Anda di halaman 1dari 22

JUAL BELI

JANAE SYAFITRI (11651200341)


DEFINISI JUAL BELI

 Jual beli menurut bahasa, artinya menukar


kepemilikan barang dengan barang atau saling tukar
menukar. Kat al-bai’ (jual) dan al-syara’ (beli)
dipergunakan dalam pengertian yang sama.
 Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud
dengan jual beli menukar barang dengan barangg
atau barang dengan uang yang dilakkan dengan
jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada
yang lain atas dasar saling merelakan
DALIL HUKUM JUAL BELI

 Dalam Surah Al-baqarah(2) ayat 275. Allah berfirman:


“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba..”.(QS. Al-Baqarah[2]:275)
 Dalam Surah An-Nisa’(4) ayat 29. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”
DALIL HUKUM JUAL BELI

 Hadits
“Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pernah ditanya: pekerjaan
apakah yang paling baik?. Beliau bersabda:
"Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan
setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar.
Hadits shahih menurut Hakim.
HUKUM JUAL BELI

Hukum asal jual beli adalah mubah atau jawaz (boleh)


apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Tetapi pada situasi
tertentu, hukum bisa berubah menjadi wajib, haram ,
mandub(sunnah) dan makruh.
 Contoh yang wajib: apabila seseorang sangat terdesak untuk
membeli makanan dan yang lainnya, maka penjual jangan
menimbunnya atau tidak menjualnya.
 Contoh yang sunah : seorang penjual bersumpah kepada
orang lain akan menjual barang dagangannya, yang tidak
akan menimbulkan kemudaratan bilamana dia menjualnya.
 Contoh yang haram : memperjualbelikan barang yang
dilarang dijualnya seperti anjing, babi dan lainnya
 Contoh yang makruh : memperjualbelikan kucing dan kulit
binatang buas untuk dimanfaatkan kulitnya.
RUKUN & SYARAT JUAL BELI

 Menurut Hanafiyah, rukun jual beli hanya ijab(ungkapan


membeli dari pembeli) dan qabul(ungkapan menjual dari
penjual). Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah keralaan antara kedua belah pihak untuk berjual
beli.
 Menurut Malikiyah, rukun jual beli ada tiga, yaitu ‘aqidain
(dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli), ma’qud
‘alaih (barang yang diperjual belikan dan nilai tukar penganti
barang) dan shighat (ijab dan qabul).
 Ulama Syafi’iyah juga berpendapat sama dengan Malikiyah.
 Sementara ulama Hanabilah berpendapat sama dengan
Hanafiah.
RUKUN & SYARAT JUAL BELI

 Menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada


empat, yaitu sebagai berikut:
 Penjual
 Pembeli
 Sighat(ijab dan qabul)
 Ma’qud ‘alaih
 Adapun secara umum rukun jual beli ada tiga:
 Akad (ijab dan kabul)

 Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

 Ma’kud ‘alaih (objek akad)


RUKUN & SYARAT JUAL BELI

 Rukun jual beli yang pertama : Akad adalah ikatan


antara penjual dan pembeli, jual beli belum
dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan,
sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan),
pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan,
tapi kalau tidak mungkin, seperti bisu atau
lainnya,maka boleh ijab kabul dengan surat-
menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.
RUKUN & SYARAT JUAL BELI

Syarat sah ijab qabul, diantaranya:


 Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah
penjual menyatakan ijab, dan sebaliknya.
 Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul
 Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli tertentu. Misalnya
seseorang hamba dilarang menjual hambanya yang beragama islam
kepada pembeli non-muslim, karena akan merendahkan abid yang
beragama islam. Sedangkan Allah melarang umatnya memberi jalan
kepad aorang kafir untuk merendahkan mukmin lain. Allah
berfirman dalam al-surah An-nisa ayat 14. Yang artinya:

` “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-


orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman”(QS.An-
Nisa:14)
RUKUN & SYARAT JUAL BELI

Rukun jual beli yang kedua: orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Syarat – syarat bagi orang yang berakad adalah sebagai berikut:
 Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang gila dan
orang bodoh, sebab mereka tidak pandai dalam mengendalikan harta. Oleh karena
itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjulkan hartanya
sekalipun miliknya, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh”.(al-


Nisa:5)

 Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli tertentu. Misalnya seseorang
hamba dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli non-
muslim, karena akan merendahkan abid yang beragama islam. Sedangkan Allah
melarang umatnya memberi jalan kepad aorang kafir untuk merendahkan mukmin
lain. Allah berfirman dalam al-surah An-nisa ayat 14. Yang artinya:

“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang beriman”(QS.An-Nisa:14)
RUKUN & SYARAT JUAL BELI

Rukun jual beli ketiga: benda-benda atau barang yang diperjualbelikan (ma’kud
‘alaih).
Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad adalah:

 Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan benda-benda najis
seperti anjing, babi, dan yang lainnya, Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Jabir ra Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan berhala” (riwayat Bukhari dan
Muslim)

Menurut riwayat lain dari Nabi dinyatakan “kecuali anjing untuk berburu boleh
diperjualbelikan”. Menurut syafi’iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai,
anjing, dan babi karena najis, berhala bukan karena najis tapi karena tidak ada
manfaatnya, menutur syara’ batu berhala bila dipecah menjadi batu-batu biasa
boleh diperjualbelikan sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau
lainnya.
 Memberi manfaat menurut syara’ maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak
boleh diambil manfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kal, cicak, dan yang
lainnya.
 Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain,
seperti: jiak ayahku pergi kujual motor ini kepadamu.
 Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan
selama satu tahun, maka penjualan seperti itu tidak sah, sebab jual beli
adalah salah satu sebab kepemilikan secara utuh yang tidak dibatasi apa
pun kecuali ketentuan syara’.
 Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidaklah sah menjual
binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barang-barang
yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali karena samar,
seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan pasti ikan
tersebut, sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang sama.
 Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak seizin
pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
 Diketahui(dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui
banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran yang lainnya, maka
tidaklah sah jual belu yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.
MACAM – MACAM JUAL BELI

Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli, maka dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyyudin, bahwa jual beli dibagi menjadi
tiga bentuk, sebagai berikut:
 Jual beli yang kelihatan adalah jual beli yang dilakukan pada waktu akad ,
benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.
Seperti jual beli yang terjadi di pasar.
 Jual beli yang disebutka sifat-sifatnya dalam perjanjian adalah jual beli
salam (pesanan). Menurut kebiasaan pedagang, salam adalah jual beli
yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan
barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya
ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barangnya ditangguhkan hingga
masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
 Jula beli yang tidak ada serta tidak dapat dilihat adalah jual beli yang
dilarang oleh agama islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap,
sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang
titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
MACAM – MACAM JUAL BELI

Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi tiga yaitu: dengan lisan ,
dengan perantara, dan dengan perbuatan. Akad jual beli dengan lisan.
 Akad dengan lisan dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti
dengan bahasa isyarat.
 Penyampaian akad jual beli dengan utusan, perantara, tulisan atau surat-
menyurat sama halnya dengan ucapan, mislanya via pos dan giro. Jual beli ini
dilakukan antara penjual dan pembeli yang tidak berhadapan langsung dalam
suatu majelis akad, tetapi melalkui pos dan giro, jual beli ini diperbolehkan
menurut syara’.
 Jual beLi dengan perbuatan ( saling memberikan ) atau dikenal dengan istilah
mu’athah yaitu mengambil dan memeberikan barang tanpa ijab dan kabul,
seperti seseorang membeli barang yang sudah memiliki label harga. Jual beli
seperti itu dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli,
menurut dsebagian Syafi’iyah hal itu dilakukan, sebab ijab kabul sebagai rukun
jual beli. Tetapi menurut sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti imam nawawi
membolekan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang
demikian.
MACAM – MACAM JUAL BELI

Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
 Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan
khamar.
 Jual beli seperma (mani) hewan. Seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan
betina, agar dapat memperoleh keturunan.
 Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
 Jual beli muhaqallah,haqalah mempunyai arti tanah, sawah, kebun, maksud
muhaqallah di sini ialah menjual tanaman-tanaman yang masih diladang atau disawah,
hal ini dilarang agama, sebab ada persangkaan riba didalamnya.
 Jual beli dengan mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk
dipanen.
 Jual beli dengan muammasah, yaitu jual beli secra sentuh menyentuh, misalnya orang
itu menyentuh kain pada siang atau malam hari maka orang itu telah membeli kain
tersebut. Hal itu dilarang karena mengandugn tipuan.
 Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lepar melempar, seperti
seseorang berkata; “lemparkanlah kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan
apa yang ada padaku”, setelah terjadi lempar-melempar, maka terjadilah jual beli. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab kabul.
 Jual beli denga muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan yang
kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan
ukurannya dengan sekilo maka akan erugikan pemilik padi kering.
 Menentukan dua harga untuk satu barang. Misal, kujual buku ini seharga
Rp.10.000 tunai atau Rp.15.000 dengan cara hutang.
 Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini hampir sama
dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hampir saja disini dianggap
sebagai syarat seperti seseorang berkata “aku jual rumahku yang buntut ini
kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmukepadaku”.
 Jual beli gharar, yaitu jual beki yang masih samar sehingga kemungkinan
adanya penipuan.
 Jual beli dengan mengecualikan sebagian dari benda yang dijual, seperti
seseorang yang menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah
satu bagiannya. Misal, si A menjual seluruh pohon-pohonnya kecuali pohin
pisang, jual beli tersebut sah, karen ayang dikecualikannya jelas. Tapi, jika yang
dikecualikannya tidak jelas (mahjul) maka jual beli tersebut batal.
 Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar.
Terdapat beberapa macam jual beli yang dilarang tetapi sah
hukumnya, sedangkan orang yang melakukannya mendapat dosa
dari jual beli tersebut, antara lain sebagai berikut:
 Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk pasar, untuk
membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya
sebellum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan
harga yang setinggi-tingginya.
 Menawar barang yang sedang ditawar orang lain, seperti seseorang
berkata,”tolaklah harga tawarannyaitu, nanti aku membeli dengan
harga yang lebih mhal”.
 Jual beli dengan Najasyi, ialah menambah atau melebihkan harga
temannya, dengan maksud memancing-mancing orang, agar orang
itu mau membeli barang kawannya.
 Menjual di atas penjualan orang lain, umpamanya sesorang
berkata: “kembalikan saja barang itu kepada penjualny, nanti
barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu”.
Khiyar dalam jual beli

 Makna khiyar berarti boleh memilih antara dua, apakah akan


meneruskan jual beli, atau mengurungkannya (membatalkannya).
Menurut ulama fikih seperti yang diungkapkan oleh Rachmat Syafi’i,
pengertian khiyar adalah : “suatu keadaan yang menyebabkan aqid
memiliki hak untuk memutuskan akadnya (menjadikan atau
membatalkannya) jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib,
atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika
khiyar ta’yin”.
 Fungsi khiyar menurut syara’ adalah agar kedua orang yang berjual
beli dapat memikirkan dampak negatif dan positif masing-masing
dengan pandangan kedepan supaya tidak terjadi penyesalan
dikemudian hari yang disebabkan merasa tertipu atau tidak adanya
kecocokan dalam membeli barang yang dipilih.
Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu khiyar majlis,
khiyar syarat, dan khiyar ‘aib berikut adalah uraiannya.
 khiyar majlis
khiyar majlis artinya antara penjual dan pembeli boleh
memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam
suatu majlis, khiyar majlis boleh dilakukan dalam
berbagai jual beli. Menurut ulama fikih, khiyar majlis
adalah : “hak bagi semua pihak yang melakukan akad
untuk membatalkan akad, selagi masih berada ditempat
akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling
memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”
 khiyar syarat
khiyar syarat adalah penjualan yang didalamnya
diisyaratkan sesuatu, baik oleh penjual maupun pembeli,
seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan
harga Rp. 100.000.000,00. Dengan syarat khiyar(pilih-
pilih) selama tiga hari.”
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fikih adalah:

“suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang


berakad atau masing-masing yang berakad atau
selainpihak yang berakad memiliki hak atas
pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang
ditentukan.”
 Khiyar ‘aib (cacat)
Khiyar ‘aib (cacat) menurut ulama fikih adalah:
“keadaan yang membolehkan salah seorang yang
berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau
menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari
salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang
tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dengan demikian khiyar ‘aib terjadi karena: adanya cacat
pada barang yang diperjualbelikan atau harga, karena
kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau
orang yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad
berlangsung.
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai