Anda di halaman 1dari 19

LEGALITAS HUKUM WISATA BAHARI DAN

DAMPAKNYA PADA KEANEKARAGAMAN


HAYATI DI PULAU SWARNADWIPA
OLEH :
ENDAH MURWANDARI (1720422010)

DOSEN PENGAMPU:
Dr. ARDINIS ARBAIN

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2017
PULAU SWARNADWIPA
 Letaknya di pesisir sebelah  Suwarnadwipa Beach and
Selatan kota Padang bagian Resort
Barat Pantai Sumatera  Permainan banana boat,
 berupa pulau yang swimming, diving, snorkeling,
ditumbuhi beranekaragam cano, mable/donut, hiking,
tumbuhan, lamun, jetski dan lain-lain.
bermacam-macam ikan
hias, terumbu karang, serta
hamparan pasir putih dan
air laut yang jernih.
Latar Belakang
Sebagai destinasi wisata yang
populer mengakibatkan
membludaknya jumlah wisatawan
yang berkunjung, tanpa diimbangi
penetapan batas kapasitas Manafi et al., (2009) keberlanjutan
pengunjung pemanfaatan sumberdaya hayati

pemanfaatan sumberdaya = Carrying capacity

Tidak terperhatikannya daya


dukung pulau dimungkinkan
karena tidak adanya dokumen
AMDAL dan perizinan yang
jelas dalam pengelolaan Pulau
Swarnadwipa oleh pihak
pengelola, serta kisruh
kepemilikan pulau yang terjadi.
Perizinan dalam pengelolaan suatu kawasan penting dilakukan

Degradasi Keanekaragaman
Lingkungan Hayati

Akibat dari perizinan yang tidak jelas berdampak pada aksi


sewenang-wenang oleh pemilik pulau dalam pengambilan
keanekaragaman hayati, dalam hal ini yaitu pengambilan dan
penjualan terumbu karang.
Rumusan Masalah
 Bagaimana pengelolaan Pulau
Swarnadwipa sebagai tujuan
pariwisata?
 Apa sajakah aspek legalitas
hukum yang tidak
diperhatikan dalam
pengelolaan
keanekaragaman hayati di
Pulau Swarnadwipa ?
 Bagaimana dampak yang
terjadi terhadap
keanekaragaman hayati dari
pengelolaan Pulau
Swarnadwipa?
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat mencatat jumlah kunjungan
wisatawan asing ke Pulau Pagang, Pulau Pamutusan, Pulau Sikuai dan Pulau
Swarnadwipa pada Maret 2016 naik 13,77 persen dengan total pengunjung
4.428 orang.

Kenaikan Aktivitas yang


Daya
kunjungan dilakukan dan
Dukung
wisatawan tidak pembangunan
Pulau
dibatasi fasilitas resort

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam


UU No. 27 Tahun 2007, pulau kecil sangat rentan terhadap
perubahan yang disebabkan oleh alam ataupun manusia, serta
memiliki keterbatasan daya dukung pulau.
Aktivitas pengunjung dan pengelolaan yang tidak bijak menurut
KEPMEN LH No. 4 Tahun 2001 (tentang Kriteria Baku Kerusakan
Terumbu Karang) juga mengakibatkan kerusakan terumbu
karang.
Daya dukung
Keberlanjutan
suatu kegiatan

Karena itu, dalam pengembangan suatu kawasan wisata snorkeling dan


diving, daya dukung ekosistem terumbu karang perlu diperhatikan.
 Pengambilan dan penjualan terumbu karang oleh
pihak pengelola.
 Menurut KEPMEN LH No. 4 Tahun 2001 (tentang
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang) beberapa
kegiatan yang dapat merusak terumbu karang yaitu
pengambilan karang, pengerukan dan pengeboman karang
untuk konstruksi di daerah terumbu karang.
Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 5 Tahun 1990,
perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam hayati
pengelolaan lingkungan dan pemanfaatannya dilakukan secara
hidup sebagai upaya bijaksana untuk menjamin
sistematis dan terpadu kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan
Untuk melestarikan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau  Perencanaan,
kerusakan lingkungan  Pemanfaatan,
hidup  Pengendalian,
 Pemeliharaan, Pengawasan,
Penegakan hukum
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau wajib dilakukan dengan cara
Kecil berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 pasal 6 mengintegrasikan kegiatan

Ilmu Pengetahuan
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah
Ekosistem darat dan
Ekosistem Laut Antar Pemerintah
Daerah

Masyarakat
Antar Pemerintah

Dunia Usaha
Antar Sektor

Prinsip-Prinsip
Manajement
 Pengelolaan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara, kemudian
negara mengatur penguasaannya kepada pihak lain (baik itu
perseorangan atau swasta) dalam bentuk izin (Sari dan Muslimah,
2014).

 Namun kemudian, Peraturan Menteri Agraria dan Tata


Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertahanandi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
mengatur bahwa pulau-pulau kecil dapat diberikan Hak Atas Tanah,
termasuk hak milik.

 Padahal Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan


bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

 Selanjutnya dijelaskan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 4
Pulau kecil memiliki nilai Diving = Rp. 300
wisata dan ekosistem juta/tahun

Transportasi air = Rp.


90 juta/tahun

Penyewaan Kapal = Rp.


25 juta/tahun

 Mendorong pihak perorangan maupun swasta untuk


mengelola pulau-pulau kecil

seperti yang halnya terjdi di


Pulau Swarnadwipa.
 Permasalahan yang muncul atas kepemilikan perorangan dari suatu
pulau kecil yaitu tidak adanya izin pengelolaan atau pembuatan
dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) (Rellua,
2013).
 Adapun dasar hukum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan yang selanjutnya di dukung oleh Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan Hidup (AMDAL).
 Tidak adanya dokumen AMDAL atau izin yang jelas tentang
pengelolaan suatu kawasan akan menyebabkan penyelewengan
pengelolaan sehingga terjadi eksploitasi keanekaragaman hayati.
 Kusmana (2015) menyatakan eksploitasi yang berlebihan akan
menyebabkan menurunnya kelimpahan atau jumlah individu
jenis-jenis yang dieksploitasi yang pada akhirnya mengakibatkan
kelangkaan atau kepunahan dari jenis-jenis tersebut.
Gambar. Skema Konservasi Keanekaragaman Hayati (Kusmana, 2015)
Solusi Penyelesaian Masalah
Dibutuhkan Ketegasan Pemerintah dalam Penegakan Hukum

Salah satu upaya dalam mengurangi tekanan dari aktivitas yang


dapat merusak karang yaitu :
 membatasi waktu wisata diving dan snorkeling,
 menyediakan dermaga sebagai tempat berlabuhnya kapal
sehingga kapal tidak sembarangan melempar jangkar,
 membuat larangan dan sanksi bagi wisatawan untuk tidak
berjalan di atas terumbu karang.
Integrasi yang kuat antar pihak berkepentingan
(stake holders) sangat diperlukan dalam mengawasi
pengelolaan misal pulau kecil terutama oleh
pengelola perorangan.
Kesimpulan
 Pulau Swarnadwipa memberikan fasilitas yang memadai sebagai
tujuan wisata bagi wisatawan, tanpa mempertimbangkan daya dukung
pulau, keberlanjutan ekosistem dan keanekaragama hayatinya.
 Pihak pengelola tidak patuh hukum dan tidak memahami legalitas
pengelolaan seperti yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KEPMEN LH No. 4 Tahun 2001 tentang
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.
 Dampak pengelolaan yang tidak memiliki legalitas hukum
mengakibatkan terjadinya eksploitasi keanekaragaman hayati
sekaligus menurunnya keanekaragaman hayati.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai