Anda di halaman 1dari 19

ANTIFUNGI

ANTIFUNGI
 Secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur
sistemik dan infeksi jamur topikal (dermatofit dan
mukokutan)
 Namun ada juga obat jamur yang dapat digunakan untuk
infeksi sistemik maupun infeksi lokal atau sebaliknya
1. Infeksi Jamur Untuk Sistemik
a. Amfoterisin B
 Amfoterisin merupakan hasil fermentasi streptomyces nodusus.
 Berbentuk kristal sepeti jamur atau prisma berwarna kuning
jingga, tidak berbau dan tidak berasa, bersifat basa amfoter
lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu di
atas 37C, tetapi dapat bertahan sampai berminggu-minggu
pada suhu 4C.
 Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel
matang
 Antifungi ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung
dari dosis dan sensitifitas jamur yang dipengaruhi
 Dengan kadar 0,3-1,0 g/ml antifungi ini dapat
menghambat aktifitas Histoplasma capsulatum, Cryptococus
neuformans, Coccidioides immitis, beberapa sesies Candida,
Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomycesdermatitidis, Paracoc
braziliensis, beberapa strain Aspergillus
 Mekanisme kerja :
berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membral sel
jamur. Ikatan ini menyebabkan membran sel bocor, sehingga
terjadi kehilangan beberapa bahan intra sel dan
mengakhibatkan kerusakan yang tetap pada sel.
 Efek samping :
infus Amfoterisin B menimbulkan efek kulit panas, keringat,
sakit kepala, demam tinggi, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri
otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal
 Sediaan : injeksi dalam vial 50 mg dilarutkan dalam 10 ml
aquades diencerkan dengan dextrose 5% = 0,1mg/ml
larutan
 Dosis kecil 0,25mg/kg BB, dosis pemeliharaan 0,4-0,6
mg/kg BB, dosis besar 1-1,5 mg/kg BB/hari.
b. Flusitosin
 Flusitosin memiliki spektrum antijamur yang agak sempit.
Efektif untuk pengobatan kriptokokokusif, kandidosis,
kromomikosis, torulopsis, dan aspergilosis
 Cryptococus dan Candida dapat menjadi resisten selama
pengobatan dengan flusitosin
 Mekanisme kerja :
flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin
deaminase dan dalam sitoplsma akan bergabung dengan RNA
setelah mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil. Sintesa
protein sel jamur terganggu akibat penghambatan langsung
sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil.
 Efek samping : flusitosin kurang toksik jika dibandingkan
dengan Amfoterisin B, namun dapat menimbulkan anemia,
leukopenia, trombositopenia (penderita dengan kelainan
hematologik, pengobatan radiasi, riwayat pemakaiaan obat
tsb). Efek samping lainnya yaitu mual, muntah, diare, 5%
penderita melalami peninkatan enzim SGPT dan SGOT, efek
samping ini akan hilang jika pengobatan dihentikan
 Sediaan : kapsul 250 mg dan 500 mg, dosis yang biasa
digunakan 50-150mg/kgBB sehari yang dibagi dlam 4 dosis
 Pengobatan meningitis biasa di kombinasikan dengan
Amfoterisin B
c. Ketokonazol
 Ketokonazol memiliki aktivitas antijamur sestemik maupun
non sistemik
 Efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis, Cryptococus
neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, Sporothrix
spp.
 Mekanisme kerja : berinteraksi dengan enzim P450 untuk
menghambat dedemetilasi lanosterol menjadi ergosterol yang
penting untuk membran jamur
 Efek samping : efek toksik ketokonazol lebih ringan
dibanding Amfoterisin B. Efek samping yang paling sering
yaitu mual, keadaan ini akan lebih ringan jika obat diminum
bersama makanan, sebelum tidur, atau dibagi dalam beberapa
dosis. Efek samping yang jarang terjadi yaitu sakit kepala,
vertigo, gusi berdarah, nyeri epigastrik dll
 Efek endokrin : penurunan libido, infertilitas, impotensi,
ketidakaturan menstruasi
Flukonazol
 Efek samping flukonazol lebih kecil dibanding ketokonazol,
efek samping yang paling sering yaitu ganguan saluran cerna,
reaksi alergi pada kulit
 Mekanisme kerja menghambat sintesisergosterol membran
sel jamur
 Sediaan kapsul 50 dan 150 mg, dosis yang disarankan 100-
400mg/hari
 Infeksi kandidiasis vaginal dengan dosis tunggal 150mg
Itrakonazol
 Mekanisme kerja sama dengan golongan azol lainnya
 Efek samping : mual, muntah, kemerahan, lesu, pusing
 Intrakonazol memberikan hasil yang memuaskan untuk
indikasi yang sama dengan ketokonazol antara lain terhadap
blastomikosis, histoplasmosis, kandidiasis mulut dan
tenggorokan
2. Infeksi jamur untuk infeksi
dermatofit dan mukokutan
a. Gliseofulvin
 Efektif terhadap berbagai macam jamur dermatofit seperti
Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum
 Mekanisme kerja : glisoefulvin masuk ke dalam sel jamur,
berinteraksi dengan mikrotubulus dalam jamur dan merusak
serat mitotik dan menghambat mitosis
 Efek samping : efek samping yang berat jarang terjadi,
keluhan utama sakit kepala, efek samping lain demam,
pandangan mengabur, imsomnia, pusing rasa mual dan
muntah
 Sediaan : tablet berisi mikrokristal 125mgdan 500mg,
suspensi 125mg/ml
 Dosis anak 10mg/kgBB/Hari, dewasa 500-1000mg/hari
dalam dosis tunggal
 Indikasi : efektif untuk infeksi jamur di kulit, kuku, dan
rambut yang disebabkan oleh jamur Microsporum,Trychophyton
dan Epidermophyton
b. Nistatin
 Mekanisme kerja :
berikatan dengan ergosterol pada membran sel jamur terjadi
perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel jamur
mati
 Sediaan dalam bentuk krem, salep, tablet vagina mengandung
100.000unit/tablet, suspensiobat tetes oral 100.000unit/ml,
tablet oral 500.000 unit nistatin.
 Dosis nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1mg obat ini
mengandung tidak kurang 200 unit nistatin
 Efek samping : jarang ditemukan, mual, muntah diare ringan
 Indikasi : kandidiasis kulit, selaput lendir, dan saluran cerna
c. Imidazol dan Triazol
 Antijamur golongan ini yang memiliki spektrum luas, yang
termasuk kelompok antijamur ini yaitu mikonazol,
klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol dan bifonazol
 Mekanisme kerja :
menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan
permeabilitas membran sel jamur meningkat
 Efek samping : iritasi, rasa terbakar
 Sediaan : mikonazol krim 2%, gel 2%, kotrimazol krim 1%

Anda mungkin juga menyukai