbaru,
Kalimantan Selatan Kalsel dengan
PK 14-b Risalah Rapat Dialog Pemindahan Ibu mengundang
Kota Negara di Provinsi Kalimantan Gubernur
Selatan tanggal 15 Juli 2019 Kalimantan
PK 14-c Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Selatan.
Nasional tanggal 15 Juli 2019 di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan Dihadiri oleh:
- Pemerintah
Daerah
- K/L terkait
- Perguruan
Tinggi (Univ
Achmad
Yani, Univ
Islam
Kalimantan
Muhammad
Arsyad Al-
Banjari, Univ
279
Lambung
Mangkurat
- Tokoh
Masyarakat
Kalimantan
Selatan
- Organisasi
Non
Pemerintah/
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
di
Kalimantan
Selatan
- Media
(Kompas,
Bisnis
Indonesia,
TVRI, Duta
TV, Banjar
TV,
Banjarmasin
Post, Radar
Banjar,
Metro
Banjar,
Media
Kalimantan,
Barito Post,
Kalimantan
Post)
Pembicara Utama:
a. Deputi
Menteri
PPN/Bappenas
Bidang
Pengembangan
Regional
b. Gubernur
Kalsel
Pembahas:
280
a. Prof.Dr.H.Sutar
to Hadi, Msi,
M.Sc, Rektor
Universitas
Lambung
Mangkurat
b. Dr.Ir.H.Gusti
Muhammad
Hatta, M.S.
c. Dr.Taufik
Arbain, S.Sos,
M.Si, Dosen
Fakultas Ilmu
Soisal dan
Pemerintahan
Universitas
Lambung
Mangkurat
15 PK 15-a Siaran Pers: Dialog Nasional di
https://www.bappenas.go.id/index.php/id Palangkaraya
/berita/dialog-nasional-pemindahan-ibu- Kalimantan
kota-negara-kalimantan-tengah- Tengah, dengan
paparkan-kesiapan-aspek-lingkungan- mengundang
hidup-sosial-dan-budaya Gubernur
PK 15-b dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Kalimantan Tengah
Nasional tanggal 19 Juli 2019 di tanggal 19 Juli 2019
Palangkaraya, Kalimantan Tengah
16 PK 16-a Siaran Pers: Dialog Nasional di
https://bappenas.go.id/id/berita/dialog- Balikpapan
nasional-pemindahan-ibu-kota-negara- Kalimantan Timur,
bappenas-bahas-hasil-penilaian- dengan
kalimantan-timur-sebagai-calon-ibu-kota- mengundang
negara Gubernur
PK 16-b Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Kalimantan Timur
Nasional tanggal 21 Agustus 2019 di tanggal 21 Agustus
Balikpapan, Kalimantan Timur 2019
KONSULTASI PUBLIK
17 PK 17-a Notulensi Konsultasi Publik RUU Ibu Kota Konsultasi Publik
Negara tanggal 15 Januari
2020 di Hotel
Aryaduta, Jakarta
- Bappenas
- BI
- Kemenkopol
hukam
- OJK
- Kejaksaan
Agung
- Kementerian
ATR
- Kementerian
Perhubunga
n
- Pemda DKI
Jakarta
- KemenkumH
AM
PK 17-b Siaran Pers: https://bappenas.go
.id/id/berita/sempur
nakan-naskah-
akademik-dan-
rancangan-undang-
undang-ibu-kota-
negara-
kementerian-
ppnbappenas-
gelar-konsultasi-
publik
- PUPR: isu
urban design
maupun
rencana
infrastruktur
kota di IKN
- Kemendagri:
isu
kesewenang
-wenangan
khusus
otoritas ibu
kota
nusantara.
- Bappenas:
isu rincian
induk
sebagai
tindak lanjut
dari lampiran
dalam UU
IKN.
Penaja,
Paser Utara)
- Komando
Daerah
Militer
- Kepolisian
Daerah
- Paguyuban/
Lembaga
Adat dan
Forum
Agama/Orga
nisasi
Masyarakat
Kaltim
- Media (detik,
kompas,
media
indonesia,
tribunews,
mediakaltim.
com,
kaltimtoday.c
om
- akademik
(Univ
Mulawarman
, ITK, UNU,
UMKT)
- swasta (PT
ITCIKU, PT
IHM)
19 PK 19-a Konsultasi Publik II RancanganKonsultasi
Peraturan Pelaksanaan UU IKN,
dilaksanakan
Undangan Bappenas Nomortanggal 9 April 2022
04203/HM.01.01/SES/B/04/2022 tanggal via zoom
6 April 2022 hal Undangan Konsultasi
Publik II Peraturan Pelaksanaan UU IKN peserta yang hadir:
PK 19-b Notula Rapat tanggal 9 April 2022 - Paguyuban/
siaran pers “Pemerintah rampungkan Lembaga
konsultasi publik rancangan peraturan Adat dan
pelaksanaan UU IKN” tanggal 9 April Forum
2022 Agama/Orga
PK 19-c dokumentasi foto nisasi
284
Masyarakat
Kaltim (105
paguyuban
di
Kalimantan)
- Akademik
(Univ
Mulawarman
, ITK, UNU,
UMKT, STT
Migas
Balikpapan,
Politeknik
Balikpapan,
Univ Kutai
Kertanegara)
- Lembaga
Kerjasama
- Kementerian
Sekretariat
Negara
- KemenkumH
AM
- Kemendagri
- Kemenkeu
- ATR
- KLHK
- Bappenas
DOKUMEN PELAKSANAAN KAJIAN PEMBENTUKAN IKN
DALAM TAHUN 2017 s.d 2020
20 PK 20 Kajian Visi Indonesia 2033 Disusun pada masa
Menteri
PPN/Kepala
Bappenas adalah
Andrinof Chaniago
(Tahun 2014-2015),
bersama tim nya
pada tahun 2010-
2013.
21 PK 21-a Dokumen “Kajian Awal Pemindahan IKN” Tahun Pelaksanaan
(Bappenas) 2017
PK 21-b Berita Acara Serah Terima Nomor
109.102/BAST/PPHP/06.02.5/12/2017
tanggal 29 Desember 2017
285
Peserta:
- Kemendagri
- Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
287
- KLHK
- Kemenhan
- Kementerian
PPN/Bappen
as
PK 29-c Undangan Staf Ahli Bidang Hubungan Rapat dilaksanakan
Kelembagaan Kementerian PPN/Ketua tanggal 15 Januari
Pokja Kelembagaan dan Regulasi Nomor 2022 di hotel
040/SA.04/01/2022 tanggal 14 Januari Pullman, Jakpus
2022 hal Undangan Rapat Pembahasan
DIM Fraksi terkait RUU IKN Hasil Peserta:
Kesepakatan Panja per Tanggal 13 - Kemendagri
Januari 2022 - Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
- KLHK
- Kemenhan
Peserta:
- Kemendagri
- Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
- KLHK
- Kemenhan
Ahli
Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.
Perkara ini adalah mengenai Judicial Review (pengujian) secara formil atas
Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945). Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji baik secara formil (uji formil)
maupun materiil (uji materiil) UU terhadap UUDNRI Tahun 1945. Apabila kita
membicarakan mengenai pengujian secara formil maka pengujian dilakukan
terhadap kerangka (bentuk luar – kenvorm) , format, proses, prosedur, tata cara atau
formalitas pembentukan UU, apakah proses pembentukannya sudah sesuai dengan
proses yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak. Batu uji utama untuk menyatakan apakah suatu UU cacat mengenai prosedur
atau tidak adalah UUD Negara RI Tahun1945.
bersumber kepada UUD NRI 1945. Landasan Formil Konstitusional PUU menjadi
penting dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang
diberikan wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) PUU yang
secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD NRI 1945 pasca
amandemen. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung diberikan
kewenangan menguji PUU di bawah UU terhadap UU. Sedangkan dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 pasca amendemen, Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. Kewenangan konstitusional
semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan
faham/sistem “Supremasi Konstitusi” di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem
checks and balances dalam UUD 1945 pasca amendemen, dengan semangat
dan jiwa baru, kini suatu UU dapat diuji secara yudisial (judicial review) terhadap
UUD.
Pasca Amandemen Kedua UUD NRI (19 Oktober 1999) melahirkan Pasal
22A yang mendelegasikan pengaturan tentang tata cara pembentukan undang-
undang dengan undang-undang. Dengan demikian batu uji pengujian formil UU
No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara adalah Pasal 22A UUD 1945 dan UU
No. 12 Tahun 2011 yang dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi Pasal 22A
UUD 1945, sebagaimana halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
undang-undang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 yang dibentuk berdasarkan
kewenangan delegasi (antara lain) dari Pasal 24C UUD 1945.
Oleh karena UUD Negara RI Tahun 1945 tidak mengatur secara lengkap
mengenai proses/prosedur PUU, maka untuk menguji apakah proses
pembentukan UU sudah sesuai atau belum dengan prosedurnya tidak cukup
hanya mendasarkan pada UUD Negara RI Tahun 1945 saja, tetapi juga pada
semua PUU yang mengatur mengenai proses/prosedur/formalitas pembentukan
UU.
291
menjadi konvensi ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik PUU.
PUU tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
Negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Asas “dapat dilaksanakan" (uitvoerbaarheid) menentukan bahwa setiap
pembentukan PUU harus memperhitungkan efektivitas PUU tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara asas
"kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap PUU dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas keterbukaan mengandung makna
bahwa proses pembentukan PUU dilakukan secara terbuka dan melibatkan
berbagai stake holder/pemangku kepentingan dan memberikan kesempatan kepada
publik untuk memberikan masukan. Penerapan asas ini penting untuk mengukur
sejauh mana kesiapan aparatur pemerintah dan masyarakat untuk menjalankan
undang-undang, sehingga dapat diperhitungkan besarnya potensi undang-undang
dapat dijalankan dan ditegakkan, terutama aksesibiitas masyarakat dalam
merespons perubahan-perubahan norma hukum yang signifikan dibanding dengan
norma hukum yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya.
Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan bahwa masyarakat berhak memberikan
masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Kemudian, Pasal 96 ayat (3) menentukan bahwa untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis, setiap Rancangan PUU harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat. Apabila ketentuan dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tidak
dilaksanakan, maka secara formal terdapat cacat dalam proses penyusunannya.
Memang pada Pasal 96 pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan belum lengkap dan belum jelas.
Sementara itu Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan judicial review
secara formil mengenai UU Cipta Kerja Namun, pengaturan tentang partisipasi
masyarakat belum diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, sehingga belum ada
kejelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai meaningfull public participation.
Dalam praktek terkait meaningfull public participation belum ada kejelasan siapa
yang dilibatkan, berapa stakeholder yang dilibatkan, berapa lama meaningfull
participation harus dilakukan. Berdasarkan pencermatan ahli, proses pembentukan
293
Tanggal
No Agenda Ditayangkan
Live Streaming
4. Rapat Pansus RUU IKN DPR Agenda: Rapat 17-18 Januari 2022
Kerja dengan Pemerintah dan DPD
Berita:
https://law.ui.ac.id/
v3/konsultasi-
publik-rancangan-
undang-undang-
tentang-ibu-kota-
negara-di-fhui/
294
https://www.antara
news.com/berita/2
599417/bappenas-
gelar-konsultasi-
publik-ruu-ikn-di-ui
Berita:
https://www.upnvj.
ac.id/id/berita/2022
/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-
bahas-ruu-ibu-
kota-negara.html
Oleh karena itu, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menurut
saya telah melalui proses sesuai tahapam yang ditetapkan baik berdasarkan UU No.
12 Tahun 2011 maupun Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib DPR,
Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang serta
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12
Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
298
Saksi
Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D.
● Ide pemindahan IKN bukanlah suatu hal baru, hampir setiap presiden yang
memiliki masa jabatan dua periode menginisiasi ide tersebut. Misalkan, Presiden
Soekarno yang memiliki keinginan untuk memindahkan IKN ke Palangkaraya dan
Presiden Soeharto yang memiliki keinginan untuk memindahkan IKN yang saat
itu lokasinya diusulkan di sekitar Jonggol. Dalam masa kepemimpinan Presiden
Joko Widodo, pemindahan IKN diarahkan ke luar Jawa sebagai upaya konkret
dalam mengurangi ketimpangan antar Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan
Barat Indonesia.
● Secara garis besar terdapat tiga pertimbangan utama pemindahan IKN;
1. Pemindahan IKN menjadi praktik yang lumrah di negara maju emerging
country, dan negara low-income country dengan waktu dan pertimbangan
pemindahan IKN dari sisi politis ekonomi, dan pertahanan. Misalkan,
Kazakhstan pemindahan IKN dilakukan untuk lebih mendekatkan Ibu Kota
dengan Rusia yang hingga saat ini menjadi sekutu penting bagi mereka. Di
Brazil, pemindahan ke wilayah Brasillia dilakukan sebagai bentuk politik
299
dan efisien dan dapat meningkatkan daya saing terhadap fungsi pemerintahan
dari negara-negara lain. Tiga alternatif pemilihan lokasi pemindahan Ibu Kota,
sebagai berikut: Pertama, Ibukota tidak dipindah tetapi dibuat government
district. Kedua, pemindahan IKN di wilayah lain di Pulau Jawa. Ketiga, usulan
pindah ke luar Jawa untuk mengurangi ketimpangan antara Kawasan Timur
Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Alternatif yang disetujui Presiden
adalah pemindahan ibukota ke luar pulau Jawa. Dari alternatif ketiga yang dipilih
tersebut disusun penilaian awal terhadap lokasi di wilayah Pulau Kalimantan dan
Sulawesi. Dari dua wilayah tersebut, wilayah Kalimantan dinilai lebih memenuhi
kriteria, sedangkan Sulawesi tidak memenuhi kriteria dari aspek risiko bencana
dan ketersediaan lahan.
● Terdapat tiga wilayah di Kalimantan yang memenuhi kriteria penting Ibu Kota
yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur terutama
dari ketersediaan lahan, risiko rawan bencana, dan dukungan daerah sekitar
dalam proses pembangunan IKN. Pemindahan ibukota tidak hanya difokuskan
untuk pembangunan ibu kota, tetapi juga pembangunan wilayah metropolitan
baru di Indonesia yang berkualitas.
● Di tahun 2018, Pemerintah menyusun “Kajian Mendalam Sosial Kependudukan
dan Ekonomi Wilayah Ibu Kota Negara” (Bappenas) dan “Kajian Kesesuaian
Lahan dan Alternatif Lokasi” (Kementerian ATR BPN) yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran kondisi kependudukan, sosial-budaya, dan ekonomi
eksisting di tiga opsi lokasi di Kalimantan secara utuh. Selain itu juga didukung
oleh kajian dari Badan Geologi. Kedua kajian ini merekomendasikan untuk
memperkuat pemilihan wilayah di Kalimantan Timur.
● Selanjutnya di tahun 2019, Bappenas menyusun “Kajian Penentuan Lokasi
Pemindahan Ibu Kota Negara (Studi Konsolidasi 2017-2019)” yang
mengonsolidasikan berbagai kajian yang telah dilakukan sejak tahun 2017
dengan memperdalam temuan-temuan yang diperoleh dari kajian-kajian
tersebut terdahulu. Dari penilaian ketiga lokasi di tiga wilayah Kalimantan Timu,
Kaliamntan Tengah dan Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa lokasi yang
memenuhi kriteria adalah Kalimantan Timur yaitu di sebagian wilayah
Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Justifikasi
dari wilayah yang dipilih adalah:
1) Kepemilikan lahan yang luas;
301
e. Salah satu contoh konferensi pers yang dilakukan oleh Bappenas adalah
Konferensi Pers Pembahasan Rencana Pemindahan Ibukota Negara (30 April
2019).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat saya simpulkan sebagai Saksi bahwa dalam
perumusan kajian sudah sesuai dengan proses perencanaan yang baik, pelibatan
masyarakat juga sudah tergambar dalam prosesnya. Perumusan kajian teknokratik
dilakukan secara berkesinambungan dan komprehensif. Keluaran yang dihasilkan
adalah kajian-kajian menjadi rujukan utama dalam proses penyusunan dan
pengundangan Naskah Akademis dan RUU IKN.
[2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan
dan risalah persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal tersebut tidak
menjelaskan apakah kewenangan Mahkamah untuk mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk melakukan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 tersebut hanya pada salah satu macam pengujian saja
yaitu pengujian materiil atau formil ataukah kedua jenis pengujian baik pengujian
formil maupun materiil. UU MK dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Selanjutnya, Pasal 51 ayat (3) menyatakan dalam permohonan Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa: (a) pembentukan Undang-Undang tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan UUD
1945. Dengan demikian, menurut ketentuan pasal tersebut Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil.
Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, hingga pada tingkat Nasional. Pemohon
XXIV sebagai pihak yang terdampak apabila Ibu Kota Negara pindah ke
Kalimantan Timur, telah melakukan kajian-kajian yang akan dijadikan sebagai
usulan pembentukan UU 3/2022 [vide bukti P-40 s.d. bukti P-42], namun karena
RUU IKN telah disetujui bersama menjadi Undang-Undang, in casu UU 3/2022
pada 18 Januari 2022, maka hasil kajian yang akan dilakukan pada bulan
Februari 2022 menjadi tidak terakomodir karena proses pembentukan UU
3/2022 sangat cepat dan partisipasi publik hanya formalitas, tidak memberikan
kesempatan pada masyarakat yang terdampak, in casu masyarakat Jakarta
sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon XXIV sebagaimana dijamin
dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian di atas, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya dalil
adanya persoalan inkonstitusionalitas tentang tata cara pembentukan UU 3/2022
316
Dalam Provisi
saksama alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon lebih
berkaitan erat dengan materi muatan UU 3/2022 sehingga tidak tepat apabila
dijadikan sebagai alasan permohonan provisi dalam pengujian formil. Terlebih lagi,
Mahkamah tidak menemukan adanya alasan yang kuat untuk menunda keberlakuan
UU a quo. Di samping itu, Mahkamah juga telah memberikan batasan waktu yang
singkat untuk memutus perkara pengujian formil sebagaimana telah
dipertimbangkan pada Paragraf [3.9] di atas. Dengan demikian, permohonan provisi
para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sementara itu, terkait dengan bukti tambahan bertanda bukti PK-6 sampai
dengan bukti PK-30, bukti dimaksud diserahkan atas permintaan Mahkamah dalam
persidangan pada 21 April 2022 dan 18 Mei 2022. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat keyakinan Mahkamah dalam memutus perkara a quo. Di samping itu,
berkenaan dengan penyerahan bukti yang dilakukan bersama-sama dengan
penyerahan kesimpulan, hal tersebut dapat dibenarkan, mengingat dalam perkara
pengujian undang-undang tidak bersifat interpartes, sehingga kesempatan para
pihak untuk melakukan inzage bukan merupakan hak atau kewajiban dari para
pihak. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 54 UU MK keterangan dan bukti yang
dibutuhkan Mahkamah adalah untuk kepentingan Mahkamah dalam memeriksa dan
memutus perkara pengujian undang-undang. Tambah lagi, dalam persidangan
justru para Pemohonlah yang memohon kepada Mahkamah agar Pemerintah
melengkapi bukti-bukti terkait dengan proses pembentukan UU 3/2022 [vide Risalah
Sidang tanggal 21 April 2022, hlm. 37]. Oleh karena itu, terkait dengan bukti PK-6
sampai dengan bukti PK-30 yang diserahkan oleh Pemerintah bersama-sama
dengan Kesimpulan, Mahkamah tetap mempertimbangkan sebagai bagian dari
substansi untuk memutus perkara a quo;
Terkait dengan tujuan tersebut dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum UU 3/2022
yang menyatakan bahwa:
“Pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Nusantara memiliki visi Ibu Kota
Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan utama mewujudkan
kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model) bagi pembangunan dan
pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar tersebut bertujuan untuk
mewujudkan Ibu Kota Nusantara sebagai:
a. kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan,
keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi penggunaan
sumber daya dan rendah karbon;
b. penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi peluang
ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi, inovasi, dan
teknologi; serta
c. simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan dalam
keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika” [vide Penjelasan
Umum UU 3/2022].
kawasan terbangun, dan sistem sosial yang ada secara harmonis. Demikian pula
dengan Penjelasan Pasal 2 huruf b UU 3/2022 yang berkaitan dengan tujuan
"penggerak ekonomi Indonesia di masa depan" dijelaskan maksudnya adalah
sebagai kota yang progresif, inovatif, dan kompetitif dalam aspek teknologi,
arsitektur, tata kota, dan sosial. Artinya, IKN menetapkan strategi ekonomi superhub
yang terkait dengan strategi tata ruang untuk melampaui potensi saat ini,
memastikan sinergi yang produktif antara tenaga kerja, infrastruktur, sumber daya,
dan jaringan, serta memaksimalkan peluang kerja bagi seluruh penduduk kota.
Terakhir, berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 sebagai “simbol
identitas nasional" dijelaskan maksudnya adalah kota yang mewujudkan jati diri,
karakter sosial, persatuan, dan kebesaran bangsa yang mencerminkan kekhasan
Indonesia [vide Penjelasan Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 3/2022].
[3.22.2] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang
mempersoalkan RUU IKN tidak memiliki perencanaan legislasi, penting pula bagi
Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud perencanaan legislasi dalam
UU 12/2011 yang tidak dapat dilepaskan dari pengertian Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang
yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis [vide Pasal 1 angka 9 UU
332
bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi
atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah, untuk melihat secara menyeluruh tujuan dan
kejelasan sebuah undang-undang haruslah dilihat secara keseluruhan norma
undang-undang tersebut yang selanjutnya apabila dianggap dapat merugikan hak
konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka
dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud
dan tujuan penyusunan undang-undang dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara
komprehensif dalam Penjelasan Umum sebagaimana hal tersebut juga telah
dinyatakan dalam Perpres 18/2020 mengenai RPJMN maka tujuan pembentukan
UU 3/2022 pada prinsipnya telah memenuhi “asas kejelasan tujuan” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kejelasan
tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011 adalah tidak
beralasan menurut hukum.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk
menjelaskan terlebih dahulu maksud “asas dapat dilaksanakan” dalam Pasal 5 huruf
d UU 12/2011 bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Terkait dengan hal
tersebut sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum pada 4 Mei 2021 yang pada pokoknya terkait dengan asas dapat
dilaksanakan haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut
para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan
isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat
dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut bukan merupakan bagian dari
penilaian Mahkamah dalam pengujian formil a quo [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 hlm. 366-367].
Selain itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mengaitkan aspek
sosiologis tersebut dengan adanya trend kenaikan penularan Covid-19 karena
menyatakan pembentuk undang-undang seolah-olah tidak memiliki perhatian
terhadap semakin meningginya penularan Covid-19 pada saat dilakukannya
pembahasan UU a quo. Terhadap dalil ini pun para Pemohon tidak memberikan
argumentasi dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah korelasi antara kenaikan
penularan Covid-19 dengan pembahasan RUU IKN. Menurut Mahkamah, dengan
mencermati tujuan dibentuknya UU 3/2022 sebagaimana telah dipertimbangkan di
atas serta uraian aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik
RUU IKN, Pembentuk Undang-Undang telah memperhitungkan dampak
pembangunan IKN terhadap masyarakat setempat yang sudah mendiami wilayah
tersebut sebelum rencana pemindahan IKN dilakukan, sehingga pembangunan dan
pengelolaan IKN dapat berlangsung secara terukur sesuai dengan tujuan
340
dibentuknya IKN. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan hal
tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah dengan membuat kajian secara
komprehensif perihal rencana pemindahan ibu kota tersebut [vide Risalah Sidang
Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022];
[3.25.1] Bahwa jika dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kelompok
Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) sebagaimana didalilkan oleh
341
para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya hasil survei tersebut
mengindikasikan bahwa sebanyak 61,9% orang tidak setuju Ibu Kota dipindahkan
dengan alasan utama adanya potensi pemborosan anggaran negara. Menurut
Mahkamah, survei tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa UU 3/2022 telah
melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Mahkamah dapat memahami
kekhawatiran dari para Pemohon berkenaan dengan penularan Covid-19, namun
kekhawatiran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak dilakukannya atau
menghentikannya pembahasan atas suatu RUU. Terlebih lagi, di tengah kondisi
pandemi Covid-19 di mana setiap orang harus mematuhi ketentuan atau protokol
kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka upaya yang dapat dilakukan
salah satunya dengan menjaga jarak (physical distancing). Oleh karenanya,
pembahasan atas suatu RUU pun tetap dapat dilakukan secara daring (dalam
jaringan), tanpa harus menghentikan seluruh proses yang telah ditentukan. Selain
itu, berkenaan dengan pendanaan pembangunan IKN yang dikhawatirkan para
Pemohon akan menghambat pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi
Covid-19, sesungguhnya tidaklah berkorelasi dengan persoalan konstitusionalitas
proses pembentukan UU 3/2022, di mana proses tersebut harus didasarkan pada
undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan
amanat Pasal 22A UUD 1945.
seluruh kerja sama yang berkaitan dengan pendanaan IKN, jika hal tersebut benar
maka berkaitan dengan pendanaan tersebut seyogyanya tidak mengurangi
kedaulatan dan kemandirian negara dalam mengambil keputusan terhadap setiap
kebijakan strategis negara.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU
12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan
pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan
kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam
Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.
a. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara); Dr. Hendricus Andy
Simarmata (perspektif hukum lingkungan); Wicaksono Sarosa (perspektif
hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan (perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis
(perspektif ilmu ekonomi) yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021
(vide Lampiran 11).
b. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan); Anggito Abimanyu
(Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre
(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi
dan Governance); dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia)
yang diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17).
c. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Robert Endi Jaweng (ex KPPOD) dalam Perspektif Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P.
Tumangor dalam Perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan
Aset Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin dalam Perspektif
Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi)
Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang diselenggarakan pada
tanggal 10 Desember 2021 (vide Lampiran 23).
d. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang Pakar),
yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN dalam
Perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali H. Situmorang Pakar
Kebijakan Publik Unas IKN dalam Perspektif Kebijakan Publik; Dr. Aminuddin
Kasim, SH.MH Pakar HTN Universitas Tadulako Sulteng IKN dalam Perspektif
Kelembagaan Negara Virtual; dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman
Lembaga Riset Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC (Communication and
Information System Security Research Center Virtual), yang diselenggarakan
tanggal 11 Desember 2021 (vide Lampiran 29).
e. RDPU tentang Ibu Kota Negara dengan 7 orang pakar, yakni Prof. Maria S.W.
Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum Pertanahan UGM;
Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat
Supriatna selaku Pakar Tata Ruang Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf
selaku Pakar Ekonomi; Prof. Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti
346
Berita:
https://law.ui.ac.id/v3/kon
sultasi-publik-rancangan-
347
undang-undang-tentang-
ibu-kota-negara-di-fhui/
https://www.antaranews.c
om/berita/2599417/bappe
nas-gelar-konsultasi-
publik-ruu-ikn-di-ui
Berita:
https://www.upnvj.ac.id/id
/berita/2022/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-bahas-ruu-
ibu-kota-negara.html
[3.26.4] Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya fakta para Pemohon untuk terlibat
aktif memberikan masukan perihal pembentukan UU 3/2022, Mahkamah juga tidak
menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para Pemohon yang dapat
membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri
atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022.
Berkenaan dengan 2 (dua) alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon yakni
screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI (vide
bukti P-43) dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang
pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Menteri Hukum dan HAM dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR RI
[vide bukti P-44], tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan
349
DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g
UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas keterbukaan”
adalah tidak beralasan menurut menurut hukum;
pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat
dan lambatnya pembahasan, namun proses pembentukan undang-undang wajib
mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Menurut Mahkamah, sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah
terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh
pembentuk undang-undang dengan berpatokan kepada asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas: kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan,
kejelasan rumusan dan keterbukaan [vide Pasal 5 UU 12/2011], maka terkait
dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast
track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk
menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022,
yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah.
Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah
undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan
ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan
diselesaikan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil
para Pemohon mengenai digunakannya pola “fast track legislation” dalam
pembentukan UU 3/2022 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak
beralasan menurut hukum.
[3.29] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut
karena dipandang tidak ada relevansinya.
351
4. KONKLUSI
[4.6] Hal-hal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi:
Menolak permohonan provisi para Pemohon.
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
SALINAN
F
PUTUSAN
Nomor 109/PUU-XII/2014
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir
menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 September 2014
memberi kuasa kepada Rinaldi, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum di Law
Office Rinaldi & Partners, yang berkedudukan di Jalan Jiban II Nomor 7,
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
2. DUDUK PERKARA
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
Maret 2014, namun tetap belum berhasil karena kembali digagalkan dan
dihalang-halangi oleh Bank DKI.
30. Bahwa peristiwa ini menunjukan Bank DKI betul-betul tidak mau taat atau
patuh pada perintah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusatdan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
31. Bahwa atas kejadian eksekusi yang digagalkan dan dihalang-halangi oleh
Bank DKI, maka Pemohon melaporkan Bank DKI kepada Kepolisian
dengan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun laporan Pemohon tidak
dapat diterima oleh Kepolisian, karena Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak jelas maknanya
sehingga tidak memberikan kepastian hukum,jaminan hukum dan
pelindungan hukum yang adil.
32. Bahwa atas kejadian eksekusi yang digagalkan dan dihalang-halangi oleh
Bank DKI, maka Pemohon juga melaporkan Bank DKI kepada Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dengan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf
b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, karena
Pemohon yakin hal ini bagian dari tugas dan fungsi OJK sebagai
Pengawas Perbankan, karena seharusnya hal ini bagian dari penilaian
terhadap Perbankan apakah patuh dan taat (compliance) pada peraturan
yang ada, namun laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh OJK karena
Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yang tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan
kepastian hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil.
33. Bahwa akibat dari penolakan laporan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
oleh Kepolisian, maka hal ini jelas telah menghilangkan hak konstitusional
Pemohon, yaitu hak atas kepastian hukum.
34. Bahwa hak Konstitusional Pemohon, yaitu hak atas kepastian hukum,
jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil, sesuai dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
35. Bahwa akibat dari penolakan laporan tuduhan Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, oleh OJK,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
maka hal ini jelas telah juga menghilangkan hak konstitusional Pemohon,
yaitu hak atas kepastian hukumjaminan hukum dan perlindungan hukum
yang adil.
36. Bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan,Pemohon yakini bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusi, yaitu jaminan hak asasi manusia tentang hak
atas kepastian hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil.
37. Bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, Pemohon yakini melanggar Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
38. Bahwa Pemohon yakini telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat
berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan.
39. Bahwa dari uraian-uraian diatas, maka jelas sekali hubungan sebab akibat
antara kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 49 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
40. Bahwa dari uraian-uraian di atas, maka jelas sekali potensi Pemohon
untuk memperoleh kembali hak konstitusional jika permohonan ini dapat
dikabulkan.
41. Bahwa agar memberikan makna yang jelas dan memberikan kepastian
hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil, bagi Pasal 49
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, maka mohon supaya dihapus frasa “bagi bank” , sehingga
pasal ini semestinya berbunyi, “tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8(delapan) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
IV. Petitum
Berdasarkan dalil-dalil Pemohon di atas, maka kami mohon kepada
Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memberikan putusan dalam perkara ini,
sebagai berikut;
PRIMER
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama
8(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah)”.
3. Menyatakan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8(delapan)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Subsider
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pemohon Mohon keadilan
yang seadil-adilnya berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12
I. POKOK PERMOHONAN
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15
Sehubungan dengan dalil Pemohon bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b
UU Perbankan dalam perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 yang menyatakan:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
3. Sanksi pidana dalam pasal a quo merupakan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan bagi para nasabah Perbankan. Selain sanksi pidana, pihak-
pihak yang melakukan tindak pidana juga dikenakan sanksi tambahan
berupa saksi administrasi sesuai dengan Pasal 52 UU Perbankan. Sanksi
administratif umumnya diterapkan pada pegawai bank dan atau pada bank
yang melanggar ketentuan di bidang perbankan (ekstern atau intern bank)
yang sifatnya teguran/pembinaan yang bobotnya ringan dan tidak terkait
dengan kerugian bank misalnya dari hasil pemeriksaan operasional
ditemukan kelemahan administratif.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19
KESIMPULAN
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
3. PERTIMBANGAN HUKUM
a. ...;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
Pokok Permohonan
1. Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan sepanjang frasa, “bagi bank” menjadi
tidak jelas maknanya yang membuat ketidakpastian hukum, jaminan hukum dan
perlindungan hukum yang adil;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25
Pendapat Mahkamah
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
[3.18] Menimbang bahwa salah satu ciri negara hukum adalah pengadilan dalam
pengambilan putusan secara substansial tidak boleh ada campur tangan,
negosiasi dan kompromi dengan pihak manapun sebagai konsekuensi dari
kedudukan lembaga peradilan selaku kekuasaan yang merdeka, bebas dari segala
campur tangan pihak manapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Peradilan
bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga,
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi
ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28
pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati
putusan pengadilan, serta pengabaian pengurus bank terhadap putusan
pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa “bagi bank”, menurut
Mahkamah bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945;
4. KONKLUSI
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.1 Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti,
serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;
KETUA,
ttd
Arief Hidayat
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
ttd.
Anwar Usman Aswanto
ttd. ttd.
Maria Farida Indrati Patrialis Akbar
ttd. ttd.
ttd.
Manahan M.P Sitompul
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUTUSAN
Nomor 10/PUU-VI/2008
Pemohon IV, berdomisili di Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, beralamat
di Mayapada Tower, Lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28, Jakarta 12920;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
Jong java, jong ambon, jong celebes, jong sumatra telah berikrar ”satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa” pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk mewujudkan
Indonesia. Konstitusi pertama Indonesia sebagai kontrak sosial berbangsa dan
bernegara yang dibuat oleh BPUPKI/PPKI yang dirumuskan oleh para tokoh-tokoh
daerah telah menjustifikasi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rakyat yang hidup di berbagai daerahlah yang sejatinya membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan sekaligus menegaskan muara dari tujuan
negara seperti tersebut di dalam pembukaan UUD 1945. Alinea keempat
pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: “... untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
9
seluruh tumpah darah Indonesia ...” dan “... maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat ...”. Muara itu ditujukan untuk kepentingan dan kehidupan
seluruh rakyat, bukan sekadar klusterisasi kekuatan politik tertentu yang
memanfaatkan pranata politik untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Namun tidaklah dapat dipungkiri fakta yang terjadi hingga saat ini bukanlah
perilaku baru dalam sistem budaya politik kita sepanjang tiga dekade lebih rezim
Orde Baru berkuasa bahwa negara telah dikelola secara terpusat dan mengingkari
spirit pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan inilah salah satu faktor
yang secara jelas telah mendorong lahirnya Reformasi.
Muhammad Yamin dalam penyusunan Undang Undang Dasar 1945 telah secara
tegas menyatakan:
“...permusyawaratan rakyat adalah wujud kedaulatan rakyat yang sempurna atau
sambungan yang paling tinggi dari kedaulatan rakyat yang syaratnya terdiri dari
wakil langsung daripada rakyat dan wakil daerah. Wakil daerah ini menjadi sangat
perlu oleh karena tanah Indonesia tentu akan terdiri atas beberapa daerah dan
wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan
dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah
dalam permusyawaratan itu...”; “Jadi, dengan segala kesederhanaan saya
berkeyakinan bahwa constitutie Indonesia hanya dapat disusun kalau didasarkan
atas negara kesatuan, dengan mewujudkan syarat-syarat untuk mementingkan
daerah, pembagian kekuasaan dipusat antar badan-badan pusat sendiri dan
pembagian kekuasaan rakyat antar badan pusat dan badan daerah, barulah diatur
dengan keadilan dan kebijaksanaan....”
(Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I, J Prapantja hal
233)
Reformasi merespons kesemuanya dengan melahirkan UU Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilu dan undang-undang bidang politik lainnya serta UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berujung pada
perubahan konstitusi. Substansi otonomi daerah diletakkan dalam derajat dan level
tertinggi dalam sistem bernegara hukum Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945
telah menegaskan tentang eksistensi pengelolaan daerah secara otonom sehingga
seyogianya tidak lagi dapat dikembalikan lagi secara sentralistik oleh pemerintah
pusat. Semangat reformasi dengan mempertegas sikap afirmatif terhadap daerah
ini masih terus terpelihara sebagai dasar lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
10
Konstitusi memastikan hubungan pusat dan daerah dalam prinsip dan perspektif
otonomi. Daerah diberi keleluasaan gerak, mengatur dan mengurus urusannya
sendiri berdasarkan prinsip otonomi dalam sistem negara kesatuan. Secara
normatif, Konstitusi menjustifikasinya melalui BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH,
Perubahan Kedua UUD 1945, dalam Pasal 18, 18A, dan 18B.
Salah satu konsekuensi Perubahan Kedua UUD 1945 ialah penegasan bahwa
kekuasaan politik pusat yang bersifat sentralistik berdasarkan kesepakatan politik
Presiden dan DPR belaka telah ”gagal” memajukan martabat daerah. Itu
sebabnya, konstitusi menegaskan otonomi menjadi sebuah keniscayaan.
Desentralisasi tidak dapat lagi diubah menjadi sentralisasi semata-mata dengan
kesepakatan politik Presiden dan DPR melalui instrumen hukum bernama undang-
undang karena konstitusi meniscayakan daerah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan.
Institusi pemerintahan daerah yang dahulu tidak jelas dan tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam konstitusi, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD provinsi/
kabupaten/kota kini menjadi kuat dan berindikasi sama dengan institusi lembaga
negara. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri
melalui instrumen hukum yang bernama Peraturan Daerah yang kemudian dapat
dijabarkan sebagai Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pendeknya, konstitusi
telah memberikan dan menjustifikasi kewenangan pada daerah untuk melakukan
penguatan otonomi agar daerah dapat mengakselerasi seluruh daya daerah guna
meningkatkan martabat daerah dan mengejar ketertinggalan.
Perlu diperhatikan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dan DPR
tersebut, di masa lampau bukan saja telah menimbulkan rangkaian protes dari
11
Oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi keutuhan
bangsa dan Negara, agar Dewan Perwakilan Daerah terdiri dari anggota-anggota
yang sepenuhnya merupakan representasi daerah secara lahir dan bathin, bukan
saja untuk benar-benar terwakilinya aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat
nasional, tetapi juga untuk mencegah secara mendasar kemungkinan timbulnya
protes daerah dan atau bibit-bibit pemberontakan di masa datang sebagai akibat
kesalahan dalam proses pembentukan undang-undang.
Jika hal ini diabaikan, protes dan pemberontakan di tingkat daerah ini masih
mungkin terjadi dalam kurun pasca Reformasi, seperti tercantum dalam sikap
utusan masyarakat hukum adat dalam kongresnya di Jakarta pada tahun 1999—
dan masih dianut sampai sekarang—yang berbunyi, “Jika Negara tidak mengakui
kami, kami tidak akan mengakui Negara”. Seperti kita ketahui, sampai sekarang
ini masih belum ada Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, walau sudah direncanakan beberapa tahun yang lalu
oleh Badan Legislasi DPR. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
demikian kecilnya perhatian DPR terhadap masalah ini, salah satu sebabnya
karena seluruh anggota DPR adalah anggota partai politik yang tidak berakar di
daerah tetapi di dalam partai.
Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik. Artinya, otomatis dominasi kepentingan partai
politik akan mewarnai proses legislasi di bidang otonomi daerah.
Hal ini akan berpotensi besar menjadi bias, karena ketiadaan representasi daerah
guna menentukan atau secara bersama-sama memegang kekuasaan
pembentukan undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada pembentukan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2007: ada banyak norma yang dapat mencabut substansi yang esensial bagi
12
otonomi daerah yang diatur dalam UUD 1945. Pada konteks tersebut, faktor
utamanya dapat berupa tidak adanya peran daerah yang signifikan dan
determinatif dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Selain itu, juga dapat terjadi bias ketika dominasi pembentukan kebijakan pusat
melalui undang-undang hanya berada dalam tangan kekuatan Parpol saja yang
secara prinsipil, menurut teori-teori ilmu politik, basis ideologi kepentingannya
sangatlah berbeda. Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan organ negara
yang mewakili kepentingan daerah, yakni dengan adanya Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) pada BAB VIIA Perubahan Ketiga UUD 1945. Di Perubahan Ketiga
UUD 1945 jelas disebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] dan
peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].
DPD adalah institusi negara yang menjadi organ utama penyambung lidah otonomi
daerah dalam pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk mengimbangi
kepentingan politik hukum partai politik dalam mendesain berbagai hal mengenai
otonomi daerah. Itu sebabnya, anggota DPD tidak ditentukan harus masuk melalui
pintu parpol seperti DPR dan Presiden, tetapi berasal dari perseorangan daerah
guna mewakili ‘ideologi’ serta kepentingan daerah.
Inilah mungkin yang disadari oleh para anggota DPR dahulu, sehingga tangan
DPD yang diharapkan memainkan penyeimbangan kekuasaan pembentukan
undang-undang, secara sengaja tidak didesain sempurna sehingga lahirlah DPD
dengan kewenangan legislasi yang sangan terbatas; dan dalam praktik, melalui
berbagai UU, peran legislasi DPD kian dan kian diperlemah. DPD dibuat tidak
sebagai organ negara konstitusional yang selayaknya memiliki kekuasaan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Fakta seperti ini secara perlahan akan menghilangkan esensi otonomi seperti yang
ditegaskan oleh konstitusi Indonesia hasil Perubahan Kedua. Kerugian
konstitusional itu sebenarnya ada pada organ negara di daerah dalam
menjalankan otonomi daerah, karena Perubahan Kedua UUD 1945 yang lahir lebih
awal itu telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi daerah, namun tidak
ditindaklanjuti dengan menghadirkan organ negara yang bisa mendukung
perwujudan dan optimalisasi amanat Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut, yaitu
13
Konstitusi yang telah membedakan secara tegas kamar DPR dan DPD telah
diingkari ketika terjadi penetrasi Parpol yang dapat dengan leluasa masuk ke
dalam sistem perwakilan daerah sehingga menjadi semakin sulit untuk
membedakan secara materiil antara wakil daerah dan wakil parpol. Di masa
mendatang dapat terjadi, seseorang yang tidak mengenal kebutuhan dan
kepentingan daerah provinsi tertentu karena tidak pernah berdomisili di wilayah
tersebut menjadi wakil dari provinsi tersebut hanya karena kekuatan mesin politik
parpol. Pada titik inilah, daerah dan otonomi akan kehilangan makna substantifnya
karena ia telah diinfiltrasi dan dikooptasi secara sistematis dan paripurna oleh
rezim Parpol dengan sistem sentralistiknya.
2. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan:
”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, ......”
11. Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan:
12. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kewenangan konstitusional
DPD di bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu
dikaitkan dengan kepentingan dan aspirasi daerah. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada
DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.
14. Ketiadaan syarat domisili, sebagaimana diamanatkan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945, menyebabkan pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat
17
diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal
daerah tersebut. Anggota DPD yang demikian diragukan kapabilitasnya
dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Hal ini jelas
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I (DPD) karena anggota-
anggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya masing-masing
tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD sebagai lembaga dalam
menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Anggota DPD
yang demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang
diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi. Tidak pula
dapat dijamin kecepatan dan kemudahan pengambilan keputusan terkait
suatu daerah karena kurangnya pemahaman atau pengenalan atas daerah
tersebut.
15. Ketiadaan Syarat Non-Parpol yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan dimenangkan
oleh anggota atau pengurus partai politik (”Parpol”). Menurut penalaran yang
wajar, anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan
kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah secara
keseluruhan. Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat
sentralistik di mana pengambilan keputusan masih tergantung pada pimpinan
di tingkat pusat, bahkan dalam hal tertentu di tangan satu orang saja.
Anggota DPD yang berasal dari Parpol diragukan efektivitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Anggota DPD yang lebih
mementingkan Parpol daripada aspirasi dan kepentingan daerah jelas akan
sangat merugikan kewenangan konstitusional DPD yang diberikan oleh UUD
1945 (Pasal 22D).
Secara implisit, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak konstitusional
kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi tertentu untuk
dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan. Jadi hak
konstitusional yang dijamin oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 adalah hak
warga negara untuk dipilih sebagai anggota DPD dari provinsi tempat ia
berdomisili.
20. Ketiadaan syarat domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) telah
menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-
orang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal ini jelas
merugikan hak konstitusional Pemohon II yang berdomisili di daerah yang
bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga
negara Indonesia yang bukan anggota atau pengurus partai politik untuk
dipilih menjadi anggota DPD.
23. Ketiadaan syarat non parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) jelas
berpotensi menimbulkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon II
sebagai warga negara yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Ketiadaan syarat non Parpol membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk
berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD.
Persaingan ini akan berlangsung secara tidak adil karena calon yang berasal
dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol yang sudah terbentuk hingga
tingkat kecamatan, bahkan di desa-desa. Sementara calon perseorangan
hanya mengandalkan jaringan personal. Persaingan yang tidak adil tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Bagaimana mungkin Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD
yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain? Jadi,
terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak terwakili
dalam lembaga DPD karena anggota DPD yang terpilih berasal dari provinsi
lain.
20
26. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon II (para anggota DPD)
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
28. PEMOHON III adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas sangat aktif
dalam dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja
parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran
aspirasi daerah.
29. PEMOHON III Nomor 1 adalah Direktur Eksekutif CETRO, sebuah lembaga
swadaya masyarakat nirlaba yang maksud dan tujuannya antara lain
menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dalam rangka mewujudkan cita-
cita masyarakat madani yang berkeadilan sosial, menyebarkan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia melalui Pemilu yang berkedaulatan rakyat agar dapat
mendorong terciptanya perubahan di berbagai bidang, dan mengupayakan
pemberdayaan masyarakat agar mempunyai pengetahuan dan wawasan
mengenai pentingnya Pemilu. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam
hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap upaya
pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi terselenggaranya Pemilu yang
demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan
parlemen yang berkedaulatan rakyat.
30. PEMOHON III Nomor 2 adalah Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, sebuah
organisasi yang melakukan advokasi untuk penyaluran aspirasi dan
perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat—sebagai bagian dari
masyarakat daerah—yang dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I
21
ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 2 adalah perorangan
warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal
yang berkaitan dengan penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat—sebagai
bagian dari aspirasi masyarakat daerah—sehingga Pemohon III Nomor 2
adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap
penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi
masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang tepat di DPD
RI agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal
18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 terlindungi.
31. PEMOHON III Nomor 3 adalah Ketua Umum IPC, sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang maksud dan tujuannya adalah memfokuskan diri pada
kajian mengenai parlemen dan membantu parlemen dalam rangka
memperkuat posisi dan peran kelembagaan; dan mewujudkan parlemen yang
mampu merepresentasikan kepentingan publik, sehingga dapat
meningkatkan kualitas produk legislasi serta dapat mengembangkan
kemampuan pengawasan terhadap pemerintah dalam implementasi
kebijakan dan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 3
adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang
tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III
Nomor 3 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan
terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang mampu
merepresentasikan kepentingan publik dengan baik.
33. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon III memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang ini.
37. Dengan demikian, dari uraian di atas, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
23
Pasal 22C ayat (1) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili).
Pasal 22E ayat (4) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol).
40. Raison d’etre di balik pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas sang wakil daerah di DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri dan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 12 huruf m UU
Pemilu), misalnya, juga adalah demi netralitas.
43. Namun setelah RUU Pemilu tersebut dibahas di DPR dan akhirnya
diundangkan oleh Presiden menjadi UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008)
pada tanggal 31 Maret 2008, syarat domisili dan syarat non-Parpol
dihilangkan keberadaannya. Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1) berbunyi:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
26
anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB)
Saifullah Ma’shum di Jakarta, Kamis (13/3).
Hal yang mengganggu itu terutama tentang ketentuan semua parpol yang
memiliki kursi di DPR bisa ikut Pemilu 2009 tanpa perlu verifikasi dan
dihilangkannya ketentuan domisili bagi calon anggota DPD. “Saya berusaha
menghalangi munculnya peraturan itu, tetapi gagal,” katanya.
46. Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal
12 dan Pasal 67) merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam
undang-undang. Ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol
tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat, karena ia telah
menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih
dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] serta calon anggota DPD
berasal dari perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].
Secara semantis frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa
calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orang-
orang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
48. Frasa ”dipilih dari setiap provinsi” sebelumnya telah ”ditafsirkan” oleh DPR
dan Presiden melalui Pasal 63 UU Pemilu 2003 (vide Bukti P–2):
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
28
50. Ketiadaan Syarat Domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang.
Ketiadaan syarat domisili tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat,
karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon
anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Berikut adalah bunyi Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1):
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
29
51. Dengan mengacu pada persyaratan di atas (terutama huruf c), maka
siapapun warga negara Indonesia yang bertempat tinggal (berdomisili) di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat memilih untuk
mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD di provinsi mana pun di
Indonesia. Itulah sebabnya hal ini memicu rangkaian reaksi keras rakyat
Indonesia dari seantero Tanah Air sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak
Parpol Masuk Kamar DPD!” yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih
dari 22.000 orang dari Sabang sampai Merauke (Bukti P–5).
53. Norma konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi
terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] juga tidak tampak dalam Pasal 67 UU
Pemilu yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon
Anggota DPD (vide Bukti P–1):
30
55. Pentingnya syarat domisili tersebut juga dinyatakan secara tegas oleh
berbagai ahli tata negara Indonesia. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.
dalam bukunya yang berjudul DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru,
Penerbit FH UII Press, 2003 (hal. 56-57), (Bukti P–6) menyatakan:
31
56. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam makalah yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 3, menyatakan
(Bukti P–7):
57. Lebih lanjut, dalam makalah tersebut, hal 4, Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, S.H. juga menjelaskan dampak positif yang ditimbulkan
sebagai konsekuensi dipilihnya anggota DPD dari calon yang berdomisili di
daerah (vide Bukti P–7):
58. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (Bukti P–8):
59. Pandangan para ahli tata negara tersebut di atas tentang syarat bahwa
anggota DPD haruslah dipilih dari warga negara yang berdomisili di daerah
yang akan diwakilinya sangat sesuai dengan gagasan dasar pembentukan
DPD sebagaimana digambarkan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede
32
Palguna, S.H., M.H., yang juga merupakan anggota MPR yang ikut
membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah yang berjudul ”Susunan
dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 1 (Bukti P–9):
60. Uraian di atas menunjukkan bahwa baik dari segi penafsiran secara semantis
maupun penafsiran secara kontekstual dengan mengacu pada gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
dalam memilih anggota DPD. Ketiadaan syarat domisili menyebabkan Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya
inkonstitusional. Dan konsekuensi logisnya adalah bahwa Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945.
62. Ketentuan Pasal 22E ayat (4) tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan
warga negara Indonesia lainnya yang merupakan anggota Parpol karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR atau anggota DPRD. Dengan
33
demikian, adalah logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) sebagai
ketentuan yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga
negara yang tidak memiliki keterkaitan institusional dengan Parpol (bukan
anggota atau pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD.
63. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 22E UUD 1945 telah secara adil
mengatur bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan sedangkan anggota
DPR dan DPRD dipilih dari anggota Parpol. Pengaturan hak untuk dipilih
yang telah dilakukan secara adil oleh UUD 1945 ini telah dinegasikan di
dalam pembahasan Revisi UU Pemilu. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan suatu pengingkaran terhadap
UUD 1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Pengingkaran ini dilakukan secara
sistematis dan akan diuraikan di bagian berikut.
64. Ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan
anggota DPR dilakukan melalui Parpol kemudian diatur lebih lanjut dalam
Pasal 50 UU Pemilu (vide Bukti P-1):
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
harus memenuhi persyaratan:
........
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
.....
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
65. Logikanya UU Pemilu juga mengatur lebih lanjut norma konstitusi yang
terdapat dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma tersebut
mensyaratkan bahwa calon anggota DPD adalah perseorangan (non-Parpol).
Pada kenyataannya, secara sistematis norma konstitusi tersebut dihilangkan
dari batang tubuh UU Pemilu. Pembedaan penyaluran aspirasi politik
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 juga telah
dinyatakan di dalam alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu. Namun
dalam batang tubuh UU Pemilu, hal tersebut tidak secara eksplisit dan implisit
dikemukakan. Berikut ini adalah kutipan alinea keempat Penjelasan Umum
UU Pemilu, alinea keempat (vide Bukti P–1):
34
67. Lebih lanjut, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Pasal
22E ayat (4) UUD 1945 telah ”ditafsirkan” sebelumnya oleh Presiden dan
DPR dengan diundangkannya UU Pemilu 2003. Pasal 63 UU Pemilu 2003
menyatakan:
69. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan suatu pengingkaran dan/atau pelanggaran atas UUD 1945
khususnya Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol merupakan
kesalahan yang fatal dan hal ini menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu inkonstitusional. Oleh karena itu sudah seyogianya pasal-pasal yang
cacat tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
71. Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh pendapat dari kalangan ahli tata
negara yang secara tegas menyatakan bahwa calon anggota DPD yang
mewakili kepentingan daerah sebagai bagian dari sistem perwakilan
fungsional (functional representation) adalah perorangan yang non-Parpol.
72. Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsolidasi
Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat” (catatan kaki nomor 98),
halaman 44-45, (Bukti P–10) mengemukakan penjelasannya mengenai
36
73. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam paper yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 4, (vide Bukti
P–7) menyatakan:
74. Lebih lanjut, Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dan Dr. Mochamad
Isnaeni Ramdhan, S.H. dalam dalam makalah yang berjudul ”Perihal Dewan
Perwakilan Daerah dalam Perspektif Ketatanegaraan”, hal 4 menyatakan
(Bukti P–11):
75. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. yang juga merupakan
anggota MPR yang ikut membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah
yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 3-4,
menyatakan (vide Bukti P–9):
37
76. Profesor Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul ”Anggota DPR
dan Anggota DPD” (Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008), menyatakan
(Bukti P–12):
77. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (vide Bukti P–8):
pasti tidak akan dapat menjadi wakil kepentingan/aspirasi daerah yang baik
dan akan lebih banyak mengutamakan kepentingan/aspirasi partainya,
dengan mengemukakan contoh bahwa terdapat negara-negara demokrasi di
dunia yang anggota Senatnya berasal dari Parpol atau boleh berasal dari
Parpol tetapi dapat melaksanakan amanatnya sebagai representasi daerah
dengan baik, misalnya Amerika Serikat.
80. Namun perlu dicatat di sini bahwa, sebaliknya, juga terdapat sejumlah negara
demokrasi di dunia yang mengatur dengan tegas bahwa anggota Senat
negara tersebut tidak boleh berasal dari Parpol, misalnya Thailand
(sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di bawah).
81. Perbedaan ini disebabkan berbeda-bedanya raison d’etre dan konteks latar
belakang setiap negara merasakan perlunya melahirkan lembaga semacam
Senat (dalam konteks Indonesia, DPD RI). Konsekuensinya, dengan
sendirinya lingkungan politik dan budaya politik yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai atau menghambat pelaksanaan
fungsi sebuah Senat juga berbeda-beda antara negara yang satu dengan
negara yang lain. Sehingga, setiap negara harus memiliki caranya sendiri-
sendiri untuk mendorong terciptanya sistem yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai dalam lingkungan politik dan
budaya politik tersebut serta mengeliminasi sistem yang menghambat
pelaksanaan fungsi sebuah Senat dalam lingkungan politik dan budaya politik
tersebut.
82. Dalam lingkungan dan budaya politik Amerika Serikat, misalnya, “It is hard to
overstate the extent to which American parties are characterized by
decentralized power structures. Historically speaking, within the party-in-the-
government, presidents cannot assume that their party's members in
Congress will be loyal supporters of presidential programs, nor can
party leaders in Congress expect straight party-line voting from
members of their party. Within the party organization, the Republican and
Democratic congressional and senatorial campaign committees (composed of
incumbent legislators) operate autonomously from the presidential oriented
national party committees — the Republican and the Democratic National
Committees.” (John F. Bibby, “Political Parties in the United States”,
International Information Program, www.usinfo.state.gov). (Bukti P-12A).
39
83. Sedangkan dalam konteks lingkungan dan budaya politik Indonesia dewasa
ini, hal yang sebaliknyalah yang justru terjadi: ”Oligarki partai menjadi
penyebab para anggota DPR tidak bisa berbuat banyak untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Para wakil rakyat itu
terjebak pada pola untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan
partainya.” (Dhaniel Dhakidae dalam Harian ”Sinar Harapan”, Rabu, 21
Januari 2004, ”Oligarki Partai Sebabkan DPR Abaikan Aspirasi Rakyat”)
(Bukti P-12B). “Pengurus di tingkat DPD, DPC, DPK, sampai DPR (ranting di
desa) diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final.” (Abdul
Gafur Sangadji, “Utopia Reformasi Parpol”, Harian “Merdeka”, 15 September
2004) (Bukti P-12C).
84. Konteks Indonesia yang dikemukakan di atas ini senada dengan tesis Robert
Michels bahwa “…kebijakan partai bertumpu dan bertumpuk pada ketua dan
elit partai sehingga sulit diterapkan desentralisasi kepartaian…” (Robert
Michels, “Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies
of Modern Democracy”, 1984). Oleh karena itulah, Herbert Schambeck
menyatakan, “In a democracy with a pluralistic society, be it a monarchy or a
republic, political parties … must also recognize their limits as well as their
opportunities within a democratic and constitutional system. This applies
even more so to federal countries, where the people are organized,
institutionalized and represented at different levels, at the local, regional
and federal levels.” (Dr. Herbert Schambeck (Profesor di University of Linz
dan mantan Presiden Bundesrat Austria), “Reflections on the significance of
the bicameral parliamentary system; Bicameralism, Democracy and the Role
of the Civic Society”, Meeting of the Association of European Senates,
Ljubljana, 28 Juni 2002) (Bukti P-12D).
85. Negara seperti Thailand, misalnya, pun memiliki konteks dan budaya politik
tersendiri lagi, yang berbeda dengan konteks dan budaya politik Amerika
Serikat, yang membuat negara tersebut harus mengatur dengan tegas dan
ketat bahwa anggota Senat tidak boleh berasal dari Parpol untuk menjamin
berfungsinya para anggota Senat (sebagai representasi daerah) dengan baik
dalam lingkungan dan budaya politik negara tersebut. Anggota Senat,
menurut Section 114 angka (5) dan (6) Konstitusi Thailand, haruslah (Bukti
P-12E):
40
86. Dengan demikian, jelaslah bahwa kenyataan bahwa di Amerika Serikat atau
negara-negara tertentu lain anggota Senat berasal atau boleh berasal dari
Parpol tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi berlakunya hal yang
sama di Indonesia. Kecuali Indonesia memiliki raison d’etre, konteks latar
belakang atau lingkungan dan budaya politik yang sama dengan negara-
negara tersebut, kenyataan tersebut tidak dapat dengan sendirinya menjadi
justifikasi bagi diterapkannya hal yang sama di Indonesia.
89. Selengkapnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain berbunyi:
90. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 dan UU MK tidak pernah
membatasi kewenangan pengujian materiil MK hanya dalam arti adanya
norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 saja. Hal ini
dikarenakan dalam kenyataannya inkonstitusionalitas suatu undang-undang
dapat disebabkan baik oleh adanya norma undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 maupun oleh tiadanya norma tertentu
dalam undang-undang padahal norma tersebut diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar.
92. Dalam ilmu hukum, terdapat teori “ketiadaan suatu norma mengadakan/
menciptakan suatu norma baru”. Kenyataan empiris pun membuktikan teori
ini. In casu, misalnya, ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol
mengadakan/menciptakan norma baru bahwa “Peserta Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Daerah dapat tidak berasal dari provinsi yang hendak
diwakilinya dan/atau dapat merupakan anggota atau pengurus Parpol”,
sehingga norma baru (yang tercipta dari ketiadaan norma yang seharusnya
ada) inilah yang bertentangan dengan norma Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
yang berbunyi:
42
dan norma dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi:
93. Jadi dapat disimpulkan, in casu bukanlah apa yang telah ada (tertulis) dalam
UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945—norma-norma yang telah
ada (tertulis) dalam UU Pemilu telah sesuai dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945—namun apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945
karena ketiadaan ini mengadakan/menciptakan norma baru sebagaimana
diuraikan di atas, dan norma baru inilah yang bertentangan dengan UUD
1945.
94. Pasal 63 UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon
anggota DPD antara lain:
95. Jika Pasal 63 UU Pemilu 2003 tersebut maupun Draft RUU Pemilu Versi
Pemerintah dibandingkan dengan UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008,
khususnya Pasal 12 dan Pasal 67, maka terlihat jelas bahwa ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan suatu
upaya pelanggaran konstitusi yang disengaja dari para pembuat UU Pemilu.
Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai apa perbedaan latar
belakang situasi dan kondisi Pemilihan Umum 2004 dengan Pemilihan Umum
2009 sehingga kedua syarat ini harus ikut berubah. Oleh karena itu, sangat
beralasan bila para Pemohon menengarai bahwa penghilangan syarat
domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan upaya merusak
tatanan kehidupan demokrasi nasional untuk vested interest politis tertentu,
sebagaimana diungkapkan seorang anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma’shum, di atas (vide Bukti P–4) dan
sebagaimana dikatakan Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul
43
”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008)
(vide Bukti P-8):
Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar
sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi
partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi
signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi
undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat
kekuasaan para politisi partai? Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita
dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi
partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi
alatnya”.
97. Atau, andai pun Mahkamah Konstitusi tidak berpendapat demikian, karena
Mahkamah Konstitusi adalah the final interpreter of the Constitution maka
Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk setidaknya menyatakan bahwa kedua
pasal tersebut conditionally constitutional jika norma terbuka itu ternyata
ditafsirkan sesuai dengan konstitusi (sebagaimana akan diuraikan di bawah)
dan conditionally unconstitutional jika ditafsirkan berlawanan dengan
ketentuan konstitusi, yakni Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
98. Para Pemohon juga menyadari, apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi maka akan terjadi kekosongan hukum mengenai syarat-syarat
calon anggota DPD dan syarat-syarat kelengkapan administratif calon
anggota DPD, sementara proses Pemilihan Umum 2009 sudah dimulai sejak
tanggal 5 April 2008 (Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2008, tanggal 3 April
2008) (Bukti P–13). Untuk mengatasi masalah ini, para Pemohon memohon
44
ATAU
E. PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan
ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
ATAU
ATAU
ATAU
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
47
Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada
kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah
kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki
otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan,
eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah
menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama
lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti
itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber
daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara,
di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang
membuat mereka sekarang menjadi negara maju;
Namun tokoh-tokoh perjuangan bangsa tampaknya sangat menyadari posisi
politik lokal yang rentan dan tercerai berai itu yang hanya membawa keuntungan
politik dan ekonomi bagi kalangan penjajah. Maka, seperti sangat jelas tertoreh
dalam sejarah pada tahun 1928, para tokoh muda nusantara dengan penuh
kesadaran dan sikap kritis telah membangun semangat kebangsaan dengan
mengikrarkan Sumpah Pemuda (satu nusa, bangsa, dan satu bahasa). Mereka
merupakan elemen-elemen putra bangsa berbasis lokal (daerah), yang dikenal
sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatra, dan sebagainya.
Momentum sejarah 1928 itu secara pasti dan sistematis telah membangun
kesadaran kebangsaan yang satu dalam keragaman sosio-kultural. Semangat itu
pulalah yang mewarnai kemerdekaan bangsa ini yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Singkatnya, konstruksi keindonesiaan pada dasarnya terbangun
dari ruh dan elemen-elemen daerah yang heterogen baik secara etnik, budaya,
maupun alamnya;
Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa
dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan
pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara
haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan
dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal
dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai
48
buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat
ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi
dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa Parpol yang eksis di
daerah umumnya merepresentasikan kepentingan Parpol pusatnya yang berwatak
sentralistik itu. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari
komunitas yang primary group-nya berbasis Parpol, maka sangat berpotensi
mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan
dengan kepentingan partainya;
Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang
ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu
perubahan penting adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Perubahan
mendasar lainnya adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
Pembentukan lembaga perwakilan kedua yang dilahirkan oleh gerakan
reformasi tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang
cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I.
Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-
pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan
yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di
negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Keberadaan DPD diharapkan akan memperkuat sistem parlemen dan dengan
demikian memperkuat demokrasi di Indonesia;
Namun karena pembuatan Undang-Undang Dasar merupakan proses politik,
pada akhirnya kompromi-kompromi politiklah yang membuahkan hasil akhir.
Antara lain seperti yang berkenaan dengan peran DPD yang sama sekali jauh dari
pikiran-pikiran awal yang datang dari gagasan-gagasan reformasi. Oleh karena itu
DPD dengan dukungan dari daerah-daerah, antara lain 31 gubernur dari 32
provinsi yang sekarang ada, bupati dan walikota, DPRD-DPRD, organisasi-
organisasi kemasyarakatan dan civil society serta pakar-pakar dari perguruan-
perguruan tinggi di seluruh tanah air, berupaya untuk menyempurnakan lagi
Undang-Undang Dasar agar supaya semua lembaga negara dalam konstitusi
berfungsi dalam sebuah bangunan sistem demokrasi yang kukuh. Namun kami
menyadari Majelis ini bukan lembaga yang tepat untuk kami membicarakan
perubahan Undang-Undang Dasar. Karena justru Mahkamah Konstitusi diserahi
51
tugas oleh konstitusi untuk menjaga agar konstitusi yang berlaku dijalankan
dengan benar;
Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa
kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat
dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di
tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan senantiasa sejalan dengan
kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Bahwa DPD akan
menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan
nasional dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah.
Bahwa kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak
perlu dipertentangkan. Di dalam serba keterbatasan kewenangan dan fungsi
konstitusional DPD, kami berusaha untuk memenuhi harapan rakyat tersebut
dengan sekuat tenaga dengan kemampuan yang ada pada kami;
Namun, kendala yang Pemohon hadapi bukan hanya pada tingkat konstitusi,
tetapi juga pada tingkat undang-undang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menafsirkan
ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 bahwa DPD ikut membahas
rancangan undang-undang di berbagai bidang hanya pada pembicaraan tingkat I
tahapan pembahasan di DPR. Kata-kata “ikut membahas” menunjukkan sifat
imperatif dari amanat tersebut, namun dalam praktiknya hanya berwujud
performa saja;
Bukan pula maksud Pemohon untuk menggugat Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tersebut pada kesempatan ini, karena sudah berlaku terlalu jauh dan
sekarang sedang ada pembahasan mengenai undang-undang yang baru tentang
susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut hasil pemilu yang
akan datang. Pemohon akan terus mengikuti bagaimana hasil pembahasannya
dan apabila kezaliman dan pengingkaran terhadap makna dan amanat Undang-
Undang Dasar tersebut dilakukan lagi, Insya Allah, akan kembali berada di muka
Majelis Hakim yang mulia untuk memohon keadilan;
Keberadaan Pemohon di hadapan Mahkamah yang mulia sekarang ini adalah
untuk memintakan petunjuk hukum atas beberapa bagian dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
menurut hemat Pemohon bertentangan dengan atau tidak mencerminkan
52
anggota DPR hanya dapat melalui partai politik juga membatasi hak politik warga
negara? Bagaimana pula bahwa untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
hanya bisa dari partai politik dan tidak boleh calon perseorangan? Apakah itu juga
bukan pembatasan terhadap hak politik warga negara? Jawabannya sederhana,
memang betul ada pembatasan! Tetapi pembatasan itu ditetapkan oleh Undang-
Undang Dasar dan karena itu harus kita terima dan kita patuhi. Tetapi kepatuhan
itu jangan hanya berlaku sepihak saja; kalau menguntungkan dipatuhi, kalau tidak
menguntungkan boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap undang-undang bisa
menjadi tindak kejahatan apalagi terhadap Undang-Undang Dasar;
Sesungguhnya tidak ada niat Pemohon untuk membatasi anggota partai
politik menjadi anggota DPD. Demikian pula tidak ada niat untuk “mengurangi
persaingan”, karena persaingan adalah hal yang baik asal dilakukan dengan sehat.
Yang harus ditegakkan oleh undang-undang adalah aturan atau prosedur untuk
menjamin bahwa kehendak Undang-Undang Dasar itu dipenuhi. Hal tersebut telah
diupayakan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yakni melalui Pasal
63, tetapi tidak muncul lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
sehingga tidak ada pegangan hukum untuk memastikan bahwa kehendak Undang-
Undang Dasar itu dipenuhi;
Pemohon juga mengetahui di berbagai negara di dunia keanggotaan kedua
majelis perwakilan mencerminkan perwakilan partai politik misalnya di Senat
Amerika Serikat, tetapi tidak juga harus selalu demikian. Misalnya di Thailand
Ketentuan mengenai domisili Anggota Senat diatur dalam Section 114 angka 4
huruf a sampai dengan d Konstitusi Thailand yang menyatakan bahwa, nama dari
orang yang akan ikut serta di dalam pemilihan harus tercatat di provinsi yang
bersangkutan sebagai penduduk di provinsi yang bersangkutan selama sekurang-
kurangnya lima tahun berturut-turut sebelum mengajukan pencalonan atau
dilahirkan di provinsi itu dimana dia akan ikut pencalonan atau pernah belajar di
sebuah lembaga pendidikan di provinsi tersebut dimana yang bersangkutan akan
ikut dalam pemilihan selama sekurang-kurangnya lima tahun akademik atau
pernah bekerja di provinsi tersebut dan itu tercantum di dalam catatan provinsi
tersebut yang bersangkutan itu telah bekerja sekurang-kurangnya lima tahun
berturut-turut. Sedangkan mengenai ketentuan Anggota Senat yang berkaitan
dengan partai politik Undang-Undang Thailand menyatakan bahwa calon anggota
senat tidak boleh merupakan keturunan, suami atau istri atau anak perempuan
56
atau laki-laki dari seorang anggota DPR atau seorang yang menduduki posisi
politik. Di dalam menjadi anggota atau memiliki kedudukan kepengurusan di dalam
partai politik selama sekurang-kurangnya lima tahun berturut-turut. Jadi dengan
demikian peraturan yang kita terapkan di Indonesia tidak bersifat anomali. Setiap
negara mempunyai sistemnya sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh latar
belakang sejarah, budaya, dan tradisinya serta kepentingan dan kebutuhannya.
Sejarah politik, sistem kepartaian, dan kondisi sosial budaya di satu masyarakat
tentu saja berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk di dalamnya sejarah
pembentukan dan perubahan konstitusi. Untuk bangsa Indonesia, khittah
bangunan lembaga perwakilan kita dalam konstitusi maupun faktor kondisional
meniscayakan pemisahan secara tegas antara karakter wakil rakyat melalui partai
politik dengan karakter wakil rakyat dalam entitas daerah. Hal ini juga sekaligus
mengisyaratkan penolakan monopoli atau hegemoni partai politik dalam proses-
proses pengambilan kebijakan di level nasional, sekaligus merupakan bagian dari
perwujudan checks and balances yang merupakan hal yang sangat fundamental
dalam sebuah sistem demokrasi;
Kalau kita membuka bagian konsideran ‘mengingat’ dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, secara eksplisit dinyatakan ayat (1) Pasal 22C dan Pasal
22E. Artinya, terdapat konsistensi antara syarat-syarat khusus bagi calon anggota
DPR dan calon anggota DPD dengan ayat-ayat terkait dalam konstitusi di dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Tetapi dalam Undan-Undang Nomor 10
Tahun 2008, syarat khusus calon anggota DPD itu sudah dihilangkan atau tidak
lagi dimunculkan, meskipun konsideran ‘mengingat’-nya masih tetap sama dengan
undang-undang sebelumnya. Padahal dalam draft RUU Pemilu yang diajukan oleh
pemerintah dicantumkan secara eksplisit syarat-syarat khusus calon anggota DPD
itu seperti pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Namun dalam prosesnya
RUU yang diajukan oleh Pemerintah tersebut telah berubah sedemikian rupa
sehingga timbul pertanyaan, apa yang sebetulnya terjadi? Apa sebabnya para
pembuat undang-undang mengabaikan semangat konstitusi dan kepentingan apa
yang ada di balik itu?
dan 22D Undang-Undang Dasar 1945 dan implikasinya berpotensi untuk terjadinya
pengingkaran terhadap perjuangan kepentingan daerah di tingkat nasional. Sebab
kalau dua syarat khusus itu tidak dicantumkan secara eksplisit, maka membuka
ruang untuk anggota lembaga perwakilan daerah yang dangkal pemahamannya
terhadap daerah yang diwakilinya dan berpotensi biasnya kepentingan wakil
daerah akibat terkalahkan oleh kepentingan parpol yang menjadi primary group-
nya. Konsekuensi lebih lanjut dari itu adalah akan munculnya benih-benih
kekecewaan daerah terhadap manajemen pemerintahan dan pengambilan
keputusan di tatar nasional–sesuatu yang juga bertentangan dengan tujuan
reformasi. Pada titik simpulnya sidang Mahkamah yang mulia daerah-daerah di
Indonesia membutuhkan keadilan dan komitmen yang konsekuen terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Masa depan bangsa ini, ketaatannya pada
konstitusi dan konsistensinya pada desentralisasi dan otonomi daerah yang
terwujud dalam semboyan bhinneka tunggal ika Pemohon serahkan pada daulat
Mahkamah Konstitusi untuk menentukannya. Patut disyukuri pada akhirnya
sekarang palu penjaga konstitusi berada dalam genggam sembilan jubah merah
konstitusi. Karena kami percaya tutur jujur Hakim Konstitusi yang kami baca dalam
buku Menjaga Denyut Konstitusi tahun 2004 bahwa—Pemohon kutip, “sembilan
jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah, para pengawal konstitusi yang
gagah, sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah bukan penjagal
konstitusi yang membuat rakyat marah”. Apapun yang dihasilkan dalam upaya
Pemohon “Merenda Keadilan dalam Mengangkat Harkat Daerah” melalui Majelis
Hakim yang mulia Pemohon percaya dasarnya adalah kebenaran dan keadilan
dan akan Pemohon terima dan teruskan seutuhnya kepada masyarakat di daerah
di seluruh penjuru tanah air, Indonesia tercinta;
Bukti P-3 : Fotokopi naskah akademik dan draft awal rancangan undang-
undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari Pemerintah tahun 2007;
Bukti P-4 : Fotokopi berita yang berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji Materi Harus
Dihargai” disampaikan oleh Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa
(F-KB) Harian Kompas, Jumat, 14 Maret 2008, halaman 3;
Bukti P-5 : Fotokopi kompilasi dukungan masyarakat atas “Petisi Tolak Parpol
Masuk Kamar DPD”;
Bukti P-6 : Fotokopi buku yang berjudul “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD
1945 Baru”, disusun oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.CL.,
penerbit FH-UII Press, Maret 2003, halaman 56-57;
Bukti P-7 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, disusun oleh Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, SH;
Bukti P-8 : Fotokopi artikel yang berjudul “UU Pemilu: Dari Partai untuk
Partai?”, ditulis oleh Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harian Kompas,
Senin, 3 Maret 2008, halaman 6;
Bukti P-9 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, ditulis oleh I Dewa Gede Palguna;
Bukti P-10 : Fotokopi buku yang berjudul “Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat”, disusun oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., Catatan Kaki No. 98, halaman 44-45;
59
Bukti P-11 : Fotokopi paper yang berjudul “Perihal Dewan Perwakilan Daerah
dalam Perspektif Katatanegaraan”, ditulis oleh Prof. Dr. Sri
Soemantri Martosoewignjo, SH., dan Dr. Mochamad Isnaeni
Ramdhan, SH., halaman 8;
Bukti P-12 : Fotokopi artikel yang berjudul “Anggota DPR dan Anggota DPD”,
ditulis oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata
Negara, Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008, halaman 6;
Bukti P-12A : Fotokopi makalah yang berjudul “Political Parties in the United
States”, ditulis oleh John F. Bibby;
Bukti P-12B : Fotokopi berita yang berjudul “Oligarki Partai Sebabkan DPR
Abaikan Aspirasi Rakyat, disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae,
dalam harian Sinar Harapan, Rabu, 21 Januari 2004;
Bukti P-12C : Fotokopi artikel yang berjudul “Utopia Reformasi Parpol”, oleh
Abdul Gafur Sangadji, Harian Merdeka, tanggal 15 September
2004;
Bukti P-13 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008
tanggal 3 April 2008;
Bukti P-16 : Fotokopi Daftar Hadir Sidang Paripurna Ke-11 (Tertutup) Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun
Sidang 2007-2008 tanggal 17 Maret 2008;
Bukti P-17 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Mei 2008, “Kuasai
DPD, PKS Susun Daftar Calon Senator”;
Bukti P-18 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Selasa, 10 Juni 2008, “Partai
Megawati Seleksi Calon Senator Kuasai DPD”.
PROSES PENYUSUNAN
Dalam penyusunan draft RUU Pemilu 2003, di samping memperhatikan naskah
akademik dilandasi oleh pokok-pokok ketetapan dalam UUD 1945, khususnya
pada beberapa pasal sebagai berikut :
61
UUD 1945
PROSES PENETAPAN
Dari naskah yang disampaikan Pemerintah dan setelah melalui pembahasan DPR
bersama Pemerintah, ditetapkan undang-undang Pemilu dengan UU Nomor 12
Tahun 2003
Pasal 61 : Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalan satu lembaga perwakilan
pada satu daerah pemilihan
Pasal 62 : Calon anggota DPR dan DPRD , juga harus terdaftar sebagai anggota
parpol peserta pemilu yang dibuktikan dengan KTA.
Meskipun jejak sejarah Partai Politik Indonesia bisa ditelusuri sampai ke era
kolonial, namun diskontinuiti dan inkonsistensi pengembangannya, menjadikan
institutusi utama demokrasi itu tidak berkemampuan memadai untuk berperan
secara optimal, apalagi maksimal. Argumen peranan partai yang menguat dalam
proses demokrasi, belumlah diimbangi dengan tekad dan tanggung jawabnya
untuk merealisasikan demokrasi secara bermanfaat. Kesenjangan yang cenderung
menguat di antara hak dan kewajiban partai dalam demokrasi seperti itu,
merupakan konsekuensi dari lemahnya pendewasaan politisi dan pencanggihan
teknologi politik serta pematangan institusionalisasi politik yang dialami partai di
sepanjang perubahannya yang terputus putus.
Selama hampir seratus tahun sejak awal abad ke 20, tetap dan semakin
diyakini bahwa representasi institusional dan fungsional partai atas rakyat ialah
Sistem Multi Partai. Padahal sudah terbukti secara periodik bahwa representasi
seperti itu bermuara kepada lemahnya pemimpin dan tidak efektifnya
pemerintahan. Malah pengalaman berbagai negara yang sukses dengan
representasi rakyat oleh sistem partai sederhana, tidak dipertimbangkan
manfaatnya bagi Indonesia dengan alasan percobaannya yang dilakukan oleh
Penguasa Orde Baru.
Sekalipun di sepanjang kemerdekaan Indonesia partai tidak berperan
secara kontinu, namun dengan alasan demokrasi, politisi partai begitu percaya diri
bahwa merekalah yang paling berhak menjadi penguasa dan atau penyelenggara
negara. Interpretasi demokrasi seperti itu, bukan saja menafikan sejarah Pemilu
tahun 1955 yang memberikan kesempatan kepada Calon Ormas dan Calon
Perseorangan untuk menjadi Calon Pemilu dan Pemimpin Politik—Pemerintahan,
melainkan juga mengenyampingkan peran dan sumbangan berbagai kekuatan
sosial—politik non partai dalam penyelenggaraan dan perubahan negara sewaktu
partai tidak berdaya dan atau tidak melakukan peran sebagaimana seharusnya.
Di era reformasi menuju demokrasi liberal jilid dua ini, interpretasi dan
operasi demokrasi seperti itu telah menjuruskan politisi dan partainya kepada
keyakinan dan usaha sistemik, untuk menunaikan peran politiknya secara
monopolistik. Berkuasa dan/atau berpengaruh atas keseluruhan proses politik dan
pemerintahan, dengan melemahkan atau mengenyampingkan peran kekuatan
sosial—politik non Partai, semakin menguat secara kuantitatif dan kualitatif.
64
Artinya, hampir tidak ada batasan institusional bagi intervensi kekuasaan politisi
dan partainya, dan keterlibatan itu berlangsung secara informal sampai formal
dengan menggunakan hukum, sekalipun mengesankan ingin benar sendiri dan
memaksakan kehendak.
Tragisnya, peran luas dan mendalam politisi dan partainya itu, tidaklah
ditunaikan secara adil dalam artian menyeimbangkan hak dengan tanggung jawab
(kewajiban). Berdasar analisis Ian Shapiro (YOI:2006), operasionalisasi hak Politisi
Partai bergaya Cartesian dengan menekankan hak individu sebagai subjeknya,
sementara substansi hak sesuai dengan pandangan libertarian negatif diabaikan.
Dalam pada itu pembenaran politik dan pengabaian etik yang melemahkan dasar
hak, mengaburkan kebaikan pluralis sebagai tujuan hak.
Kontradiksi-kontradiksi kepartaian itu, menghadapkan kita kepada
keharusan untuk menjawab pertanyaan tentang sebab musabab kehadiran
monopoli paran partai, dan dampaknya kepada kehidupan masyarakat dan bangsa
serta negara, beserta solusinya yang dibutuhkan.
partai yang dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak, melahirkan egoisme
politisi dan egoisme partai politik (institusional). Berbagai bentuk penyalahgunaan
kekuasaan oleh politisi partai, mulai dari korupsi dan nepotisem sampai kepada
skandal dan kekerasan, hanya bisa terjadi karena egoisme, dan berbagai
kebijaksanaan partai (DPP dan atau Fraksi) yang tidak tepat atau minim manfaat,
sehingga menghadirkan ketidakadilan, berakar kepada pengutamaan kepentingan
partai politik.
mengkondisikan koalisi atau fusi. Dalam pada itu UU Pemilu tidak memungkinkan
pelaksanaannya menghasilkan sistem partai kuat yang dibuktikan dengan
kemayoritasan suara pemilih dan atau kursi Legislatif yang dimiliki.
UU Susduk, bukan saja tidak mengoperasikan bikameralisme di lembaga
legislatif sesuai dengan UUD, melainkan juga mengkondisikan beroperasinya
sistem pemerintahan parlementer di lembaga itu.
Maka jelaslah bahwa UU Politik yang tidak memperkuat sistem
pemerintahan presidensial sesuai UUD itu, bukan saja melemahkan eksekutif dan
sekaligus melemahkan perwakilan politik rakyat, tetapi juga memandulkan
mekanisme kompetisi di level lembaga negara, sehingga rakyat tidak memperoleh
pelayanan terbaik dari negara.
Jalan Keluar
Akhirnya keseluruhan pengamatan dan analisis di atas, membangun
keyakinan bahwa akar dari berbagai kelemahan negara adalah ketidakberhasilan
politisi dan partainya dalam menunaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat
dan bangsa serta negara. Lumpuhnya partai sebagai lembaga, oligarkhi elit partai,
dan penolakan politisi partai akan tawaran fasilitasi kaum intelektual dan
pemerintah lewat naskah akademik dan RUU untuk membangun partai dan
kepemimpinannya atas nama intervensi, bercokol di balik kegagalan tugas atau
peran partai tersebut.
Sejauh ini upaya persuasif dari golongan menengah dan tekanan opini
publik bersama aksi massa, semakin kehilangan pengaruh atas kehidupan politisi
dan partainya, terutama untuk pembaharuan kekuatan politik tersebut.
Sebagaimana terbukti dari penolakan politisi partai atas usul perubahan UU Politik,
institusi negarapun tidak efektif untuk mendukung pembaharuan politisi dan partai.
Sekalipun begitu, masih ada tiga institusi negara yang secara strategis berpotensi
untuk mendorong pembaharuan politisi danpartai, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Badan Pemeriksa Keuangan.
Namun di antara ketiga lembaga itu, Mahkamah Konstitusi berpeluang
terbesar untuk mendorong pembaharuan Politisi dan Partainya. Pertama, karena
Mahkamah Konstitusi bertugas menjaga Konstitusi sebagai design menyeluruh
penataan dan pengelolaan negara (state craft). Kedua, dengan menggunakan
kewenangannya itu, Mahkamah Konstitusi berhak membuat interpretasi UUD yang
tidak lagi dilengkapi dengan penjelasan, sehingga kematangan para Hakim
71
1. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas menyatakan: ”Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”.
Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, frase
(kata) “dari setiap provinsi” menunjukkan tempat (ruang) dan asal, yaitu tempat
berdiam, berteduh, tempat tinggal atau tempat domisili. Jika dapat dipertegas,
artinya bertempat tinggal dan pencalonan anggota DPD berasal dari provinsi
asal, bukan dari provinsi lain apalagi dari partai politik. Contoh seperti di
Amerika Serikat, setiap senator (anggota senat) disyaratkan berdomisili atau
bertempat tinggal permanen secara administratif (kependudukan) di negara
bagian atau, di mana dia terdaftar secara sah menjadi warga negara.
Frase dipilih dari setiap provinsi berbeda maksud dengan frase dipilih di setiap
provinsi. Dipilih dari setiap provinsi artinya calon anggota DPD itu tinggal
menetap di provinsi dan dipilih serta dicalonkan dari provinsi di mana ia
berdomisili. Sedangkan dipilih di setiap provinsi mengandung maksud, hanya
dipilih di provinsi, tetapi calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut.
Frase dipilih dari setiap provinsi ingin menjelaskan, bahwa calon tersebut,
berdasarkan teori representasi, mewakili wilayah (provinsi). Secara substansial
hermeneutikal, perwakilan wilayah itu harus diisi (diwakili) orang yang
berdomisili di wilayah tersebut, juga yang mengenal serta mengetahui betul
secara luas dan mendalam, kondisi, situasi, karakter masyarakat dan
problematika daerahnya. Jadi sifat perwakilan anggota DPD itu syaratnya
adalah “regional representation”, bukan “political representation” (perwakilan
politik yang orang-orangnya berasal dari partai politik). “Regional
representation” adalah orang-orang yang berasal dari provinsi (wilayah) di
mana yang bersangkutan berdomisili. Itu berarti, si wakil (anggota DPD)
bertindak sebagai “delegate” (utusan) dan selalu berkonsultasi dengan
pimpinan provinsi dan rakyat yang diwakilinya, bukan sebagai “politico” atau
“partisan”, atau politasi yang mewakili partai.
72
2. Pasal 22E ayat (4) menyatakan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan”. Rumusan norma (kaidah) hukum tersebut
sangat tegas dan jelas.
Frase perseorangan tidak boleh diperluas, sebab jika tafsir perseorangan ini
dikembangkan dan diperluas tanpa batas, siapa pun boleh, yaitu anggota dan
pengurus partai politik, anggota TNI/Polri dan PNS. Apa jadinya nanti jika
calon-calon anggota DPD bisa berasal dari beragam habit yang serba meliputi?
Secara teoritis bisa bias dan dari perspektif pendewasaan demokrasi yang
lebih bermartabat, bisa terjebak dalam budaya “kerakusan politik”.
Frase perseorangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pribadi
seseorang atau yang bersifat pribadi, bukan berasal dari atau milik suatu
badan. Frase perseorangan dimaksud sebagai seorang yang independen, non
partisan dan bukan berasal atau diskenariokan bersumber dari partai politik.
Domein perseorangan ada pada locusnya (lokus), yaitu Dewan Perwakilan
Daerah, sedangkan locus DPR diisi oleh calon dari partai politik.
Ricker dalam teori sosiologi politik misalnya menyatakan, dalam lembaga
perwakilan bukan merupakan bangunan politik, tetapi merupakan bangunan
masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang berbasis
pada masyarakat dan berasal, serta berdomisili serta tinggal bersama-sama
dengan masyarakat, dan wakil-wakilnya harus memperjuangkan kepentingan
daerah dan rakyat yang ada di daerah tersebut. Sedangkan Leon Diguit
dengan teori hukum objektif menyatakan, bahwa hubungan antara rakyat dan
lembaga perwakilan adalah hubungan solidaritas. Karena itu, Diguit
mengatakan lebih lanjut, bahwa teori hukum objektif menempatkan lembaga
perwakilan menjadi bangunan hukum (bukan bangunan politik).
Atas dasar itu, dapatlah dikatakan, bahwa peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPD adalah perorangan. Norma ini mempertegas, bahwa
perorangan yang dimaksud adalah pribadi (orang) atau calon yang bukan
berasal dari lembaga atau partai politik. Jatah untuk anggota dan pengurus
partai politik ada pada lembaga DPR [vide Pasal 22E ayat (3)].
3. Di dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD dijelaskan, bahwa DPR adalah wakil rakyat dan DPD adalah wakil
daerah [Pasal 2 dan Pasal 13 ayat (3)]. Karena itu, DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Itu berarti
73
haruslah dipakai, bahwa anggota DPR berasal dari partai politik peserta pemilu
(PPPP). Ini diatur di dalam Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2003. Logika
hukumnya, anggota partai politik maupun pengurus parpol lainnya hanya bisa
dicalonkan menjadi anggota DPR dari partai politik peserta pemilu. Norma
hukum Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma hukum Pasal 16 UU Nomor
23 Tahun 2003 tidak boleh diperluas maknanya atau pengertiannya masuk ke
dalam wilayah (domein) DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, sebab
lembaga perwakilan daerah adalah miliknya orang daerah. Sedangkan
lembaga perwakilan rakyat adalah miliknya orang partai politik. Dengan kata
lain, kedaulatan politik hanya terbatas pada hubungan partai politik dengan
lembaga perwakilan rakyat (DPR), artinya parpol berdaulat atas dan berhak
mengatur kader-kadernya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, tetapi nyata
sekarang, bahwa kedaulatan partai (partycracy) diperluas memasuki wilayah
DPD berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008. Parpol telah menggerogoti
kedaulatan (hak) warga negara yang bukan anggota parpol atau warga negara
biasa (non partisan). Fenomena politik ini menarik untuk dikritisi. Budaya politik
Indonesia secara sengaja memang telah diparadigmakan oleh elite Parpol yang
ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadi budaya politik
partycracy dan bukan democracy.
pembatasan hak. Jika hak politik tidak bisa dibatasi, maka akan tercipta
oligarkhi politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU Nomor 10 Tahun
2008 diposisikan sebagai instrument penindas hak asasi politik dari orang-
orang yang tidak berpartai. Jika asumsi ini benar, maka ketentuan Pasal 12 dan
Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan legal framework yang anti
demokrasi, atau yang melestarikan status quo.
6. Pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah (vide Pasal 20 UUD 1945) yang
membentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tampaknya kurang memahami arti, jiwa,
roh dan semangat demokrasi rezim reformasi yang telah meruntuhkan sistem
otoritarian Orde Baru dengan rezim hukum yang represif serta watak
kekuasaan yang koruptif, monopolistik, integralistik, personalitik dan
sentralistik.
7. Seharusnya DPR dan Pemerintah dapat memaknai secara baik dan benar
rumusan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan:
fungsi dan peran DPD di masa yang datang. Sayangnya pihak Pemerintah
sebagai pihak yang ikut membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tidak menyadari hal tersebut. Dengan kondisi seperti yang dibayangkan terjadi,
maka di masa yang akan datang akan sulit tercipta sebuah sistem pengawasan
yang efektif antara DPD dengan Pemerintah dan antara DPD dengan DPR.
Dengan kata lain akan terjadi distorsi dalam sistem checks and balance antara
lembaga-lembaga negara.
8. Indonesia, secara teoritik memang telah menjadi negara hukum modern yang
demokratis tetapi kenyataannya masih dipraktikkan model negara kekuasaan.
DPR sebagai pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai sarana
kekuasaan. Kesan ini setidaknya mengingatkan kita pada Machiavelli sebagai
sosok pemikir berpengaruh pada jaman Renaisans melihat kekuasaan sebagai
tujuan. Ia menyangkal asumsi, bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen
belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi
Machiavelli, segala kebajikan agama dan moralitas, justru dijadikan sebagai
alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Jadi
kekuasaan, tulisnya kemudian, haruslah diperoleh, digunakan, dan
dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. "Bagi Machiavelli,
kekuasaan adalah raison d'etre negara. Negara juga merupakan simbolisasi
tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan
mutlak. Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (Machtsstaat),
di mana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan
rakyat dan prinsip-prinsip hukum". Negara disimbolkan melalui lembaga-
lembaga negara atau yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang
acap menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik atau memperluas
kekuasaannya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum dan demokrasi acap
diabaikan.
10. Teori elit kekuasaan memang menjelaskan, bahwa meskipun masyarakat terdiri
atas bermacam kelompok yang pluralis, tetapi dalam kenyataannya, kelompok
elit penguasa datang hanya dari satu kelompok elit masyarakat tertentu.
Secara halus, semua orang memang bisa menempati jabatan negara, jabatan
militer atau posisi bisnis kelas atas. Tetapi dalam kenyataannya, jabatan-
jabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu.
Dalam membahas pembenaran otoritas politik Richard T. de George,
menyatakan, bahwa otoritas (authority) sering didefinisikan sebagai kekuasaan
(power) yang legitim. “Otoritas politik” dapat disebut juga dengan istilah
“kekuasaan politik”, namun, ada bahaya pereduksian segala bentuk otoritas.
Reduksi itu, dominannya ke dalam bentuk otoritas politik. Karena itu, dalam
hubungannya dengan kekuasaan pembentukan undang-undang dapat
dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang memiliki otoritas politik yang
sangat besar dalam membentuk undang-undang di bidang politik, khususnya
UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.
12. Saat ini, fakta politik menunjukkan, bahwa dominasi DPR terhadap DPD
sangatlah besar. Dominasi tersebut secara kasat mata dapat dirasakan, sebab
UUD 1945 tidak memberikan kewenangan konstitusional yang memadai
kepada DPD dalam bidang legislasi. Jadi, ada kelemahan konstitusional yang
dialami DPD, dan ada dominasi konstitusional yang dimiliki DPR.
3. Sama halnya dengan Hart, John Rawls tentang A theory of justice (keadilan)
yang secara doktrinal mengikuti ajaran empirisme, menyatakan, bahwa semua
sistem hukum akan gagal, bila tidak disemangati suatu sikap moral pribadi
78
Honeste Vivere, sebaiknya dijadikan prinsip hukum dan demokrasi di negeri ini dan
harus ditegakkan secara bermartabat.
Kata dari merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna ‘asal’,
sedangkan kata setiap pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna ‘masing-
masing’. Dengan demikian, frasa dari setiap provinsi pada kalimat anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
bermakna bahwa anggota DPD haruslah berasal dari provinsi masing-masing.
Secara semantis, ayat ini secara gamblang memaparkan bahwa anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi (provinsi masing-masing) dan, oleh karena itu, ia harus
mewakili provinsi tersebut. Jika anggota DPD bukan berasal dari provinsi itu, ia
bukan merupakan perwakilan daerah tarsebut, melainkan merupakan
perwakilan daerah lain.
79
Pasal 22E ayat (3) ini secara lugas menjelaskan bahwa rakyat memilih partai
politik dan partai politiklah yang memilih atau menunjuk siapa saja yang akan
diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Rakyat hanya diberi hak memilih partai bukan
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 22E ayat (4) ini menjelaskan bahwa rakyat memilih perseorangan untuk
menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rakyat diberi hak penuh dan
secara langsung memilih perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Jadi, rakyat tidak melalui partai politik tertentu untuk memilih anggota
DPD. Selain itu, calon anggota DPD adalah perseorangan (masyarakat biasa)
bukan dari suatu partai sebab jika berasal dari suatu partai, ia tidak dapat
menjadi anggota DPD, ia harus menjadi anggota DPR.
Jika orang partai akan menjadi calon anggota DPD, ia harus keluar dari
partainya dan menjadi masyarakat biasa. Di samping itu, ia juga harus
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1) UUD
1945.
80
Pendapat hukum ini terutama akan bersandar kepada enam argumen berikut:
1. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah
adanya: (i) Syarat Domisili Provinsi [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945]; dan (ii)
Syarat Perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945], bagi keanggotaan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga tersebut di atas
terkait Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan
DPD masih cukup konsisten dilakukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
3. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan sengaja menghilangkan Syarat
Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan tersebut dari penormaan
persyaratan keanggotaan DPD.
4. Penghilangan norma Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan
tersebut adalah salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan legislasi yang tidak
pada tempatnya (improper purposes), dan karenanya dapat dijadikan dasar
pengujian konstitusionalitas UU Nomor 10 Tahun 2008.
5. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi
keanggotaan DPD di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 harus
dinyatakan tidak berkesesuaian (unconformity) dengan UUD 1945. Menurut
Webster New World College Dictionary (1996) hal. 1452, unconformity juga
bermakna a lack of conformity, inconsistency dan incongruity. Lihat juga AW
Bradley dan K.D. Ewing sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam
Perihal Undang-Undang, hal. 150.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dapat menyatakan adanya suatu
norma di dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, namun harus
pula mempunyai kewenangan untuk menyatakan ketiadaan norma dalam
suatu undang-undang tidak berkesesuaian dengan UUD 1945.
I. Maksud Asli Perumus Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
• Risalah Rapat Pleno Ke-17 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 22 Mei
2001
Maswadi Rauf (Tim Ahli) menyatakan, “ ... kita mengusulkan bahwa calon
perseorangan itu hanya ada di DPD ... tidak di DPR pusat dan DPR Daerah,
kita beranggapan bahwa DPR pusat dan DPR daerah adalah memang ajang
untuk partai-partai politik ... sedangkan untuk DPD ... memang keterwakilan
daerah yang ditekankan di sini, ada kemungkinan tokoh-tokoh daerah yang
tidak bergabung dengan partai manapun yang ingin ikut dalam pemilihan DPD”.
• Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei
2001
Ramlan Surbakti (Tim Ahli) menyatakan, “Bagaimana caranya supaya
keterwakilan daerah itu memang diperjuangkan anggota DPD. Salah satu di
antaranya persyaratan untuk menjadi anggota DPD itu ... misalnya sekurang-
kurangnya sekian tahun terakhir harus berdomisili di satu daerah untuk
bisa menjadi calon anggota DPD (daerah) itu ... (ini) adalah syarat domisili,
bahkan ada yang mengatakan tidak hanya dibuktikan KTP, tetapi juga
dibuktikan dengan membayar PBB, pajak dan lainnya di daerah itu, sehingga
memang dia memahami betul aspirasi masyarakat daerah ...
pengaturannya lebih jauh dalam Undang-Undang pemilu ... prinsipnya itu
adalah kepentingan daerah”.
• Risalah Rapat Pleno Ke-32 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 19
September 2001
a. Erman Soeparno (F-PKB) menyatakan keberadaan DPD adalah untuk,
“... memperbaharui pola rekrutmen selama ini (yang) cenderung selalu
partisan dan sangat mencerminkan representasi kepentingan
sentralistik kekuasaan ... membuka kemungkinan peran ... anggota DPD
yang otonom ... memulihkan independensi anggota perwakilan terhadap
preferensi kekuasaan politik” (halaman 84 – 85)
b. Sutjipno (F-PDIP) menyatakan, “Saya belum yakin apakah betul-betul di
DPD nanti bisa menampilkan orang yang representasinya orang
teritorial utuh, utuh dari segala dimensi karakteristik daerah, itu saya belum
yakin, jangan-jangan materiilnya dari partai juga, jadi pada akhirnya
kesitu” (halaman 94).
c. Patrialis Akbar (F-Reformasi) menyatakan untuk kenggotaan DPD, “ ... kita
fokuskan saja pemilihannya adalah berdasarkan ketokohan sehingga tidak
lagi mewakili kepentingan-kepentingan partai politik, karena dia adalah
tokoh-tokoh daerah. Wakil-wakil dari daerah, jadi berjuang mereka di sini
adalah betul-betul adalah perjuangan khusus ke daerah mereka”
(halaman 107).
• Risalah Rapat Pleno Ke-33 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 20
September 2001
Rosnaniar (F-PG) menyatakan, “Selanjutnya partai politik dan calon
perseorangan. Calon perseorangan ini tentu orang yang tidak tertampung di
partai politik” (halaman 142).
82
• Risalah Rapat Komisi A Ke-5, Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 8
November 2001
Jacob Tobing (F-PDI) menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan ... jadi partai bisa mengajukan, kolompok masyarakat bisa
mengajukan satuan-satuan terteritu bisa mengajukan tetapi begitu dia maju,
dia perorangan karena perorangan ini adalah untuk menyuarakan kekhasan
daerah bukan lagi menyuarakan ... suara-suara politik, jadi ini nanti
menggambarkan keanekaragaman wilayah negara kita yang begitu kaya dan
juga keanekaragaman golongan di dalam masyarakat, idenya begitu.
Dari pernyataan Jacob Tobing tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa
calon DPD memang dapat dimajukan oleh berbagai kalangan – termasuk partai
politik – tetapi dengan syarat ketika mencalonkan diri menjadi anggota DPD,
yang bersangkutan haruslah sebagai perseorangan, tidak lagi membawa
kepentingan partainya, tetapi lebih pada kepentingan daerah; karenanya
seharusnya yang bersangkutan pada saat maju sudah bukan lagi anggota atau
pengurus partai politik.
KESIMPULAN dari beberapa kutipan pendapat para pakar (Tim Ahli) dan anggota
PAH I BP MPR di atas menegaskan adanya maksud syarat keanggotaan DPD
seharusnya mempunyai syarat domisili dari daerah yang diwakilinya. Karena DPD
adalah perwakilan daerah provinsi, maka syarat domisili tersebut harus dimaknai
sebagai syarat domisili provinsi. Pendapat di atas juga menegaskan perbedaan
kriteria representasi antara DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang
perseorangan, untuk menguatkan perwakilan daerah (provinsi) yang babas dari
kepentingan partai politik.
83
Untuk menegaskan original intent tersebut berikut adalah pendapat pakar yang
menguatkan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan:
Sri Soemantri: “DPD ... yang menjadi anggota ialah rakyat dan penduduk yang
berdomisili di daerah provinsi yang diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang
mereka yang sehari-hari berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili
provinsi tertentu ... Jangan seperti Orde Baru yang memungkinkan penduduk
Jakarta menjadi utusan dari provinsi lain ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22]
"... anggota DPD tidak diajukan oleh partai politik, melainkan mencalonkan diri,
dengan syarat mendapat dukungan sejumlah penduduk ...” [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22].
"Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa
dirinya bukan anggota partai politik tertentu ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 24].
Sri Soemantri dan Mochamad Isnaeni Ramdhan: “Pencalonan anggota DPD
yang merupakan bukan anggota atau pengurus partai politik perlu dipertahankan,
guna mengimbangi kepentingan partai politik yang sudah diakomodasi dalam
DPR”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia (Juli 2003), hal. 33].
I Dewa Gede Palguna: “Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian
jabatan keanggotaan DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD
harus terbebas dari kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini
dikarenakan keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk
mengimbangi “warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan
politik di tingkat nasional”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 66].
A. Mukhtie Fadjar: “ ... anggota DPD adalah perorangan (individu-individu) yang
mewakili daerahnya (provinsi) bukan mewakili partai politik ... (yang) harus dipilih
secara langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi ...“ [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 75]
Jimly Asshiddiqie: “Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan,
yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena
itu, (1) hakikat perwakilan daerah pada DPD dan hakikat perwakilan rakyat pada
DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan
daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakikat perwakilan daerah
dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur
rekruitmennya. Calon anggota DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan
calon anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan
oleh partai politik...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 116].
Jimly Asshiddiqie: “Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini
dibedakan dari pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta
pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai
politik, maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i) penerapan
sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota
DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun pemilihan umum yang
84
diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus dilakukan berdasarkan sistem
proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh peserta perseorangan dapat
dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem distrik di mana rakyat secara
langsung memilih orang, bukan memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu;
(ii) pencalonan dilakukan melalui mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan
mekanisme non-partai politik untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan
dengan pengertian sistem perwakilan politik (political representation) untuk
anggota DPR dan sistem perwakilan fungsional (functional representation) untuk
anggota DPD. Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya
dapat diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal
dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik
manapun juga”. (Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
hal. 44-45).
II. Maksud Asli Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan dalam UU
Nomor 12 Tahun 2003
Dalam pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2008, konsep yang ada dalam Pasal 63
UU 12 Tahun 2003, secara jelas dihapuskan. Beberapa argumen yang muncul
dalam pembahasan menunjukkan berubahnya posisi para pembuat Perubahan
Ketiga UUD 1945 dan pembuat UU Nomor 12 Tahun 2003, terkait syarat
keanggotaan DPD. Perubahan itu misalnya diperlihatkan dalam risalah berikut:
Agar tidak pula melanggar konsep sebagai negative legislator di satu sisi, namun
tetap pula menjaga perannya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi
amat bijak jika menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan tidak
sesuai dengan UUD 1945, dan hanya secara bersyarat (conditionally
constitutional) menjadi sesuai dengan UUD 1945 jika dimaknai mengandung
syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan.
Jika UU Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 hanya jika
mengandung makna syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, maka ada
beberapa altematif yang dapat diusulkan untuk menjelaskan persyaratan anggota
DPD. Pertama, adalah melakukan perubahan terbatas atas UU Nomor 10 Tahun
2008. Perubahan demikian tentu harus segera dilakukan sebelum habisnya masa
pendaftaran calon anggota DPD. Kedua, untuk mengantisipasi proses perubahan
undang-undang yang mungkin memakan waktu, Presiden dapat mengambil
insiatif untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) terbatas yang mencantumkan syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan. Ketiga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi membuat Peraturan KPU yang mengatur syarat domisili
provinsi dan syarat perseorangan bagi pendaftaran calon anggota DPD.
Jalan keluar lain dikemukakan oleh Moh. Fajrul Fallaakh yang berpendapat:
Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) mengandung Syarat Domisili
Provinsi dan Syarat Perseorangan. Kedua syarat itu diturunkan dalam Pasal
63 UU Nomor 12 Tahun 2003. Penghapusan Pasal 63 menyebabkan UU
Nomor 12 Tahun 2003 tidak sesuai (Unconformity) dengan UUD 1945. Untuk
kembali menjadi sesuai dengan UUD 1945 maka Pasal 63 UU Nomor 12
Tahun 2003 harus “dihidupkan” kembali. CARANYA: Pasal 319 UU Nomor 10
Tahun 2008 yang mencabut UU Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang yang mencabut ketentuan
Pasal 63.
Syarat Domisili
□ Domisili adalah hakikat terpenting dari sistem politik. Domisili bisa diartikan juga
sebagai asas kelahiran (ius solli). Dalam UU tentang Kewarganegaraan, sangat
diatur secara hati-hati tentang mana yang menjadi warga negara, mana yang
belum.
□ Tidak bisa semua orang bisa mewakili daerah lain, sebagaimana sistem politik
Orde Baru, karena akan menegasikan asas kelahiran. Kalau anggota DPR
hanya berdasarkan representasi penduduk, maka domisili sekaligus legalitas
untuk representasi wilayah.
□ Dalam perkembangan terbaru, semakin banyak daerah yang meminta status
otonomi khusus. Otonomi khusus itu bermuara kepada ikatan-ikatan
primordialistik seperti ras (Melanesia di Papua), agama (Islam di Aceh),
kerajaan (keistimewaan Yogyakarta). Dalam perjalanannya, masyarakat
Kalimantan juga meminta status otonomi khusus, begitu pula dengan Bali.
□ Dari sini, domisili berkaitan dengan titik asal politik. Politik etnis, misalnya,
menyangkut domisili berdasarkan etnis. Adalah melanggar prinsip-prinsip
keterwakilan wilayah dan politik, apabila hak keterwakilan itu diberikan kepada
penduduk atau etnis dari provinsi lain.
□ Sebaliknya, dengan prinsip kontra-hegemoni, tidak ada masalah untuk duduk di
legislatif (DPR/DPRD) tanpa harus memiliki status domisili mengingat
kepentingan penduduk juga berarti penduduk seluruh Indonesia.
□ Kalau dilihat secara objektif, sebagian besar anggota DPD RI masuk kategori
orang daerah, bahkan masuk juga kedalam bentuk perwakilan dari unsur-unsur
pemerintahan tradisional yang ada, seperti kerajaan, pesantren, masyarakat
adat, kelompok keagamaan, dan lain-lainnya.
□ Dengan menghilangkan syarat domisili maka dengan sendirinya
menghilangkan prinsip keterwakilan berdasarkan kategori wilayah atau daerah
ini.
□ Keberadaan partai politik lokal di Aceh menunjukkan bahwa partai politik juga
mengenal “domisili”, sebaliknya partai politik nasional “berdomisili” di ibukota
negara. Dengan begitu, apabila tidak ada syarat domisili, maka identitas politik
menjadi hilang.
91
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus
berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD
diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya
jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan
rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak Pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah
diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni:
1. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang politik dilakukan melalui Pemilu
anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari
perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui
Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model
Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai
Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model Pemilu,
yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu
anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk
dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD
dalam UU Pemilu.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata “perseorangan” sebagaimana
dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu
yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik
tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan Pemilu anggota DPD
seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
93
Salah satu persyaratan bagi peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD
yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah “serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan
hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”.
Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang
dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan
“Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan
bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol
dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik
anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian
memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini
memberikan penguatan secara yuridis bahwa partai politik memang hanya
mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan
non partai politik dalam persyaratan peserta Pemilu serta tata cara pendaftaran
bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan
asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar
konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18
ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan.
94
• MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang [Pasal 2 ayat (1) UUD
1945].
• Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Terdapat beberapa norma di sini: anggota DPD dipilih, pemilihan
umum, asal calon anggota DPD yaitu provinsi. Asal calon anggota DPD
bukanlah dikhususkan dari desa, kabupaten atau kota, ibukota provinsi (apa
lagi Iuar negeri).
• Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD
itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR [Pasal 22C ayat (2) UUD
1945]. Ketentuan ini mengenai: daerah yang diwakili anggota DPD yaitu
provinsi, kesetaraan keterwakilan provinsi (equality of regional representation)
95
• Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan, provinsi berhak atas
keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan/atau berasal dari
provinsi. Berarti, rakyat di provinsi tersebut memilih kepala daerah, anggota
DPRD dari partai politik, wakil di DPD dan anggota DPR dari partai politik.
• Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945], sedangkan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR
dan anggota DPRD adalah partai politik [Pasal 22E ayat (3) UUD 1945].
Ketentuan ini membedakan subjek hukum (Iangsung) peserta Pemilu yaitu
orang untuk Pemilu DPD dan badan/lembaga. Perbedaan subjek ini
berimplikasi pada desain sistem Pemilu.
• Pemilu DPD harus pula bersifat langsung, umum, babas, rahasia, jujur dan adil
[Pasal 22E ayat (1) UUD 1945].
Saat ini “system” Pemilu DPR dan DPD ditentukan dan dirumuskan secara
padat di Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai berikut:
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik
berwakil banyak.
pun akan diseleksi oleh Parpol menurut mekanisme demokrasi internal Parpol
(Pasal 52).
Selengkapnya syarat bakan calon anggota DPR dan DPD ditentukan dalam
Pasal 50 ayat (1) sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia" dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan
tertentu pada saat pendaftnran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI
setempat.
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tabun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha mink negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan
surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
98
Syarat peserta Pemilu anggota DPD diatur sama pada Pasal 12 (Bab III
Bagian Ketiga), dengan perbedaan bahwa perseorangan peserta Pemilu DPD
mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan (huruf p).
Tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD dalam UU Pemilu 2008
diatur pada Pasal 67 (Bab VIII Bagian Ketujuh), yang serupa dengan Pasal 68 ayat
(2) UU Pemilu 2003, sebagai berikut:
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakan calon anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan: dst. sama dengan DPR, DPRD.
• Syarat domisili calon anggota DPD sengaja tidak dikaitkan dengan provinsi
[misalnya seperti Pasaf 63 ayat (1) UU Pemilu 2003] melainkan dirumuskan
secara umum pada Pasal 12 huruf c tersebut di atas.
Padahal Pasal 22C ayat (1) menyatakan, “Anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi ...” dan ayat (2) menyatakan, “Anggota DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama ...”
Syarat domisili calon anggota DPR dan DPD pun dirumuskan sama pada Pasal
50 huruf c dan dalam penjelasannya justru diperluas sebagai berikut: Yang
99
yang notabene mengatur kedua hal dimaksud (Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu).
Kedua, konstruksi Pasal 12 huruf c dan penjelasannya lebih mengacaukan
pengertian domisili bagi calon anggota DPD, karena menjauhkan calon dari daerah
yang diwakili dan memperluas keterwakilan daerah (dhi. provinsi) hingga ke luar
negeri. Pengertian domisili bakal calon anggota DPR dan DPRD, pada Pasal 50
ayat (1) huruf c, juga patut dipertanyakan ketepatannya; meskipun tepat untuk
pemegang hak pilih.
Ketiga, konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 menimbulkan kerugian
konstitusional bagi rakyat di daerah untuk memiliki dua macam sistem keterwakilan
di tingkat nasional, dari sumber keanggotaan yang berbeda, dan direkrut melalui
cara yang berbeda yaitu “sistem Pemilu anggota DPD” dan “sistem Pemilu
anggota DPR”.
Keempat, konstruksi kedua pasal juga berpotensi menimbulkan kerugian
konstitusional bagi perseorangan non partai yang hanya berpeluang langsung
untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari suatu provinsi, dan tidak
berpeluang langsung untuk dicalonkan sebagai anggota DPR melalui Parpol tanpa
memiliki KTA parpol –yang disyaratkan oleh Pasal 50 ayat (2) huruf j UU Pemilu
2008.
Kelima, konstruksi Pasal 12 juncto Pasal 67 UU Pemilu 2008 belum sesuai
(incongruent) dengan “sistem Pemilu anggota DPD” yang beberapa ketentuan
pokoknya sudah dimuat dalam UUD 1945, viz-a-viz sistem Pemilu anggota DPR
dan DPRD.
Keenam, karena itu diperlukan aturan seperti Pasal 63 UU Pemilu 2003
bahwa calon anggota DPD:
• Pekerjaan sebagai pengurus Parpol (apa lagi partai yang memiliki kursi di DPR
dan/atau DPRD) tentu saja berbenturan dengan kepentingan anggota DPD
yang bersumpah “... memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan
tujuan nasional ... dst.” (Pasal 36 UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD),
sedangkan pengurus Parpol akan mengutamakan Parpol sebagai
“ ... organisasi ... untuk membela kepentingan politik anggota ... dst.” (Pasal 1
angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik).
Salah satu dari persoalan semacam itu yang tercermin dari UU Nomor 10 Tahun
2008 terkait dengan tidak lagi disertakannya persyaratan tentang domisili dan
persyaratan tentang tidak menjadi pengurus partai politik. Kedua persyaratan ini
tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, yang selengkapnya terurai pada Pasal
63, seperti berikut:
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
secara langsung maupun tidak langsung dengan dua persyaratan tentang domisili
dan tidak menjadi mengurus partai politik tersebut.
Kedua, DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan badan perwakilan yang mewakili
aspirasi penduduk (rakyat). Dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli
DPR baik dalam ukurannya (jumlah anggota) maupun dalam wewenangnya.
Argumentasinya jelas, jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari jumlah
penduduk. Maka jumlah anggota DPD ditentukan 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
anggota DPR, dan ruang lingkup wewenangnya terbatas pada masalah-masalah
yang terkait dengan daerah.
Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut juga jelas menegaskan bahwa
DPD tidak mewakili partai politik atau entitas apapun juga, melainkan mewakili
daerah. Karena itu sifat keanggotaan DPD adalah perorangan. Ini juga secara
104
Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut dituangkan secara lugas dalam
UUD 1945, Pasal 22C dan Pasal 22D. Pasal 22C mengatur tentang dari mana,
bagaimana, dan berapa jumlah anggota DPD ditentukan. Pasal 22D mengatur
tentang ruang lingkup tugas utama dan wewenang DPD.
Di antara ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 22C ayat (1) perlu dipahami secara cermat. Ayat ini dirumuskan sebagai
berikut: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dad setiap provinsi melalui
pemilihan umum”. Ayat ini pada dasarnya merefleksikan tiga hal utama dalam
proses rekruitmen anggota DPD.
Hal pertama jelas bahwa anggota DPD harus dipilih melalui pemilihan umum. Baik
UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur pelaksanaan
pemilihan umum anggota DPD secara jelas pula.
Hal kedua dan ketiga terkait dengan penggunaan rangkain kata “dari setiap
provinsi” dalam rumusan ayat (1) tersebut. Dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia oleh Indrawan WS yang diterbitkan oleh Penerbit Linatas Media
Jombang, menjelaskan kata “dari” sebagai “kata perangkai mengatakan asal”.
Dengan penjelasan ini, penggunaan rangkaian kata “dari setiap provinsi” tentu
bukan tanpa makna sama sekali. dan, makna itu adalah bahwa anggota DPD
berasal dari setiap provinsi, yang menrefleksikan asas tempat tinggal atau domisili;
dan, anggota DPD bukan berasal dari tempat asal yang bukan provinsi seperti
kabupaten atau kota, partai politik, organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi
keagamaan.
Untuk menegaskan makna kedua hal dari penggunaan rangkaian kata “dari setiap
provinsi” itu, dapat diperbadingkan dengan jika penggunaan kata “dari” diubah
dengan kata “di” sehingga rumusan ayat (1) menjadi “Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dipilih di setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia tersebut di atas, kata “di” merupakan “kata perangkai yang
menyatakan ada pada suatu tempat”. Dengan penjelasan ini, maka arti dari ayat
(1) dalam rumusan ini hanya semata-mata menjelaskan di tempat mana anggota
3
105
DPD itu dipilih melalui pemilihan umum. Rumusan ayat seperti ini tidak
menjelaskan dari mana asal anggota DPD yang dipilih itu.
UU Nomor 12 Tahun 2003 dengan cermat mengatur pelaksanaan hal kedua dan
ketiga tersebut yang dituangkan dalam Pasal 63 huruf a dan b. UU Nomor 10
Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali dua hal mendasar ini.
UUD 1945 yang merupakan hasil dari proses amandemen terhadap UUD 1945
secara bertahap pada dasarnya dilatari oleh semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar tentang bagaimana pembaruan-pembaruan politik harus diterjemahkan
dalam ketentuan-ketentuan dasar tentang sistem ketatanegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sangat disadari bahwa rumusan-rumusan
dalam ketentuan-ketentuan dasar UUD 1945 tidak dapat menenjermahkan
keseluruhan makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang
pembaruan-pembaruan politik. Namun, rumusan-rumusan yang terbatas ini jelas
tidak mengurangi makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar pembaruan-
pembaruan yang harus dan perlu ditegakkan itu.
Dalam nuansa seperti itu, UUD 1945 memang tidak menyatakan secara eksplisit
dalam rumusan ketentuan yang mengatur tentang rekruitmen keanggotaan DPD.
Tetapi pilihan atas penggunaan kata-kata dalam rumusan ketentuannya,
khususnya Pasal 22C ayat (1), jelas mencerminkan semangat, prinsip, dan
pemikiran dasar tentang pembentukan DPD.
Pencermatan atas semangat UUD 1945 atas rekruitmen anggota DPD tersebut
jelas mengingatkan kembali bahwa merumuskan ketentuan-ketentuan operasional
untuk membentuk DPD melalui pemilihan umum harus didasarkan kepada
pemahaman yang tepat dan bijaksana terhadap semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar yang melatari pembentukan DPD tersebut.
Atas dasar pemahaman ini, tidak salah sama sekali untuk menegaskan bahwa
ketentuan tentang persyaratan domisili dan tidak menjadi pengurus partai politik
merupakan amanat dari UUD 1945 yang harus dirumuskan secara nyata dalam
ketentuan operasionalnya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,
perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 untuk secara khusus
memasukan ketentuan tentang kedua persyaratan tersebut.
[2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Mei 2008, dan 10 Juni
2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberi keterangan, sebagai
berikut:
Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
114
22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal
23F ayat (1) UUD 1945 tidak ada relevansinya dan tidak terdapat causal
verband dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang a quo.
Dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan”.
Jelas dan tegas bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 mengatur tentang syarat konstitusional bagi calon
anggota DPD yang harus dipilih dari perseorangan setiap provinsi
melalui pemilihan umum, artinya bahwa pengaturan syarat konstitusional
ini mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia disetiap
provinsi dan yang berasal dari provinsi manapun mempunyai hak yang
sama untuk menjadi calon anggota DPD tanpa adanya pembatasan
harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”, dan bunyi Pasal 28D ayat (3) UUD
1945 ialah: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian Pemohon I
tersebut keliru dalam memaknai Konstitusi yang mensyaratkan anggota
DPD harus berasal dan berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Sekali
lagi ditegaskan bahwa Konstitusi UUD 1945 Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) tidak mengharuskan calon anggota DPD harus
berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Makna perseorangan dari Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dapat
ditafsirkan siapa saja setiap warga negara [in casu Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] diberikan hak konstitusional yang sama
untuk menjadi calon anggota DPD sepanjang yang bersangkutan
mencalonkan diri sendiri tidak dicalonkan oleh institusi baik oleh suatu
117
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Keharusan
menguraikan materi muatan undang-undang secara jelas berupa
pasal/ayat/bagian-bagian dalam pengujian materiil undang-undang
terhadap UUD 1945 diperintahkan oleh Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
“Para Pemohon dalam permohonan a quo halaman 52 angka 86,
Para Pemohon menyadari bahwa Permohonan Pengujian Undang-
Undang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, sedangkan dalam praktek pada umumnya
pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan)
undang-undang yang dianggap inkonstitusional”.
Panitia Khusus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
secara sadar membahas tentang hal ini dengan tetap berdasarkan UUD
1945, sehingga tidak ada hak warga negara yang dilanggar dengan
ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tersebut.
Mengenai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan
syarat domisili, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 5 Desember 2007,
yaitu:
Persyaratan Domisili dihapus, atas dasar:
a. bahwa persyaratan domisili membatasi hak asasi seseorang dan pada
Tahun 2004 kasus soal domisili tinggi sekali bahkan menjadi objek
bahkan pemerasan terhadap orang-orang yang berkeinginan menjadi
dan atau berkompetisi menjadi anggota DPD. Banyak sekali yang
berguguran karena adanya persyaratan domisili tetapi banyak pula yang
mengambil keuntungan dari persyaratan ini.
b. bahwa harus dibedakan antara persyaratan dengan kewajiban.
Persyaratan itu kesetaraan, kesempatan yang luas, diskriminasi,
pembatasan itu dalam persyaratan dan itu tidak perlu sampai menyentuh
terbatasinya hak-hak setiap warga negara. Pemilu LUBER JURDIL
merupakan implementasi dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil yang implementasinya di persyaratan. Kewajiban adalah
setelah proses persyaratan terpenuhi berlangsung dan terpilih.
Persyaratan domisili tidak perlu ada, karena rakyat yang harus memilih
wakilnya sebagai calon anggota DPD yang mereka kenal di daerahnya.
c. bahwa persoalan domisili akan diatur lebih lanjut dalam UU Susduk,
karena itu merupakan kompetensi Susduk
d. bahwa konstruksi DPD adalah sebuah institusi yang mewakili daerah
dan penduduk di daerah tersebut, istilah “domisili” diubah menjadi
“pernah bertempat tinggal secara de facto di daerah yang akan
diwakilinya” atau mempunyai hubungan emosional, kebatinan dengan
daerah yang akan diwakili sebagai anggota DPD;
e. bahwa orang yang concern dengan daerah, paham tentang daerah,
mengenal tentang daerahnya dan banyak berkarya di daerahnya tetapi
142
c. bahwa pencalonan diri secara pribadi merupakan equality before the law
(kesamaan di muka hukum), seluruh warga negara diberikan
kesempatan yang sama (tidak membatasi), siapapun dapat
mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dengan tidak mengenal jenis
kelamin atau latar belakang pekerjaan sepanjang memenuhi kualifikasi
persyaratan yang ada.
D. PETITUM
Apabila Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
I. UMUM
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud
diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap
orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di
lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap
tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
Karena itu terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang a quo, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pemohon I sampai saat ini masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi
dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Pasal 32 sampai
dengan Pasal 51 Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dengan perkataan lain hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
I tidak terkurangi, terhalangi maupun terganggu sedikit pun atas
keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Rakyat dan Presiden), dan karenanya tidak terkait sama sekali terhadap
kedudukan dan kepentingan para Pemohon sebagai salah satu syarat
untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang (constitutional
review) a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 22C ayat (1) berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum”.
Pasal 22E ayat (4) berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”.
IV. KESIMPULAN
wilayah/regional. Arti representasi politik adalah bahwa anggota DPR dipilih melalui
pintu partai politik, sedangkan arti representasi wilayah adalah bahwa anggota DPD
dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui partai politik dan merupakan wakil
dari setiap provinsi. Berdasarkan filosofi tersebut maka DPD sebagai perwakilan
daerah maka anggota DPD bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah dan
arti dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil
di DPD. Dalam konteks ini provinsi adalah merupakan daerah pemilihan (dapil).
Seorang anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara
nasional, bukan hanya menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri. Medan
perjuangan anggota DPD adalah memperjuangkan kepentingan daerah melalui
kebijakan nasional. Kepentingan daerah yang diperjuangkan haruslah merupakan
pendapat lembaga DPD yang diputuskan melalui mekanisme sesuai dengan Tata
Tertib DPD. Oleh karena itu, dalam konteks ini keberadaan syarat domisili menjadi
tidak relevan karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya tetapi
memperjuangkan daerah-daerah di Indonesia secara kumulatif di dalam kebijakan
nasional. Terkait dengan hal tersebut menarik untuk dicermati pergeseran cara
berpikir anggota-anggota DPD yang tercermin dalam Kode Etik DPD. Dalam
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1/DPD/2008
tentang Perubahan Atas keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 1/DPD/2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia khususnya dalam Pasal 3 dan Pasal 6.
Dalam Pasal 3 angka 2 Kode Etik DPD RI ditegaskan bahwa setiap anggota
mematuhi dan berperilaku mengabdi kepada bangsa dan negara sesuai dengan
Pancasila. Hal ini dapat dimaknai bahwa cara berpikir, cara pandang dan etos
kerja anggota DPD adalah bersemangatkan pada nasionalisme dan kebangsaan.
Syarat domisili menjadi tidak sejalan dengan bunyi isi Pasal 6 Kode Etik DPD,
yang berbunyi:
Pasal 6
Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6 ini diubah menjadi empat ayat yaitu:
(1) Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) Memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
171
(3) Menaati Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI;
(4) Menjaga Etika dan Norma adat daerah yang diwakilinya.
Perubahan mendasar dengan dihilangkan kata “nya” dalam Pasal 6 ayat (1)
menunjukkan bahwa DPD telah berwawasan nasional dalam memperjuangkan
daerah dan tidak bersifat local centris yang mengedepankan syarat domisili.
Dengan perubahan cara berpikir, cara pandang, dan etos kerja sebagaimana
tertuang dalam kode etik DPD tersebut, maka DPD telah bersungguh-sungguh
menjaga UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Semangat dalam Kode Etik DPD
adalah semangat untuk menghilangkan sekat-sekat kedaerahan dan akan
memupuk NKRI. Dengan tiadanya syarat domisili ini justru akan memperkukuh
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 58
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puiuh) tahun bagi calon gubernur/wakil
gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon
bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
f. tidak pemah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
172
Partai politik dibentuk berawal dari adanya asumsi bahwa dengan adanya
wadah organisasi mereka bisa menghimpun orang-orang yang mempunyai pikiran
dan kepentingan yang sama sehingga pikiran dan kepentingan tersebut bisa
dikonsolidasikan dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dalam pembuatan
dan pelaksanaan keputusan. Profesor Dr. Miriam Budiardjo berpendapat, bahwa
partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk
melaksanakan programnya. Senada dengan Miriam, Carl Frederich menyatakan,
bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggotanya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil.
Dari tiga pengertian di atas, terdapat hal-hal yang universal dalam partai
politik yaitu:
1. adanya sekelompok orang;
2. menghimpun dirinya dalam organisasi;
3. mempunyai kepentingan yang sama/serupa.
Partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu harus berbadan hukum (Pasal 8
UU Pemilu, Pasal 3 UU Parpol).
Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang berbunyi:
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. *** )
174
dapat diberikan makna bahwa partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD serta
perseorangan sebagai peserta Pemilu DPD adalah dalam kedudukan sebagai
subjek hukum yaitu pembawa hak dan kewajiban. Kata “perseorangan” dalam
Pasal 22E ayat (4) adalah subjek hukum yang berupa manusia pribadi/perorangan
(natuurlijke persoon). Sedangkan subjek hukum dalam Pasal 22E ayat (3) adalah
kumpulan manusia/perorangan (Badan Hukum/rechtspersoon).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan menguji
undang-undang ini berarti mengoreksi konstitusionalitas undang-undang, yaitu
apakah materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut yang berupa
perintah, larangan, dispensasi, ijin, maupun kebolehan tidak bertentangan dengan
UUD. Dengan kewenangan mengoreksi dan membatalkan ketentuan undang-
undang ini maka sifat peradilan konstitusi menurut Hans Kelsen lebih berkaitan
dengan pembuatan hukum. Argumentasi yang diajukan oleh Kelsen adalah bahwa
dengan pembatalan norma dalam undang-undang tersebut maka Mahkamah
Konstitusi telah membentuk norma baru dengan dihapuskannya norma yang baru
tersebut. Fungsi pembentukan norma yang demikian ini disebut dengan
pembentukan norma yang negatif (negative legislation). Dalam sistem Hukum
Indonesia, kewenangan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR dan
Pemerintah (positive legislation).
176
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah
satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar;
[3.8] Menimbang bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon
IV mendalilkan kedudukan hukum (legal standing) mereka dengan menjelaskan
kualifikasinya sebagai Pemohon beserta hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 sebagai berikut:
Dari ketentuan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut menurut
Pemohon I dapat disimpulkan bahwa kewenangan konstitusional DPD di
180
Pemilu. Oleh karena itu, masalah kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon akan dipertimbangkan bersama pokok permohonan.
Pokok Permohonan
a. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD
dipilih dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili). Sedangkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah
perseorangan” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari
perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol). Bahwa selain itu, menurut para
Pemohon, raison d’etre pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas wakil daerah melalui DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain-lain untuk
tidak menjadi calon anggota DPD adalah juga untuk menjaga netralitas (vide
Pasal 12 huruf k dan m UU 10/2008);
secara sengaja dan dilandasi oleh motif kekuasaan dari kalangan tertentu
(Bukti P-4). Hal demikian berarti telah menegasi keberadaan norma konstitusi
dan menyebabkan UU 10/2008 cacat hukum;
d. Bahwa menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
karena dari frasa “dipilih dari setiap provinsi” mengandung makna atau tafsir
bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Penafsiran demikian dilakukan oleh pembentuk undang-undang UU 12/2003
dan juga dalam Draft RUU Pemilu versi Pemerintah. Ketiadaan syarat domisili
dan non-Parpol tersebut juga bertentangan dengan aspirasi masyarakat
(Bukti P-5);
e. Bahwa menurut para Pemohon, pentingnya syarat domisili bagi calon anggota
DPD juga menjadi pendapat berbagai ahli tata negara Indonesia (Bukti P-6,
P-7, P-8, dan P-9), yang berarti bahwa baik dari segi penafsiran secara
semantik maupun secara kontekstual dengan mengacu gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
bagi calon anggota DPD. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, ketiadaan
syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945;
f. Bahwa menurut para Pemohon, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
dapat ditafsirkan secara sistematis dari ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bahwa
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.” Hal yang demikian menurut para Pemohon tidak
mendiskriminasi warga negara Indonesia yang berasal dari Parpol, karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR dan DPRD. Sehingga adalah
logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai ketentuan
yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga negara
Indonesia yang bukan berasal dari Parpol (baik anggota maupun pengurus)
untuk menjadi anggota DPD;
186
g. Menurut para Pemohon, Pasal 22E UUD 1945 telah cukup adil mengatur
bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan (non-Parpol), sedangkan
anggota DPR dan DPRD dipilih dari Parpol. Norma konstitusi yang demikian
seharusnya juga mendapatkan pengaturan lebih lanjut dalam UU 10/2008,
bukan malahan dihilangkan. Padahal, dalam alinea keempat UU 10/2008 telah
ditegaskan bahwa “... untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah,
sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan
dalam pemilihan umum ...”;
Saksi dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 menerangkan bahwa ketika
menjadi salah seorang wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian menjadi UU 10/2008, mengetahui dan
membenarkan bahwa Draft RUU dari Pemerintah memuat ketentuan tentang
syarat domisili dan bukan pengurus Parpol bagi calon anggota DPD. Saksi
menyatakan syarat domisili dan non-Parpol tidak muncul dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008, namun saksi tidak mengetahui sebabnya, karena saksi
terlanjur berhenti pensiun dan tidak lagi menjadi wakil Pemerintah dalam
pembahasan RUU Pemilu;
Ahli sebagai pakar ilmu politik dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008
menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
• Ahli meninjau persoalan dasar tuntutan DPD dalam perkara ini dari perspektif
partai politik yang menguasai dan mempengaruhi pembentuk undang-undang,
sehingga menghasilkan pasal-pasal undang-undang yang terkait DPD
dipersoalkan. Menurut ahli, hal itu disebabkan adanya kecenderungan partai-
partai politik saat ini yang bernafsu mendominasi dan memonopoli negara atau
urusan kenegaraan, baik secara vertikal lembaga-lembaga negara yang
bersifat nasional dan daerah, maupun horizontal, lembaga-lembaga negara
yang setara. Monopoli dan dominasi Parpol tersebut menurut ahli bahkan telah
mereduksi sistem pemerintahan presidensil menjadi berkecenderungan ke arah
sistem parlementer;
• Dalam kaitannya dengan parlemen, menurut ahli, sejak Amandemen UUD
1945 sesungguhnya ada dua badan, yaitu DPR dan DPD, tetapi DPD hanya
diberi kekuasaan yang minim, kekuasaan yang tidak sesungguhnya sebagai
dewan perwakilan, melainkan hanya sebagai lembaga yang membantu DPR.
Bahkan, sekarang, melalui UU Pemilu (UU 10/2008), DPD hendak dimasuki
dan dikuasai lagi oleh Parpol melalui pasal-pasal yang kini diuji, sehingga DPR,
dalam hal ini partai-partai politik hendak melakukan sentralisasi kekuasaan,
bukan mau berbagi kekuasaan atas dasar prinsip checks and balances;
• Menurut ahli, akar masalah kesulitan yang dihadapi oleh negara kita saat ini
adalah akibat monopoli Parpol yang menyebabkan sistem presidensil yang
189
[3.11.3] Keterangan Ahli Para Pemohon, Dr. John Pieris, S.H., M.S.
dengan dipilih di setiap provinsi yang bermakna hanya dipilih di setiap provinsi
namun calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut;
• Menurut ahli, frasa dipilih dari setiap provinsi berdasarkan teori representasi
berarti mewakili wilayah, yang secara substansial hermeneutikal perwakilan
wilayah itu harus diisi atau diwakili oleh orang yang berdomisili di wilayah
tersebut, yang mengenal dan mengetahui secara luas dan mendalam kondisi,
situasi, dan karakter masyarakat dan problema daerahnya.
• Menurut ahli, sifat perwakilan dari anggota DPD adalah rational representation,
yang berarti secara rasional mewakili provinsi di mana yang bersangkutan
berdomisili, dan juga bukan merupakan representasi politik Parpol (political
representation) yang merupakan ranahnya perwakilan di DPR dan DPRD;
• Mengenai frasa “perseorangan” dalam rumusan Pasal 22E ayat (4) dimaksud
sebagai pribadi seseorang atau pribadi yang independen, non-partisan dari
suatu badan termasuk Parpol, PNS, dan anggota TNI/Polri;
[3.11.4] Keterangan Ahli Para Pemohon Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka
[3.11.5] Keterangan Ahli Para Pemohon Denny Indrayana, S.H, LL.M, Ph.D.
1. Menurut yang ahli pahami dan sesuai dengan maksud asli (original intent)
Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, makna Dewan
Perwakilan Daerah dalam UUD 1945 adalah representasi daerah (regional
representative), maka menjadi aneh kalau representasi daerah tidak tinggal di
daerah yang bersangkutan, hal yang berbeda dengan representasi politik yang
dimiliki oleh DPR dan representasi fungsional yang dimiliki oleh Utusan
Golongan di MPR dulu sebelum Perubahan UUD 1945. Sehingga, bagi calon
anggota DPD memang harus dipersyaratkan berdomisili di provinsi yang
diwakili dan perseorangan yang bukan dari Parpol;
2. Menurut ahli, syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi
calon anggota DPD merupakan maksud asli (original intent) UU 12/2003 yang
sesuai dengan maksud asli Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945;
6. Menurut ahli, ketiadaan norma syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan
non-Parpol (tidak dituliskan secara eksplisit) dalam UU 10/2008 harus dianggap
sebagai norma itu sendiri, sehingga Mahkamah berwenang untuk menyatakan
bahwa ketiadaan norma dimaksud tidak sesuai (uncomformity) dengan UUD
1945;
[3.11.6] Keterangan Ahli Para Pemohon Drs. Thomas Aquino Legowo, M.A.
[3.11.8] Keterangan Ahli Para Pemohon Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum.
ini ahli berpendapat, bahwa norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 terkait erat dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Dengan demikian,
harus ditafsirkan bahwa frasa dari setiap provinsi dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 sebagai provinsi dalam makna desentralisasi teritorial sebagaimana
dimaksud Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, sehingga norma domisili di provinsi
bagi calon anggota DPD adalah norma konstitusi yang jika dihilangkan dari UU
10/2008 berarti melanggar konstitusi;
• Ahli juga berpendapat, bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, tafsirannya adalah bahwa
kata “perseorangan” itu bermakna individu mandiri yang tidak terikat oleh
kepentingan golongan atau afiliasi politik tertentu. Hal itu berarti bahwa secara
konstitusional, syarat untuk calon anggota DPD adalah perseorangan non
Parpol, sebagaimana persyaratan lainnya seperti menjabat akuntan publik,
advokat, pengacara, notaris, dan lain-lainnya;
Pada Sidang Mahkamah tanggal 10 Juni 2008, DPR yang diwakili oleh
Ferry Mursyidan Baldan, Agun Gunanjar Sudarsa, dan Prof. Dr. Wila Chandrawila
menyampaikan keterangan tambahan yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
• Menurut DPR, dalam pemilihan umum yang demokratis, rakyat pemilihlah yang
akan menentukan wakil mereka di DPD, bukan undang-undang. Sehingga,
meskipun tidak ada syarat domisili dan non-Parpol, namun masih terdapat
beberapa tahapan untuk menjadi anggota DPD, yaitu mengumpulkan
dukungan dan yang paling penting adalah dipilih oleh rakyat di provinsi
tersebut, karena hak untuk memberikan dukungan dan hak untuk memilih
adalah tetap di tangan rakyat;
• Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD, menurut DPR, secara tegas
tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, pemaknaan bahwa frasa
“dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD harus berasal
dari dan berdomisili di provinsi yang diwakilinya adalah penafsiran para
Pemohon sendiri. Padahal, ketentuan tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa
setiap provinsi harus terwakili, tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang
tidak terwakili dalam DPD;
• Tentang kata “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, menurut
DPR bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak melalui Parpol, meskipun
yang bersangkutan adalah anggota Parpol;
199
• Dalil para Pemohon yang membandingkan dengan UU 12/2003 dan draft RUU
dari Pemerintah, DPR berpandangan bahwa pengujian konstitusionalitas
undang-undang tolok ukur pengujiannya adalah UUD 1945, bukan undang-
undang, apalagi draft rancangan undang-undang;
[3.13] Menimbang bahwa Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri
Mardiyanto dan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta telah memberikan
keterangan lisan dan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 yang
selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada
pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:
tidak terkait dengan kepentingan Pemohon III yang menyatakan diri sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang dikenal aktif dan konsen dengan isu-
isu yang terkait Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam
parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah. Terhadap legal standing
Pemohon IV, Pemerintah berpendapat, bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon IV untuk mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa
baik Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, maupun Pemohon IV tidak
memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan pengujian Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
• Tentang penghilangan norma konstitusi dalam UU 10/2008, memang benar
bahwa dalam UU 10/2008 tidak tercantum syarat domisili bagi calon anggota
DPD, namun menurut Pemerintah hal itu bukan merupakan penghilangan
norma konstitusi. Karena, ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dapat
ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi, pertama, frasa “dari setiap provinsi”
ditafsirkan sebagai daerah pemilihan bagi pemilu anggota DPD, sebagaimana
dianut oleh UU 10/2008 dan juga UU 12/2003; kedua, tidak ada penegasan
dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 bahwa calon anggota DPD dari suatu
daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah
pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada UU 12/2003 dan draft
RUU Pemilu dari Pemerintah hanyalah salah satu alternatif penafsiran dari
amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945, masih ada alternatif lain
sebagaimana yang dilakukan oleh UU 10/2008. Hal demikian, merupakan
politik hukum hasil persetujuan antara DPR dan Pemerintah, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
• Pemerintah juga berpendapat memang benar UU 10/2008 tidak memuat syarat
non-Parpol bagi anggota DPD, namun Pemerintah tak sependapat dengan
para Pemohon bahwa hal itu merupakan penghilangan norma konstitusi.
Karena, menurut Pemerintah, ketentuan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
bahwa peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, tidak serta merta
dapat ditafsirkan bahwa warga negara anggota Parpol tidak boleh menjadi
calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut juga tidak mengurangi hak-
hak perseorangan warga negara yang non-Parpol;
201
[3.16] Menimbang bahwa DPR dalam sidang tanggal 10 Juni 2008 telah
menyampaikan kesimpulan lisan yang pada pokoknya tetap berpendapat sama
dengan keterangan yang telah disampaikan sebelumnya;
Pendapat Mahkamah
paragraf [3.13] bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing. Mengenai
persoalan legal standing para Pemohon ini, terdapat perbedaan pendapat di
antara para Hakim Konstitusi dengan argumentasinya masing-masing sebagai
berikut:
di provinsi yang diwakilinya dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
sebagai peserta Pemilu perseorangan;
iii. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD secara potensial
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD;
iv. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD sebagai
lembaga negara ada hubungan kausal dengan UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian, dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan oleh DPD
dipastikan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
v. Bahwa dengan demikian, DPD sebagai lembaga negara dan terlebih lagi
sebagai organ konstitusi, sudah sepantasnya merupakan pihak yang paling
layak (proper party) untuk bertindak sebagai Pemohon pengujian undang-
undang yang terkait dengan dan akan berpengaruh terhadap raison d’etre
keberadaannya beserta kewenangan konstitusionalnya sebagai pembawa
aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila
di berbagai negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi, lazimnya yang
diberi hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan
pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terutama diberikan
kepada lembaga negara atau organ konstitusi. Tambahan pula, dalam
praktik di Mahkamah selama lima tahun ini, lembaga negara selalu diberi
posisi sebagai pihak terkait langsung dengan hak-hak yang sama seperti
Pemohon, apabila suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya terkait dengan dan berpengaruh terhadap keberadaan
lembaga negara tersebut. Kenyataan praktik tersebut secara implisit
menyiratkan bahwa suatu lembaga negara organ konstitusi merupakan
pihak yang paling layak (the most proper party) dilibatkan apabila undang-
undang yang menyangkut “dirinya” dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh
pihak lain, apakah itu oleh perseorangan warga negara biasa atau oleh
lembaga negara lain. Terlebih lagi dalam hal lembaga negara organ
konstitusi tersebut bertindak sebagai Pemohon pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang yang justru sangat mempengaruhi hakikat
eksistensial dirinya yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karena itu, mutatis
mutandis sangatlah layak lembaga negara tersebut, in casu DPD,
208
Bahwa mengenai legal standing Pemohon II, ada 5 (lima) orang Hakim
Konstitusi yang berpendapat Pemohon II memiliki legal standing, dengan alasan
yang didasarkan atas pandangan bahwa sebagai anggota DPD keberadaan dan
kedudukannya tidak dapat dilepaskan dari desain konstitusional DPD. Selain itu,
pemberian legal standing tersebut didasarkan juga atas argumentasi yang sejalan
dengan argumentasi para Pemohon II. Namun, ada 4 (empat) orang Hakim
Konstitusi yang berpendapat bahwa Pemohon II tidak dirugikan hak
konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD lewat Pemilu yang
disebabkan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Lebih lanjut
tentang penolakan legal standing Pemohon II tersebut dikemukakan dalam
pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim yang merupakan bagian dari
Putusan ini;
Mengenai legal standing Pemohon III ini, 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon III memiliki legal standing, dengan alasan bahwa
selama ini Mahkamah telah memberikan legal standing kepada para Pemohon
pengujian konstitusionalitas undang-undang kepada kelompok-kelompok
masyarakat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi, yayasan,
organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain yang peduli terhadap masalah-masalah
209
yang terkait dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, asal hal itu
tercermin dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang bersangkutan.
Akan tetapi, sebanyak 6 (enam) orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon III tidak mempunyai legal standing, karena hak konstitusionalnya
sebagai pemerhati, pemberi advokasi, penggerak pembaruan Pemilu dan
parlemen tidak terhalangi oleh berlakunya pasal-pasal UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian;
anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon
adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam pasal, ayat,
atau bagian dari suatu undang-undang;
mengenai masalah sebagaimana tersebut pada paragraf [3.10] sebagai suatu hal
yang dilematis, sehingga petitum yang diajukan oleh para Pemohon pun bersifat
alternatif. Meskipun dalil-dalil yang diajukan oleh para Pemohon didukung oleh
para ahli yang diajukan, namun telah disanggah oleh DPR dan oleh Pemerintah
beserta ahli yang diajukan oleh Pemerintah;
[3.22] Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para Pemohon, yaitu:
• Pertama, apakah syarat domisili bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945,
sehingga menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma
yang demikian pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam
RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah;
• Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga
211
menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya tercantum
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian
pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu 2008
versi Pemerintah;
• Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan Kedua ya dan benar,
apakah ketiadaan suatu norma konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU
10/2008 dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU
Pemilu versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon, juga tidak
ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula,
baik dalam pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949
dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi
keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain,
sebagai perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda
dan tidak mutlak harus ada. Terlebih lagi, dalam perkembangannya, Parpol-parpol
di Indonesia juga telah membuka diri dengan merekrut perseorangan-
perseorangan yang bukan anggota atau kader Parpol untuk dicalonkan menjadi
anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota
DPD bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah
“perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah
mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana
pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat fakultatif;
paragraf [3.26] dan [3.27] di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
12 huruf c dan Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat”
(conditionally constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67
tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi.
4. KONKLUSI
[4.2] Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga
seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
[4.3] Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon
anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal
22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon
anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUA,
ttd.
Jimly Asshiddiqie
ANGGOTA-ANGGOTA
ttd. ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar Maruarar Siahaan
ttd. ttd.
H.M. Arsyad Sanusi H. Muhamad Alim
ttd. ttd.
H. Harjono H.A.S. Natabaya
ttd. ttd.
I Dewa Gede Palguna Moh. Mahfud MD
• Pasal 12:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
219
• Pasal 67:
DPD. Dengan kata lain, kedua ketentuan tersebut adalah berkenaan dengan
hak untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota DPD (the
right to be candidate). Dengan demikian, jika berlakunya kedua ketentuan UU
Pemilu dimaksud dianggap merugikan hak konstitusional suatu pihak maka
pihak-pihak yang mungkin dirugikan untuk dicalonkan atau mencalonkan diri
sebagai anggota DPD adalah orang-perorangan. Artinya, jika dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak yang mungkin dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah perorangan,
tidak mungkin merugikan hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat,
badan hukum, atau lembaga negara. Sebab ketiga pihak yang disebut terakhir
ini tidak mungkin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
postive legislator. Hal itu juga akan menghilangkan hakikat Mahkamah sebagai
a true court dan berubah menjadi lembaga politik.
jasmani dan rohani”, dan seterusnya) adalah inkonstitusional. Ini jelas suatu
penalaran yang menyesatkan.
Pendapat Hukum
Di samping itu, keadaan timbulnya hal-hal yang positif, negatif, atau kedua-
duanya pada objek yang dipengaruhi itu dapat saja terjadi tidak terbatas hanya
karena sesuatu hal tertentu itu saja, hal tertentu yang lain pun dapat menimbulkan
akibat yang sama.
Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya terdiri atas wakil Parpol tidak
diposisikan sebagai mewakili pemerintah pusat tetapi mewakli pemerintahan
nasional. Posisi DPR mewakili pemerintahan nasional ini tidak dihadapkan vis a vis
dengan pemerintahan daerah. Partai politik tetap perlu basis di daerah bahkan
eksistensi Parpol ditentukan di daerah, partai politik tidak terpisah dengan daerah.
Parpol untuk dapat mengikuti pemilihan umum disyaratkan mempunyai pengurus
di daerah dan anggota-anggota di daerah sehingga Parpol tidak terlepas dari
daerah. Anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang basisnya adalah
provinsi, sehingga kalau sebuah Parpol berkeinginan mendapatkan wakil dari
daerah pemilihan tertentu mereka harus mendapatkan pemilih yang cukup dan
untuk mendapatkan pemilih yang cukup tersebut harus bicara dengan orang
daerah dan memperjuangkan aspirasinya.
229
Dari uraian tersebut di atas maka terhadap dalil para Pemohon yang
berhubungan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam perkara
a quo dapat disimpulkan; (a) Pasal-pasal a quo tidak mempunyai hubungan yang
bersifat causal verband terhadap hal-hal yang dikhawatirkan terjadi tetapi hanya
mempunyai hubungan dalam derajat kemungkinan dapat menimbulkan pengaruh
yang negatif sebagaimana dikhawatirkan para Pemohon, yang mungkin juga
pengaruh tersebut dapat positif; (b) para Pemohon tidak dapat membatasi secara
pasti apa yang dimaksudkan dengan kepentingan daerah yang menjadi hak/atau
kewenangan para Pemohon sehingga karenanya tidak dapat juga ditetapkan
kerugian kepentingan daerah apa yang akan diderita oleh para Pemohon.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan. Hal yang penting dari rumusan tersebut
adalah bahwa perseorangan dan bukan Parpol yang akan mengajukan calon
anggota DPD. Oleh karena itu, sepanjang yang mendaftarkan tersebut adalah
perseorangan maka tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Dengan
terbukanya anggota Parpol untuk ikut serta dalam Pemilu anggota DPD karena
adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji maka secara asumtif akan lebih
banyak calon yang akan bersaing dalam Pemilu tersebut. Di antara para Pemohon
dengan semakin bertambahnya calon yang ikut dalam Pemilu, yang terkena
dampak langsung adalah Pemohon II apabila yang bersangkutan masih
230
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir
1
S ALI N AN
PUTUSAN
Nomor 91/PUU-XVIII/2020
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 November 2020
memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Dr. Wendra
Yunaldi, S.H., M.H., Mohammad Anwar, S.H., M.H., Hifdzil Alim, S.H.,
M.H., Muhamad Hasan Muaziz, S.H., M.H., Muhamad Saleh, S.H. M.H.,
Galang Brillian Putra, S.H., Febry Indra Gunawan Sitorus, S.H. Siti
Badriyah, S.H., Happy Hayati Helmi, S.H., Zico Leonard Djagardo, S.H.,
Yasin Hasan, S.H., Irwan, S.HI., M.H., dan Safari Budiarko, S.H.,
kesemuanya merupakan Advokat dan konsultan yang tergabung dalam Tim
Hukum Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi, beralamat di Komplek
Ruko Tanah Abang 1 Nomor 12 T.U. Lantai II, Jalan Tanah Abang 1 Nomor
12, Jakarta Pusat, bertindak bersama-sama maupun sendiri-sendiri, untuk
dan atas nama pemberi kuasa.
3
2. DUDUK PERKARA
I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;
4
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum”;
6. Bahwa terhadap tolok ukur atau batu uji, Mahkamah untuk menilai pengujian
formil sebuah undang-undang, telah dinyatakan dalam Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009, Paragraf [3.19], halaman 82-83, yang menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata
Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut
Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam
perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap
UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib
DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan
persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat
pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945;
Tujuan dan fungsi berdirinya Bakor KAN Sumatera Barat, dalam Pasal
5 Anggaran Dasar Organisasi (vide. Bukti P. 15 Akta Notaris)
PEMOHON VIII yakni:
- Tujuan Perkumpulan adalah melakukan Pemberdayaan,
Pelestarian dan Pemajuan Adat melalui Kerapatan Adat Nagari
10
11. Bahwa artinya khusus untuk PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III
merupakan Warga Negara yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi, dalam pemilihan umum DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden dibuktikan dengan data PEMOHON I,
PEMOHON II, PEMOHON III sebagai Pemilih dalam Pemilu 2019 yang
dapat diakses dari Aplikasi KPU RI PEMILU 2019 (Bukti P.22).
12. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK No.
27/PUU-VII/2009 pada angka 10 di atas, perlu kami jelaskan bahwa dalam
proses pembentukan UU Cipta kerja secara nyata-nyata dan terang
benderang, serta telah diketahui publik, dalam membentuk UU Cipta Kerja,
Pembentuk Undang-Undang menggunakan cara yang menunjukan tidak
dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka, fair, jujur dan
bertanggung jawab. Bahkan selama proses pembentukan UU Cipta Kerja,
pembentuk Undang-Undang melakukan prosesnya secara tertutup, tidak
fair, dan banyak melakukan kebohongan publik. terutama pasca
disetujuinya bersama RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Presiden pada
tanggal 05 Oktober 2020.
13. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi penekanan Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan MK No. 27/PUU-VII/209, dimana mahkamah
menyatakan, tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur,
22
mendasarkan pada batu uji / tolok ukur UUD 1945, juga menggunakan UU
12/2011
Oleh karenanya terhadap pengujian formil dalam Perkara a quo tolok ukur
atau batu uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
UUD 1945
3. Bahwa dengan tegas dan jelas Pasal 64 ayat (1) dan (2) merujuk
lampiran UU 12/2011 sebagai teknik baku penyusunan peraturan
perundang-undangan.
4. Bahwa teknik Omnibus Law yang diadopsi oleh UU Cipta Kerja
memiliki ciri mereformulasi, menegasikan, mencabut sebagaian atau
keseluruhan peraturan lain yang pada apek teknik memiliki implikasi
terhadap teknik penyusunan, sehingga dapat bertentangan dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undagan yang diatur dalam
Lampiran I dan II UU 12/2011.
5. Bahwa pertentangan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan dengan konsep Omnibus Law dengan berbagai ciri
sebagaimana disebutkan pada poin 4 di atas terdapat pada
sistematika/ kerangka aturan yang berbeda dengan lampiran II UU
12/2011, yaitu:
a. Judul
b. Pembuka
1) Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
2) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
3) Konsiderans;
4) Dasar Hukum;
5) Diktum.
c. Batang Tubuh
1) Ketentuan Umum;
2) Materi pokok yang diatur;
3) Pencabutan dan atau Perubahan Undang-Undang
35
3. Konsiderans.
4. Dasar Hukum.
5. Diktum.
C. Batang Tubuh.
1. Ketentuan Umum.
2. Materi Pokok yang Diatur.
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan).
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).
5. Ketentuan Penutup.
D. Penutup.
E. Penjelasan.
F. Lampiran.
8. Bahwa adanya keinginan pembentuk undang-undang untuk
menggunakan teknik Omnibus Law pada pembentukan UU Cipta Kerja
harusnya tunduk pada ketentuan Pasal 64 ayat (3) yang
memerintahkan bahwa jika pembentuk undang-undang tidak ingin
tunduk pada lampiran I dan II UU 12/2011 atau ingin membuat
ketentuan baru mengenai metode, teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan maka pemerintah harus merubah teknik
penyusunan lampiran dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64, menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
13. Bahwa ketidakjelasan dan kekaburan teknik akan terjadi pada upaya
perubahan pada beberapa materi dalam UU Cipta Kerja yang diambil
dari salah satu undang-undang yang diubah, misalkan Undang-
Undang Pemerintah Daerah (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah) yang materinya diubah oleh undang-undang
perubahan nantinya akan merujuk undang-undang yang mana lebih
tepat? Apabila merujuk Undang-Undang Pemerintah Daerah, maka
sejatinya telah diubah, namun jika merujuk Undang-Undang Cipta
38
- Pengupahan
Terdapat beberapa hal yang berubah dalam hal
pengupahan. Pertama, hilangnya “kebutuhan hidup
layak” sebagai pertimbangan penetapan upah minimum.
Kebijakan pengupahan pada hakekatnya tidak dapat
dipisahkan dari kewajiban negara untuk penghidupan
yang layak bagi rakyatnya. Sebagaimana juga
disebutkan dalam Pasal 88 Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Menjadi penting untuk dicatat bahwa
ketentuan terkait dengan penghitungan upah minimum di
UU Cipta Kerja tidak lagi menggunakan “kebutuhan
hidup layak” sebagai pertimbangan. Perhitungan semata
dilandaskan pada variabel pertumbuhan ekonomi atau
inflasi. Pertanyannya, dapatkah variabel-variabel ini
merepresentasikan kebutuhan hidup layak bagi pekerja?
Menjadi ironis bahwa ketentuan ini justru akan
menjauhkan kebijakan pengupahan dengan tujuan
awalnya yaitu memberikan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa
“Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.”
Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Gubernur
dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota
dengan syarat tertentu.” Artinya, UU Cipta Kerja hanya
memberikan kewajiban penetapan upah minimum di
tingkat provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota
sifatnya adalah opsional atau pilihan.
UU Cipta Kerja juga menghapuskan upah minimum
sektoral yang sebelumnya ada dalam Undang-Undang
48
4.10 Bahwa apabila kita melihat pada ketentuan norma Pasal 53 ayat
(3) UU 30/2014 sebagaimana, menyatakan:
Dalam hal permohonan diproses melalui system elektronik
dan seluruh peryaratan dalam system elektronik telah
terpenuhi, system elektronik menetapkan Keputusan
dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan
atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
Asas Keterbukaan
4.19 Bahwa penjelasan dari Asas kejelasan rumusan sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 huruf f UU 12/2011 adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
4.20 Bahwa tidak semua pembahasan dilakukan secara terbuka.
Keterbukaan dan keterlibatan elemen masyarakat yang terlihat di
media massa saat pembahasan UU cipta kerja hanya terlihat pada
masyarakat disektor buruh. Itupun masih banyak elemen-elemen
organisasi perkumpulan buruh yang merasa tidak dilibatkan.
4.21 Bahwa salah satu bukti tidak dipenuhinya ketentuan pembentukan
berdasarkan UUD dan UU 12/2011 yakni terhadap perubahan 5
61
- Bukti: Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5) UU Cipta Kerja mengalami
perubahan substansi.
Dimana pada Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5) Naskah RUU Cipta
Kerja setebal 905 halaman, menyatakan:
Ayat (3)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan;
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; dan/atau
e. risiko volatilitas.
Ayat (5)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau
d. keterbatasan sumber daya.
Ayat (5)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha;
d. keterbatasan sumber daya; dan/atau
e. risiko Volatilitas.
7. Bahwa artinya pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dalam
sidang paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020 yang menghasilkan
Naskah RUU Cipta Keja setebal 905 halaman. DPR incasu badan
Legislasi (Baleg DPR) telah melakukan beberapa kali perubahan
Naskah RUU Cipta Kerja sebagaimana diakui oleh Sekjen DPR
merupakan perubahan final yakni menjadi 1035 halaman dan
kemudian berubah lagi (final) menjadi 812 halaman, ternyata masih
berubah lagi menjadi Naskah UU Cipta Kerja dengan jumlah 1187
halaman.
8. Bahwa perubahan Naskah RUU Cipta Kerja dari Naskah yang setebal
905 halaman, menjadi Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035 halaman,
kemudian berubah menjadi Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman dan terakhir berubah lagi menjadi Naskah RUU Cipta Kerja
setebal 1187 halaman. Secara nyata dan terang benderang terbukti
bukan sekedar perubahan teknis penulisan, melainkan sudah
menyentuh pada perubahan yang terkait dengan substansi materi
muatan (vide uraian pada angka 6.8 di atas). Hal ini telah melanggar
ketentuan Norma Pasal 22A UUD 1945 yang memberikan delegasi
kewenangan satu-satunya kepada UU 12/2011 incasu Pasal 72
ayat (2) beserta penjelasannya.
9. Bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja (1187 halaman) oleh Presiden
dengan ditanda-tanganinya naskah tersebut, padahal patut diduga
Presiden tahu adanya Perubahan-perubahan substansi yang dilakukan
pasca RUU Cipta Kerja disetujui bersama Presiden dan DPR pada
tanggal 5 Oktober 2020, telah membuat proses pengesahan tersebut
menjadi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
20 ayat (4) UUD 1945 yang kemudian diatur tata cara pengesahan
pada UU 12/2011, Pasal 72 ayat (2) beserta Penjelasannya.
74
10. Bahwa sepanjang Mahkamah Konstitusi berdiri sejak tahun 2003, terhadap
pengujian Formil Mahkamah Konstitusi belum pernah mengabulkan
permohonan dan membatalkan seluruh Undang-Undang yang diuji formil
ke Mahkamah Konstitusi.
11. Adapun satu-satunya perkara Pengujian Formil yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi bahwa Proses Pembentukan UU No. 3 Tahun 2009
tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang termuat dalam
pertimbangan hukum Putusan No. 27/PUU-VII/2009 Mahkamah
menimbang sebagai berikut:
“…, Proses pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan
pengujiannya oleh para Pemohon telah melanggar ketentuan formil
pengambilan keputusan yang berlaku pada waktu itu, yaitu Peraturan
Tata Tertib DPR Nomor 08/DPR RI/2005-2006 dan Pasal 20 UUD 1945
sehingga cacat prosedur. Mahkamah berpendapat bahwa Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut sangatlah penting untuk menentukan apakah
DPR telah menyatakan persetujuannya terhadap suatu Rancangan
Undang-Undang sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945. Meskipun
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji oleh para Pemohon mengandung cacat prosedur dalam
proses pembentukannya, namun untuk dinyatakan bahwa Undang-
Undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah sebelum perkara a quo diajukan belum
pernah memutus permohonan pengujian formil Undang-
Undang yang diperiksa secara lengkap dan menyeluruh;
2. Bahwa sementara itu proses pembentukan Undang-Undang
berlangsung secara ajeg dengan tata cara yang diatur oleh
Peraturan Tata Tertib DPR dan kebiasaan yang berkembang
dalam proses tersebut;
3. Bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang
didasarkan pada Peraturan Tata Tertib DPR dan kebiasaan
tersebut oleh DPR dianggap tidak bertentangan dengan UUD
1945;
4. Bahwa adanya temuan oleh Mahkamah Konstitusi, berupa
cacat prosedur dalam proses pembentukan Undang-Undang
yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, harus
difahami sebagai koreksi atas proses pembentukan Undang-
Undang yang selama ini dipraktikkan sebagai telah sesuai
dengan UUD 1945;
5. Bahwa temuan Mahkamah Konstitusi tentang hal-hal yang
seharusnya dilakukan dalam proses pembentukan Undang-
Undang agar sesuai dengan UUD 1945, baru disampaikan
oleh Mahkamah dalam putusan perkara a quo sehingga tidak
tepat kalau diterapkan untuk menguji proses pembentukan
Undang-Undang sebelum putusan ini;
75
13. Bahwa apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-udang berdasarkan UUD 1945, Mahkamah
77
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti
terlampir, maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Formil
sebagai berikut:
DALAM PROVISI
1. Mengabulkan permohonan provisi PARA PEMOHON
2. Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573), hingga adanya putusan akhir Mahkamah
Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo.
10. Bukti P-10 Fotokopi Salinan Akta Notaris Pendirian Migrant CARE –
Pemohon IV;
11. Bukti P-11 Fotokopi Salinan Akta Notaris Perubahan Migrant CARE –
Pemohon IV;
12. Bukti P-12 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum Migrant CARE – Pemohon IV;
13. Bukti P-13 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Ketua dan Sekretaris
Migrant CARE – Pemohon IV;
81
15. Bukti P-15 Fotokopi Akta Notaris tentang Pendirian Badan Koordinasi
Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (Bakor KAN) –
Pemohon V;
16. Bukti P-16 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum Bakor KAN – Pemohon V;
17. Bukti P-17 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Ketua Umum dan
Sekretaris Umum Bakor KAN – Pemohon V;
18. Bukti P-18 Fotokopi Akta Notaris Pendirian Mahkamah Adat Alam
Minangkabau (MAAM) – Pemohon VI;
19. Bukti P-19 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum MAAM – Pemohon VI;
20. Bukti P-20 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk – Ketua (Imam Mahkamah)
MAAM – Pemohon VI;
26. Bukti P-26 Fotokopi Naskah RUU Cipta Kerja (905 halaman);
27. Bukti P-27 Fotokopi Naskah RUU Cipta Keja (1035 halaman);
28. Bukti P-28 Fotokopi Naskah RUU Cipta Kerja (812 halaman).
PENDAHULUAN
Pada dasarnya pengujian yang dilakukan oleh Pemohon merupakan pengujian
formil. Namun demikian menarik melihat pengujian formil yang dikaitkan juga atas
implementasi UU. Oleh karenanya, keterangan ini pun sebagian besar
menggunakan analisis formil pembentukan UU, tetapi sesekali akan menggunakan
konsep materil dari UU dalam analisis yang akan dilakukan untuk menguatkan
betapa bermasalah proses formal-nya.
Analisis akan dilakukan terhadap; Pertama, konsep konstitusional yang berkaitan
pembentukan UU. Kedua, apa saja pelanggaran yang dilakukan dalam tahapan
pembentukan UU No. 11 Tahun 2020. Ketiga, implikasi membingungkan dari UU
yang diujikan ini, yang mana implementasi ini sebenarnya memiliki keterkaitan
dengan pembentukannya yang tidak memenuhi kaedah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Artinya, secara filosofi konstitusionalitas pembentukan UU tak lain dan tak bukan
harus memperhatikan kedua hal tersebut di atas dalam menjalankan kewenangan
yang disematkan padanya. Sedangkan UU itu sendiri memiliki pengertian yang
beragam seiring dengan persepektif para ahli melihat dan mendefinisikan UU.
Namun pada dasarnya, pengertian itu bisa dilihat dan tersarikan pada pengertian
peraturan perundang-undangan yang ada dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yaitu
“peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Jika diuraikan pengertian peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, maka peraturan perundang-undangan adalah: (1) Berbentuk
tertulis. (2) Memuat norma hukum yang mengikat umum. (3) Dibentuk/ditetapkan
oleh Lembaga/Pejabat yang berwenang. (4) Melalui Prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya, aspek formil adalah sesuatu yang amat penting. Sesungguhnya agak
khawatir dengan pandangan yang mengecilkan makna formalitas pembentukan UU.
Karena formal pembentukan UU sebenarnya menjadi syarat penting bagi legitimasi
hukum. Kekuasaan itu pada dasarnya harus dibatasi. Dan dalam melaksanakan
kekuasaan itu, harus ada pembatasan-pembatasan dalam konteks formal agar
kekuasaan tersebut dibuat secara serampangan. Formalitas itu menjadi kontrol
terhadap keserampangan dan kesewenangan itu. Artinya, hukum harus dijaga agar
tidak dibuat dengan seenaknya, tetapi harus melalui konsep dan mekanisme yang
disepakati. Dalam hal ini, tentu saja UU juga harus melalui konsep itu.
Formalitas kaku itu juga sebagai potret penghargaan atas kedaulatan rakyat. Peran
dalam bentuk partisipasi, aspirasi dan transparansi menjadi kewajiban yang melekat
dengan hak-hak warga negara yang akan diatur dalam suatu UU. Itulah sebabnya,
dalam konsep teoritik pembentukan UU, dapat dikatakan bahwa procedural ini
adalah jantung dalam proses administrasi legislasi. “Without procedures, law and
legal institutions would fail in their purposes” (D.J Galligan, 1996)
Dalam pembahasan ketika UUD 1945 dibentuk, terlihat keinginan besar untuk
membahas pembentukan UU ini, setidaknya dalam tiga level. Pertama, pergeseran
kekuasaan pembentuk UU. Kedua, proses dan mekanisme pembentukan UU.
Ketiga, pengawasan atas kekuasaan pembentukan UU melalui mekanisme review.
84
Dalam dua level yang pertama, seperti kita ketahui, terjadi pergeseran kuasa
pembentuk UU dari Presiden menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang sudah
dijelaskan secara terang benderang dalam disertasi Saldi Isra (2009), bahwa
pergeseran ini tak serta merta berarti menguatkan kewenangan DPR, tetapi malah
memberikan posisi yang kuat kepada Presiden dalam wilayah legislasi. Meskipun
kuasa berada di DPR tapi pemilik veto yang tak bisa terbantahkan adalah Presiden
dalam kewajiban pembahasan dan persetujuan bersama.
Hanya saja pada level yang ketiga yakni ketika berbicara tentang pengujian UU
sebagai sarana kontrol untuk menjaminkan UU tidak digunakan secara
serampangan oleh pembentuknya, terjadi pembahasan tak berimbang antara
pengujian formil dan pengujian materil. Meskipun kita semua paham bahwa konsep
pengujian UU menganut model materil dan formil, tetapi ketika pembahasan UUD
1945 khususnya pada perubahan kedua dan ketiga, pembahasan lebih banyak
berkutat pada pengujian materil.
Akan tetapi kemudian, ketika UUD disepakati dan ditindaklanjuti dengan menyusun
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, konsep pengujian formil ini
mendapatkan tempat pembahasan. Pada titik itulah, pengujian formil mengalami
tarik menarik yuridis. Jika tetap dengan paradigma bahwa pengujian formil harus
berdasarkan Pasal 51 Ayat 3 huruf a UU No. 24/2003 yang mengatur bahwa bahwa
Pemohon tatkala mengajukan pengujian formil harus menjelaskan secara terperinci
bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Padahal
ketentuan di dalam UUD 1945 hanya amat sederhana dalam kaitan dengan
pembentukan UU.
Itu sebabnya, ketika pertama kali menyusun peraturan perihal hukum acara di
Mahkamah Konstitusi, terjadi pelebaran makna di Peraturan Mahkamah Kontitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang yaitu “Pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak
termasuk pengujian materiil”. (Pasal 4 ayat (3)).
Bahkan ketika UU Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan di tahun 2011
terdapat Pasal yang dimasukkan dalam Pasal 51A Ayat 3 UU No. 8 Tahun 2011
yang berbunyi bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan
pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah
85
serampangan dan tanpa aturan yang memadai. Penting menjadi pertanyaan bagi
pembentuk UU, mengapa sama sekali tidak mengatur perihal metode UU secara
omnibus padahal ide itu sudah ada.
Kedua, tentang metode omnibus itu sendiri. Metode pilihan menggunakan Omnibus
ini memang menarik. “Metode satu untuk semua” ini memang memiliki beberapa
keunggulan untuk dapat dengan cepat merapihkan dan mengharmonisasikan UU
yang tumpang tindih dan tidak beraturan. Memang tidak ada keseragaman istilah
dan praktik penggunaannya. Tetapi paling sederhana, Omnibus Law adalah “A draft
law before a legislature which contains more than one subtantive matter or several
minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of
convenience” (Duhaime Legal Dictionary).
Problem pertama adalah seberapa luas satu-dua hal subtantif atau beberapa yang
minor tersebut. Praktik pada umumnya menjelaskan bahwa Omnibus dipakai untuk
beberapa kluster yang lebih mirip, semisal berkaitan dengan Budget implementation
(Praktik di Kanada dan Amerika Serikat). Walau memang ada praktik yang terlalu
luas dan besar (Irlandia). Praktik meluas selalu mendapatkan kritik yang kuat.
Apalagi dengan RUU Cipta Kerja yang menggabungkan 11 kluster yang memiliki
corak dan paradigma hukum yang tak seragam. Ketika digabungkan dalam satu
konsep seragam, sangat mungkin menjadi problem. Louis Massicotte (2013)
mengutip kritikan akan berbahayanya Omnibus Law dalam Commonwealth vs
Barnett 199 Pa.161, “Bills, popularly called omnibus law, became criying evil, not
only form the confusion and ditraction of the legislative mind by the jumbling together
of incongrous subject, but still more by facility they afforded to corrupt combinations
of minorities with different interest to force the passage of bills with provisions which
could never succed if they stood on their separate merits”.
Secara teknis penyusunan pun menjadi tidak sederhana. RUU ini berjumlah 174
Pasal, tetapi secara subtansi memuat perubahan dan pembatalan norma 79 UU
multi sektor. Teknis penyusunan ini menjadi tidak sederhana karena cenderung
membingungkan. Membingungkannya terlihat dari pilihan ketika akhirnya
menamakan RUU ini menjadi Cipta Kerja. Oleh karena luasan kluster yang terlalu
luas, pilihan itu pun melanggar ketentuan dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011
yang merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dengan ketentuan UU-nya secara
keseluruhan. Sebenarnya jika UU adalah pencabutan maka harus di bagian judul
memberikan hal itu, akan tetapi karena UU No. 12 Tahun 2011 sendiri belum
89
undangan yang ada, baik di UU No. 12 Tahun 2011, maupun UU 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, maupun peraturan terknis lainnya yang
tersebar di Tatib. Yang terjadi kemudian adalah kesemuanya diterabas tanpa proses
yang memadai.
Keempat, UUD 1945 memberikan lima tahapan UU; pengajuan, pembahasan,
persetujuan, pengesahan dan pengundangan. Pada pengajuan, tidak ada
partisipasi masyarakat, dilanjutkan di tahapan persetujuan dan pengesahan. Dan ini
dilakukan bersama-sama dengan Presiden. Kelima tahapan ini sangat erat dengan
politik hukum negara dalam membuat suatu UU.
Konsepsi politik hukum, yang dalam bahasan Mahfud MD (2004), setidaknya bisa
dibahasakan menjadi tiga hal. Pertama, “cetak biru” dari kebijakan dan peraturan
yang dicita-citakan. Kedua, tarik menarik politik pada proses di dalam ruangan
pembahasan dan persetujuan legislasi. Ketiga, implementasi yang diharapkan dan
dapat terkawal oleh kebijakan tersebut.
Cetak biru sebenarnya adalah konsep perundang-undangan yang berkaitan dengan
keseluruhan UU dan sistem yang diharapkan akan dibangun ke depan dalam
kebijakan yang akan dibuat. Makanya, ia berisi pandangan menyeluruh baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis. Sekurang-kurangnya, hal itu hadir dalam naskah
akademik. Dari 2278 halaman naskah akademik yang dibuat, tak banyak bicara
tentang bangunan apa yang diharapkan dalam membuat konsep hukum ke depan.
Dari 11 kluster terimbas dalam RUU ini, tak jelas apa yang mau dibangun ke depan
dari tema pada kluster tersebut. Semisal perizinan, ke depan apa konsep perizinan
yang mau dicapai? Apalagi di kluster tersebut, terdapat begitu banyak hal yang
berkaitan Kehutanan, Lingkungan Hidup, Pertanahan dll. Artinya, bukan hanya soal
bangunan cetak biru di wilayah perizinannya yang harus didetailkan, tetapi juga
bagaimana cara pandang negara terhadap sektor terimbas tersebut? Karena UU
tidaklah bersifat einmaleigh (sekali pakai), tetapi dia harus dapat memotret secara
forward looking tentang apa yang diharapkan ke depan. Begitu pun dengan kluster
lainnya selain soalan perizinan.
Pada cetak biru, kemungkinan tarik menarik kepentingan politiknya pun harus
diwaspadai. Siapapun paham, UU memang merupakan resultante kepentingan
politik. Tetapi disitulah fungsi konstitusi dan peraturan perundang-undangan
memberikan ruang agar tidak sekedar memenuhi kaidah politik tetapi juga
memenuhi keinginan publik. Makanya dibuka ruang yang namanya partisipasi,
91
IMPLIKASI MEMBINGUNGKAN UU
Catatan Mahfud MD yang telah dikutipkan di atas, harus juga dilihat paling tidak
pada politik hukum yang dikaitkan dengan implementasi UU. Adakalanya,
implementasi UU menjadi terkendala oleh karena memang tidak dibayangkan,
sekaligus dibuat secara terburu-buru dan serampangan sehingga tidak menghitung
secara baik UU itu dapat terimplementasi atau tidak.
93
PENUTUP
Pada dasarnya, telah dipertotonkan kepada kita semua suatu pembuatan UU yang
mengangkangi begitu banyak hal. Fungsi representasi yang tak representatif. Publik
dibelakangngi. Begitu pun juga pelanggaran begitu banyak hal yang serius atau
tidaknya amat bergantung pada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskannya.
Ada harapan besar agar MK mau menghentikan gejala “autocratic legalism” (Kim
Lane Scheppele, 2018) yakni ketika semua keinginan negara dibuatkan aturan legal
hanya sekedar memenuhi dan seakan-akan telah memenuhi mandat demokrasi,
akan tetapi isinya hanya merupakan keinginan negara secara sepihak tanpa adanya
penghargaan atas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
94
Keterangan ini hanya memberikan persepktif, semoga dapat menjadi bahan yang
membantu persidangan ini agar mengembalikan pembuatan UU yang lebih baik,
rakyat yang lebih berdaulat dan masa depan pembentukan UU di Indonesia.
Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-
undang secara formil dalam Perkara 91 DPR memberikan pandangan sebagai
berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon pengujian formil dalam
Perkara 91
1) Bahwa Pemohon I Perkara 91 yang mendalilkan pernah bekerja di perusahaan
dengan status PKWT yang ditempatkan sebagai Technician Helper, namun
dengan adanya Pandemi Covid 19 Pemohon I Perkara 91 mengalami pemutusan
hubungan kerja sepihak dari tempatnya bekerja sehingga saat ini Pemohon I
Perkara 91 sedang berupaya mencari pekerjaan. Berdasarkan fakta yang
disampaikan Pemohon I Perkara 91 tersebut, DPR menerangkan bahwa
sejatinya Pemohon I Perkara 91 saat ini bukan lagi berstatus sebagai Pegawai
PKWT karena sudah diberhentikan oleh perusahaan yang mempekerjakannya.
Maka oleh sebab itu Pemohon I Perkara 91 tidak memiliki hubungan pertautan
yang langsung sebagaimana didalilkan dalam permohonannya. Ketentuan yang
ada dalam UU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan tentunya diperuntukan
bagi seseorang yang masih aktif berstatus sebagai pekerja. Oleh karena itu
permasalahan yang disampaikan oleh Pemohon I Perkara 91 tersebut tidak ada
hubungannya dengan pembentukan UU Cipta Kerja maupun pemberlakuannya.
2) Terhadap dalil Pemohon II Perkara 91 yang menyatakan bahwa UU a quo telah
mengkapitalisasikan dunia pendidikan karena UU a quo memasukan sektor
pendidikan dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sehingga merugikan
Pemohon II Perkara 91 selaku pelaku Pendidikan dan yang akan mengabdikan
diri di dunia pendidikan, DPR menerangkan bahwa tidak ada pertautan langsung
antara pengaturan yang dipermasalahkan oleh Pemohon II Perkara 91 dengan
kedudukan Pemohon II Perkara 91 selaku pelaku pendidikan yang dalam hal ini
96
7. Bahwa praktik Omnibus Law sebenarnya telah sejak lama dipraktikkan dan
digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun istilah
Omnibus Law tidak begitu populer digunakan. Berikut disampaikan beberapa
contoh undang-undang di Indonesia yang telah mempraktikkan metode Omnibus
Law:
• Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 192
yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan tidak
berlaku.
• Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan
menyatakan tidak berlaku.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 571
yang mencabut 3 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.
9. Saat ini metode Omnibus Law telah diterapkan dalam UU Ciptaker dalam rangka
menciptakan iklim kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB)
di Indonesia. Pembentuk undang-undang mengharapkan dengan diterapkannya
metode Omnibus Law dalam UU Ciptaker dapat mengatasi konflik
(disharmonisasi) peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan
efisien; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; meningkatkan
hubungan koordinasi antar instansi terkait; menyeragamkan kebijakan
pemerintah di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; mampu
memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit; menjamin kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan; dan dapat melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi atas 79 undang-undang dengan 1.209 pasal
terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat dalam UU Ciptaker.
14. Bahwa pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada
prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional
yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang
memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut
perlu menyusun dan menetapkan UU Cipta Kerja dengan tujuan untuk
menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas
penghidupan yang layak.
15. Bahwa klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang
dibuat dalam rangka investasi dan disisi lain memberikan kesempatan kerja bagi
seluruh lapisan masyarakat yang merupakan tugas Negara untuk menyediakan
lapangan kerja sesuai amanat konstitusi. Pengaturan ini diharapkan memberikan
harapan baru bagi investasi. Dengan kemudahan regulasi dan iklim investasi
102
16. Bahwa klaster ketenagakerjaan merupakan bagian yang terintegrasi dari semua
klaster yang ada di dalam UU Cipta Kerja karena tidak bisa dipisahkan antara
perbaikan iklim investasi dengan pengaturan dan pelindungan ketenagakerjaan.
Kondisi sosiologis berupa jumlah PHK yang terus meningkat dan ketersediaan
pekerjaan semakin sedikit sebelum pandemi terlebih saat pandemi menciptakan
kesenjangan lapangan kerja baru baik di sektor formal maupun informal yang
belum dalam kondisi ideal telah mendorong perlunya perubahan ketentuan
mengenai ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja. Perubahan tersebut
merupakan transformasi atau perubahan dari sisi ekosistem ketenagakerjaan
sehingga dapat mendukung dua kepentingan besar berupa pelindungan bagi
pekerja/buruh dan peningkatan investasi.
2. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 105, Perkara 4, dan
Perkara 6 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan
asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
a. Asas Kejelasan Tujuan
1) Bahwa untuk menguji kesesuaian undang-undang a quo dengan asas
kejelasan tujuan haruslah dilihat dari keseluruhan norma dalam undang-
undang a quo, sehingga pengujian terhadap hal tersebut bukanlah
termasuk dalam pengujian formil melainkan pengujian materiil. Hal ini
selaras dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019 (hal. 366) sebagai
berikut:
“Oleh karena itu menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat
secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap
dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan
dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara
materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan
demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan
tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah
memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-
undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-
undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga
negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh
Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di
Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil.”
perlu lebih memahami secara mendalam maksud dan tujuan yang ada
dalam UU Cipta Kerja agar tidak salah dalam menginterpretasikannya.
e. Asas Keterbukaan
1) Proses pembahasan RUU Cipta Kerja, dalam hal ini seluruh Rapat Kerja
dan Rapat Pembahasan yang dilakukan oleh Panja dan Pemerintah, telah
dilakukan secara terbuka untuk umum. Dengan kemajuan teknologi yang
ada saat ini, maka seluruh masyarakat dapat mengikuti proses
pembahasan tersebut dengan mudah melalui TV Parlemen yang
menyiarkan secara langsung proses rapat-rapat pembahasan tersebut,
ataupun melalui kanal live streaming Youtube
(https://www.youtube.com/playlist?list=PL1i5C6Kd5FQinYuyrqGFonxJY0
sIjm2Lj) dan juga media sosial DPR lainnya, agar masyarakat dapat turut
serta memantau proses pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, terhadap anggapan Para Pemohon
yang menyatakan bahwa tidak adanya transparansi dalam proses
pembuatan RUU Cipta Kerja adalah tidak beralasan.
2) Bahwa dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur terkait hak bagi masyarakat baik itu perseorangan
ataupun kelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis. Bahwa DPR dalam proses pembahasan
RUU Cipta Kerja tersebut telah melakukan Rapat Dengar Pendapat
Umum untuk menyerap aspirasi masyarakat.
3) Bahwa dalam setiap proses pembahasan RUU Cipta Kerja, selalu
diinformasikan kepada masyarakat melalui dokumen Laporan Singkat
ataupun Catatan Rapat yang diunggah secara berkala di dalam website
DPR, untuk kemudian dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
4) Bahwa dalam catatan rapat Badan Legislasi pada hari Selasa tanggal 7
April 2020 (vide Lampiran III) Ketua Rapat menyampaikan rencana
kegiatan dalam rangka pembahasan RUU Cipta Kerja yang diusulkan
Pemerintah untuk dibahas Badan Legislasi pada Masa Persidangan III
Tahun sidang 2019-2020 antara lain sebagai berikut:
• Pimpinan Badan Legislasi dan Kaposi fraksi-fraksi sebelumnya telah
melakukan rapat terkait dengan penyusunan jadwal acara
117
pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut dan ada beberapa poin yang
disepakati, antara lain DIM yang telah selesai akan dilakukan uji publik
untuk mendapatkan masukan dari masyarakat dan pembahasan DIM
dilakukan berdasarkan pengelompokan (cluster) yang telah disusun
oleh Tim Ahli, yaitu terdapat 11 kelompok materi.
• Dalam rapat Badan Legislasi tersebut juga telah
menyetujui/menyepakati beberapa hal yang antara lain:
➢ Menyetujui pembentukan panitia kerja sebelum dilakukan
penyerapan aspirasi dengan para pemangku kepentingan
(stakeholder) dan para narasumber yang ada;
➢ Menyetujui untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas
dengan mengundang berbagai stakeholder dan para narasumber
yang ada agar dapat memberikan saran dan masukan terhadap
RUU Cipta Kerja. Berbagai saran dan masukan tersebut menjadi
bahan pertimbangan bagi fraksi-fraksi di DPR dalam menyusun
DIM; dan
➢ Menyetujui pembahasan DIM dilakukan berdasarkan
pengelompokan (cluster) bidang materi muatan yang ada di dalam
RUU Cipta Kerja, serta mengutamakan materi muatan yang tidak
berdampak sistemik dan/atau mendapatkan pertentangan dari
masyarakat. Dengan demikian, pembahasan DIM dimulai dari
materi muatan yang “mudah” dan dilanjutkan ke materi muatan
yang “sulit”. Khusus materi muatan di bidang ketenagakerjaan,
dilakukan pada akhir pembahasan DIM. Hal ini dimaksudkan agar
Badan Legislasi dapat secara optimal menerima berbagai saran
dan masukan dari stakeholder dan para narasumber yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, jelas terlihat keseriusan DPR dalam membahas
RUU Cipta Kerja tersebut dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi
partisipasi masyarakat sebagai upaya penyerapan aspirasi dari semua
pihak demi menciptakan undang-undang yang berpihak pada rakyat.
5) Dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja, DPR bersama dengan
Pemerintah telah melibatkan banyak pihak dalam hal ini dengan tujuan
untuk menyerap aspirasi masyarakat agar UU Cipta Kerja nantinya dapat
bermanfaat bagi setiap masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
118
3. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 107, dan Perkara 4
yang menyatakan bahwa terdapat perubahan jumlah halaman RUU Cipta
Kerja pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden
a. Bahwa terkait dengan perubahan halaman dan substansi antara UU a quo
versi 905 halaman, dan UU a quo versi 1035 halaman dimungkinkan terjadi.
Lebih lanjut, Pembicaraan Tingkat II di Rapat Paripurna, berdasarkan Pasal
72 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 109
Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang
(selanjutnya disebut Peraturan DPR 2/2020) bahwa DPR diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk mempersiapkan segala hal yang
berkaitan dengan teknis penulisan suatu draft RUU dalam tenggat waktu 7
(tujuh) hari kerja sebelum disampaikan kepada Presiden. Jadi perubahan
teknis terhadap draft RUU masih dimungkinkan sebelum RUU tersebut resmi
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu,
perubahan jumlah halaman dalam UU a quo telah sesuai dengan mekanisme
dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pengesahaan
UU a quo tidak melanggar syarat formil pembentukan undang-undang.
b. Bahwa terkait perubahan materi yang dikemukakan oleh Para Pemohon
dalam gugatannya, DPR memberikan keterangan bahwa perubahan tersebut
bukanlah perubahan materi/substansi tetapi perubahan tersebut hanya
bersifat teknis dalam teknik drafting dan proses editing (proses cleansing
final) draft RUU Cipta Kerja, tanpa mengubah substansi pokok RUU Cipta
Kerja. Bahwa proses sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang
dengan 1.209 pasal terdampak perubahan melalui UU Cipta Kerja menjadi
119
4. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 107 yang menyatakan bahwa
pembentuk undang-undang tergesa-gesa mengesahkan UU Cipta Kerja
tanpa mendengarkan aspirasi dari Pemerintah Daerah dan DPRD
a. Bahwa UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang berasal dari inisiatif
Pemerintah. Tentunya Pemerintah ketika menyusun draft dan Naskah
Akademik RUU Cipta Kerja, sepatutnya sudah mendengarkan aspirasi dari
jajaran Pemerintah Daerah, termasuk didalamnya DPRD sebagai unsur dari
Pemerintah Daerah, yang merupakan satu kesatuan eksekutif pemerintahan.
Oleh karenanya, adalah suatu hal yang wajar jika dalam proses pembahasan
UU a quo di DPR tidak lagi mengundang dari unsur Pemerintah Daerah
sebagaimana alasan di atas.
b. Bahwa Badan Legislasi sejak awal pembahasan UU Cipta Kerja sudah
menghimpun aspirasi dari berbagai unsur daerah. DPD sebagai lembaga
perwakilan daerah telah terlibat secara aktif sejak Pembicaraan Tingkat I
mulai dari Panja, Timus dan Timsin, hingga dalam berbagai Rapat Kerja dan
telah menyampaikan pandangan akhir mini DPD. Sehingga unsur
keterwakilan daerah tetap menjadi salah satu pihak yang penting dalam
pembahasan RUU Cipta Kerja.
c. Bahwa dalam naskah RUU awal yang dikirimkan oleh Presiden kepada DPR,
didalamnya memuat ide dasar untuk menarik semua kewenangan perizininan
kepada Pemerintah Pusat dengan skema OSS (Online Single Submission).
Namun dalam pembahasan di Panja DPR, terdapat masukan dari DPD untuk
tetap memberikan kewenangan perizinan kepada pemerintah daerah
121
Lebih lanjut, Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan dari bulan Februari –
Oktober Tahun 2020 (8 bulan) sehingga telah memenuhi waktu 3 (tiga) kali
masa sidang. Bahwa waktu pembahasan selama 8 bulan tersebut bukanlah
masa yang singkat dalam membahas undang-undang yang kompleks seperti
UU a quo karena selama masa pembahasan itu pula juga telah dilakukan
berbagai rapat dengar pendapat dengan berbagai unsur masyarakat. Oleh
karena itu, pembahasan UU a quo tersebut tidaklah tergesa-gesa seperti
anggapan Para Pemohon Perkara 107.
h. Bahwa baik berdasarkan ketentuan proses pembentukan undang-undang
yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU
MD3, Tatib DPR RI, dan Peraturan DPR 2/2020 maka tidak ada satupun yang
mengatur mengenai persyaratan bahwa jika jajaran Pemerintah Daerah dan
DPRD tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya maka proses
pembentukan undang-undang tersebut menjadi cacat formil. Oleh karena itu,
dalil Para Pemohon Perkara 107 tersebut adalah tidak berdasar.
5. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa latar belakang
pembahasan UU Cipta Kerja karena desakan dari World Trade Organization
(WTO) dalam Perkara Nomor 107
a. Bahwa Indonesia telah menjadi anggota GATT sejak tahun 1950, dan pada
tahun 1994 menjadi negara pendiri WTO bersama 128 negara anggota lain
pada akhir Putaran Uruguay (Uruguay Round). Sebagai bentuk pengikatan
sebagai negara anggota WTO, Indonesia meratifikasi Agreement
Establishing The World Trade Organization melalui Undang-undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
dan meratifikasi perubahannya dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2017 tentang Pengesahan Protocol Amending The Marrakesh Agreement
Establishing The World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan
Marrakesh Mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
b. Bahwa dengan meratifikasi perjanjian internasional tersebut, Indonesia
terikat pada hak dan kewajiban pada aturan WTO yang bersifat mengikat
123
(binding) seluruh anggota. Salah satunya pada Article XVI Paragraph 4 yang
berketentuan:
“Each Member shall ensure the conformity of its laws, regulations and
administrative procedures with its obligations as provided in the annexed
Agreements”.
Dengan demikian, seluruh peraturan nasional harus konsisten dan tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang
telah disepakati bersama tanpa terkecuali.
c. Bahwa terkait sengketa dagang DS477/DS478, Indonesia dinyatakan
menerapkan kebijakan impor yang tidak sesuai dengan aturan WTO terkait
kebijakan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Terdapat
beberapa peraturan yang diajukan konsultasi ke Dispute Settlement Body
WTO (DSB WTO) oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat dalam perkara
DS477/DS478 yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
(selanjutnya disebut UU Perdagangan);
2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
(selanjutnya disebut UU Hortikultura);
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya
disebut UU Pangan);
4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani (selanjutnya disebut UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani);
5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (selanjutnya disebut UU Peternakan dan Kesehatan
Hewan);
6) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86/Permentan/OT.140/8/2013
tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura;
7) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura;
8) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 47/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura;
124
h. Bahwa untuk efisiensi waktu atas tenggat waktu yang telah melewati batas
dan atas situasi darurat Pandemi Covid-19, maka perubahan empat undang-
undang tersebut yang telah disusun Naskah Akademiknya sejak 2019
dimasukkan sebagai salah satu materi perubahan dalam UU Cipta Kerja.
i. Bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja
merupakan desakan dari WTO hanyalah berdasarkan asumsi Para Pemohon
saja. Materi perubahan empat undang-undang tersebut yang diakomodir
dalam UU Cipta Kerja merupakan bentuk komitmen Indonesia atas
pemenuhan kewajiban sebagai negara anggota sekaligus pendiri WTO.
Selain itu, regulasi-regulasi yang turut digugat juga telah diubah-sesuaikan
dengan hasil rekomendasi DSB WTO.
6. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 103, Perkara 105,
Perkara 107, dan Perkara 4 yang menyatakan bahwa proses pembahasan
UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi masyarakat
a. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan DPR 2/2020 yang mengatur bahwa Badan
Legislasi melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat
sebelum dilakukan pembahasan rancangan Prolegnas. Terhadap ketentuan
tersebut, dalam implementasinya Badan Legislasi telah melakukan
kunjungan kerja ke beberapa stakeholders di daerah dalam rangka
penyusunan Prolegnas, seperti Provinsi Bali
(https://www.dpr.go.id/akd/detail/id/Galeri-Foto-Badan-Legislasi-672) dan
Provinsi Jawa Barat (https://www.dpr.go.id/akd/detail/id/Galeri-Foto-Badan-
Legislasi-671).
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
melalui RDPU, kunjungan kerja, sosialiasi dan/atau seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi. Ketentuan pasal a quo tidak menentukan batas minimal
atau maksimal jumlah masyarakat yang dapat memberikan masukan.
Bahkan ketentuan Pasal 96 ayat (3), membatasi definisi dari masyarakat
adalah orang perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan
atas substansi, antara lain kelompok atau organisasi masyarakat, kelompok
profesi, LSM, dan masyarakat adat. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
126
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200512-020405-
2120.pdf);
5) Pada tanggal 5 Mei 2020, Badan Legislasi melakukan RPDU Panja Baleg
dengan 2 (dua) narasumber yakni Emil Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno
Iwantono, MA untuk meminta masukan/pandangan atas RUU tentang
Cipta Kerja (https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-
20200512-021051-2900.pdf);
6) Pada tanggal 9 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja Baleg
dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja.
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-103311-
2045.pdf);
7) Pada tanggal 9 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja Baleg
dengan Rosan P. Roeslani (Ketum KADIN) dan Mohamad Mova Al
Afghani, SH, L.LM., Eur, PhD. (Dosen Hukum Internasional di Universitas
Ibnu Khaldun Bogor dan Dosen Hukum Bisnis di Sekolah Bisnis dan
Manajemen Institut Teknologi Bandung) untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-105103-
7309.pdf);
8) Pada tanggal 10 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan Panja Baleg
dengan Prof. Dr. Ramdan Andri Gunawan (Univ. Indonesia), Prof. Dr.
Asep Warlan Yusuf (Univ. Katolik Parahyangan), Prof. Dr. Ir. H. San Afri
Awang (Univ. Gadjah Mada) terkait RUU tentang Cipta Kerja untuk
meminta masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-102906-
4042.pdf);
9) Pada tanggal 11 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan Panja Baleg
dengan Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atas RUU
Cipta Kerja terkait dengan Permasalahan Media
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200615-040334-
8799.pdf);
10) Pada tanggal 11 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja
Baleg dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI); Pengurus Besar Nahdlatul
128
3) Bahwa RUU tentang Cipta Kerja telah masuk dalam Prolegnas tahun
2020-2024 sebagaimana berdasarkan Keputusan DPR Nomor 1/DPR
RI/II/2019-2020 dan masuk dalam Prolegnas prioritas.
4) Bahwa RUU tentang Cipta Kerja juga telah termuat dalam daftar
Prolegnas Prioritas tahun 2020 pada urutan ke-205 tentang Cipta Kerja
ditetapkan masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020yang dapat dilihat publik
dalam website DPR melalui http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.
5) Bahwa terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pada intinya Naskah
Akademik disusun setelah draft RUU Cipta Kerja, DPR memberikan
pandangan:
• Bahwa sesuai Pasal 88 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Perpres 87/2014), dinyatakan bahwa Presiden menyampaikan RUU
kepada Pimpinan DPR dengan Surat Presiden yang paling sedikit
memuat penunjukan Menteri untuk membahas RUU di DPR;
• Setiap RUU baik yang berasal dari DPR, Presiden, dan DPD
memang harus disertai dengan Naskah Akademik yang memiliki latar
belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan,
jangkauan dan arah pengaturan yang kesemuanya telah melalui
pengkajian dan penyelarasan (Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 43 ayat
(3) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
• RUU Cipta Kerja merupakan RUU inisiatif Presiden yang tentunya
memiliki Naskah Akademik (vide Lampiran II) karena tidak mungkin
norma-norma yang ada di dalam UU Cipta Kerja dapat dituangkan
jika tidak tanpa melalui proses penyusunan Naskah Akademik
terlebih dahulu;
• Jika RUU yang disampaikan oleh Presiden memiliki perbedaan
tanggal, maka tidak berarti RUU Cipta Kerja tidak memiliki Naskah
Akademik karena hal tersebut hanya merupakan teknis administratif
pada saat penyerahan kepada DPR; dan
• Terkait dengan bukti yang diajukan oleh Para Pemohon bahwa
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja memiliki tanggal yang berbeda
dengan draft RUU, maka patut dipertanyakan darimana para
130
saja akan terjadi perubahan terus menerus. Oleh karena itu, Naskah
Akademik dan Draft RUU yang diterima oleh setiap stakeholder yang
berbeda waktu, tentu akan berbeda pula substansinya.
b. Tahap Penyusunan
1) Bahwa berdasarkan Surat Keputusan DPR Nomor 46/DPR RI/I/2019-
2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 pada urutan ke-205 terdapat pengusulan RUU tentang
Cipta Lapangan Kerja (omnibus law) oleh Pemerintah.
2) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa rancangan undang-
undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya.
3) Bahwa terkait dengan selama proses penyusunan RUU CIpta Kerja, maka
DPR mempersilahkan dari pihak Pemerintah/Presiden untuk menjelaskan
setiap proses penyusunannya dalam permohonan a quo, karena pihak
Pemerintah/Presiden adalah pihak pengusul UU Cipta Kerja.
c. Tahap Pembahasan
Dalam Pembicaraan Tingkat I
1) Terhadap RUU tentang Cipta Kerja tersebut, Presiden RI telah
menyampaikan surat Nomor R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020
perihal Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Presiden
menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
dan Menteri Pertanian, serta mewakili Presiden dalam pembahasan RUU
dimaksud.
2) Bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang merupakan usulan
Pemerintah dilakukan secara bersama-sama antara Panitia Kerja (panja)
Baleg DPR RI dengan Pemerintah. Dalam proses tersebut kemudian
Panja membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja dengan
134
Oleh karena itu, ketika rapat pengambilan keputusan akhir pada akhir
Pembicaraan Tingkat I berdasarkan Pasal 100 Peraturan DPR 2/2020
tidak mengatur harus membacakan naskah RUU dengan kata per
kata, ayat per ayat dan pasal per pasal;
• Selain itu berdasarkan Pasal 151 Tatib DPR, pembicaraan tingkat I
dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim
kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi. Selain itu, dapat juga dilakukan
mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan anggota
rapat. Artinya jika dalam suatu Pembicaraan Tingkat I seluruh
pimpinan dan anggota rapat menyetujui substansi hanya bersifat
umum tanpa membacakan kata per kata maka mekanisme tersebut
tetap sah; dan
• Pada hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2020 RUU Cipta Kerja disetujui
dalam akhir Pembicaraan Tingkat I. Para Pemohon berpendapat
bahwa Draft RUU Cipta Kerja belum selesai disusun oleh Tim
Perumus maupun disinkronkan oleh Tim Sinkronisasi.
10) DPR menerangkan bahwa berdasarkan kesimpulan pada Rapat Panja
Baleg dengan Pemerintah dan DPD pada tanggal 3 Oktober 2020 dalam
rangka Pengambilan Keputusan atas RUU Cipta Kerja menerima hasil
pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilaporkan Ketua Panja dan
menyetujui RUU Cipta Kerja untuk dibawa dalam Pembicaraan Tingkat II
pada Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU, dengan catatan:
• Tujuh (7) fraksi (FPDI Perjuangan, F-Golkar, F-Gerindra, F-Nasdem,
F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan
menyetujui RUU Cipta Kerja untuk diproses lebih lanjut sesuai
ketentuan perundang-undangan;
• Dua (2) Fraksi (F-PKS dan F-Partai Demokrat) belum menerima hasil
kerja Panja dan menolah RUU Cipta Kerja untuk diproses lebih lanjut;
dan
• Catatan yang disampaikan fraksi-fraksi dalam pandangan mininya
menjadi bagian yang tidak terpisahakan dari RUU Cipta Kerja tersebut.
11) Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
Pasal 163 Tatib DPR tidak dilaksanakan oleh Pimpinan Panja Baleg
dalam Pembicaraan Tingkat II, DPR memberikan pandangan bahwa
142
d. Tahap Pengesahan
1) Bahwa proses sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang
dengan 1.209 pasal terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat
dalam UU Cipta Kerja perlu dipahami bukan sebagai perkara yang mudah.
Perlu dilakukan penyisiran secara menyeluruh agar isi UU Cipta Kerja
sesuai dengan kesepakatan dalam pembahasan dan tidak ada kesalahan
pengetikan, tentunya tanpa mengubah substansi yang telah disepakati.
2) Bahwa Pasal 72 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur batasan waktu penyampaian rancangan undang-
143
PETITUM DPR
Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang
Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak Permohonan a quo dalam pengujian formil untuk seluruhnya;
3. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
4. Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6398); dan
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
148
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Risalah Rapat Baleg tanggal 20 Januari 2020
Lampiran II : Naskah Akademik
Lampiran III : Catatan Rapat Baleg tanggal 7 April 2020
Lampiran IV : Catatan Rapat Baleg tanggal 14 April 2020
Lampiran V : Laporan Singkat Rapat Panja tanggal 20 April 2020
Lampiran VI : Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan
pakar, lembaga pendidikan, asosiasi, dan lembaga KPPU
Lampiran VII : Dokumentasi Rapat Panja tanggal 20 Mei 2020 – 25
September 2020
Lampiran VIII : Risalah Rapat Panja tanggal 3 Oktober 2020
Lampiran IX : Risalah Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020
Lampiran X : Nota Pengantar dan DIM dari KPPOD
Lampiran XI : Surat Pengantar Naskah RUU Cipta Kerja tanggal 14 Oktober
2020
Sepanjang UUD 1945 dijadikan "batu uji" atau dasar pengujian formil
terhadap UU Cipta Kerja, maka tata cara atau prosedur pembentukan UU Cipta
Kerja sejalan dengan tata cara prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu:
Kedua, RUU inisiatif Presiden itu diajukan kepada DPR untuk dibahas dan
disetujui bersama DPR dan Presiden;
Secara konseptual, Omnibus Law sebagai metoda bukanlah sesuatu yang baru
dalam pembentukan/penyusunan regulasi. Historically, Omnibus Law lahir dan
berkembang serta dipraktekkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon (Common Law System), seperti Amerika Serikat, Kanada, lnggris,
Australia, Singapura, dan lain sebagainya. Di Amerika Serikat, misalnya, salah satu
undang-undang omnibus law terbesar yang pernah dibuat adalah Transportation
Equity Act for The 21 Century (TEA-21). Contoh undang-undang omnibus law
lainnya di Amerika Serikat adalah The Omnibus Public Land Management Act of
2009.
Di Kanada, praktek omnibus law sudah lazim digunakan oleh Parlemennya sejak
Tahun 1888 dengan tujuan untuk mempersingkat proses legislasi dengan melebur
beberapa peraturan perundang-undangan ke dalam satu peraturan khusus.
Beberapa contoh UU Omnibus Law di Kanada adalah The Energy Security Act
Tahun 1982 dan Jobs, Growth and Long - term Prosperity Act Tahun 2012.
Di Australia, terdapat Civil Law and Justice (Omnibus Amendments) Act 2015 yang
materinya menggabungkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan hukum dan
keadilan sipil dari beberapa ketentuan undang - undang lainnya.
Di Filipina, Omnibus Law juga pernah digunakan untuk menata regulasi di bidang
investasi dengan mengeluarkan/menerbitkan Omnibus Investment Code Act of
1987. Salah satu isi ketentuan dalam omnibus law tersebut adalah investor akan
diberikan insentif dan hak-hak dasar guna menjamin kelangsungan usaha investor
di Filipina. Cara ini dilakukan pemerintah Filipina untuk menarik investasi sebesar-
besarnya di negara tersebut.
Dengan menunjuk contoh beberapa negara yang menerapkan metode Omnibus
Law dalam pembentukan/penyusunan regulasinya tampak bahwa metode omnibus
law digunakan sebagai suatu instrument kebijakan untuk mengatasi permasalahan
regulasi yang terlalu banyak (hyper regulated) dan saling tumpang tindih
(overlapping). Konsep ini sering dipandang sebagai "jalan cepat" dalam mengurai
dan membenahi regulasi yang banyak dan bermasalah, dikarenakan esensi dari
Omnibus Law adalah suatu undang-undang yang ditujukan untuk menyasar tema
atau materi besar di suatu negara, di mana substansinya adalah untuk merevisi
dan/atau mencabut beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus. Oleh
karena itu, cara ini dipandang lebih efektif dan efisien dibandingkan penyelesaian
152
dengan menggunakan mekanisme legislasi biasa atau law by law yang bukan hanya
menyita banyak waktu, pikiran, dan tenaga, juga menyita banyak anggaran. Terlebih
lagi pembahasan suatu undang-undang, misalnya, seringkali mengalami deadlock
dikarenakan dinamika di parlemen yang sarat dengan berbagai kepentingan.
Dengan kata lain, hakekat Omnibus Law adalah suatu produk hukum yang berisi
lebih dari satu materiIisi dan tema ketatanegaraan yang substansial, dengan
merevisi dan/atau mencabut berbagai peraturan yang terkait sehingga menjadi satu
peraturan baru yang holistik, dengan tujuan untuk mengatasi banyak atau tingginya
kuantitas regulasi (hyper regulated) dan tumpang tindihnya regulasi (overlapping);
Kedua, Omnibus Law dalam kerangka Sistem Hukum (Anglo Saxon dan Eropa
Kontinental)
dengan Sistem Hukum Kodifikasi (Codified Law System). Kedua sistem hukum
tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Menyadari akan
keunggulan dan kelemahannya masing-masing, maka dalam perkembangannya
kemudian, perbedaan dasar antara kedua sistem hukum tersebut makin menipis.
Pada Sistem Eropa Kontinental, yurisprudensi (yang menjadi sendi utama Sistem
Hukum Anglo Saxon) menjadi makin penting kedudukan dan perannya sebagai
sumber hukum di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental.
Sebaliknya, peraturan perundang-undangan (sebagai sendi utama Sistem Hukum
Eropa Kontinental) semakin menduduki tempat yang penting pula di negara-negara
yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon. Demikian pentingnya tempat
kedudukan peraturan perundang-undangan di negara-negara yang menganut
Sistem Hukum Anglo Saxon, maka tidak dapat dihindari demikian banyaknya
regulasiI undang-undang yang diterbitkan yang berdampak pada hyper regulated,
sehingga menjadi kuat alasan digunakannya metode Omnibus Law sebagai cara
untuk mereformasi regulasi yang hyper itu. Di negara-negara yang menganut Sistem
Hukum Anglo Saxon saja sudah lama mempraktekkan penggunaan metode
Omnibus Law untuk melakukan reformasi terhadap regulasinya yang hyper, apalagi
di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental yang memang
menjadikan Hukum Tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi
utama sistem hukumnya, sehingga sangat tidak beralasan untuk tidak
menggunakan metode Omnibus Law sebagai cara untuk melakukan reformasi
terhadap regulasinya yang hyper dan bermasalah. Hal yang demikian itu lumrah
atau lazim terjadi di berbagai negara tanpa terbelenggu oleh sekat perbedaan di
antara kedua sistem hukum terkemuka itu. Dalam konteks Omnibus Law dapat
dikatakan bahwa ketika metode Omnibus Law diterapkan di suatu negara yang
basisnya bukan Common Law, maka negara tersebut telah melakukan praksis yang
disebut sebagai transplantasi hukum (Law Transplant) Omnibus Law. Bagi Alan
Watson dalam "Legal Transplants an Approach to Comparative Law (1993: 21), Law
Transplant merupakan "the moving of a rule or a system of law from one country to
another, or from one people to another- have been common since the earliest
recorded history" (perpindahan suatu tatanan atau sistem hukum dari satu negara
ke negara yang lain, atau dari satu orang ke orang yang lain yang sudah umum
dilakukan sejak sejak zaman dulu). Secara sederhana, Transplantasi Hukum
diartikan sebagai sebuah proses transfer atau peminjaman konsep hukum antar
154
sistem hukum yang ada. Dapat pula dikatakan sebagai proses di mana hukum dan
lembaga hukum dari suatu negara diadopsi oleh negara lainnya. Transplantasi
hukum, baik yang berkenaan dengan gagasan, konsepsi, solusi, struktur, institusi
maupun metode dari suatu negara ke negara lainnya telah menjadi kecenderungan,
bahkan kebiasaan dalam rangka proses pembangunan hukum di berbagai negara;
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka Omnibus Law sebagai metode bukan lahir
dari prinsip kodifikasi melainkan dari prinsip modifikasi. Dikatakan demikian, selain
karena metode Omnibus Law dapat mengharmonisasikan peraturan perundang-
undangan, juga dapat menghindari hyper regulations. Selain itu, metode Omnibus
Law lebih mengarah pada pembentukan kualitas regulasi (quality of regulation),
bukan pada kuantitas regulasi (regulatory quantity). Dalam hubungan ini, tepat apa
yang dikatakan oleh Thomas Hobbes bahwa "unnecessary laws are not good law,
but just traps for money" (kuantitas hukum atau regulasi yang banyak dan tidak perlu
bukanlah hukum yang baik, akan tetapi hanya jebakan untuk anggaran). Oleh
karena itu, pembentukan hukum haruslah berorientasi kepada substansi, bukan
terpaku kepada hal yang bersifat prosedural. Dalam hal ini dibutuhkan hukum atau
regulasi yang kuantitasnya sedikit mungkin tetapi kualitasnya maksimal (simply rules
but perform strictly) sehingga efektif dan efisien dalam penerapannya.
Pada tataran das sollen, misalnya, adalah gagasan Presiden Jokowi untuk
menggunakan metode Omnibus Law dalam penyusunan undan-undang guna
mendukung keinginannya mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan
hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
dengan mengundang atau menarik investor guna menanamkan investasinya untuk
tujuan menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan. Timbulnya gagasan
untuk menggunakan metode Omnibus Law sebagai instrument pendukung
keinginan mewujudkan kesejahteraan rakyat bertolak dari kenyataan faktual (das
sein), yaitu adanya obesitas regulasi atau hyper regulasi yang tumpang tindih, tidak
ada harmonisasi, inkonsisten, multi tafsir, tidak operasional, dan kurang
155
3. Dalam konteks ini, ada 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
relevan dijadikan justifikasi untuk menegasi alasan para Pemohon yang
menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, yaitu:
156
DPR dilakukan sejak tanggal 14 April 2020 sampai dengan tanggal 3 Oktober
2020. Dikarenakan di gedung DPR dan lingkungan sekitarnya sedang mewadah
Covid-19 maka rapat-rapat yang dilakukan oleh DPR (termasuk rapat-rapat
mengenai pembahasan RUU) disepakati dilakukan melalui mekanisme kehadiran
fisik secara langsung dan melalui virtual. Sebagian anggota Badan Legislasi DPR
yang merupakan perwakilan dari fraksi-fraksi di DPR hadir secara langsung
dengan menerapkan protokol Covid-19 di ruang rapat Badan Legislasi DPR, dan
selebihnya, sebagian anggota Badan Legislasi DPR yang lain hadir melalui
virtual. Demikian juga halnya dengan pihak Pemerintah. Kesepakatan ini
didasarkan pada ketentuan tata cara rapat dan tata cara pengambilan keputusan
di DPR yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata
Tertib.
• Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,
pembahasan rancangan undang-undang dalam pembicaraan tingkat 1 (satu) di
Badan Legislasi DPR dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Pengantar musyawarah;
b. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM);
c. Penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; dan
d. Pengambilan keputusan.
• Pengantar musyawarah, disampaikan dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR
dengan Pemerintah. Di dalam Rapat Kerja ini, hadir secara fisik Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan
Menteri Ketenagakerjaan. Sedangkan menteri-menteri lainnya, hadir secara
virtual. Di dalam pengantar musyawarah, Pemerintah menyampaikan penjelasan
terhadap RUU tentang Cipta Kerja dan kemudian dilanjutkan dengan pandangan
fraksi-fraksi DPR atas penjelasan RUU dimaksud. Rapat Kerja tersebut
menyepakati menerima penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Cipta Kerja.
Kegiatan Rapat Kerja tersebut, dilaksanakan pada tanggal 14 April 2020.
• Setelah pengantar musyawarah di sampaikan dalam Rapat Kerja antara Badan
Legislasi DPR dengan Pemerintah, selanjutnya Badan Legislasi DPR di dalam
rapat-rapat berikutnya juga melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
dengan para narasumber dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat terkait
RUU tentang Cipta Kerja. Dalam RDPU tersebut, hadir secara fisik dan/atau
virtual, antara lain:
162
khusus, DPR (melalui anggota, fraksi, dan/atau alat kelengkapan DPR) juga telah
berulang kali menerima aspirasi dari berbagai perwakilan tenaga kerja dan
mahasiswa yang ada, baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR.
Berikut beberapa kegiatan yang dapat saksi terangkan berkaitan dengan
partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU tentang Cipta Kerja.
1. Tanggal 13 Agustus 2020
• Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dan Rachmat Gobel, serta Wakil
Ketua Badan Legislasi DPR M. Nurdin, dan Anggota Badan Legislasi
DPR Lamhot Sinaga, menerima perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja
Nasional (KSPN);
• Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, menerima perwakilan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Jabotabek.
2. Tanggal 18 Agustus 2020
• Wakil Ketua DPR Bapak Sufmi Dasco bersama dengan Wakil Ketua
Badan Legislasi DPR Willy Aditya, menerima Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
3. Tanggal 20 Agustus 2020
• Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya bersama perwakilan
fraksi-fraksi DPR, yaitu: Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi
Gerindra, Fraksi Nasdem, dan Fraksi PKB, menerima kunjungan
perwakilan serikat buruh/pekerja terkait Bab IV Ketenagakerjaan. Ada 2
(dua) hal yang disepakati dalam pertemuan tersebut. Pertama, DPR
menerima notulensi hasil pembahasan dari tim teknis tripartit yang
difasilitasi oleh Pemerintah. Kedua, DPR membuka ruang seluas-
luasnya untuk berdialog dan menerima saran dan masukan terkait
pembahasan Bab IV Ketenagakerjaan tanpa membeda-bedakan aliansi
buruh manapun.
• Pembahasan DIM, dilakukan oleh Badan Legislasi melalui Rapat Panitia Kerja
(PANJA). Setelah semua materi muatan DIM RUU tentang Cipta Kerja selesai
dibahas, pembahasan RUU dilanjutkan dengan pembahasan dalam Rapat Tim
Perumus (TIMUS) dan Tim Sinkronisasi (TIMSIN).
• Selama pembahasan DIM, rapat pembahasan RUU tentang Cipta Kerja,
mayoritas dilakukan di dalam gedung DPR. Namun dikarenakan di dalam gedung
DPR banyak staf dan Anggota DPR yang terpapar Covid-19, pelaksanaan
164
pembahasan DIM di gedung DPR dihentikan untuk beberapa saat dan dialihkan
ke tempat lain yang lebih representatif dan memungkinkan rapat dapat
diselenggarakan. Pelaksanaan rapat pembahasan RUU tentang Cipta Kerja yang
dilakukan di luar gedung DPR juga atas kesepakatan Badan Legislasi DPR dan
Pemerintah dengan tetap mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Jadi ini bukan pertimbangan
pribadi tetapi pertimbangan dan keputusan kelembagaan dengan memperhatikan
situasi dan kondisi yang terjadi.
• Penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir fraksi-fraksi DPR, dilakukan di
dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR dengan Pemerintah. Penyampaian
pendapat mini tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengambilan keputusan
tingkat 1 (satu) atas RUU tentang Cipta Kerja. Berdasarkan keputusan
pembicaraan tingkat 1 (satu) tersebut, RUU tentang Cipta Kerja disepakati untuk
dilanjutkan pembahasannya dalam pembicaraan tingkat 2 (dua) di dalam Rapat
Paripurna DPR. Penyampaian pendapat mini dan pengambilan keputusan tingkat
1 (satu) tersebut dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2020. Sedangkan
pengambilan keputusan tingkat 2 (dua) di dalam Rapat Paripurna DPR dilakukan
pada tanggal 5 Oktober 2020.
• Pelaksanaan rapat yang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR dalam tahapan
perencanaan dan tahapan pembahasan terkait RUU tentang Cipta Kerja, telah
dipublikasikan oleh DPR melalui website, media televisi, media sosial dan/atau
media cetak. Dengan demikian, baik DPR, Pemerintah, dan masyarakat juga
dapat mengikuti rapat-rapat tersebut melalui berbagai sarana media yang ada. Ini
merupakan komitmen bersama antara DPR dengan Pemerintah yang sejak awal
pembahasan RUU sepakat untuk terbuka dan memberikan ruang partisipasi yang
luas kepada masyarakat.
• Demikian keterangan saksi atas tahapan perencanaan dan tahapan pembahasan
dari RUU tentang Cipta Kerja. Saksi berpendapat, bahwa tahapan perencanaan
dan tahapan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja telah sesuai dengan
prosedur yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
DPR dan Pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk menaati
prosedur yang ditentukan tersebut, walaupun harus dilakukan pada saat situasi
dan kondisi yang sulit yaitu saat pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Hal ini
165
semata-mata kami lakukan, karena saksi dan rekan-rekan Anggota DPR lainnya,
terikat pada sumpah/janji jabatan selaku wakil rakyat.
g. keterbukaan.
sebagai Undang-Undang yang dibentuk atas amanat Pasal 22A UUD 1945, dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
166
1. Bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
167
4. Bahwa menurut Pemerintah tidak terdapat kerugian yang diderita oleh Para
Pemohon, yang didasarkan bahwa:
a. Pemohon tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan aktivitas maupun
kegiatannya, yang diakibatkan oleh berlakunya ketentuan a quo yang diuji.
Hak-hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana dijamin oleh Ketentuan
Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 31 ayat
(1) UUD 1945, seperti hak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
hak mendapatkan pendidikan, tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi,
dipersulit maupun dirugikan oleh karena berlakunya ketentuan a quo
yang diuji.
b. Bahwa dalil-dalil kerugian konstitusional dari Para Pemohon akibat
berlakunya UU Cipta Kerja hanya bersifat asumsi semata, tidak bersifat
spesifik (khusus) dan aktual dan tidak sesuai dengan syarat-syarat adanya
kerugian konstitusional tersebut.
c. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah memenuhi ketentuan Pasal 20
ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 Jo. Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011 dan dalam
proses pembentukan tersebut telah melibatkan partisipasi masyarakat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 UU 12/2011. (vide bukti-bukti
pemerintah)
d. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, tidak satupun secara konkrit dan jelas
termuat uraian mengenai bentuk kerugian konstitusional dari Para Pemohon
dengan mempersoalkan formil pembentukan UU Cipta Kerja dan dalil-dalil
Para Pemohon hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi semata, dan nyata-
nyata tidak didasarkan pada adanya kerugian konstitusional karena
berlakunya ketentuan aquo yang diuji, sehingga menurut Pemerintah Para
Pemohon tidak memiliki kedudukan hokum dalam mengajukan permohonan
a quo.
169
(1) bahwa menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011, yang dimaksud
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
(2) bahwa salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 yang terdapat
dalam Pasal 7 ayat (1) adalah Undang-Undang.
(3) bahwa dengan demikian, UU Cipta Kerja dimaknai sebagai salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan yang pembentukannya
mencakup tahapan perencanaan, penyusnan, pembahwasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
(4) bahwa menurut Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011, salah satu asas
pembentukan perundang-undangan yang baik meliputi asas
keterbukaan. Penjelasan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
(5) bahwa dalam kaitannya dengan asas keterbukaan, UU No. 12 Tahun
2011 telah mengatur perwujudan asas tersebut di dalam Pasal 88 yang
berbunyi:
(6) bahwa selain Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 170 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Perpres No. 87 Tahun 2014) juga mengatur
bahwa:
(7) bahwa berdasarkan Pasal 88 dan Pasal 170 (Perpres No. 87 Tahun
2014), sejak penyusunan Prolegnas, Penyusunan RUU, pembahasan
RUU hingga pengundangan UU, DPR dan Pemerintah melakukan
penyebarluasan guna memberikan informasi dan/atau memperoleh
masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
(8) bahwa selanjutnya, mengenai bentuk penyebarluasan penyusunan
Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan
Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 171 Perpres Nomor 87 Tahun 2014
dilakukan melalui:
172
(11) bahwa setelah terbitnya draft RUU Cipta Kerja sebagaimana dimaksud
pada angka 10 di atas, draft RUU Cipta Kerja telah dapat diakses dengan
mudah melalui media daring dalam situs resmi Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Selain itu, masyarakat juga masih dapat
memberikan masukan terhadap draft RUU Cipta Kerja (vide bukti T-2).
(12) bahwa dalam penyusunan UU Cipta Kerja, Tergugat juga telah
melakukan penyebarluasan informasi dan mendapatkan respon dari
masyarakat berupa penolakan, koreksi, serta masukan. Selain itu,
tergugat juga telah memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat
untuk memberi masukan (vide bukti T-2).
(13) bahwa banyaknya undang-undang terdampak dari UU Cipta Kerja dalam
penyusunannya mengalami dinamika perubahan rancangan yang sangat
dinamis sehingga dibutuhkan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi terlebih dahulu untuk menghindari
kesimpangsiuran dan ketidakpastian atas draft RUU tentang Cipta Kerja
tersebut. Meskipun demikian, hal ini bukan berati Tergugat tidak
melakukan penyebarluasan informasi dan menutup ruang partisipasi
masyarakat untuk memberikan masukan terhadap RUU Cipta Kerja,
faktanya Tergugat telah mengundang stakeholders untuk berkoordinasi
dalam penyusunan UU Cipta Kerja tersebut.
(14) bahwa untuk menerima masukan dan merespon isu dari masing-masing
sektor, penyeberluasan informasi UU Cipta Kerja dilakukan per sektor
oleh kementerian/lembaga terkait dan sosialisasi secara umum UU Cipta
Kerja dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian.
(15) bahwa merujuk pada poin 1 sampai dengan poin 13 di atas, proses
pembentukan UU Cipta Kerja yang meliputi proses penyusunan
Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan
Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan Undang-Undang
telah sesuai dengan asas keterbukaan.
(16) bahwa dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan
174
Pengesahan RUU termuat dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal
73 ayat (1) UU 12 Tahun 2011, yang menyatakan:
(5) bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja telah melalui proses panjang dan
telah melakukan rangkaian pembahasan dengan melalui tahapan rapat
kerja dengan DPR, rapat dengan pendapat (RDP), rapat dengar
pendapat umum (RDPU), rapat panitia kerja, dan rapat tim perumus dan
pengesahan pada tanggal 2 November 2020. (vide bukti-bukti
Pemerintah)
(6) bahwa terkait pengujian formil dengan batu uji berdasarkan ketentuan
Pasal 20 jo. Pasal 22A UUD 1945 serta UU tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan incasu UU No. 12 Tahun 2011 pada
176
...
bahwa keberadaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD
dari hasil pemilihan umum lembaga perwakilan. Dengan demikian,
frasa “dengan” dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan
hal ihwal MPR, DPR, dan DPD, diatur dengan Undang-Undang dan
dibaca dalam satu tarikan nafas dengan frasa “dengan” yang
tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 22C ayat
(4) UUD 1945, sehingga frasa “dengan” bukan dimaknai Undang-
Undang tentang MPR, tentang DPR, dan tentang DPD tersendiri
dan dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut
di atas, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut pemerintah adalah tepat jika
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
IV. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon
kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
2) Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
3) Menolak permohonan pengujian formil Para Pemohon untuk seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima
(niet onvankelijk verklaard);
4) Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Hal ini merupakan bagian dari perwujudan pemikiran para pendiri bangsa
(founding fathers) yang menentukan bahwa salah satu tujuan bernegara ialah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap
kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya termasuk perlindungan
183
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Negara harus dapat
memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi
normal maupun kondisi tidak normal.
Kedua, terjaminnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pertama, kepastian jenis dan bentuk Izin sesuai kegiatan usaha berdasarkan
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Ketiga, kepastian waktu penyelesaian sesuai jenis perizinan, dan dapat dipercepat
dan/atau diterbitkan secara otomatis apabila perizinan tidak diselesaikan oleh
pemerintah sesuai waktu yang ditetapkan.
Keempat, kepastian lokasi kegiatan karena sebagian lokasi telah berbasis Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR)/Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) digital yang dapat
diakses pelaku usaha.
Seluruh kebijakan dalam UU Cipta Kerja ditujukan untuk penciptaan lapangan kerja
yang diperlukan oleh seluruh Warga Negara Indonesia, dengan berdasarkan asas:
Pertama, pemerataan hak, yaitu penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia yang
dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, kemudahan berusaha, yaitu penciptaan kerja yang didukung dengan proses
berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat yang akan mendorong peningkatan
investasi, pemberdayaan UMK-M untuk memperkuat perekonomian yang mampu
membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
187
Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU Cipta Kerja sama sekali tidak
merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini
tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru
sebaliknya, lahirnya UU Cipta Kerja merupakan upaya pemenuhan hak
konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan
yang layak sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, terutama pada saat
pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
ditambah lagi dengan munculnya disrupsi akibat pandemi Covid-19 yang membawa
dampak negatif pada aspek sosial maupun aspek ekonomi.
Dari sisi domestik, saat penyusunan UU Cipta Kerja ini, kondisi nasional
dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang berada di kisaran 5% dalam 5 tahun
terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun
2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019.
Pada sisi lain, Indonesia memiliki potensi bonus demografi yang jika
dioptimalkan dapat membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan
menengah (middle income trap). Tantangan middle income trap terjadi ketika
perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income.
Indonesia perlu keluar dari jebakan ini karena negara yang terjebak dalam middle
income trap akan berdaya saing lemah, yang disebabkan oleh: a. menjadi kalah
bersaing dengan low-income countries karena upah tenaga kerja mereka yang lebih
murah; dan b. kalah bersaing dalam hal teknologi dan produktivitas dengan high-
income countries. Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing
tenaga kerja dan produktivitas menjadi andalan untuk keluar dari middle income
trap.
ekonomi dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Melalui UU Cipta Kerja, target
ini diharapkan terpenuhi melalui:
Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d 3 juta/tahun (meningkat dari
sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang
tidak/belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta Angkatan Kerja Baru).
Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun usaha baru
atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga akan mendorong peningkatan
konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.
Bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja telah melalui proses panjang dan
telah melakukan rangkaian pembahasan dengan melalui tahapan rapat kerja
dengan DPR, rapat dengar pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU),
rapat panitia kerja, dan rapat tim perumus dan pengesahan.
Pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011, sepanjang berdasarkan kewenangan
membentuk undang-undang oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama serta proses pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja
yang telah dilaksanakan. Apabila menurut anggapan Pemohon dalam pembentukan
UU Cipta Kerja terdapat kekurangan atau karena tidak sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, tidak dengan serta merta
menyebabkan UU Cipta Kerja tersebut menjadi cacat prosedur dan batal, karena
berkaitan dengan tata cara pembentukan undang-undang yang baik dimaksudkan
192
KETERANGAN PENDAHULUAN
Untuk itu Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan
perlindungan terhadap rakyatnya termasuk perlindungan untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak, baik dalam kondisi normal maupun kondisi
tidak normal.
Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU Cipta Kerja ini,
perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, kepastian hukum, dan pemenuhan
hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak,
berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh Ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui prosedur dan tahapan sesuai ketentuan.
Hak-hak partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah terpenuhi
dengan adanya partisipasi publik.
Berdasarkan data BPS per Agustus 2019, dari jumlah 133,56 juta Angkatan kerja,
89,96 juta orang bekerja penuh, sedangkan 28,41 juta orang paruh waktu, 8,14 juta
orang setengah penganggur, dan 7,05 juta orang pengangguran. Dengan demikian
terdapat 43,5 juta orang yang tidak bekerja penuh (32,6% dari angkatan kerja).
Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49
juta orang (55,72 persen dari total penduduk yang bekerja). Kita juga dihadapkan
dengan masih rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja.
Pada sisi pendidikan, BPS melaporkan pada November 2019 bahwa porsi penduduk
yang memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat kebawah yaitu 64,06%, dan hanya
194
26,69% tamat SMA/sederajat dan 9,26% tamat perguruan tinggi. Hal ini memerlukan
upaya yang khusus untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat menampung
kondisi tersebut.
Sektor UMK-M yang memiliki kontribusi sekitar 61,07% dari PDB dan menyerap
lebih dari 97% dari total tenaga kerja belum dapat berkembang dengan baik. Dimana
98,68% dari usaha Mikro merupakan usaha informal dengan produktifitas yang
sangat rendah.
Di sisi lain, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan
investasi melalui kemudahan berusaha. Hal ini tercermin dari laporan Kemudahan
Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap
190 negara termasuk Indonesia. Dimana Kemudahan Berusaha Indonesia pada
Tahun 2015 pada peringkat 114 dan kemudian meningkat secara terus menerus
hingga pada Tahun 2019 mencapai peringkat 73. Meskipun meningkat, namun
peringkat Indonesia masih jauh dibawah negara ASEAN lainnya, seperti pada
Tahun 2019 Singapura peringkat 2, Malaysia peringkat 15, dan Thailand peringkat
27.
Dari sisi daya saing berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) pada Tahun
2019 Indonesia berada pada peringkat 50 sementara Singapura peringkat 1,
Malaysia peringkat 27, dan Thailand peringkat 40. Bahkan dari sisi digitalisasi, Daya
Saing Bisnis Digital Indonesia pada Tahun 2019 berada pada peringkat 56
sementara Malaysia di peringkat 26. Sehingga diperlukan adanya upaya reformasi
regulasi yang bisa memberikan kemudahan berusaha dalam rangka meningkatkan
investasi.
Indonesia perlu keluar dari jebakan middle income trap karena akan berdaya saing
lemah. Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing tenaga kerja
dan produktivitas menjadi andalan untuk keluar dari middle income trap.
195
Untuk itu Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan pada tanggal 20 Oktober
2019 menyampaikan antara lain untuk menyederhanakan segala bentuk kendala
regulasi dan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Kerja, yang akan menjadi
Omnibus Law untuk merevisi beberapa undang-undang yang menghambat
penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMK-M. Penggunaan metode
Omnibus Law dalam penyiapan penyusunan RUU Cipta Kerja adalah dengan
memperhatikan muatan dan substansi undang-undang yang harus diubah mencapai
78 Undang-Undang, yang harus dilakukan dalam satu kesatuan substansi
pengaturan untuk mencapai tujuan cipta kerja secara optimal.
Kedua, terjaminnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d 3 juta/tahun (meningkat dari
sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang
tidak/belum bekerja.
Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun usaha baru
atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga akan mendorong peningkatan
konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.
Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon karena UU Cipta Kerja telah
melalui tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditentukan dalam UU 12/2011 yang terdiri dari tahapan sebagai berikut:
Pemerintah menyusun Naskah Akademik dan draft RUU Cipta Kerja yang telah
diselaraskan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
RUU Cipta Kerja yang diajukan kepada DPR, telah disepakati dalam Rapat
Paripurna DPR untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka
Menengah 2020-2024 dan ditetapkan dengan Surat Keputusan DPR RI Nomor:
46/DPR RI/I/2019-2020. Selanjutnya Rapat Paripurna penyusunan Prolegnas
Prioritas Tahun 2020 pada tanggal 22 Januari 2020 telah menyetujui RUU Cipta
Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 dan ditetapkan dengan
Keputusan DPR RI Nomor: 1/DPR RI/II/2019-2020.
Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 3 Oktober 2020. Pembahasan RUU Cipta Kerja
dalam Rapat Panja yang bersifat terbuka untuk umum selain dapat dihadiri secara
fisik oleh masyarakat dengan protokol kesehatan dan juga dapat diakses melalui
media elektronik seperti kanal TV Parlemen dan YouTube.
Dalam Pembicaraan Tingkat II, telah dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dalam
rangka Pengambilan Keputusan terhadap RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja
pada tanggal 5 Oktober 2020. Dimana Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra,
Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyatakan menerima
dan setuju atas RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, dan Fraksi Demokrat serta
Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 2 November 2020 kemudian
dilakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 245
Tahun 2020 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573
Tahun 2020 pada tanggal 2 November 2020.
Berdasarkan fakta dan penjelasan diatas, maka dalil Para Pemohon yang
menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22A UUD 1945 dan tidak
sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur
199
dalam UU 12/2011 dan UU 17/2014 merupakan dalil yang tidak terbukti, tidak
beralasan, dan tidak berdasar atas hukum.
hadir juga dalam berbagai dialog mengenai RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh
media televisi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan
bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melanggar asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011, menurut Pemerintah sangat keliru, tidak benar dan tidak berdasar
hukum.
KETERANGAN PRESIDEN
5. Bahwa yang dimaksud asas kejelasan tujuan dalam bagian penjelasan Pasal
5 huruf a UU 12/2011 adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai. Jika memperhatikan materi pengaturan dalam batang tubuh dengan
mengacu ruang lingkup UU Cipta Kerja, tidak mencerminkan tujuan dari
pembentukan undang-undang dikarenakan memiliki materi muatan yang
saling kontradiksi dan tidak mencerminkan tujuan pembentukan undang-
undang.
6. Bahwa apabila melihat ketentuan norma dari UU Cipta Kerja, tidak sesuai dan
telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011. Hal tersebut dapat dibuktikan
dari adanya penggabungan 78 (tujuh puluh delapan) Undang-Undang yang
tentunya memiliki pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis, yuridis,
dan sosiologis yang berbeda-beda, namun dijadikan satu dengan
menggunakan konsep Omnibus Law tanpa melakukan riset yang mendalam,
serta tanpa melibatkan pihak-pihak/stakeholder serta Naskah Akademik yang
tidak mendalam serta tidak komprehensif.
7. Bahwa pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan dalam UU Cipta Kerja semakin jelas terbukti pada ketentuan Pasal
5 dan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang telah mengabaikan dan bertentangan
dengan asas kejelasan rumusan. Bahwa terhadap teknis penyusunan,
sistematika Pasal 5 dan Pasal 6 UU Cipta Kerja membuktikan bahwa UU
Cipta Kerja dibentuk dengan mengabaikan dan bertentangan dengan asas
kejelasan tujuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf f UU 12/2011.
Adanya ketidakjelasan rumusan juga terbukti pada ketentuan norma
perubahan Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/2014) sebagaimana
termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja.
8. Bahwa penjelasan dari asas kejelasan rumusan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 huruf f UU 12/2011 adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
203
13. Bahwa apabila UU Cipta Kerja dinyatakan cacat prosedural karena tidak
memenuhi pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011, maka
tidak akan menimbulkan keadaan buruk, baik bagi penyelenggara
pemerintahan, bahkan akan mempertahankan keadaan yang sudah relatif
cukup baik yang ter-downgrade oleh UU Cipta Kerja.
14. Bahwa apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
tidak perlu khawatir karena tidak akan menimbulkan kekosongan hukum
selama oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan terhadap pasal-pasal yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja
berlaku kembali jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini.
15. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka terhadap pembentukan
UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011.
tingkat 74,4% masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN pada tingkat
78,2%.
Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun
usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan
lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga
akan mendorong peningkatan konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.
Keempat, pemberdayaan UMK-M dan Koperasi, yang mendukung
peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan
kontribusi Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5%. Karena UMK-M dan
Koperasi merupakan unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak
yang berkualitas di sisi penciptaan lapangan kerja.
Bahwa dengan terciptanya kondisi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas
yang tinggi melalui penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, maka
diharapkan dapat mencapai target Indonesia untuk dapat masuk ke dalam
5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto
sebesar US$7 triliun dengan pendapatan perkapita sebesar Rp 27 juta per
bulan.
Dengan pencapaian target tersebut, niscaya penciptaan lapangan kerja
yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak akan tercapai.
PENYUSUNAN
Presiden melalui surat Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari
2020 kepada Ketua DPR RI perihal: Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja menyampaikan RUU Cipta Kerja untuk dibahas dalam
Sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas
utama. Dalam surat tersebut Presiden sekaligus menunjuk Koordinator
Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan
Menteri Pertanian baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk
mewakili Presiden dalam membahas RUU Cipta Kerja dengan DPR
RI. (vide Bukti PK-28) Surat Presiden tersebut kemudian
ditindaklanjuti oleh Menteri Sekretaris Negara melalui surat Nomor: B-
105/M.Sesneg/D-1/HK.00.02/02/2020 tanggal 7 Februari 2020. (vide
Bukti PK-29)
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN
1) RUU Cipta Kerja yang telah diajukan oleh Presiden kepada DPR
kemudian dibahas bersama-sama oleh DPR dan Presiden dalam
220
Pembicaraan Tingkat II
PENGESAHAN
PENGUNDANGAN
PENYEBARLUASAN
1) Tahap Perencanaan
Penjelasan/Tanggapan:
A. Umum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
Cipta Kerja) telah dibahas dan disetujui oleh Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga telah sesuai dengan Pasal 20
ayat (2) UUD 1945, serta telah melalui tahapan-tahapan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta
perubahannya (UU 12/2011 beserta perubahannya), sehingga UU
Cipta Kerja telah sesuai dengan UUD 1945 dan UU 12/2011 beserta
perubahannya. Tahapan-tahapan pembentukan UU Cipta Kerja
sendiri telah diuraikan dalam Keterangan Presiden yang
disampaikan kepada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 16 Juni 2021.
250
e. Petro-Canada Act;
b. Naskah Akademik.
Tingkat Menteri
Rapat Presiden
Penjelasan/Tanggapan:
i. KADIN;
ii. HIPPI;
iii. ASEPHI;
iv. INKOWAPI;
v. IWAPI;
b) Law Firm/Firma Hukum: Lusma Rizki (Melli Darsa & Co
– PwC)
a) KADIN;
b) APINDO;
c) APRINDO;
d) APRISINDO;
e) REI;
f) GAPKI;
g) APHI;
h) GAPMMI;
i) PHRI;
j) APKI;
k) APBI;
b) Didi H (KSPSI)
g) Ramidi (KSPI)
k) Surnadi (KSBSI)
m) Soenarjono (K-Sarbumusi)
281
n) Pawutan SS (KSP)
d) Ristadi (KSPN)
a) Akademisi:
d) Organisasi:
d) Jumadi (KASBI)
e) Kartina (KASBI)
f) Nabila (AFR)
g) Kusmin (SPN)
i) Indesmunasmar (GEKANAS/FSPI)
k) Dalail (K-Sarbumusi)
n) Rustadi (KSPN)
r) Sasmira D (FSPBUN)
s) Gallif F (FSPBUN)
d) M. Lubis (KSPI)
g) Andi S (KSPSI)
h) Agus D. (KSPSI)
j) Dedi H (KSBSI)
m) Ramidi (KSPI)
n) Lukman (KSPI)
t) Riden (FSPMI)
w) Harris M (Nikeuba)
a) Serikat Pekerja:
v. Ristadi (KSPN)
b) Asosiasi Pengusaha:
i. KADIN
ii. APINDO
a) Serikat Pekerja:
i. Hermanto Achmad (KSPSI)
b) Asosiasi Pengusaha:
i. APINDO
ii. KADIN
a) Serikat Pekerja:
x. Markus (KSBSI)
b) Asosiasi Pengusaha:
i. KADIN
ii. APINDO
a) Serikat Pekerja:
i. Arnod Sihite (KSPSI)
x. Dalail (KSBMI)
b) Asosiasi Pengusaha:
i. KADIN
ii. APINDO
c) Julian (KSBSI)
289
a) Serikat Pekerja:
v. Yorris R (KSBSI)
x. Ristadi (KSPN)
b) Asosiasi Pengusaha:
i. KADIN
ii. APINDO
a) Akademisi:
b) Praktisi:
a) Serikat Pekerja:
b) Ristadi (FKSPN)
b) M. Muhaimin (RNI)
a) Akademisi:
b) Serikat Pekerja:
c) Praktisi:
Jawaban/Tanggapan
Jawaban/Tanggapan
Jawaban/Tanggapan
Terkait dengan pertanyaan nomor 1 dari Yang Mulia Hakim Anggota
WAHIDUDDIN ADAMS terkait dengan penggunaan metode Omnibus
Law telah kami uraikan pada jawaban pertanyaan Yang Mulia Hakim
Anggota SALDI ISRA nomor 1 (halaman 3).
304
Tanggapan/Jawaban
III. Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota DANIEL YUSMIC P. FOEKH
Tanggapan/Jawaban
Terkait dengan pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota DANIEL YUSMIC
P. FOEKH terkait dengan stakeholders yang membahas/menyusun UU Cipta
Kerja telah kami uraikan pada jawaban Yang Mulia Hakim Anggota SALDI
ISRA pada pertanyaan nomor 2 di atas (halaman 24).
Jawaban/Tanggapan
Bahwa Berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12/2011 beserta perubahannya
menyebutkan bahwasa masyarakat berhak memberikan masukkan
secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Prof. Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa konsep
Partisipasi Masyarakat yang tertera pada pasal tersebut diatas berkaitan
dengan salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yakni asas keterbukaan.
Hamzah Halim dan Kemal Ridindo Syahputra mengemukakan
bahwasanya salah satu konsep terkait partisipasi Publik adalah
Partisipasi sebagai kebijakan, yang mana konsep ini berpandangan
bahwa partisipasi merupakan wujud prosedur konsultasi para pembuat
kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek peraturan. Meskipun
Partisipasi Masyarakat merupakan suatu wujud daripada asas
keterbukaan dan implementasi nilai-nilai demokrasi namun apabila
dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimana mengatur bahwa Presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR maka
dalam hal ini Presiden sebagai pembuat kebijakan tetap harus melakukan
pengkajian dan penelitian kembali apakah masukan dari masyarakat
tersebut memang diperlukan atau tidak. Hal ini sejalan dengan Pendapat
Prof. Hikmahanto Juwana dalam keterangannya ketika beliau menjadi
Saksi Ahli dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 yang mana dalam
keterangannya beliau mengungkapkan bahwa dalam konteks partisipasi
publik, diperbolehkan untuk memberikan saran, diperbolehkan untuk
memberikan pertimbangan namun, tidak dapat serta merta dijadikan
dasar dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, cara-cara seperti itu diharapkan dapat membentuk
peraturan Perundang-undangan yang baik, dan menampung aspirasi
masyarakat, sehingga ketika pelaksanaannya tidak menimbulkan
permasalahan baru di tengah-tengah masyarakat. Kemudian dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 dalam
keterangan DPR-RI yang menyatakan bahwa “bermanfaat atau tidaknya
suatu rancangan undang-undang tentu tidak dapat memuaskan
307
keinginan seluruh pihak.” Yang diadaptasi dai salah satu tujuan hukum
yang dikemukakan Jeremy bentham “the greatest happiness of the
greatest number” (Happiness and utility: Jeremy Bentham’s Equation: J.H
Burns, Hlm.1) Yang mana dalam konteks ini tujuan perubahan perubahan
atau pembentukkan peraturan perundang-undangan adalah
kemanfaatan atau kedayagunaan untuk sebesar mungkin rakyat
Indonesia yang tentunya tidak semua pihak dapat terpuaskan.
Selanjutnya Masih dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-
XVII/2019 DPR-RI menyatakan bahwa Frasa “Dapat” dalam Pasal 117
Tatib DPR-RI merupakan norma yang bersifat pembebasan (Vrijstelling)
atau pembolehan bagi Anggota, Komisi, atau gabungan komisi, apabila
suatu rancangan undang-undang dianggap perlu meminta masukkan dari
masyarakat sebagai bahan panitia kerja (Pembentuk Undang-Undang)
untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang. Yang
mana dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat memiliki hak
untuk di dengar (right to be heard) namun tidak serta merta juga hak untuk
dipertimbangkan (right to be considered).
Adapun partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah
dijabarkan dalam jawaban atas pertayaan Nomor 2 dari Yang Mulia
Hakim Anggota Saldi Isra di atas.
Tanggapan/Jawaban
Penjelasan/Tanggapan:
Negara Kanada adalah negara yang menerapkan sistem hukum yang
didasarkan pada sistem common law dan sistem civil law. Sistem hukum ini
didasarkan pada sistem Inggris dan Prancis dimana para penjelajah dan
penjajah membawa sistem ini ke Kanada pada abad ke-17 dan abad ke-18.
Setelah pertempuran Quebec pada tahun 1759, Kanada tunduk pada hukum
Inggris common law, kecuali Quebec, yang mengikuti sistem civil law.
Selain itu, terdapat juga sistem hukum yang terbangun dari adanya
masyarakat adat terdahulu yang sudah ada sebelumnya. Konstitusi Kanada
mengakui dan melindungi hak-hak perjanjian yang ada. Konsep perjanjian
historis ini terbentuk dari abad ke-17 sampai sekitar tahun 1930, dimana
Pemerintah Kanada membentuk keyakinan bahwa masyarakat adat telah
menyerahkan titel Aborigin ke seluruh Kanada. Perjanjian yang ada beragam,
di satu sisi terdapat usaha dalam membangun hubungan perdamaian dan
persahabatan, di sisi lain juga pengalihan hak atas tanah.
Hukum tertinggi di Kanada ada pada Konstitusi Kanada sehingga segala
peraturan atau hukum yang dibuat oleh pemerintah tingkat federal, provinsi,
atau pemerintahan teritorial yang tidak sejalan dengan konstitusi dianggap
tidak sah. Permulaan konstitusional Kanada melibatkan serangkaian
kesepakatan politik antara dua budaya Eropa, dimana satu didominasi
Bahasa Prancis, katolik, dan diatur oleh civil law, sementara yang lainnya
adalah Bahasa Inggris, lebih heterogen dalam hal agama, dan diatur oleh
common law. Akomodasi bersama dari Warga Negara Kanada yang
berbahasa Prancis dan yang berbahasa Inggris, dan pembentukan
pemerintahan yang mayoritas berbahasa Prancis (Quebec) adalah bagian
penting dari sejarah konstitusional Kanada.
Secara umum terdapat 3 (tiga) tipe peraturan perundang-undangan di
Kanada, yaitu:
a. Statutes, merupakan peraturan yang berupa undang-undang yang
dibahas oleh parlemen federal atau badan legislatif provinsi telah
309
Badan Legislasi DPR RI. Hasil dari formatting dan penyempurnaan dari
DPR RI tersebut menjadi draft yang kemudian diundangkan sebagai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (vide Bukti PK-
90 Keterangan Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 17 Juni 2021).
Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA pada sidang 12
Agustus 2021
1. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membahas omnibus law dari
awal sampai akhir menjadi undang-undang di negara lain?
Penjelasan/Tanggapan:
Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota WAHIDUDIN ADAMS pada sidang
2 September 2021
2. Mengapa Pemerintah tidak terlebih dahulu mengubah teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang dapat diubah dengan Peraturan Presiden
sebelum membentuk UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law?
Penjelasan/Tanggapan:
Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota Enny Nurbaningsih pada sidang 6
Oktober 2021
e. Substansi Klaster 6 dimuat dalam Bab VII Dukungan Riset dan Inovasi, yang
memuat perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan badan
usaha milik negara dan 1 UU yang terkait dengan riset dan inovasi.
h. Substansi Klaster 9 masuk dalam Bab VIII Pengadaan Lahan, yang memuat
perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan 1 UU yang terkait dengan
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan
Penuangan norma dalam RUU Cipta Kerja sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
322
a. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal,
seperti di Bab III.
b. Bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf, seperti
di Bab VII.
c. Bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf, seperti
di Bab XI.
Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA pada sidang 6
Oktober 2021
Penjelasan/Tanggapan:
Dalam pembahasan di Panja RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR RI, telah
dilakukan kesepakatan untuk mengeluarkan 7 UU dari RUU Cipta Kerja dan
menambah 6 UU untuk masuk dalam RUU Cipta Kerja.
7 UU yang dikeluarkan, yaitu:
hukum atas sertifikat merek yang telah diterbitkan namun belum diambil
sebagaimana diatur dalam Pasal 25.
1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
327
1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
10. Bukti PK-10 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja Cluster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha terkait Pertahanan dan Keamanan tanggal 19
November 2019. Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
11. Bukti PK-11 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Penyusunan
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang
Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) pada tanggal 22 November
2019 di Sheraton Mustika Resort & SPA Yogyakarta.
Dokumen terdiri dari:
1. Materi Presentasi;
2. Laporan Pekerjaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Omnibus Law;
3. Laporan Penyelenggaraan Focus Group Discussion;
4. Daftar Hadir;
5. Notulensi;
6. Undangan; dan
7. Dokumentasi.
12. Bukti PK-12 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Terkait
Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan
328
1. Materi Presentasi;
2. Laporan Pekerjaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Omnibus Law;
3. Laporan Penyelenggaraan Focus Group Discussion;
4. Daftar Hadir;
5. Notulensi;
6. Undangan; dan
7. Dokumentasi.
13. Bukti PK-13 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Terkait
Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan
Kerja dan UMKM yang dilaksanakan pada tanggal 2
Desember 2019 di Medan Sumatera Utara. Dokumen terdiri
dari:
14. Bukti PK-14 : Rapat Koordinasi tentang Penyiapan Lanjutan Bahan Rapat
RUU Penciptaan Lapangan Kerja Tingkat Menteri pada
tanggal 11 Desember 2019. Dokumen berupa undangan.
23. Bukti PK-23 : Rapat yang diadakan pada tanggal 16 s.d 20 Januari 2020
di JS Luwansa Hotel and Convention Centre. Dokumen
terdiri atas:
1. Undangan;
2. Laporan;
330
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
24. Bukti PK-24 : Fotokopi Naskah Akademik RUU Cipta Kerja Final;
25. Bukti PK-25 : Fotokopi Surat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
a.n. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Menteri
Koordinator Perekonomian Nomor: PHN-HN.02.04-04
tanggal 20 Januari 2020.
28. Bukti PK-28 : Fotokopi Surat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua
DPR-RI Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari
2020.
29. Bukti PK-29 : Fotokopi Surat Menteri Sekretaris Negara kepada para
menteri terkait Nomor: B-105/M.Sesneg/D-
1/HK.00.02/02/2020 tanggal 7 Februari 2020.
30. Bukti PK-30 : Rapat Panitia Kerja Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 14 April 2020. Dokumen berupa laporan
singkat.
31. Bukti PK-31 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 April 2020 Rapat
Dengar Pendapat/ Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
tentang Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 20 April 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
331
32. Bukti PK-32 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 April 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Prof. Dr. Djisman Simanjuntak, Yose Rizal Damuri, dan
Sarman Simanjorang, M.Si) atas RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 27 April 2020.
33. Bukti PK-33 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 April 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., dan Dr. Bambang
Kesowo, S.H., L.LM. atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
29 April 2020.
Dokumen terdiri atas:
34. Bukti PK-34 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 5 Mei 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Emil Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno Iwantono, MA) atas
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 5 Mei 2020. Dokumen
berupa laporan singkat.
35. Bukti PK-35 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 Mei 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 20 Mei 2020.
36. Bukti PK-36 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Juni 2020 Pembahasan
Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja,
332
37. Bukti PK-37 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Juni 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 4 Juni 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
38. Bukti PK-38 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari narasumber yaitu
Ketua Umum KADIN (Rosan P. Roeslani) dan Dosen
Hukum Internasional di Universitas Ibn Khaldun Bogor dan
Dosen Hukum Bisnis di Sekolah Bisnis dan Manajemen
Institut Teknologi Bandung (Mohamad Mova Al Afghani,
S.H., Ll.M.Eur., Ph.D) sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Laporan singkat;
2. Bahan paparan.
39. Bukti PK-39 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
9 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Laporan singkat;
2. Bahan paparan.
40. Bukti PK-40 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), Prof. Dr. M. Ramdan Andri
Gunawan (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf (Guru Besar
333
41. Bukti PK-41 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (Dr.
Irwansyah, S.Sos) atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
11 Juni 2020. Dokumen berupa laporan singkat.
42. Bukti PK-42 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah atas RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 11 Juni 2020. Dokumen
berupa laporan singkat.
43. Bukti PK-43 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 Juni 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 29 Juni 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
44. Bukti PK-44 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 1 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
334
45. Bukti PK-45 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juli 2020 untuk
mendengarkan penjelasan Pemerintah (Sekretaris
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) tentang
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 Juli 2020.
Dokumen terdiri atas:
46. Bukti PK-46 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 13 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
47. Bukti PK-47 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 14 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
48. Bukti PK-48 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 15 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
49. Bukti PK-49 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 22 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
50. Bukti PK-50 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 23 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
335
51. Bukti PK-51 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 27 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
52. Bukti PK-52 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 28 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
53. Bukti PK-53 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Agustus 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Agustus 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
54. Bukti PK-54 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Agustus 2020 mengenai
penjelasan Pemerintah terkait (DIM) RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 4 Agustus 2020. Dokumen berupa laporan
singkat.
55. Bukti PK-55 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 6 Agustus 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 6 Agustus 2020.
56. Bukti PK-56 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
336
57. Bukti PK-57 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 11 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
58. Bukti PK-58 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 12 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
59. Bukti PK-59 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 13 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
60. Bukti PK-60 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 19 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
61. Bukti PK-61 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 24 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
62. Bukti PK-62 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 Agustus 2020 untuk
mendengarkan penjelasan Pemerintah atas RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 25 Agustus 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
63. Bukti PK-63 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
337
64. Bukti PK-64 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 27 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
65. Bukti PK-65 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 31 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 31 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
66. Bukti PK-66 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 1 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
67. Bukti PK-67 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 2 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 2 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
68. Bukti PK-68 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 3 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
69. Bukti PK-69 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 7 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
338
70. Bukti PK-70 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 8 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 8 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
71. Bukti PK-71 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
72. Bukti PK-72 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
73. Bukti PK-73 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 12 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
74. Bukti PK-74 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 14 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
75. Bukti PK-75 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 September 2020
mengenai Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 15 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
339
76. Bukti PK-76 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 16 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 16 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
77. Bukti PK-77 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 17 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 17 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
78. Bukti PK-78 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 19 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
79. Bukti PK-79 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 21 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 21 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
80. Bukti PK-80 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 22 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
81. Bukti PK-81 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 24 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
82. Bukti PK-82 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
340
83. Bukti PK-83 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
mengenai pembahasan RDPU dengan KPPU tanggal 25
September 2020. Dokumen berupa laporan singkat.
84. Bukti PK-84 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 26 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
85. Bukti PK-85 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 27 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
86. Bukti PK-86 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 28 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.
87. Bukti PK-87 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Oktober 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Oktober 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
89. Bukti PK-89 : Surat Ketua DPR-RI kepada Presiden Republik RI Nomor:
LG/12046/DPR RI/X/2020 tanggal 5 Oktober 2020.
341
90. Bukti PK-90 : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
1. Undangan;
2. Daftar Hadir.
93. Bukti PK-93 : Matriks dan Tangkapan Layar (screenshot) data traffic situs
https://ekon.go.id/info-sektoral/15/6/dokumen-ruu-cipta-
kerja periode Februari 2020 - Oktober 2020.
94. Bukti PK-94 : Rapat Omnibus Law dengan pimpinan KSPSI, KSPSI AGN,
KSBSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI, KASBI, KPBI, dan GSBI
tanggal 13 Januari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Risalah Rapat;
3. Daftar Hadir.
95. Bukti PK-95 : Rapat Omnibus Law dengan pimpinan KSPSI, KSPSI AGN,
KSBSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI, KASBI, KPBI, dan GSBI
tanggal 14 Januari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Risalah Rapat;
3. Daftar Hadir.
342
1. Flyer;
2. Tangkapan Layar (screenshot) Youtube (beserta link);
3. Dokumentasi.
1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi;
5. Tanda Terima SK Tim.
98. Bukti PK-98 : Konsultasi Publik RUU Cipta Kerja di Hotel Puri Denpasar
Jakarta dengan Serikat Pekerja, Pengusaha, dan Lembaga
Pemerintah tanggal 13 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi.
1. Undangan;
2. Notula Rapat;
343
3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi.
1. Undangan;
2. Dokumentasi.
1. Undangan;
2. Dokumentasi.
102 Bukti PK-102 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Airlangga
tanggal 28 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi.
103 Bukti PK-103 : Rakorsus Tingkat Menteri dan dihadiri pejabat KSPI tanggal
26 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
104 Bukti PK-104 : Focus Group Discussion RUU Cipta Kerja bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diselenggarakan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
344
105 Bukti PK-105 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Padjajaran
tanggal 5 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi.
106 Bukti PK-106 : Diskusi Publik Omnibus Law di UIN Syarif Hidayatullah
Ciputat tanggal 6 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi;
4. Bahan Paparan.
107 Bukti PK-107 : Diskusi APKASI dan Mendagri dalam mendukung Omnibus
Law tanggal 6 Maret 2020.
108 Bukti PK-108 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Gadjah Mada
tanggal 12 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
109 Bukti PK-109 : ATR Goes to Campus di Universitas Riau melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 20 April 2020.
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
111 Bukti PK-111 : ATR Goes to Campus di Universitas Nasional melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 30 April 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
1. Undangan.
2. Daftar Hadir.
113 Bukti PK-113 : ATR Goes to Campus di UIN, UHAMKA, dan UNPAM
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan
Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 6 Mei
2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Bahan Paparan;
2. Minutes of Meeting;
114 Bukti PK-114 : ATR Goes to Campus di ITB dan Unpad melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Mei 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
115 Bukti PK-115 : ATR Goes to Campus di Institut Pertanian Bogor melalui
Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 19 Mei 2020.
346
1. Undangan.
2. Daftar Hadir.
1. Undangan;
2. Daftar Hadir.
118 Bukti PK-118 : ATR Goes to Campus di STPN melalui Zoom Meeting
dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam
RUU Cipta Kerja pada tanggal 11 Juni 2020.
119 Bukti PK-119 : ATR Goes to Campus di Serikat Tani Islam Indonesia
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan
Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 16 Juni
2020.
120 Bukti PK-120 : ATR Goes to Campus di Universitas Bengkulu melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 17-18 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
347
121 Bukti PK-121 : ATR Goes to Campus di UNITOMO melalui Zoom Meeting
dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam
RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Juni 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
123 Bukti PK-123 : ATR Goes to Campus di IPPAT Banten melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 22 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.
125 Bukti PK-125 : Diskusi Pimpinan Komite I hingga IV DPD RI dengan Menko
Perekonomian di Rumah Dinas DPD RI, Jakarta pada
tanggal 25 Juli 2020.
Dokumentasi berupa tangkapan layar (screenshot) website
(beserta link)
348
126 Bukti PK-126 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 10 s.d 11
Juli 2020 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta dengan Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.
127 Bukti PK-127 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 13-14 Juli
2020 di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.
128 Bukti PK-129 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 15 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Dokumentasi.
129 Bukti PK-130 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 17 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
349
3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi.
130 Bukti PK-131 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 20 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi.
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
132 Bukti PK-133 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 23 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan dihadiri Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
3. Dokumentasi.
133 Bukti PK-134 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di UIN Sumatera
Utara melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 24 Juli 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
350
134 Bukti PK-135 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja dan pemberian
penghargaan atas keterlibatan stakeholder dalam
pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan tanggal 30 Juli 2020 di Ruang Tridharma
Jakarta.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi; dan
5. Bahan Paparan.
136 Bukti PK-137 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di GAMKI melalui
Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Agustus
2020.
1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
138 Bukti PK-139 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan kepada BEM Fisip
Se-Sumatera melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja
pada tanggal 22 September 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
351
139 Bukti PK-140 : Silaturahim Kepolisian Daerah Metro Jaya Dan Instansi
Terkait Dengan Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam
Rangka Pembinaan Stabilitas Kamtibmas Tahun 2020 di
Balai Pertemuan Polda Metro Jaya pada tanggal 14 Januari
2020.
Dokumen berupa dokumentasi.
140 Bukti PK-141 : Audiensi antara Unsur Pimpinan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dengan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian dan menteri yang berada di bawah
koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
pada tanggal 30 Januari 2020.
Dokumen berupa undangan dan dokumentasi.
141 Bukti PK-142 : Narasumber dalam acara Focus Group Discussion dengan
tema "Omnibus Law Cipta Kerja; Percepatan Menuju
Indonesia Maju" oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
di Gedung PWI Medan, Sumatera Utara pada tanggal 28
Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:
1. Undangan;
2. Dokumentasi.
143 Bukti PK-144 : Narasumber serial Diskusi RUU Omnibus Law Seri-3
Ketenagakerjaan?", yang diselenggarakan oleh Himpunan
Organisasi Alumni PTN Indonesia (HIMPUNI), pada tanggal
13 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas undangan dan dokumentasi.
352
146 Bukti PK-147 : Narasumber Diskusi Publik dengan tema “Polemik Omnibus
Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, Untuk Apa dan Siapa”
oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
Aula Student Center pada tanggal 11 Maret 2020.
Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) berita
(beserta link)
147 Bukti PK-148 : Narasumber Diskusi Publik dengan tema "Omnibus Law:
Niscaya Atau Celaka?" di Lobby Gd. H Fakultas Hukum
Universitas Trisakti pada tanggal 12 Maret 2020.
Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) berita
(beserta link)
1. Undangan
2. Daftar Hadir
155 Bukti PK-156 : Pada tanggal 7 Oktober 2019, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
156 Bukti PK-157 : Pada tanggal 9 Oktober 2019, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Laporan Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
157 Bukti PK-158 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Pembahasan
Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
158 Bukti PK-159 : Pada tanggal 29 Agustus 2020, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Pembahasan Isu
Lahan, Kawasan, dan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
355
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
165 Bukti PK-166 : Rapat tanggal 8 Januari 2020 tentang Rapat Omnibus Law
Klaster ESDM dan Ketenaganukliran
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
174 Bukti PK-175 : Rapat tanggal 13 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi
Lanjutan Pembahasan Tentang Omnibus law
Dokumen:
358
1. Undangan
2. Daftar Hadir
175 Bukti PK-176 : Rapat tanggal 22 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Omnibus law Lapangan Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
176 Bukti PK-177 : FGD tanggal 16 s.d. 17 September 2019 tenang Diskusi
Akademisi dan Praktisi Ketenagakerjaan Mengenai
Regulasi Bidang Hubungan Industrial
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi
177 Bukti PK-178 : FGD tanggal 10 Desember 2019 tentang Dialog Arah
Pengupahan Kedepan
Dokumen:
1. Undangan
2. Dokumentasi
178 Bukti PK-179 : FGD tanggal 4 Desember 2019 tentang Dialog Hubungan
Industrial “Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0”
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi
179 Bukti PK-180 : FGD tanggal 9 Desember 2019 tentang Dialog Pengupahan
dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi
359
185 Bukti PK-186 : Fotokopi Draf RUU Cipta Kerja hasil Rapat Paripurna
186 Bukti PK-187 : Fotokopi Surat Deputi Bidang Hukum dan Perundang-
undangan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan
360
1. Matriks 2 halaman;
2. Matriks 5 halaman;
3. Matriks 14 halaman; dan
4. Matriks 88 halaman.
A. Pendahuluan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pelantikannya sebagai
Presiden RI periode kedua di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) pada
bulan Oktober 2019 menyampaikan mengenai suatu inistiatif ”baru” untuk
membentuk suatu omnibus law. Dalam salah satu laporannya, Harian The
Jakarta Post mengangkat berita terkait omnibus law/bill dengan judul “Omnibus
bill to synchronize overlapping regulations”. Dalam pemberitaan tersebut antara
lain tampak bahwa omnibus law/bill akan diarahkan untuk mensinkronkan
sekitar 70 peraturan perundang-undangan yang dipandang saling tumpang
tindih substansinya (overlapping regulations). Jadi intinya omnibus law/bill
tersebut akan dipergunakan untuk mengkonsolidasikan lusinan peraturan
perundang-undangan menjadi satu peraturan perundang-undangan.
Dalam Black’s Law Dictionary 10th Edition (yang merupakan edisi paling
mutakhir), istilah “omnibus bill” antara lain dimaknai sebagai berikut: (1) A single
bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the
executive either to accept all the unrelated minor provisions or veto the major
provision; dan (2) A bill that deals with all proposals relating to a particular
subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals for new
judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subject such as new
crimes and grants to states for crime control.
untuk mengurangi jumlah sekitar 7000 hingga menjadi tersisa sekitar 400
peraturan perundang- undangan dari masa kolonial yang diberlakukan oleh
Pemerintah Belanda di wilayah Hindia Belanda tersebut antara lain dilakukan
melalui pembentukan omnibus law atau omnibus bill.
Sampai dengan akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1965), oleh
Pemerintah RI telah dikeluarkan 83 peraturan perundang-undangan nasional
yang mencabut 199 peraturan perundang-undangan produk pemerintah Hindia
Belanda. Pada masa Pelita V (sampai dengan tahun 1992) telah dilaksanakan
penelitian dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda, untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang sampai
sekarang masih berlaku.
Yang dipergunakan sebagai acuan penelitian tersebut adalah:
a. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
buku Engelbrecht (terbitan tahun 1960), Bidang Kehakiman.
b. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Buku Engelbrecht yang sudah diterjemahkan (terbitan tahun 1986).
c. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1942, Bidang Kehakiman.
d. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh BPHN
tahun 1990.
e. Dari hasil penelitian tersebut dapat dicatat bahwa sampai dengan tahun
1992 masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
(lebih kurang 400 peraturan) yang masih berlaku atau belum dicabut dan
diganti dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda dengan peraturan perundang-undangan nasional, dalam Pelita VI,
sejak tahun 1993- 1994 sampai dengan tahun 1997-1998, telah dilaksanakan
pemrosesan penyusunan Naskah Akademik dengan metode omnibus law
sebagai berikut:
a. Tahun 1993-1994: 70 peraturan menghasilkan 35 Naskah Akademik.
b. Tahun 1994-1995: 75 peraturan menghasilkan 15 Naskah Akademik.
c. Tahun 1995-1996: 73 peraturan menghasilkan 13 Naskah Akademik.
d. Tahun 1997-1998: 50 peraturan menghasilkan 8 Naskah Akademik.
363
pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah (pilkada). Walaupun UU ini
sekarang sudah tidak berlaku lagi, namun dalam perspektif sejarah hukum tetap
tidak bisa dipungkiri bahwa metode omnibus law pernah diterapkan dalam
penyusunan peraturan perundang- undangan di Indonesia.
Keempat, pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. UU ini merupakan contoh omnibus law yang sesuai dengan makna
kedua yang digambarkan oleh Black’s Law Dictionary di muka, yang
menggambarkan sebagai berikut: “A bill that deals with all proposals relating to
a particular subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals
for new judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subject such
as new crimes and grants to states for crime control”. Dengan pemberlakuan UU
Nomor 7 Tahun 2017 tersebut, disatukanlah beberapa UU mengenai pemilihan
umum yang sebelumnya tersebar dalam beberapa UU sebagai berikut: (1) UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
(2) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemiliha Umum; (3) UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakila
Rakyat, Dewa Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penyatuan ketiga UU terkait pemilihan umum tersebut menjadi satu UU tersebut
diantaranya untuk menjadi landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum
serentak pada tahun 2019 yang lalu.
Berdasarkan keempat contoh tersebut, maka gagasan unntuk
pembentukan omnibus law sebenarnya bukannlah merupakan suatu hal yang
baru di Indonesia. Hal ini dalam perspektif sejarah hukum justru sudah
dilaksanakan dalam periode-periode pemerintahan sebelumnya. Kondisi
adanya berbagai protes dari kalangan masyarakat terhadap sejumlah
rancangan undang-undang (RUU) yang dinilai bermasalah; yang hendak
diberlakukan menjelang berakhirnya masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat
periode 2014-2019 pada sekitar akhir bulan September 2019 yang lalu, yang
diantaranya menyebabkan beberapa RUU ditunda pemberlakuannya oleh
Presiden; menyebabkan munculnya gagasan pembentukan omnibus law ini
menjadi relevan pada saat ini. Dengan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan yang tergolong dalam omnibus lawl; beberapa peraturan
perundang-undangan sebelumnya termasuk ketentuan-ketentuannya yang
bermasalah bisa diubah sekaligus dengan pembentukan 1 (satu) peraturan
367
F. Penutup
Berdasarkan uraian dan berbagai contoh di muka dapat dikatakan bahwa
penerapan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam
perspektif sejarah hukum, hal ini justru sudah dilaksanakan dalam periode-
periode pemerintahan sebelumnya sejak tahun 1949.
Selama ini dalam berbagai perkuliahan di fakultas hukum, kita sering
mengeluhkan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang materi
muatannya saling tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang
lain. Dengan penggunaan metode omnibus law, beberapa peraturan
perundang-undangan yang substansinya saling tumpang tindih bisa langsung
diubah atau diganti dengan 1 (satu) peraturan perundang-undangan baru dalam
waktu yang jauh lebih efektif dan efisien daripada jika kita harus mengubah atau
mengganti peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut satu-persatu.
Dengan demikian penerapan metode omnibus law akan dapat menjadi suatu
pilihan hukum yang tepat dan ideal dalam pembentukan peraturan perundang-
369
undangan di masa depan. Melalui hal ini, maka upaya-upaya untuk menegakkan
keadilan dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan di Negara RI
diharapkan akan lebih cepat tercapai.
10) Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja tidak merubah substansi, hanya
untuk menghindari penggunaan istilah plesetan singkatan “Cilaka”. Namun
perubahan judul itu substansinya masih sama. Perubahan judul UU itu ada
pembahasannya.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
dihapusnya ketentuan sanksi pidana atas penggunaan lahan hak ulayat oleh
pelaku usaha tanpa memperoleh persetujuan masyarakat adat sebagai
pemegang hak ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 11/2020 yang
telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang
Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan, yang menurut anggapan Pemohon V
dan Pemohon VI aturan tersebut akan berdampak pada terjadinya
penyerobotan lahan ulayat secara semena-mena. Pemohon V dan Pemohon VI
tidak mendapatkan informasi terkait penghapusan sanksi pidana tersebut akibat
tidak terbuka atau tidak partisipatifnya pembentukan UU 11/2020 sehingga telah
merugikan hak konstitusional Pemohon V dan Pemohon VI.
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada Paragraf [3.7] dan Paragraf
[3.8] tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan masing-
masing kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Dalam Provisi
2. Bahwa menurut para Pemohon, metode omnibus law tidak dikenal dalam UU
12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU 15/2019), sehingga metode omnibus law telah
menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku
yang artinya bertentangan dengan konsiderans menimbang huruf b UU
12/2011.
dan tanggung jawabnya. Begitu pula yang berasal dari DPD, rancangan undang-
undang dapat dipersiapkan oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang
undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai
salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang,
Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan kewenangan
konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan
subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai
juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama
dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 44 menyatakan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 64 menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.
(3) ……..
(satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya mencerminkan isi peraturan
perundang-undangan [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang-
undangan huruf A angka 2 dan angka 3]. Jika peraturan tersebut merupakan
perubahan maka pada nama peraturan perundang–undangan perubahan
ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul peraturan perundang-undangan
yang hendak diubah [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang-
undangan huruf A angka 6], contoh:
Dalam perkara a quo, setelah dibaca dan dicermati muatan UU 11/2020 telah
ternyata berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77
(tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1
(satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang. Sementara itu,
berkaitan dengan pencabutan UU sebagai suatu UU pencabutan yang berdiri
sendiri, maka harus merujuk pada huruf E Lampiran II UU 12/2011 mengenai
“Bentuk Rancangan Undang–Undang Pencabutan Undang-Undang” yang telah
menentukan format bakunya bahwa pada nama peraturan perundang-undangan
pencabutan ditambahkan kata “pencabutan” di depan judul peraturan perundang-
undangan yang dicabut. Kecuali, jika pencabutan suatu UU dilakukan karena
berkaitan dengan UU baru yang dibentuk maka penempatan pencabutannya adalah
pada bagian “Ketentuan Penutup” dari sistematika UU baru. Pada umumnya
Ketentuan Penutup memuat mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan
yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan
Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah
ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan [vide butir 137
Lampiran II UU 12/2011]. Lebih lanjut, dalam bagian sistematika Ketentuan Penutup
telah ditentukan pula standar baku dalam merumuskan norma pencabutan suatu UU
yaitu:
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru
menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian
materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama,
dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
398
[3.18.1.6] Bahwa jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu
dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan
rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari
suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, dari sejumlah UU yang
telah diubah oleh UU 11/2020, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku
- walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU
11/2020 -, sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan
tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal
yang diatur dalam masing-masing UU tersebut [vide Penjelasan Umum UU
12/2011].
Hal tersebut ditegaskan dalam norma Pasal 64 ayat (1) UU a quo yang menyatakan,
“Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini, teknis
penyusunan dimaksud telah ditentukan dalam Lampiran UU 12/2011.
Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami tujuan penting menyusun
kebijakan strategis penciptaan lapangan kerja beserta pengaturannya, dengan
melakukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang. Namun,
yang menjadi persoalan adalah tidaklah dapat dibenarkan dengan
mengatasnamakan lamanya waktu membentuk UU maka pembentuk UU
menyimpangi tata cara yang telah ditentukan secara baku dan standar demi
mencapai tujuan penting tersebut. Karena, dalam suatu negara demokratis
konstitusional tidaklah dapat dipisahkan antara tujuan yang hendak dicapai dengan
cara yang benar dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, upaya untuk
mencapai tujuan tidak bisa dilakukan dengan melanggar tata cara yang pasti, baku,
dan standar dalam proses pembentukan undang-undang.
[3.18.1.9] Bahwa bertolak dari desain pentahapan yang telah ditentukan dalam
UU 12/2011, menjadi pertanyaan jika suatu RUU yang telah masuk dalam prolegnas
bahkan prolegnas prioritas tahunan tetapi tidak terselesaikan, misalnya RUU
tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah masuk
dalam prolegnas sejak Prolegnas 2005-2009 yang dilanjutkan kembali dalam
Prolegnas berikutnya Prolegnas 2010-2014, Prolegnas 2015-2019, namun tetap
tidak terselesaikan usulan RUU perubahan UU tersebut. Usulan RUU perubahan
UU Ketenagakerjaan baru terselesaikan ketika dibentuk UU 11/2020 yang
dituangkan dalam klaster ketenagakerjaan namun dengan format perubahan di luar
yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagaimana telah dipertimbangkan
Mahkamah pada Sub-paragraf [3.18.1.4] sampai dengan Sub-paragraf [3.18.1.8],
maka tidak terselesaikannya RUU yang sudah direncanakan sejak lama tersebut
tetap tidak dapat menjadi dasar pembenar untuk menyimpangi tata cara yang telah
disusun secara pasti, baku dan standar dalam pembentukan UU.
[3.18.1.10] Bahwa apabila proses melakukan perubahan atas suatu UU tidak dapat
terselesaikan sesuai dengan yang direncanakan dan penyelesaian tersebut baru
dapat dilakukan ketika dibentuk UU 11/2020, hal tersebut tidak berkorelasi semata-
mata dengan persoalan waktu yang lama sebagai penyebab tidak terselesaikan
RUU yang telah direncanakan, melainkan terdapat sebab-sebab lain. Namun,
403
adanya sebab lain tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengambil “jalan
pintas” pembentukan UU dengan tidak menggunakan ketentuan tata cara
pembentukan UU yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagai panduan atau
pedoman baku atau standar. Menurut Mahkamah, keharusan untuk patuh pada
ketentuan teknis atau tata cara bukan berarti Mahkamah tidak mementingkan aspek
substansi yang telah disusun dalam norma UU 11/2020, karena pada prinsipnya
dalam pembentukan UU antara teknis dan substansi (formil dan materiil) tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Adanya persoalan pada aspek teknis atau tata cara
pembentukan akan berdampak pada tidak terwujudnya tertib hukum pembentukan
suatu peraturan yang pada akhirnya akan berdampak pula pada tidak dapat
dilaksanakannya substansi dari peraturan yang telah dibentuk.
[3.18.2] Bahwa para Pemohon juga mendalilkan metode omnibus law tidak
dikenal dalam UU 12/2011 juncto UU 15/2019 sehingga bertentangan dengan
kejelasan cara serta metode yang pasti dan baku. Terhadap dalil para Pemohon a
quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.2.2] Bahwa terlepas dari definisi omnibus law tersebut, penting bagi
Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apapun yang akan digunakan
oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan
berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU,
bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut
dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan
terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga
dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik
atau metode tersebut. Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam
404
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang-Undang ini.
Pasal 238
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
Pasal 239
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.
[3.18.2.4] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan UU 7/2017 yang dinyatakan oleh
Pemerintah dan DPR telah menerapkan metode omnibus law, setelah Mahkamah
mencermati secara saksama baik teknis pembentukan UU 7/2017, dalam
konsideran “Menimbang” huruf d UU a quo telah dengan tegas dinyatakan “Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu disatukan dan disederhanakan
menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilihan umum
secara serentak”. Selanjutnya, dalam bagian “Ketentuan Penutup” UU a quo telah
dirumuskan pula bahwa:
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 569
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, keikutsertaan partai politik lokal
di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Pemerintahan Aceh, dinyatakan berlaku ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 570
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
406
Pasal 571
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924);
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5246);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316);
d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Setelah mencermati teknis atau tata cara dan sistematika pembentukan UU 7/2017,
menurut Mahkamah, pembentukan UU 7/2017 dilakukan masih dalam koridor
menerapkan ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011. Terlebih, UU 7/2017 adalah UU baru
dengan penamaan “Pemilihan Umum” yang di dalamnya mencakup seluruh
substansi dari 3 (tiga) UU yang dilebur menjadi satu kesatuan UU, sehingga tidak
ada lagi UU lainnya yang mengatur mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan UU Penyelenggara Pemilihan
Umum.
1. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) terdapat
perubahan atas Pasal 46 yang menyatakan:
“Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan
Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh
Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas
Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan
Gas Bumi di dalam negeri.
(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan dan penetapan mengenai:
a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak:
b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar
Minyak;
d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan
f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
turan dan penetapan tarif persetujuan Menteri.”
2. Pada halaman 388 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU 40/2007) terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 7
ayat (8) yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro,
kecil, dan menengah”, namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah
disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro
dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro
dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
Usaha Mikro dan Kecil”. Perubahan tersebut menghilangkan kata
“menengah”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];
3. Pada halaman 390 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007, terdapat ketentuan Pasal 153D ayat (2)
yang semula berbunyi “Direktur berwenang menjalankan pengurusan …”
namun pada halaman 613 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan)
ketentuan Pasal 153D ayat (2) diubah menjadi berbunyi “Direksi berwenang
menjalankan pengurusan………”. Perubahan tersebut mengganti kata
“Direktur” menjadi kata “Direksi” [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-
188]
4. Pada halaman 391 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007 terdapat ketentuan Pasal 153G ayat (2)
huruf b yang semula berbunyi “jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam
anggaran dasar telah berakhir”, namun pada halaman 614 UU 11/2020 (setelah
disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153G ayat (2) huruf b diubah menjadi
“jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah
berakhir”. Sehingga, perubahan tersebut menghilangkan frasa “anggaran
dasar” menjadi “pernyataan pendirian”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan
bukti PK-188];
5. Pada halaman 390 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007 terdapat perubahan atas ketentuan
Pasal 153 yang semula berbunyi “Ketentuan mengenai biaya Perseorangan
sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak”, namun pada halaman
410
6. Pada halaman 374 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terdapat ketentuan yang mengubah Pasal
100 yang semula berbunyi “Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
bertujuan untuk …”. Selanjutnya, dalam Pasal 101 pada halaman yang sama
terdapat ketentuan yang semula berbunyi “Sasaran pengembangan inkubasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi …”. Namun pada halaman
586-587 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) rujukan ketentuan Pasal
100 diubah menjadi “Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan
untuk …”. Selanjutnya, rujukan ketentuan Pasal 101 diubah menjadi berbunyi
“Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
meliputi …”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];
7. Pada halaman 424 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi, terdapat angka 3 yang berbunyi “Di antara Bab VI
dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yaitu Bab VIIA, sebagai berikut:
BAB VIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI”
BAB VIIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI
[3.20.4] Bahwa apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak
dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/2020 maka demi kepastian hukum terutama
untuk menghindari kekosongan hukum atas undang-undang atau pasal-pasal atau
materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku
kembali.
[3.24] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain karena
dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
4. KONKLUSI
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi:
----------------------------------------------------------------------------
[6.1.1] Bahwa secara umum beberapa isu hukum yang dipermasalahkan oleh
Pemohon dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut.
[6.1.2] Bahwa secara teori, karakteristik dan tradisi berhukum yang bersifat
konvensional mempunyai ciri yang sangat legalistik dan linier, tradisi yang
demikian ini sangat sulit untuk mengikuti perkembangan kemajuan teknologi dan
kemajuan berhukum yang mampu untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
yang berkembang sedemikian cepatnya di era disrupsi teknologi. Antisipasi agar
suatu masyarakat dan negara bisa menjadi pemenang dalam era yang demikian ini
dibutuhkan kecepatan-kecepatan yang tidak linier dan legalistik dalam berhukum.
Antisipasi lain yang perlu dilakukan adalah dengan adanya perubahan mindset yaitu
berpikir secara kreatif, menciptakan kelembagaan, dan metode yang baru agar lebih
luwes dan fleksibel, melakukan pengembangan dan peningkatan SDM serta
penguasaan teknologi secara khusus di bidang hukum perlu dilakukan upaya
penciptaan kelembagaan baru dan metode baru dengan menggunakan pemikiran
yang bersifat kreatif, terbuka, dan transparan. Antisipasi dan perubahan itu harus
419
tetap diletakan dalam kerangka dan koridor dasar negara dan ideologi bangsa yaitu
Pancasila. Ada prinsip yang dikemukakan oleh Presiden Soekarno yang masih
sangat relevan dengan kondisi antisipasi perubahan itu, yaitu menjaga agar suatu
negara itu tetap berkedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
mempunyai kepribadian di bidang budaya.
Pendekatan hukum yang bersifat positif legalistik dan linier sangat sulit
dan selalu tertinggal untuk menjawab persoalan hukum yang berkembang didalam
masyarakat yang sedang berubah, oleh karena itu pendekatan hukum sebagaimana
diuraikan oleh mahaguru, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dengan menggunakan
pendekatan baru yang bersifat out of the box sangat relevan untuk digunakan
dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan. Pendekatan hukum progresif
mengandung semangat melepaskan dari tradisi berhukum yang konvensional.
[6.1.3] Bahwa hukum adalah sebuah institusi yang penuh dengan dinamika. Oleh
karena itu, hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan masyarakat
dan hukum itu juga harus mampu untuk mengatur perkembangan kebutuhan
masyarakatnya sehingga hukum harus bersifat dinamis dan progresif. Hukum
sebagai sebuah institusi yang progresif tidak hanya secara nyata dibutuhkan di era
sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang. Sejarah telah membuktikan dengan
munculnya berbagai pendekatan dan metode dalam berhukum telah menjadikan
hukum tidak bersifat stagnan dan berhenti, melainkan terus tumbuh, berubah dan
berkembang menyesuaikan diri dan responsif sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat serta zamannya. Perubahan hukum guna beradaptasi dan
bertransformasi sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat merupakan
suatu keniscayaan. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa hukum dipandang
hanya sekedar monumen sejarah yang pada akhirnya gagal mengatur secara efektif
dan efisien perkembangan kebutuhan masyarakat dan negara.
Pada tataran konkret, sistem civil law dan common law sebagai sebuah
sistem besar yang dianut bangsa-bangsa di dunia, yang pertama sebagai sebuah
sistem yang mencerminkan karya badan legislasi yang dibuat secara sadar dan
sengaja, sedangkan yang kedua sebagai sebuah sistem yang berkembang secara
tradisional tanpa ada aktor resmi yang membuat secara nyata tetapi pada era
keterbukaan global sekarang ini kedua sistem itu telah bercampur menjadi sebuah
sistem baru yang kita kenal sebagai mixed-system yang ini juga dikenal
berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Berbagai faktor yang bisa menjelaskan
420
[6.1.4] Bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi (the supreme law of the
land) yang merupakan sumber dari produk hukum yang berada di bawahnya. Akan
tetapi, materi muatan konstitusi masih bersifat umum dan hanya mengatur hal-hal
yang bersifat pokok saja. Selanjutnya konstitusi mengalami proses konkretisasi
(concretiserung process) dan diterjemahkan ke dalam produk hukum undang-
undang. Namun demikian, legislasi saat ini memiliki banyak permasalahan di
antaranya adalah banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan (over-
regulated), banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih
(overlapping), dan disharmoni antar peraturan dan rumitnya teknis pembuatan
peraturan perundang-undangan. Hal ini yang melandasi perlunya penerapan
421
A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way
to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to
veto the major provision.
A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such
as an "omnibus judgeship bill" covering all proposals for new judgeships or
an "omnibus crime bill" dealing with different subjects such as new crimes and
grants to states for crime control.
Praktik Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem Common Law
ini, dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya
penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan. Metode
pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper
regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi
menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum. Dalam
perspektif konstitusi, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, ”Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Secara kontekstual norma Pasal 1 ayat (3)
422
UUD 1945 telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
140/PUU-VII/2009. Dalam putusan ini MK menegaskan konsepsi negara hukum
yang dianut oleh negara Indonesia sebagai berikut.
Dari uraian pendapat Mahkamah di atas, menjadi jelas bahwa negara hukum
Indonesia bukan lah negara hukum dalam arti rechtstaats maupun rule of law.
Terlebih secara gramatikal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum tanpa embel-embel rechtstaats maupun rule of law
sebagaimana termuat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen yang
menyatakan, ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaats)”. Lebih lanjut, menurut
Mahkamah, negara hukum Indonesia harus dilihat berdasarkan cara pandang UUD
1945 yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama,
serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan
negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state
and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme
maupun prinsip komunalisme. Dengan perkataan lain, watak dan karakter negara
hukum Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Sebab, UUD 1945 memuat
pokok-pokok pikiran yang termuat dalam pembukaan dan menjadi ruh serta spirit
UUD 1945, yakni Pancasila. Pada titik ini lah Pancasila berfungsi tidak hanya
sebagai staatsfundamental norm (kaidah pokok negara yang bersifat fundamental)
tetapi juga berfungsi sebagai rechtside atau bintang pemandu dalam pembentukan
hukum (fungsi regulatif). Bahkan Pancasila dapat menentukan apakah suatu hukum
itu baik atau tidak (fungsi konstitutif).
buruk. Karena ia adalah suatu metode yang bebas nilai. Oleh karena itu metode
pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law dapat diadopsi dan
cocok diterapkan dalam konsepsi negara hukum Pancasila sepanjang omnibus law
itu dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-
prinsip yang termuat dalam UUD 1945. Lagipula Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-
Undang 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU
12/2011) tidak secara eksplisit menentukan keharusan menggunakan metode apa
dalam pembentukan suatu undang-undang sehingga praktik pembentukan undang-
undang dengan menggunakan metode omnibus law dapat dilakukan. Hal ini sesuai
dengan kaidah dalam ilmu fiqih yang menyatakan, ”Hukum asal sesuatu adalah
boleh, hingga ada dalil yang menunjukan keharamannya”. Meskipun kaidah
fiqih ini belum tentu sesuai dengan permasalahan penerapan metode omnibus law
yang dibahas, namun nilai filosofis yang termuat dalam kaidah fikih ini setidaknya
dapat dijadikan dasar untuk menilai penggunaan metode dimaksud. Oleh karena itu,
metode omnibus law pada proses pembentukan undang-undang merupakan suatu
terobosan hukum yang boleh dilakukan karena dalam Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun tidak secara eksplisit mengatur,
membolehkan atau melarangnya. Dengan begitu, meskipun tidak didahului
perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, namun pada dasarnya hukum dalam menggunakan metode omnibus law
adalah boleh dan tidak dilarang.
Terlebih dalam praktiknya pun, metode omnibus law telah digunakan dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia, yaitu:
Dari praktik di atas, pada dasarnya metode omnibus law bukan lah hal yang baru
diterapkan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Hanya saja
nomenklatur “omnibus law” baru popular saat dibentuknya UU Ciptaker. Oleh
karenanya tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode omnibus law
meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Sebab, metode ini secara umum telah
diimplementasikan dalam pembentukan beberapa undang-undang sebagaimana
diuraikan di atas.
Pada bagian Penjelasan UU a quo, urgensi, latar belakang, landasan filosofis dan
landasan sosiologis diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia
adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata,
baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat
(2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu
negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-
hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada
prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan
nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk
menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan
jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong
426
Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar
Rp4,6 juta per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan
sumber daya manusia ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke
dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik
bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita
sebesar Rp27 juta per bulan. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-
langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak
yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan
Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja
yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait
dengan:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMK-M; dan
d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis
nasional. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan
terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan
Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi,
pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan
Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan
metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam
menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan.
Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha.
Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir
(change management dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan
Perizinan Berusaha (bussiness process re-engineering) serta memerlukan
pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem
Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini,
pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan
sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di
samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi
lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan
pengawasan.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian
waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang
didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah
minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja,
dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian
tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan
kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit
memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan
kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M,
pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M,
kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M.
428
Pertama, jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja
masih cukup tinggi; jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak
70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung
menurun; dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.
Ketiga, saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini
terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah
Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan
terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung
penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.
Keempat, diperlukan penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan
investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan
ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan
Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko
suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan
kualitas/frekuensi pengawasan.
dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis,
sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan
UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan
nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
scripta, lex certa, dan lex stricta, sesuatu yang tidak secara tegas
diatur dalam undang-undang (yang sifatnya prosedural-
administratif) tidak serta merta dapat diartikan sebagai larangan
atau tabu untuk dilakukan. Lagi pula, UU Cipta Kerja tetap
merupakan undang-undang pada umumnya meskipun
penyusunannya menggunakan metode omnibus. Oleh karenanya,
UU Cipta Kerja juga dapat mencabut undang-undang dan
mengubah ketentuan undang-undang. Selain itu, sepanjang
sejarah berdirinya Mahkamah, belum terdapat adanya penilaian
yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan
UUD 1945. Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan
pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala
dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi
beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan
dalam mengatasi kebuntuan berhukum.
***
serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau
yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Aswanto Wahiduddin Adams
ttd. ttd.
Suhartoyo Saldi Isra
ttd. ttd.
Enny Nurbaningsih Arief Hidayat
ttd. ttd.
Manahan M.P. Sitompul Daniel Yusmic P. Foekh
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Jefri Porkonanta Tarigan