Anda di halaman 1dari 81

ht

tp
s:
//w
w
w
.b
ps.
go
.id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ESTIMASI UPAH RATA-RATA PER JAM PEKERJA
PADA LEVEL KABUPATEN DENGAN
MENGGUNAKAN METODE SAE
ISBN: 978-602-438-320-6
No.Publikasi : 07340.1903
Katalog : 1306049

Ukuran Buku : 17,6 x 25cm

Jumlah Halaman : [ii+67 halaman

.id
Naskah :

o
Subdirektorat Pengembangan Model Statistik
.g
ps
Gambar Kulit :
.b

Subdirektorat Pengembangan Model Statistik


w
w

Diterbitkan Oleh:
//w

©Badan Pusat Statistik


s:
tp
ht

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau


menggandakan sebagian atau seluruh buku ini untuk tujuan komersial tanpa
izin tertulis dari Badan Pusat Statistik.
Estimasi Upah Rata-Rata Per Jam Pekerja
pada Level Kabupaten dengan
Menggunakan Metode SAE

Pengarah:
Ali Said

Penanggung Jawab:
Setia Pramana

Editor:

.id
Usman Bustaman

o
.g
Pengolah Data:
ps
Dede Yoga Paramartha
.b

Aisyah Fatma
w

Dyah Ayu S
w

Tika Meilaningsih
//w

Latifah Siti Masulah


s:

Banatis Sa’dah
tp

Yovi Iswanto Wibowo


ht

Lili Anisa Fadzila

Penulis:
Dhiar Niken Larasati
Zulfa Hidayah Satria Putri
Dewi Lestari Amaliah
Yuniarti
Nurtia

Tata Letak:
Dede Yoga Paramartha

Desain Cover:
Maulana Faris
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
. go
. id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ǀ
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ǀii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ŝdž
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ dži
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 3

.id
................................................................................................................................... 7

o
KAJIAN TEORI......................................................................................................... 9
.g
ps
2.1 Upah Rata-rata Per Jam Pekerja ...................................................................... 9
.b

2.2 Proporsi Penduduk Lulusan Sekolah Menengah Atas atau Lebih .................. 10
w

2.3 Proporsi Penduduk yang Melek Huruf ........................................................... 14


w
//w

2.4 Proporsi Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian ................................... 17


2.5 Keterampilan dan Upah Pekerja .................................................................... 20
s:
tp

2.6 Program Peningkatan Keterampilan di Indonesia ......................................... 21


ht

2.7 Hubungan antara Program Peningkatan Keterampilan dan Upah Pekerja ... 25
2.8 Hubungan antara Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja............................................................. 27
 Kelompok Pekerja Laki-laki ............................................................................ 27
 Kelompok Pekerja Perempuan ...................................................................... 29
 Kelompok Pekerja Penyandang Disabilitas .................................................... 30
 Kelompok Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas ......................................... 31
METODOLOGI ....................................................................................................... 35
3.1 Small Area Estimation .................................................................................... 35
3.2 Empirical Best Linear Unbiased Prediction (EBLUP) ....................................... 36
3.3 Dataset dan Variabel ...................................................................................... 38

ǀŝi
3.4 Tahapan Pembangunan Model Small Area Estimation (SAE) ........................ 39
ANALISIS HASIL ................................................................................................... 47
4.1 Analisis Hasil Small Area Estimation pada Rata-rata Upah per Jam Pekerja
(AHE) .............................................................................................................. 47
4.2 Analisis Deskriptif Upah Rata-rata Per Jam Pekerja (AHE/ Average Hourly
Earnings) Hasil Small Area Estimation (SAE) ................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 63

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

vŝŝŝ
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Banyaknya Observasi Estimasi AHE Menurut Disagregasi 24

Tabel 4.1. Model SAE Terbaik 30

Tabel 4.2. Nilai Statistik AHE Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah) 37

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

ŝdž
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Upah Rata-rata per Jam menurut Jenis Kelamin 3


Gambar 1.2. Upah Rata-rata per Jam menurut Daerah Tempat Tinggal 4
Gambar 2.1. Box Plot proporsi penduduk lulusan SMA ke atas di kabupaten/kota
berdasarkan disabilitas dan non disabilitas. 12
Gambar 2.2. Box Plot proporsi penduduk lulusan SMA ke atas di kabupaten/kota
berdasarkan gender. 13
Gambar 2. 3. Box Plot proporsi penduduk disabilitas dan non disabilitas yang

.id
lulusan SMA ke atas berdasarkan pembagian wilayah. 13

o
Gambar 2.4. Box Plot proporsi penduduk laki-laki perempuan yang lulusan SMA ke
atas berdasarkan pembagian wilayah..g 14
ps
Gambar 2.5. Box Plot proporsi penduduk melek huruf di kabupaten/kota
.b

berdasarkan disabilitas dan non disabilitas 15


w

Gambar 2.6. Box Plot proporsi penduduk melek huruf di kabupaten/kota


w

berdasarkan gender. 15
//w

Gambar 2.7. Box Plot proporsi penduduk disabilitas dan non disabilitas yang
s:

lulusan SMA ke atas berdasarkan pembagian wilayah. 16


tp

Gambar 2.8. Box Plot proporsi penduduk laki-laki perempuan yang melek huruf
ht

berdasarkan pembagian wilayah. 16


Gambar 2.9. Proporsi penduduk yang bekerja pada sektor pertanian menurut
kabupaten/kota 18
Gambar 2.10. Proporsi penduduk yang bekerja pada sektor pertanian menurut
wilayah 19
Gambar 2.11. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program peningkatan
keterampilan produksi menurut wilayah tahun 2014 22
Gambar 2.12. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program peningkatan
keterampilan pemasaran menurut wilayah tahun 2014 23
Gambar 2.13. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program penguatan
kelembagaan sosial menurut wilayah tahun 2014 24
Gambar 2.14. Hubungan antara program peningkatan keterampilan dengan upah
pekerja 26
Gambar 2.15. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Laki-laki 28

džŝ
Gambar 2.16. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Laki-laki 29
Gambar 2.17. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Penyandang Disabilitas 30
Gambar 2.18. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas 31
Gambar 4.1 Perbandingan CV Estimasi Langsung dan CV Estimasi SAE
Kabupaten/Kota yang Diurutkan Berdasarkan Peningkatan CV Estimasi
Langsung 50
Gambar 4.2 Level of Improvement Hasil Estimasi SAE 51
Gambar 4.4. Proporsi Penduduk 25+ Dengan Pendidikan Minimal SMA Menurut
Jenis Kelamin Tahun 2015-2018 (Persentase) 55

.id
Gambar 4.5. Persentase Penduduk 5 Tahun Ke Atas Menurut partisipasi Sekolah
dan Klasifikasi Disabilitas 2018 55

o
.g
Gambar 4.6. Scatter Plot Hubungan antara AHE laki-laki dan AHE perempuan di
ps
Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah) 56
.b

Gambar 4.7. Scatter Plot Hubungan antara AHE Pekerja Bukan Penyandang
w

Disabilitas dan AHE Pekerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota


w

Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah) 57


//w

Gambar 4.8. Peta Sebaran AHE Pekerja laki-laki dan AHE Pekerja perempuan di
Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah) 58
s:

Gambar 4.9. Peta Sebaran antara AHE Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas dan
tp

AHE Pekerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota Hasil SAE


ht

Tahun 2018 (Rupiah) 59


Gambar 4.10. Peta Overlay antara AHE pekerja laki-laki dan AHE pekerja
perempuan di Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018 60
Gambar 4.11. Peta Overlay antara AHE Pekerja penyandang Disabilitas dan AHE
Pekerja bukan Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota Hasil SAE
Tahun 2018 61

džŝi
ht
tp

1
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sosial, nilai upah sering kali dijadikan sebagai ukuran
kualitas pekerjaan dan standar hidup. Meskipun bukan satu-satunya
indikator, namun kebanyakan ahli ekonomi masih mengaitkan erat kualitas
pekerjaan dengan kompensasi ekonomi berupa besaran upah yang diterima
setiap jam (Dahl, Nesheim, & Olsen, 2009). Cvrlje & Ćorić (2010) juga
menyatakan bahwa standar hidup dalam perspektif makro dapat dinilai
melalui pendapatan riil yang diterima setiap orang. Jadi, sangatlah wajar
ketika upah tinggi masih menjadi atribut untuk menentukan jenis pekerjaan
yang layak oleh masyarakat.

.id
United Nations (UN) telah mengadopsi rata-rata upah per jam yang

o
diterima pekerja sebagai salah satu indikator untuk mewujudkan lapangan
.g
kerja yang produktif dan layak bagi semua orang pada 2030 (IAEG-SDGs,
ps
2017). Target ini jatuh pada Sustainable Development Goal (SDG) 8 dengan
.b

mempertimbangkan kesetaraan gender. Selain itu, UN juga mendorong


w
w

penyediaan informasi di atas berdasarkan kondisi geografis dan latar


//w

belakang sosial untuk mengetahui pay gaps yang terjadi (United Nations
Economic Commission for Europe, 2015).
s:
tp
ht

Gambar 1.1. Upah


Rata-rata per Jam
menurut Jenis
Kelamin
Sumber:
SAKERNAS
Agustus, BPS

3
Dalam 3 tahun terakhir, data BPS menunjukkan rata-rata upah per jam
yang diterima laki-laki relatif lebih tinggi dari perempuan pada level nasional
(Gambar 1.1). Perbedaan ini terlihat lebih signifikan ketika perbandingan
dilakukan untuk wilayah kota dan desa (Gambar 1.2). Kenyataan ini
diperkuat dengan hasil kajian International Labour Organization (ILO) pada
tataran global bahwa ketimpangan upah laki-laki dan perempuan masih
terjadi terutama pada distribusi upah persentil atas, termasuk di Indonesia
(International Labour Organization, 2016).

.id
Gambar 1.2. Upah
Rata-rata per Jam

o
.g menurut Daerah
Tempat Tinggal
ps
Sumber:
.b

SAKERNAS
w

Agustus, BPS
w
//w
s:
tp

Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mengimplementasikan


ht

SDGs hingga level Kabupaten/Kota. Mekanisme koordinasi, penganggaran


biaya, evaluasi dan pelaporan sudah diatur secara jelas dalam Peraturan
Presiden No.59 Tahun 2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Tugas utama BPS untuk memenuhi komitmen ini adalah menyediakan data
statistik untuk penghitungan indikator SDGs. Dikaitkan dengan pentingnya
indikator rata-rata pendapatan per jam dalam menyukseskan SDG 8, BPS
merasa perlu menyediakan indikator tersebut untuk level Kabupaten/Kota.
Ketersediaan indikator ini akan sangat memudahkan pemerintah daerah
dalam menyusun program kesejahteraan buruh/pegawai di lingkungan
setempat.
Sebagai kajian awal, BPS akan mengestimasi indikator rata-rata
pendapatan per jam tahun 2017. Teknik Small Area Estimation (SAE)
diterapkan berdasarkan model Fay-Herriot. Sumber data utama yang

4
digunakan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Agustus
2017. Selain itu, hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) dan Pendataan
Potensi Desa (PODES) 2014 juga dimanfaatkan sebagai sumber variabel
penyerta (auxiliary variables). Jenis variabel penyerta akan dijelaskan secara
detail pada pembahasan metodologi.
Hasil kajian ini secara statistik layak digunakan untuk menutup gap
indikator rata-rata pendapatan per jam pada level Kabupaten/Kota. Nilai
coefficient of variance (CV) setiap Kabupaten/Kota yang diperoleh dari
pemodelan statistik relatif rendah (di bawah 25 persen). Oleh karena itu,
hasil estimasi ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur keberhasilan
SDGs, khususnya tujuan 8.

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

5
6
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
2
KAJIAN
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id

7
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
KAJIAN TEORI

Sebagaimana yang dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa teknik


SAE akan digunakan untuk mengestimasi indikator SDGs yaitu upah rata-
rata per jam pekerja tahun 2017. Untuk melakukan proses tersebut
dibutuhkan auxiliary variable atau variabel penyerta, baik yang berasal dari
Sensus Penduduk 2010 (proporsi penduduk dengan lulusan SMA ke atas,
proporsi penduduk melek huruf, dan proporsi penduduk yang bekerja di
sektor pertanian) maupun dari Pendataan Potensi Desa 2014 (proporsi
desa/kelurahan dengan pelatihan produksi, proporsi desa/kelurahan dengan
pelatihan pemasaran, dan produksi desa/kelurahan dengan program

.id
penguatan kelembagaan sosial). Bab ini akan menjelaskan mengenai konsep

o
dan definisi dari upah rata-rata per jam pekerja beserta dengan teori-teori
.g
yang melandasi pemilihan variabel penyerta, serta analisis deskriptif dari
ps
variabel-variabel penyerta tersebut. Dalam melakukan analisis deskriptif,
.b

juga diperhatikan variabel dummy yang akan digunakan dalam kajian ini
w

yaitu wilayah Indonesia Barat (Sumatera dan Jawa), wilayah Indonesia


w
//w

tengah (Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara), wilayah Indonesia Timur


(Sulawesi, Maluku, dan Papua).
s:
tp
ht

2.1 Upah Rata-rata Per Jam Pekerja

Upah rata-rata per jam kerja merupakan imbalan atau penghasilan


rata-rata yang diperoleh tiap jam baik berupa uang maupun barang
(Kementerian PPN/ Bappenas, 2017). Upah rata-rata per jam kerja (dihitung
dalam satuan rupiah) diperoleh dengan cara membagi upah baik uang
maupun barang yang diperoleh dalam sebulan dengan jumlah jam kerja
aktual seminggu dikalikan dengan empat.

Keterangan:
𝑤
̅ : Upah rata-rata per jam kerja

9
W : Upah baik uang maupun barang yang diperoleh dalam sebulan
H : Jumlah jam kerja aktual seminggu
Sumber data dari indikator ini adalah Survei Angkatan Kerja Nasional.
Untuk keperluan indikator monitoring SDGs, diperlukan agregasi hingga
level berikut (Kementerian PPN/ Bappenas, 2017):
1. Wilayah administrasi: provinsi
2. Daerah tempat tinggal: perkotaan dan perdesaan
3. Jenis kelamin
4. Kelompok umur
5. Tingkat pendidikan

.id
Dalam studi ini disagregasi dilakukan pada level kabupaten dengan
upah rata-rata per jam kerja yang meliputi tenaga kerja laki-laki, tenaga

o
.g
kerja perempuan, tenaga kerja dengan disabilitas, dan tenaga kerja tanpa
ps
disabilitas.
.b
w

2.2 Proporsi Penduduk Lulusan Sekolah Menengah Atas atau Lebih


w
//w

Sebelum membahas kaitan antara tingkat pendidikan dengan tingkat


s:

pendapatan ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu arti dari pendidikan.


tp

Dalam Encyclopedia Americana 1978 seperti dikutip dari Kartono, 1977


ht

(hal.12) menyebutkan bahwa:


1. Pendidikan merupakan sembarang proses yang dipakai individu
untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau
mengembangkan sikap-sikap ataupun keterampilan-keterampilan.
2. Pendidikan adalah segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis, dan
intensional, dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada
pencapaian tujuan pendidikan tertentu.

Definisi lain dikemukakan oleh Carter V. Good seperti dikutip dari


Djumransjah, 2004 (hal. 24) pendidikan adalah:
1. Proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan
perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya;

10
2. Proses sosial di mana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan
yang terpimpin (misalnya sekolah) sehingga ia dapat mencapai
kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya.

Menurut Djumramsjah (2004) tujuan pendidikan itu menciptakan


integritas atau kesempurnaan pribadi. Integritas itu menyangkut jasmaniah,
intelektual, emosional, dan etis. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menyatakan bahwa
“Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

.id
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun
salah satu manfaat yang tidak dapat diabaikan adalah adanya harapan

o
bahwa peningkatan pendidikan akan .g
menghasilkan peningkatan
ps
pendapatan di kemudian hari. Sagir 1989, melihat adanya hubungan antara
.b

tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan. Beliau mengatakan (hal. 60):


w

“Sumber daya manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya melalui


w

suatu proses pendidikan, latihan, dan pengembangan yang akan menjamin


//w

produktivitas kerja yang semakin meningkat. Sehingga akhirnya menjamin


s:

pula pendapatan yang cukup dan kesejahteraan hidupnya yang semakin


tp

meningkat”.
ht

Baum, 1988 (hal.178) menyatakan “…. investasi dalam bidang


pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu
dan penghasilan”. Dalam kerangka evaluasi proyek, Tarigan dalam
”Perencanaan Pembangunan Wilayah” 2004 (hal. 222) menyatakan manfaat
pendidikan adalah adanya peningkatan tingkat pendapatan apabila
mengikuti pendidikan yang lebih tinggi jenjangnya dan anak didik secara
sadar atau tidak sadar akan menebarkan pengetahuannya kepada
masyarakat sekitarnya. Dalam kerangka evaluasi proyek, maka manfaat
pendidikan adalah:
1. Bertambahnya kelak pendapatan anak didik karena adanya
peningkatan dalam jenjang pendidikan tersebut. Peningkatan
pendapatan ini terkait dengan peningkatan produktivitas baik dalam

11
bentuk usaha sendiri ataupun apabila bekerja mampu menduduki
jenjang jabatan yang lebih tinggi.
2. Akan menyebarluaskan pengetahuan yang dimilikinya kepada
masyarakat sekitarnya baik dengan sengaja maupun tidak sengaja
sehingga masyarakat pun akan bertambah pengetahuannya.
3. Masyarakat yang lebih berpendidikan akan bersikap lebih toleran
dalam pergaulan, tidak mudah terprovokasi dan memiliki saling
pengertian atas sikap orang lain sehingga menciptakan kehidupan
bermasyarakat yang lebih harmonis dan sikap seperti ini menunjang
proses pembangunan.

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp

Gambar 2.1. Box Plot proporsi penduduk lulusan SMA ke atas di kabupaten/kota
ht

berdasarkan disabilitas dan non disabilitas.

Proporsi penduduk disabilitas yang memiliki pendidikan lulusan SMA


ke atas lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Begitu juga proporsi
penduduk Non Disabilitas yang memiliki pendidikan lulusan SMA ke atas di
kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Hal tersebut dikarenakan
fasilitas di kota yang lebih lengkap bagi penduduk untuk menempuh
pendidikan lebih tinggi.

12
Gambar 2.2. Box Plot proporsi penduduk lulusan SMA ke atas di kabupaten/kota
berdasarkan gender.

o .id
Proporsi penduduk laki-laki yang lulusan SMA ke atas di kota lebih
.g
tinggi daripada di kabupaten. Begitu juga dengan proporsi perempuan yang
ps
lulusan SMA ke atas juga lebih tinggi di kota dibandingkan di kabupaten.
.b

Lengkapnya fasilitas pendidikan di kota memberikan kesempatan lebih


w

besar dibandingkan di kabupaten.


w
//w
s:
tp
ht

Gambar 2. 3. Box Plot proporsi penduduk disabilitas dan non disabilitas yang lulusan
SMA ke atas berdasarkan pembagian wilayah.

Indonesia wilayah Barat memiliki proporsi tertinggi baik untuk


penduduk disabilitas dan non disabilitas untuk lulusan SMA ke atas. Hal itu
menunjukkan Fasilitas pendidikan di Indonesia wilayah barat masih lebih
baik dibandingkan Indonesia bagian Tengah dan Timur.

13
Gambar 2.4. Box Plot proporsi penduduk laki-laki perempuan yang lulusan SMA ke

.id
atas berdasarkan pembagian wilayah.

o
Penduduk Indonesia laki-laki dan perempuan yang lulusan SMA ke
.g
ps
atas memiliki proporsi tertinggi di wilayah Indonesia Barat. Proporsi
penduduk perempuan yang lulusan SMA ke atas di wilayah timur Indonesia
.b

lebih tinggi dibandingkan wilayah tengah. Hal tersebut mengindikasikan


w
w

penduduk perempuan Indonesia bagian tengah memiliki minat menempuh


//w

pendidikan yang masih rendah.


s:
tp

2.3 Proporsi Penduduk yang Melek Huruf


ht

Buta huruf dalam arti buta bahasa Indonesia, buta pengetahuan dasar
yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari, buta aksara dan angka, buta
akan informasi kemajuan teknologi, merupakan beban berat untuk
mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam arti mampu
menggali dan memanfaatkan peluang yang ada di lingkungannya. Selain itu
buta huruf (buta aksara) adalah adalah orang yang tidak
memilikikemampuan membaca, menulis dan berhitung serta penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari (Maf’Ullah, 2013 : 3).

Angka melek huruf juga dapat menjadi indikator melihat


perkembangan pendidikan penduduk. Semakin tinggi angka melek huruf
atau kecakapan baca tulis, maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas
SDM. Penduduk yang bisa baca tulis diasumsikan memiliki kemampuan dan

14
keterampilan karena dapat menyerap informasi baik itu lisan maupun tulisan
(BPS, 2011:88).

o .id
.g
Gambar 2.5. Box Plot proporsi penduduk melek huruf di kabupaten/kota
ps
berdasarkan disabilitas dan non disabilitas
.b

Proporsi penduduk disabilitas yang melek huruf di kota lebih tinggi


w
w

dibandingkan di kabupaten. Begitu juga proporsi penduduk Non Disabilitas


//w

yang melek huruf di kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Hal


tersebut mengindikasikan fasilitas untuk disabilitas di kota lebih menunjang
s:
tp

untuk penduduk mendapatkan pendidikan baca/tulis.


ht

Gambar 2.6. Box Plot proporsi penduduk melek huruf di kabupaten/kota


berdasarkan gender.

15
Proporsi penduduk laki-laki dan perempuan yang melek huruf di
kabupaten lebih tinggi dibandingkan dengan di kota. Meskipun proporsi
penduduk lulusan SMA ke atas lebih tinggi di kota ternyata tidak serta merta
memiliki proporsi tingkat melek huruf yang lebih tinggi dari kabupaten.

o .id
.g
ps
.b

Gambar 2.7. Box Plot proporsi penduduk disabilitas dan non disabilitas yang lulusan
w

SMA ke atas berdasarkan pembagian wilayah.


w

Proporsi penduduk Disabilitas yang melek huruf di Indonesia wilayah


//w

barat lebih tinggi dibandingkan dengan di timur. Proporsi penduduk non


s:

disabilitas yang melek huruf di Indonesia wilayah barat juga lebih tinggi
tp

dibandingkan dengan di wilayah timur.


ht

Gambar 2.8. Box Plot proporsi penduduk laki-laki perempuan yang melek huruf
berdasarkan pembagian wilayah.

16
Penduduk Indonesia laki-laki dan perempuan yang melek huruf
memiliki proporsi tertinggi di wilayah Indonesia Barat. Proporsi penduduk
perempuan melek huruf di wilayah timur Indonesia lebih tinggi
dibandingkan wilayah tengah. Hal tersebut mengindikasikan penduduk
perempuan Indonesia bagian tengah memiliki minat menempuh pendidikan
yang masih rendah.

2.4 Proporsi Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian

Kesempatan kerja merupakan hubungan antara angkatan kerja


dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja. Dalam ilmu ekonomi,

.id
kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan

o
tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan
.g
sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan
ps
sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing.
.b

Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang di dalam pembangunan


w

baik dalam arti memikul beban pembangunan atau menerima kembali hasil
w

pembangunan. Dari definisi ini, kesempatan kerja dapat dibedakan dalam


//w

dua kelompok (Sagir, 1995), yaitu :


s:

1. Kesempatan Kerja Permanen, yaitu kesempatan kerja yang


tp

memungkinkan seseorang bekerja secara terus menerus sampai


ht

mereka pension atau tidak mampu bekerja lagi.


2. Kesempatan Kerja Temporer, yaitu kesempatan kerja yang
memungkinkan seseorang yang bekerja tetapi dalam waktu yang
relative singkat, kemudian menganggur untuk menunggu
kesempatan kerja baru.
Sektor pertanian menjadi sector kunci dalam penyerapan tenaga kerja
di Indonesia. Pada tahun 2000 penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Pada
tahun 2000 penyerapan tenaga kerja sector pertanian mencapai 45 persen
dari Sembilan sektor yang ada, pada tahun 2015 turun menjadi 33 persen.
Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Hal ini dikarenakan sector pertanian berfungsi sebagai basis atau landasan
pembangunan ekonomi. Keadaan seperti ini menuntut kebijakan peerintah
untuk menyesuaikan sector pertanian dengan keadaan dan perkembangan

17
yang terjadi di lapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang
menyangkut kesejahteraan bangsa. (Tambunan dalam Setyabudi, 2005).
Berdasarkan Gambar 2.9, terlihat bahwa di kota penduduk baik laki-laki,
perempuan, penyandang disabiltas, maupun bukan penyandang disabilitas,
lebih banyak berada di daerah berstatus kabupaten daripada di daerah
berstatus kota. Hal ini karena di kabupaten memang lebih banyak lapangan
pekerjaan di sektor pertanian daripada di kota.

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Gambar 2.9. Proporsi penduduk yang bekerja pada sektor pertanian menurut
kabupaten/kota

18
o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Gambar 2.10. Proporsi penduduk yang bekerja pada sektor pertanian menurut
wilayah
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa baik pada penduduk laki-
laki maupun perempuan dan baik pada penduduk disabilitas maupun
nondisabilitas, proporsi yang bekerja pada sektor pertanian kebanyakan
berada di Indonesia bagian timur atau tengah. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena di Indonesia bagian timur, sektor pertanian merupakan sektor
penyangga perekonomian yang utama sehingga wajar jika banyak
penduduk yang bekerja pada sektor tersebut.

19
2.5 Keterampilan dan Upah Pekerja

Selain variabel-variabel yang telah dijelaskan sebelumnya,


keterampilan juga merupakah salah satu variabel yang dianggap
memengaruhi upah rata-rata pekerja. Keterampilan dianggap sebagai modal
manusia (human capital) yang mampu meningkatkan produktivitas pekerja
yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan upah mereka (Hampf,
Wiederhold, & Woessmann, 2017). Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Paccagnella (2014) bahwa distribusi keterampilan yang semakin beragam
akan berdampak pada semakin beragamnya distribusi pendapatan para
pekeja. Hal ini dimungkinkan karena pekerja dibayar berdasarkan

.id
produktivitasnya, sementara produktivitas itu sendiri ditentukan oleh
keterampilan atau skills yang dimiliki oleh seseorang.

o
.g
ps
Beberapa studi empiris juga memperlihatkan hasil yang sama bahwa
.b

upah dipengaruhi oleh keterampilan yang dimiliki oleh pekerja. Salah


w

satunya adalah studi yang dilakukan oleh Broecke (2016) bahwa


w

keterampilan merupakan hal yang penting untuk menentukan upah


//w

seseorang. Dia menemukan bahwa secara rata-rata pekerja terampil


s:

memiliki upah yang lebih tinggi daripada pekerja tidak terampil. Sementara
tp

itu, Girsberger, Rinawi, dan Krapf (2018) menemukan bahwa keterampilan


ht

yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dapat meningkatkan upah rata-rata


lulusannya sebesar 9 persen.

Salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan pekerja adalah


degan mengadakan program atau pelatihan peningkatan keterampilan.
Work-related training atau pelatihan yan terkait dengan pekerjaan dianggap
sebagai cara yang sangat penting untuk meningkatkan keterampilan pekerja
serta mampu meningkatkan daya saing perusahaan (Gerfin, 2004). Dia juga
mengemukakan bahwa pada akhirnya pelatihan akan mempunyai efek
positif terhadap upah karena adanya kenaikan produktivitas dari pekerja
yang mengikuti program peningkatan keterampilan.

20
Dari berbagai hasil studi tersebut, dapat dikatakan bahwa
keterampilan yang dapat diukur dari pelatihan yang diikuti oleh pekerja,
memiliki pengaruh positif terhadap upah mereka. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, keterampilan pekerja didekati dengan proporsi
desa/kelurahan dengan program peningkatan keterampilan produksi,
proporsi desa/kelurahan dengan program peningkatan keterampilan
pemasaran, dan proporsi desa/kelurahan yang memiliki program
penguatan kelembagaan sosial. Ketiga variabel terebut berasal dari hasil
pendataan Potensi Desa tahun 2018 (PODES 2018) karena sumber data ini
sesuai dengan keperluan SAE, yaitu variabel bebas yang tidak memiliki error.

o .id
2.6 Program Peningkatan Keterampilan di Indonesia
.g
ps
 Program peningkatan keterampilan produksi di Indonesia
.b

Program peningkatan keterampilan produksi mencakup pelatihan


w

keterampilan dan penguasaan teknologi untuk memproduksi barang yang


w

diselenggarakan oleh pemerintah desa ataupun kelurahan. Berdasarkan


//w

Gambar 2.1, terlihat bahwa pelatihan untuk meningkatkan keterampilan


s:

produksi paling banyak dilakukan di wilayah Indonesia Barat (Sumatera dan


tp

Jawa), yang disusul oleh wilayah Indonesia bagian tengah (Kalimantan, Bali,
ht

dan Nusa Tenggara), dan paling sedikit dilakukan di wilayah Indonesia Timur
(Sulawesi, Maluku, dan Papua). Hal tersebut dapat dilihat dari nilai median
proporsi desa yang memiliki program peningkatan keterampilan produksi di
ketiga wilayah tersebut masing-masing sebesar 20,33 (barat); 16,06 (tengah);
dan 8,69 (timur).

21
proporsi desa/kelurahan dengan pelatihan produksi

o .id
.g
ps
.b

Gambar 2.11. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program peningkatan


w

keterampilan produksi menurut wilayah tahun 2014


w
//w

Apabila dilihat berdasarkan tipe daerahnya (kabupaten/kota), terlihat


bahwa program peningkatan keterampilan produksi lebih banyak dilakukan
s:

di daerah berstatus kota daripada di kabupaten. Hal ini terjadi di seluruh


tp
ht

wilayah, baik itu di Indonesia bagian barat, tengah, maupun timur. Secara
umum di wilayah berstatus kota, proporsi desa/kelurahan dengan pelatihan
keterampilan produksi jauh lebih tinggi yaitu sekitar 33 persen,
dibandingkan di wilayah berstatus kabupaten yang hanya mencapai 12
persen.

 Program peningkatan keterampilan pemasaran di Indonesia


Program peningkatan keterampilan pemasaran mencakup pelatihan
keterampilan untuk pemasaran hasil produksi. Sama halnya dengan
pelatihan keterampilan produksi, pelatihan keterampilan pemasaran juga
paling banyak dilakukan di wilayah Indonesia bagian barat, diikuti dengan
wilayah tengah, dan terakhir di wilayah timur. Selain itu, secara umum,
proporsi pelatihan pemasaran lebih kecil dibandingkan proporsi pelatihan
produksi. Hal ini dapat dilihat dari nilai mediannya, dimana di Indonesia

22
bagian barat mediannya adalah 7,44; 5,26 di Indonesia bagian tengah; dan
2,65 di Indonesia bagian timur.
proporsi desa/kelurahan dengan pelatihan pemasaran

o.id
.g
ps
.b
w
w
//w

Gambar 2.12. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program peningkatan


s:

keterampilan pemasaran menurut wilayah tahun 2014


tp
ht

Di samping itu, proporsi pelatihan tersebut juga masih lebih banyak di


lakukan di daerah berstatus kota dibandingkan kabupaten. Secara umum,
kota memiliki median proporsi desa/kelurahan dengan program
peningkatan kemampuan pemasaran adalah 14,91, sedangkan di kabupaten
mediannya hanya mencapai 3,81. Apabila dilihat lebih dalam lagi, median
tertinggi terjadi daerah berstatus kota di wilayah Indonesia bagian tengah,
dengan proporsi mencapai angka 25. Dengan kata lain 25 dari 100
desa/kelurahan di daerah kota di wilayah Indonesia bagian tengah
mengadakan pelatihan peningkatan keterampilan pemasaran hasil produksi.

 Program penguatan kelembagaan sosial di Indonesia


Program penguatan kelembagaan sosial kemasyarakatan mencakup
pemberantasan buta aksara, pemberian beasiswa, peningkatan pelayanan

23
pendidikan, penyuluhan keterampilan usaha, peningkatan wawasan
kepedulian, dan peningkatan kapasitas lainnya.
proporsi desa/kelurahan dengan program penguatan kelembagaan sosial

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w

Gambar 2.13. Proporsi desa/kelurahan yang memiliki program penguatan


s:

kelembagaan sosial menurut wilayah tahun 2014


tp
ht

Median dari proporsi desa/kelurahan dengan program penguatan


kelembagaan masyarakat paling tinggi masih terlihat di wilayah Indonesia
bagian barat, yakni sebesar 13,33. Selanjutnya, angka ini disusul oleh wilayah
Indonesia bagian tengah dengan selisih yang cukup sedikit, dimana median
proporsi tersebut adalah 12,89. Sementara itu, di wilayah Indonesia timur,
nilai median dari proporsi desa/kelurahan dengan penguatan kelembagaan
masyarakat hanya 5,80.

Berdasarkan Gambar 2.13, juga terlihat bahwa proporsi


desa/kelurahan dengan program penguatan kelembagaan sosial yang
berada di daerah berstatus kota memiliki median yang lebih tinggi (20,06)
dibandingkan daerah berstatus kabupaten (9,09). Pola ini sama dengan pola
dari dua indikator sebelumnya. Oleh karena itu, berdasarkan ketiga
indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa program pemberdayaan

24
masyarakat dalam hal ini peningkatan keterampilan paling banyak dilakukan
di wilayah Indonesia bagian barat, diikuti bagian tengah, dan terakhir di
wilayah timur. Selain itu, program tersebut juga lebih banyak dilakukan di
daerah berstatus kotamadya daripada di daerah berstatus kabupaten.

2.7 Hubungan antara Program Peningkatan Keterampilan dan Upah


Pekerja

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keterampilan


yang diukur dari pelatihan peningkatan keterampilan memiliki hubungan

.id
positif dengan upah pekerja. Dalam studi ini, upah pekerja didisagregasi ke

o
dalam empat jenis pekerja. Keempat jenis pekerja tersebut adalah pekerja
.g
laki-laki (male), pekerja perempuan (female), pekerja dengan disabilitas
ps
(wdis), dan pekerja tanpa disabilitas (wodis). Berdasarkan gambar 2.14,
.b

terlihat bahwa di Indonesia, program peningkatan keterampilan baik itu


w

berupa keterampilan produksi, pemasaran, maupun penguatan


w

kelembagaan sosial di tingkat kabupaten/kota memiliki hubungan yang


//w

sangat kecil terhadap upah pekerja di semua jenis tenaga kerja. Hal ini
s:

diperlihatkan oleh scatter plot yang tidak membentuk pola linear serta
tp

koefisien korelasi Pearson yang ditampilkan di dalam scatter plot tersebut.


ht

Dalam studi ini, kecilnya hubungan antara program pelatihan keterampilan


dengan upah pekerja dimungkinkan terjadi karena adanya upah minimum
tenaga kerja di setiap kabupaten/kota sehingga meskipun terdapat
keterampilan yang diperoleh dari pelatihan tidak serta merta meningkatkan
upah mereka.

25
-0,06 0,01 0,01

-0,07 0,01 0,01

-0,07 0,05 0,05

o .id
-0,08 .g
-0,01 0,00
ps
.b
w
w
//w

Keterangan:
propC1 : proporsi desa/kelurahan dengan pelatihan produksi
s:

propC1 : proporsi desa/kelurahan dengan pelatihan pemsaran


tp

propC1 : proporsi desa/kelurahan dengan program penguatan kelembagaan sosial


demale : upah rata-rata per jam pekerja laki-laki (rupiah) dari pendugaan langsung (direct estimate)
ht

defemale : upah rata-rata per jam pekerja perempuan (rupiah) dari pendugaan langsung (direct estimate)
dewdis : upah rata-rata per jam pekerja dengan disabilitas (rupiah) dari pendugaan langsung (direct estimate)
dewodis : upah rata-rata per jam pekerja tanpa disabilitas (rupiah) dari pendugaan langsung (direct estimate)

Gambar 2.13. Hubungan antara program peningkatan keterampilan dengan upah


pekerja

Selain itu, kecilnya hubungan antara program pemberdayaan


masyarakat di tingkat desa/kelurahan dengan tingkat upah bisa jadi
disebabkan karena training hanya berdampak pada upah pekerja dengan
keterampilan tinggi (high skilled workers). Sementara itu, program
pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan hanya diperuntukkan untuk
masyarakat miskin (PNPM-Mandiri, 2014). Hal ini sebagaimana temuan studi
Gerfin (2004) terhadap pekerja laki-laki di Switzerland bahwa untuk pekerja

26
berpendapatan rendah (lower income workers), efek pelatihan terhadap
upah terbilang kecil dan tidak signifikan.

Pada pekerja perempuan, tidak adanya pengaruh antara pelatihan


keterampilan dan upah pekerja juga terlihat dalam studi yang dilakukan oleh
Groh, Krishnan, McKenzie, dan Vishwanath (2012) yang menunjukkan bahwa
pelatihan soft skill yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan tidak
berdampak pada penyerapan tenaga kerja perempuan di Jordan bahkan
hingga 16 atau 28 bulan setelah pelatihan berlangsung. Berdasarkan
penelitian ini, pelatihan soft skill meningkatkan positivity thinking dan
kesehatan mental pekerja perempuan, namun tetap saja terdapat kendala

.id
pada sisi penawaran tenaga kerja yang membuat mereka tidak terserap
dalam pasar tenaga kerja.

o
.g
ps
Sementara itu, pada pekerja dengan disabilitas, kecilnya korelasi
.b

antara upah dengan pelatihan dimungkinkan terjadi karena tenaga kerja


w

dengan disabilitas memiliki akses yang lebih sedikit terhadap pelatihan


w

keterampilan (Handicap International, Tanpa Tahun). Selain itu, menurut


//w

Handicap International, terdapat ketidakcocokan antara pelatihan untuk


s:

tenaga kerja dengan disabilitas dengan pekerjaan yang dibutuhkan dalam


tp

pasar tenaga kerja. Di samping itu, pelatihan yang diselenggarakan juga


ht

kebanyakan tidak disertai dengan ijazah/sertifikat.

Berdasarkan hal tersebut, korelasi yang kecil antara program


peningkatan keterampilan dengan upah tenaga kerja perlu menjadi insight
awal dalam melakukan pemodelan regresi untuk keperlua pendugaan area
kecil (SAE) yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

2.8 Hubungan antara Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan


Tingkat Melek Huruf terhadap Upah Pekerja
 Kelompok Pekerja Laki-laki
Gambar 2.15 menyajikan hubungan tingkat pendidikan, sektor usaha
agrikultur, dan tingkat melek terhadap rata-rata upah per jam pekerja laki-
laki. Dari gambar tersebut, terlihat hubungan antara proporsi pekerja laki-

27
laki dengan pendidikan tertinggi SMA ke atas dengan rata-rata upah
menunjukkan tren yang positif, dimana hal ini menunjukkan indikasi awal
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi pula rata-rata
upah yang didapatkan. Di sisi lain, terlihat secara umum hubungan antara
rata-rata upah pekerja laki-laki dengan proporsi pekerja laki-laki di bidang
agrikultur dan kemampuan membaca menunjukkan tren negatif. Analisis
hubungan antar variabel ini merupakan indikasi awal keterkaitan antara
variabel rata-rata upah per jam pekerja dengan variabel penyertanya.
Signifikansi keterkaitan antar variabel ini ditunjukkan oleh pemodelan SAE
pada bab berikutnya.

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Gambar 2.15. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Laki-laki

28
 Kelompok Pekerja Perempuan

o .id
.g
ps
.b

Gambar 2.16. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
w

Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Laki-laki


w
//w

Secara umum, variabel proporsi pekerja perempuan yang bekerja di sektor


s:

agrikultur (pertanian) memiliki hubungan negatif dengan upah per jam yang
tp

diterima pekerja perempuan. Hal ini mengindikasikan pekerja perempuan


ht

yang bekerja di sektor agrikultur ini mendapatkan upah yang lebih rendah
bila dibandingkan sektor lainnya. Hubungan negatif juga ditunjukkan antara
upah per jam pekerja perempuan dengan kemampuan membaca.
Sementara itu, pekerja perempuan yang berpendidikan SMA ke atas
memiliki korelasi yang positif dengan upah yang diterima oleh pekerja
perempuan. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi pendidikan pekerja
perempuan, upah yang diterima pun semakin besar. Namun, scatter plot ini
hanya menunjukkan indikasi awal terkait variabel penyerta yang nantinya
akan digunakan dalam model. Dengan melihat hubungannya, diharapkan
variabel penyerta tersebut memberikan kontribusi yang baik di dalam
model.

29
 Kelompok Pekerja Penyandang Disabilitas

o .id
.g
ps
.b

Gambar 2.17. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
w

Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Penyandang Disabilitas


w
//w

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa pekerja penyandang disabilitas


s:

yang bekerja pada sektor pertanian cenderung memiliki hubungan yang


tp

negatif dengan upah rata-rata per jam yang diterimanya, hal ini dapat dilihat
ht

dari slop garis regresi pada diagram pencar yang menurun. Hal ini wajar
terjadi karena pekerjaan di sektor pertanian cenderung membutuhkan
kekuatan fisik. Sementara itu, hubungan yang positif terlihat pada
pendidikan dan tingkat literasi dari penyandang disabilitas. Kabupaten/kota
dengan proporsi penyandang disabilitas yang merupakan lulusan SMA ke
atas serta proporsi penyandang disabilitas yang mampu membacanya tinggi
cenderung memiliki upah rata-rata per jam yang tinggi pula. Hal ini dapat
dilihat dari slop yang menanjak pada garis regresi.

30
 Kelompok Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas

o .id
.g
ps
.b
w

Gambar 2.18. Hubungan Tingkat Pendidikan, Sektor Usaha Agrikultur, dan Tingkat
w

Melek Huruf terhadap Upah Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas


//w
s:

Semakin tinggi proporsi jumlah pekerja di sektor pertanian, justru terlihat


tp

semakin rendah upah rata-rata per jamnya. Selama ini, upah tenaga kerja
sektor pertanian memang tergolong rendah dibandingkan sektor-sektor yang
ht

lain. Alasan inilah yang sering menyebabkan masyarakat bermigrasi dari sektor
pertanian ke sektor lain terutama industri manufaktur (Tulangow & Timban,
2017). Tipe korelasi yang sama terjadi antara proporsi penduduk dengan
kemampuan membaca terhadap upah rata-rata per jam. Tentu saja korelasi ini
tidak masuk akal yang kemungkinan disebabkan ketidakcukupan sampel.
Sementara itu, upah rata-rata per jam dibayarkan dalam jumlah tinggi ketika
persentase penduduk lulusan SMA ke atas juga makin besar. Hal ini sesuai
dengan fakta di lapangan bahwa pasar tenaga kerja cenderung mensyaratkan
SMA sebagai batas minimal pendidikan untuk memasuki dunia kerja.

31
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ht

3
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id

9
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
METODOLOGI

3.1 Small Area Estimation

Untuk mengestimasi nilai suatu parameter, terdapat dua macam


pendugaan, yakni pendugaan langsung (direct estimation) dan pendugaan
tak langsung (indirect estimation). Suatu penduga dikatakan langsung (direct
estimator) apabila pendugaan terhadap parameter populasi di suatu domain
hanya didasarkan pada data sampel yang diperoleh dari domain tersebut
(Sadik dan Notodiputro, 2016). Pendugaan langsung biasanya merupakan
“design based”, yakni didasarkan pada desain penarikan sampel yang

.id
digunakan. Penduga berbasis desain akan memanfaatkan penimbang dalam

o
.g
survei untuk menghitung estimasi dan menarik kesimpulan (inferensia)
ps
berdasarkan distribusi peluang dari desain sampling yang digunakan.
Contoh pendugaan langsung adalah pendugaan terhadap Upah rata-rata
.b
w

pekerja di suatu kabupaten/kota hanya didasarkan pada data hasil survei


w

yang diperoleh di kabupaten/kota tersebut. Informasi diluar domain


//w

tersebut tidak diperhitungkan. Domain dapat didefinisikan sebagai area


s:

geografi atau kelompok sosio-demografi atau subpopulasi lainnya. Contoh


tp

domain area geografi adalah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dll.


ht

Sementara itu, domain sosio-demografi merujuk pada kelompok spesifik,


seperti umur, jenis kelamin, dan ras dalam suatu area geografis yang besar.
Meskipun suatu survei memiliki jumlah sampel yang besar untuk
mengestimasi total suatu populasi, namun mungkin jumlah sampel tersebut
tidak mencukupi syarat untuk mengestimasi parameter pada subpopulasi
atau subkelompok. Misalnya, suatu survei didesain untuk mengestimasi
parameter pada level kabupaten/kota. Jika hasil survei tersebut digunakan
untuk mengestimasi parameter pada level di bawahnya, seperti desa atau
kecamatan, maka pendugaan langsung akan menghasilkan standar eror
yang besar karena jumlah sampel yang digunakan untuk estimasi tidak
mencukupi.
Dalam kondisi penduga langsung tidak dapat menghasilkan estimator
dengan tingkat presisi yang memadai, maka alternatif yang dapat digunakan
adalah melakukan pendugaan tidak langsung (indirect estimation), dapat

35
pula disebut dengan pendugaan area kecil (small area estimation). Rao dan
Molina (2015) menyebutkan bahwa pendugaan area kecil meminjam
kekuatan area sekitarnya, yakni dengan menggunakan nilai dari variabel
respon y dari area/periode waktu yang terkait dan hal ini akan
meningkatkan jumlah sampel efektif. Nilai tersebut kemudian digunakan
dalam proses estimasi melalui sebuah model (baik model implisit maupun
eksplisit) dengan menggunakan informasi tambahan (peubah penyerta)
yang berkaitan dengan y, misalnya data dari sensus atau data administratif.
Menurut Rao dan Molina (2015), ketersediaan peubah penyerta yang baik
dan penentuan model penghubung yang sesuai akan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan penduga tidak langsung.

.id
Dalam pendekatan pendugaan parameter area kecil, terdapat dua
asumsi yang digunakan untuk mengembangan model, yakni:

o
.g
1. Asumsi bahwa keragaman di dalam area kecil peubah respon
ps
dapat diterangkan seluruhnya oleh hubungan keragaman yang
.b

bersesuaian pada informasi tambahan, disebut sebagai model


w

pengaruh tetap (fixed effect model), dan


w

2. Asumsi keragaman spesifik area kecil tidak dapat diterangkan oleh


//w

informasi tambahan dan merupakan pengaruh acak area kecil


s:

(random effect).
tp

Gabungan dari dua asumsi tersebut membentuk model pengaruh campuran


ht

(mixed model).

3.2 Empirical Best Linear Unbiased Prediction (EBLUP)

Henderson (1953, 1975) mengembangkan teknik penyelesaian model


linier campuran, yakni metode prediksi tak bias linier terbaik (Best Linear
Unbiased Prediction–BLUP). BLUP meupakan suatu pendugaan parameter
yang meminimumkan MSE (Mean Square Error) di antara kelompok
estimator linier tak bias lainnya dan tidak bergantung pada normalitas
pengaruh acak (Rao dan Molina, 2015). Akan tetapi, BLUP tergantung pada
varians (dan mungkin juga kovarians) dari pengaruh acak, yang disebut
sebagai komponen varians.

36
Metode BLUP yang dikembangkan Henderson mengasumsikan
diketahuinya komponen varians pengaruh acak dalam model linier
campuran, padahal dalam kenyataannya, komponen varians sulit dihitung
dan bahkan tidak diketahui. Oleh karena itu, metode BLUP ini kemudian
dikaji lebih lanjut oleh Harville (1977) dengan terlebih dahulu melakukan
pendugaan komponen varians dengan metode Maximum Likelihood dan
Restricted Maximum Likelihood, sehingga kemudian disebut prediksi tak bias
linier terbaik empiris (Empirical Best Linear Unbiased Prediction – EBLUP).
Model dasar dalam pengembangan pendugaan area kecil didasarkan
pada bentuk model linier campuran sebagai berikut:

.id
𝑦𝑖 = 𝑥𝑖 𝛽 + 𝑣𝑖 + 𝑒𝑖 (3.1)
dimana:

o
.g
𝑦𝑖 = nilai pendugaan langsung berdasarkan rancangan survei
ps
𝑥𝑖 = variabel predictor yang elemen-elemennya diketahui
.b

𝛽 = vektor parameter bersifat fixed berukuran p x l yang tidak diketahui


w

𝑣𝑖 = pengaruh acak area kecil dengan asumsi 𝑣𝑖 ~ 𝑁(0, 𝜎𝑣2 ) dimana 𝜎𝑣2 = 𝐴
w

dan biasanya diketahui


//w

𝑒𝑖 = vektor random eror yang tidak terobservasi, dengan asumsi


s:

2
𝑒𝑖 ~ 𝑁(0, 𝜎𝑒𝑖 ) dimana 𝜎𝑒𝑖
2
= 𝐷𝑖 biasanya diasumsikan diketahui.
tp
ht

Penduga terbaik bagi 𝜃𝑖 = 𝑥𝑖𝑇 𝛽 + 𝑣𝑖 jika 𝛽 dan 𝐴 diketahui adalah:


𝜃̂𝑖𝐵𝑃 = 𝜃̂𝑖 (𝑦𝑖 𝐼𝛽, 𝐴) = 𝑥𝑖𝑇 𝛽 + (1 − 𝐵𝑖 )(𝑦𝑖 − 𝑥𝑖𝑇 𝛽)
𝐷𝑖 (3.2)
Dengan 𝐵𝑖 = 𝐴+𝐷 untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑚.
𝑖

Jika 𝐴 diketahui, maka 𝛽 dapat diduga dengan metode kuadrat terkecil


terbobot, yaitu 𝛽𝑖 (𝐴) = (𝑋 𝑇 𝑉 −1 𝑋)−1 𝑋 𝑇 𝑉 −1 𝑌 dan dengan mensubstitusi 𝛽
oleh 𝛽̂𝑖 pada 𝜃̂𝑖𝐵𝑃 diperoleh:

𝜃̂𝑖𝐵𝑃 = 𝜃̂𝑖 (𝑦𝑖 𝐼𝐴) = 𝑥𝑖𝑇 𝛽̂𝑖 + (1 − 𝐵𝑖 )(𝑦𝑖 − 𝑥𝑖𝑇 𝛽̂𝑖 ) (3.3)
𝜃̂𝑖𝐵𝑃 = 𝜃̂𝑖 (𝑦𝑖 𝐼𝐴) = (1 − 𝐵𝑖 )𝑦𝑖 + (𝐵𝑖 𝑥𝑖𝑇 𝛽̂𝑖 )
(3.4)
Penduga BLUP diperoleh dengan cara terlebih dahulu menduga
komponen varians nya. Kemudian mensubstitusi 𝛽 oleh 𝛽̂ dan 𝐴 oleh 𝐴̂
sehingga disebut sebagai prediksi tak bias linier terbaik empirik (Empirical

37
Best Linear Unbiased Prediction– EBLUP). Jadi, metode EBLUP mensubstitusi
komponen varians yang tidak diketahui ini dengan penduganya (Sael dan
Chambers, 2003).
Metode EBLUP ini dapat digunakan pada model campuran linear
(Linear Mixed Model/LMM) dengan variabel respon yang bersifat kontinu,
tetapi tidak dapat digunakan untuk model dengan data kategorik (biner).
Rahman (2008) menyebutkan bahwa estimasi dengan EBLUP merupakan
kombinasi tertimbang antara penduga langsung dan penduga sintetik
regresi. Kelebihan metode EBLUP adalah sederhana dan tidak rumit, namun
kesimpulan yang dihasilkan tidak begitu mudah dan jelas. Metode ini tidak
dapat menangani masalah yang rumit dengan banyak dimensi.

o .id
3.3 Dataset dan Variabel .g
ps
.b

Data yang digunakan untuk mengestimasi Upah Rata-rata per Jam


w

Pekerja/Average Hourly Earnings (AHE) berasal dari survei dan sensus yang
w

dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, yakni Survei Angkatan Kerja Nasional
//w

(SAKERNAS) 2017, Sensus Penduduk (SP) 2010, dan Pendataan Potensi Desa
s:

(Podes) 2014.
tp

Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2017 mencakup seluruh


ht

kabupaten/kota di Indonesia. Metode pemilihan sampel yang digunakan


dalam SAKERNAS 2017 adalah metode two stage one phase stratified
sampling. Data dari survei ini digunakan untuk menghitung pendugaan
langsung (direct estimates) nilai parameter dan varians dari AHE dan
disagregasinya menurut jenis kelamin dan status disabilitas pada level
kabupaten/kota di Indonesia. Selanjutnya, hasil pendugaaan langsung ini
akan digunakan sebagai variabel respon pada model Small Area Estimation
(SAE).
Selanjutnya, dataset SP 2010 dan Podes 2014 digunakan untuk
memperoleh variabel penyerta (covariates) untuk pemodelan Small Area
Estimertion. Variabel penyerta (X) yang diperoleh dari Podes 2014 adalah
sebagai berikut:

38
1) proporsi desa yang memiliki program peningkatan
keterampilan produksi;
2) proporsi desa yang memiliki program peningkatan
keterampilan pemasaran hasil produksi; dan
3) proporsi desa yang memiliki program penguatan kelembagaan
sosial kemasyarakatan.
Sementara itu, variabel penyerta (X) yang diperoleh dari SP 2010
adalah sebagai berikut:
1) proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian;
2) proporsi penduduk berpendidikan SMA ke atas; dan
3) proporsi penduduk yang melek huruf.
Selain itu, untuk mengakomodir perbedaan kondisi wilayah, maka
ditambahkan pula variabel dummy wilayah, yakni dummy wilayah barat

.id
(Jawa dan Sumatera) dan dummy wilayah tengah (Kalimantan dan Balinusra).

o
.g
ps
3.4 Tahapan Pembangunan Model Small Area Estimation (SAE)
.b
w

Proses estimasi AHE dilakukan dengan menggunakan model linier


w
//w

campuran yang diusulkan oleh Fay-Herriot, dengan metode estimasi yang


dikenal dengan nama Pendugaan Tak Bias Linier Terbaik Empirik (Empirical
s:

Best Linear Unbiased Prediction – EBLUP). Fay dan Herriot menggunakan


tp

model dua level untuk menduga parameter bagi area kecil dengan populasi
ht

kurang dari 1000, yaitu:


Level 1 : 𝑦𝑖 𝐼𝜃𝑖 ~ 𝑁(𝜃𝑖 , 𝐷𝑖 ) (3.5)
Level 2 : 𝜃𝑖 ~ 𝑁(𝑥𝑖𝑡 𝛽, 𝐴) (3.6)
Model dua level di atas dapat ditulis sebagai model linear campuran sebagai
berikut:
𝑦𝑖 = 𝜃𝑖 + 𝑒𝑖 = 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑣𝑖 + 𝑒𝑖 (3.7)
dengan 𝑖 = 1, … , 𝑚, dan 𝑣𝑖 ~ 𝑁(0, 𝐴) dan 𝑒𝑖 ~ 𝑁(0, 𝐷𝑖 ).
Secara umum, proses estimasi Small Area Estimation untuk AHE
kabupaten/kota menurut disagregasi jenis kelamin dan status disabilitas
dilakukan melaui tahapan-tahapan sebagai berikut:

39
a. Penghitungan Direct Estimates (Pendugaan Langsung)
Pendugaan langsung terhadap Upah Rata-rata Per Jam Pekerja
(AHE) dihitung dengan menggunakan data-data hasil SAKERNAS 2017.
Untuk memenuhi kebutuhan indikator SDGs, maka untuk setiap
kabupaten/kota, dihitung pendugaan langsung AHE menurut
disagregasinya, yakni AHE menurut jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) serta AHE menurut status disabilitas (penyandang disabilitas
dan bukan penyandang disabilitas). Dengan demikian, terdapat empat
pendugaan langsung terhadap AHE, yakni: 1) AHE Perempuan; 2) AHE
Laki-laki; 3) AHE Penyandang Disabilitas; dan 4) AHE Bukan Penyandang
Disabilitas.

.id
Secara umum, rumus penghitungan direct estimates untuk Upah
Rata-rata Per Jam Pekerja/Average Hourly Earning (AHE) adalah sebagai

o
berikut: .g
ps
.b

𝑈𝑝𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛𝑖


𝐴𝐻𝐸𝑖 =
w

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛𝑖


w

(3.8)
//w

dimana i adalah masing-masing disagregasi dari AHE, yakni perempuan,


s:

laki-laki, penyandang disabilitas, dan bukan penyandang disabilitas.


tp
ht

b. Eksplorasi Perilaku Data


Sebelum melakukan running model EBLUP terhadap AHE, hal
pertama yang perlu dilakukan adalah mengecek kelangkepan data.
Untuk dapat menerapkan model EBLUP, data setiap variabel yang
dibutuhkan harus tersedia untuk setiap kabupaten/kota. Jika di suatu
kabupaten/kota terdapat satu atau lebih variabel yang datanya tidak
tersedia, maka tidak dapat dilakukan estimasi AHE untuk kabupaten/kota
tersebut. Adapun banyaknya observasi (jumlah kabupaten/kota) untuk
setiap disagregasi AHE adalah sebagai berikut:

40
Tabel 3.1. Banyaknya Observasi Estimasi AHE Menurut Disagregasi
Estimasi Jumlah Observasi
AHE Perempuan 491
AHE Laki-laki 491
AHE Penyandang Disabilitas 486
AHE Bukan Penyandang Disabilitas 491

Setelah itu, juga perlu dilakukan pengecekan terhadap data


pencilan (outlier). Apabila ditemukan outlier pada masing-masing AHE
menurut disagregasinya, maka outlier tersebut perlu diatasi.

c. Penentuan Variabel Penyerta

.id
Ketersediaan data variabel penyerta yang bagus bersifat sangat

o
krusial terhadap pembentukan estimator tidak langsung. Hal ini karena
.g
ps
dalam pendugaan tidak langsung, informasi dari variabel penyerta akan
digunakan untuk menduga nilai dari suatu variabel respon. Oleh karena
.b

itu, variabel penyerta yang digunakan harus memiliki hubungan yang


w
w

kuat dengan variabel respon. Pemilihan variabel penyerta sebaiknya


//w

didasarkan pada hasil kajian/studi literatur. Setelah itu, juga perlu


s:

dilakukan pengujian korelasi antara setiap variabel penyerta dengan


tp

variabel respon. Semakin tinggi korelasi antara variabel penyerta dan


ht

variabel respon maka akan semakin baik. Dalam kajian ini, mendeteksi
adanya korelasi dilakukan dengan membuat plot antara variabel
penyerta dengan variabel respon dengan memanfaatkan beberapa
package pada software R, yakni package ggplot21 , dplyr2 , plyr3 , dan
girdExtra4.

d. Pembangunan Struktur Model EBLUP


Struktur model yang digunakan mengikuti persamaan (3.7)
dengan variabel respons 𝒚, variabel penyerta 𝒙, dan galat baku 𝒆 seperti

1
H. Wickham. ggplot2: Elegant Graphics for Data Analysis. Springer-Verlag New York, 2016.
2
Hadley Wickham, Romain François, Lionel Henry and Kirill Müller (2018). dplyr: A Grammar of Data
Manipulation. R package version 0.7.6. https://CRAN.R-project.org/package=dplyr
3
Wickham H (2011). “The Split-Apply-Combine Strategy for Data Analysis.” Journal of Statistical Software, 40(1),
1–29. http://www.jstatsoft.org/v40/i01/.
4
Auguie, Baptiste dan Antonov, Anton. Miscellaneous Function for “Grid” Graphics.2017

41
yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Guna menyusun model SAE
untuk AHE menurut disagregasi yang dibutuhkan dalam indikator SDGs,
maka terdapat empat struktur model EBLUP, masing-masing untuk AHE
Perempuan; AHE Laki-laki; AHE Penyandang Disabilitas; dan AHE Bukan
Penyandang Disabilitas; dengan variabel penyerta X yang sama. Secara
umum, persamaan masing-masing model EBLUP tersebut diperlihatkan
dalam persamaan berikut.

𝑦𝑖
𝐴𝐻𝐸𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
= 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑣𝑖
𝐴𝐻𝐸𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
+ 𝑒𝑖
𝐴𝐻𝐸𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 (3.9a)

𝑦𝑖𝐴𝐻𝐸𝑙𝑎𝑘𝑖 = 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑣𝑖𝐴𝐻𝐸𝑙𝑎𝑘𝑖 + 𝑒𝑖𝐴𝐻𝐸𝑙𝑎𝑘𝑖 (3.9b)


(3.9c)
𝑦𝑖𝐴𝐻𝐸𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑣𝑖𝐴𝐻𝐸𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 + 𝑒𝑖𝐴𝐻𝐸𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠

.id
𝑦𝑖𝐴𝐻𝐸𝑛𝑜𝑛−𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑣𝑖𝐴𝐻𝐸𝑛𝑜𝑛−𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 + 𝑒𝑖𝐴𝐻𝐸𝑛𝑜𝑛−𝑑𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠

o
(3.9d)
e. Running Model EBLUP .g
ps
Running model EBLUP dilakukan dengan menggunakan software
.b

R package sae5. Pada tahapan ini, dilakukan beberapa kali running


w

untuk menghasilkan model masing-masing AHE dengan berbagai


w
//w

kombinasi variabel penyerta. Pertama, misalkan untuk AHE Perempuan,


dicoba melakukan running model dengan satu variabel penyerta lalu
s:

diulangi untuk variabel penyerta lainnya. Kemudian, dilanjutkan dengan


tp

running model yang melibatkan kombinasi dua variabel penyerta, tiga


ht

variabel penyerta, hingga seluruh variabel penyerta. Oleh karena itu,


untuk estimasi AHE Perempuan, terdapat 63 model karena ada sebanyak
63 kombinasi variabel penyerta. Selanjutnya, hal yang sama juga
dilakukan untuk menghasilkan model EBLUP bagi AHE laki-laki, AHE
penyandang disabilitas, dan AHE bukan penyandang disabilitas.

f. Pemilihan Model Terbaik


Setiap model AHE, baik AHE menurut jenis kelamin maupun status
disabilitas, masing-masing akan menghasilkan 63 jenis model SAE
EBLUP. Dari 63 model tersebut, dipilih satu model terbaik, yakni model
yang memiliki nilai AIC (Akaike’s Information Criterion) terkecil.

5
Molina I, Marhuenda Y (2015). “sae: An R Package for Small Area Estimation.” The R Journal, 7(1), 81–
98. https://journal.r-project.org/archive/2015/RJ-2015-007/RJ-2015-007.pdf

42
Berdasarkan Lampiran 1, model terbaik untuk AHE perempuan adalah
C1C3ae dengan nilai AIC sebesar 9796,823. Model ini dibentuk dengan
variabel penyerta yakni: proporsi desa yang memiliki program
peningkatan keterampilan produksi (C1); proporsi desa yang memiliki
program penguatan kelembagaan sosial kemasyarakatan (C3); proporsi
penduduk yang bekerja di sektor pertanian (a); dan proporsi penduduk
yang berpendidikan SMA ke atas (e). Sementara itu, model terbaik yang
digunakan untuk mengestimasi nilai AHE laki-laki, penyandang
disabilitas, dan bukan penyandang disabilitas masing-masing adalah
model C1ae (10011,98), C1C3e (9977,987), dan C1C3ae (10024,25).

.id
Setelah diperoleh model terbaik, kemudian dilanjutkan dengan
penghitungan Mean Square Error (MSE) dari estimasi yang diperoleh.

o
.g
Untuk mengidentifikasi model yang dihasilkan cukup baik untuk
ps
mengestimasi nilai AHE menurut disagregasinya, maka perlu
.b

menghitung nilai Coefficient of Variance (CV) dari estimasi yang


w

dihasilkan. Apabila nilai CV sudah dibawah 25%, maka model yang


w

dihasilkan sudah baik untuk digunakan mengestimasi nilai parameter.


//w
s:

𝑆𝐷
(3.10)
tp

𝐶𝑉 = × 100%
𝑋̅
ht

dimana :
𝐶𝑉 = Coefficient of Variance
𝑆𝐷 = Standar Deviasi
𝑋̅ = nilai rata-rata AHE

Selain itu, perbaikan model yang dihasilkan dari model SAE EBLUP
juga dapat dilihat dari level of improvement (LI) model yang dihasilkan.

𝐶𝑉𝐷𝐸 − 𝐶𝑉𝐸𝐵𝐿𝑈𝑃
𝐿𝐼 = × 100% (3.11)
𝐶𝑉𝐷𝐸
dimana :
𝐿𝐼 = Level of Improvement
𝐶𝑉𝐷𝐸 = Coeficient of Variance dari pendugaan langsung
𝐶𝑉𝐸𝐵𝐿𝑈𝑃 = Coeficient of Variance dari model EBLUP

43
44
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ht
tp

4
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id

35
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
ANALISIS HASIL

4.1 Analisis Hasil Small Area Estimation pada Rata-rata Upah per Jam
Pekerja (AHE)

a. Analisis Model terbaik

Model SAE terbaik ditunjukkan oleh Tabel 4.1. Dari model tersebut,
terlihat bahwa variabel proporsi desa dengan program peningkatan
keterampilan produksi dan proporsi penduduk yang lulus SMA/setingkat ke

.id
atas memberikan pengaruh yang signifikan bagi besaran AHE baik pada

o
.g
kelompok laki-laki, perempuan, penduduk penyandang disabilitas, maupun
ps
penduduk bukan penyandang disabilitas. Satu hal yang menarik adalah
variabel proporsi desa dengan program peningkatan keterampilan produksi
.b
w

memberikan nilai negatif pada seluruh model. Hal ini mengindikasikan


w

bahwa program peningkatan keterampilan produksi di desa kemungkinan


//w

tidak efektif dalam meningkatkan rata-rata upah per jam pekerja di


s:

kabupaten/kota.
tp

Berbeda dengan program peningkatan katerampilan produksi,


ht

program penguatan kelembagaan sosial kemasyarakatan memberikan


pengaruh yang positif terhadap peningkatan rata-rata upah jam pekerja
perempuan, pekerja dengan status disabilitas, dan pekerja tanpa status
disabilitas.
Proporsi penduduk yang lulus SMA/setingkat ke atas memberikan nilai
positif bagi AHE pada seluruh kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan
SMA/setingkat di suatu kabupaten/kota, semakin besar pula rata-rata upah
per jam pekerja di kabupaten/kota tersebut.
Variabel proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian
konsisten memberikan nilai negatif di seluruh model kecuali pada kelompok
pekerja penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian di suatu
kabupaten/kota, semakin rendah rata-rata upah per jam pekerja di

47
kabupaten/kota tersebut. Dengan kata lain pekerja di luar sektor pertanian
di suatu kabupaten/kota secara rata-rata mendapatkan upah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pekerja di sektor pertanian.

Tabel. 4.1. Model SAE Terbaik


variabel laki-laki perempuan WI disabilitas WO
disabilitas
intercept 23608,97*** 17981,59*** 18055,63*** 29313,1***
(<0,01) (<0,01) (<0,01) (<0,01)
proporsi -76,76*** -114,94*** -158,37*** -120,90***
desa/kelurahan (<0,01) (<0,01) (<0,01) (<0,01)
dengan

.id
pelatihan

o
produksi
proporsi 87,74***.g 96,14** 67,27**
ps
desa/kelurahan (<0,01) (0,02) (0,03)
.b

dengan
w

program
w

penguatan
//w

kelembagaan
s:

sosial
tp

prop penduduk -4485,72*** -3100,33*** -8343,81***


ht

yang bekerja di (0,03) (0,02) (0,00)


sektor
pertanian
prop penduduk 34908,00*** 31739,49*** 9409,01*** 6272,72***
yang lulus SMA (0,00) (0,00) (0,00) (0,00)
ke atas
Variabel -3627,32*** -3721,38*** -1925,15** -3929,36***
kawasan (0,00) (0,00) (0,02) (0,00)
Indonesia Barat
Variabel -554,03 -2500,92*** 56,69 -1703,5**
kawasan (0,47) (0,00) (0,95) (0,03)
Indonesia
Tengah
***: sig pada α 0.01, **: sig pada α 0.05, *: sig pada α 0.1, ( ) : p-value

48
Jika dicermati lebih lanjut, variabel proporsi desa/kelurahan dengan
program peningkatan ketrampilan pemasaran adalah variabel yang tidak
masuk pada seluruh model terbaik yang terbentuk. Kondisi ini mungkin
terjadi jika ada multikolinearitas antara variabel proporsi desa/kelurahan
dengan pelatihan produksi, proporsi desa/kelurahan dengan program
peningkatan ketrampilan pemasaran, dan proporsi desa/kelurahan dengan
program penguatan kelembagaan sosial.
Model SAE yang terbentuk dibangun dengan mempertimbangkan
juga aspek wilayah, dimana wilayah ini dibedakan menjadi kawasan
Indonesia Barat (Sumatera dan Jawa), kawasan Indonesia Tengah
(Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara), dan kawasan Indonesia Timur

.id
(Sulawesi, Maluku, Papua). Hasil model SAE terbaik menunjukkan bahwa
rata-rata upah per jam pekerja di kawasan Indonesia Barat dan kawasan

o
.g
Indonesia Tengah lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah per jam
ps
pekerja di kawasan Indonesia Timur, ditunjukkan melalui nilai koefisien
.b

variabel kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Tengah menunjukkan tanda


w

negatif. Namun jika dilihat berdasarkan besaran koefisiennya, Nampak


w

bahwa rata-rata upah per jam pekerja di kawasan Indonesia Barat lebih
//w

rendah dibandingkan dengan rata-rata upah per jam pekerja di kawasan


s:

Indonesia Tengah.
tp
ht

b. Analisis Perbandingan Estimasi Langsung dan Estimasi SAE

Untuk melihat apakah hasil estimasi rata-rata upah per jam pekerja
model SAE cukup baik untuk digunakan, dilakukan perbandingan nilai CV
hasil estimasi langsung dan estimasi SAE. Seluruh kabupaten/kota diurutkan
berdasarkan nilai CV hasil estimasi langsung. Dari Gambar 4.1 secara umum
terlihat bahwa semakin tinggi nilai CV hasil estimasi langsung suatu
kabupaten/kota, semakin besar jarak antara nilai CV hasil estimasi langsung
dengan nilai CV hasil estimasi SAE.
Pada kelompok pekerja laki-laki, nilai CV estimasi langsung rata-rata
upah per jam pekerja di Kabupeten Mamberamo Tengah adalah nilai CV
tertinggi yaitu 37,75%. Setelah dilakukan pemodelan SAE, nilai CV estimasi
rata-rata upah per jam pekerja di kabupaten tersebut menurun menjadi

49
21,35%. Di sisi lain, nilai CV estimasi langsung rata-rata upah per jam pekerja
di Kabupaten Semarang adalah nilai CV terendah yaitu 2,64% dan CV
estimasi SAE sebesar 2,62%. Hal ini menunjukkan kelayakan hasil estimasi
langsung dan estimasi SAE tidak jauh berbeda. Analisis serupa juga terjadi
pada kelompok pekerja perempuan, kelompok pekerja dengan status
berkebutuhan khusus, dan kelompok pekerja tanpa status berkebutuhan
khusus.

Pekerja Laki-laki Pekerja Perempuan


Langsung
Langsung
SAE
SAE

o .id
.g
ps
Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas Pekerja Penyandang Disabilitas
.b

Langsung Langsung
SAE SAE
w
w
//w
s:
tp

Gambar 4.1 Perbandingan CV Estimasi Langsung dan CV Estimasi SAE


ht

Kabupaten/Kota yang Diurutkan Berdasarkan Peningkatan CV Estimasi Langsung

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa model SAE akan memberikan


perbaikan hasil estimasi rata-rata upah per jam pekerja lebih besar pada
kabupaten/kota yang memiliki estimasi langsung yang kurang baik atau
memiliki nilai CV estimasi langsung yang tinggi. Pada kabupaten/kota yang
memiliki estimasi langsung rata-rata upah per jam pekerja cukup baik, hasil
estimasi SAE tidak terlalu signifikan memberikan perbaikan.
Sebaran besaran perbaikan hasil estimasi SAE disajikan pada Gambar
4.2 Sama seperti Gambar 4.1, seluruh kabupaten/kota diurutkan berdasarkan
nilai CV estimasi langsungnya kemudian dikelompokan menjadi 3 kategori.
Kategori rendah terdiri atas sepertiga dari seluruh kabupaten/kota dengan
nilai CV estimasi langsung terendah. Sepertiga jumlah total kabupaten/kota
selanjutkan dikategorikan sebagai sedang, dan sepertiga jumlah total

50
kabupaten/kota sisanya dengan nilai CV yang tinggi dikategorikan sebagai
tinggi.
Semua kabupaten/kota pada masing-masing kategori kemudian
dihitung nilai level of improvement (lihat penjelasan detail pada Bab III) dan
dilihat sebarannya menggunakan diagram box plot (Gambar 4.2)
Hasil sebaran level of improvement (LI) pada kelompok perempuan,
laki-laki, pekerja penyandang disabilitas, dan pekerja bukan penyandang
disabilitas menunjukkan pola yang serupa. Rata-rata LI tertinggi ada pada
kategori kabupaten yang memiliki CV estimasi langsung tinggi. Sebaliknya
rata-rata LI terendah ada pada kategori kabupaten/kota dengan CV estimasi
langsung rendah. Hal ini sejalan dengan Gambar 4.1 dimana perbaikan

.id
estimasi rata-rata upah per jam pekerja terbesar akan dirasakan oleh
kabupaten/kota dengan estimasi langsung yang kurang baik.

o
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

a. Pekerja perempuan b. Pekerja laki-Laki

c. Pekerja penyandang disabilitas d. Pekerja bukan penyandang disabilitas

Gambar 4.2 Level of Improvement Hasil Estimasi SAE

51
Jika dicermati lebih detil menurut kelompoknya, kelompok pekerja
penyandang disabilitas merupakan kelompok yang memiliki LI paling besar
di seluruh kategori dibandingkan dengan kelompok pekerja lainnya. Hal ini
dikarenakan sampel pada kelompok pekerja penyandang disabilitas paling
sedikit diantara kelompok lainnya dimana hal ini akan mempengaruhi
kualitas estimasi langsung rata-rata upah per jam pekerja penyandang
disabilitas. Oleh karena itu, penerapan SAE memberikan perbaikan paling
besar pada kelompok tersebut.
Hasil estimasi langsung dan estimasi SAE disajikan dalam bentuk box
plot pada Gambar 4.3. Diagram box plot dibagi menjadi tiga kategori
menurut kawasan, yaitu kawasan Indonesia Barat, Indonesia Tengah, dan

.id
Indonesia Timur untuk masing-masing kelompok pekerja.
Jika dilihat menurut sebarannya, rata-rata hasil estimasi langsung dan

o
.g
hasil estimasi SAE tidak jauh berbeda baik di kawasan Indonesia Barat,
ps
Indonesia Tengah, dan Indonesia Timur. Nampak juga bahwa rata-rata hasil
.b

estimasi langsung dan estimasi SAE di kawasan Indonesia Bagian Timur


w

paling tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya, dimana hal ini sejalan
w

dengan analisis variabel kawasan pada pemodelan SAE (Tabel 4.1)


//w

Hal yang dapat dijadikan perhatian adalah, setelah dilakukan


s:

pemodelan SAE, sebaran hasil estimasi SAE pada seluruh kelompok pekerja
tp

menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebaran hasil estimasi langsung


ht

dimana sudah tidak terlihat nilai ekstrem yang terlalu tinggi.

52
Langsung Langsung
SAE SAE

Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas


Pekerja Laki-laki

Langsung Langsung
SAE SAE

.id
Pekerja Penyandang Disabilitas
Pekerja Perempuan

o
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp

Gambar 4.3. Sebaran Estimasi Rata-rata Upah per Jam Pekerja Menurut Kawasan
ht

4.2 Analisis Deskriptif Upah Rata-rata Per Jam Pekerja (AHE/ Average
Hourly Earnings) Hasil Small Area Estimation (SAE)

a. Upah Rata-rata Per Jam Pekerja (AHE/ Average Hourly Earnings)


Hasil SAE Disagregasi Menurut Jenis Kelamin dan Klasifikasi
Disabilitas

Secara deskriptif, berdasarkan model Small Area Estimation (SAE)


terbaik yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, nilai statistik untuk
AHE juga didisagregasi menurut Jenis Kelamin dan Klasifikasi Disabilitas
adalah sebagai berikut.

53
Tabel 4.2. Nilai Statistik AHE Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah)
Variabel Rata-rata Median Min Max Standar Range
Statistik Deviasi
Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-laki 26.050,42 24.920,13 11.722,86 53.506,55 6.583,37 41.783,68
Perempuan 19.411,95 18.616,28 5.740,40 41.421,22 5.516,97 35.680,82
Berdasarkan Klasifikasi Disabilitas
Tanpa 24.212,02 22.880,40 10.501,27 52.757,42 6.533,80 42.256,15
Disabilitas
Dengan 19.640,27 19.329,95 5.532,98 45.454,55 6.055,12 39.921,57

.id
Disabilitas

o
.g
Berdasarkan Tabel 4.2, telah dilakukan disagregasi terhadap AHE
ps
berdasarkan jenis kelamin dan klasifikasi disabilitas. Jika dilihat dari jenis
.b

kelamin, rata-rata AHE laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Berdasarkan


w

klasifikasi disabilitas juga didapatkan pegawaitanpa disabilitas memiliki rata-


w

rata AHE lebih tinggi daripada yang memiliki disabilitas. Hal tersebut
//w

menunjukkan masih adanya ketimpangan pendapatan sesuai dengan


s:

gender dan disabilitasnya. Selaras dengan data BPS pada tahun 2018,
tp

pengeluaran per kapita perempuan hanya sekitar 9,04 juta, angka ini masih
ht

sangat jauh dibandingkan pengeluaran per kapita laki-laki yang sudah


berada di angka 15 juta. Pemberdayaan peran perempuan dan penyandang
disabilitas dalam hal pekerjaan, pendidikan dan bidang lainnya masih sangat
minim.

Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 4.4 dan 4.5. Pada Gambar 4.4
terlihat bahwa proporsi penduduk perempuan usia 25 ke atas yang memiliki
pendidikan minimal SMA lebih kecil daripada laki-laki. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kualitas perempuan relatif masih lebih rendah dari laki-
laki. Selain itu, Gambar 4.5 menunjukkan persentase penduduk dengan
disabilitas usia 5 tahun ke atas yang masih bersekolah hanya 5,48 %.
Pemerintah harus mulai memperhatikan pengembangan keterampilan dan
kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas berdasarkan prinsip-prinsip

54
peluang yang sama dan perlakuan yang sama. Evaluasi kebijakan
pemerintah terkait dengan pemberdayaan perempuan dan penyandang
disabilitas masih perlu dilakukan guna mempercepat proses pembangunan
di Indonesia.

.id
o
.g
ps
.b
w

Gambar 4.4. Proporsi Penduduk 25+ Dengan Pendidikan Minimal SMA Menurut
w

Jenis Kelamin Tahun 2015-2018 (Persentase)


//w
s:
tp
ht

Sumber : Badan Pusat Statistik


Gambar 4.5. Persentase Penduduk 5 Tahun Ke Atas Menurut partisipasi Sekolah dan
Klasifikasi Disabilitas 2018

Jika dilihat hubungan antara masing-masing kriteria disagregasi,


seperti pada Gambar 4.6, hubungan antara AHE laki-laki dan perempuan

55
terlihat linear positif dimana semakin tinggi nilai AHE laki-laki akan semakin
tinggi pula AHE perempuan. Terlihat pula bahwa masih terdapat 8,96%
kabupaten/kota yang memiliki AHE laki-laki diatas rata-rata tetapi AHE
perempuan dibawah rata-rata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
terdapat ketimpangan gender di kabupaten/kota tersebut.

Rata-rata AHE Laki-laki = 26.050,42

Rata-rata AHE Perempuan = 19.411,95


o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Gambar 4.6. Scatter Plot Hubungan antara AHE laki-laki dan AHE perempuan di
Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah)

Kemudian, menurut klasifikasi disabilitasnya, titik-titik sebaran AHE


Tanpa Disabilitas dan Dengan Disabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 4.7
lebih sedikit lebih tersebar dibandingkan dengan AHE menurut jenis
kelamin, namun masih terlihat linear positif. Semakin tinggi nilai AHE pekerja
bukan penyandang disabilitas akan semakin tinggi pula AHE pekerja
penyandang disabilitas. Selain itu, terlihat juga bahwa masih terdapat 9,26%
kabupaten/kota yang memiliki AHE pekerja bukan penyandang disabilitas
diatas rata-rata tetapi AHE pekerja penyandang disabilitas dibawah rata-
rata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat ketimpangan
pendapatan berdasarkan kondisi disabilitas di kabupaten/kota tersebut.

56
Rata-rata AHE Tanpa Disabilitas = 24.212,02

Rata-rata AHE Dengan Disabilitas = 19.640,27


o .id
.g
ps
.b

Gambar 4.7. Scatter Plot Hubungan antara AHE Pekerja Bukan Penyandang
w

Disabilitas dan AHE Pekerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota Hasil SAE


w

Tahun 2018 (Rupiah)


//w
s:

b. Disparitas Upah Rata-rata Per Jam Pekerja (AHE) Antar


tp

Kabupaten/Kota Hasil SAE Disagregasi Menurut Jenis Kelamin dan


ht

Klasifikasi Disabilitas

Visualisasi dengan peta digunakan untuk melihat sebaran disparitas


antar kabupaten/kota di Indonesia. Gambar 4.8 menunjukkan bahwa, baik
AHE laki-laki maupun perempuan, sebagian besar berada di kelompok AHE
rendah. Sebanyak 47,7% dan 44.4% kabupaten/kota di indonesia memiliki
AHE laki-laki dan perempuan yang rendah. Terlihat pula bahwa sebagian
besar kabupaten/kota dengan AHE tinggi berada pada ibu kota provinsi
ataupun kota-kota besar lainnya. Selain itu juga, pada kabupaten/kota di
Pulau Papua, banyak kabupaten/kota dengan AHE tinggi karena
berdasarkan data BPS Februari 2018, Papua menjadi provinsi dengan upah
terbesar mencapai Rp 3 juta per bulan dengan rata-rata Rp 3,6 juta per
bulan dan kategori pertambangan dan penggalian merupakan salah satu
bidang pekerjaan dengan upah tertinggi. Terlihat juga pada rata-rata AHE

57
berdasarkan wilayah, baik pada laki-laki maupun perempuan, rata-rata AHE
di wilayah indonesia bagian timur memiliki nilai rata-rata AHE paling tinggi
dibandingkan wilayah lainnya.

Pekerja Perempuan

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:

Pekerja Laki-laki
tp
ht

Gambar 4.8. Peta Sebaran AHE Pekerja laki-laki dan AHE Pekerja perempuan di
Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018 (Rupiah)

58
Pada Gambar 4.9 juga menunjukkan bahwa, baik AHE pekerja
penyandang disabilitas maupun pekerja bukan penyandang disabilitas
sebagian besar berada pada AHE rendah. Sebanyak 42,6% dan 49,9%
kabupaten/kota di Indonesia memiliki AHE pekerja penyandang disabilitas
dan pekerja bukan penyandang disabilitas yang rendah. Selain itu, cukup
banyak pula, yaitu sekitar 12,3% kabupaten/kota di Indonesia yang
memberikan upah atau AHE yang tinggi untuk penduduk penyandang
disabilitas.
Pekerja Penyandang Disabilitas

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas

Gambar 4.9. Peta Sebaran antara AHE Pekerja Bukan Penyandang Disabilitas dan
AHE Pekerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018
(Rupiah)

59
Pada Gambar 4.9 juga, jika dilihat dari rata-rata AHE berdasarkan
wilayah, baik pada AHE pekerja penyandang disabilitas maupun pekerja
bukan penyandang disabilitas, rata-rata AHE di wilayah Indonesia bagian
barat memiliki nilai rata-rata AHE paling rendah, sedangkan wilayah
Indonesia bagian timur memiliki nilai tertinggi.
Dari klasifikasi kelompok AHE sebelumnya, jika dilakukan overlay
antara pekerja laki-laki (MALE) dan pekerja perempuan (FEMALE), seperti
yang disajikan pada Gambar 4.10, selain Provinsi DKI Jakarta yang
merupakan Provinsi Ibu Kota, yang terlihat sangat kontras adalah Provinsi
Kalimantan Timur. Hampir semua kabupaten/kota yang ada di Kalimanta
Timur memiliki AHE pekerja laki-laki dan pekerja perempuan pada

.id
kelompok tinggi, kecuali pada Kabupaten Kutai Barat, Paser, dan Penajaman
Paser Utara.

o
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

Gambar 4.10. Peta Overlay antara AHE pekerja laki-laki dan AHE pekerja perempuan
di Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018

Overlay antara AHE Tanpa Disabilitas (WODIS/Without Disability) dan


AHE Dengan Disabilitas (WDIS/With Disability) ditunjukkan apada Gambar
4.11. Pada Gambar tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
kabupaten/kota berada pada kodisi AHE pekerja bukan penyandang
disabilitas dan AHE pekerja penyandang disabilitas sedang. Walaupun
terlihat juga, seperti di sebagian besar kabupaten/kota di Kalimantan Timur,

60
AHE pekerja bukan penyandang disabilitas berada kelompok AHE tinggi,
namun AHE pekerja penyandang disabilitas berada pada kelompok AHE
sedang.

o .id
.g
ps
Gambar 4.11. Peta Overlay antara AHE Pekerja penyandang Disabilitas dan AHE
.b

Pekerja bukan Penyandang Disabilitas di Kabupaten/Kota Hasil SAE Tahun 2018


w
w
//w
s:
tp
ht

61
62
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. Sumbar Dalam Angka 2011. BPS Sumatera Barat:
Padang. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2008. BPS Sumatera Barat:
Padang.
Baum, W,C., Tolbert, S.M. 1988. Investasi dalam Pembangunan. Terjemahan
Bassilius Bengo Teku, Jakarta, Universitas Indonesia.
Broecke, S. (2016). Do skills matter for wage inequality? . IZA World of Labor
2016 , 1-10.
Cvrlje, D., & Ćorić, T. (2010). Macro & micro aspects of standard of living and

.id
quality of life in a small transition economy: The case of Croatia. EFZG
Working Paper Series, 385(02), 1–12.

o
.g
Dahl, S.-Å., Nesheim, T., & Olsen, K. M. (2009). Reconciling Work and Welfare
ps
in Europe A Network of Excellence of the European Commission’s Sixth
.b

Framework Programme Working Papers on the Reconciliation of Work


w

and Welfare in Europe Quality of work-concept and measurement.


w

Djumransjah, H.M. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang, Bayumedia


//w

Publishing.
s:

Gerfin, M. (2004, March). Work-Related Training and Wages: An Empirical


tp

Analysis for Male Workers in Switzerland. IZA Discussion Paper , pp. 1-


ht

22.
Girsberger, E. M., Rinawi, M., & Krapf, M. (2018, Juni). Wages and
Employment; The Role of Occupational Skills. IZA Institute of Labor
Economics Discussion Paper Series , pp. 1-40.
Groh, M., Krishnan, N., McKenzie, D., & Vishwanath, T. (2012, Juli 01). Soft
skills or hard cash ? the impact of training and wage subsidy programs
on female youth employment in Jordan (English). Impact Evaluation
Series , pp. 1-38.
Hampf, F., Wiederhold, S., & Woessmann, L. (2017). Skills, earnings, and
employment; exploring causality in the estimation of returns to skills.
Large-scale Assessments in Education , 1-30.
Handicap International. (Tanpa Tahun). Situation of Wage Employmement of
People with Disabilities, Ten Developing Countries in Focus. Tidak

63
Tersedia: Handicap International.
IAEG-SDGs. (2017). Tier Classification for Global SDG Indicators. 20 April
2017. (September), 1–31. Retrieved from
https://unstats.un.org/sdgs/files/Tier Classification of SDG Indicators_20
April 2017_web.pdf
International Labour Organization. (2016). Global Wage Report 2016/17:
Wage inequality in the workplace. In Just Labour: A Canadian Journal of
Work and Society. Retrieved from
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---
publ/documents/publication/wcms_537846.pdf
United Nations Economic Commission for Europe. (2015). Handbook on

.id
Measuring Quality of Employment - A Statistical Framework. Retrieved
from

o
.g
https://www.unece.org/fileadmin/DAM/stats/publications/2015/ECE_CE
ps
S_40.pdf
.b

Kartono, K. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional-


w

Beberapa Kritik dan Sugesti. Jakarta, Pradnya Paramita.


w

Kementerian PPN/ Bappenas. (2017). Metadata Indikator Tujuan


//w

Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia Pilar Pembangunan


s:

Ekonomi. Jakarta: Kementerian PPN/ Bappenas.


tp

Paccagnella, M. (2014). Skills and Wage Inequality. New Approaches to


ht

Economic Challenges (pp. 1-49). Prancis: OECD.


PNPM-Mandiri. (2014). Tentang Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri. Diakses pada tanggal 4 Desember 2019, dari
http://www.pnpm-mandiri.org/: pnpm-
mandiri.org/PengertiandanTujuan.html
Sagir, H.S. 1989. Membangun Manusia Karya – Masalah Ketenagakerjaan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta, Pustaka Sinar
harapan.
Setyabudi, Heru. (2005). Pengaruh Pertumbuhan PDRB Terhadap Elastisitas
Kesempatan Kerja di Sumatera Selatan. Tesis. Program Pascasarjana.
UNSRI. Palembang.

64
Lampiran

Lampiran 1. Nilai AIC Setiap Model AHE Menurut Disagregasi


Model Bukan
Penyandang
No. (Kombinasi Perempuan Laki-laki Penyandang
Disabilitas
Variabel X) Disabilitas
1 c1 10050.32 10236.13 10151.67 10191.37
2 c2 10044.06 10230.72 10159.88 10186.53
3 c3 10042.71 10232.99 10159.47 10188.06
4 a 9945.034 10120.37 10101.22 10099.15
5 e 9831.456 10034.22 10021.35 10056.26
6 l 10050.94 10236.82 10089.07 10191.61

.id
7 C1C2 10039.36 10227.54 10137.89 10182.06

o
8 C1C3 10038.87 10233.35 10145.15 10187.08
9 C1a 9914.419 10084.22
.g 10039.97 10066.18
ps
10 C1e 9810.903 10014.6 9979.356 10046.71
.b

11 C1l 10051.92 10238.08 10084.91 10193.27


w

12 C2C3 10044.37 10232.73 10161.33 10188.52


w

13 C2a 9939.831 10109.34 10079.83 10091.36


//w

14 C2e 9820.891 10022.67 10000.34 10053.12


s:

15 C2l 10044.75 10232.69 10090.67 10188.46


tp

16 C3a 9944.331 10107.77 10081.08 10090.72


ht

17 C3e 9831.22 10025.37 10004.84 10056.37


18 C3l 10043.44 10235 10089.1 10189.91
19 ae 9833.349 10036.14 10007.86 10052.74
20 al 9945.527 10121.55 10068.4 10091.36
21 el 9832.161 10035.49 10015.33 10050.39
22 C1C2C3 10034.66 10228.44 10137.3 10182.2
23 C1C2a 9906.603 10081.91 10035.46 10061.78
24 C1C2e 9812.467 10016.54 9979.519 10047.72
25 C1C2l 10039.92 10229.5 10078.82 10183.99
26 C1C3a 9899.691 10084.25 10036.46 10064.25
27 C1C3e 9799.971 10016.07 9977.987 10043.2
28 C1C3l 10039.78 10235.33 10085.48 10188.78
29 C2C3a 9941.592 10108.52 10079.25 10091.58
30 C2C3e 9819.18 10024.25 10001.63 10054.64
31 C2C3l 10044.92 10234.7 10090.4 10190.46

65
Model Bukan
Penyandang
No. (Kombinasi Perempuan Laki-laki Penyandang
Disabilitas
Variabel X) Disabilitas
32 C1ae 9808.762 10011.98 9980.96 10026.75
33 C1al 9916.418 10086.2 10029.15 10045.79
34 C1el 9812.879 10016.61 9979.799 10038.23
35 C2ae 9822.235 10023.56 9997.476 10042.93
36 C2al 9941.498 10111.35 10056.62 10078.01
37 C2el 9822.846 10024.68 9998.428 10045.28
38 C3ae 9833.213 10026.39 10001 10047.73
39 C3al 9945.543 10109.67 10054.1 10079.65
40 C3el 9832.559 10027.3 10000.68 10050.13

.id
41 ael 9834.096 10037.46 10003.45 10043.96

o
42 C1C2C3a 9898.303 10083.45 10035.05 10062.5
43 C1C2C3e 9801.604 10018.09 .g 9979.4 10045.2
ps
44 C1C2C3l 10034.81 10230.41 10080.77 10184.03
.b

45 C1C2ae 9809.936 10013.81 9981.223 10027.03


w

46 C1C2al 9908.238 10083.91 10026.04 10042.4


w

47 C1C2le 9809.936 10013.81 9980.074 10039.59


//w

48 C1C3ae 9796.823 10013.41 9979.66 10024.25


s:

49 C1C3al 9901.363 10086.25 10028.52 10042.25


tp

50 C1C3le 9801.592 10018.28 9979.192 10033.23


ht

51 C2C3ae 9820.869 10024.85 9999.221 10044.94


52 C2C3al 9943.227 10110.52 10055.06 10078.62
53 C2C3ae 9821.079 10024.85 9999.221 10044.94
54 C1ael 9810.766 10013.99 9981.314 10006.37
55 C2ael 9824.203 10025.57 9995.623 10027.68
56 C3ael 9834.559 10028.31 9997.41 10036.14
57 C1C2C3ae 9798.692 10015.41 9981.121 10025.96
58 C1C2C3al 9899.642 10085.46 10027.22 10041.83
59 C1C2C3el 9803.318 10020.11 9980.55 10035.2
60 C1C2ael 9811.887 10015.83 9981.699 10007.17
61 C1C3ael 9798.536 10015.43 9980.799 10002.13
62 C2C3ael 9822.784 10026.87 9997.105 10029.69
63 C1C2C3ael 9800.457 10017.43 9982.21 10004.13

Keterangan:

66
C1 = proporsi desa yang memiliki program peningkatan keterampilan
produksi
C2 = proporsi desa yang memiliki program peningkatan keterampilan
pemasaran hasil produksi
C3 = proporsi desa yang memiliki program penguatan kelembagaan sosial
kemasyarakatan.
a = proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian
e = proporsi penduduk berpendidikan SMA ke atas
l = proporsi penduduk yang melek huruf.

o .id
.g
ps
.b
w
w
//w
s:
tp
ht

67
ht
tp
s:
//w
w
w
.b
ps
.g
o.id

Anda mungkin juga menyukai