Anda di halaman 1dari 54

REFARAT

Anugrah La’bi Tulak


N 111 17 147

Pembimbing : dr. Sarniwaty Kamissy, Sp.PD


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia. HIV merupakan
retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih
spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor
T4 (CD4).
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang
secara kasar dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu infeksi HIV
primer, infeksi asimtomatik, infeksi simtomatik dengan ekslusi AIDS,
dan AIDS.
Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat
menyembuhkan infeksi HIV. Obat yang tersedia untuk penderita
HIV/AIDS hingga saat ini adalah Anti Retroviral (ARV) yang berfungsi
mengurangi viral load atau jumlah virus dalam tubuh penderita.
Menurut pedoman WHO, penderita HIV/AIDS dapat memulai
terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy (ART) sebelum jumlah CD4 di
bawah 350. Terapi dengan obat ARV terdiri dari gabungan beberapa
golongan obat ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau biasa
disebut triple therapy, atau sering disebut pula sebagai Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART).

Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian,


yaitu lini pertama dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan
terapi ARV yang diberikan kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama
kalinya ketika jumlah CD4 kurang dari 350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya. Sementara terapi ARV lini kedua
merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila terjadi gagal terapi
pada penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama.
DEFINISI :
HIV merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari
sistem kekebalan tubuh.
HIV menyebabkan sistem imunitas
menurun secara progresif sehingga
mengakibatkan munculnya infeksi oportunistik.
Oleh karena itu perjalanan penyakit menjadi
berat apabila tidak dilakukan penatalaksaan
dengan baik dan menyebabkan tingginya Terapi ARV atau antiretroviral
tingkat penularan. merupakan agen yang secara langsung
mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang
ditujukan untuk mengurangi jumlah virus
dari tubuh pasien. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat ARV
dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu
Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI), Nonnucleoside-Based
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI),
dan Protease Inhibitor.
EPIDEMIOLOGI:
Sejak pertama kali ditemukan
tahun 1987 sampai dengan Maret 2016 HIV.
AIDS tersebar di 407 (80%) dari 507
kabupaten/kota di seluruh provinsi di
Indonesia.
426 ODHA di Sulawesi Tengah yang
telah memenuhi syarat untuk Anti Retroviral
Theraphy (ART) sampai dengan Desember
2015, hanya 97 orang dengan HIV-AIDS
(ODHA) yang masih terapi ARV.

ETIOLOGI :
Etiologi HIV-AIDS adalah Human
Immunodefisiensi virus (HIV) yang meruakan
virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili retroviridae, subfamili lentiviridae,
genus lentivirus.
Infeksi HIV ini dapat menyebar
melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke
dalam darah, dan transmisi maternal.
PATOGENESIS :

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi
HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4.

Gangguan pada sistem imun mengakibatkan kondisi imunodefisiensi


pada cell mediated immunity yang mengakibatkan kehilangan sel T
CD4+ dan ketidakseimbangan fungsi ketahanan sel T helper

HIV masuk ke dalam tubuh melalui jaringan mukosa dan darah


selanjutnya sel akan menginfeksi sel T, sel dendritik dan makrofag.
Infeksi kemudian berlangsung di jaringan limfoid dimana virus akan
menjadi laten pada periode yang lama.
HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk
masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang
ada di permukaan sel.

Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion)


dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA
mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA
menjadi DNA.

DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel
yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). DNA
virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami
proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri.

Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem
imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection).

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi


penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal yang
berkisar 6001200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi

sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen


menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi
sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa
tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem
kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk,
dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin
berat, pasien masuk tahap AIDS

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa


sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi
replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV
yang resisten
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas
yang secara kasar dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu infeksi
HIV primer, infeksi asimtomatik, infeksi simtomatik dengan
ekslusi AIDS, dan AIDS.
Fase primer, terjadi selama 1 sampai 4 minggu setelah
transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala seperti
demam, berkeringat, letargi, malaise, mialgia, arthralgia, sakit
kepala, photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi
mukopapular pada ekstremitas. Gejala-gejala tersebut timbul
secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14 hari.
Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14
infeksi
Fase kedua, seropositif asimtomatik, merupakan fase yang
paling lama terjadi dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling
bervariasi antar masing-masing individu. Tanpa pengobatan, fase ini
biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun

Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik
pertama dari disfungsi sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu
jari, jari-jari, dan mulut sering kali muncul. Gejala konstusional seperti
keringat malam, penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa
pengobatan, durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun. Pada
wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas. Oral
hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada
infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah.

Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan.


Gejala pulmoner, gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan
gejala yang biasa terjadi.
Stadium Gejala Klinis

I Tidak ada penurunan berat badan


Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata
Persisten
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan
faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis Seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Stadium Gejala Klinis
III
Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya
>1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109
per liter)

IV Sindroma Wasting (HIV)


Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
Klasifikasi Stadium Klinis WHO

Asimtomatik 1

Ringan 2

Sedang 3

Berat 4
Limfosit CD4 Kategori A Kategori B Kategori C
(Asimtomatik (Simtomatik) (AIDS)
, infeksi
akut)

>500 sel/mm3 A1 B1 C1

200- 499 A2 B2 C2
sel/mm3
<200 sel/mm3 A3 B3 C3
PENATALAKSANAAN

Pengobatan terhadap HIV merupakan bagian yang sangat


penting dalam terapi pada penderita HIV/AIDS, karena meskipun
tidak dapat menyembuhkan HIV, tetapi obat-obat ini dapat
mengendalikan jumlah virus dalam tubuh, memungkinkan
penyembuhan dari respon imun terhadap patogen oportunistik
dan memperpanjang harapan hidup pasien.

Obat yang digunakan untuk mengobati HIV adalah obat


yang berasal dari golongan antiretrovirus, yang terdiri dari 6
golongan. Obat-obat ini digunakan secara kombinasi, karena
tidak dapat memberi hasil maksimal bila diberikan sebagai terapi
tunggal.
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat
yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik
dalam darah, dikenal dengan highly active antiretroviral
therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART
(antiretroviral therapy) atau terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan


jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita
sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa

1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.

2. Tersedia pemeriksaan CD4

- Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
- Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm maka dianjurkan
untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai
pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk
minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek
samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang
perlu pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi
Progresif Multifocal Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah
Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV, diagnosis infeksi ditegakkan
Kriptosporidiosis

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC ARV diberikan setidaknya 2 minggu


setelah pasien mendapatkan pengobatan
infeksi opportunistic
Antiretrovirus merupakan obat yang berfungsi menekan
pertumbuhan HIV dengan mengintervensi salah satu siklus hidupnya, oleh
karena itu diproduksilah beberapa jenis obat antiretrovirus yang
diklasifikasikan menjadi 6 golongan.

1. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)


2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
3. Protease Inhibitors (PI).

Sedangkan 3 golongan lainnya adalah merupakan agen tambahan,


yakni :
4. Fusion Inhibitors
5, Chemokine Coreceptor Antagonists
6, Integrase Inhibitors.
Golongan NRTI telah menjadi landasan terhadap pengobatan
infeksi HIV sejak zidovudine tersedia pada tahun 1986. Obat-obat
yang termasuk golongan ini adalah Abacavir (ABC), Didanosine (ddI),
Emtricitabine (FTC), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Tenofovir
(TDF) dan Zidovudine (ZDV atau AZT).

Obat-obat yang termasuk golongan NNRTI adalah Delavirdine


(DLV), Efavirenz (EFV) dan Nevirapine (NVP).

Obat-obat Golongan PI yang diproduksi seperti Amprenavir


(APV), Atazanavir (ATV), Fosamprenavir (FPV), Indinavir (IDV),
Lopinavir (LPV), Nelvinafir (NFV), Ritonavir (RTV), Saquinavir (SQV)
dan Timpranavir.
Sedangkan 3 golongan antiretrovirus lainnya hanya
memiliki sediaan yang lebih sedikit, yaitu
Enfuvirtide/T20 (Fusion Inhibitors), Maraviroc
(Chemokine Coreceptor Antagonists) dan Raltegravir
(Integrase Inhibitors).

Pada dasarnya, ada 3 jenis kombinasi yang


digunakan secara umum, yaitu :

1 NNRTI + 2 NRTI
ATAU
1 atau 2 PI + 2 NRTI dan 3 NRTI.
Golongan NRTI obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat
enzim Reverse Transcriptase dan merusak perpanjangan rantai DNA provirus.

Golongan NNRTI. Golongan jenis ini memberikan mekanisme kerja


yang sama dengan obat dari golongan NRTI, walaupun ada cukup perbedaan
dalam struktur molekul. NNRTI menghambat replikasi HIV dengan cara
berikatan kepada sebuah saku non substrat hidrofobik spesifik dari
transcriptase HIV tipe 1.

Golongan PI bekerja berdasarkan pada pengenalan rangkaian asam


amino dan pembelahan protein HIV. PI pada HIV berguna untuk mencegah
pembelahan gag dan gag-pol prekursor protein dalam sel yang terinfeksi
secara akut dan kronis, menahan pematangan sehingga dengan cara demikian
membloking aktivitas infeksi virion yang baru muncul.
Kombinasi Terapi Lini Pertama

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + ATAU


NVP Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) +
EFV Efavirenz)
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu
aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain
itu, efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan
medis untuk mengganti (substitusi) dan/atau menghentikan
pengobatan ARV. Pasien, bahkan kadang menghentikan sendiri
terapinya karena adanya efek samping.
Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti
langkah sebagai berikut :

Tentukan derajat keseriusan toksisitas


Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas
berhubungan dengan obat (-obat) ARV atau obat non-ARV yang
digunakan bersamaan
Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien
dengan ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua
masalah yang terjadi selama terapi adalah diakibatkan obat-obat ARV
Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan
Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas
ringan dan sedang
Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika
diperlukan
Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang
mengancam jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien
stabil.
Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi.
Penanganan secara umum adalah:

1. Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua


obat ARV, beri terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV
dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV
untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
2. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa
menghentikan pemberian ARV secara keseluruhan
3. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan
neuropati perifer) memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain,
pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak ada
perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk
mengganti 1 jenis obat ARV.
4. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan
dengan kepatuhan yang tinggi tetapi tidak terjadi respon
terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan
terjadinya Gagal Terapi. Kriteria gagal terapi adalah
menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis dan
virologis. Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000
copies/ml mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL
tidak tersedia, untuk menentukan gagal terapi menggunakan
kriteria imunologis untuk memastikan gagal terapi secara
klinis.
Definisi Gagal Pengobatan secara Klinis, jumlah CD4, dan Virologis
utk Pasien dgn Rejimen Lini Pertama ARV

Gagal Klinis a Timbulnya keadaan stad 4 WHO yg baru atau kambuh b c


Gagal jumlah CD4 d  Jumlah CD4 ↓ ke jumlah sebelum terapi (atau <<) atau
 Pe ↓ an 50% dari nilai puncak dgn terapi (jika tahu) atau
 Jumlah CD4 persisten < 100 sel/mm3 e
Gagal Virologis Viral load plasma >10.000 copies/ml f
Pada kasus gagal terapi tindakan yang direkomendasikan adalah
mengganti (switch) paduan lini-pertama menjadi paduan lini-kedua.
Rekomendasi paduan lini kedua adalah 2 NRTI + boosted-PI, dan
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis
oleh pemerintah adalah TDF atau AZT + 3TC + LPV/r.
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka
gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan
lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka
gunakan AZT. 3TC sebagai dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada
paduan lini kedua
IDENTITAS
Nama : Ny.W
Umur : 25 thn
Pekerjaan : Pegawai Swasta (perawat)
Alamat : Jl. RE Martadinata
Agama : Hindu
Tanggal Pemeriksaan : 25 Mei 2018
Ruangan : Pav. Kemuning
ANAMNESISss
Keluhan Utama : Badan terasa lemas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien wanita usia 25 tahun datang dengan keluhan badan terasa


lemas di sertai dengan pusing dan sakit kepala sejak kurang lebih 6 bulan
sebelum pasien masuk rumah sakit, pasien mengaku sulit beraktifitas dan
mudah lelah. Sebelumnya pasien mengeluh BAB kurang lebih 1 tahun yang
lalu, BAB cair, berampas, berwarna kuning dan tidak ada darah, meskipun
telah berobat diare pasien tak sembuh-sembuh. Pasien mengaku bisa sampai
10 kali BAB dalam sehari. Berat badan menurun 5 kg selama 1 bulan, nafsu
makan menurun, demam selama 1 minggu naik turun dan tidak menentu,
kadang- kadang di sertai mual dan muntah serta nyeri ulu hati, nyeri pada
bagian dada kanan , nyeri saat BAK dan BAK tidak lancar, di bagian organ
intim timbul luka dan benanah.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :


PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
SP:CM/SS/GB BB: 43 Kg TB: 155 cm IMT: 11,9

Vital Sign
TD: 100/70mmHg N: 68x/menit R: 32x/menit S:36,5°C

Kepala
Wajah : Simetris, exopthalmus (-), mata cowong (+)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal

Mata
Konjungtiva : Anemis +/+
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : bulat, isokor +/+, RCL +/+, RCTL +/+
Mulut : sianosis (-), bibir tampak kering (+),kandidiasis oral (-)

Leher
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Massa (-), Vocal Fremitus simetris bilateral
Perkusi : sonor lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba sic 5 midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea midclavicula dextra
Batas Kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-
),Gallop (-)
Perut
Inspeksi : Datar,tidak ada terlihat adanya massa, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan meningkat
Perkusi : Timpany (+)
Palpasi : turgor buruk (-), Nyeri tekan abdomen (-), organomegali(-)

Anggota Gerak
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG

WBC : 10,90 x 103/mm3 ( 3.8 -10.6 )


RBC : 4,35 x 106/mm3 ( 4.4 -5.9 )
Hb : 13,5 g/dL ( 13.2 - 17.3 )
HCT : 37 % ( 40 - 52 )
PLT : 463 x 103/ mm3 ( 150 - 440 )
Eosinofil : 2.0 % (2-4)
Basofil : 0.2 % (0-1)
Neutrophil : 81 % ( 50 - 70 )
Limfosit : 10.7 % ( 25 - 40 )
Mono : 6.1 % (2- 8)

GDS : 120 mg/dL ( 74 – 100 )


Creatinin : 1,25 mg/dl ( 0.70 – 1.30 )
Urea : 33,3 mg/dl ( 10.0 – 55.0 )
SGOT : 40.1 U/l ( 0 – 35 )
SGPT : 60.1 U/l ( 0 – 45 )
HbsAg : Non Reaktif (-)
HCV : Non Reaktif (-)
CD4 : 78.1 sel/Ul ( 404 – 1612)
RESUME

Pasien wanita usia 25 tahun datang dengan keluhan badan terasa


lemas di sertai dengan pusing dan chepalgia sejak kurang lebih 6 bulan
sebelum pasien masuk rumah sakit, pasien mengaku sulit beraktifitas dan
mudah lelah. Sebelumnya pasien mengeluh diare selama kurang lebih 1 tahun
yang lalu, BAB cair, berampas, berwarna kuning dan tidak ada darah,
meskipun telah berobat diare pasien tak sembuh-sembuh. Pasien mengaku
bisa sampai 10 kali BAB dalam sehari. Berat badan menurun 5 kg selama 1
bulan, anorexia nervosa, febris selama 1 minggu naik turun dan tidak
menentu, kadang- kadang di sertai nausea dan vomitus serta nyeri
epigasticum, torakodinia dextra , nyeri saat BAK dan BAK tidak lancar, di
bagian vagina timbul vulnus dan pus. Pasien tidak memiliki riwayat terdahulu,
keadaan umum dimana pasien termasuk dalam golongan sakit berat, datang
dengan keadaan lemas, sebelumnya pasien memiliki berat badan 48 kg tetapi
menurun selama 1 bulan menjadi 43 kg, tinggi badan 155 cm, dan IMT 11, 9
GCS= 15. Tanda vital : TD 100/70 mmHg, N: 68 x/menit, R:32 x/menit,S:36,5.
Pada saat di lakukan pemeriksaan fisik di dapatkan pasien dengan mata
anemis, bibir tampak kering dan pecah-pecah, Pernafasan pasien normal
tidak ada rhonki (-) dan tidak ada wheazing (-). Auskultasi jantung reguler.
Pada saat pemeriksan abdomen turgor kulit tidak buruk, peristaltik
meningkat, dan tidak ada nyeri tekan . Pada pemeriksaan ekstremitas akral
hangat dan tidak ada edema.
USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Pemeriksaan Darah lengkap


Pemeriksaan CD4
Rontgen Thoraks

DIAGNOSIS AKHIR :
Human Immunodeficiency Virus + Herpes Genitalia
PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa :
- Tirah Baring (Bed Rest)
- Mengatur Makanan, makan makanan yang berserat
- Melakukan hubungan seksual menggunakan kondom

Medikamentosa :
- IVFD Futrolit DPS 5%/ IV/24 Jam
- Anti-retroviral (Tenofovir + Lamivudine + Efavirenz)
- Tenofovir 300 mg 1x1
- Lamivudine 150 mg 2x1
- Efavirenz 600 mg 1x1
- Cotrimoxazole 2x1
PROGNOSIS :
Qua ad vitam : Dubia ad malam
Qua ad sanationam : Dubia ad malam
Qua ad fungtionam : Dubia ad malam
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, telah
tampak riwayat dan hasil pemeriksaan mengarah ke diagnosis HIV. Riwayat
pasien yang bekerja sebagai perawat di salah satu puskesmas Beteleme,
sering melakukan hubungan seksual bebas tehadap lebihdari 6 kali dengan
laki-laki yang berbeda, pasien ini mengaku telah 4 kali mengganti
pasangannya terakhir kali melakukan hubungan seksual bebas 6 bulan dan
status pasien belum menikah, hal ini dapat diduga sebagai cara penularan
virus HIV ketubuh pasien. Meskipun riwayat hubungan seksual terjadi
kurang lebih 5 tahun sebelum gejala klinis timbul, akan tetapi sesuai
dengan perjalanan penyakit HIV, terdapat fase laten, dimana keadaan
masih asimptomatis sehingga gejala klinis baru timbul setelah beberapa
tahun.
Infeksi HIV di bagi menjadi 4 fase :
1. Fase primer: terjadi selama 1-4 minggu , gejalanya adalah demam,
berkeringat, letargi, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala,
photophobia, diare, sariawan, limfadenopati dan lesi mukopapular
pada ektremitas-ekstremitas. Gejala timbul mendadak dan hilang
dalam waktu 3-14 hari.
2. Fase seropositif asimtomatik: fase yang paling lama dan biasa terjadi
sekitar 4-8 tahun.
3. Fase ketiga infeksi HIV: menunjukkan bukti fisik pertama dari disfungsi
sistem imun. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan
mulut sering terjadi. Gejala konstusional sperti keringat malam,
penurunan berat badan, dan diare sering terjadi.
4. Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Gejala
pulmoner, gastrointestinal,neurologik, dan sistemik merupakan gejala
yang biasa terjadi.
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada
daera orolabial atau herpes orolabialis serta daerah geinital dan
sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala khas berupa
adanya vesikel berkelompok di ats dasar makula eritomatosa.
Herpes simplkes genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular
Seksual (IMS) yang paling sering menjadi masalah karena sukar
sembuh, sering berulang, juga karena penularan penyakit ini
dapat terjadi pada seorang tanpa gejala atau asimtomatis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fufa N. 2015. Identifikasi Perilaku Seksual Dan Kejadian Hiv (Human Immunodeficiency
Virus) Pada Sopir Angkutan Umum Di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi.
Vol. 2. No.1. Departemen Epidemiologi FKM . Universitas Airlangga. Surabaya.

2. Dewita, G, dkk. 2016. Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada Pasien HIV-AIDS
Secara Umum. J Medula Unila, Volume 6, Nomor 1. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. Lampung.

3. Kemenkes RI. 2016. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan 1 tahun 2016. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta.

4. Dinkes Prov Sulteng. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2015. UPT
Survailans, data dan informasi. Palu. Sulawesi Tengah

5. Lina, Y. 2014. Saat memulai terapi Antiretroviral pada pasien HIV-AIDS. EKA Hospital.
BSD Tangerang. Indonesia

6. Nurma, Y. 2016. Global Burden Disease- HIV-AIDS. Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Surabaya. Indonesia

7. Setiati. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Interna Publishing. Indonesia
8. Longo DL, Kasper, DL, Jameson JL, dkk. 2012. Harrison’s Principles of internal
medicine. 18th edition, Mac graw Hill medical.united state America.

9. Dedy, S. 2009. Efek Samping Penggunaan obat anti retroviral di rongga mulut
pasien HIV/AIDS. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Sumatera Utara. Medan

10. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. PERMENKES RI. Jakarta

11. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Jakarta.

12. Foisy, M. 2017. The Anti Retroviral Therapy Guide. Version 1 alberta. Educational
Grant,CSHP Foundation.

13. WHO informal consultation on medium- and long-term priorities for ARV drug
optimization. (Montreux,Switzerland, 29–31 May 2012). Geneva: World Health
Organization; 2012 (http://www.who.int/ hiv/pub/ meetingreports/
think_tank/en/, accessed 2018).

14. Aids, Info. 2018. Guidelines for the use of antiretroviral Agents in Adults and
Adolescents Living with HIV. https://aidsinfo.nih.gov/guidelines.
THANK YOU 

Anda mungkin juga menyukai