Anda di halaman 1dari 27

KELOMPOK 3

• Rendra Setiawan D (201810410311174)


• Attala Faras Alifta (201810410311230)
• Istining Eka Rahayu (201810410311233)
• Reygista Cinda M. (201810410311234)
• Rizqi Akbar Hidayat (201810410311243)
• Sofiana Nabila W. (201810410311250)
• Aminah (201810410311251)
• Erika Elvia Putri (201810410311257)

MULA KERJA, PUNCAK EFEK DAN LAMA
KERJA OBAT ANALGETIK PADA PEMBERIAN
PER ORAL DAN INTRAPERITONEAL
• Tujuan
Membedakan mula kerja (onset of action),
puncak efek (peak of effect), lama kerja obat
(duration of action) analgetik pada pemberian
peroral dan intraperitoneal.
DASAR TEORI
Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari
konsentrasi obat di tempat kerja obat. Ada 3 fase yang
didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu:
• Mula kerja (onset of action)
• Puncak efek (peak effect)
• Lama kerja obat (duration of action)
Ketiga fase ditentukan oleh kecepatan absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.
Untuk mencapai efek farmakologik (efek
sistemik) seperti yang diinginkan, obat dapat
diberikan dengan berbagai cara, diantaranya
melalui oral, subkutan, intramuscular, intravena,
intraperitoneal, dan rectal.
Nyeri merupakan perasaan subjektif karena
berhubungan dengan emosional psikis jika psikis
menurun makan dapat memperparah rasa nyeri
begitu pula sebaliknya.
Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu :
• Analgetika perifer (non narkotik) : obat-obat yang
tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Salah satunya adalah metamizol (antalgin)
• Analgetika narkotika khusus digunakan untuk
menghalangi rasa nyeri yang hebat seperti fraktur
dan kanker.
• Pemberian oral
Pemberian per oral ditujukan untuk efek sistemik.
permasalahannya adalah proses sampainya obat pada
plasma darah berlangsung lambat.
• Pemberian intraperitoneal
Absorbsi lebih cepat daripada pemberian per oral.
Sehingga kadar obat yang mencapai sistem 100% . Akan
tetapi kekurangannya adalah lebih rawan terkontaminasi
oleh bakteri , dan jika kelebihan dosis maka akan sukar
diatasi.
MEKANISME KERJA OBAT ANALGESIK
1. Memblok pembentukan mediator nyeri khususnya PG, yaitu
dengan pemberian analgetik steroid (prednisone,
deksametason) maupun nonsteroid (aspirin, parasetamol, ibu
profen, dan lain-lain). Analgetik steroid (NSID) ini yang lebih
menonjol adalah sifat antiinflamasinya (anti radang),
sementara nonsteroid sebagian besar selain bersifat analgetik
antipiretik juga memiliki sifat antiinflamasi.
2. Memblok penghantaran nyeri oleh serabut saraf dapat
dilakukan melalui anestesi (obat bius), baik local (di
tempat rangsang nyeri terjadi saja) atau sistemik (seluruh
saraf tubuh). Lidokain semprot atau injeksi (pada cabut
gigi, khitan) adalah contoh anestesi local.
3. Memblok pusar nyeri/reseptor nyeri di otak, yakni
dengan analgetik narkotik (morfin, pethidin). Hanya
analgetik bentuk narkotik yang mampu menembus
penghalang antara darah dan otak sehingga dapat
memblok rasa nyeri yang amat sangat.
4. Menghambat kerja enzim siklooksigenase yang akan
mengurangi produksi prostaglandin sehingga mengurangi
rasa nyeri. Contohnya : pada flavonoid berkhasiat
sebagai analgetik (Syamsul, et al. 2016).
5. Menghambat enzim siklooksigenasi sehingga
pembentukan asam arakidonat menjadi terganggu.
Ibuprofen menghambat COX-1 dan COX-2 dan
membatasi produksi prostaglandin yang berhubungan
dengan rusaknya jaringan seperti analgetik dan inflamasi/
PENGGOLONGAN OBAT NSAID
1. Turunan Asam Salisilat
• Asam salisilat mempunyai aktivitas analgesic-
antipiretik dan antirematik, tetapi tidak digunakan
secara oral karenal terlalu toksik. Yang banyak
digunakan sebagai anlagesik-antipiretik adalah
senyawa turunannya.
2. Turunan S-Pirazolidindion
• Turunan S-pirazolidindion seperti fenilbutazon dan
oksifenbutason adalah antiinflamasi nonsteroid yang
banyak diguankan untuk meringankan rasa nyeri yang
berhubungan dengan rematik, penyakit pirai, dan sakit
persendian. Turunan ini menimbulkan efek samping
agranulositosi yang cukup besar dan iritasi lambung.
3. Turunan Asam N-Arilantranilat
• Asam antranilat adalah analog nitrogen dari asam
salisilat. Turunan asam N-Arilantranilat terutama
digunakan sebagai antiinflamasi untuk pengobatan
rematik, dan sebagai analgesic untuk mengurangi rasa
nyeri yang ringan dan moderat.
4. Turunan Asam Arilasetat
Turunan ini mempunyai aktivitas antiinflamasi dan
analgesic yang tinggi, dan terutama digunakan sebagai
antirematik. Seperti pada obat antirematik yang lain,
turunan ini juga menimbulkan efek samping iritasi saluran
cerna cukup besar.
5. Turunan Asam Heteroarilasetat
• Contoh turunan heteroasetat antara lain fentiazak,
asam tiaprofenat, asam metazinat, dan
ketorolaktrometamol.
6. Turunan Oksikam
• Turunan ini pada umumnya bersifat asam,
mempunyai efek antiinflamasi, analgesic, dan
antipiretik. Efektif untuk pengobatan simptomatik
rematik arthritis, osteoarthritis, dan anti pirai.
7. Turunan Lain-Lain
• Seperti turunan yang terdahulu, turunan ini juga
menimbulakn efek samping iritasi saluran cerna, serta
menyebabkan ketidaknormalan hematologis dan
kadang-kadang bersifat hepatoksik dam nefrotoksik.
ALAT DAN BAHAN
• Alat :
1. Analgesik meter beban geser
2. Spuit 1 ml
3. Sonde
4. Stopwatch
• Bahan :
1. Tikus
2. Obat analgesik : Antrain (500mg/ml Metamizole Sodium)
Dosis yang digunakan (50mg/200g BB)
3. Antalgin tablet (500mg/tab) dipuyer + CMC + air sampai 20 ml
Dosis yang digunakan (50mg/200g BB)
PROSEDUR KERJA
• 1. Prosedur Pemeriksaan Rasa Nyeri

Persiapkan alat Lakukan pengaturan


analgetic meter Pegang tikus
analgetic meter

Lepaskan beban Jalankan beban


Amati respon tikus

Catat posisi Lakukan Tikus dibagi 2


Obat
beban dalam pengamatan kelompok
analgetik
gram sebanyak tiga
Lakukan
Ukur respon Ukur respon
sampai menit
analgesik setiap analgesik setiap
ke 60

𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 1+𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 2+𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 3


Beban kontrol=
3

Efek analgetik dikatakan (+) jika tikus dapat menahan beban 2× beban kontrol
TABEL PENGAMATAN
Cara Waktu
No.
danKelompok 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
Intraperitoneal
1. Kelpomok I + - - - - - + - - - + +
2. Kelompok II - - + + + + - - - - - -
3. Kelompok III + + + + + - - - - - - -
4. Kelompok IV + + + + + + + - - - - -
5. Kelompok V - - - - + + + + - - - -
6. Kelompok VI - - - - - + - - - - - -
Per Oral
1. Kelompok I - - - - - - - - - - + -
2. Kelompok II - - - - - - - + + - - -
3. Kelompok III - - - - - - - - + + + +
4. Kelompok IV - - - + + - - - - - - -
5. Kelompok V - - - + + + + + - - - -
6. Kelompok VI - + - - - + - - - - - -
DOSIS
a. Tikus I (Intraperitoneal) b. Tikus II (Per Oral)
• BB tikus = 168 g BB tikus = 130 g
• DosisobatAntrain = 50 mg/200 g BB DosisobatAntalgin = 50 mg/200 g BB
• Tersediasediaan = 1 g/2 ml Tersediasediaan = 25 mg/1 ml
• X/168 g = 50 mg/200 g 130 g/X = 200 g/50 mg
168×50 50×130
• X= X=
200 200
• X = 42 mg X = 32,5
• 1g/2 ml = 0,042 g/X 25 mg/1 ml = 32,5 mg/X
0,042×2 32,5×1
• X= X=
1 25
• X = 0,084 ml X = 1,3 ml
• BebanKontrol
• Tikus I Tikus II
• 25 + 28 + 30 = 83 : 3 = 28 g . 23 + 27 + 33 = 83 : 3 = 28 g

PEMBAHASAN
Dari hasil kelompok kami, menunjukan bahwa pembeian obat secara
intraperitoneal lebih cepat menunjukan efek dibndingkan dengan pemberian
obat secara per oral. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil positif pada
menit ke 45 untuk pemberian obat per oral dan memberikan hasil positif pada
menit ke 5 untuk pemberian intraperitoneal.
Berdasarkan hasil data pada pengamatan dari kelompok 1 sampai 6
menunjukan hasil yang berbeda-beda.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi bisa disebabkan karena ketidaktepatan
cara pemberian obat dan kondisi tikus yang stres juga dapat mempengaruhi
hasil pengamatan.
KESIMPULAN
Pada pemberian obat melalui intraperitorial, obat
lebih cepat bereaksi karena langsung masuk dalam
pembuluh darah, sedangkan pemberian obat
melalui per oral lebih lambat karena harus melewati
bebrapa sub membran.

Anda mungkin juga menyukai