Anda di halaman 1dari 26

Naila Husna Pratami

13.165
 Salah satu elemen mata manusia adalah
uvea yaitu suatu lapisan vaskular tengah
mata yang membungkus bola mata dan
dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea
terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar,
dan koroid.
 Iris merupakan bagian yang paling
depan dari lapisan uvea.
 Khoroid adalah segmen posterior uvea,
di antara retina dan sklera.
 Uveitis didefinisikan sebagai proses
inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan
siliar/korpus siliar, dan koroid).
 Peradangan pada Uvea dapat
mempengaruhi elemen mata yang lain
seperti kornea, retina, sklera, dan
beberapa elemen mata penting lainnya.
 Secara umum, uveitis dapat disebabkan
oleh reaksi imunitas.
 Uveitis sering dihubungkan dengan
infeksi seperti herpes, toxoplasmosis,
dan sifilis.
 Uveitis juga dapat ditemukan dengan
hubungannya dengan kelainan autoimun,
seperti SLE (Systemic Lupus
Erythematosus) dan Rheumatoid
Arthritis (RA).
 Persentase terjadinya uveitis anterior
idiopatik antara 38-70% dari seluruh
kejadian uveitis anterior. Kemudian
penyebab terbanyak kedua adalah
terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif
atau HLA-B27 yang berhubungan dengan
penyakit tertentu.
 Adapun klasifikasi dari uveitis antara
lain:
 Lokasi utama dari bercak peradangan
:
 Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi
anatomi dari inflamasi yaitu:
 Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia,
epifora, gatal yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar
orbit mata dan sekitarnya.
 Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau
kadang masih lebih baik, walaupun pasien melaporkan
pandangannya berkabut).
 Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman.
Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga
sedang dan menyebabkan pseudoptosis.
 Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari
konjungtiva dan sklera, walaupun konjungtiva palpebra
normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp.
 Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan
deposit endotel berwarna coklat keabu-abuan yang
disebut keratic precipitates (KP).
 Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah
ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan flare
(protein bebas yang lepas dari iris dan badan
siliar yang meradang; dan dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior sehingga kamera okuli
anterior tampat kotor dan berkabut).
 Iris dapat mengalami perlengketan dengan
kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang
dapat terjadi perlengketan dengan kornea
perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan
kadang terlihat nodul granulomatosa pada
stroma iris.
 Tekanan intraokular dapat menurun karena
penurunan sekresi dari badan siliar.
 Namun saat reaksi berlangsung, produk
peradangan dapat perakumulasi pada
trabekulum.
 Apabila debris ditemukan signifikan, dan
apabila badan siliar menghasilkan sekresi
yang normal maka dapat terjadi
peningkatan tekanan intraokular dan
menjadi glaukoma uveitis sekunder.
 Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan
yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung.
 Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda
dengan keluhan utama melihat “bintik-bintik
terapung” di dalam lapangan penglihatannya.
 Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun
fotofobia.
 Pasien mungkin tidak menyadari adanya
masalah pada matanya, namun dokter melihat
adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering
menutupi pars plana inferior, dengan
oftalmoskop.
 Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap
stasioner atau berangsur membaik dalam
waktu 5 sampai 10 tahun.
 Pada beberapa pasien timbul edema
makular kistoid dan parut makular
permanen, selain katarak subkapsular
posterior.
 Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan
membran-membran siklitik dan retina.
Glaukoma sekunder adalah komplikasi
yang jarang terjadi.
 Uveitis posterior merupakan peradangan pada
koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih
menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis
disseminta.
 Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan
dengan salah satu bentuk penyakit sistemik.
 Penyebab uveitis posterior seringkali dapat
ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2)
cara onset dan perjalanan penyakit, (3)
hubungannya dengan penyakit sistemik.
 Uveitis
posterior pada pasien 3 tahun
dapat disebabkan oleh “sindrom
samaran”, seperti retinoblastoma atau
leukemia. Penyebab infeksi uveitis
posterior pada kelompok umur ini
adalah infeksi sitomegalovirus,
toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes,
dan infeksi rubella.
 Merupakan kondisi terdapat infiltratnya
sel kurang lebih merata dari semua
unsur di traktus.
 Keadaan ini seringnya disebabkan
karena infeksi yang berkembang pada
toxocariasis infantil, endoftalmitis
bakterial postoperasi, atau
toksoplasmosis yang berat.
2. Berat dan perjalanan penyakit :
a. Akut
b. Sub-akut
c. Kronik
d. Rekurens
 3. Berdasarkan patologinya :
 a. Non-granulomatosa
 Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa
sakit, injeksi, fotofobia, dan penglihatan kabur.
 Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh
dilatasi pembuluh darah limbus.
 Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan
posterior kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca
pembesar.
 Pupilnya kecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel
kamera okuli anterior.
 Jika terdapat sinekia posterior maka pupil tampak tidak teratur.
 Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan
kemungkinan terpajan terhadap toksoplasmosis, histoplasmosis,
tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh
dalam tubuh harus pula dicari.
 b. Granulomatosa
 Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun lebih
sering pada uvea posterior.
 Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang
terkena.
 Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea terutama terdiri atas
makrofag dan sel epiteloid.
 Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis pada mata
yang yang dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam
tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau
oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya.
 Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior,
dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara.
 Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut memerah secara difus daearh
sirkumkornea. S
 akitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama berat dengan non-granulomatosa.
 Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena terbentuk sinekia posterior.
 KP “mutton fat” besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea dengan slitlamp.
 Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas
kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe).
 Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris
disebut nodul busacca.
4. Demografi, lateralitas dan faktor
penyerta:
a. Distribusi menurut umum
b. Distribusi menurut kelamin
c. Distribusi suku bangsa atau ras
d. Unilateral dan bilateral
e. Penyakit yang menyertai atau
mendasari
 5. Penyebab yang diketahui :
a. Bakteri : tuberkulosa, sifilis
b. Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV,
Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet.
c. Jamur : Kandidiasis
d. Parasit : Toksoplasma, toksokara
e. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia
simpatika
f. Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis
rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis,
penyakit vaskuler.
g. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma
h. Lain-lain : AIDS
 Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat
terjadinya penyakit itu.
 Pasien iritis akan mengeluh sakit dan fotofobia.
 Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan sakit atau
penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina,
penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina,
penglihatan sentral akan terganggu.
 Adapun, secara umum pasien yang sedang mengalami
peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum
sebagai berikut:
Mata merah (hiperemis konjungtiva)
 Mata nyeri
 Fotofobia
 Pandangan mata menurun dan kabur
 Epifora
 Untuk menegakkan diagnosis dari
uveitis ada beberapa pemeriksaan
yang perlu dilakukan antara lain:
 1. Pemeriksaan subyektif mata
 2. Pemeriksaan obyektif mata
 3. Pemeriksaan funduskopi
 4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit
lamp
 Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi
nyeri dan peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas
kortikosteroid topikal atau sistemik dan sering diberikan sikloplegik.
Obat yang dapat dipakai adalah:
 1. Pemberian Obat Anti Radang
 a. Kortikosteroid
 Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5
mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4
minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off.
 Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan
setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal
dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level
yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis
rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur
dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.
 b. Obat anti inflamasi nonsteroid
 Sepeti obat kortikosteroid, obat anti
inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi
untuk menurunkan gejala peradangan
dan diberikan apabila pasien memiliki
kondisi kontra.
 2. Obat sikloplegia
 Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil,
selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
 Contoh obat sikloplegia:
 - Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Bila
terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali 2 minggu setelah obat
dihentikan.
 - Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan
midriasis setelah 30-60 menit. Homatropin lebih sering digunakan pada uveitis
dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien
yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan
siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
 - Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan
midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk
sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of
choiceyang sering digunakan pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat
carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan
pada pasien yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif
dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).
 Adapun komplikasi yang paling sering
terjadi pada uveitis yaitu:
 1. Glaukoma sekunder
 2. Atrofi nervus optikus
 3. Katarak komplikata
 4. Ablasio retina
 5. Edema kistoid macular
 6. Efek penggunanan steroid jangka
panjang.
 maaciwww

Anda mungkin juga menyukai