Anda di halaman 1dari 35

Histamin dan antagonis histamin

Autakoid
 substansi (kimia) selain transmitor yang
secara normal ada di dalam tubuh dan
punya peran atau fungsi fisiologik penting
baik dalam keadaan normal (sehat) maupun
patologik (sakit)
• Autakoid berasal dari bahasa Yunani autas yang berarti
sendiri (self) dan akos berarti obat (medicinal agent atau
remedy)
• Jadi autakoid berarti zat yang berkhasiat sendiri atau zat
farmakologi aktif yang dibentuk oleh tubuh sendiri
berfungsi dan bekerja lokal di tempat ia dibentuk
• Zat-zat ini memiliki peranan penting dalam fungsi
fisiologis dan patologis dalam jaringan
• Zat-zat ini dinamakan juga sebagai hormon lokal atau
autopharmacological agents
• Senyawa yang termasuk dalam golongan
autakoid ini antara lain :
– Histamin
– Serotonin
– Bradikinin
– Angiotensin
– prostaglandin
Histamin
• Histamin pertama kali diisolasi dari ekstrak ergot
• Pada thn 1927 histamin dapat diisolasi dari
jaringan paru dan hati
• Karena terdapat dalam jaringan, senyawa ini
dinamakan histamin (histos = jaringan)
• Pada penggoresan kulia ditemukan pula zat yang
bernama H-substance dan ternyata zat ini
adalah histamin
• Histamin atau 2-(-4 imidazol)-etilen
dihasilkan dengan cara dekarboksilase asam
amino 1-histidin yang dikatalisasi oleh enzim
histidin dekarboksilase
• Histamin adalah persenyawaan amin
endogen dengan BM rendah yang disintesis,
disimpan dan dilepaskan terutama oleh sel
mast dan sel basofil
• Walaupun histamin terdapat hampir pada
semua jaringan tubuh, namun distribusinya
tidak merata
• Konsentrasi tertinggi histamin terdapat
dalam kulit, paru dan mukosa saluran cerna
sesuai dengan padatnya sel mast pada
jaringan tersebut
• Pelepasan histamin dari tempatnya dapat
melalui reaksi antigen-antibodi, regulasi
instrinsik dan reaksi nonantigen-antibodi
• Histamin melakukan kerja biologisnya
berkombinasi dengan reseptor seluler yang
terdapat pada permukaan membran
Ada 3 jenis reseptor histamin
• Reseptor-H1 : sel otot polos, endotel dan otak.

Reseptor-H2 : mukosa lambung (pada sel


parietal),otot, jantung, sel mast, dan otak.

Reseptor-H3 : presinaptik (di otak, pleksus


mienterikus dan saraf lainnya).


• Aktivitas reseptor H1 menyebabkan efek
penurunan tekanan vaskular perifer,
peningkatan venula pascakapiler,
vasokonstriksi arteri koroner dan arteri
basiler, bronkospasme, kontraksi otot polos
ileum,rasa sakit dan gatal pada ujung saraf
kulit, serta pada dosis tinggi histamin
merangsang katekolamin dari medula
adrenalis
• Aktivasi reseptor H2 menyebabkan
penurunan tahanan vaskular perifer,
vasodilatasi kulit muka, dilatasi arteri kolotis
dan arteri pulmonalis, peningkatan
otomatisitas atrium dan ventrikel,
bronkodilatasi, hambatan terhadap Ig-E-
dependent degranulation dari basofil
• Aktivasi reseptor H3 menyebabkan
hambatan terhadap saraf eksitasi kolinergik
dan nonkolinergik dijalan napas
• Reseptor H3 dikenal sebagai penghambat
feed-back di beberapa sistem organ,misal di
SSP, reseptor H3 menyebabkan sedasi
dengan cara mengantagonis kerja H1
(penderita tidak mengantuk) dan di bronkus
H3, mengantagonis kerja H1 sehingga terjadi
bronkodilatasi
Mekanisme kerja
• Efek vasodilator histamin dapat disebabkan oleh
reseptor H1 dan H2di lokasi yang berbeda pada tipe sel
jaringan vaskular. Reseptor H1 pada sel endotel dan H2
pada sel otot polos
• Aktivasi H1 menyebabkan peningkatan Ca intrasel,
aktivasi fosfolipase A2 dan menghasilkan EDRF
(endothlium derived relaxing factor) yang disebut
nitrogen monoksida (NO). NO tersebut menyebabkan
vasodilatasi dengan cara mengakumulasi cGMP
• Sementara itu, kontraksi otot polos yang disebabkan
oleh aktivasi H1 timbul karena hidrolisis fosfoinositol
dan peningkatan Ca intraseluler
• Aktivasi reseptor H2 yang terdapat pada mukosa
lambung, otot jantung dan sel imun meningkatkan cAMP
• Sementara itu, aktivasi H3 yang terdapat dibeberapa
area di SSP menurunkan pelepasan histamin dari saraf
histaminergik yang diduga akibat penurunan influks Ca
ANTAGONIS H1
• Obat yang disebut antihistamin (senyawa etilamin)
adalah obat yang mengantagonis histamin pada
reseptor H1 sehingga disebut juga antagonis reseptor H1
• Secara farmakologis, antihistamin dikatakan bekerja
secara antagonis kompetitif yang reversibel pada
reseptor H1 sehingga dapat menghambat kerja histamin
pada reseptor tersebut, tetapi tidak memblok pelepasan
histamin
• Secara kimiawi, antihistamin terdiri atas
beberapa kelompok persenyawaan kimia
yang berbeda dan secara garis besar dibagi
atas 2 kelompok :
– Generasi I : etolamin (difenhidramin, klemastin,
karbinoksamin, doksilamin dan dimenhidrinat),
etilendiamin (pirilamin, tripelennamin, antazolin
dan mepiramin), alkilamin (klorfeniramin dan
bromfeniramin), piperazin (hidroksizin, siklizin
dan meklizin dan fenotiazin (prometazin,
mekuitazin, trimeprazin)
– Generasi II : alkilamin (akrivastin), piperazin
(setirizin), piperidin (astemizol, levokabastin,
loratadin, terfenadin dan fleksofenadi),
siproheptadin
• Untuk golongan generasi kedua disebut juga
antihistamin nonsedasi karena obat-obat ini
tidak menembus sawar darah otak kecuali
siproheptadin
• Selain itu,obat generasi kedua tidak
mempunyai efek antimuskarinik
Farmakokinetik
• Antagonis H1 biasanya diabsorpsi dengan
baik di saluran cerna
• Setelah pemberian oral, kadar puncak
plasma dicapai dalam 2-3 jam dan efeknya
berakhir 4-6 jam, walaupun demikian ada
obat-obat yang kerjanya lebih lama misal
klemastin, setirizin, terfenadin (12 – 24 jam),
sedangkan astemizol 24 jam
• Difenhidramin yang diberikan peroral mencapai kadar
maksimum dalam darah kurang lebih 2 jam dengan
waktu paruh 4 jam, distribusi obat ini luas termasuk di
SSP dan dalam jumlah kecil dijumpai di dalam urin
dengan bentuk metabolit
• Eliminasi obat ini cepat pada anak dan dapat
menginduksi enzim mikrosomal hepatik
• Obat generasi kedua seperti astemizol, terfenadin dan
loratadin diabsorpsi secara cepat di saluran cerna dan
dimetabolisme di hati melalui sistem mikrosomal
hepatik P450
Indikasi klinik
• Reaksi alergi
– Obat antihistamin merupakan obat yg pertama
digunakan untuk mencegah dan mengobati alergi
akut dengan gejala rinitis, urtikaria, dermatitis
dan konjungtivitis terutama dari golongan
generasi I
– Namun untuk reaksi anafilaktik sistemik, epinefrin
tetap merupakan obat pilihan, meskipun
antagonis H1 juga memegang peranan
– Di USA, antihistamin yang terbanyak dipakai untuk
mengatasi rinitis alergi (hay fever) adalah golongan
alkilamin (klorfeniramin) dan golongan piperidin
(terfenadin)
– Untuk profilaksis, obat yang biasa digunakan adalah
terfenadin karena efeknya yang panjang
– Pada penderita asma, penggunaan antagonis H1
tidaak efektif, terutama pada anak karena obat-obat
ini, terutama generasi I mengeringkan sekresi
bronkiolus
– Untuk pengobatan konjungtivitis alergik biasanya
digunakan levokabastin
– Beberapa dermatitis alergik juga memberikan
respon yang baik terhadap antagonis H1,
terutama urtikaria akut dengan mengurangi rasa
gatal, edema, serta eritem
– Kombinasi antagonis H1 dan H2 sangat
bermanfaat terhadap penderita urtikaria yang
gagal diobati hanya dengan antagonis H1
– Efek sedasi yang ditimbulkan dan efektivitas
antagonis H1 berbeda-beda sehingga
penggunaannya terhadap pasien berdasarkan
efektivitas. Pada dosis toksik dapat terjadi agitasi,
kejang, koma bahkan kematian
• Antiemetik
– Untuk mengatasi mual dan muntah,biasanya
digunakan golongan fenotiazin (prometazin) dan
diduga karena obat ini bekerja dengan cara
menghambat reseptor H2 disaluran cerna
– Sementara itu untuk mengatasi hiperemesis
gravidarum biasanya digunakan golongan
etanolamin (doksilamin)
• Motion sickness
– Skopolamin merupakan obat pilihan untuk mengatasi
hal ini, tetapi beberapa antagonis h1 juga dapat
digunakan baik untuk pengobatan atau profilaksis
motion sickness
– Obat seperti dimenhidrinat, piperazin (siklizin,
meklizin), prometazin, sinarizin sering digunakan
untuk mengatasi hal tersebut dan efek samping
antimuskariniknya (mulut kering, retensi urin dan
penglihatan kabur) rendah
– Prometazin biasanya digunakan pada penderita
motion sickness yang disertai dengan gejala muntah
• Anestesi lokal
– Anestesi lokal menggunakan prometazin dan
difenhidramin tetapi memerlukan dosis yang
besar
– Obat-obat ini dipakai bila penderita alergi
terhadap obat anestesi lokal
Kontraindikasi
• Wanita hamil dan menyusui, kecuali prometazin,
doksilamin dan terfenadin dapat digunakan oleh wanita
hamil
• Asma terutama pada anak
• Pengemudi/org yang menjalankan mesin, terutamaa
generasi I
• Glaukoma dan hipertrofi prostat, terutama generasi I
• Gangguan kardiovaskular dan hepatik, terutama
penggunaan terfenadin dan astemizol
Efek samping
• Efek samping antagonis H1 generasi I yang paling sering
terjadi adalah sedasi, pusing,lesu, insomnia dan tremor
• Gangguan saluran cerna seperti hilangnya napsu makan,
mual-muntah, yeri epigastrum bahkan diare
• Efek muskarinik berupa kekeringan mulut, retensi urin
dan disuria (kencing yg nyeri/susah)
• Efek samping akibat efek antimuskarinik ini tidak terjadi
pada antagonis H1 generasi II
ANTAGONIS H2
• Antagonis H1 tidak menghambat asam lambung
• Pada tahun 70-an, antagonis H2 terbukti dapat
mengontrol sekresi asam lambung secara fisiologis
• Antagonis H2 pertama yg ditemukan adalah burinamid
dan simetidin
• Simetidin diketahui mempunyai cincin imidazol dan
dengan perkembangannya cincin ini diganti senyawa
furan (raniditin) atau dengan tiazol (famotidin, nizatidin)
Mekanisme kerja
• Obat-obat ini diduga bekerja dengan cara menghambat
interaksi histamin dengan reseptor H2 secara kompetitif
dan selektif sehingga tidak memberikan efek pada
reseptor H1
• Kerja utama obat ini adalah mengurangi sekresi asam
lambung yang disebabkan oleh histamin, gastrin, obat-
obat kolinomimetik (AINS), rangsangan vagal makanan
(terutama asam), insulin dan kopi
• Simetidin, ranitidin, dan famotidin memiliki
pengaruh yang kecil terhadap fungsi otot
polos lambung dan tekanan spingter
isophagus
• Nizatidin dapat menekan kontraksi asam
lambung sehingga memperpendek waktu
pengosongan lambung dan hal ini diduga
karena efeknya menghambat
asetilkolinesterase
Indikasi klinik
• Ulkus lambung dan duodenal
– Antagonis H2 dapat menurunkan sekresi asam,
yang dirangsang oleh makanan atau obat-obatan
(AINS)
– Obat ini dapat menekan rasa nyeri akibat ulkus
tersebut
– Kemampuan yang terbaik dalam menurunkan
asam adalah famotidin dan nizatidin, diikuti
ranitidin dan terakhir simetidin
– Untuk pengobatan ulkus lambung duodenal, dosis
harian yang dibutuhkan sebelum tidur (simetidin
800 mg, ranitidin 300 mg, famotidin 40 mg dan
nizatidin 300 mg) atau dosis dibagi 2 dengan 2x
pemberian. Ulkus duodenal biasanya
memberikan respon yang baik setelah
pengobatan 4-8 minggu diikuti dosis
pemeliharaan, sedangkan pada pengobatan ulkus
lambung perlu waktu 8 minggu untuk 50-75%
penderita sehingga untuk pengobatan ulkus
lambung lebih lama pengobatan kesembuhan
lebih tinggi
• Sindrom zollinger ellison
– Meskipun antagonis H2 dalam dosis besar
bermanfaat, tetapi tidak selalu menekan sekresi
asam lambung yang disebabkan oleh gastrin
secara adekuat
– Omeperazol merupakan obat pilihan untuk
gangguan tersebut

• Penyakit refluks esofagus


– Obat ini dapat mengatasi penyakit tersebut
dengan dosis 2x dosis harian
• Keadaan lain
– Obat-obat ini bermanfaat untuk menurunkan
sekresi asam lambung baik karena stres ulcer,
hipersekresi yang disebabkan oleh mastositosis
atau leukimia basolitik dengan hiperhistaminea
– Obat ini juga sering digunakan pada pra-anestetik
untuk mengurangi bahaya aspirasi akibat asam
lambung
Kontraindikasi
• Penggunaan simetidin harus hati-hati pada
orang tua dan gangguan hati
• Hati-hati penggunaan ranitidin, famotidin
dan nizatidin pada wanita menyusui
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai