Anda di halaman 1dari 41

CODE BLUE

Manajemen ROSC
Preface
• Resusitasi jantung paru merupakan langkah awal dari tata
laksana pasien henti jantung. Keberhasilan resusitasi jantung
paru ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan pasien
(return of spontaneous circulation/ROSC). Setelah ROSC,
pasien dapat mengalami perubahan hemodinamik yang tidak
stabil sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat
terjadinya kegagalan multi organ dan cedera otak. Pada
awalnya, kegagalan multi organ dan cedera otak ini
diakibatkan iskemik di seluruh tubuh saat henti jantung dan
terjadi kerusakan tambahan selama dilakukan reperfusi.
Cont.
• Gambaran patofisiologi pasca henti jantung
terkadang sangat unik karena bertumpang tindih
dengan penyakit yang menyebabkan henti
jantung atau penyakit komorbid. Kondisi ini
menggambarkan post cardiac arrest
syndrom yang terdiri dari empat komponen
penting yaitu: (1) cedera otak pasca henti
jantung, (2) disfungsi miokardial pasca henti
jantung, (3) iskemik sistemik/respon reperfusi,
dan terakhir (4) pencetus patologi henti jantung
yang persisten.
Cont.
• Namun beratnya sindrom pasca henti jantung ini
akan berbeda tiap individu bergantung kepada
beratnya iskemik yang terjadi selama henti
jantung dan reperfusi, penyebab henti jantung
dan kondisi pasien sebelum henti jantung.
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas
pasien pasca henti jantung mendorong
disusunnya sistematika perawatan pasca henti
jantung secara komprehensif.
Sindrom Pasca Henti Jantung
• Cedera otak merupakan penyebab tersering
kematian pasien pasca henti jantung. Cedera
otak menyumbang 68% penyebab kematian
pasien pasca henti jantung setelah keluar rumah
sakit, sedangkan kematian pasien pasca henti
jantung selama perawatan di rumah sakit
berkisar 23%. Hal ini terjadi karena otak memiliki
keterbatasan toleransi terhadap iskemik dan
respon otak terhadap reperfusi.
Cont.

• Beberapa jam sampai beberapa hari setelah


ROSC, akan terjadi berbagai perubahan
homeostasis di dalam tubuh seperti gangguan
homeostasis kalsium, terbentuknya radikal
bebas, kaskade protease yang patologis, dan
aktivasi sinyal apoptosis maupun nekrosis
neuron sehingga terjadi cedera otak.
Cont.
• Sel saraf dapat berdegenerasi pada
periode ini. Mikrosirkulasi otak juga
dapat terganggu akibat henti jantung
yang lama walaupun tekanan perfusi
ke otak mencukupi. Hal ini
kemungkinan terjadi akibat trombosis
saat terjadi henti jantung. Trombosis
ini dapat menyebabkan terhentinya
aliran darah ke otak sehingga terjadi
iskemik dan infark di otak.
Cont.
• Cedera otak juga dipengaruhi oleh kondisi pireksia,
hiperglikemi, dan kejang. Pada pasien dengan suhu lebih dari
390 C pada 72 jam pasca ROSC akan meningkatkan risiko
kematian otak. Peningkatan gula darah diketahui dapat
memperberat iskemik di otak. Kondisi ini dapat ditangani
dengan pemberian insulin. Kejang pasca henti jantung
berkaitan dengan prognosis pasien. Kejang yang terjadi
kemungkinan terjadi akibat cedera otak pasca henti jantung.
Cont.
• Disfungsi miokardial pasca henti jantung
rupanya turut berkontribusi terhadap
rendahnya angka harapan hidup pasien.
Namun demikian, kondisi ini dapat bersifat
reversibel jika ditatalaksana dengan cepat
dan adekuat. Disfungsi miokardial dapat
dideteksi dengan pemeriksaan fraksi
ejeksi. Fraksi ejeksi akan menurun dari
55% sampai 20%, dan end-diastolic
pressure meningkat dari 8-10 mmHg
sampai 20-22 mmHg selama 30 menit
pertama setelah ROSC.
Cont.
Disfungsi miokardial harus cepat dideteksi
dengan melihat cardiac output yang rendah
(<2.2 L/menit/m2), takikardia, peningkatan
tekanan end-diastolic ventrikel kiri, diikuti
hipotensi 6 jam setelahnya. Masa
pemulihan dapat terjadi selama 1-2 hari
setelah ROSC dengan tatalaksana yang
adekuat. Fraksi ejeksi secara bertahap akan
meningkat selama beberapa minggu hingga
bulan.
Cont.

• Pada saat terjadi henti jantung,


pengiriman oksigen ke jaringan akan
berhenti dan metabolit akan menumpuk
akibat berhentinya sirkulasi. Tindakan
resusitasi jantung paru hanya dapat
mengembalikan sebagian dari proses ini
sehingga saturasi oksigen akan menurun
dari normal. Pengiriman oksigen ke
jaringan dapat tetap terganggu walaupun
setelah terjadi ROSC.
Cont.
• Hal ini disebabkan oleh disfungsi miokardial,
hemodinamik yang tidak stabil, dan kegagalan
mikrosirkulasi. Jika asupan oksigen ke jaringan
tidak adekuat, akan memperberat kegagalan
multiorgan berikutnya. Gejala klinis yang dapat
terjadi akibat iskemik sistemik/respon reperfusi
berupa penurunan volume intravaskular,
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
asupan oksigen, dan rentan terhadap infeksi.
Cont.
• Penyakit paru seperti PPOK, asma, dan
pneumonia dapat memicu terjadinya gagal napas
dan henti jantung. Ketika henti jantung yang
disebabkan gagal napas, fisiologi respiratori
dapat memburuk setelah ROSC. Redistribusi
darah ke dalam pembuluh darah paru dapat
memicu terjadinya edema dan meningkatkan
gradien oksigen antara alveolar dan arteri
setelah henti jantung.
Cont.

• Sepsis merupakan salah satu penyebab henti


jantung, acute respiratory distress syndrome,
dan kegagalan multi organ. Dengan demikian,
pasien pasca henti jantung dengan sepsis
memiliki kecenderungan untuk mengalami
eksaserbasi sindrom pasca henti jantung.
Kegagalan multipel organ akibat sepsis
merupakan penyebab tersering kematian pasien
pasca henti jantung selama perawatan di rumah
sakit.
Cont.
• Faktor presipitasi lain yang menyebabkan henti
jantung mungkin membutuhkan penanganan
khusus selama perawatan pasca henti jantung
misalnya akibat overdosis dan intoksikasi yang
membutuhkan antidot atau kondisi hipotermia
yang membutuhkan kontrol temperatur.
Perawatan Pasca Henti Jantung

• Perawatan pasien pasca henti jantung memiliki tujuan


inisial dan tujuan lanjutan, antara lain:
• Tujuan Utama :
• Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi
organ vital
• Transportasi pasien henti jantung ke rumah sakit yang
memiliki sistem fasilitas perawatan pasca henti jantung
yang komprehensif yang terdiri dari intervensi koroner
akut, perawatan neurologi, goal-directed critical care,
dan hipotermia
• Transport pasien henti jantung yang terjadi di rumah
sakit ke critical care unit yang mampu memberikan
perawatan pasien pasca henti jantung secara
komprehensif
• Melakukan identifikasi dan tatalaksana penyebab henti
jantung dan mencegah terjadinya henti jantung berulang
Cont.
• Tujuan lanjutan:
• Mengontrol suhu tubuh untuk mengoptimalkan
keberlangsungan hidup da pemulihan neurologis
• Mengidentifikasi dan tatalaksana sindrom koroner akut
• Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk minimalisasi cedera
paru
• Menurunkan risiko cedera multiorgan dan menyokong fungsi
organ jika dibutuhkan
• Membantu pasien dengan pelayanan rehabilitas saat
dibutuhkan
Tata Laksana
• Segera setelah ROSC, penolong harus menjaga
patensi jalan napas dan pastikan bantuan
pernapasan yang adekuat bagi pasien. Pasien pasca
henti jantung yang kesadarannya masih belum pulih
dengan sempurna mungkin membutuhkan
tatalaksana jalan napas lanjutan untuk memberikan
bantuan pernapasan secara mekanik seperti
pemakaian endotracheal tube. Namun beberapa
manuver sederhana dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan seperti melepaskan dasi dari leher pasien,
elevasi kepala sebesar 300 untuk mencegah
terjadinya edema otak, aspirasi, dan pneumonia
akibat penggunaan ventilator. Pemasangan alat
bantu jalan napas yang benar. Serta pemantauan
CO2 dan O2 dengan
menggunakan caphnograph dan pulse oximetry.
Cont
Pada awal tindakan resusitasi, penolong dapat
memberikan oksigen 100% namun pemberian
oksigen harus diturunkan secara perlahan sampai
mencapai kadar oksigen terendah yang diperlukan
pasien yang masih memberikan saturasi oksigen
sebesar ≥ 94%. Hal ini dilakukan untuk mencegah
keracunan oksigen. Penurunan kadar oksigen ini
dapat dilakukan ketika pasien mencapai rumah
sakit dan mendapat perawatan yang adekuat.
Cont.
• Selain itu juga harus dihindari pemberian
ventilasi yang berlebihan untuk mencegah
hiperventilasi karena tekanan intratorakal dapat
meningkat pada kondisi hiperventilasi dan dapat
menurunkan curah jantung. Hiperventilasi dapat
meicu penurunan PaCO2 sehingga aliran darah ke
otak dapat berkurang. Ventilasi dimulai dengan
10-12 kali per menit sampai PETCO2 mencapai
35-40 mmHg atau PaCO2 sebesar 40-45 mmHg.
Cont.
Pemantauan tanda vital dan aritmia harus
dilakukan selama perawatan pasca henti jantung
segera setelah ROSC sampai kondisi pasien stabil.
Pemasangan akses intravena harus dilakukan sejak
resusitasi. Bolus cairan dapat diberikan apabila
pasien mengalami hipotensi. Pemberian obat
vasoaktif mungkin diperlukan dan harus
diturunkan sampai mencapai tekanan darah
sistolik ≥ 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥
5 mmHg.
Cont.
• Pada pasien yang tidak dapat mengikuti perintah
verbal setelah ROSC, dapat dipertimbangkan
terapi hipotermia untuk meningkatkan
pemulihan neurologikal. Terapi hipotermia
dilakukan dengan pemberian infus cairan dingin.
Pemantauan EKG 12 lead diperlukan untuk
mendeteksi elevasi segmen ST karena
kebanyakan henti jantung disebabkan oleh acute
myocardial infarction. Apabila pasien memiliki
kecurigaan ke arah acute myocardial infarction,
aktivasi protokol tatalaksana AMI dan lakukan
reperfusi koroner.
Cont.
• Selanjutnya tindakan yang paling utama adalah
mengidentifikasi penyebab henti jantung.
Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk mencegah
terjadinya henti jantung berulang atau kondisi
yang memperberat pasien pasca henti jantung
seperti hipovolemi, hipoksia, asidosis,
hiper/hipokalemi, hipotermia, toksin,
tamponade, tension pneumotoraks, dan
trombosis koroner atau paru.
Optimasi Hemodinamik

• Optimasi hemodinamik atau early goal-directed


therapy (EGDT) bertujuan untuk menjaga keseimbangan
antara pengantaran oksigen dan kebutuhan jaringan akan
oksigen. Pengelolaan hemodinamik mengutamakan optimasi
preload, konsentrasi oksigen dalam arteri, afterload,
kontraktilitas, dan penggunaan oksigen sistemik. Target EGDT
mencakup CVP sebesar 8-12 mmHg, MAP antara 65-90 mmHg,
ScvO2 > 70%, hematokrit > 30% atau hemoglobin > 8 g/dL,
laktat ≤ 2 mmol/L, urine output ≥ 0.5 ml/kg/jam, dan oxygen
delivery index > 600 ml/menit/m2. Target ini dapat dicapai
melalui pemberian cairan intravena, inotrop, vasopresor, dan
transfusi darah.
Cont.
• Hilangnya autoregulasi tekanan serebrovaskular
membuat perfusi serebral bergantung pada cerebral
perfusion presure (CPP). Pada keadaan pasca henti
jantung, peningkatan intra kranial jarang terjadi
sehingga CPP bergantung pada MAP. Perfusi serebral
yang adekuat dapat dicapai ketika nilai MAP berkisar
antara 90-100 mmHg. Saturasi oksigen vena sentral
(ScvO2), urine output, dan laktat menunjukkan
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan. Target urine
output pada pasien pasca henti jantung ≥0.5
ml/kg/jam.
Cont.

Pengeluran urin yang > 1 ml/kg/jam dapat terjadi pada pasien


yang menjalani terapi hipotermia dan produksi urin ini seringkali
bertumpang tindih dengan adanya kondisi acute atau chronic
renal insufficiency. Konsentrasi laktat dapat meningkat segera
setelah ROSC akibat iskemik di seluruh tubuh ketika henti
jantung. Nilai CPV yang optimal berkisar antara 8-12 mmHg
namun perlu diperhatikan penyebab persisten henti jantung
yang dapat meningkatkan CVP seperti tamponade,acute
myocardial infarction, emboli pulmoner, dan tension
pneumotoraks. Pada pasien pasca henti jantung biasanya
mengalami penurunan volume intravaskular sehingga
dibutuhkan pemberian cairan dapat berupa kristaloid maupun
koloid.
Oksigenasi
• Kondisi hiperoksia selama tahap awal reperfusi
dapat membahayakan neuron pasca iskemik
karena terbentuk stres oksidatif yang berlebihan.
Pada 1 jam pertama setelah ROSC, pemberian
oksigen 100% justru akan memperberat kondisi
neuron dibandingkan fraksi oksigen yang telah
disesuaikan untuk menghasilkan saturasi oksigen
94-96%.
Ventilasi
• Selama perawatan pasca henti jantung sebaiknya hindari
kondisi hiperventilasi maupun hipoventilasi.
Hiperventilasi akan menyebabkan vasokonstriksi serebral
sehingga berpotensi terjadi iskemik. Hiperventilasi jga
akan meningkatkan tekanan intratoraks yang akan
menurunakan cardiac output. Pada kondisi hipoventilasi,
hipoksia dan hiperkarbia dapat meningkatkan ICP segera
setelah ROSC. Selama ventilasi mekanik, volum tidal yang
direkomendasikan sebesar 6 ml/kgBB dan plateau
pressure sebesar ≤ 30 cmH2O. Volume tidal yang
berlebihan dapat menyebabkan barotrauma maupun
volutrauma.
Manajemen Hipotermia
• Terapi hipotermi
• Beberapa studi yang menunjukkan terapi hipotermi
dapat menjadi neuroprotektor dan organ lain setelah
terjadinya iskemik di seluruh tubuh. Kondisi hipotermi
dapat menurunkan kecepatan metabolisme oksigen
serebral. Berdasarkan penelitian random, induksi
hipotermi pada pasien dengan fibrilasi ventrikular
sampai 32-340C selama 12-24 jam setelah ROSC dapat
meningkatkan fungsi neuron.
Cont.
• Belum ada studi yang menjelaskan mengenai waktu
inisialsi maupun durasi terapi hipotermia. Pada studi
menggunakan model hewan dengan henti jantung,
hipotermia yang berlangsung selama ≤ 1 jam yang
dicapai < 10-20 menit setelah ROSC memberikan
manfaat dibandingkan ketika inisiasi terapi hipotermia
ditunda. Pada penelitian prospektif, hipotermia yang
dicapai dalam 2 jam setelah ROSC memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan pada pasien pasca henti jantung
dengan normotermia. Kondisi hipotermia dipertahankan
selama 12-24 jam.
Cont.
• Banyak cara yang dapat dipakai sebagai terapi
hipotermia seperti cooling blankets, kantung es,
pemberian cairan intravena dingin bisa
menggunakan 500 ml sampai 30 ml/kg saline
0.9% atau ringer’s lactate. Terapi hipotermia ini
membutuhkan pengawasan suhu yang
berkelanjutan dengan menggunakan
termometer esofageal.
Cont.
• Hipertermia
• Suhu dapat meningkat pasca henti jantung
disebabkan oleh peningkatan sitokin. Hal ini
dapat menyebabkan gangguan pemulihan otak.
Suhu ≥ 37.6oC dapat memperburuk kondisi
neuron pasien pasca henti jantung. Dengan
demikian diperlukan pengawasan ketat terhadap
suhu inti.
Sirkulasi
• Hemodinamik yang tidak stabil sering terjadi pada pasien
pasca henti jantung ditandai dengan disritmia,
hipotensi, cardiac index yang rendah. Hal ini disebabkan
karena terjadi deplesi volume intravaskular,
terganggunya vasoregulation, dan disfungsi miokardial.
Disritmia dapat ditatalaksana dengan kontrol konsentrasi
elektrolit. Tidak dibutuhkan obat profilaksis yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya aritmia setelah
henti jantung.
Cont.
• Disritmia biasanya terjadi akibat iskemik
miokardial. Pemberian cairan intravena dapat
digunakan untuk tata laksana hipotensi,
bertujuan untuk optimasi right-heart filling
pressure. Pada sebuah studi, 3.5-6.5 L kristaloid
intravena dibutuhkan selama 24 jam pertama
setelah ROSC untuk mempertahnkan tekanan
atrium kanan sebesar 8-12 mmHg.
Cont.
• Pemeberian inotrop dan vasopresor dapat
dipertimbangkan jika target hemodinamik tidak tercapai
dengan optimasi preload. Disfungsi miokardial bersifat
reversibel dengan pemberian inotrop tetapi tingkat
keparahan dan durasi disfungsi miokardial juga
berpengaruh pada keberlangsungan hidup. Terganggunya
vasoregulation juga bersifat reversibel dengan
penggunaan vasopresor. Jika ekspansi volume dan
penggunaan obat vasoaktif dan inotropik tetap tidak
memberikan perfusi organ yang adekuat, dapat
digunakan intra-aortic ballon pump (IABP) namun alat ini
tidak dianjurkan dilakukan secara rutin.
Perfusi Serebral
• Pemantauan tanda vital pasien pasca henti jantung harus
dilakukan secara berkala karena dapat terjadi perubahan
hemodinamik yang tidak stabil. Kondisi hipotensi sering
terjadi pasca henti jantung akibat deplesi deplesi volume
intravaskular. Kondisi ini dapat memperberat iskemik
serebral. Penurunan perfusi serebral ini terjadi akibat
disfungsi sistem mikrovaskular dan gangguan
autoregulasi pasca henti jantung. Perfusi serebral
dipengaruhi cerebral perfusion presure (CPP) dimana
CPP=MAP-ICP. Pada kondisi henti jantung biasanya ICP
tidak meningkat sehingga CPP bergantung pada MAP.
Dengan demikian perfusi serebral dapat dipertahankan
dengan mempertahankan MAP.
Vasopresor
• Obat vasoaktif diberikan pada pasien pasca henti jantung
dengan tujuan meningkatkan cardiac ooutput terutama
untuk meningkatkan aliran darah ke jantung dan otak.
Obat dapat bersifat meningkatkan frekuensi nadi
(kronotropik), meningkatkan kontraktilitas (inotropik),
meningkatkan tekanan arteri (vasokonstriksi), atau yang
bertujan untuk menurunkan afterload (vasodilator).
Kebanyakan obat adrenergik tidak bersifat selektif
sehingga seringkali terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan oksigen dan kebutuhan oksigen di jaringan.
Cont.
• Pasca henti jantung, pasien seringkali mengalami
ketidakstabilan hemodinamik. Kematian akibat kegagalan
multiorgan berkaitan dengan rendahnya curah jantung
selama 24 jam setelah resusitasi. Vasodilatasi yang
terjadi akibat hilangnya tonus simpatetik dan akibat
asidosis metabolik. Iskemik dan defibrilasi ikut
memengaruhi terjadinya disfungsi miokardial yang dapat
pulih dengan pemberian obat vasoaktif. Target ideal
tekanan darah dan oksigenasi dengan pemberian obat
vasoaktif dapat dilihat dari MAP ≥65 mmHg dan ScvO2
≥70%.
Pengendalian kadar gula darah
• Kelainan metabolisme tubuh pasca henti jantung
seperti kondisi hiperglikemik dapat
memperburuk kondisi pasien. Kadar glukosa
yang tinggi dapat meningkatkan mortalitas dan
memiliki efek yang buruk terhadap sistem saraf.
Kadar gula darah pasca henti jantung yang
optimal belum diketahui dengan pasti. Namun
kadar gula darah sebaiknya dipertahankan
sebesar 144-180 mg/dL. Kondisi hipoglikemia
juga harus dihindari karena dapat memperburuk
kondisi pasien.
Pengendalian Kejang
• Kejang terjadi pada 5-20% pasien setelah ROSC. Kejang
dapat meningkatkan metabolisme serebral sebanyak 3
kali normal dan memperberat cedera otak sehingga
harus mendapatkan terapi secepatnya. Obat yang dapat
digunakan sebagai terapi adalah benzodiazepines,
phenytoin, sodium valproate, propofol, dan barbiturat.
Thiopental kurang efektif untuk kejang pasca henti
jantung. Phenytoin biasanya tidak efektif terhadap
mioklonik. Clonazepam merupakan obat antimioklonik
yang palling efektif. Namun sodium valproat dan
levetiracetam juga efektif untuk mioklonik.

Anda mungkin juga menyukai