Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG Modul KUNING/IKTERUS adalah bagian dari Sistem Gastroenterohepatologi (GEH) yang diberikan dalam bentuk Problem Based Learning (PBL) pada mahasiswa pada semester V. Tujuan instruksional umum (TIU) dan khusus (TIK) serta Problem Tree dari modul disajikan pada permulaan buku modul ini agar tutor dan mahasiswa tahu arah dari proses pembelajaran PBL ini dan dapat mengerti secara menyeluruh tentang konsep dasar ikterik dan aspek terkait yang akan didiskusikan. Modul dapat terdiri dari satu atau lebih skenario yang memaparkan beberapa symptom klinik yang dapat ditemukan pada beberapa penyakit dengan yang memberikan gejala demam. Skenario ini akan digunakan sebagai titik start untuk memulai eksplorasi, analisis dan memecahkan masalah yang dipaparkan, dalam bentuk diskusi dengan atau tanpa tutor dan belajar mandiri. Diskusi bukan hanya difokuskan pada inti permasalahan tetapi juga akan dibicarakan semua aspek yang berhubungan dengannya. 1.2 TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Dapat menjelaskan tentang patogenesis penyakit dengan gejala kuning, klasifikasi, agen penyebab, pemeriksaan fisis dan penunjang, diagnosis banding, serta pengobatan dan pencegahannya. 1.3 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Dapat menjelaskan: 1. Patomekanisme ikterus Anatomi dan histologi hepar dan saluran empedu Fisiologi sekresi dan ekskresi bilirubin Bilirubin direct dan indirect Pengelompokan ikterus berdasarkan mekanisme terjadinya Virus: klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusinya Bakteri: klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusinya Parasit: klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusinya

2. Agent penyebab infeksi pada ikterus parenkimatous

3. Patogenesis dan gejala klinis penyakit dengan ikterus parenkimatosus


1

Menjelaskan tentang klasifikasi, patogenesis dan gejala klinis hepatitis virus Menjelaskan tentang patogenesis dan gejala klinis hepatitis bakterial Menjelaskan tentang patogenesis dan gejala klinis abses hepar akibat parasit Menjelaskan patogenesis dan gejala klinis cholelithiasis Menjelaskan patogenesis dan gejala klinis chirrosis hepatis Menjelaskan patogenesis dan gejala klinis penyakit darah yang menyebabkan hemolisis Menjelaskan patogenesis dan gejala klinis penyakit infeksi yang menyebabkan hemolisis

4. Patogenesis dan gejala klinis penyakit dengan ikterus cholestatis

5. Patogenesis dan gejala klinis penyakit dengan ikterus hemolitik

6. Langkah-langkah pemeriksaan untuk diagnosis penyakit dengan ikterus Menjelaskan cara pemeriksaan klinis pada penyakit ikterus Menjelaskan pemeriksaan laboratorium klinik yang diperlukan pada penyakit dengan ikterus. Menjelaskan pemeriksaan radiologi yang diperlukan pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan pemeriksaan serologis/biomolekuler yang diperlukan pada penyakit dengan ikterus 7. Penatalaksanaan bedah dan non bedah pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan pengobatan simptomatis pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan pengobatan kausal pada penyakit dengan ikterus sesuai jenis dan penyebabnya Menjelaskan penanganan tindakan operatif yang diperlukan pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan aspek farmakologis obat-obatan yang digunakan pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan obat-obatan yang sifatnya hepatotoksisk Menjelaskan asuhan gizi pada penyakit dengan ikterus Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus parenkimatous Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus cholestatis Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus hemolitik.

8. Epidemiologi dan pencegahan penyakit dengan mata kuning

BAB II PEMBAHASAN 2.1 SKENARIO 2 Seorang bayi perempuan berusia 1,5 bulan berat lahir 3250 gram diantar orang tuanya ke klinik dengan keluhan utama tampak kuning sejak usia 2 hari dan tidak pernah hilang sampai saat ini. Bayi mendapat ASI eksklusif sampai saat ini. Pasien tidak demam dan tampak aktif. Buang air kecil kuning dan buang air besar biasa. Pasien lahir seksio secarea karena KPD > 24 jam. 2.2 KLARIFIKASI KATA/KALIMAT SULIT Seksio secarea: insisi melalui dinding abdomen dan uterus untuk melahirkan janin. KPD (Ketuban Pecah Dini): keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. ASI eksklusif: pemberian ASI kepada bayi sejak ia lahir hingga 6 bulan pertama kehidupannya tanpa memberi tambahan makanan pendamping apapun. 2.3 KATA/KALIMAT KUNCI 1. Bayi perempuan usia 1,5 bulan 2. Berat lahir 3250 gram 3. Tampak kuning sejak usia 2 hari dan tidak pernah hilang sampai saat ini 4. Mendapat ASI eksklusif sampai saat ini 5. Tidak demam dan tampak aktif 6. Buang air kecil kuning dan buang air besar biasa 7. Riwayat kelahiran seksio secarea dengan KPD >24 jam 2.4 ANALISIS MASALAH 1. Definisi ikterus? 2. Sebutkan dan jelaskan klasifikasi ikterus! 3. Epidemiologi ikterus? 4. Etiologi ikterus? 5. Apakah perbedaan ikterus fisiologis dan patologis pada bayi? 6. Apakah hubungan ikterus dengan buang air kecil kuning? 7. Apakah pengaruh ASI eksklusif terhadap ikterus?
3

8. Apakah perbedaan ikterus pada bayi dan dewasa? 9. Apakah hubungan ikterus dengan berat lahir bayi? 10. Apakah hubungan ikterus dengan bayi yang lahir secara seksio secarea dengan KPD >24 jam? 11. Mengapa bayi tidak demam dan tampak aktif sedangkan bayi ikterik? 12. Jelaskan anatomi dan histologi dari hepar dan saluran empedu! 13. Jelaskan fisiologi dan biokimia dari pengeluaran bilirubin (direct - indirect)! 14. Bagaimana penanganan gizi pada bayi dengan ikterus? 15. Diagnosis banding? (definisi, epidemiologi, etiologi, patomekanisme, gejala klinik, langkah diagnostik, penatalaksanaan, komplikasi, profilaksis, prognosis) 2.5 PEMBAHASAN 1. Definisi ikterus Ikterus neonatorum (bayi baru lahir berwarna kuning) adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia).
2. Klasifikasi ikterus (lutfi)

3. Epidemiologi ikterus (lutfi)

4. Etiologi ikterus (lutfi)

5. Perbedaan ikterus fisiologis dan patologis pada bayi

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih (Sukadi, 2008). Bentuk tak terkonjugasi ini bersifat neurotoksik pada bayi pada tingkat konsentrasi tertentu dan pada berbagai keadaaan (Nelson, 2007). Bilirubin dianggap patologis bila kadarnya di dalam darah > 12 mg% pada bayi aterm dan > 10 mg% pada bayi prematur, atau peningkatan kadar 0,2 mg/jam atau 4 mg/hari (Sarwono et al, 1994). Ikterus dapat ditemukan selama minggu pertama kehidupan pada sekitar 60% bayi aterm dan pada 80% bayi prematur (Nelson, 2007).

Ikterus pada bayi dapat dibedakan menjadi dua macam, ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau 24 jam pertama kehidupan, mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubella atau toksoplasmosis kongenital (Nelson, 2007). Hal ini bisa diakibatkan oleh pemecahan eritrosit yang berlebihan, gangguan clearance (transport) metabolisme, gangguan konjugasi, atau gangguan ekskresi bersama air (Sarwono et al, 1994). Ikterus yang baru timbul pada hari kedua atau hari ketiga, biasanya bersifat fisiologis, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus (Nelson, 2007). Ikterus pada 24 jam pertama tidak pernah fisiologis dan sangat menggambarkan terjadinya hemolisis hebat atau sepsis (Meadow, 2005). Dari insiden keseluruhan penyakit hemolitik pada bayi atau neonatus, atau yang biasa dikenal dengan istilah HDN, akibat anti Rho (D) (18% pada ibu yang tidak diobati) telah berubah secara drastis (<0,1%), dan kematian akibat HDN sekarang jarang terjadi. Seiring dengan penurunan ini terjadi peningkatan relatif ibu dengan antibodi lain terhadap antigen Rhesus dan terhadap antigen dari sistem non-Rhesus. HDN ABO adalah yang paling sering, walaupun bayi mungkin hanya mengalami penyakit yang ringan (Sacher, 2004). Ikterus pada Bayi (Ikterus Neonatorum) Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih (Sukadi, 2008). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (>17 mol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL (>86 mol/L) (Etika et al, 2006). Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2007). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >950/00 menurut Normogram Bhutani (Etika et al, 2006). Ikterus fisiologis
5

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar (Etika et al,2006). Pada bayi yang baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dl. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6 8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2 3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dl selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi ( 7 - 14 mg/dl ) dan penurunan terjadi lebih lambat. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10 12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dl tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin(Sukadi, 2008). Ikterus non fisiologis (ikterus patologis) Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik: 1. Ikterus yang terjadi sebelum umur 24 jam. 2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yamg memerlukan fototerapi. 3. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam. 4. Adanya tanda tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil ). 5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan (Sukadi, 2008). 6. Ikterus yang disertai : Berat lahir < 2.000 g Masa gestasi < 36 minggu Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus Infeksi Trauma lahir pada kepala Hipoglikemia, hiperkarbia
6

Etiologi

Hiperosmolaritas darah Proses hemolisis ( inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis ) (Mansjoer et al, 2007).

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi: 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain (Hassan et al, 2005). Etiologi ikterus neonatorum, menurut waktu kemunculan 24 jam pertama Penyakit hemolisis Inkompatibilitas rhesus Inkompatibilitas ABO Defisiensi G6PD Sferositosis Infeksi kongenital Hari kedua-kelima Fisiologis Infeksi Hematoma Galaktosemia dan kelainan metabolik lain Ikterus familial non-hemolitik Setelah akhir minggu kedua Ikterus air susu ibu (breast milk jaundice) Hipertiroidisme Hepatitis Atresia bilier dan masalah traktus biliaris lain Stenosis pilorus
7

Bayi dari ibu diabetes

Adapun penyebab tersering dari hiperbilirubinemia adalah : 1. Hiperbilirubinemia fisiologis. 2. Inkompatibilitas golongan darah ABO. 3. Breast Milk Jaundice . 4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus. 5. Infeksi. 6. Hematoma sefal, hematoma subdural, excessive bruising. 7. IDM (Infant of Diabetic Mother). 8. Polisitemia / hiperviskositas. 9. Prematuritas / BBLR. 10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi asidosis, hipoglikemia. 11. Lain-lain (Etika et al, 2006). Sedangkan penyebab hiperbilirubinemia yang jarang terjadi adalah : 1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase). 2. Defisiensi piruvat kinase. 3. Sferositosis kongenital. 4. Lucey Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial). 5. Hipotiroidism. 6. Hemoglobinopathy (Etika et al, 2006).
6. Hubungan ikterus dengan buang air kecil kuning

7. Pengaruh ASI eksklusif terhadap ikterus

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early dan late. Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum, sedangkan bentuk late onset berhubungan dengan kandungan ASI yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Pengaruh late onset berhubungan dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu 2-20-pregnandiol yang mempengaruhi aktifitas uridine diphosphate glucoronosyl transferase UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated, atau -glukoronidase atau adanya faktor lain yang meningkatkan jalur enterohepatik. Faktor etiologi yag berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat ASI;
1. Asupan cairan

Kelaparan Frekuensi menyusui Kehilangan berat badan/dehidrasi

2. Hambatan ekskresi bilirubin hepatik Pregnandiol


9

Lipase-free fatty acid Unidentified inhibitor Pasase mekonium terlambat Pembentukan urobilinoid bakteri Beta-glukoronidase Hidrolisis alkaline Asam empedu

3. Intestinal reabsorbtion of bilirubin

8. Perbedaan ikterus pada bayi dan dewasa (yenda)

9. Hubungan ikterus dengan berat lahir bayi

10. Hubungan ikterus dengan bayi yang lahir secara seksio secarea dengan KPD >24

jam Tidak ada hubungan yang bermakna antara ikterus dengan seksio sesarea,Namun ada kala nya kuning bisa disebabkan oleh masalah pada pemberian ASI (breastfeeding jaundice). Hal ini biasanya terjadi pada bayi lahir lewat operasi caesar karena ibu kurang memproduksi ASI. Ikterus akibat ASI (breastmilk jaundice) juga bisa terjadi jika ASI mengandung hormon progesteron yang mengganggu proses penguraian bilirubin. Keberadaan enzim liprotein lipase pada ASI juga bisa meningkatkan kadar bilirubin. Dalam kondisi ini, ASI bisa terus diberikan. Akan tetapi, jika kenaikan kadar bilirubin terlalu cepat, ASI bisa dihentikan sementara.

10

Ikterus lebih sering terjadi pada kelahiran normal atau persalinan spontan yang didahului dengan KPD karena kepala bayi masih kaku dan belum sempat beradaptasi dengan jalan lahir ibu hingga dikhawatirkan terjadi perdarahan di kepala bayi. Sebaliknya, persalinan lama akan menyebabkan kekurangan oksigen dan infeksi.
11. Bayi tidak demam dan tampak aktif sedangkan bayi ikterik

Bayi tampak aktif dan tidak demam, sedangkan ia ikterus bisa jadi disebabkan oleh Fresh Milk Jaundice. Ikterus yang disebabkan karena ASI Ikterus yang disebabkan karena ASI berhubungan dengan pemberian ASI dari Ibu tertentu. Pada umumnya, jika Ibu tersebut memberikan susu pada beberapa bayi, maka beberapa bayi tersebut akan mengalami ikterus. Ikterus yang disebabkan karena ASI juga tergantung pada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek. Oleh karena itu bayi prematur memiliki kemungkinan yang lebih besar terkena ikterus) Beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan ikterus yang disebabkan oleh ASI, antara lain:
1. Terdapat peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang menghambat fungsi

glukoronid transferanse di hati.


2. Terdapat peningkatan sirkulasi enterohepatik. 3. Terdapat hasil metabolisme hormon progesteron. 4. Defek pada aktivitas uridine diphosphate-glucoronyl.

12. Anatomi dan histologi dari hepar dan saluran empedu (maul)

13. Fisiologi dan biokimia dari pengeluaran bilirubin (direct indirect)

Bilirubin adalah organik berwarna oranye dengan berat molekul 584. Setelah eritrosit berumur 120 hari, maka membran sel tersebut menjadi sangat rapuh dan pecah (corwin, 2007). Hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi bilirubin bebas/indirek/1 oleh sel-sel fagositik. Bilirubin 1 berikatan dengan albumin plasma dan mengalir ke hati. Bilirubin 1 dianggap tidak terkonjugasi karena walaupun berikatan dengan albumin, pengikatannya bersifat reversibel. Bilirubin yang longgar dapat mudah lepas untuk

11

difusi ke jaringan yang bisa memberi warna kuning pada kulit, sklera dan bibir (ikterus). Zat ini sangat toksik terutama untuk otak. Setelah berada di hati, bilirubin dibebaskan dari albumin dan karena bilirubin 1 bersifat larut dalam lemak, maka bilirubin tersebut mudah masuk ke dalam sel hati (hepatosit). Bilirubin 1 dengan cepat berikatan dengan asam glukoronat, dan menjadi bilirubin 2/terkonjugasi/direk dan berifat larut dalam air dan tidak larut lemak. Sebagian besar bilirubin direk secara aktif disalurkan ke kanalikulus empedu. Dari sini bilirubin tersebut disalurkan bersama dengan komponen empedu lainnya ke kandung empedu atau usus halus. Sejumlah kecil bilirubin direk tidak menuju ke usus, tetapi diserap kembali masuk aliran darah. Dengan demikian, hampir selalu terdapat sebagian kecil bilirubin direk dalam plasma, bersama dengan bilirubin indirek. Setelah berada di dalam usus, bilirubin direk diproses oleh bakteri dan diubah menjadi urobilinogen. Sebagian urobilinogen dieksresikan dalam feses, sebagian dieksresikan oleh ginjal dalam urin, dan sebagian sisanya didaur ulang kembali ke hati dalam sirkulasi enterohepatik (usus ke hati). Konjugasi bilirubin penting untuk eksresi bilirubin. Tanpa konjugasi, bilirubin tidak dapat dieksresikan oleh ginjal atau usus. Penanganan bilirubin oleh hati adalah suatu bentuk detoksifikasi metabolik. Tanpa konjugasi, terjadi penumpukan bilirubin indirek dalam darah yang bersifat toksik. Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran eritrosit berlebih. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
14. Penanganan gizi pada bayi dengan ikterus (hasan)

15. Diagnosis banding (definisi, epidemiologi, etiologi, patomekanisme, gejala klinik,

langkah diagnostik, penatalaksanaan, komplikasi, profilaksis, prognosis (hasanah, ka reni) DD1 IKTERUS NEONATRUM Definisi

12

Ikterus adalah deskolorisasi kuning pada kulit, membrane mukosa, dan sclera akibat peningkatan kadar biliribin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus kadar bilirubin > 5mg/dl. (buku ajar gastroenterology-hepatologi 2010) Epidemiologi Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual. Etiologi dan Faktor Risiko 1. Etiologi
13

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,

lebih pendek.

UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

Sirkulus

enterohepatikus

meningkat

karena

masih

berfungsinya

enzim

->

glukuronidase di usus dan belum ada nutrien. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. Polisitemia. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. Ibu diabetes. Asidosis. Hipoksia/asfiksia. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

sferositosis herediter dan pengaruh obat.


Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:


a.

Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik. ASI
b.

Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)


c.

Faktor Neonatus

Prematuritas Faktor genetik Polisitemia


14

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) Rendahnya asupan ASI Hipoglikemia Hipoalbuminemia

Langkah diagnostik
a. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari

dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh

bawah kulit dan jaringan subkutan.

yang tampak kuning. (tabel 1) b. Bilirubin Serum Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil) Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu. c. Bilirubinometer Transkutan

15

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis. Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

16

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus Hari 1 Bagian tubuh manapun Berat Hari 2 Tengan dan tungkai * Hari 3 Tangan dan kaki * Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar. Penatalaksanaan Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO) Mulai terapi sinar/fototerapi merupakan metode yang palin efektif dan relatif aman untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, terutama dimulai sebelum peningkatan bilirubin serum mencapai kadar yang menyebabkan kernikterus (ensefalopati bilirubin). Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan. Tentukan diagnosis banding Pertimbangkan terapi sinar pada:

17

NCB (neonatus cukup bulan) SMK (sesuai masa kehamilan) sehat : kadar bilirubin total > 12mg/dL NKB (neonatus kurang bulan) sehat : kadar bilirubin total > 10 mg/dL Pertimbangkan tranfusi tukar bila kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL Terapi sinar intensif Terapi sinar intensif dianggap berhasil, bila setelah ujian penyinaran kadar bilirubin minimal turun 1 mg/dL.

DD 2 ANEMIA HEMOLITIK Definisi Anemia hemolitik adalah suatu penyakit yang ditandai sedikitnya jumlah sel darah merah (eritrosit) didalam darah. Etiologi Anemia pada bayi baru lahir bisa terjadi akibat : kehilangan darah penghancuran sel darah merah yg ber gangguan pembentukan sel darah merah

lebihan. Gejala Kadang- kadang hemolisis terjadi secara tiba2 dan berat,menyebabkan krisis hemolitik yang ditandai dengan : - demam - menggigil - nyeri punggung - nyeri lambung Ikterus dan bak yg berwarna kuning bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yg hancur masuk ke dalam darah Limpa yg membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yg hancur kadang menyebabkan nyeri perut. Patofisiologi

18

Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan, sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast. Penghancuran eritrosit yg berlebihan akan meningkatkan bilirubin. Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Diagnosis - Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positif, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik. - Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. Penatalaksanaan Penanganan terutama ditujukan untuk mengoreksi anemia dan mencegah peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan.penting untuk menentukan kecenderungan kadar bilirubin. Bayi- bayi yang memiliki bukti adanya hemolisis berat dirawat diunit perawatan intensif.indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah anemia berat dan kecepatan
19

kadar bilirubin yg lebih dari 5 mg/dl/hari.byak bayi yg menderita peny.Rh dapat ditangani dengan melakukan fototerapi saja. Pencegahan Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. DD 3 HEPATITIS Definisi Proses peradangan difuse jaringan hati. Etiologi Gejala Prodromal : panas, mual, anoreksia, kencing Warna teh tua ( kuning kecoklatan ) , sakit Sendi / tulang, muntah. Masa inkubasi : HVA HVB HVC HVD HVE HVG HV.TT 2-4 minggu 2-6 bulan 2-26 minggu 4-20 minggu 22-60 hari ? ? Merupakan virus RNA Virus ini berdiameter 27nm Dideteksi di dlm feses pd akhir inkubasi dan fase praikterik. Terdapat 5 kategori agen virus.

Penyebab Hepatitis Hepatitis virus Bahan Kimia

20

Karakteristik virus Serologi

Obat Alkohol Virus setamegalo Virus koksaki Virus Rubela

A RNA HA Ag Ig M HAV;IgG anti HAV

B C D DNA RNA RNA HBsAg anti Anti HCV HDAg anti Hbs;IgM anti HBeAg anti HBe 50-180 day + + 40-80 day + +/IgM HBc; HCV HD

E RNA anti IgM anti anti HEV

anti HD IgG anti HEV; IgG

Masa tunas Cr pen; Oral Parental

15-45 day + -

30-180 day + ?

15-60 day + -

- horz. -vert. *Smbh smpna *mjdi kronik *mnjdi kanker Ratio ikterik Umur Jd fulminan Mortalitas + 1:1 10-30 thn 0,1-1 lk2 % 0,5 + 10% + 1:2 20-50 thn 1-3 % 1-5 + 20-50 % + 1:10 20-50 thn 1-4 % 5-10 + ? -

? 1:20 1:10 30 thn 15-40 thn 25 % 25-50 4% 4

Pemeriksaan Penunjang Tes serologi Radiologi Penatalaksanaan Tdk ada terapi yg spesifik Tirah baring Diet rendah lemak tinggi karbohidrat
21

Pencegahan UMUM Higiene perorangan Lingkungan dan sanitasi yang baik Pencegahan terhadap makanan / minuman yang terkontaminasi KHUSUS 1. Imunisasi pasif a. Pencegahan setelah kontak: keluarga dekat, serumah
b. Pencegahan sebelum kontak: berpergian kedaerah endemik, diberikan Human

Imunoglobulin 0,02-0,08/kg BB c. - Hepatitis A = usia 19-65 tahun, diberikan dua dosis. d. - Hepatitis B = usia 19-65 tahun, diberikan tiga dosis. 1. Imunisasi aktif Anak2 dibawah 10 thn Dewasa Pemberian Kontra indikasi : - Penderita sakit berat - Hipersensitivitas Pemberian vaksin : - Tidak boleh membeku - Harus pada temperatur 2-8 oC dosis 1 flakon 3x 0-1-12 bulan

Vaksin hepatitis A cukup aman dan imunogenik:

22

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Ikterus neonatorum (bayi baru lahir berwarna kuning) adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia). Pada skenario ini, bayi mengalami hiperbilirubinemia sehingga menjadi ikterus (kuning). Untuk menegakkan diagnostik pasti pada bayi tersebut perlu diberikan anamnesis tambahan, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

23

DAFTAR PUSTAKA American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. 2004. Pediatrics, 114(1):297-316. Beherman Richard E. Nelson Pediatri. Edisi 4. EGC Hadi, Sujono. Gastroenterologi, ed. 7. 2002. Bandung: Alumni. Hull & Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatri. Jakarta: EGC Rubenstein, David dll. Lecture Notes: Kedokteran Klinis, ed. 6. 2007. Jakarta: Erlangga. Buku Ajar Gatroenterohepatologi.

24

Anda mungkin juga menyukai