Anda di halaman 1dari 1087

Scanned by TapScanner

Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
SALINAN

PUTUSAN
Nomor 34/PUU-XVIII/2020

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Runik Erwanto, S. H.


Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jalan Karang Anyar 3, Loktabat Utara, Banjarbaru Utara,
Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- Pemohon I
2. Nama : Singgih Tomi Gumilang, S. H.
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jalan Wadassari, Rt.11 Rw.002, Pondok Betung, Kota
Tangerang Selatan, Banten..
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------ Pemohon II

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 04 Mei 2020, memberi kuasa kepada
Muhammad Sholeh, S. H., Muhammad Saiful, S. H., Elok Dwi Kadja, S. H., Farid Budi
Hermawan, S. H., Fitriana Kasiani, S. H., Totok Surya, S. H., dan Novan Dwi Kartika,
S.H., para Advokat yang tergabung pada kantor advokat “SHOLEH and
PARTNERS” beralamat Jalan Ngagel Jaya Indah B Nomor 29, Surabaya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut sebagai ----------------- para Pemohon

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;


2

Mendengar keterangan para Pemohon;


Memeriksa bukti-bukti para Pemohon.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 4


April 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 3 Mei berdasarkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Nomor 69/PAN.MK/2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi dengan Nomor 34/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 19 Mei 2020,
yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Juni
2020, menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menegaskan hal
yang sama, yakni menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain
“menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”, memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Memutus Pembubaran Partai Politik
dan Memutus Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum.

Penegasan serupa dikemukakan oleh Undang-undang No 48 tahun 2009 tentang


kekuasaan kehakiman, Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 yang dirubah oleh Undang-undang No 15 tahun 2019
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal
3

suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi”.

Berdasarkan uraian di atas, maka Pemohon berkeyakinan, bahwa Mahkamah


Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pengujian Pasal 55 ayat (1)
(sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No. 128) terhadap
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final.

B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON.


1. Bahwa, yang dimohonkan pengujian adalah Pengujian Pasal 55 ayat (1)
(sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Karantina Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No.
128).
2. Bahwa Pasal 51 Ayat (1) UU MK, menyatakan PEMOHON adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat, atau;
d. Lembaga negara.
3. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
4. Bahwa, selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah menentukan 5 (lima)
syarat kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1)
UU MK, sebagai berikut:
4

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD


1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak lagi
terjadi.

5. Bahwa, Pemohon I adalah Warga Kota Banjar Baru Kalimantan Selatan,


sehari-hari bekerja sebagai advokat.
6. Bahwa, ditempat tinggal Pemohon I, Kota Banjar Baru saat diajukannya
Permohonan ini diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
7. Bahwa, Pemohon II adalah warga Jakarta, saat Permohonan ini diajukan
Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bahkan
di Jakarta ada larangan warganya tidak boleh mudik alias pulang kampong,
untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19.
8. Bahwa, para Pemohon pemberlakukan PSBB tidak efektif dalam memutus
mata rantai penyebaran covid 19, hal ini bisa dilihat dari angka persebaran
covid di tempat para Pemohon maupun persebaran tingkat nasional semakin
hari tidak semakin menurun.
9. Bahwa, untuk percepatan penanganan covid 19, pemerintah pusat
menganggarkan dana sebesar RP. 677.2 trilliun (detikfinance 16 juni/2020), ini
tentu sangat besar, sungguh menjadi tidak efektif jika sampai sekarang ini
dengan anggaran yang besar, tapi persebaran terus meningkat. Oleh karena
para Pemohon adalah pembayar pajak, tentu menjadi berkepentingan agar
penanganan covid 19 lebih efektif dan efisien.
10. Bahwa, untuk menekan persebaran covid 19 Presiden telah mengeluarkan
keputusan Presiden No 11 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Covid 19.
11. Bahwa, menurut para Pemohon, seharusnya pemerintah berani menerapkan
5

karantina wilayah (Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018) terhadap daerah


daerah merah, bahwa daerah merah adalah daerah yang menurut PARA
PEMOHON menerapkan kebijakan PSBB, sebab angka penyebaran covid 19
semakin hari selalu meningkat seperti tempat Jakarta dan Banjar Baru
Kalimantan Selatan.
12. Bahwa, menurut para Pemohon pemerintah khawatir jika diberlakukan
karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menanggung semua
kebutuhan dasar semua orang di Jakarta dan kota kabupaten yang
menerapkan PSBB (Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018), alasan inilah yang
membuat pemerintah tidak mau menerapkan karantina wilayah, namun
memberlakukan PSBB meski PSBB tidak mampu menekan persebaran covid
19.
13. Bahwa, karena para Pemohon adalah pembayar pajak sebagaimana
dibuktikan dengan Nomor Pokok Wajib Pajar (NPWP) oleh karena itu sangat
dirugikan atas berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU No 6 tahun 2018. Sebab Pasal
karantina wilayah a quo berat jika dijalankan oleh pemerintah pusat.
14. Bahwa, berdasarkan kriteria tersebut para Pemohon merupakan pihak yang
memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dan mengalami kerugian
konstitusional dengan berlakunya Pasal Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji karena Pengujian Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No. 128) Terhadap Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
15. Bahwa, dari berbagai argumentasi di atas, para Pemohon berpendapat bahwa
para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak
dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.

C. POKOK PERMOHONAN;

Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan


6

(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan
makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat.

Selanjutnya UUD 1945 berbunyi;

Pasal 28D ayat (1).


(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945


(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

D. Argumentasi konstitusional sebagai berikut.

1. Bahwa negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh


Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah sebuah “negara hukum”. Para penyusun
UUD 1945 menjelaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara
berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Digunakannya istilah “rechtsstaat” ini menunjukkan bahwa para
penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum di Jerman di masa
itu. Julius Sthal, seorang ahli hukum Jerman, menyebutkan ada tiga ciri negara
hukum dalam konsep “rechsstaat” itu, dua diantaranya ialah “perlindungan
terhadap hak asasi manusia” dan “pemerintahan haruslah berdasarkan atas
Undang-Undang Dasar”. Sementara para penyusun UUD 1945 tegas
mengatakan bahwa negara Republik Indonesia tidaklah berdasarkan atas
“kekuasaan belaka” atau “machtsstaat” yang dalam Bahasa Jerman
mengandung arti negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan,
bukan berdasarkan atas hukum.
2. Bahwa, permasalahan pandemic Covid 19 bukan hanya persoalan bangsa
Indonesia, tapi pandemic ini sudah menyebar dari 200 negara di dunia, serta
menelan korban puluhan ribu meninggal akibat virus ini.
3. Bahwa, benar rata-rata yang meninggal terserang virus Covid-19 adalah
mereka yang mempunyai penyakit bawaan seperti jantung, diabet dll. Penyakit
ini rata-rata diderita oleh orang usia di atas 50 tahun. Wajar kiranya jika pasien
7

virus covid-19 yang berusia 50 tahun ke atas mendapatkan penanganan ektra


hati-hati.
4. Bahwa, pada tanggal 2 Maret 2020 pertamakalinya pemerintah Indonesia
mengumumkan ada warga Negara Indonesia terpapar virus Covid-19, yakni
seorang ibu dan anak di Jakarta setelah melakukan kontak fisik dengan warga
negara Jepang yang tinggal di Malaysia. Setelah itu setiap hari selalu ada
peningkatan jumlah korban virus covid-19.
5. Bahwa, saat permohonan ini dibuat menurut keterangan resmi dari GUGUS
TUGAS PERCEPATAN PENANGANAN WABAH VIRUS CORONA, sudah
lebih dari 34 ribu orang warga Negara Indoensia terpapar virus Corona yang
berada di beberapa provinsi di Indonesia dan Jakarta dengan menyumbang
angka tertinggi pasien virus covid-19.
6. Bahwa, saat awal munculnya pandemic ini pemerintah dianggap lambat dalam
membuat kebijakan guna melakukan pencegahan dan penanganan sebaran
virus covid-19. Pemerintah didesak mengeluarkan kebijakan lockdownnamun
pemerintah menolak dengan alasan bahwa kebijakan lockdown dibeberapa
Negara lain tidak efektif untuk menghambat penyebaran virus covid-19.
7. Bahwa, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Kemudian
ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Meteri Kesehatan No 9 tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Bahwa,
menurut Menkopolhukam Mahfud MD bahwa PP No 21 tahun 2020 adalah
jalan tengah buat mereka yang menghendaki adanya kebijakan lockdown,
karena esensi dari lockdown sudah diatur di dalam PP No 21 tahun 2020.
8. Bahwa, untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) pemerintah memberikan kewenangan kepada Menteri Kesehatan
untuk mengeluarkan ijin kepada daerah-daerah yang dianggap angka korban
virus covid-19 tinggi. Sehingga, meski Kepala Daerah setempat menganggap
8

daerahnya sudah saatnya diberlakukan PSBB jika Menteri Kesehatan


menganggap tidak perlu diberlakukan PSBB maka tidak bisa diterapkan.
9. Bahwa, berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 tahun 2018, Pasal 4
ayat (1) Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2020. Pembatasan Sosial Berskala
Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
10. Bahwa, ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No 9
Tahun 2020 aturan PSBB lebih diperluas tidak hanya peliburan sekolah,
kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum namun juga
Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e. pembatasan moda transportasi; dan
f. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan
keamanan.
11. Bahwa, mengutip dari berita yang dirilis oleh kompas.com tanggal 18 April
2020 sudah ada 17 daerah yang sudah disetujui diberlakukannya PSBB antara
lain: Kota Jakarta, Kota Surabaya, sebagian Kabupaten Sidoarjo, sebagian
Kabupaten Gresik, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, kota Depok dll.
12. Bahwa, para Pemohon tidak mempersoalkan berlakunya PSBB di dalam
menghambat penyebaran virus covid-19. Namun, para Pemohon melihat dalam
prakteknya pemberlakukan PSBB sudah melenceng dari ketentuan Pasal 59
ayat 3 UU No 6 tahun 2018. Jika sekedar menutup sekolah dan tempat ibadah,
maka sebelum diberlakukan PSBB sudah banyak daerah seperti Jakarta,
Bandung dan Surabaya yang meliburkan semua sekolah mulai tingkat PAUD
sampai perguruan tinggi.
9

13. Bahwa, yang terjadi sekarang adalah pemerintah memberlakukan PSBB tapi
prakteknya adalah lockdown. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang
melarang mudik, warga Jakarta tidak boleh keluar darikota Jakarta, hal ini juga
terjadi di kota Surabaya, orang luar kota tidak boleh masuk ke kota Surabaya.
Pintu-pintu masuk Kota Surabaya dijaga oleh aparat dan dilakukan screening
yang bertujuan menghambat potensi penyebaran virus covid-19 melalui carrier.
14. Bahwa, baik dalam UU No 6 tahun 2018 tentang pemberlakuan PSBB maupun
turunannya seperti PP dan Permenkes sama sekali tidak berbicara soal
pelarangan orang keluar masuk di daerah yang diberlakukan PSBB. Namun
justru pemerintah memberlakukan palarangan orang keluar masuk daerah
yang diberlakukan PSBB, bukankah ini pelanggaran hukum hak asasi
manusia? Bahwa, hahekatnya pelanggaran hak asasi manusia seperti orang
mudik harus ada payung hukumnya setingkat UU, bukan asal melarang, asal
memberi sangsi. Bahwa para Pemohon sama sekali tidak mempersoalkan
pelarangan a quo asal jelas dasar hukumnya. Menurut para Pemohon kondisi
ini tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para
Pemohon dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD.
15. Bahwa, jika pelarangan orang keluar masuk daerah yang diberlakukan PSBB,
tentu tidak tepat jika PSBB yang menjadi payung hukum. Seharusnya
pemerintah menerapkan kebijakan karantina wilayah sebagaimana diatur di
dalam ketentuan Pasal 53 sampai pasal 55 UU No 6 Tahun 2018.
Pasal 54 ayat (3) menyatakan; Anggota masyarakat yang dikarantina tidak
boleh keluar masuk wilayah karantina.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, Mengapa Pemerintah tidak
mengambil kebijakan karantina wilayah? para Pemohon rasa hal ini
berhubungan dengan konsekwensi pemberlakukan karantina wilayah. Karena
pemerintah harus menanggung makan semua warga yang dikarantina wilayah.
Misalnya Ibu kota Jakarta, maka pemerintah harus menanggung makan semua
penduduk warga Jakarta baik yang kaya maupun yang miskin.
10

16. Bahwa, Presiden Joko Widodo pada acara Mata Najwa tanggal 22 April 2020
menyatakan; “karantina wilayah itu sama dengan lockdown hanya untuk
Jakarta saja perhari butuh 550 milyar belum Jabodetabek atau Jakarta,
Bogor, Depok dan Bekasi”. Artinya ada pertimbangan angka yang harus
dibayar mahal jika karantina wilayah diberlakukan oleh pemerintah.
17. Bahwa, Pasal 55 ayat (1) UU No 6 Tahun 2018 menyatakan; Selama dalam
Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan
ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat.
18. Bahwa, bahwa dalam Pasal a quo terkait kalimat kebutuhan hidup dasar
orang yang menjadi persoalan bagi pemerintah jika karantina wilayah
diberlakukan, pemerintah khawatir jika harus membiayai makan orang atau
penduduk yang diberlakukan karantina wilayah. Makna orang tentu makna
umumnya adalah, seorang anak, dewasa, tua, bisa laki maupun perempuan,
kaya maupun miskin. Sehingga menurut para Pemohon kekhawatiran
pemerintah cukup masuk akal.
19. Bahwa, para Pemohon sendiri tidak habis pikir pembentuk UU memasukkan
kata orang dalam Pasal a quo. Mengapa tidak ditulis orang miskin, atau fakir
miskin? sebab kata orang maknanya luas, Mengapa pemerintah harus
menanggung makan orang mampu dari segi ekonomi? Bukankah Pasal 34
ayat (1) UUD sudah jelas memberikan kewajiban kepada negara membiayai
fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Pasal 34 ayat (1) UUD
ini berlaku pada masa bukan bencana, apalagi dalam kondisi bencana seperti
sekarang, tentu negara berkewajiban memenuhi kewajiban tersebut.
20. Bahwa, menurut para Pemohon makna kata orang di dalam Pasal 55 ayat (1)
UU No 6 Tahun 2018 harus dimaknai secara konstitusional bersyarat
hanya orang miskin yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Dengan
begitu beban anggaran bagi pemerintah pusat jika memberlakukan karantina
wilayah tidak terlalu besar.
11

21. Bahwa, tentu pemerintah pusat punya data warga yang berada di bawah garis
kemiskinan selain itu adanya pandemic ini tentu banyak orang yang terkena
PHK, orang yang tidak bisa berjualan karena sepi pembeli, orang yang bekerja
jadi tukang ojek maupun driver online yang sepi penumpang, dan lain
sebagainya. Mereka-mereka ini tergolong orang-orang yang hak hidup
dasarnya harus ditanggung pemerintah pusat.
22. Bahwa, dalam Pasal 55 ayat (1) meskipun penanggung kebutuhan hak dasar
adalah pemerintah pusat, namuntidak ada larangan apabila pemerintah pusat
meminta bantuan keterlibatan pemerintah daerah untuk mengeluarkan
anggaran guna pemenuhan kebutuhan hak hidup dasar orang miskin. Misalnya
untuk data orang miskin yang sudah ada menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat, sementara yang belum terdata sebagaimana poin 21 menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah. Bukankah dalam pemberlakuan PSBB pemerintah
daerah juga mengeluarkan anggaran bantuan sosial kepada orang miskin?.
23. Bahwa, jika pemerintah pusat menerapkan karantina wilayah di Kota Jakarta
maka otomatis semua kegiatan aktifitas warga Jakarta dihentikan, begitupun
dengan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga harus berhenti,
sehingga para Pemohon tidak dirugikan sebab persidangan akan ditunda.
Sedangkan berbeda halnya dengan kondisi seperti saat ini, pemerintah
memberlakukan PSBB tapi melakukan pelarangan transportasi udara yang hal
itu adalah bukan lagi masuk dalam pemaknaan PSBB melainkan pengaturan
karantina wilayah. Tentu hak konstitusional para Pemohon dirugikan karena
tidak bisa mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
24. Bahwa, kata orang yang bermakna umum, bisa kaya atau miskin, jelas tidak
adil. Makna adil menurut para Pemohon bukan berarti semua orang punya hak
yang sama, hal ini harus diliat konteksnya, misalnya dalam hukum maka kaya
dan miskin harus diperlakukan sama di mata hukum. Tapi soal hak
mendapatkan santunan dari pemerintah, tentu orang kaya dan miskin tidak bisa
mendapatkan hak yang sama. Orang miskin merupakan kewajiban negara
untuk menjamin hak dasarnya, sementara orang kaya tidak. Maka menurut
12

para Pemohon kata orang dalam Pasal 55 ayat (1) tidak mengandung
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
25. Bahwa, sekarang ini banyak daerah sudah tidak menerapkan PSBB, namun
angka persebaran covid 19 tidak turun malah angka nasional semakin
meninggi. Bahwa, data gugus tugas nasional sampai tanggal 21 Juni 2020
positif corona sudah mencapai 45.891, hal ini menunjukkan bahwa PSBB
gagal, new normal yang dicanangkan oleh pemerintah juga tidak berdampak
terhadap penurunan persebaran covid 19.
26. Bahwa, oleh karena itulah tidak ada salahnya jika pemerintah menggunakan
opsi karantina wilayah sebagaiman dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU No 6
Tahun 2018. Dengan konsekwensi jika permohonan para Pemohon dikabulkan,
pemerintah pusat tidak harus memberi makan semua penduduk yang
daerahnya ditetapkan karantina wilayah.
27. Bahwa, berdasarkan argumentasi di atas, para Pemohon berkeyakinan jika
Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Karantina Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 No. 128) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dimaknai,
“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang miskin dan
makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat”.

PETITUM

Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon agar


Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memberikan putusan yang
dalam amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya.
2. Menyatakan:
Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
Tentang Karantina Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
13

No. 128) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.
3. Menyatakan;
Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
Tentang Karantina Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018
No. 128) harus dinyatakan konstitusional bersyarat yaitu;
“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang miskin dan
makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat”.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon


mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti
P-9 sebagai berikut:

1. Bukti P- 1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Bukti P- 2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan;
3. Bukti P- 3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Desease 2019 (COVID-19);
4. Bukti P- 4 : Fotokopi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019
(COVID-19);
5. Bukti P- 5 : Fotokopi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun
2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik
14

Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan


Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19);
6. Bukti P- 6 : Fotokopi Kartu Tanda Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI), atas nama: Runik Erwanto, SH., C.LA, NIA:
10.01709;
7. Bukti P- 7 : Kartu Tanda Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI), atas nama: Singgih Tomi Gumilang, SH, NIA:
16.02937;
8. Bukti P- 8 : Fotokopi Surat Nomor: W10-U/_____/HK.01/IV/2020 perihal:
Pengiriman Salinan Penetapan Perpanjangan Penahanan atas
nama Terdakwa Gunawan Wijaya, yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 23 April 2020;
9. Bukti P- 9 : Penetapan Nomor: 1052/Pen.Pid/2020/PT.DKI yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
15

Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), selanjutnya disebut
UU 48/2009. Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945;

[3.2] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh


mengenai kewenangan Mahkamah, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan
beberapa hal berkenaan dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh
para Pemohon sebagai berikut:

[3.2.1] Bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama perbaikan


permohonan para Pemohon telah ternyata bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 yang disebut oleh para Pemohon dalam posita dan petitumnya sebagai Undang-
Undang tentang Karantina Kesehatan adalah kurang tepat karena penyebutan yang
tepat adalah Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan;

[3.2.2] Bahwa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa


perbaikan permohonan pada hari Selasa, tanggal 30 Juni 2020, Panel Hakim telah
minta ketegasan kepada para Pemohon terhadap judul undang-undang yang
dimohonkan pengujian dan para Pemohon diberikan kesempatan untuk
memperbaikinya, namun para Pemohon menyatakan bahwa judul undang-undang
yang digunakan yang tertera di dalam permohonan telah benar dan tidak ada
perbaikan terhadap judul undang-undang [vide Risalah Sidang Pemeriksaan
Perbaikan Permohonan tanggal 30 Juni 2020]. Namun setelah persidangan selesai,
melalui Kepaniteraan, para Pemohon meminta untuk melakukan renvoi terhadap judul
undang-undang tersebut. Permintaan tersebut tidak dikabulkan karena para Pemohon
telah diberikan kesempatan untuk memperbaiki dalam persidangan tetapi kesempatan
tersebut tidak digunakan;

[3.2.3] Bahwa para Pemohon baru menyadari adanya kekuranglengkapan


penyebutan judul undang-undang setelah sidang ditutup dan bermaksud
memperbaikinya. Namun demikian, sesungguhnya para Pemohon telah menuliskan
nomor undang-undang, nomor lembaran negara (vide perbaikan permohonan
16

halaman 1, pada bagian perihal) dengan benar berkaitan dengan Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, hal ini dikuatkan juga
dengan bukti yang diserahkan oleh para Pemohon (vide bukti P-2). Oleh karenanya
Mahkamah meyakini bahwa undang-undang yang dimaksud para Pemohon adalah
Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan;

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka menurut


Mahkamah permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji
konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 128. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236,
selanjutnya disebut UU 6/2018) terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang
mengadili permohonan a quo.

Kedudukan Hukum Pemohon

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945


harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK;
17

b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan


oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

[3.5] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya,
telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima)
syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK


dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum
para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya
dalam permohonan a quo adalah Pasal 55 ayat (1) sepanjang kata “orang” UU
6/2018 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 sepanjang kata “orang”
18

“Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan
hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat.

2. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, Pemohon I


adalah warga Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan yang berprofesi sebagai
advokat dan Pemohon II adalah warga Jakarta yang berprofesi sebagai advokat;
3. Bahwa pada saat permohonan ini diajukan baik Kota Banjarbaru maupun DKI
Jakarta sedang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB);
4. Bahwa menurut para Pemohon pemberlakuan PSBB tidak efektif dalam memutus
mata rantai penyebaran Covid-19 dan sebagai pembayar pajak, para Pemohon
merasa memiliki kepentingan agar penanganan Covid-19 berjalan secara efektif
dan efisien, karena pada kenyataannya dana yang dikeluarkan pemerintah untuk
penanganan Covid-19 sudah sangat besar yaitu sebesar Rp. 677.2 trilliun, namun
penyebarannya terus meningkat;
5. Bahwa para Pemohon menyatakan seharusnya Pemerintah memiliki keberanian
untuk menerapkan karantina wilayah terhadap daerah-daerah merah yaitu daerah
yang menurut para Pemohon menerapkan kebijakan PSBB. Para Pemohon
menilai pemerintah khawatir memberlakukan karantina wilayah, karena hal ini
akan menyebabkan pemerintah pusat harus menanggung kebutuhan dasar semua
orang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018;
6. Berdasarkan argumentasi di atas para Pemohon baik sebagai pembayar pajak
dan pihak yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) beranggapan
adanya kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018
sepanjang kata “orang” yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat
(1) UUD 1945;

[3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama terhadap uraian


mengenai kedudukan hukum para Pemohon, sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.6] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menguraikan secara
jelas dan rinci apa sesungguhnya kerugian konstitusional yang menurut anggapannya
dialami karena berlakunya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 sepanjang kata
19

“orang”, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung


jawab terhadap kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di
wilayah yang melaksanakan karantina wilayah. Para Pemohon sebagai perorangan
warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat tidak mengalami kerugian
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta
tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional
dengan berlakunya norma a quo. Sebab, yang seharusnya memiliki hubungan hukum
secara langsung atas berlakunya norma tersebut adalah orang yang wilayahnya
memberlakukan karantina wilayah sedangkan wilayah tempat tinggal para Pemohon
tidak memberlakukan karantina wilayah melainkan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) [vide perbaikan permohonan halaman 4, poin 6-7].

[3.8] Menimbang bahwa di dalam pokok permohonan para Pemohon menguraikan


bahwa akibat diberlakukannya PSBB khususnya di DKI Jakarta menyebabkan adanya
pelarangan penggunaan transportasi udara, hal ini membuat para Pemohon merasa
dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat mengikuti persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat [vide perbaikan permohonan halaman 10, poin 23].
Setelah dicermati secara saksama, para Pemohon tidak menguraikan kerugian
konstitusional sebagai advokat di dalam menangani perkara di dalam uraian
perbaikan permohonan pada bagian kedudukan hukum.

[3.9] Menimbang bahwa terkait dengan pernyataan para Pemohon yang


menyatakan para Pemohon adalah pembayar pajak (taxpayer) dan karenanya
memiliki hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang, menurut
Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (taxpayer) tidak serta-merta
memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-
undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila para Pemohon
dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran
hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya
dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (taxpayer) yang memang
menunjukkan adanya kerugian yang nyata. Berkenaan dengan hal tersebut,
20

Mahkamah dalam perkembangannya melalui putusan-putusannya telah menegaskan


pendiriannya bahwa terhadap pembayar pajak (taxpayer) hanya dapat diberikan
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di
Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian
konstitusional itu harus bersifat spesifik sehingga merupakan kerugian aktual atau
potensial yang mempunyai kaitan jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut
(vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 10/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12/PUU-XVIII/2020).

Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama uraian para


Pemohon mengenai kerugian konstitusionalnya sebagai taxpayer, telah ternyata para
Pemohon tidak dapat menguraikan alasan kerugian konstitusional dimaksud secara
spesifik dan nyata terhadap berlakunya norma yang dimohonkan pengujiannya.

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas,


menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian
konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh para Pemohon dengan
berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 sepanjang kata “orang”. Bahkan seandainya
pun uraian para Pemohon dalam permohonannya dianggap sebagai uraian terhadap
kerugian konstitusional, quod non, para Pemohon juga tidak mengalami kerugian baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak
terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional
para Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo. Dengan demikian,
menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo.

[3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan


a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok
permohonan para Pemohon.
21

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,


Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan


permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan


Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Arief Hidayat, Daniel
Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Juli, tahun dua ribu dua
puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan Juli, tahun dua ribu dua
puluh, selesai diucapkan pukul 12.01 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu
Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Enny Nurbaningsih,
22

Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh,
Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan
dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para
Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan
Presiden atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Anwar Usman

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Aswanto Enny Nurbaningsih

ttd. ttd.

Manahan M.P. Sitompul Saldi Isra

ttd. ttd.

Arief Hidayat Daniel Yusmic P. Foekh

ttd. ttd.

Suhartoyo Wahiduddin Adams

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Ria Indriyani
1
S ALINAN

PUTUSAN
Nomor 25/PUU-XX/2022

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Dr. Abdullah Hehamahua, M.H.


Pekerjaan : Dosen
Alamat : Rawadenok, RT.005/RW.001, Kelurahan Rangkapan
Jaya Baru, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat.
Sebagai ----------------------------------------------------------------------- Pemohon I;
2. Nama : Dr. Marwan Batubara, M.Sc.
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Depsos I Nomor 21, RT.005/RW.001, Kelurahan
Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Jakarta
Selatan, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon II;
3. Nama : Dr. H. Muhyiddin Junaidi, M.A.
Pekerjaan : Guru
Alamat : Cilendek Indah VIII Nomor 50, RT.001/RW.006,
Kelurahan Cilendek Barat, Kecamatan Kota Bogor
Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon III;
4. Nama : Habib Muhsin Ahmad Alatas
Pekerjaan : Karyawan Swasta
2

Alamat : Jalan Mangga Raya Nomor 78, RT. 008/RW.001,


Kelurahan Depok Jaya Pancoran Mas, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon IV;
5 Nama : K.H. Agus Solachul AAM
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Majapahit Raya Nomor 100, Kav. 01. Cim
Permai, RT.003/RW.004, Kelurahan Kedungbadak,
Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Sebagai ---------------------------------------------------------------------- Pemohon V;
6 Nama : Jend. TNI (Purn) Tyasno Sudarto
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jalan Taman Brawijaya III/8, RT.004/RW.003, Cipete
Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta
Selatan, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon VI;
7. Nama : Letjend. TNI Mar (Purn) Suharto
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jalan Gading Raya I BL D.51, RT.007/RW.005,
Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa
Gading, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon VII;
8. Nama : Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat
Pekerjaan : Purnawirawan TNI
Alamat : Jalan Patra Komala Nomor 15, RT.001/RW.006,
Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung,
Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon VIII;
9. Nama : Mayjen TNI (Purn) Prijanto
Pekerjaan : Purnawirawan
3

Alamat : Jalan Otista III Komp. III H.156, RT.003/RW.002,


Kelurahan Cipinang Cempedak, Kecamatan
Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon IX;
10. Nama : Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jalan Flamboyan F 49 CJT II, RT.014/RW.004,
Kelurahan Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Kota
Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon X;
11. Nama : Kol. TNI (Purn) Sugeng Waras
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jalan Kiara Sari Raya Nomor 36, RT.001/RW.001,
Kelurahan Margasari, Kecamatan Buah Batu, Kota
Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Sebagai --------------------------------------------------------------------- Pemohon XI;
12. Nama : Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Sarono Jiwo 1/33, RT.005/003, Panjang Jiwo,
Tenggilis Mejoyo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa
Timur.
Sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon XII;
13. Nama : Dr. Syamsul Balda, S.E., M.M., MBA.
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Batu Ampar II Nomor 18, RT.008/RW.003, Batu
Ampar, Kecamatan Kramat Jati, Kota Jakarta Timur,
Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XIII;
14. Nama : Dr. Taufik Bahaudin, S.E.
Pekerjaan : Pensiunan
4

Alamat : Jalan Perdagangan Nomor 40 A, RT.002/RW.001,


Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta
Timur, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XIV;
15. Nama : Dr. Masri Sitanggang, MP.
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Gambir Nomor 98 Dsn Gambir, RT.000/RW.000
Kelurahan Bandar Klippa, Kecamatan Percut Sei
Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera
Utara.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XV;
16. Nama : Ir. Irwansyah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Rasamala II Nomor 22, RT.005/RW.009,
Kelurahan Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Kota
Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XVI;
17. Nama : Didin S. Maolani, S.H.
Pekerjaan : Pengacara
Alamat : Jalan Pasir Salam Asri A.6, RT.007/RW.005,
Pasirluyu, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Provinsi
Jawa Barat.
Sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon XVII;
18. Nama : Agus Muhammad Maksum
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Avia 200, RT. 003/RW.001, Kelurahan
Lemahputro, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten
Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.
Sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon XVIII;
19. Nama : Drs. H. M. Mursalim R
Pekerjaan : Karyawan Swasta
5

Alamat : Curug Indah Blok A7, Nomor 11, RT.004/RW.008,


Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar,
Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XIX;
20. Nama : H. M. Rizal Fadillah, S.H.
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : GG Sukaleueur Nomor 36/196A, RT. 006/007,
Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa
Kaler, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XX;
21. Nama : Agung Mozin
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Meruya Ilir Nomor 40, RT.008/RW.007,
Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota
Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon XXI;
22. Nama : Gigih Guntoro
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Pejaten Timur, RT.001/RW.008, Kelurahan Pejaten
Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Jakarta
Selatan, Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon XXII;
23. Nama : Mudrick Setiawan M. Sangidu
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jalan Kartopuran RT.002/RW.001, Kelurahan
Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah.
Sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon XXIII;
24. Nama : Muhammad Haikal Firzuni
Pekerjaan : Mahasiswa
6

Alamat : Jalan Mapalus C.II, RT.004/006, Kelurahan


Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Kota
Jakarta Utara, DKI Jakarta.
Sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon XXIV;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 22 Februari, 23 Februari, 24 Februari, 25


Februari, 14 Maret, dan 17 Maret 2022 memberi kuasa kepada Viktor Santoso
Tandiasa, S.H., M.H., Ahmad Wirawan Adnan, S.H., M.H., Bisman Bachtiar, S.H.,
M.H., Djuju Purwantoro, S.H, Lukmanul Hakim, S.H., Muhammad Saleh, S.H., M.H.,
Eko Prasetyo, S.H., M.H. Harseto Setyadi Rajah, S.H., Nurhidayat, S.H., dan Eliadi
Hulu, S.H., kesemuanya adalah Advokat, Konsultan Hukum yang tergabung dalam
Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), dan memilih berdomisili di Perumahan
Griya Cilebut Asri 1, Jalan Lidah Buaya 6, Blok M-1, Cilebut Barat, Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten Bogor, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak
untuk dan atas nama Pemberi Kuasa;
Selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon XXIV disebut sebagai --------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca dan mendengar keterangan Presiden;
Membaca keterangan ahli para Pemohon;
Membaca dan mendengar keterangan ahli dan saksi Presiden;
Memeriksa bukti-bukti para pihak;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 2


Februari 2022 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada 2 Februari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan
Permohonan Pemohon Nomor 15/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022 dan telah dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 23 Februari 2022 dengan
7

Nomor 25/PUU-XX/2022, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 28 Maret


2022 dan diterima Mahkamah pada 28 Maret 2022, yang pada pokoknya menguraikan
hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:


“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum”;

3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi diberikan


kewenangan oleh UUD 1945 untuk melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Kemudian oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK RI),
pada Pasal 10 ayat (1) huruf a yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang
(UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;

4. Bahwa selanjutnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-


Undang terhadap UUD 1945 diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Selanjutnya disebut UU Kekuasan
Kehakiman) yang mengatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
8

c. memutus pembubaran partai politik;


d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.

5. Bahwa dalam melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang Mahkamah


Konstitus berwenang melakukan pengujian formil dan Materiil. Terhadap
kewenangan Mahkamah melakukan Pengujian Formil Undang-undang diatur
dalam Pasal 51A ayat (3) UU MK RI, yang menyatakan:
“dalam hal permohonan pengujan berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di
dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan”.

6. Bahwa terhadap tolok ukur atau batu uji, Mahkamah untuk menilai pengujian
formil sebuah undang-undang, telah dinyatakan dalam Putusan Nomor 27/PUU-
VII/2009, Paragraf [3.19], halaman 82-83, yang menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-
021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI
Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah
merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk
melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya
dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan
apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya
sebagai syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD
1945;
Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur
pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka
hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD
1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek
formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan
konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu,
sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan
peraturan perundang- undangan yang mengatur mekanisme atau formil-
prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka
peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil;”

7. Bahwa berdasarkan perluasan batu uji terhadap objek Pengujian Formil yang
dimohonkan oleh PARA PEMOHON yaitu Pembentukan UU 3/2022, tidak sesuai
dengan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Perlu kami jelaskan bahwa dalam pengujian formil perkara “a quo” penyebutan
yang digunakan terhadap batu uji UU 3/2022 adalah UU 12/2011 dikarenakan
perubahan UU 12/2011 ke UU 15/2019 adalah perubahan sebagian Pasal dalam
9

UU 12/2011 dan terhadap pasal-pasal yang menjadi tolok ukur dalam perkara
“a quo” terdapat dalam UU 12/2011.
8. Bahwa artinya objek pengujian yang dimohonkan oleh PARA PEMOHON masih
masuk dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
dalam yang masuk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf
a dan Pasal 51A ayat (3) UU MK RI serta Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman.
9. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, melekat 5 (lima) fungsi yakni:
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of
Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter
of Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi (The Guardian of
Democracy)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara
(The Protector of Citizen’s Constitutional Rights)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia (The Protector
of Human Rights)
10. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji Undang-Undang
terhadap UUD, Mahkamah sedang menjalankan fungsi sebagai Pengawal
Konstitusi (The Guardian of Constitution). Oleh karenanya dalam hal pengujian
formil UU 3/2022 yang secara nyata dan terang benderang menabrak Prosedur
dan dibentuk tidak berdasarkan atas asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana ditentukan pada UU 12/2011,
serta tidak sesuai dengan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan UUD
1945
11. Bahwa berdasarkan seluruh uraian diatas berkenaan dengan yurisdiksi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian Konstitusionalitas
Pembentukan UU 3/2022 terhadap UUD 1945.
10

III. TENGGANG WAKTU PENGUJIAN FORMIL

1. Bahwa terhadap sistematika Permohonan Uji Formil, PMK 2/2021 tidak


memasukan bagian “Tenggang Waktu mengajukan Uji Formil” dalam sistematika
Permohonan Uji Formil.
2. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, mengatur sistematika sekurang-
kurangnya memuat:
a. Nama Pemohon, dan/atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan,
alamat rumah/kantor, dan alamat surat elektronik
b. Uraian yang jelas mengenai:
- Kewenangan Mahkamah
- Kedudukan Hukum Pemohon
- ALasan Permohonan
c. Petitum

3. Bahwa oleh karenanya, bagian Tenggang Waktu Pengujian Formil diletakan


setelah bagian Kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena masih berkelindan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
4. Bahwa berkenaan dengan tenggang waktu pengajuan formil undang-undang,
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009,
bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf 3.34, telah menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo
Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau
tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan
pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian
formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang
dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD
1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan undang-Undang
yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian
hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya
apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil
akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah
memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-
Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk
mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang”

5. Bahwa UU 3/2022 disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022,


oleh karena UU 3/2022 diundangkan pada 15 Februari 2022 sehingga batas
waktu paling lambat pengajuan permohonan yaitu pada tanggal 19 Maret 2022.
Adapun permohonan PARA PEMOHON diterima oleh Mahkamah Konstitusi
diterima oleh Mahkamah pada tanggal 2 Februari 2022, yang kemudian
disidangkan pada sidang Pendahuluan pada tanggal 16 Maret dan diperbaiki
11

oleh PARA PEMOHON dan disampaikan pada sidang Perbaikan Permohonan


pada tanggal 29 Maret 2022.
6. Bahwa apabila kita merujuk pada perkara pengujian formil UU No. 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja, sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 91/PUU-
XIX/2020, Paragaf [3.3] hal. 373, pun menyatakan bahwa permohonan para
pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan
pengujian formil, kendati permohonan diterima oleh Mahkamah pada tanggal 15
Oktober 2020 sebelum UU 11/2020 diundangkan pada tanggal 2 November
2020, yang kemudian diperbaiki pada tanggal 24 November 2020.
7. Bahwa dengan demikian permohonan PARA PEMOHON masih dalam tenggang
waktu pengajuan permohonan pengujian formil suatu undang-undang.

IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN


KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK RI menyatakan bahwa pemohon adalah pihak


yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara”.

2. Bahwa terhadap kedudukan pemohon juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Selanjutnya disebut PMK 2/2021),
menyatakan:
Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakuknya undang-undang atau perppu, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.
12

3. Bahwa selanjutnya terhadap kedudukan hukum PARA PEMOHON yang


menganggap Hak dan/atau kewenangan Konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, menurut Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 yang
mengacu pada Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-
V/2007, apabila:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan,
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan
terjadi.

4. Bahwa sebelum menguraikan Kedudukan Hukum dan Kerugian Konstitusional


PARA PEMOHON, terhadap uraian Kedudukan Hukum (Legal Standing) dan
Kerugian Pemohon apabila mengacu pada Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2020
tentang Pengujian Formil UU 11/2020, pada Paragraf [3.5], hal. 374-375,
Mahkamah masih mendasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK RI beserta
Penjelasannya, Sehingga menurut Mahkamah dalam pengujian UU terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu kedudukannya sebagai Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI, dan ada tidaknya
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
5. Bahwa selanjutnya, dalam Putusan No. 91/PUU-XIX/2020, mahkamah juga
masih berpendirian yang pada pokoknya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI harus
memenuhi 5 syarat sebagaimana juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK
2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor
011/PUU-V/2007 (vide. Paragaf [3.6], halaman 375).
6. Bahwa artinya dalam menilai Kedudukan Hukum (legal standing) PARA
PEMOHON, Mahkamah belum memisahkan antara Kedudukan Hukum (legal
13

standing) PARA PEMOHON dalam Pengujian Formil dengan Kedudukan


Hukum (legal standing) PARA PEMOHON dalam Pengujian Materiil.
7. Bahwa padahal apabila kita melihat secara prinsip tentunya kedudukan hukum
dan kerugian konstitusional PARA PEMOHON dalam Pengujian Formil sangat
berbeda dengan Pengujian Materiil, sehingga apabila di samakan dengan
Pengujian Materiil, PARA PEMOHON akan banyak menutup kemungkinan bagi
warga masyarakat untuk bisa memiliki kedudukan hukum (legal standing).
8. Bahwa sementara, pada Paragraf [3.8] Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2020,
halaman 379 dan Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019 pada Paragraf [3.6]
halaman 352 di mana kedua putusan tersebut mengutip Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009, pada halaman 68, yang menguraikan pertimbangan hukum
Mahkamah terhadap kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah
mempertimbangkan, sebagai berikut:
“bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masayarakat
secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak
serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian
materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam
pengujian formil Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai
hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang
dimohonkan. Adapun syarat adanya hubungan pertautan yang langsung
dalam pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya
kepentingan dalam pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan oleh
Mahkamah sampai saat ini, karena akan menyebabkan sama sekali
tertutup kumungkinannya bagi anggota masyarakat atau subjek hukum
yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian
secara formil. Dalam kasus konkrit yang diajukan oleh para Pemohon perlu
dinilai apakah ada hubungan pertautan yang langsung antara para
Pemohon dengan Undang-Undang yang diajukan pengujian formil.”
9. Bahwa untuk memenuhi syarat kedudukan Hukum sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK RI dan Pasal 4 ayat (1) PMK 2/2021, yang
masuk sebagai klasifikasi sebagai Pemohon adalah Warga Negara Indonesia,
perlu di jelaskan bahwa PEMOHON I sampai dengan PEMOHON XXIV adalah
perseorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kepemilikian
Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.4 sampai dengan bukti P.27 – KTP dan NPWP).
10. Bahwa berdasarkan uraian diatas, Maka PEMOHON I s.d PEMOHON XXIV
memenuhi persyaratan sebagai Perseorangan Warga Negara Indonesia
sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK RI dan Pasal 4 ayat
(1) PMK 2/2021.
14

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON

11. Bahwa selain syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI,
terdapat syarat yang menentukan kapasitas warga negara Indonesia untuk
memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam Pengujian Formil
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 yang mengacu pada
Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan No. 011/PUU-V/2007, apabila:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan,
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan
terjadi.

12. Bahwa uraian secara spesifik satu persatu untuk mempertimbangkan


kedudukan hukum para pemohon juga dipraktekan Mahkamah dalam Putusan
91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana dijelaskan pada Paragaf [3.6], halaman 375.
13. Bahwa oleh karenanya untuk memenuhi syarat mendapatkan kedudukan hukum
untuk menguji undang-undang sebagaimana diuraikan pada angka 11 tersebut
diatas, selain sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia, perlu diuraikan
adanya kerugian konstitusional PARA PEMOHON atas Proses Pembentukan
UU 3/2022 baik bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
serta ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan proses
pembentukan UU 3/2022, juga adanya Kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya Permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan
tidak lagi atau tidak akan terjadi.
14. Bahwa PARA PEMOHON sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a PMK 2/2021, memiliki hak konstitusional yang telah diatur, dijamin dan
dilindungi dalam UUD 1945, adalah sebagai berikut:
15

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:


“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”

Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:


“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”

Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan:


“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.”

15. Bahwa dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Paragraf [3.17.8] terhadap


partisipasi masyarakat dalam pengujian formil dijamin sebagai hak-hak
konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam
pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Artinya
terhadap upaya yang dilakukan PARA PEMOHON merupakan bentuk hak
konstitusional untuk melakukan Pengujian Formil terhadap UU 3/2022 karena
hak konstitusional untuk dapat berpartisipasi telah dilanggar.
16. Bahwa selanjutnya sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b,
huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, terhadap adanya kerugian Konstitusional
PARA PEMOHON perlu kami uraikan, sebagai berikut:
16.1. PEMOHON I berprofesi sebagai Dosen yang dibuktikan dengan Surat
Keputusan Pengangkatan sebagai Dosen (Bukti P.28 – SK Dosen).
Sebagai dosen yang mengajar Mata Kuliah Manajemen Strategi di
Program S-2 Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Musi Rawas
Lubuklinggau (STIE – MURA Lubuklinggau) (Bukti P.29 – Lampiran SK
Direktur Program Magister Manajemen) tentunya memiliki pertautan
kerugian konstitusional terhadap Proses Pembentukan UU 3/2022
dimana Pembentuk Undang-Undang membentuk UU 3/2022 dengan
16

cepat tanpa memperhatikan apakah perpindahan Ibu Kota Negara yang


memiliki persoalan secara multidimensi dapat dilakukan dengan
mendasarkan pada dasar hukum UU 3/2022 yang masih banyak
kekosongan hukum terhadap pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat
strategis.

Proses Pembentukan UU 3/2022 yang mengenyampingkan asas-asas


pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 UU 12/2011 mengakibatkan PEMOHON I mengalami
kebingungan untuk menjelaskan secara akademis tehradap
pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswanya yang terkait dengan
penerapan manajemen strategi dalam UU 3/2022. Apabila dilihat
secara manajemen strategi anggaran pembangunan IKN tidak jelas
akan menggunakan anggaran yang dialokasikan dari mana. Bahkan
dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan mengatakan bahwa
Anggaran Pembangunan IKN bisa mengambil dana Program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (Sumber:
https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-menyebut-anggaran-
pembangunan-ikn-bisa-mengambil-dana-program-pen). Dimana
Kemenkeu berencana menggelontorkan dana sebesar Rp. 187,3 Triliun
yang berasal dari Program PEN 2022 untuk membangun Ibu Kota
Negara. (Sumber: https://www.idxchannel.com/economics/sri-mulyani-
bakal-pakai-dana-pen-rp1873-triliun-untuk-bangun-ikn). Padahal
sebagaimana kita ketahui dana PEN diperuntukan untuk memulihkan
Ekonomi Nasional dimasa Pandemi Covid 19. Untungnya mendapatkan
penolakan dari sejumlah anggota DPR RI.

Bahkan kemudian semakin terlihat Pendanaan Pembangunan IKN


Nusantara disandarkan pada bantuan dana dari Investor. Dimana pada
tahun 2020 menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan
Investasi mengungkapkan Softbank Group Corp akan berinvestasi
sebesar US$ 100 miliar atau setara Rp. 1.400 triliun untuk pemindahan
IKN Nusantara. Perusahaan asal jepang ini merupakan salah satu
calon investor yang pertama kali mengajukan diri untuk menjadi
investor. Namun belum saja berjalan, ternyata softbank memutuskan
17

mundur sebagai Investor dan tidak akan terlibat dalam proyek


pemindahan IKN Nusantara. (Sumber: https://www.cnbcindonesia.
com/news/20220312135913-4-322219/jalan-panjang-softbank-
investasi-di-ikn-hingga-akhirnya-batal).

Selain berprofesi sebagai dosen, PEMOHON I pernah menjabat


sebagai penasehat KPK dibuktikan dengan Keputusan Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEP-117/01/03/2009 tentang
Pengangkatan Anggota Tim Penasihat di Lingkungan Komisi
Pemberantasan Korupsi Periode Tahun 2009-2013 (Bukti P.30 –
Keputusan Pimpinan KPK). Dimana selama menjadi Penasehat KPK,
PEMOHON I sering melakukan upaya-upaya pencegahan sejak dini
praktik-praktik korupsi dalam bentuk penyuluhan dll. Bahkan hingga
saat ini PEMOHON I masih terus berjibaku dengan upaya-upaya
pencegahan Korupsi.
Cepatnya Proses pembentukan UU 3/2022 terlihat mengenyampingkan
asas kejelasan rumusan dimana persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan diabaikan, hal ini terlihat pada
banyaknya pengaturan-pengaturan yang didelegasikan pada peraturan
pelaksana, terutama yang berkaitan dengan peran PEMOHON I yang
concern terhadap pemberantasan korupsi adalah pengaturan terkait
pendanaan, pengaturan penggunaan anggaran, pertanggungjawaban
penggunaan anggaran semua di delegasikan ke Peraturan Pelaksana.
Hal ini tentunya semakin membuka potensi kesewenangan dalam
pengganggaran, penggunaan anggaran dan pertanggungjawaban
anggaran, terlebih lagi dalam sistem pemerintahan di IKN Nusantara
sebagaimana diatur dalam UU 3/2022 peran DPRD pada tingkat
Provinsi dihilangkan/ditiadakan. Belajar dari pengalaman yang
PEMOHON I amati selama ini, dimana tidak ada proyek negara yang
bebas dari korupsi.

Pembentukan UU 3/2022 yang minim partisiasi publik, tidak hanya


kepada masyarakat yang terdampak, namun terhadap masyarakat
yang concern incasu terhadap pencegahan Korupsi sebagaimana
PEMOHON I lakukan selama ini, menjadi tidak mendapatkan
18

kesempatan untuk memberikan masukan terhadap materi muatan


undang-undang yang berpotensi menjadi celah praktek korupsi.

Hal ini tentunya merugikan hak konstitusional PEMOHON I yang telah


dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) juga terhadap
Pasal 28F UUD 1945 di mana setiap orang berhak untuk memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan uraian pada angka 16.1. tersebut di atas, maka


PEMOHON I memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi syarat
untuk menjadi PEMOHON sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat
(2) PMK 2/2021.
16.2. PEMOHON II pernah menjabat sebagai anggota DPD RI daerah
pemilihan (dapil) DKI Jakarta periode 2004-2009 dibuktikan dengan
Keputusan Presiden Nomor 137/M Tahun 2004 (Bukti P.31 – SK
Presiden) PEMOHON II sebagai orang yang pernah menjabat pada
lembaga legislatif, PEMOHON II tentunya mengerti dan mengetahui
proses pembentukan suatu undang-undang. UU 3/2022 sejak
penetapan Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga
persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah yang hanya
memerlukan waktu selama 42 (empat puluh dua) hari. Lamanya waktu
dalam membentuk Undang-Undang memang tidak memiliki acuan
baku, namun dengan rentang waktu 42 hari tersebut, menurut
PEMOHON II merupakan durasi yang tidak memungkinkan untuk
pembentukan suatu undang-undang yang memiliki persoalan
multidimensi dan Kompleks, yang perlu dibahas secara cermat,
komprehensif dan melibatkan Partisipasi publik yang bermakna tidak
sekedar formalitas belaka. Persoalan pemindahan Ibu Kota bukan
hanya soal pembangunan Ibu Kota Negara namun juga harus melihat
dampak dari Ibu Kota Negara lama yang ditinggalkan. Terhadap
kesemuana itu Jika melihat tahapan proses pembentukan suatu
undang-undang yang memerlukan 5 (lima) tahap yaitu perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dengan
proses pembentukan yang terburu-buru dan tidak memperhatikan asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan, PEMOHON II
19

merasa bahwa proses pembentukan UU 3/2022 telah mencedari


Konstitusi terutama kedaulatan yang dimiliki sebagai Rakyat Indonesia
telah dikhianati.
PEMOHON II juga merupakan warga negara yang peduli dengan DKI
Jakarta dimana merupakan dapil PEMOHON II saat terpilih menjadi
anggota DPD RI. Kepeduliannya terhadap Jakarta dibuktikan oleh
PEMOHON II dengan melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
bersama warga masyarakat Jakarta. Saat dalam setiap kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan, banyak masyarakat Jakarta yang bertanya
kepada PEMOHON II tentang nasib/masa depan Jakarta apabila Ibu
Kota dipindahkan. Hal ini membuat PEMOHON II tidak bisa
menjelaskan, karena selama ini tidak ada sosialisasi yang massif
ataupun penjelasan dari pembentuk UU kepada warga Masyarakat DKI
Jakarta jika Ibu Kota dipindahkan ke Kalimantan. Padahal Warga
Masyarkat Jakarta adalah Pihak yang sangat terdampak.
PEMOHON II juga masuk sebagai pengurus dalam Badan Hukum
Yayasan Pengkajian Sumber Daya Indonesia, yang disahkan
pendiriannya berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI
Nomor AHU-0021984.AH.01.04. Tahun 2015 (Bukti P.32 – SK
MenkumHAM RI). Dalam hal ini PEMOHON II juga tidak mendapatkan
kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran untuk
mengharmonisasikan ketentuan-ketentuan norma yang mengatur
terkait pembangunan IKN Nusantara dengan ketentuan-ketentuan
norma yang diatur dalam Undang-Undnag yang terkait dengan sumber
daya Alam. Namun kesempatan tersebut tertutup.
PEMOHON II adalah Pembayar Pajak yang dibuktikan dengan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti setoran pajak terakhir Tahun
Pajak 2021 (Bukti P.33 – NPWP dan Penyampaian SPT Elektronik).
Sebagai Wajib Pajak tentunya berharap agar penggunaan APBN yang
berasal dari Pajak rakyat termasuk juga PEMOHON II, namun dalam
perkara A quo dimana pembentukan UU 3/2022 yang dibentuk dengan
melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
sementara apabila UU 3/2022 dilaksanakan, akan menghabiskan
anggaran yang sangat besar + 500 Triliun yang terbagi dalam 5
20

Tahapan Pembangunan. Mengutip pernyataan dari ketua Badan


Anggaran DPR mengatakan: “APBN kita hanya berkontribusi 20% dari
total kebutuhan anggaran IKN, apalagi pembangunan IKN itu
berlangsung dalam jangka Panjang, setidaknya 15 tahun – 20 tahun
lagi baru selesai. Itu artinya 20% yang menjadi kontribusi APBN itu
bersifat multiyear”. (Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/
besaran-anggaran-dari-apbn-untuk-pembangunan-ibu-kota-negara-
mulai-2022-2024). Artinya dalam APBN 20% untuk Perpindahan dan
Pembangunan IKN yang berasal dari Pajak, sisanya akan
memanfaatkan Kerjasama dengan Investor baik dalam ataupun luar
negeri. Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan pembuangan APBN
apabila ternyata 80% dari kebutuhan Pembangunan tidak tercapai
apabila investor yang akan menginvestasikan dananya tidak mencapai
target. Artinya dalam penalaran yang wajar, Proyek IKN berpotensi
besar untuk terhenti atau mangkrak. Hal ini tentunya bentuk
penggunaan APBN yang tidak bertanggungjawab dan menimbulkan
kerugian negara, padahal APBN berasal dari pajak rakyat yang selalu
dibayarkan oleh PEMOHON II.
Hal ini tentunya merugikan hak konstitusional PEMOHON II yang telah
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) juga terhadap
Pasal 28F UUD 1945 di mana setiap orang berhak untuk memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan uraian pada angka 16.2. tersebut diatas, maka
PEMOHON II memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
16.3. PEMOHON III adalah Warga Negara yang saat ini menjabat sebagai
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Masa
Khidmat 2020-2025 dibuktikan dengan Surat Keputusan Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-1/DP-MUI/XII/2020 dan
Lampiran Susunan Personalia Dewan Pimpinan Harian dan Dewan
Pimpinan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Masa Khidmat 2020-
2025 (Bukti P.34 – SK MUI)
21

Minimnya partisipasi publik serta proses yang tidak transpran dalam


mempublikasikan risalah-risalan sidang selama proses pembentukan
UU 3/2022 menyebabkan PEMOHON III tidak dapat mendapatkan
informasi yang jelas, serta tidak pula memiliki kesempatan untuk
memberikan masukan dalam UU 3/2022 yang memiliki dampak tidak
hanya pada masyarkat Kalimantan namun juga terhadap masyarakat
DKI Jakarta pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Padahal PEMOHON III banyak mendapatkan pertanyaan dari para
pengurus MUI untuk mendapatkan pertimbangan-pertimbangan serta
sikap yang harus diambil oleh MUI terutama terkait dengan hal-hal yang
menyangkut tentang urusan keagamaan.
Hal ini tentunya merugikan hak konstitusional PEMOHON III yang telah
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) juga terhadap
Pasal 28F UUD 1945 dimana setiap orang berhak untuk memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya
terlebih PEMOHON III merupakan pengurus dalam MUI Pusat yang
kerap diminta pertimbangannya.
Berdasarkan uraian pada angka 15.3. tersebut di atas, maka
PEMOHON III memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.

16.4. PEMOHON IV adalah tokoh agamawan yang memiliki umat diberbagai


wilayah di Indonesia, dimana dalam hal pembentukan perpindahan Ibu
Kota Negara, PEMOHON IV merasa proses pembentukan yang terlihat
terburu-buru sehingga tidak membuka partisipasi publik secara
maksimal dan bermakna, hanya bersifat formalitas mengundang pihak-
pihak yang mendukung, tanpa mengundang dan mendengarkan pihak
yang terdampak baik masyarkat Jakarta yang sangat terdampak ketika
Ibu Kota Negara dipindahkan ke Kalimantan. Demikian pula terhadap
masyarkat Kalimantan yang sangat berpotensi menimbulkan konflik
horizontal di lapangan akibat adanya shock culture, ketimpangan
lapangan pekerjaan antara pendatang dan masyarkaat asli Kalimantan.
22

Apabila melihat salah satu tujuan dari rencana perpindahan Ibu Kota
Negara ke Kalimantan yang sering diungkapkan pada berbagai
kesempatan, oleh Presiden Republik Indonesia, adalah pemerataan
“kue” Ekonomi. (Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/
20190919161845-4-100740/ri-pindah-ibu-kota-ekonomi-lebih-merata).
Namun di sisi lain Presiden memberikan iming insentif ke anak muda
agar mau pindah ke IKN Nusantara (Sumber:
https://finance.detik.com/properti/d-5953880/jokowi-imingi-insentif-ke--
anak-muda-agar-mau-pindah-ke-ikn). Bahkan bagi anak Muda yang
Pindah hingga Buka Usaha di IKN Nusantara, Dapat Bonus dari Jokowi
(Sumber: https://economy.okezone.com/read/2022/02/23/470/
2551743/anak-muda-pindah-hingga-buka-usaha-di-ikn-nusantara-
dapat-bonus-dari-jokowi). Dengan diiming-iminginya anak-anak muda
di luar Kalimantan Timur untuk pindah ke Kalimantan Timur, tentunya
hal ini akan menimbulkan potensi konflik bagi para pencari kerja asli
Kalimantan Timur dengan para pencari kerja yang datang dari luar
Kalimantan Timur.
Hal ini tentunya merugikan PEMOHON IV karena menyulitkan
PEMOHON IV untuk memberikan jawaban-jawaban kepada umatnya
yang mempertanyakan hal ini, terlebih lagi adanya infiltrasi budaya
global yang dapat mengancam akidah-akidah agama yang selama ini
telah di bangun dan dijaga oleh PEMOHON IV.
Terhadap uraian pada angka 16.4 tersebut di atas disebabkan proses
pembentukan undang-undang yang sangat terburu-buru, tidak cermat
dalam memetakan persoalan yang sangat kompleks serta bersifat
multidimensi, dan banyak mengabaikan/melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Tentunya hal tersebut merugikan hak
konstitusional PEMOHON IV yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian pada angka 16.4. tersebut di atas, maka
PEMOHON IV memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
23

16.5. PEMOHON V merupakan cucu dari KH. Abdul Wahab Chasbullah yang
merupakan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai cucu Pendiri NU,
PEMOHON V concern dalam menjaga tujuan negara untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut PEMOHON V ada
3 hal yang harus diperhatikan oleh Penguasa, yakni: Pertama, siapapun
yang berkuasa harus senantiasa melindungi sumber kehidupan yang
paling asasi. Kedua, menjaga negeri yang tercinta ini dari berbagai
macam gangguan dari dalam maupun luar. Ketiga, kewajiban
memelihara dan melindungi tradisi beragama - kebudayaan bangsa
kita. “Inilah yang dimaksud dengan NU berpolitik pada level
kebangsaan. Politik tingkat tinggi,” hal ini juga diungkapkan kepada
media online (https://jatimnet.com/gus-aam-politik-bagi-warga-nu-
ibarat-air-dan-teh).
Adanya Potensi Konflik Horizontal sebagaimana telah diuraikan pada
bagian 16.4. yang dihadapi oleh Pemohon IV adalah persoalan yang
menimbulkan kerugian yang sama bagi PEMOHON V. Termasuk dalam
hal perlindungan sumber kehidupan yang paling Asasi yang menjadi
perjuangan yang selama ini dilakukan oleh PEMOHON V berpotensi
terlanggar dalam ketentuan UU 3/2022 incasu peralihan/pembebasan
lahan masyarkat. Hal tersebut terjadi karena proses pembentukan yang
mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
Terhadap uraian pada angka 16.5. tersebut di atas disebabkan proses
pembentukan undang-undang yang sangat terburu-buru, tidak cermat
dalam memetakan persoalan yang sangat kompleks serta bersifat
multidimensi, dan banyak mengabaikan/melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, tentunya hal tersebut merugikan hak
konstitusional PEMOHON V yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian pada angka 16.5. tersebut di atas, maka
PEMOHON V memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
24

16.6. PEMOHON VI, PEMOHON VII, PEMOHON VIII, PEMOHON IX,


PEMOHON X dan PEMOHON XI merupakan Purnawirawan TNI (Bukti
P. Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang memiliki jiwa nasionalisme,
patriotik serta concern terhadap penanaman nilai-nilai kebangsaan
yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Pembentukan UU 3/2022 yang memindahkan Ibu Kota Negara tanpa
mendalami nilai-nilai historis, filosofis, yang terlihat dalam Naskah
Akademik saat akan membentuk UU 3/2022.
Di sisi lain sebagai Purnawirawan TNI yang memiliki banyak
Pengalaman dan Pengetahuan selama menjadi anggota TNI dan
bertugas dibanyak daerah sehingga memahami sosio culture
masyarakat, berencana memberikan masukan pembentuk undang-
undang dalam merumuskan ketentuan norma UU 3/2022, sehingga
pembentuk undang-undang bisa mendapatkan insight apakah perlu
atau tidak Ibu Kota Negara di pindahkan.
Namun hal ini menjadi tidak bisa dilakukan oleh PEMOHON VI sampai
dengan PEMOHON XI karena waktu untuk membentuk UU 3/2022
terhitung sangat cepat jika diukur dari beban persoalan yang memiliki
multidimensi.
Terhadap PEMOHON IX, adalah wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Periode 7 Oktober 2007 hingga 7 Oktober 2012, yang tentunya
merupakan pihak yang seharusnya diperhatikan pendapatnya, dimana
PEMOHON IX pun menjadi tidak memiliki kesempatan untuk
menyampaikan pendapatnya karena waktu yang begitu cepat dalam
proses pembentukan UU 3/2022.
Berdasarkan uraian pada angka 16.6. tersebut di atas, maka
PEMOHON VI, PEMOHON VII, PEMOHON VIII, PEMOHON IX,
PEMOHON X dan PEMOHON XI memiliki kedudukan hukum karena
telah memenuhi syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021.
16.7. PEMOHON XII adalah seorang guru besar pada Fakultas Teknologi
Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dibuktikan
dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
25

Nomor 41550/A4.5/KP/2010. (Bukti P.35 – Keputusan Menteri


Pendidikan Nasional RI).
PEMOHON XII memiliki pendapat ahli yang dituliskan sudah dituliskan
sejak tanggal 9 Desember 2021 pada portal media online terkait dengan
Perpindahan Ibukota (vide. https://www.zonasatunews.com/terkini/
daniel-m-rosyid-ibukota/).
PEMOHON XIII meyakini bahwa selama kota-kota kita hanya dilihat
sebagai property oleh para penguasa dan perencana pembangunan,
maka kita tetap akan menyaksikan ketimpangan sosial dan
kesenjangan spasial yang makin buruk, hal ini terbukti dengan tidak
dilibatkannya partisipasi publik yang maksimal dan bermakna dalam
pembentukan UU 3/2022, Artinya perpindahan IKN Nusantara semakin
membuat negeri ini makin tidak merdeka, tidak berdaulat, tidak bersatu,
apalagi adil dan makmur. Namun dengan proses pembentukan yang
sangat cepat dan terburu-buru membuat PEMOHON XII tidak dapat
memberikan masukan kepada Pembentuk Undang-Undang agar
menghentikan rencana Perpindahan UU 3/2022. Hal ini tentunya
merugikan Hak Konstitusionalnya sebagai Guru Besar yang memiliki
tanggung jawab dalam membangun bangsa dan negaranya atau
mencegah terjadinya kerusakan bangsa dan negaranya.
Berdasarkan uraian pada angka 16.7. tersebut di atas, maka
PEMOHON XII memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
16.8. PEMOHON XIII adalah tokoh masyarakat yang pernah menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat
masa keanggotaan Tahun 1999-2004 dari Daerah Pemilihan DKI
Jakarta, dibuktikan dengan Petikan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 72/M Tahun 2000 (Bukti P.36 – Keputusan Presiden).
Hingga saat ini PEMOHON XIII terus aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial di Jakarta, menerima keluhan dan memperjuangkan persoalan-
persoalan yang ada di Jakarta.
PEMOHON XIII juga merupakan warga negara yang peduli dengan DKI
Jakarta dimana merupakan dapil PEMOHON XIII saat terpilih menjadi
26

anggota DPR/MPR RI. Kepeduliannya terhadap Jakarta dibuktikan oleh


PEMOHON XIII dengan melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
bersama warga masyarakat Jakarta (Bukti P.37 – Dokumentasi). Saat
dalam setiap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, banyak masyarakat
Jakarta yang bertanya kepada PEMOHON XIII tentang nasib/masa
depan Jakarta apabila Ibu Kota dipindahkan. Hal ini membuat
PEMOHON XIII tidak bisa menjelaskan, karena selama ini tidak ada
sosialisasi yang massif ataupun penjelasan dari pembentuk UU kepada
warga Masyarakat DKI Jakarta jika Ibu Kota dipindahkan ke
Kalimantan. Padahal Warga Masyarkat Jakarta adalah pihak yang
sangat terdampak. Terlebih lagi akses untuk mendapatkan materi
pembahasan dalam setiap tahapan-tahapan tidak dibuka seluruhnya,
dari 28 tahapan hanya 7 naskah pembahasan yang dapat diakses oleh
PEMOHON XIII.
Berdasarkan uraian pada angka 16.8. tersebut di atas, maka
PEMOHON XIII memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
16.9. PEMOHON XIV adalah dosen yang telah purna tugas di Fakultas
Ekonomi UI dibuktikan dengan Kartu Identitas Pensiun (Bukti P.38 –
Kartu Identitas Pensiun), kendati telah memasuki masa pensiun
PEMOHON XIV yang juga merupakan Pengamat Ekonomi yang aktif
memberikan pemikiran-pemikirannya baik diruang akademik maupun
pada media-media cetak, elektronik ataupun media online.
Pandangan PEMOHON XIV terhadap proses Pembentukan UU 3/2022
menjadi tidak dapat terakomodir dengan cepatnya proses pembentukan
UU 3/2022, padahal banyak masalah yang perlu di bahas secara serius
dan mendalam dari prespektif ekonomi mengingat tahapan
perpindahan IKN dari 2022 hingga 2045. Panjangnya proses
perpindahan IKN dengan proses pembentukan UU IKN yang sangat
singkat, yang mengabaikan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 UU 12/2011, berpotensi terhenti ditengah jalan.
Apabila hal ini terjadi maka kerugian yang ditimbulkan akan semakin
besar, akan banyak anggaran negara yang menjadi terbuang sia-sia
27

padahal anggaran tersebut berasal dari pajak rakyat termasuk


PEMOHON XVI. Namun pandangan dari PEMOHON XVI menjadi tidak
terakomodir mengingat partisipasi publik dalam Pembentukan UU
3/2022 hanyalah bersifat formalitas belaka, tidak maksimal dan
bermakna sebagaimana disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 91/PUU-XXVIII/2020. Disinilah kerugian Konstitusional
PEMOHON XVI dilanggar.
Berdasarkan uraian pada angka 16.9. tersebut di atas, maka
PEMOHON XIII memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
16.10. PEMOHON XV, PEMOHON XVI, PEMOHON XVII, PEMOHON XVIII,
PEMOHON XIX, PEMOHON XX, PEMOHON XXI, PEMOHON XXII,
dan PEMOHON XXIII adalah warga negara para pemilih pada pemilu
tahun 2019 yang telah menyerahkan kedaulatannya kepada para
pembentuk Undang-Undang untuk menjalankan tugasnya dalam
membentuk Undang-Undang dengan hadir di dalam rapat-rapat DPR
untuk menyuarakan aspirasi konstituennya serta mengambil keputusan
dengan prosedur dan tata cara yang fair dan jujur, sehingga Undang-
Undang dan kebijakan lain yang dibentuk, yang bukan merupakan hasil
kerja yang fair, jujur, dan sungguh-sungguh, yang harus mengikat
warga negara secara keseluruhan termasuk PEMOHON XV,
PEMOHON XVI, PEMOHON XVII, PEMOHON XVIII, PEMOHON XIX,
PEMOHON XX, PEMOHON XXI, PEMOHON XXII, DAN PEMOHON
XXIII. Namun kenyataannya, pembentuk Undang-Undang membentuk
UU 3/2022 dengan mengabaikan asas-asas sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 UU 12/2011.
Artinya dalam perkara a quo proses pembentukan UU 3/2022 telah
melanggar hak konstitusional PEMOHON XV s.d PEMOHON XXIII.
Berdasarkan uraian pada angka 16.10. tersebut di atas, maka
PEMOHON XV sampai dengan PEMOHON XXIII memiliki kedudukan
hukum karena telah memenuhi syarat untuk menjadi Pemohon
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021.
28

16.11. PEMOHON XXIV saat ini sedang menjabat sebagai ketua umum
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat, dibuktian dengan
Surat Keputusan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Nomor
121/KPTS/A/03/1443 H tentang Pengesahan Susunan Pengurus
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat Periode 2021-2022.
(Bukti P.39 – SK PB HMI).
Sebagai ketua umum HMI Cabang Jakarta Barat PEMOHON XXIV
memiliki tugas yakni memberikan kontribusi pemikiran/gagasan/konsep
baik secara lisan maupun tertulis terhadap persoalan yang ada di
lingkup Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, hingga pada tingkat
Nasional.
Terhadap Proses Pembentukan UU 3/2022, PEMOHON XXIV sebagai
ketua umum HMI Cabang Jakarta Barat sebagai pihak yang terdampak
apabila Ibu Kota Negara Pindah ke Kalimantan Timur, telah melakukan
kajian-kajian yang akan dijadikan sebagai usulan terhadap
pembentukan UU 3/2022. Hal tersebut dibuktikan dengan 3 kegiatan
yang diadakan oleh PEMOHON XXIV yakni:
- Pada tanggal 1 Februari 2022, Serial Diskusi Ibu Kota Negara
Nusantara, Episode ke-1, Tema: Menelaah Konstitusionalitas Otorita
IKN Nusantara, dengan Narasumber Dr. Thomas Umbupati, Direktur
Perbatasan Kementerian Dalam Negeri, dengan Penanggap
PEMOHON XXIV selaku Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Barat.
(Bukti P.40 – Flayer).
- Pada tanggal 7 Februari 2022, Serial Diskusi UU IKN Episode ke-2,
Tema: Analisa Ekonomi Politik Pemindahan Ibu Kota Negara
(Nusantara). Dengan Narasumber Faisal Basri, S.E., M.A. selaku
Pakar Ekonom Senior. (Bukti P.41 – Flayer).
- Pada tanggal 11 Februari 2022, Serial Diskusi UU IKN Episode ke-
3, Tema: Analisa Aspek Lingkungan Pemindahan Ibu Kota Negara
Nusantara. Dengan Narasumber Uli Artha Siagian Selaku Pengurus
WALHI. (Bukti P.42 – Flayer).
Namun karena RUU IKN telah disetujui bersama menjadi Undang-
Undang incasu UU 3/2022 pada tanggal 18 Januari 2022, sehingga
resume hasil kajian 3 Episode yang mereka lakukan di bulan Februari
29

2022 tersebut menjadi tidak terakomodir karena proses pembentukan


UU 3/2022 sangat cepat dan Partisipasi Publik hanya formalitas, tidak
memberikan kesempatan pada masyarakat yang terdampak in casu
Masyarakat Jakarta. Hal ini tentunya telah merugikan hak konstitusional
PEMOHON XXIV sebagaimana dijamin pada Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan uraian pada angka 16.11. tersebut di atas, maka
PEMOHON XXIV memiliki kedudukan hukum karena telah memenuhi
syarat untuk menjadi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4
ayat (2) PMK 2/2021.
17. Bahwa selain kerugian konstitusional PARA PEMOHON sebagaimana telah
diuraikan secara keseluruhan pada angka 16 (enam belas) tersebut di atas.
Menurut Mahkamah Konstitusi terdapat penentuan syarat yang harus dipenuhi
oleh pemohon dalam melakukan upaya Pengujian Formil suatu Undang-Undang
terhadap UUD 1945. Syarat tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, Paragraf [3.9], angka 1b, halaman 60-
63, Mahkamah menyatakan:
Meskipun ukuran tentang kepentingan dan kedudukan hukum Pemohon
yang menentukan ada tidaknya legal standing untuk mengajukan
permohonan tetap harus merujuk pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, akan
tetapi berbeda dengan uji materiil Undang-Undang, yang menitik beratkan
pada kerugian yang terjadi karena dirumuskannya substansi norma dalam
satu Undang-Undang merugikan hak konstitusional, maka dalam uji formil
kerugian konstitusional Pemohon harus dilihat dari kepercayaan dan
mandat yang diberikan kepada wakil sebagai fiduciary duty, yang harus
dilaksanakan secara itikad baik dan bertanggung jawab, dalam hubungan
mandate yang tidak terputus dengan dipilih dan dilantiknya anggota DPR
sebagai wakil rakyat pemilih. Kedaulatan rakyat dalam pembentukan
Undang-Undang (legislasi) tidaklah berpindah, setelah rakyat yang
berdaulat memilih wakil-wakilnya dan diberikan mandat untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut, melainkan setiap saat rakyat
pemilih berkepentingan untuk mengadakan pengawasan berdasarkan
mekanisme yang tersedia dalam UUD 1945. Perubahan ketiga UUD 1945
yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa “kedaulatan rakyat
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”.
Berfungsinya kekuasaan legislatif secara riil sebagaimana layaknya,
berdasar transfer atau perpindahan kedaulatan rakyat yang diserahkan
“rakyat yang berdaulat” pada wakil-wakilnya sebagai mandat berdasarkan
konsep kepercayaan (trust), menyebabkan anggota legislatif tersebut
memperoleh kekuasaan secara fiduciair (fiduciary power). Akan tetapi
pemberian mandat tersebut tetap saja tidak menggeser kekuasaan rakyat
sebagai the supreme power (the sovereign) yang melalui pengawasan
30

dalam pengujian, tetap dapat mengawasi mandat dalam legislasi yang


dihasilkan jika dibuat secara bertentangan dengan kepercayaan yang
diletakkan padanya karena kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi
sesungguhnya tidak pernah berpindah dengan terbentuknya institusi
perwakilan yang memuat mandat, melainkan tetap berada di tangan rakyat.
Oleh karenanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional setiap
warga yang telah memberikan hak pilih dalam pemilihan umum, yang
menghasilkan terpilihnya wakil rakyat di DPR, dipandang terjadi ketika wakil
rakyat secara kelembagaan tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan
secara fair, jujur, wajar dan bertanggung jawab. Tugas utama anggota DPR
adalah hadir di dalam rapat-rapat DPR untuk menyuarakan aspirasi
konstituennya serta mengambil keputusan dengan prosedur dan tata cara
yang fair dan jujur, sehingga Undang-Undang dan kebijakan lain yang
dibentuk, yang bukan merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan sungguh-
sungguh, yang harus mengikat warga negara secara keseluruhan termasuk
Pemohon a quo, pasti menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemberi
mandat. Ukuran fairness, kejujuran, kesungguhan, dan kepercayaan
tersebut dijalankan secara bertanggung jawab, adalah kehadiran yang
sungguh-sungguh dalam rapat DPR sehingga tidak merupakan hambatan
berkenaan dengan kuorum yang tidak terpenuhi, karena ketidaksungguhan
tersebut, serta menaati prosedur dan tata cara pengambilan keputusan
yang telah ditentukan.
Meskipun dikatakan bahwa kedudukan hukum (legal standing)
digantungkan pada kerugian konstitusional akibat berlakunya norma dalam
satu Undang-Undang, ukuran demikian dapat berbeda dalam uji materiil
dengan uji formil. Dalam uji formil, yang menyangkut tidak dilaksanakannya
mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam
mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu Undang-Undang
atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan yang
telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping
kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a
sampai dengan d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan uji formil, karena merasa
dirugikan secara konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat,
dengan mengambil keputusan tidak sesuai dengan mandat yang
diperolehnya secara fiduciair.

18. Bahwa artinya terhadap PEMOHON I sampai dengan PEMOHON XXIV


merupakan Warga Negara yang sudah memiliki hak dan yang telah
melaksanakan hak pilihnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dalam
pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019.

19. Bahwa PARA PEMOHON tidak bisa melampirkan alat bukti yang dapat
membuktikan bahwa PARA PEMOHON memberikan hak pilihnya pada Pemilu
2019 karena Aplikasi KPU RI yang bisa di install di Google Playstore, yang bisa
digunakan untuk membuktikan bahwa PARA PEMOHON memberikan hak
31

pilihnya di TPS, ternyata tidak dapat diakses (blank/laman kososng). Demikian


pula pada laman: https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019/pemilih/cari-pemilih
juga tidak dapat diakses (504 Gateway Time Out). Namun untuk bisa
membuktikan bahwa PARA PEMOHON telah memberikan hak pilihnya, PARA
PEMOHON masing-masing dapat menghadirkan saksi yang memberikan
kesaksian bahwa yang bersangkutan telah datang ke TPS untuk memberikan
suaranya dalam Pemilu 2019.
20. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK No.
27/PUU-VII/2009 pada angka 15 tersebut di atas, perlu kami jelaskan bahwa
dalam proses pembentukan UU 3/2022, Pembentuk Undang-Undang
menggunakan cara yang menunjukan pelaksanaan mandat yang diberikan
kepada wakil rakyat secara tidak terbuka, tidak fair, dan tidak jujur serta dengan
tidak bertanggung jawab, mengingat mereka yang membentuk UU 3/2022 tidak
memikirkan bagaimana nasib Negara apabila perpindahan IKN Nusantara
terhenti ditengah-tengah tahapan (5 tahapan) yang membutuhkan waktu sangat
Panjang incasu 2022 sampai dengan 2045.
21. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi, penekanan Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/209, di mana Mahkamah menyatakan,
tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung
jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu Undang-
Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan
yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping
kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai
dengan d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan uji formil, karena merasa dirugikan secara
konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat, dengan mengambil
keputusan tidak sesuai dengan mandat yang diperolehnya secara fiduciair.
Terlebih dalam perkara a quo keberlakuan UU 3/2022 berdampak langsung bagi
PARA PEMOHON.
22. Bahwa selain sebagaimana diuraikan di atas, MK dalam yurisprudensi
putusannya juga menyebutkan sejumlah persyaratan lain untuk menjadi
pemohon, ditegaskan oleh MK dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009,
“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar
pajak (tax payer, vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan
32

NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan


publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh
Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian, baik formil maupun materil, Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945”;
23. Bahwa pandangan MK mengenai syarat menjadi Pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tersebut di atas
telah diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 022/PUU-XII/2014, yang
menyebutkan bahwa “Warga masyarakat pembayar pajak (tax payers)
dipandang memiliki kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium ‘no taxation
without participation’ dan sebaliknya ‘no participation without tax’”. MK
mengungkapkan, “Setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak
konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang”. Sebagai
penegasan, dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK
Nomor 40/PUU-XVI/2018, kedudukan hukum sebagai pembayar pajak (tax
payer) perlu menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa
pelanggaran konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah
dalam kaitannya dengan status pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer);
24. Bahwa namun khusus untuk pengujian formil, Mahkamah dalam Putusan
Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, telah memberikan pedoman
tentang legal standing pemohon untuk mengajukan pengujian formil atas
pembentukan undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam putusan tersebut,
ukuran atau pedoman kedudukan hukum pemohon dalam pengujian formil
mempunyai karakteristik yang tidak sama dengan pengujian materiil. Oleh
karena itu, persyaratan legal standing yang telah ditetapkan oleh MK dalam
pengujian materiil tidak dapat diterapkan untuk pengujian formil. Putusan MK
tersebut menukilkan bahwa syarat legal standing dalam pengujian formil
undang-undang adalah Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang
langsung dengan undang-udang yang dimohonkan. Namun demikian, syarat
terpenuhinya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil
tersebut tidaklah sampai sekuat dengan adanya kepentingan dalam pengujian
materiil karena tentu saja akan menghambat para pencari keadilan (justitia
33

bellen), yaitu pemohon yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI,
termasuk PARA PEMOHON, untuk mengajukan pengujian secara formil.
25. Bahwa namun dalam Praktiknya pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Mahkamah menilai kedudukan hukum dan Kerugian Konstitusional Para
Pemohon secara spesifik, satu per satu, dinyatakan Pemohon I, Pemohon II
tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon Pengujian Formil UU
11/2020.
26. Bahwa oleh karenanya terhadap uraian Kerugian Konstitusional PARA
PEMOHON dalam perkara ini, dijelaskan secara rinci kerugian PARA
PEMOHON satu persatu, sebagaimana pada angka 15 tersebut diatas, adalah
bertujuan untuk memperkuat Kedudukan Hukum (Legal Standing) PARA
PEMOHON dalam Pengujian Formil ini, sehingga tetap memenuhi Syarat
sebagai Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 PMK 2/2021, selain
syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK RI;
27. Bahwa untuk memenuhi kualifikasi PARA PEMOHON dalam pengujian formil a
quo, PARA PEMOHON menerangkan bahwa Para Pemohon juga merupakan
pembayar pajak (tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Bahwa sebagai pembayar pajak, Para Pemohon sangat
berkepentingan dengan pengujian UU a quo mengingat Ibukota baru yang
dipindahkan melalui UU 3/2022 berkaitan langsung dengan pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah diprioritaskan
untuk penanganan Covid-19, yang salah satunya bersumber dari pajak yang
dibayarkan oleh PARA PEMOHON yang kemudian baik secara langsung
maupun tidak langung dialihkan atau sebagian diperuntukan untuk
pembangunan IKN Nusantara baru yang terletak di Kalimantan Timur. Dalam
hal ini, Pemohon merasa dirugikan karena pajak yang dibayarkan oleh PARA
PEMOHON selama ini telah digunakan dengan tidak bijak oleh pemerintah. oleh
karena itu PARA PEMOHON menuntut aturan hukum yang konstitusional,
sehingga anggaran yang berasal dari pajak PARA PEMOHON dapat dikelola
secara baik, transparan, dan tepat sasaran untuk mempercepat penanganan
pandemi Covid-19 sesuai dengan program prioritas pemerintah selama ini yaitu
percepatan penanganan covid 19 dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang
telah carut marut akibat covid 19.
34

28. Bahwa berdasarkan penjelasan PARA PEMOHON sebagaimana diuraikan


diatas, PARA PEMOHON telah secara spesifik menjelaskan kerugian
konstitusional atas hak konstitusional yang dilanggar oleh Proses Pembentukan
UU 3/2022 dan terhadap kerugian dimaksud menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi atau potensial namun pasti terjadi, sehingga
apabila UU 3/2022 dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan
peraturan perundang-undangan, maka dapat dipastikan kerugian konstitusional
yang dialami oleh PARA PEMOHON tidak akan terjadi dikemudian hari. Oleh
karenanya telah tampak adanya hubungan kausal (causal-verband) antara
kerugian konstitusional yang didalilkan dan berlakunya UU 3/2022.
29. Bahwa oleh karenanya, maka PARA PEMOHON memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang dalam perkara a
quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK RI beserta
Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana tertuang
dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

ALASAN PROVISI
Sebelum masuk kepada bagian Alasan Permohonan sebagai Pokok Permohonan
ini, perkenankanlah PARA PEMOHON memohon diberikannya Putusan Sela
(Provisi) terhadap perkara ini, dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pengujian Formil tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan
terhadap keberlakuan suatu undang-undang, berbeda dengan Pengujian
Materiil terhadap ketentuan norma suatu undang-undang. Demikian juga
urgensi permohonan Provisi dalam Pengujian Formil juga berbeda dengan
Pengujian Materiil.
2. Bahwa Pengujian Formil suatu Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi sejak
berdiri 2003 hingga saat ini, telah mengalami beberapa perubahan hukum acara
terhadap pengujian formil di Mahkamah Konstitusi, antara lain:
- Pertama, dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 telah diberikannya
tenggang waktu untuk dapat dilakukan pengujian formil terhadap suatu
undang-undang, yakni 45 (empat Puluh lima) hari sejak undang-undang
tersebut diundangkan.
35

- Kedua, dalam Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019 telah diberikan tenggang


waktu Mahkamah dalam Memutus Permohonan Pengujian Formil sebuah
undang-undang yakni paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak perkara
dicatat dalam Buku Perkara Registrasi Perkara Konstitusi).
- Ketiga, dalam Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019, untuk tujuan kepastian,
termasuk pertimbangan kondisi tertentu, Mahkamah dapat menjatuhkan
putusan sela sebagai bentuk tindakan prioritas dan dapat memisahkan
(split) proses pemeriksaan antara pengujian formil dan pengujian materiil
bilamana pemohon menggabungkan kedua pengujian tersebut dalam 1
(satu) permohonan termasuk dalam hal ini apabila Mahkamah memandang
perlu menunda pemberlakuan suatu undang-undang yang dimohonkan
pengujian formil.
3. Bahwa berdasarkan perkembangan hukum acara pengujian formil
sebagaimana telah ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diuraikan pada angka 1 (satu) tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa telah terbentuk suatu praktek ketatanegaraan dalam hukum
tata negara yang seharusnya mulai di terapkan, sebagai bentuk Good Will serta
Political Will Pemerintah dalam menjalankan Roda Pemerintahannya.
4. Bahwa adanya Masa Tunggu Konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang
yang harus diterapkan oleh Pemerintah terhadap suatu undang-undang setelah
diundangkan. Hal tersebut mendasarkan pada, adanya batas waktu 45 (empat
puluh lima) hari pengujian formil suatu undang-undang. Artinya apabila dalam
waktu 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak suatu undang-undang di
undangkan tidak terdapat adanya pengujian formil yang dilakukan oleh warga
negara dan/atau kelompok masyarakat dan/atau kesatuan masyarakat adat,
maka Undang-Undang tersebut barulah dapat dilaksanakan. Karena dianggap
secara konstitusionalitas Pembentukan undang-undang telah Konstitusional.
5. Bahwa namun apabila dalam tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari
terdapat permohonan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi, maka masa
tunggu 45 (empat puluh lima) hari tersebut diperpanjang yakni 60 (enam puluh)
hari kerja terhitung sejak perkara tersebut dicatat dalam Buku Registrasi
Perakra Konstitusi (BRPK). Mengingat adanya tenggang waktu 60 (enam puluh)
hari kerja bagi mahkamah untuk memutus terhitung sejak perkara dicatat dalam
BRPK.
36

6. Bahwa setelah Mahkamah Konstitusi memberikan putusan terhadap pengujian


formil suatu udang-undang tersebut dalam tenggang waktu 60 (enam puluh)
hari kerja, barulah undang-undang itu dapat dilaksanakan apabila dalam dalam
Putusannya, Mahkamah menyatakan pembentukan undang-undang tersebut
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila Mahkamah menyatakan
pembentukan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka negara tidak harus
mengalami kerugian yang signifikan karena belum ada pelaksanaan apapun
terhadap undang-undang tersebut.
7. Bahwa masa tunggu konstitusionalitas formal suatu undang-undang tersebut
menjadi sangat penting selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk
menghindari terjadinya dampak negatif yang lebih besar yang ditimbulkan
pasca Putusan Pengujian Formil oleh Mahkamah Konstitusi, serta untuk
meminimalisir terjadinya Pembangkangan terhadap Konstitusi yang dilakukan
oleh Pemerintah.
8. Bahwa sebagai contoh terjadinya Pembangkangan Konstitusi akibat tidak
ditundanya pelaksanaan Undang-Undang yang diuji formil di Mahkamah
Konstitusi:
- Terhadap pengujian formil UU 11/2020 tentang cipta Kerja melalui Putusan
Nomor 91/PUU-XIX/2020 yang akhirnya menimbulkan dampak yang lebih
besar dimana secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional
sampai diperbaikinya proses pembentukan UU 11/2020 selama paling lama
2 (dua) tahun dan Mahakamh telah memberikan syarat agar segala
pelakasanaan terhadap UU 11/2020 ditunda, dan tidak dapat dikeluarkan
peraturan-peraturan baru yang berdasarkan pada UU 11/2020. Namun
dalam prakteknya pemerintah tetap melaksanakan proyek-proyek strategis
yang tidak jarang menimbulkan konflik incasu pembangunan waduk di
Wadas, Purworejo Jawa Tengah. Bahkan Pemerintah juga menerbitkan
peraturan pelaksana baru yang berdasarkan pada UU 11/2020 seperti,
pada tanggal 27 Desember 2021, Presiden menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan
Badan Bank Tanah. Selain itu juga Pada tanggal 21 Desember 2021
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
68 Tahun 2021 tentang tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
37

91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja, dimana pada dictum Kesatu, huruf b, menyatakan:
Gubernur dan Bupati/Walikota: b. segera melakukan perubahan,
pencabutan atau melakukan penyusunan baru Peraturan Daerah (Perda)
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan/atau
Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai tindak lanjut UU No. 11 Tahun
2020 tentang Cipta kerja berserta peraturan pelaksananya yang telah
diundangkan/ditetapkan;
- Bahkan terhadap keberlakuan Norma atas UU 11/2020 pasca Putusan
Nomor 91/PUU-XVIII/2020 juga telah ditegaskan dalam Putusan MK Nomor
103/PUU-XVIII/2020, dan terakhir dalam Putusan Nomor 64/PUU-XX/2021
di mana Mahkamah telah menegaskan: “…, secara formil UU 11/2020 telah
dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal
tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang
waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa
perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil
tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan
substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi,
dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk
menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan
pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah
permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian
disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020, bertanggal 25 November
2021.” [vide Paragraf [3/11], hal.105-106).
- Namun praktiknya karena peraturan pelaksana UU 11/2020 sudah terlanjur
diundangkan, sehingga Pemerintah tetap saja melaksanakan UU 11/2020
pada semua cluster. Hal ini tentunya bentuk nyata pembangkangan
terhadap Konstitusi dan telah melanggar Hak Konstitusional Warga Negara
terkhusus para Pemohon dalam UU 11/2020.
38

9. Bahwa terhadap praktik ketatanegaraan yang menunjukkan semakin


mengarahnya pemerintahan kepada otoriterianisme inilah yang menjadi tugas
penting Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan perannya sebagai “The
Guardian of Constitution”, dan sebagai “The Protector of Citizen’s Constitutional
Rights”. Maka terhadap setiap Pengujian Formil, Mahkamah Konstitusi haruslah
memberikan Putusan Sela yakni memerintahkan kepada Pemerintah untuk
menunda pelaksaan terhadap suatu Undang-Undang yang sedang diuji formil
di Mahkamah Konstitusi, serta tidak menerbitkan peraturan pelaksana terhadap
undang-undan yang sedang dilakukan uji formil, sampai Mahkamah Konstitusi
memberikan Putusan.
10. Bahwa artinya selama masa persidangan yakni 60 (enam puluh) hari kerja
terhitung sejak perkara pengujian formil dicatatkan dalam BRPK, Pemerintah
menunda segala tindakan/kebijakan serta menunda diterbitkannya segala
peraturan perundang-undangan, sampai Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan terhadap pembentukan undang-undang apakah bertentangan dengan
UUD 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau
menyatakan pembentukan suatu undang-undang tidak bertentangan dengan
UUD 1945 oleh karenanya tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
11. Bahwa terhadap Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, permohonan Pengujian
formil UU 3/2020 dicatatkan dalam BRPK pada tanggal 23 Februari 2022, Pkl.
13.00 WIB, artinya 60 (enam puluh) hari kerja Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan yakni pada tanggal 2 Juni 2022 (apabila ada libur/cuti
bersama 7 hari termasuk hari raya idul fitri).
12. Bahwa namun lamanya penetapan jadwal sidang terhadap perakra ini yakni dari
di daftarkan pada tanggal 2 Februari 2022, kemudian baru dicatatkan ke dalam
BRPK pada tanggal 23 Februari 2022, dan baru disidangkan pada tanggal 16
Maret 2022 dengan agenda sidang pendahuluan.
13. Bahwa saat PARA PEMOHON mendaftarkan Permohonan Pengujian Formil
UU 3/2022 ke Mahkmah Konstitusi dengan banyaknya media massa yang
meliput, informasi adanya pendaftaran permohonan uji formil UU 3/2022 telah
diketahui oleh Pemerintah, hal tersebut dapat dibuktikan dengan terdapat
beberapa pernyataan yang mewakili Pemerintah termasuk Presiden, di
antaranya dapat dilihat dari beberapa berita di bawah ini:
39

- Kepala Bappenas Respon Rencana Gugatan IKN ke MK


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220202131148-32-
754042/kepala-bappenas-respons-rencana-gugatan-uu-ikn-ke-mk
- UU IKN Jokowi digugat, Istana: Show must go on
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220204124904-4-312886/uu-ikn-
jokowi-digugat-istana-show-must-go-on

14. Bahwa bahkan setelah mengetahui adanya proses pengujian formil UU 3/2022
ke Mahkamah Konstitusi, Presiden malah menginstruksikan untuk
mempercepat pelaksanaan proses pembangunan IKN termasuk mempercepat
penyelesaian penerbitan aturan turunan (Peraturan Pelaksana) UU 3/2022,
serta mempercepat penuntasan status tanah di IKN Nusantara, segala instruksi
tersebut termuat dalam berita-berita online sebagai berikut:
- Jokowi: Kalau Bisa Aturan UU IKN Maret ini Selesai
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/10/19380281/jokowi-kalau-
bisa-aturan-turunan-uu-ikn-maret-ini-selesai?page=all
- Jokowi Minta Aturan Turunan IKN Selesai Maret ini
https://nasional.sindonews.com/read/708915/12/jokowi-minta-aturan-
turunan-uu-ikn-selesai-maret-ini-1646913837
- Jokowi Minta Percepat Pembangunan IKN karena menarik investor lokal
dan asing
https://www.liputan6.com/news/read/4908324/jokowi-minta-percepat-
pembangunan-ikn-karena-menarik-investor-lokal-dan-asing
- Gercep, Jokowi Perintahkan BPN Tuntaskan Status Tanah di IKN
Nusantara
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/gercep-
jokowi-perintahkan-bpn-tuntaskan-status-tanah-di-ikn-nusantara

15. Bahwa artinya tindakan Pemerintah yang terkesan mengabaikan adanya


pengujian formil menandakan tidak belajar dari pengalaman UU 11/2020 yang
telah menimbulkan dampak yang lebih besar terutama terhadap kepastian
hukum serta pembangkangan terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-
XVIII/2020. Hal ini tentunya merupakan praktik yang buruk di dalam suatu
negara hukum.

16. Berdasarkan uraian alasan permohonan provisi tersebut diatas dan untuk
menghindari terjadinya dampak yang lebih besar, dan agar tetap terwujudnya
perlindungan atas kepastian hukum serta terhadap hak-hak PARA PEMOHON
yang dilanggar dalam Pembentukan UU 3/2022, maka PARA PEMOHON
meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan kepada
40

Pemerintah untuk menunda segala tindakan/kebijakan dan menunda


penerbitan segala aturan turunan in casu Peraturan Pelaksana UU 3/2022.

ALASAN POKOK PERMOHONAN

Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1


ayat (3) UUD 1945, sebagaimana prinsip negara hukum, haruslah ada tertib hukum
terhadap pengaturan hukum incasu pembentukan undang-undang sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 22A UUD 1945. Artinya Pembentukan Undang-Undang
yang melanggar UU 12/2011 adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Pengujian Formil UU 3/2022 yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang sebagaimana diatur UU 12/2011 sebagai amanat Pasal 22A
UUD 1945 yang menyatakan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Maka tolok ukur
pengujian formil lebih di titik beratkan pada UU 12/2011.
Dasar konstitusional atas tolok ukur atau batu uji UU 12/2011 mengacu pada
Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 sebagaimana telah diuraikan pada angka 6
(enam) bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa UU 12/2011
dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam
pengujian formil. Hal ini tentunya harus menjadi pijakan yang konsisten bagi
Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus Pengujian Formil
UU 3/2022.
Oleh karenanya terhadap pengujian formil dalam Perkara a quo tolok ukur atau
batu uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

UUD 1945

Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan:


Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945

Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan:


Negara Indonesia adalah Negara Hukum

Pasal 22A, yang menyatakan:


“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang”
41

Pasal 27 ayat (1)


“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”
Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”

UU 12/2011

Pasal 5 huruf a, huruf c, huruf e, dan huruf g, yang menyatakan:


Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan

Terhadap pembentukan UU 3/2022 yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan


undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011, dengan alasan-alasan
sebagai berikut:

A. Konsep dan Pengaturan Pengujian Formil

1. Bahwa dalam konteks pengujian formil Jimly Asshiddiqie berpendapat:

“Pengujian formil itu dilakukan sebagai kontrol dari demokrasi, oleh


karenanya pengujian formil lebih tajam efektivitasnya dalam mengawal,
mengontrol, dan mengimbangi kekuatan demokrasi. Jadi demokrasi itu
selalu mengandalkan jumlah suara, maka putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi mengutamakan kualitas keadilan konstitusional, kualitas
kebenaran konstitusional, untuk mengimbangi demokrasi majoritarian,
karena mayoritas suara belum tentu benar dan adil, keadilan itu
pengimbangan dari mayoritas suara itu sendiri. Oleh karenanya
pengujian formil ini soal yang sangat serius di dalam memfungsikan
mekanisme chack and balances, serta mekanisme kontrol terhadap
demokrasi. Demokrasi atas dasar kesepakatan mayoritas belum tentu
cermin dari kebenaran dan keadilan konstitusional (constitutioanl truth
and constitustional justice) maka putusan Makhakamh Konstitusi
mengawalnya, karena itu pengujian formil ini penting sekali” (Vide
kuliah umum
https://www.youtube.com/watch?v=rZrKhOtOC3U&t=181s).
42

2. Bahwa jika objek dari pengujian formil dikaji dari sebuah undang-undang, menurut
Jimly Asshiddiqie, “tidak lain adalah pengujian mengenai apa saja, selain
pengujian materil. Pokoknya, di luar pengertian yang tercakup dalam pengujian
atas materil undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang semuanya dapat dipandang sebagai pengujian formil” (Jimly
Asshiddiqie, 2020: 103). Bahwa atas pengertian ini persoalan pengujian formil dari
sebuah undang-undang memiliki cakupuan yang cukup luas dan beragam
sehingga dapat dikupas dari berbagai lini secara prinsip, teori dan normatif.
3. Bahwa Jimly Asshiddiqie kemudian menguraikan kategori objek pengujian yang
bukan berkenaan dengan materi muatan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan. (Jimly Asshiddiqie, 2020: 103) dengan kata lain dapat
dikatakan yang dapat di persoalkan secara formil yaitu:
1) Bentuk hukum peraturan (form);
2) Format susunan peraturan (format);
3) Keberwenangan lembaga yang terlibat; dan
4) Proses-proses yang terjadi dalam setiap tahapan pembentukan hukum
mulai dari perancangan, pembahasan, pengesahan materil dan formil,
hingga ke tahap pengundangan, yaitu:
• Penelitian naskah akademik, dan peracangan peraturan;
• Pengusulan dan pembahasan bersama;
• Persetujuan bersama dan pengesahan materil;
• Pengesahan formil dan pengundangan.

Selain berbagai hal di atas, Jimly Asshiddiqie juga menegaskan bahwa


terdapat beberapa proses lanjutan yang perlu dipandu pelaksanaannya
berdasarkan hukum yaitu penerbitan dan penyebarluasan naskah
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat untuk umum itu
dalam lalu lintas hukum dalam praktik ditengah-tengah dinamika kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. (Jimly Asshiddiqie, 2020: 104)

4. Bahwa tidak hanya berhenti pada UUP3, penilaian terhadap keabsahan formil
undang-undang juga dapat merujuk peraturan perundang-undangan lainya yang
berkaitan dengan pembentukan undang-undang, misalnya Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib, hal tersebut sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 51A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa
permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh
43

Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang


mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”.
5. Bahwa selain ketentuan Pasal 22A UUD NRI 1945 yang menjadi dasar pijakan
untuk menilai prosedur formil dan tertib pembentukan undang-undang, maka
terdapat sejumlah pasal dalam konstitusi yang memiliki relevansi dalam menilai
prosedur formil dan tertib pembentukan yaitu. Pertama, Pasal 1 ayat (2): perihal
Kedaulatan Rakyat. Kedua, Pasal 1 ayat (3): perihal Negara Hukum. Ketiga, Pasal
5 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 22D ayat (1): Prakarsa Pengajuan RUU. Keempat,
Pasal 20 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 22D ayat (2): Pembahasan dan Persetujuan
mutual approval presiden dan DPR atas RUU. Kelima, Pasal 20 ayat (4):
Pengesahan. Keenam, Pasal 20 ayat (5): Pengundangan.
6. Bahwa kendati konstitusi tidak benar-benar secara rinci mengatur mekanisme
formil atau tertib pembentukan undang-undang, namun berbagai norma yang
terkandung dalam pasal-pasal konstitusi di atas dapat digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam menegakkan prinsip konstitusi pembentukan undang-undang
atau konstitusionalitas pembentukannya (Due Process of Law Making).
7. Bahwa kriteria untuk menilai pengujian formil atas sebuah undang-undang dapat
berdasarkan terhadap sejumlah norma di bawah ini:

NORMA HUKUM POSITIF MATERI


Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
UUD 1945 dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar
Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara
UUD 1945 hukum
Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 dan Prakarsa Pengajuan RUU
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945
Pasal 20 ayat (2), (3), Pembahasan dan Persetujuan
dan Pasal 22D ayat (2) Presiden dan DPR atas RUU
UUD 1945
Pasal 20 ayat (4) Pengesahan
UUD 1945
Pasal 20 ayat (5) Pengundangan
UUD 1945
Pasal 22A Prosedur pembentukan
UUD 1945
UU No 12 Tahun 2011 tentang Dasar hukum untuk pembentukan
Pembentukan Peraturan peraturan perundang-undangan yang
44

Perundang-undangan dan dilaksanakan dengan cara dan metode


perubahanya dalam UU yang pasti, baku, dan standar yang
Nomor 15 Tahun 2019 mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan (Vide
konsiderans menimbang huruf b)
Pasal 51A ayat (3) UU Nomor Mekanisme permohonan pengujian
8 Tahun 2011 Tentang formil, yang didasarkan pada peraturan
Perubahan Atas UU Nomor 24 perundang-undangan yang mengatur
Tahun 2003 Tentang tata cara pembentukan peraturan
Mahkamah Konstitusi perundang-undangan.
Peraturan Presiden Nomor 87 Peraturan Pelaksana UU 12/2011 yang
Tahun 2014 tentang Peraturan lebih rinci
Pelaksanaan UUP3
Peraturan DPR Nomor 2 tahun Tatib yang mengatur susunan dan
2018 Tentang Tata Tertib kedudukan, hak dan kewajiban, serta
(Pertatib) pelaksanaan fungsi, wewenang, dan
tugas DPR beserta alat
kelengkapannya

8. Bahwa berdasarkan konsep dan pengaturan pengujian formil sebagaimana


diuraikan di atas serta dikorelasikan dengan konteks pengujian formil UU 3/2022,
maka pokok permohonan pengujian formil yang akan didalilkan serta dibuktikan
ialah dalam kerangka. Pertama, sebagai fungsi kontrol masyarakat kepada
pembentuk undang-undang. Kedua, mempersoalkan Proses-proses yang terjadi
dalam setiap tahapan pembentukan. Ketiga, pemohon dalam mendalilkan
persoalan formil UU 3/2022 tidak hanya mengacu pada Pasal 22A UUD 1945,
namun turut mengelaborasinya dengan ketentuan normatif lainya yang dapat
membuktikan adanya persoalan formil UU 3/2022.
9. Bahwa berdasarkan tiga pokok uraian pemohon, maka akan diuraikan secara
khusus masalah formil UU 3/2022 sebagai dalam poin-poin di bawah ini.

B. UU 3/2022 Bertentangan dengan Asas-Asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

1. Bahwa Menguji Formil suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan


suatu bentuk kontrol terhadap adanya potensi kesewenang-wenangan yang
digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang yang memiliki beragam kepentingan
45

“tertentu” yang akhirnya seringkali mengabaikan/mengeyampingkan prosedur


pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
2. Bahwa ruang lingkup pembentukan undang-undang tidak hanya persoalan proses
teknis dalam membentuk UU, namun juga termasuk adanya pelanggaran asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 UU 12/2011, yang berifat kumulatif bukan alternatif, artinya terhadap
kesemua asas pembentukan peraturan perundang-undangan harus terpenuhi.
Satu saja asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
terpenuhi maka sudah cukup untuk menyatakan bahwa pembentukan Suatu UU
tersebut adalah cacat formil. Adanya pelanggaran Asas-Asas Pembentukan
Undang-Undang yang meyakinkan Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan suatu
undang-undang Inkonstitusional (cacat formil) dapat dilihat pada Putusan 91/PUU-
XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU 11/2020.
3. Bahwa sebelum menguraikan lebih lanjut alasan Permohonan UU 3/2022
bertentangan dengan Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, perlu kami jelaskan bahwa untuk dapat
membuktikan adanya pertentangan terhadap asas-asas dalam Pembentukan
Peraturan perundang-undangan maka perlu diuraikan ketentuan noma pasal-
pasal yang membuktikan serta menunjukkan pelanggaran atas asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Sehingga bukan berarti bahwa uraian tersebut
merupakan bentuk uraian sebagaimana dalam pengujian Materiil suatu Undang-
Undang, namun tetap dalam konteks pengujian Formil.
4. Bahwa jika mengacu pada Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 pada Paragraf
[3.5], yang pada pokoknya mahkamah mempertimbangkan, meskipun terdapat
cacat prosedural dalam pembentukan Undang-Undang a quo, namun secara
materiil Undang-Undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum. Apabila
Undang-Undang a quo yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang
tidak lebih baik. Atas pertimbangan tersebut dan demi asas manfaat untuk
tercapainya tujuan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian tersebut tidak perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang
yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; artinya Undang-Undang a quo
tetap mempunyai kekuatan hukum berlaku;
46

5. Bahwa Untuk meyakinkan Mahkamah agar tidak menggunakan pertimbangan


hukum sebagaimana dituangkan dalam Paragraf [3.5], Putusan No. 27/PUU-
VII/2009. Maka penting bagi kami untuk menguraikan alasan-alasan dalam
Permohonan untuk memberikan keyakinan kepada Mahkamah bahwa UU 3/2022
cacat secara formil, juga bermasalah secara materiil. Artinya tidak ada alasan
untuk tetap mempertahankan Keberlakuan UU 3/2020
6. Bahwa uraian terhadap pembentukan UU 3/2022 yang secara nyata dan terang
benderang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
adalah sebagaai berikut:
a. Bertentangan dengan Asas Kejelasan Tujuan

1. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 yang


dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan’ adalah bahwa setiap
pembentukan Peraturan perundangundangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
2. Bahwa dalam Pembentukan UU 3/2022 tidak disusun dan dibentuk
dengan perencanaan yang berkesinambungan. Mulai dari dokumen
perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan
keuangan negara dan pelaksanaan pembangunan.
3. Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan salah satu cara untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan maka dalam sistem
hukum nasional Indonesia terdapat dokumen perencanaan di level pusat-
daerah yang secara normatif dibagi atas:

NASIONAL DAERAH
Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka
Jangka Panjang Nasional Panjang Daerah
Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka
Jangka Menengah Nasional Menengah Daerah
Rencana Strategis Rencana Strategis Satuan Kerja
Kementerian/ Lembaga Perangkat Daerah
Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Rencana Kerja Rencana Kerja Satuan Kerja
Kementerian/ Lembaga Perangkat Daerah

4. Bahwa dokumen perencanaan di level pusat-daerah sebagaimana


dimaksud diatas merupakan sistem yang telah dirumuskan dalam bentuk
47

undang-undang yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun


2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
5. Bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara
negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
6. Bahwa keberadaan UU 12/2011 sebagai pelaksana Pasal 22A UUD 1945
memuat sistem perencanaan regulasi di level pusat-daerah dalam bentuk
(prolegnas dan propemperda) sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena
tetap perlu di harmonisasi-singkronisasi dengan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, sistem pembentukan peraturan
perundang-undangan dan sistem perencanaan pembangunan nasional
adalah dua dokumen yang berkaitan dengan perencanaan yang perlu
disusun/dibentuk dan dilaksanakan dengan cara yang terukur oleh
pemerintah (Presiden-DPR).
7. Bahwa keberadaan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang-Rencana
Pembangunan Jangka Menengah memiliki nilai konstitusionalitas karena
sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan
dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 yang tertuang dalam
alinea keempat pembukaan.
8. Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang adalah dokumen
perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
9. Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.
10. Bahwa secara normatif Rencana Pembangunan Jangka Panjang saat ini
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
11. Bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terpilih melalui
pemilihan umum tahun 2014 (periode pertama 2014 -2019) dan tahun
2019 (periode kedua 2019-2024) telah dua kali merumuskan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah yang tertuang dalam:
48

a. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019;
b. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
12. Bahwa sebagai dokumen perencanaan yang memiliki nilai
konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 ternyata belum
merumuskan perencanaan pembanggunan Ibu Kota Negara (IKN).
13. Bahwa Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025 dalam
lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tidak merumuskan
secara eksplisit dan implisit untuk membentuk IKN yang baru.
14. Bahwa dalam Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka
Panjang Tahun 2005–2025 lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007 tidak ditemukan dasar perencanaan untuk memindahkan IKN. Arah,
Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–
2025 diarahkan pada 8 hal pokok yang semuanya telah dirumuskan yaitu:
a. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab;
b. Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai
masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera;
c. Terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan
berkeadilan;
d. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta
terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun
luar negeri;
e. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan;
f. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari;
g. Terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri,
maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;
h. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan
dunia internasional.
15. Bahwa Pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode pertama (2014 -
2019) dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 tidak
49

merumuskan perencanaan perpindahan IKN baru untuk menggantikan


Jakarta.
16. Bahwa dalam Buku I, Buku II, Buku III, Buku IV dan Buku V sebagai
lampiran dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tidak pernah
merumuskan perencanaan pemindahan IKN.
17. Bahwa secara tiba-tiba rencana perpindahan IKN muncul dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
18. Bahwa perencanaan perpindahan IKN yang dituangkan dalam Lampiran
I dan II Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 muncul tanpa melalui
proses perencanaan yang berkesinambungan dengan dokumen
perencanaan yang ada dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015.
Hal ini menggambarkan minimnya kesinambungan pada dua dokumen
perencanaan program yang disusun oleh pemerintah.
19. Bahwa terdapat perbedaan tahapan dan perencanaan dari pembentukan
IKN yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020,
dengan praktik pembentukan IKN.
20. Bahwa jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020
tahapan dan perencanaan pembentukan IKN adalah sebagai berikut:

21. Bahwa secara faktual tahapan dan perencanaan sebagaiamana diatur


dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 di atas, dipraktikan
50

berbeda kerangka regulasi yang diharapkan terbentuk 2020 ternyata


disusun dengan tahapan yang berbeda sebagai berikut:
a. Tanggal 3 November 2021 Rapat Bamus Penugasan membahas
RUU tentang IKN kepada Pansus;
b. Tanggal 7 Desember 2021:
1) Pendahuluan: Rapat Pansus RUU tentang IKN (Rapat Intern)
dengan Agenda membahas Rancangan Jadwal Acara dan
Mekanisme Pembahasan RUU tentang IKN;
2) Pendahuluan: Rapat Pansus RUU tentang IKN (Rapat Intern)
dengan Agenda Pemilihan dan Penetapan Pimpinan Pansus
RUU tentang IKN;
3) Pendahuluan: Rapat Paripurna Penetapan Anggota Pansus RUU
tentang IKN;
4) Pembicaraan Tingkat I: Rapat Kerja Pansus RUU tentang IKN
dengan Pemerintah dan DPD RI. Pengesahan Rancangan
Jadwal Acara dan Mekanisme Pembahasan RUU tentang IKN

c. Tanggal 8 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Dengar


Pendapat Umum Pansus RUU tentang IKN dengan Pakar (5 orang
Pakar) 1. Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara) 2. Dr.
Hendricus Andy Simarmata (perspektif hukum lingkungan) 3.
Wicaksono Sarosa (perspektif hukum lingkungan) 4. Dr. Asep Sofyan
(perspektif lingkungan) 5. Dr. Nurkholis (perspektif ilmu ekonomi).

d. Tanggal 9 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Dengar


Pendapat Umum Pansus RUU tentang IKN dengan Pakar (5 orang
Pakar) 1. Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan) 2. Anggito
Abimanyu (Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan) 3.
Erasmus Cahyadi Terre (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) 4. Dr.
Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi dan Governance) 5. Avianto Amri
(Masyarakat Peduli Bencana Indonesia).

e. Tanggal 10 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Dengar


Pendapat Umum Pansus RUU tentang IKN dengan Pakar (5 orang
Pakar) 1. Robert Endi Jaweng (ex KPPOD), perspektif Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual
51

2. Dr. Master P. Tumangor, perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan


dan Pengalihan Aset Pansus B 3. Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ
Hasanuddin Perspektif Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual 4. M.
Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi) Pansus B 5. Suharyono, IMPI
(Audiensi) Virtual.

f. Tanggal 11 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Dengar


Pendapat Umum Pansus RUU tentang IKN dengan Pakar (4 orang
Pakar) 1. Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN
dalam peespektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual 2. Dr. Chazali H.
Situmorang Pakar Kebijakan Publik Unas IKN dalam perspektif
Kebijakan Publik Hadir 3. Dr. Aminuddin Kasim, SH.MH Pakar HTN
Univ Tadulako Sulteng IKN perspektif Kelembagaan Negara Virtual
4. Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset
Keamanan Si dan dan Komunikasi CISSReC (Communication and
Information System Security Research Center Virtual

g. Tanggal 12 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Dengar


Pendapat Umum Pansus RUU tentang IKN dengan Pakar (7 orang
Pakar) 1. Prof. Maria S.W. Soemardjono SH, MCL., MPA Pakar
Hukum Pertanahan UGM IKN dalam perspektif Hukum Pertanahan
Virtual 2. Ananda B. Kusuma Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN
dalam perspektif sejarah ketatamegaraan Virtual 3. Dr. Yayat
Supriatna Pakar Tata Ruang Univ Trisakti IKN dalam perspektif Tata
Ruang, Tata Kota dan Tata Bangunan Hadir 4. Dr. Arief Anshory
Yusuf Pakar Ekonomi Perspektif Ilmu Ekonomi Hadir/Virtual 5. Prof
Haryo Winarso Pakar Planologi ITB IKN dalam perspektif
Perencanaan Kota dan Wilayah Virtual 6. Siti Jamaliah Lubis
Presiden Kongres Advokat Indonesia 7. Juniver Girsang Ketua
perhimpunan Advokat Indonesia -Suara Advokat Indonesia (Peradi
SAI).

h. Tanggal 13 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I


1) Rapat Kerja Pansus RUU tentang IKN dengan agenda
Persetujuan dan Penetapan Pimpinan dan Anggota Panja RUU
52

tentang IKN serta pembahasan atas jumlah DIM dan DIM yang
bersifat tetap;
2) Rapat Pansus RUU tentang IKN (Rapat Intern) dengan Agenda
Penetapan Pimpinan dan Anggota Panja RUU tentang IKN;
3) Rapat Panja RUU tentang IKN dengan agenda Pembahasan DIM
RUU.

i. Tanggal 14 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Panja


RUU tentang IKN dengan agenda Pembahasan DIM RUU.

j. Tanggal 15 Desember 2021: Pembicaraan Tingkat I Rapat Panja


RUU tentang IKN dengan agenda Pembahasan DIM RUU.

k. 18 Januari 2022 UU 3/2022 disahkan Pemerintah dan DPR.

22. Bahwa secara faktual kerangka hukum IKN ternyata tidak terbentuk di
tahun 2020, melainkan terbentuk ditahun 2022. Terlambat 2 tahun dari
rencana yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2020.
23. Bahwa jika mengacu pada perecanaan IKN tahun 2020 yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020, maka ada empat tahapan
yaitu:
a. Perencanaan IKN;
b. Penyusunan Matek RTR KSN IKN, RDTR Pusat Pemerintahan IKN,
RDTR Pusat Ekonomi IKN;
c. Penyiapan Kerangka Regulasi dan Kebijakan serta Lembaga
Pelaksana;
d. Perencanaan Teknis.
Namun dari empat tahapan tersebut tidak semuanya dapat diselesaikan
ditahun 2020. Rancangan undang-undang saja baru diselesaikan di tahun
2022.
24. Bahwa oleh karena adanya perbedaan tahapan dan perencanaan dari
pembentukan IKN yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18
Tahun 2020, dengan praktik pembentukan IKN yang bermula dari adanya
keterlambatan pelaksanaan dari tahun 2020, maka perencanaan untuk
tahun 2021, 2022, 2023, dan 2024 yang diatur dalam Peraturan Presiden
53

Nomor 18 Tahun 2020 mengalami pergeseran waktu dalam tataran


implementasi.
25. Bahwa perencanaan pembentukan IKN yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2020, yang kemudian merinci tahapanya yang
dimulai sejak tahun 2020, 2021, 2022, 2023 dan 2024 ternyata tidak
ditemukan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022. Hal ini
bertentangan dengan konsep perencanaan yang baik dalam pengelolaan
keuangan negara dimana perlu adanya kesesuaian antara dokumen
perencanaan pembangunan dan dokumen perencanaan keuangan.
26. Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa
pembentukan UU 3/2022 tidak disusun dan dibentuk dengan
perencanaan yang berkesinambungan yaitu mulai dari dokumen
perencanaan pembagunan, perencanaan regulasi, perencanaan
keuangan negara dan pelaksanaan pembagunannya. Dengan demikian
dapatlah dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya
bertentangan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

b. Bertentangan dengan Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan


Materi Muatan
1. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang
dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan.
2. Bahwa UU 3/2022 dalam Pembentukan tidak benar-benar
memperhatikan materi muatan. Karena banyak mendelegasikan materi
yang berkaitan dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana.
3. Bahwa dari 44 (empat puluh empat) Pasal di UU 3/2022, terdapat 13 (tiga
belas) perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan
pelaksana.
54

4. Bahwa UU 3/2022 tidak secara detail mengatur mengenai administrasi


pemerintahan IKN dan UU 3/2022 masih sangat bersifat makro dalam
mengatur hal-hal tentang IKN.
5. Bahwa dari 13 materi yang didelegasikan kepada peraturan pelaksana
rincianya adalah:
a. 6 perintah kepada Peraturan Pemerintah;
b. 6 perintah kepada Peraturan Presiden;
c. 1 perintah kepada Peraturan Kepala Otorita Nusantara.
6. Bahwa ke 13 materi yang didelegasikan di antaranya berkaitan dengan:
a. Rencana Induk;
b. Struktur Organisasi;
c. Wewenang Otorita IKN;
d. Pembagian wilayah;
e. Proses Perpindahan Lembaga Negara dan ASN;
f. Pendanaan.
7. Bahwa ragam materi yang didelegasikan dalam 13 perintah
pendelegasian dalam UU 3/2022 diatas seharusnya menjadi materi
muatan yang diatur dalam level undang-undang, karena bersifatnya yang
strategis.
8. Bahwa Rencana Induk merupakan materi yang harusnya diatur dalam
level undang-undang.
9. Bahwa struktur organisasi merupakan materi muatan yang diatur dalam
level undang-undang karena berkaitan dengan kelembagaan.
10. Bahwa wewenang ororita harusnya diatur lebih detail dalam undang-
undang, tidak kemudian didelegasikan dalam peraturan pelaksana.
11. Bahwa pembagian wilayah adalah materi yang harusnya dirinci dalam
undang-undang. Tidak kemudian dirumuskan dalam peraturan
pelaksana.
12. Bahwa proses perpindahan lembaga negara dan ASN merupakan materi
yang sangat strategis. Oleh karenanya harus diatur dalam level undang-
undang.
55

13. Bahwa pendanaan merupakan hal yang pokok dan isu strategis dalam
proses pemindahan IKN. Oleh karenanya harusnya diatur dalam level
undang-undang, bukan dalam level peraturan pelaksana undang-undang.
14. Bahwa berdasarkan dalil-dalil pemohon dapat disimpulkan UU 3/2022
bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, karena. Karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan
dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana. Dengan demikian dapatlah
dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya bertentangan
dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011.

c. Bertentangan dengan Asas Dapat Dilaksanakan


1. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 5 huruf d UU 12/2011 yang
dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
pembentukan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis maupun yuridis.
2. Bahwa Pembentukan UU 3/2022 dalam pembentukannya tidak
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
3. Bahwa secara filosofis keberadaan IKN memiliki fungsi dan peran yang
penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatuan Reapublik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Apabila dilihat
secara konstitusional IKN dirujuk dalam konstitusi UUD 1945 yaitu dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 23G ayat (1) yang berkaitan dengan kedudukan
lembaga negara.
4. Bahwa oleh karena IKN merupakan materi yang disebutkan dalam UUD
1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan IKN mestinya
dirumuskan secara komprehensif dan holistik.
5. Bahwa dalam kenyataanya kebijakan untuk melakukan pemindahan IKN
ke Kalimantan Timur belum melalui kajian yang mendalam serta belum
melibatkan pihak yang luas. Oleh karenanya kebijakan ini bertentangan
56

dengan falsafah IKN sebagai sebuah tempat penyelenggaraan


pemerintahan yang demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
6. Bahwa tergambar juga sebagaimana dalam dalil pemohon, bahwa
pemindahan IKN tidak disusun dengan rencana yang berkesinambungan.
Hal ini tentu menegasikan filosofi pembangunan negara Republik
Indonesia sebagaimana ditrgaskan dalam Pancasila dan Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa UU
3/2022 dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas
Peraturan Perundang-undangan dalam masyarakat secara filosofis.
7. Bahwa kebijakan pemindahan IKN tidak mempertimbangkan aspek
sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi
Covid-19, yang dari waktu ke waktu trennya masih cukup tinggi.
57
58

8. Bahwa Covid-19 berdampak juga terhadap perekonomian nasional dan


global sehingga faktor ekonomi mestinya turut dipertimbangkan oleh
pemerintah dalam meyusun kebijakan pemindahan IKN. Oleh karena itu
dapatlah dikatakan bahwa UU 3/2022 dalam pembentukannya tidak
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan dalam
masyarakat secara sosiologis.
9. Bahwa perumusan UU 3/2022 bermasalah secara yuridis sebagaimana
telah didalilkan pada bagian “Asas Kejelasan Tujuan” dimana
Pembentukan UU 3/2022 Tidak Disusun dan Dibentuk Dengan
Perencanaan yang Berkesinambungan. sehingga secara normatif UU
3/2022 tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (beserta dengan
Peraturan Perundang-Undangan tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional), UU 12/2011 dan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021,
dan 2022. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa UU 3/2022 dalam
pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan dalam masyarakat, secara yuridis.
10. Dengan demikian dapatlah dikatakan pembentukan UU 3/2022
bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
59

undangan khususnya bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan


sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011.

d. Bertentangan dengan Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan


1. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 12/2011 yang
dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa
setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyaakat, berbangsa dan bernegara.
2. Bahwa untuk mengetahui suatu undang-undang benar-benar dibutuhkan
oleh masyarakat adalah melalui penjaringan aspirasi dan menggali
informasi secara faktual tentang produk hukum apakah dibutuhkan atau
tidak.
3. Bahwa berdasarkan hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini
Publik Indonesia (Kedai Kopi), 19 Desember 2021, sebanyak 61,9% Orang
Tidak Setuju Ibu Kota Pindah.
60

4. Bahwa pemborosan anggaran menjadi alasan utama mengapa responden


tidak setuju. Ada 35,3% responden yang tidak setuju yang menjawab hal
tersebut. Sementara itu, 18,4% menganggap lokasi yang dipilih kurang
strategis dan 10,1% responden menilai fasilitas Jakarta sudah memadai.
Kemudian, 5,6% responden mengkhawatirkan utang yang akan bertambah
jika pemindahan ibu kota benar terjadi. Selain itu, 4,7% responden merasa
pemindahan ibu kota dapat mengubah sejarah atau nilai historis.
5. Bahwa tingginya penolakan masyarakat terhadap perpindahan IKN
berdasarkan hasil survei dari Kedai Kopi di atas dapat disimpulkan bahwa
UU 3/2022 tidak benar-benar dibutuhkan.
6. Bahwa selain penolakan masyarakat berdasarkan survei yang menjadi
ukuran apakah UU 3/2022 dibuat kerena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Apabila diperhitungkan dari kebutuhan masyarkat
bukanlah terkait urusan perpindahan dan pembangunan IKN, namun
kebutuhan masyarakat yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
adalah pemulihan ekonomi masyarakat di masa pandemi covid-19 yang
hingga saat ini belum jelas kapan akan berakhir.
7. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka secara
meyakinkan UU 3/2022 bertentangan dengan asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011.

e. Bertentangan dengan Asas Keterbukaan


1. Bahwa pada bagian Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud
dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Bahwa dalam Pembentukan UU 3/2022, tidak dibuka Informasi pada Setiap
tahapan Pembahasan. Pasca terbitnya Supres tertanggal 29 September
2021, dan telah masuk agenda pendahuluan di DPR RI tanggal 3
November 2021, sampai pada Rapat Paripurna dalam rangka Pembicaraan
61

Tk II/ Pengambilan Keputusan menjadi UU pada tanggal 18 Januari 2022


publik sangat minim memperoleh informasi pada setiap tahapan
pembahasan UU 3/2022 di DPR.
3. Bahwa adapun rincian angenda pembahasan UU 3/2022 yang dirilis DPR
dalam laman resmi website DPR (https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368)
(Bukti P.43 – Screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022),
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No Agenda Waktu Keterangan


1 Pendahuluan
Rapat Bamus 03 Nov 2021 Dokumen dan
Penugasan Informasi dapat
membahas RUU diakses
tentang Ibu Kota
Negara kepada
Pansus.
2 Pendahuluan
Rapat Pansus RUU 07 Des 2021 Dokumen dan
tentang Ibu Kota informasi tidak
Negara (Rapat Intern) dapat diakses
dengan Agenda
membahas
Rancangan Jadwal
Acara dan
Mekanisme
Pembahasan RUU
tentang Ibu Kota
Negara.
3 Pendahuluan
Rapat Pansus RUU 07 Des 2021 Dokumen dan
tentang Ibu Kota informasi tidak
Negara (Rapat Intern) dapat diakses
dengan Agenda
Pemilihan dan
Penetapan Pimpinan
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara.
4 Pendahuluan
Rapat Paripurna 07 Des 2021 Dokumen dan
Penetapan Anggota informasi tidak
Pansus RUU tentang dapat diakses
Ibu Kota Negara.
5 Pembicaraan
Tingkat I 07 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Kerja Pansus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
62

Negara dengan
Pemerintah dan DPD
RI. Pengesahan
Rancangan Jadwal
Acara dan
Mekanisme
Pembahasan RUU
tentang Ibu Kota
Negara.
6 Pembicaraan
Tingkat I 08 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1. Dr.
Wicipto Setiadi
(Perspektif Hukum
Tata Negara) 2. Dr.
Hendricus Andy
Simarmata (perspektif
hukum lingkungan) 3.
Wicaksono Sarosa
(perspektif hukum
lingkungan) 4. Dr.
Asep Sofyan
(perspektif
lingkungan) 5. Dr.
Nurkholis (perspektif
ilmu ekonomi).
7 Pembicaraan
Tingkat I 9 Des 2021
Rapat Dengar Dokumen dan
Pendapat Umum informasi dapat
Pansus RUU tentang diakses
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1. Prof
Paulus (Perspektif
Sosial
Kemasyarakatan) 2.
Anggito Abimanyu
(Perspektif Ekonomi
dan Pendanaan
Berkelanjutan) 3.
Erasmus Cahyadi
Terre (Aliansi
Masyarakat Adat
Nusantara) 4. Dr.
63

Fadhil Hasan
(Perspektif Ekonomi
dan Governance) 5.
Avianto Amri
(Masyarakat Peduli
Bencana Indonesia).
8 Pembicaraan
Tingkat I 10 Des 2021 okumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (5
orang Pakar) 1.
Robert Endi Jaweng
(ex KPPOD),
perspektif Otonomi
Daerah dan
Desentralisasi Fiskal
serta Kelembagaan
Daerah Virtual 2. Dr.
Master P. Tumangor,
perspektif Ekonomi,
Investasi Pendanaan
dan Pengalihan Aset
Pansus B 3. Dr. Mukti
Ali, Dosen FT Univ
Hasanuddin
Perspektif
Perencanaan Wilayah
dan GIS Virtual 4. M.
Djailani, AORDA
Kalteng (Audiensi)
Pansus B 5.
Suharyono, IMPI
(Audiensi) Virtual.
9 Pembicaraan
Tingkat I
11 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (4
orang Pakar) 1. Prof.
Satya Arinanto,
SH.MH Pakar Hukum
HTN FHUI IKN dalam
peespektif Hukum
Tata Negara
64

Hadir/Virtual 2. Dr.
Chazali H.
Situmorang Pakar
Kebijakan Publik
Unas IKN dalam
perspektif Kebijakan
Publik Hadir 3. Dr.
Aminuddin Kasim,
SH.MH Pakar HTN
Univ Tadulako
Sulteng IKN
perspektif
Kelembagaan Negara
Virtual 4. Dr. Pratama
Dahlian Persadha
Chairman Lembaga
Riset Keamanan Si
dan dan Komunikasi
CISSReC
(Communication and
Information System
Security Research
Center Virtual).
10 Pembicaraan
Tingkat I 12 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Dengar informasi dapat
Pendapat Umum diakses
Pansus RUU tentang
Ibu Kota Negara
dengan Pakar (7
orang Pakar) 1. Prof
Maria S.W.
Soemardjono SH,
MCL., MPA Pakar
Hukum Pertanahan
UGM IKN dalam
perspektif Hukum
Pertanahan Virtual 2.
Ananda B. Kusuma
Pakar Sejarah
Ketatanegaraan IKN
dalam perspektif
sejarah
ketatamegaraan
Virtual 3. Dr. Yayat
Supriatna Pakar Tata
Ruang Univ Trisakti
IKN dalam perspektif
Tata Ruang, Tata
Kota dan Tata
65

Bangunan Hadir 4.
Dr. Arief Anshory
Yusuf Pakar Ekonomi
Perspektif Ilmu
Ekonomi Hadir/Virtual
5. Prof Haryo Winarso
Pakar Planologi ITB
IKN dalam perspektif
Perencanaan Kota
dan Wilayah Virtual 6.
Siti Jamaliah Lubis
Presiden Kongres
Advokat Indonesia 7.
Juniver Girsang
Ketua perhimpunan
Advokat Indonesia -
Suara Advokat
Indonesia (Peradi
SAI).
11 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Kerja Pansus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Persetujuan
dan Penetapan
Pimpinan dan
Anggota Panja RUU
tentang Ibu Kota
Negara serta
pembahasan atas
jumlah DIM dan DIM
yang bersifat tetap.
12 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Pansus RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara (Rapat Intern)
dengan Agenda
Penetapan Pimpinan
dan Anggota Panja
RUU tentang Ibu Kota
Negara.
13 Pembicaraan
Tingkat I 13 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
66

14 Pembicaraan
Tingkat I 14 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
15 Pembicaraan
Tingkat I 15 Des 2021 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
16 Pembicaraan
Tingkat I 17 Des 2021 Dokumen dan
Audiensi dengan informasi tidak
Forum Dayak Bersatu dapat diakses
(FDB).
17 Pembicaraan
Tingkat I 6 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
18 Pembicaraan
Tingkat I 10 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
19 Pembicaraan
Tingkat I 11 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Tim Perumus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara.
20 Pembicaraan
Tingkat I 11 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Mulawarman -
Kalimantan Timur.
21 Pembicaraan
Tingkat I 12 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Hasanuddin -
Sulawesi Selatan.
67

22 Pembicaraan
Tingkat I 12 Jan 2022 Dokumen dan
Konsultasi Publik informasi tidak
Anggota Pansus dapat diakses
dengan Civitas
Akademik Universitas
Sumatera Utara.
23 Pembicaraan
Tingkat I 13 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda Pembahasan
DIM RUU.
24 Pembicaraan
Tingkat I 14 Jan 2022 Dokumen dan
Kunjungan Anggota informasi tidak
Pansus ke kawasan dapat diakses
calon Ibu Kota
Negara di Penajam
Paser Utara -
Kalimantan Timur.
25 Pembicaraan
Tingkat I 16 Jan 2022 Dokumen dan
Kunjungan Anggota informasi tidak
Pansus ke kawasan dapat diakses
Kota Mandiri BSD dan
Alam Sutera-
Tangerang Banten.
26 Pembicaraan
Tingkat I 17 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Panja RUU informasi tidak
tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
agenda pembahasan
draf RUU tentang Ibu
Kota Negara.
27 Pembicaraan
Tingkat I 17 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Kerja Pansus informasi tidak
RUU tentang Ibu Kota dapat diakses
Negara dengan
Pemerintah dan DPD
RI. Dengan Menteri
Bappenas, Menteri
Keuangan, Menteri
ATR, Menteri Dalam
Negeri, Menteri
Hukum dan HAM
dengan agenda
68

acara: 1. Laporan
Ketua Panja; 2.
Pandangan Fraks-
Fraksi dan DPD RI; 3.
Pengambilan
Keputusan/Pembicar
aan Tk I; 4.
Tanggapan
Pemerintah; 5.
Penandatanganan
Draf RUU tentang
IKN; dan 6. Penutup.
28 Pembicaraan
Tingkat II 18 Jan 2022 Dokumen dan
Rapat Paripurna informasi dapat
dalam rangka diakses
Pembicaraan Tk II/
Pengambilan
Keputusan menjadi
UU.

Bahwa berdasarkan uraian dan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 28
(dua puluh delapan) tahapan/agenda pembahasan RUU 3/2022 di
DPR, hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya
dapat diakses. Sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda lainya informasi
dan dokumenya tidak dapat diakses publik.
8. Bahwa dari gambaran pada tabel di atas dapat diperoleh fakta bahwa
representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU 3/2022
sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan
perwujudan bersama kota negara Republik Indonesia yang seharusnya
dapat lebih memperluas partisipasi publik.
9. Bahwa partisipasi publik tersebut seharusnya diberikan kesempatan
yang cukup mengakomodir pihak-pihak dari berbagai daerah, terutama
pihak-pihak yang terdampak. Yakni masyarakat Kalimantan terutama
Kalimantan timur sebagai pihak yang lahannya akan dipakai menjadi
lokasi IKN Nusantara, di mana terdapat hak-hak konstitusional
masyarakat Kalimantan terkait Hak atas harta benda yang di
bawah kekuasaannya, hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang
oleh siapa pun, hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Karena hingga saat
69

masih banyak tertinggal masalah-masalah peralihan lahan,


penempatan masyarakat setelah lahannya diambil oleh negara, apakah
tempat lokasi bagi masyarakat yang lahannya diambil negara ke lokasi
yang baru tidak terjadi diskriminasi kepada para pendatang untuk
mengisi lokasi di IKN.
10. Bahwa tidak hanya masyarakat Kalimantan Timur yang akan menjadi
lokasi berdirinya IKN Nusantara, namun juga terhadap masyarakat
Jakarta yang merupakan pihak yang terdampak apabila nanti Provinsi
DKI Jakarta sudah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, akan menjadi
apa dan untuk siapa gedung-gedung pemerintahan yang sudah
terbangun di Jakarta. Lalu bagaimana pertanggung jawaban Presiden
atas janji kampanyenya untuk mengatasi banjir dan kemacetan, setelah
ibu kota di pindahkan. Terhadap hal-hal tersebut tidak terakomodir
dalam proses pembentukan UU IKN yang sangat cepat dan terburu-
buru.
11. Bahwa selain itu juga terhadap pihak yang concern terhadap
permasalahan-permasalahan yang akan muncul saat ibukota akan
dipindahkan, juga tidak diberikan kesempatan dan/atau tidak diundang,
seperti Organisasi yang concern terhadap lingkungan seperti Walhi
Kaltim, Jatam Kaltim, dan kelompok masyarakat sipil lainya. Di mana
menurut koalisi masyarakat sipil Kalimantan timur Penyusunan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis yang dilakukan secara tertutup, terbatas
dan tidak melibatkan masyarkat yang terdampak langsung dari
pemindahan Ibu Kota Negara. (Sumber:
https://indonews.id/artikel/322797/UU-IKN-Ditolak-Koalisi-Masyarakat-
Kaltim-Ini-Alasannya/).
12. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 dalam perkara Pengujian Formil UU 11/2020 telah
merumuskan makna partisipasi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang yaitu:
[3.17.8] ..., masalah lain yang harus menjadi perhatian dan
dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi
masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan
pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip
70

kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara


sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih
jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak
konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat
(2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara
untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun
masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang-
undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau
menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta
mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan
pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip
kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan
undangundang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan
kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang
dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial
dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk
kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun
lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and
representative) dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya
kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara
terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan
tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk
setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman
(improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota
parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi
warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan
kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen
yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and
transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa
peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu
dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga
tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara
sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna
tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak
untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak
untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan
ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas
pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik
tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang
terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap
rancangan undangundang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-
undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas,
partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful
participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i)
pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama
antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta
71

pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang


terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii)
persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

13. Bahwa dalam Putusah Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.17.9]


Mahkamah Menegaskan standar dalam menilai partisipasi masyarakat
yaitu:
[3.17.9] ..., Perlu Mahkamah tegaskan, penilaian terhadap tahapan
dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini,
jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi
dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah
undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam
pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah
cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau
beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar
sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan
argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan untuk menilai dan
menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.

14. Bahwa berdasarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah


Konstitusi telah merumuskan dengan snagat detail model partisipasi
masyarakat dalam pembentukan undang-undang, yang apabila hal itu
tidak terpenuhi dapat membuat undang-undang cacat secara formil.
Termasuk dalam penyusunan UU 3/2022 a quo.
15. Bahwa oleh karena adanya cacat formil dalam partisipasi masyarakat
dalam pembentukan UU 3/2022, maka telah nyata dan terang
benderang Pembentukan UU 3/2022 adalah cacat formil dan
bertentangan secara langsung dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945
yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 22A UUD 1945
jo Pasal 5 huruf g UU 12/2011
16. Bahwa selain itu partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak
konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945 hal ini telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan
91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana telah dikutip pada angka 13 tersebut
di atas. Artinya Pembentukan UU 3/2020 yang tidak memenuhi
Partisipasi publik secara bermakna dan maksimal adalah bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
72

C. Praktik-Praktik Inkonstitusional melalui Fast Track Legislation

1. Bahwa dari tahapan yang tergambar dalam tabel di atas yang juga dapat
diakses pada: https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 tahapan pembentukan
UU 3/2022 dari sejak 03 November 2021 sampai dengan 18 Januari 2022
hanya memakan waktu 42 hari. Tahapan ini tergolong sangat cepat untuk
pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat
strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan Partisipasi Publik
yang bermakna sebagaimana telah disyaratkan Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020.
2. Bahwa pembahasan UU 3/2022 yang diam-diam didalilkan dengan metode
Fast Track Legislation, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan
cara cepat oleh pemerintah yaitu: UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi
Undang-Undang, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan
UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3. Bahwa Keempat undang-undang tersebut pula, tidak lama setelah disahkan
langsung menghadapi pengujian konstitusionalitas baik terhadap aspek
formil maupun aspek materil.
4. Bahwa fenomena ini menunjukan bahwa, meskipun UUD 1945 telah
menegaskan dalam hal pembentukan undang-undang dilakukan dengan
lima tahapan proses yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan dan pengundangan. Namun, pada akhirnya tidak menjamin
adanya proses deliberasi yang cukup dan mempertimbangkan aspirasi
73

publik dengan baik, sehingga berujung kepada pengujian konstitusionalitas


di Mahkamah Konstitusi.
5. Bahwa praktik pembentukan undang-undang yang terburu-buru tersebut
akan membahayakan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal ini
dikarenakan, adanya kepentingan yang besar dari pembentuk undang-
undang untuk mempertahankan undang-undang sehingga terjadi
pelimpahan pembahasan diskursus publik yang seharusnya berada di DPR
menjadi beralih di Mahkamah Konstitusi maka akan berdampak
meningkatkan tendensi yudisialisasi politik (judicialization politics).
Akibatnya, pembentuk undang-undang akan menciptakan situasi yang sulit
bagi peradilan dengan upaya menciptakan pola intervensi kooperatif
terhadap peradilan.
6. Bahwa pilihan pembentuk undang-undang untuk bersikap terburu-buru
dalam pembentukan suatu undang-undang juga mengalami persoalan
konseptual tersendiri yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
ketentuan pembentukan undang-undang hanya menekankan terhadap
dilaksanakannya lima (perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan), namun tidak memiliki
penekanan terhadap adanya kewajiban pembentuk undang-undang untuk
melakukan proses deliberasi yang cukup.
7. Bahwa praktik inkonstitusional melalui fast track legislation, yang
berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan
undang-undang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang
menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
8. Bahwa berdasarkan sejumlah uraian di atas, sekalipun alat ukur melakukan
pengujian secara formil adalah undang-undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, namun hal itu bukanlah sesuatu yang
terlarang dalam pengujian secara formil. Menguji undang-undang dengan
menggunakan undang-undang memang tidak dapat dibenarkan sepanjang
itu menyangkut substansi undang-undang. Adapun terkait tata cara
pembentukan, maka alat ukur mengujinya adalah undang-undang. Sebab,
UUD NRI 1945 sama sekali tidak mengatur secara detail bagaimana tata
74

cara pembentukan undang-undang, melainkan hanya mendelegasikannya


kepada undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD NRI
1945. Oleh karena itu, Pasal 22A UUD NRI 1945 harus dimaknai bahwa
yang dimaksud dengan tata cara pembentukan undang-undang menurut
UUD NRI Tahun 1945 adalah tata cara yang diatur dalam UU 12/2011
beserta peraturan pelaksanaannya.
9. Bahwa konsep Fast Track Regulation apabila diterapkan dalam
pembentukan Undang-undang, tentunya akan selalu bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 serta
mengabaikan Partisipasi Publik yang Bermakna sebagaimana telah
ditegaskan dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sehingga terhadap
penerapan Konsep Fast Track Regulation perlu dibatasi misalnya, antara
lain:
- Fast Track Regulation pada tingkat Undang-Undang hanya dapat
diterapkan pada proses revisi Undang-Undang akibat adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi.
- Fast Track Regulation dapat diterapkan pada pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang pada tingkat eksekutif
baik pusat maupun daerah, artinya yang tidak melibatkan wakil rakyat
(DPR, DPRD).
10. Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan pembentukan UU 3/2022 tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI
1945, dan PARA PEMOHOH memohon kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menyatakan Pembentukan UU 3/2022 tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Bahwa terhadap alasan-alasan permohonan PARA PEMOHON yang telah
diuraikan secara komprehensif di atas, artinya telah nyata dan terang benderang
Pembentukan UU 3/2022 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 berdasarkan UUD 1945 (Cacat Formil).
75

IV. PETITUM

Berdasarkan seluruh alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Formil sebagai berikut:
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766), tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766), bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” oleh karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex a quo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-
44 sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang


Ibukota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6766);
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Undang-Undang (Lembaran
76

Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6398);
4. Bukti P-4 : Fotokopi Kartu Tanda Pemohon dan NPWP Pemohon I
sampai sampai dengan Pemohon XXIV;
dengan
Bukti P-27
5. Bukti P-28 : Fotokopi Surat Keputusan Pengangkatan Dosen Pemohon I;
6. Bukti P-29 : Fotokopi Lampiran Surat Keputusan Direktur Program
Magister Manajemen untuk Pemohon I;
7. Bukti P-30 : Fotokopi Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor KEP-117/01/03/2009 kepada Pemohon I;
8. Bukti P-31 : Fotokopi Surat Keputusan Presiden kepada Pemohon II;
9. Bukti P-32 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-0021984.AH.01.04 Tahun 2015;
10. Bukti P-33 : Fotokopi NPWP dan Penyampaian SPT Elektronik Pemohon
II;
11. Bukti P-34 : Fotokopi Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia Nomor Kep-1/DP-MUI/XII/2020 serta Lampiran
Susunan dan Personalia Dewan Pimpinan Harian dan Dewan
Pimpinan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Masa
Khidmat 2020-2025;
12. Bukti P-35 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 41550/A4.5/KP/2010 kepada Pemohon XII;
13. Bukti P-36 : Fotokopi Petikan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 72/M Tahun 2000 untuk Pemohon XIII;
14. Bukti P-37 : Fotokopi Dokumentasi aktivitas Pemohon XIII;
15. Bukti P-38 : Fotokopi Kartu Identitas Pensiun Pemohon XIV;
16. Bukti P-39 : Fotokopi Surat Keputusan Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam Nomor 121/KPTS/A/03/1443 H untuk
Pemohon XXIV;
17. Bukti P-40 : Fotokopi Flayer Kegiatan Serial Diskusi Ibu Kota Negara
Nusantara Episode ke-1;
18. Bukti P-41 : Fotokopi Flayer Kegiatan Serial Diskusi Ibu Kota Negara
Nusantara Episode ke-2;
19. Bukti P-42 : Fotokopi Flayer Kegiatan Serial Diskusi Ibu Kota Negara
Nusantara Episode ke-3;
20. Bukti P-43 : Fotokopi Screenshot laman Rekam Jejak Pembentukan UU
3/2022 Website DPR RI;
21. Bukti P-44 : Fotokopi Surat Permohonan Data/Berkas ke Menteri:
77

1. PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Menteri Hukum dan HAM;
3. DPR RI melalui Sekretaris Jenderal DPR RI.

Selain itu, para Pemohon mengajukan 2 (dua) orang ahli bernama Prof. Susi
Dwi Harijanti, S.H., LLM., Ph.D., dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang
menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah masing-masing pada 8 Mei
2022 dan 18 Mei 2022, pada pokoknya sebagai berikut:

Ahli Pemohon
1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.

“Without procedures, law and legal institutions would fail in their purposes. And
since law is both necessary and desirable in achieving social goals, procedures are also
necessary and must be seen equal partners in that enterprise”.

Pendapat Galligan di atas memperlihatkan fungsi penting sebuah prosedur.


Bahkan, Charles G. Howard dan Robert S. Summer menyatakan “procedure is the heart
of the laws”, yang meliputi “legislative procedure, administrative procedure, and judicial
or court procedures”.
Pengujian formil oleh Pemohon pada dasarnya adalah pengujian terhadap aspek
prosedur pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pengujian ini
memegang peran penting dilihat, paling tidak, dari aspek konstitusionalisme. Carla M.
Zoethout menyatakan sepanjang sejarah pemikiran kenegaraan, salah satu isu utama
adalah bagaimana cara melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah. Meskipun
kekuasaan sangat diperlukan untuk merealisasikan nilai-nilai tertentu yang ada di
masyarakat, misalnya keadilan; kebebasan; dan persamaan di muka hukum, namun tak
dapat pula dipungkiri bila kekuasaan memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan. Hal
inilah yang mendorong munculnya gagasan konstitusionalisme yang menghendaki
adanya kontrol terhadap pemerintah melalui asas-asas dan norma-norma yang
terkandung dalam konstitusi. Atau dengan kata lain, kehadiran konstitusionalisme adalah
dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan yang terbatas (limited government).
Terdapat beberapa cara untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Beberapa
karakteristik khusus negara konstitusional untuk membatasi kekuasaan pemerintah
adalah: melakukan pemisahan kekuasaan antar organ-organ negara; menetapkan
78

federalisme atau pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah; membentuk badan
perwakilan; menentukan akuntabilitas pejabat-pejabat negara dan pemerintah; serta
menciptakan mekanisme pengujian terhadap tindakan- tindakan negara atau pemerintah
yang dilakukan oleh badan pengadilan yang independen.
Berdasarkan uraian di atas, ahli berpendapat bahwa kehadiran Mahkamah
Konstitusi merupakan perwujudan ajaran pembatasan kekuasaan, dan merupakan forum
yang menjadi pranata hukum yang utama bagi setiap warga negara untuk dapat
melakukan kontrol terhadap kebijakan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah melalui
pembentukan undang-undang. Termasuk pada perkara yang saat ini, Yang Mulia Ketua
dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sedang adili, yakni pengujian formil
terhadap UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Para Pemohon dalam perkara
ini menganggap bahwa pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 dilakukan secara terburu-
buru, tidak melibatkan masyarakat secara layak, dan minim tranparansi. Dari 28
(duapuluh delapan) agenda pembahasan, hanya terdapat 7 (tujuh) agenda yang dapat
diakses oleh masyarakat (Berkas Permohonan Perkara No. 25/PUU-XX/2022, hlm 77).
Oleh karena itu, dalam perkara yang teregister dengan Nomor 25/PUU-XX/2022
yakni permohonan pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara terhadap UUD NRI 1945, terdapat tiga pertanyaan yang
diajukan oleh kuasa hukum Pemohon, yang merupakan permasalahan hukum yang akan
ahli jawab secara akademik, namun sebelum menjawab ketiga pertanyaan tersebut,
izinkan Ahli menjelaskan makna dan fungsi penting sebuah ibukota negara. Ahli berharap
Yang Mulia para Hakim Konstitusi dapat menggunakannya untuk mempertimbangkan
dan menilai apakah prosedur perpindahan ibukota yang direfleksikan dalam pembahasan
UU No. 3 Tahun 2022 telah dilakukan dengan wajar dari perspektif makna dan fungsi
ibukota negara.
Pada dasarnya ibukota negara memiliki fungsi khusus dibandingkan kota-kota
lainnya yang ada pada suatu negara. Menurut Vadim Rossman, tugas utama dari ibukota
negara adalah untuk memvisualisasikan dan mempresentasikan bangsa ke seluruh
dunia. Dengan kata lain, ibukota negara mewakili citra ideal dari suatu negara dan
merupakan miniatur dari sebuah negara. Ahli sejarah Andreas W Daum berpendapat
bahwa terdapat empat fungsi ibukota bagi sebuah negara, yakni (1) fungsi administrasi,
(2) fungsi penunjang integrasi bangsa, (3) fungsi simbolisasi bangsa, dan (4) fungsi
pelestarian nilai, budaya, dan sejarah bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut, ibukota
79

negara tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi
pula sebagai menifestasi identitas bangsa.
Menurut Vadim Rossman, agar fungsi ibukota sebagai penunjang integrasi
bangsa dapat terwujud secara optimal, maka ibukota harus dihasilkan melalui kompromi
dari elemen-elemen bangsa yang terdiri dari etnis, agama, dan suku yang berbeda. Hal
tersebut akan membuat ibukota menjadi alat pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang
ada dalam suatu bangsa.
Montesquieu dalam bukunya My Thoughts (Mes Pensées) menggambarkan pula
ibukota sebagai kota yang menciptakan ‘general spirit’ bagi sebuah bangsa. A Sheryev
juga menggambarkan ibukota sebagai wajah dan jantung dari negara. Begitu juga
dengan Shmuel Eisenstadt yang menjelaskan bahwa ibukota semacam layar di mana
bangsa-bangsa akan memroyeksikan citra identitas mereka. Dengan kata lain, ibukota
merupakan tempat dimana bangunan-bangunan yang memuat gambaran nilai sejarah
dan masa depan sebuah bangsa berada. Arti penting inilah yang mencerminkan fungsi
simbolisme dan fungsi penunjang integrasi bangsa pada sebuah ibukota.
Dalam beberapa kasus, dapat dijumpai kondisi di mana ibukota suatu negara tidak
dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibukota tersebut, misalnya ibukota yang lama
dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana
alam, sosial, ataupun serangan militer. Maka dari itu, beberapa negara di dunia
memutuskan untuk memindahkan lokasi ibukotanya dengan harapan libukota baru dapat
lebih baik daripada ibukota sebelumnya.
Namun, Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibukota
dilakukan karena adanya ‘hidden political agendas’, misalnya dalam rangka memperkuat
kekuatan politik suatu rezim. Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political
agendas yang mengkin terjadi yakni: 1) mengasingkan atau memarjinalisasi gerakan
protes, 2) Homogenisasi etnis penduduk Ibukota, dan 3) pemindahan Ibukota ke wilayah
asli penguasa.
Ibukota negara seringkali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan
tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee
menyebut ibukota sebagai “the powder kegs of protest”. Maka dari itu, menurut ahli politik
Jeremy Wallace, pemerintah otoriter akan menggunakan pemindahan ibukota negara
sebagai taktik segregasi dalam rangka mengasingkan gerakan masyarakat sipil yang
awalnya berpusat di ibukota negara yang lama, sehingga menjadi berjarak jauh dengan
pusat pemerintahan yang berada di ibukota yang baru. Hal tersebut pernah terjadi di
80

Perancis pada tahun 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris, Pemerintah
Perancis memindahkan Ibukota sementara ke Versailles untuk menghindari protes.
Begitu pula dengan Myanmar, Pemerintah otoriter disana memindahkan Ibukota Negara
dari Yangon ke Napyidaw karena kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para Biksu
yang kerap memprotes pemerintah.
Agar pemindahan ibukota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan
bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni:
1) Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibukota negara? (Which capital
city location will ensure the highest level of state security?)
2) Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk
mencapai tujuan negara? (Which location will prove, economically and
administratively, the most effective in achieving the state’s goals?)
3) Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat?
(Which location will prove the fairest from the standpoint of different parts and
constituent units of the state?)
4) Lokasi mana yang paling organik, otentik, dan sesuai dengan identitas dan
kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara? (Which location will be the most
organic, authentic and compatible with both the identity and sovereignty of the
nation that the state represents?)
Mengingat fungsi fundamental ibukota negara bagi sebuah bangsa, maka
pertimbangan pemindahan ibukota, lokasi ibukota baru, nama ibukota baru, pendanaan
pemindahan ibukota, dan hal-hal lain yang berkaitan membutuhkan persiapan dan
diskusi komprehensif yang tidak hanya melibatkan cabang kekuasaan eksekutif dengan
alasan bahwa ibukota negara adalah semata-mata urusan pemerintahan saja. Oleh
karenanya, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibukota harus
mencerminkan ‘fundamental decision of a nation’. Hal tersebut juga sebagai bentuk
pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibukota negara yang hanya dilatarbelakangi
oleh hidden political agendas.
Arti penting sebuah ibukota negara dan bagaimana agenda politik yang
berkelindan di sekitarnya menjadikan pemindahan ibukota sebagai isu konstitusional di
berbagai negara. Misalnya, sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan ketika Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan pada tahun 2005 memutuskan rencana perpindahan Ibukota
dari Seoul adalah inkonstitusional. Hakim Konstitusi di Korea Selatan berpendapat bahwa
Seoul sebagai ibukota merupakan constitutional custom yang merupakan bagian dari
81

konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Konstitusi Korea Selatan memang tidak
menyatakan secara tegas bahwa Seoul merupakan Ibukota Korea. Namun, praktek
ketatanegaraan telah mendudukan Seoul sebagai Ibukota Korea bahkan semenjak
Dinasti Joseon. Artinya, Seoul sudah menjadi Ibukota Korea selama 600 tahun lamanya.
Karenanya, Seoul sebagai Ibukota Negara dianggap sebagai constitutional custom oleh
Hakim Konstitusi Korea Selatan, dan karenanya pemindahan ibukota negara harus
berasal dari fundamental decision of the people with respect to the nation.
Hakim Konstitusi Korea Selatan berpendapat karena Seoul sebagai ibukota
merupakan muatan dari konstitusi tidak tertulis, maka pemindahan ibukota seyogyanya
dilakukan dengan amandemen konstitusi. Sesuai dengan Pasal 130 Konstitusi Korea
Selatan, untuk mengubah konstitusi harus dilakukan referendum terlebih dahulu. Selain
melalui amandemen konstitusi secara formal, constitutional custom tersebut dapat hilang
kekuatan hukumnya apabila kehilangan dukungan secara nasional. Namun menurut
Hakim Konstitusi Korea Selatan hal tersebut tidak terjadi dan tidak dapat dikonfirmasi
pada saat itu karena tidak dilaksanakannya referendum atau tidak terjadi gejolak sosial
sama sekali yang menyebabkan ibukota harus dipindahkan. Terlebih lagi proses
pembahasan Undang-Undang terkait pemindahan Ibukota di Korea Selatan hanya
berlangsung selama tiga bulan.
Praktik mendudukan status ibukota sebagai bagian dari problematika
konstitusional juga dapat dijumpai di Brazil. Rencana pemindahan ibukota di Brazil bukan
merupakan keinginan Presiden semata. Pemindahan ibukota di Brazil merupakan
amanat Peraturan Peralihan Konstitusi Brazil 1946. Di dalam Pasal 4 Peraturan Peralihan
Konstitusi Tahun 1946 tersebut diperintahkan bahwa “the capital of the Union shall be
moved to the central highlands”. Setelah berhasil melakukan perpindahan, Ibukota baru
Brazil, yakni Brasillia pun akhirnya diakui melalui Pasal 18 ayat (1) Konstitusi Brazil tahun
1988 yang berbunyi “The federal capital is Brasília”.
Dari praktik di Korea Selatan dan Brazil tersebut, kita dapat memetik pelajaran
bahwa negara-negara tersebut mendudukan ibukota negara sebagai materi muatan dari
konstitusi, baik itu tertulis maupun tidak tertulis karena adanya sebuah kesadaran bahwa
ibukota merupakan identitas bangsa yang fundamental. Akibatnya, keputusan akan
pemindahannya harus benar-benar disepakati oleh seluruh warga negara.
Ahli akan menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh kuasa hukum Pemohon
terkait dengan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagai
berikut:
82

1. Apakah pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara telah


dibentuk melalui partisipasi publik yang layak sebagaimana diamanatkan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020”?
Dalam seluruh sistem hukum, terdapat pejabat yang membuat hukum,
melaksanakan hukum, dan menegakkan hukum. Untuk melaksanakan fungsi tersebut,
para pejabat dilengkapi dengan sejumlah ketentuan substantif dan ketentuan prosedur
untuk melaksanakannya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, prosedur memegang
peran penting dalam hukum, dan acapkali dikatakan “procedure is the heart of the law”.
Apakah makna “procedure is the heart of the law” itu? Charles G. Howard dan
Robert S. Summer menyatakan bahwa prosedur adalah jantungnya hukum untuk
memperlihatkan peran yang sangat penting yang disandang oleh prosedur. Paling tidak,
terdapat beberapa alasan untuk memperkuat penjelasan tersebut.
Pertama; prosedur menempati tempat yang khusus dalam hukum karena standar
keadilan prosedur seringkali merefleksikan jaminan dan penegakan nilai substantif, yaitu
kehidupan (life) dan kebebasan (liberty). Bahkan Justice Frankfurter – Hakim Agung
Amerika Serikat – menyatakan pertumbuhan kebebasan sebagian besar adalah hasil dari
perkembangan jaminan kebebasan. Meski pendapat Frankfurter hanya merujuk pada
prosedur perkara pidana, namun ucapannya membawa implikasi yang lebih luas.
Kedua; salah satu fungsi dasar terpenting hukum adalah memelihara ketertiban
sosial, dan hukum prosedur, baik di bidang legislatif dan judikatif, memberikan kontribusi
pada ketertiban sosial tersebut. Menyediakan sarana legislasi berarti menyediakan tata
cara perubahan sosial yang tertib.
Ketiga; prosedur di bidang legislatif, administratif, dan judikatif, digunakan untuk
melaksanakan salah satu fungsi hukum yaitu penyelesaian sengketa. Dan hal ini akan
dikaitkan dengan fungsi hukum privat dan hukum publik. Fungsi-fungsi hukum publik
antara lain, mempertahankan sistem hukum yang berlaku dan memelihara ketertiban.
Selain itu, hukum publik juga berfungsi untuk mengawasi tindakan-tindakan para pejabat
di semua level cabang kekuasaan. Yang tak kalah penting, hukum publik memungkinkan
para pejabat membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan sosial yang bersifat
substantif.
Pentingnya prosedur bukan hanya karena merupakan jantungnya hukum. Lebih
fundamental adalah melihat hubungan antara prosedur, hasil, dan nilai (procedure,
outcomes, and values). Prosedur hadir untuk membuat hasil yang akurat (accurate
outcomes), yaitu penerapan hukum terhadap fakta-fakta yang ada. Dan hasil yang akurat
83

ini penting karena hasil-hasil tersebut menegakkan nilai-nilai sosial, yaitu nilai yang
secara inheren melekat pada hukum substantif dan nilai yang relatif stabil melalui
penerapan hukum yang teratur dan konsisten.
Berkenaan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang melibatkan
partisipasi masyarakat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Paragraf [3.17.8] menyatakan:
“Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan
perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna
(meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan
publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna
tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk
didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan
penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang
terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan
undang- undang yang sedang dibahas”.

Putusan Mahkamah Konstitusi di atas telah memberikan kriteria penting partisipasi


masyarakat dalam pembentukan undang-undang, yang meliputi hak untuk didengar, hak
untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan. Keseluruhan hak
tersebut adalah penting dalam rangka mencapai keadilan prosedural (procedural fairness
atau procedural justice).
Procedural justice pada gilirannya berperan penting dalam rangka kepatuhan.
Menurut Kristina Murphy, keadilan prosedural sangat ditentukan oleh kualitas proses dan
pengambilan keputusan dari pembentuk undang-undang. Keadilan prosedural sangat
ditentukan oleh respect, neutrality, trustworthiness, and voice. Respect menunjuk
sejauhmana pembentuk undang-undang menghormati hak-hak individu atau masyarakat
yang dilindungi oleh hukum. Neutrality berarti setiap pengambilan keputusan politik
konsisten terhadap asas dan norma yang berlaku, dan tidak didasarkan pada opini
pribadi atau kelompok yang bersifat bias. Trustworthiness berarti pembuat undang-
undang dapat dipercaya. Pembentuk undang-undang mengomunikasikan kepercayaan
dan keadilan saat mereka mendengar pendapat masyarakat and menjelaskan atau
menjustifikasi tindakan-tindakan mereka yang memperlihatkan kesadaran dan
sensitivitas terhadap kepentingan dan perhatian masyarakat. Akhirnya, voice menunjuk
adanya alternatif yang disediakan oleh negara ketika masyarakat menggugat proses dan
kualitas hasil legislasi.
84

Guna mengelaborasi pelaksanaan ketiga hak prosedural tersebut di atas,


pemahaman terhadap aspek filosofis prosedur (makna dan fungsi prosedur) serta
legisprudensi menjadi tidak terelakkan. Hal ini penting mengingat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.17.8] belum melakukan elaborasi
mengenai standar hukum yang harus dipatuhi manakala pembentuk undang-undang
melaksanakan hak-hak prosedural itu, sebagaimana disampaikan oleh DPR yang
menyatakan:
“Bahwa tiga prasyarat untuk meminta partisipasi yang lebih bermakna atau
meaningful participation yang disampaikan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Namun, parameter yang komplet partisipasi yang lebih bermakna tersebut
tidak ditemukan dalam pertimbangan Nomor 91. Meskipun demikian,
pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR telah berupaya untuk memenuhi
kriteria partisipasi yang lebih bermakna tersebut dengan melakukan RDP,
audiensi, konsultasi, dan kunjungan kerja. Kemudian, menindaklanjuti hasil
RDP melalui (ucapan tidak terdengar jelas), kemudian memasukan ke dalam
DIM fraksi-fraksi sehingga (ucapan tidak terdengar jelas) pengayaan atas
DIM yang dihadirkan oleh semua fraksi yang turut membahas Undang-
Undang IKN”. (cetak tebal oleh Ahli)

Meskipun ‘parameter yang komplet partisipasi yang lebih bermakna tersebut tidak
ditemukan dalam pertimbangan Nomor 91’, izinkan ahli untuk menyampaikan bagaimana
Mahkamah Konstitusi dari negara-negara demokratis lainnya menilai pelaksanaan
partisipasi publik yang layak dalam rangka pembentukan undang-undang. Seyogyanya
praktik-praktik tersebut dapat menjadi instrumen untuk menilai apakah pembentukan
undang-undang dalam perkara a quo telah memenuhi kriteria minimal partisipasi pubik
yang layak sebagaimana persepsi negara demokratis lainnya. Negara pertama adalah
Kolombia dalam perkara Value Added Tax pada tahun 2003. Mahkamah Konstitusi
Kolombia membatalkan undang-undang reformasi perpajakan karena meskipun
memenuhi prosedur pembentukan undang-undang yang diatur di dalam undang-undang
dasar, namun prosedur tersebut ditempuh tanpa menyertakan partisipasi publik yang
memadai. Mahkamah Konstitusi Kolombia menyatakan bahwa pada dasarnya undang-
undang merupakan produk yang memiliki sifat coercive, karenanya dapat berdampak
pada dibatasinya hak-hak warga negara, sehingga pembahasan dan partisipasi publik
yang memadai menjadi penting untuk mengidentifikasi ruang lingkup pembatasan,
implikasi terhadap kelompok yang paling rentan, dan siginifikansinya terhadap prinsip-
prinsip dasar konstitusi.
85

Kedua adalah praktik di Afrika Selatan yang juga mencerminkan cara pandang yang
serupa. Di dalam perkara Doctors for life pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan menyatakan bahwa jaminan atas hak berpartisipasi dari masyarakat untuk dapat
terlibat dalam penentuan kebijakan, pembentukan undang-undang, dan berbagai
mekanisme pengambilan keputusan lainnya di pemerintahan, merupakan manifestasi
ajaran demokrasi partisipatif. Oleh karena itu, pemenuhannya harus dilakukan secara
layak dengan membuka semua akses yang memungkinkan bagi masyarakat terlibat
secara aktif. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan mengembangkan
doktrin ‘meaningful involvement test’ untuk menguji, apakah lembaga legislatif telah
menempuh langkah-langkah yang layak dalam memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara efektif di dalam proses pembentukan
undang-undang. ‘Meaningful involvement test’ yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
Afrika Selatan dilakukan dengan cara menguji prosedur yang disediakan oleh legislatif
terhadap dua pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Apakah kewajiban untuk membuka partisipasi bagi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang telah dijamin secara normatif?
2. Apakah lembaga legislatif telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk
memastikan masyarakat memiliki kesempatan atau kemampuan untuk menggunakan
mekanisme partisipasi yang diberikan?
Mekanisme partisipasi yang layak menurut Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
dapat berbentuk ‘road show’, ‘regional workshop’, termasuk publikasi melalui berbagai
media yang bertujuan mengedukasi dan memberikan informasi kepada masyarakat,
mengenai berbagai cara yang dapat ditempuh untuk dapat mempengaruhi keputusan
legislatif.
Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi di negara-negara yang ahli sebutkan,
sebenarnya pernah pula dipraktikan oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia di dalam
praktik judicial review, yakni dalam Perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di
dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa partisipasi atau ‘memperhatikan
pendapat masyarakat’, tidak dapat dilakukan sebatas memenuhi ketentuan formal
prosedural. Mahkamah menyatakan bahwa tujuan utama partisipasi adalah untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara.
Mahkamah Konstitusi juga menghendaki bahwa partisipasi harus dilakukan secara
dialogis dimana warga negara diberikan hak untuk didengar dan dipertimbangkan (right
86

to be heard and to be considered), bersifat terbuka, dan dilakukan dengan bahasa atau
penyampaian yang mudah.
Bahkan di dalam Putusan terbaru mengenai pengujian formil, yakni pengujian
terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-
undang tersebut inkonstitusional bersyarat karena tidak memenuhi aspek partisipasi
publik yang layak dan tidak memenuhi kaidah-kaidah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik menurut undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Apabila ahli menganalisis prosedur pembahasan UU No. 3 Tahun 2022 yang
dimulai dari tanggal 3 November 2021 hingga 18 Januari 2022, dalam batas penalaran
yang wajar, pelaksanaan hak-hak prosedural yang terdiri dari hak untuk didengar, hak
untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan sebagaimana diuraikan di
atas, akan sangat sulit dipenuhi, dengan argumentasi sebagai berikut:
Pertama; dari aspek narasumber yang diundang, pembentuk UU No. 3 Tahun
2022 telah gagal untuk meyakinkan masyarakat bahwa partisipasi publik tersebut
terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau
memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Suharso Monoarfa menyebutkan
sejumlah kegiatan yang diklaim sebagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:
1. Rangkaian dialog nasional pemindahan ibu kota negara, 16 Mei 2019, 26 Juli
2019, 1 Agustus 2019, 21 Agustus 2019, 16 September 2019, 2 Oktober 2019, 25
Februari 2020.
2. Lokakarya penerapan omnibus law dalam pelaksanaan kebijakan pemindahan ibu
kota negara pada tanggal 29 November 2019.
3. Konsultasi publik, draf naskah akademik, dan rancangan Undang‐Undang IKN
pada tanggal 7 Februari 2020.
4. Konsultasi publik draf kedua, bersama Kementerian Lembaga dan Pemda di
Kalimantan Timur, pada tanggal 7 Februari tahun 2020.
5. Konsultasi publik dengan Universitas Negeri Manado pada tanggal 17 Desember
2021 di Manado, Sulawesi Utara. Konsultasi publik ini sebagai perwujudan
keterbukaan informasi bagi daerah Timur Indonesia.
6. Konsultasi publik kerjasama dengan Universitas Indonesia pada tanggal 21
Desember 2021 di auditorium Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Sejumlah narasumber yang diundang oleh DPR untuk memberikan masukan
dalam RDPU mulai dari tanggal 8 Desember hingga 12 Desember 2022 sulit pula
87

dikategorikan sebagai kelompok yang terdampak. Dari masyarakat adat hanya diundang
1 yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jika dibaca Putusan Mahkamah Konstitusi,
pihak yang terdampak diletakkan pada urutan pertama, dan hal ini berarti mereka yang
lebih diutamakan. Apakah para pakar dapat dikelompokkan sebagai mereka yang
memiliki concern atau perhatian terhadap rancangan undang-undang yang sedang
dibahas? Ataukah mereka diundang untuk memberikan masukan dalam rangka mencari
alternatif penyelesaian terhadap usulan yang disampaikan oleh pihak yang terdampak?
Kedua; penggunaan platform digital berupa website dan youtube yang lebih
banyak digunakan sebagai penyebarluasan informasi. Hak-hak prosedural
membutuhkan lebih dari sekedar mengunggah di website ataupun di kanal youtube.
Untuk sebuah rancangan undang-undang yang bersifat rumit dan kontroversial,
masyarakat haruslah diberi kesempatan untuk memberikan masukan, kritik, dan bahkan
proposal, yang kesemuanya harus direspon secara memadai oleh pembentuk undang-
undang. Bahkan untuk rancangan undang-undang semacam ini, proses perdebatan di
badan perwakilan tidak boleh diakselerasi.
Ketiga; dalam perdebatan di DPR perlu diperhatikan relasi antara mayoritas dan
“oposisi”. Misalnya, apakah para narasumber diajukan oleh mereka yang berasal dari
mayoritas, ataukah pihak oposisi diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan
narasumber?
Terlepas dari ketiadaan elemen hak-hak prosedural dalam pembentukan undang-
undang sebagimana diargumentasikan oleh pihak DPR, namun hal tersebut tidak dapat
dijadikan alasan untuk tidak menemukan standar-standar hukum yang digunakan untuk
memastikan partisipasi yang layak. Tidak sekedar memasukkan materi-materi sebagai
hasil dari hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak mendapatkan
penjelasan dalam bentuk pengayaan DIM yang telah dibuat oleh fraksi-fraksi, melainkan
menyampaikan pula kepada mereka yang telah memberikan usulan, kritik, atau proposal
perubahan. Apalagi jika rapat-rapat pembahasan banyak yang bersifat tertutup atau lebih
banyak melakukan lobby-lobby politik yang sudah barang tentu tidak dapat dihadiri oleh
masyarakat.

2. Apakah diskursus pemindahan Ibu Kota Negara yang diselenggarakan


pemerintah sebelum dimulainya proses pembentukan undang-undang
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jo.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
88

Perundang-undangan, dapat dikategorikan sebagai perwujudan partisipasi


publik yang layak?
Proses pembentukan undang-undang menurut undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri atas proses
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan/pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting untuk secara khusus
mengelaborasi tahap ‘penyebarluasan’, yang merupakan tahapan untuk memberikan
informasi dan/atau memperleh masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, tahap ‘penyebarluasan’ berkaitan erat dengan ketentuan mengenai
partisipasi masyarakat yang dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Untuk mewujudkan jaminan hak setiap masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
pembentukan undang-undang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 membebankan
kewajiban kepada pemerintah untuk memastikan bahwa setiap rancangan undang-
undang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat dan menyelenggarakan berbagai
kegiatan yang bertujuan untuk menghimpun masukan masyarakat baik lisan maupun
tertulis, yang dapat dilakukan dalam bentuk rapat dengan pendapat umum, kunjungan
kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Meskipun pengaturan mengenai ‘penyebarluasan’ di dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 diletakkan pada urutan terakhir, tidak selalu berarti bahwa
‘penyebarluasan’ merupakan tahapan paling akhir dalam rangkaian proses pembentukan
undang-undang. Hal ini dikarenakan, kewajiban penyebarluasan tidak hanya dibebankan
bagi rancangan undang-undang yang telah diundangkan, namun dibebankan pula pada
tahap perancanaan (penyusunan Prolegnas), penyusunan rancangan undang-undang,
dan pembahasan rancangan undang-undang. Dengan demikian, maka kewajiban
pemerintah untuk menyediakan informasi mengenai rancangan undang-undang yang
mudah diakses oleh masyarakat dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam
rangka mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang harus
dilakukan pada tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengundangan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga tidak memberikan
pengaturan yang tegas mengenai tindakan hukum apa yang dapat dikategorikan sebagai
tindakan awal yang menentukan dimulainya sebuah proses pembentukan undang-
undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya menyatakan bahwa
‘perencanaan’ merupakan tahap awal dari serangkaian proses pembentukan undang-
undang. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, perencanaan undang-undang
89

dilakukan dengan membentuk program legislasi nasional (Prolegnas). Namun, dalam


keadaan tertentu, DPR dan Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di
luar Prolegnas. Penting untuk dipahami bahwa Prolegnas pada dasarnya tidak hanya
berisi judul-judul dari rancangan undang-undang yang direncanakan akan dibentuk
dalam kurun waktu tertentu, melainkan juga memuat berbagai keterangan lainnya, seperti
materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya
yang merupakan konsepsi rancangan undang-undang yang meliputi latar belakang dan
tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan jangkauan dan arah pengaturan.
Seluruh materi tersebut merupakan inti dari sebuah naskah akademik, sehingga dapat
diartikan bahwa rancangan undang-undang yang masuk kedalam prolegnas ataupun
yang hendak diusulkan di luar Prolegnas, wajib memiliki naskah akademik. Dengan
demikian, segala bentuk diskursus yang melibatkan publik dalam kerangka penyusunan
naskah akademik merupakan bagian dari proses pembentukan undang-undang.
Namun, pertanyaan lainnya yang lebih penting untuk dijawab adalah mengapa
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 membebankan tanggungjawab kepada
pemerintah untuk melakukan ‘penyebarluasan’ dengan cara-cara yang partisipatif hampir
di setiap tahapan pembentukan undang-undang?
Sebagaimana kita pahami bahwa ajaran negara hukum tidak hanya mengenal due
process semata-mata hanya dalam pengertian prosedural, malainkan juga dalam
pengertian yang substantif atau kita kenal dengan istilah substantive due process.
‘Procedural due process’ mempersoalkan apakah pemerintah telah mengikuti prosedur
yang memadai pada saat mengambil keputusan, sedangkan ‘substantive due process’
mempersoalkan apakah pemerintah telah memberikan justifikasi yang memadai atas
dikeluarkannya sebuah keputusan.
Berkaitan dengan procedural due process ini, Hans Kelsen mengatakan bahwa
fungsi pembentukan undang-undang merupakan sebuah fungsi penuh (total function)
yang terdiri dari beberapa bagian fungsi (partial function). Artinya, prosedur pembentukan
undang-undang merupakan rantai tindakan hukum (chain of legal acts) untuk
menghasilkan undang-undang, sebagai sebuah tindakan negara yang penuh dengan
cara yang sah. Sebagai sebuah rantai tindakan maka prosedur merupakan serangkaian
tahapan yang akan memperlambat dan mempersulit proses pembentukan undang-
undang. Pelambatan tersebut penting untuk memastikan bahwa undang-undang yang
dibentuk telah melalui deliberasi yang cukup, serta agar warga negara terinformasi
dengan baik mengenai adanya undang-undang yang akan dibentuk atau diubah. Dari
90

perspektif demokrasi, terinformasinya warga negara mengenai adanya rencana


pembentukan atau perubahan undang-undang menjadi penting, karena akan
memberikan kesempatan bagi warga untuk melakukan diskursus publik, bahkan apabila
diperlukan demonstrasi untuk menolak sebuah rancangan undang-undang yang
berpotensi merugikan publik.
Pada sisi inilah procedural due process memiliki korelasi dengan substantive due
process, yakni procedural due process bertujuan untuk memastikan substantive due
process berupa undang-undang yang berkualitas dapat terpenuhi. Berkualitas yang
dimaksud tentunya merujuk pada undang-undang yang merepresentasikan kepentingan
warga negara secara kolektif. Oleh karena itu, Prosedur pembentukan undang-undang
tidak boleh dilihat semata sebagai ketentuan proses yang tidak memiliki korelasi terhadap
undang-undang yang dihasilkan.
Menurut pendapat ahli, proses pembentukan undang-undang yang baik akan
menghasilkan undang-undang yang baik pula. Proses pembentukan undang-undang
yang buruk seringkali menghasilkan undang-undang yang menguntungkan kepentingan
kelompok tertentu dibanding menguntungkan publik secara kolektif. Intervensi
kepentingan kelompok dalam pembentukan undang-undang dapat terjadi secara halus
bahkan tak tampak, hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh filsuf kenamaan,
Joseph Raz yang mengatakan “A ruler can promote general rules based on whim or self-
interest, etc., without offending against the rule of law”.
Pada kesempatan ini, ahli merasa penting pula untuk menyampaikan bahwa
pembentukan undang-undang pada dasarnya merupakan tindakan mentransformasi,
apa yang disebut oleh Edgar Bodenheimer sebagai sumber hukum non-formal menjadi
sumber hukum formal. Sumber hukum non-formal dalam hal ini dapat berupa prinsip
hukum, nilai moral, doktrin, hingga kecenderungan sosial. Dengan kata lain, pembentuk
undang-undang menerjemahkan “what the law should be” menjadi “what the law is”.
Namun, sumber hukum nonformal seperti prinsip hukum, nilai moral, doktrin, dan
kecenderungan sosial memang merupakan sesuatu yang relatif. Boleh jadi suatu prinsip
berkontestasi dengan prinsip yang lain, suatu nilai moral bertentangan dengan nilai moral
lain, suatu doktrin berbeda dengan doktrin lain, bahkan interpretasi mengenai apa yang
sedang menjadi kecenderungan sosial tidak pernah tunggal. Dalam proses pembentukan
undang-undang bisa saja terdapat pertentangan antara satu sumber hukum non-formal
dengan sumber hukum non-formal yang lain. Oleh karena itu, prosedur pada dasarnya
bertujuan untuk memastikan bahwa pembentuk undang-undang benar-benar
91

melaksanakan tugasnya untuk mengurai dan menimbang berbagai sumber hukum


nonformal tersebut agar dapat menghasilkan undang-undang yang paling rasional.
Persoalannya, badan pembentuk undang-undang seringkali melihat pembentukan
undang-undang semata sebagai ranah politik kekuasaan, bukan ranah penalaran (realm
of power, not reason). Mekanisme pengambilan keputusan dalam pembentukan undang-
undang seringkali lebih memperlihatkan pertarungan kekuatan politik, bukan pertarungan
argumentasi untuk menghasilkan undang-undang yang paling rasional. Pembentukan
undang-undang menjadi perkara siapa yang memiliki suara paling banyak, bukan siapa
yang memiliki argumentasi paling rasional. Pada akhirnya, undang-undang hanya
menjadi resultante dari sebuah permainan kekuasaan (a power game) yang
dimenangkan oleh kepentingan yang menguasai lebih banyak suara, bukan
dimenangkan oleh suara yang mewakili paling banyak kepentingan.
Padahal proses pembentukan undang-undang tidak bisa dilihat sebagai formalitas
politik semata. Pembentuk undang-undang harus dapat menghasilkan undang-undang
yang memiliki legitimasi, memenuhi legalitas, dan rasional. Aspek legitimasi dan legalitas
dapat selesai dengan pendekatan institutional dan prosedural yang baik. Tetapi untuk
menghasilkan undang-undang yang rasional, pembentuk undang-undang harus
melaksanakannya berdasarkan prinsip-prinsip pembentukan undang-undang dan
ketaatan yang tinggi terhadap etika dalam bernegara. Meminjam istilah dari Hannele
Isola-Meiettinen, perkara legitimasi dan legalitas dapat dicapai ‘solely through rule-based
norms’, tetapi menciptakan undang-undang yang rasional hanya dapat dicapai apabila
disertai kemauan untuk mengikuti ‘legal principles’.

3. Apakah proses harmonisasi sebuah rancangan undang-undang yang


dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu pula
melibatkan partisipasi publik secara layak?
Terdapat beberapa tujuan melakukan harmonisasi, yaitu:
1. Menjamin keterpaduan hukum sebagai satu sistem hukum.
2. Menjamin keterpaduan peraturan perundang-undangan, baik sebagai subsistem
hukum maupun sistem perundang-undangan.
3. Menjamin kepastian hukum.
4. Menjamin kemudahan penegakan, pelaksanaan, dan pelayanan hukum untuk
mewujudkan penegakan, pelaksanaan, pelayanan hukum secara layak (proper),
proporsional (proportionality), benar dan adil (rightness and justice).
92

5. Menghindari tindakan sewenang-wenang dalam penegakan hukum.


6. Memberikan kemudahan prediksi, ekspektasi dan kepastian bagi aktivitas warga
yang terkait dengan peraturan perundang-undangan atau hukum pada umumnya.
Partisipasi publik merupakan salah satu dari prinsip pembentukan perundang-
undangan yang wajib dipatuhi oleh pembentuk undang-undang dalam setiap proses
pembentukan undang-undang, yakni sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan,
hingga pengesahan. Partisipasi publik juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai hukum
bagi pembentuk undang-undang (law for the law makers).
Partisipasi publik sebagai salah satu prosedur dalam pembentukan undang-
undang merupakan hal yang penting dalam negara demokrasi, bahkan partisipasi publik
seringkali disebut sebagai jantung dari demokrasi yang kuat (heart of strong democracy).
Pelaksanaan partisipasi publik juga sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia
yang dimiliki oleh masyarakat, yakni hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard);
hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be
explained).
Agar hak-hak tersebut terpenuhi dengan baik dalam proses pembentukan undang-
undang, maka partisipasi publik yang dilaksanakan harus bersifat dua arah dengan
adanya dialog antara masyarakat dengan pembentuk undang-undang, Jürgen Habermas
mengistilahkan hal tersebut sebagai dialogic participation. Artinya, partisipasi publik yang
dilakukan bukan hanya sekedar mendengar apa kebutuhan, keinginan, dan pendapat
masyarakat, namun juga mempertimbangkan pendapat tersebut dan menjelaskan
kepada publik apakah pendapatnya dapat diterima ataukan tidak. Pembentuk undang-
undang juga tidak seharusnya pasif dan bersifat menunggu partisipasi dari masyarakat,
namun pembentuk undang-undang dituntut untuk aktif mendengarkan secara langsung
apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Dalam proses harmonisasi, tentu saja terdapat kemungkinan bahwa substansi dari
rancangan undang-undang yang telah dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat perlu
diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila hal tersebut
terjadi, maka masyarakat berhak untuk mengetahui hal tersebut, dan berhak untuk
dilibatkan dalam perumusan norma-norma alternatif yang rasional dan harmonis dengan
norma-norma lainnya. Apabila proses harmonisasi tidak dilakukan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat, maka hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas
93

pendapat yang diberikan (right to be explained) yang dimiliki masyarakat akan berpotensi
terlanggar dan menghilangkan kesempatan warga negara untuk mengomunikasikan
kepentingan-kepentingan mereka.
Maka dari itu sejatinya proses harmonisasi perlu dilaksanakan dengan melibatkan
partisipasi publik yang layak, dan tidak dilaksanakan dengan waktu yang singkat dan
tergesa-gesa. Hal ini sejalan dengan pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa
salah satu cara melakukan harmonisasi adalah mendengar pendapat publik, disamping
cara-cara lainnya, seperti adanya perencanaan, program, pendapat ahli, dan
menerapkan asas kehati-hatian.1 Proses harmonisasi yang dilakukan oleh pembentuk
undang-undang dilaksanakan secara transparan kepada publik, dan publik diberikan
kesempatan pula untuk memberikan pendapatnya, sehingga partisipasi yang dialogis
dapat tercipta sehingga dapat menghasilkan undang-undang berkualitas dan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat.

PENUTUP
Perkara ini menjadi penting sebagai pembelajaran kita dalam bernegara, termasuk
untuk meneguhkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebagai The Supreme Law of The
Land, salah satunya fungsi dan tujuannya adalah untuk membatasi kekuasaan
pembentuk undang-undang. Dengan demikian, di dalam ajaran supremasi konstitusi,
berbagai ketentuan prosedural yang mengatur mengenai pembentukan hukum
merupakan bagian yang materil dari sebuah konstitusi dan bertujuan untuk menciptakan
‘parliamentary constraint’, mencipatakan ‘the limited governement’, dan menjamin
demokrasi dijalankan sesuai dengan konstitusi.

2. Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH., LLM.

Keterangan ini akan menguraikan perihal pengujian Formil-Konstitusionalitas Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (disingkat UU IKN) terhadap UUD
Tahun 1945. Sehubungan pengujian formil-konstitusionalitas UU IKN tersebut,
keterangan ini akan menjelaskan beberapa hal, yakni: 1) UU IKN tidak memenuhi
principles of good regulatory practice); 2) Constitutional Values dan Moralitas
Konstitusional dalam UU IKN; 3) Abuse of the legislation Process UU IKN; dan, 4)
Kesimpulan.
94

1) UU IKN Tidak Memenuhi Principles of Good Regulatory

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif


(bersama presiden/pemerintah), tunduk pada prinsip-prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik (the principle of good regulatory practice). Tujuan
lahirnya prinsip ini ialah sebagai guidance bagi para pembentuk undang-undang dalam
merumuskan dan/atau membuat suatu rancangan undang-undang, agar suatu undang-
undang yang dibuat dapat memberikan manfaat, kepastian, dan keadilan bagi seluruh
warga negara. Meskipun prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik tidak sebutkan secara expressive di dalam materi muatan konstitusi (UUD
1945), bukanlah berarti bahwa prinsip tersebut tidak dapat dijadikan sebagai batu uji
konstitusionalitas sah atu tidaknya suatu undang-undang. Secara tidak langsung, the
principles of good regulatory practice merupakan pengejawantahan dari ketentuan Pasal
1 ayat (3), dan Pasal 22A UUD 1945. Oleh karena itu, dalam praktik pengujian undang-
undang di Mahkamah Konstitusi, prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai salah
satu batu uji. Artinya, sejauh mana proses pembentukan suatu undang-undang telah
memenuhi prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undang yang baik (the
principles of good regulatory practice). Sah atau tidaknya suatu pembentukan undang-
undang dapat juga dilihat dari aspek pendekatan prinsip-prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.

Secara praktik, teknik pembentukan peraturan perundang-undang terdiri dari


serangkaian prosedural dan metode dalam penyusunannya, yang dilakukan atas dasar
teori dan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Maksud dan tujuan dari proses prosedural dan metode tersebut ialah untuk menjamin
keabsahan atau konstitusionalitas dari suatu undang-undang.

Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, ada begitu banyak
asas-asas yang harus dipatuhi dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-
undangan. I.C. van der Vlies (1987), membagi asas-asas pembentukan peraturan negara
yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam dua bentuk, yaitu asas
formil dan materil. Adapun asas-asas formal dalam pembentukan peraturan perundang
– undangan meliputi:

1) asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

2) asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);


95

3) asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

4) asas dapat dilaksanakannya (het beginsel van uitvoerbaarheid); dan,

5) asas konsensus (het beginsel van consensus).

Sedangkan asas-asas materil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,


ialah:

1) asas terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminology en duidelijke systematiek);

2) asas dapat diketahui/dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

3) asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheids beginsel);

4) asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); dan,

5) asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de


individuele rechtsbedeling).

Dalam konteks sistem hukum Indonesia, asas-asas pembentukan peraturan perundang-


undangan telah dinormakan dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012,
sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan Pasal 5 UU a quo secara tegas menyatakan bahwa
pembentukan peraturan perundang–undangan haruslah dilakukan berdasarkan asas-
asas pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

1) asas kejelasan tujuan;

2) asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

3) asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

4) asas dapat dilaksanakan;

5) asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) asas kejelasan rumusan; dan,

7) asas keterbukaan (partisipasi masyarakat).

Kedudukan asas-asas tersebut di atas dalam pembentukan peraturan perundangan


sangatlah penting. I.C. van der Vlies (1987) menjelaskan bahwa asas tidaklah semata-
mata menuruk pada norma kepatutan (fatsoen), tetapi asas melampaui norma kepatutan
96

(fatsoen), walaupun tidak dapat dinyatakan seberapa jauh suatu asas-asas melampaui
norma kepatutan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut adalah rambu-rambu


lalu lintas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh
karena itu, asas-asas tersebut dapat menjadi dasar untuk menguji dan/atau menilai sah
atau tidaknya (konstusional atau inkonstitusional) baik formil maupun materil suatu
undang-undang. Artinya, apakah suatu undang-undang yang dibentuk oleh DPR
bersama Pemerintah telah memenuhi prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan
yang baik (principles of good regulatory practice).

Dalam permohonan pengujian formil UU IKN yang diajukan di Mahkamah Konstitusi, para
pemohon telah menguraikan fakta-fakta hukum yang menjadi dasar pengujian
konstitusionalitasnya, bahwa proses pembentukan UU IKN telah melanggar beberapa
asas principles of good regulatory practice, di antaranya; bertentangan asas kejelasan
tujuan; asas kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan; asas dapat
dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; dan asas keterbukaan. Asas
keterbukaan misalnya, DPR dan Pemerintah secara jelas mengabaikan asas ini. Padahal
ketentuan Pasal 89 UU No. 12 Tahun 2011, sebagaimana diubah dengan UU No. 15
Tahun 2019, mewajibkan bagi DPR dan Pemerintah agar melakukan penyebarluasan
terhadap suatu RUU untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Asas lain yang secara jelas dilanggar oleh DPR dan Pemerintah ialah asas partisipasi
masyarakat (public). Asas partisipasi publik merupakan salah satu pilar utama dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. DPR dan Pemerintah
berkewajiban untuk menfasilitasi dan/atau mendengarkan masukan partisipasi publik
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewajiban konstitusional
ini diatur dalam ketentuan Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, telah diubah dengan
UU No. 15 Tahun 2019, menyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Penyampaian partisipasi masyarakat tersebut dilakukan melalui; a) rapat dengar
pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau, d) seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi.
97

Goran Forbici, dkk, dalam “Handbook Civil Participation in Decision-Making Process”,


menjelaskan bahwa keterlibatan publik dalam proses pembentukan undang-undang
(termasuk juga pembuatan kebijakan) dapat memberikan beberapa manfaat bagi
Administrasi Negara, yaitu;

1. Smart regulations for growth, investment, innovation, market openness


and support to the rule of law: involvement of different stakeholders
(business associations, trade unions, CSOs, academia …) significantly
contributes to better analysis of impact of new or amended policies and
legislation and it serves as a very important tool of evidence-based policy
making (deliberation of different alternatives and solutions).

2. Verification of the need for new regulation: only those that are affected by
the regulation can help the state administration to detect concrete challenges
and needs. Inclusive process can either confirm the need for proposed
solutions, or reject them and helps to find better ones.

3. Early detection of potential barriers and unintentional negative effects of


proposed regulations: the public can often better pin the potential barriers
and aspects that were overlooked and helps to prevent potential negative
consequences.

4. Quicker and easier implementation: with well thought-through solutions and


bigger ownership of the public, the implementation of the regulation is much
easier.

5. Early conflict resolution: During participative processes, stakeholders often


express different views and opinions. With taking them on board, the chances
for stakeholders to oppose the regulation at a later stage are significantly
decreased.

6. Higher legitimacy of decisions and higher public trust in public


administration: through participation in policy-making, stakeholders develop
ownership and responsibility for community. They better understand the
regulations and accept them, even if they somewhat negatively affect them.

Perlu dipahami bahwa keterlibatan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-
undang (maupun pembuatan kebijakan) merupakan kewajiban konstitusional bagi
legislatif (bersama pemerintah). Kewajiban konstitusional ini tersirat dalam ketentuan
98

Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Partisipasi publik
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hak-hak
konstitusional yang dijamin oleh konstitusi, di mana para pembentuk undang-undang
berkewajiban (wajib hukumnya) untuk memfasilitasi keterlibatan publik dalam setiap
proses legislasi. Pengabaian terhadap kewajiban tersebut merupakan pelanggaran
konstitusional dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sehubungan peran dan pelibatan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-
undang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-
XVIII/2020, perkara Pengujian Formil UU 11/2020, menyatakan bahwa masalah lain yang
harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah
partisipasi masyarakat (termasuk asas keterbukaan). Lebih lanjut, putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut menyatakan bahwa;

“Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan


undang- undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi
yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama
bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih
jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional
berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam
pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila
pembentukan undang-undang dengan proses dan mekanisme yang justru
menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut
serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan
pembentukan undang- undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat
(people sovereignty)”.

Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, semakin menegaskan bahwa peran


partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan
kewajiban konstitusional DPR (bersama pemerintah) sebagai bagian dari pelaksanaan
prinsip demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipasi. Di Afrika Selatan misalnya, di
mana keterlibatan publik dalam proses pembentukan undang-undang telah menjadi
pusat yurisprudensi konstitusional. Sifat, ruang lingkup dan tugas untuk menfasilitasi
partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang pertama kali diuraikan
dalam kasus Doctors for Life International v Speaker of the National Assembly tahun
2006. Dalam perkara tersebut beberapa undang-undang yang diuji ke Mahkamah
Konstitusi Afrika Selatan, meliputi; the Choice on Termination of Pregnancy Amendment
Act 38 of 2004, the Sterilisation Amendment Act 3 of 2005, the Traditional Health
Practitioners Act 35 of 2004, dan the Dental Technicians Amendment Act 24 of 2004.
99

Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut mendalilkan bahwa the


National Council of Provinces (“NCOP”) dan the Provincial Legislatures tidak memenuhi
kewajiban konstitusionalnya untuk menfasilitasi partisipasi dalam proses pembentukan
undang-undang sebagaimana disyaratakan oleh konstitusi (maupun undang-undang).
Artinya, para pembentuk undang-undang diharuskan (wajib) untuk melibatkan partisipasi
publik baik lisan (dengar pendapat) maupun tertulis sebelum suatu rancangan undang-
undang disahkan. Dalam perkara pengujian tersebut, Mahkamah memutuskan bahwa
karena the National Council of Provinces (“NCOP”) dan the Provincial Legislatures tidak
menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk mendengarkan partisipasi publik, maka
tindakan kedua lembaga tersebut dianggap melanggar ketentuan konstitusi, sehingga
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memutuskan bahwa undang-undang tersebut tidak
sah (inkonstitusional prosedural).

Lebih lanjut, masih dalam konteks Afrika Selatan. Kewajiban untuk memfasilitasi dan/atau
mendengarkan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang dapat juga
dilihat dalam perkara Matatiele Municipality v President of the Republic of South Africa
tahun 2006. Dalam perkara ini Parlemen mengadopsi the Twelfth Amendment of 2005
dan the Cross-Boundary Municipalities Laws Repeal and Related Matters Act 23 of 2005
to alter boundaries of KwaZulu-Natal and the Eastern Cape. Undang-undang ini
merupakan undang-undang pemindahan Kotamadya Matatiele dari Provinsi KwaZulu-
Nata ke provinsi Eastern Cape. Pengujian konstitusionalitas undang-undang tersebut
masih menyangkut masalah partisipasi publik, di mana para pembentuk undang-undang
mendemarkasi ulang Kotamadya Matatiele dan memindahkannya tanpa berkonsultasi
dengan orang-orang yang terkena dampak.

Secara khusus, pengujian undang-undang tersebut mendalilkan bahwa badan legislatif


KwaZulu-Natal tidak menjalankan dan/atau melanggar kewajibannya konstitusionalnya
untuk melibatkan partisipasi publik di wilayah Matatiele selama proses pembentukan
undang-undang. Unsur-unsur Amandemen Kedua Belas yang berkaitan dengan
pemindahan Matatiele tidak sesuai dengan Konstitusi (maupun undang-undang), karena
prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan dalam perkara tersebut memutuskan bahwa undang-undang tersebut
Inkonstitusional (tidak sah), dengan dasar pertimbahngan hukum bahwa proses
pembentukan Undang-Undang Pemindahan Ibu Kotamadya Matatiele tersebut tidak
melibatkan partisipasi publik. Hal ini semakin menegaskan bahwa partisipasi publik
100

adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembentukan undang-undang. Artinya,
setiap undang-undang yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik merupakan suatu
pelanggaran terhadap kewajiban konstitusional para pembentuk undang-undang.
Karenanya, setiap undang-undang yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik
(minim partisipasi publik) dapat dinyatakan inkostitusional (inkonstitusional
prosedural/cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi.

Seperti halnya di Afrika Selatan, peran serta masyarakat (partisipasi publik) dalam proses
penyusunan dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan juga diadopsi di
Indonesia, sebagaimana telah diatur secara khusus dalam undang-undang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut
“mewajibkan” (wajib hukumnya) bagi para pembentuk undang-undang
(parlemen/legislatif) untuk menfasilitasi dan/atau mendengarkan partisipasi publik dalam
proses penyusunan suatu rancangan undang-undang. Kewajiban tersebut bukan hanya
sekedar kewajiban biasa yang tidak memiliki implikasi hukum. Pelanggaran terhadap
kewajiban tersebut memiliki implikasi konstitusionalitas terhadap suatu undang-undang,
dalam artian undang-undang tersebut menjadi inkonstitusional, sebagaimana ketentuan
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, dikatakan bahwa:

Ayat (1): “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau


tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.

Ayat (2): “Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b.
kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi”.

Pelibatan peran serta masyarakat (partisipasi publik) dalam proses penyususan dan/atau
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah salah satu prasyarat
yang “wajib” dipenuhi dan dilakukan oleh para pembentuk undang-undang. Apabila
proses pembentukan suatu rancangan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik
(minus partisipasi dari rakyat) maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan
inkonstitusional.
101

2) Constitutional Values dan Constitutonal Morality dalam pembentukan UU IKN

Mahkamah Konstitusi memainkan peran penting dalam menegakkan supremasi hukum


sebagai tindakan yang membentuk dan mengarahkan prilaku politik pemerintah. Salah
satunya melalui pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang yang dibentuk oleh
badan legislatif (bersama pemerintah). Peran penting Mahkamah Konstitusi sebagai
penegak supremasi hukum berfungsi sebagai pengawas konstitusi, pelindung
konstitusionalitas, legalitas, kebebesan dan hak-hak warga negara dalam sistem hukum
nasional.

Perlu dipahami bahwa konstitusionalitas proses pembentukan undang-undang bukan


hanya menyangkut persoalan prosedural (konstitusionalitas formil) dan substantif
(konstitusional materil) saja. Tetapi konstitusionalitas pembentukan suatu undang-
undang dapat dilihat lebih dari perspektif tersebut, termasuk mencakup nilai-nilai
konstitusional dan moralitas konstitusional yang tersirat di dalam konstitusi (UUD 1945).
Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan
berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata
negara. Pendekatan ini dapat dijadikan dasar penilaian untuk menilai apakah undang-
undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawas dan pelindung konstitusi (konstitusionalitas), dapat
melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses pengujian konstitusionalitas
dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional untuk menilai
konstitusionalitas suatu undang-undang.

Dalam konsep hukum tata negara modern, ruang lingkup dan batasan konstitusionalitas
suatu undang-undang tidak lagi dilihat dari aspek formil dan materilnya. Pendekatan
konstitusionalisme dapat digunakan untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-
undang. Meminjam konsep Adam N. Steinman, yang mengkaji tentang pembentukan
atau pembuatan hukum oleh lembaga judicial (hakim). Bahwa putusan-putusan lembaga
judicial (hakim) yang sifatnya membentuk atau membuat hukum dapat dinilai
konstitusionalitasnya. Walaupun terdapat perdebatan apakah lembaga judicial (hakim)
menemukan hukum atau membuat hukum. Bagi penganut aliran legal formalism meyakini
bahwa hakim menemukan hukum, sedangkan aliran legal realism berpandangan bahwa
hakim membentuk atau membuat hukum. Terlepas dari perdebatan dan perbedaan
pandangan dari kedua aliran hukum tersebut, ada konsep menarik dari Adam N.
Steinman sehubungan dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan pengujian
102

konstitusionalitas yang relevan untuk diterapkan dalam pengujian konstitusionalitas


undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Adam N. Steinman menjelaskan bahwa pembentukan hukum oleh badan legislatif dan
judicial (hakim) memiliki perbedaan fundamental, dimana badan legislatif terbatas pada
batasan konstitusional prosedural dan substantif, sedangkan pembentukan hukum oleh
lembaga judicial (hakim) melalui putusan tidak memiliki batasan konstitusional. Padahal
pembentukan hukum oleh lembaga judicial melalui putusannya bersifat mengikat dan
dapat berlaku selamanya. Menurut, Adam N. Steinman, menjelaskan bahwa pembuatan
atau pembentukan hukum oleh lembaga judicial haruslah juga dinilai
konstitusionalitasnya dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional. Artinya, ada
pendekatan nilai-nilai konstitusional yang dapat digunakan untuk menilai
konstitusionalitas suatu undang-undang.

Pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi tidaklah lagi dibatasi pada aspek


formil dan materil-nya saja. Tetapi pengujian konstitusionalitas tersebut dapat dilakukan
dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional yang hidup di
dalam konstitusi itu sendiri. Dalam pandangan Sherry Arnstein, dikatakan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan seringkali dilakukan hanya sekadar
“gimmick” memenuhi aspek formilnya seperti partisipasi, aspirasi, proses, prolegnas,
dan sebagainya. Tetapi masalah substansi, nilai-nilai konstitusionalitas, moralitas
konstitusional, dan lain-lain dikesampingkan oleh para pembentuk undang-undang. Oleh
karena itu, Adam N. Steinman mengusulkan suatu gagasan pengujian konstitusionalitas
dengan pendekatan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, khususnya hukum tata negara.
Menurutnya, ada beberapa doktrin dan/atau aliran hukum yang relevan digunakan untuk
menilai konstitusionalitas suatu undang-undang, yaitu; formalisme, realisme, legal
process, positivisme, dan studi hukum kritis.

Pertama, legal formalism, - biasanya dipahami sebagai gagasan bahwa pembentukan


undang-undang ditentukan oleh persyaratan formal hukum dan doktrin hukum; Kedua,
realisme hukum, - aliran hukum ini mendasarkan pandangan mereka mengenai
ketidaktentuan atau ketidak-jelasan rumusan dalam hukum sehingga mendasarkan pada
metode penafsiran, yakni cara membaca undang-undang yang bertentangan atau
menafsirkan preseden; Pandangan Philip Bobbitt menggambarkan hal ini dengan baik
dalam bukunya tentang Constitutional Interpretation, yang mengidentifikasi “enam
modalitas” penafsiran untuk menemukan kebenaran konstitusional, yaitu: (1) historical –
103

relying on the intentions of framers and ratifiers of the constitutions); (2) textual – looking
to the meaning of the words of the constitution alone, as they would be interpreted by the
average contemporary man on the street); (3) structural – inferring rules from the
relationship that the constitution mandates among the structure it sets up); (4) doctrinal –
applying rules generated by precedent); (5) ethical – deriving rules from those moral
commitments of American (Indonesian) ethos that are reflected in the constitution); dan,
(6) prudential – seeking to balance the costs and benefits of a particular rule).

Ketiga, legal process, - teori ini menekankan pada kompetensi institusional lembaga
pembuat undang-undang; Mazhab hukum ini berusaha untuk menganalisis peran khusus
yang diberikan secara politis kepada pembentuk undang-undang, apakah ruang lingkup
batas-batas konstitusional dari proses pembentukan undang-undang telah dijalankan
sebagaimana yang diartikulasikan dalam konstitusi, Undang-Undang tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun prinsip-prinsip pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik (principles of good regulatory practice).

Keempat, positivism, - prinsip dasar dari positivisme hukum (doktrin Austin & Bentham)
adalah apa yang dianggap sebagai hukum dalam masyarakat pada dasarnya merupakan
masalah fakta sosial. Oleh karena itu, positivisme berfokus pada aturan “pengakuan
masyarakat” (partisipasi publik) untuk mengidentifikasi tindakan pembentuk hukum
(undang-undang) yang sah. Konstitusionalisme dalam banyak hal merupakan konsep
positivistik sebab berupaya mengidentifikasi aturan yang mengatur bagaimana hukum
(undang-undang) itu dibuat.

Kelima, Critical Legal Studies (CLS), - aliran hukum ini sangat populer di bidang ilmu
hukum. Kritik utama mazhab hukum ini ialah bahwa tidak ada prinsip hukum yang benar-
benar netral. Bahwa pembentuk undang-undang bertindak berdasarkan prinsip-prinsip
yang tidak netral seperti, alasan politik, ideologis, ekonomi, dan lain-lain. Walaupun, para
pembentuk undang-undang berada dalam keadaan tidak netral tidaklah menjadi masalah
selama mereka bertindak berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional, nilai-nilai
konstitusional, dan moralitas konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang.

Meskipun nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional tidaklah secara eksplisit


ditemukan dalam konstitusi, setidaknya Identifikasi terhadap kedua prinsip-prinsip
konstitusional tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan doktrin dan teori
dalam hukum tata negara modern. Mengingat kedua prinsip-prinsip konstitusional
104

tersebut merupakan nilai-nilai yang hidup di dalam konstitusi itu sendiri. Dalam konsep
konstitusionalisme memberikan seperangkat nilai dan prinsip, dan inti dari nilai dan
prinsip tersebut adalah supremasi hukum. Pada prinsipnya, konstitusionalisme
mewujudkan banyak nilai, sebagaimana dalam pandangan Geraldine Fraser Moleketi,
menjelaskan bahwa: “Constitutionalism” embodies values such as voice, participation,
representation, non-discrimination, transparency, accountability, the rule of law,
separation of powers, judicial independence, and human rights, including the right to
effective remedies, to enumerate but a few.

Secara prinsip nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional merupakan prinsip


nilai yang bersifat universal, berkaitan dengan baik dan buruk. Dalam konteks teori
hukum tata negara, nilai-nilai konstitusional sebagian dikodifikasi dalam konstitusi
sebagai nilai dasar konstitusional, sementara nilai-nilai yang tidak diatur dalam konstitusi
menjadi nilai-nilai yang hidup di dalam konstitusi itu sendiri. Ada yang berpandangan
bahwa nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional telah dirumuskan pada saat
pertama kali konsitusi dirumuskan (dibuat), dan tugas utama hukum adalah
melestarikannya melalui penasfiran. Namun, dalam pandangan konsep hukum tata
negara modern (sosiolog konstitusionalisme), yang menganut paham living constitution,
dikatakan bahwa nilai-nilai konstitusional, moralitas konstitusional, makna dan maksud
dari teks konstitusi haruslah ditasirkan dalam konteks masa kini (seiring perkembangan
zaman) yang hidup untuk menentukan apa yang layak (baik-buruk) secara konstitusional.

3) Penyalahgunaan Aturan Prosedur Pembentukan UU IKN (abuse of the


legislation process)

Hampir negara-negara di seluruh dunia memiliki aturan main tentang pembentukan


peraturan perundang-undangang dalam sistem hukumnya. Aturan hukum tersebut
biasanya diatur secara khusus dalam bentuk undang-undang yang disebut dengan
undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang menjadi
guidens bagi para pembentuk undang-undang dalam menyusun suatu rancangan
undang-undang. Artinya, undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan mengatur mengenai apa yang harus dipenuhi dalam proses pembentukan
undang-undang dan dengan prosedur apa hal tersebut dilakukan.

Proses pembentukan undang-undang oleh legislatif biasanya dibatasi oleh konstitusi


dan/atau undang-undang yang mengatur batas-batas prosedural dan substantif pada
105

fungsi pembentukan undang-undang. Karena, undang-undang yang tidak memenuhi


syarat prosedural dan substantif (materi muatan) tidaklah konstitusional dan dapat
dibatalkan. Sehingga, konstitusionalitas suatu undang-undang bergantung pada
prasyarat konstitusional yang harus dipatuhi oleh para pembentuk undang-undang.

Selain melanggar principles of good regulatory practice, cacat formil, dan tidak membuka
ruang partisipasi publik, ternyata proses pembentukan UU IKN tersebut juga
mengabaikan substansi materi muatan yang diatur di dalamnya. Sehingga proses
pembentukan UU IKN tersebut dapat dikatakan tidak melalui proses kajian yang
mendalam dan komprehensif dengan melibatkan banyak pakar yang berkaitan dengan
substansi dan materi muatan yang akan diatur.

Apabila melihat tahapan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara


(RUU IKN), yang dimulai dari tanggal 3 November 2021 s/d 18 Januari 2022, yang
diselesaikan hanya dalam kurung waktu 42 hari sejak panitia khusus (pansus) dibentuk
hingga disetujui dan disahkan menjadi sebuah undang-undang. Proses ini tergolong
sangat cepat (fast track legislation) untuk pembahasan sebuah rancangan undang-
undang yang sangat strategis yang memiliki dampak luas, terutama menyangkut masa
depan pemerintahan Indonesia di masa mendatang. Biasanya undang-undang yang
dibuat secara “cepat” (ekspres) cenderung memiliki banyak kekurangan (cacat) dalam
proses pembentukannya (abuse of the legislation process).

Penggunaan istilah fast track legislation kuranglah tepat untuk menggambarkan proses
pembentukan UU IKN. Istilah yang tepat disematkan terhadap proses pembentukan UU
IKN tersebut ialah bypass law-making procedures. Kesan sangat “terburu-buru” dan
“ugal-ugalan” terlihat jelas dalam proses pembentukannya. Sebagaimana kita ketahui
bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut
soal pembahasan dan pengesahan saja. Namun, pembentukan peraturan perundang-
undangan memiliki serangkaian proses prosedural yang “sakral” yang harus dipenuhi
dalam setiap proses tahapannya. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan
membutuhkan waktu yang cukup panjang dimulai dari tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Tiap-tiap
tahapan dalam proses tersebut terdapat serangkaian proses (prosedural) yang harus
dijalankan. Apabila salah satu proses dari tiap-tiap tahapan tersebut tidak dijalankan oleh
DPR (bersama Pemerintah), maka pembentukan undang-undang tersebut dapat
dikatakan cacat formil atau inkonstitutional procedure.
106

Dalam beberapa study maupun literatur, konsep abuse of process (penyalahgunaan


proses) lebih kepada penggunaan prosedur hukum perdata atau pidana yang tidak tepat
untuk alasan yang tidak disengaja, buruk, dan alasan yang salah. Pada bagian
keterangan ini, konsep abuse of process yang dimaksud ialah dalam perspektif hukum
tata negara, secara khusus konsep abuse of process dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Agar dapat diperoleh suatu pemahaman konsepsi mendalam
terlebih dahulu akan diuraikan konsep abuse of process dalam doktrin-doktrin ilmu
hukum.

Menurut Kamus the Law Dictionary, abuse of process ialah “Legal action that is regarded
by the courts as misuse or even abuse of the legal process”. Artinya, Tindakan hukum
yang oleh pengadilan dianggap sebagai penyalahgunaan atau bahkan penyalahgunaan
proses hukum. Lebih lanjut, dalam Black’s Law Dictionary, dijelaskan bahwa konsep
abuse of process adalah “The improper and tortious use of a legitimately issued court
process to obtain a result that is either unlawful or beyond the process's scope. Also
termed abuse of legal process; malicious abuse of process; malicious abuse of legal
process; wrongful process; wrongful process of law”. Singkatnya, penyalahgunaan
proses (abuse of process) merupakan suatu kesalahan yang dilakukan secara sengaja
tanpa mengikuti prosedural hukum untuk tujuan tertentu.

Tobi Goldoftas, menjelaskan bahwa “Abuse of process means perversion of process to


accomplish some illegal purpose for which the process was not legally intended”. Bahwa
abuse of process adalah penggunaan proses itu sendiri dengan cara yang salah, sengaja
dan melawan hukum. Artinya, penyalahgunaan proses (abuse of process) merupakan
suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja yang tidak sesuai dengan proses atau
prosedur hukum yang mendasarinya. Menurut, Charles G. Bretz Jr., setidaknya ada dua
unsur dari abuse of process; (1) an ulterior motive; dan, (2) an act not proper or within the
scope of the process;. Unsur-unsur dari penyalahgunaan proses (abuse of process)
menekankan adanya unsur motif yang tersembunyi, serta adanya tindakan yang tidak
tepat dalam ruang lingkup proses.

Praktik proses legislasi di Indonesia akhir-akhir ini, perlahan-perlahan menggerogoti


pilar-pilar dasar demokrasi konstitusional dan prinsip-prinsip supremasi hukum (rule of
law). Pemerintah saat ini seakan-akan memanfaatkan partai koalisi mayoritasnya di
parlemen untuk menjalankan program politiknya dalam bentuk pembentukan undang-
undang, seperti UU Cipta Kerja, Revisi UU KPK, dan secara khusus dalam keterangan
107

ini ialah UU IKN. Proses legislasi yang dilakukan oleh DPR (parlemen) nampaknya telah
kehilangan nilai moralitas dan etika konstitusionalnya dalam proses penyusunan UU IKN.
Hal ini terlihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran prosedural
(termasuk juga substansi) dalam proses pembentukannya. Prinsip supremasi hukum dan
partisipasi publik telah disimpangi. Padahal kerangka hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan sudah mensyaratkan secara tegas agar pembentuk undang-
undang melaksanakan prosedur yang benar secara hukum dalam menyusun suatu
rancangan undang-undang.

Berkaca dari pengujian UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh
Mahkamah Konstitusi adalah “bukti nyata” buruknya proses legislasi yang dilakukan
secara “terburu-buru”. Selain prosesnya yang tidak demokratis, juga terdapat begitu
banyak penyimpangan atau pelanggaran dalam prosesnya, baik prosedur maupun
substansinya.

Hal fundamental dalam proses pembentukan undang-undang adalah aspek prosedural.


Apakah proses pembentukan suatu undang-undang tersebut telah dilakukan sesuai
dengan kerangka hukum yang mendasarinya. Mengingat pentingnya aspek prosedural
dalam pembentukan undang-undang, maka pengujian konstitusionalitas prosedural
(formil) pun menjadi penting. Di beberapa negara di dunia kompetensi peradilan
(Mahkamah Konstitusi) meluas ke pengujian konstitusionalitas proses pembentukan
undang-undang, tanpa mempertimbangkan substansi materi muatan suatu undang-
undang. Oleh karena itu, pengujian konstitusinalitas di Mahkamah Konstitusi dapat dibagi
menjadi dua model pengujian, yaitu; pengujian konstitusional substantif dan prosedural.
Pertama, pengujian konstitusional substantif ialah berkaitan dengan materi muatan suatu
undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi; Kedua, pengujian konstitusional
prosedural adalah pengujian yang terkait langsung dengan tindakan pembentuk undang-
undang (parlemen) dalam proses penyusunan undang-undang.

Apabila melihat proses tahapan pembentukan UU IKN yang sifatnya bypass law-making
process, di mana DPR dan Pemerintah secara jelas dan tegas melanggar kewajiban
konstitusionalnya dalam aspek prosedural seperti melakukan penyebarluasaan informasi
(asas keterbukaan) UU IKN, dan tidak membuka ruang partisipasi publik terhadap UU
IKN. Maka, dapat disimpulkan bahwa DPR dan Pemerintah melakukan praktik abuse of
the legislation process dan/atau penyimpangan prosedural dalam proses pembentukan
108

UU IKN, sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan hukum untuk menyatakan UU IKN
tersebut inkonstitusional (inkonstitusional prosedural).

4) Kesimpulan

Berdasarkan uraian penjelasan-penjelasan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut


di atas, Keterangan ini menarik kesimpulan bahwa; Pertama, melihat fakta hukum
minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU IKN, maka sudah sebaiknya
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa para pembentuk undang-undang (DPR
bersama pemerintah) telah melakukan pelanggaran konstitusional. Karena tidak
menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menfasilitasi dan/atau membuka ruang
partisipasi publik secara luas, dan secara khusus kepada masyarakat yang terkena
dampak langsung terhadap pemindahan Ibu Kota Negara, seperti halnya kasus
pemindahan Ibu Kotamadya Matatiele di Afrika Selatan. Kedua, Proses pembentukan
UU IKN (baik secara formil maupun materil) telah melanggar prinsip nilai-nilai
konstitusional dan moralitas konstitusional, baik yang sudah dirumuskan dalam konstitusi
maupun nilai-nilai konstitusional yang hidup (living constitution). Ketiga, melihat fakta
hukum yang ada bahwa proses pembentukan UU IKN yang dilakukan secara cepat (fast
track), yang mana proses pembentukannya dilakukan secara “tergesa-gesa” atau “ugal-
ugalan” telah banyak melanggar aspek prosedural (by pass law-making procedures)
dan/atau dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan
demokrasi partisipasi. Proses legislasi seperti ini memenuhi kriteria sebagai praktik abuse
of the legislation process. Dengan demikian, proses pembentukan UU IKN adalah
inkonstitusional prosedural.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan
pada 21 April 2022 dan telah pula menyampaikan keterangan tertulis yang diterima
Mahkamah pada 25 Mei 2022, pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:

I. KETENTUAN UU IKN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI


TAHUN 1945
Dalam permohonan a quo, Para Pemohon mengajukan pengujian formil
terhadap UU IKN yang pada intinya Para Pemohon beranggapan bahwa proses
pembentukan UU IKN telah bertentangan dengan konstitusi karena:
109

- Dalam Perkara 25
a. Dalam proses pembentukan UU IKN tersebut dilakukan dengan begitu cepat
dan cenderung tergesa-gesa sehingga tidak membuka ruang partisipasi publik
secara maksimal;
b. Tidak dilibatkannya Para Pemohon untuk berpartisipasi (memberikan saran
dan masukan) dalam proses pembentukan UU IKN;
c. Naskah akademik RUU IKN tidak menuangkan nilai-nilai historis dan filosofis;
dan
d. Pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kejelasan tujuan, asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan
materi muatan, asas dapat dilaksanakan dan asas keterbukaan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan (vide Perbaikan Permohonan
hlm. 17-81).
- Dalam Perkara 34
a. Tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak
untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan
(right to be explained) (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14); dan
b. Lampiran II UU 3/2022 tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah
dibahas serta tidak tersedia pada saat persetujuan bersama (vide Perbaikan
Permohonan hlm. 28).
Para Pemohon beranggapan bahwa proses pembentukan UU IKN berpotensi
melanggar hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 1
ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, yang selengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.”
110

Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:


“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Bahwa dalam petitumnya Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi hal-hal sebagai berikut:
1. Menyatakan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766), tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain,
mohon kiranya dapat memberikan putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
111

II. KETERANGAN DPR


DPR terlebih dulu menerangkan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tenggat waktu pengajuan pengujian formil
undang-undang dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-
undang dimuat dalam lembaran negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum atas keberlakuan undang-undang tersebut. Jika status undang-undang yang
diajukan pengujian formil lebih cepat diketahui apakah telah dibuat secara sah atau
tidak maka undang-undang tersebut batal sejak awal.

A. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON


Bahwa merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada sidang 25
November 2021, mengenai parameter kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon dalam pengujian secara formil, Mahkamah Konstitusi menyatakan:

“Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009,


bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.9] mempertimbangkan sebagai berikut:

“… bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat


secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak
serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian
materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam
pengujian formil Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai
hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang
dimohonkan. Adapun syarat adanya hubungan pertautan yang langsung
dalam pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya
kepentingan dalam pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan oleh
Mahkamah sampai saat ini, karena akan menyebabkan sama sekali
tertutup kemungkinannya bagi anggota masyarakat atau subjek hukum
yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian
secara formil …” (vide Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 hlm. 379).
Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian
UU IKN secara formil dalam Perkara a quo, DPR memberikan pandangan
berdasarkan parameter kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang
dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian secara formil
sebagaimana berikut:
112

- KEDUDUKAN HUKUM PARA PEMOHON PERKARA 25


1. Bahwa Pemohon I, Pemohon III, Pemohon XII, dan Pemohon XIV yang
berprofesi sebagai Dosen, Guru, dan Pensiunan Dosen dan Pemohon II
yang berprofesi sebagai Wiraswasta dan pengurus Badan Hukum Yayasan
Pengkajian Sumber Daya Indonesia serta Pemohon XXIV yang merupakan
mahasiswa sekaligus Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang
Jakarta Barat menganggap bahwa pembentukan UU a quo dilakukan
secara cepat, sehingga Para Pemohon merasa tidak memiliki kesempatan
untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan UU IKN. Para
Pemohon juga mengalami kesulitan untuk menjalankan profesinya sebagai
akibat dari dibentuknya UU a quo. Selain itu, menurut Pemohon I ketentuan
dalam UU IKN yang mengatur terkait pendanaan, penggunaan anggaran,
dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran dalam UU IKN semuanya
didelegasikan ke peraturan pelaksana yang berpotensi menimbulkan
kesewenangan (vide perbaikan permohonan hlm. 17-31).
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon I,
Pemohon II, Pemohon III, Pemohon XII, Pemohon XIV, dan Pemohon XXIV
tetap dapat melaksanakan profesinya sebagai Dosen, Guru, Wiraswasta,
dan Mahasiswa meskipun UU IKN terbentuk. Apabila Para Pemohon a quo
merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN maka perlu
dipahami bahwa dalam suatu pembentukan undang-undang melibatkan
hanya perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan yang relevan
dalam proses pembentukan UU tersebut (vide Pasal 96 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 j.o Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan selanjutnya disebut
UU Pembentukan PUU). Dalam permohonan a quo Para Pemohon sama
sekali tidak menjelaskan urgensi dilibatkannya Para Pemohon tersebut
dalam pembentukan UU a quo, sehingga, Para Pemohon tidak memiliki
hubungan pertautan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian. Pembentuk undang-undang telah mengakomodir partisipasi
publik dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan mencari masukan
dalam pembentukan UU a quo melalui pertemuan, rapat-rapat dengan
113

berbagai unsur masyarakat, akademisi dan lain sebagainya mulai proses


perencanaan, penyusunan sampai dengan pembahasan.
2. Bahwa Pemohon IV berprofesi sebagai Karyawan Swasta sekaligus Tokoh
Agama, serta Pemohon V dan Pemohon XIII yang berprofesi sebagai
Wiraswasta dan mantan Anggota DPR/MPR Periode 1999-2004
beranggapan pembentukan UU IKN tidak melibatkan masyarakat Jakarta
sebagai masyarakat yang terdampak oleh UU a quo. Selain itu, Pemohon
XIII merasa tidak bisa menjelaskan kepada masyarakat Jakarta terkait
nasib masa depan Jakarta akibat berpindahnya Ibu Kota Negara dari DKI
Jakarta ke Kalimantan (vide Perbaikan Permohonan hlm. 23-28).
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon IV,
Pemohon V, dan Pemohon XIII tidak dapat menunjukkan bukti maupun
saksi, jika pembentuk UU a quo sama sekali tidak melibatkan masyarakat
Jakarta sebagai pihak yang terdampak dari pembentukan UU IKN dan juga
tidak dapat membuktikan bahwa pembentukan UU IKN minim melibatkan
partisipasi publik. Selain itu, tidak ada hubungan pertautan antara Pemohon
XIII sebagai mantan Anggota DPR/MPR dengan keharusannya
menjelaskan kepada masyarakat Jakarta tentang UU a quo tentang ibu kota
baru. Jika pun Pemohon XIII ingin memahami latar belakang pembentukan
UU IKN guna menjelaskan kepada masyarakat Jakarta maka Pemohon XIII
dapat mendapatkan informasi kepada DPR dan Pemerintah. Oleh karena
itu dalil yang dikemukakan tersebut tidak berdasarkan fakta dan hanya
sebatas asumsi Para Pemohon a quo.
3. Bahwa Pemohon VI sampai dengan Pemohon XI yang merupakan
Purnawirawan TNI merasa pembentukan UU IKN dilakukan tanpa
mendalami nilai historis dan filosofis yang seharusnya terlihat dalam
Naskah Akademik UU IKN. Selain itu, pembentukan UU IKN dilakukan
secara cepat sehingga Pemohon VI sampai dengan Pemohon XI yang
selama menjadi anggota TNI telah memiliki banyak pengalaman dan
pengetahuan mengenai socio culture masyarakat, namun tidak dapat
memberikan masukan dalam merumuskan norma UU IKN (vide Perbaikan
Permohonan hlm. 26);
Terkait dengan dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa untuk
memahami socio culture masyarakat ataupun nilai historis dan filosofis dari
114

wilayah calon Ibu Kota Negara, pembentuk undang-undang tidak selalu


harus melibatkan para purnawirawan TNI yang pernah bertugas saja tetapi
juga bisa didapatkan dari berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat
adat, akademisi, dan ormas setempat. Selain itu, dalam Naskah Akademik
UU a quo juga telah dipaparkan nilai filosofis dan historis yang
melatarbelakangi dibentuknya UU a quo (vide Naskah Akademik hlm. 5-8,
104-117, 156-159). Sehingga, dengan tidak dilibatkannya Para Pemohon a
quo yang berprofesi sebagai Purnawirawan TNI tidak berarti pembentuk
undang-undang mengabaikan socio culture masyarakat ataupun nilai
historis dan filosofis dalam masyarakat pada pembentukan UU IKN.
4. Bahwa Pemohon XV sampai dengan Pemohon XXIII yang berasal dari latar
belakang profesi Wiraswasta, Pengacara, Karyawan Swasta, dan
Pedagang, mendalilkan bahwa sebagai Warga Negara Indonesia
(selanjutnya disebut WNI) yang pada Pemilihan Umum 2019 telah
menyerahkan kedaulatannya kepada pembentuk UU, merasa bahwa
seharusnya UU IKN diambil melalui keputusan dengan prosedur dan tata
cara yang fair dan jujur (vide Perbaikan Permohonan hlm. 29);
Terkait dengan dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa persyaratan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian secara
formil, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
hanya memberikan persyaratan adanya hubungan pertautan langsung
dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, dalil
Para Pemohon yang menyatakan telah menyerahkan kedaulatannya pada
pembentuk UU dalam Pemilu 2019 sudah sepatutnya tidak
dipertimbangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, proses
pembentukan UU IKN juga telah dilakukan sesuai dengan tahapan
pembentukan UU mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan berdasarkan UU
Pembentukan PUU, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun
2020 tentang Tata Tertib (Peraturan DPR 1/2020), dan Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-
Undang (Peraturan DPR 2/2020).
5. Bahwa secara keseluruhan Para Pemohon Perkara 25 hanya
menyampaikan ketentuan pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945
115

menjadi batu uji, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal
22A, namun Para Pemohon Perkara 25 sama sekali tidak menguraikan
dalam positanya hubungan pertautan antara hak konstitusionalnya yang
dirugikan berdasarkan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan
proses pembentukan UU a quo yang dianggap oleh Para Pemohon Perkara
25 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

- KEDUDUKAN HUKUM PARA PEMOHON PERKARA 34


1. Bahwa berdasarkan dalil Para Pemohon Perkara 34 yang menyatakan
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh pembentukan UU IKN (vide perbaikan
permohonan hlm. 9 poin 3), DPR menerangkan bahwa Para Pemohon
Perkara 34 sendiri tidak memahami dan tidak yakin dengan kerugian hak
konstitusionalnya. Kerugian yang didalilkan dalam permohonan a quo
diakui sendiri oleh Para Pemohon tersebut sebagai anggapan semata,
sehingga Para Pemohon Perkara 34 harus membuktikan kerugian
konstitusional yang dialami akibat dari pembentukan UU IKN.
2. Bahwa sebagaimana telah dikutip sebelumnya, dalam pertimbangan hukum
Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 Paragraf [3.9],
Mahkamah telah membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat
secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak
serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian
materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam
pengujian formil undang-undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai
hubungan pertautan yang langsung dengan undang-undang yang
dimohonkan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka terdapat
perbedaan parameter kedudukan hukum pemohon dalam pengujian
materiil dan formil. Sedangkan parameter yang disebutkan Para Pemohon
dalam permohonan a quo hlm. 9 poin 5 adalah parameter untuk pengujian
materiil. Dengan demikian Para Pemohon Perkara 34 tidak dapat
memahami kedudukan hukumnya dalam pengajuan pengujian secara
formil.
3. Terkait dengan anggapan bahwa Para Pemohon Perkara 34 memiliki hak
konstitusional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan 28F
116

UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi dasar pengujian formil UU a quo, DPR
menerangkan bahwa:
a. Batu uji dalam pengujian formil hanya terbatas pada ketentuan yang
mengatur kewenangan dan prosedur dibentuknya undang-undang
dalam UUD NRI Tahun 1945, yang secara konstitusional dapat diuji
terhadap:
1) Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pembentukan undang-
undang harus tetap berdasarkan pada konsep negara hukum;
2) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dalam
hal kewenangan pengajuan RUU;
3) Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pembentukan undang-
undang harus dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan Bersama;
4) Pasal 20 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, jika rancangan undang-
undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu 6 tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu;
5) Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang; dan
6) Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
b. Sehingga pasal batu uji yang didalikan Para Pemohon Perkara 34
sebagaimana terlampir dalam permohonan a quo hlm. 10 poin 6 adalah
tidak tepat. Meskipun demikian DPR menerangkan bahwa, hak Para
Pemohon tersebut atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945. Pembentukan undang-undang a quo justru ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia juga untuk mewujudkan
Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan
117

serta menjadi acuan bagi dan penataan wilayah lainnya di Indonesia


kedepan.
c. Selain itu, hak Para Pemohon a quo untuk memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya telah terjamin
dengan proses pembentukan UU IKN yang terbuka dan dapat diikuti
secara langsung oleh masyarakat melalui live streaming di akun
youtube DPR RI. Selain itu, seluruh tahapan proses pembentukan UU
IKN telah dilalui oleh pembentuk undang-undang serta dapat dipantau
oleh masyarakat melalui website DPR: https://www.dpr.go.id/
uu/detail/id/368.
4. Para Pemohon hanya menyampaikan berbagai alasan yang sama sekali
tidak memiliki pertautan dengan UU a quo. DPR menegaskan tidak ada
ketentuan dalam UU a quo yang mengurangi hak konstitusional Para
Pemohon untuk menjalankan profesinya sebagai PNS (Pemohon I,
Pemohon III, dan Pemohon XIX), Dosen (Pemohon II, Pemohon IV,
Pemohon VII, Pemohon XIII, dan Pemohon XV), Karyawan Swasta
(Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X,
Pemohon XI, dan Pemohon XXI), Mengurus Rumah Tangga (Pemohon XII),
Pensiunan (Pemohon XIV dan Pemohon XVIII), Wiraswasta (Pemohon XVI
dan Pemohon XVII) dan Wartawan (Pemohon XX). Adapun concern Para
Pemohon Perkara 34 tersebut tidak lantas menjadikan Para Pemohon
Perkara 34 memiliki keterkaitan dengan UU a quo.
5. Bahwa Para Pemohon a quo tidak menguraikan hubungan pertautannya
dengan UU IKN sehingga jelas bahwa kerugian yang didalilkan tersebut
merupakan asumsi Para Pemohon a quo saja yang bahkan Para Pemohon
tidak dapat menguraikan secara konkret kerugiannya atas dibentuknya UU
IKN. Selain itu, Para Pemohon Perkara 34 yang memiliki latar belakang
yang berbeda tentunya memiliki pertautan yang berbeda khususnya dalam
kaitannya dengan kerugian konstitusionalnya dalam pembentukan UU a
quo, namun hal ini tidak diuraikan oleh Para Pemohon Perkara 34 sehingga
menjadi tidak jelas pertautan seperti apa yang dimiliki Para Pemohon
tersebut terhadap UU IKN. Dengan demikian, Para Pemohon tidak dapat
membuktikan memiliki pertautan langsung dengan UU a quo.
118

- KEDUDUKAN HUKUM PARA PEMOHON PERKARA 25 DAN PARA


PEMOHON PERKARA 34 MENGENAI DALIL SEBAGAI PEMBAYAR PAJAK
(TAX PAYER)
Bahwa Para Pemohon 25 dan Para Pemohon 34 juga mendalilkan
bahwa sebagai pembayar pajak yang merasa memiliki kepentingan dalam
pengujian UU a quo, dikarenakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang salah satu pendapatannya bersumber dari pungutan pajak
tersebut digunakan/dialihkan sebagian untuk pembangunan ibu kota baru (vide
Perbaikan Permohonan Perkara 25 hlm. 36) ditambah adanya pemungutan
pajak khusus dan/atau pungutan khusus, dan terlebih pandemi Covid-19
sampai saat ini masih terjadi yang seharusnya masih berlaku kebijakan
anggaran darurat kesehatan (vide Perbaikan Permohonan Perkara 34 hlm. 11-
14).
Terhadap dalil Para Pemohon sebagai tax payer, DPR menerangkan
sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah melalui putusan-putusannya telah menegaskan bahwa
terhadap pembayar pajak (tax payer) hanya dapat diberikan kedudukan
hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di
Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan
kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian
aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya
Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
76/PUU-XII/2014, bertanggal 22 September 2015).
2. Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf a UU IKN mengatur mengenai
sumber pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu
Kota Negara, dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota
Nusantara, yang salah satunya berasal dari APBN yang tidak serta merta
Ketentuan tersebut menjadikan UU IKN berkaitan dengan keuangan negara,
khususnya sumber dari masukan perpajakan. UU IKN mengatur mengenai
Ibu Kota Negara di Indonesia yang didasari oleh urgensi pemindahan Ibu
Kota Negara yang sebelumnya telah disampaikan oleh Presiden pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada
tanggal 16 Agustus 2019. Pemindahan tersebut didasari oleh terpusatnya
kegiatan perekonomian di Jakarta dan Jawa yang mengakibatkan
119

kesenjangan ekonomi Jawa dan luar Jawa. Selain itu, terdapat hasil kajian
yang menyimpulkan bahwa Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban
peran sebagai Ibu Kota Negara. Hal itu diakibatkan oleh pesatnya
pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi
lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Oleh
karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat
mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan
pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur
Indonesia. Penyusunan UU IKN menjadi dasar pengaturan yang dapat
memenuhi harapan atas suatu bentuk Ibu Kota Negara yang ideal dan
sebagai acuan bagi pembangunan dan penataan kawasan perkotaan lainnya
di Indonesia (vide Penjelasan Umum UU IKN).
3. Bahwa UU IKN tidak mengatur mengenai keuangan negara sehingga dalil
Para Pemohon sebagai tax payer tidak tepat apabila digunakan sebagai
dasar pengujian UU IKN di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Para Pemohon
juga tidak menguraikan secara spesifik dan aktual adanya kerugian
konstitusional yang dialami atas berlakunya UU a quo.
4. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara
digunakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk
mencapai tujuan bernegara. Sehingga, pembangunan Ibu Kota Negara yang
merupakan salah satu dari kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan
sudah jelas dibiayai dengan anggaran yang bersumber salah satunya APBN.
Selain bersumber dari APBN, pendanaan dalam rangka mendukung
persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan
pemerintah khusus IKN juga bersumber dari skema kerja sama pemerintah
dan badan usaha, skema partisipasi badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki negara termasuk BUMN/swasta murni, skema
dukungan pendanaan/pembiayaan internasional, skema pendanaan lainnya
(creative financing), dan skema melalui pemanfaatan Barang Milik Negara
(BMN), seperti sewa, kerja sama pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS),
dan Bangun Serah Guna (BSG) (vide Lampiran II UU IKN hlm. 123-124).
Dengan demikian, penggunaan APBN sebagai salah satu sumber
pendanaan dalam rangka mendukung persiapan, pembangunan, dan
120

pemindahan serta penyelenggaraan pemerintah khusus IKN merupakan hal


yang lazim dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
5. Bahwa dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-
Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) pada tanggal 7 Desember 2021
pukul 19.39 WIB, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyampaikan sebagai berikut:
“Dalam hal pembiayaan Pemerintah memastikan tidak mengurangi
dan apalagi menggerus sosial transfer yang telah dan akan
dialokasikan ke depan. Pemerintah telah menghitung kebutuhan
pendanaan jangka menengah melalui APBN, Pemerintah juga akan
memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia blended
finance, skema KPBU, financial model yang marketable sehingga
meminimalkan beban APBN.” (vide Lampiran 10. hlm. 9)

Berdasarkan uraian tersebut, maka anggaran yang telah dialokasikan dalam


APBN untuk penanganan pandemi Covid-19 dan program Pemulihan
Ekonomi Nasional sama sekali tidak berkurang bahkan tidak terganggu
dengan pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu
Kota Negara, serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota
Negara Nusantara. Pemerintah telah memaksimalkan sumber-sumber
pembiayaan dengan skema pendanaan yang menggunakan analisis value
for money dengan mengedepankan manfaat sosial-ekonomi dari biaya yang
akan dikeluarkan agar APBN tidak banyak terbebani. Dengan demikian,
maka dalil Para Pemohon yang menganggap memiliki kedudukan hukum
karena memiliki kepentingan terhadap keselamatan dalam keadaan darurat
Kesehatan masyarakat akibat Covid-19 adalah dalil yang tidak berdasar dan
hanya merupakan kekhawatiran Para Pemohon.
6. Terkait dengan adanya pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota
Nusantara sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (4) UU IKN, DPR
menerangkan bahwa pajak khusus dan pungutan khusus tersebut berlaku
khusus di Ibu Kota Nusantara. Bahwa pajak dan pungutan khusus tersebut
merupakan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi salah satu
sumber pendapatan keuangan daerah yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Nusantara
sebagaimana pajak daerah dan retribusi yang berlaku di seluruh daerah.
Para Pemohon Perkara 34 tidak menguraikan bahwa Para Pemohon Perkara
121

34 berpotensi menjadi penduduk Ibu Kota Nusantara yang nantinya akan


dikenakan kewajiban untuk membayar pajak khusus dan/atau pungutan
khusus tersebut. Dengan demikian Para Pemohon Perkara 34 tidak
menjelaskan kerugian konstitusional sebagai tax payer yang bersifat
potensial dan tidak terdapat keterkaitan yang jelas antara Para Pemohon
dengan pengaturan mengenai adanya pajak khusus dan/atau pungutan
khusus dalam UU IKN.
7. Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 6 di atas, maka
Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak (tax
payer).
Berdasarkan uraian tersebut, maka DPR berpandangan bahwa Para
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian formil
UU IKN terhadap UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, terhadap kedudukan
hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian formil, DPR memohon
kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar
menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
pengajuan Permohonan perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak
dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil
undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor
62/PUU-XVII/2019.

B. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN PENGUJIAN


FORMIL UU IKN
1. PANDANGAN UMUM
a. Politik Hukum Perpindahan Ibu Kota Negara
1) Bahwa kedudukan hukum pemerintahan (rechtspositie) berdasarkan
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum yang pemerintahannya dilaksanakan
dalam ranah hukum publik dengan berprinsip negara kesejahteraan
sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD Tahun 1945
Alinea ke IV “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
122

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,


mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”
2) Berdasarkan amanah Pembukaan UUD Tahun 1945 Alinea ke IV
pemindahan Ibu Kota Negara dalam Undang-Undang a quo merupakan
salah satu bagian dari politik hukum kesejahteraan yang memiliki suatu
tujuan, misi dan visi pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Negara
sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan utama mewujudkan
kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model) bagi pembangunan
dan pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar tersebut
bertujuan untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai:
a) Kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan,
keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi
penggunaan sumber daya dan rendah karbon;
b) penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi
peluang ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi,
inovasi, dan teknologi; serta
c) simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan dalam
keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika.
b. Alasan Pokok Perpindahan Ibu Kota Negara
1) Bahwa urgensi dan wacana pemindahan Ibu Kota Negara telah dimulai
sejak bertahun-tahun lalu pada periode Orde Baru dimana Presiden
Suharto sempat menggagas pemindahan Ibu Kota negara ke Jonggol,
Jawa Barat melalui Keppres Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi
Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Namun,
rencana pemindahan ibu kota ke Jonggol tidak berlanjut seiring dengan
jatuhnya pemerintahan Orde Baru bulan Mei 1998.
2) Selanjutnya, pada Tahun 2007 urgensi dan wacana pemindahan Ibu
Kota Negara telah banyak dibicarakan kembali pada saat kampanye
pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada Tahun 2007. Wacana
pemindahan Ibu Kota Negara tersebut menyusul adanya banjir besar
yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Presiden Susilo
123

Bambang Yudhoyono juga membahas wacana pemindahan Ibu Kota


Negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada
awal Desember 2009.
3) Kemudian di awal September 2010, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengemukakan pembentukan tim kecil yang ditugaskan
untuk mengkaji ide pemindahan Ibu Kota Negara yang memunculkan 3
skenario dalam pemindahan Ibu Kota Negara, yakni tetap
mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan dilakukan
pembenahan terhadap semua permasalahan, memindahkan pusat
pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di Pulau
Jawa, atau memindahkan Ibu Kota Negara dan pusat pemerintahan ke
lokasi baru di luar pulau Jawa.
4) Pemindahan IKN didasari oleh studi kelayakan teknis untuk penentuan
lokasi IKN yang dilakukan pada tahun 2018 – 2019 menjadi dasar
pemilihan lokasi IKN yang baru. Pemindahan IKN ke Kalimantan
didasarkan pada beberapa pertimbangan keunggulan wilayah. Pertama,
dari sisi lokasi, letaknya sangat strategis karena berada di tengah-
tengah wilayah Indonesia yang dilewati alur laut kepulauan Indonesia
(ALKI) II di Selat Makassar yang juga berperan sebagai jalur laut utama
nasional dan regional. Kedua, lokasi IKN memiliki infrastruktur yang
relatif lengkap, yaitu bandara, Pelabuhan, dan jalan tol yang baik serta
ketersediaan infrastruktur lain, seperti jaringan energi dan air minum
yang memadai. Ketiga, lokasi IKN berdekatan dengan dua kota
pendukung yang sudah berkembang, yaitu Kota Balikpapan dan Kota
Samarinda. Keempat, ketersediaan lahan yang dikuasai pemerintah
sangat memadai untuk pengembangan IKN. Kelima, minim risiko
bencana alam. Pemindahan IKN ke Kalimantan sejalan dengan visi
tentang lahirnya sebuah ‘pusat gravitasi’ ekonomi baru di tengah
Nusantara. Selain itu, perencanaan IKN juga disusun berdasarkan
rekomendasi dari hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rapid
Assessment yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pada tahun 2019, dan diperdalam pada kajian KLHS
Masterplan IKN yang disusun Kementerian Perencanaan
124

Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


tahun 2020.
5) Pengaturan perpindahan IKN melalui undang-undang menjadi dasar
pengaturan yang dibenarkan dalam lingkup kepentingan menyangkut
kepentingan yang bersifat umum. Namun secara teknis diperlukan juga
suatu kebijakan sebagai landasan implementasinya sehingga penting
juga adanya pengaturan pelaksanaan teknis sesuai peraturan
perundang-undangan. Landasan hukum perpindahan IKN tersebut
diharapkan dapat sebagai acuan suatu bentuk IKN yang ideal dan
sebagai acuan bagi pembangunan dan penataan kawasan perkotaan
lainnya di Indonesia.
6) Pada Tahun 2020, pembentukan Ibu Kota Negara masuk sebagai salah
satu rencana yang masuk dalam Proyek Prioritas Strategis (Major
Project) RPJMN 2020-2024 (vide Lampiran I Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2020-2024 selanjutnya disebut Perpres 18/2020).
Pembentukan Ibu Kota Negara tersebut dilatarbelakangi salah satunya
guna meningkatkan pembangunan kawasan timur Indonesia untuk
pemerataan wilayah. Selain itu dalam Bab IX Kaidah Pelaksanaan
bagian Kerangka Regulasi Lampiran I Perpres 18/2020 pada hlm. 273,
RUU IKN masuk dalam agenda pembangunan pengembangan wilayah
untuk mengurangi kesenjangan.
7) Merujuk pada Lampiran I Perpres 18/2020 tersebut maka diperlukan
dasar hukum mengenai pembentukan Ibu Kota Negara. Sebagai tindak
lanjut, Pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk memasukkan RUU
tentang Ibu Kota Negara dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
yang kemudian diundangkan berupa UU IKN menjadi landasan
pelaksanaan perpindahan ibu kota negara sehingga seluruh
rangkaiannya mendapatkan legitimasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
8) Terkait dengan pencantuman RUU IKN ke dalam Prolegnas, DPR
menerangkan bahwa RUU IKN telah masuk mulai sejak Prolegnas
jangka panjang Tahun 2020-2024 dan setiap tahunnya selalu masuk
dalam Prolegnas Prioritas dengan perincian sebagai berikut:
125

• Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024 pada urutan ke-131


berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020
tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 (ditetapkan tanggal 17 Desember 2019) (vide
Lampiran 1);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada urutan ke-46 berdasarkan Surat
Keputusan DPR RI Nomor 1/ DPR RI/II/2019-2020 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020
(ditetapkan tanggal 22 Januari 2020) (vide Lampiran 2);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2021 pada urutan ke- 28 berdasarkan Surat
Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021
dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Perubahan Tahun 2020-2024 (ditetapkan tanggal 23 Maret 2021)
(vide Lampiran 3);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2021 pada urutan ke- 29 berdasarkan Surat
Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021
dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 (ditetapkan tanggal 30
September 2021) (vide Lampiran 4); dan
• Prolegnas Prioritas Tahun 2022 pada urutan ke-33 berdasarkan Surat
Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022
dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 (ditetapkan Tanggal 7 Desember
2021) (vide Lampiran 5).

2. PANDANGAN TERHADAP POKOK PERMOHONAN


- KETERANGAN DPR TERHADAP PERKARA 25
1. Terhadap dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa UU
IKN bertentangan dengan Asas Kejelasan Tujuan, tersebut DPR
memberikan keterangan sebagai berikut:
126

a. Bahwa penyusunan UU IKN dilatarbelakangi oleh ketiadaan undang-


undang yang secara khusus mengatur tentang Ibu Kota Negara di
Indonesia. Undang-Undang yang selama ini ditetapkan adalah undang-
undang yang mengatur fungsi ganda Jakarta, sebagai daerah otonom
provinsi sekaligus sebagai Ibu Kota Negara. Jakarta ditetapkan sebagai
Ibu Kota Negara berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya
sebagaimana diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 15 Tahun
1963. Setelah itu, berturut-turut berbagai undang-undang kembali
menetapkan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota sampai terakhir
yang masih berlaku yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Bahwa selain itu, penyusunan UU IKN juga dilatarbelakangi oleh
adanya urgensi pemindahan Ibu Kota Negara yang didasari oleh
terpusatnya kegiatan perekonomian di Jakarta dan pulau Jawa yang
mengakibatkan kesenjangan ekonomi di pulau Jawa dan di luar pulau
Jawa. Di samping itu, Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban peran
sebagai Ibu Kota Negara karena telah menjadi kota sentral ekonomi
yang diikuti dengan pesatnya pertumbuhan dan pertambahan
penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi
lingkungan yang membahayakan keberlangsungan sebuah ibu kota
negara, serta menurunnya tingkat kenyamanan dalam memperoleh
lingkungan hidup yang berkualitas. Oleh karena itu, pemindahan Ibu
Kota Negara ke pulau lain merupakan hal yang mendesak untuk
dilaksanakan sehingga dengan pemindahan tersebut diharapkan dapat
mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan
pertumbuhan perekonomian daerah di luar pulau Jawa terutama
Kawasan Timur Indonesia.
c. Hadirnya UU IKN selain menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia, juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang
aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan
bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia dan hal
tersebut juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan
127

bernegara sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu cita-cita


dalam Visi Indonesia 2045.
d. Perencanaan pembentukan IKN sebagai bagian dari program sistem
perencanaan pembangunan Negara telah tercantum dalam Lampiran
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Rincian
RPJMN ini tentu merupakan living dokumen yang dapat disesuaikan
dengan perkembangan keadaan, sehingga tidak adanya pembentukan
IKN dalam RPJMN periode 5 tahun sebelumnya tidak dapat serta merta
disimpulkan pembentukan IKN tidak terencanan secara
berkesinambungan.
e. Kesinambungan program pembentukan IKN justru terletak pada
lahirnya UU IKN itu sendiri, oleh karena itu perencanaan legislasi
menjadi titik sentralnya. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya juga, telah terdapat program legislasi nasional yang
disusun Pemerintah maupun yang disepakati dengan DPR
pembahasannya yang di dalamnya telah mencantumkan pembentukan
UU IKN.
f. Dari sisi kegiatan penunjang pembentukan IKN, terdapat program-
program di lokasi IKN yang bahkan telah dijalankan termasuk
didalamnya yang menggunakan skema anggaran Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha pada anggaran Tahun 2021.
g. Lahirnya UU IKN menjadi landasan hukum bagi Pemerintah dalam
melakukan pemindahan IKN khususnya untuk melakukan pembiayaan
dan mengalokasikan keuangan negara dalam anggaran masing-
masing Kementerian/Lembaga untuk merealisasikan pemindahan IKN
yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan
Rencana Induk IKN. Dengan demikian, pembentukan UU IKN telah
memenuhi asas kejelasan tujuan sebagaimana dimaksud dalam UU
Pembentukan PUU dan Peraturan DPR 2/2020.
2. Terhadap dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa UU
IKN bertentangan dengan Asas Dapat Dilaksanakan, tersebut DPR
memberikan keterangan sebagai berikut:
128

a. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan


peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
b. Secara filosofis, UU IKN tidak bertentangan dengan Dasar Negara
Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945. UU IKN sebagaimana
tersebut mengatur norma terkait dengan tata Kelola pemerintahan Ibu
Kota Negara yang ideal baik dari sisi pemerintahan maupun penataan
ruang dan lingkungan hidup. Selain itu, UU a quo merupakan upaya
untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
c. Secara sosiologis, pembentukan UU IKN merupakan upaya mitigasi
atas adanya dampak pembangunan IKN terhadap masyarakat
setempat yang sudah mendiami wilayah tersebut sebelum rencana
pemindahan IKN dilakukan, sehingga dapat mewujudkan strategi
sosial dalam kerangka spasial agar pembangunan dan pengelolaan
IKN dapat berlangsung secara inklusi dan menjawab tantangan
pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.
d. Secara yuridis, pembentukan UU IKN sebelumnya adalah untuk
mengatasi persoalan hukum berupa otonomi khusus yang melekat
pada pemerintahan ibu kota negara.
3. Terkait dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa
pembentukan UU IKN bertentangan dengan Asas Kesesuaian antara
Jenis, Hierarki dan Materi Muatan dikarenakan banyaknya materi muatan
yang diatur ke dalam peraturan pelaksana yang seharusnya diatur dalam
level undang-undang (vide Perbaikan Permohonan hlm. 60-61 angka 7-
13), maka DPR berpandangan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10
ayat (1) UU Pembentukan PUU mengamanatkan bahwa materi muatan
yang harus diatur dengan undang-undang, berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
129

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau


e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) UU Pembentukan PUU tersebut maka hal-
hal diluar pengaturan tersebut sudah sepatutnya dipertimbangkan oleh
pembentuk undang-undang untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan
teknis. Dalam pembahasan UU a quo, materi muatan yang didelegasikan
tersebut tentu saja sebagai suatu hasil kesepakatan oleh pembentuk
undang-undang pada saat pembahasan. Selain itu, Lampiran Nomor 198
sampai dengan 200 UU Pembentukan PUU juga tidak memberikan
larangan atau kriteria khusus mengenai hal-hal apa saja yang dapat
didelegasikan, artinya hal ini memberikan keleluasaan bagi pembentuk
undang-undang terkait dengan materi muatan apa saja yang dapat
didelegasikan selama menyebut dengan tegas ruang lingkup materi
muatan dan jenis peraturan perundang-undangan yang akan diberikan
delegasi. Pembentuk undang-undang dalam menyusun suatu undang-
undang tentunya memahami mana hal-hal yang perlu diatur dalam
tingkatan undang-undang dan mana yang dipandang tepat untuk diatur
dalam peraturan turunan. Sehingga, apabila terdapat materi muatan di
dalam UU IKN yang mendelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksana maka sudah sepatutnya dipahami bahwa ketentuan
tersebut merupakan hal-hal yang bersifat teknis sehingga dipandang tepat
untuk diatur dalam peraturan turunannya. Dengan demikian,
pembentukan UU IKN telah selaras dengan asas Kesesuaian antara
Jenis, Hierarki dan Materi Muatan dan dalil Para Pemohon Perkara 25
tersebut patut dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
4. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa
pemindahan Ibu Kota Negara telah bertentangan dengan asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan karena adanya pemborosan anggaran
(vide Perbaikan Permohonan hlm. 66), DPR memberikan keterangan
sebagai berikut:
a. Bahwa pembangunan Ibu Kota Negara yang merupakan salah satu dari
kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan sudah jelas dibiayai
dengan anggaran yang bersumber salah satunya APBN. Selain
bersumber dari APBN, pendanaan dalam rangka mendukung
130

persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan


pemerintah khusus IKN juga bersumber dari berbagai skema kerja
sama pemerintah dan badan usaha, skema partisipasi badan usaha
yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara termasuk
BUMN/swasta murni, skema dukungan pendanaan/pembiayaan
internasional, skema pendanaan lainnya (creative financing), dan
skema melalui pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), seperti sewa,
kerja sama pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS), dan Bangun
Serah Guna (BSG) (vide Lampiran II UU IKN hlm. 123-124). Dengan
demikian, penggunaan APBN sebagai salah satu sumber pendanaan
dalam rangka mendukung persiapan, pembangunan, dan pemindahan
serta penyelenggaraan pemerintah khusus IKN merupakan hal yang
lazim dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Bahwa dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) pada tanggal 7
Desember 2021 pukul 19.39 WIB, Pemerintah yang diwakili oleh
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
menyampaikan sebagai berikut:
“Dalam hal pembiayaan Pemerintah memastikan tidak mengurangi
dan apalagi menggerus sosial transfer yang telah dan akan
dialokasikan ke depan. Pemerintah telah menghitung kebutuhan
pendanaan jangka menengah melalui APBN, Pemerintah juga akan
memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia
blended finance, skema KPBU, financial model yang marketable
sehingga meminimalkan beban APBN.” (vide Lampiran 10 hlm. 9)

c. Oleh karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara tidak menyebabkan


pengalokasian anggaran yang begitu besar karena pemerintah telah
menghitung kebutuhan pendanaan dalam mendukung pemindahan Ibu
Kota Negara tersebut tanpa menganggu upaya pemulihan stabilitas
perekonomian negara dan penanganan pandemi Covid-19 dan hal
tersebut telah disampaikan kepada DPR dan disetujui oleh DPR. Ketua
Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara
(RUU IKN) Ahmad Doli Kurnia Tandjung juga menyampaikan bahwa
pelaksanaan pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan secara bertahap
hingga tahun 2044 (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/37053/t/
131

UU+IKN+Sebagai+Landasan+Hukum+Ibu+Kota+Baru). Sehingga,
pembentukan UU IKN tersebut telah selaras dengan asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan.
5. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 25 yang menyatakan bahwa
pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas keterbukaan karena
minimnya keterlibatan partisipasi publik (vide Perbaikan Permohonan hlm.
77 angka 8), DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
a. Pasal 96 UU Pembentukan PUU mengatur tentang partisipasi
masyarakat, yang selengkapnya sebagai berikut:
(1) “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

b. Bahwa DPR telah melakukan beberapa kegiatan guna menjaring


masukan dari masyarakat baik secara lisan/tulisan yaitu kegiatan
RDPU dan kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU UU a quo
yang merupakan salah satu proses pembentukan UU IKN, di antaranya:
1) RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang
Pakar), yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara);
Dr. Hendricus Andy Simarmata (perspektif hukum lingkungan);
Wicaksono Sarosa (perspektif hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan
(perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis (perspektif ilmu ekonomi)
yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021 (vide Lampiran 11).
2) RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang
Pakar), yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan);
Anggito Abimanyu (Perspektif Ekonomi dan Pendanaan
132

Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre (Aliansi Masyarakat Adat


Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi dan Governance);
dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia yang
diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17).
3) Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU tentang Ibu Kota
Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Robert Endi Jaweng
(ex KPPOD), perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P. Tumangor,
perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan Aset
Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin Perspektif
Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng
(Audiensi) Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang
diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2021 (vide Lampiran
23).
4) RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang
Pakar), yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI
IKN dalam perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali
H. Situmorang Pakar Kebijakan Publik Unas IKN dalam perspektif
Kebijakan Publik Hadir; Dr. Aminuddin Kasim, SH.MH Pakar HTN
Univ Tadulako Sulteng IKN perspektif Kelembagaan Negara Virtual;
dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset
Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC (Communication and
Information System Security Research Center Virtual), yang
diselenggarakan tanggal 11 Desember 2021 (vide Lampiran 29).
5) RDPU tentang Ibu Kota Negara dengan 7 orang pakar, yakni Prof.
Maria S.W. Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum
Pertanahan UGM; Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah
Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat Supriatna selaku Pakar Tata Ruang
Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf selaku Pakar Ekonomi; Prof.
Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti Jamaliah Lubis
selaku Presiden Kongres Advokat Indonesia; Juniver Girsang selaku
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia
yang diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2021 (vide
Lampiran 34);
133

6) Audiensi dengan Forum Dayak Bersatu tanggal 17 Desember 2021


(vide Lampiran 47);
7) Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik
Universitas Mulawarman - Kalimantan Timur yang diselenggarakan
tanggal 11 Januari 2022 (vide Lampiran 55).
8) Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik
Universitas Hasanuddin - Sulawesi Selatan dan Universitas
Sumatera Utara yang diselenggarakan tanggal 12 Januari 2022 (vide
Lampiran 57).
9) Kunjungan Anggota Pansus ke kawasan calon Ibu Kota Negara di
Penajam Paser Utara - Kalimantan Timur yang diselenggarakan
pada tanggal 14 Januari 2022 (vide Lampiran 61).
c. Bahwa berdasarkan rangkaian kegiatan tersebut, maka ruang
keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU IKN telah
dilakukan secara komprehensif dan masyarakat setiap saat dapat
mengakses seluruh data tersebut dalam website dpr.go.id secara
mudah. Adapun apabila Para Pemohon Perkara 25 tidak dilibatkan
dalam proses keterlibatan partisipasi masyarakat maka hal tersebut
bukan berarti menunjukkan bahwa pembentukan UU IKN bertentangan
dengan asas keterbukaan dalam UU Pembentukan PUU karena
sebagaimana Pasal 96 UU Pembentukan PUU, masyarakat yang
berhak memberikan masukan baik secara tertulis/lisan dalam
pembentukan suatu undang-undang adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang betul-betul memiliki keterkaitan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, patut
dinyatakan bahwa dalil Para Pemohon Perkara 25 hanya berupa
kekecewaan Para Pemohon a quo yang tidak dilibatkan dalam proses
tersebut.
6. Bahwa Para Pemohon Perkara 25 mendalilkan pada intinya proses
pembentukan UU IKN menganut fast track legislation karena diselesaikan
secara cepat sehingga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa:
134

a. Berdasarkan informasi yang diperoleh DPR dari Pemerintah, kajian


mengenai pemindahan IKN yang dilakukan oleh Bappenas telah
dilakukan sejak tahun 2017 yang kemudian ditindaklanjuti dengan
dialog nasional dengan berbagai elemen masyarakat, akademisi, dan
lembaga-lembaga kajian terkait Penyusunan Rencana Induk Ibu Kota
Negara dilakukan dengan melakukan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS). Berdasarkan kajian terkait pemindahan IKN dan
rencana induk Ibu Kota Negara disusun Naskah Akademik dan RUU
IKN, diikuti dengan berbagai diskusi dengan pakar-pakar hukum tata
negara untuk penyusunan Naskah Akademik dan RUU IKN. Presiden
Jokowi menyampaikan UU IKN secara resmi kepada DPR pada tanggal
29 september 2021.

b. Bahwa tahapan dan mekanisme pembentukan undang-undang


sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan PUU, Peraturan DPR
1/2020, dan Peraturan DPR 2/2020 tidak mengenal adanya terminologi
fast track legislation. Bahwa proses pembentukan undang-undang
dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak, bukan
diukur berdasarkan undang-undang tersebut diselesaikan dalam waktu
cepat ataupun lama. Proses pembentukan undang-undang harus
mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana
yang diatur di dalam UU Pembentukan PUU, Peraturan DPR 1/2020,
dan Peraturan DPR 2/2020 yang meliputi proses/tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Semua
proses/tahapan tersebut harus terpenuhi dan dilaksanakan oleh
pembentuk undang-undang. Pencantuman RUU IKN telah masuk ke
dalam Prolegnas, sejak Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024
dan setiap tahunnya selalu masuk dalam Prolegnas Prioritas dan dalam
proses penyusunan dilakukan oleh pemerintah, kemudian dibahas
bersama dengan DPR, disahkan dalam Rapat Pembahasan Tingkat II,
dan telah diundangkan.
135

c. Oleh karena itu dalil Para Pemohon yang menyatakan proses


pembentukan UU IKN menganut fast track legislation bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah dalil yang tidak berdasar.

- KETERANGAN DPR TERHADAP PERKARA 34


1. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 34 mengenai tidak dipenuhinya
hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right
to be explained) (vide Perbaikan Permohonan hlm. 15), DPR memberikan
keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa penempatan prinsip kedaulatan rakyat dalam proses pembentukan
undang-undang tercermin dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU MD3
yang menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi DPR dijalankan
dalam kerangka representasi rakyat. Ketentuan tersebut dijelaskan lebih
lanjut bahwa pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi
rakyat dilakukan, antara lain, melalui pembukaan ruang partisipasi publik,
transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR
kepada rakyat.
b. Fungsi legislasi DPR dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku
pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dan dilaksanakan
sesuai dengan undang-undang mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur secara lebih detail dalam peraturan
teknis berupa Peraturan DPR 1/2020 dan Peraturan DPR 2/2020. Pasal 1
angka 1 UU Pembentukan PUU menerangkan bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan mencakup 5 tahapan, yaitu tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan
pengundangan. Kelima tahapan tersebut harus dilakukan dalam kerangka
representasi rakyat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pembentukan undang-undang.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan PUU, masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan melalui RDPU, kunjungan
kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
136

Ketentuan pasal a quo tidak menentukan batas minimal atau maksimal


jumlah masyarakat yang dapat memberikan masukan. Bahkan ketentuan
Pasal 96 ayat (3), membatasi definisi dari masyarakat adalah orang
perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan atas
substansi, antara lain kelompok atau organisasi masyarakat, kelompok
profesi, LSM, dan masyarakat adat. Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka DPR telah mengundang dan melakukan kegiatan RDPU, audiensi,
dan konsultasi publik dengan berbagai elemen masyarakat yang memiliki
kepentingan terhadap RUU IKN sebagai representasi untuk memberikan
masukan terhadap RUU IKN sebagaimana yang telah dijelaskan di
beberapa poin di atas.
d. Proses pembentukan UU IKN telah memenuhi seluruh tahapan
pembentukan undang-undang sebagaimana dijabarkan sebagai berikut:

1) Tahap Perencanaan
DPR menerangkan dan menegaskan bahwa RUU IKN telah masuk
mulai sejak Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024 dan setiap
tahunnya selalu masuk dalam Prolegnas Prioritas dengan perincian
sebagai berikut:
• Prolegnas jangka panjang Tahun 2020-2024 pada urutan ke-131
berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-
2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Tahun 2020-2024 (Ditetapkan tanggal 17 Desember 2019)
(vide Lampiran 1);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada urutan ke-46 berdasarkan
Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2020 (Ditetapkan tanggal 22 Januari 2020) (vide Lampiran 2);
• Prolegnas Prioritas Tahun 2021 pada urutan ke-28 berdasarkan
Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Perubahan Tahun 2020-2024 (Ditetapkan tanggal 23 Maret
2021) (vide Lampiran 3);
137

• Prolegnas Prioritas Tahun 2021 pada urutan ke- 29 berdasarkan


Surat Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 (Ditetapkan tanggal 30
September 2021) (vide Lampiran 4); dan

• Prolegnas Prioritas Tahun 2022 pada urutan ke-33 berdasarkan


Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024. (Ditetapkan Tanggal 7
Desember 2021) (vide Lampiran 5).

2) Tahap Penyusunan
RUU IKN merupakan usul Presiden, sehingga penyusunan RUU dan
Naskah Akademik dilakukan oleh Pemerintah.

3) Tahap Pembahasan

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


1. Selasa, 7 Rapat Intern Pansus Pemilihan dan penetapan
Desember 2021 RUU tentang Ibu Kota Pimpinan Pansus RUU
pukul 14.00 WIB Negara tentang Ibu Kota Negara.
(Rapat bersifat Intern)
– selesai
Undangan:
(vide Lampiran 9) - seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota).
138

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


pukul 19.00 WIB Rapat Kerja Pansus RUU Dengan Menteri
– selesai tentang Ibu Kota Negara PPN/Bappenas, Menteri
(vide Lampiran 10) (Rapat bersifat Terbuka) Keuangan, Menteri
ATR/BPN, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Hukum dan
HAM, dan DPD RI dengan
agenda acara:
1. Penjelasan Pemerintah
mengenai RUU tentang
IKN;
2. Pandangan Fraksi-
Fraksi terhadap
Penjelasan Pemerintah;
3. Pandangan DPD RI;
4. Tanggapan Pemerintah;
5. Pengesahan Jadwal
Acara dan
Mekanisme Pembahasan
RUU; dan
6. Pembentukan Panja.
Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota);
- Perwakilan Pemerintah (5
Kementerian sesuai Surat
Presiden) beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
2. Rabu, 8 Desember RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 5 pakar yaitu:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Dr. Wicipto Setiadi
(Perspektif Hukum Tata
– selesai
Negara)
(vide Lampiran 11) 2. Dr. Hendricus Andy
Simarmata (Perspektif
Hukum Lingkungan)
3. Wicaksono Sarosa
(Perspektif Hukum
Lingkungan)
4. Dr. Asep Sofyan
(Perspektif Lingkungan)
5. Dr. Nurkholis (Perspektif
Ilmu Ekonomi)

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota).
139

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


3. Kamis, 9 Desember RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 5 pakar yaitu:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Prof. Paulus Wirutomo
– selesai (Perspektif Sosiologi
(vide Lampiran 17) Kemasyarakatan)
2. Dr. Anggito Abimanyu
(Perspektif Ekonomi,
Investasi, BMN,
Pengalihan Aset dan
Pendanaan
Berkelanjutan)
3. Dr. Fadhil Hasan
(Perspektif Ilmu Ekonomi,
Investasi, BMN,
Pengalihan Aset, dan
Pendanaan
Berkelanjutan)
4. Erasmus Cahyadi Terre
(Perspektif Masyarakat
Adat dan Humaniora)
5. Avianto Amari (Perspektif
Ibu Kota Negara dan
Kebencanaan)

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(56 orang Anggota).
4. Jumat, 10 Desember RDPU dan Audiensi Menghimpun masukan-
2021 Pansus RUU tentang Ibu masukan dari 3 pakar dan 2
pukul 19.30 WIB Kota Negara aliansi masyarakat:
– selesai (Rapat bersifat Terbuka) 1. Mukti Ali, Ph.D.
(vide Lampiran 23) (Perspektif Perencanaan
Wilayah dan GIS)
2. Dr. Master P. Tumanggor
(Perspektif Ekonomi)
3. Bapak Robert Endi
Jaweng (Perspektif
Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal
serta Pengalihan Aset)
4. Dr. Suharyono S.
Hadiningrat (Ketua
Umum Lembaga Kajian
Strategis – Inspirasi
Merah Putih Indonesia)
5. Mohammad Djailani,
S.E., M.B.A. (Ketua
Umum Aliansi Pimpinan
Ormas Daerah (AORDA)
140

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


Kalimantan Timur)

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
5. Sabtu, 11 Desember RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 4 pakar:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Prof. Satya Arinanto,
– selesai S.H., M.H. (Perspektif
(vide Lampiran 29) Hukum Tata Negara)
2. Dr. Chazali H.
Situmorang (Perspektif
Kebijakan Publik)
3. Dr. Aminudin Kasim,
S.H., M.H., (Perspektif
Kelembagaan Negara)
4. Dr. Pratama
Dahlian Persadha
(Perspektif Teknologi
Informasi)

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
6. Minggu, 12 RDPU Pansus RUU Menghimpun masukan-
Desember 2021 tentang Ibu Kota Negara masukan dari 7 pakar:
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) 1. Prof. Maria S.W.
– selesai Soemardjono, S.H.,
(vide Lampiran 34) MCL., M.P.A (Perspektif
Pertanahan/Agraria)
2. Prof. Haryo Winarso,
M.Eng., Ph.D.
didampingi Dr. Ir. Denny
Zulkaidi M.U.P.
(Perspektif Kelembagaan
dan Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)
3. Prof. Arief Anshory Yusuf
S.E., M.Sc., Ph.D
(Perspektif Ekonomi dan
Pembangunan)
4. Ananda B. Kusumah
(Perspektif Kelembagaan
dan Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)
5. Dr. Yayat Supriatna,
M.S.P. (Perspektif Tata
Ruang dan Agraria)
6. Dr. Trubus
141

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


Rahadiansyah, S.H.
(Perspektif Kelembagaan
dan Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)
7. Dr. Juniver Girsang, S.H.,
M.H. (Perspektif
Kelembagaan dan
Kebijakan Publik
Pembentukan IKN)

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota).
6. Senin, 13 Rapat Intern Pansus Penetapan Pimpinan dan
Desember 2021 RUU tentang Ibu Kota Anggota Panja RUU tentang
pukul 10.30 WIB Negara Ibu Kota Negara
– selesai (Rapat bersifat Terbuka)
(vide Lampiran 40) Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota)

pukul 14.30 WIB Rapat Kerja dengan Penyampaian pandangan


– selesai Pemerintah Pemerintah Terhadap Panja
(vide Lampiran 41) (Rapat bersifat Terbuka) RUU tentang IKN

Undangan:
- seluruh Anggota Pansus
(30 orang Anggota);
- Perwakilan Pemerintah (5
Kementerian sesuai Surat
Presiden) beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
pukul 15.00 WIB Rapat Panja RUU Pembahasan DIM
– selesai tentang Ibu Kota Negara Substansi dan Redaksional
(vide Lampiran 43) (Rapat bersifat Terbuka) (29 DIM)
DIM 1,2, 3, dst.

Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan Pemerintah
beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
7. Selasa, 14 Rapat Panja RUU Pembahasan DIM Substansi
Desember 2021 tentang Ibu Kota Negara dan Redaksional Mulai DIM
pukul 14.00 WIB (Rapat bersifat Terbuka) nomor 35
142

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


– selesai Undangan:
(vide Lampiran 45) - Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan Pemerintah
beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
8. Rabu, 15 Desember Rapat Panja Pembahasan DIM Substansi
2021 Pembahasan RUU dan Redaksional
pukul 14.00 WIB tentang Ibu Kota Negara
– selesai (Rapat bersifat Terbuka) Undangan:
(vide Lampiran 46) - Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan Pemerintah
beserta jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
9. Jumat, 17 Audiensi Diterima oleh Pertemuan dengan Forum
Desember 2021 Ketua Pansus di Ruang Dayak Bersatu (FDB)
pukul 13.00 WIB Tamu Pansus
– selesai (Rapat bersifat Terbuka)
(vide Lampiran 47)
10. 18-24 Desember 2021 Jadwal acara dan Daftar Berisi jadwal kegiatan dan
(vide Lampiran 48) Tim Kunjungan Kerja daftar nama Tim Pansus
Luar Negeri Pansus RUU RUU IKN yang melakukan
IKN ke Amerika Serikat kunjungan kerja ke Amerika
Serikat dari 18-24 Desember
2021

11. 2-5 Januari 2022 Jadwal acara dan Daftar Berisi jadwal kegiatan dan
(vide Lampiran 49) Tim Kunjungan Kerja daftar nama Tim Pansus
Luar Negeri Pansus RUU RUU IKN yang melakukan
IKN ke Kazakhtan kunjungan kerja ke
Kazakhtan dari 2-5 Januari
2022
12. Kamis, 6 Januari 2022 Rapat Tim Perumus Rapat dibuka dan dipimpin
Pukul 14.00 – 16.00 oleh Ketua Tim
WIB R. Rapat Pansus B Perumus/Wakil Ketua
(vide Lampiran 50) (Rapat bersifat Tertutup) Pansus Saan Mustopa.

Rapat diskors/ditutup untuk


memberikan kesempatan
kepada Fraksi-Fraksi
mempelajari konsep rumusan
yang telah disampaikan.
Undangan:
- Anggota Tim Perumus
143

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


(11 orang Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
13. Senin, 10 Januari 2022 Rapat Tim Perumus Rapat dibuka dan dipimpin
Pukul 20.00 – 22.30 Hotel Fairmont/Langham oleh Ketua Tim
WIB (Rapat bersifat Tertutup) Perumus/Wakil Ketua Pansus
(vide Lampiran 53) Saan Mustopa

Rapat diskors/ditutup untuk


memberikan kesempatan
kepada Fraksi-Fraksi
mempelajari darft RUU yang
telah disampaikan oleh
Pemerintah.

Undangan:
- Anggota Tim Perumus
(11 orang Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
14. Selasa, 11 Januari 2022 Rapat Tim Perumus Penjelasan Pemerintah dan
Pukul 14.00 – 17.00 R. Rapat Pansus B penyerahan draf hasil
WIB (Rapat bersifat Terbuka) penyempurnaan rumusan
(vide Lampiran 54) Undangan:
- Anggota Tim Perumus
(11 orang Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
15. Selasa, 11 Januari 2022 Kunjungan ke Konsultasi Publik dengan
(vide Lampiran 55) Universitas Mulawarman Civitas Akademika dan
Universitas se-Kalimantan
Timur
16. Rabu, 12 Januari 2022 Rapat Panja Pembahasan Laporan Tim
Pukul 14.00 – 22.30 (Rapat bersifat Perumus dan Tim
WIB Tertutup) Sinkronisasi kepada Panja
(vide Lampiran 56)
Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
144

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
17. Rabu, 12 Januari 2022 Kunjungan ke Konsultasi Publik dengan
(vide Lampiran 57 dan Universitas Sumatera Civitas Akademika
58) Utara Universitas Sumatera Utara

Diikuti oleh Anggota Pansus

Kunjungan ke Konsultasi Publik dengan


Universitas Hasanudin Civitas Akademika
Makasar Universitas Hasanudin

Diikuti oleh Anggota Pansus

18. Kamis, 13 Januari 2022 Rapat Panja Pembahasan Laporan Tim


Pukul 15.00 – 20.30 (Rapat bersifat Terbuka) Perumus dan Tim
(vide Lampiran 59) Sinkronisasi kepada Panja
(Rapat Terbuka)

Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
19. Jumat-Sabtu 14-15 Kunjungan Kerja Ke 1. Peninjauan Lokasi IKN
Januari Kalimantan Timur Via Udara;
2022 2. Pertemuan LSM dan
(vide Lampiran 61) tokoh masyarakat ;
3. Pertemuan oleh Wakil
Gubernur, Bupati Kutai
Kartenegara, Bupati
PPU.

Diikuti oleh Anggota Pansus


145

NO TGL KEGIATAN KETERANGAN


20. Senin, 17 Januari 2022 Rapat Panja Melanjutkan Pembahasan
Pukul 10.00 – 00.30 (Rapat bersifat Terbuka) RUU tentang Ibu Kota
WIB Negara
(vide Lampiran 62)
Undangan:
- Anggota Panja (16 orang
Anggota);
- Perwakilan
Pemerintah beserta
jajaran;
- Perwakilan DPD RI
beserta jajaran.
21. Senin, 18 Januari 2022 Rapat Kerja dengan Rapat Kerja dengan:
Pukul 01.30 – 03.00 Pansus dengan 1. Menteri
WIB Pemerintah dan DPD PPN/Kepala Bappenas
(vide Lampiran 63) (Rapat bersifat Terbuka) beserta jajaran;
2. Menteri Dalam
Negeri beserta jajaran;
3. Menteri Keuangan
beserta jajaran;
4. Menteri Agraria dan Tata
Ruang beserta jajaran;
5. Menteri Hukum dan HAM
beserta jajaran; dan
6. DPD RI beserta jajaran

Agenda:
1. Laporan Panja ke Pansus,
2. Pendapat Akhir Mini
Fraksi- Fraksi,
3. Pendapat DPR RI,
4. Pengambilan Keputusan,
5. Penandatanganan
Naskah RUU,
6. Sambutan Pemerintah.
22. Selasa, 18 Januari 2022 Rapat Paripurna
Pukul 10.00 Penetapan RUU tentang
(vide Lampiran 64) Ibu Kota Negara
menjadi UU

Pembicaraan Tk II

(Rapat bersifat Terbuka)

4) Tahap Pengesahan/Penetapan
Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna tanggal 18 Januari 2022, RUU
IKN disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Februari 2022.
146

5) Tahap Pengundangan
Pada tanggal yang sama dengan pengesahan UU IKN diundangkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41.

e. Berdasarkan rangkaian kegiatan tersebut, maka DPR telah mengundang


dan melakukan kegiatan RDPU, audiensi, dan konsultasi publik dengan
berbagai elemen masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap RUU IKN
sebagai representasi untuk memberikan masukan terhadap RUU IKN
sebagaimana yang telah dijelaskan di beberapa poin di atas.
f. Bahwa terkait keterlibatan pihak dalam pembahasan UU a quo, DPR
menerangkan bahwa proses pembahasan telah dilakukan secara terbuka,
transparan, melibatkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan fakta-fakta
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Terkait dengan hal tersebut,
maka pembentuk undang-undang telah melibatkan partisipasi
publik/masyarakat dengan pertimbangan dalam menentukan siapa saja
yang dimintai pertimbangannya dalam penyusunan Naskah Akademik dan
RUU IKN. Tentunya menjadi tidak mungkin apabila setiap orang dan setiap
kelompok masyarakat/organisasi diundang hadir dalam suatu rapat besar
untuk menyusun suatu kebijakan. Dengan demikian maka partisipasi
masyarakat telah dilakukan secara bermakna (meaningful participation)
dengan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.
g. Bahwa kegiatan penyerapan aspirasi melalui RDPU yang dilakukan mulai
dari tanggal 8 Desember 2021 sampai dengan tanggal 12 Desember 2021
memang ditujukan untuk mendapatkan masukan, pandangan, kritik, dan
saran terhadap RUU IKN sebagai sebuah masukan bahan pertimbangan
bagi fraksi-fraksi di DPR dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM). Agenda RDPU tersebut dilaksanakan sebelum dimulainya rapat
pembahasan DIM pada tanggal 13 Desember 2021 sehingga memberikan
kesempatan kepada DPR untuk menyusun DIM dengan
mempertimbangkan masukan dan pandangan yang disampaikan oleh
narasumber dalam RDPU.
h. Selain dilaksanakannya RDPU dengan para ahli di berbagai bidang,
masyarakat juga dapat memberikan masukan dalam kegiatan-kegiatan
147

yang dilakukan oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (2) UU
Pembentukan PUU, yaitu kunjungan kerja dan diskusi. DPR telah
melakukan audiensi dengan Forum Dayak Bersatu, konsultasi publik ke
Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, dan Universitas
Sumatera Utara, dan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur dengan agenda
pertemuan dengan LSM dan tokoh masyarakat setempat, serta dengan
Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Kutai Kartanegara, dan Bupati
Penajam Paser Utara.
i. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan,
DPR telah membuka akses yang mudah bagi masyarakat untuk
mendapatkan Naskah Akademik dan RUU IKN sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 96 ayat (4) UU Pembentukan PUU. Masyarakat dapat
mengakses https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 untuk membaca dan
mengunduh dokumen-dokumen terkait dengan pembentukan RUU IKN.
j. Bahwa dalam memenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be
considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained)
sesungguhnya telah dilaksanakan oleh DPR RI dalam pelaksanaan
kegiatan sehari-hari. Masukan dari masyarakat terhadap RUU IKN telah
diakomodir dalam DIM fraksi dan telah dilakukan pembahasan yang
selanjutnya dalam diberikan tanggapan dalam pembahasan DIM antara
DPR dan Pemerintah. Dalam pembahasan yang dilakukan dalam rapat
panja tersebut dibahas kembali dalam timus dan timsin. Sebagai contoh,
pada rapat-rapat berikut ini Ketua Rapat dalam RDPU telah menyampaikan
bahwa seluruh masukan atau pandangan yang disampaikan oleh
narasumber akan menjadi bahan masukan dalam pembahasan RUU IKN.
Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan risalah sebagai berikut:
1) Risalah Rapat Musyawarah Pimpinan dengan jenis rapat RDPU pada
tanggal 8 Desember 2021 (vide Lampiran 11 hlm. 50)
Ketua Rapat:
“Sebelum kami menutup Rapat Dengar Pendapat Umum hari ini,
perlu kami sampaikan bahwa seluruh masukan atau pandangan
yang disampaikan oleh Para Narasumber akan menjadi bahan
masukan dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Ibu Kota Negara.”
148

2) Risalah RDPU Pansus RUU IKN tanggal 10 Desember 2021 (vide


Lampiran 23 hlm. 52 )
Ketua Rapat:
“Sebelum kami menutup Rapat Dengar Pendapat hari ini perlu
kami sampaikan bahwa seluruh masukan atau pandangan yang
disampaikan oleh para narasumber akan menjadi bahan masukan
yang menjadi bagian pembahasan kami dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara.”
3) Risalah RDPU Pansus RUU IKN tanggal 11 Desember 2021 (vide
Lampiran 29 hlm. 41 )
Ketua Rapat:
“Para narasumber, Anggota Pansus yang dan hadirin yang
berbahagia, sebelum kami menutup Rapat Pendapat Umum hari
ini perlu kami sampaikan bahwa seluruh masukan dan pandangan
yang disampaikan oleh para narasumber akan menjadi bahan
masukan dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang
tentang Ibu Kota Negara ini apabila tidak ada hal-hal lain yang
perlu kita bicarakan.”
4) Risalah RDPU Pansus RUU IKN tanggal 12 Desember 2021
F-PAN (Drs. H. Guspardi Gaus, M.Si.):
“Sangat luar biasa masukan, saran yang disampaikan oleh Bapak,
Ibu Narasumber terhadap naskah akademik yang sedang kita
lakukan pembahasan di Pansus ini dan sekarang ini adalah hari
yang kelima kita mendapatkan masukan dan saran ini. Dan ada
juga yang menyampaikan dalam bentuk tanggapan tapi belum
menyampaikan solusi. Tentu kami harapkan adalah bagaimana
kritikan-kritikan yang bapak sampaikan atau pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan terhadap baik terhadap naskah
akademik ataupun dari batang tubuh pasal demi pasal itu kalau
memang ada persoalan-persoalan yang ada didalamnya, tentu
kami harapkan juga ada solusi yang disampaikan. Sehingga
dalam pembahasan kami di DIM nanti bisa menjadi bahan bagi
kami dalam rangka kesempurnaan terhadap bahan yang diajukan
oleh pemerintah kepada DPR.” (vide Lampiran 34 hlm. 36)
Ketua Rapat:
“Sebelum kami menutup rapat dengar pendapat umum hari ini,
malam hari ini perlu kami sampaikan bahwa seluruh masukan,
pandangan yang disampaikan oleh para narasumber akan
menjadi bahan masukan di dalam pembahasan RUU tentang
ibukota negara oleh kami dalam Pansus ini.” (vide Lampiran 34
hlm. 52)
149

k. Bahwa dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih


bermakna, DPR telah menindaklanjuti pendapat dan masukan yang
diberikan oleh masyarakat yang diwakili oleh pakar dan kelompok
masyarakat, salah satunya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang
menyampaikan dalam RDPU tanggal 9 Desember 2021 bahwa diperlukan
konsultasi yang mendalam dengan masyarakat adat. Usulan tersebut
dipertimbangkan, dibahas, dan diterima oleh pembentuk undang-undang
pada Rapat Panja Pansus RUU IKN tanggal 10 Desember 2021 pukul 16.26
sebagaimana kutipan risalah rapat berikut:
Ketua Rapat:
“Saudara Menteri, Perwakilan DPD dan …. Anggota Panja
Saya sebelum kita lanjutkan ada beberapa informasi yang nanti juga
saya kira ini akan saya minta persetujuan ya pada kita semua bahwa
pertama karena memang undang-undang ini beberapa kali kita
menerima masukan mulai tadi dua hari kita melaksanakan RDPU ya
banyak sekali yang memberikan masukan agar kita lebih banyak lagi
ya untuk meminta tanggapan, masukan, pandangan dari berbagai
pihak dan sampai saat ini kita juga sudah menerima beberapa surat
ya beberapa surat yang meminta supaya mereka diterima oleh kita,
Anggota Pansus dan saya kira kami tadi di Pimpinan sudah berembuk
memang agak ada baiknya ya agar respons kemudian keinginan dari
elemen masyarakat untuk terlibat di dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang IKN ini juga kita respon secara positif gitu itu yang
pertama” (vide Lampiran 23, hlm. 2)

Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut, pembentuk undang-undang


mengadakan audiensi dengan Forum Dayak Bersatu pada tanggal 17
Desember 2021.
l. Selain daripada itu, DPR kembali menegaskan bahwa ketiga prasyarat atas
partisipasi yang bermakna (meaningful participation) telah lazim dilakukan
sehari-hari dalam proses pembentukan undang-undang. DPR
mengakomodir masukan dari para pakar dan kelompok masyarakat pada
saat penyusunan DIM untuk kemudian dibahas dan disetujui menjadi
rumusan norma undang-undang. Berikut adalah beberapa contoh yang
memperlihatkan adanya partisipasi masyarakat yang bermakna dalam
pembentukan UU IKN.
150

Contoh pendapat/masukan dari masyarakat yang diakomodir oleh


DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN
Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR
Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Terkait dengan Asas Undang-Undang
Tidak ada Chazali H. Situmorang DIM No. 5 1. Rapat Panja Pansus RUU Pasal 3 ayat (1)
dalam RDPU tanggal 11 F.PKS IKN tanggal 17Januari 2022 Undang-Undang ini
Desember 2021, hlm. 3 Perlu didukung dengan (Rapat bersifat Terbuka) dibentuk dan dilaksanakan
(Rapat bersifat Terbuka) mencantumkan asas-asas berdasarkan asas:
sesuai yang tertulis dalam F.PKS (Ecky Awal Mucharam): a. ketuhanan;
Kita juga sudah melihat Naskah Akademik. (hlm. 82) b. pengayoman;
ada 8 asas, asas yang Mohon dicatat PKS c. kemanusiaan;
ditampilkan dalam naskah DIM No. 30 mengusulkan untuk Pasal 3 d. kebangsaan;
akademik: F.Gerindra sebelum ke Pasal 4 mohon e. kenusantaraan;
1. Kesetaraan Bab II sebaiknya mengatur dicatat PKS mengusulkan f. kebinekatunggalikaan;
2. Keseimbangan tentang Asas, Maksud, dan ada terkait dengan asas, ada g. keadilan;
3. Ketahanan Tujuan dan Ruang Lingkup asas, partisipasi ya, dan h. kesamaan kedudukan
4. Sustainabilitas kesinambungan. dalam hukum dan
5. Konektivitas pemerintahan;
6. Kebhinekaan dan F.P.Gerindra (Kamrussamad): i. ketertiban dan
Ketunggalikaan (hlm. 174) kepastian hukum;
Cluster substansi lain-lain ini, j. keseimbangan,
Pasal 2 dapat diterima, Pasal keserasian, dan
3 kita terima kasih kepada keselarasan; dan
Pemerintah dan fraksi-fraksi k. efektivitas dan efisiensi
yang telah menyetujui pemerintahan.
penambahan tentang Asas
151

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)

F.PKB (Yanuar Prihatin): (hlm.


176)
Di cluster lain-lain ini PKB
mengusulkan 2 Hal, Pertama,
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2),
ayat (1) ini soal Asas, kami
mengusulkan Asas
Partisipasi masuk karena
saya cek dari a sampai z,
Asas Partisipasi belum
masuk jadi mohon kalau bisa
dimasukkan.

F.PAN (Guspardi Gaus): (hlm.


179)
Berkaitan tentang cluster
substansi lain-lain memang
ada dua catatan penting yang
sebetulnya sudah
disampaikan ketika
pembahasan pasal yang
berkaitan terhadap apa yang
diusulkan oleh Pak
Kamrussamad dari Gerindra
152

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
tentang Asas, Pimpinan, iya
ini nih penting Pimpinan.
Sebetulnya saya hanya
menambahkan apa yang
disampaikan oleh Fraksi
Gerindra ketika Pembahasan
Pasal 3, namun ketika itu
belum terakomodir di dalam
Pasal 3 masih tercecer,
artinya saya mengingatkan
ketika itu bahwa prinsip-
prinsip dasar tentang asas-
asas undang-undang ini
adalah memasukkan nilai-
nilai Pancasila.
Oleh karena itu Pimpinan,
sebetulnya waktu saya
memberikan masukan saran,
kawan-kawan dari fraksi pada
umumnya bukan umumnya,
semuanya menyatakan
kesetujuan terhadap usul
yang kami sampaikan namun
belum terakomodir yaitu
tentang masalah Ketuhanan
itu yang Pertama.
153

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Yang Kedua, itu dari Pasal 3
ayat (1), yang Kedua di Pasal
3 ayat (2) tentang Asas
Keadilan, ini juga belum
terangkum di Pembangunan
dan Pengembangan IKN
dilaksanakan berdasarkan
prinsip tambahannya adalah
tentang Keadilan.

DPD (Agustin Teras Narang)


Nah ini menjadi pertanyaan
bagi Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia
karena mendasarkan pada
naskah akademik yang ada di
dalam Halaman 30 itu sudah
dinyatakan oleh Pemerintah
beberapa asas disebutkan di
situ di Halaman 30 dan tentu
ini nanti akan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan
sekiranya memang kita
menyetujui untuk
mencantumkan masalah
asas ini, jadi artinya kami
154

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
ingin Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia
ingin ketegasan berkenaan
dengan Masalah Asas ini
apakah menggunakan
naskah akademik ini dan
kemudian apakah
menggunakan yang baru
dengan tambahan-tambahan
perubahan dari undang-
Undang Nomor 12 Tahun
2011. Jadi ini kami
menginginkan adanya
konsistensi kita di dalam
rangka untuk legal drafting

2. Rapat Panja Pansus RUU


IKN tanggal 18 Januari 2022
(Rapat bersifat Terbuka)

Wakil Pimpinan (Saan


Mustopa): (hlm. 7)
Dalam Rapat Panja yang
dilaksanakan pada Tanggal
13, 14, dan 15 Desember
2021 telah dilaksanakan
155

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Pembahasan DIM RUU IKN
terhadap DIM yang bersifat
tetap dan substansional untuk
kemudian disepakati
beberapa hal:
e. Asas.
Disepakati untuk
menambah Asas dalam
RUU adapun rumusannya
telah diserahkan ke Timus.

F.P.Gerindra (Budisatrio
Djiwandono): (hlm. 18)
Fraksi Partai Gerindra DPR
RI mengucapkan terima kasih
kepada fraksi-fraksi lain dan
Pemerintah yang telah
mengakomodir usulan fraksi
kami mengenai asas, tujuan,
dan ruang lingkup. Namun
Fraksi Partai Gerindra DPR
RI masih berharap
terakomodirnya demokrasi
sebagai salah satu asas
dalam RUU IKN. Sehingga
aspirasi politik masyarakat di
156

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
daerah khusus IKN dapat
terwadahi sesuai dengan
amanat Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia
1945. Fraksi Partai Gerindra
DPR RI juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh
fraksi dan Pemerintah yang
mengakomodir usulan titik
koordinat sebagai kepastian
batas wilayah KSN IKN.

F.PAN (Guspardi Gaus): (hlm.


38)
Mengenai penambahan Asas
Ketuhanan Fraksi Partai
Amanat Nasional sangat
mengapresiasi dan
mendukung dicantumkannya
Asas Ketuhanan sebagai
salah satu asas dalam RUU
ini. Fraksi Partai Amanat
Nasional menilai Asas
Ketuhanan harus menjadi
asas yang pertama dan
157

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
utama sebelum asas-asas
lainnya.

Pemerintah: (hlm. 50)


Pembentukan rancangan
undang-undang ini tentu telah
disusun berdasarkan antara
lain asas keadilan,
kesetaraan, keberlanjutan
yang telah disepakati
bersama untuk berbagai
sektor. Selain itu telah
disepakati prinsip
pembangunan dan
pengembangan ibu kota
negara meliputi
keseimbangan ekologi dan
keberlanjutan pembangunan.
Contoh pendapat/masukan dari masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN

Terkait dengan Rencana Induk


Pasal 7 ayat (2) 1. Anggito Abimanyu DIM No. 56 1. Rapat Panja Pansus RUU Pasal 7 ayat (3)
Ketentuan dalam RDPU tanggal 9 1. F.PDIP IKN tanggal 13 Januari 2022 Rencana Induk Ibu Kota
mengenai Desember 2021, hlm. 12 Dihapus. (Rapat bersifat Terbuka) Nusantara sebagaimana
Rencana Induk IKN dan hlm. 47 Mengingat pada ayat (1) dimaksud pada ayat (1)
[…] sebagaimana (Rapat bersifat Terbuka) usulannya mengharuskan Ketua Rapat: (hlm. 3)
158

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
dimaksud pada dicantumkan dalam RUU Dalam Rapat Panja yang paling sedikit memuat
ayat (1) diatur Berikutnya adalah IKN, maka tidak diperlukan telah dilaksanakan kemarin pokok-pokok:
dengan Peraturan Rencana Induk Pak, ya lagi pengaturan dengan kita telah mendengarkan l. pendahuluan;
Presiden. saya sih melihatnya Peraturan Presiden. Laporan yang disampaikan m. visi, tujuan, prinsip
begini Pak rencana induk oleh Ketua Timus Timsin dan dasar, dan indikator
adalah dokumen 2. F.PG berdasarkan Laporan kerja utama;
perencanaan terpadu, Pasal 7 ayat (2) tersebut diketahui bahwa n. prinsip dasar
ditetapkan oleh Ketentuan mengenai terdapat materi yang bersifat pembangunan; dan
Presiden. Jadi sekali Rencana Induk IKN [...] substansi yang perlu o. penahapan
lagi rencana induk ini sebagaimana dimaksud dilakukan Pembahasan di pembangunan dan
tidak ada campur pada ayat (1) diatur dengan Tingkat Panja. Adapun materi skema pendanaan,
tangan dari DPR Pak, Peraturan Presiden tersebut antara lain : yang tercantum dalam
semua rencana induk dengan terlebih dahulu Kelembagaan Otorita dan Lampiran II yang
ditetapkan oleh dibahas dengan DPR. Implikasinya, Pendanaan merupakan bagian tidak
Presiden, DPR hanya Rencana Induk IKN harus atau Anggaran, Rencana terpisahkan dari Undang-
menyetujui anggaran melalui persetujuan atau Induk (masterplan), Undang ini.
saja. Nah tentu ini jadi konsultasi dengan DPR Pertanahan, Keamanan
agak berbeda Pak kalau karena menyangkut hajat termasuk di dalamnya Pasal-
di DPR ini kan hidup orang banyak dan pasal yang relevan untuk
membahas mengenai berpengaruh pada dibahas dalam Panja.
RKA K/L, rencana kerja pembangunan nasional.
anggaran pemerintah, ini 2. Rapat Panja Pansus RUU
tidak Pak rencananya 3. F.PD IKN tanggal 17 Januari 2022
oleh Presiden, Pasal 7 ayat (2) (Rapat bersifat Terbuka)
anggarannya oleh DPR. Ketentuan mengenai
Rencana Induk IKN Ketua Rapat: (hlm. 157)
159

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Jadi ini juga dipikirkan sebagaimana dimaksud Kita lanjut ke DIM berikutnya
bagaimana apakah pada ayat (1) tercantum terkait dengan cluster
peran DPR, DPRD tidak dalam Lampiran II yang Rencana Induk. Saya ingin
ada dalam RUU IKN ini merupakan bagian tidak sampaikan bahwa cluster
ada atau tidak? Kalau terpisahkan dari Undang- Rencana Induk ini
saya baca di sini tidak Undang ini. menyisakan 3 Pasal, Pasal 1
ada sama sekali. angka 13, Pasal 7 dan Pasal
Kementerian/lembaga 15.
pun dia sebagai 4. F.PKS
kementerian tentu Pasal 7 ayat (2) Ketua Rapat: (hlm. 163)
anggaran terhadap Ketentuan mengenai Bapak-Ibu sekalian,
kementerian itu atau Rencana Induk IKN [...] dengan demikian cluster
terhadap Otorita tersebut sebagaimana dimaksud Rencana Induk yang
itu harus mendapat pada ayat (1) dilampirkan menyangkut Pasal 1 Angka
persetujuan dari DPR dalam Undang-Undang 13, Pasal 7 dan Pasal 15
begitu Pak. Tetapi di dan menjadi satu kesatuan secara prinsip disetujui.
dalam RUU ini tidak yang tidak terpisah dengan
dijelaskan, nah apakah Undang-Undang ini.
Bapak akan melepaskan
saja pada Presiden, Dengan
bagaimana 5 tahun lagi mempertimbangkan batas
10 tahun lagi bagaimana waktu pemindahan IKN
begitu dan bentuk otorita maka demi menjamin
ini betul-betul eksekutif kepastian bisa berjalannya
domain Pak begitu. RUU ini maka harus
... dipastikan bahwa Rencana
160

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Jadi sekali lagi intinya Induk IKN sudah disiapkan
dalam rencana induk dan dilampirkan dalam
Pak, jadi makanya saya RUU ini sebagai satu
bertanya rencana induk kesatuan yang tidak
ini mau diserahkan terpisah dengan UU ibu
pada eksekutif saja? kota negara.
Kan tidak demikian, Lampiran Rencana Induk
karena ini kan masalah IKN juga memiliki relevansi
yang terlalu besar buat bahwa IKN sudah
dilepaskan kepada dipersiapkan dengan
eksekutif saja. matang dan tidak mudah
berubah.
Contoh pendapat/masukan dari masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN

Terkait dengan Bentuk Pemerintahan


Pasal 8 1. Wicipto Setiadi dalam DIM No. 59 1. Rapat Panja Pansus RUU Pasal 8
Pemerintahan RDPU tanggal 8 IKN, 13 Desember 2021 Penyelenggara
Khusus IKN [...] Desember 2021 1. F.PDIP (Rapat bersifat Terbuka) Pemerintahan Daerah
diselenggarakan (Rapat bersifat Terbuka) Pemerintahan Khusus IKN Khusus Ibu Kota
oleh Otorita IKN tidak bisa diselenggarakan F-PKB (H.Yanuar Prihatin): Nusantara adalah Otorita
Berdasarkan Pasal 18b oleh Otorita, karena tidak (hlm. 10) Ibu Kota Nusantara
yang saya kaji, Undang- sejalan dengan semangat Kalau judul yang sekarang
Undang Dasar Negara RI yang terkandung dalam ibu kota negara
Tahun 45, dimungkinkan Pasal 18B UUD 1945 mencerminkan bahwa ada
adanya bentuk atau Pemerintahan Khusus IKN aspek yang belum ter-cover
satuan khusus dalam sebagaimana yang dari karakteristik ruang
161

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
penyelenggaraan tertuang dalam UUD 1945 lingkup atau cakupan yang
pemerintahan IKN. Pasal 18B, hanya boleh ingin dicapai. Tadi teman
Untuk konteks IKN yang dilaksanakan oleh PKS menyampaikan judul ini
luasnya kurang lebih 256 Pemerintahan Daerah tidak mencerminkan mungkin
ribu hektare, menurut Khusus dan tidak kewilayahan, tidak
saya memang sebaiknya berbentuk Otorita. mencerminkan soal juga
jangan menggunakan kekhususan itu, soal
bentuk provinsi, tetapi 2. F.PG kekhususan itu. Saya ambil
akan lebih tepat, lebih Pemerintah daerah contoh di draf RUU IKN ini
cocok, apabila berbentuk Otorita apa Pak, Pasal 2 Bagian ke - 1
digunakan apapun rujukan hukumnya? Perlu soal Kedudukan itu tiba-tiba
sebutannya, kalau saya dipertimbangkan bahwa muncul narasi Pemerintahan
baca di RUU-nya otorita, Otorita hanya bersifat ad Khusus IKN titik-titik
saya sepenuhnya hoc dalam tahap persiapan berkedudukan di IKN. Jadi
sepakat gitu ya, atau juga dan pemindahan ibu kota setelah Ketentuan Umum
pemerintah daerah dari DKI Jakarta ke IKN. tiba-tiba nongol bahasa
khusus ibu kota Setelah masuk tahap pemerintahan khusus.
negara, tetapi bukan penyelenggaraan
provinsi, atau sebutan pemerintahan, IKN Kenapa disebut tiba-tiba
apapun yang nanti berbentuk provinsi atau nongol ? Karena
disepakati olehbapak daerah khusus/istimewa sebelumnya wacana
dan ibu semua ini ya. sebagaimana diatur dalam tentang pemerintahan
ketentuan perundang- khusus tidak begitu kuat di
2. Anggito Abimanyu undangan. Ketentuan Umum apa
dalam RDPU tanggal 9 segala macam tiba-tiba
Desember 2021, hlm. 13 3. F.Gerindra
162

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
(Rapat bersifat Terbuka) Pasal 8 nongol pemerintahan
Pemerintahan Khusus IKN khusus.
Bentuk dari IKN Pak [...] diselenggarakan oleh
nanti mohon dibantu Gubernur bersama DPRD. Pemerintah: (hlm.12)
saya untuk menjelaskan Di sini Pasal 18b menurut
apa sebenarnya otoritas, 4. F.PD Pemerintah membuka
daerah khusus provinsi Perlu penjelasan, apakah fleksibilitas pengaturan
atau daerah istimewa otorita IKN sejalan dengan pemerintahan daerah yang
dipimpin oleh menteri ini Pasal 360 ayat (2) huruf m bersifat khusus dan sama
Pak, selevel UU 23/2014 tentang sekali tidak terikat dengan
kementerian, apa Pemda mengenal istilah ketentuan Pasal 18 Ayat (1).
kekhususannya? kawasan otorita? Hal ini didasarkan pada
Apakah kawasan otorita Putusan Mahkamah
3. Trubus Rahardiansyah sebagaimana dimaksud Konstitusi yang
dalam RDPU tanggal 9 dalam UU Pemda dapat mengonfirmasi tafsiran
Desember 2021, hlm. 42 diterapkan sebagai bentuk fleksibilitas yang penuh
(Rapat bersifat Terbuka) dan susunan pemerintahan dalam kekhususan dari Pasal
IKN? 18b Ayat (1) dan
kalau kita rujuk di Pasal hubungannya dengan Pasal
18b misalnya, lha disitu 5. F.PKS 18 Ayat (1) yaitu Putusan
kan ada daerah khusus Perlu penjelasan Mahkamah Konstitusi Nomor
dan daerah istimewa. pemerintah bagaimana 81 Tahun 2010 yang
Nah berarti artinya apa? konstruksi Otorita dan menyatakan bahwa adapun
Mungkin saja ini akan Otonomi Daerah. PKS jenis dan ruang lingkup
disebut khusus gitu, menawarkan opsi alternatif kekhususan yang didasarkan
kekhususan itulah maka bahwa kelembagaan pada latar belakang
163

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
kita sebut sebagai otorita dapat diterima pembentukan dan kebutuhan
inovasi, kan gitu. Inovasi sebagai kelembagaan nyata yang mengharuskan
nama otorita ini supaya transisi sampai diberikan kekhususan
tidak dianggap dibentuknya Daerah kepada suatu daerah adalah
bertentangan. Nah ini Otonom baru yang bersifat fleksibel sesuai
makanya perlu menyelenggarakan urusan dengan kebutuhan nyata
diperjelaskan lagi nanti pemerintahan IKN. diberikannya kekhususan
didalam penjelasannya bagi daerah yang
perlu dipertajam lagi agar 6. DPD bersangkutan.
pemahaman otorita itu Sebagaimana yang Ada lagi satu Putusan MK
tidak semata-mata dalam dirumuskan dalam Pasal 8 Nomor 11 Tahun 2008 yang
pengertian yang apa lain RUU IKN bahwa kami jadikan sebagai dasar
daripada yang dimaskud Pemerintahan Khusus IKN yang menyatakan di
di Pasal 18 Ayat (1). diselenggarakan oleh Halaman 93 bahwa Pasal
Otoritas IKN. 18b Ayat (1) tidak berada di
Pertanyaannya adalah bawah Pasal 18 Ayat (1) yang
apakah Otoritas IKN mengatur Pemerintahan
merupakan struktur daerah secara umum. Pasal
pemerintahan 18b Ayat (1) berdiri secara
sebagaimana yang diatur otonom dan dapat menjadi
dalam ketentuan Pasal 18 dasar untuk membentuk
ayat (1) UUD Negara RI suatu pemerintahan yang
Tahun 1945? Selama ini dapat menampung dinamika
nomenklatur “otoritas” di masa depan. Ini
dipakai untuk menentukan merupakan Putusan dari
Mahkamah Konstitusi.
164

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
pengelolaan wilayah
ekonomi/bisnis. Tenaga Ahli: (hlm. 32)
F-PD tetap, Catatan
mengingatkan isi Pasal 18b
Ayat (1) menyatakan bahwa
negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan
undang- undang. Dengan
demikian pada pembahasan
pasal-pasal selanjutnya
dalam RUU ini perlu adanya
kejelasan apakah
pemerintahan pada IKN
selanjutnya akan disebut
sebagai pemerintahan
khusus IKN atau
pemerintahan daerah khusus
IKN.

2. Rapat Panja Pansus RUU


IKN, 14 Desember 2021
(Rapat bersifat Terbuka)
165

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
F-PDIP (TBH Hasanuddin):
(hlm. 21)
Saya hanya ingin lebih
meyakinkan diri saya saja ya
Pasal 18b ayat (1) Undang-
undang Dasar 1945 kira-kira
sebagai berikut ya negara
mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan
daerah, saya ulang satuan-
satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa. bersifat
istimewa atau bersifat khusus
tetap saja kriterianya adalah
pemerintahan daerah.

Nah apakah nanti sistem


pemerintahan yang akan kita
pilih itu, katakanlah tadi
disebut sebagai Otorita atau
Badan Otorita yang bukan
pemerintahan daerah sesuai
Amanat Undang-Undang
Dasar, apakah ini nanti tidak
bertentangan dengan
166

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Undang- Undang Dasar itu
sendiri, mohon penjelasan
terima kasih

Ketua Rapat: (hlm. 44)


Jika DIM 11 mengenai diksi
dalam konsiderans
mengingat pasal tadi ada
usulan yang dari DPD
memasukkan pasal 22d dan
itu kan hal yang menurut saya
normatif karena ini ada dalam
batang tubuh ya dan
memasukkan itu menurut
saya kita kemarin rasanya
tidak ada yang keberatan
dalam rangka membangun
kebersamaan karena
memang ini membahas
bersama-sama, toh itu
memang normatif saja, sudah
dibacakan itu waktu malam
yang lalu jadi itu otomatis di
Timus nanti Pak Teras ya.
Maka kita akan sepakati juga
karena DIM ini terkait dengan
167

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
DIM-DIM berikutnya kemarin
kita sudah menyelesaikan
sampai DIM 35 maka ada
DIM-DIM terkait dengan DIM
nomor 11 itu DIM 23. DIM 23
itu pemerintahan khusus ibu
kota negara yang selanjutnya
disebut pemerintahan khusus
IKN adalah pemerintahan
yang bersifat khusus di IKN
yang diatur dengan undang-
undang ini. Jadi ini saya akan
bacakan saja DIM yang
terkait itu ada DIM nomor 23,
DIM nomor 24, DIM nomor
25, DIM nomor 26, DIM
nomor 32, DIM nomor 38,
nomor 58, 59, 61, 62, 63, 64,
65, 67, 70, 72, 82, 84, 86, 88,
93, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 114, 115, 119, 122, 126,
127, 128, 129 132 144, 145,
146, 149, 154 dan 161 ini
yang terkait dengan itu
semua.
168

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Jadi apakah nanti ini kita sisir
lagi atau kita serahkan ke
Timus nanti untuk kita,
silakan Pak Ecky, nanti
enggak ini baru saya
tawarkan. Saya akan putar
nanti ini saya kan
menyampaikan ini, kan ini
perlu saya sampaikan untuk
memudahkan. Ya baca?

F-PDIP (Andreas Eddy


Susetyo): (hlm. 45)
Jadi terima kasih untuk
Pimpinan yang telah
melakukan clustering
istilahnya dari DIM-DIM yang
ada. Jadi kami sependapat
dengan pendekatan
clustering tetapi untuk DIM-
nya, poin-poinnya kepada
tetapi tidak perlu per kalimat,
per kalimat, nanti per
kalimatnya biar di Timus.
Tapi pokok-pokok
masalahnya di dalam tim
169

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
tersebut jadi kita cluster saja.
Tadi Pimpinan sudah bagus
sekali ini adalah DIM yang
berkaitan jadi kita clustering
dengan demikian akan lebih
cepat Pimpinan. Jadi kita
sependapat dengan
clustering nanti masing-
masing anggota membaca
clustering tersebut besok inti
pokok-pokok bahasanya kita
bahas, baru kemudian masuk
ke Timus.

Ketua Rapat: (hlm. 48)


Ini sudah, kita sepakat ini
dibagikan nanti dibaca untuk
memudahkan pembahasan
selanjutnya.

3. Rapat Panja Pansus RUU


IKN tanggal 15 Desember
2021
(Rapat bersifat Terbuka)

Pemerintah: (hlm. 3)
170

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Ada dua isu yang penting,
yang pertama adalah
perubahan dari diksi
pemerintahan khusus IKN,
menjadi pemerintahan
daerah khusus IKN. Jadi
dari pemerintahan khusus
IKN menjadi pemerintahan
daerah khusus IKN.
Kemudian ada perubahan
konsep kelembagaan otorita
IKN, sebatas pada fungsi
persiapan pembangunan dan
pemindahan ibu kota negara.

Kemudian penyelenggaraan
pemerintahan oleh
pemerintahan daerah khusus
IKN, didalam rumusan yang
baru penyelenggaraan
pemerintahan di IKN
diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah
Khusus IKN. Perubahan itu
dalam rangka memastikan
kesesuaian dengan Pasal
171

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
18b ayat (1) Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Usulan Dewan
Perwakilan Daerah untuk
memasukkan Pasal 22d
Undang-Undang Dasar 1945
dapat diterima. Substansi
lebih lanjut diusulkan untuk
dibahas di Timus dan Timsin.

4. Rapat Timus Pansus RUU


IKN tanggal 6 Januari 2022
(Rapat bersifat Tertutup)

Di dalam Rapat ini, Ketua


Rapat menyampaikan bahwa
Panja menyepakati perubahan
diksi “Pemerintah Khusus Ibu
Kota Negara” menjadi
“Pemerintah Daerah Khusus
IKN”. Perubahan diksi tersebut
membawa konsekuensi
adanya penyempurnaan
rumusan terhadap pasal-pasal
yang ada di dalam RUU
tentang Ibu Kota Negara.
172

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Contoh pendapat/masukan dari masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN

Terkait Hak Masyarakat Adat


Pasal 16 ayat (1) 1. AMAN dalam RDPU DIM No. 84 1. Rapat Panja Pansus RUU Pasal 16 ayat (1)
Dalam rangka tanggal 9 Desember 1. F.PG IKN, 14 Desember 2021 Perolehan Tanah oleh
pembangunan 2021, hlm. 16 Bagaimana hak pertanahan (Rapat bersifat Terbuka) Otorita Ibu Kota Nusantara
pada wilayah IKN (Rapat bersifat Terbuka) existing yang telah dimiliki dan/atau
[…], Otorita IKN masyarakat? Ketua Rapat: (hlm. 44) kementerian/lembaga di
diberikan hak Nah kemudian kalau kita Agar diatur ketentuan Ibu Kota Nusantara
pengelolaan atas baca sebetulnya di pengecualian bagi hak atas Jika DIM 11 mengenai diksi dilakukan melalui
tanah sesuai dalam rancangan saya tanah existing, pilihannya dalam konsiderans mekanisme pelepasan
dengan ketentuan menggunakan teknik dengan langsung diatur mengingat pasal tadi ada kawasan hutan dan
peraturan search and find begitu dalam RUU IKN atau usulan yang dari DPD mekanisme pengadaan
perundang- kita tidak akan temukan peraturan pelaksanaannya. memasukkan pasal 22d dan Tanah sesuai dengan
undangan sebetulnya ada satu itu kan hal yang menurut saya ketentuan peraturan
kata adat di dalam 2. F. Gerindra normatif karena ini ada dalam perundang-undangan.
rancangan ini. Pasal 16 ayat (1) batang tubuh ya dan
.. Dalam rangka memasukkan itu menurut Penjelasan
Nah kemudian pembangunan pada wilayah saya kita kemarin rasanya Pasal 16
sebetulnya ketika kita IKN […], Otorita IKN tidak ada yang keberatan Ayat (1)
bicara IKN, ada beberapa diberikan hak pengelolaan dalam rangka membangun Mekanisme
aspek sebetulnya yang atas tanah sesuai dengan kebersamaan karena pengadaan Tanah
bisa terpengaruh dari ketentuan peraturan memang ini membahas dilakukan dengan
kehidupan masyarakat, perundang-undangan, serta bersama-sama, toh itu memperhatikan
pertama itu status hak dengan memperhatikan memang normatif saja, sudah HAT masyarakat
atas wilayah atas ruang hak masyarakat adat. dibacakan itu waktu malam
173

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
hidupnya. Nah saya di yang lalu jadi itu otomatis di dan HAT
sana sekarang itu ada 3. F. PD Timus nanti Pak Teras ya. masyarakat adat.
162 sebetulnya izin Pasal 16 ayat (1) Maka kita akan sepakati juga
investasi di dua Dalam rangka karena DIM ini terkait dengan Pasal 16 ayat (3)
kabupaten ini. Jadi pembangunan pada wilayah DIM-DIM berikutnya kemarin Tanah untuk
pertanyaannya IKN [...], Otorita IKN kita sudah menyelesaikan pembangunan
sebetulnya IKN ini diberikan hak pengelolaan sampai DIM 35 maka ada kepentingan umum di Ibu
tanahnya dari mana? atas tanah sesuai dengan DIM-DIM terkait dengan DIM Kota Nusantara
Apakah tanah dari ketentuan peraturan nomor 11 itu DIM 23. DIM 23 merupakan salah satu
perusahaan-perusahaan perundang-undangan itu pemerintahan khusus ibu jenis dalam pengadaan
ini? Karena sebetulnya dengan tetap kota negara yang selanjutnya tanah bagi pembangunan
tanah perusahaan ini pun memperhatikan hak disebut pemerintahan khusus untuk kepentingan umum.
merupakan tanah rakyat masyakarat lokal dan hak IKN adalah pemerintahan
yang tidak pernah ulayat. yang bersifat khusus di IKN Penjelasan
mendapatkan concern Apakah tanah di dalam yang diatur dengan undang- Pasal 16
dari masyarakat untuk wilayah IKN ada yang undang ini. Jadi ini saya akan Ayat (3)
dikelola oleh perusahaan. berstatus hak milik individu bacakan saja DIM yang Pemberian hak
Jadi belum pernah atau bagian dari hak ulayat terkait itu ada DIM nomor 23, pengelolaan kepada
masyarakat mengikat masyarakat adat? Di bagian DIM nomor 24, DIM nomor Otorita Ibu Kota
suatu concern dengan mana dalam RUU ini yang 25, DIM nomor 26, DIM Nusantara dilakukan
perusahaan ini. Itulah sudah mengakomodir dan nomor 32, DIM nomor 38, dengan memperhatikan
sebabnya dari sisi menjamin hak-hak nomor 58, 59, 61, 62, 63, 64, HAT masyarakat dan
masyarakat adat status masyarakat adat ataupun 65, 67, 70, 72, 82, 84, 86, 88, HAT masyarakat adat.
tanah-tanah itu hak kepemilikan masyarakat 93, 106, 107, 108, 109, 110,
sebetulnya masih setempat? Apabila belum 111, 114, 115, 119, 122, 126,
dalam konflik begitu. ada, maka perlu ada 127, 128, 129 132 144, 145,
174

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Nah ini yang menurut penambahan substansi baru 146, 149, 154 dan 161 ini
saya barangkali perlu yang menjamin yang terkait dengan itu
dipertimbangkan untuk keberlangsungan hidup dan semua.
dibicarakan lebih lanjut hak-hak ulayat masyakarat Jadi apakah nanti ini kita sisir
di dalam rancangan adat serta hak milik lagi atau kita serahkan ke
undang-undang ini. masyarakat setempat. Timus nanti untuk kita,
silakan Pak Ecky, nanti
2. Prof. Maria SW 4. F.PKS enggak ini baru saya
Sumardjono dalam Meminta penjelasan tawarkan. Saya akan putar
RDPU tanggal 12 Pemerintah terkait sengketa nanti ini saya kan
Desember 2021, hlm. 14 tanah yang melibatkan hal menyampaikan ini, kan ini
(Rapat bersifat Terbuka) ulayat di atas hak perlu saya sampaikan untuk
pengelolaan tanah IKN. memudahkan. Ya baca?
Jadi yang ingin juga saya Pemerintah harus
tekankan agar supaya melindungi dan F-PDIP (Andreas Eddy
bapak, ibu didalam menghormati hak-hak Susetyo): (hlm. 45)
Pansus itu sangat masyarakat adat Jadi terima kasih untuk
memegang Pasal 18b sebagaimana tertuang Pimpinan yang telah
ayat (2) Undang-Undang dalam Pasal 18B ayat (2) melakukan clustering
Dasar Tahun 1945. Jadi UUD 1945. istilahnya dari DIM-DIM yang
tanah-tanah masyarakat ada. Jadi kami sependapat
yang sudah ada sebelum 5. DPD dengan pendekatan
ditetapkan sebagai Hak pengelolaan yang clustering tetapi untuk DIM-
wilayah IKN, demikian diberikan kepada Otorita IKN nya, poin-poinnya kepada
juga tanah-tanah tersebut bagaimana halnya tetapi tidak perlu per kalimat,
masyarakat hukum adat jika tanah tersebut ada yang per kalimat, nanti per
175

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
itu juga ada disana. Jadi merupakan tanah ulayat atau kalimatnya biar di Timus.
daerah-daerah yang jadi tanah adat dan bagaimana Tapi pokok-pokok
IKN itu kan juga bukan mekanisme pengambilan hak masalahnya di dalam tim
daerah kosong, itu kan pengelolaan atas tanah tersebut jadi kita cluster saja.
sudah ada masyarakat tersebut dari Kabupaten PPU Tadi Pimpinan sudah bagus
yang berada disitu. Maka dan Kabupaten Kutai sekali ini adalah DIM yang
saya sampaikan agar Kartanegara? Hal ini perlu berkaitan jadi kita clustering
supaya tanah-tanah adanya pengaturan dan dengan demikian akan lebih
yang sudah ada di kejelasan dalam RUU ini. cepat Pimpinan. Jadi kita
lokasi itu sebelum sependapat dengan
ditetapkan sebagai clustering nanti masing-
wilayah IKN, tetap masing anggota membaca
diakui, dihormati dan clustering tersebut besok inti
dilindungi pokok-pokok bahasanya kita
keberadaannya. Ini yang bahas, baru kemudian masuk
harus jadi pegangan ya, ke Timus.
supaya tadi betul supaya
jangan lalu ada Ketua Rapat: (hlm. 48)
diskriminasi ya, Ini sudah, kita sepakat ini
kemudian ada konflik dibagikan nanti dibaca untuk
antara pendatang dan memudahkan pembahasan
mereka yang ada selanjutnya.
masyarakat tempatan.
2. Rapat Panja Pansus RUU
IKN, 17 Januari 2022
(Rapat bersifat Terbuka)
176

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)

Ketua Rapat: (hlm. 163)


Berikutnya kita masuk ke
cluster Pertanahan.
Cluster Pertanahan
menyisakan Pasal 1 Angka
16 dan Angka 17, Pasal 16
dan Pasal 17. Untuk itu kami
persilakan dari Fraksi PDIP
Perjuangan. Udah bener kan
Pak Arif?

F-P. Gerindra (Kamrussamad):


(hlm. 166)
Kemudian Pasal 16, Pasal 16
Fraksi Gerindra dapat
memberikan persetujuan
dengan catatan
mempertimbangkan
keberadaan tanah dalam
wilayah IKN harus
senantiasa menghormati
eksistensi tanah ulayat dan
tanah masyarakat adat.
177

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Kemudian Pasal 16 dan
Pasal 17 selanjutnya dapat
disetujui.

F-P.Demokrat (Hinca I.P.


Pandjaitan): (hlm. 168)
Untuk cluster Pertanahan
Pasal 1 Angka 16 dan Angka
17, Pasal 16 dan Pasal 17
Fraksi Partai Demokrat
memberikan catatan yang
sangat kuat digarisbawahi
gitu, dengan melibatkan
masyarakat hukum adat
karena itu kami
mengusulkan agar ada
penjelasan pasalnya,
penjelasan pasal itu harus
memasukkan sebagaimana
kemarin kita dengarkan
dalam RDPU dengan
Lembaga Masyarakat Adat,
komunitas masyarakat adat
terutama mengenai hak
ulayat masyarakat adat dan
hak milik masyarakat
178

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
setempat tidak boleh
dikesampingkan dan harus
menjadi fokus dalam
proses pengalihan hak atas
tanah yang akan dikelola
oleh Otorita IKN, ketentuan
ini perlu kita kaji dengan
sangat baik tadi sudah
disampaikan sahabat saya
Undang-Undang 2012 dari
teman-teman PDIP
penyelenggaraan ini harus
betul-betul adil, ada catatan
kami setidaknya terdapat 4
komunitas adat Dayak Paser
di wilayah IKN baru.
Contoh pendapat/masukan dari masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN

Terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja IKN


Pasal 25 1. Wicipto Setiadi dalam DIM No. 126 – 129 Rapat Timus Pansus RUU IKN Pasal 25
RDPU tanggal 8 tanggal 13 Januari 2022 (1) Kepala Otorita Ibu Kota
(1) Kepala Otorita Desember 2021, hlm. 49 1. F.PDIP (Rapat bersifat Terbuka) Nusantara selaku
IKN selaku (Rapat bersifat Terbuka) Perlu memasukkan peran pengguna
pengguna DPR dalam fungsi Pemerintah: (hlm. 6) anggaran/pengguna
anggaran/pengg Jadi menurut saya, anggaran pada Berikutnya adalah terkait barang sebagaimana
una barang bayangan saya dengan Pendanaan. Mengenai dimaksud dalam Pasal
179

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
menyusun organisasi itu bukan Pemerintahan Khusus IKN pendanaan yang kami terima 23 ayat (2) menyusun
rencana kerja organisasi, tidak terlalu [...] dari khususnya dari usulan dari rencana kerja dan
dan anggaran apa, ruwet ini nya gitu ya, teman-teman dari Fraksi PDIP anggaran Ibu Kota
Otorita IKN tetapi mudah me apa ya, 2. F.PKS itu akhirnya menurut baik Nusantara.
(2) Ketentuan lebih melakukan tugas-tugas Rencana kerja dan Badan Keahlian DPR dan juga (2) Dalam hal Otorita Ibu
lanjut mengenai yang diberikan oleh anggaran Otorita IKN Tim dari Pemerintah Kota Nusantara
penyusunan Pemerintah pusat tadi, dimintakan persetujuan memastikan bahwa kita memperoleh
rencana kerja gitu ya. Kalau, dan saya terlebih dahulu kepada memasukkannya ke dalam pendapatan dari
dan anggaran malah membayangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Rezim Undang-Undang sumber lain yang sah
Otorita IKN Kepala apapun nanti Keuangan Negara yaitu Rezim sebagaimana dimaksud
sebagaimana sebutannya, itu adalah 3. F.PD Undang-Undang Nomor 17 dalam Pasal 24 ayat (1)
dimaksud pada pengguna anggaran, Diperlukan adanya Tahun 2003 dan Rezim huruf b dan/atau
ayat (1) diatur bukan KPA ya, tapi kepastian hukum agar Undang-Undang Nomor 1 pendapatan yang
dalam langsung pengguna pembahasan RKA sesuai Tahun 2004 tentang berasal dari pajak
Peraturan anggaran. Dan kalau dengan mekanisme Perbendaharaan Negara. khusus dan/atau
Pemerintah. terkait dengan pembahasan RAPBN Maka Otorita, Kepala Otorita pungutan khusus
penganggarannya dengan DPR itu adalah Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud
Pasal 26 berhadapan dengan DPR dan Barang atau Kuasa dalam Pasal 24 ayat (4),
(1) Penyelenggaraa melalui Pembicaraan di 4. F.PG Pengguna Anggaran dan Kepala Otorita Ibu Kota
n dan DPR. Penyelenggaraan dan Barang. Jadi dari situ jelas Nusantara menyusun
pertanggungjaw pertanggungjawaban posisinya dan partnernya rencana pendapatan
aban anggaran 2. Anggito Abimanyu anggaran pada dalam penyusunan itu adalah Ibu Kota Nusantara.
pada dalam RDPU tanggal 9 Pemerintahan Khusus IKN Dewan Perwakilan Rakyat (3) Ketentuan lebih lanjut
Pemerintahan Desember 2021, hlm. 13 [...] sebagaimana dimaksud Republik Indonesia. Jadi nanti mengenai penyusunan
Khusus IKN [...] (Rapat bersifat Terbuka) pada ayat (1) dilaksanakan pembahasannya mengikuti rencana kerja dan
dikelola dalam dengan persetujuan DPR siklus di APBN sehingga anggaran Ibu Kota
180

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
anggaran Tidak dijelaskan juga sesuai dengan ketentuan apabila diperlukan pendanaan Nusantara diatur dalam
pendapatan dan siapa yang menyetujui peraturan perundang- pembiayaan ke depan dan Peraturan Pemerintah.
belanja IKN [...] anggaran dari otorita undangan. seterusnya itu artinya menjadi
(2) Pengelolaan tersebut? Tidak ada Pak bagian dari Pembahasan Penjelasan
anggaran di sini. Apakah Presiden APBN yang sementara ada Pasal 25
pendapatan dan ataukah, tapi menurut yang dititipkan di dalam Ayat (1)
belanja pada saya karena itu uang kementerian dan lembaga ya Kepala Otorita Ibu
Pemerintahan negara ya harus ke DPR sampai pada batas waktu Kota Nusantara selaku
Khusus IKN [...] Pak begitu. tertentu di bawah koordinasi pengguna anggaran/
sebagaimana otorita. Itu yang kita coba pengguna barang
dimaksud pada rumuskan seperti itu. Itu menyusun rencana
ayat (1) diatur mengenai Pendanaan. kerja dan anggaran
dalam Ibu Kota Nusantara
Peraturan dengan
Pemerintah. memperhatikan antara
lain Rencana Induk
Ibu Kota Nusantara,
RPJMN dan/atau
rencana anggaran
tahunan, serta sejalan
dengan mekanisme
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.

Dalam hal terdapat


perubahan terhadap
181

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Rencana Induk Ibu
Kota Nusantara yang
berdampak terhadap
penyesuaian
anggaran/pendanaan,
maka penyesuaian
anggaran/pendanaan
dilaksanakan dengan
mekanisme
penganggaran sesuai
peraturan perundang-
undangan, antara lain
peraturan perundang-
undangan yang
mengatur mengenai
penyusunan rencana
kerja dan anggaran
pada
kementerian/lembaga.

Rencana kerja dan


anggaran Ibu Kota
Nusantara mencakup
rencana pendapatan
dan belanja lbu Kota
Nusantara.
182

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 26
(1) Pelaksanaan dan
pertanggungjawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25
dilakukan sesuai tata
kelola anggaran Ibu
Kota Nusantara.
(2) Tata cara pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) diatur
dalam Peraturan
Pemerintah.
183

Rumusan dalam Pendapat/Masukan dari DIM DPR


Pembahasan Rumusan dalam UU IKN
RUU IKN Masyarakat (vide Lampiran 44)

Penjelasan
Pasal 26
Ayat (1)
Pelaksanaan dan
pertanggungiawaban
anggaran Ibu Kota
Nusantara dilakukan
dengan mengikuti
mekanisme Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
184

m. Bahwa tiga prasyarat untuk memenuhi partisipasi yang lebih bermakna


disampaikan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukum Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang
diucapkan pada tanggal 3 November 2021. Namun parameter yang
konkret untuk partisipasi yang lebih bermakna tersebut tidak
ditemukan dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 91/PUU-
XVIII/2020. Meskipun demikian pembentuk undang-undang, dalam hal
ini DPR telah berusaha untuk memenuhi kriteria partisipasi yang lebih
bermakna tersebut dengan melakukan RDPU, audiensi, konsultasi
publik dan kunjungan kerja khususnya dengan stakeholder
masyarakat yang memiliki kepentingan atas substansi RUU IKN dan
telah langsung menindaklanjutinya ke dalam DIM Fraksi (vide Pasal 96
ayat (3) UU Pembentukan PUU dan Pasal 61 ayat (2) Peraturan DPR
2/2020). Hal itu membuktikan bahwa pembentuk undang-undang telah
berupaya memenuhi hak masyarakat untuk didengar dan
dipertimbangkan pendapatnya, serta dijelaskan atau dijawab atas
pendapat yang diberikan.
2. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 34 yang menyatakan bahwa
Lampiran II UU IKN tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah
dibahas serta tidak tersedia pada saat persetujuan bersama, DPR
memberikan keterangan sebagai berikut:
a. Pemerintah menyampaikan RUU IKN melalui Surat Presiden Nomor
R-44/Pres/09/2021 tertanggal 29 September 2021. Dalam RUU IKN
yang disampaikan tersebut, hanya terdapat 1 lampiran yang melekat
dengan RUU IKN, yaitu terkait dengan Peta Delineasi Kawasan
Strategis Nasional Ibu Kota Negara. Adapun mengenai rencana
induk IKN pada awalnya akan diatur dengan Peraturan Presiden
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU IKN yang
disampaikan oleh Pemerintah(vide Lampiran 8).
b. Dalam Rapat Panja Pansus RUU IKN pada tanggal 13 Desember
2021, Pemerintah menyampaikan dokumen Masterplan (Rencana
Induk) Ibu Kota Negara (vide Lampiran 42).
185

c. Dalam Rapat Panja Pansus RUU IKN pada tanggal 14 Desember


2021, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional menyampaikan terdapat isu penting terkait
dengan rencana induk IKN yang memungkinkan mengalami
perubahan, yaitu apakah melekat dengan undang-undang atau diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya dan apa bentuk
peraturan tersebut, apakah peraturan pemerintah atau peraturan
presiden. Pernyataan Pemerintah tersebut disampaikan sebagai
berikut:

Pemerintah (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Dr.


(H.C.) Ir. H. Suharso Monoarfa):

“Kemudian kedua hal ini mengenai baik pertanahan maupun


penataan ruang tentu akan berpedoman mengikuti rencana induk
Ibu Kota Negara. Di dalam rencana induk Ibu Kota Negara seperti
yang pernah kami presentasikan di sini, tentu secara rigid dan
detail itu diatur, dan kami sudah turun pada detail plan, dan bahkan
kita sudah punya land development yang untuk siap bangun. Ini
saya juga bisa saya ceritakan misalnya bahwa terkait dengan
rencana induk yang sudah disiapkan sejak Tahun 2019 dan sudah
selesai pada Tahun 2020 lalu ini master plan sudah selesai.
Isu yang paling penting dari rencana induk ini adalah, apakah
master plan itu melekat/touch dengan Undang-undang ini, atau dia
ada distansi dengan Undang-undang ini, lalu kemudian diatur di
mana? Apakah Peraturan Pemerintah? Ataukah di Peraturan
Presiden? Itu menjadi penting karena kita ingin ada menghindari
rigiditas, kalau memang diperlukan satu perubahan terhadap
master plan, tetapi kita harapkan sebagaimana sejarah kota-kota
di Indonesia, saya sebagai planer, saya hafal sejarah kota-kota di
Indonesia. Sebenarnya master plan itu tidak ada yang salah,
master plan Jakarta itu tidak ada yang salah, detail plan nya itu
bagus, problem adalah eksekusi pada waktu master plan dan
kemudian detail plan, misalnya Jakarta itu dengan ada akan dibuat
giant wall dan seterusnya, itu sudah mulai dari tahun 30-an ada di
master plan, mengatasi naiknya permukaan air laut di Jakarta itu
sudah disusun kira-kira pada tahun 30-an. Jadi master plan itu
sudah luar biasa. Nah, ini terkait dengan di rencana induk itu.” (vide
Lampiran 45 hlm. 4-5)

d. Kemudian dalam Rapat Tim Perumus Pansus RUU IKN yang


dilaksanakan pada tanggal 11 Januari 2022 dan bersifat terbuka,
Pemerintah menyampaikan bahwa terdapat rumusan yang
mengalami perubahan berdasarkan masukan dari fraksi, salah
186

satunya adalah Pasal 7 ayat (3) yang mengatur mengenai pelekatan


rencana induk IKN dalam Lampiran II RUU IKN. Oleh karena
perubahan rumusan dalam Pasal 7 tersebut bersifat substansi, maka
pembahasan dan pendalaman lebih lanjut dilakukan dalam Rapat
Panja.
e. Dalam Rapat Panja RUU IKN pada tanggal 13 Januari 2022,
pembentuk undang-undang kembali membahas substansi RUU IKN
yang dibagi ke dalam 4 (empat) klaster, yaitu kelembagaan otorita
dan implikasinya, pendanaan atau anggaran, rencana induk, dan
pertanahan (vide Lampiran 59 dan 60).
f. Dalam Rapat Panja RUU IKN pada tanggal 17 Januari 2022, DPR,
DPD dan Pemerintah telah menyetujui klaster rencana induk dalam
Pasal 1 angka 13, Pasal 7, dan Pasal 15 dengan catatan (vide
Lampiran 62). Adapun terkait dengan pelekatan rencana induk IKN
dalam Lampiran II dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (3) sehingga
berbunyi sebagai berikut:
“Rencana Induk Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) paling sedikit memuat pokok-pokok:
a. Pendahuluan;
b. Visi, Tujuan, Prinsip Dasar dan Indikator Kinerja Utama;
c. Prinsip dasar pembangunan; dan
d. Penahapan pembangunan dan skema pendanaan,
yang tercantum dalam lampiran II, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari undang-undang ini”.

Dalam Rapat Panja tersebut, DPR dan Pemerintah menyepakati


Rencana Induk Ibu Kota Negara ditetapkan sebagai lampiran yang
menjadi satu kesatuan dengan RUU IKN agar memiliki posisi hukum
yang kuat sebagai acuan pelaksanaan persiapan, pembangunan,
dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, namun dibuka
ruang untuk dapat diubah sesuai perkembangan kebutuhan pada
waktu mendatang. Hal tersebut mengacu pada rumusan Pasal 7 ayat
(5) huruf a yang mengatur:
187

“Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan perubahan terhadap


Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dengan ketentuan:
a. dalam hal perubahan dilakukan terhadap materi muatan
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
Presiden dan dikonsultasikan dengan DPR;

Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila Rencana Induk Ibu Kota


Negara akan dilakukan perubahan, maka perlu dikonsultasikan
dengan DPR.
Terbentuknya rumusan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5) RUU
IKN tersebut juga menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang
signifikan dari rumusan Pasal 7 draft RUU IKN yang disampaikan
pada awalnya bersamaan dengan Surat Presiden No. R-
44/Pres/09/2021 perihal penyampaian Rancangan Undang-Undang
Ibu Kota Negara (vide Lampiran 8) yang semula terdiri atas 2 (dua)
ayat menjadi 6 (enam) ayat (vide Lampiran 51). Dengan demikian,
jelas bahwa isi Rencana Induk sebagaimana dalam Lampiran II RUU
IKN telah mengalami perubahan dalam pembahasan RUU IKN dan
mendapat perhatian yang serius dari pembentuk UU yang dalam hal
ini DPR diwakili oleh Panja Pansus RUU IKN dan Pemerintah diwakili
oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
g. Pada tanggal 18 Januari 2022 dilaksanakan Rapat Kerja Pansus
RUU IKN yang juga dihadiri wakil pemerintah dengan acara Laporan
Panja ke Pansus, Pendapat Akhir Mini Fraksi, Pendapat DPD,
Pengambilan Keputusan, Penandatanganan Naskah RUU dan
Sambutan Pemerintah. Setelah mendengarkan seluruh pandangan
dan pendapat dari masing-masing fraksi, DPD dan Pemerintah,
Rapat Pansus menyetujui RUU IKN yang telah dibahas untuk
diproses lebih lanjut pada Tahap Pembicaraan Tingkat II (vide
Lampiran 63 hlm. 51).
h. Pada Pembicaraan Tingkat II Rapat Paripurna dalam rangka
Pembicaraan Tk II/Pengambilan Keputusan Menjadi Undang-Undang
pada tanggal 18 Januari 2022 tidak membahas mengenai Lampiran
188

II RUU IKN melainkan pembicaraan tingkat kedua atau pengambilan


keputusan atas RUU IKN yang didahului dengan penyampaian
Laporan Pansus terkait hasil pembahasan RUU IKN yang poin-poin
pentingnya antara lain sebagai berikut:
• bahwa pada Tahap Pembahasan dan Pembicaraan Tingkat I,
konsep RUU IKN beserta lampirannya telah dilakukan
pembahasan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
• Pada akhir pembicaraan tingkat I tersebut, 8 (delapan) fraksi dan
Komite I DPD menyatakan menyetujui hasil pembahasan RUU IKN
sedangkan Fraksi PKS di dalam pendapat mini fraksi menyatakan
Fraksi PKS mengambil sikap dengan berbagai pertimbangan
bahwa masih banyak substansi dan pandangan Fraksi PKS yang
belum diakomodir dalam RUU IKN, maka Fraksi PKS menolak
RUU IKN untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
• DPR berpandangan bahwa meskipun dalam pembicaraan tingkat
I terdapat 1 (satu) fraksi yang menolak RUU IKN untuk dilanjutkan
ke tahap berikutnya (pembicaraan tingkat II), mayoritas fraksi
dalam rapat pembicaraan tingkat I tersebut menyetujui RUU IKN
untuk dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II. Pada saat
pengambilan keputusan di tingkat II, seluruh peserta Rapat
Paripurna menyetujui RUU IKN untuk menjadi undang-undang.
Namun setelah pengambilan keputusan tersebut ada pernyataan
keberatan atau penolakan dari Fraksi PKS. Keberatan atau
penolakan pada saat keputusan telah diambil dapat dianggap
sebagai sebuah catatan keberatan/minderheidsnota. DPR
menerangkan bahwa sikap seperti itu merupakan suatu bentuk
dan praktik demokrasi dalam pengambilan keputusan di DPR,
namun sikap tersebut tidak dapat membatalkan atau menghambat
persetujuan yang telah diambil dalam rapat paripurna tersebut.
• Bahwa catatan yang diberikan dari Fraksi PKS pada dasarnya
tidak mengubah prinsip persetujuan seluruh fraksi untuk
mengesahkan RUU menjadi undang-undang. Terkait dengan
catatan keberatan/minderheidsnota tersebut, Mahkamah
Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya dalam Putusan MK
189

Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai pengujian formil dan materiil


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (UU Migas) menyatakan sebagai berikut:
" Menimbang bahwa guna membuktikan kebenaran dalil
Pemohon tersebut Mahkamah telah memeriksa Risalah Rapat
Paripurna Ke-17 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2001-
2002, bertanggal 23 Oktober 2001, yakni rapat paripurna yang
mengesahkan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada
12 (dua belas) anggota DPR yang menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap RUU Minyak dan Gas Bumi
dengan mengajukan minderheidsnota terbukti benar (vide
Risalah hal. 70-74). Namun, dalam risalah yang sama,
Mahkamah juga menemukan fakta bahwa pada bagian akhir
rapat paripurna dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah
menyampaikan Pendapat Akhir-nya dan pimpinan rapat (A.M.
Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo dapat disetujui untuk
disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa
seluruh anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan
keberatan atau tidak setuju, sehingga pimpinan rapat kemudian
mempersilahkan wakil pemerintah, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral, untuk menyampaikan sambutannya (vide
Risalah hal. 158);…”

• Dalam konteks pembicaraan tingkat II RUU IKN, berdasarkan


risalah Rapat Paripurna tertanggal 18 Januari 2022, dapat
diketahui bahwa seluruh peserta sidang paripurna menyetujui
RUU IKN beserta lampirannya untuk disahkan menjadi undang-
undang. (vide Lampiran 64 hal. 73)
i. Bahwa Lampiran II UU IKN telah terlampir dan dapat diakses pada
laman web: https://jdih.setneg.go.id/Produk dan
https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/1791.
j. Berdasarkan uraian di atas, maka DPR menyampaikan bahwa
dinamika perubahan sering kali terjadi dalam pembahasan
rancangan undang-undang. Meskipun dalam RUU IKN yang
disampaikan oleh Presiden tidak melampirkan rencana induk IKN,
namun pada saat pembahasan DPR menyadari bahwa rencana
induk tersebut perlu dilekatkan dalam RUU IKN dan menjadi
Lampiran II yang tidak terpisahkan dari undang-undang sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (3) RUU IKN dan telah disetujui baik
dalam Rapat Pembicaraan Tingkat I maupun dalam Rapat
190

Pembicaraan Tingkat II. Dengan telah dicantumkannya frasa


“tercantum dalam Lampiran II” di dalam batang tubuh UU IKN, maka
Lampiran II merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang
undang. Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 34 tersebut
adalah tidak tepat dan pembentukan UU a quo tidak bertentangan
dengan syarat formil pembentukan undang-undang.
Berdasarkan Keterangan DPR tersebut di atas, maka dalil-dalil Para
Pemohon sebagaimana tertulis dalam permohonan secara keseluruhan tidak
beralasan menurut hukum dan tidak dapat dijadikan dasar
inkonstitusionalitas UU IKN secara formil. DPR kembali menegaskan bahwa
pembentukan UU IKN telah dilakukan sesuai dengan tata cara pembentukan
undang-undang yang baik dan benar, sehingga tidak terdapat cacat formil.

III. PETITUM DPR


Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya,
Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
4. Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2022 tentang Ibukota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6766) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
191

Nomor 6398), Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Berita Negara No. 667 Tahun
2020), dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang (Berita Negara No. 668
Tahun 2020);
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.4] Menimbang bahwa DPR telah pula mengajukan lampiran keterangan


DPR yang diberi tanda lampiran 1 sampai dengan lampiran 67 sebagai berikut:

No Nama Dokumen Keterangan Tanggal


PERENCANAAN
1 Keputusan DPR RI Nomor 46/ DPR Prolegnas jangka panjang Tahun 17
RI/I/2019-2020 tentang Program 2020-2024 pada urutan ke-131 Desember
Legislasi Nasional Rancangan Undang- herdasarkan Surat Keputusan DPR 2019
Undang Tahun 2020-2024. RI Nomor 46/ DPR RI/I/2019-2020
tentang Program Legislasi Nasional
Rancangan Undang-Undang Tahun
2020-2024.
2 Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR Prolegnas Prioritas Tahun 2020 22 Januari
RI/II/2019-2020 tentang Program pads urutan ke-46 berdasarkan 2020
Legislasi Nasional Rancangan Undang- Surat Keputusan DPR RI Nomor
Undang Prioritas Tahun 2020 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang
Program Legislasi Nasional
Rancangan Undang-Undang
Prioritas Tahun 2020
3 Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR Prolegnas Prioritas Tahun 2021 23 Maret
RI/IV/2020-2021 tentang Program pada urutan ke-28 berdasarkan 2021
Legislasi Nasional Rancangan Undang- Surat Keputusan DPR RI Nomor
Undang Prioritas Tahun 2021 dan 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Program Legislasi Nasional
Undang-Undang Perubahan Tahun Rancangan Undang-Undang
2020-2024 Prioritas Tahun 2021 dan Program
Legislasi Nasional Rancangan
192

Undang-Undang Perubahan Tahun


2020-202
4 Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR Prolegnas Prioritas Tahun 2021 30
RI/I/2021-2022 tentang Program pada urutab ke-29 berdasarkan September
Legislasi Nasional Rancangan Undang- Surat Keputusan DPR RI Nomor 2021
Undang Prioritas Tahuhn 2021 dan 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang
Program Legislasi Nasional Rnacangan Program Legislasi Nasional
Undang-Undang Perubahan Kedua Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 Prioritas Tahun 2021 dan Program
Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Perubahan Kedua
Tahun 2020-2024
5 Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR Prolegnas Prioritas Tahun 2022 7 Desember
RI/II/2021-2022 tentang Program pada urutan ke-33 berdasarkan 2021
Legislasi Nasional Rancangan Undang- Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/
Undang Prioritas Tahun 2022 dan DPR RI/11/2021-2022 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Program Legislasi Nasional
Undang-Undang Perubahan Ketiga Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 Prioritas Tahun 2022 dan Program
Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Perubahan Ketiga
Tahun 2020-2024
PEMBAHASAN
6 Surat Presiden No. R-44/Pres/09/2021 Penyampaian berkas Rancangan 29
perihal penyampaian Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara September
Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dari Presiden kepada 2021
DPR untuk mendapat persetujuan
prioritas utama pembahasan dan
penugasan Menteri untuk
membahas RUU tersebut
7 Naskah Akademik Rancangan Undang- Naskah Akademik RUU IKN 7 November
Undang Ibu Kota Negara sejumlah 175 halaman termasuk 2021
halaman sampul dan daftar pustaka,
terdiri atas 6 (enam) bab.
8 Draft Rancangan Undang-Undang Ibu Draft RUU IKN yang terdiri atas 34 7 November
Kota Negara pasal beserta Iampiran Peta 2021
Delineasi Kawasan Strategic
Nasional lbu Kota Negara
9 Laporan Singkat Rapat Pansus RUU IKN Rapat Pansus RUU (Rapat Intern) 7 Desember
(rapat intern) dengan Agenda Pemilihan IKN dilaksanakan dalam rangka 2021
dan Penetapan Pimpinan Panitia Khusus pemilihan dan penetapan pimpinan
RUU IKN (Terbuka) pansus.

10 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat dengan agenda penjelasan 7 Desember
dengan Agenda Mendengarkan pemerintah pandangan fraksi-fraksi, 2021
Penjelasan Pemerintah (terbuka) pandangan DPD, tanggapan
pemerintah, dan pengesahan jadwal
acara dan mekanisme pembahasan
193

RUU, serta pembentukan panja.


Terdapat catatan dari Fraksi Partai
Demokrat yang meminta penundaan
pembahasaan RUU dan fokus pada
penanganan Covid-19. Sedangkan
Fraksi PKS meminta agar
pembahasan RUU IKN tidak dibahas
terburu-buru dan memperhatikan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
11 Risaiah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 8 Desember
dengan Agenda Mendapatkan Bahan Pansus RUU tentang IKN dengan 5 2021
Masukan Pembahasan RUU IKN orang pakar yang
(Terbuka) memberikan masukan dari perspektif
hukum tata negara, pakar tata
ruang dan kota, lingkungan, dan
ekonomi.
12 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Wicipto Setiadi perspektif Pers ektif Hukum Tata 2021
Negara
13 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Hendricus Andy Simarmata perspektif Perspektif hukum 2021
lingkungan

14 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Wicaksono Sarosa perspektif Perspektif hukum 2021
lingkungan

15 Bahan Paparan Pakar atas nama Asep Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Sofyan perspektif Perspektif lingkungan 2021

16 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 8 Desember
Nurkholis perspektif ilmu ekonomi 2021

17 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 8 Desember
dengan Agenda Mendapatkan Bahan Pansus RUU tentang IKN dengan 5 2021
Masukan Pembahasan RUU IKN orang pakar yang
(Terbukan) memberikan masukan dari perspektif
sosiologi kemasyarakatan, ekonomi,
investasi, pendanaan berkelanjutan,
masyarakat adat dan humaniora,
dan kebencanaan.
18 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Paulus Wirutomo perspektif Ekonomi, Investasi, BMN, 2021
Pengalihan Aset dan Pendanaan
Berkelanjutan
19 Bahan Paparan Pakar atas nama Anggito Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Abimanyu perspektif Ilmu Ekonomi, Investasi, 29021
BMN, Pengalihan Aset, dan
Pendanaan Berkelanjutan.
194

20 Bahan Paparan Pakar atas nama Fadhil Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Hasan perspektif Ilmu Ekonomi, Investasi, 2021
BMN, Pengalihan Aset, dan
Pendanaan Berkeianjutan
21 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 9 Desember
Erasmus Cahyadi Terre perspektif Masyarakat Adat dan 2021
Humaniora
22 Bahan Paparan Pakar atas nama Avianto Masukan pakar alas RUU IKN dari 9 Desember
Amari perspektif Ibu Kota Negara dan 2021
Kebencanaan
23 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat dengar pendapat umum 10
dengan Agenda Rapat Dengar Pendapat Pansus RUU tentang IKN dengan 3 Desember
Umum dengan Pakar dan Aliansi prang pakar dan 2 aliansi masyarkat 2021
Masyarakat daIam rangka mendapatkan yang memberikan perspektif
masukan RUU IKN (Terbuka) perencanaan wilayah dan GIS,
perspektif ekonomi, perihal tugas
dan fungsi badan otorita IKN,
desentralisasi fiskal serta pengalihan
asset
24 Bahan Paparan Pakar atas nama Mukti Masukan pakar atas RUU IKN dari 10
Ali perspektif Perencanaan WiIayah dan Desember
GIS 2021
25 Bahan Paparan Pakar atas nama Master Masukan pakar atas RUU IKN dari 10
P. Tumanggor perspektif Ekonomi Desember
2021
26 Bahan Paparan atas nama Robert Endi Masukan Pakar atas RUU IKN dari 10
Jaweng perspektif Otonomi Daerah dan Desember
Desentralisasi Fiskal serta 2021
Pengalihan Aset
27 Bahan Paparan atas nama Suharyono S. Masukan pakar atas RUU lKN dari 10
Hadiningrat perspektif Inspirasi Merah Putih Desember
Indonesia. 2021
28 Bahan Paparan Pakar atas nama Ketua Umum Aliansi Pimpinan 10
Mohammad Djailani Ormas Daerah AORDA Kalimantan Desember
Timur. 2021
29 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 11
dengan Agenda Rapat Dengar Pansus RUU tentang lKN dengan 4 Desember
Pendapat Umum dengan Pakar orang pakar yang memberikan 2021
dalam rangka mendapatkan masukan perspektif hukum Tata Negara,
RUU IKN (Terbuka) kebijakan publik, kelembagaan
negara, dan teknologi informasi.
30 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Satya Arinanto perspektif Hukum Tata Negara. Desember
2021
31 Bahan Paparan Pakar alas nama Chazali Masukan pakar atas RUU lKN dari 11
H. Situmorang perspektif Kebijakan Publik Desember
2021
195

32 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Aminudin Kasim perspektif Kelembaaan Negara Desember
2021
33 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 11
Pratama Dahlian Persadha perspektif Teknologi Informasi Desember
2021
34 Risalah Rapat Panitia Khusus RUU IKN Rapat Dengar Pendapat Umum 12
dengan Agenda Rapat Dengar Pansus RUU tentang IKN dengan 7 Desember
Pendapat Umum dengan Pakar orang pakar yang memberikan 2021
dalam rangka mendapatkan masukan perspektif pertanahan atau agraria,
RUU IKN (Terbuka) kelembagaan dan kebijakan
publik, serta ekonomi dan
pembangunan.
35 Bahan Paparan Pakar atas nama Trubus Masukan pakar alas RUU IKN dari 12
Rahadiansyah perspektif KeIembagaan dan Desember
Kebijakan Publik Pembentukan IKN 2021
36 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
Ananda B. Kusumah perspektif kelembagaan dan Desember
kebijakan Publik Pembentukan IKN 2021
37 Bahan Paparan atas nama Arief Anshory Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
perspektif Ekonomi dan Desember
Pembangunan 2021
38 Bahan Paparan Pakar atas nama Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
Yayat Supriatna perspektif Tata Ruang dan Agraria Desember
2021
39 Bahan Paparan Pakar atas nama Maria Masukan pakar atas RUU IKN dari 12
S.W. Soemardjono perspektif Pertanahan/Agraria Desember
2021
40 Risalah Rapat internal Panitia Khusus Rapat yang menghasilkan 13
RUU tentang lbu Kota Negara dengan persetujuan dan menetapkan Ketua Desember
Agenda Penyampaian Pandangan Panja RUU IKN adalah Wakil Ketua 2021
Pemerintah tentang RUU IKN Kepada Pansus (Saudara Saan Mustopa,
Panja (Terbuka) M.Si.).
41 Risalah Rapat Kerja Panitia Khusus Penyampaian Pandangan 13
dengan Pemerintah dan DPD dengan Pemerintah tentang RUU IKN Desember
Agenda Penyampaian Pandangan Kepada Panja. 2021
Pemerintah tentang RUU IKN Kepada
Panja (Terbuka)
42 Rencana Induk (Master Plan) IKN Paparan Rencana Induk (Master 13
Plan) IKN dari Kementerian Desember
PPN/Bappenas 2021
43 Risalah Rapat Pania Panitia Khusus jumlah DIM RUU IKN adalah 13
Dengan Pemerintah dan DPD sebanyak 277 DIM, yang terdiri dari Desember
Dengan Agenda Pembahasan DIM RUU 35 DIM substansi dan 18 DIM 2021
IKN (Terbuka) redaksional. DPR RI, DPD RI
dan Pemerintah menyetujui jadwal
acara dan mekanisme pembahasan
Panja RUU IKN.
196

44 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Daftar Inventarisasi Mk asalah (DIM) 13


IKN RUU IKN dari 9 (sembiIan) fraksi di Desember
DPR sebanyak 278 2021
nomor.
45 Risalah Rapat Panitia Kerja RUU IKN Rapat dengan agenda melanjutkan 14
dengan agenda pembahasan DIM pembahasan DIM nomor 35 dan Desember
(Terbuka) seterusnya 2021
46 Risalah Rapat Panitia Kerja RUU IKN Rapat dengan agenda pembahasan 15
dengan agenda pembahasan DIM hasil dari restrukturisasi terhadap Desember
(Terbuka) DIM-DIM yang 2021
merupakan implikasi dari
disepakatinya DIM.
47 Laporan Singat Rapat Panitia Khusus Rapat dengan Agenda pertemuan 17
Dengan Agenda Audiensi Dengan Forum Forum Dayak Bersatu yang Desember
Dayak Bersatu (FDB) (Terbuka) mengakomodasi seluruh komunitas 2021
Daya se-Kalimantan memberikan
pandangan bahwa seluruh
masyarakat adat Kalimantan
mendukung rencana pemindahan
Ibu kota Negara dengan
mengedapankan HAM,
partisipasi masyarakat Kalimantan,
kondisi lingkungan, otonomi khusus
Kalimantan Timur serta
menghormati kearifan lokal dan
sumber daya manusia Kalimantan
Timur.
48 jadwal acara dan Daftar Tim Kunjungan Berisi jadwal kegiatan dan daftar 18-24
Kerja Luar Negeri Pansus RUU IKN ke nama Tim Pansus RUU IKN yang Desember
Amerika Serikat melakukan kunjungan kerja ke 2021
Amerika Serikat dari 18-24
Desember 2021
49 jadwal acara dan Daftar Titre Kunjungan Berisi jadwal kegiatan dan daftar 2-5 Januari
Kerja Luar Negeri Pansus RUU IKN ke nama Tim Pansus RUU IKN yang 2022
Kazakhtan melakukan kunjungan
kerja ke Kazakhtan dari 2-5 januari
2022
50 Laporan Singkat Rapat Tim Perumus Rapat Tertutup. 6 Januari
Pansus Dengan Agenda Pembahasan 2022
Timus RUU
Tentang Ibukota Negara Bersama
Pemerintah dan DPD RI (Tertutup)
51 Draft RUU IKN 6 januari 2022 Draft RUU IKN setelah melalui 6 Januari
pembahasan Pra Timus antara 2022
Kementerian PPN/Bappenas clan
Badan Keahhan DPR
52 Hasil Rumusan Pra Timus RUU IKN Hasil Rumusan Pra Timus 6 Januari
Pemerintah (Bappenas) dan Badan 2022
197

Keahlian DPR atas RUU IKN hasil


pembahasan tanggal 27-28 dan 31
Desember 2021, serta tanggal 3 dan
8 januari 2022
53 Laporan Singkat Rapat Tim Perumus Rapat Tertutup. 10 Januari
Pansus Dengan Agenda Pembahasan 2022
Timus RUU IKN Bersama Pemerintah
Dan DPD RI (Tertutup)
54 Laporan Singkat Rapat Tim Perumus Rapat Tim Perumus RUU IKN 11 Januari
Pansus RUU IKN (Terbuka) Bersama dengan Pemerintah dan 2022
DPD RI dalam rangka
tanggapan fraksi-fraksi terhadap
rumusan 28 DIM RUU yang
mengalami perubahan rumusan
sebagai inzplikasi dari disetujuinya
perubahan diksi pada DIM nomor 11
sesuai dengan tugas
yang diberikan panja.
55 Konsultasi Publik RUU IKN di Universitas Berisi daftar delegasi dan laporan 11 Januari
Mulawarman kegiatan Konsultasi Publik RUU IKN 2022
di Universitas Mulawarman
56 Laporan Singkat Rapat Panitia Kerja Rapat tertutup. 12 Januari
Pansus RUU IKN (Tertutup) 2022
57 KonsuItasi Publik RUU IKN di Universitas Berisi jadwal acara dan daftar 12 Januari
Hasanuddin delegasi kegiatan Konsultasi Publik 2022
RUU IKIN di Universitas Hasanuddin
58 Konsultasi Publik RUU IKN di Universitas Berisi daftar delegasi dan laporan 12 Januari
Sumatera Utara kegiatan konsultasi Publik RUU IKN 2022
di Universitas Sumatera Utara.
59 Risalah Rapat Panitia Kerja RUU Rapat Panja RUU IKN dengan 13 Januari
IKN (Terbuka) Pernerintah dan DPD dalam rangka 2022
pembahasan DIM yang
menyepakati:
a) DIM yang akan digunakan
dalam pembahasan RUU
selanjutnya adalah DM hasil
rekonstruksi yang telah
dibagikan pada tanggal 6
Januari.
b) Pembahasan DIM
selanjutnya akan dilakukan
secara clustering yang
terbagi menjadi 5 (lima)
klaster, yakni Kelembagaan
otorita dan implikasinya;
Pendanaan Rencana Induk
(master plan); Pertanahan;
198

Termasuk di dalamnya pasal-


pasal yang relevan.
60 DIM fraksi-fraksi yang terbagi menjadi 5 DIM fraksi-fraksi yang terbagi 13 Januari
(lima) klaster menjadi 5 (lima) klaster yakni 2022
Kelembagaan otorita dan
implikasinya; Pendanaan; Rencana
induk (masterplan); Pertanahan;
Termasuk di dalamnya
pasal- pasal yang relevan.
61 Kunjungan Kerja Pansus RUU IKN ke Berisi agenda kegiatan Kunjungan 14-15
Kalimantan Timur Kerja Pansus RUU IKN ke Januari 2022
Kalimantan Timur seiama 2 (dua)
hari
62 Risalah Rapat Panitia Kerja RUU Rapat Panja RUU 1KN dengan 17 Januari
IKN (Terbuka) Pemerintah dan DPD dalam rangka 2022
melanjutkan pembahasan
DIM RUU IKN secara klaster.
63 Risalah Rapat Kerja RUU IKN (Terbuka) Rapat Panja RUU IKN dengan 18 Januari
Pemerintah dan DPD dalam rangka 2022
penyampaian Laporan Panja;
pembacaan pandangan/pendapat
akhir mini dari seluruh fraksi DPR
serta DPD; dan pengambilan
keputusan tingkat I.
PENETAPAN RUU MENJADI UNDANG-UNDANG
64 Risalah Rapat Paripurna Rapat Paripurna dengan agenda 18 Januari
pembicaraan tingkat II/pengambilan 2022
keputusan atas RUU IKN menjadi
undang-undang.
65 Laporan Panitia Khusus RUU IKN dalam Laporan dari Pansus RUU IKN atas 18 Januari
Rapat Paripurna hasil pembahasan RUU IKN yang 2022
disampaikan dalam Rapat Paripurna
66 Draft RUU IKN yang disahkan dalam Draft RUU IKN yang disahkan dalam 18 Januari
Rapat Paripurna Rapat Paripurna 2022
67 Surat penyampaian RUU IKN menjadi Surat penyampaian RUU tentang Ibu 18 Januari
UU pasca Pembicaraan Tk II pada Kota Negara menjadi UU pasca 2022
Selasa, 18 Januari 2022 Pukul 10.00 Pembicaraan Tk II pada Selasa, 18
kepada Presiden Januari 2022 Pukul 10.00 kepada
Presiden sebagaimana tercantum
dalam Keputusan DPR
No.1/DPR/RI/III/2021-2022

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut,


Presiden menyampaikan keterangan lisan pada persidangan tanggal 21 April 2022
dan keterangan tertulis bertanggal 19 April 2022 yang diterima Mahkamah pada 19
April 2022, pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:
199

I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON


1. Para Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, dan Perkara Nomor 34/PUU-
XX/2022 pada pokoknya menguji UU IKN secara formil.
2. Dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945:
a. Pasal 1 ayat (2);
b. Pasal 1 ayat (3);
c. Pasal 22A;
d. Pasal 27 ayat (1);
e. Pasal 28C ayat (2).
3. Dianggap juga bertentangan dengan Pasal 5 huruf a, huruf c, huruf e dan huruf
g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
selanjutnya disebut sebagai UU No.12 Tahun 2011.

II. DALIL-DALIL PERMOHONAN


1. Dalil-dalil Permohonan Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022:
a. Para Pemohon dalam posita memohon adanya putusan sela (provisi)
sebagaimana diuraikan dalam halaman 37 angka 1, angka 2, dan
seterusnya sampai dengan halaman 43.
b. Para Pemohon mempertentangkan dalam proses pembentukan UU IKN,
yang secara lengkap tercantum dalam permohonan perkara Nomor
25/PUU-XX/2022 pada halaman 37 sampai dengan halaman 84 dalam
posita, yang pada petitumnya “untuk dinyatakan undang-undang a quo
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang serta
bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat”.
2. Dalil Permohonan Perkara Nomor 34/PUU-XX/2022:
Para Pemohon mempertentangkan dalam proses pembentukan UU IKN, yang
secara lengkap tercantum dalam berkas permohonan perkara Nomor 34/PUU-
XX/2022 pada halaman 15 sampai dengan halaman 32 dalam posita, yang
pada petitumnya “untuk dinyatakan undang-undang a quo bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
200

III. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) para Pemohon, Pemerintah


menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Nomor 24 Tahun
2003), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. Perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.
2. Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 secara tegas telah memberikan
ketentuan tata cara uji formil yang tetap berdasarkan pengujian secara
konstitusional sebagaimana ketentuan Pasal 24C UUD Tahun 1945,
sehingga berdasarkan kewenangan MK untuk menguji secara formil
pengujian berdasarkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 20 UUD Tahun
1945 dan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat “persetujuan bersama”.
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 frasafrasa
“persetujuan bersama” merupakan esensi berlakunya asas legalitas
sehingga frasafrasa “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat
fundamental sebagai dasar terbentuknya undang-undang. Ketentuan Pasal
20 ayat (2) UUD Tahun 1945 dalam frasafrasa “persetujuan bersama”
merupakan norma yang dapat menciptakan suatu gagasan norma-norma
menjadi norma hukum atau RUU menjadi undang-undang. Konstitusionalitas
Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 sejalan dengan konstitusionalitas
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah
“negara hukum” yang menerapkan asas legalitas sebagai sistem
pemerintahan sehingga frasafrasa “persetujuan bersama” merupakan
201

tindakan pemerintahan sebagai perwujudan negara dalam menciptakan


hukum tertulis atau undang-undang.
4. Sesuai ketentuan Pasal 24C, Pasal 20, dan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
maka pengujian formil Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945,
merupakan pengujian atas sah atau tidaknya suatu undang-undang sehingga
pengujian formil Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 harus diuji
secara konstitusional dengan menilai sah atau tidaknya “persetujuan
bersama” yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang sebagai tata
cara memperoleh sah atau tidaknya suatu norma dan sah atau tidaknya suatu
undang-undang.
5. Jika pembentukan undang-undang telah diproses berdasarkan prosedur
yang berlaku dan telah adanya “persetujuan bersama” yang dilaksanakan
dalam pembahasan Tingkat I dan “persetujuan bersama” yang dilaksanakan
dalam pembahasan Tingkat II dan tidak adanya kegagalan dalam
mendapatkan “persetujuan bersama” dalam organ pembentuk undang-
undang maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah
secara formil. Namun jika proses pembentukan undang-undang gagal dalam
mendapatkan “persetujuan bersama” baik dalam pembahasan Tingkat I atau
pembahasan Tingkat II yang kemudian dipaksakan menjadi undang-undang
maka undang-undang tersebut dapat dinyatakan cacat hukum dengan alasan
telah adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 UUD Tahun 1945
sehingga dapat dinyatakan cacat formil secara konstitusional.
6. Sebagai argumentasi berdasarkan konstitusionalitas uji formil dalil
permohonan uji formil harus diuji sejak proses pada pembahasan DPR
Tingkat I dan Tingkat II, sedangkan proses sebelum pembahasan di DPR
hanya sebagai pendukung atau penguat pertimbangan Mahkamah dalam
menguji konstitusionalitas undang-undang.
7. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka secara yuridis Putusan MK Nomor
27/PUU-VII/2009 harus dipahami sebagai hukum acara Mahkamah
Konstitusi dalam rangka pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun
1945 secara formil yang sejalan dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1), Pasal
20 dan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang secara tegas memberikan
perbedaan tata cara pelaksanaan uji formil UU terhadap UUD Tahun 1945.
202

8. Perbedaan pengujian formil dan pengujian materiil dalam Putusan MK Nomor


27/PUU-VII/2009 diantaranya:
a. Legal Standing dalam uji formil hanya terbatas pada kerugian
konstitusional secara “keterpautan” dengan undang-undang yang diuji.
b. “Keterpautan” dimaksud merupakan kerugian konstitusional yang terbatas
pada alasan kerugian yang melekat dalam undang-undang yang diuji baik
yang melekat adanya hak, kewajiban atau tugas dan tanggung jawab di
dalam pengaturan dalam Undang-undang yang diuji.
c. Batu uji dalam pengujian formil hanya terbatas pada ketentuan yang
mengatur kewenangan dan prosedur dibentuknya Undang-undang dalam
UUD Tahun 1945, yang secara konstitusional dapat diuji terhadap:
1. Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, pembentukan undang-undang harus
tetap berdasarkan pada konsep negara hukum.
2. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945, dalam hal
kewenangan pengajuan RUU,
3. Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945, pembentukan undang-undang
harus dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
4. Pasal 20 ayat (3) UUD Tahun 1945, jika rancangan undang-undang itu
tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
masa itu.
5. Pasal 20 ayat (4) UUD Tahun 1945, Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-
undang.
6. Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

9. Terhadap Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2020 Mahkamah berpendirian yang


pada pokoknya kerugian konstitusional tetap masih berpedoman pada Pasal
51 ayat (1) UU MK, Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021, Putusan MK Nomor
006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007 (vide paragraf (3.6) halaman
203

275) yang secara jelas tidak membedakan Legal Standing antara uji formil
dan uji materil dimana antara uji formil dan uji materil memiliki banyak
perbedaan diantaranya:

a. Pengujian formil merupakan pengujian prosedur dan tata cara sah atau
tidaknya suatu undang-undang, yang secara esensial tidak menguji
norma-norma yang berlaku atau belum adanya akibat hukum.
b. Pengujian materil merupakan pengujian undang-undang yang telah sah
berlaku, yang secara esensial menguji norma-norma undang-undang
yang dapat menimbulkan akibat hukum.
c. Akibat hukum kerugian formil berdampak hanya kepada pembentuk
undang-undang, yang dianggap cacat dalam pembentukannya.
d. Akibat hukum kerugian materiil berdampak pada pemilik hak-hak
konstitusional secara umum yang dapat mengurangi atau menghilangkan
hak-haknya.
e. Legal Standing uji formil adanya pihak yang merasa dirugikan akibat
dibentuknya undang-undang dan berpotensi dapat melanggar atas hak,
tugas atau kewenangannya yang terkandung didalamnya atau adanya
hubungan yang melekat “keterpautan” terhadap undang-undang yang
diuji.
f. Legal Standing uji materiil adalah terkait “kerugian konstitusional” para
pemohon akibat berlakunya suatu undang-undang yang dapat
mengurangi atau menghilangkan hak-hak secara umum yang dijamin
dalam UUD Tahun 1945.
10. Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
menegaskan bentuk kerugian konstitusional yang sangat jelas atas hak yang
diberikan oleh UUD Tahun 1945, dan adanya bentuk kerugian yang dilanggar
dengan berlakunya undang-undang. Hal tersebut sudah sangat jelas untuk
penegasan bentuk kerugian secara materiil karena hak-haknya dapat
dilanggar dalam bentuk norma undang-undang, dalam bentuk pasal, ayat,
frasa atau kata sehingga dalam menguji materiil pihak yang merasa dirugikan
akibat berlakunya undang-undang dapat menguji materi undang-undang
pasal, ayat, frasa atau kata. Sehingga, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005
dan Nomor 011/PUU-V/2007 tidak dapat digunakan sebagai landasan uji
204

formil namun akan lebih beralasan hukum jika digunakan sebagai landasan
uji materiil.
11. Berdasarkan uraian tersebut, maka landasan hukum Legal Standing
dibedakan sebagai berikut:
a. Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009
sebagai landasan Legal Standing uji formil.
b. Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai landasan Legal Standing uji materiil.

12. Berdasarkan argumentasi atas Legal Standing uji formil tersebut di atas
Pemerintah berkeyakinan bahwa Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 telah
memberikan kepastian hukum sebagai tata cara syarat Legal Standing uji
formil baik bagi pihak yang berkepentingan dan juga bagi Mahkamah
Konstitusi untuk melaksanakan kewenangannya sebagaimana ketentuan
Pasal 24C UUD Tahun 1945.
13. Sesuai Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, penting kiranya bagi Pemerintah untuk memberikan
pandangan dan pendapat atas kedudukan hukum Legal Standing uji formil
para Pemohon:
a. Kedudukan Hukum para Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022
sebagaimana tercantum dalam permohonan halaman 2 sampai dengan
6 yang pada pokoknya:
1) Pemohon I sebagai Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai
dosen yang mengalami kebingungan untuk menjelaskan secara
akademis terhadap pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa terkait
penerapan manajemen strategi dalam UU a quo. Apabila dilihat secara
manajemen strategi anggaran pembangunan IKN tidak jelas akan
menggunakan anggaran yang dialokasikan darimana.
2) Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia menguraikan
kedudukan Legal Standing sebagai berikut:
a. Pemohon pernah menjabat sebagai anggota DPD RI daerah
pemilihan DKI Jakarta Periode 2004-2009 yang mengerti dan
mengetahui proses pembentukan suatu UU, durasi waktu 42 hari
tidak memungkinkan untuk pembentukan suatu undang-undang
dan terburu-buru.
205

b. Saat dalam setiap kegiatan kemasyarakatan banyak masyarakat


Jakarta yang bertanya tentang nasib/masa depan Jakarta
sebagai ibu kota dipindahkan membuat Pemohon tidak bisa
menjelaskan karena selama ini tidak ada sosialisasi yang massif
ataupun penjelasan dari pembentuk UU kepada warga
masyarakat DKI Jakarta jika ibu kota dipindahkan ke Kalimantan.
c. Sebagai pengurus dalam Badan Hukum Yayasan Pengkajian
Sumber Daya Indonesia, pemohon tidak mendapatkan
kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran untuk
mengharmonisasikan ketentuan norma yang mengatur terkait
pembangunan IKN Nusantara dengan ketentuan norma yang
diatur dalam UU yang terkait dengan sumber daya alam.
d. Sebagai tax payer, proyek IKN berpotensi besar untuk terhenti
hal ini tentunya bentuk penggunaan APBN yang tidak
bertanggung jawab dan menmbulkan kerugian negara padahal
APBN berasal dari pajak rakyat yang selalu dibayarkan oleh
Pemohon.
3) Pemohon III sebagai Warga Negara Indonesia saat ini menjabat
sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia
Masa Khidmat 2020-2025, tidak mendapatkan informasi yang jelas,
dan kesempatan untuk memberikan masukan dalam UU a quo.
4) Pemohon IV sebagai Warga Negara Indonesia yang merupakan tokoh
agamawan yang memiliki umat diberbagai wilayah di Indonesia,
merasa proses pembentukan terlihat terburu-buru sehingga tidak
membuka partisipasi publik secara maksimal dan bermakna, tanpa
mengundang pihak yang terdampak baik masyarakat Jakarta, maupun
masyarakat Kalimantan yang berpotensi menimbulkan konflik
horizontal di lapangan akibat shock culture, ketimpangan lapangan
pekerjaan antara pendatang dan masyarakat asli Kalimantan. Selain
itu, Pemohon merasa kesulitan untuk memberikan jawaban-jawaban
kepada umatnya yang mempertanyakan hal ini, terlebih adanya
infiltrasi budaya global yang dapat mengancam akidah-akidah agama
yang selama ini telah dibangun dan dijaga oleh Pemohon.
206

5) Pemohon V sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki


kekhawatiran dalam menjaga tujuan negara untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, akan adanya potensi konflik horizontal,
berpotensi terlanggar dalam ketentuan UU a quo incasu
peralihan/pembebasan lahan masyarakat.
6) Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X,
dan Pemohon XI sebagai Warga Negara Indonesia merupakan
Purnawirawan TNI, yang tidak bisa memberikan masukan dalam
merumuskan ketentuan UU a quo karena wakttu pembentukan UU
terhitung sangat cepat jika diukur dari beban persoalan yang memiliki
multidimensi.
7) Pemohon XII merupakan Warga Negara Indonesia yang merupakan
seorang guru besar yang memiliki tanggung jawab dalam membangun
bangsa dan negaranya atau mencegah terjadinya kerusakan bangsa
dan negaranya dimana Pemohon tidak dapat memberikan masukan
keapda Pembentuk UU untuk menyampaikan pendapatnya agar
menghentikan rencana perpindahan IKN karena waktu yang begitu
cepat dalam proses pembentukan UU a quo.
8) Pemohon XIII adalah Warga Negara Indonesia yang merupakan tokoh
masyarakat yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di Jakarta
menerima keluhan dan memperjuangkan persoalan yang ada di
Jakarta. Pemohon tidak bisa menjelaskan karena tidak ada sosialisasi
yang massif ataupun penjelasan dari pembentuk UU kepada warga
DKI Jakarta jika Ibu Kota dipindahkan ke Kalimantan. Selain itu, akses
untuk mendapatkan materi pembahasan dalam setiap tahapan tidak
dibuka seluruhnya (28 tahapan hanya 7 naskah pembahasan).
9) Pemohon XIV adalah Warga Negara Indonesia yang merupakan
pensiunan dosen yang juga pengamat ekonomi yang aktif memberikan
pemikiran-pemikiran menjadi tidak terakomodir mengingat partisipasi
public dalam pembentukan UU a quo hanyalah bersifat formalitas
belaka, tidak maksimal dan bermakna.
10) Pemohon XV, Pemohon XVI, Pemohon XVII, Pemohon XVIII,
Pemohon XIX, Pemohon XX, Pemohon XXI, Pemohon XXII, dan
Pemohon XXIII adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi
207

wiraswasta, pengacara, pedagang, dan karyawan swasta sebagai


para pemilih dalam pemilu tahun 2019 mendalilkan kerugian bahwa
pembentuk UU telah mengabaikan asas-asas sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011.

11) Pemohon XXIV adalah Warga Negara Indonesia sebagai mahasiswa


telah melakukan hasil kajian menjadi tidak terakomodir karena proses
pembentukan UU a quo sangat cepat dan partisipasi publik hanya
formalitas yang tidak memberikan kesempatan pada masyarakat yang
terdampak incasu masyarakat Jakarta
b. Kedudukan Hukum para Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XX/2022
sebagaimana yang tercantum dalam permohonan halaman 1 s/d 6 yang
pada pokoknya:
1) Pemohon I, III dan XIX berkedudukan sebagai PNS;
2) Pemohon II, IV, VII, XIII dan XV berkedudukan sebagai Dosen;
3) Pemohon V, VI, VIII, IX, X, XI, XII, dan XXI berkedudukan sebagai
Karyawan Swasta;
4) Pemohon XIV dan XVIII berkedudukan sebagai Pensiunan;
5) Pemohon XVI dan XVII berkedudukan sebagai Wiraswasta;
6) Pemohon XX berkedudukan sebagai Wartawan.

Terhadap Kedudukan Para Pemohon I sampai dengan XXI, diuraikan


sebagai berikut:
a. Para Pemohon memiliki hak konstitusional Pasal 28D dan 28F UUD
1945
b. Para pemohon adalah pembayar pajak (tax payer)
c. Para Pemohon adalah Warga Negara yang memiliki kepentingan
terhadap keselamatan dalam keadaan darurat Kesehatan Masyarakat
akibat Covid-19
c. Konstitusionalitas Legal Standing para Pemohon Perkara Nomor
25/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 34/PUU-XX/2022 dalam satu
pandangan Pemerintah sebagai berikut:
1) Pemohon yang berkedudukan sebagai “dosen” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji, baik
terhadap hak dan kewajiban yang diatur secara langsung maupun
208

tidak langsung dalam undang-undang yang di uji dan juga tidak akan
adanya potensi kerugian secara konstitusional sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Dosen.
2) Pemohon yang berkedudukan sebagai “wiraswasta” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik terkait
terhadap hak-haknya untuk melakukan usaha sebagai wiraswasta
dengan berlakunya undang-undang yang di uji tidak akan adanya
potensi kerugian secara konstitusional dan tidak akan menimbulkan
akibat hukum secara langsung yang dapat merugikan hak
konstitusional, bagi Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai
Wiraswasta.
3) Pemohon berkedudukan sebagai mantan Anggota DPD atau DPR
secara jelas tidak memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang
di uji baik terkait hak dan kewajibannya yang diatur secara langsung
dalam undang-undang yang di uji yang dapat merugikan hak
konstitusional bagi Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai
mantan Anggota DPD atau DPR.
4) Pemohon berkedudukan sebagai “Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
MUI” secara jelas tidak memiliki “keterpautan” dengan undang-undang
yang di uji baik terhadap hak-haknya sebagai Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan MUI, sehingga dengan berlakunya undang-undang
yang diuji tidak akan menimbulkan akibat hukum secara langsung
yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi Pemohon yang
berkedudukan hukum sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
5) Pemohon berkedudukan sebagai “tokoh agama” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai tokoh agama, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai tokoh agama.
6) Pemohon berkedudukan sebagai “Pensiunan” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
209

terhadap hak-haknya sebagai pensiunan, sehingga dengan


berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai pensiunan.
7) Pemohon berkedudukan sebagai “Purnawirawan” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai Purnawirawan, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Purnawirawan.
8) Pemohon berkedudukan sebagai “Mahasiswa” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai Mahasiswa, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Mahasiswa.
9) Pemohon berkedudukan sebagai “Karyawan Swasta” secara jelas
tidak memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai Karyawan Swasta, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Karyawan Swasta.
10) Pemohon berkedudukan sebagai “Pengacara” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai Pengacara, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Pengacara
11) Pemohon berkedudukan sebagai “Pedagang” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai Pedagang, sehingga dengan
berlakunya undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat
hukum secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Pedagang.
210

12) Pemohon berkedudukan sebagai “PNS” secara jelas tidak memiliki


“keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik terhadap hak-
haknya sebagai PNS, sehingga dengan berlakunya undang-undang
yang diuji tidak akan menimbulkan akibat hukum secara langsung
yang dapat merugikan hak konstitusional, bagi Pemohon yang
berkedudukan hukum sebagai PNS.
13) Pemohon berkedudukan sebagai “Wartawan” secara jelas tidak
memiliki “keterpautan” dengan undang-undang yang di uji baik
terhadap hak-haknya sebagai wartawan, sehingga dengan berlakunya
undang-undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat hukum
secara langsung yang dapat merugikan hak konstitusional bagi
Pemohon yang berkedudukan hukum sebagai Wartawan.
Sesuai kedudukan hukum Legal Standing para Pemohon secara
keseluruhan Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 34/PUU-
XX/2022, Pemerintah berkeyakinan bahwa berdasarkan syarat Legal
Standing uji formil sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan
Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/ 2009, secara jelas kedudukan hukum Legal
Standing para Pemohon tidak adanya hubungan “keterpautan” dengan
udang-undang yang di mohonkan untuk diuji, yang secara faktual Undang-
Undang yang diuji tidak akan menimbulkan akibat hukum secara langsung
yang dapat merugikan hak konstitusional atau kerugian lain bagi para
Pemohon sehingga para Pemohon tidak memiliki hak untuk menguji
undang-undang a quo secara formil, dan akan sangat beralasan hukum,
jika Yang Mulia Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak
Legal Standing para Pemohon secara keseluruhan.

IV. PUTUSAN SELA/PROVISI


Berdasarkan permohonan perkara dalam Bab III halaman 37 yang pada
pokoknya para Pemohon mengajukan Putusan Sela (Provisi) dengan alasan
yang dilandaskan pada Putusan Nomor 27/PUU-XVII/2009 dan Putusan Nomor
79/PUU-XVII/2019. Sebagaimana diuraikan dalam dalil-dalil Permohonan
Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dalam permohonan halaman 37 sampai
dengan halaman 43 penting kiranya Pemerintah memberikan pandangan
sebagai berikut:
211

1. Putusan sela pada dasarnya putusan yang diambil atau dijatuhkan oleh
hakim dan bukan putusan akhir atau end vonnis, yang dijatuhkan pada
saat proses pemeriksaan berlangsung, dan bertujuan untuk
mempermudah pemeriksaan suatu persidangan.
2. Bahwa dalam ranah pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun
1945 sebagaimana ketentuan pasal 24C UUD Tahun 1945, undang-
undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang telah berlaku.
Berlakunya Undang-Undang bersifat umum yang disahkan dengan tata
cara pembentukan undang-undang yang telah memiliki kekuatan hukum
mengikat yang hanya dapat diubah, diganti atau dibatalkan oleh
pembentuk undang-undang atau dengan putusan pengadilan. Dalam hal
ini Putusan MK memiliki sifat final and binding (putusan akhir) sehingga
merujuk pada sifat Putusan MK dan sifat berlakunya undang–undang
maka Putusan Sela Provisi dalam pengujian undang-undang terhadap
UUD Tahun 1945 baik secara materiil dan secara formil tidak akan
berpengaruh terhadap pemeriksaan perkara.
3. Putusan Sela Provisi dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
Tahun 1945 dapat berpotensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 24C
UUD Tahun 1945, sehingga tidak ada alasan hukum bagi MK menguji
Undang-undang dapat memutus sebelum melakukan proses pengujian
sebagai pertimbangan untuk memutus suatu perkara.
4. Berdasarkan kewenangan MK dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
Tahun 1945, MK hanya dapat menerapkan putusan sela dalam hal
memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan sengketa pemilihan
kepala daerah, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar. Putusan sela dalam hal ini dapat diterapkan dengan tujuan untuk
memungkinkan dan mempermudah pemeriksaan para pihak dengan
menghentikan sementara tindakan-tindakan para pihak yang bersengketa
berdasarkan kewenangan yang disengketakan. Penghentian sementara
terhadap tindakan berdasarkan kewenangan merupakan penghentian
yang bersifat khusus sebagai upaya pengadilan untuk tetap bersifat netral
dalam pemeriksaan perkara sampai adanya putusan akhir. Dengan
demikian, maka putusan sela hanya dapat diterapkan pada perkara
212

sengketa kewenangan lembaga negara dan sengketa pemilihan kepala


daerah.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka Pemerintah berkeyakinan bahwa
Putusan Sela dalam pemeriksaan Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022
tidaklah beralasan hukum dan akan lebih tepat jika Yang Mulia Ketua-
Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak Provisi para
pemohon.

V. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL


UNDANG-UNDANG YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON

1. Berdasarkan atas pokok-pokok perkara diatas sebelum Pemerintah


menyampaikan keterangan secara formil, pemerintah juga perlu kiranya
terlebih dahulu menyampaikan politik hukum, landasan konstitusional dan
alasan-alasan atas dibentuknya UU IKN sebagai berikut:
a. Politik Hukum Perpindahan Ibu Kota Negara
1) Bahwa kedudukan hukum pemerintahan (rechtspositie)
berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang
pemerintahannya dilaksanakan dalam ranah hukum publik dengan
berprinsip negara kesejahteraan sebagaimana yang tertuang dalam
Pembukaan UUD Tahun 1945 Alinea ke IV “untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
2) Berdasarkan hal tersebut pemerintahan Indonesia menganut sistem
negara kesejahteraan yang secara konstitusional dilaksanakan oleh
Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUD Tahun 1945 “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”. Tindakan Pemerintah berdasarkan
Kekuasan seorang Presiden secara konstitusional dalam rangka
menjalankan tugas dan tanggungjawabnya untuk memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana amanah pembukaan UUD
Tahun 1945 alinea ke IV. Secara konstitusional, memajukan
213

kesejahteraan umum menjadi politik hukum Presiden dalam


memegang kekuasaan pemerintahan untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Berdasarkan amanah Pembukaan UUD Tahun 1945 Alinea ke IV
pemindahan Ibu Kota Negara dalam Undang-Undang a quo
merupakan salah satu bagian dari politik hukum kesejahteraan yang
memiliki suatu tujuan, misi dan visi pembangunan dan pengelolaan
Ibu Kota Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan
utama mewujudkan kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model)
bagi pembangunan dan pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi
besar tersebut bertujuan untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara
(IKN) sebagai:
a) kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan,
keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi
penggunaan sumber daya dan rendah karbon;
b) penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi
peluang ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi,
inovasi, dan teknologi; serta
c) simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan
dalam keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika.

b. Konstitusionalitas Kewenangan Pembentukan Ibu Kota Negara


1) Bahwa ketentuan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”, dan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 menyatakan “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, berdasarkan ketentuan
tersebut maka terbitnya UU IKN tidak bertentangan dengan UUD 1945,
karena dalam dalam pembentukan UU IKN telah dilakukan pembahasan
secara intensif antara Badan Legislasi dengan Pemerintah yang diwakili
oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan Menteri Hukum dan HAM, serta didahului dengan Naskah
214

Akademik, maka penyusunan UU IKN telah sesuai dengan UUD 1945


dan prosedur pembentukan Undang-Undang.
2) Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019, yang menyatakan “Dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden
dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
mencakup: b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui Bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi dan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum”.
Dengan demikian, maka pembentukan UU IKN tidak bertentangan
dengan peraturan pembentukan perundang-undangan, karena UU
IKN merupakan urgensi nasional dalam rangka untuk memperbaiki
tata kelola wilayah Ibu Kota Negara yang merupakan bagian dari
upaya untuk mewujudkan tujuan negara, sebagaimana yang
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

c. Beberapa Alasan Pokok Perpindahan Ibu Kota Negara


1) Pemindahan IKN didasari oleh terpusatnya kegiatan perekonomian di
IKN Jakarta dan Jawa yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi
Jawa dan luar Jawa. Selain itu, terdapat hasil kajian yang
menyimpulkan bahwa Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban
peran sebagai ibu kota negara. Hal itu diakibatkan oleh pesatnya
pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan
fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin
menurun. Oleh karena itu, pemindahan IKN ke luar Jawa diharapkan
dapat mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan
peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa
terutama Kawasan Timur Indonesia.
215

alternatif:

Pemindahan IKN didasari oleh studi kelayakan teknis untuk penentuan


lokasi IKN yang dilakukan pada tahun 2018 – 2019 menjadi dasar
pemilihan lokasi IKN yang baru. Pemindahan IKN ke Kalimantan
didasarkan pada beberapa pertimbangan keunggulan wilayah. Pertama,
dari sisi lokasi, letaknya sangat strategis karena berada di tengah-tengah
wilayah Indonesia yang dilewati alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) II di
Selat Makassar yang juga berperan sebagai jalur laut utama nasional dan
regional. Kedua, lokasi IKN memiliki infrastruktur yang relatif lengkap,
yaitu bandara, Pelabuhan, dan jalan tol yang baik serta ketersediaan
infrastruktur lain, seperti jaringan energi dan air minum yang memadai.
Ketiga, lokasi IKN berdekatan dengan dua kota pendukung yang sudah
berkembang, yaitu Kota Balikpapan dan Kota Samarinda. Keempat,
ketersediaan lahan yang dikuasai pemerintah sangat memadai untuk
pengembangan IKN. Kelima, minim risiko bencana alam. Pemindahan
IKN ke Kalimantan sejalan dengan visi tentang lahirnya sebuah ‘pusat
gravitasi’ ekonomi baru di tengah Nusantara. Selain itu, perencanaan IKN
juga disusun berdasarkan rekomendasi dari hasil Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) Rapid Assessment yang disusun Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019, dan diperdalam
pada kajian KLHS Masterplan IKN yang disusun Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional tahun 2020.

2) Pengaturan perpindahan IKN melalui undang-undang menjadi dasar


pengaturan yang dibenarkan dalam lingkup kepentingan menyangkut
kepentingan yang bersifat umum. Namun secara teknis diperlukan
juga suatu kebijakan sebagai landasan implementasinya sehingga
penting juga adanya pengaturan pelaksanaan teknis sesuai peraturan
perundang-undangan. Landasan hukum perpindahan IKN tersebut
diharapkan dapat sebagai acuan suatu bentuk IKN yang ideal dan
sebagai acuan bagi pembangunan dan penataan kawasan perkotaan
lainnya di Indonesia.
216

3) Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas penting kiranya


Pemerintah sampaikan tentang usaha pemerintah dalam memberikan
keyakinan tentang pentingnya perpindahan IKN dari perencanaan baik
melalui kajian dan penelitiannya yang dapat disampaikan sebagai
berikut:
a) Rencana pemindahan IKN sebenarnya bukan sesuatu hal yang
baru dan telah diwacanakan oleh beberapa Presiden RI
sebelumnya dan baru pada pemerintahan Presiden Jokowi
konkritisasi rencana pemindahan IKN diwujudkan. Sesuai tugas dan
fungsinya, pada tahun 2017-2019, Bappenas melakukan kajian
pemindahan IKN ditindaklanjuti dengan melaksanakan dialog
nasional secara tematik untuk memperoleh masukan dari berbagai
stakeholder, para pakar, lembaga swadaya masyarakat, perguruan
tinggi dan juga lembaga- lembaga kajian terkait. Penyusunan
Rencana Induk Ibu Kota Negara dilakukan dengan melakukan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
b) Perencanaan pembangunan IKN menjadi salah satu strategi untuk
mengatasi disparitas pembangunan di Kawasan Timur Indonesia
serta mendukung pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan di
luar Pulau Jawa. Pembangunan IKN direncanakan dapat
memunculkan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan menimbulkan
multiplier effect untuk akselerasi pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia dan dapat mewujudkan arahan dan misi mengenai
pemerataan pembangunan dan berkeadilan yang tertuang dalam
RPJP Tahun 2005- 2025.
c) Tahapan perencanaan yang ada dalam Lampiran II Perpres Nomor
18 Tahun 2020 bersifat indikatif. Adapun perbedaan perencanaan
dan tahapan dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 dan
implementasinya adalah karena adanya pandemi Covid-19.
Selanjutnya terkait penundaan proses penyusunan rencana
pembangunan IKN di tahun 2020 diantisipasi dengan penyesuaian
rencana di masa depan yang secara garis besar sudah ditentukan
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara terkait Rencana Induk Ibu Kota Negara dan Lampiran
217

Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
selalu memuat pencapaian dalam tahun 2015-2019 sebelum
menentukan perencanaan kedepannya, sehingga jelas ada
kesinambungan dalam dokumen perencanaan.
d) Pembahasan terkait IKN selain tertuang pada Perpres Nomor 18
Tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024 juga tercantum pada
Pemutakhiran RKP Tahun 2021 (Perpres Nomor 122 Tahun 2020)
dan Pemutakhiran RKP 2022 (Perpres Nomor 155 Tahun 2021)
sebagai salah satu Major Project/Proyek Prioritas Strategis, di mana
kedua Perpres Pemutakhiran RKP tersebut disusun berdasarkan
UU APBN. Pada UU APBN tahun 2020, 2021, dan 2022 sudah
mencakup beberapa proyek terkait IKN terutama dalam
penyusunan dokumen kajian, perencanaan, dan peraturan turunan
pelaksana UU IKN yang dilakukan secara pararel oleh Bappenas,
Kementerian ATR BPN, Kementerian PUPR, dan Kementerian
KLHK serta kementerian/lembaga teknis lainnya. Beberapa proyek
terkait IKN memang ada yang belum dimuat/dinarasikan secara
khusus karena pada tahun 2020-2021 masih menunggu proses
pengesahan UU IKN. Oleh karena itu, proses pembangunan IKN
tidak bertentangan dengan konsep perencanaan yang baik dalam
pengelolaan keuangan negara.
e) Berbagai masukan dan aspirasi dari publik pun telah diterima, baik
yang disampaikan langsung ke Pemerintah Pusat maupun yang
disampaikan melalui Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di
lokasi IKN. Selain itu dilakukan pula lokakarya yang mengundang
para pakar hukum ketatanageraan sebagai pakar Hukum Tata
Negara, antara lain Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK),
Prof. Hamdan Zoelva (Mantan Ketua MK), DR Wicipto Setiadi, SH
(Mantan Dirjen Peraturan Perundang-undangan) dan lain-lain,
untuk memberikan masukan dari sudut pandang konstitusi dan
proses pembentukan Undang-Undang.
218

d. Perpindahan Ibu Kota Negara Dilaksanakan Dengan Undang-


Undang
1) Pemindahan IKN mencangkup kepentingan yang sangat komplek
yang memiliki dampak yang luas yang dapat menentukan kondisi
suatu bangsa sehingga tujuan utama perpindahan IKN dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2) Agar tujuan utama negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat perpindahan IKN harus dilaksanakan dengan koridor secara
baik dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaanya yang
dapat dipertangungjawabkan sehingga seluruh rangkaian perpindahan
harus mendapatkan legitimasi yang dituangkan dalam undang-undang
sebagai landasan pelaksanaanya.
3) Berdasarkan kajian terkait pemindahan IKN dan Rencana Induk Ibu
Kota Negara disusun Naskah Akademik dan RUU IKN, diikuti dengan
diskusi series dengan para pakar hukum tata negara untuk
penyusunan Naskah Akademik dan RUU IKN dilakukan pembahasan
Panitia Antar Kementerian (PAK) dan pengharmonisasian RUU IKN
dan juga penyelarasan Naskah Akademik UU IKN dan harmonisasi UU
IKN. Sejalan dengan hal tersebut dilakukan proses penyelarasan
Naskah Akademik dengan RUU IKN dengan Kementerian Hukum dan
HAM cq. BPHN .
4) Perpindahan IKN berdasarkan konstitusional telah diatur dalam
undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang
diproses berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dimulai dari perencanaan sampai dengan diundangkannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766 sesuai
dengan prosedur pembentukan undang-undang dari berbagai aspek
tata cara pembentukan diantaranya:
a) aspek filosofi, sosiologis dan historis pembentukan IKN;
b) aspek perencanaan perpindahan IKN;
c) aspek partisipasi masyarakat dalam pembentukan perpindahan
IKN;
219

d) aspek penyelarasan dan pengharmonisasian dalam pembentukan


RUU IKN;
e) aspek pembahasan RUU di DPR;
f) aspek pengesahan RUU menjadi UU.
2. Berdasarkan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan tujuan
negara sebagaimana amanat UUD Tahun 1945 terutama dalam pembukaan
UUD Alinea ke IV “untuk memajukan kesejahteraan umum” perpindahan IKN
telah disepakati secara konstitusional yang diatur dengan UU IKN, dapat
Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
a. Pembentukan UU IKN telah diberikan pandangan secara umum baik
secara filosofis, sosiologis dan historis dalam rangka memberikan
gambaran urgensi pentingnya UU IKN dibentuk diantaranya:
1) Secara filosofis pembentukan UU IKN berlandaskan pada
Pembukaan UUD Tahun 1945 alinea ke 4 yang menyatakan bahwa
pemerintahan negara Indonesia melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Perpindahan IKN bertujuan agar dapat
melindungi masyarakat, dari berbagai degradasi, ketidaknyamanan,
dan katastrofe, seperti banjir atau bencana alam atau non-alam
lainnya, dan diharapkan dapat meringankan beban Jakarta yang
sudah tidak mumpuni dari segi daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup sebagai IKN.
Catatan: disesuaikan dengan alasan yuridis filosofis UU IKN
2) Secara sosiologis perpindahan IKN disebabkan adanya beberapa
permasalahan karena IKN yang saat ini berkedudukan di Provinsi DKI
Jakarta, sudah tidak lagi dapat mengemban perannya secara optimal.
Jakarta tidak secara optimal menjadi kota yang menjamin warganya
senantiasa aman, terhindar dari bencana alam, atau untuk
mendapatkan kondisi hidup layak dan berkelanjutan. Hal itu
disebabkan dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk yang
tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat
kenyamanan hidup yang semakin menurun. Selain itu, juga terdapat
masalah ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di luar
220

Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah lain. Ketidakmerataan


tersebut perlu diatasi agar tidak menimbulkan konflik. Kondisi-kondisi
tersebut tak lain adalah beban yang bersumber dari sejarah yang
panjang, yang telah menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya
sejak dahulu kala. Beban itu bertambah ketika Jakarta menjalankan
fungsi ganda, selain sebagai daerah otonom provinsi juga disematkan
fungsi sebagai IKN. Alhasil, tata kelola IKN harus senantiasa
menyesuaikan kondisi Jakarta, tidak bisa serta merta mengatur
secara utuh dan ideal. Dengan demikian ada kebutuhan
menyelesaikan permasalahan IKN secara komprehensif, yang
sekiranya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum
dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan
tanah, pemerintahan, lingkungan hidup, ketahanan terhadap bencana
yang mumpuni, dan kebutuhan lainnya. Lebih besar lagi ada
kebutuhan negara untuk mengadakan tata kelola IKN yang lebih baik
lagi sehingga jalannya pemerintahan secara keseluruhan dapat
menjadi lebih baik lagi.
3) Secara historis perpindahan IKN merupakan suatu kebutuhan hukum
pemerintahan untuk mencapai tujuan Indonesia Emas sesuai visi
2045, dimana sesuai perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia perlu memiliki sistem perkotaan yang berdaya
saing tinggi dan berkelanjutan. Untuk itu, pemindahan pusat
pemerintahan ke IKN perlu dimulai saat ini, dan secara paralel
dilakukan pembenahan terhadap sistem perkotaan di Pulau Jawa,
terutama Jabodetabek sebagai pusat perekonomian. Disamping
dalam mendukung visi 2045, untuk mendukung transformasi ekonomi,
perlu ada terobosan baru dalam rangka mewujudkan tingkat
kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan
kualitas manusia yang lebih tinggi. Salah satu cita-cita dalam Visi
Indonesia 2045 adalah pemerataan pembangunan antara Kawasan
Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
b. Berdasarkan landasan pokok perpindahan IKN proses pembentukan
UU IKN secara konstitusional dan berdasarkan tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan telah dilaksanakan
221

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang


dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
1. Perencanaan (BUKTI 1 PK-01)
Perencanaan pembentukan UU IKN dilaksanakan pada RPJMN 2020-
2024 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2020, Bappenas sudah mencantumkan RUU IKN, RUU Perkotaan dan
RPerpres Otorita IKN sebagai regulasi prioritas pada tahun 2020, serta
masuk dalam salah satu Major Project dalam Prioritas Nasional. Selain
itu pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, RUU IKN
sudah menjadi RUU yang diprioritaskan untuk dibahas bersama DPR,
yang dibuktikan dengan dokumen perencanaan pembentukan UU IKN:

- KAJIAN
1) Kajian Penentuan Lokasi Pemindahan Ibu kota Negara Naskah
Akademik Tahun 2019;
2) Kajian Mendalam Sosial kependudukan dan ekonomi wilayah Ibu
Kota Negara Tahun 2018;
3) Laporan Akhir Master Plan IKN (2 Jilid) Tahun 2020;
4) Kajian Lingkungan Hidup Strategis Tahun 2020;
5) Laporan Akhir, Studi kelayakan teknis calon lokasi pemindahan Ibu
Kota Negara (McKinsey & Company) Tahun 2019;
- PROLEGNAS
1) Pengusulan RUU ke prolegnas
2) Prolegnas jangka menengah tahun 2020-2024
3) Putusan DPR tentang proleglas prioritas 2021
2. Penyusunan (BUKTI 2 PK-02)
Naskah Akademik
3. PAK dan Rapat Koordinator Pembahasan RUU IKN (BUKTI 3 PK-03)
1) SK PAK Januari 2020
2) Rapat Koordinasi Penyelarasan NA RUU IKN, 31 Mei 2021
3) Permohonan Harmonisasi atas RUU IKN, 31 Mei 2021
4) Draf RUU IKN I
5) Draf RUU IKN II
4. Konsultasi Publik (BUKTI 4 PK-04):
1) Rapat koordinasi tingkat Menteri 29 April 2021
222

2) Permohonan harmonisasi atas RUU, 31 Mei 2021


3) Harmonisasi RUU IKN, 4 Juni 2021
4) Persiapan sosialisasi IKN, 17-18 Juni 2021
5. Proses pengajuan RUU IKN ke DPR (BUKTI 5 PK-05):
Proses pengajuan RUU IKN ke DPR untuk dibahas dalam Sidang DPR
RI guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama. Dalam
surat tersebut Presiden sekaligus menunjuk Kementerian terkait baik
bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk mewakili Presiden dalam
membahas RUU IKN dengan DPR RI yang dibuktikan dengan:

1) Tindak Lanjut Surat Presiden, 24 Mei 2021


2) Permohonan Penyampaian Dan Pembahasan NA dan RUU, 4 Juni
2021
3) Permohonan Paraf Mensetneg Persetujuan RUU, 14 Juni 2021
4) Permohonan Paraf Kembali, 3 Agustus 2021
5) Penunjukan Wakil Pemerintah, 29 September 2021
6) Surat Presiden ke DPR, 21 September 2021
7) Undangan FGD, 29 November 2021
8) Sosialisasi dan konsultasi publik draf RUU IKN, 15 Desember 2021
9) Sosialisasi dan konsultasi publik draf RUU IKN, 17 Desember 2021
10) Undangan konsultasi publik RUU IKN Kerjasama UPN Veteran,
24 Desember 2021
11) Undangan rapat tim perumus pansus, 5 Januari 2022
12) Rapat panitia kerja pansus, 16 Januari 2022
13) Undangan rapat pembahasan DIM Fraksi, 14 Januari 2022
Berdasarkan keterangan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas,
Undang-undang IKN telah sesuai dengan landasan konstitusional dan
telah memenuhi prosedur dan tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 serta didukung dengan dokumen bukti-bukti
yang disampaikan oleh Pemerintah. Sebagai pendirian Pemerintah
bahwa UU IKN telah dibentuk sesuai dengan prosedur dan tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan yang benar sesuai
dengan ketentuan UUD Tahun 1945, sehingga UU IKN tidak terdapat
cacat prosedur atau cacat formil.
223

VI. PENJELASAN DAN TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS DALIL-DALIL


PERMOHONAN PARA PEMOHON
Penjelasan Pemerintah atas dalil-dalil permohonan perkara nomor 25/PUU-
XX/2022 dan perkara nomor 34/PUU-XX/2022 akan kami tanggapi dalam satu
Keterangan Pemerintah. Pada pokoknya para Pemohon mendalilkan
permohonannya sebagai berikut:
1. Konsep pokok pengujian formil menurut pemohon atas UU terhadap UUD
Tahun 1945;
2. Pembentuk Undang-undang yang melanggar UU No 12 Tahun 2011 dalam
bentuk pelanggaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22A UUD Tahun
1945 merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip negara hukum
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945;
3. UU IKN dianggap bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan diantaranya:
a. asas kejelasan tujuan
b. asas kesesuaian antara jenis hirarki dan materi muatan
c. asas dapat dilaksanakan
d. asas kedayagunaan
e. asas keterbukaan
4. Adanya praktek inkonstitusional fast track legislation
5. UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN tidak dipenuhinya hak untuk
dipertimbangkan (right to be considered) dan hak mendapatkan jawaban
(right to be explained).
6. Pembentukan Ibu Kota Negara yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2020 tidak ditemukan dalam UU APBN TA 2020, 2021, dan 2022
sehingga bertentangan dengan konsep perencanaan yang baik dalam
pengelolaan keuangan negara.
7. Lampiran II UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN tidak pernah ada atau dibahas
pada saat pembahasan.
Berdasarkan dalil-dalil pokok permohonan para pemohon, Pemerintah
memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Konsep pokok pengujian formil UU terhadap UUD Tahun 1945
a. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1), MK “berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
224

undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Meskipun dengan kata


“menguji” dapat diartikan pengujian yang bersifat materiil yakni menguji
norma undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, namun berdasarkan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, MK juga berwenang
menguji Undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 secara formil, yang
dilandaskan pada Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK telah
menyatakan bahwa MK dapat melakukan pengujian undang-undang
secara formil.
b. Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 sebagai landasan uji formil Undang-
undang terhadap UUD Tahun 1945, lahir dari norma ketentuan Pasal 86
UU No. 24 Tahun 2003 bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya menurut undang-undang ini”. Dengan demikian secara
yuridis Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 harus dipahami sebagai
bagian dari hukum acara MK menjadi landasan pelaksanaan tugas dan
wewenangnya dalam melakukan uji formil Undang-undang terhadap UUD
Tahun 1945.
c. Secara yuridis Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 telah memberikan
landasan kepastian hukum pengujian formil UU terhadap UUD Tahun
1945 yang dalam materi putusannya menetapkan:
1) adanya kriteria yang membedakan Legal Standing Pemohon dengan uji
materiil yang memberikan kepastian hukum yang lebih selektif sebagai
landasan pihak yang berkepentingan.
2) adanya batasan tenggang waktu pengujian formil yang lebih cepat
dalam rangka memberikan kepastian hukum.
3) adanya materi yang membedakan landasan batu uji terhadap UUD
Tahun 1945, yang lebih kearah kewenangan dan proses pembentukan
Undang-undang secara konstitusional.
Berdasarkan uraian di atas, Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009
memberikan kepastian hukum dalam pengujian secara formil UU
terhadap UUD Tahun 1945 sehingga sejalan dengan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 24C UUD Tahun
1945.
225

2. Prinsip-prinsip negara hukum dalam Pembentukan Undang-undang


sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
dan konstitusionalitas Pasal 22A UUD Tahun 1945.
a. Prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD
Tahun 1945, bahwa Indonesia telah menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam
segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam
melaksanakan tindakan-tindakan pemerintah tunduk pada ketentuan UUD
Tahun 1945 dan peraturan perundang-ndangan sebagai landasan yuridis
dan landasan konstitusional.
b. Salah satu implementasi dari prinsip negara hukum adalah adanya
ketentuan Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang”. Secara konstitusional menurut pemohon Pasal ini
memberikan delegasi untuk mengatur tata cara pembentukan undang-
undang. Menurut Pemerintah, Pasal ini secara hukum belum mengandung
unsur norma hukum, namun hanya mengandung unsur perintah atau
delegasi untuk mengatur lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 22A tidak dapat berlaku secara umum,
namun hanya berlaku bagi penerima delegasi (DPR dan Pemerintah) yang
berdasarkan kewenangannya membentuk undang-undang mengenai
peraturan perundang-undangan. Secara hukum, ketentuan Pasal 22A
UUD Tahun 1945 merupakan landasan konstitusional yang memberikan
kekuasaan pembentuk Undang-undang untuk mengatur tata cara
pembentukan Undang-undang. Dengan demikian, ketentuan Pasal 22A
UUD Tahun 1945 tidak dapat dijadikan batu uji pengujian secara formil
terhadap pembentukan undang-undang.
c. Berdasarkan prinsip negara hukum maka Pasal 22A UUD Tahun 1945 tidak
dapat dipergunakan sebagai batu uji pengujian formil, secara
konstitusional pengujian formil hanya terbatas pada ketentuan yang
mengatur kewenangan dan prosedur dibentuknya undang-undang dalam
UUD Tahun 1945, secara konstitusional uji formil hanya dapat diuji
terhadap:
226

1) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945, dalam hal
kewenangan pengajuan RUU.
2) Pasal 20 ayat (2) pembentukan undang-undang harus dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
3) Pasal 20 ayat (3) yang menyatakan “Jika rancangan undang-undang
itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.”
4) Pasal 20 ayat (4) yang menyatakan “Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang.”
5) Pasal 20 ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
3. Penyusunan UU No. 3 Tahun 2022 telah sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
a. Asas-asas kejelasan Tujuan:
Pemohon menyatakan UU IKN bertentangan dengan asas kejelasan
tujuan karena tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang
berkesinambungan. Terhadap dalil dimaksud, dapat Pemerintah
sampaikan bahwa
1) Dalil Pemohon tersebut mendasarkan pada pemahaman bahwa
perencanaan pembentukan UU IKN harus telah tercantum secara
eksplisit dalam seluruh dokumen perencanaan jangka panjang dan
harus dilaksanakan tepat sesuai perencanaan. Pandangan ini melihat
perencanaan pembentukan UU IKN harus tercermin secara eksplisit
sehingga dalil ini melebihi dari batu uji formil yaitu ketentuan yang
diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2) Perencanaan pembentukan IKN sebagai bagian dari program system
perencanaan pembangunan Negara telah tercantum dalam Lampiran
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
227

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Rincian


RPJMN ini tentu merupakan living dokumen yang dapat disesuaikan
dengan perkembangan keadaan, sehingga tidak adanya pembentukan
IKN dalam RPJMN periode 5 tahun sebelumnya tidak dapat serta
merta disimpulkan pembentukan IKN tidak terencanan secara
berkesinambungan.
3) Kesinambungan program pembentukan IKN justru terletak pada
lahirnya UU IKN itu sendiri, oleh karena itu perencanaan legislasi
menjadi titik sentral nya. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya juga, telah terdapat program legislasi nasional yang
disusun Pemerintah maupun yang disepakatai dengan DPR
pembahasannya yang di dalamnya telah mencantumkan
pembentukan UU IKN.
4) Bahwa terdapat perbedaan faktual pelaksanaan dari perencanaan
pentahapan dalam Perpres 18 Tahun 2020 yang disampaikan
Pemohon, juga bukan merupakan isu konstitusionalitas untuk
membatalkan UU IKN. Pentahapan yang disusun dalam Perpres 18
Tahun 2020 sebagaimana table yang dikutip Pemohon menunjukkan
indikasi target. Realiasi yang bergeser dari indikasi bukan sesuatu
yang perlu dipertentangkan apalgi menjadi isu konstitusionalitas.
5) Dari sisi kegiatan penunjang pembentukan IKN, terdapat program-
program di lokasi IKN yang bahkan telah dijalankan termasuk
didalamnya yang menggunakan skema anggaran Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha pada anggaran Tahun 2021.
6) Lahirnya UU IKN menjadi landasan hukum bagi Pemerintah dalam
melakukan pemindahan IKN khususnya untuk melakukan pembiayaan
dan mengalokasikan keuangan negara dalam anggaran masing-
masing Kementerian/Lembaga untuk mulai merealisasikan kegiatan
pemindahan IKN yang pelaksanaannya pun tetap secara bertahap
sesuai dengan Rencana Induk IKN.
7) Dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa UU IKN dibentuk dengan tujuan
yang jelas, sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan umum UU
IKN sebagai pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Nusantara memiliki
visi Ibu Kota Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan
228

utama mewujudkan kota ideal yang dapat menjadi acuan bagi


pembangunan dan pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar
tersebut bertujuan untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara. Pemindahan
Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong percepatan
pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian
daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia.
8) Dengan demikian, pengujian formil dari aspek perencanaan sesuai UU
12/2011 telah dipenuhi dalam pembentukan UU IKN. Dan dari sisi
program strategis juga telah direncanakan dan disusun secara
berkesinambungan guna memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah
dalam melakukan pemindahan Ibu Kota Negara.
b. Penjelasan dalil atas asas Kesesuaian jenis hirarki dan muatan
1) Pembentukan UU IKN telah memperhatian materi muatan dari
Peraturan perundang-undangan. Hal-hal pokok telah diatur dalam
UU IKN, sementara materi muatan yang perlu diatur lebih lanjut
didelegasikan ke dalam peraturan pelaksana. Hal ini sudah sejalan
dengan konsep dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
peraturan perundang-undang, yang mengenal adanya hierarki
peraturan peraturan perundang-undangan.

2) Dalam UU IKN dan Penjelasan serta NA RUU IKN Kelembagaan atau


pejabat pembentuk yang tepat; penunjukkan oleh Bapak Presiden
telah konsisten dan sesuai (referensi: Surat Presiden kepada DPR RI
tgl 21 September 2021 penyerahan RUU IKN untuk meminta
pembahasan dan menyatakan bahwa Menteri PPN, Mendagri,
Menkeu, Menteri ATR/BPN, dan Menkumham mewakili Pemerintah
dalam membahas) Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan.

c. Penjelasan dalil asas dapat dilaksanakan

Pemohon menyatakan UU IKN bertentangan dengan asas dapat


dilaksanakan karena pembentukannya tidak memperhitungkan
efektivitas peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemohon
menyampaikan bahwa kebijakan pemindahan IKN tidak
mempertimbangkan kondisi nasional dan global yang tengah
229

menghadapi kondisi Covid-19 yang masih tinggi. Terhadap dalil


dimaksud, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
1) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
2) Secara filosofis, UU IKN tidak bertentangan dengan Dasar Negara
Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945. UU IKN sebagaimana
tersebut mengatur norma terkait dengan tata Kelola pemerintahan
Ibu Kota Negara yang ideal baik dari sisi pemerintahan maupun
penataan ruang dan lingkungan hidup.
3) Secara sosiologis, sebagaimana diuraikan, pertimbangan
pembentukan UU IKN adalah sebagai dasar hukum untuk mengatasi
sejumlah persoalan yang terjadi pada Ibu Kota Negara Provinsi DKI
Jakarta saat ini, khususnya terkait pemindahan Ibu Kota.
4) Secara yuridis, pembentukan UU IKN adalah untuk mengisi
kekosongan hukum karena hingga saat ini belum terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai ibu kota negara.

d. Penjelasan dalil asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan


1) Perihal isu UU IKN bertentangan dengan Asas Kedayagunaan dan
Kehasilgunaan dikarenakan UU IKN tidak dibuat karena benar-benar
dibutuhkan, sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri,
dan adil,pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan
pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut. Tingkat
pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah diwujudkan
dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat,
termasuk berkurangnya kesenjangan antarwilayah dalam kerangka
Negara Kesatuan Repoblik Indonesia
2) UU IKN juga dalam rangka untuk sara mewujudkan Pembangunan
yang merata dan dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di
berbagai wilayah Indonesia akan meningkatkan partisipasi aktif
masyarakat dalam pembangunan,mengurangi gangguan keamanan,
serta menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainya
Indonesia yang maju, mandiri dan adil.
230

3) Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis


dan cepat tumbuh didorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-
wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah
pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan
batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan
keterkaitan mata- rantai proses industri dan distribusi. Upaya itu dapat
dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta
mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan
kerja sama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di
daerah.

e. Penjelasan dalil asas Keterbukaan

Pemohon menyatakan UU IKN bertentangan dengan asas keterbukaan


karena tidak terbukanya informasi pada setiap pembahasan dengan
mendasarkan pada informasi tidak tersedianya data pembahasan RUU
IKN sebagaimana tertulis pada table dalam laman DPR. Terhadap dalil
dimaksud, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
1) Asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan
dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Keterbukaan dalam pembentukan UU IKN telah dilaksanakan sesuai
ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang secara tidak langsung
para Pemohon bisa mendapatkan data-data proses pembentukan UU
IKN dengan mengakses bttps/www.dpr.go.id/uu/detail/kt/368.

2) Bahwa dalil tidak adanya asas keterbukaan sebagaimana anggapan


para Pemohon yang para Pemohon mendapatkan data-data
sebagaiman halaman 67 s/d 77 dalam permohonan Perkara Nomor
25/PUU-XX/2022 dan halaman 18 s/d 22 Perkara Nomor 34/PUU-
XX/2022 merupakan dalil yang tidak beralasan hukum yang secara
231

fakta para Pemohon telah mengakui adanya penerapan asas


keterbukaan dalam pembentukan UU IKN.

3) Dalam penyusunan UU IKN sudah melibatkan peran serta masyarakat


yakni telah dilaksanakannya public hearing, diantaranya tanggal 12
Januari 2022 bertempat di beberapa Universitas di Indonesia, antara
lain Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanuddin, Universitas
Indonesia, Universitas Mulawarman, dengan melibatkan akademisi
universitas masing-masing.

Atas dalil-dalil bahwa UU IKN bertentangan dengan asas-asas


pembentukan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan bahwa dalil-dalil pemohon telah diakomodir
dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf k.
4. Konstitusionalitas atau inkonstitusional fast track legislation
a. Rencana pemindahan IKN sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru dan
telah diwacanakan oleh beberapa Presiden RI sebelumnya dan baru
pada pemerintahan Presiden Jokowi konkritisasi rencana pemindahan
IKN diwujudkan.
b. Sesuai tugas dan fungsinya, pada tahun 2017-2019, Bappenas
melakukan kajian pemindahan ibu kota negara ditindaklanjuti dengan
melaksanakan dialog nasional secara tematik untuk memperoleh
masukan dari berbagai stakeholder, pakar-pakar, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi dan juga lembaga- lembaga kajian terkait
Penyusunan Rencana Induk Ibu Kota Negara dilakukan dengan
melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
c. Berdasarkan kajian terkait pemindahan IKN dan rencana induk Induk Ibu
Kota Negara disusun Naskah Akademik dan RUU IKN, diikuti dengan
diskusi series dengan pakar-pakar hukum tata negara untuk penyusunan
Naskah Akademik dan RUU IKN. Sesuai UU Nomor 12 T ahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dilakukan
pembahasan Panitia Antar Kementerian (PAK) dan Pengharmonisasian
RUU IKN dan juga penyelarasan Naskah Akademik UU IKN dan
harmonisasi UU IKN.
232

d. Sejalan dengan hal tersebut dilakukan proses penyelarasan naskah


akademik dengan RUU IKN dengan Kementerian Hukum dan HAM cq.
BPHN. Pemerintah, juga telah menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang melibatkan publik untuk konsultasi dan menyerap aspirasi atas
rencana pemindahan Ibu Kota Negara, termasuk dalam rangka
penyusunan UU Ibu Kota Negara.
e. Berbagai masukan dan aspirasi dari publik pun telah diterima, baik yang
disampaikan langsung ke Pemerintah Pusat maupun yang disampaikan
melalui Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di lokasi Ibu Kota
Nusantara. Selain itu dilakukan pula lokakarya yang mengundang pakar-
pakar hukum ketatanageraan sebagai pakar Hukum Tata Negara, antara
lain Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK), Prof. Hamdan Zoelva
(Mantan Ketua MK), DR Wicipto Setiadi, SH (Mantan Dirjen Peraturan
Perundang-undangan) dll, untuk memberikan masukan dari sudut
pandang konstitusi dan proses pembentukan Undang-Undang.
f. Setelah pada pidato kenegaraan 2019, Presiden Jokowi meminta izin
kepada DPR RI untuk memindahlan IKN, Presiden Jokowi
menyampaikan UU IKN secara resmi kepada DPR pada tanggal 29
september 2021. Pemerintah dan DPR kemudian membahas substansi
UU IKN hingga disahkan oleh rapat paripurna DPR RI pada tanggal 18
Januari 2021. Terkait UU IKN ini, dalam proses penyusunan maupun
perumusan substansi yang diatur didalamnya, Pemerintah telah melalui
prosedur sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan, serta
substansi seluruh ketentuan yang diatur dalam UU IKN mengacu dan
berada di dalam koridor konstitusi Undang-Undang Negara RI Tahun
1945.
g. Dengan proses yang cukup panjang, Pemerintah berpendapat bahwa
proses pembuatan UU IKN telah melalui prosedur formal sesuai UU
Nomor 12 tahun 2011 sehingga dalil Pemohon yang menyatakan UU IKN
dibuat secara inkonstitusional fast track legislation merupakan dalil yang
tidak beralasan hukum.
233

5. Tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered)


dan hak mendapatkan jawaban (right to be explained)
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 12/2011 dalam rangka memberikan
kesempatan terhadap masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan
UU IKN telah dilaksanakan berbagai kegiatan konsultasi publik dengan
berbagai elemen baik kalangan umum maupun kalangan akademisi, antara
lain:
a. Rangkaian Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara (16 Mei 2019,
26 Juni 2019, 1 Agustus 2019, 21 Agustus 2019, 16 September 2019, 2
Oktober 2019, 25 Februari 2020).
b. Lokakarya penerapan Omnibus Law dalam pelaksanaan kebijakan
pemindahan Ibu Kota Negara (29 November 2019).
c. Konsultasi Publik Draft NA dan RUU IKN (7 Februari 2020).
d. Konsultasi Publik Draft II bersama Kementerian/Lembaga dan Pemda di
Kalimantan Timur (7 Februari 2020).
e. Konsultasi Publik dengan Universitas Negeri Manado (Sulawesi Utara)
pada 17 Desember 2021 di Manado, Sulawesi Utara, konsultasi publik ini
sebagai perwujudan bagian keterbukaan informasi bagi daerah timur
Indonesia.
f. Konsultasi publik kerjasama dengan Universitas Indonesia (Depok) pada
21 Desember 2021 di Auditorium Fakultas Hukum UI – Depok. Partisipasi
publik ini diadakan dengan mengundang Akademisi,
Kementerian/Lembaga dan Lembaga Masyarakat Sipil di wilayah
Jakarta.
Konsultasi Publik Kerjasama dengan Universitas Pembangunan Nasional
(UPN) Veteran Jakarta (28 Desember 2021).
6. Pendanaan Pembentukan Ibu Kota Negara telah dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemohon menyatakan bahwa pendanaan pembentukan UU IKN tidak
terdapat dalam APBN 2020, 2021, 2022, sehingga bertentangan dengan
konsep perencanaan yang baik dalam pengelolaan keuangan negara.
Terhadap dalil Pemohon tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai
berikut:
234

1) Pemohon menilai konstitusionalitas pembentukan UU IKN dengan


mendasarkan tidak adanya anggaran yang secara eksplisit dialokasikan
untuk pembentukan IKN pada APBN Tahun 2020, 2021 dan 2022 dan
dihubungkan dengan perencanaan yang berkesinambungan.
2) Sebagaimana telah diuraikan pada tanggapan mengenai asas kejelasan
tujuan pembentukan UU IKN, pengalokasian anggaran untuk
pembentukan IKN telah dilakukan melalui kegiatan supporting antara
lain melalui anggaran dengan mekanisme KPBU, dan pembiayaan
penyiapan lokasi IKN.
3) Dalam rangka persiapan untuk melakukan pemindahan Ibu Kota
Negara, dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang
RPJMN 2020-2024, telah diatur Kerangka Regulasi Bab IX yaitu Kaidah
Pelaksanaan halaman IX.6 yang di dalamnya tercantum rencana
penyusunan RUU IKN. Sehingga dari sisi perencanaan, penyusunan
RUU IKN telah dilakukan dengan baik.
a. Bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UU IKN disebutkan bahwa
persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Nusantara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai program
prioritas nasional paling singkat 10 (sepuluh) tahun dalam rencana kerja
pemerintah sejak berlakunya Undang-Undang ini atau paling singkat
sampai dengan selesainya tahap 3 (tiga) penahapan pembangunan Ibu
Kota Nusantara sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk Ibu
Kota Nusantara. Rencana kerja pemerintah tersebut, dijadikan
pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara setiap tahunnya. (Penjelasan Pasal 24 ayat (3) UU IKN).
b. Pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN,
serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN dapat bersumber dari
APBN maupun dari sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Skema-skema pendanaan IKN antara lain berupa:
1) skema APBN;
2) skema KPBU;
3) skema pemanfaatan BMN;
4) skema partisipasi badan usaha yang sebagian atau seluruh
235

modalnya dimiliki negara (termasuk partisipasi BUMN atau swasta);


dan
5) skema dukungan pembiayaan internasional
Pemilihan skema pendanaan tersebut akan dilakukan dengan
menggunakan analisis value for money (VfM) dengan mengedepankan
manfaat sosial ekonomi dari biaya yang akan dikeluarkan.

d. Pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota


Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN
berpedoman pada Rencana Induk IKN yang merupakan dokumen
perencanaan terpadu yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat,
dan/atau Otorita IKN.
e. Pelaksanaan pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara sesuai
Rencana Induk IKN dilaksanakan secara bertahap sampai dengan
tahun 2045 dan dimasukkan sebagai program prioritas nasional dalam
Rencana Kerja Pemerintah, serta Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
f. RUU IKN baru mulai dilakukan pembahasan dengan DPR (pada
tanggal 7 Desember 2021) setelah ditetapkannya UU APBN TA 2022,
sehingga belum ada pengalokasian anggaran secara spesifik untuk
IKN. Namun demikian, dalam APBN TA 2022 telah dialokasikan
anggaran pada K/L untuk pembangunan infrastruktur di wilayah
Kalimantan yang lokasinya berada di sekitar IKN sehingga dapat
mendukung persiapan dan pembangunan tahap awal IKN, sebagai
contoh pembangunan Jembatan Pulau Balang dan Bendungan Sepaku
Semoi.
g. Dalam rangka pendanaan pembangunan IKN pada tahun 2022,
Pemerintah akan melakukan optimalisasi belanja K/L/ nonK/L APBN TA
2022.
h. Perencanaan pembentukan UU tidak berarti bahwa anggaran untuk
pemindahan IKN harus ada sejak tahun 2020, 2021, dan 2022. Yang
menjadi acuan adalah RPJMN 2020-2024 sebagai dokumen
perencanaan. Sehingga pembentukan UU IKN sudah masuk dalam
perencanaan yang dapat dibuktikan dengan daftar Prolegnas 2020-
2024. Pemohon keliru dengan mencampuradukkan antara konsep
236

perencanaan pembentukan undang-undang dengan konsep


perencanaan pembangunan IKN dengan mendasarkan pada
ketersediaan anggaran.
i. Penyediaan anggaran untuk masing-masing Kementerian Lembaga
melaksanakan proses perpindahan IKN dapat dilakukan setelah
mendapatkan payung hukum ditetapkannya UU IKN.
j. Pemenuhan kebutuhan anggaran IKN khususnya untuk pembangunan,
dilakukan sejalan dengan konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19
dan disesuaikan dengan kondisi terkini serta memperhatikan kapasitas
APBN dalam rangka kesinambungan fiskal. Pemerintah tetap
berkomitmen agar rencana penanganan Covid-19 dan pelaksanaan
program Pemulihan Ekonomi Nasional tetap berjalan dengan baik
selaras dengan pembangunan IKN.
Dengan demikian, sesuai dengan UU IKN, pendanaan pembangunan
UU IKN telah didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang
sah dan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan
kesinambungan fiskal serta kebutuhan penanganan Covid-19 dan
pemulihan ekonomi nasional.

7. Tanggapan mengenai dalil Lampiran II UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN


tidak pernah ada atau dibahas pada saat pembahasan
Lampiran II mengenai Rencana Induk IKN merupakan amanat dari Pasal 7
ayat (3) UU yang menyatakan bahwa:
“Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat pokok-pokok:
a. pendahuluan;
b. visi, tujuan, prinsip dasar, dan indikator kinerja utama;
c. prinsip dasar pembangunan; dan
d. penahapan pembangunan dan skema pendanaan,
yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Sehingga, dengan telah dicantumkannya Lampiran II dalam batang
tubuh UU IKN maka Lampiran II merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-undang.
237

Terhadap dalil Para Pemohon selebihnya, karena telah masuk dalam


pokok muatan uji materiil, maka Pemerintah tidak akan memberikan
tanggapan atau jawaban.
Berdasarkan Penjelasan Pemerintah tersebut di atas, maka Pemerintah
berkeyakinan bahwa dalil-dalil para Pemohon sebagaimana dalam
permohonan secara keseluruhan tidak beralasan hukum. Sehingga dalil-
dalil yang demikian tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
menyatakan bahwa UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN cacat formil.
Namun berdasarkan penjelasan Pemerintah, UU Nomor 3 Tahun 2022
tentang IKN terbukti sesuai secara konstitusional pembentukannya telah
dilakukan sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang yang
baik dan benar, sehingga tidak memiliki cacat formil.
VII. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian formil
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dapat
memberikan Putusan sebagai berikut:
1. Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
2. Menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (Legal
Standing);
3. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian formil Para Pemohon
tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard);
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Prosedur Pembentukan Undang-
undang, dan sah secara konstitusional serta tidak memiliki cacat formil.
Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
238

Selain itu, Presiden/Pemerintah juga telah menyampaikan keterangan


tambahan yang diterima Mahkamah pada 25 Mei 2022 sebagai berikut:
Menindaklanjuti persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 21 April 2022
atas permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang
Ibu Kota Negara (UU IKN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atas Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor
34/PUU-XX/2022, berikut Pemerintah sampaikan keterangan tambahan atas
pertanyaan beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1) Pertanyaan Yang Mulia Hakim Enny Nurbaningsih:
“…mungkin nanti baik pemerintah maupun DPR mohon nanti bisa
ditambahkan terkait dengan risalah sidang, risalah sidangnya termasuk
dilampirkan juga undang-undang yang sudah diundangkan….”
“…kaitan dengan dalil dari Pemohon yang mengatakan bahwa ada pansus-
pansus yang tidak dapat diakses, itu mohon nanti bisa ditambahkan di
dalam keterangan pemerintah termasuk DPR itu pansus yang berkaitan
dengan hal apa saja agendanya, kemudian termasuk juga bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa sesungguhnya pansus itu telah melakukan agenda-
agenda tersebut yang sebetulnya juga bisa diakses mungkin, tapi karena
mungkin ada persoalan gangguan yang lainnya, tetapi ini perlu dijelaskan
lebih detail lagi terkait dengan agenda-agenda pansus tersebut, ada
beberapa yang menurut Para Pemohon itu tidak bisa diakses, di dalamnya
juga termasuk rapat panja. Ini dalam rangka juga untuk membangun
keterbukaan….”
“…berkaitan dengan dalil fast track legislation itu mohon diberikan bukti-
bukti pendukung karena disini bukti pendukung dari pemerintah memang
belum lengkap, tolong diberikan bukti pendukung soal itu sehingga kita bisa
lihat sejauh mana sesungguhnya terkait dengan tahapan-tahapan di dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan itu.”
“…menyangkut dalil Pemohon untuk Perkara 34/PUU-XX/2022 yang
mempersoalkan soal lampiran undang-undang, baik lampiran I maupun
lampiran II mohon nanti bisa diberikan satu keterangan yang lengkap. Itu
sesungguhnya bagian memang yang sudah dibahas di dalam proses
pembentukan undang-undang itu sendiri atau kemudian dia sebetulnya
239

juga melekat di dalam naskah akademik atau apa sesungguhnya yang


berkaitan dengan Lampiran I bicara peta delineasi dan koordinat dan
rencana induk IKN itu? Itu supaya kita bisa tahu persis sesungguhnya
kedua hal itu bersumber dari mana? Kemudian, mengapa pada akhirnya
menjadi bagian yang dijadikan Lampiran, tadi dari DPR menyatakan
semula mau dibikin dalam bentuk Keppres kemudian menjadi lampiran, itu
sumbernya dari mana kedua hal itu? Apakah memang sudah ada
sesungguhnya di dalam naskah akademik atau kemudian dia berasal dari
sumber yang mana?”
Terhadap pertanyaan YM Hakim Enny Nurbaningsih tersebut, Pemerintah
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Terhadap dalil Pemohon tentang agenda dan dokumen pembahasan pada


Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara(RUU IKN) di website Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tidak dapat
diakses.

1. Terhadap dalil Pemohon pada halaman 68-77 permohonan perkara nomor


25/PUU-XX/2022 terkait agenda pembahasan pada Rapat Pansus (RUU IKN)
yang tidak dapat diakses, dapat Pemerintah tanggapi sebagai berikut:

a. Bahwa seluruh agenda pembahasan dan dokumen terkait agenda rapat


dapat diakses oleh publik melalui laman DPR RI di
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368.
b. Bahwa pembahasan RUU IKN bersifat terbuka dan juga disiarkan oleh DPR
melalui TV Parlemen dan kanal Youtube DPR RI yang dapat diakses secara
langsung atau tunda dengan alamat tautan
https://www.youtube.com/c/DPRRIOfficial/search?query=IKN.
2. Beberapa agenda Rapat Pansus RUU IKN yang ditayangkan secara live
streaming dan dapat diakses melalui Youtube DPR RI di antaranya sebagai
berikut:

Tanggal
No Agenda Ditayangkan Tautan
Live Streaming

1. Rapat Pansus RUU IKN DPR RI 9 Desember 2021 https://www.youtube.com/


Agenda: RDPU dengan 5 Pakar watch?v=3jDsWxWsOT4
240

Tanggal
No Agenda Ditayangkan Tautan
Live Streaming

2. Rapat Pansus RUU IKN DPR RI 10 Desember 2021 https://www.youtube.com/


Agenda: RDPU dengan 5 Pakar watch?v=cmGKIWdp1K0

3. Rapat Pansus RUU IKN DPR 13 Januari 2022 https://www.youtube.com/


Agenda: Rapat Kerja dengan watch?v=hRyyzwXJhP0
Pemerintah dan DPD

4. Rapat Pansus RUU IKN DPR 17-18 Januari https://youtu.be/eMwSKk


Agenda: Rapat Kerja dengan 2022 VPFpo
Pemerintah dan DPD

5 Rapat Paripurna DPR RI Ke - 13 18 Januari 2022 https://youtu.be/sWyep3x


Masa Persidangan III Tahun Sidang ysIY?t=7584
2021 - 2022 (Sidang RUU IKN dimulai
pada durasi waktu
2:06:24)

3. Khusus untuk agenda konsultasi publik, masyarakat dapat mengikuti secara


langsung kegiatan tersebut karena bersifat terbuka melalui kanal Youtube IKN
Indonesia (situs: ikn.go.id) dengan rincian jadwal dan akses tautan sebagai
berikut:

No Agenda Tanggal Tautan

1. Konsultasi Publik RUU IKN 17 Desember Channel Youtube IKN


diselenggarakan Bersama 2021 Indonesia
Universitas Sam Ratulangi di https://www.youtube.com/
Manado watch?v=jlGG_6txpLY

2. Konsultasi Publik RUU IKN di 21 Desember Channel Youtube IKN


Fakultas Hukum Universitas 2021 Indonesia
Indonesia https://www.youtube.com/
watch?v=DO9vmSHRiUg

Berita:
https://law.ui.ac.id/v3/kons
ultasi-publik-rancangan-
undang-undang-tentang-
ibu-kota-negara-di-fhui/
241

No Agenda Tanggal Tautan

https://www.antaranews.co
m/berita/2599417/bappena
s-gelar-konsultasi-publik-
ruu-ikn-di-ui

3. Konsultasi Publik RUU IKN di UPN 28 Desember Channel Youtube IKN


Veteran Jakarta 2021 Indonesia
https://www.youtube.com/
watch?v=zwdfTs6IUH4

Berita:
https://www.upnvj.ac.id/id/
berita/2022/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-bahas-ruu-
ibu-kota-negara.html

4. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 11 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=CJll5LdCGV8
Universitas Mulawarman,
Samarinda

5. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Hasanuddin, Makassar

6. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari 2022 Channel Youtube IKN
DPR RI dalam Rangka Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Sumatera Utara, Medan

Dari keterangan Pemerintah di atas, menunjukkan bahwa semua agenda


pembahasan pada Rapat Pansus RUU IKN dapat diakses oleh publik yang diperkuat
dengan alat bukti yang disampaikan oleh Pemerintah. Dengan demikian dalil
Pemohon yang pada pokoknya menyatakan agenda pembahasan pada Rapat
Pansus RUU IKN tidak dapat diakses merupakan dalil yang tidak berdasar, sehingga
242

dalam kesempatan ini Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan dalil Pemohon tersebut.
Terhadap dalil Pemohon tentang fast track legislation
1. Bahwa setelah Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2019, Presiden
Joko Widodo meminta izin kepada DPR RI untuk memindahkan Ibu Kota
Negara dan selanjutnya menyampaikan RUU IKN secara resmi kepada DPR
pada tanggal 29 September 2021. Pemerintah dan DPR kemudian membahas
substansi RUU IKN hingga disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun
2022 tentang Ibu kota Negara (UU IKN) melalui Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 18 Januari 2022. Adapun proses penyusunan maupun perumusan
substansi yang diatur di dalam UU IKN, telah dilakukan Pemerintah sesuai
prosedur sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019.
Selain itu, substansi seluruh ketentuan yang diatur dalam UU IKN juga telah
mengacu dan berada di dalam koridor konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa penyusunan UU IKN telah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 serta Prolegnas Prioritas
2021 (tautan akses: https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas) sehingga proses
penyusunan UU IKN tersebut telah direncanakan sesuai prosedur yang
berlaku.
3. Bahwa mengenai dalil fast track legislation, adalah merupakan dalil sepihak dari
Pemohon. Terhadap dalil tersebut, Pemerintah tetap pada jawaban Pemerintah
sebagaimana tertuang pada poin nomor 1 hingga nomor 2, yang menyatakan
bahwa seluruh perencanaan dan penyusunan pembentukan UU IKN secara
rangkaian waktu tidak dibentuk “dalam waktu singkat”, tetapi telah melalui
rangkaian tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019,
Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib DPR, Peraturan DPR
No. 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang.
Dari uraian keterangan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalil pemohon mengenai fast track legislation merupakan terminologi yang tidak
dikenal dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Republik
243

Indonesia. Sehingga tidak dapat dan tidak relevan untuk dijadikan dasar
pengujian secara formil terhadap pembentukan Undang-Undang apalagi untuk
dinyatakan inkonstitusional dari segi formil.
2. Dalil fast track legislation yang disampaikan oleh Pemohon hanya dilihat dari
aspek pembahasan RUU di DPR saja, padahal proses pembentukan UU IKN
sudah dilakukan melalui perencanaan undang-undang a quo yang sudah
dimulai sejak tahun 2019.
Dengan demikian, karena proses pembentukan UU IKN telah dilakukan sesuai
dengan tahapan penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka
dalil pemohon yang pada pokoknya menilai proses pembentukan UU IKN sebagai
fast track legislation merupakan dalil yang keliru dan tidak berdasar hukum,
sehingga dalam kesempatan ini Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan dalil Pemohon tersebut.

Terhadap dalil Pemohon tentang Lampiran I dan Lampiran II UU IKN


1. Bahwa dalam UU IKN terdapat 2 (dua) lampiran, yaitu:
a. Lampiran I berupa Peta Delineasi Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota
Negara; dan
b. Lampiran II berupa Rencana Induk Ibu Kota Negara (Rencana Induk IKN).
2. Bahwa hal yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah Lampiran II berupa
Rencana Induk IKN. Terhadap Lampiran II tersebut dapat Pemerintah
sampaikan kronologis lengkap dari Rencana Induk IKN tersebut sebagai berikut:
a. Bahwa pada tahun 2017-2019, Pemerintah sesuai tugas dan fungsinya
melakukan serangkaian kajian pemindahan ibu kota negara, termasuk
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Proses penyusunan kajian
tersebut telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti
pemerintah daerah, pakar, akademisi, dan masyarakat melalui pelaksanaan
dialog-dialog nasional sebagai berikut:

AGENDA, WAKTU
Rangkaian Dialog Nasional Rencana Pemindahan Ibu Kota • 16 Mei 2019
Negara • 26 Juni 2019
• 1 Agustus 2019
Link • 21 Agustus 2019 di
• https://www.youtube.com/watch?v=eqZVnMC3mRM Kalimantan
• https://www.youtube.com/watch?v=JgqxDkitD1g • 16 September
• https://www.youtube.com/watch?v=IvbYeQA45xA 2019
244

AGENDA, WAKTU
• https://www.youtube.com/watch?v=ajDIk_P3Dhw • 2 Oktober 2019 di
• https://www.youtube.com/watch?v=sEPlJ0mSlfw Balikpapan
• https://www.youtube.com/watch?v=plzVyif3byo • 25 Feb 2020 di UI
• https://www.youtube.com/watch?v=vUjVLFxFLAo
• https://www.youtube.com/watch?v=rhP0wcU4qbQ

b. Hasil KLHS di atas dijadikan dasar penyusunan Rencana Induk Ibu Kota
Negara. Selanjutnya, pokok-pokok dalam dokumen kajian tersebut,
termasuk Rencana Induk Ibu Kota Negara menjadi dasar bagi penyusunan
Naskah Akademik UU IKN dan RUU IKN yang kemudian diusulkan masuk
dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 sejak Desember 2019
(tautan rangkaian alur penyusunan RUU IKN:
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368) maupun dokumen perencanaan
berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-
2024.
c. Dalam draf RUU IKN yang disampaikan oleh Presiden berdasarkan Surat
Presiden kepada DPR RI tanggal 21 September 2021, telah tertampung
pokok-pokok substansi. Selain itu, Penjelasan Umum UU IKN telah memuat
pokok-pokok pikiran dalam Rencana Induk.
d. Rencana Induk Ibu Kota Negara tersebut semula direncanakan untuk diatur
dengan Peraturan Presiden dengan kutipan bunyi pasal sebagai berikut:

“Rencana Induk IKN

Pasal 7

(1) Pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota


Negara, serta pengelolaan IKN [...] dilakukan berdasarkan Rencana
Induk IKN.
(2) Ketentuan mengenai Rencana Induk IKN [...] sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.”

Kemudian dalam pembahasan berikutnya terjadi perubahan dengan kronologi


sebagai berikut:
a. Dalam rangkaian Rapat Panja RUU IKN dengan agenda Pembahasan
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU pada tanggal 13-15 Desember
2021, dilakukan pembahasan DIM, termasuk tentang Rencana Induk Ibu
Kota Negara. Dalam pembahasan tersebut, Pemerintah menyampaikan
pengantar mengenai pengaturan Rencana Induk Ibu Kota Negara tersebut
245

dan posisinya terhadap RUU IKN yang telah disusun atas dasar penjelasan
pemerintah kemudian disepakati pentingnya Rencana Induk IKN tersebut,
sehingga Pemerintah dan DPR menyepakati Rencana Induk Ibu Kota
Negara ditetapkan sebagai lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan
Undang-Undang agar memiliki posisi hukum yang kuat sebagai acuan
pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara,
serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara,
namun tetap memiliki fleksibilitas untuk dapat diubah sesuai perkembangan
kebutuhan ke depan.
b. Berdasarkan kesepakatan tersebut, kemudian disepakati bahwa Rencana
Induk Ibu Kota Negara menjadi Lampiran II UU IKN dan pokok pokok
Rencana Induk tersebut dicantumkan dalam Pasal 7, sehingga rumusan
Pasal 7 mengalami perubahan yang signifikan, yang semula 2 (dua) ayat
menjadi 6 (enam) ayat dengan keseluruhan rumusan menjadi sebagai
berikut:

“Rencana Induk Ibu Kota Nusantara

Pasal 7

(1) Rencana Induk Ibu Kota Nusantara merupakan dokumen perencanaan


terpadu yang menjadi pedoman bagi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan
pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
(2) Pelaksanaan pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dalam
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara bertahap.
(3) Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat pokok- pokok:
a. pendahuluan;
b. visi, tujuan, prinsip dasar, dan indikator kinerja utama;
c. prinsip dasar pembangunan; dan
d. penahapan pembangunan dan skema pendanaan,
yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(4) Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan perubahan terhadap
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dengan ketentuan:
a. dalam hal perubahan dilakukan terhadap materi muatan Rencana
Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
246

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden dan


dikonsultasikan dengan DPR;
b. dalam hal perubahan dilakukan terhadap perincian Rencana Induk
Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan
setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden.
(6) Perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Presiden.”

Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (5) bahkan juga diatur adanya klausul
apabila Rencana Induk sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (3) akan dilakukan
perubahan, perlu dikonsultasikan dengan DPR. Dengan demikian, jelas bahwa
isi Rencana Induk dalam Lampiran II telah dibahas dan mendapat perhatian
yang sangat serius dari Panja DPR. Demikian pula apabila Rencana Induk akan
diubah harus dikonsultasikan dengan DPR. Perlu kami sampaikan, Pemerintah
telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022 tentang Perincian
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara pada tanggal sebagai amanat Pasal 7 ayat
(4) UU IKN dimaksud.

2) Pertanyaan Yang Mulia Hakim Saldi Isra:


“…tahap persiapan rancangan undang undang ini, tolong ini disertakan
bukti buktinya. Misalnya tadi Yang Mulia Prof. Enny sudah mengatakan
juga, studi kelayakan teknis. Nah, buktinya juga bisa disampaikan ke
Mahkamah. Kemudian, ketersediaan lahan tadi Prof. Enny juga sudah
menyebut. Perencanaan IKN juga disusun berdasarkan rekomendasi hasil
kerja lingkungan hidup strategis. Jadi, ada kajian yang dilakukan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup. Ada master plan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Nah, tolong itu bisa
dilengkapi ke kami supaya nanti bisa dibuktikan benar atau tidak ini
terencana dengan baik? Karena ini penting. Jadi, kita mohon Pemerintah
melengkapi bukti bukti terutama keterangan yang lengkap ini dari halaman
18 sampai halaman 21…”
“…tolong dilengkapi juga bukti terkait pergeseran pergeseran rumusan
norma dalam sepanjang siklus pembahasan itu. Jadi, ini pembahasan
pertama ada masukan, apa yang berubah di norma berikut dan drafnya
bagaimana? Supaya kami malah bisa melacak. Tadi misalnya pemerintah
mengatakan, “Pasal ini diubah berdasarkan masukan dari masyarakat.”
Nah, itu bisa dilacak dari perubahan perubahan norma yang dibahas dari
247

waktu ke waktu itu. Tolong ini juga disampaikan ke Mahkamah agar kami
bisa menilai secara komprehensif benar atau tidak ada pengaruh pendapat
pendapat yang diberikan masyarakat. Nah, salah satu cara menilainya itu
adalah bagaimana pembentuk undang undang mengadopsi pendapat itu?
Tentu akan ada perubahan-perubahan norma. Dulunya begitu, setelah
bertemu dengan kelompok ini, bertemu dengan kelompok ini, ada
perubahan norma ini dan segala macamnya. Nah, kalau itu kami
disediakan, itu juga kan jauh lebih baik karena ini pada umumnya bertumpu
soal partisipasi masyarakat atas dalil dalil yang diajukan oleh Para
Pemohon. Tolong kalau bisa dibikinkan tabelnya, itu jauh lebih bagus, kami
bisa menjadi jauh lebih mudah untuk memahami perubahan perubahan
norma dari draf 1, draf 2, draf 3 dan seterusnya.”

Terhadap pertanyaan YM Hakim Saldi Isra tersebut, Pemerintah menyampaikan hal-


hal sebagai berikut:
1. Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah melakukan pembahasan RUU
IKN sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. Tahap persiapan
pemindahan ibu kota negara telah dilakukan sejak tahun 2017 oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (KementerianPPN/Bappenas) dengan melakukan
kajian dan pembahasan dengan berbagai pihak dan dilakukan dengan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis.
2. Bukti-bukti tertulis yang dimintakan oleh YM Hakim Saldi Isra untuk
menunjukkan bahwa perencanaan Ibu Kota Negara (IKN) telah direncanakan
dengan baik, yaitu:
a. Kajian Penentuan Lokasi Pemindahan Ibu Kota Negara (Studi Konsolidasi
2017-2019). (terlampir alat bukti PK No. 01)
b. Kajian Awal Aspek Sosial Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan
Timur tahun 2019. (terlampir alat bukti PK No. 01)
c. Studi Kelayakan Teknis Calon Lokasi Pemindahan IKN (Pra Master Plan
IKN) tahun 2019. (terlampir alat bukti PK No. 01)
d. Studi Ketersediaan Lahan (dokumen substansi tersebut berada dalam
dokumen Kajian Rencana Induk dan Strategi Pengembangan IKN/Master
Plan tahun 2020). (terlampir alat bukti PK No. 01)
248

e. Rekomendasi Hasil Kerja Lingkungan Hidup Strategis (dokumen substansi


tersebut berada dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pemindahan Ibu Kota Negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tahun 2019 dan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis
untuk Master Plan Ibu Kota Negara tahun 2020). (terlampir alat bukti PK
No. 01)
f. Master Plan yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bappenas (dokumen
Kajian Rencana Induk dan Strategi Pengembangan IKN / Master Plan
tahun 2020). (terlampir alat bukti PK No. 01)
3. Pemerintah telah melakukan serangkaian kajian pemindahan ibu kota negara
sejak tahun 2017 hingga 2020 dengan kronologi sebagai berikut:
a. Pada tahun 2017, Bappenas menyusun kajian yang berjudul Kajian
Konsep Pemindahan Ibu Kota Jakarta yang memuat substansi mengenai
analisis kelayakan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan urgensi
pemindahan Ibu Kota Negara. Kajian memuat visi besar pemindahan,
penentuan lokasi, dan analisis dampak pemindahan Ibu Kota Negara
terhadap ekonomi di level nasional dan provinsi. Berdasarkan kajian
tersebut, dihasilkan rekomendasi lokasi Ibu Kota Negara baru yaitu berada
di luar Pulau Jawa dengan opsi lokasi di wilayah Pulau Kalimantan dan
Sulawesi. ((terlampir alat bukti PK No. 01)
b. Pada tahun 2018, Bappenas memfokuskan kajian di wilayah Pulau
Kalimantan dengan judul “Kajian Mendalam Sosial Kependudukan dan
Ekonomi Wilayah Ibu Kota Negara” yang bertujuan untuk mendapatkan
gambaran kondisi kependudukan, sosial-budaya, dan ekonomi eksisting di
wilayah Pulau Kalimantan secara utuh. Lebih lanjut, Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional membuat “Kajian
Kesesuaian Lahan dan Alternatif Lokasi”. Melalui kajian ini, didapatkan
gambaran mengenai kesesuaian lahan untuk pembangunan Ibu Kota
Negara dan menjadi input bagi penyusunan kajian teknis calon lokasi oleh
Bappenas pada tahun berikutnya. (terlampir alat bukti PK No. 01)
c. Selanjutnya di tahun 2019, Bappenas menyusun “Kajian Teknis Calon
Lokasi (Studi Konsolidasi Penentuan Lokasi Pemindahan Ibu Kota
Negara)” yang mengonsolidasikan berbagai kajian yang telah dilakukan
sejak tahun 2017 dan memperdalam temuan-temuan yang diperoleh dari
249

kajian-kajian tersebut terdahulu. Kemudian, kajian dilengkapi melalui


“Studi Kelayakan Teknis Calon Pemindahan Ibu Kota Negara (Pra Master
Plan Ibu Kota Negara)” dengan lokasi kajian telah spesifik berupa calon
lokasi IKN yang berada di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser
Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Studi ini memuat substansi
mengenai kelayakan teknis dan arahan perencanaan multi aspek di
wilayah tersebut. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) menyusun “Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pemindahan Ibu Kota Negara” untuk memperkuat aspek strategis
lingkungan hidup dan kehutanan dalam rencana pemindahan ibu kota
negara berdasarkan asesmen dan pemetaan dampak di bidang
lingkungan. (terlampir alat bukti PK No. 01)
d. Pada tahun 2020, Bappenas menyusun “Kajian Rencana Induk dan
Strategi Pengembangan Ibu Kota Negara (Master Plan)”. Secara paralel
juga dilakukan penyusunan KLHS Master Plan IKN yang memberikan input
terhadap perbaikan Masterplan secara iteratif sehingga hasil Master Plan
final telah sesuai dengan hasil KLHS. Kedua hasil kajian tersebut menjadi
bahan untuk penyusunan rencana induk yang merupakan rujukan dalam
penyusunan Naskah Akademis RUU IKN dan selanjutnya menjadi
Lampiran II UU IKN. ((terlampir alat bukti PK No. 01)
Berdasarkan penjabaran kronologi tersebut, terbukti bahwa pembentukan
Undang-Undang tentang IKN telah berbasiskan pada bukti kajian-kajian yang
disusun oleh Pemerintah secara komprehensif dan berkesinambungan satu
sama lain.

4. Tabel Perbandingan Substansi Perubahan RUU IKN Versi Surat Presiden


Kepada DPR Tanggal 29 September 2021 dan UU No 3 Tahun 2022 tentang
IKN.
RUU IKN - SUPRES
UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
Waktu Pengalihan Kedudukan, Fungsi dan Peran Ibu Kota Negara dari Jakarta ke
Nusantara
1. Diatur pada semester I (satu) Tidak diatur waktu tertentu • Mengakomodasi
tahun 2024. dan diserahkan kepada masukan para pihak
Keputusan Presiden. yang memandang
waktu pembangunan
250

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
“Pasal 3 “Pasal 4 hingga tahun 2024
sangat singkat,
(2) Pemindahan status Ibu (2) Pengalihan kedudukan, sehingga waktu
Kota Negara dari fungsi, dan peran Ibu pengalihan
Provinsi Daerah Khusus Kota Negara dari kedudukan, fungsi dan
Ibukota Jakarta ke IKN Provinsi Daerah peran Ibu Kota Negara
[...] dilakukan pada Khusus Ibu Kota seharusnya
semester I (satu) tahun Jakarta ke Ibu Kota diputuskan dengan
2024 dan ditetapkan Nusantara ditetapkan memperhatikan
dengan Peraturan dengan Keputusan kesiapan dari
Presiden.” Presiden.” pembangunan yang
dilakukan.
• Masukan antara lain
disampaikan oleh Dr.
Chazali H.
Situmorang, M.Sc.,
Dosen Administrasi
Publik FISIP UNAS,
dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum
Pansus RUU IKN, 11
Desember 2021:
“Pemerintah dan DPR,
harus berhitung betul,
pelaksanaan IKN baru
pada semester I tahun
2024, apakah situasi
Politik dan social
ekonomi
memungkinkan,
karena masa transisi
pemerintah dan
suasana Pemilu.”

Cakupan Wilayah Laut dan Penataan Ruang Wilayah Laut


2. Tidak mengatur wilayah laut. Mengatur wilayah laut. • Mengakomodasi
Pasal 6 ayat (1): Pasal 6 ayat (2) masukan pengaturan
“IKN [...] meliputi wilayah total “Ibu Kota Nusantara perencanaan Ruang
seluas kurang lebih 256.142 meliputi wilayah daratan Laut sesuai amanat
ha (dua ratus lima puluh seluas kurang lebih UU Cipta Kerja
enam ribu seratus empat 256.142 ha (dua ratus lima (Integrasi Rencana
puluh dua hektar) dengan puluh enam ribu seratus Tata Ruang Darat dan
batas wilayah:…..” empat puluh dua hektare) Laut).
dan wilayah perairan laut • Masukan antara lain
seluas kurang lebih 68.189 disampaikan pada
ha (enam puluh delapan konsultasi publik
251

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
ribu seratus delapan puluh kerjasama dengan
sembilan hektare), dengan Pascasarjana
batas wilayah:…” Universitas Sam
Ratulangi di Manado
Tidak mengatur penataan Mengatur penataan ruang tanggal 17 Desember
ruang wilayah laut. wilayah laut. 2021 oleh Prof. Dr. Ir.
Rene Charles Kepel,
“Pasal 15 “Pasal 15 DEA, Dosen Fakultas
Perikanan dan Ilmu
(1) Penataan ruang IKN [...] (1) Penataan ruang Ibu Kelautan Universitas
mengacu pada: Kota Nusantara Sam Ratulangi dalam
mengacu pada: paparan mengenai
1. Rencana Tata 1. Rencana Tata “Penataan Ruang
Ruang Wilayah Ruang Wilayah dalam RUU IKN”.
Nasional; Nasional;
2. Rencana Tata 2. Rencana Zonasi
Ruang Pulau Kawasan
Kalimantan; Antarwilayah Selat
3. Rencana Tata Makassar;
Ruang KSN IKN; 3. Rencana Tata
dan Ruang Pulau
4. Rencana Detail Kalimantan;
Tata Ruang KSN 4. Rencana Tata
IKN. Ruang KSN Ibu
Kota Nusantara;
…” dan
5. Rencana Detail
Tata Ruang Ibu
Kota Nusantara.
…”
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara
3. Rencana Induk diatur dalam Rencana Induk menjadi • Perubahan Rencana
Peraturan Presiden. Lampiran UU IKN, Induk menjadi
“Pasal 7 sementara Perincian Lampiran RUU
(1) Pelaksanaan persiapan, Rencana Induk akan diatur disepakati dalam
pembangunan, dan dalam Peraturan Presiden. Pembicaraan Tingkat I
pemindahan Ibu Kota “Pasal 7 Rapat Panja RUU
Negara, serta (1) Rencana Induk Ibu Kota tentang Ibu Kota
pengelolaan IKN [...] Nusantara merupakan Negara tanggal 14
dilakukan berdasarkan dokumen perencanaan Desember 2021
Rencana Induk IKN. terpadu yang menjadi dengan agenda
(2) Ketentuan mengenai pedoman bagi Otorita Pembahasan DIM
Rencana Induk IKN [...] Ibu Kota Nusantara RUU IKN.
sebagaimana dimaksud dan/atau Pemerintah • Alasan dimasukan
pada ayat (1) diatur Pusat dalam dalam Lampiran RUU
252

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
dengan Peraturan melaksanakan adalah untuk
Presiden.” persiapan, memperkuat
pembangunan, dan kedudukan rencana
pemindahan Ibu Kota induk agar menjadi
Negara, serta acuan pelaksanaan
penyelenggaraan persiapan,
Pemerintahan Daerah pembangunan, dan
Khusus Ibu Kota pemindahan Ibu Kota
Nusantara. Negara, serta
(2) Pelaksanaan penyelenggaraan
pembangunan dan Pemerintahan Daerah
pemindahan Ibu Kota Khusus Ibu Kota
Negara dalam Rencana Nusantara bagi Otorita
Induk Ibu Kota IKN dan seluruh
Nusantara stakeholder terkait.
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dilaksanakan secara
bertahap.
(3) Rencana Induk Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling
sedikit memuat pokok-
pokok:
a. pendahuluan;
b. visi, tujuan, prinsip
dasar, dan indikator
kinerja utama;
c. prinsip dasar
pembangunan; dan
d. penahapan
pembangunan dan
skema pendanaan,
yang tercantum dalam
Lampiran II yang
merupakan bagian
tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
(4) Perincian Rencana
Induk Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur
253

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
dengan Peraturan
Presiden.
(5) Otorita Ibu Kota
Nusantara dapat
melakukan perubahan
terhadap Rencana
Induk Ibu Kota
Nusantara, dengan
ketentuan:
a. dalam hal
perubahan
dilakukan terhadap
materi muatan
Rencana Induk Ibu
Kota Nusantara
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3), dilakukan
setelah
mendapatkan
persetujuan dari
Presiden dan
dikonsultasikan
dengan DPR;
b. dalam hal
perubahan
dilakukan terhadap
perincian Rencana
Induk Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (4), dilakukan
setelah
mendapatkan
persetujuan dari
Presiden.
(6) Perubahan Rencana
Induk Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur
dengan Peraturan
Presiden.”
Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
254

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
4. Hanya memuat pengaturan Memuat hal-hal yang lebih Mengakomodasi
umum. detail seperti Kawasan masukan untuk
hijau, penerapan energi mempertegas
“Pasal 17 terbarukan dan efisiensi pengaturan mengenai
energi dan lain lain. Pelindungan dan
Perlindungan dan “Pasal 18 Pengelolaan Lingkungan
pengelolaan lingkungan (1) Pelindungan dan Hidup yang sesuai
hidup di wilayah IKN […] pengelolaan lingkungan dengan KPI IKN yaitu:
dilaksanakan berdasarkan hidup di Ibu Kota - Penetapan
Rencana Induk IKN dengan Nusantara dilaksanakan Kawasan hijau.
mempertimbangkan aspek berdasarkan Rencana - Penerapan Energi
daya dukung dan daya Induk Ibu Kota baru terbarukan dan
tampung lingkungan hidup Nusantara dan efisiensi
sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang - Pengelolaan
peraturan perundang- KSN Ibu Kota sampah dan limbah
undangan.” Nusantara dengan dengan prinsip
mempertimbangkan ekonomi sirkuler
aspek daya dukung dan
daya tampung Masukan antara lain
lingkungan hidup sesuai disampaikan pada
dengan ketentuan konsultasi publik
peraturan perundang- kerjasama dengan
undangan. Pascasarjana
(2) Pelindungan dan Universitas Sam
pengelolaan lingkungan Ratulangi, di Manado
hidup sebagaimana tanggal 17 Desember
dimaksud pada ayat (1) 2021, oleh Prof. Zetly E.
dilakukan oleh Otorita Tamod:
Ibu Kota Nusantara,
termasuk pelaksanaan • Tata kelola
pemantauan, lingkungan yang
pengendalian, dan bertanggung-jawab
evaluasi terhadap dan berkelanjutan,
kualitas lingkungan dengan optimalisasi
hidup di Ibu Kota pemanfaatan
Nusantara sesuai sumber daya air
dengan ketentuan yang efisien,
peraturan perundang- penggunaan dan
undangan. pengelolaan sumber
(3) Pelindungan dan energi baru
pengelolaan lingkungan terbarukan sebagai
hidup sebagaimana sumber energi utama
dimaksud pada ayat (1) yang dikelola dengan
termasuk tetapi tidak penerapan smart
terbatas pada: grid.
255

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
a. penetapan • Bernuansa hutan
kawasan hijau yang yang berwawasan
mendukung pelestarian
keseimbangan lingkungan hidup
lingkungan hidup (forest and green-
dan eco city);
keanekaragaman • Berkelanjutan dan
hayati; berketahanan
b. penerapan energi (sustainable dan
terbarukan dan resilient city)
efisiensi energi;
c. pengelolaan Dr. Asep Sofyan Prodi
wilayah fungsional Teknik Lingkungan, pada
perkotaan yang Rapat Dengar Pendapat
berorientasi pada Umum dengan Anggota
lingkungan hidup; Pansus RUU IKN, 8
dan Desember di Ruang
d. penerapan Rapat Pansus B Gedung
pengolahan DPR:
sampah dan limbah
dengan prinsip “Masukan terhadap UU
ekonomi sirkuler.” IKN:

• Di sekitar IKN
merupakan daerah
keanekaragaman
hayati tinggi
sehingga koridor
satwa di IKN harus
diperhatikan.
• Mangrove di IKN
menjadi ikon IKN
sebagai kota
berkelanjutan,
sehingga
pembangunan yang
melintasi mangrove
seperti jalan, rel
kereta dsb, harus
melindungi
kelestarian
mangrove.

K.R.R.A. Suharyono S.
Hadiningrat, Ketua
256

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
Umum Inspirasi Merah
Putih Indonesia/Alumni
Lemhannas, Rapat
Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus RUU
IKN DPR RI Jakarta, 10
Desember 2021:

“Pembangunan IKN di
Kaltim jangan
mengulangi kesalahan
Jakarta maka IKN Kaltim
harus pro-lingkungan
dan TIDAK diikuti oleh
proyek-proyek industry,
sehingga IKN Baru
benar-benar menjadi
pusat pemerintahan R.I.

Penggunaan energy
terbarukan (green
energy) dan teknologi
revolusi industry 4.0 dan
Society 5.0 harus
menjadi prioritas dalam
pengelolaan IKN Baru.”

Forum Dayak Bersatu


(FDB) dalam audiensi
dengan Pansus RUU
IKN, 17 Desember 2021,
memberi masukan agar:
• Memperhatikan
kondisi dan
lingkungan serta
kelestarian lingkungan
Kalimantan Timur.
Perlindungan Terhadap Hak-Hak Individu atau Hak-Hak Komunal Masyarakat Adat dan
Nilai-Nilai Budaya yang Mencerminkan Kearifan Lokal
5. ---belum diatur--- Sudah memuat Mengakomodir masukan
perlindungan terhadap hak- publik agar diatur
hak individu atau hak-hak perlindungan bagi hak-
komunal masyarakat adat hak komunal masyarakat
dan nilai-nilai budaya. adat dan nilai budaya
“Pasal 21
257

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
Penataan ruang, yang mencerminkan
pertanahan dan pengalihan kearifan lokal.
hak atas tanah, lingkungan
hidup, penanggulangan Masukan antara lain
bencana, serta pertahanan disampaikan oleh
dan keamanan Hendricus Andy
sebagaimana dimaksud Simarmata, PhD, IAP
dalam Pasal 15 sampai Ketua Umum Ikatan Ahli
dengan Pasal 20 Perencanaan Wilayah
dilaksanakan dengan dan Kota, pada Rapat
memperhatikan dan Dengar Pendapat Umum
memberikan perlindungan dengan Pansus RUU
terhadap hak-hak individu IKN, 8 Desember 2021:
atau hak-hak komunal
masyarakat adat dan nilai- “Pemaknaan ruang oleh
nilai budaya yang masyarakat adat harus
mencerminkan kearifan diintegrasikan dalam
lokal.” perencanaan perkotaan
IKN”

K.R.R.A. Suharyono S.
Hadiningrat, Ketua
Umum Inspirasi Merah
Putih Indonesia/Alumni
Lemhannas, Rapat
Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus RUU
IKN DPR RI Jakarta, 10
Desember 2021:

“Pemerintah perlu
menjaga budaya
setempat berbasis pada
kearifan lokal sepanjang
tidak bertentangan
dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD
1945.”

Erasmus Cahyadi Deputi


Sekjen AMAN untuk
Urusan Politik dan
Hukum, dalam Rapat
Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus RUU
IKN, 9 Desember 2021,
258

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
dalam paparan berjudul
“Mengutamakan
Pemenuhan Hak
Masyarakat Adat dalam
Rencana Ibu Kota
Negara”

Prof Paulus Wirutomo,


dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum dengan
Pansus RUU IKN, 9
Desember 2021:

“Memperjelas landasan
hukum kepemilikan
lahan dengan
memperhatikan hak-hak
adat masyarakat.”

Dr. Chazali H.
Situmorang, M.Sc Dosen
AP FISIP UNAS, dalam
Rapat Dengar Pendapat
Umum Pansus RUU IKN,
11 Desember 2021:

“Sejauh mana manfaat


dan kepentingan
masyarakat lokal
terjamin
kesejahteraanya dengan
adanya IKN baru.”

Dr. Adv. Trubus


Rahadiansyah DPP
Kongres Advokat
Indonesia (KAI), pada
Rapat Dengar Pendapat
Umum Pansus RUU IKN,
12 Desember 2021:

“Diperlukannya Peran
Serta Masyarakat Dalam
IKN
259

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
▪ MASYARAKAT
LOKAL
▪ MASYARAKAT
ADAT
✓ INTEGRASI SOSIAL:
ANTARA
PENDATANG
DENGAN
MASYARAKAT
LOKAL.
✓ MENCEGAH/MEMINI
MALKAN KONFLIK
PENDATANAG
DENGAN
MASYARAKAT
LOKAL”

Forum Dayak Bersatu


(FDB) dalam audiensi
dengan Pansus RUU
IKN, 17 Desember 2021,
memberi masukan agar:
• Artinya benar-benar
menjalankan atau
menghormati kearifan
lokal dan sumber daya
manusia Kalimantan
Timur.

Keberlanjutan Kegiatan Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Nusantara


6. ---belum diatur--- Telah memuat pengaturan Mengakomodasi
untuk menjamin pendapat masyarakat
keberlanjutan kegiatan mengenai
persiapan, pembangunan, keberlanjutan/kesinamb
dan pemindahan Ibu Kota ungan dari
Nusantara. pembangunan dan
“Pasal 24 pemindahan Ibu Kota.
(3) Persiapan,
pembangunan, dan
pemindahan Ibu Kota
Nusantara
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan sebagai
260

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
program prioritas
nasional paling singkat
10 (sepuluh) tahun
dalam rencana kerja
pemerintah sejak
berlakunya Undang-
Undang ini atau paling
singkat sampai
dengan selesainya
tahap 3 (tiga)
penahapan
pembangunan Ibu
Kota Nusantara
sebagaimana
ditetapkan dalam
Rencana Induk Ibu
Kota Nusantara.”
Perlindungan Barang Milik Negara yang Memiliki Kriteria Cagar Budaya, Arti Khusus
dan Nilai Budaya
7. ---belum diatur--- Telah mengatur Mengakomodasi
perlindungan terhadap masukan agar diatur
barang milik negara perlindungan terhadap
dengan kriteria tertentu. cagar budaya.
“Pasal 28
(3) Pemindahtanganan
Barang Milik Negara
yang dilakukan dengan
cara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
huruf a, tidak boleh
dilakukan terhadap
barang yang memiliki
kriteria:
a. cagar budaya;
b. memiliki arti khusus
bagi sejarah, ilmu
pengetahuan,
pendidikan, agama,
dan/atau
kebudayaan; dan
c. memiliki nilai
budaya bagi
penguatan
kepribadian
bangsa.”
261

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
Partisipasi Masyarakat
8. ---belum diatur--- Telah mengatur partisipasi Mengakomodasi
masyarakat. masukan publik agar
“BAB VIII dibuka partisipasi
PARTISIPASI masyarakat dalam
MASYARAKAT proses persiapan,
Pasal 37 pembangunan,
(1) Masyarakat dapat pemindahan, dan
berpartisipasi dalam pengelolaan Ibu Kota
proses persiapan, Negara.
pembangunan,
pemindahan, dan MP. TUMANGGOR,
pengelolaan Ibu Kota dalam Rapat Dengar
Negara. Pendapat Umum dengan
(2) Partisipasi masyarakat Pansus RUU IKN, 10
sebagaimana dimaksud Desember 2021:
pada ayat (1), dapat “HARAPAN
dilakukan dalam bentuk: MASYARAKAT KALTIM
a. konsultasi publik; KHUSUSNYA DAN
b. musyawarah; KALIMANTAN
c. kemitraan; UMUMNYA DARI
d. penyampaian KEBERADAAN IKN
aspirasi; dan/atau 1. Masyarakat terlibat
e. keterlibatan lain dalam proses
sesuai dengan pembangunan Ibu
ketentuan Kota Negara.”
peraturan
perundang- Forum Dayak Bersatu
undangan.” (FDB) dalam audiensi
dengan Pansus RUU
IKN, 17 Desember 2021,
memberi masukan agar:
• Perlu melibatkan
partisipasi masyarakat
Kalimantan.
• Perlu melibatkan
putera-puteri terbaik
Kalimantan Timur.
• Artinya benar-benar
menjalankan atau
menghormati kearifan
lokal dan sumber daya
manusia Kalimantan
Timur.
262

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
Pemantauan dan Peninjauan
9. ---belum diatur--- Telah mengatur Mengakomodasi
pemantauan dan masukan agar
peninjauan oleh DPR pelaksanaan undang-
“BAB IX undang ini dipantau dan
PEMANTAUAN DAN ditinjau oleh DPR.
PENINJAUAN
Pasal 38
DPR melalui alat
kelengkapan yang
menangani bidang legislasi
dapat melakukan
pemantauan dan
peninjauan terhadap
pelaksanaan Undang-
Undang ini berdasarkan
mekanisme dalam undang-
undang mengenai
pembentukan peraturan
perundang-undangan.”

Kekhususan Jakarta
10. Belum diatur atau disebutkan Sudah mengatur atau Mengakomodasi
mengenai kekhususan memuat kekhususan masukan publik untuk
Jakarta. Jakarta yang akan diatur memperjelas posisi
“Pasal 30 dalam undang-undang Jakarta setelah tidak
Pada saat Peraturan “Pasal 41 memegang status
Presiden mengenai (1) Sejak ditetapkannya sebagai ibu kota negara.
pemindahan status Ibu Kota Keputusan Presiden
Negara dari Provinsi Daerah sebagaimana dimaksud K.R.R.A. Suharyono S.
Khusus Ibukota Jakarta ke dalam Pasal 39 ayat (1), Hadiningrat, Ketua
IKN [...] sebagaimana ketentuan Pasal 3, Umum Inspirasi Merah
dimaksud dalam Pasal 3 ayat Pasal 4 kecuali fungsi Putih Indonesia/Alumni
(2) diundangkan, ketentuan sebagai daerah otonom, Lemhannas, Rapat
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dan Pasal 5 Undang- Dengar Pendapat Umum
Undang-Undang Nomor 29 Undang Nomor 29 dengan Pansus RUU
Tahun 2007 tentang Tahun 2007 tentang IKN DPR RI Jakarta, 10
Pemerintahan Provinsi Pemerintahan Provinsi Desember 2021:
Daerah Khusus Ibukota Daerah Khusus Ibukota “Jakarta pasca
Jakarta sebagai Ibukota Jakarta sebagai Ibukota pemindahan IKN ke
Negara Kesatuan Republik Negara Kesatuan Kalimantan Timur agar
Indonesia dicabut dan Republik Indonesia dijadikan Pusat
dinyatakan tidak berlaku.” dicabut dan dinyatakan Perdagangan
tidak berlaku. (Bussiness Centre)
bertaraf internasional
263

RUU IKN - SUPRES


UU No 3 Tahun 2022
NO TANGGAL 29 SEPTEMBER CATATAN
tentang IKN
2021
(2) Paling lama 2 (dua) sehingga perlu
tahun sejak Undang- perencanaan kembali.”
Undang ini
diundangkan, Undang-
Undang Nomor 29
Tahun, 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan
Republik Indonesia
diubah sesuai dengan
ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(3) Perubahan undang-
undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (21
berlaku pada saat
Keputusan Presiden
mengenai pemindahan
Ibu Kota Negara dari
Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta ke Ibu
Kota Nusantara
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1)
ditetapkan.
(4) Perubahan undang-
undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
mengatur kekhususan
Jakarta.”

[2.6] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan
bukti PK-5 sebagai berikut:
264

No Kode Nama Jenis Bukti


1 PK-1 1. Kajian
1) Kajian Penentuan Lokasi Pemindahan Ibu Kota Negara.
2) Kajian Mendalam Sosial Kependudukan dan Ekonomi
Wilayah Ibu Kota Negara.
3) Laporan Akhir master plan IKN, (2 Jilid, 1000-an
halaman)
4) KLHS kajian lingkungan hidup strategis, master plan.
5) Laporan akhir, studi kelayakan teknis calon lokasi
pemindahan Ibu Kota Negara (McKinsey & Company)
2. Surat Prolegnas dan pencantuman di prolegnas.
1) Pengusulan RUU ke prolegnas.
2) Prolegnas jangka menengah.
3) Putusan DPR tentang Proleglas prioritas.
2 PK-2 Naskah Akademik
3 PK-3 Penyampaian Penyelarasan
1) Undangan rapat koordinasi penyelarasan NA RUU IKN.
2) Permohonan Harmonisasi atas RUU IKN.
3) Draft RUU IKN.
4) Draft RUU IKN.
4 PK-4 PAK dan Konsultasi Publik:
1) SK PAK.
2) Rapat Koordinasi tingkat menteri.
3) Permohonan harmonisasi atas RUU.
4) Harmonisasi RUU.
5) Persiapan sosialisasi IKN
5 PK-5 1) Tindak lanjut surat presiden.
2) Permohonan penyampaian dan pembahasan NA dan
RUU.
3) Permohonan paraf Mensetneg, persetujuan RUU.
4) Permohonan paraf kembali.
5) Penunjukan wakil pemerintah.
6) Surat Presiden ke DPR.
7) Undangn FGD.
8) Sosialisasi dan konsultasi publik draf RUU IKN.
9) Sosialisasi dan konsultasi publik draft RUU IKN.
10) Undangan Konsultasi publik RUU IKN Kerjasama UPN
Veteran
11) Undangan rapat tim perumus pansus.
12) Rapat panitia kerja pansus.
13) Undangan rapat pembahasan DIM Fraksi.
265

Selain itu, untuk mendukung keterangan tambahannya, Presiden juga telah


menyampaikan tambahan lampiran, sebagai berikut:

NO BUKTI URAIAN KETERANGAN


Focus Group Discussion (FGD) Kajian Mendalam Sosial Kependudukan
dan Ekonomi Wilayah Ibu Kota Negara Tahun 2018
6 PK 6-a FGD bersama Akademisi Daerah : Berkas berupa
Balikpapan, Kalimantan Timur (21-23 Undangan,
November 2018) Notulensi dan Foto
PK 6-b FGD bersama Akademisi Daerah : Kegiatan
Banjarmasin, Kalimantan Selatan (28-30
November 2018)
PK 6-c FGD bersama Akademisi Daerah :
Palangka Raya, Kalimantan Tengah (5-7
Desember 2018)
PK 6-d FGD bersama Akademisi Daerah Kota
Besar : Pakar dari UGM Yogyakarta (17
Desember 2018)
PK 6-e FGD bersama Akademisi Daerah Kota
Besar : Pakar dari UNAIR dan ITS
Surabaya (18 Desember 2018)

PK 6-f FGD bersama Akademisi Daerah Kota


Besar : Pakar dari Unpad dan ITB
Bandung (21 Desember 2018)

DIALOG NASIONAL PEMINDAHAN IKN


DIALOG NASIONAL I
“ Pemindahan Ibu Kota Negara”
tanggal 16 Mei 2019
7 PK 7-a Surat Undangan Kementerian Pelaksanaan Dialog
PPN/Bappenas RI Nomor Nasional I dengan
5529/SES/05/2019 tanggal 13 Mei 2019 tema “Pemindahan
hal Dialog Nasional I “Pemindahan Ibu Kota Negara”
Ibukota Negara” yang dilaksanakan
PK 7-b Undangan Kementerian PPN/Bappenas pada tanggal 16
RI kepada para Narasumber, yaitu: Mei 2019 di
- Nomor 5565/D.2/05/2019 hal Kementerian
Permohonan Narasumber Kegiatan PPN/Bappenas
Dialog Nasional Pemindahan Ibu Permintaan
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Narasumber
- Nomor 5566/D.2/05/2019 hal kepada:
Permohonan Narasumber Kegiatan
266

Dialog Nasional Pemindahan Ibu 1. Dr. Ir.


Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Wicaksono
- Nomor 5567/D.2/05/2019 hal Sarosa
Permohonan Narasumber Kegiatan 2. Ibnu Syabri
Dialog Nasional Pemindahan Ibu B.Sc., M.Sc.,
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Ph.D
- Nomor 5568/D.2/05/2019 hal 3. Turro Selrits
Permohonan Narasumber Kegiatan Wongkaren,
Dialog Nasional Pemindahan Ibu Ph.D
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. 4. Drs Yayat
- Nomor 5569/D.2/05/2019 hal Supriatna,
Permohonan Narasumber Kegiatan MSP
Dialog Nasional Pemindahan Ibu 5. Ir. Soelaman
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Soemawinata
- Nomor 5570/D.2/05/2019 hal MM
Permohonan Narasumber Kegiatan 6. Ir. Bernardus
Dialog Nasional Pemindahan Ibu Djonoputro
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. 7. Dr. Ir. Danny
- Nomor 5571/D.2/05/2019 hal Hilman
Permohonan Narasumber Kegiatan Natawijaya,
Dialog Nasional Pemindahan Ibu M.Sc
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. untuk hadir dalam
- Nomor 5572/D.2/05/2019 hal Dialog Nasional I
Permohonan Narasumber Kegiatan yang bertujuan
Dialog Nasional Pemindahan Ibu untuk
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. mensosialisasikan
- Nomor 5573/D.2/05/2019 hal Hasil Kajian Awal
Permohonan Narasumber Kegiatan yang telah
Dialog Nasional Pemindahan Ibu dilaksanakan oleh
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Kementerian
- Nomor 5574/D.2/05/2019 hal PPN/Bappenas,
Permohonan Narasumber Kegiatan Kementerian
Dialog Nasional Pemindahan Ibu ATR/BPN dan
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Kementerian PUPR
- Nomor 5575/D.2/05/2019 hal serta mendapatkan
Permohonan Narasumber Kegiatan pandangan dari
Dialog Nasional Pemindahan Ibu para pakar tentang
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. lokasi IKN masa
- Nomor 5576/D.2/05/2019 hal depan.
Permohonan Narasumber Kegiatan
Dialog Nasional Pemindahan Ibu Dialog Nasional
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. Pemindahan IKN I
- Nomor 5577/D.2/05/2019 hal dibuka dengan
Permohonan Narasumber Kegiatan paparan Menteri
267

Dialog Nasional Pemindahan Ibu Bappenas


Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. mengenai hasil
- Nomor 5578/D.2/05/2019 hal kajian awal
Permohonan Narasumber Kegiatan Pemindahan IKN.
Dialog Nasional Pemindahan Ibu Selain itu,
Kota Negara tanggal 14 Mei 2019. bertujuan untuk
sosialisasi hasil
PK 7-c Risalah Dialog Nasional Pemindahan Ibu kajian awal
Kota Negara I tanggal 16 Mei 2019 di Pemindahan IKN
kantor Kementerian PPN/Bappenas dan mendapatkan
PK 7-d Siaran Pers “Bahas Rencana masukan tentang
Pemindahan IKN, Menteri Bambang kekurangan dan
jaring masukan dari para pakar untuk kelebihan dua
membangun Ibu Kota masa depan. lokasi IKN yang
“ tanggal 16 Mei 2019 telah dikunjungi
PK 7-e Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Presiden RI.
Nasional I tanggal 16 Mei 2019.
Selain itu juga
diundang untuk
hadir dalam Dialog
Nasional I, yaitu:
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Banten
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Kalimantan
Tengah
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Kalimantan
Timur
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Sulawesi
Barat
- Kepala
Bappeda
Provinsi
Jawa Barat
268

- Kepala
Bappeda
Provinsi
Kalimantan
Selatan
- Kepala
Bappeda
Provinsi DKI
Jakarta

Peserta yang hadir:


- K/L terkait
- Perguruan
tinggi dan
Lembaga
Penelitian
(UI, ITB,
UNPAD,
UGM,ITSN,
URDI, Core
Indonesia,
Presisi
Indonesia,
CSIS
Indonesia,
ICEL, Ruang
Waktu,
Walhi, WWF
Indonesia
- media
(Kompas,
Tempo,
Detikcom,
Metro TV)
DIALOG NASIONAL II
“Dampak Ekonomi, Lingkungan Hidup dan Pertahanan dan Keamanan”
tanggal 26 Juni 2019

8 PK 8-a Undangan Kementerian PPN/Bappenas Dialog Nasional II


RI Nomor 7145/SES/06/2019 tanggal 24 “Dampak Ekonomi,
Juni 2019 hal Undangan Dialog Nasional Lingkungan Hidup,
Pemindahan Ibu Kota Negara ke-2 dan Pertahanan
PK 8-b Undangan Kementerian PPN/Bappenas dan Keamanan”
RI Nomor 7148/SES/06/2019 tanggal 24 yang
269

Juni 2019 hal Permohonan sebagai diselenggarakan


Pembahas dalam Dialog Nasional oleh Kementerian
Pemindahan Ibu Kota Negara ke-2 PPN/Bappenas
PK 8-c Undangan Kementerian PPN/Bappenas pada tanggal 26
RI Nomor 7149/SES/06/2019 tanggal 24 Juni 2019,
Juni 2019 hal Permohonan sebagai bertujuan untuk:
Pembahas dalam Dialog Nasional - Mendapatka
Pemindahan Ibu Kota Negara ke-2 n pandangan
PK 8-d Undangan Kementerian PPN/Bappenas para pakar
RI Nomor 7150/SES/06/2019 tanggal 24 dan
Juni 2019 hal Permohonan sebagai pemangku
Pembahas dalam Dialog Nasional kepentingan
Pemindahan Ibu Kota Negara ke-2 mengenai
PK 8-e Undangan Kementerian PPN/Bappenas dampak
RI Nomor 7151/SES/06/2019 tanggal 24 ekonomi dari
Juni 2019 hal Permohonan sebagai pemindahan
Pembahas dalam Dialog Nasional Ibu Kota
Pemindahan Ibu Kota Negara ke-2 Negara,
PK 8-f Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Pemindahan
Nasional II IKN dalam
konteks
strategi
pertahanan
dan
Keamanan
serta
perspektif
lingkungan
hidup dalam
perencanaan
pemindahan
IKN.

Pembicara utama:
- Prof. Dr.
Bambang PS
Brodjonegor
o (Menteri
PPN/Bappen
as)
- Jenderal TNI
(Purn) Dr.
Moeldoko,
SIP (Kepala
270

Staf
Kepresidena
n)
- Dr. Ir. Siti
Nurbaya
Makar, M.Sc
(Menteri
Lingkungan
Hidup dan
Kehutanan)
Peserta yang hadir:
- K/L
- Pemda (DKI
Jakarta,
Kalteng,
Kalsel,
Kaltim,
Sulawesi
Barat,
Banten,
Jawa Barat)
- perguruan
tinggi (UI,
UNPAD,
UGM, Univ
Lambung
Mangkurat,
ITB, UGM,
UNPAD,
Univ
Pertahanan,
IPB,
- Lembaga
Penelitian
dan Mitra
Pembangun
an
- Media
(Kompas,
Tempo,
Detikcom,
MetroTV)
PK 8- g Publikasi siaran pers https://www.ikn.go.i
d/storage/press-
271

release/2019/11-
siaran-pers-dialog-
nasional-
pemindahan-ibu-
kota-negara-
menteri-bambang-
paparkan-investasi-
dan-strategi-
pembiayaan.pdf
DIALOG NASIONAL III
“Konsep Master Plan dan Urban Design”
tanggal 1 Agustus 2019
9 PK 9-a Undangan Kementerian PPN/Kepala Dialog Nasional ke
Bappenas RI Nomor 9193/SES/07/2019 III dilaksanakan
tanggal 29 Juli 2019 hal Undangan Dialog pada tanggal 1
Nasional ke-3 Pemindahan Ibu Kota Agustus 2019 di
Negara Kementerian
PK 9-b Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog PPN/Bappenas.
Nasional III Dialog
PK 9-c Risalah Dialog Nasional Pemindahan dilaksanakan untuk
Ibukota Negara III tanggal 1 Agustus mendapatkan
2019 masukan terhadap
pemindahan IKN
terkait aspek:
a. Visi IKN dalam
Konsep
Masterplan
b. Visi IKN dalam
Strategi
Perancangan
Kota, Tata
Bangunan dan
Lingkungan

Peserta:
- berbagai K/L
terkait
- Pemerintah
Daerah
- Perguruan
Tinggi (UI,
Univ
Pertahanan,
ITB, Unpad,
272

UGM, Undip,
ITSN,
Unbraw,
Univ
Lampung
Mangkurat,
Univ
Mulawarman
, Univ.
Palangka
Raya)
- Lembaga
Penelitian
dan Mitra
Pembangun
an
- Media
(Kompas,
Tempo,
Detikcom,
Metro TV)

Pembicara Utama:
- Prof Dr
Bambang PS
Brodjonegor
o (Menteri
Bappenas)
- Dr. Ir
Mochammad
Basuki
Hadimuljono,
M.Sc
(Menteri PU
dan
Perumahan
Rakyat)
DIALOG NASIONAL IV
“Investasi dan Strategi Pembiayaan Pemindahan Ibu Kota Negara”
tanggal 16 September 2019
10 PK 10-a Undangan Plt. Sekretaris Kementerian Dialog Nasional IV
PPN/Sekretaris Utama Bappenas RI dilaksanakan
Nomor 11474/SES/09/2019 tanggal 12 tanggal 16
September 2019 hal Undangan Dialog September 2019 di
273

Nasional ke-4 Pemindahan Ibu Kota Kementerian


Negara PPN/Bappenas.
PK 10-b Notulensi Dialog Pemindahan Ibu Kota Tujuan dialog untuk
tanggal 16 September 2019 mendapatkan
PK 10-c Dokumentasi pelaksanaan Dialog pandangan dan
Nasional IV masukan
mengenai:
a. Dampak
investasi yang
timbul dari
adanya
pemindahan
IKN terhadap
ekonomi
b. Startegi
pembiayaan
yang inovatif
untuk
pemindahan
IKN

Peserta:
- berbagai K/L
terkait
- Pemerintah
Daerah
- Perguruan
Tinggi (UI, Univ.
Pertahanan,
ITB, Unpad,
UGM, Undip,
ITS, Unibraw,
Univ Lambung
Mangkurat,
Univ
Mulawarman,
Univ
Palangkaraya)
- BUMN,
Lembaga
Penelitian dan
Mitra
Pembangunan
274

- Media
(Kompas,
Tempo,
MetroTV)

Pembicara Utama:
a. Prof. Dr.
Bambang PS
Brodjonegoro
b. Ir. Isa
Rachmatarwata
, M. Math

PK 10-d Publikasi siaran pers https://bappenas.go


.id/id/berita/dialog-
nasional-
pemindahan-ibu-
kota-negara-
menteri-bambang-
paparkan-investasi-
dan-strategi-
pembiayaan
DIALOG NASIONAL V
“Rancang Bangun dan Kesiapan Kaltim Sebagai IKN”
tanggal 1-2 Oktober 2019
11 PK 11-a Undangan Sekretaris Kementerian Dialog Nasional
PPN/Sekretaris Utama Bappenas Nomor dilaksanakan
12339/SES/09/2019 tanggal 26 tanggal 1-2 Oktober
September 2019 hal Undangan Dialog 2019 di Hotel
Nasional Rancang Bangun dan Kesiapan Novotel Balikpapan,
Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota dihadiri oleh
Negara Baru NKRI Bersama Pers/Media - K/L terkait
(Jurnalisme Profesional untuk Bangsa) - Pemerintah
PK 11-b Dokumentasi pelaksanaan Dialog Daerah
Nasional V (Gubernur
PK 11-c Catatan Dialog Nasional Kaltim, Bupati
Kab. Kutai
Kartanegara,
Bupati Kab.
Penajam Paser
Utara, Walikota
Samarinda,
Walikota
Bontang, Bupati
275

Kab. Paser,
Bupati Kab.
Berau, Bupati
Kab. Mahakam
Ulu)
- Asosiasi
Pengusaha
Indonesia
- Akademisi
Universitas
Mulawarman

Materi dipaparkan
oleh perwakilan
K/L:
- Bappenas
- PUPR
- Perhubungan
- ATR/BPN
- Ditjen Planalogi
Kehutanan dan
Tata
Lingkungan
DIALOG NASIONAL VI
“Menuju Ibu Kota Lestari dan Berkelanjutan”
tanggal 11 Februari 2020
12 PK 12-a Undangan Sekretaris Kementerian Dialog Nasional
PPN/Sekretaris Utama Bappenas Nomor dilaksanakan
01208/SES/01/2020 tanggal 30 Januari tanggal 11 Februari
2020 hal Undangan Dialog Nasional 2020 di
Pemindahan Ibu Kota Negara Tema Kementerian PPN.
Lingkungan Hidup Dialog bertujuan
PK 12-b Notulensi Dialog Nasional Pemindahan untuk mendapatkan
Ibu Kota Negara Kelompok Kerja pandangan dari
Lingkungan Hidup dan Kebencanaan para pakar dan
“Menuju Ibu Kota Negara Lestari dan pemangku
Berkelanjutan” Kementerian kepentingan terkait
PPN/Bappenas dari sektor
PK 12-c Dokumentasi pelaksanaan Dialog lingkungan hidup.
Nasional VI
Peserta:
- K/L terkait
- Perguruan
Tinggi (UI, ITB,
276

UGM, IPB,
Univ.
Mulawarman,
Univ. Lambung
Mangkurat,
Univ.
Tanjungpura,
Univ.
Palangkaraya)
- Lembaga
Penelitian dan
Mitra
Pembangunan

Pembahas:
a. Dr. KPH. Bagas
Pujilaksono
Widyakanigara
b. Zenzi Suhadi
c. Dr. Irdika
Mansur
d. Dr. Paulus
Matius
e. Prof. Bambang
Hero Saharjo
PK 12-d Siaran pers https://ikn.go.id/stor
age/press-
release/2020/2-
siaran-pers-
terapkan-forest-
city-ibu-kota-
negara-
pertahankan-ruang-
terbuka-hijau-dan-
tekan-
environmental-
footprint.pdf
DIALOG NASIONAL VII
“Membangun Kualitas Kehidupan Sosial Budaya”
tanggal 25 Februari 2020
13 PK 13-a Undangan Sekretaris Kementerian Dialog Nasional
PPN/Sekretaris Utama Bappenas Nomor dilaksanakan
01534/SES/02/2020 tanggal 6 Februari tanggal 25 Februari
277

2020 hal Undangan Dialog Aspek Sosial 2020 di Balai


Pemindahan Ibu Kota Negara Purnomo Prawiro,
PK 13-b Dokumentasi pelaksanaan Dialog UI Depok. Dialog
Nasional VII bertujuan untuk
mendapatkan
tinjauan mendalam
terkait aspek sosial-
budaya dan sosial-
ekonomi agar
terbangun
kehidupan
masyarakat yang
berkualitas melalui
prses sosial,
kultural dan
struktural yang
harmonis.

Dihadiri oleh:
- K/L terkait
- Pemerintah
Daerah
- Lembaga
Penelitian
- Paguyuban/Le
mbaga Adat
dan Forum
Agama di
Kalimantan
- Lembaga
Internasional
- Organisasi Non
Pemerintah

Pembicara oleh:
a. Staf Ahli
Menteri PPN
bidang Sosial
dan
Penanggulanga
n Kemiskinan
b. Deputi
Kependudukan
dan
278

Ketenagakerjaa
n Kementerian
PPN/Bappenas
PK 13-c Siaran pers https://ikn.go.id/stor
age/press-
release/2020/5-
siaran-pers-
pembangunan-ibu-
kota-negara-
libatkan-
masyarakat-lokal-
hingga-
kembangkan-
sektor-industri-
digital-dan-
inovasi.pdf
DIALOG NASIONAL PEMINDAHAN IKN: KALIMANTAN UNTUK INDONESIA
di Kalimantan Selatan (15 Juli 2019), Kalimantan Tengah (19 Juli 2019),
Kalimantan Timur (21 Agustus 2019)
14 PK 14-a Undangan Kementerian PPN/Bappenas Dialog Nasional di
Nomor 8318/SES/07/2019 tanggal 12 Juli Kalimantan Selatan
2019 hal Permohonan sebagai pada tanggal 15 Juli
Pembicara Utama pada Dialog 2019 di Hotel
Pemindahan Ibu Kota Negara di Novotel Banjarbaru,
Kalimantan Selatan Kalsel dengan
PK 14-b Risalah Rapat Dialog Pemindahan Ibu mengundang
Kota Negara di Provinsi Kalimantan Gubernur
Selatan tanggal 15 Juli 2019 Kalimantan
PK 14-c Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Selatan.
Nasional tanggal 15 Juli 2019 di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan Dihadiri oleh:
- Pemerintah
Daerah
- K/L terkait
- Perguruan
Tinggi (Univ
Achmad
Yani, Univ
Islam
Kalimantan
Muhammad
Arsyad Al-
Banjari, Univ
279

Lambung
Mangkurat
- Tokoh
Masyarakat
Kalimantan
Selatan
- Organisasi
Non
Pemerintah/
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
di
Kalimantan
Selatan
- Media
(Kompas,
Bisnis
Indonesia,
TVRI, Duta
TV, Banjar
TV,
Banjarmasin
Post, Radar
Banjar,
Metro
Banjar,
Media
Kalimantan,
Barito Post,
Kalimantan
Post)

Pembicara Utama:
a. Deputi
Menteri
PPN/Bappenas
Bidang
Pengembangan
Regional
b. Gubernur
Kalsel

Pembahas:
280

a. Prof.Dr.H.Sutar
to Hadi, Msi,
M.Sc, Rektor
Universitas
Lambung
Mangkurat
b. Dr.Ir.H.Gusti
Muhammad
Hatta, M.S.
c. Dr.Taufik
Arbain, S.Sos,
M.Si, Dosen
Fakultas Ilmu
Soisal dan
Pemerintahan
Universitas
Lambung
Mangkurat
15 PK 15-a Siaran Pers: Dialog Nasional di
https://www.bappenas.go.id/index.php/id Palangkaraya
/berita/dialog-nasional-pemindahan-ibu- Kalimantan
kota-negara-kalimantan-tengah- Tengah, dengan
paparkan-kesiapan-aspek-lingkungan- mengundang
hidup-sosial-dan-budaya Gubernur
PK 15-b dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Kalimantan Tengah
Nasional tanggal 19 Juli 2019 di tanggal 19 Juli 2019
Palangkaraya, Kalimantan Tengah
16 PK 16-a Siaran Pers: Dialog Nasional di
https://bappenas.go.id/id/berita/dialog- Balikpapan
nasional-pemindahan-ibu-kota-negara- Kalimantan Timur,
bappenas-bahas-hasil-penilaian- dengan
kalimantan-timur-sebagai-calon-ibu-kota- mengundang
negara Gubernur
PK 16-b Dokumentasi foto pelaksanaan Dialog Kalimantan Timur
Nasional tanggal 21 Agustus 2019 di tanggal 21 Agustus
Balikpapan, Kalimantan Timur 2019

KONSULTASI PUBLIK
17 PK 17-a Notulensi Konsultasi Publik RUU Ibu Kota Konsultasi Publik
Negara tanggal 15 Januari
2020 di Hotel
Aryaduta, Jakarta

peserta yang hadir:


281

- Bappenas
- BI
- Kemenkopol
hukam
- OJK
- Kejaksaan
Agung
- Kementerian
ATR
- Kementerian
Perhubunga
n
- Pemda DKI
Jakarta
- KemenkumH
AM
PK 17-b Siaran Pers: https://bappenas.go
.id/id/berita/sempur
nakan-naskah-
akademik-dan-
rancangan-undang-
undang-ibu-kota-
negara-
kementerian-
ppnbappenas-
gelar-konsultasi-
publik

18 PK 18-a Konsultasi Publik I Rancangan Peraturan Konsultasi


Pelaksana UU IKN, Undangan Bappenas dilaksanakan
Nomor 03283/HM.01.01/SES/B/03/2022 tanggal 22 - 23
tanggal 17 Maret 2022 hal Undangan Maret 2022 di
Konsultasi Publik Peraturan Pelaksanaan Balikpapan
UU IKN.
- Kemenkeu:
PK 18-b Notula rapat tanggal 22 Maret 2022 terkait isu
PK 18-c Notula rapat tanggal 23 Maret 2022 pendanaan
dan
penganggar
an di IKN
- BPN: terkait
isu tata
ruang di IKN
282

- PUPR: isu
urban design
maupun
rencana
infrastruktur
kota di IKN
- Kemendagri:
isu
kesewenang
-wenangan
khusus
otoritas ibu
kota
nusantara.
- Bappenas:
isu rincian
induk
sebagai
tindak lanjut
dari lampiran
dalam UU
IKN.

Peserta yang hadir:


- Kementerian
Sekretariat
Negara
- Kementerian
Hukum dan
HAM
- Kemendagri
- Kemenkeu
- ATR
- PUPR
- KLHK
- Bappenas
- KPK
- Pemda
Kaltim
- DPRD
(Kaltim,
Kutai
Kertanegara,
283

Penaja,
Paser Utara)
- Komando
Daerah
Militer
- Kepolisian
Daerah
- Paguyuban/
Lembaga
Adat dan
Forum
Agama/Orga
nisasi
Masyarakat
Kaltim
- Media (detik,
kompas,
media
indonesia,
tribunews,
mediakaltim.
com,
kaltimtoday.c
om
- akademik
(Univ
Mulawarman
, ITK, UNU,
UMKT)
- swasta (PT
ITCIKU, PT
IHM)
19 PK 19-a Konsultasi Publik II RancanganKonsultasi
Peraturan Pelaksanaan UU IKN,
dilaksanakan
Undangan Bappenas Nomortanggal 9 April 2022
04203/HM.01.01/SES/B/04/2022 tanggal via zoom
6 April 2022 hal Undangan Konsultasi
Publik II Peraturan Pelaksanaan UU IKN peserta yang hadir:
PK 19-b Notula Rapat tanggal 9 April 2022 - Paguyuban/
siaran pers “Pemerintah rampungkan Lembaga
konsultasi publik rancangan peraturan Adat dan
pelaksanaan UU IKN” tanggal 9 April Forum
2022 Agama/Orga
PK 19-c dokumentasi foto nisasi
284

Masyarakat
Kaltim (105
paguyuban
di
Kalimantan)
- Akademik
(Univ
Mulawarman
, ITK, UNU,
UMKT, STT
Migas
Balikpapan,
Politeknik
Balikpapan,
Univ Kutai
Kertanegara)
- Lembaga
Kerjasama
- Kementerian
Sekretariat
Negara
- KemenkumH
AM
- Kemendagri
- Kemenkeu
- ATR
- KLHK
- Bappenas
DOKUMEN PELAKSANAAN KAJIAN PEMBENTUKAN IKN
DALAM TAHUN 2017 s.d 2020
20 PK 20 Kajian Visi Indonesia 2033 Disusun pada masa
Menteri
PPN/Kepala
Bappenas adalah
Andrinof Chaniago
(Tahun 2014-2015),
bersama tim nya
pada tahun 2010-
2013.
21 PK 21-a Dokumen “Kajian Awal Pemindahan IKN” Tahun Pelaksanaan
(Bappenas) 2017
PK 21-b Berita Acara Serah Terima Nomor
109.102/BAST/PPHP/06.02.5/12/2017
tanggal 29 Desember 2017
285

22 PK 22-a Dokumen “Kajian Mendalam Sosial Tahun Pelaksanaan


Kependudukan dan Ekonomi Wilayah Ibu 2018
Kota Negara” (Bappenas)
PK 23-b Berita Acara Serah Terima Nomor
81.10/BAST/PPHP/06.02.5/12/2018
tanggal 31 Desember 2018
23 PK 23 Dokumen “Kajian Awal Aspek Sosial Tahun Pelaksanaan
Pemindahan Ibu Kota Negara ke 2019
Kalimantan Timur” (Bappenas)
SOSIALISASI RUU IKN dan NA RUU IKN
TAHUN 2021
24 PK 24-a Undangan Ketua Pokja Kelembagaan Sosialisasi
dan Regulasi, Tim Koordinasi Startegis dilaksanakan
Persiapan Rencana Pemindahan Ibu tanggal 17-18 Juni
Kota Negara Nomor 185/SA.04/06/2021 2021 di The Westin
tanggal 14 Juni 2021 hal Undangan Resort Ubud, Bali
Rapat Koordinasi Internal Pemerintah
terkait Sosialisasi RUU IKN, Naskah
Akademik, dan Peraturan Pelaksanaan Peserta sosialisasi:
RUU IKN 1. Dirjen Dukcapil
PK 24-b Daftar Hadir tanggal 17 Juni 2021 (Offline Kementerian
dan Online) Dalam Negeri
PK 24-c Daftar Hadir tanggal 18 Juni 2021 (Offline 2. Perwakilan
dan Online) Ditjen Otonomi
PK 24-d Notulen tanggal 17 Juni 2021 Daerah
PK 24-e Notulen tanggal 18 Juni 2021 Kemendagri
3. Sekretaris
Daerah Kukar
4. Perwakilan
Sekda DKI
5. Perwakilan
Sekda Prov.
Kalimantan
Timur
6. Perwakilan
Sekda Penajam
Paser Utara
7. Perwakilan
Kementerian
ATR
8. Perwakilan
Kementerian
Keuangan
286

DOKUMEN SURAT ADMINISTRASI PROSES PEMBENTUKAN UU IKN

25 PK 25-a Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RUU tentang Ibu


RI/IV/2020-2021 tentang Program Kota Negara
Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun termasuk dalam
2021 dan Program Legislasi Nasional Daftar Prolegnas
RUU Perubahan Tahun 2020-2024 (daftar No. 28
Lampiran)
PK 25-b Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RUU tentang Ibu
RI/II/2021-2022 tentang Program Kota Negara
Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun termasuk dalam
2022 dan Program Legislasi Nasional Daftar Prolegnas
RUU Perubahan Tahun 2020-2024 (daftar No. 33
Lampiran)
PK 25-c Tabel Perbandingan Substansi
Perubahan RUU IKN versi Surat Presiden
kepada DPR tanggal 21 September 2021
dan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara
26 PK 26 Batang Tubuh dan Lampiran II Perpres
Nomor 18 Tahun 2020
27 PK 27 Perpres Nomor 122 Tahun 2020 Bab Kaidah
(Pemutakhiran RKP Tahun 2021) Regulasi terkait IKN
28 PK 28 Perpres Nomor 155 Tahun 2021
(Pemutakhiran RKP Tahun 2022)
29 PK 29-a Risalah Rapat Panitia Khusus
Rancangan Undang-Undang tentang Ibu
Kota Negara
PK 29-b Undangan Staf Ahli Bidang Hubungan Rapat dilaksanakan
Kelembagaan Kementerian PPN/Ketua tanggal 16 Januari
Pokja Kelembagaan dan Regulasi Nomor 2022 di Ruang
005/SA.04/01/2022 tanggal 5 Januari Rapat Pansus B
2022 hal Undangan Rapat Tim Perumus Gedung Nusantara
Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara II DPR

Peserta:
- Kemendagri
- Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
287

- KLHK
- Kemenhan
- Kementerian
PPN/Bappen
as
PK 29-c Undangan Staf Ahli Bidang Hubungan Rapat dilaksanakan
Kelembagaan Kementerian PPN/Ketua tanggal 15 Januari
Pokja Kelembagaan dan Regulasi Nomor 2022 di hotel
040/SA.04/01/2022 tanggal 14 Januari Pullman, Jakpus
2022 hal Undangan Rapat Pembahasan
DIM Fraksi terkait RUU IKN Hasil Peserta:
Kesepakatan Panja per Tanggal 13 - Kemendagri
Januari 2022 - Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
- KLHK
- Kemenhan

PK 29-d Undangan Staf Ahli Bidang Hubungan Rapat dilaksanakan


Kelembagaan Kementerian PPN/Ketua tanggal 17 Januari
Pokja Kelembagaan dan Regulasi Nomor 2022 di Ruang
044/SA.04/01/2022 tanggal 16 Januari Rapat Pansus B
2022 hal Undangan Rapat Panitia Kerja Gedung Nusantara
Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara II DPR

Peserta:
- Kemendagri
- Kemenkumh
am
- Kemenkeu
- KemenATR/
BPN
- KemenPUP
R
- KLHK
- Kemenhan

30 PK 30 Hasil Pengundangan melalui Lembaran


Negara
288

Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga telah


mengajukan 1 (satu) orang ahli bernama Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., dan 1
(satu) orang saksi yang bernama Prof. Bambang Permadi Soemantri
Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D., yang menyampaikan keterangan secara lisan
maupun tertulis dalam persidangan tanggal 18 Mei 2022, pada pokoknya sebagai
berikut:

Ahli
Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.

Pertama: Batu Uji Proses/Prosedur Pembentukan Undang-Undang No. 3


Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

Perkara ini adalah mengenai Judicial Review (pengujian) secara formil atas
Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) terhadap Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945). Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji baik secara formil (uji formil)
maupun materiil (uji materiil) UU terhadap UUDNRI Tahun 1945. Apabila kita
membicarakan mengenai pengujian secara formil maka pengujian dilakukan
terhadap kerangka (bentuk luar – kenvorm) , format, proses, prosedur, tata cara atau
formalitas pembentukan UU, apakah proses pembentukannya sudah sesuai dengan
proses yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak. Batu uji utama untuk menyatakan apakah suatu UU cacat mengenai prosedur
atau tidak adalah UUD Negara RI Tahun1945.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (selanjutnya


disingkat PUU) dikenal adanya landasan konstitusional. Landasan konstitusional
PUU dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Landasan Formil Konstitusional

Landasan Formil Konstitusional PUU dimaksudkan untuk memberikan legitimasi


prosedural terhadap pembentukan PUU yang dicantumkan dalam dasar hukum
“mengingat” suatu PUU. Landasan formil konstitusional pada semua tahapan
pembentukan PUU dimaksudkan untuk memastikan bahwa pembentukan PUU
harus mendapatkan legitimasi (kewenangan formil) yaitu didasarkan pada atau
289

bersumber kepada UUD NRI 1945. Landasan Formil Konstitusional PUU menjadi
penting dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang
diberikan wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) PUU yang
secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD NRI 1945 pasca
amandemen. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung diberikan
kewenangan menguji PUU di bawah UU terhadap UU. Sedangkan dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 pasca amendemen, Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. Kewenangan konstitusional
semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan
faham/sistem “Supremasi Konstitusi” di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem
checks and balances dalam UUD 1945 pasca amendemen, dengan semangat
dan jiwa baru, kini suatu UU dapat diuji secara yudisial (judicial review) terhadap
UUD.

Pasca Amandemen Kedua UUD NRI (19 Oktober 1999) melahirkan Pasal
22A yang mendelegasikan pengaturan tentang tata cara pembentukan undang-
undang dengan undang-undang. Dengan demikian batu uji pengujian formil UU
No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara adalah Pasal 22A UUD 1945 dan UU
No. 12 Tahun 2011 yang dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi Pasal 22A
UUD 1945, sebagaimana halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
undang-undang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 yang dibentuk berdasarkan
kewenangan delegasi (antara lain) dari Pasal 24C UUD 1945.

Dengan demikian, dalam proses pembentukan UU apabila RUU datang dari


Presiden/Pemerintah, maka Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang dicantumkan dalam
dasar hukum “mengingat” UU dan Pasal 21 UUD 1945 tidak dicantumkan.
Sebaliknya apabila RUU datang dari DPR, maka Pasal 21 UUD 1945 yang
dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” UU, sedangkan Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 tidak dicantumkan.
Kewenangan pembentukan UU secara formal, yang mengharuskan lembaga
Negara atau pejabat yang berwenang menempuh prosedur (tahapan) yang
ditetapkan dalam PUU bertujuan untuk menjamin agar DPR bersama
Pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan
kekuasaannya dalam membentuk undang-undang (detournement de pouvoir).
Oleh karena itu, pengujian konstitusionalitas undang-undang dari segi formil
290

dengan penelusuran kembali pada tahapan yang ditempuh, yaitu perencanaan,


penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan mutlak diperlukan,
untuk menyimpulkan apakah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
secara formil konstitusional atau tidak.

2) Landasan Materiil Konstitusional


Landasan Materiil Konstitusional PUU dimaksudkan untuk memberikan sign
bahwa PUU yang dibentuk merupakan penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945
yang dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu PUU yang (akan)
dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional PUU ini kemudian diuraikan secara
ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma
dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam
Penjelasan suatu PUU kalau kurang jelas.

Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional PUU dalam konsiderans


“menimbang” dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat) disesuaikan
dengan keinginan pembentuk UU (DPR dan Presiden) sebagai kebijakan/politik
hukum (legal policy) namun harus tetap dalam pemahaman koridor
konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini melalui metode
penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk UU (DPR dan
Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal (-pasal) UUD 1945 yang
dijabarkan dalam suatu UU maka yang dimenangkan adalah penafsiran yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir akhir
konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution).

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional PUU kemudian diberikan


landasan UU yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karena UUD Negara RI Tahun 1945 tidak mengatur secara lengkap
mengenai proses/prosedur PUU, maka untuk menguji apakah proses
pembentukan UU sudah sesuai atau belum dengan prosedurnya tidak cukup
hanya mendasarkan pada UUD Negara RI Tahun 1945 saja, tetapi juga pada
semua PUU yang mengatur mengenai proses/prosedur/formalitas pembentukan
UU.
291

Di level UU, yang mengatur proses pembentukan UU adalah:


a. UU No, 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019; dan
b. UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2019.

Pada level di bawah UU proses pembentukan UU diatur dalam:


a. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR sebagaiamana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020.
b. Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.
12 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dengan demikian, apabila yang dibicarakan adalah mengenai


formalitas/prosedur/proses pembentukan UU, maka PUU di atas merupakan satu
paket yang dijadikan sebagai batu uji dalam proses pembentukan UU.

Kedua: Asas Pembentukan PUU

Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan menentukan bahwa Pembentukan PUU harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan PUU yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Izinkan saya menguraikan beberapa asas pembentukan PUU yang terkait
dengan pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Asas “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” (het juiste orgaan)
menentukan bahwa setiap jenis PUU harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk PUU yang berwenang. Asas ini mencerminkan pembentukan
undangh-undang harus oleh pejabat berdasarkan pembagian kewenangan yang
jelas (bevoegdheidsverdeling), yaitu menteri sebagai pembantu Presiden dengan
portofolio. Asas ini merupakan bagian dari kaidah hukum tidak tertulis yang telah
292

menjadi konvensi ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik PUU.
PUU tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
Negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Asas “dapat dilaksanakan" (uitvoerbaarheid) menentukan bahwa setiap
pembentukan PUU harus memperhitungkan efektivitas PUU tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara asas
"kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap PUU dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas keterbukaan mengandung makna
bahwa proses pembentukan PUU dilakukan secara terbuka dan melibatkan
berbagai stake holder/pemangku kepentingan dan memberikan kesempatan kepada
publik untuk memberikan masukan. Penerapan asas ini penting untuk mengukur
sejauh mana kesiapan aparatur pemerintah dan masyarakat untuk menjalankan
undang-undang, sehingga dapat diperhitungkan besarnya potensi undang-undang
dapat dijalankan dan ditegakkan, terutama aksesibiitas masyarakat dalam
merespons perubahan-perubahan norma hukum yang signifikan dibanding dengan
norma hukum yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya.
Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan bahwa masyarakat berhak memberikan
masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Kemudian, Pasal 96 ayat (3) menentukan bahwa untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis, setiap Rancangan PUU harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat. Apabila ketentuan dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tidak
dilaksanakan, maka secara formal terdapat cacat dalam proses penyusunannya.
Memang pada Pasal 96 pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan belum lengkap dan belum jelas.
Sementara itu Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan judicial review
secara formil mengenai UU Cipta Kerja Namun, pengaturan tentang partisipasi
masyarakat belum diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, sehingga belum ada
kejelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai meaningfull public participation.
Dalam praktek terkait meaningfull public participation belum ada kejelasan siapa
yang dilibatkan, berapa stakeholder yang dilibatkan, berapa lama meaningfull
participation harus dilakukan. Berdasarkan pencermatan ahli, proses pembentukan
293

UU Nomor 3 Tahun 2022 sudah banyak melibatkan stakeholders, sebagaimana


rdisebutkan sebagai berikut:

Tanggal
No Agenda Ditayangkan
Live Streaming

1. Rapat Pansus RUU IKN DPR RI 9 Desember 2021


Agenda: RDPU dengan 5 Pakar

2. Rapat Pansus RUU IKN DPR RI Agenda: 10 Desember 2021


RDPU dengan 5 Pakar

3. Rapat Pansus RUU IKN DPR Agenda: Rapat 13 Januari 2022


Kerja dengan Pemerintah dan DPD

4. Rapat Pansus RUU IKN DPR Agenda: Rapat 17-18 Januari 2022
Kerja dengan Pemerintah dan DPD

5 Rapat Paripurna DPR RI Ke - 13 Masa 18 Januari 2022


Persidangan III Tahun Sidang 2021 - 2022

Adapun untuk konsultasi publik RUU IKN yang diselenggarakan yakni:

No Agenda Tanggal Tautan

1. Konsultasi Publik RUU IKN 17 Desember Channel Youtube


diselenggarakan Bersama 2021 IKN Indonesia
Universitas Sam Ratulangi di https://www.youtub
Manado e.com/watch?v=jlG
G_6txpLY

2. Konsultasi Publik RUU IKN di 21 Desember Channel Youtube


Fakultas Hukum Universitas 2021 IKN Indonesia
Indonesia https://www.youtub
e.com/watch?v=D
O9vmSHRiUg

Berita:
https://law.ui.ac.id/
v3/konsultasi-
publik-rancangan-
undang-undang-
tentang-ibu-kota-
negara-di-fhui/
294

No Agenda Tanggal Tautan

https://www.antara
news.com/berita/2
599417/bappenas-
gelar-konsultasi-
publik-ruu-ikn-di-ui

3. Konsultasi Publik RUU IKN di UPN 28 Desember Channel Youtube


Veteran Jakarta 2021 IKN Indonesia
https://www.youtub
e.com/watch?v=zw
dfTs6IUH4

Berita:
https://www.upnvj.
ac.id/id/berita/2022
/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-
bahas-ruu-ibu-
kota-negara.html

4. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 11 Januari Channel Youtube


DPR RI dalam Rangka 2022 IKN Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtub
tentang Ibu Kota Negara di e.com/watch?v=CJ
Universitas Mulawarman, ll5LdCGV8
Samarinda

5. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari Channel Youtube


DPR RI dalam Rangka 2022 IKN Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtub
tentang Ibu Kota Negara di e.com/watch?v=1p
Universitas Hasanuddin, Makassar 52NrPfLfI

6. Konsultasi Publik Pansus RUU IKN 12 Januari Channel Youtube


DPR RI dalam Rangka 2022 IKN Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtub
tentang Ibu Kota Negara di e.com/watch?v=1p
Universitas Sumatera Utara, 52NrPfLfI
Medan
295

Dari keterangan yang disampaikan dari Pemerintah sebagaimana disebutkan


di atas, menunjukkan bahwa semua agenda pembahasan dapat diakses oleh publik
dan melalui proses partisipasi masyarakat dalam tahapan penyusunan dan
pembahasan dari RUU IKN dan diperkuat dengan alat bukti yang disampaikan oleh
Pemerintah.

Ketiga: Tahapan Pembentukan Undang-Undang

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Pembentukan PUU adalah
pembuatan PUU yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Tahapan-tahapan
ini harus diikuti secara berurut dan tidak bolak balik. Apabila salah satu atau bagian
dari salah satu tahapan tersebut tidak diikuti maka dapat mengakibatkan cacadnya
prosdur pembentukan suatu UU dan dapat menjadi alasan untuk dilakukannya
pengujian (judicial review) UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Pada tahap perencanaan, ahli akan menyoroti secara khusus proses


penyelarasan Naskah Akademik (selanjutnya disingkat NA). Berdasarkan ketentuan
Pasal 19 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa materi yang diatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan
penyelarasan dituangkan dalam NA. Penyelarasan NA terhadap RUU usulan
Pemerintah (Presiden) saat ini dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Kementrerian Hukum dan HAM. Prosedur penyelarasan NA dalam tahap
perencanaan UU merupakan salah satu langkah penting sebagai upaya quality
control terhadap gagasan konseptual norma hukum dari berbagai sudut pandangan
dan kebijakan yang berbeda yang harus diharmonisasikan karena akan dituangkan
dalam rancangan UU. Oleh karena itu penyelarasan NA merupakan salah satu
prasyarat untuk masuknya RUU ke dalam daftar prioritas Program Legislasi
Nasional (selanjutnya disingkat Prolegnas), selain proses harmonisasi PUU yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Pasal 19
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Penyelarasan NA dilakukan terhadap substansi NA (kesesuaian materi yang


digariskan dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011, keterkaitan antarbab, dan
ketepatan materi pada tiap bab) dan keselarasan substansi NA dengan draf
296

Rancangan Undang-Undang (RUU)-nya. Oleh karena itu, permintaan penyelarasan


NA ke BPHN biasanya disertai (dilampirkan) draf RUU hasil panitia
antarkementerian (PAK). Apabila ada ketidakselarasan antara materi dalam RUU
dan NA maka akan dilakukan penyelarasan. Dari pencermatan ahli, proses
penyelarasan NA sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang dibuktikan dengan
surat Surat Keterangan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik RUU tentang Ibu
Kota Negara dari Kepala BPHN dengan surat Nomor: PHN-HN.02.04-16 pada
tanggal 3 Juni 2021.

Tahapan berikutnya adalah penyusunan PUU. Pada tahap penyusunan PUU


ini ahli hanya menyoroti satu aspek saja, yaitu proses pengharmonisasian
rancangan PUU. Dasar hukum pengharmonisasian diatur dalam Pasal 47 ayat (3)
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menentukan: Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum (dalam hal ini Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM). Hal ini dibuktikan dengan
surat Hasil Harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara dari
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM
dengan Surat Nomor: PPE.PP.01.03-1046 pertanggal 4 Juni 2021. Oleh karena itu
dari aspek penyelarasan NA RUU IKN dan harmonisasi RUU IKN maka secara
formil telah dipenuhi.

Idealnya pengharmonisasian rancangan PUU dilakukan sejak tahap


perencanaan, penyusunan dan pembahasan. Apabila RUU merupakan usulan
pemerintah (Presiden) maka pengharmonisasian sudah dilakukan pada tahap
perencanaan oleh kementerian/lembaga pemrakarsa, penyusunan RUU di internal
kementerian/lembaga pemrakarsa, pengharmonisasian pada tahap penyusunan
antarkementerian/lembaga, dan pada tahap akhir pengharmonisasian oleh
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan
HAM.

Proses pengharmonisasian rancangan PUU merupakan pekerjaan yang tidak


mudah karena harus mengakomodasikan masukan dari stake holder/pemangku
kepentingan. Bahkan sering juga terjadi dalam proses pengharmonisasian tidak
tercapai kesepakatan sehingga prosesnya dinaikan ke tingkat menteri atau malah
297

ke Presiden. Apabila masukan dari stake holder/pemangku kepentingan tidak


diakomodasi maka sangat mungkin tejadi penolakan bahkan dapat berujung ke
pengujian (judicial review) UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Sebetulnya, proses
pengharmonisasian yang dilakukan dengan baik akan mencegah terjadinya
pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan proses Pengharmonisasian, pembulatan dilengkapi UU


Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, Ahli mencermati telah dilaukan
dengan baik oleh Pemerintah berdasarkan bukti yang telah disebutkan di atas
mengenai Hasil Harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara
dari Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan
HAM dengan Surat Nomor: PPE.PP.01.03-1046 pertanggal 4 Juni 2021 diketahui
bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah melaksanakan rapat harmonisasi
Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara dengan mengikutsertakan:

1. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas;


2. Kementerian Sekretariat Negara;
3. Kementerian Keuangan;
4. Kementerian Dalam Negeri;
5. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi;
6. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
7. Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat; dan
8. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Oleh karena itu aspek pengharmonisasian telah dapat dinyatakan telah


sesuai dengan bukti surat di atas dan juga dengan adanya pelibatan K/L terkait
dalam prosesnya.

Oleh karena itu, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menurut
saya telah melalui proses sesuai tahapam yang ditetapkan baik berdasarkan UU No.
12 Tahun 2011 maupun Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib DPR,
Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang serta
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12
Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
298

Keempat, Fast Track Legislation


Pada beberapa fast track legislation memang sudah diterapkan. Untuk Indonesia,
UU Nomor 12 tahun 2011 tidak secara tegas membedakan antara prosedur normal
regulation dan fast track regulation. Pengaturan tentang fast track regulation yang
ada di Indonesia menurut ahli baru diterapkan untuk jenis peraturan perundang-
undangan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Namun
proses pembentukan Perppu harus dikaitkan dengan hal ikhawal kegentingan yang
memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUNRI 1945. Dalam
proses fast track regulation tidak dikaitkan dengan persyaratan kegentingan yang
memaksa, namun proses normal yang dikaitkan dengan waktu. Mengenai berapa
lama waktu yang diperlukan untuk proses pembentukan undang-undang, tergantung
pada urgensinya. Mengenai urgensi, ahli berpendapat bahwa pembentukan UU
Nomor 3 tahun 2022 sangat urgent, karena Presiden Jokowi telah mengajukan
permohonan izin kepada DPR pada saat penyampaian penyampaian Pidato
Kenegaraan pada awal periode kedua pemerintahan Jokowi. Ahli berpendapat
bahwa prosedur fast track legislation sebaiknya menjadi salah satu muatan dalam
revisi UU Nomor 12 Tahun 2011.

Saksi
Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, S.E., M.U.P., Ph.D.

● Ide pemindahan IKN bukanlah suatu hal baru, hampir setiap presiden yang
memiliki masa jabatan dua periode menginisiasi ide tersebut. Misalkan, Presiden
Soekarno yang memiliki keinginan untuk memindahkan IKN ke Palangkaraya dan
Presiden Soeharto yang memiliki keinginan untuk memindahkan IKN yang saat
itu lokasinya diusulkan di sekitar Jonggol. Dalam masa kepemimpinan Presiden
Joko Widodo, pemindahan IKN diarahkan ke luar Jawa sebagai upaya konkret
dalam mengurangi ketimpangan antar Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan
Barat Indonesia.
● Secara garis besar terdapat tiga pertimbangan utama pemindahan IKN;
1. Pemindahan IKN menjadi praktik yang lumrah di negara maju emerging
country, dan negara low-income country dengan waktu dan pertimbangan
pemindahan IKN dari sisi politis ekonomi, dan pertahanan. Misalkan,
Kazakhstan pemindahan IKN dilakukan untuk lebih mendekatkan Ibu Kota
dengan Rusia yang hingga saat ini menjadi sekutu penting bagi mereka. Di
Brazil, pemindahan ke wilayah Brasillia dilakukan sebagai bentuk politik
299

keberpihakan ke masyarakat untuk pemerataan pembangunan di wilayah


bagian tengah negara; Di sisi lain, pemindahan Ibu Kota di Nigeria didasarkan
pertimbangan keseimbangan dua kelompok besar (Islam dan Kristen) yang
mendominasi wilayah tersebut. Sedangkan konteks di Indonesia berdasarkan
upaya dalam mengatasi ketimpangan antar wilayah yang terjadi.
2. Pemindahan IKN dilakukan untuk mengurangi beban Jakarta yang menjadi
pusat segala aktivitas di Indonesia dengan kontribusi tertinggi terhadap PDB
serta memiliki populasi terpadat mencapai 35 juta jiwa. Hal tersebut
menimbulkan masalah seperti kesenjangan ekonomi dan kemacetan, rawan
banjir, dan risiko keterbatasan sumber daya air.
3. Pemindahan IKN menjadi langkah konkret untuk membangun model
pembangunan perkotaan yang ideal untuk mewujudkan livable city. Secara
paralel, upaya ini menjadi bagian penting dalam kebijakan perkotaan nasional
yang lebih komprehensif.
● Secara kronologis akan saya jelaskan prosesnya sebagai berikut.
● Presiden Joko Widodo mengemukakan ide dasar diperlukannya pemindahan
IKN muncul sejak tahun 2014-2015, di mana ide tersebut sebagai bentuk
perwujudan Nawacita terutama dalam upaya pemerataan pembangunan. Hal
tersebut dituangkan dalam Visi Indonesia 2033 sebagai salah satu gagasan
strategis atau upaya untuk mengurangi beban Jakarta yang sudah overload dan
bagian dari strategi mengatasi ketimpangan antar wilayah. Kajian disusun oleh
Andrinof Chaniago yang merupakan Menteri Perencanaan dan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2014-
2015.
● Berdasarkan arahan Presiden pada tahun 2017-2019 dibuat berbagai kajian. Di
tahun 2017, Pemerintah menghasilkan kajian yang berjudul “Kajian Konsep
Pemindahan Ibu Kota Jakarta” yang memuat substansi mengenai analisis
kelayakan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan urgensi pemindahan Ibu Kota
Negara. Secara garis besar kajian memuat visi besar pemindahan IKN,
penentuan beberapa opsi wilayah calon IKN, dan analisis dampak pemindahan
Ibu Kota Negara dalam aspek ekonomi di level nasional, provinsi, dan
dampaknya bagi daerah sekitar.
● Di dalam kajian tersebut disebutkan beberapa alternatif solusi pemindahan Ibu
Kota dalam rangka meningkatkan pelayanan fungsi pemerintahan yang efektif
300

dan efisien dan dapat meningkatkan daya saing terhadap fungsi pemerintahan
dari negara-negara lain. Tiga alternatif pemilihan lokasi pemindahan Ibu Kota,
sebagai berikut: Pertama, Ibukota tidak dipindah tetapi dibuat government
district. Kedua, pemindahan IKN di wilayah lain di Pulau Jawa. Ketiga, usulan
pindah ke luar Jawa untuk mengurangi ketimpangan antara Kawasan Timur
Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Alternatif yang disetujui Presiden
adalah pemindahan ibukota ke luar pulau Jawa. Dari alternatif ketiga yang dipilih
tersebut disusun penilaian awal terhadap lokasi di wilayah Pulau Kalimantan dan
Sulawesi. Dari dua wilayah tersebut, wilayah Kalimantan dinilai lebih memenuhi
kriteria, sedangkan Sulawesi tidak memenuhi kriteria dari aspek risiko bencana
dan ketersediaan lahan.
● Terdapat tiga wilayah di Kalimantan yang memenuhi kriteria penting Ibu Kota
yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur terutama
dari ketersediaan lahan, risiko rawan bencana, dan dukungan daerah sekitar
dalam proses pembangunan IKN. Pemindahan ibukota tidak hanya difokuskan
untuk pembangunan ibu kota, tetapi juga pembangunan wilayah metropolitan
baru di Indonesia yang berkualitas.
● Di tahun 2018, Pemerintah menyusun “Kajian Mendalam Sosial Kependudukan
dan Ekonomi Wilayah Ibu Kota Negara” (Bappenas) dan “Kajian Kesesuaian
Lahan dan Alternatif Lokasi” (Kementerian ATR BPN) yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran kondisi kependudukan, sosial-budaya, dan ekonomi
eksisting di tiga opsi lokasi di Kalimantan secara utuh. Selain itu juga didukung
oleh kajian dari Badan Geologi. Kedua kajian ini merekomendasikan untuk
memperkuat pemilihan wilayah di Kalimantan Timur.
● Selanjutnya di tahun 2019, Bappenas menyusun “Kajian Penentuan Lokasi
Pemindahan Ibu Kota Negara (Studi Konsolidasi 2017-2019)” yang
mengonsolidasikan berbagai kajian yang telah dilakukan sejak tahun 2017
dengan memperdalam temuan-temuan yang diperoleh dari kajian-kajian
tersebut terdahulu. Dari penilaian ketiga lokasi di tiga wilayah Kalimantan Timu,
Kaliamntan Tengah dan Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa lokasi yang
memenuhi kriteria adalah Kalimantan Timur yaitu di sebagian wilayah
Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Justifikasi
dari wilayah yang dipilih adalah:
1) Kepemilikan lahan yang luas;
301

2) Lokasinya strategis untuk dibangun sebagai wilayah perkotaan (metropolitan)


di sekitar tersebut terdapat dua Kota Balikpapan dan Samarinda,
pembangunan IKN akan semakin menguatkan pembangunan WM di
Indonesia dengan kualitas yang bagus dan menjadi bentuk ideal.
3) Lokasi yang berada di tengah Indonesia akan memberikan dampak secara
nasional, regional, dan terutama di kawasan luar Pulau Jawa
● Kemudian, kajian dilengkapi dengan “Studi Kelayakan Teknis Calon
Pemindahan Ibu Kota Negara (Pra Master Plan Ibu Kota Negara)” yang memuat
kelayakan teknis yang lebih mendalam di sebagian wilayah Kabupaten Penajam
Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut.
● Secara bersamaan Bappenas mengadakan berbagai focus group discussion,
forum, seminar, dan konferensi pers untuk menjaring aspirasi publik terhadap
rencana pemindahan IKN. Adapun contoh dialog, seminar, dan forum yang
dilaksanakan.
a. Dialog Nasional yang diadakan sebanyak delapan kali dengan pembahasan
berbagai bidang yaitu ekonomi, keamanan, urban design, investasi dan strategi
pembiayaan, lingkungan, dan sosial budaya. Dialog dilakukan dengan
mengundang para pihak dari kementerian lain dan para ahli di masing-masing
pembahasan bidang untuk semakin menguatkan substansi dalam multi aspek
di dokumen perencanaan.
b. Seminar Nasional "Kebudayaan Dayak dan Kontribusinya terhadap
Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan Timur" - 17 Oktober 2019. Seminar
ini melibatkan langsung Masyarakat Adat Dayak untuk memberikan pandangan
terhadap pemindahan IKN ke Kalimantan Timur. Hal ini menjadi inisiasi awal
untuk mengajak masyarakat berpartisipasi sejak awal dalam proses
pemindahan IKN.
c. Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Pindah Ibu Kota Negara: Belajar
dari Pengalaman Negara Sahabat” - 10 Juli 2019. Forum ini menjadi ajang
sharing knowledge dari negara sahabat yang pernah memindahkan IKN
contohnya Brazil yang memiliki best practices dalam proses pemindahan IKN
sehingga penyiapan dan perencanaan yang dilakukan dapat lebih
komprehensif.
302

d. Pemerintah juga melakukan rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan


Diskusi Terbatas Lingkup Akademisi terkait Kajian Konsep Pemindahan IKN
yang sebagai berikut:
- Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung terkait Kajian Konsep
Pemindahan IKN (25 Agustus 2017)
- FGD Kajian Konsep Pemindahan IKN dengan Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada (30 Agustus 2017).
- FGD Terbatas Lingkup Akademisi dengan Universitas Gadjah Mada (18
Desember 2017).
- FGD Terbatas Lingkup Akademisi dengan Institut Teknologi Surabaya (19
Desember 2017).
- Diskusi Terbatas Lingkup Akademisi Universitas Indonesia (9 Februari 2018).
- Rangkaian Dialog Nasional dengan berbagai pemangku kepentingan sesuai
dengan tema/isu yang diangkat:
1) Dialog Nasional I “Pemindahan Ibu Kota Negara” (16 Mei 2019)
2) Dialog Nasional II “Dampak Ekonomi, Lingkungan Hidup, dan Pertahanan
Keamanan” (26 Juni 2019)
3) Dialog Nasional III “Konsep Master Plan dan Urban Design” (1 Agustus
2019)
4) Dialog Nasional IV “Investasi dan Strategi Pembiayaan Pemindahan Ibu
Kota Negara” (16 September 2019)
5) Dialog Nasional V “Rancang Bangun dan Kesiapan Kalimantan Timur
sebagai Ibu Kota Negara” (2 Oktober 2019)
- Rangkaian Dialog Nasional Pemindahan IKN: Kalimantan untuk Indonesia
yang mengundang Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Timur serta akademisi dari universitas di Kalimantan
1) Dialog Nasional Pemindahan IKN: Kalimantan untuk Indonesia
(Banjarmasin, 15 Juli 2019).
2) Dialog Nasional Pemindahan IKN: Kalimantan untuk Indonesia
(Palangkaraya, 19 Juli 2019).
3) Dialog Nasional Pemindahan IKN: Kalimantan untuk Indonesia
(Balikpapan, 21 Juli 2019).
303

e. Salah satu contoh konferensi pers yang dilakukan oleh Bappenas adalah
Konferensi Pers Pembahasan Rencana Pemindahan Ibukota Negara (30 April
2019).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat saya simpulkan sebagai Saksi bahwa dalam
perumusan kajian sudah sesuai dengan proses perencanaan yang baik, pelibatan
masyarakat juga sudah tergambar dalam prosesnya. Perumusan kajian teknokratik
dilakukan secara berkesinambungan dan komprehensif. Keluaran yang dihasilkan
adalah kajian-kajian menjadi rujukan utama dalam proses penyusunan dan
pengundangan Naskah Akademis dan RUU IKN.

[2.7] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden menyampaikan


kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 25 Mei 2022 yang diterima
Mahkamah masing-masing pada 25 Mei 2022 dan pada 27 Mei 2022, yang pada
pokoknya masing-masing tetap pada pendirian semula;

[2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan
dan risalah persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), Mahkamah berwenang,
antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
304

final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal tersebut tidak
menjelaskan apakah kewenangan Mahkamah untuk mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk melakukan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 tersebut hanya pada salah satu macam pengujian saja
yaitu pengujian materiil atau formil ataukah kedua jenis pengujian baik pengujian
formil maupun materiil. UU MK dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Selanjutnya, Pasal 51 ayat (3) menyatakan dalam permohonan Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa: (a) pembentukan Undang-Undang tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan UUD
1945. Dengan demikian, menurut ketentuan pasal tersebut Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil.

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah


pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, selanjutnya
disebut UU 3/2022) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo.

[3.3] Menimbang bahwa karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan


pengujian formil maka terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan
keterpenuhan tenggang waktu pengujian formil.

Tenggang Waktu Pengajuan Pengujian Formil

[3.4] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan


permohonan pengujian formil, Mahkamah melalui beberapa putusannya telah
menyatakan pendiriannya yang terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 63/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
pada 7 Juli 2022, yang pada pokoknya menegaskan berkenaan dengan tenggang
waktu pengajuan permohonan pengujian formil maka makna “sejak” lebih bersifat
pasti dan konkret dibanding makna “setelah”. Oleh karena itu, demi kepastian
305

hukum, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-


undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari
dihitung sejak undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

[3.5] Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum di atas, para


Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah
Konstitusi pada 2 Februari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan
Pemohon Nomor 15/PUU/PAN.MK/ AP3/02/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 23 Februari 2022 dengan Nomor
25/PUU-XX/2022. Selanjutnya, pasca sidang pemeriksaan pendahuluan, para
Pemohon telah pula mengajukan perbaikan permohonan bertanggal 28 Maret 2022
yang diterima Mahkamah pada tanggal yang sama yakni 28 Maret 2022. Sementara
itu, UU 3/2022 diundangkan pada 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian tenggat waktu pengajuan
permohonan formil UU 3/2033 adalah pada 31 Maret 2022;

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh


karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022
terhadap UUD 1945 diajukan masih dalam tenggang waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan pengujian formil
UU 3/2022 tersebut diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan.

[3.7] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu penyelesaian


pengujian formil, Mahkamah telah pula memberikan pertimbangan secara khusus
sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019
yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021, yang
pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
[3.16] … Masih dalam konteks kepastian hukum itu pula, Mahkamah
memandang penting untuk menyatakan atau menegaskan bahwa
pembatasan waktu serupa pun diperlukan Mahkamah dalam memutus
permohonan pengujian formil sebuah undang-undang. Dalam hal ini,
Mahkamah perlu menegaskan bahwa waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
(BRPK) dirasa cukup untuk menyelesaikan pengujian formil sebuah
undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, batas waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi
306

Perkara Konstitusi (BRPK) dimaksud belum akan memberikan implikasi


besar dalam pelaksanaan undang-undang terutama dalam penyiapan
peraturan perundang-undangan yang diperintahkan dan dibutuhkan dalam
pelaksanaan undang-undang, termasuk juga tindakan hukum lain yang
dilakukan sebagai akibat dari pengundangan sebuah undang-undang.
Bahkan, untuk tujuan kepastian dimaksud, termasuk pertimbangan kondisi
tertentu, Mahkamah dapat menjatuhkan putusan sela sebagai bentuk
tindakan prioritas dan dapat memisahkan (split) proses pemeriksaan antara
pengujian formil dan pengujian materiil bilamana pemohon menggabungkan
kedua pengujian tersebut dalam 1 (satu) permohonan termasuk dalam hal
ini apabila Mahkamah memandang perlu menunda pemberlakuan suatu
undang-undang yang dimohonkan pengujian formil.

Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020


yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 November 2021,
terkait dengan tenggat waktu penyelesaian perkara, Mahkamah telah memberikan
pertimbangan hukum secara khusus yang pada pokoknya menyatakan sebagai
berikut:

“ … perkara a quo sedang dalam masa pemeriksaan persidangan ketika


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 diucapkan. Oleh
karena itu, terhadap perkara a quo, Mahkamah sesungguhnya belum
terikat dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak perkara a quo
dicatat dalam BRPK. Terlebih lagi, ketika permohonan a quo diajukan,
Mahkamah dihadapkan pada agenda nasional yaitu penyelesaian perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang diterima
Mahkamah sejak bulan Desember 2020 dan memiliki tenggang waktu
penyelesaian 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan, sehingga saat itu Mahkamah menghentikan secara
sementara seluruh pemeriksaan perkara, termasuk perkara para Pemohon
a quo [vide Pasal 82 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021
tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
selanjutnya disebut PMK 2/2021]. Selain itu, bersamaan dengan proses
pemeriksaan terhadap perkara a quo, sebagian besar negara-negara di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia sedang menghadapi ancaman
pandemi Covid-19 yang telah dinyatakan oleh Presiden sebagai bencana
nasional-nonalam [vide Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional]. Selanjutnya,
untuk mencegah penyebaran virus yang relatif cepat dengan tingkat
fatalitas yang tinggi pemerintah telah menetapkan Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak bulan Januari 2021. Oleh
karena, pencegahan penyebaran virus penting untuk dilakukan oleh
semua pihak, termasuk Mahkamah Konstitusi, maka persidangan di
Mahkamah saat itu dihentikan untuk beberapa waktu, termasuk
persidangan untuk perkara a quo. Namun, tanpa mengurangi semangat
mempercepat penyelesaian pengujian formil sebagaimana dimaksud
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019,
Mahkamah dalam melakukan pemeriksaan perkara pengujian formil UU
307

11/2020 telah melakukan pemeriksaan secara terpisah (splitsing) dengan


permohonan pengujian materiil terhadap UU 11/2020”.

[3.8] Menimbang bahwa berkenaan dengan kedua pertimbangan tersebut di


atas, dalam perkara a quo Mahkamah juga perlu kembali menegaskan adanya
perbedaan karakteristik antara pengujian materiil dan formil. Dalam pengujian formil
selain terdapat urgensi untuk membatasi waktu pemeriksaan persidangan demi
kepastian hukum atas keberlakuan undang-undang, terdapat pula urgensi bagi
Mahkamah untuk memutus setelah mendapatkan penjelasan atau keterangan dari
pihak pembentuk undang-undang agar persoalan mengenai keterpenuhan syarat
pembentukan undang-undang dapat terjawab dengan terang dan jelas dengan
didasarkan pada dokumen yang sah berkaitan dengan proses pembentukan
undang-undang tersebut. Dengan demikian, bilamana Mahkamah memandang
permohonan pengujian formil terhadap undang-undang telah memenuhi syarat
kewenangan Mahkamah, tenggang waktu, kedudukan hukum, dan kejelasan pokok
permohonan, maka penting bagi Mahkamah untuk mendengarkan keterangan
Presiden dan DPR berkenaan dengan seluruh proses pembentukan undang-undang
a quo.

[3.9] Menimbang bahwa berkenaan dengan pemberian keterangan tersebut


terdapat fakta, Presiden dan DPR memerlukan waktu yang cukup untuk dapat
memberikan keterangan yang komprehensif guna menjawab segala hal yang terkait
dengan proses pembentukan undang-undang yang tengah diuji oleh Mahkamah.
Oleh karena itu, Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu
yang cukup atau tenggat waktu penyelesaian pengujian formil suatu Undang-
Undang dengan mempertimbangkan adanya urgensi atau kebutuhan untuk
mendapatkan keterangan dan penjelasan dari pihak pembentuk undang-undang
sebelum memutus perkara a quo. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan
hukum tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tenggat waktu 60 (enam puluh) hari
kerja adalah sejak Presiden dan/atau DPR menyampaikan keterangan dalam sidang
pleno pemeriksaaan persidangan sebagai waktu dimulainya penghitungan waktu 60
(enam puluh) hari kerja pemeriksaan perkara pengujian formil sebuah undang-
undang dimaksud. Namun demikian, dalam kasus tertentu, jika Presiden dan DPR
dalam 2 (dua) kali persidangan pleno dengan agenda mendengarkan keterangan
Presiden dan/atau DPR tidak kunjung menyampaikan keterangannya di
308

persidangan, Mahkamah dapat memutuskan menggunakan batas waktu lain untuk


menentukan tenggang waktu penyelesaian perkara pengujian formil.

Kedudukan Hukum Pemohon

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
pada 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 yang
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 September 2007, serta
putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
309

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap


dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

[3.12] Menimbang bahwa perihal pengujian formil undang-undang, berdasarkan


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum pada 16 Juni 2010, berkaitan dengan kedudukan
hukum, Mahkamah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:

“… bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat


secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak serta
tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian materil di
pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam pengujian formil
Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan
yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan. Adapun syarat
adanya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil tidaklah
sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil
sebagaimana telah diterapkan oleh Mahkamah sampai saat ini, karena akan
menyebabkan sama sekali tertutup kumungkinannya bagi anggota
masyarakat atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
untuk mengajukan pengujian secara formil. Dalam kasus konkrit yang
diajukan oleh para Pemohon perlu dinilai apakah ada hubungan pertautan
yang langsung antara para Pemohon dengan Undang-Undang yang diajukan
pengujian formil.”

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU


MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10], Paragraf [3.11], dan Paragraf [3.12]
di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para
Pemohon pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon I mengkualifikasikan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia


(WNI) yang berprofesi sebagai Dosen Mata Kuliah Manajemen Strategi di STIE
MURA Lubuklinggau [vide Bukti P-29] dan mantan penasehat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) [vide bukti P-30] yang beranggapan memiliki
310

pertautan kerugian hak konstitusional terhadap proses pembentukan UU 3/2022


yang dilakukan secara cepat tanpa memperhatikan persoalan perpindahan Ibu
Kota Negara (IKN) merupakan persoalan multidimensi di mana hal-hal yang
bersifat strategis belum diatur dalam UU 3/2022. Selain itu, menurut Pemohon I
dalam proses pembentukan UU 3/2022 juga telah mengenyampingkan asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 UU 12/2011 sehingga mengakibatkan Pemohon I mengalami
kebingungan untuk menjelaskan secara akademis pertanyaan mahasiswa
terkait dengan penerapan manajemen strategi dalam UU 3/2022, karena tidak
jelasnya pengaturan sumber alokasi anggaran pembangunan IKN yang
berpotensi adanya korupsi. Proses pembentukan UU 3/2022 juga
mengenyampingkan asas kejelasan rumusan di mana persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan diabaikan, karena banyaknya
peraturan pendelegasian, misalnya mengenai peraturan pendanaan,
penggunaan anggaran, pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Hal
tersebut menurut Pemohon I tentunya semakin membuka potensi
kesewenangan dalam pengganggaran, penggunaan anggaran dan
pertanggungjawaban anggaran. Terlebih lagi dalam sistem pemerintahan di IKN
Nusantara peran DPRD pada tingkat Provinsi dihilangkan/ditiadakan. Selain itu,
pembentukan UU 3/2022 minim dengan partisipasi publik, tidak hanya kepada
masyarakat yang terdampak, namun terhadap masyarakat yang concern
terhadap pencegahan korupsi sebagaimana yang Pemohon I lakukan selama
ini, menjadi tidak mendapatkan kesempatan untuk memberikan masukan. Hal
tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon I sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28F UUD 1945 di mana setiap
orang berhak untuk memperoleh informasi, mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.
2. Bahwa Pemohon II, dalam permohonannya mengkualifikasikan dirinya sebagai
WNI pembayar pajak (taxpayer) [vide bukti P-33] yang juga mantan anggota
DPD [vide bukti P-31) dan Pengurus Yayasan Pengkajian Sumber Daya
Indonesia [vide bukti P-32] yang sangat memahami teknis pembuatan UU.
menurut Pemohon II durasi waktu pembahasan UU IKN yang hanya 42 hari
adalah sesuatu yang tidak memungkinkan karena pembahasan UU harus
dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan partisipasi publik dan tidak
311

bersifat formalitas. Selain itu, Pemohon II juga banyak menerima pertanyaan


dari Warga DKI Jakarta tentang nasib masa depan Jakarta pasca ibu kota
dipindahkan. Pemohon II sebagai pembayar pajak mengungkapkan tidak
mendapatkan kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam
pembahasan UU IKN, padahal pajak yang dibayarkan diinginkan agar
dimanfaatkan secara benar, sementara ada potensi penggunaan anggaran
yang cukup besar dalam pembangunan IKN yang diambil dari APBN yang
berpotensi anggaran terhenti dan berdampak pada kerugian negara.
3. Bahwa Pemohon III dalam permohonan a quo mengkualifikasikan dirinya
sebagai WNI yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
MUI periode 2020-2025 [vide bukti P-34] beranggapan minimnya partisipasi
publik dalam pembahasan UU IKN dan tidak transparan dalam
mempublikasikan risalah-risalan sidang selama proses pembentukan UU
3/2022 menyebabkan Pemohon III tidak dapat mendapatkan informasi yang
jelas, serta tidak pula memiliki kesempatan untuk memberikan masukan dalam
UU 3/2022 yang memiliki dampak tidak hanya pada masyarakat Kalimantan,
namun juga terhadap masyarakat DKI Jakarta pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota
Negara. Pemohon III, banyak mendapatkan pertanyaan dari para pengurus MUI
untuk memberikan pertimbangan serta sikap yang harus diambil oleh MUI
terutama terkait dengan hal-hal yang menyangkut urusan keagamaan. Hal
tersebut tentunya merugikan hak konstitusional Pemohon III yang telah dijamin
dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28F UUD 1945 di mana
setiap orang berhak untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya.
4. Bahwa Pemohon IV mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI dan tokoh agama
yang memilili umat yang banyak di berbagai wilayah di Indonesia, di mana dalam
hal Pembentukan UU IKN, menurut Pemohon IV prosesnya terburu-buru
sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal dan bermakna,
hanya bersifat formalitas mengundang pihak-pihak yang mendukung, tanpa
mengundang dan mendengarkan pihak yang terdampak khususnya masyarakat
Jakarta yang sangat terdampak ketika Ibu Kota Negara dipindahkan ke
Kalimantan. Demikian pula terhadap masyarakat Kalimantan yang sangat
berpotensi terjadinya konflik horizontal di lapangan akibat adanya shock culture,
ketimpangan lapangan pekerjaan antara pendatang dan masyarakat asli
312

Kalimantan. Selain itu, hal tersebut juga merugikan Pemohon IV karena


mengalami kesulitan memberikan jawaban-jawaban kepada umatnya yang
mempertanyakannya. Terlebih lagi dengan pemindahan IKN akan ada infiltrasi
budaya global yang dapat mengancam akidah-akidah agama yang selama ini
telah di bangun dan dijaga oleh Pemohon IV. Adanya proses pembentukan
undang-undang yang sangat terburu-buru, tidak cermat dalam memetakan
persoalan yang sangat kompleks serta bersifat multidimensi, dan banyak
mengabaikan/melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan
telah merugikan hak konstitusional Pemohon IV yang dijamin dalam Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
5. Bahwa Pemohon V mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI yang juga cucu
Pendiri NU (KH Abdul Wahab Chasbullah) yang concern dalam menjaga tujuan
negara mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut Pemohon V, ada 3
hal yang harus diperhatikan oleh Penguasa, yakni, Pertama, siapapun yang
berkuasa harus senantiasa melindungi sumber kehidupan yang paling asasi.
Kedua, menjaga negeri yang tercinta ini dari berbagai macam gangguan dari
dalam maupun luar. Ketiga, kewajiban memelihara dan melindungi tradisi
beragama, kebudayaan bangsa kita. Menurut Pemohon V, akan ada potensi
konflik horizontal yang akan menimbulkan kerugian, in casu
peralihan/pembebasan lahan masyarakat, yang selama ini menjadi
perjuangannya. Hal tersebut terjadi karena proses pembentukan yang
mengabaikan partisipasi publik yang bermakna, sangat terburu-buru, tidak
cermat dalam memetakan persoalan yang sangat kompleks serta bersifat
multidimensi dan banyak mengabaikan/melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, sehingga merugikan hak konstitusional
Pemohon V yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD
1945.
6. Bahwa Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X dan
Pemohon XI mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI pensiunan TNI yang
memiliki jiwa nasionalisme, patriotik serta concern terhadap penanaman nilai-
nilai kebangsaan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Menurut
Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X dan
Pemohon XI, pembentukan UU 3/2022 tidak mendalami nilai-nilai historis,
filosofis sebagaimana terlihat dalam Naskah Akademik UU 3/2022. Sebagai
313

Purnawirawan TNI, memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan selama


bertugas di banyak daerah sehingga memahami socio culture masyarakat yang
dapat memberikan masukan dalam pembentukan UU 3/2022, sehingga
pembentuk undang-undang bisa mendapatkan insight apakah perlu atau tidak
Ibu Kota Negara dipindahkan. Namun hal tersebut, tidak dapat dilakukan oleh
karena waktu pembentukan UU 3/2022 sangat cepat jika diukur dari beban
persoalan yang multidimensi. Terlebih lagi, Pemohon IX merupakan mantan
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta sejak tanggal 7 Oktober 2007 hingga 7
Oktober 2012, mestinya pendapatnya diperhatikan, namun Pemohon IX tidak
memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya karena waktu yang
begitu cepat dalam proses pembentukan UU 3/2022.
7. Bahwa Pemohon XII mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI yang juga
berprofesi sebagai Guru Besar di ITS [vide bukti P-35], yang meyakini selama
kota-kota hanya dilihat sebagai properti oleh para penguasa dan perencana
pembangunan, maka akan tetap terjadi ketimpangan sosial dan kesenjangan
spasial yang makin buruk. Hal ini terbukti dengan tidak dilibatkannya partisipasi
publik yang maksimal dan bermakna dalam pembentukan UU 3/2022. Artinya,
perpindahan IKN Nusantara semakin membuat negeri ini tidak merdeka, tidak
berdaulat, tidak bersatu, apalagi adil dan Makmur. Dengan cepatnya proses
pembentukan membuat Pemohon XII tidak dapat memberikan masukan kepada
Pembentuk Undang-Undang agar menghentikan rencana perpindahan IKN. Hal
ini tentunya merugikan hak konstitusionalnya sebagai Guru Besar yang memiliki
tanggung jawab dalam membangun bangsa dan negaranya atau mencegah
terjadinya kerusakan bangsa dan negaranya.
8. Bahwa Pemohon XIII mengkualifikasikan dirinya WNI yang juga pernah
menjabat sebagai anggota DPR Periode 1999-2004 [vide bukti P-36] yang
hingga saat ini terus aktif dalam kegiatan sosial di Jakarta serta
memperjuangkan persoalan yang dialami oleh masyarakat [vide bukti P-37].
Selain itu, dalam setiap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, banyak masyarakat
Jakarta yang bertanya kepada Pemohon XIII tentang nasib/masa depan Jakarta
apabila Ibu Kota dipindahkan. Hal ini membuat Pemohon XIII tidak bisa
menjelaskan, karena selama ini tidak ada sosialisasi yang masif kepada warga
masyarakat DKI Jakarta jika Ibu Kota dipindahkan ke Kalimantan. Padahal
Warga Masyarkat Jakarta adalah Pihak yang sangat terdampak. Terlebih lagi,
314

akses untuk mendapatkan materi pembahasan dalam setiap tahapan-tahapan


tidak dibuka seluruhnya, dari 28 tahapan hanya 7 naskah pembahasan yang
dapat diakses oleh Pemohon XIII.
9. Bahwa Pemohon XIV mengkualifikasikan dirinya WNI mantan Dosen FE UI [vide
bukti P-38] yang juga pengamat ekonomi yang aktif memberikan pemikiran
kepada masyarakat melalui berbagai media. Selain itu, menurut Pemohon XIV,
cepatnya proses pembentukan UU 3/2022 tidak dapat mengakomodasi
berbagai masalah yang perlu dibahas secara serius dan mendalam dari
prespektif ekonomi mengingat tahapan perpindahan IKN dari 2022 hingga 2045.
Panjangnya proses perpindahan IKN dengan proses pembentukan UU IKN yang
sangat singkat telah mengabaikan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 UU 12/2011. Menurut Pemohon jika proses perpindahan
yang panjang terhenti, akan menimbulkan kerugian keuangan negara dan akan
banyak anggaran negara terbuang sia-sia padahal anggaran tersebut berasal
dari pajak rakyat. Pandangan dari Pemohon XIV tidak terakomodir mengingat
partisipasi publik dalam Pembentukan UU 3/2022 bersifat formalitas belaka,
tidak maksimal dan bermakna sebagaimana disyaratkan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XXVIII/2020.
10. Bahwa Pemohon XV, Pemohon XVI, Pemohon XVII, Pemohon XVIII, Pemohon
XIX, Pemohon XX, Pemohon XXI, Pemohon XXII, dan Pemohon XXIII
mengkualifikasikan dirinya sebagai WNI yang mempunyai hak memilih pada
Pemilu tahun 2019 dan para Pemohon beranggapan telah menyerahkan
kedaulatannya kepada Pembentuk Undang-Undang untuk menjalankan
tugasnya dalam membentuk Undang-Undang dengan hadir di dalam rapat-rapat
DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituen serta mengambil keputusan
dengan prosedur dan tata cara yang fair dan jujur. Namun Undang-Undang dan
kebijakan yang dibentuk, bukan merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan
sungguh-sungguh, sehingga mengikat warga negara secara keseluruhan
termasuk para Pemohon karena adanya pengabaian asas-asas dalam Pasal 5
UU 12/2011 dalam membentuk UU 3/2022.
11. Bahwa Pemohon XXIV mengkualifikasikan dirinya WNI yang saat ini menjabat
sebagai Ketua HMI Cabang Jakarta Barat [vide bukti P-39] yang dalam
aktivitasnya sering memberikan kontribusi pemikiran/gagasan/konsep baik
secara lisan maupun tertulis terhadap persoalan yang ada di lingkup Kota
315

Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, hingga pada tingkat Nasional. Pemohon
XXIV sebagai pihak yang terdampak apabila Ibu Kota Negara pindah ke
Kalimantan Timur, telah melakukan kajian-kajian yang akan dijadikan sebagai
usulan pembentukan UU 3/2022 [vide bukti P-40 s.d. bukti P-42], namun karena
RUU IKN telah disetujui bersama menjadi Undang-Undang, in casu UU 3/2022
pada 18 Januari 2022, maka hasil kajian yang akan dilakukan pada bulan
Februari 2022 menjadi tidak terakomodir karena proses pembentukan UU
3/2022 sangat cepat dan partisipasi publik hanya formalitas, tidak memberikan
kesempatan pada masyarakat yang terdampak, in casu masyarakat Jakarta
sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon XXIV sebagaimana dijamin
dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan


mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian formil
sebagai berikut:

Bahwa terkait dengan kedudukan hukum dalam pengujian formil di


Mahkamah Konstitusi, dalam beberapa pertimbangan hukum Putusan Mahkamah,
Mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa pemohon yang mempunyai
kedudukan hukum dalam permohonan pengujian formil adalah pihak yang
mempunyai pertautan kepentingan dengan substansi pengujian formil yang
dimohonkan pengujian. Terkait dengan hal tersebut, UU 3/2022 yang diajukan untuk
diuji oleh para Pemohon merupakan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara, yaitu
undang-undang yang menetapkan posisi atau letak, bentuk dan pengembangan
kawasan Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Dalam penalaran yang wajar undang-
undang yang menetapkan segala sesuatu ketentuan yang berkaitan dengan ibu kota
negara merupakan undang-undang yang pada pokoknya memengaruhi kepentingan
seluruh warga negara Indonesia atau undang-undang yang akan berdampak pada
aspek kehidupan masyarakat dan keterpenuhan hak konstitusional setiap warga
negara. Dalam kaitan ini, para Pemohon telah menjelaskan sebagai perseorangan
Warga Negara Indonesia yang memiliki hubungan pertautan kepentingan antara
masing-masing profesi dan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para Pemohon
dengan proses pembentukan UU 3/2022 yang dimohonkan pengujian secara formil.

Berdasarkan uraian di atas, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya dalil
adanya persoalan inkonstitusionalitas tentang tata cara pembentukan UU 3/2022
316

sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon pada pokok permohonan, Mahkamah


berpendapat para Pemohon telah dapat menguraikan kedudukan dan kegiatannya
yang memiliki hubungan pertautan dengan UU 3/2022 serta telah pula menguraikan
secara spesifik dan potensial adanya hubungan kausal (causal verband) antara
anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya dengan proses
pembentukan UU 3/2022 yang menurut para Pemohon tidak sesuai dengan UUD
1945. Oleh karenanya, jika permohonan ini dikabulkan kerugian hak konstitusional
dimaksud tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian formil UU 3/2022 a quo.

[3.14] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan.

Dalam Provisi

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang


pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela
dengan memerintahkan kepada Pemerintah untuk menunda segala
tindakan/kebijakan dan menunda penerbitan segala aturan turunan, in casu
Peraturan Pelaksana UU 3/2022 sampai dengan adanya putusan akhir terhadap
pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon untuk
menghindari terjadinya dampak yang lebih besar, dan agar tetap terwujudnya
perlindungan kepastian hukum atas hak-hak para Pemohon yang dilanggar dalam
proses pembentukan UU 3/2022.

Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, penting bagi


Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat
adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan
merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan
suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga
negara. Oleh karena itu, terhadap permohonan provisi a quo, haruslah
dipertimbangkan secara tersendiri dan kasuistis sepanjang hal tersebut relevan dan
mendesak untuk dilakukan. Namun, setelah Mahkamah mencermati secara
317

saksama alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon lebih
berkaitan erat dengan materi muatan UU 3/2022 sehingga tidak tepat apabila
dijadikan sebagai alasan permohonan provisi dalam pengujian formil. Terlebih lagi,
Mahkamah tidak menemukan adanya alasan yang kuat untuk menunda keberlakuan
UU a quo. Di samping itu, Mahkamah juga telah memberikan batasan waktu yang
singkat untuk memutus perkara pengujian formil sebagaimana telah
dipertimbangkan pada Paragraf [3.9] di atas. Dengan demikian, permohonan provisi
para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian


formil terhadap UU 3/2022 karena, menurut para Pemohon, proses pembentukan
UU 3/2022 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal
27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana
selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, dalam tahap pembentukan UU IKN telah
secara terang benderang melanggar asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu:
a. Bertentangan dengan asas kejelasan tujuan
Menurut para Pemohon, pembentukan UU 3/2022 tidak disusun dan dibentuk
dengan perencanaan yang berkesinambungan yaitu mulai dari dokumen
perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan
negara dan pelaksanaan pembangunannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan
dengan “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a
UU 12/2011.
b. Bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi
muatan
Menurut para Pemohon, UU 3/2022 banyak mendelegasikan materi yang
berkaitan dengan IKN ke dalam peraturan pelaksana. Dengan demikian,
dapat dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan
318

dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”


sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
c. Bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan
Menurut para Pemohon, adanya pandemi Covid-19 berdampak juga terhadap
perekonomian nasional dan global sehingga faktor ekonomi mestinya turut
dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam menyusun kebijakan pemindahan
IKN. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan pembentukan UU IKN tidak
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam
masyarakat secara sosiologis. Selain itu, perumusan UU 3/2022 bermasalah
secara yuridis sebagaimana telah didalilkan pada bagian “asas kejelasan
tujuan” karena tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang
berkesinambungan sehingga secara normatif UU 3/2022 tidak selaras
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (beserta dengan Peraturan Perundang-Undangan
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), UU 12/2011,
dan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022. Oleh karena itu, pembentukan UU
3/2022 juga tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-
undangan dalam masyarakat secara yuridis. Dengan demikian dapat
dikatakan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan
dengan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf
d UU 12/2011.
d. Bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Menurut para Pemohon, tingginya penolakan masyarakat terhadap
perpindahan IKN juga didasarkan pada hasil survei dari Kedai Kopi yang
dapat disimpulkan bahwa UU 3/2022 tidak benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara karena yang dibutuhkan bukan terkait urusan perpindahan dan
pembangunan IKN, namun pemulihan ekonomi masyarakat di masa pandemi
Covid-19 yang hingga saat ini belum jelas kapan akan berakhir. Berdasarkan
uraian-uraian tersebut di atas maka secara meyakinkan UU 3/2022
bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011.
319

e. Bertentangan dengan asas keterbukaan


Menurut para Pemohon, dari 28 (dua puluh delapan) tahapan/agenda
pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen
dan informasinya dapat diakses, sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda
lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik sehingga hal
tersebut menggambarkan bahwa representasi masyarakat yang terlibat
dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal
IKN merupakan perwujudan bersama Ibu Kota Negara Republik Indonesia
yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi publik. Selain itu,
partisipasi publik tersebut seharusnya diberikan kesempatan yang cukup
mengakomodir pihak-pihak dari berbagai daerah, terutama pihak-pihak yang
terdampak, yakni masyarakat Kalimantan terutama Kalimantan Timur
sebagai pihak yang lahannya akan dipakai menjadi lokasi IKN Nusantara, di
mana terdapat hak-hak konstitusional masyarakat Kalimantan terkait dengan
hak atas harta benda yang di bawah kekuasaannya, hak untuk mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun, termasuk hak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat.
Menurut para Pemohon, hingga saat ini masih banyak masalah peralihan
lahan, penempatan masyarakat setelah lahannya diambil oleh negara, yang
memungkinkan adanya diskriminasi. Sedangkan, bagi masyarakat Jakarta
yang merupakan pihak yang terdampak apabila nanti Provinsi DKI Jakarta
sudah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, akan menjadi apa dan untuk siapa
gedung-gedung pemerintahan yang sudah terbangun di Jakarta. Terhadap
hal-hal tersebut, tidak terakomodir dalam proses pembentukan UU 3/2022
yang sangat cepat dan terburu-buru. Terlebih lagi, menurut para Pemohon,
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, telah
dinyatakan detail model partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-
undang, yang apabila hal itu tidak terpenuhi dapat membuat undang-undang
cacat secara formil. Oleh karena adanya cacat formil dalam partisipasi
masyarakat dalam pembentukan UU 3/2022, maka telah nyata dan terang
benderang pembentukan UU IKN adalah cacat formil dan bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22A UUD 1945 juncto Pasal 5 huruf g UU
12/2011. Tambah lagi, menurut para Pemohon, partisipasi masyarakat juga
320

dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan


Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
2. Bahwa menurut para Pemohon, dari tahapan yang tergambar dalam tabel yang
dapat diakses pada laman https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 tahapan
pembentukan UU 3/2022 dari sejak tanggal 3 November 2021 sampai dengan
18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari sehingga tergolong sangat
cepat (fast track legislation) untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan
dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas. Praktik fast track
legislation tersebut menurut para Pemohon inkonstitusional karena berimplikasi
pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
1945.

3. Bahwa berdasarkan seluruh uraian alasan-alasan di atas, para Pemohon


memohon kepada Mahkamah agar menyatakan UU 3/2022 tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 serta
menyatakan UU 3/2022 bertentangan dengan UUD 1945 oleh karenanya harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[3.17] Menimbang bahwa untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, para


Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1
sampai dengan bukti P-44, serta dua (dua) orang ahli yaitu Prof. Susi Dwi Harijanti,
S.H., LL.M., Ph.D., dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang keterangannya
diterima Mahkamah masing-masing pada 8 Mei 2022 dan 18 Mei 2022
(selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). Selain itu, para Pemohon
juga menyerahkan kesimpulan bertanggal 25 Mei 2022 yang diterima Mahkamah
pada 25 Mei 2022.

[3.18] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan


keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada 21 April 2022 beserta
keterangan tertulis dan lampirannya yang diterima Mahkamah pada 25 Mei 2022
(selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.19] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam


persidangan tanggal 21 April 2022 yang keterangan tertulisnya diterima di
321

Mahkamah tanggal 19 April 2022, yang kemudian dilengkapi dengan keterangan


tertulis tambahan yang diterima Mahkamah tanggal 25 Mei 2022. Selain itu, untuk
mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan alat bukti surat/tulisan yang
diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan bukti PK-5 dan lampiran keterangan
tambahan, serta 1 (satu) orang ahli yang bernama Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.,
dan 1 (satu) orang saksi yaitu Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro,
S.E., M.U.P., Ph.D., yang keterangan tertulisnya diterima Mahkamah pada 18 Mei
2022 dan didengar keterangannya dalam persidangan pada 18 Mei 2022
(selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). Presiden juga menyerahkan
kesimpulan bertanggal 25 Mei 2022 dan bukti tambahan [Bukti PK-6 sampai dengan
Bukti PK-30] yang diterima Mahkamah pada 27 Mei 2022.

Sementara itu, terkait dengan bukti tambahan bertanda bukti PK-6 sampai
dengan bukti PK-30, bukti dimaksud diserahkan atas permintaan Mahkamah dalam
persidangan pada 21 April 2022 dan 18 Mei 2022. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat keyakinan Mahkamah dalam memutus perkara a quo. Di samping itu,
berkenaan dengan penyerahan bukti yang dilakukan bersama-sama dengan
penyerahan kesimpulan, hal tersebut dapat dibenarkan, mengingat dalam perkara
pengujian undang-undang tidak bersifat interpartes, sehingga kesempatan para
pihak untuk melakukan inzage bukan merupakan hak atau kewajiban dari para
pihak. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 54 UU MK keterangan dan bukti yang
dibutuhkan Mahkamah adalah untuk kepentingan Mahkamah dalam memeriksa dan
memutus perkara pengujian undang-undang. Tambah lagi, dalam persidangan
justru para Pemohonlah yang memohon kepada Mahkamah agar Pemerintah
melengkapi bukti-bukti terkait dengan proses pembentukan UU 3/2022 [vide Risalah
Sidang tanggal 21 April 2022, hlm. 37]. Oleh karena itu, terkait dengan bukti PK-6
sampai dengan bukti PK-30 yang diserahkan oleh Pemerintah bersama-sama
dengan Kesimpulan, Mahkamah tetap mempertimbangkan sebagai bagian dari
substansi untuk memutus perkara a quo;

[3.20] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara


saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR beserta lampirannya,
keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan ahli dan saksi
Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden,
kesimpulan tertulis para Pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, sebagaimana
322

selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah akan


mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon.

[3.21] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang


diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan
hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagai berikut:

1. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-


XVII/2019 yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4
Mei 2021 telah menegaskan terkait dengan pengujian formil sebagai berikut:

[3.15.1] bahwa pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian


atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan
undang-undang. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai
konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah sejauh
mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate
form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut
prosedur yang tepat (appropriate procedure). Jika dijabarkan dari ketiga
kriteria ini, pengujian formil dapat mencakup:
a. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan
undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan
keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-
undang;
b. pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
c. pengujian berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
d. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil;
[3.15.2] bahwa berdasarkan UU P3, tahapan pembentukan perundang-
undangan merupakan rangkaian tahapan yang terdiri atas tahapan
pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan tahapan
pengundangan;
[3.15.3] bahwa pada tahapan pengajuan terdiri atas perencanaan dan
penyusunan. Tahapan perencanaan peraturan perundang-undangan
didasarkan pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 23 UU P3 yang pada
pokoknya menyatakan perencanaan penyusunan dilakukan dalam
Prolegnas.

2. Bahwa selanjutnya Mahkamah juga telah menegaskan kembali perihal


pembentukan undang-undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
pada 25 November 2021, sebagai berikut:

[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan


undang-undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima)
tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan
323

bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta


pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait
dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama
antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang
menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;
[3.17.3] Bahwa berkenaan dengan tahapan pengajuan rancangan
undang-undang, baik yang merupakan pengaturan baru maupun revisi atau
perubahan atas undang-undang yang sedang berlaku, secara
konstitusional, dapat diajukan atas usul inisiatif dari Presiden (pemerintah),
atau atas usul inisiatif dari DPR atau usul inisiatif dari DPD. Perihal
rancangan undang-undang dimaksud, pengusulannya harus disertai
dengan Naskah Akademik (NA). Secara substanstif, NA minimal memuat,
yaitu: dasar-dasar atau alasan-alasan (urgensi) diperlukannya usulan suatu
undang-undang atau revisi suatu undang-undang. Dengan penjelasan
dimaksud, masyarakat dapat mengetahui implikasinya dalam
penyelenggaraan negara atau pemerintahan jika substansi rancangan
undang-undang yang diusulkan tidak diakomodasi menjadi undang-undang.
Selain penjelasan dimaksud, NA harus pula memuat atau disertai lampiran
draf usulan rancangan undang-undang yang substansinya mencerminkan
urgensi yang dikemukakan dalam NA.
Bahwa sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan
nasional, pengajuan rancangan undang-undang harus didasarkan kepada
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dapat memuat atau
menentukan skala prioritas setiap tahunnya. Berkenaan dengan hal
tersebut, proses penyusunan dan penentuan daftar rencana pembentukan
undang-undang termasuk penentuan skala prioritas didasarkan pada
undang-undang tentang pembentukan undang-undang, atau undang-
undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini, Prolegnas pada
hakikatnya tidak sekadar mencantumkan daftar judul RUU melainkan
didesain secara terarah, terpadu, dan sistimatis yang harus diikuti dengan
konsepsi yang jelas mengenai: a) latar belakang dan tujuan penyusunan; b)
sasaran yang ingin diwujudkan; dan c) jangkauan dan arah pengaturan.
Selanjutnya, diikuti pula dengan pengkajian dan penyelarasan konsepsi
tersebut supaya dapat dicegah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan
kewenangan.
Meskipun demikian, untuk menampung kondisi atau kebutuhan tertentu,
pengajuan rancangan undang-undang dapat dimungkinan di luar Prolegnas.
Misalnya, mengatasi kekosongan hukum karena putusan Mahkamah
Konstitusi. Sementara itu, perihal persiapan rancangan undang-undang dari
masing-masing lembaga yang dapat mengusulkannya (Presiden, DPR, dan
DPD) merupakan kebijakan internal masing-masing lembaga. Misalnya
DPR, persiapan dapat dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan
legislasi. Sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan Presiden
dapat dipersiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-
kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Begitu
pula yang berasal dari DPD, rancangan undang-undang dapat dipersiapkan
oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai
salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang,
Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi
324

Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan


kewenangan konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-
undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan
a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan
pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan”
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat”
tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan,
sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan
konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Merujuk pertimbangan tersebut, posisi DPD dalam pengajuan rancangan
undang-undang sama seperti halnya hak Presiden dalam mengajukan
rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 sepanjang rancangan undang-undang dimaksud berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana diatur Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan agar pengajuan
rancangan undang-undang tidak menegasikan posisi dan kedudukan DPD
dalam grand design pembentukan undang-undang;
[3.17.4] Bahwa berkenaan dengan tahapan pembahasan rancangan
undang-undang, hal pertama yang harus dikemukakan Mahkamah adalah
berkenaan dengan kata “pembahasan” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Setelah mendalami pendapat yang berkembang dalam pembahasan
perubahan UUD 1945, doktrin, dan pengaturan dalam UU 10/2004 yang
telah diganti oleh UU 12/2011, kata “dibahas” pada frasa “rancangan
undang-undang dibahas” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dimaknai
sebagai “dibahas bersama” atau “pembahasan bersama”. Dengan demikian
bilamana pembahasan rancangan undang-undang di luar substansi Pasal
22D ayat (1) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden
dan DPR. Sementara itu, jika substansi rancangan undang-undang
berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 atau rancangan undang-
undang diajukan oleh DPD, pembahasan bersama dilakukan antara
Presiden, DPR, dan DPD;
Setelah penegasan ihwal makna kata “pembahasan” tersebut, untuk
memenuhi proses formal tahapan ini, Mahkamah perlu menegaskan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, karena tidak diatur secara detail dalam UUD 1945,
pembahasan rancangan undang-undang dilakukan sesuai dengan undang-
undang yang mengatur ihwal pembentukan undang-undang atau undang-
undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
pembahasan dapat juga merujuk sumber-sumber lain yang memberikan
makna konstitusional terhadap Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, seperti Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Misalnya, jikalau merujuk UU
325

12/2011, pembahasan rancangan undang-undang dilakukan dengan dua


tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat Pertama yang dilakukan dalam rapat
komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran,
atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili presiden;
dan Tingkat Kedua yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR.
Kedua, tahapan pembahasan merupakan fase yang berfokus utama
untuk membahas rancangan undang-undang, yaitu membahas Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan lembaga yang terlibat dalam
pembahasan bersama. Berkenaan dengan hal ini, DIM diajukan oleh
Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR, dan DIM
diajukan oleh DPR jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
Sementara itu, bilamana pembahasan rancangan undang-undang
berkenaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945,
DIM diajukan oleh: a) DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal
dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD; b) DPR dan
Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait
dengan kewenangan DPD; atau c) DPD dan Presiden jika rancangan
undang-undang berasal dari DPR.
Ketiga, dengan membaca Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan membaca
secara saksama perdebatan perubahan ketentuan a quo, pembahasan
bersama rancangan undang-undang dilakukan antar-institusi. Artinya,
karena pembahasan bertumpu pada DIM, secara konstitusional dalam
pembahasan rancangan undang-undang terdapat satu DIM (DIM Presiden
atau DIM DPR) sepanjang pembahasan bukan menyangkut kewenangan
DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun, bilamana pembahasan
menyangkut kewenangan DPD, DIM dapat berasal dari Presiden, DPR, atau
DPD. Dalam konteks itu, pembahasan DIM adalah pembahasan yang
dilakukan antar-lembaga, yaitu: antara Presiden dan DPR (bipartit); dan
antara presiden, DPR, dan DPD (tripartit) bila rancangan undang-undang
berkenanaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD
1945.
Dikarenakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan antar-
institusi, selama proses pembahasan berlangsung peran kelompok atau
bagian tertentu dalam masing-masing institusi menjadi urusan internal
setiap institusi. Misalnya, penentuan siapa atau pihak yang akan mewakili
Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang ditentukan
Presiden dengan Surat Presiden. Begitu pula dengan DPR dan DPD,
selama proses pembahasan rancangan undang-undang yang harus
kelihatan adalah peran institusi DPR dan institusi DPD. Dalam hal ini,
misalnya, peran fraksi dapat dioptimalkan dalam pembahasan-pembahasan
dan pengambilan keputusan di internal DPR. Atau, DPD yang harus
kelihatan adalah peran institusi DPD, dapat diwakili komite atau panitia
perancang. Dengan demikian, selama pembahasan akan kelihatan
pembahasan yang dilakukan antarinstitusi atau antarlembaga, yaitu antara
Presiden-DPR; dan antara Presiden-DPR-DPD sepanjang rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Artinya, prinsip mendasar pembahasan institusi merupakan pembahasan
antarinstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, pembahasan
antarinstitusi dimaksud menjadikan proses pembahasan rancangan
undang-undang lebih sederhana.
326

Keempat, karena pembahasan akan berujung pada kesepakatan atau


persetujuan, guna menghindari kemungkinan terjadinya perubahan
terhadap hasil kesepakatan, atau manuver berupa penolakan di ujung
proses, kesepakatan-kesepakatan terutama yang berkenaan dengan
norma, pasal, atau substansi pasal harus dibubuhi paraf atau tandatangan
masing-masing pihak yang mewakili institusi. Khusus untuk perumusan
norma atau pasal, pembubuhan paraf atau tandatangan dimaksud penting
dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya
perubahan di luar kesepakatan selama pembahasan rancangan undang-
undang.
Kelima, sebagai bagian dari proses pembahasan, ihwal penyampaian
pendapat mini sebagai sikap akhir, sesuai dengan pola pembahasan antar-
institusi yang telah dipertimbangkan di atas, penyampaian pendapat mini
dimaksud harus disampaikan oleh perwakilan masing-masing institusi.
Artinya, sebelum menyampaikan pendapat mini, semua institusi telah
selesai melakukan proses internal untuk menyepakati posisi atau
pandangan yang akan disampaikan dalam pendapat mini. Dengan
menggunakan pola pembahasan dua tingkat pembicaraan, penyampaian
pendapat mini merupakan proses penting dan krusial karena merupakan
gambaran posisi atau sikap setiap lembaga sebelum dilakukan
pembahasan di tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR.
[3.17.5] Bahwa berkenaan dengan tahap persetujuan rancangan
undang-undang. Ihwal persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna DPR
merupakan kelanjutan dari tahap pembahasan. Dalam tahap ini, pendapat
mini yang disampaikan oleh masing-masing institusi sebelum memasuki
tahap persetujuan bersama dapat saja berubah. Jikalau terjadi perubahan,
institusi yang berubah sikap tersebut terlebih dahulu harus menyelesaikan
perubahan pendapatnya secara internal. Misalnya, jika terdapat satu fraksi
atau lebih yang memiliki pendapat berbeda sebelum dilakukan persetujuan
bersama, secara internal DPR menyelesaikannya dengan cara
musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, DPR memilih cara
penentuan sikap dengan mekanisme pemungutan suara (voting). Secara
konstitusional, soal terpenting dalam persetujuan bersama adalah
pernayataan persetujuan dari masing-masing institusi, yaitu pernyataan
persetujuan dari (pihak yang mewakili) presiden dan pernyataan
persetujuan dari DPR. Dalam hal ini, sesuai dengan norma Pasal 20 ayat
(2) UUD 1945, persetujuan bersama hanya dilakukan oleh Presiden dan
DPR.
Masalah konstitusional lain yang perlu dikemukakan oleh Mahkamah
berkenaan dengan persetujuan bersama adalah ketika suatu rancangan
undang-undang tidak mendapatkan persetujuan bersama. Terhadap hal
tersebut, Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan a quo memiliki akibat atau
konksekuensi terhadap rancangan undang-undang yang ditolak tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan ketika persetujuan
tersebut dilakukan.
Masalah lainnya, bagaimana kalau rancangan undang-undang belum
mendapat persetujuan atau masih berada dalam tahap pembahasan, atau
sama sekali belum memasuki pembahasan sementara masa jabatan DPR
327

periode bersangkutan telah selesai. Bisakah rancangan undang-undang


dimaksud dilanjutkan (carry over) kepada DPR periode berikutnya?
Berkenaan dengan hal ini, ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidaklah
eksplisit menyangkut RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya kepada
DPR periode berikutya. Kemungkinan untuk dapat dilakukan carry over
hanya dapat dibenarkan oleh maksud Pasal 22A UUD 1945. Dalam hal ini,
dasar hukum dan status rancangan undang-undang carry over hanya dapat
dibenarkan dalam kerangka “dengan peraturan lain yang dimaksudkan
untuk melaksanakan pembentukan undang-undang sebagaimana
termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945” sebagaimana maksud Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tertanggal 16 Juni 2010.
Jika menggunakan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019)
rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan sepanjang
memenuhi dua persyaratan secara kumulatif, yaitu (i) telah memasuki
pembahasan DIM; dan (ii) dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas
berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD.
[3.17.6] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pengesahan rancangan
undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan ketentuan Pasal 20 ayat (4)
UUD 1945 yang merupakan pengesahan formil. Artinya, ketika persetujuan
bersama antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner
persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil.
Pengesahan materiil tidak akan terjadi jika salah satu pihak, baik presiden
atau DPR, menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang dalam
sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu, rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, tidak boleh lagi dilakukan
perubahan yang sifatnya substansial. Jikapun terpaksa dilakukan
perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya
kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah
makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama. Sementara itu, jikalau terdapat suatu keadaan, di mana
Presiden menolak mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama, tindakan penolakan Presiden
tersebut tidak menyebabkan suatu undang-undang menjadi cacat formil.
Terlebih lagi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 telah mengantisipasi
kemungkinan tersebut sehingga undang-undang yang tidak disahkan
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.
[3.17.7] Bahwa tahap terakhir dalam pembentukan undang-undang
adalah pengundangan (afkondiging/promulgation) yang merupakan
tindakan atau pemberitahuan secara formal suatu undang-undang dengan
cara menempatkan dalam penerbitan resmi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dalam hal ini, pengundangan adalah penempatan undang-undang
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Penjelasan Undang-
Undang dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas,
masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam
pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan
328

bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang


sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang
menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama
bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih
jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional
berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam
pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila
pembentukan undang-undang dengan proses dan mekanisme yang justru
menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut
serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan
pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat
(people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan
undang-undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan
kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan
analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih
luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara
keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan
representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan;
(iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga
negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan
tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap
keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved
understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga
negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for
citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan
(vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan
(accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan
perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara
bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi
dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat
yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu:
pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua,
hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan
ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat
yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama
diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau
memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang
sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang
telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat
yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling
tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii)
pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD
sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan
(iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
[3.17.9] Bahwa semua tahapan dan partisipasi masyarakat yang
dikemukakan di atas digunakan sebagai bagian dari standar penilaian
329

pengujian formil, sehingga memperkuat syarat penilaian pengujian formil


sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan
undang- undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan
keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-
undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Semua tahapan dan standar sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan
di atas, akan digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan
undang-undang yang dilekatkan atau dikaitkan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu Mahkamah tegaskan,
penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara
akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu tahapan atau satu standar
saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada,
maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam
pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup
dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau
standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut
telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak
diragukan untuk menilai dan menyatakan adanya cacat formil pembentukan
undang-undang.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum yang dikutip tersebut di atas,


selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon
berkenaan dengan pembentukan UU 3/2022, sebagai berikut:

[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU


3/2022 tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan
yaitu mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan
regulasi/legislasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan
pembangunannya sehingga pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan
dengan “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU
12/2011.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan


menegaskan maksud “asas kejelasan tujuan” sebagaimana ditentukan dalam UU
12/2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai [vide Penjelasan Pasal 5 huruf a
UU 12/2011]. Sekalipun UU Nomor 12 Tahun 2011 diubah terakhir dengan Undang-
330

Undang Nomor 13 Tahun 2022 (selanjutnya disebut UU 13/2022) namun pengertian


asas kejelasan tujuan tersebut masih tetap dirumuskan sama [vide Pasal 5 huruf a
UU 13/2022]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas norma UU
3/2022, karena berkenaan dengan keterpenuhan syarat formil pembentukan
undang-undang tidak dapat dilepaskan dari asas kejelasan tujuan. Berkaitan
dengan hal ini, dalam UU 3/2022 telah dicantumkan tujuan dibentuknya UU a quo
sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:
“Ibu Kota Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun
dan dikelola dengan tujuan untuk:
a. menjadi kota berkelanjutan di dunia;
b. sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan
c. menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan
keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Terkait dengan tujuan tersebut dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum UU 3/2022
yang menyatakan bahwa:
“Pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Nusantara memiliki visi Ibu Kota
Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan utama mewujudkan
kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model) bagi pembangunan dan
pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar tersebut bertujuan untuk
mewujudkan Ibu Kota Nusantara sebagai:
a. kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan,
keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi penggunaan
sumber daya dan rendah karbon;
b. penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi peluang
ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi, inovasi, dan
teknologi; serta
c. simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan dalam
keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika” [vide Penjelasan
Umum UU 3/2022].

Lebih lanjut, masih berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 pada


Penjelasan Pasal 2 huruf a UU a quo dijelaskan maksud dari "kota berkelanjutan di
dunia" adalah kota yang mengelola sumber daya secara tepat guna dan
memberikan pelayanan secara efektif dalam pemanfaatan sumber daya air dan
energi yang efisien, pengelolaan sampah berkelanjutan, moda transportasi terpadu,
lingkungan layak huni dan sehat, dan lingkungan alam dan binaan yang sinergis,
yang di dalamnya juga menetapkan Ibu Kota Nusantara sebagai kota di dalam hutan
(forest city) untuk memastikan kelestarian lingkungan dengan minimal 75% (tujuh
puluh lima persen) kawasan hijau, serta rencana Ibu Kota Nusantara dijalin dengan
konsep masterplan yang berkelanjutan untuk menyeimbangkan ekologi alam,
331

kawasan terbangun, dan sistem sosial yang ada secara harmonis. Demikian pula
dengan Penjelasan Pasal 2 huruf b UU 3/2022 yang berkaitan dengan tujuan
"penggerak ekonomi Indonesia di masa depan" dijelaskan maksudnya adalah
sebagai kota yang progresif, inovatif, dan kompetitif dalam aspek teknologi,
arsitektur, tata kota, dan sosial. Artinya, IKN menetapkan strategi ekonomi superhub
yang terkait dengan strategi tata ruang untuk melampaui potensi saat ini,
memastikan sinergi yang produktif antara tenaga kerja, infrastruktur, sumber daya,
dan jaringan, serta memaksimalkan peluang kerja bagi seluruh penduduk kota.
Terakhir, berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 sebagai “simbol
identitas nasional" dijelaskan maksudnya adalah kota yang mewujudkan jati diri,
karakter sosial, persatuan, dan kebesaran bangsa yang mencerminkan kekhasan
Indonesia [vide Penjelasan Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 3/2022].

[3.22.1] Bahwa berkenaan dengan tujuan pembentukan IKN sebelum dituangkan


dalam UU 3/2022 telah dicantumkan atau masuk dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang pada prinsipnya
menjabarkan secara bertahap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 (vide Keterangan Pemerintah hlm. 19-20) dan Visi Indonesia 2033 yang
secara eksplisit menyatakan adanya pemindahan episentrum Nusantara ke
Kalimantan (vide bukti PK-20), yang pada pokoknya menyatakan pembentukan Ibu
Kota Negara masuk sebagai salah satu rencana Proyek Prioritas Strategis (Major
Project) RPJMN 2020-2024 (vide Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-
2024 selanjutnya disebut Perpres 18/2020). Pembentukan Ibu Kota Negara tersebut
dilatarbelakangi salah satunya guna meningkatkan pembangunan kawasan timur
Indonesia untuk pemerataan wilayah. Selain itu, RUU IKN juga masuk dalam
agenda pembangunan pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan
antar wilayah di Indonesia [vide Bab IX Kaidah Pelaksanaan Bagian Kerangka
Regulasi Lampiran I Perpres 18/2020 pada hlm. 273 = IX.7].

[3.22.2] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang
mempersoalkan RUU IKN tidak memiliki perencanaan legislasi, penting pula bagi
Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud perencanaan legislasi dalam
UU 12/2011 yang tidak dapat dilepaskan dari pengertian Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang
yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis [vide Pasal 1 angka 9 UU
332

12/2011]. Berkenaan dengan hal tersebut, UU 12/2011 menghendaki penyusunan


Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas
program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011]. Prolegnas dimaksud memuat
program pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang,
materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya [vide Pasal 19 ayat (1) UU 12/2011]. Dengan merujuk pada Lampiran I
Perpres 18/2020 menyatakan pada pokoknya untuk pembentukan Ibu Kota Negara
perlu dasar hukum. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah mengusulkan kepada
DPR untuk memasukkan RUU tentang Ibu Kota Negara dalam Prolegnas yang
kemudian diundangkan menjadi UU 3/2022 sebagai landasan pelaksanaan
perpindahan Ibu Kota Negara. Terkait dengan pencantuman RUU IKN ke dalam
Prolegnas, DPR menerangkan bahwa RUU IKN telah masuk Prolegnas jangka
menengah 2020-2024 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR
RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2019 [vide Lampiran 1.
Keterangan DPR] sebagaimana tercantum pada nomor 131. Selanjutnya, setiap
tahun selalu masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan yaitu pada tahun 2020
dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum pada Nomor 46
[vide Lampiran 2 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 ditetapkan
tanggal 22 Januari 2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-
Undang Prioritas Tahun 2020 = PK-1.Pemerintah]; pada tahun 2021 diajukan
kembali sebagai Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum dalam nomor 28 [vide
Lampiran 3 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021
ditetapkan tanggal 23 Maret 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Ketika ada
pembahasan evaluasi Prolegnas Prioritas tahun 2021, RUU IKN tetap diprioritaskan
sebagaimana tercantum dalam nomor 29 [vide Lampiran 4 Surat Keputusan DPR
RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 yang ditetapkan tanggal 30 September 2021
dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua
Tahun 2020-2024]; dan pada saat pembahasan prioritas tahunan 2022, RUU IKN
dimasukkan kembali dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 sebagaimana
333

tercantum dalam Nomor 33 [vide Lampiran 5 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI


Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 ditetapkan tanggal 7 Desember 2021 dan
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun
2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Seluruh proses pangajuan Prolegnas Prioritas
tahunan ini pun dilakukan sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 yakni diajukan
sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (RUU APBN) [vide Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011]. Hal ini
dimaksudkan agar pembentukan suatu undang-undang mendapatkan kejelasan dari
sisi penganggarannya, tidak hanya berkaitan dengan anggaran pembentukan
undang-undangnya, namun juga diperhitungkan dampak undang-undang tersebut
bagi keuangan negara, oleh karenanya harus dibahas dan ditetapkan usulan RUU
dalam Prolegnas sebelum RUU APBN ditetapkan.
Terlebih lagi, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menerangkan
bahwa pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong
percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan
perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia. Selain itu,
hadirnya UU 3/2022 merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia, juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern,
berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan bagi pembangunan dan
penataan wilayah lainnya di Indonesia dan hal tersebut juga merupakan bagian dari
upaya untuk mewujudkan tujuan bernegara, sekaligus sebagai upaya mewujudkan
salah satu cita-cita dalam visi Indonesia 2045 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor
25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022].

[3.22.3] Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas telah ternyata


perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem
perencanaan pembangunan nasional yang telah tercantum dalam Lampiran Perpres
18/2020 dan telah pula dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-
2024 dan telah diprioritaskan setiap tahunnya sejak tahun 2020 sehingga
semakin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki
kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Terlepas
dari adanya dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan
IKN ini seolah-olah “disusupkan” dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut
Mahkamah alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak cukup membuktikan
334

bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi
atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah, untuk melihat secara menyeluruh tujuan dan
kejelasan sebuah undang-undang haruslah dilihat secara keseluruhan norma
undang-undang tersebut yang selanjutnya apabila dianggap dapat merugikan hak
konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka
dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud
dan tujuan penyusunan undang-undang dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara
komprehensif dalam Penjelasan Umum sebagaimana hal tersebut juga telah
dinyatakan dalam Perpres 18/2020 mengenai RPJMN maka tujuan pembentukan
UU 3/2022 pada prinsipnya telah memenuhi “asas kejelasan tujuan” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kejelasan
tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011 adalah tidak
beralasan menurut hukum.

[3.23] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan UU 3/2022


banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan
pelaksana, sehingga menurut para Pemohon pembentukan UU 3/2022
bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
khususnya bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011.

Terhadap dalil a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih


dahulu maksud asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan [vide Penjelasan Pasal 5 huruf c UU 12/2011].
Berkaitan dengan jenis dan hierarki dimaksud harus dikaitkan dengan Pasal 7 UU
12/2011 yang menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas: a). UUD 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; c). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d).
Peraturan Pemerintah; e). Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan
335

g). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan, berkaitan dengan materi


muatan untuk masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut
ditentukan dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 UU 12/2011. Dalam hal ini,
khusus terkait dengan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang
berisi: a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) perintah suatu Undang-Undang untuk
diatur dengan Undang-Undang; c) pengesahan perjanjian internasional tertentu; d)
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e) pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat. Sementara itu, materi muatan peraturan pemerintah
berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal ini
dijelaskan maksudnya bahwa penetapan peraturan pemerintah untuk
melaksanakan perintah undang-undang atau untuk menjalankan undang-undang
sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam
undang-undang yang bersangkutan [vide Pasal 12 UU 12/2011 dan Penjelasannya].
Berkenaan dengan peraturan presiden ditentukan muatannya berisi materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan. Artinya, Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara
tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya [vide Pasal 13 UU
12/2011 dan Penjelasannya].

Berkaitan dengan aturan pendelegasian yang didalilkan para Pemohon


merupakan segala hal yang bersifat strategis sehingga seharusnya diatur dalam
materi muatan undang-undang bukan dalam aturan pelaksana. Berkenaan dengan
dalil a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan cakupan
pendelegasian yang terdapat dalam UU 3/2022, apakah benar materi muatannya
memang harus ada dalam undang-undang bukan dalam peraturan pelaksana.
Setelah Mahkamah memeriksa secara saksama keseluruhan ketentuan dalam UU
3/2022 yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) pasal di mana pendelegasian
pengaturan lebih lanjut terdapat di antaranya dalam (tanpa Mahkamah bermaksud
menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal UU 3/2022):

1. Pasal 7 ayat (4) yang memerintahkan pengaturan perincian Rencana


Induk Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden.
2. Pasal 7 ayat (6) yang memerintahkan perubahan Rencana Induk Ibu Kota
Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden.
336

3. Pasal 12 ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus


Otorita Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah
berkonsultasi dengan DPR.
4. Pasal 14 ayat (2) ketentuan mengenai pembagian wilayah Ibu Kota
Nusantara ke dalam beberapa wilayah yang bentuk, jumlah, dan
strukturnya diatur dalam Peraturan Presiden.
5. Pasal 15 ayat (2) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai
Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Presiden. Dengan
penjelasan bahwa Rencana Induk Ibu Kota Nusantara menjadi acuan
bagi penyusunan pengaturan penataan ruang Rencana Tata Ruang KSN
Ibu Kota Nusantara.
6. Pasal 22 ayat (5) memerintahkan mengenai pemindahan Lembaga
Negara, aparatur sipil negara, perwakilan negara asing, dan perwakilan
organisasi/lembaga internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.
7. Pasal 24 ayat (7) memerintahkan mengenai pendanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
8. Pasal 25 ayat (3) memerintahkan pengaturan lebih lanjut mengenai
penyusunan rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
9. Pasal 26 ayat (2) memerintahkan tata cara pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran Ibu Kota Nusantara sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Pasal 35 memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
Barang Milik Negara dan aset dalam penguasaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
11. Pasal 36 ayat (7) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai
pengalihan barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan merujuk pada Lampiran II UU 12/2011, pada angka 198 ditentukan


bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan
kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah. Selanjutnya, pada angka 199 ditentukan bahwa pendelegasian
kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang
yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang
lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang lain. Sementara itu, pada angka 200 Lampiran II a quo
ditentukan pula bahwa pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut
dengan tegas: a) ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b) jenis Peraturan
337

Perundang-undangan [vide Lampiran II UU 12/2011 dalam Bab II Hal-Hal Khusus,


Huruf A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN].
Dengan mendasarkan pada ketentuan teknik pendelegasian dalam UU
12/2011, pengaturan pendelegasian oleh UU 3/2022 telah sejalan dengan teknik
pendelegasian dimaksud. Dalam hal ini, jika yang dipersoalkan oleh para Pemohon
mengenai pengaturan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara maka materi muatan
pokok atas Rencana Induk Ibu Kota Nusantara telah ditentukan sebagai materi
muatan UU a quo yang meliputi paling sedikit: a. pendahuluan; b. visi, tujuan, prinsip
dasar, dan indikator kinerja utama; c. prinsip dasar pembangunan; dan d.
penahapan pembangunan dan skema pendanaan. Materi muatan Rencana Induk
Ibu Kota Nusantara tersebut telah tercantum dalam Lampiran II UU 3/2022 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo. Sementara itu, pembentuk
undang-undang menghendaki pengaturan lebih lanjut yang bersifat rincian dari
materi muatan pokok dalam UU a quo agar diatur dengan peraturan presiden.
Pendelegasian demikian ini telah sejalan dengan teknik pendelegasian
sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011. Artinya, apabila segala hal ihwal teknis
seluruhnya harus diatur dalam UU maka justru akan timbul persoalan di kemudian
hari, jika ihwal demikian tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan ke
depannya. Terlebih lagi, proses mengubah suatu undang-undang jauh lebih sulit
dibandingkan dengan mengubah peraturan pelaksana. Oleh karena itu, berkaitan
dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan adanya peraturan pelaksana
yang tidak seharusnya mengatur muatan undang-undang tanpa memberi dasar
argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan bagi Mahkamah, maka apa yang para
Pemohon persoalkan tersebut lebih merupakan bentuk kekhawatiran atas
implementasi UU 3/2022. Dalam kaitan ini, hal yang terpenting adalah peraturan
pelaksana tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang mendelegasikannya
(dari peraturan yang lebih tinggi). Andaipun ada persoalan pertentangan demikian,
quod non, sistem hukum pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia
pun telah mengatur penyelesaiannya oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk
itu [vide Pasal 24A UUD 1945]. Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah memandang
penting pula untuk menegaskan bahwa dengan telah diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU 12/2011 (UU
13/2022) DPR, Presiden, dan DPD diberi kewenangan untuk melakukan
338

pemantauan dan peninjauan atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku [vide


Pasal 95A UU 13/2022].
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon bahwa
pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011
adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.24] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan, pembentukan UU


3/2022 telah bertentangan dengan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, salah
satunya akibat adanya pandemi Covid-19 yang berdampak juga terhadap
perekonomian nasional dan global sehingga faktor ekonomi mestinya turut
dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam menyusun kebijakan pemindahan IKN.
Selain itu, menurut para Pemohon, UU 3/2022 dalam pembentukannya tidak
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat
secara sosiologis.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk
menjelaskan terlebih dahulu maksud “asas dapat dilaksanakan” dalam Pasal 5 huruf
d UU 12/2011 bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Terkait dengan hal
tersebut sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum pada 4 Mei 2021 yang pada pokoknya terkait dengan asas dapat
dilaksanakan haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut
para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan
isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat
dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut bukan merupakan bagian dari
penilaian Mahkamah dalam pengujian formil a quo [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 hlm. 366-367].

Terlepas dari pertimbangan di atas, setelah Mahkamah mencermati secara


saksama argumentasi dan bukti yang diajukan, telah ternyata para Pemohon dalam
mendalilkan adanya persoalan asas dapat dilaksanakan yang tidak diterapkan
dalam pembentukan UU 3/2022, tanpa memberikan bukti-bukti yang dapat
339

meyakinkan Mahkamah. Karena, setelah Mahkamah mencermati Naskah Akademik


RUU IKN telah dengan jelas menguraikan kebutuhan UU 3/2022 baik secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam hal ini, secara sosiologis pada pokoknya
diuraikan dalam Naskah Akademik adalah:

Bahwa perpindahan IKN disebabkan adanya beberapa permasalahan


karena IKN yang saat ini berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta, sudah tidak
lagi dapat mengemban perannya secara optimal. Jakarta tidak secara
optimal menjadi kota yang menjamin warganya senantiasa aman, terhindar
dari bencana alam, atau untuk mendapatkan kondisi hidup layak dan
berkelanjutan. Hal itu disebabkan dengan semakin pesatnya pertambahan
penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan,
dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Selain itu, juga
terdapat masalah ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di
luar Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah lain. Ketidakmerataan tersebut
perlu diatasi agar tidak menimbulkan konflik. Kondisi-kondisi tersebut tak
lain adalah beban yang bersumber dari sejarah yangpanjang, yang telah
menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya sejak dahulu kala. Beban itu
bertambah ketika Jakarta menjalankan fungsi ganda, selain sebagai daerah
otonom provinsi juga disematkan fungsi sebagai IKN. Alhasil, tata kelola IKN
harus senantiasa menyesuaikan kondisi Jakarta, tidak bisa serta merta
mengatur secara utuh dan ideal. Dengan demikian ada kebutuhan
menyelesaikan permasalahan IKN secara komprehensif, yang sekiranya
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum dalam aspek
ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan,
lingkungan hidup, ketahanan terhadap bencana yang mumpuni, dan
kebutuhan lainnya. Lebih besar lagi ada kebutuhan negara untuk
mengadakan tata kelola IKN yang lebih baik lagi sehingga jalannya
pemerintahan secara keseluruhan dapat menjadi lebih baik lagi [vide
Lampiran 7.DPR = PK-2. Pemerintah - Naskah Akademik RUU IKN]

Selain itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mengaitkan aspek
sosiologis tersebut dengan adanya trend kenaikan penularan Covid-19 karena
menyatakan pembentuk undang-undang seolah-olah tidak memiliki perhatian
terhadap semakin meningginya penularan Covid-19 pada saat dilakukannya
pembahasan UU a quo. Terhadap dalil ini pun para Pemohon tidak memberikan
argumentasi dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah korelasi antara kenaikan
penularan Covid-19 dengan pembahasan RUU IKN. Menurut Mahkamah, dengan
mencermati tujuan dibentuknya UU 3/2022 sebagaimana telah dipertimbangkan di
atas serta uraian aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik
RUU IKN, Pembentuk Undang-Undang telah memperhitungkan dampak
pembangunan IKN terhadap masyarakat setempat yang sudah mendiami wilayah
tersebut sebelum rencana pemindahan IKN dilakukan, sehingga pembangunan dan
pengelolaan IKN dapat berlangsung secara terukur sesuai dengan tujuan
340

dibentuknya IKN. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan hal
tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah dengan membuat kajian secara
komprehensif perihal rencana pemindahan ibu kota tersebut [vide Risalah Sidang
Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022];

Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan


bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas dapat dilaksanakan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 adalah tidak beralasan
menurut hukum.

[3.25] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU


3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”. Hal tersebut
dikarenakan, tingginya penolakan masyarakat terhadap perpindahan IKN yang juga
didasarkan pada hasil survei dari Kedai Kopi, sehingga menurut para Pemohon UU
3/2022 tidak benar-benar dibutuhkan karena yang dibutuhkan masyarakat adalah
pemulihan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang hingga saat ini
belum jelas kapan akan berakhir. Oleh karena itu, menurut para Pemohon UU
3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menjelaskan


terlebih dahulu maksud "asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara [vide
Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, untuk melihat secara
saksama tentang sejauhmana IKN dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan
membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan pembentukan
UU 3/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans
menimbang sebagai dasar filosofis dan sosiologis serta bagian penjelasan umum
yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar
memang mengabaikan asas tersebut. Dalam kaitan ini pun para Pemohon tidak
memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah atas tidak berdayaguna
dan berhasilgunanya UU 3/2022.

[3.25.1] Bahwa jika dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kelompok
Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) sebagaimana didalilkan oleh
341

para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya hasil survei tersebut
mengindikasikan bahwa sebanyak 61,9% orang tidak setuju Ibu Kota dipindahkan
dengan alasan utama adanya potensi pemborosan anggaran negara. Menurut
Mahkamah, survei tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa UU 3/2022 telah
melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Mahkamah dapat memahami
kekhawatiran dari para Pemohon berkenaan dengan penularan Covid-19, namun
kekhawatiran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak dilakukannya atau
menghentikannya pembahasan atas suatu RUU. Terlebih lagi, di tengah kondisi
pandemi Covid-19 di mana setiap orang harus mematuhi ketentuan atau protokol
kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka upaya yang dapat dilakukan
salah satunya dengan menjaga jarak (physical distancing). Oleh karenanya,
pembahasan atas suatu RUU pun tetap dapat dilakukan secara daring (dalam
jaringan), tanpa harus menghentikan seluruh proses yang telah ditentukan. Selain
itu, berkenaan dengan pendanaan pembangunan IKN yang dikhawatirkan para
Pemohon akan menghambat pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi
Covid-19, sesungguhnya tidaklah berkorelasi dengan persoalan konstitusionalitas
proses pembentukan UU 3/2022, di mana proses tersebut harus didasarkan pada
undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan
amanat Pasal 22A UUD 1945.

[3.25.2] Bahwa selanjutnya, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan


penggunaan APBN sebagai salah satu sumber pendanaan dalam rangka
mendukung persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan
pemerintahan khusus IKN merupakan hal yang lazim dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, sepanjang hal tersebut dilakukan dengan
benar dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi
menurut Mahkamah, dalam Lampiran II UU 3/2022 telah memberikan gambaran
secara utuh bahwa pendanaan IKN tidak sepenuhnya menggunakan anggaran dari
APBN, namun juga dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan
usaha, skema partisipasi badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
negara, termasuk BUMN/swasta murni, skema dukungan pendanaan/pembiayaan
internasional, skema pendanaan lainnya (creative financing), dan skema melalui
pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), seperti sewa, kerja sama pemanfaatan,
Bangun Guna Serah (BGS), dan Bangun Serah Guna (BSG) [vide Lampiran II UU
3/2022 hlm. 123-124]. Dalam kaitan ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa
342

seluruh kerja sama yang berkaitan dengan pendanaan IKN, jika hal tersebut benar
maka berkaitan dengan pendanaan tersebut seyogyanya tidak mengurangi
kedaulatan dan kemandirian negara dalam mengambil keputusan terhadap setiap
kebijakan strategis negara.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU
12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.26] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pula pembentukan UU


3/2022 telah bertentangan dengan “asas keterbukaan” sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, dibuktikan
dengan adanya 28 (dua puluh delapan) tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di
DPR, di mana hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya dapat
diakses, sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda lainnya informasi dan dokumennya
tidak dapat diakses publik sehingga representasi masyarakat yang terlibat dalam
pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk
menjelaskan terlebih dahulu maksud "asas keterbukaan" yang semula dijelaskan
dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Terkait hal tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai
substansinya, dengan telah diberlakukannya UU 13/2022 terdapat perubahan
maksud asas keterbukaan tersebut menjadi adalah bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan
peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan
terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan
pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan)
dan/atau luring (luar jaringan) [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022].
343

[3.26.1] Bahwa ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 sebagaimana telah diubah


dengan UU 13/2022 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 96 UU 12/2011
yang semula mengatur mengenai partisipasi publik sebagai berikut:

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau


tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat.

Sementara itu, sekali lagi, tanpa Mahkamah bermaksud menilai


substansinya, dengan berlakunya UU 13/2022 ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 telah
diubah seluruhnya sehingga menjadi sebagai berikut:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang
perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung
dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik
dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan
kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan
kegiatan konsultasi publik melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau
d. kegiatan konsultasi publik lainnya.
344

(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan
pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan
kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam
Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.

Namun demikian, dikarenakan UU 13/2022 diundangkan pada 16 Juni 2022, jauh


setelah UU 3/2022 diundangkan pada 15 Februari 2022 maka untuk menilai proses
pembentukan UU 3/2022 apakah telah memenuhi asas keterbukaan tetap
mendasarkan pada UU 12/2011.

[3.26.2] Bahwa berkenaan dengan keterpenuhan asas keterbukaan ini,


penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengungkapkan fakta-fakta hukum dalam
persidangan sebagai berikut:
1. Bahwa pada tahun 2017-2019, Pemerintah (Bappenas) telah melakukan kajian
pemindahan ibu kota negara yang ditindaklanjuti dengan melaksanakan dialog
nasional secara tematik untuk memperoleh masukan dari berbagai stakeholders,
pakar-pakar, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan juga lembaga-
lembaga kajian terkait Penyusunan Rencana Induk Ibu Kota Negara dilakukan
dengan melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) [vide PK-
1.Pemerintah].
2. Bahwa Pemerintah telah menerima berbagai masukan dan aspirasi dari publik
terkait IKN baik yang disampaikan langsung ke Pemerintah Pusat maupun yang
disampaikan melalui Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di lokasi Ibu
Kota Nusantara dan telah pula melakukan lokakarya yang mengundang pakar-
pakar hukum ketatanagaraan untuk memberikan masukan dari sudut pandang
konstitusi dan proses pembentukan undang-undang. [vide bukti PK-5, PK-
6.Pemerintah]
3. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan beberapa kegiatan guna
menjaring masukan dari masyarakat baik secara lisan/tulisan yaitu kegiatan
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan kunjungan kerja dalam rangka
pembahasan RUU IKN yang merupakan salah satu proses pembentukan UU IKN,
di antaranya:
345

a. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara); Dr. Hendricus Andy
Simarmata (perspektif hukum lingkungan); Wicaksono Sarosa (perspektif
hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan (perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis
(perspektif ilmu ekonomi) yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021
(vide Lampiran 11).
b. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan); Anggito Abimanyu
(Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre
(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi
dan Governance); dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia)
yang diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17).
c. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar),
yakni Robert Endi Jaweng (ex KPPOD) dalam Perspektif Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P.
Tumangor dalam Perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan
Aset Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin dalam Perspektif
Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi)
Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang diselenggarakan pada
tanggal 10 Desember 2021 (vide Lampiran 23).
d. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang Pakar),
yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN dalam
Perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali H. Situmorang Pakar
Kebijakan Publik Unas IKN dalam Perspektif Kebijakan Publik; Dr. Aminuddin
Kasim, SH.MH Pakar HTN Universitas Tadulako Sulteng IKN dalam Perspektif
Kelembagaan Negara Virtual; dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman
Lembaga Riset Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC (Communication and
Information System Security Research Center Virtual), yang diselenggarakan
tanggal 11 Desember 2021 (vide Lampiran 29).
e. RDPU tentang Ibu Kota Negara dengan 7 orang pakar, yakni Prof. Maria S.W.
Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum Pertanahan UGM;
Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat
Supriatna selaku Pakar Tata Ruang Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf
selaku Pakar Ekonomi; Prof. Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti
346

Jamaliah Lubis selaku Presiden Kongres Advokat Januari; Juniver Girsang


selaku Ketua Perhimpunan Advokat Januari-Suara Advokat Januari yang
diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2021 (vide Lampiran 34);
f. Audiensi dengan Forum Dayak Bersatu tanggal 17 Desember 2021 (vide
Lampiran 47);
g. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas
Mulawarman – Januari Timur yang diselenggarakan tanggal 11 Januari 2022
(vide Lampiran 55).
h. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas
Hasanuddin – Sulawesi Selatan dan Universitas Sumatera Utara yang
diselenggarakan tanggal 12 Januari 2022 (vide Lampiran 57).
i. Kunjungan Anggota Pansus ke kawasan calon Ibu Kota Negara di Penajam
Paser Utara – Januari Timur yang diselenggarakan pada tanggal 14 Januari
2022 (vide Lampiran 61).
4. Bahwa data terkait dengan proses pembentukan UU IKN dapat diakses di laman
Dewan Perwakilan Rakyat yakni https//:www.dpr.go.id/uu/detail/kt/368.
5. Bahwa dalam penyusunan UU 3/2022 telah dilakukan public hearing dengan
mengundang masyarakat dan akademisi yang bertempat di beberapa Universitas
di Indonesia, antara lain Universitas Sam Ratulangi, Universitas Indonesia, UPN
Veteran Jakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, Universitas
Sumatera Utara [vide lampiran keterangan tambahan Pemerintah PK-6 sampai
dengan PK-19, PK-24] yang dapat di akses melalui laman youtube sebagai
berikut:

No Agenda Tanggal Tautan

1. Konsultasi Publik RUU IKN 17 Channel Youtube IKN


diselenggarakan Bersama Desember Indonesia
Universitas Sam Ratulangi di 2021 https://www.youtube.com/
Manado watch?v=jlGG_6txpLY

2. Konsultasi Publik RUU IKN di 21 Channel Youtube IKN


Fakultas Hukum Universitas Desember Indonesia
Indonesia 2021 https://www.youtube.com/
watch?v=DO9vmSHRiUg

Berita:
https://law.ui.ac.id/v3/kon
sultasi-publik-rancangan-
347

No Agenda Tanggal Tautan

undang-undang-tentang-
ibu-kota-negara-di-fhui/

https://www.antaranews.c
om/berita/2599417/bappe
nas-gelar-konsultasi-
publik-ruu-ikn-di-ui

3. Konsultasi Publik RUU IKN di 28 Channel Youtube IKN


UPN Veteran Jakarta Desember Indonesia
2021 https://www.youtube.com/
watch?v=zwdfTs6IUH4

Berita:
https://www.upnvj.ac.id/id
/berita/2022/01/fakultas-
hukum-bersama-
kementerian-
ppnbappenas-bahas-ruu-
ibu-kota-negara.html

4. Konsultasi Publik Pansus RUU 11 Januari Channel Youtube IKN


IKN DPR RI dalam Rangka 2022 Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=CJll5LdCGV8
Universitas Mulawarman,
Samarinda

5. Konsultasi Publik Pansus RUU 12 Januari Channel Youtube IKN


IKN DPR RI dalam Rangka 2022 Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Hasanuddin,
Makassar

6. Konsultasi Publik Pansus RUU 12 Januari Channel Youtube IKN


IKN DPR RI dalam Rangka 2022 Indonesia
Pembentukan Undang-Undang https://www.youtube.com/
tentang Ibu Kota Negara di watch?v=1p52NrPfLfI
Universitas Sumatera Utara,
Medan

[3.26.3] Bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, terbukti


Pemerintah dan DPR telah melakukan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi
yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), akademisi, pakar hukum tata negara, dan kelompok masyarakat
348

adat. Terkait dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, Mahkamah tidak


menemukan fakta hukum bahwa para Pemohon berupaya untuk melibatkan diri
dan/atau terlibat secara pro-aktif dan responsif dalam memberikan masukan
terhadap proses pembentukan UU 3/2022, yang sebenarnya hal demikian tanpa
diminta atau diundang pun para stakeholders tetap dapat bertindak dan bersikap
pro-aktif untuk berperan serta sebagai bagian dari upaya mewujudkan partisipasi
masyarakat.
Menurut Mahkamah, keterlibatan masyarakat untuk terlibat secara aktif
dalam proses pembentukan undang-undang merupakan suatu keniscayaan dalam
upaya mengawal agar undang-undang yang akan dibentuk benar-benar sesuai
dengan harapan masyarakat. Terkait dengan keterlibatan secara aktif masyarakat
dalam proses pembentukan undang-undang seringkali pembebanan tanggung
jawab untuk melakukan hal tersebut dalam proses pembentukan undang-undang
dibebankan kepada masyarakat yang berpotensi terkena imbas dari pembentukan
sebuah undang-undang, padahal seharusnya masyarakat secara keseluruhan justru
juga harus mengambil beban tanggung jawab bersama untuk terlibat secara aktif,
tanpa terkecuali para Pemohon dalam perkara a quo, kecuali undang-undang
menentukan lain. Hal tersebut bertujuan agar efek negatif yang kemungkinan akan
timbul akibat dibentuknya sebuah undang-undang dapat dihindari sehingga undang-
undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang telah melewati verifikasi
secara menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan
rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

[3.26.4] Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya fakta para Pemohon untuk terlibat
aktif memberikan masukan perihal pembentukan UU 3/2022, Mahkamah juga tidak
menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para Pemohon yang dapat
membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri
atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022.
Berkenaan dengan 2 (dua) alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon yakni
screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI (vide
bukti P-43) dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang
pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Menteri Hukum dan HAM dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR RI
[vide bukti P-44], tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan
349

DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g
UU 12/2011.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas keterbukaan”
adalah tidak beralasan menurut menurut hukum;

[3.27] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan tahapan


pembentukan UU 3/2022 dilakukan dengan pola “Fast Track Legislation” yang
tergambarkan dalam tabel yang dapat diakses pada laman
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 di mana menurut para Pemohon tahapan
pembentukan UU 3/2022 dari sejak tanggal 3 November 2021 sampai dengan 18
Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. Menurut para Pemohon, tahapan ini
tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN
yang sangat strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan partisipasi
publik yang bermakna sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Selain itu, menurut Pemohon, pembahasan UU 3/2022 yang menggunakan


pola “Fast Track Legislation”, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan
cara cepat oleh Pemerintah yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-
19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-
Undang, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lebih lanjut menurut para Pemohon, pola fast track legislation berimplikasi pada
tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang sehingga
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlepas dari tidak adanya bukti yang
relevan yang diajukan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah proses
350

pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat
dan lambatnya pembahasan, namun proses pembentukan undang-undang wajib
mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Menurut Mahkamah, sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah
terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh
pembentuk undang-undang dengan berpatokan kepada asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas: kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan,
kejelasan rumusan dan keterbukaan [vide Pasal 5 UU 12/2011], maka terkait
dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast
track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk
menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022,
yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah.
Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah
undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan
ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan
diselesaikan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil
para Pemohon mengenai digunakannya pola “fast track legislation” dalam
pembentukan UU 3/2022 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak
beralasan menurut hukum.

[3.28] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas


Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan UU 3/2022
telah ternyata proses pembentukannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh
karena itu, UU 3/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya.

[3.29] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut
karena dipandang tidak ada relevansinya.
351

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan


di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil diajukan tidak


melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil;
[4.3] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.4] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[4.5] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[4.6] Hal-hal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

Dalam Provisi:
Menolak permohonan provisi para Pemohon.

Dalam Pokok Permohonan:


Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan


Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh,
352

Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota,


pada hari Senin, tanggal empat, bulan Juli, tahun dua ribu dua puluh dua yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Rabu, tanggal dua puluh, bulan Juli, tahun dua ribu dua puluh dua, selesai
diucapkan pukul 12.25 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman,
selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat,
Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Saldi Isra, Suhartoyo, dan
Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Hani
Adhani sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh para Pemohon atau
kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang
mewakili.
KETUA,

ttd.

Anwar Usman

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Aswanto Enny Nurbaningsih

ttd. ttd.

Arief Hidayat Manahan MP Sitompul

ttd. ttd.

Daniel Yusmic P. Foekh Saldi Isra


353

ttd ttd.

Suhartoyo Wahiduddin Adams

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Hani Adhani
SALINAN
F

PUTUSAN
Nomor 109/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir
menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:

Nama : H. Suhaemi Zakir


Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jalan Dukuh RT 4/5 Kebayoran Lama Utara, Jakarta
Selatan

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 September 2014
memberi kuasa kepada Rinaldi, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum di Law
Office Rinaldi & Partners, yang berkedudukan di Jalan Jiban II Nomor 7,
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.2] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Membaca kesimpulan Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal


16 September 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2

(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 17 September


2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
243/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
dengan Nomor 109/PUU-XII/2014 pada tanggal 14 Oktober 2014, yang telah
diperbaiki dengan perbaikan tanggal 12 November 2014 yang diserahkan melalui
Kepaniteraan Mahkamah yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Bahwa permohonan ini untuk menguji Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
3. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. ***)
4. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
MK, yang berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang


kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5. Bahwa Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi,
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi


berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. Kedudukan Hukum Pemohon.


7. Bahwa memperhatikan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi,
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4

8. Bahwa syarat kerugian hak konstitusional, berdasarkan pada putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007, adalah sebagai berikut,
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;

9. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, yang dibuktikan


dengan Kartu Tanda Penduduk.
10. Pemohon adalah Pemohon Eksekusi Pencairan sesuai Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, tertanggal 3 Maret 2014.
11. Bahwa pada tanggal 07 dan 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah melaksanakan Eksekusi Pencairan sesuai dengan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL., tertanggal 3 Maret 2014, namun
belum berhasil karena digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank
DKI,yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah
Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
12. Bahwa sebelum melakukan Eksekusi Pencairan, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat terlebih dahulu sudah melakukan sita eksekusi terhadap
harta milik Termohon Eksekusi di Bank DKI, sesuai dengan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5

Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, tertanggal 24 Mei 2013, kemudian


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memposisikan/memperlakukan Bank
DKI sebagai Penyimpan dan Penjaga Rekening Sitaan, sesuai Berita
Acara Sita Eksekusi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,
tertanggal 27 Mei 2013, dalam Berita Acara Sita Eksekusi a quo, Bank
DKI telah berjanji akan memberikan secara sukarela kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk menyerahkan kembali rekening yang telah
disita apabila Pengadilan memintanya.
13. Bahwa atas kejadian eksekusi digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank
DKI, yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah
Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka Pemohon melaporkan Bank DKI kepada
Kepolisian dengan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Perbankan, namun laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh
Kepolisian antara lain akibat Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak jelas maknanya, sehingga
tidak memberikan kepastian hukum, jaminan hukum dan pelindungan
hukum yang adil.
14. Bahwa hak atas kepastian hukum merupakan hak konstitusional Pemohon
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
15. Bahwa Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, berbunyi
sebagai berikut,
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. **)
16. Bahwa akibat Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan
kepastian hukum, jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil,
maka Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional,
disebabkan tidak dapat dituntutnya Bank DKI secara pidana karenaBank
DKI tidak taat atau patuh pada perintah Hakim pada Pengadilan Negeri

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6

Jakarta Pusatdan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga


Pemohon berpotensi tidak dapat menikmati hasil eksekusi tersebut.
17. Bahwa dari uraian-uraian di atas, maka Pemohon jelas dirugikan hak
konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
18. Bahwa sesuai dengan uraian-uraian di atas, maka Pemohonberhak
mengajukan permohonan ini, dan Pemohon mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) dalam perkara ini, agar Pemohon mendapatkan
hak konstitusianalnya kembali, yaitu hak atas kepastian hukum yang adil
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

III. Pokok Permohonan


19. Bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, berbunyi:
“Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
20. Bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan ini tidak jelas maknanya, terutama apa yang dimaksud dengan
“....dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku
bagi bank,.....”
21. Apakah Hukum Acara Perdata/HIR tidak berlaku bagi Bank?
22. Apakah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP tidak berlaku bagi
Bank?
23. Bahwa frasa“bagi bank” ini yang yang membuat Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini, menjadi tidak jelas
maknanya.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7

24. Bahwa ketidakjelasan makna Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan ini, membuat ketidak pastian hukum,
jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil.
25. Pemohon adalah Pemohon Eksekusi Pencairan sesuai Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, tertanggal 3 Maret 2014.
26. Bahwa sebelum melakukan Eksekusi Pencairan, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat terlebih dahulu sudah melakukan sita eksekusi terhadap
harta milik Termohon Eksekusi di Bank DKI, sesuai dengan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, tertanggal 24 Mei 2013, kemudian
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memposisikan/memperlakukan Bank
DKI sebagai Penyimpan dan Penjaga Rekening Sitaan, sesuai Berita
Acara Sita Eksekusi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,
tertanggal 27 Mei 2013, dalam Berita Acara Sita Eksekusi a quo, Bank
DKI telah berjanji akan memberikan secara sukarela kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk menyerahkan kembali rekening yang telah
disita apabila Pengadilan memintanya.
27. Bahwa pada tanggal 07 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah melaksanakan Eksekusi Pencairan sesuai dengan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 5/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL., tertanggal 3 Maret 2014, namun
belum berhasil karena digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank DKI.
28. Bahwa sejatinya Bank DKI tidak taat atau patuh pada perintah Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusatdan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
29. Bahwa kemudian pada tanggal 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat kembali melaksanakan Eksekusi Pencairan sesuai dengan
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/
PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL., tertanggal 3

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8

Maret 2014, namun tetap belum berhasil karena kembali digagalkan dan
dihalang-halangi oleh Bank DKI.
30. Bahwa peristiwa ini menunjukan Bank DKI betul-betul tidak mau taat atau
patuh pada perintah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusatdan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
31. Bahwa atas kejadian eksekusi yang digagalkan dan dihalang-halangi oleh
Bank DKI, maka Pemohon melaporkan Bank DKI kepada Kepolisian
dengan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun laporan Pemohon tidak
dapat diterima oleh Kepolisian, karena Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak jelas maknanya
sehingga tidak memberikan kepastian hukum,jaminan hukum dan
pelindungan hukum yang adil.
32. Bahwa atas kejadian eksekusi yang digagalkan dan dihalang-halangi oleh
Bank DKI, maka Pemohon juga melaporkan Bank DKI kepada Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dengan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf
b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, karena
Pemohon yakin hal ini bagian dari tugas dan fungsi OJK sebagai
Pengawas Perbankan, karena seharusnya hal ini bagian dari penilaian
terhadap Perbankan apakah patuh dan taat (compliance) pada peraturan
yang ada, namun laporan Pemohon tidak dapat diterima oleh OJK karena
Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yang tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan
kepastian hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil.
33. Bahwa akibat dari penolakan laporan tuduhan melanggar Pasal 49 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
oleh Kepolisian, maka hal ini jelas telah menghilangkan hak konstitusional
Pemohon, yaitu hak atas kepastian hukum.
34. Bahwa hak Konstitusional Pemohon, yaitu hak atas kepastian hukum,
jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil, sesuai dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
35. Bahwa akibat dari penolakan laporan tuduhan Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, oleh OJK,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9

maka hal ini jelas telah juga menghilangkan hak konstitusional Pemohon,
yaitu hak atas kepastian hukumjaminan hukum dan perlindungan hukum
yang adil.
36. Bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan,Pemohon yakini bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusi, yaitu jaminan hak asasi manusia tentang hak
atas kepastian hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil.
37. Bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, Pemohon yakini melanggar Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
38. Bahwa Pemohon yakini telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat
berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan.
39. Bahwa dari uraian-uraian diatas, maka jelas sekali hubungan sebab akibat
antara kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 49 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
40. Bahwa dari uraian-uraian di atas, maka jelas sekali potensi Pemohon
untuk memperoleh kembali hak konstitusional jika permohonan ini dapat
dikabulkan.
41. Bahwa agar memberikan makna yang jelas dan memberikan kepastian
hukum,jaminan hukum dan pelindungan hukum yang adil, bagi Pasal 49
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, maka mohon supaya dihapus frasa “bagi bank” , sehingga
pasal ini semestinya berbunyi, “tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8(delapan) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10

IV. Petitum
Berdasarkan dalil-dalil Pemohon di atas, maka kami mohon kepada
Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memberikan putusan dalam perkara ini,
sebagai berikut;
PRIMER
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama
8(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah)”.
3. Menyatakan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8(delapan)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Subsider
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pemohon Mohon keadilan
yang seadil-adilnya berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon


mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-13 sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Penetapan Nomor 07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Berita Acara Eksekusi Pencairan Nomor
07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/Pdt.G/2008/
PN.JKT.SEL, bertanggal 7 Maret 2014;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Berita Acara Eksekusi Pencairan Nomor 07/DEL/2013/
PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL,
bertanggal 27 Maret 2014;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Penetapan Nomor 07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Berita Acara Sita Eksekusi/Pemblokiran Nomor 07/DEL/
2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL;
7. Bukti P-7 : Fotokopi surat kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
Otoritas Jasa Keuangan, bertanggal 10 Maret 2014;
8. Bukti P-8 : Fotokopi surat Nomor S-59/KR.12/2014, hal Laporan Terhadap
Bank DKI, bertanggal 16 April 2014;
9. Bukti P-9 `: Fotokopi surat kepada Direktur Pengawasan Bank – 2 Otoritas
Jasa Keuangan, bertanggal 22 Mei 2014;
10.Bukti P-10 : Fotokopi surat Nomor SR.82/KR.12/2014 kepada Law Firm
Rinaldi & Partners, bertanggal 6 Juni 2014;
11.Bukti P-11 : Fotokopi surat kepada Kepala Departemen Hukum Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), bertanggal 5 Juli 2014;
12.Bukti P-12 : Fotokopi surat Nomor S-43/MS.323/2014, hal Jawaban atas
Permohonan Penjelasan;
13.Bukti P-13 : Fotokopi KTP atas nama H.Suhaemi Zakir.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12

[2.3] Menimbang bahwa Presiden telah didengar keterangannya pada


persidangan tanggal 2 Desember 2014 dan telah mengajukan keterangan tertulis
yang diserahkan melalui Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Desember 2014
yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN

1. Bahwa Pemohon adalah Pemohon Eksekusi Pencairan sesuai Penetapan


Pengadilan NegeriJakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto
Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,tertanggal 3 Maret 2014, dimana
PN sudah melakukan sita eksekusi terhadap harta milik Termohon
Eksekusi di Bank DKI. Namun eksekusi belum berhasil karena digagalkan
dan dihalang-halangi oleh Bank DKI yang sejatinya Bank DKI tidak mau
taat atau patuh pada perintah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.

2. Terhadap kejadian tersebut Pemohon dalam permohonannya mendalilkan


sebagai berikut:

a. Bahwa dalam perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 Pemohon


menganggap telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya
Pasal 49 ayat (2) huruf b dan penjelasannya UU Perbankan yang tidak
jelas maknanya sehingga tidak memberikan kepastian hukum, jaminan
hukum dan perlindungan hukum yang adil, maka Pemohon berpotensi
mengalami kerugian konstitusional disebabkan Bank DKI tidak taat atau
patuh pada perintah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pemohon
berpotensi tidak dapat menikmati hasil eksekusi tersebut.

b. Bahwa terhadap ketentuan pasal a quo agar memberikan makna yang


jelas dan memberikan kepastian hukum, jaminan hukum dan
perlindungan hukum yang adil, Pemohon memohon supaya dalam
pasal a quo dihapus frasa ”bagi bank”, sehingga Pasal tersebut
semestinya berbunyi ”tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku, diancam dengan pidana penjara sekurang-

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13

kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud


dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan


kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14

Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus


memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband)antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,


Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon dalam


permohonannya, menurut Pemerintah hal tersebut bukanlah kompetensi
Mahkamah Konstitusi, karena yang diajukan adalah bukan constitutional
review melainkan constitutional complaint dimana berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi secara tegas hanya dinyatakan
mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
terhadap apakah suatu norma Undang-Undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi bukan terhadap penerapan (implementasi) suatu norma
yang dirasa oleh Penggugat telah melanggar hak-hak konstitusionalnya.

2. Bahwa terhadap keinginan Pemohon untuk memperluas isi dan makna


ketentuan Pasal 49 ayat (2) UU Perbankan menurut Pemerintah adalah
lebih merupakan saran kepada pembuat Undang-Undang dimana hal
tersebut tidak dapat diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi
karena hal demikian menjadi lingkup kompetensi legislatif.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan


kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15

ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan juga apakah terdapat


kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji. Sehingga Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan
ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima(niet ontvankelijk verklaard).

Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia


Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,
sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007).

III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN


OLEH PEMOHON

Sehubungan dengan dalil Pemohon bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b
UU Perbankan dalam perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 yang menyatakan:

Pasal 49 ayat (2):


(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan
sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima
suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang
berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan
bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau
fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau
pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan
kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan
dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16

b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan


ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku
bagi bank,diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Dan Penjelasan Pasal 49 ayat (2) huruf b, yang menyatakan:


“Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai
wewenang dan tanggungjawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha
bank yang bersangkutan.”

Ketentuan tersebut dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan ketentuan


Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Terhadap anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah memberikan keterangan


sebagai berikut:

1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam


bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Apabila dilihat dari segi ”service
bank”, Bank adalah institusi yang menerima simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat. Selanjutnya apabila mengacu pada
fungsi ekonomis dari Bank maka Bank didefinisikan sebagai lembaga yang
menerima simpanan, menawarkan rekening dengan hak istimewa dan
membuat pinjaman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peran yang
ditawarkan oleh Bank. Salah satu sifat perbankan yang sangat penting
ialah perbankan merupakan industri yang sangat bertumpu pada
kepercayaan masyarakat yang memiliki uang lebih untuk disimpan.
Kepercayaan masyarakat bagi industri perbankan merupakan hal yang
sangat penting dan harus dijaga. Oleh karenanya salah satu unsur yang
harus dimiliki oleh Perbankan adalah adanya peraturan yang bersifat
mengikat dan mempunyai konsekuensi hukum dalam hal ini sanksi pidana
bagi yang tidak menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan terkait dengan perbankan.Undang-Undang Perbankan
membedakan sanksi pidana ke dalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17

pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang


menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga
perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat
kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun
masyarakat, perlu selalu dihindarkan.
2. Bab VIII Undang-Undang Perbankan yang berjudul keterangan pidana dan
sanksi administratif merupakan implementasi Konvensi Basel II yang
mengatur tentang risiko hukum dalam bidang perbankan. Salah satu pasal
dalam Bab VIII yang mengatur tentang pidana yaitu Pasal 49 ayat (2) huruf
b memiliki maksud dan tujuan semata-mata untuk melindungi nasabah dan
masyarakat. Konvensi Basel II merupakan ketentuan internasional yang
menjadi pedoman umum negara di seluruh dunia terkait dengan
perbankan. Konvensi Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu
persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan
informasi. Pilar kedua menangani tanggapan yang juga memberikan suatu
kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi
bank yang salah satunya adalah risiko hukum.

3. Sanksi pidana dalam pasal a quo merupakan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan bagi para nasabah Perbankan. Selain sanksi pidana, pihak-
pihak yang melakukan tindak pidana juga dikenakan sanksi tambahan
berupa saksi administrasi sesuai dengan Pasal 52 UU Perbankan. Sanksi
administratif umumnya diterapkan pada pegawai bank dan atau pada bank
yang melanggar ketentuan di bidang perbankan (ekstern atau intern bank)
yang sifatnya teguran/pembinaan yang bobotnya ringan dan tidak terkait
dengan kerugian bank misalnya dari hasil pemeriksaan operasional
ditemukan kelemahan administratif.

4. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, melindungi


kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan bank terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan dan
pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan
Indonesia sebagai:
a. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga
penghimpun dan penyalur dana;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18

b. Pelaksana kebijakan moneter;


c. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi
serta pemerataanagar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik
sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu
memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang
secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan
menerapkan:
a. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi)
b. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
c. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara
konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking)
dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu
kepada prinsip kehati-hatian.

Dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan terdapat frasa ”ketaatan


bank”. Maksud kata taat dalam UU Perbankan adalah senantiasa
mendengarkan/memperhatikan dengan seksama, patuh, tunduk dan
melakukan seluruh ketentuan yang berlaku di bidang perbankan baik
ketentuan eksternal bank, ketentuan internal bank maupun seluruh
ketentuan lainnya yang mengatur tentang perbankan yang beroperasi di
Indonesia. Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah
yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia/OJK dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta memastikan kepatuhan Bank
terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada OJK dan/atau otoritas
pengawas lain yang berwenang.

Bahwa berdasarkan Pasal 6 UU OJK, OJK melaksanakan tugas


pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan. Selanjutnya Pasal 9 UU OJK menyatakan dalam
melaksanakan tugas pengawasan tersebut, OJK mempunyai wewenang
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19

dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud


dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.OJK juga
mengatur tentang perlindungan konsumen dan masyarakat dalam Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU OJK. Untuk melaksanakan
pengaturan tentang perlindungan konsumen tersebut, OJK telah
menerbitkan Surat Edaran Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan
dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) yang mengatur tentang mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan konsumen.

Dengan demikian dalil permohonan Pemohon yang menyatakan ketentuan


Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menurut sangkaan Pemohon
tidak jelas maknanya, Pemerintah berpendapat Pemohon telah keliru dalam
memahami permasalahan keperdataan yang sedang dihadapi oleh Pemohon,
dan ketentuan pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon sama sekali
tidak bertentangan secara konstitusional dengan UUD 1945.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah


memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian (constitutional
review) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20

1992 tentang Perbankan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D


ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan kesimpulan yang


diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Desember 2014, yang pada
pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


pengujian konstitusionalitas sepanjang frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790, selanjutnya disebut UU Perbankan) terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut
UUD 1945 khususnya pasal sebagai berikut:

• Pasal 49 ayat (2) huruf b menyatakan, “Anggota Dewan Komisaris,


Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja”

a. ...;

b. “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk


memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp. 5.000.000.000., (lima milyar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000., (seratus miliar rupiah)”.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21

[3.2] Menimbang bahwa sebelum menilai pokok permohonan, Mahkamah


Konstitusi, selanjutnya disebut Mahkamah, akan mempertimbangkan terlebih
dahulu hal-hal sebagai berikut:
a. kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a
quo;

Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai


berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa karena yang dimohonkan oleh Pemohon adalah


pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu sepanjang frasa “bagi bank”
Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan terhadap Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya


Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan


konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah
sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya
telah berpendirian adanya 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada


paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
sebagai berikut:
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang
merupakan Pemohon eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor
1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, bertanggal 3 Maret 2014. Bahwa pada tanggal 7
Maret 2014 dan 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
melaksanakan eksekusi pencairan namun belum berhasil karena digagalkan dan
dihalang-halangi oleh Bank DKI, yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau
patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2)
huruf b UU Perbankan supaya dihapus;
Berdasarkan dalil kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut,
menurut Mahkamah terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian Pemohon tersebut yang bersifat aktual, potensial, dan menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, yang adanya kemungkinan dengan
dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional Pemohon tidak akan
atau tidak lagi terjadi. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum
untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24

Pokok Permohonan

[3.9] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya memohon pengujian


konstitusionalitas sepanjang frasa, “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU
Perbankan terhadap UUD 1945, dengan alasan pada pokoknya sebagai berikut:

1. Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan sepanjang frasa, “bagi bank” menjadi
tidak jelas maknanya yang membuat ketidakpastian hukum, jaminan hukum dan
perlindungan hukum yang adil;

2. Sebelum melakukan eksekusi pencairan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


terlebih dahulu sudah melakukan sita eksekusi terhadap harta milik Termohon
eksekusi di Bank DKI, sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/
PN.JKT.SEL, bertanggal 24 Mei 2013, kemudian Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memperlakukan Bank DKI sebagai penyimpan dan penjaga rekening
sitaan, sesuai Berita Acara Sita Ekseskusi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,
bertanggal 27 Mei 2013, dalam Berita Acara Sita Eksekusi a quo, Bank DKI
telah berjanji akan memberikan secara sukarela kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk menyerahkan kembali rekening yang telah disita apabila
pengadilan memintanya;

3. Tanggal 7 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melaksanakan


eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL,
bertanggal 3 Maret 2014, namun belum berhasil karena digagalkan dan
dihalang-halangi oleh Bank DKI;

4. Tanggal 27 Maret 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali


melaksanakan eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor
1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, bertanggal 3 Maret 2014, namun tetap belum
berhasil karena kembali digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank DKI;

Untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat tertulis


yaitu bukti P-1 sampai dengan bukti P-13;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25

[3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden telah


didengar keterangannya baik secara lisan pada persidangan tanggal 2 Desember
2014, dan mengajukan keterangan tertulis yang diserahkan melalui Kepaniteraan
Mahkamah tanggal 22 Desember 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
Pemohon telah keliru dalam memahami permasalahan keperdataan yang sedang
dihadapi oleh Pemohon, dan ketentuan pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh
Pemohon sama sekali tidak bertentangan secara konstitusional dengan UUD
1945;

Pendapat Mahkamah

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan Pemohon, keterangan Presiden dan bukti-bukti surat/tulisan yang
diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis Pemohon sebagaimana termuat pada
bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sepanjang


frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan mengakibatkan Bank
DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

[3.13] Menimbang bahwa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum


tetap telah memiliki 3 (tiga) sifat kekuatan sehingga putusan tersebut harus
dilaksanakan, yaitu mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan kekuatan
untuk dilaksanakan;

[3.14] Menimbang bahwa putusan yang mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan


merupakan tindak lanjut dari putusan sebagai hasil dari proses hukum melalui
peradilan penyelesaian sengketa yang mengikat dan menjadi hukum bagi para
pihak. Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap juga mempunyai kekuatan
untuk dilaksanakan serta tidak dapat diubah oleh siapapun dan harus
dilaksanakan;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26

[3.15] Menimbang bahwa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum


tetap mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan tidak dapat diganggu gugat lagi,
merupakan konsekuensi dari adagium that judgment was that of God, putusan
Hakim sama dengan putusan Tuhan, dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, menempatkan putusan hakim sebagai
kebenaran terakhir dalam upaya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan (the
last resort);

[3.16] Menimbang bahwa putusan pengadilan berperan juga sebagai sarana


untuk melindungi anggota masyarakat yang merasa teraniaya, dilanggar atau
diambil hak-haknya. Putusan pengadilan sebagai penentuan suatu tindakan
hukum tertentu boleh atau tidak, melanggar hukum atau tidak, patut atau tidak
patut, melampaui batas atau tidak, menentukan apakah suatu tindakan hukum
bertentangan dengan kepentingan hukum atau tidak, oleh karenanya putusan
pengadilan wajib dilaksanakan dan dihormati serta ditaati oleh setiap subjek
hukum baik perseorangan maupun korporasi;

[3.17] Menimbang dalam menemukan hukum untuk memberikan putusannya


hakim dengan cara selain menafsirkan, mengkonstruksikan hukum terkadang
harus juga menciptakan/menemukan hukum sehingga dalam hal tertentu hakim
melalui putusannya melakukan peran sebagai lembaga pembentuk Undang-
Undang, oleh karenanya putusan hakim merupakan Undang-Undang yang berlaku
bagi warga masyarakat;

[3.18] Menimbang bahwa salah satu ciri negara hukum adalah pengadilan dalam
pengambilan putusan secara substansial tidak boleh ada campur tangan,
negosiasi dan kompromi dengan pihak manapun sebagai konsekuensi dari
kedudukan lembaga peradilan selaku kekuasaan yang merdeka, bebas dari segala
campur tangan pihak manapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Peradilan
bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga,
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi
ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27

lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan


masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh
memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan
sebagai konsekuensi dalam menjalankan tugasnya. Proses pemeriksaan perkara
oleh hakim harus bersifat terbuka dan dalam menentukan penilaian dan
pengambilan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai
corong Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga
corong keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat;

Bahwa Negara Hukum harus menjamin, melindungi, memenuhi serta


memajukan hak asasi manusia sesuai dengan harkat dan martabat sebagai
manusia, jaminan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan terhadap hak asasi
manusia adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun;

[3.19] Menimbang bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menegaskan bank


harus tunduk kepada kepentingan peradilan yang mana ketentuannya
menyatakan, “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”;
Bahwa Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan menyatakan, “Untuk kepentingan
peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin
kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank”;

[3.20] Menimbang bahwa menurut Pemohon, pasal a quo menentukan bahwa


pengurus bank hanya tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya pada
sektor perbankan dan tidak tunduk pada penetapan eksekusi yang merupakan
proses hukum yang melekat dan satu kesatuan dengan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa suatu
putusan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan dan merupakan pelanggaran
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara
Republik Indonesia yang merupakan negara hukum sesuai dengan UUD 1945 dan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28

pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati
putusan pengadilan, serta pengabaian pengurus bank terhadap putusan
pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa “bagi bank”, menurut
Mahkamah bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945;

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,


menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai frasa “bagi bank” yang
tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan beralasan menurut
hukum.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indoensia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negera
Republik Indonesia Nomor 5076).

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

1.1 Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Aswanto, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria
Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, dan Wahiduddin Adams, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal delapan belas, bulan
Desember, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal delapan
belas, bulan Juni, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 15.05
WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu, Arief Hidayat selaku Ketua merangkap
Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Suhartoyo,
I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul masing-masing sebagai

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30

Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti,
serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;

KETUA,

ttd

Arief Hidayat

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.
ttd.
Anwar Usman Aswanto

ttd. ttd.
Maria Farida Indrati Patrialis Akbar

ttd. ttd.

Suhartoyo I Dewa Gede Palguna

ttd.
Manahan M.P Sitompul

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Ida Ria Tambunan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUTUSAN
Nomor 10/PUU-VI/2008

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada


tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] A. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, beralamat di Jalan


Gatot Subroto Nomor 6, Senayan, Jakarta Pusat 10270, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008, yang selanjutnya
disebut sebagai PEMOHON I (DPD);

B. Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik


Indonesia yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut
sebagai PEMOHON II (Para Anggota DPD), yang terdiri dari:
1. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum, S.H., anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Nomor Anggota B-04, Daerah Pemilihan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang beralamat di Jalan Gatot
Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 4 April 2008;
2. Lundu Panjaitan, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota BA-7, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera
Utara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
3. Dr. Mochtar Naim, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-12, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Barat, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
2

4. Drs. H. Soemardhi Thaher, anggota Dewan Perwakilan Daerah,


Nomor Anggota B-13, Daerah Pemilihan Provinsi Riau, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
5. Muhammad Nasir, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-19, Daerah Pemilihan Provinsi Jambi, yang beralamat
di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
6. Ir. Ruslan, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota
B-24, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
7. Muspani, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-27, Daerah Pemilihan Provinsi Bengkulu, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
8. Hariyanti Syafrin, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-30, Daerah Pemilihan Provinsi Lampung, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
9. Fajar Fairy S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-35, Daerah Pemilihan Provinsi Bangka Belitung, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
10. Benny Horas Panjaitan, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-39, Daerah Pemilihan Provinsi Kepulauan
Riau, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
11. Biem Triani Benjamin, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-43, Daerah Pemilihan Provinsi DKI Jakarta,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
12. KH. Sofyan Yahya M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-48, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat,
3

yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,


berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
13. Drs. Sudharto, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-51, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Tengah, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008;
14. Drs. Ali Warsito, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-54, Daerah Pemilihan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
15. KH. A. Mujib Imron S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-58, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Timur,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
16. R. Renny Pudjiati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota BA-64, Daerah Pemilihan Provinsi Banten, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
17. I Wayan Sudirta, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-65, Daerah Pemilihan Provinsi Bali, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
18. H. Lalu Abd. Muhyi Abidin, S.Ag., anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Nomor Anggota B-72, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa
Tenggara Barat, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
19. Joseph Bona Manggo, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-75, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
20. Sri Kadarwati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-79, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Barat, yang
4

beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan


Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
21. Prof. KMA. M. Usop, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-82, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Tengah, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
22. Drs. H. Muhamad Ramli, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-88, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
23. Drs. Nursyamsa Hadis, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-89, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
24. Marhany Victor Poly Pua, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-93, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
25. Drs. Roger Tobigo, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-98, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Tengah, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
26. Ir. Abdul Aziz Qahar M., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-102, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
27. Drs. Pariama Mbyo, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota BA-108, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Tenggara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
28. Prof. Dr. H. Nani Tuloli, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-110, Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo,
5

yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,


berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
29. Midin B. L., S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-115, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
30. Ishak Pamumbu Lambe, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-103, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
31. Anthony Charles Sunarjo, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-117, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
32. Tonny Tesar, anggota Dewan Perwakilan Daerah a, Nomor
Anggota B-126, Daerah Pemilihan Provinsi Papua, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
33. Drs. Wahidin Ismail, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-124, Daerah Pemilihan Provinsi Papua Barat, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;

C. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian


besar terhadap Pemilihan Umum, parlemen Indonesia, dan
penyaluran aspirasi daerah, yang untuk selanjutnya secara
bersama-sama disebut sebagai PEMOHON III, yang terdiri dari:
1. Hadar Nafis Gumay, Direktur Eksekutif Yayasan Pusat
Reformasi Pemilu [Centre for Electoral Reform (”CETRO”)],
yang beralamat di Jalan Hang Jebat VIII Nomor 1 Jakarta 12120,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;
2. Dr. Saafroedin Bahar, Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat,
yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 39 Pekanbaru, Riau,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;
6

3. Sulastio, Ketua Umum Indonesian Parliamentary Center


(”IPC”), yang beralamat di Jalan Teuku Cik Di Tiro Nomor
37 A Pav, Jakarta 10310, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 21 April 2008;
4. Sebastianus KM Salang, Koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (”FORMAPPI”), yang beralamat di
Jalan Matraman Raya Nomor 32-B, Jakarta Timur, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;

D. Perorangan yang tinggal di provinsi tertentu yang untuk


selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai PEMOHON IV
(Warga Daerah), yang terdiri dari:
1. Hariyono S.P., yang beralamat di Jalan Radial Nomor 1321, RT
020/006 Desa/Kelurahan 24 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Kota
Palembang Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
2. Drs. Welky Karauwan M.Si., yang beralamat di Kelurahan
Walian Lingkungan X, Desa Walian, Kecamatan Tomohon
Selatan, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
3. Hartono, yang beralamat di Jalan Kamboja RT/RW 03/IV,
Kampung Mariyai, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong Provinsi
Papua Barat berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April
2008;
4. Ahmad Wali S.H., yang beralamat di Jalan Uram Nomor 34
Perumnas Kelurahan/Desa TL. Rimbo Lama Kecamatan Curup
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
5. TB. A. Oman Jahid Sulman, SC., yang beralamat di Jalan KH.
TB. A. Khatib Nomor 45 RT/RW 04/05 Kelurahan/Desa Cipare
Kecamatan Serang, Provinsi Banten, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
6. Abdul Salim Ali Siregar, yang beralamat di Jalan WR.
Supratman Nomor 046 RT/RW 008/001 Kelurahan Kandang
Limun Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu Provinsi
7

Bengkulu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April


2008;
7. Musriadi, yang beralamat di Jalan Merdeka Nomor 19
Desa/Kelurahan Lancang Garam Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
8. Zulfikar, yang beralamat di Lingkungan Rukun Desa/Kelurangan
Blang Asan Kecamatan Kota Sigli Kabupaten Pidie Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 2 April 2008;
9. Karno Miko Sergye Rumondor, yang beralamat di Kelurahan
Kairagi Dua Lingkungan VIII RW 008 Kecamatan Mapanget Kota
Manado Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
10. Marhendi WH., yang beralamat di Desa Kota Lekat, Kecamatan
Kerkap, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
11. Fauzan Azima SH., yang beralamat di Jalan Batin Tikal Nomor
23 RT/RW 003/III Desa/Kelurahan Karya Makmur Kecamatan
Pemali Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
12. H.A. Syafei, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 3
RT/RW 04/05 Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi
Tengah, Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
13. Natanael Mok, yang beralamat di Desa Yayasan Kecamatan
Morotai Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2
April 2008;
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV berdasarkan surat kuasa khusus
bertanggal 2 April 2008, 3 April 2008, 4 April 2008, dan 21 April 2008
selanjutnya memberi kuasa kepada 1) Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.,
2) Trimoelja D. Soerjadi, S.H., 3) Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., 4) Bambang
Widjojanto, S.H., M.H., 5) Alexander Lay, S.H., LL.M., 6) B. Cyndy Panjaitan, S.H.
yang bertindak untuk dan atas nama Pemohon I sampai dengan
8

Pemohon IV, berdomisili di Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, beralamat
di Mayapada Tower, Lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28, Jakarta 12920;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Telah membaca permohonan dari para Pemohon;


Telah mendengar keterangan dari para Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan
Perwakilan Rakyat;
Telah memeriksa bukti-bukti;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis para ahli dari para
Pemohon dan Pemerintah;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan


dengan surat permohonannya bertanggal 10 April 2008 yang diterima dan terdaftar
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 April 2008, dengan registrasi Perkara
Nomor 10/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 25 April 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

A. KONTEKS KEPENTINGAN DAERAH DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN


UU PEMILU

Jong java, jong ambon, jong celebes, jong sumatra telah berikrar ”satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa” pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk mewujudkan
Indonesia. Konstitusi pertama Indonesia sebagai kontrak sosial berbangsa dan
bernegara yang dibuat oleh BPUPKI/PPKI yang dirumuskan oleh para tokoh-tokoh
daerah telah menjustifikasi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rakyat yang hidup di berbagai daerahlah yang sejatinya membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan sekaligus menegaskan muara dari tujuan
negara seperti tersebut di dalam pembukaan UUD 1945. Alinea keempat
pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: “... untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
9

seluruh tumpah darah Indonesia ...” dan “... maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat ...”. Muara itu ditujukan untuk kepentingan dan kehidupan
seluruh rakyat, bukan sekadar klusterisasi kekuatan politik tertentu yang
memanfaatkan pranata politik untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Namun tidaklah dapat dipungkiri fakta yang terjadi hingga saat ini bukanlah
perilaku baru dalam sistem budaya politik kita sepanjang tiga dekade lebih rezim
Orde Baru berkuasa bahwa negara telah dikelola secara terpusat dan mengingkari
spirit pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan inilah salah satu faktor
yang secara jelas telah mendorong lahirnya Reformasi.
Muhammad Yamin dalam penyusunan Undang Undang Dasar 1945 telah secara
tegas menyatakan:
“...permusyawaratan rakyat adalah wujud kedaulatan rakyat yang sempurna atau
sambungan yang paling tinggi dari kedaulatan rakyat yang syaratnya terdiri dari
wakil langsung daripada rakyat dan wakil daerah. Wakil daerah ini menjadi sangat
perlu oleh karena tanah Indonesia tentu akan terdiri atas beberapa daerah dan
wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan
dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah
dalam permusyawaratan itu...”; “Jadi, dengan segala kesederhanaan saya
berkeyakinan bahwa constitutie Indonesia hanya dapat disusun kalau didasarkan
atas negara kesatuan, dengan mewujudkan syarat-syarat untuk mementingkan
daerah, pembagian kekuasaan dipusat antar badan-badan pusat sendiri dan
pembagian kekuasaan rakyat antar badan pusat dan badan daerah, barulah diatur
dengan keadilan dan kebijaksanaan....”
(Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I, J Prapantja hal
233)
Reformasi merespons kesemuanya dengan melahirkan UU Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilu dan undang-undang bidang politik lainnya serta UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berujung pada
perubahan konstitusi. Substansi otonomi daerah diletakkan dalam derajat dan level
tertinggi dalam sistem bernegara hukum Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945
telah menegaskan tentang eksistensi pengelolaan daerah secara otonom sehingga
seyogianya tidak lagi dapat dikembalikan lagi secara sentralistik oleh pemerintah
pusat. Semangat reformasi dengan mempertegas sikap afirmatif terhadap daerah
ini masih terus terpelihara sebagai dasar lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
10

Konstitusi memastikan hubungan pusat dan daerah dalam prinsip dan perspektif
otonomi. Daerah diberi keleluasaan gerak, mengatur dan mengurus urusannya
sendiri berdasarkan prinsip otonomi dalam sistem negara kesatuan. Secara
normatif, Konstitusi menjustifikasinya melalui BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH,
Perubahan Kedua UUD 1945, dalam Pasal 18, 18A, dan 18B.

Salah satu konsekuensi Perubahan Kedua UUD 1945 ialah penegasan bahwa
kekuasaan politik pusat yang bersifat sentralistik berdasarkan kesepakatan politik
Presiden dan DPR belaka telah ”gagal” memajukan martabat daerah. Itu
sebabnya, konstitusi menegaskan otonomi menjadi sebuah keniscayaan.
Desentralisasi tidak dapat lagi diubah menjadi sentralisasi semata-mata dengan
kesepakatan politik Presiden dan DPR melalui instrumen hukum bernama undang-
undang karena konstitusi meniscayakan daerah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan.

Institusi pemerintahan daerah yang dahulu tidak jelas dan tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam konstitusi, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD provinsi/
kabupaten/kota kini menjadi kuat dan berindikasi sama dengan institusi lembaga
negara. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri
melalui instrumen hukum yang bernama Peraturan Daerah yang kemudian dapat
dijabarkan sebagai Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pendeknya, konstitusi
telah memberikan dan menjustifikasi kewenangan pada daerah untuk melakukan
penguatan otonomi agar daerah dapat mengakselerasi seluruh daya daerah guna
meningkatkan martabat daerah dan mengejar ketertinggalan.

Di sisi lain, persoalan kekuasaan pembentukan undang-undang nyaris secara


normatif-praktis tidak melibatkan representasi dan kepentingan daerah secara
signifikan dan determinatif. Desain politik legislasi masih dimonopoli oleh
representasi partai politik yang ‘teologi’ kehadirannya tidak ditujukan untuk
mewakili kepentingan daerah. Kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada
DPR dan disetujui bersama dengan Presiden (Pasal 20 Perubahan Pertama UUD
1945). Undang-undang yang demikian tidak serta merta mewakili kepentingan
daerah dan bahkan acapkali tidak secara genuine berpihak pada kepentingan
daerah.

Perlu diperhatikan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dan DPR
tersebut, di masa lampau bukan saja telah menimbulkan rangkaian protes dari
11

daerah, tetapi juga telah menimbulkan rangkaian pemberontakan dan gerakan


separatis. Pemberontakan telah terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan
Papua. Pemberontakan daerah ini berlanjut menjadi gerakan separatis di Aceh,
Maluku, dan Papua. Pemberontakan dan gerakan separatis di Aceh dan Papua
berhasil mencapai sebagian besar tuntutannya dalam format otonomi khusus.

Oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi keutuhan
bangsa dan Negara, agar Dewan Perwakilan Daerah terdiri dari anggota-anggota
yang sepenuhnya merupakan representasi daerah secara lahir dan bathin, bukan
saja untuk benar-benar terwakilinya aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat
nasional, tetapi juga untuk mencegah secara mendasar kemungkinan timbulnya
protes daerah dan atau bibit-bibit pemberontakan di masa datang sebagai akibat
kesalahan dalam proses pembentukan undang-undang.

Jika hal ini diabaikan, protes dan pemberontakan di tingkat daerah ini masih
mungkin terjadi dalam kurun pasca Reformasi, seperti tercantum dalam sikap
utusan masyarakat hukum adat dalam kongresnya di Jakarta pada tahun 1999—
dan masih dianut sampai sekarang—yang berbunyi, “Jika Negara tidak mengakui
kami, kami tidak akan mengakui Negara”. Seperti kita ketahui, sampai sekarang
ini masih belum ada Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, walau sudah direncanakan beberapa tahun yang lalu
oleh Badan Legislasi DPR. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
demikian kecilnya perhatian DPR terhadap masalah ini, salah satu sebabnya
karena seluruh anggota DPR adalah anggota partai politik yang tidak berakar di
daerah tetapi di dalam partai.

Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik. Artinya, otomatis dominasi kepentingan partai
politik akan mewarnai proses legislasi di bidang otonomi daerah.

Hal ini akan berpotensi besar menjadi bias, karena ketiadaan representasi daerah
guna menentukan atau secara bersama-sama memegang kekuasaan
pembentukan undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada pembentukan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2007: ada banyak norma yang dapat mencabut substansi yang esensial bagi
12

otonomi daerah yang diatur dalam UUD 1945. Pada konteks tersebut, faktor
utamanya dapat berupa tidak adanya peran daerah yang signifikan dan
determinatif dalam pembentukan undang-undang tersebut.

Selain itu, juga dapat terjadi bias ketika dominasi pembentukan kebijakan pusat
melalui undang-undang hanya berada dalam tangan kekuatan Parpol saja yang
secara prinsipil, menurut teori-teori ilmu politik, basis ideologi kepentingannya
sangatlah berbeda. Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan organ negara
yang mewakili kepentingan daerah, yakni dengan adanya Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) pada BAB VIIA Perubahan Ketiga UUD 1945. Di Perubahan Ketiga
UUD 1945 jelas disebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] dan
peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].

DPD adalah institusi negara yang menjadi organ utama penyambung lidah otonomi
daerah dalam pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk mengimbangi
kepentingan politik hukum partai politik dalam mendesain berbagai hal mengenai
otonomi daerah. Itu sebabnya, anggota DPD tidak ditentukan harus masuk melalui
pintu parpol seperti DPR dan Presiden, tetapi berasal dari perseorangan daerah
guna mewakili ‘ideologi’ serta kepentingan daerah.

Inilah mungkin yang disadari oleh para anggota DPR dahulu, sehingga tangan
DPD yang diharapkan memainkan penyeimbangan kekuasaan pembentukan
undang-undang, secara sengaja tidak didesain sempurna sehingga lahirlah DPD
dengan kewenangan legislasi yang sangan terbatas; dan dalam praktik, melalui
berbagai UU, peran legislasi DPD kian dan kian diperlemah. DPD dibuat tidak
sebagai organ negara konstitusional yang selayaknya memiliki kekuasaan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.

Fakta seperti ini secara perlahan akan menghilangkan esensi otonomi seperti yang
ditegaskan oleh konstitusi Indonesia hasil Perubahan Kedua. Kerugian
konstitusional itu sebenarnya ada pada organ negara di daerah dalam
menjalankan otonomi daerah, karena Perubahan Kedua UUD 1945 yang lahir lebih
awal itu telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi daerah, namun tidak
ditindaklanjuti dengan menghadirkan organ negara yang bisa mendukung
perwujudan dan optimalisasi amanat Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut, yaitu
13

otonomi seluas-seluasnya dan kepentingan daerah lainya, dalam produk


legislasi. Hal ini jelas mengganggu kewenangan konstitusional daerah. Dengan
konstruksi kewenangan DPD yang sedemikian maka pihak yang menderita
kerugian riil adalah otonomi daerah itu sendiri cq keseluruhan rakyat di daerah,
karena rakyat telah menjalankan hak konstitusionalnya dengan memilih wakil
daerahnya, namun wakil daerahnya tersebut tidak memiliki kekuasaan untuk
memperjuangkan kepentingan secara maksimal.

Kerugian konstitusional daerah akan kian menguat dengan diundangkannya UU


Pemilu baru yang disetujui oleh DPR dan Presiden guna merevisi UU Pemilu 2003.
Politik hukum UU Nomor 12 Tahun 2003 yang menginginkan bahwa tidak boleh
pengurus partai politik yang kepengurusannya di bawah 4 tahun dapat mengisi
jabatan DPD diingkari di UU Pemilu baru ini. Syarat domisili jadi calon pun
ditiadakan sehingga siapa pun dan dari mana pun seseorang, ia dapat menjadi
calon anggota DPD. Dengan konfigurasi demikian, semakin lemahlah jaminan
adanya sikap afirmatif terhadap daerah dan kekhawatiran akan rentannya
pengambilan keputusan ataupun rentannya legislasi terhadap intervensi
kepentingan politik tertentu semakin nyata terbukti.

Konstitusi yang telah membedakan secara tegas kamar DPR dan DPD telah
diingkari ketika terjadi penetrasi Parpol yang dapat dengan leluasa masuk ke
dalam sistem perwakilan daerah sehingga menjadi semakin sulit untuk
membedakan secara materiil antara wakil daerah dan wakil parpol. Di masa
mendatang dapat terjadi, seseorang yang tidak mengenal kebutuhan dan
kepentingan daerah provinsi tertentu karena tidak pernah berdomisili di wilayah
tersebut menjadi wakil dari provinsi tersebut hanya karena kekuatan mesin politik
parpol. Pada titik inilah, daerah dan otonomi akan kehilangan makna substantifnya
karena ia telah diinfiltrasi dan dikooptasi secara sistematis dan paripurna oleh
rezim Parpol dengan sistem sentralistiknya.

B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LEGAL STANDING PARA


PEMOHON

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (”MK”) melakukan


pengujian terhadap Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
14

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu”)


(vide Bukti P–1).

2. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan:
”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, ......”

Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain menyatakan:


Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ....

3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara
hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh
karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji
melalui mekanisme pengujian undang-undang.

4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk


memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

5. Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa:


Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
15

6. Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan:

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak mengatur mengenai kewenangan


konstitusional, namun dengan menganalogikannya dengan definisi hak
konstitusional maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur dalam UUD
1945.

7. Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus


dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon memiliki legal standing dalam
perkara Pengujian Undang-Undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk
bertindak sebagai pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK, dan syarat kedua adalah hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang.

8. Untuk selanjutnya pembahasan secara terperinci mengenai legal standing


masing-masing Pemohon akan diuraikan pada bagian di bawah ini.

(a) Legal Standing Pemohon I

9. Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (“DPD”)


yang merupakan “lembaga negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Pemohon I (DPD) memiliki kualifikasi
sebagai Pemohon pengujian undang-undang.

10. Pemohon I (DPD) memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diatur


dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2),
dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan diberlakukannya Pasal 12 dan
Pasal 67 UU Pemilu, kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur
dalam pasal-pasal tersebut dirugikan atau setidak-tidaknya mengalami
kerugian yang bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005), karena dengan diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga negara DPD yang
diberikan oleh pasal-pasal ini dapat terhambat atau bahkan tidak dapat
terlaksana.
16

11. Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan


Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-


undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas


pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

12. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kewenangan konstitusional
DPD di bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu
dikaitkan dengan kepentingan dan aspirasi daerah. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada
DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.

13. Kewenangan konstitusional inilah yang berpotensi untuk dirugikan dengan


diberlakukannya UU Pemilu, terutama Pasal 12 dan Pasal 67, karena dalam
pasal-pasal tersebut tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan (“Ketiadaan Syarat
Domisili”) serta tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan
anggota partai politik (“Ketiadaan Syarat Non-Parpol”) sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.

14. Ketiadaan syarat domisili, sebagaimana diamanatkan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945, menyebabkan pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat
17

diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal
daerah tersebut. Anggota DPD yang demikian diragukan kapabilitasnya
dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Hal ini jelas
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I (DPD) karena anggota-
anggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya masing-masing
tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD sebagai lembaga dalam
menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Anggota DPD
yang demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang
diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi. Tidak pula
dapat dijamin kecepatan dan kemudahan pengambilan keputusan terkait
suatu daerah karena kurangnya pemahaman atau pengenalan atas daerah
tersebut.

15. Ketiadaan Syarat Non-Parpol yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan dimenangkan
oleh anggota atau pengurus partai politik (”Parpol”). Menurut penalaran yang
wajar, anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan
kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah secara
keseluruhan. Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat
sentralistik di mana pengambilan keputusan masih tergantung pada pimpinan
di tingkat pusat, bahkan dalam hal tertentu di tangan satu orang saja.
Anggota DPD yang berasal dari Parpol diragukan efektivitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Anggota DPD yang lebih
mementingkan Parpol daripada aspirasi dan kepentingan daerah jelas akan
sangat merugikan kewenangan konstitusional DPD yang diberikan oleh UUD
1945 (Pasal 22D).

16. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon I (DPD) memiliki kedudukan


hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang ini.

(b) Legal Standing PEMOHON II

17. Pemohon II adalah para anggota DPD yang merupakan “perorangan


(kelompok orang) warga negara Indonesia” sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu Pemohon II (para
18

anggota DPD) memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undang-


undang.

18. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui


pemilihan umum.

Secara implisit, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak konstitusional
kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi tertentu untuk
dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan. Jadi hak
konstitusional yang dijamin oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 adalah hak
warga negara untuk dipilih sebagai anggota DPD dari provinsi tempat ia
berdomisili.

19. Oleh UU Pemilu hak konstitusional tersebut diabaikan. Pasal 12 UU Pemilu


yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD
tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus berdomisili di
provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri. Syarat domisili
tersebut juga tidak diatur dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD.

20. Ketiadaan syarat domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) telah
menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-
orang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal ini jelas
merugikan hak konstitusional Pemohon II yang berdomisili di daerah yang
bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

21. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah


adalah perseorangan.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga
negara Indonesia yang bukan anggota atau pengurus partai politik untuk
dipilih menjadi anggota DPD.

22. Dengan diberlakukannya UU Pemilu, hak konstitusional sebagaimana


dimaksud di atas diingkari. Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang
persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan
batasan terhadap anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon
19

anggota DPD. Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang kelengkapan


administrasi bakal calon anggota DPD juga tidak mengaturnya lebih lanjut.

23. Ketiadaan syarat non parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) jelas
berpotensi menimbulkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon II
sebagai warga negara yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Ketiadaan syarat non Parpol membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk
berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD.
Persaingan ini akan berlangsung secara tidak adil karena calon yang berasal
dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol yang sudah terbentuk hingga
tingkat kecamatan, bahkan di desa-desa. Sementara calon perseorangan
hanya mengandalkan jaringan personal. Persaingan yang tidak adil tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

24. Selain hak-hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon II


memiliki hak-hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 22E ayat (1):


Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.

Pasal 28D ayat (1):


Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
25. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
menyebabkan hak-hak konstitusional PEMOHON II atas kepastian hukum
yang adil dan Pemilihan Umum (”Pemilu”) yang adil dirugikan. Pasal 22C
ayat (2) UUD 1945 telah mengatur secara adil bahwa:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Bagaimana mungkin Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD
yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain? Jadi,
terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak terwakili
dalam lembaga DPD karena anggota DPD yang terpilih berasal dari provinsi
lain.
20

26. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon II (para anggota DPD)
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.

(c) Legal Standing PEMOHON III

27. PEMOHON III adalah “perorangan warga negara Indonesia”, sebagaimana


dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu,
PEMOHON III memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undang-
undang.

28. PEMOHON III adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas sangat aktif
dalam dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja
parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran
aspirasi daerah.

29. PEMOHON III Nomor 1 adalah Direktur Eksekutif CETRO, sebuah lembaga
swadaya masyarakat nirlaba yang maksud dan tujuannya antara lain
menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dalam rangka mewujudkan cita-
cita masyarakat madani yang berkeadilan sosial, menyebarkan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia melalui Pemilu yang berkedaulatan rakyat agar dapat
mendorong terciptanya perubahan di berbagai bidang, dan mengupayakan
pemberdayaan masyarakat agar mempunyai pengetahuan dan wawasan
mengenai pentingnya Pemilu. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam
hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap upaya
pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi terselenggaranya Pemilu yang
demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan
parlemen yang berkedaulatan rakyat.

30. PEMOHON III Nomor 2 adalah Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, sebuah
organisasi yang melakukan advokasi untuk penyaluran aspirasi dan
perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat—sebagai bagian dari
masyarakat daerah—yang dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I
21

ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 2 adalah perorangan
warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal
yang berkaitan dengan penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat—sebagai
bagian dari aspirasi masyarakat daerah—sehingga Pemohon III Nomor 2
adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap
penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi
masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang tepat di DPD
RI agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal
18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 terlindungi.

31. PEMOHON III Nomor 3 adalah Ketua Umum IPC, sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang maksud dan tujuannya adalah memfokuskan diri pada
kajian mengenai parlemen dan membantu parlemen dalam rangka
memperkuat posisi dan peran kelembagaan; dan mewujudkan parlemen yang
mampu merepresentasikan kepentingan publik, sehingga dapat
meningkatkan kualitas produk legislasi serta dapat mengembangkan
kemampuan pengawasan terhadap pemerintah dalam implementasi
kebijakan dan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 3
adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang
tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III
Nomor 3 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan
terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang mampu
merepresentasikan kepentingan publik dengan baik.

32. Pemohon III Nomor 4 adalah Koordinator FORMAPPI, sebuah lembaga


swadaya masyarakat yang bertujuan mendorong terbangunnya parlemen
yang fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia; mengembangkan kepedulian masyarakat atas perlu dan
pentingnya memiliki parlemen yang fungsional bagi penyelenggaraan
demokrasi; serta mendorong parlemen senantiasa mau dan mampu
memperbaharui diri sehingga fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi.
Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 4 adalah perorangan warga negara
Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan
dengan peningkatan kualitas parlemen Indonesia, sedangkan parlemen
22

Indonesia dihasilkan oleh Pemilu, sehingga Pemohon III Nomor 4 adalah


perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,
agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan efektif.

33. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon III memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang ini.

(d) Legal Standing PEMOHON IV

34. Pemohon IV (Warga Daerah) adalah “perorangan warga negara Indonesia”,


sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh
karena itu, Pemohon IV (Warga Daerah) memiliki kualifikasi sebagai
Pemohon pengujian undang-undang.

35. Sebagaimana halnya dengan Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV


(Warga Daerah) adalah warga negara Indonesia bukan anggota Parpol yang
tinggal di daerah provinsinya masing-masing dan pemberlakuan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu berpotensi merugikan hak-hak konstitusional
Pemohon IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal
22E ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1). Karena legal standing Pemohon IV dan
Pemohon II bersumber dari hak konstitusional yang sama maka,
sebagaimana Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV (Warga Daerah)
juga memiliki legal standing untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang ini.

36. Kerugian konstitusional Pemohon IV juga terjadi pada jaminan perolehan


keberpihakan anggota DPD dari daerahnya sebagai akibat berlakunya Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu, karena tidak adanya pemahaman dan
pengenalan daerahnya secara memadai sebab anggota DPD tersebut tidak
berdomisili di daerahnya, dan juga karena anggota DPD yang merupakan
anggota atau pengurus Parpol bisa lebih mengutamakan kepentingan Parpol-
nya daripada aspirasi/kepentingan daerah yang diwakilinya.

37. Dengan demikian, dari uraian di atas, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
23

pengujian undang-undang ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1)


UU MK yang berbunyi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang”.

C. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN UU PEMILU

I. PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UU PEMILU

38. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa:

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui


pemilihan umum.

Pasal 22C ayat (1) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili).

39. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat


dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah


adalah perseorangan.

Pasal 22E ayat (4) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol).

40. Raison d’etre di balik pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas sang wakil daerah di DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri dan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 12 huruf m UU
Pemilu), misalnya, juga adalah demi netralitas.

41. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu 2003”), kedua norma konstitusi
tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 63 yang menyatakan (Bukti P – 2):
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
24

a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)


tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur (vide Bukti P–2):

Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:


a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan
menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
42. Bahkan dalam Naskah Akademik dan Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang
dipersiapkan oleh Pemerintah (”Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah”),
syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti pengurus Parpol) tersebut
juga tetap dipertahankan (Pasal 13, huruf n dan huruf o). Bunyi Pasal 13 Draft
Awal tersebut adalah (Bukti P–3):
Persyaratan kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
meliputi:
a. Warga negara Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA, atau sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. sehat jasmani dan jiwa;
j. terdaftar sebagai pemilih;
k. bersedia bekerja sepenuh waktu;
l. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
hakim pada badan peradilan, pegawai pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya
bersumber dari APBN dan/atau APBD;
m. bersedia untuk tidak menduduki jabatan struktural pada lembaga
pendidikan swasta, tidak berpraktek sebagai akuntan publik, konsultan,
advokat/pengacara, notaris, dokter, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPD;
25

n. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)


tahun secara berturut-turut terhitung sampai dengan tanggal pengajuan
calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17
(tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
o. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan pengajuan calon;
p. bersedia mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN
dan/atau APBD apabila ditetapkan sebagai calon terpilih anggota DPD;
q. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
r. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan;

43. Namun setelah RUU Pemilu tersebut dibahas di DPR dan akhirnya
diundangkan oleh Presiden menjadi UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008)
pada tanggal 31 Maret 2008, syarat domisili dan syarat non-Parpol
dihilangkan keberadaannya. Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1) berbunyi:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
26

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,


pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
44. Norma konstitusi yang mengatur tentang syarat domisili dan syarat non-
Parpol juga tidak terlihat dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai
Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD (vide Bukti P–1):
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon
anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada
badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai
cukup.
45. Penghilangan norma konstitusi tersebut diduga dilakukan secara sengaja dan
dilandasi oleh motif kekuasaan dari oknum-oknum tertentu. Indikasi ini dapat
dilihat pada Artikel Kompas (14 Maret 2008) berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji
Materi Harus Dihargai” (Bukti P-4):
“Saya menghargai niat DPD dan parpol untuk ajukan judicial review. Sebab,
memang ada sejumlah hal yang mengganggu dalam RUU Pemilu, “ kata
27

anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB)
Saifullah Ma’shum di Jakarta, Kamis (13/3).

Hal yang mengganggu itu terutama tentang ketentuan semua parpol yang
memiliki kursi di DPR bisa ikut Pemilu 2009 tanpa perlu verifikasi dan
dihilangkannya ketentuan domisili bagi calon anggota DPD. “Saya berusaha
menghalangi munculnya peraturan itu, tetapi gagal,” katanya.

Dihilangkannya aturan domisili bagi calon anggota DPD, kata Sjaifullah,


terkait dengan adanya parpol yang hanya mengizinkan kadernya
maksimal dua periode duduk di DPR. “Saat ini ada sejumlah anggota
DPR yang sudah dua periode di lembaga itu sehingga pada Pemilu 2009
mereka tak dapat lagi ikut pemilu legislatif. Untuk itu, mereka berniat
menjadi anggota DPD, “ katanya.

46. Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal
12 dan Pasal 67) merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam
undang-undang. Ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol
tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat, karena ia telah
menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih
dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] serta calon anggota DPD
berasal dari perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].

II. KETIADAAN SYARAT DOMISILI DALAM UU PEMILU (PASAL 12 DAN


PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22C AYAT (1) UUD 1945

47. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa:

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui


pemilihan umum.

Secara semantis frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa
calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orang-
orang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.

48. Frasa ”dipilih dari setiap provinsi” sebelumnya telah ”ditafsirkan” oleh DPR
dan Presiden melalui Pasal 63 UU Pemilu 2003 (vide Bukti P–2):
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
28

b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun


yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur:

Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:


a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan
menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
49. Bahkan sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft RUU
Pemilu Versi Pemerintah, syarat domisili tersebut juga tetap dipertahankan
(Pasal 13, huruf n) (vide Bukti P–3). Namun setelah RUU Pemilu tersebut
dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan oleh Presiden pada tanggal 31
Maret 2008, persyaratan domisili sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 22C
ayat (1) UUD 1945 dan telah diatur lebih lanjut oleh Pasal 63 dan Pasal 66
UU Pemilu 2003 dihilangkan keberadaannya.

50. Ketiadaan Syarat Domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang.
Ketiadaan syarat domisili tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat,
karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon
anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Berikut adalah bunyi Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1):
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
29

h. sehat jasmani dan rohani;


i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.

51. Dengan mengacu pada persyaratan di atas (terutama huruf c), maka
siapapun warga negara Indonesia yang bertempat tinggal (berdomisili) di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat memilih untuk
mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD di provinsi mana pun di
Indonesia. Itulah sebabnya hal ini memicu rangkaian reaksi keras rakyat
Indonesia dari seantero Tanah Air sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak
Parpol Masuk Kamar DPD!” yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih
dari 22.000 orang dari Sabang sampai Merauke (Bukti P–5).

52. Tidak hanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat sebagaimana


dijelaskan di atas, hal ini juga jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22C ayat
(1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi.

53. Norma konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi
terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] juga tidak tampak dalam Pasal 67 UU
Pemilu yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon
Anggota DPD (vide Bukti P–1):
30

(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon
anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada
badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai
cukup.

54. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 maupun Pasal 67 UU Pemilu


merupakan suatu pelanggaran atas UUD 1945, khususnya Pasal 22C ayat
(1). Ketiadaan syarat domisili merupakan kesalahan yang fatal dan hal ini
menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai
persyaratan bakal calon anggota DPD kehilangan rohnya. Oleh karena itu,
pasal-pasal yang cacat tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945.

55. Pentingnya syarat domisili tersebut juga dinyatakan secara tegas oleh
berbagai ahli tata negara Indonesia. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.
dalam bukunya yang berjudul DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru,
Penerbit FH UII Press, 2003 (hal. 56-57), (Bukti P–6) menyatakan:
31

Sesuai dengan namanya sebagai Badan [seharusnya Dewan] Perwakilan


Daerah, sebutan provinsi dalam pasal ini [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945]
menunjukkan anggota DPD mewakili (rakyat) daerah provinsi, seperti halnya
anggota Senat (Senator) di Amerika Serikat yang mewakili negara bagian.
Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang bersangkutan. Hal ini
membawa konsekuensi hanya penduduk yang berdomisili (bukan resident
apalagi pendatang sementara) yang dapat menjadi calon dan dipilih menjadi
anggota DPD.

56. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam makalah yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 3, menyatakan
(Bukti P–7):

Sesuai dengan namanya, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, yang menjadi


anggota ialah rakyat dan penduduk yang berdomisili di daerah Provinsi yang
diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang mereka yang sehari-hari
berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili provinsi tertentu.

57. Lebih lanjut, dalam makalah tersebut, hal 4, Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, S.H. juga menjelaskan dampak positif yang ditimbulkan
sebagai konsekuensi dipilihnya anggota DPD dari calon yang berdomisili di
daerah (vide Bukti P–7):

Dengan demikian, karena domisilinya, anggota DPD tersebut akan dapat


membawa dan memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dari aspek
pendidikan, melalui keanggotaannya dalam DPD akan terjadi proses
pendidikan politik terhadap para ”tokoh lokal” menjadi memahami masalah-
masalah nasional dan global.

58. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (Bukti P–8):

Sebagai wakil daerah, setiap calon anggota DPD semestinya berdomisili di


daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. ...
Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD
tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen
untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap
diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya sebagai representasi daerah-
daerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta.

59. Pandangan para ahli tata negara tersebut di atas tentang syarat bahwa
anggota DPD haruslah dipilih dari warga negara yang berdomisili di daerah
yang akan diwakilinya sangat sesuai dengan gagasan dasar pembentukan
DPD sebagaimana digambarkan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede
32

Palguna, S.H., M.H., yang juga merupakan anggota MPR yang ikut
membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah yang berjudul ”Susunan
dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 1 (Bukti P–9):

Mengenai DPD, yang menjadi gagasan dasar pembentukan adalah keinginan


untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran
yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik
untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah. Keinginan
tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang
bersifat sentralistik pada masa yang lalu ternyata telah mengakibatkan
meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai pada tingkat
yang membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional.

60. Uraian di atas menunjukkan bahwa baik dari segi penafsiran secara semantis
maupun penafsiran secara kontekstual dengan mengacu pada gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
dalam memilih anggota DPD. Ketiadaan syarat domisili menyebabkan Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya
inkonstitusional. Dan konsekuensi logisnya adalah bahwa Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945.

III. KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL DALAM UU PEMILU (PASAL 22 DAN


PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22E AYAT (4) UUD 1945

61. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengatur:


Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:


Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.

Dengan melakukan penafsiran secara sistematis, dengan membaca Pasal


22E ayat (4) secara bersama-sama dengan Pasal 22E ayat (3), maka tidak
bisa tidak kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) mengandung makna
tunggal yakni non-Parpol.

62. Ketentuan Pasal 22E ayat (4) tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan
warga negara Indonesia lainnya yang merupakan anggota Parpol karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR atau anggota DPRD. Dengan
33

demikian, adalah logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) sebagai
ketentuan yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga
negara yang tidak memiliki keterkaitan institusional dengan Parpol (bukan
anggota atau pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD.

63. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 22E UUD 1945 telah secara adil
mengatur bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan sedangkan anggota
DPR dan DPRD dipilih dari anggota Parpol. Pengaturan hak untuk dipilih
yang telah dilakukan secara adil oleh UUD 1945 ini telah dinegasikan di
dalam pembahasan Revisi UU Pemilu. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan suatu pengingkaran terhadap
UUD 1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Pengingkaran ini dilakukan secara
sistematis dan akan diuraikan di bagian berikut.

64. Ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan
anggota DPR dilakukan melalui Parpol kemudian diatur lebih lanjut dalam
Pasal 50 UU Pemilu (vide Bukti P-1):
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
harus memenuhi persyaratan:
........
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
.....
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
65. Logikanya UU Pemilu juga mengatur lebih lanjut norma konstitusi yang
terdapat dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma tersebut
mensyaratkan bahwa calon anggota DPD adalah perseorangan (non-Parpol).
Pada kenyataannya, secara sistematis norma konstitusi tersebut dihilangkan
dari batang tubuh UU Pemilu. Pembedaan penyaluran aspirasi politik
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 juga telah
dinyatakan di dalam alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu. Namun
dalam batang tubuh UU Pemilu, hal tersebut tidak secara eksplisit dan implisit
dikemukakan. Berikut ini adalah kutipan alinea keempat Penjelasan Umum
UU Pemilu, alinea keempat (vide Bukti P–1):
34

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan


kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan
aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen baik
untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan baik
tingkat nasional maupun daerah. Oleh karena itu, peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk
mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan
Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih
dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum
bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

66. Berbeda dengan alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu (alinea


keempat), Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang persyaratan untuk
menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan batasan terhadap
anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Hal
tersebut juga tidak diatur lebih lanjut dalam Pasal 67 UU Pemilu yang
mengatur tentang kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD.
Ketiadaan syarat non-Parpol jelas merupakan pengingkaran terhadap UUD
1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol ini,
sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, juga telah memicu
rangkaian reaksi keras rakyat Indonesia dari seantero Tanah Air
sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak Parpol Masuk Kamar DPD!” yang
hingga saat ini telah ditandatangani lebih dari 22.000 orang dari Sabang
sampai Merauke (vide Bukti P- 5).

67. Lebih lanjut, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Pasal
22E ayat (4) UUD 1945 telah ”ditafsirkan” sebelumnya oleh Presiden dan
DPR dengan diundangkannya UU Pemilu 2003. Pasal 63 UU Pemilu 2003
menyatakan:

Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur:


Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:
35

a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan


menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
68. Bahkan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft
RUU Pemilu Versi Pemerintah, syarat non-Parpol tersebut juga tetap
dipertahankan (Pasal 13 huruf o) (vide Bukti P–3). Namun setelah Draft RUU
Pemilu Versi Pemerintah tersebut dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan
oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2008, syarat non-Parpol dihilangkan
keberadaannya. Tidak ada satu persyaratan pun di dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu yang dapat dilihat sebagai penjabaran dari ketentuan Pasal
22E ayat (4) UUD 1945 yang terkait dengan persyaratan non-Parpol.

69. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan suatu pengingkaran dan/atau pelanggaran atas UUD 1945
khususnya Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol merupakan
kesalahan yang fatal dan hal ini menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu inkonstitusional. Oleh karena itu sudah seyogianya pasal-pasal yang
cacat tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

70. Keanggotaan DPD yang non-Parpol ini merupakan keniscayaan prinsip


demokrasi perwakilan yang ada pada pembentukan dua kamar parlemen
Indonesia yakni DPR dan DPD. Prinsip perwakilan di Indonesia telah
menegaskan DPR yang berasal dari Parpol membawa kepentingan nasional
yang terangkum dari cita-cita oleh masing-masing partai politik, sedangkan
calon perseorangan di DPD diidealkan membawa kepentingan nasional yang
merupakan rangkuman dari kepentingan setiap daerah yang diwakilinya.

71. Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh pendapat dari kalangan ahli tata
negara yang secara tegas menyatakan bahwa calon anggota DPD yang
mewakili kepentingan daerah sebagai bagian dari sistem perwakilan
fungsional (functional representation) adalah perorangan yang non-Parpol.

72. Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsolidasi
Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat” (catatan kaki nomor 98),
halaman 44-45, (Bukti P–10) mengemukakan penjelasannya mengenai
36

syarat non-parpol dengan menyampaikan pandangannya tentang Pasal 22E


ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut:

Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dibedakan dari


pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta pemilihan
umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakat adalah partai politik,
maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i)
penerapan sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk
calon anggota DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun
pemilihan umum yang diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus
dilakukan berdasarkan sistem proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh
peserta perseorangan dapat dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem
distrik dimana rakyat secara langsung memilih orang, bukan memilih tanda
gambar partai politik peserta pemilu; (ii) pencalonan dilakukan melalui
mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan mekanisme non-partai politik
untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan pengertian sistem
perwakilan politik (political representation) untuk anggota DPR dan sistem
perwakilan fungsional (functional representation) untuk anggota DPD.
Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya dapat
diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal
dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik
manapun juga.

73. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam paper yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 4, (vide Bukti
P–7) menyatakan:

Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa


dirinya bukan anggota partai politik tertentu dalam sebuah surat pernyataan
yang telah disediakan oleh KPU, dengan ancaman pidana apabila terbukti
surat pernyataan itu tidak benar.

74. Lebih lanjut, Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dan Dr. Mochamad
Isnaeni Ramdhan, S.H. dalam dalam makalah yang berjudul ”Perihal Dewan
Perwakilan Daerah dalam Perspektif Ketatanegaraan”, hal 4 menyatakan
(Bukti P–11):

Pencalonan anggota DPD yang merupakan bukan anggota atau pengurus


partai politik perlu dipertahankan, guna mengimbangi kepentingan partai
politik yang sudah diakomodasi dalam DPR;

75. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. yang juga merupakan
anggota MPR yang ikut membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah
yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 3-4,
menyatakan (vide Bukti P–9):
37

Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian jabatan keanggotaan


DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD harus terbebas dari
kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini dikarenakan
keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk mengimbangi
”warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan politik di
tingkat nasional.

76. Profesor Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul ”Anggota DPR
dan Anggota DPD” (Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008), menyatakan
(Bukti P–12):

Perubahan UUD 1945, sebagai implementasi salah satu tuntutan reformasi


politik pasca turunnya Presiden Soeharto pada 1998, mendesain DPD
sebagai lembaga representasi daerah, bukan representasi parpol. ... Jika
batas ini tetap diterobos dalam pembahasan RUU itu, ini dapat diartikan
sebagai upaya untuk mengingkari semangat reformasi. Penggerogotan
reformasi ini tentu mengkhawatirkan.

77. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (vide Bukti P–8):

Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat


perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik
dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E ayat 4
UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan”. ... Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai
politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan
dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD
sebagai wakil daerah secara perseorangan.

78. Uraian di atas menunjukkan bahwa dengan melakukan penafsiran secara


semantis dan sistematis maupun penafsiran secara kontekstual dengan
mengacu pada gagasan dasar pembentukan DPD, kata perseorangan dalam
Pasal 22E ayat (4) bermakna non-Parpol (bukan anggota atau pengurus
Parpol). Oleh karena itu, Ketiadaan syarat non-Parpol menyebabkan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya
inkonstitusional. Dengan demikian Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.

79. Para Pemohon sepenuhnya menyadari, ada pendapat yang menyatakan


bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya
38

pasti tidak akan dapat menjadi wakil kepentingan/aspirasi daerah yang baik
dan akan lebih banyak mengutamakan kepentingan/aspirasi partainya,
dengan mengemukakan contoh bahwa terdapat negara-negara demokrasi di
dunia yang anggota Senatnya berasal dari Parpol atau boleh berasal dari
Parpol tetapi dapat melaksanakan amanatnya sebagai representasi daerah
dengan baik, misalnya Amerika Serikat.

80. Namun perlu dicatat di sini bahwa, sebaliknya, juga terdapat sejumlah negara
demokrasi di dunia yang mengatur dengan tegas bahwa anggota Senat
negara tersebut tidak boleh berasal dari Parpol, misalnya Thailand
(sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di bawah).

81. Perbedaan ini disebabkan berbeda-bedanya raison d’etre dan konteks latar
belakang setiap negara merasakan perlunya melahirkan lembaga semacam
Senat (dalam konteks Indonesia, DPD RI). Konsekuensinya, dengan
sendirinya lingkungan politik dan budaya politik yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai atau menghambat pelaksanaan
fungsi sebuah Senat juga berbeda-beda antara negara yang satu dengan
negara yang lain. Sehingga, setiap negara harus memiliki caranya sendiri-
sendiri untuk mendorong terciptanya sistem yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai dalam lingkungan politik dan
budaya politik tersebut serta mengeliminasi sistem yang menghambat
pelaksanaan fungsi sebuah Senat dalam lingkungan politik dan budaya politik
tersebut.

82. Dalam lingkungan dan budaya politik Amerika Serikat, misalnya, “It is hard to
overstate the extent to which American parties are characterized by
decentralized power structures. Historically speaking, within the party-in-the-
government, presidents cannot assume that their party's members in
Congress will be loyal supporters of presidential programs, nor can
party leaders in Congress expect straight party-line voting from
members of their party. Within the party organization, the Republican and
Democratic congressional and senatorial campaign committees (composed of
incumbent legislators) operate autonomously from the presidential oriented
national party committees — the Republican and the Democratic National
Committees.” (John F. Bibby, “Political Parties in the United States”,
International Information Program, www.usinfo.state.gov). (Bukti P-12A).
39

83. Sedangkan dalam konteks lingkungan dan budaya politik Indonesia dewasa
ini, hal yang sebaliknyalah yang justru terjadi: ”Oligarki partai menjadi
penyebab para anggota DPR tidak bisa berbuat banyak untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Para wakil rakyat itu
terjebak pada pola untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan
partainya.” (Dhaniel Dhakidae dalam Harian ”Sinar Harapan”, Rabu, 21
Januari 2004, ”Oligarki Partai Sebabkan DPR Abaikan Aspirasi Rakyat”)
(Bukti P-12B). “Pengurus di tingkat DPD, DPC, DPK, sampai DPR (ranting di
desa) diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final.” (Abdul
Gafur Sangadji, “Utopia Reformasi Parpol”, Harian “Merdeka”, 15 September
2004) (Bukti P-12C).

84. Konteks Indonesia yang dikemukakan di atas ini senada dengan tesis Robert
Michels bahwa “…kebijakan partai bertumpu dan bertumpuk pada ketua dan
elit partai sehingga sulit diterapkan desentralisasi kepartaian…” (Robert
Michels, “Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies
of Modern Democracy”, 1984). Oleh karena itulah, Herbert Schambeck
menyatakan, “In a democracy with a pluralistic society, be it a monarchy or a
republic, political parties … must also recognize their limits as well as their
opportunities within a democratic and constitutional system. This applies
even more so to federal countries, where the people are organized,
institutionalized and represented at different levels, at the local, regional
and federal levels.” (Dr. Herbert Schambeck (Profesor di University of Linz
dan mantan Presiden Bundesrat Austria), “Reflections on the significance of
the bicameral parliamentary system; Bicameralism, Democracy and the Role
of the Civic Society”, Meeting of the Association of European Senates,
Ljubljana, 28 Juni 2002) (Bukti P-12D).

85. Negara seperti Thailand, misalnya, pun memiliki konteks dan budaya politik
tersendiri lagi, yang berbeda dengan konteks dan budaya politik Amerika
Serikat, yang membuat negara tersebut harus mengatur dengan tegas dan
ketat bahwa anggota Senat tidak boleh berasal dari Parpol untuk menjamin
berfungsinya para anggota Senat (sebagai representasi daerah) dengan baik
dalam lingkungan dan budaya politik negara tersebut. Anggota Senat,
menurut Section 114 angka (5) dan (6) Konstitusi Thailand, haruslah (Bukti
P-12E):
40

(5) not being an ascendant, a spouse or a son or daughter of a member


of the House of Representatives or a person holding a political
position;
(6) not being a member or a holder of any position of a political party, or
having been a member or a holder of any position of a political party,
with membership or office having terminated for a period of not more
than five years up to the date of applying for candidacy or the date of
nomination.
(Sumber: Website Asian Legal Information Institute (ALII):
http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html, diakses pada tanggal 19
April 2008)

86. Dengan demikian, jelaslah bahwa kenyataan bahwa di Amerika Serikat atau
negara-negara tertentu lain anggota Senat berasal atau boleh berasal dari
Parpol tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi berlakunya hal yang
sama di Indonesia. Kecuali Indonesia memiliki raison d’etre, konteks latar
belakang atau lingkungan dan budaya politik yang sama dengan negara-
negara tersebut, kenyataan tersebut tidak dapat dengan sendirinya menjadi
justifikasi bagi diterapkannya hal yang sama di Indonesia.

D. MASALAH KETIADAAN NORMA DAN PENGUJIAN UU PEMILU

87. Para Pemohon menyadari bahwa permohonan pengujian undang-undang ini


adalah mengenai ketiadaan norma dalam UU Pemilu yang menyebabkan
undang-undang tersebut inkonstitusional, sedangkan dalam praktik pada
umumnya pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma
(ketentuan) undang-undang yang dianggap inkonstitusional.

88. Sesungguhnya kewenangan yang diamanatkan UUD 1945 kepada


Mahkamah Konstitusi tidaklah sesempit itu, karena Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK dengan tegas memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk ”menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa pembatasan ”sepanjang mengenai
adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar”; yang berarti bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh
UUD 1945 untuk menguji undang-undang tidak hanya dalam arti adanya
norma tertentu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi
juga dapat dalam arti tiadanya norma tertentu dalam undang-undang yang
menyebabkan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
41

89. Selengkapnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain berbunyi:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir


yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, ......

dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain berbunyi:


Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, .....

90. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 dan UU MK tidak pernah
membatasi kewenangan pengujian materiil MK hanya dalam arti adanya
norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 saja. Hal ini
dikarenakan dalam kenyataannya inkonstitusionalitas suatu undang-undang
dapat disebabkan baik oleh adanya norma undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 maupun oleh tiadanya norma tertentu
dalam undang-undang padahal norma tersebut diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar.

91. Sebagaimana disampaikan di atas, dalam perkara ini inkonstitusionalitas


yang terjadi adalah ketiadaan norma, yang jelas-jelas telah dinyatakan dalam
UUD 1945, dalam pasal-pasal tertentu UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
sebagaimana dijelaskan di bagian-bagian lain Permohonan ini. Karena Pasal
12 dan Pasal 67 tidak mengandung materi muatan yang secara konstitusional
seharusnya dikandungnya, maka pasal-pasal ini menjadi inkonstitusional
secara keseluruhan dan dengan demikian harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

92. Dalam ilmu hukum, terdapat teori “ketiadaan suatu norma mengadakan/
menciptakan suatu norma baru”. Kenyataan empiris pun membuktikan teori
ini. In casu, misalnya, ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol
mengadakan/menciptakan norma baru bahwa “Peserta Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Daerah dapat tidak berasal dari provinsi yang hendak
diwakilinya dan/atau dapat merupakan anggota atau pengurus Parpol”,
sehingga norma baru (yang tercipta dari ketiadaan norma yang seharusnya
ada) inilah yang bertentangan dengan norma Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
yang berbunyi:
42

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui


pemilihan umum.

dan norma dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah


adalah perseorangan.

93. Jadi dapat disimpulkan, in casu bukanlah apa yang telah ada (tertulis) dalam
UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945—norma-norma yang telah
ada (tertulis) dalam UU Pemilu telah sesuai dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945—namun apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945
karena ketiadaan ini mengadakan/menciptakan norma baru sebagaimana
diuraikan di atas, dan norma baru inilah yang bertentangan dengan UUD
1945.

94. Pasal 63 UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon
anggota DPD antara lain:

a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)


tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan.
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

95. Jika Pasal 63 UU Pemilu 2003 tersebut maupun Draft RUU Pemilu Versi
Pemerintah dibandingkan dengan UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008,
khususnya Pasal 12 dan Pasal 67, maka terlihat jelas bahwa ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan suatu
upaya pelanggaran konstitusi yang disengaja dari para pembuat UU Pemilu.
Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai apa perbedaan latar
belakang situasi dan kondisi Pemilihan Umum 2004 dengan Pemilihan Umum
2009 sehingga kedua syarat ini harus ikut berubah. Oleh karena itu, sangat
beralasan bila para Pemohon menengarai bahwa penghilangan syarat
domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan upaya merusak
tatanan kehidupan demokrasi nasional untuk vested interest politis tertentu,
sebagaimana diungkapkan seorang anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma’shum, di atas (vide Bukti P–4) dan
sebagaimana dikatakan Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul
43

”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008)
(vide Bukti P-8):
Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar
sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi
partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi
signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi
undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat
kekuasaan para politisi partai? Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita
dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi
partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi
alatnya”.

96. Dalam konteks demikianlah, Mahkamah Konstitusi harus menjalankan tugas


yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai
dengan semangat amanat UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of the Constitution dan the final
interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas
Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk menyatakan keseluruhan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal
22E ayat (4) UUD 1945, dan oleh karena itu inkonstitusional, serta dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

97. Atau, andai pun Mahkamah Konstitusi tidak berpendapat demikian, karena
Mahkamah Konstitusi adalah the final interpreter of the Constitution maka
Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk setidaknya menyatakan bahwa kedua
pasal tersebut conditionally constitutional jika norma terbuka itu ternyata
ditafsirkan sesuai dengan konstitusi (sebagaimana akan diuraikan di bawah)
dan conditionally unconstitutional jika ditafsirkan berlawanan dengan
ketentuan konstitusi, yakni Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.

98. Para Pemohon juga menyadari, apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi maka akan terjadi kekosongan hukum mengenai syarat-syarat
calon anggota DPD dan syarat-syarat kelengkapan administratif calon
anggota DPD, sementara proses Pemilihan Umum 2009 sudah dimulai sejak
tanggal 5 April 2008 (Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2008, tanggal 3 April
2008) (Bukti P–13). Untuk mengatasi masalah ini, para Pemohon memohon
44

pada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan


beberapa alternatif berikut ini sebagai solusi atas problem konstitusi yang
dihadapi dalam UU Pemilu ini yang dimaksudkan untuk menghindari
kekosongan hukum (rechtsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang
mengatur syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD,
serta guna kelancaran pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu meminta:

a. Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


undang, sejauh menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut,
yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni
harus mengandung materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol
selain syarat-syarat lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut;
atau

b. Komisi Pemilihan Umum segera menerbitkan Peraturan KPU sejauh


menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut yang sesuai dengan
putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni harus mengandung
materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol selain syarat-syarat
lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut;

Hal serupa pernah dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan


Hukum Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007;

ATAU

Agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu berlaku conditionally constitutional:

a. Menyatakan ketentuan Pasal 12 huruf c harus dibaca bertempat tinggal di


provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah
bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang
bersangkutan; dan ketentuan Pasal 67 UU Pemilu dibaca kartu tanda
penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang bersangkutan; atau,
bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 (conditionally
unconstitutional).; dan

b. Menyatakan Pasal 12 huruf c harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut


adalah dimaksudkan sebagai warga negara Indonesia perseorangan
45

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni tidak menjadi anggota atau
pengurus partai politik; atau, bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 (conditionally unconstitutional).

E. PETITUM

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan
ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.

2. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun


2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan

3. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun


2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

ATAU

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.

2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik; dan

3. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
46

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat


hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi
yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.

ATAU

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.

2. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008


tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan

3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008


tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

ATAU

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.

2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik.

3. Setidak-tidaknya Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya
sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang
bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.

Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
47

[2.2] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 29 April 2008, telah


didengar keterangan (opening statement) dari Pemohon I Ketua Dewan
Perwakilan Daerah Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita, sebagai berikut:

Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada
kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah
kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki
otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan,
eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah
menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama
lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti
itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber
daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara,
di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang
membuat mereka sekarang menjadi negara maju;
Namun tokoh-tokoh perjuangan bangsa tampaknya sangat menyadari posisi
politik lokal yang rentan dan tercerai berai itu yang hanya membawa keuntungan
politik dan ekonomi bagi kalangan penjajah. Maka, seperti sangat jelas tertoreh
dalam sejarah pada tahun 1928, para tokoh muda nusantara dengan penuh
kesadaran dan sikap kritis telah membangun semangat kebangsaan dengan
mengikrarkan Sumpah Pemuda (satu nusa, bangsa, dan satu bahasa). Mereka
merupakan elemen-elemen putra bangsa berbasis lokal (daerah), yang dikenal
sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatra, dan sebagainya.
Momentum sejarah 1928 itu secara pasti dan sistematis telah membangun
kesadaran kebangsaan yang satu dalam keragaman sosio-kultural. Semangat itu
pulalah yang mewarnai kemerdekaan bangsa ini yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Singkatnya, konstruksi keindonesiaan pada dasarnya terbangun
dari ruh dan elemen-elemen daerah yang heterogen baik secara etnik, budaya,
maupun alamnya;
Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa
dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan
pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara
haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan
dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal
dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai
48

negara yang berbentuk republik, maka yang berperan dalam proses-proses


penentuan arah kehidupan berbangsa itu adalah para wakil dari elemen-elemen
bangsa yang juga mewakili unsur-unsur daerah. Para anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi,
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 secara jelas menyadari
kebhinekaan itu. Prof. Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyatakan
bahwa, ”permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat dan
kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah”;
Pemikiran Prof. Muhammad Yamin yang menggambarkan ruh konstitusi kita
sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah
kehidupan masyarakat negara modern. Bangunan lembaga pemegang kedaulatan
rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan,
perwujudan pemikiran itu telah berkembang secara dinamis dari periode ke
periode dan pada tahun 1998 dengan gerakan reformasi secara prinsip
menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma.
Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali—di mana
tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan—telah melahirkan
sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan
lembaga yang mewakili daerah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan
kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui
partai-partai politik adalah lewat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan yang mewakili rakyat melalui
entitas daerah atau wilayah adalah lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan;
Penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang
kemudian melahirkan DPD tidak serta merta muncul jatuh dari langit. Karena
kecuali ia merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya Undang-
Undang Dasar 1945 seperti yang sedikit digambarkan di atas, juga merupakan
produk sosiologi-politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah
hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari tuntutan reformasi
1998. Sejumlah kondisi itu antara lain:
Pertama, Penyelenggaraan negara yang sentralistik yang berlangsung sejak
era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi
49

kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan


indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai
basis berdirinya bangsa ini. Maka, di awal reformasi semangat itu kemudian
diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu suatu pilihan
politik dalam pengelolaan NKRI di mana daerah harus menjadi aktor sentral dalam
pengelolaan republik ini. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah merupakan realisasi dari kebijakan desentralisasi
itu, yang kemudian diperkuat dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A, dan 18B;
Kedua, persepsi publik terhadap eksistensi dan perilaku partai politik (parpol)
kurang sejalan dengan harapan publik, karena sistem kepartaian kita masih sangat
sentralistik. Sistem seperti itu sudahlah pasti selalu menyulitkan perjuangan
kepentingan daerah dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tatar nasional,
akibat dari kebijakan yang sentralistik yang secara alamiah berseberangan dengan
aspirasi desentralistik;
Ketiga, kehadiran DPD merupakan produk dari refleksi kritis terhadap
eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan kita di era sebelum
reformasi. Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan
bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang tidak demokratis; melainkan juga
mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan
kehidupan negara modern yang demokratis. Maka DPD lahir sebagai bagian dari
upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau daerah harus memiliki wakil untuk
memperjuangkan kepentingannya secara utuh di tatar-nasional, yang sekaligus
berfungsi menjaga keutuhan NKRI;
Keempat, kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada
lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat
dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah
bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain
yang berbasis ideologi atau Parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili
seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru
bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila
yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah
yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan
50

buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat
ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi
dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa Parpol yang eksis di
daerah umumnya merepresentasikan kepentingan Parpol pusatnya yang berwatak
sentralistik itu. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari
komunitas yang primary group-nya berbasis Parpol, maka sangat berpotensi
mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan
dengan kepentingan partainya;
Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang
ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu
perubahan penting adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Perubahan
mendasar lainnya adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
Pembentukan lembaga perwakilan kedua yang dilahirkan oleh gerakan
reformasi tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang
cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I.
Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-
pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan
yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di
negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Keberadaan DPD diharapkan akan memperkuat sistem parlemen dan dengan
demikian memperkuat demokrasi di Indonesia;
Namun karena pembuatan Undang-Undang Dasar merupakan proses politik,
pada akhirnya kompromi-kompromi politiklah yang membuahkan hasil akhir.
Antara lain seperti yang berkenaan dengan peran DPD yang sama sekali jauh dari
pikiran-pikiran awal yang datang dari gagasan-gagasan reformasi. Oleh karena itu
DPD dengan dukungan dari daerah-daerah, antara lain 31 gubernur dari 32
provinsi yang sekarang ada, bupati dan walikota, DPRD-DPRD, organisasi-
organisasi kemasyarakatan dan civil society serta pakar-pakar dari perguruan-
perguruan tinggi di seluruh tanah air, berupaya untuk menyempurnakan lagi
Undang-Undang Dasar agar supaya semua lembaga negara dalam konstitusi
berfungsi dalam sebuah bangunan sistem demokrasi yang kukuh. Namun kami
menyadari Majelis ini bukan lembaga yang tepat untuk kami membicarakan
perubahan Undang-Undang Dasar. Karena justru Mahkamah Konstitusi diserahi
51

tugas oleh konstitusi untuk menjaga agar konstitusi yang berlaku dijalankan
dengan benar;
Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa
kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat
dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di
tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan senantiasa sejalan dengan
kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Bahwa DPD akan
menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan
nasional dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah.
Bahwa kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak
perlu dipertentangkan. Di dalam serba keterbatasan kewenangan dan fungsi
konstitusional DPD, kami berusaha untuk memenuhi harapan rakyat tersebut
dengan sekuat tenaga dengan kemampuan yang ada pada kami;
Namun, kendala yang Pemohon hadapi bukan hanya pada tingkat konstitusi,
tetapi juga pada tingkat undang-undang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menafsirkan
ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 bahwa DPD ikut membahas
rancangan undang-undang di berbagai bidang hanya pada pembicaraan tingkat I
tahapan pembahasan di DPR. Kata-kata “ikut membahas” menunjukkan sifat
imperatif dari amanat tersebut, namun dalam praktiknya hanya berwujud
performa saja;
Bukan pula maksud Pemohon untuk menggugat Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tersebut pada kesempatan ini, karena sudah berlaku terlalu jauh dan
sekarang sedang ada pembahasan mengenai undang-undang yang baru tentang
susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut hasil pemilu yang
akan datang. Pemohon akan terus mengikuti bagaimana hasil pembahasannya
dan apabila kezaliman dan pengingkaran terhadap makna dan amanat Undang-
Undang Dasar tersebut dilakukan lagi, Insya Allah, akan kembali berada di muka
Majelis Hakim yang mulia untuk memohon keadilan;
Keberadaan Pemohon di hadapan Mahkamah yang mulia sekarang ini adalah
untuk memintakan petunjuk hukum atas beberapa bagian dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
menurut hemat Pemohon bertentangan dengan atau tidak mencerminkan
52

kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Secara rinci materi gugatan Pemohon


akan disampaikan oleh para kuasa hukum Pemohon;
Pemohon hanya akan menyampaikan sedikit pengantar saja mengenai
masalah yang ada di hadapan kita dewasa ini;
Pada prinsipnya ada dua hal yang Pemohon persoalkan, dalam rangka
prinsip keanggotaan DPD sebagai wakil-wakil daerah. Pertama, pada Pasal 22C
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Pasal ini
memberikan petunjuk yang tegas bahwa ada kaitan erat antara anggota DPD
dengan provinsi yang diwakilinya;
Ketentuan itu tidak ditetapkan bagi anggota-anggota DPR meskipun anggota DPR
pemilihannya juga dilakukan di daerah-daerah dan melalui daerah-daerah
pemilihan (dapil);
Kedua, ada beberapa pasal yang menunjukkan peserta pemilu, yaitu:
(1) Untuk DPR dan DPRD Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menetapkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
partai politik”. Selain itu, pada Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
mengatur bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemililhan umum”;
(2) Sedangkan untuk keanggotaan DPD Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengamanatkan bahwa, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”;

Dari berbagai ketentuan tersebut, jelas sekali tampak bahwa Undang-Undang


Dasar 1945 menetapkan adanya dua jenis peserta pemilu untuk lembaga negara
yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yaitu partai politik dan perseorangan. Untuk
DPD, tegas sekali Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki peserta pemilu
bersifat perseorangan, sedangkan untuk yang lainnya, yaitu anggota DPR/DPRD
dan Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan melalui partai politik;
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang dilahirkan
segera setelah perubahan Undang-Undang Dasar terjadi—dengan demikian masih
“merasakan kehangatan” yang terpancar dari jiwa dan semangat perubahan
53

Undang-Undang Dasar 1945—menetapkan dalam Pasal 63 bahwa calon anggota


DPD harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon
atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh
belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang
dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”;

Ketentuan huruf b ditunda pemberlakuannya dengan Pasal 146 Ketentuan


Peralihan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yaitu “Calon anggota DPD
dalam Pemilu tahun 2004 tidak menjadi pengurus partai politik paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diundangkan undang-undang ini”. Berarti pada Pemilu berikutnya yaitu
pemilu tahun 2009 ketentuan ini seharusnya berlaku;
Pemilu untuk anggota-anggota DPD tahun 2004, yang menghasilkan DPD
yang sekarang, dilahirkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 itu.
Dalam pelaksanaannya beberapa calon anggota gugur karena tidak dapat
memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut, khususnya yang berkenaan
dengan domisili. Sebagai contoh, ada dua calon anggota yang merupakan tokoh
masyarakat yang terpandang di daerahnya maupun secara nasional
pencalonannya gagal, yaitu almarhum Bapak Baramuli dan Bapak Tanri Abeng
karena masalah domisili. Tetapi memang demikianlah kehendak Undang-Undang
Dasar yang secara konsisten dan konsekuen dilaksanakan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003;
Namun kedua ketentuan tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008, sehingga menghilangkan arahan, jiwa, dan semangat yang
dikandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang kami sebutkan di atas;
Ketentuan mengenai peserta Pemilu untuk DPD dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 jelas
bertentangan satu sama lain padahal keduanya mengacu pada Undang-Undang
Dasar yang sama. Oleh karena itu, Pemohon datang menghadap untuk
memperoleh penegasan hukum dari Mahkamah yang mulia, sebagai lembaga
peradilan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain bertentangan dengan
amanat, jiwa, dan semangat Undang-Undang Dasar, perubahan peraturan yang
54

begitu cepat bahkan belum dilaksanakan sepenuhnya tanpa kebutuhan untuk


kepentingan umum yang mendesak serta tidak didukung oleh kehendak
masyarakat yang luas, mengakibatkan merosotnya martabat undang-undang dan
kurangnya kepastian hukum yang tentunya sangat merugikan rakyat dalam upaya
kita membangun masyarakat yang bukan saja menghormati tetapi juga dapat
menyandarkan nasib dan kepentingannya kepada hukum. Mengenai argumentasi
hukum serta masalah siapa yang dirugikan atau legal standing dari para Pemohon
akan disampaikan pertimbangan-pertimbangannya secara lebih rinci dan lebih
kompeten oleh para kuasa hukum;
Dalam kesempatan ini Pemohon hanya akan menyampaikan beberapa hal
pokok saja sebagai pengantar permohonan. Di samping hal-hal yang telah
dikemukakan di atas, ketiadaan ketentuan maupun syarat domisili telah
menghilangkan keterkaitan hak anggota DPD dengan provinsi yang diwakilinya
seperti dikehendaki oleh Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Apabila
memang domisili itu tidak merupakan syarat yang dikehendaki oleh konstitusi, apa
sebabnya ditetapkan demikian untuk DPD dan tidak untuk DPR, padahal anggota-
anggotanya juga dipilih di daerah-daerah melalui daerah-daerah pemilihan? Di sini
terlihat pembedaan oleh Undang-Undang Dasar terhadap hakikat anggota DPD
yang mewakili daerah dan DPR yang mewakili partai politik (meskipun anggota
DPR dipilihnya berdasar perwakilan wilayah);
Argumentasi yang pernah kita dengar bahwa seseorang dapat menyalurkan
aspirasi daerah dan dapat memperjuangkan kepentingan daerah tanpa harus
berasal di daerah tersebut hanyalah merupakan upaya pembenaran yang tidak
didasarkan oleh kejujuran untuk mengakui fakta, bahwa seseorang akan lebih
dapat memahami aspirasi daerah dan memperjuangkan kepentingan daerah jika ia
berasal dari daerah tersebut. Kami garis bawahi kata “dari”, karena kata itu pula
yang digunakan oleh konstitusi sebagai syarat untuk menjadi anggota DPD;
Pemohon juga mendengar bahwa penghapusan ketentuan tentang
keterkaitan partai politik dengan DPD, adalah untuk menjamin hak politik setiap
warga negara. Yang disembunyikan dalam argumentasi tersebut adalah ketentuan
bahwa untuk menjadi anggota DPR hanya dapat melalui partai politik, artinya
seseorang tidak dapat jadi anggota DPR kecuali dari partai politik. Mengapa tidak
digunakan argumentasi yang sama untuk membuka juga kemungkinan menjadi
anggota DPR dari perseorangan? Bukankah ketentuan itu bahwa pemilihan
55

anggota DPR hanya dapat melalui partai politik juga membatasi hak politik warga
negara? Bagaimana pula bahwa untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
hanya bisa dari partai politik dan tidak boleh calon perseorangan? Apakah itu juga
bukan pembatasan terhadap hak politik warga negara? Jawabannya sederhana,
memang betul ada pembatasan! Tetapi pembatasan itu ditetapkan oleh Undang-
Undang Dasar dan karena itu harus kita terima dan kita patuhi. Tetapi kepatuhan
itu jangan hanya berlaku sepihak saja; kalau menguntungkan dipatuhi, kalau tidak
menguntungkan boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap undang-undang bisa
menjadi tindak kejahatan apalagi terhadap Undang-Undang Dasar;
Sesungguhnya tidak ada niat Pemohon untuk membatasi anggota partai
politik menjadi anggota DPD. Demikian pula tidak ada niat untuk “mengurangi
persaingan”, karena persaingan adalah hal yang baik asal dilakukan dengan sehat.
Yang harus ditegakkan oleh undang-undang adalah aturan atau prosedur untuk
menjamin bahwa kehendak Undang-Undang Dasar itu dipenuhi. Hal tersebut telah
diupayakan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yakni melalui Pasal
63, tetapi tidak muncul lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
sehingga tidak ada pegangan hukum untuk memastikan bahwa kehendak Undang-
Undang Dasar itu dipenuhi;
Pemohon juga mengetahui di berbagai negara di dunia keanggotaan kedua
majelis perwakilan mencerminkan perwakilan partai politik misalnya di Senat
Amerika Serikat, tetapi tidak juga harus selalu demikian. Misalnya di Thailand
Ketentuan mengenai domisili Anggota Senat diatur dalam Section 114 angka 4
huruf a sampai dengan d Konstitusi Thailand yang menyatakan bahwa, nama dari
orang yang akan ikut serta di dalam pemilihan harus tercatat di provinsi yang
bersangkutan sebagai penduduk di provinsi yang bersangkutan selama sekurang-
kurangnya lima tahun berturut-turut sebelum mengajukan pencalonan atau
dilahirkan di provinsi itu dimana dia akan ikut pencalonan atau pernah belajar di
sebuah lembaga pendidikan di provinsi tersebut dimana yang bersangkutan akan
ikut dalam pemilihan selama sekurang-kurangnya lima tahun akademik atau
pernah bekerja di provinsi tersebut dan itu tercantum di dalam catatan provinsi
tersebut yang bersangkutan itu telah bekerja sekurang-kurangnya lima tahun
berturut-turut. Sedangkan mengenai ketentuan Anggota Senat yang berkaitan
dengan partai politik Undang-Undang Thailand menyatakan bahwa calon anggota
senat tidak boleh merupakan keturunan, suami atau istri atau anak perempuan
56

atau laki-laki dari seorang anggota DPR atau seorang yang menduduki posisi
politik. Di dalam menjadi anggota atau memiliki kedudukan kepengurusan di dalam
partai politik selama sekurang-kurangnya lima tahun berturut-turut. Jadi dengan
demikian peraturan yang kita terapkan di Indonesia tidak bersifat anomali. Setiap
negara mempunyai sistemnya sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh latar
belakang sejarah, budaya, dan tradisinya serta kepentingan dan kebutuhannya.
Sejarah politik, sistem kepartaian, dan kondisi sosial budaya di satu masyarakat
tentu saja berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk di dalamnya sejarah
pembentukan dan perubahan konstitusi. Untuk bangsa Indonesia, khittah
bangunan lembaga perwakilan kita dalam konstitusi maupun faktor kondisional
meniscayakan pemisahan secara tegas antara karakter wakil rakyat melalui partai
politik dengan karakter wakil rakyat dalam entitas daerah. Hal ini juga sekaligus
mengisyaratkan penolakan monopoli atau hegemoni partai politik dalam proses-
proses pengambilan kebijakan di level nasional, sekaligus merupakan bagian dari
perwujudan checks and balances yang merupakan hal yang sangat fundamental
dalam sebuah sistem demokrasi;
Kalau kita membuka bagian konsideran ‘mengingat’ dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, secara eksplisit dinyatakan ayat (1) Pasal 22C dan Pasal
22E. Artinya, terdapat konsistensi antara syarat-syarat khusus bagi calon anggota
DPR dan calon anggota DPD dengan ayat-ayat terkait dalam konstitusi di dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Tetapi dalam Undan-Undang Nomor 10
Tahun 2008, syarat khusus calon anggota DPD itu sudah dihilangkan atau tidak
lagi dimunculkan, meskipun konsideran ‘mengingat’-nya masih tetap sama dengan
undang-undang sebelumnya. Padahal dalam draft RUU Pemilu yang diajukan oleh
pemerintah dicantumkan secara eksplisit syarat-syarat khusus calon anggota DPD
itu seperti pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Namun dalam prosesnya
RUU yang diajukan oleh Pemerintah tersebut telah berubah sedemikian rupa
sehingga timbul pertanyaan, apa yang sebetulnya terjadi? Apa sebabnya para
pembuat undang-undang mengabaikan semangat konstitusi dan kepentingan apa
yang ada di balik itu?

Pertanyaan tersebut di atas sangat diperlukan jawabannya yang pasti melalui


kearifan Majelis Hakim Konstitusi yang mulia dalam merespon usulan uji materi
yang kami ajukan sekarang ini. Karena Pemohon menganggap bahwa
penghilangan dua syarat khusus itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 22C
57

dan 22D Undang-Undang Dasar 1945 dan implikasinya berpotensi untuk terjadinya
pengingkaran terhadap perjuangan kepentingan daerah di tingkat nasional. Sebab
kalau dua syarat khusus itu tidak dicantumkan secara eksplisit, maka membuka
ruang untuk anggota lembaga perwakilan daerah yang dangkal pemahamannya
terhadap daerah yang diwakilinya dan berpotensi biasnya kepentingan wakil
daerah akibat terkalahkan oleh kepentingan parpol yang menjadi primary group-
nya. Konsekuensi lebih lanjut dari itu adalah akan munculnya benih-benih
kekecewaan daerah terhadap manajemen pemerintahan dan pengambilan
keputusan di tatar nasional–sesuatu yang juga bertentangan dengan tujuan
reformasi. Pada titik simpulnya sidang Mahkamah yang mulia daerah-daerah di
Indonesia membutuhkan keadilan dan komitmen yang konsekuen terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Masa depan bangsa ini, ketaatannya pada
konstitusi dan konsistensinya pada desentralisasi dan otonomi daerah yang
terwujud dalam semboyan bhinneka tunggal ika Pemohon serahkan pada daulat
Mahkamah Konstitusi untuk menentukannya. Patut disyukuri pada akhirnya
sekarang palu penjaga konstitusi berada dalam genggam sembilan jubah merah
konstitusi. Karena kami percaya tutur jujur Hakim Konstitusi yang kami baca dalam
buku Menjaga Denyut Konstitusi tahun 2004 bahwa—Pemohon kutip, “sembilan
jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah, para pengawal konstitusi yang
gagah, sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah bukan penjagal
konstitusi yang membuat rakyat marah”. Apapun yang dihasilkan dalam upaya
Pemohon “Merenda Keadilan dalam Mengangkat Harkat Daerah” melalui Majelis
Hakim yang mulia Pemohon percaya dasarnya adalah kebenaran dan keadilan
dan akan Pemohon terima dan teruskan seutuhnya kepada masyarakat di daerah
di seluruh penjuru tanah air, Indonesia tercinta;

[2.3] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon telah


mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-18, dan telah
pula mengajukan 1 orang saksi serta 8 orang ahli yang telah memberi keterangan
di bawah sumpah pada persidangan tanggal 13 Mei 2008 dan 10 Juni 2008, yang
dilengkapi dengan keterangan tertulis, sebagai berikut:

Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
58

Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor


4836);

Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4277);

Bukti P-3 : Fotokopi naskah akademik dan draft awal rancangan undang-
undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari Pemerintah tahun 2007;

Bukti P-4 : Fotokopi berita yang berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji Materi Harus
Dihargai” disampaikan oleh Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa
(F-KB) Harian Kompas, Jumat, 14 Maret 2008, halaman 3;

Bukti P-5 : Fotokopi kompilasi dukungan masyarakat atas “Petisi Tolak Parpol
Masuk Kamar DPD”;

Bukti P-6 : Fotokopi buku yang berjudul “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD
1945 Baru”, disusun oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.CL.,
penerbit FH-UII Press, Maret 2003, halaman 56-57;

Bukti P-7 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, disusun oleh Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, SH;

Bukti P-8 : Fotokopi artikel yang berjudul “UU Pemilu: Dari Partai untuk
Partai?”, ditulis oleh Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harian Kompas,
Senin, 3 Maret 2008, halaman 6;

Bukti P-9 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, ditulis oleh I Dewa Gede Palguna;

Bukti P-10 : Fotokopi buku yang berjudul “Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat”, disusun oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., Catatan Kaki No. 98, halaman 44-45;
59

Bukti P-11 : Fotokopi paper yang berjudul “Perihal Dewan Perwakilan Daerah
dalam Perspektif Katatanegaraan”, ditulis oleh Prof. Dr. Sri
Soemantri Martosoewignjo, SH., dan Dr. Mochamad Isnaeni
Ramdhan, SH., halaman 8;

Bukti P-12 : Fotokopi artikel yang berjudul “Anggota DPR dan Anggota DPD”,
ditulis oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata
Negara, Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008, halaman 6;

Bukti P-12A : Fotokopi makalah yang berjudul “Political Parties in the United
States”, ditulis oleh John F. Bibby;

Bukti P-12B : Fotokopi berita yang berjudul “Oligarki Partai Sebabkan DPR
Abaikan Aspirasi Rakyat, disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae,
dalam harian Sinar Harapan, Rabu, 21 Januari 2004;

Bukti P-12C : Fotokopi artikel yang berjudul “Utopia Reformasi Parpol”, oleh
Abdul Gafur Sangadji, Harian Merdeka, tanggal 15 September
2004;

Bukti P-12D : Fotokopi makalah yang berjudul “Reflections on the Significance of


the Bicameral Parliamentary System”, oleh Dr. Herbert Schambeck;

Bukti P-12E : Fotokopi Chapter VI Part 3 Konstitusi Thailand;

Bukti P-13 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008
tanggal 3 April 2008;

Bukti P-14 : Fotokopi Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik


Indonesia Nomor 8/DPD/2008 tentang Teknis Pelaksanaan dan
Mekanisme Kerja Tim Judicial Review Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Bukti P-15 : Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia


Nomor 27/DPD/2008 tentang Judicial Review Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
60

Bukti P-16 : Fotokopi Daftar Hadir Sidang Paripurna Ke-11 (Tertutup) Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun
Sidang 2007-2008 tanggal 17 Maret 2008;
Bukti P-17 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Mei 2008, “Kuasai
DPD, PKS Susun Daftar Calon Senator”;
Bukti P-18 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Selasa, 10 Juni 2008, “Partai
Megawati Seleksi Calon Senator Kuasai DPD”.

Keterangan Saksi Drs. Progo Nurdjaman

Kesaksian saksi adalah berdasarkan keterlibatan saksi dalam proses penyusunan


dan penetapan undang-undang tentang Pemilu. Dalam proses penyusunan dan
penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, saksi terlibat sebagai Ketua
Tim Penyusun RUU Pemilu dan wakil Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dalam
pembahasan RUU tersebut bersama DPR. Dalam proses penyusunan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008, saksi terlibat sebagai Ketua Tim penyusun
Undang-Undang Bidang Politik (dalam paket undang-undang bidang politik:
Pemilu, Parpol, Susduk, Pilpres).

Dalam penyusunan Undang-Undang Pemilu, terdapat pokok pikiran:


1. Menata kehidupan demokrasi yang lebih baik dan sehat, sejalan dengan
reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia.
2. Penataan kehidupan politik diatur dengan Undang-Undang sesuai amanat
Undang-Undang Dasar.
3. Pengaturan keterwakilan ditata ulang sesuai dengan perkembangan politik dan
demokrasi, seperti keterwakilan pada lembaga DPR.
Pengaturan Keterwakilan DPR:
UU yang lalu (UU Pemilu 1999) : 1 kabupaten/kota minimal 1
wakil
UU yang sekarang (UU Pemilu 2003 dan 2008) : Daerah Pemilihan
4. Dalam Amandemen UUD ditetapkan adanya Lembaga Perwakilan:
a. Perwakilan Rakyat
b. Perwakilan Daerah

PROSES PENYUSUNAN
Dalam penyusunan draft RUU Pemilu 2003, di samping memperhatikan naskah
akademik dilandasi oleh pokok-pokok ketetapan dalam UUD 1945, khususnya
pada beberapa pasal sebagai berikut :
61

UUD 1945

Pasal 2 : MPR terdiri atas DPR dan DPD.

Pasal 22C : (1) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi


(2) Setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruhnya tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
(4) Susduk DPD diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22 E : (2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,


Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.
(3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD
adalah partai politik.
(4) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.

PROSES PENETAPAN

Dari naskah yang disampaikan Pemerintah dan setelah melalui pembahasan DPR
bersama Pemerintah, ditetapkan undang-undang Pemilu dengan UU Nomor 12
Tahun 2003

Beberapa pokok pengaturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, ditetapkan antara


lain syarat pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD:

Pasal 60 : Persyaratan umum calon anggota DPR, DPD, dan DPRD

Pasal 61 : Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalan satu lembaga perwakilan
pada satu daerah pemilihan

Pasal 62 : Calon anggota DPR dan DPRD , juga harus terdaftar sebagai anggota
parpol peserta pemilu yang dibuktikan dengan KTA.

Pasal 63 : Calon anggota DPD, harus memenuhi syarat:

a. domisili di provinsi bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun


secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon, atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh)
62

tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang


bersangkutan.
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat)
tahun yang dihitung sampai pengajuan calon.

UU PEMILU NOMOR 10 TAHUN 2008

1. Dalam draft RUU yang diajukan Pemerintah kepada DPR, substansi


persyaratan calon mengadopsi persyaratan calon dari ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karena dipandang tetap relevan dari
ketentuan UUD 1945.
2. Dituangkan dalam draft RUU Pasal 7 antara lain Huruf n dan o (draft pasal
tersebut adalah penggabungan dari beberapa pasal dalam UU Nomor 12
Tahun 2003 yang menetapkan persyaratan calon yaitu Pasal 60, 61, 62, 63,
dan 64) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai persyaratan
calon ditetapkan dalam Pasal 12.
3. Ketentuan syarat calon anggota DPD yang ditetapkan dalam Pasal 63 huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dan dalam pengajuan RUU,
tetap dicantumkan ketentuan tersebut. Dalam perkembangan pembahasan dan
pengesahan RUU menjadi undang-undang tidak dicantumkan lagi.
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, yang mengatur persyaratan calon DPD.
4. Sedangkan persyaratan dukungan minimal yang ditetapkan baik dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (Pasal 11), maupun dratf RUU (Pasal
8) maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (Pasal 13) ,tidak berubah.

Ketentuan tersebut meliputi, provinsi yang berpenduduk:


a. Sampai dengan satu juta harus dapat dukungan 1.000 pemilih.
b. Lebih dari satu juta sampai dengan lima juta haruss dapat dukungan 2.000
pemilih.
c. Lebih dari 5 juta sampai dengan 10 juta harus dapat dukungan 3.000
pemilih.
d. Lebih dari 10 juta sampai dengan 15 juta harus dapat dukungan 4.000
pemilih.
e. Lebih dari 15 juta harus dapat dukungan 5.000 pemilih.
63

Keterangan Ahli Drs. Arbi Sanit

Meskipun jejak sejarah Partai Politik Indonesia bisa ditelusuri sampai ke era
kolonial, namun diskontinuiti dan inkonsistensi pengembangannya, menjadikan
institutusi utama demokrasi itu tidak berkemampuan memadai untuk berperan
secara optimal, apalagi maksimal. Argumen peranan partai yang menguat dalam
proses demokrasi, belumlah diimbangi dengan tekad dan tanggung jawabnya
untuk merealisasikan demokrasi secara bermanfaat. Kesenjangan yang cenderung
menguat di antara hak dan kewajiban partai dalam demokrasi seperti itu,
merupakan konsekuensi dari lemahnya pendewasaan politisi dan pencanggihan
teknologi politik serta pematangan institusionalisasi politik yang dialami partai di
sepanjang perubahannya yang terputus putus.
Selama hampir seratus tahun sejak awal abad ke 20, tetap dan semakin
diyakini bahwa representasi institusional dan fungsional partai atas rakyat ialah
Sistem Multi Partai. Padahal sudah terbukti secara periodik bahwa representasi
seperti itu bermuara kepada lemahnya pemimpin dan tidak efektifnya
pemerintahan. Malah pengalaman berbagai negara yang sukses dengan
representasi rakyat oleh sistem partai sederhana, tidak dipertimbangkan
manfaatnya bagi Indonesia dengan alasan percobaannya yang dilakukan oleh
Penguasa Orde Baru.
Sekalipun di sepanjang kemerdekaan Indonesia partai tidak berperan
secara kontinu, namun dengan alasan demokrasi, politisi partai begitu percaya diri
bahwa merekalah yang paling berhak menjadi penguasa dan atau penyelenggara
negara. Interpretasi demokrasi seperti itu, bukan saja menafikan sejarah Pemilu
tahun 1955 yang memberikan kesempatan kepada Calon Ormas dan Calon
Perseorangan untuk menjadi Calon Pemilu dan Pemimpin Politik—Pemerintahan,
melainkan juga mengenyampingkan peran dan sumbangan berbagai kekuatan
sosial—politik non partai dalam penyelenggaraan dan perubahan negara sewaktu
partai tidak berdaya dan atau tidak melakukan peran sebagaimana seharusnya.
Di era reformasi menuju demokrasi liberal jilid dua ini, interpretasi dan
operasi demokrasi seperti itu telah menjuruskan politisi dan partainya kepada
keyakinan dan usaha sistemik, untuk menunaikan peran politiknya secara
monopolistik. Berkuasa dan/atau berpengaruh atas keseluruhan proses politik dan
pemerintahan, dengan melemahkan atau mengenyampingkan peran kekuatan
sosial—politik non Partai, semakin menguat secara kuantitatif dan kualitatif.
64

Artinya, hampir tidak ada batasan institusional bagi intervensi kekuasaan politisi
dan partainya, dan keterlibatan itu berlangsung secara informal sampai formal
dengan menggunakan hukum, sekalipun mengesankan ingin benar sendiri dan
memaksakan kehendak.
Tragisnya, peran luas dan mendalam politisi dan partainya itu, tidaklah
ditunaikan secara adil dalam artian menyeimbangkan hak dengan tanggung jawab
(kewajiban). Berdasar analisis Ian Shapiro (YOI:2006), operasionalisasi hak Politisi
Partai bergaya Cartesian dengan menekankan hak individu sebagai subjeknya,
sementara substansi hak sesuai dengan pandangan libertarian negatif diabaikan.
Dalam pada itu pembenaran politik dan pengabaian etik yang melemahkan dasar
hak, mengaburkan kebaikan pluralis sebagai tujuan hak.
Kontradiksi-kontradiksi kepartaian itu, menghadapkan kita kepada
keharusan untuk menjawab pertanyaan tentang sebab musabab kehadiran
monopoli paran partai, dan dampaknya kepada kehidupan masyarakat dan bangsa
serta negara, beserta solusinya yang dibutuhkan.

Peran Partai Monopolistik

Diskontinuiti perkembangan partai politik merupakan konsekuensi logis dari


keterpatahan perjalanan sejarah Demokrasi Indonesia. Demokrasi Konstitusional I
(1945—1959) tidak sepenuhnya membuka peluang partai untuk memonopoli peran
kenegaraan dan politik. Memang Sistem Partai Massa menghadirkan mekanisme
politik onderbouw, di mana setiap partai 'memelihara' anak organisasi massa untuk
mendapatkan anggota dan pendukung yang luas secara permanen. Dengan begitu
peran berbagai Ormas di bawah partai, mewakili dan atas nama partai
bersangkutan. Maka hadirlah kecenderungan monopoli berbagai peran dalam
kehidupan masyarakat dan bangsa serta negara dengan mengatasnamakan
partai. Akan tetapi di dalam Pemilu 1955, Partai bersaing dengan Ormas dan
Perseorangan untuk memperebutkan kekuasaan (kursi) Lembaga Legislatif, yang
karena penggunaan Sistem Politik dan Pemerintahan Parlementariannisme,
memungkinkan Politisi Non Partai berkuasa atau berpengaruh atas Lembaga
Eksekutif.
Sirnanya mekansime politik kompetitif di era Demokrasi Konstitusional II
(1999-...), bukan saja karena minimnya pengalaman berdemokrasi, melainkan juga
disebabkan oleh reaksi berlebihan kepada Sistem Politik dan Pemerintahan
Otoritarianisme yang diberlakukan oleh Penguasa Orde Lama dan Orde Baru
65

selama hampir empat dekade. Jangankan berdemokrasi, berpolitik non


demokratikpun harus menghadang risiko berlebihan, di bawah rezim otoriter
tersebut. Isolasi kehidupan secara menyeluruh, penjara tanpa Pengadilan, dan
bahkan kekerasan serta pembunuhan politik, adalah risiko menakutkan yang harus
dihadapi Politisi waktu itu. Semuanya itu menjerakan kalangan luas masyarakat
untuk terlibat di dalam proses politik. Apalagi untuk memerankan politik secara
demokratik.
Selama hampir 40 tahun demokrasi terkerdilkan atau terpendamkan
menjadi impian dan wacana di kalangan terbatas golongan intelektual dan aktivis
gerakan demokratisasi. Itulah masa di mana politisi dan partai dijadikan kamuflase
demokratik bagi rezim dan Sistem Kekuasaan Otoriter. Politisi dan partai hadir,
akan tetapi perannya sepenuhnya ditentukan oleh penguasa secara sepihak.
Untuk mempertahankan hidup, apalagi untuk ikut berkuasa, siapapun harus
menyesuaikan diri dengan Sistem Kekuasaan Otoriter.
Maka tidaklah mengherankan tatkala di era reformasi tampil politisi
dadakan, yang bukan saja minim pemahaman tetapi juga minim pengalaman
berpolitik secara demokratik, atau mendadak sontak menganut cara pikir
demoktatik walaupun tanpa penghayatan, di panggung politik Indonesia.
Rekonsiliasi tidak resmi di antara dua kekuatan politisi yaitu reformator dan eks
Orba melalui Pemilu tahun 1999 itulah yang membangun landasan masyarakat
politik dan sistem partai di era Demokrasi Konstitusional II dewasa ini. Politisi dan
partai adalah subjek hak untuk berkuasa atas negara. Tetapi substansi hak itu
tidak jelas karena berakar kepada pertemuan kepentingan eks Orba dan aktivis
reformasi. Maka landasan hak itupun tidak jelas, sebab asal usul politisi yang
cenderung terurai berdasar kayakinan primordial. Tujuan hak itupun tidak tertentu
karena tak terselesaikan konflik multiinterpretasi demokrasi yang bermuara kepada
jebakan demokrasi sebagai tujuan atau alat.
Tatkala politisi partai tanpa niat (rencana) dan minim pengalaman politik
demokratik yang menjadikannya tidak visior itu, berwenang menentukan operasi
demokrasi, mereka bereaksi secara spontan dan berlebihan. Tanpa persiapan
matang untuk mengoperasikan demokrasi, mereka terjebak oleh kecenderungan
revolusioner dengan meniadakan sifat Orba dan/atau tindakan kompromistis
dengan mencampurkan sifat Orba dengan watak demokrasi. Mudah diketahui
bahwa pragmatisme sikap para politisi partai seperti itu, berakar secara kukuh
66

kepada keharusan menyesuaikan diri kepada cara berpikir dan bertindak


penguasa-penguasa otoriter dari masa lalu. Maka mereka dewasa ini dengan
enteng menggeser monopoli kekuasaan rezim Orba menjadi monopoli peran politik
politisi dan partainya dewasa ini.
Selain dari pragmatisme, politisi dan partai dewasa ini juga berpikir dan
bertindak secara sentralisme. Bila rezim Orba menerapkan sentralisme kekuasaan
di dalam negara secara menyeluruh, maka politisi partai dewasa ini menerapkan
sentralisme peran politik kenegaraan dan sentralisme kekuasaan di dalam partai.
Sentralisme peran politik kenegaraan politisi partai pertama kalinya terdeteksi
tatkala mengoperasikan Sistem Pemerintahan Parlementer berdasarkan UU Politik
yang asal usulnya dari era Orba. Saat itu UUD 1945 asli yang mengkombinasikan
Sistem Pemerintahan Parlementer dengan Presidensiil, digunakan sebagai
landasan penyusunan UU Politik yang bersubstansikan Sistem Parlementer, untuk
menutupi Presiden yang mensentralkan kekuasaan dan tidak boleh diganti. Tafsir
Parlementarianisme Rezim Orba atas UUD 1945 itu, dilanjutkan secara sadar oleh
Penguasa era reformasi dengan maksud mengalihkan pusat kekuasaan negara
dari Presiden ke Parlemen. Hal itu masuk akal bila diingat kesimpulan Arend
Lijphart (Rajawali 1995) bahwa:
DPR menjadi pusat kekuasaan Negara di bawah Sistem Pemerintahan
Parlementer. Akan tetapi mendistorsi Sistem Presidensiil yang sudah diberlakukan
sejak amandemen UUD 1945 di tahun 2004.

Kedua, sentralisme peran politisi dan partai diketahui saat mereka


menetapkan struktur DPR bikameralisme lunak di dalam amandemen UUD 1945,
dan menata operasionalisasinya di dalam UU Pemilu dan Susduk 2004 dan 2008.
Wujud ialah peran DPD sebagai penasihat atau pembantu DPR. Di dalam UU
Pemilu 2008, malah dibuka peluang bagi politisi partai untuk menjadi anggota
DPD.
Sudah barang tentu langkah politisi partai itu berlawanan dengan perintah
amandemen UUD 1945, karena mengenyampingkan pelaksanaan DPD dalam
kerangka mekanisme checks and balances sebagai operasi demokrasi
presidensialisme yang diamanatkannya. Secara universalpun, tindakan itu
melawan arus, sebab dari 10 negara pengguna sistem pemerintahan presidensiil
dan bikameralisme yang diteliti IDEA, ternyata sebanyak 8 negara di antaranya
(Amerika Serikat dan Piliphina) menerapkan bikameralisme penuh, sekalipun dari
40 negara pengguna sistem pemerintahan parlementer hanya 8 yang
67

menggunakan bikameralisme kuat (http://www.idea.org). Searah dengan


kecenderungan bentuk sistem pemerintahan tersebut, ternyata 8 dari 11 negara
federal menerapkan bikameralisme kuat, berbanding dengan 7 negara kesatuan
seperti Belanda, Cile, Philipina, Italia, Jepang, dan Inggris, menggunakan
bikameralisme kuat, semetara 13 negara kesatuan lainnya menerapkan
bikameralisme lemah. Di lihat dari penyelenggaraan demokrasi dari 54 negara
sebanyak 32 menerapkan bikameralisme dengan perimbangan 16:16 antara
bikameralisme kuat dengan lemah.
Pengkerdilan DPD itupun melemahkan sistem perwakilan politik yang
seyogianya terdiri dari perwakilan kelas sosial di samping perwakilan penduduk
dan perwakilan daerah dalam artian teritori atau wilayah (George Tsebelis dan
Jeannette Money, 1997). Setidaknya dikenali 3 bentuk pelemahan sistem
perwakilan yang berakar kepada ketidakseimbangan peran DPR dengan DPD
tersebut. Pertama, Parlemen tidak teliti mewakili nilai dan kepentingan unsur
entitas Indonesia, sehingga dirasa kurang pas mewujudkan Republik Indonesia.
Kedua, perdebatan dan keputusan DPR tidak kompettitif sepenuhnya, karena
berlangsung dalam kalangan terbatas dari satu golongan yaitu politisi partai, dan
ketiga, perwakilan politik dalam DPR menafikan hak politik rakyat yang tidak
berpartai, dan sebaliknya hanya warga partailah yang mendominasi parlemen.
Dalam pada itu sentralisme kekuasaan internal partai memang sudah
merupakan tradisi Kepartaian Indonesia sejak awal kemerdekaan. Bentuknya ialah
kekuasaan DPP Partai untuk menetapkan kebijaksanaan partai. Para pengurus
daerah partai wajib memperoleh persetujuan DPP, sebelum bertindak di
daerahnya masing-masing. Alasan penerapannya oleh partai ialah untuk
menegakkan disiplin organisasi partai dan supaya terjamin integrasi partai secara
nasional. Tetapi sentralisme itu sudah mendatangkan berbagai konflik vertikal di
dalam partai, di samping gagalnya partai menyiapkan pemimpin yang berkapasitas
kuat untuk melaksanakan Otonomi Pemda secara berhasil.
Kombinasi aneh pragmatisme dengan sentralisme politik untuk
mengoperasikan demokrasi, dengan sendirinya bermuara kepada egoisme politik
sebagai tampilan terburuk dari individualisme. Sebab, sentralisme yang beroperasi
melalui pragmatisme di bawah kebebasan, memberi peluang kepada politisi untuk
menghindarkan tanggung jawab publik (kolektif) untuk memaksimalkan
pemenuhan kepentingan individu. Kepentingan individu politisi dan kepentingan
68

partai yang dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak, melahirkan egoisme
politisi dan egoisme partai politik (institusional). Berbagai bentuk penyalahgunaan
kekuasaan oleh politisi partai, mulai dari korupsi dan nepotisem sampai kepada
skandal dan kekerasan, hanya bisa terjadi karena egoisme, dan berbagai
kebijaksanaan partai (DPP dan atau Fraksi) yang tidak tepat atau minim manfaat,
sehingga menghadirkan ketidakadilan, berakar kepada pengutamaan kepentingan
partai politik.

Peran Dilematis Partai Politik


Sekalipun kehidupan politisi dan partai di era Demokrasi Konstitusional I
jauh lebih ideal dari penerusnya di era Demokrasi Konstitusional II, namun adalah
jelas bahwa hasil karyanya untuk menanggulangi masalah sambil membuat
kemajuan masyarakat dan bangsa serta negara semakin jauh dari memadai.
Kenyataan itu terasa sebagai ironi, karena terlalu jauh jarak di antara hak dan
kekuasaan politisi partai di dalam demokrasi dengan realisasi kewajibannya
terhadap pemegang kedaulatan. Karenanya rakyat dan daerah Indonesia
dihadapkan kepada pilihan demokrasi yang rumit: dukung peran politisi partai
untuk mewujudkan demokrasi, atau batasi peran partai dengan
mengkompetisikannya terhadap kekuatan non partai untuk mendayagunakan
demokrasi.
Setelah dekade pertama reformasi, urgensi untuk memilih alternatif kedua
peran politisi dan partai menjadi amat kuat, karena berbagai sebab, yaitu praktik
demokrasi baru sebatas minimaliis, fundasi kehidupan politik kenegaraan tak
kunjung menguat, dan kondisi negara sudah berada ditubir Negara Gagal.
Lipset dan Lakin dalam analisisnya tentang pemaknaan demokrasi, sampai
kepada kesimpulan tentang operasinya secara minimalis dan perluasan serta
maksimalis (The Democratic Century, 2004). Demokrasi minimalis terjadi bila
wujud utamanya hanyalah penggunaan kedaulatan rakyat untuk menentukan
penguasa negara melalui Pemilu. Ekstensinya terjadi apabila Pemilu disertai dan
diikuti dengan jaminan HAM, dan maksimalitasnya ditampilkan oleh Pemerintah
hasil Pemilu yang mampu menyelesaikan masalah sembari memajukan kehidupan
masyarakat dan bangsa serta negara, melalui kebijaksanaan publik yang relevan
dan tersedianya public goods serta berlangsungnya proses politik secara damai.
Karena Pemilu-pemilu demokratik Indonesia, tidak menjamin HAM dan
penyelesaian masalah serta membuat kemajuan, maka dengan sendirinya
69

menurut analisa tersebut, demokrasi Indonesia tergolong kepada kadarnya yang


minimalis. Makna itu mengandung arti bahwa demokrasi barulah sekedar alias
prosesi prosedural. Manfaatnya bagi masyarakat dan bangsa serta negara masih
amat terbatas pada kaum elit khususnya penguasa. Itupun kualitasnya masih
belum memadai, karena cenderung bersifat formal dan normatif, sebagaimana
dituangkan di dalam peraturan perundangan. Maka baik Demokrasi
Konstitusional I maupun Demokrasi Konstitusional II sama-sama rentan ketidak
stabilan dan karenanya berpeluang untuk dihancurkan dan digantikan dengan
otoriter. Begitulah misalnya dengan Demokrasi Konstitusional I yang dieliminasi
oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan
DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955 serta kembali menggunakan UUD 1945.
Kegagalan demokrasi Indonesia memberikan manfaat luas dan intensif itu,
bertolak dari ketidakberhasilan politisi partai memperkuat fundasi kehidupan politik
dan kenegaraan Indonesia, yang mencakup kepemimpinan politik dan
pemerintahan yang kapabel, sistem partai yang kuat, dan sistem pemerintahan
yang efektif dan stabil (Dahl, Perihal Demokrasi, Obor:2001). Pemilu hanyalah
menghasilkan penguasa yang tanpa kapabilitas kepemimpinan secara mamadai.
Pemilu selalu berkaitan dengan sistem multi partai yang tidak dapat diandalkan
oleh penguasa untuk menguatkan kepemimpinannya, dan Pemilu akhirnya
menghasilkan atau melanggengkan sistem pemerintahan yang tidak koheren dan
tidak sinergis, sehingga mengalami kesulitan untuk menghasilkan kebijaksanaan
publik yang relevan di samping memajukan.
Kegagalan Pemilu menguatkan fundasi kehidupan politik kenegaraan itu,
berawal dari kelemahan UU Politik. UU Pemilu tidak mempersyaratkan Calon
Pemimpin, tetapi hanya mempersyaratkan peserta Pemilu. Tidak ada kriteria
syarat calon pemimpin dalam UU Pemilu, yaitu indikator kapabilitas pemimpin
politik dan pemerintahan yang terdiri dari integritas (kejujuran), visi 10-30 tahun
kedepan, kompetensi politisi profesional, kompetensi negarawan, kompetensi
manajer politik dan pemerintahan, dan kepemimpinan pembaharu. Akibatnya ialah
kesewenangan politisi partai menentukan calon Pemilu dan tidak adanya
kewajiban partai untuk mendidik kader dan menyiapkan pemimpin yang
berkapabilitas memadai.
UU Partai dan Pemilu tidak mengkondisikan politisi partai untuk
memperkuat sistem partai, sebagaimana terbukti dari UU Partai yang tidak
70

mengkondisikan koalisi atau fusi. Dalam pada itu UU Pemilu tidak memungkinkan
pelaksanaannya menghasilkan sistem partai kuat yang dibuktikan dengan
kemayoritasan suara pemilih dan atau kursi Legislatif yang dimiliki.
UU Susduk, bukan saja tidak mengoperasikan bikameralisme di lembaga
legislatif sesuai dengan UUD, melainkan juga mengkondisikan beroperasinya
sistem pemerintahan parlementer di lembaga itu.
Maka jelaslah bahwa UU Politik yang tidak memperkuat sistem
pemerintahan presidensial sesuai UUD itu, bukan saja melemahkan eksekutif dan
sekaligus melemahkan perwakilan politik rakyat, tetapi juga memandulkan
mekanisme kompetisi di level lembaga negara, sehingga rakyat tidak memperoleh
pelayanan terbaik dari negara.

Jalan Keluar
Akhirnya keseluruhan pengamatan dan analisis di atas, membangun
keyakinan bahwa akar dari berbagai kelemahan negara adalah ketidakberhasilan
politisi dan partainya dalam menunaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat
dan bangsa serta negara. Lumpuhnya partai sebagai lembaga, oligarkhi elit partai,
dan penolakan politisi partai akan tawaran fasilitasi kaum intelektual dan
pemerintah lewat naskah akademik dan RUU untuk membangun partai dan
kepemimpinannya atas nama intervensi, bercokol di balik kegagalan tugas atau
peran partai tersebut.
Sejauh ini upaya persuasif dari golongan menengah dan tekanan opini
publik bersama aksi massa, semakin kehilangan pengaruh atas kehidupan politisi
dan partainya, terutama untuk pembaharuan kekuatan politik tersebut.
Sebagaimana terbukti dari penolakan politisi partai atas usul perubahan UU Politik,
institusi negarapun tidak efektif untuk mendukung pembaharuan politisi dan partai.
Sekalipun begitu, masih ada tiga institusi negara yang secara strategis berpotensi
untuk mendorong pembaharuan politisi danpartai, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Badan Pemeriksa Keuangan.
Namun di antara ketiga lembaga itu, Mahkamah Konstitusi berpeluang
terbesar untuk mendorong pembaharuan Politisi dan Partainya. Pertama, karena
Mahkamah Konstitusi bertugas menjaga Konstitusi sebagai design menyeluruh
penataan dan pengelolaan negara (state craft). Kedua, dengan menggunakan
kewenangannya itu, Mahkamah Konstitusi berhak membuat interpretasi UUD yang
tidak lagi dilengkapi dengan penjelasan, sehingga kematangan para Hakim
71

Mahkamah Konstitusi berfaedah untuk meluruskan dan mendorong pembangunan


politisi dan partai politik, dan ketiga, Mahkamah Konstitusi sudah membuktikan
kinerja dan karyanya dalam meluruskan substansi UU sesuai dengan prinsip-
prinsip Demokrasi Universal, berdasarkan UUD hasil amandemen.

Keterangan Ahli Dr. John Pieris, SH., MS.

1. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas menyatakan: ”Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”.
Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, frase
(kata) “dari setiap provinsi” menunjukkan tempat (ruang) dan asal, yaitu tempat
berdiam, berteduh, tempat tinggal atau tempat domisili. Jika dapat dipertegas,
artinya bertempat tinggal dan pencalonan anggota DPD berasal dari provinsi
asal, bukan dari provinsi lain apalagi dari partai politik. Contoh seperti di
Amerika Serikat, setiap senator (anggota senat) disyaratkan berdomisili atau
bertempat tinggal permanen secara administratif (kependudukan) di negara
bagian atau, di mana dia terdaftar secara sah menjadi warga negara.
Frase dipilih dari setiap provinsi berbeda maksud dengan frase dipilih di setiap
provinsi. Dipilih dari setiap provinsi artinya calon anggota DPD itu tinggal
menetap di provinsi dan dipilih serta dicalonkan dari provinsi di mana ia
berdomisili. Sedangkan dipilih di setiap provinsi mengandung maksud, hanya
dipilih di provinsi, tetapi calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut.
Frase dipilih dari setiap provinsi ingin menjelaskan, bahwa calon tersebut,
berdasarkan teori representasi, mewakili wilayah (provinsi). Secara substansial
hermeneutikal, perwakilan wilayah itu harus diisi (diwakili) orang yang
berdomisili di wilayah tersebut, juga yang mengenal serta mengetahui betul
secara luas dan mendalam, kondisi, situasi, karakter masyarakat dan
problematika daerahnya. Jadi sifat perwakilan anggota DPD itu syaratnya
adalah “regional representation”, bukan “political representation” (perwakilan
politik yang orang-orangnya berasal dari partai politik). “Regional
representation” adalah orang-orang yang berasal dari provinsi (wilayah) di
mana yang bersangkutan berdomisili. Itu berarti, si wakil (anggota DPD)
bertindak sebagai “delegate” (utusan) dan selalu berkonsultasi dengan
pimpinan provinsi dan rakyat yang diwakilinya, bukan sebagai “politico” atau
“partisan”, atau politasi yang mewakili partai.
72

2. Pasal 22E ayat (4) menyatakan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan”. Rumusan norma (kaidah) hukum tersebut
sangat tegas dan jelas.
Frase perseorangan tidak boleh diperluas, sebab jika tafsir perseorangan ini
dikembangkan dan diperluas tanpa batas, siapa pun boleh, yaitu anggota dan
pengurus partai politik, anggota TNI/Polri dan PNS. Apa jadinya nanti jika
calon-calon anggota DPD bisa berasal dari beragam habit yang serba meliputi?
Secara teoritis bisa bias dan dari perspektif pendewasaan demokrasi yang
lebih bermartabat, bisa terjebak dalam budaya “kerakusan politik”.
Frase perseorangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pribadi
seseorang atau yang bersifat pribadi, bukan berasal dari atau milik suatu
badan. Frase perseorangan dimaksud sebagai seorang yang independen, non
partisan dan bukan berasal atau diskenariokan bersumber dari partai politik.
Domein perseorangan ada pada locusnya (lokus), yaitu Dewan Perwakilan
Daerah, sedangkan locus DPR diisi oleh calon dari partai politik.
Ricker dalam teori sosiologi politik misalnya menyatakan, dalam lembaga
perwakilan bukan merupakan bangunan politik, tetapi merupakan bangunan
masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang berbasis
pada masyarakat dan berasal, serta berdomisili serta tinggal bersama-sama
dengan masyarakat, dan wakil-wakilnya harus memperjuangkan kepentingan
daerah dan rakyat yang ada di daerah tersebut. Sedangkan Leon Diguit
dengan teori hukum objektif menyatakan, bahwa hubungan antara rakyat dan
lembaga perwakilan adalah hubungan solidaritas. Karena itu, Diguit
mengatakan lebih lanjut, bahwa teori hukum objektif menempatkan lembaga
perwakilan menjadi bangunan hukum (bukan bangunan politik).
Atas dasar itu, dapatlah dikatakan, bahwa peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPD adalah perorangan. Norma ini mempertegas, bahwa
perorangan yang dimaksud adalah pribadi (orang) atau calon yang bukan
berasal dari lembaga atau partai politik. Jatah untuk anggota dan pengurus
partai politik ada pada lembaga DPR [vide Pasal 22E ayat (3)].

3. Di dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD dijelaskan, bahwa DPR adalah wakil rakyat dan DPD adalah wakil
daerah [Pasal 2 dan Pasal 13 ayat (3)]. Karena itu, DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Itu berarti
73

haruslah dipakai, bahwa anggota DPR berasal dari partai politik peserta pemilu
(PPPP). Ini diatur di dalam Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2003. Logika
hukumnya, anggota partai politik maupun pengurus parpol lainnya hanya bisa
dicalonkan menjadi anggota DPR dari partai politik peserta pemilu. Norma
hukum Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma hukum Pasal 16 UU Nomor
23 Tahun 2003 tidak boleh diperluas maknanya atau pengertiannya masuk ke
dalam wilayah (domein) DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, sebab
lembaga perwakilan daerah adalah miliknya orang daerah. Sedangkan
lembaga perwakilan rakyat adalah miliknya orang partai politik. Dengan kata
lain, kedaulatan politik hanya terbatas pada hubungan partai politik dengan
lembaga perwakilan rakyat (DPR), artinya parpol berdaulat atas dan berhak
mengatur kader-kadernya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, tetapi nyata
sekarang, bahwa kedaulatan partai (partycracy) diperluas memasuki wilayah
DPD berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008. Parpol telah menggerogoti
kedaulatan (hak) warga negara yang bukan anggota parpol atau warga negara
biasa (non partisan). Fenomena politik ini menarik untuk dikritisi. Budaya politik
Indonesia secara sengaja memang telah diparadigmakan oleh elite Parpol yang
ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadi budaya politik
partycracy dan bukan democracy.

4. Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 2003 juga telah mempertegas, bahwa DPD


terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu. Pasal ini
tidak boleh dipahami secara keliru dengan melahirkan Pasal 12 dan Pasal 67
UU Nomor 10 Tahun 2008 yang membolehkan DPD terdiri atas wakil-wakil
daerah yang disusupi oleh wakil-wakil parpol (orang parpol). Sebab, wakil
daerah adalah orang-orang yang berasal dari daerah, bukan berasal dari partai
politik, sekali pun orang tersebut (kader parpol itu) berdomosili di daerah [vide
Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008]. Sebab, haruslah
dipahami, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. Menurut UUD,
kedaulatan rakyat yang berada pada partai politik, tempatnya ada di DPR, dan
kedaulatan rakyat yang berada di luar partai politik ada di DPD.

5. Demokrasi substansial yang beradab dan berkeadilan sosial bagi seluruh


rakyat Indonesia sebagaimana yang terpatri dalam sila kelima Pancasila,
menghendaki tidak saja diciptakan pembatasan kekuasaan, tetapi juga
74

pembatasan hak. Jika hak politik tidak bisa dibatasi, maka akan tercipta
oligarkhi politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU Nomor 10 Tahun
2008 diposisikan sebagai instrument penindas hak asasi politik dari orang-
orang yang tidak berpartai. Jika asumsi ini benar, maka ketentuan Pasal 12 dan
Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan legal framework yang anti
demokrasi, atau yang melestarikan status quo.

6. Pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah (vide Pasal 20 UUD 1945) yang
membentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tampaknya kurang memahami arti, jiwa,
roh dan semangat demokrasi rezim reformasi yang telah meruntuhkan sistem
otoritarian Orde Baru dengan rezim hukum yang represif serta watak
kekuasaan yang koruptif, monopolistik, integralistik, personalitik dan
sentralistik.

7. Seharusnya DPR dan Pemerintah dapat memaknai secara baik dan benar
rumusan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan:

“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan


prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan”
dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk


kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Prinsip negara hukum demokratis harus tercermin di dalam UU Nomor 10
Tahun 2008, dan prinsip masyarakat demokratis yang harus dibatasi dengan
undang-undang sesungguhnya harus diperhatikan oleh pembentuk UU Nomor
10 Tahun 2008. Pencederaian demokrasi secara kasat mata telah dilakukan
oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Ini adalah sikap
yang tidak demokratis, sebab DPR membiarkan partai politik memasuki wilayah
yang dikuasai DPD. Terkesan, telah terjadi konspirasi elite para pembentuk
undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah untuk secara sistematis
memandulkan peran dan fungsi DPD dengan cara menyusupkan orang-orang
parpol menjadi anggota DPD. Dengan cara seperti itu dapat dipastikan, bahwa
proses penguatan DPR dapat dikatakan dengan memperlemah daya juang,
75

fungsi dan peran DPD di masa yang datang. Sayangnya pihak Pemerintah
sebagai pihak yang ikut membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tidak menyadari hal tersebut. Dengan kondisi seperti yang dibayangkan terjadi,
maka di masa yang akan datang akan sulit tercipta sebuah sistem pengawasan
yang efektif antara DPD dengan Pemerintah dan antara DPD dengan DPR.
Dengan kata lain akan terjadi distorsi dalam sistem checks and balance antara
lembaga-lembaga negara.

8. Indonesia, secara teoritik memang telah menjadi negara hukum modern yang
demokratis tetapi kenyataannya masih dipraktikkan model negara kekuasaan.
DPR sebagai pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai sarana
kekuasaan. Kesan ini setidaknya mengingatkan kita pada Machiavelli sebagai
sosok pemikir berpengaruh pada jaman Renaisans melihat kekuasaan sebagai
tujuan. Ia menyangkal asumsi, bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen
belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi
Machiavelli, segala kebajikan agama dan moralitas, justru dijadikan sebagai
alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Jadi
kekuasaan, tulisnya kemudian, haruslah diperoleh, digunakan, dan
dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. "Bagi Machiavelli,
kekuasaan adalah raison d'etre negara. Negara juga merupakan simbolisasi
tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan
mutlak. Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (Machtsstaat),
di mana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan
rakyat dan prinsip-prinsip hukum". Negara disimbolkan melalui lembaga-
lembaga negara atau yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang
acap menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik atau memperluas
kekuasaannya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum dan demokrasi acap
diabaikan.

9. Robert P. Clark juga menyatakan secara tepat mengungkapkan, bahwa


kekuasaan adalah nilai utama dalam proses politik, karena kekuasaan adalah
kemampuan untuk mengubah atau mempengaruhi pilihan kebijakan.
Kekuasaan dalam arti yang digunakan di sini ialah kemampuan untuk
mengubah atau mempengaruhi pilihan kebijakan, atau kemampuan untuk
mempengaruhi, membentuk, atau mengubah sikap orang lain.
76

Dari sudut pandang sosiologis, Maurice Duverger telah menjelaskan, bahwa


kekuasaan terdiri dari seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan
dengan otoritas, yang berarti, ada dominasi beberapa orang terhadap orang
lain. Pemikiran Duverger ini memang mengarah pada kekuasaan institusional
yang berhubungan dengan kekuasaan negara atau pemerintah terhadap
anggota masyarakat. Selanjutnya, dengan agak spektakuler, dalam
menganalisis politik modern, Robert A. Dahl menafsirkan kekuasaan sebagai
suatu gumpalan tunggal, padat, dan tak terpecahkan. Dikatakan lebih jauh,
bahwa gumpalan dapat dialihkan dari seorang kepada orang lain, tetapi tidak
bisa dibagi-bagi.
Dari sudut pandang moral, kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa
negara, dapat saja secara absolut atau otoriter, cenderung mengabaikan hati
nurani dan nilai-nilai moral, karena kekuasaan seperti itu hanya mengabdi
kepada kepentingan penguasa. Apa yang dikatakan oleh John Emerick Edward
Dalberg Acton (Lord Acton), bahwa power tends to corrupt but absolut power
corrupts absolutely, artinya kekuasaan cenderung disalahgunakan dan
kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan.

10. Teori elit kekuasaan memang menjelaskan, bahwa meskipun masyarakat terdiri
atas bermacam kelompok yang pluralis, tetapi dalam kenyataannya, kelompok
elit penguasa datang hanya dari satu kelompok elit masyarakat tertentu.
Secara halus, semua orang memang bisa menempati jabatan negara, jabatan
militer atau posisi bisnis kelas atas. Tetapi dalam kenyataannya, jabatan-
jabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu.
Dalam membahas pembenaran otoritas politik Richard T. de George,
menyatakan, bahwa otoritas (authority) sering didefinisikan sebagai kekuasaan
(power) yang legitim. “Otoritas politik” dapat disebut juga dengan istilah
“kekuasaan politik”, namun, ada bahaya pereduksian segala bentuk otoritas.
Reduksi itu, dominannya ke dalam bentuk otoritas politik. Karena itu, dalam
hubungannya dengan kekuasaan pembentukan undang-undang dapat
dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang memiliki otoritas politik yang
sangat besar dalam membentuk undang-undang di bidang politik, khususnya
UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.

11. R.J. Mokken pernah menyatakan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan


penguasa, yang secara mutlak dapat mengubah alternatif tindakan penguasa
77

terhadap yang dikuasainya, dan menurut Woodrow Wilson, karena politik


merupakan usaha perumusan kehendak/kemauan dari negara (the formulation
of the will of the state), maka negara dan pemerintahan identik dengan
kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya, maka ada kekhawatiran dari
F. Oppenheimer, bahwa pada semua negara, sering terjadi dominasi satu kelas
atas kelas lainnya.

12. Saat ini, fakta politik menunjukkan, bahwa dominasi DPR terhadap DPD
sangatlah besar. Dominasi tersebut secara kasat mata dapat dirasakan, sebab
UUD 1945 tidak memberikan kewenangan konstitusional yang memadai
kepada DPD dalam bidang legislasi. Jadi, ada kelemahan konstitusional yang
dialami DPD, dan ada dominasi konstitusional yang dimiliki DPR.

Berdasarkan beberapa catatan penting yang disampaikan, maka pada


kesempatan ini menyampaikan beberapa pemikiran sekaligus sikap ahli sebagai
berikut:
1. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 kurang menghiraukan jiwa, semangat, dan
roh reformasi untuk menegakkan keadilan substansial di atas prinsip negara
hukum demokratis sebagaimana dikehendaki di dalam Pasal 1 ayat (3) serta
Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
2. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak mencantumkan serta menjelaskan
norma hukum tentang persyaratan perorangan untuk menjadi calon anggota
DPD. Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun
2008 beserta Penjelasannya tidak merumuskan secara lebih bermakna norma
hukum calon (peserta) perorangan. Secara teoritik UU Nomor 10 Tahun 2008
sengaja menghilangkan konsistensi norma hukum sebagaimana dikatakan oleh
H. L. A. Hart, yaitu bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 sebagai primary rules tidak dipahami sebagai legal framework utama
yang seyogianya harus menurunkan norma ikutan sebagai secondary rules
yang mengatur ketentuan peserta (calon perorangan) sebagai calon anggota
DPD. Bagi Hart, haruslah dipahami, bahwa penyatuan tentang apa yang
disebutnya sebagai primary rules dan secondary rules merupakan pusat dari
sistem hukum, dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.

3. Sama halnya dengan Hart, John Rawls tentang A theory of justice (keadilan)
yang secara doktrinal mengikuti ajaran empirisme, menyatakan, bahwa semua
sistem hukum akan gagal, bila tidak disemangati suatu sikap moral pribadi
78

yang sejati (justice as fairness). Rawls mengatakan, bahwa beberapa prinsip


konkrit harus membimbing penguasa untuk mewujudkan keadilan sosial yang
memadai. Karena itu, keadilan sosial politik berdasarkan pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945 haruslah ditaati dan hendaknya dirumuskan secara
memadai di dalam UU pemilu. Sebab itu haruslah mengaitkan primary rules
dan secondary rules yang berintikan keadilan di dalam UU Nomor 10 Tahun
2008;

4. Untuk menegakkan keadilan substansial dan hukum yang mengandung prinsip-


prinsip moral serta kehidupan politik yang demokratis, maka calon-calon
anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi dan berasal dari calon
perseorangan. UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak boleh mengenyampingkan atau
mereduksi primary rules [Pasal 22C ayat (1) dan 22E ayat (4) UUD 1945]
mengenai sistem pemilihan dan persyaratan anggota DPD. Karena itu Pasal 12
dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan oleh Mahkamah
Konstitusi batal demi hukum, keadilan dan demokrasi sesuai dengan isi, jiwa,
dan semangat negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.

Honeste Vivere, sebaiknya dijadikan prinsip hukum dan demokrasi di negeri ini dan
harus ditegakkan secara bermartabat.

Keterangan Ahli Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka

Pasal 22C ayat (1) UUD 1945:

“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui


pemilihan umum”.

Kata dari merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna ‘asal’,
sedangkan kata setiap pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna ‘masing-
masing’. Dengan demikian, frasa dari setiap provinsi pada kalimat anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
bermakna bahwa anggota DPD haruslah berasal dari provinsi masing-masing.

Secara semantis, ayat ini secara gamblang memaparkan bahwa anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi (provinsi masing-masing) dan, oleh karena itu, ia harus
mewakili provinsi tersebut. Jika anggota DPD bukan berasal dari provinsi itu, ia
bukan merupakan perwakilan daerah tarsebut, melainkan merupakan
perwakilan daerah lain.
79

Jika DPD benar-benar dimaknai sebagai Dewan Perwakilan Daerah, bukan


dewan perwakilan daerah lain, anggota DPD itu haruslah merupakan penduduk
yang diwakilinya sehingga permasalahan yang ada di daerahnya dapat
diketahui secara baik, mendalam, dan mendasar.

Keberadaan calon anggota DPD yang harus merupakan penduduk yang


diwakilinya itu ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau akta
kelahiran. Apabila anggota DPD tidak mewakili daerahnya, ia tentu tidak
mengetahui aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan anggota DPD yang tidak
mewakili daerahnya, tentu tidak memahami permasalahan yang ada di daerah
itu.

Pasal 22E ayat (3) UUD 1945


“Peserta pernilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.

Pasal 22E ayat (3) ini secara lugas menjelaskan bahwa rakyat memilih partai
politik dan partai politiklah yang memilih atau menunjuk siapa saja yang akan
diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Rakyat hanya diberi hak memilih partai bukan
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945


“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”.

Pasal 22E ayat (4) ini menjelaskan bahwa rakyat memilih perseorangan untuk
menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rakyat diberi hak penuh dan
secara langsung memilih perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Jadi, rakyat tidak melalui partai politik tertentu untuk memilih anggota
DPD. Selain itu, calon anggota DPD adalah perseorangan (masyarakat biasa)
bukan dari suatu partai sebab jika berasal dari suatu partai, ia tidak dapat
menjadi anggota DPD, ia harus menjadi anggota DPR.

Jika orang partai akan menjadi calon anggota DPD, ia harus keluar dari
partainya dan menjadi masyarakat biasa. Di samping itu, ia juga harus
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1) UUD
1945.
80

Keterangan Ahli Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D

Pendapat hukum ini terutama akan bersandar kepada enam argumen berikut:

1. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah
adanya: (i) Syarat Domisili Provinsi [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945]; dan (ii)
Syarat Perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945], bagi keanggotaan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga tersebut di atas
terkait Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan
DPD masih cukup konsisten dilakukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
3. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan sengaja menghilangkan Syarat
Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan tersebut dari penormaan
persyaratan keanggotaan DPD.
4. Penghilangan norma Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan
tersebut adalah salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan legislasi yang tidak
pada tempatnya (improper purposes), dan karenanya dapat dijadikan dasar
pengujian konstitusionalitas UU Nomor 10 Tahun 2008.
5. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi
keanggotaan DPD di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 harus
dinyatakan tidak berkesesuaian (unconformity) dengan UUD 1945. Menurut
Webster New World College Dictionary (1996) hal. 1452, unconformity juga
bermakna a lack of conformity, inconsistency dan incongruity. Lihat juga AW
Bradley dan K.D. Ewing sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam
Perihal Undang-Undang, hal. 150.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dapat menyatakan adanya suatu
norma di dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, namun harus
pula mempunyai kewenangan untuk menyatakan ketiadaan norma dalam
suatu undang-undang tidak berkesesuaian dengan UUD 1945.

Penjelasan satu persatu dari keenam argumen hukum di atas.

I. Maksud Asli Perumus Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945

Para pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya ketika merumuskan


Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) menegaskan adanya Syarat Domisili
Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD.
81

• Risalah Rapat Pleno Ke-17 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 22 Mei
2001
Maswadi Rauf (Tim Ahli) menyatakan, “ ... kita mengusulkan bahwa calon
perseorangan itu hanya ada di DPD ... tidak di DPR pusat dan DPR Daerah,
kita beranggapan bahwa DPR pusat dan DPR daerah adalah memang ajang
untuk partai-partai politik ... sedangkan untuk DPD ... memang keterwakilan
daerah yang ditekankan di sini, ada kemungkinan tokoh-tokoh daerah yang
tidak bergabung dengan partai manapun yang ingin ikut dalam pemilihan DPD”.

• Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei
2001
Ramlan Surbakti (Tim Ahli) menyatakan, “Bagaimana caranya supaya
keterwakilan daerah itu memang diperjuangkan anggota DPD. Salah satu di
antaranya persyaratan untuk menjadi anggota DPD itu ... misalnya sekurang-
kurangnya sekian tahun terakhir harus berdomisili di satu daerah untuk
bisa menjadi calon anggota DPD (daerah) itu ... (ini) adalah syarat domisili,
bahkan ada yang mengatakan tidak hanya dibuktikan KTP, tetapi juga
dibuktikan dengan membayar PBB, pajak dan lainnya di daerah itu, sehingga
memang dia memahami betul aspirasi masyarakat daerah ...
pengaturannya lebih jauh dalam Undang-Undang pemilu ... prinsipnya itu
adalah kepentingan daerah”.

• Risalah Rapat Pleno Ke-32 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 19
September 2001
a. Erman Soeparno (F-PKB) menyatakan keberadaan DPD adalah untuk,
“... memperbaharui pola rekrutmen selama ini (yang) cenderung selalu
partisan dan sangat mencerminkan representasi kepentingan
sentralistik kekuasaan ... membuka kemungkinan peran ... anggota DPD
yang otonom ... memulihkan independensi anggota perwakilan terhadap
preferensi kekuasaan politik” (halaman 84 – 85)
b. Sutjipno (F-PDIP) menyatakan, “Saya belum yakin apakah betul-betul di
DPD nanti bisa menampilkan orang yang representasinya orang
teritorial utuh, utuh dari segala dimensi karakteristik daerah, itu saya belum
yakin, jangan-jangan materiilnya dari partai juga, jadi pada akhirnya
kesitu” (halaman 94).
c. Patrialis Akbar (F-Reformasi) menyatakan untuk kenggotaan DPD, “ ... kita
fokuskan saja pemilihannya adalah berdasarkan ketokohan sehingga tidak
lagi mewakili kepentingan-kepentingan partai politik, karena dia adalah
tokoh-tokoh daerah. Wakil-wakil dari daerah, jadi berjuang mereka di sini
adalah betul-betul adalah perjuangan khusus ke daerah mereka”
(halaman 107).

• Risalah Rapat Pleno Ke-33 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 20
September 2001
Rosnaniar (F-PG) menyatakan, “Selanjutnya partai politik dan calon
perseorangan. Calon perseorangan ini tentu orang yang tidak tertampung di
partai politik” (halaman 142).
82

• Risalah Rapat Komisi A Ke-5, Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 8
November 2001
Jacob Tobing (F-PDI) menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan ... jadi partai bisa mengajukan, kolompok masyarakat bisa
mengajukan satuan-satuan terteritu bisa mengajukan tetapi begitu dia maju,
dia perorangan karena perorangan ini adalah untuk menyuarakan kekhasan
daerah bukan lagi menyuarakan ... suara-suara politik, jadi ini nanti
menggambarkan keanekaragaman wilayah negara kita yang begitu kaya dan
juga keanekaragaman golongan di dalam masyarakat, idenya begitu.

Dari pernyataan Jacob Tobing tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa
calon DPD memang dapat dimajukan oleh berbagai kalangan – termasuk partai
politik – tetapi dengan syarat ketika mencalonkan diri menjadi anggota DPD,
yang bersangkutan haruslah sebagai perseorangan, tidak lagi membawa
kepentingan partainya, tetapi lebih pada kepentingan daerah; karenanya
seharusnya yang bersangkutan pada saat maju sudah bukan lagi anggota atau
pengurus partai politik.

Oleh karenanya, untuk menegaskan calon anggota DPD haruslah independen


dari kepentingan partai politik, maka rumusan Pasal 22E ayat (4) yang diusulkan
PAH I dan Tim Ahli, yang awalnya sama berbunyi, Pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah diikuti oleh calon dari partai politik
dan calon perseorangan”; diubah salah satunya dengan menghilangkan frasa
“calon dari partai politik” sehingga hanya berbunyi “Peserta pemilihan umum
untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”.
Penghilangan “calon dari partai politik” itu bermakna meskipun yang
bersangkutan dapat dicalonkan partai politik, tetapi calon tersebut ketika
mencalonkan diri tidak boleh lagi masih menjabat sebagai anggota atau pengurus
partai politik.

KESIMPULAN dari beberapa kutipan pendapat para pakar (Tim Ahli) dan anggota
PAH I BP MPR di atas menegaskan adanya maksud syarat keanggotaan DPD
seharusnya mempunyai syarat domisili dari daerah yang diwakilinya. Karena DPD
adalah perwakilan daerah provinsi, maka syarat domisili tersebut harus dimaknai
sebagai syarat domisili provinsi. Pendapat di atas juga menegaskan perbedaan
kriteria representasi antara DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang
perseorangan, untuk menguatkan perwakilan daerah (provinsi) yang babas dari
kepentingan partai politik.
83

Untuk menegaskan original intent tersebut berikut adalah pendapat pakar yang
menguatkan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan:
Sri Soemantri: “DPD ... yang menjadi anggota ialah rakyat dan penduduk yang
berdomisili di daerah provinsi yang diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang
mereka yang sehari-hari berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili
provinsi tertentu ... Jangan seperti Orde Baru yang memungkinkan penduduk
Jakarta menjadi utusan dari provinsi lain ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22]
"... anggota DPD tidak diajukan oleh partai politik, melainkan mencalonkan diri,
dengan syarat mendapat dukungan sejumlah penduduk ...” [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22].
"Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa
dirinya bukan anggota partai politik tertentu ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 24].
Sri Soemantri dan Mochamad Isnaeni Ramdhan: “Pencalonan anggota DPD
yang merupakan bukan anggota atau pengurus partai politik perlu dipertahankan,
guna mengimbangi kepentingan partai politik yang sudah diakomodasi dalam
DPR”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia (Juli 2003), hal. 33].
I Dewa Gede Palguna: “Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian
jabatan keanggotaan DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD
harus terbebas dari kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini
dikarenakan keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk
mengimbangi “warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan
politik di tingkat nasional”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 66].
A. Mukhtie Fadjar: “ ... anggota DPD adalah perorangan (individu-individu) yang
mewakili daerahnya (provinsi) bukan mewakili partai politik ... (yang) harus dipilih
secara langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi ...“ [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 75]
Jimly Asshiddiqie: “Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan,
yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena
itu, (1) hakikat perwakilan daerah pada DPD dan hakikat perwakilan rakyat pada
DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan
daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakikat perwakilan daerah
dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur
rekruitmennya. Calon anggota DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan
calon anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan
oleh partai politik...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 116].
Jimly Asshiddiqie: “Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini
dibedakan dari pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta
pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai
politik, maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i) penerapan
sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota
DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun pemilihan umum yang
84

diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus dilakukan berdasarkan sistem
proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh peserta perseorangan dapat
dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem distrik di mana rakyat secara
langsung memilih orang, bukan memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu;
(ii) pencalonan dilakukan melalui mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan
mekanisme non-partai politik untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan
dengan pengertian sistem perwakilan politik (political representation) untuk
anggota DPR dan sistem perwakilan fungsional (functional representation) untuk
anggota DPD. Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya
dapat diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal
dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik
manapun juga”. (Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
hal. 44-45).

II. Maksud Asli Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan dalam UU
Nomor 12 Tahun 2003

Tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, dalam permbuatan UU


Nomor 12 Tahun 2003 salah satunya terlihat dalam penyampaian pemerintah
(Menteri Dalam Negeri) yang menyatakan:
“Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang, juga harus memenuhi syarat berdomisili di wilayah
Provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-
turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon, dan calon anggota
DPD diharuskan tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon".
(Penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemilihan Umum pada Rapat Panitia
Khusus Tentang RUU Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 26 Agustus
2002, hal. 9).
Pada akhirnya syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut tidak
mendapatkan kontra argumen dari fraksi-fraksi di DPR. Semuanya relatif setuju
dan akhirnya merumuskan syarat calon anggota DPD di dalam Pasal 63, yang
mengatur:
“Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon
atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh
belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”.
Dari rumusan Pasal 63 tersebut, nyatalah bahwa substansi syarat domisili provinsi
dan syarat perseorangan dari usulan Pemerintah/Mendagri disetujui oleh fraksi-
fraksi di DPR.
85

III. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 Sengaja Menghilangkan Syarat


Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan

Dalam pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2008, konsep yang ada dalam Pasal 63
UU 12 Tahun 2003, secara jelas dihapuskan. Beberapa argumen yang muncul
dalam pembahasan menunjukkan berubahnya posisi para pembuat Perubahan
Ketiga UUD 1945 dan pembuat UU Nomor 12 Tahun 2003, terkait syarat
keanggotaan DPD. Perubahan itu misalnya diperlihatkan dalam risalah berikut:

• Risalah Pansus RUU Pemilu tanggal 26 September 2007:


Patrialis Akbar menyatakan, “jadi dalam penjelasannya adalah bahwa yang
dimaksudkan dengan perseorangan itu tidak membedakan apakah ...
perseorangan yang berasal dari partai politik ... Jadi penekanannya yang
paling penting adalah proses pencalonannya itu yang perseorangan,
kalaupun itu berasal dari partai politik, maka dibolehkan, asal dia secara
pribadi mencalonkan diri dan memenuhi perundang-undangan”.

• Risalah Panja RUU Pemilu tanggal 20 Februari 2008:


Patrialis Akbar menyatakan, “ ... prinsip dasar di dalam calon perorangan DPD
itu sebetulnya di dalam UUD kita tidak melarang sama sekali perseorangan
itu apakah dia pribadi muncul di tengah-tengah masyarakat apakah dia
juga adalah orang-orang partai politik, yang paling penting adalah dia
mencalonkannya itu harus pribadi tidak boleh partai politik haram untuk
mencalonkan, tapi kalau orang partai politik ya boleh ... tidak ada larangan di
dalam UUD kita sama sekali ... ya sudahlah kalau namanya perseorangan kita
buka saja ... apakah dia dipilih atau tidak itu adalah urusannya rakyat ...”.

Pendapat Patrialis Akbar tersebut adalah salah satu contoh bergesernya


pendapat yang bersangkutan jika dibandingkan dengan ketika mengemukakan
pendapat dalam perumusan perubahan UUD 1945 yang menekankan pentingnya
keanggotaan DPD yang terbebas dari kepentingan-kepentingan partai politik dan
lebih menekankan keterwakilan daerah. Pendapat mana yang tidak dibantahnya
pula ketika rumusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 memasukkan syarat
domisili provinsi dan syarat perseorangan.

IV. Penghilangan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan adalah


Bentuk Improper Purposes

Perubahan radikal interpretasi – yang berbalik 180 derajat – terkait keberadaan


syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan ke dalam UU Pemilu Nomor 12
Tahun 2003 dan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentu harus dicari akar
masalahnya. Ahli khawatir, adanya potensi improper purposes dalam
penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 terkait syarat domisili provinsi
86

dan syarat perseorangan. Kekhawatiran mana dikuatkan dengan beberapa


indikasi berikut:

• perubahan radikal patut diduga terkait dengan kepentingan agenda politis


personal beberapa orang anggota DPR yang tidak dapat lagi maju sebagai
calon anggota legislatif di Pemilu 2009 karena kebijakan internal partainya.
Partai Amanat Nasional, misalnya, membatasi kadernya hanya dapat menjadi
anggota DPR maksimal selama 2 periode. Dalam kondisi demikian, karena
peluang untuk maju ke DPR tertutup, maka pintu DPD perlu dibuka bagi kader
partai politik;

• selain penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003, ketentuan dalam


Pasal Pasal 146 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang memberi masa transisi hanya
3 (tiga) bulan sejak UU Nomor 12 Tahun 2003 bagi pengurus partai politik
yang akan mencalonkan menjadi anggota DPD, menjadi tidak konsisten,
karena saat ini siapapun dari partai politik dapat mencalonkan diri tanpa
adanya batasan waktu, baik yang diatur dalam Pasal 63 maupun Pasal 146
UU Nomor 12 Tahun 2003.

Potensi adanya improper purposes demikian sebaiknya dicermati dan


dipertimbangkan secara hati-hati oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Jika
ternyata terbukti dalam pembuktian di persidangan, maka amat cukup alasan
untuk menyatakan ketiadaan/penghapusan secara sengaja syarat domisili provinsi
dan syarat perseorangan bagi keanggotaan DPD tersebut tidak sesuai dengan
UUD 1945.

V. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi


Keanggotaan DPD Harus Dinyatakan Tidak Sesuai (unconformity)
dengan UUD 1945

Sehubungan dengan argumen bahwa syarat domisili provinsi dan syarat


perseorangan yang terkandung dalam Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 sengaja dihilangkan penormaannya dalam UU Nomor 10 Tahun 2008,
setelah sebelumnya masih terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka
ketiadaan kedua syarat tersebut harus diputuskan menyebabkan UU Nomor 10
Tahun 2008 menjadi tidak sesuai (unconformity) dengan UUD 1945.
87

Pilihan menyatakan tidak sesuai (unconformity) dan bukan menyatakan


bertentangan (in contradiction) dengan konstitusi karena ketiadaan rumusan
norma dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menegaskan tidak perlunya syarat
domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut. Dengan demikian, UU Nomor
10 Tahun 2008 hanya akan sesuai dengan UUD 1945 jika dipahami tetap
mengandung syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan.

VI. Putusan Mahkamah Konstitusi Berwenang untuk Menyatakan Ketiadaan


Norma dalam suatu Undang-Udang Tidak Sesuai (Unconformity) dengan
UUD 1945

Meskipun norma yang menyatakan syarat domisili provinsi dan syarat


perseorangan bagi keanggotaan DPD tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU
Nomor 10 Tahun 2008, namun ketiadaan norma demikian harus dianggap
sebagai norma itu sendiri. Terlebih nyata-nyata bahwa dalam UU Nomor 12
Tahun 2003, Pasal 63 mengatur tentang syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan, yang secara sengaja dihapuskan dalam perumusan UU Nomor 10
Tahun 2008. Penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tersebut harus
dipahami sebagai penormaan dalam proses legislasi Undang-Undang Pemilu
yang memberi makna kesesuaiannya atas Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi yang terhormat jelas-jelas
mempunyai kewenangan untuk menentukan pemaknaan yang tepat atas
konstitusionalitas syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara
berbeda dirumuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maupun UU Nomor 10
Tahun 2008.

Penghilangan norma yang ada dalam Pasal 63 UU 12 Tahun 2003 sebaiknya


dianggap sebagai “modus baru” dalam proses legislasi yang berpotensi besar
melanggar konstitusi, karena secara cerdas memanfaatkan doktrin Mahkamah
Konstitusi sebagai negative legislator dan bukan positive legislator. Namun
demikian, modus baru dari proses legislasi demikian harus tetap tidak
menghalangi peran penting Mahkamah Konstitusi untuk menjaga UUD 1945 dari
kemungkinan disalahgunakan dalam proses legislasi pembuatan UU, apalagi
yang sangat terkait dengan kepentingan politik, sebagai UU Pemilu legislatif
sejenis UU Nomor 10 Tahun 2008, yang telah menggantikan UU Nomor 12 Tahun
2003.
88

Agar tidak pula melanggar konsep sebagai negative legislator di satu sisi, namun
tetap pula menjaga perannya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi
amat bijak jika menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan tidak
sesuai dengan UUD 1945, dan hanya secara bersyarat (conditionally
constitutional) menjadi sesuai dengan UUD 1945 jika dimaknai mengandung
syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan.

Jika UU Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 hanya jika
mengandung makna syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, maka ada
beberapa altematif yang dapat diusulkan untuk menjelaskan persyaratan anggota
DPD. Pertama, adalah melakukan perubahan terbatas atas UU Nomor 10 Tahun
2008. Perubahan demikian tentu harus segera dilakukan sebelum habisnya masa
pendaftaran calon anggota DPD. Kedua, untuk mengantisipasi proses perubahan
undang-undang yang mungkin memakan waktu, Presiden dapat mengambil
insiatif untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) terbatas yang mencantumkan syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan. Ketiga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi membuat Peraturan KPU yang mengatur syarat domisili
provinsi dan syarat perseorangan bagi pendaftaran calon anggota DPD.
Jalan keluar lain dikemukakan oleh Moh. Fajrul Fallaakh yang berpendapat:
Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) mengandung Syarat Domisili
Provinsi dan Syarat Perseorangan. Kedua syarat itu diturunkan dalam Pasal
63 UU Nomor 12 Tahun 2003. Penghapusan Pasal 63 menyebabkan UU
Nomor 12 Tahun 2003 tidak sesuai (Unconformity) dengan UUD 1945. Untuk
kembali menjadi sesuai dengan UUD 1945 maka Pasal 63 UU Nomor 12
Tahun 2003 harus “dihidupkan” kembali. CARANYA: Pasal 319 UU Nomor 10
Tahun 2008 yang mencabut UU Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang yang mencabut ketentuan
Pasal 63.

Keterangan Ahli Dr. Indra Jaya Piliang.


DPD RI sebagai Perwakilan Wilayah
□ Wilayah adalah sebutan untuk teritorial pemerintahan.
□ Wilayah juga bisa diartikan sebagai teritorial politik. Sebagai teritorial politik,
maka di setiap wilayah memiliki komunitas-komunitas sosial-politik yang
berbeda. Sehingga, wilayah juga menunjukkan identitas politik yang
membedakan antara wilayah yang satu berbeda dengan yang lain,
berdasarkan kondisi pula.
89

□ Kasus pemekaran wilayah menunjukkan bahwa masing-masing komunitas


politik ini berkehendak untuk berbeda dengan komunitas politik lain.
□ Perbedaan wilayah politik inilah inti dari keindonesiaan yang dikenal sebagai
bhineka tunggal ika. Partai politik jelas tidak memenuhi syarat bhineka tunggal
ika ini.
□ Untuk perbedaan persoalan menyangkut wilayah politik ini, Indonesia pernah
mengalami peristiwa buruk berupa pemberontakan-pemberontahan daerah.
Dokumen-dokumen PRRI misalnya, dengan jelas mencantumkan kehendak
untuk mendirikan senat di tingkat pusat.
□ Wilayah terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota.
□ Wilayah politik DPD adalah provinsi, tetapi bisa saja di kemudian hari berubah
menjadi kabupaten dan kota (Pasal 22C menyebut “dipilih dari setiap” provinsi).
□ Kalau keterwakilan wilayah ini dihilangkan oleh keterwakilan penduduk, maka
jumlah anggota DPD RI per provinsi bisa berubah, tidak lagi bersifat tetap.
□ Pentingnya wilayah ini menunjukkan bahwa DPD RI tidak dengan sendirinya
mewakili perubahan-perubahan yang bersifat fluktuatif, misalnya besar-kecilnya
perolehan kursi Parpol.

Prinsip Kontra Hegemoni

□ UUD diubah dengan konsep kontra-hegemoni, yakni ketakutan atas


absolutisme kekuasaan yang sebelumnya berada di bawah kendali presiden
dan MPR RI.
□ UUD lalu menggeser sejumlah kekuasaan kepada legislatif, tetapi sebaliknya
legislatif juga diberikan ruang untuk tidak absolut, sehingga khusus
menyangkut persoalan-persoalan daerah, maka diberikan hak kepada DPD.
□ Perbedaan kekuasaan antara DPR dan DPD ini menunjukkan bukan hanya dari
sisi fungsi, melainkan justru yang terpenting dari sisi substansi.
□ Apabila DPD RI diisi oleh anggota partai politik, sekalipun mengundurkan diri,
maka besar kemungkinannya absolutisme politik akan terjadi, yakni dengan
sifat sentralisasi politik di kalangan partai politik.
□ Partai politik tidak memberikan ruang otonomi kepada anggota-anggotanya,
sehingga apabila ada kebijakan nasional Parpol yang bertentangan dengan
kepentingan daerah, maka Parpol lebih mendukung kebijakan nasional itu.
Sehingga, kepentingan daerah bisa diabaikan.
90

Syarat Domisili

□ Domisili adalah hakikat terpenting dari sistem politik. Domisili bisa diartikan juga
sebagai asas kelahiran (ius solli). Dalam UU tentang Kewarganegaraan, sangat
diatur secara hati-hati tentang mana yang menjadi warga negara, mana yang
belum.
□ Tidak bisa semua orang bisa mewakili daerah lain, sebagaimana sistem politik
Orde Baru, karena akan menegasikan asas kelahiran. Kalau anggota DPR
hanya berdasarkan representasi penduduk, maka domisili sekaligus legalitas
untuk representasi wilayah.
□ Dalam perkembangan terbaru, semakin banyak daerah yang meminta status
otonomi khusus. Otonomi khusus itu bermuara kepada ikatan-ikatan
primordialistik seperti ras (Melanesia di Papua), agama (Islam di Aceh),
kerajaan (keistimewaan Yogyakarta). Dalam perjalanannya, masyarakat
Kalimantan juga meminta status otonomi khusus, begitu pula dengan Bali.
□ Dari sini, domisili berkaitan dengan titik asal politik. Politik etnis, misalnya,
menyangkut domisili berdasarkan etnis. Adalah melanggar prinsip-prinsip
keterwakilan wilayah dan politik, apabila hak keterwakilan itu diberikan kepada
penduduk atau etnis dari provinsi lain.
□ Sebaliknya, dengan prinsip kontra-hegemoni, tidak ada masalah untuk duduk di
legislatif (DPR/DPRD) tanpa harus memiliki status domisili mengingat
kepentingan penduduk juga berarti penduduk seluruh Indonesia.
□ Kalau dilihat secara objektif, sebagian besar anggota DPD RI masuk kategori
orang daerah, bahkan masuk juga kedalam bentuk perwakilan dari unsur-unsur
pemerintahan tradisional yang ada, seperti kerajaan, pesantren, masyarakat
adat, kelompok keagamaan, dan lain-lainnya.
□ Dengan menghilangkan syarat domisili maka dengan sendirinya
menghilangkan prinsip keterwakilan berdasarkan kategori wilayah atau daerah
ini.
□ Keberadaan partai politik lokal di Aceh menunjukkan bahwa partai politik juga
mengenal “domisili”, sebaliknya partai politik nasional “berdomisili” di ibukota
negara. Dengan begitu, apabila tidak ada syarat domisili, maka identitas politik
menjadi hilang.
91

Keterangan Ahli Hestu Cipto Handoyo, SH., M.Hum

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD


dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini
terbukti karena begitu muncul undang-undang tersebut langsung dimintakan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan
tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran
bakal calon anggota DPD.
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih
menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud
pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah,
dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan
sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan,
karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan
sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi
tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah
secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal
konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang
mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan)
sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti
inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam
kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada
hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan
demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni
provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam
ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
92

Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus
berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD
diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya
jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan
rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak Pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah
diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni:
1. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang politik dilakukan melalui Pemilu
anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari
perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui
Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik.

Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model
Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai
Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model Pemilu,
yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu
anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk
dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD
dalam UU Pemilu.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata “perseorangan” sebagaimana
dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu
yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik
tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan Pemilu anggota DPD
seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
93

Salah satu persyaratan bagi peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD
yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah “serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan
hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”.
Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang
dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan
“Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan
bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol
dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik
anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian
memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini
memberikan penguatan secara yuridis bahwa partai politik memang hanya
mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan
non partai politik dalam persyaratan peserta Pemilu serta tata cara pendaftaran
bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan
asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar
konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18
ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan.
94

Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang


baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut
menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan dan
kepastian hukum belum terpenuhi.

Keterangan Ahli M. Fadjrul Falaakh, SH., M.Sc.


I. Keterwakilan Daerah dan Perekrutannya
Keterwakilan daerah, dengan jumlah wakil majemuk, bukanlah konsep baru
dalam sejarah UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) praamandemen menentukan: “MPR
terdiri atas anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, ...”, yang kemudian dijelaskan: “Maksudnya ialah supaya
seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam
Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan
rakyat”. Bangsa Indonesia pernah mengalami sistem perekrutan wakil daerah,
ketika Gubernur provinsi otomatis menjadi utusan daerah.

Saat ini, setelah amandemen UUD 1945 melembagakan utusan daerah ke


dalam DPD dan memasukkan ketentuan tentang pemilihan umum (Pemilu),
sebetulnya UUD 1945 tidak mengatur sistem Pemilu bagi DPR dan DPD [Pasal 2
ayat (1), 19 ayat (1), 22C ayat (1) UUD 1945] maupun syarat kualitatif calon
anggota DPR maupun DPD. Meskipun demikian, terdapat beberapa ketentuan
konstitusional terkait sistem Pemilu DPD, terutama tentang asal dan jumlah
anggota DPD, peserta Pemilu DPD, dan sifat Pemilu.

• MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang [Pasal 2 ayat (1) UUD
1945].

• Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Terdapat beberapa norma di sini: anggota DPD dipilih, pemilihan
umum, asal calon anggota DPD yaitu provinsi. Asal calon anggota DPD
bukanlah dikhususkan dari desa, kabupaten atau kota, ibukota provinsi (apa
lagi Iuar negeri).

• Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD
itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR [Pasal 22C ayat (2) UUD
1945]. Ketentuan ini mengenai: daerah yang diwakili anggota DPD yaitu
provinsi, kesetaraan keterwakilan provinsi (equality of regional representation)
95

dengan mengabaikan jumlah penduduk dan luas provinsi, serta keseluruhan


jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.

• Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan, provinsi berhak atas
keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan/atau berasal dari
provinsi. Berarti, rakyat di provinsi tersebut memilih kepala daerah, anggota
DPRD dari partai politik, wakil di DPD dan anggota DPR dari partai politik.

• Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945], sedangkan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR
dan anggota DPRD adalah partai politik [Pasal 22E ayat (3) UUD 1945].
Ketentuan ini membedakan subjek hukum (Iangsung) peserta Pemilu yaitu
orang untuk Pemilu DPD dan badan/lembaga. Perbedaan subjek ini
berimplikasi pada desain sistem Pemilu.

• Pemilu DPD harus pula bersifat langsung, umum, babas, rahasia, jujur dan adil
[Pasal 22E ayat (1) UUD 1945].

Sejumlah ketentuan konstitusional penting tentang pemilihan anggota DPD


serta DPR dan DPRD di atas belum cukup menggambarkan sistem Pemilu yang
digunakan. Desain kelembagaan (institutional design) untuk pemilu-pemilu
lembaga perwakilan (parliamentary elections) ditentukan di luar konstitusi, yang
harus tetap sesuai (congruent) dengan ketentuan-ketentuan konstitusi.

Ketentuan dasar dalam konstitusi tersebut memerlukan pengaturan lebih


lanjut [Pasal 22E ayat (6) UUD 1945]. Banyak hal yang dapat diatur lebih lanjut,
misalnya:
• Anggota DPD dipilih melalui pemilu (bukan ditunjuk): dipilih langsung oleh
rakyat atau tak langsung (oleh kelompok pemilih, oleh DPRD provinsi, atau
oleh DPRD kabupaten/kota);
• Anggota DPD dari setiap provinsi: apa dan bagaimana relasi calon dengan
provinsi yang diwakilinya, misalnya lahir dan pernah mengabdi/bekerja di
provinsi yang diwakili atau cukup bertempat tinggal selama masa tertentu;
• Anggota DPD dari setiap provinsi berjumlah sama: satu, dua atau berapa pun
dari tiap provinsi, tetapi jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga)
jumlah anggota DPR.
• Daerah pemilihan (electoral boundary/district): batas administratif pemilihan
untuk suatu pencalonan, yang dapat seluas provinsi (provinsi sebagai satu
96

daerah pemilihan) atau hanya bagian-bagian provinsi (suatu provinsi dibagi ke


dalam beberapa daerah pemilihan), dapat pula seluas kabupaten/kota atau
bagian-bagiannya. Pilihan mengenai daerah pemilihan yang dipadukan dengan
cara memilih akan menghasilkan sistem Pemilu yang berbeda.
• Perseorangan sebagai peserta Pemilu anggota DPD: seberapa berbedakah
“perseorangan Pemilu DPD” (perseorangan, tidak berkelompok dalam Parpol)
dari “partai politik peserta Pemilu DPR” atau dari “perseorangan dalam daftar
Parpol peserta Pemilu DPR” (perseorangan yang berkelompok dalam Parpol,
memiliki kartu anggota, bahkan pengurus).
• Konsekuensi sistem Pemilu: penggantian antarwaktu anggota DPD dapat
dilakukan melalui Pemilu di provinsi yang mengalami kekosongan wakil (bukan
hanya diganti oleh peringkat berikut dalam daftar Pemilu DPD untuk provinsi
yang bersangkutan); sedangkan PAW anggota DPR dan anggota DPRD dapat
diambilkan dari daftar caleg dari partai yang mengalami kekosongan (dalam hal
Pemilu menggunakan List PR System) atau melalui pemilu sela (dalam hal
Pemilu menggunakan “sistem distrik” atau Plurality-majority principle).

II. UU Pemilu 2008

UUD 1945 menentukan bahwa peserta Pemilu DPD adalah perseorangan


dari provinsi. Pola hubungan (negatif maupun positif) antara calon anggota DPD
dengan “parpol peserta Pemilu DPR” maupun dengan provinsi masih memerlukan
pengaturan.

Saat ini “system” Pemilu DPR dan DPD ditentukan dan dirumuskan secara
padat di Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai berikut:
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik
berwakil banyak.

“Sistem” pemilihan yang berlaku pada perekrutan anggota DPD berbeda


dari perekrutan anggota DPR dan DPRD. UU Pemilu 2008 menentukan, misalnya,
perseorangan bakal calon anggota DPR dan DPRD harus “menjadi anggota Parpol
peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (1) huruf n] yang dibuktikan dengan ‘kartu tanda
anggota’ Parpol peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (2) huruf i], karena peserta Pemilu
DPR dan DPRD adalah partai politik. Perseorangan bakal calon anggota DPR
97

pun akan diseleksi oleh Parpol menurut mekanisme demokrasi internal Parpol
(Pasal 52).

Selengkapnya syarat bakan calon anggota DPR dan DPD ditentukan dalam
Pasal 50 ayat (1) sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia" dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan
tertentu pada saat pendaftnran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI
setempat.
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tabun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha mink negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan
surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
98

wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-


undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara Iainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi anggota parpol peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan

Syarat peserta Pemilu anggota DPD diatur sama pada Pasal 12 (Bab III
Bagian Ketiga), dengan perbedaan bahwa perseorangan peserta Pemilu DPD
mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan (huruf p).

Tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD dalam UU Pemilu 2008
diatur pada Pasal 67 (Bab VIII Bagian Ketujuh), yang serupa dengan Pasal 68 ayat
(2) UU Pemilu 2003, sebagai berikut:
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakan calon anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan: dst. sama dengan DPR, DPRD.

• Syarat domisili calon anggota DPD sengaja tidak dikaitkan dengan provinsi
[misalnya seperti Pasaf 63 ayat (1) UU Pemilu 2003] melainkan dirumuskan
secara umum pada Pasal 12 huruf c tersebut di atas.

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf c justru diperluas sebagai berikut: Yang


dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu
pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat.

Padahal Pasal 22C ayat (1) menyatakan, “Anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi ...” dan ayat (2) menyatakan, “Anggota DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama ...”

Syarat domisili calon anggota DPR dan DPD pun dirumuskan sama pada Pasal
50 huruf c dan dalam penjelasannya justru diperluas sebagai berikut: Yang
99

dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik


Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu
pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat.

• Konstruksi mengenai domisili calon anggota DPD ini semakin mengaburkan


dan mencederai sistem Pemilu anggota DPD maupun watak representasi
politik yang diemban DPD. Penjelasannya membolehkan domisili di luar
Indonesia (dan berimplikasi hanya memberi keistimewaan kepada mereka yang
berdomisili di gedung perwakilan RI). Untuk apa daerah-daerah di luar negeri
“milik” negara yang bersangkutan, tetapi didiami hanya oleh ratusan atau
ribuan WNI itu, diwakili di DPD? Bagaimana mengukur dukungan yang harus
diperoleh dari WNI penduduk di negara setempat serta akan “dimasukkan”
pada provinsi mana dan di berapa provinsi?

• Syarat “bukan Parpol” tidak dicantumkan dalam redaksi UU Pemilu 2008


sehingga membuka peluang pengurus parpol mengikuti Pemilu DPD,
sedangkan perseorangan non Parpol tidak dapat menjadi anggota DPR karena
terhalang Pasal 50 di muka. Ketiadaan syarat “bukan parpol” ini mengakibatkan
unfairness untuk perseorangan nonpartai yang hendak mencalonkan diri
sebagai anggota DPD, maupun anggota DPD yang telah diharuskan untuk non
partisan sejak akhir tahun 2004 dan ingin mencalonkan kembali dalam Pemilu
DPD 2009. Perseorangan non partai akan sulit, mungkin sama sekali tertutup
peluangnya, untuk diikutkan dalam party-list bagi pencalonan anggota DPR dan
DPRD dengan persyaratan menurut Pasal 50 UU Pemilu tersebut di muka.
Parpol pendukung calon pun akan menerima risiko politik internal karena
pengurus dan/atau kadernya ingin menjadi anggota DPD.

Kesimpulan terhadap konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu 2008.


Pertama, tindakan lembaga pengambil keputusan UU Pemilu 2008 tidak mengatur
“syarat domisili” di provinsi dan syarat “nonparpol” bagi calon anggota DPD telah
menghasilkan konstruksi yang tidak sesuai (incongruent) dengan sistem Pemilu
anggota DPD, viz-a-viz sistem pemilu anggota DPR dan DPRD, yang dikehendaki
dalam UUD 1945 dan telah dibahas di depan. Penghapusan bukan sekedar
karena kedua hal itu tidak dicantumkan (tidak dituliskan) dalam UU Pemilu 2008,
melainkan juga karena Pasal 319 UU Pemilu 2008 mencabut UU Pemilu 2003
100

yang notabene mengatur kedua hal dimaksud (Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu).
Kedua, konstruksi Pasal 12 huruf c dan penjelasannya lebih mengacaukan
pengertian domisili bagi calon anggota DPD, karena menjauhkan calon dari daerah
yang diwakili dan memperluas keterwakilan daerah (dhi. provinsi) hingga ke luar
negeri. Pengertian domisili bakal calon anggota DPR dan DPRD, pada Pasal 50
ayat (1) huruf c, juga patut dipertanyakan ketepatannya; meskipun tepat untuk
pemegang hak pilih.
Ketiga, konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 menimbulkan kerugian
konstitusional bagi rakyat di daerah untuk memiliki dua macam sistem keterwakilan
di tingkat nasional, dari sumber keanggotaan yang berbeda, dan direkrut melalui
cara yang berbeda yaitu “sistem Pemilu anggota DPD” dan “sistem Pemilu
anggota DPR”.
Keempat, konstruksi kedua pasal juga berpotensi menimbulkan kerugian
konstitusional bagi perseorangan non partai yang hanya berpeluang langsung
untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari suatu provinsi, dan tidak
berpeluang langsung untuk dicalonkan sebagai anggota DPR melalui Parpol tanpa
memiliki KTA parpol –yang disyaratkan oleh Pasal 50 ayat (2) huruf j UU Pemilu
2008.
Kelima, konstruksi Pasal 12 juncto Pasal 67 UU Pemilu 2008 belum sesuai
(incongruent) dengan “sistem Pemilu anggota DPD” yang beberapa ketentuan
pokoknya sudah dimuat dalam UUD 1945, viz-a-viz sistem Pemilu anggota DPR
dan DPRD.
Keenam, karena itu diperlukan aturan seperti Pasal 63 UU Pemilu 2003
bahwa calon anggota DPD:

(1) Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun


secara berturut-turut yang dihitung sampai tanggal pengajuan calon atau
pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas)
tahun di provinsi yang bersangkutan.

(2) Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun


yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

Syarat bagi calon anggota DPD tersebut Pasal 63 UU Pemilu 2003


bersesuaian (congruent) pula dengan keharusan anggota DPD, sebagai berikut:
101

• Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang


bertempat tinggal di ibukota negara RI [Pasal 33 ayat (4) UU Susduk MPR,
DPR, DPD, DPRD 2003]. Penjelasannya mengatakan: Yang dimaksud dengan
bertempat tinggal di ibukota negara adalah bertempat tinggal di DKI Jakarta
dan sekitarnya, yaitu Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Tangerang,
Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok.

• Pekerjaan sebagai pengurus Parpol (apa lagi partai yang memiliki kursi di DPR
dan/atau DPRD) tentu saja berbenturan dengan kepentingan anggota DPD
yang bersumpah “... memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan
tujuan nasional ... dst.” (Pasal 36 UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD),
sedangkan pengurus Parpol akan mengutamakan Parpol sebagai
“ ... organisasi ... untuk membela kepentingan politik anggota ... dst.” (Pasal 1
angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik).

Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa syarat “dari provinsi”


(berapa lama pun), dan syarat “perseorangan bukan parpol” maupun
“perseorangan yang berbeda dari orang Parpol” (dari segi kualitas maupun waktu)
menjadi unsur penting dalam sisam pemilihan anggota DPD, seperti dikehendaki
oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.

Ketujuh, oleh karena itu pencabutan ketentuan Pasal 63 UU Pemilu 2003


melalui Pasal 319 UU Pemilu 2008 tidak tepat, karena telah mengakibatkan
konstruksi hukum (legal construct) pada Pasal 12 juncto 67 UU Pemilu 2008 tidak
congruent (incongruent) dengan ketentuan Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal
22E ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Keterangan Ahli Drs. Thomas Aquino Legowo, MA

Disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,


DPD, don DPRD merupakan suatu kemajuan. Selain memperbaiki kelemahan
yang ada pada UU terdahulu, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 10
Tahun 2008 juga merumuskan beberapa ketentuan baru yang belum pernah
diberlakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya, dan menghilangkan beberapa
ketentuan lama yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.

Tentu keputusan untuk menambah ketentuan baru dan/atau menghilangkan


ketentuan lama merupakan upaya biasa untuk memperbarui dan
102

menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meski begitu, tidak


tertutup kemungkinan bahwa penambahan dan atau penghilangan beberapa
ketentuan dapat menyimpang ataupun mengubah secara maknawi semangat,
prinsip, dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada saat perumusan
ketentuan-ketentuan mendasar dalam Konstitusi (dalam hal ini UUD 1945) yang
menjadi landasan bagi perumusan peraturan peraturan perundang-perundangan.

Salah satu dari persoalan semacam itu yang tercermin dari UU Nomor 10 Tahun
2008 terkait dengan tidak lagi disertakannya persyaratan tentang domisili dan
persyaratan tentang tidak menjadi pengurus partai politik. Kedua persyaratan ini
tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, yang selengkapnya terurai pada Pasal
63, seperti berikut:

Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:

Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun


secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon atau
pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun
di provinsi yang bersangkutan.

Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang


dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon.

Tentu menjadi pertanyaan, mengapa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak lagi


memberlakukan ketentuan tentang peryaratan bagi colon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) seperti itu? Sampai dengan saat ini belum ada
penjelasan resmi dari para pembuat UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
pertanyaan ini. Namun, terlepas dari ada dan tidaknya penjelasan dimaksud,
penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD terbuka
untuk diisi oleh colon-colon terpilih yang tidak berdomisili di daerah (provinsi) yang
diwakilinya, dan yang menjadi pengurus partai politik. Persoalannya, apakah
kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar
yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen terhadap UUD 1945
dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, 2000,
2001, dan 2002?

Jika ditengok kembali proses perdebatan yang mengantar pada pembentukan


DPD dalam sidang-sidang MPR itu, dapat ditarik beberapa catatan penting terkait
103

secara langsung maupun tidak langsung dengan dua persyaratan tentang domisili
dan tidak menjadi mengurus partai politik tersebut.

Pertama, DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan “Utusan Daerah”


untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa. Dalam
semangat itu, maka DPD merupakan perwakilan teritori (wilayah), dalam hal ini
provinsi, untuk menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional. Maka
anggota DPD diharuskan untuk dapat memberikan konsentrasinya secara penuh
dalam menjalankan tugas dan peran sebagai perwakilan daerah.

Kedua, DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan badan perwakilan yang mewakili
aspirasi penduduk (rakyat). Dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli
DPR baik dalam ukurannya (jumlah anggota) maupun dalam wewenangnya.
Argumentasinya jelas, jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari jumlah
penduduk. Maka jumlah anggota DPD ditentukan 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
anggota DPR, dan ruang lingkup wewenangnya terbatas pada masalah-masalah
yang terkait dengan daerah.

Ketiga, DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang


dipilih melalui pemilihan umum di masing-musing daerah (provinsi). Dalam prinsip
utama ini, anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara absah dipilih
oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah bersangkutan. Maka,
anggota DPD tidak mewakili entitas lain apa pun juga selain daerah. Karena itu,
anggota DPD tidak wewakili organisasi masyarakat, komunitas agama, dan
bahkan partai politik.

Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut jelas menegaskan bahwa


anggota DPD adalah orang yang mengetahui, mengenal, dan memahami
masalah-masalah daerah yang diwakilinya. Orang seperti ini tentu saja adalah
orang yang pernah dan memang bertempat tinggal (domisili) di daerah yang
bersangkutan. Tentu orang ini bukan orang sembarangan karena yang
bersangkutan harus mampu meyakinkan masyarakat setempat untuk memperoleh
dukungan suaranya sehingga terpilih menjadi anggota DPD.

Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut juga jelas menegaskan bahwa
DPD tidak mewakili partai politik atau entitas apapun juga, melainkan mewakili
daerah. Karena itu sifat keanggotaan DPD adalah perorangan. Ini juga secara
104

langsung maupun tidak langsung membedakan DPD dengan DPR. Keanggotaan


DPR didasarkan pada kolektivitas, yaitu partai politik. Dalam batas ini, semangat
UUD 1945 mengarahkan para anggota DPD untuk mau dan mempunyai komitmen
mewakili aspirasi daerah saja.

Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut dituangkan secara lugas dalam
UUD 1945, Pasal 22C dan Pasal 22D. Pasal 22C mengatur tentang dari mana,
bagaimana, dan berapa jumlah anggota DPD ditentukan. Pasal 22D mengatur
tentang ruang lingkup tugas utama dan wewenang DPD.

Di antara ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 22C ayat (1) perlu dipahami secara cermat. Ayat ini dirumuskan sebagai
berikut: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dad setiap provinsi melalui
pemilihan umum”. Ayat ini pada dasarnya merefleksikan tiga hal utama dalam
proses rekruitmen anggota DPD.

Hal pertama jelas bahwa anggota DPD harus dipilih melalui pemilihan umum. Baik
UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur pelaksanaan
pemilihan umum anggota DPD secara jelas pula.

Hal kedua dan ketiga terkait dengan penggunaan rangkain kata “dari setiap
provinsi” dalam rumusan ayat (1) tersebut. Dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia oleh Indrawan WS yang diterbitkan oleh Penerbit Linatas Media
Jombang, menjelaskan kata “dari” sebagai “kata perangkai mengatakan asal”.
Dengan penjelasan ini, penggunaan rangkaian kata “dari setiap provinsi” tentu
bukan tanpa makna sama sekali. dan, makna itu adalah bahwa anggota DPD
berasal dari setiap provinsi, yang menrefleksikan asas tempat tinggal atau domisili;
dan, anggota DPD bukan berasal dari tempat asal yang bukan provinsi seperti
kabupaten atau kota, partai politik, organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi
keagamaan.

Untuk menegaskan makna kedua hal dari penggunaan rangkaian kata “dari setiap
provinsi” itu, dapat diperbadingkan dengan jika penggunaan kata “dari” diubah
dengan kata “di” sehingga rumusan ayat (1) menjadi “Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dipilih di setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia tersebut di atas, kata “di” merupakan “kata perangkai yang
menyatakan ada pada suatu tempat”. Dengan penjelasan ini, maka arti dari ayat
(1) dalam rumusan ini hanya semata-mata menjelaskan di tempat mana anggota

3
105

DPD itu dipilih melalui pemilihan umum. Rumusan ayat seperti ini tidak
menjelaskan dari mana asal anggota DPD yang dipilih itu.

UU Nomor 12 Tahun 2003 dengan cermat mengatur pelaksanaan hal kedua dan
ketiga tersebut yang dituangkan dalam Pasal 63 huruf a dan b. UU Nomor 10
Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali dua hal mendasar ini.

UUD 1945 yang merupakan hasil dari proses amandemen terhadap UUD 1945
secara bertahap pada dasarnya dilatari oleh semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar tentang bagaimana pembaruan-pembaruan politik harus diterjemahkan
dalam ketentuan-ketentuan dasar tentang sistem ketatanegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sangat disadari bahwa rumusan-rumusan
dalam ketentuan-ketentuan dasar UUD 1945 tidak dapat menenjermahkan
keseluruhan makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang
pembaruan-pembaruan politik. Namun, rumusan-rumusan yang terbatas ini jelas
tidak mengurangi makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar pembaruan-
pembaruan yang harus dan perlu ditegakkan itu.

Dalam nuansa seperti itu, UUD 1945 memang tidak menyatakan secara eksplisit
dalam rumusan ketentuan yang mengatur tentang rekruitmen keanggotaan DPD.
Tetapi pilihan atas penggunaan kata-kata dalam rumusan ketentuannya,
khususnya Pasal 22C ayat (1), jelas mencerminkan semangat, prinsip, dan
pemikiran dasar tentang pembentukan DPD.

Pencermatan atas semangat UUD 1945 atas rekruitmen anggota DPD tersebut
jelas mengingatkan kembali bahwa merumuskan ketentuan-ketentuan operasional
untuk membentuk DPD melalui pemilihan umum harus didasarkan kepada
pemahaman yang tepat dan bijaksana terhadap semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar yang melatari pembentukan DPD tersebut.

UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang


harus menjabarkan secara operasional ketentuan-ketentuan dasar yang ada
dalam UUD 1945. Dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan dasar ini, suatu
peraturan perundang-undangan tidak boleh mengurangi atau melebih-lebihkan dan
sama sekali tidak boleh menghilangkan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar
yang bukan hanya melatari tetapi menjiwai ketentuan-ketentuan dasar dalam UUD
1945 tersebut.
106

Atas dasar pemahaman ini, tidak salah sama sekali untuk menegaskan bahwa
ketentuan tentang persyaratan domisili dan tidak menjadi pengurus partai politik
merupakan amanat dari UUD 1945 yang harus dirumuskan secara nyata dalam
ketentuan operasionalnya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,
perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 untuk secara khusus
memasukan ketentuan tentang kedua persyaratan tersebut.

[2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Mei 2008, dan 10 Juni
2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberi keterangan, sebagai
berikut:

A. Ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimohonkan
Pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas


Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai ketiadaan syarat domisili
dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

Ketentuan Pasal 12 menyebutkan:


Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
107

g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang


telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Terdaftar sebagai pemilih;
j. Bersedia bekerja penuh waktu;
k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan
dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. Mencalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. Mencalonkan hanya 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. Mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.

Ketentuan Pasal 67 menyebutkan:


(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan :
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
108

c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara


pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas
bermaterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan
lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai
cukup.

B. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional yang dianggap Pemohon


dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Para Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa


hak/kewenangan konstitusionalnya dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai
berikut :
1. Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV beranggapan ketiadaan syarat
domisili memberikan peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari
suatu provinsi yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota
DPD, dan juga ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan
109

calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan


dalam pemilihan anggota DPD. Sehingga menurut Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon IV hak/kewenangan konstitusionalnya yang dijamin Pasal 22D
ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 22E ayat (1)
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum.
2. Pemohon III tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak
konstitusionalnya yang dirugikan, oleh karena memang dalam permohonan
a quo telah dikemukakan bahwa kepentingan Pemohon III tidak ada
relevansinya dengan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum yang dipertentangkan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD
Tahun 1945.

a. Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945 :


”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”.

b. Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945:


”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan”.

Berdasarkan hal-hal tersebut, dengan ini DPR menyampaikan


keterangan dan pandangan-pandangan sebagai berikut:

C. Keterangan DPR RI Atas Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10


Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
terhadap UUD Tahun 1945

C.1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak


telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
110

c. badan hukum publik atau privat; atau


d. lembaga negara.”

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan


Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam Penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hak-
hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang
termasuk “hak konstitusional”.
Sehingga menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam
UUD 1945;
c. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang diuji.

Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan
tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang-
undang menurut Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 010/PUU-III/2005) yaitu sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD


Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
111

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian


dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam


mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka
Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)
sebagai Pihak.

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Dalam permohonan a quo dikemukakan sebagai berikut:


Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan
Lembaga Negara, beranggapan bahwa kewenangan konstitusionalnya yang
dijamin dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E
ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dirugikan dengan
diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya
disebut Undang-Undang tentang Pemilihan Umum), karena dalam pasal-
pasal tersebut tidak mencantumkan persyaratan bahwa calon anggota DPD
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, serta tidak terdapat
persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan anggota partai politik.
Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan a quo
berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”, sebagaimana
dijamin dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
beranggapan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena
ketiadaan syarat domisili menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu
provinsi dapat diikuti oleh orang-orang yang tidak berasal dari provinsi yang
bersangkutan, dan ketiadaan syarat non-partai politik membuka
kemungkinan calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon
perseorangan dalam pemilihan anggota DPD.
Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO, Ketua Dewan Pakar Sekretariat
Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Ketua
112

Umum IPC, Koordinator FORMAPPI) yang dalam permohonan a quo


berkedudukan sebagai perorangan WNI, tidak menjelaskan secara konkrit
dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana yang telah dirugikan
atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Pemohon IV (warga daerah) dalam permohonan a quo berkedudukan
sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI” beranggapan memiliki
kedudukan hukum (legal standing) yang sama dengan Pemohon II,
sehingga juga hak konstitusionalnya yang dijamin dalam Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 telah dirugikan sebagaimana yang
dialami oleh Pemohon II.

Bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon a quo mengenai


kedudukan hukum (legal standing), DPR berpandangan, dalam hal ini
terhadap permohonan para Pemohon a quo perlu dipertanyakan dahulu
mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon yaitu:

¾ Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak


[kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasannya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi] ?
¾ Adakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
yang diatur dalam UUD 1945 ?
¾ Apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Pemilihan Umum ?

Apabila para Pemohon menganggap sudah memenuhi kualifikasi


yang ditentukan sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka pertanyaan berikutnya
adalah, apakah terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diatur dalam UUD 1945?. Dalam hal terdapat hak dan/atau kewenangan
kosntitusional yang diatur dalam UUD 1945, maka selanjutnya perlu
dipertanyakan apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut
dirugikan dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum ?
113

1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon I (DPD)


Dalam permohonan a quo, Pemohon I berkedudukan sebagai
Lembaga Negara beranggapan kewenangan konstitusionalnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23
ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945,
berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal
67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena dalam Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo tidak mencantumkan syarat
domisili dan syarat larangan bagi pengurus/anggota partai politik untuk
mencalonkan sebagai anggota DPD, sehingga hal ini dianggapnya
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Adapun ketentuan UUD 1945 yang mengatur kewenangan DPD
yaitu:

Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
114

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber


daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 23 ayat (2) UUD 1945:


(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah.

Pasal 23E ayat (2) UUD 1945:


(2) Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 23F ayat (1) UUD 1945:


(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

Dalil yang menjadi dasar yuridis legal standing bagi permohonan


Pemohon I tersebut tidak berdasar, apabila mencermati makna Pasal
22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 mengenai kewenangan
konstitusional DPD, dikaitkan dengan persyaratan administrasi yang
diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum. Dalam hal ini Pemohon I a quo beranggapan ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non partai politik dalam norma Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.

Berdasarkan argumen Pemohon I tersebut justru menunjukkan


bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum tidak terdapat pertentangan dan tidak ada relevansinya dengan
kewenangan Pemohon I sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam
Pasal 22D ayat (1), (2), (3) UUD 1945.
115

Perlu dipahami bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I


sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2),
dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1)
UUD 1945, adalah kewenangan konstitusional yang diberikan
setelah terbentuknya DPD melalui pemilihan umum, sedangkan
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
mengatur syarat-syarat pencalonan anggota DPD, artinya secara
kelembagaan DPD belum terbentuk. Sehingga tidak ada
hubungannya dengan prosedur pencalonan anggota DPD
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang a quo.
Terhadap dalil Pemohon I tersebut, DPR berpendapat bahwa
benar Pemohon I yang berkedudukan sebagai Lembaga Negara
memiliki kualifikasi sebagai pihak, dan memiliki kewenangan
konstitusional yang diatur dalam UUD 1945. Namun hal ini perlu
dipertanyakan dahulu apakah kewenangan konstitusional Pemohon I
benar-benar dirugikan atau berpotensi menimbulkan kerugian dengan
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo ?
Menjawab pertanyaan tersebut, sudah jelas dan tegas bahwa
norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD
1945, tidak ada relevansinya antara kewenangan konstitusional yang
dijamin Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E
ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dengan persyaratan
administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
a quo. Apalagi jika dipertanyakan adakah hubungan sebab akibat
(causal verband) antara kerugian konstitusional yang akan ditimbulkan
dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji?
Menjawab pertanyaan tersebut, DPR berpendapat bahwa secara
konstitusional, sudah jelas bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I
sebagai Lembaga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 tidak dirugikan
atau berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional oleh berlakunya
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, oleh karena memang
antara kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal
116

22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal
23F ayat (1) UUD 1945 tidak ada relevansinya dan tidak terdapat causal
verband dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang a quo.
Dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan”.
Jelas dan tegas bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 mengatur tentang syarat konstitusional bagi calon
anggota DPD yang harus dipilih dari perseorangan setiap provinsi
melalui pemilihan umum, artinya bahwa pengaturan syarat konstitusional
ini mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia disetiap
provinsi dan yang berasal dari provinsi manapun mempunyai hak yang
sama untuk menjadi calon anggota DPD tanpa adanya pembatasan
harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”, dan bunyi Pasal 28D ayat (3) UUD
1945 ialah: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian Pemohon I
tersebut keliru dalam memaknai Konstitusi yang mensyaratkan anggota
DPD harus berasal dan berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Sekali
lagi ditegaskan bahwa Konstitusi UUD 1945 Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) tidak mengharuskan calon anggota DPD harus
berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Makna perseorangan dari Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dapat
ditafsirkan siapa saja setiap warga negara [in casu Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] diberikan hak konstitusional yang sama
untuk menjadi calon anggota DPD sepanjang yang bersangkutan
mencalonkan diri sendiri tidak dicalonkan oleh institusi baik oleh suatu
117

organisasi masyarakat maupun oleh partai politik. Termasuk


anggota/pengurus partai politik, pensiunan TNI/POLRI, PNS, siapa saja
sepanjang memenuhi syarat Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dapat mencalonkan diri secara perseorangan
atas nama diri sendiri bukan atas nama partai politik untuk menjadi
anggota DPD.
Dengan demikian, secara konstitusional pula konstitusi UUD 1945
tidak mengatur secara eksplisit dan limitatif yang mensyaratkan bahwa
anggota DPD harus berasal dan berdomisili dalam kurun waktu tertentu
di provinsi tertentu, serta tidak juga mengatur larangan bagi pengurus/
anggota partai politik untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa karena tidak ada
relevansinya antara kewenangan konstitusional Pemohon I a quo (DPD)
sebagai lembaga negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 23 ayat (2), Psal 23 ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1) UUD
1945 dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang a quo, maka logika hukum nya jelas tidak ada
potensi kerugian konstitusional bagi Pemohon I. Dengan demikian
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 10/PUU-III/2005), DPD sebagai lembaga negara yang
mempertentangkan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Pemohon I a quo
tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

2. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon II


(Anggota DPD)
Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan
a quo berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”,
beranggapan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-
partai politik telah merugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya
118

Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Oleh


karena menurut Pemohon II ketiadaan syarat domisili memberikan
peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari suatu provinsi yang
bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD, dan juga
ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan calon dari
partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam
pemilihan anggota DPD.

Dalam permohonan a quo, dikemukakan bahwa kepentingan


hukum Pemohon II sama dengan Pemohon I yang mempertentangkan
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang
tidak mencantumkan persyaratan domisili dan larangan bagi anggota
partai politik, dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Terhadap dalil-dalil Pemohon II tersebut, DPR berpandangan,
bahwa Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan”. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa
ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur persyaratan
konstitusional yang menegaskan; pertama, bahwa pemilihan anggota
DPD termasuk dalam rezim pemilihan umum (vide Pasal 22E UUD
1945), karena secara konstitusional harus dipilih melalui pemilihan
umum, bukan lagi diangkat sebagai utusan daerah sebagaimana yang
pernah terjadi sebelum Perubahan UUD 1945. Kedua, persyaratan
konstitusional berikutnya anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi,
berarti setiap provinsi di NKRI dapat diwakili oleh setiap Warga Negara
Indonesia yang akan mencalonkan diri secara perseorangan menjadi
anggota DPD [vide Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]. Ketentuan Pasal 22C
ayat (1) UUD 1945 tidak memberikan pembatasan yang eksplisit bahwa
anggota DPD harus dipilih dari provinsi tertentu yang merepresentasikan
langsung anggota DPD yang bersangkutan, oleh karena berasal dan
berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
119

DPR berpandangan, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD


1945 mengandung makna bahwa anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum harus calon dari perseorangan (perseorangan berarti
setiap warga negara baik anggota partai politik maupun bukan anggota
partai politik), bukan calon yang diajukan oleh partai politik, yang dapat
juga menimbulkan tafsir konstitusional bahwa meskipun calon anggota
DPD berasal dari partai politik, sepanjang yang bersangkutan
mencalonkan diri atas nama pribadi secara perseorangan, tidak diajukan
atau dicalonkan oleh partai politik yang bersangkutan, maka atas nama
perseorangan dapat mencalokan diri menjadi anggota DPD.

Kaitannya dengan hak konstitusional anggota DPD, perlu


dicermati bahwa dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan konstitusional
yang khusus mengatur hak konstitusional anggota DPD, yang ada hak
setiap orang untuk menjadi anggota DPD. Secara khusus hak dan
kewenangan anggota DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD. Tetapi secara kelembagaan DPD sebagai lembaga negara
diberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam
Pasal 22D ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal
23F ayat (1) UUD 1945. Meskipun anggota DPD dalam pemohonan
a quo berkedudukan sebagai perorangan WNI, secara konstitusional
tidak ada kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum, karena secara perseorangan setiap
WNI diberikan hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), DPR berpandangan bahwa
anggota DPD yang berkedudukan sebagai perorangan WNI tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam
pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.
120

3. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon III (LSM)

Pemohon III (CETRO, SETNAS PERLINDUNGAN HAK


KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT, IPC, FORMAPPI)
yang dalam permohonan a quo adalah bahwa CETRO merupakan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum
privat (yayasan), dan IPC merupakan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang berbentuk badan hukum privat (perkumpulan), sedangkan
FORMAPPI merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
terdiri dari “perorangan (kelompok orang) WNI”.
Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon III tidak menjelaskan
secara konkrit dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana
yang telah dirugikan atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum.
SETNAS PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL
MASYARAKAT HUKUM ADAT selaku Pemohon III beranggapan
ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam
Undang-Undang Pemilu a quo menyebabkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat hukum adat terancam tidak terwakili.
Terhadap dalil tersebut DPR berpendapat perlu juga
dipertanyakan kepada Sekretariat Nasional Perlindungan Hak
Konstitusional Masyarakat Hukum Adat mengenai masyarakat hukum
adat yang mana yang dirugikan hak konstitusionalnya? hal ini penting
dalam legal standing karena terkait dengan kepentingan langsung dari
masyarakat hukum adat itu sendiri. Perlu juga dicermati bahwa tidak
terdapat relevansinya antara kepentingan masyarakat hukum adat
dengan hak konstitusional perseorangan sebagai persyaratan untuk
menjadi anggota DPD melalui pemilihan umum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Selain itu
juga tidak ada relevansinya antara kepentingan hukum masyarakat
hukum adat dengan persyaratan administrasi untuk menjadi anggota
DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum.
121

Dalam permohonan a quo dikemukakan mengenai kepentingan hukum


dari masing-masing principal dalam kelompok Pemohon III yaitu sebagai
berikut:
1. Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO) berkepentingan terhadap
upaya upaya pembaharuan pemilu demi terselenggaranya pemilu
yang demokratis.
2. Pemohon III (Ketua Dewan Pakar SETNAS PERLINDUNGAN HAK
KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT) berkepentingan
terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai
bagian dari aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-
wakil daerah yang tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak
masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 18I ayat (3) UUD 1945 terlindungi.
3. Pemohon III (Ketua Umum IPC) berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis.
4. Pemohon III (Koordinator FORMAPPI) berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis.

Bahwa jelas Pemohon III walaupun berkedudukan sebagai


perorangan WNI dalam permohonan a quo memiliki kepentingan hukum
yang berbeda dengan kepentingan hukum Pemohon I, Pemohon II dan
Pemohon IV. Sebagaimana telah diuraikan bahwa Pemohon I, Pemohon
II dan Pemohon IV beranggapan memiliki kepentingan terhadap hak/
kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yang dirugikan
oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum. Sedangkan Pemohon III tidak ada kepentingan
terhadap hak konstitusionalnya yang dilanggar atau dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo.
Dalam konteks dan content pengujian undang-undang a quo tidak
ada relevansinya antara kepentingan Pemohon III dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian sudah
dapat dipastikan tidak ada kerugian atau berpotensi menimbulkan
kerugian terhadap Pemohon III.
122

Adapun Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan:


“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
mengamanatkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota
DPD adalah perseorangan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 22C ayat
(1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, jelas tidak ada relevansinya
antara syarat untuk menjadi anggota DPD dengan kepentingan hukum
Pemohon III, dan juga Pemohon III selaku organisasi baik LSM yang
sudah berbadan hukum maupun dalam bentuk perkumpulan tidak
memiliki kepentingan yang sama dengan Pemohon I, II, dan IV terhadap
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Pemilu a quo.
Dikaitkan dengan hak konstitusional masyarakat hukum adat
yang dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di mana hak-hak
tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara, harus dibedakan
dengan hak konstitusional setiap warga negara untuk menjadi anggota
DPD yang dijamin Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat tersebut adalah
termasuk hak asasi dalam kelompok hak ekonomi, sosial, dan
budaya, sedangkan hak yang dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 termasuk dalam hak sipil dan
politik. Dengan perbedaan ini jelas tidak ada relevansinya antara
kepentingan masyarakat hukum adat yang diatur dalam Pasal 18B ayat
(2) juncto Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan syarat konstitusional
untuk menjadi anggota DPD yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Pemohon III juga tidak menjelaskan secara konkrit dan spesifik
mengenai hak konstitusional yang mana, yang dirugikan atau yang
berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal
67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Hal ini sangat penting
untuk menentukan legal standing sesuai Pasal 51 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyebutkan, “bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
123

konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya undang-


undang”.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa Pemohon III tidak
memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal
standing) dalam pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

4. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon IV (Warga


Daerah).
Dalam permohonan a quo Pemohon IV (warga daerah) yang
berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”
beranggapan memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sama
dengan Pemohon II, sehingga juga hak konstitusionalnya telah
dirugikan sebagaimana yang dialami oleh Pemohon II.
Terhadap dalil Pemohon IV tersebut, DPR berpandangan bahwa
benar warga daerah selaku perorangan WNI dapat sebagai pihak dalam
pengujian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, terhadap UUD
1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan
Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Tetapi perlu dipertanyakan apakah hak
konstitusional Pemohon IV selaku perorangan WNI sebagaimana diatur
dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dirugikan oleh berlakukan Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum?
Sebagaimana telah diuraikan mengenai persyaratan kedudukan
hukum (legal standing) yang harus dipenuhi Pemohon II yang juga
berkedudukan sebagai perorangan WNI, DPR berpandangan bahwa
Pemohon IV selaku perorangan WNI tidak dirugikan hak
konstitusionalnya, oleh karena kepada Pemohon IV secara
perseorangan sebagai warga negara Indonesia diberikan hak
konstitusional untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD
sebagaimana diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945. Dengan demikian, karena tidak ada hak konstitusional
Pemohon IV yang dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
124

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maka Pemohon IV tidak


memenuhi kedudukan hukum (legal standing).

Secara umum, dapat dikemukakan bahwa terhadap legal


standing sebagaimana dijelaskan oleh para Pemohon, perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa cakupan dari Undang-Undang Pemilihan Umum meliputi


teknis pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum lebih terkait dengan hak individu atau
perseorangan khususnya hak sipil dan politik, lebih khusus lagi hak
untuk memilih dan dipilih atau right to be candidate.

b. Dengan demikian legal standing Pemohon yang berupa lembaga


negara dan badan hukum tidak tepat sebagai Pemohon dalam
pengajuan uji materiil undang-undang ini. Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum tidak mengatur kewenangan konstitusional DPD,
apalagi merugikan kewenangan kontitusional DPD yang terdapat di
dalam Pasal 22D UUD 1945, karena bukan ruang lingkup pengaturan
Undang-Undang Pemilihan Umum. Penjabaran kewenenangan DPD
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sementara
untuk kesatuan masyarakat hukum adat lebih terkait dengan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dibandingkan dengan Hak Sipil dan
Politik.

c. Sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, undang-undang


memang mengatur hak memilih dan hak dipilih. Legal standing yang
diajukan Pemohon tidak tepat. Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum telah memberikan jaminan hak politik warga negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005


tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 25
yang menyebutkan:
125

“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa


pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan
tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:
a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan
dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui
pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan
menyatakan keinginan dari para pemilih;
c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar
persamaan dalam arti umum”.

Apabila dikaitkan pula dengan kovenan internasional tersebut, UU


Pemilu tidak melanggar hak-hak sipil dan politik.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka permohonan para


Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), karenanya permohonan para
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk
verklaard).

C.2. Mengenai Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang.

Dalam permohonan a quo para Pemohon pada pokoknya


mendalilkan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non
partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi sesungguhnya yang
dipertentangkan oleh para Pemohon a quo bukan materi muatan berupa
norma-norma yang tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu
rumusan frasa yang menurut para Pemohon harus dituangkan dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Jika demikian halnya
berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum sesungguhnya tidak melanggar dan tidak bertentangan
126

dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Keharusan
menguraikan materi muatan undang-undang secara jelas berupa
pasal/ayat/bagian-bagian dalam pengujian materiil undang-undang
terhadap UUD 1945 diperintahkan oleh Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
“Para Pemohon dalam permohonan a quo halaman 52 angka 86,
Para Pemohon menyadari bahwa Permohonan Pengujian Undang-
Undang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, sedangkan dalam praktek pada umumnya
pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan)
undang-undang yang dianggap inkonstitusional”.

Kalau memang benar-benar menyadari, seharusnya kuasa hukum


para Pemohon tidak mengabaikan tetapi justru sebagai bagian dari
penegak hukum mengindahkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan hukum
positif dan sudah berlangsung dalam praktik ketatanegaraan dalam hal
melakukan pengujian materil undang-undang terhadap UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga negara pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution).
Mengingat yang diajukan para Pemohon sesungguhnya adalah
mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik
sebagaimana disadari betul oleh para Pemohon sendiri, maka untuk
kepentingan penyampaian keterangan/pandangan DPR ini, mohon
diizinkan untuk menguraikan norma-norma hukum yang dapat diuji
kebenarannya dalam hubungannya dengan pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang.
Dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang
dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai “norm control mechanism”.
Norma hukum yang dapat diuji tentunya adalah norma hukum yang
berlaku karena memiliki validitas daya ikat (mengikat) setelah ditetapkan
oleh lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang
diberikan undang-undang.
Masih terkait dengan norma hukum yang dapat diuji tersebut,
ketiga norma hukum tersebut sama-sama merupakan bentuk norma
127

hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yaitu; (i)


Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); (ii)
Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif
(beschikking); (iii) Keputusan normatif yang berisi dan bersifat
penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis, (Belanda:Vonnis).”
Dalam konsep pengujian undang-undang, maka undang-undang
yang bersifat general and abstract, merupakan keputusan normatif yang
berisi dan bersifat pengaturan (regeling) dan mengikat umum yang
disetujui DPR bersama Presiden. Oleh karena sifatnya yang general and
abstract, undang-undang sebagai objek yang hendak diuji haruslah
norma-norma hukum dalam undang-undang yang sudah disahkan. Artinya
yang dapat diuji adalah norma hukum yang tertulis dalam materi muatan
undang-undang yang tertuang dalam pasal-pasal. Dalam ilmu hukum tata
negara undang-undang merupakan salah satu sumber hukum tata negara,
sehingga undang-undang yang menjadi objek pengujian tersebut dapat
diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 di peradilan tata negara
seperti Mahkamah Konstitusi.
Secara teoritis, pengujian (toetsing) dibedakan antara materiile
toetsing dan formeele toetsing. Perbedaan tersebut biasanya dikaitkan
dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang
dalam arti materiil) dan wet in formeelezin (undang-undang dalam arti
formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah
pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.
Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil,
sedangkan pengujian atas pembentukan undang-undang adalah
pengujian formil.
Jika pengujian undang-undang tersebut dilakukan atas materinya,
maka pengujian demikian disebut pengujian materiil yang berakibatkan
dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu ialah isi ayat, pasal
atau bagian-bagian tertentu dari undang-undang. Lazim dipahami bahwa
yang dimaksud dengan isi atau materi undang-undang adalah pasal-pasal
dan termasuk undang-undang itu sendiri sebagai bagian yang tidak
128

terpisahkan dari pasal-pasal undang-undang tersebut, karenanya bersifat


mengikat pula secara hukum. Jika dilihat dari segi materiil, berarti hal-hal
yang dipersoalkan itu dilihat sebagai materi muatan undang-undang yang
seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut teori Hak Uji Materiil adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki kemudian menilai apakah suatu perundang-undangan isinya
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Berarti hak uji materiil ini berkenaan dengan materi/isi dari undang-undang
yang diuji terhadap UUD 1945. Selanjutnya dikatakan, “apabila suatu
undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan UUD, maka
undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak memiliki daya mengikat”.
Frasa “isinya” ini artinya norma-norma hukum yang tertulis dalam materi
muatan undang-undang, karena jika norma hukum tertulis ini bertentangan
dengan UUD 1945 harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi disebutkan, “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa”;
(a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945; dan/atau
(b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945”.

Dengan demikian harus dimaknai bahwa pengujian materiil atas


undang-undang terhadap UUD 1945 ialah menguji suatu undang-undang
yang materi muatannya berupa pasal, ayat, dan/atau bagian-bagian dari
undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945.
Berarti objek pengujian atas undang-undang adalah isi pasal, ayat/
bagian-bagian yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam undang-
undang. Oleh karena apabila isi pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-
undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah
Konstitusi akan memutuskan, menyatakan bahwa ketentuan isi pasal,
ayat/bagian-bagian dari undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. (vide Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi). Isi amar putusan ini harus dimaknai pertama,
129

bahwa hanya materi muatan pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-


undang saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945, dan dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, bahwa hanya materi muatan
pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-undang yang berlaku (memiliki
kekuatan hukum mengikat) saja yang dapat dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tidak
menguraikan pasal, ayat dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, mengajukan petitum
agar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat? Oleh karena yang diajukan pengujian
oleh para Pemohon adalah mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat
non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum, bukan materi muatan pasal-pasalnya. Perlu dipahami
oleh para Pemohon, bahwa dalam praktik persidangan pengujian undang-
undang di Mahkamah Konstitusi ialah hanya materi muatan pasal, ayat/
bagian-bagian dari undang-undang yang memiliki kekuatan hukum
mengikat saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945. Sedangkan mengenai
ketiadaan syarat domisli dan syarat non partai politik yang didalilkan oleh
para Pemohon a quo bukan suatu norma yang memiliki kekuatan hukum
mengikat.

C.3. Mengenai Pokok Permohonan

Dalam permohonan a quo dikemukakan bahwa pokok materi


permohonan yang diajukan oleh para Pemohon adalah ketiadaan syarat
domisili dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, yang dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Terhadap pokok materi permohonan tersebut, DPR akan
menyampaikan keterangan, argumentasi, dan tanggapan terhadap dalil
yang diajukan oleh para Pemohon, sebagai berikut:
130

1) Mengenai ketiadaan norma dalam pengujian Undang-Undang


terhadap UUD 1945
Dalam permohonan a quo para Pemohon tidak menguraikan
secara konkrit mengenai pasal/ayat/bagian-bagian dari undang-undang
yang hendak diuji terhadap UUD 1945. Bahwa yang dipersoalkan
oleh para Pemohon a quo ialah mengenai ketiadaan norma
mengenai syarat domisili dan syarat non partai politik yang tidak
diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum.
Dalil yang dikemukakan para Pemohon dalam permohonan
a quo nomor 86 halaman 52, para Pemohon telah menyadari bahwa
permohonan pengujian undang-undang ini adalah mengenai
ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, sedangkan praktek umumnya pengujian undang-undang
dilakukan karena adanya norma (ketentuan) di dalam undang-
undang yang dianggap inkonstitusional.
Selanjutnya para Pemohon menginterpretasikan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, bahwa inkonstitusionalitas suatu undang-
undang dapat disebabkan oleh adanya norma undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 maupun mengenai tiadanya norma
tertentu dalam undang-undang.
Bahwa terhadap dalil tersebut, para Pemohon kiranya perlu
mencermati ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyebutkan bahwa, ”dalam permohonan, pemohon wajib
menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketentuan ini tentunya dimaksudkan bahwa materi muatan tersebut
berupa rumusan norma yang terdapat dalam pasal, ayat, bagian dari
undang-undang a quo yang bertentangan dengan UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 1 angka 2 menyebutkan
131

bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis


yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang
berwenang dan mengikat secara umum. Undang-Undang adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden”. Dengan demikian undang-undang
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden dan mengikat secara umum. Peraturan yang tidak
tertulis bukan merupakan undang-undang. Sehingga uji materiil
terhadap undang-undang juga harus diartikan menguji apa yang
tertulis di dalam undang-undang tersebut.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum tidak dapat menjadikan Pasal 12 Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum kemudian dianggap bertentangan
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945,
karena rumusan yang terdapat di dalam Pasal 12 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dari huruf a sampai dengan huruf p, tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
Tahun 1945.

Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum menyebutkan:


Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
132

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5


(lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri
yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-
undangan;
m.bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan
yang bersangkutan.

Para Pemohon tidak menyebutkan pada kalimat, frasa, kata,


huruf, maupun tanda baca mana dalam Pasal 12 tersebut yang
bertentangan dengan UUD 1945, dan memang para Pemohon telah
mengakui dan menyatakan dalam angka nomor 92 halaman 53-54
bahwa, “norma-norma yang telah ada (tertulis) dalam UU Pemilu
telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun
apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan
demikian, sangat tidak berdasar apabila norma-norma yang tidak
133

bertentangan dengan UUD 1945 tersebut dimohonkan untuk


dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
Demikian pula akan menjadi janggal apabila rumusan yang
tertulis pada Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf p Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum yang tidak bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Pada Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum juga
mengatur mengenai kelengkapan administratif bagi calon anggota
DPD. Pasal ini merupakan implikasi dari Pasal 12 Undang-Undang
a quo. Tentu saja pada pasal ini tidak mencantumkan kelengkapan
administrasi yang terkait dengan syarat domisili dan syarat non-partai
politik, mengingat pada Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, kedua norma tersebut tidak dipersyaratkan. Selanjutnya sama
dengan argumentasi sebelumnya, akan menjadi janggal apabila
keseluruhan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat
(1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sementara keseluruhan
rumusan norma yang tertulis di dalam pasal tersebut tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Oleh karena yang dianggap bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 oleh para Pemohon a quo
ialah soal ketiadaan norma/penghilangan norma syarat domisili dan
syarat non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, sedangkan norma-norma yang tertuang
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum tidak dianggap suatu norma yang bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, maka sudah
seharusnya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan mengajukan permohonan uji materiil mengenai
ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
terhadap UUD 1945, maka permohonan ini menjadi kabur (obscuur
134

libels). Mahkamah Konstitusi merupakan negatif legislator, sementara


DPR dan Presiden merupakan positif legislator, yang bermakna DPR
dan Pemerintah membuat norma undang-undang, kemudian
Mahkamah Konstitusi meniadakan norma dalam undang-undang,
apabila dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Petitum yang diajukan
oleh para Pemohon akan menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai
positif legislator karena memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memasukkan norma tertentu berupa conditionaly constitutional.
Permohonan tersebut lebih tepat masuk dalam ranah legislatif review
bukan dengan judicial review.

Pendapat yang terhormat salah satu Hakim konstitusi pada saat


seleksi calon Hakim Konstitusi di DPR (Moh. Mahfud MD, Mahkamah
Konstitusi dan Independence of Judiciary dalam Negara Hukum yang
Demokratis, makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10
Maret 2008, hal. 3.) sangat menarik untuk disimak, yaitu mengenai 10
rambu yang harus dijadikan landasan Mahkamah Konstitusi dan para
hakimnya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya diantaranya
adalah:
¾ ”Tak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, pembatalan
UU tidak boleh disertai pengaturan, karena pengaturan adalah
ranah legislatif. Mahkamah Kontitusi hanya boleh mengatakan
suatu UU atau isinya konstitusional atau tidak konstitusional;

¾ Tak boleh membuat ultra petita, sebab ultra petita berarti


mengintervensi ranah legislatif. Meski begitu ada juga yang
berpendapat bahwa ultra petita dapat dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi jika sebuah pasal yang dinyatakan judicial review
berkaitan langsung dengan pasal-pasal lain yang tak dapat
dipisahkan. Pemikiran itu wajar tetapi bagi penulis sendiri kalau
sebuah permintaan uji materi ada kaitannya dengan pasal-pasal
lain yang tidak diminta untuk dibatalkan maka pembatalan tak bisa
dilakukan karena hal itu berarti merambah ke ranah legislatif.
Biarkan yang membuat pembatalan adalah lembaga legislatif
sendiri melalui legislative review.
135

¾ Tak boleh mendalilkan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya,


sebab tugas MK itu menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD,
bukan UU terhadap UU lainnya. Tumpang tindih antar berbagai UU
menjadi bagian legislative review”.

2) Mengenai Penghilangan Norma Konstitusi dalam Undang-Undang


tentang Pemilihan Umum

Dalil yang dijadikan alasan yuridis oleh para Pemohon a quo


pada angka romawi I halaman 31-35 adalah Penghilangan Norma
Konstitusi dalam UU Pemilu. Menurut para Pemohon syarat domisili
dan syarat non-partai politik merupakan isi dari Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, ”Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah
perseorangan”. Dengan tidak mencantumkan syarat domisili dan
syarat non partai politik pada Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, maka menurut para Pemohon Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan norma
konstitusi yang terdapat di dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 tersebut. Menurut para Pemohon a quo kedua
syarat tersebut merupakan suatu norma yang diharuskan oleh
Konstitusi untuk diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum.
Terhadap dalil para Pemohon a quo DPR berpandangan bahwa
penghilangan norma konstitusi harus dipahami bahwa norma yang
telah dirumuskan di dalam konstitusi secara eksplisit dihilangkan atau
dirumuskan secara berbeda, sehingga mempunyai makna yang
bertentangan. Sebagai contoh dapat digambarkan dalam konstitusi
Negara Thailand dan Negara Argentina, dimana konstitusi Thailand
tersebut juga telah dikutip oleh para Pemohon.

Section 126 Konstitusi Thailand 1997


A person under any of the following qualifications shall have no right to
be a candidate in an election of senators:
136

1) being a member of or holder of other position of a political party;


2) being a member of the House of Representatives or having been a
member of the House of Representatives and his or her
membership has terminated for not yet more than one year up to
the date of applying for the candidacy;
3) being or having been a senator in accordance with the provisions of
this Constitution during the term of the Senate preceding the
application for the candidacy;
4) being disfranchised under section 109 (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7),
(8), (9), (11), (12), (13) or (14).
(http://www.servat.unibe.ch/icl/th00000_.html)

Section 115. (Konstitusi Thailand 2007)


“A person having the qualifications and having no any of the
prohibitions as mentioned below has the right to be a candidate in an
election or selection of senators:

(1) being of Thai nationality by birth;


(2) being of not less than forty years of age on the election day or the
date of nomination;
(3) having graduated with not lower than a Bachelor’s degree or its
equivalent;
(4) a candidate in an election of senators shall also possess any of the
following qualifications:

(a) having his name appear on the house register in Changwat


where he stands for election for a consecutive period of not less
than five years up to the date of applying for candidacy;
(b) being born in Changwat where he stands for election;
(c) having studied in an education institution situated in Changwat
where he stands for election for a consecutive period of not less
than five academic years;
(d) having served in the official service or having had his name
appear in the house register in Changwat where he stands for
election for a consecutive period of not less than five years;
137

(5) not being ascendants, spouse or child of a member of the


House of Representatives or a person holding a political
position;
(6) not being a member or a person holding any position in
a political party, or having been a member or having been
holding a position in a political party and his membership has
terminated or he vacates office in a political party for a period of
not more than five years on the date of applying for candidacy or
the date of nomination;”
(http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html#C06P03)

Section 55 Konstitusi Argentina


“In order to be elected senator the following conditions are required: to
have attained to the age of 30 years, to have been six years a citizen of
the Nation, to have an annual income of two thousand strong pesos or
similar revenues, and to be a native of the province electing him or to
have two years of immediate residence therein”.
(http://www.servat.unibe.ch/icl/ar00000_.html)

Tanpa bermaksud menyamakan posisi DPD dengan Senat di


Thailand atau Senat di Argentina, namun yang ingin disampaikan di
sini adalah pemaknaan dari “Penghilangan Norma Konstitusi dalam
Undang-Undang” sebagai berikut:
a. Konstitusi Thailand secara tegas menyebutkan bahwa ada beberapa
kualifikasi yang menjadikan seseorang tidak berhak menjadi calon
senator di antaranya adalah menjadi anggota atau memegang
kepengurusan/posisi tertentu di partai politik;
b. Konstitusi Argentina menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi
anggota Senat salah satunya adalah penduduk asli dari provinsi
tersebut atau telah dua tahun berdomisili di daerah tersebut.
c. Apabila kemudian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
menghapuskan syarat tersebut, hal ini dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan
norma konstitusi dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

Dengan demikian apa yang dimaksud oleh para Pemohon a quo


mengenai “penghilangan norma konstitusi dalam Undang-Undang
138

tentang Pemilihan Umum” tidak benar, karena tidak ada norma di


dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan syarat untuk
menjadi calon anggota DPD adalah bukan berasal dari partai politik
dan berdomisili di wilayah yang bersangkutan sebagaimana pada
konstitusi Thailand dan Konstitusi Argentina tersebut di atas. Sehingga
tidak ada norma dalam UUD 1945 yang dihilangkan di dalam Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum.

3) Mengenai Syarat Domisili dan Syarat Non-Partai Politik

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana


ditegaskan dalam Konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia
sebagai negara hukum sepatutnya dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang sesuai
dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Negara hukum yang menjadi kesepakatan nasional adalah
negara hukum yang demokratis, artinya hukum yang dibentuk
berdasarkan kedaulatan rakyat. Oleh karena kedaulatan rakyat yang
dianut dalam Amandemen UUD 1945 adalah kedaulatan yang berada
di tangan rakyat bukan berada di MPR sebagaimana dalam UUD 1945
sebelum perubahan.
Sebagai wujud implementasi dari negara hukum yang
demokratis tersebut, dibangunnya suatu sistem pemilihan umum yang
langsung dipilih rakyat melalui suatu instrumen undang-undang yang
dibentuk oleh DPR bersama Presiden. Bahwa esensi pemilihan umum
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan adalah di tangan
rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memilih wakilnya secara langsung.
Inilah prinsip dasar pemilihan umum yang tidak boleh direduksi dengan
cara apapun. Meskipun tidak ada syarat non-partai politik dan domisili,
namun masih terdapat beberapa tahapan-tahapan untuk menjadi
anggota DPD, yaitu mengumpulkan dukungan dan yang paling penting
adalah dipilih oleh rakyat di provinsi tersebut. Hak untuk memberikan
dukungan dan hak untuk memilih tetap di tangan rakyat. Dengan
demikian ada suatu lompatan cara berpikir dari para Pemohon dengan
menafikan keberadaan rakyat. Dalam sistem pemilihan umum yang
139

demokratis maka Rakyat pemilih-lah yang akan menentukan wakil


mereka, bukan undang-undang.
Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD yang menurut
para Pemohon harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, secara
tegas tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945.
Pemaknaan yang menurut para Pemohon bahwa secara semantis
frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon
anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orang-
orang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan adalah tafsir dari
para Pemohon sendiri. Padahal sesungguhnya frasa tersebut juga
dapat bermakna bahwa setiap provinsi harus terwakili dalam DPD,
sehingga isi dari kelembagaan DPD adalah wakil dari setiap provinsi.
Tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang tidak terwakili dalam
DPD. Hal ini dengan mengingat bahwa salah satu tujuan dibentuknya
DPD adalah untuk meningkatkan derajat keterwakilan Utusan Daerah
pada masa lalu berdasarkan risalah Rapat Panitia Ad Hoc I MPR RI
ketika membahas pasal ini.
Harus dipahami bahwa kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak
melalui partai politik, sehingga berimplikasi kepada sistem pemilihan
umum yang menggunakan sistem distrik. Jika dikomparasikan dalam
pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung, makna
”perseorangan” itu lebih bermakna tidak dicalonkan oleh partai politik
meskipun yang bersangkutan adalah anggota partai politik.
Pada argumentasi nomor 86 halaman 52, para Pemohon
mendalilkan bahwa rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan
tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa
pembatasan ”sepanjang mengenai adanya norma undang-undang
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar” sehingga
kemudian disimpulkan tiadanya norma tertentu dalam undang-undang
boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Alur pikir atau argumentasi para
Pemohon ini menjadi bertentangan atau tidak konsisten ketika para
Pemohon memaknai Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, ”Peserta
140

Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan


Daerah adalah perseorangan”. Apabila para Pemohon konsisten,
maka para Pemohon juga harus memaknai bahwa Pasal 22E ayat (4)
dengan tegas menyebutkan peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD adalah ”perseorangan” tanpa pembatasan ”yang bukan
berasal dari partai politik”.
Terhadap dalil para Pemohon yang membandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan draft RUU dari
Pemerintah, DPR berpandangan bahwa sesuai kelaziman
konstitusional, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang
menjadi objek pengujian adalah undang-undang sedangkan alat ukur
untuk menguji adalah UUD 1945 bukan undang-undang, karena itu
dinamakan pengujian konstitusionalitas.

Rapat Pansus RUU tentang Pemilihan Umum

Dalam perdebatan di Panitia Khusus, salah satu argumen yang


dibangun adalah agar setiap warga negara diberi kesempatan untuk dapat
mengabdikan dirinya demi kemajuan daerah provinsi. Tidak boleh dihalang-
halangi hak setiap warga negara terutama bagi yang memiliki ikatan lahir
batin (emosional) dengan provinsi tertentu untuk dapat mencalonkan diri
menjadi anggota DPD terutama karena kelahirannya atau asal usul orang
tuanya. Pada kenyataannya, keanggotaan DPD saat ini pun terdapat orang
yang sesungguhnya berdomisili di Jakarta tetapi dapat menjadi calon yang
kemudian menjadi anggota DPD. Praktik semacam itu sebaiknya
dihilangkan dan diganti secara lebih fair dengan dibukanya kesempatan
bagi setiap warga negara yang terutama ditujukan bagi yang memiliki ikatan
lahir batin dengan provinsi tersebut untuk dapat mencalonkan diri menjadi
anggota DPD. Apalagi jika penerapan single identity number sudah
terlaksana sesuai Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan,
maka warga negara tidak dengan mudah membuat KTP baru untuk
kepentingan sesaat padahal KTP lama tidak hilang. Jadi, tujuan dari
ketentuan tersebut adalah membuka para putra/putri daerah (provinsi) yang
tinggal di luar provinsi tersebut tetapi masih memiliki kepedulian serta
perhatian terhadap provinsinya untuk dapat mencalonkan diri menjadi
anggota DPD mewakili provinsi tersebut.
141

Panitia Khusus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
secara sadar membahas tentang hal ini dengan tetap berdasarkan UUD
1945, sehingga tidak ada hak warga negara yang dilanggar dengan
ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tersebut.
Mengenai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan
syarat domisili, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 5 Desember 2007,
yaitu:
Persyaratan Domisili dihapus, atas dasar:
a. bahwa persyaratan domisili membatasi hak asasi seseorang dan pada
Tahun 2004 kasus soal domisili tinggi sekali bahkan menjadi objek
bahkan pemerasan terhadap orang-orang yang berkeinginan menjadi
dan atau berkompetisi menjadi anggota DPD. Banyak sekali yang
berguguran karena adanya persyaratan domisili tetapi banyak pula yang
mengambil keuntungan dari persyaratan ini.
b. bahwa harus dibedakan antara persyaratan dengan kewajiban.
Persyaratan itu kesetaraan, kesempatan yang luas, diskriminasi,
pembatasan itu dalam persyaratan dan itu tidak perlu sampai menyentuh
terbatasinya hak-hak setiap warga negara. Pemilu LUBER JURDIL
merupakan implementasi dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil yang implementasinya di persyaratan. Kewajiban adalah
setelah proses persyaratan terpenuhi berlangsung dan terpilih.
Persyaratan domisili tidak perlu ada, karena rakyat yang harus memilih
wakilnya sebagai calon anggota DPD yang mereka kenal di daerahnya.
c. bahwa persoalan domisili akan diatur lebih lanjut dalam UU Susduk,
karena itu merupakan kompetensi Susduk
d. bahwa konstruksi DPD adalah sebuah institusi yang mewakili daerah
dan penduduk di daerah tersebut, istilah “domisili” diubah menjadi
“pernah bertempat tinggal secara de facto di daerah yang akan
diwakilinya” atau mempunyai hubungan emosional, kebatinan dengan
daerah yang akan diwakili sebagai anggota DPD;
e. bahwa orang yang concern dengan daerah, paham tentang daerah,
mengenal tentang daerahnya dan banyak berkarya di daerahnya tetapi
142

berdomisili di luar daerah tersebut, harus diberikan kesempatan yang


sama sehingga tidak ada hak-hak warga negara yang terlanggar.

Mengenai Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan
syarat Non Partai Politik, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 26
September 2007, yaitu:

a. bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah


perseorangan dan ini merupakan rumusan konstitusi yang tidak bisa
diubah.

b. bahwa yang dimaksud dengan perseorangan adalah tidak membedakan


apakah berasal dari perseorangan itu sendiri maupun perseorangan dari
partai politik, artinya penekanannya pada proses pencalonan,
walaupun berasal dari partai politik tetapi orang tersebut mempunyai
basis kemampuan yang besar dan tidak dicalonkan oleh partainya maka
dia dapat mencalonkan diri secara pribadi sebagai anggota DPD.

c. bahwa pencalonan diri secara pribadi merupakan equality before the law
(kesamaan di muka hukum), seluruh warga negara diberikan
kesempatan yang sama (tidak membatasi), siapapun dapat
mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dengan tidak mengenal jenis
kelamin atau latar belakang pekerjaan sepanjang memenuhi kualifikasi
persyaratan yang ada.

Dengan demikian, sebagaimana sudah diuraikan argumen-argumen


filosofis, yuridis, dan teoritis, serta berdasarkan Risalah Rapat Panitia Khusus
mengenai Pembahasan RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, maka DPR berpandangan bahwa yang dapat diajukan pengujian
materiil atas Undang-Undang terhadap UUD 1945 sesuai kelaziman
konstitusional (meminjam istilah Jimly Asshiddiqie) harus menguraikan norma-
norma hukum yang tertulis yang berlaku dan mengikat, sedangkan ketiadaan
norma (yang belum berlaku dan tidak mengikat) yang dijadikan alasan
pengujian adalah tidak berdasar.
143

Oleh karena itu, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


tentang Pemilihan Umum tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.

D. PETITUM

Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, DPR


memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat untuk
memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengabulkan keterangan DPR seluruhnya;
2. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing), sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvantkelijke verklaard);
3. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak beralasan sehingga
harus dinyatakan ditolak, atau setidak-tidaknya permohonan para
Pemohon tidak diterima;
4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
5. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tetap
memiliki kekuatan hukum mengikat;

Apabila Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 10 Juni 2008, Pemerintah


yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Dalam
Negeri memberi keterangan, sebagai berikut:

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat


(1) menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar". Makna dari “kedaulatan berada di tangan
rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan
kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk
pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat,
144

serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.


Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan
umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-
wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan,
menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai
landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan
dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud
diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap
orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di
lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap
tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.

Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk


memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap pemilih dan
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan
pihak manapun.

Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai


dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan
dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR dan DPRD.

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui pemilihan umum


dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap
145

warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon


anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak dipersyaratkan untuk
berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya dan tidak dibatasi
menurut latar belakang atau status politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini
sesuai dengan prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum
warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud


dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam


Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
146

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan


kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus
memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Karena itu terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang a quo, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dengan register


perkara Nomor 10/PUU-VI/2008, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai
berikut:

Menurut para Pemohon, dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya


ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo
dianggap telah menghilangkan persyaratan berdomisili di provinsi yang
bersangkutan (ketiadaan syarat domisili) dan tidak terdapatnya persyaratan
bukan anggota dan/atau pengurus partai politik dalam waktu tertentu
(ketiadaan syarat non-parpol) untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), karena dengan ketiadaan syarat-syarat tersebut
dapat menyebabkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diragukan
147

kapabilitas dan objektivitas dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan


daerah yang diwakilinya. Karenanya ketentuan a quo oleh para Pemohon
dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah


tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Pemerintah mempertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas


keberlakuan undang-undang a quo, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Terhadap Pemohon I (Dewan Perwakilan Daerah sebagai institusi


lembaga negara), apakah benar dengan berlakunya ketentuan Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara umum, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan?, pertanyaan
selanjutnya adalah siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan
undang-undang a quo?, apakah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagai institusi lembaga negara atau para anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) secara keseluruhan?, pertanyaan ini perlu Pemerintah
kemukakan karena Pemohon I yang terdiri dari para anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) selain menyatakan diri dan/atau
mengatasnamakan mewakili lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), juga terdapat Pemohon lain (Pemohon II) yang terdiri dari
sebagian anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam


mengkonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
atas keberlakuan undang-undang a quo, karena pada kenyataannya
148

Pemohon I sampai saat ini masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi
dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Pasal 32 sampai
dengan Pasal 51 Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dengan perkataan lain hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
I tidak terkurangi, terhalangi maupun terganggu sedikit pun atas
keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Lebih lanjut menurut Pemerintah, jika Pemohon I merasa perlu melakukan


pengujian undang-undang yang terkait dengan hak dan kewenangan
konstitusional Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka tidaklah tepat
permohonan pengujian undang-undang tersebut dilakukan terhadap
undang-undang a quo. Karena ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 hanya berkaitan dengan persyaratan
untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

2) Terhadap Pemohon II yang merupakan anggota DPD dan menyatakan diri


sebagai perorangan (kelompok orang) warga negara Indonesia, yang
merasa hak konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo dianggap
tidak memberi batasan terhadap anggota/pengurus Parpol maupun tidak
mencantumkan persyaratan domisili untuk menjadi calon anggota DPD.

Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon II tersebut di atas sangatlah


tidak beralasan dan tidaklah tepat, utamanya dalam mengkonstruksikan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan
undang-undang a quo, karena Pemohon II pada saat ini telah duduk
sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan tidak dalam
situasi/posisi yang terhalang atau setidak-tidaknya terkurangi hak-haknya
untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan hak
dan kewenangan Pemohon II untuk mencalonkan diri kembali sebagai
anggota DPD pada Pemilu tahun 2009 tidak terkurangi dan terhalangi
sedikitpun dengan adanya ketentuan a quo. Menurut Pemerintah
ketentuan a quo justru telah memberikan hak dan perlakuan yang sama
bagi semua pihak yang berkeinginan untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
149

Dengan perkataan lain, ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008, tidak terkait sama sekali dengan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon II, karena ketentuan a quo hanya
berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).

3) Terhadap Pemohon III, yang menyatakan diri sebagai perorangan warga


negara Indonesia, yang dikenal aktif dan konsen dengan isu-isu yang
terkait dengan Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik
dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah, antara lain yang
mewakili CETRO, Serikat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat, IPC, dan FORMAPPI, yang menurut Pemohon
III ketentuan a quo dapat menyebabkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat daerah terancam tidak terwakili.

Menurut Pemerintah, ketentuan a quo sama sekali tidak terkait dengan


kepentingan para Pemohon III seperti tersebut di atas, apalagi
merugikannya. Jika dalam penerapan (implementasi) ketentuan a quo
“seolah-olah” mengesampingkan atau mengalahkan calon anggota DPD
yang berasal dari kelompok masyarakat yang diwakili oleh Pemohon III,
hal tersebut tidak terkait dengan konstitusionalitas keberlakuan ketentuan
a quo, karena pada dasarnya rakyat pemilihlah (voter) yang menentukan
siapa yang dianggap layak untuk mewakili daerahnya menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu terhadap Pemohon III
yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk
“badan hukum privat”, dan aktivitasnya berkaitan dengan pemilihan umum
(Pemilu), utamanya terhadap pembaharuan pemilihan umum (electoral
reform) demi terselenggaranya pemilu yang demokratis, langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, yang berpendapat bahwa ketentuan a quo
dapat mencederai dan mengganggu bagi terlaksananya jaminan
keterwakilan setiap daerah provinsi dalam pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah tidak sependapat.

Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon III tersebut di atas, tidak jelas


dan tidak konkrit mengkonstruksikan mengenai hak dan/kewenangan
mana yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
150

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena ketentuan a quo tidak terkait
dengan apakah penyelenggaraan pemilihan umum tersebut dilaksanakan
dengan demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau
tidak, dan hanya mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat
mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dengan perkataan lain Pemohon III tidak memenuhi kualifikasi


sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh
berlakunya suatu undang-undang.

4) Terhadap Pemohon IV, yang menyatakan diri sebagai perseorangan yang


tinggal di provinsi tertentu, pertanyaannya adalah apakah Pemohon
sebagai pihak yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah asalnya masing-masing?,
pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pemohon IV secara faktual
maupun potensial terkurangi atau setidak-tidaknya terhalang-halangi
haknya sebagai warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri sebagai
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?, menurut Pemerintah
Pemohon IV bukanlah pihak yang telah ditolak, dikurangi maupun
dihalang-halangi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), justru ketentuan a quo menurut Pemerintah
telah memberikan kesempatan/keleluasaan kepada setiap orang tanpa
kecuali untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), hal ini sejalan dengan amanat/kehendak ketentuan Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat bahwa adanya


syarat-syarat bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
adalah menjadi kewenangan pembuat undang-undang (Dewan Perwakilan
151

Rakyat dan Presiden), dan karenanya tidak terkait sama sekali terhadap
kedudukan dan kepentingan para Pemohon sebagai salah satu syarat
untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang (constitutional
review) a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Sehingga menurut Pemerintah dalil-dalil yang dikemukakan oleh para


Pemohon bahwa telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional telah nyata-nyata tidak terjadi baik secara faktual maupun
potensial. Juga menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak terkait
dan/atau berhubungan dengan konstitusionalitas keberlakuan materi
muatan suatu undang-undang, karena apa yang didalilkan oleh para
Pemohon normanya tidak tercantum (tidak tertulis) dalam ketentuan Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan perkataan lain
dalil keberatan Para Pemohon hanya dalam “dunia angan-angan belaka”.
Selain itu ketentuan a quo berkaitan erat dengan politik hukum maupun
pilihan hukum/kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang.

Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada para Pemohon melalui


Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan
membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon
sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah
timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
terdahulu.
152

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah memohon agar


Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah
tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL


12 DAN PASAL 67 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH.

Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan atas permohonan pengujian


ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berikut
disampaikan:

Matrik perbandingan syarat-syarat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah (DPD) menurut Undang-Undang 12 Tahun 2003 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sebagai berikut:

Persyaratan menjadi anggota


Persyaratan menjadi angota DPD
DPD menurut UU No. 12 Tahun
menurut UU No. 10 Tahun 2008
2003
Pasal 60 Pasal 12
Calon anggota DPR, DPD, DPRD Persyaratan sebagaimana dimaksud
provinsi, dan DPRD kabupaten/ dalam Pasal 11 ayat (2):
kota harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik a. Warga Negara Indonesia yang
Indonesia yang berumur 21 telah berumur 21 (dua puluh satu)
(dua puluh satu) tahun atau tahun atau lebih;
lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah
c. berdomisili di wilayah Negara Negara Kesatuan Republik
Kesatuan Republik Indonesia; Indonesia;
153

d. cakap berbicara, membaca, d. cakap berbicara, membaca, dan


dan menulis dalam bahasa menulis dalam bahasaIndonesia;
Indonesia; e. berpendidikan paling rendah
e. berpendidikan serendah- tamat Sekolah Menengah Atas
rendahnya SLTA atau (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
sederajat; Sekolah Menengah Kejuruan
f. setia kepada Pancasila (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
sebagai dasar negara, (MAK), atau bentuk lainyang
Undang-Undang Dasar sederajat;
Negara Republik Indonesia f. setia kepada Pancasila sebagai
Tahun 1945, dan cita-cita dasar negara, Undang-Undang
Proklamasi 17 Agustus 1945; Dasar Negara Republik Indonesia
g. bukan bekas anggota Tahun 1945, dan cita-cita
organisasi terlarang Partai Proklamasi 17 Agustus 1945;
Komunis Indonesia, termasuk g. tidak pernah dijatuhi pidana
organisasi massanya, atau penjara berdasarkan putusan
bukan orang yang terlibat pengadilan yang telah mempunyai
langsung ataupun tak kekuatan hukum tetap karena
langsung dalam G30S/PKI, melakukan tindak pidana yang
atau organisasi terlarang diancam dengan pidana penjara 5
lainnya; (lima) tahun atau lebih
h. tidak sedang dicabut hak h. sehat jasmani dan rohani;
pilihnya berdasarkan putusan i. terdaftar sebagai pemilih;
pengadilan yang telah j. bersedia bekerja penuh waktu;
mempunyai kekuatan hukum k. mengundurkan diri sebagai
tetap; pegawai negeri sipil,
i. tidak sedang menjalani pidana anggotaTentara Nasional
penjara berdasarkan putusan Indonesia, anggota Kepolisian
pengadilan yang telah Negara Republik Indonesia,
mempunyai kekuatan hukum pengurus pada badan usaha milik
tetap karena melakukan tindak negara dan/atau badan usaha
pidana yang diancam dengan milik daerah, serta badan lain
pidana penjara 5 (lima) tahun yang anggarannya bersumber dari
atau lebih; keuangan negara,yang
j. sehat jasmani dan rohani dinyatakan dengan surat
berdasarkan hasil pengunduran diri yang tidak dapat
pemeriksaan kesehatan dari ditarik kembali;
dokter yang berkompeten; dan l. bersedia untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik,
k. terdaftar sebagai pemilih.
advokat/pengacara, notaris,
pejabat pembuat akta tanah
Pasal 63
(PPAT), dan tidak melakukan
Calon anggota DPD selain harus
pekerjaan penyedia barang dan
memenuhi syarat calon
jasa yang berhubungan dengan
sebagaimana dimaksud dalam
keuangan negara serta pekerjaan
Pasal 60, juga harus memenuhi
lain yang dapat menimbulkan
syarat:
konflik kepentingan dengan tugas,
a. berdomisili di provinsi yang
wewenang, dan hak sebagai
bersangkutan sekurang-
anggota DPD sesuai peraturan
kurangnya 3 (tiga) tahun
perundang-undangan;
secara berturut-turut yang
m. bersedia untuk tidak merangkap
dihitung sampai dengan
154

tanggal pengajuan calon jabatan sebagai pejabat negara


atau pernah berdomisili lainnya, pengurus pada badan
selama 10 (sepuluh) tahun usaha milik negara, dan badan
sejak berusia 17 (tujuh usaha milik daerah, serta badan
belas) tahun di provinsi lain yang anggarannya bersumber
yang bersangkutan; dari keuangan negara;
b. tidak menjadi pengurus n. mencalonkan hanya di 1 (satu)
partai politik sekurang- lembaga perwakilan;
kurangnya 4 (empat) tahun o. mencalonkan hanya di 1 (satu)
yang dihitung sampai daerah pemilihan; dan
dengan tanggal pengajuan p. mendapat dukungan minimal dari
calon. pemilih dari daerah pemilihan
yang bersangkutan.
Pasal 66
Pengajuan calon anggota DPD Pasal 67
dilakukan dengan ketentuan: (1) Perseorangan yang memenuhi
a. calon mendaftarkan diri persyaratan sebagaimana
kepada KPU melalui KPU dimaksud dalam Pasal 12 dan
Provinsi dengan menyebutkan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri
provinsi yang diwakilinya; sebagai bakal calon anggota DPD
b. calon menyerahkan kepada KPU melalui KPU provinsi.
persyaratan sebagaimana (2) Kelengkapan administrasi bakal
dimaksud dalam Pasal 60, calon anggota DPD sebagaimana
Pasal 63, dan Pasal 64 dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
kepada KPU yang batas dengan:
waktunya ditetapkan oleh a. kartu tanda penduduk Warga
KPU. Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi
ijazah, STTB, syahadah,
sertifikat, atau surat keterangan
lain yang dilegalisasi oleh
satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan
kepolisian tentang tidak
tersangkut perkara pidana dari
Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan
sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar
sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang
kesediaan untuk bekerja penuh
waktu yang ditandatangani di
atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan
untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, dan
pekerjaan penyedia barang dan
155

jasa yang berhubungan dengan


keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD yang
ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang
tidak dapat ditarik kembali
sebagai pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional
Indonesia, atau anggota
Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik
daerah, pengurus pada badan
lain yang anggarannya
bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang
kesediaan hanya mencalonkan
untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani
di atas kertas bermeterai cukup.

Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan sebagai berikut:

Pasal 22C ayat (1) berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum”.

Pasal 22E ayat (4) berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”.

Karena menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal


sebagai berikut:

1) Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
156

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah, merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam
undang-undang a quo, dan karenanya dapat mengakibatkan undang-
undang a quo menjadi cacat.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah menegasikan keberadaan
konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi
terkait [Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945] dan bersifat non-Parpol [asal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945].

3) Dengan ketiadaan syarat domisili dan syarat non-Parpol telah


menimbulkan penolakan dan reaksi keras dari seantero rakyat Indonesia,
seperti tercermin dalam “petisi tolak Parpol Masuk Kamar DPD”.

Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah


dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

A. TENTANG PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UNDANG-


UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA
DPR, DPD DAN DPRD

1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD, tidak tercantum syarat mengenai domisili dalam
pencalonan anggota DPD. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan anggapan para Pemohon yang berpandangan bahwa
ketiadaan syarat mengenai domisili merupakan penghilangan
norma konstitusi. Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum” sesungguhnya dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi.
Pertama, bahwa dalam pemilihan umum yang diatur dalam suatu
undang-undang ditetapkan “daerah pemilihan” untuk pemilihan umum
anggota DPD adalah provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
157

tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, seperti halnya Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan
untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak
menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD yang dipilih dari suatu
daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada
daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun pada RUU dari
Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili hanyalah merupakan
salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain, yaitu sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota DPD. Kedua
penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil pesetujuan
bersama antara DPR dan Pemerintah, dan karenanya tidak
bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat ketentuan tentang syarat
non-Parpol dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon
yang berpandangan bahwa ketiadaan syarat non-parpol merupakan
penghilangan norma konstitusi. Hal tersebut didasarkan pemikiran
bahwa Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan” tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan
bahwa warga negara yang berasal dari partai politik (Parpol) tidak
boleh menjadi calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut
sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan yang non-
Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan juga tidak mengurangi
ruang dan kesempatan mereka untuk mendapatkan dukungan dari
penduduk/pemilih.
158

B. TENTANG KETIADAAN SYARAT DOMISILI

1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain.
Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang
berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan
dengan Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengalami kerugian yang potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, sebab
Pasal 22C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dapat
ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi. Pertama, bahwa dalam
pemilihan umum yang diatur dalam suatu undang-undang ditetapkan
“daerah pemilihan” untuk pemilihan umum anggota DPD adalah
provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, seperti halnya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai
daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut tidak menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD
yang dipilih dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat
syarat domisili pada daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan.
Pengaturan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun
pada RUU dari Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili
hanyalah merupakan salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain,
yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota
DPD. Kedua penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil
pesetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah, dan karenanya
tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
159

2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain.
Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang
berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan
dengan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya DPD
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, sebab Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat ditafsirkan ke
dalam beberapa dimensi. Pertama, elaborasi dan implementasi
kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diamanatkan Pasal 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan wilayah Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk), bukan wilayahnya suatu
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Kedua, sepanjang suatu
UU Susduk cukup mengatur elaborasi dan implementasi Pasal 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
meskipun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat
syarat domisili, maka kewenangan konstitusional DPD sebagai suatu
lembaga negara tidak dirugikan atau setidak-tidaknya tidak
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008.

3. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13,
permohonan para Pemohon halaman 21), dapat dipastikan calon
tersebut tidak mengenal daerah pemilihan tersebut. Karena
menurut Pemerintah, Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini
bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon
seperti ini telah mengabaikan dan bahkan dapat dikatakan mencederai
hak konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para
pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu
160

dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama


menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih.
Semangat kedaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh
lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluas-
luasnya bagi pemilih untuk menentukan pilihannya kepada seseorang
warga negara republik Indonesia yang diberi mandat untuk
menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian
terhadap seorang anggota DPD apakah mengenal atau tidak
mengenal daerah tersebut selain ditentukan oleh berbagai persyaratan
dalam undang-undang juga harus diserahkan kepada pilihan para
pemilih. Ketiga, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan
semangat kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13,
permohonan para Pemohon halaman 21) dapat dipastikan anggota
DPD yang dipilih diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah. Karena menurut Pemerintah,
Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan
hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon seperti ini telah
mengabaikan dan bahkan dapat dikatakan mencederai hak
konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para
pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu
dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama
menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih.
Semangat kadaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh
lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluas-
luasnya bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada seseorang
warga negara republik Indonesia yang diberi mandat untuk
161

menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian atas
seorang anggota DPD apakah kapabilitasnya dalam memperjuangkan
aspirasi daerah dan kepentingan daerah diragukan atau tidak
diragukan selain ditentukan oleh berbagai persyaratan dalam undang-
undang juga harus diserahkan kepada pilihan para pemilih. Kedua,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan semangat
kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Pemerintah berpendapat bahwa harus dibedakan antara (1) fenomena


anggota DPD yang tidak memahami daerahnya masing-masing
atau diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan daerah dengan (2) fenomena DPD sebagai
lembaga negara yang tidak berfungsi optimal dalam menjalankan
fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.
Karena dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, fungsi
DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
pengambilan keputusan politik di tingkat pusat harus lebih banyak
ditentukan oleh kapabilitas DPD secara kumulatif sebagai lembaga
negara dalam merumuskan seluruh agenda prioritas aspirasi daerah
secara keseluruhan yang akan diperjuangkan dalam pengambilan
politik di tingkat pusat. Frasa “memahami daerahnya masing-masing”
dan “kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah” terkait dengan hak dan kewenangan konstitusional DPD
adalah “memahami daerah” dan “kapabilitas memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan daerah” secara keseluruhan dan kumulatif oleh
DPD sebagai lembaga negara, bukan pemahaman atau kapabilitas
orang per orang anggota DPD. Kendatipun “pemahaman dan
kapabilitas orang per orang anggota DPD” juga ada kaitannya dengan
“pemahaman dan kapabilitas DPD sebagai suatu lembaga negara”,
tetapi sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
162

Tahun 1945 penilaian “pemahaman dan kapabilitas orang per orang


anggota DPD” tersebut diserahkan kepada kehendak dan merupakan
daulat pemilih.

C. TENTANG KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL

1. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu
akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada
kepentingan daerah secara keseluruhan. Karena menurut Pemerintah,
Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan
hipotetik. Kedua, pada saat mendaftarkan diri, calon anggota DPD,
baik yang mempunyai latar belakang partai politik maupun yang sama
sekali tidak mempunyai latar belakang partai politik, bertindak sebagai
perseorangan. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah
mengatur tentang syarat non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah
satu alternatif penafsiran. Masih ada altenatif penafsiran yang lain,
yaitu sebagaimana telah ditetapkan bersama antara Pemerintah dan
DPR sebagai politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik menegaskan tujuan umum partai politik, adalah
(a) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (b) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI,
(c) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d)
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila
seseorang yang memiliki latar belakang partai politik mengajukan diri
secara perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka
anggota DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama
dengan anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai
lembaga negara secara taat asas dengan tujuan umum partai politik
163

tersebut. Tentunya yang dimaksud dengan kepentingan daerah secara


keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya huruf 14 halaman 23
adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai
politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi
dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti
ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi
calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa
Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa
warga Negara dari Parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD.
Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon
perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan
tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk
mendapatkan dukungan dari penduduk/pemilih. Ketiga, bahwa
persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon
tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung,
maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang
non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan.
Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol
dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan
jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat
spekulatif. Pendapat para Pemohon bahwa persaingan dalam Pemilu
akan berlangsung tidak adil dan akan merugikan para Pemohon
164

merupakan pendapat yang hipotetik dan spekulatif, karena justru para


Pemohon secara teoritis seharusnya lebih dikenal oleh rakyat pemilih
di provinsi yang diwakilinya, mengingat selama 4 (empat) tahun yang
bersangkutan memiliki peluang yang lebih besar untuk berinteraksi
dengan rakyat pemilih di provinsi tersebut.

3. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi
dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti
ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi
calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa
Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa
warga Negara dari parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD.
Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon
perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan
tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk
mendapatkan dukungan dari penduduk/pemilih. Ketiga, bahwa
persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon
tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung,
maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang
non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan.
Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol
dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan
jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat
spekulatif.

4. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


berpandangan bahwa “ketiadaan syarat domisili” dan “ketiadaan
syarat non-parpol” dalam pemilihan anggota DPD akan
menyebabkan hak-hak konstitusional para Pemohon dirugikan dalam
165

ukuran Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pemerintah berpendapat bahwa justru dengan merujuk pada Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 inilah, maka setiap orang warga negara Indonesia, tanpa
membeda-bedakan domisili dan latar belakang politiknya, berhak untuk
menjadi calon anggota DPD. Perlakuan khusus bagi warga daerah
dalam arti warga Negara yang berdomisili di provinsi untuk mempunyai
hak istimewa sebagai calon anggota DPD dari provinsi tersebut malah
akan secara sengaja mendiskriminasi warga negara Indonesia lainnya.

5. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu
akan lebih mengutamakan kepentingan Parpol daripada aspirasi dan
kepentingan masyarakat hukum adat. Pertama, pandangan para
Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pada saat
mendaftarkan diri, calon anggota DPD, baik yang mempunyai latar
belakang partai politik maupun yang sama sekali tidak mempunyai
latar belakang partai politik, bertindak sebagai perseorangan. Hal ini
tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah mengatur tentang syarat
non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah satu alternatif penafsiran.
Masih ada altenatif penafsiran yang lain, yaitu sebagaimana telah
ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai politik hukum
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketiga, Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
menegaskan tujuan umum partai politik, adalah (a) mewujudkan cita-
cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, (b) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, (c)
166

mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan


menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d) mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila seseorang yang
memiliki latar belakang partai politik mengajukan diri secara
perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka anggota
DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama dengan
anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai lembaga
negara secara taat asas dengan tujuan umum partai politik tersebut.
Tentunya yang dimaksud dengan kepentingan daerah secara
keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya nomor 30 halaman 28
adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai
politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan,


dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan
kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan
demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
Pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersama-
sama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR)
berkehendak untuk tumbuh dan berkembangnya kesadaran politik
masyarakat, berlangsungnya pemilihan umum sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta terlaksananya program
pembaharuan Pemilu sebagai salah satu program strategis
pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional. Sejalan dengan kehendak tersebut, melalui
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga diharapkan terwujudnya
sistem ketatanegaraan dengan ciri antara lain terciptanya lembaga
167

Negara melalui proses Pemilu yang bersifat nasional dan tidak


diskriminatif dalam segala bentuknya terhadap warga negara
Indonesia.

7. Pemerintah berpendapat bahwa perwujudan DPD sebagai lembaga


yang mampu merepresentasikan kepentingan publik, khususnya
aspirasi daerah, sehingga dapat meningkatkan kualitas produk
legislasi, lebih tepat menjadi substansi pengaturan dalam suatu UU
Susduk, dan bukan muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, karena hal ini terkait
dengan pengaturan tentang fungsi, tugas, dan wewenang DPD, serta
hak dan kewajiban anggota DPD.

8. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan,


dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan
kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan
demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
Pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersama-
sama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR)
berkehendak untuk mendorong terbangunnya parlemen yang
fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi
di Indonesia. Pemerintah juga berkepentingan untuk mengembangkan
kepedulian masyarakat atas perlu dan pentingnya memiliki parlemen
yang fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi, mendorong
parlemen senantiasa mau dan mampu memperbaharui diri sehingga
fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi, serta untuk memperoleh
jaminan saluran penyampaian aspirasi daerah dan jaminan pilihan
kebijakan bagi kepentingan daerah yang tidak terganggu dan
keterwakilan setiap daerah provinsi.

9. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang


mengatakan bahwa kepentingan daerah dan keterwakilan setiap
daerah provinsi telah tercederai dengan berlakunya UU Pemilu,
khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai tempat tinggal
168

calon anggota DPD dan tidak adanya ketentuan pembatasan bagi


pengurus Parpol untuk dicalonkan menjadi anggota DPD.

Selain hal-hal tersebut di atas, Pemerintah juga berpendapat bahwa jikalau


pun anggapan para Pemohon tersebut benar adanya, dan permohonan
pengujian undang-undang a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
dapat menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum
(onrechtzekerheid), karena hal-hal sebagai berikut:

1. Terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam hal pengaturan


persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD);
2. Dengan dibatalkannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
maka dapat dipastikan proses penyelenggaraan Pemilihan Umum akan
kehilangan salah satu objectumlitis-nya;
3. Dapat mengganggu pelaksanaan proses penyelenggaraan Pemilihan
Umum secara keseluruhan, khususnya untuk pemilihan anggota DPD;
4. Dapat dijadikan pintu masuk (entry point) pihak-pihak tertentu untuk
mengajukan keberatan-keberatan atau gugatan-gugatan terhadap hasil
penyelenggaraan pemilihan umum.

Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan


Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah


memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
169

Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum


(legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau


setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun


2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mempunyai kekuatan hukum
dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

[2.6] Menimbang bahwa untuk menguatkan keteranganya, Pemerintah telah


mengajukan 1 orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah, sebagai
berikut:

Keterangan Ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, SH.

I. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Domisili

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk dalam rangka menata struktur


parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD.
Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan
rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh. DPR diharapkan dapat menjadi
representasi politik dan DPD diharapkan dapat mencerminkan representasi
170

wilayah/regional. Arti representasi politik adalah bahwa anggota DPR dipilih melalui
pintu partai politik, sedangkan arti representasi wilayah adalah bahwa anggota DPD
dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui partai politik dan merupakan wakil
dari setiap provinsi. Berdasarkan filosofi tersebut maka DPD sebagai perwakilan
daerah maka anggota DPD bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah dan
arti dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil
di DPD. Dalam konteks ini provinsi adalah merupakan daerah pemilihan (dapil).
Seorang anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara
nasional, bukan hanya menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri. Medan
perjuangan anggota DPD adalah memperjuangkan kepentingan daerah melalui
kebijakan nasional. Kepentingan daerah yang diperjuangkan haruslah merupakan
pendapat lembaga DPD yang diputuskan melalui mekanisme sesuai dengan Tata
Tertib DPD. Oleh karena itu, dalam konteks ini keberadaan syarat domisili menjadi
tidak relevan karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya tetapi
memperjuangkan daerah-daerah di Indonesia secara kumulatif di dalam kebijakan
nasional. Terkait dengan hal tersebut menarik untuk dicermati pergeseran cara
berpikir anggota-anggota DPD yang tercermin dalam Kode Etik DPD. Dalam
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1/DPD/2008
tentang Perubahan Atas keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 1/DPD/2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia khususnya dalam Pasal 3 dan Pasal 6.

Dalam Pasal 3 angka 2 Kode Etik DPD RI ditegaskan bahwa setiap anggota
mematuhi dan berperilaku mengabdi kepada bangsa dan negara sesuai dengan
Pancasila. Hal ini dapat dimaknai bahwa cara berpikir, cara pandang dan etos
kerja anggota DPD adalah bersemangatkan pada nasionalisme dan kebangsaan.
Syarat domisili menjadi tidak sejalan dengan bunyi isi Pasal 6 Kode Etik DPD,
yang berbunyi:
Pasal 6
Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6 ini diubah menjadi empat ayat yaitu:
(1) Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) Memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;
171

(3) Menaati Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI;
(4) Menjaga Etika dan Norma adat daerah yang diwakilinya.

Perubahan mendasar dengan dihilangkan kata “nya” dalam Pasal 6 ayat (1)
menunjukkan bahwa DPD telah berwawasan nasional dalam memperjuangkan
daerah dan tidak bersifat local centris yang mengedepankan syarat domisili.
Dengan perubahan cara berpikir, cara pandang, dan etos kerja sebagaimana
tertuang dalam kode etik DPD tersebut, maka DPD telah bersungguh-sungguh
menjaga UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Semangat dalam Kode Etik DPD
adalah semangat untuk menghilangkan sekat-sekat kedaerahan dan akan
memupuk NKRI. Dengan tiadanya syarat domisili ini justru akan memperkukuh
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.

Terhadap syarat domisili ini, ahli akan membandingkan dengan persyaratan


menjadi Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 yang berbunyi:

Pasal 58
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puiuh) tahun bagi calon gubernur/wakil
gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon
bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
f. tidak pemah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
172

h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;


i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
I. dihapus;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai
NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat
pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama
2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
q. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang masih menduduki jabatannya.

Dalam persyaratan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah tidak ada


persyaratan domisili. Pasal 58 huruf h menyaratkan mengenal daerahnya dan
dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Ahli ingin mengkomparasikan hal ini karena
terdapat korelasi yang erat antara tugas anggota DPD dan tugas kepala daerah/
wakil kepala daerah yaitu sama-sama memperjuangkan kepentingan daerah,
walaupun melalui sarana yang berbeda. Perbedaannya adalah:

a. kepala daerah/wakil kepala daerah memperjuangkan daerah melalui kebijakan


daerah yang berupa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;
sedangkan
b. anggota DPD memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional
yang berupa UU, PP, Perpres.

Komparasi ini menunjukkan secara jelas bahwa kepala daerah/wakil kepala


daerah yang memperjuangkan kepentingan daerahnya melalui kebijakan daerah
dalam lingkup pemerintahan daerah (lingkup lokal) tidak dikenakan syarat domisili.
Oleh karena itu, menjadi sangat tidak relevan bahwa anggota DPD yang
memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional (lingkup nasional)
harus dikenakan syarat domisili dalam persyaratan pencalonannya.
173

II. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Non-Parpol

Partai politik dibentuk berawal dari adanya asumsi bahwa dengan adanya
wadah organisasi mereka bisa menghimpun orang-orang yang mempunyai pikiran
dan kepentingan yang sama sehingga pikiran dan kepentingan tersebut bisa
dikonsolidasikan dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dalam pembuatan
dan pelaksanaan keputusan. Profesor Dr. Miriam Budiardjo berpendapat, bahwa
partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk
melaksanakan programnya. Senada dengan Miriam, Carl Frederich menyatakan,
bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggotanya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil.

Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam Pasal 1


ayat (1) disebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dari tiga pengertian di atas, terdapat hal-hal yang universal dalam partai
politik yaitu:
1. adanya sekelompok orang;
2. menghimpun dirinya dalam organisasi;
3. mempunyai kepentingan yang sama/serupa.

Partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu harus berbadan hukum (Pasal 8
UU Pemilu, Pasal 3 UU Parpol).

Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang berbunyi:

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. *** )
174

dapat diberikan makna bahwa partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD serta
perseorangan sebagai peserta Pemilu DPD adalah dalam kedudukan sebagai
subjek hukum yaitu pembawa hak dan kewajiban. Kata “perseorangan” dalam
Pasal 22E ayat (4) adalah subjek hukum yang berupa manusia pribadi/perorangan
(natuurlijke persoon). Sedangkan subjek hukum dalam Pasal 22E ayat (3) adalah
kumpulan manusia/perorangan (Badan Hukum/rechtspersoon).

Setiap subjek hukum mempunyai hak, kewajiban, serta dipandang setara


oleh hukum berdasarkan asas Equality Before The Law. Dengan demikian, setiap
orang yang memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum, maka berdasarkan prinsip
persamaan dan keadilan diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk
mengikuti pemilihan umum anggota DPD. Oleh karena itu, ketiadaan syarat non
parpol menjadi tidak relevan untuk dimasukan ke dalam persyaratan mengikuti
Pemilu DPD. Penormaan syarat non Parpol justru mengurangi esensi dari
semangat kata “perorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari kalangan
manapun. Dengan tiadanya syarat non Parpol ini justru memberikan ruang-ruang
yang Iebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh variasi calon anggota DPD
yang Iebih banyak. Masyarakat akan mendapatkan pilihan calon-calon anggota
DPD yang Iebih banyak. Sudah saatnya kita memberikan pilihan yang bervariasi
kepada masyarakat dan biarkan masyarakat yang menentukan pilihannya. Hal ini
juga membuka ruang-ruang kontestasi bagi para calon untuk berkampanye dan
menjual program-programnya untuk meyakinkan masyarakat agar memilih dirinya.
Biarkan masyarakat/rakyat berdaulat dalam memilih wakilnya di DPD, dan sistem
dalam UU Pemilu ini telah memberikan akses bagi masyarakat untuk memilih
wakilnya di DPD dengan varian yang Iebih banyak.

III. Analisis Terhadap Permohonan Pengujian Ketiadaan Norma

Dalam Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara undang-undang


dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang dalam arti
materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum. Hal inilah
yang biasa disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan undang-
undang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang
berlaku dan bersifat umum. Inilah yang biasa disebut dengan undang-undang.
175

Unsur-unsur norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan


mengandung sifat-sifat:

1. norma perintah (gebod), adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang


biasanya mengharuskan subjek hukum untuk melakukan.
2. norma larangan (verbod), adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, atau
dilarang melakukan sesuatu.
3. norma pembebasan (dispensasi), adalah pengecualian dari perintah. Hal ini
adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum
diharuskan.
4. norma izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk sesuatu yang
sebenarnya dilarang. Jadi izin adalah legalisasi dari perbuatan yang seharusnya
dilarang.
5. norma kebolehan adalah pilihan yang bersifat fakultatif, boleh dilaksanakan oleh
subjek hukum, boleh juga tidak.

Di dalam pengujian peraturan perundang-undangan, di dalam sistem hukum


Indonesia dikenal adanya concrete norm review yang menguji beschikking/
penetapan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan abstract norm
review/abstract judicial review atau yang dikenal dengan pengujian undang-undang
dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan menguji
undang-undang ini berarti mengoreksi konstitusionalitas undang-undang, yaitu
apakah materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut yang berupa
perintah, larangan, dispensasi, ijin, maupun kebolehan tidak bertentangan dengan
UUD. Dengan kewenangan mengoreksi dan membatalkan ketentuan undang-
undang ini maka sifat peradilan konstitusi menurut Hans Kelsen lebih berkaitan
dengan pembuatan hukum. Argumentasi yang diajukan oleh Kelsen adalah bahwa
dengan pembatalan norma dalam undang-undang tersebut maka Mahkamah
Konstitusi telah membentuk norma baru dengan dihapuskannya norma yang baru
tersebut. Fungsi pembentukan norma yang demikian ini disebut dengan
pembentukan norma yang negatif (negative legislation). Dalam sistem Hukum
Indonesia, kewenangan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR dan
Pemerintah (positive legislation).
176

Berkenaan dengan ketiadaan norma dalam UU Pemilu yaitu tentang


ketiadaan syarat non Parpol dan syarat domisili, maka apabila belum berada dalam
norma undang-undang maka tidak dapat dimintakan pengujian karena objeknya
belum terbentuk. Berdasarkan uraian di atas, maka menurut ahli, pengujian
terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan
apabila sudah menjadi norma hukum yang bersifat perintah, larangan, izin,
dispensasi, maupun kebolehan.

[2.7] Menimbang bahwa Pemerintah dan para Pemohon telah menyerahkan


kesimpulan tertulis yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 19 Juni 2008 dan tanggal 20 Juni 2008, pada pokoknya tetap pada dalil-
dalilnya masing-masing, yang selengkapnya terlampir dalam berkas perkara;

[2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala


sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai


pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836,
selanjutnya disebut UU 10/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, terlebih


dahulu akan dipertimbangkan mengenai:
a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
177

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah
satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian UU


10/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan dimaksud;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) beserta Penjelasannya


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama)
warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945


harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)


UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
178

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-


III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat:
a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan
aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran
yang wajar dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
e. apabila permohonan dikabulkan dipastikan kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo para Pemohon adalah:


a. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam kedudukan sebagai lembaga negara,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;
b. Perorangan Anggota DPD sebanyak 33 orang yang mendalilkan sebagai
perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon II;
c. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap
pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah, yaitu
Hadar Navis Gumay (Direktur Eksekutif “Cetro”), Dr. Saafroedin Bahar (Ketua
Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat), Sulastio (Ketua Indonesian Parliamentary Center,
disingkat IPC), dan Sebastianus KM Salang (Koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia, disingkat FORMAPPI), selanjutnya disebut
Pemohon III;
d. Perorangan warga negara Indonesia sebanyak 13 orang yang tinggal di
provinsi tertentu (warga daerah), selanjutnya disebut Pemohon IV;
179

[3.8] Menimbang bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon
IV mendalilkan kedudukan hukum (legal standing) mereka dengan menjelaskan
kualifikasinya sebagai Pemohon beserta hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 sebagai berikut:

[3.8.1] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon I

a. Pemohon I menyatakan diri sebagai Pemohon lembaga negara sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK;
b. Pemohon I memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 22D
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.

Dari ketentuan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut menurut
Pemohon I dapat disimpulkan bahwa kewenangan konstitusional DPD di
180

bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu dikaitkan


dengan kepentingan dan aspirasi daerah atau dengan kata lain untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan
keputusan politik di tingkat pusat;
c. Menurut Pemohon I, kewenangan konstitusionalnya tersebut secara potensial
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena kedua
pasal tersebut tidak memuat persyaratan domisili dan syarat non-partai politik
bagi calon anggota DPD sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, dengan argumentasi bahwa:
• Ketiadaan syarat domisili bagi calon anggota DPD sebagaimana dimaksud
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyebabkan pemilihan anggota DPD dari
suatu provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain
yang tidak mengenal daerah tersebut dan diragukan kapabilitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Menurut Pemohon I, hal
itu jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I, karena:
(i) anggota-anggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya
masing-masing tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD
sebagai lembaga negara dalam menjalankan fungsinya untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah; (ii) anggota DPD yang
demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang
diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi; dan
(iii) tidak dapat dijamin kecepatan dan kemudahan dalam pengambilan
keputusan terkait suatu daerah dikarenakan kurangnya pemahaman atau
pengenalan atas daerah;
• Ketiadaan syarat non-partai politik bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945, sebab memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan
dimenangkan oleh anggota atau pengurus partai politik. Menurut
Pemohon I, berdasarkan penalaran yang wajar, anggota DPD yang berasal
dari partai politik tentu akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform
partai politik (selanjutnya disingkat Parpol) dari pada kepentingan daerah.
Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat sentralistik, yakni
181

pengambilan keputusan masih tergantung pimpinan pusat Parpol. Hal yang


demikian jelas akan merugikan kewenangan konstitusional DPD sebagai
lembaga negara;

[3.8.2] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon II

a. Pemohon II mendalilkan bahwa para anggota DPD yang mengajukan


permohonan bertindak sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b. Pemohon II mendalilkan mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Anggota Dewan perwakilan
Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Menurut
Pemohon II, secara implisit Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak
konstitusional kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi
tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan;
c. Menurut Pemohon II, hak konstitusionalnya tersebut di atas dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena:
(i) Pasal a quo tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus
berdomisili di provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri.
Sehingga, dengan ketiadaan syarat domisili akan menyebabkan bahwa
pemilihan calon anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-orang
yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal demikian, menurut
Pemohon II, jelas merugikan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan;
(ii) Pasal a quo tidak mensyaratkan non-Parpol bagi bakal calon anggota DPD,
padahal menurut Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, peserta Pemilu anggota
DPD adalah perseorangan, yang berarti bahwa Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 tersebut memberikan hak konstitusional kepada warga negara
Indonesia yang bukan anggota atau pengurus Parpol untuk dipilih menjadi
anggota DPD. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat non-Parpol tersebut
membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon
perseorangan dalam pemilihan anggota DPD, sehingga berpotensi
merugikan hak konstitusional Pemohon II, sebab persaingan menjadi tidak
adil, mengingat bahwa calon dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol
yang sudah terbentuk hingga kecamatan dan desa-desa, sementara calon
perseorangan hanya mengandalkan jaringan personal;
182

d. Pemohon II juga mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya berupa jaminan


Pemilu yang adil yang diberikan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dirugikan oleh ketiadaan
syarat non-Parpol. Demikian juga hak atas jaminan kepastian hukum yang adil
yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” potensial dirugikan oleh
ketiadaan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD;
e. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat domisili juga merugikan hak
konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya
sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Karena, menurut
Pemohon II, bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota
DPD yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain,
sehingga terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak
terwakili dalam lembaga DPD jika anggota DPD berasal dari provinsi lain;

[3.8.3] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon III

1. Pemohon III mendalilkan diri bertindak selaku Pemohon perorangan warga


negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta
penjelasannya;
2. Menurut Pemohon III, mereka adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas
sangat aktif dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja
parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran
aspirasi daerah, yaitu masing-masing sebagai berikut:
i. Hadar Navis Gumay (nomor 1) adalah Direktur Eksekutif Cetro, mempunyai
kepentingan terhadap upaya pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang berkedaulatan rakyat;
ii. Dr. Saafroedin Bahar (nomor 2) Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, berkepentingan
183

terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari


aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang
tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang
dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
terlindungi;
iii. Sulastio (nomor 3) adalah Ketua IPC yang berkeepntingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang mampu
merepresentasikan kepentingan publik dengan baik;
iv. Sebastianus KM Salang (nomor 4) adalah koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) yang berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan
efektif;

[3.8.4] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon IV

1. Pemohon IV adalah warga daerah yang mendalilkan sebagai Pemohon


perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK beserta Penjelasannya;
2. Menurut Pemohon IV, sebagai warga daerah yang tinggal di provinsi masing-
masing dan bukan anggota Parpol, menganggap pemberlakuan Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon
IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (4), dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sama dengan yang
dikemukakan oleh Pemohon II;

[3.9] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon I, Pemohon II,


Pemohon III, dan Pemohon IV mengenai kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dari dalil-dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat persyaratan domisili dan non-Parpol
bagi perorangan yang bermaksud mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam
184

Pemilu. Oleh karena itu, masalah kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon akan dipertimbangkan bersama pokok permohonan.

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang dalam pokok permohonannya, para Pemohon meminta


Mahkamah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
yang tidak memuat syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
dalam Pemilu, karena menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dan non-
Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tersebut bertentangan dengan
UUD 1945, dengan argumentasi sebagai berikut:

a. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD
dipilih dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili). Sedangkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah
perseorangan” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari
perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol). Bahwa selain itu, menurut para
Pemohon, raison d’etre pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas wakil daerah melalui DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain-lain untuk
tidak menjadi calon anggota DPD adalah juga untuk menjaga netralitas (vide
Pasal 12 huruf k dan m UU 10/2008);

b. Bahwa para Pemohon juga membandingkan dengan ketentuan Pasal 63 UU


Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (selanjutnya disebut UU 12/2003, Bukti P-2) dan Naskah Akademik
serta Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang dipersiapkan oleh Pemerintah (Bukti
P-3) yang mencantumkan syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti
pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD. Namun dalam Pasal 12
dan Pasal 67 UU 10/2008 justru syarat domisili dan non-Parpol tersebut
ditiadakan (Bukti P-1);

c. Bahwa menurut para Pemohon, penghilangan syarat domisili dan non-Parpol


yang pada hakikatnya secara implisit merupakan norma konstitusi dilakukan
185

secara sengaja dan dilandasi oleh motif kekuasaan dari kalangan tertentu
(Bukti P-4). Hal demikian berarti telah menegasi keberadaan norma konstitusi
dan menyebabkan UU 10/2008 cacat hukum;

d. Bahwa menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
karena dari frasa “dipilih dari setiap provinsi” mengandung makna atau tafsir
bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Penafsiran demikian dilakukan oleh pembentuk undang-undang UU 12/2003
dan juga dalam Draft RUU Pemilu versi Pemerintah. Ketiadaan syarat domisili
dan non-Parpol tersebut juga bertentangan dengan aspirasi masyarakat
(Bukti P-5);

e. Bahwa menurut para Pemohon, pentingnya syarat domisili bagi calon anggota
DPD juga menjadi pendapat berbagai ahli tata negara Indonesia (Bukti P-6,
P-7, P-8, dan P-9), yang berarti bahwa baik dari segi penafsiran secara
semantik maupun secara kontekstual dengan mengacu gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
bagi calon anggota DPD. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, ketiadaan
syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945;

f. Bahwa menurut para Pemohon, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
dapat ditafsirkan secara sistematis dari ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bahwa
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.” Hal yang demikian menurut para Pemohon tidak
mendiskriminasi warga negara Indonesia yang berasal dari Parpol, karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR dan DPRD. Sehingga adalah
logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai ketentuan
yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga negara
Indonesia yang bukan berasal dari Parpol (baik anggota maupun pengurus)
untuk menjadi anggota DPD;
186

g. Menurut para Pemohon, Pasal 22E UUD 1945 telah cukup adil mengatur
bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan (non-Parpol), sedangkan
anggota DPR dan DPRD dipilih dari Parpol. Norma konstitusi yang demikian
seharusnya juga mendapatkan pengaturan lebih lanjut dalam UU 10/2008,
bukan malahan dihilangkan. Padahal, dalam alinea keempat UU 10/2008 telah
ditegaskan bahwa “... untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah,
sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan
dalam pemilihan umum ...”;

h. Menurut para Pemohon, ketiadaan syarat non-Parpol dalam Pasal 12 dan


Pasal 67 UU 10/2008 merupakan pengingkaran dan/atau pelanggaran
terhadap Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, karena prinsip demokrasi perwakilan di
Indonesia menurut UUD 1945 direpresentasikan oleh DPR yang membawa
kepentingan nasional yang terangkum dari cita-cita masing Parpol dan oleh
DPD yang merupakan representasi perseorangan yang membawa aspirasi
setiap daerah yang diwakilinya dalam kerangka kepentingan nasional;

i. Pandangan demikian, menurut para Pemohon, didukung oleh pendapat para


ahli tata negara Indonesia (Bukti P-8, P-9, P-10, P-11, dan P-12). Bahwa para
Pemohon sepenuhnya menyadari ada pendapat yang menyatakan anggota
DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya tidak dapat
mewakili kepentingan/aspirasi daerah dan bahwa banyak negara demokrasi
yang keanggotaan Senatnya berasal dari Parpol, namun hal itu lebih karena
budaya politik dan konteks sosio kulturalnya berbeda (Bukti P-12C, P-12D, P-
12E);

j. Bahwa para Pemohon menyadari, permohonan pengujian UU 10/2008 ini


adalah mengenai ketiadaan norma dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
yang menyebabkan pasal a quo inkonstitusional, sedangkan dalam praktik
pada umumnya pengujian ditujukan terhadap norma yang dianggap
inkonstitusional. Akan tetapi, menurut para Pemohon, sesungguhnya amanat
UUD 1945 yang berupa kewenangan Mahkamah untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar tidaklah sempit sekedar menguji
adanya norma yang inkonstitusional, melainkan juga menguji ketiadaan norma
187

yang seharusnya ada menurut amanat Undang-Undang Dasar, in casu


ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 yang seharusnya ada menurut amanat Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945;

k. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon mengajukan beberapa


alternatif Petitum sebagai berikut:
(i) Mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 12
dan Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian untuk menghindari kekosongan hukum bagi kelancaran Pemilu
2009, Mahkamah meminta agar Presiden menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menerbitkan Peraturan KPU yang mencantumkan syarat domisili
dan non-Parpol bagi calon anggota DPD; atau
(ii) Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 berlaku conditionally
constitutional, yakni bahwa Pasal 12 huruf (c) UU 10/2008 harus dibaca
bertempat tinggal di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan
calon atau pernah bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17
tahun di provinsi yang bersangkutan, dan Pasal 67 UU 10/2008 harus
dibaca kartu tanda penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang
bersangkutan. Selain itu, Pasal 12 huruf c UU 10/2008 juga harus
ditafsirkan warga negara Republik Indonesia perseorangan yang bukan
anggota atau pengurus Parpol;
(iii) atau bila tidak ditafsirkan demikian, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 (conditionally unconstitutional);

[3.11] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, para Pemohon


telah mengajukan alat-alat bukti tulis (Bukti P-1 sampai dengan P-18) yang telah
disahkan pada sidang tanggal 15 April 2008. Selain itu, para Pemohon juga telah
mengajukan saksi dan ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah,
keterangan mana selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara
dari Putusan ini, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
188

[3.11.1] Keterangan Saksi Para Pemohon, Drs. Progo Nurdjaman

Saksi dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 menerangkan bahwa ketika
menjadi salah seorang wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian menjadi UU 10/2008, mengetahui dan
membenarkan bahwa Draft RUU dari Pemerintah memuat ketentuan tentang
syarat domisili dan bukan pengurus Parpol bagi calon anggota DPD. Saksi
menyatakan syarat domisili dan non-Parpol tidak muncul dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008, namun saksi tidak mengetahui sebabnya, karena saksi
terlanjur berhenti pensiun dan tidak lagi menjadi wakil Pemerintah dalam
pembahasan RUU Pemilu;

[3.11.2] Keterangan Ahli Para Pemohon, Drs. Arbi Sanit

Ahli sebagai pakar ilmu politik dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008
menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
• Ahli meninjau persoalan dasar tuntutan DPD dalam perkara ini dari perspektif
partai politik yang menguasai dan mempengaruhi pembentuk undang-undang,
sehingga menghasilkan pasal-pasal undang-undang yang terkait DPD
dipersoalkan. Menurut ahli, hal itu disebabkan adanya kecenderungan partai-
partai politik saat ini yang bernafsu mendominasi dan memonopoli negara atau
urusan kenegaraan, baik secara vertikal lembaga-lembaga negara yang
bersifat nasional dan daerah, maupun horizontal, lembaga-lembaga negara
yang setara. Monopoli dan dominasi Parpol tersebut menurut ahli bahkan telah
mereduksi sistem pemerintahan presidensil menjadi berkecenderungan ke arah
sistem parlementer;
• Dalam kaitannya dengan parlemen, menurut ahli, sejak Amandemen UUD
1945 sesungguhnya ada dua badan, yaitu DPR dan DPD, tetapi DPD hanya
diberi kekuasaan yang minim, kekuasaan yang tidak sesungguhnya sebagai
dewan perwakilan, melainkan hanya sebagai lembaga yang membantu DPR.
Bahkan, sekarang, melalui UU Pemilu (UU 10/2008), DPD hendak dimasuki
dan dikuasai lagi oleh Parpol melalui pasal-pasal yang kini diuji, sehingga DPR,
dalam hal ini partai-partai politik hendak melakukan sentralisasi kekuasaan,
bukan mau berbagi kekuasaan atas dasar prinsip checks and balances;
• Menurut ahli, akar masalah kesulitan yang dihadapi oleh negara kita saat ini
adalah akibat monopoli Parpol yang menyebabkan sistem presidensil yang
189

digariskan UUD 1945 berubah dalam praktik menjadi sistem perlementer


dikarenakan munculnya sistem multipartai dengan kondisi kepartaian yang
berantakan. Oleh karena itu, demi kecintaan kita kepada partai, sebab
demokrasi tanpa partai itu bukan demokrasi, maka Parpol harus dibenahi,
bukan dari dalam oleh internal partai yang sudah bobrok, melainkan dari luar,
yaitu oleh golongan menengah dan kaum intelektual melalui tekanan-tekanan
politik. Dalam pandangan ahli, saat ini ada tiga institusi yang efektif dapat
memperbaiki Parpol dari luar, yaitu KPK dan BPK untuk mendorong partai
semakin jujur, dan Mahkamah Konstitusi melalui interpretasi dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945;
• Ahli melalui kesimpulan tertulisnya juga menyatakan bahwa UU 10/2008 yang
tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD
yang pada dasarnya merupakan norma UUD adalah melawan UUD 1945,
sebab tidak saja merugikan tokoh-tokoh independen dari masyarakat lokal di
provinsi dan para anggota DPD hasil Pemilu 2004 dengan mengurangi
peluangnya untuk dapat terpilih sebagai calon anggota DPD melalui Pemilu
2009, namun juga telah mendegradasikan institusi DPD. Oleh karena itu, ahli
mengharapkan objektivitas dan netralitas interpretasi yudisiil oleh Mahkamah
Konstitusi dapat menyelamatkan reformasi dari kekeliruan interpretasi legislasi
atas Konstitusi oleh DPR;

[3.11.3] Keterangan Ahli Para Pemohon, Dr. John Pieris, S.H., M.S.

Dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008, ahli memberikan keterangan


yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
• Menurut ahli, secara etimologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
kedua, frasa “dari setiap provinsi” dalam rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD
1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum” menunjukkan tempat atau ruang dan asal,
yaitu tempat berdiam, berteduh, tempat tinggal, dan tempat berdomisili. Atau
dapat dipertegas artinya bertempat tinggal dalam pencalonan anggota DPD
dari provinsi asal, bukan dari provinsi lain. Syarat berdomisili permanen secara
administratif dari daerah yang diwakili ini juga dianut di Amerika Serikat dan
Thailand. Pengertian dipilih dari setiap provinsi mengandung makna dicalonkan
dan dipilih dari provinsi di mana calon berdomisili, suatu hal yang berbeda
190

dengan dipilih di setiap provinsi yang bermakna hanya dipilih di setiap provinsi
namun calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut;
• Menurut ahli, frasa dipilih dari setiap provinsi berdasarkan teori representasi
berarti mewakili wilayah, yang secara substansial hermeneutikal perwakilan
wilayah itu harus diisi atau diwakili oleh orang yang berdomisili di wilayah
tersebut, yang mengenal dan mengetahui secara luas dan mendalam kondisi,
situasi, dan karakter masyarakat dan problema daerahnya.
• Menurut ahli, sifat perwakilan dari anggota DPD adalah rational representation,
yang berarti secara rasional mewakili provinsi di mana yang bersangkutan
berdomisili, dan juga bukan merupakan representasi politik Parpol (political
representation) yang merupakan ranahnya perwakilan di DPR dan DPRD;
• Mengenai frasa “perseorangan” dalam rumusan Pasal 22E ayat (4) dimaksud
sebagai pribadi seseorang atau pribadi yang independen, non-partisan dari
suatu badan termasuk Parpol, PNS, dan anggota TNI/Polri;

[3.11.4] Keterangan Ahli Para Pemohon Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka

Sebagai ahli bahasa, ahli mengemukakan pemahamannya dari segi bahasa


atas rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”, sebagai berikut:
• Kata “dari” merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna
asal, sedangkan kata “setiap” pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna
provinsi masing-masing. Dengan demikian, pemahaman atas Pasal 22C ayat
(1) dari segi bahasa adalah bahwa anggota DPD haruslah dipilih dari calon
yang berasal dan berdomisili dari provinsi yang diwakilinya, agar merupakan
perwakilan dari daerah tersebut;
• Mengenai pemahaman atas rumusan Pasal 22E ayat (4), ahli berpendapat,
bahwa rakyat memilih perseorangan, bukan calon partai, untuk anggota DPD,
karena calon partai tempatnya di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 22E
ayat (3) UUD 1945;

[3.11.5] Keterangan Ahli Para Pemohon Denny Indrayana, S.H, LL.M, Ph.D.

Dalam persidangan tanggal 10 Juni 2008, ahli memberikan keterangan


yang pada pokoknya menyatakan enam hal sebagai berikut:
191

1. Menurut yang ahli pahami dan sesuai dengan maksud asli (original intent)
Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, makna Dewan
Perwakilan Daerah dalam UUD 1945 adalah representasi daerah (regional
representative), maka menjadi aneh kalau representasi daerah tidak tinggal di
daerah yang bersangkutan, hal yang berbeda dengan representasi politik yang
dimiliki oleh DPR dan representasi fungsional yang dimiliki oleh Utusan
Golongan di MPR dulu sebelum Perubahan UUD 1945. Sehingga, bagi calon
anggota DPD memang harus dipersyaratkan berdomisili di provinsi yang
diwakili dan perseorangan yang bukan dari Parpol;

2. Menurut ahli, syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi
calon anggota DPD merupakan maksud asli (original intent) UU 12/2003 yang
sesuai dengan maksud asli Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945;

3. Bahwa pembuatan UU 10/2008 sengaja menghilangkan syarat domisili di


provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi keanggotaan DPD;

4. Bahwa perubahan radikal interpretasi UUD 1945 berupa penghilangan syarat


domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi calon anggota DPD
dalam UU 10/2008 adalah bentuk “improper purposes”;

5. Bahwa ketiadaan syarat domisili provinsi dan syarat non-Parpol bagi


keanggotaan DPD harus dinyatakan tidak sesuai (uncomformity) bukan
bertentangan (in contradiction) dengan UUD 1945, karena UU 10/2008 baru
dapat dikatakan sesuai dengan UUD 1945 apabila memuat norma yang hilang
tersebut;

6. Menurut ahli, ketiadaan norma syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan
non-Parpol (tidak dituliskan secara eksplisit) dalam UU 10/2008 harus dianggap
sebagai norma itu sendiri, sehingga Mahkamah berwenang untuk menyatakan
bahwa ketiadaan norma dimaksud tidak sesuai (uncomformity) dengan UUD
1945;

[3.11.6] Keterangan Ahli Para Pemohon Drs. Thomas Aquino Legowo, M.A.

Ahli menerangkan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:


• Menurut ahli, disahkannya UU 10/2008 merupakan suatu kemajuan, selain
memperbaiki kelemahan yang ada pada undang-undang terdahulu, yaitu UU
12/2003, juga merumuskan beberapa ketentuan baru yang belum pernah
192

diberlakukan pada Pemilu-pemilu sebelumnya, tetapi juga menghilangkan


beberapa ketentuan lama yang ada dalam UU 12/2003. Keputusan menambah
atau menghilangkan merupakan upaya yang dapat untuk memperbarui dan
menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu,
menurut ahli, tidak tertutup kemungkinan bahwa penambahan atau
penghilangan beberapa ketentuan dapat menyimpang atau mengubah secara
maknawi prinsip dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada UUD
1945 yang menjadi landasan bagi perumusan peraturan perundang-undangan.
Pertanyaannya adalah mengapa UU 10/2008 tidak lagi memberlakukan
ketentuan tentang persyaratan domisili dan bukan berasal dari Parpol bagi
calon anggota DPD? Masalah yang selama ini belum pernah dijelaskan secara
resmi;
• Namun, menurut ahli, terlepas dari ada atau tidaknya penjelasan dimaksud,
penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD
terbuka untuk diisi oleh calon-calon terpilih yang tidak berdomisili di daerah
yang diwakilinya dan menjadi pengurus Parpol. Persoalannya adalah apakah
kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat prinsip dan pemikiran dasar
yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen UUD 1945 tahun
1999 – 2001 dan 2002. Jika ditengok kembali proses perdebatan yang
mengantar pembentukan DPD dalam sidang-sidang MPR, dapat ditarik
beberapa catatan yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan
dua persyaratan bagi calon anggota DPD tersebut, yaitu:
i. DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan utusan daerah
untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa.
Jadi, DPD merupakan perwakilan territory, dalam hal ini provinsi, untuk
menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional, maka anggota
DPD diharuskan untuk memberikan konsentrasinya secara penuh sebagai
perwakilan daerah;
ii. DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari DPR yang
merupakan badan perwakilan yang mewakili aspirasi rakyat, sehingga
dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli DPR, baik dalam
ukuran jumlah anggotanya maupun wewenangnya. Argumentasinya adalah
bahwa jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari pada jumlah penduduk,
maka jumlah anggota DPD ditentukan tidak lebih dari sepertiga jumlah
193

anggota DPR, ruang lingkupnya terbatas pada masalah-masalah yang


terkait dengan daerah;
iii. DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang
dipilih melalui pemilihan umum di masing-masing daerah. Prinsip ini
bermakna bahwa anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara
sah dipilih oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah
bersangkutan, maka anggota DPD tidak mewakili entitas lain apapun juga
selain daerah, seperti organisasi masyarakat, komunitas agama, dan
Parpol;
• Menurut ahli, dari semangat prinsip dan pemikiran dasar tersebut jelas
menegaskan bahwa anggota DPD adalah orang-orang yang mengetahui,
mengenal, dan memahami masalah-masalah daerah yang diwakilinya.
Memang Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyatakan
bahwa anggota DPD harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang
diwakilinya, namun dari frasa “Anggota Dewan Perwakilan daerah dipilih dari
setiap provinsi ...” tidak bisa diartikan lain selain bahwa anggota DPD bukan
berasal dari provinsi lain, jadi merefleksikan asas tempat tinggal atau domisili;

[3.11.7] Keterangan Ahli Para Pemohon Dr. Indra Jaya Piliang

Dalam keterangan di persidangan tanggal 10 Juni 2008, dengan judul “Dari


Demokrasi ke Partikrasi, Dari Kedaulatan Rakyat ke Kedaulatan Partai”, ahli
menyatakan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
• DPD adalah perwakilan wilayah yang begitu beragam di Indonesia dengan sifat
dan karakteristiknya masing-masing, baik secara etnografis, agama, dan
lainnya yang mencerminkan kebhinekaan, suatu hal yang tak mungkin terwakili
oleh Parpol. Maka, DPR dan DPD dalam sistem perwakilan di Indonesia adalah
dua identitas yang berbeda, DPR merupakan perwakilan penduduk, sedangkan
DPD merupakan perwakilan daerah;
• Menurut ahli, amandemen UUD 1945 menganut prinsip kontra hegemoni yakni
meluruskan konstitusi sebelum amandemen yang melahirkan otoritarianisme,
seperti misalnya Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, kekuasaan bergeser ke
badan legislatif yang bercabang dua, satu DPR yang merupakan perwakilan
penduduk, satunya DPD yang merupakan perwakilan daerah. Menurut ahli,
perbedaan antara DPR dan DPD bukan sekadar perbedaan fungsi, tetapi pada
194

hakikatnya adalah perbedaan substansi, yaitu bahwa urusan daerah secara


eksplisit adalah urusannya DPD, bukan DPR. Sehingga, apabila keanggotaan
DPD itu diisi oleh orang-orang partai politik, maka sentralisasi atau hegemoni
kekuasaan negara oleh partai politik akan memperoleh ruang, kalau sebelum
amandemen konstitusi hanya bersifat individual pada diri Soekarno dan
Soeharto, akan berpindah ke Parpol;
• Tentang masalah domisili, menurut ahli, pada hakikatnya merupakan identitas
dari suatu wilayah, misalnya identitas ras Melanesia di Otonomi Khusus Papua
yang bukan datang dari Asia, melainkan dari Lautan Pasifik, juga bagi Aceh
yang menganut syariat Islam. Tak terbayangkan apa akibatnya jika tidak ada
syarat domisili bagi calon anggota DPD, orang Papua mungkin tidak terwakili
oleh etnis Papua, orang Aceh mungkin tak terwakili oleh orang etnis Aceh,
maka akan hancurlah hakikat Keindonesiaan yang bhineka itu. Hal seperti ini,
mungkin domisili dipandang primordialistik, namun primordialistik yang
dilindungi konstitusi (primordialisme konstitusional). Maka syarat domisili itu
adalah prinsip yang sangat penting yang harus dipenuhi oleh DPD, dan karena
di Indonesia domisili itu diartikan dengan KTP, bukan akta kelahiran dan tempat
sekolah, maka KTP-lah yang menjadi bukti syarat domisili;
• Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka menghilangkan syarat
domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, yang terjadi bukan lagi
prinsip demokrasi, melainkan prinsip-prinsip partikrasi, kedaulatan di tangan
partai yang berakibat Indonesia akan terjebak ke dalam proses transisi
permanen;

[3.11.8] Keterangan Ahli Para Pemohon Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum.

Ahli memberi judul keterangannya dengan judul “Ketiadaan Sinkronisasi


Norma Domisili dan Non Partai Politik Bakal Calon Anggota DPD Dalam Perspektif
Konstitusi”, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
• Menurut ahli, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” masih
menimbulkan dua penafsiran, pertama, ‘setiap provinsi’ dapat ditafsirkan
sebagai sebuah struktur organisasi pemerintahan daerah dalam konteks
desentralisasi teritorial, dan yang kedua, setiap provinsi dapat ditafsirkan
sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU 10/2008. Dalam hal
195

ini ahli berpendapat, bahwa norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 terkait erat dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Dengan demikian,
harus ditafsirkan bahwa frasa dari setiap provinsi dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 sebagai provinsi dalam makna desentralisasi teritorial sebagaimana
dimaksud Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, sehingga norma domisili di provinsi
bagi calon anggota DPD adalah norma konstitusi yang jika dihilangkan dari UU
10/2008 berarti melanggar konstitusi;
• Ahli juga berpendapat, bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, tafsirannya adalah bahwa
kata “perseorangan” itu bermakna individu mandiri yang tidak terikat oleh
kepentingan golongan atau afiliasi politik tertentu. Hal itu berarti bahwa secara
konstitusional, syarat untuk calon anggota DPD adalah perseorangan non
Parpol, sebagaimana persyaratan lainnya seperti menjabat akuntan publik,
advokat, pengacara, notaris, dan lain-lainnya;

[3.11.9] Keterangan Ahli Para Pemohon M. Fajrul Falaakh, S.H., M.Sc.

Ahli dalam Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 menerangkan pada


pokoknya hal-hal sebagai berikut:
• Bahwa keterwakilan daerah dengan jumlah majemuk bukanlah konsep baru
dalam Konstitusi Indonesia, sebab sebelum Amandemen UUD 1945, kita
pernah mempunyai ketentuan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Penjelasan UUD 1945
tentang hal itu menyatakan bahwa rumusan seperti itu dimaksudkan supaya
seluruh daerah mempunyai wakil di dalam Majelis, sehingga majelis itu akan
betul-betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Bahkan kita pernah
mengalami bahwa untuk rekrutmen utusan daerah, gubernur otomatis menjadi
wakil daerah;
• Menurut ahli, setelah Amandemen UUD 1945, pelembagaan utusan daerah
adalah dalam lembaga yang namanya DPD yang dalam UUD 1945 telah
196

dimuat beberapa ketentuan konstitusionalnya, yaitu anggota DPD dipilih dari


setiap provinsi, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR,
dan anggota DPD dipilih dari calon perseorangan. Jadi, ada norma konstitusi
untuk Pemilu anggota DPD, yaitu asal calon anggota adalah provinsi, bukan
luar negeri, bukan desa, kabupaten atau kota dan juga bukan ibukota provinsi.
Dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 ditentukan jumlah anggota DPD dari
setiap provinsi jumlahnya sama, yang berarti dianut prinsip equality of regional
representation. Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juga mengandung
norma konstitusi yang bersifat implisit, yaitu bahwa setiap provinsi berhak atas
keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan berasal dari
provinsi;
• Ahli selanjutnya berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”, dapat dikatakan dilawankan dengan ketentuan Pasal
22E ayat (3) bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa subjek hukum untuk DPR dan DPRD
adalah Parpol (dalam ilmu hukum disebut subjek hukum badan) dan subjek
hukum untuk DPD adalah perseorangan (dalam ilmu hukum disebut subjek
hukum orang). Dengan demikian, menurut ahli jelas bahwa perseorangan bagi
calon anggota DPD itu adalah bukan berasal dari Parpol, sama jelasnya
dengan ketentuan bahwa calon anggota DPR dan DPRD berasal dari Parpol;

[3.12] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR


RI) telah memberikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya dimuat
dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya menerangkan
hal-hal sebagai berikut:

[3.12.1] Keterangan DPR pada Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008


DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 13 Mei 2008 yang diwakili oleh
Pataniari Siahaan dan Lukman Hakim Saefuddin menerangkan pada pokoknya
sebagai berikut:
• Menurut DPR, Pemohon I DPD sebagai lembaga negara memang memenuhi
kualifikasi sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan DPD memang
197

memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat


(1), (2), dan (3) UUD 1945. Akan tetapi, kewenangan konstitusional DPD tak
ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena
ketentuan Pasal 22D tersebut berlaku setelah DPD terbentuk, sedangkan Pasal
12 dan Pasal 67 adalah persyaratan untuk menjadi anggota DPD, sehingga
ketentuan dimaksud tak akan merugikan kewenangan konstitusional DPD,
sehingga Pemohon I tidak memiliki legal standing. DPR juga berpendapat
bahwa anggota DPD sebagai perseorangan juga tidak memiliki legal standing,
karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia para anggota DPD tidak
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, mereka masih
tetap berhak dan bebas mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu.
Demikian juga menurut DPR, Pemohon III tidak memiliki legal standing karena
tidak ada kepentingan langsung Pemohon III dengan persyaratan calon
anggota DPD yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008.
Begitu pula Pemohon IV, yaitu perseorangan warga daerah, meskipun mereka
berhak mengajukan pengujian UU 10/2008 dan mempunyai hak konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945, namun menurut DPR, Pemohon IV juga tak
memiliki legal standing, karena ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
tidak merugikan hak konstitusional Pemohon IV, Pemohon IV tidak terhalangi
haknya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu;
• Menurut DPR, yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam pokok
permohonannya adalah ketiadaan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang dinilainya bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi, sesungguhnya, yang
dipersoalkan para Pemohon bukan materi muatan berupa norma-norma yang
tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu rumusan frasa yang menurut
para Pemohon harus dituangkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008.
Jika demikian halnya, maka berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 sesungguhnya tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Padahal, Pasal 51 ayat (3) UU MK
mengharuskan Pemohon untuk menguraikan secara jelas pasal, ayat, dan/atau
bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian materiil yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam permohonannya,
sebenarnya para Pemohon menyadari hal itu, maka seharusnya Kuasa Hukum
198

para Pemohon sebagai bagian dari penegak hukum mengindahkan ketentuan


Pasal 51 ayat (3) UU MK dan yang sudah dipraktikkan oleh Mahkamah
Konstitusi selama ini;
• Menurut DPR, bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tak
menguraikan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang dari UU 10/2008
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, melainkan hanya
mengenai ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU
10/2008, tiba-tiba dalam petitum meminta agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Padahal, ketiadaan suatu norma bukan suatu
norma yang mempunyai kekuatan hukum mengikat;

[3.12.2] Keterangan Tambahan DPR pada Sidang tanggal 10 Juni 2008

Pada Sidang Mahkamah tanggal 10 Juni 2008, DPR yang diwakili oleh
Ferry Mursyidan Baldan, Agun Gunanjar Sudarsa, dan Prof. Dr. Wila Chandrawila
menyampaikan keterangan tambahan yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
• Menurut DPR, dalam pemilihan umum yang demokratis, rakyat pemilihlah yang
akan menentukan wakil mereka di DPD, bukan undang-undang. Sehingga,
meskipun tidak ada syarat domisili dan non-Parpol, namun masih terdapat
beberapa tahapan untuk menjadi anggota DPD, yaitu mengumpulkan
dukungan dan yang paling penting adalah dipilih oleh rakyat di provinsi
tersebut, karena hak untuk memberikan dukungan dan hak untuk memilih
adalah tetap di tangan rakyat;
• Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD, menurut DPR, secara tegas
tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, pemaknaan bahwa frasa
“dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD harus berasal
dari dan berdomisili di provinsi yang diwakilinya adalah penafsiran para
Pemohon sendiri. Padahal, ketentuan tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa
setiap provinsi harus terwakili, tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang
tidak terwakili dalam DPD;
• Tentang kata “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, menurut
DPR bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak melalui Parpol, meskipun
yang bersangkutan adalah anggota Parpol;
199

• Dalil para Pemohon yang membandingkan dengan UU 12/2003 dan draft RUU
dari Pemerintah, DPR berpandangan bahwa pengujian konstitusionalitas
undang-undang tolok ukur pengujiannya adalah UUD 1945, bukan undang-
undang, apalagi draft rancangan undang-undang;

[3.13] Menimbang bahwa Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri
Mardiyanto dan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta telah memberikan
keterangan lisan dan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 yang
selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada
pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:

• Secara umum Pemerintah menyatakan bahwa pembentukan DPD melalui


Pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap
warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon
anggota DPD tidak dipersyaratkan untuk berdomisili di provinsi yang menjadi
daerah pemilihannya dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status
politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini sesuai dengan prinsip kesatuan
wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga negara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
• Tentang legal standing para Pemohon, Pemerintah mempertanyakan siapa
yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008. Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam
mengonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas
keberlakuan UU 10/2008, karena pada kenyataannya, sampai saat ini,
Pemohon I masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, maupun Pasal 32 sampai
dengan Pasal 51 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan perkataan lain, hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon I tidak terkurangi, terhalangi, dan
terganggu sedikit pun oleh keberlakuan UU 10/2008. Demikian pula
Pemohon II, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tidak terkait sama
sekali dengan hak konstitusional Pemohon II, karena ketentuan tersebut hanya
berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD dan tidak
mengurangi sedikitpun hak-hak konstitusional anggota DPD. Pemerintah juga
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sama sekali
200

tidak terkait dengan kepentingan Pemohon III yang menyatakan diri sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang dikenal aktif dan konsen dengan isu-
isu yang terkait Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam
parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah. Terhadap legal standing
Pemohon IV, Pemerintah berpendapat, bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon IV untuk mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa
baik Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, maupun Pemohon IV tidak
memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan pengujian Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
• Tentang penghilangan norma konstitusi dalam UU 10/2008, memang benar
bahwa dalam UU 10/2008 tidak tercantum syarat domisili bagi calon anggota
DPD, namun menurut Pemerintah hal itu bukan merupakan penghilangan
norma konstitusi. Karena, ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dapat
ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi, pertama, frasa “dari setiap provinsi”
ditafsirkan sebagai daerah pemilihan bagi pemilu anggota DPD, sebagaimana
dianut oleh UU 10/2008 dan juga UU 12/2003; kedua, tidak ada penegasan
dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 bahwa calon anggota DPD dari suatu
daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah
pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada UU 12/2003 dan draft
RUU Pemilu dari Pemerintah hanyalah salah satu alternatif penafsiran dari
amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945, masih ada alternatif lain
sebagaimana yang dilakukan oleh UU 10/2008. Hal demikian, merupakan
politik hukum hasil persetujuan antara DPR dan Pemerintah, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
• Pemerintah juga berpendapat memang benar UU 10/2008 tidak memuat syarat
non-Parpol bagi anggota DPD, namun Pemerintah tak sependapat dengan
para Pemohon bahwa hal itu merupakan penghilangan norma konstitusi.
Karena, menurut Pemerintah, ketentuan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
bahwa peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, tidak serta merta
dapat ditafsirkan bahwa warga negara anggota Parpol tidak boleh menjadi
calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut juga tidak mengurangi hak-
hak perseorangan warga negara yang non-Parpol;
201

• Pemerintah berpendapat bahwa pandangan para Pemohon mengenai


keharusan syarat domisili dan syarat non-Parpol yang akan lebih menempatkan
DPD benar-benar sebagai perwakilan daerah pembawa aspirasi daerah dan
terlepas dari platform partai-partai politik hanyalah merupakan pendapat para
Pemohon yang bersifat spekulatif yang belum tentu benar dalam
kenyataannya;

[3.14] Menimbang bahwa Pemerintah telah mengajukan seorang ahli, yakni


Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H. yang memberikan keterangan secara lisan dan
tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008, keterangan mana secara lengkap
dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
• Ahli melakukan analisis hukum mengenai keterkaitan UU 10/2008 dengan
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dengan metoda
penafsiran dan pendekatan Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum. Menurut ahli,
dengan metoda dan pendekatan tersebut, DPD dibentuk dalam rangka menata
struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari
DPR dan DPD. Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat
merepresentasikan kepentingan rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh, yaitu
DPR diharapkan dapat mencerminkan representasi politik dan DPD
representasi wilayah. Artinya, DPR sebagai representasi politik anggotanya
dipilih melalui pintu Parpol, sedangkan DPD sebagai representasi wilayah,
anggotanya dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui Parpol dan
merupakan wakil dari setiap provinsi;
• Berdasarkan filosofi tersebut, maka DPD sebagai perwakilan daerah,
anggotanya bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah. Sedangkan arti
dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil
di DPD, dalam konteks ini provinsi merupakan daerah pemilihan (dapil).
Anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara nasional
melalui kebijakan nasional, bukan kepentingan daerahnya sendiri. Maka, ahli
berpendapat bahwa dalam konteks ini syarat domisili bagi anggota DPD tidak
relevan, karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya, tetapi daerah-
daerah di Indonesia secara kumulatif melalui kebijakan nasional;
202

• Menurut ahli, mengenai tiadanya syarat non-Parpol dalam kaitannya dengan


Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, justru mencerminkan prinsip “equality before the
law” dalam kualifikasi subjek hukum perseorangan sebagai calon anggota
DPD. Penormaan syarat non-Parpol justru mengurangi esensi dari semangat
kata “perseorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari manapun;
• Mengenai permohonan pengujian ketiadaan norma dalam UU 10/2008, in casu
ketiadaan syarat non-Parpol dan syarat domisili bagi calon anggota DPD, maka
menurut ahli, apabila belum berada dalam norma undang-undang, hal itu tidak
dapat dimintakan pengujian, karena objeknya belum terbentuk;

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan


tertulis bertanggal 20 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain tidak sependapat
dengan keterangan DPR dan Pemerintah, baik mengenai legal standing para
Pemohon, maupun mengenai Pokok Permohonan, juga para Pemohon
menyatakan tetap pada pendiriannya;

[3.16] Menimbang bahwa DPR dalam sidang tanggal 10 Juni 2008 telah
menyampaikan kesimpulan lisan yang pada pokoknya tetap berpendapat sama
dengan keterangan yang telah disampaikan sebelumnya;

[3.17] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan kesimpulan tertulis


bertanggal 19 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain menanggapi keterangan para
Pemohon, ahli, dan saksi, juga meminta agar Mahkamah menyatakan para
Pemohon tidak memiliki legal standing dan menolak pokok permohonannya;

Pendapat Mahkamah

[3.18] Menimbang bahwa Mahkamah telah mempertimbangkan dengan


saksama isi permohonan, keterangan, dan kesimpulan tertulis para Pemohon, alat-
alat bukti tulis dan keterangan saksi dan para ahli dari para Pemohon, keterangan
DPR, serta keterangan dan kesimpulan Pemerintah beserta keterangan ahli dari
Pemerintah. Akan tetapi, sebelum Mahkamah berpendapat mengenai kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon dan mengenai pokok permohonan para
Pemohon, perlu terlebih dahulu menyampaikan pendapat mengenai desain
203

konstitusional DPD untuk memberikan perspektif atau gambaran yang tepat


mengenai DPD sebagai organ konstitusi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.

[3.18.1] Desain Konstitusional DPD dalam UUD 1945

Menimbang bahwa desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 dapat


dipahami dari original intent dan original meaning perumusan Pasal 22C UUD
1945, sebagaimana tercermin dalam risalah-risalah persidangan MPR yang
kemudian dikristalisasikan dalam bahan-bahan yang menjadi buku Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2003.
Apa yang dimuat dalam buku dimaksud kemudian juga dimuat kembali dalam buku
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945: sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat terbitan Sekretariat
Jenderal MPR RI tahun 2006.
Mahkamah menjadikan kedua buku tersebut sebagai acuan, selain karena
diterbitkan oleh lembaga resmi MPR, juga karena materi muatannya yang telah
disebarluaskan untuk dipahami oleh masyarakat luas (sosialisasi). Selain itu,
tentunya apa yang menjadi materi muatan dalam kedua buku tersebut juga telah
merupakan kristalisasi pendapat fraksi-fraksi MPR. Adapun pokok-pokok desain
konstitusional DPD tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perubahan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari naskah asli yang berbunyi
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-
golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” menjadi
rumusan baru yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang” diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122
suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan), dan 3 suara
abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD, yang semuanya
dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan
atas dasar pemilihan atau “representation by election” (vide Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2006);
204

b. Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur


ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya, sistem
perwakilan di Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR
merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik
rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan
lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah.
Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip
perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180 dan
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006: 93);
c. Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas
Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta
tantangan bangsa dan negara Indonesia. Keberadaan DPD dalam struktur
ketatanegaraan di Indonesia dimaksudkan untuk:
1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2) meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-
daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan
daerah;
3) mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah
secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
berjalan sesuai dengan keragaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa
dan negara (vide Sekretariat Jenderal MPRI, 2003: 80 dan 2006: 93);
d. DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan,
dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling
mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
(vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003:181 dan 2006: 94), yaitu sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945:
1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
205

2) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan


pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada DPR, RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
e. Bahwa cara rekrutmen calon anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
Pemilu [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945], anggota DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945], dan peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945];
f. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD
sebagai organ konstitusi adalah:
1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang
membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip
“checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik
(political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai
politik dalam kerangka kepentingan nasional;
2) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem
perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral, melainkan
sebagai gambaran tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia;
3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh
kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan
pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945,
kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang
206

harus diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan


antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah;
4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD
dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama,
berdasarkan pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai,
sebagai peserta Pemilu;

Pendapat Mahkamah Tentang Legal Standing Para Pemohon

[3.18.2] Menimbang mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon


dalam permohonan a quo, dalam paragraf [3.8] telah dikemukakan bahwa para
Pemohon telah mendalilkan mempunyai legal standing, sedangkan DPR dan
Pemerintah berpendapat sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.12] dan

paragraf [3.13] bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing. Mengenai
persoalan legal standing para Pemohon ini, terdapat perbedaan pendapat di
antara para Hakim Konstitusi dengan argumentasinya masing-masing sebagai
berikut:

[3.18.2.1] Tentang Legal Standing Pemohon I

a. Sebanyak 5 (lima) orang Hakim Konstitusi, dengan bertumpu pada desain


konstitusional DPD sebagai lembaga negara organ konstitusi sebagaimana
telah dikemukakan dalam paragraf [3.18.1] berpendapat bahwa Pemohon I
memiliki legal standing, dengan alasan sebagai berikut:
i. Bahwa DPD memenuhi syarat kualifikasi sebagai pemohon lembaga negara
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK;
ii. Bahwa DPD mempunyai kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang
didalilkan. Dalam kewenangan konstitusional DPD dimaksud, sesuai
dengan desain konstitusional DPD sebagaimana diuraikan dalam paragraf
[3.18.1] di atas, secara implisit DPD mempunyai hak konstitusional untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Sehingga, DPD sebagai
organ konstitusi, agar dapat berfungsi secara maksimal dalam
melaksanakan kewenangan konstitusionalnya berhak pula dan seharusnya
memperoleh penguatan (empowering) antara lain melalui persyaratan
rekrutmen calon anggotanya, seperti misalnya melalui persyaratan domisili
207

di provinsi yang diwakilinya dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
sebagai peserta Pemilu perseorangan;
iii. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD secara potensial
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD;
iv. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD sebagai
lembaga negara ada hubungan kausal dengan UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian, dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan oleh DPD
dipastikan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
v. Bahwa dengan demikian, DPD sebagai lembaga negara dan terlebih lagi
sebagai organ konstitusi, sudah sepantasnya merupakan pihak yang paling
layak (proper party) untuk bertindak sebagai Pemohon pengujian undang-
undang yang terkait dengan dan akan berpengaruh terhadap raison d’etre
keberadaannya beserta kewenangan konstitusionalnya sebagai pembawa
aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila
di berbagai negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi, lazimnya yang
diberi hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan
pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terutama diberikan
kepada lembaga negara atau organ konstitusi. Tambahan pula, dalam
praktik di Mahkamah selama lima tahun ini, lembaga negara selalu diberi
posisi sebagai pihak terkait langsung dengan hak-hak yang sama seperti
Pemohon, apabila suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya terkait dengan dan berpengaruh terhadap keberadaan
lembaga negara tersebut. Kenyataan praktik tersebut secara implisit
menyiratkan bahwa suatu lembaga negara organ konstitusi merupakan
pihak yang paling layak (the most proper party) dilibatkan apabila undang-
undang yang menyangkut “dirinya” dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh
pihak lain, apakah itu oleh perseorangan warga negara biasa atau oleh
lembaga negara lain. Terlebih lagi dalam hal lembaga negara organ
konstitusi tersebut bertindak sebagai Pemohon pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang yang justru sangat mempengaruhi hakikat
eksistensial dirinya yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karena itu, mutatis
mutandis sangatlah layak lembaga negara tersebut, in casu DPD,
208

mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon pengujian


konstitusionalitas suatu undang-undang yang mempengaruhi lembaganya,
in casu konstitusionalitas UU 10/2008;

b. bahwa ada 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berpendapat Pemohon I


tidak memiliki legal standing didasarkan atas pandangan bahwa kewenangan
konstitusional DPD yang diberikan oleh Pasal 22D UUD 1945 tidak dirugikan
oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 merupakan syarat dan
prosedur untuk menjadi calon anggota DPD, jadi terkait dengan masalah “rights
to be candidate” dan bukan masalah kewenangan DPD. Lebih lanjut
pandangan yang menolak legal standing Pemohon I dapat disimak dalam
Pendapat Berbeda (dissenting opinion) hakim yang bersangkutan;

[3.18.2.2] Tentang Legal Standing Pemohon II

Bahwa mengenai legal standing Pemohon II, ada 5 (lima) orang Hakim
Konstitusi yang berpendapat Pemohon II memiliki legal standing, dengan alasan
yang didasarkan atas pandangan bahwa sebagai anggota DPD keberadaan dan
kedudukannya tidak dapat dilepaskan dari desain konstitusional DPD. Selain itu,
pemberian legal standing tersebut didasarkan juga atas argumentasi yang sejalan
dengan argumentasi para Pemohon II. Namun, ada 4 (empat) orang Hakim
Konstitusi yang berpendapat bahwa Pemohon II tidak dirugikan hak
konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD lewat Pemilu yang
disebabkan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Lebih lanjut
tentang penolakan legal standing Pemohon II tersebut dikemukakan dalam
pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim yang merupakan bagian dari
Putusan ini;

[3.18.2.3] Tentang Legal Standing Pemohon III

Mengenai legal standing Pemohon III ini, 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon III memiliki legal standing, dengan alasan bahwa
selama ini Mahkamah telah memberikan legal standing kepada para Pemohon
pengujian konstitusionalitas undang-undang kepada kelompok-kelompok
masyarakat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi, yayasan,
organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain yang peduli terhadap masalah-masalah
209

yang terkait dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, asal hal itu
tercermin dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang bersangkutan.
Akan tetapi, sebanyak 6 (enam) orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon III tidak mempunyai legal standing, karena hak konstitusionalnya
sebagai pemerhati, pemberi advokasi, penggerak pembaruan Pemilu dan
parlemen tidak terhalangi oleh berlakunya pasal-pasal UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian;

[3.18.2.4] Tentang Legal Standing Pemohon IV

Mengenai legal standing Pemohon IV, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi


menyatakan Pemohon IV memiliki legal standing, dengan alasan bahwa sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang tinggal di daerah provinsinya masing-
masing, Pemohon IV berkepentingan apabila calon anggota DPD dipersyaratkan
harus berdomisili di provinsinya masing-masing dan non-Parpol, agar
komitmennya kepada daerah yang akan diwakilinya cukup besar dan Pemohon IV
tidak bersaing dengan perseorangan yang berasal dari lain provinsi dan dari
perseorangan anggota Parpol. Sedangkan 5 (lima) orang Hakim Konstitusi
menyatakan bahwa Pemohon IV tidak memiliki legal standing, karena hak
konstitusionalnya untuk menjadi calon anggota DPD tidak dirugikan atau terkurangi
dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sedangkan masalah
persaingan justru wajar dan lebih sehat dalam demokrasi;

[3.18.3] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam


paragraf [3.18.2] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I (DPD) dan
Pemohon II (Anggota DPD) memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan
permohonan a quo. Karena, sebagian dari para Pemohon memiliki legal standing,
maka lebih lanjut Mahkamah harus mempertimbangkan Pokok Permohonan;

Pendapat Mahkamah Tentang Pokok Permohonan

[3.19] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai


konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili
dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk (KTP) di provinsi yang akan
diwakilinya dan bukti keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon
210

anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon
adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam pasal, ayat,
atau bagian dari suatu undang-undang;

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK,


pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
harus menguraikan dengan jelas “a. ...; b. Materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga, terkait dengan
permohonan a quo, masalahnya adalah apakah ketiadaan suatu norma yang
menurut Pemohon seharusnya ada dalam suatu undang-undang, in casu
ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol yang seharusnya dimuat
dalam UU 10/2008 dapat dimaknai sebagai materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang bersangkutan, sehingga dapat
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;

[3.21] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya menyadari

mengenai masalah sebagaimana tersebut pada paragraf [3.10] sebagai suatu hal
yang dilematis, sehingga petitum yang diajukan oleh para Pemohon pun bersifat
alternatif. Meskipun dalil-dalil yang diajukan oleh para Pemohon didukung oleh
para ahli yang diajukan, namun telah disanggah oleh DPR dan oleh Pemerintah
beserta ahli yang diajukan oleh Pemerintah;

[3.22] Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para Pemohon, yaitu:
• Pertama, apakah syarat domisili bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945,
sehingga menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma
yang demikian pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam
RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah;
• Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga
211

menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya tercantum
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian
pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu 2008
versi Pemerintah;
• Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan Kedua ya dan benar,
apakah ketiadaan suatu norma konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU
10/2008 dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;

[3.23] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Pertama, berdasarkan


perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana telah
diuraikan dalam paragraf [3.18.1], Mahkamah berpendapat bahwa syarat
berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi,
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum” dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.” Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit tersebut
dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai akibatnya,
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan
yang demikian, harus dipandang inkonstitusional;

[3.24] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Kedua, Mahkamah


berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana
telah diuraikan dalam paragraf [3.18.1], berpendapat bahwa syarat non-Parpol
bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat
pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”
Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah
bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus
‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh
Parpol. Hal itu berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang ingin
menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta
212

Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU
Pemilu versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon, juga tidak
ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula,
baik dalam pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949
dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi
keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain,
sebagai perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda
dan tidak mutlak harus ada. Terlebih lagi, dalam perkembangannya, Parpol-parpol
di Indonesia juga telah membuka diri dengan merekrut perseorangan-
perseorangan yang bukan anggota atau kader Parpol untuk dicalonkan menjadi
anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota
DPD bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah
“perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah
mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana
pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat fakultatif;

[3.25] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu ketiadaan


norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi,
in casu syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,
implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK,
memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena,
permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas, yang
berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal
56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa
suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu
norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang
seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian
undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai “konstitusional
bersyarat” (conditionally constitutional) atau “inkonstitusional bersyarat”
(conditionally unconstitutional);

[3.26] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan a quo, ada tiga


alternatif kemungkinan putusan Mahkamah, yaitu:
213

a. apabila permohonan konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008


dipandang sebagai kabur atau tidak jelas dengan akibat permohonan tidak
dapat diterima, maka masih terbuka bagi pihak-pihak yang ingin memohon
pengujian norma-norma yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
b. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai “konstitusional
bersyarat” (conditionally constitutional) akan berimplikasi amar putusan
menyatakan “permohonan ditolak”, sementara pernyataan tidak sesuai dengan
spirit (implisit melekat pada) UUD 1945 hanya tercantum dalam pertimbangan
hukum, sehingga tidak berpengaruh terhadap keberlakuan Pasal 12 dan Pasal
67 UU 10/2008, kecuali jika pembentuk undang-undang atau KPU
menindaklanjuti pertimbangan hukum Mahkamah dengan membuat regulasi
yang mengakomodasi pertimbangan hukum Mahkamah;
c. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai
“inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional), akan berimplikasi
bahwa amar putusan menyatakan “permohonan dikabulkan”, yang berarti
seluruh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat (termasuk misalnya syarat-syarat warga negara Indonesia,
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, dan lain-lain).

[3.27] Menimbang bahwa dari uraian permohonan yang telah diutarakan di


atas, maka dalam pokok permohonan a quo, para Pemohon telah mengajukan
alternatif petitum bagi kemungkinan putusan Mahkamah yang dimohon, yaitu:
1. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
214

2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik.
3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4), dan menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya; atau
4. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala
akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di
provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai
politik.
215

[3.28] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam

paragraf [3.26] dan [3.27] di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
12 huruf c dan Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat”
(conditionally constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67
tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi.

4. KONKLUSI

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan


bahwa:

[4.1] Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)


untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);

[4.2] Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga
seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;

[4.3] Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon
anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal
22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon
anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;

[4.4] Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional bersyarat”


(conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo harus dibaca/ditafsirkan
sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD;

5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316).
216

Mengadili:

Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota


DPD) untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008


tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836) tetap konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat
domisili di provinsi yang akan diwakili;

Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008


tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;

Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selebihnya.

Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV tidak dapat


diterima (niet ontvankelijk verklaard)

Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri


oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap
Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi,
Soedarsono, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan
Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, 25 Juni
2008, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari ini, Selasa, 1 Juli 2008, oleh kami, Jimly Asshiddiqie selaku Ketua
merangkap Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad
Sanusi, H. Muhamad Alim, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna,
217

dan Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi


oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh para
Pemohon dan Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili;

KETUA,

ttd.

Jimly Asshiddiqie

ANGGOTA-ANGGOTA

ttd. ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar Maruarar Siahaan

ttd. ttd.
H.M. Arsyad Sanusi H. Muhamad Alim

ttd. ttd.
H. Harjono H.A.S. Natabaya

ttd. ttd.
I Dewa Gede Palguna Moh. Mahfud MD

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)

Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, empat orang Hakim


Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna,
Moh. Mahfud MD., dan H. Harjono mempunyai pendapat berbeda (dissenting
opinions) yang selengkapnya sebagai berikut:
218

[6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) Hakim Konstitusi H.A.S.


Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan Moh. Mahfud MD.

Dalam setiap permohonan yang diajukan sebagai permohonan pengujian


undang-undang terhadap UUD 1945, dua hal pertama yang harus dipastikan oleh
Mahkamah sebelum memeriksa pokok permohonan adalah:

1. apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus


permohonan tersebut;

2. apakah pihak yang mengajukan permohonan mempunyai kedudukan hukum


(legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon.

Permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Maka,
terhadap persoalan pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutusnya. Namun, terhadap persoalan yang kedua, yaitu
apakah pihak-pihak dalam permohonan a quo mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, kami berbeda pendapat dengan
mayoritas Hakim Konstitusi.

Ketentuan undang-undang yang oleh Para Pemohon didalilkan telah


merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya adalah Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu. Kedua ketentuan tersebut masing-masing berbunyi sebagai berikut:

• Pasal 12:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
219

h. sehat jasmani dan rohani;


i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. mencalonkan diri hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. mencalonkan diri hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.

• Pasal 67:

(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat
keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara
pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermetrai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas
bermetrai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang
220

anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara


dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan diri untuk 1
(satu) lembaga perwakian yang ditandatangani di atas kertas bermetrai
cukup.
Substansi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu adalah
persyaratan bagi perseorangan untuk dapat mencalonkan diri atau dicalonkan
sebagai anggota DPD. Dengan demikian berarti berkenaan dengan hak
konstitusional untuk menjadi calon (right to be candidate). Sehingga pertanyaan
kemudian adalah: apakah Para Pemohon dirugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu di
atas? Dalam kaitan ini, dengan berpegang pada konstruksi Pasal 51 ayat (1) UU
MK, yang merupakan bagian dari hukum acara dalam permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, kami berpendapat sebagai berikut:

a) Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon


dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak-pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya suatu undang-undang. Pihak-pihak dimaksud adalah
(a) perorangan Warga Negara Indonesia, di dalamnya termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama; (b) kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang; (c) badan hukum publik atau privat; dan (d) lembaga negara.
b) Pemohon (1) mengkualifikasikan dirinya sebagai lembaga negara, c.q. DPD;
Pemohon (2) mengkualifikasikan diri sebagai perorangan anggota DPD;
Pemohon (3) mengkualifikaskan diri sebagai perorangan warga negara
Indonesia (yang memiliki perhatian yang besar terhadap pemilihan umum,
parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah); Pemohon (4)
mengkualifikasikan diri sebagai perorangan yang tinggal di provinsi tertentu.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah dalam kualifikasi demikian masing-
masing dari Para Pemohon tersebut dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang rumusannya telah diuraikan
sebelumnya?
c) Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah ketentuan yang mengatur
persyaratan bagi setiap orang untuk dapat menjadi peserta Pemilu anggota
221

DPD. Dengan kata lain, kedua ketentuan tersebut adalah berkenaan dengan
hak untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota DPD (the
right to be candidate). Dengan demikian, jika berlakunya kedua ketentuan UU
Pemilu dimaksud dianggap merugikan hak konstitusional suatu pihak maka
pihak-pihak yang mungkin dirugikan untuk dicalonkan atau mencalonkan diri
sebagai anggota DPD adalah orang-perorangan. Artinya, jika dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak yang mungkin dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah perorangan,
tidak mungkin merugikan hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat,
badan hukum, atau lembaga negara. Sebab ketiga pihak yang disebut terakhir
ini tidak mungkin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

d) Berdasarkan penalaran pada huruf c) di atas, maka yang perlu


dipertimbangkan oleh Mahkamah akan adanya kemungkinan kerugian hak
konstitusional dari empat Pemohon dalam permohonan a quo adalah mereka
yang mengkualifikasikan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia,
dalam hal ini Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4).

e) Dengan memperhatikan secara saksama rumusan Pasal 12 dan Pasal 67 UU


Pemilu yang dimohonkan pengujian, tidak terdapat satu bagian pun yang dapat
dikatakan menghalangi, menghambat, atau menghilangkan hak perorangan
warga negara Indonesia, baik perorangan warga negara Indonesia yang
berstatus anggota DPD [Pemohon (2)], perorangan warga negara Indonesia
yang mempunyai perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen
Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah [Pemohon (3)], maupun perorangan
warga negara Indonesia yang tinggal di beberapa provinsi tertentu [Pemohon
(4)]. Tidak terdapatnya syarat “domisili di provinsi yang bersangkutan” dan
syarat “bukan anggota dan/atau pengurus partai politik” dalam pengaturan
syarat menjadi anggota DPD pada Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tidaklah
menghambat, menghalangi, atau menghilangkan right to be candidate
Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4).

f) Berdasarkan seluruh uraian di atas, kami berpendapat bahwa tidak terdapat


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai
akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, sehingga permohonan
a quo seharusnya oleh Mahkamah dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
222

Di samping karena alasan-alasan yang disebutkan di atas, menurut kami,


Permohonan a quo juga seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:

1) Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK mewajibkan Pemohon dalam permohonan


pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan
jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Pemenuhan terhadap
ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b tersebut menjadi wajib sebab, menurut
Pasal 56 ayat (3) UU MK, jika Mahkamah mengabulkan permohonan maka
Mahkamah harus menyatakan dengan tegas materi muatan pasal, ayat,
dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD
1945. Sebagai akibat selanjutnya, menurut Pasal 57 ayat (1) UU MK, materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945 itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Artinya, ketentuan yang (hendak) dinyatakan “bertentangan dengan
UUD 1945” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” itu harus ada
secara konkret. Sementara dalam permohonan a quo, substansi permohonan
Para Pemohon adalah menghendaki Mahkamah menambahkan ketentuan ke
dalam pasal-pasal undang-undang, in casu Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu,
suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah sebagai negative
legislator karena hal demikian merupakan kewenangan pembentuk undang-
undang selaku positive legislature. Sehingga, isu konstitusional permohonan
a quo sesungguhnya merupakan isu legislative review, bukan judicial review.
Jika permohonan Para Pemohon demikian dikabulkan, hal itu bukan hanya
akan menjerumuskan Mahkamah untuk bertindak ultra vires tetapi juga
sekaligus akan membuat preseden buruk dalam praktik ketatanegaraan pada
masa-masa yang akan datang. Sebab, sebagaimana diketahui, putusan
Mahkamah bersifat final dan mengikat (final and binding). Sehingga, sekali
Mahkamah membenarkan dirinya menambahkan materi muatan tertentu ke
dalam suatu ketentuan undang-undang, yang berarti Mahkamah telah
mengingkari hakikat dirinya sebagai negative legislator, maka di masa yang
akan datang Mahkamah tidak mempunyai alasan untuk menolak permohonan
serupa, sehingga dengan demikian Mahkamah telah bermetamorfosis menjadi
223

postive legislator. Hal itu juga akan menghilangkan hakikat Mahkamah sebagai
a true court dan berubah menjadi lembaga politik.

2) Penegasan ini bukanlah serta-merta berarti bahwa kami tidak sependapat


substansi gagasan sebagaimana diinginkan Pemohon. Sebab, terlepas dari
persoalan konstitusional atau tidak, ketiadaan kedua substansi yang diinginkan
sebagai materi muatan persyaratan menjadi calon anggota DPD tersebut bisa
jadi memang menguntungkan pelaku-pelaku politik tertentu yang mengambil
manfaat dari ketidaan kedua syarat tersebut, namun Mahkamah sebagai true
court terikat oleh hukum acara. Sementara usul menambahkan suatu substansi
tertentu ke dalam suatu norma undang-undang mestinya diajukan kepada
pembentuk undang-undang dan Mahkamah bukanlah pembentuk undang-
undang. Sebagaimana diketahui, Pasal 51 UU MK adalah bagian dari hukum
acara yang tidak demikian saja dapat dikesampingkan oleh hakim, in casu
Hakim Konstitusi. Sebab, fungsi hukum acara adalah untuk mempertahankan
hukum materiil, dalam hal ini UUD 1945. Itulah sebabnya, sebagai analog,
dalam hukum acara pidana misalnya dikatakan oleh Jerome H. Scholmick,
“criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities, not the
criminals”. Itu pula alasan lahirnya ungkapan yang menyatakan bahwa jika
Mahkamah begitu saja mengesampingkan ketentuan hukum acara yang harus
ditaatinya, dengan tindakannya itu berarti Mahkamah telah “menyayat-nyayat
dagingnya sendiri” (het snijdt aan het eigen vlees);

3) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di


provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus
partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu, Mahkamah tetap tidak dapat menyatakan bahwa karena tidak
dimasukkannya kedua syarat tersebut ke dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu mengakibatkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu menjadi
bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, jika demikian halnya sama saja
artinya Mahkamah menyatakan bahwa syarat sebagaimana disebutkan pada
huruf a sampai dengan huruf p dari Pasal 12 (yaitu syarat “warga negara
Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau lebih”, “bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” dan seterusnya) dan syarat sebagaimana disebutkan pada
huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 67 (yaitu syarat “kartu tanda
penduduk Warga Negara Indonesia”, “surat keterangan berbadan sehat
224

jasmani dan rohani”, dan seterusnya) adalah inkonstitusional. Ini jelas suatu
penalaran yang menyesatkan.

4) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di


provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus
partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu, maka hal maksimum yang dapat dilakukan oleh Mahkamah, tanpa
melanggar hukum acara, adalah menyatakan ketentuan dalam kedua pasal UU
Pemilu tersebut “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional). Namun,
hal demikian pun tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah disebabkan oleh
dua hal:

o pertama, untuk dapat menyatakan konstitusional bersyarat maka ketentuan


yang hendak dinyatakan konstitusional bersyarat tersebut harus merupakan
bagian dari ketentuan yang diuji, sementara dalam kasus a quo ketentuan
tersebut tidak ada, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur).
Dikatakan demikian sebab Pasal 56 ayat (3) UU MK menyatakan, “Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga tentu
menjadi pertanyaan kemudian, bagian mana yang bertentangan dengan
UUD 1945 itu (karena tidak termuat dalam ketentuan undang-undang yang
diuji).

o Berkait dengan ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU MK di atas, Pasal 57 ayat


(1) UU MK menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar
putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat”. Maka, tentu timbul pertanyaan, materi muatan mana
yang oleh Mahkamah akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat itu sebab materi muatan demikian tidak ada atau tidak tercantum
dalam ketentuan undang-undang dimohonkan pengujian.
225

[6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi H. Harjono

Pemohon I, II, III, dan IV mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusional


yang dirugikan oleh Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008 adalah hak dan/atau
kewenangan yang diberikan UUD 1945:
1. Pemohon I; Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat
(2), Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan alasan: (a) anggota DPD dapat
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal daerah
tersebut, (b) anggota demikian diragukan kapabilitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah, (c) anggota dari Parpol
akan mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan
daerah, (d) anggota DPD Parpol diragukan efektivitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi daerah. Hal demikian merugikan kewenangan
konstitusional Pemohon I.
2. Pemohon II; Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, Dengan alasan, pasal ini
memberikan hak konstitusional kepada Pemohon II yang berdomisili di provinsi
tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan.
Dengan adanya Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008, jelas merugikan
Pemohon II yang berdomisili di daerah yang bersangkutan untuk mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Dengan alasan hak
Pemohon II diingkari, menimbulkan persaingan yang tidak adil antara
Pemohon II yang hanya mendasarkan pada jaringan personal dengan anggota
Parpol yang ditopang oleh organisasi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena
hak Pemohon atas kepastian hukum yang adil dan Pemilu yang adil dirugikan.
Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 karena bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil
apabila calon anggota DPD yang mewakili provinsi dapat berasal dari provinsi
lain.
3. Pemohon III; Pasal 22E ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) UUD
1945 karena Pemohon berkepentingan terhadap Pemilu yang demokratis serta
peningkatan kualitas parlemen Indonesia.
4. Pemohon IV; Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1),Pasal 22E ayat (4), Pasal
28D ayat (1) UUD 1945. Adanya alasan karena, Pasal 12 juncto Pasal 67 UU
10/2008 akan tidak menjamin keberpihakan anggota DPD karena tidak adanya
pemahaman dan pengenalan daerahnya secara memadai.
226

Pendapat Hukum

Para Pemohon memenuhi syarat sebagai subjek hukum yang mempunyai


hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan permohonan
pengujian undang-undang sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 51 UU MK.

Namun demikian apakah dengan adanya Pasal 12 dan 67 UU 10/2008 hak


dan/atau kewenangan para Pemohon yang diberikan atau dijamin oleh UUD
tersebut dirugikan. Hubungan antara kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional dengan pasal-pasal UU 10/2008 haruslah merupakan hubungan
“causal verband” dan pasal-pasal undang-undang yang dimohonkan adalah
penyebab tunggal terhadap kerugian tersebut. Apabila penyebab tunggal ini
ditiadakan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi. Kerugian yang dialami para
Pemohon haruslah kerugian yang disebabkan oleh pasal-pasal undang-undang
yang dimohonkan, dan bukannya pasal-pasal tersebut sekadar dapat mempunyai
pengaruh terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut. Sesuatu hal
dikatakan dapat mempunyai pengaruh apabila hubungan antara sesuatu tersebut
dengan yang dipengaruhi adalah yang hubungannya bersifat alternatif yang dapat:
(a) mempunyai pengaruh positif saja;
(b) mempunyai pengaruh negatif saja;
(c) mempunyai pengaruh positif dan pengaruh negatif sekaligus.

Di samping itu, keadaan timbulnya hal-hal yang positif, negatif, atau kedua-
duanya pada objek yang dipengaruhi itu dapat saja terjadi tidak terbatas hanya
karena sesuatu hal tertentu itu saja, hal tertentu yang lain pun dapat menimbulkan
akibat yang sama.

Saya berpendapat bahwa kekhawatiran Pemohon I akan adanya hal-hal


yang dikhawatirkan timbul pada DPD dalam hubungannya dengan pasal-pasal
yang dimohonkan bukanlah hubungan causal verband karena adanya hal-hal yang
dikhawatirkan tersebut dapat juga timbul tanpa adanya pasal-pasal yang
dimohonkan untuk diuji. Di samping itu, keadaan yang lebih baik malahan dapat
saja terjadi dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Hubungan
yang ada antara pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dengan keadaan-
keadaan yang didalilkan Pemohon I hanyalah dalam derajat “mungkin dapat
mempengaruhi“ saja. Apa yang dikhawatirkan Pemohon I berhubungan dengan
kapabilitas, performance dari DPD yang dikhawatirkan akan dipengaruhi oleh
227

pasal-pasal yang dimohonkan. Menurunnya kapabilitas dan performance DPD


tidak mempunyai hubungan langsung dengan pasal-pasal yang dimohonkan, tetapi
menyangkut kualitas dari calon anggota DPD yang kualitas tersebut pada
dasarnya dimiliki oleh perorangan calon, dan tidak dapat disebabkan hanya
semata-mata asal calon saja. Sehingga kekhawatiran Pemohon I yang mungkin
juga menjadi kekhawatiran Pemohon yang lain bahwa pasal-pasal yang
dimohonkan akan menurunkan kualitas atau performance DPD dengan adanya
pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji hubungannya sebatas “mungkin dapat
mempengaruhi” yang kesempatan statistiknya (chance) sama dengan “tidak
mempunyai pengaruh “ dan bukan hubungan causal verband.

Dalam dalil-dalilnya Pemohon juga menyatakan bahwa pasal-pasal yang


dimohon untuk diuji akan merugikan kepentingan daerah, namun Pemohon tidak
secara jelas menguraikan apa yang dimaksud dengan kepentingan daerah
tersebut dan bagaimana hubungan Pemohon dengan kepentingan daerah yang
dimaksudkan. Dengan dapat dipastikannya kepentingan daerah mana yang
dimaksud Pemohon serta hubungan antara kepentingan daerah tersebut dengan
Pemohon maka akan dapat dilihat kerugian yang ditimbulkan oleh pasal-pasal
yang dimohonkan terhadap kepentingan daerah tersebut. Pada dasarnya, apabila
disebut adanya kepentingan daerah maka terhadap kepentingan daerah yang
dimaksud haruslah dapat dibedakan dengan kepentingan nasional. Apakah
kepentingan daerah yang dimaksudkan oleh Pemohon sebagai kepentingan dari
pemerintahan daerah. Kepentingan daerah pada pengertian pertama tentunya
akan berbeda dengan kepentingan daerah pada pengertian yang kedua. Di
samping itu, berkaitan dengan kepentingan daerah yang akan diperjuangkan oleh
Pemohon apakah memang di dalam sistem perwakilan yang dianut dalam UUD
1945 membagi secara tegas mana-mana kepentingan daerah yang diserahkan
sepenuhnya kepada terutama Pemohon I dan Pemohon II sehingga kalau terdapat
gangguan terhadap kepentingan daerah tersebut Pemohon I dan II lah yang harus
memperjuangkan. UUD 1945 menampung aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan
dengan melembagakannya ke dalam DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten
dan kota. DPRD provinsi dan kota merupakan lembaga perwakilan pemerintahan
daerah yang berkaitan dengan urusan otonomi yang diberikan kepada daerah
yang bersangkutan. Sementara itu, dengan dilakukannya pemilihan kepada daerah
secara langsung, maka kedudukan kepada daerah dengan pemilihnya adalah
228

hubungan antara pemberi kepercayaan dengan orang yang dipercaya. Dalam


hubungan ini sebenarnya dalam diri kepala daerah juga ada nilai wakil dari yang
mereka yang memilihnya. Wakil dalam artian antara mereka yang mempercayakan
dan yang dipercaya tidak hanya terepresentasikan dalam wadah yang nama
lembaganya menggunakan kata wakil sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tetapi kepala daerah pun sebenarnya juga wakil dari yang memilihnya.

Aspirasi daerah yang direpresentasikan dalam kepentingan daerah dalam


sistem perwakilan kita disalurkan melalui DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan
kota, serta kepala daerah. Dengan demikian, DPD dan anggotanya bukanlah satu-
satunya wadah untuk merepresentasikan kepentingan daerah. Parpol yang
wakilnya akan mengisi keanggotaan DPR juga menjadi representasi wakil daerah.
Sistem UUD 1945 tidak membagi kanalisasi penyaluran aspirasi tertentu dilakukan
oleh lembaga perwakilan tertentu, hal demikian berbeda dengan Amerika Serikat
yang jelas membagi kewenangan antara Senat dan House of Representative.
Kewenangan Senat sebagai wakil negara bagian yang berdaulat tercerminkan
dengan adanya kewenangan tertentu yang dimilikinya, yaitu pada saat pembuatan
perjanjian internasional yang mana supaya perjanjian tersebut sah berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat harus mendapatkan persetujuan dari Senat dan
bukan Konggres atau House of Reprentative. Hal demikian disyaratkan karena
Senat-lah wakil negara bagian, dan pembuatan perjanjian internasional berkaitan
dengan kedaulatan negara sehingga Senat yang mempunyai hak, bukan Konggres
atau House of Representative.

Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya terdiri atas wakil Parpol tidak
diposisikan sebagai mewakili pemerintah pusat tetapi mewakli pemerintahan
nasional. Posisi DPR mewakili pemerintahan nasional ini tidak dihadapkan vis a vis
dengan pemerintahan daerah. Partai politik tetap perlu basis di daerah bahkan
eksistensi Parpol ditentukan di daerah, partai politik tidak terpisah dengan daerah.
Parpol untuk dapat mengikuti pemilihan umum disyaratkan mempunyai pengurus
di daerah dan anggota-anggota di daerah sehingga Parpol tidak terlepas dari
daerah. Anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang basisnya adalah
provinsi, sehingga kalau sebuah Parpol berkeinginan mendapatkan wakil dari
daerah pemilihan tertentu mereka harus mendapatkan pemilih yang cukup dan
untuk mendapatkan pemilih yang cukup tersebut harus bicara dengan orang
daerah dan memperjuangkan aspirasinya.
229

Keberadaan DPD di mana wewenangnya berkaitan dengan daerah tidaklah


dimaksudkan untuk mendikotomikan urusan daerah menjadi urusan DPD,
sedangkan DPR dijauhkan dari urusan daerah, apalagi keduanya dihadapkan
secara vis a vis dalam soal kepentingan daerah. Kewenangan DPD dalam urusan
yang berhubungan dengan daerah pada intinya untuk memperluas partisipasi,
transparansi yang merupakan basis sistem demokrasi perwakilan dengan
menambahkan peran DPD secara konstitusional dan tidak untuk mendikotomikan
apalagi menghadap-hadapkan dengan DPR.

Dari uraian tersebut di atas maka terhadap dalil para Pemohon yang
berhubungan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam perkara
a quo dapat disimpulkan; (a) Pasal-pasal a quo tidak mempunyai hubungan yang
bersifat causal verband terhadap hal-hal yang dikhawatirkan terjadi tetapi hanya
mempunyai hubungan dalam derajat kemungkinan dapat menimbulkan pengaruh
yang negatif sebagaimana dikhawatirkan para Pemohon, yang mungkin juga
pengaruh tersebut dapat positif; (b) para Pemohon tidak dapat membatasi secara
pasti apa yang dimaksudkan dengan kepentingan daerah yang menjadi hak/atau
kewenangan para Pemohon sehingga karenanya tidak dapat juga ditetapkan
kerugian kepentingan daerah apa yang akan diderita oleh para Pemohon.

Di samping dalil tentang kepentingan daerah yang telah di bahas di atas,


para Pemohon juga mendalilkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan akan
merugikan hak konstitusional perorangan yaitu hak untuk bersaing dalam
pemilihan umum yang adil dan akan terjadi ketidakadilan jika ada calon dipilih dari
luar provinsi, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan. Hal yang penting dari rumusan tersebut
adalah bahwa perseorangan dan bukan Parpol yang akan mengajukan calon
anggota DPD. Oleh karena itu, sepanjang yang mendaftarkan tersebut adalah
perseorangan maka tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Dengan
terbukanya anggota Parpol untuk ikut serta dalam Pemilu anggota DPD karena
adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji maka secara asumtif akan lebih
banyak calon yang akan bersaing dalam Pemilu tersebut. Di antara para Pemohon
dengan semakin bertambahnya calon yang ikut dalam Pemilu, yang terkena
dampak langsung adalah Pemohon II apabila yang bersangkutan masih
230

berkeinginan untuk melanjutkan status keanggotaannya. Sedangkan Pemohon I


sebagai lembaga tidak terpengaruhi hak dan/atau kewenangannya. Pemohon III
dan IV tidak menjelaskan posisinya apakah berkeinginan untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD. Sepanjang Pemohon III dan IV mendasarkan dalil
permohonannya kepada kepentingan daerah, haruslah dijelaskan apa yang
dimaksud dengan kepentingan daerah.

Dampak yang akan dialami oleh Pemohon II tersebut tidak menyangkut


konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan karena bertambahnya calon
tidak menghilangkan hak konstitusionalitas Pemohon II untuk mencalonkan diri,
tetapi justru menambah kualitas demokrasi dengan bertambahnya calon yang
dapat menjadi alternatif bagi pemilih.

Keterikatan calon dengan domisili di provinsi yang bersangkutan tidaklah


dapat digunakan ukuran untuk menentukan komitmen seseorang dengan provinsi
yang diwakilinya. Dapat saja terjadi orang-orang yang bertempat tinggal di luar
daerah justru mempunyai kepedulian yang besar kepada daerahnya. Organisasi-
organisasi kedaerahan yang berada di ibukota biasanya justru dimotori oleh orang-
orang daerah yang sangat peduli daerahnya tetapi mereka bertempat tinggal di
ibukota. Apabila kemudian pemilih mempercayai untuk mewakilinya yang
dibuktikan dengan terpilihnya mereka dalam suatu Pemilu hal demikian tentunya
dikembalikan kepada pemilih itu sendiri sebagai pemilik suara. Demokrasi tidak
hanya beraspek administratif tetapi juga menghargai hak pemilih dan
mempertimbangkan aspek akseptabilitas dari calon.

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang diuraikan di atas, seharusnya


Mahkamah menolak permohonan para Pemohon.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Cholidin Nasir
1
S ALI N AN

PUTUSAN
Nomor 91/PUU-XVIII/2020

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas


Pekerjaan : Karyawan Swasta/Mantan Buruh PKWT
Alamat : Sriguwak, RT.002/RW.006, Kelurahan
Selopuro, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi,
Provinsi Jawa Timur
Sebagai --------------------------------------------------------------- Pemohon I;

2. Nama : Ali Sujito


Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Rejuno, RT.006/RW.001, Kelurahan Rejuno,
Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi,
Provinsi Jawa Timur
Sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon II;

3. Nama : Muhtar Said, S.H., M.H.


Pekerjaan : Dosen
Alamat : Griya Bukit Cipayung, RT.003/RW.009,
Kelurahan Bojong Pondok Terong,
Kecamatan Cipayung, Depok, Jawa Barat
Sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon III;

4. Nama : Migrant CARE, yang dalam hal ini diwakili


oleh Wahyu Susilo selaku Ketua, dan Anis
Hidayah selaku Sekretaris;
2

Alamat : Jalan Jati Padang I Nomor 5A, RT.05/RW.03


Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan,
DKI Jakarta
Sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon IV;

5. Nama : Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari


Sumatera Barat, yang dalam hal ini diwakili
oleh Yuzirwan Rasyid Datuak PGP Gajah
Tongga, selaku Ketua Umum, dan Yulizal
Yunus Datuak Rajo Bagindo, selaku
Sekretaris Umum;
Alamat : Jalan Pramuka Raya Nomor 13, Lolong
Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota
Padang, Sumatera Barat
Sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon V;

6. Nama : Mahkamah Adat Alam Minangkabau, yang


dalam hal ini diwakili oleh Irwansyah Datuak
Katumanggungan, selaku Ketua (Imam);
Alamat : Jalan Hidayah RT. 04/RW.03 No. 9 Kelurahan
Tanjung Sabar, Kecamatan Lubuk Begalung,
Kota Padang, Sumatera Barat
Sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon VI;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 November 2020
memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Dr. Wendra
Yunaldi, S.H., M.H., Mohammad Anwar, S.H., M.H., Hifdzil Alim, S.H.,
M.H., Muhamad Hasan Muaziz, S.H., M.H., Muhamad Saleh, S.H. M.H.,
Galang Brillian Putra, S.H., Febry Indra Gunawan Sitorus, S.H. Siti
Badriyah, S.H., Happy Hayati Helmi, S.H., Zico Leonard Djagardo, S.H.,
Yasin Hasan, S.H., Irwan, S.HI., M.H., dan Safari Budiarko, S.H.,
kesemuanya merupakan Advokat dan konsultan yang tergabung dalam Tim
Hukum Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi, beralamat di Komplek
Ruko Tanah Abang 1 Nomor 12 T.U. Lantai II, Jalan Tanah Abang 1 Nomor
12, Jakarta Pusat, bertindak bersama-sama maupun sendiri-sendiri, untuk
dan atas nama pemberi kuasa.
3

Selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VI disebut sebagai ---------


------------------------------------------------------------------------------- para Pemohon.

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca dan mendengar keterangan Presiden;
Membaca dan mendengar keterangan ahli para Pemohon;
Membaca dan mendengar keterangan ahli Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan saksi Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca dan mendengar keterangan ahli Presiden;
Mendengar keterangan saksi Presiden;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon dan Presiden;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal


15 Oktober 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada 15 Oktober 2020, berdasarkan Akta
Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 203/PAN.MK/2020 dan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi pada 27 Oktober 2020 dengan Nomor 91/PUU-
XVIII/2020, yang telah diperbaiki oleh para Pemohon dengan perbaikan
permohonan bertanggal 24 November 2020 dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada 24 November 2020, menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;
4

2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum”;

3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi diberikan


kewenangan oleh UUD 1945 untuk melakukan pengujian undang- undang
terhadap UUD 1945. Kemudian oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU Mahkamah Konstitusi), pada Pasal 10 ayat (1) huruf a yang
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang
(UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;

4. Bahwa selanjutnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji


Undang-Undang terhadap UUD 1945 diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Selanjutnya disebut UU
Kekuasan Kehakiman) yang mengatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

5. Bahwa dalam melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang


Mahkamah Konstitus berwenang melakukan pengujian formil dan Materiil.
Terhadap kewenangan Mahkamah melakukan Pengujian Formil Undang-
undang diatur dalam Pasal 51A ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi, yang
menyatakan:
“dalam hal permohonan pengujan berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di
dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan”.
5

6. Bahwa terhadap tolok ukur atau batu uji, Mahkamah untuk menilai pengujian
formil sebuah undang-undang, telah dinyatakan dalam Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009, Paragraf [3.19], halaman 82-83, yang menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata
Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut
Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam
perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap
UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib
DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan
persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat
pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945;

Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur


pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja,
maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil
karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur
secara jelas aspek formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata
hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat
dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk
lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan
menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji
dalam pengujian formil;”
7. Bahwa berdasarkan perluasan batu uji terhadap obyek Pengujian Formil
yang dimohonkan oleh PARA PEMOHON yaitu Pembentukan UU Cipta
Kerja, tidak sesuai dengan pembentukan undang-undang sebagaimana
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun
2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Undang-Undang (Selanjutnya disebut UU 12/2011) (Bukti P-
3).
Perlu kami jelaskan bahwa dalam pengujian perkara “a quo” digunakan UU
12/2011 dikarenakan perubahan UU 12/2011 ke UU 15/2019 adalah
perubahan sebagian pasal dalam UU 12/2011 dan terhadap pasal-pasal
yang menjadi tolok ukur dalam perkara “a quo” menggunakan ketentuan
norma dalam pasal yang terdapat dalam UU 12/2011.
6

8. Bahwa artinya obyek pengujian yang dimohonkan oleh PARA PEMOHON


masih masuk dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam yang masuk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 51A ayat (3) UU Mahkamah
Konstitusi serta Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
9. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji undang-undang
terhadap UUD 1945, melekat 5 (lima) fungsi yakni:
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of
Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final
Interpreter of Constitution)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi (The Guardian of
Democracy)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung hak konstitusional warga
negara (The Protector of Citizen’s Constitutional Rights)
• Mahkamah Konstitusi sebagai Pelindung Hak Asasi Manusia (The
Protector of Human Rights)
10. Bahwa dalam melaksanakan kewenangannya menguji Undang-Undang
terhadap UUD, Mahkamah sedang menjalankan fungsi sebagai
Pengawal Konstitusi (The Guardian of Constitution). Oleh karenanya dalam
hal pengujian formil UU Cipta Kerja yang secara nyata dan terang
benderang menabrak asas pembentukan peraturan yang baik sebagaimana
ditentukan pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
11. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas berkenaan dengan yurisdiksi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian Konstitusionalitas
Pembentukan UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN


KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
7

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara


kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara”.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas
Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar, yaitu:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak
terjadi lagi.
3. Bahwa selanjutnya untuk memenuhi syarat kedudukan Hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitus, perlu
di jelaskan, sebagai berikut:
3.1. PEMOHON I adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang
dibuktikan dengan Kepemilikian Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.4 –
KTP). PEMOHON I pernah bekerja sebagai Pekerja Kontrak Waktu
Tertentu (PKWT) di perusahaan Duta Garuda Piranti Prima (Bukti P.5
– Kartu tanda Pengenal).
3.2. PEMOHON II adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang
dibuktikan dengan Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.6 –
KTP). PEMOHON V saat ini sedang menjalani Pendidikan di Sekolah
Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern)
yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Mahasiswa (Bukti P.7 – KTM)
3.3. PEMOHON III adalah Perseorangan Warga Negara Indonesia yang
dibuktikan dengan kepemlikan Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.8 –
KTP) yang berprofesi sebagai Dosen (Bukti P.9 – NIDN) yang mengajar
mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).
8

3.4. PEMOHON IV adalah Badan Hukum berbentuk Perkumpulan yang


diberi nama Perhimpunan Indonesia Untuk Buruh Migran Berdaulat-
Migrant CARE yang didirikan berdasakan Akta Nomor 8, Tanggal 22
Juni 2004 yang dibuat oleh Notaris G. Sri Mahanani, S.H. (Bukti P.10 –
Salinan Akta Pendirian Migrant CARE Tahun 2004) dan kemudian
karena adanya Perubahan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga
dibuatlah Akta No. 03 Tanggal 15 September 2016 oleh Mundji Salim,
S.H, tentang Perubahan AD/ART organisasi (Bukti P.11 – Salinan Akta
Perubahan Migrant CARE Tahun 2016) selanjutnya disahkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 20 September 2016
melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. AHU-
0074014.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan
Hukum Perkumpulan Indonesia Untuk Migran Berdaulat – Migrant
CARE (Bukti P.12 – SK MenkumHAM RI Migrant CARE).
PEMOHON IV diwakili oleh Pengurusnya yakni Wahyu Susilo sebagai
Ketua Migrant CARE dan Anis Hidayah sebagai Sekretaris Migrant
CARE, dimana keduanya adalah Warga Negara Indonesia yang
dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) (Bukti P.13 – KTP
Pengurus).
Berdasarkan Pasal 31 huruf b dan huruf c angka 8 Anggaran Rumah
Tangga PEMOHON IV (Bukti P.14 – AD/ART Migrant CARE),
menyatakan:
Pasal 31 huruf b, menyatakan:
Dewan Pengurus terdiri dari:
- Ketua
- Sekretaris
- Bendahara
Pasal 31 huruf c angka 8, menyatakan:
Tugas Dewan Pengurus
8. Mewakili Migrant CARE dalam berhubungan dengan Badan-
badan Peradilan dan Pihak luar lainnya.

Tujuan berdirinya Migrant CARE. dalam Pasal 3 Anggaran Dasar


PEMOHON IV (vide. Bukti P.14 – AD/ART Migrant CARE) adalah
untuk:
- Memberikan perlindungan secara luas baik hukum, sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan terhadap buruh migran dan anggota
9

keluarganya dengan berlandaskan nilai-nilai demokrasi,


perlindungan hak asasi dan keadilan gender.
- Melakukan pembelaan hak dan kepentingan buruh migran dan
keluarganya guna mendapatkan keadilan, kesaman derajat, dan
perlindungan hak asasi lainnya
- Meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi buruh migran dan
keluarganya dalam upaya memperjuangkan hak-hak dasar
kemanusaiaan yang dilindungi oleh negara.

3.5. PEMOHON V adalah Badan Hukum berbentuk Perkumpulan yang


diberi nama Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat
(Bakor KAN Sumatera Barat) yang didirikan berdasakan Akta Nomor
105, Tanggal 27 Maret 2018 yang dibuat oleh Notaris Desrizal Idrus
Hakimi, S.H. (Bukti P.15 – Salinan Akta Pendirian). Selanjutnya
disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 April
2018 melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-0005553.AH.01.07.Tahun 2018
tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Badan
Koordinasi Adat Nagari Sumatera Barat (Bukti P.16 – SK MenkumHAM
RI).
PEMOHON V diwakili oleh Pengurusnya yakni Dr. Yuzirawan Rasyid
sebagai Ketua Umum Bakor KAN Sumatera Barat dan Dr. Yulizal Yunus
sebagai Sekretaris Umum Bakor KAN Sumatera Barat, dimana
keduanya adalah Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) (Bukti P.17 – KTP Pengurus)
berdasarkan Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) Anggaran Dasar Organisasi
PEMOHON V (Vide. Bukti P.15 Akta Notaris), menyatakan:
(4) Dewan Pengurus berhak mewakili Perkumpulan di dalam dan
di luar Pengadilan tentang segala hal dalam segala kejadian,
mengikat Perkumpulan dengan pihak lain dan pihak lain
dengan Perkumpulan, serta menjalankan segala tindakan, baik
yang mengenai kepengurusan maupun kepemilikan.
(5) Ketua Pengurus berhak dan berwenang bertindak untuk dan
atas nama Dewan Pengurus serta mewakili Pengurus

Tujuan dan fungsi berdirinya Bakor KAN Sumatera Barat, dalam Pasal
5 Anggaran Dasar Organisasi (vide. Bukti P. 15 Akta Notaris)
PEMOHON VIII yakni:
- Tujuan Perkumpulan adalah melakukan Pemberdayaan,
Pelestarian dan Pemajuan Adat melalui Kerapatan Adat Nagari
10

- Fungsi Perkumpulan adalah melakukan Koordinasi, Advokasi,


Konsultasi seluruh KAN (Kerapatan Adat Nagari) Sumatera Barat
dan Masyarakat Hukum Adat.

3.6. PEMOHON VI adalah Badan Hukum berbentuk Perkumpulan yang


diberi nama Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM) yang
berkedudukan di Sumatera Barat, yang didirikan berdasakan Akta
Nomor 05, Tanggal 06 Desember 2016 yang dibuat oleh Notaris
Aflinda, S.H. (Bukti P.18 – Salinan Akta Pendirian). Selanjutnya
disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 April
2018 melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-0000652.AH.01.07. Tahun 2017
tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan
Mahkamah Adat Alam Minangkabau (Bukti P.19 – SK MenkumHAM
RI).
PEMOHON VI diwakili oleh Pengurusnya yakni Irwansyah Datuak
Katumanggungan sebagai Ketua Mahkamah yang merupakan Warga
Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) (Bukti P.20 – KTP Pengurus).
Dalam struktur pengurus MAAM, posisi Ketua Mahkamah/IMAM
MAHKAMAH menduduki posisi tertinggi pada pengambilan keputusan
dan dapat mewakili MAAM termasuk di dalam ataupun di luar
pengadilan. Artinya walaupun tidak termuat secara eksplisit dalam
bagian Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Organisasi dalam
Akta Notaris, namun bukan berarti menjadikan alasan Mahkamah
Konstitusi untuk menyatakan bahwa kedudukan Ketua
Mahkamah/IMAM MAHKMAH tidak dapat mewakili Organisasi.
Berdirinya MAAM memiliki tugas pokok, sebagaimana diatur pada
Pasal 8 Anggaran Dasar Organisasi (vide. Bukti P.18 – Akta Notaris)
PEMOHON VI yakni:
(1) Menaungi, melindungi, dan menjaga hak-hak, harkat dan
martabat kaum perempuan sebagai kehormatan tertinggi
dalam tatanan adat alam Minangkabau yang bergaris
keturunan Matriakat terbesar di dunia.
(2) Memelihara dan mempertahankan adat sako dan pusako yang
diwarisi turun temurun dari leluhur ninik moyang sesuai
tatanan adat Minangkabau sejak dulu kala.
11

(3) Memelihara dan membentengi adat, budaya tradisi dan


terutama Agama Islam agar tidak binasa dari pengaruh luar
dan asing baik sosial politik maupun global yang bertentangan
dengan philosopi Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi
Kitabullah.

MAAM berfungsi sebagaimana termuat dalam Pasal 9 Anggaran Dasar


Organisasi (Vide. Bukti P.18 – Akta Notaris) yang menyatakan:
MAAM berfungsi:
(1) Menyerap, menampung, menyalurkan, memperjuangkan
aspirasi masyarakat adat dan meningkatkan kapasitas
pemangku adat untuk mewujudkan masyarakat adat yang adil
dan Makmur, material maupun spiritual.
(2) Turut serta dalam program pembangunan nasional di brbagai
sector yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
(3) Saling bekerjasama dengan Pemerintah guna menyelamatkan
sejarah dan asset sumber daya mineral, sumber daya alam serta
sumber daya manusia, guna mengelola hak-hak adat
mewujudkan kesejahteraan Rakyat Indonesia.
(4) Menampung aspirasi masyarakat adat selaku rakyat Indonesia,
mengelola dan memperjuangkan aspirasi-aspirasi tersebut untuk
mencapai tujuan MAAM dalam segala aspek kehidupan
masyarakat adat Minangkabau yang meliputi ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, hukum dan hak asasi manusia,
kelestarian tradisi, lingkungan dan keberlanjutan, dan MAAM
dapat membentuk badan-badan usaha, unit-unit usaha lainnya
guna menunjang keberlangsungan kegiatan-kegiatan tersebut.
(5) Wadah pemersatu kaum adat sebagai kontribusi anak bangsa
dalam memperjuangkan penegakan hukum adat Minangkabau
untuk mendapatkan status hak istimewa Provinsi Sumatera Barat
menjadi daerah otonomi khusus sebagai bentuk pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat dari Pemerintah
Republik Indonesia yang dijamin oleh Negara sesuai amanat
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU No. 10 Tahun 2004, UU 32
Tahun 2004, PP No. 25 Tahun 2000, PP No. 39 Tahun 2001 dan
PP No. 58 Tahun 2005, PP No. 72 Tahun 2005, dlsb.

4. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Maka PEMOHON I, PEMOHON II,


PEMOHON III, masuk pada bagian persyaratan sebagai Perseorangan
Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1) huruf
a UU Mahkamah Konstitusi. Sementara terhadap PEMOHON IV,
PEMOHON V dan PEMOHON VI masuk pada bagian persyaratan sebagai
Badan Hukum sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1) huruf c UU
Mahkamah Konstitusi.
5. Selanjutnya untuk memenuhi kapasitas sebagai subjek hukum
sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12

006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 terkait kerugian


konsttusional, adalah sebagai berikut.
KERUGIAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON
6. Bahwa untuk memenuhi syarat mendapatkan kedudukan hukum untuk
menguji undang-undang, selain sebagai perseorangan Warga Negara
Indonesia, PARA PEMOHON juga harus memiliki kerugian konstitusional
sebagaimaan ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
7. Bahwa dalam hal ini PARA PEMOHON memiliki kerugian konstitusional
yang dirugikan secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi
apabila diberlakukan UU Cipta Kerja.
8. Bahwa hak konstitusional PARA PEMOHON yang secara potensial dalam
penalaran yang wajar dapat dapat terjadi, antara lain:
Pasal 28D Ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan Pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.”
Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan”
Hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta
mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja inilah yang dilanggar oleh berlakunya UU Cipta Kerja.
9. Bahwa terhadap kerugian Konstitusional PARA PEMOHON, akan diuraikan
satu-persatu, adalah sebagai berikut:
9.1. PEMOHON I pernah berkeja di Perusahaan dengan status PKWT
yang ditempatkan sebagai Technician Helper. Namun dengan adanya
Pandemi Covid, PEMOHON I mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
sepihak dari tempatnya berkerja. Hingga saat ini PEMOHON I sedang
berupaya mencari pekerjaan di tempat yang membutuhkan
13

pengalamannya sebagai Technician Helper atau yang sejenis.


Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma
yang menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan (Vide Pasal 81 UU
Cipta Kerja). Hal ini tentunya menghapus kesempatan Warga Negara
untuk mendapatkan Perjanjian kerja tidak tertentu (Pekerja tetap).
Selain itu UU Cipta Kerja pada kluster Ketenagakerjaan juga terdapat
ketentuan-ketentuan norma yang merugikan hak konstitusional
PEMOHON I untuk mendapatkan mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan-
ketentuan norma tersebut di antaranya:
- memangkas Waktu Istirahat Mingguan,
- Menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi
Pekerja/buruh,
- menghapus Sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah,
- Menghapus Hak Pekerja/buruh untuk dapat mengajukan PHK.
Terhadap adanya ketentuan-ketentuan norma tersebut, tentunya
dalam penalaran yang wajar dipastikan dapat terjadi kepada
PEMOHON I saat mendapatkan pekerjaan di Perusahaan yang
menerapkan aturan tentang ketenagakerjaan.
Karena PEMOHON I mempunyai kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan primernya (sandang, pangan, dan papan) dan atas
kebutuhan tersebut dalam keadaan yang pada umumnya setiap
manusia membutuhkannya, dan dengan mendasarkan pada hak
ekonomi yang dijamin oleh UUD 1945, oleh karenanya mendapatkan
Pekerjaan untuk dapat menghidupi dirinya dan keluarga adalah suatu
hal yang wajib dilakukan PEMOHON I.
Sementara pentingnya perlindungan dan keadilan hukum bagi
pekerja sangat diperlukan mengingat kedudukan pekerja berada
pada pihak yang lemah. Perlindungan dan keadilan tersebut
dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja
dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
14

Kerugian ini tentunya secara pasti berpotensi dialami oleh


PEMOHON I karena pada dasarnya seorang PEMOHON I untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya haruslah mendapatkan
pekerjaan. Selain itu adanya pengaturan yang men-downgrade hak-
hak pekerja tentunya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 yang memberikan jaminan untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
9.2. PEMOHON II adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan
Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi)
PEMOHON II yang saat ini sedang menjalankan pendidikannya,
memiliki kerugian konstitusional atas keberlakuan UU Cipta Kerja.
Dimana sektor Pendidikan ternyata pun tidak luput masuk dalam
kluster yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Sebagai pelaku pendidikan PEMOHON II dan akan mengabdi di dunia
Pendidikan, tentunya secara pasti akan mengalami kerugian
konstitusional akibat dari berlakunya UU Cipta Kerja yakni
menjadikan Pendidikan menjadi ladang bisnis yaitu Kapitalisasi
terhadap dunia Pendidikan. Dengan begitu Ketentuan-ketentuan
norma yang terdapat pada Kluster Pendidikan dalam UU Cipta Kerja
telah mereduksi tujuan pendidikan sebagiamana termaktub dalam
konstitusi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi serta tidak lagi
menjadi aktivitas peradaban.
Berlakunya UU Cipta Kerja yang diyakini akan menjadikan
Pendidikan menjadi ladang bisnis yaitu kapitalisasi terhadap dunia
Pendidikan dapat dilihat pada ketentuan norma Pasal 150 UU Cipta
Kerja yang mengubah UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan
Ekonomi Khusus (UU KEK) dengan mengubah Pasal 3 dan
memasukan pendidikan ke dalam kegiatan usaha Kawasan Ekonomi
Khusus. Dimana sebelumnya Pendidikan tidak masuk pada KEK.
Ditambah lagi dengan ketentuan norma Pasal 65 ayat (1) yang
menyatakan:
“Pelaksanaan perizinan pada sektor Pendidikan dapat
dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini”
15

Artinya, dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja, PEMOHON II telah


dilanggar hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan
kepastian hukum yang adil untuk mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya serta berhak mendapatkan
Pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi demi meningkatkan kualitas hidupnya serta demi
kesejahteraan umat manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
9.3 PEMOHON III adalah Warga Negara Perseorangan yang mengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di UNUSIA.
Praktik Ketatanegaraan merupakan salah satu acuan bagi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
memberikan Pengajaran di Ruang Akademik. Bagaimana
penyesuaian antara teori ataupun aturan normatif yang ada sebagai
dasar untuk melakukan suatu Tindakan atau membuat suatu
kebijakan negara. Terlebih dalam Proses pembentukan undang-
undang, Pembentuk Undang-Undang harus melakukan proses
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 yang digunakan
PEMOHON III sebagai bahan ajar dalam Ruang Kuliah.
Namun ternyata proses pembentukan UU Cipta Kerja yang dengan
sengaja melanggar ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU
12/2011 tentunya menjadi Praktik Ketatanegaraan yang tidak dapat di
jelaskan secara akademik oleh PEMOHON III kepada peserta
didiknya incasu Mahasiswa/i di kampus. Disisi lain PEMOHON III
mengajarkan Prosedur pembentukan Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945 dan UU 12/2011, namun dalam
Praktiknya Pembentuk Undang-Undang memberikan pengajaran
kepada peserta didik yang diajar oleh PEMOHON III dengan
sewenang-wenang secara nyata-nyata, bahkan melalui Sekjen DPR,
Pembentuk UU memberikan Penjelasan yang tidak sesuai fakta yang
terjadi, terkait dengan Perubahan Substansi yang dilakukan oleh DPR
melalui Badan Legislasi maupun Presiden melalui Sekretaris Negara
16

pasca persetujuan bersama dalam sidang Paripurna. Namun Sekjen


DPR menyatakan bahwa perubahan-perubahan itu hanyalah sebatas
perubahan teknis penulisan, perubahan ukuran kertas dan tidak
merubah substansi sama sekali.
Artinya PEMOHON III tidak mendapatkan kepastian hukum, karena
apa yang diajarkan kepada mahasiswanya terkait proses
pembentukan peraturan perundang-undangan ternyata berbanding
terbalik dengan praktik ketatanegaraan. Hal ini tentunya merugikan
hak konstitusional PEMOHON III untuk mendapatkan kepastian
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
9.4 Kerugian-kerugian dalam angka 9.1 angka 9.2 dan angka 9.3 di atas,
tentunya secara pasti berpotensi dialami oleh PEMOHON I,
PPEMOHON II dan PEMOHON III telah memenuhi kriteria
sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU- III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007
9.5 PEMOHON IV adalah Organisasi yang concern dalam mengawal
pelindungan Pekerja Migan Indonesia baik dalam upaya
mengadvokasi para pekerja migran beserta keluarganya, juga
memperjuangan perubahan UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
pelindungan pekerja migran menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) (Bukti P.21 –
Dokumentasi RDPU Migrant CARE).
Upaya yang dilakukan oleh PEMOHON IV untuk menjadikan UU yang
reformis dan berkemajuan dalam pelindungan pekerja migran
Indonesia menjadi sia-sia dengan ditambahkannya Pasal 89A ke
dalam UU PPMI sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Cipta Kerja
yang merubah ketentuan dalam UU PPMI. Di mana pada Pasal 89A
menyatakan:
“Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja,
pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan
Berusaha”
17

Artinya pengertian atau Makna SIP3MI (kepanjangan: Surat Izin


Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) menyesuaikan
dengan perizinan berusaha di UU Cipta Kerja. Padahal secara filosofi
pengaturan perizinan berusaha bagi perusahaan yang menempatkan
Manusia, tentunya berbeda dengan Perizinan berusaha bagi
perusahaan yang bergerak di bidang lain.
Selanjutnya, dalam Perubahan pada Pasal 84 UU Cipta Kerja,
terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU PPMI yang
mengatur tentang syarat perpanjangan SIP3MI yang harus dipenuhi,
dihapus. Padahal ketentuan norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU
PPMI tersebut sebagai bentuk pengawasan dan evaluasi bagi
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), sebagai
upaya pelindungan Pekerja Migran dari P3MI yang tidak professional
dan tidak berkompeten dan tidak bertanggung jawab
Perubahan ketentuan norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 87 UU PPMI sebagaimana dijelaskan di atas, sama sekali tidak
melibatkan PEMOHON IV dalam proses pembahasan pembentukan
UU Cipta Kerja incasu kluster ketenagakerjaan. Padahal PEMOHON
IV yang selama ini melakukan upaya untuk meningkatkan
pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia hingga terbentuknya UU
PPMI.
Apabila UU Cipta Kerja diberlakukan, tentunya akan menimbulkan
kerugian secara langsung bagi PEMOHON IV karena apa yang telah
dicapai atas upaya yang dilakukan selama ini seakan menjadi
Kembali pada titik masa suram pelindungan Pekerja Migran
Indonesia saat berlakunya UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri. Bahkan PEMOHON IV semakin berat dalam melakukan
tugasnya dalam berkontribusi untuk melindungi para pekerja migran
Indonesia maupun dalam mengawasi P3MI yang “nakal”, apabila UU
PPMI diberlakukan.
9.6 PEMOHON V adalah Badan Hukum Perkumpulan Kerapatan Adat
Nagari Sumatera Barat yang bertujuan melakukan pemberdayaan,
pelestarian dan pemajuan Adat melalui Kerapatan Adat Nagari.
18

Selain itu PEMOHON V berfungsi untuk melakukan koordinasi,


advokasi, konsultasi seluruh Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat
dan Masyarakat Hukum Adat.
Sementara PEMOHON VI adalah Badan Hukum Perkumpulan
Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang berfungsi menyerap,
menampung menyalurkan, memperjuangkan aspirasi masyarkat
adat. Selain itu memiliki tugas pokok salah satunya memelihara dan
mempetahankan adat sako dan pusako, serta memelihara dan
membentengi adat, budaya.
Dalam Hal ini PEMOHON V dan PEMOHON VI memiliki tanggung
jawab menjaga dan melindungi eksistensi masyarakat adat, termasuk
ikut menjaga keberadaan Lahan Ulayat, dan melakukan advokasi
bagi Lahan-Lahan Ulayat yang diambil alih pengelolaannya oleh
pihak lain tanpa persetujuan masyarkat adat selaku pemilik lahan
ulayat.
Masuknya pengaturan tentang penghapusan sanksi pidana atas
penggunaan lahan hak ulayat oleh Pelaku Usaha tanpa memperoleh
persetujuan masyarakat adat pemegang hak ulayat diatur Pasal 31
UU Cipta Kerja yang merubah beberapa ketentuan dalam UU No. 22
Tahun 2019 Tentang Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan, di
mana Pasal 22 yang menyatakan:
(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak
melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan dikenai
sanksi administratif berupa:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. pengenaan denda administratif;
c. paksaan Pemerintah;
d. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kemudian terhadap ketentuan norma Pasal 111 dalam UU Cipta kerja


dihapus.
Sementara apabila kita melihat ketentuan Pasal 22 UU No. 22 Tahun
2019 tentang Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan, sebelum
diubah dalam UU Cipta Kerja, adalah sebagai berikut:
19

Pada Pasal 22, menyatakan:


“Dalam hal penggunaan Lahan dalam luasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh
Pelaku Usaha di atas Lahan hak ulayat, Pelaku Usaha wajib
melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan.”
Kemudian pada Pasal 111, menyatakan
Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak
melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana dendapaling
banyak Rp5.000.OO0.000,00 (lima miliar rupiah).

Penghapusan sanksi pidana dan merubahnya dengan sanksi


adminstrati tentunya akan menimbulkan banyaknya penyerobotan
lahan ulayat yang akan terjadi secara semena-mena.
Namun terhadap persoalan ini, PEMOHON V dan PEMOHON VI,
sama sekali tidak mendapatkan informasi terkait penghapusan sanksi
pidana sebagaimana dijelaskan di atas. Artinya tidak terbuka/tidak
patisipatifnya pembentukan UU Cipta Kerja telah merugikan hak
konstitusional PEMOHON V dan PEMOHON VI sebagaimana telah
dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya” artinya dengan diberlakukannya
UU Cipta Kerja, maka PEMOHON V dan PEMOHON VI dalam
upayanya untuk melaksanakan tujuan dan tugas pokoknya telah
dirugikan secara langsung atau tidak-tidaknya dalam penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila UU Cipta Kerja
diberlakukan.
Artinya PEMOHON V dan PEMOHON VI dalam penalaran yang wajar
akan dirugikan hak konstitusionalnya utuk memerjuangkan hak dan
membangun masyarkat adat di Sumatera Barat secara kolektif.
10. Bahwa selain kerugian konstitusional PARA PEMOHON sebagaimana telah
diuraikan secara keseluruhan pada poin 9 (Sembilan) di atas. Menurut
Mahkamah Konstitusi terdapat penentuan syarat yang harus dipenuhi oleh
pemohon dalam melakukan upaya Pengujian Formil suatu Undang-Undang
20

terhadap UUD 1945. Syarat tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah


Konstitusi dalam Putusan No. 27/PUU-VII/2009, Paragraf [3.9], angka 1b,
halaman 60-63, Mahkamah menyatakan:
• Meskipun ukuran tentang kepentingan dan kedudukan hukum
Pemohon yang menentukan ada tidaknya legal standing untuk
mengajukan permohonan tetap harus merujuk pada Pasal 51 ayat
(1) UU MK, akan tetapi berbeda dengan uji materiil Undang-
Undang, yang menitik beratkan pada kerugian yang terjadi karena
dirumuskannya substansi norma dalam satu Undang-Undang
merugikan hak konstitusional, maka dalam uji formil kerugian
konstitusional Pemohon harus dilihat dari kepercayaan dan mandat
yang diberikan kepada wakil sebagai fiduciary duty, yang harus
dilaksanakan secara itikad baik dan bertanggung jawab, dalam
hubungan mandate yang tidak terputus dengan dipilih dan
dilantiknya anggota DPR sebagai wakil rakyat pemilih. Kedaulatan
rakyat dalam pembentukan Undang-Undang (legislasi) tidaklah
berpindah, setelah rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya
dan diberikan mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
tersebut, melainkan setiap saat rakyat pemilih berkepentingan untuk
mengadakan pengawasan berdasarkan mekanisme yang tersedia
dalam UUD 1945. Perubahan ketiga UUD 1945 yang termuat dalam
Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa “kedaulatan rakyat berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”. Berfungsinya
kekuasaan legislatif secara riil sebagaimana layaknya, berdasar
transfer atau perpindahan kedaulatan rakyat yang diserahkan
“rakyat yang berdaulat” pada wakil-wakilnya sebagai mandat
berdasarkan konsep kepercayaan (trust), menyebabkan anggota
legislatif tersebut memperoleh kekuasaan secara fiduciair (fiduciary
power). Akan tetapi pemberian mandat tersebut tetap saja tidak
menggeser kekuasaan rakyat sebagai the supreme power (the
sovereign) yang, melalui pengawasan dalam pengujian, tetap dapat
mengawasi mandat dalam legislasi yang dihasilkan jika dibuat
secara bertentangan dengan kepercayaan yang diletakkan padanya
karena kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi
sesungguhnya tidak pernah berpindah dengan terbentuknya
institusi perwakilan yang memuat mandat, melainkan tetap berada
di tangan rakyat.
• Oleh karenanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
setiap warga yang telah memberikan hak pilih dalam pemilihan
umum, yang menghasilkan terpilihnya wakil rakyat di DPR,
dipandang terjadi ketika wakil rakyat secara kelembagaan tidak
melaksanakan tugas yang dipercayakan secara fair, jujur, wajar dan
bertanggung jawab. Tugas utama anggota DPR adalah hadir di
dalam rapat-rapat DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya
serta mengambil keputusan dengan prosedur dan tata cara yang
fair dan jujur, sehingga UndangUndang dan kebijakan lain yang
dibentuk, yang bukan merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan
sungguh-sungguh, yang harus mengikat warga negara secara
keseluruhan termasuk Pemohon a quo, pasti menimbulkan kerugian
konstitusional bagi pemberi mandat. Ukuran fairness, kejujuran,
21

kesungguhan, dan kepercayaan tersebut dijalankan secara


bertanggung jawab, adalah kehadiran yang sungguh-sungguh
dalam rapat DPR sehingga tidak merupakan hambatan berkenaan
dengan kuorum yang tidak terpenuhi, karena ketidaksungguhan
tersebut, serta menaati prosedur dan tata cara pengambilan
keputusan yang telah ditentukan.
• Meskipun dikatakan bahwa kedudukan hukum (legal standing)
digantungkan pada kerugian konstitusional akibat berlakunya
norma dalam satu Undang-Undang, ukuran demikian dapat
berbeda dalam uji materiil dengan uji formil. Dalam uji formil, yang
menyangkut tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair,
jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-
keputusan untuk membentuk satu Undang-Undang atau kebijakan
lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan yang telah
melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping
kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf
a sampai dengan d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan uji formil, karena
merasa dirugikan secara konstitusional oleh pemegang mandat
yang dipilih rakyat, dengan mengambil keputusan tidak sesuai
dengan mandat yang diperolehnya secara fiduciair.

11. Bahwa artinya khusus untuk PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III
merupakan Warga Negara yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi, dalam pemilihan umum DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden dibuktikan dengan data PEMOHON I,
PEMOHON II, PEMOHON III sebagai Pemilih dalam Pemilu 2019 yang
dapat diakses dari Aplikasi KPU RI PEMILU 2019 (Bukti P.22).
12. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK No.
27/PUU-VII/2009 pada angka 10 di atas, perlu kami jelaskan bahwa dalam
proses pembentukan UU Cipta kerja secara nyata-nyata dan terang
benderang, serta telah diketahui publik, dalam membentuk UU Cipta Kerja,
Pembentuk Undang-Undang menggunakan cara yang menunjukan tidak
dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka, fair, jujur dan
bertanggung jawab. Bahkan selama proses pembentukan UU Cipta Kerja,
pembentuk Undang-Undang melakukan prosesnya secara tertutup, tidak
fair, dan banyak melakukan kebohongan publik. terutama pasca
disetujuinya bersama RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Presiden pada
tanggal 05 Oktober 2020.
13. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi penekanan Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan MK No. 27/PUU-VII/209, dimana mahkamah
menyatakan, tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur,
22

dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk


membentuk satu Undang-Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga
negara, sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai
pemegang kedaulatan, di samping kualifikasi lainnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan d, menurut Mahkamah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan uji formil, karena merasa dirugikan secara konstitusional oleh
pemegang mandat yang dipilih oleh PEMOHON I, PEMOHON II,
PEMOHON III, namun dalam mengambil keputusan tidak sesuai dengan
mandat yang diperolehnya secara fiduciair. Terlebih dalam perkara a quo
keberlakuan UU Cipta Kerja berdampak langsung bagi PEMOHON I,
PEMOHON II, PEMOHON III.
14. Bahwa berdasarkan penjelasan PARA PEMOHON sebagaimana diuraikan
di atas, PARA PEMOHON telah secara spesifik menjelaskan hak
konstitusionalnya yang dirugikan baik secara langsung maupun potensial
dirugikan dan potensi kerugian dimaksud menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, sehingga apabila UU Cipta Kerja dinyatakan
tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan,
maka dapat dipastikan kerugian konstitusional yang dialami oleh PARA
PEMOHON tidak akan terjadi dikemudian hari. Oleh karenanya telah tampak
adanya hubungan kausal (causal-verband) antara kerugian konstitusional
yang didalilkan dan berlakunya UU Cipta Kerja.
15. Bahwa oleh karenanya, maka PARA PEMOHON memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang
dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya dan syarat kerugian hak
konstitusional sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

Permohonan Pemeriksaan Prioritas

Bahwa sebelum menguraikan alasan Provisi, serta sebelum menguraikan lebih


lanjut alasan-alasan pada pokok permohonan, kami memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pemeriksaan persidangan uji formil
23

secara cepat incasu memberikan prioritas penanganan perkara uji formil


dengan alasan sebagai berikut:
- Pengujian Fomil di Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menguji
pembentukan suatu undang-undang telah memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang dalam UUD 1945 atau tidak, yang dalam
perkembangannya dalam Putusan 27/PUU-VII/2009 diperluas juga
termasuk ketentuan pembentukan undang-undang dalam UU 12/2011 dan
Tatib DPR.
- Artinya, Pengujian Formil memiliki perbedaan karakteristik dengan
pengujian materiil, dimana terhadap Putusan Uji Formil, Mahkamah
Konstitusi akan menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
- Oleh karena Adanya perbedaan karakteristik tersebut, Mahkamah
Konstitusi memberikan tenggat waktu suatu undang-undang yang akan di
uji formil ke Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam
Pertimbangan Hukum Putusan No. 27/PUU-VII/2009, pada Paragraf
[3.34], halaman 92, menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a
quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu
atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil.
Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat
karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil.
Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara
sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui
dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya
bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah
Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah
telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan
menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah
memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah
Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang
cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang”
- Artinya, alasan Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat 45 hari suatu
undang-undang dapat diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi, adalah
untuk mendapatkan kepastian hukum secara lebih cepat atas status suatu
Undang-Undang apakah dibuat secara sah atau tidak. Sebab pengujian
secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal.
24

- Sementara, setidaknya sampai permohonan ini di bacakan pada sidang


perbaikan permohonan, pada hari ini, Rabu, 24 November 2020, sudah
banyak permohonan pengujian formil dan materiil UU Cipta Kerja, bahkan
terdapat permohonan pengujian formil yang disatukan dalam satu naskah
terhadap pengujian materiil UU Cipta Kerja. Padahal terhadap Pengujian
Formil PARA PEMOHON sudah masuk pada sidang ke-2 dengan agenda
Perbaikan Permohonan. Artinya apabila Mahkamah Konstitusi
menggabungkan penanganan perkara pengujian formil PARA PEMOHON
dengan permohonan-permohonan lain maka tentunya proses pemeriksaan
perkara a quo tentunya mengikuti perkara pengujia materiil yang tidak
memiliki waktu yang jelas. Hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan gejolak publik yang dapat diredam dengan adanya saluran
pengujian di Mahkamah Konstitusi. Maka seharusnya Mahkamah Konstitusi
dapat melihat kondisi tersebut dan mengambil langkah yang tepat dan cepat.
- Terhadap pemisahan antara Pengujian Formil dan Pengujian Materiil, hal
senada juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang dikutip dalam
wawancaranya dengan hukum Online, Jumat, 06 November 2020, Jimly
Asshiddiqie yang pada pokoknya berpendapat agar hakim MK harus aktif
dalam menangani uji UU Cipta Kerja ini. Misalnya, saat ini ada pihak yang
mengajukan permohonan uji formil dan materil sekaligus. Menurutnya,
pengujian formil dan materil harus diperiksa dan dinilai terpisah. Keduanya,
tidak saling mempengaruhi dan berproses masing-masing. Lebih lanjut,
Jimly Asshiddiqie mengatakan “Ini kan dua hal yang berbeda, kalau uji
materil banyak sekali pasalnya, selesainya bisa berbulan-bulan.
Sebaiknya diperiksa dulu uji formilnya, setelah itu uji materilnya."
(vide.https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa4f9409448e/jimly--jika-
masih-hakim-mk--1000-persen-saya-kabulkan-uji-formil-uu-cipta-
kerja?page=3)
- Oleh karenanya terhadap pengujian formil UU Cipta Kerja ini, kami
memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili
serta memutus perkara pengujian formil ini secara prioritas untuk
menyelesaikan proses pemeriksaan dalam waktu 30 hari ke depan.
Mengingat bulan Januari hingga Maret 2021, agenda Mahkamah
Konstitusi sudah masuk pada penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan
25

Umum Daerah (PHPU.D). Jadi besar harapan kami kepada Mahkamah


Kontitusi dapat memaksimalkan proses pemeriksaan pada bulan
November dan Desember 2020 ini, sehingga sebelum masuk pada agenda
PHPU.D, pemeriksaan perkara a quo sudah selesai dan sudah dapat di
putus.

Alasan Permohonan Provisi

Bahwa sebelum masuk kepada bagian Alasan Permohonan sebagai Pokok


Permohonan ini, perkenankanlah kami meminta putusan Sela (Provisi) dengan
alasan sebagai berikut:
- Apabila kita mengacu pada kaidah hukum, dikenal istilah kaidah formil dan
materiil yang menurut Jimly Asshiddiqie parallel dengan pembedaan
antara hukum materill dan hukum formil. Hukum materiil atau substantive
law mengatur mengenai substansi normanya, sedangkan hukum formil
atau procedur law mengatur mengenai prosedur penegakkan norma
hukum materiil itu (Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia-Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
(BIP), 2007), hlm. 590).
- Dalam kaitanya dengan proses pembentukan suatu undang-undang Lon
Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas
yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka
hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain
harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah.
Pertama, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu.
Kedua, diumumkan kepada publik. Ketiga, tidak berlaku surut. Keempat,
dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum. Kelima, tidak boleh
ada peraturan yang saling bertentangan. Keenam, tidak boleh menuntut
suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan. Ketujuh, tidak boleh
sering diubah-ubah. Kedelapan, harus ada kesesuaian antara peraturan
dan pelaksanaan sehari-hari. (Lon L. Fuller, Morality of Law New, (Haven
and London: Yale University Press, 1964), hlm. 39.)
- Jika dikaji lebih lanjut tentang keabsahan norma, Hakim Mahkamah
Konstitusi Maria Farida menyatakan bahwa, “setiap pelaksanaan
wewenang harus diikuti dengan prosedur tertentu yang tetap.”
26

Pelaksanaan wewenang ini, diperlukan guna mengukur validitas


pelaksanaan wewenang tersebut dan pada akhirnya pengukuran ini
diperlukan dalam konteks kepastian hukum. (Maria Farida, dkk., Laporan
Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan, (Jakarta:
Departemen Hukum Dan Ham 2008), hlm. 4).
- Mengutip keterangan ahli yang disampaikan oleh Susi Dwi Harijanti dalam
persidangan Pengujian Formil UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan
atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
terhadap UUD 1945 dalam Perkara No. 60/PUU-XVIII/2020, pada hari
Rabu, 18 November 2020 Pkl. 11.00 WIB, Pkl. 11.00, dalam keterangan
tertulis termuat pada halaman 18-19). Terhadap implikasi hukum atas
suatu undang-undang yang pada saat pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan pembentukan UU, Di mana menurut ahli:
“bahwa tindakan manusia dapat secara sah diterjemahkan sebagai
tindakan negara, hanya apabila dilakukan berdasarkan kriteria yang
sesuai dengan hukum. Apabila tidak, tindakan tersebut harus
diterjemahkan sebagai tindakan perseorangan biasa yang tidak
memiliki dampak hukum. Bahkan, orang yang melakukannya
bertanggungjawab secara indvidu terhadap tindakan tersebut
(personal responsibility). Terhadap tindakan yang diambil secara
tidak sah tersebut, Kelsen mengatakan bahwa pada prinsipnya
tindakan tersebut tidak bernilai (null) dan tidak dapat memiliki
dampak hukum.
Dengan demikian, prosedur dalam pembentukan undang-undang di
dalam berbagai peraturan perundang-undangan memiliki makna
penting sebagai serangkaian kriteria dari rantai tindakan hukum
(chain of legal acts) yang menentukan validitas sebuah undang-
undang. Dengan kata lain, prosedur memiliki fungsi untuk
membedakan apakah sebuah tindakan dari kekuasaan berdampak
pada lahirnya hukum atau tidak. Jika undang-undang yang diuji
dinyatakan tidak memenuhi bagian tertentu dari seluruh proses
pembentukan undang-undang yang ditetapkan oleh hukum, maka
berkonsekuensi mengakibatkan norma-norma didalamnya
dianggap sebagai preposisi yang tidak mengandung sifat hukum
sejak kelahirannya (nullity), yang dalam tradisi hukum di Indonesia
disebut sebagai “batal demi hukum”.

- Lebih lanjut ahli juga mendasarkan pendapatnya dengan Putusan


Mahkamah Konstitusi. Ahli mengatakan:
Pendapat ini merupakan pendapat yang sejalan dengan apa yang
disampaikan Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya Nomor
27/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun
27

2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa:
“Demikian pentingnya keabsahan penggunaan kekuasaan itu yang
oleh karenanya apabila terjadi penggunaan kekuasaan yang tidak
sah maka seharusnya perbuatan tersebut batal demi hukum atau
tidak sah sejak awal (void ab initio),…”.
- Memperhatikan adanya Prosedur pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak
memenuhi ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 yang
dipertontonkan secara nyata-nyata ke Publik, yakni adanya perubahan-
perubahan Naskah RUU Cipta Kerja yang menyangkut materi muatan
ayat, pasal atau bagian pasal dalam UU Cipta Kerja pasca disetujui
bersama pada tanggal 05 Oktober 2020 sebagaimana diuraikan pada
bagian alasan permohonan.
- Memperhatikan juga terdapat Ketentuan-ketentuan norma dalam UU Cipta
Kerja yang tidak dapat dilaksanakan, seperti pada Pasal 6 yang mengatur
tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, dimana
dalam Pasal 6 tersebut merujuk kepada Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal
dalam Pasal 5 tidak terdapat ayat (1) huruf a. Demikian pula pada
ketentuan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang adminstrasi
Pemerintahan yang diubah sebagaimana termuat dalam Pasal 175 UU
Cipta Kerja. Dimana pada pasal 53 ayat (5) menyatakan: “Ketentuan lebih
lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang
dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pad ayat (3)
diatur dalam Peraturan Presiden”. Padahal ayat (3) menyatakan: Dalam
hal Permohonan diproses melalui system elektronik dan seluruh
persyaratan dalam system elektronik terlah terpenuhi, system elektronik
menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau
Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Disini jelas
terlihat kesalahan rujukan yang mengakibatkan tidak dapat
dilaksanakannya pasal tersebut.
- Selain itu juga terdapat ketentuan yang mewajibkan penetapan Peraturan
Pelaksana dari UU Cipta Kerja paling lama 3 (tiga) bulan sejak UU Cipta
28

Kerja diundangkan. Artinya Pemerintah wajib penyelesaikan Peraturan


Pemerintah (PP) atas Undang-Undang yang terdapat ketentuan-ketentuan
norma yang tidak dapat dilaksanakan.
- Maka demi kepastian hukum, sebelum Mahakamah Konstitusi memutus
Permohonan a quo. Maka PARA PEMOHON mohon kepada Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan Putusan Sela (Provisi) yang menunda
Keberlakuan/pelaksanaan UU Cipta Kerja hingga adanya putusan akhir
Mahkamah Konstitusi terhadap Pokok Permohonan a quo

Alasan Pokok Permohonan

Sebelum menjelaskan secara komprehensif alasan pokok perkara, penting


untuk kami jelaskan kembali bahwa ketentuan Pembentukan Undang-Undang
secara konstitusional, tidak diatur secara lebih terperinci dalam UUD 1945.
Oleh karenanya Pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang yakni UU 12/2011. Artinya UUD 1945 telah hanya mendelegasikan
kewenangan konstitusional pembentukan peraturan perundang-undangan
kepada UU 12/2011. Sehingga semua pembentukan perundang-undangan
harus tunduk pada UU 12/2011 tanpa terkecuali termasuk UU Cipta Kerja.

Oleh karenanya sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga


negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau
formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi,
maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.
Karena jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal
UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada
pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak
mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. (vide Putusan MK No.
27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.19], halaman 82-83).

Pengujian Formil UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi ketentuan


pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 yang
menyatakan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-
undang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan pendelegasian norma
pada ketentuan tersebut, maka tolok ukur pengujian formil perkara a quo selain
29

mendasarkan pada batu uji / tolok ukur UUD 1945, juga menggunakan UU
12/2011

Oleh karenanya terhadap pengujian formil dalam Perkara a quo tolok ukur
atau batu uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

UUD 1945

Pasal 20 ayat (4), yang menyatakan:


“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.”
Pasal 22A, yang menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang”
UU 12/2011

Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g, yang menyatakan:


Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan

Pasal 72 ayat (2), yang menyatakan:


Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam waku paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.

Penjelasan Pasal 72 ayat (2), yang menyatakan:


Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan
segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-
Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan
penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara
Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Bahwa terhadap pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU
12/2011 dengan alasan-alasan sebagai berikut:
30

1. Bahwa UU Cipta kerja yang disahkan dan diundangkan menjadi Undang-


Undang pada tanggal 2 November 2020, merupakan undang-undang yang
menerapkan konsep omnibus law yang terbagi atas 11 Cluster di
antaranya:
1) Penyederhanaan perizinan tanah
2) Persyaratan investasi
3) Ketenagakerjaan
4) Kemudahan dan perlindungan UMKM
5) Kemudahan berusaha
6) Dukungan riset dan inovasi
7) Administrasi Pemerintahan
8) Pengenaan sanksi
9) Pengendalian lahan
10) Kemudahan proyek pemerintah
11) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
2. Bahwa ke-11 (sebelas) cluster yang diatur dalam UU Cipta Kerja,
merupakan penggabungan dari 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang,
antara lain:
1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
2) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pulau Kecil
3) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
4) UU No. 4 Tahun 2011 tentang Geospasial
5) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan
6) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
7) UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
8) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Kelautan
9) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
10) UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
11) UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian
Berkelanjutan
12) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani
13) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura
31

14) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan


15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
16) UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Hutan
17) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
18) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
19) UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
20) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
21) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
22) UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
23) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
24) UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
25) UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
26) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Rakyat
27) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
28) UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
29) UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
30) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
31) UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
32) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
33) UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
34) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
35) UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
36) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
37) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
38) UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
39) UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
40) UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
41) UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan
Umrah
42) UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos
43) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
44) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
45) UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
46) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
32

47) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal


48) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
49) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
50) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
51) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
52) UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Nasional
53) UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia
54) UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
55) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menegah
56) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
57) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
58) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten
59) UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
60) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
61) Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940
Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie)
62) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
63) UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
64) UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
65) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
66) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
67) UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
68) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan;
69) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
70) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
71) UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
72) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
33

73) UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian


Pangan Berkelanjutan
74) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
75) UU No. 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas
76) UU No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Sabang
77) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
78) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Bahwa persoalan utama yang terdapat pada UU Cipta Kerja yang menjadi
Pokok Perkara Pengujian Formil ini adalah Proses Pembentukannya yang
tidak memenuhi ketentuan Pembentukan Undang-Undang berdasarkan
UUD 1945 (Cacat formil/Cacat Prosedur) karena terdapat pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan secara terang benderan dan secara nyata
diketahui oleh Publik. Bahkan selain cacat formil juga bermasalah secara
materiil.

UU CIPTA KERJA TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PEMBENTUKAN


UNDANG-UNDANG BERDASARKAN UUD 1945 DAN UU 12/2011 (CACAT
FORMIL/CACAT PROSEDURAL)

Adapun untuk alasan-alasan menguatkan serta membuktikan bahwa


pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentuka Undang-
Undang berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011 sehingga UU Cipta Kerja
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, adalah sebagai berikut:

A. UU Cipta Kerja Melanggar Format Susunan Peraturan dalam UU


12/2011
1. Bahwa adanya pelanggarana terhadap format susunan peraturan dari
UU Cipta Kerja dapat dilihat dari Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan yang menggunakan teknik Omnibus Law yang
bertentangan dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana telah di tegaskan dalam Pasal 64 UU
12/2011.
34

2. Bahwa Pasal 64 UU 12/2011 menyatakan bahwa:


(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

3. Bahwa dengan tegas dan jelas Pasal 64 ayat (1) dan (2) merujuk
lampiran UU 12/2011 sebagai teknik baku penyusunan peraturan
perundang-undangan.
4. Bahwa teknik Omnibus Law yang diadopsi oleh UU Cipta Kerja
memiliki ciri mereformulasi, menegasikan, mencabut sebagaian atau
keseluruhan peraturan lain yang pada apek teknik memiliki implikasi
terhadap teknik penyusunan, sehingga dapat bertentangan dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undagan yang diatur dalam
Lampiran I dan II UU 12/2011.
5. Bahwa pertentangan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan dengan konsep Omnibus Law dengan berbagai ciri
sebagaimana disebutkan pada poin 4 di atas terdapat pada
sistematika/ kerangka aturan yang berbeda dengan lampiran II UU
12/2011, yaitu:
a. Judul
b. Pembuka
1) Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
2) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
3) Konsiderans;
4) Dasar Hukum;
5) Diktum.
c. Batang Tubuh
1) Ketentuan Umum;
2) Materi pokok yang diatur;
3) Pencabutan dan atau Perubahan Undang-Undang
35

Muncul aturan yang akan mengubah, menghapus,


dan/atau menetapkan pengaturan baru.
4) Materi Perubahan, Penghapusan, dan/atau penetapan
peraturan baru yang juga memuat:
a) Ketentuan Umum yang berubah;
b) Materi pokok yang diubah dan/atau materi baru;
c) Ketentuan Pidana.
5) Ketentuan peralihan
6) Ketentuan penutup.
d. Penutup
Pejelasan
Lampiran
6. Bahwa selain adanya perubahan sistematika/kerangka aturan
sebagaimana di uraikan di atas, muncul sistematika baru pada teknik
pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak dikenal
dalam Lampiran II UUP3 atas diberlakukanya Undang-Undang 11
Tahun 2020 yaitu:
a. Judul
b. Pembuka
c. Batang Tubuh
Pada batang tubuh ada ketidakjelasan sistematika/kerangka aturan
yang di isi dengan berbagai undang-undang yang akan mengubah,
menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru. Pada posisi ini
pun tidak ada ketentuan yang pasti bagaimana sejumlah undang-
undang tersebut di tempatkan posisinya.
7. Bahwa jika diperhatikan secara saksama teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan dengan sistematika/kerangka
undang-undang yang baku maka Lampiran II UU 12/2011
menentukanya sebagai berikut:
Kerangka Peraturan Perundang–Undangan
A. Judul.
B. Pembukaan.
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan.
36

3. Konsiderans.
4. Dasar Hukum.
5. Diktum.
C. Batang Tubuh.
1. Ketentuan Umum.
2. Materi Pokok yang Diatur.
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan).
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).
5. Ketentuan Penutup.
D. Penutup.
E. Penjelasan.
F. Lampiran.
8. Bahwa adanya keinginan pembentuk undang-undang untuk
menggunakan teknik Omnibus Law pada pembentukan UU Cipta Kerja
harusnya tunduk pada ketentuan Pasal 64 ayat (3) yang
memerintahkan bahwa jika pembentuk undang-undang tidak ingin
tunduk pada lampiran I dan II UU 12/2011 atau ingin membuat
ketentuan baru mengenai metode, teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan maka pemerintah harus merubah teknik
penyusunan lampiran dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64, menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.

9. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja dengan teknik Omnibus Law


menyebabkan ketidak jelasan jenis undang-undang yang baru
dibentuk, dicabut dan diubah karena digabungkannya ketiga metode
tersebut dalam sebuah undang-undang. Sehingga hal tersebut
bertentagan dengan teknik pembentukan judul undang-undang baru,
37

pencabutan dan/atau perubahan undang-undang sebagaimana diatur


dalam Lampiran II Poin A UU 12/2011.

10. Bahwa atas ketidakjelasan jenis Undang-Undang dengan teknik


Omnibus Law akan berimplikasi pada tidak jelasnya teknik dan
rumusan untuk undang-undang rujukan manakala ada perubahan
dalam materi UU Cipta Kerja yang telah mengubah suatu materi dari
undang-undang yang terdampak di ubah sebelumnya (undang-undang
induk).

11. Bahwa terdapat beberapa konsekuensi dari judul undang-undang


perubahan yaitu pada nama Peraturan Perundang–undangan
perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul
Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Sebagai contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN
2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

12. Bahwa jika undang-undang tersebut akan dicabut terdapat beberapa


konsekuensi dari judul yaitu, pada nama Peraturan Perundang–
undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul
Peraturan Perundang–undangan yang dicabut. Sebagai contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN
2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

13. Bahwa ketidakjelasan dan kekaburan teknik akan terjadi pada upaya
perubahan pada beberapa materi dalam UU Cipta Kerja yang diambil
dari salah satu undang-undang yang diubah, misalkan Undang-
Undang Pemerintah Daerah (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah) yang materinya diubah oleh undang-undang
perubahan nantinya akan merujuk undang-undang yang mana lebih
tepat? Apabila merujuk Undang-Undang Pemerintah Daerah, maka
sejatinya telah diubah, namun jika merujuk Undang-Undang Cipta
38

Kerja akan ada berapa banyak penyebutan perubahan pada satu


undang-undang tersebut yang mengandung 78 undang-undang.
14. Bahwa ketidakkonsistenan metode, teknik dalam penyusunan undang-
undang menimbulkan ketidakpastian hukum karena pembentuk
undang-undang dapat setiap saat melakukan perubahan terhadap
metode dan teknik penyusunan undang-udang tanpa memiliki dasar
hukum.
15. Bahwa untuk memastikan pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dapat mendukung tegaknya prinsip negara
hukum maka diperlukan tertib peraturan perundang-undangan dan
tertib pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib
pembentukan peraturan perundang undangan harus dirintis sejak saat
perancanaan sampai dengan pengundanganya, oleh sebab itu
kehadiran suatu peraturan (dibaca: UU 12/2011) adalah sebuah
keniscayaan untuk mewujudkan hal tersebut.
16. Bahwa salah satu politik hukum pembentukan UUP3 adalah upaya
penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang diantaranya soal teknik
penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten, hal inilah yang
melatar belakangi lahirnya Lampiran I dan II UU 12/2011 yang
berupaya mewujudkan konsistensi, kebakuan dan kepastian metode
dalam rangka mewujudkan tertib pembentukan peraturan perundang
undangan.
17. Bahwa secara tegas dalam konsiderans menimbang huruf b UU
12/2011 menyebutkan hakikat pembentukan undang-undang ini ialah
untuk, “memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-
undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara
dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan”
18. Bahwa alasan subtansial kehadiran UU 12/2011 sebagaimana
diuraikan pada poin 31 di atas ialah adanya cara dan metode yang
pasti, baku dan star yang mengikat. Maka penyusunan undang-
39

undang yang tidak mengikuti ketentuan UUP3 (dengan metode


Omnibus Law) telah menimbulkan praktik yang sebaliknya yaitu
ketidak jelasan cara, metode yang tidak pasti dan tidak baku terjadi.

B. UU Cipta Kerja Bertentangan Dengan Asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan Pasal 5 UU 12/2011

1. Bahwa UUP3 turut memberi penegasan terhadap sejumlah asas


pembentukan peraturan perundang-undangan yang di atur dalam
Pasal 5 yang menyatakan bahwa:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

2. Bahwa sejumlah asas yang diatur dalam Pasal 5 UU 12/2011 telah


mengelaborasi dan menggabungkan asas formil dan materil
sebagaimana dijelaskan pada teori perundang-undangan dan ilmu
perundang-undagan dengan rincian sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan (merupakan asas formil);
b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
(merupakan asas formil)
c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarkie dan materi muatan
(merupakan asas formil dan meteriil)
d. Asas dapat dilaksanakan (merupakan asas formil)
e. Asas kedayagunaan (merupakan asas materiil)
f. Asas kejelasan rumusan (merupakan asas formil dan materil)
g. Asas keterbukaan (merupakan asas formil)

3. Bahwa gambaran pengaturan asas-asas dalam UUP3 yang


mengelobarasi dan penggunaan asas formil dan materiil tersebut
menunjukan bahwa penggunaan asas formil dan materil dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah hal yang
bersifat komulatif (bukan alternatif), yang artinya keduanya adalah hal
40

yang tidak dapat dipisah-pisah atau di kesampingkan pelaksanaanya


satu sama lain.
4. Bahwa adanya pelanggaran asas pembentukan peraturan perundang-
undangan (Cacat Formil) atas pembentukan UU Cipta Kerja dapat
dibuktikan dari beberapa uraian pada poin-poin di bawah ini:
Asas Kejelasan Tujuan
4.1 Bahwa yang dimaksud “asas kejelasan tujuan” dalam bagian
penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 adalah bahwa setiap
pembentukan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
4.2 Bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Asas Kejelasan
Tujuan, hal tersebut dibuktikan sebagai berikut:
1) Bahwa kalau kita melihat Tujuan dibentuknya UU Cipta
Kaya termuat dalam Pasal 3, yang menyatakan:
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
a. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja
dengan memberikan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta
industri dan perdagangan nasional sebagai upaya
untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang
seluas-luasnya, dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antar daerah dalam
kesatuan ekonomi nasional;
b. menjamin setiap warga negara memperoleh
pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
c. penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang
berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan
perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri
nasional; dan
d. penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang
berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi,
kemudahan dan percepatan proyek strategis
nasional yang berorientasi pada kepentingan
nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan
dan teknologi nasional dengan berpedoman pada
haluan ideologi Pancasila.
2) Akan tetapi jika memperhatikan materi pengaturan dalam
batang tubuh dengan mengacu ruang lingkup pengaturan
UU Cipta Kerja, tidak mencerminkan tujuan dari
pembentukan undang-undang dikarenakan memliki materi
muatan yang saling kontradiksi dan tidak mencerminkan
41

tujuan pembentukan undang-undang. Hal tersebut dapat


dibuktikan dengan beberapa uraian dibawah ini.
3) kontradiksi antara Tujuan UU Cipta Kerja dengan
pengaturan atas peningkatan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha yang diantaranya:
- Pasal 77 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan
Pasal 12 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal mengatur bahwasannya: “semua bidang usaha
terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang
usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal
atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.” Terlebih, bidang usaha yang tertutup
sebagaimana dimaksud tersebut hanya meliputi 6
(enam) bidang usaha yang diantaranya: a) budi daya dan
industri narkotika golongan I; b). segala bentuk kegiatan
perjudian dan/atau kasino; c). penangkapan spesies ikan
yang tercantum dalam Appendix I Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES); d). pemanfaatan atau pengambilan
koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari
alam yang digunakan untuk bahan
bangunan/kapur/kalsium, akuarium, dan
souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati
(recent death coral) dari alam; e). industri pembuatan
senjata kimia; dan f). industri bahan kimia industri dan
industri bahan perusak lapisan ozon. Bahwa dengan
perubahan rumusan demikian memungkinkan bagi
investor asing untuk berinvestasi di bidang-bidang usaha
strategis yang menguasai hidup orang banyak, seperti
misalnya air, ketenagalistrikan, telekomunikasi,
persenjataan, keamanan dan pertahanan. Selain itu, UU
Cipta Kerja juga menghapus produksi senjata, mesiu,
alat peledak, dan peralatan perang yang sebelumnya
oleh UU Penanaman Modal dinyatakan secara tegas
42

sebagai bidang usaha yang tertutup. UU Cipta Kerja


pada kondisi existing hanya mengecualikan industri
senjata kimia dari investasi asing, sehingga industri
senjata lainnya masih dimungkinkan bagi investasi asing.
Pengaturan demikian tidak sesuai dengan prinsip negara
yang berdaulat dan tidak sesuai dengan tujuan awal
undang-undang yang diatur dalam Pasal 3.
- Catatan penting yang patut dikritisi dari perubahan UU
No. 1 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU
Perbankan Syariah) dalam UU Cipta Kerja ini adalah
ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU Perbankan Syariah. Pasal
79 UU Cipta Kerja mengatur bahwa maksimum
kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing
ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pasal ini mengubah ketentuan yang sebelumnya
mengatur bahwa maksimum kepemilikan Bank Umum
Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Yang perlu
menjadi catatan terlebih dahulu adalah bahwa sejak
diundangkannya UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), urusan pengaturan dan
pengawasan sistem perbankan yang sebelumnya
menjadi kewenangan Bank Indonesia (BI) beralih ke
OJK.
- Tata ruang merupakan instrumen penting dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Yang paling
penting dalam model pembanguan berkelanjutan ini
adalah bahwa pembangunan tidak bisa dimaknai hanya
dalam ranah ekonomi namun juga harus menyangkut
ranah sosial dan ekologi. Hal ini karena pembangunan
ekonomi akan dapat berlanjut apabila kondisi sosial dan
lingkungan yang menjadi elemen dasar bagi gerak
ekonomi tetap terjaga dengan baik. UU Cipta Kerja
43

melakukan perubahan atas UU Penataan Ruang sebagai


berikut. Pertama, Penghapusan Izin Pemanfaatan
Ruang. Perubahan pertama dan penting yang dilakukan
oleh UU Cipta Kerja adalah penghapusan “izin
pemanfaatan ruang” yang selama ini dibutuhkan bagi
setiap orang yang ingin menfaatkan ruang. Sebagaimana
Pasal 15 ayat (5) UU Cipta Kerja, pelaku usaha dapat
langsung melakukan kegiatan usahanya. Namun,
setelah pembahasan ‘konfirmasi’ ini diganti dengan
istilah ‘persetujuan’ dan persetujuan ini digunakan untuk
mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. Kedua,
Penyederhanaan Sistem Penataan Ruang.
Penyederhanaan sistem penataan rung dilakukan
dengan menghapuskan beberapa rencana tata ruang.
Dalam hal ini yang dihapuskan oleh UU Cipta Kerja
adalah sebagai berikut: a) rencata tata ruang kawasan
strategis provinsi (RTR KSP); b) rencana tata ruang
kawasan megapolitan (RTR Kaw Metropolitan); c)
rencana tata ruang kawasan perdesaan (RTR Kaw
Perdesaan); dan d) rencana tata ruang kawasan
argropolitan (RTR Kaw Agropolitan).
- Sentralisasi penataan ruang dapat dilihat dari beberapa
ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Pertama
melalui pemberian persetujuan kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang oleh pemerintah pusat. Dalam Pasal
15 UU Cipta Kerja, dinyatakan bahwa apabila pemerintah
daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR,
pelaku usaha mengajukan permohonan persetujuan
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem
Perizinan Berusaha secara elektronik. Kedua,
sentralisasi juga dapat dilihat dalam penetapan rencana
tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang
sifatnya berlapis. Maksudnya di sini adalah pemerintah
44

pusat dapat mengambil alih penetapan rencana tata


ruang wilayah provinsi dan/atau rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota apabila pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
- Pelemahan Hubungan KLHS dan Tata Ruang. Melalui
UU Cipta Kerja, kewajiban KLHS dalam penyusunan
rencana tata ruang ini dilemahkan. Hal ini dapat dilihat
dari Pasal 14A UU Penataan Ruang sebagaimana
diubah oleh UU Cipta Kerja Pasal 17 menyebutkan
bahwa ayat (1) pelaksanaan penyusunan rencana tata
ruang dilakukan dengan memperhatikan: a) daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian
lingkungan hidup strategis; b) kedetailan informasi tata
ruang yang akan disajikan serta kesesuaian ketelitian
peta rencana tata ruang. Di sini, istilah kewajiban untuk
menyusun KLHS digantikan dengan istilah “dengan
memperhatikan” yang memiliki makna bukan sebagai
prasyarat melainkan sebagai pertimbangan semata.
- Penghilangan Kriteria Minimal Kawasan Hutan. Pasal 17
ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007 sebagaimana diubah
dalam UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan minimal
30% kawasan hutan. Artinya, suatu daerah provinsi atau
kabupaten/kota dapat memiliki kawasan hutan kurang
dari 30% dari luas daerah aliran sungai. Hal ini dapat
menjadi apologi bagi pemerintah untuk melakukan
melepaskan kawasan hutannya dengan alasan keadaan
sosial ekonomi masyarakat, misalnya, yang pada
gilirannya berkonsekuensi pada penurunan luasan hutan
di suatu daerah tersebut. Angka 30% semestinya dilihat
sebagai upaya mengunci kemungkinan penyusutan
luasan hutan yang berpotensi menurunkan fungsi hutan
sebagai penyedia jasa lingkungan antara lain menjaga
iklim lokal, daur hidrologi, keanekaragaman hayati, dan
lain sebagainya yang justru sangat dibutuhkan bagi
45

keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologis di daerah


tersebut.
- Di dalam UU Cipta Kerja, Izin Lingkungan sesuai dengan
UU No. 32 Tahun 2009 UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dihapus dan
diganti dengan Persetujuan Lingkungan (Pasal 22 UU
Cipta Kerja tentang Perubahan UU PPLH khususnya
Pasal 1 angka 35 dan Pasal 36) Pada satu sisi hal ini
menimbulkan pesimisme dan kekhawatiran tentang
pelemahan secara sistematis dari fungsi izin sebagai
instrumen pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup. Terutama dengan melihat
pelaksanaan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi
secara Elektronik melalui Online Single Submission
(Perizinan OSS) yang terkendala dan bermasalah dalam
pelaksanaannya. Perizinan OSS memperkenalkan
anomali baru dalam sistem perizinan dengan istilah “Izin
dengan Komitmen”, yang pelaksanaannya bersengkarut
pada banyak aspek permasalahan. Pesimisme muncul
karena penerapan Perizinan Berbasis Risiko yang
diamanatkan UU Cipta Kerja, tidak didukung dengan
ketersediaan basis data atas pemetaan risiko, sementara
izin lingkungan pun dihapuskan, sehingga ancaman
terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup pasca
penerapan UU Cipta Kerja tampak jelas menghadang.
- Melalui perubahan atas Pasal 26 UU 32/2009, UU Cipta
Kerja mengurangi peran pengawasan publik di dalam
proses penyusunan dokumen Amdal. Pelibatan
masyarakat di dalam UU Cipta Kerja, dibatasi pada
masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan, pun untuk diatur lebih
lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Terdapat dua
implikasi penting dari perubahan ketentuan ini. Pertama,
hilangnya hak masyarakat untuk mengajukan keberatan
46

terhadap dokumen Amdal, dan kedua, hilangnya hak


pemerhati lingkungan hidup dan anggota masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses Amdal.
4) Kontradiksi antara tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja
dengan pengaturan atas ketenagakerjaan, dapat dibuktikan
dengan melihat beberapa pengaturan yang diantaranya:
- Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Salah satu hal krusial yang diubah dalam UU Cipta Kerja
Bab Ketenagakerjaan adalah ketentuan terkait jangka
waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). UU
Cipta Kerja menghapuskan ketentuan batas waktu
PKWT yang sebelumnya diatur dalam Pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Implikasi dari hilangnya ayat-
ayat ini sangatlah serius. Selain menghilangkan jangka
waktu maksimal dan batasan perpanjangan, ketentuan
baru ini juga menghilangkan kesempatan pekerja untuk
berubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja
tetap. Padahal, posisi pekerja dalam status kerja kontrak
jauh lebih rawan dibanding dengan pekerja tetap.
Di sisi lain, ketentuan baru mengenai PKWT di UU Cipta
Kerja memuat kewajiban pengusaha untuk memberikan
uang kompensasi kepada pekerja/buruh yang
dipekerjakan secara kontrak, dalam hal perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut berakhir (lihat Pasal 61A ayat (1)
dan (2) UU Cipta Kerja). Uang kompensasi ini diberikan
sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan. Dilihat sekilas, ketentuan ini ibarat
angin segar yang menguntungkan bagi pekerja kontrak.
Sayangnya, pengaturan ini masih sangat abu-abu dan
digantungkan pada ketentuan lebih lanjut di Peraturan
Pemerintah (lihat Pasal 61A ayat (3) UU Cipta Kerja),
sehingga masih sulit membayangkan pengaturan dan
implementasinya di lapangan. Sebagaimana diketahui,
47

selama ini banyak ketentuan ketenagakerjaan yang di


atas kertas terlihat baik, tetapi pelaksanaan di lapangan
nol besar. Jangan sampai, ketentuan terkait uang
kompensasi ini juga menjadi pepesan kosong yang
memberikan harapan palsu bagi pekerja kontrak.

- Pengupahan
Terdapat beberapa hal yang berubah dalam hal
pengupahan. Pertama, hilangnya “kebutuhan hidup
layak” sebagai pertimbangan penetapan upah minimum.
Kebijakan pengupahan pada hakekatnya tidak dapat
dipisahkan dari kewajiban negara untuk penghidupan
yang layak bagi rakyatnya. Sebagaimana juga
disebutkan dalam Pasal 88 Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Menjadi penting untuk dicatat bahwa
ketentuan terkait dengan penghitungan upah minimum di
UU Cipta Kerja tidak lagi menggunakan “kebutuhan
hidup layak” sebagai pertimbangan. Perhitungan semata
dilandaskan pada variabel pertumbuhan ekonomi atau
inflasi. Pertanyannya, dapatkah variabel-variabel ini
merepresentasikan kebutuhan hidup layak bagi pekerja?
Menjadi ironis bahwa ketentuan ini justru akan
menjauhkan kebijakan pengupahan dengan tujuan
awalnya yaitu memberikan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa
“Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.”
Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Gubernur
dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota
dengan syarat tertentu.” Artinya, UU Cipta Kerja hanya
memberikan kewajiban penetapan upah minimum di
tingkat provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota
sifatnya adalah opsional atau pilihan.
UU Cipta Kerja juga menghapuskan upah minimum
sektoral yang sebelumnya ada dalam Undang-Undang
48

Ketenagakerjaan. Penghapusan upah minimum sektoral


ini pun tidak dilandasi dengan alasan yang jelas.
Padahal, selama ini upah minimum sektoral dirasa lebih
representatif karena mewakili kondisi pada sektor
tertentu. Upah minimum sektoral juga sebelumnya wajib
untuk diatur lebih tinggi dibanding upah minimum
provinsi. Sehingga lagi-lagi, penghapusan upah
minimum sektoral cenderung merugikan pekerja.
UU Cipta Kerja mengubah ruang lingkup kebijakan
pengupahan di Pasal 88 ayat (3). Sebelumnya, dalam UU
Ketenagakerjaan, kebijakan pengupahan terdiri dari: 1)
Upah minimum; 2) Upah lembur; 3) Upah tidak masuk
kerja karena berhalangan; 4) Upah tidak masuk kerja
karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; 5)
Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6) Bentuk dan cara pembayaran upah; 7) Denda dan
potongan upah; 8) Hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah; 9) Struktur dan skala pengupahan yang
proporsional; 10) Upah untuk pembayaran pesangonl
dan 11) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Dalam UU Cipta Kerja, jenis-jenis kebijakan pengupahan
ini dipangkas sehingga hanya melingkupi: 1) Upah
minimum; 2) Struktur dan skala upah; 3) Upah kerja
lembur; 4) Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; 5) Bentuk
dan cara pembayaran upah; 6) Hal-hal yang dapat
diperhitungkan dengan upah; dan 7) Upah sebagai dasar
perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lain.
Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai
alasan pemangkasan kebijakan pengupahan di UU Cipta
Kerja. Sebagai contoh, mengapa kebijakan pengupahan
terkait upah untuk pembayaran pesangon harus
dihapuskan, padahal hal ini sangatlah relevan bagi
kepentingan pekerja?
49

UU Cipta Kerja mengubah Pasal 92 ayat (1) Undang-


Undang Ketenagakerjaan yang sebelumnya berbunyi:
“Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi.” Perubahan menjadi
sebagai berikut: “Pengusaha wajib menyusun struktur
dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.” Perubahan
ini perlu dikritisi karena menghilangkan pertimbangan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
kompetensi dalam struktur dan skala upah. Padahal,
struktur dan skala upah bisa dijadikan sebagai salah satu
upaya untuk memacu upgrading kompetensi pekerja,
dengan pemberian reward berupa kenaikan upah.
Dengan ketentuan yang baru, reward ini hilang dan hal
ini bisa menjadi kontraproduktif dengan cita-cita
perbaikan kualitas SDM pekerja Indonesia.

- Alih Daya (Outsourcing)


Hal lain yang perlu dikritisi dalam UU Cipta Kerja adalah
penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Pasal 64 merupakan dasar
pemberlakuan alih daya (outsourcing). di Indonesia,
karena mengatur mengenai penyerahan pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh. Penghapusan Pasal 64 dan 65 ini menjadi
ganjil dikarenakan pada poin UU Cipta Kerja selanjutnya
disebutkan bahwa Pasal 66 diubah menjadi: “(1)
Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik
perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.” Dengan tetap dihidupkannya Pasal
66, dapat disimpulkan bahwa alih daya masih
50

diperbolehkan oleh UU Cipta Kerja. Lalu apa sebenarnya


tujuan dihapuskannya Pasal 64 dan 65?
Perlu dipahami bahwa dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan, Pasal 64, 65 dan 66 adalah sebuah
kesatuan yang harus dilihat secara utuh. Dengan
menghapus Pasal 64 dan 65 namun tetap menghidupkan
Pasal 66, maka hal ini akan menimbulkan ketidakpastian
hukum serta membingungkan bagi pelaku usaha
maupun pekerja yang justru akan mengganggu iklim
usaha dan investasi di Indonesia. Selain itu,
permasalahan lain yang muncul dari Pasal ini adalah
hilangnya pembatasan jenis-jenis pekerjaan yang dapat
dialih-dayakan.
Artinya, Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan
pembatasan secara eksplisit bahwa alih daya tidak boleh
dilakukan bagi pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sentral
dalam perusahaan tersebut. Pembatasan ini tidak lagi
ditemukan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Cipta Kerja.
Implikasinya tentu jelas, hubungan kerja alih daya akan
semakin menjamur, padahal sudah terbukti bahwa
bentuk hubungan kerja triangular (hubungan kerja yang
melibatkan pihak ketiga sebagai perantara) layaknya alih
daya cenderung tidak menguntungkan bagi pekerja.

- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Pasal lain yang juga banyak menimbulkan polemik
adalah ketentuan terkait Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dalam UU Cipta Kerja. Secara filosofis, PHK
dalam konsepsi hubungan industrial Pancasila adalah
hal yang sangat dihindari. Sehingga wajar jika
pengaturan PHK dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan dibuat sangat rigid untuk sedapat
mungkin mencegah terjadinya PHK.
51

Salah satu kerigidan aturan PHK ini terlihat dalam Pasal


151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
berbunyi:
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh
apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Selanjutnya pada Pasal 151 ayat (3):


Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Kedua ayat ini merupakan upaya perlindungan agar PHK


tidak dilakukan secara sepihak. Menurut ketentuan ini,
setiap bentuk PHK wajib dirundingkan oleh kedua belah
pihak, dan jika tidak tercapai kesepakatan, maka PHK
baru bisa terjadi setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial ini juga merupakan bentuk hadirnya
negara dalam mengupayakan agar PHK tidak merugikan
salah satu pihak.
Konsepsi ini berubah drastis dalam UU Cipta Kerja. Bunyi
Pasal 151 ayat (2) berubah menjadi: “Dalam hal
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud
dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh”. Ayat ini memunculkan
kekhawatiran adanya kemungkinan PHK sepihak karena
PHK cukup dilakukan melalui pemberitahuan dari
pengusaha tanpa harus didahului dengan perundingan
sebelumnya.
52

5) Kontradiksi antara tujuan UU Cipta Kerja dengan materi


muatan yang mengatur kemudahan, perlindungan, serta
pemberdayaan koperasi dan UMK-M yang diantaranya:
Rumusan Pasal 153E ayat (2) UU Cipta Kerja, bahwa:
“Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan
Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1 (satu)
Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam 1 (satu)
tahun.”

Berdasarkan rumusan Pasal a quo, maka dimungkinan bagi


individu pelaku usaha UMK yang sama untuk mendirikan
perseroan setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan rumusan
Pasal a quo hanya mengatur batas minimum pendirian
setiap tahunnya, bukan batas minimum pendirian per
individu. Hal ini tentunya menimbulkan permasalahan baru,
yakni resiko terjadinya percabangan kreditur dan membuka
kemungkinan bagi individu yang kemampuan aktualnya
terbatas untuk terus mendirikan perseroan baru setiap
tahunnya dengan dasar untuk mencari keuntungan dan
mengandalkan sifat pertanggungjawaban terbatas (limited
liability) perseroan.
Meskipun dengan dalil kemudahan berusaha untuk
memberdayakan UMK di Indonesia, kemudahan pendirian
perseroan bagi UMK sebagaimana diatur oleh UU Cipta
Kerja (dapat didirikan oleh satu orang dan tidak ada batas
minimum modal dasar) patut dipertanyakan efektivitasnya
dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang tidak terlepas dari filosofi
dan tujuan UU Cipta Kerja ini sendiri. Pendirian perseroan
oleh satu orang dan dengan modal dasar yang sangat
minim dimungkinkan oleh UU Cipta Kerja, namun tidak ada
jaminan atau menjadi pesimis bahwa pengusahaan
demikian mampu menciptakan lapangan kerja atau
menyerap tenaga kerja yang ada. Pendanaan yang susah
dan satu pendiri kurang memberikan kepercayaan akan
keberlangsungan perseroan itu sendiri, terlebih apalagi
53

kemungkinan perseroan tersebut dalam penyerapan tenaga


kerja.

6) Kontradiksi antara Tujuan UU Cipta Kerja dengan


pengaturan kemudahan berusaha, yang diantaranya:
Sejumlah hal yang krusial pada pengaturan bagian ini
dalam UU Cipta Kerja adalah perubahan UU tentang Pajak
penghasilan, Perubahan UU tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN),
Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
Perubahan UU PPh dalam UU Cipta Kerja tidak bersifat
paradigmatis, melainkan pragmatis. Keadaan ini
disimpulkan dari penerapan asas nasionalitas yang tidak
memiliki tujuan lain selain untuk mempersulit warga negara
Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri untuk mencabut
status subjek pajak dalam negerinya; dan untuk
memberikan fasilitas perpajakan diskriminatif bagi warga
negara asing yang menjadi subjek pajak dalam negeri
sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1a) UU PPh.
Perubahan pragmatis juga terdapat pada pengaturan
mengenai PPh atas dividen yang berasal dari luar negeri.
Prima facie, ada perubahan paradigmatis dari pengenaan
PPh berdasarkan worldwide income menjadi territorial
system. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, perubahan ini
tidak lain hanya untuk mencegah praktik-praktik
penghindaran pajak dengan skema controlled foreign
corporation (CFC)43 sebagaimana diatur pada Pasal 18
ayat (2) UU PPh. Secara implisit, ini juga mengindikasikan
bahwa program amnesti pajak yang diterapkan pada tahun
2016 lalu belum optimal dalam menarik modal yang
“diparkir” di luar negeri ke dalam negeri; dan bahwa
kapasitas administratif Direktur Jenderal Pajak dalam
memberantas praktik penghindaran dan pengelakan pajak
masih dilemma.
54

Jika digabungkan dengan perubahan ketentuan UU PPh


dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagaimana telah
diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020, maka kebijakan pemungutan PPh diarahkan pada
relaksasi perpajakan. Relaksasi ini akan berakibat pada
pengurangan penerimaan negara, padahal dalam
pemulihan pasca-pandemi, Organization for Economic Co-
operation and Development (OECD) menyarankan agar
negara-negara menjalankan strategi-strategi dalam rangka
memulihkan keuangan publik secara adil dan
berkesinambungan.
Dalam kaitannya dengan Undang-Undang PPN dan
PPnBM, UU Cipta Kerja mengubah 4 (empat) Pasal, yaitu
Pasal 1A, Pasal 4A, Pasal 9, dan Pasal 13. Pasal 1A dan
4A berkaitan dengan objek PPN, Pasal 9 mengatur
mengenai pengkreditan pajak masukan, dan Pasal 13
mengenai faktur pajak. Secara umum perubahan-
perubahan tersebut patut diapresiasi karena terdapat upaya
untuk memberikan kejelasan mengenai beberapa
ketentuan yang selama ini menjadi sumber sengketa
diantara Wajib Pajak dan Fiskus, memberikan kemudahan
kepada UMKM, dan mencegah terjadinya sengketa pajak
(dispute prevention). Namun demikian, ketentuan mengenai
pemungutan PPN yang ada dalam UU Cipta Kerja belum
sepenuhnya mengakomodasi permasalahan terjadi di
lapangan. Perubahan terhadap ketentuan mengenai
pengkreditan Pajak Masukan tidak mencakup status Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan yang diputuskan oleh
hakim Pengadilan Pajak. Demi mencapai kepastian hukum
yang riil UU Cipta Kerja seharusnya memperhatikan
penafsiran UU PPN yang diberikan oleh Pengadilan Pajak,
sehingga dapat tercipta harmoni dan keselarasan dalam
pemungutan PPN. Beberapa perubahan yang berkaitan
dengan pengkreditan Pajak Masukan memiliki arah
55

kebijakan untuk mendorong sektor UMKM. Tujuan


kebijakan dan pengimplementasiannya dapat selaras jika
UU Cipta Kerja mengatur secara jelas mengenai tolak ukur
sektor usaha tertentu. Pengaturan lebih lanjut di dalam
Peraturan Menteri Keuangan justru dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum. Sumber ketidakpastian hukum
lainnya adalah mengenai pengkreditan Pajak Masukan bagi
Pengusaha yang bukan merupakan PKP.
Tujuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan berusaha
tidak tercermin dalam pengaturan tentang objek PPN yang
dikecualikan. Pembentuk UU Cipta Kerja hanya
memberikan pengecualian bagi hasil pertambangan batu
bara, padahal ada jenis barang hasil tambang dan

7) Kontradiksi antara Tujuan UU Cipta Kerja dengan


pengaturan yang mengatur Dukungan Riset dan Inovasi,
yang diantaranya:
Ketidakkejelasan tentang mengapa riset dan inovasi
diperlukan dan apa tujuan kegiatan riset dan inovasi yang
didukung oleh negara dan atau para pemangku
kepentingan yang relevan.
Ketidakjelasan siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan
riset dan inovasi yang didukung oleh negara. Tanpa
kepastian pengaturan tentang siapa saja yang terlibat
dalam kegiatan riset dan inovasi, dapat dipastikan kegiatan
ini tidak akan pernah terselenggara dengan baik dan
mencapai hasil optimal, bahkan gagal.
Ketidakjelasan bagaimana hak dan kewajiban para
pemangku kepentingan dalam upaya riset dan inovasi.
Tanpa kepastian hak dan kewajiban para pihak; maka
program riset dan inovasi sulit mendapatkan dukungan dan
bahkan tidak akan terlaksana dengan optimal.
Ketidakkejelasan tentang mekanisme pelaksanaannya.
Tanpa kejelasan tentang mekanisme pelaksanaan riset dan
inovasi; rumusan tentang dukungan riset dan inovasi dalam
56

RUU ini tidak akan pernah menjadi kenyataan. Harus ada


kejelasan dan kepastian bagaimana dukungan para pihak
terhadap kegiatan riset dan inovasi yang ditetapkan.
Ketidakjelasan peran institusi yang relevan seperti
perguruan tinggi, Dewan Riset Nasional dan institusi lain
yang relevan dengan kegiatan riset dan inovasi. Kejelasan
peran institusi sangat penting untuk memastikan sinergi di
antara pemangku kepentingan, termasuk bagaimana
skema kebijakan insentif yang akan dirancang dan
dilaksanakan.
4.3 Bahwa apabila kita melihat beberapa ketentuan norma pada angka
3 sampai dengan 7 pada bagian 4.2 di atas, maka UU Cipta Kerja
dalam pembentukannya tidak memenuhi Asas Kejelasan Tujuan
sebagaimana diamanatkan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 sebagai
aturan tata cara pembentukan undang-undang yang diamanatkan
Pasal 22A UUD 1945.

Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan


4.4 Bahwa yang dimaksud “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
dalam bagian penjelasan Pasal 5 huruf e UU 12/2011, adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat dalam
mengatur benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4.5 Bahwa apabila kita melihat ketentuan norma dari UU Cipta Kerja,
tentunya secara terang benderang tidak tidak sesuai dan telah
melanggar Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan sebagaimana
dimaksud Pasal 5 huruf e UU 12/2011.
4.6 Bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dari adanya penggabungan
78 Undang-Undang yang tentunya memiliki pokok-pokok pikiran
yang memuat unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang berbeda-
beda, namun dijadikan satu dengan menggunakan konsep
Omnibus Law tanpa melakukan riset yang mendalam, serta tanpa
melibatkan pihak-pihak / stakeholder (semua Pihak di dalam
masyarakat), serta Naskah Akademik yang tidak mendalam serta
tidak komprehensif. Hal ini menjadi bukti bahwa Pembentukan UU
57

Cipta Kerja dibuat bukan karena memang benar-benar dibutuhkan


dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarkat,
berbangsa dan bernegara, hal ini dapat dilihat dari besarnya
gelombang penolakan yang terjadi saat pembahasan hingga
pengundangan UU Cipta Kerja.
4.7 Bahwa dilanggarnya “asas kedayaguaan dan kehasilgunaan”,
dapat dibuktikan dalam UU No 22 Tahun 2019 Tentang Sistem
Budaya Pertanian Berkelanjutan, pada Pasal 22, menyatakan:
“Dalam hal penggunaan Lahan dalam luasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan
oleh Pelaku Usaha di atas Lahan hak ulayat, Pelaku Usaha
wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum
adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan.”

Kemudian pada Pasal 111, menyatakan:


Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang
tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
dendapaling banyak Rp. 5.000.OO0.000,00 (lima miliar rupiah).

Terhadap kedua Pasal tersebut di atas, dalam UU Cipta Kerja


dilakukan perubahan dan penghapusan. Sebagaimana termuat
dalam Pasal 31 UU Cipta Kerja yang merubah beberapa ketentuan
dalam UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budaya Pertanian
Berkelanjutan, di mana Pasal 22 berubah menjadi:
(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang
tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum
adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan
dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. pengenaan denda administratif;
c. paksaan Pemerintah;
d. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Sementara Pasal 111 dihapus


58

4.8 Bahwa terhadap bukti perubahan Pasal 22 dan dihapusnya Pasal


111 di atas tentunya tidak akan memberikan kedayagunaan dan
kehasilguanaan khususnya dalam melindungi lahan hak ulayat
masyarakat hukum adat karena tidak ada efek jera bagi para
pelaku usaha, karena terhadap sanksi administratif terberat yakni
pencabutan perizinan berusaha tidaklah memberikan efek jera,
karena pelaku usaha hanya tinggal mengurus perizinan berusaha
yang baru, sehingga dapat Kembali melakukan upayanya untuk
mengambil lahan hak ulayat masyarakat adat. Di lain pihak,
masyarakat adat menjadi tidak bisa menempuh upaya hukum
pidana bagi para penyerobot lahan hak ulayat masyarakat hukum
adat. Hal ini malah akan semakin menimbulkan konflik antara
pelaku usaha yang menguasai lahan dengan masyarakat
pemegang hak ulayat atas lahan tersebut.
4.9 Bahwa terhadap adanya bukti atas pelanggaran asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, dapat dibuktikan pada
ketentuan norma Pasal 53 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (Selanjutnya disebut UU 30/2014),
sebagaimana termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja yang
menyatakan:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan
Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan
secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Presiden.

4.10 Bahwa apabila kita melihat pada ketentuan norma Pasal 53 ayat
(3) UU 30/2014 sebagaimana, menyatakan:
Dalam hal permohonan diproses melalui system elektronik
dan seluruh peryaratan dalam system elektronik telah
terpenuhi, system elektronik menetapkan Keputusan
dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan
atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

4.11 Bahwa terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (5) yang mengkaitkan


dengan ayat (3) pada Perubahan UU 30/2014 sebagaimana
termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja di atas, menimbulkan
akibat hukum yakni tidak bisa dilaksanakannya isi dari ketentuan
yang terkait dengan perizinan dengan menggunakan Peraturan
59

Presiden sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang ini.


Karena Undang-Undang itu tidak bisa dilaksanakan tanpa aturan
pelaksana incasu Peraturan Presiden, Hal tersebut dikarenakan
acuan untuk pembentukan aturan pelaksananya sudah salah
dalam merujukan sebagaimana dijelaskan di atas.
4.12 Bahwa oleh karenanya terhadap ketentuan norma sebagaimana
telah dijelaskan pada angka 2.7 dan 2.8 di atas, juga dapat menjadi
bukti bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah melanggar asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Asas Kejelasan Rumusan


4.13 Bahwa yang dimaksud Asas kejelasan rumusan dalam bagian
penjelasan Pasal 5 huruf f UU 12/2011 adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
4.14 Bahwa pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dalam UU Cipta Kerja semakin jelas terbukti
pada ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang telah
mengabaikan dan bertentangan dengan asas kejelasan rumusan.
4.15 Bahwa pada ketentuan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Penerapan perizinan berusaha berbasis resiko
b. Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan Berusaha
c. Penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan
d. Penyederhanaan persyaratan investasi
4.16 Bahwa namun jika kita lihat ketentuan Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak
terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 di atas.
Apabila kita melihat bunyi ketentuan Pasal 5 UU Cipta Kerja,
menyatakan:
Ruang Lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
meiputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang.
60

4.17 Bahwa terhadap teknis penyusunan, sistematika Pasal 5 dan


Pasal 6 UU Cipta Kerja membuktikan bahwa UU Cipta Kerja
dibentuk dengan mengabaikan dan bertentangan dengan asas
kejelasan tujuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf f
UU 12/2011.
4.18 Bahwa adanya ketidakjelasan rumusan juga terbukti pada
ketentuan norma perubahan Pasal 53 ayat (5) UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat
dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja, yang menyatakan: “Ketentuan
lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau
Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam Peraturan Presiden”. Sementara
jika kita melihat rumusan ayat (3) menyatakan: “Dalam hal
permohonan diproses melalui system elektronik dan seluruh
peryaratan dalam system elektronik telah terpenuhi, system
elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai
Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang
berwenang.

Asas Keterbukaan
4.19 Bahwa penjelasan dari Asas kejelasan rumusan sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 huruf f UU 12/2011 adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
4.20 Bahwa tidak semua pembahasan dilakukan secara terbuka.
Keterbukaan dan keterlibatan elemen masyarakat yang terlihat di
media massa saat pembahasan UU cipta kerja hanya terlihat pada
masyarakat disektor buruh. Itupun masih banyak elemen-elemen
organisasi perkumpulan buruh yang merasa tidak dilibatkan.
4.21 Bahwa salah satu bukti tidak dipenuhinya ketentuan pembentukan
berdasarkan UUD dan UU 12/2011 yakni terhadap perubahan 5
61

(lima) Pasal dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan


Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) antara lain: Pasal 1 angka
16, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, Pasal 89A yang melanggar asas
keterbukaan serta tidak partisipatif, dimana dalam proses
pembahasan tidak melibatkan kelompok masyarakat buruh migran
Indonesia. Seperti oganisasi Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), organisasi Migrant CARE, dan organisasi-organisasi
buruh migran lainnya. ini adalah salah satu contoh pada cluster
ketenagakerjaan yang tidak dilibatkan dan masih banyak lagi
contoh pihak-pihak yang tidak dilibatkan dalam Proses
Pembentukannya.
4.22 Bahwa selain itu asas keterbukaan juga harus bersifat transparan
terhadap setiap tahapan mulai dari tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga
pengundangan.
4.23 Bahwa transparansi diwujudkan dalam bentuk Partisipasi
masyarkatn sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1), ayat (3)
dan ayat (4) UU 12/2011 yang menyatakan:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
4.24 Bahwa sementara jika kita melihat proses pembentukan UU Cipta
kerja tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat, termasuk
akses untuk mudah mendapatkan RUU Cipta Kerja tidak dipenuhi,
terlebih dengan beredarnya 5 Naskah RUU Cipta Kerja dengan
substansi yang berbeda. lembaran yang sangat banyak yang
semakin membingungkan masyarakat (orang perseorangan atau
kelompok orang) untuk memberikan masukan.
4.25 Bahwa jika asas keterbukaan tidak diimplementasikan maka akan
berimplikasinya kurang terbangunnya kesadaran masyarakat
62

dalam menerapkan hukum. Adanya demo penolakan merupakan


implikasi adanya ketidakhati-hatian dalam UU Omnibus Law.
Nampaknya pemerintah tidak pernah belajar dari penolakan RUU
KUHP dan revisi UU KPK yang pernah mendapatkan penolakan
yang serius, hal ini berimplikasi pada upaya membangun
kesadaran hukum di masyarakat secara tepat.
Berdasarkan seluruh uraian pada sub bagian B di atas telah terbukti bahwa
Pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai ketentuan Pasal 22A UUD 1945
yang lebih lanjut diatur pada Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf g
UU 12/2011.

C. Perubahan Materi Muatan Pasca Persetujuan Bersama DPR dan


Presiden Bertentangan Dengan Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal
72 Ayat (2) UU 12/2011

1. Bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah


pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan (vide. Pasal 1 angka 1 UU 12/2011).
2. Bahwa apabila kita melihat ketentuan secara konstitusional dalam hal
tahapan persetujuan bersama Presiden dan DPR terhadap
Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang, hingga
kemudian disahkan oleh Presiden. Tahapan tersebut diatur pada Pasal
20 ayat (2), ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan:
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

3. Bahwa kemudian, secara lebih rinci tahapan persetujuan bersama


DPR dan Presiden diatur dalam Pasal 72 UU 12/2011, yang
menyatakan:
(1) Rancangan yang telah disetujui Bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden
untuk di sahkan menjadi Undang-Undang.
(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waku paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
63

4. Bahwa tenggat waktu paling lama 7 (tujuh) hari sebagaimana


dimaksud pada Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011, pada bagian penjelasan
menyatakan:
“Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk
mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis
penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi
Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-
Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus
Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.”

5. Bahwa artinya jelas, saat suatu Rancangan Undang-Undang


mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden untuk menjadi
Undang-Undang, Pimpinan DPR menyampaikan Rancangan Undang-
Undang tersebut kepada Presiden disahkan menjadi undang-undang.
Namun sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan
oleh Pimpinan DPR kepada Presiden, terdapat tenggat waktu paling
lama 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama, untuk mempersiapkan
segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan
Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan
penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara
Republik Indonesia oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
6. Bahwa apabila kita melihat pembentukan UU Cipta Kerja, secara
nyata-nyata dan terang benderang telah melanggar ketentuan tahapan
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 jo
Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011 beserta bagian penjelasannya. Hal
tersebut dibuktikan sebagai berikut:
6.1. Pada tanggal 5 Oktober 2020 DPR bersama Presiden yang
diwakili 11 (sebelas) Menteri, telah menyetuji RUU Cipta Kerja
menjadi Undang-Undang dengan Naskah RUU Cipta Kerja
sebanyak 905 halaman. Namun kemudian, Badan Legislasi
mengatakan bahwa naskah RUU Cipta Kerja yang sebanyak 905
halaman itu belum final, dan sedang di lakukan finalisasi.
64

6.2. Dalam keterangannya di Media Online Kompas.com anggota


Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo, mengatakan:
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo
mengatakan, belum ada naskah final RUU Cipta Kerja.
Menurut Firman, masih ada beberapa penyempurnaan yang
dilakukan terhadap draf RUU Cipta Kerja.
"Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus
final, itu masih ada proses-proses yang memang secara
tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan," katanya dalam
keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).
Lebih lanjut Firman Soebagyo mengatakan:
"Sampai hari ini kita sedang rapikan, kita baca dengan teliti
kembali naskahnya, jangan sampai ada salah typo dan
sebagainya," kata Firman. (Sumber:
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/08/11474311/uu-
cipta-kerja-sudah-disahkan-tapi-baleg-sebut-belum-ada-
naskah-final?page=all). (Bukti P.23 – Print Berita)
6.3. Padahal seharusnya naskah RUU yang kemudian disetujui
bersama DPR dan Presiden, adalah Naskah RUU yang sudah
final. Hal ini juga senada dengan pendapat yang dikemukakan
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Jimly Asshiddiqie mengatakan sepanjang materi
muatan, naskah UU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama
dalam sidang paripurna seharusnya sudah final. Setelah itu,
mutlak tidak boleh lagi ada perubahan substansi (materi muatan)
karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden
tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5)
UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan
bersama itu sah menjadi UU (vide.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa4f9409448e/jimly
--jika-masih-hakim-mk--1000-persen-saya-kabulkan-uji-formil-
uu-cipta-kerja?page=3)
6.4. Kemudian pada tanggal 09 Oktober 2020 beredar naskah RUU
Cipta Kerja sebanyak 1052 halaman, lalu pada tanggal 12
65

Oktober 2020 beredar naskah RUU Cipta Kerja sebanyak 1035


halaman. Terhadap naskah RUU Cipta Kerja 1035 halaman inilah
yang dikatakan oleh Sekretaris Jenderal DPR RI, sebagai draf
final RUU Cipta Kerja.
6.5. Menurut Sekjen DPR, dalam keterangannya di media online
Tempo.Co, Jakarta, mengatakan:
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar membantah
anggapan belum adanya naskah final Undang-undang
atau UU Cipta Kerja. Indra mengatakan naskah sudah final
ketika pengambilan keputusan tingkat I pada Sabtu, 3
Oktober lalu.

Adapun perbaikan yang kini dilakukan Badan Legislasi


disebutnya penyempurnaan redaksional dan dari
kemungkinan adanya salah ketik saja.

"Itu koreksian kan enggak ada perubahan substansi


lagi, prinsipnya semua yang udah dibahas di tingkat satu
sudah putus. Semua fraksi juga ada," kata Indra ketika
dihubungi, Senin, 12 Oktober 2020.

Saat diminta ihwal naskah UU Cipta Kerja yang sudah


disahkan itu, Indra mengatakan naskah yang beredar pun
sudah benar. Tempo mengonfirmasi naskah versi 5 Oktober
sebelum paripurna yang dibagikan oleh pimpinan Baleg dan
naskah serupa dengan judul lain yang dibagikan oleh staf
pimpinan DPR.

Menurut Indra, kedua naskah itu benar. Ia membenarkan


bisa merujuk pada versi tersebut jika ingin melihat substansi
UU Cipta Kerja.

"Iya benar, benar. Kalau sudah diparipurnakan enggak


ada yang boleh berubah lagi, (kalau berubah) bisa
digugat," ujar Indra.

Indra mengaku tak tahu dengan naskah versi 9 Oktober


yang beredar belakangan. Naskah ini setebal 1.052
66

halaman, berbeda dari dua versi sebelumnya setebal 905


halaman.

"Kalau sudah versi-versian saya enggak tahu ya yang mana.


Nanti terjadi disinformasi dan sebagainya, saya juga enggak
tahu," ujar Indra. (Sumber:
https://nasional.tempo.co/read/1395165/kata-sekjen-dpr-
soal-ada-beberapa-versi-naskah-uu-cipta-
kerja/full&view=ok) (Bukti P.24 - Print Berita)

6.6. Ternyata, tidak berselang lama, masih pada tanggal 12 Oktober


2020 beredar kembali naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman, dan keesokan harinya, pada tanggal 13 Oktober 2020,
dalam keterangannya di media online Kompas.com, Sekjen DPR
RI menyatakan bahwa Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman yang beredar, merupakan hasil perbaikan terkini yang
dilakukan DPR.
(Sumber:https://nasional.kompas.com/read/2020/10/13/0704332
1/draf-ruu-cipta-kerja-diperbarui-lagi-berubah-jadi-812-halaman)
(Bukti P.25 – Print Berita)
6.7. Beredarnya Naskah RUU Cipta Kerja pada tanggal 12 Oktober
setebal 812 halaman, juga diwarnai praktik kebohongan yang
diperlihatkan secara terbuka kepada masyarkat Indonesia,
karena disampaikan di media-media masa. Dimana Sekjen DPR
tetap mengatakan bahwa perubahan tersebut hanyalah sebatas
teknis penulisan saja tidak mengubah substansi, dan hal itupun
di dibenarkan oleh Pimpinan DPR incasu Wakil Ketua DPR yang
sempat termuat dalam beberapa media massa di antarnya:
- Sekjen DPR mengatakan perubahan tidak merubah
substansi.
Selasa, 13 Oktober 2020, Media Kompas.com, Judul: “Draf
RUU Cipta Kerja diperbaharui lagi, berubah jadi 812
halaman”, Selengkapnya dapat dilihat pada link dibawah ini:
(https://nasional.kompas.com/read/2020/10/13/07043321/dr
af-ruu-cipta-kerja-diperbarui-lagi-berubah-jadi-812-halaman)
67

- Pimpinan DPR incasu Wakil Ketua DPR mengatakan tidak


ada perubahan substansi pada UU Cipta Kerja
Selasa, 13 Oktiber 2020, Media Viva.co.id, Judul: “Aziz Sebut
Halaman UU Cipta Kerja Berubah Tapi Substansi tidak”.
Selengkapnya dapat dilihat pada link dibawah ini:
(https://www.viva.co.id/berita/nasional/1311762-azis-sebut-
halaman-uu-cipta-kerja-berubah-tapi-substansi-tidak).
- Pimpinan DPR incasu Wakil Ketua DPR menjamin tidak ada
yang berubah pada substansi UU Cipta Kerja
Selasa, 13 Oktober 2020, Media Liputan6.com, Judul: Banyak
Versi RUU Cipta Kerja, Pimpinan DPR: Substansi Tidak ada
yang Berubah. Selengkapnya dapat dilihat pada link dibawah
ini:
(https://www.liputan6.com/news/read/4381364/banyak-versi-
ruu-cipta-kerja-pimpinan-dpr-substansi-tidak-ada-yang-
berubah).
6.8. Faktanya, Pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden atas
Naskah RUU Cipta Kerja dengan tebal halaman 905 pada
tanggal 05 Oktober 2020, terdapat perubahan-perubahan yang
tidak sekedar teknis penulisan sebagaimana diperbolehkan oleh
Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011. Namun perubahan-perubahan
tersebut bersifat substansial.
6.9. Adanya perubahan-perubahan dari Naskah RUU Cipta Kerja
setebal 905 halaman (Bukti P.26), dengan Naskah RUU Cipta
Kerja Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035 halaman (Bukti
P.27), dan Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman (Bukti
P.28), yang menyentuh substansi materi muatan ketentuan
norma dalam pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, dibuktikan
dengan beberapa ketentuan norma pasal di bawah ini:
- Bukti: Pada Naskah RUU Cipta Kerja Setebal 905 halaman,
pada Pasal 5, menyatakan:
(1) Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan
berusaha;
b. ketenagakerjaan;
68

c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan


koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-
undang terkait.

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035


halaman dan dalam Nasakah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman serta dalam Naskah UU Cipta Kerja, ketentuan
tersebut berubah menjadi sebagai berikut:
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang
terkait.
- Bukti: Pasal 6 UU Cipta Kerja, telah mengalami perubahan
substansi.
Dimana pada Pasal 6 Naskah RUU Cipta Kerja setebal 905
halaman, menyatakan:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan
Berusaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035


halaman dan dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman, serta dalam UU Cipta Kerja, terhadap Pasal 6 huruf
b mengalami perubahan substansi, dimana frasa “Pengadaan
tanah dan pemanfaatan lahan” dihilangkan, sehingga bunyi
Pasal 6 huruf b UU Cipta Kerja, menyatakan:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
meliputi:
69

a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis resiko; dan


b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan
Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

- Bukti: Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5) UU Cipta Kerja mengalami
perubahan substansi.
Dimana pada Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5) Naskah RUU Cipta
Kerja setebal 905 halaman, menyatakan:
Ayat (3)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan;
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; dan/atau
e. risiko volatilitas.
Ayat (5)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau
d. keterbatasan sumber daya.

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035


halaman dan dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman serta dalam Naskah UU Cipta Kerja mengalami
perubahan substansi, Dimana terhadap Pasal 7 ayat (3), yakni
ketentuan norma “risiko volatilitas” pada huruf e dihapus, dan
terhadap Pasal 7 ayat (5), ditambahkan huruf e frasa “Risiko
Volatilitas”. Sehingga bunyi selengkapnya Pasal 7 ayat (3) dan
ayat (5), menyatakan:
Ayat (3)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan; dan/atau
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya;
70

Ayat (5)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha;
d. keterbatasan sumber daya; dan/atau
e. risiko Volatilitas.

- Bukti: Pasal 9 UU Cipta Kerja mengalami beberapa perubahan


substansi.
Dimana pada Pasal 9 Naskah RUU Cipta Kerja setebal 905
Halaman, Pasal 9 menyatakan:
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(7) huruf b meliputi:
a. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
b. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, berupa:
a. pemberian nomor induk berusaha; dan
b. pernyataan sertifikasi standar.
(3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, berupa:
a. nomor induk berusaha; dan
b. pemenuhan sertifikat standar.
(4) Pernyataan sertifikat standar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku
Usaha yang telah memenuhi standar sebelum
melakukan kegiatan usahanya.
(5) Pemenuhan sertifikat standar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b merupakan kewajiban standar
yang telah dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum
melakukan kegiatan usahanya.
(6) Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b diperlukan
untuk standardisasi produk, Pemerintah Pusat
menerbitkan sertifikat standar berdasarkan hasil
verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh
Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan
komersialisasi produk.

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja Setebal 1035


halaman dan dalam Naskah RUU Cipta Kerja Setebal 812
halaman serta dalam Naskah UU Cipta Kerja, Pasal 9 telah
mengalami beberapa perubahan substansi yakni:
71

Pada ayat (2) huruf a terhadap kata “Pemberian” dan huruf b


terhadap kata “Pernyataan” dihapus.
Pada ayat (4) terhadap kata “Pernyataan” dihapus, dan
terhadap frasa “yang telah memenuhi standar sebelum
melakukan kegiatan usahanya”, diubah dengan frasa “untuk
memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan
usaha”.
Pada ayat (5), terhadap frasa “merupakan kewajiban standar
yang telah dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan
kegiatan usahanya”, diubah dengan frasa “merupakan
sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan
hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan
usaha oleh Peiaku Usaha”.
Sehingga bunyi selengkapnya, Pasal 9 UU Cipta Kerja,
menyatakan:
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(7) huruf b meliputi:
a. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
b. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. sertifikat standar.
(3) Pertzinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. sertifikat standar.
(4) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk
memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan
kegiatan usaha.
(5) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang
diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi
pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh
Peiaku Usaha.
(6) Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah
memerlukan standardisasi produk sebagaimana
72

dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b,


Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk
berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang
wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan
kegiatan komersialisasi produk.

- Bukti: Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan


sebagaimana termuat dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja
mengalami perubahan substansi. Dimana dalam Naskah RUU
Cipta Kerja setebal 905 halaman, Pasal 156 ayat (1) dan ayat
(2) menyatakan:
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai
berikut:
a. …
b. …
c. …
dst …

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035


halaman mengalami perubahan substansi yakni Pasal 156
ayat (1) terdapat penambahan Frasa “sebagaimana dimaksud
dengan Pasal 154A” dan ayat (2) terhadap Frasa “Paling
Banyak” dihapus. Sehingga bunyi Pasal 156 ayat (1) dan ayat
(2), menyatakan:
(1) Dalam Hal terjadi pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dengan Pasal 154A,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. …
b. …
c. …
dst. …

Kemudian dalam Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812


halaman yang kemudian menjadi UU Cipta Kerja, Pasal 156
ayat (1) kembali mengalami perubahan substansi. Dimana
Pasal 156 ayat (1) terhadap Frasa “sebagaimana dimaksud
73

dengan Pasal 154A” dihapus. Sehingga bunyi Pasal 156 ayat


(1), menyatakan:
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima.

7. Bahwa artinya pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dalam
sidang paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020 yang menghasilkan
Naskah RUU Cipta Keja setebal 905 halaman. DPR incasu badan
Legislasi (Baleg DPR) telah melakukan beberapa kali perubahan
Naskah RUU Cipta Kerja sebagaimana diakui oleh Sekjen DPR
merupakan perubahan final yakni menjadi 1035 halaman dan
kemudian berubah lagi (final) menjadi 812 halaman, ternyata masih
berubah lagi menjadi Naskah UU Cipta Kerja dengan jumlah 1187
halaman.
8. Bahwa perubahan Naskah RUU Cipta Kerja dari Naskah yang setebal
905 halaman, menjadi Naskah RUU Cipta Kerja setebal 1035 halaman,
kemudian berubah menjadi Naskah RUU Cipta Kerja setebal 812
halaman dan terakhir berubah lagi menjadi Naskah RUU Cipta Kerja
setebal 1187 halaman. Secara nyata dan terang benderang terbukti
bukan sekedar perubahan teknis penulisan, melainkan sudah
menyentuh pada perubahan yang terkait dengan substansi materi
muatan (vide uraian pada angka 6.8 di atas). Hal ini telah melanggar
ketentuan Norma Pasal 22A UUD 1945 yang memberikan delegasi
kewenangan satu-satunya kepada UU 12/2011 incasu Pasal 72
ayat (2) beserta penjelasannya.
9. Bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja (1187 halaman) oleh Presiden
dengan ditanda-tanganinya naskah tersebut, padahal patut diduga
Presiden tahu adanya Perubahan-perubahan substansi yang dilakukan
pasca RUU Cipta Kerja disetujui bersama Presiden dan DPR pada
tanggal 5 Oktober 2020, telah membuat proses pengesahan tersebut
menjadi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
20 ayat (4) UUD 1945 yang kemudian diatur tata cara pengesahan
pada UU 12/2011, Pasal 72 ayat (2) beserta Penjelasannya.
74

10. Bahwa sepanjang Mahkamah Konstitusi berdiri sejak tahun 2003, terhadap
pengujian Formil Mahkamah Konstitusi belum pernah mengabulkan
permohonan dan membatalkan seluruh Undang-Undang yang diuji formil
ke Mahkamah Konstitusi.
11. Adapun satu-satunya perkara Pengujian Formil yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi bahwa Proses Pembentukan UU No. 3 Tahun 2009
tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang termuat dalam
pertimbangan hukum Putusan No. 27/PUU-VII/2009 Mahkamah
menimbang sebagai berikut:
“…, Proses pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan
pengujiannya oleh para Pemohon telah melanggar ketentuan formil
pengambilan keputusan yang berlaku pada waktu itu, yaitu Peraturan
Tata Tertib DPR Nomor 08/DPR RI/2005-2006 dan Pasal 20 UUD 1945
sehingga cacat prosedur. Mahkamah berpendapat bahwa Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut sangatlah penting untuk menentukan apakah
DPR telah menyatakan persetujuannya terhadap suatu Rancangan
Undang-Undang sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945. Meskipun
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji oleh para Pemohon mengandung cacat prosedur dalam
proses pembentukannya, namun untuk dinyatakan bahwa Undang-
Undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah sebelum perkara a quo diajukan belum
pernah memutus permohonan pengujian formil Undang-
Undang yang diperiksa secara lengkap dan menyeluruh;
2. Bahwa sementara itu proses pembentukan Undang-Undang
berlangsung secara ajeg dengan tata cara yang diatur oleh
Peraturan Tata Tertib DPR dan kebiasaan yang berkembang
dalam proses tersebut;
3. Bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang
didasarkan pada Peraturan Tata Tertib DPR dan kebiasaan
tersebut oleh DPR dianggap tidak bertentangan dengan UUD
1945;
4. Bahwa adanya temuan oleh Mahkamah Konstitusi, berupa
cacat prosedur dalam proses pembentukan Undang-Undang
yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, harus
difahami sebagai koreksi atas proses pembentukan Undang-
Undang yang selama ini dipraktikkan sebagai telah sesuai
dengan UUD 1945;
5. Bahwa temuan Mahkamah Konstitusi tentang hal-hal yang
seharusnya dilakukan dalam proses pembentukan Undang-
Undang agar sesuai dengan UUD 1945, baru disampaikan
oleh Mahkamah dalam putusan perkara a quo sehingga tidak
tepat kalau diterapkan untuk menguji proses pembentukan
Undang-Undang sebelum putusan ini;
75

6. Bahwa meskipun terdapat cacat prosedural dalam


pembentukan UndangUndang a quo, namun secara materiil
Undang-Undang tersebut tidak menimbulkan persoalan
hukum;
7. Bahwa apabila Undang-Undang a quo yang cacat prosedural
tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih
baik karena:
a. dalam Undang-Undang a quo justru terdapat substansi
pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang
yang diubah;
b. sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam
sistem kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang a
quo dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-
Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi
Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah
berjalan berdasarkan UU 3/2009;
Atas pertimbangan tersebut dan demi asas manfaat untuk
tercapainya tujuan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut tidak
perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang yang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat; artinya Undang-
Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum berlaku;

12. Bahwa terhadap pertimbangan hukum Putusan No. 27/PUU-VII/2009


sebagaimana dikutip pada angka 11 tersebut di atas, terhadap
pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan oleh Mahkamah
Konstitusi tentunya tidak tepat jika akan diterapkan kembali pada
Pengujian formil Perkara a quo, dengan alasan sebagai berikut:
12.1 Bahwa perkara a quo merupakan permohonan Pengujian formil
UU kedua yang diperiksa secara lengkap dan menyeluruh
setelah Sebelumnya Mahkamah telah memeriksa secara
lengkap dan menyeluruh serta memutus Pengujian Formil
melalui Putusan No. 27/PUU-VII/2009.
12.2 Ketentuan yang dilanggar oleh Pembentuk Undang-Undang
secara terang-terangan telah menabrak pakem-pakem yang
telah diatur dalam UU 12/2011 sebagaimana merupakan UU
yang di delegasikan secara konstitusional oleh Pasal 22A UUD
1945. Pakem-pakem yang dilanggar antara lain asas
pembentukan Undang-Undang, juga terhadap adanya
76

perubahan-perubahan substansi materi muatan pasca


persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana telah
ditentukan pada UU 12/2011, Pasal 72 ayat (2) beserta
penjelasannya. Dimana pada tanggal 05 Oktober 2020
berdasarkan Naskah RUU Cipta Kerja (905 halaman) yang
kemudian mengeluarkan beberapa naskah RUU yakni: Naskah
RUU Cipta Kerja (1035 halaman) dan Naskah RUU Cipta Kerja
(812 halaman), serta yang terakhir RUU Cipta Kerja (1187
halaman) yang disahkan oleh Presiden dan diundangkan
dengan No. 11 Tahun 2020.
12.3 Bahwa terhadap cacat prosedur tersebut tentunya tidak dapat
difahami kembali hanya sebagai koreksi atas proses
pembentukan UU yang selama ini dipraktekkan sebagaimana
telah sesuai dengan UUD 1945 yang menjadi pertimbangan
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian formil
Putusan No. 27/PUU-VII/2020. Mengapa? Karena apabila
praktik ini dimaklumi dan hanya difahami sebagai koreksi saja,
maka kedepan dapat dipastikan bagi pembentuk undang-
undang semakin berani menabrak pakem-pakem dalam proses
pembentukan Undang-Undang bahkan dapat menular kepada
pembentukan peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang.
12.4 Bahwa UU Cipta Kerja tidak hanya Cacat Prosedural dalam
pembentukan Undang-Undangnya, namun juga menimbulkan
banyak persoalan hukum sebagaimana telah diuraikan pada
huruf A, huruf B dan Huruf C di atas.
12.5 Bahwa apabila UU Cipta Kerja dinyatakan cacat perosedural
karena tidak memenuhi pembentukan UU berdasarkan UUD
1945 dan UU 12/2011, maka tidak akan menimbulkan keadaan
buruk baik bagi penyelenggara pemerintahan, bahkan akan
mempertahankan keadaan yang sudah relative cukup baik yang
ter-downgrade oleh UU Cipta Kerja.

13. Bahwa apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-udang berdasarkan UUD 1945, Mahkamah
77

Konstitusi tidak perlu khawatir karena tidak akan menimbulkan


kekosongan hukum selama oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Pertimbangan Hukumnya menyatakan terhadap pasal-pasal yang telah
diubah dalam UU Cipta Kerja berlaku Kembali jika Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan ini.
14. Bahwa terhadap kekhawatiran akan adanya kekosongan pengaturan
jika UU Cipta Kerja dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, hal tersebut telah terjawab melalui praktik yang pernah
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi saat membatalkan UU No. 20
Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) melalui
Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang diucapkan pada
persidangan yang terbuka untuk umum pada hari rabu, tanggal 15
Desember 2004. Walaupun Pengujian yang dimohonkan oleh Para
Pemohon adalah Pengujian Materiil yakni Pasal 16 dan Pasal 17 ayat
(3), serta Pasal 68 UU Ketenagalistrikan, namun karena menurut
Mahkamah Konstitusi pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU
Ketenagalistrikan. Maka Mahkamah Konstitusi menyatakan UU
Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan guna menghindari
kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka UU No. 15 Tahun 1985
tentang ketenagalistrikan berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20
Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985
termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. (vide. Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003, halaman 349 –
351)
15. Bahwa tidak hanya terhadap UU Ketenagalistrikan. Mahkamah Kontitusi
juga pernah membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (UU SDA) melalui Putusan No. 85/PUU-XII/2013 yang diucapkan
pada persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Rabu, 18
Februari 2015. Walaupun pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon
adalah Pengujian Materiil yakni Pasal 6, Pasal 7 Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 26, Pasal 29 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 45, Pasal 46, Pasal
48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 80, Pasal 91 dan Pasal 92 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) UU SDA. Namun menurut Mahkamah Konstitusi,
78

pada pokoknya UU SDA tidak memenuhi enam prinsip dasar


pembatasan pengelolaan sumber daya air. Sehingga untuk mencegah
terjadinya kekosongan pengaturan mengenai Sumber Daya Air, maka
sembari menunggu pembentukan Undang-Undang yang baru yang
memperhatikan putusan Mahkamah oleh Pembentuk Undang-Undang,
maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 1974
tentang pengairan berlaku kembali.
16. Bahwa berdasarkan 2 (dua) praktik yang telah dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan pada poin 13 dan 14
tersebut di atas, seharusnya pada perkara a quo, Mahkamah Konstitusi
tidak perlu khawatir untuk membatalkan UU Cipta Kerja karena tidak
memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD
1945 dan UU 12/2011 sebagai pakem dalam membentuk peraturan
perundang-undangan in casu UU Cipta Kerja bagi Pembentuk Undang-
Undang. Karena apabila terhadap praktik yang secara terang-terangan
menabrak pakem yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagai
Undang-Undang delegasi dari Pasal 22A UUD 1945 dibiarkan atau
bahkan diberikan Legitimasi Konstitusional apabila Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan ini. Maka selain menciderai prinsip-
prinsip Negara Hukum. Praktik ini akan terus lakukan demi
melenggangkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dengan
menghalalkan segala cara, termasuk dengan mengorbankan hak-hak
konstitusional Warga Negara yang telah dijamin dalam UUD 1945.
17. Bahwa disinilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai “The Guardian of
Constitutution” tentunya harus mengambil keputusan yang tegas demi
menjaga tegaknya Konstitusi yang secara terang benderang telah di
langar bahkan ditabrak dengan ugal-ugalan, di depan seluruh mata
rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Proses
pengujian ini menjadi sangat penting mengingat saat ini sedang gencar-
gencarnya hastag #MosiTidakPercaya yang disematkan kepada
Lembaga Pembentuk Undang-Undang yakni Presiden dan DPR.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka terhadap Pembentukan UU
Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan
UUD 1945 dan UU 12/2011.
79

IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti
terlampir, maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Formil
sebagai berikut:

DALAM PROVISI
1. Mengabulkan permohonan provisi PARA PEMOHON
2. Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573), hingga adanya putusan akhir Mahkamah
Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo.

DALAM POKOK PERKARA


1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah,
dihapus dan/atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) berlaku kembali.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
80

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan


alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-28 sebagai
berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang


Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-
Undang;

4. Bukti P-4 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk - Pemohon I;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal sebagai Pekerja di


Perusahaan Duta Garuda Piranti Prima – Pemohon I;

6. Bukti P-6 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk – Pemohon II;

7. Bukti P-7 Fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa – Pemohon II;

8. Bukti P-8 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk – Pemohon III;

9. Bukti P-9 Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional – Pemohon III;

10. Bukti P-10 Fotokopi Salinan Akta Notaris Pendirian Migrant CARE –
Pemohon IV;

11. Bukti P-11 Fotokopi Salinan Akta Notaris Perubahan Migrant CARE –
Pemohon IV;

12. Bukti P-12 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum Migrant CARE – Pemohon IV;

13. Bukti P-13 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Ketua dan Sekretaris
Migrant CARE – Pemohon IV;
81

14. Bukti P-14 Fotokopi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga


Migrant CARE – Pemohon IV;

15. Bukti P-15 Fotokopi Akta Notaris tentang Pendirian Badan Koordinasi
Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (Bakor KAN) –
Pemohon V;

16. Bukti P-16 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum Bakor KAN – Pemohon V;

17. Bukti P-17 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Ketua Umum dan
Sekretaris Umum Bakor KAN – Pemohon V;

18. Bukti P-18 Fotokopi Akta Notaris Pendirian Mahkamah Adat Alam
Minangkabau (MAAM) – Pemohon VI;

19. Bukti P-19 Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang
Pengesahan Badan Hukum MAAM – Pemohon VI;

20. Bukti P-20 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk – Ketua (Imam Mahkamah)
MAAM – Pemohon VI;

21. Bukti P-21 Fotokopi Dokumentasi Rapat Dengar Pendapat Umum


(RDPU) UU PPMI oleh Pemohon IV;

22. Bukti P-22 Fotokopi Data Kepesertaan Pemilihan Umum 2019


Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III;

23. Bukti P-23 Fotokopi Print Berita Kompas.com;

24. Bukti P-24 Fotokopi Print Berita Tempo.co;

25. Bukti P-25 Fotokopi Print Berita Kompas.com;

26. Bukti P-26 Fotokopi Naskah RUU Cipta Kerja (905 halaman);

27. Bukti P-27 Fotokopi Naskah RUU Cipta Keja (1035 halaman);

28. Bukti P-28 Fotokopi Naskah RUU Cipta Kerja (812 halaman).

Selain itu, untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon juga


mengajukan 1 (satu) orang ahli atas nama Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH., LLM.
yang keterangannya diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 3 Agustus 2021 dan
didengarkan dalam persidangan pada 5 Agustus 2021, yang pada pokoknya
sebagai berikut:
82

PENDAHULUAN
Pada dasarnya pengujian yang dilakukan oleh Pemohon merupakan pengujian
formil. Namun demikian menarik melihat pengujian formil yang dikaitkan juga atas
implementasi UU. Oleh karenanya, keterangan ini pun sebagian besar
menggunakan analisis formil pembentukan UU, tetapi sesekali akan menggunakan
konsep materil dari UU dalam analisis yang akan dilakukan untuk menguatkan
betapa bermasalah proses formal-nya.
Analisis akan dilakukan terhadap; Pertama, konsep konstitusional yang berkaitan
pembentukan UU. Kedua, apa saja pelanggaran yang dilakukan dalam tahapan
pembentukan UU No. 11 Tahun 2020. Ketiga, implikasi membingungkan dari UU
yang diujikan ini, yang mana implementasi ini sebenarnya memiliki keterkaitan
dengan pembentukannya yang tidak memenuhi kaedah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.

KONSEP KONSTITUSIONAL PEMBENTUKAN UU


Undang-undang bukanlah hal yang sederhana. Suatu UU adalah hukum yang
dibentuk oleh pembentuknya dan memiliki daya berlaku, dapat bersifat perintah
maupun larangan terhadap rakyat dan warga negara. Rosseau menggambarkan
dalam “Kontrak Sosial” bahwa rakyat memberikan kuasa terhadap negara untuk
begitu banyak urusan, termasuk mengatur rakyat tersebut. Dan oleh karenanya,
harus ada batasan-batasan bagi negara untuk melaksanakan titipan kewenangan
itu. Rakyat yang berdaulat kemudian menitipkan kedaulatannya kepada negara
melalui proses representasi dan kontestasi kepemiluan, dan karenanya aktor negara
yang terpilih kemudian harusnya melaksanakan keinginan rakyat yang menitipkan
kedaulatan tersebut.
Prinsip demokrasi menyebutkan pembentuk UU, Presiden dan Parlemen –dalam
sistem Presidensil-, merupakan perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat. Hanya
menjadi pelaksana dari keinginan rakyat. Dalam perspektif Bryan Thompson,
konstitusionalitas atas kerja-kerja negara itu harus bersumber dari hukum dasar
hanya mengikat jika didasarkan atas kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu
negara Dan ketika kekuasaan itu telah diberikan ia berkewajiban untuk taat dan
patuh atas konsep pembatasan kekuasaan yang disematkan pada negara dan
memperhatikan secara sungguh-sungguh keinginan rakyat, sebagai sumber
kedaulatan yang dimiliki oleh negara dalam menjalankan kewenangannya.
83

Artinya, secara filosofi konstitusionalitas pembentukan UU tak lain dan tak bukan
harus memperhatikan kedua hal tersebut di atas dalam menjalankan kewenangan
yang disematkan padanya. Sedangkan UU itu sendiri memiliki pengertian yang
beragam seiring dengan persepektif para ahli melihat dan mendefinisikan UU.
Namun pada dasarnya, pengertian itu bisa dilihat dan tersarikan pada pengertian
peraturan perundang-undangan yang ada dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yaitu
“peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Jika diuraikan pengertian peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, maka peraturan perundang-undangan adalah: (1) Berbentuk
tertulis. (2) Memuat norma hukum yang mengikat umum. (3) Dibentuk/ditetapkan
oleh Lembaga/Pejabat yang berwenang. (4) Melalui Prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya, aspek formil adalah sesuatu yang amat penting. Sesungguhnya agak
khawatir dengan pandangan yang mengecilkan makna formalitas pembentukan UU.
Karena formal pembentukan UU sebenarnya menjadi syarat penting bagi legitimasi
hukum. Kekuasaan itu pada dasarnya harus dibatasi. Dan dalam melaksanakan
kekuasaan itu, harus ada pembatasan-pembatasan dalam konteks formal agar
kekuasaan tersebut dibuat secara serampangan. Formalitas itu menjadi kontrol
terhadap keserampangan dan kesewenangan itu. Artinya, hukum harus dijaga agar
tidak dibuat dengan seenaknya, tetapi harus melalui konsep dan mekanisme yang
disepakati. Dalam hal ini, tentu saja UU juga harus melalui konsep itu.
Formalitas kaku itu juga sebagai potret penghargaan atas kedaulatan rakyat. Peran
dalam bentuk partisipasi, aspirasi dan transparansi menjadi kewajiban yang melekat
dengan hak-hak warga negara yang akan diatur dalam suatu UU. Itulah sebabnya,
dalam konsep teoritik pembentukan UU, dapat dikatakan bahwa procedural ini
adalah jantung dalam proses administrasi legislasi. “Without procedures, law and
legal institutions would fail in their purposes” (D.J Galligan, 1996)
Dalam pembahasan ketika UUD 1945 dibentuk, terlihat keinginan besar untuk
membahas pembentukan UU ini, setidaknya dalam tiga level. Pertama, pergeseran
kekuasaan pembentuk UU. Kedua, proses dan mekanisme pembentukan UU.
Ketiga, pengawasan atas kekuasaan pembentukan UU melalui mekanisme review.
84

Dalam dua level yang pertama, seperti kita ketahui, terjadi pergeseran kuasa
pembentuk UU dari Presiden menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang sudah
dijelaskan secara terang benderang dalam disertasi Saldi Isra (2009), bahwa
pergeseran ini tak serta merta berarti menguatkan kewenangan DPR, tetapi malah
memberikan posisi yang kuat kepada Presiden dalam wilayah legislasi. Meskipun
kuasa berada di DPR tapi pemilik veto yang tak bisa terbantahkan adalah Presiden
dalam kewajiban pembahasan dan persetujuan bersama.
Hanya saja pada level yang ketiga yakni ketika berbicara tentang pengujian UU
sebagai sarana kontrol untuk menjaminkan UU tidak digunakan secara
serampangan oleh pembentuknya, terjadi pembahasan tak berimbang antara
pengujian formil dan pengujian materil. Meskipun kita semua paham bahwa konsep
pengujian UU menganut model materil dan formil, tetapi ketika pembahasan UUD
1945 khususnya pada perubahan kedua dan ketiga, pembahasan lebih banyak
berkutat pada pengujian materil.
Akan tetapi kemudian, ketika UUD disepakati dan ditindaklanjuti dengan menyusun
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, konsep pengujian formil ini
mendapatkan tempat pembahasan. Pada titik itulah, pengujian formil mengalami
tarik menarik yuridis. Jika tetap dengan paradigma bahwa pengujian formil harus
berdasarkan Pasal 51 Ayat 3 huruf a UU No. 24/2003 yang mengatur bahwa bahwa
Pemohon tatkala mengajukan pengujian formil harus menjelaskan secara terperinci
bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Padahal
ketentuan di dalam UUD 1945 hanya amat sederhana dalam kaitan dengan
pembentukan UU.
Itu sebabnya, ketika pertama kali menyusun peraturan perihal hukum acara di
Mahkamah Konstitusi, terjadi pelebaran makna di Peraturan Mahkamah Kontitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang yaitu “Pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak
termasuk pengujian materiil”. (Pasal 4 ayat (3)).
Bahkan ketika UU Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan di tahun 2011
terdapat Pasal yang dimasukkan dalam Pasal 51A Ayat 3 UU No. 8 Tahun 2011
yang berbunyi bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan
pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah
85

Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata


cara pembentukan peraturan perundang-undangan”. Hal yang berarti, makin
melebarkan lagi konsep pengujian formil yang bisa dilakukan karena tidak lagi hanya
sebatas berdasarkan UUD 1945, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan konsep demikian maka konsep pengujian formalitas pembentukan undang-
undang tidak saja hanya dapat dimaknai menyangkut prosedural dalam bentuk
proses dan tahapan pembentukan UU sebagaimana diatur di dalam konstitusi,
namun berkaitan juga dengan penggunaan hal-hal lainnya diluar pengujian materil
yang telah digariskan di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tata cara pembentukan peraturan perundangundangan.
Tentu dalam hal ini, tak ada itikad untuk menggurui MK tentang wilayah yang dapat
dijadikan rujukan untuk pengujian formil, akan tetapi konsep konstitusionalnya
tersebar dan melebar berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan.
Apakah tetap mau dalam konsep konstitusional saja ataukah mau merambah hingga
ke konsep dan teknis sebagaimana yang diatur di dalam perundang-undangan.
Tidak hanya teknis semata, tetapi juga masuk ke esensi konstitusionalitas yang
dapat dimaknai dalam bangunan partisipasi, politik hukum yang baik, paradigma
yang sesuai dengan konstitusi, bahkan politicall will dalam pembentukan UU yang
disesuaikan dengan tujuan esensial; bernegara.
Dalam konsep konstitusionalitas saja, masih ada ruang terbuka untuk menilai
semisal menggunakan persepektif Alec Stone Sweet (2000) yang melakukan
penelusuran terhadap konstitusi-konstitusi yang terdapat di negara-negara Eropa
Kontinental, umumnya memuat beberapa persoalan penting termasuk salah
satunya berkaitan bagaimana constitutional adjudication berhadapan dengan
prosedural pembentukan undang-undang, yaitu :
1. Menetapkan kewenangan lembaga-lembaga negara serta menyerahkan
kewenangan kepada lembaga-lembaga itu untuk membuat dan menerapkan
hukum.
2. Menetapkan peraturan prosedural yang akan menentukan produksi norma
hukum, seperti undang-undang dan memberi batasan-batasan apa saja yang
harus dipatuhi dalam pembentukan produk legislasi tersebut.
3. Menentukan tata cara dalam melaksanakan perubahan konstitusi, sekaligus
membedakan aturan ini dari ketentuan yang mengatur produktivitas norma
86

hukum intrakonstitusional, seperti undang-undang dan peraturan perundang-


undangan lainnya.
4. Memberi kekuasaan kepada MK untuk mempertahankan superioritas normatif
konstitusi vis-vis peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahkan jika melebar dengan berbagai konsep berkaitan dengan asas pembentukan
perundang-undangan, apa yang disitir Jeremy Bentham paling tidak menjadi
menarik ketika berbicara tentang ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat
mempengaruhi undang-undang (statute law). Jeremy Bentham selanjutnya
membagi ketidaksempurnaan tersebut dalam dua derajat/tingkatan.
Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi: (1) Arti
ganda (ambiguity); (2) Kekaburan (obscurity); (3) Terlalu luas (overbulkiness).
Sedangkan ketidaksempurnaan derajat kedua, disebabkan hal-hal yang meliputi: (1)
Ketidak tepatan ungkapan (unsteadiness in respect of ezpression); (2)
Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import); (3)
Berlebihan (redundancy); (4) Terlalu panjang lebar (longwindedness); (5)
Membingungkan (entanglement); (6) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman
(nakedness in respect of helps to intellection); (7) Ketidakteraturan (disorderliness).
Meskipun yang disampaikan Jeremy Bentham ini adalah bagian dari konsep materiil,
tetapi bukan berarti tidak lahir kekaburan materiil akibat kekurangan yang terjadi
secara formil, misalnya karena ketergesa-gesaan legislasi dan ketiadaan partisipasi.
MK sendiri telah berulang-ulang melakukan pengujian formil. Hingga 2020, telah 44
kali MK memutus dengan konsep permohonan formil (Nurul Fazrie dan Bivitri
Susanti, 2020). Dan hasilnya memang tidak satupun dari keseluruhan permohonan
tersebut yang dikabulkan. Karenanya, jika digabungkan dengan pengujian UU KPK
(perkara No. 79/PUU-XVII/2019), maka sudah 45 perkara dan hasilnya tetap saja
sama yakni tidak pernah ada yang dikabulkan. Padahal kita semua tahu betapa
buruknya sebenarnya cara pembentuk UU melaksanakan fungsi legislasi.
Karenanya, tentu saja dibutuhkan tanggungjawab konstitusional MK yang lebih
tinggi. Jika dilihat dari berbagai perkara yang telah dilakukan pengujian formil,
terlihat bahwa MK belum punya parameter yang kuat dan konstitusional untuk
mengukur sejauh mana konstitusionalitas formal pembentukan UU. MK belum
mengeluarkan suatu putusan monumental yang merupakan penjelmaan dari
penjagaan hak-hak konstitusional warga negara dari suatu legislasi yang buruk.
87

Dalam kasus terakhir Putusan formil atas UU KPK, MK memperlihatkan sesuatu


yang tidak terlalu menarik, terlihat dangkal dalam alasan hukum, bahkan hanya
meilihat formalitas semata terpenuhinya suatu proses legislasi tanpa melihat esensi.
Padahal di situlah bahayanya suatu konstitusionalitas pembentukan UU, karena
seringkali yang dilanggar adalah esensi dari suatu proses formal dan bukan
formalitas formal. Semisal, salah satu esensi dari suatu legislasi adalah partisipasi,
tentu saja yang harus dilihat adalah esensi dari partisipasi itu, dan bukan hanya
formalitas dari suatu partisipasi. Mengapa? Karena seringkali, seperti yang
dituliskan oleh Sherry R. Arnstein (2016) meminjam istilah Burns (2014) dengan
kata-kata level partisipasi “tokenism” yang mana level partisipasinya adalah
partisipasi publik hanya dipakai sekedar untuk memenuhi persyaratan pembentukan
peraturan. Dan bahayanya adalah ia tetap kehilangan esensi partisipasi.

PELANGGARAN TERHADAP PEMBENTUKAN UU


Dalam logika filosofi dan konstitusionalitas di atas, menjadi menarik untuk melihat
terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam tahapan pembentukan UU Cipta Kerja.
Siapapun paham, UU memang merupakan resultante kepentingan politik. Tetapi
disitulah fungsi konstitusi dan peraturan perundang-undangan memberikan ruang
agar tidak sekedar memenuhi kaidah politik. Makanya dibuka ruang yang namanya
partisipasi, aspirasi dan berbagai tindakan penyesuaian serta masukan lainnya.
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan misalnya jelas mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah amat
penting.
Dalam perkara formil UU Cipta Kerja, maka ada begitu banyak pertanyaan subtantif
yang bisa disampaikan. Pertama, dalam kaitan aturan main dalam Menyusun UU
Cipta Kerja. Seperti kita pahami bahwa disusun dengan menggunakan metode
omnibus. Ide penggunaan UU ini sudah ada jauh hari sebelum dibuatnya UU Cipta
Kerja. Bahkan ide UU Cipta Kerja sendiri sudah ada dalam berbagai pembahasan
sehingga setidaknya di bulan Oktober 2019, ide ini sudah ada. Herannya, Ketika
mengubah UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Oktober 2019, tidak ada pembicaraan sama sekali perihal penggunaan metode
omnibus dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Itu sebabnya dalam
revisi UU 12/2011, menjadi UU 15/2019, sama sekali tidak dicantumkan tentang
metode omnibus. Ini tentunya menjadi perkara yang tidak kecil oleh karena
ketiadaan aturan main yang jelas membuat UU ini diperlakukan secara
88

serampangan dan tanpa aturan yang memadai. Penting menjadi pertanyaan bagi
pembentuk UU, mengapa sama sekali tidak mengatur perihal metode UU secara
omnibus padahal ide itu sudah ada.
Kedua, tentang metode omnibus itu sendiri. Metode pilihan menggunakan Omnibus
ini memang menarik. “Metode satu untuk semua” ini memang memiliki beberapa
keunggulan untuk dapat dengan cepat merapihkan dan mengharmonisasikan UU
yang tumpang tindih dan tidak beraturan. Memang tidak ada keseragaman istilah
dan praktik penggunaannya. Tetapi paling sederhana, Omnibus Law adalah “A draft
law before a legislature which contains more than one subtantive matter or several
minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of
convenience” (Duhaime Legal Dictionary).
Problem pertama adalah seberapa luas satu-dua hal subtantif atau beberapa yang
minor tersebut. Praktik pada umumnya menjelaskan bahwa Omnibus dipakai untuk
beberapa kluster yang lebih mirip, semisal berkaitan dengan Budget implementation
(Praktik di Kanada dan Amerika Serikat). Walau memang ada praktik yang terlalu
luas dan besar (Irlandia). Praktik meluas selalu mendapatkan kritik yang kuat.
Apalagi dengan RUU Cipta Kerja yang menggabungkan 11 kluster yang memiliki
corak dan paradigma hukum yang tak seragam. Ketika digabungkan dalam satu
konsep seragam, sangat mungkin menjadi problem. Louis Massicotte (2013)
mengutip kritikan akan berbahayanya Omnibus Law dalam Commonwealth vs
Barnett 199 Pa.161, “Bills, popularly called omnibus law, became criying evil, not
only form the confusion and ditraction of the legislative mind by the jumbling together
of incongrous subject, but still more by facility they afforded to corrupt combinations
of minorities with different interest to force the passage of bills with provisions which
could never succed if they stood on their separate merits”.
Secara teknis penyusunan pun menjadi tidak sederhana. RUU ini berjumlah 174
Pasal, tetapi secara subtansi memuat perubahan dan pembatalan norma 79 UU
multi sektor. Teknis penyusunan ini menjadi tidak sederhana karena cenderung
membingungkan. Membingungkannya terlihat dari pilihan ketika akhirnya
menamakan RUU ini menjadi Cipta Kerja. Oleh karena luasan kluster yang terlalu
luas, pilihan itu pun melanggar ketentuan dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011
yang merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dengan ketentuan UU-nya secara
keseluruhan. Sebenarnya jika UU adalah pencabutan maka harus di bagian judul
memberikan hal itu, akan tetapi karena UU No. 12 Tahun 2011 sendiri belum
89

berparadigma memungkinkan adanya model omnibus, makanya banyak ketentuan


dalam hal ini yang terlanggar.
Dikaitkan dengan kewajiban membangun partisipasi yang baik, maka alangkah
baiknya jika pembagian partisipasi juga dilakukan secara kluster, atau kemudian UU
ini dibuat secara menjadi 11 UU yang disesuaikan dengan kluster. Memaksakan
menjadi satu buah UU, membuat ada begitu banyak kluster yang tidak mengalami
pengayaan diskursus dan partisipasi yang memadai. Dan itulah yang
menyumbangkan begitu banyak perdabatan dan kesalahan subtantif di dalamnya.
Walau pun tentu saja karena ini pengujian formil maka pelanggaran itu tidak akan
dibahas secara mendetail. Melalui pembahasan yang dipaksakan dalam waktu
singkat dan dengan begitu banyak kluster, akhirnya ada begitu banyak pihak yang
seharusnya dimintai partisipasi dan analisis atas UU ini menjadi sama sekali tidak
dilibatkan. Sehingga dapat dikatakan, dalam banyak hal tidak ada partisipasi yang
memadai.
Ketiga, pelanggaran secara langsung atas proses. Pelanggaran pada proses juga
terjadi setidaknya pada tiga hal lainnya. Yakni pembahasan yang dilakukan secara
terburu-buru, tidak transparan dan tanpa partisipasi. Pasal 18 UU No. 12 Tahun
2011 mewajibkan penyusunan UU memperhatikan aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat.
Begitu pun Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan tulisan, melalui RDPU, Kunjuungan
Kerja, Sosialisasi maupun Seminar, lokakarya dan atau diskusi yang mana
masyarakat itu adalah semua orang yang punya kepentingan dan karenanya RUU
harus dimudahkan untuk dapat diakses. Pada penyusunan RUU Cipta Kerja hampir
kesemua hal tersebut dilanggar.
Lebih khusus dengan proses pembahasannya. Di pembahasan antara DPR dan
Pemerintah dan DPD dapat ikut dalam posisi tertentu, menjadi menarik melihat
teknis pembahasannya akan seperti apa. Jumlah Komisi di DPR sebenarnya
mencerminkan berapa jumlah urusan Pemerintah yang dibagi habis dalam kluster
komisi. Tapi dengan UU yang sangat luas dan lebar, maka akan berkaitan lintas
komisi. Seberapa keterlibatan partai-partai di situ. Seberapa representatif
pembahasan itu pun akan menjadi hal yang menarik untuk dipertanyakan lebih
lanjut. Lagi-lagi, ini disebabkan tidak fitnya konsep pembahasan RUU yang amat
lebar ini dengan konsep pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-
90

undangan yang ada, baik di UU No. 12 Tahun 2011, maupun UU 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, maupun peraturan terknis lainnya yang
tersebar di Tatib. Yang terjadi kemudian adalah kesemuanya diterabas tanpa proses
yang memadai.
Keempat, UUD 1945 memberikan lima tahapan UU; pengajuan, pembahasan,
persetujuan, pengesahan dan pengundangan. Pada pengajuan, tidak ada
partisipasi masyarakat, dilanjutkan di tahapan persetujuan dan pengesahan. Dan ini
dilakukan bersama-sama dengan Presiden. Kelima tahapan ini sangat erat dengan
politik hukum negara dalam membuat suatu UU.
Konsepsi politik hukum, yang dalam bahasan Mahfud MD (2004), setidaknya bisa
dibahasakan menjadi tiga hal. Pertama, “cetak biru” dari kebijakan dan peraturan
yang dicita-citakan. Kedua, tarik menarik politik pada proses di dalam ruangan
pembahasan dan persetujuan legislasi. Ketiga, implementasi yang diharapkan dan
dapat terkawal oleh kebijakan tersebut.
Cetak biru sebenarnya adalah konsep perundang-undangan yang berkaitan dengan
keseluruhan UU dan sistem yang diharapkan akan dibangun ke depan dalam
kebijakan yang akan dibuat. Makanya, ia berisi pandangan menyeluruh baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis. Sekurang-kurangnya, hal itu hadir dalam naskah
akademik. Dari 2278 halaman naskah akademik yang dibuat, tak banyak bicara
tentang bangunan apa yang diharapkan dalam membuat konsep hukum ke depan.
Dari 11 kluster terimbas dalam RUU ini, tak jelas apa yang mau dibangun ke depan
dari tema pada kluster tersebut. Semisal perizinan, ke depan apa konsep perizinan
yang mau dicapai? Apalagi di kluster tersebut, terdapat begitu banyak hal yang
berkaitan Kehutanan, Lingkungan Hidup, Pertanahan dll. Artinya, bukan hanya soal
bangunan cetak biru di wilayah perizinannya yang harus didetailkan, tetapi juga
bagaimana cara pandang negara terhadap sektor terimbas tersebut? Karena UU
tidaklah bersifat einmaleigh (sekali pakai), tetapi dia harus dapat memotret secara
forward looking tentang apa yang diharapkan ke depan. Begitu pun dengan kluster
lainnya selain soalan perizinan.
Pada cetak biru, kemungkinan tarik menarik kepentingan politiknya pun harus
diwaspadai. Siapapun paham, UU memang merupakan resultante kepentingan
politik. Tetapi disitulah fungsi konstitusi dan peraturan perundang-undangan
memberikan ruang agar tidak sekedar memenuhi kaidah politik tetapi juga
memenuhi keinginan publik. Makanya dibuka ruang yang namanya partisipasi,
91

aspirasi dan berbagai tindakan penyesuaian serta masukan lainnya. Pada


penyusunan RUU Cipta Kerja kesemua hal tersebut dilanggar. Nyaris tak ada
partisipasi, transparansi dan terkesan terburu-buru. Tak ada pengayaan wacana
sebagai bentuk partisipasi yang diperintahkan dalam UUP3.
Bahayanya adalah konsep pembuatan UU di Indonesia memang menyimpan
kemungkinan tinggi untuk mengalami politisasi dan tukar menukar kepentingan. Ikut
sertanya Presiden dalam membahas dan menyetujui UU, berakibat kedudukan
Presiden sangat kuat dalam penyusunan UU. Dengan posisi kuat ini, - meski pada
saat yang sama UUD memberikan kewenangan legislasi kepada DPR- membuat
Presiden sangat mungkin bertukar kepentingan dalam pembuatan UU. Dan juga di
tengah besarnya kepentingan politik di DPR, maka tukaran kepentingan itu akan
mudah terjadi. Ini misalnya sudah terlihat di berbagai UU, semisal tukar menukar
prolegnas antara UU Tax Amnesty dan UU KPK.
Kelima, kudeta redaksional. Pelanggaran ini sangat fatal yakni terjadinya
perubahan UU meskipun telah dilewatinya tahapan persetujuan. Jika pertanyaan
sederhananya apakah diperbolehkan melakukan perubahan setelah tahapan
persetujuan, maka pada hakikatnya itu menjadi haram dilakukan. Sesungguhnya,
segala urusan soal substansi dan format UU, harusnya selesai tatkala paripurna
persetujuan bersama dilakukan. UU telah jadi dalam konteks "bersih" pada saat
akan diketuk. Karena itulah titik paling utama dalam proses legislasi seperti yang
telah dituliskan di atas.
Jika menggunakan alasan mengubah-ubah pasal dengan adanya aturan Pasal 72
Ayat 1 dan 2 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatakan bahwa RUU yang telah
disetujui bersama Pemerintah dan DPR disampaikan kepada Presiden untuk
disahkan menjadi UU dalam waktu 7 hari, tentu hal itu tidak bisa dibenarkan. Oleh
karena penjelasan Pasal itu sudah limitatif dalam UU No. 15 Tahun 2019 yang
mengubah UU No. 12 Tahun 2011, bahwa penggunaan waktu 7 hari kerja adalah
waktu yang layak untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan teknis
penulisan RUU ke lembaran resmi Presiden sampai dengan penandatanganan,
pengesahan dan pengundangan. Artinya, hanya teknis administrasi serta persiapan
semata yang kemudian tak boleh masuk ke dalam tindakan-tindakan menghapus,
menambahkan atau bahkan mengubah makna. Jangankan di kata-kata, bahkan titik
dan koma pun sebenarnya sudah tidak dapat dilakukan, karena itu juga berpotensi
mengubah makna.
92

Padahal itulah yang nyata terjadi, penambahan-penambahan pasca paripurna DPR


di RUU Cipta Kerja. Dalam hal itu, sangat mungkin terjadi "kudeta redaksional".
Istilah itu dikenalkan oleh Saldi Isra dalam tulisan Kompas, 19 Oktober 2009, tepat
11 tahun yang lalu ketika terjadi kudeta redaksional "Ayat Tembakau" serta berbagai
kejadian yang sama mewarnai saat itu. Ia menuliskan bahwa setidaknya ada tiga
kondisi kemungkinan kudeta redaksional terjadi. Pertama, terjadi pada naskah hasil
panitia khusus atau komisi sebelum dibawa ke paripurna DPR. Dalam hal ini,
paripurna harusnya menjadi alat saring dari kemungkinan kudeta redaksional. itulah
yang menyebabkan adanya keharusan untuk membagi naskah UU untuk dibaca dan
diketahui oleh semua anggota DPR dan Pemerintah dalam tahapan persetujuan.
Kedua, terjadi seusai paripurna DPR. Pada tahap ini, anggota DPR sulit mengetahui.
Apalagi, selama ini mayoritas anggota DPR cenderung malas membaca ulang hal
yang telah disepakati. Bukan sekedar itu, apalagi jika memang draf RUU tersebut
tak dibagikan, dan memang secara formal kesempatan untuk membaca nyaris tak
tersedia. Ketiga, jika kudeta redaksional dilakukan pemerintah sebelum disahkan
presiden, lalu diundangkan di Lembaran Negara. Pada tahap ini, saat RUU di tangan
pemerintah, DPR sulit mengecek. Mengingat merupakan tahap akhir, kemungkinan
ada kudeta redaksional baru terlacak setelah diberlakukan.
Terhadap ketiga hal tersebut, khususnya yang kedua, maka pendapat Saldi ada
benarnya dan menemukan relevansinya dalam kasus RUU Cipta Kerja. Dalam
perkara RUU Cipta Kerja, kondisi itu menjadi sangat mungkin terjadi oleh karena
memang tidak ada pembagian draf RUU bagi para anggota DPR, juga tak ada
mekanisme formal untuk tersedianya waktu membaca dan mengontrol substansi
RUU, serta ketidakjelasan naskah RUU yang disahkan di paripurna. Maka, tak ada
yang bisa menjamin bahwa tidak ada kudeta redaksional atau pun “utak-atik” bunyi
pasal yang sesungguhnya sudah diharamkan terkhusus setelah diadakannya
paripurna persetujuan DPR dan Presiden.

IMPLIKASI MEMBINGUNGKAN UU
Catatan Mahfud MD yang telah dikutipkan di atas, harus juga dilihat paling tidak
pada politik hukum yang dikaitkan dengan implementasi UU. Adakalanya,
implementasi UU menjadi terkendala oleh karena memang tidak dibayangkan,
sekaligus dibuat secara terburu-buru dan serampangan sehingga tidak menghitung
secara baik UU itu dapat terimplementasi atau tidak.
93

Karenanya, sesuatu yang tak kalah urgen-nya adalah soalan memastikan


implementasi. Sudah terlihat cara pandang pemerintah memastikan implementasi
dengan membuang segala hal yang teknis ke Peraturan Pemerintah. Dari RUU yang
ada, ada sekitar 500 norma delegasi ke tingkat Peraturan Pemerintah. Dan dengan
cita-cita melakukan perampingan regulasi, bayangkan betapa ide ini adalah jauh
panggang dari api. Bahaya mendelegasikan ke PP ini adalah meninggikan
kemungkinan diskresi Presiden dalam pengaturan.
Bukan sekedar itu, tapi dapat dibayangkan bengkaknya kewenangan Presiden
dengan adanya Pasal 170 Ayat (1), (2) dan (3) di RUU ini yang menegaskan bahwa
demi pelaksanaan kebijakan UU Cipta Kerja maka Pemerintah Pusat berwenang
untuk melakukan perubahan ketentuan dengan PP yang akan dikonsultasikan ke
DPR. Pemerintah seakan mengangkangi ketentuan UUD bahkan perundang-
undangan lainnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan
dengan kemungkinan adanya 500-an PP, pembengkakan dan monopoli
kewenangan Pemerintah akan sangat mudah terjadi. Terjadi kerja-kerja terburu-
buru pada pembuatan berbagai PP. Implikasinya adalah subtansi yang berantakan
dan tidak dapat dibuiat dengan baik. Tulisan-tulisan Maria SW Sumarjono di wilayah
pertanahan, Hariadi Kartodihardjo di wilayah Pengelolaan Sumber Daya Alam,
maupun terbitan FH UGM Yogyakarta “Kertas Kebijakan: Analisis Kritis UU Cipta
Kerja, November 2020) berbagai catatan di bidang lain, menunjukkan tentang
subtansi yang berantakan sebenarnya memperlihatkan betapa buruknya
pembuatan UU Cipta Kerja ini.

PENUTUP
Pada dasarnya, telah dipertotonkan kepada kita semua suatu pembuatan UU yang
mengangkangi begitu banyak hal. Fungsi representasi yang tak representatif. Publik
dibelakangngi. Begitu pun juga pelanggaran begitu banyak hal yang serius atau
tidaknya amat bergantung pada Mahkamah Konstitusi untuk menegaskannya.
Ada harapan besar agar MK mau menghentikan gejala “autocratic legalism” (Kim
Lane Scheppele, 2018) yakni ketika semua keinginan negara dibuatkan aturan legal
hanya sekedar memenuhi dan seakan-akan telah memenuhi mandat demokrasi,
akan tetapi isinya hanya merupakan keinginan negara secara sepihak tanpa adanya
penghargaan atas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
94

Keterangan ini hanya memberikan persepktif, semoga dapat menjadi bahan yang
membantu persidangan ini agar mengembalikan pembuatan UU yang lebih baik,
rakyat yang lebih berdaulat dan masa depan pembentukan UU di Indonesia.

Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan secara


lisan dalam persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Kemanfaatan adalah asas materiil bukan asas formiil.
2. UU Ciptaker ini lebih mengandung kemudoratan dibandingkan manfaatnya yang
dapat diambil.
3. Yang diselesaikan lebih dulu seharunya soal formilnya karena ada batas waktu,
baru kemudian memutus materiilnya.
4. Di amerika titik pentingnya ada di penandatanganan, sedangkan di Indonesia ada
di tahap persetujuan. Artinya dalam penyusunan UU Ciptaker seharusnya sudah
tidak ada lagi perubahan setelah tahap persetujuan.
5. Paradigma undang-undang sesuai UU P3 adalah single, bukan jamak.
6. MK belum membangun prinsip bagaimana partisipasi itu bukan hanya diwakili
oleh institusi tertentu atau ahli tertentu, namun juga seluruh masyarakat. MK
seharusnya tidak hanya melihat apakah ada pertemuannya namun juga apa isi
pertemuannya.
7. Naskah akademik pada dasarnya adalah bukan hanya ada atau tidaknya, namun
juga apakah isi naskah akademiknya sama dengan isi undang-undangnya.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan


Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan pada 17 Juni
2021 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada 6 Agustus 2021, yang pada pokoknya
mengemukakan hal sebagai berikut:

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON DALAM


PENGUJIAN FORMIL
Bahwa merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 4 Mei 2021 mengenai
parameter kedudukan hukum (legal standing) pengujian formil, Mahkamah
Konstitusi menyatakan:
Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal
16 Juni 2010, Paragraf [3.9] mempertimbangkan sebagai berikut:
95

“… bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masayarakat


secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak serta
tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian materil di
pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam pengujian formil
Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan
yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan. Adapun
syarat adanya hubungan pertautan yang langsung dalam pengujian formil
tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian
materiil sebagaimana telah diterapkan oleh Mahkamah sampai saat ini,
karena akan menyebabkan sama sekali tertutup kemungkinannya bagi
anggota masyarakat atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara formil …”

Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-
undang secara formil dalam Perkara 91 DPR memberikan pandangan sebagai
berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon pengujian formil dalam
Perkara 91
1) Bahwa Pemohon I Perkara 91 yang mendalilkan pernah bekerja di perusahaan
dengan status PKWT yang ditempatkan sebagai Technician Helper, namun
dengan adanya Pandemi Covid 19 Pemohon I Perkara 91 mengalami pemutusan
hubungan kerja sepihak dari tempatnya bekerja sehingga saat ini Pemohon I
Perkara 91 sedang berupaya mencari pekerjaan. Berdasarkan fakta yang
disampaikan Pemohon I Perkara 91 tersebut, DPR menerangkan bahwa
sejatinya Pemohon I Perkara 91 saat ini bukan lagi berstatus sebagai Pegawai
PKWT karena sudah diberhentikan oleh perusahaan yang mempekerjakannya.
Maka oleh sebab itu Pemohon I Perkara 91 tidak memiliki hubungan pertautan
yang langsung sebagaimana didalilkan dalam permohonannya. Ketentuan yang
ada dalam UU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan tentunya diperuntukan
bagi seseorang yang masih aktif berstatus sebagai pekerja. Oleh karena itu
permasalahan yang disampaikan oleh Pemohon I Perkara 91 tersebut tidak ada
hubungannya dengan pembentukan UU Cipta Kerja maupun pemberlakuannya.
2) Terhadap dalil Pemohon II Perkara 91 yang menyatakan bahwa UU a quo telah
mengkapitalisasikan dunia pendidikan karena UU a quo memasukan sektor
pendidikan dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sehingga merugikan
Pemohon II Perkara 91 selaku pelaku Pendidikan dan yang akan mengabdikan
diri di dunia pendidikan, DPR menerangkan bahwa tidak ada pertautan langsung
antara pengaturan yang dipermasalahkan oleh Pemohon II Perkara 91 dengan
kedudukan Pemohon II Perkara 91 selaku pelaku pendidikan yang dalam hal ini
96

adalah seorang mahasiswa. Selain itu, dalil Pemohon II Perkara 91 yang


menyatakan “akan mengabdikan diri di dunia Pendidikan” belum terjadi. Oleh
karena itu maka menjadi tidak relevan jika Pemohon II Perkara 91 menyatakan
hak konstitusionalnya terlanggar karena tidak ada hubungan pertautan yang
langsung dengan berlakunya UU Cipta Kerja.
3) Terhadap dalil Pemohon III Perkara 91 yang berprofesi sebagai dosen, DPR
menerangkan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tentunya tetap mengikuti
kaidah-kaidah sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Tidak ada 1 (satu) ketentuan pun dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang melarang teknik pembentukan undang-
undang secara Omnibus Law. Meskipun tidak dikenal dengan nama Omnibus
Law, mekanisme perubahan beberapa undang-undang melalui satu undang-
undang telah ada sejak lama dan dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu
pemberlakuan UU Cipta Kerja sama sekali tidak menghalangi hak konstitusional
Pemohon III Perkara 91 sebagai dosen dalam memberikan pembelajaran
kepada mahasiswanya. Sehingga tidak relevan jika Pemohon III Perkara 91
mengajukan pengujian UU a quo secara formil dengan dalil bahwa hak
konstitusionalnya terhalangi karena telah sangat jelas tidak ada hubungan
pertautan secara langsung dengan berlakunya UU Cipta Kerja.
4) Bahwa Pemohon IV Perkara 91 yang merupakan organisasi kemasyarakatan
bukanlah subjek yang diatur dalam UU Cipta Kerja terutama dalam kaitannya
dengan penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Pemohon IV
Perkara 91 mempermasalahkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja
Migran Indonesia (SIP3MI) yang diubah dalam UU Cipta Kerja yang bukan
merupakan kewenangan Pemohon IV Perkara 91. Selain itu, permasalahan yang
disampaikan oleh Pemohon IV Perkara 91 tersebut bukanlah permasalahan
secara formil melainkan permasalahan secara materiil sehingga tidak tepat
apabila Pemohon IV menjadikan hal tersebut sebagai alasan dalam pengajuan
pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja. Oleh karenanya, telah sangat jelas
bahwa Pemohon IV tidak memiliki hubungan pertautan secara langsung dengan
berlakunya UU a quo.
5) Terhadap dalil Pemohon V dan Pemohon VI Perkara 91 sebagai perwakilan
masyarakat adat, DPR menerangkan bahwa UU Cipta Kerja tidak
menghilangkan eksistensi dan kewenangan Pemohon V dan Pemohon VI
97

Perkara 91 dalam menjalankan perannya sebagai pemegang hak ulayat. UU


Cipta Kerja tetap mengatur bahwa untuk menggunakan lahan hak ulayat, pelaku
usaha harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat, dan jika
dilanggar maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi. Oleh karena itu dalil
Pemohon V dan Pemohon VI Perkara 91 adalah tidak berdasar, karena
Pemohon V dan Pemohon VI Perkara 91 tidak memiliki hubungan pertautan
secara langsung dengan berlakunya UU a quo.
Berdasarkan uraian tersebut, maka DPR berpandangan bahwa secara
keseluruhan Para Pemohon Perkara 91 tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam pengujian formil UU Cipta Kerja terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, UU Cipta Kerja tidak hanya mengatur perubahan dari UU
Ketenagakerjaan saja melainkan mengatur perubahan 78 undang-undang yang
tentunya, Para Pemohon Perkara 91 harus dapat menguraikan keterkaitannya
secara langsung keterkaitannya dengan semua undang-undang yang diatur
perubahannya melalui UU Cipta Kerja.
Meskipun demikian, DPR memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon
Perkara 91 memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan
permohonan a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian
konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang
terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019
yang diucapkan pada 4 Mei 2021 mengenai parameter kedudukan hukum (legal
standing) pengujian formil.

PANDANGAN UMUM DPR


1. Bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia
dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, Negara perlu melakukan
berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memenuhi hal tersebut,
diperlukan peraturan perundang-undangan untuk menjamin kepastian hukum
dan menciptakan keadilan demi kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
2. Bahwa legislasi saat ini memiliki banyak permasalahan diantaranya adalah
banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan (over-regulated), banyaknya
98

peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih (overlapping), disharmoni


antar peraturan dan rumitnya teknis pembuatan peraturan perundang-undangan.
Hal ini yang melandasi perlunya penerapan metode Omnibus Law dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan legislasi tersebut.
3. Bahwa kata Omnibus dalam bahasa latin berarti “untuk semua/untuk segalanya”
sehingga metode Omnibus Law dimaknai sebagai satu undang-undang (baru)
yang mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk
penyederhanaan dari berbagai undang-undang yang masih berlaku. Dengan
demikian, materi suatu undang-undang tidak perlu terpaku dan terbatas pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan judul undang-undang yang diatur
sebagaimana praktik pembentukan undang-undang selama ini di Indonesia,
melainkan dapat pula menjangkau materi-materi yang terdapat dalam berbagai
undang-undang lain yang dalam implementasinya di lapangan saling terkait
langsung ataupun tidak langsung satu dengan yang lain.
4. Bahwa metode Omnibus Law yang juga dikenal dengan konsep Omnibus Bill
telah dipraktikkan dan menjadi hukum kebiasaan yang terbentuk dalam sistem
Common Law sejak tahun 1937. Dalam konsep sistem Common Law, metode
Omnibus Law dipraktikkan dalam membuat suatu undang-undang baru untuk
mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Menurut Bryan A.
Garner, et.al (Eds) dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition menggunakan
istilah Omnibus Bill yang berarti (hal. 186):
A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way
to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to
veto the major provision.
A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such
as an "omnibus judgeship bill" covering all proposals for new judgeships or
an "omnibus crime bill" dealing with different subjects such as new crimes and
grants to states for crime control.

5. Praktik Omnibus Bill/Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di


sistem Common Law ini, dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum
Indonesia yang menerapkan sistem Civil Law sebagai upaya penyederhanaan
dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan.

6. Bahwa saat ini telah terjadi hyper regulation peraturan perundang-undangan


mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan
memberikan ketidakpastian hukum dengan komposisi sebagai berikut:
Undang-Undang: 1.700
99

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang: 182


Peraturan Pemerintah: 4.670
Peraturan Presiden: 2.167
Peraturan Menteri: 15.735
Peraturan LPNK: 4.178
Peraturan Daerah: 15.982
(Data diakses dari https://peraturan.go.id/ pada tanggal 7 Juni 2021, Pukul 21.30
WIB)
Dengan banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan tersebut, diperlukan
upaya berupa pemangkasan untuk menghilangkan tumpang tindih antar
peraturan perundang-undangan, penyederhanaan untuk efisiensi proses
perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan, dan penyelarasan
untuk menghilangkan ego sektoral yang menghambat pelaksanaan peraturan
perundang-undangan.

7. Bahwa praktik Omnibus Law sebenarnya telah sejak lama dipraktikkan dan
digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun istilah
Omnibus Law tidak begitu populer digunakan. Berikut disampaikan beberapa
contoh undang-undang di Indonesia yang telah mempraktikkan metode Omnibus
Law:
• Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 192
yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan tidak
berlaku.
• Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan
menyatakan tidak berlaku.
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 571
yang mencabut 3 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.

8. Praktik tersebut menunjukkan bahwa metode Omnibus Law pada dasarnya


bukan hal yang baru, bahkan sangat bermanfaat untuk memberikan kepastian
hukum dengan menyederhanakan beberapa peraturan perundang-undangan
yang sudah tidak sesuai dengan kondisi hukum dan ketatanegaraan di
Indonesia.
100

9. Saat ini metode Omnibus Law telah diterapkan dalam UU Ciptaker dalam rangka
menciptakan iklim kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB)
di Indonesia. Pembentuk undang-undang mengharapkan dengan diterapkannya
metode Omnibus Law dalam UU Ciptaker dapat mengatasi konflik
(disharmonisasi) peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan
efisien; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; meningkatkan
hubungan koordinasi antar instansi terkait; menyeragamkan kebijakan
pemerintah di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; mampu
memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit; menjamin kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan; dan dapat melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi atas 79 undang-undang dengan 1.209 pasal
terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat dalam UU Ciptaker.

10. Dengan dibentuknya UU Ciptaker juga diharapkan mampu menyerap tenaga


kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin
kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Untuk mendukung cipta kerja
diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek
strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan
pekerja. Bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan,
dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,
peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional,
termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di
berbagai undang-undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan
hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan.

11. Bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan,


dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui
perubahan undang-undang sektor yang belum mendukung terwujudnya
sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan
terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang secara komprehensif.
101

12. Bahwa berdasarkan konsiderans menimbang UU Cipta Kerja, cipta kerja


merupakan upaya Negara untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana amanat Pasal 27
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. UU Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin
kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Dalam konteks mendukung
penciptaan lapangan pekerjaan diperlukan terobosan hukum yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang yang
mengatur mengenai kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi
dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan
percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja.

13. Bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan


keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja pada
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja (from cradle to the grave) tetapi juga
keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. DPR
dan Pemerintah memiliki tugas untuk mempertemukan dua kepentingan yang
sulit untuk disatukan di bidang ketenagakerjaan ini, yang paling penting adalah
memberikan keadilan dalam perspektif masing-masing pihak yaitu buruh/pekerja
dan pengusaha.

14. Bahwa pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada
prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional
yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang
memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut
perlu menyusun dan menetapkan UU Cipta Kerja dengan tujuan untuk
menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas
penghidupan yang layak.

15. Bahwa klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang
dibuat dalam rangka investasi dan disisi lain memberikan kesempatan kerja bagi
seluruh lapisan masyarakat yang merupakan tugas Negara untuk menyediakan
lapangan kerja sesuai amanat konstitusi. Pengaturan ini diharapkan memberikan
harapan baru bagi investasi. Dengan kemudahan regulasi dan iklim investasi
102

yang kondusif diharapkan ketenagakerjaan juga tetap mendapatkan pelindungan


yang cukup baik dari pemerintah maupun pengusaha.

16. Bahwa klaster ketenagakerjaan merupakan bagian yang terintegrasi dari semua
klaster yang ada di dalam UU Cipta Kerja karena tidak bisa dipisahkan antara
perbaikan iklim investasi dengan pengaturan dan pelindungan ketenagakerjaan.
Kondisi sosiologis berupa jumlah PHK yang terus meningkat dan ketersediaan
pekerjaan semakin sedikit sebelum pandemi terlebih saat pandemi menciptakan
kesenjangan lapangan kerja baru baik di sektor formal maupun informal yang
belum dalam kondisi ideal telah mendorong perlunya perubahan ketentuan
mengenai ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja. Perubahan tersebut
merupakan transformasi atau perubahan dari sisi ekosistem ketenagakerjaan
sehingga dapat mendukung dua kepentingan besar berupa pelindungan bagi
pekerja/buruh dan peningkatan investasi.

PANDANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN DALAM PENGUJIAN


FORMIL
1. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 107, dan Perkara 6
yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja sebagai Omnibus Law
bertentangan dengan ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
a. Bahwa UU Cipta Kerja memiliki kedudukan yang sama dengan undang-
undang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengenai hierarki peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka UU Cipta Kerja meskipun
menggunakan metode omnibus law adalah tetap sebuah undang-undang
yang pada hierarkinya tetap berkedudukan di bawah UUD NRI Tahun 1945
103

dan lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya


seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan daerah.
b. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur
dengan undang-undang berisi:
1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
UU Cipta Kerja mengatur materi muatan antara lain mengenai upaya negara
untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak; mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi yang antara lain
Putusan Nomor 100/PUU-X/2012, Nomor 67/PUU-XI/2013, dan Nomor
13/PUU-XV/2017; dan pemenuhan kebutuhan hukum untuk meningkatkan
penciptaan dan perluasan kerja yang dihadapkan dengan kondisi global dan
nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka UU Cipta Kerja memiliki materi
muatan yang telah berkesesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal
10 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
c. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Perihal Undang-Undang (hal.
147), materi-materi tertentu yang bersifat khusus yang mutlak hanya dapat
dituangkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu materi khusus tersebut
adalah pendelegasian kewenangan regulasi atau kewenangan untuk
mengatur (legislative delegation of rule-making power), yaitu:
• Tindakan pencabutan undang-undang yang ada sebelumnya;
• Perubahan ketentuan undang-undang;
• Penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
• Pengesahan suatu perjanjian internasional;
• Penentuan mengenai pembebanan sanksi pidana; dan
• Penentuan mengenai kewenangan penyidikan, penuntutan dan
penjatuhan vonis.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja adalah
sebuah undang-undang yang memiliki kewenangan mutlak untuk mencabut
104

undang-undang yang ada sebelumnya dan mengubah ketentuan undang-


undang lainnya.
d. Dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta
perubahannya pun tidak melarang pembentukan undang-undang dengan
menggunakan metode Omnibus Law yang berfungsi untuk mengakomodasi
beberapa materi muatan sekaligus dan telah menjadi kesepakatan bersama
pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden.
e. Bahwa dalam hukum perundang-undangan dikenal asas lex posterior
derogate legi priori yang artinya suatu peraturan perundang-undangan yang
baru mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lama, dan
asas lex specialis derogate legi generalis yang artinya suatu peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum. Dalam ketentuan Pasal 3 UU
Cipta Kerja menjelaskan tujuan pembentukan UU a quo antara lain adalah
untuk melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan
dengan keberpihakan dan penguatan UMKM dan juga untuk peningkatan
ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional.
Berdasarkan hal tersebut, mengingat urgensi yang akan dituju dalam
pembentukan UU Cipta Kerja tersebut adalah untuk penyederhanaan
regulasi, maka tentunya ketentuan perubahan, penghapusan ataupun
penambahan norma yang terkandung di dalamnya menjadi rujukan bagi
undang-undang yang telah ada sebelumnya.
f. Bahwa terkait dengan dalil Para Pemohon mengenai judul UU a quo yang
tidak sesuai dengan pedoman dalam Lampiran II Poin A UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tentang penggunaan judul undang-undang
perubahan, DPR berpandangan bahwa sistematika dalam UU Cipta Kerja
telah sesuai dengan sistematika peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
karena telah memuat judul, pembukaan, batang tubuh penutup, dan
penjelasan. Selain itu materi pedoman pembentukan undang-undang yang
menjadi Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
bersifat memandu dan sebaiknya tidak dipahami secara kaku karena
pedoman tersebut berdasarkan praktik yang dilakukan selama ini, sehingga
format dan proses perancangannya mengikuti kebiasaan yang ada saat itu.
105

Oleh karena itu, diperlukan terobosan hukum sehingga terbentuk konvensi


dan kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional convention and
constitutional habit) sebagai dasar hukum yang setara dengan undang-
undang untuk praktik-praktik berikutnya. Selain itu diperlukan
penyederhanaan dalam hal nomenklatur judul perubahan 78 UU yang
diakomodir oleh UU Cipta Kerja yang terlalu banyak, maka diperlukan
terobosan demi efektivitas hukum.
g. Bahwa UU Cipta Kerja menggunakan metode Omnibus Law sebagai sebuah
terobosan/inovasi dalam ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan permasalahan legislative drafting yang belum
terpecahkan.
h. Secara konstitusi, metode Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja telah sejalan
dengan tujuan pembentukan negara sebagaimana Alinea IV Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh
karena itu, negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak
warga negara atas pekerjaan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Sehingga UU Cipta Kerja dibentuk atas urgensi tersebut dan telah sesuai
dengan amanat konstitusi UUD NRI Tahun 1945.
i. Bahwa praktik Omnibus Law sebenarnya telah sejak lama dipraktikkan dan
digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun istilah
Omnibus Law tidak begitu populer digunakan. Berikut disampaikan beberapa
contoh undang-undang di Indonesia yang telah mempraktikkan metode
Omnibus Law:
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
192 yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan
tidak berlaku.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan
menyatakan tidak berlaku.
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal
571 yang mencabut 3 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.
106

2. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 105, Perkara 4, dan
Perkara 6 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan
asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
a. Asas Kejelasan Tujuan
1) Bahwa untuk menguji kesesuaian undang-undang a quo dengan asas
kejelasan tujuan haruslah dilihat dari keseluruhan norma dalam undang-
undang a quo, sehingga pengujian terhadap hal tersebut bukanlah
termasuk dalam pengujian formil melainkan pengujian materiil. Hal ini
selaras dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019 (hal. 366) sebagai
berikut:
“Oleh karena itu menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat
secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap
dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan
dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara
materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan
demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan
tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah
memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-
undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-
undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga
negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh
Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di
Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil.”

2) Meskipun demikian DPR memberikan pandangan bahwa dalam Pasal 3


UU Cipta Kerja telah dengan tegas dicantumkan tujuan dibentuknya UU
Cipta Kerja yaitu:
• menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan
kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan
UMKM serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk
dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan
tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah
dalam kesatuan ekonomi nasional;
• menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja;
107

• melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan


dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi
dan UMKM serta industri nasional; dan
• melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan
dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan
proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional
yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional
dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.

3) Bahwa UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan 78 (tujuh puluh


delapan) undang-undang, telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU
Cipta Kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Cipta Kerja.
Penyesuaian tersebut terdapat di antaranya dalam undang-undang
sebagai berikut:
• Ketentuan Pasal 77 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah
ketentuan Pasal 12 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal yaitu untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan pekerjaan
dengan membuka bidang-bidang usaha yang dimungkinkan untuk
kegiatan penanaman modal dengan tetap memperhatikan keamanan
dan ketahanan nasional. Sehingga dengan demikian dalil Para
Pemohon hanya merupakan asumsi dan tidak beralasan.
• Ketentuan Pasal 79 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal
9 ayat (3) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu
untuk meningkatkan iklim berinvestasi di Indonesia dengan melakukan
penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek
strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional.
Dibukanya kesempatan bagi badan hukum asing atas kepemilikan
bank umum syariah ditujukan untuk meningkatkan ekosistem investasi
yang akan berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan tanpa
mengabaikan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal yang telah berlaku selama ini. Oleh karena itu dalil Para
Pemohon tersebut hanyalah bentuk kekhawatiran yang tidak
beralasan dan berangkat dari asumsi tanpa data.
108

• Ketentuan Pasal 17 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yaitu untuk menyesuaikan berbagai aspek pengaturan yang berkaitan
dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan
proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan
nasional. Penyederhanaan perizinan yang diatur dalam UU Cipta
Kerja sangat penting dilakukan untuk sentralisasi penataan ruang
yang terintegrasi, penyederhanaan perizinan yang berbelit-belit dan
panjang, dan tentunya tanpa mengabaikan peraturan perundang-
undangan di bidang penataan ruang yang telah berlaku selama ini.
Oleh karena itu, dalil Para Pemohon tersebut hanyalah bentuk
kekhawatiran yang tidak beralasan dan berangkat dari asumsi tanpa
data.
• Ketentuan Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu untuk menyesuaikan berbagai
aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem
investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang
berorientasi pada kepentingan nasional. Penyederhanaan perizinan
terintegrasi melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik atau Online Single Submission (Perizinan OSS) dapat
menghapuskan sistem perizinan usaha yang berbelit-belit dan panjang
yang berdampak pada kurang berminatnya investor dalam kegiatan
penanaman modal di industri nasional. Selain itu, UU Cipta Kerja yang
mengubah penerapan perizinan dari berbasis izin (license based) ke
berbasis risiko (risk based) dapat menciptakan kemudahan dan
pengaturan kembali agar investasi dan proyek pemerintah yang
menjadi sumber penciptaan lapangan kerja berjalan optimal.
Pesimisme dan kekhawatiran Para Pemohon juga berlebihan karena
ketidakpahaman Para Pemohon terkait sistem baru yang akan
diterapkan ini, dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Norma, Standar, Prosedur,
dan Kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Pengawasan
yang akan dilaksanakan terintegrasi oleh 18 (delapan belas)
109

kementerian/lembaga yaitu Kementerian Kominfo, Kementerian


Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, Kementerian
ESDM, Kementerian Agama, Kementerian PUPR, Kementerian LHK,
Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, Bapeten, BPOM, Kepolisian. Oleh karena itu,
dalil Para Pemohon tersebut hanyalah bentuk kekhawatiran yang tidak
beralasan dan berangkat dari asumsi tanpa data.
• Ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan dalam
UU Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan pemerataan kesempatan
bekerja dan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Bahwa
pada implementasi saat ini banyak hak-hak pekerja yang tidak
terpenuhi oleh para pemberi kerja, kondisi seperti itu yang melandasi
tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja sebagai upaya negara dalam
menjamin hak-hak para pekerja dapat terjamin dan terpenuhi. Selain
itu, ketentuan dalam UU Cipta Kerja juga dimaksudkan untuk
penyederhanaan perizinan agar dapat meningkatkan iklim investasi di
Indonesia sehingga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi
angkatan kerja Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat namun
tidak di imbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Beberapa
poin penting dari pengaturan dalam UU Cipta Kerja yang
menguntungkan bagi pekerja antara lain:
➢ Kepastian perlindungan bagi pekerja Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) melalui pemberian jaminan kompensasi;
➢ Kepastian pemberian pesangon di mana pemerintah menerapkan
program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dengan tidak
mengurangi manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun
(JP), serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau
pengusaha;
➢ pengaturan jam kerja khusus untuk pekerja tertentu yang sifatnya
tidak dapat dilakukan pada jam kerja umum, yang telah diatur
110

dalam UU Ketenagakerjaan, dilaksanakan dengan memperhatikan


tren pekerjaan yang mengarah pada industri 4.0 dan ekonomi
digital; dan
➢ Persyaratan terkait dengan PHK tetap mengikuti persyaratan yang
diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan hal tersebut Para Pemohon perlu lebih memahami
kembali maksud dan tujuan dalam UU Cipta Kerja, oleh karena itu apa
yang didalilkan oleh Para Pemohon hanyalah asumsi dan tidak
beralasan.
• Ketentuan Pasal 111 – Pasal 113 UU Cipta Kerja yang mengubah
ketentuan perpajakan dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan beserta perubahannya, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
beserta perubahannya, UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya, yaitu untuk
melakukan penyesuaian salah satunya pada aspek pengaturan
perpajakan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan
perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri nasional.
Pengaturan bidang perpajakan dalam UU Cipta Kerja diharapkan
dapat berdampak positif pada:
➢ adanya pengaturan yang meletakkan kesetaraan perlakuan pajak
antara subjek pajak badan, terutama yang berbentuk Perseroan
Terbatas, Perkumpulan, dan Koperasi;
➢ adanya pengaturan tentang pengkreditan Pajak Masukan yang
ditemukan saat pemeriksaan pajak, sehingga dapat meminimalisir
sengketa antara Wajib Pajak dan Fiskus; dan
➢ adanya pengaturan tentang besaran sanksi administrasi
berdasarkan suku bunga acuan yang berlaku, sehingga sesuai
dengan prinsip keadilan (fairness) dan tujuan untuk menciptakan
efek jera (deterrent effect) terhadap Wajib Pajak.
Sehingga dengan demikian, dalil Para Pemohon tersebut hanyalah
bentuk kekhawatiran yang tidak beralasan dan berangkat dari asumsi
tanpa data.
111

4) Bahwa tujuan UU Cipta Kerja dalam Pasal 3 telah menjamin kemudahan,


perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM, seperti:
• Perizinan Tunggal bagi UMK melalui pendaftaran;
• Memberikan insentif dan kemudahan bagi Usaha Menengah dan
Besar yang bermitra dengan UMK;
• Pengelolaan terpadu UMK melalui sinergi dengan pemangku
kepentingan;
• Insentif Fiskal dan Pembiayaan;
• Pemerintah memprioritaskan penggunaan DAK untuk mendanai
kegiatan pengembangan dan pemberdayaan UMKM;
• Pemberian fasilitasi layanan bantuan dan perlindungan hukum bagi
UMK;
• Prioritas produk/jasa UMK dalam pengadaan barang dan jasa
Pemerintah;
• Kemitraan UMK: tempat istirahat dan pelayanan (rest area), stasiun,
dan Terminal (angkutan, Pelabuhan dan bandara) melakukan
pemasaran produk UMK dengan pola kemitraan;
• Kemudahan untuk Koperasi;
• Koperasi Primer dibentuk paling sedikit 9 orang;
• Dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dapat diwakilkan;
• Buku daftar anggota berbentuk tertulis atau elektronik; dan
• Koperasi dapat melaksanakan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka jelas bahwa UU Cipta
Kerja bertujuan untuk dapat memberikan perlindungan dan kemudahan
berusaha bagi koperasi dan UMKM, maka dalil Para Pemohon tidak
beralasan dan hanya asumsi belaka.

5) Berdasarkan penjelasan di atas, telah terlihat dengan jelas dan tegas


tujuan UU Cipta Kerja atas dasar kepentingan dan kesejahteraan
nasional, dan tentunya telah memperhatikan dengan cermat kaidah-
kaidah ataupun asas-asas yang terkandung dalam UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan acuan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga
dengan demikian, dalil Para Pemohon tersebut menjadi tidak berdasar.
112

b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk Yang Tepat


Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah berkesesuaian dengan amanat
dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 karena DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dan setiap rancangan undang-undang tersebut
dibahas dan disetujui secara bersama-sama antara DPR dan Presiden, in
casu UU Cipta Kerja adalah hasil pembahasan bersama DPR dan Presiden
sesuai UUD NRI tahun 1945 sehingga sesuai dengan asas pejabat
pembentuk yang tepat.

c. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan


1) DPR menerangkan bahwa perlu dijelaskan terlebih dahulu berdasarkan
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, yaitu sebagai berikut:
• Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam hal untuk
memberikan kemudahan dalam perizinan berusaha yang tentunya
untuk bertujuan untuk meningkatkan investasi yang ada di Indonesia.
Upaya ini tentunya akan berdampak pula kepada masyarakat yang
salah satunya adalah dengan terbukanya peluang lapangan kerja
yang baru guna dapat mengakomodir angkatan kerja yang terus
bertambah, namun tidak diimbangi dengan ketersedian lapangan
pekerjaan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah antara
lain dengan meluncurkan PTSP dan Pemerintah pun melakukan kajian
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perizinan yang
masih ditemukan potensi disharmoni. Sepanjang tahun 2016 terdapat
kurang lebih 180 (seratus delapan puluh) peraturan perundang-
undangan yang berdampak pada banyaknya izin di daerah.
• Selain peluncuran PTSP, usaha yang dilakukan Pemerintah adalah
dengan pemangkasan regulasi yang dianggap menghambat investasi
di Indonesia. Pada tahun 2018 Pemerintah meluncurkan sistem Online
Single Submission (OSS) yang tentunya juga bertujuan untuk
menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Namun semua usaha
tersebut belum memberikan dampak yang signifikan, proses
deregulasi yang dilakukan secara biasa (business as usual) dengan
mengubah satu persatu undang-undang tentunya akan sulit untuk
mencapai integrasi dalam waktu yang singkat. Maka penerapan
metode Omnibus Law dengan membentuk satu undang-undang
113

tematik yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam


berbagai undang-undang lainnya, tentu menjadi jawaban dalam
mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia dalam hal
peningkatan iklim investasi di Indonesia yang lebih baik.
2) Dalam penyusunan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, tentunya telah
dilakukan secara mendalam dengan adanya kajian yang
memperhitungkan implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam undang-undang terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat
dan juga dampaknya bagi keuangan negara. Dalam kajian dan penelitian
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, telah diperhitungkan bahwa
penggunaan metode Omnibus Law dalam pembentukan RUU Cipta Kerja
mampu menata, mengharmoniskan, menciptakan simplifikasi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penciptaan lapangan kerja,
mempermudah alur perizinan berusaha yang mudah, cepat dan
terintegrasi, serta untuk memperkuat UMKM. Selain hal tersebut, Naskah
Akademik RUU Cipta Kerja juga diharapkan mampu untuk memastikan
bahwa penerapan metode Omnibus Law tidak memberikan dampak
negatif pada sistem perundang-undangan.
3) Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka meskipun secara filosofis,
yuridis, dan sosiologis tiap undang-undang yang diubah dalam UU Cipta
Kerja berbeda seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, namun kajian
secara mendalam yang tertuang dalam Naskah Akademik RUU Cipta
Kerja tentunya menunjukan tujuan besar yang hendak dicapai dalam
perubahan yang terkandung dalam UU Cipta Kerja tersebut, yaitu dalam
hal untuk mengintegrasikan keseluruhan peraturan perundang-undangan
yang selama ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan investasi di
Indonesia untuk dapat lebih baik lagi, dengan melakukan perubahan
dalam hal penyederhanaan kembali pengaturan terkait dengan perizinan
berusaha. Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan iklim
investasi di Indonesia yang tentunya akan berdampak positif bagi seluruh
masyarakat, salah satunya adalah dengan terciptanya lapangan
pekerjaan yang baru. Sehingga berdasarkan hal tersebut apa yang
didalilkan oleh Para Pemohon menjadi tidak beralasan. Para Pemohon
114

perlu lebih memahami secara mendalam maksud dan tujuan yang ada
dalam UU Cipta Kerja agar tidak salah dalam menginterpretasikannya.

d. Asas Kejelasan Rumusan


1) Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa adanya
kesalahan rujukan dalam rumusan Pasal 5 dan Pasal 6 UU a quo tidak
memiliki kejelasan rumusan sehingga menyebabkan ketidakpastian
hukum, DPR berpendapat bahwa hal tersebut tidak masuk ke dalam
syarat formil pembentukan undang-undang melainkan sudah masuk ke
dalam pokok pengujian secara materil.
2) Kesalahan rujukan dalam rumusan tersebut merupakan suatu
permasalahan teknis administratif/clerical yang tidak membuat
pengaturan yang ada di dalam pasal tersebut menjadi kehilangan esensi
atau maknanya.
3) Bahwa penyebab ketidakpastian hukum terjadi, karena:
• substansi yang tidak jelas, sehingga terjadi penafsiran ganda
(menimbulkan multi tafsir);
• adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yaitu
terdapat 2 (dua) atau lebih pengaturan yang berbeda terhadap hal
yang sama (menciptakan 2 (dua) atau lebih kondisi hukum yang
berbeda terhadap hal yang sama); dan
• tidak adanya pengaturan sama sekali (kekosongan hukum).
4) Bahwa ketiga penyebab ketidakpastian hukum tersebut terkait dengan
substansi/materi muatan peraturan perundang-undangan dan bukan
disebabkan oleh teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, ketidakpastian hukum tidaklah terjadi karena teknik
pengacuan, melainkan karena adanya substansi dalam pasal atau ayat
yang tidak jelas sehingga menimbulkan penafsiran ganda (multi tafsir),
menciptakan 2 (dua) kondisi hukum berbeda, atau meniadakan suatu
kondisi hukum tertentu sehingga kondisi hukum tertentu tersebut menjadi
sama sekali tidak ada yang mengatur (kekosongan hukum). Dengan
demikian, teknik pengacuan tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum
karena ketidakpastian hukum hanya terjadi berkaitan dengan substansi/
materi muatan suatu norma dalam pasal atau ayat saja, bukan terkait
dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangannya.
115

5) Bahwa berdasarkan ketentuan Lampiran angka 271 UU Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan: “Pada dasarnya setiap pasal
merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat
lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik
pengacuan.” Berdasarkan ketentuan tersebut jika dalam suatu pasal
terdapat rumusan yang mengacu kepada pasal lain namun pasal yang
diacu tersebut dianggap salah tidak berarti rumusan dalam pasal tersebut
tidak memenuhi asas kejelasan rumusan karena pasal tersebut tetap
sebagai satu kebulatan pengertian.
6) Bahwa untuk menguji kesesuaian undang-undang a quo dengan asas
kejelasan rumusan haruslah dilihat dari keseluruhan norma dalam
undang-undang a quo, sehingga pengujian terhadap hal tersebut
bukanlah termasuk dalam pengujian formil melainkan pengujian materiil.
Hal ini selaras dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan No. 79/PUU-XVII/2019 (hal. 367) sebagai
berikut:
“Berkenaan dengan kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan,
menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah didalami lebih lanjut pasal
demi pasal yang apabila menurut para Pemohon tidak jelas atau
memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan isinya antara
pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat
dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut sebaiknya
dilakukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi, sehingga
Mahkamah akan menjawab dan menilainya melalui pertimbangan
Mahkamah. Dengan demikian sesungguhnya terhadap dalil adanya
pelanggaran asas tentang kejelasan tujuan sehingga tidak dapat
digunakan, secara umum dimaksudkan terhadap seluruh norma yang
terdapat dalam undang-undang a quo dan tidak dapat dinilai tanpa
melalui pengujian materiil.”

7) Oleh karena itu, anggapan Para Pemohon yang menyatakan bahwa


kesalahan rujukan atau acuan pasal/ayat di dalam pasal-pasal a quo tidak
akan mengubah makna rumusan, tidak berpengaruh pada
implementasinya, tidak serta merta menimbulkan ketidakpastian hukum
dan tidak menjadikan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta tidak menjadikan UU a quo
bertentangan dengan syarat formil pembentukan dalam tahap
penyusunan. Dalam hal Para Pemohon beranggapan terdapat kesalahan
teknis administratif/clerical mengenai rujukan pasal dalam UU Cipta Kerja
116

sehingga diperlukan koreksi atau perbaikan, maka Para Pemohon dapat


menyampaikan kepada DPR untuk melakukan legislative review.

e. Asas Keterbukaan
1) Proses pembahasan RUU Cipta Kerja, dalam hal ini seluruh Rapat Kerja
dan Rapat Pembahasan yang dilakukan oleh Panja dan Pemerintah, telah
dilakukan secara terbuka untuk umum. Dengan kemajuan teknologi yang
ada saat ini, maka seluruh masyarakat dapat mengikuti proses
pembahasan tersebut dengan mudah melalui TV Parlemen yang
menyiarkan secara langsung proses rapat-rapat pembahasan tersebut,
ataupun melalui kanal live streaming Youtube
(https://www.youtube.com/playlist?list=PL1i5C6Kd5FQinYuyrqGFonxJY0
sIjm2Lj) dan juga media sosial DPR lainnya, agar masyarakat dapat turut
serta memantau proses pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, terhadap anggapan Para Pemohon
yang menyatakan bahwa tidak adanya transparansi dalam proses
pembuatan RUU Cipta Kerja adalah tidak beralasan.
2) Bahwa dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur terkait hak bagi masyarakat baik itu perseorangan
ataupun kelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis. Bahwa DPR dalam proses pembahasan
RUU Cipta Kerja tersebut telah melakukan Rapat Dengar Pendapat
Umum untuk menyerap aspirasi masyarakat.
3) Bahwa dalam setiap proses pembahasan RUU Cipta Kerja, selalu
diinformasikan kepada masyarakat melalui dokumen Laporan Singkat
ataupun Catatan Rapat yang diunggah secara berkala di dalam website
DPR, untuk kemudian dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
4) Bahwa dalam catatan rapat Badan Legislasi pada hari Selasa tanggal 7
April 2020 (vide Lampiran III) Ketua Rapat menyampaikan rencana
kegiatan dalam rangka pembahasan RUU Cipta Kerja yang diusulkan
Pemerintah untuk dibahas Badan Legislasi pada Masa Persidangan III
Tahun sidang 2019-2020 antara lain sebagai berikut:
• Pimpinan Badan Legislasi dan Kaposi fraksi-fraksi sebelumnya telah
melakukan rapat terkait dengan penyusunan jadwal acara
117

pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut dan ada beberapa poin yang
disepakati, antara lain DIM yang telah selesai akan dilakukan uji publik
untuk mendapatkan masukan dari masyarakat dan pembahasan DIM
dilakukan berdasarkan pengelompokan (cluster) yang telah disusun
oleh Tim Ahli, yaitu terdapat 11 kelompok materi.
• Dalam rapat Badan Legislasi tersebut juga telah
menyetujui/menyepakati beberapa hal yang antara lain:
➢ Menyetujui pembentukan panitia kerja sebelum dilakukan
penyerapan aspirasi dengan para pemangku kepentingan
(stakeholder) dan para narasumber yang ada;
➢ Menyetujui untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas
dengan mengundang berbagai stakeholder dan para narasumber
yang ada agar dapat memberikan saran dan masukan terhadap
RUU Cipta Kerja. Berbagai saran dan masukan tersebut menjadi
bahan pertimbangan bagi fraksi-fraksi di DPR dalam menyusun
DIM; dan
➢ Menyetujui pembahasan DIM dilakukan berdasarkan
pengelompokan (cluster) bidang materi muatan yang ada di dalam
RUU Cipta Kerja, serta mengutamakan materi muatan yang tidak
berdampak sistemik dan/atau mendapatkan pertentangan dari
masyarakat. Dengan demikian, pembahasan DIM dimulai dari
materi muatan yang “mudah” dan dilanjutkan ke materi muatan
yang “sulit”. Khusus materi muatan di bidang ketenagakerjaan,
dilakukan pada akhir pembahasan DIM. Hal ini dimaksudkan agar
Badan Legislasi dapat secara optimal menerima berbagai saran
dan masukan dari stakeholder dan para narasumber yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, jelas terlihat keseriusan DPR dalam membahas
RUU Cipta Kerja tersebut dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi
partisipasi masyarakat sebagai upaya penyerapan aspirasi dari semua
pihak demi menciptakan undang-undang yang berpihak pada rakyat.
5) Dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja, DPR bersama dengan
Pemerintah telah melibatkan banyak pihak dalam hal ini dengan tujuan
untuk menyerap aspirasi masyarakat agar UU Cipta Kerja nantinya dapat
bermanfaat bagi setiap masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
118

DPR bersama dengan Pemerintah telah melakukan proses pembahasan


sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu salah satunya dengan menyerap aspirasi masyarakat. Dalam
peraturan perundang-undangan, tidak ada ketentuan secara eksplisit
yang mengatur batasan minimum ataupun batasan maksimum dalam hal
penyerapan aspirasi dari berbagai pihak. Setiap elemen masyarakat
dapat turut serta menyampaikan aspirasi dan mengawal proses
pembahasan RUU Cipta Kerja, sehingga berdasarkan hal tersebut apa
yang didalilkan oleh Para Pemohon menjadi tidak beralasan.

3. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 107, dan Perkara 4
yang menyatakan bahwa terdapat perubahan jumlah halaman RUU Cipta
Kerja pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden
a. Bahwa terkait dengan perubahan halaman dan substansi antara UU a quo
versi 905 halaman, dan UU a quo versi 1035 halaman dimungkinkan terjadi.
Lebih lanjut, Pembicaraan Tingkat II di Rapat Paripurna, berdasarkan Pasal
72 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 109
Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang
(selanjutnya disebut Peraturan DPR 2/2020) bahwa DPR diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk mempersiapkan segala hal yang
berkaitan dengan teknis penulisan suatu draft RUU dalam tenggat waktu 7
(tujuh) hari kerja sebelum disampaikan kepada Presiden. Jadi perubahan
teknis terhadap draft RUU masih dimungkinkan sebelum RUU tersebut resmi
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu,
perubahan jumlah halaman dalam UU a quo telah sesuai dengan mekanisme
dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pengesahaan
UU a quo tidak melanggar syarat formil pembentukan undang-undang.
b. Bahwa terkait perubahan materi yang dikemukakan oleh Para Pemohon
dalam gugatannya, DPR memberikan keterangan bahwa perubahan tersebut
bukanlah perubahan materi/substansi tetapi perubahan tersebut hanya
bersifat teknis dalam teknik drafting dan proses editing (proses cleansing
final) draft RUU Cipta Kerja, tanpa mengubah substansi pokok RUU Cipta
Kerja. Bahwa proses sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang
dengan 1.209 pasal terdampak perubahan melalui UU Cipta Kerja menjadi
119

substansi yang dimuat dalam UU Cipta Kerja perlu dipahami bukan


merupakan perkara yang mudah mengingat muatan yang berbeda dan
jumlah pasal yang mengalami perubahan, sehingga perlu dilakukan
penyisiran secara menyeluruh agar isi UU Cipta Kerja sesuai dengan
kesepakatan dalam pembahasan dan tidak ada kesalahan pengetikan.
c. Bahwa dalam hal ini Para Pemohon tidak dapat membuktikan validitas dari
naskah RUU Cipta Kerja yang dianggap oleh Para Pemohon telah berubah-
ubah sehingga telah melanggar ketentuan yang ada dalam Pasal 22A UUD
NRI Tahun 1945 dan Pasal 72 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Para Pemohon sebagaimana dapat dilihat dalam
dokumen Risalah Sidang Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam agenda
Perbaikan Permohonan II, secara tidak langsung mengakui tidak dapat
memastikan bahwa naskah undang-undang yang beredar secara luas di
masyarakat tersebut dan dianggap berubah-ubah tersebut memang
merupakan naskah undang-undang yang resmi dari lembaga yang
berwenang dan terlibat dalam proses pembentukan tersebut.
d. Dengan tidak dapat dibuktikannya validitas dari naskah RUU Cipta Kerja yang
dipermasalahkan oleh Para Pemohon tersebut, tentunya naskah RUU Cipta
Kerja tersebut tidak melanggar UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian sudah tentu tidak dapat
dijadikan sebagai rujukan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa
proses pembentukan UU Cipta Kerja tersebut telah bertentangan dengan
ketentuan yang ada, karena tentunya dalam prinsip umum peradilan dikenal
bahwa pihak yang mendalilkan memiliki beban untuk membuktikan apa yang
didalilkan tersebut.
e. Naskah RUU Cipta Kerja telah diperbaiki teknis legal drafting secara benar
dan tepat, sehingga memang terdapat penambahan lembar dokumen.
Namun hal tersebut tidak merubah substansi yang telah disepakati. Adapun
kesimpangsiuran terkait jumlah lembar RUU Cipta Kerja yang berbeda-beda
di masyarakat, DPR menegaskan bahwa dokumen-dokumen tersebut
merupakan dokumen yang tidak resmi dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya.
f. Terhadap permohonan Para Pemohon kepada DPR untuk mendapatkan
naskah resmi RUU Cipta Kerja, DPR menerangkan bahwa Para Pemohon
120

bukanlah satu-satunya pihak yang meminta dokumen tersebut, karena


banyak permintaan serupa yang masuk ke DPR. Namun atas kebijakan
Pimpinan DPR, naskah RUU Cipta Kerja belum bisa disebarluaskan kepada
masyarakat karena naskah tersebut sedang dirapikan, dan untuk
menghindari penyalahgunaan naskah tersebut yang akan mengakibatkan
kesimpangsiuran di masyarakat. Perubahan atas naskah tersebut tentunya
harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan tata naskah undang-undang
sebagaimana diatur dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Selain itu naskah tersebut juga masih akan melewati
beberapa tahapan hingga mendapatkan nomor registrasi pada Lembaran
Negara dan Tambahan Lembaran Negara.

4. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 107 yang menyatakan bahwa
pembentuk undang-undang tergesa-gesa mengesahkan UU Cipta Kerja
tanpa mendengarkan aspirasi dari Pemerintah Daerah dan DPRD
a. Bahwa UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang berasal dari inisiatif
Pemerintah. Tentunya Pemerintah ketika menyusun draft dan Naskah
Akademik RUU Cipta Kerja, sepatutnya sudah mendengarkan aspirasi dari
jajaran Pemerintah Daerah, termasuk didalamnya DPRD sebagai unsur dari
Pemerintah Daerah, yang merupakan satu kesatuan eksekutif pemerintahan.
Oleh karenanya, adalah suatu hal yang wajar jika dalam proses pembahasan
UU a quo di DPR tidak lagi mengundang dari unsur Pemerintah Daerah
sebagaimana alasan di atas.
b. Bahwa Badan Legislasi sejak awal pembahasan UU Cipta Kerja sudah
menghimpun aspirasi dari berbagai unsur daerah. DPD sebagai lembaga
perwakilan daerah telah terlibat secara aktif sejak Pembicaraan Tingkat I
mulai dari Panja, Timus dan Timsin, hingga dalam berbagai Rapat Kerja dan
telah menyampaikan pandangan akhir mini DPD. Sehingga unsur
keterwakilan daerah tetap menjadi salah satu pihak yang penting dalam
pembahasan RUU Cipta Kerja.
c. Bahwa dalam naskah RUU awal yang dikirimkan oleh Presiden kepada DPR,
didalamnya memuat ide dasar untuk menarik semua kewenangan perizininan
kepada Pemerintah Pusat dengan skema OSS (Online Single Submission).
Namun dalam pembahasan di Panja DPR, terdapat masukan dari DPD untuk
tetap memberikan kewenangan perizinan kepada pemerintah daerah
121

berdasarkan prinsip otonomi daerah sebagaimana amanat konstitusi Pasal


18 UUD NRI Tahun 1945.
d. Terhadap masukan dari DPD tersebut, Panja RUU tentang Cipta Kerja yang
beranggotakan DPR dan Pemerintah menyepakati bahwa hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dikembalikan
sesuai dengan maksud perintah Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.
e. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Wakil Ketua Panja RUU Cipta Kerja
dalam Rapat Pengambilan Keputusan Tingkat I atas Hasil Pembahasan RUU
tentang Cipta Kerja tanggal 3 Oktober 2020 (vide Lampiran VIII) antara lain
sebagai berikut:
• Penataan dan perbaikan sistem perizinan berusaha berdasarkan sistem
pemerintahan presidensial sebagaimana dianut dalam UUD NRI Tahun
1945;
• Pemerintah daerah turut serta dalam mewujudkan keberhasilan Cipta
Kerja, oleh karena itu kewenangan pemerintah daerah tetap
dipertahankan sesuai dengan asas otonomi daerah dalam bingkai NKRI;
dan
• Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Konsep RBA (Risk Based Approach) menjadi dasar dan menjiwai RUU
tentang Cipta Kerja, serta sistem perizinan berusaha berbasiskan
elektronik.
f. Bahwa selain itu untuk memperkaya materi pembahasan, DPR telah
menerima aspirasi dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) dalam bentuk Nota Pengantar (Background Note) dan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) atas sejumlah klaster isu yang termaktub dalam
RUU Cipta Kerja yang ditinjau dari sudut pandang desentralisasi dan otonomi
daerah (vide Lampiran X). Dengan demikian dalil Para Pemohon Perkara 107
hanyalah berdasarkan asumsi dan tidak sesuai dengan fakta yang ada
g. Bahwa dari sisi jangka waktu, pembahasan RUU Cipta Kerja sudah sesuai
dengan Pasal 97 ayat (1) Peraturan DPR 2/2020 yang berketentuan:
“Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) kali
masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat
paripurna DPR sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan Komisi,
122

pimpinan gabungan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan


panitia khusus”.

Lebih lanjut, Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan dari bulan Februari –
Oktober Tahun 2020 (8 bulan) sehingga telah memenuhi waktu 3 (tiga) kali
masa sidang. Bahwa waktu pembahasan selama 8 bulan tersebut bukanlah
masa yang singkat dalam membahas undang-undang yang kompleks seperti
UU a quo karena selama masa pembahasan itu pula juga telah dilakukan
berbagai rapat dengar pendapat dengan berbagai unsur masyarakat. Oleh
karena itu, pembahasan UU a quo tersebut tidaklah tergesa-gesa seperti
anggapan Para Pemohon Perkara 107.
h. Bahwa baik berdasarkan ketentuan proses pembentukan undang-undang
yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU
MD3, Tatib DPR RI, dan Peraturan DPR 2/2020 maka tidak ada satupun yang
mengatur mengenai persyaratan bahwa jika jajaran Pemerintah Daerah dan
DPRD tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya maka proses
pembentukan undang-undang tersebut menjadi cacat formil. Oleh karena itu,
dalil Para Pemohon Perkara 107 tersebut adalah tidak berdasar.

5. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa latar belakang
pembahasan UU Cipta Kerja karena desakan dari World Trade Organization
(WTO) dalam Perkara Nomor 107
a. Bahwa Indonesia telah menjadi anggota GATT sejak tahun 1950, dan pada
tahun 1994 menjadi negara pendiri WTO bersama 128 negara anggota lain
pada akhir Putaran Uruguay (Uruguay Round). Sebagai bentuk pengikatan
sebagai negara anggota WTO, Indonesia meratifikasi Agreement
Establishing The World Trade Organization melalui Undang-undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
dan meratifikasi perubahannya dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2017 tentang Pengesahan Protocol Amending The Marrakesh Agreement
Establishing The World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan
Marrakesh Mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
b. Bahwa dengan meratifikasi perjanjian internasional tersebut, Indonesia
terikat pada hak dan kewajiban pada aturan WTO yang bersifat mengikat
123

(binding) seluruh anggota. Salah satunya pada Article XVI Paragraph 4 yang
berketentuan:
“Each Member shall ensure the conformity of its laws, regulations and
administrative procedures with its obligations as provided in the annexed
Agreements”.
Dengan demikian, seluruh peraturan nasional harus konsisten dan tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang
telah disepakati bersama tanpa terkecuali.
c. Bahwa terkait sengketa dagang DS477/DS478, Indonesia dinyatakan
menerapkan kebijakan impor yang tidak sesuai dengan aturan WTO terkait
kebijakan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Terdapat
beberapa peraturan yang diajukan konsultasi ke Dispute Settlement Body
WTO (DSB WTO) oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat dalam perkara
DS477/DS478 yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
(selanjutnya disebut UU Perdagangan);
2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
(selanjutnya disebut UU Hortikultura);
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya
disebut UU Pangan);
4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani (selanjutnya disebut UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani);
5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (selanjutnya disebut UU Peternakan dan Kesehatan
Hewan);
6) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86/Permentan/OT.140/8/2013
tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura;
7) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura;
8) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 47/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura;
124

9) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 84/Permentan/PD.410/8/2013


Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia; dan
10) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan
Produk Hewan.
d. Bahwa dalam rekomendasi DSB-WTO atas sengketa dagang DS477/DS478,
peraturan yang dinyatakan tidak sesuai dengan peraturan perdagangan
Internasional tidak hanya 4 Undang-Undang seperti yang didalilkan Para
Pemohon, namun ada 10 peraturan perundang-undangan (5 Undang-
Undang dan 5 Peraturan Menteri) yang diminta untuk diubah-sesuaikan
dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional sebagaimana disebutkan
diatas.
e. Bahwa Indonesia diberikan waktu hingga 22 Juni 2019 untuk menyesuaikan
peraturan-peraturan tersebut dengan rekomendasi DSB-WTO atas sengketa
dagang DS477/DS478. Berdasarkan laporan Indonesia kepada WTO tanggal
19 September 2019, naskah akademik penyesuaian beberapa undang-
undang tersebut telah selesai disusun dan sedang dalam pembahasan
Pemerintah.
f. Bahwa dalam laporan Indonesia kepada WTO tanggal 18 Februari 2020,
komitmen Indonesia untuk mengubah 4 Undang-Undang yang tidak sesuai
tersebut telah dilaksanakan dengan memasukkan ke dalam daftar Program
Legislasi Nasional:
1) UU Perdagangan dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 nomor 56.
2) UU Hortikultura dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 nomor 140.
3) UU Pangan dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 nomor 122.
4) UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam Prolegnas Tahun
2020-2024 nomor 141.
g. Bahwa sejak Februari Tahun 2020, DPR juga telah menyusun Naskah
Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU
Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang substansinya terkait penyesuaian
prinsip perdagangan dalam WTO ini juga menjadi urgensi di dalam
penyusunan RUU tersebut.
125

h. Bahwa untuk efisiensi waktu atas tenggat waktu yang telah melewati batas
dan atas situasi darurat Pandemi Covid-19, maka perubahan empat undang-
undang tersebut yang telah disusun Naskah Akademiknya sejak 2019
dimasukkan sebagai salah satu materi perubahan dalam UU Cipta Kerja.
i. Bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja
merupakan desakan dari WTO hanyalah berdasarkan asumsi Para Pemohon
saja. Materi perubahan empat undang-undang tersebut yang diakomodir
dalam UU Cipta Kerja merupakan bentuk komitmen Indonesia atas
pemenuhan kewajiban sebagai negara anggota sekaligus pendiri WTO.
Selain itu, regulasi-regulasi yang turut digugat juga telah diubah-sesuaikan
dengan hasil rekomendasi DSB WTO.

6. Terkait dengan dalil Para Pemohon Perkara 91, Perkara 103, Perkara 105,
Perkara 107, dan Perkara 4 yang menyatakan bahwa proses pembahasan
UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi masyarakat
a. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan DPR 2/2020 yang mengatur bahwa Badan
Legislasi melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat
sebelum dilakukan pembahasan rancangan Prolegnas. Terhadap ketentuan
tersebut, dalam implementasinya Badan Legislasi telah melakukan
kunjungan kerja ke beberapa stakeholders di daerah dalam rangka
penyusunan Prolegnas, seperti Provinsi Bali
(https://www.dpr.go.id/akd/detail/id/Galeri-Foto-Badan-Legislasi-672) dan
Provinsi Jawa Barat (https://www.dpr.go.id/akd/detail/id/Galeri-Foto-Badan-
Legislasi-671).
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
melalui RDPU, kunjungan kerja, sosialiasi dan/atau seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi. Ketentuan pasal a quo tidak menentukan batas minimal
atau maksimal jumlah masyarakat yang dapat memberikan masukan.
Bahkan ketentuan Pasal 96 ayat (3), membatasi definisi dari masyarakat
adalah orang perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan
atas substansi, antara lain kelompok atau organisasi masyarakat, kelompok
profesi, LSM, dan masyarakat adat. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
126

DPR dan Pemerintah mengundang sebagian masyarakat sebagai


representasi untuk memberikan masukan terhadap RUU Cipta Kerja.
c. Bahwa terkait keterlibatan pihak dalam pembahasan UU a quo, DPR
menerangkan bahwa proses pembahasan telah dilakukan secara terbuka,
transparan, melibatkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan fakta-fakta sebagai
berikut:
1) Pada tanggal 20 Januari 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU dengan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang dihadiri oleh Ketua Harian
dan Sekjen DPP (vide Lampiran I);
2) Pada tanggal 14 April 2020, Badan Legislasi melakukan Rapat Kerja UU
Cipta Kerja yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Ketenagakerjaan (Hadir Fisik),
Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Agraria dan Tata Ruang RI/Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan dan
Menteri Pertanian (vide Lapsing Rapat Baleg Masa Persidangan III 2019-
2020, tanggal 14 April 2020)
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200528-032217-
2703.pdf);
3) Pada tanggal 27 April 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja
Baleg dengan 3 (tiga) orang Narasumber yakni Prof. Dr. Djisman
Simanjutak (Rektor Univ. Prasetya Mulya); Yose Rizal Damuri (Center for
Strategic and International Studies); Sarman Simanjorang, M.Si.
(Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200512-014946-
3140.pdf);
4) Pada tanggal 29 April 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja
Baleg dengan 2 (dua) narasumber yakni Prof. Dr. Satya Arinanto, SH.,
M.H., dan Dr. Bambang Kesowo, SH., L.LM., untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja.
127

(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200512-020405-
2120.pdf);
5) Pada tanggal 5 Mei 2020, Badan Legislasi melakukan RPDU Panja Baleg
dengan 2 (dua) narasumber yakni Emil Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno
Iwantono, MA untuk meminta masukan/pandangan atas RUU tentang
Cipta Kerja (https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-
20200512-021051-2900.pdf);
6) Pada tanggal 9 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja Baleg
dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja.
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-103311-
2045.pdf);
7) Pada tanggal 9 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja Baleg
dengan Rosan P. Roeslani (Ketum KADIN) dan Mohamad Mova Al
Afghani, SH, L.LM., Eur, PhD. (Dosen Hukum Internasional di Universitas
Ibnu Khaldun Bogor dan Dosen Hukum Bisnis di Sekolah Bisnis dan
Manajemen Institut Teknologi Bandung) untuk meminta
masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-105103-
7309.pdf);
8) Pada tanggal 10 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan Panja Baleg
dengan Prof. Dr. Ramdan Andri Gunawan (Univ. Indonesia), Prof. Dr.
Asep Warlan Yusuf (Univ. Katolik Parahyangan), Prof. Dr. Ir. H. San Afri
Awang (Univ. Gadjah Mada) terkait RUU tentang Cipta Kerja untuk
meminta masukan/pandangan atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200616-102906-
4042.pdf);
9) Pada tanggal 11 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan Panja Baleg
dengan Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atas RUU
Cipta Kerja terkait dengan Permasalahan Media
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200615-040334-
8799.pdf);
10) Pada tanggal 11 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU Panja
Baleg dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI); Pengurus Besar Nahdlatul
128

Ulama (PB NU); Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah terkait dengan


kemudahan dan persyaratan investasi sektor keagamaan dan jaminan
produk halal (https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-
20200615-040951-4691.pdf);
11) Pada tanggal 25 September 2020, Badan Legislasi melakukan RDPU
Panja Baleg dengan KPPU untuk meminta masukan/pandangan atas
RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20201009-101927-
2805.pdf); dan
12) Pada tanggal 3 Oktober 2020, Badan Legislasi melakukan Rapat Kerja
dengan Pemerintah dan DPD dalam rangka Pengambilan Keputusan
(Tingkat I atas RUU tentang Cipta Kerja
(https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20201019-113449-
4920.pdf).

7. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan


RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan tahap-tahap pembentukan undang-
undang
a. Tahap Perencanaan
1) Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan
undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Prolegnas tersebut adalah suatu perencanaan penyusunan undang-
undang dan merupakan skala prioritas program pembentukan undang-
undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Ketentuan
Pasal 16 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan
bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas”.
2) Bahwa sesuai dengan Pasal 16 – Pasal 42 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, tahap perencanaan undang-undang dilakukan
dalam Prolegnas yang memuat judul RUU, materi yang diatur yang
dituangkan dalam Naskah Akademik, dan keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
129

3) Bahwa RUU tentang Cipta Kerja telah masuk dalam Prolegnas tahun
2020-2024 sebagaimana berdasarkan Keputusan DPR Nomor 1/DPR
RI/II/2019-2020 dan masuk dalam Prolegnas prioritas.
4) Bahwa RUU tentang Cipta Kerja juga telah termuat dalam daftar
Prolegnas Prioritas tahun 2020 pada urutan ke-205 tentang Cipta Kerja
ditetapkan masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020yang dapat dilihat publik
dalam website DPR melalui http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.
5) Bahwa terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pada intinya Naskah
Akademik disusun setelah draft RUU Cipta Kerja, DPR memberikan
pandangan:
• Bahwa sesuai Pasal 88 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Perpres 87/2014), dinyatakan bahwa Presiden menyampaikan RUU
kepada Pimpinan DPR dengan Surat Presiden yang paling sedikit
memuat penunjukan Menteri untuk membahas RUU di DPR;
• Setiap RUU baik yang berasal dari DPR, Presiden, dan DPD
memang harus disertai dengan Naskah Akademik yang memiliki latar
belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan,
jangkauan dan arah pengaturan yang kesemuanya telah melalui
pengkajian dan penyelarasan (Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 43 ayat
(3) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
• RUU Cipta Kerja merupakan RUU inisiatif Presiden yang tentunya
memiliki Naskah Akademik (vide Lampiran II) karena tidak mungkin
norma-norma yang ada di dalam UU Cipta Kerja dapat dituangkan
jika tidak tanpa melalui proses penyusunan Naskah Akademik
terlebih dahulu;
• Jika RUU yang disampaikan oleh Presiden memiliki perbedaan
tanggal, maka tidak berarti RUU Cipta Kerja tidak memiliki Naskah
Akademik karena hal tersebut hanya merupakan teknis administratif
pada saat penyerahan kepada DPR; dan
• Terkait dengan bukti yang diajukan oleh Para Pemohon bahwa
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja memiliki tanggal yang berbeda
dengan draft RUU, maka patut dipertanyakan darimana para
130

pemohon mendapatkan sumber tersebut, apakah mendapatkan


sumber dari DPR atau Presiden atau justru dari sumber lain yang
pantas diragukan validitasnya.
6) Bahwa terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Naskah
Akademik UU Cipta Kerja tidak memadai karena tidak menjabarkan
secara komprehensif, DPR memberikan pandangan sebagai berikut:
• DPR beranggapan bahwa terlebih dahulu Para Pemohon harus
menerangkan Naskah Akademik yang seperti apa yang memadai?
Dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur
bahwa materi dalam RUU yang diajukan dalam prolegnas maupun
prolegda telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan
dalam Naskah Akademik yang dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
• Bahwa adapun dalam proses pembahasannya, terdapat suatu
perubahan yang menjadikan Naskah Akademik tidak lagi sesuai
dengan pembahasan yang dilakukan oleh Pembentuk Undang-
Undang, hal ini tentu tidak menjadi permasalahan karena Naskah
Akademik pada dasarnya adalah academic reasoning and research
atas kebijakan yang dituangkan dalam suatu RUU. Bahwa Naskah
Akademik dan RUU Cipta Kerja telah dipersiapkan oleh Pemerintah
sebagai acuan dan referensi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
Adapun jika Para Pemohon beranggapan terdapat materi dalam UU
a quo yang tidak termuat dalam Naskah Akademik dan RUU Cipta
Kerja, hal tersebut tidak serta merta menyebabkan Naskah Akademik
tersebut tidak memadai dan UU a quo menjadi inkonstitusional.
Selain itu, perubahan norma dalam RUU Cipta Kerja merupakan
pilihan politik hukum pembentuk undang-undang selama proses
pembahasan RUU tersebut.
• Keterangan tersebut selaras dengan pertimbangan hukum Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 73/PUU-XII/2014
yang menyatakan:
[3.23] ....
Pada kenyataannya pembentukan UU 17/2014 telah dilakukan
sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yaitu telah
131

dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Adapun


mengenai Naskah Akademik dalam perubahan Undang-Undang a
quo, ternyata Naskah Akademik sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon dalam permohonannya bahwa Rancangan Undang-
Undang tersebut disiapkan oleh Badan Legislasi DPR yang juga
telah mempersiapkan Naskah Akademiknya. Menurut
Mahkamah, walaupun perubahan pasal a quo tidak
bersumber dari Naskah Akademik yang merupakan acuan
atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU, namun
tidak serta merta hal-hal yang tidak termuat dalam Naskah
Akademik kemudian masuk dalam Undang-Undang
menyebabkan suatu Undang-Undang menjadi
inkonstitusional. Demikian juga sebaliknya, walaupun sudah
termuat dalam Naskah Akademik kemudian dalam
penyusunan dan pembahasan RUU ternyata mengalami
perubahan atau dihilangkan, hal itu tidak pula menyebabkan
norma Undang-Undang tersebut menjadi inkonstitusional.
Asas keterbukaan yang didalilkan oleh para Pemohon dilanggar
dalam pembentukan Undang-Undang a quo tidak terbukti karena
ternyata seluruh proses pembahasannya sudah dilakukan secara
terbuka, transparan, yang juga para Pemohon ikut dalam seluruh
proses itu. Sekiranya terjadi dalam proses pembahasan tidak
sepenuhnya mengikuti tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
(UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) atau tidak
sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR, menurut Mahkamah,
tidak serta merta menjadikan Undang-Undang tersebut
inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
Norma yang ada dalam Undang-Undang pembentukan peraturan
perundang-undangan dan peraturan tata tertib DPR mengenai
pembentukan Undang-Undang hanyalah tata cara pembentukan
Undang-Undang yang baik yang jika ada materi muatan yang
diduga bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan pengujian
materiil terhadap pasal-pasal tertentu karena dapat saja suatu
Undang-Undang yang telah dibentuk berdasarkan tata cara yang
diatur dalam Undang-Undang pembentukan peraturan
perundang-undangan dan peraturan tata tertib DPR justru materi
muatannya bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya dapat
juga suatu Undang-Undang yang telah dibentuk tidak berdasarkan
tata cara yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan
peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib DPR
justru materi muatannya sesuai dengan UUD 1945; …
• Bahwa terkait dengan pernyataan Para Pemohon bahwa naskah
akademik harus dimaknai secara ketat agar kemunduran ini tidak
terulang, maka pemaknaan tersebut harus dijelaskan, bagaimana
dan seperti apa yang dimaksud Para Pemohon?
7) Bahwa RUU Cipta Kerja yang merupakan usulan Pemerintah
pembahasannya dimulai dengan adanya Surat Presiden RI Nomor R-
132

06/Pres/02/2020 tertanggal 7 Februari 2020 kepada Pimpinan DPR,


dimana dalam surat tersebut menugaskan beberapa menteri untuk
mewakili Pemerintah dan melampirkan draft RUU Cipta Kerja untuk
dibahas di DPR yang sudah sesuai dengan Pasal 88 Perpres 87/2014.
Sehingga dalil Para Pemohon yang menyatakan hal tersebut masuk
dalam tahap perencanaan adalah salah, karena hal tersebut sudah masuk
dalam tahap pembahasan. Oleh karena itu tidak ada tahap perencanaan
pembentukan undang-undang yang dilanggar.
8) Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 165 UU MD3 dan Pasal 65 UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dibahas oleh para
pembentuk undang-undang adalah Rancangan Undang-Undang dan
bukan Naskah Akademiknya.
9) Oleh karena itu, meskipun Surat Presiden RI Nomor R-06/Pres/02/2020
menurut Para Pemohon tidak menyertakan Naskah Akademik, maka hal
tersebut tidak berarti melanggar proses pembentukan undang-undang.
Penyampaian Naskah Akademik yang tidak bersamaan dengan Draft
RUU dalam sebuah Surat Presiden bukan berarti melanggar proses
pembentukan undang-undang. Selain itu, pembentuk undang-undang
hanya membahas Draft RUU, karena tidak ada DIM dalam Naskah
Akademik.
10) Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa tahapan
perencanaan dan penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tidak
melalui pelibatan publik yang luas dan hanya melibatkan segelintir pihak
saja, DPR memberikan pandangan bahwa dalam menyusun Naskah
Akademik dan Draft RUU tidak mungkin dapat mengundang semua pihak.
Tentu saja pihak yang diundang terbatas dan mewakili substansi yang
akan diatur. Namun pemilihan pihak yang terlibat tentu mewakili
stakeholder yang terkait dengan materi atau substansi dalam RUU
tersebut. Lebih lanjut, salah satunya konsekuensi pelibatan banyak pihak
ada pada anggaran.
11) Bahwa terkait dengan draft yang simpang siur, DPR berpandangan itu
hanya asumsi Para Pemohon. Dalam pembuatan Naskah Akademik dan
Draft RUU banyak sekali dinamika yang terjadi, apabila Naskah Akademik
dan Draft RUU dibahas dan diperbaiki setiap rapat dengan intens, tentu
133

saja akan terjadi perubahan terus menerus. Oleh karena itu, Naskah
Akademik dan Draft RUU yang diterima oleh setiap stakeholder yang
berbeda waktu, tentu akan berbeda pula substansinya.

b. Tahap Penyusunan
1) Bahwa berdasarkan Surat Keputusan DPR Nomor 46/DPR RI/I/2019-
2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024 pada urutan ke-205 terdapat pengusulan RUU tentang
Cipta Lapangan Kerja (omnibus law) oleh Pemerintah.
2) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa rancangan undang-
undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya.
3) Bahwa terkait dengan selama proses penyusunan RUU CIpta Kerja, maka
DPR mempersilahkan dari pihak Pemerintah/Presiden untuk menjelaskan
setiap proses penyusunannya dalam permohonan a quo, karena pihak
Pemerintah/Presiden adalah pihak pengusul UU Cipta Kerja.

c. Tahap Pembahasan
Dalam Pembicaraan Tingkat I
1) Terhadap RUU tentang Cipta Kerja tersebut, Presiden RI telah
menyampaikan surat Nomor R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020
perihal Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Presiden
menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
dan Menteri Pertanian, serta mewakili Presiden dalam pembahasan RUU
dimaksud.
2) Bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang merupakan usulan
Pemerintah dilakukan secara bersama-sama antara Panitia Kerja (panja)
Baleg DPR RI dengan Pemerintah. Dalam proses tersebut kemudian
Panja membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja dengan
134

tujuan untuk mengkritisi, mendiskusikan, membahas, menolak,


menyetujui, memberikan catatan, mengusulkan formula dan lain
sebagainya. Sehingga ada usulan Pemerintah yang ditolak, disetujui,
direformulasi dan ada pula yang akhirnya ditarik/dikeluarkan dan
dikembalikan pada UU eksisting.
3) Bahwa dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur terkait hak bagi masyarakat baik itu perseorangan
ataupun kelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi
rancangan peraturan perundang-undangan berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis. Bahwa DPR dalam proses pembahasan UU
Cipta Kerja tersebut telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum,
melakukan Kunjungan Kerja, melakukan sosialisasi dan juga seminar
atau berdiskusi dengan pihak-pihak yang terkait agar aspirasi masyarakat
dapat terakomodir dengan kehadiran UU Cipta Kerja tersebut.
4) Bahwa apabila kita melihat Catatan Rapat Badan Legislasi pada hari
selasa, tanggal 7 April 2020 (vide Lampiran III), Ketua Rapat
menyampaikan rencana kegiatan dalam rangka pembahasan RUU
tentang Cipta Kerja yang diusulkan Pemerintah untuk dibahas Badan
Legislasi pada Masa Persidangan III Tahun sidang 2019-2020 antara lain
adalah:
• Pimpinan Badan Legislasi dan Kaposi fraksi-fraksi sebelumnya telah
melakukan rapat terkait dengan penyusunan jadwal acara
pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut dan ada beberapa point yang
disepakati, antara lain:
➢ DIM yang telah selesai akan dilakukan uji publik untuk
mendapatkan masukan dari masyarkat dan pembahasan DIM
dilakukan berdasarkan pengelompokan (cluster) yang telah
disusun oleh Tim Ahli, yaitu terdapat 11 kelompok materi.
Dan dalam rapat Badan Legislasi tersebut juga telah
menyetujui/menyepakati beberapa hal yang antara lain:
➢ Menyetujui pembentukan panitia kerja sebelum dilakukan
penyerapan aspirasi dengan para pemangku kepentingan
(stakeholder) dan para narasumber yang ada;
135

➢ Menyetujui untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas


dengan mengundang berbagai stakeholder dan para narasumber
yang ada agar dapat memeberikan saran dan masukan terhadap
RUU tentang Cipta Kerja. Berbagai saran dan masukan tersebut
menjadi bahan pertimbangan bagi fraksi-fraksi di DPR dalam
menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM); dan
➢ Menyetujui pembahasan DIM dilakukan berdasarkan
pengelompokan (cluster) bidang materi muatan yang ada di dalam
RUU serta mengutamakan materi muatan yang tidak berdampak
sistemik dan/atau mendapatkan pertentangan dari masyarakat
(public). Dengan demikian, pembahasan DIM dimulai dari materi
muatan yang “mudah” dan dilanjutkan ke materi muatan yang
“sulit”. Khusus materi muatan di bidang ketenagakerjaan, dilakukan
pada akhir pembahasan DIM. Hal ini dimaksudkan agar Badan
Legislasi dapat secara optimal menerima berbagai saran dan
masukan dari stakeholders dan para narasumber yang ada.
Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat keseriusan DPR dalam
membahas RUU Cipta Kerja tersebut dengan membuka ruang seluas-
luasnya bagi partisipasi publik sebagai upaya penyerapan aspirasi dari
semua pihak agar saran dan masukan dari masyarakat dapat
terakomodir.
5) Badan Legislasi DPR melakukan RDP/RDPU dengan stakeholder terkait
untuk mendapatkan masukan dalam rangka pembahasan RUU Cipta
Kerja (vide Lampiran VI), yaitu di antaranya:
• Pakar, yaitu: Prof. Dr. Djisman Simanjutak (Rektor Univ. Prasetya
Mulya); Yose Rizal, dan Sarman Simanjorang Yose Rizal Damuri
(Center for Strategic and International Studies – Virtual); Sarman
Simanjorang, M.Si. (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia); (Prof.
Dr. Satya Arinanto, SH., M.H.; Dr. Bambang Kesowo, SH., L.LM.); Emil
Arifin; Dr. Ir. H. Sutrisno Iwantono, MA; dan Mohamad Mova Al
Afghani, SH, L.L.M.Eur, PhD (Dosen Hukum Internasional di
Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Dosen Hukum Bisnis di Sekolah
Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung);
136

• Lembaga Pendidikan (Universitas Indonesia, Universitas Katolik


Parahyangan, dan Universitas Gajah Mada);
• Assosiasi (Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamar Dagang Industri (Kadin),
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah (PP Muhammadiyah)); dan
• Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
6) Menurut Para Pemohon dalam pembahasan UU a quo, DPR seharusnya
mengundang Para Pemohon karena dalam pembahasan beberapa RUU
biasanya DPR sering meminta pendapat dari Para Pemohon. Terhadap
dalil Para Pemohon, DPR berpandangan:
• Bahwa DPR mempunyai hak untuk mengundang pihak-pihak yang
terkait. Di Indonesia terdapat banyak organisasi kemasyarakatan
sehingga suatu hal yang wajar jika DPR mengundang organisasi
kemasyarakatan lain selain Para Pemohon. Lebih lanjut, hal tersebut
menandakan bahwa DPR bukan lembaga yang mendiskriminasikan
ataupun mengeklusifkan organisasi kemasyarakatan tertentu.
• Bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat Baleg tanggal 7 April 2020,
menyetujui untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas
dengan mengundang berbagai stakeholder dan para narasumber
yang ada agar dapat memberikan saran dan masukan terhadap RUU
Cipta Kerja (vide Lampiran III). Berbagai saran dan masukan tersebut
menjadi bahan pertimbangan bagi fraksi-fraksi di DPR dalam
menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
• Kemudian berdasarkan Rapat Panitia Kerja yang dilakukan oleh
Badan Legislasi dalam rangka membahas rencana Rapat Dengar
Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum yang dilaksanakan pada
tanggal 20 April 2020 (vide Lampiran V) menyimpulkan bahwa
pembahasan RUU Cipta Kerja melibatkan DPD dalam
pembahasannya sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
• Selain itu, untuk memperkaya materi pembahasan maka narasumber
yang diundang juga bervariasi, tidak hanya kepada yang pro RUU
Cipta Kerja tetapi juga narasumber yang kontra terhadap RUU Cipta
137

Kerja. Bahkan pelaku usaha, UMKM, ormas, mahasiswa, serikat


pekerja, dan berbagai elemen masyarakat turut diundang untuk
diminta masukan/pandangannya. Pembahasan RUU tentang Cipta
Kerja dibuka untuk umum dengan melibatkan media seperti TV
Parlemen, media sosial DPR, dan sebanyak mungkin media massa.
• Bahwa dalam Perbaikan Permohonan 103 pada poin 7 halaman 6
yang diajukan oleh Pemohon Perkara 103 sudah menjawab terkait
dengan Pemohon a quo yang merasa tidak dilibatkan dalam
pembahasan, dengan menyatakan bahwa KSBSI yang merupakan
organisasi yang mereka pimpin telah dilibatkan dalam proses
penyusunan RUU Cipta Kerja.
7) Selanjutnya dalam pembahasan RUU tentang Cipta Kerja dilakukan
dalam rapat-rapat sebagai berikut:
• Bahwa telah dilaksanakan Rapat Badan Legislasi pada 7 April 2020
pukul 14.15 s/d 15.30 WIB yang beragendakan pembahasan jadwal
acara rapat-rapat pembahasan ruu tentang cipta kerja (vide Lampiran
III);
• Pada tanggal 14 April 2020 pukul 14.35 s/d 16.11 WIB, diadakan
Rapat Badan Legislasi yang beragendakan penjelasan pemerintah
atas RUU Cipta Kerja (vide Lampiran IV);
• Bahwa telah dilaksanakan RDPU Panja Baleg sebagai berikut:
➢ Pada tanggal 27 April 2020 dilaksanakan RDPU Panja Baleg
dengan 3 orang narasumber yaitu Prof. Djisman, Yose Rizal, dan
Sarman Simanjorang (vide Lampiran VI);
➢ Pada tanggal 29 April 2020 dilaksanakan RDPU Panja Baleg
dengan 2 orang narasumber yaitu Bambang Kesowo dan Prof. Dr.
Satya Arinanto (vide Lampiran VI); dan
➢ Pada tanggal 5 Mei 2020 dilaksanakan RDPU Panja Baleg dengan
2 orang narasumber yaitu Emil Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno
Iwantono (vide Lampiran VI).
• Bahwa Rapat Panja pada tanggal 20 Mei 2020, 3 Juni 2020, 4 Juni
2020, 29 Juni 2020, 1 Juli 2020, 9 Juli 2020, 13 Juli 2020, 14 Juli 2020,
15 Juli 2020, 22 Juli 2020, 23 Juli 2020, 27 Juli 2020, 28 Juli 2020, 3
Agustus 2020, 4 Agustus 2020, 6 Agustus 2020, 10 Agustus 2020, 11
138

Agustus 2020, 12 Agustus 2020, 13 Agustus 2020, 19 Agustus 2020,


24 Agustus 2020, 25 Agustus 2020, 26 Agustus 2020, 27 Agustus
2020, 31 Agustus 2020, 1 September 2020, 2 September 2020, 3
September 2020, 7 September 2020, 8 September 2020, 9 September
2020, 10 September 2020, 12 September 2020, 14 September 2020,
15 September 2020, 16 September 2020, 17 September 2020, 19
September 2020, 21 September 2020, 22 September 2020, 24
September 2020, dan 25 September 2020 dengan agenda
pembicaraan tingkat I RUU tentang Cipta Kerja dan pembahasan DIM
(vide Lampiran VII);
• Bahwa telah dilaksanakan RDPU sebagai berikut:
➢ Pada tanggal 9 Juni 2020, RDPU Panja Baleg dengan Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia, KADIN dan M. Mova Al Afghani, SH.,
L.LM., Ph.D. (vide Lampiran VI);
➢ Pada tanggal 10 Juni 2020, RDPU Panja Baleg dengan Prof. Dr.
Ramdan Andri Gunawan (Univ. Indonesia), Prof. Dr. Asep Warlan
Yusuf (Univ. Katolik Parahyangan), Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang
(Univ. Gadjah Mada) (vide Lampiran VI);
➢ Pada tanggal 11 Juni 2020, RDPU dengan Dewan Pers dan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) atas RUU Cipta Kerja terkait dengan
Permasalahan Media (vide Lampiran VI);
➢ Pada tanggal 11 Juni 2020, RDPU dengan Majelis Ulama
Indonesia (MUI); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU);
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah terkait dengan kemudahan
dan persyaratan investasi sektor keagamaan dan jaminan produk
halal (vide Lampiran VI); dan
➢ Pada tanggal 25 September 2020, Rapat Panja RDPU dengan
KPPU (vide Lampiran VI).
• Bahwa telah dilaksanakan Raker Baleg dengan Pemerintah dan DPD
RI pada tanggal 3 Oktober 2020 dengan agenda pembahasan
pengambilan keputusan (Tingkat I atas RUU tentang Cipta Kerja) yang
dipimpin oleh Dr. Supratman Andi Agtas, S.H., M.H. (Ketua Baleg)
(vide Lampiran VIII). Pada saat itu dilaporkan hasil rapat adalah
menerima hasil pembahasan RUU Cipta Kerja dan menyetujui RUU
139

Cipta Kerja untuk dibawa dalam Tahap Pembicaraan Tingkat II pada


Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU, dengan catatan:
➢ Tujuh fraksi (FPDI Perjuangan, FPG, FGerindra, FNasdem, FPKB,
FPAN, dan FPPP) menerima hasil kerja Panja dan menyetujui
RUU tentang Cipta Kerja untuk diproses lebih lanjut sesuai
ketentuan perundang-undangan; dan
➢ Dua fraksi (Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat) belum
menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU tentang Cipta Kerja
untuk diproses lebih lanjut.
8) Bahwa proses pembahasan UU Cipta Kerja dalam hal ini seluruh Rapat
Kerja dan Rapat Pembahasan yang dilakukan oleh Panja dan Pemerintah
telah dilakukan secara terbuka untuk umum. Dengan kemajuan teknologi
yang ada saat ini maka seluruh masyarakat dapat mengikuti proses
pembahasan tersebut dengan mudah melalui TV Parlemen yang
menyiarkan secara langsung proses rapat-rapat pembahasan tersebut
ataupun melalui kanal youtube yang masih dapat diakses hingga saat ini
melalui tautan:
https://www.youtube.com/playlist?list=PL1i5C6Kd5FQinYuyrqGFonxJY0
sIjm2Lj
Selain itu juga terdapat dalam berbagai sosial media lainnya agar
masyarakat dapat turut serta memantau proses pembahasan UU Cipta
Kerja tersebut. Sehingga, berdasarkan hal tersebut terhadap anggapan
Pemohon yang menyatakan bahwa tidak adanya transparansi dalam
proses pembuatan UU Cipta Kerja adalah tidak beralasan.
9) Menurut Para Pemohon, pada rapat pengambilan keputusan akhir pada
akhir Pembicaraan Tingkat I seharusnya dilakukan dengan membacakan
naskah RUU dengan kata per kata, ayat per ayat dan pasal per pasal.
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR memberikan keterangan
bahwa di dalam suatu pembahasan RUU itu terdapat mekanisme
pembahasan RUU yang sudah diatur, mekanisme tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
• Berdasarkan Pasal 66 dan Pasal 67 UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan bahwa pembahasan Rancangan
Undang-Undang dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat
140

Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus;


dan Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna;
• Berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan
kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi
masalah, dan penyampaian pendapat mini;
• Berdasarkan pasal 151 Tatib DPR, Pembicaraan Tingkat I dilakukan
dalam Rapat Kerja, Rapat Panitia Kerja, Rapat Tim Perumus/Tim
Kecil, dan/atau Rapat Tim Sinkronisasi. Selain itu, dapat juga
dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan
anggota rapat;
• Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jika persetujuan dalam Rapat
Paripurna tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang
tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu;
• Bahwa Pasal 151 ayat (1) Tatib DPR, pada pembicaraan tingkat I
dilakukan rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil,
dan/atau rapat tim sinkronisasi;
• Bahwa Pasal 163 Tatib DPR mengatur tentang pengambilan
keputusan pada akhir pembicaraan tingkat 1 dilakukan dengan acara:
1. Pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi,
Badan Anggaran serta panitia khusus;
2. Laporan pantia kerja;
3. Pembacaan naskah rancangan undang-undang;
4. Pendapat akhir mini sebagai sikap akhir Fraksi, Presiden dan DPD
jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan
DPR;
5. Penandatanganan naskah rancangan undang-undang; dan
6. Pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada pembicaraan
tingkat II.
• Bahwa sebelum diambil keputusan, pembahasan dalam Pembicaraan
Tingkat I sudah membahas setiap DIM atau setiap pasal. Mekanisme
pembahasan RUU sudah dilakukan secara detail dan setiap substansi
juga dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat-rapat tersebut.
141

Oleh karena itu, ketika rapat pengambilan keputusan akhir pada akhir
Pembicaraan Tingkat I berdasarkan Pasal 100 Peraturan DPR 2/2020
tidak mengatur harus membacakan naskah RUU dengan kata per
kata, ayat per ayat dan pasal per pasal;
• Selain itu berdasarkan Pasal 151 Tatib DPR, pembicaraan tingkat I
dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim
kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi. Selain itu, dapat juga dilakukan
mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan anggota
rapat. Artinya jika dalam suatu Pembicaraan Tingkat I seluruh
pimpinan dan anggota rapat menyetujui substansi hanya bersifat
umum tanpa membacakan kata per kata maka mekanisme tersebut
tetap sah; dan
• Pada hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2020 RUU Cipta Kerja disetujui
dalam akhir Pembicaraan Tingkat I. Para Pemohon berpendapat
bahwa Draft RUU Cipta Kerja belum selesai disusun oleh Tim
Perumus maupun disinkronkan oleh Tim Sinkronisasi.
10) DPR menerangkan bahwa berdasarkan kesimpulan pada Rapat Panja
Baleg dengan Pemerintah dan DPD pada tanggal 3 Oktober 2020 dalam
rangka Pengambilan Keputusan atas RUU Cipta Kerja menerima hasil
pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilaporkan Ketua Panja dan
menyetujui RUU Cipta Kerja untuk dibawa dalam Pembicaraan Tingkat II
pada Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU, dengan catatan:
• Tujuh (7) fraksi (FPDI Perjuangan, F-Golkar, F-Gerindra, F-Nasdem,
F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan
menyetujui RUU Cipta Kerja untuk diproses lebih lanjut sesuai
ketentuan perundang-undangan;
• Dua (2) Fraksi (F-PKS dan F-Partai Demokrat) belum menerima hasil
kerja Panja dan menolah RUU Cipta Kerja untuk diproses lebih lanjut;
dan
• Catatan yang disampaikan fraksi-fraksi dalam pandangan mininya
menjadi bagian yang tidak terpisahakan dari RUU Cipta Kerja tersebut.
11) Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan
Pasal 163 Tatib DPR tidak dilaksanakan oleh Pimpinan Panja Baleg
dalam Pembicaraan Tingkat II, DPR memberikan pandangan bahwa
142

ketentuan Pasal 163 Tatib DPR tersebut mengatur mekanisme


pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I dan bukan
Pembicaraan Tingkat II. Oleh karena itu Para Pemohon salah merujuk
ketentuan yang menjadi dasar argumennya. Selain itu terkait dengan dalil
Para Pemohon yang menyatakan bahwa seluruh anggota Panja harus
diberikan salinan naskah RUU Cipta Kerja, DPR berpandangan bahwa
tidak terdapat ketentuan bahwa naskah yang dibacakan dalam
pengambilan keputusan tingkat I harus dibagikan kepada masing-masing
anggota Panja.

Dalam Pembicaraan Tingkat II


1) DPR menanggapi pendapat Para Pemohon bahwa pada Rapat Badan
Legislasi tanggal 3 Oktober 2020 tidak membahas mengenai Draft RUU
Cipta Kerja melainkan pembahasan mengenai laporan ketua panitia kerja
dan persetujuan RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi UU Cipta Kerja.
Oleh karena itu, dalil Para Pemohon tidak tepat dan tidak mengerti
mekanisme secara detail kegiatan pembahasan undang-undang. Dengan
demikian, pembentukan UU a quo tidak bertentangan dengan syarat
formil pembentukan undang-undang dalam pembahasan.
2) Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II RUU Cipta Kerja dengan agenda
pengambilan keputusan dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2020 (vide
Lampiran IX). Pada Rapat Paripurna tersebut tercatat:
• bahwa konsep RUU Cipta Kerja telah dilakukan harmonisasi dan
menghasilkan beberapa perubahan Bab dan Pasal; dan
• bahwa peserta rapat menyetujui RUU Cipta Kerja untuk disahkan
menjadi undang-undang.

d. Tahap Pengesahan
1) Bahwa proses sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang
dengan 1.209 pasal terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat
dalam UU Cipta Kerja perlu dipahami bukan sebagai perkara yang mudah.
Perlu dilakukan penyisiran secara menyeluruh agar isi UU Cipta Kerja
sesuai dengan kesepakatan dalam pembahasan dan tidak ada kesalahan
pengetikan, tentunya tanpa mengubah substansi yang telah disepakati.
2) Bahwa Pasal 72 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengatur batasan waktu penyampaian rancangan undang-
143

undang kepada Pemerintah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7


(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Dalam
penjelasan Pasal tersebut, ketentuan batasan 7 (tujuh) hari ini dianggap
layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis
penulisan rancangan undang-undang ke Lembaran Resmi Presiden
sampai dengan penandatanganan pengesahan undang-undang oleh
Presiden, dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran
Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
3) Bahwa yang dimaksud 7 (tujuh) hari dalam Pasal 72 ayat (2) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah berdasarkan hari
kerja, dan bukan berdasarkan hari kalender. Sehingga sejak disahkan
dalam Rapat Paripurna 5 Oktober 2020, batasan waktu 7 (tujuh) hari kerja
jatuh pada tanggal 14 Oktober 2020. Pada tanggal 5 Oktober 2020,
Pimpinan DPR telah mengirimkan naskah RUU Cipta Kerja (vide
Lampiran XI). Sehingga dalil Para Pemohon adalah salah dan tidak
berdasarkan fakta yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka tidak ada
ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
dilanggar dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.

KETERANGAN TAMBAHAN DPR


Berikut DPR sampaikan Keterangan Tambahan berdasarkan pertanyaan dari Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi pada Sidang Pleno tanggal 17 Juni 2021:
Bahwa DPR siap untuk menyerahkan Keterangan DPR secara tertulis beserta
dengan seluruh lampiran dan dokumen yang diminta oleh Mahkamah Konstitusi
dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak Sidang Pleno pada tanggal 17
Juni 2021.
Terkait dengan penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan RUU a quo,
DPR menjelaskan bahwa hal tersebut telah sesuai dengan UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Bahwa berdasarkan ketentuan menimbang dalam
UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa “untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik,
perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
144

mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-


undangan”.
Sistematika dalam UU Cipta Kerja telah sesuai dengan sistematika peraturan
perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan karena telah memuat judul, pembukaan, batang tubuh,
penutup, dan penjelasan. Penulisan yang ada dalam UU Cipta Kerja juga telah
mengikuti ketentuan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar sesuai dengan
teknis penyusunan undang-undang berdasarkan UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Ketentuan Lampiran II nomor C.5 ketentuan penutup nomor
143 UU 12/2011 yang menyatakan bahwa pada intinya jika ada perubahan atau
penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam peraturan perundang-
undangan yang lama ke dalam peraturan perundang-undangan yang baru harus
secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan
peraturan perundang-undangan yang lama di dalam bab ketentuan penutup. Namun
perubahan dalam UU Cipta Kerja dilakukan terhadap 78 undang-undang sehingga
pada bab ketentuan penutup justru akan memuat banyak pengaturan yang
menimbulkan ketidaklaziman komposisi materi muatan suatu peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu diperlukan fleksibilitas dalam pembentukan UU Cipta
Kerja sebagai undang-undang baru yang materi muatannya mengatur perubahan
banyak undang-undang dalam satu undang-undang agar dapat disusun menjadi
satu kesatuan utuh dalam batang tubuh UU Cipta Kerja. Langkah ini merupakan
kesepakatan bersama antara DPR dan Presiden dalam membahas UU Cipta Kerja
dan metode omnibus law ini juga tidak dilarang dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Metode omnibus law ini adalah salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah
kebangsaan dan merupakan karya agung yang revolusioner, dan fundamental yang
dibuat dalam keadaan bangsa yang tidak ideal dalam menghadapi pandemi Covid-
19 dan dalam upaya merumuskan strategi pemulihan ekonomi nasional. Metode
omnibus law bukanlah suatu metode yang baru. Pada tahun 2015 Presiden Jokowi
telah menyatakan terdapat permasalahan, antara lain ketidakteraturan ketentuan
mengenai perizinan, undang-undang yang tumpang tindih, kewenangan yang
overlapping, dan obesitas jumlah peraturan.
Metode omnibus law kemudian sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat
pidato pertama Presiden di DPR setelah dilantik untuk periode kepemimpinan
145

kedua. Bahkan Presiden menargetkan pembentukan undang-undang dengan


metode omnibus law telah selesai pada 100 hari pertama kepemimpinannya. Jadi
pembicaraan mengenai metode omnibus law ini tidak dimulai pada awal tahun 2020.
Bahwa metode omnibus law tidak dibakukan sebagai salah metode dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, karena pada saat pembentukan UU
12/2011 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) tidak dihadapkan
dengan situasi regulasi dan kebangsaan seperti kondisi yang melatarbelakangi
pembentukan UU Cipta Kerja, antara lain hyper regulations. Jika kemudian metode
omnibus law dibakukan dalam perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan nantinya, dan ternyata pada 10 tahun kemudian terdapat metode yang
lebih baik daripada metode omnibus law, maka bukan tidak mungkin yang
digunakan nanti adalah metode yang lebih baik tersebut.
Negara membutuhkan basis regulasi yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan
yang telah diidentifikasi sebelumnya. Jika menggunakan metode sebagaimana
diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka
membutuhkan waktu yang lama karena mengubah satu persatu undang-undang.
Sejatinya tidak hanya terdapat 79 undang-undang yang diubah dengan UU Cipta
Kerja, tetapi juga ribuan peraturan pemerintah pusat, 15.000 peraturan daerah
turunan yang terkait dengan materi dalam UU Cipta Kerja.
Pembentuk undang-undang telah mencoba berbagai cara konvensional dengan
mendasarkan pada teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, namun
permasalahan undang-undang yang tumpang tindih tidak bisa diselesaikan dengan
satu persatu undang-undang tetapi dibutuhkan satu kesatuan substansi pengaturan
dalam satu undang-undang. Pembentuk undang-undang juga telah memastikan
tidak adanya kekosongan hukum sedikit pun, oleh karena itu undang-undang
existing tetap ada dan mengikat dengan kekurangan dan kelemahan yang diperbaiki
dalam satu undang-undang.
Terkait dengan keterlibatan DPD dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja, DPD
telah mengikuti seluruh rapat pembahasan RUU a quo dan telah menyerahkan DIM
(vide Lampiran ....) dan telah dibahas dalam rapat-rapat Panja RUU a quo (vide
Lampiran ....). DPD juga telah menyampaikan pandangannya dalam rapat
pengambilan keputusan pada Tingkat Pertama (vide Lampiran ...).
Kemudian terkait dengan pernyataan Sekjen DPR RI terhadap adanya koreksi teknis
penulisan dan pencetakan UU Cipta Kerja yang telah disetujui dalam Rapat
146

Paripurna, hal itu justru menunjukkan transparansi kerja DPR dengan


menyampaikan kepada masyarakat. Namun yang perlu ditegaskan adalah bahwa
koreksi tersebut hanya sebatas konteks Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang
tidak menyentuh pada substansi UU Cipta Kerja, seperti kesalahan rujukan,
kesalahan redaksi, dan kesalahan penulisan maupun tanda baca. Termasuk juga
mengenai perbedaan jumlah halaman, hal tersebut adalah teknis pencetakan
sebatas perubahan format halaman.
DPR menerangkan bahwa anggota Panja yang dibentuk untuk melakukan
pembahasan RUU Cipta Kerja ditugaskan untuk membahas seluruh klaster materi
muatan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pembahasannya pun, klaster materi muatan
tersebut selalu dinamis mengikuti perkembangan rapat Panja. Begitu pun halnya
dengan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang bekerja ketika pembahasan di
rapat Panja telah selesai sehingga tidak mengubah substansi muatan RUU a quo
yang telah disepakati dalam rapat Panja.
DPR menyatakan bahwa UU Cipta Kerja mengubah lebih dari 79 undang-undang
terkait, 4.451 peraturan pemerintah pusat, 15.000 peraturan daerah. Keseluruhan
undang-undang tersebut tidak dapat diubah dan disinkronkan dengan cara yang
konvensional dan metode yang baku dan mengikat seluruh warga negara. Ini adalah
hasil ikhtiar kebangsaan untuk menyelesaikan permasalahan kebangsaan saat itu
untuk dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Jika tidak dengan metode ini,
dengan metode apa lagi bisa dilakukan. Pembahasan dilakukan dalam waktu yang
relatif cepat karena Pemerintah sebagai pengusul telah menyiapkan secara cepat
rancangan perubahan sesuai dengan dinamika pembahasan. Begitu pula muatan
materi dalam rancangan peraturan pelaksanaan yang mengikuti dinamika
pembahasan RUU.
Bahwa dalam pembahasan RUU Cipta Kerja juga telah melibatkan banyak
stakeholders, dan untuk memperkaya materi pembahasan maka narasumber yang
diundang juga bervariasi, tidak hanya kepada yang pro RUU Cipta Kerja tetapi juga
narasumber yang kontra terhadap RUU Cipta Kerja. Bahkan pelaku usaha, UMKM,
ormas, mahasiswa, serikat pekerja, dan berbagai elemen masyarakat turut
diundang untuk diminta masukan/pandangannya. Pembahasan RUU tentang Cipta
Kerja dibuka untuk umum dengan melibatkan media seperti TV Parlemen, media
sosial DPR, dan sebanyak mungkin media massa. Catatan rapat mengenai
147

keterlibatan banyak stakeholders ini akan DPR sampaikan dalam Lampiran


Keterangan DPR yang menjadi satu kesatuan dan tidak terpisahkan.

RISALAH PEMBAHASAN DAN PENJELASAN PASAL-PASAL A QUO UU CIPTA


KERJA
Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah
diuraikan di atas, DPR melampirkan laporan singkat rapat-rapat pembahasan UU
Cipta Kerja dalam Lampiran I – Lampiran XI sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Keterangan DPR.

PETITUM DPR
Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang
Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak Permohonan a quo dalam pengujian formil untuk seluruhnya;
3. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
4. Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6398); dan
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
148

Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Risalah Rapat Baleg tanggal 20 Januari 2020
Lampiran II : Naskah Akademik
Lampiran III : Catatan Rapat Baleg tanggal 7 April 2020
Lampiran IV : Catatan Rapat Baleg tanggal 14 April 2020
Lampiran V : Laporan Singkat Rapat Panja tanggal 20 April 2020
Lampiran VI : Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan
pakar, lembaga pendidikan, asosiasi, dan lembaga KPPU
Lampiran VII : Dokumentasi Rapat Panja tanggal 20 Mei 2020 – 25
September 2020
Lampiran VIII : Risalah Rapat Panja tanggal 3 Oktober 2020
Lampiran IX : Risalah Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020
Lampiran X : Nota Pengantar dan DIM dari KPPOD
Lampiran XI : Surat Pengantar Naskah RUU Cipta Kerja tanggal 14 Oktober
2020

Bahwa untuk mendukung keterangannya, DPR mengajukan 1 (satu)


orang ahli yaitu Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H. yang keterangan
tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 11 Oktober 2021 dan
didengarkan dalam persidangan pada 13 Oktober 2021, yang pada pokoknya
sebagai berikut:

Dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 103/PUU-


XVIII/2020, yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah pengujian formil (formele
toetsingsrecht) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(selanjutnya disebut dengan UU Cipta Kerja) terhadap UUD 1945. Pengujian formil
itu sendiri, secara teoritik dan juga dalam praktek dimaknai sebagai wewenang untuk
menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya, terjelma
melalui tata cara (prosedur) sebagaimana yang telah ditentukan ataupun diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi pengujian
formil ini berkenaan dengan hal-hal yang bersifat prosedural dalam pembentukan
undang-undang (procedural due process of law) sebagai syarat yang ditentukan
secara atributif dalam pembentukan regulasi. Dalam konteks pengujian formil suatu
149

undang-undang di Indonesia, maka secara atributif, UUD 1945 menentukan secara


garis besar tentang tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang
sebagaimana yang digariskan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) jo. ketentuan Pasal
20. Undang-undang sebagai produk legislatif, merupakan sharing power DPR dan
Presiden. Artinya, meskipun original power pembentukan UU ada pada DPR (vide
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945), namun Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR (vide Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Kedua ketentuan
tersebut mengatur tentang tata cara pengajuan RUU, baik inisiatif pengajuan RUU
berasal dari DPR maupun inisitif pengajuan RUU berasal dari Presiden. Kemudian,
tata cara yang berkenaan dengan pembahasan RUU, persetujuan dan pengesahan
sampai pada pengundangannya diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) sampai
dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.

Sepanjang UUD 1945 dijadikan "batu uji" atau dasar pengujian formil
terhadap UU Cipta Kerja, maka tata cara atau prosedur pembentukan UU Cipta
Kerja sejalan dengan tata cara prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu:

Pertama, inisiatif pengajuan RUU Cipta Kerja berasal dari Presiden;

Kedua, RUU inisiatif Presiden itu diajukan kepada DPR untuk dibahas dan
disetujui bersama DPR dan Presiden;

Ketiga, Presiden yang diberikan kewenangan secara atributif untuk


mengesahkan RUU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama menjadi undang-
undang tersebut, selanjutnya diundangkan (dalam Lembaran Negara).

Permasalahan muncul ketika para Pemohon mendasari permohonan pengujian UU


Cipta Kerja pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU P3 itu
sendiri merupakan undang-undang organik, yaitu undang-undang yang dibentuk
atas perintah ketentuan Pasal 22 A UUD 1945 yang menyebutkan: "Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang".
150

Berdasarkan UU P3 yang dijadikan alas hukum pengajuan permohonan pengujian


formil UU Cipta Kerja, para Pemohon mendalilkan pokok-pokok permohonannya
sebagai berikut:
• Pembentukan UU (Cipta Kerja) cacat formil dan materiil;
• Melanggar format UU P3;
• Teknik Omnibus Law bertentangan dengan teknik penyusunan undang-
undang yang diatur dalam UU P3;
• Melanggar asas-asas pembentukan undang-undang;
• Melanggar ketentuan tentang tahapan penyusunan undang-undang;
• Perubahan naskah hasil persetujuan bersama dengan yang diundangkan
sehingga proses pengesahannya tidak menenuhi Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 dan Pasal 71 UU P3;
• Tidak adanya unsur buruh dalam Satgas; dan
• Penyusunan RUU terburu - buru.

Semua pokok permohonan a quo sudah direspon atau ditanggapi (sekaligus


dijawab) oleh DPR, baik dalam bentuk Keterangan DPR yang lengkap/utuh maupun
dalam bentuk Keterangan Singkat (Executive Summary) yang telah disampaikan
dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2021 yang lalu. Karena
itu, untuk menghindari pengulangan dan duplikasi, maka saya tidak akan
menanggapinya lagi, dengan alasan bahwa pokok permohonan yang didalilkan oleh
para Pemohon lebih ditujukan pada proses pembentukan undang-undang yang
memang menjadi kewenangan DPR untuk terlibat di dalamnya dan oleh karenanya
DPR-lah yang lebih tahu dan dapat menjawabnya berdasarkan data dan informasi
yang dimilikinya. Sungguh pun begitu, ada satu hal penting dari pokok-pokok
permohonan yang didalilkan oleh para Pemohon yang perlu ahli berikan pendapat,
yaitu berkenaan dengan penggunaan metode Omnibus Law dalam penyusunan UU
Cipta Kerja. Pendapat ahli terhadap penggunaan metode Omnibus Law dalam
penyusunan UU Cipta Kerja lebih bersifat penegasan (affirmative) dari banyak
pendapat para ahli tentang hal yang sama, terutama pendapat dari Pemerintah (c.q.
Menko Perekonomian) sebagai pemrakarsa pengajuan RUU (Cipta Kerja), selain
ada hal-hal penting lainnya yang akan disampaikan dalam pendapat ahli sebagai
berikut:
151

Pertama, tentang hakekat Omnibus Law

Secara konseptual, Omnibus Law sebagai metoda bukanlah sesuatu yang baru
dalam pembentukan/penyusunan regulasi. Historically, Omnibus Law lahir dan
berkembang serta dipraktekkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon (Common Law System), seperti Amerika Serikat, Kanada, lnggris,
Australia, Singapura, dan lain sebagainya. Di Amerika Serikat, misalnya, salah satu
undang-undang omnibus law terbesar yang pernah dibuat adalah Transportation
Equity Act for The 21 Century (TEA-21). Contoh undang-undang omnibus law
lainnya di Amerika Serikat adalah The Omnibus Public Land Management Act of
2009.
Di Kanada, praktek omnibus law sudah lazim digunakan oleh Parlemennya sejak
Tahun 1888 dengan tujuan untuk mempersingkat proses legislasi dengan melebur
beberapa peraturan perundang-undangan ke dalam satu peraturan khusus.
Beberapa contoh UU Omnibus Law di Kanada adalah The Energy Security Act
Tahun 1982 dan Jobs, Growth and Long - term Prosperity Act Tahun 2012.
Di Australia, terdapat Civil Law and Justice (Omnibus Amendments) Act 2015 yang
materinya menggabungkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan hukum dan
keadilan sipil dari beberapa ketentuan undang - undang lainnya.
Di Filipina, Omnibus Law juga pernah digunakan untuk menata regulasi di bidang
investasi dengan mengeluarkan/menerbitkan Omnibus Investment Code Act of
1987. Salah satu isi ketentuan dalam omnibus law tersebut adalah investor akan
diberikan insentif dan hak-hak dasar guna menjamin kelangsungan usaha investor
di Filipina. Cara ini dilakukan pemerintah Filipina untuk menarik investasi sebesar-
besarnya di negara tersebut.
Dengan menunjuk contoh beberapa negara yang menerapkan metode Omnibus
Law dalam pembentukan/penyusunan regulasinya tampak bahwa metode omnibus
law digunakan sebagai suatu instrument kebijakan untuk mengatasi permasalahan
regulasi yang terlalu banyak (hyper regulated) dan saling tumpang tindih
(overlapping). Konsep ini sering dipandang sebagai "jalan cepat" dalam mengurai
dan membenahi regulasi yang banyak dan bermasalah, dikarenakan esensi dari
Omnibus Law adalah suatu undang-undang yang ditujukan untuk menyasar tema
atau materi besar di suatu negara, di mana substansinya adalah untuk merevisi
dan/atau mencabut beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus. Oleh
karena itu, cara ini dipandang lebih efektif dan efisien dibandingkan penyelesaian
152

dengan menggunakan mekanisme legislasi biasa atau law by law yang bukan hanya
menyita banyak waktu, pikiran, dan tenaga, juga menyita banyak anggaran. Terlebih
lagi pembahasan suatu undang-undang, misalnya, seringkali mengalami deadlock
dikarenakan dinamika di parlemen yang sarat dengan berbagai kepentingan.
Dengan kata lain, hakekat Omnibus Law adalah suatu produk hukum yang berisi
lebih dari satu materiIisi dan tema ketatanegaraan yang substansial, dengan
merevisi dan/atau mencabut berbagai peraturan yang terkait sehingga menjadi satu
peraturan baru yang holistik, dengan tujuan untuk mengatasi banyak atau tingginya
kuantitas regulasi (hyper regulated) dan tumpang tindihnya regulasi (overlapping);

Kedua, Omnibus Law dalam kerangka Sistem Hukum (Anglo Saxon dan Eropa
Kontinental)

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa konsep Omnibus Law lahir dan


berkembang di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon dengan
menunjuk contoh beberapa negara yang menggunakan omnibus law dalam
pembentukan undang-undang di negara masing-masing. Apakah kemudian negara-
negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental tidak dapat menggunakan
metode Omnibus Law dalam pembentukan regulasinya?
Sebagaimana nyata dari sejarah, Sistem Hukum Anglo Saxon mengalir dari lnggris
dan kemudian menyebar ke negara-negara yang berada di bawah pengaruh lnggris,
seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan lain-lain negara yang masuk
sebagai The British Commenwealt. Sistem hukum Anglo Saxon menjadikan
vurisprudensi sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sistem Hukum Anglo Saxon
berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus konkret tersebut lahir berbagai
kaidah dan asas hukum. Karena itu sistem ini sering disebut sebagai sistem hukum
yang berdasarkan kasus (case law system).
Sementara itu, Sistem Hukum Eropa Kontinental berkembang di Eropa daratan.
Dalam sejarah hukum modern, Perancis dapat disebut sebagai negara yang paling
terdahulu mengembangkan sistem hukum ini. Sistem Hukum Eropa Kontinental
mengutamakan Hukum Tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai
sendi utama sistem hukumnya. Karena itu, negara-negara yang berada dalam
Sistem Hukum Eropa Kontinental, selalu berusaha untuk menyusun hukum-
hukumnya dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam satu sistematika yang diupayakan
selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang. Penyusunan semacam ini
disebut kodifikasi. Karena itu, Sistem Hukum Eropa Kontinental sering pula disebut
153

dengan Sistem Hukum Kodifikasi (Codified Law System). Kedua sistem hukum
tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Menyadari akan
keunggulan dan kelemahannya masing-masing, maka dalam perkembangannya
kemudian, perbedaan dasar antara kedua sistem hukum tersebut makin menipis.
Pada Sistem Eropa Kontinental, yurisprudensi (yang menjadi sendi utama Sistem
Hukum Anglo Saxon) menjadi makin penting kedudukan dan perannya sebagai
sumber hukum di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental.
Sebaliknya, peraturan perundang-undangan (sebagai sendi utama Sistem Hukum
Eropa Kontinental) semakin menduduki tempat yang penting pula di negara-negara
yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon. Demikian pentingnya tempat
kedudukan peraturan perundang-undangan di negara-negara yang menganut
Sistem Hukum Anglo Saxon, maka tidak dapat dihindari demikian banyaknya
regulasiI undang-undang yang diterbitkan yang berdampak pada hyper regulated,
sehingga menjadi kuat alasan digunakannya metode Omnibus Law sebagai cara
untuk mereformasi regulasi yang hyper itu. Di negara-negara yang menganut Sistem
Hukum Anglo Saxon saja sudah lama mempraktekkan penggunaan metode
Omnibus Law untuk melakukan reformasi terhadap regulasinya yang hyper, apalagi
di negara-negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental yang memang
menjadikan Hukum Tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi
utama sistem hukumnya, sehingga sangat tidak beralasan untuk tidak
menggunakan metode Omnibus Law sebagai cara untuk melakukan reformasi
terhadap regulasinya yang hyper dan bermasalah. Hal yang demikian itu lumrah
atau lazim terjadi di berbagai negara tanpa terbelenggu oleh sekat perbedaan di
antara kedua sistem hukum terkemuka itu. Dalam konteks Omnibus Law dapat
dikatakan bahwa ketika metode Omnibus Law diterapkan di suatu negara yang
basisnya bukan Common Law, maka negara tersebut telah melakukan praksis yang
disebut sebagai transplantasi hukum (Law Transplant) Omnibus Law. Bagi Alan
Watson dalam "Legal Transplants an Approach to Comparative Law (1993: 21), Law
Transplant merupakan "the moving of a rule or a system of law from one country to
another, or from one people to another- have been common since the earliest
recorded history" (perpindahan suatu tatanan atau sistem hukum dari satu negara
ke negara yang lain, atau dari satu orang ke orang yang lain yang sudah umum
dilakukan sejak sejak zaman dulu). Secara sederhana, Transplantasi Hukum
diartikan sebagai sebuah proses transfer atau peminjaman konsep hukum antar
154

sistem hukum yang ada. Dapat pula dikatakan sebagai proses di mana hukum dan
lembaga hukum dari suatu negara diadopsi oleh negara lainnya. Transplantasi
hukum, baik yang berkenaan dengan gagasan, konsepsi, solusi, struktur, institusi
maupun metode dari suatu negara ke negara lainnya telah menjadi kecenderungan,
bahkan kebiasaan dalam rangka proses pembangunan hukum di berbagai negara;

Ketiga, Omnibus Law: antara Kodifikasi dan Modifikasi

Sejalan dengan pemikiran di atas, maka Omnibus Law sebagai metode bukan lahir
dari prinsip kodifikasi melainkan dari prinsip modifikasi. Dikatakan demikian, selain
karena metode Omnibus Law dapat mengharmonisasikan peraturan perundang-
undangan, juga dapat menghindari hyper regulations. Selain itu, metode Omnibus
Law lebih mengarah pada pembentukan kualitas regulasi (quality of regulation),
bukan pada kuantitas regulasi (regulatory quantity). Dalam hubungan ini, tepat apa
yang dikatakan oleh Thomas Hobbes bahwa "unnecessary laws are not good law,
but just traps for money" (kuantitas hukum atau regulasi yang banyak dan tidak perlu
bukanlah hukum yang baik, akan tetapi hanya jebakan untuk anggaran). Oleh
karena itu, pembentukan hukum haruslah berorientasi kepada substansi, bukan
terpaku kepada hal yang bersifat prosedural. Dalam hal ini dibutuhkan hukum atau
regulasi yang kuantitasnya sedikit mungkin tetapi kualitasnya maksimal (simply rules
but perform strictly) sehingga efektif dan efisien dalam penerapannya.

Keempat, berdasarkan hakekat, transplantasi hukum, dan modifikasi hukum,


maka penggunaan metode Omnibus Law dalam pembentukan regulasi di
Indonesia dihadapkan pada hal-hal yang berada pada tataran antara das sollen
dan das sein.

Pada tataran das sollen, misalnya, adalah gagasan Presiden Jokowi untuk
menggunakan metode Omnibus Law dalam penyusunan undan-undang guna
mendukung keinginannya mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan
hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
dengan mengundang atau menarik investor guna menanamkan investasinya untuk
tujuan menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan. Timbulnya gagasan
untuk menggunakan metode Omnibus Law sebagai instrument pendukung
keinginan mewujudkan kesejahteraan rakyat bertolak dari kenyataan faktual (das
sein), yaitu adanya obesitas regulasi atau hyper regulasi yang tumpang tindih, tidak
ada harmonisasi, inkonsisten, multi tafsir, tidak operasional, dan kurang
155

memberikan jaminan kepastian hukum. Semuanya itu dinilai sebagai penghambat


dan batu sandungan untuk mendukung keinginan mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Atas dasar itulah, maka dengan menyadari akan hakekat Omnibus Law,
transplantasi hukum, dan prinsip modifikasi, metode Omnibus Law digunakan dalam
penyusunan undang-undang yang kini menjadi UU Cipta Kerja;

Kelima, penggunaan metode Omnibus Law dalam penyusunan UU Cipta Kerja


secara procedural due process of law dinilai oleh para Pemohon sebagai cacat
formil, karena penyusunan UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode Omnibus
Law tidak dikenal, diakui, ataupun diatur dalam UU P3. Penilaian yang demikian itu
sangat tidak berdasar dan beralasan, karena:

1. UU P3 "berdiam diri" atau tidak responsif terhadap penggunaan metode


Omnibus Law sebagai "jalan cepat" untuk dapat membuat regulasi secara efektif
dan efisien. Dengan menunjuk konstatasi "berdiam dirinya" UU P3, maka
penggunaan metode Omnibus Law dapat dipandang semacam Konvensi yang
berfungsi melengkapi UU P3 yang tidak responsif terhadap tuntutan
perkembangan keadaan akan kebutuhan penggunaan metode Omnibus Law
untuk dapat mengasilkan regulasi yang efektif dan efisien. Jadi penggunaan
metode Omnibus Law sebagai Konvensi lebih menentukan atau menekankan
tentang cara (atau metode), bukan pada isi atau substansi;

2. Tujuan UU Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus


Law adalah untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dalam
rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan
berinvestasi. Tujuan tersebut dihadapkan oleh hukum (UU P3) dan prosedur
pembentukan undang-undang yang diatur di dalamnya. Hukum dan prosedur
adalah cara untuk mencapai tujuan. Artinya, baik buruknya hukum dan prosedur
tadi diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan. Manakala tujuan tidak tercapai,
maka mestinya hukum dan prosedur itulah yang ditinjau ulang. Bisa jadi hukum
dan prosedur itu sudah tidak relevan lagi dengan kontek masalah, situasi dan
kondisi serta dinamika yang terjadi di masyarakat;

3. Dalam konteks ini, ada 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
relevan dijadikan justifikasi untuk menegasi alasan para Pemohon yang
menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, yaitu:
156

a. Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, pada halaman 91-92 menyatakan: "...


Mahkamah berpendapat bahwa pengujian undang-undang dilakukan antara
undang-undang terhadap UUD 1945, bukannya diuji dengan undang-
undang atau yang lain, dalam hal ini UU No.10/2004. Materi UU No. 10/2004
di antaranya dimaksudkan untuk mengatur tata cara pembentukan undang-
undang yang baik. Adanya kekurangan dalam suatu pembentukan undang-
undang karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.
10/2004, tidak dengan serta merta menyebabkan undang-undang tersebut
batal ...";
b. Putusan MK No. 73/PUU-XII/2014, pada halaman 211 -212 antara lain
berbunyi sebagai berikut: "... Sekiranya terjadi dalam proses pembahasan
tidak sepenuhnya mengikuti tata cara yang diatur dalam undang-undang
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan (UU 12/2011) atau
tidak sesuai dengan ketentuan Tata Tertib DPR, - menurut Mahkamah -
tidak serta merta menjadikan undang-undang tersebut inkonstitusional
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Norma yang ada dalam
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Tata Tertib DPR mengenai Pembentukan Undang-Undang,
hanyalah tata-cara pembentukan undang-undang yang baik. Jika ada materi
muatan yang diduga bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan
pengujian materiil terhadap pasal-pasal tertentu, karena dapat saja suatu
undang-undang yang dibentuk berdasarkan tata-cara yang diatur dalam
undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan tata tertib DPR justru materi muatannya bertentangan dengan
UUD 1945. Sebaliknya, dapat juga suatu undang-undang yang telah
dibentuk tidak berdasarkan tata-cara yang diatur dalam undang-undang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib
DPR, justru materi muatannya sesuai dengan UUD 1945".

Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan secara


lisan dalam persidangan tanggal 13 Oktober 2021 pada pokoknya sebagai berikut:

1. Awalnya omnibuslaw diterapkan di Kanada lalu diikuti negara lain seperti


Amerika Serikat. Artinya itu tidak menghalangi pembangunan di negara
tersebut.
157

2. Metode omnibuslaw itu adalah dalam konteks penyusunan undang-undang,


bukan pembentukan undang-undang. Karena pembentukan UU itu ada
tahapan-tahapan, misalnya mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
persetujuan, pengesahan, sampai kemudian pengundangan. Ahli fokus kepada
penggunaan metode omnibuslaw ini dalam penyusunan Undang-Undang Cipta
Kerja.
3. Pemohon sendiri terjebak kepada soal tata cara penggunaan metode ini yang
memang tidak diatur. Apakah kemudian tidak diatur itu menjadi sesuatu yang
bertentangan. Jika mengutip pendapat Hans Kelsen ketika berbicara tentang
norma dalam suatu undang-undang, ketika suatu undang-undang tidak secara
tegas-tegas melarang, berarti itu boleh.
4. Robert Carr dalam bukunya yaitu Democracy American in Theory and Practice,
mengatakan, “Ketika satu konstitusi berdiam diri, tidak bisa merespons suatu
perkembangan keadaan, di situ konvensi ketatanegaraan menjadi sebuah
jawaban, dalam arti dia melengkapi.” Ditemukanlah kebiasaan-kebiasaan yang
bisa jadi nanti akan dinormakan ke dalam satu aturan. Artinya dengan konvensi
ini, ke depannya bisa dijadikan sebuah tradisi yang jika kita mencoba untuk
memberikan sebuah legalitas tentu Undang-Undang P3 ke depan perlu direvisi.
Selama belum direvisi, bisa dikembangkan menjadi sebuah konvensi, seperti
ketika konstitusi tidak bisa menjawab atau berdiam diri menghadapi tantangan
zaman.
5. Sebelum gagasan penggunaan metode omnibuslaw akan diterapkan di
Indonesia, pasti dilakukan suatu komparasi perbandingan, terutama di negara-
negara yang pernah menggunakan atau menerapkan metode omnibuslaw.
Ternyata memang lebih banyak negara-negara yang menganut sistem hukum
anglo saxon menggunakan metode omnibuslaw ini. Jadi, boleh dikatakan ini
bukan inovasi murni, diilhami dengan praktik di beberapa negara lain. Artinya,
dapat digunakan jika penggunaan metode ini lebih efisien dan lebih efektif.
6. Antara proses dan tujuan, didahulukan tujuan, karena tujuan itu menghasilkan
manfaat. Dalam konsep dalam hukum administrasi negara, bahwa ketika
dihadapkan oleh pilihan antara lebih mengedepankan tujuan (doelmatig) atau
tetap terpaku pada wetmatig, tentu saja pilihannya pada lebih mengedepankan
tujuan, karena kalau memang dia memberikan sebuah manfaat, kalau dikaitkan
dengan soal tujuan. Karena itu, menjadi beralasan ketika Pemerintah, dalam ini
158

kebijakan Presiden Jokowi dihadapkan oleh pilihan, apakah terpaku pada


wetmatig, dalam arti dihadapkan oleh peraturan perundang-undangan yang
gemuk, dan dihadapkan juga oleh satu Undang-Undang P3 yang memang tidak
bisa menjawab tantangan itu, dibanding dengan tujuan yang harus dicapai.
Artinya antara memilih jalan biasa atau jalan tol, maka pilihannya menggunakan
jalan tol. Menurut Ahli, penggunaan metode omnibuslaw itu adalah jalan cepat
menuju sebuah tujuan.

Bahwa selanjutnya untuk mendukung keterangannya, DPR mengajukan


2 (dua) orang saksi yaitu Firman Soebagyo dan Hendrik Lewerissa yang
keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 18 Oktober 2021
dan didengarkan dalam persidangan pada 19 Oktober 2021, yang pada pokoknya
sebagai berikut:

• Berdasarkan pengetahuan yang saksi ketahui, pengujian formil suatu undang-


undang, terkait dengan proses pembentukan undang-undang dimaksud.
• Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, proses pembentukan undang-
undang pada pokoknya mencakup tahapan: perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
• Berdasarkan kelima tahapan dalam pembentukan undang-undang tersebut,
keterlibatan saksi di dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hanya meliputi: tahapan perencanaan dan
tahapan pembahasan saja. Saksi tidak terlibat di dalam proses penyusunan RUU
tentang Cipta Kerja. Penyusunan RUU tentang Cipta Kerja, merupakan tugas
yang dilakukan oleh Pemerintah.
• Terkait dengan tahapan perencanaan, dapat saksi terangkan bahwa RUU
tentang Cipta Kerja telah terdaftar di dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 dan
Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Di dalam Prolegnas tersebut, RUU tentang Cipta
Kerja ditetapkan sebagai RUU usul Pemerintah.
• Badan Legislasi DPR dalam menyusun Prolegnas Tahun 2020-2024 dan
Prolegnas Prioritas Tahun 2020 telah menerima berbagai masukan dari para
pemangku kepentingan terkait, baik masukan secara langsung dan/atau secara
tertulis, antara lain dengan:
159

1. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan, beserta forum komunikasi


pimpinan daerah, sivitas akademika, dan masyarakatnya;
2. Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, beserta forum
komunikasi pimpinan daerah, sivitas akademika, dan masyarakatnya;
3. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, beserta forum komunikasi pimpinan
daerah, sivitas akademika, dan masyarakatnya;
4. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, beserta forum komunikasi
pimpinan daerah, sivitas akademika, dan masyarakatnya;
5. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, beserta forum komunikasi
pimpinan daerah, sivitas akademika, dan masyarakatnya;
6. Dewan Pengawas TVRI;
7. Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia;
8. PBNU;
9. PP Muhammadiyah;
10. Federasi Pekerja Honorer Pemerintah Wilayah Timur Indonesia;
11. Forum Komunikasi Bantuan Polisi Pamong Praja Nusantara;
12. Forum Komunikasi Satuan Pengamanan Dalam Kantor DKI Jakarta;
13. Perkumpulan Honorer K-2 Indonesia;
14. Forum Pegawai Non-ASN Kementerian PUPR;
15. Aliansi Pelangi Antar Bangsa;
16. Koalisi Kebebasan Berserikat;
17. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK);
18. ICJR;
19. Komnas Perempuan;
20. Jala PRT;
21. Filantropi Indonesia;
22. Forum Zakat;
23. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI);
24. Ikatan Dokter Indonesia (IDI);
25. Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi;
26. Koalisi Masyarakat Sipil;
27. Imparsial;
28. Koalisasi Kebebasan Berserikat;
29. Serikat Pekerja Pos Indonesia;
160

30. Kelompok Kerja Indentitas Hukum; dan


31. Yayasan Sayangi Tunas Cilik.
• Prolegnas Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020, disusun oleh
Badan Legislasi DPR bersama dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD. Penyusunan Prolegnas tersebut
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPR dan hasilnya disampaikan oleh Badan
Legislasi DPR kepada Rapat Paripurna DPR untuk diambil keputusan.
Berdasarkan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR, Prolegnas Tahun 2020-
2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020, selanjutnya ditetapkan dengan Surat
Keputusan DPR Nomor 46/DPR RI/I/2019, tertanggal 17 Desember 2019, dan
Surat Keputusan DPR Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020, tertanggal 22 Januari
2020.
• Prolegnas Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020, juga telah
disosialisasikan oleh Badan Legislasi DPR kepada para pemangku kepentingan
yang ada. Sosialisasi Prolegnas tersebut, antara lain dilakukan melalui kunjungan
kerja Badan Legislasi DPR pada 6 (enam) provinsi, yaitu:
1. Provinsi Banten;
2. Provinsi Jawa Barat;
3. Provinsi Jawa Timur;
4. Provinsi Bali;
5. Provinsi Sulawesi Selatan; dan
6. Provinsi Kepulauan Riau.
• DPR juga telah mensosialisasi Prolegnas tersebut melalui website, media cetak,
dan/atau media sosial yang dimilikinya. Bahkan saksi dan/atau anggota DPR
lainnya, ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah pemilihan, juga melakukan
sosialisasi Prolegnas ke pemerintah daerah dan/atau masyarakat dalam rangka
menyerap aspirasi yang ada.
• Terkait dengan tahapan pembahasan, dapat saksi informasikan bahwa RUU
tentang Cipta Kerja, telah dibahas melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pembicaraan tingkat 1 (satu) dilakukan di Badan Legislasi DPR, dan
pembicaraan tingkat 2 (dua) dilakukan di Rapat Paripurna DPR.
• Penunjukan Badan Legislasi DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang
membahas RUU tentang Cipta Kerja, berdasarkan penugasan yang diberikan
oleh Badan Musyawarah DPR. Pembicaraan tingkat 1 (satu) di Badan Legislasi
161

DPR dilakukan sejak tanggal 14 April 2020 sampai dengan tanggal 3 Oktober
2020. Dikarenakan di gedung DPR dan lingkungan sekitarnya sedang mewadah
Covid-19 maka rapat-rapat yang dilakukan oleh DPR (termasuk rapat-rapat
mengenai pembahasan RUU) disepakati dilakukan melalui mekanisme kehadiran
fisik secara langsung dan melalui virtual. Sebagian anggota Badan Legislasi DPR
yang merupakan perwakilan dari fraksi-fraksi di DPR hadir secara langsung
dengan menerapkan protokol Covid-19 di ruang rapat Badan Legislasi DPR, dan
selebihnya, sebagian anggota Badan Legislasi DPR yang lain hadir melalui
virtual. Demikian juga halnya dengan pihak Pemerintah. Kesepakatan ini
didasarkan pada ketentuan tata cara rapat dan tata cara pengambilan keputusan
di DPR yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata
Tertib.
• Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,
pembahasan rancangan undang-undang dalam pembicaraan tingkat 1 (satu) di
Badan Legislasi DPR dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Pengantar musyawarah;
b. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM);
c. Penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; dan
d. Pengambilan keputusan.
• Pengantar musyawarah, disampaikan dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR
dengan Pemerintah. Di dalam Rapat Kerja ini, hadir secara fisik Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan
Menteri Ketenagakerjaan. Sedangkan menteri-menteri lainnya, hadir secara
virtual. Di dalam pengantar musyawarah, Pemerintah menyampaikan penjelasan
terhadap RUU tentang Cipta Kerja dan kemudian dilanjutkan dengan pandangan
fraksi-fraksi DPR atas penjelasan RUU dimaksud. Rapat Kerja tersebut
menyepakati menerima penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Cipta Kerja.
Kegiatan Rapat Kerja tersebut, dilaksanakan pada tanggal 14 April 2020.
• Setelah pengantar musyawarah di sampaikan dalam Rapat Kerja antara Badan
Legislasi DPR dengan Pemerintah, selanjutnya Badan Legislasi DPR di dalam
rapat-rapat berikutnya juga melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
dengan para narasumber dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat terkait
RUU tentang Cipta Kerja. Dalam RDPU tersebut, hadir secara fisik dan/atau
virtual, antara lain:
162

1. Tanggal 29 April 2020


a. Prof. Dr. Satya Arinanto, SH, LLM (Guru Besar FH UI);
b. Dr. Bambang Kesowo, LLM (Dosen FH UGM).
2. Tanggal 5 Mei 2020
a. Emil Arifin;
b. Dr. Ir. H. Sutrisno Iwantono, MA.
3. Tanggal 9 Juni 2020
a. Mohamad Mova Al Afghani, SH, LLM, PhD (Dosen FH Ibnu Khaldun
Bogor;
b. Rosan P. Roeslani (Ketua KADIN);
c. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
4. Tanggal 10 Juni 2020
a. Prof. Dr. M. Ramdan Andri Gunawan, SH (Guru Besar FH UI);
b. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH (Guru Besar FH Universitas Katholik
Parahyangan);
c. Prof. Dr. Ir. San Afri Awang (Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM).
5. Tanggal 11 Juni 2020
a. Dewan Pers;
b. Aliansi Jurnalis Independen (AJI);
c. Pengurus Pusat MUI;
d. PBNU;
e. PP Muhammadiyah.
• Terkait dengan pembahasan DIM, Badan Legislasi DPR dan Pemerintah sepakat
untuk membahas semua DIM yang ada dimulai dari DIM yang ringan terlebih
dahulu kemudian berlanjut kepada DIM yang dianggap berat dan mendapat
banyak perhatian publik. Selama pembahasan DIM, Badan Legislasi DPR juga
tetap menerima berbagai saran dan masukan dari para pemangku kepentingan
terkait. Khusus DIM RUU terkait Bab 4 tentang Ketenagakerjaan, telah disepakati
untuk dibahas diakhir pembicaraan tingkat 1 (satu). Adanya kesepakatan itu,
didasarkan pada pertimbangan bahwa Badan Legislasi DPR dan Pemerintah
berharap agar para pemangku kepentingan terkait dapat berpartisipasi secara
optimal terkait substansi RUU tersebut. DPR bersama Pemerintah berusaha
mendengarkan dan memperhatikan aspirasi semua pemangku kepentingan yang
ada (baik tenaga kerja, pelaku usaha, dan juga Pemerintah). Bahkan secara
163

khusus, DPR (melalui anggota, fraksi, dan/atau alat kelengkapan DPR) juga telah
berulang kali menerima aspirasi dari berbagai perwakilan tenaga kerja dan
mahasiswa yang ada, baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR.
Berikut beberapa kegiatan yang dapat saksi terangkan berkaitan dengan
partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU tentang Cipta Kerja.
1. Tanggal 13 Agustus 2020
• Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dan Rachmat Gobel, serta Wakil
Ketua Badan Legislasi DPR M. Nurdin, dan Anggota Badan Legislasi
DPR Lamhot Sinaga, menerima perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja
Nasional (KSPN);
• Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, menerima perwakilan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Jabotabek.
2. Tanggal 18 Agustus 2020
• Wakil Ketua DPR Bapak Sufmi Dasco bersama dengan Wakil Ketua
Badan Legislasi DPR Willy Aditya, menerima Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
3. Tanggal 20 Agustus 2020
• Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya bersama perwakilan
fraksi-fraksi DPR, yaitu: Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Golkar, Fraksi
Gerindra, Fraksi Nasdem, dan Fraksi PKB, menerima kunjungan
perwakilan serikat buruh/pekerja terkait Bab IV Ketenagakerjaan. Ada 2
(dua) hal yang disepakati dalam pertemuan tersebut. Pertama, DPR
menerima notulensi hasil pembahasan dari tim teknis tripartit yang
difasilitasi oleh Pemerintah. Kedua, DPR membuka ruang seluas-
luasnya untuk berdialog dan menerima saran dan masukan terkait
pembahasan Bab IV Ketenagakerjaan tanpa membeda-bedakan aliansi
buruh manapun.
• Pembahasan DIM, dilakukan oleh Badan Legislasi melalui Rapat Panitia Kerja
(PANJA). Setelah semua materi muatan DIM RUU tentang Cipta Kerja selesai
dibahas, pembahasan RUU dilanjutkan dengan pembahasan dalam Rapat Tim
Perumus (TIMUS) dan Tim Sinkronisasi (TIMSIN).
• Selama pembahasan DIM, rapat pembahasan RUU tentang Cipta Kerja,
mayoritas dilakukan di dalam gedung DPR. Namun dikarenakan di dalam gedung
DPR banyak staf dan Anggota DPR yang terpapar Covid-19, pelaksanaan
164

pembahasan DIM di gedung DPR dihentikan untuk beberapa saat dan dialihkan
ke tempat lain yang lebih representatif dan memungkinkan rapat dapat
diselenggarakan. Pelaksanaan rapat pembahasan RUU tentang Cipta Kerja yang
dilakukan di luar gedung DPR juga atas kesepakatan Badan Legislasi DPR dan
Pemerintah dengan tetap mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Jadi ini bukan pertimbangan
pribadi tetapi pertimbangan dan keputusan kelembagaan dengan memperhatikan
situasi dan kondisi yang terjadi.
• Penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir fraksi-fraksi DPR, dilakukan di
dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR dengan Pemerintah. Penyampaian
pendapat mini tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengambilan keputusan
tingkat 1 (satu) atas RUU tentang Cipta Kerja. Berdasarkan keputusan
pembicaraan tingkat 1 (satu) tersebut, RUU tentang Cipta Kerja disepakati untuk
dilanjutkan pembahasannya dalam pembicaraan tingkat 2 (dua) di dalam Rapat
Paripurna DPR. Penyampaian pendapat mini dan pengambilan keputusan tingkat
1 (satu) tersebut dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2020. Sedangkan
pengambilan keputusan tingkat 2 (dua) di dalam Rapat Paripurna DPR dilakukan
pada tanggal 5 Oktober 2020.
• Pelaksanaan rapat yang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR dalam tahapan
perencanaan dan tahapan pembahasan terkait RUU tentang Cipta Kerja, telah
dipublikasikan oleh DPR melalui website, media televisi, media sosial dan/atau
media cetak. Dengan demikian, baik DPR, Pemerintah, dan masyarakat juga
dapat mengikuti rapat-rapat tersebut melalui berbagai sarana media yang ada. Ini
merupakan komitmen bersama antara DPR dengan Pemerintah yang sejak awal
pembahasan RUU sepakat untuk terbuka dan memberikan ruang partisipasi yang
luas kepada masyarakat.
• Demikian keterangan saksi atas tahapan perencanaan dan tahapan pembahasan
dari RUU tentang Cipta Kerja. Saksi berpendapat, bahwa tahapan perencanaan
dan tahapan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja telah sesuai dengan
prosedur yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
DPR dan Pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk menaati
prosedur yang ditentukan tersebut, walaupun harus dilakukan pada saat situasi
dan kondisi yang sulit yaitu saat pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Hal ini
165

semata-mata kami lakukan, karena saksi dan rekan-rekan Anggota DPR lainnya,
terikat pada sumpah/janji jabatan selaku wakil rakyat.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden


memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 17 Juni 2021 yang keterangan
tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Juni 2021, 10 Juni 2021,
dan 16 Juni 2021, yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis tambahan
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Agustus 2021, tanggal 25
Agustus 2021, tanggal 9 September 2021, dan tanggal 13 Oktober 2021, yang pada
pokoknya sebagai berikut:

Keterangan tertulis Presiden bertanggal 7 Juni 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Juni 2021

I. PERMOHONAN FORMIL PARA PEMOHON

Bahwa Para Pemohon menguji secara formil terhadap pembentukan UU


Cipta Kerja yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 yakni melanggar Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan:
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan Bersama” dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana datur dalam Pasal 5 huruf
c, huruf f dan huruf g UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-Undangan (UU 12/2011), yang menyatakan:

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan


pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

sebagai Undang-Undang yang dibentuk atas amanat Pasal 22A UUD 1945, dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
166

1. UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara


jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan rumusan, dan asas
keterbukaan.

2. UU Cipta Kerja melanggar prosedur persetujuan dan pengesahaan


rancangan undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 yang menyatakan:
“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang­undang” dan Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011
berserta penjelasannya, yang menyatakan: “Penyampaian Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.”

II. PENJELASAN PEMERINTAH TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL


STANDING) PARA PEMOHON

Sehubungan dengan kedudukan hukum Para Pemohon, Pemerintah berpendapat


sebagai berikut:

1. Bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud


dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945;

Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
167

pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus


menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal


51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

2. Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-


III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya,
Mahkamah telah berpendirian kerugian hak ditentukan dengan lima syarat yaitu:
a. Adanya hak dan atau kewenangan Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. Hak dan atau kewenangan tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan
pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian hak seperti yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak lagi terjadi;

3. Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka menurut Pemerintah perlu


dipertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya ketentuan yang dimohonkan diuji, juga apakah terdapat kerugian
konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal
168

verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan


untuk diuji;

4. Bahwa menurut Pemerintah tidak terdapat kerugian yang diderita oleh Para
Pemohon, yang didasarkan bahwa:
a. Pemohon tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan aktivitas maupun
kegiatannya, yang diakibatkan oleh berlakunya ketentuan a quo yang diuji.
Hak-hak konstitusional Para Pemohon sebagaimana dijamin oleh Ketentuan
Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 31 ayat
(1) UUD 1945, seperti hak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
hak mendapatkan pendidikan, tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi,
dipersulit maupun dirugikan oleh karena berlakunya ketentuan a quo
yang diuji.
b. Bahwa dalil-dalil kerugian konstitusional dari Para Pemohon akibat
berlakunya UU Cipta Kerja hanya bersifat asumsi semata, tidak bersifat
spesifik (khusus) dan aktual dan tidak sesuai dengan syarat-syarat adanya
kerugian konstitusional tersebut.
c. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah memenuhi ketentuan Pasal 20
ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 Jo. Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011 dan dalam
proses pembentukan tersebut telah melibatkan partisipasi masyarakat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 UU 12/2011. (vide bukti-bukti
pemerintah)
d. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, tidak satupun secara konkrit dan jelas
termuat uraian mengenai bentuk kerugian konstitusional dari Para Pemohon
dengan mempersoalkan formil pembentukan UU Cipta Kerja dan dalil-dalil
Para Pemohon hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi semata, dan nyata-
nyata tidak didasarkan pada adanya kerugian konstitusional karena
berlakunya ketentuan aquo yang diuji, sehingga menurut Pemerintah Para
Pemohon tidak memiliki kedudukan hokum dalam mengajukan permohonan
a quo.
169

III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU CIPTA


KERJA

Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan


yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu
menyampaikan landasan filosofis UU Cipta Kerja sebagai berikut:

a. Bahwa Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 (UUD 1945) menetapkan bahwa tujuan pembentukan Negara
Republik Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual.
b. Sejalan dengan tujuan tersebut Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan” oleh karena itu, negara perlu melakukan
berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
c. Memperhatikan kondisi Indonesia saat ini yang menunjukkan bahwa
pertumbuhan jumlah usia produktif yang sangat tinggi tidak diimbangi
dengan peningkatan kualitas SDM dan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Akibatnya, banyak masyarakat Indonesia tidak memiliki pekerjaan.
d. Beranjak dari hal tersebut, Pemeritah melakukan berbagai upaya strategis
dalam rangka memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
melalui peningkatan investasi, penguatan UMKM, dan peningkatan kualitas
SDM yang dirumuskan dalam UU Cipta Kerja.

Bahwa pada pokoknya alasan permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja


Pemohon adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas


kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan
rumusan, dan asas keterbukaan.
b. Pembentukan UU Cipta Kerja melanggar prosedur persetujuan dan
pengesahan rancangan undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 20
Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 72 Ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 beserta
penjelasannya;

bahwa terhadap pengujian formil tersebut dapat pemerintah jelaskan hal-hal


sebagai berikut:
170

a. Pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas


kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan
rumusan, dan asas keterbukaan.

(1) bahwa menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011, yang dimaksud
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
(2) bahwa salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 yang terdapat
dalam Pasal 7 ayat (1) adalah Undang-Undang.
(3) bahwa dengan demikian, UU Cipta Kerja dimaknai sebagai salah satu
bentuk peraturan perundang-undangan yang pembentukannya
mencakup tahapan perencanaan, penyusnan, pembahwasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
(4) bahwa menurut Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011, salah satu asas
pembentukan perundang-undangan yang baik meliputi asas
keterbukaan. Penjelasan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
(5) bahwa dalam kaitannya dengan asas keterbukaan, UU No. 12 Tahun
2011 telah mengatur perwujudan asas tersebut di dalam Pasal 88 yang
berbunyi:

(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak


penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang,
pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan
Undang-Undang.
171

(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011


Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan
menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas,
Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang
telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau
tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut atau memahami Undang-
Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik
dan/atau media cetak.

(6) bahwa selain Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 170 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Perpres No. 87 Tahun 2014) juga mengatur
bahwa:

(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak


penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang,
pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan
Undang-Undang.

(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan.

(7) bahwa berdasarkan Pasal 88 dan Pasal 170 (Perpres No. 87 Tahun
2014), sejak penyusunan Prolegnas, Penyusunan RUU, pembahasan
RUU hingga pengundangan UU, DPR dan Pemerintah melakukan
penyebarluasan guna memberikan informasi dan/atau memperoleh
masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
(8) bahwa selanjutnya, mengenai bentuk penyebarluasan penyusunan
Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan
Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 171 Perpres Nomor 87 Tahun 2014
dilakukan melalui:
172

a. media elektronik, melalui televisi; radio, dan/atau internet dengan


menyelenggarakan sistem informasi Peraturan Perundang-
undangan;
b. media cetak;
c. forum tatap muka atau dialog langsung dilakukan dengan cara uji
publik, sosialisasi, diskusi, ceramah, lokakarya, seminar, dan/atau
pertemuan ilmiah lainnya; dan/atau
d. jaringan dokumentasi dan informasi hukum.
(9) bahwa UU Cipta Kerja disusun oleh Pemerintah sebagai respon
berdasarkan masukan masyarakat dikarenakan sulitnya mengurus
perizinan untuk berusaha di Indonesia. Selain itu, UU Cipta Kerja disusun
sebagai usaha pemerintah untuk mendorong usaha mikro kecil agar lebih
memiliki daya saing. UU tentang Cipta Kerja merupakan undang-undang
yang dibentuk dengan konsep Omnimbus Law untuk mengganti dan/atau
mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai undang-undang yang
ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian
nasional. UU tentang Cipta Kerja ini mengatur banyak sektoral yang
memberi dampak pada 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang, yang
meliputi 10 kluster yaitu:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan
UMKM;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis
nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.
(10) bahwa pada tanggal 22 Januari 2020, Rapat Paripurna dilakukan untuk
mengesahkan RUU Cipta Lapangan Kerja (yang kemudian berubah
menjadi RUU tentang Cipta Kerja) dan masuk ke dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 (vide bukti T-2).
173

(11) bahwa setelah terbitnya draft RUU Cipta Kerja sebagaimana dimaksud
pada angka 10 di atas, draft RUU Cipta Kerja telah dapat diakses dengan
mudah melalui media daring dalam situs resmi Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Selain itu, masyarakat juga masih dapat
memberikan masukan terhadap draft RUU Cipta Kerja (vide bukti T-2).
(12) bahwa dalam penyusunan UU Cipta Kerja, Tergugat juga telah
melakukan penyebarluasan informasi dan mendapatkan respon dari
masyarakat berupa penolakan, koreksi, serta masukan. Selain itu,
tergugat juga telah memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat
untuk memberi masukan (vide bukti T-2).
(13) bahwa banyaknya undang-undang terdampak dari UU Cipta Kerja dalam
penyusunannya mengalami dinamika perubahan rancangan yang sangat
dinamis sehingga dibutuhkan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi terlebih dahulu untuk menghindari
kesimpangsiuran dan ketidakpastian atas draft RUU tentang Cipta Kerja
tersebut. Meskipun demikian, hal ini bukan berati Tergugat tidak
melakukan penyebarluasan informasi dan menutup ruang partisipasi
masyarakat untuk memberikan masukan terhadap RUU Cipta Kerja,
faktanya Tergugat telah mengundang stakeholders untuk berkoordinasi
dalam penyusunan UU Cipta Kerja tersebut.
(14) bahwa untuk menerima masukan dan merespon isu dari masing-masing
sektor, penyeberluasan informasi UU Cipta Kerja dilakukan per sektor
oleh kementerian/lembaga terkait dan sosialisasi secara umum UU Cipta
Kerja dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian.
(15) bahwa merujuk pada poin 1 sampai dengan poin 13 di atas, proses
pembentukan UU Cipta Kerja yang meliputi proses penyusunan
Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan
Rancangan Undang-Undang, hingga pengundangan Undang-Undang
telah sesuai dengan asas keterbukaan.
(16) bahwa dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan
174

rumusan, dan asas keterbukaan adalah tidak beralasan dan tidak


berdasar atas hukum.

b. Pembentukan UU Cipta Kerja melanggar prosedur persetujuan dan


pengesahan rancangan undang-undang sebagaimana diatur pada
Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 72 Ayat (2) UU No 12 Tahun 2011
beserta penjelasannya.

(1) bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU Cipta


Kerja dengan dalil bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah
melanggar ketentuan prosedur persetujuan dan pengesahan rancangan
undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945
dan Pasal 72 Ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya;
(2) bahwa pengujian formil Undang-Undang adalah pengujian Undang-
Undang yang dianggap dalam pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945 [vide
Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi];
(3) bahwa pembentukan Undang-Undang secara formil diatur Pasal 20 UUD
1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPR untuk
membentuk Undang-Undang, dan setiap rancangan Undang-Undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-
Undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945, diatur dengan Undang-
Undang. Berdasarkan amanat Pasal 22A UUD 1945 dibentuklah UU 12
Tahun 2011.
(4) bahwa berdasarkan Pasal 20, Pasal 22A UUD 1945, secara formil
pembentukan undang-undang dapat dilihat dari 2 (dua) hal. Pertama,
lembaga negara yang berwenang dalam proses pembentukan, yaitu DPR
dan Presiden. Kedua, terkait dengan proses pembahasan RUU yang
dijabarkan dalam Bab VII tentang Pembahasan dan Pengesahan RUU.

Pembahasan RUU termuat dalam Pasal 66 dan Pasal 67 UU 12 Tahun


2011, yang menyatakan:
175

1. Pasal 66 UU 12 Tahun 2011 Jo. Pasal 168 UU 17 Tahun 2014


“Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan”.

2. Pasal 67 UU 12 Tahun 2011 Jo. Pasal 169 UU 17 Tahun 2014


“Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
terdiri atas:
a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat
Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.”

Tingkat pembicaraan dalam pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden,


berdasarkan Pasal 172 UU 17 Tahun 2014 diatur dalam Peraturan DPR
tentang Tata Tertib. (vide bukti-bukti pemerintah)

Pengesahan RUU termuat dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal
73 ayat (1) UU 12 Tahun 2011, yang menyatakan:

1. Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU 12 Tahun 2011 menyatakan:


(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

2. Pasal 73 ayat (1) UU 12 Tahun 2011, menyatakan:


Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden

(5) bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja telah melalui proses panjang dan
telah melakukan rangkaian pembahasan dengan melalui tahapan rapat
kerja dengan DPR, rapat dengan pendapat (RDP), rapat dengar
pendapat umum (RDPU), rapat panitia kerja, dan rapat tim perumus dan
pengesahan pada tanggal 2 November 2020. (vide bukti-bukti
Pemerintah)
(6) bahwa terkait pengujian formil dengan batu uji berdasarkan ketentuan
Pasal 20 jo. Pasal 22A UUD 1945 serta UU tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan incasu UU No. 12 Tahun 2011 pada
176

dasarnya telah dimaknai dengan jelas oleh Mahkamah Konstitusi seperti


halnya putusan No. 79/PUU-XII/2014 bertanggal 22 September 2015 jis.
Putusan No. 73/PUU-XII/2014 bertanggal 29 September 2014, Putusan
No. 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010. Bahwa dalam putusan
No. 79/PUU-XII/2014 bertanggal 22 September 2015 dijelaskan:

[3.15.1] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil


Pemohon, menurut Mahkamah, setelah mencermati dengan saksama
alasan yang dijadikan dasar pengujian formil oleh Pemohon tersebut
adalah kurang lebih sama dengan alasan pengujian formil yang diajukan
oleh Pemohon lain dalam Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang telah
diputus oleh Mahkamah tanggal 19 September 2014. Namun sebelum
mengutip pertimbangan hukum pengujian formil dalam Putusan 73/PUU-
XII/2014, bertanggal 29 September 2014, Mahkamah terlebih dahulu
akan mengutip pendapat Mahkamah terhadap pengujian formil dalam
Putusan Noor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, yang antara
lain, mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16] … dasar yang digunakan oleh Mahkamah untuk melakukan


pengujian formil terhadap Undang-Undang a quo adalah Pasal 20
UUD 1945 yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk


undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan


Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan


bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah


disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui


Bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.

[3.17] … pembentukan Undang-Undang menurut ketentuan UUD


1945 melibatkan lembaga negara Presiden dan DPR yaitu bahwa
kedua Lembaga tersebut telah membahas RUU dan menyetujui
bersama. Pemberian persetujuan oleh Presiden terhadap RUU
dilakukan oleh Presiden sendiri dengan atau tanpa mendelegasikan
kepada menteri untuk mewakilinya, sedangkan pemberian
persetujuan oleh DPR dilakukan melalui mekanisme pengambilan
keputusan yang melibatkan anggota DPR. Pemberian persetujuan
177

baik oleh Presiden maupun DPR merupakan syarat


konstitusionalitas sah atau tidaknya suatu Undang-Undang. UUD
1945 tidak mengatur tata cara pembahasan dan pengambilan
keputusan DPR dalam pembentukan Undang-Undang, tetapi
pelaksanaannya diatur dalam UU 10/2004 Bab VI Bagian ke satu,
Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, UU Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD (yang berlaku pada saat itu) dan diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR. Ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004 dan UU
22/2003 adalah merupakan Undang-Undang yang diperlukan untuk
menampung ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dalam kedua
Undang-Undang disebutkan juga adanya Peraturan Tata Tertib
DPR dalam pembentukan Undang-Undang, yaitu Pasal 19 UU
10/2004 dan Pasal 102 ayat (1) dan ayat (4) UU 22/2003;

Dengan demikian hanya berdasar Peraturan Tata Tertib DPR


sajalah dapat dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau
menolak RUU. Tanpa adanya Peraturan Tata Tertib DPR, UUD
1945 tidak dapat dilaksanakan karena UUD 1945 tidak mengatur
tata cara pengambilan keputusan DPR, maka Peraturan Tata Tertib
DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi
UUD 1945;

[3.18] … dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, tanggal


16 Desember 2004 perihal pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002
dalam pokok perkara yang berkaitan dengan pengujian formil
permohonan Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 tanggal 16 Desember
2004, Mahkamah menyatakan, ”Menimbang terhadap apa yang
didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 tersebut
Mahkamah berpendapat bahwa pada saat Undang-Undang
Kelistrikan diundangkan pada tahun 2002, Undang-Undang tentang
tata cara pembentukan Undang-Undang yang diamanatkan oleh
Pasal 22A UUD 1945 belum ada sehingga belum ada tolok ukur
yang jelas tentang prosedur pembentukan Undang-Undang yang
sesuai UUD 1945. Oleh karena itu UU Susduk 1999 yang
merupakan amanat Pasal 19 ayat (1) [sic, seharusnya ayat (2)] UUD
1945 juncto Peraturan Tata Tertib DPR yang diamanatkan oleh UU
Susduk tersebut dijadikan kriteria pemeriksaan prosedur
pembuatan Undang-Undang”;

[3.19] … oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-


022/PUUI/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib
DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut
Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam
perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009
terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah
memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai
syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD
1945;
178

Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur


pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945
saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada
pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip
dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya.
Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi,
pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu,
sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan
peraturan perundangundangan yang mengatur mekanisme atau
formil procedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut
konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji
dalam pengujian formil;

[3.20] … menurut Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR,


Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan, yaitu (a) Tingkat I dalam Rapat Komisi,
Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia
Anggaran, atau Rapat Panita Khusus; dan (b) Tingkat II Rapat
Paripurna;

...

[3.33] … pengujian Undang-Undang dilakukan antara Undang-


Undang terhadap UUD 1945, bukannya diuji dengan Undang-
Undang atau yang lain, dalam hal ini UU 10/2004. Materi UU
10/2004 diantaranya dimaksudkan untuk mengatur tata cara
pembentukan Undang-Undang yang baik. Adanya kekurangan
dalam suatu pembentukan Undang-Undang karena tidak sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004, tidak dengan
serta merta menyebabkan Undang-Undang tersebut batal.
Undang-Undang yang tidak baik proses pembentukannya mungkin
dapat menyebabkan materi pengaturannya kurang sempurna atau
dapat juga materinya bertentangan dengan UUD 1945, namun
dapat pula menghasilkan suatu peraturan yang baik dari segi teori
pembentukan Undang-Undang. Dengan pertimbangan di atas,
Mahkamah tidak melakukan pengujian Undang-Undang secara
formil langsung berdasarkan setiap ketentuan yang ada dalam
UU 10/2004, karena apabila hal demikian dilakukan berarti
Mahkamah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang, dan hal tersebut bukan maksud UUD 1945.
Apabila Mahkamah mempertimbangkan adanya pengaturan yang
berbeda, yang dimuat dalam Undang-Undang yang berbeda,
sebelum memberikan putusan pada suatu perkara, hal tersebut
dimaksudkan untuk menjaga adanya konsistensi dalam
pengaturan demi menjaga kepastian hukum dan bukan untuk
menguji substansi Undang-Undang terhadap Undang-Undang
lain. UU 10/2004 adalah sebuah Undang-Undang pula, yang artinya
sebagaimana Undang-Undang pada umumnya dapat menjadi objek
pengujian baik formil maupun materiil, oleh karena itu tidak dapat
dijadikan sebagai dasar pengujian;
179

[3.15.2] Menimbang bahwa adapun terhadap permohonan pengujian


formil UU 17/2014, Mahkamah dalam Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014,
bertanggal 19 September 2014, antara lain, mempertimbangkan sebagai
berikut:

[3.23] … Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan


Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010
sebagaimana dikutip di atas, Mahkamah telah berpendirian
bahwa Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar dan tidak dapat menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang dan Mahkamah hanya akan
menggunakan Undang-Undang atau peraturan perundang-
undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural
yang mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi,
dalam hal ini delegasi kewenangan yang dimaksud adalah
mekanisme persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.
Kalaupun Mahkamah menilai ketidaksesuaian antara satu Undang-
Undang dengan Undang-Undang yang lain sehingga bertentangan
dengan UUD 1945 hal itu semata-mata dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hokum yang adil
dan konsistensi dalam pembentukan Undang-Undang antara
Undang-Undang yang satu dengan yang lain.

Pada kenyataannya pembentukan UU 17/2014 telah dilakukan


sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yaitu telah
dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Adapun
mengenai Naskah Akademik dalam perubahan Undang-Undang a
quo, ternyata Naskah Akademik sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon dalam permohonannya bahwa Rancangan Undang-
Undang tersebut disiapkan oleh Badan Legislasi DPR yang juga
telah mempersiapkan Naskah Akademiknya. Menurut Mahkamah,
walaupun perubahan pasal a quo tidak bersumber dari Naskah
Akademik yang merupakan acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan RUU, namun tidak serta merta hal-hal yang tidak
termuat dalam Naskah Akademik kemudian masuk dalam Undang-
Undang menyebabkan suatu Undang-Undang menjadi
inkonstitusional. Demikian juga sebaliknya, walaupun sudah
termuat dalam Naskah Akademik kemudian dalam penyusunan dan
pembahasan RUU ternyata mengalami perubahan atau
dihilangkan, hal itu tidak pula menyebabkan norma Undang-Undang
tersebut menjadi inkonstitusional. Asas keterbukaan yang didalilkan
oleh para Pemohon dilanggar dalam pembentukan Undang-Undang
a quo tidak terbukti karena ternyata seluruh proses pembahasannya
sudah dilakukan secara terbuka, transparan, yang juga para
Pemohon ikut dalam seluruh proses itu. Sekiranya terjadi dalam
proses pembahasan tidak sepenuhnya mengikuti tata cara yang
diatur dalam Undang-Undang mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan (UU 12/2011) atau tidak sesuai dengan
ketentuan tata tertib DPR, menurut Mahkamah, tidak serta merta
menjadikan Undang-Undang tersebut inkonstitusional
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Norma yang ada dalam
Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-undangan
180

dan peraturan tata tertib DPR mengenai pembentukan Undang-


Undang hanyalah tata cara pembentukan Undang-Undang yang
baik yang jika ada materi muatan yang diduga bertentangan dengan
konstitusi dapat dilakukan pengujian materiil terhadap pasal-pasal
tertentu karena dapat saja suatu Undang-Undang yang telah
dibentuk berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata
tertib DPR justru materi muatannya bertentangan dengan UUD
1945. Sebaliknya dapat juga suatu Undang-Undang yang telah
dibentuk tidak berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan tata tertib DPR justru materi muatannya sesuai dengan
UUD 1945;

[3.24] … mengenai tidak ikutnya DPD dalam pembahasan RUU


MD3, tidaklah serta merta menjadikan Undang-Undang a quo
cacat prosedur, karena kewenangan konstitusional DPD
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah
untuk ikut membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama. Menurut Mahkamah tidak didengarnya
DPD dalam pembahasan pembentukan Undang-Undang a quo,
karena Undang-Undang a quo mengatur juga mengenai DPD,
bukan persoalan konstitusional tetapi hanya berkaitan dengan
tata cara pembentukan Undang-Undang yang baik agar materi
muatan Undang-Undang tersebut memenuhi aspirasi dan
kebutuhan Lembaga yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Menurut Mahkamah, jika dalam materi Undang-
Undang a quo diduga ada norma muatan yang bertentangan
dengan UUD 1945 maka dapat dilakukan pengujian materiil atas
Undang-Undang tersebut, bukan pengujian formil;

[3.26] ... MPR, DPR, dan DPD, ketiganya merupakan lembaga


negara sebagai lembaga perwakilan dan berkaitan satu sama lain.
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. MPR tidak akan
ada jika tidak ada anggota DPR dan anggota DPD. Unsur yang
hakiki dari MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD. Demikian
pula pada saat MPR bersidang maka semua anggota DPR dan
anggota DPD berfungsi sebagai anggota MPR tanpa dapat
dikecualikan sedikit pun. Setiap keputusan atau ketetapan MPR
pastilah juga merupakan keputusan atau ketetapan dari anggota
DPR dan anggota DPD. Lagipula dalam sejarah setelah perubahan
UUD 1945 yang dilakukan dalam tahun 1999-2002, ketiga lembaga
tersebut tetap diatur dalam satu Undang-Undang. Pengaturan
ketiga lembaga negara tersebut dalam satu Undang-Undang akan
memudahkan pengaturan mengenai hubungan kerja dan fungsi
181

antara ketiga lembaga negara yang saling berkaitan. Justru akan


menyulitkan apabila diatur masing-masing dalam Undang-Undang
tersendiri. Menurut Mahkamah, Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
merupakan landasan konstitusional

bahwa keberadaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD
dari hasil pemilihan umum lembaga perwakilan. Dengan demikian,
frasa “dengan” dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan
hal ihwal MPR, DPR, dan DPD, diatur dengan Undang-Undang dan
dibaca dalam satu tarikan nafas dengan frasa “dengan” yang
tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 22C ayat
(4) UUD 1945, sehingga frasa “dengan” bukan dimaknai Undang-
Undang tentang MPR, tentang DPR, dan tentang DPD tersendiri
dan dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut
di atas, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

(7) bahwa berdasarkan putusan Mahkamah aquo, secara formil


pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945
dan UU No 12 Tahun 2011, sepanjang berdasarkan kewenangan
membentuk Undang-Undang oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan Bersama serta proses pembahasan dan
pengesahan UU Cipta Kerja yang telah dilaksanakan. Apabila menurut
anggapan Pemohon dalam pembentukan UU Cipta Kerja terdapat
kekurangan atau karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam UU 12 Tahun 2011, tidak dengan serta merta menyebabkan UU
Cipta Kerja tersebut menjadikan cacat prosedur dan batal, karena
berkaitan dengan tata cara pembentukan Undang-Undang yang baik
dimaksudkan agar materi muatan Undang-Undang tersebut memenuhi
aspirasi dan kebutuhan Lembaga yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Jikalau dalam materi Undang-Undang a quo diduga ada norma
muatan yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dapat dilakukan
pengujian materiil atas Undang-Undang tersebut, bukan pengujian formil.
(8) berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka terhadap dalil Pemohon yang
menyatakan bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melanggar
ketentuan prosedur persetujuan dan pengesahan rancangan undang-
undang sebagaimana diatur pada Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal
72 Ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya, menurut
Pemerintah sangat keliru, tidak benar dan tidak berdasar.
182

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut pemerintah adalah tepat jika
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

IV. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon
kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
2) Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
3) Menolak permohonan pengujian formil Para Pemohon untuk seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima
(niet onvankelijk verklaard);
4) Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Keterangan tertulis Presiden bertanggal 10 Juni 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah tanggal 10 Juni 2021

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan


Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan
tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, oleh karena
itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak
warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya
merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Hal ini merupakan bagian dari perwujudan pemikiran para pendiri bangsa
(founding fathers) yang menentukan bahwa salah satu tujuan bernegara ialah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap
kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya termasuk perlindungan
183

untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Negara harus dapat
memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi
normal maupun kondisi tidak normal.

Untuk itu Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan


memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan
menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M) dengan tujuan untuk meningkatkan
perekonomian nasional yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja, diharapkan dapat mencapai tujuan,


yaitu:

Pertama, penciptaan dan peningkatan lapangan kerja dengan memberikan


kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap sektor koperasi dan UMK-
M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.

Kedua, terjaminnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Ketiga, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan


keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri
nasional.

Keempat, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan


peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis
nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi
Pancasila.

Untuk itu, cakupan UU Cipta Kerja meliputi yaitu: a. peningkatan


ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, b. peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja, c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi
dan UMK-M, dan d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek
strategis nasional.
184

Penciptaan lapangan kerja dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha yang paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi,
kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.
Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha
berbasis risiko merupakan metode evaluasi berdasarkan tingkat risiko suatu
kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi
pengawasan. Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan
usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir
(mindset change) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan
Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-
design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha
secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan
Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana serta lebih pasti, mudah, dan cepat.

Aspek kepastian paling kurang menyangkut:

Pertama, kepastian jenis dan bentuk Izin sesuai kegiatan usaha berdasarkan
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

Kedua, kepastian persyaratan dan standar perizinan sesuai yang ditentukan.

Ketiga, kepastian waktu penyelesaian sesuai jenis perizinan, dan dapat dipercepat
dan/atau diterbitkan secara otomatis apabila perizinan tidak diselesaikan oleh
pemerintah sesuai waktu yang ditetapkan.

Keempat, kepastian lokasi kegiatan karena sebagian lokasi telah berbasis Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR)/Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) digital yang dapat
diakses pelaku usaha.

Aspek kemudahan paling kurang terkait: a. proses pengajuan sampai


dengan terbitnya Perizinan Berusaha sangat mudah melalui sistem elektronik/online
system, b. mudah mendapatkan data/informasi Pemerintah yang diperlukan pelaku
usaha, c. mudah melacak proses penyelesaian Perizinan Berusaha.
185

Adapun aspek kecepatan paling kurang menyangkut: a. cepat


mendapatkan Perizinan Berusaha terutama untuk kegiatan risiko rendah dan
menengah rendah karena diterbitkan secara otomatis oleh sistem elektronik dan b.
cepat mendapatkan standar kegiatan usaha yang telah dimuat dalam sistem
elektronik.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait


dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja memuat pengaturan
mengenai: perlindungan pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu,
perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya,
perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, perlindungan pekerja
yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga
kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang diperlukan untuk proses produksi
barang atau jasa.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait


dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M memuat pengaturan
mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, kegiatan usaha koperasi, dan
kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M,
kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemudahan mendapatkan sertifikat halal
untuk UMK yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah, serta kemitraan, insentif,
dan pembiayaan UMK-M.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait


dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan
percepatan proyek strategis nasional memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan
dan pembiayaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga
pengelola investasi, penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek
strategis nasional.

Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut


diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan
pengenaan sanksi.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja


beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai
186

undang-undang terkait. Perubahan undang-undang tersebut tidak dapat dilakukan


melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu undang-undang
seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu tidak efektif dan efisien serta
membutuhkan waktu yang lama dan kita dapat kehilangan momentum untuk
melakukan perubahan dan penyempurnaan undang-undang. Oleh karenanya,
Pemerintah mendorong penyusunan undang-undang melalui metode Omnibus Law,
mengingat substansi undang-undang yang diubah atau dicabut dalam UU Cipta
Kerja mencapai 78 undang-undang. Perubahan ke-78 undang-undang tersebut
dalam UU Cipta Kerja merupakan satu kesatuan substansi untuk mencapai tujuan
cipta kerja secara optimal.

Legal Standing Para Pemohon

Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan


kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon
yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU Cipta Kerja ini,
perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga
negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Seluruh kebijakan dalam UU Cipta Kerja ditujukan untuk penciptaan lapangan kerja
yang diperlukan oleh seluruh Warga Negara Indonesia, dengan berdasarkan asas:

Pertama, pemerataan hak, yaitu penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia yang
dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, kepastian hukum, yaitu penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan


penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang
menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan
pelaksanaannya.

Ketiga, kemudahan berusaha, yaitu penciptaan kerja yang didukung dengan proses
berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat yang akan mendorong peningkatan
investasi, pemberdayaan UMK-M untuk memperkuat perekonomian yang mampu
membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
187

Keempat, kebersamaan, yaitu penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh


dunia UMK-M termasuk Koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk
kesejahteraan.

Kelima, kemandirian, yaitu pemberdayaan UMK-M termasuk Koperasi dilakukan


dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya.

Terhadap hal tersebut, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat


Republik Indonesia (DPR RI) menyepakati ruang lingkup UU Cipta Kerja yang
meliputi: 1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, 2.
ketenagakerjaan, 3. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan
UMK-M, 4. kemudahan berusaha, 5. dukungan riset dan inovasi, 6. pengadaan
tanah, 7. kawasan ekonomi, 8. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
strategis nasional, 9. pelaksanaan administrasi pemerintahan, 10. pengenaan
sanksi.

Kesepuluh ruang lingkup tersebut mendukung berbagai kepentingan masyarakat,


termasuk pemohon untuk mendapatkan pekerjaan dan/atau mempertahankan
pekerjaan yang layak baginya.

Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU Cipta Kerja sama sekali tidak
merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini
tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru
sebaliknya, lahirnya UU Cipta Kerja merupakan upaya pemenuhan hak
konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan
yang layak sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, terutama pada saat
pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Latar Belakang Penerbitan UU Cipta Kerja

Sebelum memberikan keterangan atas UU Cipta Kerja, perlu Pemerintah


sampaikan mengenai latar belakang pembentukan UU Cipta Kerja. Saat ini
perekonomian Indonesia dihadapkan pada kondisi ketidakpastian dan perlambatan
ekonomi global serta dinamika geopolitik di berbagai belahan dunia di tengah
terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0, serta digitalisasi. Dinamika tersebut
188

ditambah lagi dengan munculnya disrupsi akibat pandemi Covid-19 yang membawa
dampak negatif pada aspek sosial maupun aspek ekonomi.

Dari sisi domestik, saat penyusunan UU Cipta Kerja ini, kondisi nasional
dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang berada di kisaran 5% dalam 5 tahun
terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun
2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019.

Pada sisi lain, Indonesia memiliki potensi bonus demografi yang jika
dioptimalkan dapat membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan
menengah (middle income trap). Tantangan middle income trap terjadi ketika
perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income.
Indonesia perlu keluar dari jebakan ini karena negara yang terjebak dalam middle
income trap akan berdaya saing lemah, yang disebabkan oleh: a. menjadi kalah
bersaing dengan low-income countries karena upah tenaga kerja mereka yang lebih
murah; dan b. kalah bersaing dalam hal teknologi dan produktivitas dengan high-
income countries. Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing
tenaga kerja dan produktivitas menjadi andalan untuk keluar dari middle income
trap.

Sementara itu, Indonesia dihadapkan pada permasalahan


ketenagakerjaan dimana tantangan terbesar adalah untuk mempertahankan dan
menyediakan lapangan kerja. Ditambah lagi masih ada permasalahan struktural
yang mengganggu ekosistem berusaha di Indonesia, baik untuk usaha besar
maupun UMK-M dan Koperasi. Diantaranya adalah tumpang tindih regulasi,
kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana berdasarkan catatan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia sampai dengan awal Tahun 2020 terdapat 4.451
peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi
dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal,
infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi yang banyak baik dari Pemerintah
Pusat maupun dari Pemerintah Daerah kurang mendukung penciptaan dan
pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan keluar dari middle income


trap, harus ada perubahan struktur ekonomi untuk mendorong pertumbuhan
189

ekonomi dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Melalui UU Cipta Kerja, target
ini diharapkan terpenuhi melalui:

Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d 3 juta/tahun (meningkat dari
sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang
tidak/belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta Angkatan Kerja Baru).

Kedua, kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan


ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Kenaikan upah diikuti juga dengan
peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja. Peningkatan
produktivitas pekerja akan berpengaruh pada peningkatan investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Saat ini produktivitas Indonesia pada tingkat 74,4% masih
berada di bawah rata-rata negara ASEAN pada tingkat 78,2%.

Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun usaha baru
atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga akan mendorong peningkatan
konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.

Keempat, pemberdayaan UMK-M dan Koperasi, yang mendukung peningkatan


kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan kontribusi Koperasi
terhadap PDB menjadi 5,5%. Karena UMK-M dan Koperasi merupakan unit usaha
dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak yang berkualitas di sisi penciptaan
lapangan kerja.

Dengan terciptanya kondisi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang


tinggi melalui penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, maka diharapkan dapat
mencapai target Indonesia untuk dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia
pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar US$7 triliun dengan
pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan. Per 1 Juli 2020 Indonesia naik
kelas ke upper middle-income country setelah sejak Tahun 1995 berada dalam
lower middle income country, dimana Gross National Income (GNI) per kapita
Indonesia Tahun 2019 naik menjadi US$ 4.050 dari US$ 3.840 di Tahun 2018.

Oleh karena itu, untuk memastikan reformasi struktural sebagai bagian


dari tranformasi ekonomi dapat berjalan, diperlukan kebijakan dan langkah-langkah
yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut
190

perlu disusun dan ditetapkan UU Cipta Kerja. Dengan terwujudnya transformasi


ekonomi, niscaya penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat
Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam
rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak akan tercapai.

Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan


permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu terkait dengan aspek formil.

Aspek formil yaitu:

Pertama, pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan


undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 22A
UUD 1945.

Kedua, proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melanggar ketentuan prosedur


persetujuan dan pengesahan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.

Ketiga, pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan tujuan, asas


kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan rumusan, dan
asas keterbukaan.

Proses penyusunan UU Cipta Kerja tidak melanggar ketentuan prosedur


persetujuan dan pengesahan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.

Bahwa terkait pengujian formil dengan batu uji berdasarkan ketentuan


Pasal 20 juncto Pasal 22A UUD 1945 serta Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan in casu UU Nomor 12 Tahun 2011 pada dasarnya
telah dimaknai dengan jelas oleh Mahkamah Konstitusi seperti halnya putusan No.
79/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 juncto Putusan No. 73/PUU-XII/2014
tanggal 29 September 2014 juncto Putusan No. 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni
2010. Bahwa dalam Putusan No. 79/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015
dijelaskan:
191

“[3.33] … pengujian Undang-Undang dilakukan antara Undang-Undang


terhadap UUD 1945, bukannya diuji dengan Undang-Undang atau yang
lain, dalam hal ini UU 10/2004. Materi UU 10/2004 diantaranya
dimaksudkan untuk mengatur tata cara pembentukan Undang-Undang
yang baik. Adanya kekurangan dalam suatu pembentukan Undang-Undang
karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004,
tidak dengan serta merta menyebabkan Undang-Undang tersebut batal.
Undang-Undang yang tidak baik proses pembentukannya mungkin dapat
menyebabkan materi pengaturannya kurang sempurna atau dapat juga
materinya bertentangan dengan UUD 1945, namun dapat pula menghasilkan
suatu peraturan yang baik dari segi teori pembentukan Undang-Undang.
Dengan pertimbangan di atas, Mahkamah tidak melakukan pengujian
Undang-Undang secara formil langsung berdasarkan setiap ketentuan
yang ada dalam UU 10/2004, karena apabila hal demikian dilakukan
berarti Mahkamah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang, dan hal tersebut bukan maksud UUD 1945. Apabila
Mahkamah mempertimbangkan adanya pengaturan yang berbeda, yang
dimuat dalam Undang-Undang yang berbeda, sebelum memberikan putusan
pada suatu perkara, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga adanya
konsistensi dalam pengaturan demi menjaga kepastian hukum dan
bukan untuk menguji substansi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang lain. UU 10/2004 adalah sebuah Undang-Undang pula, yang artinya
sebagaimana Undang-Undang pada umumnya dapat menjadi objek
pengujian baik formil maupun materiil, oleh karena itu tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pengujian.”

Pembentukan UU Cipta Kerja tidak melanggar asas kejelasan tujuan,


asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas kejelasan rumusan,
dan asas keterbukaan.

Bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja telah melalui proses panjang dan
telah melakukan rangkaian pembahasan dengan melalui tahapan rapat kerja
dengan DPR, rapat dengar pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU),
rapat panitia kerja, dan rapat tim perumus dan pengesahan.

Pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011, sepanjang berdasarkan kewenangan
membentuk undang-undang oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama serta proses pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja
yang telah dilaksanakan. Apabila menurut anggapan Pemohon dalam pembentukan
UU Cipta Kerja terdapat kekurangan atau karena tidak sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, tidak dengan serta merta
menyebabkan UU Cipta Kerja tersebut menjadi cacat prosedur dan batal, karena
berkaitan dengan tata cara pembentukan undang-undang yang baik dimaksudkan
192

agar materi muatan undang-undang tersebut memenuhi aspirasi dan kebutuhan


lembaga yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Dalil pemohon yang menyampaikan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja


tidak melibatkan unsur pekerja/buruh atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pemangku kepentingan (stakeholder), dan tidak terdapat transparansi adalah tidak
benar. Pemerintah telah melibatkan unsur serikat pekerja/serikat buruh, unsur
pengusaha, akademisi/pakar, dan lembaga internasional (ILO), mulai penyusunan
substansi dan pembahasan rumusan RUU Cipta Kerja. Bahkan untuk menampung
masukan yang sangat signifikan terhadap rumusan norma RUU Cipta Kerja,
Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan melakukan perpanjangan waktu
pembahasan dari target yang telah ditetapkan semula.

Keterangan tertulis Presiden bertanggal 14 Juni 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah tanggal 16 Juni 2021

KETERANGAN PENDAHULUAN

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara


Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal
27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, oleh karena itu negara
wajib menetapkan kebijakan dan melakukan tindakan untuk memenuhi hak-hak
warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya
merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Untuk itu Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan
perlindungan terhadap rakyatnya termasuk perlindungan untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak, baik dalam kondisi normal maupun kondisi
tidak normal.

Legal Standing Para Pemohon

Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan


kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil-dalil Para
193

Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU Cipta Kerja ini,
perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, kepastian hukum, dan pemenuhan
hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak,
berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh Ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Bahwa Para Pemohon sama sekali tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan


aktivitas maupun kegiatannya, yang diakibatkan oleh berlakunya UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja ini justru akan menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya di
tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Sehingga hak-hak
konstitusional Para Pemohon sama sekali tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi,
dipersulit maupun dirugikan oleh karena berlakunya UU Cipta Kerja.

Pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui prosedur dan tahapan sesuai ketentuan.
Hak-hak partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah terpenuhi
dengan adanya partisipasi publik.

Landasan UU Cipta Kerja

Upaya Pemerintah untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja sekaligus


mempertahankan dan meningkatkan kualitas lapangan kerja dalam rangka
peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat tidaklah mudah dan
menghadapi banyak tantangan. Pada saat RUU Cipta Kerja disusun, kita
menghadapi beberapa tantangan yang menjadi hambatan kita dalam melakukan
transformasi ekonomi sehingga belum optimal dalam menciptakan lapangan kerja.

Berdasarkan data BPS per Agustus 2019, dari jumlah 133,56 juta Angkatan kerja,
89,96 juta orang bekerja penuh, sedangkan 28,41 juta orang paruh waktu, 8,14 juta
orang setengah penganggur, dan 7,05 juta orang pengangguran. Dengan demikian
terdapat 43,5 juta orang yang tidak bekerja penuh (32,6% dari angkatan kerja).
Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49
juta orang (55,72 persen dari total penduduk yang bekerja). Kita juga dihadapkan
dengan masih rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja.

Pada sisi pendidikan, BPS melaporkan pada November 2019 bahwa porsi penduduk
yang memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat kebawah yaitu 64,06%, dan hanya
194

26,69% tamat SMA/sederajat dan 9,26% tamat perguruan tinggi. Hal ini memerlukan
upaya yang khusus untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat menampung
kondisi tersebut.

Sektor UMK-M yang memiliki kontribusi sekitar 61,07% dari PDB dan menyerap
lebih dari 97% dari total tenaga kerja belum dapat berkembang dengan baik. Dimana
98,68% dari usaha Mikro merupakan usaha informal dengan produktifitas yang
sangat rendah.

Pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun terakhir berada di kisaran 5% dengan realisasi


investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792 triliun
pada Tahun 2019. Efektivitas investasi di Indonesia sangat rendah dibandingkan
negara lain, terlihat dari ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebesar 6,8%
dimana rata-rata negara ASEAN hanya sebesar 5%.

Di sisi lain, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan
investasi melalui kemudahan berusaha. Hal ini tercermin dari laporan Kemudahan
Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap
190 negara termasuk Indonesia. Dimana Kemudahan Berusaha Indonesia pada
Tahun 2015 pada peringkat 114 dan kemudian meningkat secara terus menerus
hingga pada Tahun 2019 mencapai peringkat 73. Meskipun meningkat, namun
peringkat Indonesia masih jauh dibawah negara ASEAN lainnya, seperti pada
Tahun 2019 Singapura peringkat 2, Malaysia peringkat 15, dan Thailand peringkat
27.

Dari sisi daya saing berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) pada Tahun
2019 Indonesia berada pada peringkat 50 sementara Singapura peringkat 1,
Malaysia peringkat 27, dan Thailand peringkat 40. Bahkan dari sisi digitalisasi, Daya
Saing Bisnis Digital Indonesia pada Tahun 2019 berada pada peringkat 56
sementara Malaysia di peringkat 26. Sehingga diperlukan adanya upaya reformasi
regulasi yang bisa memberikan kemudahan berusaha dalam rangka meningkatkan
investasi.

Indonesia perlu keluar dari jebakan middle income trap karena akan berdaya saing
lemah. Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing tenaga kerja
dan produktivitas menjadi andalan untuk keluar dari middle income trap.
195

Upaya untuk mengatasi tantangan dan hambatan tersebut memerlukan basis


regulasi yang kuat dalam bentuk Undang-Undang yang sekaligus memerlukan
adanya perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang yang ada terkait
dengan penciptaan lapangan kerja. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak
dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu
undang-undang. Oleh karena itu, diperlukan terobosan hukum yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam
satu undang-undang yang komprehensif.

Untuk itu Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan pada tanggal 20 Oktober
2019 menyampaikan antara lain untuk menyederhanakan segala bentuk kendala
regulasi dan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Kerja, yang akan menjadi
Omnibus Law untuk merevisi beberapa undang-undang yang menghambat
penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMK-M. Penggunaan metode
Omnibus Law dalam penyiapan penyusunan RUU Cipta Kerja adalah dengan
memperhatikan muatan dan substansi undang-undang yang harus diubah mencapai
78 Undang-Undang, yang harus dilakukan dalam satu kesatuan substansi
pengaturan untuk mencapai tujuan cipta kerja secara optimal.

Adapun penyusunan dan proses pembentukan UU Cipta Kerja mengikuti dan


sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 12/2011.

Dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja, akan dapat mencapai tujuan


pembentukannya, yaitu:

Pertama, penciptaan dan peningkatan lapangan kerja dengan memberikan


kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap sektor koperasi dan UMK-
M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.

Kedua, terjaminnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Ketiga, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan


keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri
nasional.
196

Keempat, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan


peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis
nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi
Pancasila.

Melalui UU Cipta Kerja, Pemerintah menargetkan:

Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d 3 juta/tahun (meningkat dari
sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang
tidak/belum bekerja.

Kedua, kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan


ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Saat ini produktivitas Indonesia
pada tingkat 74,4% masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN pada tingkat
78,2%.

Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun usaha baru
atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga akan mendorong peningkatan
konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.

Keempat, pemberdayaan UMK-M dan Koperasi, yang mendukung peningkatan


kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan kontribusi Koperasi
terhadap PDB menjadi 5,5%. Karena UMK-M dan Koperasi merupakan unit usaha
dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak yang berkualitas di sisi penciptaan
lapangan kerja.

Dengan terciptanya kondisi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang tinggi


melalui penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, maka diharapkan dapat
mencapai target Indonesia untuk dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia
pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar US$7 triliun dengan
pendapatan perkapita sebesar Rp 27 juta per bulan.

Pengujian Formil UU Cipta Kerja

Memperhatikan bahwa terhadap 6 permohonan ini, Pemerintah akan memberikan


keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para
Pemohon yaitu: (1) proses pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak sejalan dengan
197

konstitusi dan tidak sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-


undangan; (2) pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik dan
stakeholder; dan (3) terjadi pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.

Proses pembentukan UU Cipta Kerja Tidak Sejalan Dengan Konstitusi Dan


Tidak Sesuai Dengan Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon karena UU Cipta Kerja telah
melalui tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditentukan dalam UU 12/2011 yang terdiri dari tahapan sebagai berikut:

Pertama Tahap Perencanaan:

Pemerintah menyusun Naskah Akademik dan draft RUU Cipta Kerja yang telah
diselaraskan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.

RUU Cipta Kerja yang diajukan kepada DPR, telah disepakati dalam Rapat
Paripurna DPR untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka
Menengah 2020-2024 dan ditetapkan dengan Surat Keputusan DPR RI Nomor:
46/DPR RI/I/2019-2020. Selanjutnya Rapat Paripurna penyusunan Prolegnas
Prioritas Tahun 2020 pada tanggal 22 Januari 2020 telah menyetujui RUU Cipta
Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 dan ditetapkan dengan
Keputusan DPR RI Nomor: 1/DPR RI/II/2019-2020.

Kedua Tahap Penyusunan:

Presiden melalui surat Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020 kepada


Ketua DPR RI menyampaikan RUU Cipta Kerja yang telah disusun berdasarkan
kajian yang tertuang dalam Naskah Akademik untuk dibahas dalam Sidang DPR
RI guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama dan menunjuk beberapa
menteri yang mewakili Presiden dalam pembahasan dengan DPR RI.

Ketiga Tahap Pembahasan dan Pengesahan, yang meliputi Pembicaraan Tingkat I


dan Pembicaraan Tingkat II

Dalam Pembicaraan Tingkat I, DPR melalui Panitia Kerja Badan Legislasi


Pembahasan RUU Cipta Kerja (Panja) telah melakukan serangkaian Rapat yang
dimulai pada tanggal 14 April sampai dengan Rapat Pengambilan Keputusan pada
198

Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 3 Oktober 2020. Pembahasan RUU Cipta Kerja
dalam Rapat Panja yang bersifat terbuka untuk umum selain dapat dihadiri secara
fisik oleh masyarakat dengan protokol kesehatan dan juga dapat diakses melalui
media elektronik seperti kanal TV Parlemen dan YouTube.

Dalam Pembicaraan Tingkat II, telah dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dalam
rangka Pengambilan Keputusan terhadap RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja
pada tanggal 5 Oktober 2020. Dimana Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra,
Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyatakan menerima
dan setuju atas RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, dan Fraksi Demokrat serta
Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja.

Keempat Tahap Pengesahan

Ketua DPR RI melalui surat Nomor: LG/12046/DPR RI/X/2020 tanggal 5 Oktober


2020 menyampaikan kepada Presiden RUU Cipta Kerja yang telah mendapatkan
persetujuan bersama untuk mendapatkan pengesahan. Kemudian berdasarkan
ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011, Presiden telah melakukan pengesahan UU
Cipta Kerja pada tanggal 2 November 2020.

Kelima Tahap Pengundangan

UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 2 November 2020 kemudian
dilakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 245
Tahun 2020 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573
Tahun 2020 pada tanggal 2 November 2020.

Keenam Tahap Penyebarluasan

Pemerintah telah melakukan penyebarluasan UU Cipta Kerja baik melalui kegiatan


sosialisasi maupun pemuatan dalam situs (website) berbagai kementerian.
Pemerintah juga telah melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja di berbagai kota yaitu
Jakarta, Palembang, Bali, Surabaya, Banjarmasin, Manado, Medan, Yogyakarta,
Makassar, Pontianak, Semarang, Bandung, Lombok, Ternate, dan Batam.

Berdasarkan fakta dan penjelasan diatas, maka dalil Para Pemohon yang
menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22A UUD 1945 dan tidak
sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur
199

dalam UU 12/2011 dan UU 17/2014 merupakan dalil yang tidak terbukti, tidak
beralasan, dan tidak berdasar atas hukum.

Pembentukan UU Cipta Kerja Tidak Melibatkan Partisipasi Publik Dan


Stakeholder

Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon dan memberikan keterangan


sebagai berikut:

Bahwa mulai tahap perencanaan hingga tahap penyebarluasan UU Cipta Kerja,


Pemerintah dan DPR selalu melibatkan partisipasi masyarakat. Transparansi
informasi pembahasan antara Pemerintah dan DPR dalam bentuk video dapat
dengan mudah diakses antara lain melalui TVR Parlemen dan platform Youtube.
Dimana pada saat pembahasan Panja disiarkan secara langsung pada setiap tahap
pembahasan.

Dalam pelaksanaan pemenuhan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal


96 UU 12/2011 Pemerintah membuka ruang untuk menerima masukan masyarakat,
akademisi, dan para stakeholder pada setiap tahapan pembentukan UU Cipta Kerja
yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama dalam tahap perencanaan. Pemerintah telah melakukan Focus Group


Discussion (FGD) Penyusunan Naskah Akademik dan RUU yang dihadiri unsur
Pemerintah, perbankan, akademisi dan praktisi dan lembaga masyarakat, serta
pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Kedua dalam tahap penyusunan dan pembahasan. Pemerintah telah melakukan


serangkaian konsultasi publik, forum uji publik, sosialisasi, seminar, rapat, dan
pertemuan ilmiah, yang mencakup antara lain substansi ketenagakerjaan yang
dihadiri unsur serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha dan lembaga pemerintah,
pemerintahan daerah dengan asosiasi pemerintahan antara lain Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), kebijakan agraria dengan
berbagai perguruan tinggi. Selain itu, Pemerintah juga menghadiri berbagai
undangan dari publik dalam rangka membuka ruang diskusi dan pemenuhan hak
publik untuk mendapatkan informasi terkait dengan RUU Cipta Kerja, antara lain:
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Djokosoetono Research Center Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), UIN
Syarif Hidayatullah, Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Selain itu itu Pemeritah
200

hadir juga dalam berbagai dialog mengenai RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh
media televisi.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja


telah melibatkan partisipasi publik dan stakeholder sesuai dengan ketentuan Pasal
88 dan Pasal 96 UU 12/2011. Bahwa dengan demikian terhadap dalil Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik
dan stakeholder terkait adalah tidak terbukti, tidak beralasan, dan tidak berdasar
atas hukum.

Terjadi Pelanggaran Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan Yang Baik

Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon dan memberikan keterangan,


bahwa terkait pengujian formil dengan batu uji berdasarkan ketentuan Pasal 20 Jo.
Pasal 22A UUD 1945 serta UU 12/2011, pada dasarnya telah dimaknai dengan jelas
oleh Mahkamah Konstitusi seperti halnya putusan No. 79/PUU-XII/2014 juncto
Putusan No. 73/PUU-XII/2014 juncto Putusan No. 27/PUU-VII/2009, bahwa secara
formil pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945 dan
UU 12/2011, sepanjang berdasarkan kewenangan membentuk Undang-Undang
oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama serta proses
pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan
bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melanggar asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011, menurut Pemerintah sangat keliru, tidak benar dan tidak berdasar
hukum.

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon


kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan;


2. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
3. Menolak permohonan pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja Para Pemohon untuk seluruhnya;
201

4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

KETERANGAN PRESIDEN

I. Pokok Permohonan Formil Para Pemohon


Perkara 91/PUU-XVIII/2020
1. Bahwa UU Cipta Kerja merupakan Undang-Undang yang menerapkan
konsep Omnibus Law yang terdiri dari 11 (sebelas) klaster dan merupakan
penggabungan dari 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang, yang
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 (cacat formil/cacat prosedur) karena terdapat
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan secara terang benderang dan
secara nyata diketahui oleh publik. Bahkan selain cacat formil juga
bermasalah secara materiil.
2. Bahwa UU Cipta Kerja melanggar format susunan peraturan dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011). Hal ini dapat dilihat dari teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan teknik
Omnibus Law yang bertentangan dengan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 64 UU
12/2011.
3. Bahwa teknik Omnibus Law yang diadopsi oleh UU Cipta Kerja memiliki ciri
mereformulasi, menegasikan, mencabut sebagian atau keseluruhan
peraturan lain yang pada aspek teknik memiliki implikasi terhadap teknik
penyusunan, sehingga dapat bertentangan dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Lampiran I dan II UU
12/2011.
4. Bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan Pasal 5 UU 12/2011. Sejumlah asas yang diatur dalam
Pasal 5 UU 12/2011 telah mengelaborasi dan menggabungkan asas formil
dan materil sebagaimana dijelaskan pada teori perundang-undangan dan
ilmu perundang-undangan.
202

5. Bahwa yang dimaksud asas kejelasan tujuan dalam bagian penjelasan Pasal
5 huruf a UU 12/2011 adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai. Jika memperhatikan materi pengaturan dalam batang tubuh dengan
mengacu ruang lingkup UU Cipta Kerja, tidak mencerminkan tujuan dari
pembentukan undang-undang dikarenakan memiliki materi muatan yang
saling kontradiksi dan tidak mencerminkan tujuan pembentukan undang-
undang.
6. Bahwa apabila melihat ketentuan norma dari UU Cipta Kerja, tidak sesuai dan
telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011. Hal tersebut dapat dibuktikan
dari adanya penggabungan 78 (tujuh puluh delapan) Undang-Undang yang
tentunya memiliki pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis, yuridis,
dan sosiologis yang berbeda-beda, namun dijadikan satu dengan
menggunakan konsep Omnibus Law tanpa melakukan riset yang mendalam,
serta tanpa melibatkan pihak-pihak/stakeholder serta Naskah Akademik yang
tidak mendalam serta tidak komprehensif.
7. Bahwa pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan dalam UU Cipta Kerja semakin jelas terbukti pada ketentuan Pasal
5 dan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang telah mengabaikan dan bertentangan
dengan asas kejelasan rumusan. Bahwa terhadap teknis penyusunan,
sistematika Pasal 5 dan Pasal 6 UU Cipta Kerja membuktikan bahwa UU
Cipta Kerja dibentuk dengan mengabaikan dan bertentangan dengan asas
kejelasan tujuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf f UU 12/2011.
Adanya ketidakjelasan rumusan juga terbukti pada ketentuan norma
perubahan Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/2014) sebagaimana
termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja.
8. Bahwa penjelasan dari asas kejelasan rumusan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 huruf f UU 12/2011 adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
203

pembentukan peraturan perundang-undangan. Keterbukaan dan keterlibatan


elemen masyarakat yang terlihat di media massa saat pembahasan UU Cipta
Kerja hanya terlihat pada masyarakat di sektor buruh. Itupun masih banyak
elemen-elemen organisasi perkumpulan buruh yang merasa tidak dilibatkan.
9. Bahwa apabila melihat pembentukan UU Cipta Kerja, secara nyata-nyata dan
terang benderang telah melanggar ketentuan tahapan sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 72 ayat (2) UU
12/2011 beserta bagian penjelasannya.
10. Bahwa pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dalam sidang
paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020 yang menghasilkan Naskah RUU
Cipta Kerja setebal 905 (sembilan ratus lima) halaman, DPR in casu Badan
Legislasi (Baleg DPR) telah melakukan beberapa kali perubahan Naskah
RUU Cipta Kerja sebagaimana diakui oleh Sekjen DPR merupakan
perubahan final yakni menjadi 1035 (seribu tiga puluh lima) halaman dan
kemudian berubah lagi (final) menjadi 812 (delapan ratus dua belas)
halaman, ternyata masih berubah lagi menjadi Naskah UU Cipta Kerja
dengan jumlah 1187 (seribu seratus delapan puluh tujuh) halaman.
11. Bahwa perubahan demikian secara nyata dan terang benderang terbukti
bukan sekadar perubahan teknis penulisan, melainkan sudah menyentuh
pada perubahan yang terkait dengan substansi materi muatan. Pengesahan
RUU Cipta Kerja (1187 halaman) oleh Presiden dengan ditandatanganinya
naskah tersebut, padahal patut diduga Presiden tahu adanya perubahan-
perubahan substansi yang dilakukan pasca RUU tersebut disetujui bersama
Presiden dan DPR pada tanggal 5 Oktober 2020, telah membuat proses
pengesahan menjadi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang kemudian diatur tata cara pengesahan
pada UU 12/2011 Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya.
12. Bahwa ketentuan yang dilanggar oleh pembentuk Undang-Undang secara
terang-terangan telah menabrak pakem-pakem yang telah diatur dalam UU
12/2011 sebagaimana merupakan Undang-Undang yang di delegasikan
secara konstitusional oleh Pasal 22A UUD 1945. Bahwa UU Cipta Kerja tidak
hanya cacat prosedural dalam pembentukan undang-undangnya, namun
juga menimbulkan banyak persoalan hukum sebagaimana telah diuraikan
tersebut di atas.
204

13. Bahwa apabila UU Cipta Kerja dinyatakan cacat prosedural karena tidak
memenuhi pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011, maka
tidak akan menimbulkan keadaan buruk, baik bagi penyelenggara
pemerintahan, bahkan akan mempertahankan keadaan yang sudah relatif
cukup baik yang ter-downgrade oleh UU Cipta Kerja.
14. Bahwa apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
tidak perlu khawatir karena tidak akan menimbulkan kekosongan hukum
selama oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan terhadap pasal-pasal yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja
berlaku kembali jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini.
15. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka terhadap pembentukan
UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011.

II. Penjelasan Pemerintah Terhadap Kedudukan Hukum (Legal Standing)


Para Pemohon
Sehubungan dengan kedudukan hukum Para Pemohon, Pemerintah
berpendapat sebagai berikut:

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
a. Perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang


dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
UUD 1945;
205

Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima


sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi
dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
2. Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-
putusan selanjutnya, Mahkamah telah berpendirian, kerugian hak
ditentukan dengan lima syarat yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan pengujian;
c. Kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian hak seperti yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak
lagi terjadi;
3. Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka menurut Pemerintah
perlu dipertanyakan kepentingan hukum para Pemohon apakah sudah
tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
206

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang dimohonkan


untuk diuji, juga apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk
diuji;
4. Bahwa Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing
merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan
dalil-dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya
dengan UU Cipta Kerja ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan
bahwa penerbitan UU Cipta Kerja justru dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan, kepastian hukum, dan pemenuhan hak-hak warga negara
untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, berserikat
dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh Ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
5. Bahwa menurut Pemerintah para Pemohon yang dalam kedudukan
hukumnya menyatakan diri sebagai Serikat Pekerja maupun Perorangan,
sama sekali tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan aktivitas
maupun kegiatannya, yang diakibatkan oleh berlakunya UU Cipta Kerja.
Bahwa dengan UU Cipta Kerja ini justru akan menyerap tenaga kerja
Indonesia seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif
dan tuntutan globalisasi ekonomi, memberikan kemudahan,
perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek
strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja. Sehingga hak-hak konstitusional para Pemohon
sama sekali tidak dikurangi, dihilangkan, dibatasi, dipersulit maupun
dirugikan oleh karena berlakunya UU Cipta Kerja yang diuji
sebagaimana dijamin oleh Ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
6. Bahwa dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui prosedur dan
tahapan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22A
UUD 1945 dan UU 12/2011 dengan pelibatan partisipasi publik
207

sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU


12/2011. Hak-hak partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja
telah terpenuhi dengan adanya partisipasi publik. Sehingga dengan
demikian terhadap bentuk kerugian konstitusional yang diderita oleh para
Pemohon akibat berlakunya UU Cipta Kerja menjadi tidak beralasan dan
tidak jelas (obscuur libel);
7. Bahwa oleh karena pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui prosedur
dan tahapan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 20 dan Pasal
22A UUD 1945 dan UU 12/2011 dengan pelibatan partisipasi publik
sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 96
UU 12/2011 maka UU Cipta Kerja telah memenuhi hak-hak konstitusional
Para Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945;
8. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, Para
Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional, baik secara spesifik
(khusus), aktual, maupun setidak-tidaknya secara potensial akibat
berlakunya UU Cipta Kerja sehingga tidak memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing), dan oleh karenanya adalah tepat apabila Yang
Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard).

III. Keterangan Pemerintah Terhadap Pokok Permohonan Para Pemohon


Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait pokok permohonan
formil yang dimohonkan oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

A. LANDASAN UU CIPTA KERJA


Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan
Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual. Sejalan
dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”, oleh karena itu negara wajib menetapkan kebijakan dan
208

melakukan tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk


memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah
satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Hal ini merupakan bagian dari perwujudan pemikiran para pendiri bangsa
(founding fathers) yang menentukan bahwa salah satu tujuan bernegara
ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus
selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap
rakyatnya termasuk perlindungan untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak, baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak
normal.
Untuk itu Pemerintah wajib melakukan berbagai upaya untuk menciptakan
dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah
pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong
pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M)
dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya penciptaan dan perluasan lapangan kerja sekaligus
mempertahankan dan meningkatkan kualitas lapangan kerja dalam rangka
peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat tidaklah mudah dan
menghadapi banyak tantangan, apalagi pada saat ini kita masih
menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berdampak kepada kegiatan
ekonomi dan sosial serta lapangan kerja dan kesejahteraan.
Pada saat RUU Cipta Kerja disusun, kita menghadap beberapa tantangan
yang menjadi hambatan kita dalam melakukan transformasi ekonomi
sehingga tidak dapat optimal menciptakan lapangan kerja.
Berdasarkan data BPS per Agustus 2019, dari jumlah 133,56 juta orang
angkatan kerja, sebanyak 126,51 juta orang berkerja dan 7,05 juta orang
pengangguran. Dari jumlah yang bekerja tersebut, hanya 89,96 juta orang
bekerja penuh, sedangkan 28,41 juta orang paruh waktu, dan 8,14 juta
orang setengah penganggur. Dengan demikian secara akumulasi terdapat
43,5 juta orang yang masuk dalam angkatan kerja tidak bekerja penuh
209

(32,6% dari angkatan kerja). Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja


pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta orang (55,72 persen dari total
penduduk yang bekerja). Kita juga dihadapkan dengan masih rendahnya
tingkat produktivitas tenaga kerja.
Pada sisi pendidikan, BPS melaporkan pada November 2019 bahwa hanya
9,26% penduduk tamat perguruan tinggi, 26,69% tamat SMA/sederajat,
22,31% tamat SMP/sederajat, 25,13% tamat SD/sederajat, dan 16,62%
tidak tamat SD dan tidak sekolah. Besarnya porsi penduduk yang memiliki
tingkat pendidikan SMP/sederajat kebawah yaitu 64,06% memerlukan
upaya yang khusus untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat
menampung mereka.
Kedepan kita menghadapi tantangan bonus demografi yang merupakan
potensi untuk dimanfaatkan dengan baik dan maksimal sehingga
memberikan keuntungan besar bagi perekonomian Indonesia. Namun, jika
tidak dimanfaatkan dengan baik justru dapat menimbulkan dampak negatif
yaitu akan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.
Sektor UMK-M yang memiliki kontribusi sekitar 61,07% dari PDB dan
menyerap lebih dari 97% dari total tenaga kerja belum dapat berkembang
dengan baik. Hal ini dapat terlihat bahwa 98,68% dari usaha Mikro
merupakan usaha informal dengan produktifitas yang sangat rendah.
Kita dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang berada di kisaran 5%
dalam 5 tahun terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar
Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019.
Dengan tingkat pertumbuhan sekitar 5% sangat sulit untuk menampung
pengangguran, setengah pengangguran dan menarik pekerja informal
menjadi pekerja formal. Kita memerlukan peningkatan investasi sebesar
6,6% - 7,0 % pertahun ditargetkan dapat membantu membangun usaha
baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan
lapangan kerja tambahan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja,
sehingga akan mendorong peningkatan konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%
pertahun.
Efektivitas investasi di Indonesia sangat rendah dibandingkan negara lain,
terlihat dari ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebesar 6,8% yang
artinya bahwa perlu 6,8% dari pendapatan untuk menghasilkan 1%
210

pertumbuhan. Rata-rata negara ASEAN hanya membutuhkan investasi


sebesar 5% dari pendapatan.
Di sisi lain, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk
meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha. Hal ini tercermin dari
laporan Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) yang
dilakukan oleh Bank Dunia terhadap 190 negara termasuk Indonesia.
Peringkat Kemudahan Berusaha Indonesia pada Tahun 2015 sampai
dengan Tahun 2019 mengalami peningkatan, dimana Tahun 2015 peringkat
114, Tahun 2016 peringkat 109, Tahun 2017 peringkat 91, Tahun 2018
peringkat 72 dan Tahun 2019 peringkat 73. Meskipun meningkat, namun
peringkat Indonesia masih jauh dibawah negara ASEAN lainnya, seperti
pada Tahun 2019 Singapura peringkat 2, Malaysia peringkat 15, dan
Thailand peringkat 27.
Dari sisi daya saing berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) pada
Tahun 2019 Indonesia berada pada peringkat 50 sementara Singapura
peringkat 1, Malaysia peringkat 27, dan Thailand peringkat 40. Bahkan dari
sisi digitalisasi, Daya Saing Bisnis Digital Indonesia pada Tahun 2019
berada pada peringkat 56 sementara Malaysia di peringkat 26. Sehingga
diperlukan adanya upaya reformasi regulasi yang bisa memberikan
kemudahan berusaha dalam rangka meningkatkan investasi.
Meski Indonesia sudah masuk kedalam upper middle income country, kita
menghadapi tantangan untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan
menengah (middle income trap), dimana perekonomian suatu negara tidak
dapat meningkat menjadi negara high income. Indonesia perlu keluar dari
jebakan ini karena negara yang terjebak dalam middle income trap akan
berdaya saing lemah, yang disebabkan kalah bersaing dengan low-income
countries karena upah tenaga kerja mereka yang lebih murah dan kalah
bersaing dalam hal teknologi dan produktivitas dengan high-income
countries. Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing
tenaga kerja dan produktivitas menjadi andalan untuk keluar dari middle
income trap.
Upaya untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang ada tersebut apalagi
dalam kondisi pandemi Covid-19 yang mengubah pola kegiatan ekonomi
dan penghidupan masyarakat, memerlukan basis regulasi yang kuat dalam
211

bentuk Undang-Undang yang sekaligus memerlukan adanya perubahan


dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang yang ada terkait dengan
penciptaan lapangan kerja.
Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara
konvensional dan secara terpotong (piecemeal/fragmented approach),
dengan cara mengubah satu persatu undang-undang seperti yang selama
ini dilakukan, cara demikian tentu tidak efektif dan efisien serta
membutuhkan waktu yang lama dan kita dapat kehilangan momentum untuk
melakukan perubahan dan penyempurnaan undang-undang. Oleh karena
itu, diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-
undang yang komprehensif.
Untuk itu Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan pada tanggal 20
Oktober 2019 menyampaikan antara lain untuk menyederhanakan segala
bentuk kendala regulasi dan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta
Kerja, yang akan menjadi Omnibus Law untuk merevisi beberapa undang-
undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan
UMK-M. (vide Bukti PK-01 s.d PK-05)
Omnibus Law adalah suatu metode yang mempermudah,
menyederhanakan proses dan meningkatkan produktivitas dalam
penyiapan penyusunan Undang-Undang. Penggunaan metode Omnibus
Law tersebut memperhatikan muatan dan substansi undang-undang yang
harus diubah dalam UU Cipta Kerja mencapai 78 Undang-Undang, yang
meliputi 10 klaster yaitu:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.
212

Perubahan ke-78 Undang-Undang tersebut harus dilakukan dalam satu


kesatuan substansi pengaturan untuk mencapai tujuan cipta kerja secara
optimal.
Adapun penyusunan dan proses pembentukan UU Cipta Kerja mengikuti
dan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 12/2011.
Dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja, akan dapat mencapai tujuan
pembentukannya, yaitu:
Pertama, penciptaan dan peningkatan lapangan kerja dengan memberikan
kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap sektor koperasi dan
UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat
menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap
memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan
ekonomi nasional.
Kedua, terjaminnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan,
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.
Ketiga, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M
serta industri nasional.
Keempat, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek
strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang
berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan
berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.
Cakupan UU Cipta Kerja meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha, b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja,
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMK-M,
dan d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis
nasional.
Pengaturan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, paling
sedikit memuat ketentuan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha,
persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan
lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui
penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode evaluasi
213

berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis


Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan. Perizinan
Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha.
Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir
(mindset change) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan
Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan
pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem
Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini,
pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan
sederhana serta lebih pasti, mudah, dan cepat.
Aspek kepastian dalam UU Cipta Kerja meliputi:
Pertama, kepastian jenis dan bentuk Izin sesuai kegiatan usaha
berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Kedua, kepastian persyaratan dan standar perizinan sesuai yang
ditentukan.
Ketiga, kepastian waktu penyelesaian sesuai jenis perizinan, dan dapat
dipercepat dan/atau diterbitkan secara otomatis apabila perizinan tidak
diselesaikan oleh pemerintah sesuai waktu yang ditetapkan.
Keempat, kepastian lokasi kegiatan karena sebagian lokasi telah berbasis
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)/Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
digital yang dapat diakses pelaku usaha.
Aspek kemudahan paling kurang terkait: a. proses pengajuan sampai
dengan terbitnya Perizinan Berusaha sangat mudah melalui sistem
elektronik/online system, b. mudah mendapatkan data/informasi Pemerintah
yang diperlukan pelaku usaha, c. mudah melacak proses penyelesaian
Perizinan Berusaha.
Aspek kecepatan paling kurang menyangkut: a. cepat mendapatkan
Perizinan Berusaha terutama untuk kegiatan risiko rendah dan menengah
rendah karena diterbitkan secara otomatis oleh sistem elektronik dan b.
cepat mendapatkan standar kegiatan usaha yang telah dimuat dalam sistem
elektronik.
Pengaturan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja memuat
ketentuan mengenai: perlindungan pekerja dengan perjanjian waktu kerja
214

tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih


daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum,
perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan
kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian
tertentu yang diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.
Pengaturan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M
memuat ketentuan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota,
kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M,
pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M,
kemudahan mendapatkan sertifikat halal untuk UMK yang biayanya
ditanggung oleh Pemerintah, serta kemitraan, insentif, dan pembiayaan
UMK-M.
Pengaturan terkait dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dan percepatan proyek strategis nasional memuat
ketentuan mengenai: pelaksanaan dan pembiayaan investasi Pemerintah
Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi, penyediaan lahan
dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional.
Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut
diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan
pengenaan sanksi.
UU Cipta Kerja diyakini akan dapat membawa perubahan struktur ekonomi
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tenaga kerja
yang tinggi dan membawa Indonesia keluar dari middle income trap. Melalui
UU Cipta Kerja, Pemerintah menargetkan:
Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 s.d 3 juta/tahun
(meningkat dari sebelum pandemi sebanyak 2 juta /tahun), untuk
menampung 9,29 juta orang yang tidak/belum bekerja (7,05 juta
pengangguran dan 2,24 juta Angkatan Kerja Baru).
Kedua, kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Kenaikan upah diikuti juga
dengan peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja.
Peningkatan produktivitas pekerja akan berpengaruh pada peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Saat ini produktivitas Indonesia pada
215

tingkat 74,4% masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN pada tingkat
78,2%.
Ketiga, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0 %, untuk membangun
usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan
lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga
akan mendorong peningkatan konsumsi sebesar 5,4% - 5,6%.
Keempat, pemberdayaan UMK-M dan Koperasi, yang mendukung
peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan
kontribusi Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5%. Karena UMK-M dan
Koperasi merupakan unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak
yang berkualitas di sisi penciptaan lapangan kerja.
Bahwa dengan terciptanya kondisi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas
yang tinggi melalui penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, maka
diharapkan dapat mencapai target Indonesia untuk dapat masuk ke dalam
5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto
sebesar US$7 triliun dengan pendapatan perkapita sebesar Rp 27 juta per
bulan.
Dengan pencapaian target tersebut, niscaya penciptaan lapangan kerja
yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak akan tercapai.

B. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU


CIPTA KERJA
Bahwa berdasarkan dalil-dalil Para Pemohon sebagaimana dalam Pokok
Permohonan formil UU Cipta Kerja perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020
tersebut di atas, maka pada dasarnya Pokok Permohonan a quo adalah
sebagai berikut:

1. Bahwa pengujian formil dalam Permohonan a quo adalah pengujian


terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak sejalan
dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan
Pasal 22A UUD 1945 dan tidak sesuai dengan prosedur pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU
12/2011;
216

2. Bahwa dalam tahapan pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan


partisipasi publik dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait
seperti Para Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal
96 UU 12/2011;

3. Bahwa sejak awal perencanaan RUU Cipta Kerja hingga


pengundangan, terjadi pelanggaran asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam
UU 12/2011;
Bahwa terhadap Pokok Permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja
tersebut dapat Pemerintah jelaskan hal-hal sebagai berikut:

PEMBENTUKAN UU CIPTA KERJA TELAH SESUAI DENGAN


PROSEDUR PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG -
UNDANGAN SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 20 AYAT (2) DAN
PASAL 22A UUD 1945 DAN UU 12/2011

1. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan:


proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan
konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22A
UUD 1945 dan tidak sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2011,
Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon dan memberikan
keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.”, dan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-
Undang diatur dengan Undang-Undang”.
b. Bahwa UU 12/2011 telah menyatakan yang dimaksud dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, pengundangan, penyebarluasan.
217

c. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah melalui tahapan


pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditentukan dalam UU 12/2011 yang terdiri dari tahapan sebagai
berikut:
PERENCANAAN

1) RUU Cipta Kerja merupakan rancangan yang diajukan oleh


Presiden dan dikoordinasikan penyusunannya secara internal
oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

2) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian membentuk panitia


antarkementerian dan/atau antarnonkementerian (PAK) sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Nomor 318 Tahun 2019 tentang Panitia Antar
Kementerian dan/atau Antar Nonkementerian Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tanggal 23 Oktober
2019 untuk menyusun draft awal RUU Cipta Kerja dan Naskah
Akademis RUU Cipta Kerja. (vide Bukti PK-6)

3) Penyusunan internal RUU Cipta Kerja ini dilaksanakan dengan


melibatkan stakeholder terkait untuk mendapatkan masukan
sesuai dengan substansi yang akan diubah oleh RUU Cipta Kerja
(vide Bukti PK- 7 s.d. PK-19)

4) Bahwa Naskah Akademik yang telah disusun sesuai ketentuan


Pasal 19 ayat (3) UU 12/2011 yang memuat: a. latar belakang
dan tujuan penyusunan, b. sasaran yang ingin diwujudkan, dan
c. jangkauan dan arah pengaturan serta judul RUU Cipta Kerja
diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dimasukkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-
2024 dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna penyusunan
Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 pada tanggal 17
Desember 2019. Kemudian, dalam rapat Paripurna DPR
disepakati bahwa RUU Cipta Kerja dimasukkan dalam Prolegnas
Jangka Menengah 2020-2024 melalui Surat Keputusan DPR RI
Nomor: 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi
218

Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024. (vide


Bukti PK-20)

5) Kemudian Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang


Perekonomian atas nama Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Surat Permohonan Penyelarasan Naskah
Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja Nomor: PH.2.1-
9.2/M.EKON/01/2020 tanggal 15 Januari 2020 untuk
menyelaraskan Naskah Akademik (vide Bukti PK-21) dan Surat
Permohonan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Undang-Undang tentang
Cipta Lapangan Kerja Nomor: PH.2.1-10/M.EKON/01/2020
tanggal 16 Januari 2021. (vide Bukti PK-22)

6) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan difasilitasi


oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kemudian
melakukan penyelarasan Naskah Akademik serta
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja pada
tanggal 16 s.d 20 Januari 2020 dengan melibatkan
kementerian/lembaga dan stakeholders terkait. (vide Bukti PK-
23)

7) Naskah Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja yang telah


diselaraskan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (vide Bukti PK-24)
kemudian disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian pada tanggal 20 Januari 2021 melalui surat
Kepala BPHN atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor: PHN-HN.02.04-04. (vide Bukti PK-25)

8) Draft RUU Cipta Kerja yang telah dilakukan pengharmonisasian,


pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia kemudian disampaikan kepada Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 20 Januari 2020
219

melalui surat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor:
PPE.PP.03.02-107. (vide Bukti PK-26)

9) Bahwa Naskah Akademik yang telah diselaraskan dan RUU


Cipta Lapangan Kerja yang telah disusun tersebut kemudian
disiapkan oleh Pemerintah untuk dimasukkan ke dalam
Prolegnas Prioritas Tahun 2020 dan ditetapkan dalam Rapat
Paripurna penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada
tanggal 22 Januari 2020 sebagaimana tertuang dalam Keputusan
DPR RI Nomor: 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun
2020. (vide Bukti PK-27)

PENYUSUNAN
Presiden melalui surat Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari
2020 kepada Ketua DPR RI perihal: Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja menyampaikan RUU Cipta Kerja untuk dibahas dalam
Sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas
utama. Dalam surat tersebut Presiden sekaligus menunjuk Koordinator
Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan
Menteri Pertanian baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk
mewakili Presiden dalam membahas RUU Cipta Kerja dengan DPR
RI. (vide Bukti PK-28) Surat Presiden tersebut kemudian
ditindaklanjuti oleh Menteri Sekretaris Negara melalui surat Nomor: B-
105/M.Sesneg/D-1/HK.00.02/02/2020 tanggal 7 Februari 2020. (vide
Bukti PK-29)
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN

1) RUU Cipta Kerja yang telah diajukan oleh Presiden kepada DPR
kemudian dibahas bersama-sama oleh DPR dan Presiden dalam
220

rapat pembahasan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU


12/2011. Pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut dilakukan
melalui 2 (dua) tahapan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU
12/2011 yaitu: Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat
II.
Pembicaraan Tingkat I

2) Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 68 UU 12/2011,


DPR melalui Panitia Kerja Badan Legislasi Pembahasan RUU
Cipta Kerja (Panja) telah melakukan Rapat pada Tingkat I,
dengan rincian sebagai berikut, yaitu:
(1) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 April 2020 dengan
agenda rapat kerja terkait pembahasan RUU tentang Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 14 April 2020; (vide Bukti PK-30)
(2) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 April 2020 dengan
agenda pembahasan RUU tentang Cipta Kerja untuk
membahas rencana Rapat Dengar Pendapat Umum
(selanjutnya disebut RDPU) dalam rangka menjaring
aspirasi masyarakat atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
20 April 2020; (vide Bukti PK-31)
(3) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 April 2020 dengan
agenda RDPU Panitia Kerja Baleg dengan 3 (tiga) orang
narasumber yaitu Prof. Djisman, Yose Rizal, dan Sarman
Simanjorang, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 27 April 2020; (vide Bukti PK-
32)
(4) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 April 2020 dengan
agenda RDPU Panitia Kerja Badan Legislasi dengan 2
(dua) orang narasumber yaitu Bambang Kesowo dan Prof.
Dr. Satya Arinanto, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 29 April 2020; (vide
Bukti PK-33)
221

(5) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 5 Mei 2020 dengan


agenda RDPU Panitia Kerja Badan Legislasi dengan 2
(dua) orang Narasumber yaitu Emil Arifin dan Dr. Ir. H.
Sutrisno, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 5 Mei 2020; (vide Bukti PK-34)
(6) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 Mei 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan Daftar Inventaris
Masalah (selanjutnya disebut DIM) RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 20 Mei 2020; (vide Bukti PK-35)
(7) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Juni 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Juni 2020; (vide Bukti PK-36)
(8) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Juni 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 4 Juni 2020; (vide Bukti PK-37)
(9) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 dengan
agenda RDPU Panitia Kerja Badan Legislasi dengan Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia terkait RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 9 Juni 2020; (vide Bukti PK-38)
(10) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 dengan
agenda RDPU Panitia Kerja Baleg dengan Kamar Dagang
Indonesia dan M. Mova Al Afghani, SH., L.LM., Ph.D terkait
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 Juni 2020; (vide
Bukti PK-39)
(11) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Juni 2020 dengan
agenda RDPU Panitia Kerja Baleg dengan Prof. Dr.
Ramdan Andri Gunawan, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf,
Prof. Dr. Ir. H. San Afri Awang terkait RUU Cipta Kerja,
222

sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan


Legislasi tanggal 11 Juni 2020; (vide Bukti PK-40)
(12) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 dengan
agenda RDPU dengan Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis
Independen atas RUU Cipta Kerja terkait dengan
Permasalahan Media, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 11 Juni 2020; (vide
Bukti PK-41)
(13) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 dengan
agenda RDPU dengan Majelis Ulama Indonesia, Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
terkait kemudahan dan persyaratan investasi sektor
keagamaan dan jaminan produk halal, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
11 Juni 2020; (vide Bukti PK-42)
(14) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 Juni 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 29 Juni 2020; (vide Bukti PK-43)
(15) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 1 Juli 2020; (vide Bukti PK-44)
(16) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 9 Juli 2020; (vide Bukti PK-45)
(17) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 13 Juli 2020(vide Bukti PK-46)
(18) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
223

Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja


Badan Legislasi tanggal 14 Juli 2020; (vide Bukti PK-47)
(19) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 15 Juli 2020; (vide Bukti PK-48)
(20) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 22 Juli 2020; (vide Bukti PK-49)
(21) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 23 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 23 April 2020; (vide Bukti PK-50)
(22) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 27 Juli 2020; (vide Bukti PK-51)
(23) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 Juli 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 28 Juli 2020; (vide Bukti PK-52)
(24) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan Melanjutkan
Pembahasan DIM RUU tentang Cipta Kerja yang masuk
dalam kategori diubah yang telah diinventarisir oleh Tim
Pendukung dari DPR, Pemerintah, dan DPD, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
3 Agustus 2020 (vide Bukti PK-53)
(25) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja pembahasan penjelasan
Pemerintah terkait dengan DIM RUU tentang Cipta Kerja
yang masuk dalam kategori perubahan substansi yang
ditunda pembahasannya berdasarkan 4 (empat)
224

pengelompokan, sebagaimana Laporan Ketua Rapat


Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 4 Agustus 2020 (vide
Bukti PK-54)
(26) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 6 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Melanjutkan Pembahasan DIM
RUU tentang Cipta Kerja yang masuk dalam kategori
diubah yang telah diinventarisir oleh Tim Pendukung dari
DPR, Pemerintah, dan DPD, sebagaimana Laporan Ketua
Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 6 Agustus
2020 (vide Bukti PK-55)
(27) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Melanjutkan Pembahasan DIM
RUU tentang Cipta Kerja terkait dengan materi sanksi
pidana yang telah diinventarisir oleh Tim Pendukung dari
DPR, Pemerintah, dan DPD, sebagaimana Laporan Ketua
Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 Agustus
2020; (vide Bukti PK-56)
(28) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 11 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
57)
(29) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 12 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
58)
(30) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 13 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
59)
(31) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
225

Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja


Badan Legislasi tanggal 19 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
60)
(32) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 24 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
61)
(33) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 25 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
62)
(34) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 26 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
63)
(35) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 27 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
64)
(36) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 31 Agustus 2020 dengan
agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 31 Agustus 2020; (vide Bukti PK-
65)
(37) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 1 September 2020; (vide
Bukti PK-66)
226

(38) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 2 September 2020


dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 2 September 2020; (vide
Bukti PK-67)
(39) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 3 September 2020; (vide
Bukti PK-68)
(40) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 7 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 7 September 2020; (vide
Bukti PK-69)
(41) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 8 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 8 September 2020; (vide
Bukti PK-70)
(42) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 9 September 2020; (vide
Bukti PK-71)
(43) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 10 September 2020; (vide
Bukti PK-72)
(44) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
227

Kerja Badan Legislasi tanggal 12 September 2020; (vide


Bukti PK-73)
(45) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 14 September 2020; (vide
Bukti PK-74)
(46) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 15 September 2020; (vide
Bukti PK-75)
(47) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 16 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 16 September 2020; (vide
Bukti PK-76)
(48) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 17 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 29 September 2020; (vide
Bukti PK-77)
(49) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 19 September 2020; (vide
Bukti PK-78)
(50) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 21 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 21 September 2020; (vide
Bukti PK-79)
(51) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
228

Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia


Kerja Badan Legislasi tanggal 22 September 2020; (vide
Bukti PK-80)
(52) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja Pembahasan DIM RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 24 September 2020; (vide
Bukti PK-81)
(53) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
dengan agenda melanjutkan Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 25 September 2020. (vide Bukti
PK-82)
(54) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
dengan agenda Rapat Panitia Kerja RDPU dengan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, sebagaimana Laporan
Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 25
September 2020. (vide Bukti PK-83)
(55) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 September 2020
dengan agenda Melanjutkan Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 26 September 2020. (vide Bukti
PK-84)
(56) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 September 2020
dengan agenda Melanjutkan Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 27 September 2020. (vide Bukti
PK-85)
(57) Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 September 2020
dengan agenda Melanjutkan Pembahasan DIM RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 28 September 2020. (vide Bukti
PK-86)
229

(58) Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR pada tanggal 3


Oktober 2020 dengan agenda Pengambilan Keputusan
Terhadap Pembicaraan Tingkat I. Dalam Rapat Kerja
tersebut telah menerima pandangan mini fraksi-fraksi atas
RUU Cipta Kerja. Dimana Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar,
Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN,
dan Fraksi PPP menyatakan menerima dan setuju atas
RUU Cipta Kerja untuk dibahas Pembicaraan Tingkat
II/Pengambilan Keputusan atas RUU Cipta Kerja, dan
Fraksi Demokrat serta Fraksi PKS menolak RUU Cipta
Kerja sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Oktober 2020. (vide Bukti PK-87)

3) Pembahasan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Panja yang bersifat


terbuka untuk umum selain dapat dihadiri secara fisik oleh
masyarakat dengan protokol kesehatan dan juga dapat diakses
melalui media elektronik seperti kanal TV Parlemen dan
YouTube.

Pembicaraan Tingkat II

4) Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 69 UU 12/2011,


DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 telah melakukan Rapat
Paripurna DPR RI dalam rangka Pembicaraan Tingkat
II/Pengambilan Keputusan terhadap RUU Cipta Kerja. Dimana
Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem,
Fraksi PKB, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyatakan menerima
dan setuju atas RUU Cipta Kerja dan Fraksi Demokrat serta
Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja sebagaimana Laporan
Ketua Rapat Paripurna DPR RI. (vide Bukti PK-88)

PENGESAHAN

1) Ketua DPR RI melalui surat Nomor: LG/12046/DPR RI/X/2020


tanggal 5 Oktober 2020 menyampaikan kepada Presiden RUU
Cipta Kerja yang telah mendapatkan persetujuan bersama dalam
Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-
230

2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk mendapat pengesahan


dari Presiden (vide Bukti PK-89)

2) Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011,


Presiden telah melakukan pengesahan UU Cipta Kerja pada
tanggal 2 November 2020.

PENGUNDANGAN

UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 2 November 2020


kemudian dilakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 245 Tahun 2020 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573 Tahun 2020 pada tanggal 2
November 2020 di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 81 huruf a dan huruf b, Pasal 82,
Pasal 84 ayat (1), dan Pasal 85 UU 12/2011 (vide Bukti PK-90)

PENYEBARLUASAN

1) Pemerintah telah melakukan penyebarluasan UU Cipta Kerja baik


melalui kegiatan sosialisasi maupun pemuatan dalam situs
(website) antara lain JDIH Kementerian Sekretariat Negara, JDIH
Sekretariat Kabinet, JDIH Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, JDIH Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
(vide Bukti PK-91)
2) Bahwa UU Cipta Kerja telah disebarluaskan oleh DPR dan
Pemerintah kepada masyarakat serta pemangku kepentingan
sesuai dengan ketentuan Pasal 88 UU 12/2011. Pemerintah telah
melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja di berbagai kota yaitu Jakarta,
Palembang, Bali, Surabaya, Banjarmasin, Manado, Medan,
Yogyakarta, Makassar, Pontianak, Semarang, Bandung, Lombok,
Ternate, Batam. (vide Bukti PK-92)
3) Bahwa berdasarkan tahapan pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut, pada dasarnya secara formil UU Cipta Kerja
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22A
UUD 1945 dan prosedur pembentukan peraturan perundang-
undangan sesuai UU 12/2011 dan UU 17/2014 termasuk adanya
231

pelibatan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96


UU 12/2011.

Dengan demikian, terhadap dalil Para Pemohon a quo yang pada


pokoknya menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak sejalan
dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan
Pasal 22A UUD 1945 dan tidak sesuai dengan prosedur pembentukan
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011 dan UU
17/2014 merupakan dalil yang tidak terbukti, tidak beralasan, dan
tidak berdasar atas hukum.

2. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan:


Pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik dan
stakeholder terkait seperti para pemohon sesuai dengan ketentuan
Pasal 88 dan Pasal 96 UU 12/2011,

Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon dan memberikan


keterangan sebagai berikut:

a. Bahwa mulai tahap perencanaan hingga tahap penyebarluasan UU


Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR selalu melibatkan partisipasi
masyarakat sebagaimana telah diuraikan pada poin 1 keterangan
Pemerintah di atas dan dibuktikan dari bukti-bukti Pemerintah.
b. Bahwa menurut Pasal 5 huruf g UU 12/2011, salah satu asas
pembentukan perundang-undangan yang baik meliputi asas
keterbukaan. Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
c. Bahwa Pasal 88 UU 12/2011 mengatur mengenai penyebarluasan
undang-undang sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan
rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-
232

undang, hingga pengundangan undang-undang yang dilakukan


untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan yang hal itu
mencerminkan asas keterbukaan.
d. Penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada
masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang
sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar
masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap
Undang-Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang
telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik
dan/atau media cetak.
e. Dalam pelaksanaan penyebarluasan sebagaimana diatur dalam
Pasal 88 UU 12/2011, Pemerintah telah memberikan masyarakat
kemudahan untuk mengakses informasi mengenai substansi RUU
Cipta Kerja melalui internet. Berdasarkan situs
https://ekon.go.id/info-sektoral/15/6/dokumen-ruu-cipta-kerja RUU
Cipta Kerja telah diakses sebanyak 303.569 kali dan Naskah
Akademiknya telah diakses sebanyak 56.553 kali untuk periode
Februari 2020 - Oktober 2020. (vide Bukti PK- 93)
f. Bahwa transparansi informasi pembahasan antara Pemerintah dan
DPR dalam bentuk video dapat dengan mudah diakses melalui
platform Youtube dengan kata kunci “DIM Cipta Kerja DPR RI TVR
Parlemen.” Bahkan, pada saat itu disiarkan secara langsung pada
setiap tahap pembahasan.
g. Selanjutnya, dalam pelaksanaan pemenuhan partisipasi publik
sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU 12/2011 Pemerintah
membuka ruang untuk menerima masukan masyarakat, akademisi,
dan para stakeholder pada setiap tahapan pembentukan UU Cipta
Kerja yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Tahap Perencanaan

(a) Rapat dalam rangka menjelaskan tentang Omnibus Law


Cipta Lapangan Kerja. Rapat dihadiri oleh pimpinan
KSPSI, KSPSI AGN, KSSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI,
233

KASBI, KPBI, dan GSBI tanggal 13 Januari 2020 (vide


Bukti PK-94)
(b) Rapat dalam rangka menjelaskan tentang Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja Rapat dihadiri oleh pimpinan
KSPSI, KSPSI AGN, KSBSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI,
KASBI, KPBI, dan GSBI tanggal 14 Januari 2020 (vide
Bukti PK-95)

2) Tahap Penyusunan dan Pembahasan

(a) Seminar Menyikapi Omnibus Law “Pro dan Kontra RUU


Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh Djokosoetono
Research Center di Balai Sidang Universitas Indonesia
pada tanggal 6 Februari 2020 (vide Bukti PK-96)
(b) Pembahasan dan konsultasi publik substansi
ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja pada tanggal 11
Februari 2020 di Kementerian Ketenagakerjaan yang
dihadiri unsur serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha,
dan lembaga pemerintah (vide Bukti PK-97)
(c) Pembahasan dan konsultasi publik substansi
Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja pada tanggal 11
Februari 2020 di Hotel Puri Denpasar, Jakarta Selatan
yang dihadiri unsur serikat pekerja/serikat buruh,
pengusaha, dan lembaga pemerintah (vide Bukti PK-
98)
(d) Pembahasan dan konsultasi publik substansi
Ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang tentang
Cipta Kerja pada tanggal 18 Februari 2020 dihadiri
unsur serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, dan
lembaga pemerintah (vide Bukti PK-99)
(e) Koordinasi rencana dan persiapan sosialisasi
pelaksanaan kebijakan Omnibus Law kepada
Pemerintah Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri
pada tanggal 19 Februari 2020 (vide Bukti PK-100)
234

(f) Acara “Harnessing Opportunities a Closure Look at the


Omnibus Law Job Creation and Tax Bills” oleh PWC
sebagai dukungan kepada Pemerintah untuk
mensosialisasikan RUU Cipta Lapangan Kerja dan
RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk
Penguatan Perekonomian pada tanggal 26 Februari
2020 (vide Bukti PK-101)
(g) Diskusi Publik di Universitas Airlangga Surabaya dalam
rangka memberikan informasi yang utuh kepada
masyarakat dan menjaring masukan serta pandangan
publik terkait RUU Cipta Kerja tanggal 28 Februari 2020
(vide Bukti PK-102)
(h) Rakorsus Tingkat Menteri yang mengundang dan
dihadiri oleh pejabat dari KSPI di Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
pada tanggal 26 Februari 2020 (vide Bukti PK-103)
(i) Focus Group Discussion RUU Cipta Kerja bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan pada tanggal 26 Februari 2020. (vide
Bukti PK-104)
(j) Diskusi Publik di Universitas Padjajaran Bandung dalam
rangka memberikan informasi yang utuh kepada
masyarakat dan menjaring masukan serta pandangan
publik terkait RUU Cipta Kerja tanggal 3 Maret 2020
(vide Bukti PK-105)
(k) Diskusi Publik Omnibus Law di Kampus UIN Syarif
Hidayatullah Ciputat pada tanggal 6 Maret 2020 (vide
Bukti PK-106)
(l) Diskusi antara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI) dengan Menteri Dalam Negeri
dalam rangka mendukung Omnibus Law Cipta Kerja
pada tanggal 6 Maret 2020 (vide Bukti PK-107)
235

(m) Diskusi Publik di Universitas Gadjah Mada dalam


rangka memberikan informasi yang utuh kepada
masyarakat dan menjaring masukan serta pandangan
publik terkait RUU Cipta Kerja tanggal 10 Maret 2020
(vide Bukti PK-108)
(n) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Riau melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 20 April 2020 (vide Bukti PK-109)
(o) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Surakarta melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta
Kerja pada tanggal 29 April 2020 (vide Bukti PK-110)
(p) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Nasional melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 30 April 2020 (vide Bukti PK-111)
(q) Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang
dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan dengan Presiden dan Sekjen
dari KSPSI, KSBSI, dan KSPI pada tanggal 5 Mei 2020
(vide Bukti PK-112)
(r) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di UIN,
UHAMKA, dan UNPAM melalui Zoom Meeting dengan
tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU
Cipta Kerja pada tanggal 6 Mei 2020 (vide Bukti PK-
113)
(s) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan ITB dan
UNPAD melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 18 Mei 2020 (vide Bukti PK-114)
(t) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Institut
Pertanian Bogor melalui Zoom Meeting dengan tema
236

Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta


Kerja pada tanggal 19 Mei 2020 (vide Bukti PK-115)
(u) Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang
dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan dengan KSPSI, KSarbumusi,
KSPN, KSBSI, FSPBUN, FKahutindo, KSP BUMN pada
tanggal 10 Juni 2020. (vide Bukti PK-116)
(v) Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang
dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan dengan Ketua KSPSI, Ketua
KSBSI, Ketua KSPI, Ketua FSP KEP, Ketua FSP TSK,
Ketua FSPMI, Ketua SPN, Ketua GARTEX, dan Ketua
NIKEUBA pada tanggal 10 Juni 2021. (vide Bukti PK-
117)
(w) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di STPN
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria
dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal
11 Juni 2020 (vide Bukti PK-118)
(x) ATR Goes to Campus bersama Serikat Tani Islam
Indonesia melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta
Kerja pada tanggal 16 Juni 2020 (vide Bukti PK-119)
(y) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Bengkulu melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta
Kerja pada tanggal 17 – 18 Juni 2020 (vide Bukti PK-
120)
(z) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di UNITOMO
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria
dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal
18 Juni 2020 (vide Bukti PK-121)
(aa) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Suryakencana Cianjur melalui Zoom Meeting dengan
tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU
237

Cipta Kerja pada tanggal 22 Juni 2020 (vide Bukti PK-


122)
(bb) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di IPPAT
Banten melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 22 Juni 2020 (vide Bukti PK-123)
(cc) Pembahasan RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan, tanggal 3 Juli 2020 di Ruang
Tridharma Gd. A lt. 2, Kementerian Ketenagakerjaan
yang dihadiri oleh unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Pengusaha, dan Pemerintah. (vide Bukti PK-124)
(dd) Diskusi antara Pimpinan Komite I hingga IV DPD RI
dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di
Rumah Dinas Ketua DPD RI pada tanggal 25 Juli 2020
di Kawasan Denpasar Raya, Jakarta. (vide Bukti PK-
125)
(ee) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan bagian Umum, Tenaga Kerja Asing,
dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tanggal 10
s.d 11 Juli 2020 di Hotel Royal Kuningan Jakarta, yang
dihadiri oleh unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Pengusaha, dan Pemerintah. (vide Bukti PK-126)
(ff) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan bagian Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT), Alih Daya, dan Waktu Kerja Waktu
Istirahat, tanggal 13 Juli 2020 di Hotel Royal Kuningan
Jakarta, yang dihadiri oleh unsur Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan Pemerintah.
(vide Bukti PK-127)
(gg) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan bagian Upah, tanggal 14 Juli 2020 di
Hotel Royal Kuningan Jakarta, yang dihadiri oleh unsur
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan
Pemerintah. (vide Bukti PK-128)
238

(hh) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi


Ketenagakerjaan bagian Upah, tanggal 15 Juli 2020 di
Hotel Royal Kuningan Jakarta, yang dihadiri oleh unsur
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan
Pemerintah. (vide Bukti PK-129)
(ii) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan bagian Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dan Pesangon, tanggal 17 Juli 2020 di Hotel
Royal Kuningan Jakarta, yang dihadiri oleh unsur
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan
Pemerintah (vide Bukti PK-130)
(jj) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan bagian Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) dan Pesangon, tanggal 20 Juli 2020 di Hotel
Royal Kuningan Jakarta, yang dihadiri oleh unsur
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan
Pemerintah (vide Bukti PK-131)
(kk) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Trisakti melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 21 Juli 2020 (vide Bukti PK-132)
(ll) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dan Pesangon, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),
dan Sanksi tanggal 23 Juli 2020 di Hotel Royal
Kuningan Jakarta, yang dihadiri oleh unsur Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha, dan Pemerintah
(vide Bukti PK-133)
(mm)ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di UIN
Sumatera Utara melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta
Kerja pada tanggal 24 Juli r2020 (vide Bukti PK-134)
(nn) Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan dan pemberian penghargaan atas
239

keterlibatan stakeholder dalam pembahasan Tripartit


RUU Cipta Kerja Substansi Ketenagakerjaan tanggal 30
Juli 2020 di Ruang Tridharma Jakarta, yang dihadiri
oleh unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pengusaha,
dan Pemerintah (vide Bukti PK-135)
(oo) Surat dari Menteri Ketenagakerjan Nomor: B-
M/180/HM.07/VII/2020 tanggal 30 Juli 2020, tentang
Penyampaian Penghargaan (vide Bukti PK-136)
(pp) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di GAMKI
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria
dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal
18 Agustus 2020 (vide Bukti PK-137)
(qq) ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas
Kolaka melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 25 Agustus 2020 (vide Bukti PK-138)
(rr) ATR Goes To Campus yang dilaksanakan kepada BEM
Fisip Se-Sumatera melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta
Kerja pada tanggal 22 September 2020 (vide Bukti PK-
139)

h. Selain mengadakan forum uji publik, sosialisasi, seminar, dan


pertemuan ilmiah, Pemerintah juga menghadiri beberapa
undangan dari publik dalam rangka membuka ruang diskusi
dan pemenuhan hak publik untuk mendapatkan informasi
terkait dengan RUU Cipta Kerja, antara lain sebagai berikut:

1) Silaturahim Kepolisian Daerah Metro Jaya Dan Instansi


Terkait Dengan Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam
Rangka Pembinaan Stabilitas Kamtibmas Tahun 2020 di
Balai Pertemuan Polda Metro Jaya pada tanggal 14
Januari 2020. (vide Bukti PK-140)
2) Audiensi antara Unsur Pimpinan Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila dengan Menteri Koordinator Bidang
240

Perekonomian dan menteri yang berada di bawah


koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila pada tanggal 30 Januari 2020. (vide Bukti PK-
141)
3) Narasumber dalam acara Focus Group Discussion dengan
tema "Omnibus Law Cipta Kerja; Percepatan Menuju
Indonesia Maju" oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) di Gedung PWI Medan, Sumatera Utara pada
tanggal 28 Februari 2020. (vide Bukti PK-142)
4) Seminar Awal Tahun Djokosoetono Research Center
Fakultas Hukum Universitas Indonesia MENYIKAPI
OMNIBUS LAW di Balai Sidang Universitas Indonesia,
Depok pada tanggal 6 Februari 2020. (vide Bukti PK-143)
5) Narasumber serial Diskusi RUU Omnibus Law Seri-3
Ketenagakerjaan?", yang diselenggarakan oleh Himpunan
Organisasi Alumni PTN Indonesia (HIMPUNI), pada
tanggal 13 Februari 2020. (vide Bukti PK-144)
6) Keynote Speaker dalam Diskusi Kebangsaan dengan tema
“Omnibus Law: Menuju Ekonomi yang Produktif & Berdaya
Saing” oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di
Hotel Swiss-Belinn Kemayoran, Jakarta pada tanggal 21
Februari 2020. (vide Bukti PK-145)
7) Narasumber Lokakarya Sosialisasi dan Pembahasan
secara Terfokus atas Rancangan Undang-Undang Cipta
Kerja dan Perpajakan untuk dapat menjadi masukan yang
konstruktif oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh
Indonesia (APEKSI) di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta
pada tanggal 4 Maret 2020. (vide Bukti PK-146)
8) Narasumber Diskusi Publik dengan tema “Polemik
Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, Untuk Apa dan
Siapa” oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
241

Jakarta di Aula Student Center pada tanggal 11 Maret


2020. (vide Bukti PK-147)
9) Narasumber Diskusi Publik dengan tema "Omnibus Law:
Niscaya Atau Celaka?" di Lobby Gd. H Fakultas Hukum
Universitas Trisakti pada tanggal 12 Maret 2020. (vide
Bukti PK-148)
10) Narasumber Diskusi Publik “Urgensi Network Sharing
dalam RUU Omnibus Law Sektor Telekomunikasi di Babak
New Normal yang diselenggarakan oleh Sobat Cyber
Indonesia”, pada tanggal 5 Juni 2020. (vide Bukti PK-149)

i. Bahwa merujuk pada poin a sampai dengan poin h di atas,


proses pembentukan UU Cipta Kerja yang meliputi proses
penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-
Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga
pengundangan Undang-Undang telah melibatkan
partisipasi publik dan stakeholder sesuai dengan ketentuan
Pasal 88 dan Pasal 96 UU 12/2011.
j. Bahwa dengan demikian terhadap dalil Pemohon yang
menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja tidak
melibatkan partisipasi publik dan stakeholder terkait adalah
tidak terbukti, tidak beralasan, dan tidak berdasar atas
hukum.

3. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan:


Sejak awal perencanaan RUU Cipta Kerja hingga pengundangan,
terjadi pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU 12/2011,

Pemerintah tidak sependapat dengan Para Pemohon dan


memberikan keterangan sebagai berikut:

a. Bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 22A UUD 1945, secara


formil pembentukan undang-undang dapat dilihat dari 2 (dua)
hal. Pertama, lembaga negara yang berwenang dalam proses
pembentukan, yaitu DPR dan Presiden. Kedua, terkait dengan
242

tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan


sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011 yang telah
dijelaskan oleh Pemerintah dalam keterangan pada poin 1
tersebut di atas.
b. Bahwa dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011, pembentukan
peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
yang secara formil ditentukan asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat.
c. Bahwa terkait pengujian formil dengan batu uji berdasarkan
ketentuan Pasal 20 juncto Pasal 22A UUD 1945 serta UU
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan incasu
UU 12/2011 pada dasarnya telah dimaknai dengan jelas oleh
Mahkamah Konstitusi seperti halnya putusan No. 79/PUU-
XII/2014 bertanggal 22 September 2015 juncto Putusan No.
73/PUU-XII/2014 bertanggal 29 September 2014 juncto Putusan
No. 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010. Bahwa dalam
putusan No. 79/PUU-XII/2014 bertanggal 22 September 2015
dijelaskan:

[3.15.1] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian


formil Pemohon, menurut Mahkamah, setelah mencermati
dengan saksama alasan yang dijadikan dasar pengujian formil
oleh Pemohon tersebut adalah kurang lebih sama dengan
alasan pengujian formil yang diajukan oleh Pemohon lain dalam
Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang telah diputus oleh
Mahkamah tanggal 19 September 2014. Namun sebelum
mengutip pertimbangan hukum pengujian formil dalam Putusan
73/PUU-XII/2014, bertanggal 29 September 2014, Mahkamah
terlebih dahulu akan mengutip pendapat Mahkamah terhadap
pengujian formil dalam Putusan Noor 27/PUU-VII/2009,
bertanggal 16 Juni 2010, yang antara lain, mempertimbangkan
sebagai berikut:
[3.16] … dasar yang digunakan oleh Mahkamah untuk
melakukan pengujian formil terhadap Undang-Undang a quo
adalah Pasal 20 UUD 1945 yang rumusan lengkapnya sebagai
berikut:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan


membentuk undang-undang.
243

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan


Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat


persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang


telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui


Bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
[3.17] … pembentukan Undang-Undang menurut ketentuan
UUD 1945 melibatkan lembaga negara Presiden dan DPR yaitu
bahwa kedua Lembaga tersebut telah membahas RUU dan
menyetujui bersama. Pemberian persetujuan oleh Presiden
terhadap RUU dilakukan oleh Presiden sendiri dengan atau
tanpa mendelegasikan kepada menteri untuk mewakilinya,
sedangkan pemberian persetujuan oleh DPR dilakukan melalui
mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota
DPR. Pemberian persetujuan baik oleh Presiden maupun DPR
merupakan syarat konstitusionalitas sah atau tidaknya suatu
Undang-Undang. UUD 1945 tidak mengatur tata cara
pembahasan dan pengambilan keputusan DPR dalam
pembentukan Undang-Undang, tetapi pelaksanaannya diatur
dalam UU 10/2004 Bab VI Bagian ke satu, Pembahasan
Rancangan Undang-Undang di DPR, UU Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD (yang berlaku pada saat itu) dan diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR. Ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004
dan UU 22/2003 adalah merupakan Undang-Undang yang
diperlukan untuk menampung ketentuan Pasal 22A UUD 1945.
Dalam kedua Undang-Undang disebutkan juga adanya
Peraturan Tata Tertib DPR dalam pembentukan Undang-
Undang, yaitu Pasal 19 UU 10/2004 dan Pasal 102 ayat (1) dan
ayat (4) UU 22/2003;
Dengan demikian hanya berdasar Peraturan Tata Tertib DPR
sajalah dapat dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau
menolak RUU. Tanpa adanya Peraturan Tata Tertib DPR, UUD
1945 tidak dapat dilaksanakan karena UUD 1945 tidak
mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka
Peraturan Tata Tertib DPR merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam implementasi UUD 1945;
[3.18] … dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003,
tanggal 16 Desember 2004 perihal pengujian UU Nomor 20
244

Tahun 2002 dalam pokok perkara yang berkaitan dengan


pengujian formil permohonan Perkara Nomor 001/PUU-I/2003
tanggal 16 Desember 2004, Mahkamah menyatakan,
”Menimbang terhadap apa yang didalilkan oleh Pemohon
Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 tersebut Mahkamah
berpendapat bahwa pada saat Undang-Undang Kelistrikan
diundangkan pada tahun 2002, Undang-Undang tentang tata
cara pembentukan Undang-Undang yang diamanatkan oleh
Pasal 22A UUD 1945 belum ada sehingga belum ada tolok ukur
yang jelas tentang prosedur pembentukan Undang-Undang
yang sesuai UUD 1945. Oleh karena itu UU Susduk 1999 yang
merupakan amanat Pasal 19 ayat (1) [sic, seharusnya ayat (2)]
UUD 1945 juncto Peraturan Tata Tertib DPR yang diamanatkan
oleh UU Susduk tersebut dijadikan kriteria pemeriksaan
prosedur pembuatan Undang-Undang”;
[3.19] … oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-
022/PUUI/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib
DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya
disebut Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat
penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian formil
UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan
berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat
ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuan
terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan
Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945;
Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok
ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal
UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan
pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat
hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil
proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai
dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat
dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata
tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu
mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka
peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam
pengujian formil;
[3.20] … menurut Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR,
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan, yaitu (a) Tingkat I dalam Rapat
Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat
Panitia Anggaran, atau Rapat Panita Khusus; dan (b) Tingkat II
Rapat Paripurna;

[3.33] … pengujian Undang-Undang dilakukan antara


Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukannya diuji
dengan Undang-Undang atau yang lain, dalam hal ini UU
10/2004. Materi UU 10/2004 diantaranya dimaksudkan
untuk mengatur tata cara pembentukan Undang-Undang
245

yang baik. Adanya kekurangan dalam suatu pembentukan


Undang-Undang karena tidak sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam UU 10/2004, tidak dengan serta merta
menyebabkan Undang-Undang tersebut batal. Undang-
Undang yang tidak baik proses pembentukannya mungkin
dapat menyebabkan materi pengaturannya kurang sempurna
atau dapat juga materinya bertentangan dengan UUD 1945,
namun dapat pula menghasilkan suatu peraturan yang baik dari
segi teori pembentukan Undang-Undang. Dengan
pertimbangan di atas, Mahkamah tidak melakukan pengujian
Undang-Undang secara formil langsung berdasarkan
setiap ketentuan yang ada dalam UU 10/2004, karena
apabila hal demikian dilakukan berarti Mahkamah
melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang, dan hal tersebut bukan maksud UUD 1945. Apabila
Mahkamah mempertimbangkan adanya pengaturan yang
berbeda, yang dimuat dalam Undang-Undang yang berbeda,
sebelum memberikan putusan pada suatu perkara, hal tersebut
dimaksudkan untuk menjaga adanya konsistensi dalam
pengaturan demi menjaga kepastian hukum dan bukan
untuk menguji substansi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang lain. UU 10/2004 adalah sebuah Undang-
Undang pula, yang artinya sebagaimana Undang-Undang pada
umumnya dapat menjadi objek pengujian baik formil maupun
materiil, oleh karena itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar
pengujian;
[3.15.2] Menimbang bahwa adapun terhadap permohonan
pengujian formil UU 17/2014, Mahkamah dalam Putusan
Nomor 73/PUU-XII/2014, bertanggal 19 September 2014,
antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.23] … Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010
sebagaimana dikutip di atas, Mahkamah telah berpendirian
bahwa Mahkamah hanya menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar dan tidak dapat menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan Mahkamah
hanya akan menggunakan Undang-Undang atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau
formil prosedural yang mengalir dari delegasi kewenangan
menurut konstitusi, dalam hal ini delegasi kewenangan
yang dimaksud adalah mekanisme persetujuan bersama
antara Presiden dan DPR. Kalaupun Mahkamah menilai
ketidaksesuaian antara satu Undang-Undang dengan Undang-
Undang yang lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945
hal itu semata-mata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil dan
konsistensi dalam pembentukan Undang-Undang antara
Undang-Undang yang satu dengan yang lain.
Pada kenyataannya pembentukan UU 17/2014 telah dilakukan
sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yaitu
246

telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.


Adapun mengenai Naskah Akademik dalam perubahan
Undang-Undang a quo, ternyata Naskah Akademik
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam
permohonannya bahwa Rancangan Undang-Undang tersebut
disiapkan oleh Badan Legislasi DPR yang juga telah
mempersiapkan Naskah Akademiknya. Menurut Mahkamah,
walaupun perubahan pasal a quo tidak bersumber dari Naskah
Akademik yang merupakan acuan atau referensi penyusunan
dan pembahasan RUU, namun tidak serta merta hal-hal yang
tidak termuat dalam Naskah Akademik kemudian masuk dalam
Undang-Undang menyebabkan suatu Undang-Undang menjadi
inkonstitusional. Demikian juga sebaliknya, walaupun sudah
termuat dalam Naskah Akademik kemudian dalam penyusunan
dan pembahasan RUU ternyata mengalami perubahan atau
dihilangkan, hal itu tidak pula menyebabkan norma Undang-
Undang tersebut menjadi inkonstitusional. Asas keterbukaan
yang didalilkan oleh para Pemohon dilanggar dalam
pembentukan Undang-Undang a quo tidak terbukti karena
ternyata seluruh proses pembahasannya sudah dilakukan
secara terbuka, transparan, yang juga para Pemohon ikut
dalam seluruh proses itu. Sekiranya terjadi dalam proses
pembahasan tidak sepenuhnya mengikuti tata cara yang diatur
dalam Undang-Undang mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan (UU 12/2011) atau tidak sesuai dengan
ketentuan tata tertib DPR, menurut Mahkamah, tidak serta
merta menjadikan Undang-Undang tersebut inkonstitusional
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Norma yang ada
dalam Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan tata tertib DPR mengenai
pembentukan Undang-Undang hanyalah tata cara
pembentukan Undang-Undang yang baik yang jika ada materi
muatan yang diduga bertentangan dengan konstitusi dapat
dilakukan pengujian materiil terhadap pasal-pasal tertentu
karena dapat saja suatu Undang-Undang yang telah dibentuk
berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan
tata tertib DPR justru materi muatannya bertentangan dengan
UUD 1945. Sebaliknya dapat juga suatu Undang-Undang yang
telah dibentuk tidak berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan tata tertib DPR justru materi
muatannya sesuai dengan UUD 1945;
[3.24] … mengenai tidak ikutnya DPD dalam pembahasan
RUU MD3, tidaklah serta merta menjadikan Undang-
Undang a quo cacat prosedur, karena kewenangan
konstitusional DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat
(2) UUD 1945 adalah untuk ikut membahas rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
247

sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan


pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama. Menurut Mahkamah tidak didengarnya DPD dalam
pembahasan pembentukan Undang-Undang a quo, karena
Undang-Undang a quo mengatur juga mengenai DPD,
bukan persoalan konstitusional tetapi hanya berkaitan
dengan tata cara pembentukan Undang-Undang yang baik
agar materi muatan Undang-Undang tersebut memenuhi
aspirasi dan kebutuhan Lembaga yang diatur dalam
Undang-Undang tersebut. Menurut Mahkamah, jika dalam
materi Undang-Undang a quo diduga ada norma muatan
yang bertentangan dengan UUD 1945 maka dapat
dilakukan pengujian materiil atas Undang-Undang
tersebut, bukan pengujian formil;
[3.26] ... MPR, DPR, dan DPD, ketiganya merupakan lembaga
negara sebagai lembaga perwakilan dan berkaitan satu sama
lain. MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. MPR
tidak akan ada jika tidak ada anggota DPR dan anggota DPD.
Unsur yang hakiki dari MPR adalah anggota DPR dan anggota
DPD. Demikian pula pada saat MPR bersidang maka semua
anggota DPR dan anggota DPD berfungsi sebagai anggota
MPR tanpa dapat dikecualikan sedikit pun. Setiap keputusan
atau ketetapan MPR pastilah juga merupakan keputusan atau
ketetapan dari anggota DPR dan anggota DPD. Lagipula dalam
sejarah setelah perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam
tahun 1999-2002, ketiga lembaga tersebut tetap diatur dalam
satu Undang-Undang. Pengaturan ketiga lembaga negara
tersebut dalam satu Undang-Undang akan memudahkan
pengaturan mengenai hubungan kerja dan fungsi antara ketiga
lembaga negara yang saling berkaitan. Justru akan menyulitkan
apabila diatur masing-masing dalam Undang-Undang
tersendiri. Menurut Mahkamah, Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
merupakan landasan konstitusional
bahwa keberadaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota
DPD dari hasil pemilihan umum lembaga perwakilan. Dengan
demikian, frasa “dengan” dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
berkaitan dengan hal ihwal MPR, DPR, dan DPD, diatur dengan
Undang-Undang dan dibaca dalam satu tarikan nafas dengan
frasa “dengan” yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) UUD
1945 dan Pasal 22C ayat (4) UUD 1945, sehingga frasa
“dengan” bukan dimaknai Undang-Undang tentang MPR,
tentang DPR, dan tentang DPD tersendiri dan dipisahkan satu
sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil
para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

d. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah a quo, secara formil


pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 20
248

UUD 1945 dan UU 12/2011, sepanjang berdasarkan


kewenangan membentuk Undang-Undang oleh DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan Bersama serta
proses pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja yang
telah dilaksanakan. Apabila menurut anggapan Pemohon
dalam pembentukan UU Cipta Kerja terdapat kekurangan atau
karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
UU 12/2011, tidak dengan serta merta menyebabkan UU Cipta
Kerja tersebut menjadi cacat prosedur dan batal, karena
berkaitan dengan tata cara pembentukan Undang-Undang
yang baik dimaksudkan agar materi muatan Undang-Undang
tersebut memenuhi aspirasi dan kebutuhan Lembaga yang
diatur dalam Undang-Undang tersebut. Jikalau dalam materi
Undang-Undang a quo diduga ada norma muatan yang
bertentangan dengan UUD 1945 maka dapat dilakukan
pengujian materiil atas Undang-Undang tersebut, bukan
pengujian formil.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka terhadap dalil Para Pemohon


yang menyatakan bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah
melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik sebagaimana diatur dalam dan UU 12/2011, menurut
Pemerintah sangat keliru, tidak benar dan tidak berdasar hukum
IV. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan;
2. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
3. Menolak permohonan pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Para Pemohon untuk seluruhnya;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
249

Keterangan Tambahan Presiden bertanggal 10 Agustus 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah pada 12 Agustus 2021

Keterangan Tambahan tertulis yang merupakan satu kesatuan yang tidak


terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang telah disampaikan terdahulu,
sebagai berikut:
I. Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA

1. Bagaimana Pemerintah menjelaskan kepada Mahkamah bahwa


metode omnibus law itu, itu fit dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Karena apa? Di dalam naskah akademik yang disampaikan kepada
kami di Mahkamah Konstitusi, itu tidak ada penjelasan yang
mengaitkan kesesuaian metode omnibus law ini dengan Undang-
Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Satu, soal
kesesuaian itu. Yang kedua, kira-kira di internal Pemerintah, diskusi-
diskusi apa saja atau pembahasan apa saja yang dilakukan terkait
dengan metode ini terutama dalam mengaitkan dengan hukum
positif yang masih berlaku?

Penjelasan/Tanggapan:
A. Umum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
Cipta Kerja) telah dibahas dan disetujui oleh Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga telah sesuai dengan Pasal 20
ayat (2) UUD 1945, serta telah melalui tahapan-tahapan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta
perubahannya (UU 12/2011 beserta perubahannya), sehingga UU
Cipta Kerja telah sesuai dengan UUD 1945 dan UU 12/2011 beserta
perubahannya. Tahapan-tahapan pembentukan UU Cipta Kerja
sendiri telah diuraikan dalam Keterangan Presiden yang
disampaikan kepada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 16 Juni 2021.
250

Secara hierarki UU 12/2011 beserta perubahannya bukan


merupakan batu uji terhadap UU Cipta Kerja karena pengujian UU
hanya terhadap UUD 1945. Hal ini berdasarkan yurisprudensi:
1. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK) No. 27/PUU-
VII/2009, hal. 91-92:
...Mahkamah berpendapat bahwa pengujian Undang-
Undang dilakukan antara Undang-Undang terhadap
UUD 1945, bukannya diuji dengan Undang-Undang
atau yang lain, dalam hal ini UU 10/2004. Materi UU
10/2004 diantaranya dimaksudkan untuk mengatur tata
cara pembentukan Undang-Undang yang baik. Adanya
kekurangan dalam suatu pembentukan Undang-Undang
karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam UU 10/2004, tidak dengan serta merta
menyebabkan Undang-Undang tersebut batal…”

2. Yurisprudensi MK No. 73/PUU-XII/2014, hal. 211-212:


“...Sekiranya terjadi dalam proses pembahasan tidak
sepenuhnya mengikuti tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan (UU 12/2011) atau tidak sesuai
dengan ketentuan tata tertib DPR, menurut
Mahkamah, tidak serta merta menjadikan Undang-
Undang tersebut inkonstitusional sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas. Norma yang ada dalam
Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan tata tertib DPR mengenai
pembentukan Undang-Undang hanyalah tata cara
pembentukan Undang-Undang yang baik jika ada materi
muatan yang diduga bertentangan dengan konstitusi
dapat dilakukan pengujian materiil terhadap pasal-pasal
tertentu karena dapat saja suatu Undang-Undang yang
telah dibentuk berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan tata tertib DPR justru materi
251

muatannya bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya


dapat juga suatu Undang-Undang yang telah dibentuk
tidak 1 berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang pembentukan peraturan perundang-undangan
dan peraturan tata tertib DPR justru materi muatannya
sesuai dengan UUD 1945.”

B. Pengertian Omnibus law, Praktik, dan Kesesuaiannya dengan


Hukum Positif di Indonesia
1. Pengertian Omnibus law
Omnibus law merupakan suatu metode penyusunan peraturan
perundang-undangan yang diterapkan untuk menyusun
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Undang-Undang Cipta Kerja). Berbagai literatur telah
memberikan pengertian atau penjelasan mengenai omnibus
law.
Secara harfiah, kata omnibus berasal dari bahasa latin yang
artinya segalanya atau semuanya (for everything). Dalam
penjelasan yang lain, Barbara Sinclair mendefinisikan omnibus
law sebagai:
“Legislation that addresses numerous and not
necessarily related subjects, issues, and programs, and
therefore is usually highly complex and long, is referred
to as omnibus legislation”.
Berdasarkan pandangan Barbara di atas, dapat disimpulkan
bahwa omnibus law merupakan teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan dimana 1 (satu) undang-
undang memuat berbagai materi/subjek/permasalahan.

Lebih lanjut Jimly Asshidiqie mendefinisikan Omnibus law


sebagai berikut:

”yaitu undang-undang yang menjangkau banyak materi


atau keseluruhan materi undang-undang lain yang saling
berkaitan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Praktik semacam ini tentu tidak lazim di dalam tradisi ‘civil
law’ tetapi untuk seterusnya dipandang baik dan terus
dipraktikkan sampai sekarang dengan sebutan sebagai
“omnibus law” atau UU Omnibus”
252

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Black’s Law Dictionary


terdapat istilah omnibus bill yang berarti:

1. A single bill containing various distinct matters, usu.


drafted in this way to force the executive either to
accept all the unrelated minor provisions or to veto the
major provision.

2. A bill that deals with all proposals relating to a


particular subject, such as an "omnibus judgeship bill"
covering all proposals for new judgeships or an
"omnibus crime bill" dealing with different subjects
such as new crimes and grants to states for crime
control.

Apabila diterjemahkan secara bebas, omnibus bill berarti


sebuah undang-undang yang mengatur dan mencakup
berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda atau
mengatur dan mencakup semua hal mengenai suatu jenis
materi muatan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan kemudian bahwa omnibus
law merupakan metode untuk membuat sebuah regulasi atau
undang-undang yang terdiri atas banyak subyek atau materi
pokok untuk tujuan tertentu guna menyimpangi suatu norma
peraturan. Omnibus law berbeda dengan rancangan peraturan
kebanyakan khususnya dalam hal jumlah materi muatan yang
dicakup, banyaknya pasal yang diatur (ukuran), dan terakhir
dari sisi kompleksitas. Dalam sebuah undang-undang,
omnibus law mencakup hampir semua substansi materi yang
berhubungan serta mencerminkan adanya sebuah integrasi,
kodifikasi peraturan yang tujuan akhirnya adalah untuk
mengefektifkan penerapan peraturan tersebut.

2. Manfaat Penerapan Metode Omnibus law


Beberapa manfaat dari penerapan omnibus law dalam proses
penyusunan peraturan perundang-undangan:
253

a. Memperbaiki Tata Kelola Peraturan Perundang-


Undangan (Penyederhanaan dan Penyelarasan
Hukum)

Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan


dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum
mampu menciptakan stabilitas, dapat diprediksi, dan adil.
Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem
ekonomi untuk berfungsi. Sementara itu, aspek keadilan,
seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah
laku Pemerintah, diperlukan untuk menjaga mekanisme
pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Oleh
karena itu, infrastruktur hukum menjadi instrumen yang
sangat penting karena semakin baik kondisi hukum dan
undang-undang, maka pembangunan ekonomi akan
semakin baik pula.

Dalam konteks ini, berdasarkan pandangan Glen S.


Krutz, omnibus law memberikan manfaat yaitu
mencegah ketidakpastian hukum yang muncul pasca
pembentukan satu undang-undang yang hanya memuat
satu materi tertentu akibat potensi pertentangan dengan
undang-undang lainnya. Manfaat ini selaras dengan
tujuan yang hendak dicapai oleh Pemerintah yaitu
menekan jumlah regulasi yang terlalu banyak/obesitas
regulasi.

Selain itu, omnibus law dapat membuat kondisi


peraturan perundang-undangan menjadi lebih selaras
dan serasi. Keselarasan dan keserasian hukum perlu
diperhatikan mengingat dalam hukum dikenal adanya
suatu asas lex posterior derogat legi priori (suatu
peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang lama) dan asas lex specialis derogat legi
generalis (suatu peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus mengesampingkan/mengalahkan
254

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum).


Dalam suatu undang-undang yang menerapkan metode
omnibus law, terdapat berbagai sektor dan bidang hukum
yang berbeda-beda namun saling terkait dan terhubung
satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan
yang komprehensif, bulat, dan utuh. Penyusunan
berbagai undang-undang ke dalam satu undang-undang
memberikan kesempatan bagi pembentuk peraturan
perundang-undangan untuk mengharmonisasikan
berbagai peraturan tersebut secara bersamaan.

Penataan kembali peraturan perundang-undangan dan


tata kelola di Indonesia bukan lagi hal periode selalu yang
baru dilakukan, pada setiap pemerintahan reformasi
regulasi dijadikan program pemerintah, penataan
kembali tersebut dapat menggunakan metode
transplantasi omnibus law dan consolidation law yang
ada dalam tatanan metode ilmu perundang-undangan,
dengan harapan penggunaan metode tersebut dapat
menata kembali norma hukum yang telah diundangkan
dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

b. Menghemat waktu dan mempersingkat proses


legislasi
Adam M. Dodek menjelaskan bahwa manfaat dari teknik
omnibus adalah pembentukan undang-undang menjadi
lebih efisien. “Omnibus bills are efficient because they
permit the bundling of enactments or amendments to
multiple statutes in a single bill. When these relate to the
same subject matter, they may facilitate parliamentary
consideration of that particular area”. Pada umumnya,
proses amandemen atau revisi undang-undang
dilakukan dengan tidak efektif dan tidak efisien serta
membutuhkan waktu yang lama karena hanya merevisi
satu undang-undang saja. Namun, dengan diadopsinya
255

teknik omnibus, permasalahan tersebut dapat


terselesaikan.

c. Kemudahan untuk mencapai kesepakatan atau


persetujuan rancangan legislasi baru dan
menghindarkan dari kebuntuan politik.
Selaras dengan dua manfaat sebelumnya, Louis
Massicotte menyampaikan:

Omnibus bills, when present in legislatures where


members are free to vote as they wish, may include
the outcome of complex negotiations between self-
interested legislators.
Mengingat substansi omnibus law sangat beragam dan
kompleks, maka kemungkinan penolakan terhadap
keseluruhan isi omnibus law oleh partai minoritas/oposisi
menjadi terhindarkan karena partai oposisi memiliki opsi
menolak suatu substansi namun di sisi lain menyetujui
substansi lainnya.

3. Praktik Penerapan Metode Omnibus law di Beberapa


Negara di Dunia

Menurut House of Commons Procedure and Practice Kanada,


praktik penyusunan peraturan perundang-undangan dengan
metode omnibus muncul pertama kali pada Tahun 1888, ketika
suatu rancangan undang-undang diajukan untuk menyetujui 2
(dua) perjanjian jalan rel yang terpisah. Bahkan, pada Tahun
1868, Parlemen Kanada mengesahkan sebuah undang-
undang dalam waktu yang terbatas yang di dalamnya terdapat
beberapa undang-undang, yang dapat diidentifikasikan
karakternya sebagai omnibus bill yang pertama disahkan.

Disamping itu, Kanada pun pernah mengundangkan omnibus


bill lainnya, seperti the Energy Security Act pada tanggal 26
Februari 1982. Bill ini mengatur perubahan atas 13 (tiga belas)
Perubahan undang-undang di antaranya:
256

a. Petroleum Administration Act;

b. National Energy Board Act;

c. Foreign Investment Review Act;

d. Canada Business Corporations Act;

e. Petro-Canada Act;

f. Energy Supplies Emergency Act;

g. Oil Substitution and Conservation Act;

h. Energy Supplies Emergency Act;

i. Adjustment of Accounts Act;

j. Petroleum Incentives Program Act;

k. Canadian Ownership and Control Determination Act;

l. Energy Monitoring Act; dan

m. Motor Vehicle Fuel Consumption Standards Act.

Contoh lainnya yaitu Jobs, Growth and Long-term Prosperity


Act atau Bill C-38. Omnibus Bill ini tidak hanya mengatur
mengenai isu fiskal, tetapi juga melakukan perubahan
substantif terhadap hukum lingkungan di tingkat federal.
Cakupannya pun sangat luas dengan lebih dari 400 (empat
ratus) halaman, dan mengubah/mencabut setidaknya 70 (tujuh
puluh) undang-undang.
Beberapa contoh omnibus bill yang lain yaitu ada di Amerika,
seperti dalam undang-undang yang mengatur mengenai
persaingan usaha dalam perindustrian Amerika (The Omnibus
Foreign Trade and Competitiveness Act of 1988). Kemudian
ada juga yang bentuknya dikeluarkan setiap tahun seperti
Omnibus Spending Bill. Peraturan ini mengatur belanja negara
untuk tahun fiskal selanjutnya. Selain urusan fiskal, Omnibus
Spending Bill juga mengatur mengenai urusan politik,
pemilihan umum, modernisasi teknologi, hingga Taylor Force
Act.
257

Selain di Amerika, salah satu negara di Eropa yakni Jerman


juga pernah menggunakan metode omnibus law dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-
undang privasi informasi komprehensif pertama di dunia
adalah sebuah undang-undang negara bagian yang disahkan
oleh Parlemen Hessian di Wiesbaden, Jerman pada tanggal
30 September 1970. Dalam terminologi yang diterima,
undang-undang ini adalah omnibus law. Undang-undang ini
menetapkan standar peraturan untuk area yang luas, yaitu
negara bagian dan pemerintah daerah Hessen yang kemudian
diikuti oleh negara bagian lainnya, yang kemudian
mempengaruhi bentuk dan isi undang-undang omnibus
federal, Undang-Undang Perlindungan Data Federal Jerman
(Bundesdatenschutzgesetz, atau BDSG).
Sementara itu, di Irlandia pada tahun 2007 pernah disahkan
sebuah undang-undang (The Statute Law Revision Act 2007)
yang mencabut sebanyak 3.225 (tiga ribu dua ratus dua puluh
lima) undang-undang, yang dapat dikatakan sebagai sebuah
rekor dunia. Undang-undang ini mencabut banyak peraturan
awal tahun 1922 dari Irlandia, Inggris, Britania Raya, dan
Inggris Raya.
Selain itu, Turki juga pernah menerapkan metode omnibus law
dalam penyusunan beberapa undang-undang, salah satunya
adalah undang-undang yang mengenai batasan penjualan
dan periklanan alkohol (The Omnibus law No. 6487 on
Amendment of Some Laws and the Decree Law No. 375) pada
tahun 2013.
Beberapa negara di Asia juga pernah menerapkan metode
omnibus law dalam pembentukan peraturan di negaranya.
Filipina pernah membuat suatu peraturan dengan konteks
yang serupa dengan Indonesia yaitu berkaitan dengan
investasi. The Omnibus Investment Code merupakan
serangkaian peraturan yang memberikan insentif
komprehensif baik fiskal maupun non-fiskal yang
258

dipertimbangkan oleh pemerintah Filipina dalam rangka


pembangunan nasional. Ketentuan The Omnibus Investment
Code mengesampingkan peraturan perpajakan dan memuat
peraturan baru tentang ketentuan pajak bagi daerah yang
telah ditentukan.
Selain itu, Vietnam yang juga merupakan negara civil law
pernah menerapkan omnibus law pada Tahun 2016. Adanya
tumpang tindih peraturan dan panjangnya prosedur legislasi
untuk mengubah suatu peraturan menjadi pertimbangan bagi
Vietnam untuk menggunakan omnibus law. Adapun omnibus
law yang berhasil disahkan diantaranya Law Amending and
Supplementing a Number of Articles of the Law on Value-
Added Tax, the Law on Excise Tax and the Law on Tax
Administration, dimana undang-undang ini mengubah,
menambahkan serta mencabut beberapa pasal yang terdapat
pada Undang-Undang Pertambahan Nilai Pajak, Undang-
Undang Pajak Cukai, dan Undang-Undang Administrasi
Perpajakan. Selain itu, terdapat juga Law Amending and
Supplementing a Number of Articles of the Laws on Taxes
yang mengubah, menambahkan serta mencabut beberapa
pasal yang ada pada Undang-Undang Pajak Penghasilan
Badan Usaha, Undang-Undang Pertambahan Nilai Pajak,
Undang-Undang Pajak Royalti, Undang-Undang Pajak Cukai,
dan Undang-Undang Administrasi Perpajakan, dan Undang-
Undang Pajak Ekspor-Impor.

4. Penerapan Metode Omnibus law di Indonesia

Indonesia membutuhkan terobosan dalam pembentukan


hukum, salah satunya adalah dengan metode omnibus law.
Meski Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara
omnibus law lahir dari tradisi sistem hukum common law,
namun dalam dunia digital ecosystem dan global governance,
terobosan terhadap hal ini bukan sesuatu yang baru, dan
Indonesia perlu melakukan terobosan terhadap ruang batas
ini.
259

Terobosan tersebut diperlukan mengingat kondisi hukum di


Indonesia yang saat ini tengah mengalami permasalahan
diantaranya:

a. Regulasi mengalami konflik


Hal ini dapat terjadi saat sebuah peraturan perundang-
undangan yang secara nyata bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lain.
b. Regulasi inkonsisten
Hal ini dapat terjadi saat sebuah peraturan perundang-
undangan tidak konsisten dengan peraturan perundang-
undangan turunannya.
c. Regulasi yang multitafsir
Hal ini dapat terjadi saat terdapat ketidakjelasan pada
objek dan subjek yang diatur sehingga menimbulkan
ketidakjelasan rumusan Bahasa serta sistematika yang
tidak jelas.
d. Regulasi yang tidak operasional.
Hal ini dapat terjadi saat sebuah peraturan perundang-
undangan tidak memiliki daya guna, namun tersebut
masih berlaku atau peraturan tersebut belum memiliki
peraturan pelaksana.
Selain keempat hal di atas, dunia hukum Indonesia juga
mengalami situasi yang menurut Richard Susskind disebut
sebagai hyper regulation atau istilah lain yaitu obesitas hukum.
Hal ini tercermin dari jumlah peraturan perundang-undangan
di Indonesia sebagaimana dicatat oleh Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia melalui website www.peraturan.go.id
mencapai total 39.654 (tiga puluh sembilan ribu enam ratus
lima puluh empat) peraturan perundang-undangan per 28 Juni
2021 dengan rincian sebagai berikut:

a. Peraturan Pusat sebanyak 3.669 (tiga ribu enam ratus


enam puluh sembilan) peraturan perundang-undangan;
260

b. Peraturan Menteri sebanyak 15.087 (lima belas ribu


delapan puluh tujuh) peraturan perundang-undangan;

c. Peraturan LPNK sebanyak 4.196 (empat ribu serratus


sembilan puluh enam) peraturan perundang-undangan;
dan

d. Peraturan Daerah sebanyak 15.982 (lima belas ribu


sembilan ratus delapan puluh dua) peraturan perundang-
undangan.

Metode omnibus law yang diterapkan dalam sistem hukum


nasional telah, disesuaikan melalui beberapa pendekatan
pertama dengan teori aliran dualisme hukum dan kedua
dengan teori transplantasi hukum, yang pada pokoknya
menyelaraskan dengan hierarki ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal yang kedua yaitu terkait teori
transplantasi hukum, beberapa ahli telah mengemukakan
pendapatnya diantaranya:

a. Alan Watson mengemukakan bahwa transplantasi


hukum merupakan “the borrowing and transmissibility of
rules from one society or system to another”. Definisi
semacam ini disebut sebagai definisi yang yang
mempertimbangkan bukan bisa luas, saja pembentukan
hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula
pengaruh dari tradisi hukum antar masyarakat. Alan
Watson, memperkenalkan istilah legal transplants atau
legal borrowing, atau legal adoption untuk menyebutkan
suatu proses meminjam atau mengambil alih atau
memindahkan hukum dari satu satu negara atau dari satu
bangsa ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian
hukum itu diterapkan di tempat yang baru bersama-sama
dengan hukum yang sudah ada sebelumnya.
261

b. Frederick Schauer memberikan pengertian dari sudut


pandang ahli pemerintahan legal transplantation sebagai
“…the process by which laws and legal institutions
developed in one country are then adopted by another.”

Pada dasarnya, kebijakan hukum transplantasi dari sistem


common law menjadi sistem civil law tidak lagi menjadi
sesuatu yang baru melainkan telah berlangsung lama dari
masa Hindia Belanda sampai saat ini dengan adanya
penyesuaian ke dalam hukum nasional. Bahwa menurut Alan
Watson, transplantasi hukum itu masih ada dan akan terus
hidup dengan baik sebagaimana juga halnya pada masa
Hammurabi.
Dalam kaitannya dengan Indonesia, Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof. Benny Riyanto
menyampaikan bahwa Omnibus law sebuah metode dalam
proses legislasi atau penyusunan regulasi, bukan jenis
peraturan perundang-undangan. Karena itu, proses
pembentukan legislasinya sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011
beserta perubahannya). Pijakan hukum dalam menyusun
Naskah Akademik dan draf RUU Omnibus law adalah UU
12/2011 beserta perubahannya, yang memuat syarat
substantif dan syarat teknis. Syarat substansi yaitu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UU 12/2011 beserta
perubahannya meliputi:

a. Perintah UUD NRI 1945;

b. Perintah Tap MPR;

c. Perintah undang-undang lainnya;


262

d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f. Rencana pembangunan jangka menengah

g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR, dan


rencana strategis DPD;

h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Sedangkan syarat teknis sebagaimana tercantum dalam Pasal


19 UU 12/2011 beserta perubahannya meliputi:

a. Adanya Rancangan Undang-Undang; dan

b. Naskah Akademik.

Adapun pembentukan UU Cipta Kerja salah satunya adalah


untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,
oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau
tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sebagai
perwujudan dari pasal dimaksud, Pemerintah melakukan
berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan
kerja dalam rangka menurunkan jumlah pengangguran dan
menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M)
dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain
itu dalam proses pembentukannya, UU Cipta Kerja dilengkapi
dengan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang,
sehingga dengan demikian baik syarat substansi dan syarat
teknis telah dipenuhi dalam proses pembentukan UU Cipta
Kerja.
UU 12/2011 beserta perubahannya telah mengatur mengenai
tahapan dan proses perencanaan peraturan perundang-
undangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan
263

serta teknik penyusunannya. Dengan demikian perencanaan


dan penyusunan serta teknik penyusunan suatu RUU yang
menggunakan metode Omnibus law mengikuti sepenuhnya
ketentuan yang diatur dalam UU 12/2011 beserta
perubahannya.
Pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan
dalam sistem hukum nasional, baik itu Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja dan Rancangan Undang-Undang
Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, pembentukan
peraturan perundang-undangan yang substansinya mengatur
beberapa ketentuan yang telah ada dan tersebar dalam
produk hukum yang telah diundangkan berbentuk undang-
undang sebagai penyederhanaan pembentukan undang-
undang pemerintah memandang perlu penggunaan metode
omnibus law.
Omnibus law dalam bentuk Undang-Undang bukan UU pokok,
tetapi UU yang setara dengan UU lain yang seluruh atau
sebagian ketentuannya diubah atau dihapus dengan membuat
norma baru.

Indonesia telah menerapkan konsep Omnibus law tersebut


pada beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik


Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 (TAP MPR
I/2003). Lahirnya TAP MPR I/2003 dilatarbelakangi
karena terjadinya perubahan kedudukan, fungsi, tugas,
dan wewenang lembaga negara sebagai akibat
perubahan UUD 1945 pada 1999-2002 mengakibatkan
perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum TAP MPR. Sejumlah TAP MPR yang
terdampak oleh TAP MPR I/2003 yaitu:
264

1) 8 (delapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan


Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2) 3 (tiga) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan;
3) 8 (delapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
di bawah ini tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum
tahun 2004;
4) 11 (sebelas) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya undang-
undang;
5) 5 (lima) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya Peraturan
Tata Tertib Baru oleh MPR hasil Pemilu 2004; dan
6) 104 (seratus empat) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia dinyatakan tidak perlu
dilakukan tindak hukum lebih lanjut karena bersifat
einmalig, telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan.

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang


Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai undang-undang yang jika dilihat
substansinya mengandung ciri sebagai Omnibus law
265

karena dalam satu UU ini berisi pernyataan tentang


status hukum berbagai produk hukum yang secara
substansi mengandung subjek pengaturan berbeda.

c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang


Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi
Undang-Undang. Dengan berlakunya Undang-Undang
ini, mengakibatkan dicabutnya 4 (empat) Undang-
Undang, yakni:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang


Perbankan;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal;
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi; dan
4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini berdampak
pada 6 (enam) undang-undang yang sudah ada
sebelumnya, yaitu mencabut 4 (empat) undang-undang,
yakni:

1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang


Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang;
266

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah;
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;

Selain itu, Undang-Undang Pemerintahan Daerah


mengubah 2 (dua) Undang-Undang, yakni:

1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang


Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan


Umum. Undang-Undang ini berdampak pada 3 (tiga)
undang-undang yang sudah ada sebelumnya, yaitu
mencabut 3 (tiga) undang-undang, yakni:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang


Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;
3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

Dengan demikian, penggunaan metode Omnibus law bukan


merupakan metode baru dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu,
pembentukan UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode
omnibus law dalam penyusunannya merupakan bagian upaya
reformasi hukum yang bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hukum di Indonesia.
267

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disampaikan bahwa,


proses pembentukan (perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan)
dan sistematika (judul, pembukaan, batang tubuh, penutup,
dan penjelasan) UU Cipta Kerja sesuai dengan UU 12/2011
beserta perubahannya.

5. Diskusi serta Pembahasan di Internal Pemerintah


mengenai penggunaan metode Omnibus law dalam
Hukum Positif di Indonesia

a. Pembahasan konsepsi Omnibus law dan muatan


substansi/materi telah dilakukan di internal Pemerintah
yang terbagi dalam 3 (tiga) tingkat pembahasan, yaitu
pembahasan tingkat teknis, pembahasan tingkat menteri,
dan rapat Presiden sebagai berikut:
Tingkat Teknis:

1) Pada tanggal 14 s.d. 15 November 2019,


Kementerian Ketenagakerjaan menyelenggarakan
Rapat Penyiapan Penyusunan Undang-Undang
Cipta Lapangan Kerja di Pomelotel, Jakarta
Selatan. Dalam rapat tersebut diberikan poin-poin
masukan terkait hubungan industrial dan
pandangan-pandangan mengenai kebijakan yang
boleh diambil oleh Pemerintah. (vide Bukti PK-150).
2) Pada tanggal 15 November 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Omnibus law Cipta Lapangan Kerja Klaster
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Grand
Mercure, Jakarta. Dalam rapat tersebut dibahas
identifikasi pasal-pasal dalam sektor pendidikan
dan kebudayaan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan Risk Based Approach (RBA), (vide
268

Bukti PK-7 Keterangan Presiden yang disampaikan


ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 16
Juni 2021).
3) Pada tanggal 16 November 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Omnibus law Klaster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha Terkait Kesehatan di Hotel Grand
Mercure, Jakarta. Dalam rapat tersebut dibahas
perizinan berdasarkan pendekatan Risk Based
Approach (RBA), (vide Bukti PK-8 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
4) Pada tanggal 18 November 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Omnibus law Klaster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha Terkait Kelautan dan Perikanan di Hotel
Lumire, Jakarta. Dalam rapat tersebut dibahas
mengenai konsepsi Omnibus law terkait perizinan
sektor. (vide Bukti PK-9 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
5) Pada tanggal 19 November 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Omnibus law Cipta Lapangan Kerja Klaster
Penyederhanaan Perizinan Berusaha terkait
Pertahanan dan Keamanan di Hotel Grand
Mercure, Jakarta. Dalam rapat tersebut di-
identifikasi pasal-pasal dalam sektor pertahanan
dan keamanan yang berkaitan dengan
pelaksanaan perizinan dengan pendekatan Risk
Based Approach (RBA), (vide Bukti PK-10
269

Keterangan Presiden yang disampaikan ke


kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 16
Juni 2021).
6) Pada tanggal 22 November 2019, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD)
Omnibus law Penyusunan Naskah Akademik dan
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta
Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM di
Yogyakarta. Dalam FGD tersebut Prof. Dr. Widodo
Ekatjahjana, S.H., M.Hum. selaku Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-undangan menjelaskan
bahwa Omnibus law merupakan sebuah metode
untuk membentuk regulasi atau Undang-Undang
yang terdiri dari banyak substansi atau materi pokok
untuk tujuan tertentu guna menyederhanakan suatu
norma peraturan (vide Bukti PK-11 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
7) Pada tanggal 28 November 2019, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD)
Omnibus law Penyusunan Naskah Akademik dan
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja
dan Pemberdayaan UMKM di Makassar. Dalam
FGD tersebut Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, S.H.,
M.Hum., C.N., selaku Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional menjelaskan bahwa Omnibus law
merupakan agenda penataan regulasi yang
merupakan bagian dari Kebijakan Pembangunan
Hukum Nasional, selama ini terdapat regulasi yang
membebani masyarakat, dunia usaha, dan
menghambat daya saing nasional sehingga perlu
terobosan hukum untuk memperbaiki kondisi
270

tersebut (vide Bukti PK-12 Keterangan Presiden


yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
8) Pada tanggal 2 Desember 2019, Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan Focus
Group Discussion (FGD) Omnibus law Penyusunan
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-
Undang tentang Cipta Kerja dan Pemberdayaan
UMKM di Medan. Dalam FGD tersebut Prof.
Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D.,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
menjelaskan bahwa Omnibus law merupakan salah
satu instrumen hukum yang diperlukan untuk
memanfaatkan bonus demografi dan keluar dari
jebakan negara berpenghasilan kelas menengah
(vide Bukti PK-13 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
9) Pada tanggal 5-6 Desember 2019, Kementerian
Ketenagakerjaan menyelenggarakan Pertemuan
Pembinaan Komunitas Hukum Kementerian
Ketenagakerjaan Tahun 2019. Dalam pertemuan
tersebut dipaparkan mengenai konsep perubahan
yang akan dilakukan pada sektor Ketenagakerjaan
(vide Bukti PK-151).
10) Pada tanggal 12 Desember 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Penyiapan
RUU Penciptaan Lapangan Kerja Klaster Izin
Lingkungan dan KKP (vide Bukti PK-15 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
11) Pada tanggal 13 Desember 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
271

menyelenggarakan Rapat Koordinasi Penyiapan


RUU Penciptaan Lapangan Kerja Klaster Kawasan
Ekonomi, UMKM dan Industri. Rapat tersebut
membahas mengenai pembuatan norma baru pada
UU Omnibus law tentang Kemudahan Perizinan
Tunggal dan Omnibus law tentang Kriteria Usaha
Mikro dan Kecil (vide Bukti PK-16 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
12) Pada tanggal 15 Desember 2019, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD)
Omnibus law di bidang Lingkungan Hidup. Rapat
tersebut membahas mengenai perubahan-
perubahan dalam beberapa undang-undang yang
termasuk dalam klaster lingkungan hidup di
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja
(vide Bukti PK-17 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
13) Pada tanggal 16 Desember 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Perizinan Berusaha Sektor Pertanian dalam
Rancangan Undang-Undang Penciptaan Lapangan
Kerja. Rapat tersebut membahas mengenai
perubahan beberapa pasal dalam undang-undang
yang termasuk dalam klaster Peningkatan
Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. (vide
Bukti PK-18 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).
14) Pada tanggal 17 Desember 2019, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian
272

menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan


Perizinan Berusaha Sektor Pertanian dalam
Rancangan Undang-Undang Penciptaan Lapangan
Kerja. Rapat tersebut membahas mengenai
perubahan beberapa pasal dalam undang-undang
yang termasuk dalam klaster Peningkatan
Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha (vide
Bukti PK-19 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).

Tingkat Menteri

15) Pada tanggal 9 September 2019, Menteri


Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
tentang Omnibus law (vide Bukti PK-152).
16) Pada tanggal 14 September 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Tentang
Pembahasan Omnibus Law (vide Bukti PK-153).
17) Pada tanggal 20 September 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
tentang Laporan Omnibus law (vide Bukti PK-154).
18) Pada tanggal 30 September 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
tentang Penanganan Omnibus law (vide Bukti PK-
155).
19) Pada tanggal 7 Oktober 2019, Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Koordinasi Pembahasan tentang Omnibus law (vide
Bukti PK-156).
273

20) Pada tanggal 9 Oktober 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Koordinasi Pembahasan tentang Laporan Omnibus
law (vide Bukti PK-157).
21) Pada tanggal 11 Desember 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Penyiapan
Lanjutan Bahan Rapat RUU Penciptaan Lapangan
Kerja Tingkat Menteri. (vide Bukti PK-14
Keterangan Presiden yang disampaikan ke
kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 16
Juni 2021).
22) Pada tanggal 9 Januari 2020, Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Pembahasan Omnibus law (vide Bukti PK-158).
23) Pada tanggal 29 Agustus 2020, Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Pembahasan Isu Lahan, Kawasan, dan Lingkungan
dalam UU Cipta Kerja (vide Bukti PK-159).
24) Pada tanggal 30 September 2020, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pembahasan
Klaster Ketenagakerjaan. (vide Bukti PK-160).
25) Pada tanggal 22 November 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Tentang
Pembahasan Omnibus Law (vide Bukti PK-161).
26) Pada tanggal 12 Desember 2019, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Tentang
laporan Perkembangan Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan
Serta Strategi Komunikasi Dan Konsultasi Publik
Omnibus Law. (vide Bukti PK-162).
274

Rapat Presiden

27) Pada tanggal 11 September 2019, Presiden RI


memimpin Rapat Terbatas tentang Perbaikan
Ekosistem Investasi, dengan pokok-pokok arahan
Presiden antara lain sebagai berikut:
• Proses Omnibus Law agar disampaikan kepada
DPR setelah 20 Oktober 2019;
• Menyelesaikan Naskah Akademik dan DIM serta
seluruh dokumen yang dibutuhkan;
• Membuat Rancangan Omnibus Law menjadi
lebih ringkas sehingga mudah untuk dibahas;
• DIM terkait Ketenagakerjaan telah selesai
dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan;
dan
• Menghapus peraturan yang membuat rumit
investasi (vide Bukti PK-163)

28) Pada tanggal 30 Oktober 2019, Presiden RI


memimpin Rapat Terbatas tentang Program dan
Kegiatan di Bidang Perekonomian, dengan pokok
arahan Presiden untuk memberikan judul Omnibus
Law yang sedang disiapkan dengan judul RUU
Cipta Lapangan Kerja dan meninjau kemungkinan
substansi perubahan UU Ketenagakerjaan untuk
dimasukkan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja
(vide Bukti PK-02 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).

29) Pada tanggal 11 November 2019, Presiden RI


memimpin Rapat Terbatas tentang Program Cipta
Lapangan Kerja, dengan pokok arahan Presiden
antara lain sebagai berikut:
275

• Melakukan pendekatan kepada serikat pekerja


dan menjelaskan semangat Omnibus Law;
• Mengajukan Omnibus Law kepada DPR paling
lambat akhir Desember 2019;
• Muatan Omnibus Law memuat penyederhanaan
perizinan, persyaratan investasi,
ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, riset
dan inovasi, administrasi pemerintahan, dan
sanksi;
• Apabila Omnibus Law dapat ter-realisasi maka
lapangan pekerjaan akan benar-benar terbuka;
dan
• Mengidentifikasi titik-titik resistensi terhadap
Omnibus Law (vide Bukti PK-03 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).

30) Pada tanggal 27 Desember 2019, Presiden RI


memimpin Rapat Terbatas tentang Perkembangan
Penyusunan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja,
dengan pokok-pokok arahan sebagai berikut:
• Semangat dan arah Omnibus Law agar aturan
yang ada menjadi sederhana dan cepat;
• Melihat dampak Omnibus Law terhadap Usaha
Kecil dan Mikro;
• Memperbanyak komunikasi dengan serikat
pekerja;
• Melakukan sosialisasi kepada Pemerintah
Daerah; dan
• Melakukan perbaikan RUU yang akan
disampaikan kepada DPR (vide Bukti PK- 164).

31) Pada tanggal 15 Januari 2020, Presiden RI


memimpin Rapat Terbatas tentang Lanjutan
Pembahasan Perkembangan Penyusunan
276

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus


law Perpajakan, dengan pokok-pokok arahan
Presiden sebagai berikut:
• RUU akan diserahkan kepada DPR setelah
Prolegnas siap;
• Seluruh pimpinan kementerian/lembaga
mengawal dan mengkomunikasikan DIM dengan
DPR;
• Melakukan komunikasi dengan Serikat Pekerja
dan Menteri Ketenagakerjaan melakukan
sosialisasi ke daerah; dan
• Mengajak dan melibatkan partisipasi daerah
untuk membahas hal-hal yang menyangkut
daerah (vide Bukti PK-04 Keterangan Presiden
yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Juni 2021).

2. Bukti PK-23 pemberi keterangan, memang ada semua undangan dan


tanda tangan itu dan ini semuanya, tapi yang belum kami temui
siapa saja stakeholder yang diundang di luar kementerian/lembaga
itu? Tolong itu ditambahkan penjelasannya, biar kami juga tahu
bahwa ternyata ada orang di luar kementerian dan lembaga yang
terlibat sejak dari awal ketika naskah akademik itu dipersiapkan oleh
Pemerintah.

Penjelasan/Tanggapan:

a. Bahwa Bukti PK-23 yang ada dalam Keterangan Presiden


sebagaimana telah diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2021 menjelaskan tahapan
Perencanaan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undangan
tentang Cipta Lapangan Kerja khususnya (Rapat Pleno)
penyelarasan Naskah Akademik serta pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
277

b. Merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 12/2011 beserta


perubahannya juncto. Pasal 52 Perpres 87/2014 bahwa forum
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
melibatkan wakil dari Pemrakarsa, kementerian/lembaga
pemerintah non-kementerian, dan/atau lembaga terkait serta dapat
mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli termasuk dari lingkungan
perguruan tinggi untuk dimintakan pendapat. Sehingga dapat
disimpulkan dalam tahap ini, pelibatan cukup dari internal
pemerintah. Adapun pemangku kepentingan (stakeholder) lain
dilibatkan dalam rapat sebelum pentahapan ini.

c. Bahwa dalam rapat dengan pemangku kepentingan (stakeholder)


lain, Pemerintah merangkum dan memfinalisasi semua masukan
secara substansi terhadap Naskah Akademik dan Draft Rancangan
Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja yang sebelumnya
telah dirangkum dan dijaring dalam rapat-rapat pembahasan
pemerintah dengan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.
Rapat dengan pemangku kepentingan ini sudah kami sampaikan
dalam Bukti PK-7 s.d PK-19 pada Keterangan Presiden
sebagaimana telah diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2021.

d. Untuk memperkuat bukti keterlibatan multi pemangku kepentingan


terkait pembahasan RUU Cipta Kerja, berikut disampaikan bukti
pembahasan/rapat terkait RUU Cipta Kerja:

1) Rapat tanggal 8 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law klaster Penyederhanaan Perizinan Lingkungan, yang
dihadiri oleh: KADIN (vide Bukti PK-165)
2) Rapat tanggal 8 Januari 2020 tentang Rapat Omnibus law
Klaster ESDM dan Ketenaganukliran, yang dihadiri oleh:
KADIN (vide Bukti PK-166).
3) Rapat tanggal 9 Januari 2020 tentang Pembahasan tentang
Omnibus law Klaster Kemudahan, Perlindungan dan
Pemberdayaan UMKM (vide Bukti PK-167), yang dihadiri oleh:
278

a) Asosiasi Pelaku Usaha:

i. KADIN;

ii. HIPPI;

iii. ASEPHI;

iv. INKOWAPI;

v. IWAPI;
b) Law Firm/Firma Hukum: Lusma Rizki (Melli Darsa & Co
– PwC)

4) Rapat tanggal 9 Januari 2020 tentang Omnibus law Klaster


Penyederhanaan Perizinan Berusaha terkait Pertanian (vide
Bukti PK-168), yang dihadiri oleh:
a) Serikat Pekerja:
i. Ridwan Jacub (GAPUSINDO);
ii. Djoni Liano (GAPUSINDO);
b) Asosiasi Pelaku Usaha:
i. KADIN;
ii. PERMAPI;
iii. GAPKI;
iv. GAPMMI;

5) Rapat tanggal 9 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor
Pendidikan dan Kebudayaan (vide Bukti PK-169), yang
dihadiri oleh: Grace Salim (Akademisi - UPH).

6) Rapat tanggal 9 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha terkait
Kehutanan (vide Bukti PK-170), yang dihadiri oleh:
a) Serikat Pekerja:
i. Ishana (NAMPA);
ii. Ridwan Jacub (GAPUSINDO);
iii. Djoni Liano (GAPUSINDO);
iv. G. Ginanjar (GAPUSINDO);
279

b) Asosiasi Pelaku Usaha:


i. KADIN;
ii. GAPKI;
iii. APHI;
iv. GAPMMI;

7) Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Pengenaan Sanksi (vide Bukti PK-171), yang
dihadiri oleh: KADIN

8) Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha Terkait
Pertahanan dan Keamanan (vide Bukti PK-172), yang dihadiri
oleh: KADIN

9) Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha Terkait
Kepariwisataan (vide Bukti PK-173), yang dihadiri oleh:
Asosiasi Pelaku Usaha:
a) GIPI;
b) KADIN;
c) ASTINDO;
d) ASITA;
e) ARKI;
f) PHRI;

10) Rapat tanggal 11 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha Terkait
Kelautan dan Perikanan (vide Bukti PK-174), yang dihadiri
oleh: KADIN

11) Rapat tanggal 13 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi


Lanjutan Pembahasan Tentang Omnibus law (vide Bukti PK-
175), yang dihadiri oleh:
Asosiasi Pelaku Usaha:
280

a) KADIN;
b) APINDO;
c) APRINDO;
d) APRISINDO;
e) REI;
f) GAPKI;
g) APHI;
h) GAPMMI;
i) PHRI;
j) APKI;
k) APBI;

12) Rapat tanggal 13 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi


Penjelasan Tentang Omnibus law Cipta Lapangan Kerja (vide
Bukti PK-94 Keterangan Presiden yang disampaikan ke
kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Juni 2021),
yang dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Bibit Gunawan (KSPSI)

b) Didi H (KSPSI)

c) Tony Pangaribuan (KSPSI AGN)

d) Mustopo M (KSPSI AGN)

e) Eko Darwanto (K-Saburmusi)

f) Iswan Abdullah (KSPI)

g) Ramidi (KSPI)

h) Ridwan H. Aziz (KSPI)

i) Helmy Salim (KSPI)

j) Arnold Sihite (KSPI)

k) Surnadi (KSBSI)

l) Mirah Sumirat (KSPI)

m) Soenarjono (K-Sarbumusi)
281

n) Pawutan SS (KSP)

13) Rapat tanggal 14 Januari 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Cipta Lapangan Kerja (vide Bukti PK-95 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), yang dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Arnold Sihite (KSPI)

b) Elly Rosita (KSBSI)

c) Eko Darwanto (K-Sarbumusi)

d) Ristadi (KSPN)

14) Rapat tanggal 22 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi


Pembahasan tentang Omnibus law Lapangan Kerja (vide Bukti
PK-176), yang dihadiri oleh:

a) Akademisi:

i. Yose Rizal (CSIS)

ii. Raden Pardede (Pakar Ekonomi)

iii. Payaman Simanjuntak (Universitas Indonesia)

iv. Aloysius Uwiyono (Universitas Indonesia)

v. Muhammad Dokhi (STIS)

vi. Ahmad Heri Firdaus (Peneliti Ekonom INDEF)

vii. Prof. M. Zilal Hamzah (Universitas Trisakti)

viii. Eleonora Sofilda (Universitas Trisakti)

ix. Ida Susanti (Universitas Parahyangan)

x. Susilo Andi P (FH UGM)

xi. Asri Wijayanti (Universitas Muhammadiyah


Surabaya)

xii. Agus Mildah (Universitas Usu Medan)

xiii. Fithriatus Shalihah (Universitas Ahmad Dahlan


Yogyakarta)
282

xiv. Umar Kasim (Dosen STHM Jakarta)

xv. Agus G (Universitas Trilogi/STEKPI)

xvi. Dessy Sunarsi (Universitas Sahid Jakarta)

xvii. Linda Kurnia (Universitas Muhammadiyah Surabaya)

xviii. Rumainur (Universitas Nasional)

xix. Gilang Ramadhan (Ketua Trisakti)

b) Asosiasi Pelaku Usaha: Sri Mulyani (APINDO)

c) Law Firm/Firma Hukum:

i. Daniel Minggu (Peradi Soho)

ii. Susanto Hutama (Trimurti Law Office)

iii. Johan Imanuel (Bireven & Partner Law Office)

iv. Adimaz Cahaya P (HKHKI)

v. Yudi Suryo (HKHKI)

vi. Raditya Darmadi (HKHKI)

vii. Raja Sirat (HKHKI)

d) Organisasi:

i. Cut Nurul Aidha (Prakarsa Research)

ii. Wandi S (HMI)

iii. Munawir (HMI)

iv. Fiqri Hakil Nur (HMI)

v. Galih Prasetyo (HMI)

vi. fK. Anam Gumiilar (HMI)

vii. Wendi (HMI)

viii. Yogi Pratama (HMI)

ix. Alwi (HMI)

15) Rapat tanggal 11 Februari 2020 tentang Koordinasi


Pembahasan dan Konsultasi Publik RUU Cipta Kerja
283

Substansi Ketenagakerjaan (vide Bukti PK-97 Keterangan


Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Bibit Gunawan (KSPSI)

b) Hermaito Achmad (KSPSI)

c) Muhammad Husni (KSBSI)

d) Jumadi (KASBI)

e) Kartina (KASBI)

f) Nabila (AFR)

g) Kusmin (SPN)

h) Moh. Isran (KASBI)

i) Indesmunasmar (GEKANAS/FSPI)

j) Saepul Anwar (PPFSPKEPSPSI/GEKANAS)

k) Dalail (K-Sarbumusi)

l) Puji Santoso (SPN)

m) Surya Adam (K-Sarbumusi)

n) Rustadi (KSPN)

o) Arnold Sihite (KSPSI)

p) Wispramoni Budiman (FSPBUN)

q) Betar Sigit Prakoeswa (FSPBUN)

r) Sasmira D (FSPBUN)

s) Gallif F (FSPBUN)

t) Febri Johannes (KASBI)

16) Rapat tanggal 18 Februari 2020 tentang Konsultasi Publik


RUU Cipta Kerja Substansi Ketenagakerjaan (vide Bukti PK-
99 Keterangan Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
284

a) Serikat Pekerja: Evo J (KAHUTINDO)

b) Asosiasi Pengusaha: APINDO

17) Rapat tanggal 26 Februari 2020 tentang Klaster


Ketenagakerjaan vide Bukti PK-103 Keterangan Presiden
yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi
tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Ely Yudiana (KSPI)

b) Said Iqbal (KSPI)

c) Andi Handoko (KSPI)

d) M. Lubis (KSPI)

e) Didi Suprijal (KSPI)

f) Arif Minardi (FSPLEM)

g) Indra Munaswar (KSPI)

h) Radi Yanito (KSPI)

i) Rahman Akbar (KSPI)

18) Rapat tanggal 5 Mei 2020 tentang Pembahasan Omnibus law


Ketenagakerjaan vide Bukti PK-112 Keterangan Presiden
yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi
tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Andi Gani Nenawea (Presiden KSPSI)

b) Hermanto Achmad (Sekjen KSPSI)

c) Elly Rosita (Presiden KSBSI)

d) Dedi Herdianto (Sekjen KSBSI)

e) Said Iqbal (Presiden KSPI)

f) Ramidi (Sekjen KSPI)

19) Rapat tanggal 10 Juni 2020 tentang Pembahasan Omnibus


law Ketenagakerjaan vide Bukti PK-116 Keterangan Presiden
285

yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi


tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Yorris Raweyai Presiden (KSARBUMUSI)

b) Eko DarwantoPerwakilan Presiden (KSARBUMUSI)

c) Muchtar Pakpahan Ketua Umum (KSBSI)

d) Ruth Pakpahan (KSBSI)

e) Khoirul Anam Presiden (FKAHUTINDO)

f) Ahmad Irfan Nasution (KSPSI)

g) Andi S (KSPSI)

h) Agus D. (KSPSI)

i) Elly Rosita Silaban (KSBSI)

j) Dedi H (KSBSI)

k) Saut Pangaribuan (KSBSI)

l) Said Iqbal (KSPI)

m) Ramidi (KSPI)

n) Lukman (KSPI)

o) R Abdullah (FSP KEP)

p) Bambang Surjono (FSP KEP)

q) Mirah Sumirat (FSP KEP)

r) Agus Darsana (FSP TSK)

s) Vanny Sompie (FSP TSK)

t) Riden (FSPMI)

u) Djoko Harjono (SPN)

v) Ary Joko Sulistyo (Gartex)

w) Harris M (Nikeuba)

20) Rapat 3 Juli 2020 tentang Pembahasan Tripartit RUU Cipta


Kerja Klaster Ketenagakerjaan (vide Bukti PK-124 Keterangan
286

Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah


Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:

i. Andi Gani Nena Wea (KSPSI)


ii. Yorris Raweyai (KSPSI)

iii. H. Said Iqbal (KSPI)

iv. Elly Rosita Silaban (KSBSI)

v. Ristadi (KSPN)

b) Asosiasi Pengusaha:

i. KADIN

ii. APINDO

21) Rapat tanggal 10 s.d. 11 Juli 2020 tentang Pembahasan


Tripartit RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan (vide Bukti
PK-126 Keterangan Presiden yang disampaikan ke
kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Juni 2021),
dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:
i. Hermanto Achmad (KSPSI)

ii. Saepul Anwar (KSPSI)

iii. Al Mansyur Ayyubi (KSPI)

iv. Bibit Gunawan (KSBSI)

v. Arnod Sihite (KSBSI)

vi. Riden Hatam A (KSPI)

vii. Djoko H (KSPI)

viii. Said Ikbal (KSPI)

ix. Dedi Hardianto (KSBSI)

x. Saut Pangaribuan (KSBSI)

xi. Haris Manalu (KSBSI)

xii. Beny Rusli (KSPN)


287

xiii. Eko Darwanto (KSARBUMUSI)

xiv. Beta R Sigit Prakoeswa (FSP BUN)

xv. Agus Salim (FSP KAHUTINDO)

b) Asosiasi Pengusaha:

i. APINDO

ii. KADIN

22) Rapat tanggal 13 s.d. 16 Juli 2020 tentang Pembahasan


Tripartit RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan vide Bukti
PK-128 s.d. PK-129 Keterangan Presiden yang disampaikan
ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Juni
2021), dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:

i. Saut Pangaribuan (KSBSI)

ii. Haris Manalu (KSBSI)

iii. Beny Rusli (KSPN)

iv. Arnod Sihite (KSBSI)

v. Dedi Hardianto (KSBSI)

vi. Dalail (KSARBUMUSI)

vii. Bibit Gunawan (KSBSI)

viii. AL Mansyur Ayubi (KSPI)

ix. Sumadi (KSBSI)

x. Markus (KSBSI)

xi. Beta R Sigit Prakoeswa (FSPBUN)

xii. Sunardi (KSBSI)

xiii. Julian (KSBSI)

xiv. Untung Riyadi (KSPSI)


288

b) Asosiasi Pengusaha:

i. KADIN

ii. APINDO

23) Rapat tanggal 20 Juli 2020 tentang Pembahasan Tripartit RUU


Cipta Kerja (vide Bukti PK-130 Keterangan Presiden yang
disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah Konstitusi tanggal
17 Juni 2021), dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:
i. Arnod Sihite (KSPSI)

ii. Saut Pangaribuan (KSPSI)

iii. Harris Manalu (KSPSI)

iv. Beny Rusli (KSPN)

v. Eko Darwanto (KSBMI)

vi. Beta R Sigit Prakoeswa (FSPBUN)

vii. Julian (KSBSI)

viii. Untung Riyadi (KSPSI)

ix. Surnadi (KSBSI)

x. Dalail (KSBMI)

b) Asosiasi Pengusaha:

i. KADIN

ii. APINDO

24) Rapat tanggal 23 Juli 2020 tentang Pembahasan RUU Cipta


Kerja Klaster Ketenagakerjaan (vide Bukti PK-133 Keterangan
Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Saut Pangaribuan (KSBSI)

b) Harris Manalu (KSBSI)

c) Julian (KSBSI)
289

d) Untung Riyadi (KSBSI)

25) Rapat tanggal 30 Juli 2020 tentang Pembahasan Tripartit RUU


Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan (vide Bukti PK-135
Keterangan Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan
Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Juni 2021), dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:

i. Saut Pangaribuan (KSBSI)

ii. Harris Manalu (KSBSI)

iii. Elly Rosita (KSBSI)

iv. Dedi (KSBSI)

v. Yorris R (KSBSI)

vi. Arnod Sihite (KSBSI)

vii. Eko Darwanto (KSBMI)

viii. Beta R Sigit Prakoeswa (FSPBUN)

ix. Beny Rusli (KSPN)

x. Ristadi (KSPN)

b) Asosiasi Pengusaha:

i. KADIN

ii. APINDO

e. Sebelumnya, Pemerintah telah melakukan evaluasi terhadap UU


No.13 Tahun 2003, yang dimaksudkan untuk mengetahui kondisi
hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam evaluasi
ini diperoleh gambaran mengenai tingkat sinkronisasi, harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari UU
No.13 Tahun 2003 untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Beberapa pertemuan dalam rangka evaluasi terhadap
UU No.13 Tahun 2003 dengan stakeholders (pengurus/anggota
serikat pekerja dan serikat buruh, asosiasi pelaku usaha, akademisi,
dan praktisi) dilakukan sebelum adanya Surat Presiden tentang
290

RUU Cipta Kerja. Dalam perkembangannya, UU No.13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu klaster yang ada
dalam RUU Cipta Kerja (omnibus law). Pertemuan tersebut antara
lain:

1) FGD tanggal 16 s.d. 17 September 2019 tenang Diskusi


Akademisi dan Praktisi Ketenagakerjaan Mengenai Regulasi
Bidang Hubungan Industrial (vide Bukti PK-177), yang hadiri
oleh:

a) Akademisi:

i. Dr. Eleonora Sofilda, M.Si.

ii. Prof. H. Muhammad Zilal Hamzah, Ph.D.

b) Praktisi:

i. Yunus Trionggo, Bridgestone Indonesia (Ketua SC


GNIK)

ii. Aloysius Budi Santoso, Astra Group (SC GNIK)

iii. Rudy Afandi, XL Axiata (SC GNIK)

2) FGD tanggal 10 Desember 2019 tentang Dialog Arah


Pengupahan Kedepan (vide Bukti PK-178), yang dihadiri oleh:

a) Akademisi: Dr. Dwini Handayani

b) Praktisi: Hilda, PT NGK Busi Indonesia

3) FGD tanggal 4 Desember 2019 tentang Dialog Hubungan


Industrial “Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0” (vide
Bukti PK-179), yang dihadiri oleh:

a) Serikat Pekerja:

i. Efendi Lubis (KSBSI)

ii. Sofyan Abdul Latef (FSP PAR-REF)

iii. Bambang Prasanto (SPSI AGN)

iv. Saut H. Aritonang (SBM SETIAKAWAN)

v. Timboel Sinagar (OPSI)


291

vi. Anny Simanjuntak (KSPI)

vii. Enung Yani (FSP KEP)

viii. Ichsan (FKSPN)

ix. Saut Pangaribuan (DPP FPE)

b) Akademisi: Dhiky Pudya Gilangjati, S.Sos.

4) FGD tanggal 9 Desember 2019 tentang Dialog Pengupahan


dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (vide Bukti PK-180),
yang dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) F.E. Kayadoe (KSPSI 1973)

b) Hermawan H.S. (KSN)

c) Matius Santoso (KSP RNI)

d) Djoko Heriyono (SPN)

5) FGD tanggal 16 Desember 2019 tentang Perubahan


Ekosistem Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Cipta
Lapangan Kerja (vide Bukti PK-181), yang dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Bibit Gunawan (FSP NIBA KSPSI)

b) Ristadi (FKSPN)

6) FGD tanggal 18 Desember 2019 tentang Rapat Pembahasan


Perubahan Ekosistem Ketenagakerjaan untuk Peningkatan
Lapangan Kerja (vide Bukti PK-182), yang dihadiri oleh:
Serikat Pekerja:

a) Fahmi Amrozi (KSBDSI)

b) M. Muhaimin (RNI)

c) HM. Nurdin Singadedja (KSPSI AGN)

d) Hendrik Hutagalung (KSBSI)

e) Aditya Adzi (KS Nusantara)

f) Helmy Salim (KSPSI YR)


292

g) Hermawan (KS Nasional)

h) Buri Haryanto (KSPSI 1973)

i) Suyanto (KSP BUMN)

7) FGD tanggal 20 Desember 2019 tentang Sistem Pengupahan


yang Adil dan Berdaya Saing (vide Bukti PK-183), yang
dihadiri oleh:

a) Akademisi:

i. Dr. Eleonora Sofilda, M.Si.

ii. Prof. H. Muhammad Zilal Hamzah, Ph.D.

b) Serikat Pekerja:

i. Arsukman Edi (SPSI Sumbar)

ii. Suarman Muaz (FSPP Kota Padang)

iii. Paiman (SPSI Kota Padang)

c) Praktisi:

i. Suryadi (PT. Ansar Terang Crushindo)

ii. Serli Wahyuni (PT. Kijang Lima Gunung)

iii. Zulhendri (PT. Batanghari Barisan)

iv. Wilker Sitio (PT. Abaisiat Raya)

Hasil evaluasi UU No. 13 Tahun 2003 dengan stakeholders tersebut


menjadi bagian pembahasan dan usulan substansi RUU Cipta
Kerja.

3. Kami ingin dapat juga gambaran seberapa sederhana kemudian


pendelegasian yang diberikan kepada peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang? berapa banyak pendelegasian kepada peraturan
yang lebih rendah itu di mana bisa ditemukan, apakah dalam naskah
akademik?
293

Jawaban/Tanggapan

a. Melalui penerapan pendekatan pengaturan tersebut, telah diidentifikasi


498 (empat ratus sembilan puluh delapan) Peraturan Pemerintah dan 15
(lima belas) Peraturan Presiden yang perlu diterbitkan dalam naskah
akademik RUU Cipta Kerja. Setelah pembahasan dengan DPR dan
disepakati dalam UU Cipta Kerja, jumlah amanat pembentukan Peraturan
Pemerintah menjadi 441 (empat ratus empat puluh satu). Sedangkan,
jumlah amanat pembentukan Peraturan Presiden menjadi 11 (sebelas).

b. Pengaturan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden tersebut


sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja, menerapkan pula
metode Omnibus law yaitu penerbitan suatu peraturan perundang-
undangan dilakukan dengan mengubah atau mencabut peraturan
perundang-undangan yang memiliki pengaturan serupa. Hal ini dilakukan
sebagai cara untuk melakukan penyederhanaan dalam penerbitan
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Cipta Kerja.

c. Penyederhanaan tersebut tercermin dalam jumlah Peraturan Pemerintah


yang telah diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja,
yang berjumlah 48 (empat puluh delapan) Peraturan Pemerintah.
Demikian pula halnya dengan Peraturan Presiden yang hanya berjumlah
4 (empat) Peraturan Presiden.

d. Lebih jauh, penyederhanaan tersebut dapat dilihat dengan adanya


pembentukan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang
mencabut lebih dari 1 (satu) Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang telah ada sebelumnya. Penerbitan Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Presiden yang mencabut lebih dari 1 (satu) Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden yang telah ada sebelumnya adalah:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Kehutanan yang mencabut 10 (sepuluh)
Peraturan Pemerintah, yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang


Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
294

Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4452)

b) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata


Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
326, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5794)

c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang


Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5112).

d) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2012 tentang Perubahan


Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan

e) Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2015 tentang


Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasaan Hutan.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata


Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4696) .

g) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4814)

h) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana


Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4207)
295

i) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002
tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4776)

j) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi


Sumber Daya Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3759)

2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang yang mencabut 2 (dua)
Peraturan Pemerintah, yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103)
b) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian
Peta Rencana Tata Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5393)

3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang mencabut 5 (lima) Peraturan Pemerintah, yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3816;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3853)
296

c) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Mutu Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161)
d) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285)
e) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 333,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5617)

4) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Bidang Perdagangan yang mencabut 2 (dua)
Peraturan Presiden, yaitu:

a) Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2018 tentang Penetapan


Dan Pendaftaran Barang Terkait Dengan Keamanan,
Keselamatan, Kesehatan, Dan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 131)
b) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan
Toko Modern

5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan,


Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah yang mencabut 1 (satu) Peraturan Pemerintah
dan 2 (dua) Peraturan Presiden, yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404)
297

b) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2013 tentang


Pengembangan Inkubator Wirausaha (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 66)
c) Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan
untuk Usaha Mikro dan Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 222)

6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum yang mencabut 5 (lima) Peraturan Presiden,
yaitu:

a) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang


Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 156)
b) Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
c) Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
d) Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
e) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum

7) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak


Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan
298

Pendaftaran Tanah yang mencabut 2 (dua) Peraturan Pemerintah,


yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak


Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3643)
b) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang
Asing Yang Berkedudukan di Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 325, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5793)

8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus yang mencabut 2
(dua) Peraturan Pemerintah, yaitu:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang


Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6453); dan
b) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas
dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6472)

9) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha


Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman
Modal yang mencabut 2 (dua) Peraturan Presiden, yaitu:

a) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan


Persyaratan penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan
299

Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang


Penanaman Modal
b) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka
dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 97).

e. Selanjutnya, terdapat pula Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden


yang diterbitkan dan mencabut Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden yang telah ada sebelumnya agar sesuai dengan tujuan dari
pembentukan UU Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden tersebut, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang
mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90,
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215).
2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang mencabut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Bangunan dan
Instalasi di Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6459).
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Informasi Geospasial, yang mencabut Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502).
4) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
300

Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532).
5) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Pertanian, yang mencabut Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509).
6) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang mencabut
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6344)
7) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Rumah Susun, yang mencabut Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3372.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing, yang mencabut Peraturan Presiden Nomor 20
Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 39).
9) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan,
yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5747)
10) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar
Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan
Pembubaran Perseroan Yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha
Mikro dan Kecil, yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2016 tentang perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas
301

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 137,


tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5901).
11) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta
Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari
Serta Berada di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 17, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5277).

f. Selain itu, penyederhanaan tersebut dapat dilihat pula dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko, yang mencakup 18 sektor kegiatan usaha.
Selama ini, pengaturan NSPK perizinan berusaha diatur oleh masing-
masing Menteri/Kepala Lembaga, bahkan Pemerintah Daerah. Dalam
UU Cipta Kerja terdapat amanat sebanyak pendelegasian terhadap 126
(seratus dua puluh enam) peraturan perundang-undangan yang terdiri
atas 47 (empat puluh tujuh) pendelegasian terkait NSPK dan 79 (tujuh
puluh sembilan) pendelegasian terkait perizinan. Ke-124 (seratus dua
puluh empat) pendelegasian tersebut kemudian disatukan dalam satu
Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP
5/2021). Dengan diterbitkannya PP 5/2021 tersebut, Menteri/Kepala
Lembaga, bahkan Pemerintah Daerah harus berpedoman pada PP
tersebut dalam hal terkait NSPK Perizinan Berusaha.

4. Kami diberi penjelasan yang elaboratif terkait adanya 5 versi naskah


itu. Ada naskah versi 905 halaman yang disetujui dalam Sidang
Paripurna tanggal 5 Oktober, ada naskah versi 1.028 halaman yang
diunggah di laman DPR, ada naskah versi 1.035 halaman, 20 … 12
Oktober siang, ada naskah versi 812 halaman, 12 Oktober malam,
ada naskah versi 1.187 halaman, 21 Oktober ketika itu. Tolong
Pemerintah memberikan klarifikasi terhadap perbedaan-perbedaan
302

naskah ini! Kami hanya ingin tahu perubahan-perubahan apakah


yang terjadi dari 1 naskah ke naskah lain itu.

Karena apa? Secara konkret, Pak Menko Perekonomian, itu memang


ada pengakuan atau pernyataan dari Menteri Sekretaris Negara yang
menyatakan setelah menerima naskah dari DPR pascapersetujuan
bersama itu, dilakukan beberapa perbaikan teknis. Nah, kami ingin
tahu apa bentuk perbaikan teknis yang dilakukan setelah naskah itu
sampai ke tangan pemerintah, sehingga kami bisa membandingkan
naskah yang disetujui bersama. Kemudian, naskah yang direvisi
secara teknis oleh Kesekretariatan Jenderal DPR. Naskah yang
disampaikan dari DPR ke pemerintah. Kemudian, naskah yang
diperbaiki secara teknis oleh Kementerian Sekretariat Negara itu.
Nah, ini bisa untuk melacak seberapa substansial sih, perubahan
yang dilakukan setelah persetujuan bersama itu?

Jawaban/Tanggapan

a. Versi resmi dari RUU Cipta Kerja yang ditindaklanjuti oleh


Pemerintah adalah sesuai dengan poin Keterangan Presiden vide-
Bukti PK-89 dimana Ketua DPR RI melalui surat Nomor:
LG/12046/DPR RI/X/2020 tanggal 5 Oktober 2020 menyampaikan
kepada Presiden cq. Menteri Sekretaris Negara RUU Cipta Kerja
yang telah mendapatkan persetujuan bersama dalam Rapat
Paripurna ke-7 (tujuh) Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-
2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk mendapat pengesahan
dari Presiden. Sehingga dengan demikian, selain draf RUU yang
disampaikan secara resmi oleh Ketua DPR kepada Presiden bukan
merupakan draf RUU resmi.
b. Kementerian Sekretariat Negara, hanya melakukan penyesuaian
terkait formatting dan pengecekan teknis RUU Cipta Kerja sebelum
kemudian diajukan kepada Presiden untuk dilakukan pengesahan.
c. Formatting yang dilakukan berupa penyesuaian naskah untuk
dituangkan dalam kertas, margin, dan font sesuai standar yang
biasa dilakukan. Kemudian untuk pengecekan teknis dilakukan
dengan pemeriksaan typo dan perbaikan yang sifatnya teknis tanpa
303

merubah substansi dari RUU Cipta Kerja hasil kesepakatan


Pemerintah dengan DPR RI.
d. Selanjutnya Naskah UU Cipta Kerja yang telah di-formatting dan
dilakukan penyesuaian diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

II. Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota WAHIDUDDIN ADAMS

1. Saya minta nanti terutama tekanan dari keterangan Presiden karena


belum diuraikan secara rinci, meskipun tadi dari DPR sudah
menyinggung tentang metode yang dipakai ini adalah metode
Omnibus law. apakah metode ini sudah baku atau nanti akan
dibakukan dan lain sebagainya?
saya kira saya hanya tekan satu untuk pemilihan metode omnibus
law ini apa landasan mungkin juga teorinya dapat diuraikan karena
saya lihat ini pernah dibahas bersama para pakar. Lalu, landasan
yuridisnya, di mana ini kita bisa … karena ini di Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 ini kan perlu metode yang pasti dan baku.
Nah, apakah ini baku? Artinya tidak eenmalig ini, tidak hanya sekali
ini, tapi mungkin pada waktu berikutnya karena kepentingan dan …
apa … desakan keperluan perundang-undangan, kita akan pakai lagi
metode seperti ini. Ya, bahkan tidak mungkin juga tidak … atau tidak
mustahil juga mungkin teman-teman kita di daerah, Perda nya
metode omnibus law juga. Nah, ini bisa terjadi, ya. Jadi, artinya
diberikan jawaban landasan teorinya, kemudian landasan
yuridisnya yang bisa ditarik atau dilihat dari Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 sebagai pedoman pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Jawaban/Tanggapan
Terkait dengan pertanyaan nomor 1 dari Yang Mulia Hakim Anggota
WAHIDUDDIN ADAMS terkait dengan penggunaan metode Omnibus
Law telah kami uraikan pada jawaban pertanyaan Yang Mulia Hakim
Anggota SALDI ISRA nomor 1 (halaman 3).
304

2. Saya mohon nanti kepada Pemerintah dan Presiden juga


menguraikan bahwa RUU Cipta Kerja itu ada di Prolegnas, kemudian
setelah menjadi undang-undang itu cukup banyak PP, Perpres,
mungkin Permen pelaksanaannya. Nah, apakah PP dan Perpres-nya
itu juga sudah ada di dalam Kepres tentang persiapan pembuatan
PP, Perpres? Karena mengingat itu cepat sekali dari 2020 sampai
2021

Tanggapan/Jawaban

a. RUU Cipta Kerja sebagaimana telah disampaikan dalam vide Bukti


PK-20 dan vide Bukti PK-27 Keterangan Presiden yang telah
diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17
Juni 2021 bahwa telah tercantum dalam Prolegnas Jangka
Menengah 2020 – 2024 melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor:
46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional
Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 serta tercantum
dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 dan ditetapkan dalam Rapat
Paripurna penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada
tanggal 22 Januari 2020 sebagaimana tertuang dalam Keputusan
DPR RI Nomor: 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program Legislasi
Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020.
b. Adapun terkait Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja tidak menempuh tahapan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), namun menggunakan instrumen Izin
Prakarsa sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 28 UU
12/2011 beserta perubahannya juncto. Pasal 30 Perpres 87/2014.
c. Bahwa terkait hal tersebut di atas, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian melalui surat Nomor: PH.2.1-272/M.EKON/11/2020
tanggal 11 November 2020 perihal: Izin Prakarsa Penyusunan
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja telah mengajukan permohonan Izin Prakarsa
terhadap peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja kepada Presiden (vide Bukti PK-184).
305

d. Permohonan Izin Prakarsa tersebut kemudian dijawab oleh Menteri


Sekretaris Negara berdasarkan surat Nomor: B-887/M.Sesneg/D-
1/HK.02.02/11/2020 tanggal 24 November 2020 perihal: Izin
Prakarsa Penyusunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada intinya
menyampaikan bahwa Presiden telah menyetujui permohonan Izin
Prakarsa guna Menyusun peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (vide Bukti PK -185).

III. Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota DANIEL YUSMIC P. FOEKH

Kalau sekiranya jumlahnya 78, kalaupun dalam setiap undang-undang


hanya 1 stakeholder, maka patut diperkirakan ada sekitar 78
stakeholders. Ini hanya mau melengkapi yang tadi disampaikan oleh
Yang Mulia Prof. Saldi, “Yang diundang ini, stakeholder ini siapa saja
yang hadir pada waktu mulai tahapan perencanaan dan seterusnya?”

Tanggapan/Jawaban
Terkait dengan pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota DANIEL YUSMIC
P. FOEKH terkait dengan stakeholders yang membahas/menyusun UU Cipta
Kerja telah kami uraikan pada jawaban Yang Mulia Hakim Anggota SALDI
ISRA pada pertanyaan nomor 2 di atas (halaman 24).

IV. Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SUHARTOYO

1. Apa sih, sesungguhnya partisipasi itu? Apakah sekadar diundang,


kemudian hadir? Ataukah sebenarnya ada substansi yang lebih
dalam, yang harus disepakati, yang kemudian menjadi … apa …
kristalisasi daripada norma yang tertuang dalam undang-undang,
yang kemudian dibentuk itu? Itu kan menjadi persoalan lain yang
kemudian harus dijawab oleh Pemerintah dan DPR. Termasuk dalam
Perkara 107/PUU-XVIII/2020 misalnya, juga mempersoalkan
bagaimana tentang nomenklatur omnibus law sendiri yang belum
klir, baik historikalnya, sejarahnya, maupun kemudian tinjauan-
tinjauan yuridis, filosofisnya sebagaimana yang dipersoalkan Pak
Wahiduddin tadi. Nah, itu.
306

Jawaban/Tanggapan
Bahwa Berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12/2011 beserta perubahannya
menyebutkan bahwasa masyarakat berhak memberikan masukkan
secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Prof. Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa konsep
Partisipasi Masyarakat yang tertera pada pasal tersebut diatas berkaitan
dengan salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yakni asas keterbukaan.
Hamzah Halim dan Kemal Ridindo Syahputra mengemukakan
bahwasanya salah satu konsep terkait partisipasi Publik adalah
Partisipasi sebagai kebijakan, yang mana konsep ini berpandangan
bahwa partisipasi merupakan wujud prosedur konsultasi para pembuat
kebijakan kepada masyarakat sebagai subjek peraturan. Meskipun
Partisipasi Masyarakat merupakan suatu wujud daripada asas
keterbukaan dan implementasi nilai-nilai demokrasi namun apabila
dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimana mengatur bahwa Presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR maka
dalam hal ini Presiden sebagai pembuat kebijakan tetap harus melakukan
pengkajian dan penelitian kembali apakah masukan dari masyarakat
tersebut memang diperlukan atau tidak. Hal ini sejalan dengan Pendapat
Prof. Hikmahanto Juwana dalam keterangannya ketika beliau menjadi
Saksi Ahli dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 yang mana dalam
keterangannya beliau mengungkapkan bahwa dalam konteks partisipasi
publik, diperbolehkan untuk memberikan saran, diperbolehkan untuk
memberikan pertimbangan namun, tidak dapat serta merta dijadikan
dasar dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, cara-cara seperti itu diharapkan dapat membentuk
peraturan Perundang-undangan yang baik, dan menampung aspirasi
masyarakat, sehingga ketika pelaksanaannya tidak menimbulkan
permasalahan baru di tengah-tengah masyarakat. Kemudian dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 dalam
keterangan DPR-RI yang menyatakan bahwa “bermanfaat atau tidaknya
suatu rancangan undang-undang tentu tidak dapat memuaskan
307

keinginan seluruh pihak.” Yang diadaptasi dai salah satu tujuan hukum
yang dikemukakan Jeremy bentham “the greatest happiness of the
greatest number” (Happiness and utility: Jeremy Bentham’s Equation: J.H
Burns, Hlm.1) Yang mana dalam konteks ini tujuan perubahan perubahan
atau pembentukkan peraturan perundang-undangan adalah
kemanfaatan atau kedayagunaan untuk sebesar mungkin rakyat
Indonesia yang tentunya tidak semua pihak dapat terpuaskan.
Selanjutnya Masih dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-
XVII/2019 DPR-RI menyatakan bahwa Frasa “Dapat” dalam Pasal 117
Tatib DPR-RI merupakan norma yang bersifat pembebasan (Vrijstelling)
atau pembolehan bagi Anggota, Komisi, atau gabungan komisi, apabila
suatu rancangan undang-undang dianggap perlu meminta masukkan dari
masyarakat sebagai bahan panitia kerja (Pembentuk Undang-Undang)
untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang. Yang
mana dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat memiliki hak
untuk di dengar (right to be heard) namun tidak serta merta juga hak untuk
dipertimbangkan (right to be considered).
Adapun partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja telah
dijabarkan dalam jawaban atas pertayaan Nomor 2 dari Yang Mulia
Hakim Anggota Saldi Isra di atas.

2. Secara faktual menurut Pemohon 107/PUUXVIII/2020 bahwa undang-


undang ini tidak menyederhanakan, malah sebaliknya, kata dia. Nah,
itu yang sebenarnya harus dijawab.

Tanggapan/Jawaban

Terkait dengan pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota DANIEL


YUSMIC P. FOEKH terkait dengan stakeholders yang
membahas/menyusun UU Cipta Kerja telah kami uraikan pada jawaban
Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA pada pertanyaan nomor 3 di atas
(halaman 37).
308

Keterangan Tambahan Presiden bertanggal 24 Agustus 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah pada 25 Agustus 2021

Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA


1. Bagaimana praktik pembentukan Omnibus Law terutama di Kanada?

Penjelasan/Tanggapan:
Negara Kanada adalah negara yang menerapkan sistem hukum yang
didasarkan pada sistem common law dan sistem civil law. Sistem hukum ini
didasarkan pada sistem Inggris dan Prancis dimana para penjelajah dan
penjajah membawa sistem ini ke Kanada pada abad ke-17 dan abad ke-18.
Setelah pertempuran Quebec pada tahun 1759, Kanada tunduk pada hukum
Inggris common law, kecuali Quebec, yang mengikuti sistem civil law.
Selain itu, terdapat juga sistem hukum yang terbangun dari adanya
masyarakat adat terdahulu yang sudah ada sebelumnya. Konstitusi Kanada
mengakui dan melindungi hak-hak perjanjian yang ada. Konsep perjanjian
historis ini terbentuk dari abad ke-17 sampai sekitar tahun 1930, dimana
Pemerintah Kanada membentuk keyakinan bahwa masyarakat adat telah
menyerahkan titel Aborigin ke seluruh Kanada. Perjanjian yang ada beragam,
di satu sisi terdapat usaha dalam membangun hubungan perdamaian dan
persahabatan, di sisi lain juga pengalihan hak atas tanah.
Hukum tertinggi di Kanada ada pada Konstitusi Kanada sehingga segala
peraturan atau hukum yang dibuat oleh pemerintah tingkat federal, provinsi,
atau pemerintahan teritorial yang tidak sejalan dengan konstitusi dianggap
tidak sah. Permulaan konstitusional Kanada melibatkan serangkaian
kesepakatan politik antara dua budaya Eropa, dimana satu didominasi
Bahasa Prancis, katolik, dan diatur oleh civil law, sementara yang lainnya
adalah Bahasa Inggris, lebih heterogen dalam hal agama, dan diatur oleh
common law. Akomodasi bersama dari Warga Negara Kanada yang
berbahasa Prancis dan yang berbahasa Inggris, dan pembentukan
pemerintahan yang mayoritas berbahasa Prancis (Quebec) adalah bagian
penting dari sejarah konstitusional Kanada.
Secara umum terdapat 3 (tiga) tipe peraturan perundang-undangan di
Kanada, yaitu:
a. Statutes, merupakan peraturan yang berupa undang-undang yang
dibahas oleh parlemen federal atau badan legislatif provinsi telah
309

melalui proses voting sebelum keberlakuannya. Statutes merupakan


aturan yang luas yang mengatur kehidupan sehari-hari;
b. Regulations, merupakan peraturan yang dibuat oleh badan federal
atau provinsi, yang merupakan peraturan teknis implementatif dari
statutes; dan
c. Bylaws, merupakan peraturan yang dibuat oleh badan tingkat
kotamadya, yang merupakan peraturan teknis implementatif dari
statutes.
Statutes atau undang-undang merupakan sumber hukum utama di Kanada.
Sebelum berlaku menjadi sebuah hukum, undang-undang harus
mendapatkan persetujuan oleh parlemen. Rancangan Undang-Undang (Bill)
yang diajukan dapat berupa perubahan atau pencabuntan undang-undang
yang sudah ada maupun pembentukan undang-undang yang baru.
Proses pembentukan undang-undang di Kanada yang melibatkan parlemen
adalah sebagai berikut:

a. Memorandum Kabinet disiapkan untuk mendapatkan persetujuan


kebijakan dan dan wewenang untuk perancangan undang-undang baru.
Kabinet merupakan forum Perdana Menteri untuk membuat
kesepakatan diantara menteri di pemerintahan;
b. Berdasarkan keputusan Kabinet, Departemen Kehakiman menyusun
rancangan undang-undang (RUU) yang akan diajukan. Hal ini dilakukan
dengan bekerjasama antara departemen pemerintah atau tim
pengembangan kebijakan dan layanan hukum dari organisasi terkait;
c. First Reading of The Bill, tahapan dimana RUU diajukan baik di House
of Commons atau di Senat;
d. Second Reading of The Bill, tahapan di mana anggota parlemen
memperdebatkan prinsip RUU dan melakukan voting untuk menentukan
apakah perlu dipelajari lebih lanjut;
e. Apabila RUU tersebut lolos, akan dikirim ke Parliamentary Standing
Committee yang akan melakukan kajian secara mendalam,
mengadakan dengar pendapat publik to mendapatkan pandangan and
memungkinkan saran perubahan;
f. Report Stage, tahapan dimana Parliamentary Standing Committee telah
menyelesaikan kajiannya lalu melaporkan RUU terkait kembali ke The
310

House. Kemudian dilakukan perdebatan kembali. Pada tahapan ini,


anggota parlemen dapat menyarankan perubahan terhadap RUU;
g. Third Reading of The Bill, tahapan dimana RUU kembali kepada
anggota parlemen untuk debat final dan melakukan voting, berdasarkan
hasil laporan Committee;
h. Setelah melewati voting, RUU dikirimkan ke Kamar (Chamber) yang
lain, untuk melalui proses yang sama;
i. Ketika RUU telah melewati Lower Chamber dan Upper Chamber, RUU
tersebut diberikan kepada Governor General untuk mendapatkan
persetujuan (Royal Assent) dan kemudian menjadi hukum yang berlaku
di Kanada.

Omnibus bills telah digunakan selama beberapa dekade oleh Pemerintah


Kanada sebagai kendaraan untuk mengusulkan beberapa jenis undang-
undang tertentu ke Parlemen. Terminologi omnibus bill sendiri tidak
didefinisikan secara jelas dalam aturan prosedural, baik di Senat maupun The
House of Commons. Namun, dalam The House of Commons Glossary of
Parliamentary Procedure didefinisikan sebagai “A bill consisting of a number
of related but separate parts that seeks to amend and/or repeal one or several
existing Acts and/or to enact one or several new Acts.”
Berdasarkan kebiasaan dan guidelines di Kanada, tidak ada batasan
seberapa banyak perubahan yang dapat dilakukan dalam satu RUU omnibus
dan tidak ada panjang maksimal untuk satu buah RUU yang akan diajukan.
Misalkan, pada tahun 1960-an dimana Criminal Law Amendment Act baru
disahkan di Kanada. Omnibus bill ini merupakan contoh implementasi
reformasi yang besar terhadap hukum pidana Kanada. Perubahan dibuat
untuk mengatasi masalah hukum terhadap aborsi, kepemilikan senjata,
ancaman panggilan telepon, kekejaman terhadap binatang, lotere, dan
beberapa hal lainnya. RUU tersebut terdiri dari 126 halaman, dan
mengandung 120 klausa. Prinsip dasar dan tujuan dari RUU tersebut adalah
untuk menyesuaikan hukum pidana Kanada dengan nilai-nilai yang berlaku
saat itu.
Kemudian, terdapat pula omnibus bills yang lebih panjang. Pemerintah
federal dari semua lapisan mengubah budget implementation act - undang-
311

undang yang memberlakukan anggaran tahunan pemerintah - menjadi


omnibus bills yang sangat besar. Antara tahun 1995 dan 2000, rata-rata
panjangnya budget implementation act adalah 12 halaman. Pada saat awal
tahun 2000-an, rata-rata menjadi 139 halaman. Sejak tahun 1009, hampir
semua budget implementation act menjadi berates-ratus halaman
panjangnya. Seperti misalnya Budget Implementation Act 2010 (Bill C-9)
yang mencapai 883 halaman. Pemerintah menyatakan bahwa segala yang
ada di dalam RUU tersebut berhubungan dengan pelaksanaan anggaran
federal.
Dikarenakan tidak adanya definisi dari omnibus bill yang pasti, sulit untuk
menentukan dengan pasti kapan pertama kali omnibus bill pertama kali
diperkenalkan di dalam parlemen. House of Commons Procedure and
Practice menunjukkan bahwa praktek tersebut telah ada di tahun 1888, ketika
suatu private bill diajukan dengan tujuan untuk mengukuhkan dua perjanjian
perkeretaapian yang terpisah. Namun, RUU yang memiliki ciri “omnibus”
mungkin telah ada sebelum tahun tersebut. Pada tahun 1868, saat sesi
parlementer yang pertama, Parlemen Kanada mengesahkan sebuah undang-
undang untuk melanjutkan selama waktu yang terbatas beberapa undang-
undang yang disebutkan di dalamnya yang mungkin bercirikan sebagai
omnibus bill pertama pasca Konfederasi Kanada. Undang-undang ini
mengandung satu tujuan sebagai kelanjutan dari undang-undang yang akan
berakhir, sekaligus pada saat bersama mengubah beberapa undang-undang
dengan pokok pembahasan yang berbeda seperti kepailitan, perdamaian di
perbatasan, dan perbankan.
Sifat omnibus mencerminkan prinsip, tema atau tujuan yang sama, atau
merupakan bagian dari inisiatif administratif tunggal. Penggabungan
beberapa perubahan dari undang-undang sebenarnya dapat meningkatkan
kajian parlemen terhadap komponen dan interaksinya dengan unsur-unsur
RUU lainnya, serta memudahkan pemeriksaan RUU tersebut. Selain itu,
omnibus dapat memfasilitasi pertimbangan dari semua aspek yang saling
terkait dari agenda legislatif tertentu. Hal tersebut juga dapat membantu
memfokuskan debat parlementer.
Manfaat lainnya dari adanya undang-undang omnibus adalah menghemat
waktu dan mempersingkat jumlah hari para pembuat undang-undang yang
312

harus dihabiskan di dalam parlemen. The House of Commons dahulunya


biasa duduk selama sekitar 175 hari dalam setahun di tahun 1990-an.
Dengan memasukkan banyak perubahan ke dalam lebih sedikit RUU,
parlemen dapat mempersingkat sidangnya. Saat ini, parlemen duduk selama
sekitar 130-140 hari pertahun. Secara ideal, jika anggota parlemen
menghabiskan waktu lebih sedikit, mereka dapat menghabiskan lebih banyak
waktu di daerah pemilihan mereka. Hal ini dapat membuka lebih banyak
kesempatan untuk bertemu individu dan kelompok masyarakat, dan lebih
banyak waktu untuk memenuhi kebutuhan konstituen.
Omnibus bills telah digunakan selama beberapa dekade oleh Pemerintah
Kanada sebagai kendaraan untuk mengusulkan beberapa jenis undang-
undang tertentu ke Parlemen. Terminologi omnibus bill sendiri tidak
didefinisikan secara jelas dalam aturan prosedural, baik di Senat maupun The
House of Commons. Namun, dalam The House of Commons Glossary of
Parliamentary Procedure didefinisikan sebagai “A bill consisting of a number
of related but separate parts that seeks to amend and/or repeal one or several
existing Acts and/or to enact one or several new Acts.” Dengan demikian
karena omnibus law di Kanada diterapkan dalam proses pembentukan
undang-undang dengan demikian proses pembentukan undang-undang
di Kanada sama seperti pembentukan undang-undang pada umumnya.
2. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membahas omnibus law dari
awal sampai akhir menjadi undang-undang di Kanada?
Penjelasan/Tanggapan:
Sampai dengan Jawaban Pemerintah ini disusun, Pemerintah masih
mendalami dan melalui Kementerian Luar Negeri masih berkoordinasi dan
berkorespodensi dengan Pemerintah Negara Amerika Serikat, Kanada dan
Irlandia. Pemerintah meminta izin untuk menyampaikan kemudian jawaban
atas pertanyaan ini setelah mendapatkan bahan dan hasil koordinasi yang
lengkap.
3. Bagaimana partisipasi publik dan standar pembentukan pembentukan
omnibus law di luar negeri?
Penjelasan/Tanggapan:
Sampai dengan Jawaban Pemerintah ini disusun, Pemerintah masih
mendalami dan melalui Kementerian Luar Negeri masih berkoordinasi dan
313

berkorespodensi dengan Pemerintah Negara Amerika Serikat, Kanada dan


Irlandia. Pemerintah meminta izin untuk menyampaikan kemudian jawaban
atas pertanyaan ini setelah mendapatkan bahan dan hasil koordinasi yang
lengkap.
4. Nah, yang belum terlihat adalah dari Pemerintah, itu varian-varian draf
yang ada itu. Jadi, tolong Pemerintah menyerahkan kepada kami: Satu,
draf yang ditandatangani di persetujuan bersama. Satu. Yang kedua.
Draf dari persetujuan bersama itu yang kemudian diserahkan kepada
Pemerintah itu juga disampaikan kepada Mahkamah. Yang ketiga. Draf
yang kemudian ada penyesuaian formatting segala macam yang disebut
oleh Menteri Sekretaris Negara itu, tolong disampaikan juga kepada
Mahkamah.
Penjelasan/Tanggapan:
Sesuai dengan permintaan Yang Mulia Majelis Hakim Anggota Saldi Isra,
berikut Pemerintah menyampaikan:
a. Draft Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang
ditandatangani dalam persetujuan bersama akan disampaikan dan
dijadikan alat bukti oleh DPR RI kepada Mahkamah Konstitusi;
b. Draft Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang disampaikan
DPR RI kepada Pemerintah hasil Pembahasan Rapat Paripurna DPR RI
(vide Bukti PK-186); dan
c. Draft yang telah disesuaikan dari sisi formatting untuk kemudian
diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja Kementerian Sekretariat Negara telah menyampaikan Surat
Deputi Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan kepada Sekretaris
Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: B-406/Kemensetneg/D-
1/HK.00.02/10/2020 tanggal 14 Oktober 2020 (vide Bukti PK-187) untuk
mengklarifikasi beberapa hal terkait konsistensi penulisan kepada DPR RI
atas draf RUU Cipta Kerja sebelum disahkan oleh Presiden. Atas dasar itu
kemudian DPR RI menyampaikan matriks klarifikasi penyempurnaan RUU
tentang Cipta Kerja yang telah diparaf dan ditandatangani oleh Ketua
Badan Legislasi DPR RI (vide Bukti PK-188) hal ini untuk membuktikan
bahwa DPR RI telah mengklarifikasi substansi dimaksud yang ditandai
dengan pembubuhan paraf dan tanda tangan dilembar terakhir oleh Ketua
314

Badan Legislasi DPR RI. Hasil dari formatting dan penyempurnaan dari
DPR RI tersebut menjadi draft yang kemudian diundangkan sebagai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (vide Bukti PK-
90 Keterangan Presiden yang disampaikan ke kesekretariatan Mahkamah
Konstitusi tanggal 17 Juni 2021).

Keterangan Tambahan Presiden bertanggal 9 September 2021 yang diterima


di Kepaniteraan Mahkamah pada 9 September 2021

Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA pada sidang 12
Agustus 2021
1. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membahas omnibus law dari
awal sampai akhir menjadi undang-undang di negara lain?

Penjelasan/Tanggapan:

Beberapa negara yang menerapakan metode Omnibus Law dalam


pembentukan undang-undang, diantaranya adalah Irlandia, Kanada, dan
Amerika Serikat.
Penerapan Omnibus Law di Irlandia yang menarik perhatian adalah
pembentukan Withdrawal of the United Kingdom from the European Union
(Consequential Provisions) Act 2020 atau Brexit Omnibus Act 2020 sebagai
pembaharuan Brexit Omnibus Act 2019. Fokus utama Brexit Omnibus Act 2020
adalah langkah-langkah mitigasi menghadapi Brexit tanpa kesepakatan guna
melindungi hak-hak warna negara, keamanan, dan memfasilitasi dukungan
bisnis. Undang-Undang (UU) ini mencakup beberapa sektor prioritas, yaitu: 1.
Perpajakan, 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Cukai, 3, Layanan
Keuangan, 4. Imigrasi, 5. Kesehatan, 6. Bantuan Bagi Siswa, 7. Kesejahteraan
Sosial, 8. Karyawan dan Imigrasi, 9. Keamanan Sosial, dan 10. Transportasi.
Banyaknya sektor priorotas yang masuk dalam Brexit Omnibus Act 2020
menunjukan bahwa penyusunan Omnibus Law dapat dilakukan tidak hanya
mencakup satu isu atau sektor semata.
Proses perencanaan UU di Irlandia dilakukan oleh Majelis Rendah Irlandia /DPR
(Dáil Éireann) yang dilanjutkan di Majelis Tinggi Irlandia/Senat (Seanad
Éireann). Secara keseluruhan total waktu perumusan hingga pengesahan UU
tersebut hanya memakan waktu 14 hari, yaitu pada:
315

1. Tahap 1 di Majelis Rendah Irlandia /DPR (Dáil Éireann): a. 27 Oktober 2020


(RUU Brexit Omnibus Law 2020 pertama kali diangkat ke Majelis Rendah
Irlandia (Dáil Éireann)), b. 11 November 2020 (Tahap perundingan pada
prinsip umum RUU), c. 25 November 2020 (Tahap perundingan khusus,
pasal per pasal, dengan proses amandemen mulai dilakukan), d. 25
November 2020 (Tahap perundingan amandemen), e. 25 November 2020
(Penyelesaian RUU pada Tahap 1 untuk diberikan kepada Senat).
2. Tahap 2 di Majelis Tinggi Irlandia/Senat (Seanad Éireann): a. 25 November
2020 (RUU Tahap 1 diterima oleh Senat), b. 25 November 2020 (Tahap
perundingan pada prinsip umum RUU), c. 1 Desember 2020 (Tahap
perundingan khusus, pasal per pasal, dengan proses amandemen mulai
dilakukan), d. 3 Desember 2020 (Tahap perundingan amandemen), e. 8
Desember 2020 (Penyelesaian RUU pada tahap 2 untuk dilanjutkan pada
tahap pengesahan), f. 10 Desember 2020 (Pengesahan UU oleh Presiden
Irlandia).
Penerapan Omnibus Law tersebut disambut baik oleh publik dan pebisnis
khususnya terkait ketentuan mengenai penundaan pembayaran PPN. Sampai
saat ini belum ada judicial review atas penerapan Omnibus Law pada UU
dimaksud.
Sedangkan di Kanada praktik Omnibus Law telah diterapkan sejak abad ke-19.
Penggunaan praktik Omnibus Law cukup marak di Parlemen Kanada dan
dianggap sebagai proses legislasi khusus yang tidak mengikuti proses legislasi
yang umumnya. Inisiatif penyusunan rancangan Omnibus Law dilakukan oleh
Pemerintah, anggota parlemen, maupun komite di parlemen. Beberapa UU
yang menerapkan Omnibus Law di Kanada adalah Crminimal Law Amendments
Act (Bill C-150), Jobs, Grwoth, and Long-term Prosperity Act (Bill C-38), Energy
Security Act (Bill C-94), dan Canada-United States Free Trade Agreement
Implementation Act (Bill C-130).
Terhadap pembentukan Criminal Law Amendments Act (Bill C-150), dibutuhkan
waktu pembentukan kurang lebih 17 (tujuh belas) bulan. Bill C-195 mulanya
diajukan pada 21 Desember 1967 dan selanjutnya diajukan sebagai Bill C-150
pada tanggal 19 Desember 1968. Pada Mei 1969, Bill C-150 tersebut disahkan
oleh parlemen. Dari catatan Supreme Court of Canada tidak ditemukan adanya
judicial review atas UU tersebut. Catatan mengenai UU tersebut adalah fatwa
316

hukum tanggal 26 Juni 1970 mengenai penerapan Proclamation of Section 16


berdasarkan permintaan Gubernur Jenderal Kanada, yang berkaitan dengan
masa pemberlakukan aturan hukum untuk tindakan mengemudi dalam keadaan
mabuk.
Adapun di Amerika Serikat, penerapan metode Omnibus Law merupakan
praktek yang umum dalam pembentukan UU, dimana yang paling menonjol
adalah UU yang berkenaan dengan anggaran (proses rekonsiliasi anggaran
(Section 310, Congressional Budget Act of 1974) dan Appropriation Acts) karena
dilakukan setiap tahun (rutin). Beberapa Omnibus Law yang banyak mendapat
perhatian adalah Agricultural Act of 2014, Agriculture Improvement Act of 2018,
Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988, Affordable Care Act (ACA)
2010.
Penyusunan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law sama dengan
penyusunan UU pada umumnya. Dengan memperhatikan sistem legislatif di
Amerika Serikat yang menganut sistem bikameral secara sama kuat, maka RUU
dapat diusulkan baik di tingkat Senat maupun di House of Representative untuk
kemudian dibawah di sebuah komite. RUU tersebut harus mendapat
persetujuan baik Senat dan House of Representative.
Konstitusi Amerika Serikat juga mengatur bahwa dapat dilakukan public hearing
terhadap suatu RUU yang dianggap penting dan biasanya diumumkan
seminggu sebelum pelaksanaannya kepada masyarakat Amerika Serikat.

Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota WAHIDUDIN ADAMS pada sidang
2 September 2021
2. Mengapa Pemerintah tidak terlebih dahulu mengubah teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang dapat diubah dengan Peraturan Presiden
sebelum membentuk UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law?

Penjelasan/Tanggapan:

Pembentuk Undang-Undang (DPR bersama Pemerintah) dalam membentuk


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan juncto UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak memuat metode apa yang harus digunakan dalam
pembentukan undang-undang, baik dalam batang tubuh, penjelasan maupun
317

lampiran. Dalam hal ini Pembentuk Undang-Undang sepakat bahwa terkait


metode pembentukan undang-undang memang tidak dirumuskan secara
eksplisit dalam norma undang-undang maupun pada penjelasan dan lampiran.
Hal ini bisa kita pahami bahwa metode itu selalu berkembang, maka kalau
metode itu harus termuat secara eksplisit dalam norma ataupun penjelasan dan
lampiran, maka akan menyebabkan daya berlaku bagi undang-undang tersebut
menjadi terbatas, dalam arti undang-undang tersebut tidak mampu
mengakomodasikan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, walaupun
kodratnya secara asas bahwa hukum itu selalu tertinggal dari fakta peristiwanya:
“Het recht hinkt achter de feiten aan”.
Oleh karena itu sampai saat dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan pun tidak mencantumkan tentang metode apa yang harus digunakan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam hal ini
Pembentuk Undang-Undang memberikan kebebasan.
Penggunaan metode Omnibus Law dalam pembentukan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengadopsi metode yang berasal
dari common law system, karena Pembentuk Undang-Undang menganggap
kondisi regulasi di Indonesia saat ini banyak permasalahan yang perlu ditata.
Terkait dengan Permohonan Uji Formil ini yang sedang berlangsung,
Pemerintah dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja ini menggunakan metode Omnibus Law dikarenakan
mendasarkan pada kondisi sebagai berikut:
a. Dalam rangka penataan regulasi mengingat telah terjadi obesitas di bidang
perundang-undangan yang berakibat terjadinya tumpang tindih materi
muatan yang mengatur hal yang sama.
b. Mendasarkan pada praktek yang selama ini sudah dilakukan dan selama ini
pula tidak menimbulkan masalah.
c. Belum diaturnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, mengingat adanya kebutuhan hukum yang
mendesak, maka bagi Pembentuk Undang-Undang dapat melakukan
318

penemuan hukum (rechts vinding) untuk mengatasi kekosongan hukum


tentang pengaturan “metode”, karena yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 adalah
tata cara/ proses pembentukan undang-undang.
Jelas kalau penataan regulasi khususnya revisi undang-undang mendasarkan pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka hasilnya kurang efektif dan memakan
waktu yang lama, karena harus dilakukan perubahan satu per satu dari sekian
banyak undang-undang yang terkait dengan cipta kerja.

Keterangan Tambahan Presiden bertanggal 12 Oktober 2021 yang diterima di


Kepaniteraan Mahkamah pada 13 Oktober 2021

Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota Enny Nurbaningsih pada sidang 6
Oktober 2021

1. Apakah yang dimaksud dengan Klaster dalam Undang-Undang Cipta


Kerja?
Penjelasan/Tanggapan:
Sebagaimana disampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya bahwa
dalam penyusunan RUU tentang Cipta Kerja, Pemerintah menggunakan
metode Omnibus Law dengan tema Cipta Kerja. Tema Cipta Kerja tersebut perlu
dijabarkan dalam subtema yang mendukung tujuan tema Cipta Kerja, yaitu:
a. Menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan
kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M) serta industri dan
perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja
Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi
nasional.
b. Menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
c. Melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M
serta industri nasional.
d. Melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek
319

strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang


berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan
berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.

Dalam mencapai tujuan tema Cipta Kerja tersebut, inventarisasi dan


pengelompokan permasalahan dan hambatan dalam pecapaian tema tersebut
termasuk inventarisasi UU yang terkait, dijabarkan dalam beberapa subtema
yang disebut dengan klaster. Penggunaan kata klaster tersebut mengacu pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimana klaster adalah beberapa benda
atau hal yang berkelompok menjadi satu.
Pengelompokan dalam bentuk klaster akan memudahkan penginventarisasian
masalah dan UU terkait serta penyelarasan untuk penyelesaian permasalahan
termasuk penyelarasan rumusan di beberapa UU yang terkait.

2. Berapa sesungguhnya jumlah klaster yang ada di dalam Undang-Undang


Cipta Kerja?
Penjelasan/Tanggapan:
Dalam penyusunan Nasakah Akademik dan RUU Cipta Kerja, subtema Cipta
Kerja dibagi dalam 11 klaster, yaitu:

a. Klaster 1 yaitu Penyederhanaan Perizinan Berusaha, yang meliputi


Perizinan Berusaha pada 18 sektor yaitu: a. Perizinan Lokasi, b. Perizinan
Lingkungan, c. Perizinan Bangunan Gedung, d. Perizinan Sektor Pertanian,
e. Perizinan Sektor Kehutanan, f. Perizinan Sektor Kelautan dan Perikanan,
g. Perizinan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), h. Perizinan
Sektor Ketenaganukliran, i. Perizinan Sektor Perindustrian, j. Perizinan
Sektor Perdagangan, k. Perizinan Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan,
l. Perizinan Sektor Pariwisata, m. Perizinan Sektor Pendidikan dan
Kebudayaan, n. Perizinan Sektor Keagamaan, o. Perizinan Sektor
Transportasi, p. Perizinan Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
q. Perizinan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, dan r. Perizinan
Sektor Pertahanan dan Keamanan.

b. Klaster 2 yaitu Persyaratan Investasi.

c. Klaster 3 yaitu Ketenagakerjaan.


320

d. Klaster 4 yaitu: Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M.

e. Klaster 5 yaitu Kemudahan Berusaha.

f. Klaster 6 yaitu Dukungan Riset dan Inovasi.

g. Klaster 7 yaitu Administrasi Pemerintahan.

h. Klaster 8 yaitu Pengenaan Sanksi.

i. Klaster 9 yaitu Pengadaan Lahan.

j. Klaster 10 yaitu Investasi dan Proyek Pemerintah.

k. Klaster 11 yaitu Kawasan Ekonomi.

Dalam pembahasan di masing-masing klaster telah diidentifikasi UU dan pasal-


pasal terkait yang ada yang perlu dilakukan perubahan dalam RUU Cipta Kerja.

Dalam penyusunan RUU Cipta Kerja, hasil pembahasan di masing-masing


klaster disinkronisasikan dan selanjutnya dituangkan dalam batang tubuh dan
penjelasan RUU Cipta Kerja, sebagai berikut:

a. Substansi Klaster 1 dan Klaster 2 dimuat dalam Bab III Peningkatan


Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, yang memuat perubahan atas
49 UU yang meliputi: 7 UU yang terkait dengan penyederhanaan
persyaratan perizinan dasar Perizinan Berusaha, 39 UU yang terkait dengan
penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta kemudahan dan
persyaratan investasi, 3 UU yang terkait dengan penyederhanaan
persyaratan investasi pada sektor tertentu.

b. Substansi Klaster 3 dimuat dalam Bab IV Ketenagakerjaan, yang memuat


perubahan atas 4 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan
ketengakerjaan, 2 UU yang terkait dengan jaminan sosial, dan 1 UU yang
terkait dengan perlindungan pekerja migran Indonesia.

c. Substansi Klaster 4 dimuat dalam Bab V Kemudahan, Perlindungan,


Pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, yang memuat perubahan atas 3 UU
yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan perkoperasian, dan 2 UU yang
terkait dengan UMKM.
321

d. Substansi Klaster 5 dimuat dalam Bab VI Kemudahan Berusaha, yang


memuat perubahan atas 13 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan
keimigrasian, 1 UU yang terkait dengan paten, 1 UU yang terkait dengan
merek, 1 UU yang terkait dengan perseroan terbatas, 1 UU yang terkait
dengan UU ganguan, 3 UU yang terkait dengan perpajakan, 1 UU yang
terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah, 1 UU yang terkait dengan
impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, 1 UU yang terkait
dengan wajib daftar perusahaan, 1 UU yang terkait dengan Badan Usaha
Milik Desa, 1 UU yang terkait dengan larangan praktik monopoli dan
persiangan usaha tidak sehat.

e. Substansi Klaster 6 dimuat dalam Bab VII Dukungan Riset dan Inovasi, yang
memuat perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan badan
usaha milik negara dan 1 UU yang terkait dengan riset dan inovasi.

f. Substansi Klaster 7 dimuat dalam Bab XI Pelaksanaan Administrasi


Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja, yang memuat perubahan 2
UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan administrasi pemerintahan dan
1 UU yang terkait dengan pemerintahan daerah.

g. Substansi Klaster 8 masuk dalam berbagai UU yang dimuat dalam berbagai


bab.

h. Substansi Klaster 9 masuk dalam Bab VIII Pengadaan Lahan, yang memuat
perubahan 2 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan 1 UU yang terkait dengan
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan

i. Substansi Klaster 10 masuk dalam Bab X Investasi Pemerintah Pusat dan


Kemudahan Proyek Strategis Nasional.

j. Substansi Klaster 11 masuk dalam Bab IV Kawasan Ekonomi, yang memuat


perubahan 3 UU yang meliputi: 1 UU yang terkait dengan kawaan ekonomi
khusus dan 2 UU yang terkait dengan kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas.

Penuangan norma dalam RUU Cipta Kerja sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
322

diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor


12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan
memperhatikan muatan dalam masing-masing klaster yang memiliki
kompleksitas yang berbeda-beda.

Berdasarkan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 telah diatur bahwa urutan


pengelompokan materi muatan peraturan perundang-undangan dapat disusun
secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. Jika Peraturan
Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya
sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut
dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian,
dan paragraf.

Pengelompokkan materi muatan dalam bab, bagian, dan paragraf dilakukan


atas dasar kesamaan materi dengan urutan pengelompokan sebagai berikut:

a. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal,
seperti di Bab III.

b. Bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf, seperti
di Bab VII.

c. Bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf, seperti
di Bab XI.

Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Anggota SALDI ISRA pada sidang 6
Oktober 2021

1. Berapakah Jumlah Undang-Undang yang terdapat di dalam Naskah


Akademik Undang-Undang Cipta Kerja?
Penjelasan/Tanggapan:
Berdasarkan hasil inventarisasi dari 11 klaster pembahasan, terdapat 79 UU yang
perlu diubah atau dicabut dalam Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja.

2. Berapakah jumlah Undang-Undang yang pada akhirnya di muat di dalam


Undang-Undang Cipta Kerja dan apakah ada perubahan dari jumlah
Undang-Undang yang terdapat di dalam Naskah Akademik dan alasan
perubahannya?
323

Penjelasan/Tanggapan:
Dalam pembahasan di Panja RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR RI, telah
dilakukan kesepakatan untuk mengeluarkan 7 UU dari RUU Cipta Kerja dan
menambah 6 UU untuk masuk dalam RUU Cipta Kerja.
7 UU yang dikeluarkan, yaitu:

1. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

3. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

5. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

6. UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuian.

7. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

UU Nomor 20 Tahun 2003, UU Nomor 12 Tahun 2012, UU Nomor 14 Tahun 2005,


UU Nomor 20 Tahun 2013 merupakan UU pada bidang pendidikan yang pada
sifatnya bukan termasuk dalam Perizinan Berusaha yang bersifat komersial.
Kempat UU tersebut menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan pendidikan
bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan
usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan
oleh satuan Pendidikan untuk kegiatan operasionalnya, tidak dapat disamakan
dengan perlakuan, persyaratan, dan proses Perizinan Berusaha untuk kegiatan
yang bersifat mendatangkan laba.

Ketentuan izin untuk satuan pendidikan mengikuti ketentuan perundang-


undangan di bidang pendidikan yang berlaku dan tidak ada kewajiban bagi satuan
pendidikan tersebut, termasuk satuan pendidikan non-formal yang dikelola oleh
masyarakat, melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha
sebagaimana diatur dalam RUU Cipta Kerja dan tidak perlu dilakukan perubahan
atau penyesuaian dalam RUU Cipta Kerja.

Adapun dikeluarkannya UU Nomor 4 Tahun 2019 yang megatur perubahan Pasal


21 mengenai Surat Tanda Registrasi Bidan tidak termasuk dalam kegiatan
pemberian Perizinan Berusaha sehingga cukup diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2019.
324

Dikeluarnya UU UU Nomor 20 Tahun 2014 dari RUU Cipta Kerja mengenai


ketentuan pidana atas penyalahgunaan tanda atau nomor SNI telah cukup
dengan ketentuan yang ada dan tidak perlu dilakukan perubahan dalam RUU
Cipta Kerja.

Begitu juga dengan dikeluarkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers


mengenai investasi modal asing yang diatur dalam Pasal 11 dan mengenai nilai
denda yang diatur dalam Pasal 18 tidak diperlukan perubahan, karena
pengaturan yang ada sudah cukup jelas dan kuat untuk pengaturan mengenai
investasi melalui penambahan modal asing pada perusahaan pers yang
dilakukan melalui pasar modal serta nilai pidana denda atas pelanggaran dari UU
Nomor 40 Tahun 1999.
Panja Badan Legislasi DPR RI bersama Pemerintah telah pula menyepakati
untuk 6 memasukan 6 UU kedalam RUU Ciptra Kerja, yaitu:

1. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.


2. UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek.
3. UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU Nomor 36 Tahun
2008.
4. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang Dan Jasa
Dan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Barang Mewah jo. UU
Nomor 42 Tahun 2009.
5. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan
Teknologi.

Penambahan UU Nomor 18 Tahun 2017 dimaksudkan untuk menyelaraskan dan


kepastian proses Perizinan Berusaha Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia agar sesuai dengan ketentuan dan Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria (NSPK) yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.
Penambahan UU Nomor 20 Tahun 2016 dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan bagi pelaku usaha terutama bagi UMKM dalam pengajuan merek,
terutama untuk mempersingkat waktu pemeriksaan substantif dari 150 hari
menjadi 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 23 dan memberikan kepastian
325

hukum atas sertifikat merek yang telah diterbitkan namun belum diambil
sebagaimana diatur dalam Pasal 25.

Adapun penambahan UU Nomor 7 Tahun 1983, UU Nomor 8 Tahun 1983, dan


UU Nomor 6 Tahun 1983 merupakan penggabungan dari substansi muatan RUU
tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian
yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR RI melalui surat Nomor: R-
03/Pres/01/2020 tanggal 23 Januari 2020. Penggabungan materi muatan yang
ada RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan
Perekonomian ke dalam RUU Cipta Kerja selain untuk mengefesiensikan
pembahasan juga untuk penselarasan berbagai kemudahan yang diberikan
kepada pelaku usaha yang dimuat dalam RUU Cipta Kerja. Penambahan materi
muatan tersebut menyangkut Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penambahan UU Nomor 11 Tahun 2019 dimaksudkan untuk memperkuat


pelaksanaan penilitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta
invensi dan inovasi yang terintegrasi di daerah dengan pembentukan badan riset
dan inovasi daerah, sehingga dengan demikian hasil penilitian, pengembangan,
pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang dilakukan daerah
dapat segera dimanfaatkan, baik oleh daerah bersangkutan maupun melalui
badan riset dan inovasi nasional.

Dengan demikian maka UU terkait yang semula diinventarisasi dalam Naskah


Akademik dan kemudian masuk dalam norma batang tubuh RUU Cipta Kerja
sebanyak 79 UU, kemudian disepakati untuk dikeluarkan sebanyak 7 UU dan
ditambahkan sebanyak 6 UU, maka jumlah UU yang diubah atau dicabut dalam
UU Cipta Kerja menjadi sebanyak 78 UU.

[2.5] Menimbang bahwa menguatkan keterangannya, Presiden telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan PK-
188, tanpa PK-128, sebagai berikut:

1. Bukti PK-1 : Fotokopi Pidato Pengukuhan Presiden Joko Widodo dalam


Pelantikan Periode 2019-2024;
326

Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) website


beserta link;

2. Bukti PK-2 : Fotokopi Risalah Ratas Tanggal 30 Oktober Tahun 2019;

3. Bukti PK-3 : Fotokopi Risalah Ratas Tanggal 11 November Tahun 2019;

4. Bukti PK-4 : Fotokopi Risalah Ratas Tanggal 15 Januari Tahun 2020;

5. Bukti PK-5 : Fotokopi Surat Sekretaris Kabinet kepada Menteri


Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor: B-0445/Seskab/Ekon/11/2019
tanggal 27 November 2019;

6. Bukti PK-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Koordinator Bidang


Perekonomian Nomor 318 Tahun 2019 tentang Panitia
Antar Kementerian dan/atau Antar Nonkementerian
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta
Lapangan Kerja tanggal 23 Oktober 2019;

7. Bukti PK-7 : Rapat Koordinasi Pembahasan tentang Omnibus Law Cipta


Lapangan Kerja Kluster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha Bidang Pendidikan dan Kebudayaan pada
tanggal 15 November 2019 di Hotel Grand Mercure Jakarta.
Dokumen terdiri dari:

1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.

8. Bukti PK-8 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Omnibus Law Cipta


Lapangan Kerja Cluster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha tanggal 16 November 2019. Dokumen terdiri
atas:

1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.
327

9. Bukti PK-9 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Omnibus Law Cipta


Lapangan Kerja Cluster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha terkait Kelautan dan Perikanan tanggal 18
November 2019. Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.

10. Bukti PK-10 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja Cluster Penyederhanaan Perizinan
Berusaha terkait Pertahanan dan Keamanan tanggal 19
November 2019. Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Laporan;
3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.

11. Bukti PK-11 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Penyusunan
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang
Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) pada tanggal 22 November
2019 di Sheraton Mustika Resort & SPA Yogyakarta.
Dokumen terdiri dari:

1. Materi Presentasi;
2. Laporan Pekerjaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Omnibus Law;
3. Laporan Penyelenggaraan Focus Group Discussion;
4. Daftar Hadir;
5. Notulensi;
6. Undangan; dan
7. Dokumentasi.

12. Bukti PK-12 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Terkait
Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan
328

Kerja dan UMKM pada tanggal 28 November 2019 di


Makassar Sulawesi Selatan. Dokumen terdiri dari:

1. Materi Presentasi;
2. Laporan Pekerjaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Omnibus Law;
3. Laporan Penyelenggaraan Focus Group Discussion;
4. Daftar Hadir;
5. Notulensi;
6. Undangan; dan
7. Dokumentasi.

13. Bukti PK-13 : Focus Group Discussion (FGD) Omnibus Law Terkait
Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan
Kerja dan UMKM yang dilaksanakan pada tanggal 2
Desember 2019 di Medan Sumatera Utara. Dokumen terdiri
dari:

1. Laporan Pekerjaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi


Manusia Omnibus Law;
2. Laporan Penyelenggaraan Focus Group Discussion;
3. Daftar Hadir;
4. Notula;
5. Undangan
6. Dokumentasi.

14. Bukti PK-14 : Rapat Koordinasi tentang Penyiapan Lanjutan Bahan Rapat
RUU Penciptaan Lapangan Kerja Tingkat Menteri pada
tanggal 11 Desember 2019. Dokumen berupa undangan.

15. Bukti PK-15 : Rapat Koordinasi tentang Penyiapan RUU Penciptaan


Lapangan Kerja Klaster Lingkungan dan KKP tanggal 12
Desember 2019. Dokumen berupa undangan.

16. Bukti PK-16 : Rapat Koordinasi tentang Penyiapan RUU Penciptaan


Lapangan Kerja Klaster Kawasan Ekonomi, UMKM dan
Industri tanggal 13 Desember 2019. Dokumen berupa
undangan.
329

17. Bukti PK-17 : Focus Group Discussion Pembahasan Omnibus Law di


bidang Lingkungan Hidup tanggal 15 Desember 2019.
Dokumen berupa undangan.

18. Bukti PK-18 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Perizinan Berusaha


Sektor Pertanian dalam RUU Penciptaan Lapangan Kerja
tanggal 16 Desember 2019. Dokumen berupa undangan.

19. Bukti PK-19 : Rapat Koordinasi tentang Pembahasan Sanksi Perizinan


Berusaha Sektor Pertanian dalam RUU Penciptaan
Lapangan Kerja tanggal 17 Desember 2019. Dokumen
berupa undangan.

20. Bukti PK-20 : Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia Nomor: 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun
2020-2024 tanggal 17 Desember 2019.

21. Bukti PK-21 : Fotokopi Surat Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang


Perekonomian atas nama Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor: PH.2.1-9.2/M.EKON/01/2020 tanggal 15
Januari 2020 untuk Permohonan Penyelarasan Naskah
Akademik RUU Cipta Lapangan Kerja.

22. Bukti PK-22 : Fotokopi Surat Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang


Perekonomian atas nama Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor: PH.2.1-10/M.EKON/01/2020 tanggal 16
Januari 2020 untuk Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Undang-Undang
tentang Cipta Lapangan Kerja.

23. Bukti PK-23 : Rapat yang diadakan pada tanggal 16 s.d 20 Januari 2020
di JS Luwansa Hotel and Convention Centre. Dokumen
terdiri atas:
1. Undangan;
2. Laporan;
330

3. Dokumentasi;
4. Daftar Hadir.

24. Bukti PK-24 : Fotokopi Naskah Akademik RUU Cipta Kerja Final;

25. Bukti PK-25 : Fotokopi Surat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
a.n. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Menteri
Koordinator Perekonomian Nomor: PHN-HN.02.04-04
tanggal 20 Januari 2020.

26. Bukti PK-26 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-


undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor:
PPE.PP.03.02-107 tanggal 20 Januari 2020 kepada Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.

27. Bukti PK-27 : Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia Nomor: 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas
Tahun 2020 tanggal 22 Januari 2020.

28. Bukti PK-28 : Fotokopi Surat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua
DPR-RI Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari
2020.

29. Bukti PK-29 : Fotokopi Surat Menteri Sekretaris Negara kepada para
menteri terkait Nomor: B-105/M.Sesneg/D-
1/HK.00.02/02/2020 tanggal 7 Februari 2020.

30. Bukti PK-30 : Rapat Panitia Kerja Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 14 April 2020. Dokumen berupa laporan
singkat.

31. Bukti PK-31 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 April 2020 Rapat
Dengar Pendapat/ Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
tentang Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 20 April 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
331

32. Bukti PK-32 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 April 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Prof. Dr. Djisman Simanjuntak, Yose Rizal Damuri, dan
Sarman Simanjorang, M.Si) atas RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 27 April 2020.

Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat; dan


2. Bahan paparan.

33. Bukti PK-33 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 April 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., dan Dr. Bambang
Kesowo, S.H., L.LM. atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
29 April 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat; dan


2. Bahan paparan.

34. Bukti PK-34 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 5 Mei 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Emil Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno Iwantono, MA) atas
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 5 Mei 2020. Dokumen
berupa laporan singkat.

35. Bukti PK-35 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 20 Mei 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 20 Mei 2020.

Dokumen berupa laporan singkat.

36. Bukti PK-36 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Juni 2020 Pembahasan
Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja,
332

sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan


Legislasi tanggal 3 Juni 2020. Dokumen berupa laporan
singkat.

37. Bukti PK-37 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Juni 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 4 Juni 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

38. Bukti PK-38 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari narasumber yaitu
Ketua Umum KADIN (Rosan P. Roeslani) dan Dosen
Hukum Internasional di Universitas Ibn Khaldun Bogor dan
Dosen Hukum Bisnis di Sekolah Bisnis dan Manajemen
Institut Teknologi Bandung (Mohamad Mova Al Afghani,
S.H., Ll.M.Eur., Ph.D) sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat;
2. Bahan paparan.

39. Bukti PK-39 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
9 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat;
2. Bahan paparan.

40. Bukti PK-40 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), Prof. Dr. M. Ramdan Andri
Gunawan (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf (Guru Besar
333

Universitas Katolik Parahyangan), dan Prof. Dr. Ir. H. San


Afri Awang (Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada) atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan
Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 Juni
2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat; dan


2. Bahan paparan.

41. Bukti PK-41 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (Dr.
Irwansyah, S.Sos) atas RUU Cipta Kerja, sebagaimana
Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal
11 Juni 2020. Dokumen berupa laporan singkat.

42. Bukti PK-42 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Juni 2020 untuk
mendengarkan masukan/ pandangan dari Narasumber
yaitu Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah atas RUU
Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia
Kerja Badan Legislasi tanggal 11 Juni 2020. Dokumen
berupa laporan singkat.

43. Bukti PK-43 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 29 Juni 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 29 Juni 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

44. Bukti PK-44 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 1 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.
334

45. Bukti PK-45 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 Juli 2020 untuk
mendengarkan penjelasan Pemerintah (Sekretaris
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) tentang
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 Juli 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Laporan singkat; dan


2. Bahan paparan.

46. Bukti PK-46 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 13 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

47. Bukti PK-47 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 14 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

48. Bukti PK-48 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 15 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

49. Bukti PK-49 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 22 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

50. Bukti PK-50 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 23 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
335

Badan Legislasi tanggal 23 Juli 2020. Dokumen berupa


laporan singkat.

51. Bukti PK-51 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 27 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

52. Bukti PK-52 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 Juli 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 28 Juli 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

53. Bukti PK-53 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Agustus 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Agustus 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

54. Bukti PK-54 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 4 Agustus 2020 mengenai
penjelasan Pemerintah terkait (DIM) RUU Cipta Kerja,
sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja Badan
Legislasi tanggal 4 Agustus 2020. Dokumen berupa laporan
singkat.

55. Bukti PK-55 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 6 Agustus 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 6 Agustus 2020.

Dokumen berupa laporan singkat.

56. Bukti PK-56 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
336

57. Bukti PK-57 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 11 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 11 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

58. Bukti PK-58 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 12 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

59. Bukti PK-59 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 13 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 13 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

60. Bukti PK-60 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 19 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

61. Bukti PK-61 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 24 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

62. Bukti PK-62 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 Agustus 2020 untuk
mendengarkan penjelasan Pemerintah atas RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 25 Agustus 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

63. Bukti PK-63 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
337

RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat


Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 26 Agustus 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

64. Bukti PK-64 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 27 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

65. Bukti PK-65 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 31 Agustus 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 31 Agustus 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

66. Bukti PK-66 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 1 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 1 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

67. Bukti PK-67 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 2 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 2 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

68. Bukti PK-68 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 3 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

69. Bukti PK-69 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 7 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
338

Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 7 September 2020.


Dokumen berupa laporan singkat.

70. Bukti PK-70 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 8 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 8 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

71. Bukti PK-71 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 9 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 9 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

72. Bukti PK-72 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 10 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 10 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

73. Bukti PK-73 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 12 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 12 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

74. Bukti PK-74 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 14 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 14 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

75. Bukti PK-75 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 15 September 2020
mengenai Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 15 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.
339

76. Bukti PK-76 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 16 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 16 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

77. Bukti PK-77 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 17 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 17 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

78. Bukti PK-78 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 19 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 19 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

79. Bukti PK-79 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 21 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 21 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

80. Bukti PK-80 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 22 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 22 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

81. Bukti PK-81 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 24 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 24 September 2020.
Dokumen berupa laporan singkat.

82. Bukti PK-82 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
340

RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat


Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 25 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

83. Bukti PK-83 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 25 September 2020
mengenai pembahasan RDPU dengan KPPU tanggal 25
September 2020. Dokumen berupa laporan singkat.

84. Bukti PK-84 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 26 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 26 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

85. Bukti PK-85 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 27 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 27 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

86. Bukti PK-86 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 28 September 2020
mengenai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat
Panitia Kerja Badan Legislasi tanggal 28 September 2020.
Dokumen berupa risalah sidang.

87. Bukti PK-87 : Rapat Panitia Kerja pada tanggal 3 Oktober 2020 mengenai
pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta
Kerja, sebagaimana Laporan Ketua Rapat Panitia Kerja
Badan Legislasi tanggal 3 Oktober 2020. Dokumen berupa
laporan singkat.

88. Bukti PK-88 : Rapat Paripurna DPR RI dalam rangka Pengambilan


Keputusan terhadap RUU Cipta Kerja pada tanggal 5
Oktober 2020.

Dokumen berupa risalah.

89. Bukti PK-89 : Surat Ketua DPR-RI kepada Presiden Republik RI Nomor:
LG/12046/DPR RI/X/2020 tanggal 5 Oktober 2020.
341

90. Bukti PK-90 : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

91. Bukti PK-91 : Tangkapan layar (screenshot) website JDIH:


1. Setneg (https://jdih.setneg.go.id/);
2. Setkab (https://jdih.setkab.go.id/);
3. UU Cipta Kerja (https://ekon.go.id/); dan
4. Kumham (https://peraturan.go.id/).

92. Bukti PK-92 : Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja sosialisasi UU


Cipta Kerja di berbagai kota yaitu Jakarta, Palembang, Bali,
Surabaya, Banjarmasin, Manado, Medan, Yogyakarta,
Makassar, Pontianak, Semarang, Bandung, Lombok,
Ternate, Batam.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir.

93. Bukti PK-93 : Matriks dan Tangkapan Layar (screenshot) data traffic situs
https://ekon.go.id/info-sektoral/15/6/dokumen-ruu-cipta-
kerja periode Februari 2020 - Oktober 2020.

94. Bukti PK-94 : Rapat Omnibus Law dengan pimpinan KSPSI, KSPSI AGN,
KSBSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI, KASBI, KPBI, dan GSBI
tanggal 13 Januari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Risalah Rapat;
3. Daftar Hadir.

95. Bukti PK-95 : Rapat Omnibus Law dengan pimpinan KSPSI, KSPSI AGN,
KSBSI, K-Sarbumusi, KSPN, KSPI, KASBI, KPBI, dan GSBI
tanggal 14 Januari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Risalah Rapat;
3. Daftar Hadir.
342

96. Bukti PK-96 : Seminar Omnibus Law oleh Djokosoetono Research


Centre, UI tanggal 6 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Flyer;
2. Tangkapan Layar (screenshot) Youtube (beserta link);
3. Dokumentasi.

97. Bukti PK-97 : Konsultasi Publik RUU Cipta Kerja Substansi


Ketenagakerjaan di Kemenaker dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Lembaga Pemerintah tanggal 11 Februari
2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi;
5. Tanda Terima SK Tim.

98. Bukti PK-98 : Konsultasi Publik RUU Cipta Kerja di Hotel Puri Denpasar
Jakarta dengan Serikat Pekerja, Pengusaha, dan Lembaga
Pemerintah tanggal 13 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi.

99. Bukti PK-99 : Konsultasi Publik RUU Cipta Kerja Substansi


Ketenagakerjaan dengan Serikat Pekerja, Pengusaha, dan
Lembaga Pemerintah tanggal 18 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Notula Rapat;
343

3. Daftar Hadir;
4. Dokumentasi.

100 Bukti PK-100 : Koordinasi Rencana dan Persiapan Sosialisasi


Pelaksanaan Omnibus Law kepada Pemerintah Daerah
oleh Kementerian Dalam Negeri tanggal 19 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Dokumentasi.

101 Bukti PK-101 : Acara “Harnessing Opportunities a Closure Look at the


Omnibus Law Job Creation and Tax Bills” oleh PWC
sebagai dukungan kepada Pemerintah untuk RUU Cipta
Lapangan Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas
Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian tanggal 26
Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Dokumentasi.

102 Bukti PK-102 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Airlangga
tanggal 28 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi.

103 Bukti PK-103 : Rakorsus Tingkat Menteri dan dihadiri pejabat KSPI tanggal
26 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;

104 Bukti PK-104 : Focus Group Discussion RUU Cipta Kerja bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diselenggarakan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
344

tanggal 26 Februari 2020. Dokumen berupa undangan dan


risalah focus group discussion.

105 Bukti PK-105 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Padjajaran
tanggal 5 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi.

106 Bukti PK-106 : Diskusi Publik Omnibus Law di UIN Syarif Hidayatullah
Ciputat tanggal 6 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Dokumentasi;
4. Bahan Paparan.

107 Bukti PK-107 : Diskusi APKASI dan Mendagri dalam mendukung Omnibus
Law tanggal 6 Maret 2020.

Dokumen berupa screenshot website (beserta link)

108 Bukti PK-108 : Diskusi Publik RUU Cipta Kerja di Universitas Gadjah Mada
tanggal 12 Maret 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

109 Bukti PK-109 : ATR Goes to Campus di Universitas Riau melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 20 April 2020.

Dokumen berupa bahan paparan.

110 Bukti PK-110 : ATR Goes to Campus di Universitas Surakarta melalui


Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 29 April 2020.
345

Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

111 Bukti PK-111 : ATR Goes to Campus di Universitas Nasional melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 30 April 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

112 Bukti PK-112 : Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang dipimpin


oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan dengan Presiden dan Sekjen dari KSPSI,
KSBSI, dan KSPI pada tanggal 5 Mei 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan.
2. Daftar Hadir.

113 Bukti PK-113 : ATR Goes to Campus di UIN, UHAMKA, dan UNPAM
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan
Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 6 Mei
2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Bahan Paparan;
2. Minutes of Meeting;

114 Bukti PK-114 : ATR Goes to Campus di ITB dan Unpad melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Mei 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.

115 Bukti PK-115 : ATR Goes to Campus di Institut Pertanian Bogor melalui
Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 19 Mei 2020.
346

Dokumen berupa bahan paparan.

116 Bukti PK-116 : Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang dipimpin


oleh Menkopolhukam dengan KSPSI, KSarbumusi, KSPN,
KSBSI, FSPBUN, FKahutindo, KSP BUMN pada tanggal 10
Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan.
2. Daftar Hadir.

117 Bukti PK-117 : Pembahasan Omnibus Law Ketenagakerjaan yang dipimpin


oleh Menkopolhukam dengan Ketua KSPSI, Ketua KSBSI,
Ketua KSPI, Ketua FSP KEK, Ketua FSP TSK, Ketua
FSPMI, Ketua SPN, Ketua GARTEX, dan Ketua NIKEUBA
pada tanggal 10 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir.

118 Bukti PK-118 : ATR Goes to Campus di STPN melalui Zoom Meeting
dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam
RUU Cipta Kerja pada tanggal 11 Juni 2020.

Dokumen berupa bahan paparan.

119 Bukti PK-119 : ATR Goes to Campus di Serikat Tani Islam Indonesia
melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan
Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 16 Juni
2020.

Dokumen: berupa bahan paparan.

120 Bukti PK-120 : ATR Goes to Campus di Universitas Bengkulu melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 17-18 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.
347

121 Bukti PK-121 : ATR Goes to Campus di UNITOMO melalui Zoom Meeting
dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam
RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Juni 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.

122 Bukti PK-122 : ATR Goes to Campus di Universitas Suryakencana Cianjur


melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan
Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 22 Juni
2020.
Dokumen berupa bahan paparan.

123 Bukti PK-123 : ATR Goes to Campus di IPPAT Banten melalui Zoom
Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata Ruang
dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 22 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

124 Bukti PK-124 : Pembahasan RUU Cipta Kerja Ketenagakerjaan tanggal 3


Juli 2020 di Ruang Tridharma Gd. A lt.2, Kementerian
Ketenagakerjaan pada tanggal 3 Juli 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.

125 Bukti PK-125 : Diskusi Pimpinan Komite I hingga IV DPD RI dengan Menko
Perekonomian di Rumah Dinas DPD RI, Jakarta pada
tanggal 25 Juli 2020.
Dokumentasi berupa tangkapan layar (screenshot) website
(beserta link)
348

126 Bukti PK-126 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 10 s.d 11
Juli 2020 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta dengan Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.

127 Bukti PK-127 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 13-14 Juli
2020 di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Bahan Paparan;
5. Dokumentasi.

128 Bukti PK-129 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 15 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Notula Rapat;
3. Dokumentasi.

129 Bukti PK-130 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 17 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
349

3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi.

130 Bukti PK-131 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 20 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan Serikat Pekerja,
Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi.

131 Bukti PK-132 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas


Trisakti melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 21 Juli 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

132 Bukti PK-133 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja tanggal 23 Juli 2020
di Hotel Royal Kuningan Jakarta dengan dihadiri Serikat
Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
3. Dokumentasi.

133 Bukti PK-134 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di UIN Sumatera
Utara melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada
tanggal 24 Juli 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
350

134 Bukti PK-135 : Pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja dan pemberian
penghargaan atas keterlibatan stakeholder dalam
pembahasan Tripartit RUU Cipta Kerja Substansi
Ketenagakerjaan tanggal 30 Juli 2020 di Ruang Tridharma
Jakarta.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Daftar Hadir;
3. Notula Rapat;
4. Dokumentasi; dan
5. Bahan Paparan.

135 Bukti PK-136 : Fotokopi Surat Menteri Ketenagakerjan Nomor: B-


M/180/HM.07/VII/2020 tanggal 30 Juli 2020 tentang
Penyampaian Penghargaan.

136 Bukti PK-137 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di GAMKI melalui
Zoom Meeting dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja pada tanggal 18 Agustus
2020.

Dokumen berupa bahan paparan.

137 Bukti PK-138 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan di Universitas


Kolaka melalui Zoom Meeting dengan tema Kebijakan
Agraria dan Tata Ruang pada tanggal 25 Agustus 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Daftar Hadir;
2. Bahan Paparan.

138 Bukti PK-139 : ATR Goes to Campus yang dilaksanakan kepada BEM Fisip
Se-Sumatera melalui Zoom Meeting dengan tema
Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja
pada tanggal 22 September 2020.
Dokumen berupa bahan paparan.
351

139 Bukti PK-140 : Silaturahim Kepolisian Daerah Metro Jaya Dan Instansi
Terkait Dengan Serikat Pekerja / Serikat Buruh dalam
Rangka Pembinaan Stabilitas Kamtibmas Tahun 2020 di
Balai Pertemuan Polda Metro Jaya pada tanggal 14 Januari
2020.
Dokumen berupa dokumentasi.

140 Bukti PK-141 : Audiensi antara Unsur Pimpinan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dengan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian dan menteri yang berada di bawah
koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
pada tanggal 30 Januari 2020.
Dokumen berupa undangan dan dokumentasi.

141 Bukti PK-142 : Narasumber dalam acara Focus Group Discussion dengan
tema "Omnibus Law Cipta Kerja; Percepatan Menuju
Indonesia Maju" oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
di Gedung PWI Medan, Sumatera Utara pada tanggal 28
Februari 2020.
Dokumen terdiri atas:

1. Undangan;
2. Dokumentasi.

142 Bukti PK-143 : Seminar Awal Tahun Djokosoetono Research Center


Fakultas Hukum Universitas Indonesia MENYIKAPI
OMNIBUS LAW di Balai Sidang Universitas Indonesia,
Depok pada tanggal 6 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas tangkapan layar (screenshot) website
dan Youtube (beserta link).

143 Bukti PK-144 : Narasumber serial Diskusi RUU Omnibus Law Seri-3
Ketenagakerjaan?", yang diselenggarakan oleh Himpunan
Organisasi Alumni PTN Indonesia (HIMPUNI), pada tanggal
13 Februari 2020.
Dokumen terdiri atas undangan dan dokumentasi.
352

144 Bukti PK-145 : Keynote Speaker Diskusi Kebangsaan “Omnibus Law:


Menuju Ekonomi Ekonomi Produktif & Berdaya Saing” oleh
KNPI di Hotel Swiss-Belinn Kemayoran Jakarta tanggal 21
Februari 2020.
Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) website
(beserta link).

145 Bukti PK-146 : Narasumber Lokakarya Sosialisasi dan Pembahasan


secara Terfokus atas RUU Cipta Kerja dan Perpajakan
untuk dapat menjadi masukan yang konstruktif oleh APEKSI
di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta pada tanggal 4 Maret
2020.
Dokumen berupa undangan.

146 Bukti PK-147 : Narasumber Diskusi Publik dengan tema “Polemik Omnibus
Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, Untuk Apa dan Siapa”
oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
Aula Student Center pada tanggal 11 Maret 2020.
Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) berita
(beserta link)

147 Bukti PK-148 : Narasumber Diskusi Publik dengan tema "Omnibus Law:
Niscaya Atau Celaka?" di Lobby Gd. H Fakultas Hukum
Universitas Trisakti pada tanggal 12 Maret 2020.
Dokumen berupa tangkapan layar (screenshot) berita
(beserta link)

148 Bukti PK-149 : Narasumber Diskusi Publik “Urgensi Network Sharing


dalam RUU Omnibus Law Sektor Telekomunikasi di Babak
New Normal yang diselenggarakan oleh Sobat Cyber
Indonesia”, pada tanggal 5 Juni 2020.
Dokumen terdiri atas undangan dan tangkapan layar
(screenshot) Zoom Meeting dan Youtube (berserta link).

149 Bukti PK-150 : Pada tanggal 14 s.d. 15 November 2019, Kementerian


Ketenagakerjaan menyelenggarakan Rapat Penyiapan
353

Penyusunan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di


Pomelotel, Jakarta Selatan. Dalam rapat tersebut diberikan
poin-poin masukan terkait hubungan industrial dan
pandangan-pandangan mengenai kebijakan yang boleh
diambil oleh Pemerintah.
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi

150 Bukti PK-151 : Pada tanggal 5-6 Desember 2019, Kementerian


Ketenagakerjaan menyelenggarakan Pertemuan
Pembinaan Komunitas Hukum Kementerian
Ketenagakerjaan Tahun 2019.
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

151 Bukti PK-152 : Pada tanggal 9 September 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

152 Bukti PK-153 : Pada tanggal 14 September 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Tentang Pembahasan Omnibus Law dan BATAM
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

153 Bukti PK-154 : Pada tanggal 20 September 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Laporan Omnibus law
Dokumen:
354

1. Undangan
2. Daftar Hadir

154 Bukti PK-155 : Pada tanggal 30 September 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Penanganan Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

155 Bukti PK-156 : Pada tanggal 7 Oktober 2019, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

156 Bukti PK-157 : Pada tanggal 9 Oktober 2019, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Laporan Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

157 Bukti PK-158 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Pembahasan
Omnibus law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

158 Bukti PK-159 : Pada tanggal 29 Agustus 2020, Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian menyelenggarakan Rapat Pembahasan Isu
Lahan, Kawasan, dan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
355

159 Bukti PK-160 : Pada tanggal 30 September 2020, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan.
Dokumen:
1. Undangan
3. Daftar Hadir

160 Bukti PK-161 : Pada tanggal 22 November 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Tentang Pembahasan Omnibus Law
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

161 Bukti PK-162 : Pada tanggal 12 Desember 2019, Menteri Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Tentang laporan Perkembangan Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan Serta
Strategi Komunikasi Dan Konsultasi Publik Omnibus Law.
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

162 Bukti PK-163 : Rapat Terbatas Presiden tanggal 11 September 2019,


Presiden RI memimpin Rapat Terbatas tentang Perbaikan
Ekosistem Investasi
Dokumen: Risalah Rapat Terbatas

163 Bukti PK-164 : Rapat Terbatas Presiden tanggal 27 Desember 2019,


Presiden RI memimpin Rapat Terbatas tentang
Perkembangan Penyusunan Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja
Dokumen: Risalah Rapat Terbatas

164 Bukti PK-165 : Rapat tanggal 8 Januari 2020 tentang Pembahasan


Omnibus Law klaster Penyederhanaan Perizinan
Lingkungan
356

Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

165 Bukti PK-166 : Rapat tanggal 8 Januari 2020 tentang Rapat Omnibus Law
Klaster ESDM dan Ketenaganukliran
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

166 Bukti PK-167 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Kementerian Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Pembahasan Omnibus law kluster Kemudahan,
Perlindungan dan Pemberdayaan UMKM
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

167 Bukti PK-168 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Kementerian Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Pembahasan Omnibus law kluster Penyederhanaan
Perizinan Berusaha terkait Pertanian
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

168 Bukti PK-169 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Kementerian Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
Pembahasan Omnibus law kluster Kemudahan
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Pendidikan
dan Kebudayaan
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

169 Bukti PK-170 : Pada tanggal 9 Januari 2020, Kementerian Koordinator


Bidang Perekonomian menyelenggarakan Rapat
357

Pembahasan Omnibus law kluster Kemudahan


Penyederhanaan Perizinan Berusaha Terkait Kehutanan
Dokumen:
1. Undangan
3. Daftar Hadir

170 Bukti PK-171 : Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan


Omnibus law Klaster Pengenaan Sanksi
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

171 Bukti PK-172 : Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan


Omnibus law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha
Terkait Pertahanan dan Keamanan
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

172 Bukti PK-173 : Rapat tanggal 10 Januari 2020 tentang Pembahasan


Omnibus law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha
Terkait Kepariwisataan
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

173 Bukti PK-174 : Rapat tanggal 11 Januari 2020 tentang Pembahasan


Omnibus law Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha
Terkait Kelautan dan Perikanan
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

174 Bukti PK-175 : Rapat tanggal 13 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi
Lanjutan Pembahasan Tentang Omnibus law
Dokumen:
358

1. Undangan
2. Daftar Hadir

175 Bukti PK-176 : Rapat tanggal 22 Januari 2020 tentang Rapat Koordinasi
Pembahasan tentang Omnibus law Lapangan Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

176 Bukti PK-177 : FGD tanggal 16 s.d. 17 September 2019 tenang Diskusi
Akademisi dan Praktisi Ketenagakerjaan Mengenai
Regulasi Bidang Hubungan Industrial
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi

177 Bukti PK-178 : FGD tanggal 10 Desember 2019 tentang Dialog Arah
Pengupahan Kedepan
Dokumen:
1. Undangan
2. Dokumentasi

178 Bukti PK-179 : FGD tanggal 4 Desember 2019 tentang Dialog Hubungan
Industrial “Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0”
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi

179 Bukti PK-180 : FGD tanggal 9 Desember 2019 tentang Dialog Pengupahan
dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi
359

180 Bukti PK-181 : FGD tanggal 16 Desember 2019 tentang Perubahan


Ekosistem Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Cipta
Lapangan Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Dokumentasi

181 Bukti PK-182 : FGD tanggal 18 Desember 2019 tentang Rapat


Pembahasan Perubahan Ekosistem Ketenagakerjaan untuk
Peningkatan Lapangan Kerja
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir

182 Bukti PK-183 : FGD tanggal 20 Desember 2019 tentang Sistem


Pengupahan yang Adil dan Berdaya Saing
Dokumen:
1. Undangan
2. Daftar Hadir
3. Dokumentasi

183 Bukti PK-184 : Fotokopi Surat Nomor: PH.2.1-272/M.EKON/11/2020


tanggal 11 November 2020 perihal: Izin Prakarsa
Penyusunan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah
mengajukan permohonan Izin Prakarsa terhadap peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja kepada Presiden

184 Bukti PK-185 : Fotokopi Surat Nomor: B-887/M.Sesneg/D-


1/HK.02.02/11/2020 tanggal 24 November 2020 perihal: Izin
Prakarsa Penyusunan Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

185 Bukti PK-186 : Fotokopi Draf RUU Cipta Kerja hasil Rapat Paripurna

186 Bukti PK-187 : Fotokopi Surat Deputi Bidang Hukum dan Perundang-
undangan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan
360

Rakyat Nomor: B-406/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/10/2020


tanggal 14 Oktober 2020

187 Bukti PK-188 : Fotokopi Matriks klarifikasi penyempurnaan RUU tentang


Cipta Kerja yang telah diparaf dan ditandatangani oleh
Ketua Badan Legislasi DPR RI
Dokumen:

1. Matriks 2 halaman;
2. Matriks 5 halaman;
3. Matriks 14 halaman; dan
4. Matriks 88 halaman.

Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan


1 (satu) orang ahli yaitu Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. yang keterangan
tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 31 Agustus 2021 dan
keteranganya didengarkan dalam persidangan pada 2 September 2021, pada
pokoknya sebagai berikut:

A. Pendahuluan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pelantikannya sebagai
Presiden RI periode kedua di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) pada
bulan Oktober 2019 menyampaikan mengenai suatu inistiatif ”baru” untuk
membentuk suatu omnibus law. Dalam salah satu laporannya, Harian The
Jakarta Post mengangkat berita terkait omnibus law/bill dengan judul “Omnibus
bill to synchronize overlapping regulations”. Dalam pemberitaan tersebut antara
lain tampak bahwa omnibus law/bill akan diarahkan untuk mensinkronkan
sekitar 70 peraturan perundang-undangan yang dipandang saling tumpang
tindih substansinya (overlapping regulations). Jadi intinya omnibus law/bill
tersebut akan dipergunakan untuk mengkonsolidasikan lusinan peraturan
perundang-undangan menjadi satu peraturan perundang-undangan.

B. Pengertian Omnibus Law


Dalam perspektif leksikal, antara lain sebagaimana tercantum dalam
Oxford Dictionary of English, kata “omnibus” antara lain diartikan sebagai “a
volume containing several books previously published separately”. Secara
harfiah, kata “omnibus” berasal dari Bahasa Latin “omnis” yang bermakna
“every” atau “all”, atau lebih tepatnya “all, every, the whole, of every kind”.
361

Dalam Black’s Law Dictionary 10th Edition (yang merupakan edisi paling
mutakhir), istilah “omnibus bill” antara lain dimaknai sebagai berikut: (1) A single
bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the
executive either to accept all the unrelated minor provisions or veto the major
provision; dan (2) A bill that deals with all proposals relating to a particular
subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals for new
judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subject such as new
crimes and grants to states for crime control.

C. Perspektif Sejarah Hukum


Dalam perspektif sejarah hukum Indonesia, implementasi pembentukan
omnibus law bukan merupakan suatu hal yang baru; namun sudah beberapa
kali dilakukan. Sebagaimana diketahui, pada masa tahun 1819-1949 (sekitar
130 tahun). Pemerintah Belanda memberlakukan sekitar 7000 peraturan
perundang-undangan di wilayah Hindia Belanda atau yang sekarang dikenal
sebagai wilayah Negara Republik Indonesia. 7000 peraturan perundang-
undangan yang diberlakukan oleh Pemerintah Belanda tersebut melewati
setidaknya 5 periodisasi pemberlakuan hukum-hukum Belanda di wilayah
Hindia Belanda yang meliputi periode-periode sebagai berikut: (1) Periode Pra
Liberalisme (1819-1840); (2) Periode Liberalisme (1840-1890); (3) Periode
Politik Etis (1840-1890); dan (4) Periode Dekolonisasi dan Orde Baru (1940-
1998); dan (5) Periode Reformasi dan Pasca Reformasi (1998-sekarang).
Berdasarkan hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan HAM RI pada sekitar tahun 1992, pada tahun 1995
masih tersisa sekitar 400 peraturan perundang-undangan dari masa kolonial
yang masih berlaku. Angka 400 tersebut merupakan angka sisa dari yang
sekitar 7000 peraturan perundang-undangan di muka. Dewasa ini, angka 400
peraturan perundang-undangan tersebut sudah semakin berkurang. Hal ini
antara lain merupakan efek dari program pembaruan dan pembangunan hukum
nasional yang telah dilakukan sejak pasca tahun 1949.
Berkurangnya jumlah tersebut dilakukan dengan cara pencabutan 1
peraturan perundang-undangan lama dengan 1 peraturan perundang-undangan
baru; atau pemberlakuan 1 peraturan perundang-undangan baru yang sekaligus
mengganti atau memperbarui beberapa peraturan perundang-undangan yang
lama. Mekanisme untuk melakukan pembaruan dan/atau pembangunan hukum
362

untuk mengurangi jumlah sekitar 7000 hingga menjadi tersisa sekitar 400
peraturan perundang- undangan dari masa kolonial yang diberlakukan oleh
Pemerintah Belanda di wilayah Hindia Belanda tersebut antara lain dilakukan
melalui pembentukan omnibus law atau omnibus bill.
Sampai dengan akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1965), oleh
Pemerintah RI telah dikeluarkan 83 peraturan perundang-undangan nasional
yang mencabut 199 peraturan perundang-undangan produk pemerintah Hindia
Belanda. Pada masa Pelita V (sampai dengan tahun 1992) telah dilaksanakan
penelitian dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda, untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang sampai
sekarang masih berlaku.
Yang dipergunakan sebagai acuan penelitian tersebut adalah:
a. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
buku Engelbrecht (terbitan tahun 1960), Bidang Kehakiman.
b. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Buku Engelbrecht yang sudah diterjemahkan (terbitan tahun 1986).
c. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1942, Bidang Kehakiman.
d. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang terdapat di dalam
Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh BPHN
tahun 1990.
e. Dari hasil penelitian tersebut dapat dicatat bahwa sampai dengan tahun
1992 masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
(lebih kurang 400 peraturan) yang masih berlaku atau belum dicabut dan
diganti dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda dengan peraturan perundang-undangan nasional, dalam Pelita VI,
sejak tahun 1993- 1994 sampai dengan tahun 1997-1998, telah dilaksanakan
pemrosesan penyusunan Naskah Akademik dengan metode omnibus law
sebagai berikut:
a. Tahun 1993-1994: 70 peraturan menghasilkan 35 Naskah Akademik.
b. Tahun 1994-1995: 75 peraturan menghasilkan 15 Naskah Akademik.
c. Tahun 1995-1996: 73 peraturan menghasilkan 13 Naskah Akademik.
d. Tahun 1997-1998: 50 peraturan menghasilkan 8 Naskah Akademik.
363

e. Secara keseluruhannya, sampai dengan tahun 1997 – 1998 telah diproses


338 peraturan dan menghasilkan 82 Naskah Akademik.
f. Dari awal pemerintahan Orde Baru (tahun 1966) sampai dengan tahun 1997
telah dikeluarkan 38 peraturan perundang-undangan nasional yang
mencabut 140 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda.
Pada tahun 1998-1999 dilakukan kegiatan peninjauan kembali terhadap
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1942. Kegiatan ini antara lain
dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai:
a. Eksistensi dan keadaan peraturan perundang-undangan kolonial tersebut
ditinjau dari substansinya, dengan acuan Pancasila dan UUD 1945, dan
hukum yang berlaku.
b. Kaitannya dengan peraturan perundang-undangan nasional: apakah sudah
pernah dicabut, diperbarui, atau masih tetap berlaku meskipun sudah tidak
efektif lagi.
c. Penentuan peraturan perundang-undangan kolonial yang harus dicabut,
diperbarui, atau diganti.
Peraturan perundang-undangan kolonial yang terdapat di dalam
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1942 yang ditinjau kembali
meliputi: (1) Bidang Economische Zaken; (2) Bidang Financien; (3) Bidang
Verkeer en Waterstaat; (4) Bidang Binnenlandsche Bestuur; dan (5) Bidang
Onderwijs en Eeredienst.
Reformasi hukum telah dilakukan oleh Indonesia dalam bentuk
pencabutan peraturan perundang-undangan yang lama dan pembentukan
peraturan perundang-undangan baru; atau pembentukan satu-dua peraturan
perundang-undangan baru untuk menggantikan beberapa peraturan
perundang-undangan yang lama.
Penggunaan metode omnibus law telah membantu negara Indonesia
untuk mengurangi 7.000 peraturan perundang-undangan dari masa kolonial
Belanda menjadi sektar 400 pada tahun 1995. Pada saat ini jumlah yang tersisa
tersebut semakin berkurang.

D. Beberapa Contoh Penerapan Metode Omnibus Law


Dalam bidang hukum tata negara misalnya, terdapat setidaknya 4 (empat)
contoh pembentukan omnibus law/bill yang meliputi: (1) pembentukan 2 (dua)
Ketetapan yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
364

Indonesia (MPR RI); (2) pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2003 tentang


Pemerintahan Daerah; dan (3) pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Selanjutnya kita akan meninjau keempat contoh tersebut.
Pertama, pembentukan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang
“Peninjauan Kembali Produk-produk yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia” yang ditetapkan
pada 22 Maret 1973. Sebagaimana diketahui, Sidang Umum MPR yang
diselenggarakan pada tahun 1973 tersebut merupakan Sidang Umum MPR
pertama yang diselenggarakan pada Masa Orde Baru. Kesempatan tersebut
dimanfaatkan oleh MPR periode tersebut untuk meninjau berbagai produk
hukum yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang menjadi produk MPR sebelumnya. Jadi Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/1973 ini menjadi semacam omnibus law yang meninjau berbagai
Ketetapan MPRS yang diberlakukan semenjak tahun 1960 menjadi beberapa
kelompok sebagai berikut: (1) yang perlu dicabut; (2) yang sudah tertampung
materinya dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN); (3) yang masih
berlaku dan perlu disempurnakan; (4) yang sudah dilaksanakan, karena
mempunyai daya laku yang bersifat “einmahlig”; dan (5) yang belum tertampung
materinya dan tidak bertentangan dengan GBHN. Adapun pertimbangan yang
sekaligus menunjukkan aspek omnibus law dari pemberlakuan Ketetapan MPR
tersebut adalah sebagaimana yang tercantum dalam Konsiderans Mengingat
sebagai berikut: “bahwa perlu ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang menetapkan kepastian kedudukan hukum dari Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut, demi penghayatan dan pengamalan
kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitutional berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945”.
Kedua, pembentukan Ketetapan MPR Nomor !/MPR/2003 tentang
“Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002”. Kebetulan
penulis bersama-sama dengan Tim dari Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat itu diminta oleh MPR untuk
merancang rancangan Ketetapan ini. Pembentukan Ketetapan MPR ini antara
lain dilandasi oleh ketentuan Ayat (1) Aturan Tambahan UUD 1945 yang
365

menyatakan sebagai berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk


melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
tahun 2003”. Omnibus law ini dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan
sebagai berikut: (1) bahwa Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan
Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya
perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di Negara RI; (2) bahwa
perubahan struktur kelembagaan negara tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara dan
lembaga pemerintahan yang ada; dan (3) bahwa perubahan tersebut
mempengaruhi aturan- aturan yang berlaku menurut UUD 1945 dan
mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia.
Berdasarkan Ketetapan ini, kemudian dilakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum dari 139 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari periode tahun 1960
sampai dengan 2002. Berdasarkan hasil peninjauan tersebut, kemudian
diberlakukanlah Ketetapan MPR Nomor !/MPR/2003 yang menggolong-
golongkan 139 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi beberapa kategori
sebagai berikut: (1) yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; (2) yang
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu; (3) yang tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004;
(4) yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang; (5) yang
dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib
yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil
pemilihan umum tahun 2004; dan (6) yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, baik yang bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah
selesai dilaksanakan.
Ketiga, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; yang
materi muatannya menyatukan/menggabungkan pengaturan mengenai 3 (tiga)
hal sebagai berikut: (1) pemerintahan daerah; (2) pemerintahan desa: dan (3)
366

pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah (pilkada). Walaupun UU ini
sekarang sudah tidak berlaku lagi, namun dalam perspektif sejarah hukum tetap
tidak bisa dipungkiri bahwa metode omnibus law pernah diterapkan dalam
penyusunan peraturan perundang- undangan di Indonesia.
Keempat, pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. UU ini merupakan contoh omnibus law yang sesuai dengan makna
kedua yang digambarkan oleh Black’s Law Dictionary di muka, yang
menggambarkan sebagai berikut: “A bill that deals with all proposals relating to
a particular subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals
for new judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subject such
as new crimes and grants to states for crime control”. Dengan pemberlakuan UU
Nomor 7 Tahun 2017 tersebut, disatukanlah beberapa UU mengenai pemilihan
umum yang sebelumnya tersebar dalam beberapa UU sebagai berikut: (1) UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
(2) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemiliha Umum; (3) UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakila
Rakyat, Dewa Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penyatuan ketiga UU terkait pemilihan umum tersebut menjadi satu UU tersebut
diantaranya untuk menjadi landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum
serentak pada tahun 2019 yang lalu.
Berdasarkan keempat contoh tersebut, maka gagasan unntuk
pembentukan omnibus law sebenarnya bukannlah merupakan suatu hal yang
baru di Indonesia. Hal ini dalam perspektif sejarah hukum justru sudah
dilaksanakan dalam periode-periode pemerintahan sebelumnya. Kondisi
adanya berbagai protes dari kalangan masyarakat terhadap sejumlah
rancangan undang-undang (RUU) yang dinilai bermasalah; yang hendak
diberlakukan menjelang berakhirnya masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat
periode 2014-2019 pada sekitar akhir bulan September 2019 yang lalu, yang
diantaranya menyebabkan beberapa RUU ditunda pemberlakuannya oleh
Presiden; menyebabkan munculnya gagasan pembentukan omnibus law ini
menjadi relevan pada saat ini. Dengan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan yang tergolong dalam omnibus lawl; beberapa peraturan
perundang-undangan sebelumnya termasuk ketentuan-ketentuannya yang
bermasalah bisa diubah sekaligus dengan pembentukan 1 (satu) peraturan
367

perundang-undangan baru yang substansinya memperbarui atau menggantikan


ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama.

E. Tanggapan terhadap Beberapa Argumentasi Pihak Pemohon


Terhadap berbagai pendapat maupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh
pihak Pemohon, dapat dikemukakan argumentasi sebagai berikut:
1. UU Nomor 11 Tahun 2020 sebenarnya merupakan suatu UU yang sejak awal
telah disalahpahami, jadi permohonan yang diajukan kepada para Majelis
Hakim yang mulia ini sebenarnya merupakan bagian dari ketidakpahaman
tersebut.
2. Sebagai contoh, ketika UU ini masih berupa RUU yang diajukan oleh
Presiden kepada DPR, sudah ada yang menggugat Surat Presiden Joko
Widodo Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020 ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, padahal Surat Presiden tersebut
merupakan pelaksanaan dari UUD 1945, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Pasal 88 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sepanjang pengetahuan saya, hal ini merupakan perkara pertama dimana
Surat Presiden digugat ke PTUN. Dalam putusannya tertanggal 19 Oktober
2020 PTUN Jakarta menyatakan bahwa gugatan para penggugat tersebut
tidak diterima (niet onvankelijke verklaard). Setelah gagal menggugat Surat
Presiden tersebut di PTUN Jakarta, kemudian UU Nomor 11 Tahun 2020
tersebut diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana proses
persidangannya sedang berjalan pada saat ini.
3. Saya merujuk ke pertanyaan yang pernah diajukan oleh Yang Mulia Hakim
Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams kepada salah seorang Ahli dari pihak
Pemohon yaitu Dr. Wicipto Setiadi sebagaimana tercantum dalam Risalah
Sidang tertanggal 12 Agustus 2021. Pada intinya ditanyakan apakah
terbentuknya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini merupakan
suatu inovasi atau achievement yang belum terpikir ketika UU Nomor 10
Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dibentuk, sehingga hal ini belum diatur dalam UU
tersebut? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa ada satu hal mendasar yang
terlewatkan ketika menyusun baik UU Nomor 10 Tahun 2004 maupun UU
368

Nomor 12 Tahun 2011 (yang kemudian diubah dengan UU Nomor 15 Tahun


2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Padahal sebagaimana
penulis uraikan di muka, metode omnibus law ini sudah dipergunakan dalam
membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia dari sejak masa
pasca Proklamasi Kemerdekaan RI.
4. Dengan demikian adanya kekosongan pengaturan terkait omnibus law dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga
mengakibatkan hal tersebut belum diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait hal tersebut, mengakibatkan bahwa
beberapa argumentasi yang diajukan pemohon bahwa penggunaan metode
omnibus law ini bertentangan dengan teknis penyusunan UU yang diatur
dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, melanggar asas pembentukan UU, dan
melanggar ketentuan tahapan penyusunan RUU - menurut pandangan
penulis - merupakan suatu dalil yang tidak dapat diterima, karena
penggunaan metode omnibus law justru merupakan suatu achievement yang
baik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.

F. Penutup
Berdasarkan uraian dan berbagai contoh di muka dapat dikatakan bahwa
penerapan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Dalam
perspektif sejarah hukum, hal ini justru sudah dilaksanakan dalam periode-
periode pemerintahan sebelumnya sejak tahun 1949.
Selama ini dalam berbagai perkuliahan di fakultas hukum, kita sering
mengeluhkan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang materi
muatannya saling tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang
lain. Dengan penggunaan metode omnibus law, beberapa peraturan
perundang-undangan yang substansinya saling tumpang tindih bisa langsung
diubah atau diganti dengan 1 (satu) peraturan perundang-undangan baru dalam
waktu yang jauh lebih efektif dan efisien daripada jika kita harus mengubah atau
mengganti peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut satu-persatu.
Dengan demikian penerapan metode omnibus law akan dapat menjadi suatu
pilihan hukum yang tepat dan ideal dalam pembentukan peraturan perundang-
369

undangan di masa depan. Melalui hal ini, maka upaya-upaya untuk menegakkan
keadilan dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan di Negara RI
diharapkan akan lebih cepat tercapai.

Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan secara


lisan dalam persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
1) Metode Omnibuslaw memberikan efek positif dan tidak menimbulkan cacat
hukum.
2) Perihal prosedural, sepanjang undang-undang ini dibuat dengan persetujuan
DPR maupun Presiden atau sebaliknya, itu tidak cacat prosedur.
3) Perihal perubahan, dalam hal kedua pihak menyetujui misalnya dengan paraf,
jika memang perlu adanya penyempurnaan menjelang perundangan, sebelum
dimuat dalam lembaran negara, itu merupakan hal yang wajar dan lazim dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
4) Saat ini belum ada daftar ataupun list Stakeholder. Di masa datang seharusnya
kita membuat daftar atau list stakeholder yang diperlukan ketika suatu undang-
undang akan dibentuk.
5) UU P3 tidak mengatur metode, yang diatur adalah prosesnya. Dengan demikian
tidak masalah menggunakan omnibuslaw.
6) Mungkin saat UU P3 disusun, metode omnibuslaw itu tidak terpikirikan. Dalam
praktik terkahir pada UU Pemilu itu juga sudah diterapkan. Untuk tahapan
pembahasan dengan 2 tahapan sebenarnya sudah cukup, apalagi dengan
tripartite melibatkan DPD sesuai putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.

Selanjutnya, Presiden juga mengajukan 1 (satu) orang saksi, yaitu


Nasrudin yang keterangannya didengarkan dalam persidangan pada 23 September
2021, pada pokoknya sebagai berikut:

1) Saksi adalah Widyaiswara Kemenkumham;


2) Pada tahap perencanaan saksi memastikan bahwa penyusunan Naskah
Akademik dilakukan sesuai dengan Teknik dan Sistematika Naskah Akademik
dalam Lampiran I UU 12/2011;
3) Saksi memastikan bahwa Naskah Akademik RUU Cipteker telah diselaraskan
oleh BPHN;
4) Saksi memastikan bahwa RUU Ciptaker telah disusun sesuai dengan asas
umum peraturan yang baik.
370

5) Saksi terlibat langsung dalam penyusunan RUU Ciptaker;


6) Tahap penyebarluasan, saksi terlibat untuk memastikan bahwa UU Ciptaker
sektor lingkungan hidup dan kehutanan disosialisasikan;
7) Saksi terlibat dalam pembahasan tripartite kluster ketenagakerjaan untuk
memastikan partisipasi kalangan usaha dan pekerja.
8) Dari segi konsultasi publik, penyusunan RUU Ciptaker telah melibatkan
partisipasi masyarakat untuk memenuhi ketentuan Pasal 96 UU 12/2011.

Saksi pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan


secara lisan dalam persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
1) Tupoksi widyaiswara memang mengajar, namun saksi ditugaskan oleh Menteri
Hukum dan HAM untuk membantu Dirjen PP.
2) UU Ciptaker ada 6 Bab, dan ada 11 cluster. Di RUU ada 11 cluster, namun saksi
lupa mengenai jumlah pasalnya. Dari yang awal diserahkan oleh Presiden
menjadi persetujuan bersama ada penambahan pasal namun saksi lupa jumlah
pasalnya.
3) Saksi tidak mengetahui mengenai penghapusan atau perubahan pasal oleh
pemerintah setelah persetujuan bersama.
4) Sebagian besar substansi dari naskah akademik karena materinya sama maka
dikembangkan sehingga menjadi cipta lapangan kerja.
5) Penyusunan naskah akademik tidak singkat, tidak dari nol pada saat Presiden
menyampaikan pidato pelantikan periode II, karena sebetulnya sudah ada
bahan yang kemudian ditambah dengan beberapa substansi lainnya.
6) Tidak ada satu pun proses pembentukan naskah akademik maupun Rancangan
Undang-Undang Cipta Kerja yang bertentangan atau keluar dari Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011. Mulai dari penyusunan naskah akademik,
dilanjutkan dengan prolegnas, lalu ada penyelarasan, penyusunan RUU-nya
juga demikian.
7) Pada saat pembahasan tripartit, serikat buruh sangat diberi keleluasaan
memberikan pendapat.
8) Undang-Undang Cipta Kerja adalah undang-undang baru, namun substansinya
adalah mengubah beberapa undang-undang, ada 76 UU yang diubah.
9) Setelah persetujuan Bersama di tingkat I, dilanjutkan ke tingkat II. Naskah
Akademik setelah dilakukan perbaikan redaksional baru diserahkan kepada
pembahasan tingkat II.
371

10) Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja tidak merubah substansi, hanya
untuk menghindari penggunaan istilah plesetan singkatan “Cilaka”. Namun
perubahan judul itu substansinya masih sama. Perubahan judul UU itu ada
pembahasannya.

[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para


Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 28 Oktober 2021 yang
pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya;

[2.7] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden


yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 29 Oktober 2021 yang pada
pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya;

[2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6554, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD 1945. Pasal tersebut tidak menjelaskan apakah kewenangan
Mahkamah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
372

bersifat final untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945


tersebut hanya pada salah satu macam pengujian saja yaitu pengujian materiil atau
formil ataukah kedua jenis pengujian baik pengujian formil maupun materiil. UU MK
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Sedangkan, Pasal 51 ayat (3)
menyatakan dalam permohonan Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
(a) pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
1945; dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
Undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, menurut
ketentuan pasal tersebut Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 baik dalam pengujian
formil maupun pengujian materiil.

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah


pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573, selanjutnya disebut
UU 11/2020) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo.

Tenggang Waktu Pengujian Formil

[3.3] Menimbang bahwa berkenaan dengan tenggang waktu pengajuan


permohonan pengujian formil undang-undang, Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf
[3.34] telah menyatakan bahwa:

[3.34] Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan


a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau
tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan
pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian
formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang
dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD
1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan undang-Undang
yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian
hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya
apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil
akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah
373

memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-


Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk
mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;

Oleh karena UU 11/2020 diundangkan pada 2 November 2020 sehingga


batas waktu paling lambat pengajuan permohonan yaitu 17 Desember 2020.
Adapun permohonan para Pemohon diterima oleh Mahkamah pada 15 Oktober
2020 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
203/PAN.MK/2020, yang kemudian diperbaiki oleh para Pemohon dengan
perbaikan permohonan bertanggal 24 November 2020 dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 24 November 2020. Dengan demikian permohonan para
Pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian
formil suatu undang-undang.

[3.4] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu penyelesaian


pengujian formil, Mahkamah telah pula memberikan pertimbangan secara khusus
sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam perkara 79/PUU-XVII/2019,
bertanggal 4 Mei 2021, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

[3.16] … Masih dalam konteks kepastian hukum itu pula, Mahkamah


memandang penting untuk menyatakan atau menegaskan bahwa
pembatasan waktu serupa pun diperlukan Mahkamah dalam memutus
permohonan pengujian formil sebuah undang-undang. Dalam hal ini,
Mahkamah perlu menegaskan bahwa waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
(BRPK) dirasa cukup untuk menyelesaikan pengujian formil sebuah
undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, batas waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (BRPK) dimaksud belum akan memberikan implikasi
besar dalam pelaksanaan undang-undang terutama dalam penyiapan
peraturan perundang-undangan yang diperintahkan dan dibutuhkan dalam
pelaksanaan undang-undang, termasuk juga tindakan hukum lain yang
dilakukan sebagai akibat dari pengundangan sebuah undang-undang.
Bahkan, untuk tujuan kepastian dimaksud, termasuk pertimbangan kondisi
tertentu, Mahkamah dapat menjatuhkan putusan sela sebagai bentuk
tindakan prioritas dan dapat memisahkan (split) proses pemeriksaan antara
pengujian formil dan pengujian materiil bilamana pemohon menggabungkan
kedua pengujian tersebut dalam 1 (satu) permohonan termasuk dalam hal
ini apabila Mahkamah memandang perlu menunda pemberlakuan suatu
undang-undang yang dimohonkan pengujian formil.

Berkenaan dengan pertimbangan di atas, perkara a quo sedang dalam masa


pemeriksaan persidangan ketika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-
374

XVII/2019 diucapkan. Oleh karena itu, terhadap perkara a quo, Mahkamah


sesungguhnya belum terikat dengan batas waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
perkara a quo dicatat dalam BRPK. Terlebih lagi, ketika permohonan a quo diajukan,
Mahkamah dihadapkan pada agenda nasional yaitu penyelesaian perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang diterima Mahkamah
sejak bulan Desember 2020 dan memiliki tenggang waktu penyelesaian 45 (empat
puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan, sehingga saat itu Mahkamah
menghentikan secara sementara seluruh pemeriksaan perkara, termasuk perkara
para Pemohon a quo [vide Pasal 82 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, selanjutnya
disebut PMK 2/2021]. Selain itu, bersamaan dengan proses pemeriksaan terhadap
perkara a quo, sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia sedang menghadapi ancaman pandemi Covid-19 yang telah dinyatakan
oleh Presiden sebagai bencana nasional-nonalam [vide Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional].
Selanjutnya, untuk mencegah penyebaran virus yang relatif cepat dengan tingkat
fatalitas yang tinggi pemerintah telah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak bulan Januari 2021. Oleh karena, pencegahan
penyebaran virus penting untuk dilakukan oleh semua pihak, termasuk Mahkamah
Konstitusi, maka persidangan di Mahkamah saat itu dihentikan untuk beberapa
waktu, termasuk persidangan untuk perkara a quo. Namun, tanpa mengurangi
semangat mempercepat penyelesaian pengujian formil sebagaimana dimaksud
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, Mahkamah dalam
melakukan pemeriksaan perkara pengujian formil UU 11/2020 telah melakukan
pemeriksaan secara terpisah (splitsing) dengan permohonan pengujian materiil
terhadap UU 11/2020.

Kedudukan Hukum para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
375

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang


mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
376

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU


MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai
berikut:

1. Bahwa Pemohon I menerangkan sebagai perseorangan Warga Negara


Indonesia yang pernah bekerja sebagai Pekerja Kontrak Waktu Tertentu
(PKWT). Pemohon I melampirkan bukti pendukung berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) [vide bukti P-4] dan kartu tanda pekerja [vide bukti P-5].
Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya UU
11/2020 yaitu Pasal 81 yang menghapus aturan mengenai jangka waktu
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, sehingga menghapus
kesempatan Pemohon I untuk menjadi pekerja tetap. Selain itu, terdapat
ketentuan-ketentuan norma UU 11/2020 yang merugikan hak konstitusional
Pemohon I untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja, di antaranya pemangkasan waktu istirahat mingguan,
menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh,
menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah, menghapus hak
pekerja/buruh untuk dapat mengajukan PHK.

2. Bahwa Pemohon II menerangkan sebagai perseorangan Warga Negara


Indonesia yang sedang menjalani Pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan
dan Pendidikan Modern (STIKP Modern) Ngawi. Pemohon II melampirkan bukti
pendukung berupa KTP dan Kartu Tanda Mahasiswa [vide bukti P-6 dan P-7].
Pemohon II merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan
jaminan kepastian hukum yang adil untuk mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya serta berhak mendapatkan pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan
kualitas hidupnya serta demi kesejahteraan umat manusia. Hal tersebut akibat
berlakunya UU 11/2020 yang menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis
dalam aktivitas industri dan ekonomi, sehingga mereduksi tujuan pendidikan
sebagaimana termaktub dalam konstitusi;
377

3. Bahwa Pemohon III menerangkan sebagai perseorangan Warga Negara


Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen yang mengajar mata kuliah Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Pemohon III melampirkan bukti
pendukung berupa KTP dan Nomor Induk Dosen Nasional [vide bukti P-8 dan
bukti P-9]. Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk
mendapatkan kepastian hukum disebabkan proses pembentukan UU 11/2020
yang melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 dan UU 12/2011, sehingga menjadi
praktik ketatanegaraan yang tidak dapat dijelaskan secara akademik oleh
Pemohon III kepada peserta didiknya di kampus;

4. Bahwa Pemohon IV menerangkan sebagai Badan Hukum berbentuk


perkumpulan yang diberi nama Perhimpunan Indonesia Untuk Buruh Migran
Berdaulat-Migrant CARE yang diwakili oleh Pengurusnya yakni Wahyu Susilo
sebagai Ketua dan Anis Hidayah sebagai Sekretaris. Pemohon IV melampirkan
bukti pendukung berupa Akta Pendirian Nomor 8, Tanggal 22 Juni 2004 yang
dibuat oleh Notaris G. Sri Mahanani, S.H. dan Akta Nomor 03 Tanggal 15
September 2016 oleh Mundji Salim, S.H, tentang Perubahan AD/ART
Organisasi Migrant CARE Tahun 2016, serta Keputusan Menteri Hukum dan
HAM Nomor AHU-0074014.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian
Badan Hukum Perkumpulan Indonesia Untuk Migran Berdaulat – Migrant CARE
yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 20 September
2016 [vide bukti P-10 sampai dengan bukti P-14]. Pemohon IV adalah organisasi
yang concern mengawal pelindungan Pekerja Migran Indonesia dalam upaya
mengadvokasi para pekerja migran beserta keluarganya. Pemohon IV merasa
dirugikan dengan adanya Pasal 84 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan
dalam Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Di
mana pada Pasal 89A menyatakan, “Pada saat berlakunya Undang-Undang
tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU
PPMI) menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha”.
Padahal secara filosofi pengaturan perizinan berusaha bagi perusahaan yang
menempatkan manusia, tentunya berbeda dengan perizinan berusaha bagi
perusahaan yang bergerak di bidang lain. Pemohon IV juga merasa dirugikan
karena perubahan ketentuan norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
378

87 UU PPMI tidak melibatkan Pemohon IV dalam proses pembahasan


pembentukan UU 11/2020, padahal Pemohon IV selama ini telah melakukan
upaya untuk meningkatkan pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia hingga
terbentuknya UU PPMI;

5. Bahwa Pemohon V menerangkan sebagai Badan Hukum berbentuk


Perkumpulan yang diberi nama Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari
Sumatera Barat (Bakor KAN Sumatera Barat) yang diwakili oleh Pengurusnya
yakni Yuzirwan Rasyid sebagai Ketua Umum dan Yulizal Yunus sebagai
Sekretaris Umum. Pemohon V melampirkan bukti pendukung berupa Akta
Pendirian Nomor 105, tanggal 27 Maret 2018 yang dibuat oleh Notaris Desrizal
Idrus Hakimi, S.H. dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-
0005553.AH.01.07.Tahun 2018 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum
Perkumpulan Badan Koordinasi Adat Nagari Sumatera Barat yang disahkan
oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 April 2018 [vide bukti P-15
sampai dengan bukti P-17].

6. Bahwa Pemohon VI adalah Badan Hukum berbentuk Perkumpulan yang diberi


nama Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM) yang berkedudukan di
Sumatera Barat, yang diwakili oleh Pengurusnya yakni Irwansyah Datuak
Katumanggungan sebagai Ketua Mahkamah. Dalam struktur pengurus MAAM,
posisi Ketua Mahkamah/Imam Mahkamah menduduki posisi tertinggi pada
pengambilan keputusan dan dapat mewakili MAAM termasuk di dalam ataupun
di luar pengadilan, walaupun hal itu tidak termuat secara eksplisit dalam bagian
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Organisasi. Pemohon VI
melampirkan bukti pendukung berupa Akta Pendirian Nomor 05, Tanggal 06
Desember 2016 yang dibuat oleh Notaris Aflinda, S.H. dan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM Nomor AHU-0000652.AH.01.07. Tahun 2017 tentang
Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Mahkamah Adat Alam
Minangkabau yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal
24 April 2018 [vide bukti P-18 dan bukti P-19];

7. Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI memiliki tanggung jawab menjaga dan


melindungi eksistensi masyarakat adat, termasuk ikut menjaga keberadaan
lahan ulayat, dan melakukan advokasi bagi lahan-lahan ulayat yang diambil alih
pengelolaannya oleh pihak lain tanpa persetujuan masyarakat adat selaku
pemilik lahan ulayat. Pemohon V dan Pemohon VI merasa dirugikan dengan
379

dihapusnya ketentuan sanksi pidana atas penggunaan lahan hak ulayat oleh
pelaku usaha tanpa memperoleh persetujuan masyarakat adat sebagai
pemegang hak ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 11/2020 yang
telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang
Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan, yang menurut anggapan Pemohon V
dan Pemohon VI aturan tersebut akan berdampak pada terjadinya
penyerobotan lahan ulayat secara semena-mena. Pemohon V dan Pemohon VI
tidak mendapatkan informasi terkait penghapusan sanksi pidana tersebut akibat
tidak terbuka atau tidak partisipatifnya pembentukan UU 11/2020 sehingga telah
merugikan hak konstitusional Pemohon V dan Pemohon VI.

[3.8] Menimbang bahwa perihal pengujian formil undang-undang, berdasarkan


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010
pada halaman 68, berkaitan dengan kedudukan hukum, Mahkamah
mempertimbangkan pada pokoknya sebagai berikut:

“bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masayarakat


secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak
serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian
materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam
pengujian formil Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai
hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang
dimohonkan. Adapun syarat adanya hubungan pertautan yang langsung
dalam pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya
kepentingan dalam pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan oleh
Mahkamah sampai saat ini, karena akan menyebabkan sama sekali tertutup
kumungkinannya bagi anggota masyarakat atau subjek hukum yang disebut
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara formil.
Dalam kasus konkrit yang diajukan oleh para Pemohon perlu dinilai apakah
ada hubungan pertautan yang langsung antara para Pemohon dengan
Undang-Undang yang diajukan pengujian formil.”

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada Paragraf [3.7] dan Paragraf
[3.8] tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan masing-
masing kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

1. Pemohon I adalah perseorangan warga negara Indonesia yang pernah bekerja


dan juga sedang mencari pekerjaan yang beranggapan akan mendapatkan
kesulitan mendapatkan perlindungan hak-haknya sebagai pekerja karena
berlakunya UU 11/2020. Selanjutnya, Pemohon II menerangkan sebagai
380

perseorangan warga negara Indonesia yang juga seorang mahasiswa pada


salah satu perguruan tinggi yang beranggapan juga akan mengalami kesulitan
untuk memeroleh hak atas pendidikan karena UU 11/2020 mengkapitalisasi
bidang pendidikan. Namun dalam kualifikasi tersebut, Pemohon I dan
Pemohon II tidak dapat menguraikan kerugian konstitusional dalam proses
pembentukan UU a quo;

2. Pemohon III adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi


sebagai Dosen yang mengajar mata kuliah HTN dan HAN, yang merasa
kesulitan untuk menjelaskan kepada mahasiswanya mengenai proses
pembentukan undang-undang berdasarkan UU 12/2011 karena pembentukan
UU 11/2020 tidak sejalan dengan ketentuan dalam UU 12/2011. Dengan
demikian, Pemohon III telah dapat menjelaskan hubungan pertautan antara
Pemohon III sebagai dosen dengan proses pembentukan UU 11/2020 yang
dipersoalkan konstitusionalitasnya;

3. Pemohon IV adalah organisasi bernama Migrant CARE dengan diwakili oleh


Ketua dan Sekretarisnya sesuai dengan AD/ART yang dalam kegiatannya
concern mengawal perlindungan pekerja migran Indonesia. Dalam uraian
kedudukan hukumnya, Pemohon IV menerangkan tidak dilibatkan dalam
proses pembentukan UU 11/2020. Dengan demikian, Pemohon IV telah dapat
menjelaskan hubungan pertautan antara Pemohon IV sebagai organisasi
pekerja migran Indonesia dengan proses pembentukan UU 11/2020 yang
dipersoalkan konstitusionalitasnya;

4. Pemohon V dan Pemohon VI adalah badan hukum perkumpulan yang aktif


melakukan kegiatan menjaga keberadaan lahan ulayat namun tidak dilibatkan
dalam proses pembentukan UU 11/2020 di mana dengan berlakunya UU a quo
Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat lagi menjalankan aktivitasnya.
Dengan demikian, Pemohon V dan Pemohon VI telah dapat menjelaskan
hubungan pertautan antara Pemohon V dan Pemohon VI sebagai badan
hukum perkumpulan yang aktif melakukan kegiatan menjaga keberadaan
lahan ulayat dengan proses pembentukan UU 11/2020 yang dipersoalkan
konstitusionalitasnya;

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, terhadap Pemohon


I dan Pemohon II oleh karena tidak dapat menguraikan alasan kerugian hak
381

konstitusionalnya dalam proses pembentukan UU 11/2020, maka menurut


Mahkamah, Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo. Selanjutnya, terhadap Pemohon III, Pemohon IV,
Pemohon V, dan Pemohon VI, Mahkamah berpendapat Pemohon III, Pemohon IV,
Pemohon V, dan Pemohon VI telah dapat menguraikan kedudukan dan kegiatannya
yang berkaitan erat dengan UU 11/2020 sehingga terdapat hubungan pertautan
antara Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI dengan Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian secara formil. Oleh karena itu, terlepas dari
terbukti atau tidak terbuktinya dalil mengenai inkonstitusionalitas pembentukan UU
11/2020 yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, Pemohon III,
Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon)
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan.

Dalam Provisi

[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang


pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela
dengan menunda keberlakuan UU 11/2020 hingga adanya putusan akhir terhadap
pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon terdapat
ketentuan-ketentuan norma yang tidak dapat dilaksanakan akibat adanya kesalahan
rujukan dalam UU a quo. Selain itu, para Pemohon juga memohon agar Mahkamah
memrioritaskan penyelesaian proses pemeriksaan perkara para Pemohon a quo
dalam waktu 30 hari sehingga diputus sebelum penanganan Perselisihan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, menurut
Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon adalah
berkaitan erat dengan materi muatan UU 11/2020 sehingga tidak tepat dijadikan
sebagai alasan permohonan pengujian formal. Adapun terhadap permohonan
pemeriksaan prioritas, telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian tenggang
382

waktu penyelesaian perkara sebagaimana pada Paragraf [3.4]. Dengan demikian


permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian


formil terhadap UU 11/2020 karena, menurut para Pemohon, proses pembentukan
UU 11/2020 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 22A UUD 1945,
dengan alasan sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk
Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa menurut para Pemohon, pembentukan UU 11/2020 dengan metode


omnibus law menyebabkan ketidakjelasan jenis undang-undang yang
dibentuk, apakah sebagai undang-undang baru atau undang-undang
perubahan ataukah undang-undang pencabutan. Sehingga, hal tersebut
bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan undang-undang baru,
pencabutan dan/atau perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam
Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011).

2. Bahwa menurut para Pemohon, metode omnibus law tidak dikenal dalam UU
12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU 15/2019), sehingga metode omnibus law telah
menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku
yang artinya bertentangan dengan konsiderans menimbang huruf b UU
12/2011.

3. Bahwa menurut para Pemohon, terdapat perubahan materi muatan UU


11/2020 pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar
teknis penulisan, melainkan juga perubahan yang bersifat substansial,
termasuk juga kesalahan dalam pengutipan.

4. Bahwa menurut para Pemohon, pembentukan UU 11/2020 bertentangan


dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 serta asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan
huruf g UU 12/2011 yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
383

5. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon


kepada Mahkamah agar menyatakan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan
ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah, dihapus dan/atau
yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam UU
11/2020 berlaku kembali.

[3.13] Menimbang bahwa untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, para


Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1
sampai dengan bukti P-28, serta 1 (satu) orang ahli yaitu Dr. Zainal Arifin Mochtar,
S.H., LLM., yang keterangannya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3
Agustus 2021 dan didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 5
Agustus 2021 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). Selain itu para
Pemohon juga menyerahkan kesimpulan bertanggal 28 Oktober 2021 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Oktober 2021.

[3.14] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah


menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada 17 Juni
2021 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 6
Agustus 2021 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). Selain itu DPR
juga mengajukan 1 (satu) orang ahli, yaitu Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H.,
M.H. yang keterangan tertulisnya diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 11 Oktober 2021 dan didengar keterangannya dalam persidangan pada 13
Oktober 2021 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara), serta 2 (dua)
orang saksi yaitu Firman Soebagyo dan Hendrik Lewerissa yang didengarkan
dalam persidangan pada tanggal 19 Oktober 2021. Berkenaan dengan kedua saksi
yang diajukan DPR dimaksud, oleh karena kedua saksi dimaksud merupakan
anggota DPR dan secara kelembagaan DPR adalah pemberi keterangan dan
keberadaan keduanya tidak bisa dipisahkan dari DPR sebagai institusi sehingga
Mahkamah mengesampingkan kesaksian yang disampaikan kedua saksi tersebut.

[3.15] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam


persidangan tanggal 17 Juni 2021 yang keterangan tertulisnya diterima di
Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Juni 2021, 10 Juni 2021, dan 16 Juni 2021, yang
kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis tambahan yang diterima di
384

Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Agustus 2021, tanggal 25 Agustus 2021,


tanggal 9 September 2021, dan tanggal 13 Oktober 2021. Selain itu, untuk
mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan alat bukti surat/tulisan yang
diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan bukti PK-188 tanpa PK-128, dan 1 (satu)
orang ahli yaitu Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. yang keterangan tertulisnya
diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 31 Agustus 2021 dan didengar
keterangannya dalam persidangan pada tanggal 2 September 2021 (selengkapnya
termuat dalam bagian Duduk Perkara), serta 1 (satu) orang saksi yaitu Nasrudin
yang keterangannya didengar dalam persidangan pada tanggal 23 September 2021.
Presiden juga menyerahkan kesimpulan bertanggal 28 Oktober 2021 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah pada 29 Oktober 2021.

[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara


saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden,
keterangan ahli para Pemohon, keterangan ahli DPR, keterangan ahli Presiden,
keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para
Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis para Pemohon, kesimpulan tertulis
Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara,
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon.

[3.17] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang


diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan
hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945


(UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang-
undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur
dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih
rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945.
Pengaturan ihwal proses pembentukan undang-undang tersebut selengkapnya
sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:


Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 UUD 1945 menyatakan:
385

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk


undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.

Pasal 22A UUD 1945 menyatakan:


Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang.

Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan:


(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang- undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.

[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang-


undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i)
pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR,
Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945;
(iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;

[3.17.3] Bahwa berkenaan dengan tahapan pengajuan rancangan undang-


undang, baik yang merupakan pengaturan baru maupun revisi atau perubahan atas
386

undang-undang yang sedang berlaku, secara konstitusional, dapat diajukan atas


usul inisiatif dari Presiden (pemerintah), atau atas usul inisiatif dari DPR atau usul
inisiatif dari DPD. Perihal rancangan undang-undang dimaksud, pengusulannya
harus disertai dengan Naskah Akademik (NA). Secara substanstif, NA minimal
memuat, yaitu: dasar-dasar atau alasan-alasan (urgensi) diperlukannya usulan
suatu undang-undang atau revisi suatu undang-undang. Dengan penjelasan
dimaksud, masyarakat dapat mengetahui implikasinya dalam penyelenggaraan
negara atau pemerintahan jika substansi rancangan undang-undang yang diusulkan
tidak diakomodasi menjadi undang-undang. Selain penjelasan dimaksud, NA harus
pula memuat atau disertai lampiran draf usulan rancangan undang-undang yang
substansinya mencerminkan urgensi yang dikemukakan dalam NA.
Bahwa sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional,
pengajuan rancangan undang-undang harus didasarkan kepada Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) yang dapat memuat atau menentukan skala prioritas setiap
tahunnya. Berkenaan dengan hal tersebut, proses penyusunan dan penentuan
daftar rencana pembentukan undang-undang termasuk penentuan skala prioritas
didasarkan pada undang-undang tentang pembentukan undang-undang, atau
undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini, Prolegnas pada hakikatnya
tidak sekadar mencantumkan daftar judul RUU melainkan didesain secara terarah,
terpadu, dan sistimatis yang harus diikuti dengan konsepsi yang jelas mengenai: a)
latar belakang dan tujuan penyusunan; b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan c)
jangkauan dan arah pengaturan. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengkajian dan
penyelarasan konsepsi tersebut supaya dapat dicegah terjadinya tumpang tindih
pengaturan dan kewenangan.
Meskipun demikian, untuk menampung kondisi atau kebutuhan tertentu,
pengajuan rancangan undang-undang dapat dimungkinan di luar Prolegnas.
Misalnya, mengatasi kekosongan hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, perihal persiapan rancangan undang-undang dari masing-masing
lembaga yang dapat mengusulkannya (Presiden, DPR, dan DPD) merupakan
kebijakan internal masing-masing lembaga. Misalnya DPR, persiapan dapat
dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Sedangkan
rancangan undang-undang yang diajukan Presiden dapat dipersiapkan oleh menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas
387

dan tanggung jawabnya. Begitu pula yang berasal dari DPD, rancangan undang-
undang dapat dipersiapkan oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang
undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai
salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang,
Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan kewenangan
konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan
subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai
juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama
dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Merujuk pertimbangan tersebut, posisi DPD dalam pengajuan rancangan


undang-undang sama seperti halnya hak Presiden dalam mengajukan rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
sepanjang rancangan undang-undang dimaksud berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana
diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan agar
pengajuan rancangan undang-undang tidak menegasikan posisi dan kedudukan
DPD dalam grand design pembentukan undang-undang;

[3.17.4] Bahwa berkenaan dengan tahapan pembahasan rancangan undang-


undang, hal pertama yang harus dikemukakan Mahkamah adalah berkenaan
dengan kata “pembahasan” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Setelah mendalami
pendapat yang berkembang dalam pembahasan perubahan UUD 1945, doktrin, dan
pengaturan dalam UU 10/2004 yang telah diganti oleh UU 12/2011, kata “dibahas”
pada frasa “rancangan undang-undang dibahas” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945
dimaknai sebagai “dibahas bersama” atau “pembahasan bersama”. Dengan
388

demikian bilamana pembahasan rancangan undang-undang di luar substansi Pasal


22D ayat (1) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden dan DPR.
Sementara itu, jika substansi rancangan undang-undang berkaitan dengan Pasal
22D ayat (1) UUD 1945 atau rancangan undang-undang diajukan oleh DPD,
pembahasan bersama dilakukan antara Presiden, DPR, dan DPD;
Setelah penegasan ihwal makna kata “pembahasan” tersebut, untuk
memenuhi proses formal tahapan ini, Mahkamah perlu menegaskan beberapa hal
sebagai berikut:
Pertama, karena tidak diatur secara detail dalam UUD 1945, pembahasan
rancangan undang-undang dilakukan sesuai dengan undang-undang yang
mengatur ihwal pembentukan undang-undang atau undang-undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembahasan dapat juga
merujuk sumber-sumber lain yang memberikan makna konstitusional terhadap
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012. Misalnya, jikalau merujuk UU 12/2011, pembahasan rancangan undang-
undang dilakukan dengan dua tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat Pertama yang
dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat
badan anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili
presiden; dan Tingkat Kedua yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR.
Kedua, tahapan pembahasan merupakan fase yang berfokus utama untuk
membahas rancangan undang-undang, yaitu membahas Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) yang diajukan lembaga yang terlibat dalam pembahasan bersama.
Berkenaan dengan hal ini, DIM diajukan oleh Presiden jika rancangan undang-
undang berasal dari DPR, dan DIM diajukan oleh DPR jika rancangan undang-
undang berasal dari Presiden. Sementara itu, bilamana pembahasan rancangan
undang-undang berkenaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1)
UUD 1945, DIM diajukan oleh: a) DPR dan DPD jika rancangan undang-undang
berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD; b) DPR dan
Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan
kewenangan DPD; atau c) DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang
berasal dari DPR.
Ketiga, dengan membaca Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan membaca secara
saksama perdebatan perubahan ketentuan a quo, pembahasan bersama rancangan
undang-undang dilakukan antar-institusi. Artinya, karena pembahasan bertumpu
389

pada DIM, secara konstitusional dalam pembahasan rancangan undang-undang


terdapat satu DIM (DIM Presiden atau DIM DPR) sepanjang pembahasan bukan
menyangkut kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun,
bilamana pembahasan menyangkut kewenangan DPD, DIM dapat berasal dari
Presiden, DPR, atau DPD. Dalam konteks itu, pembahasan DIM adalah
pembahasan yang dilakukan antar-lembaga, yaitu: antara Presiden dan DPR
(bipartit); dan antara presiden, DPR, dan DPD (tripartit) bila rancangan undang-
undang berkenanaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD
1945.
Dikarenakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan antar-
institusi, selama proses pembahasan berlangsung peran kelompok atau bagian
tertentu dalam masing-masing institusi menjadi urusan internal setiap institusi.
Misalnya, penentuan siapa atau pihak yang akan mewakili Presiden dalam
pembahasan rancangan undang-undang ditentukan Presiden dengan Surat
Presiden. Begitu pula dengan DPR dan DPD, selama proses pembahasan
rancangan undang-undang yang harus kelihatan adalah peran institusi DPR dan
institusi DPD. Dalam hal ini, misalnya, peran fraksi dapat dioptimalkan dalam
pembahasan-pembahasan dan pengambilan keputusan di internal DPR. Atau, DPD
yang harus kelihatan adalah peran institusi DPD, dapat diwakili komite atau panitia
perancang. Dengan demikian, selama pembahasan akan kelihatan pembahasan
yang dilakukan antarinstitusi atau antarlembaga, yaitu antara Presiden-DPR; dan
antara Presiden-DPR-DPD sepanjang rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Artinya, prinsip mendasar pembahasan
institusi merupakan pembahasan antarinstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar,
pembahasan antarinstitusi dimaksud menjadikan proses pembahasan rancangan
undang-undang lebih sederhana.
Keempat, karena pembahasan akan berujung pada kesepakatan atau
persetujuan, guna menghindari kemungkinan terjadinya perubahan terhadap hasil
kesepakatan, atau manuver berupa penolakan di ujung proses, kesepakatan-
kesepakatan terutama yang berkenaan dengan norma, pasal, atau substansi pasal
harus dibubuhi paraf atau tandatangan masing-masing pihak yang mewakili institusi.
Khusus untuk perumusan norma atau pasal, pembubuhan paraf atau tandatangan
dimaksud penting dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan
390

terjadinya perubahan di luar kesepakatan selama pembahasan rancangan undang-


undang.
Kelima, sebagai bagian dari proses pembahasan, ihwal penyampaian
pendapat mini sebagai sikap akhir, sesuai dengan pola pembahasan antar-institusi
yang telah dipertimbangkan di atas, penyampaian pendapat mini dimaksud harus
disampaikan oleh perwakilan masing-masing institusi. Artinya, sebelum
menyampaikan pendapat mini, semua institusi telah selesai melakukan proses
internal untuk menyepakati posisi atau pandangan yang akan disampaikan dalam
pendapat mini. Dengan menggunakan pola pembahasan dua tingkat pembicaraan,
penyampaian pendapat mini merupakan proses penting dan krusial karena
merupakan gambaran posisi atau sikap setiap lembaga sebelum dilakukan
pembahasan di tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR.

[3.17.5] Bahwa berkenaan dengan tahap persetujuan rancangan undang-


undang. Ihwal persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna DPR merupakan
kelanjutan dari tahap pembahasan. Dalam tahap ini, pendapat mini yang
disampaikan oleh masing-masing institusi sebelum memasuki tahap persetujuan
bersama dapat saja berubah. Jikalau terjadi perubahan, institusi yang berubah sikap
tersebut terlebih dahulu harus menyelesaikan perubahan pendapatnya secara
internal. Misalnya, jika terdapat satu fraksi atau lebih yang memiliki pendapat
berbeda sebelum dilakukan persetujuan bersama, secara internal DPR
menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai
mufakat, DPR memilih cara penentuan sikap dengan mekanisme pemungutan suara
(voting). Secara konstitusional, soal terpenting dalam persetujuan bersama adalah
pernayataan persetujuan dari masing-masing institusi, yaitu pernyataan persetujuan
dari (pihak yang mewakili) presiden dan pernyataan persetujuan dari DPR. Dalam
hal ini, sesuai dengan norma Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, persetujuan bersama
hanya dilakukan oleh Presiden dan DPR.
Masalah konstitusional lain yang perlu dikemukakan oleh Mahkamah
berkenaan dengan persetujuan bersama adalah ketika suatu rancangan undang-
undang tidak mendapatkan persetujuan bersama. Terhadap hal tersebut, Pasal 20
ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan a quo memiliki akibat
391

atau konksekuensi terhadap rancangan undang-undang yang ditolak tersebut tidak


boleh diajukan lagi dalam masa persidangan ketika persetujuan tersebut dilakukan.
Masalah lainnya, bagaimana kalau rancangan undang-undang belum
mendapat persetujuan atau masih berada dalam tahap pembahasan, atau sama
sekali belum memasuki pembahasan sementara masa jabatan DPR periode
bersangkutan telah selesai. Bisakah rancangan undang-undang dimaksud
dilanjutkan (carry over) kepada DPR periode berikutnya? Berkenaan dengan hal ini,
ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidaklah eksplisit menyangkut RUU yang
dapat dilanjutkan pembahasannya kepada DPR periode berikutya. Kemungkinan
untuk dapat dilakukan carry over hanya dapat dibenarkan oleh maksud Pasal 22A
UUD 1945. Dalam hal ini, dasar hukum dan status rancangan undang-undang carry
over hanya dapat dibenarkan dalam kerangka “dengan peraturan lain yang
dimaksudkan untuk melaksanakan pembentukan undang-undang sebagaimana
termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945” sebagaimana maksud Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tertanggal 16 Juni 2010. Jika menggunakan
ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU 15/2019) rancangan undang-undang carry over hanya
dapat dibenarkan sepanjang memenuhi dua persyaratan secara kumulatif, yaitu (i)
telah memasuki pembahasan DIM; dan (ii) dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas
berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD.

[3.17.6] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pengesahan rancangan


undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 yang merupakan pengesahan formil. Artinya, ketika persetujuan bersama
antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner persetujuan tersebut dapat
dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil. Pengesahan materiil tidak akan
terjadi jika salah satu pihak, baik presiden atau DPR, menolak untuk menyetujui
rancangan undang-undang dalam sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu,
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,
tidak boleh lagi dilakukan perubahan yang sifatnya substansial. Jikapun terpaksa
dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya
kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna
norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama. Sementara itu, jikalau terdapat suatu keadaan, di mana Presiden menolak
392

mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah


disetujui bersama, tindakan penolakan Presiden tersebut tidak menyebabkan suatu
undang-undang menjadi cacat formil. Terlebih lagi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945
telah mengantisipasi kemungkinan tersebut sehingga undang-undang yang tidak
disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.

[3.17.7] Bahwa tahap terakhir dalam pembentukan undang-undang adalah


pengundangan (afkondiging/promulgation) yang merupakan tindakan atau
pemberitahuan secara formal suatu undang-undang dengan cara menempatkan
dalam penerbitan resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini,
pengundangan adalah penempatan undang-undang dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Penjelasan Undang-Undang dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia.

[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas,


masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan
undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan
pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat
sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak
konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan
dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang-
undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan
keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan
memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang
tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang-
undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat
(strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap
dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk
kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga
legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam
393

pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and


confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi
dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan
dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang
peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan
kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan
kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih
akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan
perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna
(meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan
publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna
tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk
didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan
penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang
terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-
undang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang
telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih
bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i)
pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR,
Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

[3.17.9] Bahwa semua tahapan dan partisipasi masyarakat yang dikemukakan


di atas digunakan sebagai bagian dari standar penilaian pengujian formil, sehingga
memperkuat syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-
undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan
atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
394

3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil


keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Semua tahapan dan standar sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di
atas, akan digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan undang-
undang yang dilekatkan atau dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Perlu Mahkamah tegaskan, penilaian terhadap tahapan dan
standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu
tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua
standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam
pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup dibuktikan
apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari
semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan
dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan untuk menilai dan
menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas,


selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, sebagai
berikut:

[3.18.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan


metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU 11/2020
tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga
bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang-
undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon
a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.18.1.1] Bahwa UUD 1945 pada prinsipnya telah menentukan kerangka


pembentukan undang-undang sebagaimana pertimbangan hukum pada Paragraf
[3.17]. Bertolak pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 saat ini diberlakukan UU
12/2011 yang telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai delegasi UUD 1945,
sebagaimana hal tersebut dipertegas dalam konsideran “Mengingat” UU 12/2011
yang menyatakan UU a quo didasarkan pada Pasal 22A UUD 1945 serta dijelaskan
pula bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 [vide
Penjelasan Umum UU 12/2011]. Oleh karena UU 12/2011 merupakan
395

pendelegasian UUD 1945 maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 51


ayat (3) UU MK, untuk pemeriksaan permohonan pengujian formil dan pengambilan
putusannya harus pula mendasarkan pada tata cara pembentukan UU yang diatur
dalam UU 12/2011. Hal ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, pada
Paragraf [3.19], yang menyatakan:

“…menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu


berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak
akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal
prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal
dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil
itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata
tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi
kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu
dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji
dalam pengujian formil”.

[3.18.1.2] Bahwa dengan demikian, dalam mengadili perkara pengujian formil UU


selain mendasarkan pada UUD 1945, Mahkamah juga mendasarkan antara lain
pada UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai UU yang
mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagai
perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), UU 12/2011 menyempurnakan
segala kekurangan dari UU sebelumnya mengenai aspek teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang baik dengan sekaligus memberikan contoh-
contoh dalam Lampiran UU 12/2011 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU
a quo agar dapat memberikan pedoman yang lebih jelas, pasti dan baku dalam
penyusunannya yang merupakan bagian dari pembentukan peraturan perundang-
undangan [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Penjelasan ini pada prinsipnya
merupakan elaborasi dari maksud dalam konsideran “Menimbang” huruf b UU a quo
yang menyatakan:

“bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-


undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode
yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”.
396

Dengan demikian, berarti setiap pembentuk peraturan perundang-


undangan, in casu pembentuk UU, harus menggunakan cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan, baik yang terkait dengan
penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-undang, sebagaimana
hal tersebut dimaktubkan dalam Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang
selengkapnya menyatakan:

Pasal 44 menyatakan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 64 menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.
(3) ……..

[3.18.1.3] Bahwa adanya ketentuan Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang


menghendaki baik penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-
undang dilakukan sesuai dengan teknik yang telah ditentukan adalah untuk
menciptakan tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga
produk hukum yang nantinya akan dibentuk menjadi mudah untuk dipahami dan
dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan [vide Pasal 5 UU 12/2011]. Oleh karena itu, diperlukan tata cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, sebagaimana maksud
konsideran “Menimbang” huruf b UU 12/2011. Lembaga yang dimaksud yaitu
Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan, mengenai cara dan metode yang pasti, baku,
dan standar tersebut telah dituangkan dalam Lampiran UU 12/2011 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU a quo.

[3.18.1.4] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas,


Lampiran I UU 12/2011 telah menentukan standar baku perumusan judul suatu
peraturan perundang-undangan yang di dalamnya berisi nama peraturan
perundang–undangan yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1
397

(satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya mencerminkan isi peraturan
perundang-undangan [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang-
undangan huruf A angka 2 dan angka 3]. Jika peraturan tersebut merupakan
perubahan maka pada nama peraturan perundang–undangan perubahan
ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul peraturan perundang-undangan
yang hendak diubah [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang-
undangan huruf A angka 6], contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG PARTAI POLITIK

Dalam perkara a quo, setelah dibaca dan dicermati muatan UU 11/2020 telah
ternyata berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77
(tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1
(satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang. Sementara itu,
berkaitan dengan pencabutan UU sebagai suatu UU pencabutan yang berdiri
sendiri, maka harus merujuk pada huruf E Lampiran II UU 12/2011 mengenai
“Bentuk Rancangan Undang–Undang Pencabutan Undang-Undang” yang telah
menentukan format bakunya bahwa pada nama peraturan perundang-undangan
pencabutan ditambahkan kata “pencabutan” di depan judul peraturan perundang-
undangan yang dicabut. Kecuali, jika pencabutan suatu UU dilakukan karena
berkaitan dengan UU baru yang dibentuk maka penempatan pencabutannya adalah
pada bagian “Ketentuan Penutup” dari sistematika UU baru. Pada umumnya
Ketentuan Penutup memuat mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan
yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan
Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah
ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan [vide butir 137
Lampiran II UU 12/2011]. Lebih lanjut, dalam bagian sistematika Ketentuan Penutup
telah ditentukan pula standar baku dalam merumuskan norma pencabutan suatu UU
yaitu:
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru
menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian
materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama,
dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
398

diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan


Peraturan Perundang-undangan yang lama.
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan
frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai
berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan
Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan
tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah
diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku [vide Lampiran II UU 12/2011].

Sementara itu, dalam UU 11/2020 ketentuan mengenai pencabutan UU


secara utuh tidak dirumuskan sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan
dalam Lampiran II UU 12/2011 tetapi diletakkan pada bagian pasal-pasal dari
ketentuan UU yang mengalami perubahan sebagaimana termaktub dalam Bagian
Keenam UU 11/2020 mengenai Undang-Undang Gangguan yang dalam Pasal 110
UU a quo dinyatakan bahwa:

Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 yuncto staatsblad Tahun


1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan
(Hinderordonantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

[3.18.1.5] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan penamaan UU yang


dimohonkan pengujian dalam perkara a quo telah ternyata menggunakan nama
baru yaitu UU tentang Cipta Kerja, oleh karenanya Mahkamah dapat memahami
apa yang menjadi persoalan inti para Pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah
UU a quo merupakan UU baru atau UU perubahan. Terlebih, dalam ketentuan Pasal
1 angka 1 UU 11/2020 dirumuskan pula nomenklatur Cipta Kerja adalah upaya
penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi
dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
strategis nasional. Dengan adanya penamanan baru suatu undang-undang yaitu UU
tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan
perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan
dalam bab dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut [vide Pasal 6
sampai dengan Pasal 15 UU 11/2020], maka UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan
rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut
seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU
399

11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-


undang.

[3.18.1.6] Bahwa jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu
dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan
rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari
suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, dari sejumlah UU yang
telah diubah oleh UU 11/2020, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku
- walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU
11/2020 -, sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan
tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal
yang diatur dalam masing-masing UU tersebut [vide Penjelasan Umum UU
12/2011].

Oleh karena itu, dengan dirumuskannya asas-asas dan tujuan dalam UU


11/2020 yang dimaksudkan untuk dijabarkan dalam sejumlah UU yang dilakukan
perubahan akan menimbulkan ketidakpastian atas asas-asas dan tujuan UU mana
yang pada akhirnya harus diberlakukan karena asas-asas dan tujuan dari UU yang
lama pada kenyataanya masih berlaku. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 telah
menentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas formil)
sebagai keharusan untuk digunakan dalam membentuk peraturan perundang-
undangan. Namun, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan maksud “asas kejelasan rumusan” dalam UU
12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya [vide Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan Penjelasannya].

[3.18.1.7] Bahwa lebih lanjut, apabila merujuk pada Lampiran II UU 12/2011


telah ditentukan pula mengenai format perubahan peraturan perundang-undangan
[vide Lampiran II huruf D] di antaranya:
230. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-
undangan; atau
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-
undangan.
400

231. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:


a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau
ayat; atau
b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama
singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan
nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
233. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan
terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai
berikut:
a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah,
dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di
antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang
diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan
dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali,
Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a,
juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan
yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda
baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan
seterusnya).
c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal
tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari
Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya
berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-
undangan yang diubah.

Dengan demikian, apabila UU 11/2020 dimaksudkan sebagai pembentukan


UU baru maka format dan sistematika pembentukannya harus disesuaikan dengan
format pembentukan UU baru. Apabila dimaksudkan sebagai perubahan UU
semestinya format perubahan tersebut mengikuti format yang telah ditentukan
sebagai pedoman baku atau standar dalam mengubah peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaktubkan dalam Lampiran II UU 12/2011.
Dalam konteks ini, jika diikuti perkembangan tata cara pembentukan
peraturan perundang-undangan, substansi Lampiran UU 12/2011 sesungguhnya
merupakan bentuk perubahan yang telah disesuaikan dengan dinamika kebutuhan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang semula ditentukan dalam
UU 10/2004. Oleh karenanya, jika terdapat kebutuhan baru sesuai dengan dinamika
kondisi kekinian yang berkembang dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, apakah hal tersebut terkait dengan perubahan ataukah pencabutan,
maka terbuka ruang untuk melakukan perubahan terhadap Lampiran UU 12/2011.
Artinya, ihwal teknis atau metode tersebut dirancang untuk selalu dapat mengikuti
401

atau adaptif terhadap perkembangan kebutuhan, termasuk jika akan dilakukan


penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan metode apapun,
termasuk metode omnibus law. Hal demikian dimaksudkan agar pengaturan soal
teknis yang baku dan standar tidak menjadi penghambat proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, sepanjang pembentukan tersebut tetap dilakukan
sesuai dengan standar baku yang telah ditentukan. Dengan demikian tetap tercipta
kondisi tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
maksud ditentukannya asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan [vide Pasal 5 UU 12/2011].
Berkaitan dengan hal ini, urgensi pengujian formil yang dimaksudkan untuk
menguji tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, pemeriksaan
perkara atas permohonan tersebut harus didasarkan pada UU yang mengatur tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 51 ayat (3) UU MK].
Dengan demikian, UU yang mengatur mengenai tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan yang merupakan pendelegasian Pasal 22A UUD 1945,
merupakan salah satu dasar bagi Mahkamah untuk menilai kesesuaian tata cara
pembentukan, termasuk di dalamnya ihwal penyusunan UU 11/2020 dengan UU
12/2011 yang sejatinya tidak dapat dipisahkan dari Pasal 22A UUD 1945. Hal
demikian tidak berarti Mahkamah sedang menguji UU terhadap UU, melainkan
Mahkamah tetap menegakkan konstitusi yang telah memerintahkan tata cara
pembentukan UU dalam suatu UU, in casu UU 12/2011 dan perubahannya. Oleh
karena itu, penyimpangan atas tata cara pembentukan suatu UU yang telah
ditentukan dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan yang secara nyata disebutkan pula dalam Penjelasan Umum UU 11/2020
tidaklah dapat dibenarkan bahwa:
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta
pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai
Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat
dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu
persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara
demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu
yang lama.

[3.18.1.8] Bahwa berkenaan dengan persoalan lamanya waktu dalam


membentuk suatu UU sebagaimana disebutkan di atas, tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembenar untuk menyimpangi UUD 1945 yang telah memerintahkan
mengenai tata cara pembentukan undang-undang dalam UU, in casu UU 12/2011.
402

Hal tersebut ditegaskan dalam norma Pasal 64 ayat (1) UU a quo yang menyatakan,
“Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini, teknis
penyusunan dimaksud telah ditentukan dalam Lampiran UU 12/2011.
Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami tujuan penting menyusun
kebijakan strategis penciptaan lapangan kerja beserta pengaturannya, dengan
melakukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang. Namun,
yang menjadi persoalan adalah tidaklah dapat dibenarkan dengan
mengatasnamakan lamanya waktu membentuk UU maka pembentuk UU
menyimpangi tata cara yang telah ditentukan secara baku dan standar demi
mencapai tujuan penting tersebut. Karena, dalam suatu negara demokratis
konstitusional tidaklah dapat dipisahkan antara tujuan yang hendak dicapai dengan
cara yang benar dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, upaya untuk
mencapai tujuan tidak bisa dilakukan dengan melanggar tata cara yang pasti, baku,
dan standar dalam proses pembentukan undang-undang.

[3.18.1.9] Bahwa bertolak dari desain pentahapan yang telah ditentukan dalam
UU 12/2011, menjadi pertanyaan jika suatu RUU yang telah masuk dalam prolegnas
bahkan prolegnas prioritas tahunan tetapi tidak terselesaikan, misalnya RUU
tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah masuk
dalam prolegnas sejak Prolegnas 2005-2009 yang dilanjutkan kembali dalam
Prolegnas berikutnya Prolegnas 2010-2014, Prolegnas 2015-2019, namun tetap
tidak terselesaikan usulan RUU perubahan UU tersebut. Usulan RUU perubahan
UU Ketenagakerjaan baru terselesaikan ketika dibentuk UU 11/2020 yang
dituangkan dalam klaster ketenagakerjaan namun dengan format perubahan di luar
yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagaimana telah dipertimbangkan
Mahkamah pada Sub-paragraf [3.18.1.4] sampai dengan Sub-paragraf [3.18.1.8],
maka tidak terselesaikannya RUU yang sudah direncanakan sejak lama tersebut
tetap tidak dapat menjadi dasar pembenar untuk menyimpangi tata cara yang telah
disusun secara pasti, baku dan standar dalam pembentukan UU.

[3.18.1.10] Bahwa apabila proses melakukan perubahan atas suatu UU tidak dapat
terselesaikan sesuai dengan yang direncanakan dan penyelesaian tersebut baru
dapat dilakukan ketika dibentuk UU 11/2020, hal tersebut tidak berkorelasi semata-
mata dengan persoalan waktu yang lama sebagai penyebab tidak terselesaikan
RUU yang telah direncanakan, melainkan terdapat sebab-sebab lain. Namun,
403

adanya sebab lain tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengambil “jalan
pintas” pembentukan UU dengan tidak menggunakan ketentuan tata cara
pembentukan UU yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagai panduan atau
pedoman baku atau standar. Menurut Mahkamah, keharusan untuk patuh pada
ketentuan teknis atau tata cara bukan berarti Mahkamah tidak mementingkan aspek
substansi yang telah disusun dalam norma UU 11/2020, karena pada prinsipnya
dalam pembentukan UU antara teknis dan substansi (formil dan materiil) tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Adanya persoalan pada aspek teknis atau tata cara
pembentukan akan berdampak pada tidak terwujudnya tertib hukum pembentukan
suatu peraturan yang pada akhirnya akan berdampak pula pada tidak dapat
dilaksanakannya substansi dari peraturan yang telah dibentuk.

[3.18.2] Bahwa para Pemohon juga mendalilkan metode omnibus law tidak
dikenal dalam UU 12/2011 juncto UU 15/2019 sehingga bertentangan dengan
kejelasan cara serta metode yang pasti dan baku. Terhadap dalil para Pemohon a
quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.18.2.1] Bahwa berkenaan dengan metode omnibus law telah didefinisikan


dalam kamus Black’s Law Dictionary adalah “relating to or dealing with numerous
objects or items at once; including many things or having various purposes” yang
dapat diartikan sebagai menggabungkan beberapa hal menjadi satu. Pendapat ahli
Presiden juga menyatakan penggunaan metode omnibus law yang merupakan
penggabungan beberapa UU tersebut sudah pernah diterapkan di Indonesia yaitu
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
32/2004) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU
7/2017).

[3.18.2.2] Bahwa terlepas dari definisi omnibus law tersebut, penting bagi
Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apapun yang akan digunakan
oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan
berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU,
bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut
dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan
terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga
dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik
atau metode tersebut. Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam
404

pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat


konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini
tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam undang-undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.

[3.18.2.3] Bahwa sementara itu, terkait dengan keterangan Pemerintah termasuk


keterangan ahli Pemerintah yang menyatakan metode omnibus law bukan hal yang
baru karena telah digunakan dalam pembentukan UU 32/2004 dan UU 7/2017,
penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa setelah mencermati secara saksama
UU 32/2004 baik dari sisi teknis maupun substansi pada prinsipnya teknik
pembentukannya tidak ada bedanya dengan UU lainnya yang pada umumnya
dibentuk dengan mendasarkan, pada waktu itu, dengan UU 10/2004. Hanya saja
substansi UU 32/2004 lebih luas cakupannya karena tidak hanya mengatur
mengenai pemerintahan daerah, tetapi juga mengatur mengenai pemilihan kepala
daerah langsung dan pemerintahan desa dalam satu kesatuan UU. Sehingga, tidak
ada lagi UU lain yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan tidak terdapat
pula UU lain yang mengatur mengenai pemerintahan desa, karena semuanya sudah
dilebur dalam satu UU dengan nama baru yaitu UU Pemerintahan Daerah. Selain
itu, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan dalam pembentukan
UU baru mengenai “Pemerintahan Daerah” tersebut telah dijelaskan pula dalam
Penjelasan Umum UU 32 /2004 bahwa:

“Dalam melakukan perubahan undang-undang, diperhatikan


berbagai undang-undang yang terkait di bidang politik diantaranya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu juga
diperhatikan undang-undang yang terkait di bidang keuangan negara,
yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Atas
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara”

Lebih lanjut, berkaitan dengan pengaturan “Ketentuan Penutup” UU 32/2004 telah


ternyata menerapkan pedoman baku dan standar yang telah ditentukan dalam UU
10/2004 bahwa:
405

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang-Undang ini.

Pasal 238
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

Pasal 239
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.

[3.18.2.4] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan UU 7/2017 yang dinyatakan oleh
Pemerintah dan DPR telah menerapkan metode omnibus law, setelah Mahkamah
mencermati secara saksama baik teknis pembentukan UU 7/2017, dalam
konsideran “Menimbang” huruf d UU a quo telah dengan tegas dinyatakan “Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu disatukan dan disederhanakan
menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemilihan umum
secara serentak”. Selanjutnya, dalam bagian “Ketentuan Penutup” UU a quo telah
dirumuskan pula bahwa:
BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 569
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, keikutsertaan partai politik lokal
di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Pemerintahan Aceh, dinyatakan berlaku ketentuan dalam
Undang-Undang ini.

Pasal 570
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
406

Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4924);
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5246); dan
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 571
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924);
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5246);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316);
d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Umum UU 7/2017 juga dijelaskan bahwa:


Secara prinsipil, Undang-Undang ini dibentuk dengan dasar
menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan
Pemilu yang termuat dalam tiga Undang-Undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, juga
dimaksudkan untuk menjawab dinamika politik terkait pengaturan
penyelenggara dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen Pemilu,
dan penegakan hukum dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai kelembagaan yang


melaksanakan Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, serta DKPP. Kedudukan ketiga
lembaga tersebut diperkuat dan diperjelas tugas dan fungsinya serta
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
407

Penyelenggaraan Pemilu. Penguatan kelembagaan dimaksudkan untuk


dapat menciptakan Penyelenggaraan Pemilu yang lancar, sistematis, dan
demokratis. Secara umum Undang-Undang ini mengatur mengenai
penyelenggara Pemilu, pelaksanaan Pemilu, pelanggaran Pemilu dan
sengketa Pemilu, serta tindak pidana Pemilu.

Setelah mencermati teknis atau tata cara dan sistematika pembentukan UU 7/2017,
menurut Mahkamah, pembentukan UU 7/2017 dilakukan masih dalam koridor
menerapkan ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011. Terlebih, UU 7/2017 adalah UU baru
dengan penamaan “Pemilihan Umum” yang di dalamnya mencakup seluruh
substansi dari 3 (tiga) UU yang dilebur menjadi satu kesatuan UU, sehingga tidak
ada lagi UU lainnya yang mengatur mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan UU Penyelenggara Pemilihan
Umum.

[3.18.2.5] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut


Mahkamah, karakter penyederhanaan UU yang ditempuh baik dalam pembentukan
UU 32/2004 sebagaimana diatur dalam UU 10/2004 maupun pembentukan UU
7/2017 sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, masih berada dalam koridor hukum
tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, karakter
metode omnibus law dalam UU 11/2020 berbeda dengan pembentukan UU 32/2004
dan UU 7/2017. Hal tersebut terlihat dari jumlah UU yang dilakukan penyederhanaan
yaitu berjumlah 78 UU dengan materi muatan yang saling berbeda satu sama lain
dan seluruh UU yang digabungkan tersebut masih berlaku efektif kecuali pasal-pasal
yang diubah dalam UU 11/2020. Oleh karena itu tidak apple to apple apabila
dibandingkan dengan penyederhanaan UU yang dilakukan dalam UU 32/2004 dan
UU 7/2017. Dengan melihat perbedaan tersebut, model penyederhanaan UU yang
dilakukan oleh UU 11/2020 menjadi sulit dipahami apakah merupakan UU baru, UU
perubahan, atau UU pencabutan, sebagaimana telah Mahkamah uraikan dalam
Sub-Paragraf [3.18.1].

[3.18.3] Bahwa para Pemohon mendalilkan terdapat perubahan materi muatan


RUU Cipta Kerja secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden
yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan, termasuk juga terdapat salah dalam
408

pengutipan. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan


sebagai berikut:

[3.18.3.1] Bahwa setelah memeriksa secara saksama bukti-bukti yang diajukan


para pihak dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta dengan
membandingkan antara naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebelum disahkan dan diundangkan
menjadi Undang-Undang dengan naskah yang telah disahkan menjadi Undang-
Undang, tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas materiil UU 11/2020, berkaitan
dengan permohonan pengujian formil a quo, Mahkamah menemukan fakta hukum
antara lain sebagai berikut:

1. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) terdapat
perubahan atas Pasal 46 yang menyatakan:

“Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan
Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh
Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas
Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan
Gas Bumi di dalam negeri.
(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan dan penetapan mengenai:
a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak:
b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar
Minyak;
d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan
f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
turan dan penetapan tarif persetujuan Menteri.”

Namun, pada halaman 227-228 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan)


Pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU 22/2001 [vide bukti
PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];
409

2. Pada halaman 388 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU 40/2007) terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 7
ayat (8) yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro,
kecil, dan menengah”, namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah
disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro
dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro
dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
Usaha Mikro dan Kecil”. Perubahan tersebut menghilangkan kata
“menengah”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];

3. Pada halaman 390 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007, terdapat ketentuan Pasal 153D ayat (2)
yang semula berbunyi “Direktur berwenang menjalankan pengurusan …”
namun pada halaman 613 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan)
ketentuan Pasal 153D ayat (2) diubah menjadi berbunyi “Direksi berwenang
menjalankan pengurusan………”. Perubahan tersebut mengganti kata
“Direktur” menjadi kata “Direksi” [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-
188]

4. Pada halaman 391 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007 terdapat ketentuan Pasal 153G ayat (2)
huruf b yang semula berbunyi “jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam
anggaran dasar telah berakhir”, namun pada halaman 614 UU 11/2020 (setelah
disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153G ayat (2) huruf b diubah menjadi
“jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah
berakhir”. Sehingga, perubahan tersebut menghilangkan frasa “anggaran
dasar” menjadi “pernyataan pendirian”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan
bukti PK-188];

5. Pada halaman 390 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah UU 40/2007 terdapat perubahan atas ketentuan
Pasal 153 yang semula berbunyi “Ketentuan mengenai biaya Perseorangan
sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak”, namun pada halaman
410

612 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153 diubah


menjadi “Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan
negara bukan pajak”. Sehingga, perubahan tersebut mengubah kata
“Perseorangan” menjadi “Perseroan” [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan
bukti PK-188];

6. Pada halaman 374 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terdapat ketentuan yang mengubah Pasal
100 yang semula berbunyi “Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
bertujuan untuk …”. Selanjutnya, dalam Pasal 101 pada halaman yang sama
terdapat ketentuan yang semula berbunyi “Sasaran pengembangan inkubasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi …”. Namun pada halaman
586-587 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) rujukan ketentuan Pasal
100 diubah menjadi “Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan
untuk …”. Selanjutnya, rujukan ketentuan Pasal 101 diubah menjadi berbunyi
“Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
meliputi …”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];

7. Pada halaman 424 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi, terdapat angka 3 yang berbunyi “Di antara Bab VI
dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yaitu Bab VIIA, sebagai berikut:

BAB VIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI”

Terdapat ketidaksinkronan antara angka 3 dengan judul Bab yang selanjutnya


pada halaman 669 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan), judul bab
diubah menjadi:

BAB VIIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI

[vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];


411

8. Pada halaman 492-494 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) yang


mengubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umrah (UU 8/2019) terdapat angka 1 mengenai perubahan
terhadap ketentuan umum Pasal 1 angka 11 dan angka 19 UU 8/2019 yang
selanjutnya ditulis lengkap Pasal 1 Ketentuan Umum perubahan UU 8/2019
menjadi sebanyak angka 1 sampai dengan angka 20. Namun, dalam UU 8/2019
yang asli/asalnya terdapat ketentuan umum mulai dari angka 1 sampai dengan
angka 28 sehingga adanya perubahan tersebut menghilangkan kepastian
hukum atas keberlakuan Pasal 1 Ketentuan Umum mulai angka 21 sampai
dengan angka 28 mengenai: Sistem Komputerisasi Haji Terpadu, Kelompok
Terbang, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Menteri, Hari, dan Setiap Orang.

[3.18.3.2] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama UU 11/2020


telah ternyata terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal yaitu Pasal
6 UU 11/2020 yang menyatakan “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan
berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:...”.
Sementara, materi muatan Pasal 5 menyatakan “Ruang lingkup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang
terkait”. Terlepas dari konstitusionalitas norma ketentuan UU 11/2020, seharusnya
yang dijadikan rujukan terdapat dalam Pasal 4 huruf a yang menyatakan “Dalam
rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup
Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi: a.
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;...”. Dengan demikian, hal
ini membuktikan telah ada kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal sehingga hal
tersebut tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” yang menyatakan bahwa
setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

[3.18.4] Bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan pembentukan UU


11/2020 bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a,
huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 yaitu asas kejelasan tujuan, asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
412

Bahwa berkaitan dengan dalil permohonan a quo telah


dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum sebelumnya, di mana
telah diperoleh adanya fakta hukum bahwa tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak
memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. Oleh karena norma
Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 mengharuskan terpenuhinya
seluruh asas secara kumulatif maka dengan tidak terpenuhinya 1 (satu) asas saja,
maka ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi terabaikan oleh proses pembentukan
UU 11/2020. Dengan demikian, menurut Mahkamah tidak relevan
mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon, kecuali berkenaan
dengan asas keterbukaan.

Bahwa sementara itu berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam


persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang
partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan
berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat [vide Risalah Sidang
tanggal 23 September 2021], pertemuan dimaksud belum membahas naskah
akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat yang
terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan
undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi
naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah
oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses
terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,


oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada
cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan
undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca
persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat
proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

[3.20] Menimbang bahwa meskipun UU 11/2020 a quo dinyatakan cacat formil,


sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut berkenaan dengan akibat
413

yuridis terhadap UU 11/2020, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal,


sebagai berikut:

[3.20.1] Bahwa Mahkamah dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan


tumpang tindih antar-UU yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode
omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas
lapangan kerja di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti demi mencapai tujuan
tersebut kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang
berlaku karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam
meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Oleh karena
telah ternyata terbukti secara hukum adanya ketidakterpenuhannya syarat-syarat
tentang tata cara dalam pembentukan UU 11/2020, sementara terdapat pula tujuan
besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU 11/2020 serta telah banyak
dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak
diimplementasikan di tataran praktik. Dengan demikian, untuk menghindari
ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka berkenaan
dengan hal ini, menurut Mahkamah terhadap UU 11/2020 harus dinyatakan
inkonstitusional secara bersyarat.

[3.20.2] Bahwa pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11/2020 dinyatakan


secara inkonstitusional secara bersyarat tersebut, dikarenakan Mahkamah harus
menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus
dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi
unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu juga harus
mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU a quo. Oleh karena itu,
dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara
bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020
a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-
undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan
undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di
dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan
keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah
ditentukan.

[3.20.3] Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini


Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk
dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan
414

menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.


Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU
11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti,
baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang,
sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan
harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna,
yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.
Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang
perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara
dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka
Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi
inkonstitusional secara permanen.

[3.20.4] Bahwa apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak
dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/2020 maka demi kepastian hukum terutama
untuk menghindari kekosongan hukum atas undang-undang atau pasal-pasal atau
materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku
kembali.

[3.20.5] Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap


pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut
Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang
bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk
tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan
pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat
berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal
telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.

[3.21] Menimbang bahwa tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas materiil


UU a quo, oleh karena terhadap UU a quo banyak diajukan permohonan pengujian
secara materiil di Mahkamah, sementara Mahkamah belum mengadili UU a quo
secara materiil maka dalam melakukan perbaikan proses pembentukan UU a quo,
pembentuk undang-undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa
substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat.
415

[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di


atas, menurut Mahkamah pembentukan UU 11/2020 harus dinyatakan
inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini.

[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,


menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum
untuk sebagian.

[3.24] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain karena
dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Permohonan para Pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu


pengajuan permohonan pengujian formil;

[4.3] Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk


mengajukan permohonan a quo;

[4.4] Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI memiliki


kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.5] Permohonan provisi tidak beralasan menurut hukum;

[4.6] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk


sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
416

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

Dalam Provisi:

1. Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat


diterima;

2. Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan


Pemohon VI.

Dalam Pokok Permohonan:

1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;

2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan


Pemohon VI untuk sebagian;

3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang


Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
putusan ini diucapkan”;

4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku
sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang
waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan


perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini
diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan
perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
417

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional


secara permanen;

6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk


undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi
muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;

7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat


strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan
peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);

8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya;

9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

----------------------------------------------------------------------------

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, terdapat pendapat


berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi
Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi
Daniel Yusmic P. Foekh.

I. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) dari Hakim Konstitusi Arief


Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman

[6.1] Bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi


Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat berbeda
418

(dissenting opinion) perihal pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan
hukum, sebagai berikut.

[6.1.1] Bahwa secara umum beberapa isu hukum yang dipermasalahkan oleh
Pemohon dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut.

1. Format susunan peraturan dari UU Cipta Kerja yang menggunakan teknik


Omnibus Law.

2. Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas pembentukan


peraturan perundang-undangan.

3. Adanya perubahan terhadap materi muatan pasca persetujuan bersama DPR


dan Presiden.

Namun di antara permasalahan hukum di atas, terdapat permasalahan yang bersifat


mendasar dan penting untuk segera dijawab, yaitu apakah untuk menerapkan
metode omnibus law pada pembentukan undang-undang diperlukan perubahan
terlebih dahulu terhadap undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan atau kah metode ini dapat digunakan tanpa terlebih dahulu
mengubah ketentuan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan.

[6.1.2] Bahwa secara teori, karakteristik dan tradisi berhukum yang bersifat
konvensional mempunyai ciri yang sangat legalistik dan linier, tradisi yang
demikian ini sangat sulit untuk mengikuti perkembangan kemajuan teknologi dan
kemajuan berhukum yang mampu untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
yang berkembang sedemikian cepatnya di era disrupsi teknologi. Antisipasi agar
suatu masyarakat dan negara bisa menjadi pemenang dalam era yang demikian ini
dibutuhkan kecepatan-kecepatan yang tidak linier dan legalistik dalam berhukum.
Antisipasi lain yang perlu dilakukan adalah dengan adanya perubahan mindset yaitu
berpikir secara kreatif, menciptakan kelembagaan, dan metode yang baru agar lebih
luwes dan fleksibel, melakukan pengembangan dan peningkatan SDM serta
penguasaan teknologi secara khusus di bidang hukum perlu dilakukan upaya
penciptaan kelembagaan baru dan metode baru dengan menggunakan pemikiran
yang bersifat kreatif, terbuka, dan transparan. Antisipasi dan perubahan itu harus
419

tetap diletakan dalam kerangka dan koridor dasar negara dan ideologi bangsa yaitu
Pancasila. Ada prinsip yang dikemukakan oleh Presiden Soekarno yang masih
sangat relevan dengan kondisi antisipasi perubahan itu, yaitu menjaga agar suatu
negara itu tetap berkedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
mempunyai kepribadian di bidang budaya.

Pendekatan hukum yang bersifat positif legalistik dan linier sangat sulit
dan selalu tertinggal untuk menjawab persoalan hukum yang berkembang didalam
masyarakat yang sedang berubah, oleh karena itu pendekatan hukum sebagaimana
diuraikan oleh mahaguru, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dengan menggunakan
pendekatan baru yang bersifat out of the box sangat relevan untuk digunakan
dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan. Pendekatan hukum progresif
mengandung semangat melepaskan dari tradisi berhukum yang konvensional.

[6.1.3] Bahwa hukum adalah sebuah institusi yang penuh dengan dinamika. Oleh
karena itu, hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan masyarakat
dan hukum itu juga harus mampu untuk mengatur perkembangan kebutuhan
masyarakatnya sehingga hukum harus bersifat dinamis dan progresif. Hukum
sebagai sebuah institusi yang progresif tidak hanya secara nyata dibutuhkan di era
sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang. Sejarah telah membuktikan dengan
munculnya berbagai pendekatan dan metode dalam berhukum telah menjadikan
hukum tidak bersifat stagnan dan berhenti, melainkan terus tumbuh, berubah dan
berkembang menyesuaikan diri dan responsif sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat serta zamannya. Perubahan hukum guna beradaptasi dan
bertransformasi sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat merupakan
suatu keniscayaan. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa hukum dipandang
hanya sekedar monumen sejarah yang pada akhirnya gagal mengatur secara efektif
dan efisien perkembangan kebutuhan masyarakat dan negara.

Pada tataran konkret, sistem civil law dan common law sebagai sebuah
sistem besar yang dianut bangsa-bangsa di dunia, yang pertama sebagai sebuah
sistem yang mencerminkan karya badan legislasi yang dibuat secara sadar dan
sengaja, sedangkan yang kedua sebagai sebuah sistem yang berkembang secara
tradisional tanpa ada aktor resmi yang membuat secara nyata tetapi pada era
keterbukaan global sekarang ini kedua sistem itu telah bercampur menjadi sebuah
sistem baru yang kita kenal sebagai mixed-system yang ini juga dikenal
berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Berbagai faktor yang bisa menjelaskan
420

adanya percampuran tersebut kenapa terjadi karena adanya fenomena


perkembangan teknologi informasi dan teknologi transportasi yang menyebabkan
kemampatan dan kepadatan serta intensitas dalam interaksi, interface dan
intechange proses – proses hubungan secara mondial.

Hukum tidak hanya mengalami perubahan yang bersifat evolusioner tetapi


dalam perkembangannya membutuhkan perubahan yang bersifat revolusioner
melompat dari satu metode ke metode yang lebih mampu menyesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat, perubahan hukum yang demikian ini, sering disebut sebagai
perubahan hukum yang bersifat paradigmatis (paradigmshift). Perubahan tersebut
mengeliminasi perubahan dengan urutan yang logis dan runtut karena secara
mendadak mengambil sebuah titik tolak dan titik pandang yang baru yang berbeda
dari apa yang sebelumnya digunakan. Perubahan seperti itulah yang disebut rule
breaking atau bisa juga dikenal satu lompatan dari dianutnya normal law menjadi
unusual law yang kemudian kembali menjadi normal law dengan paradigma baru.
Perubahan yang demikian bisa disebut sebagai suatu tipe berhukum yang khas dan
belum selesai melainkan merupakan ide berhukum yang terus berkembang dan
tidak terjebak dalam stagnasi, berhukum yang demikian ini mengambil satu hipotesa
besar hukum adalah untuk manusia bukan sekedar manusia untuk hukum.
Kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara pada era global sekarang tidak
bisa di fasilitasi secara ketat ke dalam pendekatan yang bersifat positivistik,
legalistik, dan dogmatik sehingga dibutuhkan pendekatan baru dalam berhukum
yaitu pendekatan yang bersifat progresif dengan melakukan rule breaking sehingga
dibutuhkan perubahan-perubahan yang bersifat paradigmatik.

[6.1.4] Bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi (the supreme law of the
land) yang merupakan sumber dari produk hukum yang berada di bawahnya. Akan
tetapi, materi muatan konstitusi masih bersifat umum dan hanya mengatur hal-hal
yang bersifat pokok saja. Selanjutnya konstitusi mengalami proses konkretisasi
(concretiserung process) dan diterjemahkan ke dalam produk hukum undang-
undang. Namun demikian, legislasi saat ini memiliki banyak permasalahan di
antaranya adalah banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan (over-
regulated), banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih
(overlapping), dan disharmoni antar peraturan dan rumitnya teknis pembuatan
peraturan perundang-undangan. Hal ini yang melandasi perlunya penerapan
421

metode Omnibus Law dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan legislasi


tersebut.

Omnibus berasal dari bahasa latin berarti “untuk semua/untuk segalanya”


sehingga metode Omnibus Law dimaknai sebagai satu undang-undang (baru) yang
mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk
penyederhanaan dari berbagai undang-undang yang masih berlaku. Dengan
demikian, materi suatu undang-undang tidak perlu terpaku dan terbatas pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan judul undang-undang yang diatur sebagaimana
praktik pembentukan undang-undang selama ini ada di Indonesia, melainkan dapat
pula menjangkau materi-materi yang terdapat dalam berbagai undang-undang lain
yang dalam implementasinya di lapangan saling terkait langsung ataupun tidak
langsung satu dengan yang lain. Secara umum, pembentukan undang-undang
melalui metode omnibus law acapkali digunakan di negara-negara yang menganut
tradisi hukum common law.

Dalam konsep sistem Common Law, metode Omnibus Law dipraktikkan


dalam membuat suatu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa
undang-undang sekaligus. Menurut Bryan A. Garner, et.al (Eds) dalam Black’s Law
Dictionary Ninth Edition menggunakan istilah Omnibus Bill yang berarti (hal. 186):

A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way
to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to
veto the major provision.

A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such
as an "omnibus judgeship bill" covering all proposals for new judgeships or
an "omnibus crime bill" dealing with different subjects such as new crimes and
grants to states for crime control.

Praktik Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem Common Law
ini, dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya
penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan. Metode
pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper
regulation peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama dan berpotensi
menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum. Dalam
perspektif konstitusi, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, ”Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Secara kontekstual norma Pasal 1 ayat (3)
422

UUD 1945 telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
140/PUU-VII/2009. Dalam putusan ini MK menegaskan konsepsi negara hukum
yang dianut oleh negara Indonesia sebagai berikut.

“[3.34.10] Dalam kerangka itulah kita memaknai prinsip negara hukum


Indonesia yang tidak harus sama dengan prinsip negara hukum dalam
arti rechtsstaat maupun the rule of law. Prinsip negara hukum Indonesia
harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang
menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama,
serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara,
bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara
(separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada
prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme;”

Dari uraian pendapat Mahkamah di atas, menjadi jelas bahwa negara hukum
Indonesia bukan lah negara hukum dalam arti rechtstaats maupun rule of law.
Terlebih secara gramatikal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum tanpa embel-embel rechtstaats maupun rule of law
sebagaimana termuat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen yang
menyatakan, ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaats)”. Lebih lanjut, menurut
Mahkamah, negara hukum Indonesia harus dilihat berdasarkan cara pandang UUD
1945 yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama,
serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan
negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state
and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme
maupun prinsip komunalisme. Dengan perkataan lain, watak dan karakter negara
hukum Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Sebab, UUD 1945 memuat
pokok-pokok pikiran yang termuat dalam pembukaan dan menjadi ruh serta spirit
UUD 1945, yakni Pancasila. Pada titik ini lah Pancasila berfungsi tidak hanya
sebagai staatsfundamental norm (kaidah pokok negara yang bersifat fundamental)
tetapi juga berfungsi sebagai rechtside atau bintang pemandu dalam pembentukan
hukum (fungsi regulatif). Bahkan Pancasila dapat menentukan apakah suatu hukum
itu baik atau tidak (fungsi konstitutif).

[6.1.5] Bahwa dalam konteks hukum progresif, metode pembentukan undang-


undang melalui metode omnibus law tidak mempermasalahkan nilai baik atau pun
423

buruk. Karena ia adalah suatu metode yang bebas nilai. Oleh karena itu metode
pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law dapat diadopsi dan
cocok diterapkan dalam konsepsi negara hukum Pancasila sepanjang omnibus law
itu dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-
prinsip yang termuat dalam UUD 1945. Lagipula Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-
Undang 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU
12/2011) tidak secara eksplisit menentukan keharusan menggunakan metode apa
dalam pembentukan suatu undang-undang sehingga praktik pembentukan undang-
undang dengan menggunakan metode omnibus law dapat dilakukan. Hal ini sesuai
dengan kaidah dalam ilmu fiqih yang menyatakan, ”Hukum asal sesuatu adalah
boleh, hingga ada dalil yang menunjukan keharamannya”. Meskipun kaidah
fiqih ini belum tentu sesuai dengan permasalahan penerapan metode omnibus law
yang dibahas, namun nilai filosofis yang termuat dalam kaidah fikih ini setidaknya
dapat dijadikan dasar untuk menilai penggunaan metode dimaksud. Oleh karena itu,
metode omnibus law pada proses pembentukan undang-undang merupakan suatu
terobosan hukum yang boleh dilakukan karena dalam Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun tidak secara eksplisit mengatur,
membolehkan atau melarangnya. Dengan begitu, meskipun tidak didahului
perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, namun pada dasarnya hukum dalam menggunakan metode omnibus law
adalah boleh dan tidak dilarang.

Terlebih dalam praktiknya pun, metode omnibus law telah digunakan dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 192


yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan tidak
berlaku.

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan


Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan
menyatakan tidak berlaku.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 571


yang mencabut 3 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku. Undang-
424

Undang ini telah menggabungkan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan


Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.

Dari praktik di atas, pada dasarnya metode omnibus law bukan lah hal yang baru
diterapkan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Hanya saja
nomenklatur “omnibus law” baru popular saat dibentuknya UU Ciptaker. Oleh
karenanya tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode omnibus law
meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Sebab, metode ini secara umum telah
diimplementasikan dalam pembentukan beberapa undang-undang sebagaimana
diuraikan di atas.

[6.1.6] Bahwa secara legal-formal pembentukan undang-undang dengan


menggunakan metode omnibus law meskipun memiliki kelemahan dari sisi format
dan teknis legal drafting atau prosedur pembentukan undang-undang, namun saat
ini terdapat kebutuhan yang mendesak untuk membuat undang-undang lintas
sektoral dengan menggunakan metode omnibus law. Sebab, apabila pembentuk
undang-undang tidak menggunakan pembentukan UU Ciptaker dengan
menggunakan metode omnibus law maka terdapat kurang lebih 78 undang-undang
yang harus dibuat dalam waktu bersamaan dan pastinya membutuhkan waktu yang
relatif lama, sedangkan kebutuhan akan adanya suatu regulasi yang komprehensif
ini sangat mendesak. Pembentuk undang-undang mengharapkan dengan
diterapkannya metode Omnibus Law dalam UU Ciptaker dapat mengatasi konflik
(disharmonisasi) peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien;
pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; meningkatkan hubungan
koordinasi antar instansi terkait; menyeragamkan kebijakan pemerintah di pusat
maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; mampu memutus rantai
birokrasi yang berbelit-belit; menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi pengambil kebijakan; dan addresat undang-undang dimaksud, serta dapat
melakukan sinkronisasi dan harmonisasi atas 78 undang-undang dengan 1.209
pasal terdampak menjadi substansi tunggal yang dimuat dalam UU Ciptaker.

Argumentasi, urgensi, dan latar belakang pembentukan UU Ciptaker melalui


metode omnibus law ini pula termuat secara jelas pada bagian konderans
menimbang sebagai berikut.
425

a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara


Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk
memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga keda
Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif
dan tuntutan globalisasi ekonomi;
c. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek
pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di
berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan
hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan,
perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek
strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang
sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam
menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan
hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
beberapa Undang-Undang ke dalam satu UndangUndang secara
komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Cipta Kerja;

Pada bagian Penjelasan UU a quo, urgensi, latar belakang, landasan filosofis dan
landasan sosiologis diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia
adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata,
baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat
(2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu
negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-
hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada
prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan
nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk
menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan
jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong
426

pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan


tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran
terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang
berkualitas karena:
a. jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih
cukup tinggi yaitu sebesar 45,84 juta yang terdiri dari: 7,05 juta
pengangguran, 8,14 juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh
waktu, dan 2,24 juta angkatan kerja baru jumlah ini sebesar 34,3% dari
total angkatan kerja, sementara penciptaan lapangan kerja masih berkisar
sampai dengan 2,5 juta per tahunnya);
b. jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49
juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung
menurun, dengan penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu
buruh tidak tetap;
c. dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.
Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan
bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya
saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total
manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh
keluarga pekerja.
Terhadap hal tersebut Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis
untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi,
mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan
perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik
setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini,
terutama yang menyangkut:
a. Kondisi Global (Eksternal)
Berupa ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan dinamika
geopolitik berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi,
industri 4.0, ekonomi digital;
b. Kondisi Nasional (lnternal)
Pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir
dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada
Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019;
c. Permasalahan Ekonomi dan Bisnis
Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat
pengangguran, angkatan kerja baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah
UMK-M yang besar namun dengan produktivitas rendah.
Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam
berusaha, termasuk untuk Koperasi dan UMK-M. Saat ini terjadi kompleksitas
dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah
Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi
menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal,
infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung
penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.
427

Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar
Rp4,6 juta per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan
sumber daya manusia ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke
dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik
bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita
sebesar Rp27 juta per bulan. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-
langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak
yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan
Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja
yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait
dengan:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMK-M; dan
d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis
nasional. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan
terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan
Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi,
pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan
Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan
metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam
menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan.
Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha.
Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir
(change management dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan
Perizinan Berusaha (bussiness process re-engineering) serta memerlukan
pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem
Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini,
pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan
sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di
samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi
lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan
pengawasan.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian
waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang
didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah
minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja,
dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian
tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan
kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit
memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan
kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M,
pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M,
kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M.
428

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
percepatan proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan
mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan
lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk
percepatan proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan
strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan
administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. Untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya,
diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait.
Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara
konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti
yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien
serta membutuhkan waktu yang lama. Ruang lingkup Undang-Undang ini
meliputi:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.

Dari bagian Konsiderans dan Penjelasan UU Ciptaker sebagaimana diuraikan di


atas, ada beberapa poin yang ingin kami highlight terkait urgensi pembentukan UU
Ciptaker, yaitu:

Pertama, jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja
masih cukup tinggi; jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak
70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung
menurun; dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.

Kedua, adanya ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan


dinamika geopolitik berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi,
industri 4.0, ekonomi digital; Pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5
tahun terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada
Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019; Adanya tumpang tindih regulasi,
efektivitas investasi yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja baru, dan
jumlah pekerja informal, jumlah UMK-M yang besar namun dengan produktivitas
rendah.
429

Ketiga, saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini
terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah
Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan
terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung
penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.
Keempat, diperlukan penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan
investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan
ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan
Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko
suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan
kualitas/frekuensi pengawasan.

Kelima, diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang


memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu
menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan
untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Selain itu,
penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan
peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan
proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan
investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan
penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional.

Keenam, perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui


cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti
yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta
membutuhkan waktu yang lama.

Ketujuh, dengan mengingat pada tujuan negara Indonesia sebagaimana


termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ”...untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial...”, maka keberadaan UU Ciptaker merupakan suatu keniscayaan.

Kedelapan, membaca dan mencermati apa yang menjadi pertimbangan


dalam konsiderans UU Ciptaker dan Penjelasan UU a quo dalam tahapan
430

dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis,
sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan
UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan
nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

[6.1.7] Bahwa dalam konteks UU 12/2011 jo. UU 15/2019, format pembentukan


UU Ciptaker tentunya telah mengikuti format pembentukan suatu undang-undang
sebagaimana ketentuan UU 12/2011 jo. UU 15/2019, meskipun ada hal yang tidak
lazim dilakukan karena adanya pengabaian terhadap beberapa materi di dalam
pedoman pembentukan undang-undang yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo.
15/2019, misalnya terkait dengan mekanisme pencabutan dan perubahan undang-
undang. Namun pedoman yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo. 15/2019 hanya
bersifat memandu dan tidak perlu dipahami secara kaku dan rigid. Sebab,
pedoman pembentukan undang-undang yang dimuat pada Lampiran II disusun
berdasarkan pada praktik dan kebiasaan yang dilakukan selama ini dan kemudian
dituangkan dalam suatu aturan tertulis. Pedoman ini dapat saja berubah sehingga
terbentuk suatu konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional
convention and constitutional habbit) sebagai dasar hukum yang setara dengan
undang-undang untuk praktik-praktik selanjutnya. Jangankan UU 12/2011 jo. UU
15/2019, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi pun dapat saja diubah guna
menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, salah
satunya melalui jalur penafsiran oleh lembaga peradilan (judicial interpretation),
yakni Mahkamah Konstitusi. Hal ini menyebabkan UUD 1945 bertransformasi
menjadi konstitusi yang hidup (the living constitution) karena adaptif dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Di sinilah pentingnya
berhukum secara progresif dan tidak melulu berpandangan positivis-legalistic
formal. Sebab, hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum.

[6.1.8] Bahwa meskipun penggunaan pembentukan undang-undang melalui


metode omnibus law boleh dilakukan tanpa memasukannya terlebih dahulu ke
dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, namun dalam pembangunan hukum nasional, terutama dalam hal
pembentukan undang-undang di masa berikutnya dan demi memenuhi asas
kepastian hukum, maka diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesegera mungkin guna
mengakomodir metode omnibus law dalam pembentukan undang-undang ke depan.
431

Pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law juga harus lah


memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana termuat dalam
UUD 1945, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan
disusun melalui proses legal drafting yang tepat, tidak boleh serampangan dan
tergesa-gesa dalam proses penyusunannya, serta memerhatikan betul-betul
partisipasi masyarakat agar proses pembentukan suatu undang-undang benar-
benar dapat menjadi solusi atas permasalahan hukum yang terjadi, dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dengan
demikian, meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting,
namun UU ini sangat dibutuhkan saat ini sehingga menurut kami, seharusnya
permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak.

[6.1.9] Bahwa dengan ditolaknya permohonan pengujian formil maka


pemeriksaan terhadap konstitusionalitas pengujian materil pada permohonan lain
dapat terus dilanjutkan. Menurut kami, ada beberapa materi muatan dalam UU
Ciptaker yang perlu dikabulkan, terutama ihwal hukum ketenagakerjaan. Sebab, hal
ini berkaitan erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan
pemenuhan (to fullfil) hak konstitusional buruh, yakni terkait dengan upah,
pesangon, outsourcing, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Oleh karena
itu, pendapat hukum yang berbeda terkait dengan pengujian materiil, akan
disampaikan pada putusan Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 yang menguji baik
secara formil maupun materil UU a quo.

II. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) dari Hakim Konstitusi Manahan


M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh

[6.2] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah


menjatuhkan putusan dengan mengabulkan permohonan a quo. Namun demikian,
kami Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic
P. Foekh memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim
dengan alasan sebagai berikut.

Kesatu, bahwa dengan membaca secara cermat ketentuan Pasal 51 ayat


(3), Pasal 56 ayat (4), dan Pasal 57 ayat (2) UU MK, selain
berwenang mengadili konstitusionalitas materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang yang lazim dikenal
432

sebagai pengujian materil, Mahkamah juga berwenang mengadili


kesesuaian tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang
terhadap UUD 1945 atau yang sering disebut sebagai pengujian
formil. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang, pengujian formil adalah
pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau
Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Lebih lanjut, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
79/PUU-XVII/2019, tanggal 4 Mei 2021, Sub-paragraf [3.15.1],
hlm. 361-362, Mahkamah menyatakan bahwa pengujian formil
(formeele toetsing) adalah pengujian atas suatu produk hukum
yang didasarkan atas proses pembentukan undang-undang.
Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai
konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah
sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang
tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate
institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate
procedure). Jika dijabarkan dari ketiga kriteria ini, pengujian formil
dapat mencakup:
a. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur
pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan
maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu
undang-undang menjadi undang-undang;
b. pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
c. pengujian berkenaan dengan kewenangan lembaga yang
mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-
undang; dan
d. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian
materiil.
Kedua, bahwa istilah omnibus law atau omnibus bill atau omnibus
legislation sejatinya merujuk pada metode, teknik, atau cara
penyusunan atau perumusan peraturan perundang-undangan
yang berkembang di negara-negara yang menganut sistem
433

common law. Beberapa negara yang telah menerapkan metode


omnibus antara lain Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Irlandia,
Australia, dan Filipina. Secara harfiah, “omnibus” dimaknai
sebagai relating to or dealing with numerous objects or items at
once; including many things or having various purposes (Bryan A.
Garner, Black’s Law Dictionary, 9th edition, hlm. 1197). Masih di
dalam kamus yang sama, “omnibus bill” mengandung arti:
1. A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in
this way to force the executive either to accept all the unrelated
minor provisions or to veto the major provision.
2. A bill that deals with all proposals relating to a particular
subject, such as an "omnibus judgeship bill" covering all
proposals for new judgeships or an "omnibus crime bill" dealing
with different subjects such as new crimes and grants to states
for crime control. (vide hlm. 186).
Karakteristik utama dari penggunaan metode omnibus dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan adalah multisektor
(cluster/klaster) dan menyangkut banyak pasal atau peraturan
dengan tema yang sama atau setidak-tidaknya masih memiliki
korelasi yang erat yang dihimpun dalam sebuah peraturan.
Dengan karakteristik tersebut, terdapat beberapa kelebihan dari
metode omnibus antara lain, menyederhanakan banyaknya
peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih (over-
regulated), mempercepat proses legislasi yang biasanya
memakan waktu yang sangat panjang, serta mendorong
harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan perundang-
undangan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN).
Sementara itu, peluang diadopsinya metode omnibus
bilamana hendak diterapkan pada negara-negara yang basisnya
bukan common law tetap terbuka melalui transplantasi hukum
(legal transplant). Negara-negara yang menganut tradisi civil law
lazimnya menggunakan konsep the single subject rule atau the
One Subject at a Time Act (OSTA), yaitu metode yang mengatur
434

tentang satu subyek dalam satu undang-undang. Transplantasi


hukum memungkinkan terjadinya transfer atau peminjaman
konsep hukum antar-sistem hukum yang ada.
Dalam konteks Indonesia, menurut Ahli Pemerintah, Prof. Dr.
Satya Arinanto, S.H., M.H., implementasi pembentukan omnibus
law bukan merupakan suatu hal yang baru, dan sudah beberapa
kali dilakukan, bahkan pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam catatan sejarah hukum, pada rentang tahun 1819-1949
(sekitar 130 tahun), Pemerintah Belanda memberlakukan sekitar
7000 (tujuh ribu) peraturan perundang-undangan di wilayah Hindia
Belanda atau yang sekarang dikenal sebagai wilayah Negara
Republik Indonesia. Sebanyak sekitar 7000 (tujuh ribu) peraturan
tersebut, telah melalui setidaknya 5 periodisasi pemberlakuan
hukum-hukum Belanda di wilayah Hindia Belanda yang meliputi
periode-periode sebagai berikut: (1) Periode Pra Liberalisme
(1819-1840); (2) Periode Liberalisme (1840-1890); (3) Periode
Politik Etis (1890-1940); (4) Periode Dekolonisasi dan Orde Baru
(1940- 1998); dan (5) Periode Reformasi dan Pasca Reformasi
(1998-sekarang).
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI pada
sekitar tahun 1992, menyatakan bahwa pada tahun 1995 masih
tersisa sekitar 400 (empat ratus) peraturan perundang-undangan
dari masa kolonial yang masih berlaku. Angka 400 (empat ratus)
tersebut merupakan angka sisa dari yang sekitar 7000 (tujuh ribu)
peraturan perundang-undangan tersebut. Saat ini, jumlah 400
(empat ratus) peraturan perundang-undangan tersebut sudah
semakin berkurang. Hal ini antara lain merupakan efek dari
program pembaruan dan pembangunan hukum nasional yang
telah dilakukan pasca tahun 1949.
Berkurangnya jumlah tersebut, menurut Ahli Pemerintah, Prof.
Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., dilakukan dengan cara pencabutan
satu peraturan perundang-undangan lama dengan satu peraturan
perundang-undangan baru; atau pemberlakuan satu peraturan
perundang-undangan baru yang sekaligus mengganti atau
435

memperbarui beberapa peraturan perundang-undangan yang


lama. Mekanisme untuk melakukan pembaruan dan/atau
pembangunan hukum untuk mengurangi jumlah sekitar 7000
(tujuh ribu) hingga menjadi tersisa sekitar 400 (empat ratus)
peraturan perundang-undangan dari masa kolonial yang
diberlakukan oleh Pemerintah Belanda di wilayah Hindia Belanda
tersebut antara lain dilakukan melalui pembentukan omnibus law
atau omnibus bill.
Beberapa contoh penerapan metode omnibus yang pernah
dilakukan pada masa setelah Indonesia merdeka, di antaranya
sebagai berikut.
Pertama, pembentukan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973
tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Yang Berupa
Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia, yang ditetapkan pada 22 Maret
1973. Sidang Umum MPR tahun 1973 adalah Sidang Umum
pertama yang diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh MPR periode tersebut untuk
meninjau berbagai produk hukum yang berupa Ketetapan-
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang
menjadi produk MPR sebelumnya. Jadi Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/1973 ini menjadi semacam omnibus law yang meninjau
berbagai Ketetapan MPRS yang diberlakukan semenjak tahun
1960.
Kedua, pembentukan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaTahun 1960
sampai dengan Tahun 2002.
Ketiga, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang materi muatannya menyatukan/menggabungkan
pengaturan mengenai 3 (tiga) hal, yaitu pemerintahan daerah;
pemerintahan desa; dan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepada daerah (Pilkada).
436

Keempat, pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun


2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang ini merupakan
contoh omnibus law yang sesuai dengan makna kedua yang
digambarkan oleh Black’s Law Dictionary di atas, yang
menyatukan beberapa Undang-Undang mengenai pemilihan
umum yang sebelumnya tersebar dalam beberapa Undang-
Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selain keempat contoh tersebut, contoh lain Undang-Undang
yang pembentukannya menerapkan metode omnibus law adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua
Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1
Januari 1961 Menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang; dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Ketiga, bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan UU Cipta


Kerja cacat formil karena UU 12/2011 tidak mengatur metode
omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
adalah tidak tepat. Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) tidak
secara eksplisit menyebutkan metode tertentu yang harus
digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan konsep hukum pidana yang menekankan lex
437

scripta, lex certa, dan lex stricta, sesuatu yang tidak secara tegas
diatur dalam undang-undang (yang sifatnya prosedural-
administratif) tidak serta merta dapat diartikan sebagai larangan
atau tabu untuk dilakukan. Lagi pula, UU Cipta Kerja tetap
merupakan undang-undang pada umumnya meskipun
penyusunannya menggunakan metode omnibus. Oleh karenanya,
UU Cipta Kerja juga dapat mencabut undang-undang dan
mengubah ketentuan undang-undang. Selain itu, sepanjang
sejarah berdirinya Mahkamah, belum terdapat adanya penilaian
yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan
UUD 1945. Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan
pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala
dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi
beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan
dalam mengatasi kebuntuan berhukum.

Keempat, bahwa kehadiran Undang-Undang tentang pembentukan


peraturan perundang-undangan, in casu UU PPP, dimaksudkan
untuk mengatur tata cara pembentukan undang-undang yang baik,
bukan sebagai tolok ukur atau batu uji atau dasar pengujian yang
serta merta menyebabkan suatu undang-undang tersebut batal
atau inkonstitusional. Terhadap hal ini, Mahkamah di dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tanggal
16 Juni 2010, Paragraf [3.33] hlm. 91-92, menyatakan sebagai
berikut:
[3.33] …. Mahkamah berpendapat bahwa pengujian Undang-
Undang dilakukan antara Undang-Undang terhadap UUD 1945,
bukannya diuji dengan Undang-Undang atau yang lain, dalam hal
ini UU 10/2004. Materi UU 10/2004 diantaranya dimaksudkan
untuk mengatur tata cara pembentukan Undang-Undang yang
baik. Adanya kekurangan dalam suatu pembentukan Undang-
Undang karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam UU 10/2004, tidak dengan serta merta menyebabkan
Undang-Undang tersebut batal. Undang-Undang yang tidak baik
proses pembentukannya mungkin dapat menyebabkan materi
pengaturannya kurang sempurna atau dapat juga materinya
bertentangan dengan UUD 1945, namun dapat pula menghasilkan
suatu peraturan yang baik dari segi teori pembentukan Undang-
Undang. Dengan pertimbangan di atas, Mahkamah tidak
438

melakukan pengujian Undang-Undang secara formil langsung


berdasarkan setiap ketentuan yang ada dalam UU 10/2004,
karena apabila hal demikian dilakukan berarti Mahkamah
melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
dan hal tersebut bukan maksud UUD 1945. Apabila Mahkamah
mempertimbangkan adanya pengaturan yang berbeda, yang
dimuat dalam Undang-Undang yang berbeda, sebelum
memberikan putusan pada suatu perkara, hal tersebut
dimaksudkan untuk menjaga adanya konsistensi dalam
pengaturan demi menjaga kepastian hukum dan bukan untuk
menguji substansi Undang-Undang terhadap Undang-Undang
lain. UU 10/2004 adalah sebuah Undang-Undang pula, yang
artinya sebagaimana Undang-Undang pada umumnya dapat
menjadi objek pengujian baik formil maupun materiil, oleh karena
itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengujian;

Selain menegaskan kembali pertimbangan hukum pada putusan


di atas, Mahkamah di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
73/PUU-XII/2014, tanggal 19 September 2014, Paragraf [3.23] hlm
211-212, menyatakan sebagai berikut:
[3.23] … Sekiranya terjadi dalam proses pembahasan tidak
sepenuhnya mengikuti tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
(UU 12/2011) atau tidak sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR,
menurut Mahkamah, tidak serta merta menjadikan Undang-
Undang tersebut inkonstitusional sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas. Norma yang ada dalam Undang-Undang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata
tertib DPR mengenai pembentukan Undang-Undang hanyalah tata
cara pembentukan Undang-Undang yang baik yang jika ada materi
muatan yang diduga bertentangan dengan konstitusi dapat
dilakukan pengujian materiil terhadap pasal-pasal tertentu karena
dapat saja suatu Undang-Undang yang telah dibentuk
berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata
tertib DPR justru materi muatannya bertentangan dengan UUD
1945. Sebaliknya dapat juga suatu Undang-Undang yang telah
dibentuk tidak berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan tata tertib DPR justru materi muatannya sesuai dengan
UUD 1945;

Kelima, bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan UU Cipta


Kerja bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, khususnya asas kejelasan tujuan, asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan
439

asas keterbukaan, kutipan pertimbangan hukum Mahkamah


dalam putusan-putusan sebagaimana diuraikan di atas pada
pokoknya telah menjawab dalil para Pemohon a quo. Sebagai
bagian dari aspek prosedural-formil pembentukan peraturan
perundang-undangan, ketentuan Pasal 5 UU PPP menyatakan,
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan
tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat
dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan
rumusan; dan g. keterbukaan.” Di samping itu, terhadap dalil para
Pemohon mengenai pelanggaran asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam penyusunan UU Cipta
Kerja, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan, maka hal tersebut
terlihat dari Penjelasan Umum yang menguraikan latar
belakang, maksud, dan tujuan penyusunan undang-undang.
Adapun dibentuknya UU Cipta Kerja pada pokoknya bertujuan
untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja secara
merata, meningkatkan investasi dan kemudahan dalam
berusaha, serta mendorong pengembangan dan peningkatan
kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Untuk mendukung pelaksanaan tujuan tersebut, diperlukan
perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang
terkait secara komprehensif, efektif, dan efisien yang tidak
dapat dilakukan jika melalui cara konvensional dengan cara
mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama
ini dilakukan.
2. Berkenaan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan,
maka sulit menyangkal bahwa UU Cipta Kerja mengabaikan
hal ini karena bagian konsideran yang memuat dasar filosofis
dan sosiologis serta bagian Penjelasan Umum UU Cipta Kerja
telah mempertimbangkan kebutuhan dan manfaat kehadiran
440

Undang-Undang a quo. Kehadiran UU Cipta Kerja benar-


benar dibutuhkan dan bermanfaat di tengah persaingan yang
semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi saat ini.
3. Berkenaan dengan asas kejelasan rumusan, hal tersebut
haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila
menurut para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran
yang berbeda atau bertentangan isinya antara pasal yang satu
dengan pasal lainnya, maka sebaiknya dilakukan pengujian
materiil di Mahkamah Konstitusi. Artinya, penerapan asas
kejelasan rumusan menyangkut keseluruhan norma undang-
undang yang apabila dianggap merugikan hak konstitusional
para Pemohon karena adanya konflik norma, bersifat
multitafsir, atau tidak operasional, maka dapat dilakukan
pengujian secara materiil, bukan melalui pengujian formil.
4. Berkenaan dengan asas keterbukaan, yang dalam hal ini
berkaitan erat dengan partisipasi masyarakat/publik dalam
pembentukan UU Cipta Kerja, telah terdapat bukti-bukti yang
menegasikan dalil para Pemohon. Berdasarkan Pasal 88 UU
PPP, penyebarluasan penyusunan Prolegnas, penyusunan
dan pembahasan rancangan undang-undang, dan
pengundangan undang-undang dilakukan oleh DPR dan
Pemerintah untuk memberikan informasi dan/atau
memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku
kepentingan. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 96
UU PPP, masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan melalui rapat dengar pendapat umum
(RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi. Terkait hal ini, berdasarkan
keterangan DPR, Badan Legislasi DPR telah menggelar rapat
yang melibatkan beberapa pihak sebagai berikut:
a) Pada tanggal 20 Januari 2020, Badan Legislasi melakukan
RDPU dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
441

yang dihadiri oleh Ketua Harian dan Sekretaris Jenderal


DPP;
b) Pada tanggal 14 April 2020, Badan Legislasi melakukan
Rapat Kerja yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri
Ketenagakerjaan (hadir fisik), Menteri Keuangan, Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri
Pertanian;
c) Pada tanggal 27 April 2020, Badan Legislasi melakukan
RDPU Panja Baleg dengan 3 (tiga) orang narasumber,
yakni Prof. Dr. Djisman Simanjutak (Rektor Universitas
Prasetya Mulya); Yose Rizal Damuri (Center for Strategic
and International Studies); dan Sarman Simanjorang,
M.Si. (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia);
d) Pada tanggal 29 April 2020, Badan Legislasi melakukan
RDPU Panja Baleg dengan 2 (dua) narasumber yakni
Prof. Dr. Satya Arinanto, SH., M.H., dan Dr. Bambang
Kesowo, SH., L.LM.;
e) Pada tanggal 5 Mei 2020, Badan Legislasi melakukan
RPDU Panja Baleg dengan 2 (dua) narasumber yakni Emil
Arifin dan Dr. Ir. H. Sutrisno Iwantono, MA;
f) Pada tanggal 9 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan
RDPU Panja Baleg dengan Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia. Selain itu, pada tanggal yang sama juga
dilakukan RDPU dengan Rosan P. Roeslani (Ketum
KADIN) dan Mohamad Mova Al Afghani, SH, L.LM., Eur,
PhD. (Dosen Hukum Internasional di Universitas Ibnu
Khaldun Bogor dan Dosen Hukum Bisnis di Sekolah Bisnis
dan Manajemen Institut Teknologi Bandung);
442

g) Pada tanggal 10 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan


Panja Baleg dengan Prof. Dr. Ramdan Andri Gunawan
(Universitas Indonesia), Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf
(Universitas Katolik Parahyangan), dan Prof. Dr. Ir. H. San
Afri Awang (Universitas Gadjah Mada);
h) Pada tanggal 11 Juni 2020, Badan Legislasi melakukan
Panja Baleg dengan Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI). Selain itu, pada tanggal yang sama juga
dilakukan RDPU dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah;
i) Pada tanggal 25 September 2020, Badan Legislasi
melakukan RDPU Panja Baleg dengan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU);
j) Pada tanggal 3 Oktober 2020, Badan Legislasi melakukan
Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD dalam rangka
Pengambilan Keputusan Tingkat I.
Selain itu, berdasarkan keterangan Presiden dan bukti-bukti
yang diajukan, Pemerintah juga telah membuka ruang untuk
menerima masukan masyarakat, akademisi, dan para
pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam tahap
perencanaan, Pemerintah telah mengadakan rapat pada
tanggal 13 dan 14 Januari 2020 yang dihadiri oleh pimpinan
atau perwakilan kaum pekerja/buruh. Selanjutnya, Pemerintah
juga telah menyelenggarakan atau menghadiri berbagai forum
dalam tahap penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja,
antara lain:
a) Pada tanggal 6 Februari 2020 diadakan seminar “Pro dan
Kontra UU Cipta Kerja” di Balai Sidang Universitas
Indonesia;
b) Pada tanggal 11 Februari 2020 diadakan pembahasan
dan konsultasi publik yang dihadiri unsur serikat
pekerja/buruh, pengusaha, dan lembaga pemerintah;
443

c) Pada tanggal 18 Februari 2020 diadakan pembahasan


dan konsultasi publik yang dihadiri unsur serikat
pekerja/buruh, pengusaha, dan lembaga pemerintah;
d) Pada tanggal 19 Februari 2020 diadakan koordinasi
rencana dan persiapan sosialisasi kebijakan omnibus law
kepada Pemerintah Daerah oleh Kementerian Dalam
Negeri;
e) Pada tanggal 26 Februari 2020 diadakan Focus Group
Discussion RUU Cipta Kerja oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
f) Pada tanggal 28 Februari 2020 di Universitas Airlangga
Surabaya, tanggal 3 Maret 2020 di Universitas
Padjadjaran Bandung, dan tanggal 10 Maret di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta diadakan diskusi publik dalam
rangka memberikan informasi kepada masyarakat dan
menjaring masukan serta pandangan publik terkait RUU
Cipta Kerja;
g) Pada tanggal 20 April 2020 di Universitas Riau, tanggal 29
April 2020 di Universitas Negeri Surakarta, tanggal 30
April 2020 di Universitas Nasional, tanggal 18 Mei 2020 di
Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran,
serta tanggal 19 Mei 2020 di Institut Pertanian Bogor
masing-masing melalui Zoom Meeting dilaksanakan ATR
Goes to Campus dengan tema Kebijakan Agraria dan Tata
Ruang dalam RUU Cipta Kerja;
h) Pada tanggal 10-11 Juli 2020, tanggal 13 Juli 2020,
tanggal 14 Juli 2020, tanggal 15 Juli 2020, tanggal 17 Juli
2020, dan tanggal 20 Juli 2020 diadakan pembahasan
tripartit RUU Cipta Kerja substansi ketenagakerjaan yang
dihadiri oleh unsur serikat pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah;
i) Pada tanggal 30 Januari 2020 menghadiri audiensi antara
unsur pimpinan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
dengan Menteri Koordinator Perekonomian dan jajaran
444

menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang


Perekonomian;
j) Pada tanggal 28 Februari 2020 menghadiri Focus Group
Discussion yang diadakan oleh Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Gedung PWI Medan;
k) Pada tanggal 4 Maret 2020 menghadiri lokakarya
sosialisasi dan pembahasan atas RUU Cipta Kerja dan
Perpajakan oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh
Indonesia (APEKSI); dan
l) Pada tanggal 5 Juni 2020 menghadiri diskusi publik yang
diselenggarakan oleh Sobat Cyber Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, proses pembentukan UU Cipta


Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan
partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal
96 UU PPP. Sementara itu, ketentuan Pasal 96 UU PPP tidak
menentukan batas minimal atau maksimal jumlah partisipasi
masyarakat in casu kelompok pemangku kepentingan
(stakeholders) yang dapat memberikan masukan. Dalam
persidangan terungkap bahwa ada serikat pekerja/serikat
buruh yang walk out ketika diundang dalam proses
pembentukan undang-undang a quo. Tindakan tersebut justru
merugikan pihak serikat pekerja/serikat buruh yang mendapat
kesempatan untuk memberi masukan dalam penyusunan
undang-undang a quo, namun tidak menggunakan
kesempatan tersebut. Dalam proses pembentukan undang-
undang, sering kali terjadi walk out oleh fraksi pada saat rapat
paripurna pengambilan keputusan tingkat II di DPR ketika
akan dilakukan persetujuan sebuah Rancangan Undang-
Undang. Tindakan walk out oleh fraksi di DPR tersebut
nyatanya tidak berimbas terhadap keabsahan sebuah
Rancangan Undang-Undang yang disetujui menjadi undang-
undang. Andaipun terdapat keinginan kelompok orang atau
pihak tertentu yang tidak dituangkan dalam kebijakan legislasi,
hal tersebut tidak serta merta dapat diartikan sebagai
445

ketiadaan partisipasi publik. Sebab, tidak mungkin setiap


keinginan kelompok orang atau pihak tertentu harus selalu
diakomodir dalam kebijakan resmi negara, in casu UU Cipta
Kerja.

Keenam, bahwa Mahkamah semestinya juga perlu mempertimbangkan


langkah yang diambil oleh pembentuk undang-undang dengan
tujuan yang hendak dicapai melalui pembentukan UU Cipta Kerja.
Pembentuk undang-undang telah berupaya melakukan terobosan
hukum di tengah persoalan akut di bidang legislasi seperti
membengkaknya jumlah regulasi yang kurang mendukung
kemudahan berusaha dan ketiadaan lembaga tunggal yang
mengelola data peraturan perundang-undangan yang resmi.
Bahkan, Pemerintah telah menetapkan lebih dari 50 (lima puluh)
aturan pelaksana UU Cipta Kerja dan membentuk Satuan Tugas
Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Seandainya Mahkamah
mempertimbangkan hal ini secara proporsional, maka kepentingan
publik yang dijamin dan dilindungi oleh keberadaan UU a quo lebih
besar daripada anggapan pelanggaran prosedur pembentukan
undang-undang sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.

Ketujuh, bahwa perubahan UU PPP perlu memasukkan metode omnibus


dalam penyusunan undang-undang untuk mengakomodasi
penyusunan undang-undang lainnya yang akan menggunakan
metode omnibus di masa mendatang. Perubahan dimaksud perlu
dilakukan sesegera mungkin dengan memberikan batas waktu
yang cukup kepada pembentuk undang-undang. Berkenaan
dengan tenggang waktu yang diperlukan untuk penyesuaian
implementasi putusan Mahkamah Konstitusi oleh addressat
putusan, ditemukan beberapa varian sikap Mahkamah sebagai
berikut:
a. Pada umumnya Mahkamah menetapkan jangka waktu selama
3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum sebagaimana dapat dilihat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-
IV/2006, tanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah
446

Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017, tanggal 10 Oktober 2017,


dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017,
tanggal 13 Desember 2018;
b. Mahkamah menetapkan jangka waktu selama 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan setelah putusan diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum sebagai waktu yang cukup untuk
menyelesaikan Undang-Undang tentang usaha perasuransian
yang berbentuk usaha bersama (mutual) sebagaimana dapat
dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-
XI/2013, tanggal 3 April 2014;
c. Mahkamah menentukan sendiri awal berlakunya
konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian
sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013, tanggal 23 Januari 2014;
d. Mahkamah tidak menentukan tenggang waktu secara tegas dan
rigid, melainkan fleksibel untuk menjalankan amar putusan
sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013, tanggal 19 Mei 2014. Masih dalam
varian ini, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit jangka
waktu perubahan atau penggantian suatu undang-undang agar
disesuaikan dengan kehendak UUD 1945, dalam hal suatu
undang-undang dibatalkan secara keseluruhan, Mahkamah
memberlakukan kembali Undang-Undang yang lama untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum). Hal
ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
28/PUU-XI/2013, tanggal 28 Mei 2014, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 13 Februari 2014.
Terhadap berbagai varian sebagaimana diuraikan di atas,
kami berpendapat bahwa jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun
telah cukup memadai untuk melakukan perubahan UU PPP. Hal ini
diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan kemanfaatan
dalam penyusunan undang-undang dengan menggunakan metode
omnibus di masa mendatang. Sebab, berdasarkan perkembangan
dan kebutuhan hukum saat ini, terdapat beberapa isu
447

ketatanegaraan yang memerlukan akselerasi pengambilan


kebijakan dengan mengutamakan harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundang-undangan seperti pemindahan ibu kota
negara dan perpajakan.

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, seharusnya


Mahkamah menyatakan Undang-Undang a quo adalah konstitusional karena UU
PPP sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik
pembentukan undang-undang sudah digunakan dan di sisi yang lain Mahkamah
seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara
undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga
menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam penerapannya. Untuk mengantisipasi munculnya berbagai rancangan
undang-undang omnibus yang lain, baik cluster (klaster) yang sejenis ataupun
beragam (multi-klaster), maka pembentuk undang-undang harus segera
melakukan perubahan terhadap UU PPP dengan memuat metode omnibus
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak putusan ini dibacakan.
Setelah itu pembentuk undang-undang dapat menindaklanjuti dengan
perubahan terhadap undang-undang a quo dengan menggunakan metode
omnibus.

***

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan


Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat,
Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga, bulan November, tahun dua ribu dua puluh
satu, dan pada hari Kamis, tanggal empat, bulan November, tahun dua ribu dua
puluh satu, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka
untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun
dua ribu dua puluh satu, selesai diucapkan pukul 13.17 WIB, oleh sembilan Hakim
Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Arief Hidayat,
Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai
Anggota, dengan dibantu oleh Jefri Porkonanta Tarigan sebagai Panitera Pengganti,
448

serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau
yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Anwar Usman

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.
Aswanto Wahiduddin Adams

ttd. ttd.
Suhartoyo Saldi Isra

ttd. ttd.
Enny Nurbaningsih Arief Hidayat

ttd. ttd.
Manahan M.P. Sitompul Daniel Yusmic P. Foekh

PANITERA PENGGANTI,

ttd.
Jefri Porkonanta Tarigan

Anda mungkin juga menyukai