Anak
Pembimbing:
dr. Nieken Susanti, Sp.A
Definisi
1. Faktor Presdisposisi
Genetik : Bakat alergi yang diturunkan hingga hipersensitifitas saluran nafas
2. Faktor Presipitasi
a) Alergi
– Inhalan
– Ingestan
– Kontaktan
b) Perubahan cuaca
– Atmosfir yang mendadak dingin
– Berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga
c) Stress
⁻ Selain dapat mencetuskan asma, stress juga dapat memperberat gejala yang sudah timbul
Faktor Resiko
Terdapat 334 juta orang pasien Asma di dunia.
WHO
Terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti karena penelitian hanya
dilakukan di beberapa daerah.
Usia 6-7 th: Bandung 3% dan Palembang 8%
Indonesia
Usia 13-14th: Bandung 2,6% Jakarta 12,5% dan Subang 24,4%
80-90% gejala timbul pertama kali pada usia < 5tahun.
Pada anak – anak, penderita laki – laki > perempuan.
Epidemiologi
1. Obstruksi saluran respiratori
2. Hiperaktivitas saluran respiratori
3. Otot polos saluran respiratori
4. Hipersekresi mucus
5. Keterbatasan aliran udara reversibel
6. Eksaserbasi
7. Asma nokturnal
8. Abnormalitas gas darah
Patofisiologi
Histamin
Triptase
Kontraksi otot Penyempitan
Sel Inflamasi
Prostaglandin polos bronkial Saluran Nafas
D2
Leukotrien C4
Patofisiologi : Eksaserbasi
Dari anamnesis bisa didapatkan :
Gejala asma yang dapat diketahui dari anamnesis berupa keluhan batuk, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejalanya lebih berat pada malam
hari (nokturnal)
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma.
Diagnosis
Kriteria diagnosis
asma
Diagnosis
• Berdasakan alur diagnosis asma anak,
setiap anak yang menunjukkan gejala
batuk dan / atau wheezing maka
diagnosis akhirnya dapat berupa :
1. Asma
2. Bukan asma
Diagnosis
• Pemeriksaan Fisik
– Inspeksi
• Retraksi dinding pernafasan
• Nafas cuping hidung
• Nafas dalam dan cepat
• Penggunaan otot – otot pernafasan
• Sianosis (biru) pada ujung – ujung ekstremitas
– Auskultasi
• Mengi/wheezing
– Berat (terdengar tanpa auskultasi)
– Ringan (baru dapat didengar dengan auskultasi saat ekspirasi maksimal)
– Tidak terdengar (curiga sumbatan pernafasan total) biasanya diikuti sianosis
Diagnosis
• Pemeriksaan Faal Paru
– Spirometri
Hal yang perlu diukur adalah volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital
paksa (FVC) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Rasio
dari kedua pengukuran ini juga perlu dilakukan (FEV1/FVC) Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan
kooeperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3
nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
FEV1/FVC<90% atau FEV1<80% nilai prediksi.
– Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas
Diagnosis
• Infeksi dan kelainan imunologis • Obstruksi mekanis
– Rinitis, rinosinusitis – Benda asing di saluran pernafasan
– Infeksi respiratori berulang – Laringotrakeomalasia
– Bronkiolitis – Hipertrofi timus
– Aspirasi berulang
• Patologi bronkus
– Tuberkulosis
– Displasia bronkopulmonal
– Cystic fibrosis
• Kelainan sistem organ lain – Bronkiektasis
– GERD
– Penyakit jantung bawaan
Diagnosis Banding
Klasifikasi
• GINA membagi tata laksana serangan asma menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas
pelayanan kesehatan/ IGD RS
• .Tata laksana di rumah dapat dilakukan oleh orangtua pasien sendiri di rumah. Hali ini dapat dilakukan oleh
keluarga pasien yng mempunyai pendidikan yang cukup dan sebelumnya telah menjalano terapi dengan
teratur.
• Pada beberapa keadaan pasien harus segera dibawa ke fasyankes tanpa terlebih dahulu diberikan tata
laksana di rumah.
Tatalaksana
Tatalaksana *
Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana Saat Terjadinya Serangan
mungkin
- Mengurangi hipoksemia
mencegah kekambuhan.
Tatalaksana
Obat pengendali (Controller)
Obat pereda (Reliever) :
1. Inhalasi glukokortikosteroid
1. Bronkodilator
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
2. Anticholingergic
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
3. Kortikosteroid
4. Teofilin lepas lambat
Tatalaksana Medikamentosa
Short-acting β2 agonist : terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
• Epinefrin/adrenalin : Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
β2 agonis selektif. menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Serta durasinya singkat
• β2 agonis selektif : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
• obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergic.
• Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. 14
• Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
>6 tahun 8 – 20 tetes
< 6 tahun 4 – 10 tetes.
• Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1
pagi dan sore, penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
• Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide) MDI
budesonide dan formoterol (Symbicort) DPI
• Efektif diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid.
• Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
• Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang perdarahan lambung.
• Oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Edukasi
a. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari kelelahan
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
e. Olahraga renang, senam asma
Pencegahan
• Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan
wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya.
• Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung
besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan.
• Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan
wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma
dikemudian hari.
• Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma
lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3
keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang
menetap pada keadaan bukan flu
Prognosis
TERIMA KASIH