Anda di halaman 1dari 50

HUKUM SYARA’

SEPUTAR VAKSINASI
POKOK BAHASAN
(1) Pendahuluan
(2) Pengertian Vaksinasi
(3) Hukum Berobat (at tadaawi ‘ /
al mudaawah)
(4) Hukum Berobat Dengan Zat
Najis dan Zat Berbahaya
(5) Hukum Vaksinasi
(6) Pencegahan Penyakit,
Termasuk Berobat?
1. PENDAHULUAN
Pendahuluan Hukum Vaksinasi
 Untuk memberi hukum syara’ pada
vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan
sbb :
 Pertama, memahami fakta vaksinasi
(fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath),
 Kedua, memahami hukum syara’
yang terkait berobat.
 Ketiga, menerapkan hukum berobat
pada fakta vaksinasi.
2. PENGERTIAN
VAKSINASI
Vaksinasi
 Vaksin adalah bakteri dan virus yang
telah dilemahkan.
 Vaksinasi adalah proses memasukkan
vaksin ke tubuh manusia dengan
tujuan untuk mendapatkan efek
kekebalan terhadap penyakit tertentu
 Imunisasi adalah proses untuk
mendapatkan kekebalan terhadap
penyakit tertentu.
Vaksinasi
 Vaksinasi dpt disebut juga imunisasi.
 Tapi imunisasi lebih umum daripada
vaksinasi, karena imunisasi dapat juga
diperoleh tanpa vaksinasi.
 Misalnya : memberikan ASI pada bayi
karena ASI juga membantu meningkatkan
kekebalan (imun) pada bayi.
 Vaksinasi bagian dari imunisasi, sedang
imunisasi belum tentu vaksinasi karena
imunisasi banyak macamnya.
3. HUKUM BEROBAT
(at tadaawi / al mudaawah)
Hukum Berobat
 Para ulama berbeda pendapat
dalam hal hukum berobat, menjadi
5 (lima) pendapat;
 (1) Wajib
 (2) Sunnah
 (3) Mubah
 (4) Makruh
 (5) Lebih baik ditinggalkan jika
kuat tawakkalnya.
Hukum Berobat
 Pendapat pertama, mengatakan
berobat hukumnya wajib, dengan
perintah Rasululloh SAW untuk
berobat dan asal hukum perintah
adalah wajib.
 Ini adalah salah satu pendapat
madzhab Malikiyah, Madzhab
Syafi’iyah, dan madzhab
Hanabilah.
Hukum Berobat
 Pendapat kedua, mengatakan
sunnah/ mustahab,
 sebab ada perintah Rasulullah
SAW untuk berobat dan dibawa
kepada hukum sunnah karena ada
hadits yang lain Rasululloh SAW
memerintahkan bersabar, dan ini
adalah madzhab Syafi’iyah.
Hukum Berobat
 Pendapat ketiga, mengatakan
mubah/ boleh secara mutlak,
 karena terdapat keterangan dalil-
dalil yang sebagiannya
menunjukkan perintah dan
sebagian lagi boleh memilih. Ini
adalah madzhab Hanafiyah dan
salah satu pendapat madzhab
Malikiyah).
Hukum Berobat
 Pendapat keempat mengatakan
makruh,
 alasannya para sahabat bersabar
dengan sakitnya, Imam Qurtubi
rahimahullah mengatakan bahwa
ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Abu Darda radhiyallahu
‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
Hukum Berobat
 Pendapat kelima, mengatakan
lebih baik ditinggalkan bagi yang
kuat tawakkalnya dan lebih baik
berobat bagi yang lemah
tawakkalnya,
 Perincian ini dari kalangan
madzhab Syafi’iyah.
 (Lihat :
https://maktabahabiyahya.wordpress.com/
2012/05/30/berobat-dalam-islam/)
Hukum Berobat
 Pendapat rajih (yang lebih kuat dan
terpilih) :
 Berobat hukumnya sunnah /
mustahab, karena terdapat
perintah Rasulullah SAW untuk
berobat,
 namun ada qarinah (indikasi /
petunjuk) yang menunjukkan
perintah tersebut adalah perintah
sunnah bukan perintah wajib.
Hukum Berobat
Dalil sunnahnya berobat :
Ada perintah berobat sesuai
sabda Rasulullah SAW :
‫ فهت ههَّد ه‬،‫ق الد هوا هء‬
،»‫او ْوا‬ َّ‫ هخله ه‬،‫ق الدا هَّء‬
َّ‫ّللا هح ْيثَّ هخله ه‬
َّ‫« ِإنَّ ه‬
“Sesungguhnya Allah ketika
menciptakan penyakit, Allah
pun menciptakan obatnya, maka
berobatlah.” (HR. Ahmad)
‫‪Hukum Berobat‬‬
‫‪Perintah‬‬ ‫‪berobat lainnya dari‬‬
‫‪Nabi SAW dari hadits Usamah‬‬
‫‪bin Syarik RA sbb:‬‬
‫صلى للاَّ‬ ‫يك‪ ،‬قها هَّل‪َّ :‬أ هت ه ْيتَّ الن ِبيَّ هَّ‬ ‫ن ش ِهر ٍ‬ ‫سا هم َّةه ْب َِّ‬
‫هن أ ه‬ ‫‪‬ع َّْ‬
‫س َِّهمَّ الط ْير‪،‬‬ ‫علهى رءو ِ‬ ‫ص هحابههَّ هَّكأهن هما ه‬ ‫سل هَّم هوأ ه ْ‬ ‫عله ْي َِّه هو ه‬
‫ه‬
‫ن هها هَّنها هو هها‬ ‫جا هَّء ْاْل ه ْع هرابَّ ِم َّْ‬ ‫سل ْمتَّ ثمَّ قهعه ْدت‪ ،‬فه هَّ‬ ‫فه ه‬
‫هاوى؟ فهقها هَّل‪:‬‬ ‫ّللا‪َّ ،‬أ هنهتهد ه‬
‫ِ‬ ‫هنها‪ ،‬فهقهالوا‪ :‬يها هرسو هَّل‬
‫ض َّْع دهاءَّ َِّإّلَّ هو ه‬
‫ض هَّع‬ ‫جلَّ له َّْم يه ه‬ ‫ّللا عهزَّ هو هَّ‬ ‫هاو ْوا فه ِإنَّ هَّ‬ ‫«تهد ه‬
‫اح ٍَّد ا ْل هَّه هرمَّ» أي “إّل الموت‬ ‫هاء هو ِ‬ ‫لههَّ د ههواء‪ ،‬ه‬
‫غ ْي هَّر د ٍَّ‬
Hukum Berobat
 (2) Dari Usamah bin Syarik RA, ia
berkata:
 “Saya mengunjungi Nabi SAW dan
para sahabatnya, dan di atas kepala
mereka seakan-akan ada burung,
maka aku memberi salam lalu duduk,
lalu datanglah orang-orang Arab
Badui dari arah ini dan arah itu, lalu
mereka berkata: “Wahai Rasulullah,
apakah kami mesti berobat?”
Rasulullah SAW menjawab:
Hukum Berobat
 “Berobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
tidaklah menurunkan suatu penyakit
melainkan Allah turunkan pula
obatnya, kecuali satu penyakit
ketuaan, yakni kematian.” (HR Abu
Dawud)
Hukum Berobat
 Kedua hadits di atas, menunjukkan
adanya perintah (thalabul fi’li, amr)
untuk berobat. Yaitu sabda
Rasulullah SAW :
‫ فهتهد ه‬
‫هاو ْوا‬
 “Maka berobatlah kamu” (HR
Ahmad).
 Juga sabda Rasulullah SAW :
،‫ض هَّع لههَّ د ههواء‬ ‫ّللا عهزَّ هو هجلَّ َّله َّْم يه ه‬
َّ‫ض َّْع دهاءَّ ِإّلَّ هو ه‬ َّ‫هاو ْوا فه ِإنَّ ه‬
‫ تهد ه‬
َّ‫اح ٍَّد ا ْل هه هرم‬
ِ ‫هاء هو‬ ‫ه‬
ٍَّ ‫غ ْي هَّر د‬
Hukum Berobat
 “Berobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
tidaklah menurunkan suatu
penyakit melainkan Allah turunkan
pula obatnya, kecuali satu penyakit
ketuaan, yakni kematian.” (HR Abu
Dawud)
‫‪Hukum Berobat‬‬
‫‪ Tapi‬‬ ‫)‪perintah berobat (thalabul fi’li‬‬
‫‪pada dua hadits di atas, adalah perintah‬‬
‫‪sunnah (ghairu jaazim) bukan perintah‬‬
‫‪wajib, karena ada beberapa qarinah‬‬
‫‪(petunjuk) yang menunjukkan bolehnya‬‬
‫‪tidak berobat, di antaranya:‬‬
‫اس‪ :‬قها هَّل‪ … :‬هه ِذ َِّه ال هم ْرأهةَّ‬ ‫‪ ‬وروى البخاري عن ا ْبنَّ عهب ٍ َّ‬
‫ص هرع‪،‬‬ ‫ت‪ِ :‬إنِي أ ْ‬ ‫سل هَّم فهقهاله َّْ‬ ‫عله ْي َِّه هو ه‬
‫صلى للاَّ ه‬ ‫الس ْودهاء‪ ،‬أهت ه َِّ‬
‫ت الن ِبيَّ ه‬
‫ت هَّوله َِّ‬
‫ك‬ ‫صبه ْر َِّ‬ ‫ت ه‬ ‫شئْ َِّ‬‫ن ِ‬ ‫ّللا ِلي‪َّ ،‬قها هَّل‪ِ « :‬إ َّْ‬ ‫هو ِإ ِني أهت ه هكشف‪ ،‬فها ْدعَّ هَّ‬
‫ص ِبر‪،‬‬ ‫ت‪ :‬أ ه َّْ‬ ‫ك» فهقهاله َّْ‬ ‫ن يعها ِفيه َِّ‬ ‫ّللا أ ه َّْ‬‫ت هدع ْهوتَّ هَّ‬‫شئْ َِّ‬
‫ن ِ‬ ‫ال هجنة‪ ،‬هو ِإ َّْ‬
‫ف‪« ،‬فه هدعها‬ ‫ن َّّله أهت ه هكش ه‬ ‫ّللا ِلي أ ه َّْ‬ ‫ت‪ِ :‬إ ِني أهت ه هكشف‪ ،‬فها ْدعَّ هَّ‬ ‫فهقهاله َّْ‬
‫له هها…»‬
Hukum Berobat
 Imam al-Bukhari meriwayatkan dari
Ibn ‘Abbas r.a., ia berkata:
 “Wanita berkulit hitam ini, ia pernah
menemui Nabi SAW sambil berkata:
“Sesungguhnya aku menderita
epilepsi dan auratku sering
tersingkap (ketika sedang kambuh),
maka berdoalah kepada Allah
untukku.” Nabi SAW bersabda:
Hukum Berobat
 “Jikakamu berkenan, bersabarlah maka
bagimu surga, dan jika kamu berkenan,
maka aku akan berdoa kepada Allah
agar Allah menyembuhkanmu.” Ia
berkata: “Baiklah aku akan bersabar.”
Wanita itu berkata lagi; “Namun
berdoalah kepada Allah agar (auratku)
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW
mendoakan untuknya.” (HR Bukhari)
 Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak
berobat.
Hukum Berobat
 Kesimpulannya, perintah Nabi
SAW untuk berobat bukanlah
perintah wajib / tegas (jaazim),
tetapi perintah sunnah (anjuran)
(ghairu jaazim).
 Karena ada qarinah (petunjuk)
yang menunjukkan bolehnya tidak
berobat.
 Maka hukum berobat adalah
sunnah atau mustahab, tidak wajib.
4. HUKUM BEROBAT
DENGAN ZAT NAJIS
DAN ZAT BERBAHAYA
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Para ulama berbeda pendapat
dalam hal boleh tidaknya berobat
dengan suatu zat yang najis atau
yang haram.
 (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, [Beirut : Darul Fikr], 1990,
Juz I hal. 384).
 Dalam masalah ini ada 3 (tiga)
pendapat :
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Pendapat pertama, Jumhur ulama
mengharamkan berobat dengan zat
yang najis atau yang haram,
kecuali dalam keadaan darurat.
 (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I
hal. 492; Wahbah Az Zuhaili, Al
Fiqh Al Islami wa Adillatuhu,
[Damaskus : Darul Fikr], 1996, Juz
IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul
Authar, Juz XIII hal. 166).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Pendapat kedua, sebagian ulama,
seperti Imam Abu Hanifah dan
sebagian ulama Syafiiyah
(bermazhab Syafii) menghukumi
boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat
yang najis.
 (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul
Ahkam fi Mashalih Al Ahkam, [Beirut
: Darul Kutub al Ilmiyah], 1999, Juz II
hal. 6; Imam Ash Shan’ani, Subulus
Salam, Juz VI hal. 100).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Pendapat ketiga, sebagian ulama
lainnya, seperti Taqiyuddin an
Nabhani, menyatakan makruh
hukumnya berobat dengan zat
yang najis atau yang haram.
 (Taqiyuddin al Nabhani, Al
Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz III
hal. 116).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Pendapat rajih (yang lebih kuat dan
terpilih) :
 Berobat dengan zat najis hukumnya
makruh, karena terdapat larangan
dari Rasulullah SAW untuk berobat
dengan zat najis,
 namun ada qarinah (indikasi /
petunjuk) yang menunjukkan
larangan tersebut adalah larangan
makruh bukan larangan haram.
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Dalil-dalil makruhnya berobat dengan zat
yang najis / haram :
 Ada larangan berobat dengan zat yang
najis / haram, sabda Nabi SAW :
َّ‫ فهتهد ه‬،‫هاء د ههواء‬
‫هاو ْوا هو َّّله‬ ‫ّللا أ ه ْن هز هَّل الدا هَّء هو ه‬
ٍَّ ‫الدوا هَّء هو هج هع هَّل ِلكَّ َِّل د‬ َّ‫ ِإن ه‬
ٍَّ ‫هاو ْوا ِب هح هر‬
‫ام‬ ‫تهد ه‬
 "Sesungguhnya Allah-lah yang
menurunkan penyakit dan obatnya, dan
Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap
penyakit. Maka berobatlah kamu dan
janganlah kamu berobat dengan sesuatu
yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Ada larangan berobat lainnya dengan
zat yang najis / haram, sesuai sabda
Nabi SAW :
‫ّللا لم يجعل شفائكم فيما حرم للا عليكم‬
َّ‫ ِإن ه‬
 "Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kesembuhan kalian pada
apa-apa yang telah Allah haramkan
atas kalian. (HR Abu Ya’la, Ibnu
Hibban dan Thabrani).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Namun, ada beberapa qarinah berupa
hadis-hadis yang menunjukkan
larangan itu bukan larangan jazim
(tegas) atau haram, tapi larangan
makruh, di antaranya:
 (1) Dalam Shahih Bukhari terdapat
hadis, orang-orang suku 'Ukl dan
Urainah datang ke kota Madinah
menemui Nabi SAW lalu masuk Islam.
Namun mereka kemudian sakit karena
tidak cocok dengan makanan Madinah.
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Nabi SAW lalu memerintahkan
mereka untuk meminum air susu
unta dan air kencing unta... (Shahih
Bukhari, no 231; Ibnu Hajar Al
Asqalani, Fathul Bari, 1/367).
 Hadits ini menunjukkan bolehnya
berobat dengan zat najis, karena air
kencing itu najis.
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 (2) Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi
SAW pernah memberi rukhshah
(keringanan) kepada Abdurrahman bin
Auf dan Zubair bin Awwam untuk
mengenakan sutera karena keduanya
menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no.
13178).
 Hadis di atas menunjukkan bolehnya
berobat dengan sesuatu haram digunakan
oleh laki-laki (sutera). (Fahad bin Abdullah
Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal. 74-
75).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 (3) Dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW
pernah memberi rukhshah (keringanan)
kepada Arfajah bin As’ad untuk memakai
hidung palsu dari emas, karena hidung
Arfajah terputus saat Perang Kulab.
Awalnya Arfajah membuat hidung palsu
dari besi tapi kemudian hidungnya
membusuk, kemudian Nabi SAW
memerintahkan Arfajah memakai hidung
palsu dari emas. (HR Abu Dawud, no. 4232).
 Hadis di atas menunjukkan bolehnya
berobat dengan sesuatu haram digunakan
oleh laki-laki (emas).
Hukum Berobat Dengan Zat Najis
 Ketiga hadis di atas menjadi qarinah
(petunjuk, indikasi) bahwa larangan
berobat dengan yang najis atau
haram bukanlah larangan haram,
melainkan larangan makruh.
 Kesimpulannya, berobat dengan obat
yang zatnya najis atau zatnya haram
digunakan hukumnya makruh, bukan
haram.
Hukum Berobat Dengan Zat Berbahaya
 Berobat dengan zat yang
menimbulkan bahaya (dharar)
hukumnya haram.
 Sabda Rasulullah SAW :
‫ ّل ضرر وّل ضرار‬
 “Tidak boleh menimbulkan bahaya
bagi diri sendiri maupun bahaya
bagi orang lain.”
 (HR Ahmad).
5. HUKUM VAKSINASI
Hukum Vaksinasi
Seperti dijelaskan di muka, untuk
memberi hukum syara’ pada
vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan
sbb :
Pertama, memahami fakta vaksinasi
(fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath),
Kedua, memahami hukum syara’
yang terkait berobat.
Ketiga, menerapkan hukum berobat
pada vaksinasi.
Hukum Vaksinasi
Maka dari itu, hukum vaksinasi
sbb :
Hukumnya sunnah, jika vaksinnya
tidak mengandung zat yang najis.
Hukumnya makruh, jika
mengandung zat yang najis.
Hukumnya haram, jika
mengakibatkan terjadinya bahaya
(mudharat).
Hukum Vaksinasi
 Jika ada keraguan, apakah vaksin
yang digunakan menggunakan zat
najis atau tidak, maka dikuatkan
pendapat “tidak menggunakan zat
najis” sebagai hukum asal.
 Kaidah fiqih menyebutkan :
‫ اْلصل في اْلشياء اإلباحة ما لم يرد دليل التحريم‬
 Hukum asal benda-benda adalah
dibolehkan, selama tidak terdapat
dalil yang mengharamkannya.
Hukum Vaksinasi
 Kaidah fiqih lain menyebutkan :
‫ اْلصل في اْلعيان الطهارة والنجاسة عارضة‬
 Hukum asal benda-benda adalah
suci, sedangkan kenajisan bukanlah
sifat asli benda (yang memerlukan
dalil tentang kenajisannya).
 (M. Bakar Ismail, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah
Bayna Al Ashaalah wa At Taujiih, hlm.
353; M. Az Zuhaili, Al Qawa’id Al
Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al Madzahib
Al Arba’ah, hlm. 112)
Hukum Vaksinasi
 Jika ada pihak yang menyatakan
suatu vaksin tertentu mengandung
zat najis, dia berkewajiban
membuktikan klaimnya tersebut.
 Sabda Rasulullah SAW :
‫ البينىة على المدعي‬
 “Bukti wajib diberikan oleh pihak
yang mendakwa (mengklaim)...”
(HR Tirmidzi)
Hukum Vaksinasi
 Menyebarkan teori konspirasi bahwa
vaksinasi tertentu membahayakan umat
Islam di tempat tertentu pada waktu
tertentu, tanpa memberikan bukti berupa
data dan fakta konkret, makruh.
 Sabda Rasulullah SAW :
‫ وإضاعة المال وكثرة السؤال‬،‫ قيل وقال‬:‫ إن للا كره لكم ثالثا‬
 “Sesungguhnya Allah membenci bagi
kalian tiga perkara, menyebarkan berita
katanya katanya, menyia-nyiakan harta,
dan banyak meminta.” (HR Bukhari).
6. PENCEGAHAN
PENYAKIT, TERMASUK
BEROBAT?
Pencegahan Penyakit
 Diriwayatkan hadits dari Shahabat
Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau pernah bersabda.
َّ‫ له َّْم يهضرهَّ ذه ِل ه‬،َّ‫ت ع ْهج هوة‬
‫ك ا ْليه ْو هَّم‬ ٍَّ ‫س ْب َِّع ت ه هم هرا‬
‫ح كل يوم ِب ه‬ ‫ن ته ه‬
َّ‫صب ه‬ َّْ ‫ هم‬
َّ‫س ْحر‬ ِ ‫سمَّ هو َّّله‬
 “Barangsiapa setiap pagi
mengkonsumsi tujuh butir kurma
Ajwah pada pagi hari, maka pada hari
itu ia tidak akan terkena racun
maupun sihir” (HR Bukhari, no 5130).
Pencegahan Penyakit
 Hadits ini menunjukkan bahwa
mencegah terjadinya penyakit juga
merupakan aktivitas berobat (at
tadaawi / al mudaawah) yang
disyariatkan.
 Dengan demikian, vaksinasi juga
termasuk berobat, walaupun
penyakitnya sendiri belum terjadi.
 Wallahu a’lam.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai