Anda di halaman 1dari 88

PEMICU 4

BLOK SISTEM UROGENITAL

KELOMPOK 05
THURSDAY, 28 FEBRUARY 2019
LEARNING ISSUE

1. Fisiologi Ereksi
2. Gangguan Ereksi
3. Kelainan Prostat, Testis, Skrotum, Epididimis
4. Gangguan Ginjal, VU, Uretra (trauma & non trauma)
5. Rectal Toucher
LI 1 : FISIOLOGI EREKSI
LI 2 : GANGGUAN EREKSI
PRIAPISMUS (IIIB)

 Ereksi penis yang persisten ≥ 4 jam yang tidak disebabkan karena aktivitas seksual
 Klasifikasi
 Ischaemic priapism (low-flow priapism)
 Stuttering (intermittent) priapism
 Non-Ischaemic priapism (high-flow priapism)
 Malignant priapism

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3746404/
ISCHAEMIC PRIAPISM

 95% kasus
 Etiologi : hematologis/trombotik, obat, injeksi farmakostimulan intrakorporal,
neurologis, dan keganasan.
 Merupakan keadaan darurat urologis → harus cepat ditangani untuk mencegah
fibrosis dan disfungsi ereksi
 Biasanya hanya corpus cavernosum yang terpengaruh (corpus spongiosum; glans
nya tetap lunak)
 Pada Sickle Cell Disease dapat mempengaruhi 3 corpus
STUTTERING (INTERMITTENT) PRIAPISM

 Episode berulang ereksi menyakitkan yang sebentar dan dapat reda sendiri (self-
limitting) dalam durasi kurang dari 4 jam
 Biasanya nocturnal (atau pada pagi hari)
 Biasa orangnya malu, kurang tidur, & sexual anxiety
 Biasa pada orang dengan SCD
 Mekanisme kurang jelas
NON-ISCHAEMIC PRIAPISM

 Merupakan komplikasi yang tertunda akibat trauma genital atau perineum dengan
perkembangan fistula arteriosinusoidal → memotong tonus vasokonstriksi
arteriol yang biasanya tertahan dan memungkinkan aliran arteri kavernosal yang
berlebihan
 tidak menyakitkan dan penis biasanya tidak kaku.
 Darah kavernosal dioksigenasi dan tidak memerlukan perawatan darurat.
MALIGNANT PRIAPISM

 Malignant priapism
 Priapism as a consequence of non-haematological malignancy (so called
“malignant priapism”) is a rare condition, resulting most commonly from penile
metastases from primary bladder, prostatic, rectosigmoid and renal tumours.
 20–53% of metastases to the penis initially present with priapism
 The exact mechanism is unclear, with suggested mechanisms being extensive
penile replacement by infiltrating tumour, venous obstruction and continuous
stimulation of neuronal pathways
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4236300/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4236300/

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

 Anamnesis → duration of priapism, any clinical treatments used, previous


priapism episodes, presence of pain, and erectile function status prior to the
priapism episode
 PF → inspection and palpation of the penis (assess for the extent of tumescence
or rigidity, degree of corporal body involvement, and presence and severity of
tenderness)
 Ischemic priapism → corpora cavernosa are typically rigid and tender to palpation
 nonischemic priapism → nontender, partially tumescent corpora cavernosa
 Abdominal, perineal, and rectal examinations may reveal signs of trauma, pelvic
infection or malignancy.
 A full neurologic exam may be indicated when a spinal cord injury or lesion is
suspected
 Penunjang
 Cavernous blood gas analysis
 Ischemic priapism → aspirated blood is hypoxic and dark, blood gas values shows
pO2 <30 mmHg, pCO2 > 60 mmHg, and pH < 7.25
 Nonischemic priapism → the blood is oxygenated and bright red with blood gas values
pO2 >90 mmHg, pCO2 < 40 mmHg, and pH 7.40 (normal arterial blood at room air)
 Complete blood count, white blood cell differential, and platelet → may reveal the
presence of acute infections or hematologic abnormalities
 Reticulocyte counts and hemoglobin electrophoresis may signify the presence of
SCD/trait or other hemoglobinopathies
 Other hematologic tests, such as serum lactic dehydrogenase level, a marker of
intravascular hemolysis, and glucose-6-phosphate dehydrogenase testing, may also be
informative
 Urine and plasma toxicology can screen for the potential pharmacologic influences of
psychoactive medications and recreational drugs
 Radiologi
 Ultrasound
 low-flow priapism (typically ischemic)
 thrombosis of the corpora cavernosa or corpus spongiosum
 decreased/absent color flow or spectral Doppler in the cavernosa
 there may be flow in the superficial penile vein
 increased RI of the penile artery

 high-flow priapism (typically non-ischemic)


 an arteriovenous fistula may be visualized
 penile artery Doppler velocities are typically normal or elevated

 MRI
 MRI may be more likely to see associated conditions that may lead to priapism (e.g.
malignancy).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4236300/

TATA LAKSANA

 Goal : decompress the corporal bodies and restore arterial blood flow
 First Line Therapy → aspiration of blood with irrigation of the corpora cavernosa, in
combination with intracavernous α-agonist injection therapy (w/ dorsal nerve block
or local penile shaft block)
 Phenylephrine is the preferred sympathomimetic agent because of its lower risk profile for
systemic cardiovascular adverse effects than other agents
 If phenylephrine is unavailable, other α-adrenergic agonists may be used (ephedrine,
epinephrine, norepinephrine, or metaraminol)
 Expert consensus suggests that repeated injections and aspiration should occur for at least
up to 1 h prior to proceeding with second-line interventions in patients presenting with a
priapism of less than 24 h
 Combined with sedation, ice-cold saline enemas have been proposed as an effective
method of producing deturnescence (if specialist not avail, source :
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/004947550403400414)
 Surgical Shunts
https://accessemergencymedicine.mhmedical.com/data/books/2498/reich3_ch178_f0
04a.png

https://online.epocrates.com/data_dx/reg/505/img/505-1-
hlight.jpg
LI 3 : KELAINAN PROSTAT, TESTIS,
SKROTUM, EPIDIDIMIS
BPH

 Kelenjar prostat mengalami pembesaran  dapat menyumbat uretra pars


prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
 Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat di zona transisional
 Epidemiologi
 BPH tumor jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki, insidensinya terkait erat
dengan pertambahan usia.
 Prevalensinya meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41 – 50 tahun menjadi
90% pada laki-laki berusia lebih 80 tahun

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Patofisiologi
 Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine  menyebabkan tekanan intravesikal
 Untuk mengeluarkan urine  buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu  kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik
buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli
 Perubahan struktur pada buli-buli  dirasakan sebagai keluhan pada saliran kemih
sebelah bawah atau LUTS
 Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi reflux-vesiko-ureter, jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrotsis, nahkan akhirnya dapatjatuh ke dalam gagal ginjal

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


BPH

 Manifestasi Klinis
 Pada umumnya, pasien BPH datang dengan gejala-gejala LUTS/lower traktus
urinary tract Symptomps, yang terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi
 Gejala obstruksi: miksi terputus, hesitancy (saat miksi harus menunggu sebelum
urine kelar), harus mengedan saat mulai miksi, berkurangnya kekuatan dan
pancaran urin, sensasi tidak selesai berkemih, miksi ganda (berkemih untuk kedua
kalianya dalam waktu <2 jam setelah miksi sebelumnya
 Gejala iritasi: frekuensi (sering miksi), urgensi (rasa tidak dapat menahan lagi saat
ingin miksi), nokturia (terbangun saat malam hari untuk miksi), inkontinensia
(urine keluar di luar kehendak)

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Anamnesis
 Tanyakan keluhan utama pasien dan berapa lama keluahan telah dirasakan
mengganggu
 Seluruh gejala iritasi dan obstruksi perlu ditanyakan secara lengkap
 Tanyakan riwat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenital
 Obat-obatan terentu yang dapat menyebabkan keluhan miksi
 Alat diagnostik yang luas digunakan untuk menilai gejala pada penderita BPH
adalah sistem skore yang dikeluarkan oleh WHO dengan nama International
Prostate Symptom Scoren (IPSS)

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Pemeriksaan Fisik
 Colok dubur merupakan pemeriksaan yang penting pada BPH
 Pelaporan yang dilakukan  adanya pembesaran prostat, konsistensinya, dan ada /
tidakya nodul
 Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan regio suprapubik untuk menilai distensi
vesika dan fungsi neuromuskular ekstremitas bawah

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Pemeriksaan Penunjang
 PSA, bersifat spesifik organ tetapi tidak spesifik kanker, untuk menilai bagamana
perjalanan penyakit BPH selanjutnya. Kadar PSA yang lebih tinggi dapat berarti
laju pertumbuhan volume prostat yang lebih cepat, keluhan akibat BPH lebih
berat atau lebih mudah terjadi retensi urine akut, rentang normal nilai PSA:
 40 – 49 tahun: 0 – 2,5 ng/mL
 50 – 59 tahun: 0 – 3,5 ng/mL
 60 – 69 tahun: 0 – 4,5 ng/mL
 70 – 79 tahun: 0 – 6,5 ng/mL
 Flowmetri: Qmax (laju pancaran urine maksimal) turun, biasanya <15cc

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 USG/kateter untuk melihat volume urine residual


 Transrectal / Transabdpminal Ultrasonography (TRUS/TAUS): mengukur volume
prostat dan menemukan gambaran hipoekoik
 Pemeriksaan atas indikasi: intravenous pielography
 Diagnosis Banding
 Striktur uretra
 Kontraktur leher kandung kemih
 Batu buli
 Kanker prostat yang meluas secara fokal
 Penurunan kontraktilitas kandung kemih

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Tatalaksana
 Observasi waspada
 Dilakukan pada pasien bergejala ringan dengan skor IPSS 0 – 7
 Evaluasi dilakukan secara berkala, yaitu 3, 6, dan 12 bulan kemudian, serta
dilanjutkan 1 kali per tahun
 Farmakologi
 Penyekat adrenergik-α selektif
 Penghambat 5 α-reduktase
 fitoterapi

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Tatalaksana
 Pembedahan
 Dapat memperbaiki klinis BPH secara objektif, namun dapat disertai berbagai penyulit
pada saat atau setelah operasi
 Indikasi pembedahan: retensi urin, ISK berulang, hematuria makroskopik, gagal ginjal,
divertikulum buli yang besar, batu buli, keluhan pasien sedang hingga berat, tidak ada
perbaikan dengan terapi non bedah, pasien menolak medikamentosa
 3 teknik pembedahan yang direkomendasikan:
 Prostatektomi terbuka
 Insisi prostat transuretra (TUIP)
 Reseksi prostat transuretra (TURP)

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Tatalaksana
 Tindakan invasif minimal
 Termoterapi, pemanasan dengan suhu di atas 45°C yang menyebabkan nekrosis
koagulasi jaringan prostat. Panas dapat dihasilkan dengan TUMT, TUNA, HIFU
 Pemasagan stent prostat. Stent dipasang intraluminal untuk mengatasi obstruksi
akibat pembesaran prostat. Terdapat stent jenis sementara ataupun permanen.
Stent sementara terbuat dari bahan yang tidak diserap dan dipasang selama 6 –
36 bulan

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

 Komplikasi
 Residu urin pada akhir miksi, lama kelamaan terjadi obstruksi total dan pasien
tidak dapat miksi sama sekali (retensi urin)
 Produksi urin terus terjadi  meningktakan tekanan dalam kandung kemih 
tekanan lebih tinggi dibandingkan tekanan sfingter, terjadi inkontinensia paradoks
(overflow intercontinence)
 Urine dapat mengakami refluks ke ureter, berlanjut menjadi hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal
 Pasien juga mengdedan teru menerus saat miksi shingga menyebabkan hernia
atau hemoroid

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


BPH

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT

 Keganasan tersering pada laki-laki, dengan peningkatan insidensi pada usia lebih
dari 50 tahun.
 Distribusi kanker prostat berdasarkan jenisnya:
 Adenokarsinoma (95%)
 Kanker tersusun atas sel urotelial dan prostat (4%)
 Karsinoma sel skuamosa (1%)
 Etiologi dan faktor risiko
 Belum diketahui secara pasti
 Faktor risiko: faktor genetik, hormon, diet, zat kimia karsinogenesis, dan virus
tertentu

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT

 Patofisiologi
 Muncul saat kecepatan pembelahan sel dan kematian sel tidak seimbang 
disebabkan mutasi gen
 Kanker yang berasal dari zona transisional biasanya menyebar ke leher kandung
kemih sementara yang berasal dari zona perifer meluas ke duktus ejakulatorius
dan vesika seminalis
 Penyebaran jauh diperkirakan melalui aliran vena – limfatik serta teori adanya
jaringan tertentu yang memiliki kecenderungan untuk munculnya kanker
 Manifestasi klinik
 Tidak ada kelihan khas selain gejala obstruksi yang juga ditemukan pada kasus
pembesaran prostat jinak.

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT
 Jika telah terjadi metastasis, pasien mengeluhkan gejala sesuai dengan tempat
metastasis, seperti nyeri tulang.
 Pada colok dubur, dapat ditemukan prostat yang teraba keras atau asimetris
 Kadang dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe inguinal
 Anamnesis
 Frekuensi, urgensi, dan pancaran urin yang lemah
 Retensi urin, nyeri punggung, dan hematuria apabila kanker sudah berada di stadium
lanjut
 Penurunan BB, nafsu makan dan anemia
 Apabila sudah terjadi metastasis ke tulang: nyeri tulang, fraktur patologis, defisit
neurologis akibat penekanan medula spinalis

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT

 Pemeeriksaan Fisik
 Buli yang terdistensi karena obstruksi
 Pemeriksaan colok dubur: prostat teraba asimetris dengan permukaan yang tidak rata
dan konsistensi yang keras, perhatikan tonus sfingter ani untuk mencari tanda-tanda
kompresi medula spinalis
 Pemeriksaan penunjang
 Lab: ureum dan kreatinin meningkat, PSA, alkali fosfatase (untuk melihat kemungkinan
adanya metastasis)
 USG prostat transrektal (USG juga dapat digunakan untuk biopsi prostat transrektal)
 Roentgen abdomen dan pielografi intravena
 Biopsi
 BONE scan dilakukan untuk menilai stadium dan tanda metastasis

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT
T Tumor primer
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terdapat bukti adanya tumor primer
T1 Tumor yang tidak tampak secara klinis tidak terpalpasi atau terlihat melalui pencitraan
T1a Penemuan histologis tumor secara insidental pada 5% atau kurang jaringan yang direseksi
T1b Penemuan histologis tumor secara insidental lebih dari 5% dari jaringan yang direseksi
T1c Tumor teridentifikasi dengan biopsi jarum (diketahui karena peningkatan TSA

 T2Grading
TumorKanker Prostat
hanya berada di dalam prostat
T2a tumor melibatkan setengah atau satu lobus atau kurang
T2b tumor melibatkan lebih dari setengah lobus, tapi tidak kedua lobus
T2c tumor kedua melibatkan kedua lobus
T3 Tumor meluas melewati kapsul prostat
T3a perluasan ekstrakapsul (unilateral atau bilateral) termasuk leher buli
T3b tumor menginvasi vesikula seminalis
T4 Tumor terfiksasi menginvasi struktur berdekatan selainan vesikulla sfingter eksterna, rektum, muskulus levator
dan/atau dinding pelvis
Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
KANKER PROSTAT
N Nodul Limfe Regional
NX Nodus limfe regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis nodus limfe regional
N1 Metastasis limfe regiional

M Metastasis Jauh
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis
M1Grading Kanker
Metastasis jaiuh Prostat
M1a Nodus limfe non-regional
M1b Tulang
M1c Lokasi lain

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


KANKER PROSTAT
Stadium I T1a-c N0 M0 PSA < 10 Gleason ≤ 6
T2a N0 M0 PSA < 10 Gleason ≤ 6
Stadium IIA T1a-c N0 M0 PSA < 10 Gleason 7
T1a-c N0 M0 PSA < 20 Gleason ≤ 6
T2a.b N0 M0 PSA ≥ 10 < 20 Gleason ≤ 7
Stadium
StadiumIIB T2c
Kanker Prostat N0 M0 PSA apapun Gleason apapun
T1-2 N0 M0 PSA ≥ 20 Gleason apapun
T1-2 N0 M0 PSA apapun Gleason ≥ 80
Stadium III T3a.b N0 M0 PSA apapun Gleason apapun
Stadium IV T-4 N0 M0 PSA apapun Gleason apapun
T apapun N1 M0 PSA apapun Gleason apapun
T apapun N apapun M0 PSA apapun Gleason apapun
Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
KANKER PROSTAT

 Tatalaksana
 Dirujuk ke dokter spesialis urologi
 Tumor yang masih terbatas dalam prostat dan tanpa metastasis  prostatektomi radikal
 Jika sudah terjadi invasi, atau metastasis, pasien diberi pengobatan hormonal atau kombinasi
hormonal radioterapi
 Pengobatan hormonal dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan pengaruh hormon androgen
ke prostat
 Radioterapi ditujukan untuk tumor primer, juga untuk pengobatan paliatif terhadap lesi metastasis
di tulang
 Jika terdapat obstruksi saluran kemih, dapat dilakukan tindakan reseksi transurethral terbatas
 Tindak lanjut dengan pengukuran PSA, penting untuk mengetahui ada/tidaknya kekambuhan

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


PROSTATITIS

 Definisi
 Reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri.
 Etiologi
 Kuman penyebab infeksi yang paling sering adalah kuman E. coli, Proteous sp., Pseudomonas sp.,
dan Serratia sp.
 Klasifikasi
 National Institute of Health memperkenalkan klasifikasi prostatitis dalam 4 kategori, yaitu:
 Kategori I adalah prostatitis bakterial akut
 Kategori II adalah prostatitis bakterial kronis
 Kategori III prostatitis non bakterial kronik atau sindroma pelvik kronis, dibedakan dalam 2 sub
kategori, yaitu kategori IIIA sindroma pelvik kronis dengan inflamasi dan kategori IIIB sindroma
pelvik non inflamasi
 Kategori IV adalah prostatitis inflamasi asimptomatik

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Prostatitis bakterial akut (kategori I)


 Bakteri masuk ke dalam kelenjar prostat diduga melalui: ascending dari uretra,
refluks urine yang terinfeksi ke dalam duktus prostatikus, langsung atau secara
limfogen dari organ yang berada di sekitarnya (rektum) yang mengalami infeksi,
dan penyebaran secara hematogen
 Pasien tampak sakit, demam, menggigil, rasa sakit di daerah perineal, dan
mengeluh adanya gangguan miksi
 Pada colok dubur, prostat teraba membengkak, hangat, dan nyeri
 Tidak boleh dilakukan masase prostat untuk mengeluarka getah kelenjar prostat
karena dapat menimbulkan rasa sakit dan akan memacu terjadinya bakteriemia

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Jika tidak ditangani dengan baik dapat menjadi abses prostat atau menimbulkan
urosepsis
 Antibiotika yang digunakan: fluroquinolone, trimetoprim-sulfametoksazol, dan
golongan aminoglikosida, setelah membaik antibiotik oral diteruskan hingga 30 hari
 Jika terjadi gangguan miksi sehingga menimbulkan retensi urin dilakukan pemasangan
kateter suprapubik (kateter transuretra kadang sulit dan akan menambah rasa nyeri)
 Prostatitis bakterial kronis (kategori II)
 Terjadi karena adanya infeksi saluran kemih yang sering kambuh
 Gejalanya: disuria, urgensi, frekuensi, nyeri perineal, dan kadang nyeri saat ejakulasi
atau hematospermia

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba krepitasi yang merupakan tanda
dari suatu kalkulosa prostat
 Uji 4 tabung tampak pada EPS dan VB3 didapatkan kuman yang lebi banyak
daripada VB1 dan VB2; disamping itu pada pemeriksaan mikroskopik pada EPS
tampak oval fat body
 Jenis antimikroba yang digunakan trimetoprim-sulfametoksasol, doksisiklin,
aminosiklin, karbenisilin, dan fluoroquinolone, diberikan dalam jangka lama hingga
pemeriksaan kultur ulangan tidak menunjukkan adanya kuman

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Prostatitis non bakterial (kategori III)


 Reaksi inflamsi kelenjar prostat yang belum diketahui penyebabnya
 Dibagi 2 subkategori, yaitu kategori IIIA dan IIIB
 Pada sub kategori IIIA tidak tampak adanya kelainan PF dan uji 4 tabung tidak
didapatkan pertumbuhan kuman, hanya saja pada EPS terlihat banyak leukosit dan
bentukan oval fat body
 Inflamasi ini diduga disebabkan karena infeksi dari Ureaplasma urealyticum atau
Chlamidia trachomatis, sehingga diberikan antibiotik seperti aminosiklin,
doksisiklin, atau eritromisin selama 2-4 minggu

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Sub kategori IIIB dulu dikenal dengan nama prostatodinia terdapat nyeri pada
pelvis yang tidak berhubungan dengan keluhan miksi dan sering terjadi pada usia
20-45 tahun
 Pada uji 4 tabung tidak didapatkan adanya bakteri penyebab infeksi maupun sel-
sel penanda proses inflamasi.
 Kelainan ini ada hubungannya dengan faktor stress
 Pemberian pbat-obatan simtomatik berupa obat penghambat adrenergik alfa
dapat mengurangi keluhan miksi

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


PROSTATITIS

 Prostatitis inflamasi asimtomatik (kategori IV)


 Secara klinis tidak menunjukkan keluhan maupun tanda dari suatu prostatitis
 Proses inflamsi pada prostat diketahui dari spesimen yang kemungkinan didapat
dari cairan semen oada saat analisis semen dan jaringan prostat yang didapatkan
pada biopsi maupun saat operasi prostat
 Tidak memerlukan terapi, tetapi didapatkannya sel-sel inflamasi pada analisis
semen seorang pria yang mandul perlu mendapat terapi antibiotika

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


TORSIO TESTIS

 Definisi
 Adanya torsi (puntiran) terhadap struktur korda spermatikus yang diikuti hilangnya
suplai darah ke testis ipsilateral
 Terpluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan aliran darah
pada testis
 Epidemiologi
 Kejadiaan tersering pada laki-laki muda berusia <25 tahun
 Etiologi
 4-8% terjadi karena trauma
 Faktor predisposisi lain adalah peningkaran volume testis (terkait masa pubertas),
tumor testis, testis yang posisinya mendatar, riwayat kriptorkismus

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


TORSIO TESTIS

 Patogenesis
 Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan restis mendekati da
menjauhi rongga abdomen untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis.
 Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami
torsio jika bergerak secara berlebihan
 Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan adalah
perubahan suhu yang mendadak (berenang), ketakutan, latihan berlebihan, batuk,
celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum
 Terpluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis
sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya testis
akan mengalami nekrosis

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


TORSIO TESTIS

 Patofisiologi
 Torsio dapat menyumbat aliran balik vena  sumbatan aliran balik vena akan
meningkatkan tekanan  aliran darah masuk melalui arteri juga terhambat 
testis dapat mengalami iskemia (mulai berlangsung jika torsio lebih dari 4 jam)
 Derajat iskemia bergantung pada lama berlangsungnya torsio dan derajat putaran
korda spermatikus (antara 180-720°)
 Anamnesis
 Nyeri skrotum ipsilateral akut (nyeri hebat di daerah skrotum, sifatnya mendadak
dan diikuti pembengkakan pada testis, nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
TORSIO TESTIS

 Pemeriksaan Fisik
 Testis yang mengalami torsio dapat tampak lebih tinggi dibanding testis
kontralateral akibat adanya perputaran pada korda spermatikus
 Testis tampak lebih besar
 Refleks kremaster berkurang atau hilang
 Prehn’s sign dengan mengangkat testis (pada torsio, rasa nyeri bertambah jika
testis diangkat
 Pemeriksaan Penunjang
 Stetoskop Doppler, USG Doppler, Sintigrafi testis, Eksplorasi bedah

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
TORSIO TESTIS
Anamnesis dan PF
 Alur Pendekatan Klinis Nyeri Skrotum

Diagnosis masih meragukan


Sesuai torsio dan <6 jam:
atau nyeri >6 jam: USG
eksplorasi bedah segera
Doppler

Aliran darah normal/meningkat Aliran darah absen / turun


pada testis yang dikeluhkan pada testis yang dikeluhkan

Inflamasi (orkitis) atau torsio


Torsio testis
apendiks testis

Tidak perlu tes lebih lanjt Bedah segera

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


TORSIO TESTIS

 DD
 Trauma testis, epididimitis / orkitis, hernia skrotalis inkarserata, hidrokel terinfeksi,
varikokel, edema skrotum idiopatik, torsio apendiks testis, tumor testis
 Tatalaksana
 Detorsi manual
 Mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan memutar testis ke arah
berlwanan dengan arah torsio.
 Operasi
 Dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah yang benar (reposisi) dan
setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang mengalami torsio, masih viable atau
sudah nekrosis.

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
TORSIO TESTIS

 Jika testis masih viable, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral
 Pada testis yang sudah mengalami nekrosis, dilakukan pengangkatan testis
(orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral
 Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam
skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga
mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari
 Komplikasi
 Hilangnya fungsi testis, infertilitas

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
ORKHITIS

 Definisi
 Peradangan akut pada testis akibat infeksi
 Etiologi
 Infeksi bakteri: Neisseria gonorrhoeae dan Escherichia coli merupakan penyebab
tersering
 Virus (kebanyakn virus mumps
 Epidemiologi
 Pasien paling banyak berasal dari usia prapubertas (<10 tahun) untuk penyebab virus
 Orkitis bakterialis sering terjadi bersamaan dengan epididimitis (epididimo-orkitis),
biasanya terjadi pada usia 15 tahun ke atas dan laki-laki >5o tahun dengan pembesaran
prostat jinak

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


ORKHITIS

 Manifestasi klinis
 Pasien akan mengeluhkan nyeri disertai pembengkakan pada testis
 Gejala lain: kelelahan, malaise, mual, muntah, demam, dan sakit kepala
 Diagnosis
 Anamnesis
 Tanyakan keluhan pasien yang ada dalam bagian manifestasi klinis
 Tanyakan riwayat penyakit gondongan / mumps dalam 4 – 7 hari sebelumnya
 Tanyakan mengenai riwayat hubungan seksual

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


ORKHITIS

 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan testis: pembesaran, idnudrasi testis disertai peradangan. Kulit
skrotum terlihat merah dan edematosa. Apabila epididimis membesar, curigai
adanya epididimo-orkitis
 Prehn’s sign positif. Rasa nyeri tidak bertambah atau bahkan berkurang saat testis
diangkat
 Pemeriksaan Penunjang
 laboratorium: LED meningkat, urinalisis menunjukkan adanya infeksi
 Pemeriksaan biakan dan mikrobiologi dengan bahan cairan uretra

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


ORKHITIS
 Tatalaksana
 Tatalaksana awal
 Di ruang gawat darurat pasien diistirahatkan, dapat dikompres panas/dingin untuk
meringanan nyeri.
 Selain itu pengangkatan testis dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri
 Setelah itu lakukan konsultasi atau rujuk pasien ke dokter spesialis urologi untuk
penanganan lebih lanjut
 Tatalaksana medikamentosa
 Orkitis viral: obat-obatan suportif berupa analgesik dan antipiretik
 Orkitis bakterialis diberikan antibiotik, pilihannya: seftriakson, doksisiklin, azitromisin,
siprofloksin selama 7-14 hari, atau kotrimoksazol

Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014


EPIDIDIMITIS

 Definisi
 Reaksi inflamasi yang terjadi pada epididimis
 Patogenesis
 Diduga reaksi inflamasi ini berasal dari bakteria yang berada di dalam buli-buli,
prostat, atau uretra yang secara ascending menjalar ke epididimis
 Dapat juga terjadi refluks urine melalui duktus ejakulatorius atau penyebaran
bakteri secara hematogen atau langsung ke epididimitis seperti penyebaran
kuman tuberkulosis
 Mikroba penyebab indeksi tersering pada dewasa muda adalah Chlamydia
trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae, sedangkan oada anak-anak dan orang
tua adalah E. coli atau Ureaplasma atau Ureaplasma urealitycum

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


EPIDIDIMITIS

 Gambaran klinis
 Nyeri mendadak pada skrotum, diikuti dengan bengkak pada cauda hingg kaput
epididimis, tidak jarang disertai demam, malese, dan nyeri dirasakan hingga ke pinggang
 Pemeriksaan menunjukkan pembengkakan pada hemiskrotum dan kadag kala pada
palpasi sulit untuk memisahkan antara epididimis dengan testis
 Reaksi inflamasi dan pembengkakkan dapat menjalar ke funkulus spermatikus pada
daerah inguinal
 Pemeriksaan urinalisis dan darah lengkap dapat membuktikan adanya proses inflamasi
 Pemeriksaan dengan USG Doppler dan stetoskop Soppler dapat mendeteksi
peningkatan aliran darah di daerah epididimis

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


EPIDIDIMITIS

 Tatalaksana
 Pemilihan antibiotika tergnatung kuman penyebab infeksi
 Pasien <35 tahun, perkiraan kuman penyebab Chlamydia trachomatis atau
Neisseria gonorrhoeae, antibiotik yang dipilih adalah amoksisilin disertai
probenesid, atau cetriakson yang diberikan secara IV, selanjutnya diteruskan
dengan pemberian doksisiklin atau eritromisin per oral selama 10 hari, obati
pasangan juga
 Untuk menghilangkan nyeri, dianjurkan memakai celana ketat agar testis
terangkat (terletak lebih tinggi), mengurangi aktivitas, atau pemberian anastesi
lokal / topikal
 Untuk mengurangi pembengkakan dapat dikompres dengan es

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


HIDROKEL
 Definisi
 Penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan visceralis tunika vaginalis
 Epidemiologi
 Insidensnya sering terjadi pada bayi laki-laki yang baru lahir, sebagai akibat terlambatnya penutupan
tunika vaginalis
 Pada laki-laki dewasa terjadi 1% populasi
 Klasifikasi
 Terdapat 4 tipe:
 Prosesus vaginalis paten
 Infantil
 Vaginal
 Hidrokel korda

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
HIDROKEL

 Etiologi
 Hidrokel yang terjadi pada bayi dapat disebabkan karena:
 Belum sempurnanya penurupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan
peritoneum ke prosesus vaginalis
 Belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan
reabsorpsi cairan hidrokel
 Pada dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik dan sekunder
 Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelianan pada testis atau epididimis
(tumor, infeksi, atau trauma pada testis / epididimis) yang menyebabkan
terganggunya sistem sekresi atau reabsorpsi cairan di kantong hidrokel

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
HIDROKEL
 Diagnosis (Gambaran Klinis)
 Pada anamnesis, pasien datang dengan keluhan pembesaran testis yang lunak / adanya
benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri
 Pada PF didapatkan benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada
pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transluminasi
 Pada hidrokel yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang sulit
untuk melakukan pemeriksaaan, sehingga dibantu dengan pemeriksaan USG
 Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan beberapa
macam hidrokel, yaitu:
 Hidrokel testis
 Hidrokel funikulus
 Hidrokel komunikan

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
HIDROKEL

 Pembagian ini penting karena berhubungan dengan metode operasi yang akan
dilakukan pada saat melakukan koreksi hidrokel
 Pada hidrokel testis, kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis
tidak dapat diraba, pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah
sepanjang hari
 Pada hidrokel funikulus, kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah
kranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada di luar kantong
hidrokel, pada anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari
 Pada hidrokel komunikan terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga
peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum. Pada
anamnesis, kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah besar saat
anak menangis. Pada palpasi, kantong hidrokel terpisah dari testis dan dapat
dimasukkan ke dalam rongga abdomen

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


HIDROKEL

 Tatalaksana
 Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun dengan
harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri, tetapi
jika hidrokel masih ada atau bertambah besar perlu untuk dilakukan koreksi
 Untuk mengatasi cairan hidrokel  aspirasi (tidak dianjurkan, angka kekambuhan
tinggi, kadang dapat menyebabkan infeksi) dan operasi
 Indikasi operasi hidrokel:
 Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah
 Indikasi kosmetik
 Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu aktivitas

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


HIDROKEL

 Hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena sering disertai hernia


inguinalis sehingga saat operasi dilakukan herniografi juga
 Hidrokel testis dewasa dilakukan pendekatan skrotal dengan melakukan eksisi
dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara Winkelman atau plikasi kantong
hidrokel sesuai cara Lord
 Pada hidrokel funikulus dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto
 Komplikasi
 Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan hidrokel
permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis sehingga
menimbulkan atrofi testis

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi 4. Jakarta: Meida Aesculapius. 2014
VARIKOKEL

 Definisi
 Dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis akibat gangguan alira darah
balik vena spermatika interna
 Epidemiologi
 Terdapat pada 15% pria
 Merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria, 21 – 41% pria yang mandul
menderita varikokel
 Etiologi
 Belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi dibuktikan bahwa varikokel sebelah
kiri lebih sering dijumpai (70 – 93%) daripada varikokel sebelah kanan  dikarenakan
vena spermatika omterna kiri bermuara pada vena renalis kiri dengan arah tegak lurus,
sedangkan yang kanan bermuara pada vena kaba dengan arah miring

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


VARIKOKEL

 Vena spermatika interna kiri lebih panjang daripada yang kanan dan katupnya lebih
sedikit dan inkompeten
 Jika terdapat varikokel di sebelah kanan atau bilaterl patut dicurigai adanya: kelainan
pada rongga retroperitoneal (terdapat obstruksi vena karena tumor), muara vena
spermatika kanan pada vena renalis kanan, atau adanya situs inversus
 Patogenesis
 Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui beberapa
cara, antara lain:
 Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami hipoksia
karena kekurangan oksigen
 Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan prostaglandin)
melalui vena spermatika interna ke testis
 Peningkatan suhu testis

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


VARIKOKEL

 Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan, memungkinkan zat-
zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri ke testis kanan sehingga
menyebabkan gangguan spermatogenesis testis kanan dan pada akhirnya infertilitas
 Gambaran klinis dan diagnosis
 Pasien datang ke dokter biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa
tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis yang
terasa nyeri
 Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan keadaan skrotum
kemudian dilakukan palpasi, jika diperlukan pasien diminta untuk melakukan manuver
valsava atau mengedan
 Jika terdapat varikokel, pada inspeksi dan palpasi terdapat bentukan seperti kumpulan
cacing di dalam kantung yang berada di sebelah kranial testis

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


VARIKOKEL

 Stetoskop doppler sangat membantu karena dapat mendeteksi adanya


peningkatan aliran darah pada pleksus pampiniformis
 Varikokel yang sulit diraba secara klinis disebut varikokel subklinik
 Dengan alat orkidometer dapat menentukan besar atau volume testis
 Pada beberapa keadaan mungkin kedua testis teraba kecil dan lunak, karena telah
terjadi kerusakan pada sel-sel germinal
 Pemeriksaan analisis semen untuk menilai seberapa jauh varikokel telah
menyebabkan kerusakan pada tubuli seminiferi
 Analisis sesmen menunjukkan pola stress yaitu menurunnya motilitas sperma,
meningkatnya jumlah sperma muda (immature) dan terdapat kelainan bentuk
sperma (tapered)

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


VARIKOKEL

 Tatalaksana
 Ligasi tinggi vena spermatika interna secara Palomo melalui operasi terbuka atau bedah laparskopi
 Varikokelektomi cata Ivanisevich
 Secara perkutan dengan memasukkan bahan sklerosing ke dalam vena spermatika interna
 Evalauasi tindakan, melihat indikator:
 Bertambahnya volume testis
 Perbaikan hasil analisis semen (dikerjakan setiap 3 bulan)
 Pasangan itu menjadi hamil
 Pada kerusakan testis yang belum parah, evaluasi pasca bedah vasoligasi tinggi dari Palomo
didapatkan 80% terjadi perbaikan volume testis, 60 – 80% terjadi perbaikan analisis semen, dan
50% pasangan menjadi hamil

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


LI 4 : GANGGUAN GINJAL,VU, URETRA
(TRAUMA & NON TRAUMA)
TRAUMA BULI

ETIOLOGI PATOFISIOLOGI
 Trauma eksternal  Trauma → Ruptur
 Trauma tumpul → tabrakan  Ruptur Ekstraperitoneal terjadi saat
kenaraan, jatuh, penyerangan fragmen pecahan fraktur pelvis
menusuk buli dan menyebabkan
 Trauma tajam → penusukan,
perforasi
penembakan
 Ruptur Intraperitoneal terjadi saat
 Trauma Iatrogenik → operasi
buli dalam keadaan penuh dan terjadi
ginekologi, operasi daerah pelvis,
trauma langsung (terjadi gejala
tindakan endoskopi
peritonitis)
 Spontan
TRAUMA BULI

MANIFESTASI KLINIS DIAGNOSIS


 Hematuria makroskopik (tanda utama)  Anamnesis → mekanisme trauma,
waktu kejadian
 Nyeri tekan suprapubik
 PF → Abdomen (distensi, rebound
 Kesulitan / tidak bisa buang air kecil
tenderness, bising usus menurun
 Retensi Urin menandakan iritasi peritoneal), Rektum
(cedera rektum, posisi prostat),
Pemeriksaan Bilateral Tulang Pelvis
(pergerakan terbatas suspek fraktur)
 PP → uretrogram retrograd (jika ada
darah menetes dari meatus uretra),
BNO-IVP (menilai trauma ginjal),
Sistogram
TRAUMA BULI

TATA LAKSANA
 Mengatasi kegawatdaruratan dan rujuk ke spesialis urologi
 Pada ruptur ekstraperitoneal setelah buli dibuka dilakukan perbaikan, kebanyakan
dapat ditangani dengan drainase menggunakan kateter selama 7-10 hari. Hampir
semua sembuh dalam 3 minggu
 Pada ruptur intraperitoneal diperlukan tindakan operasi langsung dengan
membuka peritoneum untuk eksplorasi
TRAUMA GINJAL

ETIOLOGI PATOGENESIS
 Trauma tumpul (kecelakaan lalu  Trauma tumpul →ginjal bergeser →
lintas, jatuh, cedera olahraga, traksi arteri renalis → menyobek
penyerangan) lapisan intima → perdarahan
 Trauma tajam (luka tembak, luka  Kompresi A.Renalis diantara dinding
tusuk) anterior perut dan korpus vertebra
→ trombosis arteri renalis dextra
 Tembakan → dekstruksi parenkim
ginjal
http://www.sjosm.org/articles/2016/16/2/images/SaudiJSportsMed_2016_16_2_93_180133_b1.jpg
https://www.merckmanuals.com/-/media/manual/professional/images/phy_renal_injury.gif?la=en&thn=0
TRAUMA GINJAL

DIAGNOSIS
 Anamnesis
 Riwayat jatuh, kecelakaan lalu lintas, trauma langsung pada daerah pinggang
 Kecelakaan la-lin → mekanisme kecelakaan, kecepatan kendaraan, pengendara atau
penumpang
 Trauma tajam → ukuram senjata pada kasus penusukan, tipe/kaliber pistol
 Riwayat kelainan ginjal
 Pemeriksaan Fisis → Hematuria, flank pain, ekimosis pinggang, abrasi pinggang,
fraktur iga, distensi abdomen, massa abdomen, nyeri tekan abdomen
 PP → Laboratorium (Ht, kreatinin), Urinalisis (hematuria), Pencitraan
berdasarkan indikasi , USG ginjal
TRAUMA GINJAL

TATALAKSANA
 Stabilitas hemodinamik
 Instabilitas hemodinamik akibat perdarahan ginjal / hematoma sekitar ginjal yang
meluas→ eksplorasi ginjal
 Indikasi bedah → tanda perdarahan disertai syok yang tidak teratasi atau
perdarahan berat
 RUJUK
TRAUMA URETRA

TATALAKSANA
 Pada kasus trauma uretra posterior, kateterisasi merupakan kontraindikasi karena
dapat menyebabkan infeksi periprostatika atau hematomperivesika, atau dapat
terjadi laserasi parsial hingga total
 Setelah kondisi gawat darurat diatasi, pasang sistostomi suprapubik
 Saat pemasangan nilai apakah terdapat trauma juga pada buli2
 Setelah minggu pertama pemasangan sistosomi suprapubik, pemasangan kateter
dapat dicoba dengan bantuan endoskopi dalam anestesi
https://www.marinahospital.com/administration/media/images/procedure-graphics/Suprapubic-Cystostomy-Procedure.jpg
LI 5 : RECTAL TOUCHER
RECTAL TOUCHER

 Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan jari telunjuk yang sudah diberi
pelicin ke dalam lubang dubur, menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan
kontraksi sfingter ani sehingga menyulitkan pemeriksaan.
 Pada pemeriksaan ini, yang dinilai:
 Tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus (BCR)
 Mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektum
 Menilai keadaan prostat
  Pada wanita yang sudah berkeluarga selain pemeriksaan colok dubur, perlu
juga diperiksa colok vagina guna melihat kemungkinan adanya kelainan di dalam
alat kelamin wanita, antara lain: massa di serviks, darah di vagina, atau massa di
buli-buli

Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto, 2011


DAFTAR PUSTAKA
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai