Anda di halaman 1dari 23

REFRAT

BELLS PALSY

Pembimbing : dr. Iman Budiarto, sp.S

Oleh :
Erlieza rosdania, S. Ked (J510165052)
BAB I
PENDAHULUAN

Bell's Palsy kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya.

Bells palsy urutan ketiga


penyebab terbanyak dari
paralisis fasial akut. Di Indonesia, insiden Bells
Di Amerika Serikat, Palsy dari 4 buah RS 19,55
Sering usia dewasa, jarang % dari seluruh kasus
insiden BP 23 kasus per
pada anak di bawah umur neuropati dan terbanyak
100.000 orang, 63%
2 tahun. usia 21 30 tahun.
wajah sisi kanan.
Insiden rata-rata 15-30 per wanita > pria.
Biasanya didahului oleh beberapa penderita
100.000 populasi.
ISPA yang erat
Penderita diabetes resiko didapatkan riwayat terpapar
hubungannya dengan udara dingin atau angin
29% lebih tinggi
cuaca dingin.
Laki-laki dibanding berlebihan
wanita 1:1, sering pada
umur 15-50 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Bells palsy suatu keadaan paresis atau kelumpuhan akut


dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer, sering
menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah.
ETIOLOGI

a. Idiopatik
Faktor yang diduga berperan : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di
tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus,
penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic.

b. Kongenital
- anomali kongenital (sindroma Moebius)
- trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

c. didapat
- Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
- Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
- Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
- Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
- Sindroma paralisis n. fasialis familial
ANATOMI

Nervus kranialis ketujuh ( facialis) berasal dari batang otak, berjalan melalui tulang
temporal, dan berakhir pada otot-otot wajah.
Nervus kranialis ketujuh selain mengurusi persyarafan wajah juga mengurus :
- Lakrimasi
- Salivasi
- pengaturan impedansi dalam telinga tengah
- sensasi nyeri, raba, suhu dan kecap
Nervus fasialis merupakan nervus kranialis yang mengandung serabut motorik,
somatosensorik serta serabut nervus intermedius
Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu :
1. Saraf fasialis propius
saraf fasialis yang murni mempersarafi otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid,
digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Saraf intermediet (pars intermedius wisberg)
subdivisi saraf lebih tipis membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen
somatis.
Aferen otonom : mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan lidah.
Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatorius superior.
Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini, berpisah dari saraf
fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua
yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal.
Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian
daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh saraf trigeminus.
PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan :

1. Teori iskemik vaskuler


ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang berlebihan spasme arteriol
dan statis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis iskemik dan terjadinya oedem
paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah

2. Teori infeksi virus.


infeksi otitis media, meningitis bakteri, penyakit limfe, infeksi HIV, dan lainnya, fase
laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh
menurun.
reaktivasi infeksi reaksi inflamasi dan edema saraf terjepit kematian sel saraf
karena suplai oksigen yang tidak cukup.

3. Teori kombinasi
Bells palsy disebabkan infeksi atau reaktivitas virus Herpes Simpleks dan merupakan
reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler inflamasi dan penekanan saraf
perifer ipsilateral.
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang sring muncul yaitu


1. wajah tidak simetris pembengkakan wajah, Kerutan
dahi menghilang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah
jatuh
2. kelopak mata tidak menutup sempurna sensitif cahaya,
air mata berkurang
3. gangguan pada pengecapan sulit berbicara, sulit makan
dan minum, salivasi yang berlebih atau berkurang,
berkurang atau hilangnya rasa kecap
4. mati rasa salah satu bagian wajah kelemahan atau
paralisis otot, nyeri kepala dan perasaan melayang
5. Gangguan pada pendengaran dan hidung hiperakusis,
telinga berdenging, hidung terasa kaku
gejala awalnya, kelainan di mulut saat bangun tidur, menggosok gigi atau
berkumur, minum atau berbicara. Mulut mencong saat meringis, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup
kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita
tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke
sisi melalui sisi mulut yang lumpuh
Gejala lain yang berhubungan dengan lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan
sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan kulit dahi menghilang, air mata
akan keluar terus menerus.
2. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)
Gejala seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, ditambah hilangnya pengecapan lidah
(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
3. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala sama dengan diats, ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala sama dengan diatas, lebih tinggi lagi disertai nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga.
5. Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala sama dengna diatasa, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi, ditambah dengan tuli
sebagai akibat dari terlibatnya vagus nerve (N.X).
6. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.
Gejala dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya trigeminus nerve (N.V), vagus
nerve (N.X), dan kadang-kadang juga abducens nerve (N.VI), accessory nerve (N.XI), dan
hypoglossal nerve (N.XII).
Grading bells palsy
Grade 1
Fungsi fasial masih normal

Grade 2 (Disfungsi ringan)


Kelemahan yang ringan yang ditemukan saat inspeksi.

Grade 3 (Disfungsi sedang)


Gangguan pergerakan dahi, ada kontraktur, mata dapat menutup dengan usaha
maksimal, pergerakkan mulut sedikit melemah, tonus otot normal.

Grade 4 (Disfungsi sedang yang berat)


Tidak ada pergerakkan dahi sama sekali, mata tidak menutup secara sempurna, mulut
asimetris

Grade 5 (Disfungsi parah)


Disfungsi parah. Terjadi paresis unilateral, tidak ada pergerakkan dahi, mata tidak
dapat menutup sama sekali, pergerakkan mulut sedikit.

Grade 6 (Paresis total)


Paresis total
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer.

1. Kelainan sentral dapat merupakan:


a. stroke
b. kelainan tumor
c. sklerosis multipel

2. Kelainan perifer Herpes zoster otikus


a. Sindroma Guillain-Barre
b. Kelainan miastenia gravis
c. Tumor serebello-pontin
d. Tumor kelenjar parotis
e. Sarcoidosis
DIAGNOSIS

Anamnesa :
1. Rasa nyeri.
2. Gangguan pengecapan.
3. Riwayat aktivitas pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
4. Riwayat penyakit seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes dll

Pemeriksaaan Fisik
Pemeriksaan Neurologi
1. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.
Mengerutkan dahi , bersiul, tersenyum, mengangkat alis, memejamkan mata,
mengembungkan pipi, meringis menyeringai
2. Pemeriksaan Sensorik nervus fasialis.
3. Pemeriksaan Reflek
Pemeriksaan reflek pemeriksaan reflek kornea
Beberapa pemeriksaan sederhana lain :
Stethoscope Loudness Test
Schirmer Blotting Test.
Skala House Brackmann

Skala Ugo Fisch


Pemeriksaan Penunjang

1. Elektromiografi (EMG)
Menentukan perjalanan respons reinervasi pasien.
Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola
fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau
neuropati. Nilai EMG terbatas <21 hari setelah paralisis akut.
2. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG mestimulasi satu titik dan mengukur EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG dibandingkan dengan
sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang
secara bermakna.
Kortikosteroid
Kortikosteroid prednison atauTATALAKSANA
methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan
diturunkan secara bertahap (tappering off) selama 7 hari.

Anti viral
Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortikosteroid.
Aciclovir 400 mg 5 x/hari P.O selama 10 hari.
Valacyclovir 500 mg 2 x/hari P.O selama 5 hari
( Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik)

HSV-1 kemungkinan menyebabkan Bell palsy, obat ini bermanfaat dalam pengobatan :
Asiklovir 400 mg 5x/ hari selama 7hari
valacyclovir 1 g 3x/ hari selama 7 hari.

Pemberian Vitamin
Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan ACTH im 40-
60 satuan selama 2 minggu dapat mempercepat penyembuhan.

Fisiotherapy
KOMPLIKASI

Crocodile tear phenomenon.


keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis

Synkinesis
Otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme


Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.
PROGNOSIS

71% pasien Bell's palsy pemulihan fungsi motorik sepenuhnya dalam 6


bulan tanpa pengobatan.
Faktor prognostik yang buruk meliputi:
- usia tua
- Hipertensi
- diabetes melitus
- penurunan rasa dan kelemahan wajah yang lengkap.
- Sekitar sepertiga pasien mungkin mengalami pemulihan dan efek
residu yang tidak lengkap.
BAB III
KESIMPULAN

Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang
dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada
kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga
lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau
berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
71% pasien dengan Bell's palsy mengalami pemulihan fungsi motorik sepenuhnya
dalam 6 bulan tanpa pengobatan. Faktor prognostik yang buruk meliputi: usia tua,
hipertensi, diabetes melitus, penurunan rasa dan kelemahan wajah yang lengkap.
Penatalaksanaan bell palsy meliputi pemberian kortikosteroid, agent antiviral dan
vitamin. Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien.
Karena didapatkan adanya infeksi HSV-1 pada bell palsy sehingga membutuhkan
pemberian obat-obatan seperti acyclovir, valasiklovir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.2012. hal 297-300
2. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bells Palsy, Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
3. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011. Hal. 174
4. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
2010 : 171-81 2
5. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 2012 : 311-17
6. Mardjono M, Sidharta P, 2010. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
7. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 2007.
8. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2011.
9. Aminoff, MJ et al. 2009. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition, Mcgraw-Hill.
10. Dalhar, M. dan Kurniawan, S.N. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi Staf Medis Fungsional Neurologi. Malang : RSUD Dr.Saiful
Anwar/FKUB
11. Dewanto, G dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.
12. Murthy, J. M. K., & Saxena, A. B. 2011. Bells palsy: Treatment guidelines. Annals of Indian Academy of Neurology, 14(Suppl1),
S70S72. http://doi.org/10.4103/0972-2327.83092
13. Almeida, John R. de, Gordon H. Guyatt, Sachin Sud, Joanne Dorion, et al. 2016. Management of Bell palsy: clinical practice
guideline. Canadian Medical Association. CMAJ, July 20, 2017, 186(12)
14. Baugh, Reginald, Gregory Basura, Lisa Ishii, Seth R. Scwartz, et al. 2013. Clinical practice guideline summary: Bells Palsy. AAO-
HNS Bulletin November 2013

Anda mungkin juga menyukai