Anda di halaman 1dari 13

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING ( CTL)

TEHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA MATERI


LINGKUNGAN HIDUP DI KELAS III SDN 3 RAJAMANDALAWETAN

Rin Rin Pebriyanti


rinrinfebrianti407@gmail.com
Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Siliwangi

Abstract
………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………….

Keywords: CTL and Critical Thinking Ability.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran
CTL terhadap kemampuan berpikir kritis. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik
kelas III di SDN 3 Rajamandalawetan Tahun 2019/2020. Teknik pengambilan sampel adalah
random sampling. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelas yaitu kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Teknik pengumpulan data berupa tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis
peserta didik dan observasi untuk mengamati perilaku yang muncul pada peserta didik sesuai
indikator-indikator kemampuan berpikir kritis. Yang diambil dari 2 referensi skripsi.

Kata kunci: CTL dan Kemampuan Berpikir Kritis.

PENDAHULUAN

Belajar merupakan kegiatan mendapatkan ilmu atau pengetahuan yang dapat


dilakukan di sekolah dengan guru atau di luar sekolah. Belajar dianggap berhasil apabila
peserta didik mengalami perubahan perilaku dengan mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman untuk dapat digunakan dalam kehidupannya. Menurut Robert Heinich dkk.
(2005), belajar diartikan sebagai “….development of new knowledge, skills, or attitudes
as individual interact with learning resources.” Sedangkan menurut Pribadi (2006:9)
belajar merupakan sebuah proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang terjadi manakala seseorang melakukan interaksi secara intensif dengan sumber-
sumber belajar.
Pada konteks ini, maka belajar merupakan suatu proses dalam mengembangkan
berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik kemudian digunakan sebagai
bekal dalam menjalani kehidupan mereka. Siswa dituntut untuk mengembangkan
potensinya secara optimal melalui pengetahuan yang telah didapatkan di sekolah
sehingga ketika dihadapkan pada keadaan nyata dilingkungan mereka dapat
menyelesaikan berbagai persoalan dengan kemampuan berpikir kritis untuk dapat
menemukan solusi terbaik.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat berdampak
langsung terhadap kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Proses
pendidikan pun dituntut untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan
dapat bersikap dan berpikir kritis dalam memproses berbagai informasi dan ilmu
pengetahuan serta teknologi dengan baik dan benar.
Oleh karena itu dalam proses pendidikan guru dituntut untuk membiasakan siswa
supaya dapat berpikir kritis dalam setiap pembelajaran. Pola berpikir kritis merupakan
pola berpikir yang menuntut siswa untuk dapat menganalisis, mensintesis, dan
menyimpulkan informasi-informasi yang didapatnya sehingga siswa dapat membedakan
mana informasi yang baik dan buruk, serta dapat menetapkan keputusan atas informasi
yang didapatnya secara kritis dan benar.
Tujuan melatih kemampuan berpikir kritis adalah untuk menyiapkan siswa menjadi
seorang pemikir kritis sehingga mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapi
dengan bijak dan bertanggung jawab. Sebagai peserta didik siswa diharapkan mampu
berpikir secara kritis dalam memecahkan masalah yang bersifat kontekstual atau
berhubungan langsung dengan kehidupan nyata. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan
nasional yang membiasakan siswa untuk aktif dalam pembelajaran dimana siswa terlibat
langsung dalam proses pembelajaran.
Siswa tidak dianggap sebagai spons yang menyerap pembelajaran, melainkan sebagai
pembelajar dan guru sebagai fasilitator. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran
bisa diwujudkan dengan cara diskusi, presentasi, dan praktek. Hal ini dapat diwujudkan
melalui pemilihan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan
diajarkan, salah satu pendekatan pembelajaran yang bisa digunakan adalah pendekatan
Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan pendekatan yang cocok jika digunakan
pada materi lingkungan hidup.
Melalui pendekatan pembelajaran yang tepat, maka materi pembelajaran dapat diserap
siswa dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan realita mereka. Pendekatan pembelajaran
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran,
yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran
terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Pendekatan juga dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi
pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran
ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan
strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif (Sanjaya,
2008:127).
Melalui pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL) mengarahkan guru untuk
dapat mengaitkan antara konsep pembelajaran dengan keadaan nyata dilingkungan
mereka. Pembelajaran lingkungan hidup merupakan pembelajaran yang terkait langsung
kehidupan mereka (Nurhadi, 2002). Dengan memberikan pembelajaran melalui konteks
langsung maka akan membiasakan siswa untuk dapat berpikir secara mendalam sehingga
mereka mendapatkan pengalaman langsung untuk dapat diterapkan dalam kehidupan
mereka.
Sekolah merupakan sistem interaksi sosial suatu organisasi keseluruhan yang terdiri
atas interaksi pribadi terkait bersama dalam suatu hubungan organik (Soebagio
Atmodiworo, 2000:37). Sekolah juga berarti bangunan atau lembaga untuk belajar serta
tempat menerima dan memberi pelajaran (Daryanto, 1997:544). Lingkungan sekolah
merupakan sebuah lingkungan yang memiliki andil besar dalam membentuk karakter
siswa. Dalam lingkungan sekolah siswa diajarkan nilai-nilai kebaikan yang tidak hanya
bersifat formal namun juga secara sosial. Di sekolah ditanam kan pula nilai-nilai saling
menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga, terhadap guru, teman, seluruh
warga sekolah, maupun juga dengan lingkungan. Interaksi sosial itu terjadi dalam
lingkungan sekolah.
Ketersediaan sarana pada suatu sekolah memiliki peranan penting dalam
terlaksananya proses pembelajaran yang menunjang kemajuan bagi siswa-siswanya.
Berkaitan dengan nilali-nilai yang ditanamkan di sekolah, selain dengan guru, siswa dan
seluruh anggota sekolah, siswa juga diajarkan untuk menghargai, mencintai dan menjaga
lingkungannya. Seringkali kita mendengar slogan-slogan diberbagai tempat terutaman di
sekolah, yang isinya mengajak kita untuk menjaga kebersihan lingkungan. Akan tetapi
slogan tersebut kurang dipedulikan lebih pada sebagai hiasan saja tanpa dihayati
maknanya. Padahal isi dari slogan itu penting dalam upaya pelestarian lingkungan itu
sendiri.
Pendidikan lingkungan hidup menurut konvensi Unesco (1997) di Tbilisi dalam
Sudaryanti (2009), merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu
masyarakat dunia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah
yang terkait didalamnya. Serta, memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen dari
keterampilan untuk bekerja.
Baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif atau memberi solusi
terhadap permasalahan lingkungan hidup yang ada sekarang. Dan, untuk menghindari
timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup yang baru.
Selanjutnya, tujuan dari pendidikan lingkungan hidup, pada dasarnya untuk mengubah
perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan (perilaku ramah
lingkungan). (Meilani, 2011). Pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup dapat
dilakukukan dengan cara terjun langsung ke lapangan. Atau dengan kata lain, anak
langsung mempraktekkan bagaimana cara menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan terjun langsung atau mempraktekkan secara langsung pelestarian lingkungan
hidup sejak dini, maka anak akan terbiasa berpikir dan bertindak untuk melakukan segala
kegiatan atau aktivitasnya dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Melalui pendidikan lingkungan hidup sejak dini itu, maka ke depan diharapkan
manusia dapat lebih memperhatikan kelestarian lingkungan dalam memanfaatkan sumber
daya alam yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan penelitian awal di SDN 3 Rajamandalawetan masih banyak siswa yang
membuang sampah disembarang tempat, tidak hanya di luar kelas terkadang mereka
membawa makanan ke dalam kelas dan membuang bungkusnya di dalam kelas ataupun di
bawah meja yang membuat proses belajar di dalam kelas menjadi tidak nyaman.
Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman dan kondusif,
terganggu dengan kondisi kelas ataupun lingkungan sekolah yang kotor dan tidak terjaga
kebersihannya. Ini disebabkan karena tidak adanya kesadaran dari siswa untuk menjaga
kebersihan lingkungannya. Siswa tidak dibiasakan untuk berlaku tertib dalam menjaga
kebersihan lingkungannya terutaman pada saat membuang sampah. Meskipun tempat
sampah telah disediakan, namun tidak menjadikan para siswa tertib dalam membuang
sampah. Ini erat kaitannya dengan pola kebiasaan dan kesadaran pada diri sendiri untuk
menjaga dan mencintai lingkungannya.
Hal ini yang dijadikan dasar dalam penelitian ini yaitu menimbulkan kesadaran bagi
siswa untuk menjaga kebersihan dalam upaya pelestarian lingkungan, yang dikaitkan
dengan pembelajaran mata pelajaran muatan local yaitu Pendidkan Lingkungan Hidup
terkait materi lingkungan sehat dan lingkungan tidak sehat. Pembelajaran formal yang
diterapkan ke dalam dunia nyata yang menjadi perwujudan kebiasaan dan pembiasaan
dengan sendirinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pelestarian berasal dari kata
“lestari” yang berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, bertahan kekal.
Kemudian mendapat tambahan pe dan akhiran an, menjadi pelestarian yang berarti proses,
cara, perbuatan melestarikan, perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan, pengawetan,
konservasi, pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Menurut Sukirman, (2008:11) ”pelestarian” bisa mengandung beberapa arti. Pertama,
dengan upaya-upaya untuk mempertahankan, menjaga, seperti apa adanya. Kedua, atau
menampilkan dengan disesuaikan kondisi dan situasi kehidupan masa kini, sehingga
diperoleh bentuk tidak persis sama seperti aslinya tetapi tetap menjaga dan
mempertahankan nilai-nilai yang ada.
Sedangkan lingkungan hidup berarti; kesatuan ruang dengan semua benda, daya
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi peri
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnnya, lingkungan di luar
suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia.
Lingkungan hidup tidak saja bersifat fisik seperti tanah, udara, air, cuaca dan
sebagainya, namun dapat juga berupa sebagai lingkungan kemis maupun lingkungan
sosial. lingkungan sosial meliputi antara lain semua faktor atau kondisi di dalam
masyarakat yang dapat menimbulkan pengaruh atau perubahan sosiologis, misalnya;
ekonomi, politik dan sosial budaya.
Salah satu dari komponen dari pelestarian lingkungan yaitu lingkungan yang asri.
Lingkungan yang asri merupakan dambaan setiap orang untuk itu demi tercapainya
lingkungan yang asri tersebut perlu diadakan tindakan-tindakan yang bersifat mencegah
dan mengatasi maslah-masalah yang ada. Menciptakan lingkungan yang asri ini
membutuhkan peran serta yang tidak hanya dari siswa, tetapi juga dari guru sebagai
pengajar tauladan yang baik bagi siswa-siswinya.

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu


pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh
untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka. Oleh karena itu, dengan keterlibatan peserta didik untuk menemukan
materinya secara mandiri dan belajar bersama serta menjadi aktif diharapkan bisa
memperluas wawasan peserta didik dengan saling bertukar informasi
satu sama lain, sehingga tingkat berpikir peserta didik akan meningkat khususnya
berpikir kritis (Sadia, 2008).
Bagan 1
CTL dan Komponen-Komponennya Membentuk Kesatuan. (Sanjaya, 2009)

Berdasarkan pemaparan dan bagan di atas, inti dari pembelajaran dengan


mengunakan CTL yaitu terjadi transfer belajar peserta didik yang belajar dari
mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain. Keterampilan dan pengetahuan
semakin diperluas, dan berpikir secara kritis serta penting bagi siswa untuk mengetahui
gunanya siswa tersebut belajar.
Penelitian yang relevan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti yang
dilakukan oleh (Bija & Sugiarti, 2012; Siswanto & Mustofa, 2012; Wulandari, VH, &
Martini, 2015).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
keterbaruan, sehingga tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah ada
pengaruh penerapan model pembelajaran CTL terhadap kemampuan berpikir kritis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Quasi Eksperimental Design. Desain penelitian yang
digunakan pada quasi eksperimental ini adalah pretest-postest control group design.
Teknik pengambilan sampel adalah random sampling. Sampel dalam penelitian ini
terdiri dari dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Teknik pengumpulan
data berupa tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik dan observasi
untuk mengamati perilaku yang muncul pada peserta didik sesuai indikator-indikator
kemampuan berpikir kritis. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas III
SDN 3 Rajamandalawetan Tahun 2019/2020. Uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas
dengan Liliefors dan uji homogenitas dengan Uji Fisher. Uji analisis data yang
digunakan adalah uji-t.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Data Pretes
Berdasarkan data yang diperoleh melalui tes essay dalam pembelajaran sebanyak
10 soal disajikan pada tabel 3.
Tabel 3
Hasil pretest kelas eksperimen dan kontrol
No Nilai Pretest Pretest
eksperimen kontrol
1 Nilai 42 42
Tertinggi
2 Nilai 7 7
Terendah
3 Rata – rata 20,33 20,4

Hasil pretest kelas eksperimen memiliki nilai yang sama nilai pretest kelas kontrol.
Namun, nilai rata-rata yang didapat pada kelas kontrol lebih baik dibandingkan
nilai rata-rata kelas eksperimen.
2. Data Postes
Berdasarkan data yang diperoleh melalui tes yang berbentuk essay sebanyak 10
soal disajikan pada tabel 4.
Tabel 4
Hasil posttes kelas eksperimen dan kontrol
No Nilai Postes Postes
ksperimen kontrol
1 Nilai 91 83
Tertinggi
2 Nilai 57 39
Terendah
3 Rata – rata 77,3 65,13
Hasil postest nilai kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.
3. Hasil Observasi Kemampuan Berpikir Kritis
Observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, hal yang diamati
berupa perilaku yang muncul pada peserta didik sesuai indikator-indikator
kemampuan berpikir kritis. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel 5.
Tabel 5
Hasil Observasi Kemampuan Berpikir Kritis
Aspek KBK Keterlaksanaan Persentase
Kelas Kelas Kontrol
Eksperimen
Memberi penjelasan sederhana 80% 53,3%
Mengembangkan Keterampilan 70% 40%
Dasar
Menyimpulkan 73,3% 46,7%

Berdasarkan tabel 5, hasil observasi kemampuan berpikir kritis kelas


eksperimen dan kelas kontrol dapat disimpulkan bahwa aspek tertinggi yang dicapai
adalah aspek memberi penjelasan sederhana.Berdasarkan tabel diatas, dapat
digambarkan dalam bentuk diagram dibawah ini. Diagram hasil observasi
kemampuan berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Diagram 1
Hasil Observasi Kemampuan Berpikir Kritis

80%
60%
40%
Kelas Eksperimen
20%
Kelas Kontrol
0%

Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui persentase kemampuan


berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen lebih besar dibanding kelas
kontrol.
4. Analisis Data
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan Uji-t, maka terlebih
dahulu dilaksanakan pengujian prasyarat analisis data berupa uji normalitas dan uji
homogenitas.
1) Uji Normalitas
Pengujian uji normalitas dilakukan terhadap data nilai pretest dan postest dari
setiap kelas, yaitu data nilai pretest dan postest kelas III A sebagai kelas eksperimen dan
data nilai pretest dan posttest kelas IV A sebagai kelas kontrol. Untuk menguji
normalitas data tersebut digunakan rumus Uji Liliefors. Perhitungan uji normalitas ini
disajikan pada lampiran. Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari perhitungan
tersebut.
a. Uji Normalitas Kelas Eksperimen
Tabel 6
Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen
Statistik Pretes Postes N-gain
N 30 30 30
X 20,33 77,3 0,72
SD 9,61 8,79 0,096
Lhitung 0,070 0,098 0,127
Ltabel 0,161 0,161 0,161
Kesimpulan Data Data Data
Normal Normal Normal
Berdasarkan tabel 6, dapat disimpulkan bahwa nilai pretes dan postes serta n-
gain kelas eksperimen berdistribusi data normal, karena dapat dilihat ditabel L hitung<Ltabel.
Nilai Ltabel diambil berdasarkan nilai pada tabel nilai L untuk uji liliefors pada taraf
signifikan 5%.

b. Uji Normalitas Kelas Kontrol


Tabel 7
Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol
Statistik Pretes Postes N-gain
N 30 30 30
X 20,4 65,13 0,57
SD 9,02 11,3 0,11
Lhitung 0,075 0,100 0,112
Ltabel 0,161 0,161 0,161
Kesimpulan Normal Normal Normal
Berdasarkan tabel 7, dapat disimpulkan bahwa nilai pretes dan postes serta n-
gain kelas eksperimen berdistribusi data normal, karena dapat dilihat ditabel L hitung<Ltabel.
Nilai Ltabel diambil berdasarkan nilai pada tabel nilai L untuk uji liliefors pada taraf
signifikan 5%.
2) Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas terhadap kedua data menggunakan Uji Fisher yang
disajikan pada lampiran. Berikut ini adalah hasil perhitungan uji homogenitas
Tabel 8
Hasil Perhitungan Uji Homogenitas
Statistik Pretest Postest
Kelas Kelas Kelas Kelas
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
Varians 92,506 77,321 81,421 127,775
Fhitung 1,136 1,653
LFtable 1,841 1,841
Kesimpulan Homogen Homogen

Uji homogenitas juga didasarkan pada ketentuan pengujian hipotesis homogenitas


yaitu jika nilai Fhitung< Ftabel maka dinyatakan bahwa kedua data memiliki varians yang
homogen, sebaliknya jika Fhitung> Ftabel maka dinyatakan bahwa kedua data tidak
memiliki varians yang homogen. Tampak bahwa hasil perhitungan tersebut nilai F hitung<
Ftabel sehingga dinyatakn bahwa data tersebut memiliki varians yang homogen.
5. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh Model
Pembelajaran CTL tipe inquiry terhadap kemampuan berpikir kritis. Setelah melakukan
uji normalitas dan uji homogenitas, diketahui bahwa kedua kelas berdistribusi normal
dan homogen, maka dari itu pengujian data dilanjutkan pada analisis berikutnya, yaitu
uji hipotesis. Dalam penelitian ini, uji hipotesis menggunakan uji “t” dengan kriteria
pengujian yaitu: jika thitung< ttabel, maka H0 diterima dan thitung> ttabel, maka H1 diterima.
Berikut ini adalah hasilnya.
Tabel 9
Hasil Perhitungan Uji Hipotesis
Karakteristik Kelas Hasil
Eksperimen Kontrol
Rata-rata 56,97 45 Thitung> Ttabel
Thitung 5,78
Ttabel 2,00
Db 58
Taraf Signifikasi 5% (0,05)
Berdasarkan tabel 9, didapat perhitungan kelas eksperimen dan kelas kontrol
thitung ≥ ttabel (5,78 > 2,00). Hal ini menunjukan H1 diterima, artinya adanya pengaruh
Model Pembelajaran CTL tipe inquiry terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Penelitian dilakukan selama tiga kali pertemuan pada dua kelas yaitu kelas VIII
D yang berjumlah 30 peserta didik sebagai kelas eksperimen yang diberikan perlakuan
Pengaruh Model Pembelajaran CTL dan kelas III A yang berjumlah 30 peserta didik
sebagai kelas kontrol diberikan perlakuan model pembelajaran konvensional. Pada
proses pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen dengan menggunakan model
pembelajaran CTL tipe inquiry, guru hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator.
Berdasarkan perbedaan proses pembelajaran yang ditulis diatas ini menunjukkan
bahwa pada kelas eksperimen dengan pembelajaran CTL tipe inquiry, peserta didik
lebih terpacu untuk mandiri dalam belajar. Hal tersebut terlihat dari nilai gain
kemampuan berpikir kritis adalah 72 % (0,72) dibandingkan dengan kelas kontrol yaitu
57 % (0,57).
Berdasarkan data di atas, penelitian yang dilakukan dapat membuktikan bahwa
Model Pembelajaran CTL tipe inquiry berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis.
Hal ini dikarenakan bahwa model pembelajaran CTL tipe inquiry lebih menekankan
peserta didik belajar aktif dan mandiri. Hal tersebut juga memiliki hasil yang sama.
Berdasarkan data hasil observasi pada kelas eksperimen yang diberikan
perlakukan model CTL tipe inquiry pada memberi penjelasan sederhana mendapat
persentase tertinggi yaitu 80% hal ini menunjukan bahwa peserta didik sudah bisa
memfokuskan pertanyaan dan juga bisa menjawab setiap permasalahan yang ada serta
dapat menganalisis argumen-argumen, sedangkan aspek terendah 70% yaitu aspek
membangun keterampilan dasar, hal ini menunjukkan peserta didik belum cukup berani
mempertimbangkan kreadibilitas sumber dan mengobservasi serta mempertimbangkan
hasil observasi dan untuk aspek menyimpulkan sebesar 73,3%. Hasil observasi yang
tertinggi pada kelas kontrol yaitu aspek memberi penjelasan sederhana yaitu 53,3% dan
terendah yaitu aspek membangun keterampilan dasar yaitu 40% sedangkan aspek
menyimpulkan yaitu 46,7%.
Pengujian hipotesis sebelumnya menyatakan bahwa adanya pengaruh Model
Pembelajaran CTL terhadap kemampuan berpikir kritis, setelah melakukan uji
normalitas dan uji homogenitas, kedua kelas berdistribusi normal dan homogen, maka
dari itu pengujian hipotesis menggunakan uji “t” test. Selain itu hasil observasi yang
menilai kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan model pembelajaran CTL
mendapatkan presentase lebih baik dibandingkan dengan hasil observasi kelas kontrol
yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
Perbedaan rata-rata hasil postest antara kedua kelas menunjukan bahwa dengan
menggunakan Model pembelajaran CTL lebih baik dibandingkan dengan menggunakan
konvensional. Karena berdasarkan nilai rata-rata postes peserta didik kelas eksperimen
(77,3) lebih tinggi dari pada kelas kontrol (65,23). Dengan menggunakan “t” test nilai
pretest-postes kedua kelas tersebut diperoleh t hitung ≥ ttabel yaitu 5,78 > 2,00 hal ini dapat
disimpulkan adanya pengaruh Model Pembelajaran CTL terhadap kemampuan kritis
peserta didik.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan, analisa data dan pengujian hipotesis dapat


disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan penerapan model pembelajaran
Contextual Teaching And Learning terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik
dalam pembelajaran SKI. Hal ini terlihat dari kelas eksperimen setelah dilaksanakan
pembelajaran denga model pembelajaran CTL diperoleh hasil rata-rata ketercapaian
indikator berpikir kritis yang lebih tinggi daripada hasil rata-rata ketercapaian indikator
kemampuan berpikir kritis sebelumnya. Indikator kemampuan berpikir kritis yang
mengalami peningkatan yaitu diantaranya adalah menganalisis pertanyaan, menentukan
tindakan serta mendeduksi dan mempertimbangkan hasil
deduksi. Penerapan model pembelajaran CTL dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis peserta didik secara signifikan. Hal ini terbukti pada pengujian hipotesis yang
menggunakan uji-t, dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel, kemudian
diperoleh nilai t hitung > t tabel, dimana pada perhitungan uji “t”, diperoleh harga t
hitung > t tabel (5,78 > 2,00) pada dengan taraf signifikan 5 %.

DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, O. (2003). Pedekatan Baru Model Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA (Cet.
Ke-3). Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Hapsari, D. P., Sudarisman, S., & Marjono. (2012). Pengaruh Model Inkuiri Terbimbing
Dengan Diagram V (Vee) Dalam Pembelajaran Biologi Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Siswa. Pendidikan Biologi, 4(3), 16–28.
Joko, T., Ahdinirwanto, R. W., & Maftukhin, A. (2013). Peningkatan Kemampuan
Berpikir Kritis Melalui Model Pembelajaran Children Learning In Science ( CLIS )
pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mirit Tahun Pelajaran 2012 / 2013. Radiasi,
3(2), 112–115.
Na’u, M. I. K. M., Marhaeni, A. A. I. ., & Lasmawan, W. (2015). Pengaruh Model
Pembelajaran Resolusi Konflik Dan Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Hasil
Belajar IPS Siswa Kelas V SD Gugus II Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada-
NTT. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 5(1).
Nuroso, H., & Nuvitalia, D. (2012). Penerapan Model STAD Termodifikasi Pada Mata
Kuliah Fisika Lingkungan Ditinjau Dari Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa.
Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika, 3(1), 17–31.
Sadia, I. W. (2008). Model Pembelajaran Yang Efektif Untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru). Jurnal Pendidikan Dan
Pengajaran Undiksha, 2(2).
Sanjaya, W. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Media Group.
Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Siswanto, J., & Mustofa, A. W. (2012). Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran
Kontekstual Dengan Media Audio-Visual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Dan Kreatif Siswa. Media Penelitian Pendidikan, 6(1).
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.

Anda mungkin juga menyukai