ETIOLOGI :
Etiologi HIV-AIDS adalah Human
Immunodefisiensi virus (HIV) yang meruakan
virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili retroviridae, subfamili lentiviridae,
genus lentivirus.
Infeksi HIV ini dapat menyebar
melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke
dalam darah, dan transmisi maternal.
PATOGENESIS :
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi
HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4.
DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel
yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). DNA
virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami
proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri.
Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem
imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection).
Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik
pertama dari disfungsi sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu
jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Gejala konstusional seperti
keringat malam, penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa
pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun. Pada
wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral
hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada
infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah.
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Limfosit CD4 Kategori A Kategori B Kategori C
(Asimtomatik (Simtomatik) (AIDS)
, infeksi
akut)
>500 sel/mm3 A1 B1 C1
200- 499 A2 B2 C2
sel/mm3
<200 sel/mm3 A3 B3 C3
PENATALAKSANAAN
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
- Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
- Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm maka dianjurkan
untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai
pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk
minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek
samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang
perlu pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi
Progresif Multifocal Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah
Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV, diagnosis infeksi ditegakkan
Kriptosporidiosis
1 NNRTI + 2 NRTI
ATAU
1 atau 2 PI + 2 NRTI dan 3 NRTI.
Golongan NRTI obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat
enzim Reverse Transcriptase dan merusak perpanjangan rantai DNA provirus.
Vital Sign
TD: 100/70mmHg N: 68x/menit R: 32x/menit S:36,5°C
Kepala
Wajah : Simetris, exopthalmus (-), mata cowong (+)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal
Mata
Konjungtiva : Anemis +/+
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : bulat, isokor +/+, RCL +/+, RCTL +/+
Mulut : sianosis (-), bibir tampak kering (+),kandidiasis oral (-)
Leher
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Massa (-), Vocal Fremitus simetris bilateral
Perkusi : sonor lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba sic 5 midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea midclavicula dextra
Batas Kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-
),Gallop (-)
Perut
Inspeksi : Datar,tidak ada terlihat adanya massa, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan meningkat
Perkusi : Timpany (+)
Palpasi : turgor buruk (-), Nyeri tekan abdomen (-), organomegali(-)
Anggota Gerak
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS AKHIR :
Human Immunodeficiency Virus + Herpes Genitalia
PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
- Tirah Baring (Bed Rest)
- Mengatur Makanan, makan makanan yang berserat
- Melakukan hubungan seksual menggunakan kondom
Medikamentosa :
- IVFD Futrolit DPS 5%/ IV/24 Jam
- Anti-retroviral (Tenofovir + Lamivudine + Efavirenz)
- Tenofovir 300 mg 1x1
- Lamivudine 150 mg 2x1
- Efavirenz 600 mg 1x1
- Cotrimoxazole 2x1
PROGNOSIS :
Qua ad vitam : Dubia ad malam
Qua ad sanationam : Dubia ad malam
Qua ad fungtionam : Dubia ad malam
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, telah
tampak riwayat dan hasil pemeriksaan mengarah ke diagnosis HIV. Riwayat
pasien yang bekerja sebagai perawat di salah satu puskesmas Beteleme,
sering melakukan hubungan seksual bebas tehadap lebihdari 6 kali dengan
laki-laki yang berbeda, pasien ini mengaku telah 4 kali mengganti
pasangannya terakhir kali melakukan hubungan seksual bebas 6 bulan dan
status pasien belum menikah, hal ini dapat diduga sebagai cara penularan
virus HIV ketubuh pasien. Meskipun riwayat hubungan seksual terjadi
kurang lebih 5 tahun sebelum gejala klinis timbul, akan tetapi sesuai
dengan perjalanan penyakit HIV, terdapat fase laten, dimana keadaan
masih asimptomatis sehingga gejala klinis baru timbul setelah beberapa
tahun.
Infeksi HIV di bagi menjadi 4 fase :
1. Fase primer: terjadi selama 1-4 minggu , gejalanya adalah demam,
berkeringat, letargi, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala,
photophobia, diare, sariawan, limfadenopati dan lesi mukopapular
pada ektremitas-ekstremitas. Gejala timbul mendadak dan hilang
dalam waktu 3-14 hari.
2. Fase seropositif asimtomatik: fase yang paling lama dan biasa terjadi
sekitar 4-8 tahun.
3. Fase ketiga infeksi HIV: menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi
sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan
mulut sering terjadi. Gejala konstusional sperti keringat malam,
penurunan berat badan, dan diare sering terjadi.
4. Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Gejala
pulmoner, gastrointestinal,neurologik, dan sistemik merupakan gejala
yang biasa terjadi.
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada
daera orolabial atau herpes orolabialis serta daerah geinital dan
sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala khas berupa
adanya vesikel berkelompok di ats dasar makula eritomatosa.
Herpes simplkes genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular
Seksual (IMS) yang paling sering menjadi masalah karena sukar
sembuh, sering berulang, juga karena penularan penyakit ini
dapat terjadi pada seorang tanpa gejala atau asimtomatis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fufa N. 2015. Identifikasi Perilaku Seksual Dan Kejadian Hiv (Human Immunodeficiency
Virus) Pada Sopir Angkutan Umum Di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi.
Vol. 2. No.1. Departemen Epidemiologi FKM . Universitas Airlangga. Surabaya.
2. Dewita, G, dkk. 2016. Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada Pasien HIV-AIDS
Secara Umum. J Medula Unila, Volume 6, Nomor 1. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Lampung.
3. Kemenkes RI. 2016. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan 1 tahun 2016. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta.
4. Dinkes Prov Sulteng. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2015. UPT
Survailans, data dan informasi. Palu. Sulawesi Tengah
5. Lina, Y. 2014. Saat memulai terapi Antiretroviral pada pasien HIV-AIDS. EKA Hospital.
BSD Tangerang. Indonesia
7. Setiati. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Interna Publishing. Indonesia
8. Longo DL, Kasper, DL, Jameson JL, dkk. 2012. Harrison’s Principles of internal
medicine. 18th edition, Mac graw Hill medical.united state America.
9. Dedy, S. 2009. Efek Samping Penggunaan obat anti retroviral di rongga mulut
pasien HIV/AIDS. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Sumatera Utara. Medan
10. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. PERMENKES RI. Jakarta
11. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Jakarta.
12. Foisy, M. 2017. The Anti Retroviral Therapy Guide. Version 1 alberta. Educational
Grant,CSHP Foundation.
13. WHO informal consultation on medium- and long-term priorities for ARV drug
optimization. (Montreux,Switzerland, 29–31 May 2012). Geneva: World Health
Organization; 2012 (http://www.who.int/ hiv/pub/ meetingreports/
think_tank/en/, accessed 2018).
14. Aids, Info. 2018. Guidelines for the use of antiretroviral Agents in Adults and
Adolescents Living with HIV. https://aidsinfo.nih.gov/guidelines.
THANK YOU