Anda di halaman 1dari 27

TEXT BOOK READING

Definisi
Infeksi granulomatosis, bersifat kronis destruktif,
disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra. Dikenal juga dengan istilah
Pott’s disease atau Tuberculous Vertebral Osteomyelitis
(Paramarta et al., 2008).

Etiologi
• Mycobacterium tuberculosis (paling sering)
• Mycobacterium africanum (penyebab tuberkulosa di
Afrika Barat)
• bovine tubercle baccilus
• non-tuberculous mycobacteria (pada penderita HIV).
Usia dan Jenis Kelamin
Wanita  40 – 50 tahun
Pria  60 tahun
Nutrisi
Malnutrisi  menurunkan imunitas
Faktor toksik
Alkohol, rokok, obat kortikosteroid jangka panjang 
menurunkan imunitas
Penyakit lain
HIV, diabetes, lepra, silikosis, leukemia  meningkatkan
risiko terkena tb
Sosial ekonomi rendah
Lingkungan buruk, adanya malnutrisis
Ras
Eskimo atau orang Amerika Asli  imunitas kurang
terhadap bakteri tb
• Batuk > 3 minggu
• Gejala Sistemik TB, termasuk pembesaran kelenjar getah bening
• Benjolan pada tulang belakang yang nyeri

Ax • Nyeri menjalar yang memberat jika membungkuk dan mereda saat


istirahat

• Langkah kaki pendek, untuk menghindari nyeri punggung


• Infeksi servical  rigiditas pada leher yang dapat asimetris 
timbul gejala klinis torticolis
• Infeksi thorakal  punggung kaku
• Infeksi lumbal  pasien berjalan dengan lutut dan panggul dalam
posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
PF meletakkan tangan di atas paha
• Deformitas : kifosis, skoliosis, boyonet deformity, subluksasi,
spondilolistesis, dislokasi
• Paraplegia  Pott’s paraplegia
• LED meningkat
• Mantoux / Tuberculin test (+)
• Leukositosis dengan HJL Limfositosis relatif
PP • Pemeriksaan LCS (jika terdapat meningitis tuberkulosa) :
xantochrome, pleositosis, protein meningkat, adanya basil
LAB tuberkulosa pada kultur

• Foto thorax  mencari adanya TB Paru


• Foto polos tulang belakang  lesi baru terlihat setelah 3 – 8
minggu onset penyakit
• Lesi osteolitik di corpus vertebrae  penyempitan diskus
intervertebralis dan erosi corpus vertebrae anterior berbentuk
scalloping
PP • Infeksi sekunder tb yang sudah lama  tall vertebrae
RADIOLOGI • Abses paravertebral dan psoas
• CT Scan  melihat lengkung saraf posterior seperti pedikel
• MRI  membedakan komplikasi bersifat kompresif/ non
kompresif  menentukan manajemen konservatif/ operatif
• Nutrisi adekuat
• Tirah baring
• OAT
Konservatif • NSAID  tambahan untuk meminimalisasi efek destruksi tulang

• Dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu terapi tidak ada respon


• Terdapat abses yang dapat dengan mudah di drainase
• Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
• Penyakit lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
Operatif • Penyakit yang rekuren
• Pott’s paraplegia
Mielitis adalah kelainan neurologi pada medulla
spinalis (mielopati) yang disebabkan proses
inflamasi (NINDS, 2012). Disebut juga sebagai
sebagai mielitis transverse atau myelitis transverse
akut.
Berdasarkan Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan Onset
Etiologi dan Distribusi
• Akut • Disebabkan virus • Mielitis transversa
• Sub akut • Akibat sekunder • Poliomielitis
• Kronik dari penyakit • Leukomielitis
meningens dan • Mielopati
medula spinalis
• Mielopati
idiopatik
 Infeksi : virus, bakteri, jamur, parasit, HIV,
varicella zooster, cytomegalovirus, TBC
 Inflamasi
 Autoimun sistemik : SLE, multiple sklerosis,
Sjogren’s syndrome
 sindrom paraneoplastik
 penyakit vaskuler
 iskemik sumsum tulang belakang
Gejala Sensorik Gejala Motorik Gejala Otonom

Nyeri di pinggang Kelemahan pada Gangguan fungsi


yang menjalar ke kaki dan lengan kandung kemih
kaki, lengan, atau
badan
Paraparesis hingga Parese usus
paraplegia
Parestesia mendadak Disfungsi seksual

Gangguan sensorik
seperti kebas,
perasaan geli,
kedinginan atau
perasaan terbakar
 Adanya gejala sensorik, motorik, dan otonom
 Pemeriksaan Penunjang
 MRI  untuk menyingkirkan lesi struktural, untuk
tindakan operasi
 Pungsi lumbal  menentukan adanya
peradangan.
 Lab darah/ tes serologi sering membantu dalam
mengesampingkan adanya gangguan sistemik
seperti penyakit rematologi (misalnya, penyakit
Sjogren atau lupus eritematosa sistemik ),
gangguan metabolisme.
 Dosis tinggi metilprednisolon (1 g IV setiap hari
selama 3-7 hari)
 Plasma exchange untuk ATM derajat sedang –
berat.
 Imunomodulator dan obat sitotoksik seperti
rituxima, azathioprine, dan siklofosfamid
Penyakit menular akut yang disebabkan oleh
virus polio yang predileksinya merusak sel
anterior substansia grisea medula spinalis dan
batang otak, menyebabkan kelumpuhan otot-otot
serta bersifat permanen
Poliomielitis asimtomatis
Tidak terdapat gejala karena daya tahan tubuh baik
Poliomielitis abortif
Gejala infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea,
muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan
nyeri abdomen.
Poliomielitis non paralitik
Gejala sama seperti poliomielitis abortif namun nyeri
kepala, mual, dan muntah lebih berat. Khas untuk
penyakit ini dengan hipertonus.
Poliomielitis paralitik
Polio paralisis spinal
Virus menyerang kornu anterior sehingga ditemukan
kelumpuhan motorik
Polio bulbar
Virus menyerang batang otak
• Belum mendapatkan imunisasi
• Berpergian ke daerah yang masih sering
ditemukan polio
• Malnutrisi
• Stres atau kelelahan fisik yang luar biasa
(karena stress emosi dan fisik dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh).
• Defisiensi imun
Poliomielitis asimptomatis
• Penyakit ini hanya diketahui dengan menemukan virus di tinja atau
meningginya titer antibodi.
Poliomyelitis abortif
• Timbul mendadak, berlangsung 1-3 hari
• Panas dan jarang melebihi 39,5oC, sakit tenggorokkan, sakit kepala,
mual, muntah, malaise, dan nyeri perut.
• Diagnosis pasti hanya dengan menemukan virus pada biakan jaringan.

Poliomyelitis non paralitik


• Sama seperti poliomielitis abortif
• nyeri kepala, mual dan muntah lebih berat, kaku pada otot belakang
leher, punggung dan tungkai
• Tanda Kernig dan Brudzinsky yang positif.
• Posisi tripod
Poliomielitis paralitik
• Gejala klinisnya sama seperti poliomyelitis non paralitik disertai dengan
kelemahan satu atau beberapa kelumpuhan otot skelet atau kranial.
• Gejala ini dapat menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul
kembali disertai dengan paralisis flaksid yang biasanya unilateral.
• Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain:
• Bentuk spinal : Gejala kelemahan / paralisis atau paresis otot leher,
abdomen, tubuh, diafragma, thoraks dan terbanyak ekstremitas
bawah.
• Bentuk bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan
atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
• Bentuk bulbospinal : Didapatkan gejala campuran antara bentuk
spinal dan bentuk bulbar. Kadang ensepalitik dapat disertai gejala
delirium, kesadaran menurun, tremor dan kadang kejang.
Infeksi abortif
• Istirahat sampai beberapa hari setelah temperatur normal.
• Dapat diberikan analgetik dan sedatif.
• Jangan melakukan aktifitas selama 2 minggu. 2 bulan kemudian dilakukan
pemeriksaan neuro-muskulosketal untuk mengetahui adanya kelainan.

Non paralitik
• Pemberian analgetik 15-30 menit setiap 2-4 jam.
• Fisioterapi dilakukan 3-4 hari setelah demam hilang. Fisioterapi bukan
mencegah atrofi otot yang timbul tapi dapat mengurangi deformitas yang
ada.

Paralitik
• Harus dirawat di rumah sakit karena sewaktu-waktu dapat terjadi paralisis
pernapasan, dan untuk ini harus diberikan pernapasan mekanis.
• Bila rasa sakit telah hilang dapat dilakukan fisioterapi pasif dengan
menggerakkan kaki/tangan.
Definisi
Polimiositis adalah miopati inflamasi
idiopatik yang menyebabkan kelemahan
otot simetris proksimal, peningkatan kadar
enzim otot rangka, serta elektromiografi
(EMG), dan temuan biopsi otot yang
spesifik
Kriteria diagnosis poliomielitis (Rendt, 2001; Lundbrerg et al., 2009):
 Kelemahan otot proksimal yang simetris
 Elektromiografi abnormal, menunjukkan miopati
 Peningkatan aktivitas enzim serum yang terkait miositis
 Creatinin kinase
 Aldolase
 Laktat dehidrogenasi
 Transaminase (alanine transaminase, aspartate transaminase)
 Adanya inflamasi kronis pada biopsi
 Nekrosis tipe I dan tipe II fibrosis otot
 Degenerasi dan regenerasi serat otot dengan variasi
 Koleksi fokal sel mononuklear perivaskuler atau intersisial

• Seluruh kriteria terpenuhi  definite polymyositis


• 3 dari 4 probable polymyositis
• 2 dari 4  possible polymyositis jika hanya dua kriteria dari empat yang
terpenuhi.
Diagnosis pasti dapat dibuat jika terdapat perubahan gambaran histopatologi
pada biopsi otot
Non medikamentosa
• Rehabilitas dan terapi fisik, latihan fisik direkomendasikan sebagai terapi kombinasi
dengan pengobatan imunosupresif karena memiliki efek menguntungkan yang jelas pada
fungsi otot.

Medikamentosa
• Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk polimiositis. Diawali dengan pemberian
prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/ hari selama empat sampai enam minggu pertama.
Setelah empat sampai enam minggu, tappering prednison harus dimulai.
• Jika pada minggu ke-6 setelah prednison diberikan tidak ada perbaikan, maka dapat
ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg/kgBB, dimulai dengan dosis 50 mg 1 kali
sehari. Jika setelah 3 minggu tidak ada perbaikan, dosis azatriopin dinaikan hingga 100
mg/ hari dan dapat dinaikkan lagi hingga mencapai dosis maksimal, yaitu 150 mg/hari.
• Metotreksat dapat diberikan dengan dosis awal 7,5 mg/ minggu dan dapat dinaikkan
sampai 15 mg/ minggu bila dalam 4 – 6 minggu tidak ada perbaikan.
• Siklofosfamid dan siklosforin jarang diberikan pada pasien polimiositis. Namun siklosforin
A dengan dosis 2,5 – 5 mg/kgBB/hari memberikan hasil yang baik pada miositis dengan
anti-Jo-1 positif dan polimiositis refrakter (Setiyohadi, 2006; Choy&Isenberg, 2002)
• Terapi intravenous immunoglobulin (IVIG) sebenarnya telah terbukti efektif untuk
polimiositis, namun karena terbatasnya ketersediaan dan harganya yang mahal, terapi ini
dikhususkan untuk kasus yang parah.
 Tergantung pada jenis kelamin, usia, tingkat
keparahan miopati, keganasan, disfagia, dan
masalah kardiopulmonal.
 Pada orang dewasa prognosis lebih baik, kecuali
berkaitan dengan keganasan (Ballinger, 2003).
 Five-year survival rate diperkirakan lebih dari 80%,
dengan penyebab kematian diantaranya
kelemahan otot yang parah, keterlibatan paru,
keterlibatan jantung, terkait keganasan, dan
komplikasi terapi imunosupresif terutama infeksi
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai