Anda di halaman 1dari 29

Advances in the

Critical Care
Management of Pembimbing : dr. Harry H., Sp.S

Ischemic Stroke Visakha Revana Irawan


(2013.060.087)
Consistania Ribuan
(2013.060.088)
Clarissa Theodora
(2013.060.089)

Kepaniteraan Klinik Departemen


Ilmu Penyakit Saraf
Departemen Neurologi
P.K. St. Carolus
FK Atma Jaya Jakarta
18 Agustus – 20 September 2014
INTRODUCTION
 Sekitar 15-20% pasien dengan stroke iskemik akan
mendapatkan perawatan di ICU.

 Hal ini juga termasuk pasien yang beresiko mengalami


transformasi haemorrhagik atau berkembang menjadi
edema cerebral maligna, atau yang membutuhkan
intubasi karena stroke batang otak atau penurunan
kesadaran, dan pasien menunjukkan instabilitas
hemodinamik.

 Semua pasien stroke direkomendasikan untuk dirawat


di ICU dengan menyediakan neurocritical care.
POST-THROMBOLYSIS AND / OR
INTRA-ARTERIAL REVASCULARIZATION
 Tissue-type plasminogen (tPA) bermanfaat bagi
pasien dengan iskemia serebral akut.

 Pasien dengan oklusi arteri besar intrakranial akan


mendapatkan intervensi dengan alat intra-arteri,
seperti stent retrievers, dengan tujuan untuk
mendapatkan rekanalisasi yang cepat dan efektif,
meksipun peran dari alat tersebut masih belum jelas
hingga sekarang.

 Hasil fungsionalnya juga tidak begitu signifikan jika


dibandingkan dengan penggunaan tPA saja.
POST-THROMBOLYSIS AND / OR
INTRA-ARTERIAL REVASCULARIZATION
 Penggunaan alat itu beresiko menyebabkan perdarahan intrakranial.
 Trombolisis dengan tPA intravena berkaitan dengan perdarahan
intrakranial yg simptomatik (sICH) pada 3-6% pasien.
 Oleh karena itu, pasien yg menerima tPA IV atau embolektomi intra-
arterial, membutuhkan monitoring neurologi di ICU atau unit stroke
minimal selama 24 jam.

 Untuk meminimalisasi resiko transformasi menjadi hemorrhagic, tekanan


darah harus selalu dipantau (<180/105 mmHg untuk 24 jam pertama
setelah trombolisis).
 Biasanya pasien stroke cenderung mengalami hipertensi, sehingga
dibutuhkan pemberian Labetalol IV 10 mg selama 10-15 menit, atau
Nicardipin IV (2,5-5 mg / hr, dititrasi hingga maksimal 15 mg / hr), untuk
mengontrol tekanan darah.
POST-THROMBOLYSIS AND / OR
INTRA-ARTERIAL REVASCULARIZATION
 Jika pasien mengalami deteriorasi neurologis, terutama setelah
pemberian tPA IV atau IA, maka perlu dilakukan neuro-imaging untuk
mengetahui apakah terjadi transformasi hemorrhagik atau tidak.
 Pada kasus sICH, PT, aPTT, trombosit, dan nilai fibrinogen akan menurun.

 Agen reversal juga perlu dipertimbangkan, walaupun jarang digunakan,


seperti fresh frozen plasma (2 unit setiap 6 jam selama 24 jam),
kriopresipitat (10-20 unit), dan trombosit (4-8 unit), biasanya akan
ditransfusikan.
 Jika gagal, dapat dipertimbangkan pemberian asam aminocaproik
antifibrinolitik (5 gr dalam 250 mL NS).

 Jika terjadi perdarahan intrakranial spontan, perlu diberikan manitol atau


salin hipertonik, atau dekompresi neurosurgical (perdarahan fossa
posterior, lobar / superfisial).
POST-THROMBOLYSIS AND / OR
INTRA-ARTERIAL REVASCULARIZATION
 Perdarahan sistemik yg hebat setelah revaskularisasi sangat jarang terjadi.
 Prosedur intervensi dimulai dengan kanulasi arteri femoral.
 Kadang-kadang, perdarahan dari bagian kanulasi, termasuk perdarahan
retroperitoneal berat, dapat terjadi.
 Kompresi manual dari sisi inguinal, dengan penambahan replacement
eritrosit, trombosit, dan fresh frozen plasma juga dibutuhkan.

 Komplikasi paling serius dari pemberian tPA adalah timbulnya


angioedema orolingual.
 Angioedema orolingual terjadi pada 1-5% pasien, biasanya ringan,
transien, dan kontralateral dari hemisfer yg iskemik.
 Jika angioedema menjadi derajat berat, maka dapat menyebabkan
obstruksi pernafasan. Adanya hal ini, maka perlu diberikan anti-histamin,
kortikosteroid, dan antagonis reseptor histamin tipe 2 secara IV.
 Jika terdapat stridor pada pasien, maka perlu dilakukan tindakan intubasi.
Stroke Hemisfer luas dengan
Edema Serebri Maligna
 Pasien dengan stroke hemisfer luas sering memburuk secara
neurologis dan seringkali membutuhkan tatalaksana perawatan
intensif (ICU).
 Gejala transformasi hemorrhagic dan evolusi edema serebri
merupakan penyebab utama dari perburukan ini.
 Secara klasik, edema serebri terjadi pada 2 – 5 hari setelah onset
dari infark.
 Sebagian pasie dengan strok hemisfer luas dengan infark
complete daerah middle cerebral artery (MCA)  mengalami
perburukan dalam 24 – 48 jam pertama. Disertai :
 Edema massive
 Severe Midline shift
 Kompresi dari basal sisterna pada neuroimaging
 “Malignant” MCA infarction merupakan 1 – 10% dari seluruh
supratentorial ischemic stroke.
 Mortalitas 50 -80%
Stroke Hemisfer luas dengan
Edema Serebri Maligna
 Identifikasi dini dari pasien dengan malignat cerebral
edema penting untuk keputusan terapi : dekompresi,
hemicraniektomi.
 NIH Stroke Scale (NIHSS) seringkali melampaui
 16 – 20  jika melibatkan hemisfer dominan,
 15 – 18  pada infark malignan jka hemisfer nondominan
tidak terlibat.
 Prediksi radilogi dari edema serebri maligna :
 Pada CT scanEarly hipodensity > 50% dari area MCA
Atau Lesi difus dengan volume > 82mL dalam 6 jam setelah
onset stroke
 Keterlibatan teritori vaskular yang berdekatan :
 Anterior cerebral artery (ACA) atau Posterior cerebral artery
Stroke Hemisfer luas dengan
Edema Serebri Maligna
 Goalprimer dari dekompresi
(hemicraniektomi dan duraplasty) :
 Menyediakan space pada jaringan yang
edema untuk memperluas keluar karnuium,
 Mengurangi pergeseran jaringan dan tekanan
pada kompartmen intrakranial ,
 Mengembalikan perfusi cerebral dan
meminimalkan ekacauan oxigenasi pada
jaringan noninfark
Stroke Hemisfer luas dengan
Edema Serebri Maligna
 Peneletian membandingkan antara
dekompresi hemicraniektomi dalam 48 jam
setelah onset stroke dengan managemen
medis terbaik pada pasien usia 18 -60 tahun
dengan nilai NIHSS > 12  penurunan
kesadaran tanpa fixed. Dilatasi pupil
bilateral, dengan hipodensitas > 50% dari
area MCA pada CT scan  case fatality
(28%) < dibandingkan kedan terapi
konservatif (78%)
Pedekatan lain untuk edema
serebri dan peningkatan
tekanan intrakranial
 Agen hiperosmolar  manitol
 Hipertonik salin
 Bekerja dengan pembentukan ruang hipertonik
intrvaskuler relatif  memicu osmotic flow dari air
keluat dari parenkim otak.
 Manitol :
 Bolus 0.25 – 1.0 g/kg setiap 4 - 6 jam
 Dengan bolus hipertonik saline (dengan dosis setara
dengan manitol atau continuous infusion)
Pedekatan lain untuk edema
serebri dan peningkatan
tekanan intrakranial
 Penelitian membandingkan antara hipertonik saline dengan
manitol
 16 dari 16 espisode stroke iskemik dengan ↑ TIK > 25 mmHg
atau adanya abnormalitas pupil  memberi respon pada
hipertonik saline
 10 dari 14 episode stroke  berespon dengan manitol
 rata rata ↓ TIK 11 mmHg dengan hipertonic saline , dan 5
mmhg dengan manitol.
 Tidak ada penelitian yang menyatakan manitol dan
hipertonic saline sebagai profilaksi untuk ↓ edema dan
pergeseran jaringan karena adanya onset hipertensi
intrakranial .
Pedekatan lain untuk edema
serebri dan peningkatan
tekanan intrakranial
 Dimasa depan kita dapat mencegah terjadinya
edema serebi maligna secara menyeluruh,
 Penelitian dahulu tentang peran sitotoksik pada
pembentukan edema menyebutkan salah satu
mediator : nonselective cation channel
regulated by sulfonylurea receptor 1 (SUR1) 
blokade dari SUR1 oleh glibenclamide 
menurunkan pembentukan sitotoksik edema
,volume infarct , dan mortalitas sebanyak 50%
pada tikus dengan obstruksi MCA.
 Glibenclamide diberikan 6 jam setelah iskemia 
asama efektifnya dengan dekompresi kraniektomi
dalam mencegah kematian ari edema serebri
maligna.
Tekanan Darah – Parameter
umum, augmentasi via
vasopressors
 Hipertensi pada stroke akut  sering terjadi
 ↑ tekanan darah terjadi pada 80% pasien , termasuk
pasien tanpa riwayat hipertensi
 Hipertensi arterial yang berat dapat memicu
terjadinya cerebral edema dan berkontribusi bagi
transfrmasi hemorrhagic dari jaringan infark.
 Sebaliknya, hipotensi arterial yang berat 
merugikan karena terjadi reduksi MAP dan tekanan
Perfusi serebral (CPPs)  dapat memperluas area
iskemia.
Tekanan Darah – Parameter
umum, augmentasi via
vasopressors
 Penelitian dengan 2029 kasus stroke akut dengan
rata rata tekanan darah 171/90 mmHg dengan
candesartan vs plasebo selama 7 hari pasca
stroke .
 Kelompok candesartan : 147/82 vs Kelompok
plasebo 152/84 mmHg  analisa 6 bulan  risiko
menjadi lebih buruk pada kelompok yang
diberikan candesartan.
 Peningkatan tekanan darah sering terjadi pada
beberapa hari setelah stroke , batas sistolik 220
mmHg, diastolik 120 mmHg selama 24 jam
pertama
Tekanan Darah – Parameter
umum, augmentasi via
vasopressors
 Tekanan darah ini perlu diturunkan, jika pasien
ditemukan :
 angina/ MCI,
 Edema pulmoner,
 disfungsi ginjal
Tekanan Darah – Parameter
umum, augmentasi via
vasopressors
 Adapasien stroke tertentu yang
memerlukan augmentasi dari tekanan
darah melalui cairan isotonik atau
vasopressors.
 Severe stenosis dari arteri carotid dan
basiler
 Figure 1: wanita 73 tahun fraktur
femur (intramedullary fixation) .
Diberikan 2 dosis hydralazine untuk
meningkatkan Tekanan darah.
 Bahkan setelah sesaat setelah
operasi, mengakibatkan penurunan
SBP 190 mmHg  110 mmHg ,
keesokan paginya Ia menjadi 
confused, nonverbal paresis lengan
kanan
 An inpatient stroke code 
CT/CTA/CTP.  gambaran perfusi :
revealed a prolonged MTT,
decreased CBF, and relatively
preserved CBV within the left
hemisphere suggestive of ischemia
(A).
 Ia dibawa ke ICU untuk tatalaksana
yang tepat (B) resolusi terjadi
dengan perbaikan di CBF diikuti
dengan aggressive intravenous
fluid resuscitation, transfusi darah
untuk anemia, dan peningkatan
tekanan darah dengan pressors.
 Diikuti dengan perbaikan secara
klinis
 Her CTA neck menjelaskan etiologi
dari stroke :
 stenosis PADA left internal carotid
artery (C);
 Dilakukan angioplasty dan
pemasangan stent  gejala sisa
minimal
Advanced
Neuromonitoring
 Advanced neuromonitors  sebuah alat
yang secara kuantitatif dan konitu
mengukur:
 Tekanan intrakranial
 Temperatur jaringan otak
 Oksigenasi jaringan otak
 Saturasi oksigen pada vena jugularis
 Biokimia pada jaringan interstitial serebelum
Advanced
Neuromonitoring
 Advanced neuromonitors  Telah banyak
digunakan untuk pasien dengan cedera
saraf pusat berat, cedera otak dan
pendarahan subaraknoid.
 Alat ini mendeteksi kemungkinan keadaan
yang dapat menyebabkan cedera saraf dan
menurunkan fungsi saraf tersebut
 Pertanyaan  apakah hal ini dapat
memonitor pasien dengan kemungkinan
mengalami kemunduran fungsi saraf akibat
stroke iskemik?
Advanced
Neuromonitoring
 Randomized controlled trial terhadap pengukuran
tekanan intrakranial pasien dengan cedera otak
 hasil penggunaan monitor tersebut tidak lebih
baik dibandingkan dengan menggunakan
pemeriksaan umum dan pencitraan neurologi
biasa
 Pada pasien dengan stroke hemisferik luas,
deteriorasi klinis dapat terjadi tanpa adanya bukti
tanda peningkatan tekanan intrakranial atau
penurunan tekanan perfusi otak  hanya 26%
yang mengalami peningkatan TIK dan 11% yang
mengalami penurunan TPO
Advanced
Neuromonitoring
 Bahkan pasien dengan herniasi kadang tidak
menunjukan peningkatn TIK
 Secara teori, pengukuran saturasi oksigen
pada vena jugular (SjvO2) menunjukkan
metabolisme oksigen serebral  Hasil
percobaan: ekstraksi oksigen ditemukan
minimal di daerah jaringan infark dan dapat
menunjukan saturasi palsu pada vena jugular,
kecuali terdapat iskemik pada parenkim
secara dramatis.
Prevensi terhadap cedera
neuronal sekunder: kontrol
terhadap glukosa
 Keadaan hiperglikemia sering dijumpai pada
pasien dengan stroke iskemik akut, walaupun
pasien bukan penderita diabetes
 Infark luas dan lesi pada korteks insular
merupakan predisposisi hiperglikemi
 Pada percobaan
 Hiperglikemik menimbulkan adanya
peningkatan kebutuhan metabolik pada
daerah penumbra
 Asam laktat dan radikal bebas dilepaskan 
lisisnya sel saraf dan degenerasi sawar darah
otak
Prevensi terhadap cedera
neuronal sekunder: kontrol
terhadap glukosa
 Terdapat dampak negatif yang disebabkan
oleh keadaan hiperglikemi pada pasien
stroke:
 Tingginya kemungkinan pendarahan
 Edema serebri
 Peningkatan angka mortalitas
 Dengan demikian penting untuk menurunkan
secara signifikan kadar glukosa darah pada
pasien dengan stroke iskemik walaupun hal ini
menimbulkan kontroversial dalam beberapa
studi
Prevensi terhadap cedera
neuronal sekunder: kontrol
terhadap glukosa
 Penelitian tahun 2009: membandingkan hasil dari
pasien stroke di ICU dengan kontrol glukosa darah
(target glukosa 81-108 mg/dL) dan tanpa kontrol
gula darah (≤180 mg/dL)  hasil: pasien dengan
kontrol glukosa menunjukan peningkatan resiko
mortalitas dalam 90 hari sebanyak 2.6%
 NINDS  kontrol glukosa darah menggunakan
insulin dengan target 80-130 mg/dL dapat
memperbaiki fungsi pada stroke iskemik
 AHA/ASA dan European Stroke initiative
Guidelines  merekomendasi target glukosa
darah 140-180 mg/dL
Prevensi terhadap cedera
neuronal sekunder: kontrol
terhadap temperatur
 Regulasi temperatur pada ICU mengupakan hal
yang paling esensial  tujuan: mencegah
demam hingga membuat keadaan hipotermia
 Demam  menyebabkan cedera saraf
 Target suhu pada pasien dengan cedera SSP akut
 normotermi (36-37oC)
 Hipotermia  neuroprotektan pada pasien
dengan serebral iskemia/ hipoksia yang
diakibatkan henti jantung.
 Sekarang dan masa datang  hipotermia dapat
dipertimbangkan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut
Prevensi terhadap cedera
neuronal sekunder: kontrol
terhadap temperatur
 Hipotermia juga diindikasikan untuk pasien dengan
peningkatan TIK yang refrakter terhadap terapi
umum
 Penggunaan antipiretik, seperti Tynelol  tidak efektif
 “Surface Cooling”/ kompres  tidak nyaman dan
menyebabkan pasien menggigil
 “Antishivering Protocols”  buspirone, meperidine,
cutaneous counterwarming
 Jika terapi tersebut gagal  opioid and
dexmedetomidine
 Jika masih menggigil  sedasi dengan propofol dosis
tinggi atau neuromuscular blockade
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai