35 36 36
800
32
30 31
665
653
25
600
24
20 21
20 20
460
442
17 400
15
15
14 319 320
13 304
12
10 11
10 10
9 9 9 200
8
140
5 6
86 76
71 4
47 40 3 52 44
36 30 0 32
23 20 17 18 16 15
11 5 0
0 0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Thn 1990 , sebanyak 12 Kab / Kota yang melaporkan ada pasien difteri
Thn 2017 , sebanyak 38 Kab / Kota yang melaporkan ada pasien difteri
Thn 2012 , terbanyak ditemukan pasien difteri, di semua kab / Kota
Jumlah Kasus Difteri, Konfirmasi, Kematian
di Jawa Timur, 2012 – 2017
Kasus Konfirm Meninggal
955
653
442 460
352
319
87
37 45 27 37 16
8 9 14 11 11 7
14
12
10
0
Penyebab kejadian KLB difteria
• Imunisasi gap
• Cakupan imunisasi gagal mencapai target
• Petugas atau orang tua tunda imunisasi
• Pengelolaan vaksin
• Negative campaign
• Imunisasi gagal membentuk antibodi
maksimal
Definisi
• Difteria adalah suatu penyakit infeksi bakteri
akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria
• Bakteri ini terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput
lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina
(Kandun, 2000; Handayani S,2012; Binarupa Aksara, 1993)
Gejala Klinis
• Difteri hidung (anterior nasal diphtheria),
Gejala dapat berupa keluarnya pus dari hidung. Biasanya timbul
unilateral, kemudian purulent discharge dapat keluar bersama
dengan darah dan timbul ekskoriasi pada area lubang hidung dan
mulut bagian atas. Difteri hidung pada umumnya timbul pada
bayi
• Difteri faucial,
Bentuk ini merupakan bentuk tersering
dari difteri. Gejala dapat berupa tonsillitis
disertai dengan pseudomembran yang
berwarna kuning keabuan pada salah satu
atau kedua tonsil. Pseudomembran dapat
membesar hingga ke uvula, palatum mole,
orofaring, nasofaring, atau bahkan laring.
Gejala dapat disertai dengan mual,
muntah, dan disfagia
• Difteri tracheolaryngeal
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat
difteri faucial. Difteri tracheolaryngeal dapat
menimbulkan gambaran bullneck pada pasien
difteri akibat cervical adenitis dan edema yang
terjadi pada leher. Timbulnya bullneck
merupakan tanda dari difteri berat, karena
dapat timbul obstruksi pernapasan akibat
lepasnya pseudomembran sehingga pasien
membutuhkan trakeostomi
• Difteri kutaneus
Difteri kutaneus saat ini lebih sering muncul
ketimbang penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini
berkaitan dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan
yang tidak higienis. Bentuknya dapat berupa pustule
hingga ulkus kronis dengan membrane keabuan yang
kotor. Komplikasi toksik dari difteri kutaneus ini jarang
terjadi, dan jika terjadi komplikasi, neuritis adalah
komplikasi yang paling sering bermanifestasi
dibandingkan miokarditis
Cara Penularan
DIAGNOSIS
• Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik
dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik
merupakan pegangan utama dalam menegakkan
diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam
pengobatan akan menimbulkan resiko pada
penderita.
• Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan
melihat adanya membran yang tipis dan
berwarna keabu-abuan , mirip seperti sarang
laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat
Penatalaksanaan
• Antibiotika
Penicillin prokain 100.000 iu/kg BB, selama 10 hari
(maksimal 3 gram/hari).
Bila penderita sensitif terhadap penicillin dapat
digunakan erythromycin 40 – 50mg/kgBB/hari (mak
2 gram/hari)
Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk
memberantas toxin, ataupun membantu kerja
antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman
penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman
berhenti
• Antitoxin [ ADS]
Antitoxin yang digunakan adalah yang berasal dari
binatang, yaitu dari serum kuda. Sebelum
digunakan harus terlebih dahulu dilakukan test
ADS diberikan dengan dosis 40.000 u dalam larutan
200 ml NaCl fisiologis diberikan per-infus dan
pemberian diselesaikan dalam waktu 30 -45 menit
• Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada keadaan tertentu,
seperti bila ada bull neck, tanda miokarditis, dan
pada laryngeal ataupun nasopharyngeal diphtheria
Prednisolon 1,0 -1,5mg/ kgBB/hari
Deksametason 0,5 -1,0mg/kgBB/hari
• Rawatan penunjang
Penderita harus dalam keadaan istirahat karena
ditakutkan terjadinya miokarditis [ minggu ke 2-3 atau
lebih ]. Pemberian cairan harus cukup untuk mencegah
dehidrasi, berikan kalori yang tinggi dengan makanan
yang cair.
Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu
dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas.
Digitalis boleh diberikan bila ada tanda-tanda payah
jantung, tetapi kontra indikasi bila ada aritmia jantung.
Pencegahan
• Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan
dengan pemberian vaksinasi, yang dapat
dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan
pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml
secara I.M., imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali pemberian dengan interval
waktu pemberian 6 -8 minggu. Ulangan
dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan
kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang
pertama.
Penanganan kontak
• Pencegahan terhadap difteri juga termasuk
didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan
untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran
penyakit ke orang lain. Penderita adalah
infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada
kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga kali
berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum
penderita dibebaskan dari isolasi.
• Kontak yang intim akan mudah tertular bila
hanya tidak imun, kultur dari ronga hidung dan
tenggorokan harus dilakukan.
KOMPLIKASI
myocarditis PARALISA NERVE PERIFER
(parese tangan & kaki,)
Mggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
BLOCK