Pembimbing:
dr. Erlina Panca Putri, M.H
Mardhatillah Sariyanti, M.Biomed
Dr. Enny Nugraheni, M.Biomed
Oleh:
Thomas Erickson (H1AP12052)
Suci Mentari (H1AP12045)
Vivi Wulandari (H1AP11050)
An. Y usia 12 tahun, datang ke Poli Umum UPTD Puskesmas Sukamerindu diantar
oleh ibunya dengan keluhan bersin-bersin yang semakin memberat dan terus menerus sejak
3 hari yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang
tidak menentu, baik pagi, siang, ataupun malam. Frekuensi bersin meningkat apabila terpapar
debu dan dingin. Keluhan juga disertai dengan mata berair, pilek, serta hidung tersumbat dan
gatal. Ingus dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau.
Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorokan, nyeri kepala, dan penurunan fungsi
pendengaran. Keluhan sudah sering berulang sejak 3 tahun terakhir. Pasien memiliki riwayat
alergi terhadap debu dan udara dingin, namun tidak ada alergi terhadap makanan dan obat -
obatan. Ibu pasien memiliki riwayat penyakit asma, namun tidak ada keluarga yang menderita
keluhan yang serupa dengan pasien.
Pasien sering mengkonsumsi obat loratadin yang diberikan oleh dokter untuk
mengurangi keluhan pasien, namun pasien merasa setelah meminum obat tersebut keluhan
yang diderita pasien tidak berkurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital yaitu tekanan darah 100/70 mmHg,
frekuensi nadi 84x/menit, pernafasan 20x/menit, dan suhu 36.5o C. Pemeriksaan fisik umum
dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diganosis rhinitis alergi pada pasien dapat
ditegakkan berdasarkan keluhan pasien berupa bersin-bersin yang berulang, rasa gatal di hidung
dan di mata, serta hidung tersumbat jika terkena pajanan. Riwayat alergi pada keluarga juga
merupakan faktor predisposisi yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis rhinitis alergi
pada anak.
Terapi pilihan pertama untuk rhinitis alergi adalah antihistamin H1 generasi kedua oral yaitu
loratadine atau Cetirizin. Pasien sudah sering berobat dan meminum obat rutin yaitu loratadine
saat rhinitis alergi pasien kambuh. Namun, pasien merasa obat tersebut kurang optimal dalam
mengatasi keluhannya. Sehingga dokter mempertimbangkan untuk memberikan obat anti
histamin H1 generasi kedua golongan lain yaitu cetirizin 1x10 mg dan mengedukasi pasien untuk
menghindari alergen.
Berdasarkan hal inilah sehingga dokter mempertimbangkan perbandingan keefektifan obat
antihistamnin H1 generasi kedua antara loratadine dan Cetirizin.
Pertanyaan Klinis
I Loratadin
C Cetirizin
Pencarian artikel dilakukan pada tanggal 4 mei 2018 pada dua database yaitu
PubMed dan Cochrane. Pencarian artikel menggunakan 3 kata kunci. Dari hasil
pencarian dengan menggunakan kata kunci tersebut didapatkan total 3 artikel
dengan 2 artikel yang memiliki judul yang sama sehingga menjadi 1 artikel.
Kemudian dilakukan seleksi berdasarkan judul dan abstrak sehingga menjadi 1
artikel. Penyaringan lebih lanjut melalui kriteria inklusi dan eksklusi yang telah
ditentukan sehingga didapatkan 1 artikel yang sesuai. Detail lebih lengkap
mengenai penyaringan pada masing-masing database dapat dilihat pada
diagram 1.
ALUR PENCARIAN
TELAAH KRITIS
• Pada penelitian ini yang dilakukan di pelayanan kesehatan di
Midwestern, Western, dan Southern US yang bertujuan menilai
efektivitas dan keamanan antara Cetirizin sirup 10 mg dan loratadine
sirup 10 mg dan dengan placebo sirup.
• Jumlah responden penelitian adalah 683 pasien rihintis alergi anak yang berusia
6-11 tahun dan telah dikonfirmasi melalui pemeriksaan skin test. Responden
penelitian dibagi dalam 3 kelompok perlakuan secara randomisasi. Subjek
merupakan populasi yang dipilih menurut baseline sesuai dengan jenis kelamin,
ras, dan umur. Penelitian dilakukan selama 3 minggu
• Deformitas anatomis pada hidung yang signifikan secara klinis, riwayat sinusitis
kronis, penyakit sistemik mayor masuk dalam criteria eksklusi. Individu yang
menerima kortikosteroid intranasal, ocular, atau sistemik , modifier leukotriene
oral, immunotherapy, atau antihistamin oral atau topical tidak dapat masuk
dalam penelitian ini
SUBJEK PENELITIAN DARI 683 SUBJEK
DIEVALUASI MENJADI 677 SUBJEK
1 2 3
Semua pasien ditindak lanjuti dan di follow up pada interval 1, 2, dan 3 minggu yang
dinilai berdasarkan skor TSSC, Efek samping terhadap obat dan psikososial terhadap
pasien dan pendamping pasien.
CRITICAL APPRAISAL: RANDOMIZED
TRIAL, DOUBLE BLIND
No. KRITERIA APPRAISE
VALIDITAS Randomisasi YA
Tercantum pada study design publikasi
halaman 2 paragraf 3.
Kemiripan YA
Populasi Tercantum pada karakteristik subjek
publikasi pada paragraf 2.
Perlakuan Sama YA
Tercantum pada study design publikasi
pertama halaman 2 paragraf 2.
Akuntabilitas dan Analisis Intention- YA
to-Treat Tercantum pada Hasil publikasi halaman
4 paragraf 2.
Blind YA
Jurnal ini menggunakan double blind,
tercantum pada study design publikasi
pertama halaman 2 paragraf 3.
TOTAL NILAI VALIDITAS 5
APLIKABILITAS Karakteristik pasien pada studi YA
menyerupai pasien pada populasi
TOTAL APLIKABILITAS 3
DISKUSI
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi
menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Gejala rhinitis alergi dapat mengurangi kualitas hidup dan dapat
berkontribusi dalam gangguan psikologis dan fungsi kognitif. Anti
histamin merupakan pilihan pengobatan pertama dalam mengatasi gejala
rhinitis alergi. Antihistamin yan direkomendasikan untuk pengobatan
rhinitis alergi merupakan antihistamin H1 golongan generasi kedua yaitu
Cetirizin dan Loratadin. Cetirizin antagonis reseptor H1 menunjukkan
toleransi yang baik dan efektif pada anak-anak dengan rhinitis alergi.
Metabolisme Cetirizin sebagian besar diekskresikan oleh ginjal. Berbeda
dengan citirizine, 98 % metabolisme loratadine di hati dan diekresikan
oleh ginjal. Selain itu Cetirizin memiliki efek enam kali lebih kuat dari
pada Loratadin, sehingga dosis yang lebih tinggi dari Loratadin sering
diperlukan untuk mencapai hasil yang serupa.
CARA PENGGUNAAN OBAT
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pengobatan pada follow up ke-1 dengan menggunakan
krim permethrin 5% menghasilkan perbaikkan pada 61,1% pasien.
HASIL PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
• Selama 2 minggu pengobatan dan dinilai dalam skor TSSC
didapatkan hasil yang membaik secara signifikan pada grup
yang ditatalaksana dengan Cetirizin jika dibandingkan dengan
subjek yang ditatalaksana menggunakan placebo (p=0.011).
Selama periode yang sama, perbedaan antara Cetirizin dan
Loratadin dan antara Loratadin dan placebo tidak signifikan
secara statistic.
• Untuk efek samping terhadap pengobatan didapatkan bahwa
cetirizin memiliki efek samping yang lebih baik dari pada
loratadin.
Follow Up ke-1
Penilaian importance pada jurnal ini dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu follow up ke-1 (berdasarkan skor TSSC),
follow up ke-2 (berdasarkan efek samping terhadap obat).
Kelompok kontrol adalah kelompok yang mendapatkan loratadine
sirup 10 mg sedangkan kelompok terapi adalah kelompok yang
mendapatkan cetirizine sirup 10 mg.
FOLLOW 1 (BERDASARKAN SKOR TSSC)
Minggu 1
Pada follow up ke-1, diminggu pertama indikator skor TSSC didapatkan nilai mean difference
2, dapat disimpulkan bahwa pemberian cetirizine memiliki hubungan yang signifikan dan
memiliki effect size yang besar.
Minggu 2
Diminggu kedua indikator skor TSSC didapatkan nilai mean difference 1.5, dapat disimpulkan
bahwa pemberian cetirizine juga memiliki hubungan yang signifikan dan memiliki effect size yang
besar.
Follow Up ke-2
CONTROL EVENT RATE (CER)
Somnolence
• pada indikator somnolence, didapatkan Control Event Rate (CER) adalah 0%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kontrol yang mengalami somnolence (3 pasien) dibagi dengan
jumlah keseluruhan pasien pada kontrol (280 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi yang
mengalami somnolence pada kelompok kontrol sebesar 0% yang artinya tidak pada kelompok yang
menggunakan loratadine sirup tidak ditemukan somnolence.
Vomitting
• pada indikator vomitting, didapatkan Control Event Rate (CER) adalah 1,9%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kontrol yang mengalami vomitting (4 pasien) dibagi dengan
jumlah keseluruhan pasien pada kontrol (280 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi yang
mengalami vomitting pada kelompok kontrol yang diberikan loratadine sebanyak 1,9%.
Headache
• Pada indikator headache, didapatkan Control Event Rate (CER) adalah 1,4%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kontrol yang mengalami headache (3 pasien) dibagi dengan
jumlah keseluruhan pasien pada kontrol (280 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi yang
mengalami headache pada kelompok kontrol yang diberikan loratadine sebanyak 1,4%.
Nausea
• Pada indikator nausea, didapatkan Control Event Rate (CER) adalah 1,4%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kontrol yang mengalami nausea (3 pasien) dibagi dengan jumlah
keseluruhan pasien pada kontrol (280 pasien). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi yang mengalami
nausea pada kelompok kontrol yang diberikan loratadine sebanyak 1,4%..
EXPERIMENTAL EVENT RATE (EER)
Somnolence
• Pada indikator somnolence didapatkan Experimental Event Rate (EER) 1,32%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami somnolence (3 pasien) dibagi
dengan penjumlahan antara jumlah pasien pada kelompok Eeterapi yang mengalami somnolence dan
jumlah pasien pada kelompok terapi yang tidak mengalami somnolence yang artinya pada kelompok
eksperimen ditemukan kejadian somnolence sebanyak 1,32%.
Vomitting
• Pada indikator vomitting didapatkan Experimental Event Rate (EER) 0,9%. Perhitungan ini didapatkan
dari jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami vomitting (2 pasien) dibagi dengan
penjumlahan antara jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami vomitting dan jumlah
pasien pada kelompok terapi yang tidak mengalami vomitting yang artinya pada kelompok eksperimen
ditemukan kejadian somnolence sebanyak 0,9%.
Headache
• Pada indikator headache didapatkan Experimental Event Rate (EER) 0,9%. Perhitungan ini
didapatkan dari jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami headache (2 pasien) dibagi
dengan penjumlahan antara jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami headache dan
jumlah pasien pada kelompok terapi yang tidak mengalami headache yang artinya pada kelompok
eksperimen ditemukan kejadian headache sebanyak 0,9%.
Nausea
• Pada indikator nausea didapatkan Experimental Event Rate (EER) 0%. Perhitungan ini didapatkan
dari jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami nausea (0 pasien) dibagi dengan
penjumlahan antara jumlah pasien pada kelompok terapi yang mengalami nausea dan jumlah pasien
pada kelompok terapi yang tidak mengalami nausea yang artinya pada kelompok eksperimen tidak
ditemukan kejadian nausea
RELATIVE RISK REDUCTION (RRR)
Somnolence
• Kelompok somnolence adalah 0%, yang berarti bahwa terapi dengan cetirizine sama sekali tidak
menurunkan resiko untuk terjadinya somnolence dibandingkan dengan pemberian loratadine
Vomitting
• kelompok vomitting ditemukan nilai Relative Risk Reduction (RRR) pada follow-up kedua sebesar
0,5%, yang berarti bahwa terapi dengan cetirizine dapat menurunkan resiko untuk timbulnya vomitting
sebesar 0,5% jika dibandingkan dengan terapi menggunakan loratadine
Headache
• Pada kelompok headache ditemukan nilai Relative Risk Reduction (RRR) pada follow-up kedua
sebesar 0,4%, yang berarti bahwa terapi dengan cetirizine dapat menurunkan resiko untuk timbulnya
headache sebesar 0,4% jika dibandingkan dengan terapi menggunakan loratadine.
Nausea
• Pada kelompok nausea ditemukan nilai Relative Risk Reduction (RRR) pada follow-up kedua sebesar
1%, yang berarti bahwa terapi dengan cetirizine dapat menurunkan resiko untuk timbulnya nausea
sebesar 1% jika dibandingkan dengan terapi menggunakan loratadine
ABSOLUTE RISK RATIO (ARR)
Somnolence
• kelompok somnolence adalah -1,32%, yang berarti beda kegagalan nyata antara terapi dengan
cetirizine dan terapi dengan loratadine terhadap timbulnya somnolence adalah -1,32%
Vomitting
• pada kelompok vomitting adalah 1%, yang berarti beda kegagalan nyata antara terapi dengan
cetirizine dan terapi dengan loratadine terhadap timbulnya vomitting adalah 1%.
Headache
• pada kelompok headache adalah 0,4%, yang berarti beda kegagalan nyata antara terapi dengan
cetirizine dan terapi dengan loratadine terhadap timbulnya headache adalah 0,4%.
Nausea
• pada kelompok nausea adalah 1,4%, yang berarti beda kegagalan nyata antara terapi dengan
cetirizine dan terapi dengan loratadine terhadap timbulnya nausea adalah 1,4%.
NUMBER NEEDED TO TREAT (NTT)
Somnolence
• untuk kelompok somnolence adalah 0,83 yang artinya bahwa setiap nol-satu pasien rhinitis alergi
yang diterapi dengan menggunakan cetirizine akan memperoleh satu pasien yang mengalami
somnolence.
Vomitting
• untuk kelompok vomitting adalah 0-1 yang artinya bahwa setiap satu pasien rhinitis alergi yang
diterapi dengan menggunakan cetirizine akan memperoleh satu pasien yang mengalami vomitting
Headache
• untuk kelompok headache adalah 5 yang artinya bahwa setiap lima pasien rhinitis alergi yang diterapi
dengan menggunakan cetirizine akan menghasilkan satu pasien yang mengalami headache
Nausea
• untuk kelompok nausea adalah 0,71 yang artinya bahwa setiap nol-satu pasien rhinitis alergi yang
diterapi dengan menggunakan cetirizine akan menghasilkan satu pasien yang mengalami nausea.
APLIKABILITAS
• Perhitungan nilai aplikabilitas didapatkan skor 3, yakni
didapatkan dari karakteristik pasien pada studi sudah
menyerupai pasien pada populasi, kemudian terapi yang
diberikan pada penelitian ini dapat diterapkan pada kehidupan
sehari-hari dikarenakan obat yang digunakan tersedia di
Indonesia. Pada penelitian juga tidak ditemukan adanya efek
samping obat dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien,
sehingga keuntungan yang diberikan lebih dari risiko yang
dapat ditimbulkan. Berdasarkan jurnal yang ditelaah bahwa
pada akhir pengobatan selama periode 2 minggu, cetirizine 10
mg secara statistik signifikan lebih efektif dari pada plasebo
untuk menghilangkan gejala rhinitis alergi pada anak-anak.
KESIMPULAN
• Pemberian cetirizine dan loratadine memiliki efek yang lebih baik dari pada
pemberian placebo. Selama penelitian pengobatan menunjukkan bahwa semua obat
yang diteliti aman dan tidak beracun. pengobatan cetirizine sirup 10 mg secara
statistik signifikan lebih efektif dari pada plasebo untuk menghilangkan gejala rhinitis
alergi pada anak-anak. Perbaikan gejala rhinitis alergi tidak berbeda secara
signifikan antara loratadine sirup 10 mg dan kelompok plasebo.
• Efek samping terhadap pengobatan juga terbukti lebih baik dengan
menggunakan cetirizine dibandingkan loratadine. Terlebih lagi cetirizine tersedia di
puskesmas di Indonesia dengan jumlah persediaan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
• Arwin AP, Zakiudin M, Kurniati N. 2007. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
• Sudiro M., Madiadipoera T, Purwanto B. 2010. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No. 1. hlm 6-11.
• Syamsiyah S. 2008. Karakteristik penderita rinitis alergi di Poliklinik THT-KL Rumah
Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru periode Januari 2006-desember 2006,
THT FK UR, Riau, Skripsi FK UR.
• Loebis S. 2010. Efikasi Loratadin Dibandingkan dengan Cetirizin pada Pengobatan
Rinitis Alergi pada Anak Di Kota Medan. Repositori Institusi Universitas Sumatera
Utara.
• Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI;2007; 128-134.